disertasi dinamika sanksi hukum adat dalam … depan edit... · pegawai undiknas yang membantu...
TRANSCRIPT
1
DISERTASI
DINAMIKA SANKSI HUKUM ADAT DALAM
PERKAWINAN ANTAR-WANGSA DI BALI
(PERSPEKTIF HAM)
IDA AYU SADNYINI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i
DISERTASI
DINAMIKA SANKSI HUKUM ADAT DALAM
PERKAWINAN ANTAR-WANGSA DI BALI
(PERSPEKTIF HAM)
IDA AYU SADNYINI
NIM 1290971003
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii
DINAMIKA SANKSI HUKUM ADAT DALAM
PERKAWINAN ANTAR-WANGSA DI BALI
(PERSPEKTIF HAM)
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor
Pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Hukum,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
IDA AYU SADNYINI
NIM 1290971003
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
iii
Lembar Pengesahan
DISERTASI INI TELAH DISETUJUI
18 Juni 2015
Promotor,
Prof. Dr. I Gusti Ayu Agung Ariani, SH., MS. NIP. 19441221 197503 2 001
Ko-Promotor I, Ko-Promotor II,
Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti, SH., MS. Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja, SH., MHum.
NIP. 19471231 197503 2 003 NIP. 19581115 198602 1 001
Mengetahui
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Universitas Udayana,
Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi,SH.,MS. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K)
NIP. 19530919 197903 1 002 NIP 195902151985102001
iv
Disertasi ini Telah Diuji dan Dinilai Tahap I (Ujian Tertutup)
Oleh Panitia Penguji pada
Program Pascasarjana Universitas Udayana
pada Tanggal 4 Juni 2015
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
No : 1433/UN14.4/HK/2015
Tanggal : 20 Mei 2015
Panitia Penguji Disertasi adalah :
Ketua : Prof. Dr. IGusti Ayu Agung Ariani, S.H.,M.S.
Sekretaris : Prof. Dr.Tjok Istri Putra Astiti, S.H.,M.S.
Anggota :
1. Prof. Dr. Made Pasek Diantha, S.H., M.S.
2. Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H., M.H.
3. Prof. Dr. Ketut Rai Setiabudhi,S.H., M.S.
4. Prof. Dr. I Wayan Windia, S.H., M.Si.
5. Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja, S.H.M.Hum.
6. Dr. I Ketut Sudantra, S.H., M.H.
v
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Dewi Saraswati, Kepada-Mulah hamba memuja. Dewi-lah
memberikan anugrah yang bisa mengubah bentuk sekehendak hati. Hamba akan
melakukan suatu usaha di bidang akademik, semoga hamba mendapat hasil yang
baik. Setelah menyembah Hyang Widhi dan Dewa-Dewi di sorgaloka, hamba
sembah Dewi Saraswati yang pandai dalam segala hal. Juga hamba sembah para
leluhur yang sudah suci, hamba panjatkan doa serta permohonan ampun sebesar-
besarnya, atas kelancangan hamba menuliskan peristiwa sejarah wangsa di Bali,
mudah-mudahan hamba dijauhkan dari segala halangan, terhindar dari pastu, dan
tiada kena tulah phamidi.
Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat-Nya serta didorong oleh keinginan yang amat kuat sehingga
peneliti dapat menyelesaikan penelitian disertasi yang berjudul “ Dinamika Sanksi
Hukum Adat Dalam Perkawinan Antar-Wangsa di Bali (Persepektif HAM ).
Dalam penulisan disertasi ini, peneliti menyadari akan keterbatasan kemampuan
yang dimiliki, sehingga masih banyak terdapat kekurangan dalam cara penulisan,
masih dangkal dalam mengkaji permasalahan, namun peneliti yakin bahwa
dengan usaha yang sungguh-sungguh dan kemauan yang kuat disertai semangat
yang tinggi, maka besar harapan akan terwujud hasil disertasi yang baik.
Penulis selanjutnya mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas
Udayana Prof. Dr. dr. I Ketut Swastika, Sp.PD-KEMD atas kesempatan dan
fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan Program Doktor di Universitas Udayana. UCapan yang sama
tingginya disampaikan kepada Direktur Pascasarjana Universitas Udayana Prof.
Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)., Asisten Direktur I, Prof. Dr. Made Budiarsa,
MA., Asisten Direktur II, Prof. Made Sudiana Mahendra, Ph.D.
Keberhasilan peneliti dalam menyelesaikan disertasi ini tidak lepas dari
bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak antara lain:
Profesor Doktor I Gusti Ayu Agung Ariani, S.H., M.S., sebagai Promotor
berdasarkan S.K. Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana No.
2095/UN14.4/HK/2013. Profesor Doktor Tjokorda Istri Putra Astiti, S.H., M.S.,
sebagai Ko Promotor 1 berdasarkan S.K. Direktur Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana No. 2095/UN14.4/HK/2013. Doktor Gede Marhaendra Wija
Atmaja, S.H., M.Hum., sebagai Ko Promotor 2 berdasarkan S.K. Direktur
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana No. 2095/UN14.4/HK/2013.
Profesor Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H., sebagai Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana. Profesor Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S.,
sebagai Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Udayana, sekaligus
sebagai penguji Disertasi. Profesor Dr. Made Pasek Diantha, S.H., M.S., sebagai
Penguji Disertasi. Profesor Dr. I Wayan Windia, S.H., M.Si., sebagai Penguji
Disertasi Profesor Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H., M.H., sebagai Penguji Disertasi.
Doktor I Ketut Sudantra, S.H., M.H., sebagai Penguji Disertasi. Doktor Anak
vii
Agung Ayu Tini Rusmini Gorda, SH., MM., MH., selaku ketua Perdiknas yang
memberikan dukungan moril, matriil, dan sprituil. Profesor Gede Sri Darma,
D.B.A., sebagai Rektor Universitas Pendidikan Nasional Denpasar member ijin
melanjutkan studi. Dr. A.A.A. Sri Rahayu Gorda, S.H., M.M., M.H., sebagai
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional yang memberi dorongan
terus menerus dikala jenuh. Teman-teman mahasiswa S3 seluruhnya, terutama
Angkatan pertama yang selalu memberi semangat dan dukungan. Seluruh dosen
dan pegawai di lingkungan Universitas Udayana Denpasar. Seluruh dosen dan
Pegawai Undiknas yang membantu penyelesaian disertasi ini antara lain Pak
Budiarnaya, Nyoman Sata, dan Ibu Juwita. Keluarga tercinta K. Ngr Sutharma,
S.H., (suami). Diah Ayu Widyasari dan Hendra Novianto, Agus Bayu Udayana
dan Ni Luh Made Enny Widhiyati, Putri Aryaningrum, Ngurah Alit Dananjaya
Rentaja, Yuni Antari beserta cucu-cucu tercinta. Orang tua (Ida Pedanda Putra
Jumpung dan Ida Pedanda Istri Raka Alm) beserta adik-adik semuanya. Mertua
Alm beserta ipar semuanya. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu yang telah memberi dukungan dan bantuan baik yang bersifat material
maupun spiritual sehingga disertasi ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.
Saya dan keluarga mengucapkan terimakasi yang sedalam-dalamnya semoga Ida
Sang Hyang Widhi Wasa selalu melimpahkan rahmat-Nya kita semua.
Akhirnya disertasi ini dipersembahkan kepada Almamater, kepada
pembaca yang budiman, serta kepada nusa dan bangsa. Semoga bermanfaat dan
dapat menjadi setitik garam dalam samudra ilmu pengetahuan.
Denpasar, 18 Juli 2015
Peneliti
IDA AYU SADNYINI
viii
ABSTRAK
Dinamika Sanksi Hukum Adat Dalam Perkawinan Antar-Wangsa Di Bali
(Perspektif HAM)
Perkawinan sebagai salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia
memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Landasan ini bertujuan agar
pelaksanaan perkawinan berjalan sesuai dengan harapan. Perkawinan antar-
wangsa mengalami dinamika baik peraturan maupun sanksinya. Dinamika
perkawinan antar-wangsa menimbulkan problem filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Berdasarkan latar belakang di atas diangkat permasalahan sebagai
berikut.Bagaimana dinamika sanksi hukum adat dalam perkawinan antar-wangsa?
Apa makna perubahan sanksi hukum adat dalam perkawinan antar-wangsa
terhadap HAM perempuan? Mengapa perubahan sanksi hukum adat perkawinan
antar-wangsa berimplikasi terhadap HAM perempuan? Permasalahan dikaji
dengan menggunakan Teori Legal System, Law as a Tool of Social Engineering,
Teori Stratifikasi Sosial, Teori Living Law, Teori Bekerjanya Hukum Dalam
Masyarakat, Teori Intraksionisme Simbolik, Teori HAM Patrikularistis Relatif,
Prinsip-prinsip HAM, dan Feminist Legal Theory. Penelitian ini termasuk
penelitian hukum empiris. Lokasi penelitian Provinsi Bali.
Hasil penelitian, sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa terjadi
karena masyarakat Hindu menganut stratifikasi wangsa vertikal. Zaman Kerajaan
sanksi diatur dalam Manawa Dharmacastra dan lontar-lontar, sanksi dibakar di
atas rumput kering, selong, denda, upacara penurunan wangsa, reinkarnasi
menjadi binatang bertahun-tahun. Zaman Belanda sanksi diatur dalam peswara,
sanksi selong, denda, upacara patiwangi. Zaman kemerdekaan sanksi selong dan
upacara patiwangi dihapus secara yuridis fomal, tetapi kenyataan upacara
patiwangi dan sanksi sosial tetap berlaku. Perubahan sanksi disebabkan karena
perubahan politik. Makna perubahan sanksi semakin mengarah terhadap
perlindungan HAM perempuan, menyebabkan perkawinan antar-wangsa semakin
meningkat. Implikasi perubahan sanksi terhadap HAM perempuan dalam
perkawinan anuloma dan pratiloma, sudah menunjukkan perubahan ke arah
kesetaraan dan berkeadilan, namun masih ditemukan adanya diskriminasi.
Rekomendasi, pemerintah di Bali perlu melaksanakan sosialisasi
Keputusan DPRD Bali Nomor 11 tahun 1951, Bhisama PHDI Pusat Nomor 3
tahun 2002, MUDP Nomor III tahun 2010. Penghormatan dan penghargaan
terhadap martabat kemanusiaan perlu ditingkatkan dengan cara mengurangi sifat
egoisme stratifikasi wangsa yang vertikal. Pemahaman HAM tidak hanya pada
tingkat pengetahuan, namun yang terpenting pelaksanaan dalam masyarakat.
Kata Kunci: Sanksi, Wangsa, HAM.
ix
ABSTRACT
DYNAMICS OF CUSTOMARY LAW SANCTIONS OF INTER-CASTE
MARRIAGES IN BALI
(HUMAN RIGHT PERSPECTIVE)
Marriage as one of the important stages in human life has a philosophical
basis, juridical and sociological. The base is intended that the implementation of
marriage in line with expectations. Similarly, it does in inter-caste marriages.
Caste marriages undergo good dynamics and sanctions regulations. The dynamics
of inter-caste marriage raises philosophical problems, juridical, and sociological.
Based on the back ground mentioned above the following issues raised;
How is the dynamics of customary law sanctions in inter-caste marriage? What is
the meaning of customary law sanctions changes in inter-caste marriages for
women's rights? Why is the change of customary law sanctions on inter-caste
marriage having implications on women's rights? The problems are examined
using Legal System Theory, Law as a Tool of Social Engineering, Social
Stratification Theory, Theory of Legal Implementation in Society, Symbolic
Interactions Theory, Relative Particularistic Theory, Human Rights Principles,
Feminist Legal Theory and Law Living theory. This research includes empirical
legal research. Location of the research is Bali Province.
Customary law sanctions in caste-marriages occur because people are
Hindu community embrace vertical stratification. Sanctions of inter-caste
marriage in the monarchy era set in Manawa Dharmacastra and set in lontar;
burned on dry grass sanction, Selong, fines, lowering the caste level, to be
reincarnated to animals for years. During Dutch period the sanctions were set in
peswara that include; Selong sanctions, fines, patiwangi ceremony. In the
independence era selong sanctions and patiwangi ceremony were formal legally
revoked, but the fact patiwangi ceremonies and social sanctions remain
implemented. The changes of sanctions are due to political changes. The
meanings of sanction changes increasingly lead to the protection of women's
human rights, causing inter-caste marriages are getting increased. The
implications of changes in sanctions against the human rights of women in
Anuloma and pratiloma marriage, and it has already showed a change towards
equality and justice, but it is still found the existence of discrimination.
Goverman of Bali Province, implementation of the Council Decision No.
11 of 1951, Bhisama of Central PHDI No. 3 in 2002 and MUDP No: III year 2010
need to be socialized. Respect and appreciation for human dignity needs to be
improved by reducing the caste vertical stratification egoism. Human right
Understanding should not only be at the level of knowledge, but also most
importantly should be in the implementation of the community.
Keywords: Sanctions, caste, human rights.
x
RINGKASAN
DINAMIKA SANKSI ADAT DALAM
PERKAWINAN ANTAR-WANGSA DI BALI
(PERSFEKTIF HAM)
Penelitian ini bertujuan untuk mencari jawaban terhadap permasalahan
pokok sebagai berikut : 1) Bagaimanakah dinamika sanksi hukum adat dalam
perkawinan antar-wangsa? 2) Apa makna perubahan sanksi hukum adat dalam
perkawinan antar-wangsa? 3) Mengapa perubahan sanksi hukum adat perkawinan
antar-wangsa berimplikasi terhadap HAM perempuan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum empiris dengan
pendekatan kualitatif. Metode pendekatan yang digunakan pendekatan sosio-legal,
sejarah, dan konseptual. Penggalian data primer dilakukan dengan teknik
observasi dan wawancara, data sekunder dilakukan dengan teknik dokumentasi.
Wawancara dilakukan kepada informan dan responden yang melakukan
perkawinan dan perceraian antar-wangsa pratiloma dalam bentuk nyeburin, dan
pada gelahang. Data perkawinan antar-wangsa pada zaman Kerajaan dan zaman
Kolonial digali dari informan yang berumur delapan puluh tahunan keatas. Data
perkawinan antar-wangsa zaman Kemerdekaan sebagian besar digali dari
responden sendiri.
xi
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini sebagai berikut:
1. Dinamika Sanksi Hukum Adat Perkawinan Antar-Wangsa
a. Sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa pada zaman kerajaan
(1352-1849), dibakar di atas rumput kering, sanksi labuh geni bagi
perempuan yaitu (dijatuhkan dalam api unggun) sedangkan laki-laki
dikenakan sanksi labuh batu (ditenggelamkan di laut, kakinya diikat dan
diperberat batu agar tenggelam). Ada pula dibunuh dengan cara ditusuk
dengan keris, selong seumur hidup, dan denda.
b. Sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa pada zaman kolonial
(1849-1945), dengan datangnya Belanda ke Bali, terjadi perubahan
hukum dalam hukum adat perkawinan antar-wangsa karena faktor Politik
Sanksi perkawinan antar-wangsa diatur dalam peswara tahun 1900
dikenakan sanksi selong seumur hidup baik laki-laki maupun perempuan
ke luar pulau Bali. Peswara tahun 1910 mengatur sanksi selong 10 tahun
kemudian berubah menjadi 6 tahun terhadap pasangan Asu Pundung ke
luar daerahnya, tetapi masih di wilayah pulau Bali. Alangkahi Karang
Hulu cukup dengan sanksi denda 50 feku (satu feku setara dengan 1000
uang kepeng bolong) ditambah penurunan wangsa. Peswara 1927
mengatur sanksi selong selama enam bulan di wilayah Pulau Bali
ditambah upacara patiwangi terhadap pasangan Asu Pundun. Perkawinan
Alangkahi Karang Hulu dikenakan sanksi denda, apabila tidak mampu
memabayar akan dikenakan sanksi selong.
xii
c. Sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa pada zaman kemerdekaan
(1945-2014)
a) Zaman Orde Lama (1945-1965) terbitnya Keputusan DPRD Bali
Nomor 11 Tahun 1945 menghapus peswara 1927, sepanjang
mengenai lembaga adat perkawinan Asu Pundung dan Alangkahi
Karang Hulu termasuk sanksi patiwangi. Sanksi yang dikenakan
pada zaman ini adalah: sanksi melakukan upacara patiwangi, tidak
boleh ke Pura Tri Kahyangan apabila belum melakukan upacara
patiwangi, tidak dperbolehkan mengadakan lamaran, tidak
diperbolehkan pulang dalam waktu yang lama, tidak diperbolehkan
melakukan upacara mepamit/ mejauman, tidak diberikan air suci
oleh pendeta, adanya penggantian nama secara resmi.
b) Zaman Orde-Baru (1966-1998) Sanksi perkawinan antar-wangsa
pada zaman ini adalah: sanksi upacara patiwangi, dibuang oleh
keluarga namun hanya beberapa bulan/sanksi dari keluarga sudah
mengendor. Etika keluarga masih melarang orang tua untuk
menyaksikan upacara perkawinan anaknya. Nama diganti secara
resmi/ simbolis saja.
c) Zaman Reformasi (1999-2014) Sanksi hukum adat perkawinan
antar-wangsa pada zaman ini masih seperti zaman sebelumnya.
Namun kualitas sanksi semakin ringan, upacara patiwangi ada yang
melakukan ada yang tidak melakukan, semakin pendek sanksi
diperbolehkan pulang, semakin pendek waktu untuk melaksanakan
xiii
mepamit. Sudah ada yang melakukan peminangan, sudah ada yang
melakukan upacara mepamit setelah tiga hari upacara adat
perkawinan, etika keluarga sudah memperbolehkan orang
tua/keluarga perempuan menyaksikan perkawinan anaknya.
2. Makna Perubahan Sanksi Hukum Adat Perkawinan Antar-Wangsa Terhadap
HAM Perempuan.
a. Makna perubahan sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa pada
zaman kerajaan. Hukuman mati yang dilakukan dengan cara labuh geni,
labuh batu, selong seumur hidup di luar wilayah Pulau Bali dan denda.
Penerapan sanksi tergantung pada kehendak raja. Pengaruh HAM belum
masuk ke Indonesia. Perintah raja adalah undang-undang yang harus
dilaksanakan.
b. Makna perubahan sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa pada
zaman kolonial. Hukuman mati diganti/dihapus dengan hukuman selong
seumur hidup di luar Pulau Bali, selong 10 tahun, selong 6 tahun, selong
6 bulan, denda, upacara penurunan wangsa/upacara patiwangi di Pura
Bale Agung. Perubahan sanksi disebabkan terjadinya perubahan politik.
Perubahan sanksi semakin ringan, dengan diakuinya Hak Asasi Manusia
yang paling mendasar yaitu hak untuk hidup.
c. Makna perubahan sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa pada
zaman kemerdekaan. Sanksi selong enam bulan, upacara penurunan
wangsa/upacara patiwangi dihapus, lembaga adat Asu Pundung dan
Alangkahi Karang Hulu juga dihapus dengan Keputusan DPRD Bali
xiv
Nomor 11 Tahun 1951. Perubahan ini disebabkan oleh karena politik,
yaitu dari poltik pemerintahan kolonial menjadi pemerintahan yang
merdeka. Pengakuan terhadap Universal Declaration of Human Rights
tahun 1948. Hukumpun mengalami penyesuaian dengan mengadopsi
prinsip-prinsip HAM ke dalam peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan Keputusan efektif untuk sementara waktu dimana sanksi
patiwangi tidak dilakukan masyarakat. Sanksi lain kemudian tumbuh
berkembang seperti tidak diperbolekan meminang perempuan yang lebih
tinggi derajatnya, tidak diperbolehkan melakukan upacara
mepamit/mejauman, tidak diperbolehkan pulang dalam jangka waktu
yang sangat lama. Sanksi tersebut mengalami perkembangan dengan
terus memperhatikan prinsip-prinsip HAM dan Kesetaraan gender serta
meningkatkan penghargaan terhadap martabat perempuan.
Perkembangan sanksi semakin ringan, namun upacara patiwangi hidup
kembali dengan cara yang bervariasi. Perubahan sanksi yang semakin
ringan menyebabkan perkawinan antar-wangsa semakin meningkat.
3. Implikasi Perubahan Sanksi Hukum Adat dalam Perkawinan Antar-Wangsa
terhadap HAM perempuan.
a. Implikasi perubahan sanksi hukum adat dalam perkawinan antar-wangsa.
a) Perkawinan anuloma, implikasi perubahan sanksi dalam perkawinan
anuloma sangat positif. Adanya pergeseran makna perkawinan
anuloma menjadi perkawinan menek wangi/naik derajatnya.
Perempuan jaba wangsa/sudra wangsa dipinang oleh laki-laki tri
xv
wangsa, laki-laki tri wangsa mengadakan upacara mepamit/mohon
restu dari leluhur perempuan jaba wangsa. Namanya diganti menjadi
jero diikuti nama bunga/serba harum. Anak yang dilahirkan sama
status dan namanya, dengan anak yang dilahirkan dari perempuan
yang sederajat. Anak yang dilahirkan boleh mendoakan roh ibunya
(nyumbah) yang sebelumya dilarang. Diskriminasi yang masih
terpelihara dalam perkawinan ini adalah kewajiban “jero” berbahasa
halus pada keluarga suami dan anak yang dilahirkan.
b) Perkawinan pratiloma, implikasi perubahan sanksi dalam
perkawinan pratiloma, sudah mengarah pada penghargaan terhadap
HAM perempuan. Kesetaraan dan keadilan perempuan terus
menerus diperjuangkan. Semua sanksi dalam perkawinan pratiloma
telah dihapus, namun sanksi yang timbul dari etika keluarga belum
bisa dihapus sampai sekarang. Sanksi tersebut mulai dilakukan
dengan pura-pura, hanya sebagai simbol untuk menghargai keluarga
besar. Dalam perkembangannya sudah ada perempuan tri wangsa
yang dipinang/dilamar, sudah ada yang melakukkan upacara
mepamit, orang tua sudah ada yang menyaksikan upacara adat dan
resepsi perkawinan anaknya. Dengan demikian perkawinan
pratiloma semakin meningkat.
c) Perkawinan nyeburin antar-wangsa, perkawinan nyeburin untuk
pertama kali dilakukan oleh IA Stiti yaitu kasus kawin nyeburin
antar-wangsa di Desa Wanasari. Sanksi dialami pelaku antara lain:
xvi
masyarakat desa dan keluarga besar menganggap perkawinan
tersebut tidak sah, rumahnya dilempari, dilarang ke Pura,
kesepekang. Kasusnya kemudian diselesaikan di Pengadilan Negeri
Tabanan. Putusan Pengadilan mensahkan perkawinan tersebut. Sejak
saat itu perkawinan antar-wangsa nyeburin semakin bertambah.
d) Perkawinan pada gelahang, perubahan sanksi dalam perkawinan
antar-wangsa menyebabkan masyarakat semakin berani melakukan
perkawinan antar-wangsa. Bahkan pada tahun 2013 telah terjadi
perkawinan pada gelahang antar-wangsa. Dengan adanya
perkawinan pada gelahang antar-wangsa berarti persoalan wangsa
tidak lagi menjadi ukuran utama dalam suatu perkawinan.
b. Implikasi Perubahan Sanksi Hukum Adat dalam Putusnya Perkawinan
Antar-Wangsa.
a) Mulih deha karena suami meninggal, disebut janda (balu). Istilah
balu digunakan karena putusnya perkawinan disebabkan salah satu
meninggal dunia yaitu dalam hal ini suami yang derajatnya lebih
rendah. Janda mulih deha sekarang sudah dapat diterima oleh
keluarga tri wangsa. Pada zaman dahulu janda pratiloma tidak
berani mulih deha. Kalau meninggal akan dibuatkan upacara sebatas
upacara ngaben. Setelah ngaben tidak ada lagi upacara lebih lanjut
seperti upacara ngerorasin/memukur untuk menyatukan rohnya
dengan leluhur yang berstana di merajan kemulan. Roh janda
xvii
pratiloma diantar oleh keluarga ke Pura Dalem Prajapati untuk
melakukan pengabdian/ngayah di pura.
b) Mulih deha karena perceraian, disebut janda (sapihan). Perubahan
sanksi berimplikasi terhadap janda atau sapihan mulih deha yang
semakin meningkat keberadaannya di masyarakat. Pada umumnya
keluarganya sangat mengharapkan agar janda pratiloma tersebut
kawin lagi dengan tidak memperhitungkan lagi derajat/wangsa dari
laki-laki yang mengawininya. Tujuan seperti harapan di atas
dilakukan keluarga, jika meninggal dunia, rohnya dapat dipersatukan
dengan leluhur suaminya. Hal ini erat kaitannya dengan masih
kuatnya sistem wangsa di Bali.
xviii
SUMMARY
DYNAMICS OF CUSTOMARY LAW SANCTIONS OF
INTER-CASTE MARRIAGES IN BALI
(HUMAN RIGHT PERSPECTIVE)
This study aims to find answers to fundamental problems below: 1) How
do the dynamics of customary law sanctions in inter-caste marriage? 2) What is
the meaning of customary law sanctions changes in inter-caste marriage? 3) Why
the change of customary law sanctions in caste- marriage has implications for the
human rights of women.
This study using the type of empirical legal research with a qualitative
approach. The approach applied includes; socio-legal approach, history, cases, and
conceptual. Primary data collection was done by using observation and interviews
and secondary data was collected by using the documentation. Interviews were
conducted to informants and respondents conduct between marriage and divorce
of inter-caste marriages form of pratiloma, nyeburin, and pada gelahang. Data on
inter-caste marriage between the Era of monarchy and the Colonial Period were
excavated from informants of eighty years and above. The data of inter-caste
marriage in Independence era were mostly excavated from the respondents
themselves.
xix
The conclusions gained from the result of this study are as follows:
1. Dynamics of Customary Law Sanctions of inter-caste Marriages
a. Customary Law Sanctions on inter-caste Marriage in the Monarchy Era
(1352-1849), burned on the dry grass, and melabuh geni sanctions for
women or (ousted in a bonfire) while men penalized by labuh batu
(drowned in the sea, his legs tied and aggravated by stones that make him
sink). There are also killed by being stabbed with a dagger, Selong
lifetime, and fines.
b. Customary Law Sanctions on intra-marriage in the era of Colonialism
(1849-1945), with the arrival of the Dutch to Bali, a change in the law of
customary law related to inter-caste marriages because of the political
factor. A sanction in inter-caste marriages was arranged in peswara 1900
was penalized lifetime Selong both for men and women to leave the
island of Bali. Peswara 1910 arranged Selong sanctions of 10 years later
turned into a 6-year toward spousal of Asu Pundung outside the area or
village, but still in the region of the island of Bali. Alangkahi Karang
Hulu spousal was penalized with a penalty of 50 feku (one feku is
equivalent to 1000 bronze coins) added by caste declining. Peswara 1927
regulated Selong sanctions for six months on the island of Bali plus
patiwangi ceremonies for Asu Pundung couples. Alangkahi Karang Hulu
couples were fined, Selong sanction would be applied if they were not
able to pay.
xx
c. Customary Law Sanctions of inter-caste marriage in the independence
era (1945-2013).
a) The Old Order Period (1945-1965) the issue of Decree No. 11 of
Provincial Parliament of Bali year 1945 revoked peswara 1927, all
cases related to the traditional institution of marriage, such as Asu
Pundung, Alangkahi Karang Hulu, including patiwangi sanctions.
Sanctions imposed in this era is: sanctions of patiwangi ceremony,
and the couple are not permitted to do worshiping to Pura Tri
Kahyangan (territorial temples) before conducting such a ceremony,
it is not allowed to offer married to, not allowed to go home to the
girl home in a very long time, not allowed to perform mepamit/
mejauman, not given Tirta / holy water by a priest, and the girl
should officially be renaming.
b) The New Order Era (1966-1998) sanction on inter-caste marriage in
this era is: sanctions on patiwangi ceremony, disposed of by the
family, but sanction of the family has been loosened in a few
months. Parents are still forbidden to see her wedding ceremony.
The name was officially changed or just a symbolic.
c) Reform Period (1999-2014). Customary law sanctions of inter-caste
marriage at this era are still like the previous times. However the
quality of the form of sanctions is milder, the patiwangi ceremony
seems to be optional (some conduct it and some don’t), the sanctions
for the permission to return home is shorter, the shorter the time to
xxi
implement mepamit processes. In some cases the process of
proposing has been practiced, and even mepamit ceremonies have
also been practiced and it should be done after three days of
traditional wedding ceremony, and last but not least, female family
has been permitted to witness the daughter marriage.
2. The Meaning of Changes in Customary Law Sanctions of inter-caste
marriages toward Women Human Rights.
a. Meaning of changes in customary law sanctions of inter-caste marriages
in the Age of Empire. The death penalty is carried out by means of
melabuh geni, melabuh batu, lifetime Selong outside the island of Bali,
and fines. The application of sanctions depends on the will of the king.
Human rights’ influence has not entered into Indonesia. The king's order
is law, and it should be implemented.
b. Meaning of changes in customary law sanctions in inter-caste marriage in
the Colonial Period. The death penalty is replaced / revoked with lifetime
Selong punishment outside the area of the island of Bali, 10 years Selong,
6 years Selong, 6 months Selong, fines, patiwangi ceremony at Pura Bale
Agung. Sanction changes were caused by changes in the political
situation. Changes in sanctions are getting lighter, since the recognition
of the most fundamental human rights, is the right to life.
c. Meaning of changes in customary law sanctions of inter-caste marriage
in the Independence era. Six months Selong Sanctions, patiwangi
ceremony is revoked; traditional institutions of Alangkahi Karang Hulu
xxii
and Asu Pundung are also revoked through the Bali Council Decree No.
11 of 1951. This change is caused by politics, namely the political
administration of the colonial to be independent of government, and
Universal Declaration of Human Rights 1948. Even the Law was
adjusted by adopting human rights principles into legislation.
Implementation of the Decision runs for the time in which patiwangi
sanctions was not carried out in public. Then other sanctions grow, such
as: it was not permitted to woo women of higher caste, there was no
allowance to perform the mepamit / mejauman ceremonies, the female
was not allowed to return home after long time. The sanctions underwent
growth with continued attention to the principles of human rights and
gender equality and to improve respect for the dignity of women. The
development of penalties is increasingly lighter, but patiwangi
ceremonies were back to life in a way that varies. The changes to the
lighter state of sanctions caused increasing number of inter-caste
marriages.
3. Implications of Customary Law Sanctions Changes in inter-caste marriages
toward women's human rights.
a. Implications of customary law sanctions changes in inter-caste marriages.
a) Anuloma marriage, the implications of sanction changes in the
Anuloma marriage are very positive. There is a shift in the meaning
of Anuloma marriage to become menek wangi marriage / rise in rank.
Women of Jaba caste / Shudra wangsa proposed by male of tri
xxiii
wangsa and the tri wangsa caste male conducting mepamit
ceremony/implore the blessing of Jaba caste female ancestors. Her
name will be named jero followed by a name of flower / all-fragrant.
The children who are born from her will have equal status and name
with the children born from women who are from equal caste.
Children who are born from inter-caste may pray for their mother
who previously banned. Discrimination which is still preserved in
this marriage, the obligations of "jero" is to speak in high level of
language to the husband's family and the child born from her.
b) Pratiloma marriage, the implications of sanctions changes in
pratiloma marriage, has led to an appreciation of women's human
rights. Equality of women is constantly fought. All sanctions in
pratiloma marriage have been revoked, but the sanctions arising
from family ethics cannot be removed until now. The sanctions
began to pretend, just as a symbol for a large family appreciation. In
the development, there has been a woman from tri wangsa caste to
be proposed by the male of the jaba caste and also conducted
mepamit ceremony, there have been parents who witnessed the
marriage ceremony and reception children marriage. The fact has
been increasing the number of pratiloma marriage.
c) Inter-caste nyeburin marriages, sanctions changes in nyeburin
marital were pioneered by the Ida Ayu Stiti, the case of nyeburin
inter-caste marriages in the village Wanasari. Originally the village
xxiv
and the family consider her marriage is invalid, her house was
pelted, she was forbidden to do worshiping to the temple,
kesepekang. Her case was then settled in Tabanan District Court.
The Court Decision legalized the marriage. Since then, nyeburin
inter-caste marriages are increasing.
d) Pada gelahang marriage, sanctions changes in inter-caste marriages
led to the increasingly number of public conduct inter-caste
marriages. Even in 2013 there has been inter-caste pada gelahang
marriage. With the inter-caste pada gelahang marriages, it means
that caste issue is no longer becoming a primary measure in a
marriage.
b. Implications of Customary Law Sanction Changes in the Rupture of
inter-caste marriage.
a) Mulih deha since her husband died is called a balu (widow), the term
widow for marriage breakdown caused by one died, in this case the
husband who comes from lower caste. The mulih deha widow has
now been accepted by tri wangsa family. In ancient times none of
pratiloma widow dared to come to her parents’ family (mulih deha).
When pratiloma widow died, only cremation ceremony would be
carried out for her. After the cremation ceremony there is no longer
such the following ceremony ngerorasin / memukur to unite her soul
with ancestors who is dedicated in the family shrine (merajan
xxv
kemulan). The spirit of pratiloma widow will be family delivered to
the Pura Dalem Prajapati to do the service in the temple.
b) Mulih deha because of divorce is called a widow (sapihan) and
sanction changes are implied toward widow or sapihan mulih deha
which are increasing its presence in the community. In general, the
family is expecting the pratiloma widow to remarry without taking
into account the caste of men who marries her. This is done by the
family, so that later if she dies, her spirit can be united with her
husband ancestors / as the result of the Hindu society system in Bali.
xxvi
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ..................................................................................... i
PRASYARAT GELAR ............................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN........................................................................ iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ........................................................... iv
SURAT PERNYATAAN............................................................................ v
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................. viii
ABSTRACT ............................................................................................... ix
RINGKASAN ............................................................................................. x
SUMMARY ................................................................................................ xviii
DAFTAR ISI .............................................................................................. xxvi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xxix
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................ xxx
GLOSSARY ................................................................................................ xxxi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xxxvii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 20
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................ 20
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................ 20
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................... 21
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................. 21
1.5 Orisinalitas ........................................................................... 22
1.6 Metode Penelitian ............................................................... 28
1.6.1 Paradigma Penelitian.................................................. 28
1.6.2 Jenis Penelitian ........................................................... 29
1.6.3 Lokasi Penelitian, Penentuan Informan dan
Responden .................................................................. 32
1.6.4 Pendekatan Penelitian ................................................ 34
1.6.5 Definisi Operasional .................................................. 36
1.6.6 Jenis Data ................................................................... 37
1.6.7 Teknik Pengumpulan Data (Data Collection) ............ 40
1.6.8 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ....................... 46
1.6.9 Pengujian Kredibelitas Data....................................... 49
BAB II LANDASAN TEORITIK ........................................................... 52
2.1 Teori .................................................................................... 52
2.1.1 Teori Legal System dari Lawrence M.Friedman...... 52
2.1.2 Teori Law as a Tool of Social Engineering dari
Roscoe Pound .......................................................... 54
2.1.3 Teori Stratifikasi Sosial dari Soerjono Soekanto ..... 56
xxvii
2.1.4 Teori Bekerjanya Hukum Dalam Masyrakat dari
Williem Chambliss dan Robert B.Seidman ............. 57
2.1.5 Teori Living Law dari Eugen Ehrlich ..................... 57
2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert
Blumer. .................................................................... 58
2.1.7 Teori HAM Patrikularistis Relatif ........................... 59
2.1.8 Teori Feminist Legal Theory dari Sulistyowati
Irianto ....................................................................... 61
2.2 Konsep Hukum serta Pandangan Para Sarjana .................... 63
2.2.1 Konsep Hukum dari Soetandio Wignjosoebroto ..... 63
2.2.2 Konsep Hukum Triangular dari Werner Menski .... 64
2.2.3 Konsep Tentang Hukum Adat ................................. 66
2.2.4 Konsep Tentang Sanksi Hukum .............................. 67
2.2.5 Konsep Tentang Sanksi Adat................................... 68
2.2.6 Konsep Tentang Dinamika Sanksi........................... 70
2.2.7 Konsep Tentang Wangsa, Warna, dan Kasta .......... 72
2.2.8 Konsep Tentang Perkawinan ................................... 80
2.2.9 Konsep Tentang Perkawinan Antar-wangsa ........... 84
2.2.10 Konsep Tentangn HAM Perempuan ........................ 86
2.3 Kerangka Pikir/Desain Penelitian ........................................ 97
BAB III DINAMIKA SUBSTANSI, SANKSI, STRUKTUR,
BUDAYA HUKUM ADAT PERKAWINAN ANTAR-
WANGSA .................................................................................... 101
3.1 Dinamika substansi dan sanksi hukum adat perkawinan
antar-wangsa pada Zaman Kerajaan (1352-1849) .............. 101
3.2 Dinamika substansi dan sanksi perkawinan antar-wangsa
Zaman Kolonial (1849-1945) .............................................. 121
3.3 Dinamika substansi dan sanksi perkawinan antar-wangsa
Zaman Kemerdekaan 1945-2014 ........................................ 138
3.3.1 Substansi dan sanksi perkawinan antar-wangsa
Orde Lama (1945-1965) .......................................... 138
3.3.2 Substansi dan sanksi perkawinan antar-wangsa
dalam Orde Baru (1966-1998) ................................. 146
3.3.3 Substansi dan sanksi perkawinan antar-wangsa
dalam Zaman Reformasi 1999 – 2014 ..................... 156
3.4 Dinamika Struktur Hukum Perkawinan Antar-wangsa ....... 169
3.5 Dinamika budaya hukum perkawinan antar-wangsa .......... 176
BAB IV MAKNA PERUBAHAN SANKSI HUKUM ADAT
PERKAWINAN ANTAR-WANGSA TERHADAP HAM
PEREMPUAN ............................................................................ 206
4.1 Makna Perubahan Sanksi Zaman Kerajaan Terhadap
HAM Perempuan ................................................................. 206
4.2 Makna Perubahan Sanksi Zaman Kolonial Terhadap HAM
Perempuan ........................................................................... 223
xxviii
4.3 Makna Perubahan Sanksi Zaman Kemerdekaan terhadap
HAM Perempuan ................................................................. 235
4.3.1 Makna perubahan sanksi Orde Lama terhadap
HAM Perempuan (1945-1965) ............................... 235
4.3.2 Makna sanksi Orde Baru terhadap HAM
Perempuan (1966-1998) .......................................... 245
4.3.3 Makna perubahan sanksi Zaman Reformasi
terhadap HAM Perempuan (1999-2014) ................. 259
BAB V IMPLIKASI PERUBAHAN SANKSI HUKUM ADAT
PERKAWINAN ANTAR- WANGSA TERHADAP HAM
PEREMPUAN ............................................................................ 295
5.1 Implikasi Perubahan Sanksi Dalam Hukum Adat
Perkawinan Antar- Wangsa Terhadap HAM Perempuan ... 295
5.1.1 Implikasi perubahan sanksi dalam perkawinan
antar-wangsa (anuloma) terhadap HAM
Perempuan ............................................................... 295
5.1.2 Implikasi perubahan sanksi dalam perkawinan
antar-wangsa (pratiloma) terhadap HAM
Perempuan ............................................................... 308
5.1.3 Implikasi perubahan sanksi dalam perkawinan
nyeburin antar-wangsa terhadap HAM Perempuan 325
5.1.4 Implikasi perubahan sanksi dalam perkawinan
pada gelahang antar-wangsa terhadap HAM
Perempuan ............................................................... 340
5.2 Implikasi Perubahan Sanksi Dalam Putusnya Perkawinan
Antar-wangsa terhadap HAM perempuan........................... 345
5.2.1 Implikasi perubahan sanksi dalam putusnya
perkawinan antar-wangsa karena kematian suami .. 348
5.2.2 Implikasi perubahan sanksi hukum adat dalam
putusnya perkawinan karena perceraian (mulih
deha) ........................................................................ 355
BAB VI PENUTUP .................................................................................. 368
6.1 Kesimpulan .......................................................................... 368
6.2 Saran .................................................................................... 373
DAFTAR BACAAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xxix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Analisis Data Model Mattew B. Miles dan A. Michael
Huberman .................................................................................... 48
Gambar 2 Uji Kredibilitas Data dalam Penelitian Kualitatif ....................... 49
Gambar 3 Kerangka Teoritik ....................................................................... 62
Gambar 4 Kerangka Pikir/Desain Penelitian ............................................... 97
Gambar 5 Bekerjanya Hukum di Dalam Masyarakat .................................. 195
Gambar 6 Skema Triangular ........................................................................ 199
xxx
DAFTAR SINGKATAN
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali
HAM : Hak Asasi Manusia
PHDI : Parisada Hindu Dharma Indonesia
MUDP : Majelis Utama Desa Pakraman
BB : Binnenlandsch Bestuur
UDHR : Universal Declaration of Human Rights
DUHAM : Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia
ICCPR : International Covenant on Civil and Political Rights
ICESCR : Internasional Covenan on Ekonomic, Social, Cultural Rights
CEDAW : Convention on the Elimenation of All Forms of
Discrimination against Women
MDP : Majelis Desa Pakraman
MUDP : Majelis Utama Desa Pakraman
FLT : Feminis Legal Teori
AMPERA : Amanat Penderitaan Rakyat
KOMNAS : Komisi Nasional
ICERD : International Convention on The Elimination of all Forms of
Racial Discrimination
BPPHN : Badan Perencana Pembinaan Hukum Nasional
xxxi
GLOSSARY
Ardhanareswari : sebutan purusa-predana, suami-istri untuk para
dewa;
Alangkahi Karang Hulu : 1) Arti arfiah, melompati kepala Raja,
maksudnya laki-laki dari wangsa sudra
mengawini perempuan kesatrya dan weisya
keturunan raja. 2) Arti simbolis, dianggap
melangkahi wilayah sacral yaitu perempuan
yang memiliki kasta yang lebih tinggi.
Asu Pundung : Artinya, menggendong anjing, maksudnya laki-
laki kesatria yang bukan dalem, weisya, dan
sudra mengawini perempuan wangsa brahmana.
Prilaku laki-laki yang berani mengawini
perempuan brahmana dipadankan dengan
prilaku anjing;
Anuloma : Artinya, perkawinan menurut garis menurun
yaitu dari laki-laki brahmana mengawini
perempuan ksatria, weisya, dan sudra;
Atma : Roh;
Awig-awig : Suatu aturan atau norma adat yang dibuat oleh
masyarakat hukum adat, dipakai sebagai
pedoman untuk mengatur kehidupan organisasi
dan bertingkah laku dalam masyarakat adat
bersangkutan;
Bale Agung : Tempat Suci yang terletak di pusat Desa
Pakraman yang ada di Bali, tempat persidangan
para Dewa dan tempat bersemayam Ida Betara
Brahma;
Balu : Sebutan bagi janda atau duda yang putus
perkawinannya disebabkan kematian salah satu
pihak;
Bareng-bareng : Bersama-sama;
Brahma : Sebutan Tuhan dalam fungsinya sebagai
pencipta segala yang ada di Bumi.
Brahmana : Fungsi sebagai pendeta atau rohaniawan;
xxxii
Betara : Sebutan Tuhan dalam segala manifestasi/ atau
sebutan leluhur;
Catur guru : Empat macam guru dalam ajaran Hindu yaitu 1)
guru rupaka, guru pengajian, guru, guru susrusa,
guru wisesa.
Catur wangsa : Sistem pembagian masyarakat di Bali ke dalam
empat tingkatan berdasarkan kelahiran yaitu
brahmana, ksatrya, weisya, dan sudra.
Catur Warna : Sistem pembagian masyarakat bagi umat Hindu
berdasarkan frofesi, fungsi menurut ajaran Weda
yang terdiri dari brahmana, ksatrya, wesya, dan
sudra.
Etika Keluarga : Semacam perjanjian keluarga dalam perkawinan
antara wangsa;
Gamia gemana : Delik adat, karena melakukan hubungan sexs
dengan orang yang sedarah dalam garis lurus
keatas dan kebawah serta sesama saudara
kandung Dalam KAUHP disebut Incest;
Guna : Bakat seseorang yang didapat dengan cara
belajar, bukan karena kelahiran;
Gria : Rumah tempat tinggal golongan brahmana;
Guru Rupaka : Orang tua;
Hyang Widhi : Sebutan Tuhan bagi umat Hindu;
Jaba wangsa : Golongan yang berada di luar puri atau / gria
golongan di luar tri wangsa;
Meauman : Suatu rangkaian upacara terakhir dalam
perkawinan adat Bali, dengan mengadakan
persembahyangan dan permakluman memohon
keturunannya untuk dijadikan istri atau suami;
Jelek melah : Baik buruk
Jero : 1) Sebutan rumah/tempat tinggal para arya, juga
dapat dipakai 2) untuk menyebut golongan jaba
wangsa yang menjadi istri golongan tri wangsa;
xxxiii
Kasta : Suatu status kehormatan yang berlaku terhadap
suatu golongan pada zaman Kolonial Belanda;
Kelungah : Kelapa yang lebih muda dari kelapa muda;
Keris : Senjata tajam yang berlekuk tiga, lima, atau
tujuh;
Labuh batu : Dibuang ke laut dengan diperberat batu;
Labuh geni : Dibakar di atas api unggun;
Lebok kepasih : Upacara pembersihan dengan cara dibuang ke
laut secara simbolis, kemudian diambil kembali
dan diganti namanya;
Letuh : Sengsara, kekeringan;
Manusapada : Manusia itu sama sederajat;
Mabyekala : Upacara pembersihan, sebelum melakukan
upacara selanjutnya;
Mati hidup : Mati hidup;
Menek wangi/urip wangi : Suatu upacara/ritual untuk perempuan yang
derajatnya lebih rendah dari wangsa suaminya,
adanya pergantian nama secara simbolis dengan
sebutan “jero” yang diikuti dengan nama bunga/
harum;
Mepamit : Suatu upacara persembahyangan memohon
pamit kehadapan Ida Betara-Betari untuk
melangsungkan perkawinan dan menetap di
rumah suami.
Mulih deha : Sebutan bagi janda atau duda oleh karena
kematian suaminya atau karena bercerai,
kembali ke rumah orang tua semasih gadis;
Nancap : Ditancapkan ketanah;
Ngaben : Upacara pembakaran jenazah pada masyarakat
Hindu di Bali;
xxxiv
Ngayab Banten : Suatu tanda telah selesainya proses
ritual/upacara, kemudian diakhiri dengan
ngayab, yaitu tangan digerak-gerakkan ke arah
dada;
Ngeluku : Pemberitahuan dari utusan keluarga pihak
purusa dalam perkawinan ngerorod;
Ngerorod : Kawin lari bersama;
Nyeburin : Suatu perkawinan di mana laki-laki masuk ke
dalam rumpun keluarga perempuan;
Nyerod : Perkawinan antara perempuan tri wangsa
dengan jaba wangsa;
Nyuh gading : Kelapa yang berwarna kunng /orange;
Paras-paros : Rukun
Pekala-kalaan : Upacara sahnya perkawinan;
Pepadan : Sederajat/sama
Patiwangi : Suatu upacara penurunan wangsa bagi
perempuan yang wangsa-nya lebih tinggi dari
pada wangsa suaminya, adakalanya disertai
dengan pergantian nama kemudian dipanggil
dengan sebutan baru, pada umunya nama ida,
agung, desak, gusti, tidak digunakan lagi dalam
pergaulan keluarga, namun secara administrasi
tetap digunakan nama semula;
Pedanda : Rohaniawan Hindu yang beraliran Siwa dan
Budha.
Pemerajan/Sanggah : Tempat suci untuk persembahyangan orang
Hindu;
Peswara : Keputusan Raja;
Pemangku : Rohaniawan yang meminpin persembahyangan
di pura;
Pemarisudha : Upacara penyucian;
Perarem : Hasil keputusan rapat keluarga di Desa Batu
Bulan Gianyar;
xxxv
Predana : Status yang berisikan hak perempuan tidak
menghitung jenis kelamin secara biologis;
Puri : Rumah atau tempat tinggal ksatria keturunan
raja;
Purusa : Status yang berisikan hak laki-laki, tidak
menghitung jenis kelamin secara biologis;
Sanggah tutuan : Peralatan upacara sebagai tempat untuk
menyembah Dewa Surya/Dewa Brahma;
Salunglung-sabayantaka : Rukun dalam keadaan apapun;
Salahang Dewa Batara : Suatu kutukan dari dewa/roh leluhur;
Sayut : Sejenis upacara tataban ;
Selong : Diasingkan ke luar pulau Bali atau ke luar kota
atau di luar daerahnya sendiri;
Semara ratih : Nama Dewa dan Dewi sebagai simbul cinta
bagi masyarakat Hindu.
Siwa : Guru rohani dari kaum brahmana;
Sudra : Fungsi sebagai pekerja, petani;
Swadharma : Suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh
seorang istri maupun suami dalam suatu
perkawinan;
Swadikara : Hak yang akan diterima dalam suatu
perkawinan baik berbentuk materi, warisan, hak
anak/keturunan dalam perkawinan pada
gelahang;
Suputra : Anak yang baik dan patuh pada orang tua;
Tat Twam Asi : Ajaran Hindu tentang perbuatan yang selalu
menyamakan orang lain sama dengan diri
sendiri;
Tirta : Air suci yang sudah diberi doa-doa/mantram
keselamatan, dalam suatu ritual tertentu.
Tri Kaya Parisuda : Ajaran tentang kebaikan yaitu ada tiga
perbuatan baik yaitu berpikir yang baik, berbuat
yang baik dan berbicara yang baik;
xxxvi
Tri Hita Karana : Ajaran agama Hindu tentang adanya tiga
penyebab kesejahteraan dan keharmonisan
manusia di dunia yang meliputi unsur Tuhan,
manusia dan lingkungan;
Tri wangsa : Penggolongan masyarakat bangsawan yang
beragama Hindu di Bali;
Weisya : Fungsi sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi/
pedagang.
xxxvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Pernyataan Bebas Plagiat.
Lampiran 2 : Surat Keterangan telah diedit Unit Penyunting Bahasa
Indonesia.
Lampiran 3 : Surat Pengantar Penelitian dari Program Pasca Studi Doktor
Ilmu Hukum.
Lampiran 4 : Rekomendasi Penelitian dari Pemerintah Propinsi Bali Badan
Kesatuan Bangsa dan Politik Propinsi Bali.
Lampiran 5 : Akte Perkawinan Antar-Wangsa dan Surat Pernyataan
Perceraian.
Lampiran 6 : Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951.
Lampiran 7 : Awig-awig Desa Pakraman yang mengatur upacara Patiwangi.
Lampiran 8 : Foto Responden dan Informan.
Lampidan 9 : Riwayat Hidup Peneliti.