dinar dan dirham vs fiat money

12
Dinar Dan Dirham VS Fiat Money: Bahaya Mata Uang Kertas (Fiat Money) (1) HTI-Press. Rupiah terus anjlkok hingga menembus 12 ribu rupiah per dollar. Bahkan Bank Indonesia selaku otoritas moneter yang bertanggungjawab menjaga kestabilan rupiah mengaku kesulitan menjaga nilai tukar rupiah. Intervensi pasar yang dilakukan lembaga tersebut tidak membantu memperkuat nilainya. Berdasarkan data BI cadangan devisa BI per 31 Oktober telah merosot US$ 6,528 miliar atau Rp 71 triliun (dengan kurs 11 ribu) dibandingkan cadangan devisa per akhir September sebesar US$ 57,108 miliar.[1] Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/ 28 /PBI/2008 yang membatasi transaksi pembelian dollar untuk tujuan spekulasi yang dikeluarkan beberapa waktu lalu tak banyak menolong. Indonesia tidak sendirian ditimpa fluktuasi nilai tukar akibat pergerakan capital yang liar pasca meledaknya krisis finasial AS. Seluruh mata uang negara- negara emerging market seperti krona Islandia, rand Afrika hingga won Korsel mengalami hal serupa. Di sejumlah negara bahkan penurunannya telah mencapai 80 persen sejak awal tahun. [2] Fluktuasi nilai rupiah terhadap dollar yang sangat tajam ini tak pelak menjadikan pelaku ekonomi yang berhubungan dengan ekspor impor menjadi tidak menentu. Bagi perusahaan termasuk pemerintah yang memiliki utang ke pihak asing dengan kurs mengambang maka nilai utangnya semakin tinggi. Demikian pula impor bahan baku produksi, barang modal dan konsumsi semakin tinggi. Sejumlah industri yang masih bergantung pada bahan impor terseok-seok. Bahkan di sejumlah daerah sejumlah industri sudah tutup.

Upload: rikza-saifullah

Post on 29-Jun-2015

138 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dinar Dan Dirham VS Fiat Money

Dinar Dan Dirham VS Fiat Money: Bahaya Mata Uang Kertas (Fiat Money) (1)

HTI-Press. Rupiah terus anjlkok hingga menembus 12 ribu

rupiah per dollar. Bahkan Bank Indonesia selaku otoritas moneter yang bertanggungjawab

menjaga kestabilan rupiah mengaku kesulitan menjaga nilai tukar rupiah. Intervensi pasar

yang dilakukan lembaga tersebut tidak membantu memperkuat nilainya. Berdasarkan data

BI cadangan devisa BI per 31 Oktober telah merosot US$ 6,528 miliar atau Rp 71 triliun

(dengan kurs 11 ribu) dibandingkan cadangan devisa per akhir September sebesar US$

57,108 miliar.[1] Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/ 28 /PBI/2008 yang membatasi

transaksi pembelian dollar untuk tujuan spekulasi yang dikeluarkan beberapa waktu lalu tak

banyak menolong.

Indonesia tidak sendirian ditimpa fluktuasi nilai tukar akibat pergerakan capital yang liar

pasca meledaknya krisis finasial AS. Seluruh mata uang negara-negara emerging market

seperti krona Islandia, rand Afrika hingga won Korsel mengalami hal serupa. Di sejumlah

negara bahkan penurunannya telah mencapai 80 persen sejak awal tahun. [2]

Fluktuasi nilai rupiah terhadap dollar yang sangat tajam ini tak pelak menjadikan pelaku

ekonomi yang berhubungan dengan ekspor impor menjadi tidak menentu. Bagi perusahaan

termasuk pemerintah yang memiliki utang ke pihak asing dengan kurs mengambang maka

nilai utangnya semakin tinggi. Demikian pula impor bahan baku produksi, barang modal dan

konsumsi semakin tinggi. Sejumlah industri yang masih bergantung pada bahan impor

terseok-seok. Bahkan di sejumlah daerah sejumlah industri sudah tutup.

Ketidakpastian juga dialami oleh eksportir. Meski menanggguk untung di tengah

melemahnya rupiah dimana nilai ekpor mereka naik, namun dalam jangka panjang fluktuasi

nilai tukar rupiah tetap saja tidak sehat bagi perkembangan usaha mereka. Ekspektasi bisnis

sulit dipredisi dengan tepat. Ketika pendapatan mereka naik tajam akibat pelemahan rupiah

maka mereka akan terdorong meningkatkan investasi untuk meningkatkan skala produksi

Page 2: Dinar Dan Dirham VS Fiat Money

dengan harapan keuntungan akan semakin berlipat. Namun ketika nilai tukar rupiah kembali

menguat investasi mereka malah menghasilkan kerugian.

Akhir Bretton Woods

Persoalan ekonomi akibat tidak stabilnya nilai tukar yang bergerak fluktuatif telah

berlangsung sejak sistem moneter yang diterapkan di dunia ini adalah fiat currency, dimana

mata uang kertas yang tidak ditopang emas dijadikan sebagai alat tukarnya. Pada era

sebelumnya hingga hancurnya Bretton Woods Agreement, peredaran mata uang masih

dikaitkan dengan emas. Pada perjanjian tersebut ditetapkan bahwa mata uang suatu negara

harus ditopang oleh cadangan dolar, sementara dollar sendiri yang diedarkan oleh AS juga

ditopang oleh emas. Dengan demikian pertumbuhan supply dollar akan ditentukan seberapa

besar cadangan emas AS.

Namun sistem tersebut dibubarkan oleh AS. Pasalnya AS terus mencetak dollar untuk

meningkatkan belanja fiskalnya diantaranya untuk membiayai perang Vietnam. Defisit

anggarannya makin membesar sementara rasio antara supply dollar dan cadangan

emasnya terus merosot. Pada periode tersebut stok emas AS merosot dari 20 milar dollar

menjadi hanya 9 miliar Dollar. AS kemudian mengalami defisit cadangan emas.[3]

Negara-negara lain khususnya negara-negara Eropa Barat dan Jepang sebagaimana yang

ditetapkan dalam perjanjian tersebut diwajibkan menjaga cadangan dollarnya dan

menggunakannya sebagai dasar untuk meningkatkan supply mata uang dan kredit di dalam

negeri. Padahal semakin hari nilai dollar terus merosot (undervalue) sementara nilai mata

uang mereka terus menguat (overvalue). Keadaan ini merugikan mereka sebab nilai ekspor

mereka menjadi lebih mahal sehingga pertumbuhan ekonomi mereka merosot.

Akibat beban tersebut negara-negara Eropa secara massif kemudian menukarkan cadangan

Dollar mereka dengan emas. AS kemudian tidak berdaya mempertahankan paritas nilai

dollar pada emas, sebesar 35 dollar per ons emas. Pada awal 1971, kewajiban dollar telah

mencapai lebih dari 70 miliar dollar sementara cadangan emasnya hanya 12 miliar Dollar.[4]

Puncaknya pada tanggal 15 Agustus 1971, secara unilateral dan tanpa berkonsultasi dengan

negara-negara aliansi dan IMF, AS menghentikan berlakunya Bretton Woods Agreement

yang telah digagas sejak tahun 1942. Sejak saat itulah emas tidak lagi menjadi backing

mata uang dunia. Era tersebut selanjutkan dikenal dengan era mata uang kertas (fiat

money) dimana dollar sebagai panglimanya.

Page 3: Dinar Dan Dirham VS Fiat Money

Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhany, secara politis langkah yang dilakukan oleh AS untuk

menghentikan pengkaitan Dollar dengan emas adalah didorong oleh keinginan AS untuk

memposisikan dollar sebagai standar moneter internasional hingga menguasai pasar

moneter internasional. Oleh karena itu standar emas kemudian dianggap tidak lagi dapat

dipergunakan di dunia. Standar moneter Bretton Woods kemudian hancur dan kurs

pertukaran mata uang terus berfluktuasi. Dari sinilah muncul berbagai kesukaran dalam

mobilitas barang, uang dan orang. [5]

Sejak saat itu mata uang dunia menjadi tidak stabil. Mata uang AS dan seluruh dunia terus

bergolak. Fluktuasi tingkat nilai tukar menjadi sulit untuk diprediksi bahkan kadangkala

bergerak secara ekstrim. Belum lagi inflasi terus membumbung akibat percetakan mata

uang kian tak terkendali. Suatu keadaan yang sangat meresahkan para pelaku ekonomi.

Inilah diantara konsekuensi yang ditimbulkan oleh mata uang fiat.

Masalah Mata Uang Kertas (Fiat Money)

Secara sederhana kemunculan uang kertas mulanya adalah sebagai representasi dari

komoditas khsususnya emas. Hal ini dilakukan akibat sulitnya untuk melakukan transaksi

dengan membawa emas khususnya pada barang-barang yang bernilai tinggi. Orang akan

menerima uang representasi tersebut sebab ada jaminan dari pihak yang mengeluarkan

kertas tersebut dalam hal ini pemerintah bahwa kertas tersebut dapat ditukar emas senilai

dengan yang dinyatakan dalam kertas tersebut. Pemegangnya dapat menukar uang

tersebut kapanpun dan berapapun ia mau. Namun perlahan-lahan negara justru

mengeluarkan kertas jauh lebih banyak dari emas yang mereka miliki. Akibatnya kertas-

kertas tersebut tak lagi cukup untuk dikonversi dengan emas. Akhirnya masyarakat dipaksa

untuk menggunakan kertas tersebut sebagai alat transaksi.

Dalam sejarah moneter dunia dijumpai bahwa penggunaan mata uang kertas yang tidak

ditopang (backed) oleh komoditas seperti emas menyebabkan sejumlah masalah yang

sangat serius dalam perekonomian. Diantara masalah tersebut adalah:

Pertama, mata uang kertas menyebabkan inflasi yang tinggi. Akibatnya nilai uang terus

merosot.

Sebagai contoh, pada awal abad ke-9, Cina mengedarkan uang kertas—sekaligus sebagai

negara pertama yang menggunakan uang kertas—untuk mengganti tembaga yang saat itu

mengalami kelangkaan. Cina telah memproduksi mata uang kertas yang sama sekali tidak

ditopang oleh emas atau komoditas lainnya. Namun alih-alih membenahi perekonomiannya,

Page 4: Dinar Dan Dirham VS Fiat Money

pada tahun 1051 justru Cina terjerembab pada tingkat inflasi yang sangat tinggi akibat

produksi uang kertas yang terus berlangsung.[6]

Hal yang sama juga terjadi di Inggris tahun 1914 ketika Bank of England menerbitkan uang

kertas yang sama sekali tidak ditopang oleh emas. Uang tersebut kemudian digunakan

untuk membiayai angkatan perang pemerintah. Pertumbuhan uang (money base) Inggris

pada masa perang tersebut naik hingga 41,2 persen. Dampaknya mudah ditebak. Inflasi

membumbung hingga mencapai 13,5 persen. Kondisi tersebut memaksa Inggris dan

sejumlah negara lainnya kembali pada standar emas (gold exchange rate)

Demikian pula pasca berkecamuknya Perang Dunia I, dunia modern menyaksikan bahaya

dari fiat money yang dikeluarkan tanpa ditopang oleh emas. Beberapa saat sebelum perang,

Bank Sentral Jerman membuat keputusan untuk menghentikan konvertibilitas mark dengan

emas. Uang kertas mark selanjutnya dapat diterbitkan tanpa batas untuk membiayai

angkatan perang Jerman. Akibat emas tidak dijadikan jangkar (anchor) membuat nilai mata

uang negara tersebut paling rendah di dunia. Pada akhir tahun 1923 harga di negara

tersebut dapat melonjak dua kali lipat hanya dalam hitungan jam. Harga sepotong roti

misalnya bisa mencapai 200 miliar mark. Bahkan ibu-ibu rumah tangga menjadikan uang

kertas mark sebagai kayu bakar karena nilainya jauh lebih rendah dari kayu bakar itu

sendiri!

Indonesia pun pernah merasakan dampak buruk dari penggunaan mata uang kertas. Pada

tahun 1965 akibat tingginya defisit anggaran pemerintah Indonesia dan hyperinflasi yang

mencapai 635,3 %, pemerintah melalui bank Indonesia melakukan pemotongan nilai uang

(sanering) dari Rp. 1.000,- menjadi Rp.1,-. Kebijakan ini didasarkan pada Penetapan

Presiden No.27 tahun 1965 yang diberlakukan pada tanggal 13 Desember 1965. Bisa

dibayangkan kekayaan orang saat itu terpangkas hampir 1.000 kali lipat (Singgaling dkk,

2004).

Tak heran jika Robert Mundell (1997) seorang ekonom yang pernah meraih Nobel,

mengatakan bahwa terus membanjirnya uang kertas tanpa didukung oleh likuiditas akan

memicu terjadinya resesi ekonomi. Alasannya hingga saat ini Bank Sentral AS terus

meningkatkan pertumbuhan supply dollar. Dengan membanjirnya uang kertas dan kredit,

maka harga barang dan jasa (inflasi) akan semakin tinggi dan sangat mungkin suatu saat

berubah menjadi hyperinflasi.

Kedua, legitimasi mata uang kertas sangat rapuh sebab ia sama sekali tidak disandarkan

pada komoditas yang bernilai seperti emas dan perak. Ia hanya ditopang oleh undang-

Page 5: Dinar Dan Dirham VS Fiat Money

undang yang dibuat pemerintahan suatu negara. Jika keadaan politik dan ekonomi negara

tersebut tidak stabil maka tingkat kepercayaan terhadap mata uangnya juga akan menurun.

Para pemilik uang akan beramai-ramai beralih ke mata uang lain atau komoditas yang

dianggap bernilai sehingga nilai uang tersebut terpuruk.

Sebagai contoh ketika terjadi kegoncangan pasar modal (market crash) yang

mengakibatkan depresi pada tahun 1929, orang-orang di seluruh dunia mulai menampakkan

ketidakpercayaannya terhadap uang kertas sehingga mereka berlomba-lomba menimbun

(hoarding) emas dan meninggalkan mata uang mereka. Di AS, nilai dolar makin kritis

sehingga Presiden Rosevelt tidak memiliki pilihan kecuali menghentikan produksi mata uang

emas dan memenjarakan orang yang menyimpan emas dan mengenakan denda dua kali

dari emas yang disimpan.[7]

Ketiga, uang kertas telah menjadi sumber pemasukan peerintah yang paling mudah.

Dengan biaya produksi yang sangat rendah dibanding nilai nominal yang dikandungnya,

mereka dengan mudah mencetak uang-uang kertas (di sejumlah negara dilakukan oleh

Bank sentral). Uang tersebut kemudian ‘dipaksakan’ kepada rakyat untuk diterima sebagai

alat tukar. Dengan menukarkan menukarkan uang tersebut dengan barang dan jasa yang

diproduksi oleh rakyatnya, pemerintah dapat menikmati hasil keringat rakyatnya dengan

mudah. Dengan kata lain mata uang kertas telah menjadi alat pemerasan negara terhadap

rakyatnya. Rakyat kemudian menjadi korban dengan inflasi yang tinggi.

Penerimaan pemerintah Argentina misalnya dari pencetakan uang baru pada tahun 1985-

1990, diperkirakan mencapai 54 persen dari total pendapatannya. Bahkan pada tahun 1987

mencapai 86%. Akibatnya nilai peso terus melemah dan menjadi tidak stabil. Rakyat

Argentina kemudian enggan menggunakan peso dan lebih memilih menggunakan dollar AS

yang nilainya dianggap lebih stabil (Abdullah, 2006).

Hal yang sama juga dirasakan oleh rakyat Afganistan ketika berada di bawah rezim Rabbani.

Pada masa sebelumnya nilai tukar resmi mata uang Afganistan adalah 50 afgani per dollar

AS dengan pecahan terbesar 1.000 afgani. Pada musim panas 1991 nilai tukar tersebut

telah mencapai 1.000 afgani per dollar. Pemerintah kemudian mengeluarkan pecahan uang

baru yang bernominasi 5.000 afgani dan kemudian 10.000 afgani. Hasilnya setiap kali mata

uang tersebut diterbitkan maka nilai mata uang tersebut terus melorot. Pada bulan

September 1996 ketika Kabul jauh di tangan pasukan Taliban, mata uang afgani

diperdagangkan dengan nilai 17.800 per dollar. Bahkan di pusat pemerintahan Mazari Sharif

—daerah yang dikuasi oleh Abdul Rasyid Dostum yang berpisah dengan Rabbani pada tahun

1994—nilai afgani mencapai 25.600 per dollar.

Page 6: Dinar Dan Dirham VS Fiat Money

Rakyat Pakistan juga menjadi korban dari penggunaan fiat money ini. Pada tahun 1991-

1996 pertumbuhan jumlah uang beredar di negara tersebut mencapai 10,6 persen. Selama

periode tersebut pemerintah Pakistan diperkirakan memperoleh penerimaan sebesar 97,173

miliar rupee hanya dari pencetakan uang kertas dan pecahan logam (Abdullah, 2006).

Keempat, penggunaan mata uang kertas menciptakan ketidakadilan dalam kegiatan

ekonomi.

Hal ini dirasakan setelah berakhirnya Bretton Woods, dimana negara-negara kuat yang

memiliki mata uang yang dperdagangkan secara internasional dengan mudah memperoleh

kekayaan negara-negara lain hanya dengan mencetak uang. Dengan mencetak lembaran-

lembaran kertas dengan ukuran dan gambar dan tanda tertentu, mereka daapt mengambil

keutungan berlipat-lipat dengan membeli apa saja yang nilai barangnya (intrinsic value)

jauh lebih tinggi dari uang biaya produksi uang mereka. Mekanisme ini dikenal dengan

istilah seignorage uang fiat. Seignorage berarti keuntungan yang diperoleh dalam

memproduksi uang akibat perbedaan antara nilai nominal (face-value) suatu mata uang

dengan biaya memproduksi uang tersebut (intrinsic value).

Sebagai contoh biaya untuk memproduksi uang kertas 100 dollar adalah 20 sen maka

seignorage-nya sebesar 99.80 dollar. Dengan kata lain setiap kali AS mencetak satu lembar

uang 100 dollar, maka ia akan mendapatkan keuntungan 99,80 dollar. Federal Reserve,

bank sentral AS telah menikmati seignorage yang sangat besar dengan mengeluarkan dollar

sejak mata uang tersebut menjadi cadangan mata uang internasional yang paling dominan.

Dollar memiliki daya beli yang kuat di luar AS sehingga dengan leluasa AS memanfaatkan

kesempatan ini untuk terus mencetak Dollar.[8]

Dengan kemampuan mencetak dollar pemerintah AS dapat membeli dari seluruh dunia

apapun yang mereka inginkan.[9] Sebagai mata uang internasional dollar dapat terus

dicetak oleh AS berapapun yang ia kehendaki untuk membiayai kebijakan fiskalnya

termasuk membiayai politik luar negerinya. Untuk Perak Irak misalnya sebagaimana yang

dinyatakan oleh Joseph E Stiglitz di dalam bukunya The Three Trillion Dollar War nilainya

lebih dari 3 triliun dollar.

Barang dan jasa yang diproduksi oleh negara-negara lain terus mengalir ke negara tersebut

jauh diatas nilai ekspornya. Akibatnya defisit neraca perdagangan AS bulan Agustus 2008

misalnya telah mencapai lebih dari 66 miliar dollar. Pada bulan Agustus 2008 defisit

pemerintah federal telah mencapai 706,9 miliar dollar. Defisit tersebut kemudian dibayar

dengan utang dalam nominasi dollar. Kini utangnya telah mencapai 10,024 tiliun dollar.[10]

Page 7: Dinar Dan Dirham VS Fiat Money

Di sisi lain negara-negara lain khususnya negara-negara berkembang justru mengalami

kerugian yang luar biasa akibat praktek seignorage ini. Salah satu contoh yang paling nyata

adalah pembelian minyak oleh AS sebesar 12 juta barrel per hari untuk menutupi defisit

produksinya. Sebagian besar minyak tersebut dibeli dari Arab Saudi dengan hanya

mencetak Dollar baru yang kemudian ditransfer ke rekening pemilik perusahaan minyak

Arab Saudi. Meski Arab Saudi dapat membeli barang lain dengan lembaran-lembaran dollar

tersebut namun pada faktanya tetap saja biaya yang dikeluarkan untuk melakukan investasi

dan penambangan minyak jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya pembuatan Dollar

AS.

Kelima, mata uang kertas telah mendorong gelembung ekonomi yang dapat berujung pada

ledakan ekonomi.

Setiap tahunnya AS harus menjual sekitar 1,5 miliar dollar surat utang untuk menutupi

defisit anggarannya. Bank-bank sentral asing, korporasi dan individu selanjutnya membeli

instrumen utang dari The Fed, Bank sentral AS. Sementara sekuritas berharga (treasury

security) tersebut diciptakan dari sesuatu yang tidak ada. Tidak berlebihan sejumlah

kalangan menyatakan cepat atau lambat dollar pasti mengalami kebangkrutan.[11]

Bahaya kerapuhan dollar sebagai mata uang kertas paling kuat saat ini juga telah diwanti-

wanti oleh Samuelson sebagaimana yang ditulis dalam The Washington Post (17/11/004).

Menurutnya pada tahun 2004 saja, investor swasta telah memborong saham dan obligasi

AS. Secara keseluruhan investor asing telah memegang 13 persen dari total saham AS, 24

persen obligasi korporasi dan 43 persen surat-surat berharga pemerintah AS (treassury

securities). Sturuktur kepemilikan aset tersebut sangat berbahaya. Alasannya, saat ini dunia

telah menerima dollar lebih banyak daripada yang dia inginkan. Jika terdapat momentum

krusial sewaktu-waktu saham-saham dan obligasi tersebut akan dilepas oleh pemiliknya dan

resesi global yang akut akan terjadi. Orang-orang beramai ramai menjual dollar dan beralih

ke mata uang kuat lainnya seperti Euro dan Yen dan nilai dollar dipastikan turun signifikan.

Anjloknya dollar berarti nilai dari saham dan obiligasi yang dipegang oleh investor asing

tersebut juga akan terjun bebas. Mereka berlomba menjual aset-aset yang mereka memiliki.

Pada saat itulah pasar-pasar saham akan anjlok secara tajam dan dollar AS akan kehilangan

nilainya.[12]

Bahaya ini kian mengancam tatkala dunia telah dibanjiri dolar. Di pasar-pasar uang saja,

terdapat gelembung-gelembung dollar AS yang berjumlah 80 triliun Dollar AS pertahun.

Jumlah ini 20 kali lipat melebihi nilai perdagangan dunia, yang jumlahnya sekitar 4 triliun

Dollar AS pertahun. Artinya, gelembung itu bisa membeli segala yang diperdagangkan

Page 8: Dinar Dan Dirham VS Fiat Money

sebanyak 20 kali lipat dari biasanya. Gelembung semakin lama semakin membesar dan

secara pasti gelembung itu suatu saat akan meledak yang menyebabkan keruntuhan

ekonomi global yang jauh lebih buruk dari depresi ekonomi tahun 1929.[13]

Keenam, Akibat nilainya yang tidak stabil mata uang kertas khususnya dengan rezim bebas

mengambang telah menjadi sarana spekulasi yang ganas. Uang tidak lagi difungsikan

semata untuk menjadi alat tukar, alat untuk menyimpan dan menghitung kekayaan riil,

namun justru lebih banyak digunakan untuk kegiatan spekulasi.

Krisis moneter yang menimpa negara-negara Asia, Argentina dan Rusia pada tahun 1998

diakibatkan oleh sistem nilai tukar yang tidak stabil. Episentrum krisis yang bermula di

Thailand tersebut dimulai dari derasnya uang spekulatif yang panas (hot money) yang

mengalir deras ke negara tersebut untuk membeli saham-saham properti. Akibatnya

nilainya terus menggelembung (bubble) jauh melebihi nilai riilnya. Ketika terjadi goncongan

modal spekulatif yang liar tersebut berbalik arah dan mengakibatkan nilai tukar bath jatuh.

[14] Efeknya kemudian menjalar kemana-mana termasuk ke Indonesia. Rupiah bahkan

sempat menyentuh 16 ribu per dolar.

Para spekulan sangat diuntungkan dengan adanya pergerakan (fluktuasi) nilai tukar satu

mata uang terhadap mata uang lainnya. Sementara pemerintah (dalam hal ini bank sentral)

dipaksa untuk terus menjaga nilai tukar mata uangnya. Diantaranya melalui intervensi

dengan ikut menjual dan membeli devisa, meski devisa itu kadang diperoleh diperoleh dari

utang LN. Sebagai contoh pada akhir 1998 IMF memberikan utang kepada pemerintah Brazil

senilai 50 miliar dollar untuk menjaga nilai tukarnya yang mengalami overvalued. Namun

sayang intervensi pemerintah tersebut sia-sia, sementara uang utangan tadi seakan hilang

ditelan angin. Uang tersebut sebagian besar mengalir ke kantong-kantong para spekulan.

Beberapa spekulan merugi namun secara umum para spekulanlah yang memperoleh

seluruh uang yang dikucurkan pemerintah tersebut.[15] Akan lain ceritanya jika dana

tersebut digunakan untuk membiaya sektor riil yang dapat menggerakkan perekonomian

Brazil.

Adanya peluang spekulasi di pasar uang plus pasar modal, justu membuat uang yang

diperoleh dari sektor riil (main street) mengalir deras sektor non riil tersebut (wall street).

Dana-dana hasil penjualan minyak Timur Tengah misalnya yang lazim dikenal dengan

Sovereign Wealth Fund (SWF) kini lebih banyak diinvestasikan di portofolio (saham, obligasi,

atau surat-surat berharga lainnya) baik yang dterbitkan pemerintah ataupun swasta. Abu

Dhaby Investment Authority (ADIA) misalnya, milik pemerintah Uni Emirat Arab, kini

memiliki SWF sebesar US$ 1,32 triliun. Dana-dana tersebut kini digunakan membeli

Page 9: Dinar Dan Dirham VS Fiat Money

sejumlah saham perusahaan kelas dunia baik yang tengah yang tengah kolaps maupun

yang sedang booming termasuk membeli saham klub sepak bola Inggris Manchaster City.

[16] Dana-dana tersebut tentu akan sangat berguna bagi jutaan manusia jika diinvestasikan

pada sektor riil yang produktif seperti pembangunan infrastruktur, bantuan kemanusiaan

kepada orang-orang miskin yang jumlah jutaan di negeri-negeri Islam.

Tinggalkan Uang Kertas

Inilah beberapa bahaya mata uang kertas yang tidak di back-up oleh emas. Gelembung

uang yang terus tumbuh tanpa batas dan membuat ekonomi global menjadi tidak stabil.

Krisis finansial saat ini dan sejumlah krisis sebelumnya semakin memperjelas bahwa sistem

moneter saat ini yang menggunakan mata uang kertas (fiat money) sangat rapuh dan tidak

layak diadopsi bagi mereka yang masih berfikir dengan jernih.

Dunia membutuhkan sistem moneter yang lebih adil dan stabil. Dan mata uang emas yang

jejak rekamnya telah teruji di pentas moneter internasional selama ratusan tahun

merupakan standar moneter paling layak diperhitungkan. [bersambung] (Muhammad

Ishak – Lajnah Tsaqafiyyah).

[1] Lihat situr resmi BI, www.bi.go.id

[2] Harian Kompas, 31/10/08

[3] www.the-privateer.com/1933-gold-confiscation.html.

[4] Hammes and Wills. Black Gold: The End of Bretton Woods and the Oil-Price Shocks of the 1970s , The Independent Review, v. IX, 2005

[5] An-Nabhany. An Nidzamu al-Iqtishady fi Islam hal. 271 . Dârul Ummah (1999)

[6] Davies, Glyn. A History of money from ancient times to the present day, 2005

[7] Idem

[8] Ahamed Kameel Mydin Meera. Theft of Nations Returning to Gold, hal. 37

[9] lihat lebih lanjut Robert Mundell, Currency Areas, Exchange Rate Systems and International Monetary Reform, 2007

[10] Bureau of Economic Analysis, www.bea.gov

[11] Robert Blumen, The Dollar Crisis, http://mises.org/story/1386

[12] Robert J. Samuelson, Is the Global Economy Unstable? http://www.washingtonpost.com/wp- dyn/articles/A38568-2005Mar15.html

Page 10: Dinar Dan Dirham VS Fiat Money

[13] Ibrahim Vadilo, Dinar Dirham Solusi Krisis Moneter, edit. Yusanto dkk. hal.

[14] Joseph Stiglizt, Globalization and Its Discontent, hal. 199

[15] ibid, hal 199.

[16] Harian Investor Daily, 8/10/08.