dinamika trust pada pemasaran online di media sosial

12
14 Dinamika Trust pada Pemasaran Online di Media Sosial Volume V Nomor 1 April 2017 ISSN 2301-9816 JURNAL KOMUNIKASI INDONESIA Lingga Detia Ananda Abstrak/Abstract Kata kunci/Keywords: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dinamika trust yang terjadi pada komunikasi tidak tatap muka, melalui media sosial dalam konteks pemasaran online. Dinamika trust tersebut diidentifikasi melalui tipe trust pada model yang dicetuskan oleh Lewicki dan Bunker. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori mengenai trust yang terkait dengan perilaku konsumen. Paradigma pada penelitian ini adalah post-positivisme melalui pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam kepada informan dan observasi. Hasil menunjukkan bahwa dalam penelitian ini tipe trust yang terbentuk adalah knowledge-based trust, dimana trust yang ter- bentuk berasal dari informasi dan pengalaman terdahulu untuk memprediksi perilaku orang lain. Ditemukan bahwa infor- masi yang paling signifikan berasal dari rekomendasi pihak ketiga. Rekomendasi ini memiliki peran yang paling penting dalam pembentukan kepercayaan. Ini karena pembentukan trust terjadi pada konteks masyarakat jejaring, dimana proses pembentukan kepercayaan bukan lagi berupa isu yang hanya fokus pada diri individu, melainkan pada kelompok jaringan yang memiliki maksud dan tujuan yang sama. This study aims to find out how the dynamics of trust occurs in non face to face communication, such as social media, in the context of online marketing. The dynamics of the trust are identified by the type of trust on the model that Lewicki and Bun- ker initiated. The analysis in this study uses the theory of trust related to consumer behavior. This research is conducted through post-positivism paradigm by qualitative approach with the case study strategy. Data is collected through in-depth interview of informants and observation. The study shows that the type of trust formed is knowledge-based trust, where the trust comes from information and prior experience to predict other’s behavior. It turns out that the most significant informa- tion comes from third party recommendations. The recommendations play the most important role in establishing trust. This happens because the trust establishment occurs in network society context, in which the process of trust establishment is no longer an issue that only focuses on individuals, but on the networking group that shares the same goals and objectives. Pemasaran online, belanja online, knowledge-based trust, media sosial, kepercayaan Online marketing, online shopping, knowledge-based trust, social media, trust Pascasarjana Manajemen Komunikasi UI, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Kampus UI Salemba 16424 [email protected] Pendahuluan Perkembangan teknologi informasi saat ini senantiasa menggeser budaya komunikasi se- hari-hari. Kehadiran internet memungkinkan masyarakat dapat terhubung tanpa ada batas ruang dan waktu. Hal ini dimanfaatkan oleh banyak pebisnis yang mulai merambah strategi pemasaran melalui media online. Dengan adan- ya internet, aktivitas belanja online kini sudah menjadi alternatif berbelanja yang lazim di ka- langan masyarakat kontemporer. Berdasarkan situs startupbisnis.com, potensi pertumbuhan bisnis e-commerce di Indonesia diperkirakan cuk- up besar seiring dengan lonjakan pengguna inter- net yang semakin meningkat. Dengan hadirnya perkembangan teknologi ini, penerapan strategi bisnis sudah berorientasi pada pemanfaatan ap-

Upload: others

Post on 24-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

14

Dinamika Trust pada Pemasaran Online di Media Sosial

Volume VNomor 1

April 2017ISSN 2301-9816

JURNALKomUNIKASIINdoNeSIA

Lingga Detia Ananda

Abstrak/Abstract

Kata kunci/Keywords:

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dinamika trust yang terjadi pada komunikasi tidak tatap muka, melalui media sosial dalam konteks pemasaran online. Dinamika trust tersebut diidentifikasi melalui tipe trust pada model yang dicetuskan oleh Lewicki dan Bunker. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori mengenai trust yang terkait dengan perilaku konsumen. Paradigma pada penelitian ini adalah post-positivisme melalui pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam kepada informan dan observasi. Hasil menunjukkan bahwa dalam penelitian ini tipe trust yang terbentuk adalah knowledge-based trust, dimana trust yang ter-bentuk berasal dari informasi dan pengalaman terdahulu untuk memprediksi perilaku orang lain. ditemukan bahwa infor-masi yang paling signifikan berasal dari rekomendasi pihak ketiga. Rekomendasi ini memiliki peran yang paling penting dalam pembentukan kepercayaan. Ini karena pembentukan trust terjadi pada konteks masyarakat jejaring, dimana proses pembentukan kepercayaan bukan lagi berupa isu yang hanya fokus pada diri individu, melainkan pada kelompok jaringan yang memiliki maksud dan tujuan yang sama.

This study aims to find out how the dynamics of trust occurs in non face to face communication, such as social media, in the context of online marketing. The dynamics of the trust are identified by the type of trust on the model that Lewicki and Bun-ker initiated. The analysis in this study uses the theory of trust related to consumer behavior. This research is conducted through post-positivism paradigm by qualitative approach with the case study strategy. Data is collected through in-depth interview of informants and observation. The study shows that the type of trust formed is knowledge-based trust, where the trust comes from information and prior experience to predict other’s behavior. It turns out that the most significant informa-tion comes from third party recommendations. The recommendations play the most important role in establishing trust. This happens because the trust establishment occurs in network society context, in which the process of trust establishment is no longer an issue that only focuses on individuals, but on the networking group that shares the same goals and objectives.

Pemasaran online, belanja online, knowledge-based trust, media sosial, kepercayaan

Online marketing, online shopping, knowledge-based trust, social media, trust

Pascasarjana Manajemen Komunikasi UI, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia, Kampus UI Salemba 16424

[email protected]

PendahuluanPerkembangan teknologi informasi saat ini senantiasa menggeser budaya komunikasi se-hari-hari. Kehadiran internet memungkinkan masyarakat dapat terhubung tanpa ada batas ruang dan waktu. Hal ini dimanfaatkan oleh banyak pebisnis yang mulai merambah strategi pemasaran melalui media online. Dengan adan-ya internet, aktivitas belanja online kini sudah menjadi alternatif berbelanja yang lazim di ka-langan masyarakat kontemporer. Berdasarkan situs startupbisnis.com, potensi pertumbuhan bisnis e-commerce di Indonesia diperkirakan cuk-up besar seiring dengan lonjakan pengguna inter-net yang semakin meningkat. Dengan hadirnya perkembangan teknologi ini, penerapan strategi bisnis sudah berorientasi pada pemanfaatan ap-

15

Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VI, Nomor 1, April 2017

likasi, dengan tujuan untuk menarik perhatian para sasaran/target pemasaran, pemeliharaan retensi konsumen dan juga meningkatkan serta mengelola hubungan yang berkelanjutan dengan konsumen, sehingga mampu menciptakan kon-sumen yang loyal.

Dalam transaksi online, seseorang sepenuhn-ya bergantung pada kepercayaan atas informasi yang disampaikan pemilik medium penghubung. Medium penghubung ini terbentuk dalam web-site yang menyebabkan pengunjung tidak bisa melihat secara utuh menyeluruh produk yang ditawarkan. Namun pada kenyataannya, di Indo-nesia transaksi online terus meningkat. Ini dapat dilihat dari jumlah pembeli online dari tahun ke tahun yang juga terus meningkat. Demikian juga jumlah toko online (online shop) di berbagai media online meningkat tajam (Siagian & Cahy-ono 2014). Data serupa yang disajikan oleh Por-tal Statistik Statista, menguraikan mengenai perkiraan jumlah pembeli barang dan jasa secara online di Indonesia hingga tahun 2019, yakni sekitar 61.700.000.

Jusoh & Ling (2012:223) mendefinisikan online shopping sebagai suatu proses dimana seorang pelanggan melakukan pembayaran melalui inter-net atas barang dan jasa yang dibelinya. Di In-donesia, belanja online dapat dilakukan melalui e-commerce, marketplace dan toko online. Contoh e-commerce adalah Zalora dan Blibi.com; market-place seperti Tokopedia, Lazada, Elevenia, Buka-lapak; dan juga ada yang menawarkan toko on-line melalui blog, forum jual beli seperti Kaskus, media sosial seperti Facebook, Twitter, dan juga Instagram. Banyak juga toko online yang menja-di reseller dari sebuah brand tertentu yang pada akhirnya tertarik untuk melakukan penjualan online pada website-nya sendiri. Sistem belanja online ini menawarkan sejumlah keuntungan, misalnya konsumen dapat menikmati belanja on-line selama 365 hari, 7 hari dalam seminggu, 24 jam sehari dan tidak pernah tutup walau hanya satu menit. Belanja online juga memiliki jang-kauan yang tak terbatas karena konsumen dapat membeli barang dan jasa kapan saja di mana saja. Jenis barang yang ditawarkan juga berane-ka ragam.

Berdasarkan data yang disebutkan oleh id.te-chinasia.com, 20 persen masyarakat melakukan belanja online di Indonesia. Jumlah ini naik lima persen dibandingkan tahun lalu. Tiga barang yang paling sering dibeli: pakaian (61,7 persen), sepatu (20,2 persen), dan tas (20 persen). Suyoto (2006) mengungkapkan fenomena e-commerce di Indonesia sesungguhnya sudah dikenal sejak ta-hun 1996 dengan munculnya situs belanja online www.sanur.com yang menjual buku online perta-ma di Indonesia. Belanja online ini pada awalnya memang dimulai dari kota-kota besar seperti Ja-karta yang kemudian merambah ke daerah rural. Jenis perdagangan online shop yang menjamur adalah fashion, perhiasan, gadget, peralatan olah

raga, alat kecantikan, kebutuhan rumah tangga, bahkan makanan maupun bahan bangunan.

Dengan adanya keragaman jenis perdagangan tersebut, tentunya menjadi tawaran yang menar-ik bagi masyarakat, khususnya di daerah rural yang sulit menjangkau produk-produk yang mod-ern, sehingga tidak perlu lagi mendatangi toko se-cara langsung, cukup secara virtual, untuk men-gakses barang kebutuhannya. Konsumen dengan mudah menemukan barang-barang yang dibu-tuhkannya tanpa perlu mencarinya hingga ke tempat yang jauh. Cukup dengan memasukkan kata kunci yang sesuai produk yang sedang dicari pada mesin pencarian atau pada search bar setiap situs website toko online. Keuntungan belanja on-line yang lainnya adalah toko online menawarkan pilihan yang jauh lebih beragam daripada toko of-fline pada konsumen.

Namun di samping berbagai keuntungan terse-but, belanja secara online juga memiliki kelema-han. Konsumen tidak dapat mencoba, atau men-getahui kualitas dari barang yang dibeli. Tidak jarang yang kecewa dengan barang yang sudah dibeli karena merasa berbeda seperti yang di-harapkan sebelumnya. Ini disebabkan karena konsumen hanya dapat menilai produk yang dib-utuhkan dari foto serta keterangan yang ditulis penjual pada laman caption/description produk tersebut. Terlebih jika konsumen kurang paham terhadap barang yang dibeli serta tata cara pem-belian, proses pembayaran atau pengembalian barangnya, akan berakibat pada kerugian bagi konsumen. Tidak semua barang yang telah dibeli secara online dapat dikembalikan. Satu hal yang paling penting, belanja online rentan terhadap penipuan, walaupun sudah ada undang-undang yang dapat menjerat para penipu online dengan hukuman penjara hingga 12 tahun serta denda hingga 12 miliar rupiah.

Turban et al. (2004) kemudian merangkum paling tidak ada lima risiko yang dihadapi para pembeli online. Risiko pertama adalah ketidakse-suaian produk yang dipesan dengan gambar yang ditampilkan. Ini umumnya terjadi karena gam-bar display selain sudah disunting juga sering di-rekayasa untuk ditampilkan secara khusus den-gan tampilan warna yang lebih menggoda. Risiko kedua adalah rusaknya barang yang diterima. Rusaknya barang ini selain mungkin karena ru-sak dalam pengiriman juga karena cacat produk-si. Risiko ketiga adalah kesalahan dalam penge-pakan yang akan memunculkan kesalahan order baik berupa warna, jumlah maupun tipe. Risiko keempat adalah tidak terkirimnya barang karena hilang/terlambat. Risiko kelima adalah munculn-ya fraud atau penipuan.

Dalam bisnis online, resiko penipuanlah yang paling sering ditemui. Seperti yang diberitakan liputan6.com, terdapat suatu kasus penipuan yang tidak tanggung-tanggung. jumlah korban mencapai ratusan orang dengan jumlah transaksi miliaran rupiah melalui kasus penipuan berke-

16

Lingga Detia Ananda, Dinamika Trust pada Pemasaran Online di Media Sosial

dok tur wisata. Pada bulan Maret lalu, seorang mahasiswa dari Yogyakarta juga mengalami pe-nipuan secara online. Korban mengaku ditipu oleh orang yang mengaku menjual laptop. Namun setelah mentransfer sejumlah uang, laptop yang dibeli secara online tidak kunjung datang. Sebu-lan sebelumnya, Polda Metro jaya mendapatkan hampir 100 laporan kasus penipuan.

Berdasarkan kasus-kasus penipuan tersebut, maka kepercayaan konsumen menjadi hal yang sangat penting dalam proses jual beli online, baik dari pihak pembeli maupun penjual. Utomo et al. (2003) menyimpulkan bahwa kepercayaan kon-sumen telah diakui dalam pemasaran sebagai faktor penting agar sukses dalam bisnis. Faktor yang menentukan keberhasilan penerapan bisnis online adalah kepercayaan konsumen, terlebih pada komunikasi yang dimediasi yang inter-net. Dapat disebutkan konsumen takut melak-sanakan transaksi secara online karena berbagai pertimbangan; yakni kejahatan komputer yang tinggi, yaitu maraknya pembobolan kartu kred-it; perlindungan terhadap konsumen yang lemah saat bertransaksi online; penipuan yang dilaku-kan secara online.

Belanja online masih memiliki risiko yang ting-gi, namun sistem transaksi ini dibutuhkan oleh masyarakat. Maka perlu adanya sejumlah pera-turan dalam mencapai keberhasilan transaksi on-line. Namun demikian, faktor trust menjadi faktor dominan dalam proses transaksinya. Sebagaima-na pada hasil penelitian Mukherjee & Nath (2003) juga disebutkan bahwa online trust merupa-kan suatu yang penting yang harus dijalin pada hubungan antara konsumen dengan perusahaan online demi meraih komitmen pelanggan dalam melakukan transaksi online yang akan berlanjut kepada loyalitas pelanggan.

Kepopuleran bisnis online menjadi salah satu alasan semakin banyaknya jumlah pengguna marketplace di media sosial melalui saluran mo-bile. Becker & Hanley (2008:127) menyatakan bahwa banyak pemasar yang mulai menjalin hubungan dengan konsumen melalui saluran mo-bile dapat menciptakan efektivitas dalam mening-katkan brand awareness, lead generation and rev-enue. Salah satu media sosial pada saluran mobile yang sering digunakan adalah Instagram. Insta-gram dapat dikatakan sebagai aplikasi sunting dan berbagi foto yang paling fenomenal di dunia media sosial. Sejak diluncurkan pada tahun 2010 lalu, aplikasi ini telah memiliki sebanyak 400 juta lebih, bahkan hampir mencapai angka 500 juta pengguna dari seluruh dunia, dimana hanya ter-hitung kurang dari 6 tahun saja.

Mengutip dailysocial.id, pengguna aktif Insta-gram di Indonesia mencapai 22 Juta pengguna dari 400 juta pengguna secara global. Survei Jak-Pat (Jajak Pendapat) juga menyimpulkan Insta-gram kini lebih populer dibandingkan Twitter di Indonesia, terutama pada kalangan anak muda. Menurut survei Jajakpendapat.net, pengguna Instagram di Indonesia menggunakan layanan

ini untuk mencari informasi mengenai toko on-line, meme dan mengunggah foto-foto liburan dan wisata.

Didukung oleh survei pada id.techinasia.com mengutip Taylor Nelson Sofres (TNS), menyebut-kan Indonesia merupakan pengguna Instagram terbanyak ketiga di dunia. Perusahaan riset dan analisis dari Inggris tersebut juga mengungkap-kan sejumlah fakta menarik tentang Instagram di Indonesia. Sebanyak 97 persen pengguna se-lalu menuliskan komentar dan menandai teman-teman mereka didalam komentar, 97 persen meng-gunakan mesin pencari untuk mencari informasi yang lebih detail. Sebanyak 89 persen pengguna Instagram di tanah air berada dalam rentang umur 18-34 tahun, dan 63 persen diantaranya adalah perempuan. Sebanyak 85 persen penggu-na Instagram di Indonesia juga membagikan ung-gahan mereka ke media sosial lain dan 45 persen pengguna di Indonesia mengaku kerap membeli barang-barang yang mereka temui di Instagram. Selain itu hasil temuan TNS juga mengatakan da-lam penggunaan aplikasi Instagram di Indonesia juga mendorong hasil bisnis yang berdampak be-sar maupun kecil bagi Indonesia.

Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa In-stagram menjadi aplikasi unggah foto yang pal-ing populer di kalangan pengguna media sosial, yang dapat dimanfaatkan bagi pemasar untuk memasarkan produknya secara online. Instagram pada dasarnya bukanlah platform yang didesain sebagai marketplace (misalnya Tokopedia dan Bu-kalapak). Namun, dengan sejumlah 500 juta lebih pengguna dan Indonesia menjadi salah satu dari tiga pengguna Instagram terbesar, banyak sekali toko online yang melebarkan sayapnya ke aplika-si Instagram ini.

Terdapat berbagai keuntungan bejualan online di media sosial seperti Instagram yakni tidak di-pungut biaya, target pemasaran sangatlah luas dan banyak, laman feeds pada Instagram dapat diatur sesuai dengan keinginan penjual toko, ter-dapat sistem endorse yang sangat membantu pen-jualan dan lain sebagainya. Namun jika dikritisi dari sisi lain, dengan tidak terlalu banyak pera-turan dengan tingkat sekuritas aplikasi yang ting-gi sebagai sebuah media ‘marketplace’, siapapun dapat membuka lapak dan membuat akun baru untuk toko online. Di sinilah para konsumen toko online di Instagram akan bersifat skeptis, dan lebih berhati-hati karena penipuan dapat sekali dengan mudah terjadi. Tidak ada lembaga yang dapat dituntut tanggung jawabnya, sebagaimana toko online seperti Tokopedia yang memiliki pan-duan keamanan dan sistem berbelanja yang lebih aman karena Tokopedia merupakan marketplace yang disesuaikan.

Kemudahan dalam mengakses Instagram memang menjadi salah satu kelebihan menja-dikan Instagram sebagai tempat transaksi jual beli online. Namun kembali kepada issue tran-saksi online yang tidak dapat dihindari terkait dengan penipuan, akibatnya tingkat risiko yang

17

Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VI, Nomor 1, April 2017

dapat muncul menjadi tinggi. Maraknya kasus penipuan yang dilakukan oleh penjual toko on-line yang tidak bertanggung jawab ini membuat kepercayaan orang terancam luntur, sehingga pe-langgan akan cenderung skeptis dan berhati-hati untuk melakukan transaksi online. Terlebih bagi orang yang pernah mengalami penipuan sebelum-nya. Hal ini berkaitan dengan pentingnya mem-bangun trust pada komunikasi secara online.

Jika diperhatikan, kompleksitas trust pada dunia online tergolong lebih tinggi, karena jan-gankan pada transaksi online, pada transaksi tatap muka saja masih terdengar banyak kasus penipuan. Hal tersebut juga yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan peluang untuk dapat menciptakan trust di sistem belanja online menjadi lebih sedikit dibandingkan berjualan dengan cara konvensional. Padahal jika dilihat dari angka penjualan secara online, penjualan ini dapat mencapai angka yang signifikan, dan otom-atis efisiensi penjualan dapat terjalin.

Logika tersebut menggambarkan trust kon-sumen menjadi suatu hal yang krusial sebagai modal berharga yang harus dibangun dalam ko-munikasi antara penjual dan pembeli toko online. Sesuai dengan Rofiq (2007) yang mengungkap-kan bahwa faktor kepercayaan (trust) menjadi faktor kunci pada komunikasi antara penjual dan pembeli yang dimediasi oleh komputer. Ha-nya pelanggan yang memiliki kepercayaan yang akan berani melakukan transaksi melalui media internet. Tanpa ada kepercayaan dari pelanggan, maka transaksi belanja online mustahil dapat berlangsung. Jarvenpaa & Leidner (2002), men-yatakan bahwa trust dapat muncul dalam ko-munikasi berbasis komputer dimana ketika para anggota komunikasi tidak dapat bertemu secara langsung dan tatap muka. Namun memang trust yang terjadi dalam konteks virtual bersifat din-amis, trust yang terjalin bisa berubah dari yang tinggi hingga ke rendah, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu peneliti menyimpulkan bahwa trust yang terbentuk dalam komunikasi yang di-mediasi oleh teknologi ini lebih bersifat kompleks dan dinamis.

Berdasarkan pemaparan tersebut, penelitian mengenai dinamika trust pemasaran online di media sosial ini diharapkan mampu mengisi ke-kosongan riset mengenai komunikasi dari pers-pektif interaksi di ranah virtual, khususnya in-teraksi transaksional (belanja online) di media sosial. Selain itu, pada penelitian terdahulu, riset mengenai pembentukan trust pada belanja online dilakukan pada e-commerce atau website yang me-mang didesain sebagai marketplace dan umumn-ya terkait dengan faktor, motivasi serta dimen-si trust (Costa Hernandez& Santos 2010; Rofiq 2007; Chorritore, Kracher, & Wiedenbeck 2003). Sementara pada penelitian ini berada pada ruang lingkup media sosial, khususnya Instagram. Se-cara metode, penelitian terdahulu menggunakan pendekatan kuantitatif, sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif guna menin-

jau lebih dalam dan mengisi kekurangan peneli-tian yang dilakukan dengan pendekatan kuanti-tatif. Diharapkan penelitian ini dapat menambah ragam penelitian komunikasi terkait dengan pembentukan kepercayaan online. Berdasarkan pemaparan tersebut, timbul pertanyaan bagaima-na dinamika trust pada pemasaran online di me-dia sosial terjadi?

TrustBa & Pavlou (2002) mendefinisikan trust ada-

lah penilaian hubungan seseorang dengan orang lain yang akan melakukan transaksi tertentu menurut harapan orang kepercayaannya dalam suatu lingkungan yang penuh ketidakpastian. Seorang pelaku dalam bisnis/pemasaran harus Trust merupakan kunci dari kesuksesan ber-bisnis. Transaksi dapat terjadi hanya jika kedua belah pihak saling mempercayai satu sama lain. Yousafzai et al. (2003:848) menyatakan bahwa trust telah dipertimbangkan sebagai suatu kata-lis dalam berbagai transaksi antara penjual dan pembeli agar kepuasan konsumen dapat terwujud sesuai dengan yang diharapkan melalui hubun-gan yang telah dibangun.

Morgan & Hunt (1994) mengatakan bahwa trust memiliki dampak yang kuat terhadap efek-tivitas dan efisiensi relationship marketing. Hal ini didukung Kim et al. (2008), trust merupakan suatu strategi yang krusial dalam menghadapi ketidakpastian, sehingga efektivitas dan efisien-si dapat terjalin ketika adanya reduksi ketidak-pastian. Trust merupakan hal penting yang perlu diperhatikan pada berbagai transaksi komersial, baik pada toko konvensional pada dunia nyata maupun toko online di website internet, namun sesungguhnya trust pada situasi online dianggap lebih penting daripada pada situasi offline Grab-ner-Kraeuter dan Kaluscha (2008:7)

Lewicki & Bunker (1995) mengembangkan model terkait dengan tipe kepercayaan yang ter-jadi dalam suatu hubungan. Tipe kepercayaan ini sejalan dengan perkembangan suatu jalinan hubungan, yang terbagi ke dalam Calculus-based Trust, Knowledge-based Trust, dan Identifica-tion-based Trust. Lewicki & Bunker meyakini bah-wa tipe-tipe ini dapat diaplikasikan lebih efektif dalam hubungan profesional maupun hubungan yang lebih intim.

Calculus-Based Trust (CBT)Pada tipe ini, trust berawal dari kecenderungan

seseorang untuk memperhitungkan antara costs dan benefits yang akan dia terima ketika menjal-ani hubungan dengan pihak lain, seperti costs of cheating (biaya yang harus dibayar jika salah satu pihak melanggar perjanjian) dan value of benefits (nilai atau manfaat dari upaya menjaga, meme-lihara, dan mempertahankan kepercayaan). Se-lanjutnya Lewicki dan Bunker mengemukakan unsur yang lebih berpengaruh dan efektif dalam rangka pencegahan rusaknya kepercayaan ada-lah costs of cheating dengan kemampuan dan

18

Lingga Detia Ananda, Dinamika Trust pada Pemasaran Online di Media Sosial

komitmen pihak lainnya untuk menjatuhkan sanksi apabila ada pelanggaran. Berdasarkan hal tersebut maka adanya hukuman jika melanggar kepercayaan dapat dijadikan sebagai kunci moti-vasi utama dalam melakukan jenis hubungan ini. Sementara di sisi lain, untuk menjaga rasa sal-ing percaya dalam suatu hubungan, maka dapat diperkuat dengan adanya reward/imbalan.

Knowledge-Based Trust (KBT)Pada tipe ini, trust yang tercipta merupakan

berbasis pengetahuan. Kepercayaan ini didasar-kan pada prediktabilitas seseorang dengan cara mengumpulkan informasi yang cukup mengenai pihak lain dan kemudian memproses informa-si tersebut, sehingga kita dapat mengantisipasi perilaku seseorang. Informasi tersebut dapat di-peroleh dari pengalaman jalinan kerja sama dan komunikasi yang terpelihara secara teratur. Hal ini didasarkan atas pengenalan satu sama lain se-cara mendalam dan pemahaman yang lahir dari interaksi yang berulang-ulang. Pada tingkat ini, perilaku yang inkonsisten tidak dapat menghan-curkan kepercayaan. Jika ada penjelasan yang baik tentang inkonsistensi tersebut, maka bisa dimaafkan dan hubungan akan kembali seperti semula.Identification-Based Trust (IBT)

Pada tipw ini, trust ada karena pihak-pihak me-mahami secara efektif, menyetujui, dan menyo-kong keinginan satu sama lain. Lewicki & Bunker (1995) mendefinisikan IBT sebagai suatu keya-kinan yang muncul karena adanya pemahaman bahwa dalam suatu hubungan seseorang den-gan pihak lain, telah terjadi internalisasi penuh mengenai kebutuhan dan maksud atau niat dari pihak lainnya. Jenis kepercayaan ini banyak di-jumpai dalam kelompok. Ketika suatu kelompok memiliki identitas yang kuat dan di dalamnya terdapat suatu kekohesivitasan yang tinggi, maka secara teknis hal ini berarti suatu anggota dapat menggantikan anggota yang lainnya. Hal terse-but dapat terjadi ketika dua pihak yang memiliki KBTsekaligus memiliki kesamaan-kesamaan sep-erti kebutuhan, pilihan dan preferensi. IBT dapat dikategorikan sebagai tipe trust pada tingkat ter-tinggi. Trust tingkat tertinggi ini timbul ketika sudah ada ikatan emosional antar pihak. Trust timbul karena setiap pihak saling memahami dan menghargai keinginan pihak lain. disamping itu, trust ini tidak memerlukan kontrol lagi terhadap pihak lain karena sudah ada loyalitas yang tidak perlu dipertanyakan antar keduanya.

Dinamika Perkembangan TrustFaturochman (2000) menyatakan bahwa keti-

ga tipe trust yang sudah dipaparkan sebelumnya merupakan hal yang berbeda, namun dapat sal-ing terikat dan terbangun oleh satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa CBT dapat dijadikan dasar terbentuknya KBT yang kemudian dapat membentuk IBT. Walau-pun ketiga tipe tersebut berkaitan, terbentuknya

suatu kepercaraan dari kepercayaan lai tentu ti-dak dapat secata otomatis. Setidaknya dibutuh-kan tingkat kepercayaan tertentu yang cukup sta-bil, agar bisa menjadi bentuk dari tipe kepercayaa lainnya.

Kepercayaan dapat berkembang dari wak-tu ke waktu. Perkembangan hubungan itu sei-ring terjalin melalui beberapa perkembangan tipe trust, yakni dari CBT kemudian ketingkat yang lebih tinggi KBT dan pada akhirnya men-capai IBT. Namun tidak menutup kemungkinan seperti beberapa kasus hubungan berbisnis dan hubungan hukum, pembentukan kepercayaan berakhir hanya pada CBT. Pembentukan keper-cayaan dimulai dengan aktivitas di level CBT. Jika salah satu pihak berperilaku konsisten dan tidak mendapatkan hukuman karena melanggar kepercayaan, maka kepercayaan pada tingkat CBT dapat terlewati. Kemudian, pihak tersebut dapat memperoleh dasar pengetahuan mengenai kebutuhan, preferensi dan prioritas pihak lain. Jika pihak tersebut tidak dapat melampaui tahap CBT, maka terdapat beberapa kemungkinan yang dapat dijelaskan. Kemungkinan yang terja-di misalnya hubungan tersebut tidak akan lebih dari sekadar hubungan bisnis, dengan kata lain hanya berhenti pada tahap CBT. Pelanggaran ke-percayaan yang terjadi juga akan membuat pihak lain merasa waspada untuk melanjutkan hubun-gan mereka (Lewicki & Bunker, 1995).

Menurut Lewicki & Bunker (1995) trust atau kepercayaan memiliki sifat yang rapuh. Butuh waktu yang cukup panjang untuk membangun kepercayaan, namun di sisi lain kepercayaan dapat dengan mudah dihancurkan. Kepercayaan yang hancur tersebut berawal dari pelanggaran kepercayaan. Ini terjadi karena pelanggaran ke-percayaan dapat mengarahkan kepada ketidak-stabilan dan penilaian ulang pada suatu situasi, baik pada aspek kognitif (level rasional) maupun afeksi (level emosional). Jika hal ini sudah terjadi, pada akhirnya terdapat tiga kemungkinan yang dapat dilakukan, yakni mempertahankan status quo, renegosiasi mengenai hubungan, atau bah-kan dapat berakhir pada penyelesaian hubungan.

Perilaku Konsumen Belanja OnlineTrust memiliki kaitan yang erat dengan

bagaimana hubungan yang terjalin atara penjual dan pembeli. Menurut Utomo et al. (2003) men-yatakan bahwa trust dapat menjadi faktor kepu-tusan pembelian dan loyalitas konsumen. Hal tersebut dapat didekati melalui konsep perilaku konsumen. Peter & Olson (2010:5) mengungkap-kan bahwa perilaku konsumen merupakan proses yang dinamis yang mencakup perilaku konsumen individual, kelompok, dan anggota masyarakat yang secara konstan mengalami perubahan. Un-tuk dapat memahami perilaku konsumen secara tepat, perusahaan sebagai pemasar perlu mem-perhatikan bagaimana tindakan konsumen dalam mendapatkan, mengonsumsi dan menghabiskan barang dan jasa, termasuk juga pada proses pem-

19

Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VI, Nomor 1, April 2017

buatan keputusan apakah konsumen melakukan keterlibatan tinggi atau rendah.

Untuk mendapatkan barang dan jasa yang diinginkan, konsumen berupaya mencari infor-masi, baik melalui internet ataupun kerabatnya. Setelah mengumpulkan informasi, jika produk yang diinginkan berisiko tinggi, maka konsumen akan mencari informasi lebih banyak lagi untuk menghindari kesalahan dalam melakukan pen-gambilan keputusan. Keputusan pembelian da-lam perilaku konsumen tidak hanya tentang apa yang dibeli atau dikonsumsi oleh konsumen saja. Hal lain yang juga terkait adalah mengenai di-mana, bagaimana dan dalam kondisi macam apa barang dan jasa yang dibeli. Tindakan keputusan pembelian tidak lepas dari peran empat faktor, yakni faktor budaya, faktor sosial, faktor pribadi, dan faktor psikologis. Sedangkan proses keputu-san pembelian meliputi pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, penilaian alternatif, kepu-tusan membeli, dan perilaku setelah pembelian (Kotler & Armstrong 2014:161).

Beralihnya minat masyarakat ke internet ini tidak lepas dari daya tarik situs-situs media sosial seperti Facebook, Twitter, Path dan Instagram yang semakin menjamur di dunia maya. Media sosial merupakan salah satu bentuk dari Com-puter Mediated Communication sebagai wadah untuk bersosialisasi dan tempat terjadinya pertu-karan informasi dalam dunia teknologi saat ini. Dengan begitu, media sosial dapat secara efektif digunakan untuk keperluan bisnis seperti bisnis online,dan membangun hubungan yang berkelan-jutan dengan konsumen (Safko, 2012:5)

Kotler & Keller (2012:5) mendefinisikan pe-masaran sebagai suatu aktifitas, serangkaian institusi dan proses menciptakan, menghubung-kan, menghadirkan dan menawarkan peningka-tan yang memberikan nilai kepada pelanggan, client, partners, dan masyarakat luas. Pemasaran dilakukan untuk mencapai produktivitas secara efektif dan efisien, untuk mendapatkan keuntun-gan. Namun, jangkauan pemasaran tidak sebatas pada pencarian keuntungan saja. Dalam prosesn-ya, pemasaran juga merupakan faktor penting untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Untuk mencapai hal tersebut, perusahaan sebagai pe-masar harus menyusun kebijaksanaan produk, harga, promosi dan distribusi yang tepat sesuai dengan keadaan konsumen sebagai sasarannya.

Perkembangan internet memberikan dampak yang signifikan terhadap perilaku konsumen. Konsumen memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk mengekspresikan emosi, menjalin jejaring, bertukar pengalaman, dan member-ikan informasi terkini kepada konsumen lain yang dipercaya (Greenberg & Kates 2014). Evans (2008:36) menggambarkan media sosial sebagai suatu ‘kerumunan’ yang natural yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kesamaan ketertari-kan yang dibagikan satu sama lain melalui kon-sensus, dimana kondisi tersebut dapat menjadi celah pemasar untuk mempengaruhi ‘kerumunan’

tersebut dalam rangka pengembangan jangkauan pemasaran perusahaan mereka. Selain itu, Green-berg & Kates (2014) menganalogikan sosial media sebagai mata, telinga, dan tangan dari Internet. Sosial media menjadi strategi bercerita yang paling efektif. Pemasar dapat mengetahui apa yang dibutuhkan oleh konsumen melalui ‘cerita’ mereka di media sosial. Kehadiran media sosial memberikan alternatif pilihan bagaimana prak-tik pemasaran pada era digital berubah dari iklan berbayar menjadi iklan berdasarkan pengalaman pengguna, dimana pengguna saat ini berada da-lam konteks masyarakat yang terhubung dengan jaringan internet. Dengan menjalin hubungan komunikasi dengan pelanggan, diharapkan dapat mendorong terbentuknya kepercayaan konsumen sehingga konsumen bisa menjadi konsumen yang loyal bahkan enggan untuk meninggalkan peru-sahaan tersebut (Nashrullah, 2015:160)

Metode Penelitian Pada penelitian ini, paradigma yang digu-

nakan adalah paradigma post-positivistik. Ber-dasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini digunakan untuk dapat mema-hami dan menggambarkan dinamika trust yang terjadi melalui komunikasi tidak tatap muka on-line pada pemasaran online. Strategi penelitian ini yakni menggunakan studi kasus, dengan jenis studi kasus instrumental. Jenis studi kasus ini dijadikan sebagai sarana untuk memahami hal lain di luar kasus atau kerangka konseptual yang tersusun dari konsep yang saling berkaitan pada kerangka teoritis.

Peneliti akan menarasikan dan membuktikan konsep dan teori yang sudah tersusun yang dikait-kan dengan kasus pada penelitian ini. Unit anal-isis yang digunakan adalah dinamika trust pada pemasaran online. Sedangkan unit respon yang merupakan sumber data yang dapat membantu menjawab pertanyaan penelitian ini adalah indi-vidu pengguna media sosial Instagram yang per-nah melakukan belanja online melalui Instagram, terutama produk high involvement decision. Pada penelitian ini, teknik yang akan dilakukan ada-lah in-depth interview (wawancara mendalam) yang dibantu dengan panduan wawancara berupa pertanyaan semi-terstruktur, dan observasi yang dilakukan dengan melakukan pengamatan pada masing-masing akun media sosial Instagram toko online yang pernah dituju oleh para informan. Berdasarkan strategi penelitian, dipilih empat in-forman yang memiliki karakteristik (1) pengguna aktif media sosial Instagram, (2) pernah melaku-kan belanja online di Instagram setidaknya satu kali, (3) pernah membeli barang yang bersifat high involvement decision product.

Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan di lokasi yang nyaman baik bagi peneliti mau-pun informan, atas dasar persetujuan informan. Wawancara dilakukan dengan menggunakan

20

Lingga Detia Ananda, Dinamika Trust pada Pemasaran Online di Media Sosial

pedoman pertanyaan yang sudah disusun sebel-umnya, yang kemudian dibuat verbatim. Ketika dirasa bahwa terdapat data yang masih kurang, peneliti melakukan wawancara tambahan baik secara langsung maupun melalui telepon geng-gam. Ini dilakukan untuk mendapatkan gamba-ran dan pemahaman yang komprehensif terkait dengan hasil penelitian yang akan dilaporkan.

Neuman (2014:273) menyebutkan bahwa da-lam penelitian kualitatif tidak diperlukan infor-man dalam jumlah besar. Dalam penelitian ini, pemilihan informan dilakukan dengan menggu-nakan homogenous sampling, yakni informan yang memiliki karakteristik yang sama, tergolong dari subkultur atau kelompok yang serupa. Den-gan begitu peneliti dapat mendeskripsikan sub-kultur atau kelompok tertentu secara mendalam. Dalam penelitian ini digunakan informan yang be-rasal dari cohort yang sama, mengingat menurut data pengguna Instagram terbanyak adalah yang saat ini berusia 18-34 tahun, atau pada penelitian ini informan dapat digolongkan kedalam gener-asi millenials. Keempat informan memiliki ke-dekatan dengan media sosial, dimana frekuensi untuk mengakses media sosial pasti dilakukan pada tiap harinya, termasuk Instagram. Pola ala-san pemilihan media sosial Instagram sebagai media transaksi online, cenderung sama. Karak-teristik dan fitur-fitur Instagram yang menarik dengan layanan visual, dan juga kemudahan da-lam melakukan transaksinya menjadikan media sosial Instagram hadir sebagai alternatif tempat belanja online.

Pemilihan informan diawali dengan mengkon-firmasi kepada informan mengenai aktivitas be-lanja online yang pernah dilakukan di Instagram dan kemudian pernah membeli produk high in-volvement decision. Pada penelitian ini, informan yang wawancarai berjumlah empat orang, dima-na keempat informan berada pada cohort yang sama. Saat ini mereka berusia antara 23-24 ta-hun. Informan pertama dan kedua saat ini tengah melanjutkan studi, informan ketiga dan keempat melanjutkan bekerja. Namun, ketika mereka melakukan belanja online dengan produk high in-volvement decision, pengalaman tersebut terjadi ketika mereka berada pada tingkat 2-3 perkuli-ahan, dimana sebagai mahasiswa yang masih belum dapat memiliki penghasilan, harus lebih memperhitungkan pengeluaran dan pemasukan yang didapat.

Keempat informan memiliki kedekatan dengan media sosial, dimana frekuensi untuk mengakses media sosial pasti dilakukan pada tiap harinya, termasuk Instagram. Pola alasan pemilihan me-dia sosial Instagram sebagai media transaksi on-line, cenderung sama. Karakteristik dan fitur-fi-tur Instagram yang menarik dengan layanan visual, dan juga kemudahan dalam melakukan transaksinya menjadikan media sosial Instagram hadir sebagai alternatif tempat belanja online.

Untuk memudahkan pengumpulan data, maka digunakan kategorisasi dan indikator yang dis-

usun sesuai dengan permasalahan penelitian dan berdasarkan pendekatan yang dipaparkan dalam kerangka teoritis. Dari keseluruhan data yang telah dikumpulkan melalui serangkaian tahap penelitian yang telah dilakukan, selanjutnya data tersebut akan diolah untuk mendapatkan jawa-ban dari pertanyaan penelitan yang telah diru-muskan. Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Analisis data terbagi atas tiga sub proses yang sa-ling terkait, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.

Aktivitas Belanja Online di Media Sosial Insta-gram

Hasil penelitian menunjukkan masing-masing informan memiliki alasan dan motivasi tersendiri dalam melakukan belanja online. Seperti kemu-dahan dalam melakukan aktivitas belanja, prak-tis, dari segi harga lebih murah dan terjangkau dibandingkan dengan berbelanja offline, barang yang dijual lebih lengkap dan beragam, tidak per-lu pergi ke toko langsung, menghemat biaya, bisa melakukan window shopping, dan alasan lain terkait dengan kenyamanan serta kemudahan dalam berbelanja. Sedangkan pemilihan media sosial Instagram sebagai aplikasi belanja online adalah karena Instagram memiliki fitur yang memudahkan untuk diakses, memiliki kedekatan dengan media sosial Instagram, Instagram memi-liki tampilan menarik, dan memiliki fitur yang dapat menghubungkan langsung/mengontak pen-jual secara langsung.

Berbagai fitur yang dimiliki oleh Instagram dapat dimanfaatkan dalam melakukan transaksi belanja online, secara umum para informan cend-erung memiliki pola yang sama. Misalnya, pada fase pertama yakni fase pencarian informasi. Aktivitas yang dilakukan pada fase ini meliputi dua kegiatan, yakni pencarian informasi menge-nai barang melalui mesin pencarian Google dan Youtube, seperti spesifikasi barang, perbedaan barang asli dan palsu, wujud kemasan, dan lain sebagainya. Selain itu, informan juga melakukan aktivitas pencarian informasi mengenai kredibil-itas akun melalui mesin pencarian Google, me-minta rekomendasi dari teman, dan observasi akun Instagram toko online tersebut.

Mencari informasi mengenai kredibilitas akun melalui mesin pencarian Google dilakukan kare-na menurut informan, jika sebuah toko online pernah bermasalah, biasanya sudah ada yang melakukan ulasan, baik melalui akun toko online tersebut ataupun menuliskan pada blog pribadi sebagai bentuk testimonial negatif dan juga infor-masi kepada para calon konsumen lain mengenai toko online tersebut. Selain itu,mencari informasi tentang kredibilitas akun juga dapat dilakukan dengan meminta testimonial atau rekomendasi dari teman yang pernal melakukan belanja on-line terlebih dahulu, atau teman yang sekiran-ya mengetahui hal-hal yang terkait dengan be-lanja online di akun toko online tersebut. Diakui

21

Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VI, Nomor 1, April 2017

oleh informan, bahwa rekomendasi secara online maupun offline memiliki peran yang paling besar dalam membentuk kepercayaan positif informan pada suatu akun toko online. “Penting, rekomendasi penting banget karena

sebenernya itu kan mempengaruhi mind kita juga, mind set kita juga dan choice kita kan, pengambilan keputusan kita juga”. (I)

Dalam observasi akun Instagram, ada beber-apa hal yang dipertimbangkan meliputi kuali-tas foto yang ditampilkan, penjelasan pada fitur caption, pengaturan feeds, testimonial dari fitur comments, foto yang ditandai dari fitur photos of you, jumlah pengikut dari fitur followers, kejelas-an informasi kontak penjual, konsistensi update, dan juga kelengkapan serta jenis barang yang di-tawarkan oleh akun tersebut. Masing-masing in-forman memberikan penilaian positif pada setiap aspek penilaian akun Instagram toko online.

Pada fase kedua, setelah para informan merasa yakin bahwa pada fase pencarian informasi mas-ing-masing toko online yang dituju telah member-ikan kesan positif, para informan menghubungi penjual untuk bertanya mengenai proses pembe-lian barang. Pertanyaan yang diajukan meliputi ketersediaan barang, varian produk, informasi sistem komplain, estimasi waktu barang sampai, sistem pembayaran, dan juga jumlah uang yang harus dikirim melalui sistem transfer. Proses komunikasi dua arah ini juga menjadi penilaian para informan mengenai kredibilitas para penjual toko online. Sejauh mana penjual memiliki penge-tahuan mengenai barang yang dijual, bagaimana cara penjual mau dan mampu melayani dengan baik dan menjawab semua pertanyaan informan, serta sejauh apa informasi yang diberikan oleh penjual toko online ini dapat dipercaya. Setelah melakukan komunikasi secara online. Informan mengakui bahwa para mereka mendapatkan pe-layanan yang baik, dan profesional. Hal ini sema-kin mendorong mereka untuk melanjutkan proses belanja online di toko tersebut. “Alhamdulillahnya resellernya welcome

banget, terus nanya seputar knalpot itu dan jawabannya semuanya menuju ke keteran-gan yang jelas. Biasanya kan ada tuh toko yang tipu-tipu kayak misalnya ngejelasin ba-rang-barangnya cuma sekedarnya aja gitu. Kalau ditanya lebih detail nggak akan tau jawabannya. Nah tapi toko yang ini ternyata jawabannya sesuai sama yang ada di pikiran aku. Akhirnya aku jadi deh mesen disitu. Dan welcomenya tuh aku banyak nanya, tapi dia jawabnya kayak temen-temen udah kenal lama gitu, jadi santai. dia pokoknya tetep ngejelasin kayak sabar gitu bahasanya juga enak sopan, jadi enak sih gitu.” (Ru)

Fase ketiga, setelah para informan semakin yakin untuk membeli barang di toko tersebut, se-lanjutnya mereka melakukan pembayaran secara transfer yang kemudian memberikan data diri

serta bukti pembayaran kepada penjual. Untuk lebih meyakinkan para konsumen, penjual mem-berikan no.resi dan juga foto barang yang sudah siap dikirim kepada informan. Setelah barang sampai di tangan informan, mereka merasa puas karena barang yang dijanjikan sesuai dengan kenyataannya. Hal tersebut menjadi alasan mer-eka untuk melakukan pembelian ulang di toko yang sama pada transaksi selanjutnya. “Dari segi barang sama pelayanannya, itu

puas banget. Barangnya asli dan pelayanan-nya juag asik, ya okelah pokoknya. Kalau aku mau beli online ya aku pasti bakal balik kesi-tu lagi” (Ru)

Dinamika Trust pada Belanja Online di Media So-sial

Peter dan Olson (2005) mengatakan bahwa jika dilihat dari perilaku konsumen, sebelum melaku-kan pembelian barang, tentunya mereka akan berupaya mencari informasi, baik melalui inter-net atau kerabatnya. Setelah mengumpulkan informasi, oleh karena produk yang diinginkan berisiko tinggi, maka konsumen akan mencari informasi lebih banyak lagi untuk menghindari kesalahan dalam melakukan pengambilan kepu-tusan. Keputusan pembelian dalam perilaku kon-sumen tidak hanya tentang apa yang dibeli atau dikonsumsi oleh konsumen saja. Hal lain yang terkait juga yakni mengenai dimana, bagaimana dan dalam kondisi macam apa barang dan jasa yang dibeli. Hal tersebut dilakukan untuk men-ciptakan trust yang akan menggiring konsumen kepada keputusan pembelian. Selama proses transaksi, terdapat dinamika trust yang terjadi.

Untuk mengetahui dinamika trust yang terjadi antara hubungan dua pihak, dalam pe-nelitian ini adalah penjual dan pembeli online, maka dapat didekati dengan melihat model yang dicetuss oleh Lewicki & Bunker (1996). Menurut-nya, terbagi atas tiga tipe yakni terdiri dari Cal-culus-based trust (CBT), Knowledge-based trust (KBT), dan Identification-based trust (IBT). Keti-

ga tipe tersebut berbeda namun saling berkaitan satu sama lain.

Gambar 4.7 Dinamika perkembangan trust

CBT adalah kepercayaan yang pada awalnya berasal dari rasa takut jika melanggar keper-cayaan. Berdasarkan hal tersebut maka adan-

22

Lingga Detia Ananda, Dinamika Trust pada Pemasaran Online di Media Sosial

ya hukuman jika melanggar kepercayaan dapat dijadikan sebagai kunci motivasi utama dalam melakukan jenis hubungan ini. Sementara di sisi lain, untuk menjaga rasa saling percaya dalam suatu hubungan, maka dapat diperkuat dengan adanya reward/imbalan (Gwebu, Wang, Troutt 2007). Pada tipe ini, seseorang cenderung untuk memperhitungkan antara costs dan benefits yang akan dia terima ketika menjalani hubungan den-gan pihak lain, seperti costs of cheating (biaya yang harus dibayar jika salah satu pihak melang-gar perjanjian) dan value of benefits (nilai atau manfaat dar upaya menjaga, memelihara, dan mempertahankan kepercayaan).

KBT yakni kepercayaan yang tercipta mer-upakan berbasis pengetahuan. Kepercayaan ini didasarkan pada prediktabilitas seseorang den-gan cara mengumpulkan informasi yang cukup mengenai pihak lain dan kemudian memproses informasi tersebut. Informasi tersebut dapat di-peroleh dari pengalaman jalinan kerja sama dan komunikasi yang terpelihara secara teratur. Hal ini didasarkan atas pengenalan satu sama lain secara mendalam dan pemahaman yang lahir dari interaksi yang berulang-ulang. Dalam teori KBT ini berpendapat bahwa bagi beberapa pihak yang menganut tipe ini akan tergantung pada prediksi perilaku pihak yang terlibat untuk mem-buat suatu penilaian yang rasional apakah pihak tersebut dapat dipercaya atau tidak.

IBT yakni kepercayaan yang terbentuk sebagai suatu keyakinan yang muncul karena adanya pemahaman bahwa dalam suatu hubungan ses-eorang dengan pihak lain, telah terjadi internal-isasi penuh mengenai kebutuhan dan maksud atau niat dari pihak lainnya. Kedua belah pihak mengerti satu sama lain, setuju dengan apa yang diinginkan pihak lain, dan bersedia mendukung sesamanya untuk mencapai tujuan yang diing-inkan. Dalam tipe ini, kepercayaan yang terben-tuk tergantung pada nila-nilai dan moral yang dibagikan dalam suatu masyarakat. IBT dapat terjalin ketika kedua belah pihak dapat saling mengerti terkait dengan keinginan dan tujuan satu sama lainnya.

Jika dilihat dari proses pembentukan yang terjadi pada masing-masing informan, trust ini terbentuk dari adanya pengalaman proses per-tukaran sosial dimulai dari pencarian informasi sebagai awal pembentukan trust, kemudian inter-aksi dengan penjual, hingga kemantapan dirinya untuk menerima segala risiko yang terbentuk pada proses akhir pembentukan trust. Terlebih media yang digunakan untuk melakukan tran-saksi belanja online adalah Instagram, dimana platform ini didesain sebagai media berbagi, bu-kan media belanja seperti e-commerce lain yang memiliki mekanisme, kebijakan dan peraturan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh suatu lembaga atupun perusahaan terkait. Oleh kare-na itu, informan sebagai konsumen belanja online memanfaatkan fitur-fitur yang ada di Instagram sebagai upaya penilaian kredibilitas penjual toko

online untuk membangun kepercayaan mereka. Ditemukan berdasarkan penuturan Informan

mengenai beberapa alasan pemilihan Instagram sebagai media belanja online adalah terkait den-gan kemudahan komunikasi langsung dengan penjual, desain visual yang menarik, lebih ring-kas dan sederhana, memiliki karakteristik unik dan menarik dibandingkan media sosial lain, ketersediaan barang, hingga pemahaman bahwa Instagram merupakan media sosial yang sangat dekat dengan aktivitas sehari-hari mereka. Inilah yang menjadi alasan para informan untuk menja-dikan media sosial Instagram untuk menjadi sa-rana jual beli online.

Selama proses transaksi belanja online yang dilakukan dari fase awal hingga fase akhir tran-saksi, dapat diidentifikasikan bahwa pola-pola tipe kepercayaan yang terbentuk adalah KBT, di-mana ada perkembangan dari tipe CBT ke KBT. CBT diketahui terbentuk dari konsistensi dan pencegahan, dimana di dalamnya terdapat kon-trol perilaku. Diilustrasikan bahwa pembentu-kan CBT seperti permainan ular tangga, terdapat kontrol didalam permainan itu yakni, dadu. Se-dangkan kontrol dalam CBT adalah konsistensi yang dapat mempengaruhi reputasi. Jika salah satu pihak menunjukkan ketidakkonsistenan-nya, maka trust yang baru saja terbentuk akan sangat dengan mudah hancur dan harus dimulai dari awal, seperti pemain ular tangga yang harus turun atau mundur ke kotak awal.

Menurut Lewicki & Bunker (1995:157), suatu hubungan dari keduabelah pihak yang belum mengenal satu sama lain sebelumnya, selalu dimulai dari tipe pertama, yakni CBT. Pada pe-nelitian ini, CBT terbentuk ketika adanya rasa percaya bahwa pihak trustor (pembeli online) dan pihak trustee (penjual online) dapat saling menguntungkan untuk dapat mencapai tujuan masing-masing, yakni pencapaian profit penjual online, dan juga terpenuhinya kebutuhan pembe-li online, dimana keempat informan sebagai kon-sumen belanja online masing-masing membutuh-kan suatu barang yang menurut mereka memiliki harga yang cukup mahal dan berisiko tinggi jika mengalami kerugian. Harapan awal juga memun-culkan kepercayaan sebagai harapan positif bah-wa tidak ada yang akan berbuat curang (cheating) yang dapat merugikan pihak satu sama lain.

Pada tipe ini informan cenderung untuk mem-perhitungkan cost dan benefit jika mempercayai penjual online yang sama sekali tidak pernah ia jumpai sebelumnya. Ada perhitungan mengenai risiko-risiko penipuan yang lazim terjadi pada transaksi jual beli online, di samping itu ada suatu dorongan yang membuat mereka harus mempercayai penjual toko online, yakni barang yang diinginkan. Berawal dari keinginan infor-man untuk memenuhi kebutuhan melalui belan-ja online, disini informan sebagai pihak pemberi trust (trustor) memiliki kontrol.

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Le-wicki & Bunker (1995), tipe kepercayaan ini ber-

23

Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VI, Nomor 1, April 2017

sifat paling cair dan mudah berubah-ubah. Jika kepercayaan yang telah diberikan pada awal transaksi tidak mendapatkan imbalan yang im-bang, maka kepercayaan tersebut akan memudar, misalnya hal sepele seperti ketidaktersediaan barang yang dialami oleh salah satu informan ketika sedang memilah akun toko online mana yang dapat dipercaya, atau kemungkinan jawa-ban yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh informan, informan mengakui akan langsung meninggalkan akun toko online tersebut karena dianggap tidak konsisten dan ti-dak dapat memenuhi harapan atas kepercayaan yang telah diberikan.

Dalam hal ini diasumsikan bahwa informan se-bagai pembeli online yang memberikan harapan positif, memiliki kontrol terkait dengan konsis-tensi penjual online yang telah disepakati dalam aturan transaksi belanja online. Jika suatu saat terjadi perusakan kepercayaan yang dilakukan penjual, seperti menipu dan penyalahgunaan identitas pembeli, maka konsekuensi (hukuman) yang akan didapatkan oleh penjual adalah rep-utasi yang buruk dan hilangnya kredibilitas se-bagai penjual toko online yang dapat dipercaya. Pada kasus ini, kontrol dapat dilakukan dengan menggunakan fitur report account, memberikan komentar negatif pada akun tersebut, bahkan dapat dilaporkan ke pihak berwajib.

Dari diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan CBT menjadi dasar tipe trust yang dimiliki oleh seseorang ketika melakukan belan-ja online. Hal ini ditandai dengan kepuasan yang dirasakan keempat informan saat pembelanjaan pertama kali. Masing-masing informan mengakui bahwa mereka tidak merasa kecewa telah mem-berikan kepercayaan kepada penjual, walaupun interaksi yang dilakukan hanya melalui akun vir-tual media sosial. Pemenuhan kepercayaan pada transaksi pertama memberikan rasa ingin kem-bali melakukan transaksi online di tempat yang sama. Hal ini terjadi pada keempat informan. Perbedaannya hanya terletak pada frekuensi pembelian masing-masing karena faktor kebutu-han, keinginan dan faktor ekonomi masing-mas-ing. Misalnya, seperti dua dari informan yang sama-sama mengidolakan artis, sebagai seorang penggemar mereka merasa ada suatu dorongan dalam diri untuk menunjukan dukungan mereka terhadap idolanya, yakni membeli merchandise orisinil. Hal tersebut secara rutin dilakukan oleh kedua informan, tentunya dengan upaya mena-bung karena untuk kantong mahasiswa, mereka menganggap barang-barang tersebut cukup ma-hal. Sedangkan bagi informan lain, seperti yang memiliki hobi otomotif, akan selalu kembali ke akun yang sama ketika membutuhkan barang-ba-rang yang sulit dicari.

Berdasarkan gambaran di atas maka dapat diasumsikan tahap CBT telah tercapai, dimana pengalaman pertama ini dapat dijadikan modal informasi yang dikumpulkan oleh informan se-bagai bentuk prediksi mereka untuk melakukan

pembelian ulang di akun Instagram toko online yang sama. Proses kembalinya mereka kepada akun toko online yang sama ini dapat diidentifi-kasikan bahwa informan telah melewati fase CBT dan mulai berkembang satu level kepada tipe ke-percayaan kedua, yakni KBT.

Seperti yang diungkapkan oleh Lewicki & Bun-ker (1995) bahwa ketiga tipe trust memang berbe-da, tetapi dapat berkaitan satu sama lain. Trust pada penelitian ini ditemukan berkembang dari CBT menuju KBT. Sesuai dengan namanya, tipe kepercayaan ini berdasarkan pengetahuan men-genai penjual toko online yang telah mereka gali informasi sebelumnya. Informasi ini digunakan sebagai alat untuk memprediksikan seseorang sebagai pihak yang akan diberikan kepercayaan (trustee), serta pengalaman sebelumnya dimana diketahui dapat digunakan menjadi dasar predik-si yang dapat dilakukan informan sebagai pembe-li online terhadap penjual toko online yang pernah ia kunjungi dan melakukan transaksi di dalamn-ya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lewicki & Bunker (1995:158) bahwa pembentu-kan hubungan KBT dimulai dengan pengemban-gan aktivitas CBT. Jika dalam pengembangan CBT dapat dikonfirmasi mengenai validitas trust (pihak lain konsisten dan deterrence tidak dibu-tuhkan secara teratur), maka pihak-pihak yang terlibat akan mulai membangun dasar pengeta-huan mengenai kebutuhan, preferensi dan pri-oritas orang lain. Informasi inilah yang menjadi fondasi untuk KBT.

Hal ini sesuai dengan penuturan Faturochman (2000) bahwa informasi dan pengetahuan dijad-ikan prediksi informan, dimana informasi terse-but diperoleh dari pengalaman jalinan kerja sama, dalam hal ini adalah transaksi jual beli online, dan komunikasi yang terpelihara secara teratur, serta interaksi yang berulang-ulang. Informasi yang didapatkan dari hasil komunikasi tersebut dapat membantu seseorang dalam mengantisipa-si tindakan orang lain secara tepat. Keakuratan prediksi dapat tercipta tergantung dari pemaha-man, dimana pemahaman tersebut dapat sema-kin berkembang sejalan dengan interaksi yang terjadi secara terus menerus, komunikasi dan pembangunan hubungan. Ini terjadi karena per-ilaku tidak selalu konsisten, pengetahuan akan hal tersebut juga perlu untuk selalu diperbaha-rui. Hal ini berarti pengetahuan yang dimaksud-kan sebelumnya juga meliputi pengetahuan men-genai konsistensi dan reabilitas pihak lain. Jika seorang konsumen telah mempercayai penjual toko online dan kemudian melakukan pembelian ulang, dan terjadi terus menerus, maka dapat di-identifikasikan bahwa seseorang tersebut sudah berada pada perkembangan dari tipe trust CBT menuju KBT.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa tiga tipe trust tersebut merupakan hal yang berbeda, namun saling berkaitan. Oleh karena itu, dalam hal ini, baik pihak trustor mau-pun pihak trustee yang tidak melanggar keper-

24

Lingga Detia Ananda, Dinamika Trust pada Pemasaran Online di Media Sosial

cayaan pada aktivitas level tipe CBT, maka trust dapat berkembang kepada KBT. Pada penelitian ini, pembentukan KBT ditandai dengan adanya aktivitas pembelian ulang yang dilakukan oleh informan. Pembelian ulang ini dilakukan kare-na informan telah merasa percaya berdasarkan pengalaman yang pernah dilalui sebelumnya. Janpervaa et al. (1999) dan Corritore, Kracher & Wiedenbeck (2003) menyebut ini kepada perkem-bangan initial trust menjadi mature trust yang ditandai dengan kepuasan pembelian pertama dan melakukan pembelian ulang.

Pada perkembangan KBT diketahui bahwa jika terjadi sedikit inkonsistensi dari salah satu pihak, maka kepercayaan tidak begitu saja hancur, pi-hak yang merasa sedikit dikecewakan akan me-minta penjelasan terlebih dahulu. Hal ini terjadi pada salah satu informan ketika ia melakukan pembelian yang ketiga. Diakuinya, eksekusinya tidak secepat pembelian pertama, namun ia ti-dak serta merta kecewa dan marah-marah begitu saja. Oleh karena ia pernah mengalami pengala-man positif dimana kepercayaan yang ia berikan dapat terpenuhi dengan baik. Maka kali ini in-forman mencoba untuk mengkonfimasi terlebih dahulu mengapa eksekusi pengiriman barang tidak secepat pertama. Setelah ditelusuri, ternya-ta memang terjadi hambatan di pihak eksekutor JNE, kemudian setelah mengetahui hal tersebut, ia memakluminya. Dari ilustrasi tersebut terlihat bahwa pengalaman awal sebagai suatu informa-si/pengetahuan dapat dilakukan sebagai prediksi pada transaksi berikutnya.

Pada penelitian ini, tipe trust yang terbentuk tidak berkembang hingga IBT. Hal ini karena hubungan transaksional yang terjadi tidak sam-pai tahap penciptaan identitas bersama, pertu-karan nilai bersama ataupun internalisasi kes-amaan tujuan. Misalnya, tahap hubungan yang berkembang ketika pembeli dapat menjadi bagian dari penjual toko online tersebut sebagai reseller. Perkembangan trust informan pada penelitian ini hanya berkembang hingga KBT dengan ditan-dai aktivitas pembelian yang dilakukan secara berulang-ulang, karena sudah memiliki prediksi yang baik dari pengalaman awal pembelian (prior experience). Hal ini didukung oleh penuturan Cos-ta Hernandez & Santos (2010:177) yang menya-takan bahwa pembentukan KBT bukanlah hanya berdasarkan informasi yang benar-benar mer-upakan bentuk informasi saja, tetapi dibutuhkan suatu pengalaman sebagai informasi yang lebih kuat untuk dijadikan prediksi pada pembelian se-lanjutnya

Perkembangan CBT menuju KBT yang ber-langsung pada penelitian ini terhitung terjalin secara cepat. Hal ini terjadi karena proses pem-bentukan kepercayaan yang terjadi difasilitasi oleh perkembangan teknologi, yakni jaringan in-ternet. Dapat dikatakan bahwa pada penelitian ini pembentukan kepercayaan terjadi pada kon-teks masyarakat jejaring, dimana di dalamnya seorang pengguna internet dapat dengan mudah

secara aktif mendapatkan informasi dari mana-pun. Penyebaran dan arus informasi yang begi-tu cepat dan masiv dalam bentuk testimoni yang didapatkan secara online maupun rekomendasi offline dari inner circle semakin memudahkan ter-bentuknya kepercayaan.

Terlebih transaksi jual beli online ini terjadi di media sosial, dimana menurut Evans (2008:38) media sosial merupakan suatu ‘kerumunan’ yang natural yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kesamaan ketertarikan (interest) yang dibagikan satu sama lain melalui konsensus. Karakteristik media sosial yang dekat dengan aktivitas keseharian para informan memiliki pengaruh yang signifikan dalam pembentukan keperayaan online. Orang-orang sebagai netizen yang hendak membeli barang yang sama, dapat melihat komentar-komentar bahkan saling ber-tanya mengenai pengalaman masing-masing ke-pada orang tersebut yang juga terhubung dengan jaringan internet. Berbagai fitur Instagram yang memudahkan orang dapat saling terhubung satu sama lain ini membuat semakin mudah dan ce-pat untuk menyebarkan informasi terkait dengan hal-hal dalam transaksi jual beli online, dalam rangka membuat keputusan apakah perlu untuk mempercayai penjual toko online.

Para pengguna media sosial memiliki karak-teristik dan kekuatan untuk saling mempen-garuhi satu sama lain, dalam hal ini dianggap menjadi suatu peluang bagi stategi pemasaran di media sosial. Sifat media sosial yang sangat dekat dengan keseharian para penggunanya, baik dari frekuensi penggunaan para konsumen perharinya maupun fungsi dari media sosial itu sendiri yang dimanfaatkan oleh mereka menjadi pegaruh yang sangat besar. Hal ini berkaitan den-gan yang dikemukakan oleh Kennedy (2015) bah-wa karakteristik media sosial Instagram dapat dijadikan sebagai sarana pemasaran yang baik untuk menarik konsumen dimana di dalamnya konsumen akan melalui proses pembentukan ke-percayaan yang terbentuk melalui hubungan in-teraksi yang disambungkan oleh jaringan perang-kat teknologi, yakni internet.

KESIMPULANHasil penelitian menunjukan adanya kesa-

maan pola tipe trust yang terbentuk pada mas-ing-masing informan untuk menggambarkan din-amika trust yang terjadi, yakni Knowledge-based Trust. Hal ini terbukti dari pembelian kembali dengan frekuensi yang cukup rutin pada akun Instagram toko online, karena setelah pembeli-an pertama, keempat informan merasa puas dan memiliki keinginan untuk melakukan pembelian selanjutnya. Dengan kata lain, konsumen telah melewati tipe CBT, yang diketahui dapat dijad-ikan sebagai fondasi berkembangnya KBT. Da-lam perkembangan menuju KBT, para informan sebagai konsumen belanja online dapat memper-cayai toko tersebut dengan melakukan predik-si-prediksi berdasarkan pengalaman awal (prior

25

Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VI, Nomor 1, April 2017

experience) dan juga pengumpulan informasi yang dilakukan ketika mereka berada dalam fase pen-carian informasi. Perkembangan tipe trust yang terbentuk pada penelitian ini tidak sampai kepa-da IBT. Hal ini karena hubungan transaksional yang terjadi tidak sampai tahap penciptaan iden-titas bersama, pertukaran nilai bersama atau in-ternalisasi kesamaan tujuan.

Disebutkan bahwa proses perkembangan CBT menuju ke KBT membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Namun berdasarkan penemuan pada penelitian ini, hal tersebut dapat terjadi lebih cepat karena pembentukan trust terjadi pada konteks masyarakat jejaring. Dalam masyarakat jejaring, ada peran peran teknologi sebagai kata-lis penyebaran informasi. Penyebaran informasi pada penelitian ini terjadi pada media sosial. Me-dia sosial memiliki karakteristik sebagai media sharing untuk saling berbagi pengalaman dan dapat saling mempengaruhi satu sama lain dalam rangka membuat keputusan untuk mempercayai suatu toko online. Di samping itu, karakteristik media sosial sangat dekat dengan aktivitas kes-eharian informan yang merupakan generasi Y, terlebih karakteristik unik dan fitur-fitur yang dimiliki Instagram memiliki daya tarik tersendi-ri melalui penyajian bentuk visual yang mampu

menarik informan sebagai pelaku belanja online. Penyebaran informasi secara offline dari inner cir-cle atau teman yang dipercaya juga memiliki per-an pendukung dalam pembentukan kepercayaan.

Dari berbagai sumber pembentukan trust tersebut, masing-masing informan memiliki sum-ber dan cara yang berbeda dalam pembentukan trust. Hal ini terjadi karena masing-masing in-forman memiliki pengalaman yang berbeda-beda pula. Namun, keempat informan memiliki pola yang sama dalam prosesnya. Pada penelian ini, dapat dilihat dari masing-masing informan bah-wa peran testimonial dan rekomendasi pihak ketiga memiliki peran yang paling penting bagi proses pembentukan kepercayaan mereka terha-dap penjual toko online. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam konteks masyarakat jejaring yang terkumpul dalam media sosial, dimana satu sama lain terhubung dengan jaringan internet, proses kepercayaan bukan lagi berupa isu yang hanya fokus pada diri individu, melainkan pada kelom-pok jaringan yang memiliki maksud dan tujuan yang sama. Sehingga pada akhirnya, kepercayaan yang sudah terbangun berhasil memberikan ke-mungkinan bagi para informan untuk melakukan transaksi online selanjutnya di toko online yang sama.

Evans, D. (2008). Social Media Marketing An Hour A Day. Canada: Wiley Publishing.

Faturochman. (2000). Dinamika psikologis dan sosial kepercayaan. Yog-yakarta: Psikologi UGM.

Greenberg, E., & Kates, A., (2014). Strategic Digital Marketing. NewYork: McGraw-Hill.

Kennedy, G. (2015). Master of Social Media Marketing: Facebook, You-tube, Twitter, and Instagram. Create Space Independent Pub-lishing Platform

Kotler, P. & Armstrong, G. (2014). Principles of Marketing. 15th Edition. New Jersey: Pearson.

Kotler, P., & Keller, K.. (2012). Marketing Management. New Jersey: Pearson.

Nashrullah, R. (2015). Media Sosial: Prosedur, Tren, dan Etika. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Neuman, W. L. (2014). Social Research Methods: Qualitative and Quan-titative Approaches. 7th Edition. Boston: Pearson.

Peter, J.P., & Olson, J.C. (2010) Consumer Behavior & Marketing Strate-gy. 9th Edition. New York: McGraw-Hill.

Safko, Lon. (2012). The Social Media Bible. Second Edition. Hoboken: John Wiley & Sons.

Turban, E., King, D., Lee, J., & Viehland, D. (2004). Electronic Commerce: A Managerial Perspective. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Jurnal, Tesis, Disertasi, Koran, Situs BeritaBecker, M., & Hanley, M. (2008). The Mediating Effects of Privacy and

Preference Management on Trust and Consumer Participation in a Mobile Marketing Initiative: A Proposed Conceptual Model. Dalam Kautonen,T. & Heikki, K. (eds), Trust and New Technolo-gies. London: Edward Elgar Publishing.

Corritore, C.L., Kracher, B., & Wiedenbeck, S. (2003). On-Line Trust: Concepts, Evolving Themes: A Model. International Journal of Human-Computer Studies, 58, 737-758.

Costa Hernandez, J.M., & Santos, C.C. (2010) Development-Based Trust: Proposing and Validating a New Trust Measurement Model for Buyer-Seller Relationships. Brazilian Administration Review, 7 (2), 172-196.

Grabner-Kraeuter, S. (2002). The Role of Consumer’s Trust in On-line-Shopping. Journal of Business Ethics, (39), 43-50.

Grabner-Kraeuter, S., & Kaluscha, E. (2008). Consumer Trust in Elec-tronic Commerce: Conceptualization and Classification of Trust Building Measures. Dalam Kautonen,T., & Heikki, K (eds), Trust and New Technologies. London: Edward Elgar Publishing.

Gwebu, K., Wang, J., & Troutt, M., (2007). A Conceptual Framework for Understanding Trust Building and Maintenance in Virtual Orga-nizations. Journal of Information Technology Theory and Appli-cation (JITTA), 9 (1), 43-63.

Jusoh, Z.M. & Ling, G.H. (2012). Factors Influencing Consumers’ Atti-tude Towards E-Commerce Purchases Through Online Shop-ping. International Journal of Humanities and Social Science, 2 (4), 223-230.

Jarvenpaa,S.L. & Leidner, D.E. (2002). Do You Read Me? The Develop-ment and Maintenance of Trust in Global Virtual Teams. INSEAD Working Paper.

Kim, D.J., Ferrin, D.L., & Rao, H.R. (2008). A Trust-Based Consumer Decision-Making Model in Electronic Commerce: The Role of Trust, Perceived Risk and Their Antecedents. Science Direct, 44, 544-564.

Lewicki, R. J. & Bunker, B. B. (1995). Trust in Relationships: A Model of Trust Development and Decline. Dalam Bunker, B. B. & J. Z. Rubin (eds.), Conflict, Cooperation, and Justice: Essays Inspired by the Workof Morton Deutsch (pp.133-173). San Francisco: Jossey-Bass.

Mukherjee, A., & Nath, P. (2003). A Model of Trust in Online Relationship Banking, International. Journal of Bank Marketing, 21 (1), 5-15.

Rofiq, A. (2007). Pengaruh Dimensi Kepercayaan (Trust) terhadap Parti-sipasi Pelanggan E-Commerce (Studi Pada Pelanggan E-Com-merce di Indonesia). Tesis pada Program Pascasarjana Akun-tansi Manajemen Universitas Brawijaya.

Siagian & Cahyono (2014). Analisis Website Quality, Trust, dan Loyaliti pelanggan Online Shop. Jurnal Manajemen Pemasaran, 8 (2), 55-61.

Suhari, Y. (2011). Kepercayaan terhadap Internet serta Pengaruhnya pada Pencarian Informasi dan Keinginan Membeli Secara On-line. Jurnal Dinamika Informatika, 3(1).

Yousafzai, S. Y., Pallister, J. G., & Foxall, G. R., 2003. A Proposed Model of E Trust for Electronic Banking.Technovation, 23, 847-860.

Daftar Pustaka