dinamika hubungan diplomasi indonesia

15
DINAMIKA HUBUNGAN DIPLOMASI INDONESIA-AUSTRALIA PASCA DISINTEGRASI TIMOR TIMUR 1999 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG Sejak disintegrasi Timor-Timur dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di tahun 1999, Indonesia dan Australia terlibat hubungan diplomatik bilateral yang kurang harmonis. Indonesia-Australia mengalami masa-masa munculnya mosi tidak percaya akibat berbagai insiden kemanusiaan yang terjadi di Timor-Timur ketika masih dalam wilayah NKRI (dalam masa itu Indonesia berada di bawah rezim Soeharto dengan tingkat realism tinggi dan melakukan pertahanan integrasi wilayah Republik Indonesia dengan hard power dan dominasi TNI). Sesungguhnya, disintegrasi Timor-Timur sendiri secara tidak langsung ialah akumulasi dari dinamika yang dari tahun ke tahun semakin tidak ‘sehat’ dalam hubungan diplomasi Indonesia-Australia. Hal ini karena ‘ketidaksenangan’ Australia terhadap Indonesia bahkan dimulai sejak Timor-Timur memutuskan bersatu dengan NKRI lewat Deklarasi Balibo pasca Portugal meninggalkan Timor- Timur 1975. Pada tahun 1976, empat partai politik utama Timor-Timur (UDT, Apodeti, Kota, dan Trabalhista) berkoalisi dan minta berintegrasi dengan NKRI karena vacuum of power yang terjadi di Timor-Timur. Asumsi yang berkembang di Australia ketika itu ialah Indonesia dianggap mengingkari komitmen politiknya di PBB untuk membantu proses dekolonialisasi bagi bangsa-bangsa terjajah. Kedaulatan bangsa untuk mempertahankan Timor-Timur dengan jalan militer dianggap Australia telah melanggar hak penentuan nasib sendiri masyarakat Timor-Timur atas kedaulatan wilayahnya. Ketidak senangan ini berbuntut pada pelaporan kepada PBB, pencemaran nama baik Indonesia dimata internasional melaui media massa sehingga terjadi mobilisasi opini publik masyarakat

Upload: abi-ghafara

Post on 26-Jun-2015

520 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dinamika Hubungan Diplomasi Indonesia

DINAMIKA HUBUNGAN DIPLOMASI INDONESIA-AUSTRALIA PASCA DISINTEGRASI TIMOR TIMUR 1999

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1. LATAR BELAKANG

Sejak disintegrasi Timor-Timur dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di

tahun 1999, Indonesia dan Australia terlibat hubungan diplomatik bilateral yang kurang

harmonis. Indonesia-Australia mengalami masa-masa munculnya mosi tidak percaya akibat

berbagai insiden kemanusiaan yang terjadi di Timor-Timur ketika masih dalam wilayah NKRI

(dalam masa itu Indonesia berada di bawah rezim Soeharto dengan tingkat realism tinggi

dan melakukan pertahanan integrasi wilayah Republik Indonesia dengan hard power dan

dominasi TNI).

Sesungguhnya, disintegrasi Timor-Timur sendiri secara tidak langsung ialah akumulasi

dari dinamika yang dari tahun ke tahun semakin tidak ‘sehat’ dalam hubungan diplomasi

Indonesia-Australia. Hal ini karena ‘ketidaksenangan’ Australia terhadap Indonesia bahkan

dimulai sejak Timor-Timur memutuskan bersatu dengan NKRI lewat Deklarasi Balibo pasca

Portugal meninggalkan Timor-Timur 1975. Pada tahun 1976, empat partai politik utama

Timor-Timur (UDT, Apodeti, Kota, dan Trabalhista) berkoalisi dan minta berintegrasi dengan

NKRI karena vacuum of power yang terjadi di Timor-Timur. Asumsi yang berkembang di

Australia ketika itu ialah Indonesia dianggap mengingkari komitmen politiknya di PBB untuk

membantu proses dekolonialisasi bagi bangsa-bangsa terjajah.

Kedaulatan bangsa untuk mempertahankan Timor-Timur dengan jalan militer dianggap

Australia telah melanggar hak penentuan nasib sendiri masyarakat Timor-Timur atas

kedaulatan wilayahnya. Ketidak senangan ini berbuntut pada pelaporan kepada PBB,

pencemaran nama baik Indonesia dimata internasional melaui media massa sehingga terjadi

mobilisasi opini publik masyarakat internasional yang mengutuk tindakan Indonesia sebagai

bentuk fait accompli. Ditambah lagi anggapan bahwa Portugal masih penguasa administratif

wilayah Timor-Timur (pengingkaran terhadap vacuum power theory). Masalah dibesar-

besarkan dengan mengangkat Insiden Santa Cruz (penembakan pada demostran Timor-

Timur pada 12 November 1991 di Dili, di kuburan Santa Cruz oleh TNI karena memprotes

Indonesia dengan memajang foto Xanana Gusmao sebagai presiden bagi Timor-Timur yang

merdeka). Insiden ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika dan seorang jurnalis Australia

pro-kemerdekaan Timor-Timur, yang sedang merekam proses pemakaman demonstran

Page 2: Dinamika Hubungan Diplomasi Indonesia

yang gugur akibat pertikaian dengan TNI. Rekaman pembantaian para demostran di Santa

Cruz ini berhasil keluar dari Timor-Timur, disiarkan di Australia hingga menjadi salah satu

headline di media elektronik di Inggris pada awal tahun 1992

Puncaknya, Indonesia meradang dengan pengiriman tentara International Force in East

Timor. Tentara PBB dari Australia ini merupakan pasukan tempur yang setiap waktu bisa

melakukan tindakan paksaan terhadap TNI maupun sipil Timor-Timur, bukannya pasukan

pemeliharaan perdamaian (peace-keeping force) selama dilaksanakannya perundingan

mengenai status Timor-Timur pada akhir tahun 1998. Bukan hanya itu, secara terang-

terangan PM Australia, John Howard mengirimkan advisory opinion kepada presiden B.J

Habibie untuk mengubah status otonomi luas terhadap Timor-Timur, menjadi pemberian

referendum dan jajak pendapat sebagai solusi mandiri bagi Timor-Timur dalam menentukan

nasibnya.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Sejauh mana keterlibatan Australia sebagai state actor dalam proses disintegrasi

Timor-Timur dari Indonesia pada tahun 1999 dan bagaimana pola hubungan

bilateral antara kedua belah negara sepanjang penyelesaian kasus disintegrasi?

2. Apa saja indikator yang menunjukkan menurunnya kualitas dan eksistensi

hubungan diplomatik Indonesia-Australia, selama dan pasca disintegrasi Timor

Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (dari pihak Indonesia)?

1.3. KERANGKA PEMIKIRAN

Dr. Louise Diamond dan Ambassador John McDonald dalam bukunya Multi-Track

Diplomacy menyebutkan pentingnya diplomasi “…..diplomacy is associated in our minds

with an interactive process, a back-and-forth between various parties, it about relationship,

communication, connectedness. These are the key elements not only of peacemaking

endeavors but also of social systems. If the term jiggles the mind to associate the system

with this efforts and qualities it will be relevant.” Berdasarkan teori ini,Peter Sutch dan

Juanita Elias dalam bukaunya The Basics: International Relations mengungkapkan bahwa

segala jenis upaya diplomasi yang dilakukan harus dengan analisis objektif dimana fokus

tertuju pada kekuataan hubungan antara dua buah negara.

Page 3: Dinamika Hubungan Diplomasi Indonesia

Aktor-aktor pemerintah yang efektif dalam sebuah sistem akan mempengaruhi

suksesnya diplomasi. Diplomasi dianggap sukses apabila kedua belah pihak berhasil

mengatasi kepentingan-kepentingan yang berbeda, atau apabila kedua belah pihak berhasil

berkompromi dalam mengatasi perbedaan kepentingan.

Selain pemerintah, salah satu diplomasi multi-track yang patut diperhitungkan ialah

peran media massa dalam menciptakan opini publik. Media merupakan salah satu faktor

penting, baik bagi keberhasilan maupun kegagalan diplomasi antara dua negara. Hal ini

karena mobilisasi opini publik melalui pencitraan media (multilateral dan unilateral) yang

konsisten akan mempengaruhi dinamika diplomasi yang diimplementasikan dalam foreign

policy suatu negara.

1.4. METODE PENELITIAN DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode penelitian

deskriptif analitik, yaitu sebuah metodologi penelitian yang menggambarkan suatu

permasalahan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta

hubungan antar fenomena yang diselidiki yang akan dibahas dan kemudian dianalisa

dengan berlandaskan teori dalam kerangka pemikiran.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan

sumber berbagai buku, jurnal, dan majalah yang berhubungan dengan karya tulis. Selain itu,

bahan-bahan bacaan yang terdapat pada media internet dengan sumber yang terpercaya

dan dapat dipertanggungjawabkan.

BAB II

PEMBAHASAN

2. 1. Mobilisasi Opini Publik yang Kritis di Australia tentang Timor-Timur dan

Penegakan HAM di Indonesia

Sejak peristiwa Balibo pada Juli 1975, pemerintah Indonesia dianggap oleh pihak

Australia bertanggung jawab atas kematian lima wartawan televisi Australia. Media massa

Australia mulai menciptakan opini publik bahwa banyaknya konspirasi dibalik Peristiwa

Balibo, seperti bahwa; integrasi Timor-Timur ke wilayah NKRI dianggap sebuah aneksasi

secara militer, bukan integrasi natural (meskipun pada 1979 Australia pada akhirnya

mengakui kedaulatan Timor-TImur sebagai bagian NKRI secara de jure ). Media juga

Page 4: Dinamika Hubungan Diplomasi Indonesia

menuduh Indonesia menutup-nutupi upaya transparansi kasus untuk konsumsi publik

internasional.

Opini publik Australia meyakini bahwa pemerintah Indonesia tidak bersungguh-

sungguh berupaya menegakkan keadilan dan mengungkap kasus Balibo. Sikap

ketidakpercayaan publik Australia terhadap Indonesia berimplikasi pada lemahnya

dukungan publik Australia terhadap Indonesia, sehingga setiap isu negatif yang mencoreng

reputasi dan citra Indonesia justru menjadi komoditas berita yang penting bagi media massa

Australia.

Ketika Insiden Santa Cruz di akhir 1991 diekspos pada publik internasional, media

massa Australia bersifat sangat subjektif dan hiperbola dengan menyamakan kejadian ini

dengan peristiwa pembunuhan berdarah akibat politik apartheid di Sharpeville, Afrika

Selatan pada tahun 1960. Secara terang-terangan publik Australia menyatakan diri kecewa

dengan pemerintahnya yang mendukung kepemimpinan Soeharto di Indonesia ketika itu

karena pada akhirnya dukungan terhadap penjahat kemanusiaan itu dianggap sebagai

pengkhianatan bangsa Australia terhadap Timor-Timur yang pernah berperang bersama

melawan tentara Jepang dalam World War II.

Pemberitaan yang tidak berimbang ini juga membawa dampak buruk bagi Indonesia,

beberapa negara donor, menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Indonesia. Speech act yang

menyorot secara detail tentang rendahnya tingkat penghargaan bangsa Indonesia tehadap

HAM pada rezim Soeharto menjadi salah satu senjata Australia menyerang Indonesia dalam

struktur ‘pergaulan internasional’

2. 2. Lepasnya Timor-Timur dari Indonesia

Lepasnya Timor-Timur dari Indonesia juga tidak terlepas dari perubahan haluan politik

luar negeri Indonesia akibat dinamika politik domestik. Dalam proses memanasnya

hubungan Australia dan Indonesia, Indonesia sendiri ketika itu tengah disibukkan dengan

dinamika politik, pergantian pemerintahan yang melibatkan mobilisasi massa besar-

besaran, jatuhnya rezim diktator Soeharto dan digantikan dengan B.J Habibie (wakil

presiden Indonesia ketika itu).

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan political uncertainty yang mengganggu

stabilitas sistem pemerintahan berakibat pada kualitas kinerja dari aktor dan pembuat

kebijakan luar negeri. Penurunan kualitas kerja ini berdampak sistemik terhadap perspektif

dunia internasional pada Indonesia. Indonesia dianggap tidak represif dan beri’tikad baik

untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di negara, sehingga kian hari

Page 5: Dinamika Hubungan Diplomasi Indonesia

tekanan dunia internasional kian menyudutkan Indonesia sebagai negara yang diminta

bertanggung jawab atas segala kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Timor-Timur.

Sepanjang masa pemerintahan Soeharto yang cenderung otoriter, segala tindakan

prodisintegrasi yang dilancarkan oleh massa di Timor-Timur, selalu diredam dengan

tindakan militer. Asumsinya, pertahanan dan kedaulatan administratif suatu negara, berada

dibawah kewenangan pemerintah negara itu sendiri. Tindakan pelenyapan nyawa tanpa

alasan yang proporsional ini tetap dilanjutkan meskipun dunia internasional terus

mengawasi tindakan Indonesia, khususnya Australia. Selain menumpangi kendaraan politik

untuk mendapatkan legitimasi untuk mengeksplorasi Timor-Timur di masa depan nanti,

Australia juga turut adil dalam memperburuk hubungan antara Indonesia dan negara-negara

di barat karena propaganda media pasca penyebaran rekaman gambar Inseiden Santa Cruz

yang dianggap dunia internasional merupakan kasus pelanggaran HAM universal yang patut

ditindak.

Ketika tongkat estafet kepemimpinan beralih pada B.J Habibie, Timor-Timur bukan lagi

daerah prioritas yang integrasinya diperjuangkan dengan militer. Seiring dengan

meningkatnya tekanan dunia internasional terhadap Indonesia yang menuntut ‘keadilan’

bagi hak Timor-Timur menentukan nasibnya sendiri,

Menanggapi tuntutan internasional, kabinet baru Habibie dalam sidang 9 Juni 1998

memutuskan untuk memberikan status khusus dengan otonomi luas bagi Timor-Timur. Pada

18 Juni 1998, Sekjen PBB yang menganggap keputusan ini sebagai good will Indonesia

mengutus seorang duta besar dan perwakilan dari Portugal untuk membahas mekanisme

otonomi luas ini. Portugal menjadi satu dari tiga pihak dalam tripartite ini karena Timor-

Timur merupakan daerah bekas kolonialisasi Portugal sebelum berintegrasi dengan

Indonesia pada Deklarasi Balibo 1975. Tripartite ini kemudian menjadi tim kecil yang

bertanggungjawab dalam membuat kebijakan penentuan nasib bagi Timor-Timur.

Konsep ini akhirnya memperoleh jalan buntu karena Portugal dan representasi PBB

melancarkan imposing the political conditionalities (tekanan-tekanan politik). Tekanan ini

semakin jelas ketika PM Australia John Howard pada Desember 1998 mengirim sejenis surat

tertutup (advisory opinion) pada presiden Habibie yang ditegaskan oleh pemerintah

Australia pada media hanya berupa dorongan bagi Indonesia untuk memberikan right of-self

determination (hak untuk menentukan nasib sendiri). Namun nyatanya surat itu berhasil

membuat pemerintah Indonesia mengubah haluan kebijakan untuk Timor-Timur. Jika diawal

pemerintah memberikan otonomi luas, kemudian dengan alibi demokrasi pemerintah

menyatakan bahwa lepas atau tidaknya Timor-Timur dari Indonesia akan ditentukan oleh

Page 6: Dinamika Hubungan Diplomasi Indonesia

rakyatnya sendiri. Singkatnya, akan diadakan jajak pendapat di Timor-Timur sebagai jalan

damai bagi penyelesaian konflik. Keputusan ini dibawa ke ruang publik internasional pada

27 Januari 1999 oleh pemerintah Indonesia.

Keputusan ini kemudian diimplementasikan pada 5 Mei 1999, dimana Tripartite

menyetujui dan mendukung keputusan Indonesia untuk melaksanakan jajak pendapat di

Timor-Timur. Jajak pendapat akan diselenggarakan oleh PBB dan rakyat akan diminta

memilih apakah Timor-Timur masih akan dibawah bendera Indonesia atau menentukan

nasib sendiri dengan kemerdekaan.

Hasil jajak pendapat yang dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 ini kemudian positif.

Sebanyak 78,5 % rakyat Timor-Timur memilih untuk merdeka. Timor-Timur yang belum

memiliki pemerintahan berdaulat pun, diserahkan kepada PBB. Seiring dengan itu,

pemerintah Indonesia mencabut status Timor-Timur sebagai provinsi ke-27 Indonesia

sekaligus meratifikasi hasil jajak pendapat yang dilaksanakan di Timor-Timur. Sedangkan

untuk meredam gejolak kontra di dalam negeri, Habibie berdalih bahwa Timor-Timur

nantinya hanya akan menambah beban Indonesia dalam menjalankan pemerintahan.

Lagipula Timor-Timur, secara natural bukanlah bagian dari bangsa Indonesia, ada banyak

karaketr kebangsaan yang berbeda antara Timor Barat dan Timor Timur. Mulai dari bahasa,

ras, mata uang yang berlaku, kehidupan ekonomi maupun politik yang jauh berbeda dan

tertinggal dari daerah-daerah lain di Indonesia.

Sebagaimana teori zero sum, Australia kemudian menjadi negara pemenang sebagai

‘pahlawan’ mobilisasi tanggapan internasional. PBB meminta Australia menyiapkan pasukan

penjaga kedamaian masuk ke Timor-Timur, selain untuk meredam aksi kerusuhan pro

integrasi, juga untuk ‘mendepak’ pendudukan TNI dari Timor-Timur. Pasukan yang bernama

Internasional Force in East Timor (INTERFET) bertugas sebagai protektor yang menjamin

lancarnya kinerja UNCHR dalam memasok bantuan kemanusiaan bagi pengungsi dan

menjamin keamanan mobilitas pengungsi keluar masuk Timor-Timur dan Timor Barat.

2.4. Indikasi Kelemahan Diplomasi Indonesia

Dalam upaya menyelesaikan masalah Timor-Timur, aktor diplomasi yang diturunkan

oleh Indonesia ialah aktor-aktor dalam sistem politik. Aktor-aktor diplomasi tersebut berupa

diplomat, presiden, para pejabat militer, dan berbagai institusi yang sifatnya state actors.

Penjelasan berikut ini akan menekankan faktor-faktor internal Indonesia yang perlu

dievaluasi dalam upaya memperbaiki sistem dan mekanisme hubungan diplomatik.

Page 7: Dinamika Hubungan Diplomasi Indonesia

Pertama, kelemahan diplomasi Indonesia, baik dalam menyusun keputusan foreign

policy maupun dinamika internal ialah signifikannya peran-peran aktor politik dengan latar

belakang militer daripada aktor profesional yaitu para diplomat karir. Hal ini terjadi karena

sebagai panglima tertinggi seluruh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, presiden dapat

mengintervensi politikluar negeri dan upaya diplomasi yang sebelumnya dilakukan oleh para

pejabat karir. Bila berkenaan dengan kepentingan militer, struktur organisasi Deplu yang

bersifat kaku dapat bersifat fleksibel (pengaruh rezim dan faktor idiosinkratik pemimpin

ketika itu). Para pejabat militerlah yang menempati posisi strategis dalam Deplu, sehingga

muncul persepsi yang kurang baik tentang militer dimata pejabat Deplu dan para diplomat.

Sebagai diplomat, para pejabat militer tidak memiliki pelatihan dan pengalaman yang

cukup untuk menangani masalah hubungan internasional dan diplomasi. Intervensi militer di

Deplu membuat Deplu kesulitan menjalankan politik luar negeri yang independen.

Kedua, dominasi pimpinan tertinggi eksekutif di dalam pembuatan keputusan. Rezim

kepemimpinan Soeharto ketika itu membuat Deplu kemudian hanya berperan sebagai

departemen teknis yang menangani masalah rutin dan sifatnya administratif. Sedangkan

untuk masalah yang berkenaan dengan HAM, hubungan diplomatik, tindakan represif dalam

pergaulan internasional, cenderung didominasi oleh para pejabat militer yang pro terhadap

pimpinan eksekutif dan rezim. Deplu hanya berperan sebagai agen hubungan masyarakat

yang harus menjelaskan kepada dunia internasional alasan diplomatis dibalik kejadian

tersebut.

Ketiga, lemahnya strategi dan taktik diplomasi Deplu. Terkait kasus Timor-Timur, tidak

ada strategi khusus menyangkut persepsi yang coba ditanamkan oleh pemerintah Indonesia

terhadap publik (baik internal maupun internasional) saat kasus ini dianggap sebagai kasus

pelanggaran HAM yang penting di mata internasional. Indonesia malah mempersepsikan diri

bahwa segala jenis tekanan internasional tersebut hanya bentuk interfensi dunia terhadap

politik dalam negeri Indonesia.

Dilain pihak, massa dan pimpinan massa prodisintegrasi Timor-Timur dengan aktif

menjalin jaringan diplomatik dengan Australia, baik pada pemerintah maupun menarik

perhatian media massa. Mereka melakukan diplomasi publik melalui berbagai aktivitas

lobby informal dan aksi-aksi yang melibatkan masyarakat luas serta media massa

internasional.

Keempat, diplomat Indonesia dinilai Mochtar Kusumaatmadja, lebih banyak melakukan

‘diplomasi kebatinan’. Maksudnya diplomat Indonesia bukan merupakan diplomat yang tidak

Page 8: Dinamika Hubungan Diplomasi Indonesia

memiliki kemampuan khusus menghadapi tekanan media dan publik. Budaya rezim telah

mendidik diplomat menjadi aktor yang cenderung diam dan sulit berkomunikasi. Sifat

kurang ekspresif dan kurang artikulatif para aktor first track diplomacy ini dimanfaatkan

oleh pihak lawan (baik Timor-Timur maupun Australia) dengan mengembangkan jaringan

diplomasi second track yang fleksibel dan aktif melalui NGOs, aktor individu, dan media

massa internasional.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Awal dari memburuknya hubungan Indonesia-Australia ialah kegagalan pimpinan tertinggi

eksekutif Indonesia dalam menjaga citra bangsa, mewakili kepentingan pemerintah, dan

mempertahankan hubungan yang stabil. Hal in terjadi karena pada masa itu Indonesia

berada dibawah pengaruh rezim otoriter yang menghalalkan tindakan militer untuk menjaga

integrasi dalam dan luar negeri (bukan upaya diplomsi formal).

Ketika rezim berganti, yang terjadi kemudian ialah rendahnya umpan balik (represif)

Indonesia terhadap tuduhan yang dilemparkan, baik isu yang berkembang di komunitas

global maupun propaganda media yang subjektif, menyebabkan eksistensi diplomasi

Indoneis kian lemah. Ini merupakan pelajaran bagi diplomasi Indonesia tentang pentingnya

pencitraan, penguatan diplomasi konvensional, menggunakan alternatif diplomasi publik

dan melibatkan lebih banyak aktor lagi dalam membangun hubungan diplomatik yang sehat

(multi-track diplomacy).

Pemerintah Indonesia juga mengalami kegagalan visi dan penetapan status dalam

menangani masalah Timor-Timur. Meskipun kenyataannya isu Timor-Timur memberikan

dampak signifikan terhadap pencitraan internasional, pemerintah Indonesia selalu

mengingkari hal ini. Khususnya terhadap mobilisasi opini publik di Australia, Indonesia tidak

pernah menyusun dan menerapkan satu strategi khusus. Dalam kasus Australia, Indonesia

dianggap belum berhasil memenangkan hati publik Australia. Hal ini terjadi karena publik

Australia menganggap Indonesia tidak serius menangani kasus Timor-Timur, baik

disintegrasi maupun upaya penegakan HAM pasca runtuhnya orde baru.

Page 9: Dinamika Hubungan Diplomasi Indonesia

Selain itu, lepasnya Timor-Timur dari Indonesia merupakan pembelajaran bagi rezim

birokrasi yang otoriter yang menempatkan pemimpin militer di birokrasi sehingga Deplu

tidak memiliki otoritas sebagai departemen publik untuk melakukan aktivitas diplomasi yang

independen karena selalu ditunggangi kepentingan sekelompok orang dengan kekuasaan.

3.2. Saran

Untuk mengoptimalkan kinerja diplomat dan frist track diplomacy actors Indonesia,

penulis mempunyai beberapa saran,

1. Sejak berubahnya pola hubungan internasional dalam komunitas global yang

ditandai dengan meningkatnya aktor dalam hubungan internasional, pola

diplomasi yang dilakukan pun layak berubah. Hal ini karena state actor tidak

lagi bisa mengakomodir semua kepentingan mobilitas internasional. Second

track diplomacy dengan multi-track actor dianggap penting karena secara ideal

second track diplomacy akan memberikan kelengkapan negosiasi dan fasilitas

yang sulit dicapai jika hanya mementingkan national interest masing-masing

negara.

2. Perlu dicatat bahwa para pejabat militer tidak dilatih dan tidak mendapatkan

pendidikan untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan

bernegosiasi dengan negara lain. Sebagai Kementrian utama yang

melaksanakan tugas-tugas utama Indonesia di luar negeri, Kemenlu semestinya

diberi hak otoritas untuk mengambil kebijakan dalam mengejewantahkan faktor

penghalang birokrasi dalam proses membangun hubungan diplomasi dengan

negara lain (karena akan sulit bagi Kemenlu mencetak prestasi dibawah

tekanan dan ketidaknyamanan kerja).

3. Kekerasan, militer dan hard power bukan lagi jalan yang ditempuh di abad 21

ini. negara-negara berlomba-lomba menyusun soft and smart power untuk

mendapatkan posisi tawar yang bailk dalam komunitas internasional.

4. Pentingnya declassified documents bagi pemerintah Indonesia (terkait

pembelajaran kasus disintegrasi Timor-Timur). Kebijakan untuk mengumumkan

secara terbuka dokumen-dokumen pemerintahan setelah berakhirnya satu

periode dalam permerintahan dianggap penting untuk review dan rekam jejak

dalam penyelesaian isu-isu khusus. Keterbatasan akses terhadap dokumen

negara (yang selalu dirahasiakan) membuat sebuah kebijakan seringkali

kadang secara sistematis menjadi tidak berkesinambungan.

Page 10: Dinamika Hubungan Diplomasi Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Artikel

Djelantik, Sukawarsini. 2008. Diplomasi: Antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu

Kumar, Rajesh. 1997. Non-Alignment Policy of Indonesia. Jakarta: CSIS, Jakarta.

Mc.Donald, Louise. 1996. Multi-Track Diplomacy: A System Approach to Peace, Third Edition.

USA: Kumarian Press, Inc.

Nazir, Mohamad. 1988. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Pattiradjawane, Rene L. “Indonesia dalam Politik Globalisasi.” Kompas (5 Mei 2010):9.

Suryokusumo, Sumaryo. 2007. Studi Kasus Hukum Internasional. Jakarta: Tatanusa

Sutch, Peter dan Juanita Elias. 2007. The Basics, International Relations. New York:

Routledge

Volgy, Thomas J. 2003. International Politics and States Strength. United Kingdom: Lynne

Rienner Publisher Inc.

Jurnal

Downer, Alexander. 2000. East Timor – looking back on 1999, Australian Journal of

International Affairs, vol.54/1 , hal.5.

Kumar, Rajesh. 1997. Indonesias’Policy of Non-Alignment: Decolonialization and the Issue of

East Timor, vol II, hal 59.

Halaman Web

http://frenndw.wordpress.com/2010/01/13/masalah-timor-timur-dan-politik-luar-negeri-ri/

diakses pada 13 Mei 2010 pukul 12.45

http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/demokratisasi.html diakses pada 12

Mei 2010 pukul 12.50

http://www.deplu.go.id/Pages/SpeechTranscriptionDisplay.aspx?

Name1=Transkripsi&Name2=Menteri&IDP=207&l=id diakses pada 12 Mei 2010

pukul 13.07

Page 11: Dinamika Hubungan Diplomasi Indonesia

http://kbriberlin.de/in/berita/2008/JAN/080108=pernyataan%20pers%20tahunan%20menlu

%20ri.html diakses pada 13 Mei 2010 pukul 13.10

http://www.kapanlagi.com/h/0000109105.html diakses pada 13 Mei 2010 pada pukul 13.11

http://www.indonesia-1.com/konten.php?nama=News&op=detail_news&id=1158 diakses

pada 13 Mei 2010 pukul 13.12

http://deskpapuabarat.blogspot.com/2009_01_01_archive.html diakses pada 13 Mei 2010

pukul 15.10

http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/08/07/0019.html diakses pada 18 Mei

2010 pukul 10.15

http://wwwsejarah-agustinus.blogspot.com/2010/04/hubungan-australia-indonesia.html

diakses pada 18 Mei 2010 pukul 10.17

Sumaryo Suryokusumo. 2007. Studi Kasus Hukum Internasional, Cetakan 1, Jakarta: Tatanusa, hlm 95

Majelis Umum PBB. “Deklarasi PBB tentang Pemberian Kemerdekaan bagi Rakyat dan Bangsa-Bangsa Terjajah”. Sidang Umum PBB 1960 dan 1961: Resolusi 1514 (XV) dan 1654 (XVI).

Suryokusumo, op.cit., hlm 97

http://frenndw.wordpress.com/2010/01/13/masalah-timor-timur-dan-politik-luar-negeri-ri/

Dr. Louise Diamond, Ambasadoor John McDonald. 1996. Multi-Track Diplomacy. USA: Kumarian Press Inc., hlm 11-12

Peter Stuch, Juanita Elias. 2007. The Basic: The International Relations. New York: Routledge, hlm 41-42

Sukawarsini Djelantik. 2008. Diplomasi Antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu, hlm 103

Ibid,. hlm 107

Mohamad Nazir. 1988. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 15.

Loc,. cit

Sukawarsini Djelantik, op.cit., hlm 128

loc.cit,.

Sukawarsini Djelantik, op.cit., hlm 107

Ibid,. hlm 114

Ibid., hlm 110

Page 12: Dinamika Hubungan Diplomasi Indonesia

ARLISKA FATMA ROSI

209000010

Diposkan oleh uas pengantar diplomasi 2009 di 21.22

http://pengantardiplomasi.blogspot.com/2010/06/dinamika-hubungan-diplomasi-indonesia.html

oktober 02 210