dinamika hubungan diplomasi indonesia
TRANSCRIPT
DINAMIKA HUBUNGAN DIPLOMASI INDONESIA-AUSTRALIA PASCA DISINTEGRASI TIMOR TIMUR 1999
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. LATAR BELAKANG
Sejak disintegrasi Timor-Timur dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di
tahun 1999, Indonesia dan Australia terlibat hubungan diplomatik bilateral yang kurang
harmonis. Indonesia-Australia mengalami masa-masa munculnya mosi tidak percaya akibat
berbagai insiden kemanusiaan yang terjadi di Timor-Timur ketika masih dalam wilayah NKRI
(dalam masa itu Indonesia berada di bawah rezim Soeharto dengan tingkat realism tinggi
dan melakukan pertahanan integrasi wilayah Republik Indonesia dengan hard power dan
dominasi TNI).
Sesungguhnya, disintegrasi Timor-Timur sendiri secara tidak langsung ialah akumulasi
dari dinamika yang dari tahun ke tahun semakin tidak ‘sehat’ dalam hubungan diplomasi
Indonesia-Australia. Hal ini karena ‘ketidaksenangan’ Australia terhadap Indonesia bahkan
dimulai sejak Timor-Timur memutuskan bersatu dengan NKRI lewat Deklarasi Balibo pasca
Portugal meninggalkan Timor-Timur 1975. Pada tahun 1976, empat partai politik utama
Timor-Timur (UDT, Apodeti, Kota, dan Trabalhista) berkoalisi dan minta berintegrasi dengan
NKRI karena vacuum of power yang terjadi di Timor-Timur. Asumsi yang berkembang di
Australia ketika itu ialah Indonesia dianggap mengingkari komitmen politiknya di PBB untuk
membantu proses dekolonialisasi bagi bangsa-bangsa terjajah.
Kedaulatan bangsa untuk mempertahankan Timor-Timur dengan jalan militer dianggap
Australia telah melanggar hak penentuan nasib sendiri masyarakat Timor-Timur atas
kedaulatan wilayahnya. Ketidak senangan ini berbuntut pada pelaporan kepada PBB,
pencemaran nama baik Indonesia dimata internasional melaui media massa sehingga terjadi
mobilisasi opini publik masyarakat internasional yang mengutuk tindakan Indonesia sebagai
bentuk fait accompli. Ditambah lagi anggapan bahwa Portugal masih penguasa administratif
wilayah Timor-Timur (pengingkaran terhadap vacuum power theory). Masalah dibesar-
besarkan dengan mengangkat Insiden Santa Cruz (penembakan pada demostran Timor-
Timur pada 12 November 1991 di Dili, di kuburan Santa Cruz oleh TNI karena memprotes
Indonesia dengan memajang foto Xanana Gusmao sebagai presiden bagi Timor-Timur yang
merdeka). Insiden ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika dan seorang jurnalis Australia
pro-kemerdekaan Timor-Timur, yang sedang merekam proses pemakaman demonstran
yang gugur akibat pertikaian dengan TNI. Rekaman pembantaian para demostran di Santa
Cruz ini berhasil keluar dari Timor-Timur, disiarkan di Australia hingga menjadi salah satu
headline di media elektronik di Inggris pada awal tahun 1992
Puncaknya, Indonesia meradang dengan pengiriman tentara International Force in East
Timor. Tentara PBB dari Australia ini merupakan pasukan tempur yang setiap waktu bisa
melakukan tindakan paksaan terhadap TNI maupun sipil Timor-Timur, bukannya pasukan
pemeliharaan perdamaian (peace-keeping force) selama dilaksanakannya perundingan
mengenai status Timor-Timur pada akhir tahun 1998. Bukan hanya itu, secara terang-
terangan PM Australia, John Howard mengirimkan advisory opinion kepada presiden B.J
Habibie untuk mengubah status otonomi luas terhadap Timor-Timur, menjadi pemberian
referendum dan jajak pendapat sebagai solusi mandiri bagi Timor-Timur dalam menentukan
nasibnya.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Sejauh mana keterlibatan Australia sebagai state actor dalam proses disintegrasi
Timor-Timur dari Indonesia pada tahun 1999 dan bagaimana pola hubungan
bilateral antara kedua belah negara sepanjang penyelesaian kasus disintegrasi?
2. Apa saja indikator yang menunjukkan menurunnya kualitas dan eksistensi
hubungan diplomatik Indonesia-Australia, selama dan pasca disintegrasi Timor
Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (dari pihak Indonesia)?
1.3. KERANGKA PEMIKIRAN
Dr. Louise Diamond dan Ambassador John McDonald dalam bukunya Multi-Track
Diplomacy menyebutkan pentingnya diplomasi “…..diplomacy is associated in our minds
with an interactive process, a back-and-forth between various parties, it about relationship,
communication, connectedness. These are the key elements not only of peacemaking
endeavors but also of social systems. If the term jiggles the mind to associate the system
with this efforts and qualities it will be relevant.” Berdasarkan teori ini,Peter Sutch dan
Juanita Elias dalam bukaunya The Basics: International Relations mengungkapkan bahwa
segala jenis upaya diplomasi yang dilakukan harus dengan analisis objektif dimana fokus
tertuju pada kekuataan hubungan antara dua buah negara.
Aktor-aktor pemerintah yang efektif dalam sebuah sistem akan mempengaruhi
suksesnya diplomasi. Diplomasi dianggap sukses apabila kedua belah pihak berhasil
mengatasi kepentingan-kepentingan yang berbeda, atau apabila kedua belah pihak berhasil
berkompromi dalam mengatasi perbedaan kepentingan.
Selain pemerintah, salah satu diplomasi multi-track yang patut diperhitungkan ialah
peran media massa dalam menciptakan opini publik. Media merupakan salah satu faktor
penting, baik bagi keberhasilan maupun kegagalan diplomasi antara dua negara. Hal ini
karena mobilisasi opini publik melalui pencitraan media (multilateral dan unilateral) yang
konsisten akan mempengaruhi dinamika diplomasi yang diimplementasikan dalam foreign
policy suatu negara.
1.4. METODE PENELITIAN DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode penelitian
deskriptif analitik, yaitu sebuah metodologi penelitian yang menggambarkan suatu
permasalahan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antar fenomena yang diselidiki yang akan dibahas dan kemudian dianalisa
dengan berlandaskan teori dalam kerangka pemikiran.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan
sumber berbagai buku, jurnal, dan majalah yang berhubungan dengan karya tulis. Selain itu,
bahan-bahan bacaan yang terdapat pada media internet dengan sumber yang terpercaya
dan dapat dipertanggungjawabkan.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1. Mobilisasi Opini Publik yang Kritis di Australia tentang Timor-Timur dan
Penegakan HAM di Indonesia
Sejak peristiwa Balibo pada Juli 1975, pemerintah Indonesia dianggap oleh pihak
Australia bertanggung jawab atas kematian lima wartawan televisi Australia. Media massa
Australia mulai menciptakan opini publik bahwa banyaknya konspirasi dibalik Peristiwa
Balibo, seperti bahwa; integrasi Timor-Timur ke wilayah NKRI dianggap sebuah aneksasi
secara militer, bukan integrasi natural (meskipun pada 1979 Australia pada akhirnya
mengakui kedaulatan Timor-TImur sebagai bagian NKRI secara de jure ). Media juga
menuduh Indonesia menutup-nutupi upaya transparansi kasus untuk konsumsi publik
internasional.
Opini publik Australia meyakini bahwa pemerintah Indonesia tidak bersungguh-
sungguh berupaya menegakkan keadilan dan mengungkap kasus Balibo. Sikap
ketidakpercayaan publik Australia terhadap Indonesia berimplikasi pada lemahnya
dukungan publik Australia terhadap Indonesia, sehingga setiap isu negatif yang mencoreng
reputasi dan citra Indonesia justru menjadi komoditas berita yang penting bagi media massa
Australia.
Ketika Insiden Santa Cruz di akhir 1991 diekspos pada publik internasional, media
massa Australia bersifat sangat subjektif dan hiperbola dengan menyamakan kejadian ini
dengan peristiwa pembunuhan berdarah akibat politik apartheid di Sharpeville, Afrika
Selatan pada tahun 1960. Secara terang-terangan publik Australia menyatakan diri kecewa
dengan pemerintahnya yang mendukung kepemimpinan Soeharto di Indonesia ketika itu
karena pada akhirnya dukungan terhadap penjahat kemanusiaan itu dianggap sebagai
pengkhianatan bangsa Australia terhadap Timor-Timur yang pernah berperang bersama
melawan tentara Jepang dalam World War II.
Pemberitaan yang tidak berimbang ini juga membawa dampak buruk bagi Indonesia,
beberapa negara donor, menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Indonesia. Speech act yang
menyorot secara detail tentang rendahnya tingkat penghargaan bangsa Indonesia tehadap
HAM pada rezim Soeharto menjadi salah satu senjata Australia menyerang Indonesia dalam
struktur ‘pergaulan internasional’
2. 2. Lepasnya Timor-Timur dari Indonesia
Lepasnya Timor-Timur dari Indonesia juga tidak terlepas dari perubahan haluan politik
luar negeri Indonesia akibat dinamika politik domestik. Dalam proses memanasnya
hubungan Australia dan Indonesia, Indonesia sendiri ketika itu tengah disibukkan dengan
dinamika politik, pergantian pemerintahan yang melibatkan mobilisasi massa besar-
besaran, jatuhnya rezim diktator Soeharto dan digantikan dengan B.J Habibie (wakil
presiden Indonesia ketika itu).
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan political uncertainty yang mengganggu
stabilitas sistem pemerintahan berakibat pada kualitas kinerja dari aktor dan pembuat
kebijakan luar negeri. Penurunan kualitas kerja ini berdampak sistemik terhadap perspektif
dunia internasional pada Indonesia. Indonesia dianggap tidak represif dan beri’tikad baik
untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di negara, sehingga kian hari
tekanan dunia internasional kian menyudutkan Indonesia sebagai negara yang diminta
bertanggung jawab atas segala kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Timor-Timur.
Sepanjang masa pemerintahan Soeharto yang cenderung otoriter, segala tindakan
prodisintegrasi yang dilancarkan oleh massa di Timor-Timur, selalu diredam dengan
tindakan militer. Asumsinya, pertahanan dan kedaulatan administratif suatu negara, berada
dibawah kewenangan pemerintah negara itu sendiri. Tindakan pelenyapan nyawa tanpa
alasan yang proporsional ini tetap dilanjutkan meskipun dunia internasional terus
mengawasi tindakan Indonesia, khususnya Australia. Selain menumpangi kendaraan politik
untuk mendapatkan legitimasi untuk mengeksplorasi Timor-Timur di masa depan nanti,
Australia juga turut adil dalam memperburuk hubungan antara Indonesia dan negara-negara
di barat karena propaganda media pasca penyebaran rekaman gambar Inseiden Santa Cruz
yang dianggap dunia internasional merupakan kasus pelanggaran HAM universal yang patut
ditindak.
Ketika tongkat estafet kepemimpinan beralih pada B.J Habibie, Timor-Timur bukan lagi
daerah prioritas yang integrasinya diperjuangkan dengan militer. Seiring dengan
meningkatnya tekanan dunia internasional terhadap Indonesia yang menuntut ‘keadilan’
bagi hak Timor-Timur menentukan nasibnya sendiri,
Menanggapi tuntutan internasional, kabinet baru Habibie dalam sidang 9 Juni 1998
memutuskan untuk memberikan status khusus dengan otonomi luas bagi Timor-Timur. Pada
18 Juni 1998, Sekjen PBB yang menganggap keputusan ini sebagai good will Indonesia
mengutus seorang duta besar dan perwakilan dari Portugal untuk membahas mekanisme
otonomi luas ini. Portugal menjadi satu dari tiga pihak dalam tripartite ini karena Timor-
Timur merupakan daerah bekas kolonialisasi Portugal sebelum berintegrasi dengan
Indonesia pada Deklarasi Balibo 1975. Tripartite ini kemudian menjadi tim kecil yang
bertanggungjawab dalam membuat kebijakan penentuan nasib bagi Timor-Timur.
Konsep ini akhirnya memperoleh jalan buntu karena Portugal dan representasi PBB
melancarkan imposing the political conditionalities (tekanan-tekanan politik). Tekanan ini
semakin jelas ketika PM Australia John Howard pada Desember 1998 mengirim sejenis surat
tertutup (advisory opinion) pada presiden Habibie yang ditegaskan oleh pemerintah
Australia pada media hanya berupa dorongan bagi Indonesia untuk memberikan right of-self
determination (hak untuk menentukan nasib sendiri). Namun nyatanya surat itu berhasil
membuat pemerintah Indonesia mengubah haluan kebijakan untuk Timor-Timur. Jika diawal
pemerintah memberikan otonomi luas, kemudian dengan alibi demokrasi pemerintah
menyatakan bahwa lepas atau tidaknya Timor-Timur dari Indonesia akan ditentukan oleh
rakyatnya sendiri. Singkatnya, akan diadakan jajak pendapat di Timor-Timur sebagai jalan
damai bagi penyelesaian konflik. Keputusan ini dibawa ke ruang publik internasional pada
27 Januari 1999 oleh pemerintah Indonesia.
Keputusan ini kemudian diimplementasikan pada 5 Mei 1999, dimana Tripartite
menyetujui dan mendukung keputusan Indonesia untuk melaksanakan jajak pendapat di
Timor-Timur. Jajak pendapat akan diselenggarakan oleh PBB dan rakyat akan diminta
memilih apakah Timor-Timur masih akan dibawah bendera Indonesia atau menentukan
nasib sendiri dengan kemerdekaan.
Hasil jajak pendapat yang dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 ini kemudian positif.
Sebanyak 78,5 % rakyat Timor-Timur memilih untuk merdeka. Timor-Timur yang belum
memiliki pemerintahan berdaulat pun, diserahkan kepada PBB. Seiring dengan itu,
pemerintah Indonesia mencabut status Timor-Timur sebagai provinsi ke-27 Indonesia
sekaligus meratifikasi hasil jajak pendapat yang dilaksanakan di Timor-Timur. Sedangkan
untuk meredam gejolak kontra di dalam negeri, Habibie berdalih bahwa Timor-Timur
nantinya hanya akan menambah beban Indonesia dalam menjalankan pemerintahan.
Lagipula Timor-Timur, secara natural bukanlah bagian dari bangsa Indonesia, ada banyak
karaketr kebangsaan yang berbeda antara Timor Barat dan Timor Timur. Mulai dari bahasa,
ras, mata uang yang berlaku, kehidupan ekonomi maupun politik yang jauh berbeda dan
tertinggal dari daerah-daerah lain di Indonesia.
Sebagaimana teori zero sum, Australia kemudian menjadi negara pemenang sebagai
‘pahlawan’ mobilisasi tanggapan internasional. PBB meminta Australia menyiapkan pasukan
penjaga kedamaian masuk ke Timor-Timur, selain untuk meredam aksi kerusuhan pro
integrasi, juga untuk ‘mendepak’ pendudukan TNI dari Timor-Timur. Pasukan yang bernama
Internasional Force in East Timor (INTERFET) bertugas sebagai protektor yang menjamin
lancarnya kinerja UNCHR dalam memasok bantuan kemanusiaan bagi pengungsi dan
menjamin keamanan mobilitas pengungsi keluar masuk Timor-Timur dan Timor Barat.
2.4. Indikasi Kelemahan Diplomasi Indonesia
Dalam upaya menyelesaikan masalah Timor-Timur, aktor diplomasi yang diturunkan
oleh Indonesia ialah aktor-aktor dalam sistem politik. Aktor-aktor diplomasi tersebut berupa
diplomat, presiden, para pejabat militer, dan berbagai institusi yang sifatnya state actors.
Penjelasan berikut ini akan menekankan faktor-faktor internal Indonesia yang perlu
dievaluasi dalam upaya memperbaiki sistem dan mekanisme hubungan diplomatik.
Pertama, kelemahan diplomasi Indonesia, baik dalam menyusun keputusan foreign
policy maupun dinamika internal ialah signifikannya peran-peran aktor politik dengan latar
belakang militer daripada aktor profesional yaitu para diplomat karir. Hal ini terjadi karena
sebagai panglima tertinggi seluruh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, presiden dapat
mengintervensi politikluar negeri dan upaya diplomasi yang sebelumnya dilakukan oleh para
pejabat karir. Bila berkenaan dengan kepentingan militer, struktur organisasi Deplu yang
bersifat kaku dapat bersifat fleksibel (pengaruh rezim dan faktor idiosinkratik pemimpin
ketika itu). Para pejabat militerlah yang menempati posisi strategis dalam Deplu, sehingga
muncul persepsi yang kurang baik tentang militer dimata pejabat Deplu dan para diplomat.
Sebagai diplomat, para pejabat militer tidak memiliki pelatihan dan pengalaman yang
cukup untuk menangani masalah hubungan internasional dan diplomasi. Intervensi militer di
Deplu membuat Deplu kesulitan menjalankan politik luar negeri yang independen.
Kedua, dominasi pimpinan tertinggi eksekutif di dalam pembuatan keputusan. Rezim
kepemimpinan Soeharto ketika itu membuat Deplu kemudian hanya berperan sebagai
departemen teknis yang menangani masalah rutin dan sifatnya administratif. Sedangkan
untuk masalah yang berkenaan dengan HAM, hubungan diplomatik, tindakan represif dalam
pergaulan internasional, cenderung didominasi oleh para pejabat militer yang pro terhadap
pimpinan eksekutif dan rezim. Deplu hanya berperan sebagai agen hubungan masyarakat
yang harus menjelaskan kepada dunia internasional alasan diplomatis dibalik kejadian
tersebut.
Ketiga, lemahnya strategi dan taktik diplomasi Deplu. Terkait kasus Timor-Timur, tidak
ada strategi khusus menyangkut persepsi yang coba ditanamkan oleh pemerintah Indonesia
terhadap publik (baik internal maupun internasional) saat kasus ini dianggap sebagai kasus
pelanggaran HAM yang penting di mata internasional. Indonesia malah mempersepsikan diri
bahwa segala jenis tekanan internasional tersebut hanya bentuk interfensi dunia terhadap
politik dalam negeri Indonesia.
Dilain pihak, massa dan pimpinan massa prodisintegrasi Timor-Timur dengan aktif
menjalin jaringan diplomatik dengan Australia, baik pada pemerintah maupun menarik
perhatian media massa. Mereka melakukan diplomasi publik melalui berbagai aktivitas
lobby informal dan aksi-aksi yang melibatkan masyarakat luas serta media massa
internasional.
Keempat, diplomat Indonesia dinilai Mochtar Kusumaatmadja, lebih banyak melakukan
‘diplomasi kebatinan’. Maksudnya diplomat Indonesia bukan merupakan diplomat yang tidak
memiliki kemampuan khusus menghadapi tekanan media dan publik. Budaya rezim telah
mendidik diplomat menjadi aktor yang cenderung diam dan sulit berkomunikasi. Sifat
kurang ekspresif dan kurang artikulatif para aktor first track diplomacy ini dimanfaatkan
oleh pihak lawan (baik Timor-Timur maupun Australia) dengan mengembangkan jaringan
diplomasi second track yang fleksibel dan aktif melalui NGOs, aktor individu, dan media
massa internasional.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Awal dari memburuknya hubungan Indonesia-Australia ialah kegagalan pimpinan tertinggi
eksekutif Indonesia dalam menjaga citra bangsa, mewakili kepentingan pemerintah, dan
mempertahankan hubungan yang stabil. Hal in terjadi karena pada masa itu Indonesia
berada dibawah pengaruh rezim otoriter yang menghalalkan tindakan militer untuk menjaga
integrasi dalam dan luar negeri (bukan upaya diplomsi formal).
Ketika rezim berganti, yang terjadi kemudian ialah rendahnya umpan balik (represif)
Indonesia terhadap tuduhan yang dilemparkan, baik isu yang berkembang di komunitas
global maupun propaganda media yang subjektif, menyebabkan eksistensi diplomasi
Indoneis kian lemah. Ini merupakan pelajaran bagi diplomasi Indonesia tentang pentingnya
pencitraan, penguatan diplomasi konvensional, menggunakan alternatif diplomasi publik
dan melibatkan lebih banyak aktor lagi dalam membangun hubungan diplomatik yang sehat
(multi-track diplomacy).
Pemerintah Indonesia juga mengalami kegagalan visi dan penetapan status dalam
menangani masalah Timor-Timur. Meskipun kenyataannya isu Timor-Timur memberikan
dampak signifikan terhadap pencitraan internasional, pemerintah Indonesia selalu
mengingkari hal ini. Khususnya terhadap mobilisasi opini publik di Australia, Indonesia tidak
pernah menyusun dan menerapkan satu strategi khusus. Dalam kasus Australia, Indonesia
dianggap belum berhasil memenangkan hati publik Australia. Hal ini terjadi karena publik
Australia menganggap Indonesia tidak serius menangani kasus Timor-Timur, baik
disintegrasi maupun upaya penegakan HAM pasca runtuhnya orde baru.
Selain itu, lepasnya Timor-Timur dari Indonesia merupakan pembelajaran bagi rezim
birokrasi yang otoriter yang menempatkan pemimpin militer di birokrasi sehingga Deplu
tidak memiliki otoritas sebagai departemen publik untuk melakukan aktivitas diplomasi yang
independen karena selalu ditunggangi kepentingan sekelompok orang dengan kekuasaan.
3.2. Saran
Untuk mengoptimalkan kinerja diplomat dan frist track diplomacy actors Indonesia,
penulis mempunyai beberapa saran,
1. Sejak berubahnya pola hubungan internasional dalam komunitas global yang
ditandai dengan meningkatnya aktor dalam hubungan internasional, pola
diplomasi yang dilakukan pun layak berubah. Hal ini karena state actor tidak
lagi bisa mengakomodir semua kepentingan mobilitas internasional. Second
track diplomacy dengan multi-track actor dianggap penting karena secara ideal
second track diplomacy akan memberikan kelengkapan negosiasi dan fasilitas
yang sulit dicapai jika hanya mementingkan national interest masing-masing
negara.
2. Perlu dicatat bahwa para pejabat militer tidak dilatih dan tidak mendapatkan
pendidikan untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan
bernegosiasi dengan negara lain. Sebagai Kementrian utama yang
melaksanakan tugas-tugas utama Indonesia di luar negeri, Kemenlu semestinya
diberi hak otoritas untuk mengambil kebijakan dalam mengejewantahkan faktor
penghalang birokrasi dalam proses membangun hubungan diplomasi dengan
negara lain (karena akan sulit bagi Kemenlu mencetak prestasi dibawah
tekanan dan ketidaknyamanan kerja).
3. Kekerasan, militer dan hard power bukan lagi jalan yang ditempuh di abad 21
ini. negara-negara berlomba-lomba menyusun soft and smart power untuk
mendapatkan posisi tawar yang bailk dalam komunitas internasional.
4. Pentingnya declassified documents bagi pemerintah Indonesia (terkait
pembelajaran kasus disintegrasi Timor-Timur). Kebijakan untuk mengumumkan
secara terbuka dokumen-dokumen pemerintahan setelah berakhirnya satu
periode dalam permerintahan dianggap penting untuk review dan rekam jejak
dalam penyelesaian isu-isu khusus. Keterbatasan akses terhadap dokumen
negara (yang selalu dirahasiakan) membuat sebuah kebijakan seringkali
kadang secara sistematis menjadi tidak berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Artikel
Djelantik, Sukawarsini. 2008. Diplomasi: Antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu
Kumar, Rajesh. 1997. Non-Alignment Policy of Indonesia. Jakarta: CSIS, Jakarta.
Mc.Donald, Louise. 1996. Multi-Track Diplomacy: A System Approach to Peace, Third Edition.
USA: Kumarian Press, Inc.
Nazir, Mohamad. 1988. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Pattiradjawane, Rene L. “Indonesia dalam Politik Globalisasi.” Kompas (5 Mei 2010):9.
Suryokusumo, Sumaryo. 2007. Studi Kasus Hukum Internasional. Jakarta: Tatanusa
Sutch, Peter dan Juanita Elias. 2007. The Basics, International Relations. New York:
Routledge
Volgy, Thomas J. 2003. International Politics and States Strength. United Kingdom: Lynne
Rienner Publisher Inc.
Jurnal
Downer, Alexander. 2000. East Timor – looking back on 1999, Australian Journal of
International Affairs, vol.54/1 , hal.5.
Kumar, Rajesh. 1997. Indonesias’Policy of Non-Alignment: Decolonialization and the Issue of
East Timor, vol II, hal 59.
Halaman Web
http://frenndw.wordpress.com/2010/01/13/masalah-timor-timur-dan-politik-luar-negeri-ri/
diakses pada 13 Mei 2010 pukul 12.45
http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/demokratisasi.html diakses pada 12
Mei 2010 pukul 12.50
http://www.deplu.go.id/Pages/SpeechTranscriptionDisplay.aspx?
Name1=Transkripsi&Name2=Menteri&IDP=207&l=id diakses pada 12 Mei 2010
pukul 13.07
http://kbriberlin.de/in/berita/2008/JAN/080108=pernyataan%20pers%20tahunan%20menlu
%20ri.html diakses pada 13 Mei 2010 pukul 13.10
http://www.kapanlagi.com/h/0000109105.html diakses pada 13 Mei 2010 pada pukul 13.11
http://www.indonesia-1.com/konten.php?nama=News&op=detail_news&id=1158 diakses
pada 13 Mei 2010 pukul 13.12
http://deskpapuabarat.blogspot.com/2009_01_01_archive.html diakses pada 13 Mei 2010
pukul 15.10
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/08/07/0019.html diakses pada 18 Mei
2010 pukul 10.15
http://wwwsejarah-agustinus.blogspot.com/2010/04/hubungan-australia-indonesia.html
diakses pada 18 Mei 2010 pukul 10.17
Sumaryo Suryokusumo. 2007. Studi Kasus Hukum Internasional, Cetakan 1, Jakarta: Tatanusa, hlm 95
Majelis Umum PBB. “Deklarasi PBB tentang Pemberian Kemerdekaan bagi Rakyat dan Bangsa-Bangsa Terjajah”. Sidang Umum PBB 1960 dan 1961: Resolusi 1514 (XV) dan 1654 (XVI).
Suryokusumo, op.cit., hlm 97
http://frenndw.wordpress.com/2010/01/13/masalah-timor-timur-dan-politik-luar-negeri-ri/
Dr. Louise Diamond, Ambasadoor John McDonald. 1996. Multi-Track Diplomacy. USA: Kumarian Press Inc., hlm 11-12
Peter Stuch, Juanita Elias. 2007. The Basic: The International Relations. New York: Routledge, hlm 41-42
Sukawarsini Djelantik. 2008. Diplomasi Antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu, hlm 103
Ibid,. hlm 107
Mohamad Nazir. 1988. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 15.
Loc,. cit
Sukawarsini Djelantik, op.cit., hlm 128
loc.cit,.
Sukawarsini Djelantik, op.cit., hlm 107
Ibid,. hlm 114
Ibid., hlm 110
ARLISKA FATMA ROSI
209000010
Diposkan oleh uas pengantar diplomasi 2009 di 21.22
http://pengantardiplomasi.blogspot.com/2010/06/dinamika-hubungan-diplomasi-indonesia.html
oktober 02 210