dinamika biomassa bakteri dan kadar limbah...

Download DINAMIKA BIOMASSA BAKTERI DAN KADAR LIMBAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4327/1/ROSMANIA... · untuk parameter kadar amonia, nitrit, dan nitrat, VSS, suhu,

If you can't read please download the document

Upload: hatu

Post on 06-Feb-2018

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    DINAMIKA BIOMASSA BAKTERI DAN

    KADAR LIMBAH NITROGEN

    PADA BUDIDAYA IKAN LELE (Clarias gariepinus)

    INTENSIF SISTEM HETEROTROFIK

    ROSMANIAR

    PROGRAM STUDI BIOLOGI

    FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2011 M/ 1432 H

  • 2

    DINAMIKA BIOMASSA BAKTERI DAN

    KADAR LIMBAH NITROGEN

    PADA BUDIDAYA IKAN LELE (Clarias gariepinus)

    INTENSIF SISTEM HETEROTROFIK

    Skripsi

    Sebagai Salah Satu Syarat Untuk memperoleh Gelar Sarjana Sains

    Pada Program Studi Biologi

    Fakultas Sains dan Teknologi

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

    ROSMANIAR

    107095001082

    PROGRAM STUDI BIOLOGI

    FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2011 M/ 1432 H

  • 3

  • 4

    PERNYATAAN

    DENGAN INI SAYA MENYATAKAN KEASLIAN SKRIPSI INI BENAR-

    BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH

    DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA

    PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

    Jakarta, September 2011

    Rosmaniar

  • 5

    ABSTRAK

    Dinamika Biomassa Bakteri Dan Kadar Limbah Nitrogen Pada Budidaya

    Ikan Lele (Clarias gariepinus) Intensif Sistem Heterotrofik.

    Sistem heterotrofik adalah sistem budidaya perikanan yang menggunakan bakteri

    heterotrofik untuk pengendalian limbah nitrogen. Sistem heterotrofik diharapkan

    dapat menurunkan kadar limbah nitrogen pada budidaya perikanan intensif

    berbasis pellet. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika populasi

    bakteri dan dinamika kadar limbah nitrogen pada budidaya ikan lele (Clarias

    gariepinus) intensif sistem heterotrofik. Rancangan yang digunakan adalah

    Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Adapun

    perlakuannya adalah perlakuan A (pemberian pakan tanpa bakteri dan molases),

    perlakuan B (pemberian pakan dengan molases dan tanpa bakteri), perlakuan C

    (pemberian pakan dengan bakteri dan tanpa molases), perlakuan D (pemberian

    pakan dengan bakteri dan molases). Nilai pengukuran parameter pada akhir

    penelitian diuji dengan analysis of variance (ANOVA) satu arah dan uji Duncan

    untuk parameter kadar amonia, nitrit, dan nitrat, VSS, suhu, pH, dan DO. Hasil

    pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan D (pemberian pakan dengan bakteri

    dan molasses) yang merupakan sistem heterotrofik dapat menurunkan kadar nitrit,

    namun kadar amonia, kadar nitrat, dan biomassa bakteri yang terdapat pada

    system heterotrofik tidak berbeda jauh dengan perlakuan lainnya.

    Kata kunci : Sistem heterotrofik, Clarias gariepinus, limbah nitrogen.

  • 6

    ABSTRACT

    Biomass Dynamics of Bacteria And Waste Nitrogen Levels In Intensive

    Catfish (Clarias gariepinus) Culture Using Heterotrophic System.

    Heterotrophic system is an aquaculture system that uses heterotrophic bacteria to

    control nitrogen waste. This study aims to determine the population dynamics of

    bacteria and the dynamics of waste nitrogen levels in cultured catfish (Clarias

    gariepinus) intensive heterotrophic system. The design was used Randomized

    Complete Design with 4 treatments and 3 replications. The treatments were

    namely A (the feeding without bacteria and molasses), Treatment B (feeding with

    molasses and without bacteria), Treatment C (feeding with bacteria and without

    molasses), Treatment D (feeding with bacteria and molasses). Parameter

    measurement values at the end of the study were tested with analysis of variance

    (ANOVA) one-way and Duncan test for parameter levels of ammonia, nitrite,

    nitrate, VSS, temperature, pH, and DO. Observations indicated that the treatment

    D (feeding with bacteria and molasses), which was a heterotrophic system could

    decrease levels of nitrite waste, but levels of ammonia, levels of nitrate, and

    bacterial biomass in heterotrophic system did not different significantly with the

    other treatments.

    Key words: heterotrophic system, Clarias gariepinus, nitrogen waste.

  • 7

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat

    dan hidayah dari-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Dinamika

    Biomassa Bakteri dan Kadar Limbah Nitrogen Pada Budidaya Ikan Lele (Clarias

    gariepinus) Intensif Sistem Heterotrofik ini. Shalawat serta salam penulis haturkan

    kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita ke zaman yang

    terang benderang penuh ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.

    Tentu penulis tidak bisa mengerjakan segala hal tanpa bantuan pihak lain.

    Memang demikian yang penulis rasakan dalam penelitian hingga skripsi ini berhasil

    diselesaikan, yakni banyak pihak yang mendukung dan membantu, berupa moril dan

    materil, baik secara langsung maupun tidak langsung hingga penyusunan skripsi dapat

    dilakukan dengan baik, lancar dan rampung sesuai waktu yang ditentukan. Oleh karena

    itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima

    kasih kepada :

    1. Ayahanda Wilherman dan Ibunda Nurmalis, S.sos, M.Si, kedua orang

    tuaku tercinta. Terima kasih atas segala dukungan moril, dan materilnya,

    kasih sayang yang selalu tercurahkan, yang selalu memberikan arahan,

    nasehat, semangat, dan segala sesuatu yang dibutuhkan ananda sampai

    terselesaikannya penulisan ini.

  • 8

    2. Roosmala Dewi, S.pd dan Chandra Wibawa, S.Ei kedua kakakku

    tersayang, terima kasih atas dukungan, arahan, bantuan, semangat, dan

    nasehat yang diberikan kepada adinda hingga terselesaikannya penulisan

    ini.

    3. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis, selaku Dekan Fakultas Sains dan

    Teknologi.

    4. Dr. Lily Surayya E.P, M.Env.Stud selaku Ketua Program Studi Biologi

    Fakultas Sains dan Teknologi dan selaku pembimbing 2, terima kasih

    atas bimbingan, arahan, serta saran-saran yang membangun.

    5. Ir. Bambang Gunadi, M.Sc selaku pembimbing 1, terima kasih atas

    bimbingan, ilmu, nasihat, dan saran-saran yang diberikan dan sangat

    bermanfaat saat sebelum pelaksanaan penelitian, penelitian, penyusunan

    skripsi, dan sampai penulisan ini terselesaikan.

    6. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si, dan Dini Fardila, M.Si selaku penguji 1

    dan penguji 2, terima kasih atas arahan dan bimbingannya.

    7. Dr. Joni Haryadi, M.Sc selaku penguji seminar hasil 1, terima kasih atas

    kesempatan yang telah diberikan dalam penelitian ini serta atas arahan dan

    bimbingannya.

    8. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si selaku penguji seminar hasil 2, terima kasih

    atas arahan dan bimbingannya.

    9. Priyanti, M.Si selaku pembimbing akademik, terima kasih atas nasihat

    dan arahannya selama penulis menimba ilmu.

  • 9

    10. Dr. Imron, S.Pi, M.Si selaku kepala dan Bpk Drs. Wayan Subamia, M.Si selaku

    mantan kepala Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air

    Tawar Sukamandi Subang Jawa Barat.

    11. Rita Febriana, S.Si dan Lamanto, S.Pi, terima kasih atas bantuan, bimbingan, dan

    arahan selama penelitian dan penyusunan skripsi.

    12. Mas Galih, Mas Ivan, dan Pak Oman, terima kasih atas bantuan yang

    diberikan selama pelaksanaan penelitian.

    13. Teman-teman Biologi Angkatan 2007 (B1007) ; Kiki, Jael, Seno, Ery,

    Ririn, Amal, Ipeh, Ozan, Ulan, Antoz, Puput, Mbul, Yudhi, Galih, Dwi,

    Fauzh, Nasti, Thu-thu, dan Ida, terima kasih atas dukungan, bantuan, dan

    semangat yang diberikan.

    14. Muhammad Iqbal, S.Si, Muhib Radhiyufa, S.Si, Ayudya Safitrie

    Iskandar, S.Pi, Efrizal, S.Pi, Yudha Lestira, S.Pi, Musyrikin, S.Pi, teman-

    teman UNPAD, dan UNILA, yang selama kurang lebih dua bulan

    bersama dalam pelaksanaan penelitian telah banyak memberi bantuan,

    semangat, dan dukungan.

    15. Muhammad Iqbal, S.Si (Sang 20112007), terima kasih atas dukungan,

    semangat, arahan, bantuan dan segala sesuatu yang telah diberikan

    selama kurang lebih 4 tahun berada di kampus ini, sekali lagi terima

    kasih banyak.

    16. Asep Abdurahman As-Syakir , Zihan Oktafina Saleh, S.Si, dan Pihak-pihak lain

    yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas segala

    bantuannya.

  • 10

    Akhirnya atas bantuan, bimbingan, pengarahan serta dorongan yang diberikan,

    semoga mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari masih

    banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan

    kritik serta saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.

    Demikianlah skripsi ini disusun, semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi

    para pembaca untuk menambah bekal ilmu pengetahuan dan untuk penulis khususnya.

    Amin.

    Jakarta, September 2011

    Penulis

  • 11

    DAFTAR ISI

    LEMBAR PENGESAHAN

    KATA PENGANTAR............................................................................ i

    DAFTAR ISI............................................................................................ v

    DAFTAR GAMBAR............................................................................... viii

    DAFTAR TABEL................................................................................... ix

    DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... x

    BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................... 1

    1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1

    1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 3

    1.3. Hipotesis ............................................................................................ 3

    1.4. Tujuan Penelitian .............................................................................. 4

    1.5. Manfaat Penelitian ............................................................................ 4

    BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 5

    2.1 Sistem Heterotrofik............................................................................ 5

    2.2 Proses Penghilangan Amonia Dalam Sistem Akuakultur ................ 5

    2.2.1 Bakteri Heterotrofik.................................................................. 6

    2.2.2 Bakteri Autotrofik..................................................................... 7

    2.3 Tingkat Teknologi Budidaya Perikanan............................................ 9

    2.3.1 Budidaya Perikanan Sistem Ekstensif...................................... 9

    2.3.2 Budidaya Perikanan Sistem Semi Intensif................................ 9

    2.3.3 Budidaya Perikanan Sistem Intensif......................................... 10

    2.4 Ikan Lele (Clarias gariepinus).......................................................... 11

    2.5 Limbah Nitrogen................................................................................ 12

    2.5.1 Amonia..................................................................................... 14

    2.5.2 Nitrit.......................................................................................... 15

    2.5.3 Nitrat......................................................................................... 16

  • 12

    2.6 Sumber Karbon (Molases)................................................................. 16

    2.7 Kualitas Air Pendukung .................................................................... 17

    2.7.1 Oksigen Terlarut ...................................................................... 17

    2.7.2 Derajat Keasaman (pH)............................................................ 18

    2.7.3 Suhu.......................................................................................... 19

    2.8 Volatile Suspended Solid (VSS) ....................................................... 20

    BAB III. METODE PENELITIAN....................................................... 21

    3.1 Waktu Dan Tempat ........................................................................... 21

    3.2 Alat Dan Bahan................................................................................. 21

    3.3 Disain Penelitian................................................................................ 22

    3.4 Cara Kerja.......................................................................................... 22

    3.4.1 Persiapan.................................................................................. 22

    3.4.2 Pemberian Pakan...................................................................... 24

    3.4.3 Pemberian Molases Dan Inokulasi Bakteri.............................. 25

    3.4.4 Pengamatan............................................................................... 25

    3.4.4.1 Pengukuran Amonia..................................................... 26

    3.4.4.2 Pengukuran Nitrit......................................................... 26

    3.4.4.3 Pengukuran Nitrat......................................................... 27

    3.4.4.4 Pengukuran DO, Suhu, Dan pH.................................... 27

    3.4.4.5 Pengukuran Volatile Suspended Solid.......................... 28

    3.5 Analisis Data...................................................................................... 28

    BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................... 30

    4.1 Dinamika Biomassa Bakteri.............................................................. 30

    4.2 Dinamika Kadar Limbah Nitrogen.................................................... 36

    4.2.1 Amonia..................................................................................... 36

    4.2.2 Nitrit.......................................................................................... 39

    4.2.3 Nitrat......................................................................................... 43

    4.2.4 Perbandingan Kadar Amonia, Nitrit, Dan Nitrat...................... 47

    4.3 Kualitas Air Pendukung..................................................................... 49

  • 13

    4.3.1 Oksigen Terlarut....................................................................... 49

    4.3.2 Derajat Keasaman (pH) ........................................................... 53

    4.3.3 Suhu.......................................................................................... 56

    BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................. 59

    5.1 Kesimpulan........................................................................................ 59

    5.2 Saran.................................................................................................. 59

    DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 60

    LAMPIRAN............................................................................................. 60

  • 14

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1. Ikan Lele (Clarias gariepinus) ............................................... 11

    Gambar 2. Bak Fiber Bulat Dengan Dasar Bentuk Corong ..................... 23

    Gambar 3 Skema Letak Corong............................................................... 24

    Gambar 4. Nilai Volatil Suspended Solid Selama Penelitian.................... 30

    Gambar 5. Nilai Rata-rata VSS Pada Tiap-tiap Perlakuan....................... 35

    Gambar 6. Kadar Amonia Selama Penelitian........................................... 37

    Gambar 7. Kadar Nitrit Selama Penelitian................................................ 40

    Gambar 8. Kadar Nitrat Selama Penelitian............................................... 44

    Gambar 9. Perbandingan Kadar Rata-rata Amonia, Nitrit, dan Nitrat ..... 47

    Gambar 10. Kadar Oksigen Terlarut Selama Penelitian........................... 50

    Gambar 11. Nilai pH Selama Penelitian................................................... 54

    Gambar 12. Hasil Pengukuran Suhu Selama Penelitian........................... 56

  • 15

    DAFTAR TABEL

    Table 1. Kode Perlakuan .......................................................................... 23

  • 16

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1. Peralatan yang Digunakan Selama Penelitian...................... 66

    Lampiran 2. Bahan yang Digunakan Selama Penelitian........................... 67

    Lampiran 3. Perhitungan Inokulasi Bakteri dan Pembuatan Stok

    Bakteri.................................................................................. 68

    Lampiran 4. Perhitungan C/N Rasio......................................................... 69

    Lampiran 5. Jumlah Pakan yang Diberikan selama Penelitian................. 70

    Lampiran 6. Jumlah Molases Yang Diberikan Selama Penelitian............ 71

    Lampiran 7. Hasil Pengamatan VSS, Amonia, Nitrit, dan Nitrat.............. 72

    Lampiran 8. Hasil Pengamatan DO, Suhu, Dan pH.................................. 75

    Lampiran 9. Hasil Analisis ANOVA dan Uji Duncan.............................. 77

  • 17

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Seiring dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan akan

    produk ikan dan tingkat konsumsi ikan, budidaya perikanan dituntut untuk

    meningkatkan produksinya khususnya dalam budidaya perikanan air tawar.

    Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menargetkan produksi perikanan

    budidaya meningkat hingga 353 persen selama periode tahun 2010 hingga tahun

    2014 (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010).

    Ikan lele merupakan salah satu komoditas perikanan yang paling banyak

    diminati dan dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Data Statistik Perikanan

    Indonesia menunjukkan bahwa ikan lele menduduki peringkat nomor tiga

    produksi budidaya ikan air tawar di Indonesia setelah ikan mas dan nila

    (Anonimus, 2008). Di alam maupun di kolam, ikan lele memiliki pertumbuhan

    yang cepat dan tahan terhadap lingkungan yang kurang baik. Namun untuk

    mendapatkan hasil yang lebih baik diperlukan kondisi tempat atau air yang

    mengandung cukup oksigen dan tidak mengandung bahan pencemar, serta

    pembudidayaan yang baik. Untuk mencapai target produksi budidaya ikan air

    tawar ini maka pelaksanaannya dituntut untuk dilakukan secara intensif.

  • 18

    Kegiatan budidaya perikanan sistem intensif meliputi penerapan

    kepadatan yang tinggi, pemakaian pakan buatan berkadar protein tinggi,

    penambahan aerasi, serta penggantian air secara berkala dalam jumlah besar

    (Febrianti et al., 2009). Permasalahan utama dalam sistem budidaya intensif

    dengan pengendalian mikroorganisme dan tanpa pergantian air seperti kolam,

    tambak, tangki dan akuarium adalah konsentrasi limbah budidaya (ammonia,

    nitrat, dan nitrit) mengalami peningkatan yang sangat cepat dan berisiko terhadap

    kematian ikan.

    Proses pengubahan nitrogen dalam pengurangan kandungan amonia

    terdiri dari tiga proses, salah satunya dengan proses heterotrofik bakterial yang

    mengubah amonia langsung menjadi biomassa bakteri. (Ebeling et al., 2006),

    Amonia yang dikeluarkan oleh ikan di dalam air akan membentuk kesetimbangan

    dengan ion amonium. Amonia dalam bentuk ion amonium akan mengalami

    proses mikrobial oleh bakteri heterotrofik yang menyerap amonium menjadi

    biomasa bakteri dengan adanya bahan organik (molases). Bakteri ini bisa

    menyerap sampai 50% dari jumlah amonium terlarut dalam air (Montoya dan

    Velasco, 2000).

    Sistem budidaya perikanan yang menggunakan bakteri heterotrofik dalam

    mengubah amonia menjadi biomassa bakteri dengan penambahan bahan karbon

    organik tertentu disebut sistem heterotrofik. Sistem ini didasarkan pada konversi

    nitrogen anorganik terutama amonia oleh bakteri heterotrofik menjadi biomassa

    mikroba yang kemudian dapat dikonsumsi oleh organisme budidaya (Ekasari,

    2009).

  • 19

    Sistem budidaya ini dianggap sangat sesuai dalam upaya menangani

    limbah nitrogen pada budidaya intensif. Dengan menggunakan sistem heterotrofik

    diharapkan limbah tidak menjadi toksik bagi ikan, menghemat pemakaian air

    bersih, serta dapat menghasilkan sistem dan teknolgi budidaya yang lebih efisien.

    Dengan demikian, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai

    dinamika biomassa bakteri dan kadar limbah nitrogen pada budidaya ikan lele

    (Clarias gariepinus) intensif sistem heterotrofik.

    1.2 Rumusan Masalah

    1. Bagaimana dinamika biomassa bakteri pada budidaya ikan lele (Clarias

    gariepinus) intensif sistem heterotrofik?

    2. Bagaimana dinamika kadar limbah nitrogen pada budidaya ikan lele

    (Clarias gariepinus) intensif sistem heterotrofik?

    1.3 Hipotesis

    1. Sistem heterotrofik dapat meningkatkan biomassa bakteri pada budidaya

    ikan lele (Clarias gariepinus) intensif sistem heterotrofik.

    2. Sistem heterotrofik dapat menurunkan kadar limbah nitrogen pada

    budidaya ikan lele (Clarias gariepinus) intensif sistem heterotrofik.

  • 20

    1.4 Tujuan Penelitian

    1. Mengetahui dinamika biomassa bakteri pada budidaya ikan lele (Clarias

    gariepinus) intensif sistem heterotrofik.

    2. Mengetahui kadar limbah nitrogen pada budidaya ikan lele (Clarias

    gariepinus) intensif sistem heterotrofik.

    1.5 Manfaat Penelitian

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

    masyarakat mengenai teknik budidaya perikanan air tawar khususnya ikan lele

    (Clarias gariepinus) dengan menggunakan sistem heterotrofik yang hemat air dan

    ramah lingkungan.

  • 21

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Sistem Heterotrofik

    Sistem heterotrofik merupakan sistem pemanfaatan limbah nitrogen pada

    budidaya ikan air tawar oleh bakteri secara heterotrofik. Pengertian lainnya sistem

    heterotrofik adalah sistem budidaya perikanan yang menggunakan bakteri

    heterotrofik dalam pengendalian limbah nitrogen dengan penambahan sumber

    karbon organik tertentu (Gunadi et al., 2009). Organisme heterotrofik adalah

    organisme yang mampu memanfaatkan bahan-bahan organik sebagai bahan

    makanannya. Bahan makanan itu disintesis dan disediakan oleh organisme lain

    (Riberu, 2002).

    Sistem heterotrofik disebut juga sebagai teknologi bioflok (Bioflocs

    technology) merupakan salah satu teknologi yang bertujuan untuk memperbaiki

    kualitas air dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrient. Teknologi ini

    didasarkan pada konversi nitrogen anorganik terutama ammonia oleh bakteri

    heterotrof menjadi biomassa mikroba yang kemudian dapat dikonsumsi oleh

    organisme budidaya (Ekasari, 2009).

    2.2 Proses Penghilangan Amonia Dalam Sistem Akuakultur

    Proses pengubahan nitrogen dalam sistem akuakultur yang berperan dalam

    pengurangan kandungan amonia terdiri dari tiga proses yakni proses

  • 22

    fotoautotrofik oleh alga, proses autotrofik bakterial yang mengubah amonia

    menjadi nitrat, dan proses heterotrofik bakterial yang mengubah amonia langsung

    menjadi biomas bakteri (Ebeling et al., 2006). Pada kondisi alamiah tidak ada

    sistem yang murni fotoautotrofik, heterotrofik bakterial maupun autotrofik

    bakterial (Wyk and Avnimelech, 2007).

    2.2.1 Bakteri Heterotrofik

    Bakteri heterotrofik ialah bakteri yang tidak dapat mensintesis

    makanannya sendiri. Bakteri heterotrofik dibedakan menjadi bakteri patogen dan

    saprofit. Bakteri patogen memperoleh makanan dengan cara mengambil senyawa

    organik kompleks dari makhluk hidup lain. Contoh bakteri patogen diantaranya:

    Mycobacterium tuberculosis, Clostridium tetani. Bakteri saprofit memperoleh

    makanan dari sisa-sisa makhluk hidup yang telah mati atau limbah. Contoh dari

    bakteri saprofit adalah: Escherichia coli, Lactobacillus bulgaricus, dan Bacilus sp.

    Bakteri heterotrofik merupakan golangan bakteri yang mampu

    memanfaatkan dan mendegradasi senyawa organik kompleks yang mengandung

    unsur C, H, dan N. Kelompok bakteri ini mengawali tahap degradasi senyawa

    organik dengan serangkaian tahapan reaksi enzimatis, dan menghasilkan senyawa

    yang lebih sederhana atau senyawa anorganik. Senyawa tersebut digunakan

    sebagai sumber energi untuk pembentukan sel-sel baru dan untuk reproduksi yang

    menyebabkan pertambahan populasi. Pemecahan senyawa organik dapat

    berlangsung lebih cepat apabila tersedia oksigen yang mencukupi (Parwanayoni,

    2008). Bakteri heterotrof yang ada di perairan biasanya akan memanfaatkan pakan

  • 23

    yang tidak termakan, feses, dan bahan organik lain sebagai sumber protein untuk

    diubah menjadi amonia anorganik (Wyk and Avnimelech, 2007).

    Bakteri heterotrofik mempunyai efisiensi produksi sel yang jauh lebih

    tinggi dibandingkan dengan bakteri autotrofik yakni 25-100 kali daripada bakteri

    Nitrosomonas sp. dan 10-33 kali daripada bakteri Nitrobacter sp. (Montoya and

    Velasco, 2000). Proses biosintesis bakteri heterotrofik berlangsung lebih cepat

    dibanding dengan proses biosintesis alga maupun proses bakteri nitrifikasi,

    dengan waktu regenerasi 10 jam berbanding dengan 24-48 jam (Brune et al.,

    2003). Selain lebih cepat tumbuh, bakteri heterotrofik merupakan sumber pakan

    yang baik untuk ikan (McGraw, 2002). Mikroorganisme yang termasuk dalam

    golongan bakteri heterotrofik antara lain adalah: fungi (Aspergillus) dan bakteri

    (Alcaligenes, Arthrobacter spp., dan Actinomycetes) (Puji, 2010).

    2.2.2 Bakteri Autotrofik

    Bakteri autotrofik adalah bakteri yang mempunyai kemampuan untuk

    mengubah senyawa anorganik menjadi senyawa organik seperti protein, lemak,

    asam nukleat, dan vitamin. Bakteri pengoksidasi amonia yang bersifat autotrofik

    adalah kelompok bakteri yang terutama berperan dalam proses oksidasi amonia

    menjadi nitrit pada siklus nitrogen, juga pada proses peruraian nitrogen dalam

    sistem pengolahan limbah cair. Bakteri autotrofik yang berperan dalam oksidasi

    amonia menjadi nitrit adalah Nitrosomonas, Nitrosococcus, Nitrosospira,

    Nitrosolobus, dan Nitrosovibrio (Sylvia et al., 1990).

  • 24

    Nitrifikasi (oksidasi amonium secara biologi) dilakukan oleh dua

    kelompok bakteri autotrofik yang berbeda. Kelompok pertama (oksidasi amonia)

    mengkonversi amonium (NH4) menjadi nitrit (NO2), Kelompok kedua adalah

    oksidator nitrit yang mengoksidasi lebih lanjut produk menjadi nitrat (Meincke et

    al., 1989), dua kelompok bakteri ini disebut ammonia-oxidizing bacteria (AOB)

    dan nitriteoxidizing bacteria (NOB) (Prosser, 1989).

    Nitrosomonas dan Nitrobacter tergolong ke dalam bakteri kemoautotrof

    obligat. Kemoautotrof obligat memerlukan sumber energi yang spesifik, misalnya

    saja Nitrosomonas membutuhkan amonium sebagai sumber energi dan

    Nitrobacter memerlukan nitrit (Alexander, 1999). Bakteri autotrofik yang

    melakukan proses nitrifikasi membutuhkan senyawa anorganik sebagai sumber

    energi dan karbondioksida sebagai sumber karbon (Spotte, 1979), serta

    mengkonsumsi oksigen pada saat oksidasi amonia dengan produk akhirnya nitrat

    (Moriarty, 1996).

    Laju pertumbuhan bakteri yang bersifat autotrofik lebih lambat

    dibandingkan dengan bakteri heterotrofik. Derajat keasaman merupakan salah satu

    faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan aktivitas bakteri

    pengoksidasi amonia (Esoy et al., 1998). Laju pertumbuhan alga dan bakteri

    nitrifikasi hampir sama namun koefisien produksi alga hampir 57 kali lebih tinggi

    dibandingkan dengan bakteri nitrifikasi (Brune et al., 2003).

  • 25

    2.3 Tingkat Teknologi Budidaya Perikanan

    Pada sistem akuakultur terdapat tingkat teknologi budidaya perikanan.

    Tingkat teknologi budidaya perikanan ini meliputi: budidaya perikanan ekstensif,

    semi-intensif, dan intensif.

    2.3.1 Budidaya Perikanan Sistem Ekstensif

    Tingkat teknologi budidaya perikanan sistem ekstensif merupakan sistem

    bubidaya perikanan yang belum berkembang. Input produksinya sangat

    sederhana. Budidaya dengan sistem ini biasanya dilakukan di kolam air tawar dan

    di sawah. Pengairan bergantung kepada musim hujan. Kolam yang digunakan

    biasanya kolam pekarangan yang sempit. Penggantian air kolam menggunakan air

    sumur dan dilakukan seminggu sekali. Hasil ikannya hanya untuk konsumsi

    keluarga sendiri.

    Ciri-ciri pemberian pakan pada pemeliharaan ikan secara ekstensif adalah:

    suplemen pakan yang diberikan tidak optimum, nutrisi pakan biasanya tidak

    sempurna dan tidak seimbang (Ditjen Perikanan Budidaya, 2002). Ikan diberi

    pakan berupa bahan makanan yang terbuang, seperti sisa-sisa dapur dan limbah

    pertanian (dedak, bungkil kelapa, dll.). Perkiraan pemanenan tidak tentu. Ikan

    yang sudah agak besar dapat dipanen sewaktu-waktu (Sugiarto, 1988).

    2.3.2 Budidaya Perikanan Sistem Semi Intensif

    Budidaya perikanan sistem semi intensif dapat dilakukan di kolam, di

    tambak, di sawah, dan di jaring apung. Budidaya perikanan ini biasanya

  • 26

    digunakan untuk pendederan. Dalam sistem ini sudah dilakukan pemupukan dan

    pemberian pakan tambahan yang teratur.

    Prasarana dalam sistem budidaya intensif ini berupa saluran irigasi yang

    cukup baik. Selain itu, penggantian air juga dilakukan secara rutin. Sistem semi

    intensif juga dapat dilakukan secara terpadu, artinya kolam ikan dikelola bersama

    dengan usaha tani lain maupun dengan industri rumah tangga, misalnya usaha

    ternak kambing, itik dan ayam. Kandang dibuat di atas kolam agar kotoran ternak

    menjadi pupuk untuk kolam (Sugiarto, 1988).

    2.3.3 Budidaya Perikanan Sistem Intensif

    Budidaya perikanan sistem intensif adalah sistem budidaya perikanan

    paling modern. Budidaya ikan intensif merupakan kegiatan usaha yang efisien

    secara mikro tetapi inefisien secara makro, terutama apabila ditinjau dari segi

    dampaknya terhadap lingkungan. Sistem budidaya seperti ini akan menghasilkan

    total beban limbah pakan yang lebih banyak daripada yang teretensi menjadi

    daging ikan. Limbah budidaya yang dimaksud merupakan akumulasi dari residu

    organik yang berasal dari pakan yang tidak termakan, ekskresi amoniak, feces dan

    partikel-partikel pakan (Avnimelech et al., 1994).

    Budidaya perikanan ini dapat dilakukan di kolam atau tambak air payau

    dengan pengairan yang baik. Intensifikasi budidaya perikanan ditandai dengan

    peningkatan padat penebaran yang diikuti dengan peningkatan pemakaian pakan

    buatan kaya protein (Avnimelech, 2006). Pembesaran ikan secara intensif

  • 27

    dicirikan dengan padat penebaran yang tinggi, teknik pemberian pakan dan

    manajemen lingkungan yang baik (Gunadi et al., 2009).

    Pergantian air pada budidaya perikanan intensif dapat dilakukan sesering

    mungkin sesuai dengan tingkat kepadatan ikan. Volume air yang diganti setiap

    hari sebanyak 20% atau bahkan lebih. Makanan hariannya 3% dari berat biomassa

    populasi ikan per hari. Makanan berupa pelet yang berkadar protein 25-26% dan

    lemak 6-8%. Produksi ikan yang dihasilkan cukup tinggi (Sugiarto, 1988).

    2.4 Ikan Lele (Clarias gariepinus)

    Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan ekonomis penting di

    Indonesia (Sidthinmuka, 1972). Ikan lele (Clarias gariepinus) banyak ditemui di

    perairan rawa, sungai, sawah, dan bahkan perairan yang sedikit payau (Smith,

    1980), dan juga dalam air limbah (Sumastri dan Djajadiredja, 1982). Ikan lele

    (Clarias gariepinus) termasuk jenis ikan yang mempunyai alat pernafasan

    tambahan (air breathing fish), sehingga mempunyai daya toleransi yang lebih

    baik dibandingkan jenis ikan lainnya terhadap kondisi yang relatif kurang baik.

    Morfologi ikan lele (Clarias gariepinus) dapat dilihat pada Gambar 1.

  • 28

    Gambar 1. Ikan lele (Clarias gariepinus)

    Sumber : Foto Pribadi

    Klasifikasi ikan lele (Clarias gariepinus) menurut Saanin (1984) adalah

    sebagai berikut:

    Ikan lele berwarna kehitaman atau keabuan, memiliki bentuk badan

    yang memanjang pipih ke bawah (depressed), berkepala pipih, tidak bersisik,

    memiliki empat pasang kumis yang memanjang sebagai alat peraba, dan

    memiliki alat pernapasan tambahan (arborescent organ) (Astuti, 2003). Ikan lele

    Kingdom : Animalia

    Sub Kingdom : Metazoa

    Filum : Chordata

    Sub Filum : Vertebrata

    Kelas : Pisces

    Sub Kelas : Teleostei

    Ordo : Ostariophysi

    Sub Ordo : Siluroidea

    Famili : Clariidae

    Genus : Clarias

    Spesies : Clarias gariepinus

    http://id.wikipedia.org/wiki/Animalhttp://id.wikipedia.org/wiki/Chordatahttp://id.wikipedia.org/wiki/Actinopterygiihttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Clariidae&action=edit&redlink=1

  • 29

    (Clarias gariepinus) digolongkan dalam kelompok omnivora (pemakan segala)

    dan mempunyai sifat scavenger atau pemakan bangkai. Di alam, pakan yang

    disukai terdiri atas jasad renik, cacing, jentik nyamuk, siput-siputan, dan ikan

    kecil. Ikan lele (Clarias gariepinus) juga menyukai pakan buatan seperti pelet

    (Nugroho, 2007).

    2.5 Limbah Nitrogen

    Nitrogen dan senyawanya tersebar dalam biosfer. Pada tumbuhan dan

    hewan, senyawa nitrogen ditemukan sebagai penyusun protein dan klorofil. Di

    perairan nitrogen berupa nitrogen organik dan anorganik. Nitrogen anorganik

    terdiri atas amonia (NH4+), amonium (NH3), nitrit (NO2), nitrat (NO3), dan

    molekul gas N2, sedikit nitrogen organik berupa protein, asam amino, dan urea

    (Effendi, 2003).

    Seluruh nitrogen dalam pakan yang diberikan kepada ikan, 25%-nya

    akan digunakan ikan untuk tumbuh, 60%-nya akan dikeluarkan dalam bentuk NH3

    dan 15%-nya akan dikeluarkan bersama kotoran (Brune et al., 2003). Nitrogen

    yang terkandung dalam pakan ikan sebanyak 33% akan diekskresikan oleh ikan

    dan dapat didaur ulang (Avnimelech et al., 1992).

    Empat jalur utama kehilangan nitrogen dari kolam adalah pemanenan

    ikan (31,5 %), denitrifikasi (17,4 %), volatilisasi amonia (12,5%) dan akumulasi

    di sedimen dasar (22,6%) (Gross et al., 2000). Nitrogen akan mengalami

    transformasi di dalam siklus nitrogen. Transformasi nitrogen ini melibatkan

    mirkoorganisme. Transformasi nitrogen tersebut adalah sebagai berikut:

  • 30

    1. Nitrifikasi, yaitu oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat. Nitrifikasi berjalan

    secara optimum pada pH 8. Bakteri nitrifikasi bersifat mesofilik dan menyukai

    suhu 30C.

    2. Denitrifikasi, yaitu reduksi nitrat menjadi nitrit (NO2), dinitrogen oksida

    (N2O), dan molekul nitrogen (N2). Proses ini melibatkan bakteri dan jamur

    (Ida, 2009).

    2.5.1 Amonia

    Amonia (NH4+) yang terkandung dalam suatu perairan merupakan salah

    satu hasil dari proses penguraian bahan organik. Amonia biasanya timbul akibat

    kotoran organisme dan aktivitas jasad renik dalam proses dekomposisi bahan

    organik yang kaya akan nitrogen. Tingginya kadar amonia biasanya diikuti

    naiknya kadar nitrit (Boyd, 1981).

    Amonia bebas yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap biota dan

    toksisitas tersebut akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut.

    Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang terlalu tinggi

    karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah dan dapat

    menyebabkan sufokasi (kematian secara perlahan karena lemas) (Effendi, 2003).

    Nitrifikasi

    NH4+ NH2OH NOH NO2 NO3 Denitrifikasi

    NO3 NO2 NO N2O N2 (Lud, 2009)

  • 31

    Keberadaan amonia mempengaruhi pertumbuhan karena mereduksi

    masukan oksigen akibat rusaknya insang, menambah energi untuk detoksifikasi,

    menggangu osmeregulasi dan mengakibatkan kerusakan fisik pada jaringan

    (Boyd, 1990).

    Puncak ekskresi amonia pada ikan berukuran 4-20 g berlangsung pada

    waktu 4-6 jam setelah pemberian pakan dimulai sampai 6-10 jam setelah periode

    pemberian pakan berakhir (Merino et al., 2007). Potensi pasokan amonia ke

    dalam air budidaya ikan adalah sebesar 75% dari kadar nitrogen dalam pakan.

    Sebanyak 70-80% nitrogen dalam pakan diubah menjadi amonia oleh ekskresi

    langsung maupun melalui mineralisasi oleh bakteri (Wyk dan Avnimelech, 2007).

    Amonia yang dikeluarkan oleh ikan di dalam air akan membentuk

    kesetimbangan dengan ion ammonium. Amonia dalam bentuk ion ammonium

    akan mengalami proses nitrifikasi oleh bakteri kemoautotrof menjadi nitrit dan

    selanjutnya menjadi nitrat. Namun demikian dengan adanya bahan organik, proses

    mikrobial yang berlangsung didominasi oleh bakteri heterotrofik yang lebih cepat

    menyerap ammonium menjadi biomasa bakteri. Bakteri ini bisa menyerap sampai

    50% dari jumlah ammonium terlarut dalam air (Montoya dan Velasco, 2000).

    2.5.2 Nitrit

    Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) antara amonia dan nitrat

    (Nitrifikasi) (Ida, 2009). Nitrit juga dikatakan sebagai hasil dari oksidasi amonia

    dalam proses nitrifikasi oleh bakteri autotropik Nitrosomonas, yang menggunakan

    amonia sebagai sumber energi (Boyd,1981). Nitrit biasanya ditemukan dalam

  • 32

    jumlah yang sangat sedikit, lebih sedikit dari pada nitrat karena tidak stabil

    dengan keberadaan oksigen (Ida, 2009).

    Konsentrasi nitrit maksimum yang diperbolehkan dalam kegiatan

    budidaya ikan adalah < 0.06 mg/L (Effendi, 2003). Toksisitas nitrit terhadap ikan

    terutama dalam transpor oksigen dan kerusakan jaringan. Nitrit dalam darah

    mengoksidasi haemoglobin menjadi methemoglobin yang tidak mampu mengikat

    oksigen (Boyd, 1981).

    Pada masa pertumbuhan, bakteri heterotrofik mereduksi nitrit menjadi

    amonium untuk digunakan dalam sintesis biomasa. Mikroorganisme cenderung

    untuk mereduksi nitrit menjadi amonium karena amonium dapat digunakan untuk

    sintesis biomassa sel (Gottschalk, 1986). Amonium juga digunakan untuk sintesis

    asam amino dan protein melalui glutamine dan glutamat (Joklik et al., 1992).

    2.5.3 Nitrat

    Senyawa nitrat merupakan hasil akhir dari proses bakteriologis

    kemoautotrofik yakni bakteri nitrifikasi. Pada proses ini amonia terlebih dahulu

    diubah menjadi nitrit oleh bakteri Nitrosomonas sp. dan selanjutnya nitrit diubah

    menjadi nitrat oleh bakteri Nitrococcus sp. (Montoya dan Velasco, 2000).

    Berbeda dengan amonia maupun nitrit, nitrat jarang sekali menjadi

    masalah dalam budidaya hewan akuatik baik di tawar, payau, maupun laut. Efek

    nitrat pada hewan akuatik hampir sama dengan nitrit yaitu pada transportasi

    oksigen dan proses osmoregulasi. Kadar nitrat dalam air yang berbahaya bagi ikan

    maupun invertrebata berkisar antara 1.000 3.000 ppm. Oleh karena itu,

  • 33

    keracunan nitrat pada hewan akuatik sangat jarang terjadi (Hanggono, 2004).

    Namun untuk ikan budidaya sebaiknya kurang dari 10 ppm (Supratno dan

    Kasnadi, 2003).

    2.6 Sumber Karbon (Molases)

    Tetes tebu merupakan hasil samping industri gula yang mengandung

    senyawa nitrogen, trace element, dan kandungan gula yang cukup tinggi terutama

    kandungan sukrosa sekitar 34% dan kandungan total karbon sekitar 37%

    (Suastuti, 1998).

    Molases adalah salah satu sumber karbon yang dapat digunakan untuk

    mempercepat penurunan konsentarasi N-anorganik di dalam air. Molase

    berbentuk cair bewarna coklat seperti kecap dengan aroma yang khas (Suastuti,

    1998). Oleh karena itu, penambahan molases ke dalam media budidaya

    diharapkan mampu menurunkan amonia dan peningkatan pertumbuhan ikan

    sehingga dapat meningkatkan produksi ikan.

    2.7 Kualitas Air Pendukung

    2.7.1 Oksigen Terlarut

    Oksigen terlarut merupakan parameter kualitas air yang paling

    menentukan pada budidaya ikan. Ketersediaan oksigen menentukan lingkaran

    aktivitas ikan. Kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara harian dan musiman,

    tergantung pada pencampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis,

    respirasi, dan limbah yang masuk ke badan air. Peningkatan suhu sebesar 1oC

  • 34

    akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10% (Effendie, 2003). Oksigen

    dalam perairan berasal dari difusi O2 dari atmosfer serta aktivitas fotosintesis

    oleh fitoplankton maupun tanaman lainnya.

    Kebutuhan oksigen pada ikan bergantung pada : kebutuhan lingkungan

    bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif metabolisme tubuh ikan. Fungsi

    oksigen bagi ikan yaitu : berperan dalam pembakaran bahan bakarnya (makanan),

    dan untuk dapat melakukan aktivitas (berenang, reproduksi, pertumbuhan).

    Ketersediaan oksigen bagi ikan menentukan aktivitas ikan, konversi pakan

    dan laju pertumbuhan. Pada kondisi DO < 4 ppm, ikan masih mampu bertahan

    hidup namun pertumbuhan menurun (tidak optimal). Rentang tingkat DO optimal

    yaitu 5 ppm. Rentang tingkat DO untuk pemeliharaan intensif yaitu 5-8 ppm.

    Batas toleransi kadar oksigen terlarut secara umum untuk budidaya tambak

    adalah 3 10 ppm, sedangkan nilai optimal untuk budidaya di tambak berkisar

    antara 4 7 ppm (Poernomo, 1992).

    Kandungan oksigen terlarut dalam suatu perairan merupakan parameter

    kualitas air yang paling kritis dalam budidaya ikan, karena dapat mempengaruhi

    kelangsungan hidup ikan yang dipelihara. Oksigen yang terlarut di dalam perairan

    sangat dibutuhkan untuk proses respirasi, baik oleh tanaman air, ikan, maupun

    organisme lain yang hidup di dalam air (Supratno dan Kasnadi, 2003).

    Bakteri heterotrofik dan bakteri autotrofik menggunakan oksigen dalam

    proses pemanfaatan ammonia. Bakteri heterotrofik adalah bakteri yang

    mengkonsumsi oksigen dalam proses perubahan amonia dengan produk akhir

    biomassa sel. Sedangkan bakteri autrofik nitrifikasi mengkonsumsi oksigen dan

  • 35

    karbondioksida pada saat oksidasi amonia dengan produk akhirnya nitrat

    (Moriarty, 1996).

    2.7.2 Derajat Keasaman (pH)

    pH merupakan suatu ukuran konsentrasi ion H. Secara alamiah perairan

    dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 dan senyawa yang bersifat asam. Dalam

    budidaya ikan lele nilai pH yang dianjurkan adalah 6,5-8,5 (Pescod, 1973).

    Air yang mempunyai pH antara 6,7 sampai 8,6 mendukung populasi ikan

    dalam kolam. Dalam jangkauan pH tersebut pertumbuhan dan pembiakan ikan

    tidak terganggu (Sastrawijaya, 2009). Kisaran pH yang dapat menunjang

    pertumbuhan ikan adalah 6.5-9 (Boyd, 1982).

    pH merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap

    pertumbuhan dan aktivitas bakteri pengoksidasi amonia (Esoy et al., 1998).

    Bakteri nitrifikasi (bakteri pengoksidasi amonia) lebih menyukai lingkungan yang

    basa dengan tingkat pH optimal untuk pertumbuhan berkisar antara 7,5-8,5

    (Ambarsari, 1999). Nilai pH optimum bagi pertumbuhan bakteri heterotrofik

    adalah sekitar 6-7 (Irianto dan Hendrati, 2003).

    2.7.3 Suhu

    Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan ikan

    terutama dalam proses kimia dan biologi. Ikan akan tumbuh dengan baik pada

    suhu 25C-32C. perubahan suhu yang mendadak dapat menyebabkan ikan stres

    dan kemudian mati (Cholik, 1991).

  • 36

    Suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen.

    Setiap spesies mempunyai suhu optimumnya. Ada ikan yang mempunyai suhu

    optimum 15C, ada yang 24C, dan ada yang 32C. Jika suhu berbeda jauh dari

    optimumnya, hewan itu akan mati atau bermigrasi ke daerah baru. Selisih 5C

    sudah cukup untuk ikan mengakhiri hidupnya, terutama apabila terjadi serentak

    karena limbah panas (Sastrawijaya, 2009).

    Suhu merupakan parameter lingkungan yang sangat besar pengaruhnya

    pada hewan akuatik. Suhu air sangat berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan

    biologi tambak, yang akibatnya mempengaruhi fisiologis kehidupan hewan

    akuatik atau hewan air. Secara umum laju pertumbuhan ikan akan meningkat jika

    sejalan dengan kenaikan suhu pada batas tertentu. Jika kenaikan suhu melebihi

    batas akan menyebabkan aktivitas metabolisme organisme air atau hewan akuatik

    meningkat, hal ini akan menyebabkan berkurangnya gas-gas terlarut di dalam air

    yang penting untuk kehidupan ikan atau hewan akuatik lainnya. Walaupun ikan

    dapat menyesuaikan diri dengan kenaikan suhu, akan tetapi kenaikan suhu

    melebihi batas toleransi ekstrim (35C) pada waktu yang lama akan menimbulkan

    stress atau kematian ikan (Supratno dan Kasnadi, 2003).

    2.8 Volatil Suspended Solid (VSS)

    Solid merupakan materi padat yang terdapat didalam air dan dianalisa

    dengan penimbangan, pemanasan atau penguapan. Volatile merupakan materi

    organik, materi yang hilang pada penguapan 550C setelah dikeringkan terlebih

    dahulu pada suhu 103C. Volatile suspended solid adalah banyaknya materi padat

  • 37

    organik yang tersuspensi di dalam air atau zat padat organik yang tertahan pada

    filter dan hilang pada suhu 550C.

    Padatan tersuspensi dibedakan menjadi volatile solid dan non volatile

    solids. Volatile solid adalah bahan organik yang teroksidasi pada pemanasan

    dengan suhu, sedangkan non volatile solid adalah fraksi bahan anorganik yang

    tertinggal sebagai abu pada suhu tersebut (Effendi, 2003). Volatile solid dapat

    dijadikan sebagai parameter utama dan penting bagi keberadaan bioflok pada

    sistem budidaya dengan teknologi bioflok (Schryver et al., 2008).

  • 38

    BAB III

    METODOLOGI

    3.1 Waktu dan Tempat

    Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai Juli 2011. Penelitian

    dilakukan di Laboratorium Sistem Budidaya Ikan, Loka Riset Pemuliaan dan

    Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar (LRPTBPAT), Sukamandi, Subang,

    Jawa Barat.

    3.2 Alat dan Bahan

    Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: bak

    fiber bulat dengan dasar berbentuk corong ukuran 250 L, aerator, jaring penutup,

    peralatan lapangan (mangkok, ember, gelas plastik, corong plastik, saringan,

    selang, dan plastik kiloan), botol sampel, corong, pipet tetes, gelas ukur, tissue,

    erlenmeyer, labu ukur, beaker glass, timbangan digital, timbangan analitik, Water

    quality checker, desikator, oven, vakum, pipet volumetrik, kertas saring wathman

    no.42, furnance, cawan porselen, dan Spektrofotometer U-I500.

    Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: ikan

    lele (Clarias gariepinus) ukuran 50 gram/ekor, pakan ikan lele Pro-vite 781,

    molases, bakteri komersil minabacto, reagent amonia, reagent nitrit, dan reagent

    nitrat.

  • 39

    3.3 Disain Penelitian

    Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yaitu menggunakan

    Rancangan Acak Lengkap. Pelaksanaan penelitian terdiri dari empat perlakuan

    dengan tiga ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah:

    1. Perlakuan A: pemberian pakan tanpa bakteri dan molases

    2. Perlakuan B: pemberian pakan dengan molases dan tanpa bakteri.

    3. Perlakuan C: pemberian pakan dengan bakteri dan tanpa molases

    4. Perlakuan D: pemberian pakan dengan bakteri dan molases.

    Molases sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan bakteri, sedangkan

    bakteri sebagai agen transformasi limbah nitrogen. Kombinasi molases dan

    bakteri merupakan budidaya sistem heterotrofik.

    3.4 Cara Kerja

    3.4.1 Persiapan

    Persiapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah persiapan wadah

    ikan. Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah wadah berupa corong

    yang terbuat dari fiber berukuran 250 liter. Wadah ini diisi air sebanyak 200

    liter. Diatas corong ditutup dengan menggunakan jaring. Jaring dikaitkan dengan

    kawat. Jaring ini digunakan untuk mencegah keluarnya ikan dari dalam corong

    akibat aktivitas ikan lele. Jumlah corong yang digunakan sebanyak 12 corong.

    Aerasi dipasang pada masing-masing corong untuk mensuplai oksigen pada tiap-

    tiap corong.

  • 40

    Gambar 2. Bak Fiber Bulat Dengan Dasar Bentuk Corong

    Penelitian ini menggunakan empat perlakuan. Dari ke empat perlakuan

    masing-masing perlakuan digunakan 3 ulangan, sehingga di peroleh kode

    perlakuan sebagai berikut dengan jumlah corong adalah 12 corong :

    Tabel 1. Kode Perlakuan

    Corong Kode Perlakuan Perlakuan

    1 B1 Tanpa bakteri + molases

    2 A1 Tanpa bakteri + tanpa molases

    3 C2 Bakteri + tanpa molases

    4 D1 Bakteri + Molases

    5 C1 Bakteri + tanpa molases

    6 B3 Tanpa bakteri + molases

    7 D2 Bakteri + Molases

    8 A2 Tanpa bakteri + tanpa molases

    9 A3 Tanpa bakteri + tanpa molases

    10 C3 Bakteri + tanpa molases

    11 B2 Tanpa bakteri + molases

    12 D3 Bakteri + Molases

    250 liter

  • 41

    Berikut adalah skema letak corong dan kode yang digunakan dalam

    penelitian ini :

    Gambar 3. Skema Letak Corong

    Ikan lele berukuran 50 gram/ekor dimasukan ke dalam corong sebanyak

    20 ekor pada masing-masing corong. Sebelum ditebar, ikan diseleksi terlebih

    dahulu. Ikan yang layak digunakan adalah ikan yang memiliki organ tubuh yang

    lengkap, yang aktif (gesit), ukuran seragam dan tidak ternfeksi penyakit.

    3.4.2 Pemberian pakan

    Pemberian pakan diberikan pada ikan lele. Jumlah pemberian pakan

    adalah sebesar 3% dari bobot biomassa ikan. Pakan diberikan setiap hari selama

    21 hari. Pakan yang digunakan berupa pakan komersil yang bersifat mengapung,

    6

    B3

    7

    D2

    5

    C1

    8

    A2

    4

    D1

    3

    C2

    2

    A1

    11

    B2

    12

    D3

    10

    C3

    9

    A3

    1

    B1

  • 42

    dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari, pagi sekitar pukul 07.00 WIB,

    siang sekitar pukul 13.00 WIB, dan sore sekitar pukul 16.00 WIB.

    Perhitungan pemberian pakan:

    Total pemberian pakan mengikuti pertumbuhan ikan. Biomassa Ikan akan

    diukur setiap 7 hari sekali sehingga jumlah pakan yang akan diberikan diganti

    setiap 7 hari sekali.

    3.4.3 Pemberian Molases dan Inokulasi Bakteri

    Inokulasi bakteri dilakukan sekali pada awal penelitian dengan dosis 20

    ml dalam 106cfu/ml (Lampiran 3). Inokulasi bakteri hanya dilakukan pada 3

    corong sesuai dengan perlakuan. Inokulasi bakteri ini hanya dilakukan sekali pada

    awal penelitian.

    Molases diberikan setiap pagi sebelum pemberian pakan pada ikan.

    Molases diberikan dengan dosis yang disesuaikan dengan bobot ikan per corong

    dan sesuai dengan perhitungan C/N Rasio (Lampiran 4). Pemberian molases

    hanya diberikan pada 6 corong sesuai perlakuan.

    3.4.4 Pengamatan

    Parameter yang diamati meliputi: Volatile suspended solid, amonia,

    nitrit, nitrat, pH, DO, dan suhu. Parameter-parameter tersebut diukur selama dua

    hari sekali pada sepuluh hari pertama dan tiga hari sekali pada sepuluh hari

    terakhir. Hal ini dilakukan karena pada sepuluh hari terakhir parameter yang

    Total pakan yang diberikan = 3% x total biomassa ikan

  • 43

    diukur tersebut dianggap sama dengan sepuluh hari pertama sehingga pengukuran

    dilakukan tiga kali sehari pada sepuluh hari kedua.

    3.4.4.1 Pengukuran Amonia

    Pengukuran amonia ini dilakukan di laboratorium kimia dengan

    menggunakan Spektrofotometer U-I500 dan dilakukan pada H0, H2, H4, H6, H8,

    H10, H13, H16, H19, dan H21. Pengambilan sampel air dari tiap-tiap corong pada

    jam 06.00 WIB sebelum pemberian pakan dan molases.

    Sampel air disaring dengan kertas saring. Sebanyak 5 ml sampel air

    dimasukkan dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 0,2 ml larutan fenol; 0,2 ml

    larutan nitroprussida, dan 0,5 ml larutan oksidan. Lalu dibiarkan warnanya

    terbentuk pada suhu ruang (22-27C), Kemudian dikocok dan dibiarkan selama

    satu jam. Lalu dianalisa dengan spektrofotometer pada panjang gelombang ()

    640 m (HACH, 2005).

    3.4.4.2 Pengukuran Nitrit

    Pengukuran nitrit ini dilakukan di laboratorium kimia dengan

    menggunakan Spektrofotometer U-I500. Pengukuran ini dilakukan pada H0, H2,

    H4, H6, H8, H10, H13, H16, H19, dan H21. Pengambilan sampel air dari tiap-tiap

    corong pada jam 06.00 WIB sebelum pemberian pakan dan molases.

    Sampel air disaring dengan kertas saring. Sebanyak 5 ml sampel air

    dimasukkan dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 0,1 ml asam sulfinat, lalu

    dibiarkan 2-8 menit. Kemudian ditambahkan 0,1 ml larutan NED-dihidroklorida

  • 44

    dan dikocok. Lalu dibiarkan selama 10-20 menit dan akan terbentuk warna merah

    keunguan. Lalu dianalisa dengan spektrofotometer pada panjang gelombang ()

    540 m (HACH, 2005).

    3.4.4.3 Pengukuran Nitrat

    Pengukuran nitrat ini dilakukan di laboratorium kimia dengan

    menggunakan Spektrofotometer U-I500 dan dilakukan pada H0, H2, H4, H6, H8,

    H10, H13, H16, H19, dan H21. Pengambilan sampel air dari tiap-tiap corong pada

    jam 06.00 WIB sebelum pemberian pakan dan molases.

    Sampel air disaring dengan kertas saring. Sebanyak 2 ml sampel air

    dimasukkan dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 0,4 ml larutan Brusin 0,5%.

    Kemudian ditambahkan dengan hati-hati 4 ml larutan H2SO4 pekat, dan

    dinginkan. Lalu dianalisa dengan spektrofotometer pada panjang gelombang ()

    420 m (HACH, 2005).

    3.4.4.4 Pengukuran DO, Suhu, dan pH

    Pengukuran kualitas air pendukung meliputi: DO, suhu, dan pH.

    Pengukuran kualitas air pendukung ini dilakukan pada H0, H2, H4, H6, H8, H10,

    H13, H16, H19, dan H21 pada jam 06.00 WIB sebelum dilakukan pemberian

    pakan dan molases. Pengukuran DO, pH, dan suhu dilakukan dengan

    menggunakan Water Quality Cheker.

  • 45

    3.4.4.5 Pengukuran Volatile Suspended Solid

    Pengukuran Volatile suspended solid dilakukan pada H0, H2, H4, H6,

    H8, H10, H13, H16, H19, dan H21, bertempat di laboratorium kimia.

    Pengambilan sampel air dari tiap-tiap corong pada jam 6.00 WIB sebelum

    pemberian pakan dan molases.

    Sampel air sebanyak 100 ml disaring dengan menggunakan kertas saring

    wathman 42 dan divakum. Setelah itu kertas saring (filter) dikeringkan di dalam

    oven pada suhu 103C selama 60 menit. Kertas saring didinginkan dalam

    desikator lalu ditimbang (A). Setelah itu kertas saring dimasukkan ke dalam

    furnance pada suhu 550C selama 60 menit. Setelah itu didinginkan dalam

    desikator dan ditimbang lagi (B).

    Hasil timbangan A dan B dihitung dengan menggunakan rumus:

    Keterangan:

    A: hasil timbangan filter setelah suhu 103C (mg)

    B: hasil timbangan filter setelah suhu 550C (mg)

    V: volume sampel air yang digunakan (100 ml)

    (APHA, 2005).

    VSS (mg/l) = _____A B_____

    V sampel air (ml)

  • 46

    3.5 Analisis Data

    Hasil pengukuran setiap paramater ditampilkan secara grafis untuk melihat

    dinamika dari setiap parameter. Nilai pengukuran parameter pada akhir penelitian

    diuji dengan analysis of variance (ANOVA) satu arah untuk melihat perbedaan

    antara perlakuan variasi pakan, bakteri, dan molases terhadap kadar amonia, nitrit,

    nitrat, nilai volatil suspended solid, kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu.

  • 47

    BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Dinamika Biomassa Bakteri

    Pengukuran biomassa bakteri dalam bentuk volatile suspended solid

    (VSS) selama pengamatan 21 hari menunjukkan hasil yang berfluktuatif, namun

    tidak jauh dari kurva pertumbuhan bakteri pada umumnya. Hasil pengukuran VSS

    selama penelitian berlangsung dapat dilihat pada Gambar 4.

    Gambar 4. Nilai Volatil Suspended Solid Selama Penelitian

    Nilai VSS secara keseluruhan dari semua perlakuan yaitu berkisar antara

    0,114-0,193 mg/l. Dari hari ke-0 sampai hari ke-21 biomassa bakteri secara

    keseluruhan mengalami kenaikan dan diakhir penelitian mengalami penurunan

    0,000

    0,100

    0,200

    0,300

    0,400

    0,500

    0,600

    0,700

    H0 H2 H4 H6 H8 H10 H13 H16 H19 H21

    VSS

    (mg/

    l) A (NoBak+NoMOl)

    B (NoBak+Mol)

    C (Bak+NoMol)

    D (Bak+Mol)

  • 48

    akibat berkurangnya sumber energi. Nilai VSS rata-rata pada tiap-tiap perlakuan

    adalah sebagai berikut: pada perlakuan A yaitu 0,169 mg/l, pada perlakuan B

    yaitu 0,130 mg/l, pada perlakuan C yaitu 0,114 mg/l, dan pada perlakuan D yaitu

    0,193 mg/l. Perlakuan D memiliki nilai rata-rata VSS tertinggi sedangkan

    perlakuan C memiliki nilai rata-rata VSS terendah.

    Pada hari ke-0 sampai hari ke-2 terjadi peningkatan biomassa bakteri

    pada tiap-tiap perlakuan. Hal ini diduga karena sudah dilakukannya pemberian

    variasi pakan, bakteri, dan molases sehingga bakteri dapat tumbuh. Pada

    perlakuan A yang merupakan kontrol (hanya pakan saja) kenaikan populasi

    bakteri yang terjadi sangat sedikit bahkan terkecil. Pada perlakuan B yang

    dilakukan pemberian molases dan pakan, bakteri heterotrofik alami mulai tumbuh

    dengan adanya sumber karbon organik tersebut, sehingga nilai VSS pada

    perlakuan B cukup tinggi. Pada perlakuan C yang hanya dilakukan inokulasi

    bakteri dan pakan, nilai VSS yang didapat lebih kecil dari perlakuan B dan D,

    karena tidak adanya sumber karbon organik yang merupakan sumber energi

    penting bagi pertumbuhan bakteri heterotrofik komersil yang diinokulasikan. Pada

    perlakuan D yang dilakukan pemberian pakan, molases, dan inokulasi bakteri

    heterotrofik komersil, sangat jelas terlihat memiliki nilai VSS yang cukup tinggi.

    Nilai VSS pada perlakuan B dan D pada hari tersebut sama.

    Pada hari ke-4 terjadi penurunan jumlah biomassa yang sangat signifikan

    pada tiap-tiap perlakuan. Hal ini terjadi karena rendahnya kadar oksigen terlarut

    pada hari tersebut, sehingga mengakibatkan terganggunya pertumbuhan bakteri

    dan nilai VSS pada tiap-tiap perlakuan menurun.

  • 49

    Pada hari ke-4 hingga hari ke-16 mulai terlihat adanya kenaikan nilai

    VSS pada tiap-tiap perlakuan. Pada perlakuan A dari hari ke-6 nilai VSS

    mencapai 0.342 mg/l, namun terjadi penurunan nilai VSS pada hari ke-8 yaitu

    0.222 mg/l. Pada hari ke-8 sampai hari ke-13 nilai VSS stabil dan kembali

    mengalami kenaikan pada hari ke-16 yaitu 0.342 mg/l. Pada perlakuan B pada

    hari ke-4 mulai mengalami kenaikan sampai hari ke-8 yaitu 0.179 mg/l, namun

    terjadi penurunan pada hari ke-8 sampai hari ke-10 sebesar 0.115 mg/l. Pada hari

    ke-13 sampai hari ke-16 mengalami kenaikan sebesar 0.355 mg/l. Pada perlakuan

    C pada hari ke-6 sampai hari ke-21 mengalami penurunan secara terus-menerus.

    Pada hari ke-6 nilai VSS yang didapat sebesar 0.276 mg/l, pada hari ke-21

    menjadi 0.021 mg/l. Pada perlakuan D pada hari ke-4 sampai hari ke-8 terus

    mengalami kenaikan yang sangat signifikan, yaitu 0.019-0.603 mg/l, namun pada

    hari ke-8 sampai hari ke-13 terjadi penurunan yang sangat signifikan yaitu hingga

    0.171 mg/l.

    Pada hari ke-16 sampai hari ke-21 secara keseluruhan pada tiap-tiap

    perlakuan mengalami penurunan yang sangat signifikan. Perlakuan A sebesar

    0.047 mg/l, perlakuan B sebesar 0.012 mg/l, perlakuan C sebesar 0.027 mg/l, dan

    perlakuan D sebesar 0.024 mg/l.

    Proses kehilangan amonia di perairan disebabkan oleh tiga jenis

    mikroorganisme, yaitu oleh bakteri autotrofik (nitrifikasi), bakteri heterotrofik,

    dan fotoautotrofik. Pada Perlakuan A dan C, nilai VSS pada kedua perlakuan ini

    merupakan nilai biomassa bakteri autotrofik. Karena tidak dilakukannya

    pemberian sumber karbon organik, maka diasumsikan bakteri pada kedua

  • 50

    perlakuan ini adalah bakteri autotrofik yang tumbuh dengan menggunakan sumber

    karbon anorganik yaitu CO2. Sedangkan pada perlakuan B dan D, nilai VSS pada

    kedua perlakuan ini merupakan nilai biomassa bakteri heterotrofik. Karena pada

    kedua perlakuan ini diberikan molases yang merupakan sumber karbon organik,

    maka bakteri yang tumbuh diasumsikan sebagai bakteri heterotrofik. Hal ini

    sesuai dengan pendapat Jenie dan Rahayu (1993) yang menyatakan bahwa bakteri

    yang bersifat heterotrofik adalah bakteri yang mampu memanfaatkan senyawa

    organik sebagai sumber karbonnya. Sedangkan proses kehilangan amonia oleh

    mikrorganisme fotoautotrofik dianggap tidak terjadi, karena penelitian ini

    dilakukan di dalam ruangan.

    Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa perlakuan A dan C memiliki kurva

    pertumbuhan yang hampir sama, namun nilai rata-rata VSS pada perlakuan A

    lebih tinggi dibandingkan perlakuan C. Perlakuan C memiliki nilai rata-rata VSS

    paling kecil. Pada perlakuan A tidak dilakukan penambahan bakteri, sedangkan

    pada perlakuan C diinokulasikan bakteri heterotrofik. Hal ini yang diduga sebagai

    akibat rendahnya nilai VSS pada perlakuan C. Bakteri heterotrofik yang

    diinokulasikan bersaing dengan bakteri autotrofik alami yang telah ada didalam

    corong, karena tidak adanya sumber karbon organik yang diberikan maka bakteri

    heterotrofik dianggap tidak dapat bertahan hidup dan kalah bersaing dengan

    bakteri autotrofik alami.

    Perlakuan B memiliki nilai rata-rata VSS terendah kedua yaitu 0,130

    mg/L. Perlakuan B tidak dilakukan inokulasi bakteri komersial dan hanya

    dilakukan pemberian pakan dan molases saja. Bakteri yang tumbuh pada

  • 51

    perlakuan B ini diduga adalah bakteri heterotrofik alami. Penambahan molases

    yang merupakan sumber karbon organik dapat memicu pertumbuhan bakteri

    heterotrofik alami, namun pertumbuhan bakteri heterotrofik pada perlakuan B ini

    cenderung lambat. Hal ini dapat diakibatkan oleh persaingan bakteri heterotrofik

    alami dengan bakteri alami lainnya yang berada didalam corong.

    Pada perlakuan D yaitu perlakuan dengan pemberian pakan dengan

    penambahan bakteri dan molases yang merupakan sistem heterotrofik, hasil nilai

    VSS pada perlakuan D ini sesuai dengan yang diharapkan, bahwa pemberian

    bakteri heterotrofik komersial dan penambahan molases pada corong dapat

    memicu pertumbuhan bakteri heterotrofik dan menurunkan kadar limbah nitrogen.

    Hal yang mengakibatkan nilai rata-rata VSS pada perlakuan D menjadi

    paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya adalah waktu generasi

    bakteri heterotrof yang lebih tinggi dan lebih cepat jika dibandingkan dengan

    bakteri autotrof dan juga pemberian molases yang dapat memicu pertumbuhan

    bakteri heterotrofik yang diinokulasikan. Bakteri heterotrofik ini menggunakan

    amonia sebagai sumber energi untuk memperbanyak sel. Bakteri autotrof juga

    menggunakan amonia pada proses nitrifikasi, namun bakteri autotrofik

    membutuhkan waktu yang lebih lama untuk tumbuh. Hal ini sesuai dengan

    pernyataan Todar (2002) bahwa Bakteri heterotrofik mempunyai waktu generasi

    lebih cepat dibandingkan bakteri autotrofik. Ebeling et al., (2006) menyatakan

    bahwa bakteri heterotrofik menghasilkan 8.07 g VSS per gram nitrogen,

    sedangkan bakteri autotrofik menghasilkan 0.20 g VSS per gram nitrogen dengan

    pemberian pakan yang sama dan jumlah ammonia yang sama dengan waktu yang

  • 52

    sama. Dari pernyataan diatas dapat terlihat jelas bahwa jumlah populasi bakteri

    yang dihasilkan bakteri autotrofik sangat jauh jumlahnya dibandingkan dengan

    jumlah populasi bakteri heterotrofik.

    Perbedaan nilai VSS yang didapat selama penelitian dapat dilihat dengan

    membandingkan nilai rata-rata VSS dari tiap-tiap perlakuan. Nilai rata-rata VSS

    pada tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5.

    Gambar 5. Nilai Rata-rata VSS Pada Tiap-tiap Perlakuan

    Dari Gambar 5 diatas terlihat bahwa nilai rata-rata VSS tertinggi adalah

    perlakuan D. Perlakuan D pada penelitian ini disebut sebagai sistem heterotrofik.

    Pada perlakuan D ini terlihat bahwa jumlah biomassa bakteri yang didapat lebih

    tinggi dari perlakuan lainnya dengan adanya penambahan molases sebagai sumber

    karbon dan inokulasi bakteri komersial, namun nilai VSS yang dihasilkan dari ke

    empat perlakuan tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini sesuai dengan

    0,000

    0,050

    0,100

    0,150

    0,200

    0,250

    A (nobak+nomol) B (nobak+mol) C (bak+nomol) D (bak+Mol)

    VSS

    (mg/

    L)

    Perlakuan

    VSS

  • 53

    hasil uji analisis yang menunjukan bahwa sistem heterotrofik tidak berpengaruh

    nyata terhadap nilai VSS, hal ini dapat diperhatikan dari nilai F hitung yang lebih

    kecil dari F Tabel dan dari nilai probabilitas (P>0.05) (Lampiran 9). Disamping

    itu dari hasil uji Duncan menunjukkan tidak adanya perbedaan nilai VSS yang

    nyata pada tiap-tiap perlakuan. Hal ini dapat dilihat dari kolom pada uji Duncan

    dimana nilai rata-rata VSS terletak pada kolom yang sama.

    4.2. Dinamika Kadar Limbah Nitrogen

    Hasil penelitian mengenai dinamika kadar limbah nitrogen selama

    penelitian meliputi amonia, nitrit, dan nitrat. Hasil penelitian dinamika limbah

    nitrogen selama 21 hari dapat dilihat pada subbab berikut:

    4.2.1 Amonia

    Amonia merupakan senyawa utama limbah metabolisme ikan dan sering

    menjadi masalah dalam budidaya ikan. Amonia merupakan salah satu bentuk N-

    anorganik yang berbahaya bagi ikan. Penambahan molases dan bakteri

    heterotrofik diharapkan dapat menurunkan jumlah limbah nitrogen yang terdapat

    dalam corong, yaitu dengan cara mengubah amonia menjadi biomassa sel dan

    mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat. Kadar amonia hasil pengamatan

    selama 21 hari dapat dilihat dalam Gambar 6.

  • 54

    Gambar 6. Kadar Amonia Selama Penelitian

    Dinamika kadar amonia hasil pengamatan selama 21 hari secara

    keseluruhan mengalami penurunan. Kisaran kadar amonia secara keseluruhan dari

    ke empat perlakuan yaitu 0,98-21,50 mg/L. Kadar amonia rata-rata pada

    perlakuan A adalah 9,39 mg/L, pada perlakuan B adalah 7,31 mg/L, pada

    perlakuan C adalah 9,14 mg/L, dan pada perlakuan D adalah 7,27 mg/L. Kadar

    amonia rata-rata tertinggi yaitu pada perlakuan A sebesar 9,39 mg/L dan terendah

    yaitu pada perlakuan D sebesar 7,27 mg/L.

    Kadar amonia pada ke-empat perlakuan tidak terlihat adanya perbedaan

    yang sangat signifikan. Kehilangan amonia terjadi pada ke-empat perlakuan ini,

    namun dalam proses yang berbeda. Pada perlakuan A dan C, proses kehilangan

    amonia terjadi melalui proses nitrifikasi oleh bakteri kemoautotrofik yang

    mengubah amonia menjadi nitrit dan seterusnya menjadi nitrat. Pada perlakuan B

    0,00

    5,00

    10,00

    15,00

    20,00

    25,00

    H0 H2 H4 H6 H8 H10 H13 H16 H19 H21

    Am

    on

    ia (m

    g/L)

    A (nobak+nomol)

    B (nobak+mol)

    C (bak+nomol)

    D (bak+Mol)

  • 55

    dan D proses kehilangan amonia terjadi karena penggunaan amonia oleh bakteri

    heterotrofik sebagai sumber energi yang diubah menjadi biomassa bakteri.

    Pada awal penelitian tepatnya pada hari ke-2 kadar amonia sangat tinggi

    hingga 21.50 mg/L. Tingginya kadar amonia diakibatkan oleh adanya akumulasi

    hasil metabolit ikan dan sisa pakan. Setelah itu terjadi penurunan yang bertahap

    pada tiap-tiap perlakuan akibat adanya aktivitas mikroorganisme. Penurunan ini

    diakibatkan adanya aktivitas mikroorganisme yang mengoksidasi amonia menjadi

    nitrit dan nitrat (bakteri autotrofik nitrifikasi) pada perlakuan A dan C serta yang

    mengubah amonia menjadi biomassa bakteri (bakteri heterotrofik) pada perlakuan

    B dan D. Hal ini sesuai dengan pernyataan Brune et al., (2003) bahwa penurunan

    kadar amonia terjadi antara lain karena adanya pemanfaatan amonia oleh proses

    heterotrofik biosintesis bakteri yang menghasilkan biomassa bakteri dan proses

    kemoautotrofik nitrifikasi yang menghasilkan senyawa nitrit yang selanjutnya

    diubah lagi menjadi nitrat.

    Pada perlakuan A dan C terus mengalami penurunan hingga hari ke-16.

    Hal ini terjadi karena adanya proses nitrifikasi oleh bakteri autotrofik yang

    mengubah amonia menjadi nitrit. Pada hari ke-16 sampai hari ke-21 terjadi

    kenaikan kadar amonia kembali yang signifikan pada kedua perlakuan ini. Hal ini

    terjadi karena besarnya produksi amonia yang berasal dari hasil metabolisme ikan

    dan sisa pakan dibandingkan dengan proses nitrifikasi yang terjadi.

    Pada perlakuan B dan D terjadi penurunan terus menerus pada hari ke-4

    sampai hari ke-21. Hal ini menunjukan adanya aktivitas bakteri heterotrofik yang

    mengubah amonia menjadi biomassa sel. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sylvia

  • 56

    et al., (1990) bahwa penurunan kadar amonia disebabkan oleh penggunaan

    amonia sebagai sumber energi oleh bakteri heterotrofik untuk sintesis biomassa

    sel. Selain itu Montoya dan Velasco (2000) mengatakan bahwa amonia yang

    dikeluarkan oleh ikan di dalam air akan membentuk kesetimbangan dengan ion

    ammonium. Amonia dalam bentuk ion ammonium akan mengalami proses

    nitrifikasi, namun demikian dengan adanya bahan organik, proses mikrobial yang

    berlangsung didominasi oleh bakteri heterotrofik yang lebih cepat menyerap

    ammonium menjadi biomasa bakteri. Bakteri ini bisa menyerap sampai 50% dari

    jumlah ammonium terlarut dalam air. Pernyataan diatas membuktikan bahwa pada

    perlakuan B dan D terjadi proses kehilangan amonia oleh bakteri heterotrofik

    karena dilakukan perlakuan pemberian molases yang merupakan sumber karbon

    organik.

    Hasil uji analisis menunjukan bahwa sistem heterotrofik tidak

    berpengaruh nyata terhadap kadar amonia, hal ini dapat diperhatikan dari nilai F

    hitung yang lebih kecil dari F Tabel dan dari probabilitas (P>0.05) (Lampiran 9).

    Di samping itu hasil dari uji Duncan menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan

    kadar amonia yang nyata pada tiap-tiap perlakuan. Hal ini dapat dilihat dari kolom

    pada uji Duncan dimana semua rata-rata kadar amonia terletak pada kolom yang

    sama.

  • 57

    4.2.2 Nitrit

    Nitrit merupakan hasil oksidasi amonia dalam proses nitrifikasi yang

    selanjutnya diubah menjadi nitrat (Boyd, 1981). Kadar nitrit dalam pengamatan

    selama 21 hari dapat dilihat dalam Gambar 7.

    Gambar 7. Kadar Nitrit Selama Penelitian

    Dinamika kadar nitrit yang didapat cukup berfluktuatif, namun secara

    keseluruhan terjadi kenaikan. Hasil penelitian kadar nitrit yang didapat yaitu

    sebesar 0,229-36,216 mg/L. Kadar nitrit rata-rata yang didapat pada tiap-tiap

    perlakuan secara berturut-turut adalah sebagai berikut : pada perlakuan A yaitu

    11,205 mg/L, pada perlakuan B yaitu 6,916 mg/L, pada perlakuan C yaitu 18,722

    mg/L, dan pada perlakuan D yaitu 3,335 mg/L. Kadar nitrit rata-rata tertinggi

    yaitu pada perlakuan C dan terendah pada perlakuan D. Konsentrasi nitrit yang

    didapat dalam penelitian ini sangatlah tinggi dan dapat menyebabkan kematian

    -5,00

    0,00

    5,00

    10,00

    15,00

    20,00

    25,00

    30,00

    35,00

    40,00

    H0 H2 H4 H6 H8 H10 H13 H16 H19 H21

    Nit

    rit

    (mg/

    L) A (nobak+nomol)

    B (nobak+mol)

    C (bak+nomol)

    D (bak+Mol)

  • 58

    pada ikan. Menurut Effendi (2003) konsentrasi nitrit maksimum yang

    diperbolehkan dalam kegiatan budidaya ikan adalah < 0.06 mg/L.

    Pada Gambar 7 diatas, pada hari ke-0 sampai hari ke-4 kadar nitrit dari

    tiap-tiap perlakuan memiliki nilai yang rendah yaitu 0,229-3,331 mg/L. Hal ini

    disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang rendah khususnya pada perlakuan

    A dan C. Mikroorganisme pada perlakuan ini diduga berada pada fase adapatasi,

    sehingga amonia yang ada belum digunakan dan mengakibatkan kadar nitrit pada

    hari tersebut rendah, hal ini dibuktikan dengan kadar amonia yang tinggi pada hari

    tersebut.

    Pada hari ke-4 kadar nitrit mulai mengalami kenaikan pada tiap-tiap

    perlakuan sampai hari ke-13. Hal ini menunjukkan adanya aktivitas

    mikroorganisme pada tiap-tiap perlakuan khususnya pada perlakuan A dan C yang

    terdapat bakteri autotrofik nitrifikasi yang mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan

    selanjutnya menjadi nitrat. Pada hari ke-13 sampai hari ke-16 pada perlakuan A

    dan C mengalami penurunan kadar nitrit yang signifikan. Hal ini terjadi karena

    kadar amonia pada hari tersebut menurun, sehingga bakteri autotrofik hanya dapat

    mengubah amonia yang ada dan menghasilkan nitrit dalam jumlah yang sangat

    kecil.

    Pada hari ke-16 sampai hari ke-19 pada perlakuan A dan C, kadar nitrit

    mengalami kenaikan yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh tingginya aktivitas

    bakteri autotrofik. Pada hari ke-21 terjadi penurunan yang signifikan. Hal ini

    disebabkan berkurangnya aktivitas mikroorganisme akibat menurunnya jumlah

    biomassa bakteri pada hari tersebut yang sangat signifikan.

  • 59

    Pada perlakuan C terjadi proses nitrifikasi yaitu proses oksidasi amonia

    menjadi nitrit dan nitrat, sehingga kadar nitrit pada perlakuan ini memiliki nilai

    tertinggi. Perlakuan A memiliki kadar nitrit tertinggi kedua setelah perlakuan C.

    Pada perlakuan A dan C penyebab tingginya kadar nitrit yang dihasilkan sama

    yaitu karena adanya aktivitas bakteri nitrifikasi autotrofik. Bakteri autotrofik

    menggunakan amonia sebagai sumber energi dengan cara mengoksidasi amonia

    menjadi nitrit, sehingga kadar nitrit menjadi tinggi. Sesuai dengan pernyataan

    Boyd (1981) yang menjelaskan bahwa nitrit hasil dari oksidasi amonia dalam

    proses nitrifikasi oleh bakteri autotropik Nitrosomonas, yang menggunakan

    amonia sebagai sumber energi.

    Kadar nitrit pada perlakuan B terlihat cukup tinggi. Dinamika kadar nitrit

    pada perlakuan ini berfluktuasi. Pada hari ke-4 sampai hari ke-10 terus mengalami

    kenaikan. Pada hari ke-10 sampai hari ke-16 mengalami penurunan yang

    signifikan, namun pada hari ke-16 sampai hari ke-21 mengalami kenaikan

    kembali. Kadar nitrit yang dihasilkan pada perlakuan B menunjukkan bahwa

    adanya aktivitas bakteri autotrof yang berperan melakukan proses nitrifikasi dan

    jumlah bakteri tersebut diduga tidak sedikit jika dilihat dari kadar nitrit yang

    dihasilkan. Adanya bakteri autotrof ini mengakibatkan adanya persaingan dalam

    mengkonsumsi amonia. Persaingan ini mengakibatkan jumlah biomassa bakteri

    pada perlakuan B rendah.

    Kadar nitrit pada perlakuan D pada hari ke-0 sampai hari ke-4 sangat

    rendah. Pada hari ke-4 mengalami kenaikan yang cukup tinggi sampai hari ke-10.

    Pada hari ke-10 sampai hari ke-13 terjadi penurunan sampai hari ke-16. Pada hari

  • 60

    ke-16 sampai hari ke-19 terjadi kenaikan kembali, namun terjadi penurunan

    kembali pada hari ke-21.

    Kadar nitrit yang dihasilkan pada perakuan B dan D diduga hasil proses

    nitrifikasi bakteri lain. Diduga terdapat bakteri autotrofik namun jumlahnya

    sedikit, sehingga kadar nitrit yang dihasilkan pada kedua perlakuan ini jauh lebih

    rendah jika dibandingkan dengan perlakuan A dan C. Rendahnya kadar nitrit yang

    dihasilkan pada kedua perlakuan ini juga diduga karena jumlah kadar amonia

    yang dapat diubah menjadi nitrit sangat sedikit. Amonia yang terdapat pada kedua

    perlakuan tersebut digunakan oleh bakteri heterotrofik untuk memperbanyak sel.

    Pada perlakuan D kadar nitrit yang dihasilkan lebih rendah jika

    dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu sebesar 3,335 mg/l. Hal ini

    menunjukkan adanya dominansi bakteri heterortofik pada perlakuan D, sehingga

    bakteri autotrofik yang terdapat pada perlakuan D sangat sedikit sekali. Kadar

    nitrit yang sangat rendah yang dihasilkan pada perlakuan D menunjukkan bahwa

    pembudidayaan ikan dengan sistem heterotrofik sangat baik digunakan. Air

    budidaya tidak menjadi toksik bagi ikan walau tanpa pergantian air. Kadar nitrit

    yang tinggi dapat menyebabkan kematian pada ikan, sesuai dengan pernyataan

    Boyd (1981) bahwa toksisitas nitrit terhadap ikan adalah dalam transpor oksigen

    dan kerusakan jaringan. Nitrit dalam darah mengoksidasi haemoglobin menjadi

    methemoglobin yang tidak mampu mengikat oksigen.

    Hal ini sesuai dengan hasil uji analisis yang menunjukan bahwa sistem

    heterotrofik berpengaruh nyata terhadap kadar nitrit, hal ini dapat diperhatikan

    dari nilai F hitung yang lebih besar dari F Tabel dan dari probailitas (P

  • 61

    (Lampiran 9). Selain itu hasil dari uji Duncan menunjukkan bahwa terjadi

    perbedaan yang nyata pada tiap-tiap perlakuan terhadapa kadar nitrit. Hal ini

    dapat dilihat dari kolom pada uji Duncan dimana beberapa kadar nitrit rata-rata

    dari ke-4 perlakuan terletak pada kolom yang berbeda.

    4.2.3 Nitrat

    Nitrat merupakan hasil akhir dari proses nitrifikasi yaitu oksidasi amonia

    menjadi nitrit dan oksidasi nitrit menjadi nitrat. Dinamika kadar nitrat yang

    didapat selama penelitian berfluktuatif. Terjadi penurunan dan kenaikan kadar

    nitrat pada tiap-tiap perlakuan. Kadar nitrat selama penelitian dapat dilihat pada

    Gambar 8.

    Gambar 8. Kadar Nitrat Selama Penelitian

    0,000

    10,000

    20,000

    30,000

    40,000

    50,000

    60,000

    70,000

    80,000

    90,000

    H0 H2 H4 H6 H8 H10 H13 H16 H19 H21

    Nit

    rat (

    mg/

    L)

    A (nobak+nomol)

    B (nobak+mol)

    C (bak+nomol)

    D (bak+Mol)

  • 62

    Nilai kadar nitrat keseluruhan yang didapat yaitu 0,436-79,227 mg/l.

    Kadar rata-rata nitrat pada masing-masing perlakuan adalah sebagai berikut: pada

    perlakuan A yaitu 19,53 mg/l, pada perlakuan B yaitu 5,11 mg/l, pada perlakuan C

    yaitu 21,21 mg/l, dan pada perlakuan D yaitu 12,95 mg/l. Kadar nitrat tertinggi

    yaitu pada perlakuan C dan kadar nitrat terendah pada perlakuan B.

    Pada Gambar 8 diatas dapat dilihat bahwa kadar nitrat pada hari ke-0

    sampai hari ke-8 pada tiap-tiap perlakuan cenderung rendah dan stabil. Pada hari

    tersebut pada perlakuan A bakteri autortofik sedang mengoksidasi amonia

    menjadi nitrit dan bakteri belum mengoksidasi nitrit menjadi nitrat, sehingga

    kadar nitrat yang didapatkan rendah. Pada hari ke-10 mengalami kenaikan dan

    stabil hingga hari ke-13, namun setelah hari ke-13 terus mengalami peningkatan

    sampai hari ke-16 hingga 56,94 mg/L. Pada hari ke-19 mengalami penurunan

    yang sangat signifikan yaitu 13.09 mg/L. Hal ini diakibatkan jumlah populasi

    bakteri pada hari tersebut mengalami penurunan, sehingga kadar nitrat yang

    dihasilkan menurun. Pada hari ke-21 perlakuan A mengalami kenaikan hingga

    79.23 mg/L, hal ini dikarenakan pada hari tersebut diduga hasil proses nitirifikasi

    sebelum hari ke-21, sehingga ketika dilakukan pengukuran pada hari ke-21 kadar

    nitrat yang terdapat dalam perlakuan ini masih tinggi.

    Pada perlakuan B dari hari ke-0 sampai hari ke-13 kadar nitrat tetap

    berada di bawah 10 mg/L. Setelah hari ke-13 hingga hari ke-19 kadar nitrat tetap

    berada di bawah 10 mg/L dan hanya mengalami sedikit peningkatan pada hari ke-

    21 yaitu sebesar 18 mg/L.

  • 63

    Pada perlakuan C kadar nitrat pada hari ke-0 sampai hari ke-8 cenderung

    rendah dan stabil, hal ini dikarenakan pada hari tersebut bakteri autortofik

    (Nitrosomonas sp.) sedang mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan bakteri

    autotrofik (Nitrococcus sp.) belum mengoksidasi nitrit menjadi nitrat, sehingga

    kadar nitrat yang didapatkan rendah. Pada hari ke-10 mengalami kenaikan dan

    stabil hingga hari ke-13, namun setelah hari ke-13 terus mengalami peningkatan

    sampai hari ke-16 hingga 67.79 mg/L. Pada hari ke-19 mengalami sedikit

    penurunan hingga 63,72 mg/L. Pada hari ke-21 perlakuan C mengalami

    penurunan yang sangat signifikan hingga 24.67 mg/L. Hal ini diakibatkan jumlah

    biomassa bakteri pada hari tersebut mengalami penurunan, sehingga kadar nitrat

    yang dihasilkan menurun.

    Pada perlakuan D dari hari ke-0 sampai hari ke-13 kadar nitrat sangat

    rendah dan stabil yaitu berada di bawah 10 mg/L, namun pada hari ke-16

    mengalami kenaikan yang cukup signifikan hingga mencapai 33.50 mg/L. Setelah

    hari ke-16 sampai hari ke-21 kadar nitrat cukup stabil. Kadar nitrat yang

    dihasilkan pada hari ke-16 hingga hari ke-21 diakibatkan oleh bakteri autotrof

    yang secara alami berada dalam corong pada perlakuan D dan menghasilkan

    nitrat.

    Nitrat yang dihasilkan pada perlakuan B dan D merupakan hasil oksidasi

    amonia menjadi nitrit dan oksidasi nitrit menjadi nitrat oleh bakteri autotrofik

    alami yang berada pada corong, namun aktifitas bakteri autotrofik dalam

    mengoksidasi amonia dan nitrit sangat rendah, karena bakteri heterotrofik lebih

  • 64

    mendominasi di dalam corong, sehingga kadar nitrat yang dihasilkanpun lebih

    rendah jika dibandingkan dengan kadar nitrat pada perlakuan A dan C.

    Nitrat memiliki ambang batas 1000-3000 ppm, sehingga sangat jarang

    sekali menjadi penyebab kematian pada ikan. Hanggono (2004) menyatakan

    bahwa nitrat berbeda dengan amonia maupun nitrit, nitrat jarang sekali menjadi

    masalah dalam budidaya hewan akuatik baik di tawar, payau maupun laut. Efek

    nitrat pada hewan akuatik hampir sama dengan nitrit yaitu pada transportasi

    oksigen dan proses osmoregulasi. Kadar nitrat dalam air yang berbahaya bagi ikan

    maupun invertrebata berkisar antara 1.0003.000 ppm. Oleh karena itu, keracunan

    nitrat pada hewan akuatik sangat jarang terjadi.

    Hasil uji analisis menunjukan bahwa sistem heterotrofik berpengaruh

    nyata terhadap kadar nitrat, hal ini dapat diperhatikan dari nilai F hitung yang

    lebih besar dari F Tabel dan dari probabilitas (P

  • 65

    Gambar 9. Perbandingan Kadar Rata-rata Amonia, Nitrit, dan Nitrat

    Dari Gambar 9 diatas dapat dilihat perbedaan kadar rata-rata amonia,

    nitrit, dan nitrat dari tiap-tiap perlakuan. Pada perlakuan A dan C sangat terlihat

    adanya proses nitrifikasi pada kedua perlakuan tersebut. Amonia yang ada diubah

    menjadi nitrit melalui proses oksidasi, sehingga kadar nitrit yang dihasilkan lebih

    tinggi dari kadar amonia. Begitu pula dengan kadar nitrat, kadar nitrat yang

    dihasilkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kadar nitrit. Hal ini

    menunjukkan adanya proses oksidsi nitrit menjadi nitrat melalui proses nitrifikasi

    oleh bakteri autotrofik. Pada perlakuan C terlihat bahwa nilai rata-rata kadar nitrit

    pada perlakuan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A. kedua

    perlakuan ini dianggap sama, perbedaannya hanya inokulasi bakteri komersial

    yang dilakukan pada perlakuan C. Inokulasi bakteri ini diduga sebagai penyebab

    tingginya kadar nitrit pada perlakuan C. Pada bakteri komersial tersebut diduga

    terdapat bakteri heterotrofik yang bersifat fakultatif yang dapat berubah menjadi

    9,397,31

    9,147,27

    11,20

    6,92

    18,72

    3,36

    19,53

    5,11

    21,21

    12,95

    0,00

    5,00

    10,00

    15,00

    20,00

    25,00

    A (nobak+nomol) B (nobak+mol) C (bak+nomol) D (bak+Mol)

    mg/

    l

    perlakuan

    amonia

    nitrit

    nitrat

  • 66

    autotrof jika tidak adanya sumber karbon. Dengan demikian tingginya kadar nitrit

    pada perlakuan C diakibatkan adanya bakteri heterotrofik fakultatif yang

    diinokulasikan ke dalam perlakuan ini sehingga proses nitrifikasi yang terjadi

    lebih cepat jika dibandingkan dengan perlakuan A yang merupakan kontrol.

    Pada perlakuan B kadar rata-rata amonia, nitrit, dan nitrat berturut-turut

    menurun. Kadar amonia lebih tinggi dibandingkan kadar nitrit dan nitrat. Kadar

    nitrit lebih tinggi dibandingkan kadar nitrat. Hal ini disebabkan adanya aktifitas

    bakteri heterotrofik yang merubah amonia menjadi biomassa sel. Amonia dirubah

    menjadi biomassa sel dan sangat sedikit yang dirubah menjadi nitrit. Hal tersebut

    diduga bahwa bakteri pengoksidasi nitrit berjumlah lebih sedikit dibandingkan

    dengan bakteri pengoksidasi nitrat.

    Kadar rata-rata amonia, nitrit, dan nitrat pada perlakuan D masing-

    masing kadar terlihat sangat berbeda. Pada perlakuan ini kadar rata-rata limbah

    nitrogen yang didapatkan tidak sama dengan perlakuan B. Kadar nitrat pada

    perlakuan D lebih tinggi dibandingkan perlakuan B. Hal ini disebabkan oleh

    bakteri autotrofik yang berada pada perlakuan D. Bakteri ini juga berperan dalam

    proses pemanfaatan amonia melalui proses nitrifikasi di dalam corong perlakuan

    D, sehingga kadar nitrat yang didapat melebihi kadar nitrit. Namun tetap saja

    jumlah kadar nitrit dan nitrat pada perlakuan D jauh lebih rendah dari perlakuan A

    dan C.

  • 67

    4.3. Kualitas Air Pendukung

    Kualitas air pendukung yang menjadi parameter pada penelitian ini

    adalah oksigen terlarut, derajat keasaman (pH), dan suhu. Faktor utama yang

    mempengaruhi laju nitrifikasi dan memp