perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id analisis yuridis ... · insan setiyawan e1106138 fakultas...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
ANALISIS YURIDIS TERHADAP
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2143K / PID / 2006
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING
Penulisan Hukum
( Skripsi )
Disusun Dan Diajukan Untuk
Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana
Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Disusun Oleh :
INSAN SETIYAWAN
E1106138
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
ANALISIS YURIDIS TERHADAP
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2143K/ PID/ 2006
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING
Oleh :
INSAN SETIYAWAN
NIM. E1106138
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Oktober 2010
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Winarno Budyatmojo S.H, M.S Siti Warsini S.H, M.H
NIP. 196005251987021002 NIP. 194709111980032002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
ANALISIS YURIDIS TERHADAP
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2143K/ PID/ 2006
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING
Oleh :
Insan Setiyawan
NIM. E1106138
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi )
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Kamis
Tanggal : 21 Oktober 2010
DEWAN PENGUJI
1. Ismunarno S.H, M.Hum :...................................................................
Ketua
2. Siti Warsini S.H, M.H :...................................................................
Sekretaris
3. Winarno Budyatmojo S.H, M.S : ...................................................................
Anggota
Mengetahui Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta,
Muhammad Jamin, S.H, M.Hum
NIP 196109301986011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : INSAN SETIYAWAN
NIM : E1106138
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum ( skripsi ) berjudul :
” ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 2143K/ PID/ 2006 DALAM PERKARA TINDAK PIDANA ILLEGAL
LOGGING ” adalah betul – betul karya sendiri. Hal- hal yang bukan karya saya
dalam penulisan hukum ( Skripsi ) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan
saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan penulisan hukum ( skripsi ) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan
hukum ( skripsi ) ini.
Surakarta, Oktober 2010
Yang membuat
pernyataan
Insan Setiyawan
NIM E1006138
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
Belajarlah dari sebuah pengalaman,
sebab pengalaman itu dapat menjadi guru yang paling berharga,
serta dari pengalaman itu sendiri dapat menjadikan
kita lebih berhati-hati dalam melangkah,
dan lebih mantab lagi dalam menatab masa depan.
Sukses tidak diukur dari posisi yang dicapai seseorang dalam hidup,
tapi dari kesulitan – kesulitan yang berhasil diatasi
ketika berusaha meraih sukses,
sebab sukses itu yang dapat menentukan hanya diri kita sendri,
masa depan kita ada ditangan kita sendiri.
Demi massa
Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian
Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat amal sholeh,
Serta saling berwasiat dalam kebenaran dan saling-saling berwasiat kepada
Kesabaran ( Q.S. Al- ‘Ashr )
Setiap kita ( manusia ) diberi waktu yang sama dalam sehari ( 24 jam )
Namun dari perbedaan pemanfaatan waktu tersebut
Ada yang senang, ada yang susah, ada yang beruntumg, ada yang merugi,
ada yang baik, ada yang jahad
Itu semua tergantung pada kita ( manusia ) untuk memilih yang menjadi
pilihannya,
Apapun itu harus dijalani sebab sudah menjadi suatu keputusan yang diambil.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini Kupersembahkan Buat :
H. Bimo Padmo Suwito – Hj. Widayati Nama tersebut adalah kedua Orang Tuaku yang tercinta dan yang paling ku
sayang pusat rodho dan do’a
Beserta Ke empat Saudaraku, ( Widihastuti, Amd. , Ernanti Wahyurini, SE. , Trias Susilowati, Adi Prastama,
SE. ) Terima Kasih atas Doa dan Dukungannya selalu, Sehingga dapat terselesaikannya
Skripsi ini.
Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Khususnya Dosen Pembimbing Skripsi I Bapak Winarno Budyatmojo, S.H, M.S
dan Pembimbing Skripsi II Ibu Siti Warsini, S.H, M.H.
Keluarga Besar Villa Bengawan Mas yaitu Sobat-Sobat saya yang kucintai, Shan Anul Hasani, Akbar Mahar, David Setiyawan, Rizky, Dicky
Terima Kasih atas Doa, Semangat, dan Dukungannya selama ini, sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.
Teman Seperjuangan
Ahmad Akbar, Akbar Mahar, David Setiyawan, Wulung Firmansyah, Agus Yulianto, Agus Dwi Purnomo, Yanuar Hendra,Johan Hardianto S.H Isyanna TSO S.H, Russiana S.H, Imroatul Qoriah, Nidia Ulfa S.H
Terima kasih atas dukungan dan bimbingamu.
Belahan Jiwaku Lia Listyorini Terima kasih sekali atas Doa, Dukungan, Semangat yang telah diberikan pada
saya, dan selalu setia menemani saya disaat apapun itu, Sehingga dapat terselesaikannya Skripsi ini,
Semoga kita diberi kemudahan dalam melangkah kedepannya, serta selalu dalam lindungan Allah SWT.
Tidak lupa saya ucapkan terima kasih pada
Mas Alex dan Semua karyawan yang ada dibawah naungan Pratama Auto Service Management,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRAK
INSAN SETIYAWAN, E 1106138, ANALISIS YURIDIS TERHAD AP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2143K/ PID/ 2006 DALAM PERKARA TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING , Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, 2010. Penulisan Hukum ini bertujuan untuk mengetahui apakah dasar hukum yang digunakan oleh Hakim Mahkamah Agung dalam memutus perkara tindak pidana illegal logging, serta untuk mengetahui apakah Putusan Mahkamah Agung tersebut dalam perkara tindak pidana illegal logging telah sesuai dengan Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Penulisan hukum ini merupakan penulisan hukum yang bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk merupakan penulisan hukum normatif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Sedangkan tekhnik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu dengan melihat putusan hakim serta penelitian kepustakaan baik buku - buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, dan sebagainya. Analisis data menggunakan tekhnik analisis data logika deduktif dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan dari hasil penulisan dan analisis data yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan kalau perkara tersebut adalah perkara pidana tentang tindak pidana illegal logging, dimana dasar hukum yang digunakan oleh hakim mahkamah agung dalam memutus perkara tersebut yaitu dengan pasal 50 ayat (3) huruf h jo pasal 78 ayat (7) Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kemudian dari penulisan itu dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa penggunaan kaidah hukum oleh hakim tersebut adalah benar dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, namun karena undang-undang itu tidak mengatur batas minimum pemberian sanksi pidana, serta adanya sifat selektifitas terhadap subyek hukumnya, membuat hukumnya tidak maksimal, sehingga dalam pencapaian supremasi hukumnya dalam negara juga terhambat. Implikasi Teoritis penulisan hukum ini adalah sebagai sarana untuk dapat memberikan ide atau pemikiran dalam perkembangan Ilmu Hukum Pidana pada umumnya dan Hukum Pidana pada khususnya, terutama mengenai dasar hukum yang digunakan hakim dalam memutus perkara tindak pidana illegal logging dan putusan mahkamah agung itu sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, berdasarkan substansi hukum yang berlaku dalam rangka penegakan hukum pidana illegal logging di Indonesia, sedangkan implikasi praktisnya adalah hasil penulisan hukum ini diharapkan dapat sebagai bahan masukan bagi pemerintah maupun pemerintah daerah dalam rangka penyusunan dan pengambilan keputusan berbagai kebijakan kehutanan khususnya di bidang kebijakan pemberantasan illegal logging. Kata Kunci : Tindak Pidana, Illegal Logging, UU No 41 tahun 1999, Putusan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRACT
INSAN SETIYAWAN, E 1106138, AN JURIDICAL ANALYSIS O N THE SUPREME COURT’S VERDICT NUMBER 2134K/ PID/ 2006 IN ILLEGAL LOGGING CRIMINAL CASE, Law Writing, Law Fac ulty of Sebelas Maret University, 2010.
This writing aims to find out the legal foundation the Judge of Supreme Court uses in deciding the illegal logging criminal case, as well as to find out whether or not the Supreme Court’s Verdict in the illegal logging criminal case has been consistent with the Act Number 41 of 1999 about forestry.
This law writing belongs to a descriptive writing and viewed from the objective belongs to a normative writing. The data type employed was secondary data. Meanwhile technique of collecting data used was judge’s verdict as well as the library research including books, legislations, documents, and etc. The data analysis was done using deductive logic data analysis technique with qualitative approach.
Considering the result of writing and data analysis conducted, it can be concluded that such case is the criminal case of illegal logging, in which the legal foundation the Judge of Supreme Court uses in deciding the case is the article 50 clause (3) letter h jo article 78 clause (7) of Act Number 41 of 1999 about Forestry. Then, from the writing it can be concluded that the use of law norm by the judge is correct and consistent with the provision of legislation prevailing, but because the act does not regulates the minimum limit of punishment sentencing, as well as there is selectivity attitude toward the law subject, the law becomes not maximal, so that the achievement of law supremacy in the state is also inhibited.
The theoretical implication of writing is that it serves as the means of providing idea or thinking in the Criminal Law Discipline development generally and Criminal Law particularly, especially concerning the legal foundation the judge uses in deciding the illegal logging criminal case and the Supreme Court’s verdict has been consistent with the Act Number 41 of 1999 about Forestry, based on the law substance prevailing in the attempt of enforcing the illegal logging in Indonesia, meanwhile the practical implication is the result of law writing is expected as the input material to the government and local government in developing and decision making concerning the forestry policy particularly concerning the policy of illegal logging eradication.
Keywords: Criminal Action, Illegal Logging, Act Number 41 of 1999, Verdict
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur yang sedalam-dalamnya penulis
panjatkan ke hadirat Allah SWT yang selalu menyertai, menemani, dan
memberikan kekuatan kepada saya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini guna memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret, skripsi ini yang berjudul ” ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2143K/PID/2006 DALAM PERKARA
TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING ” tanpa ada kesulitan yang berarti.
Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhhamad SAW yang telah
membawa kaumnya dari zaman jahilliyyah ke zaman yang penuh dengan
pengetahuan.
Berhasilnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, maka pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. DR. Dr. Syamsulhadi, SpKj selaku Rektor Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
2. Bapak Muhammad Jamin S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Winarno Budyatmojo S.H, M.S Selaku Dosen Pembimbing Skripsi
I dan Ibu Siti Warsini S.H, M.H Selaku Dosen Pembimbing Skripsi II,
Saya mengucapkan banyak terima kasih yang sedalam-dalamnya atas
bimbingannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar dan
baik.
4. Bapak Harjono S.H, M.H selaku ketua program Non Reguler Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret.
5. Bapak Hernawan Hadi, S.H, M.H, selaku Pembimbing Akademik saya di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
6. Seluruh Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
7. Seluruh pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
8. Semua teman-temanku kelas A dan Kelas B angkatan 2006 Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Semoga amal kebaikan dan segala bimbingannya serta bantuan yang telah
diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT. Amin ya robbal
alamin.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Surakarta, Oktober 2010
Penulis
Insan Setiyawan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ............................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................... iv
HALAMAN MOTTO ............................................................................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. vi
ABSTRAK . ............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................................ viii
DAFTAR ISI ............................................................................................ x
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................... 6
C. Tujuan Penulisan Hukum.................................................... 6
D. Manfaat Penulisan Hukum.................................................. 7
E. Metode Penulisan Hukum................................................... 7
F. Sistematika Penulisan Hukum............................................. 12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori.................................................................... 14
1. Tinjauan tentang Tindak Pidana................................... 14
2. Tinjauan tentang Hutan dan Illegal Logging................ 18
3. Tinjauan tentang Putusan Mahkamah Agung............... 25
B. Kerangka Pemikiran............................................................. 29
1. Bagan kerangka pemikiran............................................ 29
2. Penjelasan kerangka pemikiran..................................... 30
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Putusan................................................................. 32
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan......................................... 35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
1. Dasar hukum yang dipakai hakim Mahkamah Agung
Nomor 2143k/Pid/2006 dalam perkara
tindak pidana illegal logging........................................... 35
2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2143K/Pid/2006
dalam perkara tindak pidana illegal logging telah sesuai
dengan Undang-Undang No.41 tahun 199.................... 61
BAB IV. PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................... 65
B. Saran.................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber daya alam “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya (hutan) dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Hutan adalah karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa,
yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai
negara, agar hutan dapat memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia.
Untuk itu, kegiatan pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang
optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap
menjaga kelestariannya.”
Kejahatan terhadap lingkungan saat ini sering terjadi, misalnya saja
kejahatan terhadap sektor kehutanan, kehutanan adalah sektor yang paling sering
mendapatkan tekanan ekploitasi berlebihan, laju kerusakan hutan menurut versi
WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) pernah mencapai angka 3,4 juta hektar
setiap tahun, kerugian akibat illegal logging pun berkisar 40-65 trilyun setiap
tahunnya. Tahun 2003 laju kerusakan menurun menjadi 3,2 juta hektar dan 2005
berkisar 2,4 juta hektar, penurunan angka laju kerusakan ini bukan disebabkan
oleh efektivitas penegakan hukum, melainkan semakin langkanya kayu yang
dapat dijarah oleh para penjahat kehutanan. Illegal logging tidak satu-satunya
kejahatan di sektor kehutanan yang menyebabkan kondisi hutan kritis ( M.
Hamdan, 2000 : 3 ).
Pemanfaatan hasil hutan kayu ini, sebenarnya telah diatur dalam
ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku baik berupa Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah maupun peraturan perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan yang berada di bawahnya. “Ketentuan
pemanfaatan hasil hutan kayu telah diatur melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam dan atau yang sebelumnya disebut Hak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) dan atau Hak Pengusahaan Hutan
Tanaman Industri (HPHTI).
Izin usaha tersebut kegiatannya meliputi pemanenan atau penebangan,
penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan
kayu. Namun demikian, fakta di lapangan ternyata banyak ditemukan praktek
menyimpang dari aturan terutama dalam kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam.
Prakteknya, usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam
banyak ditemui pelanggaran hukum. Di sini terdapat berbagai praktek
pelanggaran hukum yang dapat dikategorikan sebagai “kejahatan penebangan
kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya atau dikenal dengan Illegal
logging. Sebenarnya peraturan-perudangan telah mengaturnya, seperti yang
tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Telah ada ketentuan bahwa “setiap orang dilarang membawa alat-alat berat yang
lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang”. Tidak dapat dipungkiri
bahwa terdapat banyak penyimpangan dalam pelaksanaan pemanfaatan hasil
hutan kayu, dengan sebutan illegal logging yang dikenal sebagai penebangan
kayu secara ilegal di kawasan hutan tersebut dapat kategorikan sebagai tindakan
melanggar hukum. Pelanggaran hukum illegal logging ini sebenarnya telah cukup
lama terjadi dengan tingkat pelanggaran yang fluktuatif dari waktu ke waktu.
Sepanjang sejarah penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan, “tahun 1998
adalah awal menggilanya illegal logging. Pelanggaran hukum penebangan kayu
secara ilegal ini bukan hanya di hutan produksi, tetapi juga di hutan lindung dan
hutan konservasi.
Sebelumnya, illegal logging sudah ada namun tidak separah yang terjadi
pada tahun itu dan tahun-tahun berikutnya. Peningkatan illegal logging semakin
menjadi-jadi seiring dengan tumbuh suburnya industri perkayuan baik yang legal
maupun ilegal. Terlebih lagi setelah adanya perangkat unit penggergajian yang
dapat dipindah dengan mudah (mobil) dan adanya pasar kayu ilegal mengiringi
maraknya praktek-praktek illegal logging.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Maraknya praktek illegal logging menimbulkan keprihatinan mendalam
dari berbagai kalangan baik dari dalam maupun luar negeri. Dari dalam negeri,
adalah para pihak yang merupakan pemerhati kehutanan, dari berbagai unsur
masyarakat. Di berbagai tempat mereka mengungkapkan keprihatinannya atas
pelanggaran hukum penebangan kayu secara ilegal dan penegakan hukumnya.
Pada bulan April 2003, Ketua Majelis Ulama Indonesia menyatakan dukungannya
terhadap upaya pemberantasan illegal logging. Di samping itu ada beberapa
lembaga swadaya masyarakat dalam negeri salah satunya yaitu WALHI (Wahana
Lingkungan Hidup), dan LSM lainnya juga ikut mamantau kegiatan terkait
dengan illegal logging.
Para pihak dari luar negeri pun tidak ketinggalan juga mendorong dan
mendukung berbagai kegiatan dalam upaya penegakan hukum illegal logging
tersebut. Langkah-langkah konkrit banyak dilakukan untuk mendukung kegiatan
tersebut antara lain melalui kerjasama dengan organisasi internasional antara lain
International Tropical Timber Organizatioa (ITTO) dan World Wide Fun for
Nature (WWF).
Terkait dengan hal tersebut mereka melakukan tekanan-tekanan antara
lain: kampanye anti kayu tropis; kampanye agar Indonesia membatasi
pemanfaatan sumber daya hutannya. Di samping itu di Era Ekolabelling di mana
negara-negara lain hanya menerima impor kayu dari hutan yang dikelola secara
lestari. Oleh karena itu kayu hasil illegal logging tidak akan dapat diterima oleh
negara-negara yang tergabung dalam ITTO. Sedangkan WWF telah menyusun
target pengelolaan hutan berkelanjutan untuk seluruh dunia yang dimulai sejak
tahun 1985. Sebagian besar industri dan perdagangan perkayuan di Inggris
menyetujui rencana tersebut.
Setelah melihat perkembangan pemberantasan illegal logging yang
kurang mengembirakan, Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY)
menginstruksikan kepada seluruh aparat penegak hukum untuk menindak tegas
beking illegal logging tanpa pandang bulu. Instruksi lisan ini disampaikan
presiden seusai meninjau langsung kondisi penjarahan Taman Nasional Tanjung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Puting tanggal 11 Nopember 2004 dalam pertemuan di Pangkalan Bun,
Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Padahal, sebelumnya berbagai program pengamanan hutan telah
dicanangkan dan kebijakan telah digulirkan. Sebagai misal, telah dibentuk
Operasi Wanalaga dan Operasi Wanabahari yang ditetapkan dengan Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal
(Illegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem
Leuseur dan Taman Nasional Tanjung Puting. Pelaksanaan Operasi Wanalaga
dan Operasi Wanabahari telah berhasil menangkap sebagian pelaku kejahatan
illegal logging di beberapa provinsi di Indonesia.
Ada contoh kasus yang diambil dari putusan mahkamah agung dalam
perkara tindak pidana illegal logging, kasus posisinya sebagai berikut : orang
yang melakukan kejahatan Tindak Pidana Illegal logging, kasus posisinya yaitu
Bahwa ia Terdakwa H. Patta bin Latappe, pada hari Kamis tanggal 20 Oktober
2005 sekira jam 09.00 WITA atau setidak-tidaknya dalam tahun 2005, bertempat
di Jalan Raya Lawo, Kelurahan Ompo, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng
atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Watansoppeng yang berwenang untuk memeriksa dan
mengadili perkaranya, telah mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan
yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.
Perbuatan Terdakwa tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, ia Terdakwa H.
Patta bin Latappe memuat kayu berbentuk kayu jati bulat sebanyak kurang lebih
80 potong dengan ukuran bervariasi antara 2 sampai 3 meter kira-kira sebanyak 3
kubik dari kampung LattiE Desa Sering, Kecamatan Donri-donri, Kabupaten
Soppeng menuju ke Lapajung, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng dengan
menggunakan mobil truk Colt Mitsubishi warna kuning DD 9925 AY milik saksi
Abd. Wahid. Sewaktu kayu tersebut diangkut oleh Terdakwa tidak dilengkapi
dengan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) dan juga tidak dilengkapi
oleh Daftar Pengangkutan (DP) sehingga pada saat ditangkap oleh petugas
Kepolisian, Terdakwa H. Patta hanya dapat memperlihatkan Surat Pengantar dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Desa Sering dan SKU saja, sedangkan syarat atau prosedur pengangkutan kayu
harus dilengkapi dengan SKSHH atau Daftar Pengangkutan ; Perbuatan ia
Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h
jo. Pasal 78 ayat (7) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Bahwa praktik pengangkutan kayu yang berasal dari hutan hak atau
hutan tanaman rakyat tersebut dapat dimaklumi, oleh karena aparat terkait sama
sekali tidak melakukan sosialisasi terhadap ketentuan yang diamanatkan oleh
Undang - Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam hal ini
Terdakwa tidak pernah melakukan perbuatan pidana oleh karena segala tindakan
Terdakwa telah memenuhi beberapa kewajiban selaku warga negara seperti
membayar pungutan retribusi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Soppeng
yang sebelumnya telah diterbitkan dokumen yang berkaitan dengan asal usul dan
pengangkutan kayu miliknya tidaklah memenuhi unsur objektif dari suatu tindak
pidana yakni tidak ada unsur “melawan hukum” atau “wederrechtelijk”.
ICW melakukan pendataan terhadap 205 terdakwa pembalak liar 2005-
2008. Khusus untuk proses hukum di Mahkamah Agung, misalnya sekitar 82,76
persen dari perkara illegal logging yang diproses ternyata hanya menjerat Supir
Truk, Petani, dan operator teknis lainnya. Lebih dari 85 persen putusan hakim
dikategorikan tidak berpihak pada semangat pemberantaan illegal logging. 71,43
persen terdakwa aktor utama divonis bebas (71,43%), dan 14,29 persen hanya
diganjar kurang dari 1 tahun.Kenyataan inilah yang ditemukan ICW. Aktor utama
yang terdiri dari direktur, manajer, komisaris utama, cukong, penegak hukum,
kontraktor cenderung divonis bebas atau kurang dari setahun. Sementara petani
yang memungut kayu di hutan dan supir truk diproses dan dijatuhi hukuman
hingga dua tahun di Mahkamah Agung
(http://jacsky.multiply.com/journal/item/105/)
Bahwa dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-
perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang
dilarang dan diancam dengan pidana. Langemeyer mengatakan untuk melarang
perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dapat dipandang keliru,
itu tidak masuk akal. (Moeljatno, 1983 : 130)
Keberhasilan dari setiap kegiatan memang menjadi harapan, namun
demikian ada efek samping atau dampak negatif yang timbul dan hal itu tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
tentu tidak diharapkan. Permasalahan timbul terutama terhadap industri primer
hasil hutan kayu yang telah memperoleh izin dari pejabat yang berwenang dan
juga permasalahan ikutannya yaitu ketenagakerjaan. Industri perkayuan
khususnya industri primer hasil hutan kayu menjadi kesulitan untuk memperoleh
bahan baku kayu. Persaingan ketat untuk mancari bahan baku membuat beberapa
industri perkayuan, khususnya industri primer hasil hutan kayu menjadi kolap dan
banyak yang gulung tikar.
Dengan berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan
Penulisan secara Normatif dengan melihat salah satu putusan yang terkait dengan
kasus illegal logging, dimana penulis mengambil putusan yang telah incraht
(berkekuatan hukum tetap), yaitu Putusan Mahkamah Agung. Oleh karena itu
penulis mengambil judul ”ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2143K / PID / 2006 DALAM PERKA RA
TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING ”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah Dasar hukum yang digunakan oleh Hakim Mahkamah Agung
dalam memutus Perkara Tindak Pidana Illegal Logging ?
2. Apakah Putusan Mahkamah Agung nomor 2143 K/ PID /2006 dalam
perkara tindak pidana Illegal Logging telah sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ?
C. Tujuan Penulisan Hukum
Tujuan Penulisan Hukum ini adalah untuk memberikan arah dalam
melangkah sesuai dengan maksud Penulisan Hukum. Adapun tujuan yang akan
dicapai oleh penulis dalam penulisan hukum ini adalah :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
1. Tujuan Obyektif
Tujuan Obyektif merupakan tujuan yang memperoleh data dalam
rangka mengetahui jawaban permasalahan. Sedangkan tujuan dari penelitian
ini sendiri adalah :
a. Untuk mengetahui Dasar Hukum yang digunakan oleh Hakim
Mahkamah Agung dalam memutus perkara Tindak Pidana illegal
logging .
b. Untuk mengetahui Putusan Mahkamah Agung nomor 2143 K/ PID
/2006 dalam perkara tindak pidana illegal logging telah sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
2. Tujuan Subyektif
Tujuan Subyektif merupakan motif subyektif penyusunan penulisan
hukum. Tujuan dari penulisan hukum ini antara lain sebagai berikut :
a. Untuk memperoleh data yang lengkap dan jelas sebagai bahan utama
dalam menyusun penulisan hukum sebagai persyaratan dalam
mencapai gelar Sarjana di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Memperluas pengetahuan dan pemahaman aspek hukum dalam teori
dan praktek, terutama dibidang hukum pidana berkaitan dengan
Tindak Pidana Illegal logging dalam sistem hukum pidana di
Indonesia.
D. Manfaat Penulisan Hukum
Dalam penulisan hukum tentunya sangat diharapkan adannya manfaat
dan kegunaan yang dapat diambil dalam penulisan hukum tersebut. Adapun
manfaat yang didapat dari penulisan hukum ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan menfaat
pada pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
pada khususnya, terutama mengenai dasar hukum yang digunakan
hakim dalam memutus perkara tindak pidana illegal logging dan
putusan Mahkamah Agung itu sudah sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, berdasarkan substansi
hukum yang berlaku dalam rangka penegakan hukum pidana illegal
logging
b. Hasil penulisan hukum ini diharapkan dapat memperkaya referensi
dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang tindak pidana illegal
logging.
c. Hasil penulisan hukum ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penulisan-penulisan hukum sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penulisan hukum ini diharapkan dapat sebagai bahan masukan
bagi pemerintah maupun pemerintah daerah dalam rangka
penyusunan dan pengambilan keputusan berbagai kebijakan
kehutanan khususnya di bidang kebijakan pemberantasan illegal
logging.
b. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai
bekal untuk terjun kedalam masyarakat nantinya.
c. Hasil penulisan hukum ini diharapkan dapat membantu pihak-pihak
yang terkait dengan masalah yang diteliti.
E. Metode Penulisan Hukum
Inti dari metodologi penulisan hukum dalam setiap penulisan hukum
adalah menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu penulisan hukum itu harus
dilaksanakan guna mendapatkan data yang valid. Sebagai uraian tentang tata cara
atau ( tehnik ) penulis yang harus dilakukan, maka metodologi penulisan hukum
pada pokoknya mencangkup :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan
hukum ini adalah penulisan hukum normatif atau penulisan hukum
kepustakaan, yaitu penulisan hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer ,
bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun
secara sistematis, dikaji, kemudian, ditarik kesimpulan dalam hubungannya
dengan masalah yang diteliti ( soerjono soekanto, 2006:10 ).
Penentuan metode penulisan hukum ini didasari dari adanya
penerapan aturan atau norma hukum bidang kehutanan yang melahirkan
peristiwa hukum baik yang menyimpang maupun yang sesuai dengan norma
hukum tersebut. Peristiwa hukum yang menyimpang tersebut adalah illegal
logging di mana hal ini membawa dampak terhadap perilaku kehidupan
sosial yang tidak dikehendaki dan tidak disadari sebelumnya.
Oleh karena itu di sini akan diuraikan bagaimana peristiwa hukum
yang bersifat menyimpang dari ketentuan atau norma hukum bidang
kehutanan sebagai tolok ukurnya. Sebagai tolok ukurnya antara lain Inpres
Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara
Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh Indonesia,
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang dilihat
dari sifatnya, maka penulisan hukum ini bersifat deskriptif yaitu penulisan
hukum yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya yang timbul dari hukum.
3. Pendekatan Penelitian
Didalam penulisan hukumterdapat beberapa pendekatan tersebut,
penulisan hukum akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabanya. Pendekatan-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan
undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan komparatif (comparative approach), pendekatan historis
(historical approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach),
(Peter Mahmud Marzuki, 2006:93).
Dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan
dengan penulisan hukum yang penulis angkat adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach). Yang dimaksud dengan
pendekatan undang-undang (statute approach) adalah pendekatan dengan
regulasi dan legislasi, dimana dalam penulisan hukum ini regulasi yang
digunakan sebagai acuan adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan.
4. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Sumber-sumber penulisan hukum dapat dibedakan menjadi
sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam perbutan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,2005 :
141).
Data dalam penulisan hukum ini diperoleh dari dua sumber yaitu
sumber data primer dan sekunder. Sumber data sekunder dalam penulisan
hukum normatif ini adalah :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer berupa terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945
dan Amandemennya, Putusan Mahkamah Agung, Kitab Undang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 41 tahun
1999 Tentang Kehutanan. Di samping itu juga berbagai peraturan
pelaksanaannya seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, dan
yurisprudensi yang terkait dengan illegal logging.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder terdiri dari buku-buku referensi, jurnal-jurnal
hukum yang terkait, dan media massa yang mengulas atau terkait
dengan tindak pidana Illegal Logging.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier digunakan untuk memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu
kamus hukum dan kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
ensiklopedia,dan lain-lain.
5. Teknik Pengumpulan Data
Karena penulisan hukum yang penulis angkat merupakan penulisan
hukum normatif, maka dalam pengumpulan datanya dilakukan dengan studi
kepustakaan atau studi dokumen. Teknik ini merupakan cara pengumpulan
data dengan membaca, mempelajari, mengkaji, dan menganalisis serta
membuat catatan dari buku literatur, peraturan perundang-undangan,
dokumen dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
6. Teknik Analisis Data
Penulisan hukum ini menggunakan teknik analisis data dengan
logika deduktif. Menurut Johnny Ibrahim yang mengutip pendapat Bernard
Arief Shidarta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik
kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat
individual. Penalaran deduktif adalah penalaran yang bertolak dari aturan
hukum yang berlaku umum pada kasus individual dan konkret yang
dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006 : 249-250). Sedangkan Prof. Peter Mahmud
marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon menjelaskan metode
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan
metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis major (pernyataan
bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari
kedua premis itu kemudian ditarik suatau kesimpulan atau conclusion.
Akan tetapi didalam argumentasi hukum, silogisme hukum tidak
sesederhana silogisme tradisional (Peter Mahmud Marzuki,2006 : 47). Jadi
dapat disimpulkan bahwa logika deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang
bersifat umum kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang lebih
khusus.
Dalam penulisan hukum ini, data yang diperoleh dengan cara
menginventarisasi sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan,
aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat
membantu menafsirkan norma untuk menjawab permasalahan yang diteliti.
Tahap terakhir yaitu dengan menarik kesimpulan dari data yang diolah,
sehingga pada akhirnya dapat menjawab komparasi pengaturan yang
berkaitan dengan Illegal Logging (pembalakan liar).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Dalam Penulisan Hukum ( Skripsi ) ini terdiri dari empat bab yang
masing-masing terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang
diteliti. Sistematika penulisan itu sendiri sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam Bab ini diuraikan tentang Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan Hukum, Manfaat Penulisan
Hukum, Metode Penulisan Hukum, Sistematika Penulisan Hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini memuat dua kategori yaitu kerangka teori dan
kerangka pemikiran. Kerangka Teori berisikan tentang Tinjauan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
tentang Tindak Pidana, Tinjauan tentang Hutan dan Illegal
Logging, dan Tinjauan tentang Putusan Mahkamah Agung.
Sedangkan Kerangka Pemikiran berisikan kerangka atau landasan
yang penulis gunakan dalam penulisan hukum ini.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini berisi mengenai Dasar hukum yang digunakan oleh
Hakim Mahkamah Agung dalam memutus Perkara Tindak Pidana
ILLEGAL LOGGING dan menganalisis Putusan Mahkamah Agung
nomor 2143 K/ PID /2006 dalam perkara tindak pidana ILLEGAL
LOGGING telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran dari hasil
penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh penulis.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana ( Strafbaar feit )
Pembentukan undang-undang menggunakan perkataan ”strafbaar
feit” untuk menyebutkan apa yang dikenal dengan ”tindak pidana” didalam
suatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kata ”feit” sendiri dalam
bahasa belanda berarti ”sebagian dari suatu kenyataan” dan ”strafbaar”
berarti ”dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan ”strafbaar
feit” dapat diterjemahkan sebagai ”sebagian dari suatu kenyataan yang
dapat dihukum” (P.A.F Lamintang, 1997 : 181).
Para ahli hukum mempunyai pandangannya sendiri dalam
memberikan pengertian mengenai tindak pidana. Beberapa ahli hukum
yang memberikan definisi diantaranya yaitu :
1) Menurut Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan
pidana yaitu perbuatan yang dilarangan oleh suatu aturan hukum yang
disertai ancaman ( sanksi ) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa yang melanggar larangan tersebut.
2) Menurut Pompe strafbaar feit sebenarnya tidak lain dari suatu
tindakan yang menurut rumusan Undang-Undang dinyatakan sebagai
tindakan yang dapat dihukum.
3) Menurut Vos memberikan definisi strafbaar feit adalah suatu
kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-
undangan.
4) Menurut R. Tresna memberikan definisi peristiwa pidana sebagai
suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan
dengan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan lainnya,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman ( Adami
Chazawi, 2002 : 72 ).
b. Unsur-unsur Tindak Pidana
Untuk menguraikan pengetahuan hukum pidana, terdapat dua
pandangan mengenai unsur-unsur tindak pidana, yaitu :
1) Pandangan Monistis , yaitu bahwa untuk adanya tindak pidana maka
harus ada perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Para ahli
yang berpendapat demikian tidak memisahkan antara unsur adanya
perbuatan, unsur pemenuhan rumusan undang-undang, dan unsur sifat
melawan hukum sebagai perbuatan pidana dengan unsur kemampuan
bertanggungjawab, unsur adanya kesalahan, dan unsur alasan
penghapusan pidana sebagai pertanggungjawaban pidana.
2) Pandangan Dualistis, yaitu bahwa adanya pemisahan antara perbuatan
pidana dengan pertanggungjawaban pidana, dimana jika hanya ada
unsur perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang serta
melawan hukum saja maka sudah cukup untuk mengatakan bahwa itu
adalah tindak pidana dan dapat dipidana.
Selain dari kedua pandangan tersebut, unsur-unsur tindak pidana
juga dikemukakan oleh para ahli hukum, unsur akan disampaikan menurut
Moeljatno, R. Tresna, Vos, dan Jonkers. Menurut Moeljatno, unsur tindak
pidana adalah :
1) Perbuatan;
2) Yang dilarang ( oleh aturan hukum );
3) Ancaman pidana ( bagi yang melanggar larangan ).
Menurut R. Tresna, Tindak Pidana terdiri dari Unsur-unsur, yaitu :
1) Perbuatan/ rangkaian perbuatan ( manusia );
2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
3) Diadakan tindakan penghukuman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Menurut batasan yang diberikan oleh Vos, unsur-unsur tindak
pidana yaitu :
1) Kelakuan manusia;
2) Diancam dengan pidana;
3) Dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut Batasan yang diberikan Jonkers, unsur-unsur Tindak
Pidana antara lain :
1) Perbuatan;
2) Melawan hukum ( yang berhubungan dengan );
3) Kesalahan ( yang dilakukan oleh orang yang dapat );
4) Dipertanggungjawabkan.
Selain pendapat dari pakar ahli hukum, terdapat juga pandangan
dari Undang-Undang ( kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi
tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-
pasal peraturan perundang-undangan yang berlaku). Dari rumusan-
rumusan tindak pidana tertentu yang terdapat dalam KUHP, maka unsur-
unsur tindak pidana yaitu :
1) Unsur tingkah laku ( aktif dan pasif );
2) Unsur sifat melawan hukum;
3) Unsur kesalahan ( schuld ), terdiri dari kesengajaan, kelalaian atau
culpa;
4) Unsur akibat konstitutif;
5) Unsur keadaan yang menyertai;
6) Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana;
7) Syarat tambahan untuk memperberat pidana;
8) Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana.
Perbuatan yang dapat dikategorikan termasuk di dalam suatu
perbuatan melawan hukum atau tindak pidana atau tidak, maka dapat dilihat
dari unsur-unsur perbuatan tersebut. Adapun yang termasuk dalam unsurunsur
tindak pidana menurut Hazewinkel Suringa meliputi :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
1) Unsur kelakuan orang:
2) Unsur akibat (pada tindak pidana yang dirumuskan secara materiil);
3) Unsur Psikis (dengan sengaja atau dengan alpa);
4) Unsur objektif yang menyertai keadaan tindak pidana, seperti di muka
umum;
5) Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidananya perbuatan (pasal 164,
165 KUHP) disyaratkan tindak pidana terjadi;
6) Unsur melawan hukum.
c. Penggolongan Tindak Pidana
Penggolongan jenis-jenis tindak pidana didalam KUHP, terdiri atas
kejahatan dan pelanggaran. Penggolongan untuk kejahatan di dalam Buku
II KUHP dan pelanggaran didalam Buku III KUHP. Undang-undang
hanya memberikan penggolongan kejahatan dan pelanggaran, tetapi tidak
memberikan artian yang jelas. Para pembentuk KUHP berusaha untuk
menemukan suatu pembagian yang lebih tepat mengenai jenis-jenis
tindakan melawan hukum, semula telah membuat suatu pembagian yang
disebut rechtsdelicten dan wetsdelicten.
Sesuai dengan penjelasan di atas tersebut didasarkan pada sebuah
azas, yaitu :
1) Merupakan suatu kenyataan bahwa memang terdapat sejumlah
tindakan-tindakan yang mengandung suatu ”onrecht” hingga orang
pada umumnya memandang pelaku-pelakunya pantas untuk di hukum,
walaupun tindakan tersebut oleh undang-undang tidak dinyatakan
sebagai tindakan-tindakan yang terlarang didalam undang-undang.
2) Tetapi terdapat sejumlah tindakan-tindakan di mana orang pada
umumnya baru mengetahui sifatnya dari tindakan tersebut sebagai
tindakan-tindakan yang bersifat melawan hukum, hingga pelakunya
dapat dihukum setelah tindakan tersebut dinyatakan sebagai tindakan
yang dilarang di dalam Undang-Undang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP ada
kecenderungan untuk mengikuti pandangan kuantitatif, sekalipun ada
penyimpangan dalam beberapa hal kejahatan dan pelanggaran mempunyai
derajat yang sama (Bambang Poernomo,1982 : 96-97).
Perbuatan dapat dikatakan tindak pidana atau tidak, bukan hanya
diukur dari unsur yang terdapat di dalamnya, tetapi pada dasarnya tindak
pidana itu sendiri terbagi atas beberapa bagian yang mana di dalam
pembagian tersebut diharapkan dapat mempermudah di dalam mencerna
serta memahami semua aturan yang terdapat didalam peraturan
perundangundangan, yang mana pembagian dari tindak pidana meliputi
atas :
1) Tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran;
2) Tindak pidana formal dan tindak pidana materiil;
3) Tindak pidana dengan kesengajaan dan tindak pidana kealpaan;
4) Tindak pidana aduan dan tindak pidana bukan aduan;
5) Tindak pidana commissionis, tindak pidana omissionis, dan tindak
pidana commissionis per omisionem commisa;
6) Delik yang berlangung terus dan delik yang tidak berlangsung terus;
7) Delik tunggal dan delik berganda;
8) Tindak pidana sederhana dan tindak pidana yang ada pemberatannya;
9) Tindak pidana ringan dan tindak pidana berat;
10) Tindak pidana ekoonomi dan tindak pidana politik.
2. Tinjauan tentang Hutan dan Illegal Logging
a. Pengertian tentang Hutan
Pada umumnya persepsi umum tentang hutan adalah penuh pohon-
pohonan yang tumbuh tak beraturan atau suatu areal tertentu yang
ditumbuhi pepohonan dan didiami berbagai jenis binatang. Pengertian
hutan merujuk kepada aneka hal yang bersifat liar ( wild ), tumbuh sendiri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
atau tidak dipelihara ( natural ), atau untuk menekankan sifat-sifat liar dari
sesuatu.
Dalam buku Sukardi bahwa hutan adalah sejumlah pepohonan yang
tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu , kelembaban,
cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan
tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan atau pepohonan baru asalkan
tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat baik
secara horisontal maupun vertikal ( Sukardi, 2005 : 12 ).
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dalam
pengertian tentang hutan, yaitu :
1) Unsur lapangan atau lahan yang cukup luas;
2) Unsur pohon, flora, dan fauna;
3) Unsur lingkungan.
Selain definisi hutan ada juga definisi mengenai hukum kehutanan,
Hukum Kehutanan adalah himpunan peraturan bidang kehutanan yang
tertulis maupun tidak tertulis yang memberikan sanksi kepada
pelanggarnya, dan mengatur hubungan hukum antara pengelolaan hutan,
pengguna hutan dan hasil hutan beserta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dengan memperhatikan konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya.
b. Pengertian tentang Illegal Logging
Berdasarkan unsur-unsur serta pembagian tindak pidana maka
tindakan pembalakan liar atau sering disebut degan illegal logging termasuk
dalam tindak pidana. Illegal logging meliputi serangkaian pelanggaran
peraturan yang mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan yang
berlebihan, pelanggaran-pelanggaran ini terjadi disemua lini tahapan industri
kayu, misalnya pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu
gelondongan, tahap pemrosesan dan tahap pemasaran dan bahkan meliputi
pengunaan cara-cara korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
pelanggaran-pelanggaran keuangan, seperti penghindaran pajak, pelanggaran
juga terjadi karena kebanyakan batas-batas administratif kawasan hutan
nasional, dan kebanyakan unit-unit hutan produksi yang disahkan secara
nasional yang beroperasi dalam kawasan ini, tidak diduga dilapangkan dengan
melibatkan masyarakat setempat.
Dilihat dari uraian singkat dari arti illegall logging tersebut maka
dapat digambarkan bahwa tindak pidana illegal logging merupakan tindak
pidana yang sangat kompleks, sehingga diperlukannya usaha pencegahan
sejak dini baik dalam bentuk penal ( hukum pidana ) dan non penal ( diluar
hukum pidana ). Hal ini dianggap perlu karena dampak dari tindak pidana
illegal logging tidak hanya berdampak buruk bagi sektor ekonomi saja, tapi
di dalam kerusakan ekosistem dapat berakibat jangka panjang.
Mengenai istilah illegal logging, sampai saat ini belum ada
terminologi yang jelas dan tegas, baik definisinya maupun ruang lingkup
cakupan aktivitasnya. Namun demikian di masyarakat awam, istilah illegal
logging lebih populer dan dikenal sebagai pengertian penebangan secara
liar. Di dalam Buku Kajian Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan
istilah illegal logging diartikan sebagai ”pembalakan haram” Penggunaan
istilah illegal logging cenderung dipakai karena alasan kesederhanaan dan
kepraktisan pengucapan dan oleh karenanya itu sehinga lebih mudah
diingat.
Tidak adanya kejelasan dan ketegasan dalam pendefinisian maka
mengakibatkan munculnya beberapa terminologi illegal logging yang
beragam. Hal tersebut menyebabkan berbagai pihak membuat definisi
sendiri sesuai domain dan kepentingannya masing-masing. Dengan
demikian membuat ruang lingkup definisi illegal logging menjadi sangat
beragam.
Ada beberapa aspek yang kemungkinan menjadi penyebab
munculnya terminologi illegal logging beragam, antara lain:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
1) Aspek Padanan Bahasanya. Jika illegal adalah praktek tidak legal atau
tidak sah, dan logging adalah pemanenan kayu, maka illegal logging
mempunyai definisi sebagai praktek pemanenan kayu yang tidak sah.
2) Aspek Simplifikasi. Kondisi ini lahir atas dasar kepraktisan dan
kesederhanaan dalam memandang kasus dan kondisi permasalahan
degradasi sumber daya hutan.
3) Aspek Integratif. Kondisi ini lahir karena ketidakpuasan dalam dua
pendefinisian sebelumnya. Illegal logging didefinisikan sebagai
praktek pemanenan kayu yang meliputi juga proses-prosesnya yang
tidak legal atau tidak mengikuti prosedur dan tata cara yang diteapkan.
Proses tersebut terdiri dari proses menuju pemanenan kayu meliputi
perencanaan, izin dan modal, aktivitas pemanenan dan pasca
pemanenan meliputi pengangkutan, tata niaga, pengolahan, hingga
penyelundupan. Pada akhirnya, definisi illegal logging meliputi juga
ruang lingkup illegal logging-nya sendiri serta ruang lingkup illegal
processing dan illegal trade.
Beraneka ragam pengertian illegal logging menurut berbagai
pihak dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Pengertian Menurut Sumber Kehutanan
Istilah illegal logging mulai dikenal dan memasyarakat sejak istilah
itu tercantum di dalam dokumen resmi peraturan perundang-
undangan tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal ( illegal
logging ) dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal di Kawasan Ekosistem
Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting. Dengan demikian secara
harfiah Inpres tersebut mengartikan Illegal Logging sebagai
penebangan kayu ilegal atau tidak sah. Kemudian di dalam ketentuan
lain, dengan substansi materi yang diatur sama, dokumen tertulisnya
”Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya
di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.” Dengan demikian dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
dianalogikan bahwa Inpres ini mengartikan Illegal Logging sebagai
penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan.
Di dalam sumber lain dari Buku Pintar Penyuluhan Kehutanan
Kejaksaan menjelaskan bahwa:
Penebangan liar atau illlegal logging atau penebangan kayu secara tidak sah adalah kegiatan penebangan kayu/pohon-pohon di kawasan hutan negara tanpa izin yang sah. IIlegal logging juga diartikan sebagai penebangan di luar areal/blok tebangan yang telah ditentukan, penebangan di kawasan lindung, dan penebagan di luar batas izin/hak pengusahaan hutan. (Anonim, Buku Pintar..., Loc. Cit)
Sedangkan salah satu sumber dari Departemen Kehutanan, yaitu:
Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan medefinisikan sebagai
berikut: Illegal Logging sebagai kegiatan pemanenan, pengangkutan,
pengolahan, dan pemasaran kau bulat alam atau tanaman dari suatu
kawasan hutan negara maupun kawasa hutan hak yang tidak sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2) Pengertian Menurut Lembaga dan Pendapat Pakar
Banyak kalangan, baik lembaga atau institusi maupun para pakar
memberikan pengertian terhadap istilah illegal logging.
a) Lembaga Swadaya Masyarakat Forest Wacht Indonesia dan
Global Forest Wacht
Forest Wacht Indonesia dan Global Forest Wacht menyebut
illegal logging sebagai ”pembalakan ilegal” yang digambarkan
sebagai semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan
dengan pemanenan, pengolahan, dan perdagangan kayu yang
tidak sesuai dengan hukum Indonesia.
b) Menurut Para Pakar
Menurut Sumitro, yang dikutip Alip Winarno et. al., “dari sisi
administratif yang dimaksud dengan illegal logging adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
pemungutan kayu di luar yang direncanakan oleh Departemen
Kehutanan melalui RKT.”
Sedangkan menurut Haba yang dikutip Nurdjana et.al.,
Luasnya jarigan kejahatan illegal loging yang mencerminkan luasnya pengertian illegal logging itu sendiri, menunjukkan adanya suatu rangkaian kegiatan yang merupakan suatu mata rantai yang saling terkait mulai dari sumber atau produsen kayu ilegal atau melakukan penebangan kayu secara ilegal hingga ke konsumen atau pengguna bahan baku kayu. ( Ibid )
3) Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan. Cakupan makna illegal logging menurut Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, antara lain:
a) Pasal 50 ayat (3) huruf “e” dan huruf “f” :
Huruf e : “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil
hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat
yang berwenang”.
Huruf f : “menerima, membeli atau menjual, menerima tukar,
menerima titipan, menyimpan atau memiliki hasil hutan yang
diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang
diambil atau dipungut secara tidak sah”.
b) Pasal 50 ayat (3) huruf “h” :
“mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil
hutan”.
c) Pasal 50 ayat (3) huruf ”j” dan huruf “k”
Huruf j : “ membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya
yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut
hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang
berwenang”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Huruf k : “ membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk
menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan
hutan tanpa izin pejabat yang berwenang”.
c. Faktor-Faktor Penyebab Praktek Illegal Logging
Banyak faktor yang menyebabkan tumbuh dan berkembangnya
Illegal logging di Indonesia, baik faktor yang bersifat langsung maupun
tidak langsung. Akar dari semua faktor tersebut adalah praktek korupsi
yang sudah terstruktur dalam birokrasi-birokrasi pemerintah. Faktor-faktor
tersebut diantaranya:
1) Kegagalan Pasar Hasil Hutan
Faktor ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap munculnya
praktek Illegal logging di Indonesia. Pasar gagal dalam menyediakan
kayu legal untuk kebutuhan industri sehingga timbulah pasar kayu
ilegal, baik di dalam maupun di luar negeri.
2) Praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mendarah daging dalam struktur
birokrasi pemerintah ataupun institusi hukum dan peradilan menjadi
faktor utama tumbuh dan berkembangnya praktek Illegal logging di
Indonesia. Aksi suap-menyuap dalam pelaksanaan praktek Illegal
logging telah menjadi hal biasa untuk memperlancar praktek tersebut.
Praktek suap-menyuap tersebut berkembang mulai dari pemerintah,
baik pusat maupun daerah, dan juga aparat hukum dan keadilan.
3) Kebijakan Pemerintah tentang Kehutanan
Pemerintah, baik lokal atau pusat, telah mengeluarkan peraturan-
peraturan yang secara tidak langsung mendukung tumbuh dan
berkembangnya praktek Illegal logging. Kebijakan tersebut biasanya
dibuat berdasarkan agenda-agenda tersembunyi anggota dewan.
4) Ketidakpastian dan Keringanan Hukum
Sanksi hukum yang dikenakkan kepada para cukong kayu Illegal
logging terlalu ringan sehingga mereka tidak terdisinsentif untuk tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
melakukan praktek tersebut. Dan juga Undang-Undang yang
melandasi hukum tersebut terkdang tidak jelas dan masih
dimungkinkan adanya bias sehingga para cukong kayu ilegal masih
mempunyai celah untuk lolos dari hukum.
5) Kurangnya koordinasi antara Departemen-departemen pemerintah.
Koordianasi antar departemen-depertmen pemerintah dan juga aparat
hukum dan peradilan kurang sehingga menimbulkan celah untuk
melakukan perbuatan suap-menyuap untuk memperlancar dalam
lingkungan departemen tertentu.
6) Integritas dan transparansi antar aparat hukum rendah.
Integritas penegak hukum (Polisi hutan, Polri, Jaksa, TNI, hakim)
yang sangat rendah yang berpotensi melahirkan kompromi-kompromi
dalam proses penegakan hukum. Transparansi pelaksanaan hukum
yang rendah juga memungkinkan terjadinya praktek korupsi dan
kolusi mendukung Illegal logging menjadi lebih mudah.
3. Tinjauan tentang Putusan Mahkamah Agung
Penegakan hukum di Indonesia dapat diibaratkan bagai menegakkan
benang basah. Law enforcement hanya slogan dan retorika tak bermutu.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, hukum bukan lagi keadilan melainkan
identik dengan uang. Hukum dan keadilan dapat dibeli, pengadilan tak ubahnya
seperti balai lelang. Siapa yang menjadi pemenang, bergantung pada jumlah
penawaran. Pemenangnya tentu yang mampu memberikan penawaran tertinggi.
Kalau lelang dilakukan dalam amplop tertutup, di pengadilan tawar menawar
dilakukan dalam sidang terbuka. Akibatnya, hukum menjadi barang mahal di
negeri ini. Setidaknya ada 5 (lima) faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum, mencakup :
a. substansi hukum, yaitu peraturan perundang-undangan;
b. faktor struktur hukum, yaitu penegak hukum (yang menerapkan hukum);
c. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
d. faktor masyarakat, yaitu lingkungan tempat hukum tersebut berlaku atau
diterapkan,dan;
e. faktor budaya, yaitu hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Dari faktor-faktor tersebut, bagi sosiolog hukum yang lebih diutamakan
adalah integritas penegak hukum ketimbang substansi hukumnya. Soetandyo
Wignyosubroto mengutip pendapat Taverne menyatakan, berikanlah aku hakim
yang baik, jaksa yang baik, dan polisi yang baik, meski dengan undang-undang
yang kurang baik sekalipun, hasil yang dicapai pasti akan lebih baik.
a. Pengertian Mahkamah Agung
Pengertian mahkamah agung menurut Undang-Undang Nomor 5
tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 Tentang Mahkamah Agung :
Menurut Pasal 1 yang berbunyi :
“ Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ”.
Menurut Pasal 2 yang berbunyi :
“ Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua
lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari
pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya ”.
Berdasarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor III/MPR/1978 tentang kedudukan dan hubungan Tata
kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/ atau antar lembaga-lembaga
Tinggi Negara dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung
diberi kekuasaan dan kewenangan untuk :
1) Memeriksa dan memutus;
2) Permohonan kasasi;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
3) Sengketa tentang kewenangan mengadili;
4) Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
5) Memberikan pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta
maupun tidak, kepada Lembaga Tinggi Negara;
6) Memberikan nasihat hukum kepada Presiden selaku Kepala Negara
untuk pemberian atau penolakan grasi;
7) Menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundangan-
undangan dibawah undang-undang;
8) Melaksanakan tugas dan kewenagan lain berdasarkan Undang-
Undang.
Untuk dapat menyelenggarakan kekuasaan dan kewenangan
tersebut dengan sebaik-baiknya, Mahkamah Agung melaksanakan hal-hal
sebagai berikut :
1) Wewenang pengawasan meliputi :
a) Jalannya peradilan;
b) Pekerjaan pengadilandan tingkah laku para hakim di semua
lingkungan peradilan;
c) Pengawasan yang dilakukan terhadap penasihat hukum dan notaris
sepanjang yang menyangkut peradilan;
d) Pemberian peringatan, teguran, dan petunjuk yang diperlukan.
2) Meminta keterangan dan pertimbangan dari :
a) Pengadilan disemua lingkungan peradilan;
b) Jaksa Agung;
c) Pejabat lain yang diserahi tugas penuntutan perkara pidana.
3) Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau
kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya
peradilan.
4) Mengatur sendiri administrasinya baik mengenai administrasi peradilan
maupun administrasi umum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
b. Pengertian Putusan
Putusan hakim dapat diartikan sebagai putusan pengadilan yang
merupakan hasil akhir dari proses peradilan tersebut berupa putusan
pengadilan, atau sering juga digunakan kata kata putusan hakim, oleh
karena hakimlah yang memimpin sidang pengadilan itu. Peradilan
menunjuk kepada proses mengadili, sedang pengadilan merupakan salah
satu lembaga dalam proses tersebut. Lembaga-lembaga lain yang terlibat
dalam proses mengadili adalah kepolisian, kejaksaan, dan advokat.
Macam-macam putusan hakim, menurut isinya maka putusan
hakim pada tahap akhir ada tiga macam, yaitu :
1) Putusan Pemidanaan ( strafrecht )
Putusan pemidanaan adalah putusan yang berisi penghukuman atau
putusan yang berisi pernyataan salah terdakawa. Hal ini sesuai dengan
asas dalam hukum pidana, tiada pidana tanpa kesalahan jo. Pasal 193
ayat (1) KUHAP jo. Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 jo. Pasal 183 KUHAP. Jadi terdakwa dipidana sebagai
akibat kesalahan.
2) Putusan Bebas (vrijspraak)
Apabila didakwakan kepadanya tidak terbukti dengan sah dan
menyakinkan, maka hakim memutus bebas terhadap terdakwa (Pasal
191 ayat (1) KUHAP).
3) Putusan Lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van
allerechtsvervolging)
Putusan ini dijatuhkan jika perbuatan terdakwa yang terbukti itu tidak
merupakan suatu tindak pidana baik kejahatan maupun pelanggaran
(Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
Terhadap putusan hakim yang bebas maupun yang lepas dari segala
tuntutan hukum mempunyai akibat hukum yang sama yaitu tidak adanya
pidana sehingga terdakwa segera dibebaskan dalam hal ia ditahan, serta
biaya perkara ditanggung dan terdakwa harus direbilitir. Terhadap putusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
bebas tidak dapat diajukan banding atau diajukan kasasi, tetapi terhadap
putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat diajukan permohonan
kasasi.
B. Kerangka Pemikiran
1. Bagan Kerangka Pemikiran
Tindak Pidana ILLEGAL LOGGING
UU NO. 41 Tahun 1999 tentang
KEHUTANAN
BANDING Pengadilan Tinggi
Pengadilan Negeri
PUTUSAN
KASASI MAHKAMAH AGUNG
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
2. Penjelasaan Kerangka Pemikiran
Tindak Pidana Illegal Logging telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan , itu digunakan sebagai pijakan
yang kuat bagi para penegak hukum dalam melakukan pemidanaan dengan
tegas praktek-praktek tindak pidana illegal logging (pembalakan liar) yang
sekarang masih banyak terjadi, sehingga banyak kerugian yang dialami
Negara karena praktek illegal logging tersebut. Pada kasus Tindak Pidana
Illegal Logging (pembalakan liar) yang dilakukan oleh tersangka, bahwa
tersangka telah mengangkut hasil hutan ( kayu ) yang tanpa dilengkapi oleh
Surat-surat yang sah, oleh sebab itu tersangka ditangkap oleh penegak
hukum dan dtangani serta diproses di Pengadilan Negeri setempat untuk
dapat mempertanggungkan perbuatannya. Dalam penanganan kasus tersebut
dari pengadilan negeri sampai dengan Mahkamh Agung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Praktek Pemanfaatan hutan, utamanya dalam hal pemanfaatan hasil hutan
kayu pada hutan alam banyak ditemui adanya pelanggaran hukum yang dapat
dikategorikan sebagai illegal logging. “Dalam operasi yustisi, untuk menjerat para
pelaku pada umumnya mendasari pada Pasal 50, ayat (3), dan Pasal 78, Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Di samping, itu juga mendasari pada Peraturan Pemerintah Nomor 34
Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta
Pemanfaatan Hutan, dan peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan yang berada di bawahnya.
Secara faktual bahwa dalam pelaksanaan pemanfaatan hasil hutan kayu
tersebut muncul adanya berbagai penyimpangan, yang dapat kategorikan sebagai
tindakan melanggar hukum antara lain illegal logging atau penebangan kayu
secara ilegal di kawasan hutan. Pelanggaran hukum illegal logging ini sebenarnya
telah cukup lama terjadi dengan tingkat pelanggaran yang berbeda-beda dari
waktu ke waktu.
“Penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan samakin menjadi-jadi
sejak tahun 1998. Mengingat besarnya luasan kerusakan hutan kita, maka
pelanggaran hukum penebangan kayu secara ilegal ini perlu mandapatkan
penanganan serius. Pelanggaran ini bukan hanya di hutan produksi, tetapi juga di
hutan lindung dan hutan konservasi. ”Mulai dari tahun 1991, sekitar 580 konsesi
usaha kayu telah menguasai lahan yang jumlahnya lebih dari 60 juta ha, hampir
sepertiga wilayah daratan negeri tersebut dan lebih dari 41 persen lahan yang
dinyatakan sebagai hutan, sebagaimana ditulis Djamaludin pada tahun 1991.
Proses Panjang dan Merepotkan Para Pencuci Kayu,
Seperti halnya pelaku pembunuhan, pelaku illegal logging mau tidak mau harus
menyisakan satu alat buktinya. Sisa pohon yang ditebang sebagai korban, gergaji
mesin sebagai alat, dan kayu yang ditebang itu sendiri sebagai motif dan sekali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
lagi sekaligus proceed of crime. Apabila kayu tersebut tetap berada di hutan tentu
tidak ada masalah. Tapi, pelaku tentunya harus membawa proceed of crime ini
keluar, karena pada kayu itulah terdapat nilai kekayaan yang ingin diperolehnya.
Tentunya tidak seperti membawa uang, membawa kayu apalagi dalam jumlah
besar, akan sangat mencurigakan. Oleh karena itu pelaku illegal logging perlu
suatu hal yang dapat ‘melegalkan’ peredaran kayu tersebut. Hal tersebut yaitu
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan. Akhirnya setelah melalui beberapa proses
korupsi, SKSHH pun didapat. Sampai tahap ini saja setidaknya tiga perundang-
undangan sudah dilanggar ( http://my.opera.com/Grahat/blog ).
Sebelumnya, illegal logging sudah ada namun tidak separah yang terjadi
pada tahun itu dan tahun-tahun berikutnya. Maraknya praktek illegal logging ini
menimbulkan keprihatinan mendalam dari berbagai kalangan baik dari dalam
maupun luar negeri. Tentu saja muncul pertanyaan, mengapa praktek illegal
logging terus berlangsung.
A. Deskripsi Putusan
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam proses penyelesaian perkara
pidana dalam jalur litigasi, harus melewati pemeriksaan perkara pidana tingkat
pertama, dimana ada tiga kegiatan pokok, yaitu :
1) Penyidikan,
2) Penuntutan,
3) Persidangan dipengadilan Negeri.
Setelah (3) ketiga kegiatan pokok tersebut dilalui dan diakhiri dengan pembacaan
vonis oleh majelis hakim, berarti proses pemeriksaan perkara pidana tingkat
pertama berakhir. Namun setelah vonis dibacakan, perkara belum tentu tuntas
dalam arti putusanmenjadi berkekuatan hukum tetap. Baru dikatakan selesai
dalam arti tuntas (berkekuatan hukum tetap) apabila jaksa penuntut umum atau
terdakwa menerima putusan, atau kedua-duanya tidak menentukan sikap setelah
hari ketujuh setelah putusan dibacakan. Putusan tidak menjadi tetap apabila jaksa
penuntut umum atau terdakwa, ataupun kedua-duanya tidak menerima vonis yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
dijatuhkan majelis hakim dan melawan putusan itu dengan upaya hukum (Adami
Chazawi, 2006 : 3).
Upaya hukum banding dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi oleh pihak
(jaksa penuntut umum atau terdakwa atau kedua-duanya) sesuai dengan syarat
yang telah ditentukan. Syarat tersebut yakni apabila : (1) amar putusan pengadilan
tingkat pertama bukan pembebasan dan lepas dari tuntutan hukum yang
menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum, dan bukan pengadilan
dalam perkara dengan pemeriksaan acara cepat; (2) diajukan dalam waktu 7 (
tujuh ) hari sejak putusan diucapkannya putusan. Jika salah satu terdakwa yang
tidak hadir waktu dibacakannya putusan, jangka waktu pengajuan banding yaitu
selama 7 (tujuh) hari sejak disampaikannya pemberitahuan putusan oleh
pengadilan yang memutus; (3) pemohon banding harus menandatangani
pernyataan tidak menerima putusan dan mengajukan banding di kepaniteraan
pengadilan negeri yang memutus; (4) pemohon banding tidak harus membuat
memori banding, tetapi sebaiknya perlu untuk menyampaikan memori banding
yang isinya membuat tentang hal yang menjadi obyek keberatan dan alasan-alasan
keberatan (Adami Chazawi, 2006 : 223-224).
Selanjutnya adalah upaya hukum kasasi yang diajukan ke Mahkamah
Agung. Upaya hukum ini diajukan oleh pihak yang merasa tidak puas atas
putusan pengadilan yang diterimanya. Putusan yang dapat dilawan dengan upaya
hukum kasasi adalah semua putusan terakhir, selain putusan Mahkamh Agung
yang amarnya bukan pembebasan (Adami Chazawi,2006 : 236).
Adapun untuk diterimanya permohonan kasasi, harus memenuhi syarat
formil dan syarat materiil. Syarat formil yaitu : (1) permohonan kasasi harus
menandatangani pernyataan kasasi di kantor kepaniteraan pengadilan yang
memutus pertama kali dalam waktu 14 (empat belas) hari. Apabila melampaui 14
hari dianggap menerima putusan dan permohonan kasasinya tidak akan di terima
Mahkamh Agung ; (2) pemohon kasasi harus mengajukan memori kasasi yang
memuat alasan-alasan menoilak atau keberatan terhadap putusan yang dilawan
kasasi dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak pemohon menyatakan
mengajukan upaya kasasi. Lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari, permohonan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
kasasinya tidak akan dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung dan diputus ” tidak
dapat diterima ”. kemudian syarat materiil yang harus dipenuhi yaitu berupa
alasan-alasan keberatan mengenai hukumnya. Pengadilan Mahkamah Agung
berwenang memeriksa dan memutus mengenai hukumnya (judec juris), bukan
mengenai pembuktian yang didasarkan atas fakta-fakta yang menjadi wewenang
pengadilan dibawahnya (judec factie). Untuk itu, pemohon kasasi harus mampu
mengemukakan alasan-alasan keberatan mengenai hukumnya saja. Alasan-alasan
itu sebgai berikut, yaitu bahwa : (1) ada hukum yang seharusnya diterapkan tetapi
tidak diterapkan oleh judec factie; (2) judec factie telah menerapkan hukum tetapi
tidak sebagaimana mestinya; (3) judec factie telah menjalankan proses (prosesuil)
pengadilan yang menyalahi hukum; dan (4) judec factie dalam mengadili dan
memutus telah melampaui batas wewenangnya (Adami Chazawi,2006 : 247-249).
Kemudian terdapat pula upaya hukum luar biasa yaitu kasasi demi
kepentingan hukum dan peninjauan kembali (PK). Kasasi demi kepentingan
hukum atau kasasi luar biasa pada prinsipnya sama dengan kasasi biasa hanya saja
: (1) hanya boleh diajukan satu kali oleh jaksa penuntut umum atas nama Jaksa
Agung; (2) diajukan terhadap putusan selain putusan Mahkamh Agung yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap; (3) putusan Mahkamah Agung nantinya tidak
boleh merugikan pihak yang berkepentingan; (4) dapat diajukan sewaktu-waktu
melalui kantor kepaniteraan pengadilan negeri pemutus pertama kali yang harus
disertai dengan risalah kasasi, Ditunjukan kepada ketua Mahkamh Agung.
Upaya hukum luar biasa berikutnya adalah Peninjauan Kembali (PK).
Upaya PK dapat diajukan ke Mahkamah Agung hanya oleh terpidana, dengan
ketentuan : (1) diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap; dan (2) diajukan dengan alasan-alasan tertentu, yaitu
adanya keadaan baru, adanya pelbagai putusan yang didalamnya terdapat saling
bertentangan, dan atau adanya kekeliruan yang nyata didalam putusan (Adami
Chazawi, 2006 : 264).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Dasar hukum yang digunakan Hakim Mahkmah Agung dalam
memutus perkara Nomor 2143K/Pid/2006 dalam perkara Tindak
pidana Illegal Logging.
Berdasarkan judul penelitian, maka penulis paparkan tentang putusan
Mahkamah Agung yang penulis ambil sebagai bahan primer penulisan hukum ini.
Akan tetapi walaupun amar putusan setiap tingkat peradilan telah ada dalam
putusan Mahkamah Agung tersebut, penulis juga melihat kepada putusan
pengadilan negeri yang memutus perkara pertama kali serta putusan pengadilan
tinggi. Berikut ini pemaparannya :
a. Pemaparan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2143K/Pid/2006
1) KASUS POSISI
Kasus Posisi dalam perkara ini yaitu bahwa :
Bahwa ia Terdakwa H. Patta bin Latappe, pada hari Kamis tanggal 20
Oktober 2005 sekira jam 09.00 Wita atau setidak-tidaknya dalam tahun
2005, bertempat di Jalan Raya Lawo, Kelurahan Ompo, Kecamatan
Lalabata, Kabupaten Soppeng atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang
masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Watansoppeng
yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkaranya, telah
mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi
bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Perbuatan
Terdakwa tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, ia Terdakwa H.
Patta bin Latappe memuat kayu berbentuk kayu jati bulat sebanyak + 80
potong dengan ukuran bervariasi antara 2 – 3 meter kira-kira sebanyak 3
kubik dari kampung LattiE Desa Sering, Kecamatan Donri-donri,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Kabupaten Soppeng menuju ke Lapajung, Kecamatan Lalabata, Kabupaten
Soppeng dengan menggunakan mobil truk Colt Mitsubishi warna kuning
DD 9925 AY milik saksi Abd. Wahid. Sewaktu kayu tersebut diangkut
oleh Terdakwa tidak dilengkapi dengan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya
Hasil Hutan) dan juga tidak dilengkapi oleh Daftar Pengangkutan (DP)
sehingga pada saat ditangkap oleh petugas Kepolisian, Terdakwa H. Patta
hanya dapat memperlihatkan Surat Pengantar dari Desa Sering dan SKU
saja, sedangkan syarat atau prosedur pengangkutan kayu harus dilengkapi
dengan SKSHH atau Daftar Pengangkutan.
2) Amar Putusan Pengadilan Negeri
Berikut ini amar putusan pengadilan negeri yang terdapat dalam
putusan mahkamah agung Nomor 2143K/PID/2006 tersebut, yakni
Pengadilan Negeri Watansoppeng dengan Putusannya bernomor
04/Pid.B/2006/ PN.Wsp, yang berbunyi sebagai berikut :
Mengadili :
a) Menyatakan Terdakwa H. Patta bin Latappe telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana mengangkut hasil
hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan
sahnya hasil hutan (SKSHH) ;
b) Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana
penjara selama 6 (enam) bulan dan 20 (dua puluh) hari dan denda
sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) subsidair 1 (satu)
bulan kurungan ;
c) Menetapkan lamanya penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;
d) Menetapkan Terdakwa tetap ditahan ;
e) Menyatakan barang bukti berupa :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
(1) 1 (satu) unit mobil truk warna kuning merk Mitsubishi No.Pol.
DD 9925 AY dikembalikan kepada pemiliknya yaitu Abdul
Wahid ;
(2) kayu jati bulat ukuran 2-3 meter jumlah 80 potong dikembalikan
kepada Negara melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Soppeng ;
f) Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;
3) Amar Putusan Pengadilan Tinggi :
Sebagaimana telah penulis kemukakan dalam paragraf-paragraf awal
bab ini, bahwa salah satu pihak yang tidak merasa puas terhadap suatu
putusan pengadilan negeri dapat melakukan upaya hukum, salah satunya
banding. Jaksa Penuntut Umum dalam perkara pidana ini adalah sebagai
pihak yang tidak puas terhadap Putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng
tersebut, yang kemudian mengajukan permohonan Banding dan diterima
oleh Pengadilan Tinggi Makasar :
Pengadilan Tinggi Makasar, memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri
tersebut, sehingga dalam putusan bernomor 104/Pid/2006/PT.MKS
tersebut amarnya berbunyi sebagai berikut :
Megadili :
a) Menerima permintaan banding dari Penuntut Umum ;
b) Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng, tanggal 2
Maret 2006 Nomor : 04/Pid.B/2006/PN.Wsp, yang dimintakan banding
sekedar sebagaimana telah dipertimbangkan tersebut di atas, sehingga
amarnya berbunyi sebagai berikut :
1. Menyatakan, bahwa Terdakwa H. Patta bin Latappe terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana
“mengangkut, menguasai dan memiliki hasil hutan yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil
hutan” ;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama
1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp.20.000.000,-
(dua puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut
tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3
(tiga) bulan ;
3. Menetapkan masa penahanan yang sudah dijalani dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;
4. Menyatakan Terdakwa tetap berada dalam tahanan ;
5. Memerintahkan barang bukti berupa :
(a) 1 (satu) unit mobil truk warna kuning merk Mitsubishi Nomor
Polisi DD 9925 AY ;
(b) 80 (delapan puluh) potong kayu jati bulat ukuran 2-3 meter
dirampas untuk negara ;
6. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara
kedua tingkat peradilan untuk tingkat banding sebesar Rp.2.500,-
(dua ribu lima ratus rupiah) ;
Mengingat akan akta tentang permohonan kasasi No. 01/Akta
Pid/2006/ PN.Wsp, yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri
Watansoppeng yang menerangkan, bahwa pada tanggal 20 Juli 2006
Terdakwa mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan
Tinggi tersebut ;
Memperhatikan memori kasasi tanggal 20 Juli 2006 dari Terdakwa
sebagai Pemohon Kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Watansoppeng pada tanggal 24 Juli 2006 ;
Membaca surat-surat yang bersangkutan :
Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah
diberitahukan kepada Terdakwa pada tanggal 12 Juli 2006 dan Terdakwa
mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 20 Juli 2006 serta memori
kasasinya telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Watansoppeng
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
pada tanggal 24 Juli 2006 dengan demikian permohonan kasasi beserta
dengan alasan-alasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan
cara menurut undang-undang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut
formal dapat diterima ;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi
pada pokoknya sebagai berikut :
1. Bahwa pertimbangan hukum majelis Hakim Tinggi telah keliru dalam
menerap- kan hukum dalam perkara ini, alasan hukumnya adalah kayu
bulat yang dibeli Terdakwa dari pihak ketiga adalah berasal dari hutan
hak milik. Hal ini dapat dibaca dari beberapa bukti surat yang telah
diajukan oleh Terdakwa kepada pihak penyidik dan dilampirkan dalam
berkas pemeriksaan perkara ini, seperti yang diuraikan dalam memori
kasasi ;
Bahwa dengan mencermati seluruh dokumen yang diajukan oleh
Terdakwa kepada penyidik dan kemudian dilampirkan dalam berkas
perkara ini, maka asal usul kayu yang diangkut oleh Terdakwa ternyata
bukan merupakan hasil hutan yang berasal dari kawasan hutan lindung,
hutan negara atau hutan konservasi melainkan berasal dari tanah milik, di
mana fungsi dan pemanfaatan kayu hutan tanah milik ditentukan oleh
pemegang haknya sepanjang tidak melanggar ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 36 ayat
(1) Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang berbunyi
: “pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan, sesuai dengan fungsinya”. Dalam hal ini termasuk
pemungutan hasil hutan berupa pepohonan yang ada di atasnya ;
Bahwa pemanfaatan hasil hutan hak/hutan tanaman rakyat oleh
Terdakwa dimaksudkan untuk memenuhi keperluan pembuatan perabot
rumah maupun rangkaian rumah kayu karena ukurannya sangat kecil
dan bukan untuk kebutuhan proyek atau perusahaan pemasok kayu jati di
Kabupaten Soppeng, sehingga sangatlah bijaksana apabila terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Terdakwa diberikan kesempatan untuk mengelola hasil hutan yang telah
dibeli dari pihak ketiga tersebut ;
Bahwa sesuai dengan dokumen-dokumen tersebut sangatlah jelas jika
praktik yang dilakukan di daerah Kabupaten Soppeng selama ini adalah
dengan melengkapi dokumen seperti tersebut di atas, sehingga diduga
kuat setiap pengangkutan kayu yang dilakukan pengusaha kayu jati di
Kabupaten Soppeng tidak dilengkapi dengan SKSHH (Surat Keterangan
Sahnya Hasil Hutan) karena tidak ada sosialisasi dari aparat terkait.
Bahkan dokumen yang diajukan tersebut juga telah dilengkapi Surat
Keterangan Angkutan yang dibuat oleh Kepala Desa setempat ; Bahwa
kayu bulat yang diangkut Terdakwa tersebut pada dasarnya tidak
merugikan kepentingan negara, bahkan sebaliknya Terdakwa telah
melakukan pembayaran retribusi kepada kas daerah sesuai Perda No.20
Tahun 1999 dan Peraturan Bupati Soppeng No.01/II/2005 sebesar 100
m3 x Rp.30.000,- = Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah). hal ini sudah tepat
dan sejalan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di mana
hasil hutan yang berasal dari hutan hak/hutan rakyat yang langsung
ditanam oleh yang bersangkutan tidak dikenakan pembayaran DR (dana
reboisasi) sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No.128/Kpts-
II/2003 dan PSDH (provisi sumber daya hutan) sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Keputusan Menteri Kehutanan No.124/Kpts-
II/2003 ;
Bahwa dengan demikian sangatlah keliru pertimbangan hukum majelis
Hakim Tinggi yang tidak mempertimbangkan dokumen-dokumen yang
diajukan oleh Terdakwa sebagai suatu iktikad baik untuk melengkapi
dokumen pengangkutan kayu hasil hutan hak/hutan rakyat yang jika
dicermati Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Soppeng Nomor : 522.21/45/ Hutbun/2005, maka merupakan
kewajiban pejabat untuk membantu pengusaha yang tidak paham dan
tidak tahu sama sekali dokumen SKSHH yang harus diterbitkan setelah
keluarnya Surat Keputusan Kadishutbun tersebut ;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Bahwa disamping itu alasan hukum majelis Hakim Tinggi tersebut sangat
keliru oleh karena hanya mendasarkan kepada pertimbangan hukum,
Terdakwa telah mengangkut, menguasai dan memiliki hasil hutan yang
tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil
hutan, padahal surat keterangan dan rekomendasi dari Kepala Desa
Sering seharusnya menjadi pertimbangan hukum bagi majelis Hakim.
Pertimbangan hukum majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada
Terdakwa dengan alasan hukum Terdakwa telah melakukan illegal
logging, sehingga menjatuhkan pidana kepada Terdakwa adalah
pertimbangan hukum yang menyimpang dan tidak sejalan dengan
kebijakan di bidang penegakkan hukum kehutanan selama ini. Hal ini
dapat dibaca dari pendapat Menteri Kehutanan RI yang memberikan
pandangan tentang kekeliruan yang dilakukan oleh pihak kepolisian yang
berbunyi : “soal sulitnya pengusaha mebel dan kerajinan mendapatkan
bahan baku akibat OHL II, Menhut mengakui. Karena, Polisi
menganggap kayu hutan rakyat tanpa surat keterangan sah hasil hutan
(SKSHH) sebagai illegal logging”. (dikutip dari Harian Kompas edisi
Kamis, 6 Juli 2006 halaman 18) ;
Bahwa tindakan Polisi terhadap kayu yang berasal dari hutan rakyat
tanpa dilengkapi dengan SKSHH merupakan illegal logging seperti
dilansir olehMenteri Kehutanan tersebut meskipun dibenarkan oleh
Menhut sendiri akan tetapi anggapan seperti itu justru menimbulkan
permasalahan di lapangan oleh karena menyebabkan timbulnya
kekurangan bahan baku mebel dan kerajinan bagi pengusaha kecil
sehingga diperlukan suatu regulasi atau revisi penatausahaan kayu yang
berasal dari hutan tanaman rakyat. Hal ini sejalan dengan penjelasan
Menhut yang berbunyi : “saat ini kami sedang merevisi penatausahaan
hutan agar kayu hutan tanaman rakyat cukup memakai surat keterangan
asal usul dari Lurah,” kata Kaban (dikutip dari Harian Kompas edisi
Kamis, 6 Juli 2006 halaman 18) ;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Bahwa dengan demikian, maka praktik pengangkutan hasil hutan
tanaman rakyat yang dilakukan oleh Terdakwa selama ini sudah sejalan
dengan kebijakan pemerintah maupun pemerintah daerah dalam era
otonomi daerah saat ini, mengingat Terdakwa telah membayar retribusi
kepada kas daerah/Pemerintah Kabupaten Soppeng, sesuai dengan Surat
Keputusan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Soppeng
Nomor 522.21/45/Hutbun/2005 tanggal 23 Agustus 2005 tentang Izin
Pemungutan Kayu Tanah Milik An. H. Patta di Desa Sering, Desa Pesse,
Kecamatan Donri-Donri, Kelurahan Lalabata Rilau, Kelurahan Bila
Kabupaten Soppeng ;
Bahwa dengan demikian penggunaan SKSHH atas kayu yang berasal
dari hutan tanaman rakyat/hutan hak menimbulkan permasalahan yang
cukup serius dan pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan RI akan
memberlakukan suatu ketentuan yang cukup pragmatis bagi pengusaha
kayu yang berasal dari hutan hak/hutan tanaman rakyat untuk kebutuhan
bahan baku mebel dan kerajinan yakni cukup hanya memakai surat
keterangan asal usul dari Lurah atau Desa setempat ;
Bahwa dengan tidak dipertimbangkan secara memadai atas segala
dokumen yang diajukan oleh Terdakwa sejak di depan penyidik dan kini
dilampirkan dalam memori kasasi ini, maka Judex Facti telah keliru
menerapkan asas pembagian beban pembuktian yakni Majelis Hakim
kurang memberikan pertimbangan yang mendalam atas bukti-bukti yang
diajukan oleh Terdakwa sehingga pertimbangan hukum Majelis Hakim
Tinggi seharusnya dibatalkan ;
2. Bahwa sesuai dengan uraian keberatan ke-1 di atas, telah terbukti apabila
Majelis Hakim Tinggi telah keliru dan salah menerapkan hukum dengan
memberikan pertimbangan hukum Terdakwa telah melakukan illegal
logging. Padahal sesuai dengan asas hukum pidana yang berlaku,
penjatuhan pidana kepada Terdakwa dikenakan apabila perbuatan
Terdakwa tersebut terbukti secara fakta hukum di depan sidang telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana
yang didakwakan kepadanya ;
Bahwa dalam perkara ini perbuatan Terdakwa dalam melakukan
pengangkutan kayu miliknya dengan menggunakan mobil truk milik
Abdul Wahid, tidak ada sifat melawan hukum, oleh karena sangat jelas
dan terbukti di depan sidang bahwa hasil hutan berupa kayu adalah
berasal dari hutan hak/hutan tanaman rakyat (sesuai bukti jual beli/ganti
rugi dari La Henreng, La Huleng, dan La Hatta) yang didukung dengan
keterangan saksi-saksi di depan sidang ;
Bahwa selanjutnya untuk memastikan jika hasil hutan tersebut adalah
milik Terdakwa telah dilengkapi dengan surat rekomendasi
No.03/DS/VII/2005 tanggal 4 Juli 2005 dari Kepala Desa Sering dan
Surat Keterangan Kepala Desa Sering jika Terdakwa memiliki kayu
tanah milik dalam keadaan tidak sengketa di luar kawasan bertanggal 4
Juli 2005;
Bahwa setelah terpenuhi adanya kepastian jika hutan hak/hutan tanaman
rakyat adalah milik Terdakwa, maka selanjutnya Terdakwa mengajukan
Surat Permohonan Izin Pemungutan Kayu Tanah Milik (IPKTM) tanggal
5 Juli 2005 yang ditujukan kepada Bupati Soppeng cq. Kadishutbun
Kabupaten Soppeng ;
Bahwa di samping itu dokumen yang dimiliki Terdakwa adalah Surat
Keterangan Asal Usul kayu jati milik Terdakwa tanggal 27 Agustus
2005, sehingga dengan dokumen tersebut telah jelas dan terbukti menurut
hukum apabila hasil hutan hak yang diangkut Terdakwa adalah benar-
benar jelas asal usulnya bukan dari kawasan hutan lindung, hutan negara
atau hutan konservasi ;
Bahwa selanjutnya setelah asal usul kayu sudah jelas, maka Terdakwa
memenuhi kewajibannya kepada negara sebelum lahirnya Surat
Keputusan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Soppeng
Nomor 522.21/ 45/Hutbun/2005 tanggal 23 Agustus 2005 tentang Izin
Pemungutan Kayu Tanah Milik An. H. Patta di Desa Sering, Desa Pesse,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Kecamatan Donri-donri, Kelurahan Lalabata Rilau, Kelurahan Bila
Kabupaten Soppeng, dimana Terdakwa telah membayar kepada
Negara/Pemerintah Kabupaten Soppeng sebesar Rp.3.000.000,- (tiga juta
rupiah) sesuai dengan bunyi bagian keempat huruf d konsideran
“memutuskan” yang berbunyi” melunasi pembayaran pungutan retribusi
berdasarkan ketentuan yang berlaku sesuai Perda No.20 Tahun 1999 dan
Peraturan Bupati Soppeng No.01/II/2005 jumlah sebesar 100 m3 x
30.000,- = Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah) ;
Bahwa sesuai dengan ketentuan yang berlaku tidak diwajibkan adanya
pembayaran Dana Reboisasi (DR) sesuai Keputusan Menteri Kehutanan
No.128/ Kpts-II/2003 dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sesuai
Pasal 2 dan 3 Keputusan Menteri Kehutanan No.124/Kpts-II/2003
terhadap hasil hutan yang berasal dari hutan hak/hutan tanaman rakyat ;
Bahwa setelah dokumen-dokumen mengenai kepastian hukum
kepemilikan tanah dan hasil hutan berupa kayu, keterangan asal usul
kayu serta surat keputusan Kepala Dishutbun Kabupaten Soppeng telah
dilengkapi oleh Terdakwa, maka untuk mengangkut kayu yang masih
dalam wilayah Kabupaten Soppeng tersebut dibuatlah Surat Keterangan
Angkutan No.26/DS/IX/2005 tanggal 26 September 2005 ;
Bahwa dari rangkaian perbuatan Terdakwa tersebut di atas, sama sekali
tidak ditemukan adanya sifat melawan hukum, bahkan praktik semacam
ini merupakan suatu kebiasaan dan sudah umum dalam pengangkutan
kayu hasil hutan di dalam wilayah Kabupaten Soppeng yang berasal dari
hutan hak/hutan tanaman rakyat. Bahwa apabila perbuatan Terdakwa
dianalisis secara mendalam, maka perbuatan Terdakwa bukan merupakan
tindak pidana oleh karena tidak memiliki sifat melawan hukum ;
Bahwa mencermati perbuatan Terdakwa tersebut, maka menurut kajian
hukum pidana yang berlaku “sifat melawan hukum” dari perbuatan
Terdakwa telah hilang sama sekali, sehingga sesuai hukum apabila
Terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan ;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Bahwa praktik pengangkutan kayu yang berasal dari hutan hak/hutan
tanaman rakyat tersebut dapat dimaklumi, oleh karena aparat terkait sama
sekali tidak melakukan sosialisasi terhadap ketentuan yang diamanatkan
oleh Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ;
Bahwa dalam hal ini Terdakwa tidak pernah melakukan perbuatan pidana
oleh karena segala tindakan Terdakwa telah memenuhi beberapa
kewajiban selaku warga negara seperti membayar pungutan retribusi
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Soppeng yang sebelumnya telah
diterbitkan dokumen yang berkaitan dengan asal usul dan pengangkutan
kayu miliknya tidaklah memenuhi unsur objektif dari suatu tindak pidana
yakni tidak ada unsur “melawan hukum” atau “wederrechtelijk” ;
Bahwa dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-
perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah
yang dilarang dan diancam dengan pidana. Langemeyer mengatakan
untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang
tidak dapat dipandang keliru, itu tidak masuk akal. (Prof. Moeljatno, S.H.
dalam Azas-azas Hukum Pidana, Penerbit Bina Aksara, Tahun 1983,
halaman 130) ;
3. Bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi pada
halaman 5 alinea ketiga mengindikasikan apabila pertimbangan hukum
Pengadilan Negeri telah menerapkan hukum sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Hal ini dapat dibaca dan dicermati dalam pertimbangan
hukum yang berbunyi : “Menimbang, bahwa setelah mempelajari dengan
teliti dan seksama berkas dari penyidik, berita acara persidangan, barang
bukti dan salinan resmi putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng,
tanggal 10 Maret 2006 Nomor :04/Pid.B/2006/PN.Wsp. yang dimintakan
banding, Pengadilan Tinggi menilai bahwa putusan Hakim tingkat
pertama tersebut telah tepat dan benar, baik dalam menerapkan hukum,
dalam menilai hasil pembuktian maupun dalam mempertimbangkan
kesalahan Terdakwa, sekarang pertimbangan tersebut diambil alih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
sebagai pendapat dan pertimbangan Pengadilan Tinggi sendiri dalam
memutuskan perkara tersebut dalam tingkat banding” ;
Bahwa dengan demikian secara hukum pertimbangan hukum Pengadilan
Negeri pada dasarnya diakui sendiri oleh Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi sebagai suatu putusan yang telah memberikan pertimbangan
hukum yang tepat dan tidak ada suatu alasan hukum bagi majelis untuk
mengubah jumlah hukuman yang dikenakan kepada Terdakwa ;
Bahwa yang lebih memahami dan mengetahui fakta hukum yang terjadi
di depan sidang baik dari proses pemeriksaan perkara maupun barang
bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum berupa 1 (satu) unit
mobil truk warna kuning merek Mitsubishi No.Pol. DD 9925 AY dan 80
(delapan puluh) potong kayu jati bulat adalah Majelis Hakim tingkat
pertama, sehingga hukuman yang dikenakan kepada Terdakwa oleh
Majelis Hakim Pengadilan Negeri adalah sudah setimpal dengan
perbuatan Terdakwa ;
Bahwa di samping itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri juga dalam
menjatuhkan putusan kepada Terdakwa tidak menyimpang dari tuntutan
Jaksa Penuntut Umum yang menuntut hukuman penjara kepada
Terdakwa selama 1 (satu) tahun. Kemudian oleh Majelis Hakim
Pengadilan Negeri menghukum Terdakwa dengan hukuman penjara
selama 6 (enam) bulan dan 20 (dua puluh) hari. Di lain pihak Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi tanpa suatu fakta hukum yang memberatkan
Terdakwa yang terungkap di depan sidang tiba-tiba menambah hukuman
penjara atas diri Terdakwa selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan atau
melampaui tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Begitu pula pidana kurungan
pengganti menjadi 3 (tiga) bulan dari kurungan pengganti sebelumnya
oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri selama 1 (satu) bulan ;
Bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi yang
serta merta menambah masa hukuman Terdakwa tanpa mendasarkan
pertimbangan hukumnya kepada suatu fakta hukum yang terungkap di
depan sidang adalah pertimbangan hukum yang tidak adil dan keliru serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
cenderung sewenang-wenang, oleh karena suatu pertimbangan hukum
atas suatu perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa seharusnya
mengacu kepada hasil pemeriksaan sidang yang menimbulkan keyakinan
bagi Hakim. Apabila Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam
memutuskan perkara ini tanpa suatu pertimbangan hukum yang mengacu
kepada fakta hukum (des factum) yang terungkap selama persidangan,
maka menjadi alasan bagi Majelis Hakim pada tingkat kasasi untuk
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi tersebut dengan alasan hukum
terjadi kekeliruan dan kesalahan dalam memberikan pertimbangan
hukum ;
Bahwa dengan demikian putusan Majelis Hakim tinggi tersebut tidak
didasarkan kepada alasan hukum yang menjadi dasar diajukannya
permohonan banding oleh Jaksa Penuntut Umum melainkan hanya
pendapat semata-mata dari Hakim Tinggi dengan tidak mengaitkan fakta
hukum terungkap di depan sidang, sehingga putusan majelis Hakim
tinggi dimaksud seharusnya dibatalkan ;
4. Bahwa pertimbangan hukum majelis Hakim tinggi yang menjadi alasan
hukuM penambahan pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa karena
tidak sesuai dengan bobot akibat kejahatan yang terbukti dilakukan oleh
Terdakwa adalah pertimbangan hukum yang keliru. Hal ini sesuai dengan
bunyi pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi pada halaman 5 alinea
keempat yang berbunyi :
“Menimbang, bahwa walaupun demikian halnya, Pengadilan Tinggi tidak
sependapat mengenai pidana yang dijatuhkan oleh Hakim tingkat
pertama atas diri Terdakwa tersebut, sebab tidak sesuai dengan bobot
akibat kejahatan yang terbukti dilakukan oleh Terdakwa tersebut, …....”;
Bahwa pertimbangan hukum dimaksud sangatlah keliru dan bertentangan
dengan hukum, dengan alasan Terdakwa sebelum melakukan
pengangkutan kayu tersebut telah melengkapi dokumen-dokumen
sebanyak 7 (tujuh) macam yang menjadi alasan Terdakwa untuk
mengangkut kayu yang dibeli dari pihak ketiga. Sehingga pertimbangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi yang tidak mempertimbangkan
dokumen-dokumen yang diajukan Terdakwa sebagai kelengkapan dalam
mengangkut hasil hutan berupa kayu jati bulat sebanyak 80 ( delapan
puluh ) batang adalah suatu pertimbangan hukum yang keliru khususnya
dalam menerapkan asas audi et alteram partem ( dengarlah kedua belah
pihak ) ;
Bahwa upaya Terdakwa untuk melengkapi dokumen atau surat-surat
sebelum melakukan pengangkutan kayu miliknya tersebut seharusnya
dipertimbangkan oleh Majelis Hakim sebagai suatu iktikad baik bagi
Terdakwa untuk tunduk dan patuh serta taat kepada hukum yang berlaku,
bahkan Terdakwa telah melakukan pembayaran atas pungutan retribusi
kepada Pemerintah KabupatenSoppeng sebesar Rp.3.000.000,00 ( tiga
juta rupiah ), sesuai Perda No.20 Tahun 1999 dan Peraturan Bupati
Soppeng No.01/II/2005, sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Soppeng Nomor
522.21/45/Hutbun/2005 tanggal 23 Agustus 2005 tentang Izin
Pemungutan Kayu Tanah Milik An. H. Patta di Desa Sering, Desa Pesse,
Kecamatan Donri-Donri, Kelurahan Lalabata Rilau, Kelurahan Bila,
Kabupaten Soppeng ;
Bahwa dengan demikian segala alasan yang dijadikan pertimbangan
hukum oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan
pidana bagi Terdakwa adalah sangat keliru dan seharusnya
dikesampingkan seluruhnya oleh Majelis Hakim pada Mahkamah Agung
RI ;
Bahwa di samping itu seharusnya menjadi fokus perhatian bagi Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi mengenai kebiasaan masyarakat lokal di dalam
suatu wilayah daerah/kabupaten dalam melengkapi surat-surat yang
diperlukan dalam mengangkut kayu hasil hutan. Terdakwa dalam
memahami aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah bersama dengan
legislatif tidak secara maksimal. Dengan kata lain pemahaman
masyarakat lokal tentang Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
(SKSHH) adalah suatu dokumen yang masih asing bagi pengusaha kayu
di Kabupaten Soppeng, sehingga apabila ketentuan tersebut diterapkan di
Kabupaten Soppeng secara tegas, maka dapat dipastikan tidak ada
peluang bagi warga masyarakat untuk memanfaatkan kayu meskipun
kayu tersebut berasal dari lahan miliknya sendiri. Dan sebagai akibatnya
adalah para pengusaha kayu akan terpuruk dan tidak ada bahan baku
untuk membuat perabot rumah tangga maupun bahan baku rumah
panggung atau rumah permanen sebagai suatu kebutuhan pokok berupa
sandang bagi warga Kabupaten Soppeng ;
Bahwa kebiasaan bagi masyarakat lokal di Kabupaten Soppeng, apabila
sudah mengurus segala kelengkapan dokumen atau surat-surat sebanyak
7 (tujuh) macam tersebut, maka sesuai pemahaman mereka surat-surat
yang di perlukan untuk menguasai dan memiliki serta mengangkut hasil
hutan sudah lengkap, sehingga kelengkapan dokumen tersebut
seharusnya dijadikan pertimbangan hukum untuk melepaskan Terdakwa
dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum ;
Bahwa sangat kaku dan keliru pemahaman Majelis Hakim Judex Facti
yang hanya berpatokan kepada ketiadaan SKSHH sehingga Terdakwa
dijatuhi pidana yang cukup berat, sehingga dokumen-dokumen yang
dimiliki Terdakwa untuk kelengkapan administrasi lebih dari cukup,
apabila dianalisis seluruh dokumen tersebut sangat jelas dan terang asal
usul kayu yang dimiliki Terdakwa, bahkan telah melakukan pembayaran
retribusi kepada Pemerintah Kabupaten Soppeng sebesar Rp.3.000.000,-
(tiga juta rupiah) ;
5. Bahwa terkait dengan substansi penerbitan SKSHH yang tidak
dikeluarkan oleh Kadishutbun Kabupaten Soppeng meskipun telah
memenuhi persyaratan diterbitkannya SKSHH, maka seharusnya
pertanggungjawaban pidananya tidak dibebankan kepada Terdakwa
selaku orang atau subyek hukum yang telah memenuhi persyaratan
penerbitan SKSHH tersebut ;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Bahwa dalam hal ini segala pertimbangan hukum Majelis Hakim Judex
Facti yang tidak mempertimbangkan soal penerbitan SKSHH oleh pihak
yang berwajib dalam hal ini Kepala Dishutbun Kabupaten Soppeng
seharusnya menghilangkan beban dan tanggungjawab pidana bagi
Terdakwa terkait dengan ketiadaan SKSHH yang dipegang oleh
Terdakwa sehingga Majelis Hakim telah menjatuhkan pidana kepada
Terdakwa karena dianggap telah melakukan kesalahan yakni tindak
pidana “mengangkut, menguasai dan memiliki hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan
(SKSHH)” ;
Bahwa pada dasarnya pengangkutan hasil hutan berupa kayu bulat yang
dilakukan oleh Terdakwa hanyalah usaha kecil-kecilan dengan tujuan
agar kayu bulat tersebut dapat diolah menjadi perabot rumah tangga atau
balok kecil yang telah menjadi keluhan utama bagi usaha perabot rumah
tangga di seluruh Indonesia. Hal ini menjadi suatu permasalahan besar
yang dirasakan oleh pelaku usaha perabot rumah tangga oleh karena
semakin kurangnya bahan baku untuk membuat perabot rumah tangga
dengan alasan tidak adanya peluang untuk memperoleh hasil hutan baik
dari hutan hak/hutan rakyat maupun kawasan hutan negara ;
Bahwa menyimak pendapat Menteri Kehutanan RI, maka pada dasarnya
dokumen baik rekomendasi maupun surat keterangan yang dikeluarkan
oleh Kepala Desa Sering yang dimiliki oleh Terdakwa dalam
pengangkutan kayu tersebut sudah mencukupi dan apabila revisi
penatausahaan hutan yang dijanjikan oleh Menhut tersebut, maka
keberpihakan pemerintah kepada pengusaha mebel dan kerajinan yang
biasanya memperoleh kayu dari hutan rakyat/hutan hak akan semakin
berkembang dan tidak mempersulit pengadaan bahan baku demi
kelangsungan usahanya ;
Bahwa dengan demikian apa yang dilakukan oleh pengusaha mebel yang
biasanya omzetnya kecil tersebut dapat tetap memenuhi bahan baku
mebel dan kerajinan tanpa melakukan suatu pelanggaran hukum,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
meskipun sangat diperlukan sosialisasi yang mantap agar regulasi yang
dikeluarkan oleh pemerintah dapat dilaksanakan secara efektif ;
6. Bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi pada
alinea ketiga halaman 6 angka 1 s/d halaman 7 angka 6 yang berbunyi :
“Menimbang, bahwa untuk mempertimbangkan tentang pidana yang
dijatuhkan kepada Terdakwa Pengadilan Tinggi mempertimbangkan
sebagai berikut : 1. Bahwa saat ini dst……..” yang menjadi alasan
penambahan masa hukuman penjara bagi Terdakwa adalah alasan hukum
yang dibuat-buat dan sangat berlebihan, dengan mengesampingkan
dokumen dan fakta hukum yang terungkap selama persidangan
berlangsung, sehingga pertimbangan hukum Majelis Hakim Tinggi
tersebut seharusnya dikesampingkan. Alasan hukumnya adalah masalah
illegal logging dan illegal trade yang menjadi pertimbangan hukum bagi
Majelis telah keliru melihat atau mencermati bukti-bukti atau dokumen
yang diajukan oleh Terdakwa berupa Surat Keterangan Asal Usul Kayu
dari Kepala Desa Sering dan Surat Keterangan Angkutan dari Kepala
Desa Sering. Sehingga pertimbangan hukum Majelis Hakim Tinggi
dimaksud seharusnya dikesampingkan ;
Bahwa dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Tinggi pada halaman
6 angka 1 mengemukakan bahwa illegal logging dan illegal trade benar-
benar merajalela yang menyebabkan kerugian negara baik di bidang
pajak maupun di dalam pelestarian hutan sehingga merusak ekosistem.
Pertimbangan tersebut ada benarnya akan tetapi tidak tepat dan keliru
diterapkan dalam perkara ini. Alasan hukumnya adalah Majelis Hakim
Tinggi tidak pernah mempertimbangkan bahwa Terdakwa melakukan
pengangkutan hasil hutan berupa kayu tersebut adalah berasal dari hutan
hak/hutan tanaman rakyat yang dilengkapi dengan Surat Keputusan
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Soppeng Nomor
522.21/45/Hutbun/2005 tanggal 23 Agustus 2005 tentang Izin
Pemungutan Kayu Tanah Milik An. H. Patta di Desa Sering, Desa Pesse,
Kecamatan Donri-Donri, Kelurahan Lalabata Rilau, Kelurahan Bila,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Kabupaten Soppeng, dan Terdakwa telah membayar retribusi kepada
Pemerintah Kabupaten Soppeng sebesar Rp.3.000.000,00 ( tiga juta
rupiah );
Bahwa sesuai dengan ketentuan yang berlaku tidak diwajibkan adanya
pem- bayaran Dana Reboisasi (DR) sesuai Keputusan Menteri Kehutanan
No.128/ Kpts-II/2003 dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sesuai
Pasal 2 dan 3 Keputusan Menteri Kehutanan No.124/Kpts-II/2003 bagi
hasil hutan yang berasal dari hutan hak/hutan tanaman rakyat. Dengan
demikian perbuatan Terdakwa mengangkut hasil hutan tersebut tidaklah
merugikan negara melainkan telah membayar berbagai pungutan retribusi
yang dibebankan
kepada Terdakwa ;
Bahwa di samping itu sesuai dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-
undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, maka pemanfaatan hutan
hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, sesuai
dengan fungsinya. Dalam hal ini Terdakwa mengambil hasil hutan
miliknya adalah sesuai dengan peruntukan hutan tersebut yakni kayu jati
yang ditanam di atasnya diperuntukkan bagi kebutuhan mebel dan
kerajinan, dan tidak secara serampangan melakukan penebangan
sehingga tidak merusak ekosistem hutan yang ada ;
Bahwa dalam pertimbangan hukum halaman 7 angka 4 dengan serta
merta Majelis Hakim Tinggi menyatakan bahwa hasil hutan tersebut
peredarannya adalah illegal dan didapat dari penebangan liar yang
membawa akibat rusaknya hutan……dst……. adalah suatu pertimbangan
hukum yang sama sekali tidak berdasarkan kepada fakta hukum yang
terungkap selama persidanganberlangsung. Bahkan Majelis Hakim
Tinggi cenderung mengesampingkan faktahukum yang dapat dijadikan
alasan hukum untuk memutuskan perkara inisehingga pertimbangan
Majelis Hakim Tinggi seharusnya dikesampingkan. Seharusnya Majelis
Hakim Tinggi tidak menutup mata dalam memutuskan perkara ini akan
tetapi haruslah berpatokan kepada fakta hukum yang terungkap di depan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
sidang bahwa hasil hutan berupa kayu yang diangkut oleh Terdakwa
adalah berasal dari hutan hak/hutan tanaman rakyat, hal ini terbukti dari
Surat Keterangan Asal usul Kayu dari Kepala Desa Sering dan Surat
Keterangan Angkutan dari Kepala Desa Sering kemudian dilengkapi pula
dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Soppeng Nomor 522.21/45/Hutbun/2005 tanggal 23 Agustus
2005. Tentang Izin Pemungutan Kayu Tanah Milik An. H. Patta di Desa
Sering, Desa Pesse, Kecamatan Donri-Donri, Kelurahan Lalabata Rilau,
Kelurahan Bila, Kabupaten Soppeng ;
7. Bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Tinggi pada alinea kedua
halaman 7 yang berbunyi : “Menimbang, bahwa tentang barang bukti
berupa 1 (satu) unit mobil truk warna kuning merek Mitsubishi No.Polisi
DD 9925 AY, Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan putusan
Hakim Tingkat pertama yang mengembalikan barang bukti tersebut
kepada pemiliknya bernama Abdul Wahid, dengan pertimbangan sebagai
berikut : 1. Bahwa pemberantasan dst…” Bahwa pertimbangan hukum
Majelis Hakim Tinggi tersebut adalah keliru dan sangat tidak sesuai
dengan rasa keadilan masyarakat pada umumnya. Alasan hukumnya
adalah, bahwa sesuai dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim
Tingkat Pertama pada alinea kedua halaman 8 sangat jelas dan tegas
mempertimbangkan bahwa kepemilikan kayu jati tersebut adalah sah
tetapi pengangkutannya tidak sah, dimana pertimbangan hukum tersebut
telah diambil alih oleh Majelis Hakim Tinggi, sehingga sudah terbukti
menurut hukum bahwa Terdakwa tidak melakukan penebangan liar
(illegal logging), karena asal usul kayu yang diangkut dengan mobil
milik Abdul Wahid tersebut adalah jelas bukan hasil kejahatan,
melainkan hanyalah karena tidak diangkut secara bersama-sama dengan
SKSHH. Meskipun demikian kayu milik Terdakwa yang diangkut oleh
Abdul Wahid dengan menggunakan mobil yang dibeli dengan cicilan
tersebut telah dilengkapi dengan Surat Keterangan Angkutan No.26/DS/
IX/2005 tanggal 26 September 2005 dari Kepala Desa Sering ;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Bahwa hubungan antara Terdakwa dengan Abdul Wahid dalam hal
pengang- kutan kayu yang bukan berasal dari penebangan liar tersebut
melainkan berasal dari hutan tanaman rakyat/hutan hak adalah dilandasi
dengan perjanjian sewa menyewa di mana Terdakwa membayar ongkos
angkut kepada pemilik mobil (Abdul Wahid) sebesar Rp.200.000,- (dua
ratus ribu rupiah) jadi tidak benar pertimbangan hukum Majelis Hakim
Tinggi yang menyatakan mobil tersebut dipinjam oleh Terdakwa untuk
dipergunakan mengangkut kayu milik Terdakwa ;
Bahwa majelis Hakim tinggi keliru dan tidak cermat mempelajari berkas
perkara ini sehingga serta merta mengenakan ketentuan Pasal 78 ayat
(14) Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan atas mobil
milik Abdul Wahidtersebut, oleh karena setiap putusan Pengadilan
seharusnya mempertimbangkan segi sosial yang dapat ditimbulkan dari
pertimbangan hukumnya. Dalamperkara ini Abdul Wahid yang membeli
mobil tersebut dengan mencicil daripihak ketiga dan sampai saat ini
belum lunas merupakan satu-satunya sumberpenghidupan untuk mencari
nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup isteri dan anak-anaknya,
sehingga sangatlah berlebihan dan keliru apabila mobil tersebut dirampas
untuk negara, di lain pihak Abdul Wahid bersama dengan isteri dan anak-
anaknya hanya menggantungkan hidupnya dari penghasilan sewa atas
mobil tersebut. Bahwa sangat ironis apabila Majelis Hakim Tinggi secara
kaku mengenakan Pasal 78 ayat (14) Undang-undang No.14 Tahun 1999
tersebut di lain pihak perbuatan yang dilakukan Abdul Wahid hanya
mengangkut hasil hutan yang berasal dari hutan hak/hutan tanaman
rakyat yang telah dilengkapi dengan Surat Keterangan Angkutan
No.26/DS/IX/2005 dari Kepala Desa Sering tertanggal 26 September
2005 ;
Bahwa perampasan barang bukti satu unit mobil truk merek Mitsubishi
warna kuning No.Pol. DD 9925 AY untuk negara yang diterapkan oleh
Majelis Hakim Tinggi sungguh sangat bertentangan dengan salah satu
tujuan hukum yaitu kemanfaatan, di mana hukum dibuat dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
diberlakukan dalam suatu komunitas masyarakat seharusnya
dipertimbangkan kemanfaatan yang diakibatkan oleh suatu putusan
Pengadilan. Dengan kata lain apakah Abdul Wahid selaku pemilikmobil
yang hanya secara kebetulan melakukan perjanjian sewa menyewa
dengan Terdakwa untuk mengangkut hasil hutan hak milik Terdakwa
secara tiba-tiba harus menderita dan sengsara oleh karena sumber
penghidupannya dirampas untuk negara ? Bahwa alasan hukum tersebut
patut dipertimbangkan secara matang oleh Majelis Hakim Tingkat Kasasi
agar supaya hukum benar-benar mengayomi atau melindungi sumber
kehidupan setiap warga negara guna dapat melangsungkan
kehidupannya;
8. Bahwa putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam perkara ini telah
keliru dan salah menerapkan hukum, khususnya mengenai hukuman
denda kepada Terdakwa sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
Alasan hukumnyaadalah bahwa penerapan hukuman berupa denda
kepada Terdakwa adalahsangat berlebihan dan menimbulkan ketidak
adilan bagi Terdakwa, oleh karena Terdakwa belum menikmati hasil
hutan hak berupa kayu tiba-tiba di tangkapdan diproses oleh pihak
Kepolisian dan semua kayu bulat yang diangkut oleh mobil Abdul Wahid
telah disita oleh petugas sehingga tidak ada keuntungan yang diperoleh
Terdakwa dari hasil hutan hak tersebut, bahkan seluruhnya disita
termasuk mobil yang digunakan untuk mengangkut kayu tersebut ;
Bahwa pengenaan hukuman denda kepada Terdakwa tersebut sangatlah
berlebihan dan tidak pernah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Judex
Facti dalam pertimbangan hukumnya, namun secara serta merta dalam
amar putusannya telah mengenakan hukuman berupa denda sebesar
Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) kepada Terdakwa, sehingga
apapun alasannya putusan Majelis Hakim Judex Facti dimaksud
seharusnya dibatalkan karena bertentangan dengan ketentuan hukum
acara yang berlaku khususnya mengenai setiap putusan harus disertai
dengan pertimbangan hukum. sebaliknya apabila putusan Hakim tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
memberikan pertimbangan hukum yang cukup, maka putusan tersebut
seharusnya dibatalkan, sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung
tanggal 8 Mei 1957 No.117 K/Sip/1955 yang berbunyi : putusan
Pengadilan Tinggi dapat dibatalkan apabila tidak disertai alasan yang
cukup (onvoldoende gemotiveerd) ;
Bahwa dengan demikian Terdakwa mohon kepada Majelis Hakim
Mahkamah Agung agar dapat membatalkan putusan Hakim Judex Facti
yang serta merta menghukum Terdakwa untuk membayar denda sebesar
Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) di lain pihak Terdakwa belum
menikmati kayu yang kini telah disita oleh penyidik yang ditaksir senilai
Rp.2.000.000,- (dua juta rupiah) ;
Bahwa selain hal tersebut yang patut dipertimbangkan oleh Majelis
Hakim Mahkamah Agung adalah umur Terdakwa yang telah mencapai di
atas 75 tahun, sehingga kondisi kesehatannya apabila tetap ditahan akan
semakin menurun baik fisik maupun kejiwaannya juga semakin melemah
sehingga sangat riskan terhadap berbagai penyakit, sehingga Terdakwa
mohon agar Terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan Jaksa Penuntut
Umum ;
4) Amar Putusan Mahkamah Agung
Dalam Putusan Mahkamah Agung membatalkan permohonan Kasasi
dari Pemohon Kasasi/ Terdakwa , Karena tidak adanya bukti yang cukup
kuat untuk dapat menahan terdakwa. Sehingga Amar Putusan Mahkamah
Agung Berbunyi sebagai berikut :
Mengadili :
a) Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa : H.
PATTA bin LATAPPE tersebut ;
b) Membebankan Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp.2.500,- (dua ribu
lima ratus rupiah).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Sesuai dengan Perumusan masalah yang ada di awal bab, berikut ini
pembahasan Putusan Mahkamah Agung tersebut diatas .
Sebagaimana diketahui, untuk dapat dinyatakan bahwa seseorang
telah melakukan perbuatan melawan hukum maka harus memenuhi unsur
sifat melawan hukumnya terlebih dahulu atau rumusan delik atau
perbuatan pidana , seperti yang telah dirumuskan dalam peraturan pidana.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa yang dimaksudkan dengan unsur
sifat “perbuatan sifat melawan hukum” adalah suatu perbuatan dari
petindak sebagai pelaku langsung (manus ministra) yang telah dinyatakan
melanggar ketentuan hukum, yang meliputi ketentuan perundang-
undangan yang berlaku sebagai hukum positif , ketentuan berupa asas-asas
hukum yang bersifat hukum publik atau umum (Henny mono, 2007 : 61 ).
Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2143K/Pid/2006 tersebut,
berdasarkan fakta-fakta dipersidangan tingkat pertama, Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Makasar memutuskan bahwa perbuatan terdakwa telah
memenuhi unsur-unsur pasal-pasal yang didakwakan, yaitu Pasal 50 ayat 3
huruf h jo Pasal 78 ayat 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, Bunyi pasal-pasal tersebut sebagai berikut :
a) Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menyatakan bahwa :
” Setiap orang dilarang mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil
hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan
sahnya hasil hutan”;
b) Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menerangkan bahwa :
” Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) ”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Terdakwa H.Patta bin Latappe terbukti memenuhi unsur-unsur dari
pasal-pasal yang didakwakan tersebut, sehingga bunyi amar putusannya
pada butir pertama yaitu secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana mengangkut hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama
dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH). Pidana yang
dijatuhkan adalah pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan 20 (dua
puluh) hari dan denda sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah)
subsidair 1 (satu) bulan kurungan. Kemudian Barang Bukti dikembalikan
kepada pemiliknya dan dikembalikan kepada Negara melalui Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Soppeng.
Demikian pula dengan Pengadilan Tinggi Negeri Makasar yang
menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum, juga
menerapkan kaidah hukum yang sama, namum Putusan Pengadilan Tinggi
ini untuk memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri yang memutuskan
sebelumnya, sepanjang mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan atas diri
terdakwa. Lamanya pidana penjara yang dijatuhkan adalah selama 1 (satu)
tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 20.000.000,00 ( dua puluh
juta rupiah ) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka
akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 ( tiga ) bulan.
Kemudian , terhadap putusan Pengadilan Tinggi Makasar tersebut
Jaksa penuntut Umum sebagai pemohon banding ternyata sudah puas akan
putusan majelis hakim, tetapi di lain pihak putusan dari Pengadilan Tinggi
membuat terdakwa tidak terima akan Putusan terhadap diri terdakwa oleh
karena itu terdakwa mengajukan permohonan kasasi terhadap Putusan
Pengadilan Tinggi tersebut. Mengingat akan akta tentang permohonan
kasasi Nomor 01/Akta Pid/2006/PN.Wnp, yang dibuat oleh Panitera pada
Pengadilan Negeri Watansoppeng yang menerangkan bahwa pada tanggal
20 juli 2006 Terdakwa mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan
Pengadilan Tinggi tersebut. Sehingga Mahkamah Agung berdasarkan
pertimbangannya tersebut memutuskan untuk menolak permohonan kasasi
dari Pemohon Kasasi atau Terdakwa, serta menetapkan uang sebesar Rp.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
2.500,00 ( dua ribu lima ratus rupiah ) dibebabankan kepada pemohon
kasasi atau terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi
ini.
Dalam hal seperti ini, apabila permohonan kasasi gugur atau ditolak,
maka putusan yang dimintakan kasasi yaitu Putusan Pengadilan Tinggi
Makasar menjadi incraht van gewijsde atau berkekuatan hukum tetap.
Kemudian, pihak yang bersangkutan ( Jaksa Penuntut Umum dan
Terdakwa ) dianggap menerima Putusan Pengadilan Tinggi Makasar
tersebut.
Jika melihat Undang-Undang yang berlaku sekarang, terdapat
perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.
Pada tanggal 11 Maret 2004 telah diundangkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kemudian
pada tanggal 13 agustus 2004, Peraturan Pemerintah tersebut ditetapkan
menjadi Undang-Undang, sehingga menjadi Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang.
Tetapi Harus diakui juga, bahwa Undang-Undang Kehutanan
mempunyai kelemahan mendasar. Ketentuan Pidana diatur hanya di satu
pasal, yakni Pasal 78. Yang kemudian, di Pasal 80 ditegaskan, segala
pelanggaran diluar yang diatur Pasal 78 hanya dijatuhi sanksi administratif
dan denda. Artinya, pembalakan yang dilakukan berdasarkan izin,
meskipun izin tersebut cacat, dan hutan ditebang jauh lebih luas dibanding
luas yang diizinkan, atau bahkan seklalipun si pembalak menghancurkan
hutan sedemikian rupa, ia hanya bisa dijerat sanksi administratif. Luar
biasa lemahnya Undang-Undang ini (http://febridiansyah.wordpress.com).
Menurut Ilmu pengetahuan Hukum , jika terdapat perubahan Undang-
Undang maka Hakim dapat memilih kaidah hukum yang akan diterapkan
dalam menangani suatu perkara. Tetapi dalam putusan Mahkamah Agung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
tentang perkara Tindak Pidana Illegal Logging ini, Hakim tetap
menggunakan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
untuk memidanakan terdakwa.
Menurut pendapat Penulis , berdasarkan Kasus Posisi dilihat dari
Tempus delicti atau waktu perbuatan pidana oleh terdakwa, Ketika itu
peraturan yang berlaku adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tersebut, namun Hakim juga tidak
menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang itu untuk
memidanakan terdakwa. Meskipun perbuatan pidana itu dilakukan setelah
adanya pengundangan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tetapi
Hakim tidak menggunakan Undang-Undang tersebut melainkan Hakim
tetap menggunakan Undang-Undang yang lama yaitu Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Bahwa dirubahnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 menjadi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
sampai ditetapkannya peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang ini
menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, tidak merubah kaidah
hukum dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 secara total.
Perubahan tersebut hanya berupa penambahan ketentuan baru dalam bab
penutup yang dijadikan Pasal 83A dan Pasal 83B. Sedangkan pasal-pasal
yang digunakan oleh Hakim dalam memutus perkara yaitu Pasal 50 ayat
(3) huruf h dan Pasal 78 ayat (7) untuk memidanakan terdakwa tidak
mengalami perubahan sama sekali. Sehingga, kalau Penulis boleh
berpendapat bahwa benar jika Hakim tetap menggunakan Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 untuk memidanakan terdakwa, dengan asumsi
bahwa hakim dapat memilih hukumnya.
Setelah Penulis kembali meninjau dalam hal pemberian atau
penjatuhan sanksi pidana, Hakim yang memutus perkara ini menjatuhkan
sanksi pidana yang relatif ringan. Hal ini disebabkan karena Undang-
Undang yang dipakai juga tidak mengatur mengenai batas minimum
pemberian sanksi pidana, yang mana menurut penulis belum dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
memberikan rasa kepuasan bagi masyarakat yang menghendaki tegaknya
keadilan. Alasan ini cukup konkrit , apabila dilihat dari dampak negatif
yang sangat merugikan yang ditimbulkan dari perbuatan illegal di bidang
Kehutanan ini.
2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2143K/PID/2006 dalam Perkara
Tindak Pidana Illegal Logging telah sesuaikah dengan Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999.
a. Ketentuan Pidana dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
2143K/Pid/2006.
Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2143K/Pid/2006 tersebut,
berdasarkan fakta-fakta dipersidangan tingkat pertama, Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Makasar memutuskan bahwa perbuatan terdakwa telah
memenuhi unsur-unsur pasal-pasal yang didakwakan, yaitu Pasal 50 ayat 3
huruf h jo Pasal 78 ayat 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Bahwa dalam putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng Menyatakan
Terdakwa H. Patta bin Latappe telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana mengangkut hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan
(SKSHH). Sehingga Pengadilan Negeri Menjatuhkan pidana oleh karena
itu kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan 20
(dua puluh) hari dan denda sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta
rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan.
Demikian pula dengan Pengadilan Tinggi Negeri Makasar yang
menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum, juga
menerapkan kaidah hukum yang sama, namum Putusan Pengadilan Tinggi
ini untuk memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri yang memutuskan
sebelumnya, sepanjang mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan atas diri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
terdakwa. Lamanya pidana penjara yang dijatuhkan adalah selama 1 (satu)
tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 20.000.000,00 ( dua puluh
juta rupiah ) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka
akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 ( tiga ) bulan.
Kemudian , terhadap putusan Pengadilan Tinggi Makasar tersebut
Jaksa penuntut Umum sebagai pemohon banding ternyata sudah puas akan
putusan majelis hakim, tetapi di lain pihak putusan dari Pengadilan Tinggi
membuat terdakwa tidak terima akan Putusan terhadap diri terdakwa oleh
karena itu terdakwa mengajukan permohonan kasasi terhadap Putusan
Pengadilan Tinggi tersebut. Mengingat akan akta tentang permohonan
kasasi Nomor 01/Akta Pid/2006/PN.Wnp, yang dibuat oleh Panitera pada
Pengadilan Negeri Watansoppeng yang menerangkan bahwa pada tanggal
20 juli 2006 Terdakwa mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan
Pengadilan Tinggi tersebut. Sehingga Mahkamah Agung berdasarkan
pertimbangannya tersebut memutuskan untuk menolak permohonan kasasi
dari Pemohon Kasasi atau Terdakwa, serta menetapkan uang sebesar Rp.
2.500,00 ( dua ribu lima ratus rupiah ) dibebabankan kepada pemohon
kasasi atau terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi
ini.
b. Ketentuan Pidana yang ada dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya
dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam
rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan
dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang
melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan
efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan umum
paragaraf ke 18 <delapan belas> UU Nomor 41 Tahun 1999). Efek jera
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak
pidana kehutanan, akan tetapi juga ditujukan kepada orang lain yang
mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan sehingga timbul rasa enggan
melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidana yang berat.
Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana
perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana.
Ketiga jenis pidana ini dapat pula dijatuhkan kepada pelaku secara
kumulatif. Ketentuan pidana tersebut dapat dicermati dalam rumusan
sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999. Jenis pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada
pelaku yang melakukan kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.
Ketentuan Pidana yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa terdakwa dalam putusan
pengadilan negeri didakwa dengan dakwaan Pasal 50 ayat (3) Jo Pasal 78
ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Bunyi
dari kedua Pasal tersebut adalah sebagai berikut :
a) Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menyatakan bahwa :
” Setiap orang dilarang mengangkut, menguasai, atau memiliki
hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat
keterangan sahnya hasil hutan”;
b) Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menerangkan bahwa :
” Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) ”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Dalam ketentuan pidana yang ada di dalam putusan Pengadilan Negeri
Watansoppeng, oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana penjara
selama 6 (enam) bulan dan 20 (dua puluh) hari dan denda sebesar
Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan.
Sedangkan Ketentuan Pidana yang ada dalam Putusan Pengadilan
Tinggi Makassar, Putusan Pengadilan Tinggi ini untuk memperbaiki
Putusan Pengadilan Negeri yang memutuskan sebelumnya, sepanjang
mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan atas diri terdakwa. Lamanya
pidana penjara yang dijatuhkan adalah selama 1 ( satu ) tahun 6 (enam)
bulan dan denda sebesar Rp. 20.000.000,00 ( dua puluh juta rupiah )
dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka akan diganti
dengan pidana kurungan selama 3 ( tiga ) bulan.
Ketentuan Pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu menurut Pasal 78 ayat (7), berbunyi
sebagai berikut : ” Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) ”.
Menurut Penulis, bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor
2143K/Pid/2006 tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebab Majelis Hakim dalam memutus
perkara menggunakan dasar hukum Undang-Undang ini yaitu
menggunakan Pasal 50 ayat (3) jo Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Tetapi Majelis hakim dalam menjatuhkan ketentuan pidana mungkin
terlalu sedikit, sebab terdakwa benar-benar bersalah dan terbukti kalau
terdakwa mengangkut kayu tanpa dilengkapi dengan Surat Keterangan
Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Seharusnya Terdakwa menerima pidana
lebih dari 1 (satu) tahun dan juga denda lebih dari Rp. 20.000.000,00 (dua
puluh juta rupiah), supaya terdakwa ada rasa jera dalam melakukan Tindak
Pidana Illegal Logging tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penulisan dan pembahasan yang telah dilakukan, maka
dapat Penulis ambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Terkait mengenai tindak pidana Illegal Logging dan berdasarkan perkara
yang telah diputus Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor
2143K/Pid/2006, maka dapat dinyatakan bahwa tindak pidana illegal logging
adalah tindak pidana mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang
tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.
Sehingga kaidah Hukum terdapat pada Putusan Mahkamah Agung tersebut
adalah Pasal 50 ayat (3) huruf h, dan Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan . Setidak-tidaknya dalam perkara
tersebut sudah dapat mewakili dari sekian banyaknya kasus illegal logging
yang terjadi di Negara ini serta dapat ditarik suatu kesimpulan yang lain
bahwa Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging adalah mereka-mereka yang
hanya mengangkut kayu-kayu tanpa dilengkapi Surat Sahnya Hasil Hutan,
sedangkan pemilik modalnya atau Cukongnya sangatlah sulit untuk ditangkap
dan dijerat hukuman sebab, Cukongnya itu berpindah-pindah tempat itu
menyebabkan kesulitan bagi penegak hukum untuk menangkapnya. Salah
satu dari perkara tersebut yaitu dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
2143K/Pid/2006 dalam perkara tindak pidana illegal logging. Pada perkara
yang diputus Mahkamah Agung dalam putusannya bernomor
2143K/Pid/2006 . Pelakunya adalah Orang yang mengangkut kayu dari hutan
untuk dibawa ketempat lain. Pelaku tidak memiliki izin resmi berupa surat
keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH), dan hanya membawa surat
keterangan atau pengantar dari desa sering dan SKU saja bahwa kayu-kayu
yang diangkutnya adalah milik perorangan. Disisi lain ini merupakan suatu
contoh belum mengertinya masyarakat atas Undang-Undang juga tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
mengakomodasi pengaturan mengenai siapa-siapa saja yang dapat dikenakan
sanksi pidana terkait perbuatannya yang melanggar hukum dalam Undang-
Undang ini,serta belum sempat diaturnya secara rincimengenai hutan adat,
mengingat masyarakat adat adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan
hutan disekitar tempat tinggal tersebut.
2. Penggunaan kaidah hukum oleh hakim yang memutus perkara dalam putusan
yang telah incracht atau sudah pasti dan sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Semua itu telah benar dan telah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan. Namun dalam pemberian sanksi pidananya terhadap
pelaku terlalu relatif ringan, dan tidak akan mendapatkan efek jera bagi
pelakunya, karena Undang-Undang yang dipakai memang tidak mengatur
mengenai batas minimum pemberian sanksi pidana. Yang mana menurut
penulis belum mendapatkan atau memberikan rasa kepuasan bagi masyarakat
yang mendambakan tegaknya hukum dan keadilan. Hal ini sangatlah
beralasan karena perbuatan melawan hukum ini sangat merugikan dan
berdampak negatif cukup besar terhadap upaya untuk mewujudkan suatu
Negara yang makmur dan sejahtera.
B. Saran
Dari Penulisan Hukum yang penulis lakukan, ada beberapa saran yang
dapat disampaikan, yaitu sebagai berikut :
1. Definisi dan pengertian tentang illegal logging agar lebih diperjelas lagi,
sehingga dapat memudahkan para pihak terutama para penegak hukum agar
tidak mengalami kesulitan dalam menetapkan perbuatan seseorang, apakah
termasuk tindak pidana illegal logging atau tidak;
a. Ada pemberian batas minimum khusus mengenai sanksi pidana setiap
perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana illegal logging, agar
penegak hukum ( khususnya bagai Hakim ) tidak sewenag-wenang dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku. Hal ini juga dimaksudkan
untuk memberikan rasa keadilan demi tegaknya hukum;
b. Adanya koordinasi lebih ditingkatkan lagi antara para penegak hukum
yang bergerak dilapangan, seperti Departemen Kehutanan, TNI, dan
POLRI dalam melakukan pengawasan di sejumlah wilayah yang rawan,
sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan atau bahkan lepas
tangan karena merasa bukan kewenangannya.
2. Diantara Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dengan
Putusan Mahkamam Agung harus lebih disesuaikan lagi dalam penjatuhan
sanksi Pidana agar pelaku kejahatan merasa Jera.
a. Memberikan pengaturan tentang batasan-batasan secara jelas agar dapat
memudahkan pemerintah setempat di dalam memberikan ijin hak
pengusaha hutan (HPH) kepada pengusaha kayu, sehingga diharapkan
dapat mengontrol kegiatan usaha tersebut;
b. Untuk menghindari kriminalisasi terhadap masyarakat dalam operasi
pemberantasan PKI (Penebangan Kayu Illegal), sudah menjadi
keniscayaan bahwa konflik-konflik kehutanan dan tata batas hutan harus
diselesaikan.