difteri dengan obstruksi laring pada anak

19

Click here to load reader

Upload: nelson-nikijuluw

Post on 25-Nov-2015

35 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

mengetahui penyekit difteri dan penatalaksanaannya

TRANSCRIPT

Difteri dengan Obstruksi Laring pada Anak

Nelson Peter Nikijuluw[footnoteRef:1] [1: Alamat Korespondensi:Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaArjuna Utara No. 6 Jakarta 11510Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),Fax: (021) 563-1731Email: [email protected] ]

102011127 (F1)

Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA Pendahuluan Difteri adalah penyakit menular akut pada tonsil, faring, hidung, laring, selaput mukosa, kulit dan terkadang konjungtiva serta vagina. Penyakit ini dapat menyerang seluruh lapisan usia, tetapi lebih sering pada anak-anak, terutama pada anak yang tidak mempunyai kekebalan terhadap bakteri penyebab difteri.1Manifestasi klinis dari difteria tergantung dari lokasi infeksi, imunitas penderita, dan ada/tidaknya toksin difteri yang beredar di dalam sirkulasi darah. Gejalanya mulai dari yang paling ringan seperti gejala influenza biasa, sampai kepada yang paling berat yang menimbulkan obstruksi saluran napas yang tidak jarang menimbulkan kematian.

Skenario Kasus

Anatomi Pharynx dan LarynxYang disebut sebagai jalan nafas adalah nares, hidung bagian luar (external nose); hidung bagian dalam (internal nose); sinus paranasal; faring; laring. Semuanya termasuk dalam cangkupan bidang telinga hidung tenggorokan (THT) PharynxPharynx merupakan sebuah pipa musculomembranosa yang membentang dari bassis cranii sampai setinggi vertebra cervical 6 atau tepi bawah cartilago cricoidea dan melebar di bagian superior. Di sebelah caudal dilanjutkan dengan oesophagus dan pada batas antara Pharynx dengan Oesophagus menyempit dengan lebar sekitar 1,5 cm. Pharynx dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Nasopharynx (Epipharynx), Oropharynx (Mesopharynx), dan Laryngopharynx (Hypopharynx). Batas-batas Pharynx antara lain:2 Batas Cranial: bagian posterior Corpus Ossis Sphenoidalis dan Pars Basilaris Ossis Occipitalis. Batas Dorsal + Lateral: jaringan penyambung longgar yang menempati spatium peripharyngeale. Batas Ventral: Pharynx terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, dan Larynx, sehingga dinding anterior tidak sempurna. Batas Superior-Inferior: Lamina Medialis Processus Pterygoidei, Raphe Pterygomandibularis, Mandibulla, lidah, os Hyoideum, cartilago thyreoidea, dan cartilago cricoidea. Batas Lateral: hubungan ke Cavum Tympani melalui Tuba Eustachii. Lapisan-lapisan otot pharynx (Tunica Muscularis) terdiri atas 3 otot lingkar/sirkular, yaitu M. Constrictor Pharyngis Inferior, M. Constrictor Pharyngis Medius, dan M. Constrictor Pharyngis Superior, serta 3 otot yang masing-masing turun dari Processus Styloideus, Torus Tubarius, dan Palatum Molle, yaitu M. Stylopharyngeus, M. Salpingopharyngeus, dan M. Palatopharyngeus.2 M. Constrictor Pharyngis InferiorMerupakan otot sirkular paling tebal. Terdiri atas 2 bagian otot kecil, yaitu M. Cricopharyngeus dan M. Thyreopharyngeus. M. Cricopharyngeus melekat pada sisi lateral cartilago cricoidea. M. Thyreopharyngeus berasal dari Linea Obliqua Lamina Cartilaginis Thyroidei dan Cornu Inferius Cartilago Thyreoidea. Sewaktu menelan, M. Cricopharyngeus berfungsi sphincter dan M. Thyreopharyngeus sebagai pendorong. M. Constrictor Pharyngis MediusTerdiri atas dua bagian otot kecil. Sebelah anterior, melekat pada Cornu Minus Ossis Hyoidei dan bagian bawah ada Lig. Stylohyodeum sebagai M. Chondropharyngeus. M. Constrictor Pharyngis SuperiorMerupakan lembaran otot tipis. Pada bagian anteriornya melekat pada Hamulus Pterygoideus, Raphe Pterygomandibularis, ujung dorsal Linea Mylohyoidea Ossis Mandibulae, dan sisi Radix Linguae. Perlekatan ini membagi M Constrictor Pharyngis Superior menjadi otot-otot yang lebih kecil, yaitu M. Pterygopharyngeus, M. Buccopharyngeus, M. Mylopharyngeus, dan M. Glossopharyngeus.Perdarahan pharynx berasal dari A. Pharyngea Ascendens, A. Palatina Ascendes dan Ramus Tonsillaris cabang A. Facialis, A. Palatina Major dan A. Canalis Pterygoidei cabang A. Maxillaris Interna, serta Rami Dorsales Linguae cabang A. Lingualis. Pembuluh-pembuluh balik membentuk sebuah plexus yang ke atas berhubungan dengan plexus pterygoideus dan ke arah bawah bermuara ke dalam V. Jugularis Interna dan V. Facialis.2Persarafan Pharynx berasal dari Plexus Pharyngeus yang dibentukoleh Rami Pharyngei N. Glossopharyngeus, N. Vagus, dan serabut-serabut simpatik postganglioner dari Ganglion Cervicale Superius. Saraf motorik utama Pharynx adalah Pars Cranialis N. Accessorius yang melintasi cabang-cabang N. Vagus, mempersarafi semua otot Pharynx dan Palatum, kecuali M. Stylopharyngeus dan M. Constrictor Pharyngis Superior yang dipersarafi oleh N. Glossopharyngeus. M. Constrictor Pharyngis Inferior dipersarafi lewat Ramus Externus N. Laryngeus Superior dan N. Recurrents.2Saraf sensoris utama Pharynx adalah N. Glossopharyngeus dan N. Vagus, tetapi sebagian besar mukosa nasopharynx dipersarafi oleh N. Maxillaris lewat Ganglon Pterygopalatinum. Mukosa Palatum Molle dan Tonsilla Palatina dipersarafi oleh Nn. Palatini Minores lewat Ganglion Pterygopalatinumdan N. Glossopharyngeus.2

LarynxLarynx merupakan saluran udara yang bersifat sphincter dan juga organ pembentuk suara, membentang antara lidah sampai trachea atau pada laki-laki dewasa setinggi vertebra cervical 3 sampai 6 , tetapi sedikit lebih tinggi pada anak-anak dan perempuan dewasa. Larynx berada di antara pembuluh-pembuluh besar leher dan di sebelah ventral tertutup oleh kulit, fascia, otot, dan depressor lidah. Ke arah superior, Larynx terbuka ke dalam Laryngopharynx, dinding posterior Larynx menjadi dinding anterior Laryngopharynx. K arah posterior, Larynx dilanjutkan sebagai trachea.2Larynx terdiri atas cartilago thyreoidea, cartilago cricoidea, dan cartilago epiglottis, cartilago arytaenoidea, cartilago cuneiforme, dan cartilago corniculatum. Cartilago Thyroidea merupakan tulang rawan larynx terbesar, terdiri atas 2 lamina persegi empat yang tepi anteriornya menyatu ke arah inferior, membentuk sebuah sudut yang menonjol yang dikenal sebagai Prominentia Laryngea (sangat jelas terlihat pada laki-laki (jakun)). Cartilago Cricoidea berbentuk semu cincin stempel dan membentuk bagian inferior dinding Larynx. Cartilago Arytaenoidea terletak di posterior Larynx, sebelah superolateral Lamina Cartilago Cricoidea. Cartilago Corniculatum terletak di sebelah posterior, dalam Plica Aryepiglottica, dan bersandar pada apex Cartilago Arytaenoidea. Tiap sisi epiglottis dilekatkan ke masing-masing Cartilago Arytaenoidea oleh Plica Aryepiglottica.2Otot-otot Larynx dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok ekstrinsik dan intrinsik. Otot-otot ekstrinsik menghubungkan Larynx dengan struktur-struktur sekitar. Otot-otot ekstrinsik meliputi M. Sternothyreoideus yang menarik Larynx ke bawah, M. Thyreohyoideus yang menarik Larynx ke atas, dan M. Constrictor Pharyngis Inferior.2Otot-otot intrinsik mempunyai tempat lekat yang terbatas pada Larynx, yaitu M. Cricothyreoideus, M. Cricoarytaenoideus Posterior, M. Cricoarytaenoideus Lateralis, M. Arytaenoideus Transversus, M. Arytaenoideus Obliquus, M. Aryepiglotticus, dan M. Thyreoarytaenoideus.2Fungsi otot-otot intrinsik Larynx dapat dibagi dalam 3 kelompok, yakni:21. Otot-otot yang mengubah glottis Membuka glottis: M. Cricoarytaenoideus Posterior. Menutup glottis: M. Cricoarytaenoideus Lateralis, M. Arytaenoideus Obliquus, M. Arytaenoideus Transversus, M. Thyreoarytaenoideus, M. Cricothyreoideus.2. Otot-otot yang mengatur ketegangan Lig. Vocale Menegangkan Lig. Vocale: M. Cricothyreoideus dan M. Cricoarytaenoideus Posterior. Mengendurkan Lig. Vocale: M. Thyreoarytaenoideus, M. Vocalis, dan M. Cricoarytaenoideus Lateralis.3. Otot-otot yang mengubah Aditus Laryngeus Menutup Aditus Laryngis: M. Arytaenoideus Obliquus, M. Aryepiglotticus, dan M. Thyreoarytaenoideus. Membuka Aditus Laryngis: M. Thyreoepiglotticus.Perdarahan utama Larynx berasal dari cabang-cabang A. Thyreoidea Superior dan A. Thyreoidea Inferior. Terdapat pula V. Thyreoidea Superior yang bermuara ke dalam V. Jugularis Interna dan V. Thyreoidea Inferior yang bermuara ke dalam V. Brachiocephalica Sinistra. Persarafan Larynx berasal dari cabang-cabang internus dan externus N. Laryngeus Superior, N. Recurrents, dan saraf simpatis.2

Anamnesis Tujuan utama suatu anamnesis adalah untuk mengumpulkan semua informasi dasar yang berkaitan dengan penyakit pasien dan adaptasi pasien terhadap penyakitnya. Kemudian dapat dibuat penilaian keadaan pasien. Berdasarkan kasus, anamnesa yang harus dilakukan terhadap pasien ialah: Menanyakan identitas pasien seperti umur dan pekerjaannya. Menanyakan keluhan utama dan penyerta Menanyakan riwayat penyakit sekarang dan dahulu Menanyakan gaya pola hidup dan lingkungan sosial pasien Menanyakan riwayat penyakit keluargaBerdasarkan anamesis menurut scenario kasus ini didapatkan:

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan mulut dan faring

Pemeriksaan fisik pada kasus ini lebih difokuskan pada pemeriksaan bagian faring. Pemeriksaan faring pada anak dapat dilakukan setelah pemeriksaan fisik lainnya selesai dilakukan karena pada pemeriksaan faring ini akan membutuhkan bantuan orangtua untuk memegang dan menenangkan anaknya. Jika pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan spatel lidah, teknik yang terbaik adalah dengan mendorong spatel tersebut ke bawah dan sedikit menariknya ke depan (seraya ditekan), sementara anak mengatakan ah. Hati-hati, jangan sampai meletakkan spatel terlalu belakang pada lidah karena akan memicu refleks muntah. Kadang-kadang anak yang kecil dan merasa cemas harus dipegangi; anak ini akan mengatupkan mulutnya dan mengerutkan bibirnya. Dalam menghadapi kasus ini, spatel harus diselipkan dengan hati-hati di antara kedua baris giginya dan kemudian menekan lidahnya. Tindakan ini memungkinkan Anda mendorong lidah ke bawah atau memicu refleks muntah yang membuat Anda dapat melihat sekilas keadaan faring posterior serta tonsilnya. Pada pemeriksaan ini, inspeksi ukuran, posisi, kesimetrisan dan penampakan tonsil. Ukuran tonsil bervariasi cukup luas pada anak dan sering kali digolongkan dalam skala 1+ hingga 4+; angka 1+ menunjukkan adanya celah yang terlihat jelas di antara kedua tonsil dan angka 4+ memperlihatkan bahwa kedua tonsil saling menyentuh pada garis tengah ketika mulut dibuka lebar-lebar. Tonsil pada anak sering terlihat lebih obstruktif daripada kenyataan yang sebenarnya.Lakukan pula inspeksi pada palatum molle, uvula, dan daerah faring. Perhatikan warna serta kesimetrisannya, dan cari eksudat, pembengkakan, ulserasi, dan pembesaran tonsil. Hasil pemeriksaan fisik daerah faring pada penderita difteria menunjukkan daerah tenggorok berwarna merah gelap dan pada uvula, faring, serta lidah terdapat eksudat (pseudomembran) yang berwarna kelabu. Jalan napas pada penyakit difteria dapat tersumbat karena adanya oedem pada faring, tonsil, atau laring.3

Pemeriksaan leher (kelenjar limfe)Lakukan inspeksi leher dengan memperhatikan kesimetrisannya dan setiap massa atau jaringan parut yang ada. Cari pembesaran kelenjar ludah parotis atau submandibular dan perhatikan setiap nodus limfatikus yang terlihat.Lakukan palpasi nodus limfatikus. Gunakan permukaan ventral jari telunjuk serta jari tengah, dan gerakkan kulit di atas jaringan yang ada di bawahnya pada setiap daerah. Pasien harus berada dalam keadaan rileks dengan leher sedikit difleksikan ke depan dan jika diperlukan, agak difleksikan ke arah sisi yang hendak diperiksa. Biasanya, pemeriksaan kedua sisi leher dapat dilakukan dalam satu pemeriksaan. Namun, untuk memeriksa nodus limfatikus submental, tindakan palpasi dengan tangan yang satu sementara bagian puncak kepala pasien ditahan dengan tangan lainnya merupakan maneuver yang akan membantu pemeriksaan ini.3 Palpasi rangkaian nodus limfatikus pada daerah servikal anterior yang lokasinya di sebelah anterior dan superficial muskulus sternomastoideus. Kemudian, lakukan palpasi rangkaian nodus limfatikus pada daerah servikal posterior di sepanjang muskulus trapezius (tepi anterior) dan muskulus sternomastoideus (tepi posterior). Fleksikan leher pasien agak ke depan kea rah sisi yang hendak diperiksa.Pada kasus ini, pemeriksaan difokuskan pada pemeriksaan nodus limfatikus submandibular dan servikal karena pada difteria, kedua kelenjar limfe ini seringkali membesar. Limfonodi yang membesar dan nyeri tekan memberi kesan adanya peradangan oleh karena infeksi virus atau bakteri, sedangkan limfonodi yang teraba keras member kesan adanya keganasan. Pembesaran limfonodus dapat terjadi bilateral maupun unilateral.3

Pemeriksaan paruPemeriksaan ini lebih ditekankan pada teknik auskultasi. Jika Anda meminta anak kecil untuk menarik napasnya dalam-dalam, seringkali anak tersebut akan menahan napas, sehingga menyulitkan dalam melakukan auskultasi paru. Jadi, bagi anak prasekolah akan lebih mudah untuk membiarkannya bernapas seperti biasa. Dengarkan bunyi pernapasan dengan memperhatikan intensitasnya dan mengenali setiap variasi dari pernapasan vesikuler yang normal. Biasanya bunyi pernapasan lebih keras pada lapang paru anterior atas.Pada keadaan terdapatnya obstruksi saluran napas atas, inspirasi akan memanjang dan disertai tanda lain seperti stridor, batuk, serta ronkhi. Stridor merupakan bunyi pernapasan yang khas pada penderita difteria. Bunyi ini seringkali terdengar lebih keras pada leher daripada pada dinding dada. Stridor menunjukkan obstruksi parsial laring atau trachea dan memerlukan tindakan segera.3Diagnosis Working Diagnosis: Difteri : Toksiko infeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria.difteri adalah penyakit infeksi pertama yang ditaklukkan atas dasar prinsip-prinsip mikrobiologi dan kesehatan masyarakat.4

Diffential Diagnosis: Pada kasus ini, telah ditentukan beberapa penyakit untuk dijadikan diagnosis pembanding. Antara lain : Epiglotitis Akut

Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, seperti : Media Biakan Spesimen untuk biakan harus diambil dari hidung dan tenggorok dan salah satu tempat lesi mukokutan lain. Sebagian membrane harus diambil dan diserahkan bersama eksudat dibawahnya. Laboratorium harus diberitahu untuk menggunakan media khusus. C. diphteriae tahan kekeringan. Pada daerah yang jauh, specimen pulas dapat ditempatkan pada bungkus silika gel dan dikirim ke labolatorium rujukan. Evaluasi pulasan langsung dengan menggunakan warna Gram atau antibody fluresens spesifik tidak dapat dipercaya. Organisme coryneform harus didentifikasi sampai tingkat spesies dan uji toksigenizsitasnya serta kerentanan antimikrobanya harus dilakukan untuk isolate C. diphtheria.4

Schick test Uji untuk kerentanan pada toksin Corynebacterium diphtheria. Toksin uji schick disuntikan ke dalam kulit, individu yang tidak mempunyai antibody parenteral toksin mungkin memberi hasil positif, yang terdiri dari daerah kemerahan.5 EtilogiDifteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, suatu bakteri basil gram positif berbentuk polimorf, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan sensitive terhadap panas, kering, serta sinar matahari. Terdapat dua tipe bakteri Corynebacterium diphtheria, yaitu bentuk toxigenic dan non-toxigenic. Bentuk toxigenic terdiri atas 4 strain, yaitu gravis, mitis, intermedius, dan minimus. Strain gravis merupakan penyebab kematian terbanyak. Sedangkan bentuk non-toxigenic sering dijumpai pada daerah nasofaring, telinga, dan pada kotoran mata.1Toksin difteri dapat diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar ( uji Elek), suatu uji reaksi rantai polymerase pengamatan, atau dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmot ( uji kematian ). Strain toksin tidak dapat dibedakan dengan uji tipe koloni, mikroskopi atau biokimia.6

EpidemiologiDifteria terdapat di seluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah. Imunisasi aktif anak-anak pra sekolah sangat menurunkan kejadian penyakit ini. Penyakit ini terutama menyerang anak-anak usia 1-9 tahun. Manusia merupakan satu-satunya hospes alam, dan karenanya merupakan satu-satunya reservoir penting dari infeksi. Kuman kuman difteri menghuni saluran pernapasan bagian atas dan dari sini dapat menyebar ke orang lain melalui droplet. Dalam klinik, luka-luka pasca bedah kadang-kadang dapat terinfeksi oleh kuman ini. Discharge ekstra respiratorik seperti yang berasal dari ulkus pada kulit dapat juga menjadi sumber infeksi faringeal.7 PatofisiologiDifteri merupakan penyakit infeksi yang akut dengan masa inkubasi 1-7 hari yang disebabkan oleh strain C. diphteriae yang toksigenik. Toksin yang dibuat pada lesi local diabsorpsi oleh darah dan diangkut ke bagian tubuh yang lain, tetapi efek toksin yang paling utama ialah meliputi jantung dan saraf perifer. Jalan masuk infeksi yang umum untuk C. diphteriae adalah saluran napas bagian atas, di mana organism berkembang biak pada lapisan superficial pada selaput lendir. C. diphteriae biasanya tetap pada lapisan superficial lesi kulit atau mukosa pernapasan, menginduksi reaksi radang local. Di sana, eksotoksinnya diuraikan, menyebabkan nekrosis pada jaringan sekitarnya. Virulensi utama organism terletak pada kemampuannya menghasilkan eksotoksin polipeptida 62-KD kuat, yang menghambat sintesis protein dan menyebabkan nekrosis jaringan local. Respons dari peradangan membentuk suatu pseudomembran berwarna keabuan yang terdiri dari bakteri, sel-sel epitel yang mengalami nekrotik, sel-sel fagosit, dan fibrin. Mula-mula membran tersebut tampak pada tonsil atau pada bagian posterior faring dan bisa menyebar ke atas ke bagian palatum yang lunak dan keras dan ke nasofaring, atau ke bagian bawah ke laring dan trakea. Pengambilan specimen dari daerah yang dilapisi pseudomembran ini sukar dan menampakkan perdarahan edema submukosa. Paralisis palatum dan hipofaring merupakan pengaruh toksin local awal. Penyerapan toksin dapat menyebabkan nekrosis tubulus ginjal, trombositopenia, miokardiopati, dan demielinasi saraf.4 Difteria laryngeal sangat berbahaya sebab kemungkinan terjadi sumbatan pada saluran napas. Difteria kulit biasa ditemukan di daerah tropic. Di Amerika Utara, luka kulit yang juga memberikan hasil C. diphteriae positif biasanya merupakan infeksi-infeksi sekunder pada luka gores atau pada gigitan serangga, di mana juga mengandung Streptococcus beta hemolyticus atau Staphylococcus aureus atau keduanya.4 Luka difteria juga terjadi pada bagian depan lubang hidung, bagian dalam hidung, mulut, mata, telinga tengah, dan pada kasus-kasus yang jarang, pada vagina. Endokarditis yang disebabkan oleh C. diphteriae yang toksik dan nontoksik juga sudah pernah dilaporkan. Beberapa Corynebacteria, seperti C. pseudodiphteriticum, C. hofmannii, C. xerosis, C. pyogenes, dan C. ulcerans, biasa disebut difteroid. Kuman ini merupakan flora normal pada selaput mukosa saluran pernapasan, saluran kencing, dan konjungtiva, kadang-kadang bisa juga menyebabkan penyakit. Sejumlah difteroid menyebabkan penyakit pada hewan, tetapi jarang menyerang manusia.4 Difteroid yang anaerob (Propionibacterium acnes) biasa terdapat pada kulit yang normal, dan sering dapat ikut berperan pada patogenitas jerawat. Beberapa Corynebacteria bisa menjadi oportunis dan menghasilkan atau menyebabkan bakteremia disertai angka kematian yang tinggi (C. xerosis, C. equi, C. matruchotii, dan C. pseudodiphteriticum) pada pasien-pasien yang imunosupresif. C. minutissimum merupakan penyebab eritrasma, suatu infeksi superficial pada daerah-daerah ketiak dan pubis.7Status kebal seseorang merupakan penentu utama apakah penyakit akan timbul atau tidak setelah invasi oleh kuman difteri. Imunitas terhadap difteria terutama tergantung pada adanya antitoksin dalam tubuh. Antitoksin ini dibentuk sebagai respon terhadap infeksi baik klinik maupun subklinik, atau sebagai akibat imunisasi aktif buatan. Antitoksin ini dapat dipindahkan secara alamiah, misalnya secara transplasental dalam uterus, atau secara buatan seperti pada transfuse. Imunisasi bayi dan anak prasekolah sangat menurunkan insiden difteria pada anak-anak, dan juga menyebabkan menurunnya jumlah karier. Kekebalan seseorang terhadap toksin difteria dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick.7

Daftar Pustaka1. Cahyono B S B J. Vaksinasi, cara ampuh cegah penyakit infeksi. Yogyakarta : Kanisius, 2010.h. 61-2.2. Gunardi S. Anatomi sistem pernapasan. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.3. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. ed 8. Jakarta : EGC, 2009.4. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak nelson. Cetakan 1. Ed 15. Jakarta : EGC, 2000.h.955-8, 1477.5. Stedman. Kamus ringkasan kedokteran. Ed 4. Jakarta : EGC, 2004.h.1025.6. Somantri I. Pasien dengan gangguan sistem pernapasan. Jakarta: Salemba Medika, 2007.7. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. ed revisi. Tangerang : Binarupa Aksara, 2012.8.