difteri 1

44
BAB I PENDAHULUAN 1.1.LATAR BELAKANG Difteri merupakan penyakit akut yang mengancam nyawa yang disebabkan Corynebacterium diphtheriae. Difteri bisa menular dengan cara kontak langsung maupun tidak langsung. Penyakit ini dapat menyerang bayi, anak-anak dan orang dewasa, sehingga penanganannya disesuaikan dengan usia penderita. Difteri termasuk penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Adapun tujuan program imunisasi adalah menurunkan angka kematian bayi akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi ( PD3I ). Pengendalian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi berdasarkan Kepmenkes No.1611/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Seperti obat lainnya, vaksin juga tidak ada yang bebas dari resiko efek samping. Tetapi resiko untuk tidak memberi vaksin juga lebih beresiko untuk terjadinya penyakit atau jauh lebih menularkan penyakit. Efek samping yang sering terjadi adalah alergi. Vaksin untuk difteri, tetanus, batuk rejan, polio dan Hib dapat menyebabkan area merah dan bengkak pada tempat vaksinasi. Pelaksanaan vaksinasi difteri membutuhkan adanya surveilans epidemiologi difteri, hal ini bertujuan untuk mengevaluasi cakupan sebenarnya dari berbagai kelompok penduduk dengan imunisasi dan keadaan perlindungan ini, untuk menentukan

Upload: yessidwisanti

Post on 17-Sep-2015

18 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kegawatdaruratan

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANGDifterimerupakan penyakit akut yang mengancam nyawa yang disebabkanCorynebacterium diphtheriae. Difteri bisa menular dengan cara kontak langsung maupun tidak langsung. Penyakit ini dapat menyerang bayi, anak-anak dan orang dewasa, sehingga penanganannya disesuaikan dengan usia penderita.Difteri termasuk penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Adapun tujuan program imunisasi adalah menurunkan angka kematian bayi akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi ( PD3I ). Pengendalian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi berdasarkan Kepmenkes No.1611/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi.Seperti obat lainnya, vaksin juga tidak ada yang bebas dari resiko efek samping. Tetapi resiko untuk tidak memberi vaksin juga lebih beresiko untuk terjadinya penyakit atau jauh lebih menularkan penyakit. Efek samping yang sering terjadi adalah alergi. Vaksin untuk difteri, tetanus, batuk rejan, polio dan Hib dapat menyebabkan area merah dan bengkak pada tempat vaksinasi.Pelaksanaan vaksinasi difteri membutuhkan adanya surveilans epidemiologi difteri, hal ini bertujuan untuk mengevaluasi cakupan sebenarnya dari berbagai kelompok penduduk dengan imunisasi dan keadaan perlindungan ini, untuk menentukan kecenderungan dari proses epidemi, untuk menilai kemanjuran profilaksis dan antiepidemic tindakan dan untuk mengembangkan rekomendasi, bertujuan untuk mencegah pembentukan fokus infeksi kelompok dan hasil mematikan difteri dan campak.Dari uraian di atas dan berdasarkan permasalah yang ada, maka kami akan membahas lebih lanjut di dalam makalah ini terkait gambaran umum penyakit difteri, vaksinasi difteri dan persebaran penyakit difteri. Oleh karena itu, kami mengambil judul makalah Penyakit (Difteri) yang dapat Dicegah dengan Imunisasi

1.2.RUMUSAN MASALAH1.Bagaimana gambaran umum penyakit difteri?2.Apa tujuan program vaksinasi?3.Siapa saja target program pemberantasan difteri?4.Seperti apakah peta penyebaran penyakit dan imunisasi?5.Bagaimana efek vaksinasi?6.Bagaimana surveilans epidemiologi difteri?7.Adakah perubahan terhadap agen?8.Apa saja usaha PD3I difteri?9.Bagaimana kondisi epidemis?10.Apa yang terjadi jika program vaksinasi dihentikan?11.Dari mana saja sumber data penyakit difteri?12.Adakah perubahan vaksin yang terjadi?13.Apakah terjadi kekebalan setelah vaksinasi?14.Daerah mana saja yang dicover?15.Apakah yang terjadi setelah divaksinasi?

1.3.TUJUAN1.Tujuan UmumMengetahui gambaran umum difteri dan pengaruh vaksinasi terhadap penyakit tersebut.2.Tujuan Khususa.Mengetahui gambaran umum penyakit difterib.Mengetahui manfaat vaksinasi terhadap difteric.Menjelaskan tujuan dan target program pemberantasan penyakit difterid.Mengidentifikasi hubungan anatara vaksinasi dan difterie.Menganalisis penyebab dan dampak difterif.Mengetahui penyebaran penyakit difteri

BAB IIPEMBAHASAN

2.1.GAMBARAN UMUM DIFTERI2.1.1.EtiologiPenyebab difteri ada 2 macam:a.Corynebacterium diphtheriae, dikenal dua macam Corynebacterium diphtheriae, yaitu:-ToxigenicCorynebacterium diphtheriae-Non-tixigenicCorynebacterium diphtheriaeb.ToxigenicCorynebacterium diphtheriaeNon toxigenicCorynebacterium diphtheriae, organisme ini sering dijumpai pada daerah nasofaring, telinga dan pada kotoran mata, dan harus dibedakan dari strain yang menghasilkan toxin. Pemeriksaan mikroskopis ataupun morfologi pada kultur tidak bisa membedakan antara toxigenic dengan non toxigenic diphtheriae. Metoda lama dengan menginokulasikan pada guinea pig memerlukan waktu beberapa hari, tetapi dengan metoda baru, yaitu dengan melakukan test invitro untuk identifikasi "skin toxin production",memberikan hasil yang dapat dipercaya dalam waktu 18 jam sesudah isolasi pertama.KarakteristikbakteriCorynebacterium diphteriaeyaitu :a.Batang/baksilus gram positif, tidak bergerak, tidak berkapsulb.Tahan beku dan kering, namun mati pada pemanasan 60C, bertumbuh secara aerob.Ciri khas penyakit Diphtheria:Pseudomembranedari eksotoksin.a.Mula-mula eksotoksin menempel pada membran sel.b.Kemudian berpenetrasi kedalam sel dan kematian selnya karena inaktivasi enzim translokase.c.Eksotoksin ini dapat berada dalam sel dengan status latent.d.Kemudian sesudah bebarapa hari atau minggu timbulnya manifestasi klinis lambat:Jantung sesudah 10 hari - 2 minggu, Syaraf 3-7 minggu.

2.1.2.PatofisiologiCorynebacterium diphtheriaeadalah organisme yang minimal melakukan invasive, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal pada membrana mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan exotoxin yang paten, yang tersebar keseluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem limpatik. Dengan sejumlah kecil toxin, yaitu 0,06 ug, biasanya telah bisa menimbulkan kematian pada guinea pig.Pada saat bakteri berkembang biak, toxin merusak jaringan lokal, yang menyebabkan timbulnya kematian dan kerusakan jaringan, lekosit masuk kedaerah tersebut bersamaan dengan penumpukan fibrin dan elemen darah yang lain, disertai dengan jaringan yang rusak membentuk membrane. Akibat dari kerusakan jaringan, oedem dan pembengkakan pada daerah sekitar membran sering terjadi, dan ini bertanggung jawab terhadap terjadinya penyumbatan jalan nafas pada tracheo-bronchial atau laryngeal difteri.Warna dari membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau abu-abu, dan ini sering meragukan dengan "simple tonsillar exudate". Karena membran terdiri dari jaringan yang mati, atau sel yang rusak, dasar dari membran rapuh, dan mudah berdarah bila membran yang lengket diangkat.Kematian umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin ditransportasikan melalui aliran darah ke jaringan lain, dimana dia menggunakan efeknya pada metabolisme seluler. Toxin terlihat terikat pada membran sel melalui porsi toxin yang disebut "B" fragment, dan membantu dalam transportasi porsi toxin lainnya,"A" fragment kedalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja setelah terexpose dengan toxin difteri, sintesa protein berhenti dan sel segera mati.Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada miokardium, toxin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria, dengan fatty degeneration, oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium, peradangan setempat akan terjadi, diikuti dengan perivascular dibalut dengan lekosit [cuffing].Kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada keduanya, yaitu sensory dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering terlibat dan lebih berat.

2.1.3.Gejala klinis dan diagnosaDifteri tejadi setelah periode masa inkubasi yang pendek yaitu 2-4 hari, dengan jarak antara 1-5 hari. Gambaran klinik tergantung pada lokasi anatomi yang dikenai.Gejala Penyakit DifteriSecara Umum:a.Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derjat Celciusb.Batuk dan pilek yang ringanc.Sakit dan pembengkakan pada tenggorokand.Mual, muntah ,sakit kepalae.Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu abuan kotorf.KakuleherBeberapa tipe difteri berdasarkan lokasi anatomi adalah:a.Nasal diphtheriab.Tonsillar [ faucial] diphtheriac.Pharyngeal diphtheriad.Laryngeal atau laryngotracheal diphtheria danLebih dari satu lokasi anatomi mungkin terlibat pada waktu yang bersamaan. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinik Merupakan pegangan utama dalam menegakkan diagnosa, karena setiap keterlambatan dalam pengobatan akan menimbulkan resiko pada penderita. Secara klinik diagnosa dapat ditegakkan dengan melihat adanya membran yang tipis dan berwarna keabu-abuan , mirip seperti sarang laba-laba dan mudah berdarah bila diangkat.a.Diphtheria Hidung: (lebih sering terjadi pada bayi)-Permulaan mirip ISPA dengan pilek, selesma dan febris ringan-Sekret hidung menjadi serosangunous kemudian mukopululen-Nares & bibir atas menjadi lecet kemudian munculnyapseudomembraneputih-kelabub.Diphtheria Tonsil-Faring-Tanda umum: anoreksia, lesu, malaise, febris ringan-Tonsil-faring sangat merah/inflamasi sertapseudomenbrane(berwarna putih-kelabu, kotor berdarah bila diusaha dilepas) melekat pd tonsil, dinding faring, uvula, palatumnyeri telan-Limfoadenitis leher dan submandibularbullneck, edema muka-Denganpseudomembranemeluas menutup jalan nafas, stupor, koma, mati dalam 7 - 10 hari. e.Pada kasus ringan, pseudomembrane akan terlepas dan sembuh 7 10 hari.c.Diphtheria Laring:-Biasanya dari perluasan diphtheria faring namum bisa primer dengan gejala kurang nyata.-Obstruksi saluran nafas atas (maka dia mirip sekali dengan sindroma krup croup)Suara parauStridor bagian inspiratur pada mulanya, kemudian progresif dan bifasikRetraksi suprasternal & supraklavikular-Bilapseudomembraneterlepas, bisa teraspirasi dan menutup jalan nafasmati mendadakd.Diphtheria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, Telinga:-Berupa tukak di kulit, tepi jelas denganpseudomembranepada dasarnya, rasa sakit-nyeri-Cenderung menjadi kronis di daerah tropis-Di telinga berupa otitis externa kronis yang bernanah & berbau.2.1.4.Cara penularan penyakit difteriDifteribisamenular dengan cara kontak langsung maupun tidak langsung. Air ludah yang berterbangan saat penderita berbicara, batuk atau bersin membawa serta kuman - kuman difteri. Melalui pernafasan kuman masuk ke dalam tubuh orang disekitarnya, maka terjadilah penularan penyakit difteri dari seorang penderita kepada orang orang disekitarnya.

2.1.5.PencegahanPencegahan terhadap difteri dapat dilakukan dengan pemberian vaksinasi, yang dapat dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan dengan pemberian DPT ataupun DT. Diberikan 0,5 ml secara I.M., imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali pemberian dengan interval waktu pemberian 6 -8 minggu. Ulangan dilakukan satu tahun sesudahnya dan ulangan kedua dilakukan 3 tahun setelah ulangan yang pertama.Pencegahan terhadap difteri juga termasuk didalamnya isolasi dari penderita, dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin penyebaran penyakit ke orang lain. Penderita adalah infectious sampai basil difteri tidak dijumpai pada kultur yang diambil dari tempat infeksi. Tiga kali berulang kultur negatif dibutuhkan sebelum penderita dibebaskan dari isolasi.Kontak yang intim akan mempermudah penularan penyakit, kultur dari ronga hidung dan tenggorokan harus dilakukan.a.Immunized carriers harus diberikan injeksi ulangan dengan difteri toxoid, dan diobati dengan:-Procaine penicillin 600.000 u/hari selama 4 hari.-Benzathine penicillin 600.000 u, I.M. dosis tunggal atau-Erythromycine, 40 mg/kg BB/24 jam, diberikan selama 7 -10 hari.b.Nonimmunized asymptomatic carriers harus dilakukan:-Pemberian difteri toxoid dan penicillin-Dilakukan pemeriksaan setiap harinya oleh dokter,-Bila ini tidak dapat dilaksanakan, pemberian ADS 10.000 u harus dilakukan.c.Bila kontak telah menunjukkan gejala, pengobatan seperti penderita difteri harus dilaksanakan.d.Terapi profilaksis dengan pemberian difteri toxoid, penicillin, dan bila ada indikasi, diberikan antitoxin harus dilaksanakan sesegera mungkin tanpa terlebih dahulu menunggu hasil kultur.e.Menurut jadwal imunisasi Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2011, imunisasi DPT dapat diberikan pada usia minimal 6 minggu sampai 2 bulan. Lalu dilanjutkan pada usia 4 bulan dan 6 bulan. Setelah itu diulang kembali pada usia 18 bulan dan usia 5 tahun dan 12 tahun. Bila ternyata usia bayi sudah melewati 2 bulan dan belum mendapatkan imunisasi DPT dapat diberikan imunisasi DPT segera dengan mengikuti jadwal usianya.f.Imunisasi DPT dapat dikatakan berhasil bila bayi/anak telah memperoleh vaksinasi DPT yang ketiga kalinya, sebagai imunisasi dasar. Bayi/anak yang telah mendapatkan imunisasi DPT sampai ketiga kalinya ini, yang dimaksudkan sebagai pencapaian terget dalam imunisasi DPT.g.Instansi Departemen Kesehatan dan jajarannya di seluruh Indonesia harus meningkatkan pemantauan pelaksanaan imunisasi baik kualitas maupun cakupan imunisasi. Untuk wilayah yang cakupan imunisasinya rendah harus diadakansweepingimunisasi. Bagi petugas imunisasi, perlu meningkatkan keaktifan dalam penyuluhan tentang imunisasi kepada masyarakat khususnya yang harus dilakukan orang tua dalam memenuhi kebutuhan anak tentang kesehatan.

2.2.TUJUAN PROGRAM VAKSINASIProgram imunisasi bertujuan untuk mencegah penyakit menular terutama yang menyerang bayi dan anak. Dengan demikian imunisasi telah terbukti merupakan upaya pencegahan penyakit infeksi yang paling efektif untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat. Program imunisasi merupakan sub sistem dari pelayanan kesehatan masyarakat yang lebih menekankan pada upaya promotif dan preventif, selain itu imunisasi merupakan upaya yang sangat penting dalam mencegah penyakit serta merupakanpublic good( barang publik ) karena manfaatnya dapat dirasakan oleh orang banyak. Pelaksanaan program imunisasi secara nyata dilaksanakan di Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan.Tujuan program imunisasi adalah menurunkan angka kematian bayi akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi ( PD3I ). Salah satu indikator keberhasilan program imunisasi adalah tercapainyaUniversal Child Immunization( UCI ) 85 85 85, artinya cakupan imunisasi dasar lengkap tercapai 85 % merata di tingkat kabupaten / kota, 85 % tercapai merata di tingkat kecamatan/puskesmas dan 85 % merata di tingkat desa / kelurahan. Pengelolaan program imunisasi pada prinsipnya bertujuan untuk memantapkan dan meningkatkan jangkauan pelayanan imunisasi secara efektif dan efisien. Pemantapan pelayanan imunisasi saat ini diutamakan pada tercapainya UCI tingkat desa secara merata. Hal ini mengandung arti bahwa sekitar 85 % bayi yang ada disuatu desa telah mendapatkan imunisasi dasar Imunisasi DPT suatu kombinasi vaksin penangkal difteri, pertusis, dan tetanus.Pengendalian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi berdasarkan Kepmenkes No.1611/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi, mempunyai tujuan umum dan khusus yaitu:1.Tujuan UmumTurunnya angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I)2.Tujuan Khusus Tercapainya target Universal child immunization (UCI) yaitu cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di 100% desa/kelurahan pada tahun 2010. Tercapainya eliminasi tetatus maternal dan neonatal (Maternal Neonatal Tetanus Elimination/MNTE) (insidens di bawah 1/1000 kelahiran hidup dalam 1 tahun) di tingkat kabupaten/kota pada tahun 2012 Eradikasi Polio pada tahun 2008 Tercapainya reduksi Campak (ReCam) 2008 Memberikan kekebalan tubuh terhadap penyakit Meningitis meningokokus tertentu pada calon jemaah haji. Memberikan kekebalan efektif bagi semua orang yang melakukan perjalanan berasal dari atau ke negara endemis demam kuning. Menurunkan angka kematian pada kasus gigitan hewan penular Rabies.

2.3.TARGET PROGRAM PEMBERANTASAN Imunisasi rutin adalah kegiatan imunisasi yang secara rutin dan terus menerus harus dilakukan pada periode waktu yang telah ditentukan. Berdasarkan kelompok usia sasaran, imunisasi rutin dibagi menjadi : rutin pada bayi, wanita usia subur, dan anak sekolah Imunisasi tambahan adalah kegiatan imunisasi yang dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi. Kegiatan ini sifatnya tidak rutin, membutuhkan biaya khusus dan kegiatannya dilaksanakan pada suatu periode tertentu. Beberapa kegiatan imunisasi tambahan antara lain : Backlog fighting adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak yang berumur 1 - 3 tahun. Sasaran prioritas adalah desa/kelurahan yang selama 2 tahun berturut turut tidak mencapai desa UCI Crash program ditujukan untuk wilayah yang memerlukan intervensi secara cepat untuk mencegah terjadinya KLB. Kriteria pemilihan lokasi adalah :-Angka kematian bayi tinggi dan angka PD3I tinggi-Infrastruktur (tenaga, sarana, dana kurang)-Desa yang selama 3 tahun berturut-turut tidak mencapai target UCI Imunisasi dalam penanganan KLB (Outbreak Response Imunization/ORI) Kegiatan imunisasi khususa.Pekan Imunisasi Nasional (PIN)b.Sub Pekan Imunisasi Nasionalc.Cacth-up campaign campakKegiatan penyuluhan sangatlah penting: memberi penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandungwhole cell pertusis(DTP). Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigenwhole cell pertussis,dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia.Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat (Negara lain mungkin menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi dasar). Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun. Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu;dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut. Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah);dosis ke-5 ini tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan vaksin DT.b.Untuk usia 7 tahun ke atas: Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin dengan konsentrasi / kadar diphtheria ``toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td). Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6 bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu diberikan dosis tambahan. Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.

2.4.PETA PENYEBARAN PENYAKIT DAN IMUNISASI2.4.1.GrafikCakupan Imunisasidi Jawa TengahCakupan imunisasi dasar lengkap bayi dari semua antigen sudah mencapai target minimal nasional (85%), pencapaian dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Jumlah sasaran bayi pada tahun 2007 adalah 584.171. Sedang cakupan masing-masing jenis imunisasi adalah sebagai berikut: BCG (100,78%), DPT-HB 1 (100,84%), DPT-HB 3 (98,24%), Polio 4 (97,28%), Campak (96,50%), Hepatitis (98,24%).

2.4.2.Cakupan Imunisasi Bayi di Provinsi Jawa TengahTahun 2005 2007

Keberhasilan pelaksanaan imunisasi diukur dengan pencapaian Universal Child Immunization (UCI) Desa/Kelurahan, yang sampai saat ini baru mencapai 68,2% dan target untuk tahun 2014 adalah 100% Desa/Kelurahan.

2.5.EFEK VAKSINASIVaksin mengandung antigen yang merupakan bagian dari antigen yang menyebabkan penyakit, tetapi antigen dalam keadaan sangat lemah. Ketika vaksin disuntikkan kedalam jaringan otot, antigen vaksin tidak cukup kuat untuk menghasilkan gejala dan tanda-tanda penyakit, tetapi cukup kuat untuk menghasilkan antibodi bagi sistem imun. Sel-sel memori yang menetap akan mencegah infeksi ulang ketika vaksin kembali berhadapan dengan penyebab penyakit yang sama diwaktu yang datang. Melalui vaksinasi anak-anak mengembangkan kekebalan tubuh terhadap penyakit yang harus bisa dicegah. Namun perlu untuk diperhatikan bahwa vaksin berupa antigen,walaupun vaksin sudah dilemahkan, mungkin juga menyebabkan penyakit jika daya tahan host sedang lemah.Seperti obat lainnya, vaksin juga tidak ada yang bebas dari resiko efek samping. Tetapi resiko untuk tidak memberi vaksin juga lebih beresiko untuk terjadinya penyakit atau jauh lebih menularkan penyakit. Efek samping yang sering terjadi adalah alergi. Vaksin untuk difteri, tetanus, batuk rejan, polio dan Hib dapat menyebabkan area merah dan bengkak pada tempat vaksinasi. Namun area merah tersebut akan hilang dalam beberapa hari dan kemungkinan akan mengalami demam pada hari suntikan dan hingga 10 hari kemudian. Efek samping yang paling sering terkait dengan Vaksin pneumokokus merupakan reaksi di tempat suntikan misalnya seperti ; rasa sakit, nyeri, kemerahan atau bengkak dan sering juga demam, lekas marah.Vaksin MMR dapat menyebabkan reaksi singkat yang dapat dimulai dari beberapa hari sampai tiga minggu setelah vaksinasi. Seorang anak sering mendapat gejala ringan seperti penyakit yang sedang divaksinasi, misalnya terhadap dingin, reaksi kulit, demam atau kelenjar ludah membengkak.Sedangkan vaksin meningitis C sering mengakibatkan efek samping seperti, beberapa pembengkakan dan kemerahan di tempat suntikan diberikan, akan mengalami demam ringan. Efek samping lainnya ialah, sakit kepala, sakit otot atau sendi, demam, pusing, iritasi kulit, mual, muntah, diare, sakit perut. Efek yang sangat serius namun sangat jarang terjadi yaitu kematian, cacat permanen. Efek samping dapat timbul akibat kepekaan terhadap beberapa jenis antibiotika, misalnya penisilin dan streptonisin yang sering digunakan pada pembutan vaksin.Efek negatif yang timbul setalah penggunaan beberapa vaksinai, seperti badan yang menjadi panas dan penyakit yang timbul sementara waktu, bahaya seperti ini dimanfaatkan karena demi mengatasi penyakit yang lebih parah yang akan muncul. Dimana penyakit itu bisa membawa pada kematian atau bahaya lainnya yang mengganggu kesehatan atau kerja organ tubuh.

2.6.SURVEILANS2.6.1.SurveilansSurveilans Epidemiologi merupakan kegiatan yang sangat penting dalam manajemen kesehatan untuk memberikan dukungan data dan informasi epidemiologi agar pengelolaan program kesehatan dapat berdaya guna secara optimal. Informasi epidemiologi yang berkualitas, cepat, dan akurat merupakanevidence atau bukti untuk digunakan dalam proses pengambilan kebijakan yang tepat dalam pembangunan kesehatan.Selama ini pengertian konsep surveilans epidemiologi sering dipahami hanya sebagai kegiatan pengumpulan data dan penanggulangan KLB. Pengertian seperti itu menyembunyikan makna analisis dan penyebaran informasi sebagai bagian yang sangat penting dari proses kegiatan surveilans epidemiologi. Menurut WHO, surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistematik dan terus-menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan.Pada level paling bawah, Puskesmas diharapkan mampu menjadiujung tombak pelayanan kesehatan, termasuk melaksanakan surveilans epidemiologi wilayah kerjanya.Oleh karenanya, Puskesmasharus didukung dengan petugas surveilans epidemiologi (Asisten Epidemiologi Lapangan) yang kompeten.

2.6.2.TujuanSurveilans epidemiologi difteri dan campak memungkinkan untuk mengevaluasi cakupan sebenarnya dari berbagai kelompok penduduk dengan imunisasi dan keadaan perlindungan ini, untuk menentukan kecenderungan dari proses epidemi afore disebutkan infeksi, untuk menilai kemanjuran profilaksis dan antiepidemic tindakan dan untuk mengembangkan rekomendasi, bertujuan untuk mencegah pembentukan fokus infeksi kelompok dan hasil mematikan difteri dan campak.

2.6.3.Pengumpulan Data Surveilansa.dilakukan secara pasif (menggunakan datasekunder)dan aktif (menggunakan data primer)b.sebaiknya menggunakan data rutin yang telahdicatat atau dilaporkan dalam sistem pencatatandan pelaporan yang sedang berjalanc.data yang dikumpulkan disesuaikan dengan tujuan dari sistem surveilans2.6.4.Sumber data surveilansa.Laporan penyakitb.Pencatatan kematianc.Laporan wabahd.Pemeriksaan laboratoriume.Penyelidikan peristiwa penyakitf.Penyelidikan wabahg.Survei/Studi Epidemiologih.Penyelidikan distribusi vektor dan reservoiri.Penggunaan obat, serum, vaksinj.Laporan kependudukan dan lingkungan

2.6.5.Metode penyelidikan epidemiologia.Penelitian kuantitatif berupa penelitian diskriptif dengan menggunakan data sekunder laporan STP, W1 dan W2 Puskesmas.b.Penelitian kualitatif dilakukan dengan pendekatan Rapid Assesment Procedure (RAP), yaitu dengan mengumpulkan data primer melalui :-Wawancara dengan penderita dan keluarganya, dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan-Wawancara dengan petugas kesehatan, baik yang menangani penderita secara langsung maupun yang berkaitan dengan variabel lain yang dicurigai.-Observasi terhadap faktor faktor risiko yang dapat memicu terjadinya penyakit KLB

2.7.PERUBAHAN AGENBeberapa penelitian perubahan agent setelah vaksinasi, antara lain:1.Penelitian SerologikPenelitian serologik penyakit difteri dilakukan di Kabupaten Sumedang, Bandung terhadap anak-anak usia 6-12 bulan (30 orang) dan 13 bulan 4 tahun (30 orang) untuk melihat pengaruh pemberian DPT terhadap anak-anak tersebut di daerah yang satu tahun sebelumnya terkena wabah dan di daerah yang tidak terkena wabah (di luar daerah wabah)Irnunisasi DPT 3 kali pada bayi memberikan perlindungan yang terbaik terhadap penyakit batuk rejan. Pemberian imunisasi DPT 2 kali dengan selang waktu 13 bulan ternyata menunjukkan perbedaan basil yang tidak bermakna bila dibandingkan dengan imunisasi DPT 3 kali dengan selang waktu yang sama sampai waktu 217 bulan setelah vaksinasi. Infeksi alam nampak ikut berpengaruh terhadap kenaikantiter zat anti setelah imunisasi.Penelitian di daerah Sumedang pada anak-anak berumur 6 bulan 4 tahun menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan titer zat anti terhadap difteri pada anak-anak di daerah wabah dengan di luar daerah wabah pada anak yang tidak diberi vaksinasi. Sebelum vaksinasi status kekebalannya terhadap difteri masing-masing adalah 41,7% berbanding 53,3%; setelah mendapat vaksinasi DPT 2 kali perlindungan yang diperoleh anak-anak di daerah wabah adalah 88% sedangkan di luar daerah wabah adalah 95%. Berdasarkan basil penelitian dan pengamatan terhadap kadar zat anti pada penderita difteri, maka imunisasi perlu diberikan pada penderita yang telah sembuh. Imunisasi difteri pada siswa SD berumur 78 tahun di daerah Bekasi dengan menggunakan toksoid yang dimurnikan memberikan basil yang tidak berbeda dengan toksoid yang digunakan sekarang, dan dapat mengurangi reaksi samping yang timbul akibat kurang murninya antigen.2.Penelitian pada MencitIntervensi pencegahannya adalahdengan imunisasi DPT pads bayi dan DT pada anak.Struktur toksin difteri telah diteliti.Dalam kaitannya dengan pengembangan vaksin difteri, perlu dilakukan studi mengenai aktivitas biologis dari eksotoksin difteri menggunakan antibodi yang bersifat homogen, yaitu antibodi monoklonal (MAbs). Dilaporkan bahwa limfa mencit strain Balb/c mampu membentuk sel limfosit B setelah diimunisasi dengan toksin difteri. Sel tersebut membawa sifat antibodi. Sedangkan mencit dengan strainyang lain : C57 BL; C3 H dan A/J juga sensitifterhadap toksin.3.Reaksi Kekebalan Anak-anak Sekolah Dasar terhadap Toksoid Difteri2LFPenelitian ini bertujuan untuk melakukan uji coba vaksin difteri yang lebih murni (vaksin Td 4 Lf/ml) untuk mengetahui tanggap kebal dari vaksin tersebut bila dibandingkan dengan vaksin lama (vaksin DT 40 Lf/ml). Sebagai kelompok kontrol dipergunakan vaksin tetanus (TT). Penelitian dilakukan pada 545 siswa Sekolah Dasar di Ka-bupaten Bekasi, berusia antara 78 tahun. Vaksinasi sebanyak 2 dosis @ 0.5 cc diberikan secara intra-muskuler dengan selang waktu 46 minggu. Pengambilan darah vena sebanyak 1 cc di-lakukan sebelum dan 23 bulan sesudah vaksinasi, kemudian diukur kadar antitoksin terhadap difteri dengan teknik PHA. Hasil penelitian menunjukkan, kadar antitoksin difteri pada 253 siswa yang menerima vaksin Td meningkat dari 0.0159 HAU/ml menjadi 0.3827 HAU/ml, dengan sero-kon-versi sebesar 96.3%. Sedangkan kadar antitoksin difteri pada 233 siswa yang menerima vaksin DT meningkat dari 0.0113 HAU/ml menjadi 0.456 HAU/ml, dengan sero-konversi se-besar 95%. Analisa statistik menunjukkan, reaksi kekebalan siswa terhadap toksoid difteri yang lebih murni (vaksin Td) tidak berbeda reaksinya dengan toksoid difteri yang lama (vaksin DT). Dengan didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata dalam kemampuan menimbulkan tanggap kebalnya antara vaksin DT dan Td, maka vaksin yang baru tadi dapat dipergunakan untuk menggantikan vaksin yang lama.

2.8.USAHA PD3I DIFTERIUpaya pencegahan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yang salah satunya adalah Difteri. Tujuan Umum dari upaya PD3I difteri yaitu untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat penyakit difteri yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I).Strategi-strategi yang dilakukan dalam upaya PD3I difteri yaitu antara lain :1.Memberikan akses (pelayanan) kepada masyarakat dan swasta2.Membangun kemitraan dan jejaring kerja3.Menjamin ketersediaaan dan kecukupan vaksin, peralatan rantai vaksin dan alat suntik4.Menerapkan sistem pemantauan wilayah setempat (PWS) untuk menentukan prioritas kegiatan serta tindakan perbaikan5.Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga profesional/terlatih6.Pelaksanaan sesuai dengan standard7.Memanfaatkan perkembangan methoda dan tekhnologi yang lebih efektif berkualitas dan efisien8.Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaanSeiring dengan ditetapkannya KLB Difteri di berbagai daerah, maka pemerintah melakukan serangkaian kegiatan penanggulangan. Salah satu konsentrasi kegiatan difokuskan pada imunisasi tambahan dan imunisasi dalam penanggulangan KLB. Terjadinya suatu KLB Difteri dapat mengindikasikan bahwa Imunisasi yang telah diperoleh pada waktu bayi belum cukup untuk melindungi terhadap penyakit PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi) sampai usia anak sekolah. Hal ini disebabkan karena sejak anak mulai memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan terhadap tingkat kekebalan yang diperoleh saat imunisasi ketika bayi. Sehingga perlu diberikan imunisasi tambahan untuk menangani KLB Difteri yaitu dengan program BLF (Backlog Fighting) dan ORI (Outbreak Response Imunization).1.BLF (Back Log Fighting)BLF (Penyulaman) adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak yang berumur 1 3 tahun. Sasaran prioritas adalah desa/kelurahan yang selama 2 tahun berturut turut tidak mencapai desa UCI (Universal Child Immunization). BLF tergolong dalam imunisasi tambahan diamana definisinya adalah kegiatan imunisasi yang dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi. Kegiatan ini sifatnya tidak rutin, membutuhkan biaya khusus dan kegiatannya dilaksanakan pada suatu periode tertentu.2.ORI (Outbreak Response Imunization)ORI adalah Imunisasi yang dilakukan dalam penanganan KLB. Dilaksanakan pada daerah yang terdapat kasus penyakit PD3I, dalam hal ini adalah Difteri. Sasarannya adalah anak usia 12 bulan s/d 15 tahun, melakukan ORI terbatas di wilayah sekitar KLB, sesaat setalah KLB terjadi.Mengingat Penyakit Difteri ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun yang belum diimunisasi. Maka tindakan preventif untuk mencegah penyakit melalui pemberian kekebalan tubuh (Imunisasi) harus dilaksanakan secara terus menerus, menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu memberikan perlindungan kesehatan dan memutus mata rantai penularan.

2.9.KONDISI ENDEMISDifteri jarang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, karena telah mewajibkan imunisasi pada anak-anak selama beberapa dekade. Namun, difteri masih sering ditemukan pada negara-negara berkembang di mana tingkat imunisasinya masih rendah seperti halnya yang saat ini terjadi di Jawa timur.Pada tahun 2010, di wilayah Jatim memang tinggi angka kesakitan akibat penyakit difteri sebanyak 304 kasus pada 32 daerahdan mengakibatkan 21 anak meninggal. Sedangkan tahun 2009, terdapat140 kasus pada 24 daerah di Jatim dengan korban 8 orang meninggaldunia. Peristiwa KLB difteri yang terjadi di Jatim memberikan gambaranbahwa program imunisasi harus mendapat perhatian khusus.Kondisi di Kota Surabaya sendiri sebagai daerah dengan tingkatmigrasi yang tinggi memiliki tingkat risiko penularan yang tinggi pula.Surabaya masuk dalam wilayah yang mendapat perhatian dalam kasuspenularan penyakit difteri. Penelitian di lapangan, penularan penyakit inilebih banyak ditemukan pada bayi dan anak-anak yang tidak mendapatkanimunisasi. Imunisasi menjadi langkah penting dalam mencegah penularanpenyakit ini.Temuan dilapangan, penyakit difteri yang menyerang anak-anak diJatim baik yang ditemukan tanpa gejala maupun sampai fatal. Kondisiyang sangat fatal, penderita mengalami sesak nafas dan tidak bisabernafas. Penderita yang ditemukan kebanyakan anak-anak, dari usia 4 tahun sampai 12 tahun. Hal ini disebabkan sistem kekebalan tubuh merekabelum terbentuk sempurna. Penderita juga bisa terserang dengan gejalamata berdarah dan menyerang kulit.Gambaran perilaku dan lingkungan yang berpotensi untuk berkembangnya penyakit difteri yaitu rendahnya tingkat pengetahuan ibu tentang penyakit difteri, hal ini memjadikan ibu kurang mengetahui gejala penyakiti ini. Pada penyakit difteri ini perilaku masyarakat yang mempengaruhi dalam penyebaran penyakit difteri seperti meludah sembarang tempat karena percikan ludah dari batuk seseorang yang menderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri Corynebacterium Difteriae dapat menularkan penyakit tersebut. Pada seseorang penderita yang memiliki tingkat kebersihan buruk ,tak jarang difteri juga menyerang kulit.Lingkungan yang memiliki kondisi sanitasi buruk dapat menjadi sumber berkembangnya penyakit. Hal ini jelas membahayakan kesehatan masyarakat kita. Terjadinya penumpukan sampah yang tidak dapat dikelola dengan baik, polusi udara, air dan tanah juga dapat menjadi penyebab. Upaya menjaga lingkungan menjadi tanggung jawab semua pihak untuk itulah perlu kesadaran semua pihak.Puskesmas juga memiliki program kesehatan lingkungan dimana berperan besar dalam mengukur, mengawasi, dan menjaga kesehatan lingkungan masyarakat. namun dilematisnya di puskesmas, jumlah tenaga kesehatan lingkungan sangat terbatas padahal banyak penyakit yang berasal dari lingkungan kita seperti difteri, diare, demam berdarah, malaria, TBC, cacar dan sebagainya.Disamping lingkungan fisik juga ada lingkungan sosial yang berperan. Sebagai mahluk sosial kita membutuhkan bantuan orang lain, sehingga interaksi individu satu dengan yang lainnya harus terjalin dengan baik. Kondisi lingkungan sosial yang buruk dapat menimbulkan masalah kejiwaan.Pada penyakit difteri ini lingkungan yang mempengaruhi terjadinya penyebaran adalah rumah dengan jarak yang berdekatan karena sangat mudah sekali menyebarkan penyakit bila ada sumber penularannya, kemudian seperti pada teori H.L.Blum yaitu lingkungan yang buruk dengan sanitasi yang rendah.

2.10.PROGRAM IMUNISASI DIHENTIKANDalam bidang imunologi kuman atau racun kuman (toksin) disebut sebagai antigen. Secara khusus antigen tersebut merupakan bagian protein kuman atau protein racunnya. Bila antigen untuk pertama kali masuk ke dalam tubuh manusia, maka sebagai reaksinya tubuh akan membentuk zat anti. Bila antigen itu kuman, zat anti yang dibuat tubuh disebutantibodi.Zat anti terhadap racun kuman disebutantioksidan. Berhasil tidaknya tubuh memusnahkan antigen atau kuman itu bergantung kepada jumlah zat anti yang dibentuk .Pada umumnya tubuh anak tidak akan mampu melawan antigen yang kuat. Antigen yang kuat ialah jenis kuman ganas. Virulen yang baru untuk pertama kali dikenal oleh tubuh. Karena itu anak anda akan menjadi sakit bila terjangkit kuman ganasJadi pada dasarnya reaksi pertama tubuh anak untuk membentuk antibodi/antitoksin terhadap antigen, tidaklah terlalu kuat. Tubuh belum mempunyai pengalaman untuk mengatasinya. Tetapi pada reaksi yang ke-2, ke-3 dan berikutnya, tubuh anak sudah pandai membuat zat anti yang cukup tinggi. Dengan cara reaksi antigen-anibody, tubuh anak dengan kekuatan zat antinya dapat menghancurkan antigen atau kuman; berarti bahwa anak telah menjadi kebal (imun) terhadap penyakit tersebut.Dengan dasar reaksi antigen antibodi ini tubuh anak memberikan reaksi perlawanan terhadap benda-benda asing dari luar (kuman, virus, racun, bahan kimia) yang mungkin akan merusak tubuh. Dengan demikian anak terhindar dari ancaman luar.Apabila program imunisasi DPT dihentikan maka tidak akan ada antigen yang akan merangsang kekebalan anak terhadap penyakit difteri. Sehingga apabila sang anak dalam keadaan daya tahan tubuhnya sedang lemah, kemudian ada mikroba penyebab penyakit difteri yaitu bakteriCorynebacterium diphtheriamasuk kedalam tubuh sang anak maka anak tersebut akan menderita penyakit difteri. Anak yang terjangkit difteri akan menderita demam tinggi. Selain itu pada tonil (amandel) atau tenggorok terlihat selaput putih kotor. Dengan cepat selaput ini meluas ke bagian tenggorok sebelah dalam dan menutupi jalan nafas, sehingga anak seolah-olah tercekik dan sukar bernafas. Kegawatan lain pada difteri ialah adanya racun yang dihasilkan oleh kuman difteri. Racun ini dapat menyerang otot jantung, ginjal dan beberapa serabut saraf. Kematian akibat difteri sangat tinggi; biasanya disebabkan anak tercekik oleh selaput putih pada tenggorok atau karena lemah jantung akibat racun difteri yang merusak jantung.

2.11.SUMBER DATA1. Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.2. Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan serta laporan kantor pemerintah dan masyarakat.3. Data demografi yang dapat diperoleh dari unit statistik kependudukan dan masyarakat4. Data geografi yang dapat diperoleh dari unit unit meteorologi dan geofisika5. Data laboratorium yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.6. Data kondisi lingkungan7. Laporan wabah8. Laporan penyelidikan wabah/KLB9. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan10. Studi epidemiology dan hasil penelitian lainnya11. Data hewan dan vektor sumber penular penyakit yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.12. Laporan kondisi pangan

2.12.PERUBAHAN VAKSINImunisasi dengan toxoid memberikan kekebalan cukup lama namun bukan kekebalan seumur hidup.Bayi baru lahir dari ibu memiliki imunitas, perlindungan yang diberikan bersifat pasif dan biasanya hilang sebelum bulan keenam. Sehingga perlu diberikan imunisasi kepada bayi supaya mampu bertahan hidup. Imunitas dengan pemberian vaksin protektifnya kuat pada awal pemberian dan semakin lama menjadi rendah sehingga setelah melewati waktu tertentu vaksin akan berkurang keefektifannya. Pada manusia mempunyai memori imunologis yang akan melindungi mereka dari serangan penyakit berikutnya. Walaupun efek dari vaksin berkurang manusia akan dapat bertahan hidup.Imunisasi di Jatim mengalami kegagalan. Terdapat kasus KLB diphteria di Jatim merupakan salah satu dari efek imunisasi (vaksinasi). Keefektifan dari metode ini semakin berkurang oleh beberapa faktor. Dari agent yang semakin meningkat kemampuan infeksinya. Agent merupakan kelompok mikroorganisme (bakteri). Setiap makhluk hidup selalu mengalami seleksi alam sehingga mereka senantiasa melakukan adaptasi dengan lingkungan. Seperti kuman ini yang melakukan beberapa modivikasi pada tubuhnya dalam waktu lama (mutasi) yang membuatnya lebih kebal. Kemudian metode pemberian imunisasi yang kurang tepat. Pada bayi, pemberian imunisasi DPT (difteria, pertusis, tetanus) dilakukan sebanyak tiga kali. Kemudian vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak usia sekolah dasar dilakukan pada program BIAS (bulan imunisasi anak sekolah). Kemungkinan target atau sasaran tidak mendapatkannya sesuai waktu yang ditentukan. Hal ini mengakibatkan keterlambatan, keadaan yang terlambat memungkinkan imunitas yang terbentuk terlambat. Sehingga terjadi morbiditas dan mortalitas yang meningkat oleh difteria.

2.13.KEKEBALAN SETELAH VAKSINASI

Kasus diphteri umumnya terjadi pada kelompok usia kurang dari satu tahun. Hal ini terjadi karena imunitas pada bayi belum terbentuk secara maksimal untuk berhadapan dengan infeksi difteri. Program imunisasi DPT membawa perubahan kepada kelompok usia kurang dari satu tahun. Pada kelompok ini setelah melewati program DPT mengalami perurunan yang berarti pada tahun ke tahun sejak 2005 sampai 2011.Terjadi peningkatan pada kelompok umur 10-14 tahun dan lebih dari 15 tahun. Pada kelompok umur ini terdapat program BIAS (bulan imunisasi anak sekolah). Program ini memberikan vaksin DT (diteria, tetanus). Seperti penjelasan yang di atas, kemampuan infeksi bakteri yang meningkat mengakibatkan keefektifan dari vaksin menurun. Memori imunitas yang terbentuk sejak imunisasi DPT belum begitu sempurna mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas kasus difteri. Selain itu faktor resiko seperti perilaku anak-anak juga mempengaruhi perubahan

transisi epidemiologi dalam hal ini mengenai difteri.

Pada umur 6-7 tahun, pemberian vaksin difteria diberikan untuk kali terakhir pada program BIAS. Berdasarkan proporsi kasus difteri di atas menunjukkan bahwa terjadi perubahan kasus difteri yang muncul. Pada kelompok umur kurang dari tujuh tahun penurunan proporsi terjadi namun pada kelompok umur yang lebih terjadi kejadian yang tidak terduga. Setelah pemberian vaksin, semestinya imunitas semakin meningkat sehingga host (manusia) tidak mudah terserang penyakit difteri. Berdasarkan di atas jelas terlihat bahwa orang yang sakit justru meningkat dari tahun ke tahun. Ini dapat menunjukkan sistem pelaporan (surveilans) yang semakin membaik atau bahkan kegagalan dari vaksin difteri yang diberikan.

Kelengkapan imunisasi kasus Diphteri sejak tahun 2005 2010 ( 10 Juni ) selalu menunjukkan adanya penderita dengan status imunisasi tak lengkap dan status imunisasi nihil ( sekitar 55%). Salah satu faktor yaitu perilaku manusia mempengaruhi persebaran penderita kasus difteri. Ketidakdisiplinan merupakan faktor yang membuat individu tidak bisa melakukan imunisasi lengkap. Seperti ketepatan waktu imunisasi, terkadang terlalu cepat atau terlalu lambat yang mengakibatkan keefektifan dari vaksin berkurang.Terdapat penurunan penderita difteri dengan status imunitas nihil (tidak imunisasi). Kemungkinan generasi baru yang terbentu telah memiliki memori imunologi dari parentalnya yang telah kebal. Hal ini menjelaskan terjadinya penurunan pada individu yang tidak melakukan imunisasi. Namun penurunannya tidak signifikan karena ada beberapa individu yang tidak mewarisi memori imunologi dari parentalnya sehingga terserang penyakit difteri.

Terjadi penurunan pada penderita dengan imunisasi lengkap. Penurunan kepada kelompok ini terjadi secara bertahap. Walaupun angka penderita masih tetap tinggi. Ada beberapa individu yang setelah mendapat vaksin (imunisasi) masih belum bereaksi seperti yang diinginkan. Tubuh perlu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang baru. Sehingga penderita dengan imunitas lengkap masih tinggi.

Pada Kelompok umur