didukung: ikpt, wijaya karya, jasa marga dan …pii.or.id/wp-content/uploads/ew-xvii-ff.pdf ·...

Download Didukung: IKPT, WIJAYA KARYA, JASA MARGA dan …pii.or.id/wp-content/uploads/EW-XVII-ff.pdf · mendapatkan gambaran yang utuh tentang hal terkait ... Pada tataran praktek, ... Diperlukan

If you can't read please download the document

Upload: vannguyet

Post on 06-Feb-2018

224 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

  • Didukung: IKPT, WIJAYA KARYA, JASA MARGA dan CIREBON ELECTRIC POWER

  • 2

    DARI REDAKSI EPC, Keinsinyuran dan Pembangunan

    Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus membuka lapangan pekerjaan, terutama bagi para insinyur nasional, pada kurun waktu 2015 -2019, pemerintah menganggarkan 5.519 triliun rupiah untuk membangun infrastruktur. Tersedianya sejumlah insinyur yang dibutuhkan, menjadi prasyarat mutlak untuk melakukan pembangunan ini. Selain itu dibutuhkan pula kehadiran perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang Engineering, Procurement, and Construction (EPC) nasional yang tangguh, agar pembangunan dapat bermanfaat optimal bagi bangsa Indonesia. Apalagi dengan semakin banyaknya proyek-proyek besar yang berteknologi tinggi di Indonesia dan di ASEAN, terutama industri konstruksi sektor minyak dan gas bumi. Proyek-proyek EPC lebih kompleks dari pada proyek konstruksi biasa. Proyek ini memiliki tantangan yang sangat besar, seperti fase overlaps dan saling ketergantungan antaraktivitas, rincian aktivitas yang sangat akurat, dan ketidakpastian dalam akurasi prediksi yang timbul selama proyek berlangsung. Tentunya juga masalah pembuatan anggaran dan jadwal pelaksanaan yang dapat menjamin tingkat efisiensi sebuah kegiatan atau proyek. Pada proyek biasa, dikenal adanya struktur organisasi konsultan perencana, sub kontraktor, pemasok dan kontraktor yang berada di bawah koordinasi pemilik proyek (owner). Keunggulan struktur seperti ini adalah adanya pengkhususan tugas. Namun, pada pelakasanaannya, sering terjadi konflik antara perencana dan kontraktor, misalnya ketika menurut kontraktor desain yang dibuat oleh perencana terlalu boros. Belum lagi jika ada revisi desain yang menyebabkan berubahnya spesifikasi material. Maka itu muncullah istilah pemborong, yaitu kontraktor yang juga bertindak sebagai pemasok, yang dianggap lebih memudahkan koordinasi. Kemudian, sesuai dengan perkembangan kebutuhan, proyek EPC mulai bermunculan. Pemilik proyek cukup menunjuk satu lembaga atau perusahaan untuk mewujudkan apa yang diinginkan dan proses perencanaan hingga konstruksi dilakukan oleh satu pihak, sehingga proses optimalisasi desain bisa dilakukan sepanjang masa proyek. Lebih cepat dan

    lebih efisien. Pada kenyataanya, tidak semua perusahaan EPC yang ada, menjalankan ketiga proses tersebut. Ada yang hanya mengerjakan engineering saja dan ada juga yang hanya melakukan kegiatan engineering dan procurement. Selain itu, ada juga perusahaan EPC yang melakukan dua proses tambahan, yaitu commisioning dan installation. Perusahaan jenis ini disebut sebagai EPCCI company. Sebagian besar perusahaan EPC yang ada bergerak di bidang migas. Tapi ada beberapa BUMN menambahkan unit EPC yang bergerak di bidang konstruksi pembangkit listrik, seperti Divisi EPC PT PP, Wijaya Karya EPC dan Adhi Karya EPC. Pada edisi kali ini, Engineer Monthly akan menayangkan berbagai artikel yang terkait dengan EPC dari para kontributor yang mempunyai pengalaman panjang di bidangnya, agar para insinyur mendapatkan gambaran yang utuh tentang hal terkait dan dapat menjadikannya sebagai referensi praktik keinsinyuran di masa mendatang. Tentu saja banyak sekali tantangannya. Namun itu bukanlah alangan yang menghambat.*** Aries R. Prima Pemimpin Redaksi

    Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung IKPT, WIJAYA KARYA, JASA MARGA dan CIREBON ELECTRIC POWER

  • 3

    Kebutuhan Akan Jasa Konstruksi Terintegrasi Ir.Budi Rahardjo, IAI, AA

    Jasa Konstruksi Terintegrasi. Dengan semakin maraknya pertumbuhan industri konstruksi sektor migas dan plant, pada dua dekade terakhir, dan kemudian menyusul proyek infrastruktur pada belakangan ini, maka Jasa Konstruksi Terintegrasi sebagai salah satu Project Delivery Method , menjadi suatu kebutuhan, mengingat beberapa keunggulan yang dimiliki, dibandingkan dengan metoda konstruksi konvensional. Penyelengaraan Jasa Konstruksi Terintegrasi, yaitu jasa konstruksi yang menyatukan kegiatan perancangan dan konstruksi di bawah satu atap, sebetulnya bukan hal baru. Pada awal peradaban, proyek-proyek besar dilaksanakan dengan metoda ini. Konsep Master Builder sudah ada sejak jaman pembangunan piramid di Mesir pada 1596 sebelum Masehi dan Borobudur di Indonesia pada tahun 800 Masehi. Pada tataran praktek, Jasa Konstruksi Terintegrasi terbagi menjadi 3 yaitu: 1. Design and Build (D&B) 2. Engineering Procurement and Construction (EPC) 3. Performance Base Contracting (PBC) Design and Build (D&B). Pada pelaksanaan konstruksi model D&B ini, kegiatan Perancangan dan Konstruksi dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab Kontraktor Design & Build. Banyak dilakukan pada proyek -proyek infrastruktur sipil seperti pelabuhan, jalan, jembatan dan lapangan terbang. Dalam melaksanakan jasanya, Kontraktor Design & Build dapat menggandeng Engineer, dan Technology Provider dari entitas lain. Engineering, Procurement and Construction (EPC) Pada proyek-proyek Minyak & Gas serta Pembangkit Listrik dan Kilang (plant) yang lain, nilai pengadaan peralatan utama bisa mencapai 60-80% dari total nilai proyek. Diperlukan unit kerja khusus untuk menangani dan mencermati aktivitas pengadaan ini yaitu unit Procurement. Kegiatan Engineering, Procurement dan Construction dilakukan dalam satu entitas yaitu Kontraktor EPC.

    Performance Base Contracting (PBC). Jasa konstruksi terintegrasi jenis ini mendasarkan project delivery dan persyaratan pembayarannya pada kinerja (performance) yang dicapai oleh hasil konstruksinya. Ide ini juga bukan hal yang baru. Pada tahun enampuluhan, satu pabrikan mesin pesawat di Inggris telah memulai konsep ini dengan sebutan power by the hour yaitu mesin dibayar sesuai kinerja dan jam terbangnya. Beberapa kondisi yang mengikat terkait kinerja hasil konstruksi dan persyaratan pembayaran ditetapkan bersama antara pemasok dan pembeli dalam kontrak. Mengapa Jasa Konstruksi Terintegrasi Dibutuhkan? Dengan semakin banyaknya proyek berskala besar berteknologi tinggi, dan tuntutan yang semakin ketat akan pemenuhan aspek biaya, mutu dan waktu, pada sektor-sektor tersebut di depan, metoda konvensional, yaitu Design - Bid - Construction, dirasa tidak memadai lagi untuk menjawab tantangan ini. Jasa Konstruksi Terintegrasi mencoba menawarkan solusi dengan berbagai kelebihannya antara lain: meminimalkan potensi dispute antara hasil perancangan dan konstruksi, aspek constructibilty lebih diperhatikan, penanggung jawab tunggal hasil konstruksi, membatasi resiko antarmuka (interface risk), meniadakan hambatan teknologi dan memberi peluang penuh untuk inovasi pada pemasok, memangkas rantai pengadaan proyek menjadi lebih efisien, kontrak administrasi yang lebih sederhana, dan kontraktor bertanggung jawab penuh pada hasil perancangan dan konstruksinya.***

    Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung IKPT, WIJAYA KARYA, JASA MARGA dan CIREBON ELECTRIC POWER

  • 4

    MENGAPA EPC MENJADI KEBUTUHAN? Istanto Oerip

    Secara tradisional metoda pengadaan pekerjaan konstruksi dilakukan dengan cara yang disebut Design-Bid-Build (DBB), yaitu desain dilaksanakan secara terpisah dari pelaksanaan konstruksi. Meskipun DBB ini memberikan aturan permainan yang adil bagi antara pemberi tugas, penyedia jasa konsultansi, dan jasa pelaksana konstruksi, namun pendekatan ini memiliki berbagai keterbatasan. Yang pertama adalah pendekatan ini relatif membutuhkan waktu pengadaan penyedia jasa yang panjang. Kemudian, pemilihan pemenang dengan prinsip harga terendah seringkali memberikan ruang sempit untuk mendapatkan mutu produk dan ketepatan waktu yang sangat penting untuk kinerja jangka panjang. Selain itu spesifikasi dan harga penawaran terendah tidak memberikan insentif untuk inovasi kontraktor. Inovasi akan menimbulkan kerumitan perubahan kontrak yang sensitif terhadap penyalahgunaan dan akhirnya sulit untuk diimplementasikan.Spesifikasi yang kaku dalam pendekatan ini tidak mendukung insentif untuk pendekatan biaya siklus hidup (life-cycle cost) untuk suatu proyek. Keterbatasan lainnya adalah resiko yang berkaitan dengan teknologi dan kinerja pasca konstruksi bukan tanggung jawab kontraktor, karena spesifikasi ditentukan oleh konsultan dan disetujui oleh pengguna jasa dan masukan penyedia jasa pelaksana konstruksi tentang metode dan teknologi pelaksanaan ke dalam desain dan spesifikasi mutu relatif kecil sehingga seringkali berakhir di polemik perselisihan atau temuan auditor atas kontrak. Sistem DBB ini membutuhkan banyak staf pengguna jasa untuk pengelolaan proses kerangka acuan desain, pengadaan konsultan, persiapan konstruksi, masa konstruksi, dan pasca konstruksi. Termasuk diantaranya mengkoordinasikan pembuatan preliminary design, melakukan proses revisi desain bahkan review desain, menyelesaikan masalah Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), pembebasan lahan, manajemen proyek, pengendalian mutu dan juga pemeliharaan. Pengembangan alternatif sistem pengadaan ini harus diarahkan untuk mengatasi beberapa kelemahan kontrak DBB terutama untuk mencapai life-cycle cost yang lebih rendah dan resiko yang terkelola dengan

    baik. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai skema, antara lain dengan mengurangi waktu pengadaan dengan hanya melakukan seleksi kontraktor EPC saja yang bersifat terintegrasi, mengurangi resiko pascakonstruksi, terutama yang berkaitan terjadinya defect dan deficiencies yang tidak tertangkap dalam proses inspeksi dan penerimaan produk pekerjaan pada tahap konstruksi, mengurangi ketidakpastian biaya dan waktu konstruksi. Banyaknya hal-hal yang tidak terduga dalam masa konstruksi yang tidak terantisipasi dalam tahap desain menyebabkan pekerjaan konstruksi banyak mengalami penambahan biaya dan perubahan waktu. Yang terakhir adalah insentif inovasi penyedia jasa untuk menekan life-cycle cost dimungkinkan melalui bentuk kontrak yang lebih memberikan ruang dan memungkinkan pengelolaan resiko penerapan teknologi lebih mutakhir dengan memberikan peran dan tanggung jawab pada penyedia jasa selaku inisiator dan konseptor. Pertimbangan Memilih EPC Biasanya pemilik proyek memilih EPC karena berbagai pertimbangan, seperti kegiatan pemilik dalam kaitan dengan mempersiapakan pekerjaan EPC dapat diminimalisir, pemilik dapat hanya berhubungan dengan satu penanggungjawab EPC sehingga monitoring dan koordinasi bisa lebih efisien, pemilik mendapatkan jaminan kualitas, harga dan waktu penyerahan pekerjaan EPC, kenaikan harga tidak berdampak kepada pemilik, serta kebutuhan investasi sudah dapat diketahui sejak awal dimulainya pekerjaan EPC Pengadaan pekerjaan EPC membutuhkan kesiapan baik bagi pemilik maupun penyedia jasa. Pemilik proyek, sejak awal, harus jelas menyampaikan kebutuhan yang meliputi uraian fasilitas, keluaran yang diinginkan, kualitas, waktu pelaksanaan, dan biaya. Sedangkan penyedia jasa harus memiliki kompetensi yang baik untuk membuat desain dari fasilitas yang akan dibangun agar dapat mengadakan perhitungan yang dimasukkan kedalam penawarannya dan memiliki kemampuan pembuatan proposal komprehensif akan membutuhkan berbagai jenis tenaga ahli dan perlu waktu yang cukup. Makin kompleks pekerjaan EPC makin besar resiko yang harus ditanggung penyedia jasa. Oleh karenanya, penyedia jasa, harus siap menerima resiko yang dialihkan dari pemilik, meliputi resiko cost over-run, construction delays, dan plant performance.***

    Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung IKPT, WIJAYA KARYA, JASA MARGA dan CIREBON ELECTRIC POWER

  • 5

    POSISI KONTRAKTOR EPC INDONESIA DALAM KOMPETISI DI ASEAN

    Kunto Nugroho PT Taji Engineering Utama

    Beberapa kontraktor lokal besar sudah menggarap berbagai macam proyek, dari proyek sederhana sampai yang besar, dan dengan cakupan pekerjaan yang sangat beragam, dari industri umum, industri proses, petrokimia, fasilitas perminyakan (produksi/ pengolahan) baik di darat maupun lepas pantai. Itu semua memberikan pengalaman dan nilai tambah yang bagus buat kontraktor kita, apalagi proyek-proyek tersebut dikerjakan di lokasi yang berbeda dan punya karakteristik alam yang beragam, baik di Indonesia, maupun di luar negeri. Keberhasilan mengerjakan proyek-proyek tersebut diatas adalah satu prestasi dan bernilai kompetisi yang baik bagi pemain-pemain lokal. Namun, itu tidak mencerminkan kemampuan sebenarnya dari kontraktor Indonesia secara umum, karena banyak pelaku usaha lokal lainnya yang tidak mendapat kesempatan dan tidak punya kemampuan yg sama. Demikian pula dalam mengeksekusi proyek-proyek tersebut, beberapa kontraktor lokal masih perlu melakukan kerja sama dengan mitra asing guna meningkatkan nilai kompetisinya. Data bahkan menunjukkan bahwa proyek-proyek besar di beberapa sektor masih didominasi oleh kontraktor asing. Artinya porsi pekerjaan kontraktor lokal masih terbatas. Persaingan di ASEAN Bagi konsumen di Indonesia, manfaat dari dimulainya MEA sejak beberapa bulan lalu adalah mendapat lebih banyak pilihan, karena kompetisi yg lebih ramai membuat para pemberi jasa saling bersaing. Pada akhirnya membuat konsumen bisa mendapatkan harga jasa lebih murah serta mutu pekerjaan lebih baik dari kontraktor yang terseleksi. Bagi tenaga kerja Indonesia, arus jasa tenaga kerja di kawasan ASEAN ini akan memberikan pilihan pekerjaan yang beragam, karena lapangan pekerjaan semakin terbuka dan luas. Selain kesempatan bekerja didalam negeri (termasuk perusahaan PMA), para pekerja kita pun memiliki pilihan bekerja di negara ASEAN lainnya, terutama tenaga ahli yang berkemampuan baik. Sedangkan bagi pengusaha atau kontraktor lokal, MEA akan membuka pasar di ASEAN yang membuat potensi proyek akan semakin bertambah, jumlah pengguna jasa/potential customer akan meningkat, tidak hanya dari dalam negeri, karena proyek-proyek internasional di kawasan regional ini sudah terbuka untuk digarap.

    Namun, selain manfaat dan tantangan, beberapa kelemahan serta ancaman harus juga diperhatikan. Pertama, daya saing nasional yang masih lemah antara lain karena kemampuan kontraktor lokal yang belum merata, masuknya pekerja ASEAN dengan bahasa Inggris yang lebih baik, plus maraknya kontraktor asing yang penetrasi ke Indonesia yang masih besar pasarnya. Juga dominasi kontraktor PMA dengan kemampuan teknis lebih baik, didukung keuangan yang memadai, perangkat lunak mutakhir, serta mendapat dukungan dari perusahaan induknya di luar negeri. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan berbagai langkah yang harus dijalankan. Langkah-langkah tersebut antaranya meningkatkan promosi atas kemampuan kontraktor lokal ke dalam maupun ke luar negeri. Harus tergambar bahwa kontraktor kita sudah mampu mengerjakan berbagai proyek. Kemudian harus mengaktifkan peran asosiasi, antara lain agar asosiasi menyediakan data-data dari kemampuan nyata anggotanya, yang selama ini mungkin tidak diperbarui dan belum digunakan secara maksimal. Selain itu diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan kemampuan kontraktor itu sendiri, dan bergabung sesama kontraktor lokal guna memenuhi persyaratan suatu proyek, agar membentuk satu sinergi yang lebih kuat, serta meningkatkan kemampuan SDM kita melalui pelatihan-pelatihan yang tepat dan menggiatkan kontribusi perusahaan/kontraktor berpengalaman guna ikut membagi pengalaman dan memberikan pelatihan yang berguna kepada SDM ataupun calon sarjana kita, melalui acara-acara di kampus dan lembaga pendidikan lainnya. Keberpihakan pemerintah kepada kontraktor lokal juga harus terus ditumbuhkan dengan cara antara lain memberikan informasi awal tentang rencana pembangunan ke depan, agar konsep pengembangen perusahaan lokal bisa mengarah sejalan dengan kebutuhan di masa depan. Yang terakhir adalah meminta pemerintah untuk memerhatikan usulan-usulan yang sudah beberapa kali diajukan oleh berbagai lembaga independen, menetapkan standar kontrak yang berlaku umum pada sektor yang sama, menyederhanakan aturan, dan membuat petunjuk teknis lintas kementrian yang sejalan dengan aturan yang berlaku.***.

    Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung IKPT, WIJAYA KARYA, JASA MARGA dan CIREBON ELECTRIC POWER

  • 6

    Pentingnya Kemampuan EPC di Sektor Migas

    Widjaja S. Sumarjadi

    Seperti yang kita semua tahu, Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam di antaranya minyak dan gas bumi (migas). Sejak awal tahun 70an, migas telah menjadi andalan pendapatan negara dan telah menjadi penopang ekonomi Indonesia. Di awal era itu banyak perusahaan asing masuk membangun fasilitas pengolahan migas di Indonesia karena keahlian ini adalah baru untuk masyarakat kita. Kemudian ada beberapa perusahaan dalam negeri yang berkecimpung dalam dunia EPC di bidang migas, antara lain Tripatra, IKPT, dan Rekayasa Industri yang muncul pada masa tersebut. Tetapi setelah lebih dari 40 tahun era booming migas, tidak banyak perusahaan EPC migas yang tumbuh di negara sendiri selain pemain sebelumnya. Artinya tumbuh menjadi ujung tombak dalam proyek EPC, menjadi leader dari konsorsium. Memang menjalankan kontrak EPC ini tidaklah mudah. Teknologi tinggi di sektor migas, permodalan yang besar dan persyaratan global lainnya, di dalam industri, menjadi suatu tantangan tersendiri bagi pemain dalam negeri. Tantangan inilah yang seharusnya dilihat sebagai encouraging factor bukan sebagai discouraging factor. Banyaknya lulusan berbagai jurusan teknik yang tidak bekerja di bidang teknik. Belum lagi yang tidak dalam bidang migas, membuat sumberdaya menjadi sangat terbatas. Dengan ini marilah kita ber-sama-sama mengajak para

    mahasiswa teknik untuk nantinya bekerja di bidang keteknikan. Pertanyaannya yang kemudian muncul adalah Apa yang membuat para insinyur tertarik untuk bekerja di EPC bidang migas? Pertama adalah membangun rasa bangga sebagai insinyur yang notabene adalah ahli teknik untuk bisa bekerja menerapkan secara langsung keahlian tekniknya. Tahap pertama dari pekerjaan EPC adalah Engineering, dimana disinilah awalnya para insinyur berkreasi dengan terapan tekniknya. Tahapan selanjutnya adalah Procurement yang mewujudkan hasil kreasinya dari atas kertas gambar maupun perhitungan teknis menjadi barang nyata, antara lain pipa, pipe rack, peralatan proses heat exchanger, pressure vessel, turbine generator, compressor dan sebagainya, MCC dan switchgear, serta instrumen kontrolnya. Kemudian diikuti dengan melakukan instalasi barang-barang tersebut di lapangan, yang akhirnya, setelah mechanically complete, fasilitas tersebut siap di-commissioning dan start up. Adalah suatu kebanggaan bagi para insinyur dari berbagai disiplin itu yang terlibat dapat melihat barang atau fasilitas nyata bagian dari hasil karyanya. Mereka berhasil membangun fasilitas pengolahan migas yang beroperasi secara komersial dan mendatangkan revenue bagi Indonesia. Kedua adalah bagaimana agar pemerintah melakukan rencana jangka panjang dengan eksplorasi sumberdaya alam agar proyek di dalam negeri bisa berkesinambungan. Hal ini diperlukan agar ada suatu jaminan pekerjaan atau karir para insinyur dalam bidang ini. Kebijakan pemerintah yang affirmative pro-nasional juga sangat diharapkan agar perusahaan EPC dalam negeri bisa tumbuh dan jangan sampai layu sebelum berkembang. Kalau perusahaan-perusahaan EPC ini sudah kuat , mereka bisa pergi ke luar untuk mencari proyek sejenis di luar negeri sehingga insinyur Indonesia bisa berkreasi di kancah global yang pada akhirnya bisnis model ini akan membawa devisa bagi negara.***

    Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung IKPT, WIJAYA KARYA, JASA MARGA dan CIREBON ELECTRIC POWER

  • 7

    Karakteristik Kegiatan Engineering, Procurement, and Construction (EPC) Migas

    Istanto Oerip

    Kegiatan sektor minyak dan gas bumi dikenal dengan istilah RCTI, RISK-tinggi, COST-mahal, TECHNOLOGY-mutakhir, dan INVESTMENT-mega proyek. Kriteria RCTI tersebut merupakan instrumen seleksi yang menghasilkan pemain terbatas yang mampu berkarya dalam sektor ini. Oleh karena itu banyak perusahaan Multinasional berpengalaman luas yang ikut bermain dalam penyelenggaraan proyeknya. Meskipun sudah cukup banyak perusahaan nasional yang sudah memiliki kompetensi unggul untuk turut serta bersaing dengan perusahaan multi nasional atau berkonsorsium dalam posisi setara dengan perusahaan asing. Kegiatan EPC, seperti pada umumnya di sektor minyak dan gas bumi, merupakanp ekerjaan kompleks yang banyak melibatkan berbagai disiplin ilmu enjiniring seperti proses enjinir, di samping enjinir-enjinir umumnya pada pekerjaan konstruksi. Pekerjaan ini juga membutuhkan penggunaan teknologi tinggi, baik untuk menunjang proses utamanya dan untuk fasilitas pendukungnya maupun untuk alat bantu konstruksi dan instalasinya. Sebagai contoh, dalam pekerjaan EPC, pembuatan anjungan lepas pantai dibutuhkan kapal untuk mengangkut konstruksi dari darat ke laut, kapal kerja yang memiliki crane dengan kapasitas besar, dan kapal untuk akomodasi pekerja yang bertugas selama berbulan-bulan di laut lepas. Mengingat skalanya, pekerjaan ini melibatkan banyak Sumber Daya Manusia (SDM) dalam berbagai jenjang kompetensi dan dalam jumlah yang besar, bahkan bisa mencapai jumlah ribuan pekerja profesional. Selain itu

    juga melibatkan banyak subkontraktor untuk pekerjaan khusus (specialty contractors) dan mengikutsertakan pemasok (vendor) dalam jumlah yang banyak, baik yang khusus untuk pekerjaan proses enjiniring maupun yang umumnya pada pekerjaan konstruksi. Kegiatan ini memiliki resiko yang tinggi karena berpotensi memberikan dampak yang luas terhadap lingkungan dan sosial. Oleh karena itu Health Safety and Environment (HSE) selalu menjadi prioritas yang utama dalam pelaksanaan pekerjaan EPC dan juga berbiaya besar sehingga melibatkan berbagai lembaga keuangan dan perbankan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan dan pengelolaan finansialnya, dan melibatkan perusahaan asuransi, serta membutuhkan waktu pengerjaan yang lama sehingga pada umumnya merupakan proyek tahun jamak (multi years). Namun, EPC merupakan lokomotif pendorong tumbuh kembangnya industri dalam negeri, karena backward dan forward lingkages yang luas apabila perusahaan utamanya (lead firm) dipegang oleh perusahaan dalam negeri. Bukan oleh perusahaan asing yang cenderung akan mengupayakan agar semua barang dan jasanya datang dari negaranya. Karakteristik yang khusus dari kegiatan EPC membutuhkan adanya ketentuan pengadaan khusus yang dikenal dengan PTK-007 yang diterbitkan oleh Satuan Kerja Khusus (SKK-Migas), yang mengintegrasikan kepentingan nasional, seperti adanya sistem preferensi kepada perusahaan dalam negeri yang berbeda bagi perusahaan asing dan ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).***

    Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung IKPT, WIJAYA KARYA, JASA MARGA dan CIREBON ELECTRIC POWER

  • Engineer Weekly Pelindung: A. Hermanto Dardak, Heru Dewanto Penasihat: Bachtiar Siradjuddin Pemimpin Umum: Rudianto Handojo, Pemimpin Redaksi: Aries R. Prima, Pengarah Kreatif: Aryo Adhianto, Pelaksana Kreatif: Gatot Sutedjo,Webmaster: Elmoudy, Web Administrator: Zulmahdi, Erni Alamat: Jl. Bandung No. 1, Menteng, Jakarta Pusat Telepon: 021- 31904251-52. Faksimili: 021 31904657. E-mail: [email protected]

    Engineer Weekly adalah hasil kerja sama Persatuan Insinyur Indonesia dan Inspirasi Insinyur.