dhf
TRANSCRIPT
TEXTBOOK READING
DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
Oleh:
Usqi Krizdiana
STASE ILMU PENYAKIT DALAM
KEPANITERAAN KLINIK MADYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
RSUD “KANJURUHAN” KEPANJEN
MALANG 2013
Demam Berdarah Dengue
A. Pendahuluan
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic
fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau
penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome)
adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.
B. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Terdapat 4 serotipe virus yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue
atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3
merupakan serotype terbanyak.
C. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah
air. Insiden DBD di Indonesia antara 6-15 per 100.000 penduduk (1989-1995); dan
pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada
tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada
tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama
A. aegepty dan A.albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan
sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu
bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air
lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu:
1). Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di
lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; 2). Pejamu: terdapatnya
penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia, dan
jenis kelamin, 3). Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.
D. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah: a). respon
humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus,
sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi
terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau
makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE). b). Limfosit T
baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler
terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon
gamma, IL-1 dan limfokin, sedangkan TH-2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10;
c). Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi.
Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi
sitokin oleh makrofag. d). selain itu, aktivasi komplemen oleh kompleks imun
menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a. Peningkatan c3a dan C5a mengakibatkan
terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1). Supresi sumsum
tulang, dan 2). Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum
tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi
megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses
hematopoiesis.
E. Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik, atau dapat berupa
demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom shock
dengue (DSD).
Pada umumnya, pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi
mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan tidak adekuat.
F. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam
dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit,
dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran
limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun
deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknis RT-PCR, namun karena teknik yang
lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap
dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG.
Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:
- Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis
relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) >
15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
- Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke-3 sampai ke-8
- Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3
demam.
- Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP
pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
- Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
- SGOT/SGPT: dapat meningkat
- Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
- Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
- Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
o IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
o IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder, IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada, didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi
apabila terjadi perembesan plasma berat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua
hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral
dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
G. Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala
prodromal yang tidak khas seperti: nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan
lelah.
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di bawah
ini dipenuhi:
- Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
- Terdapat minimal 1 hari dari manifestasi perdarahan berikut:
Uji bendung positif
Petekie, ekimosis, dan purpura
Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan
dari tempat lain.
Hematemesis atau melena.
- Trombositopenia (<100.000/uL)
- Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma, seperti: efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia.
H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan
demam tifoid, campak, influenza, chikungunya, dan leptospirosis.
Sindrom Syok Dengue (SSD). Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan
sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20
mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta
gelisah.
Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus DengueDD/DBD Derajat Gejala Laboratorium
DD
DBD
DBD
DBD
DBD
I
II
III
IV
Demam disertai 2 atau lebih tanda: sakit kepala, nyeri retro orbital, mialgia, atralgia
Gejala atas ditambah uji bendung positif
Gejala di atas ditambah perdarahan spontan
Gejala di atas ditambah kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab serta gelisah)
Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur
- Leukopenia- Trombositopenia, tidak
ditemukan bukti kebocoran plasma
- Trombositopenia (<100.000/uL), bukti ada kebocoran plasma
- Trombositopenia (<100.000/uL), bukti ada kebocoran plasma
- Trombositopenia (<100.000/uL), bukti ada kebocoran plasma
- Trombositopenia (<100.000/uL), bukti ada kebocoran plasma
- Serologi dengue positif
I. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi
suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga <
1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting
dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan
oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan
suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi
secara bermakna.
Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama
pada penderita DBD atau yang diduga DBD di IGD dan juga dipakai sebagai petunjuk
dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila:
- Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu
24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, leukosit, dan trombosit tiap 24
jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke IGD.
- Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
- Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.
Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat
- Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok
maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus
berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut:
1500 + {20 x (BB dalam kg-20)}
Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg: 1500 + {20x(55-20)} = 2200 ml
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:
- Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000 jumlah pemberian cairan
tetap seperti rumus di atas terapi pemantauan Hb, Ht trombo dilakukan tiap 12 jam
- Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan
sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%.
Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht >20%
Meningkatnya Ht >20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan
sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan
infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4
jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda
hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat
maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan
pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan
infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik
maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap
tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi
menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan
infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila
keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam
tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan
menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk
dan didapatkan tanda-tanda syok, maka pasien ditangani sesuai dengan protokol
tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian
cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,
perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan
saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan
jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan
kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan
tekanan darah, nadi, dan pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan
kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis serta hemostase harus segera dilakukan dan
pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-
tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan
sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT
dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb <10 g/dl. Transfusi trombosit
hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah
trombosit <100.000/mm3 dengan atau tanpa KID.
Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa
Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue maka hal pertama yang harus
diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
intravaskular yang hilang harus segera dilakukan.
Pada kasus SSD, cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 L/menit. Pemeriksaan-
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap,
hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan
kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik
100 mmHg dan tekanan nadi >20 mmHg, frekuensi nadi <100 kali/menit dengan volume
yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam)
jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit
kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam
setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup
maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma
yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan
infus terus diberikan, maka keadaan hipervolemi, edema paru, atau gagal jantung dapat
terjadi).
Pengawasana dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama
dalam wkatu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis
penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang
menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk
mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda
vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas,
pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah
diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin,
hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan
penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan kemudian
dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai
hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih
berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai
hematokrit menurun, berarti terjadi perdarah (internal bleeding) maka pada penderita
diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan kolid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat
cairan tersebut. Pemberian cairan koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan
cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi, maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena
sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB
(maksimal 1-1,51 /hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan
tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam
basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral
penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat
diberikan obat inotropik/vasopressor.
DAFTAR PUSTAKA
Suhendro, Leonard, Khie, Herdiman. 2007. Demam Berdarah Dengue. dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi IV. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia. Jakarta: FKUI