dewan riset nasional - drn.go.iddrn.go.id/files/buku-komtek-ketahanan-pangan-2007.pdfpuji syukur...

38

Upload: doanquynh

Post on 18-Mar-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Penyusun Anggota dan Tim Asistensi Komtek Ketahanan Pangan DRN Tata Letak Arny Aurora Desain Cover Syarif Budiman DEWAN RISET NASIONAL Gedung I BPPT Lantai 2 Jalan M. H. Thamrin Nomor 8, Jakarta Pusat 10340 Telp. 021-3168046 / 021-3905126 Fax. 021-3905126 / 021-3926632 E-mail. [email protected] www.drn.go.id

KOMTEK KETAHANAN PANGAN iii

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam sejahtera untuk kita semua. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas bimbingan dan lindungan-Nya sehingga buku laporan ini dapat diselesaikan pada waktunya. Buku kecil ini berisi tentang rekaman kegiatan DRN Komisi Teknis (Komtek) Ketahanan Pangan selama tahun 2007, yang terdiri dari gambaran tentang program kerja, hasil-hasil yang dicapai dan paparan tentang isu aktual di bidang pangan yang mendapat perhatian khusus selama tahun 2007. Program Kerja Komtek Ketahanan Pangan Tahun 2007 disepakati berdasarkan Rapat Pripurna Komtek pada tanggal 24 Februari 2007. Berdasarkan program kerja tersebut dilaksanakan kegiatan baik berupa pertemuan, lokakarya dan kegiatan lainnya yang hasilnya diuraikan pada Bab II. Isu aktual yang disampaikan pada Bab III disarikan dari artikel-artikel yang ditulis dan dipublikasikan melalui website DRN oleh para anggota DRN dari Komtek Ketahanan Pangan. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan buku ini. Jakarta, April 2008 Ketua Komtek Ketahanan Pangan DRN Benyamin Lakitan

KOMTEK KETAHANAN PANGAN v

KATA SAMBUTAN iii

BAB I PROGRAM KERJA 1

BAB II HASIL KEGIATAN 3

2.1 Rapat Intern Anggota 3

2.1.1 Rapat Intern Tanggal 14 Februari 2007 3

2.1.2 Rapat Intern Tanggal 23 Mei 2007 4

2.2. Rapat Anggota dengan Narasumber 9

2.2.1 Persiapan Lokakarya 9

2.2.2 Lokakarya Terbatas Ketahanan Pangan 10

BAB III ISU AKTUAL 16

3.1 Program Peningkatan Beras 2 Juta Ton/Tahun

Prof. Dr. Ir. Tien R. Muhtadi

16

3.2 Padi Hibrida : Apakah Ini Jawabnya?

Prof. Dr. Benyamin Lakitan

22

3.3 Membangun Kembali Swa Sembada Beras

Prof. Dr. Widjang H. Sisworo

26

KOMTEK KETAHANAN PANGAN 1

Program Kerja Komisi Teknis Ketahanan Pangan disusun dengan merujuk kepada kesepakatan rapat Badan Pekerja DRN, 16 Januari 2007, yakni setiap Komisi Teknis, sesuai dengan anggaran tahun 2007, dapat menyelenggarakan 4 (empat) kali pertemuan ditambah dua kali pertemuan antar Komisi Teknis dalam Sidang Paripurna. Melalui rapat 14 Februari 2007 dan 23 Mei 2007, Komisi Teknis Ketahanan Pangan telah menyepakati Program Kerja tahun 2007 sebagai berikut: (1) Membahas empat isu ketahanan pangan yang dipandang relevan

dengan ARN 2006 – 2009 dan selaras dengan permasalahan yang mengemuka dalam masyarakat, sebagai berikut : a. Kelangkaan beras; b. Sumber daya perikanan; c. Sumber daya peternakan; d. Tanaman pangan dan lahan; Keempat isu tersebut dijadikan topik utama pembahasan di dalam empat kali pertemuan/rapat sepanjang tahun 2007.

(2) Memperkenalkan peran DRN dan mensosialisasikan Agenda Riset Nasional (ARN) secara luas.

Program kerja tersebut di atas dilaksanakan melalui berbagai bentuk kegiatan yaitu: (1) Dalam bentuk rapat intern anggota, seminar, lokakarya dengan

mengundang nara sumber non anggota DRN ; (2) Melalui tulisan dalam website DRN sebagai opini pribadi selaku

anggota DRN terkait keempat topik utama tersebut dalam butir (1). Upaya ini ditujukan agar masyarakat umum dapat mengakses produk-produk DRN, yang sekaligus diharapkan dapat memperkenalkan peran DRN.

Tidak seluruh kegiatan yang telah direncanakan dalam program kerja 2007 dapat dilaksanakan, hal ini disebabkan oleh berbagai kendala, terutama keterbatasan anggaran yang tersedia. Kegiatan butir (1) telah dapat dilaksanakan melalui pembahasan dan diskusi dalam dua kali rapat intern anggota lengkap membahas isu (1) a, yaitu Kelangkaan Beras, dan isu (1) b tentang Sumber Daya Perikanan.

KOMTEK KETAHANAN PANGAN 2

Selain itu, satu kali rapat terbatas dilaksanakan untuk membahas Persiapan Lokakarya Konsolidasi Sumber Daya Ristek untuk Membangun Ketahanan Pangan Melalui Pengembangan Teknologi Produksi Pertanian di Lahan Kering Berbasis Tanaman Padi, yang merupakan isu (1) a dan (1) d. Satu kali lokakarya berjudul/bertema seperti tersebut, telah pula dilaksanakan dengan mengundang anggota DRN dari komisi teknis lainnya, dan berbagai pihak yang dianggap kompeten sebagai pemakalah, pembicara maupun nara sumber. Sementara itu, pembahasan tentang isu seperti tersebut dalam butir (1) c, yaitu Sumber Daya Peternakan, tidak/belum dapat dilaksanakan.

Lokakarya Konsolidasi Sumber Daya Ristek untuk Membangun Ketahanan Pangan Melalui

Pengembangan Teknologi Produksi Pertanian di Lahan Kering Berbasis Tanaman Padi Pelaksanaan kegiatan melalui tulisan opini pribadi anggota dalam website DRN telah dipenuhi oleh sejumlah anggota, dengan judul artikel dan penulis sebagai berikut:

(1) Program Peningkatan Beras 2 Juta Ton/Tahun Prof. Dr. Ir. Tien R Muhtadi

(2) Menyikapi Pro dan Kontra Impor Beras Prof. Dr. Widjang H. Sisworo

(3) Revolusi Hijau dan Swasembada Beras Prof. Dr. Widjang H. Sisworo

(4) Membangun Kembali Swa Sembada Beras Prof. Dr. Widjang H. Sisworo

(5) Motivating RI Farmers to Increase Rice Production Prof. Dr. Benyamin Lakitan (telah dimuat juga dalam The Point, 02 Januari 2007)

(6) Padi Hibrida: Apakah Ini Jawabnya? Prof. Dr. Benyamin Lakitan

KOMTEK KETAHANAN PANGAN 3

2.1 Rapat Intern Anggota 2.1.1 Rapat Intern Tangal 14 Februari 2007 Selain membahas dan memutuskan Program Kerja tahun 2007, rapat yang dihadiri oleh delapan dari 16 anggota ini juga mengagendakan program sebagai berikut : (a) Peran dan target Komisi Teknis Ketahanan Pangan tahun 2007 ; (b) Pembahasan mengenai masukan bagi revisi Perpres No. 16 Tahun

2005 tentang DRN; (c) Masukan bagi kelanjutan Pemetaan Kegiatan Riset tahun 2007, yang

disesuaikan dengan arahan rapat BP DRN, 16 Januari 2007, bahwa pemetaan kegiatan riset tahun 2007 akan menekankan kepada pendalaman data: melengkapi data yang berkaitan dengan aspek-aspek sumber daya manusia yang terlibat, infrastruktur, mitra, dan output; serta perluasan data yang mencakup penambahan jumlah lembaga (sebagai responden). Keterlibatan yang diharapkan dari setiap Komisi Teknis adalah menganalisis hasil dan sebagai penjamin kredibilitas pemetaan.

Di akhir rapat, di samping menyepakati dan menetapkan Program Kerja Tahun 2007, rapat juga menyarankan hal berikut : (a) Terkait dengan revisi Perpres No.16 Tahun 2005, rapat menghimbau

agar DRN bisa lebih berperan dalam memberikan kontribusi di bidang iptek nasional melalui produk DRN yang mudah diakses oleh masyarakat umum, baik dalam bentuk media cetak maupun elektronik.

(b) Pemikiran maupun informasi perihal isu (1) a : Kelangkaan Beras yang dilontarkan dalam rapat, kiranya dapat makin diperjelas permasalahan kelangkaan beras secara utuh. Mulai dari angka-angka dalam Dokumen Ketahanan Pangan (Departemen Pertanian) yang terlalu optimis dan tidak sesuai dengan kondisi aktual di lapangan seperti kemarau panjang, banjir, kerusakan hutan, yang berakibat pada penurunan produksi beras; kemudian tentang kondisi Pulau Jawa yang tidak dapat diandalkan lagi sebagai produsen padi sebagai akibat dari banyaknya alih fungsi lahan; juga gambaran mengenai ketersediaan bibit yang berkualitas yang sangat terbatas serta kebutuhan biaya yang tinggi sebagai kendala bagi pemanfaatan bibit padi Hibrida – yang dijadikan primadona oleh Departemen Pertanian.

KOMTEK KETAHANAN PANGAN 4

Di samping itu, disampaikan pula sejumlah informasi, tentang latar belakang Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) satu juta Ha di Kalimantan Tengah beserta hasil kajian terhadap kegagalan proyek tersebut; juga mengenai pemberlakukan larangan eksport beras dari pemerintah Vietnam sejak November 2007; Dilema petani Riau yang bergairah kembali menanam padi sebagai dampak ikutan dari kenaikan harga beras, namun di sisi lain petani dihadapkan pada masalah ketersediaan bibit dan pendistribusiannya yang tidak tepat waktu sehingga oleh petani terpaksa dijual kembali, masalah penanganan pasca panen yang begitu buruk sehingga produksi susut sampai 15%, sementara Dinas Pertanian Riau tidak melakukan suatu upaya perbaikan. Sejumlah saran telah dikemukakan bertautan dengan pemikiran dan informasi tersebut. Pertama, menghimbau pemerintah untuk tidak tergesa-gesa menetapkan target produksi beras yang terlalu tinggi mengingat permasalahan alih fungsi lahan irigasi dan kemungkinan bencana El Nino tahun 2007. Kedua, mengusulkan ekstensifikasi padi di lahan kering di luar Pulau Jawa berdasarkan pada kenyataan bahwa peluang pengembangan teknologi padi sawah sudah sangat terbatas. Ketiga, mengundang Tim Rusnas (Riset Unggulan Strategis Nasional) KNRT untuk mempresentasikan program pangan non-beras. Hal ini dimaksudkan agar Komisi Teknis Ketahanan Pangan tidak hanya mencari solusi masalah kelangkaan beras (dengan beras) tapi juga memperhatikan dan mempertimbangkan pangan non-beras.

2.1.2 Rapat Intern Tanggal 23 Mei 2007 Sesuai dengan Program Kerja yang telah disepakti, agenda kedua adalah mengupas permasalahan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi, Pengurangan Pengangguran dan Kemiskinan. Pembahasannya mencakup lima isu, yakni : (a) Produksi Perikanan antara lain (potensi, kendala, dan kebijakan pemerintah dsb); (b) Kondisi Sosial-Ekonomi Nelayan (mengapa nelayan tetap miskin, ketimpangan ekonomi dengan juragannya, dan masalah lainnya); (c) Kerusakan lingkungan akibat aktivitas perikanan (mangrove, terumbu karang dan lain-lain, pencurian ikan, dan sejenisnya); (d) Industri Perikanan (losses yang tinggi, investasi rendah, dan sebagainya); (e) Konsumsi ikan oleh masyarakat yang masih rendah (daya beli rendah, sosiokultural, ketersediaan ikan, dan lain-lain). Paper “Pangan Asal Ikan”, digunakan sebagai pengantar diskusi, disampaikan oleh Benyamin Lakitan, Ketua Komisi Teknis Ketahanan Pangan. Pertanyaan pokok yang mendasari pembahasan kelima isu tersebut adalah, bahwa menurut data potensi, perikanan Indonesia sangat besar

KOMTEK KETAHANAN PANGAN 5

tetapi bagaimana mentransformasikan potensi itu menjadi kekuatan nyata yang mampu mensejahterakan nelayan. Beberapa kendala dan permasalahan yang dihadapi antara lain; sumberdaya manusia, ketersediaan dan kemampuan memanfaatkan teknologi dan modal. Sudah tepatkah kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan? Potensi perikanan yang mana yang lebih diutamakan untuk dan dikembangkan; belum ada pilihan kebijakan antara penangkapan ikan atau budi daya ikan.

Rapat Komisi Teknis Ketahanan Pangan DRN, 23 Mei 2007

Berbagai pemikiran, komentar, tanggapan, dan sejumlah saran telah dikemukakan oleh kesepuluh anggota yang hadir dalam rapat diuraikan sebagai berikut: (a) Data Potensi Perikanan

Data yang dikemukakan di dalam paper “Pangan Asal Ikan” dinyatakan sangat besar. Pernyataan ini dinilai meragukan, mengingat berbagai fakta di sekitar kita tidak mendukung data tersebut, seperti : banyak nelayan Indonesia yang menangkap ikan di perairan Australia dan Thailand, tetapi fakta lain menunjukkan banyak nelayan asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia; saat ini nelayan di Laut Arafura, yang menggunakan 100 mata pancing hanya berhasil menangkap dua ikan. Hal ini merupakan indikator bahwa sumberdaya perikanan Indonesia tidak lagi melimpah, sudah sangat menyusut, ikan yang tersedia makin sedikit. Sekarang para nelayan di Selat Makasar dan Teluk Tomini hanya dapat menangkap ikan jenis kecil, tidak seperti masa sebelumnya nelayan berhasil menangkap banyak ikan jenis besar. Ikan cakalang

KOMTEK KETAHANAN PANGAN 6

telah sangat berkurang karena dicegat nelayan Filipina sebelum cakalang-cakalang tersebut bermigrasi ke perairan Indonesia. Nelayan kita tetap miskin karena hanya bisa menangkap ikan jenis kecil. Ada dua potensi perikanan yaitu budidaya dan penangkapan. Untuk penangkapan ikan laut telah ada Tim National Stock Assessment yang beranggotakan berbagai Instansi : LIPI, DKP, dan ahli-ahli lainnya yang bertugas menghitung potensi ikan di perairan Indonesia. Tim ini menetapkan potensi ikan yang bisa ditangkap adalah 6,7 juta ton. Padahal sesungguhnya penetapan potensi nasional ikan yang tersedia merupakan suatu hal yang amat sulit untuk bisa, karena yang bisa dihitung adalah jenis-jenis ikan demersal, yang bersifat menetap, tidak bermigrasi. Dalam diskusi diakui bahwa sampai saat ini data dan informasi perihal potensi ikan memang beragam dan tidak akurat. Kelompok LSM mengatakan Indonesia sudah over-ishing, media massa memberitakan nelayan susah memperoleh ikan. Dua dari sembilan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dinyatakan telah over-ishing, satu WPP pada posisi seimbang, dan enam WPP masih under-exploited. Sementara itu data potensi ikan sebenarnya sulit dijustifikasi, terutama ikan yang bermigrasi. Akan tetapi data potensi itu bisa didapat dengan pendekatan kapasitas kapal yang diberi ijin menangkap ikan. Pengembangan usaha perikanan memerlukan ketersediaan peta tentang potensi ikan secara tepat dan akurat serta mudah diakses. Untuk itu diperlukan studi tentang prilaku ikan.

(b) Budi Daya Ikan

Budi daya ikan merupakan salah satu solusi alternatif pengganti penangkapan ikan, tetapi masih banyak masalah yang akan dihadapi nelayan pembudidaya ikan. Pemerintah berkeinginan menggeser kebijakan formalnya dari penangkapan ke budidaya ikan. Hal ini merupakan solusi yang tepat namun konsekuensinya belum dikaji. Saat ini di negara penghasil, ikan salmon diproduksi dengan cara dibudidayakan (dulu ditangkap). Kini mereka mempunyai masalah baru dengan pakannya. Makanan salmon yang dibudidayakan adalah ikan hidup yang diolah oleh industri pakan ikan. Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah industri penangkapan ikan untuk bahan baku pakan ikan salmon. Selain itu, pembudidayaan ikan salmon mengakibatkan peningkatan kasus penyebaran penyakit ikan salmon. Berbeda dengan ketika salmon dibiarkan bermigrasi, parasitnya tidak terakumulasi dalam suatu kawasan.

KOMTEK KETAHANAN PANGAN 7

Budidaya ikan yang dikembangkan untuk menjaga populasinya agar tidak punah antara lain dapat dilakukan dengan cara mengeluarkan perturan formal yang melarang penangkapan ikan yang bertelur seperti dilakukan New Zealand. Pemerintah menjatuhkan sanksi kepada nelayan yang menangkap ikan saat sedang bertelur. Bibit ikan yang tertangkap dilepas kembali agar kepadatan populasi tetap terjaga. Di Indonesia, semua jenis ikan ditangkap termasuk bibit ikan. Keuntungan lain dari budidaya ikan adalah untuk menjaga lingkungan dari cara penangkapan dengan menggunakan racun dan/atau bom ikan. Budidaya merupakan salah satu jalan keluar untuk menjadikan nelayan sejahtera, jika teknologi yang digunakan cocok. Namun perlu diingat bahwa pakan untuk ikan budidaya mengandung antibiotik, sehingga ikan budidaya umumnya mengandung antibiotik.

(c) Teknologi Pasca Panen

Teknologi pasca panen terutama cold storage membuat ikan hasil tangkapan bisa disimpan lebih lama dalam keadaan tetap segar. Teknologi ini memberikan nilai tambah yang memadai dan telah terbukti sangat membantu meningkatan pendapatan nelayan. Karena manfaatnya yang sangat besar bagi peningkatan pendapatan nelayan maka program pengembangan teknologi pasca panen hendaknya diprioritaskan. LAPAN diharapkan dapat terus berkontribusi dalam pengembangan teknologi perikanan dan mensosialisasikan hasilnya kepada masyarakat nelayan. Kemauan politik dari pemerintah daerah maupun penyedia teknologi sangat diperlukan untuk peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup para nelayan. Ketersediaan cold storage agar diupayakan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan nilai tambah kepada nelayan. Saat ini untuk mengawetkan ikan ditemukan banyak nelayan yang masih menggunakan pestisida. Hal ini menunjukkan akan pentingnya program social engineering yang bertujuan mengedukasi nelayan untuk menanamkan kesadaran dan pengertian yang bertautan dengan bahaya pestisida bagi dirinya sendiri maupun konsumen, nilai tambah, dan peningkatan pendapatan dalam menjalankan pekerjaan mereka.

(d) Riset dan Teknologi Perikanan

Teknologi penangkapan ikan yang dimiliki nelayan Indonesia masih sangat sederhana karena itu mereka kalah bersaing dengan nelayan asing yang datang secara ilegal tetapi dilengkapi teknologi yang jauh lebih canggih. Saat ini LAPAN sudah mempunyai teknologi satelit untuk mendeteksi pergerakan dan penyebaran ikan. Akan tetapi pemanfaatanya tidak optimal. Masalah yang dihadapi adalah bagaimana informasi tersebut disampaikan ke pelabuhan ikan dalam

KOMTEK KETAHANAN PANGAN 8

waktu cepat. Nelayan Indonesia memerlukan teknologi yang bisa mengakses informasi dengan cepat tetapi tidak kompleks. Sarana dan prasarana yang tersedia di lokasi pelabuhan ikan maupun di kapal nelayan masih menjadi salah satu kendala bagi kelancaran penerimaan informasi tersebut. DRN diharapkan bisa mengarahkan pengembangan iptek dan mengkonsolidasikan sumberdaya litbang yang ada untuk meningkatkan kemampuan nelayan dan teknologi perikanan. Program penelitian perikanan saat ini masih dilakukan secara sendiri-sendiri, belum merupakan program yang terpadu antar lembaga sehingga banyak studi dan hasil penelitian yang belum dimanfaatkan para pengguna dan pemangku kepentingan sehingga berkontribusi nyata dalam peningkatan kesejahteraan nelayan. Menteri Negara Riset dan Teknologi telah berupaya mengkoordinasikan dan memadukan kegiatan riset dan pengembangan teknologi perikanan melalui Program Rusnas Ikan Kerapu. Program ini telah berlangsung delapan tahun tetapi hasilnya belum bisa berkontribusi dan memberikan dampak nyata terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan.

(e) Peraturan dan Kebijakan Pemerintah Dua pertiga dari isi Undang-undang Perikanan mengatur masalah sanksi. Akan tetapi penerapan dan pengawasan peraturan tersebut masih sangat lemah. Jaminan keberpihakan pemerintah kepada nelayan sudah sesuai dengan kebutuhan nelayan, namun dalam praktik masih banyak nelayan yang terus menangkap ikan tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan. Pemerintah perlu segera menetapkan sejumlah peraturan seperti perturan mengenai musim penangkapan ikan sebagai pelengkap peraturan tentang jalur penangkapan ikan. Implementasi sejumlah peraturan tersebut harus diawasi secara ketat.

Saran 1) Kementerian Negara Ristek seyogyanya mengkoordinasikan program

dan kemampuan sumberdaya litbang untuk menghimpun data dan informasi yang akurat sebagai bahan pembuatan peta potensi perikanan nasional, sebaran, dan pergerakan ikan. Peta potensi serta informasi sebaran dan pergerakan ikan hendaknya dapat diakses dengan mudah oleh nelayan atau organisasi nelayan secara cepat dengan teknologi yang relatif sederhana agar bermanfaat bagi peningkatan hasil tangkapan dan penghasilan nelayan.

2) Kementerian Negara Ristek hendaknya memacu program dan kegiatan pengembangan teknologi pasca panen hasil tangkapan yang relatif tidak mahal dan terjangkau oleh daya tukar nelayan kecil dan menengah.

KOMTEK KETAHANAN PANGAN 9

3) Hasil rapat yang menyangkut teknologi cold storage sebaiknya direkomendasikan di dalam rapat dengan DKP.

4) Social engineering perlu dilakukan secara berkelanjutan untuk membangun kesadaran masyarakat nelayan agar menjaga ketersediaan bibit ikan, dengan tidak memanen semua jenis ikan. Demikian pula dengan kesadaran nelayan dan masyarakat pesisir terhadap konservasi lingkungan pesisir untuk menjaga habitat ikan dan hasil laut lainnya.

2.2 Rapat Anggota dan Narasumber 2.2.1 Persiapan Lokakarya Rapat persiapan lokakarya tanggal 5 November 2007 bersifat terbatas mendiskusikan persiapan penyelenggaraan lokakarya “Konsolidasi Sumberdaya Ristek untuk Membangun Ketahanan Pangan melalui Pengembangan Teknologi Produksi Pertanian di Lahan Kering Berbasis Tanaman Padi”. Selain lima anggota Komisi Ketahanan Pangan DRN, rapat juga dihadiri oleh tiga orang peneliti utama di lingkungan Badan Litbang Pertanian, sebagai nara sumber yang kompeten dalam bidang yang bertautan dengan tema lokakarya. Para nara sumber telah beberapa kali mengadakan pertemuan pendahuluan informal dengan anggota DRN guna membahas materi lokakarya dimaksud. Pemilihan dan penentuan tema lokakarya didasarkan antara lain pada beberapa hal; (i) bahwa sebagian besar (95%) dari produksi padi nasional berasal dari lahan sawah; (ii) bahwa sejak dekade akhir 1980-an produksi padi nasional mengalami levelling off (pelandaian) bahkan selama tahun 2000 – 2006 laju kenaikan rata-rata produksi padi nasional lebih rendah dari perkiraan laju kenaikan jumlah penduduk; (iii) luasan lahan sawah dan area panen padi sawah tidak meningkat bahkan cenderung berkurang, karena konservasi lahan dan kerusakan infrastruktur irigasi; (iv) perluasan lahan sawah sangat mahal, upaya ini akan terkendala oleh ketersediaan anggaran (v) hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa peluang meningkatkan produksi padi nasional lebih terbuka di lahan kering dari pada dilahan sawah, dan (vi) teknologi produksi padi lahan kering sebagian besar sudah tersedia. Berdasarkan data perkembangan produksi beras selama satu dekade terakhir, serta upaya dan hasil yang dicapai dalam pengembangan teknologi produksi padi di lahan kering, maka disepakati Tema Lokakarya Terbatas Ketahanan Pangan adalah Peluang Pengembangan Teknologi Pertanian di Lahan Kering Sebagai Salah Satu Upaya Mencukupi Kebutuhan Pangan Beras secara Berkelanjutan.

KOMTEK KETAHANAN PANGAN 10

Rapat persiapan diarahkan untuk mendiskusikan dan mempertajam TOR (yang telah disusun oleh Prof. Widjang H. Sisworo). Sejumlah tanggapan berupa saran dan koreksi telah diakomodasikan guna penyempurnaan TOR. Sebagai misal, tema yang semula “Membangun Ketahanan Pangan Melalui Pengembangan Teknologi Produksi Pertanian di Lahan Kering Berbasis Tanaman Padi”, berdasarkan beberapa pertimbangan terutama Tujuan Lokakarya serta luaran yang diharapkan, diubah menjadi “Konsolidasi Sumberdaya Ristek untuk Membangun Ketahanan Pangan Melalui Pengembangan Teknologi Produksi Pertanian di Lahan Kering Berbasis Tanaman Padi”. Selain itu rapat juga mendiskusikan dan menetapkan pembicara, pemakalah, narasumber, serta jadwal dan lokasi. Dengan mempertimbangkan sisa dana yang dianggarkan untuk kegiatan Komisi Teknis Ketahanan Pangan, disepakati bahwa jumlah peserta yang diundang dibatasi, yakni hanya anggota yang berdomisili di Jabodetabek dan Bandung. Para pemangku kepentingan (stakeholders) yang diundang boleh berasal dari manapun dengan menanggung sendiri biaya perjalanan. Namun jumlah keseluruhan anggota DRN dan non- DRN diharapkan tidak melebihi 50 orang. Oleh karena itulah Lokakarya ini disebut “Terbatas”, dan diselenggarakan pada 19 November 2007 bertempat di Gedung BPPT, Jakarta.

2.2.2. Lokakarya Terbatas Ketahanan Pangan Tema

Konsolidasi Sumberdaya Ristek Untuk Membangun Ketahanan Pangan Melalui Pengembangan Teknologi Produksi Pertanian di Lahan Kering Berbasis Tanaman Padi

Latar Belakang Padi merupakan tanaman asli Asia beriklim basah, suatu kawasan yang membentang dari Asia Selatan sampai ke Asia Timur. Oleh sebab itu sejak berabad-abad yang lalu padi menjadi tanaman utama penghasil pangan pokok bagi sebagian besar negara Asia. Setiap pemerintahan suatu negara berkewajiban memenuhi hak masyarakat atas pangan. Kewajiban tersebut oleh pemerintah Indonesia dirumuskan dalam sasaran Revitalisasi Pertanian – Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 yang antara lain dinyatakan ”terjaganya tingkat produksi beras dalam negeri dalam tingkat ketersediaan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik untuk pengamanan kemandirian pangan”. Ini berarti bahwa kekurangannya harus disediakan dari sumber non-domestik atau impor.

KOMTEK KETAHANAN PANGAN 11

Selama tahun 2005-2007 berkali-kali muncul gejolak dalam kehidupan sosial – politik kemasyarakatan yang menentang kebijakan impor beras dan kenaikan tajam harga beras. Keadaan ini memojokkan pemerintah dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi sasaran revitalisasi adalah pengakuan resmi pemerintah bahwa permintaan beras nasional belum bisa dipenuhi dari sumber domestik sehingga harus dicukupi melalui impor, suatu kebijakan yang secara politik ditentang. Di sisi lain, jika defisit ketersediaan beras tidak ditutup melalui impor akan menimbulkan gejolak dalam masyarakat dan keresahan sosial sebagai akibat dari kelangkaan dan melambungnya harga beras. Dengan demikian beras adalah komoditi pertanian yang sangat strategis penentu keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya. Ketersediaan beras dalam jumlah cukup dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat harus menjadi salah satu prioritas pembangunan pertanian. Kegagalan pemerintah menyediakan hak masyarakat atas pangan – beras akan berdampak luas terhadap kehidupan sosial politik dan ekonomi masyarakat serta gangguan terhadap ketahanan nasional. Pelajaran berharga dari rangkaian peristiwa 2005-2007 adalah tumbuhnya paradigma baru atau kesadaran baru mengenai kemandirian pangan (beras) yaitu semangat untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor dan ketersediaan beras di pasar global, atau semangat untuk swasembada beras. Selama ini kira-kira 95 persen dari produksi padi nasional dihasilkan dari sawah beririgasi dengan teknologi yang dikembangkan dan diintroduksikan sekitar pertengahan kedua tahun 1960-an, suatu teknologi yang berbasis padi moderen semi-dwarf yang hanya beradaptasi baik dan berproduksi tinggi pada lahan sawah irigasi. Sejak tahun 1980-an akhir atau awal 1990-an produktivitas dan produksi padi nasional mengalami levelling-off (pelandaian) bahkan laju kenaikan produksi rata-rata selama 2001 – 2006 lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk. Kemandirian pangan atau swasembada beras sukar bisa diwujudkan apabila penyediaan beras nasional hanya bertumpu pada teknologi padi di lahan sawah irigasi. Lokakarya terbatas ini diselenggarakan untuk mendiskusikan ketersediaan sumberdaya lahan dan peluang pengembangan teknologi pemanfaatan lahan kering untuk mewujudkan kemandirian pangan yang berkelanjutan. Tujuan dan Sasaran Lokakarya terbatas ini diselenggarakan dengan maksud untuk menghimpun pendapat dari kalangan terbatas dalam rangka menyatukan pandangan tentang masa depan pengembangan teknologi untuk

KOMTEK KETAHANAN PANGAN 12

mengatasi kelangkaan beras di masa yang akan datang, dengan tujuan untuk :

• memperoleh dukungan politik dari penentu kebijakan dan masyarakat luas akan pentingnya pengembangan pertanian lahan kering yang di masa lalu belum mendapat perhatian sebagaimana diharapkan dan cenderung ditelantarkan terutama untuk pembangunan pertanian tanaman pangan;

• menjadikan lokakarya ini sebagai wahana berdiskusi dan penyampaian informasi yang berkaitan dengan perkembangan teknologi dan produksi padi di Indonesia, potensi dan peluang lahan kering untuk peningkatan produksi padi dan ketersediaan teknologi yang diperlukan untuk mengatasi berbagai faktor kunci pembatas produksi pertanian;

• membangun jaringan kerja atau kerja sama yang padu antar-peneliti dan antar-lembaga penelitian dalam kegiatan pengembangan teknologi pemanfaatan lahan kering secara optimal untuk produksi pertanian berbasis tanaman padi.

Sasaran lokakarya adalah terwujudnya kesepakatan untuk memadukan potensi sumberdaya ristek nasional di bidang pengembangan dan pemanfaatan teknologi produksi pertanian lahan kering untuk mewujudkan kemandirian pangan yang berkelanjutan. Kesimpulan Berdasarkan data dan informasi yang disampaikan dalam Lokakarya Terbatas Ketahanan Pangan, tanggal 19 November 2007 dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut : � Mencermati kecenderungan yang terjadi selama tahun 2000 – 2003,

diperkirakan Indonesia akan mengalami defisit produksi pangan-beras sebanyak minus 0,536 juta ton pada tahun 2009 dan akan menjadi minus 1,097 juta ton patahun 2010. Selama kurun waktu 2000 - 2003 o Laju kenaikan produktivitas + 1,0 % o Kenaikan luas area panen - 0,9% o Laju konversi lahan - 0.4% o Laju pertumbuhan penduduk + 1,49 %

� Ancaman paling serius yang akan dihadapi oleh pembangunan ketahanan pangan dalah masalah konversi lahan. Pada tahun 2004 permohonan pemerintah daerah kepada Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan alih fungsi lahan irigasi ke penggunaan non-pertanian telah mencapai 3,099 juta hektar atau kira-kira 40% dari luasan total lahan sawah. Di sisi lain ketergantungan produksi padi nasional pada lahan sawah masih sangat tinggi, kira-kira 95% dari produksi beras nasional berasal dari lahan sawah. Selain itu, upaya yang sungguh-

KOMTEK KETAHANAN PANGAN 13

sungguh untuk mengembangkan alternatif lain yang dapat diandalkan dalam mengatasi kelangkaan beras juga masih belum kelihatan nyata.

� Selama kira-kira tiga-empat dekade lahan sawah dipacu secara terus-menerus untuk berproduksi tinggi dengan input tinggi. Antara lain dalam bentuk penggunaan pupuk kimia (pupuk anorganik) dengan takaran yang semakin meningkat tanpa disertai dengan pemberian pupuk organik yang memadai. Kondisi ini mengakibatkan lahan sawah irigasi yang diusahakan intensif sampai sangat intensif dalam keadaan lelah lapar dan sakit. Gejala ke arah itu mulai terlihat pada akhir tahun 1980-an atau awal 1990-an, yaitu dalam bentuk pelandaian “levelling off” produktivitas tanaman padi sawah. Selama tiga-empat dekade yang lalu lahan sawah memikul beban berat untuk menyediakan pangan-beras dalam jumlah cukup dan terjangkau oleh daya beli masyarakat luas.

� Penurunan daya dukung sawah irigasi terhadap pembangunan ketahanan pangan mengharuskan sebagian beban berat lahan sawah segera dialihkan ke lahan kering atau sering disebut dengan lahan marginal, dan lahan sub-optimal, suatu lahan yng sarat dengan masalah dan berbagai faktor pembatas produksi pertanian. Pembangunan pertanian di masa yang akan datang dihadapkan pada pilihan yang tidak menyenangkan bagaikan makan seikat buah rambutan. Buah yang ranum berwarna merah sudah habis dikonsumsi di masa lalu maka yang tersisa adalah yang berwarna kuning dan kuning-kehijauan. Diperlukan sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengubah lahan yang kurang layak menjadi layak untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian yang subur dan produktif.

� Kontribusi lahan kering terhadap produksi beras nasional masih sangat rendah, yaitu 2,4 juta ton atau kurang dari 5%. Luas Area Panen (LAP) padi gogo baru mencapai 1.1 juta hektar atau 10% dari LAP padi nasional. Produktivitas padi gogo baru mencapai 2,26 ton/ha atau kira-kira 50% dari produktivitas padi sawah. Di sisi lain luas lahan kering yang potensial untuk perluasan pertanian padi gogo masih tersedia sekitar 7,1 juta hektar. Dengan sentuhan iptek potensi hasil padi gogo dapat ditingkatkan menjadi 7,2 ton GKG/ha di Peru; 6,8 ton GKG/ha untuk varietas Poso di Boyolali); 6,7 ton GKG/ha untuk varietas Cirata di Garut; 5.5 ton GKG/ha untuk varietas Jatiluhur yang ditanam sebagai tanaman sela hutan jati muda di Purwakarta. Hasil percoban lain yang dilakukan di Lampung selama tiga tahun di atas hamparan seluas 4 hektar milik petani dengan melibatkan partisipasi aktif para petani mampu menghasilkan padi gogo, berkisar antara 4,7 ton GKG/ha untuk varietas Situ Patenggang dan 5,4 ton GKG/ha untuk varietas Batu Tegi.

KOMTEK KETAHANAN PANGAN 14

� Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa teknologi yang diperlukan untuk pengembangan pertanian berbasis padi di lahan kering sudah tersedia. Masalah utama adalah belum adanya kemauan politik (“political will”) serta perhatian dan dukungan semua pihak untuk mengembangkan lahan kering sebagai salah satu solusi mengatasi kondisi rawan pangan beras di masa depan. Inovasi teknologi yang sudah dicapai saat ini masih perlu optimasi dan penyempurnaan. Untuk hal kedua ini hendaknya diupayakan agar sumberdaya ristek yang tersebar di berbagai lembaga litbang departemen, non-deprtemen, dan perguruan tinggi dapat dikonsolidasikan dan dipadukan dalam program-program unggulan atau program prioritas, baik untuk penelitian dasar dan terapan maupun diseminasi teknologi dan hasil penelitian.

Suasana Lokakarya “Konsolidasi Sumberdaya Ristek untuk Membangun Ketahanan Pangan

melalui Pengembangan Teknologi Produksi Pertanian di Lahan Kering Berbasis Tanaman Padi” yang diadakan oleh Komtek Ketahanan Pangan DRN, 19 November 2007.

Rekomendasi

Berdasarkan pandangan kesimpulan dan saran yang berkembang selama lokakarya, Komisi Teknis Ketahanan Pangan – Dewan Riset Nasional merekomendasikan dua hal berikut :

• Pengembangan lahan kering dalam rangka membangun ketahanan pangan adalah suatu program besar yang bersifat strategis. Keberhasilan pengembangan produksi pertanian di lahan kering memiliki dampak yang sangat luas, bukan hanya terbatas pada penyediaan pangan beras secara cukup dan berkelanjutan tetapi juga untuk mengangkat taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat dan petani lahan kering (yang umumnya masih tertinggal dibandingkan masyarakat dan petani lahan sawah), mengurangi jumlah penduduk

KOMTEK KETAHANAN PANGAN 15

miskin, dan memacu pembangunan pedesaan. Oleh sebab itu Lokakarya Ketahanan Pangan merekomendasikan agar program Pengembangan Lahan Kering untuk Membangun Ketahanan Pangan dapat diangkat ke level yang lebih tinggi sehingga menjadi kemauan politik (“political will”) baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif dan komponen masyarakat lainnya.

• Upaya untuk melakukan konsolidasi sumberdaya ristek yang tersebar

di berbagai lembaga litbang harus ditindaklanjuti dengan program aksi yang jelas dan terukur. Potensi sumberdaya ristek yang tersebar harus dipadukan dalam suatu program prioritas (perlu segera dirumuskan). Komisi Teknis Ketahanan Pangan merekomendasikan agar DRN dapat mengambil prakarsa untuk tindak lanjut yang telah disepakati serta disarankan oleh peserta lokakarya.

KOMTEK KETAHANAN PANGAN

16

Bab Isu Aktual ini memuat tiga tulisan yang merupakan pandangan atau opini pribadi Anggota Komisi Teknis Ketahanan Pangan – Dewan Riset Nasional tentang permasalahan dan kondisi perberasan nasional akhir-akhir ini. Ketiga tulisan tersebut adalah :

3.1 PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI BERAS DUA JUTA TON/TAHUN

KERAGAAN PRODUKSI PADI

Produksi padi tahun 2006 diperkirakan mencapai 54,66 juta ton GKG (Gabah Kering Giling) atau setara dengan 35,53 juta ton beras (asumsi rendemen 65%). Tabel 1 menunjukkan angka ramalan (Anram) BPS, 2006 produksi padi naik sebesar 0,95% terhadap produksi tahun 2005. Kenaikan produktivitas padi karena intensifikasi sebesar 0,81% menjadi 4,61 ton/Ha dan kenaikan berasal dari peningkatan luas panen (ekstensifikasi) sebesar 0,13% menjadi 11.854.911 Ha.

Tabel 1. Produksi, luas panen, dan produktivitas padi 2001-2006

Uraian 2001 2002 2003 2004 2005 2006* Pertum-

buhan (%)

Produksi GKG (000

Ton)

50.461 51.490 52.138 53.907 53.985 54.660 0.9

Luas Panen

( 000 Ha)

11.288 11.442 11.534 11.874 11.840 11.855 0,1

Produktiv-itas

(Ton/Ha)

4,47 4,5 4,52 4,54 4,56 4,61 0.8

*) ANRAM III BPS, 2006

Pertumbuhan (kenaikan) rata-rata produksi padi periode 2001-2006 sebesar 0,9% merupakan pertumbuhan produksi terendah jika dibandingkan dengan periode 1990-2000 (1,47%/tahun) dan periode 1980-1990 (4,34%/tahun). Hal ini menunjukkan bahwa akhir-khir ini kemampuan

KOMTEK KETAHANAN PANGAN

17

produksi padi nasional menurun, tidak dapat mengimbangi kenaikan konsumsi beras (2%) yang disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi beras per kapita. Kondisi ini memaksa Indonesia harus mengimpor beras sebanyak rata-rata dua juta ton/tahun. KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI BERAS Upaya membangun kemandirian dan ketahanan pangan, atau bahkan untuk mampu berkontribusi pada pengurangan angka kelaparan dunia, maka pemerintah seyogyanya lebih mengutamakan untuk mendorong program peningkatan produksi padi/beras di dalam negeri daripada harus mengimpor. Peningkatan produksi beras di dalam negeri selain memberi manfaat pada penghematan devisa nasional, juga dapat membuka kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan. Peningkatan produksi beras sebanyak dua juta ton / tahun mempunyai makna bahwa produksi padi tahun 2007 harus meningkat sebanyak 5,6% terhadap produksi tahun 2006 yaitu 54,66 juta ton GKG atau setara dengan 33,53 juta ton beras. Target kenaikan produksi beras sebanyak dua juta ton merupakan target yang terlalu optimis (sangat tinggi) karena pertumbuhan produksi tertinggi yang pernah dicapai (1980-1990) hanya sebesar 4,34%. Hal penting yang perlu digarisbawahi adalah bahwa peningkatan produksi beras seyogyanya memberi dampak terhadap peningkatan kesejahteraan petani produsen. Selama ini kesejahteraan petani cenderung menurun sebagaimana diindikasikan dengan penurunan nilai tukar petani. Nilai tukar pada bulan Agustus 2006 turun 0,53% dari 103,15 dalam bulan Juli 2006 menjadi 102,6 dalam bulan Agustus 2006 (BPS, 2006). Bahkan bila dibandingkan dengan tahun 1995 dan 2001 kondisi kesejahteraan petani saat ini sangat merosot karena nilai tukar petani tahun 1995 mencapai 120 sedangkan tahun 2001 mencapai 150. Dengan demikian berarti kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) terhadap gabah kering giling (GKG) (Rp. 2250/kg dan gabah kering panen (GKP) (Rp 1730/kg) masih belum mampu mengimbangi kenaikan input produksi dan harga barang dan jasa lainnya.

SKENARIO PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI BERAS DUA JUTA TON/ TAHUN Peningkatan produksi beras sebesar dua juta ton/tahun dapat dicapai dengan program khusus pemerintah yang mengacu program peningkatan produksi padi pada era tahun 80-an meliputi program utama on farm

KOMTEK KETAHANAN PANGAN

18

mencakup intensifikasi khusus (Insus) dan ekstensifikasi serta program pendukung (a.l. insentif dan subsidi). a. Program Utama Peningkatan produksi beras sebesar 2 juta atau 5,6% per tahun secara teknis (on farm) dapat dilakukan dengan 3 (tiga) skenario (Tabel. 2) yaitu a) peningkatan produktivitas padi melalui program intensifikasi khusus (Skenario 1), b) perluasan areal padi melalui ektensifikasi (Skenario 2), dan c) kombinasi antara intensifikasi dan ekstensfikasi (Skenario 3).

Tabel 2. Kebutuhan areal tanaman padi untuk kenaikan produksi beras sebesar 2 juta ton/tahun dengan 3 skenario

Skenario

Kebutuhan Areal (Ha) per tahun Kenaikan Produksi beras

(juta ton) Priori-tas*) Intensifikasi Ekstensifikasi

1 641.025 - 2 2 2 - 769.230 2 3 3 448.718 230.769 2 1

*) ditetapkan berdasarkan biaya minimum, kemudahan pelaksanaan dan pengalaman program peningkatan produksi 1980-2006

Skenario 1. Peningkatan produktivitas padi melalui intensifikasi khusus (INSUS) pada areal padi yang telah ada dengan input produksi khusus : benih unggul dengan produktivitas tinggi, pupuk berimbang dan efisien (precision farming) serta pengendalian hama dan penyakit (PHT). Dengan benih padi hibrida atau benih unggul hasil rekayasa BATAN (Mira-1), produktivitas padi dapat mencapai minimal 7 ton/Ha GKG, setara dengan 4.55 ton beras/ha atau naik sebesar 52% dari produktivitas padi saat ini. Insus dilakukan pada areal beririgasi teknis baik di Jawa maupun luar Jawa dengan intensitas tanam minimal 2 kali per tahun. Jika alternatif ini yang dipilih maka diperlukan areal Insus seluas 641,25 hektar atau 5,4 % dari total luas panen tanaman padi yang ada (11.854.911 Ha). Dengan demikian untuk peningkatan produksi luas sebanyak dua juta ton, setiap tahun diperlukan peningkatan areal Insus sebesar 641.025 hektar. Skenario 2. Program ekstensifikasi melalui pencetakan sawah baru atau padi ladang. Program ekstensifikasi disarankan dilakukan di luar Jawa karena potensi lahan kering di luar jawa diperkirakan mencapai 31 juta Ha, Ekstensifikasi dapat dilakukan di propinsi yang kaya dan luas seperti Kalimantan, Jambi, Irian Jaya dan Sumatera Selatan.

KOMTEK KETAHANAN PANGAN

19

Apabila skenario ini yang dipilih, maka lahan yang diperlukan untuk perluasan areal padi adalah 769.230 Ha/tahun dengan asumsi satu kali tanam padi setahun dengan produktivitas padi rata-rata 2,6 ton beras/Ha. Apabila areal padi yang dikembangkan beririgasi teknis, maka perluasan areal menjadi separuhnya (384.615 Ha) karena penanaman padi dapat dilakukan dua kali/tahun. Untuk menunjang peningkatan produksi padi di lahan kering, LIPI sedang mengembangkan benih padi yang tahan terhadap kekeringan dan tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik (dalam tahap uji multilokasi). BPPT juga telah siap dengan teknologi budidaya padi di lahan lebak yang banyak terdapat di luar Jawa. Skenario 3. Peningkatan produksi beras sebesar dua juta ton/tahun juga dapat dilakukan dengan melaksanakan kombinasi program intensifikasi dan ekstensifikasi dengan perbandingan 70% dan 30%. Untuk alternatif ini, lahan Insus yang diperlukan seluas 448.718 Ha/tahun, dan untuk ekstensifikasi diperlukan 230.769 Ha untuk padi ladang atau 115.385 Ha untuk padi sawah. Dari ketiga skenario ini, Skenario 3 merupakan skenario terbaik dilihat dari sudut biaya dan kemudahan pelaksanaan serta pengalaman dari melaksanakan program peningkatan produksi selama 1980-2006. b. Program Pendukung Pelaksanaan program utama peningkatan produksi beras sebanyak dua juta ton/tahun masih perlu didukung oleh program lainnya antara lain a) program peningkatan teknologi pasca panen padi (off farm) untuk mengurangi susut, b) program diversifikasi pangan untuk mengurangi konsumsi beras (saat ini konsumsi beras per kapita Indonesia paling tinggi di dunia, 137 kg/kapita/tahun) untuk mengurangi tekanan permintaan terhadap beras (on dan off farm) c) peningkatan skema insentif untuk petani produsen, d) kebijakan tarif untuk perlindungan usaha tani padi dan e) peningkatan manajemen pangan nasional (Tabel 3).

KOMTEK KETAHANAN PANGAN

20

Tabel 3. Program pendukung peningkatan produksi beras 2 juta ton/tahun

No Program Substansi

1 Peningkatan Teknologi Pascapanen Padi (off farm)

Adopsi teknologi pascapanen padi (alat dan mesin) untuk mengurangi susut dan meningkatkan nilai tambah

2 Diversifikasi pangan pokok alternatif (on dan off farm)

Penganekaragaman pangan pokok baik horizontal maupun vertikal untuk mengurangi konsumsi beras

3 Skema insentif untuk petani produsen di on dan off farm

Harga Pembelian Pemerintah yang wajar, subsidi langsung saprodi, insentif pascapanen kepada petani

4 Kebijakan tarif Tarif bea masuk impor yang wajar untuk melindungi petani

5 Manajemen Pangan/beras Penyediaan data yang akurat, pengaturan dan pengawasan yang lebih baik pada semua lini distribusi, perdagangan dan impor sarana produksi dan beras serta penguatan koordinasi kelembagaan pangan.

KEBIJAKAN RISET DAN TEKNOLOGI UNTUK MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKSI BERAS

KNRT telah menyusun roadmap teknologi peningkatan produksi padi hingga tahun 2025. Pada rentang 2005-2009 dan 2010-2015 laju produksi padi diharapkan dapat mengikuti laju konsumsi sehingga swasembada beras dapat dipertahankan. Pada tahun 2016-2025, produksi padi/beras ditargetkan lebih besar dari konsumsi sehingga kelebihan beras dapat diekspor. Program dan Capaian kegiatan Ristek peningkatan produksi padi disajikan pada Tabel 4.

KOMTEK KETAHANAN PANGAN

21

Tabel 4. Program Ristek untuk Padi dan Capaian hingga saat ini

Program Capaian Lembaga

On Farm

Peningkatan Produktivitas padi : benih unggul, pupuk hayati, good agricultural practices

� Benih padi: Mira-1 (>7 ton/Ha), Diahsuci dll

� Benih padi tahan kekeringan, tahan penyakit blast (uji multilokasi)

� Pupuk Hayati

� Teknologi budidaya lahan Lebak

� Precision Farming

BATAN

LIPI

BPPT, BATAN

BPPT BPPT

Off Farm (Pascapanen)

Pengurangan susut, peningkatan mutu dan nilai tambah

� Mesin Perontok Padi

� Mesin Pengering Gabah

BPPT, LIPI

Diversifikasi Pangan Pokok Alternatif (RUSNAS) – on dan off farm

Benih unggul, budidaya, pascapanen, sosio-ekonomi

� Mie jagung instant, tepung ubi jalar, nasi jagung instant, dan bassang instan

BPPT, IPB, UNHAS

Pendukung (on farm) � Teknologi pemantauan iklim

� Teknologi Modifikasi Cuaca

LAPAN BPPT

Jakarta, 2007

Prof. Dr. Ir. Tien R. Muhtadi Anggota Dewan Riset Nasional/

Komisi Teknis Ketahanan Pangan

KOMTEK KETAHANAN PANGAN

22

3.2 PADI HIBRIDA: Apakah ini jawabnya? Salah satu tantangan paling besar di sektor pertanian pada saat ini adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras nasional dari produksi dalam negeri. Konsumsi beras akan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, karena sampai saat ini upaya diversifikasi pangan pokok (sumber karbohidrat) belum membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Dari sisi lain pertumbuhan produksi padi nasional mulai menunjukkan gejala stagnan. Pada era tahun 2000-an ini, hanya meningkat rata-rata kurang dari 1% per tahun. Lebih rendah dibandingkan pada dasawarsa 90-an yang rata-rata meningkat 1,47% per tahun dan jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode tahun 80-an, di mana pertumbuhan produksi rata-rata mencapai 4,34% per tahun. Pelambanan laju peningkatan produksi padi nasional berkaitan dengan beberapa faktor: Pertama, tidak bertambahnya luas lahan budidaya padi selama periode tahun 2000-an, maknanya adalah upaya perluasan lahan budidaya padi hanya sebanding dengan laju konversi lahan produktif untuk kepentingan non-pertanian. Total luas panen tanaman padi hanya bervariasi sedikit di sekitar 11,5 juta hektar, hanya meningkat sebesar 0,1% selama periode 2001 sampai 2006. Kedua, upaya untuk meningkatkan produktivitas masih menghadapi berbagai kendala, baik teknis-agronomis maupun sosial-ekonomi-budaya. Produktivitas padi rata-rata saat ini hanya sekitar 4,5 ton/hektar, masih jauh dibawah potensi hasil varietas padi unggul yang telah dilepas yang berkisar antara 6,0 - 9,0 ton/hektar. Varietas unggul yang paling banyak dibudidayakan petani adalah IR64 (introduksi dari IRRI) yang dilepas pada tahun 1986 dengan potensi hasil yang tidak terlalu tinggi, yakni hanya 6,0 ton/hektar. Dihadapkan pada dua kondisi utama ini: kelambanan perluasan lahan dan kesulitan dalam meningkatkan produktivitas lahan, maka muncul gagasan untuk menggunakan padi hibrida sebagai alternatif pilihan dalam upaya meningkatkan produksi padi nasional, paling tidak untuk menjawab tantangan meningkatkan produksi beras sebesar 2 juta ton pada tahun 2007 ini, sebagaimana yang telah dicanangkan pemerintah. Pilihan untuk penggunaan padi hibrida lebih banyak didasarkan atas potensi hasilnya yang sangat tinggi, yakni sekitar 12 – 15 ton/hektar.

KOMTEK KETAHANAN PANGAN

23

Mengenali padi hibrida. Padi hibrida merupakan hasil persilangan dari dua induk (genetically-fixed varieties) yang mampu menunjukkan sifat superior (efek heterosis), terutama potensi hasilnya. Akan tetapi efek heterosis ini akan hilang pada generasi berikutnya. Oleh sebab itu, benih yang dihasilkan padi hibrida tidak dapat digunakan sebagai benih untuk musim tanam berikutnya. Hal ini menyebabkan bisnis benih hibrida menjadi menarik, karena petani akan tergantung pada pasokan benih dari produsennya. Padi merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri (self-pollinated) dimana serbuk sari dan ovarium dihasilkan pada bunga yang sama. Oleh sebab itu, diperlukan tanaman jantan-steril sebagai salah satu induk agar proses hibridisasi dapat berlangsung sempurna. Pengembangan padi hibrida dimulai sekitar tahun 1970, saat ditemukan tanaman jantan steril dari populasi padi liar (Oryza sativa f. Spontanea) di Hainan, Cina. Padi liar ini disebut sebagai wild rice with abortive pollen atau disingkat padi WA. Padi WA ini disilang dengan padi lain untuk menghasilkan jantan steril yang disebut sebagai galur maintainer. Melalui proses persilangan yang diulang terus menerus (backcross) dengan induk dari galur maintainer ini diperoleh tanaman padi dengan karakter jantan steril yang stabil, yang disebut galur padi cytoplasmic male sterile atau disingkat CMS. Tanaman padi CMS ini digunakan sebagai salah satu induk untuk menghasilkan padi hibrida. Induk lainnya disebut sebagai galur restorer yang berfungsi memulihkan fertilitas galur CMS setelah disilangkan. Benih yang dihasilkan merupakan benih hibrida F1 yang mempunyai sifat superior (daya hasil tinggi), tetapi potensi hasil ini tidak dapat diturunkan ke generasi berikutnya (F2 dan seterusnya).

Hal yang perlu diantisipasi. Potensi hasil padi hibrida memang menjanjikan, tetapi apakah keunggulan tersebut tidak punya kelemahan? Ada beberapa hal nyata yang perlu diantisipasi. Pertama, benih hibrida (F1) akan menghasilkan biji (F2) yang tidak dapat digunakan kembali sebagai benih untuk musim tanam berikutnya, berarti petani akan selalu tergantung pada produsen benih hibrida. Kedua, untuk mencapai potensi hasilnya, padi hibrida membutuhkan aplikasi sarana produksi (terutama pupuk) dan infrastruktur pendukung (irigasi) yang memadai. Ketiga, pada beberapa negara, termasuk Cina, padi hibrida lebih peka terhadap hama dan penyakit, sehingga mendorong penggunaan pestisida yang lebih tinggi. Hasil kajian yang dilakukan oleh Peking University, menunjukkan bahwa peningkatan hasil dengan penggunaan padi hibrida berkaitan erat dengan

KOMTEK KETAHANAN PANGAN

24

peningkatan aplikasi agrokimia, aplikasi pupuk pada padi hibrida 43% lebih tinggi dibandingkan dengan pada padi inbrida. Aplikasi pestisida pada padi hibrida juga dilaporkan 31% lebih tinggi. Bandingkan dengan potensi peningkatan hasilnya yang berkisar antara 15-20%. Peningkatan aplikasi agrokimia akan berkorelasi langsung dengan peningkatan ongkos produksi dan berpotensi untuk meningkatkan pencemaran lingkungan. Jika harga beras tetap dipertahankan untuk stabil pada posisi sekarang; sedangkan ongkos produksi meningkat -karena peningkatan kuantitas dan harga pupuk dan pestisida yang diaplikasikan, ditambah biaya benih hibrida- maka kegiatan budidaya padi akan semakin tidak menarik bagi petani. Untuk menggenjot peningkatan produksi beras agar status swasembada kembali dapat diraih, Pemerintah telah mencanangkan empat strategi, yakni : [1] perbaikian mutu benih dengan menggenjot penggunaan padi hibrida, [2] perbaikan sarana irigasi, [3] sosialisasi teknologi dan pendidikan bagi petani, dan [4] penyaluran inovasi baru ke lapangan. Untuk upaya perbaikan mutu benih yang digunakan dalam proses produksi, telah disiapkan dana untuk subsidi benih dan untuk perbaikan sarana irigasi telah dialokasikan anggaran yang cukup signifikan. Langkah ini tidak keliru, tetapi mungkin belum secara langsung menjangkau permasalahan yang sangat fundamental, yakni: produksi padi hanya akan meningkat jika peran petani dalam proses produksi ini dioptimalkan. Peran petani hanya akan optimal jika ada insentif baginya agar tingkat kesejahteraannya meningkat. Bahasa sederhananya adalah jika petani memperoleh peningkatan pendapatan dari partisipasinya dalam kegiatan produksi tersebut. Alternatifnya adalah jika harga beras akan dipertahankan maka ongkos produksi harus diturunkan. Operasionalisasinya adalah Pemerintah mensubsidi biaya benih, pupuk, dan pestisida. Jika pilihannya adalah padi hibrida, maka patut diantisipasi bahwa nilai subsidi ini akan semakin besar. Alternatif lainnya adalah melepaskan kendali harga beras, maknanya harga beras akan meningkat. Pilihan ini agaknya akan kecil kemungkinan untuk dipilih, karena ongkos politiknya terlalu mahal. Pilihan untuk memberikan subsidi juga tidak bisa secara parsial, misalnya hanya mensubsidi biaya benih, plus memperbaiki sarana irigasi, tetapi membebankan biaya pupuk dan pestisida kepada petani. Jika hal ini dilakukan, maka ada kemungkinan benih hibrida akan ditanam oleh petani tetapi kemudian pupuk dan pestisida yang dibutuhkan tidak diaplikasikan

KOMTEK KETAHANAN PANGAN

25

oleh petani karena keterbatasan kemampuan finansialnya. Akibatnya, potensi hasil yang tinggi dari padi hibrida tidak akan menjadi kenyataan di lapangan, -malah jika nasib lagi sial- padi hibrida ini puso karena diserang hama dan penyakit. Masih ada satu pertanyaan yang tersisa, yakni: apakah subsidi untuk benih hibrida ini adalah subsidi untuk petani atau subsidi untuk industri benih melalui petani?

Jakarta, 2007

Benyamin Lakitan

Anggota Dewan Riset Nasional/ Ketua Komisi Teknis Ketahanan Pangan

Penulis dapat dihubungi melalui [email protected]

KOMTEK KETAHANAN PANGAN

26

3.3 MEMBANGUN KEMBALI SWA SEMBADA BERAS Menyediakan pangan bagi penduduk yang jumlahnya terus bertambah merupakan perjuangan tanpa henti, bagaikan berlari kencang dalam sebuah jentera raksasa. Setiap kali kita berhasil maju beberapa langkah ke depan pada saat yang hampir bersamaan sudah berada kembali di tempat awal. Pada saat sebuah negara berhasil mencapai swasembada pangan, pada saat itu pula negara tersebut sudah berada kembali di tepian kondisi ketidak-seimbangan antara produksi dan konsumsi pangan. Revitalisasi Semangat Lama Saya menggunakan istilah “membangun kembali” dalam penyampaian pandangan saya untuk mengingatkan semua pihak bahwa di masa lalu pemerintah dan masyarakat pernah berjuang bersama membangun pertanian Indonesia dengan sasaran swa sembada beras. Sasaran tersebut diperjuangkan bersama dan berhasil dicapai tahun 1984. Setelah lebih dari 20 tahun, sasaran tersebut harus diperjuangkan kembali oleh generasi penerus. Pada saat itu upaya meningkatkan produksi pangan-beras dilaksanakan dengan program Swa Sembada Beras (SSB) dan program Swa Sembada Bahan Makanan (SSBM). Dalam perkembangan selanjutnya istilah swa sembada mulai jarang atau tidak pernah digunakan lagi dalam bahasa perencanaan pembangunan pertanian diganti dengan istilah ketahanan dan kemandirian pangan yang lebih lentur dan dinamis. Mereka yang patriotik merasa lebih nyaman menggunakan istilah kedaulatan pangan. Cita-cita dan semangat swa sembada beras menjadi kian meredup. Sejak merebaknya isu kontra impor beras dan heboh kenaikan tajam harga beras, cita-cita dan semangat tersebut mulai digelorakan kembali oleh para pakar dan pemerhati pertanian, tokoh organisasi tani, dan politisi. Tidak dapat dipungkiri lagi, bagi negara yang bergantung pada beras sebagai bahan pangan pokok, beras merupakan komoditi pertanian yang sangat strategis dan menjadi penentu bagi keberhasilan program pembangunan pertanian. Keberhasilan pemerintah meningkatkan produksi pertanian dan komoditi pangan non-beras menjadi kurang bermakna untuk masyarakat luas apabila pemerintah gagal menyediakan pangan-beras dalam jumlah cukup dengan harga stabil dan terjangkau oleh masyarakat luas. Menyediakan pangan-beras adalah sebuah perjuangan tanpa henti, karena itu harus terus menjadi fokus pembangunan pertanian.

KOMTEK KETAHANAN PANGAN

27

Pengembaraan di Alam Maya Sebagaimana umumnya peneliti yang berhati lugu tetapi berpikir rasional, saya mencoba menerawang ke depan sambil mengembara dalam alam maya, alam hipotetik untuk melihat suatu permasalahan dengan jernih, kemudian disusul dengan merangkai dugaan, asumsi, ataupun hipotesis berkaitan dengan kebijakan impor dan kenaikan harga beras, yang keduanya saling berhubungan. Pada saat yang sama saya mencoba memikirkan solusi yang tepat guna mengatasi penyebab timbulnya kebijakan yang kontroversial ini. Selama pengembaraan di alam hepotetik tersebut saya menduga kuat bahwa kebijakan impor beras dan kenaikan harga beras dipicu oleh ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi, walaupun banyak kalangan berpendapat cadangan beras di masyarakat masih melimpah. Situasi saat ini sudah sangat berbeda dengar kondisi tahun 1984. Saat itu Indonesia bisa memberikan bantuan pangan kepada negara Afrika yang mengalami krisis pangan karena dilanda kekeringan. Sejak akhir abad lalu pertumbuhan produksi beras mulai tidak seimbang dengan kecepatan pertambahan jumlah penduduk. Kebijakan impor beras merupakan upaya pemerintah mengatasi kesenjangan tersebut. Pada suatu kesempatan tertentu, saya pernah mengajukan pertanyaan kepada seorang rekan yang praktisi lapangan dan sekaligus juga penggerak asosiasi petani yang kurang setuju dengan kebijakan impor beras. Saya minta kepadanya agar pertanyaan saya dijawab dengan jujur berdasarkan suara hati nurani. Pertanyaan saya adalah, “Apakah produksi beras domestik bisa mencukupi kebutuhan konsumsi nasional?”. Dia menjawab lirih sambil tersenyum, “Tidak, Pak”. Di akhir pengembaraan, saya hanya berharap agar solusi melalui impor beras hanya bersifat sementara, kebijakan darurat yang berjangka dekat-menengah. Semua orang paham, cara ini merupakan solusi yang paling mudah dan juga murah tidak memerlukan perjuangan dan kerja keras (asal punya uang dan beras di pasar tersedia). Membangun kemandirian pangan dengan tetap bergantung pada impor merupakan kemandirian yang semu dan rawan, karena dalam jangka menengah panjang pasokan beras ke pasar global akan terus menyusut, selain itu harga beras di pasar bebas juga akan terus merambat naik. Pengembaraan saya berbuah dengan suatu sikap, bahwa pemerintah dan seluruh komponen bangsa harus berjuang bersama dengan segala daya untuk mulai membangun kembali keadaan swa sembada beras

KOMTEK KETAHANAN PANGAN

28

secepatnya, jika tidak maka keamanan pangan hanya tersedia bagi si kaya tetapi menjadi suatu kemewahan bagi si miskin. Setiap upaya pembangunan harus diarahkan kepada peningkatan produksi pangan domestik agar ketergantungan pada impor makin berkurang. Pengembangan Teknologi Asumsi dugaan dan solusi yang dikembangkan di alam maya atau alam hipotetik menjadi pandu dalam penjelajahan saya di alam nyata. Saya mencoba menengok ke belakang mencermati hal-hal penting yang terjadi sebelum dan setelah Indonesia mencapai kondisi swa sembada beras. Data fakta dan informasi yang terkumpul selama penjelajahan dan eksplorasi tersebut saya rangkai menjadi instrumen untuk menguak misteri di balik kebijakan impor beras. Dengan data dan informasi tersebut saya juga menatap ke masa depan memikirkan arah pengembangan teknologi yang diperlukan untuk mendukdung perjuangan bersama mewujudkan kembali Indonesia swa sembada beras. Sebanyak 95% produksi beras nasional berasal dari lahan sawah, dihasilkan dengan menggunakan teknologi produksi yang dikembangkan tahun 1960-an, suatu teknologi yang berbasis padi moderen-semidwarf. IR-8 (di Indonesia dikenal dengan nama PB-8) merupakan varietas padi moderen-semidwarf pertama yang dirakit dan diintroduksikan oleh IRRI (International Rice Research Institute) pada tahun 1966. Keberhasilan peneliti IRRI ini menjadi awal dari bergulirnya Revolusi Hijau di Asia. Teknologi ini difokuskan pada empat komponen dasar: (1) introduksi padi moderen menggantikan padi tradisional yang telah ada, varietas padi moderen memiliki daya hasil tinggi dan responsif terhadap N; (2) peningkatan penggunaan pupuk mineral, terutama N; (3) pengunaan bahan kimia untuk perlindungan tanaman; dan (4) pembangunan dan rehabilitasi infra struktur irigasi. Varietas padi moderen-semidwarf hanya beradaptasi dengan baik pada lingkungan sawah irigasi atau sawah tadah hujan dengan drainase baik. Faktor kunci yang menentukan keberhasilan introduksi padi moderen adalah peningkatan penggunaan pupuk dan infrastruktur irigasi. Sampai tahun 1987 adopsi padi moderen telah mencapai 76% dari total area pertanaman padi di Indonesia, melampaui total luas sawah beririgasi, yaitu 73%. Penggunaan pupuk NPK (dalam kg unsur) sudah mencapai 137 kg/ha, lebih tinggi dari Cina (kira-kira 100 kg/ha), dua kali lebih banyak dari Bangladesh dan delapan kali lebih banyak dari India. Bangladesh, Cina, India, dan Indonesia menyerap 70% produksi padi dunia.

KOMTEK KETAHANAN PANGAN

29

Dengan demikian secara umum dapat dikatakan petani Indonesia telah mengelola lahan sawahnya secara intensif sampai sangat intensif. Varietas moderen yang dilepas setelah IR-8 memiliki daya hasil yang lebih rendah tetapi memiliki sifat tertentu yang lebih baik seperti kualitas beras, berumur lebih genjah, dan lebih tahan terhadap hama dan penyakit sehingga berkontribusi besar terhadap peluasan tanaman padi moderen. Dampak Pemanfaatan Teknologi Adopsi padi moderen dan introduksi teknologi revolusi hijau berhasil meningkatkan produksi padi nasional dari 19,1 juta ton pada tahun 1969-71 menjadi 44,9 juta ton (1989-1991). Dalam kurun waktu yang sama produktivitas meningkat dari 2,4 ton/ha menjadi 4,3 ton/ha. Setelah masa itu baik produktivitas maupun produksi padi nasional tidak banyak berubah. Laju kenaikan produktivitas sangat lambat 4,3 ton/ha (1990); 4,4 ton/ha (2000) dan 4,6 ton/ha pada tahun 2006. Demikian pula dengan kenaikan produksi, yaitu secara berturut-turut 44,9 juta ton; 51,9 juta ton; dan 54,7 juta ton. Selama tujuh tahun (2000-2006) laju kenaikan produktivitas hanya kira-kira 0,7% sedangkan untuk produksi kira-kira 0,8% jauh di bawah laju perkiraan pertumbuhan penduduk, 1,3%. Data dan fakta ini menjelaskan bahwa impor beras merupakan kebijakan atau upaya darurat yang tidak mungkin dihindari. Proyek pengembangan lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan Tengah tahun 1995 merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi secepatnya masalah ketimpangan antara produksi dan konsumsi beras nasional. Pada saat itu Indonesia sudah mengimpor beras sebanyak dua juta ton setiap tahun. Secara tersirat kebijakan impor beras juga tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2004-2009). Dalam dokumen tersebut sasaran Revitalisasi Pertanian dinyatakan terjaganya tingkat produksi beras dalam negeri pada tingkat ketersediaan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik untuk pengamanan kemandirian pangan. Ini berarti bahwa kekurangannya sebanyak 10 persen atau kurang harus disediakan dari sumber non-domestik atau impor. Saat ini semua potensi empat komponen dasar teknologi produksi padi yang dikembangkan tahun 1960-an sudah dimanfaatkan. Namun para petani, terutama di Jawa masih terus berusaha menggenjot produktivitas tanaman padinya melalui peningkatan penggunaan pupuk N dengan takaran yang tidak masuk akal, misalnya di Jombang 500 kg/ha, setara 225 N/ha (Kompas 11 April 2007).

KOMTEK KETAHANAN PANGAN

30

Tahun lalu saya diberi tahu oleh praktisi lapangan bahwa petani Sragen memupuk tanaman padinya dengan takaran 600 kg urea /ha. Saya lebih terkejut lagi setelah doktor ilmu tanah, yang juga seorang mantan peneliti utama menyatakan bahwa di Nganjuk petani menggunakan pupuk urea dengan takaran satu ton/ha. Berbagai upaya sudah dilakukan oleh para petani, setiap saat teknologi segar dan hasil penelitian baru dialirkan ke lahan sawah tetapi baik produktivitas maupun produksi padi tidak banyak berubah. Pemanfaatan teknologi produksi padi sawah berbasis padi moderen-semidwarf sudah mencapai puncaknya di abad lalu. Tantangan Persoalan mendesak dan tantangan nyata pertanian Indonesia saat ini bukan masalah impor atau tidak impor beras, tetapi mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor beras dari pasar global dan membangun kembali swa sembada beras. Upaya serius ke arah itu ialah dengan mengatasi kesenjangan yang telah ada antara produksi dan konsumsi beras nasional dengan program peningkatan produksi beras sebanayak dua juta ton (setara dengan kira-kira 3,3 ton gabah kering giling) pada tahun 2007. suatu target kenaikan rata-rata tahunan tertinggi dalam sejarah perpadian Indonesia.

Target kenaikan produksi beras sebanyak itu sangat sukar bisa dicapai, dengan pertimbangan berikut : 1. Teknologi produksi. Hampir seluruh produksi padi nasional (+ 95%)

dihasilkan dari sawah irigasi dengan menggunakan teknologi yang berbasis padi moderen-semidwarf. Semua potensi empat komponen dasar dari teknologi yang dikembangkan tahun 1960-an tersebut sudah dimanfaatkan. Teknologi ini sudah mencapai puncak kemanfaatannya pada dekade akhir abad lalu. Petani Jawa masih terus berusaha

KOMTEK KETAHANAN PANGAN

31

mengenjot produktivitas tanamannya dengan meningkatkan takaran pupuk N, 2,5 – 5 kali takaran wajar, tetapi dalam tujuh tahun terakhir laju kenaikan rata-rata dari produktivitas dan produksi padi nasional berturut-turut hanya sekitar 0,7 dan 0,8%.

2. Perluasan sawah irigasi. Selain pengunaan pupuk, faktor lain yang

menjadi kunci keberhasilan introduksi dan adopsi teknologi padi moderen adalah pembangunan dan rehabilitasi infra struktur irigasi. Di masa lalu, dalam pelaksanaan program swa sembada beras pemerintah telah mengeluarkan investasi yang sangat besar untuk membangun waduk bendungan dan memperluas jaringan irigasi. Atas dasar pertimbangan ini saya berpendapat peluang besar ini, yang mungkin masih sangat terbuka bagi keberhasilan program peningkatan produksi beras dua juta ton tahun 2007, akan terkendala waktu dan kelangkaan dana publik yang diperlukan untuk itu.

3. Alih fungsi lahan. Kompas 9 April 2007 memuat berita tentang

permohonan konversi lahan irigasi ke Badan Pertanahan Nasional untuk penggunaan non-pertanian telah mencapai 3,099 juta hektar per 2004. Membaca berita ini bagaikan mendengar bunyi lonceng kematian bagi semangat kemandirian bangsa (di bidang pangan) yang ramai digelorakan oleh para pemimpin bangsa. Saya tidak percaya bahwa dunia ini penuh dihiasi dengan sikap kontroversi. Pada suatu saat masyarakatnya demo anti-impor beras tapi pada saat lain tidak peduli areal sawahnya dialih-fungsikan untuk usaha non-pertanian. Saya hampir-hampir tidak percaya bahwa saya sedang hidup di alam nyata bukan sedang hidup di sebuah “Republik Mimpi” yang rakyatnya tidak lagi makan nasi.

Berdasarkan fakta data dan informasi di atas ada suatu pandangan atau keyakinan saya yang perlu digarisbawahi, yaitu bahwa swa sembada beras yang lestari tidak mungkin diwujudkan jika hanya bertumpu pada teknologi produksi berbasis padi moderen-semidwarf. Penggunaan teknologi ini telah mencapai puncak kemanfaatannya.

Upaya keras meningkatkan produksi padi di lahan sawah akan menghadapi risiko terjadinya degradasi tanah dan penurunan kemampuan lahan sawah dalam mendukung kehidupan umat manusia. Sudah saatnya sebagian beban berat tersebut dialihkan ke lahan kering tadah hujan, suatu potensi sumberdaya alam yang dalam sejarah pertanian Indonesia diperlakukan sebagai anak tiri yang diterlantarkan, kecuali untuk pengembangan tanaman perkebunan. Ia dibiarkan dorman kurang dimanfaatkan.

KOMTEK KETAHANAN PANGAN

32

Para Peneliti Badan Litbang Pertanian dan lembaga penelitian yang lain telah merintis pengembangan teknologi pemanfaatan lahan marginal dan lahan kering tadah hujan untuk produksi pangan (beras). Hasil kegiatan tersebut dapat menjadi modal awal dalam memulai gerakan baru membangun potensi lahan kering dan lahan marginal yang lain.

Saya memimpikan Indonesia suatu saat nanti memiliki Rice Estate bukan hanya palm oil estate dengan memanfaatkan kawasan hutan yang dikonversi menjadi perkebunan sawit tetapi saat ini masih diterlantarkan. Masa depan kemandirian pangan sangat bergantung pada keberhasilan pengembangan (teknologi) pertanian lahan kering. Saat ini masyarakat Indonesia sedang menunggu berkah dari anak tiri yang diterlantarkan.

Jakarta, Mei 2007

Widjang Herry Sisworo Anggota Dewan Riset Nasional/

Komisi Teknis Ketahanan Pangan

Prof. Dr. Ir. Benyamin Lakitan Ketua Prof. Dr. Ir. Hj. Winarni Monoarfa Wakil Ketua Dr. Bambang Setiadi Anggota Prof. Dr. Endang Sukara, APU Anggota Prof. Dr. Ir. H. Roedhy Poerwanto, MSc Anggota Dr. Ir. Iin P. Handayani, MSc Anggota Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto Anggota Dr. Suwita Anggota Ir. Thomas Darmawan Anggota Prof. Dr. Tien R. Muchtadi Anggota Dr. Ir. Achmad Suryana Anggota Hasan Haris, SE., MM Anggota Dr. Ir. Saeri Sagiman, MSc Anggota Dr. Ir. Hasbi Sidik, MSc Anggota Prof. Dr. Ir. Widjang Herry Sisworo Anggota Dr. Ir. Moh. Indah Ginting Anggota Ir. Iding Chaidir Tim Asistensi