dewan perwakilan rakyat republik indonesia … filetahun sidang : 2017-2018 ... acara : 1. pandangan...

47
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT KOMISI I DPR RI Tahun Sidang : 2017-2018 Masa Persidangan : IV Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat Umum Panja Pengamanan Data Pribadi Komisi I DPR RI dengan Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Direktur Indonesia New Media Watch, dan Ketua Cyber Law Center Fakultas Hukum Universitas Padjajaran. Hari, Tanggal : Selasa, 10 April 2018 Pukul : 13.27 WIB – 16.33 WIB Sifat Rapat : Terbuka Pimpinan Rapat : Asril Hamzah Tanjung, S.IP., Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sekretaris Rapat : Suprihartini, S.IP., M.SI., Kabag Sekretariat Komisi I DPR RI Tempat : Ruang Rapat Komisi I DPR RI, Gedung Nusantara II Lt. 1, Jl. Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta 10270 Acara : 1. Pandangan dan Masukan terhadap Registrasi Data Pelanggan; 2. Saran dan Masukan terhadap Pengamanan Data Pribadi Pelanggan; 3. Pemetaan Pentingnya Pengamanan Data Pribadi Pelanggan terkait e-Commerce; 4. Potensi Ancaman Penyalahgunaan Data Pribadi dan Antisipasinya. Anggota yang Hadir : PIMPINAN: 1. Dr. H. Abdul Kharis Almasyhari (F-PKS) 2. Ir. Bambang Wuryanto, M.BA. (F-PDI Perjuangan) 3. Ir. H. Satya Widya Yudha, M.E., M.Sc. (F-PG) 4. Asril Hamzah Tanjung, S.IP. (F-Gerindra) 5. H.A. Hanafi Rais, S.IP., M.PP. (F-PAN) ANGGOTA: FRAKSI PDI-PERJUANGAN 6. Charles Honoris 7. Dr. Evita Nursanty, M.Sc. 8. Andreas Hugo Pareira FRAKSI PARTAI GOLKAR (F-PG) 9. Meutya Viada Hafid. 10. Dave Akbarshah Fikarno, M.E. 11. Bambang Atmanto Wiyogo 12. H. Andi Rio Idris Padjalangi, S.H., M.Kn. FRAKSI PARTAI GERINDRA (F-GERINDRA) 13. Martin Hutabarat 14. H. Biem Triani Benjamin, B.Sc., M.M.

Upload: phungnga

Post on 09-Jun-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RISALAH RAPAT KOMISI I DPR RI

Tahun Sidang

:

2017-2018

Masa Persidangan : IV Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat Umum Panja Pengamanan Data Pribadi

Komisi I DPR RI dengan Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Direktur Indonesia New Media Watch, dan Ketua Cyber Law Center Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.

Hari, Tanggal : Selasa, 10 April 2018 Pukul : 13.27 WIB – 16.33 WIB Sifat Rapat : Terbuka Pimpinan Rapat : Asril Hamzah Tanjung, S.IP., Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sekretaris Rapat : Suprihartini, S.IP., M.SI., Kabag Sekretariat Komisi I DPR RI Tempat : Ruang Rapat Komisi I DPR RI, Gedung Nusantara II Lt. 1,

Jl. Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta 10270 Acara : 1. Pandangan dan Masukan terhadap Registrasi Data Pelanggan;

2. Saran dan Masukan terhadap Pengamanan Data Pribadi Pelanggan;

3. Pemetaan Pentingnya Pengamanan Data Pribadi Pelanggan terkait

e-Commerce;

4. Potensi Ancaman Penyalahgunaan Data Pribadi dan Antisipasinya.

Anggota yang Hadir : PIMPINAN: 1. Dr. H. Abdul Kharis Almasyhari (F-PKS) 2. Ir. Bambang Wuryanto, M.BA. (F-PDI Perjuangan) 3. Ir. H. Satya Widya Yudha, M.E., M.Sc. (F-PG) 4. Asril Hamzah Tanjung, S.IP. (F-Gerindra) 5. H.A. Hanafi Rais, S.IP., M.PP. (F-PAN)

ANGGOTA: FRAKSI PDI-PERJUANGAN 6. Charles Honoris 7. Dr. Evita Nursanty, M.Sc. 8. Andreas Hugo Pareira

FRAKSI PARTAI GOLKAR (F-PG) 9. Meutya Viada Hafid. 10. Dave Akbarshah Fikarno, M.E. 11. Bambang Atmanto Wiyogo 12. H. Andi Rio Idris Padjalangi, S.H., M.Kn.

FRAKSI PARTAI GERINDRA (F-GERINDRA) 13. Martin Hutabarat 14. H. Biem Triani Benjamin, B.Sc., M.M.

2

15. Rachel Maryam Sayidina 16. Elnino M. Husein Mohi, S.T., M.Si.

FRAKSI PARTAI DEMOKRAT (F-PD) 17. Teuku Riefky Harsya, B.Sc., M.T. 18. Ir. Hari Kartana, M.M. 19. KRMT Roy Suryo Notodiprojo

FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL (F-PAN) 20. Ir. Alimin Abdullah 21. Budi Youyastri

FRAKSI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (F-PKB) 22. Drs. H.M. Syaiful Bahri Anshori, M.P. 23. Arvin Hakim Thoha

FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (F-PKS) 24. Dr. H. Sukamta, Ph.D.

FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (F-PPP) 25. H. Syaifullah Tamliha, S.Pi., M.S.

FRAKSI PARTAI NASIONAL DEMOKRAT (F-NASDEM) 26. Prof. Dr. Bachtiar Aly, M.A. 27. Mayjen TNI (Purn) Supiadin Aries Saputra

FRAKSI PARTAI HATI NURANI RAKYAT (F-HANURA) 28. Ir. Nurdin Tampubolon, M.M.

Anggota yang Izin : 1. Ir. Rudianto Tjen (F-PDI Perjuangan) 2. Junico BP Siahaan (F-PDI Perjuangan) 3. Bobby Adhityo Rizaldi, S.E. Ak., M.B.A., C.F.E. (F-PG) 4. Dr. H. Jazuli Juwaini, Lc., M.A. (F-PKS) 5. Moh. Arwani Thomafi (F-PPP)

Undangan

: 1. Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia, Kristiono. 2. Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat, Wahyudi Djafar. 3. Ketua Cyber Law Center Fakultas Hukum Universitas

Padjajaran, Dr. Sinta Dewi S.H. LL.M. Beserta jajaran.

3

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Ketua Komisi dan teman-teman sekalian,

Selamat datang kepada rekan-rekan kita, Ketua Umum Mastel Bapak Kris,

Direktur Lembaga Study Advokasi Masyarakat Elsam yang diwakili Deputi Riset,

Kemudian ada dari Unpad Ketua Cyber Law Center.

Sebelum kita mulai saya minta dulu rapat kita akan laksanakan terbuka atau tertutup?

Karena kalau ini untuk masyarakat ramai biasa kita terluka. Bagaimana Pak Kris? Terbuka ya.

Dengan demikian Rapat Dengar Pendapat Umum Panja Pengamanan Data Pribadi Komisi

I DPR ini dengan Kedua Mastel, dengan Ketua Cyber Law Center Fakultas Hukum Unpad, Direktur

Elsam pada Selasa, 10 April 2018 kita buka dan nyatakan terbuka.

(RAPAT DIBUKA PUKUL 13.27 WIB)

Perlu kami informasikan pada Bapak dan Ibu sekalian, bahwa Komisi I DPR RI kita ini

sudah melaksanakan Rapat Kerja berapa kali dengan Menkominfo, Rapat Dengar Pendapat

Umum dengan operator seluler pada tanggal 19 Maret 2018 dengan registrasi data pelanggan

seluler dimana pengguna kartu prabayar diwajibkan mengisi Nomor Induk Kependudukan dan

Nomor Kartu Keluarga yang telah menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat.

Mengingat kedua hal tersebut yang merupakan data pribadi dan muncul kekhawatiran di

masyarakat bahwa potensi penyalagunaan data tersebut. Ini sekarang sudah agak viral

kelihatannya, sudah macam-macam ada kebocoran, termasuk facebook ini yang dikhawatirkan.

Makanya kemarin kita sudah mengundang Rapat Dengar Pendapat dengan Dirjen Dukcapil

Kemendagri masalah menyimpan data tentang pribadi orang-orang, pertama NIK dan KK.

Sekaligus juga dengan Dirjen PPI dari Menkominfo, ini sudah agak nyambung ya.

Jadi terkait dengan sistem pengamanan data pelanggan, maka Panja tanggal 9 April telah

melaksanakan Rapat Dengar Pendapat dengan Dirjen PPI sekaligus Ketua BRTI dan Dirjen

Dukcapil Kemendagri dan terdapat sistem pengamanan data pelanggan sebagai tindak lanjut dari

Rapat Kerja dengan Menkominfo dan Rapat Dengar Pendapat dengan operator seluler tanggal 11

Maret 2018. Jadi kita agak marathon ini, setelah dengan Menteri kita juga adakan dengan para

Dirjen.

Selanjutnya pada hari ini kita melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan

Ketua Mastel, Ketua Cyber Law Center Fakultas Hukum Unpad, kemudian dengan Elsam, dalam

rangka mendapatkan pandangan dan masukan terkait dengan:

1. Registrasi data pelanggan seluler.

2. Pengamanan data pribadi pelanggan.

3. Pemetaan pentingnya pengamanan data pribadi terkait e-commerce.

4. Potensi ancaman penyalagunaan data pribadi dan antisipasinya.

Ini yang berkembang di dalam masyarakat, makanya kami sangat perlu mendapat

masukan dari teman-teman rekan-rekan dari Mastel, Ketua Cyber Law Center Fakultas Hukum

Unpad, kemudian dengan Elsam, bagaimana pandangannya tentu kita bahas Bersama. Bahan kita

nanti itu mencari solusi masalah kebocoran data ini.

Kita tanya kepada Dukcapil tidak, mereka enggak bocor, kita tanya kepada Kemenkominfo

itu operator seluler dan simpan NIK dan KK, padahal kok bisa beredar di luar. Ada yang satu nama

bisa mengakses sampai 100 registrasi ulang, inikan agak aneh ini. Saya mau mendengarkan

pendapat dari Bapak dan Ibu sekalian bagaimana sebenarnya ini menurut pendapat dari masing-

4

masing lembaga ini, sehingga kita bisa mendapatkan masukan yang mungkin lebih tajam

dibandingkan masa-masa yang lalu.

Mungkin ini akan bertambah terus dan kita susah untuk membendungnya, kita memang

perlu untuk mencari solusi kalau ada timbul timbul hal-hal yang seperti belakangan ini. Untuk kita

ketahui Bersama Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi belum ada sampai sekarang.

Kita masih dalam proses penyiapan itu untuk membuat Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi

enggak ada. Tapi kalau ini berlarut-larut kalau memang benar adanya ada kebocoran data, ini yang

dirugikan kan public kita, masyarakat karena bisa disalahgunakan.

Oleh karena itu, kita mohon silakan memaparkan, mungkin kita mulai dari Pak Ketua

Mastel dulu. Pak Kris silakan nanti urutan Ibu dari Fakultas Hukum Unpad, dan yang terakhir nanti

dari Elsam.

Silakan Bapak Kris.

KETUA UMUM MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (KRISTIONO):

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Salam sejahtera dan selamat siang.

Yang kami hormati Bapak Pimpinan Panja Komisi I DPR RI,

Yang kami hormati Bapak dan Ibu sekalian Anggota Panja Komisi I DPR RI.

Perkenankanlah kami dari Mastel menyampaikan beberapa pokok pikiran yang terkait

dengan agenda yang akan dibahas pada hari ini.

Yang pertama tentunya perkenankan kami sedikit mengenalkan tentang Mastel karena

terus terang saja kemungkinan ada Bapak dan Ibu sekalian, yang belum mengenal mengenai

Mastel. Jadi Mastel ini adalah sebenarnya lembaga peran serta masyarakat sesuai amanat

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Pasal 5 yang yang memiliki peran untuk menyampaikan

pandangan dan pemikiran dalam rangka penyusunan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan

pengendalian atas penyelenggaraan TIK di Indonesia.

Mastel berdiri tahun 1993, stakeholder yang tergabung di dalam Mastel saat ini terdiri dari

21 asosiasi, 99 perusahaan dan 607 anggota perorangan. Ruang lingkup bidang kerja Mastel

senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan industrinya. Di mana pada saat dibentuk

Mastel lebih fokus kepada aspek industri telekomunikasi. Dan pada perkembangannya setelah

terjadi konvergensi maka Mastel bergerak kebidang yang lebih luas dari telekomunikasi, yaitu

teknologi informasi dan komunikasi atau telematika. Dan saat ini berada dalam situasi yang

kemungkinan juga akan semakin berkembang, semakin lebih luas dengan terjadinya revolusi

digital yang TIK tidak lagi hanya sebagai industri tapi juga sebagai enabler dari seluruh sektor

kehidupan.

Yang keduanya bahwa terkait dengan agenda registrasi prabayar. Sebenarnya kalau kita

mengacu kepada PM 23 Tahun 2005, disana dimuat tentang tujuan dari registrasi kartu prabayar.

Yang disebutkan di dalam dalam rangka mencegah penyalahgunaan jasa telekomunikasi. Jadi

registrasi ini sendiri adalah satu proses yang memiliki tujuan untuk mencegah penyalahgunaan

jasa telekomunikasi.

Sistem registrasi yang diharapkan mampu untuk mencegah penyalahgunaan

telekomunikasi, jasa telekomunikasi adalah meliputi antara lain sebagi berikut. Yang pertama

adalah secara penuh menerapkan QWC customer. Artinya mengenal secara persis siapa

sebenarnya pelanggan atau pengguna jasa telekomunikasi tersebut. Tentunya sesuai dengan

identitas yang melekat padanya. Dan yang kedua dilakukan verifikasi, verifikasi adalah pada

5

dasarnya adalah pencocokan secara visual. Jadi bukan mencocokkan saranan nonvisual tapi

pencocokan secara visual. Jadi kita memang secara visual mencocokkan antara data NIK kalau

sekarang ini mungkin NIK, dengan orang yang bersangkutan yang menyerahkan data NIK

tersebut, apakah memang benar adanya. Jadi tekanannya adalah pada aspek pencocokan secara

visual.

Dan yang kedua tentunya setelah itu adalah proses validasi. Validasi adalah mencocokkan

data yang diserahkan oleh pengguna atau pelanggan dengan data-data yang memang sah dimiliki

oleh dalam hal ini mungkin lembaga Pemerintah. Nah, yang ketiga adalah tentunya setelah data

yang benar dan akurat tersebut terkumpul, maka kemudian persoalan berikutnya adalah

bagaimana mengamankan data tersebut secara terintegrasi

Dan yang terakhir tentunya bagian dari upaya perlindungan terhadap data pelanggan

dimaksud. Jadi perlindungan data pelanggan dimaksud sebenarnya merupakan suatu proses yang

utuh, yang terintegrasi dari mulai awal sampai dengan akhir.

Nah, di dalam kenyataannya perjalanan regulasi mengenai registrasi prabayar ini memang

mengalami perjalanan relatif panjang. Jadi dimulai dari PM Kominfo 23 Tahun 2005, dimana pada

saat itu registrasi prabayar didasarkan atas KTP, SIM, paspor atau kartu pelajar. Terus terang ini

memang tidak ideal, karena pada saat itu memang mungkin belum ada e-KTP seperti saat ini di

miliki oleh Pemerintah.

Yang kedua adalah registrasi pengguna kepada masing-masing penyelenggara jasa. Jadi

registrasi prosesnya dilakukan oleh masing-masing penyelenggara jasa, sehingga tidak mungkin

tidak memiliki kesamaan atau standar yang diberlakukan untuk seluruhannya.

Dalam perkembangannya kemudian dilakukan penyempurnaan melalui PM Kominfo

Nomor 12 Tahun 2016, untuk WNI menggunakan NIK, sedangkan untuk WNA mengunakan

paspor, Kitab atau Kitas. Dan registrasi sudah mulai diatur melalui gerai atau registrasi sendiri.

Registrasi sendiri ini yang mungkin menjadi salah satu kelemahan, karena registrasi sendiri ini

dalam konteks proses verifikasi menjadi agak kurang sempurna, karena proses verifikasi ini

sebenarnya tadi kami sampaikan di depan adalah pencocokan secara visual. Sedangkan registrasi

sendiri yang saat ini melalui satu mekanisme SMS atau mungkin media yang lain, saya rasa tidak

mungkin dilakukan pencocokan secara visual.

Yang ketiga adalah pemberlakuan ID penjual yang dikeluarkan oleh operator. Ini dalam

konteks untuk mengidentifikasi dimana titik-titik aktivasi itu dilakukan. Kemudian dalam perjalanan

berikutnya muncul PM Kominfo 14 tahun 2017 yang merupakan penyempurnaan. Jadi registrasi

pelanggan baru dan registrasi ulang melalui verifikasi validasi dengan basis data Dukcapil atau e-

KTP.

Itu tadi adalah perjalanan yang relatif panjang dari mulai 2005 sampai dengan 2017. Jadi

satu proses registrasi yang terus berkembang. Kemudian juga terdapat banyak perbaikan, yang

tentunya disesuaikan dengan situasi atau ekosistem yang tersedia pada saat itu, tapi tujuannya

tetap adalah dalam upaya mencegah penyalahgunaan jasa telekomunikasi. Jadi tidak ada

perubahan tujuan, tapi yang ada adalah proses yang memang berkembang dan terus diperbaiki

sesuai dengan kondisi sarana prasarana yang ada pada saat itu.

Pandangan umum Mastel di dalam hal ini adalah bahwa tadi saya sampaikan regulasi

registrasi prabayar ini telah mengalami perbaikan dari waktu ke waktu, sesuai kondisi industri dan

tuntutan zaman. Pada awalnya registrasi prabayar dibuat relatif sederhana untuk mendorong

tumbuhnya industri telekomunikasi dengan meningkatnya jumlah pelanggan. Jadi pada saat

industri masih muda, dimana jumlah pelanggan belum terlalu besar, maka untuk mendorong

pertumbuhan dilakukan banyak proses-proses, upaya-upaya untuk bisa mendorong lebih cepat

pertumbuhan dari industri.

Nah tentunya diperlukan banyak penyederhanaan termasuk di dalamnya di dalam proses

6

registrasi pelanggannya pun juga mungkin dilakukan penyederhanaan, supaya tidak menghambat

proses pelayanan pelanggan, supaya kemudian industri tumbuh bisa lebih cepat. Namun, tentunya

hal tersebut juga membawa resiko di dalam konteks keabsahan data pelanggan.

Kemudian muncul beberapa permasalahan seperti bisnis model yang terus menuntut

peningkatan jumlah pelanggan. Jadi bisnis model yang diadopsi oleh industri adalah lebih

berorientasi kepada membangun customer peace yang sebanyak mungkin. Yang kedua,

terbentuknya ekosistem bisnis penjualan kartu prabayar dengan Indonesia agak unik karena

jumlah kartu prabayar adalah sangat dominan 98% adalah kartu prabayar. Sedangkan pascabayar

adalah 2%. Dengan jumlah populasi prabayar yang demikian dominan dan juga jumlah pelanggan

yang juga demikian besar, maka otomatis terbentuk satu ekosistem penjualan kartu prabayar yang

juga massif di masyarakat.

Yang ketiga adalah distribusi prabayar yang tidak terkendali akibat disatukan dengan

promo paket data murah. Jadi memang ada satu bisnis model, ada satu upaya dari operator untuk

mendorong penjualan, maka melalui satu promo paket data murah. Ini berakibat juga kemudian

eskalasi penjualan di masyarakat yang juga massif.

Yang keempat adalah penggunaan sumber daya penomoran yang jauh dari efisien. Jadi

sebenarnya sumberdaya penomoran ini adalah sumber daya yang terbatas yang seharusnya

dimanfaatkan atau didistribusikan dengan pengendalian yang cukup baik, sehingga dan juga

pemanfaatan juga efektif dan efisien. Jadi tidak tidak seolah-olah diobral demikian saja karena ini

sumber yang terbatas, jadi tidak bisa seolah-olah digunakan secara sembarangan, tapi harus di

dalam kendali yang cukup baik.

Sejalan dengan kondisi industri yang sudah mulai jenuh untuk mengantisipasi potensi

penyalahgunaan jasa telekomunikasi dan adanya kebutuhan pengunaan untuk e-commerce dan

lain-lain. Maka perbaikan proses registrasi menjadi keharusan. Jadi kalau tadi saya sampaikan

dalam perkembangan industri dalam beberapa puluh tahun ini. Maka saat ini kondisi pasar seluler

terutama sebenarnya sudah pada titik jenuh. Karena jumlah pelanggan sudah lebih dari 300 juta

lebih dari jumlah penduduk, jadi sudah pada titik jenuh. Sebenarnya ini menjadi sebuah momentum

bagi industri untuk mulai tidak melakukan ekspansi secara besar-besaran, tapi lebih kepada

intensifikasi jumlah pelanggan yang sudah dimiliki. Jadi tidak lagi ekspansi dalam konteks

menambah jumlah pelanggan sebanyak mungkin, karena kondisi pasarnya sudah jenuh tapi justru

lebih banyak mengintensifikasi pelanggan yang sudah ada. Dengan cara supaya mereka semakin

banyak menggunakan sarana yang sudah dimiliki, jadi bukan jumlah pelanggannya yang naik terus

tapi justru harus mulai bisnis modelnya ke intensifikasi pelanggan bukan lagi ekstensifikasi

pelanggan

Nah ini sebenarnya menjadi satu momentum yang baik sekaligus untuk memperbaiki

registrasi pelanggan. Pencatatan data pelanggan yang jauh lebih baik yang bisa diyakini

kebenarannya, keabsahannya, baik juga dalam perlindungannya yang tentunya ini akan bisa

mencapai tujuan untuk mencegah penyalahgunaan jasa telekomunikasi.

Masukan dari Mastel yang pertama adalah mengenai sistem dan mekanisme registrasi.

Untuk penggunaan sebagai digital identity dalam e-commerce dan sebagainya, perlu beberapa

perbaikan aspek QWC. Jadi, tadi yang kami sampaikan bahwa registrasi ini suatu proses yang

penting dan terus-menerus yang dilakukan dan juga terus-menerus disempurnakan. Sebagai

bagian dari pada proses QWC karena di industri telekomunikasi saya rasa dalam

perkembangannya akan menjadi industri yang tadi enabler yang dimanfaatkan tidak hanya untuk

sekedar komunikasi tapi juga termasuk untuk nantinya sebagai alat untuk transaksi dan lain-lain,

sehingga keabsahan dan QWC dalam proses di industri telekomunikasi memang harus terus

disempurnakan. Dan ini sesuatu yang baik dan harus terus dilanjutkan dan disempurnakan untuk

mengurangi berbagai kekurangan-kekurangan yang ada.

7

Yang kedua, mengenai model bisnis operator. Sudah tidak masanya menjadikan

peningkatan jumlah pelanggan menjadi target pada era industri yang sudah semakin jenuh. Jadi

kami mengusulkan pada teman-teman operator untuk bergeser dari sekedar menambah jumlah

pelanggan tapi lebih banyak meningkatkan usage dari setiap pelanggan.

Modal bisnis operator bukan lagi menjual kartu perdana dengan harga murah. Jadi saat

ini memang fokusnya pada menjual kartu perdana dengan harga murah, sehingga ini yang juga

akan mengakibatkan mungkin ekses dalam akurasi data registrasi pelanggan. Pada prinsipnya

nomor HP adalah milik Pemerintah, maka harus ada dalam kendali Pemerintah. Jadi tadi kami

sampaikan bahwa data penomeran itu adalah sebenarnya resource yang terbatas. Jadi

sebenarnya harus tetap menjadi milik Pemerintah dan dalam kendali Pemerintah. Sedangkan

bisnis operator adalah pada pengisian ulang pulsa atau jasa pemakaian yang semakin meningkat.

Yang ketiga mengenai tata distribusi kartu prabayar. Operator harus punya kendali penuh

terhadap distribusi nomor prabayar. Jadi, karena nomor tadi memang resource yang terbatas,

maka operator harus punya kendali terhadap distribusi nomor prabayar. Prabayar hanya bisa

didistribusikan dan diregistrasikan oleh gerai milik operator atau gerai milik mitra yang diotorisasi.

Jadi ini dalam konteks untuk kembali menyempurnakan proses verifikasi yang pada dasarnya

adalah pencocokan secara visual. Sehingga akan bisa dijamin tingkat keakuratannya.

Sejalan dengan peralihan menuju elektronic simcard (E-SIM), jadi yang akan datang

sudah tidak lagi mengunakan simcard yang fisik mungkin dalam perspektif 3-5 tahun yang akan

datang. Jadi sebenarnya apa yang kita temui saat ini mungkin akan menjadi tidak valid lagi karena

dengan teknologi.

Kesempatan bisnis kartu prabayar di level outlet cepat atau lambat juga akan terdestrubsi.

Jadi sebenarnya komplikasi yang terjadi sekarang ini sebenarnya bisa mulai secara gradual kita

harus melakukan perubahan satu hal adalah tidak lagi berorientasi pada menjual kartu perdana

lagi. Sehingga penomorannya dapat lebih di optimalkan pemanfaatannya. Yang kedua dalam juga

menghadapi situasi ke depan di mana simcard secara fisikal itu sudah tidak ada lagi sehingga ini

memerlukan satu model bisnis yang berbeda. Dan ini kalau sekarang kemungkinan ada protes dari

sebagian outlet di masyarakat saya rasa ini menjadi suatu, harus menjadi sebuah kesadaran baru

bagi industri dan masyarakat ekosistem outlet untuk memperhitungkan supaya transisinya akan

berjalan secara baik begitu, tidak menimbulkan goncangan.

Yang keempat mengenai keamanan data pribadi. Perlu ada mekanisme enkripsi N to N.

Jadi saya rasa di dalam Peraturan Menteri tentang PDP juga sudah disampaikan bahwa data

pribadi itu harus dalam wujud yang terenkripsi. Tapi karena ini dikomunikasikan maka juga harus

dilakukan enkripsi secara N and N. Terhadap keamanan data yang dikirimkan dari pemilik nomor

hingga Dukcapil dimana proses validasi itu berdasarkan data yang ada di Dukcapil.

Mengenai privasi dan kepentingan pengguna. Pengguna harus punya kontrol terhadap

penggunaan dan registrasi nomor prabayar yang dimiliki termasuk batasan jumlahnya. Jadi

pengguna sendiri memiliki hak untuk itu dan harus melakukan kontrol atas hal tersebut, supaya

tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Regulasinya sistem menggunakan PM 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi

dalam sistem elektronik. Di mana mewajibkan penyelenggara sistem elektronik menerapkan ISO

27001. Perlindungan privasi dan data pengguna secara utuh harus diatur melalui Undang-Undang

PDP. Jadi kalau sekarang masih baru diatur pada tingkat Peraturan Menteri, saya rasa ini tidak

mencukupi karena sanksinya pun juga sangat lemah, sehingga memang sudah menjadi sebuah

urgensi untuk disegerakan perlunya penerbitan Undang-Undang Tentang Perlindungan Data

Pribadi.

Terakhir masukkan untuk DPR dan Pemerintah, jadi kami sampaikan untuk DPR kami

mengharapkan dapat disegerakannya proses pengundangan tentang Undang-Undang

8

Perlindungan Data Pribadi. Sedangkan untuk Pemerintah dalam menyempurnakan PM registrasi

prabayar yang kembali memperjelas tujuan yang sebenarnya sejak tahun 2005 sudah tercantum.

Yang kedua, memperkuat sistem registrasi dan QWC Jadi saya rasa ini yang harus diperkuatan

dan ini menjadi sangat penting untuk kebutuhan-kebutuhan nantinya yang lain, karena banyak

sekali sistem elektronik yang nantinya akan berkembang. Dan penyelenggara sistem elektronik

pun juga akan berkembang sehingga ini akan menjadi basis data yang sangat bermanfaat untuk

mencegah terjadinya penyalahgunaan jasa telekomunikasi.

Yang terakhir adalah penguatan perlindungan data pribadi termasuk perlunya sosialisasi

secara luas kepada masyarakat tentang data pribadi dan perlindungannya. Saya rasa sosialisasi

ini menjadi sangat penting, karena disadari bahwa masyarakat secara luas terlihat mungkin belum

memahami secara utuh. Termasuk juga bentuk perlindungannya, hal ini terlihat dari begitu banyak

aplikasi-aplikasi yang dimanfaatkan oleh masyarakat dan pada umumnya aplikasi ini aplikasi-

aplikasi global. Yang masyarakat sendiri pada posisi yang sebenarnya kesulitan gitu, karena disatu

sisi ingin memanfaatkan tapi di sisi lain ada banyak persyaratan yang di kenakan oleh aplikasi

tersebut untuk bisa membuka data pribadinya. Ini yang menjadi sesuatu yang masalah sehingga

saya rasa sosialisasi tentang data pribadi termasuk perlindungannya ini walaupun saat ini masih

baru dituangkan dalam PM dirasa sangat mendesak. Supaya masyarakat juga memahami secara

persis tentang apa yang dia lakukan. Tentang resiko yang kemungkinan terjadi, tentang apa yang

sebaiknya harus dia sikapi dalam menghadapi situasi yang seperti itu.

Demikian sementara usulan yang kami bisa sampaikan. Kurangnya kami mohon maaf.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Terima kasih Pak Kris dari Mastel.

Kita lanjut saja ya biar menghemat waktu. Kita lanjut kepada Ketua Cyber Law Center

Unpad Ibu Dr. Sinta Dewi.

KETUA CYBER LAW CENTER FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJAJARAN (DR. SINTA DEWI S.H. LL.M.):

Terima kasih atas kesempatannya.

Yang terhormat Bapak Pimpinan dan Anggota Komisi I DPR RI.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Salam sejahtera untuk kita semua.

Terima kasih atas undangannya. Kami dari Cyber Law Center Fakultas Hukum UNPAD

ingin memberikan masukkan karena sejak kemarin dan tadi itu selalu yang menjadi concern semua

adalah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi ini harus segera dibuat.

Sedikit informasi kepada Dewan yang terhormat, bahwa sebetulnya Center kami, yaitu

Cyber Law Center Fakultas Hukum UNPAD sudah menyusun naskah akademik itu sejak 2014.

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Sebentar Ibu, bahannya tidak ada Ibu?

9

KETUA CYBER LAW CENTER FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJAJARAN (DR. SINTA DEWI S.H. LL.M.):

Ini Pak.

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Yang dibagikan kepada kita tidak ada.

Ada yang dibagkan tidak?

Oh, ada.

Silakan lanjut Ibu.

KETUA CYBER LAW CENTER FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJAJARAN (DR. SINTA DEWI S.H. LL.M.):

Baik, terima kasih.

Jadi saya ulangi bahwa center kami sejak 2014 sudah bekerja sama di sini saya juga

apresiasi kepada Kominfo dalam hal ini Direktorat IKP yang telah merespon permintaan dari kami

akademisi, bahwa ini memang sudah saatnya Indonesia memiliki Rancangan Undang-Undang

Perlindungan Data Pribadi. Jadi sebetulnya naskah akademiknya sudah selesai sejak 2014 pada

waktu itu.

Kemudian akhirnya setelah naskah akademik itu selesai, kemudian kami beserta IKP pada

waktu itu menyusun Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Hanya memang

pada waktu itu urgensi dari Pemerintah pada waktu itu belum kepada Rancangan Undang-Undang

Perlindungan Data Pribadi. Jadi ada sektor lain yang mungkin pada waktu itu menjadi prioritas dari

Pemerintah, sehingga akhirnya kami berjalan saja membahas rancangan Undang-Undang itu dan

akhirnya sekarang banyak sekali kasus, banyak sekali kejadian yang muncul. Sehingga kemudian

ini muncul kembali isu perlunya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.

Jadi kalau dulu pada awal pembahasan data pribadi atau sekarang secara internasional

banyak mengatakan sebagai data privacy. Itu dari awalnya adalah unsur hak asasi manusia yang

muncul, tetapi kini sudah menjadi aspek-aspek bisnis dan perdagangan antar negara. Jadi awalnya

adalah suatu hak yang dilindungi oleh Hak Asasi Manusia. Nanti Pak Wahyudi akan bicara banyak

dari aspek hak HAM-nya. Tapi kemudian kami memperhatikan bahwa sekarang ini bukan semata

Hak Asasi Manusia lagi ini sudah bicara masalah bisnis ekonomi dan perdagangan antar negara.

Dengan kasus facebook yang terjadi akhir-akhir ini terlihat dengan kejadian itu saham

facebook itu turun hampir 10%. Jadi sekarang bisnis itu pilarnya sebetulnya ada dua, yaitu

keamanan (security) dan perlindungan data. Jadi itu merupakan pilar yang sangat penting

sekarang kalau kita bicara bisnis teknologi informasi dan komunikasi.

Nah, ini kalau kita lihat rezim perlindungan data pribadi yang ada sebetulnya. Kalau kita

lihat nanti sudah ada 110 negara sebetulnya yang mengatur data pribadi melalui Undang-Undang

yang khusus spesifik, jadi tidak dicantolkan lagi ke dalam aturan yang lain. 110 negara, di

antaranya kalau kita lihat ada 10 negara Afrika yang miskin itu sudah memiliki Undang-Undang

Perlindungan Data Pribadi. Jadi itu juga mereka mengatakan walaupun, kenapa punya Undang-

Undang Perlindungan Data Pribadi, internet aksesnya kecil, e-commercenya kecil. Mereka

mengatakan bahwa ini bisnis masa depan. Kita akan ke sana suatu saat, jadi mereka sudah

memiliki Undang-undangnya.

Nah, di dalam rezim perlindungan data pribadi memang yang diatur adalah organisasi.

Berarti nanti yang kami usulkan adalah ini akan mengatur Pemerintah dan swasta. Jadi bagaimana

rezim perlindungan data pribadi itu yang diatur adalah masalah bagaimana data itu harus diproses.

10

Jadi data itu diproses sebagaimana di situ ada prinsip, di situ ada mekanisme, dan di situ ada

masalah sanksinya seperti apa.

Nah, jadi sekarang kalau kita bicara perlindungan data pribadi itu bukan merupakan aturan

yang hanya untuk satu negara saja, sekarang sudah terjadi kalau karena saya backgroundnya

hukum sudah terjadi konvergensi di sini. Jadi konvergensinya bagaimana? Jadi konfergensinya

bahwa ini adalah diatur oleh instrumen internasional, sekarang PBB sudah memiliki special

reporter untuk privasi, kemarin berkunjung ke Indonesia. Kemudian ini juga diatur secara regional,

kita tahu EU akan memiliki aturan yang baru yang akan memberikan pengaruh sebetulnya

terhadap seluruh dunia. Kemudian ini juga sudah diatur di tingkat ASEAN. Kemudian APEC saya

percaya Indonesia juga turut di situ. Hanya memang untuk instrumen nasionalnya ini masih dalam

pembahasan. Dan tadi praktik negara sekarang itu 110 negara yang sudah memiliki Undang-

Undang Perlindungan Data Pribadi secara khusus yang spesifik.

Nah, ini mengulang tadi bahwa kalau kita bicara ekonomi digital itu ada 2 pilar yang sangat

penting sekarang, yaitu bagaimana securitynya, bagaimana perlindungan datanya. Jadi sekarang

perusahaan-perusahaan global, kecuali Facebook tentunya dan perusahaan-perusahaan yang

ada di Amerika karena kita tahu bahwa Amerika Serikat memiliki model pengaturan yang berbeda

dengan hampir sebagian besar negara, karena Amerika tidak mengatur perlindungan data pribadi

secara spesifik. Artinya, Amerika itu model pengaturanya adalah self regulation, jadi artinya industri

saja yang atur. Kita percaya saja kepada industry, akhirnya apa yang terjadi dengan facebook tadi

pagi Youtube dan teman-temannya juga itu suatu contoh bahwa kalau kita memberikan

keleluasaan kepada industri untuk mengatur sendiri.

Nah, ini aja kalau kita lihat data yang ada 110 negara yang sudah memiliki Undang-undang

Perlindungan Data Pribadi dan sekarang sudah tidak lagi dipermasalahkan privacy itu adalah

konsep barat. 90 negara itu negara berkembang yang sudah mengaturnya. Dan kita lihat ASEAN

sendiri, Malaysia sudah punya, Singapura, Philippines, Thailand sedang dalam proses

pembahasan di parlemen minimal draftnya sudah selesai. Vietnam, Brunei dan Indonesia, jadi

yang selalu dipertanyakan kalau saya berkumpul dengan teman-teman dari negara ASEAN selalu

dipertanyakan kapan Indonesia memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi mengingat

potensi Indonesia pengguna facebook-nya saja 70 juta, ekonomi digitalnya katanya 2020 menjadi

akan menjadi nomor satu di ASEAN. Nah, kalau tidak ada Undang-Undang Perlindungan Data

Pribadi kita bicara nonsense menurut saya. Jadi ini potensi Indonesia.

Kemudian disini ekonomi digital seperti apa. Dilihat bahwa potensi kita itu sangat besar.

Jadi kalau tidak ada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi kepentingan atau perlindungan

masyarakat Indonesia itu sangat lemah.

Nah, disini sebetulnya ada perbedaan sebetulnya antara rezim perlindungan data pribadi

dan kalau kita bicara pelindungan data lainnya. Jadi data pribadi itu mengatur tentang bagaimana

data pribadi itu diproses. Jadi bagaimana kemudian diakses, kemudian diproses dan bagaimana

dialihkan. Nah, prinsip yang paling mendasar sebetulnya adalah harus ada izin, harus ada

sepengetahuan dari pemilik data tersebut. Karena seperti yang sudah kita ketahui data itu

merupakan banyak yang mengatakan bahwa data itu adalah oil-nya abad ke-21, karena semua

sekarang berbasis kepada data.

Sekarang pertanyaannya seperti ini, kenapa kita memiliki Undang-Undang Perlindungan

Data Pribadi, sedangkan masyarakat kita sendiri belum paham. Saya ingat salah satu guru saya

Profesor Mochtar Kusumaatmadja beliau mengatakan bahwa sebetulnya salah satu cara untuk

membangun kesadaran publik adalah melalui regulasi. Jadi salah satunya adalah melalui hukum,

walaupun kalau kita bicara teknologi informasi hukum bukan satu-satunya instrumen. Banyak

instrumen lainnya yang juga turut mengatur masalah-masalah hukum teknologi informasi ini.

Nah, urgensinya ada beberapa hal sekarang yang perkembangannya dari hari ke hari

11

sangat dinamis. Ketika kami usulkan pada tahun 2014 tidak ada yang mau, tidak ada yang

merespon sebetulnya. Untuk apa sih Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, padahal pada

tahun 2014 Facebook itu sudah dituntut di pengadilan Perancis dan 2016 di pengadilan Jerman

sebetulnya untuk kebijakan privasi mereka. Jadi pada waktu itu memang sudah ada sebetulnya,

hanya sekarang menjadi lebih menggelegar karena kasusnya yang kebocoran datanya sudah

besar dan global sebetulnya.

Jadi ada paling tidak ada 4 hal di sini yang menyebabkan ini sudah waktunya untuk cepat

diselesaikan. Yang pertama, tentu kasus , jadi ini menjadi hal yang penting dan tadi pagi juga saya

melihat di berita bahwa ada satu lagi perusahan data analitik yang diputuskan kontraknya oleh

Facebook, karena kuis itu yang kemudian dipakai untuk pemasaran. Jadi sebetulnya dalam rejim

atau dalam pengaturan perlindungan data pribadi kalau boleh dikatakan dosa yang paling besar

adalah sharing data antara Pemerintah dengan pihak swasta untuk tujuan marketing, untuk tujuan

pemasaran. Jadi itu yang harus hati-hati itu jangan sampai ini terjadi, harus ada kesepakatan dari

sisi pemilik data. Apalagi kemudian di kaitkan dengan profiling, tanpa sepengetahuan dari pemilik

data.

Jadi yang kedua sebetulnya di depan mata adalah perkembangan yang terjadi di EU.

Europian Union akan memberlakukan satu aturan yang disebut sebagai general data protection

regulation, di mana aturan itu nanti akan berlaku secara extrateritorrial. Jadi tidak hanya mengatur

hal-hal yang terjadi di EU saja nanti akan kami jelaskan setelah ini. Kemudian tadi ekonomi digital

dan banyak juga yang menghawatirkan tentang data untuk Pemilihan Umum pada tahun 2019.

Nah, ini perkembangan kenapa data pribadi menjadi isu yang mencuat. Sebetulnya ini

paling sedikit ada 5 hal, yaitu direct marketing karena kan sebetulnya bisnis itu harus mengeluarkan

alokasi dana untuk iklan. Tapi mereka langsung memprofilkan konsumen, sehingga dia langsung

tepat kepada sasaran sehingga tidak usah lagi mengeluarkan biaya yang besar untuk iklannya.

Nah, ini sebetulnya diatur di hampir 110 rezim perlindungan data pribadi itu semuanya diatur, direct

marketing dan profiling bukan tidak boleh tetapi ada aturannya. Kita bicara big data, data analytic

dan yang terakhir adalah artificial intelligence. Nah, ini menjadi semakin mencuat masalah-

masalah perlindungan data pribadi ini.

Jadi sebetulnya memang kalau kita perhatikan pengaturan data pribadi itu agak sedikit

berbeda begitu. Artinya, ini nanti hampir sama dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

di mana yang ada adalah hak dari kita, hak pengguna data tidak ada kewajiban apa pun dari kita,

karena kita ya akan dilindungi. Nah, ini kadang-kadang ketika proses pembahasan Rancangan

Undang-Undang ini juga menjadi sedikit permasalahan karena mekanisme ini sebetulnya kurang

banyak di dipahami sebetulnya oleh kementerian. Jadi ini masalah-masalah yang teknis yang

menyebabkan Rancangan Undang-Undang ini agak sedikit lama gitu, hanya kena ada masalah-

masalah teknis yang muncul kemudian juga perkembangan dari apa yang terjadi di EU itu juga

harus sedikit banyak kita respons gitu.

Jadi ini proses pengolahan data pribadi itu banyak faktornya jadi mulai dari pengumpulan,

kemudian bagaimana data itu disimpan, bagaimana data di itu dirubah, kemudian bagaimana data

digunakan. Penghapusan, itu penghapusan data itu sebetulnya ada kemarin di amandemen

Undang-Undang ITE, sebetulnya itu harusnya ada di Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi

karena harus ada beberapa prinsip awalnya dulu baru kemudian kepada penghapusan dan terakhir

bagaimana data itu bisa ditransfer kepada pihak lain.

Nah, ini yang tadi saya sudah paparkan GDPR itu nanti bersifat extrateritorrial. Artinya dia

akan menjangkau juga perusahaan-perusahaan di luar EU yang menawarkan product barang dan

jasa kepada masyarakat EU. Kemudian juga akan kena pada perusahaan-perusahaan yang

melakukan monitoring terhadap behavior tingkah laku dari konsumen warga negara EU yaitu salah

satu contohnya adalah kalau melakukan profiling. Jadi nanti akan memulai efektif itu 25 Mei 2018.

12

Nah, kalau negara lain semua perusahaannya di Singapura, bahkan di Amerika Serikat yang

rezimnya berbeda ini mereka mempersiapkan diri dengan melakukan sosialisasi kepada para

pengusaha yang nanti akan terkena aturan ini. Jadi bagaimana caranya agar nanti tidak terjadi

hambatan di dalam bisnisnya.

Nah, yang memang kalau kita lihat salah satu daya jangkau yang cukup luas, artinya kalau

perusahaan itu menggunakan bahasa atau mata uang salah satu negara EU saja untung Inggris

sudah keluarnya. Jadi mungkin bahasanya tidak bahasa Inggris tidak kena ya dan ada

pelanggannya dari EU. Ini salah satu saja yang memberikan satu pemahaman bahwa ini akan

berlaku extrateritorrial.

Nah, selain itu juga ada beberapa hal baru di dalam EU GDPR, artinya concern atau

persetujuan nanti diatur secara lebih spesifik lagi. Jadi harus ada persetujuan dari pemilik data

bahwa datanya akan dipergunakan dan persetujuannya harus secara eksplisit diberikan dan

diberikan pilihan. Nah, prinsip lainnya yang memang belum masuk ke dalam RUU kita adalah

prinsip akuntabilitas. Ini prinsip akuntabilitas sebetulnya misalnya di dalam pengaturan registrasi

prabayar ini bisa dilaksanakan sebetulnya, yaitu perusahan itu harus melakukan audit terhadap

bagaimana mereka mengelola data pribadi dan mengelola keamanan dari sistemnya itu sendiri.

Walaupun sebenarnya di dalam regulasi kita itu dalam Peraturan Pemerintah 82 itu sudah ada,

tapi karena sanksinya adalah administratif mungkin jadi dirasa kurang kuat.

Kemudian aspek lainnya yang memang relatif mungkin di sini sesuatu yang baru adalah

adanya suatu mekanisme yang disebut privacy by design. Artinya suatu perusahaan dari awal

sampai akhir harus memiliki suatu rencana bagaimana mereka melindungi data pribadi, baik

pelanggan maupun pihak lain yang bekerja sama dengannya dari awal sampai akhir. Jadi

prosesnya ini harus diperhatikan.

Dan yang terpenting tentunya yang menyebabkan negara-negara menjadi sedikit khawatir

adalah denda yang sangat besar. Bayangkan denda maksimal adalah 10 juta Euro atau bisa

dikenakan 2% dari keuntungan per tahun. Tapi kita tidak tahu bagaimana ini nanti

dilaksanakannya.

Kemudian yang lain adalah prinsip transparansi dan yang terpenting adalah yang disebut

sebagai harus memberitahukan kepada konsumen dan kepada regulator bahwa sudah terjadi

kebocoran data. Ini seperti kasus facebook, itu sebetulnya sudah masuk ke dalam data base

notification, hanya memang di Amerika kan tidak ada undang-undangnya begitu, kalau di rezim

negara lain di sini ada, di kita juga ada di dalam Peraturan Pemerintah 82 maupun dalam Permen

20. Tapi kembali aturannya adalah administratif.

Dan nanti juga ada kewajiban harus ada pejabat pengolah data pribadi di setiap

organisasi. Sehingga kasus kebocoran itu mungkin bisa dieliminir atau diperkecil. Nah, untuk

pelaku bisnis mungkin ini awalnya dianggap sebagai suatu beban sebetulnya. Tetapi kan di setiap

organisasi tentu sudah ada bagian IT-nya yang mengurus masalah security misalnya, ini bisa

ditambahkan beberapa orang untuk pejabat pengelola data pribadi. Jadi ini juga belum masuk ke

dalam konsep Rancangan Undang-Undang, ini masih dalam negosiasi dengan beberapa

kementerian.

Kemudian ada hak untuk menghapus, hak akses dan yang terpenting adalah transfer lintas

batas negara. Jadi nanti kalau EU GDPR berlaku EU itu tidak mau mentransfer data ke Indonesia

misalnya. Kalau dianggap Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang setara, tidak comply

jadinya. Nah, nanti kalau sementara kita belum memiliki Undang-Undang yang setara, kita

diperbolehkan untuk antar perusahan membuat kontrak atau aturan-aturan perusahaannya tetapi

harus tetap meriver kepada prinsip-prinsip yang sudah di berlakukan di EO. Jadi ini yang

menyebabkan lamanya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi karena ini harus

kita juga pertimbangkan untuk diadopsi.

13

Jadi mungkin itu kira-kira sharing kami dari Cyber Law Center bahwa perlindungan data

pribadi itu sangat urgent. Kemudian kami mohon juga kepada DPR untuk mensupport Kominfo

dalam hal ini, tetapi Kominfo juga sedang berusaha keras untuk menyelesaikan draft ini. Hanya

memang persoalannya yang tadi masalah harmonisasi dengan beberapa kementerian yang tidak

ingin terikat oleh regulasi ini.

Baik, mungkin itu yang bisa kami sampaikan.

Terima kasih atas perhatian.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Terima kasih Ibu Dr. Sinta Dewi.

Kita lanjut saja Diektur Riset Elsam Bapak Wahyudi Djafar.

DEPUTI DIREKTUR RISET LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT (WAHYUDI DJAFAR):

Terima kasih.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua.

Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan oleh

Komisi I DPR RI bagi Elsam untuk menyampaikan pandangannya terkait dengan persoalan

perlindungan data pribadi di Indonesia.

Yang kedua, mungkin saya juga perlu menjelaskan kalau sebelum-sebelumnya mungkin

Komisi I DPR RI berinteraksi dengan Elsam itu lebih banyak pada isu-isu yang terkait dengan isu-

isu hard core Hak Asasi Manusia, pengesahan sejumlah konvensi internasional, tetapi hari ini kami

mencoba untuk terlibat di dalam memberikan catatan atas isu-isu yang terkait dengan

pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi khususnya internet. Karena apa? Karena

memang kalau kita mengacu kepada sejumlah resolusi yang dikeluarkan oleh PBB dalam kurun

waktu beberapa tahun terakhir, misalnya tahun 2012 PBB secara khusus melalui Dewan HAM

mengeluarkan resolusi yang menegaskan bahwa perlindungan bagi setiap orang saat mereka

offline itu juga berlaku ketika mereka online. Yang itu dituangkan di dalam resolusi yang mengacu

kepada ketentuan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik yang juga sudah

disahkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Nah, selain itu tahun 2013 dan bahkan Pemerintah Indonesia menjadi salah satu

pemrakarsa. Keluar satu resolusi dari Dewan HAM yang juga sudah diadopsi oleh Majelis Umum

yang mengatakan bahwa perlindungan privasi pada seorang ketika offline itu juga melekat ketika

mereka online atau menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.

Oleh karena itu, kemudian di dalam resolusi itu PBB mendorong kepada negara-negara di

dunia terutama anggota-anggota PBB untuk memperbarui Undang-Undang Perlindungan Privasi

mereka. Nah, itu mungkin satu sandaran yang kuat bagi Indonesia juga untuk mencoba

menyelaraskan, menguatkan aturan-aturan yang terkait dengan pelindungan data pribadi.

Nah, hari ini mungkin saya akan bicara dari konteks yang umum dan kemudian konteks

yang khusus bicara tentang registrasi simcard dan tentu melanjutkan apa yang tadi sudah

dipaparkan oleh Mastel juga oleh Ibu Sinta untuk menjelaskan bagaimana situasi hari ini terkait

dengan maraknya praktek-praktek kebocoran data pribadi warga negara.

14

Jadi kalau kita lihat bahwa hari ini mungkin semua pihak beramai-ramai untuk melakukan

praktik pengumpulan data skala besar, tidak hanya Pemerintah tetapi juga swasta dengan

berbagai macam tujuan yang data-data itu terkait dengan manusia dan aktivitas manusia. Dan

memang ditujukan untuk memanipulasi atau merekayasa kehidupan manusia, contohnya apa?

Contohnya adalah kasus Cambridge Data Analytics ketika dia mengarahkan pemilih di Amerika

Serikat untuk memiliki preferensi pilihan pada kandidat tertentu itu adalah bagian dari manipulasi

dan rekayasa.

Nah, jika peningkatan ini tidak dibarengi dengan kerangka hukum, kerangka regulasi yang

kuat untuk melindungi privasi warga negara, maka kemudian ini akan jadi persoalan yang tentu

akan mengesampingkan hak-hak kita sebagai warga negara. Dan oleh karena itu, kemudian

kerangka hukum harus didesain sehingga mesin, teknologi termasuk juga artifisial intelijen itu bisa

sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan data pribadi atau data privasi itu.

Nah, sebenarnya dari mana sih ini muncul gitukan. Kalau kita lihat sejarahnya praktek ini

sebenarnya pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat pasca serangan teroris 11 September

2001, di mana kemudian waktu itu Darpa mendorong lahirnya sebuah institusi baru di

Pemerintahan federal, yaitu information awarness office. Ini Darpa adalah mereka yang pertama

kali menciptakan internet untuk keperluan militer Amerika Serikat. Dan pasca serangan 11

September 2001 mereka juga mendorong Pemerintah AS untuk melakukan pengumpulan data

secara massif yang mereka sebut sebagai total information awareness itu. Nah, mereka

mengumpulkan seluruh data apapun yang ada di Amerika Serikat termasuk data internet, termasuk

data-data yang digunakan di dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi sampai

dengan data biometrik.

Tetapi kemudian ada persoalan di sana kasus ini dibawa ke kongres tahun 2003 dan

information awareness office ini dibubarkan, meskipun praktek pengumpulan data secara massif

ini terus-menerus dilanjutkan oleh Pemerintah Amerika Serikat. Tentu kita mendengar skandal

snowden bagaimana kemudian intelijen Amerika Serikat melakukan pengumpulan data dari

seluruh penjuru dunia untuk keperluan Amerika Serikat untuk kepentingan nasional Amerika

Serikat.

Praktek ini pula yang kemudian mendorong apa yang kita sebut sebagai revolusi data atau

data revolution, dimana tadi semua pihak berlomba-lomba mengumpulkan data secara besar-

besaran. Ini kalau kita lihat bagaimana the rise of data capital, bagaimana perusahaan-perusahaan

swasta mengembangkan industri data dan bahkan data disebut sebagai revolusi industri keempat,

ketika kemudian penghapusan, penghancuran data itu tidak dianggap penting dan itu tidak perlu

dilakukan karena data begitu mahal dan kompetitif harganya.

Nah, termasuk juga data untuk pembangunan. Bagaimana kemudian dengan isu

mendorong kebijakan yang berbasis data, bagaimana kebijakan-kebijakan pembangunan berbasis

data dan juga isu-isu humanitarian data-data juga dikumpulkan dari berbagai dunia melalui

program-program kemiskinan, program-program bencana, lalu kemudian berbagai macam praktek

yang lain, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, terutama di negara-negara dunia

ketiga. Bahkan UN secara khusus mendirikan kantor di Jakarta yang mereka kenal sebagai UN

post lab dimana kemudian praktek pengumpulan data secara besar-besaran dilakukan untuk

kebutuhan pembangunan berkelanjutan dan aksi-aksi humanitarian.

Dan kemudian data bertransformasi menjadi industri karena memang tadi pengumpulan

yang dilakukan secara besar-besaran dan dianggap sangat kompetitif dan komoditas ini menjadi

komunitas baru yang diperebutkan. Tidak hanya industri tapi semua politisi di penjuru dunia itu

ingin mengumpulkan data, bagaimana Donald Trump di dalam Pemilu Amerika Serikat terakhir,

dengan data driven dengan berbasis data dia bisa mendorong preferensi pemilih untuk memilih

Donald Trump dan menang di dalam pemilu Amerika Serikat. Dan investigasi terbaru praktek inikan

15

ternyata tidak hanya terjadi di Amerika Serikat tetapi juga terjadi di negara-negara lain. Bagaimana

Pemilu Kenya terakhir juga ternyata menggunakan praktek yang sama. Bagaimana Pemilu

Philipina terakhir juga menggunakan praktek yang sama. Dan bagaimana kemenangan kelompok

Brexit di UK untuk memenangkan referendum sehingga kemudian mereka keluar dari EU.

Jadi tidak hanya negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa,

negara-negara dunia ketiga khususnya di Afrika juga begitu percaya dan begitu yakin tentang

kekuatan data, the power of data, data driven ini, sehingga kemudian ini menjadi instrumen

penting, instrumen kunci di dalam pertarungan-pertarungan politik mereka. Dan alasannya

bermacam-macam dan skalanya sangat besar, ini contoh bagaimana landscape pengumpulan

data dari suatu kota dalam kerja-kerja smart city, disebelah kiri ada contoh bagaimana Pemerintah

Singapura melihat atau meneropong dalam sebuah kerangka panopticon melihat warga negara

mereka dengan berbagai macam praktek pengumpulan data. Dan yang sebelah kanan itu contoh

bagaimana praktek di DKI Jakarta misalnya dengan smart city operation dan ada semacam

commond center di sana yang bisa mengontrol seluruh aktivitas warga kota. Jadi memang

skalanya sangat besar.

Dan alasannya bermacam-macam tadi saya sampaikan dengan ada alasan untuk

pencegahan kriminal dan sebagainya. Dan bagaimana data-data itu diperoleh, pertama tadi saya

singgung di awal tentang praktek pengumpulan data untuk pembangunan, misalnya data-data

kemiskinan, data-data bencana, data-data sensus ekonomi dan sebagainya. Yang itu dikumpulkan

oleh Pemerintah nasional dan kemudian diambil lagi oleh pihak lain untuk kepentingan berbagai

macam praktek termasuk artifisial intelejen, penciptaan manipulasi dan rekayasa dan sebagainya.

Yang kedua ada data identitas kependudukan, terutama yang berbasis elektronik dan itu

terjadi di Indonesia. Bagaimana kemudian praktek perekaman e-KTP yang belum didukung

dengan instrumen perlindungan data yang memadai. Kalau kita membaca misalnya Peraturan

Presiden Nomor 67 Tahun 2011 yang menjadi basis dari praktek perekaman e-KTP itu belum

secara detail mengatur tentang bagaimana pemrosesan data, penyimpanan, penggunaan sampai

dengan penghancuran datanya, penghapusan datanya. Sampai kemudian Kementerian Dalam

Negeri bahkan secara khusus melakukan MoU dengan beberapa ratus institusi termasuk

Pemerintah dan swasta untuk menggunakan data-data itu.

Yang ketiga adalah praktek registrasi simcard penggunaan telepon seluler. Nanti di bagian

belakang saya coba detailkan persoalannya. Dan yang keempat, communications surveilans

termasuk akses data langsung ke data base, termasuk peta. Jadi communications surveillance ini

praktek-praktek perekaman langsung komunikasi pribadi warga negara. Lalu juga smart city, smart

city kalau di Indonesia ini sangat identik dengan pemasangan CCTV secara massif di kota-kota,

misalnya DKI Jakarta memasang 3 ribu CCTV bahkan sampai 6 ribu CCTV yang kita tidak pernah

tahu keberadaan CCTV itu di mana. Lalu kemudian Kota Makassar memasang 300 CCTV di

seluruh penjuru kota dengan alasan pencegahan criminal. Dan merespon ini kalau kita baca tadi

yang disinggung Ibu Sinta GDPR, GDPR itu sudah secara khusus mengatur tentang bagaimana

kontrol terhadap CCTV, bagaimana kemudian harus ada peringatan ketika satu area tertentu itu

dlengkapi dengan CCTV.

Lalu berikutnya adalah data pemilu atau electoral database yang ini juga debatable.

Bagaimana kemudian sejumlah negara merespon dan menempatkan data-data pemilih apakah

dia masuk kualifikasi sebagai data pribadi yang harus dilindungi dan harus ditutup atau dia masuk

sebagai data yang terbuka. Di negara-negara Eropa sendiri electoral database ini beda-beda

perlakuannya. Kalau di Inggris, di UK dia masuk kualifikasi data sensitif yang harus dilindungi,

sehingga kemudian kita tidak bisa melihat data DPT misalnya di kelurahan ada nama, tanggal lahir,

nomor KTP, alamat dan sebagainya, tidak seperti itu dengan secara terbuka ditampilkan. Nah, di

Indonesia aturan ini juga tidak jelas, di Undang-Undang Pemilu juga belum mengatur dengan

16

cukup spesifik bagaimana perlindungan terhadap electoral data base.

Yang lain adalah data kesehatan ini menyangkut rekam medis asuransi kesehatan juga

jaminan sosial lainnya. Rekam medis ini menjadi hal yang sangat krusial seperti juga diatur di

Undang-Undang Praktek Kedokteran, Undang-Undang Kesehatan maupun di dalam Undang-

Undang Rumah Sakit. Lalu kemudian adalah data keuangan dan perpajakan, ini baik yang

dikumpulkan oleh perusahaan perbankan, lalu kemudian jasa keuangan, asuransi maupun kantor

pajak. Yang untung mungkin Indonesia hari ini kalau kita baca Undang-Undang Otoritas Jasa

Keuangan mereka sudah cukup rijid di dalam mengatur bagaimana seharusnya pihak perbankan,

institusi perbankan melindungi data-data pribadi nasabahnya.

Yang baru ini adalah data transportasi khususnya dikumpulkan oleh penyedia platform

transportasi online. Yang ini berkembang di seluruh dunia bagaimana perjalanan kita setiap hari,

kita menggunakan transportasi apa saja, kita pergi ke mana saja, pada jam berapa saja itu terekam

di dalam data base masing-masing penyedia layanan transportasi online. Dan Indonesia itu juga

belum diatur dan kalau kita baca sejumlah penyedia layanan transportasi online itu belum

menampilkan apa yang kita kenal sebagai privacy policy atau term of services, ketentuan dan

layanan, bagaimana mereka merekam data kita, termasuk meta datanya, bagaimana mereka

menggunakan dan untuk apa.

Yang lain jejaring sosial ini contoh yang paling aktual adalah facebook, facebook tadi

sudah terbuka bagaimana praktek-praktek pemindahtanganan data pribadi penggunanya ke pihak

ketiga untuk berbagai kepentingan, termasuk Indonesia yang ada paling tidak ada 1 juta data

pengguna yang dipindahtangankan ke tempat lain. Di Indonesia belum terbukti apakah itu

digunakan untuk kepentingan pemilihan umum atau apa tetapi di beberapa tempat tadi Kenya

misalnya mereka sudah terbukti bahwa menggunakan data-data Facebook untuk kepentingan

pemenangan salah satu kandidat tertentu di sana.

Yang lain adalah yang terkait dengan transaksi e-commerce maupun fintech lainnya.

Bagaimana kita membeli barang di situ terekam data kita, barang apa saja yang kita beli, kita sering

membeli apa saja, untuk keperluan apa saja, kapan waktunya, itu semuanya menjadi data base

yang kemudian bisa di datafikasi dan kemudian bisa menghasilkan berbagai macam artifisial

intelejen.

Nah, tadi yang tujuan beragam untuk pencegahan kriminal bahkan untuk di Amerika

Serikat itu FBI bisa memprediksi kapan akan terjadi kerusuhan sosial ketika mereka sudah

melakukan proses datafikasi skala besar.

Nah, bagaimana dengan Indonesia? Sebenarnya kalau kita membaca konstitusi kita

Undang-Undang Dasar 1945 di dalam Pasal 28D Ayat (1) di situ sudah secara tegas dikatakan

bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan

harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari

ancaman, ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya. Nah,

itu yang harus kita cermati bahwa instrumen perlindungan atau mandat perlindungan itu sudah

menjadi bagian penting dari konstitusi kita, menjadi bagian penting dari moral konstitusi kita, yang

itu juga bisa kita temukan di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia maupun di dalam sejumlah instrumen internasional hak asasi manusia yang sudah kita

ratifikasi, seperti Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.

Nah, sayangnya memang Indonesia cukup tertinggal di dalam merespon pembentukan

aturan khusus mengenai perlindungan data pribadi. Sebagai contoh berikut ini Malaysia sudah

mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi di tahun 2013 dan sudah berlaku,

sudah implementatif meskipun kemudian Pemerintah menarik diri. Jadi dulu kalau kita baca

undang-undangnya di Malaysia itu dikatakan bahwa Pemerintah dan sektor privat itu tunduk pada

mekanisme perlindungan data pribadi mereka. Tetapi ketika akan diimplementasikan Pemerintah

17

menarik diri dan itu hanya berlaku bagi pihak swasta. Dan di sana juga dibentuk komisi khusus

perlindungan data pribadi. Philipina juga sama mereka lebih dulu tahun 2012 telah mengesahkan

Undang-Undang tentang Perlindungan data privasi yang di sana juga dibentuk komisi khusus

perlindungan data privasi yang memastikan bahwa seluruh pengelola data, seluruh pihak yang

melakukan praktik pengumpulan data itu tunduk pada mekanisme Undang-Undang Perlindungan

Data Privasi mereka. Dan terakhir baru-baru ini Philipina telah mengesahkan Undang-Undang

tentang Registrasi simcard. Jadi kalau kita nanti menyinggung registrasi simcard di beberapa

negara itu tidak diatur dengan Peraturan Menteri tapi diatur di level Undang-Undang.

Lalu kemudian Thailand itu masih proses pembahasan di parlemen, sama dengan Laos,

Laos juga saat ini sedang proses pembahasan di parlemen. Cuma Indonesia yang belum

diserahkan ke parlemen untuk dilakukan pembahasan. Singapura juga sudah disahkan tahun 2012

dan sudah berlaku dan itu kenapa kemudian Pemerintah Singapura bisa secara kuat, bisa secara

tegas memanggil Facebook ketika ada dugaan kebocoran data-data mereka. Bahkan parlemen

mereka secara khusus mengundang Facebook ke Parlemen dan diminta melakukan beberapa hal.

Nah, di sini yang kemudian sulit bagi kita untuk melakukan praktik itu.

Berikutnya, apa sih kira-kira masalah di Indonesia? Jadi masalah memang cukup

kompleks Indonesia, mulai dari rendahnya kesadaran publik untuk melindungi data privasinya. Jadi

data privasi itu belum dianggap sebagai bagian dari properti yang harus dilindungi, sehingga bisa

dengan mudah dipindahtangankan. Bahkan kalau kita lihat di jalan-jalan orang bisa dengan

bangga menampilkan keluarga mereka, Bapak, Ibu dengan 3 orang anak di mobil-mobil mereka

dan semua orang bisa tahu bahwa keluarga ini ada tidak ada 5 orang dan kita tahu bahwa di rumah

itu ada 5 orang dan kapan mereka pergi gitu kan.

Lalu berikutnya misalnya meningkatnya intrusi berada privasi seiring dengan maraknya

pengembangan data skala besar tadi, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh swasta.

Lalu ada isu tumbang tindah peraturan perundang-undangan dan regulasi dari hasil study Elsam

paling tidak sampai dengan tahun 2018 kami menemukan ada 32 Undang-Undang yang di

dalamnya memiliki konten terkait dengan intrusi terhadap data pribadi. Mayoritas itu adalah

pemberian kewenangan bagi otoritas tertentu untuk mengumpulkan atau merekam data-data

pribadi warga negara. Isunya bermacam-macam, dari isu Hak Asasi Manusia itu terkait dengan

jaminan, ada juga di situ pengecualian. Lalu kemudian media dan telekomunikasi, pertahanan dan

keamanan, ada di sektor peradilan, kearsipan dan kependudukan, kesehatan, keuangan dan

perbankan juga perdagangan dan perindustrian. Jadi memang overlapping itu bisa dilihat dari

tujuan pengelolaan data pribadi, notifikasi, rentan waktu, penghancuran dan penghapusan, tujuan

pembukaan data, pemberi izin, jangka waktu, sanksi, sampai dengan mekanisme pemulihannya.

Jadi memang meskipun muncul beberapa Undang-Undang tetapi ketentuannya lain-lain.

Yang berikutnya adalah khusus yang terkait dengan registrasi simcard. Tadi kawan dari

Mastel sudah menerangkan bahwa registrasi simcard sangat terkait erat tentunya dengan isu

pengembangan bisnis atau bisnis model seperti apa, tetapi di beberapa negara selain isu bisnis

seperti dikaji di GSMA Eropa. Itu memang isu registrasi simcard itu erat kaitannya dengan isu

keamanan nasional khususnya terkait dengan pemberantasan terorisme dan juga kejahatan-

kejahatan lain yang berbasis teknologI, terutama di negara-negara Afrika. Jadi Ibu Sinta tadi

mengatakan sudah banyak negara-negara Afrika yang memiliki Undang-Undang Perlindungan

Data Pribadi, negara-negara yang memiliki kebijakan registrasi simcard itu mayoritas juga negara-

negara Afrika. Nigeria, Uganda, Zimbabwe dan sebagainya mereka punya Undang-Undang

khusus bahkan yang mengatur tentang registrasi simcard. Ada yang diatur diundang-undang

khusus, ada yang diatur di Undang-Undang Telekomunikasi, ada yang diatur di Undang-Undang

Anti Intersepsi Komunikasi. Jadi bagaimana kewajiban dari si pengguna layanan untuk

mendaftarkan simcard mereka.

18

Nah, karena praktek ini kemudian muncul potensi ancaman terhadap terganggunya hak

privasi warga negara. Jadi meski umum ditemukan praktik berbagai negara dalam melakukan

registrasi simcard juga beragam, terutama juga dikaitkan kompabilitasnya dengan jaminan

perlindungan terhadap data pribadi warga negaranya.

Nah, kalau kita lihat ini petanya, ini peta sampai dengan tahun 2013 bisa kita lihat

bagaimana paling banyak adalah negara-negara Afrika yang memiliki kewajiban registrasi simcard.

Waktu itu Indonesia masih konsiderasi belum mengikat, meskipun sudah ada Permen Tahun 2005

tetapi belum diwajibkan secara mutlak. Beberapa itu menolak misalnya Amerika Serikat itu

menolak, Kanada menolak, lalu kemudian Selandia baru juga menolak dan beberapa itu belum

ada kebijakan registrasi ini. Jadi ini data yang dirilis oleh GSMA asosiasi perusahaan komunikasi

di Eropa.

Lalu bagaimana kalau kita lihat kompabilitas antara kebijakan registrasi simcard dengan

Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Ini studi yang dilakukan Elsam terakhir merespon

kebijakan registrasi simcard di Indonesia. Kami paling tidak melihat 88 negara di dunia yang di

antaranya 16 di antaranya sudah memiliki aturan yang sangat kuat untuk melindungi data pribadi

warga negaranya. 24 negara kuat lalu kemudian 32 negara sedang dan 16 di antaranya adalah

lemah termasuk Indonesia. Dan dari 88 negara itu kalau tadi Bu Sinta mengatakan 110, baru 57

negara yang memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi secara spesifik. Sementara 31

sisanya belum.

Nah, kaitannya dengan registrasi simcard, 27 negara tercatat belum menerapkan

kewajiban registrasi simcard, 23 negara sudah mewajibkan dan 38 belum diketahui. Dan dari 57

negara yang memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi hanya ada 6 negara yang

memiliki kewajiban registrasi simcard. Jadi boleh dikatakan kalau kami menyebutkannya bahwa

kebijakan registrasi simcard ini memang tidak populis, kenapa? Nanti ada beberapa alasannya.

Dan dari yang belum memiliki itu, dari 8 yang belum memiliki Undang-Undang

Perlindungan Data Pribadi, itu 6 di antaranya sudah memiliki kewajiban registrasi simcard. Ini

beberapa alasan jadi terkait dengan registrasi simcard. Pertama bahwa suatu negara, suatu

Pemerintah itu selalu mengatakan bahwa kewajiban registrasi simcard itu erat kaitannya dengan

upaya pencegahan kejahatan, pencegahan criminal, tetapi di praktek di beberapa negara yang

sudah menerapkan itu dikatakan sebagai mitos, jadi mitos melawan kejahatan. Karena apa?

Karena memang ternyata sejumlah praktek misalnya di Kanada dan Meksiko itu terbantahkan,

bahkan Meksiko setelah 3 tahun menerapkan kebijakan registrasi simcard akhirnya mereka

membatalkannya, karena mereka ternyata tidak bisa membuktikan registrasi simcard bisa

mengurangi angka kejahatan.

Lalu misalnya Kanada setelah beberapa konsultasi akhirnya juga mereka memilih menolak

kewajiban registrasi simcard, karena apa? Ternyata tidak terbukti. Dan bahwa mereka atau

kebijakan ini dimaksudkan untuk mengurangi atau mencegah panggilan palsu dan juga teks yang

sifatnya spam itu juga ternyata tidak secara besar implikasinya untuk mengurangi prank call itu,

karena sampai sekarang saya juga masih menerima panggilan itu. Dan saya tiap hari masih

menerima SMS-SMS penawaran segala macam itu masih masuk, meskipun saya sudah registrasi

misalnya itu kan.

Nah, yang kedua dalam momok surveilans dari praktek registrasi simcard sebenarnya,

apalagi yang disinkronisasi dengan sistem id nasional itu rawan sekali dilakukan profiling dan juga

geografical profiling terhadap seseorang. Kita bisa diketahui kita sedang berada di mana, lalu

kemudian siapa dan seterusnya. Dan itu kita bisa lihat dari praktek-praktek yang berkembang di

beberapa negara. Jadi memang dia memberikan momok baru terkait dengan surveillance

komunikasi atau kita kenal dengan intersepsi komunikasi.

Yang lain lagi adalah mimpi buruk sumberdaya khususnya yang terkait dengan anggaran.

19

Saya belum pernah mengecek secara resmi di Indonesia, berapa anggaran yang dikeluarkan untuk

melakukan verifikasi dan validasi atas data-data simcard itu, tetapi praktik di beberapa negara.

Saya contoh misalnya Nigeria dari studi kita di situ memperlihatkan bahwa sektor Pemerintah dan

juga swasta mereka paling tidak menghabiskan 128 miliar Dolar untuk melakukan proses verifikasi

dan validasi data-data simcard yang dilaporkan. Jadi memang dia membutuhkan sumberdaya yang

sangat besar.

Yang lain isu dari praktek ini adalah dia menciptakan diskriminasi atau kesenjangan baru,

karena apa? Jadi praktek yang umum di negara-negara dunia ketiga, negara-negara berkembang

seperti Indonesia, itu tidak semua orang memiliki KTP apalagi e-KTP. Jadi dengan model kebijakan

registrasi simcard yang berbasiskan ID dan Kartu Keluarga, lalu bagaimana nasib orang di

pedalaman Sumatera, pedalaman Kalimantan, pedalaman Papua yang tidak memiliki KTP, artinya

mereka tidak bisa menggunakan layanan telekomunikasi. Jadi ia justru menciptakan diskriminasi

baru atau bagi mereka kelompok-kelompok marjinal. Jadi yang tadinya ingin melakukan

pemerataan akses justru malah menciptakan digital divide, kesenjangan digital baru.

Yang lain tadi juga sebenarnya sudah disinggung oleh Bapak Ketua Umum Mastel bahwa

gagasan regisrasi simcard adalah gagasan yang terlambat satu langkah, karena teknologi ke

depan itu tidak lagi membutuhkan simcard. Ya mungkin hari ini simcard itu masih menjadi hal yang

utama tetapi ke depan simcard itu mungkin sudah tidak diperlukan lagi, sudah tidak apa namanya

dikembangkan lagi. Jadi dia dianggap sebagai teknologi yang sudah terlambat satu langkah,

sehingga untuk apalagi kemudian negara harus repot-repot mengembangkan aturan yang terkait

dengan registrasi simcard ini.

Nah, itu gambar contoh geografical profile example, ini saya ambil dari salah satu provider

yang menawarkan project e-KTP ke Kementerian Dalam Negeri bagaimana kemudian mereka

memiliki teknologi untuk melakukan profiling berbasis simcard dan e-KTP seseorang dan itu bisa

dilacak orang-orang yang memegang simcard dan e-KTP itu.

Nah, dari semua situasi yang terjadi di atas Elsam memberikan rekomendasi berikut ini.

Yang pertama, bahwa ini mungkin sifatnya umum perlunya sebuah peta jalan yang

mendeskripsikan dan mengintegrasikan berbagai mandat dan kewajiban perlindungan data

pribadi, dalam setiap arah pengembangan program Pemerintah dan beragam sektor lainnya,

sehingga ada panduan utuh dalam proses kelembagaan kebijakan ke depan. Jadi sekarang inikan

sifatnya sangat sectoral, di isu kesehatan, di isu perbankan, isu transportasi, isu e-commerce dan

sebagainya dan tidak terintegrasi satu sama lain, padahal semuanya ada praktek perekaman

terhadap data pribadi warga negara.

Yang kedua perlunya inisiatif segera untuk melakukan pembahasan suatu Undang-

Undang yang secara spesifik memuat ketentuan perihal perlindungan data pribadi. Kontennya tadi

Ibu Sinta sudah menyinggung mengacu pada GDPR terutama. Sesuai dengan standar hukum

HAM internasional, jadi kalau pengalaman di negara-negara ASEAN hari ini hanya Indonesia yang

RUU-nya belum dibahas di parlemen, yang lainnya sudah, minimal itu sudah dibahas di parlemen

lah itu.

Yang ketiga melihat luasnya cakupan perlindungan data pribadi termasuk entitas yang

melakukan pengumpulan dan penyimpanan data Pemerintah dan swasta. Penting untuk

mendorong pendirian suatu badan independen yang secara khusus memiliki wewenang untuk

melakukan supervisi pengimplementasian Undang-Undang tersebut secara efektif. Jadi hampir

semua negara Eropa itu memiliki komisi khusus, komisi independen tentang perlindungan data

pribadi. Kalaupun tidak dibentuk yang baru biasanya dilekatkan pada komisi informasi. Sebagai

contoh di Inggris di UK itu komisi perlindungan data pribadi itu lahir lebih dulu. Lalu kemudian

mereka mengesahkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi, kemudian dibentuk satu kamar

khusus di dalam komisi perlindungan data yaitu komisi informasi publik. Jadi dalam satu badan itu

20

ada dua kamar, ada komisi perlindungan data pribadi, ada komisi informasi publik. Jadi misalnya

kalau di Indonesia ada KI maka kemudian disebut dibentuk satu kamar baru komisi yang khusus

mengatur tentang perlindungan data pribadi, karena memang method-nya berbeda, sehingga

orangnya juga harus beda antara yang menutup data dengan orang yang membuka data.

Nah yang adalah pentingnya pelibatan aktor-aktor terkait, Pemerintah, masyarakatnya,

sektor bisnis, dalam setiap proses pengambilan kebijakan dalam sebuah ruang yang emansipatoris

sehingga kebijakan yang dihasilkan minim resiko dan memberi kemanfaatan yang kuat bagi semua

sektor. Dan yang terakhir pentingnya integrasi prinsip-prinsip bisnis dan HAM dalam setiap regulasi

yang mengatur sektor swasta, juga mendorong integrasi prinsip tersebut dalam operasi korporasi.

Jadi kalau kita merujuk kepada resolution yang dikeluarkan PBB tahun 2011 telah mengeluarkan

UN guiding principle hands on business and human rights. Yang di situ memberikan 3 kewajiban,

kepada korporasi yang pertama bahwa prinsip bagaimana negara harus melindungi. Dan yang

kedua prinsip penghormatan respect dan yang ketiga prinsip remedy ada pemulihan jika terjadi

pelanggaran.

Dan prinsip ini sudah dikembangkan di banyak negara terutama di dalam reformulasi atau

mereformasi ketentuan-ketentuan layanan atau mekanisme-mekanisme kebijakan internal dari

korporasi-korporasi termasuk korporasi yang bergerak di sektor teknologi informasi dan

komunikasi. Karena sejatinya term of services yang kita kenal itu, itu adalah bagian dari online

platform kontrak atau kontrak antara si pengguna layanan dengan si penyedia layanan yang

mayoritas orang terutama di Indonesia itu tidak pernah membaca ketentuan layanan dari suatu

penyedia layanan. Kita tahunya layanan Facebook itu gratis padahal kita membayar dengan data-

data kita, dengan setiap hari kita mengupload foto dan sebagainya.

Nah, mereka sendiri meskipun kalau kita baca Peraturan Menteri Kominfo Nomor 20

Tahun 2016 itu mewajibkan untuk menyediakan satu kontrak berbahasa Indonesia harus bisa

dibaca dengan jelas prakteknya kan itu tidak pernah dilakukan gitu kan. Jadi memang hal ini perlu

didorong ke setiap-setiap korporasi yang bergerak isu ini. Dan kalau terjadi pelanggaran harus

disediakan mekanisme pemulihan. Bagaimana kasus-kasus yang kemudian mengilhami

penguatan regulasi data di Eropa itu juga berangkat dari pengadilan. Kasus hak atas penghapusan

data di Spanyol yang kemudian dibawa ke European court of justice. Sampai kemudian kasus

gugatan Facebook di beberapa negara, Italia, Perancis, Irlandia dan sebagainya itu telah memberi

kontribusi baru di dalam pengaturan atau penguatan peraturan perlindungan data di Eropa.

Itu mungkin yang bisa Elsam sampaikan dan semoga bisa memberikan masukan yang

cukup bagi proses pengawasan dilakukan oleh DPR ini.

Terima kasih.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Terima kasih dari Elsam.

Kita sudah mendengar dari 3 lembaga, pertama dari Mastel, kedua dari Cyber Law Center

dan yang ketiga Direktur Riset Elsam.

Bapak dan Ibu sekalian,

Kita akan lanjutkan pendalaman dengan memberikan kesempatan mungkin, saran,

pertanyaan atau apa dari rekan-rekan Komisi I DPR RI yang lain. Memang ini makin terbuka mata

kita, betapa pentingnya perlindung data pribadi meskipun tidak semua Negara memiliki itu. Ada

21

negara-negara yang ingin data pribadi ini juga aneh juga ingin. Inilah negara demokrasi kita akan

cari yang pas untuk Indonesia seperti apa.

Jadi kalau tadi Pak Kris, memang NIK kita itu dimana-mana sudah digunakan, di sekolah,

di bank, di pajak dan dimana itukan perlindung itu tanda tanya dan terbuka itu. Kemudian juga dari

Ibu Sinta, terima kasih Ibu memang kita mau tidak mau menuju ke suatu era di mana akan

bertambah gampang untuk data itu untuk simcard itu. Seperti kita sudah berapa kali nanti menuju

SIN, single identity Number. Satu kartu saja kita bisa bayar segala macam, jadi tidak perlu lagi

bawa uang.

Jadi itu memang sangat penting, tadi dari Mas wahyudi kelihatannya kita Afrika saja sudah

banyak negara yang punya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, kita belum di ASEAN kita

mungkin agak terlambat ini. Tapi tidak apa-apa kita coba dan mungkin lebih menarik lagi kita coba

smart city. Dimana satu kota yang cerdas semua ada, apalagi di bidang IT.

Jadi silakan teman-teman dari Komisi I DPR RI, yang pertama Ibu Dr. Evita Nursanty, nanti

setelahnya Bapak Budi Youyastri.

Silakan Ibu Evita.

F-PDIP (Dr. EVITA NURSANTY, M.Sc.):

Terima kasih Bapak pimpinan.

Bapak dan Ibu narasumber yang saya hormati.

Terima kasih atas Penjelasan yang diberikan menambah Wawasan kita, Pengetahuan kita

dan juga kita jadi lebih tahu apa yang harus kita lakukan ketika kita berhadapan dengan yang

namanya perlindungan data pribadi.

Ada beberapa catatan dari paparan yang Bapak dan Ibu berikan tadi. Sebelumnya saya

informasikan dulu bahwa pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan isu ini, Ini sudah kita

lakukan marathon. kita sudah ketemu dengan Menteri, kita sudah ketemu dengan para operator,

kemarin kita ketemu dengan Dukcapil, BRTI. Dan hari ini kita ketemu dengan masyarakat

telekomunikasi cyber law dari UNPAD, kita sama-sama dari UNPAD, kemudian dari Elsam.

Jadi kalau dari paparan Bapak dan Ibu tadi, itu mungkin itu complimentary daripada

paparan yang kemarin. Kalau paparannya kemarin kita terima itu kalau Dukcapil itu selalu memberi

meng-convince kita bahwa tidak ada kebocoran. Yang ada itu adalah penyalahgunaan dari pada

NIK, karena NIK itu tidak ada yang bocor. Penyalahan dari pada NIK dan pemindah tanganan NIK

kepada pihak lain yang tidak berwenang untuk itu. Dan itu sedang diperiksa oleh Polri, itu informasi

yang kita terima.

Jadi selama ini kita begitu khawatir bahwa adanya kebocoran dari pada NIK ini rupanya

yang ada adalah pemindahtanganan atau penyalahgunaan dari pada NIK. Memang dikatakan

bahwa NIK dari registrasi, saya fokus registrasi simcard dulu bahwa NIK yang diterima itu

diverifikasi. Nah, siapa yang verifikasi? Yang verifikasi adalah Dukcapil tidak operator. Jadi

operator ini memamg lewat terus diverifikasi oleh Dukcapil. Nah, Dukcapil yang nanti itu

menginformasikan kepada operator nomor-nomor yang bermasalah.

Yang kita pertanyakan ini ada Pak Andi dari Telkomsel ya kan. Jadi yang kita pertanyakan

adalah apakah setelah diinformasikan kepada operator siapa yang mengecek itu memang sudah

dihapus oleh operator. Memang itu sudah di tindak lanjuti oleh operator laporan dari Dukcapil. Nah,

itu menjadi pertanyaan kita, jadi benar apa yang dikatakan oleh Bapak dan Ibu tadi kita perlu

system, perlu sistem di dalam pengawasan penggunaan dari pada data pribadi yang ada.

Kemudian kita juga kaget kemarin Komisi I DPR RI, satu NIK itu bisa menjadi 2 juta nomor

22

gila enggak itu. Nah, kalau orang yang mau mempergunakan nomor itu untuk keperluan yang

positif, yang bermanfaat itu enggak mungkinlah. Itu pasti ada hal-hal dibalik itu gitu. Nah, justru

Dukcapil sudah lapor ke operator kita dikasih tahu yang dari Telkomsel sekian, Indosat sekian, XL

sekian. Nah, sekarang apa yang dilakukan oleh operator kan itu pertanyaan kita oleh Dukcapil. Hal

inikan mesti diusut, ini siapa orang yang satu NIK bisa sampai 2 juta nomor itu. Ini harus ada

pengusutan lebih lanjut jangan sampai ini memang dipergunakan untuk hal-hal yang memang tidak

benar gitu. Nah, ini kita masih menunggu jawaban apa yang dilakukan next dengan informasi yang

diterima tersebut.

Kemudian saya juga tanya tadi kan banyak Ibu dari cyber law Ibu Sinta ya, mengatakan

Undang-Undang ini, Undang-Undang inikan. Saya mau tanya saya bicara sekali lagi khusus bukan

perlindungan data pribadi secara keseluruhan untuk registrasi simcard saja. Apakah kita

memerlukan landasan hukum khusus untuk perlindungan registrasi simcard ini karena sebenarnya

Undang-Undang itu kalau dibacakan sudah ada semua. Ada Undang-Undang tadi Nomor 23

Tahun 2006 itu tentang Administrasi Kependudukan itu juga sudah diatur, ada Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 1999 itu juga sudah mengatur tentang telekomunikasi yang mewajibkan operator

untuk merahasiakan data pelanggan. Ada Undang-Undang ITE yang tahun lalu disahkan oleh

Komisi I DPR RI sudah ada aturan-aturannya juga. Ada tadi disebutkan dari Elsam ada Undang-

Undang KIP juga ada di Indonesia yang mengatur mengenai perlindungan data pribadi.

Nah, untuk ini apakah kita memerlukan Undang-Undang khusus, peraturan hukum khusus

untuk itu. Terus memang kalau saya lihat tadi dari paparan malu juga kita ya, sudah ada 110

negara yang mempunyai Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Untuk ASEAN hanya

Indonesia yang belum membahas Undang-Undang ini di parlemen. Jadi kita melihat betapa

mendesaknya kebutuhan atas pembahasan Undang-Undang Data Pribadi ini oleh kita. Jadi

mungkin kalau Ibu tadi mengatakan draft-nya ini sebenarnya sudah pernah dibahas sudah lama,

tetapi mempunyai hambatan itu disinkronisasi dan harmonisasi di departemen-departemen lain.

Memang di situlah ketika Undang-Undang itu menjadi inisiatif dari Pemerintah itu harus dilakukan

dulu urutan-urutannya.

Nah, mungkin supaya cepat kita tarik Undang-Undang ini menjadi usulan inisiatif dari pada

DPR RI sehingga birokrasi-birokrasi yang dihadapi, yang makanya terpending-pending itu tidak

akan terjadi ke depan. Nah, kadang-kadang ketika kita bicara perlindungan data pribadi kita itu

sering lupa bahwa masyarakat kita ini juga suka lupa gitu, tidak mengerti bahwa perlindungan data

pribadi itu sangat penting. Kalau kita buka medsos kita lupa privacy protection itu, protection policy

itu tidak kita baca, hanya klik-klik saja padahal itu semua data dia minta. Sampai mereka bisa

mengakses nomor telepon kita, mengakses foto kita, saking kita enggak membaca kadang-kadang

itu kan dalam bahasa Inggris, enggak mengerti semua diklik saja gitu. Sudah telanjanglah data kita

kepada media sosial. Itu karena kesadaran daripada masyarakat kita ini menjadi tanggung jawab

dari masyarakat telekomunikasi, daripada operator dan dari pada Pemerintah untuk memberi

pengetahuan kepada masyarakat bagaimana mereka memproteksi data mereka.

Terus terang saja waktu Pak Menteri mengatakan, contohnya kita saja deh, Ibu Evita

katanya berapa kali Ibu Evita ganti password emailnya. Memang suka lupa kita, sudah sekian lama

password tidak diganti-ganti. Itukan berarti kan kita lalai, lalai untuk memproteksi data pribadi kita

sendiri. Jadi kesadaran-kesadaran ini juga kita perlukan untuk kita berikan kepada masyarakat

kita. CSRnya Telkomsel kan banyak Pak Andi, kita kalau untuk turun ke masyarakat Pak Andi kita

mau untuk mensosialisasikan betapa pentingnya perlindungan data pribadi ini. Bisa kerja sama

para operator dengan Komisi I DPR RI menjadi jubir menyadarkan masyarakat kita di Dapil kita

masing-masing untuk pentingnya untuk menjaga dan melindungi data pribadi kita masing-masing.

Kemudian kesadaran dari pelaku bisnis juga bahwa perlindungan data pribadi itu penting

yang tadi misalnya dari Telkom sebenarnya Undang-Undang-nya Telekomunikasi, Undang-

23

Undangnya sudah ada bahwa mereka wajib untuk melakukan perlindungan data pribadi dari

pelanggan mereka. Jadi memang banyak isu-isu, topik-topik bahasan yang harus kita dalami ke

depan apalagi ketika kita bicara Undang-Undang Data Pribadi yang masuknya e-commerce wah

lebih ruwet lagi nanti ke depannya. Baru bicara simcard saja ya kan tadi dikatakan bahwa ini sudah

kuno, sebenarnya ke depan kita enggak perlu lagi yang namanya registrasi simcard. Tapi ya

memang inilah teknologi yang saat ini kalau saya secara pribadi saya yakin juga teman-teman

Komisi I DPR RI juga saya mendukung langkah Pemerintah untuk melakukan registrasi simcard.

Ini langkah awal tujuan kita adalah memang bagaimana kita bisa menghindari hal-hal yang

memang menjadi dinamika sehari-hari yang kita hadapi. Begitu maraknya orang Saracen, begitu

gampangnya memang demo dilakukan kepada Pemerintah dari dealer-dealer ini. Pemerintah juga

enggak usah mundur kalau di Peraturan Menteri, 12 kartu satu orang itu sudah cukup dong

memang mau punya kartu berapa banyak lagi ya kan.

Menarik tadi yang disampaikan oleh Mastel, bahwa simcard itu adalah milik Pemerintah,

pulsa yang menjadi milik operator. Jadi simcard itu enggak usah gerak-gerakkan orang untuk

mendemo di jalanan. Simcard bukan milik anda para operator, pulsalah yang milik anda. Jadi kita

mendukung langkah-langkah Pemerintah untuk menertibkan pemakaian dari pada simcard yang

memang saya juga bingung kemarin saya kaget Pak Dirjen mengatakan saya tanyakan. Didaftar

sendiri kan caranya sama gerai, saya kaget lagi kalau daftar di gerai itu bisa ratusan, kalau kita

mau daftar sendiri. Terus saya katakan untuk apa kita registrasi simcard kalau di gerai itu bisa lebih

dari 3 daftarnya. Dibolehkan karena habis demo kan, makanya kemarin saya katakan dengan

Bapak Dirjen, Pemerintah enggak bisa begitu dong harus tegas, didemo dikit peraturan berubah.

Kita tahu ini kepentingannya untuk pertahanan dan keamanan kita, kepentingan untuk kedaulatan

kita, kita harus melihat jangan nanti dikenakan sekian banyak lagi peraturan berubah. Saya kaget

kemarin rupanya ada revisi dari pada peraturan kalau daftar digerai itu bisa banyak. Itu saya rasa

revisi yang salah yang dilakukan dalam hal ini.

Saya rasa demikian Bapak Pimpinan.

Terima kasih.

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Terima kasih Ibu Evita.

Selanjutnya Bapak Budi Youyastri, silakan Pak.

F-PAN (BUDI YOUYASTRI):

Terima kasih Pimpinan.

Pimpinan dan Anggota Komisi I DPR RI yang terhormat,

Bapak-bapak dari masyarakat yang sudah menyampaikan pemikiran, studi dan

pembahasan akademiknya.

Buat kami Komisi 1 DPR RI terima kasih atas lebih jelasnya ada di mana posisi registrasi

simcard dan ada di mana posisi pengamanan data pribadi. Terutama penjelasan dari Mastel tadi

simple memang. Nomor itu punya negara dalam hal ini dikelola Pemerintah, pulsa itu adalah bagian

dari bisnis. Buat saya itu sudah clear itu, jadi membangun suprastruktur dan infrastruktur dari model

bisnis operator dan bagaimana mengamankan data buat saya sudah clear regulasinya yang lemah

berarti.

Saya penasaran dengan Ibu Sinta dari UNPAD tadi yang menyatakan bahwa dalam

24

proses yang dilakukan Pemerintah ini kayaknya memang Undang-Undang Perlindungan Data

Pribadi ini adalah musuhnya Pemerintah jadinya saya baca. Perlindungan data pribadi bisa jadi

pesimis bisa masuk atau tidak dari DPR. Jadi teman-teman Ibu, teman-teman Elsam dan teman-

teman aktivis lain yang harus melakukan fokus kepada Pemerintah untuk segera, karena harus

suaranya dari masyarakat.

Kalau Pemerintah tidak mengajukan lagi memang kemungkinannya dari DPR tapi di DPR

juga pasti pertarungan dan butuh waktu legislasinya belum dibahas di dalam Prolegnas usulan dari

DPR kita mengharapkannya dari Pemerintah.

Ibu Sinta, Ibu menyatakan dalam proses yang dilakukan oleh Pemerintah dalam akuisisi

data, pengumpulan, penyimpanan dan seterusnya harus dilakukan audit. Audit apa ya Ibu

maksudnya? Audit teknologi atau audit legalitasnya. Kalau audit teknologinya saya paham tapi Ibu

kan orang hukum ketika ngomong audit ini dalam commond data itu di mana, maksudnya apa.

Karena saya membayangkan berarti dalam registrasi simcard ini ada dua yang harus diaudit, satu

adalah Kemendagri dengan Dukcapil. Dari temuan kita ternyata sebelum tanggal 3 Maret, Dukcapil

memberikan 8 field kepada semua operator. Berapa jumlah NIK yang sudah diberikan Dukcapil

kepada operator, kemarin tidak disebutkan jumlahnya tapi saya percaya pasti dari 262 juta rakyat

Indonesia mungkin setengahnya sudah dipegang oleh operator, perlu diaudit atau tidak di

operatornya juga.

Terima kasih Ibu, saya menunggu dari Ibu karena saya penjelasannya simple tapi saya

mau belajar lagi kepada Ibu draftingnya akan berbentuk seperti apa.

Terima kasih.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.Sc.):

Terima kasih Bapak Budi.

Silakan Pak Roy.

F-PD (KRMT ROY SURYO NOTODIPROJO):

Terima kasih Mas Satya.

Rekan-rekan Anggota Panja PDP Komisi I DPR RI yang terhormat,

Para narasumber yang sangat saya apresiasi dan kita hormati bersama karena sudah

banyak memberikan pencerahan. Baik dari Mastel, Ibu dari UNPAD dan juga teman-teman

dari Elsam.

Tadi yang mungkin perlu katakanlah menarik untuk kita cermati adalah dari Elsam. Saya

melihat banyak sekali temuan yang katakanlah melihat bahwa ada perbedaan antara negara-

negara yang mungkin dikatakan suka mengambil data atau privasi dari masyarakat dan negara-

negara yang menolak itu atau katakanlah tidak menyetujui ini.

Padahal sebenarnya ini dilakukan seperti tadi yang Bu Evita cerita secara tidak sadar

sistem ini sudah berlangsung kira-kira antara 10-15 tahun yang lalu. Artinya kita memang

dikondisikan, jadi artinya ketika dulu jaman orang mulai menggunakan komputer, komputer dulu

masih stand alone kita sangat aman karena data itu yang melindungi juga kita. Kita tidak terkoneksi

dengan apapun. Kemudian orang membutuhkan perkembangan, orang butuhkan kemajuan,

sehingga kemudian dari masing-masing data itu dihubungkan dengan ada yang lain.

Dan betul tadi apa yang dikatakan teman-teman Elsam orang dibikin tidak sadar, karena

seperti tadi juga sampaikan Bu Evita itu jadi begitu kita baca saking banyaknya term-nya kemudian

25

kita yes-yes saja, padahal itu sangat berbahaya. Tapi tidak di yes-yes pun juga kita sekarang

terjebak begitu Ibu, karena misalnya kalau dulu orang dibikin bisa menyimpan data dalam hardisk.

Lama-lama hardisk itu dibuat tidak nyaman karena apa? Hardisk sudah tidak ada lagi. Orang sudah

simpan semuanya di cloud, antah berantah disana yang kita tidak pernah ngerti.

Dulu 10 tahun yang lalu kira-kira orang muali berkomunikasi kita dibuat dalam sebuah

komunitas di dunia maya. Dulu awalnya e-group namanya. Saya jaman di Mastel dulu awal-

awalnya juga e-group Namanya. Kemudian berkembang jadi yahoo group dan kemudian

berkembang itu disadari atau tidak kita juga menyimpan data-data kita keluar. Dan memang gratis,

tapi memang betul saya setuju tidak gratis karena itu sangat mahal, data kita di lempar keluar.

Nah, jadi mungkin kita perlu juga mendapatkan nanti beberapa tambahan gitu ya posisi

atau yang diharapkan dari teman-teman kepada kami dari narasumber adalah harus ke mana

posisi dari Undang-Undang ini. Karena bukan hanya kita kemudian setuju ini harus ada gitu, karena

di sisi lain seperti tadi perbandingan antara membandingkannya Undang-Undang Keterbukaan

Informasi Publik dengan misalnya Undang-Undang Intelijen yang bisa kemudian mengambil data

itu. Jadi mungkin kalau istilah tadi Ibu bahwa posisinya harus ada di mana, di tengah atau

kemudian lebih ke kanan atau lebih ke kiri.

Jadi saya sekali lagi berterima kasih. Mungkin saya tidak banyak Pak Satya, karena ini

sudah banyak sekali ini adalah para tokoh para narasumber yang sangat kita hormati pendapatnya.

Dan mungkin nanti pada saat diskusi internal kita akan mencoba. Dan beliau-beliau ini bukan

tempatnya untuk kita bantah ya, tapi kita berterima kasih atas pemaparannya.

Saya kira itu dulu, terima kasih.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.Sc.):

Terima kasih Bapak Roy.

F-PDIP (CHARLES HONORIS):

Pimpinan daftar Pimpinan.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.Sc.):

Silakan Bapak Charles.

F-PDIP (CHARLES HONORIS):

Saya hanya ada pertanyaan singkat, Bapak-bapak dan Ibu-ibu ini masih mengganjal dari

kemarin, karena ketika kami meminta penjelasan dari Dirjen Dukcapil maupun Dirjen BRTI terkait

dengan adanya satu NIK yang bisa mendaftarkan sampai 2 juta nomor. Nah, saya ingin bertanya

kira-kira analisa dari Bapak dan Ibu sekalian, ini modusnya seperti apa dan motifnya sebetulnya

apa. Karena ini saya masih mengganjal sekali, ini sebetulnya motifnya apa sih mereka ini dan

modusnya seperti apa untuk bisa mendaftarkan 2 juta nomor untuk 1 NIK.

Terima kasih.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.Sc.):

Ada yang lain?

Kalau enggak ada yang lain.

26

F-PD (KRMT ROY SURYO NOTODIPROJO):

Sedikit Pimpinan.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.Sc.):

Silakan Pak Roy.

F-PD (KRMT ROY SURYO NOTODIPROJO):

Mungkin saya ingin tambahkan pertanyaannya Pak Charles ya. Jadi Bapak kemarin saya

monitor meskipun saya tidak diruangan ini. Artinya, Dukcapil mengakui kita akan mulai bongkar

waktu dari Kementerian Kominfo menyampaikan ada perbedaan data yang sudah registrasi waktu

itu, karena yang terdaftar di operator itu 300 juta nomor, yang terdaftar di Dukcapil 350 jutaan

nomor, ada selisih 40 juta lebih. Dan salah satunya tadi yang disampaikan Bapak Charles atau

yang disampaikan Ibu Evita dari satu KK didaftarkan oleh 2 juta nomor. Ini jelas bukan manual,

saya sangat yakin ini dilakukan oleh robot atau dilakukan oleh sebuah sistem. Dan ini jelas

sebenarnya latar belakangnya ekonomi yang sempat terbersit di kita, karena untuk supaya kartu-

kartu yang sudah dicetak itu tidak hangus. Tapi mungkin dari Bapak-bapak ada pendapat yang

lain. Jadi kalau pendapatnya soal bisnis ya kami ingin minta pendapat yang lain ya.

Terima kasih.

F-PG (ANDI RIO IDRIS PADJALANGI, S.H., M.Kn.):

Bapak Ketua.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.Sc.):

Silakan Pak Andi.

F-PG (ANDI RIO IDRIS PADJALANGI, S.H., M.Kn.):

Terima kasih Ketua.

Jadi begini Pak, sebenarnya persoalan inikan, artinya gini sebenarnya begini kebocoran

ini sebenarnya ada di mana. Jadi kebocoran ini kenapa bisa terjadi, terus letaknya ada dimana

sebenarnya, apakah ada di operator atau yang menjual kartu.

Yang kedua, kira-kira solusi apa yang diambil dalam hal ini oleh Pemerintah ataupun kami

di DPR RI kedepan sehingga tidak terjadi kebocoran tersebut. Jadi solusinya apa konkritnya, kira-

kira apa yang menjadi masalah.

F-PG (DAVE AKBARSHAH FIKARNO, M.E.):

Boleh saya tambahkan sedikit Ketua.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.Sc.):

Silakan Bapak Dave.

27

F-PG (DAVE AKBARHYAH FIKARNO, M.E.):

Menambahkan pertanyaan Bapak Andi Rio dan juga pertanyaan dari Bapak Charles ini.

Kan ramai dibahas di media mengenai Facebook bisa menggiring suara sampai dengan orang lari

dari milih Hillary ke Trump. Saya ingin dengar pandangan professional daripada Mastel dan rekan-

rekan yang lain. Apakah Facebook itu memiliki daya sihir yang segitu hebatnya sampai dengan

negara adidaya dengan jumlah penduduk hampir 300 juta orang dengan Pendidikan itu semuanya

itu, dengan literatenya lebih dari 100% dan lebih dari 80% lulusan SMA, lebih dari 60% lulusan

kuliah, itu bisa tergiring memilih kakek-kakek tua dibandingkan nenek-nenek tua.

Itulah pandangan saya, apakah Facebook segitu hebatnya. Dan korelasinya kepada

Indonesia apalagi sekarang kita sedang menapak memasuki tahun politik 2018 dan 2019 dan kita

sepertinya dibayang-bayangi ketakutan bahwa Facebook akan melakukan hal yang sama di

Pilpres Indonesia dan Pileg 2019. Dan sekarang itu terakhir kalau saya lihat kalau saya tidak salah

lihat, ini mohon koreksi ya pengguna Facebook ada sekitar 1 jutaan di Indonesia yang aktif dan

datanya itu terdata. Apakah pengguna Facebook itu dapat benar-benar juga tergeser pilihan

politiknya kepada salah satu calon atau apakah itu hanya sebuah ilusi yang diciptakan oleh

sejumlah politic of pundits untuk menutupi kesalahan mereka diluar sana dan yang masuk di

Indonesia tambah diolah lagi datanya sehingga membuat satu pemikiran yang berbeda dan lebih

tajam.

Sekian, itu saja terima kasih.

F-PD (KRMT ROY SURYO NOTODIPROJO):

Berarti tahun 2019 tidak boleh milih kakek dan bapak, jadi milih anak muda dong.

F-PG (DAVE AKBARSHAH FIKARNO, M.E.):

Makanya saya siap maju Pak.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.Sc.):

Kalau anak mudahnya maju kalau tidak maju ya tidak jadi.

Terima kasih.

Bapak dan Ibu sekalian,

Saya ingin menambahkan kalau sudah tidak ada yang lain, bahwa memang naturenya

Rapat Dengar Pendapat Umum itukan kita menerima masukan. Dan Bapak-bapak dan Ibu sekalian

adalah para ahli, makanya kita harapkan hadir disini.

Saya malah mengindikasikan sebetulnya kalau dari kebutuhan ini sudah luar biasa. Kita

mendengarkan dari Rapat Dengar Pendapat Umum kemarin sampai hari ini kita luar biasa

kebutuhannya. Tetapi dari sisi karena ini inisiatif dari Pemerintah, saya tidak melihat juga ada satu

self urgency dari Pemerintah bahwa ini harus masuk diprioritaskan di dalam Prolegnas kita. Sudah

masuk di Prolegnas 5 tahunan tetapi tidak masuk spefisik Prolegnas yang diusulkan per tahun.

Inikan sebetulnya sudah tanda tanya buat saya, akan tetapi inilah PR kita semua supaya Bapak

dan Ibu sekalian, menyadari apa yang sekarang terjadi. Karena justru di tengah-tengah kita tidak

mempunyai perlindungan data pribadi yang baik disitulah ada satu pihak yang diuntungkan. Inikan

sebetulnya ada yang memanfaatkan, tidak mungkin sebuah kebutuhan yang esensial akan tetapi

28

tidak ada satu niatan secara Bersama atau kolektif yang bisa membuat ini menjadi satu hal yang

harus kita tuju. Ini yang sebetulnya harus kita dalami kira-kira ada apa sebetulnya.

Seperti begini ya Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, e-votting itu kita sudah mengetahui

kalau kita melakukan e-votting itu akan efisien, cepat dan kira-kira akuratlah. Jadi margin erornya

bisa diperkecil akan tetapi kenapa tidak terjadi di Indonesia. Jadi ini simple saja berarti ada sesuatu

yang diuntungkan dengan tidak menggunakan e-votting. Dari study mengenai e-votting itu sudah

5 tahun yang lalu, periode yang lalu, kebetulan di Komisi saya yang sebelumnya tapi tidak juga

terjadi.

Nah, ini sebetulnya hal yang demikian atau saya tadi kalau dari Elsam sudah memberikan

masukan atau paling tidak branchmark semuanya. Kita butuh dari yang tadi disampaikan ada satu

Undang-Undang terus kira-kira perlindungan datanya ada dimana, di pasal mana, kan tadi sudah

dielaborasi banyak. Kita butuh bantuan Pak, setelah mereka yang diundang-undangnya yang

berlaku disini sudah ada kaitannya paling tidak walaupun belum seperti yang kita harapkan,

berikanlah masukan kepada kami Pak. Jadi kira-kira gap-nya ada dimana, karena saya lihat disini

anda membuat branchmark itu kalau dilihat dari sektor perdagangan ada, keuangan ada,

pertahanan ada, peradilan ada gitu.

Jadi ada satu pasal-pasal paling tidak mengait. Dari sekian banyak pasal itu nanti kalau

yang esensial yang tidak pernah ada atau gap paling tidak yang belum muncul itu apa. Tolong itu

bisa diberikan masukan kepada Komisi I DPR RI supaya nanti kita betul-betul bisa melihat inilah

disini. Sehingga keberadaan Undang-Undang yang baru nanti bisa menutupi itu semuanya.

Itu saya pikir sangat perlu sekali, kalau dari Bapak Kris betul itu tadi mendesak di Undang-

Undangkannya. Kita memang berusaha untuk supaya bisa masuk paling tidak nanti pertemuan

Baleg dengan Bapak Laoly selaku Menkumham, mudah-mudahan bisa betul-betul dimasukkan ini

sebagai prioritas sehingga kita paling tidak mendorong kita untuk melakukan itu.

Yang lain yang ingin saya sampaikan kepada Bapak dan Ibu sekalian, bahwa benar-benar

melakukan atau mengobservasi semuanya. Kalau seluruh dunia sudah begini, sebetulnya nanti

bayangan saya pasti akan ada satu konvensi Bersama bahkan sekarang negara yang tidak

mempunyai perlindungan data pribadi dia tidak akan bisa berhubungan. Inikan menjadi hal yang

trennya akan menjadi positif sebetulnya kalau itu sampai terjadi suatu saat. Kita berbicara kalau

yang sudah berjalan sekarang inikan masalah pengurangan emisi karbon. Pengurangan emisi

karbon menjadi urgency sekali daripada setiap negara sehingga setiap orang kalau kita menjual

sesuatu yang kotor disingkirkan, tidak bisa kita melakukan trade. Nah, itu sudah menjadi kesadaran

universal.

Mudah-mudahan saya mendorong ini mengenai perlindungan data pribadi menjadi

perlindungan yang universal. Yang pada gilirannya mungkin nanti dalam MEA itu juga bisa menjadi

satu peraturan secara Bersama. Nah, in saya yang tidak tahu atau mungkin saya perlu tahu dari

Bapak dan Ibu sekalian, sebetulnya ada kelompok apa yang menghalangi ini semua. Kalau dari

sisi bisnis sudah kelihatan sih orang yang memanfaatkan, dari sisi politik sedikit banyak ada

manfaatnya. Nah, inikan hal-hal yang harusnya kita cermati Bersama-sama karena kesadarannya

saya lihat hampir satu ruangan ini tdak ada yang menolak dari perlunya perlindungan data pribadi,

semua mengatakan perlu tapi tidak terjadi, itukan jadi lucu.

Jadi mudah-mudahan Bapak dan Ibu sekalian, nanti diluar bisa memberikan satu moral

force bahwa ini perlu kita lakukan sementara kita selesaikan PR DPR RI di Komisi I DPR RI agar

hal-hal yang tadi paling tidak secara prosedur mendorong ini agar bisa kita selesaikan juga. Inisiatif

Pemerintah atau DPR RI sama saja sulitnya, tapi kalau lihat fraksi-fraksi yang hadir sekarang ini

kelihatannya luar biasa, sudah satu kesepahaman yang sama. Biasanya yang sulit itu kalau di

DPR RI itu inisiatif DPR RI sulitnya didepan, mudahnya dibelakang. Tapi kalau inisiatif Pemerintah

gampang di depan karena mereka sudah satu dan sulitnya dibelakang karena harus disepakati

29

oleh 10 Fraksi. Mudah-mudahan ini nanti bisa mau inisiatif Pemerintah atau DPR RI nanti bisa

mengambil over karena disana tidak jalan-jalan. Mudah-mudahan dengan satunya fraksi-fraksi

yang seperti nampak pada sore hari ini bisa mempercepat juga proses itu.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan, kalau ada yang nambah pertanyaan silakan.

Ibu Evita silakan.

F-PDIP (Dr. EVITA NURSANTY, M.Sc.):

Ada yang lupa tadi Ibu Sinta, saya mau tanya tadikan katanya 110 sudah mempunyai

Undang-Undang, Asean juga. Dari negara-negara yang sudah mempunyai Undang-Undang

Perlindungan Data Pribadi, menurut Ibu negara-negara mana yang kiranya tepat untuk kita

Indonesia untuk menjadi acuan kita.

Terima kasih.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.Sc.):

Silakan bisa dijawab mulai dari Pak Kris terus langsung urut saja ke Bu Sinta terus Pak

Wahyudi.

KETUA UMUM MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (KRISTIONO):

Baik, terima kasih Bapak Pimpinan.

Jadi yang pertama tadi disampaikan oleh Ibu Evita tentang apakah diperlukan sebuah

Undang-Undang tentang proses registrasi data pelanggan. Sebenarnya kalau kita melihat dalam

perspektif perundang-undangan, maka pada saat kita bicara mengenai proses registrasi data

pelanggan itu mengacu kepada Undang-Undang 36 Tahun 1999 Telekomunikasi yang sampai

sekarang masih belum direvisi. Dan pada saat kita bicara dalam perlindungan data pribadi maka

mengacu pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jadi 2 acuan Undang-Undang

yang berbeda.

Jadi selain dari urgensi untuk miliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang

memang ini sangat mendesak dan sangat urgent diperlukan. Mungkin juga Undang-Undang 36

tentang Telekomunikasi yang saya kira sudah sejak tahun 1999 yang sampai dengan sekarang

saya rasa situasinya yang dihadapi sudah sangat berbeda. Contoh tadi yang disampaikan mungkin

tadi oleh Bapak Satya, saya rasa yang relatively against kepada adanya Undang-Undang dari PDP

ini adalah sebenarnya para penyelenggara aplikasi. Para penyelenggara aplikasi ini adalah global.

Saya rasa mereka relatively against karena mereka adalah bisnisnya adalah mengeksploitasi data

dan data itu yang akan dipakai dia untuk interest mereka, pakah politik, bisnis atau apapun, tapi

mungkin bottom linenya bisnis. Itu pastilah karena kalau kita sudah mempunyai Undang-Undang

untuk itu mereka menjadi kesulitan.

Berbeda dengan situasi sekarang mereka menjadi begitu mudah untuk penetrate

mengenai data penduduk Indonesia. Dan mereka profiling dan untuk kepentingan tadi juga

pertanyaan dari banyak Bapak sekalian bahwa dengan mengcollect data begitu massif, melakukan

profiling maka mereka bisa mengelola ini untuk tujuan-tujuan tertentu apakah itu bisnis, apakah itu

politik dan lain-lain

Nah sehingga yang selain ini yang harus juga kemudian menjadi isu yang juga lama

diperbincangkan mengenai apakah kita tidak perlu mengatur mengenai OTT (Over The Top) yang

selama ini saya rasa dalam 3 tahun terakhir ini sebenarnya drafting Permennya OTT ini juga sudah

diperbincangkan. Karena inikan satu pelaku di luar yuridiksi Indonesia yang kemudian punya

30

penetrasi pelayan Indonesia dan juga termasuk mengkoleksi semua data penduduk Indonesia.

Dan sampai dengan sekarang Permennya sendiri belum keluar. Memang mungkin saja dianggap

tidak cukup seperti Permen mengenai PDP, tapi at least kalau ada sebelum kemudian nanti ada

Undang-Undang yang-yang bisa mengatur mengenai ini mungkin relatif memberikan sesuatu yang

posisi yang berbedalah dalam konteks misalnya global sini yang dia melakukan segala sesuatu

yang gimanapun dengan Permen itu mereka harus gimanapun tunduk juga begitu terhadap segala

ketentuan yang terkait dengan pelayanan mereka di dalam yuridikasi hukum Indonesia, tapi

sampai sekarang tidak ada itu. Sehingga ini juga menurut kami perlu juga untuk dipertimbangkan

sambil menunggu Undang-Undang yang leih firm, mungkin nanti ada di dalam Undang-Undang

Telekomunikasi yang baru.

Nah, kemudian yang selanjutnya.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.Sc.):

Silakan Ibu Evita.

F-PDIP (Dr. EVITA NURSANTY, M.Sc.):

Saya mau tanya Pak, kalau setahu saya Permen itukan sudah ada ya dulu. Kita pernah di

Komisi I dilaporkan Pak Menteri Permen itu sudah ada, salah satu isi Permennya adalah

mewajibkan perusahaan OTT itu untuk BUT (Badan Usaha Tetap) di Indonesia. Kenapa? Ketika

mereka berbentuk BUT otomatis Undang-Undang nasional kita itu berlaku untuk mereka. Saya

pikir itu sudah ada, belum ya Pak?

KETUA UMUM MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (KRISTIONO):

Belum disahkan, jadi barus sebatas drafting yang belum disahkan, sehingga ini juga

menjadi catatan sebaiknya ini juga di segera kan gitu.

Terima kasih.

Hal lain mungkin dari pertanyaan tadi ada Pak Charles, kemudian Pak Andi dan Pak Dave.

Saya kira pertanyaannya hampir mirip-mirip. Terus terang kami tidak mengetahui motif yang

sebenarnya kenapa terjadi demikian. Tapi bahwa indikasi motifnya adalah bisnis saya rasa

mungkin masuk akal begitu ya. Karena kan potensi untuk terjadi ini memang ada, karena di dalam

sistem regristrasi yang diberlakukan adalah selain melalui gerai juga registrasi sendiri. Nah,

registrasi sendiri ini yang menjadi kesulitan untuk dilakukan verifikasi, karena verifikasi sesuai

dengan definisinya adalah pencocokan secara visual. Kalau melalui gerai iya bisa dilakukan, baik

operator maupun gerai mitra, tapi pada saat verifikasi secara sendiri saya rasa verifikasi tidak

mungkin dilakukan, karena dia melakukannya sendiri gitu.

Nah, jadi potensi untuk terjadinya demikian iya karena sistemnya memang terbuka untuk

itu. Nah, walaupun kemudian dari sisi jumlah saya rasa di dalam ketentuan kan registrasi sendri

itu hanya maksimum 3 gitu ya satu operator. Lebih dari itu adalah dia mesti melewati gerai.

F-PAN (BUDI YOUYASTRI):

Pimpinan, pendalaman boleh dengan yang disampaikan.

31

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.Sc.):

Silakan.

F-PAN (BUDI YOUYASTRI):

Jadi gini ada yang buat saya disadari dan menurutku ada something wrong dengan sistem

yang bekerja hari ini. Bapakkan juga mantan operator yang memahami bisnisnya. Kan Bapak

menyatakan bahwa mendaftarkan sendiri itu sebenarnya tidak sesuai dengan Undang-Undang

yang harusnya ada visual. Nah, kalau dilakukan visual dilakukan oleh gerai, sedangkan nomor

itukan miliknya Pemerintah. Apakah ada assignment dari negara dalam hal ini Pemerintah kepada

pelaksana outlet-nya. Itu Key-nya yang membuat saya karena kita terbiasa outlet, outlet itu barang

apa, apakah pertanya saya regulasinya ada dimana outlet itu.

Kemudian yang kedua prakteknya selama ini di masing-masing operator bagaimana itu

prosesnya dari nomor yang diberikan oleh Pemerintah bisa sampai dipegang oleh outlet, petugas

outlet yang paling ujung sekali itu gimana ceritanya kok bisa terjadi, itu saya enggak paham.

Terima kasih.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.Sc.):

Silakan dilanjutkan.

KETUA UMUM MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (KRISTIONO):

Ya, terima kasih Pak Budi.

Jadi tadi saya sampaikan bahwa ada satu penekanan bahwa nomor itu adalah sebenarnya

sumber daya yang terbatas. Jadi artinya bahwa milik Pemerintah dan harus tetap dalam kendali

Pemerintah, walaupun tentunya dikuasakan kepada operator. Nah, dalam konteks ini operator

didalam.

F-PAN (BUDI YOUYASTRI):

Dikuasakan itu ada dasar regulasinya enggak, ada legislasinya enggak.

KETUA UMUM MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (KRISTIONO):

Iya, Peraturan Menteri tentang Penomoran Pak. PM Nomor 21 Tahun 2001 Pak. Jadi

intinya adalah bahwa operator harus tetap di dalam mendistribusikan nomor tersebut harus

memiliki kendali, apakah itu melalui ada outlet atau gerainya sendiri atau gerai mitra yang dilandasi

oleh perjanjian kerja sama antara operator dan mitra. Sehingga dalam Kontek mendistribusikannya

pun harus tetap dalam kendali operator.

F-PAN (BUDI YOUYASTRI):

Itu mitra maupun gerainya punya operator itu diatur di dalam regulasi nomor 21 Tahun

2001 itu?

32

KETUA UMUM MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (KRISTIONO):

Tidak diatur demikian Pak, tapi itu adalah business practises yang dilakukan antara

operator dan mitra.

F-PAN (BUDI YOUYASTRI):

Tidak ada regulasinya itu, internal operator masing-masing.

KETUA UMUM MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (KRISTIONO):

Iya, operator masing-masing.

Jadi tadi yang saya sampaikan adalah tadi kemungkinan terjadinya itu memang ada,

karena tadi disampaikan di dalam Peraturan Menterinya sendiri adalah bahwa pengertian

mengenai verifikasi itu adalah pencocokan secara visual. Nah, sementara dalam sistemnya sendiri

terbuka untuk registrasi sendiri. Nah, dengan registrasi sendiri ini tidak mungkin dilakukan

pencocokan secara visual, sehingga dimungkinkanlah terbuka peluang mungkin registrasi dengan

jumlah yang banyak. Hanya terus terang kami tidak memiliki data tentang hal ini.

F-PDIP (Dr. EVITA NURSANTY, M.Sc.):

Saya bingung Pak Kris, kan ketika kita bikin sistem ini kita bicara komputer. Kalau

Peraturan Pemerintah misalnya hanya 12, begitu NIK itu dan diketik lagi itukan enggak bisa ngetik

harusnya, kan sistem itu bisa diatur. Misalnya orang pakai NIK itu mendaftar tidak bisa lebih dari

10 dari 12 yakan, kita tambah ekstralah 15 misalnya peraturan 12. Itu begitu dia mengetik lagi NIK

itu, itukan seharusnya enggak bisa, sistem itu bisa dibangun ya kan sebenarnya bagaimana

mungkin orang satu NIK bisa dipakai 2 juta bagi saya itu enggak ngerti. Mas Roy itukan bisa dibikin

di dalam software pembangunnya itu begitu dia ngetik registrasi lagi dengan yang sama sudah

tidak bisa.

KETUA UMUM MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (KRISTIONO):

Iya, jadi sebenarnya di dalam ketentuan memang jumlah tidak dibatasi. Mekanismenya

adalah registrasi sendiri maksimum 3 per operator. Lebih dari itu adalah kemungkinan harus

melalui gerai operator atau mitra. Nah, potensi ini yang mungkin saja terjadi begitu ya. Dan online

kemungkinannya adalah bisa dari channel distribusi simcard sendiri ya tensinya.

F-PAN (BUDI YOUYASTRI):

Pimpinan, boleh Pimpinan.

Pertanyaan teknis, possible orang luar meng-entry data sebanyak 2 juta di dalam

sistemnya operator, possible tidak. Sendirian iseng dirumah saya atau saya sewa sebanyak 100

ribu orang mengisi dan si operator tidak paham. Possible tidak? itu pertanyaan teknis.

KETUA UMUM MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (KRISTIONO):

Ya, kalau musara secara manual tentunya enggak masuk akal ya segitu besar. Mungkin

bisa dilakukan dengan mesin atau apa gitu ya.

33

F-PAN (BUDI YOUYASTRI):

Pertanyaan saya bukan dengan mesin, si operator yang menerima data itukan masuk

lewat servernya dan disimpan di databasenya operator. Operator punya daftar tidak untuk melihat

kira-kira teknikal atau dia enggak lihat itu, enggak akan kelihatan di dalam sistem ada pick yang

sangat hebat di satu nomor.

KETUA UMUM MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (KRISTIONO):

Mohon maaf mungkin saya enggak bisa memastikan ya, karena kami tidak mereview

sistem yang ada di operator. Tapi mungkin yang kami tadi sampaikan mengenai registrasi sendiri

kenapa itu dibuka? Karena memang kondisi lapangan yang seperti Indonesia saya rasa tidak

semua operator dia akan memiliki gerai atau gerai mitra yang cakupannya sangat luas, sehingga

memang dibuka sistem registrasi sendiri. Jadi itu memang disesuaikan dengan situasi lapangan

yang saya rasa tidak semua operator memiliki jangkauan yang luas.

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Mungkin bisa ditambah oleh Pak Teguh masalah ini pertanyaan dari Pak Budi tadi.

KABID. KEBIJAKAN STRATEGIS MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (TEGUH

PRASETYA):

Ya mungkin kalau boleh menambahkan Pak Budi tadi pertanyaannya tentang secara

teknis mungkin atau tidak. Kalau mereka tidak diberikan otorisasi tentunya tidak, kan sekarang

jaman IT ya tapi kalau semua diberikan otorisasi ada kemungkinan, cuma seperti apa

kemungkinannya tentunya mungkin yang lebih bisa menjawab teman-teman di dalam mata rantai

registrasi itu sendiri lah. Kan itu ada end user manual ya 2 juta kemenglah gitu kata Mas Roy ya

bisa pulang ke Jogja beliau entar gitu kan.

Nah, tapi kalau mesin apakah mesinnya itu server, apakah ya macam macamlah gitu ya,

itu dimungkinkan kau diberikan akses gitu, karena kan servernya dengan server Dukcapil kan

hanya mencatat dan memberikan feedback itu saja.

Mungkin tambahannya seperti itu Bapak Ketua.

Operator mungkin dalam hal ini operator kan ada di tengah ya Ibu, mungkin kan bisa-bisa

mesinnya operator, bisa mesinnya gerai, bisa mesinnya siapa lagi tuh mitranya gitu ya. Kan

masing-masing punya mesin untuk kalau itu dilakukan oleh mesin registrasi yang bisa massif kan

cuma mesinnya dalam hal ini.

Mungkin itu tanggapan teknis tapi untuk urusan yang lain kita enggak tahu Pak.

Terima kasih.

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Silakan lanjutkan Mas Kris.

Ya mungkin Pak Andi nanti yang bisa jawab diluar secara adat.

Silakan Pak Kris.

KETUA UMUM MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (KRISTIONO):

Mungkin saya rasa pertanyaan terakhir tentang seberapa hebatkan sih facebook dan lain-

34

lain bisa menggiring voters untuk memilih seorang begitu. Saya rasa ini aspek pengelolaan data,

murni pengolahan data, sehingga bisa dilakukan profiling dan lain-lain sehingga memang didesain

untuk tujuan-tujuan tertentu, sehingga tadi saya sampaikan juga sebaiknya Permen OTT ini juga

bisa disegerakan karena pada umumnya mereka yang melakukan ini gitu. Sehingga paling tidak

mereka sudah ada ikatan dengan supaya tunduk pada juridiksi hukum Indonesia juga, walaupun

mungkin pada tingkat Permen mungkin relatif tidak cukup ya, tapi at least kalau itu ada paling tidak

mereka punya kewajiban.

Terima kasih.

F-PDIP (Dr. EVITA NURSANTY, M.Sc.):

Saya sebenarnya menarik dengan apa yang Bapak sampaikan sebelumnya, bahwa

registrasi simcard pakai penggunaan simcard ini sebenarnya kan teknologi terkini sekarang,

sebenarnya ke depan kita enggak pakai itu lagi ya kan seberang enggak perlu di registrasi. Bapak

katakan banyak di negara yang tidak melakukan registrasi.

Pengalaman saya Pak, ke negara manapun saya pergi ketika saya beli telepon lokal, itu

mereka pasti minta passport saya. Enggak begitu mudah seperti kita kepada counter telepon kita

beli 5, beli 10 kasih duit barang dapat. Enggak bisa, kita di luar negeri sampai negara pelosok

manapun kita pergi ketika kita mau beli sim lokal itu pasti passport kita diminta. Nah, ketika dia

minta passport kita itu berarti kita meregistrasi nomor kita. Jadi sebenarnya berlaku registrasi

simcard ini berlaku di negara manapun saat ini gitu.

Terima kasih.

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Silakan Pak Kris kalau masih ada.

KETUA UMUM MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (KRISTIONO):

Terima kasih Ibu Evita.

Mungkin ini juga tadi mengacu kepada penjelasan dari teman Elsam. Jadi sesuai dengan

studinya GSMA memang model registrasi simcard ini tidak standar di semua negara. Jadi berbeda

antara negara satu dan negara lain, kan terlihat dari kebutuhan masing-masing negara itu sendiri.

Jadi tujuannya untuk apa begitu, jadi mungkin negara lain yang tidak mengadopsi sistem registrasi

yang seperti ini, mungkin dia menggunakan miliki sistem yang lainnya untuk tujuan tersebut begitu.

Jadi maksud saya adalah demikian.

Terima kasih.

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Oke silakan mungkin lanjut ke Bu Sinta ya silakan ditanggapi pendalaman kita.

KETUA CYBER LAW CENTER FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJAJARAN (DR. SINTA DEWI S.H. LL.M.):

Baik, terima kasih.

Saya akan menjawab tadi pertanyaan dari Ibu Evita tentang Undang-Undang

Perlindungan Data Pribadi itu nanti seperti apa sebetulnya yang sekarang sedang kita coba

selesaikan. Jadi sebagaimana negara lain, jadi di dalam draftnya itu ada yang disebut sebagai

35

prinsip-prinsip perlindungan. Yang memang sudah berlaku secara universal tadi menjawab

sekalian merespon tadi dari Bapak Ketua bahwa memang ini sudah kita coba adopsi di dalam

Rancangan Undang-Undang. Kemudian prinsip apa sih sebetulnya yang ada? Yang terpenting itu

sebetulnya prinsip bahwa salah satunya bahwa data pribadi itu pemrosesan dan koleksinya harus

ada kesepakatan dari pemilik data itu yang pertama. Kemudian data itu dikoleksi secara terbatas,

sesuai dengan kebutuhan awal. Jadi seperti misalnya data itu dikoleksi oleh Kementerian Dalam

Negeri untuk e-KTP. Itu boleh, tetapi sebetulnya dari Kementerian Dalam Negeri itu tidak boleh di

sharing lagi, apalagi kepada pihak swasta. Jadi itu harus ada kesepakatan dari pemilik data.

Jadi di situ ada mekanisme bahwa prinsip keamanan data, ada prinsip bahwa data itu tidak

boleh digunakan untuk kepentingan di luar apa yang dikoleksi pertama. Jadi itu prinsip-prinsip yang

ada, jadi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi itu berbeda dengan Undang-Undang lainnya,

karena walaupun sudah ada Undang-Undang yang memberikan perlindungan tetapi itu sangat

general. Kalau ini sangat spesifik artinya ada prinsip, ada mekanisme, ada tanggung jawab dari

pengendali dan pemroses data.

Jadi kasus seperti facebook itu sebenarnya kalau Undang-Undang yang kita coba adopsi

adalah menggunakan model komprehensif yang ada di EU sana. Jadi pengendali data beda,

pemroses data beda, sehingga facebook atau bank, misalnya bank yang menyelenggarakan untuk

industri kartu kredit. Bank mengatakan bahwa yang mau mengambil data itu agen saya. Nah, kalau

dengan Undang-Undang ini itu masuk ke dalam pengertian bank itu pengendali data. Agen itu

adalah pemroses data, kalau terjadi kesalahan banknya kena. Sekarang bank mengatakan itu

bukan saya itu agen.

Nah, hal-hal seperti ini yang coba kita masukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang

Perlindungan Data Pribadi. Hanya memang tadi permasalahannya adalah diharmonisasi dengan

beberapa kementerian belum selesai. Mungkin ini nanti karena saya hanya sebagai narasumber

jadi nanti mungkin Kominfo yang memiliki kewenangan untuk menjawab semua ini.

F-PAN (BUDI YOUYASTRI):

Pimpinan, pendalaman pimpinan.

Pernyataan Ibu buat saya agak bingung tuh. Negara kan punya fungsi untuk memudahkan

warga negaranya melakukan kegiatan hidupnya sehari-hari. Salah satu kepentingan kita terhadap

single id number e-KTP dalam konteks ini karena pilihannya waktu itu dilakukan oleh Kemendagri,

kan fungsinya menjadi fasilitas bagi semua fungsi-fungsi publik, fungsi-fungsi pelayanan

Pemerintahan kepada seluruh warga negara Indonesia. Artinya, jika orang buat SIM kan tidak

harus juga memasukkan datanya ulang. Kalau mendaftar sekolah NIK-nya orang tua sudah ada

enggak perlu lagi mengisi pakai kertas.

Menurut Ibu itu enggak boleh gitu jadi, kalau Kemendagri yang ngambil datanya terus di-

share kepada Kementerian yang lain atau fungsi-fungsi pelayanan publik yang lain.

KETUA CYBER LAW CENTER FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJAJARAN (DR. SINTA DEWI S.H. LL.M.):

Tadikan saya menyampaikan sepanjang itu untuk pelayanan publik itu boleh. Tetapi tidak

boleh itu di-share untuk kepada pihak swasta untuk komersil, yaitu untuk pemasaran atau untuk

bisnis-bisnis swasta itu yang tidak boleh. Jadi ada mekanisme bahwa si pemilik data harus tahu

bahwa datanya nanti dikemanakan.

Jadi nanti di dalam Rancangan Undang-Undang pun ada mekanisme bahwa, sipemilik

data itu kan memiliki kontrol terhadap data pribadinya, jadi diberi tahu keberatan atau tidak.

Pertanyaan kemarin bahwa kepentingan publik itu pelayanan publik itu seperti apa, itu harus juga

36

didefinisikan dengan baik untuk apa gitu. Jadi yang memang dalam Rancangan Undang-Undang

Perlindungan Data Pribadi itu yang tidak boleh adalah Pemerintah men-share data kepada swasta

untuk kepentingan pemasaran atau siapapun untuk kepentingan pemasaran itu tidak boleh.

Artinya, si pemilik data harus dikasih tahu keberatan atau tidak. Kalau tidak keberatan ya tidak

apa-apa. Tapi ada mekanismenya bahwa sipemilik data diberikan pilihan untuk menentukan.

Jadi nanti yang namanya persetujuan itu harus ada form-nya yang secara spesifik

disediakan oleh pengendali data.

F-PDIP (Dr. EVITA NURSANTY, M.Sc.):

Saya mau tanya hampir sama dengan Mas Budi. Saya tapi ambil contoh yang lain,

menurut Ibu gimana. Sekarang ini, contoh kita terima iklan di SMS kita, misalnya pameran ini ya

kan, sudah dikasih nama lah kalau enggak organizer, kalau enggak ini atau yang lain-lain, tanggal

sekian ini pameran. Sampai dampak kita ilkan itu, itukan dia mempergunakan data-data kita

diberikan kepada orang lain pihak ketiga, itu menyalahi aturan kan bu. Karena begini, SMS yang

bertubi-tubi karena setahu saya kita bisa pesan kepada operator kita mau informasi kita ini dikirim

kepada 1000 orang, umurnya sekian, mata pencariannya sekian-sekian rangenya, etapi

operatorlah yang mengirim SMS blast Namanya dikirim kepada orang-orang, termasuk kita terima

SMS blast itu. Tanpa ijin saya sebagai pelanggan nomor saya sudah diberikan, dipergunakan oleh

operator. Kerugian saya sebagai pelanggan apa, memang data pribadi saya tidak dibuka oleh

operator. Kerugian saya ketika saya keluar negeri, saya buka SMS saya harus bayar, pelanggan

dirugikan 5 ribu per SMS. Bayangkan ketika kita bertubi-tubi terima SMS yang isinya itu adalah

promosi, kita berada di luar negeri bill telepon kita itu tinggi untuk membayar SMS yang masuk

yang tidak atas permintaan kita. Itu kan namanya kita tidak dilindungi oleh operator kita. Benar

tidak Ibu, mumpung ada operator juga disini.

Terima kasih Ibu.

KETUA CYBER LAW CENTER FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJAJARAN (DR. SINTA DEWI S.H. LL.M.):

Justru itu yang akan diatur di dalam konsep Rancangan Undang-Undang itu, bahwa itu

yang akan nanti diatur dengan 7 prinsip dasar tadi begitu. Jadi mungkin contoh Singapura,

Singapura bahwa kita konsumen boleh meminta kepada operator tolong telepon saya jangan

diberikan kepada ini-ini ini begitu. Justru itu yang akan diatur di dalam rancangan Undang-Undang

ini kalau memang itu nanti selesai.

Kemudian yang kedua.

F-PG/WAKIL KETUA KOMISI I (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.Sc.):

Sebentar saya ingin tambahkan sedikit. Inikan menyangkut masalah kesadaran,

menyangkut masalah Pendidikan, menyangkut masalah segala macam aspek. Nah, ini yang

dimanfaatkan oleh pebisnis ini, kan ini sebetulnya bisnis ini sebagai bisnis bagaimana bisa

membodohi orang saja. Dimanfaatkan dari tingkat ketidak tahuan itu untuk kepentingannya. Nah,

sebenarnya kalau saya melihat ini semuanya nanti diundang-undang sebutkan saja defaultnya

tidak boleh. Jadi defaultnya itu, sekarang kalau misalkan apa orang itu mengizinkan,

mengikhlaskan dirinya untuk memang mau dibuka itu atas dasar persetujuan dia. Kalau sekarang

tidak, sekarang tuh orang dihadapkan pada pilihan, orang kalau ngerti bahasa Inggris bagus, kalau

lalu dia tidak ngerti yes, yes, yes, tadikan. Nah, itukan karena kelemahan, ini sebetulnya

memanfaatkan saja saya lihat dan itu sudah berapa tahun sebetulnya sudah berapa tahun mereka-

37

mereka itu sudah menikmati keuntungan ini luar biasa sudah. Tapi inilah ongkos kebodohan, kalau

menurut saya yang mesti kita telan hari ini.

Jadi sebetulnya kalau kita mau bikin aturan, aturan kita bikin posisi yang paling rendah

dimana kita dealing dengan masyarakat yang tidak mempunyai kesadaran atau intelektual yang

cukup lah. Jadi itu harusnya bisa menjadi basis kita, kita bikin semua begitu saja biar yang pinter

nanti itulah yang baru mulai kita declair nanti, oke saya sepakat untuk dibuat, ini saya buka.

Sehingga orang lain tidak dirugikan gitu, orang paling rendah itu tidak dirugikan.

Saya cenderung untuk ke arah situ sebetulnya supaya itu masuk dalam 7 prinsipalnya Ibu

tadi cara perlidungan itu.

Terima kasih.

F-PAN (BUDI YOUYASTRI):

Pimpinan, lagi Pimpinan nanya ke Ibu Sinta, pertanyaan saya menjadi basic lagi. Ibu

belum jelaskan 7 prinsip tadi, tapi saya basic apa itu pribadi, apa itu public, saya jadi bingung.

Karena Kemendagri mendefinisikan semua data itu, dia hanya dia menyatakan dia hanya

mengatakan data private itu, data pribadi itu hanya data mata, data sidik jari. Sedangkan data

nama, orang tua, itu data publik, tidak perlu dipublikasi tapi itu data publik yang menjadi

kewenangannya Pemerintah, dia mendefinisikan begitu.

Saya bingung sebenarnya apakah tanggal lahir saya itu data pribadi atau orang lain boleh,

atau saya ini laki-laki atau perempuan itu data pribadi atau data publik ya. Saya basic lagi Ibu

pertanyaannya, karena bangsa kita itu kan kolektif. Kita punya problem serius bangsa kita bangsa

kolektif, bukan orang yang penyendiri yang mau membedakan dirinya ekstrim dengan lingkungan

sekitarnya. Semakin kita terpisah dengan lingkungan kita menjadi tidak nyaman, pengennya sama.

Pengennya sama ya di-sharelah sambil ngerumpi dirumah. Itukan basicnya kita.

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Silakan Ibu Sinta dilanjutkan.

KETUA CYBER LAW CENTER FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJAJARAN (DR. SINTA DEWI S.H. LL.M.):

Justru ini yang menjadi sumber perbedaan antara Kemendagri dan draft kita, karena

perbedaan definisi tentang data pribadi. Yang kita ambil adalah kita kembali lagi, saya ulangi

bahwa kita menerapkan definisi yang sama dengan negara lain. Data pribadi adalah data yang

bisa mengindentifikasi seseorang atau terindentifikasinya seseorang. Jadi menurut draft yang kami

usulkan yang namanya data pribadi adalah data yang bisa mengidentifikasi seseorang, jadi

misalnya saya Sinta Dewi tanpa dikombinasikan disatukan dengan data nomor email saya, IP

protokol saya tidak ada artinya. Tetapi data sepanjang data itu bisa mengindentifikasi seseorang

itu yang menjadi definisi dari RUU yang diajukan oleh Kominfo.

Termasuk nanti dibedakan antara data yang biasa dan data yang sensitive, misalnya data

tentang biometric itu disebut sebagai data yang sensitif. Jadi artinya data memerlukan

perlindungan khusus, artinya kesepakatannya harus secara jelas dia itu tertulis gitu.

Nah, mungkin ini tugas dari Pak Menteri nanti untuk melakukan harmonisasi dengan Pak

Menteri Dalam Negeri yang sekarang masih salah satu yang belum disepakati adalah definisi dari

data pribadi, karena Kementerian Dalam Negeri ingin kita sudah mempunyai Undang-Undang

Administrasi Kependudukan. Sehingga kita ingin dibedakan atau ingin dikecualikan gitu. Itu yang

masih belum ada kesepakatan gitu

38

Kemudian tadi menyambung pertanyaan Bu Evita, negara mana sih sebetulnya yang bisa

dijadikan contoh. Kalau yang menurut EU paling bagus itu adalah New Zeland sebetulnya, karena

dia sudah dinilai setara tetapi kalau di negara Asia itu sebetulnya Korea Selatan yang dianggap

cukup untuk dianggap setara tetapi dia tidak juga meninggalkan, tidak sepenuhnya ikut kepada EU

karena memang terlalu strict gitu. Jadi yang dianggap bagus itu adalah salah satunya adalah Korea

Selatan kalau di negara Asia. Kalau Singapura diangap cukup pro pelaku bisnis, sedangkan

Malaysia yang tadinya ingin komprehensif artinya Pemerintah dan pelaku bisnis tidak berhasil

karena Pemerintahnya tidak mau masuk tunduk ke dalam Undang-Undang Perlindungan Data

Pribadi.

Yang ada kemarin Philipina, Philipina sama dengan approach kita adalah komprehensif.

Tapi nanti ini juga menjadi tantangan tersendiri untuk Indonesia karena di berbagi kementerian

yang lain sebetulnya kemarin menurut info dari Kominfo sudah lancar hanya dengan Kementerian

Dalam Negeri ada beberapa yang harus diselesaikan.

F-PDIP (Dr. EVITA NURSANTY, M.Sc.):

Sama Ibu menarik ini, saya mau tanya sama Ibu. Menurut Ibu, apakah statement

Pemerintah yang dikeluarkan bahwa untuk sementara waktu kita jangan pakai facebook dulu. Itu

tepat atau tidak? Saya pribadi mengataka itu adalah kayak pemadam kebakaran ya kan, ada

apinya kita padamkan apinya tapi asal usul api itu kita enggak cari. Bukan itu solusinya

menghadapi facebook, itu maksud saya. Menurut Ibu seperti apa?

Terima kasih.

KETUA CYBER LAW CENTER FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJAJARAN (DR. SINTA DEWI S.H. LL.M.):

Harus memiliki undang undangnya dulu gitu. Dan tadi saya sepakat bahwa default-nya

kemarin juga kita di dalam perancangan RUU default-nya adalah kementerian mengatakan default-

nya ya sudah dilarang saja begitu. Dilarang saja karena memang tapi waktu saya masih

memberikan ruang untuk konsen, tetapi ya itu kan draft-nya adalah kewenangan dari Kominfo di

sini. Jadi menurut saya undang undang-nya harus ada dulu. Karena melalui Undang-Undang ini

public awareness-nya itu bisa dibangun oleh Undang-Undang ini.

Kira-kira seperti itu.

F-PAN (BUDI YOUYASTRI):

Pimpinan, lagi Pimpinan.

Penasaran dengan Ibu, Ibu jika pilihan politiknya adalah kita meng-exclude kan

permintaan Pemerintah yang lain semacam Kemendagri mungkin juga Undang-Undang

Kesehatan. Secara filosofi dari definisi yang Ibu sebutkan tentang data pribadi berubah atau tidak.

Atau bisa ditemukan teori baru terhadap hal ini. Ini, jadikan pada prakteknya pasti kompromi, di

politik itu selalu kompromi dan politik itu mewakili kesadaran kita berbangsa. Tetapi ia menjadi

penting buat kami dari Ibu, bisa enggak dikonstruksi baru tentang saya data pribadi penting tapi

bangsa Indonesia itu bukan bangsa yang service. Jadi saya melihat kenyataan dominasi dari

aplikasi global itu memaksa kita beradaptasi, tapi di sisi lain bangsa kita itu bukan bangsa yang

egois pengennya berbagi terus. Kebahagian kita, nilai kebahagian kita itu berbagi bukan

ngumpetin, kebahagian kita itu berbagi.

Jadi menurut saya perlu dibuat definisi baru atau teori baru tentang hal ini. Itu pertanyaan

saya, jadi konstruksinya apa dan bisa ditemukan tidak seperti pilihannya Malaysia tadi.

39

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Silakan Bu Sinta, ini sudah mulai kelihatan filsafat.

KETUA CYBER LAW CENTER FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJAJARAN (DR. SINTA DEWI S.H. LL.M.):

Kalau pendapat saya tidak ada yang bisa dikecualikan Pak, kalau ada yang 1 dikecualikan

yang lain minta dikecualikan. Tidak ada yang bisa dikecualikan itu menurut pendapat saya. Jadi

privasi itu bukan menyembunyikan, its not about secret, secara teori privasi itu bahwa ada sesuatu

informasi yang mengganggu kita. Jadi bukan sesuatu yang harus disembunyikan sebetulnya, tapi

perasaan nyaman kita yang terganggu di situ.

Jadi kalau kita bicara filosofis sebetulnya, kemarin ditemukan beberapa pendapat bahwa

sebetulnya ini bukan masalah konsep barat atau masalah konsep timur sebetulnya. Jadi suatu

konsep yang sekarang sudah diterima secara universal itu adalah konsep tentang Hak Asasi

Manusia.

Jadi sebetulnya dari segi regulasi Undang-Undang itu harus memiliki suatu posisi yang

lebih tinggi dari pada hak milik. Karena kemanapun, misalnya saya Sinta Dewi meninggal sebagai

Shinta Dewi dengan datanya seperti itu, itu menurut pendapat saya. Sehingga individu memiliki

kontrol terhadap informasinya. Jadi mungkin kepada Pak Budi, kita sudah ada naskah

akademiknya Pak, nanti mungkin bisa kita share kepada DPR sehingga nanti ada konsep-konsep

dasar yang dibangun, yang mendasari dari rancangan Undang-Undang ini.

Terima kasih.

F-PDIP (Dr. EVITA NURSANTY, M.Sc.):

Saya mau tanya Ibu, gimana caranya bu? Sekarang kan KTP kita seumur hidup.

Bagaimana kita bisa memonitor siapa yang mati, siapa yang hidup, jumlah penduduk kita ini kalau

dulu kan tiap 5 tahun kan kita perpanjang KTP kita. Di situ ketahuan orang yang sudah masih ada

atau orangnya sudah meninggal gitu kan bu ya. Dengan KTP seumur hidup ini data kependudukan

kita itu seperti apa.

Terima kasih.

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Silakan Ibu, atau mungkin nanti Bapak Wahyudi tapi Ibu dululah kalau tidak langsung

Bapak Wahyudi yang bukunya banyak tebal ini.

KETUA CYBER LAW CENTER FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJAJARAN (DR. SINTA DEWI S.H. LL.M.):

Izin Ibu Evita, bahwa Rancangan Undang-Undang ini sebetulnya tidak mengatur orang

yang meninggal, jadi yang hidup. Jadi seseorang yang hidup, jadi yang meninggal itu dikecualikan.

Tidak diatur maksudnya di dalam Rancangan Undang-Undang.

F-PDIP (Dr. EVITA NURSANTY, M.Sc.):

Saya mempunyai hak menuntut apabila ada orang yang menjual data pribadi orang tua

saya. Itukan berarti kan yang meninggal tidak punya hak tapi ketika data Bapak saya itu

40

dikeluarkan oleh yang tidak berhak saya bisa menuntut gitu Ibu.

Terima kasih.

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Bagaimana? Kalau tidak kita langsung Bapak Wahyudi.

DEPUTI DIREKTUR RISET LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT (WAHYUDI DJAFAR):

Saya melanjut dan penjelasan yang lain-lain, memulai dari pertanyaan terakhir dari Bu

Evita soal bagaimana dengan yang meninggal dunia, lalu kemudian status datanya seperti apa.

Sebenarnya kalau dibaca di keseluruhan Undang-Undang Perlindungan Data di berbagai

dunia itu kan diatur tentang penghancuran data. Penghancuran data itu dimaksudkan untuk orang-

orang yang memang iya telah meninggal. Dan kalau kita membaca Undang-Undang Administrasi

Kependudukan maupun di dalam peraturan Pemerintah yang mengatur tentang administrasi

kependudukan itukan diatur pencatatan orang yang meninggal, makanya keluar akta kematian.

Nah, mustinya berdasarkan akta kematian itu pejabat yang mengelola data pribadi warga negara

dalam konteks identitas kependudukan itu melakukan penghancuran. Sayangnya di Indonesia itu

kan klausul atau aturan tentang penghancuran data itu belum diatur. Jadi memang orang yang

sudah mati bisa dibangkitkan gitu kan, karena datanya masih ada itu.

Itukan sebenarnya praktek yang sama yang terjadi di Amerika Serikat, Amerika serikat itu

kan tidak memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang kuat, sehingga kemudian data-

data pribadi orang yang sudah meninggal itu bisa dipindah tangankan ke orang yang lain, misalnya

dalam konteks perlindungan saksi dan korban. Dia diganti identitasnya, identitas yang digunakan

oleh orang yang menggunakan identitas baru itukan identitas orang yang sudah meninggal.

Kenapa? karena di sana tidak ada tadi kewajiban menghancurkan data pribadi ini.

Nah, kalau kita baca rumusan Undang-Undang yang ada itu kan mulai dari pengumpulan,

pemrosesan, penyimpanan, penggunaan, sampai penghancurannya bahkan diatur di Undang-

Undang Perlindungan Data Pribadi, termasuk data-data orang yang meninggal dunia tadi.

Nah, saya meresponnya lain tadi isu tentang mungkin saya berangkat dari facebook.

Pertanyaannya adalah bagaimana sih prakteknya sampai kemudian facebook bisa memengaruhi

preferensi pemilihan seseorang terhadap kandidat tertentu. Inikan sebenarnya praktek identify

behavorial, bagaimana mencermati prilaku seseorang dengan melihat secara terus-menerus

berdasarkan data-data pribadi yang dikumpulkan itu. Nah, berdasarkan identifikasi behavorial itu

kemudian dikirim karena berbagai macam iklan untuk memengaruhi preferensi pemilih. Misalnya

ini sebagai contoh Ibu Evita ini tipicalnya kalau di facebook begini-begini sehingga disimpulkan

orangnya begini, maka untuk mengubah pilihan politiknya kita kirimkanlah iklan-iklan ini, maka

ketika dia datang ke TPS maka akan berubah pikirannya

Setelah saya melihat iklan-iklan ini, misalnya ini ada Pak Satya yang sangat anti hoax,

maka kemudian dia menjadi orang yang sangat realistis, sangat rasional, maka kemudian ia tidak

akan dikirimi hoax akan tetapi dia akan dikirimi berita-berita yang sangat akurat dan berubah

preferensi politiknya, tapi ini dilakukan dalam skala besar dan digunakan mesin. Dan sebenarnya

praktek inikan umum dilakukan dalam praktek-praktek pemasaran setidaknya dalam konteks

mengubah preferensi pilihan politik seorang. Hampir semua perusahaan marketing mungkin

melakukan itu dengan identifikasi behavorial itu.

Nah, yang berikutnya terkait dengan registrasi simcard. Ini memang debatnya kita mau

mengatur dengan apa. Bulan Maret lalu kongres Philipina itu baru menerima usulan senat untuk

mengesahkan Undang-Undang khusus tentang registrasi simcard. Philipina 2012 sudah

41

mengesahkan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Privasi. Tahun 1990-an Philipina sudah

mengesahkan Undang-Undang Anti Wiretapping. Hari ini mereka mengesahkan Undang-Undang

Simcard Registration, Mandatory Simcard Registration dengan alasan tentunya terorisme. Jadi

memang di berbagai negara rata-rata kebijakan regstrasi simcard itu secara mandatori diatur

dengan Undang-Undang. Ada yang pangkalnya Undang-Undang Telekomunikasi beberapa

negara Afrika menggunakan itu, ada yang pangkalnya Undang-Undang Intersepsi Komunikasi

artinya larangan intersepsi komunikasi secara sewenang-wenang, ada yang pangkalnya secara

khusus dibentuk Undang-Undang Registrasi Simcard atau misalnya bahkan di Polandia itu di

Undang-Undang Antiterorisme-nya itu memberikan kewajiban registrasi simcard. Jadi sebenarnya

mandatory simcard registration itu tidak semata-mata turunan dari aturan Telko tapi juga turunan

dari aturan-aturan yang lain dalam konteks keamanan nasional dan penegakan hukum.

Yang lain dalam kasus Philipina itu Telko secara ramai-ramai itu menolak kewajiban

registrasi simcard. Jadi Telkonya di sana secara terbuka menolak kewajiban ini bukan oleh

Pemerintah dan itu didukung oleh aktivis-aktivis yang lain. Saya di sini enggak tahu apakah

operator menolak atau tidak gitu kan, karena praktek di beberapa negara misalnya kasus di Afrika

Selatan setelah diberlakukan registrasi simcard atau mandatory simcard registration itu pelanggan

operator langsung mengalami penurunan. Dan itu mungkin akan terjadi Indonesia dan sepertinya

sudah terjadi. Telkomsel sudah 5%, jadi memang tren penurunan itu terjadi di semua negara yang

mewajibkan simcard registration tadi.

Lalu kemudian soal kebocoran dan penyalahgunaan. Jadi mungkin semua pihak akan

mengatakan kebocoran tidak terjadi, tapi yang terjadi adalah penyalahgunaan dan

pemindahtangan data secara semena-mena. Kenapa itu terjadi? Hari ini kita masih dengan mudah

memindahtangankan data-data pribadi kita kepada pihak lainnya, siapapun, tidak hanya operator

telekomunikasi, tidak hanya apa namanya Pemerintah, tetapi juga pihak-pihak yang lain, kita bisa

dengan mudah meninggalkan KTP kita di sebuah Gedung, karena kita akan masuk ke gedung itu

misalnya, itu kan yang paling praktikal itu kan dan itu terjadi.

Lalu sebenarnya di dalam Undang-Undang ITE kita Pasal 26 Ayat (1) dan (2) itukan

mengatur tentang apa sih yang harus dilakukan ketika pemindahtanganan data pribadi itu

dilakukan secara semena-mena atau tidak melalui izin dari sipemilik data, bisa melakukan gugatan

perdata ke pengadilan, tetapi sayangnya membuktikan itu kan sulit sekali siapa yang sudah

pemindahtanganan data-data pribadi kita.

Yang kedua terkait dengan kebocoran itu, tadi soal verifikasi kok bisa sih satu NIK dipakai

2 juta nomor gitu kan, pasti mesin yang melakukan. Tetapi tentu kan harus kita curigai bagaimana

kerja sistem verifikasinya kok dia bisa meng-approve, bisa meng-accept NIK yang sudah

digunakan berkali-kali padahal tadi kan mustinya algoritma-nya kan sudah disetting hanya untuk

12 nomor. Nah, saya berangkat dari pelajaran saya pribadi, saya menggunakan fasilitas untuk

verifikasi NIK terlebih dahulu. Saya kirimkan NIK saya apakah sudah digunakan atau belum,

ternyata belum tetapi tidak saya coba berkali-kali untuk mendaftarkan nomor-nomor saya

semuanya ditolak dan dianggap salah nomor induk kependudukan saya, itu kan berarti ada

problem di registrasi nomor induk kependudukannya. Jadi semuanya inikan kelit-kelindan antara

nomor induk kependudukan, antara sistem verifikasi, antara nomor simcard. Jadi semuanya

mungkin pangkalan soal ini bisa di tiap-tiap level itu, tidak kemudian bisa di arahkan misalnya

hanya di nomor simcardnya atau di NIK atau di situ verifikasinya. Jadi semua bisa terjadi.

Yang lain bagaimana praktek-praktek konvensi internasionalnya, apakah mungkin

didorong sebuah kesepakatan Bersama. Hari ini yang paling kuat itukan Uni Eropa, jadi ketika dulu

mereka tahun 95 punya EU Directive tentang personal data protection, lalu kemudian menguat

setelah keluar beberapa putusan pengadilan dan keluar general data protection regulation, kan

baru itu di tempat lain belum. Tetapi sebenarnya ada komunitas-komunitas lainnya yang telah

42

memiliki kesepakatan Bersama. OECD itu ada dan punya guidelines tersendiri tentang general

data protection. Lalu kemudian AIPEC Indonesia juga Anggota AIPEC mereka juga punya 1

platform tersendiri tentang data protection, tetapi sayangnya Indonesia belum comply.

Yang lain misalnya kalau kita mengikuti pertemuan-pertemuan G20 itukan misalnya

resolusi yang dikeluarkan untuk peningkatan ekonomi digital, maka harus dipastikan regulasi

mengenai cyber security dan data protection, tetapi sayangnya kan Indonesia belum mengunakan

kesepakatan internasional itu untuk mempercepat proses pembahasan Rancangan Undang-

Undang Perlindungan Data Pribadi.

Nah, ke depan bagaimana? Sebenarnya kan isu penguatan instrumen perlindungan data

pribadi itu erat kaitannya dengan kesepakatan hukum internet ini mau ditempatkan di mana, karena

lonjakan aturan atau lonjakan kesepakatan yang terkait dengan data privasi itu kan karena ada

inplikasi dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Sampai hari ini sendiri itu kan kita

belum ada kesepakatan sebenarnya hukum internet ini privat law atau public internasional law.

Ketika itu sudah disepakati sebagai sebuah public international law mungkin kita akan memiliki

satu hukum bersama dan diakui oleh seluruh dunia, tidak hanya mengacu pada kovenan

internasional hak-hak sipil dan politik atau yang lainnya. Atau ketika misalnya disepakati private

law maka yang berlaku adalah kontrak-kontrak seperti tadi dijelaskan oleh Bu Sinta saat ada G to

G bisa juga B to B antara satu pihak dengan pihak yang lain dengan prinsip-prinsip tertentu.

Nah, sementara yang bagaimana dengan Indonesia? Jadi apa yang tadi disampaikan oleh

Pak Budi memang memperlihatkan sekali kita sepertinya tertinggal sekali dalam isu privasi. Aturan

pertama di Indonesia yang secara khusus menyinggung tenang privasi itu kan kitab Undang-

Undang Hukum Perdata. Sebenarnya disitukan mengakui itu tentang hak personal seorang, hak

pribadi seseorang atau misalnya kalau dalam konteks penyadapan kita dulu punya staatsblat

tentang pos yang dimana petugas pos itu dilarang untuk menyortir surat-surat yang dikirimkan oleh

satu orang ke orang yang lain, itu concern terhadap privasi. Tapi kemudian orang mengatakan

bahwa itu kan pesanan Pemerintahan kolonial saat itu yang mereka datang dari Eropa, kebetulan

datang dari Eropa. Tapi kalau bicara secara filosofis sebenarnya kalau kita membaca studi-studi

yang dilakukan oleh antropolog-antropolog Eropa, ketika mereka bicara tentang privasi di era

modern maka kemudian contoh-contoh kasus yang diberikan adalah bagaimana praktek

masyarakat di Jawa, bagaimana praktek masyarakat Bali, bagaimana praktek masyarakat di

Kalimantan, bahkan ketika tahun lalu Elsam mengundang berdiskusi dengan Un Special

Rapporteur Right To Privacy. Dia punya konsen khusus saya ingin pergi ke Kalimantan dan pergi

ke kepulauan Mentawai untuk mengetahui bagaimana mereka mengembangkan model privacy

mereka. Artinya sebenarnya ini juga tidak bisa di katakan secara diametral bahwa itu konsep Barat

dan kita sangat komunalistik sebenarnya atau tidak. Ya kita tadi punya ukuran-ukuran tertentu tapi

mungkin belum di instrumenkan, belum dirumuskan dalam sebuah konsep yang kemudian bisa

dirujuk menjadi regulasi, tapi itu mungkin tantangan buat kita pembentuk Undang-Undang dan juga

para akademisi.

Yang lain soal tadi kesenjangan-kesenjangan dari study Elsam tadi yang dipaparkan di

dalam paper itu mungkin bisa dicek satu per satu bagaimana kemudian miss antara satu Undang-

Undang dengan Undang-Undang yang lain dalam konteks mengatur perlindungan data pribadi.

Misalnya kalau kita baca Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Administrasi Kependudukan

maupun Undang-Undang sebelumnya itu di situ kan sudah memberikan kewajiban bagi

Pemerintah untuk melindungi data pribadi. Dan identitas kependudukan dikatakan sebagai data

pribadi, tetapi kemudian dalam aplikasinya kan tidak sekuat itu. Ketika misalnya mungkin dari

Pemerintah Kementerian Dalam Negeri sudah mengatakan bahwa kami sudah melakukan MoU

dengan sekian ratus institusi, termasuk Pemerintah dan swasta. Kalau dengan Pemerintah dalam

konteks pelayanan publik mungkin itu bisa dimaklumi, tetapi kemudian ketika itu dilakukan dengan

43

pihak swasta agar mereka punya akses terhadap data pribadi warga negara dalam konteks e-KTP

itu yang kemudian menjadi persoalan.

Tiba-tiba perbankan bank A, bank B, bank C dan seterusnya, perusahaan Telkomunikasi

ini dan seterusnya dan seterusnya bisa mengakses data-data itu, itu yang menjadi masalah.

Apalagi kalau kita baca misalnya Peraturan Menteri Kominfo Nomor 20 Tahun 2016 di dalam Pasal

6 itu kan secara jelas dikatakan bahwa setiap penyelenggara sistem elektronik harus menyediakan

formulir berbahasa Indonesia, yang tadi disinggung Bu Evita untuk memberikan persetujuan

mengenai data-data apa saja yang direkam oleh mereka dan akan digunakan untuk keperluan apa.

Kalau untuk telekomunikasi mungkin untuk telekomunikasi kontraknya di situ, tapi itukan tidak

pernah terjadi. Kita beli nomor dipinggir jalan bagaimana mereka menyerahkan form berbahasa

Indonesia bisa kita isi dan kita tanda tangani.

Lalu yang lain tadi soal apa namanya SMS blast dan lain sebagainya. Praktek yang lain

yang itu juga sampai dengan hari ini masih abu-abu pengaturannya itu kan SMS berbasis

geolocation, berbasis BTS, ketika kita datang kepada mall kita dapat SMS. Itu kan basisnya tiba-

tiba dikirim saja dari BTS itukan, padahal kan misalnya dikontrak kita dengan si operator itu tidak

pernah dikatakan bahwa kami akan menerima, kami akan mengirimkan product-product tertentu,

pemasaran-pemasaran tertentu ke nomor ponsel anda. Nah, ini juga di beberapa negara termasuk

di Eropa ini sudah menjadi catatan soal pemasaran berbasis geolokasi. Karena apa? Karena

dalam konteks berbasis geolokasi sebenarnya kan itu terjadi praktek kalau dilakukan itu praktik

perekaman metadata, dimana kemudian kita telekomunikasi dan sebagainya dan seterusnya itu

bisa diambil dan kemudian masuk ke dalam database dari si penyelenggara layanan. Nah,

makanya kemudian metadata juga menjadi satu hal yang penting yang diatur di regulasi Eropa dan

Undang-Undang Perlinudngan Data juga akan mengatur itu nantinya itu.

Ini memang isunya menjadi sangat luas dan menjadi sangat kompleks. Oleh karenanya

kemudian yang paling mungkin dilakukan PDP ini memang harus jadi payung, sementara regulasi-

regulasi yang lain, Undang-Undang yang lain terkait kesehatan, kependudukan, perbankan,

telekomunikasi, pertahanan dan keamanan dan seterusnya itu harus selaras dengan PDP sebagai

payung ini. Jadi mau tidak mau memang harus comply.

Itu mungkin respon dari saya.

Terima kasih.

F-PDIP (Dr. EVITA NURSANTY, M.Sc.):

Jadi gini Pak, kemarin yang menjadi saya juga menjadi pertanyaan, nanti mungkin bisa

bantu juga Pak Kris. Kemarin dikatakan kan kenapa mereka itu registered kartu itu di counter,

karena mereka registered duluan, jadi pakai orang punya yang lain, NIK orang lain. Dengan alasan

bahwa kartu itu ada expired datenya, jadi mereka takut expired itu kartu, makanya dia counter itu

melakukan registrasi-registrasi.

Terus saya bertanya sebenarnya sistim apa yang dipergunakan, setahu saya contohnya

kalau takut karena soal itu sebenarnya bukan di penyalahgunaan kok karena mereka hanya takut

kartunya expired jawabannya Pak Dirjen. Bagi saya itu sesuatu yang enggak tepat, kenapa?

Karena begini kalau hanya itu alasan ketakutannya ya kan, kita pakai sistem supermarket saja.

Jadi barang yang expired itu diambil kembali oleh pemilik si punya supermarket tidak bayar gitu

loh. Jadi misalnya si counter beli 1000 kartu, yang 500 nya itu tidak kepakai dia bisa ganti dengan

kartu baru ketika ini expired tanpa mereka harus bayar gitu loh. Tidak hanya karena kartu itu sudah

expired dia pakai KTP orang lain dia registrasi itu semuanya. Itulah penyalahgunaan NIK itu, tidak

kebocoran penyalahgunaan ini. Jadi kartu itu sudah diregistrasi sama dia, alasannya karena dia

takut kartu itu ada expired datenya dan tidak bisa dipakai lagi.

44

Nah, operator mesti pakai sistem dia beli 1000, dipakai 600, 400 sudah expired

dikembalikan kepada operator, diganti dengan kartu baru mereka jangan harus bayar lagi. Kenapa

kalau di supermarket bisa orang taruh roti 100, supermarket cuma laku 50, yang 50 kembali kepada

mereka, supermarket tidak harus bayar. Kan sistem itu juga bisa dipergunakan untuk counter

telepon ini gitu.

Terima kasih.

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Mungkin Bapak Wahyudi mau menanggapi apa yang disampaikan oleh Ibu Evita atau

mungkin Bapak Kristiono.

Silakan Bapak Kris.

KETUA UMUM MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (KRISTIONO):

Terima kasih Ibu Evita.

Jadi Ibu sampaikan suatu praktek yang terjadi di lapangan ya. Jadi tadi saya sampaikan

bahwa memang ini terkait dengan 2 hal, satu kaitannya dengan tata distribusi kartu, dan yang

kedua tentunya bisnis model operator saat ini. Jadi tata distribusi kartu saat ini memang benar

dikendalikan oleh operator dan tentunya mungkin dorongan ini yang terkait kemudian juga dengan

upaya operator untuk memperbesar dia punya penjualan gitu ya. Apalagi kemudian model bisnis

operator adalah selalu terus melakukan ekstensifikasi dari sisi jumlah pelanggan, mendorong untuk

terus peningkatan jumlah pelanggan.

Mungkin sistem ini kecenderungan ini yang mengakibatkan tadi. Sistem di lapangan yang

tidak seperti yang tadi disampaikan. Jadi bahwa ada expired dan kemudian dikembalikan diganti

gitu, tapi lebih didorong untuk supaya kemudian tidak sampai expired begitu. Nah, tapi kan

kemudian kemungkinan terjadi ketidak sesuaian idengan sistem registrasin akibatnya begitu.

F-PDIP (Dr. EVITA NURSANTY, M.Sc.):

Jadi jawabannya kemarin itu ketika ditanya, sebenarnya mereka tidak bermaksud jahat,

bukan mereka sengaja mau pakai itu untuk kejahatan NIK orang lain, data orang lain untuk

kejahatan. Mereka setelah ditanya itu hanya karena itu dia pakai data orang lain supaya kartunya

ini tidak expired. Nah, itu kita punya masalah di situ, maksud saya operator harus membangun

sistem itu, supaya mereka menghindari hal-hal yang menyalahi itu supaya mereka juga tidak

bermaksud untuk mencuri data kok, enggak bermaksud untuk menyalahgunai data, saya hanya

supaya kartu saya ini tidak expired, supaya enggak expired saya pakai ini data-data orang lain

untuk registrasi. Nah, sistem ini harus dibangun gitu loh.

F-PD (KRMT ROY SURYO NOTODIPROJO):

Tambahan sedikit Bapak Ketua, mungkin kami perlu masukan juga nanti dalam Undang-

Undang ini karena kalau yang tadi dikatakan Bu Evita enggak melanggar, jelaskan counter-counter

itu melanggar. Tapi beitu nomor itu misalnya dijual kepada orang lain itu jelas melanggar. Jadi

mungkin nanti perlu ada masukan itu dalam draft yang disusun.

Terima kasih.

45

F-PAN (BUDI YOUYASTRI):

Pimpinan, Ibu Evita menurut saya yang salah itu adalah operator, karena sumber daya itu

dimiliki oleh Pemerintah dan tidak boleh dijualbelikan oleh si operator. Kok nomor sudah bisa dijual

tanpa ada pemiliknya, itu jelas letak kesalahannya demikian Ibu. Jadi nomor itu punya Pemerintah,

diserahkan sama operator, dan operator hanya boleh mengeluarkan setelah nomor itu

mendapatkan rumahnya, yaitu orang yang punya NIK-nya. Sekarang ada nomor jutaan yang kini

sudah dijual oleh operator tanpa ada tandatangan dari warga negara yang spesifik. Jadi

kesalahannya buat kita menjadi jelas ini kesalahan di operator.

Terima kasih.

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Bagaimana Bapak Kris bisa ditanggapi, bantu kita.

KETUA UMUM MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (KRISTIONO):

Ya memang harus ada perbaikan, tadi saya sampaikan juga bahwa ini momentumnya juga

bagi industri untuk kemudian memperbaiki sistemnya, karena kalau yang lalu kan mungkin

dorongan untuk terus menambah jumlah pelanggan itu suatu yang menjadi prioritas begitu.

Sementara sekarang kan market sudah relatively jenuh, jadi sebenarnya operator sudah berubah

di dalam memberikan prioritas gitu. Jadi mungkin pendalaman terhadap pelanggan yang ada

mungkin jauh lebih dominan dari pada terus menambah jumlah pelanggan begitu. Dengan cara

yang mungkin tidak sesuai akibatnya dengan sistem registrasi yang harus dilakukan dengan lebih

baik. Saya kira harus ada perbaikan sistem.

Terima kasih.

F-PDIP (Dr. EVITA NURSANTY, M.Sc.):

Saya kurang setuju kalau katakan operator katanya dengan berkurangnya jumlah simcard

kemudian menurunnya pendapatan. Orang itukan hitungannya pulsa bukan simcardnya. Saya

punya 5 HP, saya pakai sedikit disini, tapi pemakaian saya tetap 1 juta sebulan. Kan pulsanya jadi

tidak menurunkan, saya punya HP hanya satu, pulsa saya habiskan sesuai dengan kebutuhan

kita, kalau itu dipakai denan benar ya untuk penggunaan bahwa pembatasan simcard ini

menurunkan income daripada operator. Karena mereka menjual Pulsa bukan menjual kartu, bukan

menjual nomor.

Terima kasih.

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Silakan masih ada Pak Kris.

KETUA UMUM MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (KRISTIONO):

Terima kasih Ibu Evita.

Jadi tadi juga saya sampaikan di awal bahwa memang ada kecenderungan bahwa

penjualan kartu perdana masih lebih dominan, yang pertama. Kemudian adanya juga promo-

promo yang dilekatkan kepada kartu perdana. Sehingga kartu perdana ini menjadi lebih menarik

gitu dari pada top up pulsa begitu. Jadi ini yang juga mungkin menjadi memunculkan ekses gitu

46

ya.

Jadi saya rasa demikian.

KETUA RAPAT (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Terima kasih Ibu dan Bapak sekalian.

Saya rasa ini bisa berlanjut ya kita cari waktu lagi ini menarik ya. Jadi kita diperkaya oleh

Mastel, oleh pusat cyber law Fakultas Hukum Unpad dan juga dari Elsam. Terima kasih Bapak

Wahyudi. Sekali lagi kita terima kasih dengan ini kita akan semakin mungkin mantap untuk

menyongsong Undang-Undang PDP.

Jadi Bapak Ibu sekalian, kita tidak membuat kesimpulan tertulis ya, karena ini RDPU tapi

bisa saya bacakan atau saya sampaikan.

1. Bahwa Komisi I DPR RI telah mendengarkan penjelasan dari Masyarakat

Telekomunikasi (Mastel), dari lembaga studi dan advokasi masyarakat Elsam dan dari

cyber law center Fakultas Hukum Unpad terkait dengan pentingnya pengamanan data

pribadi dan Komisi I DPR RI memberikan catatan antara lain:

a. Indonesia perlu segera memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi

sebagai payung hukum dalam memberikan keamanan masyarakat di ruang digital

dengan pertimbangan, sebagian besar negara telah memiliki Undang-Undang

yang mengatur perlindungan data pribadi.

b. Adanya general data protection regulation diimplementasikan Mei 2018 sehingga

memudahkan masyarakat untuk bekerja sama dengan masyarakat EU.

c. Menghadapi ekonomi digital 2020 dan Pemilihan Umum 2019.

2. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi harus mampu mengatur

pengamanan data pribadi secara komprehensif, yang mencakup semua data pribadi

di semua sektor.

3. Dalam mengatur data cara registrasi kartu jasa telekomunikasi perlu diatur kebijakan

setingkat Undang-Undang mengacu pada pengalaman negara lain yang sudah

menetapkan Undang-Undang tersebut, namun dengan penyusun hukum tata negara

Indonesia.

Jadi demikian Ibu, kalau tidak salah informasi bahwa draft RUU Data Pribadi ini sudah

disiapkan oleh Pemerintah Komindo. Sekarang mungkin sedang diharmonisasi oleh Kumham,

nanti mungkin akan masuk ke DPR RI. Ini mungkin kita lobby bagaimana ini bisa dipercepat,

terutama dari Unpad ini Ibu yang dekat Pemerintah, dari Mastel juga. Ini sangat ditunggu-tunggu

ini kalau tidak data pribadi kacau ini lama sekali.

Jadi seperti inilah jadi yang terakhir mungkin juga kita mencari memang masih perlu

perbaikan entah itu sistem, entah itu metoda tentang pengamanan data pribadi ini kalau kita

hubungkan dengan operator, dengan simcard, karena kan tadi kita sudah sampaikan akan menuju

satu kartu terhebat single identification number. Mungkin juga nanti Elsam akan berperan lebih

banyak ini.

Sekali lagi terima kasih atas keadilan dan sumbangsih Bapak dan Ibu sekalian, yang telah

memberikan masukan kepada kami di Komisi I DPR RI. Mudah-mudahan nanti dalam waktu tidak

terlalu lama kita mungkin perlu lagi bertemu dengan Bapak dan Ibu sekalian.

Dengan demikian Rapat Dengar Pendapat Umum kita hari ini kita nyatakan selesai dan

kita tutup alhamdulillahirrabbil'alamin.

(RAPAT DITUTUP PUKUL 16.33 WIB)

47

Jakarta, 10 April 2018

a.n. KETUA RAPAT

SEKRETARIS RAPAT,

SUPRIHARTINI, S.IP., M.Si.

NIP. 19710106 199003 2 001