dewan perwakilan daerah republik indonesia ----------- … · nomor: risalahdpd/kmt.i-rdpu/i/2018...
TRANSCRIPT
Nomor: RISALAHDPD/KMT.I-RDPU/I/2018
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
-----------
RISALAH
RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMITE I
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
MASA SIDANG III TAHUN SIDANG 2017-2018
I. KETERANGAN
1. Hari : Selasa
2. Tanggal : 23 Januari 2018
3. Waktu : 09.55 WIB - 12.39 WIB
4. Tempat :
5. Pimpinan Rapat : 1. Drs. H. Akhmad Muqowam (Ketua)
2. Drs. H. A. Hudarni Rani, S.H. (Wakil Ketua)
3. Benny Rhamdani (Wakil Ketua)
6. Sekretaris Rapat :
7. Acara : RDPU terkait RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak
Masyarakat Adat dengan narasumber :
1. Prof. Dr. Bagir Manan
2. Dr. Kunthi Tridewiyanti, S.H., M.A. (APHA)
3. Dr. Ismail Rumadan, S.H., M.H.
4. Prof. Dr. Jeane Neltje Saly, S.H., M.H. (Penasehat
Pembina APHA)
5. Dr. Ning Adiasih, S.H., M.H. (Sekretaris APHA)
8. Hadir : Orang
9. Tidak hadir : Orang
2 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
II. JALANNYA RAPAT:
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Prof. kita bisa mulai, Bu, Baik.
Assalamualaikum warrahmatullah wabarakatuh
Bismillah Alhamdulillahi.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua.
Yang saya hormati Prof. Bagir Manan, kemudian Ibu-Ibu semua Bapak-Bapak dari
Asosiasi Pengajar Hukum Adat ya, yang hadir dalam kesempatan kali ini kemudian Pimpinan
dan Anggota Komite I DPD RI yang kita hormati. Pertama-tama marilah kita bersyukur kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa yang Alhamdulillah atas karunianya kita semua masih diberi
kesehatan dan dapat melaksanakan tugas kita, utamanya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum
Komite I pada hari ini Selasa 23 Januari 2018, Ibu dan Bapak sekalian sudah barang pasti kami
atas nama Komite I menyampaikan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Ibu Bapak
sekalian yang berkenan hadir dan semoga acara pagi ini dapat berjalan lancar sampai pada
akhir nanti.
Nah sebelum saya sampaikan pengantar yang sifatnya substantif Ibu dan Bapak
sekalian saya ingin kenalkan yang hadir di kesempatan kali ini pertama sebelah kanan saya ini
pertama Bapak Hudarni Rani, Wakil Ketua Komite I dapilnya dari Bangka Belitung lalu yang
sebelah sana ada Bapak Asri Anas dari Sulawesi Barat ini pemekaran dari Sulawesi Selatan
yang sudah menghasilkan Saudara Asri Anas sebagai Anggota DPD kalau tidak dimekarkan
mungkin dapilnya tidak Sulawesi Barat saya kira. Kemudian Bapak Djasermen Purba beliau
dari Kepulauan Riau pemekaran dari Riau dan secara genekologi pemekaran dari Sumatera
Utara Pak.
Di luar Sumatra Utara harus saya kenalkan dari mana, Purba itu biasanya dari
Sumatera utara ini yang purba dari Kepulauan Riau Pak. Ya sebelah kiri saya ada Rizal Sirait
kalau ini tidak perlu saya kenalin Sirait yang asli masih di Sumatera Utara saya tidak ingin
tolak ukurnya apakah yang masih di dalam itu tidak maju diluar lebih maju saya tidak ngomong
itu Pak karena sama sama itu adalah tembak langsung semua saya kira. Kemudian Pak Khali
beliau dari Gorontalo, pemekaran juga ini Pak dari Sulawesi Utara ya karena aspek-aspek yang
pada waktu itu antara lain faktor apa namanya sosiokultural masyarakat yang kemudian
menjadi provinsi Gorontalo yang lain menyusul Prof.
Ibu dan Bapak sekalian saya ingin sampaikan bahwa rencana pembentukan undang-
undang tentang perlindungan dan pengakuan masyarakat adat itu telah diagendakan di dalam
proglenas 2 kali, prolegnas 2004-2009, dan prolegnas 2009-2014 yang pada waktu itu DPD
Periode 2004-2009 telah menyusun RUU Tentang Perlindungan Kesatuan Masyarakat Hukum
Adat sebagaimana keputusan DPD Nomor 37 tahun 2009 tentang RUU Perlindungan Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat. Jadi judulnya seperti itu Ibu dan Bapak sekalian karena memang
memaknakan menindaklanjuti pasal 18b ayat 2 saya kira tidak sekedar 18b tapi juga berkaitan
dengan judulnya misalnya pemerintahan daerah yang menjadi heading dari pasal tersebut, ayat
tersebut.
Nah kemudian di dalam proglenas 2015- 2019, RUU Perlindungan dan Pengakuan
Hak Masyarakat Adat nah ini telah berubah nama RUU Tentang Perlindungan dan Pengakuan
Hak Masyarakat Adat. Tadi itu adalah perlindungan kesatuan masyarakat hukum adat
kemudian di proglenas 2015-2019 itu judulnya menjadi RUU Perlindungan dan Pengakuan
RAPAT DIBUKA PUKUL 09.55 WIB
3 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
Hak Masyarakat Adat yang tercatat pada Nomor urut surat 42 yang dapat disusun oleh DPR
dan DPD serta pada urutan 184 yang urusan DPD kemudian dalam prioritas Proglenas 2018
Tentang Perlindungan Dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat. Jadi apakah slot ini bisa tercapai
saya kira publik tahu dalam hal legislasi, DPR selalu mendapatkan kritik karena pembentuk
undang-undang sebagaimana Undang-Undang Dasar 1945 itu adalah DPR karena itu kalau
kemaren 2017 yang terbentuk itu hanya 5 undang-undang, saya kira itu prestasi yang cukup
merisaukan kalau kemudian dikomparasikan anggaran APBN untuk DPR, 4,8 milyar itu eh 4
triliun itu anggaran DPR kalau menghasilkan 5 undang-undang artinya satu undang undang
hampir 1 trilyun, kalau dimaknakan bahwa 4,8 trilyun output-nya adalah 5 undang-undang ini
merisaukan kok.
Ya mohon maaf suatu kali di sewaktu saya masih di sebelah, dalam 2,5 tahun Komisi
5 itu menghasilkan 5 undang-undang sehingga saya masih sering … (menit 06.20 tidak jelas,
red.) sama Pak Mantan Menteri Perhubungan yang siapa itu Pak Aceh itu Syafei Jamal dalam
2,5 tahun 5 Undang-undang satu komisi saya kadang-kadang merisaukan juga bahwa tidak
sekedar masyarakat sesama yang di Senayan pun kita punya slot yang berbeda memaknakan
apakah itu prioritas atau tidak dengan DPR. Nah karena itu kepada Ibu Bapak sekalian hari ini
Komite I yang mendapatkan tugas legislasi akan melakukan review terhadap RUU Tentang
Perlindungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang telah diusulkan pada DPD periode
sebelumnya.
Jadi ini Prof dan Saudara sekalian, ini adalah draf 2009 sudah barang pasti sudah
banyak sekali lingkungan strategis yang berubah, baik dalam tatanan internasional, nasional,
ataupun regulasi yang lain yang dihasilkan yang langsung atau tidak itu berimplikasi pada
penyesuaian terhadap rancangan undang undang ini. Nah ini yang saya kira dilakukan oleh
Komite I sebagai pertanggungjawaban kepada publik di dalam sama-sama memaknakan
pertama adalah perintah undang-undang kalau kemudian saya liat kalau kita perhatikan
perintah membuat undang-undang itu macam- macam ada bersumber dari Undang-Undang
Dasar ada yang bersumber dari perintah undang-undang lain dan dalam konteks ini kalau kita
melihat berbagai undang-undang yang dilahirkan sebagai amanat dari Undang-Undang Dasar
1945 nampaknya termasuk pasal 18 ini yang belum tersentuh.
Saya kira saya mencermati betul dinamika di luar keinginan ini menjadi penting
keinginan menjadi prioritas tapi begitu masuk kepada wilayah restricted area nama Senayan
ini bisa tidak menjadi prioritas. Nah karena itu memaknakan perubahan undang-undang dasar
pasal 18b yang berbunyi adalah negara mengakui dan menghomati kesatuan kesatuan
masyarakat hukum adat serta hak traditionalnya, hak-hak traditionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang. Kami kemarin juga sudah RDPU Prof dan Bapak Ibu
sekalian kemarin kita hadirkan Pak Jawohir Tontowi kita juga hadirkan Pak Juliyus Sembiring
kemudian Pak Arifin Sahru Arifin dari Unnes kemudian kemaren juga kita aman hari ini
Alhamdulillah Prof. Bagir dan Bapak-Bapak yang hadir dari Asosiasi Pengacara Hukum Adat
yang output-nya kita harapkan apa yang kita pikirkan dan apa yang kita rumuskan ini menjadi
undang undang yang secara substansi itu dapat mengakomodasi dan menjawab berbagai hal
yang sebagai amanat dari undang undang. Jadi dari Asosiasi Pengacara Hukum Adat ini datang
Ibu Setjen Ibu Dr. Ning Adiasih S.H., M.H., Kemudian ada pembina Ibu Prof. Dr. Jeane Neltje
Saly, S.H., M.H., Kemudian ada Ketua Litbang ada Dr. Kunthi Tri Dewi Yanti, kemudian ada
Dr. Ismail Rumadan bukan Romadhan ya Rumadan.
Baik Ibu sekalian hadir juga tambahan Bu Dewi dari NTB Nusa Tenggara Barat
darinya Nusa Tenggara Barat kemudian ada Pak Hafidh Asrom dari Yogyakarta, salam.
Kemudian sebelah kanan ada dari Riau lah ini yang asli Riau yang lain itu pemekeran, salam
jadi induknya itu Bu Iin dari Riau sehingga demikian Prof. Bagir dan Ibu Bapak dari Asosiasi
Pengacara Hukum Adat yang saya hormati yang hadir dalam kesempatan hari ini dan
4 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
selanjutnya monggo Prof. Bagir kemudian nanti Ibu Bapak yang dari apa kalau ingin
menambahkan hal yang reliable dengan undang-undang ini, silakan Prof.
PEMBICARA: Prof. Dr. BAGIR MANAN, S.H., M.CL. (NARASUMBER)
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bapak Ketua, Bapak Wakil Ketua, dan Anggota-Anggota Komite I yang terhormat,
saya baru diberi tahu untuk hadir di sini kira-kira pukul 2 kemarin, dalam perjalanan saya dari
Bandung ke Jakarta kebetulan acara hari ini belum ada acara karena itu saya mohon maaf kalau
saya tidak menyentuh substansi yang sudah Bapak-Bapak kerjakan cukup lama. Saya akan
senang sekali kalau nanti saya dikasih bahan nya yang sudah dikerjakan sehingga di lain kali
saya bisa menyampaikan catatan-catatan ya, karena itu hari ini saya akan bicara prinsiple-
prinsiple saja, kebetulan dulu ketika perubahan pasal 18 ini saya termasuk yang ikut serta
mendengarkan Anggota MPR membahas perubahan itu ya 1999-2000-an
Saya akan memusatkan catatan saya yang saya tulis pada hal-hal yang sifatnya
konstitutional belaka gitu ya. catatan saya akan saya bagi menjadi 4 pokok, yaitu pertama dasar
kostitutional dari RUU ini ya kedua pembatasan-pembatasan yang sudah diatur dalam Undang-
Undang Dasar ketiga saya akan membuat catatan pranata-pranata adat yang sudah diatur dalam
sistem Undang-Undang Dasar 1945, kemudian yang ke-4 pertanyaan-pertanyaan mengenai
kemungkinan substansi dari Undang-Undang ini. Tadi Bapak Ketua sudah menyampaikan
bahwa Undang-Undang Dasar sendiri memerintahkan agar substansi ini diatur dengan Undang-
Undang. Kalau perubahan ini tahun 2000, berarti sekarang ini sudah berapa? 17 tahun itu
perintah Undang-Undang Dasar itu belum sempat dilaksanakan tentu berbagai sebab antara
lain sebab kemungkinan kita tidak pernah menggali benar apa yang mestinya kita atur gitu ya.
Tadi sudah disebutkan oleh Bapak Ketua dalam ayat 2 18b itu bahwa negara mengakui dan
menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak traditionalnya. Dulu
ketika pasal 18 itu tunggal sebelum perubahan itu hanya diatur mengenai prinsip-prinsip
pemerintahan daerah saja itu seperti dikatakan dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak hak asal usul dalam sistem
pemerintahan hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa jadi ini merupakan
dasar sebetulnya bagi pemerintahan asli.
Saya ingin memberi catatan mengenai pasal 18 selama itu agar kita sekedar mengingat
saja, mengingat-ingat apa yang pernah ditulis oleh para founding father itu khusunya
penjelasan yang ditulis oleh Prof Supomo almarhum, ada hal yang yang ini di dalam penjelasan
itu dan dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu pasal 18 menggunakan celah istilah daerah-
daerah yang bersifat istimewa sehingga kita kemudian dalam Undang-Undang Dasar yang baru
menggunakan 2 istilah yaitu khusus dan istimewa sehingga kita membedakan antara khusus
dan istimewa itu. Sebetulnya baik dari bahasa Belandanya maupun dari bahasa inggrisnya pada
waktu itu barang kali Prof. Supomo sengaja tidak menggunakan celah khusus tapi istimewa
meskipun maksudnya itu hanya untuk menunjukan karakteristik yang khas mengenai
pemerintahan asli kita itu gitu ya maksudnya tapi kemudian dalam praktek ketatanegaraan kita
seperti saya katakan tadi kita mengenal perbedaan antara daerah khusus misalnya daerah
khusus Ibukota DKI gitu ya kemudian kita mengenal Daerah Istimewa Yogyakarta pernah
suatu saat daerah Istimewa Aceh yang sekarang sudah kita tiada kan kalau tidak salah menjadi
pemerintahan Aceh saja gitu. Selain daerah khusus ibukota kita juga mengenal otonomi khusus
seperti di Papua gitu kita beri nama otonomi khusus gitu. Daerah khusus ibukota itu mengapa
menjadi khusus saya catat ada beberapa hal mengapa Jakarta diberi daerah kedudukan sebagai
khusus, pertama sebagai ibukota jadi perlu di khusus semacam Washington Dc extention …
(menit 17.48 kurang jelas, red.) di Washington, yang kedua sebagai ibukota meskipun
5 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
mempunyai hak otonomi dia mempunyai hubungan yang khusus dengan pemerintah pusat
berbeda dengan provinsi provinsi lain. Yang ketiga struktur pemerintahannya berbeda dengan
provinsi lain misalnya tidak ada daerah otonom lebih rendah di lingkungan DKI.
Sekedar historis Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 pasal 131,132,133
yang mengatur tentang pemerintahan daerah tetapi Undang-Undang Dasar Sementara 1950
tidak meng-cover tentang pemerintahan asli yang disebut sebagai daerah asal-usul yang bersifat
istimewa itu sehingga Prof. Supomo dalam bukunya tentang Undang-Undang Dasar Sementara
tahun 1950 itu membuat catatan sebagai berikut saya bacakan.
Pasal ini maksudnya pasal 131 Undang-Undang Sementara tahun 1950, tidak begitu
luas seperti pasal 18 Republik Indonesia oleh karena pasal ini tidak menyinggung daerah
swapraja pun tidak menyinggung daerah persekutuan adat, … (menit 19.24 kurang jelas, red.)
beliau katakan daerah hak-hak asal-usul yang sangat istimewa sama sekali tidak ada karena itu
waktu undang undang sementara 50 itu pada dasarnya susunan pemerintah daerah kita adalah
tanpa terikat kognitif kepada … (menit 19.43 kurang jelas, red.) meskipun itu dalam kenyataan
ada misalnya pemerintahan daerah.
Jadi itu dasar-dasar konstitutionalnya selain perintah undang-undang kita juga
pengakuan itu ada gitu ya tetapi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18b itu membuat kualifikasi
yang berupa pembatasan-pembatasan kalau kita akan mengatur hak-hak asal-usul isbat
istimewa itu. Saya mencatat paling tidak dua hal pembatasan itu. Pertama digunakan ungkapan
Undang-Undang Dasar 1945 itu saya ini mengulangi ya semua bapak bapak sudah tahu
sebetulnya gitu ya hanya karena sudah saya catat menggunakan … (menit 20.49 kurang jelas,
red.) sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan zaman. Saya membuat catatan
mengenai yang pertama atau frasa pertama makna sepanjang masih hidup adalah hidup sebagai
kenyataan hidup yang sebagai cermin cara hidup dan keyakinan yang hidup dalam masyarakat.
Jadi pengertian yang masih hidup itu adalah itu dia betul betul merupakan sudah
realitas dan realitas itu cermin dari keyakinan dan way of life dari kehidupan masyarakat ada.
beberapa faktor menurut hemat saya yang membuat kesatuan masyarakat hukum adat berserta
hak-hak traditional itu hapus ya, jadi ada karena dikatakan tadi sepanjang masih ada sepanjang
masih ada ada beberapa faktor yang menyebabkan hak-hak itu hapus ada pudar ya. Pertama
hapus atau dibatasi oleh atau berdasarkan ketentuan hukum yang baru, baik oleh suatu
ketentuan khusus atau ketentuan yang bersifat umum. Jadi hukum sendiri yang membuat
pembatasan-pembatasan berlakunya hak-hak traditional itu.
Misalnya kehadiran Undang-Undang Agraria dan berbagai undang-undang turutan
atau yang terkait dengan itu akan menyatakan atau membatasi sistem hak hak atas tanah
misalnya, jadi kita tidak lagi dapat sepenuhnya menggunakan prinsip - prinsip hak atas tanah
tanpa memeperhatikan ketentuan ketentuan hukum agraria sebagai hukum nasional. Baik
dalam arti hak atas tanah yang komunal misalnya hak ulayat atau yang individual misalnya hak
hak milik atas tanah. Misalnya cara-cara memperoleh hak milik harus tunduk sepenuhnya pada
hukum adat tidak lagi tunduk kepada sepenuhnya pada hukum agraria tidak lagi tunduk pada
sistem hukum adat, misalnya ajaran Prof. Joyodigono itu menggunakan istilah mulur munkrek
atau teori … (menit 23.31 kurang jelas, red.) yang mengatakan hak individual itu tergantung
pada intensitas individual dan hak komunal itu.
Sekarang tidak berapapun lamanya di sana kalau tidak ada konfirmasi oleh hukum ya
tidak bisa gitu ya, jadi itu hal hal yang tidak sudah berubah gitu, Jadi ketentuan undang undang
harus kita perhatikan yang menyebabkan berbagai ketentuan atau tradisi saksi hukum adat itu
tiadak dapat lagi diterapkan ya. Yang kedua hukum hak-hak traditional itu hak-hak traditional
itu menjadi hapus karena pudar. Dalam hukum adat itu pernah orang mengenal … (menit 24.23
tidak jelas, red.) kalau tidak salah … (menit 24.23 kurang jelas, red.) ada pemudaran-
pemudaran. Saya mencatat ada 4 yang menyebabkan hukum adat itu atau hak traditional hukum
adat itu pudar.
6 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
Pertama karena memang mengalami pengusangan gitu, dia menjadi usang-usang
perout itu orang bilang … (menit 24.44 kurang jelas, red.) akibat trjadi perubahan perubahan
apakah itu perubahan politik, perubahan sosial, perubahan ekonomi, perubahan budaya, dan
lain-lainya. Misalnya hukum adat memudar perubahan dari satu masyarakat pertanian,
masyarakat industri, sistem hak atas tanah akan berubah karena masyarakat-masyarakat
industri. Misalnya untuk negara-negara lain masyarakat industri itu hak milik bukanlah suatu
hal yg utama bagi mereka bagaimana mereka bisa menikmati hak itu gitu tidak peduli statusnya
milik atau bukan gitu ya.
Yang kedua pudarnya hukum adat itu akibat mobilitas sosial, baik horisontal atau
vertikal jadi karena itu perubahan terjadi mobilitas maka terjadilah perubahan-perubahan
hukum adat itu orang tidak lagi terikat kepada hukum adat ya. Yang ketiga pemudaran hukum
adat itu terjadi karena keterbukaan lingkungan, lingkungan masyarakat adat, dan masyarakat
hukum adat itu sendiri misalnya akibat transmigrasi maka satu-satu lingkungan hukum adat
adat … (menit 26.18 kurang jelas, red.) misalnya di Sumatera Barat tidak lagi dapat lagi
sepenuhnya berlaku hukum tanah adat Minangkabau karna sudah ada transmigrasi.
Yang ke empat pemudaran hukum adat itu tidak kecil akibat perubahan keyakinan
atau perubahan agama. Ddulu misalnya Bapak-Bapak pernah ada ajaran bahwa hukum adat
suatu masyarakat sama dengan hukum agamanya gitu ya ajaran … (menit 26.54 kurang jelas,
red.) itu ya receptio in … (menit 26.58 kurang jelas, red.) kemungkinan ini dibantah oleh …
(menit 27.02 kurang jelas, red.) tetapi bagaimanapun juga pengaruh agama sangat besar
mengubah performa hukum adat misalnya sangat kentara dalam hukum waris misalnya ya,
sistem hak milik, sistem harta gono gini ya, hukum islam misalnya maaf kalau di sini ada yang
ustadnya mungkin saya salah gitu ya, hukum islam itu tidak mengenal campur harta antara
suami dan istri itu ada ada batasnya gitu tetapi dengan sistem hukum baru dimungkinkan
kecuali diperjanjikan gitu kalau hukum adat otomatis kalau tidak diperjanjikan kalau hukum
hukum yang berlaku sekarang orang bisa membuat perjanjian perkawinan untuk memisah,
kalau tidak akan terjadi suatu apa percampuran harta yang sifatnya komoditi. Jadi ada 4 hal
yang menyebabkan hukum adat itu pudar dan ini akan berpengaruh kalau kita akan mengaku
itu kita harus melihat benar gitu apakah ada ada perubahan atau tidak gitu ya. Terus kemudian
dikatakan bahwa dalam Undang-Undang Dasar itu sesuai dengan perkembangan ini juga
sebagai satu hin juga satu menunjukan pembentuk undang-undang penyusun Undang-Undang
Dasar itu mengatakan bahwa hukum adat itu bisa masih hidup masih kenyataaan tapi tidak
sesuai dengan perkembangan. Bisa juga mesti dipertahankan tetapi tidak sesuai dengan
perkembangan. Misalnya kita masih mendengar istilah girik, girik gitu ya pemilikan
berdasarkan bukti girik gitu ya itu di Jawa itu ya kalau di luar Jawa barangkali tidak ya, tidak
mengenal istilah girik itu istilah di Jawa.
Sekarang ini bukti kepemilikan atas girik itu sudah dimakan zaman, mengapa? Antara
lain misalnya bukti girik tidak dapat lagi dipakai jaminan untuk ke bank gitu ya, jadi kita harus
mengubah bukti kepemilikan itu dengan atau bukti hak atas tanah dengan cara lain apakah hak
milik, hak guna bangunan, entah guna usaha. Tidak lagi dapat menggunakan girik, apa lagi
dalam bahasa asalnya bahwa girik adalah sebetulnya bukti pembayaran pajak sebetulnya asal
mulanya itu, nah jadi itu contoh mungkin masih hidup saya waktu masih jadi hakim beberapa
kali memutus perkara berdasarkan bukti girik itu tetapi saya katakan sebagai hakim, masa di
Yogyakarta masih pake girik di tengah kota Metropolitan seperti itu, gitu ya. Mesti hal-hal
seperti itu. Begitu pula mungkin, mungkin di daerah-daerah tertentu yang jauh misalnya
pranata jual. Orang masih mengenal misalnya jual lepas jual gadai jual tahunan. Tentu
perkembangan tidak memungkinkan karena gadai sudah ada pranatanya sendiri, jual tahunan
sudah ada pranatanya sendiri yang harus disesuaikan. Jadi meskipun masih hidup tetapi itu
mesti disesuaikan dengan keadaan-keadaan itu.
7 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
Begitu pula misalnya pranata perkawinan, sampai tahun 74. Perkawinan di bawah
umur itu merupakan praktek yang sangat lazim. Baru 74 memberi pembatasan umur 16 18
tahun itu. Dengan segala komplikasinya, perkawinan dibawah umur itu. Jadi ada, ada satu hal-
hal yang masih menjadi keyakinan hidup masyarakat tetapi sebetulnya menjadi tuntutan
perkembangan baru, misalnya mengapa, mengapa kita, perkawinan itu diubah, selain karena
perkawinan di bawah umur itu tidak baik ada unsur polase, misalnya polase but control dan
sebagainya gitu ya. Jadi ada ada unsur polase itu. Jadi ada yang perlu kita perhatikan ketika
kita akan melihat apakah pengertian masih hidup itu, hidup yang sesuai dengan perkembangan
atau tidak, atau justru menghambat perkembangan, bisa terjadi.
Kemudian yang Ketiga saya ingin mencatat pranata-pranata, atas sistem tradisional
yang sudah dimuat dalam sistem atau sudah menjadi sistem Undang-Undang Dasar Tahun
1945. Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, Almarhum bung Hatta itu dalam berbagai tulisan
termasuk dalam Demokrasi kita dan pernah dalam pidatonya di Beijing tahun 1957, itu
mengatakan ada tiga, ada tiga yang mendasari pemikiran kemerdekaan kita yang kemudian
menjelma dalam tatanan bernegara kita.
a. Pertama kata Bung Hatta adalah Paham Sosialisme. Maksud beliau adalah
sosialisme demokratis, yang membebankan kepada negara tanggung jawab untuk
mewujudkan mensejahterakan masyarakat.
b. Yang Kedua kata Bung Hatta adalah Dasar Islam. Yang dimaksudkan Bung Hatta
itu adalah Islam atau agama pada umumnya yang berorientasi pada keadilan bahwa
perjuangan kemerdekaan dan prinsip Undang-Undang Dasar 1945 itu harus
berorientasi pada keadilan. Khusus atau lebih umum keadilan sosial gitu ya.
c. Yang Ketiga beliau sebutkan bahwa landasan dari pikiran-pikiran teman-teman
semua adalah sistem masyarakat asli Indonesia atau adat Istiadat Indonesia. Jadi
merupakan bagian dari dasar kemerdekaan kita adalah adat istiadat kita atau paham
masyarakat asli Indonesia istilah Bung Hatta.
Saya ingin mencoba menunjukkan mengingatkan hal-hal yang sudah kita ketahui dan
kita hapal semua, wujud-wujud dari paham masyarakat asli Indonesia dalam Undang-undang
Dasar 45. Pertama Dasar Permusyawaratan. Baik Bung Karno, Bung Hatta dan semua yang
lain, ketika bicara tentang Dasar Permusyawaratan itu orientasinya adalah Hukum Adat
Indonesia. Semua keputusan didasarkan permusyawaratan untuk mufakat, kata beliau-beliau
itu. Untuk mencapai mufakat. Itu dasar Permusyawaratan. Permusyawaratan itu adalah
merupakan satu pengejawaantahan dari cara berpikir rakyat Indonesia dalam mengambil
keputusan.
Yang Kedua yang sudah masuk menjadi bagian sistem Undang-undang Dasar 45 itu
dari masyarakat asli Indonesia, adalah dasar kekeluargaan dan gotong royong atau Bung Hatta
dengan meminjam satu, meminjam istilah yang lazim dipakai dalam sosial demokratis adalah
kolektivisme. Orang Indonesia itu selalu dalam ikatan kolektivisme. Undang-undang Dasar 45
kita mengatakan itu, dan wujud dari kolektivisme itu adalah yang kemudian kita rumuskan
menolak segala bentuk individualisme dan liberalisme sebetulnya. Itu merupakan satu hal yang
inheren dalam Undang-Undang Dasar 45. Selanjutnya atas dasar kekeluargaan itu maka
demokrasi yang dikembangkan Indonesia tidak hanya demokrasi politik tapi demokrasi
ekonomi. Demokrasi ekonomi itu adalah bahwa semua kegiatan ekonomi didasarkan pada
usaha bersama, kata Bung Hatta gitu ya dan badan usahanya dalam bentuk koperasi. Itu sudah
ada dalam 1945, itunya stach idenya, bahwa kita tidak laksanakan saya tidak mau komentar
itu, biar Pak Ketua Komite I tadi yang sudah mulai tadi, mengkritik dirinya sendiri gitu ya.
Kita senang gitu ya.
Yang Ketiga Tatanan Indonesia asli 1945 itu kita ketemu dalam tatanan politik. Tadi
sudah saya katakan bahwa dalam tatanan politik itu yaitu masyarakat Indonesia itu pada
8 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
dasarnya masyarakat demokratis, sehingga kalau kita menjalankan demokrasi di Indonesia
menurut Paham ini bukan sesuatu yang impor. Karena Demokrasi merupakan way of life dari
pemerintahan asli Indonesia. Yang saya maksud Pemerintahan asli disini adalah desa ya, tidak
pada Pemerintahan Kerajaan dan feodalistik saya tidak masukan itu. Masalah Demokratis,
bahkan Van Volden Houven didalam bukunya Hukum Tata Negara dari Seberang Lautan itu
mengatakan ketika sang dwi warna itu mendarat di Sunda Kelapa, kita tidak menemukan
Daerah Liar di Negeri ini. Tapi Daerah yang sangat teratur, dan sistem pemerintahan yang
sangat modern dalam bentuk republik-republik kecil, yang dimaksud beliau adalah desa, karena
kepala desa sejak itu kepala desa sudah dipilih. Bukan turun temurun, itu oleh Van Volden
Houven salah satu ciri demokrasi yang luar biasa dan itulah memang jadi pandangan ahli-ahli
kenegaraan lain.
Yang Keempat dalam Undang-undang Dasar 45 Sistem asli kita itu kita lihat dalam
tatanan ekonomi yang tadi sudah saya sebutkan bahwa ekonomi kita disusun atas sebagai usaha
bersama atas dasar kekeluargaan dan gotong royong. Yang Kelima dalam Tatanan
Pemerintahan. Undang-Undang Dasar 45 kita yang menggunakan pranata asli itu. Yaitu
pertama pemerintahan asli itu dalam bentuk pemerintahan desa. Yang Undang-undang Dasar
45 memberi tempat pemerintahan desa itu agar merupakan menjadi bagian dari susunan
Pemerintahan kita di daerah, karena itu ketika dikaitkan dengan otonomi, desa itu otonominya
asli bukan otonomi yang diberikan dari Pusat, itu otonominya asli. Karena itu juga dulu itu
undang-undang desa baik pada jaman Belanda, zaman merdeka diatur tersendiri. Tidak
merupakan bagian dari pemerintahan Daerah, zaman Belanda sendiri mengatur terpisah-pisah,
ada odenasi tentang provinsi ada tentang-tentang heminte ada tentang-tentang kabupaten dan
desa itu otonominya Otonomi asli. Karena itu pendekatanya-pendekatan formal, dikatakan
bahwa segala sesuatu bisa jadi urusan pemerintah ya sudahlah urusan mereka gitu ya, kecuali
kalau itu menyangkut fungsi Pemerintahan umum, pemerintahan desa itu diakui. Yang Kedua
Pemerintahan asli yang diserap Undang-undang Dasar 45 yang zaman Belanda kemudian
menjadi Kabupaten. Itu pemerintahan asli berdasarkan adat juga tapi bentuknya berbeda
dengan diatur oleh tersendiri. Yang Ketiga pemerintahan asli semula masih diakui yang kita
kenal dengan swapraja itu. Itu Pemerintah asli itu. Orang Belanda mengatakan, nah atau yang
kemudian diterjemahkan menjadi swapraja itu. Tahun 50 swapraja itu ditiadakan dan
diiintegrasikan dengan otonomi dengan kabupaten daerah tingkat dua kecuali Yogyakarta.
Yogyakarta tu mula-mulanya pada zaman Belanda merupakan satu … (kurang jelas, red.). Dan
ini berbeda dengan Desa dan berbeda dengan Kabupaten, karena ini berasal dari kerajaan-
kerajaan dimasa Hindia Belanda yang kemudian mengikat perjanjian dengan Belanda. Yang
kita kenal dengan Verklaring ada perjanjian panjang ada perjanjian pendek kita kenal korte
verklaring dan lange verklaring . korte verklaring itu contohnya Yogyakarta itu diatur yang
menjadi haknya. Misalnya Kerajaan-Kerajaan Melayu dulu itu, kemudian kecuali Yogyakarta
tetep dipertahankan sebagai Daerah Istimewa, sebagai penghormatan dan perhargaan terhadap
jasa luar biasa Yogyakarta atau Repubilk Indonesia. Jasa luar biasa itu adalah bukan karena
sekedar memindahkan pusat Pemerintahan ke Yogyakarta, tapi Yogyakarta menjadi Lambang
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Lambang perjuangan melawan
Kolonial berpusat di Yogyakarta.
Dan yang ketiga yang tidak pernah disebut, pemerintahan Yogyakarta membiayai
cukup besar Pemerintahan Yogyakarta itu, Jutaan florinc uang Belanda yang hebatnya Sri
Sultan Hamengku Buwono IX, almarhum tidak pernah Sepatah pun menyebut-nyebut hal ini.
Beliau betul-betul dengan tulus mengeluarkan itu semuanya. Karena itu merupakan satu
persembahan negara dan rakyat Indonesia untuk menghormati jasa-jasanya itu, kita
pertahankan. Saya ingin, mengapa saya memberi catatan ini, agar kita tidak ingin mencari
menyama-nyamakan begitu saja antara Yogyakarta dengan daerah lain gitu ya. Dia ada satu
hal-hal yang historis yang perlu kita perhatikan perlu kita hormati. Nah itu artinya maksud saya
9 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
ketika mencatat itu, sebenarnya Undang-undang dasar 45 itu selain unsur-unsur Modernnya
yang diambil dari pranata-pranata modern dia sudah sesuai dengan kalau istilah … (kurang
jelas,red.) Kita perlu menciptakan sistem Negara tersendiri gitu ya, yang beliau sebut istilahnya
… (kurang jelas,red.). Sekarang terakhir saya ingin, kalau kita akan mengatur seperti perintah
pasal 18b itu, kira-kira apa yang harus kita atur dengan perhatikan hal-hal tadi. Saya
mengajukan pertanyaan-pertanyaan di sini itu. Kerangka Substansinya, apakah wujud
menghormati hak-hak tradisional dan asal usul ataupun namanya itu. Ada berwujud
memberikan kesempatan mereka mengatur dan mengurus diri mereka sendiri. Apakah mereka
boleh atau tidak ya. Yang kedua, apakah mereka berhak mempunyai satuan pemerintahan
tersendiri. Di luar misalnya desa yang kita anggap sebagai wujud pemerintahan asli itu. Apakah
mereka mempunyai hak untuk mengatur memutus kalau ada sengketa-sengketa hukum
tersendiri gitu ya. Seperti misalnya sekarang Papua itu tidak ada khusus otonomi itu katakan
bahwa mereka boleh menyelesaikan sengketanya menurut hukum adat, kecuali kalau
diteruskan itu akan menjadi urusan negara. Yang keempat adalah pertanyaanya bagaimana
bentuk perlindungan kita terhadap adat istiadat itu. Dan secara lebih khusus apakah ada
perlindungan khusus terhadap hak-hak atas tanah misalnya, karena itu barang kali yang
merupakan hal yang ini. Dalam kerangka itu Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian. Saya ingin
mengingatkan mengenai bahwa semuanya itu ada dalam bingkaian Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Ketika kita bicara pada bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia ada beberapa
prinsip Negara Kesatuan Indonesia itu yang perlu harus kita ingat ketika mengatur ini:
a. Kekuasaan tertinggi dalam Negara ada pada satu pusat pemerintahan. Merekalah
yang menentukan segala-galanya pemerintahan pusat. Jadi kalau toh kita
memberikan kepada daerah otonomi itu karena diberikan oleh pusat, antara lain atau
karena diakui oleh pemerintah pusat. Kalau ada kekuasaan-kekuasaan yang lain
yang mengandung kebebasan, semata-mata derivasi dari kekuasaan tertinggi itu.
Bukan yang original gitu ya. Maksud derivasi itu ada dua, diberi atau mengakui
yang sudah ada unsur pengkuan itu menciptakan ada.
b. Prinsip tidak ada kedaulatan lain, hanya satu kedaulatan negara,dalam bahasa
gampangnya tidak ada negara didalam Negara.
c. Prinsip univermitas. Prinsipnya adalah segala sesuatu suatu Kesatuan. Kecuali
dibutuhkan perbedaan, Ya. Pada Dasarnya semua harus Uniform. kecuali
dibutuhkan perbedan. Bukan perbedaan dulu, baru kemudian kita membuat
uniform, ya. Ini hati-hati dengan kita bicara tentang Bhineka Tunggal Ika, kita
mengakui perbedaan itu, perbedaan itu adalah prinsip kesatuan. Bukan, perbedaan
… (kurang jelas,red.) perbedaan itu. Sebab ini konsekuensi negara kesatuan. Kita
bisa membuat Uudang-undang tarolah undang-undang tentang otonomi daerah.
Perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, boleh. Tetapi itu semua
berdasarkan prinsip ada unsur-unsur yang uniform, yang harus sama di mana-mana,
tidak boleh serba berbeda. Ya dan semua urusan keluar hanya satu, yaitu ranah
pemerintah pusat. Urusan keluar itu baik dalam arti hubungan yang sifatnya
diplomatik maupun hubungan dalam bentuk pertahanan, tidak boleh ada yang lain
gitu ya.
Jadi kalau kita akan mengatur, saya mohon agar prinsip-prinsip ini kita sepakati dulu,
sehingga kita tahu, oh ini bisa sampai sana gitu yaa. Tidak berarti bahwa ini tidak boleh, tidak
boleh ada elastisite, boleh, tetapi kita dengan ukuran ini kita tahu, oh ini sampai sana oke lebih
dari itu nggak boleh lagi gitu yaa. Itulah beberapa catatan kecil sekali lagi saya mohon maaf,
karena mudah-mudahan lain waktu dengan bahan-bahan yang (kurang jelas,red) saya dapat
lebih mempelajari secara lebih teknis.
Terima kasih.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
10 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE 1 DPD RI)
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Terima kasih Prof saya suka sekali dengan caranya seperti sedang mengajar dan itu,
sesuatu yang luar biasa prof. Ini Substansi yang saya catat semua prof semoga Ibu dan Bapak
Komite I juga antara yang terakhir tadi itu, boleh ada yang mengatur mengenai yang kita
usulkan tetapi ingat Tiga hal. Pertama bahwa kekuasaan tertinggi ada pada pusat pemerintahan.
Saya kira kita semua sepakat termasuk juga dipahami dalam perbedaan antara undang-undang
23 dengan 32. Di 32 tidak sebut-sebut pusat. Tapi di 23 bahwa kekuasaan yang satu di
pemerintahan Pusat, dan yang lain adalah derivasi atau kecabangan dari pusat. Dua puluh tiga
2004 saya kira 2014 sudah mengambil itu sebagai, paling tidak di dalam konsiderasi
menimbang mengingat.
Lalu yang Kedua memang tidak ada kedaulatan lain, yaa kalau bicara hari ini Prof, yaa
NKRI ini kan Negara NKRI harga mati, begitu Prof ya. Kenyataanya itu NKRI harga nego
Prof. Ini kenyataan lho Prof. Saya ambil contoh sekali lagi, barangkali diruangan ini, saya
persingkat sebut, misalnya BSD. Bumi serpong damai, itu tidak ada kelurahan Prof. Tidak ada
Desa, tidak ada kecamatan. Itu di okupasi dari empat lima kecamatan Prof. Hilang semua
koordinat tersebut dari tidak ada kelurahan. Benar tidak secara ke pemerintahan itu Pak. Orang
di kampung tersebut di kota tersebut punya KTP, tapi tidak mengenal siapa kepala desa, atau
lurahnya siapa camatnya. NKRI lagi Prof, Negara Republik Indonesia lagi. Ada satu titik tidak
ada pemerintahan, tapi ada tanda-tanda pemerintahan soal KTP misalnya.
Dan itu di mana-mana hari ini Prof. Tidak ada kelurahan tapi ada legalitas disitu. Yaa
kan Prof itu diokupasi dari empat lima kecamatan Prof. Nanti Meikarta sama kurang lebih
diokupasi dihabisin semua, titik disebut adalah prada koordinat kekuasaan, kewenangan tapi
tidak tahu nanti kelurahannya ke mana Prof Lagi-lagi Pemerintah sudah warning, awas K-E-K
ya, Bekasi Purwakarta Karawang. Dalam banyak hal K-E-K itu Pak, sebut KEK saja susah,
KREK kaya orang mau mati itu loh Prof. K-E-K itu masyarakat dianggap nothing, apalagi adat,
yang berkuasa saja dihilangkan apalagi adat Prof, Pak Luhut sudah warning awas nanti akan
menjadi K-E-K, itu sama dengan awas kau kubunuh pelan-pelan, fatal pak.
NKRI lagi, Negara kok Republik Indonesia. Dua Negara kesatuan Prof, kok Republik
Indonesia Prof. uniformitas sepakat Pak, ya tapi kan hari ini uniformitas itu kan kemudian
menjadi sesuatu yang sangat kita idolakan. Dalam banyak hal kita temukan hal yang memang
kadang-kadang ada dalam bahasa hukum itu ada lex specialis yang kemudian menjadi orientasi
dari banyak orang didalam men-draft undang-undang, lex specialis itu. Baik Bapak-ibu
sekalian sudah hadir juga sebelah kanan saya Bu Juniwati.
PEMBICARA: Dra. Hj. JUNIWATI T. MASJCHUN SOFWAN (JAMBI)
Assalamualaikum.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE 1 DPD RI)
Waalaikumsalam.
Dari Jambi beliau, kemudian Bu Nurmawati bantilan.
PEMBICARA: Hj. NURMAWATI DEWI BANTILAN, S.E, M.H. (SULTENG)
Assalamualaikum.
11 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE 1 DPD RI)
Walaikumsalam.
Ini Sulawesi tengah asli bukan pemekaran. Kemudian Pak Idris.
PEMBICARA: Drs. H. MUHAMMAD IDRIS S. (KALIMANTAN TIMUR)
Assalamualaikum.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE 1 DPD RI)
Kaltim, Pak.
Waalaikumsalam.
Dia masih mengklaim wakil Kalkara juga. Sebab baru nanti 2019 baru ada DPD dari
sana. Sebelah kiri saya ada Gustom nih dari Jawa Timur. Dan maduranya belum karena baru
empat Kabupaten Prof. Jadi orang Madura lagi nuntut Provinsi. Empat tidak mau dimekarkan
jadi lima, padahal syarat pemekaran minimal lima Kabupaten Bangkalan, Sampang,
Pemekasan, kemudian satu lagi Sumenep. Dia mau ngambil Surabaya Utara Ibu Kotanya apa,
biar jadi lima katanya. Kemudian Bu Eni dari Jawa Barat. Kemudian Bu Eni juga ini dari
Bengkulu, ya kira-kira DPD, ohh ya Pak Abraham, ya mewakili dari Nusa Tenggara Timur
Prof. Baik Bu, Pak, dan dari APHA (Asosiasi Pengajar Hukum Adat) menambahkan silakan.
PEMBICARA: Dr. KUNTHI TRI DEWIYANTI S.H. M.H. (APHA)
Terima kasih, Pak Ketua Komite 1 dan seluruh Anggota DPD yang hadir pada hari ini.
Juga termasuk yang saya hormati Prof. Bagirmanan yang sudah memberikan banyak pelajaran
tadi dan juga dari teman-teman dari Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera bagi kita semua.
Pertama-tama saya ingin memperkenalkan diri, bahwa kami dari Asosiasi Pengajar
Hukum Adat yang tadi sudah disampaikan ada beberapa perwakilan yang ada di sini yaitu, Prof
Jane sebelah kanan saya, kemudian ibu Ning beliau adalah Sekertaris APHA, Ibu Jane adalah
Penasihat atau Pembina dan juga di sebelah kiri saya ada Bapak Ismail. Ibu-ibu Bapak-bapak
yang saya hormati tadi sebenernya sama seperti yang dialami oleh Prof. Bagir bahwa undangan
kami baru siang kami terima, dan tentu saja dengan, dengan keterbatasan waktu maka kami
tidak, tidak membahas secara dalam tetapi kami ingin menyampaikan apa yang sudah.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE 1 DPD RI)
Ibu, sebentar saya confirm dulu. Surat itu memang baru kemarin walaupun kita sudah
draft itu adalah hari Selasa yang lalu. Proses di Sekretariat Jenderal DPD, karena Sekjen DPD
sekarang masih IMT. Jadi barang kali itu, jadi baru kemarin surat, kita sudah pada waktu rapat
pleno Selasa yang lalu sudah kita putuskan, Prof Bagir dan APHA, tapi suratnya baru kemarin
pagi keluar ini. Saya, iya tapikan tidak enak juga Pak Asri, nanti dianggapnya saya dan Pak
Hudarni tidak peduli pada surat menyurat, repot ini. kalau pak Beny ada urusan lain, kalau saya
dan Pak Hudarni kan di sini kan jadi repot, iya lanjut Bu.
12 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
PEMBICARA: Dr. KUNTHI TRI DEWIYANTI S.H. M.H. (APHA)
Baik terima kasih, nah artinya kami juga ingin menyampaikan bahwa tentu saja draft
yang kami terima juga ada dua dan juga itu juga yang terakhir kami juga tidak paham yang
mana, sehingga tentu saja tanggapan kami nanti agak apa, berkaitan dengan hal tersebut.
Namun perlu kami sampaikan bahwa Asosiasi Pengajar Hukum Adat Se-Indonesia ini, ini
sebenarnya keprihatinan terhadap kondisi yang ada sekarang yang berkaitan dengan mata
kuliah hukum adat dan juga keberadaan masyarakat hukum adat. Lalu pada tanggal 8 agustus
2017 maka dibentuklah ini. Jadi selama ini kami Pengajar Hukum Adat yang tersebar di seluruh
Indonesia tetapi kami tidak punya asosiasi dibandingkan dengan asosiasi-asosiasi lain. Nah
tentu saja keprihatinan kami dengan adanya asosiasi ini kami ingin mengangkat berkaitan
dengan masyarakat hukum adat atau sekarang yang juga sedang berkembang dengan istilah
masyarakat adat dan juga hukum adat itu sendiri. Nah dari pertemuan yang sudah kami
lakukan, baik itu di Sulawesi Utara maupun pertemuan apa, dengan Fakultas Hukum
Universitas Pancasila yang berkaitan dengan seminar, dengan tema memperkokoh eksistensi
masyarakat adat dan hak-haknya atas tanah dalam hukum nasional.
Jadi berangkat dari keprihatinan bahwa sebagaimana tadi sudah bapak ketua sampaikan
dua kali draft yang sudah dibuat dan juga diajukan oleh DPR sampai sekarang itu belum
berhasil.
Nah, tentu saja ini akan membawa keprihatinan bagi masyarakat adat yang ada.
Memang kalau kami lihat dari beberapa literatur dan juga apa yang kami ajarkan, maka
sebenarnya ada perkermbangan yang berkaitan dengan masyarakat, ada istilah, beberapa istilah
yaitu masyarakat adat, masyarakat hukum adat atau masyarakat tradisional.
Nah, mengapa muncul istilah yang macam-macam itu, maka kalau tadi pak ketua
katakan berangkat dari Pasal 18, maka kami juga ingin mempertanyakan bagaimana dengan
Pasal 28i Ayat (2) yang menyatakan tentang ada istilah hak masyarakat tradisional, jadi,
keprihatinan Itu muncul didalam diskusi-diskusi kami dan akhirnya ini yang akan menjadi
pemikiran dari apa, dari teman-teman. Sehingga kalau nanti didalam pembahasan yang sudah
kami bahas sebelumnya ada muncul istilah-istilah tersebut.
Dari hasil seminar itu, maka kami sebenarnya mencoba melihat bahwa kalau kita ada
rancangan undang-undang, maka istilah yang dipakai itu adalah masyarakat hukum adat,
kesatuan hukum masyarakat adat atau masyarakat adat.
Nah, dari nomenklatur yang kira-kira sudah dibicarakan, maka sebenarnya akhirnya
kami memutuskan untuk sebaiknya nomenklatur yang dipakai adalah Rancangan Undang-
Undang masyarakat adat.
Sebagaimana tadi Prof. Baiq katakan bahwa, ada perkembangan-perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat yang berkaitan dengan istilah yang ada. Betul kalau kita lihat Pasal
18, istilahnya adalah masyarakat hukum adat, betul. Tetapi di dalam pasal 28 (i) kita menemui
ada di sana, disebut dengan hak masyarakat tradisional, lalu pertanyaannya adalah bagaimana
dengan masyarakat tradisional yang ada dan termuat di dalam pasal tersebut bisa masuk di
dalam atau menjadi perhatian dalam rancangan undang-undang ini.
Nah, di dalam itu yang pertama, yang kedua terkait dengan kalau ada Rancangan
Undang-Undang Masyarakat Adat tentu saja sebagaimana tadi sudah dikatakan bahwa
pengaturan tentang masyarakat adat, jadi, istilahnya macam-macam, nih. Ada istilah
masyarakat hukum adat, ada masyarakat adat, ada indigeneus people dan sebagainya,
persekutuan masyarakat adat, maka atau kesatuan masyarakat adat namun ini penting nanti
menjadi pemikiran kita. Di dalam pembahasan kami masyarakat adat adalah sekelompok orang
yang terdiri dari masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional. Apa yang dimaksud
dengan masyarakat hukum adat? kok hilang! Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang
yang bermukim di wilayah geografis tertentu yang memiliki perasaan kelompok in group
13 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
filling, pranata pemerintahan adat, harta kekayaan/benda adat dan perangkat norma hukum
adat.
Nah, ini sebenarnya, kalau kita lihat dari istilah ini sebenarnya yang dipakai di dalam
putusan Mahkamah Konstitusi. Lalu yang ke dua, terkait dengan masyarakat tradisional, kami
coba untuk menawarkan bahwa masyarakat tradisional adalah kelompok masyarakat yang
menjunjung tinggi leluhurnya dan memegang teguh adat istiadat.
Bekaitan dengan draft yang akan dibuat tadi yang kedua, putusan kami adalah
rancangan undang-undang masyarakat adat ini, atau istilah apapun yang nanti dipakai bersifat
unifikasi administrasi dan tetap memperhatikan pluralisme hukum, mengapa? Karena kalau
kita lihat di dalam masyarakat hukum adat, kita banyak sekali masyarakat hukum adat, lalu
hukum adatnya juga berbeda-beda, maka tentu saja bahwa pengaturan yang ada di sini lebih
bersifat unifikasi administrasi dan tetap memperhatikan pluralisme hukum, jadi, kita tidak
menentukan nanti pluralisme apa? Hukum, eh, apa? Hukum dari hukum adat mana? Yang
ketiga, terkait dengan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat atau apapun namanya
memuat konsep hukum adat, kemudian adat istiadat dan adat, namun tentu saja perlu dikaji
kembali, ini agar tidak ada kerancuan. Kami mencoba menawarkan bahwa ada beberapa istilah
yang terkait dengan hukum adat, kemudian adat istiadat dan kebiasaan atau istilah adat.
Hukum adat adalah aturan atau norma yang tertulis dan tidak tertulis yang hidup dalam
masyarakat hukum adat, mengatur dan mengikat dan yang dipertahankan serta mempunyai
sanksi.
Sementara adat istiadat adalah kebiasaan yang terintegrasi secara kuat di dalam
masyarakat tradisional, yang ketiga, kebiasaan atau dengan istilah adat adalah perbuatan yang
dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama.
Jadi, ini nanti penting dibicarakan karena tadi sebagaimana dikatakan kalau akan diatur
apa yang apakah dia hukum adat, apakah adat istiadat, atau adat juga termasuk di situ.
Yang keempat, tadi sudah dikatakan ada kriteria masyarakat hukum adat, ada
masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional, yang kelima, hak masyarakat adat itu
berupa identitas budaya dan hak tradisional. Jadi, kalau kita lihat bahwa sistem religi masuk
sebagai hak masyarakat tradisional.
Tadi prof. Sudah katakan bahwa ada istilah agama, tetapi dalam masyarakat-
masyarakat juga dikenal ada istilah kepercayaan.
Nah, di dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan bahkan ada yang disebut
dengan kelompok penghayat, mungkin apa akhir-akhir ini kita, apa mendengar putusan
Mahkamah Konstitusi dan ini menjadi pembahasan, oleh sebab itu tentu di dalam rancangan
undang-undang ini juga perlu dipikirkan bagaimana hak-hak atau sistem religi yang ada di
dalam masyarakat.
Yang keenam, inventarisasi dan verifikasi tidak perlu dibahas di dalam rancangan
undang-undang karena kami melihat bahwa banyak sekali pengaturan tentang itu, ada
inventarisasi dan verifikasi. Kita tahu bahwa sebenarnya masyarakat hukum adat, masyarakat
adat ini ada di dalam masyarakat dan berkembang hidup terus, nah, tentu saja dengan adanya
inventaris dan verifikasi yang terbatas. Terbatas dalam konteks adalah tetap mengakui
keberadaan mereka dan tidak perlu dibuktikan dengan perda karena kami juga mendengar ada
apa? Istilah yang ingin mendorong bahwa harus dengan Perda.
Yang ketujuh, pemberdayaan masyarakat adat dilakukan oleh masyarakat adat sendiri
dan pemerintah hanya sebagai pendamping atau fasilitator, karena apa, tadi kalau kita lihat
bahwa apa yang telah disampaikan Prof. Salah satu adalah Self determinism walaupun tidak
terlepas dari konsep NKRI dan kedaulatan negara. Ada beberapa hal yang ketika kita bicara
tentang saya mau masuk pada dua hal tersebut, inventaris verifikasi dan terkait dengan
pemberdayaan masyarakat maka sebenarnya.
14 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Bu, mohon maaf yang mana yang ditampilkan ini?
PEMBICARA: Dr. KUNTHI TRI DEWIYANTI S.H. M.H. (APHA)
Ini, ini, yah, benar.
Jadi, Ada dua sebenarnya yang satu ini, ya, ini sebenarnya ini kemudian penjabarannya
ada lagi. Ya, ya, itu singkatannya. Ya, jadi, mohon maaf ini ada putusan dari rumusan hasil
tetapi kemudian kami jabarkan di dalam apa yang di dalam tayangan itu.
Baik, kami ulangi bahwa terkait dengan inventaris dan verifikasi tentu saja ini terkait
dengan proses pengakuan, jadi, kalau kita lihat ada masyarakat hukum adat, maka tentu saja
ada beberapa hal yang berkaitan dengan pengakuan, penghormatan dan pelestarian. Jadi,
mengapa? Karena kalau kita lihat dari perlindungan, maka ini sebenarnya adalah bagian dari
upaya untuk pelestarian.
Ada tiga hal :
1. Pengakuan, pengakuan adalah suatu proses atau cara atau perbuatan dari pemerintah
atau pemerintah daerah terhadap keberadaan masyarakat adat termasuk identitas
budaya dan hak-haknya, berupa tindakan politik dan tindakan hukum.
2. Penghormatan adalah hasil dari pengakuan yang berupa kesempatan dan perlindungnan
bagi masyarakat adat termasuk identitas budaya dan hak-haknya.
3. Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan masyarakat adat
dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya.
Ada beberapa hal yang kami coba usulkan terkait dengan pengaturan masyarakat
hukum adat bertujuan:
1. Mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional beserta
identitas budaya dan hak-haknya.
2. Menghormati masyarakat adat untuk meningkatkan martabat sebagai subjek hukum.
3. Melestarikan hukum adat, adat istiadat dan adatnya dengan perlindungan
pengembangan dan pemanfaatan.
4. Memperkuat kepribadian masyarakat adat.
5. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat.
6. Mempromosikan keberadaan masyarakat adat beserta identitas kearifan lokal ditingkat
nasional dan internasional.
Dalam konteks pengakuan masyarakat adat, sebenarnya ada dua tadi yang terkait yaitu
identitas budaya dan hak-hak tradisional. Yang dimaksud dengan identitas budaya adalah suatu
karakter khusus yang melekat pada suatu kebudayaan sehingga dapat dibedakan antara satu
kebudayaan dengan kebudayaan lain. Hak tradisional adalah hak masyarakat tradisional yang
berupa harta benda materiil dan imateriil.
Yang kedua, terkait dengan hak tradisional, ini dapat berupa hak ulayat atau nama lain
karena beberapa daerah menggunakan istilah lain dan juga hak perseorangan. Hak ulayat atau
disebut dengan nama lain adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat
dan atas suatu wilayah tertentu yang Merupakan lingkungan hidup bagi warganyam, meliputi
hak untuk memanfaatkan tanah, hutan dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Hak perseorangan adalah suatu hak yang diberikan oleh masyarakat hukum adat
kepada anggota masyarakat adat atau orang luar termasuk berupa tanah. Jadi, kalau kita lihat
beberapa hal tentu saja tadi, ini akan menjadi perhatian kita azas-azas apa saja yang kemudian
15 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
menjadi catatan dan penting, tentu kami menambahkan apa yang tadi sudah Prof. Katakan yang
azas-azasnya.
Ada beberapa hal yang sudah disebutkan Prof. tadi tapi kemudian ada yang keempat
terkait dengan kenusantaraan, keadilan, kekeluargaan tadi sudah disebutkan selaras, seimbang,
serasi, berkelanjutan dan non diskriminasi. Yang poin penting terkait diskriminasi karena
catatan kami banyak sekali diskriminasi yang terjadi terhadap masyarakat adat tersebut.
Ada beberapa prinsip yang juga perlu dicermati selain apa yang sudah disampaikan.
Yang pertama, adalah kesetaraan gender kemudian partisipasi, transpanrasi,
kemandirian dan persetujuan. Saya mau menggarisi bawahi soal persetujuan yang berkaitan
dengan sebenarnya, kalau kita lihat di dalam hukum kedokteran ada yang disebut dengan
inform consent yang melihat bahwa tentu ada persetujuan dari masyarakat. Nah, kalau kita lihat
dari beberapa kasus maka persetujuan atau nota kesepahaman yang bisa disebutkan di sana, ini
menjadi sangat penting karena sering kali masyarakat adat tidak pernah diajak bicara soal ini.
Oleh sebab itu kami masukkan di dalam prinsip.
Nah, terkait dengan lembaga-lembaga adat yang tadi pada prinsipnya sudah ada dan
tentu kalau itu perlu dipertahankan maka ada baiknya itu dipertahankan.
Yang menjadi sangat penting juga adalah terkait dengan penyelesaian sengketa. Kalau
kita lihat dari penyelesaian sengketa maka ada yang disebut dengan peradilan adat, kalau kita
lihat peradilan adat tentu saja yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa di dalam
masyarakat adat termasuk dibidang petanahan, karena apa? Karena sering kali didalam
pertanahan ini masyarakat adat tidak diikut sertakan.
Peradilan adat adalah peradilan perdamaian dilingkungan masyarakat adat yang
berfungsi memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa-sengketa menurut hukum adat,
namun ada catatan adalah dengan memperhatikan hak asasi manusia. karena apa, seringkali
kita mellihat bahwa atas dasar apa, nilai-nilai tertentu maka masyarakat adat ini tidak dibiarkan
untuk menyelesaikan sengketanya sendiri.
Lalu kemudian dengan memperhatikan hak asasi manusia, bahwa seringkali kemudian
menafikkan terkait dengan hak asasi manusia, jadi, pendekatannya hak asasi manusia termasuk
juga didalamnya adalah berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan terhadap laki dan
perempuan, ini menjadi sangat penting.
Nah, beberapa catatan yang terkait dengan hal tersebut, tadi ada istilah hak ulayat atau
istilah lain, maka ini juga akan menjadi sangat penting ketika kita membahas tentang apakah
di dalam undang-undang yang nantinya juga dibicarakan itu dibidang lain tentunya yaitu
berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang pertanahan. Nah, lalu di dalam undang-undang
pertanahan ini akan bicara tentang hak ulayat juga, nah, ini jadi penting menjadi perhatian kita
dan juga kalaupun nanti di dalam peradilan pertanahan akan diperlukan, dibuat maka ini dibuat
secara ad hoc.
Demikin pemikiran yang kami sampaikan, terkait dengan apa yang sudah dibahas di
dalam apa, apa, Indonesia, semoga ini bisa menambah pemahaman kita, bahwa betapa
pentingnya rancangan undang-undang ini, Karena kita juga berangkat bahwa dua kali usulan
ini tidak berlangsung, namun kalau kita lihat perkembangan di daerah bahwa masing-masing
daerah sekarang banyak sekali yang sudah bermuculan dengan adanya peraturan daerah yang
berkaitan dengan perlindungan masyarakat adat, perlindungan masyarakat hukum adat.
Namun kalau berangkat dari Pasal 18, maka ini penting sekali payung yang ada, yaitu
payung undang-undang berkaitan sehingga apa yang muncul di dalam masyarakat adat itu
perda-perda yang berkaitan dengan masyarakat adat itu bisa memayungi. Mungkin itu beberapa
hal yang saya ingin sampaikan. Mungkin ada teman-teman yang ingin menyampaikan!
16 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
PEMBICARA: NARASUMBER (APHA)
Saya hanya ingin menekankan saja kembali bahwa, apa yang kami usulkan itu
sebetulnya kami mengikuti akan perkembangan globalisasi, di mana hukum adat itu memang
berubah.
Oleh sebab itu kami juga seperti apa yang dikatakan oleh Prof. Baghir Manan tadi, dia
selalu berubah-ubah karena dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran dan keadaan
masyarakat sekarang, ya, sekarang ini, jadi, disini ada mengenai tadi beliau sudah katakan Dr.
Kunti, mengatakan tentang di dalam hukum adat itu kan enggak ada mengenai gender, ya, itu
kita masukkan, jadi, kita menunjukkan bahwa kita juga mengikuti perkembangan.
Lalu ada juga hal-hal yang lain yang diajukan tadi, tapi saya menekankan mengenai
itu bahwa kami juga dari APHA itu menekankan juga dan memahami bahwa hukum adat itu
memang berubah-ubah, sehingga dari tidak ada di dalam hukum adat itu mengakui akan gender
ya. tapi disana kita usulkan untuk dimasukkan kita mengakui adanya hal itu.
Terima kasih.
PEMBICARA: Dr. KUNTHI TRI DEWIYANTI S.H. M.H. (APHA)
Terima kasih Prof. Demikian kami kembalikan kepada, oh, kami kembalikan kepada
Ketua Komite. Terima kasih.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Baik, terima kasih.
Yang terakhir tadi dikomentari Bu Jane soal gender ya? Kalau bicara adat bolehlah.
Kemudian kita kaitkan Antropologi dan Sosiologi kita masyarakat kita, Minang itu
adalah martiarscat, Jawa itu adalah partiarscat, patrilineal, matrilineal, kerajaan-kerajaan kita
itu matrilineal, eh, patrilineal kecuali Minangkabau barangkali, jadi, tasis hukum tradisinya
seperti itu.
Prof. Kalau ini, ya, memang artinya agak berbeda, kalau kemudian gender ini kemudian
dijadikan, ingat kemudian perkara yang diajukan Bu Iin, perkara daerah Istimewa Yogyakarta.
Hanya kata isteri itu yang diserang.
Di dalam pasal Undang-Undang 13, 2012 yang daerah Yogyakarta, 18 (1c), calon
gubernur adalah Sultan yang sedang bertahta, calon wakil gubernur adalah yang bertahta
Pakualaman, Pakualam, Pakualam.
18 (1n) calon gubernur, wakil gubernur menyerahkan riwayat hidup, pendidikan, nama
saudara kandung isteri, saudara kandung, kenapa saudara kandung? Untuk memastikan bahwa
pak Baghir itu laki-laki atau perempuan! Ibu Jin Laki-laki atau perempuan, Sebab kalau Bu Jin
orang keraton enggak berhak jadi raja. Badri, Pak! Enggak boleh, ini bicara soal raja dulu, ya,
ini sudah mulai miring-miring ini satu ini.
Kartu kemudian yang kedua, adalah nama isteri ini yang diserang habis Prof. Ini
pertama dianggap tidak sesensitif gender, ini tidak menghormati HAM, lalu ini tidak berlaku
hukum lex spesialis, lihat Undang-Undang Pemda yang lain katanya begitu.
Dramatur di MK yang menarik Prof. Antara yang menggugat dan yang digugat
ekuivalen Prof. Saya setuju dengan gugatan para penggugat, setuju! karena siapa? Jelas ini ada
yang meremote kontrol ini Prof. Sehingga jangan kaget kalau kemudian, beliau adalah orang
yang termasuk begini, ini misi dari komite I pada waktu itu.
Jadi, saya katakan bahwa apakah boleh kemudian adat itu kemudian dirubah dengan
hukum formal, seperti di MK itu Prof. Jadi bicara gender tadi itu. Baik, silahkan ada komentar?
17 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
Satu, Saudara Asri (MAA, Muhammad Asri Anas), Muhammad Asri Anas. Dari sini apa?
Tidak sebentar, ada lagi?
PEMBICARA: Dr. H. AJIEP PADINDANG, S.E., M.M. (KETUA KOMITE IV DPD RI)
Daftar dulu, bos. Kiri, kiri itu Pak Hafidz Asrom, kemudian Bapak Abraham Liyanto,
lagi? Pak Khally yang satu hadir dari awal pertama adalah duluan mana Pak Asri atau Pak
Khaly? Oke, Pak Asri atau Pak Khaly? Oke, Pak Asri kemudian baru Pak Khaly.
PEMBICARA: MUHAMAD ASRI ANAS (SULBAR)
Ya, terima kasih Pak ketua.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat pagi.
Salam sejahtera untuk kita semua.
Yang kami hormati Pimpinan komite, kemudian para anggota, para nara sumber
terutama Prof. Baghir yang kami hormati. Ada beberapa, ini ada beberapa catatan sekaligus
pertanyaannya, ya, mungkin silakan kalau mau ditanggapi.
Yang pertama adalah kalau membuka Undang-Undang Dasar 1945 seperti yang
dijelaskan tadi memang ada 3 (tiga) pasal utama, ketika kita bicara sesungguhnya tentang
masyarakat hukum adat atau masyarakat adat.
Yang pertama tadi adalah Pasal 18 Ayat (2) , Pasal 28 Ayat (1), ayat (3), kemudian
menurut saya juga pasal 32, tentang bahasa dan kebudayaan, karenakan juga itu menyangkut
tentang masyarakat adat.
Tentu menurut saya ada beberapa catatan kenapa undang-undang ini menurut saya Pak
ketua agak sulit dalam 2 (dua) prolegnas ini, menurut saya ada kesulitan kita dalam
menterjemahkan, baik yang disebutkan tadi secara filosofis, sosiologis dan yuridis. Kan
misalnya dari asosiasi tadi, Mohon maaf ini.
Saya lama di Komite II, lima tahun dan perdebatan kita jugakan tentang hukum adat,
gitu, kalau merujuk pada seluruh undang-undang yang terbit di republik ini, kan yang
menjelaskan pertama kali tentang hak ulayat, hak masyarakat adat, itu kan Undang-Undang
Nomor 60, kemudian disusul oleh Undang-Undang Nomor 2, eh, sorry, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960, kemudian yang kedua adalah Undang-Undang Nomor 23 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 1997, baru disusul tadi hak asasi manusia.
Tetapi paling banyak dipakai ketika bicara tentang mayarakat hukum adat kan selalu
adalah Undang-Undang Nomor 39 Tentang Hak Asasi Manusia, itu yang paling sering dipakai
itu. Termasuk yang disebutkan tadi tentang gender.
Saya baru dari Lombok, bu. Saya masuk di perkampungan masyarakat sasak, kan, gitu,
saya seharian di sana berdiskusi tentang nilai-nilai mereka, salah satu nilai menarik, pak ketua
dia mengatakan “Pak Asri kalau mau menikah lagi, boleh, silakan culik perempuan di sini, nah,
masyarakat mengakui”. Begitu, Pak Abraham, begitu.
Ya, di sana tradisinya kalau mau menikah adalah menculik perempuan dan enggak ada
masalah dan saya ingat waktu itu ada satu kasus hukum di mana seorang perantau Indonesia,
menculik masyarakat, perempuan masyarakat sasak di Malaysia dan diburu sampai ke
Indonesia, padahal itu adalah tradisi.
Kemudian saya sebagai masyarakat Bugis, ini mohon maaf. Ini sebagai masyarakat di
Bugis, kalau saya di Bugis menculik perempuan atau kawin lari pasti saya dibunuh karena
disebut siri.
Di Sulsel itu, kalau menculik perempuan, membawa dari kampung, maka pasti perintah
keluarga bunuh dia, sebelum menginjak kampung ini, itu siri napace kalau orang Bugis.
18 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
Dua hal yang berbeda, kalau diterjemahkan dalam konteks tadi, ya, mohon maaf,
gender, itu agak susah kita mencari artikulasinya, sehingga mohon maaf, kenapa undang-
undang ini susah diterjemahkan? menurut saya, asosia ini, ini catatan untuk asosiasi.
Kesulitan kita menterjemahkan dan menyusun undang-undang ini, termasuk teman-
teman di DPR menurut saya adalah karena kita cenderung memandang hukum adat itu,
mengambil dengan sistem hukum barat,
Mulai yang pertama adalah cara kita menelaah dan kedua adalah cara kita menyusun,
itulah yang menurut saya mengalami kesulitan, apalagi kalau membaca sekian banyak
peraturan perundang-undangan. Misalnya, kita mengambil tentang, mohon maaf, Undang-
Undang Nomor 7 Tentang Sumber Daya Air, di sana istilah-istilah itu bebeda dengan Undang-
Undang Perkebunan Nomor. 18 Tahun 2004.
Jadi, paradikma kita ini kadang-kadang terlalu barat, mohon maaf yang paling bisa kita
banggakan adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, kan itu disebut hukum. Itu gampang
mentarjemahkanya mengapa ada teroterial dan lain sebagianya. Apa lagi tadi disebutkan
berbagai daerah mohon maaf, berbagai daerah ini cenderung dianggap tadi agak kebablasan
karena udah membuat Perda masing – masing.
Bahkan bisa jadi mereka jauh lebih maju, karena ingin memagari wilayah-wilayah
terotori dan kebijakan-kebijakan yang sifatnya mengandung nilai primer dan mengandung nilai
subsider yang menurut saya memang daerah banyak selama ini termasuk di daerah saya.
Didaerah saya banyak yang datang konsultasi ke saya “Pak Sri bisa ngga cepat saya
membentuk yang namanya Perda tentang hukum adat?” kan, gitu, kalau rujukanya tentang
undang-undang pokoknya, ya, memang belum ada.
Sehingga menurut saya, ini pertanyaan sekaligus kepada Prof. Jangan-jangan Prof. ini
memang ada kesulitan kita, untuk menerjemahkan ini secara filosofis sosiologis yang yuridis.
Apalagi misalnya, ketika kami misalnya dulu di komite II, Pak ketua, misalnya untuk
perdebatan aja tentang pengakuan tanah ulayat, selalu rujukanya Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 atau Undang-Undang pokok Agraria dan selalu catatan yang kita temukan adalah
bisa diberikan selama tidak bertentangan dengan Kepentingan Nasional, selalu begitu
artikulasinya dan umunya perdebatan kita tentang hukum tanah ulayat selalu masyarakat adat
itu dikalahkan, dikalahkan oleh kepentingan bisnis, kepentingan corpororate dan kepentingan
yang mengatas namakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sehingga Pak Ketua, kalau mengenai istilah-istilah yang disebutkan tadi misalnya
apakah memakai masyarakat hukum adat, masyarakat adat karena berbeda-beda Pasal Undang
– Undang Nomor: 7, 18, 20, 31, 38, 27 memang berbeda-beda, istilah-istilah yang digunakan,
tetapi menurut saya, saya sedikit agak auto kritik, jangan-jangan memang kita ini ada kesulitan
menerjemahkan secara filosofil, sosiologis dan yuridis.
Misalnya, ya, misalnya mohon maaf tadi yang disebutkan gender tadikan, tiba-tiba,
enggak-enggak ini mohon maaf, karena yang paling banyak bicara gender itu Ibu-ibu pak
ketua, kita riel aja. Ini kita fer-fer aja yang paling banyak bicara gender ini kan Ibu-ibu, jadi,
mohon maaf, misalnya tadi ketika hak-hak perempuan dalam hukum adat menurut saya kita
susah mencari itu artikulasinya kan gitu.
Gitu aja kira-kira pak ketua terima kasih banyak, saya tidak masuk kedalam substansi
yang disampaikan dimateri-materi ini, karena masih banyak beberapa perbedaan-perbedaan
kita dalam menerjemahkan itu aja.
Terima kasih.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
19 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Saya kirim ke WA group komite itu mengenai R. Hukum Adat dinilai rugikan Hukum
Adat, saya kirim ke Group, termasuk pembicaraan yang disampaikan oleh bu ketua, dikoran
ini.
lalu di Karang Anyar ini menarik, saking beradatnya ini, pembentukan Perda nama
Jawa di Karang Anyar itu pak. Ini atas nama adat juga, jadi, Jasarmen jangan harap hidup di
Karang anyar, karena namanya bukan Jawa, di karang Anyar itu.
Abraham jangan harap hidup di Karang Anyar, karena bukan nama jawa, adanya
Ibrahim disana pak, bukan Abraham. Ini contohnya ini, jadi, Pak Asri bagus sekali, orang mau
nyulik Bu Dewi kok pake alasan macam-macam tadi itu, loh, kacau ini, bahaya Pak Asri ini.
Ya, tapi dia penikmat gender bu, silakan kemudian Pak Hali, siap-siap pak, ya udahlah Bu Ayu
boleh silahkan bukan soal silang yang hadir duluan, iya pak. kan Bapak lebih duluan daripada
pak Abraham silahkan dulu.
PEMBICARA: Drs. A.P. KHALY (GORONTALO)
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Pak ketua dan Bapak-Bapak dan Ibu sekalian yang saya hormati, istiwewa para nara
sumber mohon maaf saya tidak sebut satu persatu saya tujukan utamanya ini kepada Asosiasi
Pengajar Hukum Adat (APHA) dari beberapa pengertian ini barangkali perlu digali juga
pengertian tentang daerah adat, daerah adat ini kalau di Indonesia ini kalau tidak salah ada
beberapa daerah adat Indonesia salah satunya Gorontalo sebagai daerah adat ke- 9 kehidupan
masyarakat adat di suatu pedomannya itu berbeda dengan daerah lain tergantung kepada
falsafah hidup atau falsafah adat yang di anut daerah itu di sebagai Gorontalo salah satu daerah
adat di Indonesia menganut falsafah adat bersendi sara sara bersendi kitabullah, sehingga dalam
setiap penyelenggaraan pemerintahan ini sebagai contoh maka setiap Camat ini contoh yang
riel ini sebelum diangkat oleh kepala daerah itu selalu dimintakan pertimbangan dari lembaga
adat. Jadi meskipun itu hak prerogatif dari kepala daerah yang dimintakan pertimbanganya
adalah perilaku calon Camat dalam kehidupan sehari-hari ini yang berlaku disana ya tentunya
ini perlu kita gali bersama kira-kira bagaimana dengan daerah lain sehingga kita bisa
merumuskkan sebaiknya di Indonesia ini bagaimana demikian juga dalam acara pemakaman
itu berbeda pakaian dengan acara di pesta perkawinan atau acara lainnya, lalu disana pakaian
yang hadir dalam pemakaman itu serba putih kalau hari yang ke- 40 itu serba biru kemudian
ada 4 warna adat di daerah sana di Gorontalo da juga masing – masing punya arti yaitu kuning,
merah, hujau dan kuning ya.. jadi ini cirikhas yang ada di daerah yang saya maksutkan itu
berbeda dengan daerah lain barangkali perlu kita gali bersama.
Kemudian dalam penyelenggaraan pemerintahan utama Kepala Desa misalnya
meskipun itu melalui pemilihan tetapi juga sebelum dipilih seorang calon itu dimintakan
pertimbangan dari lembaga adat apakah dia bisa atau tidak untuk di pillih karena apa Kepala
Desa begitu dia terpiplih terlepas dari usianya yang masih muda ... (menit 97.45 kurang jelas,
red.) sebagai Tuak, jadi orang tua di Desa itu oleh karena itu dia harus memberi teladan yang
baik kepada masyarakat dan itu pendekatan agama demikian njuga seorang Camat dan cuma
yang pemilihan kepala daerah itu belum dan itu menjadi perdebatan itu. Kira-kira itu singkat
itu yang kita sampaikan untuk menjadi bahan kita bersama. Terima kasih.
Terima kasih Pak Khali..lanjut Bu Iin siap-siap Pak Hafidh.
20 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
PEMBICARA: INSTIAWATI AYUS. S.H., M.H. (RIAU)
Baik.
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Terima kasih ketua Bapak/Ibu Anggota yang saya hormati dan tentunya narasumber
Pak Bagir Manan dan Asosiasi Pengajar, ini sudah RDP yang ke-3 ya jadi saya berusaha untuk
tidak mengulang pertanyaan pada nara sumber sebelumnya, pertama kali saya menyentuh dulu
artikel yang di saya yaitu termologi dari usulan Rancangan Undang – Undang tentang
masyarakat adat yang masih menjadi bias bagi saya adalah saat kita bicara dan disebut
Masyarakat Hukum Adat itu sekelompok yang bermukim di wilayah geografis tertentu dan
seterusnya berarti ada kelompok komunitas masyarakat dengan satu perasaan yang sama
diwilayah tertentu kemudian kemudian pada termologi berikutnya dijelaskan disampaikan
tentang ya ini menjadi pertanyaan saya masyarakat tradisional, lazimnya saat kita bicara, kita
bicara masyarakat adat pertanyaan saya ini padanan yang sama untuk sebuah sebutan
masyarakat adat dan atau itu adalah masyarakat tradisional, ditermonologi ini saya belum bisa
nangkapnya pak..apa lagi saya ulangi lagi pada termologi pengertian di bab 1 itu yaitu
masyarakat hukum adat sekelompok yang sudah bermukim diwilayah geografis tertentu. Nah
untuk wilayah saya menyentuh tadi apa yang disampaikan oleh Prof Bagir yaitu kekuasaan
tertinggi berpusat satu di pemerintah pusat Pertanyaan saya yang memberi lebel jangan kita
bicara wilayah dulu ya, yang memberi lebel bahwa ini lo..masyarakat adat, ini lo.. kelompok
komunitas itu yang berhak memberi lebelnya bahwa dia syah secara legal dia adalah adalah
masyarakat adat itu siapa? Karena apa saat kita berjuang, saat kita memerlukan sebuah
pengakuan tentang komunitas adat ini kita bicara pada hak dan kewajiban yaitu kita tuangkan
dalam peraturan atau ketentuan Undang-Undang lainya. Jadi tidak bisa lepas saat bicara pada
subyeknya, obyeknya nah wilayah ini setelah ada kekuasaan yang memberi label untuk
komunitasnya kemudian tentu kekuasaan berikutnya lagi akan memberikan wilayahnya.
Nah ini kan tidak semua memberikan wilayah itu, ketentuannya, kriterianya, dan
segalanya itu di mana letaknya untuk memberi itu. Itu yang menjadi saya belum dapat tangkap
di sini. Semangatnya sudah saya tangkap, semangat sudah saya tangkap bahwa kita ingin adat
ini masih ada. Saya tidak bicara lagi pada prinsip lainnya, tapi saya bilang adat ini memang
harus ada, lestari hendaknya, sepakat. Cuma saya tegaskan sekali lagi yang memberi labelnya
ini siapa dan wilayah ini wilayah mana yang bisa. Kalau kita simak sekarang, hamparan
republik ini sudah selesai kaplingannya. Mana lagi tersisa kaplingan, kuburan bisa. Kaplingan
itu kita katakan ini terpenuhi kriterianya. Mau tidak mau, suka tidak suka, pada daerah tertentu
dinyatakan ini wilayah masyarakat adat. Apa yang menjadi rujukan? Apa yang menjadi alat
untuk kita dapat mengatakan ini wilayah? Pak Asri bilang, tegaskan saja wilayah perkebunan
menjadi wilayah masyarakat adat. Ya itu kan tinggal bagaimana kita memperjuangkannya. Nah
itu yang saya bahasakan saat subjek yang jelas masyarakat adat, objeknya di mana, wilayahya
apa, tujuannya lestari.
Demikian, terima kasih.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Prof. Bagir, Indonesia ini bukan ruang kosong, Prof. ya, dan aturannya sudah banyak
sekali. Ada interelasi, ada saling mendukung, bahkan ada yang bertumpuk-tumpuk, Prof.. Ini
bagaimana ya cara membenahi republik ini dan saya kira pengajar apa di wilayah Fakultas
Hukum, bukan. Fakultas Hukum, saya kira kalau ada kolokium hukum khusus mengenai
peraturan undang-undang itu menarik sehingga satu saya sampaikan Pak Suryadi, misalnya
soal agraria, soal tanah, dan lain-lain. Ini jelas 560 itu clear, tapi begitu Pak Harto berkuasa
21 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
jadi kelir, Pak, berkelir-kelir tidak karu-karuan. Jadi dari clear menjadi kelir begitu loh. Nah
sekarang menjadi tidak clear lagi, Prof. Ini saya kira saya menembak Prof. Bagir ini bagaimana
ini agar DPR, pemerintah, menyadari bahwa interelasi itu tidak positif. Ini yang saya kira
menjadi PR kita bersama ini.
Pak Hafidh, nanti Pak Abraham Liyanto.
PEMBICARA: Drs. H.A. HAFIDH ASROM, M.M. (DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA)
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua.
Pimpinan yang saya hormati beserta Anggota dan para narasumber yang saya hormati.
Saya dari Yogya, Bu, Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya merasa risih juga sekarang
kondisinya bahwa terkait dengan masalah pertanahan di Yogya begitu. Jadi ini sangat
diperlukan sekali memang undang-undang tentang adat istiadat untuk bisa mengayomi apa
yang menjadi putusan-putusan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai contoh
memang yang sekarang telah dilakukan di Makamah Konstitusi diuji coba terus itu tentang hak
guna bangunan saya kira, yang diperoleh oleh warga keturunan yang ada di Yogya bahwa harga
mati warga keturunan itu tidak boleh memiliki tanah sebagqi hak milik. Jadi kalau dia beli
sertifikat hak milik, kemudian diatasnamakan yang bersangkutan warga keturunan akan turun
menjadi Hak Guna Bangunan. Nah ini selalu digugat karena merasa diskriminasi, bahkan kami
sendiri dari DPD selalu mendapatkan informasi dan pengaduan dari masyarakat, “Pak ini
tolong diperjuangkan.” Perjuangannya apa? Ya supaya pemerintah daerah tidak melakukan
diskriminasi tentang kepemilikan tanah, padahal kita kan beli begitu. Kita juga warga negara
Indonesia begitu. Tapi setelah saya konfirmasi ke keraton, tentunya yang Panitikismo, yang
memang menjadi Kementerian Pertanahan di Keraton itu sudah final seperti itu, sudah final
bahwa ini. Nah ini upaya-upaya ini terus dilakukan oleh warga-warga kita warga keturunan
yang ada di Yogyakarta merasa saya ini lahir di Yogya, dibesarkan di Yogya, tapi mendapatkan
diskriminasi yang ada ini, walaupun cara yang dilakukan sekarang memakai apa sajalah.
Contoh yang sudah ada sekarang ini dengan adanya perkembangan kota wisata di Yogya yang
ada di pinggir Pantai Gunung Kidul dan Bantul itu rata-rata tanah sudah dikapling-kapling
sama pengusaha-pengusaha yang warga keturunan juga begitu. Jadi ini yang terjadi terhadap
itu maka undang-undang ini sangat kita harapkan segera terwujud supaya nanti ada patokan-
patokan yang dia ada begitu.
Kemudian yang kedua, masalah tanah milik negara. Kalau di Yogya kalau tidak salah
kan tanah milik keraton Yogyakarta, tanah milik negara. Ini juga sama atas nama NKRI,
bahkan Anggota DPR RI yang dari Yogya juga itu sekarang lagi memperjuangkan bahwa tanah
milik keraton itu harus jadi milik negara atas nama NKRI dan atas nama Undang-Undang
Agraria. Saya kira ini kami mohon pencerahan Prof. ini bagaimana kira-kira menyikapi karena
kami juga wakil dari DIY yang terkait dengan daerah tentunya menjadi suatu pertanyaan-
pertanyaan yang dari masyarakat ke kita begitu untuk memberikan jawaban. Dua poin itu yang
sampaikan.
Terima kasih.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
22 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Jadi ada dua, Pak. Soal resi, Pak, tadi soal tanah saya kira memang 560 itu apakah …
(kurang jelas, red.) atau tidak. Sepengetahuan saya bahwa 560 itu memang ada jeda, dalam
istilah perbankan itu ada grace period, Pak Asri. 84 nanti baru oke ya, begitu kira-kira. 84 betul
ya? Tapi kemudian, kok dia nikmati, ada ground sultan tidak perlu diubah itu, misalnya
begitulah. Jadi agraria 560, Prof., saya kira grace period sampai 84 itu adalah waktu di mana
dia harus menyesuaikan dengan NKRI. Tapi karena menyesuaikan NKRI tidak nikmat, masih
ada nikmat ground sultan, tidak usah disentuh itu yang namanya aturan yang harus berlaku
sampai dengan 84 itu. Yang kedua soal tadi, soal tarik-menarik saya kira implikasi dari 560
yang memang tadi Prof. Bagir sampaikan bahwa kehebatan Yogya dalam historical Bangsa
Kesultanan Pakubuwono IX, yes. Itu kira-kira.
Lanjut silakan, Pak Abraham.
PEMBICARA: Ir. ABRAHAM LIYANTO (NUSA TENGGARA TIMUR)
Terima kasih, Ketua
Assalamualaikum warahmatullahi warabarakatuh.
Prof. Bagir dan Ibu narasumber yang saya hormati, saya di sini Prof., pakai baju adat
ini, Prof.. Tradisional, Prof.
Saya dari NTT. Yang pertama, tentu kita berikan apresiasi kepada narasumber yang
pagi ini sudah meberikan kuliah umum bagi kita tentang masyarakat adat ini. Ada dua hal yang
ingin saya sampaikan juga. Yang pertama tentu undang-undang tentang masyarakat ini sangat
penting karena ini belum diatur sampai sekarang ini sehingga banyak kita ini yang tidak tahu
aturan, bahkan tidak tahu adat. Ya ini kita lihat dengan situasi berkembangnya legend medsos
yang sekarang ini banyak yang ya tidak tahu aturan, tidak tahu adat menurut saya. Di zaman
orde baru, hak-hak ulayat itu mulai diangkat. Ya masyarakat adat itu mulai diangkat dan kita
lihat kalau di zaman orde baru itu selalu masyarakat adat dikalahkan.Ya kita contoh konkret
yang umum aja semua kita tahu di mana-mana itu kalau orde baru Bob Hasan mau ngambil
tanah di mana saja dapat itu, apalagi Tommy Soeharto ya. Ya itu masyarakat adat punya hutan
cengkeh saja bisa dibabat. Di zaman reformasi ini mulai diangkat, tetapi belum mendapat
perhatian. Kemudian ini tidak berjalan sudah mulai dari 1999, 2009, 2014, nah hari ini 2018
DPD RI angkat lagi ini. Tapi, saya agak khawatir ini, Prof., di zaman now ini, zaman milenia,
zaman now sekarang begitu ya, ini kita juga tahu bahwa salah satu faktor penyebap penghambat
pembangunan ini adalah persoalan tanah hak ulayat ya. Apalagi kalau sekarang ini zaman now
ini kan lagi pilkada tahun ini, Pak Prof., ini dimanfaatkan oleh kadang-kadang ya mungkin
pejabat, kandidat, dan seterusnya. Ya kita lihat banyak persoalan tambang yang diangkat masuk
penjara semua itu, baik pemerintah maupun pengusaha, dan ini mereka membuat masyarakat
adat ini jadi apa, subjek ya.
Di tempat saya itu lucu, ada bendungan yang kepentingan untuk orang banyak di kota
Kupang ini, Prof., itu dimanfaatkan oleh politik ya, baik itu elite-elite politiknya yang mau ikut
pilkada dan juga memanfaakan masyarakat ini sehingga kepentingan, tadi kalau kita lihat
Undang-Undang Pasal 33 kita ya bahwa bumi, air, udara, kekayaan alam, ya semuanya ini
dikuasai oleh negara dan untuk kepentingan masyarakat banyak. Ini bendungan mau dibangun,
masyarakat adat pagari itu tidak boleh bertahun-tahun, dananya kembali. Jadi menurut saya ini
juga kalau tidak cepat diselesaikan, ini menjadi penghambat ya. Di zaman sekarang ini justru
masyarakat adat atau ketentuan yang kita bahas tadi ini bisa menjadi penghambat
pembangunan.
Saya lebih luas lagi, Prof., saya bandingkan dengan negara lain ya. Di Jepang, hukum
adat itu keras kita tahu. Sedunia, di mana-mana kita tahu Jepang paling dihormati adat begitu
23 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
ya. Tapi, Prof., di zaman sekarang ini saya khawatir juga, Jepang sekarang kalah sama Korea
Selatan loh gara-gara peraturan adat ini. Kalau sekarang anak muda di Korea Selatan bikin apa,
besok sudah harus selesai. Jepang indutrinya ketinggalan sampai dengan hari ini karena gara-
gara itu, memperhatikan adat, menghormati yang senior, yang tua, sehingga tidak berkembang
mereka.
Nah dua fenomena ini yang mungkin saya minta pendapat Prof. dan juga mungkin Ibu-
ibu narasumber ini bagaimana supaya kita dapat mengakomodir ini, undang-undang ini segera
turun dan bisa kita manfaatkan supaya aturannya jelas, tidak dimanfaatkan, masyarakat itu
tidak menjadi subjek tadi itu, tetapi dia bisa kita manfaatkan menjadi … (kurang jelas, red.)
dan undang-undang ini bisa dilahirkan di zaman ini, bisa melindungi masyarakat supaya tidak
menghambat pembangunan ini karena kalau di zaman IT ini, Prof., orang sudah bicara tentang
teknologi canggih, semua sudah di ini, kita masih bertele-tele dengan persoalan adat, persoalan
tradisional, ya bisa juga hal-hal yang kita inginkan bisa terjadi.
Saya kebetulan di Komite III kemarin itu juga tahu bahwa kita sedang membahas
Undang-Undang tentang Perlindungan Bahasa dan Tradisional, dan Mainan Tradisional,
undang-undang di Komite III. Jadi DPD ini punya perhatian karena memang ini ranah dari
DPD, tapi kita hati-hati supaya keluarkan ini jangan salah. Saya juga membayangkan bahwa
kalau kemarin kita bahas Undang-Undang tentang Kesenian Tradisional dan Bahasa itu ada
1.300 bahasa, ada 900 suku bangsa, nah ini ada kaitannya sama juga, Pak, 900 suku, Pak.
Bagaimana ini bisa pasal-pasalnya bisa kita akomodir semua, kaitannya lagi dengan zaman
now tadi itu.
Saya kira itu saja barangkali. Saya minta pendapat yang konkret sehingga pasal-pasal
yang kita munculkan tadi ini bisa terakomodir semua dan tidak berakibat buruk seperti contoh
tadi negara lain, Jepang dan Korea Selatan.
Terima kasih.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Jepang dan Korea Selatan, seringkali Bapak ke sana tampaknya. Ya sebagai Anggota
MPR efektif ini, sedangkan yang lain tidak efektif, Pak Asri, Bu Iin. Oh bukan, ini saya
memastikan bahwa sebagai Anggota MPR efektif, yang lain tidak efektif, itu saja. Kalau toh
Bu Iin, Pak Asri, tersinggung ya alhamdulillah, kalau tidak kebangetan, itu saja persoalannya.
Bu Eni silakan, Bu Eni.
PEMBICARA: Dra. Ir. Hj. ENI SUMARNI, M. Kes. (JAWA BARAT)
Terima kasih, Pimpinan.
Bapak Ibu Senator yang saya banggakan, hadirin yang saya hormati, dan narasumber
yang saya cintai. Ini terima kasih sekali hari ini saya tambah wawasan dan pencerahan karena
saya ini tanggal 28 diminta untuk hadir di tengah-tengah 282 katanya yang akan hadir
masyarakat adat di Garut. Nah ini sangat bermanfaat bagi saya, terutama tentang … (kurang
jelas, red.) RUU Masyarakat Adat ini yang dibuat oleh APHA ya. Hanya di sini ada beberapa
hal karena tujuan utamanya daripada undang-undang ini adalah hadirnya pemerintah, terutama
dalam hal-hal kasus pendidikan, kesehatan, dan ekonomi tanpa mengurangi hak-hak tradisional
maupun hak-hak hukum adat yang berlaku di wilayah masyarakat adat.
Ada beberapa hal, mungkin ini dari terutama tentang asas-asas karena biasanya kan
saya kemukakan secara detail yang menjadi landasan. Di sini ada beberapa yang saya masih
ingin penjelasan secara detail. Takutnya ada hal yang lebih spesifik dari yang dimaksud dari
asas-asas di sini. Seperti Pancasila, Pancasila di sini ada juga asasnya keadilan, sedangkan
dalam Pancasila sudah ada Keadilan Sosial. Apa yang dimaksud dengan keadilan di sini karena
24 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
asas itu landasan yang mendasari, bukan penjabaran. Di sini NKRI juga sudah ada lagi
Kenusantaraan. Jadi ini mungkin apa spesifiknya antara Kenusantaraan dan NKRI. Nah
nondiskriminatif itu juga sudah jelas kan keadilan. Jadi sudah ada keadilan yang ada sudah
dalam Pancasila. Jadi ini hal-hal yang perlu penjelasan mengingat kita akan insya Allah saya
minta izin dari APHA untuk hal ini juga merupakan wawasan bagi masyarakat adat sehingga
bisa mengenal dirinya dan terbuka terhadap tujuan pemerintah yang ingin hadir di tengah-
tengah mereka untuk melindungi mereka tanpa mengubah tradisi yang mereka pertahankan.
Demikian.
Terima kasih.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Terima kasih, Bu.
Sekarang jam 12.00 tepat, saya kira Prof. dan dari APHA sepakat jam setengah satulah
kita selesai karena ya karena jangan berhentikan ketika sedang on.
Ya, Pak Djasarmen.
PEMBICARA: DJASARMEN PURBA, S.H. (KEPULAUAN RIAU)
Singkat saja. Baik, terima kasih.
Assalamualaikum warahmatullahi warabarakatuh.
Pak Prof. dan seluruh jajarannya dan Pimpinan, saya yang pertama sangat tertarik
dengan seragamnya. Ini kalau dalam politik tidak tahu seragam apa ini, warna apa ini.
Yang kedua, saya tidak ikut ya, saya hanya tanya warnanya saja. Baik Bapak Ibu, yang
mau saya tanya begini Bu, masyarakat adat atau hak ulayat sepengetahuan saya itu sudah ada
sejak sebelum kemerdekaan. Nah sesudah kemerdekaan, apakah ada sebab contohnya begini,
ulayat tanah-tanah hak ulayat banyak sekali bermunculan sekarang. Nah ini harus juga
diantisipasi di rancangan undang-undang ini. Itu yang pertama.
Yang kedua di Kepri ada yang namanya anak tempatan, anak tempatan. Kalau boleh
dimasukkan di dalam ketentuan umum ini tentang anak tempatan. Apa itu anak tempatan?
Adalah orang yang berasal dari Flores, orang yang berasal dari Sumatera Utara, dari daerah
mana lahir di sana, tetapi kemudian dia menjadi anak tempat dan menjadi penguasa adat di
sana sehingga sesudah itu dia punya hak ulayat di sana. Pertanyaannya, bagaimana dengan ini?
Supaya jangan nanti ada ini muncul ulayat-ulayat yang baru lagi, padahal yang sepengetahuan
saya, sebelum kemerdekaan itulah yang namanya hak ulayat.
Terima kasih, Pimpinan.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Pak Djasarmen ini sensitif warna juga. Saya kira beda dengan bajunya warnanya Pak
Hudarni. Lain kan? Lebih Hanura ini daripada yang lain saya kira, kalau soal pakaian loh ya.
PEMBICARA: MUH. ASRI ANAS (SULAWESI BARAT)
Jadi Pak Ketua, sebenarnya adat tempatan tadi itu adalah bagaimana orang marga
Beliau bisa juga menjadi penguasa adat di Kepri, itu maksudnya.
25 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Tapi bukan dalam konteks Anshar, Muhajirin, Hanura ya, Anshar, Muhajirin, Hanura.
Jadi zaman Nabi itu ada Kaum Anshar, ada Kaum Muhajirin. Semoga Benny itu bukan bagian
dari orang Muhajirin yang ada di Hanura saya kira. Sudah cukup ya. Baik, Prof., silakan Prof..
Saya mohon maaf ada tidak usah saya wakilkan, sepenuhnya Pak Wakil Ketua yang akan
melaksanakan.
PEMBICARA: Prof. Dr. BAGIR MANAN, S.H., M.CL. (NARASUMBER)
Baik, terima kasih.
Karena banyak tadi secara spesifik ditujukan kepada teman-teman Asosiasi Pengacara
Hukum Adat, saya akan membuat catatan-catatan yang umum saja. Pertama, menarik sekali
yang pertama mengkonfrontasikan antara dengan contoh konkret bagaimana menculik gadis di
Lombok bukan perbuatan melawan hukum ya, tapi justru sebagai jalan syah untuk pernikahan.
Sebaliknya di tanah Bugis tidak menculik, lari bersama pun merupakan suatu tindakan siri ya,
tindakan siri. Nah jadi berdasarkan perbedaan itu, Profesor van Vollenhoven dalam penemuan
hukum adat itu ya dalam ... (bahasa Belanda, red.) akhirnya menemukan 19 lingkungan hukum
adat kita yang berbeda-beda begitu ya, nah karena ada perbedaan-perbedaan itu. Akan sulit
kalau misalnya nanti undang-undang ini akan mengatur secara normatif yang sifatnya unifikasi,
berlaku sama untuk seluruhnya, sedangkan kenyataannya berbeda-beda, macam contoh
ekstrem tadi. Bagaimana kita menemukan suatu, mengunifikasikan sesuatu yang berbeda ya.
Tadi sudah bagus tadi dari teman-teman Asosiasi Pengacara Hukum Adat bahwa unsur
pluralisme atau dualisme hukum dalam hukum adat tidak dapat dihindari. Bagaimana jalan
keluarnya? Kita harus temukan prinsip-prinsip umum saja untuk mengaturnya yang bisa
memberi peluang bagi semua pihak itu terlindungi. Misalnya begini, bahwa asasnya adalah kita
menghormati negara harus menghormati hukum adat sesuai dengan lingkungan hukum adat itu
masing-masing. Misalnya karena saya mantan hakim, kalau saya mengadili kalau ada yang
memperkarakan seseorang yang menculik gadis di Lombok, kemudian menikah, maka sebagai
hakim saya harus tahu bahwa itu bukan perbuatan melawan hukum di Lombok, bukan
melanggar hukum ya. Kalau saya menghukum dia berarti saya tidak mengerti itu. Begitu juga
sebaliknya kalau saya ada di tanah Bugis, kalau saya tidak hukum berarti saya tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip keyakinan yang hidup di tanah Bugis itu, begitu ya. Itu ada buku yang
bagus sebetulnya di Tanah Bugis itu yang menulis hukum adat ini ditulis oleh Lopa itu. Bagus
itu ya kalau mau pelajari. Itu yang pertama. Jadi tidak mungkin kita kalau akan membuat
undang-undang ini akan mengatur semua secara, kita harus menemukan general principles,
prinsip-prinsip umum di satu pihak yang mencerminkan hukum adat, dari pihak prinsip-prinsip
umum yang tidak bertentangan prinsip-prinsip negara kesatuan yang macam-macam tadi itu.
Yang kedua, tadi singgung-singgung apa sih masyarakat hukum adat dengan
masyarakat adat itu atau disebut juga persekutuan masyarakat adat itu, persekutuan hukum
masyarakat adat itu yang sebetulnya itu terjemahan dari bahasa Belanda, adatrecht
gemeenschappen itu, yang dibedakan oleh Supomo dengan adat gemeenschappen itu, yaitu
masyarakat adat. Masyarakat adat mesti ada dalam lingkungan masyarakat hukum adat. Mesti,
baru dia ada identitas. Kalau tidak, tidak punya identidas. Nah itu saya tidak ingin membedakan
itu supaya mudah mengaturnya gitu ya. Tadi sudah bagus ciri-ciri dari masyarakat hukum adat
itu ada pemerintahannya, ada hak miliknya, ada macam-macam. Hanya yang saya ingin
mengingatkan, sepanjang kita menggunakan istilah masyarakat hukum adat, dia bukan hanya
teritorial karena ada masyarakat hukum adat macam Minangkabau tidak ditentukan oleh
teritorial, ditentukan oleh genealogis ya karena itu adalah masyarakat hukum adat yang
berdasarkan genealogis atau ada masyarakat yang merupakan gabungan dua-duanya itu. Nah
26 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
ini juga perlu mendapatkan perhatian, bagaimana kita menampung itu begitu. Dan, sekarang
menurut saya ikatan-ikatan teritorial, genealogis, maupun … (kurang jelas, red.) dalam
masyarat hukum adat sudah sangat longgar. Tadi sudah saya katakan akibat, misalnya akibat
pergerakan horizontal, vertikal, perubahan sosial macam-macam itu menjadi sudah sangat
longgar sehingga kalau kita masih ingin mengikat seperti itu akan membuat ketegangan. Tadi
ambil contoh yang bagus, cuma ekstrem sekali contohnya, masyarakat itu dari Flores itu
menjadi penguasa di sana. Sebetulnya itu maksudnya adalah konsekuensi dari keterbukaan.
Contoh yang bagus, misalnya Sumatera Barat. Ketika tahun ‘53 atau ‘50-an terjadi letusan
gunung apa, Gunung Agung ini Bali atau Gunung Merapi banyak sekali transmigrasi,
transmigran ke Sumatera Barat. Sumatera Barat itu merupakan suatu tatanan tradisonal yang
sangat kuat, hak ulayatnya sangat kuat. Tetapi, dengan pengertian hukum adat penguasa-
penguasa adat karena di sana sampai sekarang ada, sempat ada yang namanya kekerabatan adat
ala Minangkabau, masih ada sampai sekarang Minangkabau, ada semacam penyerahan hak
ulayat itu kepada negara, dan negara kemudian menyerahkan kepada transmigran, maka itu
selesai. Sehingga, mereka menjadi masyarakat yang homogen seperti itu. Nah itu kearifan-
kearifan lokal bersama dengan kearifan penyelenggara negara itu sangat penting untuk
menemukan jalan seperti itu.
Khusus pertanahan di Yogyakarta, ini begini, memang semula hukum tanah atau
hukum di Yogyakarta itu tetap berlaku hukum adat. Tetapi, ketika Alm. Sri Sultan
Hamengkubuwono kembali dari wakil presiden dan kembali menjadi gubernur aktif, beliau
mengatakan Yogyakarta mesti berlaku Hukum Agraria. Itu sikap beliau begitu, sikap beliau,
sikap Sri Sultan. Jadi, ingin agar supaya sama karena beliau seorang nasionalis betul gitu ya,
mencintai negara ini, maka pikirannya cuma Republik Indonesia itu, meskipun beliau raja ya,
mesti diterapkan itu secara berangsur-angsur. Tetapi kemudian, ada masalah-masalah karena
beliau tidak ada lagi sehingga prinsip itu tidak jalan. Misalnya tadi timbullah menggunakan
kembali prinsip-prinsip hukum adat itu, yang seperti itu. Nah apa dasar sebetulnya kepemilikan
tanah oleh Kesultanan Yogyakarta itu ya. Pertama, dasar tradisional bahwa yang namanya
kerajaan mesti mempunya milik atas tanah ya, dan itu kemudian diakui oleh pemerintah
kolonial dan diperkuat lagi kedudukan hukumnya Yogyakarta sebagai satu kesatuan hukum,
segera subjek, sebagai subjek yang berhak mempunyai kekayaan, mempunyai milik dan
sebagaimananya itu. Cuma kalau diterapkan hukum agraria, maka pengertian kekuasaan negara
atas tanah yang berwujud sana, itu hak untuk dimanfaatkan, termasuk untuk
memindahtangankannya kepada warga negara dengan hak-hak keagrariaan yang baru ya, itu
mestinya seperti itu, jadi itu hal seperti itu.
Yang terakhir, saya hanya ingin memberikan catatan bahwa bisa terjadi bahwa hukum
adat itu menjadi hambatan, yang tadi itu dikatakan cara seperti itu menjadi hambatan.
Contohnya adalah seperti di Kupang, saya pernah suatu ketika ada di Kupang ketika saya sudah
tidak Ketua Makhamah Agung lagi, tetapi Ketua Dewan Pers saya ke sana, termasuk gedung
gubernur, gedung pengadilan diperkarakan itu. Betul Pak ya? Karena itu milik kami, milik
masyarakat kami. Saya datang ke pengadilan, mereka ngomong seperti itu. Saya cuma jawab
bergurau gini Pak, kan hakimnya Anda, saya katakan, Anda putus saja seperti itu. Jadi memang
itu kenyataan seperti itu, jadi orang masih mengklaim seperti itu. Kalau kita berdasarkan
prinsip UU 1945 Pasal 33, “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, dan
kemudian UU lagi ditambah, “ruang udara dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”, yang oleh Prof. Gouw Giok Siong mengaturnya dengan sebaik-baiknya
untuk kepentingan rakyat banyak, jadi mestinya begitu. Jadi, harus ada satu posisi yang mana
yang tadi pertanyaan Pak Ketua tadi, terjadi overlapping peraturan itu. Maka, kita harus
menentukan satu sistem yang mana peraturan yang lebih mempunyai kekuatan berlaku. Orang
Inggris mengatakan yang prevail terhadap yang lain. Ketika suatu UU dipertahankan dengan
hukum adat, maka sesuai sistem kita mestinya prevail hukum tertulis itu. Tetapi, ada masalah
27 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
tadi itu ya, bahwa belum tentu UU-nya bagus, UU-nya mencerminkan kepentingan rakyat, itu
yang problem kita begitu ya, dan itu kompetensi Mahkamah Konstitusi mestinya untuk
meluruskan itu, harapannya begitu. Hambatan seperti itu bisa terjadi.
Sebetulnya Pasal 18 itu sudah sangat arif merumuskan mengenai pengakuan terhadap
hak-hak tradisional itu, yaitu pertama bahwa dia sepanjang masih hidup dan sepanjang sesuai
dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi kalau dituntut oleh prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, hukum adat itu mesti dikesampingkan, kira-kira begitu jalan
pikiran saya.
Terima kasih, Pak.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Baik Prof. Silakan, Bu.
PEMBICARA: Dr. KUNTHI TRI DEWIYANTI S.H. M.H. (APHA)
Baik, terima kasih. Ibu Bapak yang saya hormati, dari beberapa pertanyaan tadi
sebenarnya sudah dijawab….
PEMBICARA: Prof. Dr. BAGIR MANAN, S.H., M.CL. (NARASUMBER)
Boleh saya tambahkan sedikit?
PEMBICARA: Dr. KUNTHI TRI DEWIYANTI S.H. M.H. (APHA)
Oh iya boleh-boleh Prof. Silakan Prof.
PEMBICARA: Prof. Dr. BAGIR MANAN, S.H., M.CL. (NARASUMBER)
Jadi ada yang menarik istilah tentang kok timbulnya hak-hak ulayat baru? Ini kalau ada
ininya, bahasa hukum dulu itu namanya terjadi proses ekonomisasi tanah. Itu istilahnya …
(kurang jelas, red.) ya, dalam … (kurang jelas, red.) itu, berekonomi seiring proses atau
istilahnya Prof. Supomo terjadi individualisering proses. Akibat perekonomian sering itu, jadi
orang bisa menggunakan hal-hal itu untuk menjadi bargaining ekonomi. Ini kan yang menjadi
persoalan kita dan penyakit kita. Saya senang menggunakan ungkapan Bapak Wakil Presiden
JK, kita mestinya tidak berbicara tentang ganti rugi, tetapi sebagai negara terhadap rakyat kita
bisa ganti untung kata beliau.
Terima kasih. Sori saya tambahkan.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Silakan.
PEMBICARA: Dr. KUNTHI TRI DEWIYANTI S.H. M.H. (APHA)
Baik, ada beberapa hal tentang tadi yang sudah disebutkan berkaitan tentang konsep-
konsep. Tentu saja pembahasannya ini cukup lama sehingga kami merumuskan seperti itu,
tetapi sekali lagi bahwa dengan waktu yang sangat pendek kemarin kami tidak membaca secara
panjang lebar berkait dengan draft yang disampaikan oleh DPD. Tentu saja draft nanti akan
kami bahas lebih detail, dan kami akan mengomentari lebih dalam lagi.
28 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
Tetapi ada beberapa hal yang saya catat, yang juga penting menjadi pembahasan tadi.
Tentu saja kalau kita lihat bahwa mengapa atau pentingnya apa sih sebenarnya rancangan
undang-undang ini ada maka tentu saja kita akan melihat bahwa selama ini ada masyarakat
hukum adat, ada masyarakat adat, ada masyarakat tradisional itu ada, tetapi dalam pengakuan
dalam penghormatan, dan bahkan dalam pelestarian itu sangat kurang. Oleh sebab itu
termaksud di dalamnya adalah perlindungan, oleh sebab itu RUU ini sangat di perlukan.
Nah apakah dengan RUU ini nanti justru akan membahayakan atau tidak, maka ini
sangat penting di dalam pengaturannya tadi. Tadi kami sudah katakan bahwa, dan juga Prof
setuju dengan kami tadi bahwa ini lebih kepada pengaturan administratif, jadi tidak masuk
dalam substansi apa yang secara detail, karena kalau kita bicara secara hukum adat maka
banyak sekali itu, jika dalam teorinya itu kita bisa lihat apakah dia tantra, atau dia perdata atau
pidana, sekalipun di dalam hukum adat tidak ada pemisah secara tegas untuk itu
Nah di dalam, didalam permasalah itu maka sebenarnya kita perlu melihat bahwa
apakah yang diatur, ini bertentangan dengan peraturan-perturan yang sudah ada atau tidak,
karena kalau kami lihat tadi, persoalan yang ada dalam hukum adat adalah bukan saja, betul
ada persoalan tanah, ada persoalan ulayat, ada persoalan wilayah dan sebaginya, tetapi bukan
itu saja menurut kami, karena ada persoalan-persoalan keperdataan misalnya persoalan
perkawinan, yang sampai saat ini belum ada pengakuan berkaitan dengan perkawinan, soal
waris kalau kita lihat di dalam, di dalam peraturan, sekali pun itu ada dalam Undang-undang
Perkawinan misalnya yang berkaitan dengan harta kekayaan, harta warisan itu masih diatur
oleh masyarakat adat. Saya mau menggarisbawahi bahwa skripsi saya tahun 85 saya menulis
tentang apakah perlukah ada hukum waris nasional, saya jawab sulit sekali dibentuk hukum
waris nasional. Oleh sebab itu, pengakuan terhadap hukum waris adat sampai sekarang masih
ada.
Lalu kita juga bilang bahwa apakah ada berkaitan dengan tantra pemerintahan. Kita
bisa lihat bahwa dengan adanya UU Desa atau UU Daerah maka memperkecil peranan-peranan
dari tantra-tantra tersebut, tetapi kalau kita lihat istilah “desa”, istilah “desa” yang dipakai itu
adalah berkaitan dengan isilah yang ada di Jawa sebenarnya, tetapi ada istilah yang daerah
misalnya atau wilayah yang di dalam masyarakat itu ada masyarakat atasan dan masyarakat
bawahan misalnya, seperti di Minangkabau, tetapi juga ada juga daerah-daerah tertentu yang
merupakan perserikatan desa.
Nah kalau kita lihat dari pendapatnya Supomo dan juga pendapatnya Soerjono
Soekanto maka pemisahan masyarakat berdasarkan territorial itu menjadi sangat penting. Tapi
ada juga kalau kita lihat pendapat Supomo tadi sudah di jelaskan oleh Prof, bahwa ada
genealogis, ada juga genealogis teritorial. Nah di dalam masyarakat ini sangat berkembang,
sangat berkembang sekali. Kita bisa lihat bahwa kalau dalam bukunya Bushar Muhammad
memang gejala, ini baru gejala menurut Bushar Muhammad bahwa akan mengarah ke bilateral,
sekali pun di dalam masyarakat tatap ada yang namanya patrineal, matrenial.
Nah kalau kita bicara soal genealogis lalu soal territorial maka kalau kita menafikan
tadi bahwa apakah ketika kita membahas ini, kita tidak perlu membahas keseteraan gender.
Saya mau kembalikan bahwa kalau kita bicara gender maka bukan bicara soal perempuan, kita
bicara tentang relasi kontruksi sosial yang memperlihatkan hubungan laki-laki dan perempuan.
Maka kalau kita membicaran soal perkawinan, warisan dikaitkan dengan genealogis maka apa
kita bicara soal perempuan saja? Tidak, saya mau mengaris bawahi misalnya saja kalau tadi
Prof membawa pada Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 jelas di dalam salah satu pasal di
sana menyatakan bahwa kedudukan laki dan perempuan sama dalam pengaturan tanah, tetapi
dalam persoalanya hukum adat tidak melihat itu.
Nah perkembangan yang ada di dalam masyarakat misalnya hasil kajian kami di
beberapa daerah termasuk di Bali misalnya, ada pengakuan anak-anak perempuan terhadap
hak-hak atas tanah misalnya. Nah ini yang menurut saya penting sekali termasuk juga soal
29 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
bagaimana keterwakilan perempuan didalam proses-proses apa kepemimpinan adat, kami
melihat itu, karena mulai perempuan diikutsertakan di dalam kepemimpinan adat. Betul tadi
Bapak katakan, belum tentu dia ketuanya, tetapi keterwakilan itu terlihat misalnya kami lihat
di Natatolo, Natatolo misalnya itu yang memperlihatkan bagaimana perempuan diberikan
kesempatan dan yang menarik dari hasil kajian kami pada saat saya di Komnas Perempuan,
kepala adat-kepala adatnya itu justru dikasih latihan HAM dan gender.
Jadi menurut saya bahwa ini adalah persoalan yang penting sekali dan bagaimana
perempuan diikutsertakan di dalam proses-proses yang ada di dalam masyarakat. Nah kalau
kita lihat dari apa yang tadi disebutkan berkaitan dengan contoh saja soal merarik tadi Prof.
sudah katakan bahwa ada perbedaan konsep atau perbedaan prinsip yang ada di dalam
masyarakat. Tetapi, pertanyaan kami adalah kami ketemu dengan kepala adat, kami tanyakan
apakah ketika merarik itu tidak berprospektif HAM dan hak asasi perempuan tetap akan
dipertahankan? Termasuk tadi yang Prof katakan adalah soal perkawinan anak. Hasil kajian
kami memperlihatkan bahwa begitu banyak perkawinan anak yang terjadi atas nama adat.
Tetapi, kemudian ada gerakan, termasuk mungkin ada yang dari NTT, gerakan yang luar biasa
dilakukan di NTT adalah stop perkawinan anak. Dan kami ketemu dengan kepala adat, apakah
merarik ini akan dipertahankan? Kepala adat bilang, “tidak”. Sekarang perkawinan adat itu
yang perkawinan anak itu dan bawa lari atau merarik itu mulai berkembang. Jadi kalau kita
bicara hukum adat, dia bukanlah hukum yang statis, tetapi dia berkembang, berubah-ubah
sesuai dengan apa yang menjadi perubahan di dalam masyarakat itu. Nilai-nilai itu tumbuh
sesuai dengan apa yang ada dalam masyarakat itu.
Kalau kita lihat dari apa yang dikatakan berkaitan dengan anak tempatan dan
sebagainya, mungkin kita juga perlu melihat bahwa salah satu perubahan yang sangat kita perlu
lihat adalah ketika adanya migrasi. Bahwa, migrasi ini memperlihatkan bahwa perubahan yang
luar biasa ketika seseorang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Sama kami lihat
misalnya Lampung, banyak sekali orang Jawa yang di sana, di Bali ada di Kalimantan, dan
sebagainya. Nah ini yang menurut saya penting menjadi perhatian ketika perpindahan itu
apakah masuk di dalam peraturan ini atau tidak. Bahkan kalau kita lihat apakah masyarakat ini
adalah dengan batasan yang ketat itu, kami melihat tidak. Misalnya di masyarakat Kuningan
itu, Cicugur misalnya hasil kajian kami, dia tersebar, tetapi dia tetap punya ikatan bahwa dia
adalah sebagai suatu masyarakat adat.
Nah jadi menurut kami banyak hal yang perlu diperhatikan. Memang jangan sampai
peraturan ini justru mengkerdilkan atau mendiskriminasi terhadap masyarakat adat. Kami
percaya betul bahwa tadi Prof. juga sampaikan prinsip-prinsip dan asas-asas inilah yang akan
bisa menjadi dasar bahwa masyarakat hukum adat perlu menjadi perhatian kita. Kalau mereka
tadi dikatakan mereka ada sebelum Indonesia merdeka, mengapa setelah Indonesia merdeka,
mereka mengalami diskriminasi, mengalami ketidakadilan. Justru itu yang perlu kita
perhatikan. Pengakuan, pelestarian, dan penghormatan terhadap masyarakat adat itu yang
penting. Sekali lagi kami berharap bahwa aturan-aturan yang akan dibuat ini tentu saja jangan
sampai mengkerdilkan atau mendiskriminasi mereka karena banyak sekali peraturan-peraturan
yang justru mendiskriminasi mereka. Termasuk salah satunya adalah tadi yang kami katakan,
sistem, sistem religi.
Nah kalau kita lihat dalam konteks apa yang dikatakan di dalam bukunya Sayuti
misalnya, ada masyarakat yang tadi Prof. sudah katakan receptio in complex, secara seluruh
dia berdasarkan hukum adat. Tetapi ada masyarakat yang meresepsi, tidak ada, tidak
seluruhnya dia berdasarkan pada hukum agama, bahkan ada yang receptio a contrario yang
menolak kalau dia tidak berdasarkan pada hukum adat. Jadi menurut saya, masyarakat-
masyarakat yang ada di Indonesia ini sangat bervariasi. Oleh sebab itu, kita tidak bisa
menggeneralisasi. Nah tetapi, pengaturan tentang keragaman pluralisme itu sangat penting
30 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
termuat di dalam peraturan ini. Saya pikir ini catatan kami, mudah-mudahan kami akan bisa
menggali setelah kami membaca lebih lanjut dari draft yang sudah dibuat oleh DPD.
Mungkin ada tambahan dari teman-teman? Ya baik kalau tidak ada kami kembalikan
lagi kepada pimpinan.
Terima kasih.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Terima kasih.
Jadi Prof., ya itu devil in the detail memang, setan itu memang ada di detailnya.
Semakin banyak kita ke dalam, semakin banyak lagi yang harus kita explore lagi Prof. Lalu
yang kedua, memang melakukan penataan ini harus holistik komprehensif. Dugaan Pak Asri
tadi bahwa antara gender dan HAM misalnya, bayangan saya, saya ini orang kampung, siapa
yang bisa melawan, mohon maaf ini, kebiasaan tokoh-tokoh agama di daerah? Ini belum adat
ini, baru bagian dari adat ini, yang bisa melawan hegemoni “mereka”. Ini belum ada adat ini,
masih beliau seorang tokoh agama yang “boleh” melakukan apa pun terhadap lingkungan
sosialnya. Ini baru pada tatanan yang kecil ini, Prof.. Memang Aborigin di Australia apakah
mereka kemudian memang lokusnya pada area tertentu dan pada saat yang sama memang ada
universal value yang memang mereka boleh bahagia, boleh sejahtera, barangkali juga memang
sangat relatif dan ukurannya berbeda-beda, Prof. Jadi karena itu, memang ya PR kita masih
sangat banyak.
Baik, ini sudah jam setengah satu. Oh Pak … (kurang jelas, red.). Silakan, Pak.
PEMBICARA:
Ya saya ini sedikit ya, Pak Profesor. Tadi yang sudah disampaikan sudah sangat jelas
ya, jadi cuma kita nanti berharap bantuan ini dapat diberikan supaya nanti hasil dari RUU
menjadi UU benar-benar memenuhi syarat untuk menjadi social engineering, benar-benar.
Tetapi, yang harus dipahami bahwa UU ini sebenarnya kalau saya lihat itu bukan mengatur
adat-adat itu, bukan. Tetapi, bagaimana memberikan suatu kondisi perlindungan supaya adat
ini, ini ya karena bagaimanapun kadang masing adat itu bertentangan. Tetapi, kalau
bertentangan dengan hukum negara Indonesia, misalnya kalau ada orang ambil itu dibunuh,
tetap kena hukum itu, tidak mungkin tidak dihukum walaupun alasannya hukum adat, karena
tidak boleh bertentangan dengan hukum yang sudah ini ya. Jadi, yang seperti, jadi maksud saya
nanti kalau bisa nanti kita akan undang lagi ada itu … (kurang jelas, red.) itu ada pengajakan
supaya benar-benar tercapai syarat social engineering itu tadi.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Engineering lagi?
PEMBICARA:
Ya engineering, jadi bagaimana memenuhi syarat itu ya. Jadi semua nanti kita tetap,
karena begini kemarin kita sudah bertemu dengan Aliansi Masyarakat Adat Nasional, sudah
ada 2.420 yang sudah menyatakan sebagai suatu komponen itu, dan itu akan menjadi sesuatu
nanti di dalam UU disebutkan, kita hanya mengatur bagaimana supaya masyarakat situ benar-
benar mendapat kemakmuran, kesejahteraan, seperti itu. Jadi tujuannnya ke sana, tetapi
adatnya masing-masing itu ya seperti itu. Maka, tadi ada masyarakat adat, ada masyarakat
hukum adat. Misalnya orang Betawi itu masyarakat hukum adatnya ada, masyarakat adatnya
31 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
banyak, di mana-mana ada. Tetapi, suatu konteks di dalam suatu tempat itu yang ada wilayah
teritorial dan ada sistem, itu. Nah nanti kita minta tolong nanti kepada asosiasi ini, nanti Pak
Ketua ya, supaya nanti kalau ada waktu kita undang lagi supaya kalau ada hal-hal khusus yang
menuju kepada undang-undang ini bener-bener memenuhi syarat social engineering tadi, saya
pikir ini aja.
Terima kasih.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Baik Prof, terima kasih. Bapak Ibu sekalian,
PEMBICARA:
Boleh satu, Pak Ketua, please.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Boleh, sedikit boleh.
PEMBICARA:
Terima kasih Pak Ketua, saya sih sebenarnya masih ada pertanyaan dari apa yang sudah
dijelaskan Prof. Bagir tadi tentang kearifan lokal dari masyarakat adat. Tadi Prof. Bagir
mencontohkan seperti di Minangkabau ketika ada kebijakan pemerintah yang terkait dengan
program transmigrasi lalu ada kearifan di situ. Menurut saya, pertanyaan saya, apakah ini
termasuk bagian dari kearifan lokal atau suatu ketidakberdayaan dari masyarakat adat, untuk
melawan hegemoni dari penguasa? Dan beberapa peraturan yang berserakan selama ini yang
kita lihat, yang kemudian mendiskriminasikan keberadaan dari masyarakat adat, banyak aturan
yang dikeluarkan dari KLH Kehutanan, lalu Kementerian ATR (Agraria dan Tata Ruang)
misalnya dan yang terakhir tentang kebijakan pemerintah tentang reforma agraria. Nah kalau
itu kemudian akan berdampak buruk terhadap tanah ulayat, ini juga akan menjadi persoalan
sendiri. Kalau kemudian pemerintah selalu mendasarkan kepada aturan yang di atasnya UUD
1945, Pasal 33 UUD 1945, di situ posisi ketidakberdayaan bagi masyarakat adat untuk bisa
melawan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah selama ini.
Nah harapan kita nanti ke depan seperti apa? Undang-undang ini nanti benar-benar bisa
memberikan sebuah perlindungan bagi masyarakat adat, sebuah pengakuan dan penghormatan
tentang keberadaan dan hak-hak masyarakat adat itu karena di Pasal 18B ayat 2 dari UUD 1945
ini sudah memberikan amanah, memberikan mandat dan juga kemudian berdasarkan keputusan
Mahkamah Konstitusi mestinya memang sudah ada undang-undang tersendiri yang
memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat ini yang dia spesifik untuk mengatur
perlindungan masyarakat adat.
Itu pertanyaan saya, yang lain tadi saya setuju dengan Ibu soal penting juga diatur
karena saya sangat sepakat bahwa hukum di masyarakat adat itu sifatnya sangat dinamis sesuai
dengan perubahan sosial dia punya dinamisasi sendiri. Soal kesetaraan gender menurut saya
penting diperhatikan. Terima kasih.
Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Walaikumsalam.
32 RDPU KOMITE1 MS III TS 2017-2018
SELASA, 23 JANUARI 2018
Prof silakan Prof. Ya ini sebaiknya memang nanti dikumpulin di depan baru kemudian
di-respon. Ini masih ada sisa-sisa laskar panjang yang bicara, silakan.
PEMBICARA: Prof. Dr. BAGIR MANAN, S.H., M.CL. (NARASUMBER)
Hukum adat memang dinamis karena dia satu ciri hukum yang tidak tertuliskan begitu
ya sehingga dipengaruhi oleh ini tapi juga hukum adat bisa tidak dapat menampung rasa
keadilan yang berkembang, bisa. Saya punya kasus Pak, Ibu-ibu yang saya putus ini karena
saya bekas hakim tidak apa-apa saya cerita. Suatu ketika kan di masyarakat Bali kan tidak ada
anak laki-laki maka tanah hak miliknya bisa jatuh kepada masyarakat tidak selalu jatuh kepada
anak perempuan, kalau anak perempuan itu kawin ke luar. Nah saya punya kasus waktu itu
seorang ayah meninggal tidak punya anak laki-laki meneruskan dalam perhimpunan itu, anak
perempuannya menikah ke luar sehingga dianggap dia ke luar. Maka seluruh harta orang
tuanya harus jatuh kepada komunitas lingkungan itu. Saya putus begini Pak Ketua, saya merasa
tidak masuk akal saya, tidak masuk rasa keadilan saya bahwa seorang anak kandung yang dia
lahirkan tidak bisa menikmati harta-harta orang tuanya karena dia kawin ke luar, kebetulan dia
berada masih ada berada di tempat itu kawin dengan lingkungan luar dan harta orang tuanya
jatuh ke komunitas. Saya putuskan tidak, saya menganggap ini hukum adat seperti itu tidak
mencerminkan keseteraan gender, prinsip of justice saya putus begitu itu.
Jadi peranan kita juga melakukan engineering terhadap hukum-hukum adat itu sangat
penting, nah itu. Kedua apakah dalam permusyawarahan itu, sebetulnya bukan musyawarah
hanya karena tidak berdaya begitu, sangat bergantung pada dasar berudingnya itu. Kalau
dirundingkannya dalam satu platform yang diakui bersama bahwa ini mengakui hak-hak yang
lain itu bisa soal kearifan untuk menyelesaikan suatu masalah. Jangan lupa karena kita
memiliki prinsip NKRI maka general principal dari hukum NKRI harus selalu ditempatkan
meskipun kita wajib sangat wajib menghormati kondisi-kondisi khusus dari masyarakat kita ya
ini sangat perlu gitu dan akhirnya masalah-masalah ini hanya bisa diselesaikan secara konkret
case by case tidak mungkin kita membuat satu principal yan umum kecuali aturan aturan
umumnya saja, terima kasih.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Terima kasih Prof. Jadi memang idealita cita itu harus kepada norma dasar Prof,
pertanyaan yang barangkali tidak perlu dijawab, apakah kebenaran itu bisa di voting?? Ini hari
ini terjadi. Di sini di Senayan, di MK. Kalau di-voting barangkali NU itu tidak akan ada di
Indonesia itu Prof, kenapa? Lahirnya duluan Muhammadiyah kok dan yang lahir kemudian
dianggap tidak ada. Ini kalau MK modelnya voting seperti itu Pak. Tadi ibu sampaikan soal
kepercayaan, masuk wilayah mana ini? Apakah di ajaran? Atau norma atau adat? Oleh mereka
diklasifikasikan sebagai agama, saya oleh Prof Bagir pada waktu itu bahwa agama dan
kepercayaannya itu kan jadi satu. Pak, Prof Bagir dan istrinya, Pak Prof dan istrinya bukan istri
orang lain tapi dalam konteks ini kan tafsirnya macam-macam itu lah NKRI. Negara kok
Republik Indonesia yang kebenaran itu di-voting, begitu loh prof. Masuk lagi itu barang toh?
Nah karena itu Prof saya tidak tau ini cita ideal Republik ini seperti apa, kami sedang mencari-
cari Prof. Orang punya integritas wajib memimpin menurut saya Prof. Hari ini kan yang punya
duit yang memimpin Prof, demikian terima kasih.
Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
KETOK 3X
RAPAT DITUTUP PUKUL 12.39 WIB