demokrasi perwakilan

14
1 KABUT ASAP PANITIA PESTA DEMOKRASI Fathoni Abstrak Politik diartikan sebagai ilmu tentang organisasi negara dan bagaimana negara dijalankan. Disinilah berkelindan antara hukum dan politik. Hukum membuat aturan main, sedangkan politik mengisinya dengan orang-orang dan alat-alat yang akan bekerja dalam negara itu. Makalah ini mempertanyakan tentang bagaimana desain ideal kelembagaan penyelenggara pemilu yang independen. Pendekatan yang digunakan adalah dengan mengonstruksi bangunan lembaga penyelenggara pemilu dengan terlebih dahulu “membongkar” bangunan lamanya. Konstruksi yang secara yuridis harus sudah mapan dan ajeg harus dibongkar sedemikian rupa untuk menyediakan tempat bagi penyusunan konstruksi yang baru tersebut. Pandangan Rawls dikaitkan dengan Derrida yang mengajukan pendekatan dekonstruksi, yaitu pendekatan filsafat yang layak dikemukakan untuk menjawab permasalahan dalam makalah ini. Pembahasan dalam makalah ini menghasilkan kesimpulan: demokrasi dimulai dari kesadaran bahwa kepentingan negara berada diatas kepentingan pribadi dan kepentingan golongan; Demokrasi yang senyatanya terjadi adalah demokrasi prosedural; Anggota penyelenggara pemilu tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh partai politik; Konstruksi baru kelembagaan penyelenggara pemilu adalah dengan memperhatikan aspek struktural dan aspek fungsional, yaitu bahwa penyelenggara pemilu harus juga memberikan pendidikan politik bagi warga masyarakat. Kata kunci: penyelenggara pemilu, kelembagaan, demokrasi, independen. A. Pendahuluan Kita baru saja melewati agenda besar di tahun yang kita dan media sebut-sebut sebagai tahun politikmeskipun menurut penulis, tidak ada tahun yang bukan tahun politik. Tulisan ini juga merupakan tulisan politik, bahkan penulis merupakan “pekerja politik”. Tidak ada sedetik pun dan seorangpun yang bukan detik politik, dan bukan “orang politik”. Politik disini diartikan sebagai sebuah ilmu tentang organisasi dan administrasi negara; aktivitas-aktivitas atau profesi yang terlibat dalam bidang- bidang politik. Dalam pengertian dan khasanah keilmuan kita tentang politik, kata politik diserap begitu saja dari kata bahasa Inggris “Politics” yang dalam Black Law Doctionary diberi pengertian sebagai: 1. The science of the organization and administration of the state. 2. The activity or profession of engaging in political affairs. 1 Politik diartikan sebagai ilmu tentang organisasi negara dan bagaimana negara dijalankan. Disinilah berkelindan antara hukum dan politik. Hukum membuat aturan main, sedangkan politik mengisinya dengan orang-orang dan alat-alat yang akan bekerja dalam negara itu. Thommas Hobbes menggambarkan kelindan ini dengan ungkapannya yang gamblang: The true and perspicuous explication of the Elements of Laws, Natural and Politic, which is my present scope, dependen upon the knowledge of what is human nature, what is a body politic, and what it is we call a law. Concerning which points, as the writings of men from antiquity downward have still increased, so also have the doubts and controversies concerning the same, and seeing that true knowledge begetteth not 1 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, (St. Paul: West a Thomson, 2004), hlm. 1197. Desain Hubungan Kelembagaan Penyelenggara Pemilu

Upload: fathoni-hukum

Post on 02-Apr-2016

234 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Panitia Penyelenggara Pemilu jangan sampai terjebak pada permainan politik praktis

TRANSCRIPT

Page 1: Demokrasi Perwakilan

1

KABUT ASAP PANITIA PESTA DEMOKRASI Fathoni

Abstrak

Politik diartikan sebagai ilmu tentang organisasi negara dan bagaimana negara dijalankan. Disinilah berkelindan antara hukum dan politik. Hukum membuat aturan main, sedangkan politik mengisinya dengan orang-orang dan alat-alat yang akan bekerja dalam negara itu. Makalah ini mempertanyakan tentang bagaimana desain ideal kelembagaan penyelenggara pemilu yang independen.

Pendekatan yang digunakan adalah dengan mengonstruksi bangunan lembaga penyelenggara pemilu dengan terlebih dahulu “membongkar” bangunan lamanya. Konstruksi yang secara yuridis harus sudah mapan dan ajeg harus dibongkar sedemikian rupa untuk menyediakan tempat bagi penyusunan konstruksi yang baru tersebut. Pandangan Rawls dikaitkan dengan Derrida yang mengajukan pendekatan dekonstruksi, yaitu pendekatan filsafat yang layak dikemukakan untuk menjawab permasalahan dalam makalah ini.

Pembahasan dalam makalah ini menghasilkan kesimpulan: demokrasi dimulai dari kesadaran bahwa kepentingan negara berada diatas kepentingan pribadi dan kepentingan golongan; Demokrasi yang senyatanya terjadi adalah demokrasi prosedural; Anggota penyelenggara pemilu tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh partai politik; Konstruksi baru kelembagaan penyelenggara pemilu adalah dengan memperhatikan aspek struktural dan aspek fungsional, yaitu bahwa penyelenggara pemilu harus juga memberikan pendidikan politik bagi warga masyarakat.

Kata kunci: penyelenggara pemilu, kelembagaan, demokrasi, independen. A. Pendahuluan

Kita baru saja melewati agenda besar di tahun yang kita dan media sebut-sebut sebagai tahun politik—meskipun menurut penulis, tidak ada tahun yang bukan tahun politik. Tulisan ini juga merupakan tulisan politik, bahkan penulis merupakan “pekerja politik”. Tidak ada sedetik pun dan seorangpun yang bukan detik politik, dan bukan “orang politik”. Politik disini diartikan sebagai sebuah ilmu tentang organisasi dan administrasi negara; aktivitas-aktivitas atau profesi yang terlibat dalam bidang-bidang politik. Dalam pengertian dan khasanah keilmuan kita tentang politik, kata politik diserap begitu saja dari kata bahasa Inggris “Politics” yang dalam Black Law Doctionary diberi pengertian sebagai: 1. The science of the organization and administration of the state. 2. The activity or profession of engaging in political affairs.1

Politik diartikan sebagai ilmu tentang organisasi negara dan bagaimana negara dijalankan. Disinilah berkelindan antara hukum dan politik. Hukum membuat aturan main, sedangkan politik mengisinya dengan orang-orang dan alat-alat yang akan bekerja dalam negara itu. Thommas Hobbes menggambarkan kelindan ini dengan ungkapannya yang gamblang:

“The true and perspicuous explication of the Elements of Laws, Natural and Politic, which is my present scope, dependen upon the knowledge of what is human nature, what is a body politic, and what it is we call a law. Concerning which points, as the writings of men from antiquity downward have still increased, so also have the doubts and controversies concerning the same, and seeing that true knowledge begetteth not

1 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, (St. Paul: West a Thomson, 2004), hlm. 1197.

Desain Hubungan Kelembagaan Penyelenggara Pemilu

Page 2: Demokrasi Perwakilan

2

doubt, nor controversy, but knowledge; it is manifest from the present controversies, that they which have heretofore written thereof, have not well understood their own subject.”2

Hobbes, dengan demikian mengungkapkan bahwa penjelasan yang benar dan mudah dipahami mengenai Unsur Hukum, Alam dan Politik, terikat (dependen) pada pengetahuan tentang sifat dasar manusia, apa itu lembaga politik, dan apa yang kita sebut hukum. Ia berpendapat bahwa konsep masing-masing orang dapat saja berbeda, sehingga keraguan dan kontroversi adalah sebuah keniscayaan. Pengetahuan yang dipahami secara benar akan memperanakkan kepastian.

Dari pernyataan ini, jelaslah bahwa pemahaman yang berbeda mengenai objek yang sama akan melahirkan keraguan dan kontroversi. Hal ini adalah khas sifat dasar manusia dan pembawaan alamnya. Oleh karena itu penting untuk menyamakan konsep, walaupun persepsi setiap orang tentu tidak dapat diseragamkan.

Makalah ini tidak bermaksud berlarut-larut dan bombastis dalam menggambarkan pengertian politik yang perlu dipahami—namun tidak dibatasi—untuk diberikan satu pengertian saja. Politik itu, dalam makalah ini dipahami sebagai cara bagaimana negara menyejahterakan rakyatnya. Itulah cita yang memang merupakan tujuan berdirinya negara ini. Sekilas, untuk memasukkan ide demokrasi dalam makalah ini, maka kita juga harus memahami secara rinci dan presisi (distinct) tentang dimana letak demokrasi dalam politik itu. Jadi, disini, bertambah lagi kelindannya: politik, hukum, demokrasi. Jika kita “gagal” meletakkannya dalam kedudukannya yang pas, maka gagal pula konsep yang dibangun. Jadi, politik itu adalah metode yang dipilih dalam rangka mencapai tujuan negara, sedangkan demokrasi adalah metode yang dipilih untuk memperoleh kekuasaan politik. Hukum berada di tengah segaligus di luar. Ia menjadi semacam tugu dan pagar yang dengannya politik dan demokrasi tidak saling “berebut lahan” meskipun berada dalam wilayah yang sama. Tugu adalah penanda arah, sedangkan pagar adalah batas-batas yang dengannya seluruh konsep menjadi terkurung.

Bagaimana kemudian demokrasi dimaknai sebagai sebuah bentuk perolehan kedaulatan dari rakyat, yang meminjam istilah Abraham Lincoln sebagai bentuk pemerintahan yang berada dalam koridor: dari, oleh, dan untuk rakyat. Penulis mengistilahkannya “segitiga yang manunggal”. Frasa “dari rakyat” memberikan pengertian bahwa kedaulatan yang bernama demokrasi itu legitimasinya dari rakyat. Ia adalah pinjaman saja dari kedaulatan yang ada pada rakyat. Frasa “oleh rakyat” mengindikasikan bahwa rakyat memiliki peran aktif dalam menjalankan fungsi demokrasi. Rakyat-lah pelaku demokrasi itu. Frasa “untuk rakyat” memberikan kesadaran bahwa seluruh tujuan dari demokrasi adalah semata-mata untuk rakyat. Lain tidak.

Lalu, bagaimana demokrasi kemudian dijalankan? Ini pertanyaan ringkas yang memerlukan uraian beberapa jilid buku. Pertanyaan ini kemudian dapat dilanjutkan dengan: “bagaimana mekanisme rekrutmen untuk mengisi para pekerja demokrasi yang sekaligus juga pekerja politik (praktis)? Jika asumsi dasar yang dibangun bahwa secara yuridis ketatanegaraan semua lembaga yang menjalankan fungsi negara kita sebut lembaga negara, maka sudah selayaknya lembaga—kalau boleh disebut begitu—yang menjalankan demokrasi adalah juga lembaga negara. Ia tidak boleh hanya menjadi sekadar panitia pelaksana (event organizer) dari sebuah hajat besar demokrasi yang dengannya akan dipilih orang-orang yang akan mengisi lembaga-

2 Thommas Hobbes, The Elements of Law Natural and Politic, (Cambridge, UK: Cambridge University

Press, 1982), hlm. 3.

Page 3: Demokrasi Perwakilan

3

lembaga negara. Pendeknya, lembaga ini adalah representasi negara itu sendiri, bukan eksekutif, apalagi sekadar pemerintah dalam artian bestuur.

Jadi, harus dibedakan kemudian tentang “negara” dan “pemerintah”. Mudahnya begini, lembaga yang menjalankan proses rekrutmen politik mestinya adalah sebuah lembaga negara, bukan merupakan salah satu institusi pemerintah (eksekutif). Ia adalah lembaga terpenting karena dari situ diambil anggota-anggota yang akan mengisi lembaga-lembaga negara seperti Lembaga Perwakilan Rakyat (yang kita sebut DPR), Lembaga Kepresidenan, Lembaga Perwakilan Daerah. Percaya atau tidak, kalau logika berpikir kita ditarik lagi sampai batas yang tak berbatas, maka kita akan sampai pada hipotesa bahwa pada akhirnya seluruh lembaga negara yang telah ada dan—kelak—akan diadakan, ternyata ditentukan oleh “Lembaga Rekrutmen Politik” tersebut. Karena hajat besar yang kita pilih sebagai metode untuk memilih3 dan merekrut pekerja-pekerja politik itu adalah sebuah “proses pemilihan”—kemudian kita menyebutnya Pemilihan Umum—maka tentu harus ada persiapan penyelenggaraan hajat besar tersebut.

Kalau John Locke yang berkebangsaan Inggris mengajukan teori tentang pemisahan kekuasaan, kemudian dikembangkan oleh Montesquieu, pria Perancis, kedua mereka itu hidup di alam monarki yang di tengah-tengah kebudayaan politiknya berkembang adagium “The King can do no wrong”. Raja dan kaisar itu kuasanya mutlak, maka harus dibatasi dan dibagi. Secara klasik, pembagian tersebut kita pilah menjadi 3 (tiga) macam kekuasaan, yaitu: kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif), kekuasaan menjalankan undang-undang (eksekutif), dan kekuasaan mengadili (judicial). Nah, kalau memang begini sususan kekuasaan negara, maka dimana letak kekuasaan “Lembaga Rekrutmen Politik” tersebut? Untuk mengetahui letak sesuatu, kita harus mengetahui konstruksinya, memahami anatominya, mendalami desainnya. Makalah ini berangkat dari pertanyaan itu.

B. Pembahasan 1. Berangkat dari asumsi tentang negara

Literatur-literatur tentang hukum, politik, ekonomi, dan sosial, pendeknya seluruh ilmu yang kemudian kita kategorikan sebagai ilmu sosial4, dibangun diatas filosofi bahwa negara itu ada. Kalau negara itu tidak diasumsikan sebagai “ada”, maka runtuhlah seluruh bangunan lainnya yang disandarkan pada negara itu. Dengan demikian, konsep politik akan hancur, hukum akan vakum, pemerintah tinggal lagi entah. Pendeknya, seluruhnya tidak ada. Kemudian, yang ada hanya sekelompok manusia saja: tanpa negara, tak perlu politik, sedang hukum adalah kebiasaan perilaku mereka yang sama-sama mereka pegang teguh.

Jadi, negara itu harus ada dengan segala persyaratan yuridisnya. Penulis bermaksud menyampaikan disini bahwa persyaratan yuridis suatu negara tergambar dari falsafah hidup negara tersebut. Indonesia, memiliki nilai tersebut yang kita sebut dengan Pancasila. Lebih mudah, kita cermati Sila Keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Inilah yang disebut Demokrasi Pancasila.

3 Disebut memilih, karena memang ada beberapa pilihan yang harus ditentukan rakyat pada

beberapa orang yang “menawarkan dirinya” untuk mengisi lembaga-lembaga negara tersebut, yaitu DPR, DPRD, DPD, Presiden, Kepala Daerah.

4 Dikotomi tentang ilmu sosial dan ilmu alam berangkat dari objek dan metode yang dipakai untuk memverifikasi ilmu tersebut. Kebenaran ilmu pasti dianggap mutlak, sedangkan ilmu sosial kebenarannya nisbi.

Page 4: Demokrasi Perwakilan

4

Soekarno menjelaskan bahwa dasar ketiga berdirinya negara Indonesia yang kemudian menjadi Sila Keempat dalam rumusan Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar mufakat, perwakilan dan permusyawaratan.5 Kerakyatan adalah sebuah konsep tentang kepemimpinan. Perlu dipelajari lagi secara kebahasaan tentang darimana istilah “rakyat” itu berasal. Dari mana kata itu diambil, dan apa makna aslinya. Penulis beranggapan bahwa kata “rakyat” berasal dari peng-Indonesia-an kata dalam Bahasa Arab, “ro’iyyat” yang berarti kepemimpinan. Rakyat yang kita pahami sebagai “pelengkap penderita” dalam kehidupan bernegara dipertegas dengan frasa-frasa yang tidak menguntungkan bagi rakyat itu sendiri.

Istilah “Pemimpin yang Merakyat”, misalnya, dari segi kebahasaan dan logika semantik menjadi terdengar lucu. Seperti ada dikotomi seperti ungkapan “Pendekar turun gunung”. Seolah, pemimpin itu berada jauh terpisah dari rakyatnya. Bahkan, sepertinya “pemimpin” dan “rakyat” itu adalah entitas yang berbeda sama sekali. Pemimpin yang merakyat seolah adalah pemimpin yang mulia, padahal rakyat-lah pemimpin yang sebenarnya, hanya saja kepemimpinannya (baca: kedaulatan) “dipinjamkan” kepada yang kita sebut “pemimpin” itu. Lebih mudahnya, gunakan saja istilah yang kita sering pakai untuk menjelaskan konsep kepemimpinan macam ini, yaitu pemimpin yang dimaksud adalah pemerintah dalam kapasitasnya sebagai representasi negara.

Relasi antara pemimpin dan rakyat, dengan demikian mencerminkan hubungan timbal balik dan saling ketergantungan linier yang berlangsung antara negara dan rakyatnya. Negara disini adalah entitasnya sebagai wadah pemerintahan, sementara rakyat diartikan sebagai warga yang hidup dalam negara itu sendiri. Hubungan ini berjalan dengan berbagai macam variasi:6 (1) linier—produktif—harmonis, dan (2) paradoksal—kontraproduktif—konflik. Penyebutan yang pertama dimaksudkan sebagai sebuah hubungan ideal dimana hubungan antara negara dan rakyat berjalan “lurus”. Negara mengakomodir kemauan rakyat, rakyat berpartisipasi aktif, sehingga terjadi relasi harmoni antara rakyat dengan negara. Dalam tatanan ini tidak terjadi dominasi negara terhadap rakyat. Variasi yang kedua dipakai penulis untuk mengilustrasikan bahwa terkadang relasi antara negara dan rakyat berjalan saling berlawanan, tidak produktif, bahkan akan menimbulkan konflik. Pada tatanan ini, negara secara sosiologis cenderung lebih dominan daripada rakyat, sehingga rakyat dipandang hanya sebagai objek, bukan subjek dalam pemerintahan. Harmonis itu bukan kata dalam literatur hukum, ia hanyalah pinjaman saja dari kosakata seni. Dalam musik, ia disebut harmoni, artinya aransemennya pas dan enak ditelinga. Di dalam lukisan, ia adalah harmoni garis dan warna yang dengannya lukisan menjelma menjadi keindahan. Di dalam tarian, harmoni adalah keselarasan gerak dan gemulai yang sedap dipandang.

Secara klasik, kalau kita flash back lagi tentang teori terjadinya sebuah negara, maka teori JJ. Rousseau tentang “teori kontrak sosial” barangkali adalah teori yang paling dapat diterima oleh logika manusia modern. Bahwa negara terbentuk dari adanya perjanjian sosial (du Contract Social) diantara warga yang mendiami suatu wilayah tertentu. Kemudian, perjanjian/kontrak tersebut menjadi suatu sistem yang ajeg dan dipercaya serta diamalkan sampai sekarang. Perjanjian tersebut dapat saja

5 Sudaryanto, Filsafat Politik Pancasila: Refleksi Atas Teks Perumusan Pancasila, (Yogyakarta: Kepel

Press, 2007), hlm. 132 6 Bentuk relasi yang dimaksud disini digunakan penulis untuk mengilustrasikan relasi yang dapat

dipilih oleh suatu negara ketika menjalankan negaranya. Negara yang demokratis semestinya menempatkan rakyat sejajar dengan negara, karena rekyat adalah representasi negara itu sendiri. Tanpa rakyat, negara tidak akan pernah ada.

Page 5: Demokrasi Perwakilan

5

berisi tentang tata cara kehidupan yang mereka anut, bagaimana hukum ditegakkan untuk menjaga kedamaian, dan bagaimana sistem politik dijalankan untuk memilih pemimpin diantara mereka.

2. Imaji tentang demokrasi

Para pakar mendikotomi demokrasi menjadi 2, pertama, bentuknya yang

prosedural, dan kedua, dalam formula substansi. Demokrasi prosedural lebih

mengutamakan pada bentuk dan prosedur yang disepakati secara hukum dan politis,

sedangkan jenis yang lain lebih berpegang pada substansi, pada isi. Demokrasi

prosedural mencukupkan diri pada perolehan suara terbanyak, asal prosedurnya

ditaati. Inilah mekanisme voting dalam skala besar, tentang rakyat yang memilih

pemimpinnya.

Inilah demokrasi yang dipahami oleh literatur modern. Bahwa demokratis

adalah siapa saja yang dapat memperoleh voting terbanyak dari rakyat. Bahwa

demokrasi itu hampir sama derajatnya dengan negara itu sendiri. Kalau ada kredo

“NKRI harga mati”, maka demokrasi itu—meminjam istilah kitab suci—sebagai “laa

roiba fiih”. Tidak ada keraguan di dalamnya. Kebenaran demokrasi dipandanng

sebagai kebenaran yang mutlak dan tidak terbantahkan. Sekali lagi, seperti

dikemukakan di awal, metode demokrasi macam ini yang kita pilih. Padahal,

demokrasi kita bukan demokrasi “suara terbanyak”, tapi demokrasi yang dipimpin

oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Jelas disini bahwa demokrasi kita adalah demokrasi perwakilan. Demokrasi

Pancasila dibangun diatas imaji bahwa kepemimpinan kita adalah bentuk kerakyatan.

Rakyat kemudian mewakilkan kewenangannya kepada wakil rakyat. Pergaulan

negara modern menyaratkan adanya demokrasi ini. Indonesia dipuji sebagai negara

yang demokratis. Tentu saja yang dimaksud disini bukanlah demokrasi substantif.

Penulis tidak begitu risau dengan dikotomi semacam itu. John Locke jauh-iauh

hari telah memisahkan kewenangan negara. Ketika membahas tentang negara, Locke

memberikan gagasan sebagai berikut:

a. Negara bertujuan menjamin hak-hak asasi warga negara;

b. Penyelenggaraan negara berdasar atas hukum;

c. Adanya pemisahan kekuasaan negara demi kepentingan umum;

d. Supremasi dari kekuasaan pembentuk undang-undang.7

Sub bab ini berjudul demikian, karena demokrasi yang ada di masyarakat—dan memang itu yang terjadi—adalah sekadar imaji tentang demokrasi. Mungkin ini yang dinamakan demokrasi prosedural. Demokrasi dipandang cukup dalam hal prosesinya saja. Apabila legal prosedurnya, maka cukuplah demokrasi itu. Demokrasi semacam itu adalah demokrasi yang pragmatis, dalam artian demokrasi adalah perolehan suara terbanyak. Inilah yang penulis sebut sebagai demokrasi voting. Kerakyatan yang dimaknai sebagai kepemimpinan yang dijalankan dengan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan tidak dapat dijalankan dengan demokrasi model seperti itu. Inilah demokrasi prosedural.

7 Lukman Hakim, Filosofi Kewenangan Organ dan Lembaga Daerah, (Malang: Setara Press, 2012), hlm.

Page 6: Demokrasi Perwakilan

6

Demokrasi sebagai harga mati dalam pola perekrutan pemimpin negara memang tidak dapat dihindari. Negara yang dipandang tidak demokratis akan dicibir sebagai negara yang tidak beradab. Proses pencarian pemimpin yang transformatif, yang keluar dari mainstream pola kepemimpinan yang ada. Model pemimpin yang terpilih dengan demokrasi yang ada semacam ini akan melahirkan pemimpin traksaksional. Pemimpin yang terpilih dengan cara “membeli suara” di segala tingkatan adalah ciri khas demokrasi model ini. Jika ini yang terjadi, maka demokrasi hanya akan menjadi imaji. Dan memang, imaji itu bisa saja lebih indah dari dunia nyata, imaji itu sekadar utopia.

Rumusan Sila keempat Pancasila diatas jelas sekali menggambarkan tentang konsep demokrasi kita, bahwa Indonesia menganut demokrasi perwakilan. Hal ini disadari, namun ada satu hal yang sering terlupakan bahwa keterwakilan rakyat harus dipimpin dalam suasana kebijaksanaan dan mengedepankan musyawarah. Makna kerakyatan tidak boleh direduksi sedemikian rupa menjadi hanya sekadar kepentingan pribadi atau golongan (baca: partai) tertentu saja. Mereka yang “mewakili rakyat” harus mempunyai atmosfer jiwa bijaksana dan hikmat.

Bila hikmat/kebijaksanaan tidak dibangun dalam imaji demokrasi kita, maka demokrasi yang kita bangun adalah demokrasi model barat yang belum sesuai dengan kultur bangsa ini. Demokrasi macam ini akanmelahirkan sebuah bureaucratic polity (pemerintahan oleh birokrat). Penyelenggaraan negara dengan model seperti ini sebenarnya sudah melenceng dari frame pemerintahan yang demokratis. Birokrasi—yang di awal makalah ini penulis sebut dengan pekerja politik—mestinya hanya sekadar pelaksana dari kebijakan politik, bukan pemegang kekuasaan politik itu sendiri.8 Bureaucratic polity ini pada akhirnya akan berusaha melanggengkan kekuasaan menggunakan instrumen birokratis. Dari sini mulai ada titik terang tentang alasan harus dipisahkannya Lembaga Penyelenggara Pemilu dari lingkaran bureaucratic polity ini.

Kalau sejarah tata negara klasik menggambarkan tentang pemerintahan aristokrat (priyayi berdasarkan darah), maka pemerintahan birokrat akan memunculkan genus baru, yaitu priyayi yang berasal dari partai politik. Dan itu sudah kita saksikan sekarang, yang media menyebutnya dengan bahasa yang agak berbau sarkasme, “Dinasti Politik”. Ternyata ada dinasti dalam demokrasi, ini adalah anomali. Mungkin dahulu Platodan Aristoteles tidak berpikir sampai sejauh itu, atau mungkin ini yang Plato sebut dengan Mobokrasi atau Okhlokrasi. 9

Bahaya sekali apabila demokrasi kemudian disimpangi menjadi mobokrasi atau bahkan okhlokrasi. Pada dimensi ini, segala kepentingan (buruk) dapat membonceng dengan dalih demokrasi. Fatal akibatnya apabila penyelenggaraan demokrasi, termasuk metode rekruitmennya (baca: Pemilu) melibatkan Lembaga Penyelenggara Pemilu yang tidak independen dari segi struktur kelembagaan, keuangan, bahkan sampai segi teknisnya berupa keuangan. Alih-alih menyelenggarakan prosesi rekuitmen politik secara sakral dan jurdil, ia malah menjadi “kendaraan partai” untuk melanggengkan kekuasaan melalui demokrasi yang prosedural itu. Dengan demikian, partai akan menjadi salah satu oknum dalam menjerumuskan masyarakat ke dalam imaji tentang demokrasi yang tidak presisi.

8 Budi Setiyono, Birokrasi dalam Perspektif Politik & Administrasi, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2012),

hlm. 159 9 Plato membagi bentuk pemerintahan menjadi lima macam, yaitu: Aristokrasi, Timokrasi, Oligarkhi,

dan Demokrasi. Meskipun demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang terbaik, namun ia dapat bergeser menjadi mobokrasi (pemerintahan oleh orang bodoh), atau bahkan menjadi Okhlokrasi (pemerintahan oleh orang biadab)

Page 7: Demokrasi Perwakilan

7

3. Partisipasi politik masyarakat

Sub judul diatas berusaha menggambarkan bagaimana proses penyuaraan pendapat rakyat dan pentingnya jaminan pelaksanaannya dalam negara demokratis. Ciri sebuah negara demokrasi adalah:

a. Adanya sistem pemilihan umum yang Jurdil untuk memilih para wakil rakyat (parlemen) dan kepala pemerintahan (presiden);

b. Kebebasan Pers sebagai media kontrol kekuasaan kebebasan untuk memperoleh informasi dan pengetahuan;

c. Tersedianya sistem asosiasi yang bersifat otonom (Parpol, NGO, Ornop); d. Hak pilih bagi semua warga negara yang telah dewasa dan hak untuk duduk

dalam jabatan-jabatan publik Untuk menjamin terlaksananya prinsip diatas, tentu saja sistem Pemilu yang dibangun haruslah dengan terlebih dahulu memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Pengabaian terhadap pendidikan politik rakyat hanya akan mengakibatkan partisipasi masyarakat hanya sebatas pada proses pemungutan suara, lain tidak. Lebih lanjut, hal ini akan mengakibatkan kualitas pemerintahan yang buruk karena rakyat (baca: pemilih) tidak dibekali pengetahuan yang cukup tentang wakil rakyat yang akan mereka pilih untuk mewakili kepentingan mereka. Fenomena tentang ketidaktahuan pemilih terhadap siapa yang mereka pilih, bagaimana kompetensi mereka, rekam jejaknya menggejala di setiap Pemilu. Hal ini menjadikan masyarakat pemilih selalu saja menjadi swing votters – floating mass yang merupakan “sasaran empuk” bagi partai, walaupun ada saja pemilih yang sudah cerdas, yang memilih dengan ilmu, berdasarkan ideologi.

Proses edukasi politik ini mestinya menjadi tugas partai sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan rakyat. Namun, sebagaimana kita ketahui, partai hanya menjadi semacam “kendaraan” bagi mereka yang akan mengisi jabatan-jabatan politik, baik eksekutif, maupun legislatif—atau bahkan jabatan dalam yudisial. Kaderisasi partai yang mestinya dibangun dan fungsi partai sebagai “rumah pertama” rakyat untuk menyuarakan aspirasinya tidak terbangun.10 Tugas memberikan edukasi politik juga menjadi tugas Lembaga Penyelenggara Pemilu, dan ini sudah dijalankan. Penulis tidak mempunyai kompetensi untuk menilai bahwa tugas tersebut sudah terselenggara dengan baik atau belum.

Bagaimana desain Lembaga Penyelenggara Pemilu yang ideal harus mengakomodir partisipasi masyarakat seperti ini. Memang, model demokrasi yang dikembangkan di negeri ini adalah model demokrasi terbuka yang ditutup kembali. Dibuka lebar saat Pemilu, lalu ditutup kembali setelah seluruh proses rekrutmen untuk mengisi jabatan-jabatan politik telah terisi. Mekanisme class action, judicial review memang dikembangkan, namun seringkali menemui jalan buntu. Sebenarnya itu tidak perlu terjadi bila mekanisme aspirasi berjalan dengan semestinya. Mekanisme kontrol masyarakat kepada presiden sudah diwakili oleh wakil mereka di DPR atau DPRD, sedangkan mekanisme kontrol kepada anggota legislatif yang melakukan penyimpangan moral—tidak menepati janji politiknya—tidak disediakan oleh hukum. Rakyat tidak dapat “menarik mandat” dengan cara apapun kecuali menunggu Pemilu yang akan datang—dengan tidak lagi memilihnya.

10 Menurut penulis, inilah yang menyebabkan tingginya angka golput. Angka Golput pada Pemilu 1999

hanya 10,21%, pada Pileg 2004 naik menjadi 23,34 persen, pada Pileg 2009 meningkat menjadi 29,01 persen, dan pada Pileg 2014, berdasarkan hitung cepat LSI, angka Golput sekitar 34 persen, jauh mengungguli perolehan suara pemenang Pileg, PDI-P (19,67 persen).

Page 8: Demokrasi Perwakilan

8

Demokrasi perwakilan (demokrasi yang diwakilkan) tanpa menyediakan instrumen pertanggungjawaban anggota legislatif kepada rakyat akan menimbulkan distorsi mandat dan merupakan “petaka” bagi demokrasi. Dengan kata lain, demokrasi tidaklah cukup diartikan dengan melibatkan rakyat dalam proses rekruitmen politik untuk memilih anggota legislatif. Lebih dari itu, demokrasi perwakilan juga harus menyediakan perangkat/instrumen pertanggungjawaban wakil rakyat kepada rakyat yang telah memberinya mandat. Rakyat juga harus diberi kesempatan dalam pengambilan kebijakan-kebijakan strategis: melalui mekanisme hearing, jaring asmara (penjaringan aspirasi masyarakat dan sosialisasi).

4. Kondisi eksisting penyelenggara pemilu

Pemilu di Indonesia diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU yang pertama (1999-2001) dibentuk berdasarkan Keppres No 16 Tahun 1999, beranggotakan 53 orang anggota, dari unsur pemerintah dan Partai Politik. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001, beranggotakan 11 orang, dari unsur akademis dan LSM. KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan tujuh orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat.

Kelembagaan KPU semula belum diatur secara komprehensif, tetapi dimasukkan ke dalam undang-undang yang mengatur tentang Pemilu dan Pemerintahan Daerah.11 Sejak diundangkannya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, pengaturan tentang Lembaga Penyelenggara Pemilu diatur secara komprehensif di dalam satu undang-undang. Kesinambungan tugas KPU dan netralitasnya diatur dalam Pasal 3 undang-undang ini.

Kelembagaan KPU, seiring dengan ide otonomi daerah yang di dalamnya dimaksud juga dengan devolusi politik, dengan demikian mengharuskan keberadaan KPU Daerah (KPUD) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. KPUD dan KPU mempunyai sifat hierarkis dan tetap. Keanggotaan di KPU dimulai dari tahap rekruitmen yang diawali dengan pembentukan Tim Seleksi calon Anggota KPU yang dibentuk oleh presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU 22 Tahun 2007. Tim seleksi ini bertugas mambantu presiden untuk menetapkan anggota KPU yang akan diajukan kepada DPR. Anggota KPU dilantik oleh Presiden, Anggota KPU Provinsi dilantik oleh KPU, sedangkan Anggota KPUD dilantik oleh KPU Provinsi. Dalam format seperti ini, maka KPU merupakan perpanjangan tangan dari kekuasaan eksekutif. Bahkan kedudukan keuangan anggota KPU diatur dalam Perpres.

Sebagaimana uraian pada sub bab awal dari makalah ini bahwa tidak ada ruang yang terlepas dari politik, termasuk dalam hal penentuan tim seleksi (Timsel) Anggota KPU ini. Meskipun dipersyaratkan bahwa Anggota Timsel bebas dari kepentingan politik (praktis), namun pada prinsipnya justru potensi ketidaknetralan Timsel dan Anggota KPU yang akan terbentuk dimulai dari sini. Apalagi, Anggota KPU dipilih dalam forum DPR yang sarat kepentingan politis, meskipun DPR yang dimaksudkan disini adalah representasi dari rakyat. Namun demikian, tidak dapat dikatakan begitu saja bahwa Anggota KPU pasti sarat dengan kepentingan politik, karena memang begitu mekanisme yang disepakati dalam perekruitannya. Anggota KPU yang ditetapkan oleh presiden adalah sebuah produk hukum.

Dalam uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa hukum dapat digunakan sebagai sarana bagi kebijakan publik untuk mewujudkan tujuan yang telah 11 Pengaturan tentang kelembagaan KPU semula terdapat pada dalam UU Nomor 12 Tahun 2003

tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; UU 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wapres; dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Page 9: Demokrasi Perwakilan

9

ditetapkan melalui proses politik. Hasil utama dari sistem politik adalahhukum. Oleh karena itu, maka “constitution, statutes, administrative orders and executive orders are indicators of policy. Law also sets the framework for public policy”12. Disinilah yang penulis maksudkan dengan kelindan antara hukum dan politik. Tidak bermaksud alergi terhadap politik, namun bila proses seleksi dan pemilihan Anggota KPU dirancang dengan cara demikian, maka netralitas dan kooptasi politik sulit dihindari.

Dalam kenyataannya di lapangan, seringkali Anggota KPU juga dihadapkan pada dilema netralitas ini. Anggota KPU juga tidak bisa begitu saja melepaskan diri dari pengaruh partai politik, karena memang mereka akan selalu bersentuhan pada area itu. Banyak terjadi Anggota KPU yang masih aktif, atau mantan Anggota KPU justru menjadi fungsionaris partai tertentu. Tentu saja itu adalah hak setiap orang, namun hal ini menandakan bahwa ternyata ada garis singgung antara Anggota KPU dan Partai Politik.

Ketergantungan KPU kepada pemerintah juga sangat tinggi. Ada kasus di suatu daerah, gedung KPUD dapat begitu saja dipindah oleh kepala daerah. Penyelenggaraan Pemilu juga dapat terhambat karena faktor keuangan yang belum disetujui, walaupun ketentuan Pasal 115 UU No. 22 Tahun 2007 secara logis yuridis meniadakan hal itu.

5. Belajar dari beberapa negara

Dari uraian diatas, ternyata ada masalah dalam kelembagaan penyelenggara Pemilu. Ada hal-hal yang harus diselesaikan secara kelembagaan. Sulit memang menemukan formula dan desain yang ideal, namun hal itu dapat dimulai dengan mengandaikan bahwa Lembaga Penyelenggara Pemilu benar-benar terlepas dari lembaga eksekutif, atau lebih sempit lagi, terlepas dari birokrasi. Jika tidak, KPU berpotensi dijadikan kendaraan untuk kepentingan politis tertentu.

Di beberapa kasus, bahkan lembaga penyelenggara pemilu justru berpolitik dengan kewenangan yang secara atributif melekat padanya. Bahkan ada beberapa kasus lagi yang melibatkan Anggota KPU pada persoalan pidana yang menambah kecurigaan masyarakat.

Harus segera digagas suatu lembaga penyelenggara yang independen, atau paling tidak, memperuat independensi yang sudah ada. Dalam teori politik dan hukum, inilah yang dinamakan dengan the auxiliary state agency. Teori ini mengemukakan bahwa dalam masyarakat moderen, sistem pembagian kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagaimana digagas John Locke sudah tidak dapat mencakup keperluan hidup bernegara.13 Diperlukan lembaga-lembaga yang benar-benar dapat menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu, termasuk penyelenggaraan Pemilu. Terlebih bagi Indonesia yang sedang berada pada proses transisi. Bukan saja revolusi, barangkali diperlukan semacam super-revolusi untuk Indonesia yang bergerak begitu cepat dalam transisi politik dan hukumnya.

Sebenarnya, KPU sudah didesain sebagai lembaga eksekutif yang bersifat independen. KPU merupakan lembaga khusus yang ditentukan bersifat independen. Adapun sifat independen yang dimaksudkan disini berkaitan dengan yang seyogianya (dalam tataran das sollen), bukan kenyataan yang kita lihat sekarang, yaitu seringkali terjadi tarik-menarik “kepentingan” antara pemerintah dengan KPU. Tarik-menarik ini seringkali terjadi antara KPUD dengan kepala daerah.

12 Jay A. Sigler, et. al., The Legal Sources of Public, (Lexington, Massachusetts, Toronto, 1977), hlm. 4. 13 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Cetakan IV, (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 27.

Page 10: Demokrasi Perwakilan

10

Lembaga semacam KPU ini diidentifikasi oleh Jimly memiliki fungsi-fungsi yang bersifat campur sari, yaitu semi-legislatif dan regulatif, semi-administratif, bahkan semi-yudikatif.14 Paling tidak, standarinternasional pemilu demokratis menegaskan perlu adanya jaminan hukum, bahwa lembaga tersebut bisa bekerja independen. Independensi penyelenggara pemilu merupakan persoalan penting, lembaga tersebut harus bekerja dalam tiga standar berikut: (1) kerangka waktu yang cukup, (2) memiliki sumberdaya yang mumpuni, dan (3) tersedia dana yang memadai.15

Standar ini tentu belum menjawab seberapa besar derajat independensi yang dimiliki oleh sebuh lembaga penyelenggara pemilu. Ke-independen-an lembaga penyelenggara pemilu dimulai dari proses rekrutmen panitia seleksi, anggota yang duduk sebagai komisioner, sampai dengan kelembagaan dan keuangannya. Proses seleksi yang penuh dengan “intervensi” dan “infiltrasi” kepentingan partai politik lah yang mencederai independensi lembaga penyelenggara Pemilu.

Keanggotaan KPU yang ada sekarang ini berbeda dengan komposisinya ketika pertama kali dibentuk. Di era 1999 – 2001, KPU beranggotakan 53 orang yang terdiri dari unsur pemerintah dan partai politik. Komposisi ini dinilai tidak ideal, sehingga KPU Kedua (2001 – 2007) hanya terdiri dari 11 orang yang terdiri dari akademisi dan LSM. Menurut ini, komposisi KPU Kedua inilah yang ideal.

Seperti diuraikan di muka, permasalahan tentang kelembagaan KPU dimulai dari proses rekruitmennya. Apabila mau belajar dari Thailand, panitia seleksi KPU disana terdiri dari wakil partai dan 10 orang yang terdiri dari Ketua MK, Ketua Pengadilan Tinggi TUN, dan 8 orang rektor perguruan tinggi yang memilih 5 orang diantara mereka sendiri untuk diajukan ke senat. Jika senat setuju, maka MA akan memilih 5 orang dinatara 8 orang tadi untuk diajukan kembali ke senat. Di Thailand, seorang PNS tidak boleh menjadi Anggota KPU.16 KPU di Korea, misalnya, anggotanya berjumlah 9 orang (3 orang dipilih presiden, 3 orang dipilih parlemen, 3 orang dipilih oleh MA). Ketua MA otomatis menjadi Ketua KPU-nya.

Proses pemilihan Anggota KPU dimulai dari pemilihan Tim Seleksi yang diajukan oleh presiden kepada DPR. Tim seleksi yang telah terbentuk kemudian memilih 21 orang bakal calon anggota KPU untuk diserahkan kepada Presiden. Kemudian Presiden menetapkan 21 orang Calon Anggota KPU tersebut kepada DPR untuk diurutkan berdasarkan peringkat 7 besar. Calon yang termasuk peringkat 7 besar tersebut kemudian diserahkan kepada presiden untuk disahkan.17

Salah satu contoh lain adalah lembaga penyelenggara pemilu di Uruguay yang dibentuk berdasarkan undang-undang pada tahun 1924. Anggota KPU Uruguay terdiri dari sembilan orang: lima dianggap netral, karena mereka dipilih oleh suara dua-pertiga oleh Majelis Umum senator dan deputi dari kedua majelis Parlemen; empat lainnya adalah perwakilan dari partai politik, yang dipilih secara langsung di Majelis oleh kedua belah pihak berdasarkan voting. KPU Uruguay adalah suatu badan otonom dalam segala hal, kecuali di bidang anggaran yang harus dinegosiasikan dengan pemerintah dan disetujui oleh Parlemen. KPU Uruguay bertanggung jawab untuk semua aspek dari penyelenggaraan pemilu, termasuk sidang tuntutan dan

14 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2011), hlm. 190. 15 Didik Supriyanto, Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu, (Semarang: AUSAID-Perludem,

2007), hlm. 24 16 Ibid, hlm. 32 17 Lihat Pasal 13 s.d. Pasal 16 UU Nomor 22 Tahun 2007

Page 11: Demokrasi Perwakilan

11

keluhan. Beberapa negara yang serupa dengan KPU Uruguay antara lain Argentina, Israel, Jepang, Selandia Baru, dan Turki.18

Bagian paling unik dari KPU di Uruguay adalah bahwa disana tidak ada lembaga banding dalam memutus sengketa pemilu. KPU adalah lembaga yang memiliki kewenangan mengadili secara final and binding. Para anggota KPU di Uruguay tidak tunduk pada peraturan tentang PNS, namun tunduk pada undang-undang khusus tentang KPU yang sudah ada dan belum pernah berubah sejak Tahun 1925. KPU Uruguay merekrut dan menunjuk pejabat sendiri pada semua tingkatan melalui eksaminasi publik yang kompetitif (competitive public examinations), tetapi masing-masing diwajibkan untuk menyerahkan bukti dukungan partai (sertifikat "confianza partidaria"), dan janji yang dibuat secara proporsional dengan suara partai.19 6. Konstruksi baru lembaga penyelenggara Pemilu

Mengonstruksi suatu bangunan baru harus dimulai dengan terlebih dahulu “membongkar” bangunan lamanya. Konstruksi yang secara yuridis harus sudah mapan dan ajeg harus dibongkar sedemikian rupa untuk menyediakan tempat bagi penyusunan konstruksi yang baru tersebut. Pandangan Rawls dikaitkan dengan Derrida yang mengajukan pendekatan dekonstruksi, yaitu pendekatan filsafat yang layak dikemukakan untuk menjawab permasalahan dalam makalah ini.

”.......It means that deconstruction is concerned with offering an account of what is going on in a text—not by seeking out its meaning, or its component parts, or its systematic implications—but rather by marking off its relations to other texts, its contexts, its sub-texts. It means that deconstruction accounts for how a text’s explicit formulations undermine its implicit or non-explicit aspects. It brings out what the text excludes by showing what it includes. It highlights what remains indecidable and what operates as an indecidable in the text itself”.20

Dekonstruksi menurut Derrida akan berkaitan dengan kegiatan mengajukan penjelasan tentang apa yang terjadi di dalam teks tidak dengan mencari maknanya, atau bagian-bagian komponennya, atau implikasi yang sistematis, melainkan dengan menandai hubungannya dengan teks-teks lain, baik konteks maupun sub-teksnya. Dekonstruksi merupakan formulasi teks eksplisit yang meruntuhkan aspek implisit maupun non-eksplisit. Dekonstruksi, dengan demikian bermaksud menjangkau sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh teks dan tak dapat diputuskan dalam teks tersebut. Teks yang dimaksudkan disini adalah teks undang-undang yang mengatur tentang penyelenggara pemilu.

Kecurigaan yang muncul tentang tidak independennya lembaga bernama KPU dihasilkan oleh pola dan sistem yang dibangun oleh undang-undang. Oleh karena itu, apabila kita tidak dapat menemukan jawabannya (untuk memperbaiki keadaan untuk menuju kenyataan yang diharapkan) tentang idealnya kelembagaan KPU, maka kita harus membongkarnya terlebih dahulu. Ini pekerjaan sulit, karena akan seperti dokter bedah yang harus mengerti dengan presisi anatomi tubuh yang dibedahnya.

Paling tidak ada dua hal besar yang harus dibangun untuk mendesain ulang lembaga penyelenggara Pemilu yang telah ada untuk menjaga independensinya. Muaranya adalah kualitas demokrasi itu sendiri, yaitu demokrasi substantif. Jangan sampai lembaga penyelenggara pemilu justru terjebak pada politik praktis, atau paling tidak membawa kepentingan dari pihak-pihak yang yang terlibat rekruitmen

18 Rafael López-Pintor, Electoral Management Bodies as Institutions of Governance, (New York: the

UNDP Bureau for Development Policy, 2000), hlm. 22-23. 19 Ibid 20 Hugh J.Silverman, Derrida and Deconstruction, (New York: Routledge, 1989), hlm. 4.

Page 12: Demokrasi Perwakilan

12

politik. Lembaga ini menjadi semacam panitia acara saja, namun perlu dibangun dua aspek, yaitu:

1. Aspek Struktural Di sebagian negara, lembaga penyelenggara pemilu memang masih

merupakan cabang dari kekuasaan eksekutif (biasanya dalam naungan departemen dalam negeri). Berkaitan dengan aspek struktural berkaitan dengan pola rekruitmen anggota lembaga penyelenggara pemilu, apakah berdasarkan unsur partai atau justru non-partai. Pembentukan kesekretariatan lembaga juga diperlukan, untuk mengurus administrasi dari anggota lembaga penyelenggara pemilu tersebut.

Susunan keanggotaa lembaga penyelenggara pemilu ini idealnya terdiri dari unsur hakim agung dan akademisi yang netral, sehingga penyelenggara pemilu model ini juga sekaligus memutus sengketa yang putusannya bersifat final dan mengikat. Secara logika ini dapat diterima, karena keanggotaan lembaga penyelenggara pemilu model ini jauh dari kepentingan politik praktis.

Berkaitan dengan aspek struktural ini, dimaksudkan pula mengenai administrasi pemilu itu sendiri. Negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law, biasanya memiliki lembaga penyelenggara pemilu yang sentralistik—atau paling tidak dibangun secara hierarkis antara penyelenggara pemilu tingkat pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di negara-negara Anglo-Saxon atau common law, sebaliknya, administrasi pemilu telah terdesentralisasi.

Untuk kasus Indonesia, KPU dan KPUD tersusun secara hierarkis, sehingga keputusan yang dibuat oleh KPU merupakan dasar hukum bagi KPUD dalam menyelenggarakan tugasnya.

2. Aspek Fungsional Dari aspek fungsional, lembaga penyelenggara pemilu tidak hanya bekerja

saat pemungutan suara saja, namun sekaligus juga merupakan lembaga yang bertugas memberikan pendidikan politik bagi warga. Aspek fungsional juga berkaitan dengan besaran dana yang diperlukan dalam setiap penyelenggaraan pemilu.

Tugas-tugas seperti kepanitiaan dalam pengadaan barang dan jasa, misalnya tidak perlu terlalu melibatkan anggota lembaga penyelenggara pemilu, namun cukup sekretariat saja. Bahkan, fungsi untuk menjalankan proses pemilihan, dapat saja dilakukan oleh pejabat yang bekerja di pemerintahan (departemen dalam negeri) yang khusus ditunjuk dalam rangka pemilu. Namun ini aspek fungsional dalam rangka penghematan anggaran yang hanya dapat dilaksanakan di negara yang telah matang pandangannya tentang demokrasi. Prasyaratnya adalah pemahaman masyarakat tentang demokrasi dan pendidian politik yang cukup, sehingga kecurangan sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi.

Kedua aspek tersebut menentukan efektivitas lembaga penyelenggara pemilu

yang independen. Keduanya juga berkaitan dengan kontrol politik terhadap proses pemilu. Kondisi ideal panitia penyelenggara pemilu berkaitan pula dengan keadaan sosial negara tersebut. Independensi sebuah lembaga penyelenggara pemilu, di negara tertentu, tidak harus dimaknai dengan pemisahannya dari cabang kekuasaan eksekutif, namun lebih diartikan sebagai kejujuran dan netralitas dimana di dalamnya

Page 13: Demokrasi Perwakilan

13

dijamin bahwa salah satu pihak tidak akan mencurangi pihak yang lain. Di Swedia, misalnya, lembaga penyelenggara pemilu berada di bawah kementerian dalam negeri.

Bagian terpenting dari sub ini adalah kesadaran bahwa independensi penyelenggara pemilu juga berkaitan tidak hanya dengan mekanisme dan prosedur hukum, tetapi juga kondisi sosial masyarakatnya. Masyarakat yang sudah sedemikian terdidik dan siap dengan demokrasi, tidak memerlukan penyelenggara pemilu yang begitu rumit mengurusi kemungkinan kecurangan. Hukum itu, kalau boleh dibilang, berangkat dari asas kecurigaan, oleh karena instrumennya cenderung bersifat preventif, mencegah. Kalau upaya preventif tidak tercapai, maka represif yang digunakan, yaitu menindak pelakunya.

Penyelenggara pemilu pada dasarnya memikul tugas berat untuk menjamin bahwa demokrasi yang sedang dibangun ini tidak terjebak pada demokrasi prosedural, pada bagaimana memasak kue. Demokrasi yang sedang sama-sama kita bangun ini mestinya merupakan kesadaran tentang bagaimana menghasilkan “kue” yang enak. Kue itu bernama demokrasi yang substantif.

7. Penutup

Makalah ini dimulai dari pertanyaan tentang bagaimana idealnya lembaga penyelenggara pemilu harus dibangun. Penyelenggaraan pemilu yang merupakan hajat besar lima tahunan di negara ini selalu saja diwarnai oleh masalah. Masalah administratif seperti data mata pilih, sampai masalah tingginya angka golput dan kecurangan pemilu selalu saja terjadi.

Lembaga penyelenggara pemilu juga seringkali terintervensi oleh kepentingan politik praktis, karena memang pemilu adalah instrumen untuk mengisi jabatan-jabatan politik. Kesimpulan dari pembahasan makalah ini adalah: a. Bahwa demokrasi yang hendak dibangun harus dimulai dari kesadaran tentang

bernegara, yaitu kepentingan negara berada diatas kepentingan pribadi dan kepentingan golongan;

b. Relasi antara rakyat dan negara justru menunjukkan dikotomi yang tidak logis, karena rakyat adalah negara itu sendiri;

c. Demokrasi yang senyatanya terjadi dan terlihat masih sekadar imaji, masih berupa cita-cita tentang demokrasi substantif, yang terjadi adalah demokrasi prosedural semata;

d. Partisipasi politik warga masih rendah, bahkan terjadi semacam apatisme terhadap pemilu dan ketidakpercayaan pada orang-orang yang akan mengisi jabatan-jabatan politik;

e. Seringkali Anggota KPU juga dihadapkan pada dilema netralitas ini. Anggota KPU juga tidak bisa begitu saja melepaskan diri dari pengaruh partai politik, karena memang mereka akan selalu bersentuhan pada area itu;

f. Beberapa negara ternyata berbeda dalam hal struktur kelembagaan lembaga penyelenggara pemilunya, termasuk pola rekruitmen. Kelembagaan penyelenggara pemilu ditetapkan bersifat independen yang harus bekerja dalam tiga standar berikut: (1) kerangka waktu yang cukup, (2) memiliki sumberdaya yang mumpuni, dan (3) tersedia dana yang memadai;

g. Konstruksi baru kelembagaan penyelenggara pemilu adalah dengan memperhatikan aspek struktural, yaitu penyelenggara pemilu dimasukkan ke dalam cabang kekuasaan eksekutif atau dipisahkan. Aspek fungsional, yaitu bahwa penyelenggara pemilu harus juga memberikan pendidikan politik bagi warga masyarakat.

Page 14: Demokrasi Perwakilan

14

8. Daftar Pustaka

A. Garner, Bryan, 2004. Black’s Law Dictionary, Eight Edition, St. Paul: West a Thomson.

Asshiddiqie, Jimly, 2011. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan Kedua, Jakarta: Sinar Grafika.

Hakim, Lukman, 2012. Filosofi Kewenangan Organ dan Lembaga Daerah, Malang: Setara Press.

Hobbes, Thommas, 1982. The Elements of Law Natural and Politic, Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Indonesia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

J.Silverman, Hugh, 1989. Derrida and Deconstruction, New York: Routledge

López-Pintor, Rafael, 2000. Electoral Management Bodies as Institutions of Governance, New York: the UNDP Bureau for Development Policy.

Setiyono, Budi, 2012. Birokrasi dalam Perspektif Politik & Administrasi, Bandung: Penerbit Nuansa.

Sigler, Jay A. et. al., 1977. The Legal Sources of Public, Lexington, Massachusetts, Toronto.

Sudaryanto, 2007. Filsafat Politik Pancasila: Refleksi Atas Teks Perumusan Pancasila, Yogyakarta: Kepel Press.

Supriyanto, Didik, 2007. Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu, Semarang: AUSAID-Perludem.

Surbakti, Ramlan, 1999. Memahami Ilmu Politik, Cetakan IV, Jakarta: Grasindo.

9. Biografi Singkat

Fathoni, S.H., M.H. adalah Dosen di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Ia juga menjadi peneliti di Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia (PKKPHAM). Menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Lampung (2006). Menyelesaikan Program Magister Hukum Ilmu di Universitas Diponegoro dengan bantuan beasiswa Program BSU HET-HAKI Dikti 2010. Ia aktif mengikuti berbagai kegiatan ilmiah diantaranya : Seminar Internasional ke-10 Dinamika Politik Lokal di Kampung Percik, Salatiga (2009), Academic Writing Skills di Sekolah Pascasarjana UGM (2009), 1st Internastional Conference: Legal, Business, and Governance di UBL (2013), menjadi peserta pada pertemuan International Association of Sport Law Congress XIX di Bali. Ia juga menjadi kontributor penulis pada buku “Peran Ideal DPD RI: Suara dari Lampung” (2007), menjadi co-author Makalah berjudul: “Learning Environmental Rights, Finding Green Future: The Road To Ecojustice” pada Journal of Law, Policy, and Globalization (2014), co-author “Measuring Public Interest Principles Upon Land Provision for Disaster Victims in Indonesia” (UGM, 2014). Mengikuti Kursus Penelitian Sosio-Legal (Univeritas Brawijaya Malang – Epsitema Institute, 2014).