deskripsi teater tradisi lang lang buana di kabupaten natuna provinsi keupalauan riau
DESCRIPTION
bahan sidang S 1 seni teater IKJTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Natuna merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi
Kepulauan Riau, Indonesia. Natuna merupakan kepulauan paling utara di selat
Karimata. Di sebelah utara, Natuna berbatasan dengan Negara Vietnam dan Kamboja,
di bagian barat dengan Singapura, Malaysia, Riau, di bagian timur dengan Negara
Malaysia Timur dan Kalimantan Barat, dan di selatan berbatasan dengan Provinsi
Sumatera Selatan dan Jambi.
Sejarah Kabupaten Natuna tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kabupaten Kepulauan
Riau, karena sebelum berdiri sendiri sebagai daerah otonomi, Kabupaten Natuna
merupakan bagian dari wilayah Kepulauan Riau. Kabupaten Natuna dibentuk
berdasarkan Undang-Undang No. 53 Tahun 1999 yang disahkan pada tanggal 12
Oktober 1999, dengan dilantiknya Bupati Natuna Drs. H. Andi Rivai Siregar oleh
Menteri Dalam Negeri ad intrem Jenderal TNI Faisal Tanjung di Jakarta.
Begitu juga halnya dengan perkembangan kesenian di Kabupaten Natuna tidak bisa
terlepas dari provinsi induknya – Provinsi Riau. Di Provinsi Riau terdapat dua jenis
teater tradisi, yaitu teater tradisi Mak Yong dan teater Bangsawan. Mak Yong adalah
seni teater tradisional masyarakat Melayu yang tumbuh dan berkembang di negara-
1
negara bagian Malaysia dan di Kepulauan Riau. Hal ini disebabkan karena letak
geografis dan kultur kebudayaan antara dua daerah yang berbeda negara itu saling
berdekatan dan memiliki persamaan. Pementasan Mak Yong di Kepulauan Riau
dengan memakai topeng, berbeda dengan Malaysia yang tanpa memakai topeng.
Pertunjukan Mak Yong menggabungkan berbagai unsur upacara keagamaan, lakon,
tari, musik dengan vokal atau instrumen dan naskah yang sederhana. Tokoh utama
pria dan wanita keduanya dibawakan oleh penari wanita. Selain itu ada juga tokoh-
tokoh lain yang muncul dalam cerita ini misalnya pelawak, dewa, jin, pegawai istana,
dan binatang. Pertunjukan Mak Yong diiringi alat musik seperti rebab, gendang, dan
tetawak1.
Sementara itu, Teater Bangsawan lebih mudah dipahami sebagai perintis dari
perkembangan teater Indonesia ke arah teater modern. Hanya saja Teater Bangsawan
belum menggunakan naskah tertulis seperti naskah well made play pada teater
konvensional. Naskahnya hanya menceritakan garis besar atau plot dari sebuah cerita
yang akan dipentaskan. Teater Bangsawan atau Wayang Bangsawan merupakan salah
satu teater tradisi yang hidup di Kepulauan Riau dan Kepulauan Lingga, Indonesia,
serta berkembang pula di kawasan Malaysia dan Brunei Darussalam. Teater tradisi ini
dapat dimainkan oleh semua lapisan masyarakat.
1 alat musik seperti gong, tetapi bentuknya lebih kecil.2
Pertunjukan Teater Bangsawan menggabungkan unsur musik, drama dan tari serta
mengangkat kisah-kisah di lingkungan istana. Cerita-cerita yang sering diangkat
adalah kisah tentang Hang Tuah Lima Bersaudara, Sultan Mahmud Mangkat Dijulang
dan Laksamana Bintan.
Menurut sejarah, teater ini dikembangkan oleh masyarakat Persia atau Parsi yang
pindah ke India karena pertentangan ideologi di tanah airnya. Teater ini selanjutnya
berkembang di Pulau Penang, Malaysia dan menyebar pula ke Indonesia, termasuk
Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Tetapi teater ini lebih
lekat dengan kebudayaan Riau. Di Malaysia, teater ini pada awalnya dinamakan
Wayang Parsi. Kemudian kelompok wayang asal Persia ini pulang ke India dan
menjual peralatan pertunjukan kepada seorang Malaysia, Mohamad Pushi. Sejak saat
itu, Mohamad Pushi mengganti nama teater itu menjadi Teater Bangsawan.
Kabupaten Natuna sebagai daerah pemekaran baru telah melakukan berbagai
pembangunan terhadap berbagai infrastruktur untuk membenah diri sebagai sebuah
kabupaten. Pembangunan ini tentunya didukung oleh APBD Kabupaten Natuna yang
sangat besar yaitu sekitar 2 triliun per tahunnya. Bentuk dari pembangunan di bidang
fisik dapat dilihat dari pengadaan kompleks kantor bupati, pengadaan jalur
transportasi laut dan udara, dan lain-lain. Semuanya itu merupakan contoh dari
pembangunan yang telah dilakukan di Kabupaten Natuna. Namun, pembangunan
fisik ini seharusnya diseimbangkan dengan pembangunan di bidang kebudayaannya.
Tujuan dari pembangunan di bidang kebudayaan merupakan suatu usaha untuk
membentuk identitas kedaerahan Natuna sebagai bagian dari bangsa Indonesia.3
Pembangunan di bidang kebudayaan ini dirasakan sangat penting disebabkan letak
geografis Kabupaten Natuna yang merupakan salah satu wilayah terluar dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga wilayah Natuna sangat rawan terhadap invasi
dari negara-negara asing. Selain itu, sumber daya alam di daerah Natuna yaitu
minyak dan gas bumi yang melimpah ruah menjadi faktor pendukung akan timbulnya
suatu perselisihan dengan negara-negara asing terhadap letak integritas wilayah
Natuna sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perwujudan akan identitas bangsa melalui suatu jenis kesenian tradisi yang ada di
daerah Natuna, maka diharapkan nantinya akan timbul kesadaran masyarakat
setempat dan bangsa-bangsa asing bahwa Natuna merupakan bagian yang tidak bisa
terlepaskan dari integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di Kabupaten Natuna terdapat berbagai jenis kesenian tradisi, baik dari jenis musik,
tarian, maupun teater tradisi. Khusus untuk teater tradisi, di Kabupaten Natuna
sebenarnya ada dua bentuk teater tradisi, yaitu teater tradisi Mendu dan Lang Lang
Buana. Teater tradisi Mendu cukup dikenal oleh masyarakat di gugusan kepulauan ini
dan telah dibukukan serta dijadikan bahan penelitian ilmiah. Istilah ‘Mendu’ berasal
dari kata ‘menghibur rindu’. Pada zaman dahulu para saudagar, nelayan dan petani
sangat senang menghibur diri pada malam hari sebagai pelepas lelah setelah mereka
bekerja keras pada siang hari. Mereka memainkan musik, nyanyian, berpantun
sebagai pelepas rindu pada kampung halaman. Lama-kelamaan kata menghibur rindu
mereka singkat dengan sebutan Mendu dan akhirnya menjadi tontotan yang cukup
digemari oleh masyarakat Kepulauan Natuna. 4
Permainan Mendu merupakan pemaparan cerita yang dilakukan di lapangan terbuka
dan menggabungkan unsur-unsur akting, tarian, nyanyian dan musik. Para pemainnya
bermain dengan dialog yang disertakan dengan gerakan yang sewaktu-waktu dapat
berubah menjadi tarian. Walaupun demikian, unsur tari dalam seni pertunjukan
Mendu bukan sekadar tempelan atau selingan saja, melainkan sebagai unsur yang
saling berhubungan dengan unsur-unsur seni lainnya yang utuh pada pertunjukan
Mendu. Masih kurangnya perhatian pemerintah daerah Kabupaten Natuna terhadap
kesenian tradisi yang ada di daerah ini, sehingga akhirnya membuat teater tradisi
Mendu ini pun telah mulai punah oleh perkembangan zaman.
Salah satu contoh lain yang sangat memprihatinkan dari kurangnya perhatian
pemerintah daerah terhadap kesenian tradisi dapat dilihat dari hampir hilangnya salah
satu teater tradisi yang dulu pernah menjadi primadona di daerah Ranai2. Teater
tradisi Lang Lang Buana merupakan salah satu teater tradisi yang lahir dan tumbuh di
desa Kelanga, Kecamatan Bunguran Timur Laut, Kabupaten Natuna. Teater tradisi ini
dulunya merupakan salah satu kebanggaan masyarakat Natuna. Namun untuk saat
sekarang ini, teater tradisi Lang Lang Buana sudah tidak pernah dipertunjukkan lagi
selama 22 tahun.
Lang Lang Buana merupakan nama salah satu bentuk teater tradisi, nama grup dan
nama judul lakon yang dipentaskan serta nama salah satu tokoh yang ada di di dalam
lakon tersebut. Memang sangat jarang terjadi penyatuan sebutan istilah pada teater
2 Sekarang menjadi ibukota Kabupaten Natuna5
tradisi di Indonesia. Contohnya teater tradisi Wayang Bangsawan, nama grup Indra
Bangsawan, judul lakon Laksamana Hang Tuah dan memang ada nama tokoh ‘Hang
Tuah’ di dalam lakon tersebut. Hal serupa terjadi pada teater tradisi Mendu yang
tumbuh dan berkembang di Natuna juga, tepatnya di Pulau Laut. Mendu merupakan
jenis teater tradisi dan salah satu judul lakon yang dipentaskan serta nama tokoh
utama di dalam lakon tersebut, namun nama grupnya beraneka ragam. Hal ini
mungkin terjadi karena hanya ada satu grup yang membawakan lakon Lang Lang
Buana dan grup ini hanya memiliki satu judul lakon saja yaitu ‘Lang Lang Buana’.
Sebab lainnya mungkin dikarenakan kebiasaan masyarakatnya yang suka menamakan
jenis sesuatu dengan menyebutkan nama merek atau brand imagenya. Seandainya
kita ke Ranai, lalu ingin mencari tempat penyewaan motor. Tentunya di sini akan
terjadi misunderstanding di dalam istilah ‘motor’. Orang Ranai menyebutkan kata
‘motor’ untuk mengatakan ‘pompong atau perahu bermotor’, sedangkan mereka
menyebutkan motor dengan istilah ‘Honda’.
Teater tradisi Lang Lang Buana dicetuskan oleh Datok Kaya Wan Mohammad
Benteng sekitar akhir abad ke-19. Beliau adalah penguasa yang memimpin daerah
Ranai pada masa dulu. Kekuasaan ini diatur oleh “yayasan adat” yang telah ada sejak
kekuasaan Kerajaan Riau Lingga. Setelah beliau wafat, teater tradisi ini diteruskan
oleh anaknya – Datok Kaya Wan Mohammad Rasyid – sekitar tahun 1930.
Pada masa kejayaannya, teater tradisi Lang Lang Buana merupakan media hiburan
yang paling diminati oleh masyarakat Natuna. Hal ini disebabkan oleh bentuk
penyajiannya yang lebih interaktif dibandingkan dengan teater tradisi Mendu. Faktor 6
lainnya disebabkan karena belum adanya alternatif hiburan bagi masyarakat Natuna,
seperti radio dan televisi.
Perkembangan teater tradisi ini pada saat sekarang sungguh sangat memprihatinkan.
Dampak ini disebabkan oleh tidak adanya regenarasi pemain, perubahan pola
pandang masyarakat pendukungnya terhadap bentuk hiburan dan masih kurangnya
peranan pemerintah daerah di dalam melestarikan teater tradisi ini.
Keberadaan Kabupaten Natuna sebagai daerah penghasil migas, memungkinkan agar
kendala-kendala terhadap perkembangan teater tradisi seperti ini bisa diatasi dengan
adanya upaya bersama untuk mengangkat jati diri bangsa. Contoh kongkritnya bisa
dilakukan dengan cara mengaktifkan kembali kelompok teater tradisi ini dan
merekontruksi teater tradisi ini sesuai dengan perkembangan zaman agar teater tradisi
Lang Lang Buana mampu menjawab kebutuhan zaman.
Perwujudan dari upaya-upaya seperti yang tertera di atas, maka ke depannya
masyarakat Natuna menemukan suatu identitas daerah berlandaskan latar belakang
budayanya yang nantinya akan menjadi icon kesenian Kabupaten Natuna. Upaya
merekontruksi teater tradisi Lang Lang Buana juga merupakan sebuah upaya di dalam
menjawab tantangan terhadap integritas wilayah Natuna di dalam keutuhan NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Pemilihan teater tradisi Lang Lang Buana sebagai icon daerah Natuna disebabkan
karena di dalam pertunjukannya terdapat begitu banyak pesan-pesan moral yang
berlandaskan budaya Melayu Kepulauan. Selain itu, unsur-unsur pertunjukan yang
7
ada di dalamnya merupakan wujud dari khazanah budaya masyarakat Melayu
Kepulauan.
Usaha-usaha yang dilakukan tentunya harus didorong oleh kepedulian dan kemauan
bersama untuk mewujudkan sebuah icon daerah yang mampu diterima oleh
masyarakat luas bahkan samapai ke taraf internasional. Hal ini harus segera dilakukan
karena menyangkut identitas kita sebagai bangsa yang besar. Bangsa yang besar
adalah bangsa yang menghargai dan melestarikan budaya dari para leluhurnya.
1.2 Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis terdorong untuk perlu
mendokumentasikan secara tertulis tentang teater tradisi Lang Lang Buana di
Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan secara tertulis tentang teater
tradisi Lang Lang Buana di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
Pendokumentasian tertulis ini dijabarkan secara deskriptif untuk menjelaskan
bagaimana sejarah munculnya teater tradisi Lang Lang Buana di Kabupaten Natuna
dan bagaimana bentuk penyajian pertunjukan dan unsur-unsur di dalam teater 8
tradisi Lang Lang Buana. Kisi-kisi tentang pendeskripsian ini dijelaskan secara
kontekstual berkaitan dengan latar belakang budaya masyarakat Natuna dan faktor-
faktor yang mempengaruhi perkembangan teater tradisi Lang Lang Buana.
1.4 Manfaat Penelitian
Ada pun manfaat dari penelitian ini adalah :
1.4.1 Manfaat Akademis
Manfaat akademis dari penelitian ini adalah sebagai sebuah usaha untuk menambah
khazanah budaya dari seni pertunjukan Nusantara.
1.4.2 Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini sebagai bahan utama untuk merekontruksi
dan mewujudkannya di dalam sebuah pertunjukan teater tradisi Lang Lang Buana di
kota Ranai. Diharapkan nantinya akan muncul generasi-generasi penerus dari teater
tradisi tersebut.
1.5 Kerangka Konsep
Di dalam menyusun hasil penelitian ini, penulis memaparkannya di dalam bentuk
pendeskripsian dari data yang ada di lapangan. Deskripsi adalah upaya pengolahan
9
data menjadi sesuatu yang dapat diutarakan secara jelas dan tepat dengan tujuan agar
dapat dimengerti oleh orang yang tidak langsung mengalaminya sendiri. Deskripsi ini
diperlukan agar peneliti tidak melupakan pengalamannya dan agar pengalaman
tersebut dapat dibandingkan dengan pengalaman peneliti lain, sehingga akan lebih
mudah untuk dilakukan pemeriksaan dan kontrol terhadap deskripsi tersebut. Pada
umumnya deskripsi menegaskan sesuatu, seperti: apa sesuatu itu kelihatannya,
bagaimana bunyinya, bagaimana rasanya, dan sebagainya.
Selain itu, penulis juga memakai sejumlah konsep lain untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan penelitian di atas. Konsep-konsep tersebut adalah : 1) Kebudayaan; 2)
Kesenian; 3) Seni Pertunjukan; 4) Teater Tradisi; dan 5) Folklor.
Terdapat begitu banyak pengertiaan tentang kebudayaan. Budaya secara harafiah
berasal dari bahasa Latin yaitu ‘Colere’ yang artinya mengerjakan tanah, mengolah,
memelihara ladang. Di dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut ‘culture’ yang
artinya mengolah atau mengerjakan. Sementara itu, budaya atau kebudayaan juga
berasal dari bahasa Sansekerta yaitu ‘buddhayah’ yang merupakan bentuk jamak dari
buddhi yang berarti “budi” atau “kekal”. Kebudayaan menurut ilmu antropologi pada
hakikatnya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dalam belajar
(Koentjaraningrat,1996:72).
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Sehingga segala sesuatu
yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
10
masyarakat itu sendiri. Kebudayaan merupakan kesuluruhan yang kompleks, di mana
di dalamnya terdapat unsur-unsur yang menopang kehidupan bagi kelangsungan umat
manusia. Menurut Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 1996:80-81), menemukan
bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di
dunia yang disebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan, yaitu: bahasa, sistem
pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem
mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian.
Kesenian memiliki peran penting di dalam kebudayaaan. Oleh sebab itu, kesenian
dalam wujudnya menampakkan pesan-pesan budaya dari masyarakat pendukungnya
melalui hasil karya yang tercipta. Pesan-pesan ini didapat dari peninggalan-
peninggalan leluhur yang terwujud dalam tata cara adat istiadat, baik melalui visual
(artefak, relief, bangunan dan lain-lain), verbal (petuah, pantun, dongeng, legenda dan
lain-lain) maupun yang berbentuk naskah tertulis. Penjelasan di atas juga dijelaskan
oleh Umar Kayam dalam bukunya “Seni, Tradisi, Masyarakat” yang mengatakan :
Kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat. Sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan – dan dengan demikian juga kesenian – mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi. (Kayam, 1981:38)
Kesenian di suatu etnik tertentu biasanya berpedoman kepada sistem budayanya.
Kesenian itu berpedoman kepada sistem pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma-
11
norma yang hidup dalam budaya masyarakat pemilik kesenian tersebut. Namun tidak
dapat dipungkiri dengan berkembangnya zaman maka kesenian di suatu etnik
tertentu bisa saja berubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan zaman. Saat sekarang
ini, kesenian di suatu etnik tertentu telah dipengaruhi oleh unsur budaya yang berasal
dari agama (Hindu, Budha, Islam, Kristen) atau budaya asing.
Seni pertunjukan adalah karya seni yang melibatkan aksi individu atau kelompok di
tempat dan waktu tertentu. Seni pertunjukan biasanya melibatkan empat unsur:
waktu, ruang, tubuh si seniman dan hubungan seniman dengan penonton.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_pertunjukan)
Seni Pertunjukan merupakan bagian dari kesenian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan bermasyarakat. Di dalam bermasyarakat dibutuhkan adanya komunikasi
antar individunya. Seni Pertunjukan menjadi salah satu cara menyampaikan ekspresi
seseorang dalam berhubungan dengan orang lain. Sehingga Seni Pertunjukan
merupakan kesenian yang kolektif – membutuhkan orang lain dalam
penyampaiannya.
Seni pertunjukan di Indonesia tidak dapat terpisahkan dari kesenian tradisional yang
tumbuh dan berkembang di masing-masing daerah. Di Indonesia, seni pertunjukan
memiliki ciri-ciri umum seperti yang dikatakan oleh Drs. Jabatin S. Bangun :
Seni pertunjukan Indonesia memiliki ciri-ciri umum ;
12
1. Holistik, mencakup keseluruhan dari unsur-unsur yang ada di dalamnya; teater, tari, musik.
2. Kontekstual, penyajiannya berdasarkan kebutuhan. Seperti ritual agama, peristiwa daur hidup dan lain-lain.
3. Berkembang/berubah, seni pertunjukan itu mengalami perkembangan dan perubahan karena adanya persinggungan dengan kebudayaan lain
4. Tradisi lisan, penyebarannya melalui mulut dari generasi ke generasi, melalui kegiatan nyantrik….”3
Memahami teater tradisi tentunya tidak terlepas dari kata ‘tradisi’ itu sendiri. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, tradisi adalah segala sesuatu (seperti: kepercayaan,
kesenian, kebiasaan, ajaran) yang dianut secara turun temurun dari nenek moyang.
Sementara itu, teater merupakan bagian dari kesenian. Pengertian ‘seni tradisi’ dapat
diambil dari kesimpulan yang ditulis oleh A. Kasim Achmad di dalam bukunya
“Mengenal Teater Tradisi di Indonesia” yang mengatakan: “Seni tradisi merupakan
seni yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang kita dari kelompok
masyarakat etnik lingkungannya, yang memiliki struktur yang baku dan merupakan
pakem yang selalu dianut oleh seniman lingkungan etnik yang bersangkutan.”
(Achmad, 2006:4)
3 Penulis mendapatkan pengertian ini saat mengikuti mata kuliah Seni Pertunjukan Indonesia I pada tahun ajaran 2010/2011. Dosen Drs. Jabatin S. Bangun.
13
Penjelasan dari pengertian-pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
teater tradisi adalah suatu kesenian pada masyarakat tertentu yang dipengaruhi oleh
budaya lingkungannya dan diajarkan secara turun temurun sesuai dengan pakem-
pakem yang telah baku.
Secara umum, teater tradisional di Indonesia lahir dari sastra lisan. Selanjutnya dari
sastra lisan ini lahir bentuk teater tutur yang dipertunjukkan hanya dengan dituturkan.
Pada tahap berikutnya, teater tutur ini berkembang menjadi teater tradisi dengan
berbagai macam bentuk. Bertolak dari pengertian di atas, maka diperlukannya suatu
disiplin ilmu lain, yaitu folklor. Dengan disiplin ilmu ini, maka lebih memudahkan
penulis di dalam memahami suatu jenis kesenian tradisi yang sudah hampir punah
dan tidak memiliki data tertulis sama sekali. Sehingga teknik pengumpulan datanya
hanya melalui wawancara dengan para pelaku teater tradisi Lang Lang Buana
maupun masyarakat pendukung kesenian tersebut. Folklor adalah sebagian
kebudayaan suatu koletif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di
antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik
dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat (mnemonic device). (Danandjaja, 2002:1-2).
1.6 Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah penelitian
lapangan dan studi kepustakaan. Penelitian ini bersifat deskriptif dan analitik. Dalam
14
pengumpulan data, penulis menggunakan teknik wawancara dengan informan terpilih
yang notabene adalah penggiat teater tradisi Lang Lang Buana dan masyarakat yang
peduli terhadap teater tradisi ini serta penggalian literatur yang mendukung. Data-data
yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode deduktif terhadap fakta-fakta
emperik yang penulis temukan di lapangan.
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan atau pendokumentasian seperti
teknik pengumpulan di dalam menyusun sebuah naskah folklor. (Danandjaja, 2002:1-
2). Hal ini disebabkan karena tidak adanya bukti tertulis maupun di dalam bentuk
gambar (visual) tentang teater tradisi Lang Lang Buana.
Penulis menggunakan penelitan yang bersifat penelitian di tempat (field work).
(Danandjaja, 2002:193). Teknik penelitian yang dilakukan penulis di dalam
pengumpulan data adalah tehnik wawancara dengan pewaris aktif (active bearer) dan
pewaris pasif (passive bearer) (Danandjaja, 2002:28) dari teater tradisi Lang Lang
Buana. Wawancara yang dilakukan bersifat wawancara yang terarah (directed) dan
yang tidak terarah (non directed). Para narasumber terdiri dari :
1. Pak Amar, umur 64 tahun, pekerjaan wiraswasta. Sekarang ini beliau tinggal di
desa Semempang, Ranai. Sejak berumur 8 tahun, beliau telah aktif sebagai pemain
teater tradisi Lang Lang Buana. beliau belajar dari Pak Sahir – murid dari Datok
Kaya Wan Mohammad Rasyid.
2. Pak Anwar, umur 60 tahun, pekerjaan wiraswasta. Beliau tinggal di desa
Setedong, kecamatan Tanjung Tmur Laut, Ranai. Beliau juga merupakan pemain
teater tradisi Lang Lang Buana yang diajarkan oleh ayah saudaranya – Pak Sahir.15
3. Pak Bujang Ahmad, 60 tahun, pekerjaan wiraswasta. Beliau tinggal di kota Ranai.
Dulunya beliau adalah seorang seniman dari berbagai jenis kesenian tradisi yang
ada di Natuna.
4. Wan Suhardi, umur 47 tahun, bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Departemen
Agama Kabupaten Natuna. Beliau adalah cucu dari Datok Kaya Wan Mohammad
Rasyid.
5. Hadisun, S.Ag, umur 38 tahun. Beliau adalah Kepala bidang Kebudayaan Dinas
Pemuda, Olah raga, Pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Natuna.
Sebenarnya ada dua cara penelitian lapangan yaitu teknik wawancara dan
pengamatan. Namun di dalam kasus ini, penulis tidak dapat melakukan teknik
pengamatan disebabkan karena tidak adanya lagi pementasan teater tradisi ini.
Kendala ini tidak menjadi halangan untuk mengumpulkan data yang rasional, empiris
dan sistematis. Selanjutnya. peneliti melakukan pengujian kebenaran data wawancara
dengan cara mengecek kepada informan lain berdasarkan pertanyaan yang sama.
Adapun alat bantuan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah tape recorder dan
handycam untuk pembuatan perekaman suara dan gambar hidup.
Penelitian ini dimulai dari bulan Agustus 2010 di kota Ranai, Kabupaten Natuna.
Pada bulan ini, penulis mencari informasi tentang para narasumber melalui Wan
Suhardi. Bulan September-November, penulis berada di Jakarta untuk mencari
referensi-referensi yang mendukung sebagai bahan tambahan di dalam penelitan
16
lapangan. Pada bulan Desember, penulis kembali lagi Kabupaten Natuna untuk
melakukan penelitian.
1.7 Rencana Isi
Penelitian ini akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pra bab dan bagian isi.
Bagian yang merupakan pra bab berisi halaman judul, halaman pengesahan, halaman
persembahan, abstrak, kata pengantar, dan daftar isi.
Bagian kedua adalah bagian isi yang dibagi di dalam empat bab. Bab 1 berisi tentang:
1. Latar belakang masalah, sub ini menjelaskan tentang mengapa topik penelitian
masih cukup relevan dan menarik untuk diteliti.
2. Masalah penelitian, mengangkat tentang pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut
penelitian ini.
3. Tujuan penelitian, merupakan titik tolak dari penulis untuk menetukan jawaban
dari hasil penelitian ini.
4. Manfaat Penelitian, merupakan penjabaran tentang manfaat yang bisa diperoleh
dari penelitian ini, baik itu manfaat teoritis maupun manfaat praktis.
5. Kerangka Konsep, berisi konsep yang digunakan penulis di dalam penelitian ini
dan referensi-referensi yang digunakan. Daftar referensinya didapat dari buku,
koran, majalah, makalah, blog internet, dan lain-lain.
6. Metode penelitian, menjelaskan metode yang digunakan dalam pengumpulan data-
data untuk penelitian ini.17
7. Rencana isi, berisi tentang sistematis penulisan skripsi ini.
Di dalam Bab 2 membahas mengenai Kabupaten Natuna dilihat dari latar belakang
kebudayannya dan eksistensi teater tradisi Lang Lang Buana di Kabupaten Natuna.
Bab 3 membahas mengenai teater tadisi Lang Lang Buana secara menyeluruh, baik
ditinjau dari bentuk pertunjukannya maupun unsur-unsur teater yang terdapat di
dalamnya. Pembahasan bab ini berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan
masyarakat pendukungnya dan para pelaku teater tradisi ini.
Bagian terakhir merupakan bab 4 yang berisi bagian penutup yang di dalamnya
terdapat kesimpulan akhir dari penelitian yang telah dilakukan dan saran-saran untuk
menghidupkan kembali teater tradisi Lang Lang Buana ini.
BAB 2
KEBERADAAN TEATER TRADISI LANG LANG BUANA DI KABUPATEN
NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU
2.1 Sekilas Tentang Kabupaten Natuna
Suatu jenis kesenian tradisi tentunya tidak bisa terlepas dari budaya masyarakat
pendukungnya. Untuk memahami teater tradisi Lang Lang Buana, ada baiknya
mengenal latar belakang daerah Kabupaten Natuna di mana teater tradisi ini tumbuh
18
dan berkembang. Selain itu, mengenal latar belakang budaya masyarakat
pendukungnya juga merupakan suatu hal yang penting untuk menggambarkan tentang
teater tradisi Lang Lang Buana ini.
2.1.1 Sejarah Terbentuknya Kabupaten Natuna
Sejarah Kabupaten Natuna tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kepulauan Riau,
karena sebelum berdiri sendiri sebagai daerah otonomi, Kabupaten Natuna
merupakan bagian dari Kabupaten Kepulauan Riau.
Berdasarkan Surat Keputusan Delegasi Republik Indonesia Provinsi Sumatera
Tengah tanggal 18 Mei 1956 menggabungkan diri ke dalam Wilayah Republik
Indonesia dan Kepulauan Riau yang diberi status Daerah Otonomi Tingkat II yang
dikepalai Bupati sebagai Kepala Daerah yang membawahi 4 Kewedanan sebagai
berikut :
• Kewedanan Tanjungpinang, meliputi Kecamatan Bintan Selatan, Bintan Timur,
Galang, Tanjungpinang Barat dan Tanjungpinang Timur.
• Kewedanan Karimun meliputi wilayah Kecamatan Lingga, Kundur dan Moro.
• Kewedanan Lingga meliputi wilayah Kecamatan Lingga, Singkep dan Senayang.
• Kewedanan Pulau Tujuh meliputi wilayah Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai,
Serasan, Tambelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur.
19
Kewedanan Pulau Tujuh yag membawahi Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai,
Serasan, Tambelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur beserta Kewedanan lainnya
dihapus berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau tanggal 9
Agustus 1964 No. Up/247/5/165. Berdasarkan ketetapan tersebut, terhitung tanggal 1
januari 1966 semua daerah administratif kewedanan dalam Kabupaten Kepulauan
Riau dihapus.
Tertulis dalam sejarah bahwa di Kabupaten Natuna yang dulunya bernama Pulau
Tujuh sebelum bergabung dalam Kepulauan Riau, telah memerintah beberapa orang
“Tokong Pulau” (istilah yang diberikan kepada Datok Kaya di wilayah Pulau Tujuh).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Tekong” memiliki persamaan arti
dengan Nakhoda, seorang yang memegang peranan dalam mengendalikan sebuah
kapal atau perahu layar. Di dalam pembicaraan sehari-hari, “Tokong” artinya tanah
busut yang menonjol ke permukaan laut atau tanah kukup atau batu karang yang
menonjol di permukaan laut yang sangat berbahaya untuk lalu lintas kapal yang
melewati area tersebut. Julukan Tokong Pulau yang diberikan kepada Datok Kaya di
Pulau Tujuh mengibaratkan seorang pemimpin yang mengendalikan pemerintahan di
wilayah terkecil yang waktu itu diberi hak oleh Sultan Riau sesuai ketentuan
“Yayasan Adat” yang sudah ada pada saat itu.
Silsilah dari keturunan Datok Kaya di wilayah Pulau Tujuh merupakan asal-usul
orang ternama di wilayahnya dengan memiliki adat yang telah diatur sejak dahulu.
Datok Kaya ynag dipilih ini memimpin wilayahnya dengan disetujui oleh penguasa
Belanda setelah mendapat restu dari Sultan Riau pada masa itu.20
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Ketua Adat Melayu Natuna, terdapat
beberapa gelar yang diberikan di dalam pembagian wilayah kekuasaan dari Datok
Kaya Pulau Tujuh. Pembagiannya sebagai berikut :
1. Wilayah Pulau Siantan, dipimpin oleh Pangeran Paku Negar dan Orang Kaya
Dewa Perkasa.
2. Wilayah Pulau Jemaja, dipimpin oleh Orang Kaya Maharaja Desa dan Orang Kaya
Lela Pahlawan.
3. Wilayah Pulau Bunguran, dipimpin oleh Orang Kaya Dana Mahkota dan dua
orang Penghulu serta satu orang Amar Diraja.
4. Wilayah Pulau Subi, dipimpin oleh Orang Kaya Indra Pahlawan dan Orang Kaya
Indra Mahkota.
5. Wilayah Pulau Serasan, dipimpin oleh Orang Kaya Raja Setia dan Orang Kaya
Setia Raja.
6. Wilayah Pulau Laut, dipimpin oleh Orang Kaya Tadbir Raja dan Penghulu Hamba
diraja.
7. Wilayah Pulau Tambelan, dipimpin oleh Petinggi dan Orang Kaya Maha Raja Lela
Setia.
21
Orang-orang kaya seperti yang disebutkan di atas merupakan penguasa yang
memerintah di wilayah Pulau Tujuh pada zaman dahulu. Mereka ini berkuasa di
masing-masing wilayah secara turun-temurun sampai pada akhir kekuasaannya.
Seiring dengan semangat otonomi daerah maka terbentuklah Kabupaten Natuna
berdasarkan Undang-undang No. 53 Tahun 1999 dari hasil pemekaran Kabupaten
Kepulauan Riau yang terdiri dari enam kecamatan yaitu Kecamatan Bunguran Timur,
Bunguran Barat, Midai, Serasan, Jemaja, Siantan dan ditambah Palmatak sebagai
kecamatan yang baru dimekarkan. Sehingga sekarang ini Kabupaten Natuna memiliki
7 kecamatan, sedangkan Tambelan masih berada di wilayah Kabupaten Kepulauan
Riau.
2.1.2 Keadaan Alam
Letak Kabupaten Natuna secara geografis sangatlah strategis karena berada di antara
jalur perdagangan internasional. Kabupaten Natuna merupakan wilayah yang
berbatasan langsung dengan beberapa negara tetangga :
Sebelah Utara : Vietnam dan Kamboja
Sebelah Timur : Malaysia Timur dan Kalimantan Barat
Sebelah Selatan : Kecamatan Tambelan Kepulauan Riau22
Sebelah Barat : Semenanjung Malaysia dan Pulau Bintan
Secara geografis letak Kabupaten Natuna berada di antara 2 Lintang Utara sampai
dengan 5 Lintang Utara dan 104 Bujur Timur sampai dengan 110 Bujur Timur.
Wilayah Kabupaten Natuna terdiri dari daratan dan perairan yang luas wilayahnya
mencapai 141.891,2 km. Luas daratannya hanya 3.235,2 km atau 2,28 % dari luas
wilayah secara keseluruhan dan terdiri dari 271 pulau besar dan kecil yang tersebar di
Lautan Cina Selatan.
Pulau-pulau yang ada di Kabupaten Natuna dapat dikelompokkan dalam tiga gugusan
pulau besar, antara lain :
1. Gugusan Pulau Anambas, terdiri dari Pulau-pulau Siantan dan Jemaja yang kaya
dengan sumber daya alam minyak bumi.
2. Gugusan Pulau Natuna, terdiri dari Pulau Sedanau, Bunguran, Midai dan Pulau
Laut.
3. Gugusan Pulau Serasan, terdiri dari Pulau Serasan, Subi Besar dan Subi Kecil.
2.1.3 Latar Belakang Budaya
Bentuk kebudayaan di Kabupaten Natuna secara umum merupakan kebudayaan
Melayu Kepulauan. Seiring berjalannya waktu dan terjadinya hubungan perdagangan
dengan bangsa lain, maka terjadi penetrasi kebudayaan yang berlangsung dengan
23
damai. Oleh sebab itu, kesenian di Kabupaten Natuna banyak dipengaruhi oleh
bangsa Arab dan negara-negara semenanjung seperti Siam (Thailand), Cina, Kamboja
dan Vietnam.
Menurut sejarahnya, penetrasi ini terjadi karena Natuna dari zaman Majapahit
merupakan daerah persinggahan para pedagang dan pelayar. Di sini terjadi sistem
barter barang bawaan para pedagang dan pelayar dengan makanan dan minuman dari
masyarakat setempat. Bukti ini bisa dilihat dari adanya peninggalan barang-barang
keramik dari Dinasti Tsung dan Dinasti Ming yang terdapat di Natuna. Penetrasi yang
terjadi dari bangsa Arab dan atau Islami dapat dilihat dari bentuk-bentuk kesenian
yang menggunakan alat-alat musik dari Arab dan syair-syair lagu yang bernuansa
Islami, seperti Berdah, Hadrah, Rebana, Kompang dan syair-syair lagu yang islami.
Namun pada tahap selanjutnya, kesenian seperti ini telah membaur dengan kesenian
Melayu sehingga disebut sebagai kesenian Melayu Kepulauan.
Melihat dari bentuk penetrasi yang terjadi antara Natuna dengan negara-negara lain
melalui sebuah hubungan perdagangan, maka secara garis besarnya penetrasi
kebudayaan yang terjadi di Natuna merupakan penetrasi damai (penetration
pasifique). Sementara itu, bentuk kesenian yang merupakan dampak dari penetrasi
kekerasan (penetration violante) sama sekali tidak terjadi di Kabupaten Natuna.
Bukti kongkrit dari penetrasi budaya yang terjadi dengan negara-negara semanjung
seperti Siam dapat dilihat dari kesenian teater tradisi Mendu. Sebenarnya terdapat
banyak versi tentang asal teater tradisi Mendu, ada yang mengatakan dari Kalimantan
24
Barat dan Malaysia. Namun fakta lapangan yang telah diteliti oleh Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Natuna menyebutkan bahwa teater tradisi Mendu berasal
dari Siam. Bukti yang menguatkan fakta ini adalah adanya hikayat cerita yang
mempunyai keterkaitan kisah dengan Negara Siam, seperti adanya kisah tentang
gajah putih yang merupakan simbol dari Negara Thailand (Siam).
Pada awalnya, Mendu tumbuh dan berkembang di daerah Pulau Laut yang secara
geografis merupakan perbatasan dengan Negara Thailand. Menurut informasi
masyarakat setempat, kisah Mendu diangkat memang bertujuan untuk lebih
mengeratkan hubungan peradaban Natuna dengan Siam, Vietnam dan Kamboja.
Hubungan ini terjadi jauh sebelum Natuna masuk ke wilayah Kerajaan Riau Lingga.
Bukti otentiknya terdapat pada buku sejarah yang ada di Negara Thailand.
a. Adat Istiadat
Latar belakang dari adat istiadat masyarakat Kabupaten Natuna merupakan perpaduan
antara budaya Melayu dengan budaya bangsa Arab dan negara-negara semenanjung
(Thailand, Vietnam, Kamboja, Cina). Hal ini disebabkan karena adanya hubungan
perdagangan yang terjadi antara Natuna dengan negara-negara tersebut. Hubungan
perdagangan ini telah terjadi cukup lama, bahkan sebelum Natuna masuk ke wilayah
Kerajaan Riau Lingga.
25
Suku bangsa di Natuna merupakan bangsa Melayu pada umumnya. Namun terjadi
pergeseran terhadap budaya Melayu itu sendiri. Masyarakat yang memiliki kehidupan
di daerah perairan atau pinggir pantai, lantas menyebut diri mereka dengan sebutan
masyarakat Melayu Kepulauan. Selanjutnya hal ini membuat perbedaan antara
masyarakat Melayu Daratan dengan masyarakat Melayu Kepulauan.
Sebagian besar masyarakat Melayu Kepulauan adalah masyarakat yang sangat
menjaga adat istiadatnya, terutama adat keislaman. Hal ini tercermin dalam bentuk
keseniannya yang senantiasa bertolak pada hal-hal yang bersifat religi. Tetapi di
dalam keadaan tertentu, hal-hal yang berbau mistik masih berlangsung karena
karakteristik masyarakatnya yang cenderung memakai naluri dan insting dari pada
pemikiran yang lebih rasional.
b. Agama
Pada umumnya, agama yang berkembang di Natuna adalah agama Islam yang dibawa
oleh para pedagang dari Arab. Penggambaran jelasnya dapat dilihat pada kesenian
tradisi yang ada di Natuna. Produk-produk seni tradisi yang lahir di Natuna banyak
dipengaruhi oleh perpaduan antara budaya asli daerah dengan kepentingan-
kepentingan dari penyebaran agama Islam.
Keidentikan budaya Melayu adalah peleburan budaya dan nilai norma agama Islam.
Hal ini bisa dilihat dari lahirnya beragam bentuk kreatifitas kesenian sebagai bagian
26
dari wujud kebudayaan Melayu Kepulauan. Sejak penyebaran Islam, peradaban yang
dikembangkan lebih pada apa yang diajarkan Islam. Komunikasi juga mengarah pada
kebenaran ajaran Islam.
Sebagai salah satu contoh penetrasi dari budaya Arab dan atau Islami adalah kesenian
tradisi Berdah. Pertunjukan Berdah ini biasanya dimainkan pada saat upacara
perkawinan masyarakat Natuna. Bentuk penyajiannya dengan menabuh gendang
berdiameter 40-60 centimeter, sambil melantunkan zikir-zikir pujian kepada Allah
SWT dengan harapan kedua mempelai yang mengarungi kehidupan baru mendapat
berkah dan lindungan dari Tuhan Yang Maha Esa. Berdah ini dilakukan setelah
upacara akad nikah dimulai, waktunya sekitar setelah sholat isya sampai waktu sholat
subuh. Berdah ini diakhiri dengan melakukan shalat subuh berjamaah.
c. Mata Pencaharian
Dilihat dari keadaan alam wilayah Natuna yang merupakan daerah kelautan, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa pada umumnya mata pencaharian masyarakatnya
adalah perikanan. Selain itu, daerah Natuna juga merupakan salah satu daerah
program transmigrasi yang telah berlangsung sejak pemerintahan Orde Baru. Dengan
berkembangnya Natuna sebagai kabupaten yang memiliki hasil migas terbesar di
Indonesia, maka mata pencaharian penduduknya juga berkembang.
27
Kabupaten Natuna diakui sebagai daerah penghasil migas sejak tahun 2002. Padahal
eksploitasi terhadap sumber daya alam berupa minyak dan gas di Natuna telah
berlangsung sejak tahun 1969. Sejak saat itu, daerah Natuna dipenuhi oleh berbagai
macam aktifitas ekonomi dengan banyaknya pendatang dari luar daerah Natuna. Para
pendatang ini berprofesi di berbagai bidang, seperti pedagang, pegawai negeri sipil,
dan lain-lain.
d. Bahasa
Berlandaskan bahwa budaya Melayu Kepulauan yang menjadi latar belakang
kebudayaan di Natuna, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu. Namun
bahasa Melayu yang ada di Natuna berbeda dengan bahasa Melayu pada umumnya.
Bahkan di setiap pulau yang ada di Natuna memiliki berbagai macam bahasa Melayu
yang berbeda-beda. Bahasa Melayu Ranai cukup jauh berbeda dengan bahasa Melayu
Midai, Serasan dan pulau-pulau lainnya. Contohnya, kata ‘tidak ada’ di Ranai
diucapkan dengan dengan kata ‘ndek de’, di Midai dengan kata ‘ndak isik’ dan di
Serasan dengan kata ‘naroh’. Begitulah sedikit contoh yang menyatakan bahwa
Natuna memiliki beragam sub-budaya yang mendukungnya.
28
2.1.4 Jenis-jenis Kesenian
Di Kabupaten Natuna terdapat beberapa jenis kesenian tradisi seperti Hadrah, Mendu,
Berdah, Kompang, Lang Lang Buana dan lain-lain. Secara garis besar, kesenian
tradisi yang cukup mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah Natuna adalah tari
dan musik tradisi yang telah dikreasikan. Hal ini bisa dilihat dari prestasi yang
diperoleh pada event-event tingkat nasional. Sanggar Tari Kabupaten Natuna pernah
mendapatkan Juara II Tingkat Provinsi dan selama dua tahun berturut-turut mendapat
peringkat III Nasional.
Sementara itu, seni pertunjukan yang berbentuk teater seperti Mendu dan Lang Lang
Buana masih sangat kurang diperhatikan oleh pemerintah Kabupaten Natuna. Hal
yang lebih memprihatinkan yaitu teater tradisi Lang Lang Buana terakhir melakukan
pementasan pada tahun 1989. Hal ini berarti teater tradisi ini telah cukup lama tidak
dipertunjukkan lagi. Sebenarnya teater tradisi ini dulunya pernah menjadi primadona
tontonan masyarakat Natuna pada sekitar tahun 1940-1980. Teater tradisi Lang Lang
Buana hanya ada di daerah Bunguran Timur (Ranai) dan hanya ada satu kelompok
yang menggelarkan pertunjukan teater tradisi ini. Hal ini berbeda dengan teater tradisi
Mendu yang penyebarannya lebih menyeluruh ke pulau-pulau lain seperti Pulau
Midai, Pulau Laut, Serasan dan Bunguran Barat. Selain itu, kelompok-kelompok dari
teater tradisi Mendu hampir ada di setiap kecamatan. Namun sekarang ini, secara
perlahan-lahan kelompok-kelompok dari teater tradisi ini juga terkena imbas dari
perkembangan zaman.
29
2.2 Sejarah dan Eksistensi Lang Lang Buana
2.2.1 Sejarah
Berdasarkan hasil wawancara dari beberapa pelaku teater tradisi ini yang menjelaskan
bahwa teater tradisi Lang Lang Buana diprakasai oleh Datok Kaya Wan Mohammad
Benteng. Pada waktu dulu, Datok Kaya ini adalah tokoh yang memimpin di daerah
Ranai. Sistem pemerintahan diatur oleh Datok Kaya yang memimpin wilayahnya
dengan disetujui oleh penguasa Belanda setelah mendapat restu dari Sultan Riau yang
memerintah pada masa itu.
Datok Kaya Wan Mohammad Benteng juga merupakan pemimpin dari kelompok
teater tradisi yang secara spontan diberi nama “Lang Lang Buana”, sesuai dengan
nama tokoh sentral yang ada di dalam lakon sekaligus judul dari lakon itu sendiri.
Secara terperinci, tidak ada yang mengetahui kapan tepatnya teater tradisi Lang Lang
Buana ini berdiri dan atas dasar apa pertunjukan ini dicetuskan. Sebagai garis
besarnya, sejarah teater tradisional di Indonesia dapat ditarik kesimpulannya dari
penjelasan A. Kasim Achmad di dalam bukunya “Mengenal Teater Tradisional di
Indonesia” :
Sejarah teater tradisional dimulai sejak sebelum jaman Hindu. Pada jaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual, hingga unsur teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. (Achmad, 2006:36)
30
Secara umum, pengembangan teater tradisional di Indonesia menuju ke bentuk
pementasannya yang bermain di atas panggung – seperti halnya dengan Lang Lang
Buana – dapat pula diambil kesimpulan bahwa kehidupan teater tradisional
berkembang dengan datangnya pengaruh budaya lain yang masuk ke Indonesia. hal
ini disebabkan karena Indonesia merupakan jalur persinggahan pelayaran dari negara
lain. Maka terjadinya pengadaptasian dengan budaya asli Indonesia. Teater
Bangsawan merupakan perintis menuju ke pertunjukan yang menggunakan
panggung. (Achmad,2006:29-34). Tetapi berdasarkan hasil wawancara dengan para
pemain kesenian ini, teater tradisi Lang Lang Buana sama sekali tidak memiliki
keterikatan langsung dengan teater Bangsawan. Menurut cerita sejarahnya, teater
tradisi Lang Lang Buana lebih dulu lahir dibandingkan dengan Teater Bangsawan.
Sejak kelahirannya, pementasannya memang dilakukan di atas panggung, meskipun
bentuk panggungnya belum berbentuk panggung yang layak untuk sebuah
pementasan. Teater Bangsawan mulai dikenal oleh masyarakat Natuna sekitar pada
tahun 1970.
Penggunaan panggung yang tidak menginjak tanah ini semata-mata karena syarat
pementasannya yang tidak membenarkan para pemainnya untuk menginjak tanah
selama pertunjukan berlangsung. Persyaratan ini sungguh sangat berbeda dari teater
tradisi Mendu yang sama-sama tumbuh dan berkembang di daerah Natuna. Untuk
lebih jelasnya tentang hal ini, Pak Amar mengatakan :
31
Cerita Lang Lang Buana tu tak boleh di tanah. Karena orang kayangan. Orang keindraan sana tidak dibenarkan untuk menginjak tanah di bumi ini. Tapi kalau Mendu yang ndak boleh di panggung, dia harus main di tanah4
Sejak wafatnya Datok Kaya Wan Mohammad Benteng, kepemimpinan teater ini
diteruskan kepada anaknya – Datok Kaya Wan Mohammad Rasyid yang berprofesi
sebagai seorang guru SR (Sekolah Rakyat). Pada saat itu, Di pulau Ranai hanya ada
satu sekolah yang berada di desa Tanjung. Jarak antara desa Tanjung dengan desa
Kelanga tidak begitu jauh. Di desa Kelanga inilah, Datok Kaya Wan Mohammad
Rasyid mulai mengajak dan melatih masyarakat setempat untuk terlibat di dalam
pementasan teater tradisi Lang Lang Buana.
Pada masa kepemimpinan Datok Kaya Wan Mohammad Rasyid, pertunjukan teater
tradisi Lang Lang Buana sangat digemari oleh masyarakat Ranai. Beliau juga yang
membuat catatan yang berisi tentang alur cerita Lang Lang Buana. Sekitar tahun
1946, kelompok teater tradisi ini telah melakukan pertunjukan berkeliling kampung.
Sebagai seorang Khalifah5, Datok Kaya Wan Mohammad Rasyid sekaligus
merangkap sebagai Syeh6.
4 Berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Amar. Pada tanggal 16 Desember 2010 di desa Semempang.
5 Orang yang dipercaya untuk memimpin kelompok teater tradisi Lang Lang Buana.
6 Ada dua pengertian ‘Syeh’. Pertama, orang yang mempunyai kekuatan gaib untuk melindungi pemain dari pengaruh jahat selama pertunjukan berlangsung. Kedua, sebutan untuk roh makhluk halus yang masuk ke dalam tubuh pemain selama pertunjukan berlangsung. 32
2.2.2 Eksistensi
a. Pebandingan Masa Dulu dan Sekarang
Teater tradisi Lang Lang Buana dulunya merupakan tontonan primadona masyarakat
Ranai. Hal ini disebabkan pada saat itu daerah ini belum memiliki media hiburan
praktis seperti televisi dan radio. Sehingga teater tradisi ini merupakan salah satu
alternatif hiburan, selain Mendu. Penggambaran kebutuhan hiburan seperti ini juga
dijelaskan oleh A. Kasim Achmad di dalam bukunya “Mengenal Teater Tradisional
di Indonesia :
Di jaman lampau, masih jarang atau bahkan belum ada hiburan masyarakat di pedesaan, belum ada film atau televisi. Untuk memenuhi kebutuhan bersantai, diperlukan adanya hiburan. Masyarakat di pedesaan yang umumnya berprofesi sebagai petani, berusaha mengadakan “pertunjukan” untuk menghibur kelompok mereka sendiri. (Achmad, 2006:91).
Pada masa itu, masyarakat beramai-ramai datang untuk menyaksikan pertunjukan
Lang Lang Buana. Walaupun perjalanannya harus ditempuh dengan berjalan kaki,
namun antusiasme penontonnya tidak berkurang. Pertunjukannya yang berlangsung
tujuh malam selalu dipadati oleh penonton.
Pementasan-pementasan yang dilakukan bukan hanya di sekitar pulau Ranai, tetapi
sampai ke pulau-pulau lainnya seperti Pulau Tiga, Kelarik, Sedanau, Midai dan
Serasan. Padahal jarak yang ditempuh harus menggunakan perahu kecil dan
membutuhkan waktu cukup lama. Para pelaku teater tradisi ini menggunakan dana
sendiri untuk memenuhi kebutuhan pementasan dan akomodasi selama perjalanan.
33
Setibanya di daerah tujuan, mereka melakukan pementasan secara sukarela tanpa
memungut bayaran.
Setelah Datok Kaya Wan Mohammad Rasyid wafat, kelanjutan dari teater tradisi ini
diteruskan oleh Pak Sahir yang merupakan salah satu murid dari Datok Kaya Wan
Mohammad Rasyid. Pewarisan kepemimpinan teater tradisi Lang lang Buana ini
tidak sangat mudah. Seorang Khalifah yang ditunjuk merupakan orang yang layak
untuk memimpin. Khalifah yang dipilih harus menguasai mantra yang diturunkan
secara rahasia oleh Khalifah sebelumnya. Pentingnya untuk menjaga mantra ini
dijelaskan oleh Pak Amar :
Kalau dulu, kalau lah disalin langsung diganti. Misalnya saya dah berhenti betul, itu siapa yang saya tengok yang layak untuk mengganti saya. Nah, di situ saya turunkan. Tak sembarang orang yang dikasih tu7
Cara pengajaran seperti ini juga dijelaskan oleh Putu Wijaya dalam bukunya ‘Teater
Spiritual’ :
Dalam teater tradisional Indonesia, istilah penyutradaraan sebenarnya tidak dikenal. Di dalam teater tersebut dikenal ‘pelatih’ yang sekaligus bertindak sebagai ‘guru’. Orang ini tidak hanya melatih keterampilan, tetapi juga seringkali membentuk kepribadian seniman. Praktek latihan dan proses berguru tidak dilakukan dengan cara duduk di dalam kelas dalam jadual-jadual yang pasti, tapi dalam bentuk magang atau nyantrik sekaligus menjadi asisten dan pembantu pribadi. (Wijaya, 1999:159)
7 Berdasarkan hasil dengan wawancara dengan Pak Amar. Pada tanggal 26 Desember 2010 di desa Kelanga. 34
Dampak dari cara pengajaran seperti ini, maka Khalifah penerus tentunya belajar
tentang semua unsur-unsur teater tradisi ini berdasarkan pengalamannya selama
menjadi pemain.
Pada jaman kepemimpinan Pak Sahir, kaum perempuan masih belum boleh bermain
di dalam teater tradisi ini. Sehingga peran tokoh wanita yang ada di dalam lakon Lang
Lang Buana, seluruhnya dimainkan oleh laki-laki. Pertunjukannya masih berlangsung
selama tujuh malam berturut-turut, namun pernah juga dimainkan selama tiga malam
berturut-turut. Untuk acara perkawinan, biasanya teater tradisi ini dipentaskan selama
tiga malam. Pementasannya bertujuan untuk memeriahkan suasana sebelum hari
perkawinan berlangsung. Sementara itu, pementasan untuk acara perayaan
berlangsung selama tujuh malam. Selama itu pula para pemain hanya mendapatkan
bayaran berupa makan dan minum di rumah orang yang melangsungkan perkawinan.
Hal ini wajar terjadi karena pada dasarnya teater tradisi di Indonesia – khususnya di
pedesaan – melakukan pementasan bukan bertujuan untuk menghasilkan uang. Di
dalam bukunya “Mengenal Teater Tradisional di Indonesia”, A. Kasim Achmad
menjelaskan :
Sifat kegotongroyongan dalam masyarakat terasa sangat menonjol. Dalam menyiapkan pertunjukan teater rakyat, semua dilakukan dengan saling membantu. Pembiayaan untuk keperluan pertunjukan ditanggung oleh yang ingin mengadakan pertunjukan, yaitu orang yang punya hajat, orang terpandang yang mampu untuk membiayainya. (Achmad, 2006:85).
Cerita yang dimainkan masih tetap berpegang pada catatan yang ditulis oleh Datok
Kaya Wan Mohammad Rasyid. Hampir tidak ada perubahan pada jalan cerita 35
dan tata cara pementasannya. Masyarakat di Ranai sangat memegang teguh
keyakinan yang diturunkan oleh para leluhurnya. Dengan kata lain, teater tradisi
adalah teater dalam suatu masyarakat yang diwariskan secara turun temurun oleh
nenek moyang pada suatu etnik tertentu dan memiliki pakem yang selalu dianut oleh
seniman di lingkungan etnik tersebut.
Setelah Pak Sahir wafat, teater tradisi ini dilanjutkan oleh para muridnya – Pak Amar,
Pak Anwar, Pak Bujang Isa, Pak Darmawan dan Pak Hasyim. Mereka inilah yang
terus tetap mencoba untuk menjaga kelestarian warisan leluhur ini.
Pada tahap selanjutnya, telah terjadi sedikit perubahan pada bentuk penyajian
pementasan teater tradisi Lang Lang Buana. Setelah Pak Sahir wafat, kaum
perempuan telah boleh ikut bermain di dalam pertunjukan Lang Lang Buana dan
waktu pementasannya telah dipersingkat. Pertunjukan untuk acara perkawinan hanya
berlangsung selama satu malam saja. Sementara itu, durasi pertunjukan untuk acara
perayaan telah disingkat menjadi tiga malam.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Teater Tradisi Lang
Lang Buana
Perubahan pola pandang masyarakat untuk memenuhi kebutuhan terhadap hiburan
terjadi setelah adanya alternatif hiburan seperti radio dan televisi. Masyarakat lebih
suka berdiam diri di rumah sambil mendengarkan radio atau pun menonton televisi.
Namun hal ini bukan menjadi penyebab teater tradisi Lang Lang Buana tidak 36
lagi melakukan pementasan selama 22 tahun. Sebenarnya minat masyarakat Natuna
terhadap teater tradisi ini masih cukup besar. Kesimpulan ini dapat diambil dari
pernyataan yang diucapkan oleh Pak Anwar:
Kalau masyarakat di Natuna, di Ranai ni, rasa-rasa kalau kami buka cerite
Lang Lang Buana, siape yang dengar mungkin berkunjung ke tempat kami main tok.8
Kendala yang paling utama adalah tidak adanya regenerasi pemain. Hal ini
disebabkan oleh berkurangnya minat dari generasi sebelumnya untuk kembali
bermain di dalam teater tradisi Lang Lang Buana. Hal ini diungkapkan oleh Pak
Amar yang mengatakan:
Jadi, kalau sekarang ni kadang-kadang mereka tu ndak mau. Dari pemain-pemainnya tu tak mau lagi diajak untuk main. Dia lebih senang nonton tipi. Gengsi, kuno, katanya. Kadang-kadang kita sebagai untuk mimpin ini, untuk mengajak mereka bermain kadang-kadang jadi sakit hati.9
Kendala perkembangan seperti ini memang biasa terjadi pada hampir semua kesenian
tradisi di Indonesia. Regenarasi pemain merupakan faktor penting yang
mempengaruhi perkembangan suatu kesenian tradisi. Sebenarnya ada tiga tonggak
penyangga yang membuat suatu kesenian tradisi itu akan selalu ada. Pertama,
regenerasi pemain. Kedua, apresiasi masyarakat pendukungnya. Ketiga, peran serta
8 Berdasarkaan hasil wawancara dengan Pak Anwar. Pada tanggal 15 Desember 2010 di desa Setedong.
9 Berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Amar. Pada tanggal 16 Desember 2010 di desa Kelanga.37
pemerintah di dalam menjaga kelangsungan suatu kesenian tradisi. Ketiga faktor ini
saling berkaitan. 10
Faktor ketiga yaitu peran serta pemerintah - khususnya pemerintah daerah Natuna –
di dalam menjaga kelestarian teater tradisi ini dirasakan masih sangat kurang. Mereka
lebih memfokuskan pengembangan pada kesenian tradisi tari dan musik yang telah
dikreasikan. Sementara itu, kesenian tradisi yang berbentuk teater seperti Mendu dan
Lang Lang Buana memang sangat kurang diperhatikan. Bahkan Kepala Bidang
Kebudayaan Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan KabupatenNatuna
– Bapak Hadisun, S.Ag – juga mengakuinya :
Dan memang secara keseluruhan, Lang Lang Buana ini sampai sekarang tidak terorganisasi. Nah, itu seperti yang saya katakan tadi, ini mungkin masukan buat kita coba sedapat mungkin Lang Lang Buana ini hidup lagi.11
10 Penulis mendapatkan pengertian ini saat mengikuti mata kuliah Apresiasi Seni I pada tahun ajaran 2009/2010. Dosen Drs. H. S. Taryanto.
11 Berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Hadisun, S.Ag. pada tanggal 20 Desember 2010 di kompleks kantor Bupati Natuna – Bukit Arai. 38
BAB 3
BENTUK DAN UNSUR-UNSUR
TEATER TRADISI LANG LANG BUANA
3.1 Bentuk Pertunjukan
Pada umumnya bentuk penyajian teater tradisi di Indonesia didasarkan pada
kebiasaan bermain yang mentradisi dengan mengikuti pakem yang sudah digariskan
oleh generasi sebelumnya. Para pelaku teater tradisi Lang Lang Buana memang
secara turun-temurun sangat memegang teguh prinsip-prinsip dasar pementasan yang
diturunkan oleh guru mereka.
Di dalam menyampaikan ceritanya, teater tradisi Lang Lang Buana menggunakan
multi media ekspresi terpadu (Integrated multy media expression)12, di mana di
dalamnya terdapat berbagai unsur yang menyatu. Teater tradisi Lang Lang Buana
12 Diktat dari mata kuliah Teater Asia untuk semester III pada tahun ajaran 2009/2010. Pengertian ini tercantum dalam Bab I tentang Mengenal Timur dan Barat. Dosen A. Kasim Achmad.
39
menggabungkan unsur-unsur ritual, lakon, tari, nyanyian dan musik yang menjadi
satu kesatuan di dalam pementasannya.
Lakon yang dibawakan oleh teater tradisi Lang Lang Buana berisi cerita petualangan
seorang pemuda untuk mewujudkan mimpinya memperistri seorang tuan puteri di
kayangan. Gaya penyajian ceritanya bisa dikatakan merupakan penggabungan dari
tragedi dan komedi. Sebenarnya di dalam pementasan teater tradisi belum mengenal
istilah gaya permainan tragedi maupun komedi. Mereka bermain lebih banyak dengan
menggunakan gaya lawakan13 yang merupakan gaya permainan yang hampir
dilakukan dalam setiap pertunjukan teater tradisional di Indonesia. Bahkan porsi
lawakan ini sering berlebihan dan selalu mengikuti keinginan penonton. Biasanya
terdapat beberapa tokoh yang berperan untuk menghidupi suasana lawakan ini di
dalam pertunjukannya. Semakin banyak penonton yang tertawa, maka semakin
bertambah pula lawakan yang disuguhkan oleh di dalam pementasannya.
3.1.1 Alur Cerita
Cerita petualangan seorang pemuda untuk memperistri seorang tuan puteri di
kayangan yang ada dalam lakon Lang Lang Buana ini pernah dibuat catatan yang
ditulis oleh Datok Kaya Wan Mohammad Rasyid. Catatan tersebut berisi tentang
garis besar dari lakon yang dipentaskan. Lakon ini dulunya dipentaskan selama tujuh
malam berturut-turut.
13 Gaya lawakan yang disebut farce (banyolan) adalah gaya permainan komedi yang berlebihan, kasar dan banyak menggunakan kelucuan yang mengutamakan gerak lahiriah. 40
Setelah beliau wafat, catatan itu diturunkan kepada muridnya – Pak Sahir. Sejak
teater tradisi ini tidak pernah dipentaskan lagi, catatan ini disimpan oleh Pak Wan
Suhardi yang merupakan cucu dari Datok Kaya Wan Mohammad Rasyid.
Sekitar belasan tahun yang lalu, Pak Wan Suhardi dan temannya – Pak Baharudin –
telah berencana untuk mementaskan kembali teater tradisi ini. Disebabkan oleh
beberapa kendala, pementasan itu batal terlaksana. Sejak saat itu, catatan tersebut
disimpan oleh Pak Baharudin.
Dari hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa catatan itu telah hilang. Saat
ditanyakan keberadaannya pada Pak Baharudin, dengan jujur dia berkata bahwa
catatan itu sudah tidak ada lagi.
Secara garis besarnya, kisah ini menceritakan tentang perjalanan seorang pemuda
bernama Indra Bumaya dalam mewujudkan mimpinya untuk memperistri seorang
puteri yang bernama Tuan Puteri Kesuma Dewi. Keteguhan niatnya ini muncul
setelah seorang Peri dari kayangan menyisipkan gambar wajah tuan puteri itu di
dalam mimpinya. Adapun niat dari Peri ini adalah untuk membalas kekesalannya
pada seorang raja tertua di keindraan/kayangan. Sehabis bangun dari mimpinya, ia
bertekad untuk mencari tuan puteri yang ada di dalam mimpinya tadi. Tuan puteri ini
merupakan anak dari salah satu raja di kayangan – Raja Puspa Indra.
Awalnya Indra Bumaya ini dulunya merupakan seorang pemuda keturunan raja di
kayangan. Di masa mudanya, ia telah berbuat suatu tingkah/ulah yang kurang
menyenangkan bagi Raja Lang Lang Buana sebagai penguasa tertinggi di kayangan.
41
Maka pemuda ini dikutuk oleh Raja Lang Lang Buana dengan menjatuhkannya ke
bumi. Sesampainya di bumi, ia dilahirkan sebagai manusia yang baru.
Selama perjalanannya, Indra Bumaya mendapatkan petunjuk-petunjuk yang diberikan
oleh Peri. Perjalanan ini melewati tujuh kerajaan yang berisi berbagai rintangan dan
halangan. Setiap ia tiba di sebuah kerajaan, maka ia akan berguru dengan raja dari
kerajaan tersebut. Setelah berguru dan diangkat menjadi anak oleh raja, maka ia akan
diberikan bekal untuk bisa meneruskan perjalanannya. Bekalnya itu berupa ilmu
kesaktian maupun sebuah alat gaib yang sewaktu-waktu akan berguna di dalam
perjalanannya. Selain itu, ia juga akan mendapatkan petunjuk selanjutnya yang harus
dilewati untuk bisa sampai ke kayangan.
Penyusunan alur cerita ini berdasarkan hasil wawancara dengan para pelaku teater
tradisi ini. Kendala keterbatasan data dan ditambah dengan faktor ingatan dari para
narasumber yang telah berumur rata-rata 60 tahun ke atas, maka cerita Lang Lang
Buana yang sebenarnya dimainkan selama tujuh malam berturut-turut ini tidak bisa
diceritakan secara mendetail. Namun, penyusunan alur cerita ini dirasakan sudah
cukup memadai untuk bisa dipentaskan kembali sebagai sebuah langkah awal di
dalam upaya merekontruksi teater tradisi ini sesuai dengan tuntunan zaman.
Pemilahan-pemilahan alur cerita ini juga dirasakan cukup sesuai dengan perencanaan
pementasan yang hanya berlangsung selama satu malam.
42
Untuk pengumpulan data dari alur cerita Lang Lang Buana, penulis lebih menitik-
beratkan pada kejadian-kejadian yang dianggap tidak akan mengurangi bahkan
merubah dari bangunan dramatik yang terdapat di dalam lakon Lang Lang Buana.
Berikut ini adalah alur cerita yang dapat disimpulkan oleh penulis berdasarkan hasil
wawancara dengan beberapa narasumber:
1. Suasana di salah satu kerajaan di keindraan/kayangan. Seorang raja bersabda-peri
kepada para pegawainya. Ia menanyakan tentang perihal apa yang sedang terjadi
di keindraan ini. Seorang menteri menjelaskan bahwa telah terjadi kekacauan
disebabkan oleh seorang Peri. Alasan Peri ini membuat kekacauan karena
anaknya telah diambil begitu saja oleh Raja Puspa Indra menjadi Inang kerajaan
tanpa bermusyawarah terlebih dahulu dengannya.
2. Setelah membuat kekacauan di kayangan, Peri ini turun ke bumi. Ia bermaksud
ingin membalas dendam terhadap perbuatan Raja Puspa Indra yang semena-
mena. Adapun caranya yaitu ia memasukkan secara gaib ‘sebuah foto’ seorang
tuan puteri yang cantik jelita di dalam mimpi seorang pemuda yang bernama
Indra Bumaya. Tuan puteri yang ada di dalam mimpi Indra Bumaya adalah anak
dari Raja Puspa Indra. dengan cara ini, diharapkan nantinya Raja Puspa Indra
akan mendapatkan malu karena mempunyai menantu ‘orang bumi’ dan bukan
dari keturunan raja kayangan.
3. Setelah bangun dari tidurnya, Indra Bumaya langsung tergila-gila pada tuan
puteri yang hadir di dalam mimpinya. Tanpa berpikir lagi, ia memutuskan
43
niatnya untuk bisa bertemu dengan tuan puteri tersebut dan mempersuntingnya
untuk dijadikan istri.
4. Di dalam pengembaraan untuk mewujudkan mimpinya tadi, Indra Bumaya
bertemu dengan Peri. Setelah berbincang menanyai maksud dan tujuan
pengembaraan dari Indra Bumaya, Peri memberi petunjuk bahwa sesungguhnya
tuan puteri yang dicari itu berada di kayangan. Untuk bisa naik ke kayangan, Peri
memberi petunjuk kepada Indra Bumaya agar dia menemui Raja Lang Lang
Buana.
5. Kerajaan pertama yang ditemuinya adalah sebuah kerajaan yang diperintah oleh
Raja Marak Emas. Kerajaan ini berada di tengah-tengah lautan berapi. Meskipun
pada awalnya terjadi sedikit perselisihan, namun akhirnya Raja Marak Emas
mengangkat Indra Bumaya sebagai anaknya. Raja Marak Emas sangat
menyayanginya sehingga meminta Indra Bumaya untuk tetap tinggal di kerajaan
ini dan bersedia untuk menjadi pewaris tahta kerajaan ini. Tetapi niat Indra
Bumaya telah bulat, ia harus menemui tuan puteri yang ada di dalam mimpinya.
Raja Marak Emas pun merelakan anak angkat kesayangannya melanjutkan
kembali perjalanannya dengan terlebih dahulu membekalinya dengan berbagai
ilmu kesaktian. Berangkatlah Indra Bumaya mengikuti arah kaki menuntunnya.
6. Setelah mengembara sekian lama, sampailah dia di suatu kerajaan yang dihuni
oleh bangsa Jin. Kerajaan ini berada di atas gunung yang berbatu dan dipimpin
oleh seorang raja yang bernama Raja Jin Firma Logam. Di tempat ini, Indra
Bumaya harus mengambil suatu alat yang bernama ‘Jabul Hikmat’. Alat ini
berguna sebagai penunjuk arah untuk menemukan tangga naik ke 44
kayangan. Raja Jin Firma Logam menantang Indra Bumaya jika ia ingin
mendapatkan alat tersebut. Ternyata Raja Jin Firma Logam sebenarnya hanya
ingin menguji kegigihan Indra Bumaya dalam mewujudkan mimpinya. Setelah
itu, Raja Jin Firma Logam membiarkan Indra Bumaya melanjutkan
perjalanannya.
7. Perjalanan Indra Bumaya selanjutnya melewati suatu hutan belantara. Di sini ia
bertemu dengan para hantu penghuni hutan itu. Terjadi pertengkaran yang kocak
antara Indra Bumaya dengan para hantu penghuni hutan tersebut. Akhirnya
datang Peri yang menyudahi pertengkaran konyol itu. Selanjutnya, Peri memberi
petunjuk agar Indra Bumaya pergi menemui Raja Jin Firma Gangga di tasik
‘Janang Lera’.
8. Setibanya di tasik ‘Janang Lera’, dia tidak menemui satu orang pun di sekitar
daerah itu. Maka dia bertapa sambil berhanyut di atas sehelai daun teratai. Di
dalam pertapaannya itu, Raja Firma Gangga datang memberi ilmu kesaktiannya
sebagai tambahan bekal perjalanannya menuju ke kayangan.
9. Pengembaraan Indra Bumaya berlanjut melewati sebuah padang ‘antah
berantah’. Dari kejauhan ia melihat seorang puteri yang sedang duduk seorang
diri. Puteri itu terlihat terkejut ketika Indra Bumaya datang menghampirinya.
Setelah terjadi pembicaraan antara keduanya, puteri yang bernama Cendra Lela
Nurlela ini memohon agar Indra Bumaya mau mengangkat dia sebagai saudara.
Indra Bumaya menyetujuinya. Duduklah mereka berdua di tengah-tengah padang
‘antah berantah’.
45
10. Disaat mereka sedang asyik bercengkrama, tiba-tiba datang seorang pemuda
yang bernama Johan Safri. Ternyata pemuda ini adalah tunangan dari puteri
Cendra Lela Nurlela. Dia pergi ke padang itu dengan maksud ingin berburu dan
sekaligus ingin menemui tunangannya. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat
tunangannya sedang duduk bercengkrama dengan seorang pemuda yang tidak
dikenalinya. Tanpa bertanya terlebih dahulu, Johan Safri langsung menyerang
Indra Bumaya. Terjadilah pertempuran yang sangat sengit di padang itu
dikarenakan mereka berdua memiliki kesaktian ilmu yang sama-sama kuat.
11. Pertempuran yang begitu dahsyat ini membuat daerah itu goncang. Berita
pertempuran itu terdengar sampai ke kayangan. Raja Lang Lang Buana yang
merupakan raja tertinggi di seluruh kayangan akhirnya turun ke bumi untuk
meleraikan mereka berdua. Setelah diceritakan perkara yang sebenarnya, Johan
Safri meminta maaf kepada Indra Bumaya karena ia telah salah paham. Untuk
menembus kesalahannya, Johan Safri berjanji bersedia menemani Indra Bumaya
mewujudkan mimpinya bertemu dengan Tuan Puteri Kesuma Dewi. Indra
Bumaya pun mengangkat Johan Safri sebagai saudaranya.
12. Sampailah Indra Bumaya dan Johan Safri di puncak gunung berapi. Di tempat ini
terdapat suatu kerajaan yang bernama Kerajaan Dewa Sakti. Kerajaan ini
dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raja Indra Sakti. Sebelum bertemu
dengan Raja Indra Sakti, Indra Bumaya dan Johan Safri mendapatkan rintangan
dari Jin penghuni gunung berapi. Namun rintangan ini dapat diatasinya.
13. Setelah bertemu dengan Raja Indra Sakti, ia menceritakan maksud dan tujuannya
agar bisa naik ke kayangan dan bertemu dengan tuan puteri yang ada di 46
dalam mimpinya. Melihat ketulusan dan keseriusan pemuda ini, Raja Indra Sakti
mengangkat Indra Bumaya menjadi anak angkatnya. Dia mengajarkan pada Indra
Bumaya berbagai ilmu kesaktian sebagai bekal selama perjalanan dan memberi
sebuah alat gaib yang bernama ‘Baqdi Zarah’. Alat ini nantinya akan berfungsi
sebagai tangga untuk bisa naik ke kayangan.
14. Sebelum meninggalkan Kerajaan Dewa Sakti, Indra Bumaya dibelah dadanya.
Pembedahan ini bertujuan untuk membersihkan tubuh dan jiwanya dari darah
kotor yang telah ada sejak ia tinggal di bumi. Tanpa pembedahan ini, mustahil ia
akan bisa naik ke kayangan. Untuk bisa naik ke kayangan, tubuh dan jiwa harus
bersih dari segala kotoran yang ada di bumi.
15. Dengan berbekal ilmu dan alat yang diberi oleh para raja selama perjalanannya,
maka berangkatlah Indra Bumaya dan Johan Safri menuju ke suatu padang yang
ditunjuk oleh ‘Jabul Hikmat’ tadi. Di padang ini, Indra Bumaya melempar
‘Baqdi Zarah’ tadi dan seketika muncullah tangga naik menuju ke kayangan.
16. Segera setelah sampai di kayangan, mereka mencari tahu keberadaan Tuan Puteri
Kesuma Dewi dan cara agar bisa bertemu lagsung dengannya. Tuan Puteri
Kesuma Dewi telah diasingkan oleh ayahndanya – Raja Puspa Indra – di sebuah
Mahligai yang berada di atas ketinggian. Ternyata pada saat itu, tuan puteri telah
ditunangkan dengan seorang anak raja di kayangan. Untuk mengelabui dari
ketatnya penjagaan para pengawal di dalam dan di luar Mahligai, maka mereka
memutuskan menggunakan ilmu kesaktian untuk bisa berubah wujud. Indra
Bumya berubah menjadi seorang anak kecil dan Johan Safri berubah menjadi
seorang nenek tua.47
17. Setelah berubah wujud, mereka menari di dalam taman bunga yang berada tidak
jauh dari Mahligai. Kemahiran mereka menari membuat heboh orang-orang yang
sedang berada di situ. Tidak membutuhkan waktu yang lama, orang-orang
semakin ramai berkumpul di taman bunga itu untuk menyaksikan kebolehan
seorang nenek tua dan cucunya menari.
18. Kehebohan yang terjadi di taman bunga itu juga diketahui oleh inang-inang.
Inang pengasuh langsung melaporkan perihal itu kepada Tuan Puteri Kesuma
Dewi. Mendengar kabar itu, tuan puteri memerintahkan para pengawal
menjemput nenek tua itu dan cucunya naik ke Mahligai untuk menghibur dirinya.
19. Sesampainya di atas Mahligai, cucu dari nenek tua ini membuat ulah. Ia
bertingkah tidak mau menari. Bila cucunya tidak mau menari, maka nenek tua itu
pun tidak mau menari. Nenek tua ini menjelaskan kepada tuan puteri mengapa
alasan cucunya tidak mau menari. Cucunya itu minta digendong. Tuan puteri
menyuruh inang pengasuh untuk menggendong anak kecil itu, namun anak kecil
itu menolaknya. Mau tidak mau, akhirnya tuan puteri sendiri yang menghampiri
anak kecil itu untuk digendong. Setelah digendong oleh tuan puteri, nenek tua itu
pun menari.
20. Alangkah kagetnya Tuan Puteri Kesuma Dewi ketika menyadari perubahan
wujud yang terjadi pada anak kecil yang digendongnya. Sekarang ini
dihadapannya berdiri seorang pemuda yang gagah dan tampan. Seorang pemuda
yang selama ini selalu hadir di dalam mimpinya. Kedua sejoli ini pun langsung
jatuh cinta. Suasana di dalam Mahligai pada saat itu penuh dengan kegembiraan.
Inang-inang pun turut menari bersama dengan nenek tua tadi.48
21. Tiba-tiba tunangan Tuan Puteri Kesuma Dewi datang. Melihat tunangannya
sedang duduk bermesraan dengan seorang pemuda, maka kemurkaan pun tidak
dapat dielakkan. Terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat di dalam Mahligai
itu. Pertempuran ini terasa tidak seimbang, kekuatan ilmu yang dimiliki Indra
Bumaya sungguh sangat menyulitkan bagi tunangan tuan puteri ini.
22. Di dalam keadaan yang hampir terdesak, datanglah Raja Puspa Indra untuk
membantu calon menantunya. Pertempuran yang terjadi pun semakin bertambah
dahsyat.
23. Raja Lang Lang Buana yang merupakan raja tertinggi di kayangan ini datang
meleraikan pertempuran itu. Setelah pertempuran ini dapat dihentikan, Raja Lang
Lang Buana memerintahkan agar mereka berdamai. Namun, tunangan tuan puteri
ini tidak mau berdamai. Ia masih berniat untuk melanjutkan pertempuran ini.
Penolakan ini membuat Raja Lang Lang Buana marah besar. Dia langsung
mengutuk tunangan tuan puteri itu. Kutukan yang pertama, dia dilemparkan ke
bumi. Kedua, dia diptuskan hubungan pertunangannya dengan Tuan Puteri
Kesuma Dewi.
24. Selanjutnya, Raja Lang Lang Buana merestui pertunangan antara Indra Bumaya
dan Tuan Puteri Kesuma Dewi. Akhirnya, mereka menemukan pasangan jiwa
masing-masing yang selama ini hanya ada di dalam mimpi. Mereka pun hidup
bahagia di kayangan.
49
3.1.1 Tata Cara Pementasan
Seperti yang telah disebutkan di sub bab 2 sebelumnya bahwa para pelaku teater
tradisi Lang Lang Buana sangat memegang teguh terhadap tata cara pementasan yang
telah diyakininya dari sejak dulu. Selama ini belum ada perubahan yang signifikan
pada tata cara pementasan teater tradisi Lang Lang Buana.
Syarat pementasan yang tidak bisa dirubah dari teater tradisi Lang Lang Buana adalah
pertunjukannya harus dilakukan di atas panggung. hal ini semata-mata disebabkan
karena para pemainnya tidak boleh menginjak tanah selama pertunjukan berlangsung.
Kalau pemainnya mnginjak tanah, maka akan terjadi suatu malapetaka yang
mengakibatkan pertunjukan ini tidak bisa dipentaskan. Menurut penjelasan para
pelaku teater tradisi ini, tubuh mereka dimasuki roh dewa-dewa dari kayangan selama
pertunjukan berlangsung. Dewa-dewa dari kayangan ini tidak dibenarkan untuk
menginjakkan kakinya di bumi. Bahkan bila ada pemain yang ingin buang air kecil, ia
sebelumnya harus meminta izin kepada Khalifah. Bila hal ini dilanggar, maka pemain
yang bersangkutan akan mendapatkan berbagai halangan seperti sakit perut, kepala
pusing dan sebagainya. Secara logika, hal ini sungguh tidak masuk akal. Namun
penuturan dari narasumber sangat menitik-beratkan pada persyaratan ini.
Sebelum pertunjukan dilangsungkan, pertama-tama sekali harus dilakuan ritual untuk
memanggil syeh dari kayangan agar bisa masuk ke tubuh para pemain dan agar
pertunjukan ini diberkati sehingga tidak ada halangan selama pertunjukan
berlangsung. Ritual ini dimulai dengan mengumpulkan seluruh pemain di atas
50
panggung. Kemudian seorang Khalifah membawa semangkuk beras kuning dan
sepucuk mayang pinang, lalu ia membaca sebuah mantra dengan lirih. Setelah selesai
membaca mantra, beras kuning ditaburkan di sekeliling panggung. Mayang pinang
tadi dibuka dan isinya langsung diguncangkan kepada seluruh pemain. Setelah itu,
para pemain kembali ke belakang panggung untuk menanti mulainya pertunjukan.
Setelah penonton berkumpul, pertunjukan pun dimulai. Pertama-tama, seluruh
pemain kembali lagi ke atas panggung. Mereka memasuki panggung dengan menari
tarian inai. Setelah semuanya berdiri sejajar, satu-persatu pemain memperkenalkan
tokoh yang dimainkannya kepada penonton. Setelah tahap ini selesai, para pemain
kembali lagi ke belakang panggung. Hanya pemain yang ada di adegan pertama saja
yang tetap tinggal di atas panggung.
Selanjutnya pertunjukan pun berlangsung dari adegan per adegan, babak per babak.
Biasanya di dalam satu malam, pertunjukan berlangsung selama 4 jam. Dimulai dari
setelah sholat Isya hingga menuju waktu tengah malam. Namun pertunjukan bisa saja
terus berlangsung hingga melewati waktu tengah malam. Hal ini disebabkan karena
dialog yang diucapkan oleh para pemain selalu merupakan improvisasi dan terus
berkembang sesuai dengan respon dari penonton. Malam berikutnya, tata cara yang
sama kembali dilakukan. Begitulah seterusnya sampai pada malam yang ketujuh.
Tata cara ini tidak mengalami perubahan, meskipun pada perkembangan teater tradisi
Lang Lang Buana telah terjadi peringkasan waktu pertunjukannya yang hanya
berlangsung selama 3 malam.
51
3.1.3 Peruntukan Pertunjukan
Mengutip keterangan dari sebuah buku yang berjudul “Mengenal Teater Tradisional
di Indonesia”, A. Kasim Achmad mengutarakan:
Teater tradisional sering dipakai untuk keperluan media pengemban kekuatan magis dan gaib, sering pula berfungsi sebagai media penghubung dengan alam gaib. Kesenian pada jaman itu bukan semata-mata sebagai perwujudan dari dorongan untuk mengungkapkan rasa keindahan yang bergejolak dalam jiwa seorang seniman, tetapi diutamakan sebagai hiburan dan media pelengkap untuk keperluan yang bersifat seremonial dalam adat-istiadat dan keagamaan. (Achmad, 2006:103)
Pengutaraan dari peruntukan di atas memang lebih menitik-beratkan pada proses
lahirnya teater tradisional di Indonesia pada umumnya. Untuk teater tradisi Lang
Lang Buana sendiri, peruntukan pertunjukannya mungkin saja disebabkan oleh
keperluan seremonial seperti yang dijelaskan di atas.
Menurut cerita masyarakat setempat, di daerah Ranai ini terdapat pemukiman dari
sejenis makhluk halus yang tinggal di atas gunung Bedong. Perihal tentang makhluk
halus ini bukanlah lagi menjadi mitos. Hampir semua masyarakat di Kabupaten
Natuna mengetahui hal ini, bahkan di antara beberapa dari mereka sudah pernah
mengalami kejadian bertemu dengan makhluk halus ini. Tetapi hanya orang-orang
terpilih yang bisa mengalami kejadian seperti itu. Bahkan ada juga masyarakat
setempat yang kawin dengan makhluk halus ini. Masyarakat setempat menyebut jenis
makhluk halus ini dengan istilah ‘Orang Bunian’. Mereka ini hidup seperti layaknya
kehidupan manusia. Mereka memiliki pasar, rumah, menikah, melahirkan dan lain-
52
lain sebagainya. Ciri khas dari Orang Bunian ini adalah pakaiannya yang selalu
menggunakan baju berwarna hijau.
Hubungan baik yang terjadi antara masyarakat di daerah Ranai dengan Orang Bunian
ini telah berlangsung lama sejak zaman dahulu. Mereka sering membantu bilamana
memang dipanggil oleh penguasa daerah Ranai – Datok Kaya - pada zaman dulu.
Melihat fenomena ini, rasanya tidak menutup kemungkinan bila peruntukan dari
pertunjukan teater tradisi Lang Lang Buana merupakan suatu seremonial sebagai
penghubung dengan dunia gaib. Hal ini diperkuat oleh kostum pementasan yang
dipakai harus ada berwarna hijau. Menurut pengakuan dari pelaku teater tradisi ini,
pemilihan warna ini disebabkan agar syeh atau roh lebih cepat masuk ke dalam tubuh
pemain.
Perumpamaan di atas memang sangat sulit dibuktikan oleh logika karena menyangkut
hal-hal yang bersifat gaib. Selanjutnya, teater tradisi Lang Lang Buana
dipertunjukkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hiburan. Hal ini
disebabkan karean adanya dorongan dari masyarakat untuk keperluan mengibur diri
mereka di waktu senggang setelah seharian bekerja keras di laut maupun di ladang.
Pada masa kejayaannya, Teater tradisi lang Lang Buana dipertunjukan untuk
menghibur masyarakat yang sedang melangsungkan acara pernikahan dan hajatan
lainnya. Teater tradisi ini juga dipertunjukan untuk memeriahkan suasana pada
perayaan hari-hari besar masyarakat setempat.
53
Peruntukan yang teramat penting dari teater tradisi adalah sebagai ‘alat dokumentasi
hidup’. Maksudnya, teater tradisi ini digunakan sebagai alat pengingat dari warisan
tradisi nenek moyang. Melalui pertunjukan teater tradisi, maka akan tercermin
perilaku serta tata cara kehidupan masyarakat di masa lampau. Warisan budaya ini
mengandung banyak hal, antaranya ciri kedaerahan yang khas, cara berpikir menurut
sistem nilai yang berlaku pada saat itu.
3.2 unsur-unsur Pertunjukan
Sebuah teater yang dikatakan berfungsi bilamana unsur-unsur yang terdapat di
dalamnya masih berjalan dan mempunyai hubungan yang saling berkaitan. Unsur-
unsur yang ada di dalam teater tradisi bukan hanya sebagai pelengkap suatu
pertunjukan, melainkan hubungan yang tidak dapat terpisahkan dari teater itu sendiri.
Teater tradisi lang Lang Buana memiliki unsur-unsur yang menopang lakon yang
dalam pertunjukannya. antara lain adalah :
3.2.1 Tata Panggung
Pada umumnya teater tradisional di Indonesia bisa melakukan pementasan di mana
saja. Pertunjukannya bisa dilakukan di lapangan terbuka atau di pekarangan rumah
dan dilakukan dalam bentuk arena. Namun tidak begitu halnya pada teater tradisi
Lang Lang Buana yang mengharuskan pertunjukannya dilakukan di atas panggung,
meskipun panggungnya berada di ruangan terbuka.
54
Pada waktu dulu, panggungnya dibangun dari papan dengan bentuk seadanya.
Ukuran panggungnya tidak memiliki ketentuan khusus. Panggung yang didirikan
disesuaikan dengan keadaan tempat (space) di mana hajatan itu berlangsung.
Perlengkapan dan sarana pementasan yang digunakan cukup sederhana. Di depan
panggung terdapat layar utama yang betuliskan ‘Lang Lang Buana’ dan gambar
seekor burung elang. Layar di belakang panggung dijadikan background yang
menunjang latar belakang suasana dari babak per babak yang dilakonkan. Ada tiga
layar yang dilukis sesusai kebutuhan lakon Lang Lang Buana, yaitu layar kerajaan,
layar padang rumput atau hutan dan layar gunung. Layar ini silih berganti ditukar
dengan menggunakan katrol. Pertunjukan yang berlangsung pada malam berikutnya
masih menggunakan layar yang sama. Agar lebih bisa mendukung suasana dari layar
yang digunakan, mereka menambahkan ornamen-ornamen yang didapat dari alam
sekitarnya. Contohnya, apabila layarnya suasana di hutan, mereka menambahkan
pohon pisang atau sejenisnya di atas panggung.
Penggunaan properti juga cukup sederhana. Kadangkala di beberapa adegan, properti
tidak ada sama sekali. Namun, ada juga properti yang memang harus diadakan,
seperti ‘Baqdi Zarah’, ‘Jabul Hikmat’, dan lain-lain sebagainya. Oleh disebabkan
minimnya properti ini, maka imajinasi penonton akan lebih berkembang.
Penerangan menjadi sangat penting karena pertunjukannya berlangsung di malam
hari. Biasanya lampu yang digunakan dapat berupa obor, lampu petromax, atau yang
lainnya. Lampu khusus untuk sarana kelengkapan panggung seperti lampu yang bisa
55
memberi efek dramatik sama sekali tidak ada. Lampu yang digunakan semata-mata
untuk keperluan penerangan saja.
3.2.2 Tata Busana dan Tata Rias
Pada masa itu, perlengkapan pentas berupa kostum tidak bisa berbuat banyak.
Maksudnya, para pemain menggunakan kostum pementasan menurut apa yang ada
saja. Penggunaan kostum bukanlah hal terlalu sangat diperhatikan. Hal ini disebabkan
keterbatasan jenis pakaian yang ada.
Hasil Wawancara dengan beberapa narasumber menunjukkan bahwa baju kurung
‘teluk belanga’ menjadi pilihan yang paling sering digunakan oleh para pemain pada
saat itu. Baju kurung ini terdiri dari celana, kain sampin, dan songkok atau ikat
kepala. Kain sampin biasanya memiliki warna dan corak yang sama dengan baju
atasannya. Baju kurung ini merupakan baju yang biasa digunakan oleh masyarakat
Melayu pada waktu dulu sebagai pakaian di dalam kehidupan sehari-hari.
Baju kurung yang dipakai oleh kaum perempuan biasanya dipasangkan dengan
sarung, dan sarung itu sendiri dikenakan dengan ikatan "ombak mengalun" yaitu
lipatan kain yang berlipit-lipit (berombak-ombak). Lipatan ini ada di bagian kiri atau
kanan badan. Kain sarung ini atau disebut juga ‘kain dagang’ merupakan kain yang
digunakan sebagai kerudung di saat bepergian. Hal ini dimaksudkan untuk
melindungi diri dari terik matahari. Apabila berada di dalam ruangan, maka ‘kain
dagang’ diikatkan pada pinggang atau disangkutkan di lengan.56
Pemilihan warna kostum menjadi suatu hal yang harus diperhatikan. Warna kostum
yang paling sering digunakan adalah warna hijau. Menurut penuturan dari para
narasumber, pemilihan warna hijau ini agar syeh/roh dari kayangan lebih cepat masuk
ke dalam tubuh para pemain. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pak Anwar:
Bajunye tadi kata orang hijau pucuk pisang. Kalau kite pakai baju pucuk pisang tok, dia pun cepat kite rasakan kite taka da di alam kita agek.14
Selama pertunjukan berlangsung di dalam satu malam, para pemain tidak melakukan
pergantian kostum. Perubahan kostum terjadi pada pertunjukan malam berikutnya,
namun pergantian itu hanya terjadi pada warnanya saja. Contohnya, pada malam
pertama menggunakan baju kurung ‘teluk belanga’ warna hijau, malam kedua
menggunakan baju kurung dengan jenis yang sama tetapi berwarna kuning.
Perubahan warna kostum ini secara silih-berganti berlangsung sampai pementasan
malam yang ketujuh. Berikut ini adalah contoh dari baju kurung ‘teluk belanga’ yang
dipakai oleh kaum pria dan wanita:
Foto 1Baju kurung ‘teluk belanga’ pria
14 Berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Anwar, pada tanggal 15 Desember 2010 di desa Setedong. 57
Sumber: ilustrasi pribadi
Foto 2Baju kurung ‘teluk belanga’ wanita
Sumber: ilustrasi pribadi
Baju kurung seperti gambar di atas biasanya digunakan untuk kostum yang dipakai
oleh Indra Bumaya, Johan Safri dan pemain-pemain yang lain. Kadangkala, 58
Indra Bumaya dan Johan Safri menggunakan ikat kepala pada babak tertentu.
Sementara itu, untuk baju kurung yang digunakan oleh para raja dan tuan puteri juga
hampir sama, hanya ditambah dengan pernak-pernik seperti mahkota dan selendang.
Kostum paling rumit pembuatannya terjadi pada baju yang dipakai oleh Raja Lang
Lang Buana. Ia menggunakan baju yang menyerupai jubah panjang hingga ke mata
kaki. Selain itu, Raja Lang Lang Buana juga memakai sayap yang terbuat dari sehelai
kain. Sayap ini dipasang di belakang baju jubah panjang tersebut.
Raja Lang Lang Buana memakai mahkota yang berbentuk seperti kepala seekor
burung elang. Pada waktu dulu, mahkota ini dibuat dari kulit labu yang isinya telah
dibuang. Labu ini dilukis hingga menyerupai bentuk kepala seekor elang. Pada
perkembangan selanjutnya, pembuatan mahkota ini diganti dengan menggunakan
gabus putih yang dilukis menyerupai kepala elang.
Berikut ini contoh ilustrasi dari kostum Raja Lang Lang Buana berdasarkan hasil
pemaparan dari para narasumber:
Foto 3
Kostum Raja Lang Lang Buana
59
Sumber: ilustrasi pribadi
Selama pertunjukan berlangsung, para pemain tidak memakai alas kaki, baik yang
berbentuk sandal maupun sepatu. Hampir tidak ada perubahan yang berarti pada
unsur kostum dari awal teater tradisi Lang Lang Buana muncul hingga sampai masa
terakhir pertunjukannya tidak pernah dipertunjukkan lagi. Hal ini berbeda dengan
perubahan kostum yang terjadi pada teater tradisi Mendu. pada awalnya, teater tradisi
Mendu juga menggunakan kostum yang hampir sama dengan teater tradisi Lang Lang
Buana. Namun pada perkembangan selanjutnya, teater tradisi Mendu banyak
dipengaruhi oleh Wayang Bangsawan. Perubahan ini bisa dilihat dari kostum yang
digunakan penuh gemerlapan, manik-manik, memakai kacamata, sepatu, gelang dan
lain-lain sebagainya.
Pada saat itu, fungsi tata rias sebagai salah satu unsur pendukung di dalam
pertunjukan teater tradisi Lang Lang Buana masih belum dilakukan secara maksimal. 60
Para pemain berdandan seadanya sesuai dengan perlengkapan tata rias yang tersedia.
Ketika para pemainnya semuanya masih laki-laki, penggunaan tata rias ini hanya
dilakukan pada para pemain yang berperan sebagai tokoh perempuan. Sementara itu,
para pemain yang memerankan tokoh laki-laki, penggunaan tata rias ini hanya berupa
kumis atau jenggot yang dilukis dengan menggunakan alat rias seadanya.
3.2.3 Unsur Musik
Iringan musik merupakan unsur pertunjukan yang tidak dapat terpisahkan dari
pementasan teater tradisi Lang Lang Buana. Musik bukan hanya berperan sebagai
pengiring yang menghidupkan suasana pertunjukan, tetapi juga menunjukan dari
etnik mana teater tradisi ini berasal. Perlengkapan alat musik dan irama yang
digunakan dalam pertunjukan teater tradisi Lang Lang Buana adalah irama musik
Melayu. Alat-alat musik yang digunakan adalah biola, gendang dan gong.
Menyanyi merupakan cara untuk mengungkapkan dialog dalam bentuk lain.
Sayangnya, peneliti tidak dapat menotasikan musik dan lirik lagu yang digunakan
dalam pementasan teater tradisi Lang Lang Buana. Menurut pengakuan dari Pak
Amar bahwa catatan lirik lagu disimpan oleh Bujang Isa. Peneliti tidak bisa
melakukan wawancara langsung dengan Bujang Isa disebabkan beliau sudah tidak
tinggal lagi di pulau Ranai. Secara garis besarnya, lagu-lagu yang digunakan pada
pementasan teater tradisi Lang Lang Buana adalah lagu air mawar, lemak lamun,
lakau, kawang, mak inang, laili dan melur. Lagu-laguan ini dipakai sesuai dengan
61
adegan yang sedang berlangsung di atas panggung. Urutan lagu ini dirincikan sebagai
berikut:
Lagu air mawar adalah lagu yang dinyayikan pada adegan pembuka pertunjukan.
Lagu ini didendangkan pada saat para pemain masuk ke atas panggung sambil
menari untuk memperkenalkan tokoh yang diperankannya. Lagu ini dinyanyikan
oleh seseorang yang berada di luar panggung/di tempat pemain musik.
Lagu lakau adalah lagu yang digunakan saat seorang raja bersabda-peri kepada
para menterinya. Sebelum raja mengucapkan dialognya, ia harus bersabda-peri
menggunakan lagu lakau ini. Lagu lakau ini juga dikenal sebagai lagu keras.
Maksudnya, bukan alunan musiknya yang keras, namun penggunaan kata-katanya
yang kurang lembut dibandingkan dengan balasan lagu yang dipakai oleh para
menteri dan keluarga raja. Pada tahap perkembangan selanjutnya, kadangkala lagu
lakau ini tidak digunakan. Apabila tidak menggunakan lagu ini, maka Raja akan
berucap “pendek kisah saja” sebelum memulai mengucapkan dialognya.
Lagu kawang adalah lagu yang dinyanyikan oleh para menteri sebelum membalas
ucapan raja. Lagu kawang ini lebih lembut dibandingkan dengan lagu lakau.
Menurut bahasa di dalam lakon, arti dari kata ‘kawang’ adalah merendahkan diri.
Apabila Raja tidak memakai sabda-peri untuk memulai dialognya, maka para
menteri juga membalasnya dengan tidak menggunakan lagu kawang ini.
Lagu lemak lamun adalah lagu yang dinyanyikan oleh permaisuri kepada raja,
anak raja kepada ayahandanya. Lagu ini merupakan balasan dari lagu lakau. Lagu
ini disebut juga lagu lembut karena kata-kata yang digunakan lebih halus
62
dibandingkan dengan lagu lakau. Lagu lemak lamun ini juga dinyanyikan oleh
Indra Bumaya bila ia menghadap seorang raja.
Lagu mak inang adalah lagu yang dinyanyikan oleh para dayang dan inang
pengasuh setiap mereka turun ke taman untuk menghibur tuan puteri. Lagu ini
dinyanyikan sambil para dayang dan inang pengasuh menari tarian selendang mak
inang.
Lagu laili adalah lagu yang mengiring setiap kedatangan raja menuju ke
singgasananya. Lagu ini hanya tidak dinyanyikan dengan kata-kata, hanya berupa
iringan alunan musik dari biola, gendang dan gong.
Lagu melur adalah lagu yang dipakai pada saat terjadinya adegan pertempuran.
Lagu ini dengan lagu laili, hanya berupa iringan alunan musik dari biola, gendang
dan gong.
3.2.4 Unsur Tarian
Unsur tarian juga tidak dapat terpisahkan dari pertunjukan teater tradisi Lang Lang
Buana. Tarian ini ditujukan untuk lebih menghidupkan suasana di atas panggung.
Kadangkala tarian ini digunakan untuk menyimbolkan suatu kejadian yang
diperagakan dengan gerakan. Pada saat melakukan penelitian di lapangan, peneliti
memang tidak meminta agar narasumber memperagakan gerakan dari tarian-tarian
yang ada di dalam pementasan teater tradisi Lang Lang Buana. Hal ini disebabkan
oleh pertimbangan keadaan fisik dari para narasumber yang telah berumur di atas 60
tahun.
63
Namun secara umum, dapat diambil kesimpulan bahwa gerakan pada tari-tarian
Melayu hampir tidak berbeda jauh bentuknya antara tari yang satu dengan yang
lainnya. Berikut ini beberapa tarian yang terdapat di dalam pertunjukan teater tradisi
Lang Lang Buana, yaitu:
Tari inai adalah tari yang mengiring para pemain naik ke atas panggung untuk
memperkenalkan diri pada adegan pembuka lakon Lang Lang Buana. Tari ini
diiringi oleh lagu air mawar.
Tari selendang mak inang adalah tari yang diringi lagu mak inang di saat para
dayang dan inang pengasuh menemani tuan puteri untuk bersenang-senang di
taman bunga.
Tari laili adalah tari yang diiringi dengan lagu yang sama, yaitu lagu laili. Tari ini
dilakukan untuk mengiringi kedatangan raja menuju singgasana kerajaan.
Tari perang adalah tari yang diiringi lagu melur. Tari ini dilakukan di saat setiap
terjadinya adegan pertempuran. Tari ini digunakan untuk menyimbolkan adegan
perang yang sedang berlangsung. Adegan perangnya tidak diperagakan dengan
pencak silat, tetapi menggunakan tari perang ini.
3.2.5 Penonton
Secara umum, seni pertunjukan terdiri dari adanya cerita, adanya tempat
pertunjukannya dan adanya penonton. Di dalam teater tradisi, peranan penonton
sangat menetukan. Tanpa disadari, para penonton secaa tidak langsung juga ikut 64
bermain dengan memberikan respon terhadap apa yang sedang terjadi di atas pentas.
Di dalam pertunjukan teater tradisi Lang Lang Buana terjadi interaksi antara pemain
dan penonton. interaksi ini terasa begitu akrab, sehingga hampi tidak ada batas antara
penonton dengan pemain.
Meskipun pertunjukan teater tradisi Lang Lang Buana dilakukan di atas panggung
yang membuat adanya level ketinggian antara pemain dengan penonton, namun
‘keakraban’nya dirasakan tidak berkurang.
Perlengkapan properti pementasan seperti meja dan kursi yang seketika waktu bisa
berubah fungsinya sesuia dengan kebutuhan pertunjukan. Perubahan fungsi suatu
benda ini terjadi hanya dengan ucapan dari dialog yang disampaikan oleh pemain
tentang keadaan, kejadian atau pun tempat kejadian yang sedang berlangsung.
Contohnya, sebuah meja bisa berubah fungsi menjadi ‘perahu’ atau sebuah kayu bisa
berubah fungsi menjadi ‘pedang. Perubahan fungsi ini akan membuat imajinasi
penonton lebih berkembang. Khayalan para penonton secara langsung dapat
mengikuti kejaidan yang sedang berlangsung di atas pentas.
Selain itu, hubungan keakraban antara pemain dan penonton ini berlangsung
disebabkan para penonton memiliki andil di dalam terjadinya sebuah pertunjukan.
Sebelum pertunjukan teater tradisi Lang lang Buana dilangsungkan pada malam hari,
para penonton bersama-sama membangun pentas untuk tempat pertunjukan itu pada
siang harinya.
65
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
66
Teater tradisi Lang Lang Buana merupakan salah satu jenis kesenian tradisi yang
pernah ada di Kabupaten Natuna. Teater tradisi ini diciptakan oleh seorang Datok
Kaya yang memimpin daerah Ranai pada masa itu, yaitu Datok Kaya Wan
Mohammad Benteng. Namun untuk saat sekarang ini, teater tradisi Lang Lang Buana
sudah tidak pernah dipentaskan selama 22 tahun. Dampak ini sangat memungkinkan
bahwa nanti ke depannya teater tradisi Lang Lang Buana akan punah. Oleh sebab itu,
penulis mencoba untuk membuat dokumentasi tertulis tentang teater tradisi ini.
Pengumpulan data untuk pendeskripsian teater tradisi Lang Lang Buana ini hanya
diperoleh dari hasil wawancara dengan para pemain dan masyarakat setempat yang
memiliki kepedulian terhadap teater tradisi ini. Sementara itu, bukti otentik seperti
catatan tertulis maupun foto dan video15 yang mendukung sama sekali tidak ada.
Sehingga, pendeskripsian terhadap teater tradisi Lang Lang Buana ini masih
dirasakan cukup kurang. Akan tetapi, penulis mencoba berusaha semaksimal
mungkin untuk mewujudkannya di dalam bentuk dokumentasi tertulis tentang teater
tradisi Lang Lang Buana.
Pendokumentasian tertulis ini dirasakan sangat perlu segera dilakukan. Apabila tidak
segera dilakukan, maka secara perlahan-lahan kita akan kehilangan salah satu
khazanah dari seni pertnujukan Nusantara. Hal ini disebabkan karena data yang
berbentuk tradisi lisan ini tersimpan dalam memori para pewarisnya yang telah
15 Hal ini disebabakan oleh sebelum Natuna berubah menjadi sebuah kabupaten. Pulau Ranai merupakan daerah yang paling tertinggal dibandingkan dengan pulau-pulau yang lainnya. 67
berumur 60 tahun ke atas. Sungguh sangat disayangkan apabila sebuah kesenian
tradisi hilang begitu saja, tanpa ada seorangpun yang peduli untuk tetap
melestarikannya.
Tentunya dokumentasi tertulis ini diharapkan bisa menjadi bahan awal untuk kembali
mengadakan pergelaran langsung teater tradisi Lang Lang Buana. Meskipun penulis
menyadari bahwa masih diperlukan adanya penambahan data untuk mewujudkannya
sebagai sebuah pementasan yang utuh. Namun kendala seperti ini dengan sendirinya
akan bisa teratasi bila proses latihan telah mulai berlangsung.
Sejatinya, teater tradisi yang kita kenal sekarang ini lahir dari situasi sosial tertentu
yang berbeda dengan kondisi sekarang. Apabila teater tradisi Lang Lang Buana
dipentaskan sesuai dengan format aslinya, tentu tidak akan banyak menarik minat
publik. Secara perlahan-lahan hal ini akan mengubahnya menjadi ragam seni yang
layak dimuseumkan. Oleh sebab itu, perlu diadakannya perubahan dalam
menampilkan bentuk pementasan teater tradisi Lang Lang Buana sesuai dengan
tuntutan masyarakat saat sekarang ini.
Menggali kembali akar sejarah teater tradisi Lang Lang Buana merupakan langkah
awal untuk melakukan perubahan. Selain itu, mengenal asal-asul dan mencari unsur-
unsur asli teater tradisi ini merupakan salah satu cara untuk menemukan format
dasarnya. Teater tradisi Lang Lang Buana memerlukan pendekatan baru dan
perencanaan jangka panjang. Para pemerhati dan penggiat teater tradisi harus
68
menghidupkan kembali teater tradisi ini dengan perspektif baru dan mengaitkannya
dengan isu-isu aktual yang sedang berkembang saat ini.
Memperkenalkan teater tradisi Lang Lang Buana kepada masyarakat merupakan jalan
terpenting untuk mempertahankan kelangsungan hidup teater tradisi tersebut. Oleh
sebab itu, teater tradisi Lang Lang Buana memerlukan promosi, namun upaya itu
tidak cukup hanya dengan menggandalkan persepsi klasik dan tradisional. Kita mesti
menciptakan perubahan struktural dalam substansi teater tradisi Lang Lang Buana,
namun dengan tetap mempertahankan secara utuh kaidah pementasan, sehingga bisa
terwujud pengalaman baru. Bahkan dalam beberapa hal, format dari pementasan
teater tradisi Lang Lang Buana harus dirubah juga. Masyarakat sekarang sangat
berbeda dengan tipe masyarakat puluhan tahun yang lalu. Mereka memiliki tuntutan
dan selera yang baru pula. Oleh karena itu, teater tradisi mesti menggarap persoalan
hidup yang dirasakan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka. Inovasi-
inovasi semacam ini akan bisa menjamin kelestarian teater tradisi Lang Lang Buana
dan menjaganya untuk generasi mendatang.
4.2 Saran-saran
Teater tradisi Lang Lang Buana merupakan bagian dari identitas budaya dan menjadi
kekayaan kultural bagi masyarakat pendukung kesenian tradisi tersebut. Meski
demikian, perlu diadakannya perubahan dalam menampilkan seni pentas tersebut
sesuai dengan tuntutan masyarakat sekarang ini. Selain itu, memadukan teater
69
tradisional dengan sentuhan modern yang lebih inovatif seperti penggunaan tata
cahaya, dekorasi, dan lain-lainnya merupakan salah satu cara untuk membuat seni
pentas tradisional terlihat makin menarik.
Sebagai wujud dari kepedulian penulis yang notabene adalah putra asli daerah
Natuna, maka penulis mencoba untuk menghidupkan kembali teater tradisi Lang
Lang Buana. Adapun kiat-kiat yang digunakan adalah dengan cara merekontruksi
teater tradisi Lang Lang Buana sesuai perkembangan zaman. Tentunya upaya
rekontruksi ini tidak mengurangi esensi yang ada di dalam lakon Lang Lang Buana
ini. Tahap selanjutnya, penulis dan para pewaris teater tradisi ini berencana untuk
melakukan pementasan kembali teater tradisi Lang Lang Buana dengan para pemain
dari generasi muda. Diharapkan ke depannya akan tumbuh kesadaran dari para
generasi muda untuk menghargai dan melestarikan khazanah budaya dari para
leluhurnya.
Upaya-upaya di atas tentunya tidak akan bisa terjadi tanpa adanya kesadaran bersama
untuk mewujudkan pementasan kembali teater tradisi Lang Lang Buana ini. Peran
serta pemerintah daerah Natuna memiliki andil yang cukup besar untuk mewujudkan
harapan ini. Pemerintah daerah Natuna harus menyadari bahwa pementasan kembali
teater tradisi Lang Lang Buana merupakan suatu hal yang dilakukan untuk
mengangkat identitas bangsa dari warisan para leluhur. Apalagi ditambah dengan
belum adanya suatu icon kesenian Natuna yang bisa dikenal oleh masyarakat luas dan
sesuai dengan perkembangan zaman. Perwujudan icon kesenian ini nantinya akan
bermanfaat untuk menambah nilai jual dari sektor pariwisata daerah Natuna. 70
Tentunya upaya ini tidak hanya sampai pada pelaksanaan pementasan teater tradisi
Lang Lang Buana. Upaya selanjutnya adalah membentuk sanggar seni kelompok
teater tradisi Lang Lang Buana dan mengadakan event-event secara rutin untuk
mengenalkan teater tradisi ini kepada masyarakat, baik di dalam daerah maupun di
luar daerah Natuna. Selain itu, perlu juga diadakan penyuluhan-peyuluhan untuk
meningkatkan apresiasi masyarakat Natuna agar menyadari bahwa pentingnya
menghargai dan menjaga kesenian tradisi daerah. Apabila upaya-upaya ini bisa
diwujudkan, maka teater tradisi Lang Lang Buana atau bahkan kesenian tradisi
lainnya juga akan tetap terus bisa bertahan mengikuti perkembangan zaman.
Daftar Pustaka
Achmad, A. Kasim. Mengenal Teater Tradisional di Indonesia. Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta. 2006.
Al Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Popular. Surabaya: Arkola. 2001.
Danandjaja, James. Folklor: ilmu gossip, dongeng, dam lain-lain. Jakarta: Pustaka
Utama Gratifi. 2002.
71
Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Natuna. Buku
PanduanWisata Natuna. Natuna. 2010
Harymawan, RMA. Dramaturgi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1986
Kayam, Umar. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan. 1981
Keraf, Gorys. Komposisi. Jakarta: Nusa Indah. 1979
Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia.
1977
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rhineka Cipta. 1996.
Wijaya, Putu. Teater Spiritual. Jakarta: Grafiti. 1999
72