design pengembangan lumbang pangan...
TRANSCRIPT
*daerah administrasi setingkat di bawah kecamatan, khusus untuk Provinsi Aceh 1
DESIGN
PENGEMBANGAN LUMBANG PANGAN BERORIENTASI EKSPOR-WILAYAH
PERBATASAN (LPBE-WP) DI PROVINSI ACEH
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN ACEH BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN
2017
Tim Pembangunan Perbatasan Aceh
2
KATA PENGANTAR
Agenda pembangunan dalam Nawa Cita yang termaktub dalam dokumen
RPJMN 2015-2019 menegaskan tentang pentingnya kebijakan, program dan
kegiatan yang nyata dan terukur untuk percepatan pembangunan Indonesia.
Nawa Cita mengamanahkan pembangunan dari wilayah pinggir (border) dengan
memperkuat pembangunan di wilayah tersebut serta untuk meningkatkan daya
saing, dalam hal ini adalah produk-produk pertanian. Teknis percepatan
pembangunan pertanian di wilayah perbatasan hanya dapat dilakukan dengan
memperkuat kerjasama (sinergi) antar stakeholder dan shareholder serta
berkelanjutan.
Pada konteks kewilayahan, Provinsi Aceh merupakan salah satu wilayah
yang memiliki perbatasan langsung (laut) dengan beberapa Negara, sehingga
menjadi salah satu beranda Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini
difokuskan kepada Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Kawasan ini
dipilih karena secara ketahanan pangan (food-security) masih sangat rentan akibat
kurangnya sarana dan prasarana. Dengan produktivitas eksisting padi yang hanya
3 ton/ha, maka wilayah ini minus 500 ton/tahun beras dan harus didatangkan dari
Banda Aceh. Fakta inilah yang menjadi tantangan untuk setidaknya dalam 1 tahun
kedepan dapat terpenuhi (mandiri) dengan melakukan introduksi VUB padi potensi
hasil tinggi dan relative tahan kekeringan (ampibi).
Dokumen ini memaparkan potensi, peluang dan tantangan untuk
menjadikan Kecamatan Pulo Aceh Mandiri Pangan. Selain itu juga memaparkan
konsep, strategi dan program pengembangan jangka pendek, menengah dan
panjang dalam pencapaian kemandirian tersebut.
Akhirnya, kami menyadari kekurangan dari design ini. Kami sangat
membutuhkan kritik dan saran konstruktif untuk selalu memperbaiki design ini.
Semoga design ini bermanfaat bagi insan pembangunan pertanian di Provinsi
Aceh.
Banda Aceh, Oktober 2017
Tim Pembangunan Perbatasan Aceh
Ir. Basri A. Bakar, M.Si
*daerah administrasi setingkat di bawah kecamatan, khusus untuk Provinsi Aceh 3
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ……………………………………………………………………………………….. i
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………………….. ii
Daftar Gambar …................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………………………….. 1
1.2 Dasar Pertimbangan ……………………………………………………………………….. 2
1.3 Tujuan ………………………………………………………………………………………….. 3
1.4 Keluaran yang Diharapkan .............................................................. 3
1.5 Dasar Hukum ………………………………………………………………………………….. 3
II. POTENSI, PELUANG DAN TANTANGAN …………………………………………………… 4
2.1 Gambaran Umum Wilayah ……………………………………………………………….. 4
2.2 Sumberdaya Lahan Pertanian dan Iklim …………………………………………….. 7
2.3 Sistem Usaha Pertanian ……………………………………………………………………. 9
2.4 Analisis SWOT …………………………………………………………………………………. 9
III. KONSEP DAN STRATEGI PENGEMBANGAN …………………………………………….. 11
3.1 Pengertian dan Konsepsi Umum ………………………………………………………. 11
3.2 Konsepsi Pembangunan LPBE Provinsi Aceh ……………………………………… 12
3.3 Model Konseptual Pengembangan Wilayah Perbatasan Provinsi Aceh …. 13
3.4 Model Operasional Pengembangan Wilayah Perbatasan Provinsi Aceh .. 14
3.5 Tahapan Pengembangan Wilayah Perbatasan Provinsi Aceh ……………… 15
IV. IMPLEMENTASI DESAIN ……………………………………………………………………….. 17
4.1 Aspek Teknis …………………………………………………………………………………. 17
4.2 Aspek Sosial ………………………………………………………………………………….. 19
V. KESIMPULAN ………………………………………………………………………………………… 20
UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………………………………………. 21
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………. 22
4
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Posisi Kecamatan Pulo Aceh di Provinsi Aceh ………………………………………………….. 3
2. Kepala BPTP Aceh di Dermaga Lampuyang …………………………………………............. 4
3. Sarana Transportasi antar desa selain Sepeda Motor ……………………………………….. 5
4. Suasana Bongkar Muat Kebutuhan Pokok di Pelabuhan Lampuyang …………………… 5
5. Kondisi jalan di Kecamatan Pulo Aceh Proses Pengerasan …………………………………. 6
6. Salah Satu Objek pariwisata di Kecamatan Pulo Aceh Mercusuar ……………………….. 6
7. Sawah tadah hujan di Kecamatan Pulo Aceh …………………………………………………….. 7
8. Kondisi saluran irigasi swadaya masyarakat ……………………………………………………… 7
9. Salah satu sumber mata air yang dapat dijadikan sumber irigasi ………………………… 8
10. Analisis SWOT Pembangunan Lumbung Pangan Provinsi Aceh ………………………….. 11
11. Konsep Pembangunan Perbatasan Provinsi Aceh ……………………………………………… 13
12. Kondisi Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di Kecamatan Pulo Aceh ……………………. 14
13. Model Konseptual Pembanguan Pertanian Wilayah Perbatasan Aceh ………………….. 15
14. Model Operasional Pembanguan Wilayah Perbatasan Aceh ……………………………….. 16
15. Roadmap Pengembangan Wilayah Perbatasan Aceh …………………………………………. 17
*daerah administrasi setingkat di bawah kecamatan, khusus untuk Provinsi Aceh 5
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Wilayah Indonesia yang lokasinya berbatasan dengan negara tetangga,
cakupannya adalah kabupaten. Data empiris menunjukkan adanya korelasi antara
penguasaan teknologi dengan kemajuan perekonomian suatu negara. Salah satu
contoh nyata adalah Tiongkok. Dalam kasus Indonesia, meskipun kinerja
perekonomian Indonesia relatif baik, namun kontribusi teknologi terhadap
pertumbuhan ekonomi masih belum menggembirakan. Saat ini Indonesia masih
dihadapkan pada dua kendala yang menjadi tantangan utama, yaitu: (1)
keterbatasan kapasitas investasi nasional di sektor industri hilir untuk mengolah
bahan mentah atau bahan setengah jadi menjadi produk jadi, dan (2) belum
siapnya teknologi nasional untuk menyokong tumbuh kembang industri hilir
tersebut dan (3) belum meratanya tingkat adosi teknologi, terutama di wilayah
perbatasan. Demikian juga yang terjadi di Provinsi Aceh.
Pada konteks pertanian, sebenarnya inovasi yang dihasilkan secara oleh
institusi pencetak teknologi seperti Balitbang Pertanian dan perguruan tinggi sudah
cukup memadai. Balitbang Pertanian, melalui inovasi pertanian spesifik lokasi telah
menghasilkan paket teknologi spesifik lokasi yang secara teknis telah sesuai
dengan kebutuhan daerah yang dikaji. Namun fakta di lapangan menunjukkan
bahwa inovasi paket teknologi pertanian spesifik lokasi tersebut belum terlihat
nyata, terutama pada wilayah perbatasan yang merupakan etalase bangsa.
Berdasarkan geografis, salah satu wilayah yang memiliki perbatasan
langsung dengan negara lain adalah, Kabupaten Aceh Besar. Dalam hal ini spesifik
kepada Kecamatan Pulo Aceh. Fakta menunjukkan bahwa selain merupakan
etalase bangsa, hal terpenting lainnya adalah faktor kemandirian pangan (localy
food security). Hal ini disebabkan oleh wilayah Kecamatan Pulo Aceh yang terditi
dari beberapa pulau dapat dikatakan terisolir, akibat dari keterbatasan sarana
6
transportasi sehingga sangat tergantung dari factor cuaca. Sebagian besar
ketersediaan pangan utama didatangkan dari Banda Aceh, melalui transportasi
laut. Jika terjadi iklim eskterm, seluruh kegiatan transportasi otomatis dihentikan,
sehingga sangat berpengaruh kepada sistem ketahanan pangan di wilayah
tersebut. Di lain pihak, kawasan Pulo Aceh memiliki potensi untuk dikembangkan
komoditas padi (tadah hujan), cabai merah, ternak (Sapi Aceh) dan beberapa
komoditas perkebunan seperti cengkeh dan lada.
Untuk mengatasi hal tersebut, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh akan
melakukan kegiatan pendampingan dalam penyediaan teknologi spesifik lokasi berbasis
komoditas hortikultura (cabai) dan padi sawah tadah hujan serta penyediaan pakan ternak
berbasis jerami yang sesuai kebutuhan, selain itu, secara aktif memberikan rekomendasi
untuk pengambil keputusan melalui inisiatif pertemuan dan mengkonsultasikannya kepada
pihak terkait sehingga mampu menumbuhkan pembangunan ekonomi di daerah. Melalui
Pelaksanaan Program dukungan inovasi teknologi di daerah perbatasan diharapkan akan
terjadi peningkatan produktivitas komoditas padi sawah tadah hujan, cabai dan ternak
yang secara eksisting merupakan potensi daerah, sehingga kemandirian pangan lokal di
kawasan Pulau Aceh dapat tercapai.
1.2. Dasar Pertimbangan
Salah satu isu penting dalam kabinet kerja adalah implementasi Nawacita yang
secara teknis dijabarkan melalui beberapa program. Dimana salah satunya adalah
pencapaian kemandirian pangan nasional di wilayah perbatasan yang merupakan beranda
(etalase) bangsa. Makna dari program ini adalah Bangsa Indonesia dalam memenuhi
pangan tidak tergantung kepada bangsa lain (impor). Termasuk juga pada wilayah
perbatasan. Upaya pencapaian target ini diwujudkan dengan dicanangkannya beberapa
program Kementerian Pertanian yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Pertanian, dalam
hal ini untuk konteks kewilayahan Provinsi Aceh adalah Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Aceh. Program dukungan agro inovasi teknologi di daerah perbatasan
dalam Pengembagan Lumbung Pangan Berorientasi Ekspor-Wilayah Perbatasan (LPBE-
WP) merupakan salah satu implementasi pengembangan komoditas unggulan Kementrian
pertanian.
*daerah administrasi setingkat di bawah kecamatan, khusus untuk Provinsi Aceh 7
1.3 Tujuan
Menyusun dokumen perencanaan yang dapat menjadi acuan penyusunan program
dan rencana aksi pengembangan LPBE-WP bagi semua pemangku kepentingan di
Kabupaten Aceh Besar.
1.4 Keluaran Yang Diharapkan
okumen perencanaan yang dapat menjadi acuan penyusunan program dan
rencana aksi pengembangan LPBE-WP bagi semua pemangku kepentingan di Kabupaten
Aceh Besar.
1.5 Dasar Hukum
1. Undang-undang no. 25 tahun 2004, tentang sistem perencanaan pembangunan
nasional.
2. Undang-undang No. 17 tahun 2007, tentang RPJP nasional tahun 2005-2015.
3. Undang-undang N0. 43 tahun 2008, tentang Batas Negara.
4. Peraturan Presiden No. 12 tahun 2010, tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
5. Peraturan Presiden No. 2 tahun 2015, tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional.
6. Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan No. 1 tahun 2011, tentang Desain
Besar Penggelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan tahun 2011-2025.
7. Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan No. 2 tahun 2011, tentang Rencana
Induk Penggelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan tahun 2011-
2025.
8. Peraturan Presiden No. 44 tahun 2017, tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
No. 12 tahun 2010, tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
9. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2015-2019.
8
II. POTENSI, PELUANG DAN TANTANGAN
2.1 Gambaran Umum Wilayah
Pulo Aceh adalah salah satu Kecamatan yang berada di Kabupaten Aceh Besar,
secara Geografis Pulo Aceh adalah kumpulan pulau paling barat Indonesia (Gambar 1).
Pada tahun 2016, jumlah penduduk kecamatan ini tercatat 5.031 jiwa yang tersebar
pada 17 Desa. Luas wilayah Kecamatan Pulo Aceh adalah 9.056 ha (BPS, Kecamatan Pulo
Aceh, 2015). Pulau terbesar adalah Pulo Breuh tempat Ibu Kota Kecamatan Lempuyang
berada. Di pulau ini terdapat 13 Desa dan empat desa lainnya terdapat di Pulau Nasi.
Beberapa Pulau yang terdapat di kecamatan ini antara lain:Pulau Breuh, Nasi, Sidom, U,
Benggala, Keureusek dan Pulau Batee.
Gambar 1. Posisi Kecamatan Pulo Aceh di Provinsi Aceh
Berdasarkan ketersediaan sarana transportasi, Kecamatan Pulo Aceh dapat
ditempuh dari Kota Banda Aceh dengan menggunakan Kapal Feri Papuyu (ro-ro) ke Pulau
Breuh, dengan periode pelayaran 2 kali seminggu, ke wilayah Rinom juga dengan periode
yang sama, sedangkan ke Ibu Kota Kecamatan Lampuyang hanya dapat dicapai dengan
kapal nelayan kapasitas 10-15 GT, dengan periode pelayaran 1 kali/hari, kecuali hari
*daerah administrasi setingkat di bawah kecamatan, khusus untuk Provinsi Aceh 9
Jum’at. Ibu kota kecamatan tidak dapat dicapai dengan kapal Feri Papuyu akibat jalur
masuk ke pelabuhan yang sempit serta draft kedalaman pada saat surut hanya 1-1.5
meter (Gambar 2). Jarak tempuh dari Kota Banda Aceh ke Lampuyang sekitar 1.5-2 jam,
sedangkan jarak terjauh adalah ke daerah Meulingge, yaitu 2.-2.5 jam.
Gambar 2. Kepala BPTP Aceh bersama dengan PPL Pulo Aceh berada di dermaga
Lampuyang, terlihat alur masuk ke pelabuhan yang sempit
Dari sisi demografi, jumlah penduduk tercatat 4.140 jiwa, 53.85% berjenis kelamin
laki-laki dengan pertumbuhan stangan sejak tahun 2012, 82% warga kecamatan
berkategori pra-sejahtera I. Mata pencaharian utama (60%) warga Kecamatan Pulo Aceh
adalah nelayan penangkap ikan (laut), sedangkan sisanya adalah peternak sapi aceh dan
kambing, petani padi sawah tadah hujan dan pekebun terutama adalah cengkeh. Proporsi
usia tertinggi adalah pada umur antara 27-37 tahun yang mencapai 30.95%. Secara
administrasi wilayah, kecamatan ini terdiri dari 3 Mukim* yaitu Pulau Breuh Utara yang
terdiri dari Desa Alue Raya, Lapeng, Meulangge dan Rinom. Mukim Pulo Breuh Selatan
dengan Desa Blang Situngkoh, Gugop, Lampuyang dan Lhoh. Mukim Pulo Nasi terdiri dari
Desa Alue Reuyeung, Deudap, Lamteng, Pasi Janeng dan Rabo. Sarana transportasi antar
desa pada masing-masing mukim adalah dengan kapal nelayan kapasitas 1-3 GT (Gambar
3) dan jalan darat, umumnya dengan sepeda motor. Secara umum kondisi jalan di
Kecamatan Pulo Aceh kurang baik (Gambar 6), tetapi pada beberapa bagian masih
dilakukan perbaikan.
10
Beberapa fasilitas pendukung yang terdapat di Kecamatan Pulo Aceh adalah
Pelabuhan yang terdapat pada masing-masing mukim dan desa, pasar desa dan
kecamatan, puskesmas, sekolah dasar dan smp/sederajat, pelabuhan perikanan,
penginapan yang dibangun oleh Badan pengelola Kawasan Sabang (BPKS), mercusuar
yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Seluruh kebutuhan pokok utama
(minyak goring, gula, telur) dan penunjang kehidupan masyarakat Pulo Aceh didatangkan
di Kota Banda Aceh melalui eks pelabuhan perikanan di Lampulo (Gambar 4).
Di lain pihak, kecamatan ini memiliki potensi pariwisata yang sangat potensial
untuk dikembangkan. Panorama alam yang ada merupakan keunggulan komparatif yang
seharusnya dapat dimanfaatkan oleh stakeholder pariwisata provinsi maupun kabupaten.
Pantai berpasir putir halus, terumbu karang yang masih dalam kondisi baik, wisata
pemancingan karena banyak terdapat spot casting, mercusuar yang ada sejak jaman
kolonial Belanda (Gambar 6) merupakan potensi yang harus dikembangkan dan tidak
kalah dengan Pulau Weh (Sabang).
Gambar 3. Sarana transportasi antar desa, selain dengan sepeda motor
Gambar 4. Suasana bongkar muat kebutuhan pokok di pelabuhan Lampuyang
*daerah administrasi setingkat di bawah kecamatan, khusus untuk Provinsi Aceh
11
Gambar 5. Kondisi jalan di Kecamatan Pulo Aceh proses pengerasan
Gambar 6. Salah satu objek pariwisata di Kecamatan Pulo Aceh Mercusuar
2.2 Sumberdaya Lahan, Pertanian dan Iklim
Secara umum sumberdaya lahan pertanian di Kecamatan Pulo Aceh adalah padi
sawah tadah hujan, perkebunan dan hortikultura serta peternakan. Berdasarkan
komoditas yang diusahakan antara lain padi, cabai, tomat, cabai rawit, kacang panjang,
cengkeh, jagung, kelapa dalam, pisang, rambutan, mangga, sapi, kerbau dan kambing.
Jika dilihat dari topografi lahan hanya sekitar 30-40 yang merupakan dataram, sisanya
adalah lereng dengan tingkat kemiringan lebih dari 30%. Khusus untuk pantai umumnya,
didominasi oleh pantai barbatu karang, terdapat juga dengan pantai berpasir, seperti di
teluk Rinom.
Khusus untuk komoditas padi sawah, luas lahan sawah tercatat 313.84 ha dengan
luas panen rata-rata hanya 221 ha, yang terdapat di Pulau Brueh dan Pulau Nasi (Gambar
8). Berdasarkan wawancara mendalam dengan Penyuluh Pertanian Lapang (PPL)
Kecamatan Pulo Aceh, hampir seluruhnya sawah yang terdapat di kecamatan ini adalah
12
sawah tadah hujan (rainfed-land), dengan produktivitas rata-rata tidak lebih dari 3.5
ton/ha. Periode penanaman hanya 1 kali pertahun. Hal ini dikarenkan terbatasnya sumber
mata air yang dapat dijadikan sumber air untuk irigasi (Gambar 9 dan 10), hanya sedikit
(< 2%) sawah yang dapat dialiri irigasi swadaya masyarakat. Varietas yang digunakan
masih menggunakan Ciherang yang sudah digunakan turun-temurun, sehingga sangat
sulit menghasilkan padi sesuai dengan potensi hasil serta sangat rentan terhadap
serangan hama dan penyakit, seperti wereng batang coklat, blast dan Hawar Daun
Bakteri.
foto; by ismail, 07
Gambar 7. Sawah tadah hujan di Kecamatan Pulo Aceh
foto; by ismail, 07
Gambar 8. Kondisi saluran irigasi swadaya masyarakat
*daerah administrasi setingkat di bawah kecamatan, khusus untuk Provinsi Aceh
13
foto; by Lamhot, 07
Gambar 9. Salah satu sumber mata air yang dapat dijadikan sumber irigasi
Potensi sektor pertanian dari Kecamatan Pulo Aceh lainnya adalah dari
perkebunan, dengan komoditas utama adalah kelapa dalam dan pisang. Beberapa laporan
non-formal menyatakan bahwa salah satu kelapa dalam terbaik dari Provinsi Aceh adalah
yang berasal dari kecamatan ini, nilai jualnya juga sangat tinggi, yaitu mencapai Rp.
2.500-3.000 per butir, dengan wilayah pemasaran di Kota Banda Aceh. Demikian juga
dengan pisang, permintaan pisang dari Kecamatan Pulo Aceh sangat tinggi, selain
buahnya, pisang dari kecamatan ini sangat bagus untuk digunakan campuran pada gulai
khas Aceh Besar (kuah beulangong).
Dari sektor peternakan, komoditas yang utama adalah kerbau, sapi dan kambing.
Khusus untuk komoditas sapi, di Kecamatan Pulo Aceh merupakan wilayah pengembangan
sapi aceh, yang merupakan species khas Provinsi Aceh. Walaun relatif lebih kecil (bobot
kurang dari 400 kg) dari sapi peranakan luar, seperti Liemosin, Cimental, Peranakan
Onggol (PO), Bali, Brahman, kualitas daging (serat) dari sapi aceh lebih disukai, sehingga
harga jual dagingnya sedikit lebih tinggi dari jenis-jenis sapi tersebut. Polulasi sapi, kerbau
dan kambing di Kecamatan Pulo Aceh tercatat 1.090 ekor sapi dan 641 ekor kerbau dan
805 ekor kambing. Selain itu juga terdapat peternakan unggas yaitu, ayam buras 4.137
ekor dan itik tercatat 415 ekor. Wilayah pemasaran komoditi ini umumnya adalah ke kota
Banda Aceh.
14
Pengembangan sektor pertanian tentunya tidak dapat dipisahkan dengan iklim
yang mempengaruhi kondisi cuaca di Kecamatan Pulo Aceh. Berdasarkan laporan dari
suhu rata-rata berkisar 22-34%0C, dengan kelembaban 80-90%. Musim hujan umumnya
dari Bulan Otober-April setiap tahunnya, periode musim umumnya antara 6-7 bulan.
Kecamatan ini juga dipengaruhi oleh angin yang bertiup dari sisi barat dan timur yang
tentunya berpangaruh kepada aktivitas perekonomian warga. Data-data untuk iklim di
kecamatan ini masih sangat terbatas, padahal data ini sangat dibutuhkan untuk
pengembangan komoditas pertanian.
2.3 Sistem Usaha Pertanian
Potensi pembangunan wilayah perbatasan di Kecamatan Pulo Aceh dapat dilihat
dari produksi komoditas utama yang diusahakan di kecamatan ini. Komoditas utama
adalah padi, hortikultura dan ternak. Dalam hal ini diluar komoditas perikanan yang
merupakan ranah dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kondisi eksisting usaha
pertanian komoditas utama tersebut masih skala kecil (tani), hal ini dapat dilihat dari
luasan lahan dan sistem yang digunakan, yaitu masih menggunakan teknologi
konvensional pada aspek penggunaan benih/bibit, alsintan, sistem pertanaman dan pasca
panen.
Secara fungsional, sistem usaha pertanian di Kecamatan Pulau Aceh belum
berjalan, fakta ini menunjukan bahwa hal yang menjadi tujuan (goal) program adalah
bagaimana meningkatkan kinerja sistem usahatani yang ada menjadi sistem usaha
pertanian berbasis inovasi teknologi, yang dapat diintroduksi oleh Balitbangtan melalui
BPTP Aceh bersama dengan stakeholder pada level Kabupaten Aceh Besar maupun
Provinsi Aceh.
2.4 Analisis SWOT
Untuk meningkatkan presisi dari perancangan (design) program pembangunan
lumbung pangan pangan berorientasi ekspor-wilayah perbatasan, sangat dibutuhkan suatu
analisis yang dapat membantu tim pelaksana untuk menelaah faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan program yakni sesuai dengan target dan sasaran. Alat bantu
yang digunakan adalah analisis SWOT, yang membagi faktor menjadi 4 kuadran (Gambar
11), berdasarkan kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (Oppurtunity) dan
*daerah administrasi setingkat di bawah kecamatan, khusus untuk Provinsi Aceh
15
ancaman (threath). Pada penyusunan desain pembangunan wilayah perbatasan di
Provinsi Aceh, menggunakan analisis SWOT (Rangkuti, 1999) dalam format kualitatif. Hal
ini dilakukan karena keterbatasan waktu, akan tetapi sangat diperlukan analisis SWOT
yang bersifat kuantitatif, sehingga dapat ditelaah secara mendalam faktor-faktor yang
mempengaruhi dan strategi yang dapat disusun untuk pencapaian tujuan program.
Pendalaman analisis SWOT juga disintesis dengan teknik Analytical Hierarcy Process (AHP)
untuk menentukan bobot dari masing-masing faktor (Marimin, 2004), serta pelibatan
narasumber (expert survei) yang berkompeten dalam perumusan strategi pembangunan
komoditas khusus pertanian, dalam hal ini adalah tanaman pangan dan hortikultura serta
peternakan wilayah perbatasan di Provinsi Aceh, spesifik pada Kecamatan Pulo Aceh,
Kabupaten Aceh Besar.
Gambar 10. Analisis SWOT Pembangunan Lumbung Pangan Provinsi Aceh
• Peningkatan produktivitas produk pertanian
•Tingginya permintaan produk pertanian dari
Banda Aceh
•Migrasi penduduk
•Belum tertatanya kelembagaan wilayah perbatasan
•Keterbatasan sarana dan parasarana
•Rendahnya daya saing produk
•Ketimpangan pembangunan
•Ketersediaan & kesesuaian lahan
•Kearifan lokal
S W
OT
16
III. KONSEP DAN STRATEGI PENGEMBANGAN
Program pembangunan lumpangan pangan berorientasi ekspor-wilayah
perbatasan, dalam hal ini fokus kepada Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar,
Provinsi Aceh pada dasarnya adalah suatu kegiatan usaha tani berbasis kawasan atau
yang bersentuhan langsung dengan berbagai aspek pada sektor pembangunan. Secara
teknis pembangunan wilayah perbatasan tidak hanya pada aspek teknis semata, misalnya
peningkatan produktivitas, pertambahan luas tanam dan luas panen, tetapi juga harus
menyentuh aspek sosial, ekonomi, budaya, regulasi serta arus politik yang ada. Secara
khusus dapat dikatakan bahwa masing-masing aspek tersebut satu sama lain saling
beririsan. Terdapat 4 kata kunci dari program ini, yaitu “lumbung”, “pangan”, “ekspor” dan
“perbatasan”. Dalam konteks kewilayahan, yaitu Kecamatan Pulo Aceh dapat kita lihat
seperti apa kesesuaian 4 kata kunci tersebut.
3.1 Pengertian dan Konsepsi Umum
Secara harpiah lumbung adalah tempat menyimpan, sedangkan pangan adalah
suatu bahan yang dapat dikonsumsi oleh manusia dan jika digabung menjadi lumbung
pangan menjadi tempat atau bangunan untuk menyimpan bahan pangan dalam
menghadapi masa paceklik atau menjadi cadangan pangan, misalnya padi/beras dan
jagung (Kementerian Petanian, 2017). Dalam konteks dengan program
pengambangan wilayah perbatasan lumbung pangan diarikan sebagai suatu kawasan
atau wilayah yang fungsi utamanya adalah memproduksi pangan yang sebagiannya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan di luar kawasan tersebut.
Jika dihubungkan dengan visi pembangunan pertanian Indonesia, yaitu Indonesia
sebagai salah satu lumbungan dunia tahun 2045, konsep lumbung pangan diperluas yaitu
sebagai sentra produksi pangan, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal (self-
suffiency) tapi juga sebagai penyangga (buffer-stock) daerah/negara lain. Visi ini juga
sejalan dengan Nawacita yang merupakan pedoman pelaksanaan pembangunan, dengan
salah satu butirnya adalah pembangunan yang dimulai dari kawasan/wilayah pinggir
(border) yang dapat diartikan sebagai wilayah perbatasan. Dalam UU No. 43 tahun 2008,
dapat dijelaskan bahwa wilayah perbatasan tidak hanya sebatas kawasan geografis, tetapi
*daerah administrasi setingkat di bawah kecamatan, khusus untuk Provinsi Aceh
17
juga merupakan kawasan strategis pembangunan nasional yang dapat dijadikan lokalita
perdana pengembangan lumbung pangan. Dalam kenteksnya dengan kewilayahan
Provinsi Aceh, dalam hal ini fokus kepada Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar,
makna konsep umum lumbung pangan adalah upaya pemenuhan kebutuhan pokok (food
security) bagi kawasan Pulo Aceh, karena pada kenyataanya sampai dengan saat ini
kebutuhan pokok masih minus 200-300 ton/tahun dan umumnya harus didatangkan dari
Kota Banda Aceh.
3.2 Konsepsi Pembangunan LPBE-WP Provinsi Aceh
Pada dasarnya pembangunan lumbung pangan wilayah perbatasan di Provinsi Aceh
adalah upaya mendorong pertumbuhan ekonomi melalui inovasi teknologi pertanian serta
mengurangi kesenjangan pertumbuhan antar wilayah. Dalam konteks program ini,
lumbung pangan dapat dimaknai sebagai konsep swasembada pangan yang diperluas,
artinya bukan hanya pada aspek teknis, tetapi juga menyangkut aspek sosial, ekonomi,
budaya dan politik. Mengacu kepada grand-design LPBE-WP yang diterbitkan oleh
Kementerian Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian dapat disimplifikasi konsep
pembangunan lumbung pangan, spesifik Aceh (Gambar 11).
Gambar 11. Konsep Pembangunan Perbatasan Provinsi Aceh (adaptasi Kementan, 2017)
Swasembada
Kondisi Eksisting: • Lahan
• SDM
• Teknologi
• Budaya
Lingkungan Strategis:
• Pertumbuhan ekonomi
• Perubahan iklim
• Kebijakan Pemda
• Pertumbuhan penduduk
Dukungan Sarana dan Prasarana Pertanian: Tan. Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Peternakan
Tata Kelola Air
Jasa Alsintan Agro-input: benih, pupuk
Revitalisasi Penyuluhan
Inovasi Tek. Pertanian
Implementasi Sistem
Kemandirian pangan wilayah dan perdagangan antar pulau
18
Dalam upaya pencapaian tujuan program yaitu terpenuhinya (food-security)
kebutuhan pokok masyarakat Pulo Aceh tentunya memerlukan dukungan
infrastruktur, baik yang berhubungan langsung dengan pertanian atau yang
sifatnya pendukung. Faktor-faktor tersebut mencakup tata kelola air, yang dapat
dimaknai pembangunan irigasi dan manajemenya sesuai dengan kebutuhan, hal
yang tak kalah penting juga adalah penyediaan jasa alsintan, terutama adalah alat
pengolah tanah (traktor) yang saat ini jumlahnya hanya 1 unit, mempermudah
(aksesibilitas) terhadap sarana produksi, terutama adalah pupuk bersubsidi yang
saat ini toko penyalurnya terdapat di Kecamatan Peukan Bada yang berada di
Pulau Sumatera. Hal mendesak lainya adalah revitalisasi penyuluhan, dengan luas
lahan sawah 313 ha hanya terdapat 3 orang tenaga PPL, serta dengan kondisi
kantor yang tidak layak untuk digunakan (Gambar 12). Demikian juga dengan
peran inovasi teknologi pertanian yang sesuai dengan kondisi wilayah setempat.
Gambar 12. Kondisi Kantor Balai Penyuluhan Pertanian Kec. Pulo Aceh
3.3 Model Konseptual Pengembangan Wilayah Perbatasan Provinsi Aceh
Secara teknis, pembangunan wilayah perbatasan sebagai lumbung pangan di
Provinsi Aceh, fokus kepada Kecamatan Pulo Aceh tentu tidaklah mudah. Dengan segala
keterbatasan, pelaku dituntut untuk dapat mencapai target sesuai dengan peta jalan yang
*daerah administrasi setingkat di bawah kecamatan, khusus untuk Provinsi Aceh
19
Pertanian Berkelanjutan
Pertanian Terpadu
Pertanian Modern
telah disusun. Pencapaian tujuan dapat direalisasikan tentunya dengan suatu sistem
pertanian yang mampu meningkatkan kinerja usahatani ekisting melalui sistem usahatani
berkelanjutan dengan skala luas (economically) dan perenarapan inovasi teknologi dan
harus ramah lingkungan (go-green).
Teknologi Pertanian modern adalah usaha pertanian yang memanfaatkan teknologi
maju yang sesuai dengan agroekologi dan sosial ekonomi petani serta lebih produktif,
efisien dan menguntungkan petani (Gambar 13). Di lain pihak pencapaian tujuan program
tentunya harus didukung oleh perangkat SDM yang handal. Dalam hal ini Balitbangtan,
yang direfresentasikan oleh BPTP Aceh dapat mengintroduksi inovasi teknologi pertanian,
melalui dukungan inovasi yang diartikan sebagai Pendampingan inovasi pertanian yaitu
kegiatan yang dilakukan oleh BPTP terkait dengan penerapan teknologi pertanian inovatif
guna meningkatkan pemahaman dan akselerasi adopsi teknologi pertanian inovatif untuk
mendukung keberhasilan pengembangan Lumbung Pangan di Wilayah Perbatasan
Provinsi Aceh.
Gambar 13. Model Konseptual Pembanguan Pertanian Wilayah Perbatasan Aceh (adaptasi
Kementan, 2017)
Dalam penyusunan desain pembangunan wilayah perbatasan di Provisni Aceh,
pendekatan yang digunakan adalah sistem (system approach) karena kompleksitas
masalah yang dielaborasi, termasuk juga pelaku terlibat multi-stakeholder dan lintas
disiplin. Eriyatno (1998) menyatakan dalam pelaksanaan program yang melibatkan lintas
sektoral dan menyangkut sistem sosial, sebaiknya menggunakan pendekatan sistem
• Food • Feed • Fuel
• Fertilizer
20
karena kemampuannya dalam mendefenisikan problem secara holistic, tidak persektor
seperti pada pendekatan reduksionime, walaupun Marimin (2004) yang menyatakan
bahwa, pendekatan sistem mempunyai beberapa kekurangan misalnya spectrum
penelitian yang cukup luas, sehingga cenderung tidak fokus serta memerlukan
sumberdaya yang sangat besar, jika dibandingkan dengan pendekatan reduksionisme atau
riset operasi.
3.4 Model Operasional Pengembangan Wilayah Perbatasan Provinsi Aceh
Secara konseptual program pembangunan wilayah perbatasan di Provinsi Aceh
diarahkan kepada pembangunan sistem pertanian modern berbasis kawasan. Sistem
pertanian modern mengacu kepada aspek teknis dan manajerial. Aspek teknis adalah
penggunaan input yang telah teruji kesesuaianya dengan kondisi lokasi, misalnya
penggunan binih/bibit unggul (VUB), sistem pertanaman anjuran (jajar legowo 2:1) untuk
komoditas padi sawah, penggunaan alsintan (taktor, transplanter), pupuk sesuai anjuran,
plus penggunaan bahan-bahan organik. Sasaran yang ingin dicapai adalah adanya
peningkatan produktivitas, kualitas dan daya saing produk. Spesifik pembanguan wilayah
perbatasan di Kecamatan Pulo Aceh adalah pencapaian ketahanan pangan lokal
(swasemba) dan menuju perdagangan antar pulau.
Secara teknis, daya saing dapat dicapai setidaknya melalui 3 pendekatan yaitu,
efisiensi faktor produksi, pemilihan jenis komoditas (fokus) dan peningkatan mutu melalui
aplikasi sistem pertanian modern dan tentunya berbasis kearifan lokal. Dalam desian inii
diaplikasikan sistem pertanian terpadu yang didukung oleh inovasi teknologi, khususnya
untuk usahatani eksisting. Berdasarkan desain pengembangan LPBE-WP nasional
(Kementan, 2017) terdapat 2 varian model pengembangan, khusus untuk Kecamatan Pulo
Aceh, yang sesuai adalah model pembangunan wilayah perbatasan berbasis intensifikasi
dan moderenisasi, karena terbatasnya ketersediaan lahan pengembangan, terutama untuk
komoditas padi sawah. Terkait dengan komoditas, model yang dapat diaplikasikan adalah
model LPBE-WP berbasis komoditas tanaman pangan (Gambar 14).
*daerah administrasi setingkat di bawah kecamatan, khusus untuk Provinsi Aceh
21
Padi• Sawah
• Gogo
Hortikul
tura
• Cabai
• Bawang
Ternak• Sapi
• Kambing
Gambar 14. Model Operasional Pembanguan Wilayah Perbatasan Aceh
3.5 Tahapan (Roadmap) Pengembangan Wilayah Perbatasan Provinsi Aceh
Sesuai dengan model operasional yang telah ditetapkan, maka dalam proses
pelaksanaan pengembangan wilayah perbatasan di Provinsi Aceh terdiri dari beberapa
tahapan (roadmap) sesuai dengan kerangka waktu (time-frame) yang telah ditentukan,
atau lebih dikenal dengan siklus proyek (Gambar 15). Secara umum time-frame dibagi
menjadi jangka pendek (2017-2019), jangka menengah (2017-2024) dan jangka panjang
(2017-2045). Time-frame ini menacu kepada visi dan misi serta rencana strategis dari
Kementerian Pertanian, serta telah disinkronkan dengan Rencana Pembangunan Jangka
menengah (RPJMP dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dari Provinsi Aceh,
yang dalam hal ini berdasarkan kerangka acuan pembangunan yang ditetapkan oleh
Gubernur Provinsi Aceh, drh Irwandi Yusuf, M.Sc yang lebih dikenal dengan istilah Aceh-
Troe.
Model Perbatasan
Aceh
22
Pendek (2017-2019)
Menengah
(2019-2024)
Panjang (2024-2045)
Gambar 15. Roadmap Pengembangan Wilayah Perbatasan Provinsi Aceh
1. Pemantapan SUT
eksisting (konsep)
2. Perancangan
sistem
3. Implementasi
sistem untuk food-
security
4. Penjaringan
umpan balik
1. Penguatan
pelaksanaan
program
2. Implementasi
Pertanian Moderen
3. Implementasi SUP
berbasis kawasan
4. Pencapaian sistem
perdagangan antar
pulau
Perbaikan sistem usaha
pertanian (SUP) menuju
Indonesia sebagai
Lumbung Pangan
Dunia.
1. Nawacita
2. Renstra Kementan
3. Aceh-Troh
*daerah administrasi setingkat di bawah kecamatan, khusus untuk Provinsi Aceh
23
IV. IMPLEMENTASI DESAIN
4.1 Aspek Teknis
Sesuai dengan model operasional yang telah disusun (Gambar 14), dapat
dijabarkan bahwa dalam pencapaian program pengembagan wilayah perbatasan di
Provinsi Aceh, yang fokus kepada pencapaian ketahanan pangan (food-security) sesuai
dengan roadmap jangka pendek. Upaya pencapaian program ketahanan pangan dicapai
dengan peningkatan produksi dan produktivitas pada komoditas padi. Berdasarkan aspek
kewilayahan, yaitu Kecamatan Pulo Aceh peningkatan produksi dan produktivitas
dilakukan dengan introduksi Varietas Unggul Baru (VUB) berkategori varietas ampibi yang
relatif tahan terhadap keterbatasan air, aplikasi sistem pertanaman Jajar Legowo 2:1
(Jajar Legowo 2:1), Penggunaan pupuk berimbang. Kegiatan dilaksanakan di Desa
Blangsitungkoh, Mukim Pulo Aceh Selatan. Luas lahan padi sawah tadah hujan yang
digunakan 3 ha, yang terbagi menjadi 2 persil lahan. Kelompok tani yang dilibatkan adalah
Bungong Jeumpa, dengan ketua Zulkifli, sedangkan petani adalah bapak Dahlan.
Target peningkatan produktivitas adalah 50-60% dari kondisi ekisting, yaitu dari 3
ton/ha menjadi 4.5-5 ton/ha yang pada dasarnya adalah untuk memenuhi kekurangan
produksi beras sampai 132 ton/tahun (Gambar 16) agar kekurangan beras dapat dipenuhi
secara mandiri. Pada kajian ini, benih yang digunakan berlabel putih (foundation seed/FS),
sehingga dapat digunakan kembali sebanyak 2 kali oleh petani. Selain pada peningkatan
produktivitas, dirancang juga perluasan luas tanam melalui program cetak sawah baru
yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar, bekerjasama dengan
TNI-AD.
Dalam pencapaian target yang telah dicanangkan pada roadmap jangka pendek,
fokus peningkatan produktivitas dilakukan dengan introduksi VUB Ampibi, yaitu Inpari 30,
38, 39 dan 42 (Gambar 16), serta diintroduksi juga Inpago 8, yang secara teknis teruji di
Provinsi Aceh, saat kegiatan Pekan Pertanian Nasional (Penas) Bulan Mei 2017.
Berdasarkan dengan identifikasi potensi lahan pertanian, bahwa kondisi eksisting lahan
sawah di Kecamatan Pulo Aceh adalah tadah hujan, sehingga sangat cocok jika pada
tahap awal diintroduksi varietas yang relatif tahan terhadap kekeringan, dengan potensi
hasil yang tidak jauh berbeda dengan padi sawah lahan irigasi. Sampai dengan laporan ini
24
disusun kegiatan introduksi VUB baru pada tahap pemeliharaan, karena dengan kondisi
lahan tadah hujan maka penamanan padi baru dapat dilakukan pada saat musim hujan
tiba. Saat ini kondisi pertanaman padi berumur 40 hari, dengan kondisi tanaman sangat
baik. Diperkirakan panen padi akan dilaksanakan pada awal Januari.
Hal mendasar dari pelaksanaan kegiatan ini adalah, terbatasnya pengetahuan
petani terhadap teknologi VUB dan sistem pertanaman Jarwo, dalam hal ini belum
mencapai Jarwosuper. fakta ini menunjukan bahwa belum berjalanya sistem diseminasi
yang dilakukan oleh Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) kecamatan Pulo Aceh. Hal ini sesuai
dengan hasil dari identifikasi kondisi eksisting kelembagaan penyuluhan di Kecamatan Pulo
Aceh. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya kapasitas penyuluh pertanian lapangan (PPL),
termasuk juga jumlah dari PPL yang ada, yaitu hanya 3 orang untuk cakupan wilayah
kerja lebih dari 9.000 ha, artinya masing-masing PPL memiliki cakupan wilayah kerja 3.000
ha/PPL. Selain keterbatasan pada kapasitas dan jumlah, kegiatan penyuluhan juga
terhambat pada minimnya sarana dan parasana, misalnya alat peraga untuk materi
penyuluhan dan fasilitas dikantor BPP.
Gambar 16. Kondisi Pertanaman Padi per 27/Oktober/2017
*daerah administrasi setingkat di bawah kecamatan, khusus untuk Provinsi Aceh
25
Gambar 17. Target pemenuhan kekurangan produksi beras
ket: @berdasarkan BPS, 2014
2. Aspek Sosial
Berdasarkan model konseptual (Gambar 13), dapat diilustrasikan bahwa,
pengembangan wilayah perbatasan di Provinsi Aceh adalah berbasis pertanian
berkelanjutan. Dasar pengembagan pertanian berkelanjutan adalah interrelasi antar 3
aspek, yaitu teknis, ekonomi dan sosial. Dalam program ini, yang dimaksud dengan aspek
sosial adalah dilihat dari sistem sosial yang berhubungan dengan sistem pertanian di
Kecamatan Pulo Aceh. Secara operasional, kajian aspek sosial dimulai dari bagaimana
kondisi eksisting pelaku sistem pertanian di lokai kegiatan, kemudian dilakukan rekayasa
melalui beberapa pendekatan kelembagaan sosial, seperti peran dari tokoh masyarakat
terhadap tahapan adopsi teknologi Jarwo 2:1.
Secara cultural, petani di Kecamatan Pulo Aceh sampai dengan saat ini masih
menanam varietas Ciherang, yang benihnya didapatkan secara turun-temurun. Aspek
teknis varietas Ciherang sudah jauh menurun karena hilangnya keungulan dari varietas
tersebut, terutama adalah dari serangan penyakit Blast, HDB dan hama Wereng Batang
Coklat (WBC). Selain itu banyak penangkar lokal juga telah menghasilkan benih tanpa
proses sertifikasi, selain itu relatif resisten terhadap pestida yang beredar. Fakta ini yang
membuat membuat Kementerian Pertanian berusaha mengganti Varietas Ciherang
tersebut dengan Inpari 30 yang secara teknis sangat mirip dengan Ciherang.
Dalam program pengembangan wilayah perbatasan, upaya percepatan adopsi
teknologi, terutama adalah adopsi varietas Inpari selain melalui teknis (demplot) dan
26
peran PPL setempat, juga menggunakan petani yang secara teknis telah mengaplikasi
sepenuhnya introduksi VUB (Inpari) dan sistem pertanaman jarwo. Dalam hal ini adalah
petani yang berasal dari Kecamatan Kota Jantho, yang merupakan kawasan Taman
Teknologi Pertanian (TTP) Kota Jantho. Dengan melibatkan petani, artinya terjadi
kesetaraan antar pelaku di lapangan, sehingga dengan menggunakan bahasa universal
sesame petani, tentu lebih mudah dipahami oleh petani di Kecamatan Pulo Aceh.
Demikian juga dengan Penyuluh, diperlukan juga penyampaian materi penyuluhan oleh
penyuluh di daerah yang dianggap sukses dalam introduksi teknologi pertanian.
V. KESIMPULAN
Secara umum, pelaksanaan program pengembangan wilayah perbatasan di
Provinsi Aceh telah sesuai dengan roadmap, yaitu pada kerangka waktu pengembangan
jangka pendek. Dengan peningkatan produktivitas antara 60-70% dari kondisi eksisting,
tentunya terjadi peningkatan produksi beras sampai 550 ton/tahun. Berdasarkan hal ini,
upaya pencapaian program ketahanan pangan (food-security) dapat dicapai, pada tahun
pertama kegiatan. Diharapkan, tahun selanjutnya peningkatan produktivitas tidak saja
pada komoditas padi, tetapi juga pada komoditas hortikultura dan peternakan, sehingga
meningkatkan pendapatan pelaku pertanian di Kecamatan Pulo Aceh, dan pada tahun
2019 dimulai perdagangan antar pulau, yaitu ke Pulau Weh dan Kota Banda Aceh.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini tim Pengembangan Wilayah Perbatasan Provinsi Aceh,
mengucapak terima kasih kepada Camat Pulo Aceh, Penyuluh Pertanian Lapang (PPL)
Kecamatan Pulo Aceh, Kepala BPP Kecamatan Pulo Aceh, Armiya, SP, Danramil Kecamatan
Pulo Aceh dan Babinsa Desa Blang Situngkoh yang telah membantu kegiatan di lapangan.
*daerah administrasi setingkat di bawah kecamatan, khusus untuk Provinsi Aceh
27
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2013. Aceh Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Provinsi Aceh, Banda Aceh
Budianta A. 2010. Pengembangan Wilayah Perbatasan Sebagai Upaya Pemerataan Pembangunan Wilayah Di Indonesia. Jurnal SMARTek, 8 (1): 70-82.
BPS. 2015. Kecamatan Pulo Aceh dalam Angka. Biro Pusat Statistik Kec. Pulo Aceh, Lampuyang.
BPS. 2013. Aceh Besar Dalam Angka. Biro Pusat Statistik, Jantho.
Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem: meningkatkan mutu dan efektifitas manajemen. Bogor: UIPB-Press.
Jackson MC. 2003. Systems thinking: Creative holism for managers. JohnWiley & Sons Ltd. England.
Lyneis JM. 1988. Corporate planning and policy design. A system dynamic approach. Cambride, Massachusetts: Pugh-Roberts Assosiate, Inc.
Marimin, 2004. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk: Teknik dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit Grasindo.
______, 2009. Sistem Pakar dalam teknologi manajerial: Teori dan aplikasi. Bogor: IPB-Press.
Mayona EL, Salahudin, Kusmatuti R. 2011. Penyusunan Arahan Strategi dan Prioritas Pengembangan Perbatasan Antar Negara di Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Tata Loka, 13 (2): 119-134.
Nitti Aayog. 2015. Evaluation Study on Border Area Development Programme (BADP). Programme Evaluation Organization Government of India, New Delhi-110001.
Kementerian Pertanian. 2017. Grand Design Pengembangan Lumbung Pangan Berorientasi Ekspor-Wilayah Perbatasan (draft 1), Jakarta.
Parnell GS, Driscoll PJ, Henderson DL. 2011. Decision Making in System Engineering and Management. John Wiley and Son, Inc. New Jersey.
Raharjo SNI. 2013. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Darat Indonesia-
Malaysia (Studi Evaluatif Di Kecamatan Entikong). Widyariset, 16 (1): 73-80.
van Houtum H. 1998. The Development of Cross-Border Economic Relations. Thela Thesis Publishers Amsterdam the Netherlands.