demonstrasi klinik penyakit neonatal anjing

Upload: andi-husnul-khatimah

Post on 09-Jan-2016

236 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

CANINE DISTEMPER, PARVOVIRUS, PARAINFLUENZA

TRANSCRIPT

PENYAKIT NEONATAL PADA ANJINGCANINE DISTEMPER, PARVOVIRUS, PARAINFLUENZA

Andi Husnul Khatimah1, Chandra Arsandi2, Try agustianingsih3, Janne Lorens4, Inriyani Sari5

Bagian Bedah & Radiologi. Departemen Klinik, Reproduksi & PatologiProgram Studi Kedokteran Hewan (PSKH), Universitas Hasanuddin (UNHAS)

Korespondensi penulis: [email protected] AbstrakTujuan praktikum ini adalah memaparkan kasus penyakit neonatal pada anjing, yaitu Distemper, Parvovirus, dan Parainfluenza. Namun pada saat praktikum anjing yang digunakan tidak memiliki gejala yang merujuk pada salah satu dari ketiga penyakit tersebut. Seekor hewan dengan anamneses, anjing belum pernah mendapatkan vaksinasi apapun, anjing tersebut merupakan anjing rumahan bersama beberapa peliharaan lain, memakan makanan apa saja. Selain itu, temperatur tubuhnya 38,7 C, frekuensi nafas 112 x/menit, frekuensi jantung 152 x / menit. Hasil pemeriksaan klinis. Anjing tidak memiliki kelainan yang serius, hanya mengalami stress akibat terlalu lama digunakan dalam praktikum. Tidak dilakukan pemeriksaan lanjutan (lab) karena anjing terlihat sehat dan tidak ada gejala yang mengarah ke panyakit yang serius. Terapi yang dilakukan yaitu hanya pemberian vitamin dan pemberian nutrisi yang baik. Kesimpulan, anjing tersebut tidak memiliki salah satu dari penyakit tersebut, baik penyakit Distemper,Parvovirus maupun Parainfluenza.Kata kunci: anjing, Distemper, Parvovirus, Parainfluenza., sistem digesti, sitem pernafasan, vaksinPendahuluanCanine Distemper Virus (CDV) merupakan virus dari golongan morbilivirus genus paramyxovirus, famili paramyxoviridae yang mengakibatkan infeksi akut, sub akut, kronis dan sub klinis pada hewan yang termasuk ordo fissipedia, pinnipedia, dan ordo artiodactyla serta primata (Sudarisman, 2007). Pada sepuluh tahun terakhir ini peningkatan jumlah outbreak (wabah) penyakit distemper anjing bervariasi diantara berbagai populasi anjing dan hal ini banyak dilaporkan di benua Eropa (Van Moll et al., 1995). Penyakit infeksi parvovirus yang sering disebut sebagai penyakit muntah berak (muntaber) pada anjing, yang penyebabnya berbeda dari muntaber pada manusia, baru dikenal pada 1978. Penyakit dengan cepat menyebar dan dilaporkan dari berbagai negara. Penyakit yang berlangsung akut, bahkan sering sekali per-akut, terbukti disebabkan oleh virus yang sangat mirip dengan virus distemper kucing, atau panleukopenia (Subronto, 2010).Penyakit infeksi oleh virus Parainfluenza biasanya hanya berupa sebagai gangguan pernafasan ringan, yang meskipun tidak mematikan secara langsung, akan tetapi cukup mengganggu penderita, dan lama-lama menyebabkan penurunan kondisi umum (Subronto, 2010).Tinjauan Pustaka Kasus A. Distemper anjingDistemper anjing atau canine distemper merupakan penyakit yang sangat menular pada anjing, ditandai dengan kenaikan suhu tubuh yang bersifat fase dua (biphasic), lekopenia, radang saluran pencernaan makanan dan pernafasan, dan sering diikuti oleh komplikasi berupa gangguan syaraf pusat. Banyak penderita yang sembuh selama beberapa bulan atau tahun, memperlihatkan gejala syarafi, berupa gerak atau kejang otot perifer yang tak terkontrol (tick atau chorea) (Subronto, 2010).Distemper anjing disebabkan oleh virus RNA Paramyxo- virus yang berukuran 150-00 nm. Virus menyebabkan terjadinya fusi dari sel, dan menyebabkan terbentuknya benda inklusi di dalam sitoplasma yang bersifat eosinofilik (Subronto, 2010).Semua bangsa dan umur anjing secara universal dapat menderita distemper. Yang terbanyak ditemukan pada anjing berumur sampai 1 tahun. Virus menyebar secara aerogen atau kontak dengan obyek yang tercemar virus. Selain anjing, anggota familia Canidae lainnya (misalnya serigala, dingo, dan rubah), Mustelidae (mink, ferret, dan skunk), Procynidae (raccoon) dan Viveridae (binturong) juga dapat menderita distemper dengan gejala klinis yang kurang jelas (Subronto, 2010).PatogenesisVirus yang masuk secara inhalasi akan segera dibawa oleh sel darah putih ke limfoglandulae terdekat. Dalam waktu 1 minggu virus menjalani replikasi dan menyebabkan viremia, yang selanjutnya virus tersebar ke berbagai organ limfoid, sumsum tulang, dan lamina propria dari epitel. Apabila respons jaringan retikulo endotel bagus, segera terbentuk antibodi yang cukup, dan virus akan dinetralisasi hingga tubuh bebas dari virus. Sebaliknya kalau antibodi tidak terbentuk, virus menyebar dengan cepat ke semua sel epitel dan sistem syaraf pusat. Suhu tubuh saat akan naik, anoreksia, depresi dan sel-sel kelenjar di saluran pernafasan dan mata menghasilkan sekretnya secara berlebihan. Batuk, dispnoea, disertai suara cairan dari paru-paru segera terjadi. Rusaknya sel epitel saluran pencernaan menyebabkan diare, muntah, dan nafsu makan makin tertekan (Subronto, 2010).Anamnese. Klien datang membawa anjingnya dengan keluhan anjing tersebut mengalami muntah dan diare (dengan bau yang khas), anjing tersebut mengalami anoreksia, liur yang berlebihan, lemas, lesu dan juga demam. Selain itu pemilik hewan mengaku bahwa anjingnya belum pernah mendapatkan vaksinasi apapun. Signalemen, Anjing bernama puppy, berusia 5 bulan, ras domestik, berat 2,5 kg, berwarna hitam, jenis kelamin jantan. Status present, habitus/tingkah laku lemah, lesu, gizi yang diberikan sedang, pertumbuhan badan buruk (kurus), sikap berdiri yang mebungkuk dan selalu menyandarkan kepalanya, suhu tubuh mencapai 40C, frekuensi nadi 200 kali/menit, dan frekuensi nafas 15 kali/ menit. Pemeriksaan klinis. Saat inspeksi, anjing terlihat lesu lemas, malas berdiri atau bergerak, anjing juga mengalami kekurusan (koheksia), batuk, daerah sekitar anus kotor, rambut tampak kotor dan lusuh. Gangguan respirasi segera diikuti dengan pengeluaran leleran hidung kental, mukopurulen, dan leleran air mata yang meningkat (epifora). Telapak kaki jadi keras, Gejala dehidrasi sangat menonjol. Terlihat adanya inkoodinasi kaki-kaki dan ataksia. Gerakan mengunyah yang sering dan hipersalivasi. palpasi, pada saat palpasi terlihat adanya gejala syaraf berupa tick atau chorea (kejang klonik teratur dari otot kaki, muka, dada atau bagian tubuh lainnya), paresis atau paralisis yang dimulai dari tubuh bagian belakang.itu mukosa mulut terlihat pucat (dehidrasi), selain itu di temukan radang kulit bernana pada permukaan kulit abdomen. perkusi, saat perkusi paru-paru terdengar pekak akibat terjadi pnemonia interstisial. auskultasi, saat auskultasi adanya suara paristaltik usus yang cepat, itulah mengapa terjadi diare (Subronto, 2010).Pemeriksaan lanjutan, dapat dilakukan uji Laboratorium IFATA dari cairan mata, trachea, vagina, atau dari buffy coat. Juga pemeriksaan efek cytopathogenik (CPE) pada pemeriksaan biakan sel. Pemeriksaan antibodi terhadap distemper perlu dilakukan 2 kali, dengan antara minggu. Kenaikan lebih dari kali pada pemeriksaan kedua memiliki arti diagnostik (Subronto, 2010).Virus tinggal di berbagai jaringan, misalnya kulit, telapak kaki dan pusat syaraf selama 0 hari. Kalau dibiopsi dapat dilakukan uji IFAT atau immunoperoxidase. Uji akurat dan cepat dilakukan dengan metode PCR terhadap serum, darah atau cairan srebrospinal (Subronto, 2010).Diagnose, Dari gejala klinis dan hasil uji lab yang dilakukan anjing tersebut di diagnosis Distemper Anjing. Apabila ada anak anjing demam perlu dicurigai apakah ia dilahirkan dari induk yang tidak divaksin, atau anak anjing tersebut belum pernah divaksin distemper. Gejala distemper mungkin ditandai dengan gejala tracheobronchitis ringan, yang mirip dengan beberapa jenis penyakit (Subronto, 2010). Diagnose banding, yang memiliki gejala klinis yang mirip dengan distemper anjing, adalah Toksoplasmosis,koksidiosis, cacingan, hepatitis viral, dsb (Subronto, 2010).Prognosa, pada infeksi ringan, terutama pada anjing yang telah divaksin, prognosanya baik, sedang lainnya meragukan sampai infaausta (Subronto, 2010).Terapi, beberapa tahun yang lalu pemberian antiserup homolog telah digunakan. Karena hasilnya tidak memuaskan penggunaaan antiserum tersebut tidak lagi banyak digunakan. Kalau diberikan pada awal penyakit antiserum dapat memperkuat respon imun hingga gejala klinis selanjutnya dapat dikurangi (Subronto, 2010).Karena infeksi virus distemper selama beberapa minggu, infeksi sekunder hampir tak dapat dihindari, mulai dari infeksi kuman, mikoplasma sampai protozoa (toksoplasma). Pemberian antibiotika bersepktrum luas diperlukan untuk melawan infeksi sekunder. Pengobatan suportif maupun simtomatis harus diberikan. Dalam keadaan infeksi berat, penderitaan lebih baik dieliminasi (etanasi) daripada menjadi sumber penularan virus (Subronto, 2010). Pencegahan Virus yaitu dengan melakukan vaksinasi, baik dengan vaksin monovalen, maupun polivalen, gabungan dengan imunogen agen lain, misalnya parvo-virus, adenovirus dan lain-lain (Subronto, 2010). Untuk anaka anjing, dianjurkan disuntik vaksin campak (measles vaccine) padaumur 6-12 minggu, sebelum disuntik vaksin distemper MLV. Vaksin campak berguna untuk memacu pembentukan antibodi heterolog hingga dapat mencegah infeksi virus distemper pada saat antibodi maternal sudah menyusut (Subronto, 2010).

B. Parvovirus (muntaber)

Muntaber disebabkan oleh Parvovirus (CPV) tipe 1 dan 2. Keduanya memiliki morfologi sama, yaitu merupakan non-enveloped single stranded RNA virus, dan berukuran 18-22 nm. Virus resisten terhadap alkohol, fenol, eter, ammonium kuartener, yodium dan suhu tinggi. Virus mudah dimatikan dengan formalin, kaporit, etilen oksida dan suhu mendidih (Subronto, 2010).Virus CPV-1 bersifat non patogenik (relatif) dan seringkali diisolasi pada penyakit radang saluran pencernaan, radang paru, dan miokarditis pada anak anjing sangat muda (Subronto, 2010).Virus CPV-2 merupakan penyebab muntaber (parvoviral enteritis) yang terdapat di sebagaian besar negara. Virus mutant CPV-2b memiliki patogenitas tertinggi bagi anjing dan kucing (Subronto, 2010).

PatogenesisKebanyakan penularan terjadi karena ingesti tinja atau partikel-partikelnya yang mengandung virus. Penularan secara kontak dan inhalasi juga mungkin sepanjang material yang diserap atau terdedah memasuki saluran pencernaan. Virus yang menginvasi segera menghancurkan sel epitel selaput lendir maupun sumsum tulang yang sedang membelah. Sel-sel yang terdapat dipangkal villi intestinal, atau kripte, paling banyak menderita, menyebabkan villi-villi usus mengalami kematian dan tercabik dari usus. Karena villi usus mengandung pembuluh darah terjadilah perdarahan hebat. Proses pencernaan makanan terhenti sama sekali karena peradangan berdarah yang berlangsuung cepat. Kehilangan cairan darah mengakibatkan dehidrasi dan anemia. Kejadian paling berat dialami oleh anak anjing yang tidak memiliki antibodi maternal atau belum pernah divaksin, pada umur 2 minggu sampai dengan bulan. Anjing tua, kecuali pada penyakit yang berlangsung perakut, biasanya kurang begitu menderita dan banyak yang dapat diselamatkan (Subronto, 2010).Kerusakan sumsum tulang mengakibatkan proses pembentukan sel darah dan sel pembentuk kekebalan (limfosit) tidak terbentuk. Penderita tidak mampu mempertahankan kekebalan yang dimiliki karena kerusakan jaringan tersebut. Dalam pemeriksaan darah jumlah netrofil juga sangat merosot, hingga penderita jadi peka terhadap kuman penyebab infeksi sekunder (Subronto, 2010).Penularan secara in-utero juga dapat terjadi, hingga anak yang dilahirkan pada umur kurang dari 8 minggu sudah menderita miokarditis (Subronto, 2010).Anamnese. Klien datang membawa anjingnya dengan keluhan anjing tersebut demam, lesu, anoreksia, muntah dan hipersalivasi. Selain itu pemilik hewan mengaku bahwa anjingnya belum pernah mendapatkan vaksinasi apapun. Signalemen, Anjing bernama boomber, berusia 6 bulan, ras Rottweiler, berat 4 kg, berwarna coklat, jenis kelamin jantan. Status present, habitus/tingkah laku lemah, lesu, gizi yang diberikan sedang, pertumbuhan badan kurus, sikap berdiri yang mebungkuk, suhu tubuh mencapai 39,9C, frekuensi nadi 180 kali/menit, dan frekuensi nafas 45 kali/ menit. Pemeriksaan klinis. Gejala yang sering ditimbulkan adalah demam 39,9 C, lesu, anoreksia muntah, dan hipersalivasi. Tinja bercampur darah, hilangnya darah mengakibatkan hipoalbuminemia. Muntah yang berlangsung terus menerus juga mengakibatkan radang di lambung dan oesophagus dan terlihat dehidrasi (Subronto, 2010). Palpasi, pada saat palpasi daerah abdomen akan terasa sakit akibat radang pada lambung (Subronto, 2010). Selain itu mukosa mulut terlihat pucat (dehidrasi). perkusi, saat perkusi tidak ada perbuahan suara yang berarti. Saat auskultasi suara paristaltik akan terdenga lebih cepat, sehingga anjing akan mengalami diare. Pemeriksaan lanjutan, dilakukan uji Enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA). Cara diagnosis yang lain yang juga akurat adalah dengan cara FAT dengan jaringan usus sebagai antigennya (Subronto, 2010). Diagnose, Dari gejala klinis dan hasil uji lab yang dilakukan anjing tersebut di diagnosis Parvovirus. Hasil Elisa memiliki arti diagnostik dan bila positif setidaknya terdapat 104 partikel virus tiap gram tinja. Perlu diketahui bahwa penyebaran virus akan berhenti pada 10-14 hari pasca infeksi. Tidak adanya virus tidak berarti penderita tidak menderita infeksi parvovirus (Subronto, 2010). Diagnose banding, yang memiliki gejala klinis yang mirip dengan Parvovirus adalah Salmonelosis, kolibasiliosi, distemper, dan panleukopenia (Subronto, 2010).Prognosa, penderita yang terlalu muda dan sakit parah prognosisnya jelek. Kematian disebabkan oleh shock septik. Biasanya penderita demikian suhu tubuhnya jadi subnormal (Subronto, 2010). Terapi, Lakukan terapi cairan (fisiologis) pada pasien yang mengalami anoreksia. Obat-obatan yang diberikan biasanya tergantung gejala pada anjing yang terserang Parvovirus. Untuk mencegah infeksi sekunder akibat bakteri sebaiknya anjing diberi antibiotik. Adanya penyakit gastrointestinal yang bersamaan dengan CPV. Pengobatan penyakit lain dapat mempengaruhi perjalanan penyakit CPV yang justru merugikan. Kalau tidak sangat mendesak, pengobatan terhadap penyakit gastrointestinal lain tersebut ditunda dulu (Subronto, 2010).

C. ParainfluenzaVirus Parainfluenza yang biasa menyerang anjing adalah Simian Virus 5 (SV-5), yang termasuk virus Paramyxo. VirusParainfluenza diketahui terdiri dari 5 tipe (tipe 1-5) dan menyebabkan gangguan pada anjing adalah SV-5. Virus yang mengandung RNA tersebut berukuran 150-00 nm. Virus seringkali diisolasi dari penyakit saluran pernafasan, disebarkan secaraaerogen dari anjing penderita ke lainnya (Subronto, 2010).Virus menyerang epitel permukaan saluran pernafasan atas bawah. Adanya makrofag di paru-paru dapat mencegah penyebaran virus ke organ lainnya (Subronto, 2010).Penyebaran antar anjing dapat terjadi dengan cara infeksi droplet (droplet infection). Ketika anjing menggonggong atau batuk akan keluar percikan kecil dari saliva atau sekresi respirasi yang dengan cepat akan menjadi kering dan menghasilkan inti droplet di udara. Apabila inti droplet ini terhisap oleh anjing lain terjadilah infeksi pada anjing tersebut. Karena bentuknya yang mengambang di udara memungkinkan terjadinya penyebaran secara cepat antar anjing dalam satu kelompok (Pirie, 1979).Anjing terinfeksi akan menyebarkan virus di udara hanya dalam selang waktu tertentu saja yaitu pada periode pelepasan virus (virus shedding), yang berdasarkan penelitian Rosenberg et,al. (1971) dimulai setelah masa inkubasi (1 sampai 5 hari) dan berlangsung selama 5-8 hari. Oleh karena itu kontak antara anjing sehat tersebut. Patogenesa, infeksi diketahui dapat terjadi melalui hidung, mulut, trachea dan secara aerogen , sedang inokulasi secara intra muskuler dan subkutan tidak menghasilkan gejala sakit (Appel dan Percy 1970). Anamnese. Klien datang membawa anjingnya dengan keluhan anjing tersebut batuk disertai keluarnya lendir, demam tinggi, lemas, lesu dan juga anoreksia. Selain itu pemilik hewan mengaku bahwa anjingnya belum pernah mendapatkan vaksinasi apapun.Signalemen, Anjing bernama billy, berusia 5 bulan, ras domestik, berat 3 kg, berwarna hitam, jenis kelamin betina. Status present, habitus/tingkah laku lemah, lesu, gizi yang diberikan sedang, pertumbuhan badan kurus, sikap berdiri yang mebungkuk, suhu tubuh mencapai 39C, frekuensi nadi 145 kali/menit, dan frekuensi nafas 65 kali/ menit. Pemeriksaan klinis. Gejala klinis muncul dari 1-5 hari terlewati (Rosenberg et,al. 1971). Batuk yang dapat ditimbulkan setelah palpasi trachea, adanya cairan hidung serous jernih. Pada auskultasi dapat terdengar suara-suara vesikuler yang lemah sampai sedang (Binn et al. 1968), palpasi pada thoraks dapat ditemukan rasa sakit(Crandell, et.al. 1968). Pada pulmo terjadi perubahan suara saat di perkusi, akibat lesi yang mungkin terbentuk dalam paru-paru. Pemeriksaan lanjutan, dilakukan Pemeriksaan laboratorium, dengan isolasi dan identifikasi virus atau dengan mngukur antibodi yang terbentuk selama infeksi. Selain itu uji serologis dapat diambil, biasanya antibodi akan mulai muncul pada hari ke-7 setelah infeksi dan akan mencapai titer yang tertinggi pada hari ke-21 setelah infeksi (Lazar et, al , 1970). Uji hambatan hemaglutinasi yang dapat diperoleh dari cairan biakan sel alantois telur berembrio yang telah diimfeksi dengan virus parainfluenza anjing, serum dan eritrosit marmot.Diagnose, Dari gejala klinis dan hasil uji lab yang dilakukan anjing tersebut didiagnosis parainfluenza. Gejala klinis penyakit ini adalah demam yang tinggi, batuk disertai lendir berbusa, dan gangguan pernafasan. Diagnose banding, yang memiliki gejala klinis yang mirip dengan Parainfluenza virus adalah tracheobronkhitis, kennel cough, dan pnemonia.Prognosa, (fausta) Parainfluenza ini dapat disembuhkan. Parainfluenza tidak menyebabkan kematian apabila ditangani dengan benar. Anjing dapat sembuh setelah perwatan dan pemberian nutrisi yang baik. Terapi, Penggunaan Nebulizer dengan preparat dekongestan untuk meredakan gejala sulit bernafas bisa dilakukan apabila itu diperlukan. Pastikan anjing tetap makan bagaimanapun caranya entah menggunakan spuit atau feeding tube, karena apabila tidak makan, anjing akan cepat sekali drop dan sangat sulit meningkatkan daya tahan nya.Bersihkan lendir yang berbusa disekitar nasal. sebaiknya penggunaan obat yang bersifat imuno-suppresan dihindari.Menambahkan obat yang bersifat imuno modlatorcukup diperlukan karena sebaik-baiknya terapi dan penanganan anda namun apabila titer antibodi pada hewan tidak segera meningkat maka semua akan sia-sia saja.Satu-satunya cara pencegahan adalah vaksinasi anjing, vaksin SV-5 banyak dikombinasikan dengan vaksin anjing yang lain.Hasil PraktikumData dalam bentuk tabel rekam medis pasien (LAMPIRAN)

Diskusi Dilihat secara klinis seperti pada pemeriksaan fisik, anjing yang ditemukan tidak mengalami penyakit distemper, parvovirus, serta parainfluenza. Tidak terlihat adanya kelesuan, koheksia, anoreksia dan demam seperti gejala penyakit pada umumnya, selain itu tidak ada pula tanda-tanda spesifik untuk mengarah ke penyakit tertentu misalnya: Pada penyakit distemper anjing mengalami diare (fases gelap), keratinasi pada foot pad, pustula di bagian inguinalis dan hipersalivasi. Pada penyakit Parvovirus anjing mengalami, diare disertai darah (berbau khas), dan muntah. Pada penyakit parainfluenza anjing mengalami batuk , disertai nasal discharge. Anak anjing (puppies) yang diperiksa saat praktikum tidak mengidap penyakit yang spesifik dan masih tergolong sehat. Namun, puppies tersebut mengalami stress akibat kelelahan karena waktu praktikum yang cukup lama. Sehingga anjing terlihat tidak bersemangat, dan kelelahan. Boy merupakan anjing domestik yang dirawat baik sebagai anjing peliharaan, sehingga anjing tersebut cukup mendapatan perawatan yang baik, serta nutrisi yang selalu terpenuhi. Kesimpulan Pada praktikum anjing tersebut tidak memiliki salah satu dari ketiga penyakit neonatal tersebut dengan kata lain anjing dari kelompok kami tidak memiliki kelainan apapun (normal). Anjing tersebut hanya mengalami sedikit stress akibat praktikum. Sehingga terapi yang diberikan hanya berupa pemberian vitamin dan dan segera mengistirahatkan puppies setelah praktikum.Pustaka Acuan Appel, M.J.G., and D.H. Percy. 1970. SV-5 like parainfluenza Virus in dog. Journal of American Veterinary Medicine Association, 156: 1778-1781.Binn, L.N., et.al. 1968. Upper respiratory disease in military dogs: Bacterial, mycoplasma and viral studies. American Journal of Veterinary Research, 29: 1809-1815.Crandell, R.A., W.B. Brunlow, V.E. Davison. 1968. Isolation of parainfluenza virus from sentry dogs with respiratory disease. Am. J. Vet. Res., 29: 2141-2147.Lazar, E.C., L.J. Swango, L.N. Binn. 1970. Serologic and infectifity studies of SV-5 virus. Proc. Soc. Expt. Biol. Nederland., 15: 173-176Pirie, H.M. 1979. Respiratory Disease of Animal (Notes for a postgraduate course). Thompson Litho Ltd., East Kilbride-Scotland, P. 173-181.Rosenberg, F.J., F.S. Lief, J.D. Todd, J.S. Rief. 1971. Studies of canine respiratory Virus. I. Experimental infection of dogs with SV-5 like canine parainfluenza agent. American Journal Epidemologi, 94: 147-165.Subronto. 2010. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba Pada Anjing dan Kucing. Gadjah Mada University Press. YogyakartaSudarisman. 2007. Seroepidemiologi Penyakit Distemper pada Anjing di Jawa Barat dan DKI Jakarta (Journal) . Balai besar veteriner. Bogor. Van Moll, P., S. Alldinger, W. Baumgartner and M. Adami. 1995. Distemper in wild carnivores: An epidemological, histological and immunocytochemical study. Met. Microb.

LAMPIRAN

( Handling anjing)(Pemeriksaan linfonodus)(Penghitungan suhu)

(Pemeriksaan mata)(Palpasi Abdomen)(Inspeksi)