delirium

25
BAB I PENDAHULUAN Delirium merupakan gangguan fungsi otak dengan gangguan kognitif dan perilaku, penyakit ini merupakan penyakit yang sering terjadi dan sudah dijelaskan selama berabad-abad, namun sering tidak terdiagnosis atau salah diagnosis dan berpotensi untuk terjadinya morbiditas dan mortalitas. 1 Delirium adalah gangguan kesadaran dan gangguan kognitif akut yang umumnya terjadi pada usia lanjut. Telah dilaporkan prevalensi delirium di USA pada pasien berusia lanjut di ruang Intensive Care Unit (ICU) berkisar 78-87%. Di Indonesia, prevalensi delirium bervariasi yaitu 14-56%, dengan angka kematian di rumah sakit sekitar 25-30%. Kejadian delirium di rumah sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) berkisar 17- 47,3%. 1,2 Sindrom delirium mencerminkan disfungsi otak yang diakibatkan oleh penyakit sistemik, penyakit serebral, putus zat atau intoksikasi obat-obatan/ zat psikoaktif. Delirium yang disebabkan oleh obat-obatan diperkirakan berkisar 12-39% dari seluruh kasus delirium. 1,2 Gangguan penggunaan zat psikoaktif merupakan masalah yang menjadi keprihatinan dunia internasional di samping masalah HIV/AIDS, kekerasan (violence), kemiskinan, pencemaran lingkungan, pemanasan global dan kelangkaan pangan. WHO memperkirakan bahwa jumlah pengguna tembakau sebanyak 1,1 milyar orang, pengguna

Upload: farizky-baskoro

Post on 26-Jan-2016

215 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

delir

TRANSCRIPT

Page 1: Delirium

BAB I

PENDAHULUAN

Delirium merupakan gangguan fungsi otak dengan gangguan kognitif dan

perilaku, penyakit ini merupakan penyakit yang sering terjadi dan sudah

dijelaskan selama berabad-abad, namun sering tidak terdiagnosis atau salah

diagnosis dan berpotensi untuk terjadinya morbiditas dan mortalitas.1

Delirium adalah gangguan kesadaran dan gangguan kognitif akut yang

umumnya terjadi pada usia lanjut. Telah dilaporkan prevalensi delirium di USA

pada pasien berusia lanjut di ruang Intensive Care Unit (ICU) berkisar 78-87%. Di

Indonesia, prevalensi delirium bervariasi yaitu 14-56%, dengan angka kematian di

rumah sakit sekitar 25-30%. Kejadian delirium di rumah sakit dr. Cipto

Mangunkusumo (RSCM) berkisar 17- 47,3%.1,2

Sindrom delirium mencerminkan disfungsi otak yang

diakibatkan oleh penyakit sistemik, penyakit serebral, putus zat atau intoksikasi

obat-obatan/ zat psikoaktif. Delirium yang disebabkan oleh obat-obatan

diperkirakan berkisar 12-39% dari seluruh kasus delirium.1,2

Gangguan penggunaan zat psikoaktif merupakan masalah yang menjadi

keprihatinan dunia internasional di samping masalah HIV/AIDS, kekerasan

(violence), kemiskinan, pencemaran lingkungan, pemanasan global dan

kelangkaan pangan. WHO memperkirakan bahwa jumlah pengguna tembakau

sebanyak 1,1 milyar orang, pengguna alkohol sebanyak 250 juta orang, dan

pengguna zat psikoaktif lain sebanyak 15 juta orang di seluruh dunia. Global

Burden of Diseases (GBD) yang diakibatkan dan yang terkait dengan pengunaan

zat psikoaktif adalah sebesar 8,9% sedangkan Global Mortality Rate akibat

penggunaan zat psikoaktif sebesar 12.4% dan Disable Adjusted Life Years

(DALYs) sebesar 8.9 %.3

Page 2: Delirium

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Delirium

Delirium adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan kesadaran

dan kognisi yang terjadi secara akut dan berfluktuasi. Delirium memiliki banyak

penyebab yang semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa berkaitan

dengan tingkat kesadaran dan gangguan kognitif pasien.4,5

Delirium merupakan gangguan klinis yang kurang dikenali dan jarang

terdiagnosis. Sebagian dari masalahnya adalah bahwa sindrom ini memiliki nama

lain yang bervariasi, contohnya keadaan bingung akut, sindrom otak akut,

ensefalopati metabolik, psikosis toksik, dan gagal otak akut.5

2.2 Epidemiologi

Delirium merupakan gangguan yang lazim dijumpai. Prevalensi delirium di

USA pada pasien berusia lanjut di ruang Intensive Care Unit (ICU) berkisar 78-

87%.1 Menurut DSM-IV-TR, prevalensi delirium pada polpulasi umum adalah

0,4% pada orang yang berusia 18 tahun ke atas dan 1,1% pada usia 55 tahun ke

atas. Sekitar 10-30% pasien yang sakit secara medis dan dirawat di rumah sakit

mengalami delirium. Sekitar 30-40% pasien rawat inap yang berusia di atas 65

tahun mengalami satu episode delirium, dan 10-15% lansia lainnya mengalami

delirium saat masuk rumah sakit. Menurut DSM-IV-TR, jenis kelamin laki-laki

merupakan faktor risiko independen terjadinya delirium.5

2.3 Etiologi

Penyebab utama delirium adalah penyakit susunan saraf pusat (misalnya

epilepsy), penyakit sistemik (misalnya gagal jantung), serta intoksikasi maupun

keadaan putus zat. Terdapat 4 (empat) subkategori delirium berdasarkan sejumlah

penyebab, yaitu:5

1. Delirium akibat kondisi medis umum, seperti infeksi

2. Delirium yang diinduksi oleh obat-obatan, seperti zat psikoaktif

3. Delirium dengan etiologi multiple, seperti trauma kepala dan penyakit ginjal

Page 3: Delirium

4. Delirium yang tak tergolongkan.

2. 4 Zat Psikoaktif

Zat psikoaktif adalah zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan

perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran. Zat psikoaktif merupakan zat yang

memiliki efek psikologis yang beredar secara luas di masyarakat, baik yang

digunakan secara sengaja ataupun tidak.3,6

Zat psikoaktif sering disebut sebagai NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan

Zat Adiktif lain), yaitu bahan/zat/obat yang bila masuk ke dalam tubuh manusia

akan memengaruhi tubuh terutama otak/ susunan saraf pusat, sehingga

menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena

terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap

NAPZA.3

Ada 3 kelompok besar dari zat psikoaktif yang disalahgunakan, yaitu

depresan, stimulan, dan halusinogen. Depresan adalah obat yang menghambat

atau menekan aktivitas SSP, obat ini mengurangi rasa tegang dan cemas,

menyebabkan gerakan melambat dan merusak proses kognitif. Contoh depresan:

alkohol, barbiturate, benzodiazepine, dan opioid. Stimulan merupakan obat yang

meningkatkan aktivitas SSP. Beberapa jenis obat ini menyebabkan perasaan

euforia dan percaya diri. Contoh stimulan: amfetamin, ekstasi, kokain dan nikotin.

Sedangkan halusinogen adalah obat yang menghasilkan distorsi sensoria atau

halusinasi, termasuk perubahan besar dalam persepsi warna dan pendengaran.

Contoh halusinogen: Lysergic acid diethylamide (LSD), phencyclidine (PCP) dan

marijuana.6

Menurut American Psychiatric Association (APA), penyalahgunaan zat

psikoaktif mempunyai kriteria bahwa pemakaian zat-zat dilakukan secara berkala

dan berkesinambungan dalam jangka waktu pemakaian minimal 12 bulan. Zat-zat

yang disalahgunakan termasuk alkohol, amphetamine (stimulan sintetis), kafein,

ganja, kokain, halusinogen, inhalant, nikotin, opium, fensiklidin dan obat

penenang.7

1. Alkohol

Page 4: Delirium

Sekitar 90% alkohol yang diabsorpsi dimetabolisme melalui oksidasi di

hepar, 10% sisanya diekskresi tanpa mengalami perubahan oleh ginjal dan paru.

Tubuh dapat memetabolisme sekitar 15 mg/dL per jam, dengan kisaran antara 10-

34 mg/dL. Dengan kata lain, kebanyakan orang mengoksidasi tiga perempat dari 1

ons alkohol 40% dalam 1 jam. Pada orang dengan riwayat konsumsi alkohol

berlebihan, peningkatan enzim yang diperlukan mengakibatkan metabolisme

alkohol cepat. Alkohol dimetabolisme oleh 2 enzim yaitu alkohol dehidrogenase

(ADH) dan aldehid dehidrogenase. ADH mengkatalisasi konversi alkohol menjadi

asetaldehid yang merupakan senyawa toksik, aldehid dehidrogenase

mengkatalisasi konversi asetaldehid menjadi asam asetat. Sejumlah studi

membuktikan bahwa wanita memiliki kandungan ADH dalam darah lebih sedikit

disbanding pria, dan ini mungkin menyebabkan kecenderungan wanita untuk lebih

terintoksikasi disbanding pria setelah minum alkohol dalam jumlah yang sama.

Penurunan fungsi enzim tersebut juga terjadi pada orang-orang Asia sehingga

menyebabkan mudahnya terintoksikasi.

Pada studi terkini, peneliti berupaya untuk mengidentifikasi target

molekuler efek alkohol yang spesifik. Sebagian besar perhatian difokuskan pada

efek alkohol terhadap kanal ion. Secara spesifik, studi menemukan bahwa

aktivitas kanal ion alkohol yang dikaitkan dengan reseptor asetilkolin nikotinik,

serotonin 5-HT3, dan GABA tipe A (GABAA) ditingkatkan oleh alkohol,

sementara aktivitas kanal ion yang dikaitkan dengan reseptor glutamat dan kanal

kalsium voltage-gated mengalami inhibisi.

2. Benzodiazepin

Benzodiazepin memiliki efek primer terhadap kompleks reseptor GABAA,

yang memuat kanal ion klorida pengikat GABA. Ketika benzodiazepin berikatan

dengan kompleks tersebut, efeknya adalah meningkatkan afinitas reseptor

terhadap neurotransmitter endogennya, GABA, dan meningkatkan aliran ion

klorida melalui kanal ke dalam neuron.

3. Opioid

Kata opiat dan opioid berasal dari kata opium, sari bunga opium, Papaver

somniferum, yang mengandung sekitar 20 alkaloid opium, termasuk morfin. Efek

primer opioid diperantarai reseptor opioid. Reseptor opioid-µ terlibat dalam

Page 5: Delirium

regulasi dan mediasi analgesia, depresi napas, konstipasi, dan ketergantungan.

Reseptor opioid-κ terlibat dalam analgesia, diuresis, dan sedasi. Serta reseptor

opioid-σ terlibat dalam analgesia.

Opioid memiliki efek signifikan terhadap sistem dopaminergik dan

noradrenergik. Sejumlah data mengindikasikan bahwa sifat adiktif opioid

diperantarai melalui aktivasi neuron dopaminergik area tegmental ventral yang

berjalan ke korteks serebri dan sistem limbik.

Heroin adalah opioid yang paling sering disalahgunakan dan lebih poten

serta terlarut dalam lemak dibanding morfin. Karena sifat-sifat tersebut, heroin

melintasi sawar darah otak lebih cepat daripada morfin. Kodein yang terdapat

secara alami sebanyak sekitar 0,5% dari alkaloid opiat dalam opium, diabsorpsi

dengan mudah melalui traktus gastrointestinal dan kemudian diubah menjadi

morfin dalam tubuh. Hasil penelitian menemukan bahwa salah satu efek dari

semua opioid adalah penurunan aliran darah otak pada region otak tertentu pada

orang dengan ketergantungan opioid.

4. Amfetamin

Amfetamin adalah salah satu obat terlarang yang banyak digunakan kedua

setelah kanabis di Inggris, Australia, dan beberapa negara Eropa barat.

Amfetamin klasik (dekstroamfetamin, metamfetamin, dan metilfenidat)

menimbulkan efek primer dengan menyebabkan pelepasan katekolamin, terutama

dopamin, dari terminal prasinaptik. Efeknya terutama poten untuk neuron

dopaminergik yang berjalan dari area tegmental ventral ke korteks serebri dan

area limbik. Jaras ini disebut sebagai jaras sirkuit reward dan aktivasinya

mungkin menjadi mekanisme adiktif utama untuk amfetamin.

Amfetamin racikan (MDMA, MDEA, MMDA, DOM) menyebabkan

pelepasan katekolamin (dopamin dan norepinefrin) serta serotonin,

neurotransmitter yang dianggap sebagai jaras neurokimiawi utama untuk

halusinogen. Oleh karena itu, efek klinis amfetamin racikan merupakan campuran

efek amfetamin klasik dan halusinogen. MDMA diambil di neuron serotonergik

oleh transporter serotonin yang bertanggung jawab untuk reuptake serotonin. Bila

telah berada di neuron, MDMA menyebabkan pelepasan cepat bolus serotonin dan

menghambat aktivitas enzim penghasil serotonin.

Page 6: Delirium

5. Kanabis

Kanabis atau marijuana merupakan tanaman Cannabis sativa yang seluruh

bagian tanaman mengandung kanabinoid psikoaktif, yaitu delta 9

tetrahidrocannabinol (THC). Dosis THC yang diperlukan untuk memperoleh efek

farmakologis pada manusia secara dihisap sekitar 2-22 mg. THC larut dalam

lemak dan dengan cepat diabsorbsi setelah inhalasi. Setelah dihisap atau dicerna,

delta 9-THC dengan cepat diubah menjadi 11-hidroksi-9-THC, metabolit yang

aktif di sistem saraf pusat.

Reseptor kanabinoid, anggota famili reseptor terkait protein G inhibitor,

berikatan dengan protein G inhbitorik, yang berikatan dengan adenilil siklase

secara inhibitorik. Reseptor kanabinoid ditemukan dalam konsentrasi tinggi di

ganglia basalis, hipokampus, dan serebelum, dengan konsentrasi yang lebih

rendah di korteks serebri. Pada suatu studi ditemukan kanabinoid memengaruhi

neuron monoamine dan asam gama aminobutirat.

6. Kokain

Kokain adalah alkaloid yang didapaatkan dari Erythroxylon coca. Aksi

farmakodinamik utama kokain yang berkaitan dengan efeknya terhadap perilaku

adalah blok kompetitif reuptake dopamine oleh transporter dopamin. Blok ini

meningkatkan konsentrasi dopamine di celah sinaps dan menyebabkan

peningkatan aktivasi reseptor dopamine tipe 1 (D1) maupun tipe 2 (D2). Efek

kokain terhadap aktivitas yang diperantarai reseptor D3, D4, dan D5 belum terlalu

jelas namun setidaknya satu studi preklinis melibatkan reseptor D3. Meski efek

perilaku terutama disebabkan blockade reuptake dopamin, kokain juga

menghambat reuptake katekolamin, norepinefrin serta serotonin. Metabolit kokain

terdapat dalam darah dan urin hingga 10 hari.

7. Halusinogen

Halusinogen sintetik klasik adalah asam lisergat dietilamid (LSD).

Meskipun sebagian besar zat halusinogenik bervariasi efek farmakologisnya, LSD

dapat berfungsi sebagai prototipe halusinogenik. Obat tersebut bekerja pada

sistem serotonergik, baik sebagai antagonis maupun agonis. Data saat ini

Page 7: Delirium

menunjukkan bahwa LSD bekerja sebagai agonis parsial pada reseptor serotonin

pascasinaps.

8. Nikotin

Komponen psikoaktif tembakau adalah nikotin, yang memengaruhi SSP

dengan bekerja sebagai agonis pada reseptor asetilkolin subtipe nikotinik. Sekitar

25% nikotin yang dihirup saat merokok mencapai aliran darah, dan melalui

pembuluh darah tersebut nikotin dapat mencapai otak dalam 15 detik. Waktu

paruh nikotin adalah sekitar 2 jam. Nikotin diyakini menghasilkan sifat penguat

positif dan adiktif dengan mengaktivasi jaras dopaminergik yang berjalan dari

area tegmental ventral ke koorteks serebri dan sistem limbik. Selain mengaktivasi

sistem reward dopamin ini, nikotin menyebabkan peningkatan konsentrasi

norepinefrin dan epinefrin yang bersirkulasi serta peningkatan pelepasan

vasopresin, beta endorfin, hormon adrenokortikotropik, dan kortisol. Hormon-

hormon ini dianggap berperan dalam efek stimulatorik dasar nikotin terhadap

SSP.

9. Fensiklidin

Fensiklidin (Phenilcyclohexil Piperidin/ PCP) dikembangkan sebagai

anestetik disosiatif. Namun penggunaannya sebagai anestetik pada manusia

menimbulkan disorientasi, agitasi, delirium, dan halusinasi yang tidak

menyenangkan saat terbangun. PCP juga mengaktivasi neuron dopaminergik pada

area tegmental ventral, yang berjalan ke korteks serebri dan sistem limbik.5

2.5 Delirium yang diinduksi Zat Psikoaktif

Delirium pada putus alkohol merupakan bentuk putus zat yang paling parah,

yang juga disebut sebagai delirium tremens (DT). Delirium pada putus alkohol

adalah suatu kegawatdaruratan medis yang dapat mengakibatkan morbiditas dan

mortalitas yang signifikan. Pasien delirium dapat membahayakan dirinya sendiri

dan orang lain. Pasien delirium dapat menyerang atau bunuh diri atau bertindak

menurut halusinasi atau pikiran wahamnya seolah-olah benar-benar ada bahaya.5

Gambaran delirium pada intoksikasi alkohol mencakup hiperaktivitas

otonom seperti takikardia, diaforesis, demam, ansietas, insomnia, hipertensi,

distorsi persepsi (paling sering berupa halusinasi visual atau taktil), dan tingkatan

Page 8: Delirium

aktivitas psikomotor yang berfluktuasi (berkisar dari hipereksabilitas sampai

letargi). Gambaran delirium akibat benzodiazepine dan barbiturate mirip dengan

gambaran delirium akibat alkohol.5

Delirium yang diakibatkan oleh penggunaan amfetamin biasanya muncul

akibat penggunaan dosis tinggi atau terus menerus sehingga deprivasi tidur

memengaruhi tampilan klinis. Delirium akibat intoksikasi kanabis ditandai dengan

hendaya kognisi dan tugas performa yang nyata. Bahkan dosis sedang kanabis

dapat mengganggu memori, persepsi, koordinasi motorik, dan atensi. Dosis tinggi

yang juga mengganggu tingkat kesadaran pengguna menimbulkan efek nyata pada

pengukuran kognitif.5

Gunther M, Morandi A, Ely W. Pathophysiology of Delirium in the Intensive Care Unit. Crit Care

Clin 24 (2008) 45–65.8

2.6 Manifestasi klinis delirium

Gambaran klinis delirium meliputi terganggunya kesadaran, seperti

penurunan tingkat kesadaran; terganggunya atensi yang mencakup berkurangnya

kemampuan memfokuskan, mempertahankan, atau mengalihkan atensi; hendaya

dalam bidang fungsi kognitif lain yang dapat bermanifestasi sebagai disorientasi

(khususnya terhadap waktu dan tempat) dan penurunan fungsi memori; awitan

yang relatif cepat (biasanya dalam hitungan jam atau hari); durasi singkat

(biasanya selama beberapa hari atau minggu); dan seringkali fluktuasi keparahan

serta manifestasi klinis lain yang nyata dan tidak dapat diramalkan terjadi

Page 9: Delirium

sepanjang hari, kadang memburuk di malam hari (senja), terkadang dengan

hendaya kognitif serta disorganisasi yang cukup parah.5

Gambaran klinis terkait sering muncul dan menonjol, meliputi

disgorganisasi proses pikir (berkisar dari tangensialitas ringan hingga inkoherensi

nyata), gangguan persepsi seperti ilusi dan halusinasi, hiperaktivitas dan

hipoaktivitas psikomotor, gangguan siklus tidur-bangun (gejala yang sering

berupa tidur yang terfragmentasi di malam hari, dengan atau tanpa rasa kantuk di

siang hari), perubahan mood (dari iritabilitas sampai disforia, ansietas, atau

bahkan euforia yang nyata), serta manifestasi lain dari fungsi neurologis yang

terganggu (contoh: hiperaktivitas atau instabilitas otonom, kejang mioklonik, dan

disartria).5

2.7 Diagnosis

a. Kriteria diagnosis4

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk delirium akibat kondisi medis umum

A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap

lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan

memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian

B. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi,

gangguan berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan

dengan demensia

C. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung

berfluktuasi dalam sehari

D. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan laboratorium

bahwa gangguan disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung

dari suatu kondisi medis umum.

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk delirium akibat intoksikasi zat

A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap

lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan

memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian

B. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi,

Page 10: Delirium

gangguan berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan

demensia

C. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung

berfluktuasi dalam sehari

D. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium bahwa

simtom A dan B terjadi selama intoksikasi zat atau penggunaan

medikasi.

Catatan: Diagnosis ini sebaiknya dibuat untuk menggantikan diagnosis

intoksikasi zat hanya bila gejala kognitif melebihi yang biasa disebabkan oleh

sindrom intoksikasi dan bila gejala cukup parah hingga memerlukan

perhatian klinis tersendiri.

*Catatan: Diagnosis sebaiknya dicatat sebagai delirium terinduksi zat bila

berkaitan dengan penggunaan obat.

Kode delirium pada intoksikasi (zat spesifik):

(Alkohol; Amfetamin [atau zat yang menyerupai amfetamin]; Kanabis;

Kokain; Halusinogen; Inhalan; Opioid; Fensiklidin; Sedativa, hipnotik, atau

ansiolitik; Zat lain

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk delirium akibat putus zat

A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap

lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan

memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian

B. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi,

gangguan berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan

dengan demensia

C. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung

berfluktuasi dalam sehari

D. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium bahwa

delirium tersebut memiliki lebih dari satu etiologi (contoh: lebih dari satu

kondisi medis umum sebagai etiologi, satu kondisi medis umum

ditambah intoksikasi zat atau efek samping obat).

Catatan: Diagnosis ini sebaiknya dibuat sebagai ganti diagnosis keadaan

Page 11: Delirium

putus zat hanya bila gejala kognitif melebihi yang biasa disebabkan oleh

sindrom putus zat dan bila gejala cukup parah hingga memerlukan perhatian

klinis tersendiri.

Kode delirium pada intoksikasi (zat spesifik):

(Alkohol; Sedativa, hipnotik, atau ansiolitik; Zat lain

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk delirium yang tak tergolongkan

Kategori ini sebaiknya hanya digunakan untuk mendiagnosis delirium yang

tidak memenuhi kriteria untuk salah satu dari delirium tipe spesifik yang

telah dijelaskan di bagian ini.

contohnya meliputi:

1. Tampilan klinis delirium yang dicurigai diakibatkan oleh suatu kondisi

medis umum atau penggunaan zat namun belum ada cukup bukti untuk

menetapkan etiologi yang spesifik

2. Delirium akibat kausa yang tidak terdaftar di bagian ini (contoh:

deprivasi sensorik)

b. Pemeriksaan Fisik 3,9

Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan,tangan kaki bahkan pada

tempat-tempat tersembunyi misalnya dorsum penis.

Pemeriksaan fisik terutama untuk menemukan gejala

intoksikasi/overdosis/putus zat dan komplikasi medik seperti Hepatitis,

Eudokarditis, Bronkoneumonia, HIV/AIDS dan lain-lain.

Perhatikan terutama : kesadaran, pernafasan, tensi, nadi pupil,cara jalan,

sclera ikterik, conjunctiva anemis, perforasi septum nasi, caries gigi,

aritmia jantung, edema paru, pembesaran hepar dan lain-lain.

c. Pemeriksaan Laboratorium 3,9

Analisa Urin

Page 12: Delirium

Bertujuan untuk mendeteksi adanya zat psikoaktif dalam tubuh

(benzodiazepin, barbiturat, amfetamin, kokain, opioida, kanabis)

Pengambilan urin hendaknya tidak lebih dari 24 jam dari saat pemakaian

zat terakhir dan pastikan urine tersebut urine pasien.

d. Pemeriksaan Penunjang 3,4,5

Pemeriksaan EEG secara karakteristik menunjukkan perlambatan aktivitas

secara umum dan berguna untuk membedakan delirium dengan depresi ataupun

psikosis. EEG pada delirium kadang-kadang menunjukkan area hiperaktivitas

fokal. Pada delirium akibat putus alkohol ataupun zat sedatif EEG menunjukkan

aktivitas voltase rendah yang cepat.

2.8 Diagnosa Banding

a. Demensia

Onset demensia terjadi secara perlahan, berbeda dengan delirium yang

terjadi secara mendadak. Meski kedua kondisi tersebut mencakup hendaya

kognitif, perubahan pada demensia lebih stabil dengan berjalannya waktu dan

tidak berfluktuasi sepanjang hari.5

b. Gangguan psikotik dan Depresi

Beberapa pasien gangguan psikotik seperti skizofrenia atau episode manik

mungkin mengalami periode perilaku yang sangat kacau yang sulit dibedakan

dengan delirium. Namun, umumnya halusinasi dan waham pada pasien psikotik

akut lebih konstan dan lebih teratur dibandingkan dengan delirium. Pasien

psikotik akut biasanya tidak mengalami perubahan tingkat kesadaran atau

orientasi.

Pasien delirium dengan gejala hipoaktif mungkin akan tampak serupa

dengan pasien depresi berat namun dapat dibedakan berdasarkan EKG.5

2.9 Tatalaksana

a. Nonfarmakologis

Page 13: Delirium

Tatalaksana non farmakologis yang penting adalah memberikan dukungan

fisik, sensorik, dan lingkungan. Dukungan fisik dibutuhkan agar pasien delirium

tidak terjebak dalam situasi yang mencelakai dirinya sendiri. Pasien delirium

sebaiknya tidak mengalami deprivasi sensorik maupun dirangsang secara

berlebihan oleh lingkungan. Mereka biasanya akan terbantu dengan adanya teman

atau saudara di ruangan yang sama atau orang yang biasa dekat dengannya.

Orientasi yang teratur terhadap orang, tempat, dan waktu dapat membantu

membuat pasien delirium merasa nyaman.5

b. Farmakologis

Dalam pengobatan delirium, tujuan utamanya adalah mengatasi penyebab

yang mendasari.

Haloperidol:5

Haloperidol mempunyai rekam jejak terpanjang dalam mengobati

delirium, dapat diberikan per oral, IM, atau IV

Dosis haloperidol injeksi adalah 2-5 mg IM/IV dan dapat diulang

setiap 30 menit (maksimal 20 mg/hari)

Efek samping parkinsonisme dan akatisia dapat terjadi

Bila diberikan IV, dipantau dengan EKG adanya pemanjangan interval

QTc dan adanya disritmia jantung.

Benzodiazepin:

Di Amerika Serikat, benzodiazepin (BZD) telah ditetapkan sebagai obat

pilihan untuk pencegahan dan pengobatan DT. Benzodiazepin memodulasi

tindakan GABAA reseptor dengan meningkatkan afinitas neurotransmitter GABA

untuk reseptor. Biokimia, ini memungkinkan untuk lebih Cl-ion melintasi

membran terminal dan menyebabkan efek penghambatan. Peran utama dari BZD

adalah untuk mengganti GABA modulasi efek bahwa alkohol diberikan kepada

pasien. Farmakologi ini memberikan efek penghambatan dan akan membantu

dalam mengurangi gejala terkait dengan DT. Benzodiazepin telah terbukti aman

dan manjur dalam mencegah komplikasi yang terkait dengan DT . Pemilihan

sebuah BZD di rumah sakit tergantung pada beberapa faktor termasuk rute

Page 14: Delirium

pemberian , onset dan durasi tindakan , fungsi hati , dan Status formularium rawat

inap. Chlordiazepoxide, diazepam, lorazepam dan midazolam berada di kelas ini,

digunakan dalam pengaturan penarikan akut untuk mengobati DT.

Tidak ada penelitian yang menunjukkan satu BZD menjadi lebih mujarab

ketimbang yang lain. Ketika memilih sebuah BZD dalam pengobatan penarikan

etanol , yang dokter harus pertimbangkan ada banyak faktor . Semua BZDs

tersedia dalam bentuk sediaan oral dan intravena. Lorazepam mungkin

menguntungkan dalam beberapa situasi klinis karena menawarkan intramuscular

administrasi . Lorazepam tidak memiliki metabolit aktif , menjadikannya pilihan

yang menarik dalam pasien dengan fungsi hati atau fungsi ginjal menurun . Dosis

BZD digunakan selama DT dapat melebihi yang yang dianggap normal.

Farmakologis maksud dari terapi adalah untuk merangsang produksi GABA pada

tingkat yang akan dianggap setara dengan yang dihasilkan oleh etanol . pada 1

kasus , 2.640 mg diazepam intravena diberikan lebih dari 48 jam diperlukan untuk

mengendalikan pasien usia 34 tahun yang mengaku kondisi darurat dengan

penarikan alkohol akut.

2.10 Prognosis

Awitan delirium yang akut, gejala prodromalnya seperti gelisah dan

perasaan takut mungkin muncul pada awal awitan. Bila penyebabnya telah

diketahui dan dapat dihilangkan maka gejala-gejalanya akan menghilang dalam

waktu 3-7 hari dan akan hilang seluruhnya dalam waktu dua minggu.

Page 15: Delirium

BAB III

KESIMPULAN

1. Delirium adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan kesadaran

dan kognisi yang terjadi secara akut dan berfluktuasi. Delirium memiliki

banyak penyebab yang semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa

berkaitan dengan tingkat kesadaran dan gangguan kognitif pasien.

2. Penyebab utama delirium adalah penyakit susunan saraf pusat, penyakit

sistemik, serta intoksikasi maupun keadaan putus zat psikoaktif.

3. Penegakan diagnosis delirium yang diinduksi zat psikoaktif dapat

ditegakkan berdasarkan criteria diagnosis, pemeriksaan fisik,

laboratorium, serta pemeriksaan EEG.

4. Tatalaksana dapat berupa non farmakologis dan farmakologis. Non

farmakologis terdiri dari memberikan dukungan fisik, sensorik, dan

lingkungan. Tatalaksana farmakologis dapat diberikan haloperidol ataupun

benzodiazepine (kecuali pada delirium akibat benzodiazepine).

Page 16: Delirium

DAFTAR PUSTAKA

1. Pisani, Margaret et al. Benzodiazepine and Opioid Use and The Duration

of ICU Delirium in an Older Population. Crit Care Med. 2009; 37(1):

177–183.

2. Sadock & Virginia. 2000. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of

Psychiatry. Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 7th edition.

3. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 420/Menkes/SK/ii/2010. Pedoman Layanan Terapi Dan

Rehabilitasi Komprehensif Pada Gangguan Penggunaan Napza Berbasis

Rumah Sakit. Hal: 1-92

4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa. 2012. Pedoman Nasional

Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri. PP PDSKJI.

5. Sadock & Virginia. 2010. Kaplan & Sadock’s Concise Textbook Clinical

Psychiatry. 2nd edition. Jakarta: EGC.

6. Nevid, J. S., et al. 2005. Psikologi Abnormal. Edisi Kelima. Jakarta:

Erlangga.

7. American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and statistical

manual of mental disorders. (4th ed.,textrevision). Washington D. C.

8. Gunther M, Morandi A, Ely W. Pathophysiology of Delirium in the

Intensive Care Unit. Crit Care Clin. 2008. 45–65.

9. Ricardo P. 2010. Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Oleh

Kepolisian (Studi Kasus Satuan Narkoba Polres Metro Bekasi). Jurnal

Kriminologi Indonesia. Vol. 6 No.III Desember: 232 – 245.

10. Smith, Brian et al. Management of Delirium Tremens. Journal of Intensive

Care Medicine. 2005; 20: 164.