degenerasi paradigma pelajaran sejarah

7
Degenerasi Paradigma Pelajaran Sejarah (Belum) Katanya, pendidikan merupakan salah satu hal yang fundamental dalam membangun negara. Pernyataan ini didukung dengan argumen yang cukup logis, bahwasanya jika masyarakat dari suatu negara diisi dengan orang-orang yang pintar dan berpendidikan, maka orang-orang pintar tersebut bisa menggunakan kepintarannya untuk membangun bangsanya agar menjadi lebih baik, dan bukannya justru menjadikan bangsa sebagai alat untuk meraih kepentingan individu. Atas dasar itu, dibangunlah yang namanya sekolah untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat. Dibentuk pula bagian dalam pemerintahan yang mengurusi hal terkait. Di sekolah, masyarakat diberikan berbagai macam pelajaran untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Sekolah-sekolah di Indonesia menawarkan berbagai macam pelajaran yang bisa dinikmati oleh para pelajarnya. Macamnya pun beragam, dari Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Teknologi Informasi dan Komunikasi, hingga Seni Musik dan lain sebagainya. Dari sekian banyak pelajaran yang ditawarkan, ada salah satunya yang bernama pelajaran sejarah. Sesuai namanya, pelajaran Sejarah mengajarkan akan masa lampau bagi para pelajar, bisa jadi masa lalu bangsa, bisa jadi masa lalu dunia. Katanya, pelajaran ini berguna bagi mereka agar mengetahui apa yang terjadi di masa lampau dan bisa menyerap hal baik darinya serta menghindari terulangnya hal buruk di masa lalu. Sesuai kata pepatah, “belajar dari Sejarah”. Maksudnya sih baik. Tapi ternyata, metode pembelajaran Sejarah yang diberikan pada umumnya di negeri ini justru bukannya mendidik. Justru pembelajaran dari masa lampau ini saya bilang cenderung jadi pembodohan. Yang membencinya pun tak sedikit. Seperti yang sudah kita tahu — dan para pelajar senior lainnya tahu –yang namanya pelajaran Sejarah itu penuh dengan hapalan fakta-fakta yang terjadi di masa lampau. Juga sarat dengan nama-nama yang telah memberikan kontribusi besar bagi bangsa ini maupun yang telah mengombang-ngambing negara dengan pemberontakannya; macamnya Sultan Hasanuddin dan Soekarno hingga Dipa Nusantara Aidit

Upload: sriyandi-djoeweri

Post on 18-Jun-2015

1.204 views

Category:

Education


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Degenerasi paradigma pelajaran sejarah

Degenerasi Paradigma Pelajaran Sejarah (Belum)

Katanya, pendidikan merupakan salah satu hal yang fundamental dalam membangun negara. Pernyataan ini didukung dengan argumen yang cukup logis, bahwasanya jika masyarakat dari suatu negara diisi dengan orang-orang yang pintar dan berpendidikan, maka orang-orang pintar tersebut bisa menggunakan kepintarannya untuk membangun bangsanya agar menjadi lebih baik, dan bukannya justru menjadikan bangsa sebagai alat untuk meraih kepentingan individu.

Atas dasar itu, dibangunlah yang namanya sekolah untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat. Dibentuk pula bagian dalam pemerintahan yang mengurusi hal terkait. Di sekolah, masyarakat diberikan berbagai macam pelajaran untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Sekolah-sekolah di Indonesia menawarkan berbagai macam pelajaran yang bisa dinikmati oleh para pelajarnya. Macamnya pun beragam, dari Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Teknologi Informasi dan Komunikasi, hingga Seni Musik dan lain sebagainya. Dari sekian banyak pelajaran yang ditawarkan, ada salah satunya yang bernama pelajaran sejarah.

Sesuai namanya, pelajaran Sejarah mengajarkan akan masa lampau bagi para pelajar, bisa jadi masa lalu bangsa, bisa jadi masa lalu dunia. Katanya, pelajaran ini berguna bagi mereka agar mengetahui apa yang terjadi di masa lampau dan bisa menyerap hal baik darinya serta menghindari terulangnya hal buruk di masa lalu. Sesuai kata pepatah, “belajar dari Sejarah”. Maksudnya sih baik.

Tapi ternyata, metode pembelajaran Sejarah yang diberikan pada umumnya di negeri ini justru bukannya mendidik. Justru pembelajaran dari masa lampau ini saya bilang cenderung jadi pembodohan. Yang membencinya pun tak sedikit. Seperti yang sudah kita tahu — dan para pelajar senior lainnya tahu –yang namanya pelajaran Sejarah itu penuh dengan hapalan fakta-fakta yang terjadi di masa lampau. Juga sarat dengan nama-nama yang telah memberikan kontribusi besar bagi bangsa ini maupun yang telah mengombang-ngambing negara dengan pemberontakannya; macamnya Sultan Hasanuddin dan Soekarno hingga Dipa Nusantara Aidit meskipun saya tidak yakin para pelajar sekarang hapal dengan baik masing-masing wajah mereka. Dan jangan lupa juga yang sering membuat pelajar gerah mempelajari pelajaran ini, yaitu tahun-tahun berdigit empat yang senantiasa keluar di soal ulangan.

Dari sini, kelihatannya pelajaran Sejarah memang paling membuat gerah. Butuh otak superkomputer atau roti ajaib punya Doraemon supaya bisa menghapal hal-hal itu dengan sempurna, apalagi kalau sudah masuk hapalan tahun terjadinya suatu peristiwa. Tapi berhubung keduanya tidak mungkin dipunyai — setidaknya hingga tulisan ini dibuat maka harus cari cara lain. Mungkin bisa dengan menghabiskan waktu berjam-jam memelototi buku pelajaran Sejarah yang konon membosankan, atau kalau ngga mau repot, silakan siapkan buku catatan yang disembunyikan di kolong meja supaya bisa dilirik setelah guru membagikan soal ulangan.

Page 2: Degenerasi paradigma pelajaran sejarah

Apa boleh buat, kurikulum dan pemerintah mewajibkan soal ulangan hapalan, jadi kalau masih mau naik kelas ya harus punya trik untuk mengatasi hal itu. Yang penting naik kelas, terus nanti lulus, dan kalau sudah tinggal masuk sekolah atau universitas bagus. Mau nantinya jadi koruptor atau tukang jualan bakso urusan belakang, yang penting masuk UI dulu. Nah, itulah mengapa di awal tulisan ini saya sebut-sebut metode macam ini sebagai pembodohan, atau degenerasi pola pikir seperti tertulis pada judul. Gara-gara pikiran yang seperti itu, para pelajar yang notabene remaja itu jadi punya pikiran sempit. Apa kata buku, dituruti saja.

Mengapa bisa begitu? Begini saja. Pertama, perlu diketahui bahwa metode yang dimaksud disini adalah apa yang dikenal dengan metode hapalan dan textbook-oriented. Nah, karena yang dijadikan acuan adalah buku teks, maka para pelajar akan mengikuti apa yang dikatakan oleh buku tersebut. Sampai disini sebenarnya masih belum ada masalah. Yah, kita juga kalau baca suatu buku non-fiksi yang memuat pengetahuan yang kita belum tahu dan masih kita anggap sebagai suatu hal yang benar, nantinya juga pasti akan mengutip juga dari buku itu.

Yang jadi masalah adalah ketika dalam proses pembelajaran Sejarah ini, seorang pelajar dituntut memberikan jawabannya dari berbagai soal yang diajukan oleh sang guru, yang mana jawabannya mengacu pada buku itu secara sepenuhnya. Mengerti maksudnya? Jadi yang diorientasikan adalah bukunya itu sendiri, dan bukan bahan sejarah yang sebenarnya. Istilah kasarnya, mendewakan buku teks. Hal ini yang berakibat menjadi sempitnya pola pikir para pelajar, karena gara-gara mendewakan buku teks itu, tentunya mereka tidak bisa membantah apa yang dikatakan oleh buku teks, dong? Ibaratnya, masa mau menentang apa kata dewa? Bisa-bisa disambar petir atau dijebloskan ke dasar neraka.

Nah, ini yang gawat. Kalau panduannya hanya buku teks semata, apa yang tertempel di otak para pembaca ya apa yang dikatakan oleh si buku. Kalau buku berkata X, ya pelajar juga ikut berkata X, berhubung mereka memang sudah dipola untuk tidak membantah buku teks karena guru juga berbasis pada buku teks itu, dan tentunya soal ulangan juga berbasis pada buku yang sama. Tambah gawat lagi jika buku teksnya ternyata isinya ngawur. Misalnya memuat bahwa segala fosil manusia purba itu cuma rekaan belaka. Atau justru dipakai untuk kepentingan politik, macamnya zaman Pak Soeharto dulu. Tambah hancur saja lah pikiran para pelajar.

Dari sini, mungkin akan ada yang protes dengan pendapat ini. Mungkin akan berbunyi semacam ini: “Mungkin memang benar bahwa pelajaran Sejarah terlalu mendewakan buku teks, tapi kalau cuma gara-gara itu tentunya tidak akan mengakibatkan pembodohan atau degenerasi pola pikir, dong? Bagaimana dengan pelajaran yang lain, yang sama-sama mendewakan buku teks?”

Wah, pelajaran apa dulu nih? Ekonomi? Dia sudah punya ‘rumusan’ tersendiri, mas, ada istilah-istilah dan aturan main yang memang harus dipatuhi. Biologi? Kecuali Anda ngerti ini-itu namanya organ apa dan bisa mengawin-silangkan alien dengan beruang, lihat buku teks dulu, deh. Matematika? Itu mah memang rumus-rumus, bung. Mau menyaingi

Page 3: Degenerasi paradigma pelajaran sejarah

teorema Pythagoras, ha? Bagaimana dengan Bahasa Indonesia? Ah, silakan pikir itu pembodohan jika ente mau buat bahasa gaul.

Ini pelajaran Sejarah, mas-mas dan mbak-mbak sekalian. Pelajaran yang menilik peristiwa yang terjadi di masa lampau. Jika kita hanya bisa mendewakan satu bahan saja tanpa melirik yang lain, mau jadi apa? Pikiran kita pun hanya terikat pada satu bahan saja, berhubung soal ulangan tidak membutuhkan referensi dari berbagai media lainnya. Yang dibutuhkan hanya apa yang disebutkan di buku teks. Titik habis.

Ya, ya, mungkin masih bisa dimaklumi jika hal macam itu disuguhkan sebagai hidangan para pelajar yang masih berada di tingkat pendidikan Sekolah Dasar. Maklum, masih anak kemarin sore. Bagaimana pun, manusia butuh dasar pengetahuan untuk dijadikan landasan untuk berangkatnya nanti, yang mana masih bisa ditambal disana-sini nantinya. Tapi hal serupa tak bisa diterapkan lagi bagi pelajar yang sudah menginjak tingkat Sekolah Menengah Pertama, apalagi Sekolah Menengah Atas. Butuh peningkatan. Lalu, harus bagaimana metode pelajaran Sejarah yang benar? Jawabannya: diskusi dan analisis. Pepatah bilang, “kita belajar dari Sejarah”. Pemimpin besar yang sukses semacam Adolf Hitler — abaikan nama buruknya dalam hal ini — juga belajar dari sejarah. Tapi apakah dia hanya memelototi arsip sejarah yang dia punya? Apakah dia hanya mendengar cerita-cerita masa lalu dan menghapalkan urutan peristiwanya saja?

Tentu tidak. Kalau dia hanya melakukan hal itu, maka Hitler mungkin hanya akan menjadi perpustakaan berjalan. Ia bisa menjadi seorang pemimpin besar karena ia menganalisis apa yang terjadi di masa lampau, dan dengan itu dia membangkitkan Jerman dari kekalahannya setelah Perang Dunia I. Lagipula, apakah dengan metode hapalan konservatis yang bisa membuat Anda hapal rentetan kejadian pada Perang Puputan, misalnya, akan berguna bagi pekerjaan di masa mendatang? Kecuali Anda mau jadi sejarawan, saya rasa gunanya akan jadi sangat minimal. Anda mungkin justru sudah melupakannya ketika sudah terbebas dari kewajiban yang mengharuskan Anda belajar pelajaran Sejarah.

Hal ini akan berbeda jika pelajaran Sejarah menggunakan metode analisis dan diskusi. Mungkin rasanya memang sangat sulit pada awalnya, ketika kita yang sudah didoktrin untuk menghapal barisan angka 4 digit, kini harus menganalisis segala hal yang tidak jelas. Tapi yang namanya awal, memang selalu susah. Seperti balita yang baru belajar berjalan, tentunya sulit melakukannya pada awalnya, kan? Namun jika sudah terbiasa, maka akan biasa. Tidak seperti metode hapalan yang terpaku pada bahan dan fakta yang sudah ada, analisis justru mengira-ngira penyebab dan akibat dari suatu fakta sejarah yang disediakan. Seperti misalnya, mengapa Jerman bisa bangkit dari kemiskinan dengan cepat setelah Perang Dunia I? Atau bagaimana jika Jerman Nazi yang berhierarki militer itu masih jaya hingga sekarang? Dari proses analisis itu, nantinya bisa dikembangkan menjadi diskusi tersendiri. Hal ini tak bisa atau sulit ditemui dalam metode hapalan yang konservatis.

Yang menguntungkan lagi, rasa-rasanya metode ini bisa cukup menghindarkan terjadinya proses belajar yang sudah umum di masyarakat kita. Apalagi kalau bukan menyontek dan kerja sama berbagi jawaban? Jika metode ini didukung dengan lembar

Page 4: Degenerasi paradigma pelajaran sejarah

jawaban esai dan bukannya pilihan ganda ketika ulangan, tentunya para pelajar terpaksa harus berpikir sendiri dengan kemampuan analisisnya. Macamnya soal esai lainnya, menyontek dan apalagi berbagi jawaban pun sulit, berhubung jawaban yang bagus pasti panjang-panjang dan detil.

Jika kemampuan menganalisis dan diskusi ini sudah dilatih sejak berada di jenjang pendidikan Sekolah Menengah, tentunya metode ini akan jauh lebih berguna dibandingkan metode hapalan yang sebelumnya. Hapalan akan terlupakan ketika pelajarannya sudah tidak terpakai lagi. Tapi ini? Kemampuan analisis ini tentunya tidak hanya bisa digunakan pada pelajaran Sejarah, tapi juga bisa digunakan secara luas. Lebih bagus lagi jika ternyata sanggup menghindarkan terjadinya fallacy. Pelajar jadi bisa berpikir lebih kritis daripada asal jeplak seperti yang terjadi sekarang.

Tentunya Anda tahu bahwa sedang tren sekarang — entah disadari atau tidak — macam-macam gaya pengucapan yang digunakan oleh para remaja. Macamnya penjelasan yang berbunyi: “gitu-gitu deh”, “ya gitu deh”, atau alasan asal yang berbunyi: “ngga tau deh”, “soalnya keren aja”, dan berbagai macam sebagainya bisa disebabkan karena kurangnya sifat kritis remaja ini. Mungkin alasan saya terdengar konyol dan sepele, tapi memang benar adanya menurut saya. Mereka tidak bisa menjelaskan dengan baik apa yang ada di pikiran mereka, karena itu jawaban yang dilontarkan seringkali terdengar cacat dan asal.

Pemikiran dan alasan yang konyol dan tidak berpikir secara mendalam pun saya rasa dapat terjadi karena kurangnya kebiasaan untuk menganalisis. Seperti misalnya dihadapkan pada pernyataan bahwa lebih baik Indonesia dibom atom daripada tidak merdeka 100% yang dilontarkan oleh seorang Jendral, seorang mungkin akan menjawab bahwa pernyataan itu sangat bodoh, tanpa ia berpikir kondisi dan situasi yang terjadi pada kala itu. Singkatnya, penilaian dan generalisasi sepihak.

Itu yang mengakibatkan terbelakangnya pemikiran remaja sekarang ini, kalau saya bilang. Mengakibatkan degenerasi pada pola pikir dan menyempitnya cara berpikir seseorang, yang mana nantinya hanya menghasilkan generasi hedonis macamnya generasi MTV, generasi gamer abadi, atau justru generasi Friendster. Menyebabkan kurangnya kepedulian remaja terhadap lingkungan sekitar karena kurangnya sikap kritis, bahkan kurangnya perhatian terhadap bangsa sendiri.

Berkaitan dengan kabar burung yang terdengar belakangan ini, bahwa akan diselenggarakannya Ujian Nasional dengan mata pelajaran Sejarah bagi kelas 3 SMA jurusan Ilmu Sosial, mungkin ada yang akan menolak keras metode ini. Mungkin ada yang beranggapan bahwa metode ini akan sia-sia karena pada akhirnya pemerintah hanya akan memberikan metode klasik yang entah kenapa tidak pernah diganti. Mungkin ada yang beranggapan bahwa metode ini tidak sejelas metode konservatif gara-gara murid harus menganalisis sendiri materinya. Mungkin ada yang takut metode ini kurang efektif. Kenapa harus takut? Sebaliknya, saya rasa justru metode ini lebih efektif daripada metode klasik garapan pemerintah. Adapun alasannya sudah saya jelaskan panjang lebar di paragraf-paragaraf sebelumnya. Jika memang sang pelajar membaca dengan benar bahan-bahan yang ada, baik dari buku acuan maupun dari media lainnya, bukankah dengan sendirinya

Page 5: Degenerasi paradigma pelajaran sejarah

mereka juga mengetahui materi itu? Lagipula, yang diincar oleh para pelajar itu apa, “ketika Ujian Nasional” atau “setelah Ujian Nasional”? Kalau yang diincar cuma ketika Ujian Nasional aja, yah, bisa dimaklumi. Namanya juga cuma bisa mengejar nilai, bukan mengejar ilmu. Makanya seperti tadi saya bilang, mau jadi koruptor atau tukang bakso sama saja, yang penting masuk UI dulu.

Hal sepele semacam inilah yang juga menghambat kemajuan bangsa ini. Takut akan berubah, takut akan hilangnya metode lama yang dirasa justru menghambat kemajuan generasi. Jika yang mau dirubah sendiri takut, mau jadi apa? Pengecut, kalau mau kasar. Sejarah, layaknya ilmu pengetahuan yang lain, sungguh bisa membangkitkan cara berpikir siswa selama dikembangkan dan diajarkan dengan benar. Selama sejarah masih terikat pada dogma-dogma dan kata-kata yang tertera di buku teks, selama satu buah buku teks masih didewakan sebagai acuan utama pelajaran sejarah, selama pelajar takut untuk berubah demi mengejar nilai belaka; maka akan sulit mengembangkan pola pikir generasi bangsa yang bagaikan katak dalam tempurung yang sempit, terkurung di dalam tempat yang sama dan hanya melihat secercah cahaya yang masuk ke dalamnya.

Tugas kita selanjutnya sebagai insani pendidikan, dapatkah kita menyampaikan visi yang dan nilai terkandung dalam pelajaran sejarah kepada anak didik kita, agar kita tidak terkatagori sebagai bangsa yang lupa akan sejarahnya, atau akan dikemanakan bangsa yang besar ini dengan sejarahn yang sangat pajang dan pernah menglami kejayaan besar pula?

. . .