defenisi asma

13
A. Defenisi Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi saluran pernapasan, dan gejala pernapasan (mengi dan sesak). Obstruksi jalan napas umumnya bersifat reversibel, namun dapat menjadi kurang reversibel bahkan relatif non reversibel, tergantung berat dan lamanya penyakit. B. Patofisiologi 1. Obstruksi saluran pernapasan di sebabka oleh bayak faktor seperti bronkuspasme, edema, hipersekresi bronkus, hiperresponsif bronkus, dan inflamasi. 2. Serangan asma yang tiba-tiba di sebabkan oleh faktor yang di ketahui atau yang tidak diketahui, faktor- faktor itu meliputi terpapar alergen, virus, polutan atau zat-zat lain yang dapat merangsang inflamasi akut atau kontruksi bronkus. 3. Terlepasnya mediator kimiawi yang terbentuk saat cedera jaringan, mast sel, dan leukost di saluran pernapasan. Mediator-mediator tersebut mengakibatkan timbulnya gejala-gejala dan komplikasi asma. Mediator tersrbut adalah histamin, eosinopilic chemotactic factor of anaphylacsis (ECF-A), bermacam macam derivat prostaglandin (leokutrien dan slow reacting substances of anaphylacsis, SRS-A), tumor nekrosis faktor (TNF), dan beberapa mediator sitokin (interleukins)

Upload: sellyanalubis

Post on 12-Feb-2016

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dhjfe

TRANSCRIPT

Page 1: Defenisi Asma

A. Defenisi

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan

berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam

berbagai tingkat, obstruksi saluran pernapasan, dan gejala pernapasan (mengi dan

sesak). Obstruksi jalan napas umumnya bersifat reversibel, namun dapat menjadi

kurang reversibel bahkan relatif non reversibel, tergantung berat dan lamanya

penyakit.

B. Patofisiologi

1. Obstruksi saluran pernapasan di sebabka oleh bayak faktor seperti bronkuspasme,

edema, hipersekresi bronkus, hiperresponsif bronkus, dan inflamasi.

2. Serangan asma yang tiba-tiba di sebabkan oleh faktor yang di ketahui atau yang

tidak diketahui, faktor-faktor itu meliputi terpapar alergen, virus, polutan atau zat-

zat lain yang dapat merangsang inflamasi akut atau kontruksi bronkus.

3. Terlepasnya mediator kimiawi yang terbentuk saat cedera jaringan, mast sel, dan

leukost di saluran pernapasan. Mediator-mediator tersebut mengakibatkan

timbulnya gejala-gejala dan komplikasi asma. Mediator tersrbut adalah histamin,

eosinopilic chemotactic factor of anaphylacsis (ECF-A), bermacam macam

derivat prostaglandin (leokutrien dan slow reacting substances of anaphylacsis,

SRS-A), tumor nekrosis faktor (TNF), dan beberapa mediator sitokin

(interleukins)

a. Histamin

Dalam saluran pernapasan histamin dapat menyebabka bronkokontriksi,

meningkatkan permeabilitas vaskuler yang berakibat edema dan infiltrasi

leukosit terutama eosinofil.

b. ECF-A

Dilepaskan oleh sel mast yang berfungsi untuk menarik eosinofil ke tempat

cedera atau inflamasi. Eosinofil terlibat dalam proses inflamasi dan reaksi

alergi yang sering terjadi pada saluran pernapasan yang akan memperburuk

atau menyebakan timbulnya asma.

c. Prostaglandin

Adalah suatu mediator kimiawi yang di proses oleh hampir seluruh sel dalam

tubuh. Ketika terjadi cedera sel, berbagai prostaglandin di lepaskan dari

membran sel. Prostaglandin menimbulkan bermacam-macam efek seperti

Page 2: Defenisi Asma

dilatasi otot polos, peningkatan sekresi, dan inflamasi. Prostaglandin yang

terlibat dalam proses timbulnya asma adalah leukotrien A (LT A) , LT B, LT

D, dan LT E. Leukotrien-leukotrien itu bergabung untuk SRS-A yang sangat

potensial menyebabkan bronkokontriks di badingkan histamin. SRS-A

menyebabkan edema mukosa, sekresi mukus, dan infiltrasi leukosit.

4. Kontraksi otot polos bronkus dan sekresi mukus di pengaruhi oleh sistem simpatik

dan parasimpatik. Perangsangan parasimpatik melalui nervus-nervus vagus

menyebabkan bronkokontriksi dan sekresi mukus. Stimulasi nervus vagus dapat

terjadi karena rangsangan oleh berbagai zat pada saluran pernapasan.

C. Manifestasi klinik

Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktifitas

bronkus. Obstruksi jalan napas dapat reversibel secara spontan atau melalui

pengobatan. Gejala-gejala asma antara lain :

1. Bising mengi (wheezing) yang terdengar atau tanpa stetoskop

2. Batuk yang produktif, sering pada malam hari.

3. Napas atau dada seperti tertekan.

Gejala bersifat paroksimal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk pada

malam hari. Klasifikasi asma berdasarkan keberbahayaan yang di timbulkan

adalah sebagaimana dalam tabel berikut.

Keberbahayaan Gejala gejala simptom Malam hari Fungsi paru-paruIntermiten ringan

- Simtom ≤ 2 kali perminggu - PEF normal diantara serangan - eksaserbasi singkat (jam-hari), intensitas bervariasi

≤ 2 kali /bulan -FEV1 atau PEF ≥80%FEV1/PEF >85%

- Variasi PEF ≤ 20%

Persisten ringan - Simtom > 2 kali/minggu tetapi kurang dari 1 kali/hari

- Eksaserbasi mungkin mempengaruhi aktifitas

>2x/bulan - FEV1/PEF ≥80%- FEV1/PVC > 80%- Variasi PEV 20-30%

Persisten sedang - Simtom setiap hari

- Setiap hari menggunakan inhalasi β –

1x/ minggu

-FEV1, PEF>60-<80%- FEV1/FVC = 75-80 %-Variasi PEF>

Page 3: Defenisi Asma

agonis- Eksaserbasi

mempengaruhi aktifitas, dan ≥ 2x/ minggu

30%

- FEV1 atau PEF ≤60%

Hal 147

a. FEV1/FEC, nilai 60-75% = ringan

b. FEV1/FEC, nilai 40-59% = sedang

c. FEV1/FEC, nilai <40% = berat

D. Diagnosis

Diagnosis asma berdasarkan :

Page 4: Defenisi Asma

1. Anamnesis : riwayat perjalan penyakit, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

asma, riwayat keluarga, riwayat alergi, dan gejala klinis.

2. Pemeriksaan fisik.

3. Pemeriksaan laboratorium : jumalah eosinofil darah dan sputum

4. Tes fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter untuk menentukan

adanya obstruksi saluran pernapasan

5. Pemeriksaan lain misalnya foto toraks, uji bronkodilator (atas indikasi ), dan

analisis gas darah (atas indikasi)

E. Tujuan terapi

1. Asma kronik

a. Memeliharan kemampuan aktivitas normal, termasuk oleh olahraga

b. Memelihara kemampuan paru-paru normal atau mendeteksi nrmal.

c. Mencegah timbulnya gejala seperti batuk atau sesak napas pada malam, pagi

atau setelah berolahraga.

d. Mencegah timbulnya asma yang lebih berat

e. Memberikan terapi obat dengan dosis efektif minimal tanpa efek samping

yang berarti

f. Memberdayaka keluarga untuk proses perawatan dan penyembuhan.

2. Asma akut dan berat

a. Menghilangkan obstruksi saluran pernapasan dengan cepat (dalam menit)

b. Memperbaiki hipoksia yang terjadi

c. Mengembalikan fungsi paru ke normal secepat mungkin

d. Mengurangi kemungkinan kambuhnya serangan asma berat

e. Membuat perencanaan tertulis jika terjadi kegawatan di masa yang akan

datang.

F. Terapi non farmakologi pada asma

1. Edukasi yang berkaitan dengan program pengobatan

2. Menghindari alergen yang dapat mentriger timbulnya asma, mengurangi

penggunaan obat dan mengurangi penggunaan sensitifitas bronkus, misalnya

karena binatang atau asap rokok

3. Pasien asma akut dan berat harus menyediakan dan mempunyai persediaan gas

oksigen

4. Penyuluhan tentang asma untuk pasien dan keluarga

G. Obat-obat yang efektif untuk asma

Page 5: Defenisi Asma

1. β2 – agonis

a. β2 – agonis adalah bronkodilator yag sangat efektif yang bekerja dengan

meningkatkan aktivitas adenilsiklase sehingga meningkatkan produksi

intaseluler siklik AMP (adenosin monofosfat). Peningkatan c-AMP

menyebabkan relaksasi otot polos, stabilisasi mast sel, dan stimulasi otot

rangka. Pemberian melalui aerosol akan meningkatkan bronkoselektifitas,

mempercepat efek yng timbul serta mengurangi efek samping sistemiknya.

Beberapa β2 – agonis (terutama yang kurang efektif ) dapat merangsang

reseptor β1 yang berakibat peningkatan kontraksi dan frekuensi denyut jantung.

b. Albuterol dan β2 – agonis selektif inhalasi short acting di indikasikan untuk

terapi intermiten bronkuspasme dan pilihan pertamauntuk asma akut.

c. Formuterol dan salmeterol, suatu β2 – agonis long action di indikasikan

sebagai terapi tambahan pada pasien yang telah mendapatkan kortikosteroid

untuk mengontrol asma jagka panjang. β2 – agonis long action tidak efektif

untuk terapi asma akut karen perlu onset 20 menit dan efek maksimum baru

tercapai setelah 1-4 jam pemberian melalui inhalasi.

d. Pada asma akut berat, β2 – agonis short acting harus di berikan dengan dosis

besar secara nebulai dengan frekuensi yang cukup sering.

e. Pada asma nokturnal, pemberian β2 – agonis long acting lebih disukai

dibandingkan β2 – agonis slow release atau teofilin sustain release.

2. Metilxantin

a. Teofilin menghambat fosfodiesterase, sutu enzim intraseluler yang bekerja

menginaktifasi c-AMP sel mast otot polos bronkus. Dengan menghambat

fosfodiesterase, kadar c-AMP meningkat, menyebabkan bronkodilatasi,

menghambat pelepasan meditor kimia dari sel mast, pelepasan eosinofil

mengurangi profilerasi limfosit T, mengurangi pelepasan sitokin, dan

mengurangi eksudas plasma. Teofilin menghambat permeabilitas vaskiler dan

meningkatkan kliren mukosiliari.

b. Metilxantin tidak efektif jika diberikan melalui aerosol, maka harus diberikan

secara oral atau injeksi. Sediaan tablet slow release lebih disukai dibandingkan

tabet konvensional karena akan menghasilkan kadar obat dalam plasma yang

relatif tidak berfluktuasi pada pasien. Seiaan kombinasi dengan etilendiamin

Page 6: Defenisi Asma

(aminofilin) dapat diberikan dalam bentuk injeksi karena kelarutan teofilin

meigkat jika di bandingka hanya diberikan sendiri.

c. Terjadi variasi yang besar antar pasien dalam hal absorbsi, dan metabolisme,

sehingga dosis perlu di sesuaikan dan di monitor, terlebih otot ini mempunyai

indeks terapi sempit. Kadar steady state berkisar 5-15 ug/ml adalah efektif da

aman untuk kebanyakan pasien. Efek samping pada pemakaian jangka panjang

cukup berbahaya seperti : aritmia, kejang,dan kematian dapat terjadi jika

kadarnya mencapai 2x lebih besar dari kadar efektifnya.

d. Pada asma berat, penambahan aminofillin untuk mengoptimalkan efek β2 –

agonis tidak efektif.

e. Karena efek sampingnya yang relatif besar, teofilin di pertimbangkan sebagai

obat pilihan ke dua atau ketiga dalam terpai asma.

3. Antikolinergik

a. Obat antikolinergik tidak digunakan secara luas dalam terapi asma. Ipatropium

bromid dan atropin sulfat adalah inhibitor kompetitif yang dapat berefek

bronkodilatasi karena bronkokontriksi akibat perangsangan parasimpatik.

Antikolinergik potensial sebagai bronkodilator, tetapi masih kurang efektif

jika dibandingkan dengan β2 – agonis. Selain itu efek sampingnya yang

menyebebkan mulut broncus kering juga lebih besar dibandingkan β2 – agonis.

b. Waktu untuk mencapai efek maksimal (dilatasi) melalui pemberian aerosol

lebih lama jika di bandingkan dengan pemberian β2 – agonis, yaitu 2 jam vs 30

menit. Ipatropium bromide mempunyai durasi efek 4-8 jam.

c. Ipatropium bromid bermanfaat untuk terapi tambahan asma akut berat yang

kurang responsif terhada β2 – agonis sendirian.

4. Antialergi

a. Natrium kromolin da natrium nedokromil diyakini mempunyai efek stabilisasi

membran sel mast karena rangsangan zat alergen atau exercise induced

broncospasme (EIB), sehingga menghambat pelepasan mediator kimiawi dari

sel mast. Kedua obat tidak menyebabkan bronkodilatasi tetapi hanya

mencegah konstriksi, sehingga tidak efektif untuk terapi asma yang sudah

berlangsung.

b. Zat ini hanya efektif jika diberikan secara inhalasi dan diindikasikan sebagai

profilaksis pada asma ringan pada anak-anak atau orang dewasa. Obat ini

efektif terutama mencegah asma karena alergi.

Page 7: Defenisi Asma

c. Natrium kromolin merupakan obat pilihan kedua untuk mencegah EIB.

Penggunaannya dapat di kombinasikan dengan β2 – agonis pada kasus asma

yang berbahaya yag kurang efektif juka hanya di terapi dengan β2 – agonis

sendirian.

d. Efek samping yang sering terjadi adalah nyeri atau iritasi hidung, rasa tidak

enak, alergi, ras kulit, gatal-gatal, batuk, dan agiodema.

5. Glukokortikoid

a. Glukokortikoid dapat meningkatkan jumlah reseptor β2 – agonis oleh karena

itu mengurangi produksi mukus, hipersekresi, dan bronchial

hiperresponsiveness (BHR)

b. Glukokortikoid inhalasi adalah paling efektif untuk kontrol asma jangka

panjang yang persisten. Kebanyakan pasien dengan asma moderat dapat

dikontrol dengan pemberian 2x sehari dan dengan beberapa produk 1x sehari.

Pasien yang lebih berat memerlukan frekuensi yang lebih sering. Karena

inflamasi pada asma menghambat ikatan steroid dengan reseptor, pasien harus

di mulai dengan dosis yang lebih besar dan sering kemudian di lakukan

tappering (dikurangi secara gradual) sampai dosis efektif terkecil yang masih

dapat mengontrol asma. Perbaikan pengobatan dapat tercapai dalam 1-2

minggu.

c. Glukokortikoid sistemik diindikasi pada semua pasien asma akut berat yag

tidak responsif terhadap β2 – agonis.

d. Pasien yang memerlukan glukokortikoid sistemik secara terus menerus

(kronik), harus menggunakan dosis sekecil mungkin, atau penggunaan selang

seling dengan dosis tinggi glukokortikoid inhalasi.

e. Efek samping berupa retensi air, kelelahan otot, gagguan metabolisme, dan

meningkatkan kejadian infeksi dapat dihilangkan dengan pemberian melalui

aerosol. Penggunaan aerosol dapat menyebebkan insiden infeksi dirongga

mulut terutama oleh jamur yang dapat dikurangi dengan mencuci mulut

dengan air setelah pemberian inhalasi.

6. Leukotrien modifiers

Penelitian untuk terapi asma juga difokuskan untuk menemukan obat yang dapat

menghambat kerja dari derivat prostaglandin

Page 8: Defenisi Asma

Hal 155

2 kali perminggu menunjukkan perlunya terapi long term

Tahap 1 intermiten ringan

Tidak di perlukan pengobata harian

- Short acting inhalasi β2 – agonis jika di perlukan.

- Intensitas pengobatan tergantung keberbahayaan

- Penggunaan short acting inhalasi β2 – agonis lebih dari 2 kali perminggu menunjukkan perlunya terapi long term

- Diberitahu fakta-fakta tentang asma

- Teknik menggunakan obat inhaler atau nebulasi

- Diskus tentang pengobatan

- Teknik menggunakan oba inhaler atau nebulasi

- Diskusi tentang pengobatan

- Mengembangkan self management asma

- Cara bagaimana menghadapi serangan (rescue)

- Diskusi tentang lingkunga, menghindari alergen atau iritan

Step downReview pengobatan setiap 1-6 bulan, penurunan terapi jika memungkinkan

Step upJika kontrol tidak tercapai, pertimbangkan step up. Pertama nilai teknik pengobatan yag dijalankan pasien, kepatuhan, dan lingkungan (menghindari triger)