dari redaksi - pii.or.idpii.or.id/wp-content/uploads/ew-5.pdf · dari akuifer di dalam tanah dan...
TRANSCRIPT
Kekeringan tidak hanya menjadi bencana langsung
bagi para petani yang mengandalkan air untuk
tanamannya, tapi juga bagi masyarakat urban.
Seperti tahun lalu, kemarau yang panjang membuat
turunnya ketersediaan air baku untuk air bersih
warga. Beberapa kawasan di Jakarta, misalnya,
tidak bisa mendapatkan pasokan air bersih dari
perusahaan penyedia air bersih. Bahkan, banyak
rumah tangga, yang biasa mendapatkan pasokan
dari air tanah, juga harus menerima kenyataan
bahwa di tanahnya pun sudah tidak tersedia air.
Krisis air jangan lah dianggap sepele. Di masa depan,
kelangkaan air, akan menyebabkan konflik yang luar
biasa. Menurut data dari BPPT tahun 2000,
ketersediaan air permukaan hanya cukup untuk
memenuhi sekitar 23% kebutuhan penduduk. Defisit
air di Jawa dan Bali sudah terjadi sejak 1995. Hal ini
menjelaskan mengapa sering terjadi krisis air di
beberapa daerah di Jawa dan Bali setiap musim
kemarau tiba.
Pasokan air selalu menjadi kendala utama
penyediaan air bersih di Indonesia. Sebagian besar
PDAM mengandalkan air baku dari air sungai untuk
memasok air ke rumah tangga dan industri. Padahal
kualitas sungai dan air sungai telah mengalami
penurunan kualitas dari tahun ke tahun akibat
kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Apalagi
keika musim kemarau panjang tiba, dipastikan
ketersediaan air bersih untuk rumah tangga dan
industri menyusut, bahkan terhenti.
Di masa mendatang, sangat tidak bijaksana untuk
menggantungkan ketersediaan air bersih dengan
mengandalkan air baku dari air sungai. Diperlukan
inovasi teknologi untuk memberikan solusi dalam
jangka panjang untuk memproduksi air bersih.
Bukan hanya masalah distribusinya.
Para insinyur diharapkan mampu berperan dalam
menghadang krisis dan konflik di masa depan
dengan melakukan berbagai inovasi teknologi di
bidang penyediaan air bersih untuk masyarakat.
Salah satu teknologi yang sudah tersedia adalah
Natural Treatment Plant (NTP) yang sudah banyak
diterapkan di Jerman, yang menyadap air langsung
dari akuifer di dalam tanah dan
mendistribusikannya ke hilir. Beberapa keuntungan
teknologi ini adalah tidak digunakannya bahan kimia
untuk mengolah air minum dan tidak diperlukan
pompa distribusi, karena letak reservoir ada di
daerah tinggi (pegunungan).
Karena urgensinya, maka Engineer Weekly di awal
Maret ini menyajikan berbagai masalah, dampak dan
solusi ketersediaan air di Indonesia dengan beberapa
artikel yang ditulis oleh ahli di bidangnya. Apapun
inovasi teknologinya, yang paling penting adalah
bagaimana inovasi itu dapat diterapkan, menjadi
solusi, dan bermanfaat bagi masyarakat. Selamat
membaca.
Aries R. Prima
Pemimpin Redaksi
2
DARI REDAKSI
INSINYUR DAN AIR BERSIH
3
EDITORIAL
AIR BERSIH Rudianto Handojo
Dalam rencana pembangunan infrastruktur
dicantumkan bahwa pelayanan air minum di
Indonesia pada 2019 harus sudah dapat menjangkau
100% penduduk Indonesia. Saat ini, masyarakat
yang dapat dilayani masih di bawah 70%. Menurut
Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian
Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat, paling
tidak masih ada gap lebih dari 30%.
Untuk memenuhi pencapaian tersebut, pemerintah
mencanangkan pembangunan Sistem Penyediaan
Air Minum (SPAM) di perkotaan untuk 21,4 juta
sambungan rumah (268.680 liter/detik) serta
pembangunan SPAM di perdesaan sejumlah 11,1 juta
sambungan rumah (untuk 22.647 desa). Ini adalah
pekerjaan besar tetapi harus tercapai.
Di lain pihak, menurut the Economist World Figures
in Pocket 2016, pencapaian 100 persen akses air
bersih sebenarnya baru bisa diraih negara seperti
Singapura dan Korea. Akses terbaik terhadap air
bersih selanjutnya ada di, berturut-turut, Malaysia
(99,6 %), dan (Brazil 97,5%). Beberapa negara
tetangga kita seperti Thailand (95,8%), Vietnam
(95%), Philipina (91,8%), juga sudah memiliki akses
air bersih yang baik. Sedangkan dua negara besar
Asia yaitu India dan China, masing-masing,
penduduknya mempunyai akses terhadap air bersih
sebesar 92,6% dan 91,9%. Indonesia sendiri,
menurut sumber informasi yang sama, baru 84,9%
penduduk yang mempunyai akses terhadap air
bersih. Artinya masih ada gap 15,1% menuju 100% di
tahun 2019.
Lain lagi dengan laporan Unicef. Menurut lembaga
ini, pada laporannya tahun 2014, persentase orang
dengan akses ke sumber air yang baik di Indonesia
telah meningkat dari 70 persen pada tahun 1990
menjadi 84 persen pada tahun 2011. Namun,
situasinya tidak seragam, akses di daerah pedesaan
(76 persen) lebih rendah dibandingkan dengan
daerah perkotaan (93 persen). Orang-orang miskin
juga mempunyai akses air bersih yang rendah.
Secara global, lebih dari tiga perempat miliar orang,
sebagian besar adalah penduduk miskin, masih tidak
memiliki akses terhadap air yang aman, meskipun
terdapat fakta bahwa rata-rata sudah memenuhi
target global untuk air minum yang ditetapkan
dalam Millenium Development Goals (MDGs).
Target MDG untuk air minum sudah dicapai pada
tahun 2010, ketika 89 persen dari populasi global
memiliki akses ke sumber air minum - seperti
pasokan pipa, sumur bor dilengkapi dengan pompa,
dan sumur yang terlindungi.
Unicef juga memerkirakan bahwa 1.400 anak di
bawah lima tahun meninggal setiap hari karena
penyakit diare terkait dengan kurangnya air bersih
dan sanitasi serta kebersihan yang memadai .
Dunia diharapkan tidak pernah berhenti
membangun akses air bersih sampai setiap pria,
wanita dan anak memiliki air dan sanitasi layak.
Yang mungkin mengejutkan, adalah bahwa bahkan
di negara-negara berpenghasilan menengah ada
jutaan orang miskin yang tidak memiliki air bersih
untuk diminum. Target harus ditetapkan pada
kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan yang
paling sulit dijangkau, yang paling miskin dan yang
paling dirugikan.
Situasi tersebut menggambarkan salah satu tugas
insinyur untuk terus mengembangkan ketersediaan
air bersih secara berkelanjutan serta
mengalirkannnya ke seluruh lapisan masyarakat dan
mendistribusikannya secara merata. Karena
pentingnya hal ini, dalam kepengurusan pusat PII
tahun 2015-2018, kegiatan mengenai air ini
ditangani oleh dua bidang, yaitu bidang Sumber
Daya Air dan bidang Distribusi Air. Paling tidak ini
menggambarkan perhatian pada masalah air sebagai
bentuk tanggung jawab profesional maupun
tanggung jawab sosial pada masyarakat di sekitar
kita, seperti yang termaktub dalam tujuan
pengembangan keprofesian berkelanjutan pada UU
No 11 tahun 2014 tentang keinsinyuran.
4
Tersedianya air bersih yang cukup bagi kebutuhan sehari hari adalah suatu hal yang sangat penting. Akan tetapi ketersediaan air bersih untuk beberapa tahun belakangan ini tidak selalu mudah. Kira-kira, 30-50 tahun yang lalu, Jika membangun rumah yang lokasinya belum terjangkau oleh air ledeng, maka dengan menggali sumur 8-10 meter, air akan keluar dengan mudahnya melalui pompa tangan. Kini dengan bertambahnya penduduk dan berbagai aktivitasnya, menyebabkan pula kenaikan kebutuhan air bersih, sehingga penyediaan air bersih menjadi masalah. Kehandalan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) dalam mengelola air bersihpun semakin menurun. Sebagai akibat dari rendahnya kemampuan PDAM, mendorong pemanfaatan air tanah secara luas oleh masyarakat. Ekstraksi air tanah dilakukan secara besar-besaran. Warga yang kondisi perekonomiannya lebih baik, mampu menggali sumurnya lebih dalam dan menggunakan pompa air dengan kekuatan hisap yang lebih besar. Kelangkaan air juga dialami pada air permukaan. Debit air sungai sudah menurun. Kuantitas air sungai yang semula diharapkan menjadi andalan sebagai sumber air baku, sudah menurun. Dampak memburuknya pasokan air bersih di dunia yang terjadi atau diprediksikan akan terjadi di masa mendatang antara lain ditunjukkan oleh data yang dilansir WWF pada 2007: Pada pertengahan abad ini, tujuh milyar jiwa di 60 negara mungkin akan menghadapi kelangkaan air (setidaknya dua milyar di 48 negara saat ini sudah menghadapinya). Lebih dari 1,5 miliar jiwa tidak memiliki akses langsung air minum, dan jika pola konsumsi ini terus berlanjut, setidaknya dalam kurun 20 tahun mendatang kira2 hampir populasi setengah penduduk dunia akan tinggal di daerah aliran sungai yang kritis. Lima juta jiwa, sebagian besar anak-anak, meninggal setiap tahun karena penyakit karena mengkonsumsi air berkualitas buruk.
Apakah permasalahan air bersih ini tidak dapat diselesaikan? Menurut UNESCO (1978), volume total air dunia sebesar ± 1,8 milyar kilometer kubik, dan sekitar 11 juta meter kubik air tawar berada di permukaan dan dalam tanah, dan itu yang bisa kita manfaatkan saat ini. Sebagian besar sisanya adalah air laut. Jika dikatakan air tawar sudah mengalami krisis saat ini, maka sebenarnya masih terdapat air laut yang masih bisa dimanfaatkan. Arab Saudi, Bahrain dan Kuwait telah memanfaatkan air laut untuk dijadikan air bersih dengan menggunakan teknologi Desalinasi Air laut (desalinasi thermal) telah lama digunakan di Arab Saudi, Bahrain, Kuwait. Tetapi metode ini sangat boros energi. Kini beberapa negara juga sudah menggunakan teknologi yang lebih baru, yakni menggunakan metode reverse osmosis. Dengan teknologi ini, Israel sudah dapat memproduksi air tawar sebanyak 16.000 liter per detik. Contoh lain negara yang menggunakan teknologi ini adalah Singapura. Negara ini berupaya membebaskan ketergantungan pasokan air yang selama ini bergantung kepada Malaysia. Spanyol juga sudah memiliki instalasi desalinasi yang dapat memproduksi total 32.000 liter per detik air tawar. Bagaimana dengan Indonesia? Dengan luasnya wilayah laut dan kecenderungan pemanfaatan air laut, dan teknologinya sudah tersedia, mestinya sudah bisa keluar dari masalah ini. Tapi kapan ya..?
Air Bersih dan Permasalahannya Samsuhadi Samoen
5
Musim kemarau baru saja berlalu. Namun, begitu
musim hujan tiba, beberapa sungai langsung meluap,
seolah-olah memberikan pesan dini pada warga
Jakarta. Penyebabnya, apalagi kalau tidak guyuran
hujan, terutama yang terjadi di daerah hulu.
Menyiapkan diri jika luapan yang lebih besar datang
adalah reaksi positif yang harus dilakukan masyarakat
untuk menyikapi pesan tersebut.
Bagi warga ibukota dan pemerintah, antisipasi
terhadap keadaan darurat banjir memang masih
diperlukan dalam beberapa tahun ke depan. Secara
teknis, penyelesaian masalah banjir tak bisa tuntas
hanya dalam beberapa tahun, perlu visi dan
kepemimpinan yang kuat untuk menyelesaikan
permasalahan yang telah melilit Jakarta berpuluh-
puluh tahun ini.
Wacana yang dikembangkan bahwa banjir Jakarta
bisa diselesaikan dalam 3 sampai 5 tahun masa
kepemimpinan adalah tidak realistis jika dilihat dalam
tinjuan teknis, sosial dan fakta yang ada. Isu banjir
Jakarta menjadi salah satu titik kritis, di mana
pemerintah harus memberi penjelasan tentang apa
yang direncanakan dan sedang dilakukan kepada
masyarakat. Jika tidak, tentu isu bisa berkembang
menjadi liar.
Tidak hanya di Jakarta, di banyak kota-kota besar di
dunia yang menjadi pusat ekonomi, industri maupun
pemerintahan, banjir besar sering kali memberi
dampak politis berupa tekanan kepada pemerintah
yang berkuasa. Seperti yang pernah dialami Yinluck
Sinawatra, Perdana Menteri Thailand, saat Bangkok
dan beberapa wilayah lain tergenang air pada akhir
Oktober 2014. Nasibnya bak diujung tanduk. Bencana
yang menewaskan 562 jiwa dan kerugian mencapai
33 miliar dollar Amerika Serikat adalah banjir
terburuk selama lima puluh tahun terakhir ini.
Masih lekat dalam ingatan kita ketika Jakarta luluh
lantak digenangi banjir pada tahun 2007 lalu. Banjir
terburuk dalam sejarah ibukota ini menurut data yang
dikeluarkan oleh Bappenas-UNDP, menewaskan 79
orang, 590.407 orang mengungsi dan 145.742 rumah
terendam. Banjir itu, memangkas pertumbuhan
ekonomi hingga 0,53 %, sebagai akibat dari kerugian
yang diderita dengan nilai sekitar 205 juta dolar US .
Jakarta sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan
memiliki tiga kerentanan jika digulung banjir:
kerentanan fisik, sosial dan ekonomi. Kerentanan fisik
berkaitan dengan banyaknya bangunan dan
prasarana, kerentanaan sosial berkaitan dengan
kepadatan penduduk dan kepekaan sosial, sedangkan
kerentanan ekonomi lebih pada menurunnya PDRB
per sektor ekonomi. Melihat kerentanan tersebut,
gampang sekali individu-individu di Jakarta terpukul
gara-gara genangan air dalam jumlah besar.
Partisipasi menjadi kunci sukses
Meski ada hasilnya, penanganan masalah banjir
kelihatan masih tergopoh-gopoh berlomba dengan
meningkatnya permasalahan. Penurunan muka tanah
dan kenaikan muka air laut menjadi tantanagan baru.
Pemerintah kelihatannya mempunyai kemampuan
terbatas untuk masalah yang kompleks dan berat ini,
baik dalam hal pendanaan maupun sumberdaya
manusia.
Masyarakat harus berperan tidak hanya saat tanggap
darurat saja, tapi juga dalam perencanaan dan
pelaksanaan penanggulangan banjir, setidaknya
dalam skala kawasan. Warga turut bertanggungjawab
terhadap upaya-upaya yang harus dilakukan dalam
membebaskan wilayahnya dari genangan air.
Pemerintah harus bisa menjelaskan apa yang sudah
mereka perbuat dan tahapan-tahapan mana yang
masih membutuhkan waktu. Disamping
mengharapkan dukungan masyarakat, di sisi lain
pemerintah juga harus terbuka menunjukan visi dan
keseriusannya menyelesaikan masalah banjir.
Ketika banjir benar-benar datang masyarakat bisa
secara obyektif menilai apakah pemerintah memang
sudah bekerja atau belum. Warga tidak akan
gampang terprovokasi isu-isu liar yang mengarah
kepada kerusakan yang lebih besar.
*Penulis adalah pengamat dari ILWI (Indonesian land
reclamation and watermanagement Insitute), sebuah lembaga
kajian yang bergerak dalam bidang reklamasi, pengelolaan air
dan pengendalian banjir serta penulis buku „Sistem Polder dan
Tanggul Laut‟ dan “Memasuki Era Tanggul Laut, Harapan
Baru di Teluk Jakarta”
Banjir Jakarta dan Ketahanan Nasional
Ir. Sawarendro, M.Sc.*
Air merupakan zat yang luar biasa sebagai rahmat dari
Allah SWT. Air dapat mengalir, bergolak, berputar
melalui berbagai hambatan terhadap aliran yang
dilalui. Keberadaan air di alam ini sangat tergantung
kepada lingkungan alam sekitarnya dan daerah yang
dilaluinya, yang secara terus menerus mengalir
mengikuti siklus hidrologi atau siklus air yang
bergerak dari laut ke daratan dan kembali lagi ke
lautan dan seterusnya.
Proses siklus hidrologi atau siklus air yang meliputi
evaporasi, kondensasi, presipitasi, dan infiltrasi yang
menyebabkan terjadinya pergerakan aliran air.
Tumbuhan dan tanaman memegang peranan penting
dalam proses transpirasi demikian juga energi
matahari memegang peranan dalam proses evaporasi.
Air dapat terpengaruh oleh wilayah dan aktivitas yang
ada yang dilaluinya. Air dapat berwarna jernih di
sekitar pegunungan atau berwarna hitam atau pekat di
daerah rawa maupun wilayah industri.
Air dapat digunakan untuk berbagai kepentingan
mulai untuk kebutuhan irigasi, pertanian, kehutanan,
industri, pariwisata, air minum dan masih banyak lagi
kegiatan yang dapat memanfaatkan air untuk berbagai
keperluan. Di balik keindahannya, air juga merupakan
sumber konflik, terutama untuk masalah pembagian
air di daerah-daerah maupun negara-negara yang
tidak mempunyai cukup sumber air, khususnya untuk
pertanian dan air minum. Air juga dapat berlebih di
sebagian daerah, sehingga terjadi banjir dan sebagian
lainnya dapat mengalami kekeringan karena
kekurangan air.
Salah satu sebab terjadinya kejadian tersebut adalah
adanya aktivitas manusia yang berlebihan, misalnya
penggundulan hutan. Laporan dari ICCSR, Bappenas
2010, tentang keseimbangan air, menggambarkan
bahwa ketersediaan air di wilayah Kalimantan dan
Papua masih menunjukkan jumlah yang lebih besar
dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Di
Indonesia masalah air ini sangat penting, sehingga
setidaknya ada 16 kementerian dan lembaga yang
mempunyai kepentingan dalam masalah air ini.
Untuk keperluan air minum, maka sumber air baku
yang dapat digunakan untuk kebutuhan air minum
dapat terdiri dari mata air, air permukaan (sungai,
danau, waduk, dll.), air tanah (sumur gali, sumur bor)
maupun air hujan.
Dari segi kualitas air, kualitas mata air relatif jernih
dibandingkan dengan kualitas sumber air dari air
permukaan pada umumnya, dengan demikian mata air
lebih baik digunakan dibandingkan dengan air
permukaan. Namun demikian keberadaan mata air ini
pada saat ini terus berkurang keberadaannya. Air
tanah, yang umumnya mempunyai kandungan besi
dan mangan relatif lebih besar dari sumber air yang
lain, pemakaiannya juga sudah harus mulai dikurangi
atau dihentikan sehubungan dengan masalah
penurunan muka tanah. Air hujan yang
keberadaannya sangat tergantung musim, masih dapat
digunakan sebagai sumber air baku dengan
membangun tangki penampungan atau waduk dalam
skala besar.
Air permukaan sebagai sumber air baku, pada saat ini
masih menjadi pilihan instalasi pengolahan air minum
PDAM. Walaupun dari segi kualitas air, merupakan
yang terburuk dibandingkan dengan sumber air baku
lainnya. Namun dari segi kuantitas dan kontinuitas
masih tersedia dalam jumlah banyak dibandingkan
dengan ke 3 (tiga) sumber air baku yang lain.
Walaupun demikian, untuk menghasilkan air
permukaan ini menjadi air minum, diperlukan
instalasi pengolahan agar air dapat diminum sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Persoalannya adalah
kualitas air permukaan sekarang ini cenderung
menurun, baik karena adanya limbah cair yang berupa
limbah domestik maupun limbah industri, serta
sampah. Peningkatan pencemaran air permukaan
sudah sangat tinggi, dibandingkan ketika instalasi
pengolahan air minum PDAM yang dibangun pada 30
atau 40 tahun yang lalu dengan kondisi kualitas air
yang ada pada saat itu. Untuk itu perlu lebih
ditingkatkan sosialisasi agar masyarakat dan industri
tidak membuang limbah cair maupun sampah ke air
permukaan.
Pengawasan terhadap badan air perlu lebih
ditingkatkan kalau perlu dilakukan tindakan yang
berupa denda atau hukuman agar kualitas air
permukaan menjadi lebih baik lagi. Jika kualitas air
permukaan menjadi lebih baik, kemampuan instalasi
pengolahan untuk mengolah air menjadi optimum,
dengan demikian masyarakat yang menikmati air
minum akan mendapat pelayanan yang lebih baik,
yang akan mendorong pertambahan masyarakat yang
ingin mendapat pelayanan air minum yang baik.
6
Sumber Air Baku Untuk Air Minum
Prof. Dr. Ir. Djoko M. Hartono Guru Besar Ilmu Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
Krisis ketersediaan air bersih di musim kemarau panjang tahun lalu seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan pihak terkait agar tidak terjadi lagi di masa mendatang. Teknologi pengolahan air bersih yang sudah banyak tersedia bisa dimanfaatkan, termasuk teknologi yang telah diluncurkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum di medio 2012. Teknologi ini diklaim dapat memercepat peningkatan akses sanitasi dan mengatasi kelangkaan air, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan. Teknologi pertama adalah instalasi pengolahan air limbah Grey Water Bio Rotasi, yang terdiri dari sistem bio filter dan taman sanitasi dengan resirkulasi yang dapat mengolah air limbah rumah tangga untuk digunakan kembali menjadi air bersih. Teknologi kedua, mirip dengan yang pertama, mendaur ulang air limbah untuk menjadi air bersih, yang cocok digunakan di rumah susun, dan juga dapat digunakan untuk menyaring air limbah sehingga tidak mencemari jika dibuang ke sungai. Namun, teknologi ini membutuhkan ruang yang besar. Untuk di tempat yang tidak tersedia ruang besar, dapat digunakan teknologi ketiga, yaitu Merealis. Selain teknologi untuk air bersih, kementerian itu menciptakan teknologi untuk memproduksi air siap minum yang dinamakan Merotek dan Instalasi Pengelolaan Air (IPA) Mobile. Merotek menggunakan sistem membran ultrafiltrasi airlift dan membran reverse osmosis tekanan rendah. Sedangkan IPA Mobile dibuat lebih kompak dengan menggunakan teknologi yang sama dengan Merotek, sehingga cocok digunakan di daerah rawan air baku atau daerah bencana. Metode yang umum dilakukan dalam pengambilan air laut adalah dengan memasang pipa yang menjorok beberapa kilometer dari pantai untuk mendapatkan kualitas air laut yang baik, dan dilakukan dengan dengan kecepatan yang rendah untuk mencegah terikutnya biota laut. Metode yang lain adalah dengan menggunakan sistem sumur. Desalinasi Air Laut Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki sumberdaya air laut yang besar untuk diolah menjadi air bersih atau air minum. Salah satu teknologi yang dapat digunakan adalah Desalinasi Air laut dengan tahapan: pengambilan air laut, pengolahan awal, proses pemisahan garam, dan pengolahan akhir. Setelah itu, dilakukanlah pengolahan awal untuk membersihkan air laut dari bahan ‘pengotor’, seperti molekul makro dan mikro. Kemudian dilakukan proses penyisihan garam, bisa berbasis panas dan berbasis membran. Penambahan mineral dilakukan pada tahap
pengolahan akhir agar dihasilkan produk air bersih dengan kualitas air minum. Teknologi ini masih terus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih agar seluruh prosesnya dapat menjadi ramah lingkungan, hemat energi, dan yang terpenting, murah. segi kualitas air, kualitas mata air relatif jernih dibandingkan dengan kualitas sumber air dari air permukaan pada umumnya, dengan demikian mata air lebih baik digunakan dibandingkan dengan air permukaan. Namun demikian keberadaan mata air ini pada saat ini terus berkurang keberadaannya. Air tanah, yang umumnya mempunyai kandungan besi dan mangan relatif lebih besar dari sumber air yang lain, pemakaiannya juga sudah harus mulai dikurangi atau dihentikan sehubungan dengan masalah penurunan muka tanah. Air hujan yang keberadaannya sangat tergantung musim, masih dapat digunakan sebagai sumber air baku dengan membangun tangki penampungan atau waduk dalam skala besar. Air permukaan sebagai sumber air baku, pada saat ini masih menjadi pilihan instalasi pengolahan air minum PDAM. Walaupun dari segi kualitas air, merupakan yang terburuk dibandingkan dengan sumber air baku lainnya. Namun dari segi kuantitas dan kontinuitas masih tersedia dalam jumlah banyak dibandingkan dengan ke 3 (tiga) sumber air baku yang lain. Walaupun demikian, untuk menghasilkan air permukaan ini menjadi air minum, diperlukan instalasi pengolahan agar air dapat diminum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Persoalannya adalah kualitas air permukaan sekarang ini cenderung menurun, baik karena adanya limbah cair yang berupa limbah domestik maupun limbah industri, serta sampah. Peningkatan pencemaran air permukaan sudah sangat tinggi, dibandingkan ketika instalasi pengolahan air minum PDAM yang dibangun pada 30 atau 40 tahun yang lalu dengan kondisi kualitas air yang ada pada saat itu. Untuk itu perlu lebih ditingkatkan sosialisasi agar masyarakat dan industri tidak membuang limbah cair maupun sampah ke air permukaan. Pengawasan terhadap badan air perlu lebih ditingkatkan kalau perlu dilakukan tindakan yang berupa denda atau hukuman agar kualitas air permukaan menjadi lebih baik lagi. Jika kualitas air permukaan menjadi lebih baik, kemampuan instalasi pengolahan untuk mengolah air menjadi optimum, dengan demikian masyarakat yang menikmati air minum akan mendapat pelayanan yang lebih baik, yang akan mendorong pertambahan masyarakat yang ingin mendapat pelayanan air minum yang baik. 7
Teknologi Pengolahan Air Bersih
Aries R. Prima – Engineer Weekly
Engineer Weekly Pelindung: A. Hermanto Dardak, Heru Dewanto Penasihat: Bachtiar Siradjuddin Pemimpin Umum: Rudianto Handojo, Pemimpin Redaksi: Aries R. Prima, Pengarah Kreatif: Aryo Adhianto, Pelaksana Kreatif: Gatot Sutedjo,Webmaster: Elmoudy, Web Administrator: Zulmahdi, Erni Alamat: Jl. Bandung No. 1, Menteng, Jakarta Pusat Telepon: 021- 31904251-52. Faksimili: 021 – 31904657. E-mail: [email protected]
Engineer Weekly adalah hasil kerja sama Persatuan Insinyur Indonesia dan Inspirasi Insinyur.