dampak krisis moneter terhadap sektor riil ·  · 2013-09-27timur mengalami krisis ekonomi yang...

176
131 Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil *) Noor Yudanto : Peneliti Ekonomi Junior, Bagian Studi Sektor Riil, UREM, BI, email : [email protected] M. Setyawan Santoso : Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM, BI Penulis mengucapkan terima kasih untuk diskusi dan komentar dari Ilham Ikhsan, Deputi Kepala Urusan Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter-BI, dan bantuan dalam proses penelitian kepada Retno Muhardini dan Fadjar Majardi, keduanya Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM-BI. DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL Noor Yudanto dan M. Setyawan Santoso * Melemahnya nilai rupiah dalam skala yang cukup serius telah memberikan tekanan yang kurang menguntungkan bagi kegiatan usaha di sektor riil. Berbagai faktor seperti struktur produksi yang sangat tergantung pada bahan baku impor, pembiayaan non-rupiah, dan inefisiensi manajemen internal diduga menjadi penyebab rentannya sektor riil. Namun ternyata terdapat usaha sektor riil yang bertahan bahkan diuntungkan oleh krisis. Sehubungan dengan fenomena menarik tersebut maka penelitian ini ditujukan untuk mengkajiseberapajauhdampakdarikrisismoneterterhadapkinerjasektorriil. Analisa dilakukan berdasarkan tinjauan makro sektoral maupun secara mikro melalui pengamatan empiris kinerja perusahaan yang tercatat di bursa saham. Untuk memperoleh gambaran deskriptif perubahan kinerja perusahaan digunakan analisa konsentrasi sementara uji cross section dimanfaatkan untuk menghitung dampak fluktuasi suku bunga terhadap keuntungan sebelum pajak perusahaan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis usaha sektor riil yang memiliki resource base kuat, berorientasi ekspor, sumber pembiayaan non-rupiah yang rendah, serta mempunyai korelasi maupun elastisitas yang rendah terhadap perubahan suku bunga maupun nilai tukar terbukti mampu bertahan bahkan masih tumbuh positif selama krisis. Sehubungan dengan hal itu kebijakan yang disarankan dalam jangka pendek adalah menciptakan suku bunga dan nilai tukar yang stabil dan wajar sedangkan dalam jangka panjang mendorong restrukturisasiusaha sektor riil agar lebih efisien dan kompetitif baik di pasar domestik maupun pasarekspor.

Upload: nguyenkhanh

Post on 02-May-2018

250 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

131Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil

*) Noor Yudanto : Peneliti Ekonomi Junior, Bagian Studi Sektor Riil, UREM, BI, email : [email protected]

M. Setyawan Santoso : Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM, BI

Penulis mengucapkan terima kasih untuk diskusi dan komentar dari Ilham Ikhsan, Deputi Kepala Urusan RisetEkonomi dan Kebijakan Moneter-BI, dan bantuan dalam proses penelitian kepada Retno Muhardini dan FadjarMajardi, keduanya Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM-BI.

DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL

Noor Yudanto dan M. Setyawan Santoso *

Melemahnya nilai rupiah dalam skala yang cukup serius telah memberikan tekanan yang kurang

menguntungkan bagi kegiatan usaha di sektor riil. Berbagai faktor seperti struktur produksi yang sangat

tergantung pada bahan baku impor, pembiayaan non-rupiah, dan inefisiensi manajemen internal diduga

menjadi penyebab rentannya sektor riil. Namun ternyata terdapat usaha sektor riil yang bertahan bahkan

diuntungkan oleh krisis. Sehubungan dengan fenomena menarik tersebut maka penelitian ini ditujukan untuk

mengkaji seberapa jauh dampak dari krisis moneter terhadap kinerja sektor riil.

Analisa dilakukan berdasarkan tinjauan makro sektoral maupun secara mikro melalui pengamatan

empiris kinerja perusahaan yang tercatat di bursa saham. Untuk memperoleh gambaran deskriptif perubahan

kinerja perusahaan digunakan analisa konsentrasi sementara uji cross section dimanfaatkan untuk menghitung

dampak fluktuasi suku bunga terhadap keuntungan sebelum pajak perusahaan.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis usaha sektor riil yang memiliki resource base kuat,

berorientasi ekspor, sumber pembiayaan non-rupiah yang rendah, serta mempunyai korelasi maupun elastisitas

yang rendah terhadap perubahan suku bunga maupun nilai tukar terbukti mampu bertahan bahkan masih

tumbuh positif selama krisis. Sehubungan dengan hal itu kebijakan yang disarankan dalam jangka pendek

adalah menciptakan suku bunga dan nilai tukar yang stabil dan wajar sedangkan dalam jangka panjang

mendorong restrukturisasi usaha sektor riil agar lebih efisien dan kompetitif baik di pasar domestik maupun

pasar ekspor.

Page 2: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

132 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Pendahuluan

S ejak pertengahan 1997, Indonesia dan sebagian beberapa negara Asia Tenggara dan

Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh beberapa faktor baik yang

bersifat eksternal maupun internal 1 . Penarikan dana secara tiba-tiba dalam jumlah yang

besar oleh para investor asing yang didorong oleh pesimisme prospek perekonomian regional

dengan segera melemahkan mata uang rupiah secara drastis. Gelombang c api tal outflow

tersebut kemudian diikuti oleh aksi beli dollar penduduk domestik yang membuat nilai

rupiah semakin terpuruk. Melemahnya nilai rupiah melalui berbagai transmisi menimbulkan

dampak yang kurang menguntungkan kepada sektor-sektor perekonomian dengan tingkat

keseriusan yang berbeda-beda. Sementara itu fluktuasi nilai tukar tampaknya semakin sulit

diprediksi dan cenderung overshoot, sehingga untuk mengerem laju spekulasi dilakukan

pengetatan moneter dengan konsekwensi suku bunga tinggi. Meningkatnya suku bunga

umum tersebut secara paralel kemudian mendorong keatas bunga pinjaman atau biaya

modal bagi perusahaan-perusahaan sektor riil. Kenaikan biaya modal tersebut dengan

sendirinya mengganggu perencanaan investasi maupun produksi jangka panjang yang

pada akhirnya berpengaruh pada menurunnya penawaran agregat.

Secara makro, terganggunya penawaran agregat tersebut dicerminkan oleh tingkat

pertumbuhan ekonomi 1997 yang merosot menjadi 4,91% bahkan pada triwulan III tahun

1998 pertumbuhannya minus 17,13%, turun drastis dari rata-rata pertumbuhan selama tiga

tahun terakhir sebesar 7,9%. Kontraksi pertumbuhan ekonomi jika diamati dari sisi produksi

tidak lepas dari kelemahan internal sektor usaha nasional disamping kondisi eksternal

lainnya. Kelemahan internal atau lemahnya daya kompetensi tersebut pada umumnya

bersumber dari inefisiensi manajemen yang secara riil tampak dari nilai ekuitas yang rendah,

ketergantungan yang tinggi kepada pinjaman bank, intensitas penggunaan komponen impor

yang tinggi, serta segmen pasar yang terbatas dan cenderung pasar domestik. Kelemahan

struktural tersebut walaupun dimiliki dalam intensitas yang berbeda-beda oleh masing-

masing jenis usaha namun secara umum merupakan karakteristik sektor usaha riil nasional.

Berlatarbelang pada tingkat resistensi perusahaan yang berbeda-beda dalam

mengakomodasi dampak krisis tersebut maka disamping ditemukan banyak usaha yang

terpuruk dipihak lain terdapat juga jenis usaha tertentu yang tetap bertahan bahkan

memperoleh keuntungan (blessing) selama krisis.

Sementara itu, melemahnya nilai tukar rupiah telah menurunkan daya beli masyarakat

1 Secara umum dapat diidentifikasi lima penyebab esensial krisis ekonomi yang melanda negara-negara Asia dewasaini yaitu: unfavorable macroeconomics condition, excessive inflows and rapid outflows of short term capital,inappropriate exchange rate arrangements, financial system fragility, and regional contagions. (Kawai, Masahiro.,The East Asian Currency Crisis: Causes and Lessons, Contemporary Economic Policy, Vol.XVI, April 1998)

Page 3: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

133Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil

karena naiknya inflasi yang tertransmisi melalui kenaikan harga-harga barang konsumsi

yang sarat kandungan impor. Menurunnya atau tertundanya konsumsi masyarakat secara

luas memberi tekanan balik kepada sektor riil berupa berkurangnya tingkat keuntungan

usaha yang sebelumnya sudah menurun karena bertambah besarnya biaya produksi.

Tekanan karena kenaikan biaya produksi dan menurunnya daya serap pasar telah menjepit

sektor usaha yang berakibat dengan pengurangan skala aktivitas usaha yang tampak secara

riil pada pengurangan jumlah tenaga kerja. Dengan ditutupnya aktivitas sektor usaha yang

selama ini mampu menyerap tenaga kerja menjadikan krisis telah berkembang baik skala

maupun dimensinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa krisis ekonomi telah mendorong

intensitas krisis politik dan sosial semakin cepat dan hal ini rupanya yang menyebabkan

kinerja sektor riil Indonesia semakin terpuruk. Berlatarbelakang dari kondisi tersebut,

sementara upaya untuk mengembalikan nilai tukar rupiah pada level yang dikehendaki

melalui kebijakan moneter ketat 2 belum memberikan hasil maka menarik untuk dikaji lebih

jauh dampak dari krisis moneter terhadap kinerja sektor riil. Pendekatan analisa yang akan

digunakan adalah tinjauan secara makro sektoral dan tinjauan mikro secara cross section

berdasarkan data laporan keuangan perusahaan yang sudah listed di bursa saham Jakarta.

Tinj auan Teoretis

Fungsi Produksi

Sesuai dengan konsep pendapatan nasional, total produksi suatu negara merupakan

hasil dari kegiatan produksi faktor-faktor produksi yang secara sederhana dapat ditelaah

melalui pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas seperti berikut:

GDP = Y = A (cK) a (eL) (1-a) (1)

dimana Y atau GDP adalah total produksi dari hasil kombinasi optimum dari faktor produksi

modal (K) yang tingkat penggunaannya dipengaruhi oleh capacity utilisation rate ( c ) serta

elastisitasnya terhadap perubahan total produksi itu sendiri (a), faktor produksi tenaga

kerja (L) yang tingkat pemanfaatannya dipengaruhi oleh emplyoment rate (e) serta

elastisitasnya terhadap prubahan total produksi (1-a), dan faktor teknologi atau

produktivitas (A) yang besarnya cenderung konstan. Untuk memudahkan maka berdasarkan

production rule differentiation, terhadap persamaan (1) tersebut dapat diturunkan menjadi:

2 Untuk menghindari dampak lebih jauh dari gejala dolarisasi dan ekspektasi depresiasi rupiah yang berlebihan,otoritas moneter menerapkan kebijakan uang ketat yang selama ini terbukti cukup ampuh dalam meredam gejolakspekulasi dollar (ingat Gebrakan Sumarlin). Namun kemajuan industri keuangan serta globalisasi sektor keuangantelah memberi kemudahan bagi masyarakat untuk memindahkan uang dari suatu tempat ke tempat lain dengancepat dan aman, sehingga efektifitas kebijakan tersebut tampaknya menjadi berkurang.

Page 4: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

134 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

dY = a(Y/K)[c(dK) + K(dc)] + (1-a)(Y/L)[e(dL) + L(de)] + Y(dA)/A ( 2)

Dari persamaan (2) tersebut dapat diterjemahkan bahwa kenaikan total produksi (dY) adalah

hasil dari perubahan naik atau turunnya variabel-variabel seperti berikut:

dK atau perubahan total investasi yang akan menentukan kapasitas produksi (GDP), (dc)

dan (de) yang mencerminkan perubahan sisi permintaan yang terdiri dari C (consumption

expenditures), I (investment expenditures), G (government expenditures) dan X (export demand), dL

atau pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang akan menentukan kapasitas produksi, dan dA

yang mencerminkan tingkat efisiensi atau produktivitas.

Sehubungan dengan ruang lingkup pembahasan, maka keterkaitan faktor-faktor yang

bergejolak yaitu nilai kurs rupiah dan suku bunga yang tergolong sebagai biaya input diduga

akan mempengaruhi total produksi dari sisi perubahan tingkat produktivitas usaha (dA). Tingkat

produktivitas atau efisiensi yang diukur dari perbandingan antara harga output dengan harga

input pasti akan berubah karena salah satu unsurnya berubah. Dengan asumsi bahwa melemahnya

nilai rupiah serta kenaikan biaya bunga akan tertransmisi dalam struktur biaya maka produktivitas

perusahaan akan terganggu dan secara agregat akan mempengaruhi total produksi nasional.

Transmisi Sektor Moneter ke Sektor Riil

Pencapaian target dalam sektor riil yaitu mendorong pertumbuhan total produksi

perekonomian merupakan salah satu ultimate target dari kebijakan moneter, yang secara

operasional ditempuh lewat sasaran antara yaitu tingkat suku bunga dan nilai tukar. Jalur

transmisi kebijakan moneter ke sektor riil yang diadopsi selama ini didasarkan pada

paradigma jumlah uang beredar dan kredit. Otoritas moneter, dengan mengandalkan pada

efektifitas operasi pasar terbuka, mengatur jumlah reserve money (M0) sebagai sasaran

operasional yang ditujukan untuk mempengaruhi jumlah M1 dan M2 sebagai sasaran antara.

Dalam sasaran antara tersebut turut diperhatikan faktor suku bunga dan kredit. Selanjutnya

dengan mengasumsikan stabilitas money multiplier dan money velocity, maka ultimate target

diatas akan dapat dicapai. Namun munculnya fenomena kemajuan industri keuangan serta

makin terintegrasinya pasar keuangan dunia membuat paradigma lama tersebut menjadi

kurang tepat. Sebagai alternatif, manajemen moneter dengan menggunakan indikator suku

bunga atau nilai tukar sebagai target operasional disamping jumlah uang beredar semakin

mendapat perhatian. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena penggunaan dua indikator

tersebut lebih unggul dari segi kecepatan informasi yang diterima serta besarnya (magnitude

pass-through) yang sangat penting untuk feedback pengelolaan moneter (Iljas, 1997) 3 .

3 Mengenai kemungkinan implementasi paradigma baru pengelolaan moneter ini, secara lengkap dan jelas diuraikan dalam Hartadi, ASarwono, dan Warjiyo, Perry : Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiranuntuk Penerapannya di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.1, No.1, Bank Indonesia, Juli 1998.

Page 5: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

135Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil

Dari berbagai jalur transmisi 4 yang dikembangkan untuk memandu keakuratan

kebijakan moneter, jalur suku bunga dan nilai tukar tampaknya yang relatif paling kuat

kemampuannya dalam memprediksi kinerja sektor riil, disamping antara kedua jalur tersebut

mempunyai keterkaitan cukup erat terutama dalam kondisi perekonomian terbuka. Kenaikan

suku bunga domestik akan mendorong perbedaan suku bunga dengan suku bunga luar

negeri yang cenderung stabil, daya tarik margin yang tinggi akan mendongkrak capital inflow

yang mampu memberi tekanan apresiatif pada mata uang domestik. Perubahan nilai tukar

dengan sendirinya akan mempengaruhi term of trade komoditi perdagangan. Berlatar belakang

pada premis tersebut maka penentuan nilai tukar menjadi sangat fundamental bagi negara

yang berorientasi ekspor. Hal ini menimbulkan kecenderungan untuk mempertahankan

nilai tukar domestik yang overvalued. Kebijakan nilai tukar yang cenderung depresiatif

tersebut, menurut hasil studi terbukti mampu mendorong ekspor non-migas Indonesia selama

ini (Francisca, 1998). Meskipun kelemahannya adalah usaha sektor riil secara implisit

menikmati kurs yang subsidized karena kebijakan depresiatif tersebut.

Sehubungan dengan nilai kurs rupiah yang terus melemah, terutama sesudah

ditentukan secara murni oleh pasar, semakin memberi tekanan yang serius pada cash flow

usaha sektor riil. Besar kecilnya tekanan tersebut sangat tergantung dari struktur biaya yang

timbul akibat transaksi dalam non-rupiah, meskipun tidak tertutup kemungkinan terdapat

pelaku sektor riil yang justru diuntungkan oleh melemahnya nilai tukar tersebut. Secara

makro fluktuasi kurs yang tidak menentu akan mempengaruhi inflasi melalui transmisi

sederhana. Untuk melindungi exchange rate risk, eksportir atau importir akan membebankan

hedging cost tersebut pada selling price yang selanjutnya akan mendorong harga umum naik.

Sementara depresiasi tinggi seperti yang dialami oleh rupiah saat ini mendorong harga

import menjadi mahal, i n term of domestic currency, sehingga efeknya harga-harga umum

akan terdorong naik. Dengan asumsi pengusaha cenderung untuk mempertahankan atau

bahkan menaikkan margin keuntungan maka inflasi akan terus meningkat secara spiral

dan harga yang sudah naik akan cenderung kaku (rigid) untuk turun kembali ( ratchet effect).

Nilai tukar yang melemah dilain pihak akan menyebabkan menggelembungnya beban rupiah

dari kewajiban non-rupiah (bubbling effect) seperti meningkatnya biaya bunga yang harus

dibayar sehingga tekanan kepada arus kas perusahaan akan makin meningkat.

Untuk mengetahui seberapa jauh dampak yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi

terhadap sektor riil tersebut akan ditinjau baik dari sisi makro maupun mikro. Sisi makro

4 Pada prinsipnya terdapat empat jalur dimana kebijakan moneter ditransmisikan kedalam perekonomian yaitumelalui jalur suku bunga, nilai tukar, harga aset dan kredit. (Mishkin 1995, Boediono 1996 dan BIS 1995, dalamWarjiyo dan Zulverdi, Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel, 1998).

Page 6: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

136 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

yang dimaksud adalah yang diwakili oleh analisa PDB sektoral serta indikator makro lainnya

yang mendukung. Sedangkan analisa mikro menitikberatkan pada kinerja perusahaan yang

mewakili berbagai sektor usaha yang ada berdasarkan sampel perusahaan yang l isted di

Bursa Efek Jakarta (BEJ). Data untuk analisa mikro didasarkan dari sampel 57 perusahaan

non-finansial dengan periode pengamatan dari tahun 1995 sampai dengan 1997.

Diharapkan dari kedua sumber analisa tersebut dapat diperoleh potret yang lengkap tentang

kinerja sektor riil domestik.

Analisa Dampak Krisis

Tinjauan Makro: Analisa Sektoral

Pengaruh krisis ekonomi terhadap beberapa indikator makro ekonomi utama secara

umum menunjukkan pergerakan pada level yang kurang menguntungkan (adverse movements)

terutama pada periode setelah datangnya krisis yaitu paruh kedua 1997 hingga periode

1998. Nilai tukar rupiah pasar spot harian menunjukkan penurunan yang semakin tajam

terutama sejak sistem band intervensi dihapus digantikan dengan sistem pasar murni (lihat

grafik dibawah). Penurunan nilai kurs yang cukup cepat dan besar tersebut menjadi sulit

diantisipasi oleh sektor usaha yang selama ini secara konsisten mendasarkan transaksi

keuangan non-rupiah pada tingkat depresiasi rupiah yang relatif stabil.

Pertumbuhan GDP selama tiga tahun terakhir terjaga pada rata-rata 7,9% telah merosot

menjadi 4,91% pada tahun 1997, sedangkan pertumbuhan triwulanan 1998 menurun lebih

tajam yaitu -7,58% (1998.Q1), -17,09% (1998.Q2), -17,13% (1998.Q3) dan sampai akhir 1998

diperkirakan pertumbuhan ekonomi menjadi -13,7%. Kontraksi tajam pertumbuhan ekonomi

riil juga terefleksi dari pergerakan harga saham yang terus menurun terutama sejak

pertengahan kedua 1997. Indeks harga saham sektoral yang mencerminkan kinerja sektor

terwakili oleh perusahaan yang l isted pada umumnya memperlihatkan pola penurunan

yang hampir tipikal. Diantara lima sektor utama yaitu pertanian, industri, perdagangan,

keuangan, dan bangunan, tampaknya sektor pertanian terbukti cukup resisten terhadap

krisis. Indeks harga saham sektor pertanian selalu lebih besar dari sektor lainnya disamping

memperlihatkan kenaikan sustainable sebelum terkena dampak krisis. Bahkan sejak triwulan

akhir 1997 besarnya indeks harga saham gabungan cukup dipengaruhi besarnya indeks

harga saham sektor pertanian.

Secara historis terdapat tiga sektor utama sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi

tinggi Indonesia selama ini yaitu sektor bangunan, sektor listrik dan gas serta sektor industri

pengolahan, dengan rata-rata pertumbuhan yang dihitung sejak 90-97, masing-masing

sebesar 14,5%, 12,7% dan 11,27%. Sebaliknya sektor pertanian dan jasa cenderung tumbuh

Page 7: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

137Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil

2,000.0

4,000.0

6,000.0

8,000.0

10,000.0

12,000.0

14,000.0

16,000.0

3-Ja

n-96

31-J

an-9

6

28-F

eb-9

6

27-M

ar-9

6

25-A

pr-9

6

23-M

ay-9

6

20-J

un-9

6

18-J

ul-9

6

15-A

ug-9

6

12-S

ep-9

6

10-O

ct-1

996

7-N

ov-1

996

5-D

ec-1

996

3-J

an-1

997

31-J

an-9

7

4-M

ar-1

997

3-A

pr-1

997

5-M

ay-1

997

4-J

un-1

997

2-J

ul-1

997

31-J

ul-9

7

1-S

ep-1

997

29-S

ep-9

7

27-O

ct-1

997

24-N

ov-1

997

23-D

ec-1

997

22-J

an-9

8

20-F

eb-9

8

20-M

ar-9

8

20-A

pr-9

8

25-M

ay-1

998

22-J

un-9

8

21-J

ul-9

8

19-A

ug-1

998

16-S

ep-9

8

Kris is

pelepasan band

0

100

200

300

400

500

600

700

800

1-Ja

n-96

25-J

an-9

6

28-F

eb-9

6

27-M

ar-9

6

26-A

pr-9

6

24-M

ay-1

996

19-J

un-9

6

15-J

ul-9

6

8-A

ug-1

996

3-S

ep-1

996

27-S

ep-9

6

23-O

ct-1

996

18-N

ov-1

996

12-D

ec-1

996

15-J

an-9

7

14-F

eb-9

7

12-M

ar-9

7

14-A

pr-9

7

14-M

ay-1

997

11-J

un-9

7

7-J

ul-1

997

4-A

ug-1

997

28-A

ug-1

997

23-S

ep-9

7

17-O

ct-1

997

12-N

ov-1

997

10-D

ec-1

997

13-J

an-9

8

11-F

eb-9

8

9-M

ar-1

998

8-A

pr-1

998

12-M

ay-1

998

9-J

un-1

998

7-J

ul-1

998

31-J

ul-9

8

28-A

ug-1

998

IHSG AGR

FINAN PROP

MANFC TRADE

Grafik 1.

PERKEMBANGAN KURS SPOT HARIAN RP/USD

Grafik 2.

PERGERAKAN INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN HARIAN

Page 8: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

138 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

rendah, rata-rata sebesar 3,5% dan 3%. Sedangkan dari segi sumbangan terhadap

pertumbuhan PDB, sektor industri dan sektor perdagangan memiliki rata-rata sumbangan

tertinggi yaitu masing-masing sebesar angka persentase 2,5 dan 1,5 dari 8 % rata-rata

pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor-sektor lainnya yang juga memiliki potensi menjadi

penggerak perekonomian domestik adalah sektor bangunan serta sektor keuangan.

Sehubungan dengan datangnya krisis moneter pertumbuhan produksi riil sektor-

sektor perekonomian telah menunjukkan penurunan. Hal ini diduga dipengaruhi oleh

tingkat resistensi sektor riil yang rendah disamping karena faktor non ekonomi lainnya.

Sektor-sektor yang selama ini memiliki pangsa cukup besar dalam PDB seperti sektor industri

pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan, dan keuangan telah mengalami

kontraksi sehingga mengakibatkan pertumbuhan 1997 dan estimasi 1998 secara agregat

menurun (lihat grafik 3).

Grafik 3.

PERTUMBUHAN EKONOMI SEKTORAL

Sektor-sektor yang pertumbuhannya negatif pada umumnya mempunyai karakteristik

kelemahan struktural seperti dikemukakan diatas, hal ini akan diulas kemudian. Khusus

untuk sektor pertanian yang memiliki pangsa sekitar 14,8% dalam PDB, pengaruh gejala

alam turut mempengaruhi penurunan hasil produksi secara luas.

Dampak Depresiasi dan Suku Bunga

Daya tahan setiap sektor dari tekanan melemahnya nilai tukar dan tingginya suku

bunga sangat tergantung pada kuatnya keterkaitan tingkat produksi sektor dengan faktor

depresiasi dan suku bunga. Kedua faktor tersebut merupakan unsur biaya yang cukup kuat

-20 -15 -10 -5 0 5 10 15

P R ODU K DOME ST I K B R U T O

Jas a-j as a

B ank

P engangkutan

P er dagangan

B angunan

L i s tr i k

I ndus tr i

P er tambangan

P er tani an

1996

1997

1998

S umber : B P S dan P r oyeks i B an k I n

Page 9: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

139Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil

memberi tekanan pada kenaikan biaya produksi apabila terjadi fluktuasi. Untuk memperoleh

gambaran seberapa jauh keterkaitan antara fluktuasi kedua faktor tersebut terhadap

pertumbuhan produksi masing-masing sektor dilakukan uji korelasi, sedangkan untuk

menguji tingkat kepekaannya dihitung dari koefisien elastisitasnya 5 .

Dari hasil pengujian diketahui bahwa sektor yang terkait cukup kuat dengan faktor

depresiasi adalah sektor bangunan, sektor industri, sektor transportasi dan sektor keuangan.

Sedangkan tingkat elastisitasnya, sektor industri menjadi sektor yang paling elastis terhadap

perubahan nilai kurs. Saratnya imported input dan besarnya sumber pembiayaan dari luar

negeri dalam struktur produksi diduga menjadi penyebabnya. Dari sisi pengaruh faktor

suku bunga, diketahui bahwa sektor bangunan, industri, transportasi, dan perdagangan

merupakan sektor-sektor yang memiliki kaitan paling erat dengan gejolak suku bunga. Jika

dilihat dari segi elastisitasnya, sektor yang paling elastis terhadap suku bunga adalah sektor

bangunan dan keuangan (lihat tabel 1)

Untuk melengkapi hasil uji korelasi maupun uji elastisitas dari pertumbuhan masing-

masing sektor terhadap gejolak nilai tukar dan suku bunga maka telah dihitung kinerja

masing-masing sektor pada periode pra krisis dan selama krisis (lihat tabel 2). Secara umum

dari perbandingan antara dua periode tersebut dapat diketahui bahwa semua sektor

mengalami penurunan pertumbuhan cukup besar, sementara peranannya (share) r elati f

Tabel 1.

DAMPAK DEPRESIASI DAN SUKU BUNGA SECARA SEKTORAL

Depresiasi Bunga

No. Sektor Effect Corr. Coef. Elc. Coef. Effect Corr. Coef. Elc. Coef.

1. Pertanian ( + ) 0,08 0,01 ( - ) -0,18 -0,6

2. Pertambangan ( - ) -0,12 -0,06 ( - ) -0,23 -1,8

3. Industri ( - ) -0,23 -0,37 ( - ) -0,52 -8,4

4. Listrik ( + ) 0,15 0,06 ( - ) -0,41 -3,7

5. Bangunan ( - ) -0,52 -0,29 ( - ) -0,57 -12,8

6. Perdagangan ( - ) -0,26 -0,05 ( - ) -0,56 -6,9

7. Pengangkutan ( - ) -0,29 -0,09 ( - ) -0,56 -10,8

8. Bank ( - ) -0,27 -0,16 ( - ) -0,51 -12,6

9. Jasa-jasa ( - ) -0,17 -0,03 ( - ) -0,15 -0,9

10. Produk Domestik Bruto ( - ) -0,42 0,12 ( - ) -0,60 -5,7

*) diperkirakan dengan menggunakan metode korelasi dan ARIMA

5 Koefisien korelasi dihitung berdasarkan hasil correlation matrix peubah-peubah yang diamati, sementara koefisienelastisitas (b) dihitung sbb:

g(PDB)i = a + b (depresiasi) + e

g(PDB)i = a + b log (bunga) + e

dimana g(PDB) adalah growth dari PDB sektor bersangkutan (i), dengan periode penghitungan : tahun 1970 s.d. 1996

Page 10: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

140 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

kurang mengalami perubahan, sehingga sebagai hasilnya sumbangan pertumbuhan masing-

masing sektor berkurang secara signifikan.

Berdasarkan hasil uji secara statistik (korelasi dan elastisitas) serta pengamatan empirik

maka dapat disajikan beberapa temuan dari setiap sektor seperti berikut:

(1). Sektor Pertanian.

Pertumbuhan sektor pertanian memperlihatkan hubungan yang tidak terlalu kuat

dengan dampak negatif dari gejolak kurs bahkan mempunyai koefisien korealsi dan

elastisitas yang positif meskipun sangat rendah (0,08 dan 0,01). Hal ini dimungkinkan

karena sektor pertanian relatif steril dari penggunaan bahan impor, kecuali dalam hal

pengadaan pupuk dan pakan ternak. Sementara produk hasil pertanian diluar beras dan

tanaman pangan pada umumnya diekspor. Produk sub-sektor perkebunan seperti kelapa

sawit, coklat, cengkeh dan coklat terbukti selama masa krisis semakin terbukti menjadi

primadona, demikian pula sub sektor perikanan (udang dan ikan tuna). Depresiasi rupiah

yang tajam secara mencolok telah meningkatkan penerimaan rupiah hasil ekspor bagi para

petani maupun pengusaha agibisnis lainnya. Sehubungan dengan adanya windfall profi t

tersebut maka kebutuhan tenaga kerja dan ekspansi usaha di sektor pertanian justru semakin

meningkat. Sebaliknya gejolak suku bunga memberikan pengaruh yang kurang

menguntungkan, meskipun rendah, terhadap pertumbuhan sektor pertanian seperti

ditunjukkan dari koefisien korelasi (-0,18) dan tingkat elastisitasnya (-0,6). Dari perbandingan

antar periode sebelum dan sesudah krisis, pertumbuhan sektor pertanian sesudah krisis

merosot sebesar 2,9% (dari rata-rata 3,1% menjadi 0,3%), tampaknya penurunan tersebut

disamping dipengaruhi oleh krisis moneter juga karena pengaruh kuat dari faktor gangguan

Tabel 2.

KINERJA SEKTORAL SEBELUM DAN SESUDAH KRISIS MONETER

Pertumbuhan (%) Peranan (%) Sumbangan Pertumbuhan (%)

LAPANGAN USAHA Sebelum*Sesudah** +/- Sebelum* Sesudah** +/- Sebelum* Sesudah** +/-

Pertanian 3,1 0,3 -2,9 15,8 16,3 0,5 0,5 0,0 -0,5

Pertambangan 6,3 -4,0 -10,4 9,1 9,3 0,2 0,6 -0,4 -1,0

Industri 11,0 -7,9 -18,9 24,1 24,9 0,8 2,7 -2,0 -4,6

Listrik 13,9 5,3 -8,6 1,2 1,4 0,2 0,2 0,1 -0,1

Bangunan 14,0 -24,2 -38,2 7,9 6,7 -1,2 1,1 -1,6 -2,7

Perdagangan 8,1 -10,7 -18,9 16,7 16,2 -0,6 1,4 -1,7 -3,1

Pengangkutan 8,9 -3,2 -12,1 7,2 7,6 0,4 0,6 -0,2 -0,9

Keuangan 9,8 -13,5 -23,3 9,1 8,5 -0,6 0,9 -1,1 -2,0

Jasa-jasa 3,2 -1,7 -4,9 9,0 9,2 0,3 0,3 -0,2 -0,4

Produk Domestik Bruto 8,0 -7,6 -15,6 100,0 100,0 0,0 8,0 -7,6 -15,6

*) Dihitung dari rata-rata tahun 1995.1 sampai 1997.2

**) Dihitung dari rata-rata tahun 1997.3 sampai 1998.3

Page 11: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

141Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil

alam. Seperti diketahui faktor alam seperti kebakaran, kemarau panjang, serangan hama

atau banjir justru lebih signifikan pengaruhnya terhadap produksi sektor pertanian.

(2). Sektor Pertambangan

Hasil pengujian menunjukkan bahwa sektor pertambangan terkena dampak negatif

dari depresiasi namun dengan tingkat korelasi dan elastisitas yang rendah. Relatif lemahnya

dampak tersebut diperkirakan karena hasil sektor pertambangan seperti minyak dan gas,

sebagian besar diekspor. Pengaruh negatif kemungkinan berasal dari kebutuhan barang

modal dan biaya perawatan alat-alat yang masih harus diimpor, sementara jasa konsultan

asing masih sangat dominan. Pengaruh suku bunga dalam sektor pertambangan meskipun

negatif namun tidak terlampau kuat karena peran perusahaan asing yang cukup besar

sebagai operator penambangan sehingga suku bunga dalam negeri tampaknya kurang

mempengaruhi portofolio pinjaman yang dominan hutang luar negeri. Namun kinerja sektor

sesudah krisis memperlihatkan penurunan pertumbuhan, hal ini diduga disebabkan oleh

turunnya permintaan pasar dunia terhadap produk pertambangan. Pengaruh faktor eksternal

tampaknya lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh faktor internal.

(3). Sektor Industri Pengolahan

Kinerja sektor industri pengolahan selama krisis merosot cukup tajam, termasuk dalam

lima sektor yang mengalami kontraksi paling parah. Kelemahan dalam struktur produksi

seperti ditunjukkan oleh tingginya persentase kandungan impor (lihat tabel 3) telah

menyebabkan kegiatan produksi menjadi sangat mahal dalam kondisi lemahnya rupiah.

Hal ini juga diperlihatkan dari kuatnya nilai korelasinya dengan faktor depresiasi (-0.23),

serta tingkat elastisitasnya (-0,37). Sementara dengan faktor suku bunga keterkaitan

pertumbuhan sektor industri pengolahan juga menunjukkan korelasi yang kuat (-0,52) serta

elastisitas yang tinggi (-8,4). Ketergantungan yang tinggi terhadap pinjaman bank sebagai

sumber pembiayaan menjadikan kinerja sektor ini cukup rentan terhadap perubahan bunga.

Tekanan ganda baik dari jatuhnya nilai rupiah serta biaya bunga tampaknya menjadi

kontributor utama melemahnya produksi atau ekspor sektor tersebut yang seharusnya justru

meningkat seiring dengan makin murahnya rupiah.

(4). Sektor Listrik

Dari hasil tes korelasi dan elastisitas diketahui bahwa sektor listrik relatif kurang

terpengaruh oleh dampak negatif gejolak depresiasi rupiah, namun masih terkena dampak

negatif kenaikan suku bunga. Dampak dari depresiasi tersebut walaupun positif namun

cukup lemah seperti diindikasikan oleh nilai korelasinya yang lemah (0,15) dan elastisitas

yang rendah (0,06), sebaliknya pengaruh faktor suku bunga cukup kuat seperti tampak dari

Page 12: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

142 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

nilai korelasi (-0,52) dan elastisitasnya (-8,4). Fenomena menarik pada sektor listrik yaitu

masih positifnya pertumbuhan produksi pada kondisi krisis dan hal ini diduga kuat

disebabkan oleh stabilnya permintaan bahkan terjadi ekspansi terutama pada segmen listrik

untuk rumah tangga. Data empirik menunjukkan bahwa jumlah pelanggan PLN dalam

kurun lima tahun terakhir meningkat sangat besar yaitu menjadi 25,63 juta pelanggan (Juni

1998) dari 15,6 juta pelanggan (1993/94). Kenaikan pelanggan setiap periode terutama

disebabkan oleh penambahan pelanggan baru dari segmen rumah tangga dan lain-lain,

sementara jumlah pelanggan dari segmen industri sedikit menyusut menjadi 43.445 (Juni

1998) dari 51.571 pelanggan (1997/1998). Persentase kenaikan bersih yang masih positif

tersebut tampaknya yang menyebabkan pengaruh negatif depresiasi menjadi tereduksi

mengingat kebutuhan barang modal yang harus diimpor oleh sektor listrik (PLN maupun

swasta) masih cukup besar. Sementara pinjaman dalam struktur pembiayaan sektor ini

masih cukup dominan mengakibatkan kegiatan produksi menjadi sensitif dengan gejolak

suku bunga.

(5). Sektor Bangunan

Sektor bangunan merupakan sektor yang mengalami kontraksi pertumbuhan paling

besar selama krisis yaitu rata-rata sebesar -24,2% atau menurun 38,2% dari rata-rata

pertumbuhan sebelum krisis. Krisis moneter memberi tekanan yang sangat serius seperti

Tabel 3.

KOEFISIEN INPUT IMPOR

Sektor Import

Industri Pengolahan

Industri pupuk 40,87%Industri mesin dan perlengkapan listrik 35,33%Industri alat pengangkutan 30,42%Industri Kimia 24,32%Industri barang logam 23,98%Industri barang karet dan plastik 15,12%Industri kertas, barang dari kertas dan karton 12,67%Industri tekstil, pakaian dan kulit 12,09%

Transportasi dan KomunikasiAngkutan darat 3,23%Angkutan air 10,71%Angkutan udara 23,49%Komunikasi 8,17%

Bangunan 8,22%

Sumber : diolah dari tabel I - O 1995 B PS.

Page 13: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

143Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil

halnya yang dialami oleh sektor industri pengolahan. Koefisien korelasi sektor bangunan

dengan faktor depresiasi maupun dengan faktor suku bunga terbukti cukup tinggi, masing-

masing sebesar -0.52 dan -0.57. Sementara dari tingkat elastisitasnya juga terlihat cukup

tinggi yaitu -0.29 dengan fluktuasi depresiasi dan -12.8 dengan gejolak suku bunga. Seperti

diketahui faktor suku bunga berperan sangat penting dalam sektor konstruksi (properti)

karena sifat investasinya yang jangka panjang dan untuk kredit pembiayaan pemilikan

rumah bagi konsumen. Beberapa faktor yang diperkirakan menjadi penyebab terpuruknya

sektor bangunan adalah tingginya tingkat pemakaian bahan penolong dan perlengkapan

pembangunan properti yang masih harus diimpor, pemakaian jasa konsultan asing,

dominannya pinjaman non-rupiah, ditangguhkannya proyek-proyek pemerintah maupun

swasta, serta menurunnya daya serap pasar.

(6). Sektor Perdagangan

Hasil pengujian menunjukkan bahwa sektor perdagangan memiliki koefisien korelasi

yang cukup tinggi dengan faktor depresiasi (-0.26) maupun dengan faktor suku bunga (-

0.56). Sedangkan dari segi elastisitasnya, dengan faktor depresiasi cukup rendah (-0,05)

namun cukup kuat dengan faktor suku bunga (-6,9). Faktor depresiasi berpengaruh terutama

pada sub sektor perdagangan consumer goods, barang-barang mewah, peralatan elektronik,

dan barang kebutuhan lainnya yang cukup tinggi kandungan impornya. Sedangkan

elastisitas yang tinggi dengan faktor suku bunga terutama disebabkan karena sektor

perdagangan cukup banyak memanfaatkan kredit dari perbankan untuk kegiatan usaha

maupun dalam hal fasilitas kredit konsumsi bagi konsumen. Meningkatnya suku bunga

(biaya pinjaman) tersebut tampaknya memberi sumbangan menurunnya omzet perdagangan

maupun daya serap masyarakat sehingga pertumbuhan sektor ini menjadi rata-rata -10,7%

dari 8,1% pada periode sebelum krisis.

(7). Sektor Pengangkutan

Hasil uji korelasi antara pertumbuhan sektor transportasi dengan faktor depresiasi

adalah lumayan kuat (-0,29) sedangkan dengan faktor suku bunga berkorelasi cukup tinggi

(-0,56). Depresiasi memberi pengaruh negatif terutama karena masih dominannya

pembiayaan luar negeri untuk pengadaan spare part maupun pembelian alat transporatsi

itu sendiri. Sampai dengan pertengahan tahun 1998, kenaikan harga spare part kendaraan

bermotor rata-rata mengalami kenaikan hingga 300%. Hal ini membawa konsekuensi

meningkatnya ongkos transportasi baik darat, laut maupun udara sehingga menurunkan

mobilitas masyarakat. Sementara itu suku bunga memiliki korelasi tinggi karena dalam

sektor transportasi, hutang memegang peranan yang cukup besar untuk pembelian sarana-

sarana penunjang transportasi. Pertumbuhan sektor transportasi telah merosot sebesar 12,1%

Page 14: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

144 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

yaitu dari rata-rata 8,9% (pra kirisis) menjadi rata-rata -3,2% (periode krisis).

(8). Sektor Keuangan

Sektor keuangan (sebagian besar sub-sektor bank) memiliki korelasi yang cukup tinggi

dengan faktor depresiasi (-0,27) maupun dengan faktor suku bunga (-0,51). Demikian juga

tingkat elastisitas sektor keuangan terhadap perubahan depresiasi (-0,16) dan perubahan

suku bunga (-12,6). Makin luasnya eksposure valas dari bank-bank baik berupa aktiva

maupun kewajiban menyebabkan sektor keuangan semakin sensitif terhadap perubahan

nilai kurs. Sebagai gambaran kerugian sub-sektor perbankan akibat gejolak kurs pada tahun

berjalan 1998 telah mencapai Rp 40,38 triliun (tahun 1997 kerugian hanya Rp 6,2 triliun)

atau rata-rata kerugian per bulan mencapai Rp 5,77 triliun 6 . Sementara itu faktor suku

bunga telah menjadi sumber kerugian lain dari sektor keuangan. Jika dibandingkan tingkat

korelasi antara pertumbuhan sektor keuangan dengan depresiasi atau suku bunga, maka

korelasi terhadap suku bunga lebih tinggi dibandingkan dengan depresiasi. Dampak

pengaruh faktor-faktor kuat tersebut adalah terkontraksinya pertumbuhan sektor keuangan

menjadi -13,5% (rata-rata selama krisis) atau menurun 23,3% dari 9,8% (rata-rata pra krisis).

Penurunan tersebut tampaknya akan terus berlanjut karena dari hasil pengamatan empirik

menunjukkan bahwa kualitas kredit perbankan makin memburuk dan jumlah kredit

bermasalah juga semakin tinggi. Jumlah kredit bemasalah (Non Performing Loan) sampai

dengan bulan Juli 1998 telah mencapai Rp 320,05 triliun atau meningkat sebesar 895% dari

bulan Desember 1997 (Rp 32,18 triliun). Meskipun NPL bulan Juli 1998 tersebut relatif lebih

rendah dari bulan sebelumnya (Rp 320,66 triliun) namun belum mengindikasikan perbaikan

kwalitas kredit perbankan sehubungan dengan terus meningkatnya cadangan penghapusan

aktiva produktif 7 . Sementara itu, kredit bermasalah per sektor ekonomi menunjukkan bahwa

sektor perindustrian paling tinggi jumlahnya (Rp 99,68 triliun) sedangkan paling rendah

sektor jasa sosial masyarakat (Rp 1,65 triliun). Jumlah kredit bermasalah tampaknya akan

terus meningkat pada setiap sektor dan tekanan akibat kondisi pendapatan bunga defisit

(akibat spread bunga negatif) juga akan memberi tekanan yang cukup berat terhadap kinerja

sektor keuangan secara keseluruhan.

(9). Sektor Jasa

Imbas krisis moneter tampaknya turut mempengaruhi kinerja sektor jasa walau tidak

terlalu kuat. Pada periode krisis rata-rata pertumbuhan sektor jasa menjadi - 1,7% atau

turun sebesar 4,9% dari rata-rata 3,2% (pra krisis). Penurunan tersebut juga tercermin dari

6 Kondisi Perbankan Bulan Juli 1998, Bagian SPPK, Bank Indonesia7 ibid

Page 15: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

145Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil

koefisien korelasinya terhadap depresiasi dan suku bunga masing-masing -0.17 dan -0.15

dengan koefisien elastisitas masing-masing -0.03 dan -0.9. Rendahnya semua koefisien dalam

sektor ini belum memberi jaminan sektor jasa cukup resisten terhadap gejolak. Penurunan

kinerja yang terjadi pada hampir semua sektor diluar sektor jasa diduga mempengaruhi

produksi sektor jasa yang terdiri atas sub sektor pemerintah dan rumah tangga. Sub-sektor

jasa pemerintah kegiatan produksinya sangat tergantung pada anggaran sehingga

penyesuaian anggaran sehubungan dengan perubahan kurs pada akhirnya mempengaruhi

kegiatan produksi sektor secara total karena pangsanya yang lebih besar dibandingkan

sub sektor jasa rumah tangga.

Tinjauan Mikro : Analisa Kinerja Perusahaan

Secara signifikan telah terjadi perubahan-perubahan kinerja struktur keuangan unit

usaha sektor riil yang damati selama periode sebelum dan sesudah krisis moneter. Peubah-

peubah yang diduga mempunyai korelasi kuat dengan faktor-faktor dominan penyebab

krisis seperti suku bunga dan nilai kurs menunjukkan penurunan atau kenaikan sesuai

dengan sifat peubah tersebut. Penelitian dilakukan dengan analisa deskriptif dilengkapi

tinjauan khusus tentang dampak fluktuasi suku bunga terhadap kinerja unit usaha secara

umum. Pengamatan didasarkan pada 57 sample data perusahaan non-finansial yang sudah

tercatat di BEJ (Bursa Efek Jakarta) dengan kriteria volume usahanya tergolong menengah

besar dan sedapat mungkin mewakili sektor-sektor perekonomian. Periode pengamatan

adalah tahun 1995, 1996 dan 1997 sedangkan data laporan keuangan tahun 1998 belum

dapat dimanfaatkan sepenuhnya karena kelengkapan data yang kurang memadai.

Analisa Konsentrasi:

Untuk mengetahui perubahan pos-pos struktur keuangan perusahaan yang diamati

selama periode pengamtan secara deskriptif dilakukan analisa konsentrasi berdasarkan

pembagian kriteria tertentu. Kriteria tersebut meliputi tingkat nilai penjualan, beban biaya

bunga, jumlah hutang usaha jangka pendek kepada bank, tingkat keuntungan sebelum

dikurangi pajak penghasilan, serta jumlah ekuitas.

1. Nilai Penjualan

Dari jumlah sampel yang diamati selama periode pengamatan, perkembangan nilai

penjualan kurang menunjukkan perubahan yang cukup mendasar namun masih tetap

dalam pertumbuhan positif. Konsentrasi jumlah perusahaan berdasarkan kriteria tingkat

penjualan tahunan memperlihatkan bahwa perusahaan yang mampu mencapai ukuran

penjualan diatas Rp 100 miliar masih menunjukkan kenaikan bahkan pada tahun 1997

mencapai 77%, demikian halnya pada masing-masing gradasi dibawahnya walaupun

Page 16: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

146 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

dengan tingkat yang berbeda-beda.

Adanya kenaikan nilai penjualan tersebut diduga disebabkan oleh faktor-faktor seperti

misalnya kenaikan harga jual domestik, depresiasi rupiah bagi usaha yang berorientasi

ekspor atau memang terdapat kenaikan riil dari segi output terjual. Untuk menemukan

faktor yang paling dominan dari antara ketiga faktor dugaan tersebut sangat tergantung

dari karakteristik perusahaan tersebut terutama dari segi target pasar, sifat produk, serta

pricing policy. Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja nilai penjualan unit usaha

yang diamati pada tahun 1997 sedikit meningkat dari tahun 1996, sementara kinerja tahun

1996 masih lebih baik dari tahun 1995. Kondisi than 1998 diperkirakan akan memburuk

mengingat kondisi makro secara keseluruhan juga menurun drastis.

2. Hutang Bank dan Biaya Bunga

Dari salah satu komponen biaya yang diamati, diperkirakan biaya bunga mengalami

perubahan yang cukup kuat sehubungan dengan krisis yang sedang berlangsung. Biaya

bunga dimaksud adalah beban bunga yang timbul dari pinjaman bank dan bersifat jangka

pendek. Dari tiga tahun pengamatan, kondisi tahun 1997 menunjukkan perubahan

komposisi yang cukup besar sehubungan dengan pembengkakan beban bunga akibat krisis.

Peningkatan beban bunga tersebut dapat bersumber dari peningkatan suku bunga maupun

jumlah pinjaman pokoknya. Seperti diketahui pinjaman tersebut pada umumnya terdiri

dari pinjaman rupiah dan pinjaman non-rupiah (terutama US dollar), sehingga munculnya

depresiasi rupiah secara otomatis akan meningkatkan jumlah pinjaman non-rupiah yang

dihitung dalam rupiah.

Dari tabel 5 pada kolom hutang bank telah terjadi kenaikan jumlah hutang bank

perusahaan pada semua gradasi, konsentrasi jumlah perusahaan dengan hutang bank antara

Rp 0 s.d Rp 5 miliar telah meningkat dari 16% (1996) menjadi tinggal 9% (1997). Dengan

latar belakang kondisi tersebut maka peta konsentrasi perusahaan dengan biaya bunga

diatas Rp 50 miliar per tahun pada tahun 1997 telah meningkat menjadi 19% dari 9% (1996).

Konsentrasi tertinggi tampaknya terpusat pada rentang antara Rp 25 miliar dan Rp 50

Rp 1995 1996 1997

>100 miliar 70% 72% 77%> 50 miliar 84% 89% 93%> 25 miliar 93% 95% 98%> 10 miliar 98% 100% 100%

Tabel. 4

KONSENTRASI A/D NILAI PENJUALAN

(% kumulatif)

Page 17: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

147Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil

miliar yang meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan konsentrasi tahun

sebelumnya. Sementara itu sebaran kedua tertinggi adalah antara Rp 10 miliar dan Rp 25

miliar. Pada tahun 1997, jumlah perusahaan yang pada tahun sebelumnya mempunyai

biaya bunga dibawah Rp 5 miliar telah meningkat artinya terjadi peningkatan biaya bunga

dibandingkan periode sebelumnya. Konsentrasi pada kategori dimaksud telah merosot

menjadi 25% turun dari 42% (1996). Kenaikan biaya bunga tersebut tampaknya disebabkan

oleh naiknya pinjaman pokok karena besarnya suku bunga pinjaman sebenarnya tidak

terlalu bervariasi, suku bunga pinjaman rupiah pada tahun 1997 besarnya antara 19%-40%

(Tahun 1996: 19%-21%) sementara pinjaman dalam dollar 9,68% - 10,9% (Tahun 1996: 8,06%-

9,28%).

3. Keuntungan Sebelum Pajak (Earning Before Tax)

Tingkat keuntungan sebelum pajak (Earning Before Tax) sektor usaha pada tahun

1997 memperlihatkan penurunan yang luar biasa seperti diperlihatkan oleh lebih dari

setengah jumlah sampel (51%) yang mencatat laba negatif. Tingginya jumlah perusahaan

yang mempunyai laba negatif membuat konsentrasi berubah drastis dimana pada kelompok

keuntungan diatas Rp 50 miliar pada tahun 1997 merosot menjadi 12% dibanding dua

tahun sebelumnya sebesar 26% (1995), dan 30% (1996). Penurunan konsentrasi tersebut

tampaknya juga berlangsung pada rentang-rentang dibawahnya dan mengumpul pada

kelompok keuntungan negatif. Komposisi tahun 1997 menunjukkan bahwa konsentrasi

terbesar terletak pada kategori antara Rp 25 - 50 miliar, sebesar 9% (21%-12%). Menyusutnya

EBT dari obyek yang diamati terutama disebabkan oleh kerugian selisih kurs dan biaya

bunga. Kerugian luar biasa akibat selisih kurs terutama dipicu setelah bank sentral

melepaskan kebijakan managed floating exchange rate sehingga kurs rupiah melonjak dari Rp

4.650 menjadi Rp 8.325 per USD (per Maret 1998).

Hutang Bank Biaya BungaRp 1995 1996 1997 1995 1996 1997

> 50 miliar 47% 54% 63% 9% 9% 19%

> 25 miliar 77% 81% 88% 19% 21% 44%> 10 miliar 77% 81% 88% 37% 42% 63%

> 5 miliar 88% 84% 91% 53% 58% 75%

> 0 miliar 100% 100% 100% 100% 100% 100%

Tabel 5

KONSENTRASI A/D HUTANG BANK DAN BIAYA BUNGA

(% kumulatif)

Page 18: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

148 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

4. Ekuitas

Adanya ketidakseimbangan antara kenaikan nilai penjualan dengan biaya

perusahaan telah membawa perusahaan dalam kondisi menyusutnya tingkat keuntungan,

pengamatan empiris menunjukkan bahwa beberapa perusahaan sudah dalam kondisi

keuntungan negatif (sekitar 51%). Menurunnya laba tahun berjalan mendorong terciptanya

saldo laba negatif dan kondisi tersebut akan mempengaruhi jumlah ekuitas perusahaan.

Kondisi ekuitas negatif yang ditemukan umumnya disebabkan oleh memburuknya saldo

laba tanpa diimbangi oleh penyuntikan modal tambahan dari pemilik. Oleh karena itu

seiring dengan semakin berkurangnya tingkat keuntungan usaha akibat krisis maka kinerja

ekuitas perusahaan juga terus merosot bahkan pada tahun 1997 terdapat sekitar 9% yang

sudah dalam kondisi ekuitas negatif. Penurunan kwalitas ekuitas terjadi pada semua gradasi

seperti diperlihatkan konsentrasi jumlah perusahaan yang memiliki ekuitas diatas Rp 100

miliar pada tahun 1997 tinggal 49%, dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 58%

(1995) dan 63% (1996).

Tabel 7

KONSENTRASI A/D EKUITAS

(% kumulatif)

Tabel 6

KONSENTRASI A/D KEUNTUNGAN SEBELUM PAJAK

(% kumulatif)

Rp 1995 1996 1997

> 50 miliar 26% 30% 12%> 25 miliar 49% 49% 21%> 10 miliar 63% 74% 28%> 5 miliar 72% 81% 35%> 0 miliar 98% 95% 49%

< 0 miliar 2% 5% 51%

Rp 1995 1996 1997

> 500 miliar 19% 19% 16%> 250 miliar 30% 37% 32%> 100 miliar 58% 63% 49%> 50 miliar 81% 81% 72%> 0 miliar 100% 100% 91%

< 0 miliar 0% 0% 9%

Page 19: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

149Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil

Tinjauan Pengaruh Faktor Suku Bunga

Dalam struktur biaya perusahaan faktor biaya bunga merupakan salah satu unsur

biaya produksi yang timbul karena penarikan hutang jangka pendek maupun jangka panjang.

Dari kedua jenis hutang tersebut hutang jangka pendek seperti hutang modal kerja sering

dikategorikan sebagai biaya variabel dalam menentukan harga jual dan dari pengamatan

empiris menunjukkan bahwa sekitar 60% perusahaan sektor riil mempunyai porsi hutang

jangka pendek yang lebih besar dalam struktur hutangnya. Jangka waktu pinjaman yang

relatif pendek mengakibatkan hutang jangka pendek cukup sensitif terhadap perubahan

suku bunga, dan meskipun bobotnya dalam struktur biaya cukup rendah namun dalam

kenaikan suku bunga dikhawatirkan akan memberikan pengaruh terhadap kinerja

perusahaan. Dengan asumsi perusahaan cenderung mempertahankan margin

keuntungannya maka menjadi menarik untuk mengukur seberapa jauh dampak kenaikan

suku bunga terhadap kinerja perusahaan secara keseluruhan yang pada akhirnya tampak

dari gejala ekspansi/kontraksi usaha.

Model yang diestimasi

Untuk mengetahui dampak dari pengaruh faktor suku bunga terhadap kinerja

perusahaan maka akan dilakukan uji regresi sederhana terpisah masing-masing periode

sebelaum krisis (1995 dan1996) dan selama krisis (1997). Dua persamaan yang diestimasi

yaitu (i) persamaan biaya bunga yang dipengaruhi oleh hutang jangka pendek dan hutang

jangka panjang, (ii) persamaan kinerja perusahaan yang diwakili oleh peubah tingkat

keuntungan sebelum pajak sebagai fungsi dari nilai penjualan, biaya harga pokok produksi

dan biaya bunga. Mengingat sifat data terdiri dari banyak perusahaan yang berbeda serta

diamati dalam jangka waktu relatif pendek maka untuk pengujian model digunakan uji

cross-section.

(INTEX)t = c + α (BBRW)

t + β (LTD)

t + e

t(1)

( EBT) t = c + α (INTEX)

t + β (SALES)

t + γ (CGS)

t + e

t(2)

keterangan:

INTEX = interest expense (biaya bunga)

B B R W = bank borrowing (jumlah hutang jangka pendek pada bank)

LTD = long term debt (hutang jangka panjang pada bank, obligasi, cp, dsb.)

EBT = earning before tax (penerimaan perusahaan sebelum pajak)

SALES = tingkat penjualan perusahaan

CGS = cost of goods sold (biaya pokok perusahaan)

c = konstanta

e = residual

t = tahun: 1995, 1996, 1997.

Page 20: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

150 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Hasil Analisa

1. Hasil estimated equation untuk mengetahui tingkat signifikansi pengaruh hutang jangka

pendek dan jangka panjang terhadap biaya bunga adalah sebagai berikut.:

Hasil dari estimated equation masing-masing periode tersebut dapat disimpulkan

bahwa:

a. Dari pengamatan terhadap sampel yang sama untuk periode yang berbeda, 1995,

1996, dan 1997 menunjukkan bahwa koefisien hutang jangka pendek senantiasa

lebih besar daripada koefisien hutang jangka panjang dengan kata lain biaya bunga

perusahaan biaya yang timbul dari hutang jangka pendek lebih signifikan. Pangsa

jumlah hutang jangka pendek yang selalu lebih besar dalam total hutang serta

tingkat suku bunganya yang selalu diatas suku bunga hutang jangka panjang diduga

menjadi penyebab komposisi koefisien tersebut.

b. Sementara itu koefisien hutang jangka pendek pada tahun 1997 meningkat cukup

besar (0,364) dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Membesarnya nilai

koefisen tersebut mengindikasikan adanya kenaikan luar biasa jumlah hutang

jangka pendek perusahaan. Dari sampel menunjukkan bahwa rata-rata kenaikan

hutang jangka pendek adalah sekitar 259%, dengan kenaikan maksimum sekitar

1995 1996 1997Dependent Var. INTEX95 INTEX96 INTEX97

Independent Var. Koefisien Koefisien Koefisien

C -2597.325 -5303.249 -52452.37(-1.305) (-1.848) (-4.277)

BBRW95 0.136979(15.538)

BBRW96 0.153917(16.088)

BBRW97 0.364382(15.243)

LTD95 0.052133(6.701)

LTD96 0.054502(6.055)

LTD97 0.049804(2.558)

R-squared 0.97722 0.966223 0.911446

not e: t st at.=(…)

Page 21: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

151Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil

4222%. Sementara kondisi pada bulan Juni 1998 diperkirakan kenaikan tidak sebesar

kenaikan dari tahun 1996 ke 1997.

c. Meningkatnya jumlah hutang jangka pendek pada 1997 disamping disebabkan

oleh kenaikan penarikan hutang baru juga didorong oleh tingginya depresiasi

rupiah. Seperti diungkapkan oleh hasil survey (lihat lampiran), bahwa jumlah

hutang jangka pendek perusahaan telah menggelembung cepat akibat dari jatuhnya

nilai rupiah. Konsekwensi dari pembengkakan jumlah hutang membawa akibat

yang sangat serius bagi sementara perusahaan karena terdapat sekitar 9% sampel

mempunyai ekuitas negatif sehingga perusahaan tersebut praktis sudah bangkrut.

Rata-rata debt to equity ratio tahun 1997 mencapai 2,13 meningkat dari 1,05 pada

tahun sebelumnya.

2. Hasil dari persamaan kedua yaitu untuk mengetahui signifikansi pengaruh faktor suku

bunga atau variabel lainnya terhadap keuntungan perusahaan adalah sebagai berikut.:

1995 1996 1997

Dependent Var. EBT95 EBT96 EBT97

Independent Var. koefisien koefisien koefisien

C 8032.726 2753.142 -85995.25(1.487) (0.267) (-4.227)

INTEX95 -1.765019(-8.328)

INTEX96 -0.087872(-0.204)

INTEX97 -0.985991(-6.108)

SALE95 0.642362(-11.317)

SALE96 0.00602(2.223)

SALE97 0.446353(2.161)

CGS95 -0.640341(-9.312)

CGS96 0.182756(13.383)

CGS97 -0.382266(-1.374)

R-squared 0.934801 0.881176 0.626213

note: t s tat = (… )

Page 22: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

152 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Dari hasil estimated equation diatas dapat ditarik kesimpulan berikut:

a. Secara umum semua regressors menghasilkan tanda seperti yang dihipotesakan,

artinya kenaikan biaya bunga dan biaya harga pokok akan mengurangi tingkat

penerimaan perusaahaan dan sebaliknya apabila terjadi peningkatan penjualan

akan menambah penerimaan perusahaan (earning before tax). Pengecualian hanya

muncul pada persamaan untuk tahun 1996 karena koefisen biaya harga pokok

penjualan (CGS) justru menunjukkan tanda positif. Cukup tingginya variasi nilai

peubah antar perusahaan yang berbeda diperkirakan menyebabkan unexpected sign

tersebut.

b. Dari pengamatan sekilas berdasarkan nilai koefisien konstantanya menunjukkan

suatu perubahan yang cukup mendasar, koefisien kontanta persamaan tahun 1997

menghasilkan tanda negatif berbeda dengan persamaan dua tahun sebelumnya.

Kondisi tersebut menunjukkan adanya unsur biaya lain atau pengurang keuntungan

pada tahun 1997 yang besarnya sangat signifikan dibandingkan dengan biaya

bunga dan biaya harga pokok penjualan. Faktor dimaksud seperti sudah diduga

sebelumnya adalah kerugian karena selisih kurs (foreign exchange loss), tekanan

yang sangat kuat tersebut menyebabkan level minimum EBT berubah menjadi negatif.

Secara riil kuatnya tekanan dimaksud tampak dari perubahan nilai kurs rupiah

yang dijadikan patokan penghitungan laporan keuangan, dari rata-rata Rp. 4.650/

US$ (pra-krisis) menjadi Rp. 8.325/US$ (pasca penghapusan sistem band intervention) .

Upaya untuk mencegah kerugian melalui hedging ternyata belum banyak dilakukan

oleh perusahaan, dari survey diketahui pada umumnya terhadap hutang non-rupiah

sebagian unit usaha sektor riil hanya melakukan unfully-hedging. Penelitian lebih

jauh untuk mengetahui pengaruh gejolak kurs kiranya perlu dilakukan mengingat

kerugian karena selisih kurs yang rata-rata sangat besar.

c. Signifikansi peubah biaya bunga (INTEX) terhadap penerimaan keuntungan

perusahaan sebelum pajak (EBT) agak berubah antar periode pengamatan, dimana

pada tahun 1995 adalah terbesar (-1,76) kemudian menurun pada tahun 1995 (-

0.08) namun kembali meningkat pada tahun 1997 (-0,98). Pada tahun 1997 hasil

estimated equation menunjukkan pengaruh peubah biaya (INTEX dan CGS)

terhadap pendapatan (EBT) tampaknya semakin besar dibandingkan dari peubah

nilai penjualan (SALE). Relatif melemahnya koefisien peubah biaya bunga dalam

persamaan 1997 seperti diungkap sebelumnya diduga karena pengaruh kerugian

akibat selisih kurs yang lebih besar namun belum dicakup dalam model. Sementara

itu pengaruh peubah biaya harga pokok tampaknya relatif lebih lemah daripada

peubah biaya bunga terhadap tingkat keuntungan perusahaan. Terjaganya pasokan

Page 23: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

153Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil

bahan baku, bahan penolong dan kontrak tenaga kerja yang relatif lebih rigid

perubahannya membuat biaya harga pokok lebih stabil dan dapat diperkirakan

lebih mudah.

d. Koefisien tingkat nilai penjualan dalam persamaan tampak mulai meningkat pada

tahun 1997 dibandingkan koefisien persamaan tahun 1996 dan 1995. Kenaikan

nilai penjualan tampaknya disumbang oleh faktor seperti kenaikan harga akibat

inflasi, faktor depresiasi terhadap penerimaan hasil ekspor maupun sebab lainnya,

bukan disebabkan efisiensi biaya produksi. Namun dipihak lain, tingkat penjualan

tersebut diimbangi dengan kenaikan biaya yang sangat besar sehingga tingkat

keuntungan perusahaan sebelum pajak (EBT) mengecil cukup drastis. Antara tahun

1995 dan 1996 pada umumnya perusahaan masih mengalami kenaikan kenaikan

EBT positif dengan rata-rata sebesar 43% sementara pada peiode krisis yaitu antara

tahun 1996 dan 1997 justru terjadi penurunan tajam dengan rata-rata sebesar -

287%. Pertumbuhan negatif EBT tersebut dialami oleh sekitar 82% dari total sampel.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Hasil analisa dampak krisis moneter terhadap kinerja sektor riil yang dipersempit

pada area tinjauan sektoral serta tinjauan mikro unit usaha menghasilkan kesimpulan dan

implikasi kebijakan seperti berikut:

(1). Kegiatan produksi sektor riil selama krisis terbukti menurun apabila dibandingkan

dengan kondisi sebelum krisis. Penurunan tersebut ditunjukkan oleh beberapa indikator

utama seperti pertumbuhan negatif produksi sektoral, sedangkan untuk perusahaan

menengah/besar ditandai dengan menurunnya nilai penjualan riil, merosotnya

keuntungan usaha, dan berkurangnya kwalitas indikator-indikator spesifik lainnya.

Kelemahan struktural seperti inefisiensi manajemen internal, lemahnya tingkat

competitiveness perusahaan terbukti sangat menentukan tingkat resistensi perusahaan

terhadap dampak krisis. Sektor pertanian yang relatif steril dari kelemahan struktural

terbukti paling resisten dari pengaruh negatif krisis.

(2). Hasil pengamatan sektoral memperlihatkan bahwa sektor-sektor yang selama ini

menjadi sektor andalan penggerak pertumbuhan telah mengalami kontraksi cukup

serius terutama sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, sektor bangunan dan

sektor keuangan. Analisa korelasi dan elastisitas menunjukkan bahwa sektor industri

pengolahan paling terkait dengan faktor nilai tukar dan suku bunga juga paling elastis

terhadap fluktuasi kedua faktor tersebut. Demikian halnya dengan sektor bangunan,

sektor keuangan serta sektor perdagangan.

Page 24: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

154 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

(3). Dari hasil pengamatan empirik kinerja sample perusahaan menengah besar ditemukan

bahwa setengah dari sample (51%) dalam kondisi keuntungan sebelum pajak negatif

pada tahun 1997, sementara tahun sebelumnya konsentrasinya hanya 5%. Kondisi

tersebut diduga menyebabkan menurunnya kwalitas ekuitas perusahaan seperti

ditunjukkan oleh konsentrasi perusahaan yang mempunyai ekuitas negatif sebesar

9%. Faktor-faktor seperti kerugian karena selisih kurs, biaya bunga maupun biaya

lainnya sehubungan dengan inflasi menyebabkan turunnya keuntungan, saldo laba

dan akhirnya ekuitas.

(4). Tinjauan pengaruh gejolak suku bunga membuktikan bahwa hutang jangka pendek

pada umumnya lebih dominan dibandingkan jumlah hutang jangka panjang dan sekitar

60% dari total hutang jangka pendek dalam denominasi non-rupiah. Oleh karena itu

elastisitas kenaikan biaya bunga hutang jangka pendek tidak sepenuhnya disebabkan

oleh fluktuasi suku bunga namun juga disebabkan karena penggelembungan hutang

melalui depresiasi rupiah.

(5). Memburuknya kinerja sektor riil selama krisis adalah karena kelemahan-kelemahan

struktural yang bersifat internal dari unit-unit usaha sektor riil dan faktor eksternal

yaitu gejolak nilai tukar serta suku bunga tinggi. Sehubungan dengan masalah tersebut

upaya menciptakan struktur usaha sektor riil yang relatif kuat terhadap gejolak kedua

faktor tersebut maupun faktor lainya harus segera dilakukan secara komprehensif.

Upaya untuk menghilangkan kelemahan struktural tersebut agar dilakukan, (i) dengan

mendorong terciptanya iklim usaha yang efisien, transparan sehingga pelaku usaha

akan menyesuaikan dengan menciptakan kondisi internal perusahaan yang lebih efisien

dan fleksibel. (ii) mendorong pertumbuhan sektor usaha yang bersifat resource base

seperti agribisnis mengingat daya resistensi sektor terhadap gejolak, potensi sumber

daya yang melimpah dan peluang ekspor yang senantiasa tinggi. (iii) mendorong

perusahaan untuk lebih berorientasi ekspor melalui berbagai kebijakan yang

mendukung.

(6). Upaya jangka pendek saat ini yang tampaknya perlu segera ditempuh adalah

mengurangi gejolak kurs rupiah dan membawa pada nilai kurs yang affordable bagi

sektor riil mengingat snowball effect -nya yang sangat luas terhadap perekonomian.

Dengan stabil dan wajarnya kurs maka diharapkan suku bunga akan lebih cepat turun

karena unsur imported inflation akan cenderung berkurang sumbangannya terhadap

inflasi umum.

Page 25: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

155Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil

Daftar Pustaka

BPS, Tabel Input-Output Indonesia1995, Jilid I, Jakarta, Indonesia.

Hastuti, Francisca., Pengaruh Kebijakan Kurs Terhadap Ekspor, Makalah yang tidak

dipublikasikan, Bank Indonesia, 1998.

Iljas, Achjar., The Transmission Mechanism of Monetary Policy in Indonesia, Bahan yang

disampaikan dalam salah satu meeting di luar negeri, 1997.

Jepma, CJ., Jager, H., Kamphuis, E., Introduction to International Economics, Longman,

New York 1996.

Kawai, Masahiro., The East Asian Currency Crisis: Causes and Lessons, Contemporary

Economic Policy, Vol. XVI, April 1998, pp 157-172

Sarwono, Hartadi, A., Warjiyo, Perry., Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam

Sistem Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran Untuk Penerapannya di Indonesia, Buletin Ekonomi

Moneter dan Perbankan, Vol.1, Nomor 1, Juli 1998.

Warjiyo, Perry., Zulverdi, Doddy., Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional

Kebijakan Moneter di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.1, Nomor 1, Juli

1998.

Lampiran 1

Hasil Survey Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kinerja Beberapa Sektor Usaha 8 .

Suvey terhadap beberapa leading companies yang dipilih berdasarkan ukuran usaha

(size), tingkat penjualan, maupun status trendsetter perusahaan menghasilkan beberapa

temuan seperti berikut:

1. Dampak Terhadap Tingkat Penjualan

a. Penyebab kenaikan penjualan selama masa krisis antara lain disebabkan oleh

kenaikan riil produksi (fisheries), inflasi dalam negeri (trading, food retailers) atau

depresiasi rupiah (hampir semua sektor). Menurut data aktual penjualan 1998.Q1

serta estimasi sepanjang tahun 1998, dari 20 sektor yang disurvey hanya tiga sektor

8 Survey dilakukan oleh Richard Currey for Nathan Associates bekerjasama dengan Bappenas dan USAID, pelaksanaansurvey adalah triwulan pertama 1998 dengan periode pengamatan sejak 1997 sampai dengan saat survey dilakukan.Sektor usaha yang disurvey meliputi Forestry, Fishery, Mining, Processed Food, Beverages, Tobacco, Textile,Garments, Footwear, Pulp and Paper, Chemicals, Cement, Heavy Equipment, Electronics, Wholesale, Retail,Hotel, Pharmaceuticals, dan Sea Transportation (tanker).

Page 26: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

156 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

(trading, garment, dan food retailers) yang memiliki pertumbuhan penjualan yang

konsisten posistif selama 1997 dan 1998.

b. Pertumbuhan penjualan 1998 tertinggi diraih oleh sektor Fisheries (70%), Machinery

(53%), Paperboard (46%) dan Garment (40%), kenaikan tersebut kecuali sektor

machinery terutama didorong dari kenaikan perolehan ekspor. Depresiasi rupiah

yang cukup besar telah mendongkrak ekspor produk yang bahan bakunya l ocal

based serta berorientasi pasar ekspor (sektor agribisnis, fisheries, dan sektor lainnya),

penerimaan rupiah penjualan produk dengan pasar domestik yang harganya dipatok

dalam dollar (sektor machinery). Sebaliknya sektor yang dalam struktur produksinya

mempunyai kandungan impor tinggi namun dengan target pasar domestik menjadi

sangat menderita oleh krisis seperti ditunjukkan oleh sektor Computer yang

penjualannya menurun tajam (-60%).

c. Inflasi dalam negeri yang mencapai sekitar 40% (1998.I) telah menyumbang kenaikan

nilai penjualan sektor perdagangan barang-barang konsumsi dan obat-obatan,

kenaikan penjualan riil relatif kecil sekali. Penurunan penjualan akibat melemahnya

daya serap domestik sangat dirasakan oleh produsen consumer goods (Coca-Cola

penjualannya menurun sebesar 35%) dan barang-barang elektronik (komputer).

d. Resesi yang terjadi di negara lain turut memberi andil terhadap rendahnya penjualan

sektor riil domestik. Sektor pertambangan yang menurut karaktersitik usahanya

semestinya diuntungkan oleh depresiasi rupiah karena hampir semua produksinya

diekspor, justru turun (-29%) seiring dengan turunnya permintaan dunia. Demikian

halnya dengan industri tertentu seperti plywood (-15%) yang memiliki pasar utama

Jepang dan Korea.

-60%

-40%

-20%

0%

20%

40%

60%

80%

Cem

ent

Hot

el

Bev

erag

es

Tra

ding

Fis

herie

s

Mac

hine

ry

Pha

rmac

y

Agr

ibis

nis

Tan

ker

Min

ing

Ply

woo

d

Tex

tile

Cig

aret

te

Kre

tek

Com

pute

r

Sho

es

Che

mic

als

Gar

men

t

Pap

erbo

ard

Sup

erm

arke

t

sales97

sales98

Pertumbuhan Penjualan 1997 dan 1998

Note: Beberapa s ektor tidak m em punyai data penjua lan 1997

Page 27: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

157Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil

2. Dampak Terhadap Struktur Hutang Perusahaan

a. Depresiasi rupiah dengan segera menggelembungkan jumlah kewajiban perusahaan

baik yang short term debt (STD) maupun long term debt (LTD). Dari informasi yang

diperoleh, kewajiban STD rata-rata meningkat 100% (atau jumlahnya menjadi dua

kali), sementara LTD belum menjadi masalah serius karena jatuh temponya masih

relatif lama. Kenaikan hutang tersebut akhirnya turut memperbesar D/E ratio. Upaya

pengurangan beban hutang, perusahaan antara lain melakukan swap,

reschedulling, restrukturisasi atau pengalihan bentuk hutang.

b. Dari informasi hasil survey menunjukkan bahwa kenaikan STD mencapai 230%

(Machinery), 200% (Fishery) dan 155% (Trading). Tingginya kenaikan pinjaman

terutama disebabkan oleh depresiasi (Machinery), kenaikan hutang kepada pihak

ketiga bukan bank (Fisheries), dan kenaikan trade finance cost (Computer, Textile,

Shoes) yang dihitung dalam dollar. Dari struktur hutang baik yang STD maupun

LTD tidak semua sektor melakukan hedging atas hutang-hutangnya, misalnya yang

fully unhedged (paperboard, consumer good trading), half unhedged (food retailers

dan cement). Upaya hedging biasanya dilakukan melalui long term forward atau

swap.

3. Dampak Terhadap Pengurangan Tenaga Kerja

a. Secara umum sampai dengan kwartal pertama 1998, tekanan krisis belum memaksa

leading companies yang disurvey untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Untuk menekan labor cost kebijakan yang dilakukan untuk sementara mengurangi

tenaga kerja asing (expats), mengistirahatkan tenaga kerja ( leave) atau mengurangi

-5 0 %

0 %

5 0 %

1 0 0 %

1 5 0 %

2 0 0 %

2 5 0 %

Cem

ent

Hot

el

Bev

erag

es

Tra

ding

Fis

herie

s

Mac

hine

ry

Pha

rmac

y

Agr

ibis

nis

Tan

ker

Min

ing

Ply

woo

d

Tex

tile

Cig

aret

te

Kre

tek

Com

pute

r

Sho

es

Che

mic

als

Gar

men

t

Pap

erbo

ard

Sup

erm

arke

t

S T D

L T D

P e r u b a h a n S h o r t d a n L o n g T e r m D e b t

Page 28: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

158 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

jam kerja ( attri tion). Dipihak lain sektor yang “diuntungkan” oleh krisis justru

memerlukan penambahan tenaga kerja (lihat tabel dibawah).

b. Penambahan tenaga kerja pada sektor Agribisnis, Fisheries, dan Mining terutama

disebabkan dari ekspansi areal usaha serta masa panen tanaman perkebunan yang

hampir datang. Permintaan pasar dunia yang stabil serta tingginya penerimaan

rupiah akibat depresiasi memberi kepastian upaya ekspansi sektor-sektor tersebut.

4. Action Plan (Outlook)

Kebijakan spesifik yang dilakukan oleh leading companies untuk menyesuaikan maupun

antisipasi krisis lebih lanjut adalah dengan meningkatkan pangsa ekspor, restrukturisasi

production line, perbaikan manajemen, bantuan pemerintah berupa penjaminan LC serta

trade financing. Disamping itu para pengusaha juga mengharapkan kebijakan pendukung

lainnya seperti penghapusan atau keringanan pajak ekspor (produsen minyak goreng),

pajak atas barang mewah (produsen minuman kaleng/coca cola), penerapan subsidised

exchange rate (pengusaha food retailers, trading on consumer goods and pharmaceuticals) ,

serta dukungan promosi (sektor pariwisata)..

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%

Mengurangi expats

Meningkat

PHK

Tetap

T.Kerja

Cigarete, Shoes, Beverages, Paperboard, Kretek, Garment, Supermarket, Computer, Tanker, Plywood, Chemical, Pharmacy

Trading, Machinery

Hotel, Cement, Taxtile

Fisheries, Mining, Agribisnis

Kebijakan Terhadap Tenaga Kerja Akibat Krisis

Page 29: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

93Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis

*) Gantiah Wuryandani : Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM-BIReza Anglingkusumo : Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM-BI, email : [email protected]

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Perry Warjiyo, Kepala Biro Gubernur - BI, atas kritik dan sarannya, sertaAnggito Abimanyu atas komentarnya.

EKSPEKTASI INFLASI DI MASA KRISIS

Gantiah Wuryandani dan Reza Anglingkusumo*)

Persepsi pelaku ekonomi terhadap perkembangan perekonomian termasuk inflasi cenderung berubah sepanjang krisis

moneter. Sehingga proses pembentukan ekpektasi inflasi pelaku ekonomi juga berbeda antara sebelum dan sepanjang krisis .

Oleh k arena i tu, p enel i ti an mengenai perubahan peri laku ekspektasi i nflasi masyarakat d i masa k ri si s, perlu menjadi agenda

taktis dalam rangka mengupayakan efektifitas dan efisiensi pengendalian moneter. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan

dapat diperoleh suatu benchmark untuk mengukur ekspektasi inflasi dimasa mendatang sebagai arahan bagi pelaksanaan

kebi jakan moneter.

Hasil penelitian membuktikan adanya “expectation loop” dalam pembentukan laju inflasi dan adanya proses

backward maupun forward looking oleh pelaku ekonomi dalam membentuk ekspektasi inflasi dimasa krisis. Metodologi yang

digunakan adalah estimasi liniear sederhana untuk memperoleh taksiran ekspektasi dari masing-masing variabel pembentuk

ekspektasi i nflasi . V ariabel -variabel t ersebut adalah: ( 1) pengaruh l aju i nflasi historis t erhadap t ekanan i nflasi y ang s edang

berlangsung ( inertia), ( 2) k redibi l i tas k ebi jakan disinflasi pemerintah, dan ( 3) ekspektasi k urs n i lai t ukar R p/ USD s ecara

historis, sebagai komponen-komponen pembentuk ekspektasi inflasi backward looking. Sedangkan ekspektasi inflasi forward

looking ditentukan oleh variabel yield spread dan forward rate Rp/USD. Taksiran yang diperoleh dengan estimasi linear

tersebut selanjutnya di estimasi ulang dengan menggunakan neural network, untuk menangkap dampak bounded rationality

para pelaku pasar dalam pembentukan ekspektasi i nflasi d i masa k ri si s.

Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa dimasa sebelum krisis terdapat ekspektasi inflasi yang mendekati inflasi

aktual. Variabel kredibilitas kebijakan disinflasi pemerintah merupakan determinan utama dalam pembentukan ekspektasi

inflasi , disusul kemudian oleh ekspektasi kurs ni lai tukar Rp/USD dan laju inflasi secara historis. Dari hasi l simulasi ekspektasi

inflasi dimasa kri si s terl i hat bahwa dalam bulan-bulan tertentu terdapat indikasi deviasi yang cukup signi fi kan yang menunjukkan

adanya ketidakpastian yang sangat tinggi. Ketidakpastian tersebut terutama bersumber dari noise, seperti fenomena panic

buying di bulan Januari 1998 dan gejolak yang tidak terduga pada harga Sembako di bulan Juli 1998. Hal ini selanjutnya

menunjukkan bahwa tekanan inflasi karena meningkatnya gejolak sosial politik di bulan April dan Mei 1998 telah sepenuhnya

diantisipasi oleh pelaku ekonomi. Demikian pula dengan gejolak harga Sembako di bulan Agustus dan September 1998.

Dari berbagai pengujian dalam paper ini disarankan otoritas moneter perlu memilah-milah faktor-faktor pembentuk

inflasi dari si si moneter maupun non-moneter. Disamping i tu perlu pula di tetapkan target band inflasi moneter beri kut l eading

indicator pemantaunya, sebagai suatu langkah untuk mengendalikan inflasi secara preemptive oleh otoritas moneter. Dalam

rangka pengendal ian l aju i nflasi y ang l ebih d isebabkan o leh t ekanan s truktural dan noise, o tori tas moneter perlu melakukan

koordinasi dengan departemen terkait.

Page 30: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

94 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Pendahuluan

K risis moneter telah menempatkan inflasi sebagai salah satu indikator strategis bagi

upaya mengeluarkan perekonomian nasional dari resesi yang berkepanjangan.

Sampai saat ini berbagai upaya telah dilakukan pemerintah baik itu melalui pengendalian

inflasi dari sisi moneter oleh Bank Indonesia sebagai Otoritas Moneter , maupun kebijakan

disinflasi dari sisi penawaran agregat oleh departemen-departemen yang terkait langsung

dengan sisi produksi dan distribusi barang-barang konsumen.

Dalam kaitannya dengan kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi, salah satu

faktor terpenting bagi efektifitas dan efisiensi pelaksanaannya oleh Bank Indonesia adalah

pemahaman mengenai terbentuknya ekspektasi inflasi oleh para pelaku ekonomi. Dengan

diperolehnya pemahaman tersebut maka dapat dilakukan taksiran ekpektasi inflasi yang

selanjutnya dapat dijadikan sebagai : (1) arahan bagi penentuan target inflasi moneter oleh

Bank Indonesia, dan (2) masukan bagi kebijakan disinflasi non-moneter oleh pemerintah

c.q. departemen terkait.

Oleh karena itu dalam makalah ini penulis mencoba memetakan proses pembentukan

ekspektasi inflasi dengan berargumentasi bahwa ekspektasi inflasi dibentuk oleh ekpektasi

backward dan forward looking para pelaku ekonomi 1 . Ekspektasi inflasi backward looking

didefinisikan sebagai ekspektasi inflasi yang terbentuk sebagai akibat dari observasi pelaku

ekonomi terhadap dinamika inflasi dimasa lalu. Sedangkan ekspektasi inflasi forward

loooking dilain pihak , didefinisikan sebagai ekspektasi inflasi yang terbentuk oleh antisipasi

pelaku ekonomi di pasar keuangan domestik dan pasar forward Rp/USD. Dengan

mengidentifikasikan ekspektasi inflasi kedepan sebagai proses evaluasi backward dan

forward, selanjutnya dihitung suatu taksiran ekspektasi inflasi kedepan.

Berdasarkan pendekatan seperti diatas kedua penulis berargumen bahwa dimasa

krisis moneter upaya pengendalian inflasi oleh pemerintah tampaknya telah meredakan

ketidakpastian dan menurunkan ekspektasi inflasi para pelaku ekonomi. Terdapat pula

indikasi yang kuat bahwa dengan menurunnya ekspektasi inflasi tersebut, maka forward

rate Rp/USD di pasar valas pun akan menguat.

Dinamika Inflasi dan Pengendaliannya Sepanjang Krisis Moneter

Kebijakan pengendalian inflasi dimasa krisis menuntut pemerintah untuk mampu

mengkondisi penurunan level laju inflasi secara berkesinambungan , mengupayakan adanya

1 Dalam kaitannya dengan pembagian jenis ekspektasi pelaku ekonomi terhadap inflasi, penulis merujuk pada Gordon,Robert J. Macroeconomics. 1994.

Page 31: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

95Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis

kepastian harga, dan mengatasi gejolak harga. Melihat prasyarat tersebut, maka

pembentukan upward spiral ekspektasi inflasi di masa krisis selain disebabkan oleh faktor

ekspansi moneter dan pass-through depresiasi nilai tukar Rp/USD , juga disebabkan oleh

faktor-faktor yang bersifat struktural dan n oise. Oleh karena itu kebijakan pengendalian

inflasi di Indonesia harus mempertimbangan kebijakan disisi penawaran disamping

kebijakan moneter. Ulasan dibawah ini akan memberi sedikit gambaran mengenai dinamika

inflasi IHK dan kebijakan pengendaliannya oleh pemerintah sepanjang krisis moneter.

Pada Grafik 1 dibawah, dapat diamati perkembangan beberapa indikator laju inflasi

diluar inflasi IHK, yaitu laju inflasi yang disebabkan oleh tekanan apresiasi USD, laju

inflasi yang disebabkan oleh pertumbuhan uang beredar, laju inflasi sisi permintaan agregat

atau underlying inflation, dan sebuah indikator yang disebut indicator of policy severity 2 . Laju

inflasi yang disebabkan oleh apresiasi USD ditaksir dengan mengukur pengaruh 4 l ags

dari perubahan kurs Rp/USD terhadap laju inflasi IHK. Taksiran yang diperoleh kemudian

digunakan untuk melakukan in-sample (static) forecast. Hasil yang diperoleh adalah taksiran

laju inflasi yang disebabkan oleh persentase perubahan kurs Rp/USD bulanan. Sementara,

laju inflasi yang disebabkan oleh uang beredar ditaksir dengan mengukur pengaruh 4 lags

dari perubahan bulanan base money terhadap laju inflasi IHK. Sedangkan, underlying inflation

diukur sebagai keranjang IHK bulanan yang sudah dipangkas sebesar 17.5% pada masing-

masing t ails histogramnya 3 . Selanjutnya, indicator of policy severity adalah selisih antara

suku bunga SBI riil dan spread antara suku bunga deposito 1 bulan dan 24 bulan nominal

(representasi dalam bentuk normalized) 4 .

Grafik 1. Perkembangan Beberapa Indikator Inflasidan Indicator of Policy Severity Sepanjang Krisis Moneter

-5

0

5

10

15

97:07 97:09 97:11 98:01 98:03 98:05 98:07 98:09

Laju Inflasi IHKInflasi Karena Uan g BeredarInflasi Karena A presiasi USD

Indicator of Polic y Severit yInflasi Sisi Permintaan A gregat

2 Metodologi pengukuran indikator-indikator ini dapat dilihat di Annex 1.3 Roger, Scott. Measures of Underlying Inflation in New Zealand, 1985 - 1996. RBNZ Discussion Paper, 1997.4 Indicator of Policy Severity, Bank of Canada.

Page 32: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

96 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Dapat dilihat pada grafik diatas bahwa diawal krisis moneter yaitu pada triwulan

IV/1997 laju inflasi karena apresiasi Rp/USD meningkat diatas laju inflasi IHK, yang

menandakan menguatnya tekanan first stage passthrough apresiasi USD pada harga barang-

barang tradeables. Sementara itu tekanan permintaan agregat yang masih cenderung kuat

dalam perekonomian, juga menyumbang pada tekanan inflasi IHK. Di bulan November

1997, seiring dengan diumumkannya likuidasi 16 bank, terjadi bank run dalam sistem

perbankan yang berakibat tingginya ekspansi moneter dalam perekonomian dan selanjutnya

memberi tekanan inflatoir sepanjang triwulan IV / 1997. Dari sisi pasar keuangan,

menurunnya grafik indicator of policy severity di triwulan IV/1997 mencerminkan bahwa

tekanan inflatoir telah diikuti oleh meningkatnya suku bunga nominal perbankan .

Memasuki triwulan I/1998 tekanan apresiasi kurs USD/Rp pada laju inflasi mencapai

puncaknya yang terutama didorong oleh fenomena flight to currency 5 dan flight to quality 6 ,

serta meningkatnya spekulasi terhadap nilai tukar Rp/USD di kedua bulan tersebut.

Ekspansi uang beredar juga tampak masih kuat di triwulan I/1998, terutama karena

fenomena bank - run telah semakin meluas di bulan Januari 1998 sebagai akibat menurunnya

kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Selain itu, terdapat pula tekanan musiman

di bulan Januari 1998 berupa datangnya bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Di

bulan Februari 1998, terjadi demand shock, ketika panic buying melanda pasar barang-barang

konsumsi. Panic buying ini disebabkan oleh ketidakpastian harga karena adanya gejolak

nilai tukar yang dahsyat di bulan Januari 1998. Tingginya ketidakpastian ditambah dengan

besarnya jumlah uang yang beredar dalam perekonomian kemudian menjadi agregat demand

shock melalui konsumsi. Hal ini terlihat di bulan Februari 1998 ketika inflasi karena tekanan

agregat demand meningkat tajam.

Di triwulan II/1998, laju inflasi karena tingginya tekanan apresiasi USD terhadap

Rupiah mulai melemah, mencerminkan telah berakhirnya tekanan first stage pass through

apresiasi USD terhadap harga barang-barang impor. Beberapa jenis barang dan jasa yang

termasuk dalam kategori ini adalah harga bahan-bahan bangunan, harga makanan jadi

dengan bahan baku impor, biaya sewa rumah, kenaikan upah disektor informal yang tidak

terikat oleh ketentuan UMR, dan biaya jasa angkutan sebagai akibat meningkatnya harga

suku cadang. Walaupun demikian, tekanan inflasi karena ekspansi uang beredar tampak

5 Fenomena flight to currency didefinisikan sebagai kegiatan lindung nilai (hedging) yang dilakukan oleh pelaku pasardomestik dengan menukar uang Rp ke USD karena menurunnya tingkat kepercayaan pada mata uang Rupiah.

6 Fenomena flight to quality didefinisikan sebagai kegiatan lindung nilai (hedging) yang dilakukan oleh pelaku pasardomestik dengan mengalihkan simpanan aset yang dimilikinya di bank-bank domestik ke simpanan di bank asingyang dirasa lebih berkualitas. Hal ini dilakukan karena merosotnya tingkat kepercayaan pelaku pasar terhadap kredibilitasbank-bank domestik.

Page 33: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

97Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis

masih kuat, terutama disebabkan oleh bantuan likuiditas otoritas moneter sebagai the lender

of l ast r esort kepada perbankan yang terkena bank run. Tekanan inflasi moneter tersebut

sedikit banyak dapat di o ff-set oleh menurunnya tekanan permintaan agregat pasca

Ramadhan, Lebaran, dan panic buying. Penurunan tekanan permintaan agregat ini selain

disebabkan oleh menurunnya konsumsi, juga disebabkan oleh mulai terasanya credit crunch

dalam sistem perbankan sehingga dana tidak mengalir ke sektor riil. Bersamaan dengan

itu pula otoritas moneter melakukan pengetatan moneter dengan melakukan adjustment

tingkat suku bunga policy anchor (SBI) agar sesuai dengan ekspektasi inflasi di pasar

keuangan.

Di pertengahan triwulan II/1998 laju inflasi IHK diwarnai pula oleh tekanan inflatoir

yang lebih bersifat struktural. Tekanan struktural pertama adalah energy price shock yang

disebabkan oleh kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Tekanan struktural terus

meningkat ketika perekonomian memasuki triwulan III/1998, terutama dibulan Juni dan

Juli 1998 yang ditandai oleh harga-harga bahan kebutuhan pokok yang melonjak, terutama

beras, gula, minyak goreng, dan komoditas derivatifnya. Kenaikan harga beras disebabkan

oleh menurunnya kualitas dan kuantitas produksi beras karena mahalnya harga pupuk

dan pestisida yang merupakan komoditi impor. Kenaikan harga gula disebabkan oleh

dinaikkannya harga perolehan gula di Bulog. Sedangkan kenaikan harga minyak goreng

disebabkan oleh berkurangnya pasokan minyak goreng domestik karena CPO banyak

terserap ke pasar ekspor. Di bulan Agustus , tekanan inflatoir pada komoditas sembako

masih tetap kuat, terutama karena permasalahan disisi distribusi yang diwarnai oleh

tindakan spekulatif pelaku pasar. Untuk menurunkan tekanan struktural tadi, sepanjang

bulan September 1998 pemerintah telah mencoba berbagai kebijakan proaktif untuk

menyelesaikan persoalan-persoalan di sisi distribusi. Tampaknya kebijakan di sisi distribusi

tersebut cukup berhasil, terutama dalam kaitannya dengan distribusi beras.

Selain tekanan struktural, dinamika inflasi setelah triwulan I /1998 juga diwarnai

oleh kuatnya tekanan noise inflation, yaitu gejolak temporer pada harga-harga. N oise

terpenting terjadi di bulan Februari dan Mei 1998. Di bulan Februari demand shock berupa

panic buying telah menyebabkan hilangnya berbagai stock barang dipasaran karena

pengusaha r etail tidak memperhitungkan panic buying dalam inventory order nya. Di bulan

Mei kerusuhan sosial yang melanda 5 kota industri utama di Indonesia menyebabkan

terganggunya pasokan barang dengan rusaknya sebagian besar pusat-pusat kegiatan usaha.

Di triwulan II dan III / 1998 laju inflasi yang disebabkan oleh ekspansi moneter

tampak mulai menurun sebagai akibat konsistensi otoritas moneter dalam menerapkan

tingkat suku bunga tinggi. Upaya tersebut mampu menurunkan laju inflasi secara bertahap

seiring dengan ketatnya likuiditas di sektor riil.

Page 34: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

98 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Proses Pembentukan Ekspektasi Inflasi

A. Expectation Loops

Ekspektasi inflasi merupakan dinamika interaksi antara laju inflasi, ketidakpastian dan gejolak

harga. Dihipotesakan bahwa terdapat perubahan rangkaian jalinan interaksi antara laju inflasi,

ketidakpastian , dan gejolak harga dalam masa sebelum dan sepanjang krisis. Berikut adalah pengujian

dari masing-masing interaksi tersebut.

Loop I : Interaksi antara Gejolak Harga dan Ketidakpastian Harga

Analisa keterkaitan antara laju inflasi IHK dengan gejolak dan ketidakpastian harga

menunjukkan bahwa pembentukan ekspektasi inflasi mengikuti pola tmbal balik yang

self-reinforcing (expectation loops). Expectation loops ini diawali dengan adanya gejolak harga-

harga yang ditunjukkan oleh conditional variance series inflasi IHK yang mengalami

peningkatan karena meningkatnya weighted mean dan standard deviation 7 . Pada grafik 2

dibawah dapat dilihat bahwa pada periode sebelum krisis, pergerakan laju inflasi IHK

cenderung berada di seputar kecenderung jangka panjangnya. Dimasa krisis, perilaku ini

mengalami perubahan, dimana terlihat deviasi laju inflasi IHK yang cukup besar dari

kecenderungannya. Gejolak mulai terlihat di bulan Januari 1998 ketika nilai tukar Rp/

USD terdepresiasi secara besar-besaran. Setelah itu terjadi panic buying yang menyebabkan

terjadinya agregat demand shock melalui konsumsi di bulan Februari 1998. Laju inflasi

kemudian menurun lebih dari setengahnya di bulan Maret 1998 yang menyebabkan terjadi

gejolak harga berikutnya. Di bulan Juli, Agustus, dan September kenaikan harga Sembako

Grafik 2. Laju Inflasi IHK, Gejolak Harga,dan Trend Inflasi IHK (12 MA)

-4

0

4

8

12

16

96:07 97:01 97:07 98:01 98:07

Laju Inflasi IHK 12 Moving Average Gejolak Harga

7 Conditional variance diukur sebagai deviasi laju inflasi IHK bulanan terhadap angka inflasi IHK 12 Bulan MovingAverage.

Page 35: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

99Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis

menyumbang pada gejolak harga fase berikutnya sehingga laju inflasi IHK cenderung masih

menjauh dari kecenderungan jangka panjangnya.

Peningkatan pada moments pertama dan kedua diatas, kemudian diikuti pula oleh

peningkatan moments ketiga (skewness) dan moments keempat (kurtosis). De ngan

membandingkan dua histogram pada grafik 3, terlihat bahwa laju inflasi dimasa krisis

memiliki nilai kurtosis yang lebih tinggi dari pada sebelum krisis. Hal ini menandakan

bahwa laju inflasi dimasa krisis cenderung berada pada rata-rata yang lebih tinggi dengan

standar deviasi yang juga tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa laju inflasi IHK di masa

krisis cenderung bergejolak pada tingkat yang inflatoir.

Meningkatnya gejolak inflasi IHK diatas selanjutnya menyebabkan pula meningkatnya

ketidapastian laju inflasi IHK 8. Ketidakpastian laju inflasi IHK ini ditaksir sebagai proses

E-GARCH dari persamaan IHK dan unsur konstantanya dan disebut sebagai unconditional

variance laju inflasi IHK9. Meningkatnya unconditional variance mencerminkan ketidakpastian

harga (price uncertainty) yang meningkat. Observasi grafis (grafik 4) sepanjang krisis moneter

menunjukkan bahwa gejolak harga berjalan searah dengan ketidakpastian harga kecuali

pada bulan April 1998 dimana gejolak harga yang cenderung menurun diikuti oleh

ketidakpastian yang meningkat. . Penjelasan kualitatif mengenai kejanggalan ini antara lain

disebabkan oleh meningkatnya gejolak sosial-politik di berbagai daerah di Indonesia.

0

5

10

15

20

-1 0 1 2

Series: CONDVARSample 1990:07 1997:06Observations 83

Mean 0.083768Median -0.079362Maximum 2.513384Minimum -1.443192Std. Dev. 0.679748Skewness 1.019805Kurtosis 4.264144

Jarque-Bera 19.91331Probability 0.000047

0

5

10

15

20

25

30

-2 0 2 4 6 8 10

Series: CONDVARSample 1990:07 1998:09Observations 98

Mean 0.426577Median 0.031697Maximum 11.35202Minimum -1.788550Std. Dev. 1.556924Skewness 4.243783Kurtosis 27.69573

Jarque-Bera 2784.498Probability 0.000000

Grafik 3. Frekuensi Distribusi Conditional Variance Series Inflasi IHKPeriode 06/1990 - 06/1997 vs. 06/1990 - 09/1998

Sebelum Krisis Sepanjang Krisis

8 Kajian serupa dilakukan pula oleh Kearns, Jonathan. Behavior of Inflation. Internal Note, unpublished, RBA.9 Unconditional variance ditaksir sebagai proses E-GARCH dengan 1 bulan lag dari residu persamaan CPI = Konstan +

Residual, dimana CPI adalah laju inflasi bulanan IHK. Untuk referensi dapat dilihat Engle Robert F., dan Ng, K.Victor. Measuring and Testing The Impact of News on Volatility, The Journal of Finance, Vol. XLVIII, No.5, Dec.1993. Proses serupa dilakukan oleh McTaggart, Doug. The Cost of Inflation in Australia, Proceedings of a Conference,RBA.

Page 36: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

100 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Uji Pairwise Granger Causality 10 mengenai keterkaitan antara gejolak dan ketidakpastian

harga menunjukkan bahwa hubungan kausalitas berlangsung dua arah antara gejolak dan

ketidakpastian dalam dinamika laju inflasi IHK pada observasi yang memasukkan periode

krisis moneter (lihat Tabel 1) . Hal ini bertolak-belakang dengan hasil pengujian pada observasi

yang mengeluarkan bulan-bulan krisis moneter. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa terdapat

expectation loop antara gejolak dan ketidakpastian, dimana meningkatnya gejolak i nflatoir pada

laju inflasi IHK akan menyebabkan ketidakpastian harga yang selanjutnya akan menambah

pada gejolak i nflatoi r, dan seterusnya berulang. Adapun besarnya kekuatan hubungan dalam

expectation loop antara gejolak dan ketidakpastian ditaksir dengan melakukan regresi linier

sederhana antara keduanya ditambah dengan komponen persisten ( lag) dari kedua variabel

tersebut. Hasil regresi linier menunjukkan bahwa tekanan ketidakpastian harga ke gejolak

harga cenderung lebih mendominasi expectation loop, dibandingkan dengan arus balik dari

gejolak ke ketidakpastian. Hal ini ditunjukkan oleh lebih besarnya persentase adjusted R-

squared dan n et-effect dari koefisien pada persamaan (lihat tabel 2).

Grafik 4. Gejolak , Ketidakpastian Harga , dan Laju Inflasi IHKSepanjang Krisis Moneter

-4

0

4

8

12

16

96:01 96:07 97:01 97:07 98:01 98:07

Ketidakpastian Harga Gejolak Harga Laju Inflasi IHK

10 Metodologi Pairwise Granger Causality dapat ditemui pada Enders, Walter E. Applied Econometrics Time Series, hal.315 , Granger Causality.

Page 37: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

101Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis

Tabel 1. Pairwise Granger Causality Testantara Gejolak dan Ketidakpastian Harga

Sampel : 06/1990 - 06/1997 (Diluar Krisis Moneter)

Hipotesa Nol Obs F-Stat Prob.

Ketidakpastian G ejolak 79 0.34 0.71

Gejolak Ketidakpastian 0.85 0.43

Sampel : 06/1990 - 09/1998 (Ditambah Krisis Moneter)

Hipotesa Nol Obs F-Stat Prob.

Ketidakpastian G ejolak 94 6.18 0.305

Gejolak Ketidakpastian 5.45 0.00585

Tabel 2. Hasil Regresi Linier Kekuatan PengaruhAntara Gejolak dan Ketidakpastian Harga

(Model Persamaan dengan Persistensi)

Variabel Endogen

Gejolak Ketidakpastian

Gejolak 0 .36 (Lag -1) 0.85

Ketidakpastian 1.01 -0.35 (Lag -1)

Adj. R-Squared 90% 86%

Net Effect Koefisien 1.37 0.5

Berdasarkan temuan diatas diperoleh tiga implikasi, yaitu (1) di masa krisis spiral

ekspektasi inflasi akan lebih menggelembung jika terdapat ketidakpastian harga ,

dibandingkan jika spiral diawali oleh gejolak harga, (2) jika ekspektasi diawali oleh gejolak

harga belum tentu terjadi penggelembungan laju inflasi, dan (3) ketidakpastian harga

merupakan trigger point dalam upaya menghambat spiral inflasi.

Loop II : Interaksi Antara Ketidakpastian dan Laju Inflasi

Self-reinforcing expectation loop yang kedua adalah antara ketidakpastian harga-harga

dan laju inflasi. Adanya ketidak pastian harga dimasa krisis menyebabkan para pelaku

ekonomi menjadi sulit untuk menentukan harga, sehingga penyesuaian harga lintas industri

(relative price adjustment) sulit dilakukan dan cenderung menjadi sangat bervariasi. Dalam

ketidakpastian tersebut, pengusaha akan cenderung menimbun barang (commodity hoarding)

atau menaikkan harga sehingga mendorong kenaikan laju inflasi lebih lanjut. Kenaikan

laju inflasi kemudian akan kembali mempengaruhi ketidakpastian harga sehingga terjadi

self-reinforcing loop.

Page 38: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

102 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Hasil uji Granger Causality antara ketidakpastian harga dan laju inflasi memberi

konfirmasi terhadap pernyataan-pernyataan diatas (lihat tabel 3) .Dapat dilihat bahwa pada

periode sebelum krisis moneter, laju inflasi yang tinggi dapat menyebabkan ketidakpastian

harga-harga akan tetapi tidak sebaliknya. Hal ini antara lain disebabkan kurang sensitifnya

daya beli konsumen terhadap tindakan spekulasi maupun penyesuaian kenaikan harga.

Sehingga, ketidakpastian harga menjadi kurang berperan dalam proses looping. Akan tetapi

dimasa krisis, terdapat indikasi yang sangat kuat bahwa ketidakpastian harga-harga

menyumbang pada tekanan inflasi, dan sebaliknya. Hal ini memberi petunjuk adanya

penyesuaian harga keatas yang kurang terkoordinasi secara lintas industri yang berakibat

pada kegiatan spekulasi dan kelangkaan barang. Kemudian, seiring dengan meningkatnya

laju inflasi terjadi akumulasi ketidakpastian harga yang selanjutnya diterjemahkan menjadi

ketidakpastian harga yang berkelanjutan. Spiral yang terjadi kemudian membentuk s elf-

reinforcing loop.

Tabel 3. Pairwise Granger Causality Testantara Laju Inflasi dan Ketidakpastian Harga

Sampel : 06/1990 - 06/1997 (Diluar Krisis Moneter)

Hipotesa Nol Obs F-Stat Prob.

Ketidakpastian Laju Inflasi 83 0.186 0.83

Laju Inflasi Ketidakpastian 4.34 0.0163

Sampel : 06/1990 - 09/1998 (Ditambah Krisis Moneter)

Hipotesa Nol Obs F-Stat Prob.

Ketidakpastian Laju Inflasi 98 9.00 0.00027

Laju Inflasi Ketidakpastian 7.79 0.00074

Seperti yang juga telah dilakukan diatas, untuk melihat perbandingan tekanan

antara laju inflasi dan ketidakpastian harga-harga dalam expectation loop, dilakukan regresi

linier sederhana antara laju inflasi dan ketidakpastian harga, dan sebaliknya. Estimasi

persamaan menunjukkan bahwa ketidakpastian harga-harga mendominasi expectation loop

antara kedua variabel, dimana ne t-effect pengaruh kenaikan laju inflasi pada ketidakpastian

harga adalah 0.33% untuk setiap 1% kenaikan laju inflasi, sebaliknya untuk setiap 1%

kenaikan ketidakpastian harga akan diikuti oleh kenaikan laju inflasi sebesar 1.59% (lihat

tabel 4) .

Page 39: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

103Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis

Tabel 4. Hasil Regresi Linier Kekuatan PengaruhAntara Ketidakpastian Harga dan Laju Inflasi

(Model Persamaan dengan Persistensi)

Variabel Endogen

Laju Inflasi Ketidakpastian

Laju Inflasi 0.52 (Lag -1) 0.78

Ketidakpastian 1.07 - 0.45 (Lag -1)

Adj. R-Squared 98% 89%

Net Effect Koefisien 1.59 0.33

Implikasi hasil statistik pada loop II ini dalam masa krisis ada tiga, yaitu: (1)

ketidakpastian harga-harga akan meningkatkan laju inflasi, (2) laju inflasi yang didorong oleh

ketidak pastian harga akan kembali menambah pada ketidakpastian harga, dan seterusnya,

sehingga (3) spiral inflasi dapat melambat hanya jika ketidakpastian harga dikurangi.

Interaksi Antara Laju Inflasi dan Gejolak Harga

Hasil pengujian Pairwise Granger Causality pada bulan-bulan yang memasukkan krisis

moneter, menunjukkan bahwa tidak terdapat self reinforcing loop antara laju inflasi dan

gejolak harga. Pada observasi yang mengeluarkan krisis moneter terlihat bahwa hanya

terdapat hubungan satu arah antara laju inflasi dan gejolak harga (lihat tabel 5) 11 .

Tabel 5. Pairwise Granger Causality Testantara Laju Inflasi dan Gejolak Harga

Sampel : 06/1990 - 06/1997 (Diluar Krisis Moneter)

Hipotesa Nol Obs F-Stat Prob.

Gejolak Laju Inflasi 79 0.37 0.69

Laju Inflasi Gejolak 2.78 0.06

Sampel : 06/1990 - 09/1998 (Ditambah Krisis Moneter)

Hipotesa Nol Obs F-Stat Prob.

Gejolak Laju Inflasi 94 0.71 0.49

Laju Inflasi Gejolak 0.27 0.76

11 Mengingat hasil uji kausalitas yang menolak adanya self reinforcing loop dari inflasi ke gejolak harga dan sebaliknya,maka tidak dilakukan estimasi regresi linier .

Page 40: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

104 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Berdasarkan hasil pengujian-pengujian untuk melihat interaksi antara gejolak harga,

ketidakpastian dan laju inflasi diatas, secara umum diperoleh gambaran bahwa proses

pembentukan inflasi dalam periode sebelum krisis dan termasuk masa krisis mengalami

perubahan. Sebelum terjadi krisis, tidak ditemui adanya self reinforcing expectation loops

pembentukan ekspektasi inflasi, sebaliknya dimasa krisis hal tersebut ada (lihat diagram

1a dan 1b).

Diagram 1a. Dinamika Ekspektasi Inflasi IHK Sebelum Krisis

Diagram 1b. Expectation Loops Dimasa Krisis

B. Backward Looking Expectation

Analisa mengenai dinamika ekspektasi inflasi backward didasarkan pada asumsi

bahwa ekspektasi inflasi pelaku ekonomi secara umum bereaksi terhadap komponen-

komponen berikut: (1) pengaruh laju inflasi historis terhadap laju inflasi bulan berjalan

(inertia) 12, (2) dinamika historis level kurs nilai tukar Rp/USD, dan (3) kredibilitas historis

disinflationary policy pemerintah 13 .

Inertia di Masa Krisis

Observasi sekilas terhadap data inflasi IHK Indonesia dengan menggunakan dua

periode yaitu periode diluar krisis moneter (06/1990 - 06/1997) dan periode yang

memasukkan krisis moneter (06/1990 - 09/1998) menunjukkan bahwa kadar i nertia dalam

series inflasi IHK telah meningkat sepanjang krisis moneter . Hal ini ditunjukkan oleh

meningkatnya persistensi laju inflasi IHK pada periode observasi yang memasukkan krisis

Laju Inflasi Ketidakpastian Harga Gejolak Harg a

G e jo la k H arg a-H a rga K e ti d a k p a sti an H a rga L a ju I

12 Wignall, Adrian Blundell, Lowe P. , dan Tarditi, A. Inflation, Indicators, and Monetary Policy, dalam Inflation,Disinflation, dan Monetary Policy, Proceedings of a Conference, RBA, 1992.

13 Studi yang sama dilakukan pula of Bank of Canada hanya kredibilitas pada penelitian BoC dimasukkan sebagai komponenendogen dalam model forward looking , lihat: Maclean, Dinah. Incorporating Credibility in Forward Looking Models:Some Examples with QPM. Bank of Canada.

Page 41: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

105Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis

moneter. Tabel 6 menampilkan angka-angka autocorrelation 14 dalam dua periode observasi.

Tujuh kelompok angka teratas menunjukkan bahwa sebelum krisis moneter persistensi

inflasi IHK sangatlah lemah, dimana i nertia inflasi hanya disebabkan oleh laju inflasi satu

bulan yang lalu. Dilain pihak, pada observasi yang memasukkan krisis moneter terlihat

bahwa persistensi ( inertia) inflasi dapat diterangkan oleh laju inflasi itu sendiri sampai

tujuh bulan l ag. Selanjutnya, tekanan inflasi satu bulan yang lalu pada observasi yang

memasukkan periode krisis moneter menunjukkan pula bahwa i nertia setelah adanya krisis

meningkat dari 0.22 ke 0.73. Hal ini berarti 73% dari inflasi dimasa krisis diterangkan oleh

inflasi 1 bulan yang lalu, sedangkan dimasa sebelum krisis hanya 22% inflasi bulan

berlangsung diterangkan oleh inflasi bulan sebelumnya.

Observasi mengenai angka partial autocorrelation laju inflasi IHK sebelum dan

sepanjang krisis moneter, memperlihatkan kuatnya i nertia sampai tujuh bulan l ags dimasa

krisis dalam membentuk informasi dalam laju inflasi bulan berjalan, ceteris paribus. Hal

ini ditunjukkan oleh tingginya Q-Statistics correlogram pada periode ini. Sebaliknya, dimasa

sebelum krisis perbedaan yang mendasar terlihat pada angka Q-Statistics yang cenderung

jauh lebih rendah. Selain itu, di masa sebelum krisis, partial autocorrelation pada l ag 3 bulan

tidak relevan dalam menerangkan laju inflasi bulan berjalan.

Tabel 6 . Aucorrelation dalam Series Inflasi IHKPeriode 06/1990 - 06/1997 vs. 06/1990 - 09/1998

AC PAC Q-Stat Prob

1 0.220 0.220 4.2425 0.039 2 -0.086 -0.140 4.8941 0.087 3 0.067 0.128 5.2982 0.151 4 -0.203 -0.287 9.0518 0.060 5 -0.258 -0.120 15.227 0.009 6 0.009 0.038 15.234 0.019 7 -0.110 -0.156 16.373 0.022

AC PAC Q-Stat Prob

1 0.731 0.731 55.045 0.000 2 0.521 -0.028 83.331 0.000 3 0.474 0.220 106.91 0.000 4 0.409 -0.021 124.73 0.000 5 0.420 0.212 143.70 0.000 6 0.359 -0.126 157.69 0.000 7 0.181 -0.207 161.28 0.000

SebelumKrisis

SepanjangKrisis

14 Autocorrelation di definisikan sebagai keterkaitan secara statistik antara suatu angka terhadap angka-angka sebelumnya,yang sekaligus menandakan bahwa persentase tertentu pada angka saat ini terjadi karena informasi-informasi yangmelekat pada angka masa lalu terbawa ke masa kini (inertia). Lihat Enders, W. E. Applied Econometrics Time Series,Bab. 2. Stationary Time Series Models, Sub-bab 5 Autocorrelation Function, Willey & Sons, New York, 1995. Lihatjuga Sandy, R. Statistics for Business and Economics, McGraw Hill, New York, 1990, sub-bab 15.3 Autoregressiveand Moving Average Models.

Page 42: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

106 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Fenomena kuatnya i nertia dimasa krisis kiranya memberi penjelasan adanya

perubahan dinamika ekspektasi inflasi dalam perekonomian. Dimasa krisis terlihat bahwa

masyarakat lebih sensitif terhadap perkembangan inflasi (inflation conscious) sehingga

laju inflasi historis dapat secara signifikan menyumbang pada pembentukan ekspektasi

inflasi masyarakat dimasa datang.

Gambaran umum mengenai i nertia dan sumbangannya dalam proses pembentukan

ekspektasi inflasi oleh pelaku ekonomi selanjutnya membawa analisa lebih jauh lagi pada

proyeksi ekspektasi inflasi kedepan dengan model persamaan i nertia. Dengan model

persamaan ini ekspektasi inflasi pelaku ekonomi dibentuk oleh proses autoregressive moving

average, dimana pelaku ekonomi melihat pergerakan laju inflasi pada bulan-bulan yang

lalu dan melakukan koreksi terhadap kesalahan prediksi yang mereka lakukan. Oleh karena

itu untuk memperoleh angka-angka pembentuk taksiran ekspektasi inflasi pelaku ekonomi,

maka dicari suatu persamaan univariate ARIMA yang b est-fi t.Dari penelitian diperoleh

bahwa laju inflasi IHK (CPI, I(1)) dengan proses α + β1 CPI(t-1) + β2 CPI(t-2) + β3 CPI(t-3)

+ εt + MA(1) adalah model yang cukup baik dalam menerangkan perilaku laju inflasi pada

bulan berlangsung 15. Dapat dilihat pada grafik 7 bahwa i nertia laju inflasi IHK masih sangat

kuat. Oleh karena itu, walaupun terjadi penurunan laju inflasi IHK secara bertutur-turut

di triwulan III / 98, ekspektasi laju inflasi bulanan yang terbentuk dari proses i nertia ini

cenderung masih tetap kuat sampai akhir 1999, dengan rata-rata kisaran laju inflasi bulanan

sebesar kurang lebih 4 – 4.5%.

Grafik 7. Laju Inflasi IHK Aktual dan InertiaSampai dengan Desember 1999

15 Hasil ekonometri dari persamaan ini dapat dilihat pada Annex-2

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

93 94 95 96 97 98 99

Laju Inflasi IHK Inertia

Page 43: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

107Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis

Ekspektasi Kurs Nilai Tukar Rp/USD Historis

Komponen kedua dari ekspektasi inflasi backward looking adalah ekspektasi kurs

nilai tukar yang didasarkan pada perilaku historis kurs nilai tukar Rupiah terhadap USD.

Sejalan dengan semakin terbukanya perekonomian nasional, maka rentanitas laju inflasi

terhadap gejolak eksternal menjadi lebih lebih tinggi. Sebagaimana telah diketahui bersama,

dengan dilepasnya band intervensi maka pergerakan kurs nilai tukar Rp/USD menjadi

tidak terbatas dan sepenuhnya ditentukan oleh pasar. Perkembangan ini merupakan

gejolak terbuka yang langsung berpengaruh pada harga-harga barang impor dan

selanjutnya meningkatkan sensitifitas imported inflation. Fluktuasi imported inflation tersebut

selanjutnya akan tercermin sebagai first-stage pass through apresiasi USD pada harga-harga

barang tradeables.

Pada perkembangan berikutnya kenaikan harga karena first-stage pass-through akan

memberi tekanan second - stage pass through yang tercermin dari pergerakan inflasi barang-

barang nontradeables ( barang-barang yang dipro duksi dan dikonsumsi secara domestik) .

Second - stage pass through tersebut berasal dari dua arah, yaitu (1) upward price adjustment

yang dilakukan oleh para pengusaha karena naiknya harga input yang terkait dengan nilai

tukar, dan (2) upward wage adjustment yang dilakukan oleh para pekerja di sektor informal

yang tidak terikat oleh ketentuan upah minimum regional (UMR), untuk menyesuaikan

dengan kenaikan biaya hidup.

Ekspektasi inflasi yang mempertimbangkan perilaku historis kurs nilai tukar Rp/

USD secara kuantitatif diukur sebagai proses distributed lags perubahan kurs Rp/USD

bulanan dengan koreksi pelaku ekonomi terhadap kesalahan prediksi kursnya.

Pembentukan ekspektasi kurs itu sendiri ditunjukkan oleh pelaku ekonomi yang terlibat

dalam proses adaptive 1 bulan kebelakang dan learning sepanjang 2 bulan kebelakang 16 .

Sehingga, taksiran ekspektasi kurs Rp/USD secara backward looking adalah sama dengan

proses ARMA (1,0,2). Hasil yang diperoleh berdasarkan taksiran dengan proses ARMA

(1,0,2) tersebut adalah ekspektasi level kurs Rp/USD yang cenderung melemah pada bulan-

bulan kedepan. Sampai dengan akhir Semester II / 1999 kurs Rp/USD ditaksir mendekati

Rp 7,000 / 1USD.

Secara teoritis, seiring dengan ekpektasi akan melemahnya nilai tukar Rp/USD,

tekanan first dan second stage pass-through juga diekspektasikan masih akan kuat sehingga

ekspektasi inflasi dengan menggunakan ekspektasi kurs backward looking cenderung akan

meningkat. Dengan berasumsi bahwa pelaku ekonomi akan melihat n et-effects dari level

nilai tukar Rp/USD dalam membentuk ekspektasi inflasinya, maka hasil estimasi

16 Hasil estimasi ekonometri dapat dilihat di Annex - 3

Page 44: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

108 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi backward looking dibentuk oleh perubahan kurs nilai

tukar sampai 4 bulan kebelakang 17 . Grafik 8 menampilkan ilustrasi ekspektasi inflasi sampai

akhir 1999 berdasarkan taksiran ekspektasi kurs backward looking tadi. Ternyata, walaupun

terdapat ekspektasi depresiasi Rp/USD laju inflasi IHK tetap diramalkan akan menurun

oleh pelaku pasar. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh masih adanya built-in

expectation pelaku pasar bahwa walaupun secara backward looking akan terjadi depresiasi

kurs Rp/USD tapi pemerintah akan berupaya menstabilisasi gejolaknya, sehingga depresiasi

tersebut akan predictable seperti pada masa masih ada band intervensi.

Kredibilitas Kebijakan Disinflasi Pemerintah

Kemampuan pemerintah dalam mengendalikan inflasi mencerminkan kredibilitas

pemerintah yang selanjutnya dijadikan ukuran ekspektasi inflasi oleh pelaku ekonomi.

Ekspektasi inflasi berdasarkan kredibilitas pemerintah tersebut berasumsi bahwa: (1) pelaku

ekonomi melihat sejarah keberhasilan kebijakan pengendalian inflasi oleh pemerintah dan

memantau policy stance pemerintah dalam mengendalikan inflasi, dan (2) pelaku ekonomi

merevisi ekspektasi selaras dengan observasi historisnya mengenai keberhasilan pemerintah

dalam mengendalikan inflasi. Dengan asumsi demikian, maka dapat ditaksir suatu besaran

yang mencerminkan kredibilitas disinflationary policy oleh pemerintah. Grafik 9 menyajikan

17 Hasil ekonometri lihat Annex-4

-4

0

4

8

12

16

93 94 95 96 97 98 99

Laju Inflasi IHK Ekspektasi Inflasi

Grafik 8. Laju Inflasi IHK Aktual dan Ekspektasi Inflasidengan Ekspektasi Depresiasi Rp/USD Backward Looking

Page 45: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

109Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis

suatu ukuran kredibilitas disinflationary policy pemerintah, yang dihitung dengan

mengurangi laju inflasi aktual dengan target inflasi pemerintah. Untuk periode 1990-1997

target inflasi adalah target Repelita sebesar rata-rata 5% per tahun yang dibagi secara merata

selama 12 bulan dan untuk tahun 1998 digunakan target APBN 1998/1999 sebesar 47%

per tahun yang didistribusikan sepanjang 12 bulan.

Dapat dilihat pada grafik bahwa sepanjang periode yang memasukkan krisis moneter,

kredibilitas pemerintah tampaknya menurun seiring dengan meningkatnya deviasi laju

inflasi aktual dari target. Hal ini terutama terlihat di triwulan IV/1997 ketika laju inflasi

IHK berada diatas target. Sepanjang semester I / 1998 kredibilitas pemerintah menurun

tajam di bulan Februari 1998 ketika panic buying melanda pasar barang-barang konsumsi.

Setelah itu kredibilitas pemerintah membaik. Ketika harga Sembako melonjak tajam sejak

Juni 1998, kredibilitas pemerintah sempat memburuk di bulan Agustus, untuk kemudian

membaik lagi di bulan Sempember 1998. Memasuki Triwulan IV/1998 kredibilitas

pemerintah tampaknya akan semakin membaik seiring dengan menurunnya deviasi laju

inflasi dari target.

Berdasarkan ukuran kredibilitas diatas, taksiran terhadap efek kredibilitas pada

ekspektasi inflasi backward looking dilakukan dengan berasumsi bahwa revisi ekpektasi

pelaku ekonomi mengikuti observasi autoregressive terhadap kinerja pemerintah dalam

mengendalikan inflasi. Selanjutnya, berdasarkan ekspektasi pelaku ekonomi mengenai

kemampuan pemerintah mengatasi krisis harga, ditaksir ekspektasi inflasi pelaku ekonomi

kedepan. Persamaan liniear menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi terbentuk dari pengamatan

historis pelaku ekonomi terhadap keberhasilan kebijakan disinflasi pemerintah sampai empat

-4

0

4

8

12

16

96:01 96:07 97:01 97:07 98:01 98:07

Kredibilitas Pemerintah Laju Inflasi IHK Target

Grafik 9. Laju Inflasi IHK, Perceived Target Inflasi,dan Kredibilitas Pemerintah

Page 46: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

110 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

bulan kebelakang dan revisi kesalahan prediksi pelaku ekonomi. Dari grafik dibawah ini tampak

bahwa ekspektasi inflasi pelaku ekonomi sepanjang triwulan IV/1998- I/1999 cenderung membaik

yang menunjukkan bahwa pelaku ekonomi cenderung percaya bahwa pemerintah akan

melakukan a l l out efforts untuk menurunkan laju inflasi 18

Grafik 10. Laju Inflasi IHK Aktual dan Ekspektasi Inflasi Dimana Pelaku Ekonomi Melihat Disinflationary Policy Pemerintah

C. Forward Looking Expectation

Dengan berasumsi bahwa ekspektasi inflasi forward looking dibentuk oleh para pelaku pasar

di pasar keuangan domestik dan valuta asing, maka indikator yang digunakan sebagai proksimasi

ekspektasi inflasi adalah y ield spread dipasar keuangan dan forward rate Rp/USD di pasar valuta

asing. Perkembangan yield spread di pasar keuangan menunjukkan ekspektasi pelaku pasar

terhadap discount nilai asset karena ekspektasi inflasi. Sedangkan, perkembangan fo rward rate d i

pasar valuta asing menunjukkan selisih suku bunga dalam dan luar negeri serta menunjukkan

adanya ekspektasi level nilai tukar dimasa yang akan datang. Dengan semakin meningkatnya

peranan nilai tukar dalam perekonomian nasional, maka pelaku ekonomi cenderung mengkaitkan

pergerakan inflasi dengan ekspektasi perkembangan nilai tukar.

Untuk mentaksir besarnya koefisien pembentuk besarnya ekspektasi inflasi forward looking

maka disusun dua persamaan linier yang menyatakan bahwa laju inflasi IHK aktual adalah fungsi

dari forward rate Rp/USD 12 bulan yang berlaku dipasar forward saat ini dan fungsi dari yield spread

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

92 93 94 95 96 97 98 99

Laju Inflasi IHK Ekspektasi Inflasi

18 Untuk hasil ekonometri lihat Annex-5

Page 47: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

111Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis

di pasar keuangan. Selanjutnya berdasarkan koefisien yang diperoleh dilakukan replikasi sampai

September 1999 dengan menggunakan yield spread dan forward rate sejak Oktober 1997 sampai

September 1998 19 .

Pada grafik dibawah dapat dilihat ekspektasi inflasi yang terjadi di pasar keuangan (grafik

11a) dan pasar valas (grafik 11b), terlihat bahwa pada masa sebelum krisis moneter, ekspektasi

inflasi tersebut cenderung dapat mentaksir dengan baik inflasi yang akan terjadi. Akan tetapi

sepanjang krisis moneter, ekspektasi inflasi pada masing-masing pasar cenderung ikut bergejolak

seiring dengan ketidakpastian harga-harga di pasar komoditas.

19 Untuk hasil ekonometri lihat Annex-6

Grafik 11b. Laju Inflasi IHK dan Ekspektasi Inflasi di Pasar Valas

Grafik 11a. Laju Inflasi IHK dan Ekspektasi Inflasidi Pasar Keuangan

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

97:01 97:07 98:01 98:07 99:01 99:07

Laju Inflasi IHK Ekspektasi Inflasi

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

97:01 97:07 98:01 98:07 99:01 99:07

Laju Inflasi IHK Ekspektasi Inflasi

Page 48: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

112 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Selanjutnya, khusus untuk angka estimasi forward rate tampaknya masih terkandung

unsur linear correlation dan multicolinierity dalam hasil ekonometri. Untuk itu dilakukan

Pengujian Granger Causality guna melihat kenyataan empiris hubungan kausalitas antara

laju inflasi dan forward rate di pasar valas. Hasil pengujian menunjukkan bahwa dimasa

krisis hubungan kausalitas antara laju inflasi IHK dan forward rate dipasar valas berlangsung

dua arah sampai 12 bulan lag. Walaupun begitu, hubungan kausalitas dari laju inflasi ke

forward rate cenderung jauh lebih kuat. Pada masa sebelum krisis moneter hubungan

kausalitas berlangsung dua arah dengan l ag yang berbeda, yaitu pada l ag 3, 4, dan 5 bulan

dari forward rate ke laju inflasi dan kausalitas sebaliknya pada l ag 10 dan 11 bulan. Hal ini

berarti pula bahwa setiap upaya disinflationary yang berhasil akan mengalami proses f eed-

through ke pasar valas yang menopang stabilisasi nilai tukar Rp/USD 20 .

D. Ekspektasi Inflasi

Dengan hasil-hasil ekspektasi inflasi yang diperoleh melalui forward dan backward looking

dapat diperoleh suatu ukuran rata-rata tidak terbobot (unweighted average) dari kelima

komponen pembentuk ekspektasi inflasi. Selanjutnya dilakukan proses pembobotan ulang

dengan metode neural network untuk mengakomodasi bounded rationality para pelaku ekonomi

dimasa krisis yang penuh ketidakpastian 21. Setting neuron logsismoid dilakukan sebagai proses

pengaruh kelima komponen pada rata-rata tidak terbobot ekspektasi inflation (Neuron Net

CPI e = Neuron (Inertia, Kurs Rp/USD, Kredibilitas Pemerintah, Yield Spread, Forward Rate Rp/

USD) Desain transformasi logsismoid ini mengikuti pola dimana setiap neuron akan masuk

kedalam hidden neuron dimana terjadi backpropagation learning untuk menangkap euphoria pelaku

pasar. Hasil yang diperoleh adalah bobot dari masing-masing komponen dalam menyumbang

pada ketidakpastian harga-harga, sebagaimana yang ditunjukkan di tabel dan grafik berikut:

Tabel 7. Bobot Setelah Melalui Proses Neural Network

Bobot : Ekspektasi Inflasi Karena:

Proses Backward Looking

0.26180 Kredibilitas Kebijakan Disinflasi

0.21305 Backward Exchange Rate Expectation

0.20608 Inertia

Proses Forward Looking :

0.19691 Yield Spread

0.12216 Forward Rate

20 Hasil ekonometri dapat dilihat di Annex-721 Metodologi neural network dapat dilihat di Annex-8

Page 49: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

113Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis

Dapat dilihat pada tabel diatas, kredibilitas pemerintah memegang peranan penting

dalam menentukan pembentukan ekspektasi inflasi masyarakat, disusul kemudian oleh

ekspektasi kurs Rp/USD secara historis dan inertia inflasi IHK. Kesemua komponen ini

adalah komponen ekspektasi inflasi backward looking. Forward rate Rp/USD dan yield spread,

yang merupakan komponen ekspektasi forward looking ternyata secara total hanya berperan

sebesar 32% dalam pembentukan ekpektasi inflasi. Sehingga ekspektasi inflasi backward

looking menyumbang 68% dalam proses pembentukan ekspektasi inflasi.

Pada grafik 12 dapat dilihat pergerakan dari simulasi ekspektasi inflasi yang diperoleh

dengan membobot ulang setiap komponen pembentuknya. Ekspektasi Inflasi cenderung

mendekati laju inflasi aktual sebagaimana dicerminkan oleh besarnya adjusted r-squared sebesar

0.99, c oeffi cient correlation r sebesar 0.99, dan rendahnya mean absolut error yaitu 0.087 (tabel 7).

Tabel 8. Hasil - Hasil Proses Neural Network

R squared: 0.9936 r squared: 0.9940

Mean squared error: 0.014 Mean absolute error: 0.087

Min. absolute error: 0.001 Max. absolute error: 0.426

Correlation coefficient r: 0.9970

Hasil neural network ini menunjukkan bahwa komponen-komponen pembentuk

ekspektasi backward dan forward looking diatas dapat mewakili prediksi arah pembentukan

ekspektasi inflasi di masyarakat. Ditinjau dari masing-masing komponen, kredibilitas

pemerintah dalam upaya untuk mencapai target inflasi cenderung menjadi benchmark bagi

pelaku ekonomi dalam membentuk ekspektasi inflasi kedepan. Menurunnya kredibilitas

pemerintah cenderung meningkatkan ekspektasi inflasi sebagaimana yang terilustrasi dalam

periode Juli – Desember 1997 dan Januari serta Agustus 1998.

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

Jan-

95

Apr

-95

Jul-9

5

Oct

-95

Jan-

96

Apr

-96

Jul-9

6

Oct

-96

Jan-

97

Apr

-97

Jul-9

7

Oct

-97

Jan-

98

Apr

-98

Jul-9

8

Oct

-98

Jan-

99

Apr

-99

Jul-9

9

Laju Inflasi IHK

Ekspektasi Inflasi (Weighted)

Grafik 12. Laju Inflasi IHK Aktual dan Ekspektasi Inflasi

Page 50: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

114 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa secara umum:

♣ Perilaku pelaku ekonomi dalam pembentukan ekspektasi inflasi mengalami perubahan

dari masa sebelum krisis dan sepanjang krisis. Dalam periode sebelum krisis, proses

pembentukan ekspektasi tidak terdapat interaksi timbal balik antara gejolak harga,

ketidakpastian harga, dan laju inflasi. Sementara itu, dalam periode sepanjang krisis

terdapat interaksi timbal balik (loop ekspektasi) antara gejolak harga, ketidakpastian,

dan laju inflasi yang bersifat self-reinforcing. Ketidakpastian harga merupakan faktor

terpenting dalam proses loop ekspektasi dimasa krisis, yang merupakan faktor pemicu

pembentukan ekspektasi inflasi.

♣ Ekspektasi inflasi juga dapat dibentuk oleh proses backward dan forward looking.

Komponen pembentuk ekspektasi inflasi backward looking adalah : kredibilitas pemerintah,

inertia (inflasi secara historis), dan ekspektasi kurs Rp/USD. Sedangkan komponen

pembentuk ekspektasi inflasi forward looking adalah yield spread dan forward rate RP/

USD. 68 % pembentukan ekspektasi inflasi dimasa krisis mengikuti pola backward looking,

dimana pelaku ekonomi mempelajari dan merevisi ekspektasinya berdasarkan

pengalaman di masa lalu. Sehingga, inflasi yang tinggi dimasa lalu cenderung

membentuk ekspektasi inflasi yang masih tetap tinggi dimasa mendatang, demikian

pula sebaliknya.

♣ Kredibilitas pemerintah merupakan komponen utama dalam menentukan ekspektasi

inflasi masyarakat. Semakin tinggi deviasi keberhasilan disinflationary policy pemerintah

dari inflasi yang ditargetkan, maka semakin tinggi ekspektasi inflasi masyarakat.

Menurunnya kredibilitas pemerintah ditunjukkan oleh temuan bahwa dituntut adanya

lima bulan konsistensi keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan inflasi dimasa

krisis agar ekspektasi inflasi bisa menurun .

♣ Nilai tukar Rp/USD secara historis merupakan acuan masyarakat dalam mengantisipasi

inflasi dimasa mendatang, walaupun demikian terdapat indikasi kuat bahwa ekspektasi

depresiasi nilai tukar Rp/USD di pasar forward dibentuk dengan mempertimbangkan

ekspektasi inflasi historis.

♣ Dimasa krisis laju inflasi secara historis kuat mempengaruhi pembentukan ekspektasi

inflasi pelaku ekonomi. Dengan demikian inflasi yang masih tetap tinggi akan cenderung

membentuk ekspektasi inflasi yang masih tinggi.

♣ Jika pengendalian inflasi dimasa krisis dapat menurunkan harga secara berkelanjutan

selama lima bulan berturut-turut, maka yang akan terjadi adalah downward spiral inflasi

yang menurunkan tekanan laju inflasi dan selanjutnya dapat menopang perbaikan kurs

nilai tukar Rp/USD dipasar valas.

Page 51: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

115Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis

Implikasi Kebijakan

Struktural

Perkembangan pengendalian inflasi sampai dengan akhir triwulan III /1998

tampaknya menunjukkan arah yang membaik. Keberhasilan pengendalian inflasi tersebut

telah meningkatkan kredibilitas pengendalian inflasi oleh pemerintah, sehingga ekspektasi

inflasi backward looking dari sisi kredibilitas akan cenderung menurun. Jika pemerintah

berhasil menurunkan laju inflasi lebih lanjut di bulan Oktober 1998 melalui kebijakan

struktural yang lebih komprehensif seperti anatara lain memperbaiki sistem distribusi bahan

pokok dalam jangka pendek dan stabilitas keamanan, maka kepastian harga akan lebih

mudah tercapai. Oleh karena itu agenda pemerintah dalam jangka pendek (3-4 bulan

kedepan) adalah mengutamakan perbaikan sisi distribusi bahan kebutuhan pokok.

Selanjutnya di bulan November dan Desember 1998 seiring dengan datangnya bulan

Ramadhan pemerintah perlu mempertahankan harga sembako agar tidak kembali

bergejolak dengan meningkatkan supply produk-produk utama dalam kelompok sembako

(beras, gula, minyak goreng, daging, telur, dan susu). Jika target jangka pendek diatas

tercapai, maka dapat diantisipasi bahwa akan ada downward spiral inflasi diawal 1999 melalui

self-reinforcing expectation loop karena penurunan laju inflasi dan meningkatnya kredibilitas

pemerintah dimata masyarakat. Dalam jangka panjang pemerintah perlu terus

mengupayakan pengembangan sektor pertanian, termasuk agribisnis baik yang berorientasi

ekspor maupun untuk pasokan dalam negeri.

Moneter

Kendati dari hasil simulasi ekspektasi inflasi dimasa mendatang telah menunjukkan

penurunan akan tetapi masih tetap berada pada tingkat yang tinggi. Oleh karena itu, otoritas

moneter harus terus memantau inflasi khususnya yang bersumber dari fenomona moneter

dalam perekonomian. Selanjutnya, mengingat pembentukan inflasi IHK dalam jangka

pendek tidak semata-mata merupakan fenomena moneter, namun juga dibentuk oleh

fenomena di sisi supply, maka otoritas moneter perlu memilah-milah sumber-sumber

penyebab inflasi. Otoritas moneter dapat menggunakan simulasi ini sebagai salah satu

alternatif benchmark dalam menetapkan target inflasi dan kebijakan moneter dimasa

mendatang dengan mempertimbangkan l ag kebijakan moneter ke inflasi. Disamping itu

stabilitas nilai tukar juga harus tetap mendapat perhatian dalam upaya menunjang

penurunan ekspektasi inflasi masyarakat.

Secara umum, Bank Indonesia perlu mempertimbangkan koordinasi penurunan

ekspektasi inflasi backward looking melalui masukan-masukan untuk perbaikan struktural

di sisi penawaran kepada pemerintah c.q departemen terkait. Penurunan ekspektasi inflasi

Page 52: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

116 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

tersebut selanjutnya akan ter-transmisi dalam forward rate Rp/USD dipasar valas yang

kemudian dengan sendirinya akan menurunkan ekspektasi inflasi lebih lanjut. Jika terdapat

indikasi bahwa feed through tersebut dapat mempertahankan nilai tukar Rp/USD pada

level yang sustainable, maka untuk kedepannya Bank Indonesia perlu mengumumkan

kepada masyarakat hal -hal berikut untuk preemptive disinflationary policy dalam

mengendalikan inflasi: (1) jenis-jenis tekanan inflasi yang berada diluar jangkauan Bank

Indonesia (escape clause) dalam pengendalian inflasi moneter yang perlu segera diambil

alih oleh pemerintah c.q. departemen terkait melalui supply side policy, (2) menetapkan

target band inflasi akibat fenomena moneter serta indikator pemantaunya (leading indicator),

dan (3) jenis-jenis kebijakan moneter yang akan diambil oleh Bank Indonesia bila tekanan

inflasi dari sisi moneter mulai mengarah keluar diatas band.

Daftar Pustaka

King, Marvyn, Do Inflation Targets Work?, Address to the Center for Economic Policy

Research.

Griliches, Zvi, Distribution Lags : A Survey, Econometrica, Vo. 35, No. 1, January 1967

Bomfim, A. dan Brayton, F., Long Run Inflation Expectation and Monetary Policy, BIS.

Dillen, H. dan Hopkins, E., Forward Interest Rates and Inflation Expectations: The Role of

Regime Shift Premia and Monetary Policy, BIS.

H unt, B., Conway, P., dan Scott, A., Exchange Rate Effects and Inflation Targeting in A

Small Open economy, a Stochastic Analysis Using FPS, BIS.

Ireland, Peter N., Long Term Interest Rates and Inflation: A Fisherian Approach, FRB of

Richmond.

Kandel, S. , Ofer, A. dan Sarig, O., Real Interest Rates and Inflation: An Ex Ante Empirical

Analysis, The Journal Of Finance, Vol 11, No. 1, March 1986.

De Brouwer, G. dan Ericsson, N., Modelling Inflation in Australia, RBA.

McKibbin, W., Which Monetary Policy Regime for Australia, RBA.

Cecchetti, S., Distingushing Theories of The Monetary Transmission Mechanism, FRB of

St. Louis.

Cecchetti, S., Inflation Indicators and Inflation Policy, Ohio State Univ.

Dwyer, J. dan Lam, R., Explaining Import Price Inflation: A Recent History of Second

Stage Pass Through, RBA.

Page 53: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

117Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis

Gruen, D. dan Dwyer, J., Are Terms of Trade Rises Inflationary?, RBA.

Hakim, L. dan Solikin., Model Inflasi dengan Pendekatan Neural Network, Kertas Keja

Staff, BI.

Lin, W., Impulse Response Function for Conditional Volatility in GARCH Models, Journal

of Business and Economic Statistics, January 1997.

O’Connor , M. Hill, T., Neural Network Models for Time Series Forecast, Institute for

Operation Research and Management Sciences.

Romalis, J., Gruen, D. dan Chandra, N., The Lags of Monetary Policy, RBA.

Santoso, W., Karakteristik Inflasi di Indonesia, UREM, BI.

Haslag, J., Monetary Aggregates and The Rate of Inflation, FRB of Dallas.

Simatupang, P., Diagnosa Penyebab Inflasi Dari Sisi Sektor Riil: Tinjauan Eksploratif,

IPB.

Annex

I. Mengukur Taksiran Laju Inflasi Alternatif dan Indicator of Policy Severity

1. Inflasi Karena Kurs dan Uang Beredar

Untuk mengukur taksiran laju inflasi alternatif digunakan metode regresi linier

sederhana dengan persamaan-persamaan berikut:

(1) CPI = FX(-1) + FX(-2) + FX(-3) + FX(-4) + MA(1) , untuk ukuran laju inflasi yang

disebabkan oleh perubahan bulanan kurs nilai tukar Rp/USD, dimana CPI adalah

laju inflasi IHK bulanan , FX adalah perubahan kurs Rp/USD bulanan, (L) adalah

lag operator, dan MA(1) adalah satu bulan koreksi terhadap kesalahan prediksi.

(2) CPI = Base(-1) + Base(-2) + Base(-3) + Base(-4) + MA(1) , untuk ukuran laju inflasi

yang disebabkan oleh pertumbuhan bulanan base money, dimana CPI adalah laju

inflasi IHK bulanan, Base adalah pertumbuhan bulanan base money , (L) adalah

lag operator, dan MA(1) adalah satu bulan koreksi terhadap kesalahan prediksi.

Berdasarkan kedua persamaan diatas diperoleh hasil ekonometri sebagai berikut:

Page 54: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

118 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Persamaan (1) Persamaan (2)

Dengan diperolehnya parameter-parameter persamaan diatas selanjutnya ditaksir ukuran

laju inflasi yang disebabkan oleh perubahan bulanan kurs Rp/USD dan pertumbuhan

bulanan base money. Untuk itu dilakukan in-sample (static) forecast pada kedua persamaan.

Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:

Laju Inflasi Karena Perubahan Bulanan Kurs Rp/USD (CPIKURS)

Laju Inflasi Karena Pertumbuhan Bulanan Uang Beredar (CPIBASE)

D e pen den t V aria b le : C P IM eth od: Le as t S qu are sS a m ple (ad jus ted ): 199 0:11 1 998 :09Inc lu ded o bse rva tio ns : 95 a fte r ad ju s ting en dp o in tsC o nverge nce a ch ie ved a fte r 5 ite ra tio nsB a ckca s t: 19 90 :1 0

V a ria b le C o effic ie n t S td . E rro r t-S ta tis tic P rob .

C 0 .67 702 7 0 .13 888 7 4 .87 466 4 0 .00 00F X (-1 ) 7 .98 102 4 0 .63 231 6 12 .6 218 8 0 .00 00F X (-2 ) 5 .27 248 8 0 .65 547 8 8 .04 373 0 0 .00 00F X (-3 ) 4 .06 307 1 0 .66 391 3 6 .11 988 7 0 .00 00F X (-4 ) 4 .08 788 9 0 .60 434 3 6 .76 418 6 0 .00 00M A (1) 0 .58 062 0 0 .09 442 7 6 .14 889 6 0 .00 00

R -squ are d 0 .84 069 7 M ea n de pen den t va r 1 .23 173 2A d jus ted R -sq uared 0 .83 174 8 S .D . d ep end ent var 1 .97 968 7S .E . o f reg re ss ion 0 .81 203 9 A ka ike in fo c r ite rion 2 .48 253 9S u m squa re d re s id 58 .6 872 8 S ch w arz c rite r ion 2 .64 383 6Lo g like lih ood -1 11 .9 206 F -s ta tis tic 93 .9 370 2D u rb in -W a tso n s ta t 1 .95 874 6 P rob(F -s ta tis tic ) 0 .00 000 0

Inve rted M A R oots - .5 8

B reu sch-G odfrey S e ria l C o rre la tion L M T es t:

F -s ta tis tic 0 .07 069 0 P roba b ility 0 .79 095 6O bs*R -squ are d 0 .07 624 2 P roba b ility 0 .78 245 6

D ependent Variab le : C PIM ethod: Least SquaresSam ple(adjus ted): 1990:10 1998:09Included observations: 96 after ad justing endpointsC onvergence achieved after 8 iterationsBackcast: 1990:09

Variab le C oeffic ient S td. E rror t-Statis tic Prob.

C 0.253030 0.315018 0.803226 0.4240BASE(-1) 10.05948 2.313997 4.347231 0.0000BASE(-2) 15.30522 3.637498 4.207623 0.0001BASE(-3) 11.55207 3.644199 3.169990 0.0021BASE(-4) 7 .402633 2.339336 3.164416 0.0021

M A(1) 0 .774237 0.067076 11.54264 0.0000

R -squared 0.595983 M ean dependent var 1 .229649Adjusted R-squared 0.573538 S.D . dependent var 1 .969346S.E . o f regress ion 1.286063 Akaike in fo criterion 3.401510Sum squared res id 148.8562 Schw arz criterion 3.561781Log like lihood -157.2725 F-s ta tis tic 26.55262D urb in-W atson s tat 1 .865567 Prob(F-statis tic) 0 .000000

Inverted M A Roots -.77

Breusch-G odfrey Seria l C orre la tion LM Test:

F -s ta tistic 0 .644135 Probability 0 .424355O bs*R-squared 0.689801 Probability 0 .406232

-4

0

4

8

12

91 92 93 94 95 96 97 98

CPIBASE ± 2 S.E.

Forecast: CPIBASEActual: CPISample: 1990:10 1998:09Include observations: 96

Root Mean Squared Error 1.245225Mean Absolute Error 0.851097Mean Abs. Percent Error 241.2239Theil Inequality Coefficient 0.297043 Bias Proportion 0.000000 Variance Proportion 0.186663 Covariance Proportion 0.813337

-5

0

5

10

15

20

91 92 93 94 95 96 97 98

CPIKURS ± 2 S.E.

Forecast: CPIKURSActual: CPISample: 1990:11 1998:09Include observations: 95

Root Mean Squared Error 0.785978Mean Absolute Error 0.565180Mean Abs. Percent Error 167.3564Theil Inequality Coefficient 0.175155 Bias Proportion 0.000000 Variance Proportion 0.057874 Covariance Proportion 0.942126

Page 55: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

119Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis

2. Laju Inflasi Karena Permintaan Agregat (Underlying Inflation)

Laju inflasi karena permintaan agregat (underlying inflation) di ukur dengan berasumsi

bahwa outliers dalan histogram bulanan keranjang inflasi IHK adalah noise yang bersifat

temporer dan tidak mencerminkan tekanan riil dari sisi permintaan ageregat. Oleh karena

itu untuk mengukur laju underlying inflation, dilakukan pemangkasan terhadap keranjang

inflasi IHK secara bulanan. Hasil uji statistik tentang ukuran underlying inflation yang paling

efisien (robust) menunjukkan bahwa pemangkasan sebesar 17.5% pada kedua t ails histogram

bulanan keranjang inflasi IHK adalah nilai kritikal yang terbaik 22 .

Berdasarkan metode pemangkasan diperoleh suatu taksiran underlying inflation

sebagaimana yang ditunjukkan oleh grafik berikut. Selisih antara laju inflasi aktual dengan

underlying inflation adalah temporary disturbances (noise) dalam keranjang inflasi IHK.

Noise, Underlying Inflation,dan Laju Inflasi IHK Aktual

3. Indicator of Policy Severity

Indicator of Policy Severity (IPS) adalah indikator yang menunjukkan stance kebijakan

moneter sepanjang waktu. Grafik indikator yang meningkat menunjukkan stance kebijakan

moneter yang ketat, sedangkan grafik yang menurun menunjukkan stance yang l oose. Untuk

menyusun indikator ini digunakan rumus berikut IPS = ((C - Mean C) / Stdev. C) - ((D - Mean

D) / Stdev. D), dimana IPS adalah indicator of policy severity, C adalah tingkat suku bunga riil

jangka pendek, dan D adalah spread antara suku bunga jangka panjang dan pendek nominal.

IPS Indonesia disusun dengan menggunakan policy anchor Bank Indonesia, yaitu SBI

30 hari sebagai proksi dari C, dan spread antara suku bunga deposito 1 dan 24 bulan sebagai

proksi dari D. Masing komponen pembentuk IPS ini diilustrasikan pada grafik berikut.

22 Lihat hasil penelitian mengenai “Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter”, Program Kerja UREM1997-1998.

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

1993 1994 1995 1996 1997 1998

Noise Underlying Inflation Laju Inflasi IHK Aktual

Page 56: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

120 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Komponen-Komponen Pembentuk IPS

Dengan menggunakan komponen-komponen diatas dan rumus IPS, telah disusun

IPS Indonesia sebagaimana yang diilustrasikan oleh grafik berikut:

Indicator of Policy Severity

Dapat dilihat pada grafik diatas pada periode 1990 - 1995 kebijakan moneter di

Indonesia secara riil berada pada kondisi l oose, kemudian memasuki 1996 sampai

pertengahan 1997 stance kebijakan moneter adalah t ight. Diera krisis, kebijakan moneter

secara riil adalah sangat loose.

0

20

40

60

80

1993 1994 1995 1996 1997 1998

Suku Bunga Deposito 1 bln.

12

14

16

18

20

1993 1994 1995 1996 1997 1998

Suku Bunga Deposito 24 bln.

0

1

2

3

4

5

6

1993 1994 1995 1996 1997 1998

Suku Bunga SBI Riil

-20

0

20

40

60

1993 1994 1995 1996 1997 1998

Spread Nominal

-5

-4

-3

-2

-1

0

1

2

1993 1994 1995 1996 1997 1998

Indicator of Policy Severity

Page 57: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

121Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis

II. Mengukur Ekspektasi Dengan Inertia

Static (in-sample) Forecast Dynamic (out-sample) Forecast

III. Mengukur Ekspektasi Kurs Secara Backward Looking

IV. Mengukur Ekspektasi Inflasi Dengan Kurs Rp/USD Backward Looking

D e p e n d e n t V a r ia b le : C P IM e th o d : L e a s t S q u a re s

S a m p le (a d ju s te d ): 1 9 9 0 :0 9 1 9 9 8 :0 9In c lu d e d o b s e rv a t io n s : 9 7 a fte r a d ju s t in g e n d p o in tsC o n v e rg e n c e a c h ie v e d a fte r 1 0 ite ra t io n sB a c k c a s t: 1 9 9 0 :0 8

V a r ia b le C o e ff ic ie n t S td . E rro r t-S ta t is t ic P ro b .

C 0 .1 1 2 4 9 4 0 .1 2 1 8 4 3 0 .9 2 3 2 6 6 0 .3 5 8 3C P I(-1 ) 1 .1 0 9 6 7 0 0 .2 9 0 6 8 6 3 .8 1 7 4 1 7 0 .0 0 0 2C P I(-2 ) -0 .4 4 7 5 2 1 0 .2 2 9 5 2 9 -1 .9 4 9 7 3 4 0 .0 5 4 3C P I(-3 ) 0 .2 8 7 3 0 9 0 .1 1 7 0 9 2 2 .4 5 3 7 0 7 0 .0 1 6 0M A (1 ) -0 .4 2 6 4 7 0 0 .2 9 7 7 1 7 -1 .4 3 2 4 6 8 0 .1 5 5 4

R -s q u a re d 0 .5 9 2 9 6 7 M e a n d e p e n d e n t v a r 1 .2 2 2 2 7 3A d ju s te d R -s q u a re d 0 .5 7 5 2 7 0 S .D . d e p e n d e n t v a r 1 .9 6 0 4 0 9S .E . o f r e g re s s io n 1 .2 7 7 6 2 4 A k a ik e in fo c r ite r io n 3 .3 7 8 0 5 2S u m s q u a re d re s id 1 5 0 .1 7 3 8 S c h w a rz c r i te r io n 3 .5 1 0 7 6 9L o g l ik e lih o o d -1 5 8 .8 3 5 5 F - s ta t is t ic 3 3 .5 0 6 4 7D u rb in -W a ts o n s ta t 1 .9 7 1 2 6 3 P ro b (F -s ta t is t ic ) 0 .0 0 0 0 0 0

In v e r te d M A R o o ts .4 3

B re u s c h -G o d fre y S e r ia l C o r re la t io n L M T e s t:

F - s ta t is tic 0 .5 1 2 2 6 5 P ro b a b il ity 0 .4 7 5 9 9 3O b s * R -s q u a re d 0 .5 4 2 7 2 6 P ro b a b il ity 0 .4 6 1 3 0 5

-5

0

5

10

15

91 92 93 94 95 96 97 98 99

CPIINERTIA ± 2 S.E.

Forecast: CPIINERTIAActual: CPISample: 1990:09 1999:12Include observations: 97

Root Mean Squared Error 1.244260Mean Absolute Error 0.700671Mean Abs. Percent Error 184.2119Theil Inequality Coefficient 0.293556 Bias Proportion 0.000003 Variance Proportion 0.130410 Covariance Proportion 0.869587

-2

0

2

4

6

8

10

98:11 99:01 99:03 99:05 99:07 99:09 99:11

CPIINERTIA ± 2 S.E.

Dependent Variable: KURSMethod: Least Squares

Sample(adjusted): 1990:07 1998:09Included observations: 99 after adjusting endpointsConvergence achieved after 5 iterationsBackcast: 1990:05 1990:06

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -30.86472 98.54914 -0.313191 0.7548KURS(-1) 1.044889 0.029699 35.18241 0.0000

MA(2) -0.351087 0.114627 -3.062848 0.0028

R-squared 0.899528 Mean dependent var 2993.688Adjusted R-squared 0.897435 S.D. dependent var 2537.881S.E. of regression 812.7748 Akaike info criterion 16.26862Sum squared resid 63417883 Schwarz criterion 16.34726Log likelihood -802.2967 F-statistic 429.7472Durbin-Watson stat 2.056268 Prob(F-statistic) 0.000000

Inverted MA Roots .59 -.59

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.227553 Probability 0.634440Obs*R-squared 0.236500 Probability 0.626746

-10000

-5000

0

5000

10000

15000

20000

25000

97:07 98:01 98:07 99:01 99:07

KURSF ± 2 S.E.

Forecast: KURSFActual: KURSSample: 1997:06 1999:12Include observations: 16

Root Mean Squared Error 5352.285Mean Absolute Error 4073.550Mean Abs. Percent Error 41.65763Theil Inequality Coefficient 0.451403 Bias Proportion 0.572912 Variance Proportion 0.410126 Covariance Proportion 0.016962

D ep e n de n t V aria b le : C P IM e th o d: L e as t S q ua re s

S a m p le(a d jus te d ): 1 9 9 0:11 19 9 8:0 9In c lud e d o b se rv ation s : 95 a fte r ad ju s tin g en d p oin tsC on v e rg e n ce a c h ieve d a fte r 5 itera tio n sB a c kc a s t: 19 9 0 :1 0

V a riab le C oe ff ic ie n t S td. E rro r t-S tatis t ic P ro b.

C 0 .5 8 0 47 7 0 .1 2 8 52 8 4 .5 1 6 34 4 0 .0 0 0 0F X 2 .3 3 0 36 9 0 .5 4 3 63 2 4 .2 8 6 66 5 0 .0 0 0 0

F X (-1 ) 9 .0 3 9 90 5 0 .5 9 6 26 2 1 5 .1 6 09 6 0 .0 0 0 0F X (-2 ) 5 .4 3 2 36 9 0 .5 9 9 21 2 9 .0 6 5 85 9 0 .0 0 0 0F X (-3 ) 4 .2 7 4 00 1 0 .6 0 7 49 2 7 .0 3 5 48 8 0 .0 0 0 0F X (-4 ) 4 .1 5 6 79 9 0 .5 5 3 15 9 7 .5 1 4 65 3 0 .0 0 0 0M A (1 ) 0 .5 7 5 86 5 0 .0 8 7 16 6 6 .6 0 6 52 9 0 .0 0 0 0

R -s q u are d 0 .8 6 8 21 4 M ea n d e pe n d en t va r 1 .2 3 1 73 2A d ju sted R -s qu a red 0 .8 5 9 22 9 S .D . d e p en d e nt v ar 1 .9 7 9 68 7S .E . o f reg re s sio n 0 .7 4 2 76 8 A ka ik e in fo c r ite rio n 2 .3 1 3 96 3S u m s q u are d re s id 4 8 .5 5 00 1 S ch w a rz c rite r io n 2 .5 0 2 14 3L og lik e liho o d -1 02 .9 1 3 2 F -sta tis t ic 9 6 .6 2 51 3D urb in -W a ts o n sta t 1 .8 3 3 97 1 P ro b (F -s ta tis tic ) 0 .0 0 0 00 0

In ve rte d M A R o ots - .5 8

B re us c h -G od fre y S e ria l C o rre la tion L M T es t:

F -s ta tis tic 1 .6 1 9 49 5 P ro b a b ility 0 .2 0 6 55 3O b s *R -s qu a red 1 .7 3 6 09 4 P ro b a bility 0 .1 8 7 63 4

-5

0

5

10

15

20

91 92 93 94 95 96 97 98 99

CPIKURS ± 2 S.E.

Forecast: CPIKURSActual: CPISample: 1990:11 1999:12Include observations: 95

Root Mean Squared Error 0.714880Mean Absolute Error 0.518561Mean Abs. Percent Error 155.0220Theil Inequality Coefficient 0.158045 Bias Proportion 0.000000 Variance Proportion 0.041498 Covariance Proportion 0.958502

Page 58: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

122 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

V. Mengukur Ekspektasi Inflasi Dengan Kredibilitas Kebijakan Disinflasi

VI. Mengukur Ekspektasi Inflasi Forward Looking

1. Ekspektasi di Pasar Valas

2. Ekspektasi di Pasar Keuangan

D e p e n d e n t V a r ia b le : C P IM e th o d : L e a s t S q u a re sD a te : 1 0 /2 0 /9 8 T im e : 2 0 :5 3

In c lu d e d o b s e rv a t io n s : 9 6 a fte r a d ju s t in g e n d p o in tsC o n v e rg e n c e a c h ie v e d a fte r 8 ite ra t io n sB a c k c a s t: 1 9 9 0 :0 9

V a r ia b le C o e ffic ie n t S td . E rro r t-S ta tis t ic P ro b .

C 0 .2 4 8 7 7 7 0 .0 7 8 0 1 4 3 .1 8 8 8 8 4 0 .0 0 2 0C R E D M O N F 1 (-1 ) 0 .2 6 9 8 1 6 0 .0 4 1 7 8 2 6 .4 5 7 7 2 2 0 .0 0 0 0C R E D M O N F 1 (-2 ) 0 .1 9 1 0 4 1 0 .0 3 9 9 9 8 4 .7 7 6 2 9 7 0 .0 0 0 0C R E D M O N F 1 (-3 ) 0 .2 3 8 1 9 3 0 .0 4 3 2 5 0 5 .5 0 7 3 6 5 0 .0 0 0 0C R E D M O N F 1 (-4 ) 0 .1 9 4 1 6 7 0 .0 4 2 0 6 4 4 .6 1 6 0 2 4 0 .0 0 0 0

C R E D M O N F 1 1 .1 5 1 9 8 3 0 .0 5 0 7 8 2 2 2 .6 8 4 7 7 0 .0 0 0 0M A (1 ) 0 .6 1 7 2 8 5 0 .1 2 1 8 2 5 5 .0 6 6 9 6 1 0 .0 0 0 0

R -s q u a re d 0 .9 6 0 2 8 8 M e a n d e p e n d e n t v a r 1 .2 2 9 6 4 9A d ju s te d R -s q u a re d 0 .9 5 7 6 1 1 S .D . d e p e n d e n t v a r 1 .9 6 9 3 4 6S .E . o f re g re s s io n 0 .4 0 5 4 6 0 A k a ik e in fo c r ite r io n 1 .1 0 2 5 3 1S u m s q u a re d re s id 1 4 .6 3 1 3 8 S c h w a rz c r ite r io n 1 .2 8 9 5 1 4L o g lik e lih o o d -4 5 .9 2 1 4 7 F -s ta t is tic 3 5 8 .6 9 3 0D u rb in -W a ts o n s ta t 1 .8 5 4 7 4 8 P ro b (F -s ta tis t ic ) 0 .0 0 0 0 0 0

In v e rte d M A R o o ts - .6 2

B re u s c h -G o d fre y S e r ia l C o rre la tio n L M T e s t:

F -s ta t is tic 2 .0 7 4 6 2 2 P ro b a b ility 0 .1 5 3 3 1 5O b s *R -s q u a re d 2 .2 1 1 0 2 0 P ro b a b ility 0 .1 3 7 0 2 8

-4

0

4

8

12

16

91 92 93 94 95 96 97 98 99

CPICREDIBLE ± 2 S.E.

Forecast: CPICREDIBLEActual: CPISample: 1990:10 1999:12Include observations: 96

Root Mean Squared Error 0.472993Mean Absolute Error 0.312808Mean Abs. Percent Error 85.87972Theil Inequality Coefficient 0.105513 Bias Proportion 0.000009 Variance Proportion 0.129717 Covariance Proportion 0.870274

Dependent Variable: CPIMethod: Least Squares

Sample: 1990:06 1998:09Included observations: 100Convergence achieved after 8 iterationsBackcast: 1990:05

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.550246 0.430830 1.277179 0.2046MSWAP 0.719070 0.381734 1.883692 0.0626MA(1) 0.736816 0.069166 10.65293 0.0000

R-squared 0.484538 Mean dependent var 1.210365Adjusted R-squared 0.473910 S.D. dependent var 1.932518S.E. of regression 1.401695 Akaike info criterion 3.542782Sum squared resid 190.5806 Schwarz criterion 3.620937Log likelihood -174.1391 F-statistic 45.59043Durbin-Watson stat 1.614613 Prob(F-statistic) 0.000000

Inverted MA Roots -.74

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 7.071280 Probability 0.009179Obs*R-squared 6.860494 Probability 0.008812

-4

-2

0

2

4

6

8

10

91 92 93 94 95 96 97 98 99

CPISWAP ± 2 S.E.

Forecast: CPISWAPActual: CPISample: 1990:06 1999:09Include observations: 100

Root Mean Squared Error 1.380509Mean Absolute Error 0.780994Mean Abs. Percent Error 227.8152Theil Inequality Coefficient 0.350817 Bias Proportion 0.000001 Variance Proportion 0.322227 Covariance Proportion 0.677772

Dependent Variable: CPIMethod: Least Squares

Sample: 1990:06 1998:09Included observations: 100Convergence achieved after 8 iterationsBackcast: 1990:05

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.896955 0.212049 4.229941 0.0001MYIELD 1.137229 0.207733 5.474462 0.0000MA(1) 0.610007 0.081762 7.460785 0.0000

R-squared 0.578544 Mean dependent var 1.210365Adjusted R-squared 0.569854 S.D. dependent var 1.932518S.E. of regression 1.267452 Akaike info criterion 3.341435Sum squared resid 155.8242 Schwarz criterion 3.419590Log likelihood -164.0718 F-statistic 66.57722Durbin-Watson stat 2.060648 Prob(F-statistic) 0.000000

Inverted MA Roots -.61

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.306005 Probability 0.581428Obs*R-squared 0.317549 Probability 0.573085

-4

0

4

8

12

91 92 93 94 95 96 97 98 99

CPIYIELD ± 2 S.E.

Forecast: CPIYIELDActual: CPISample: 1990:06 1999:09Include observations: 100

Root Mean Squared Error 1.248296Mean Absolute Error 0.712391Mean Abs. Percent Error 199.3804Theil Inequality Coefficient 0.300050 Bias Proportion 0.000002 Variance Proportion 0.144799 Covariance Proportion 0.855199

Page 59: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

123Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis

VII. Uji Granger Causality antara Inflasi dan Forward Rate Rp/USD

1. Sepanjang KrisisLags: 1

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 87 6.31689 0.01387 ANCPI does not Granger Cause SWAP 46.2037 1.4E-09Lags: 2 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 86 0.88659 0.41602 ANCPI does not Granger Cause SWAP 20.7925 5.2E-08Lags: 3 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 85 3.46644 0.02013 ANCPI does not Granger Cause SWAP 18.5885 3.4E-09Lags: 4 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 84 4.95316 0.00134 ANCPI does not Granger Cause SWAP 35.5097 1.3E-16Lags: 5 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 83 4.45891 0.00135 ANCPI does not Granger Cause SWAP 26.0828 6.2E-15Lags: 6 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 82 2.71644 0.01992 ANCPI does not Granger Cause SWAP 20.7315 1.0E-13Lags: 7 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 81 2.47840 0.02540 ANCPI does not Granger Cause SWAP 19.7172 5.6E-14Lags: 8 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 80 2.83510 0.00940 ANCPI does not Granger Cause SWAP 16.8733 4.5E-13Lags: 9 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 79 2.36934 0.02301 ANCPI does not Granger Cause SWAP 17.3929 1.0E-13Lags: 10 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 78 2.69482 0.00892 ANCPI does not Granger Cause SWAP 14.9881 1.2E-12Lags: 11 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 77 2.16061 0.03081 ANCPI does not Granger Cause SWAP 13.3469 8.4E-12Lags: 12 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 76 2.07661 0.03564

ANCPI does not Granger Cause SWAP 11.5781 9.6E-11

Page 60: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

124 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

2. Sebelum Krisis

Lags: 1 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 72 1.52656 0.22082 ANCPI does not Granger Cause SWAP 0.04721 0.82864Lags: 2 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 71 2.14832 0.12477 ANCPI does not Granger Cause SWAP 1.04455 0.35759Lags: 3 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 70 4.02132 0.01108 ANCPI does not Granger Cause SWAP 0.95555 0.41934Lags: 4 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 69 2.69675 0.03908 ANCPI does not Granger Cause SWAP 0.46232 0.76307Lags: 5 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 68 2.49129 0.04143 ANCPI does not Granger Cause SWAP 0.52412 0.75701Lags: 6 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 67 1.87108 0.10272 ANCPI does not Granger Cause SWAP 0.39039 0.88202Lags: 7 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 66 1.49085 0.19164 ANCPI does not Granger Cause SWAP 0.48897 0.83818Lags: 8 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 65 1.46798 0.19392 ANCPI does not Granger Cause SWAP 1.31446 0.25923Lags: 9 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 64 1.27529 0.27652 ANCPI does not Granger Cause SWAP 1.75684 0.10382Lags: 10 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 63 1.33496 0.24411 ANCPI does not Granger Cause SWAP 1.81888 0.08676Lags: 11 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 62 1.36203 0.22939 ANCPI does not Granger Cause SWAP 1.77294 0.09308Lags: 12 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability SWAP does not Granger Cause ANCPI 61 1.24285 0.29361

ANCPI does not Granger Cause SWAP 1.51623 0.16350

Page 61: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

125Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis

VIII. Metodologi Neural Network

Neural network adalah alat analisa yang mereplikasi proses belajar otak manusia.

Asumsi yang mendasari analisa neural network adalah bounded rationality para pelaku

ekonomi, yaitu fakta bahwa kompleksitas lingkungan tidak dapat sepenuhnya dikalkulasi

oleh rasionalitas. Akibat dari bounded rationality tersebut adalah kecemasan jika lingkungan

dipenuhi oleh ketidakpastian yang kemudian diterjemahkan menjadi kepanikan (frentic

euphoria). Analisa dengan neural network mencoba menangkap gejala-gejala non-linier

tersebut.

Desain analisa dengan neural network adalah sebagai berikut 23 :

Neuron Input

X1

Output

Neuron Input Hidden Neuron Neuron X2

Neuron Input X3

Transformasi Threshold (ambang batas)Logsismoid

FungsiLogistik

Penjelasan dari desain diatas adalah sebagai berikut:

• Neuron-neuron input, x1, x2, x3, dan seterusnya adalah kombinasi linear dengan koefisien

dan bobot tertentu yang diperoleh dari estimasi secara linier. Dalam paper ini neuron-

23 Disadur dari : McNelis, Paul D. Money Demand, Finacial Distress, and Monetary Policy in Indonesia. GeorgetownUniversity, Department of Economics, April 1998. Unpublished research paper.

Page 62: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

126 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

neuron input adalah masing-masing ekspektasi inflasi yang diperoleh melalui estimasi

linier, yaitu eskpektasi inflasi karena: (1) inertia, (2) ekspektasi kurs Rp/USD, dan (3)

kredibilitas kebijakan disinflasi pemerintah, untuk ekspektasi yang terbentuk secara

backward looking. Untuk input neuron yang berasal dari ekspektasi inflasi yang

terbentuk secara forward looking adalah ekpektasi inflasi di pasar keuangan dan di pasar

valas. Sehingga, terdapat lima input neuron dalam desain neural network.

• Neuron-neuron input diatas selanjutnya dimasukkan kedalam hidden neuron dimana

terjadi transformasi logsismoid. Transformasi ini dimungkinkan oleh proses l ogistic

squashing untuk membentuk fungsi logsismoid sebagaimana yang diilustrasikan diatas.

• Setelah melalui proses transformasi, neuron input kemudian dikombinasikan dengan

neuron output, yaitu unweighted average dari input-input neuron. Dalam

pengkombinasian ini berlangsung proses backpropagation learning, yaitu proses belajar

untuk menghasilkan persamaan dengan error terendah. Secara ekonomis proses belajar

tersebut mengakomodir perilaku “Sargeant’s economic agent” yang dalam pilihan-pilihan

perilakunya terikat oleh bounded rationality 24 . Langkah-langkah dalam proses

backpropagation learning tersebut adalah sebagai berikut 25 :

⇒ Penentuan bobot awal dengan mengambil suatu sampel test set yang memberi

gambaran mengenai karakteristik awal hubungan antara neuron input dan

output.

⇒ Melakukan training terhadap seluruh observasi sampai tercapai e rror terendah.

⇒ Melakukan pembobotan ulang berdasarkan bobot-bobot yang diperoleh dari

training.

⇒ Menguji fi tness dari persamaan.

24 Sargent, Thomas J. Bounded Rationality in Macroeconomics. Oxford University Press, New York, 1993.25 Diproses dengan software NeuroShell 1.1.

Page 63: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

1Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia

FUNDAMENTAL EKONOMI, CONTAGION EFFECT DAN KRISIS ASIA

Endy Dwi Tjahjono* )

Tujuan dari paper ini meneliti faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya krisis Asia saat ini. Ada 2

faktor yang dibahas dalam paper ini, yaitu faktor fundamental ekonomi dan efek penularan (contagion effect).

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara fundamental ekonomi negara yang

terkena krisis dengan negara yang tidak terkena krisis. Perbedaan tersebut terutama terletak pada perilaku

defisit transaksi berjalan, pinjaman luar negeri, financial account, cadangan devisa, perbankan, dan kegiatan

ekspor-impor.

Untuk memperkuat analisa kondisi fundamental ekonomi negara-negara tersebut, dalam paper ini

dicoba pendekatan ‘early warning system currency crisis’ yang dikembangkan oleh Kaminsky dan Reinhart.

Hasilnya menunjukkan bahwa menjelang terjadinya krisis mata uang terjadi gejala overheating di kawasan

Asia. Namun, pendekatan tersebut gagal mengidentifikasi terjadinya krisis di Indonesia, serta terjadi banyak

‘bad-signal’ pada beberapa negara yang tidak terkena krisis, seperti Singapore dan Hongkong.

Selanjutnya diteliti juga peranan dari contagion effect dalam menimbulkan krisis. Hasil pengujian

membuktikan bahwa terjadinya suatu serangan mata uang di suatu negara secara signifikan mempengaruhi

pelaku pasar untuk melakukan serangan pada mata uang negara lain. Dengan kata lain, contagion effect

memegang peranan sebagai pemicu terjadinya krisis yang dialami negara-negara Asia saat ini.

Hasil penelitian ini menggaris bawahi perlunya dilakukan kerja sama yang lebih erat antar negara-

negara Asia dalam melakukan regional surveillance. Tujuan dari regional surveillance ini adalah untuk mendeteksi

secara dini kemungkinan terjadi krisis di suatu negara dan mencegah terjadinya contagion effect.

* ) Endy Dwi Tjahjono: Peneliti Ekonomi Yunior, Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, UREM, BI,email : [email protected]

Penulis mengucapkan terima kasih atas berbagai komentar dan tanggapan dari para peneliti di Bagian SEI-UREM BI,termasuk Sdr. Sjamsul Arifin, Ny. Hendy S., Sdr. Doddy Budi Waluyo, Sdr. Benny Siswanto dan Ny. Yati Kurniati.Penulis juga mendapatkan bantuan penyediaan data dari Sdr. Harmantha dan Sdr. Deddy Irianto.

Page 64: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

2 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Pendahuluan

Latar Belakang

P ada bulan Juli 1997, perekonomian Thailand mengalami kesulitan sebagai dampak

dari semakin membesarnya defisit transaksi berjalan selama 5 tahun terakhir. Kondisi

ini semakin diperberat oleh memburuknya kinerja perbankan Thailand akibat dililit kredit

macet yang semakin besar. Sebagai akibatnya, timbul krisis ekonomi yang ditandai dengan

jatuhnya nilai tukar Baht terhadap USD, capital outflows, dan krisis cadangan devisa.

Dalam waktu yang singkat, krisis ini ternyata merembet ke negara-negara ASEAN

lainnya, terutama Philippines, Malaysia, dan Indonesia. Sementara untuk negara industri

baru, yang dikenal dengan NIEs, walaupun mengalami serangan yang sama, ternyata

dampaknya berbeda. Korea adalah negara NIEs yang paling parah terkena krisis. Sementara,

negara NIEs lainnya, seperti Hongkong, Taiwan, dan Singapore, walaupun mengalami

depresiasi dan harga sahamnya sempat jatuh namun tidak sampai mengalami krisis yang

berkepanjangan.

Dalam menyikapi krisis keuangan tersebut, ada sebagian pendapat yang menyatakan

bahwa krisis diakibatkan oleh tekanan dari para pelaku pasar keuangan internasional

(spekulan). Sebagian yang lain menyatakan bahwa krisis lebih disebabkan oleh fundamental

ekonomi yang buruk.

Oleh karena itu, belajar dari pengalaman krisis saat ini, perlu dilakukan penelitian

untuk mengetahui faktor-faktor utama yang mendorong timbulnya krisis, agar kejadian

serupa tidak terulang lagi dikemudian hari.

Tujuan dan Metodologi

Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengukur seberapa besar kontribusi dari

sentimen pasar dan fundamental ekonomi dalam memicu terjadinya krisis mata uang.

Pembahasan difokuskan pada negara-negara kawasan Asia, khususnya negara

ASEAN-4 (Indonesia, Malaysia, Philippines, dan Thailand), negara-negara NIEs (Singapore,

Korea, Taiwan, dan Hongkong), dan Jepang menjelang dan selama terjadi krisis. Negara-

negara tersebut dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu negara yang terkena krisis dan negara

yang tidak terkena krisis. Suatu negara didefinisikan mengalami krisis mata uang apabila

nilai tukar riilnya (REER) mengalami perubahan yang sangat besar. Sebagai pembatas, dalam

paper ini digunakan rata-rata perubahan ditambah 3 standar deviasi. Disamping itu, negara

yang mengalami krisis mata uang umumnya ditandai dengan adanya perubahan kebijakan

mengenai sistem penetapan nilai tukar. Dari data REER bulanan yang dihitung oleh J.P.

Morgan selama 1970 - 1997 dengan indeks 1990=100 maka dapat disimpulkan bahwa negara-

Page 65: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

3Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia

negara yang terkena krisis meliputi Indonesia, Malaysia, Thailand, Philippines, dan Korea.

Negara yang tidak terkena krisis meliputi Singapore, Taiwan, Hongkong, dan Jepang.

Tabel 1

KLASIFIKASI EMERGING MARKET ASIA

Pembahasan diawali dengan mempelajari kondisi fundamental ekonomi, dengan

menekankan pada perbedaan kondisi ekonomi negara-negara yang terkena krisis dengan

negara-negara yang tidak terkena krisis. Untuk memperkuat analisis data, kondisi

fundamental ekonomi negara-negera tersebut juga dievaluasi dengan menggunakan sistem

deteksi dini yang dikembangkan oleh Kaminsky dkk.

Pembahasan dilanjutkan dengan menyusun model probit untuk mengukur besarnya

kontribusi dari faktor fundamental dan faktor contagion dalam menimbulkan krisis mata

uang yang terjadi saat ini.

Paper diakhiri dengan Implikasi kebijakan.

PERUBAHAN REER ( % ) PERUBAHAN KEBIJAKAN

NEGARA rata-rata st. deviasi perubahan 1997 NILAI TUKAR

NEGARA DALAM KRISIS

THAILAND 0,60 7,00 -31,00 Sistem nilai tukar diganti dari managed floating menjadi freefloating (Juli 97)

INDONESIA -0,30 12,50 -41,50 Mula-mula band intervensi diperlonggar dan akhirnya diubahdari managed floating menjadi free floating (Ags 97)

MALAYSIA -0,85 6,34 -24,00 Sistem nilai tukar diganti dari managed floating menjadi freefloating (Juli 97)

PHILIPPINES 1,87 8,50 -25,00 Sistem nilai tukar diganti dari managed floating menjadi freefloating (Juli 97)

KOREA -1,70 8,00 -33,00 Mula-mula band nilai tukar diperlonggar dan akhirnya diubahdari managed floating menjadi free floating (Des 97)

NEGARA TIDAK KRISIS SINGAPORE -0,20 7,50 -3,30 tidak ada perubahanHONGKONG 0,39 5,00 12,00 tidak ada perubahanTAIWAN 0,24 6,90 -0,22 tidak ada perubahanJEPANG 1,00 9,49 -0,80 tidak ada perubahan

Catatan : angka positip berarti mengalami overvalue, sebaliknya angka negatip mengalami undervalue.

Page 66: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

4 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Metodologi Penelitian

Mempelajari Kondisi Fundamental Ekonomi

8 Emerging Market Asia

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — -

1.Analisis Data

Tujuan : mempelajari soundness dari fundamental ekonomi 8 negara tersebut.

2. Menerapkan early warning system Kaminsky :

a. Mengumpulkan data-data 9 variabel ekonomi yang digunakan sebagai leading

indikator oleh Kaminsky. Periode 1990 - 1996.

b. Menghitung rata-rata dan standar deviasi selama masa tenang (1990 - 1994)

dari tiap indikator untuk masing-masing negara.

c. Menetapkan batas atas (=X + 3 s) dan batas bawah (=X - 3 s).

d. Memisahkan batas kontrol yang tidak relevan terhadap terjadinya krisis, seperti

batas atas untuk ekspor dan cadangan devisa.

e. Menghitung signal yang dikeluarkan tiap indikator. Indikator dikatakan

mengeluarkan signal apabila nilai indikator tersebut lebih besar dari batas atas

atau lebih kecil dari batas bawah.

f. Menganalisa signal-signal tersebut untuk mengetahui kondisi fundamental

ekonomi masing-masing negara.

Mengembangkan model probit untuk mengukur kontribusi dari faktor-faktor yang

mempengaruhi keputusan pelaku pasar melakukan serangan atau tidak.

A

Page 67: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

5Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia

A

Mengubah Kondisi Fundamental Ekonomi Suatu Negara Menjadi Besaran

Kuantitatif

a Menetapkan leading indikator yang dapat menunjukkan ‘soundness’ dari

kondisi fundamental ekonomi suatu negara, dalam kaitannya dengan resiko

krisis mata uang.

b. Menetapkan bobot dari masing-masing indikator.

c. Membagi suatu indikator menjadi 4 golongan resiko dan menetapkan range

nilai dari masing-masing golongan resiko. Untuk setiap golongan resiko

diberikan angka kredit tersendiri.

d. Mengelompokkan data perkembangan ekonomi suatu negara sesuai dengan

tingkat resikonya.

e. Menghitung total angka kredit dengan menggunakan bobot dari masing-

masing indikator.

Menyelesaikan model probit dengan menggunakan maksimum likelihood untuk

menghitung kontribusi dari faktor fundamental dan faktor contagion effect.

selesai

Page 68: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

6 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Faktor Fundamental Ekonomi

Faktor fundamental ekonomi merupakan faktor kunci dalam kaitan dengan krisis

mata uang. Para ahli sendiri dalam menyusun teori krisis mata uang mula-mula menduga

fundamental ekonomi sebagai satu-satunya penyebab terjadinya krisis. Teori ini, dikenal

sebagai teori generasi pertama, diperkenalkan oleh Krugman pada tahun 1979 dengan

mengatakan bahwa krisis mata uang disebabkan oleh fundamental ekonomi yang memburuk.

Setelah dikembangkan lebih lanjut oleh para peneliti lainnya, penelitian sampai pada

generasi kedua dengan ‘self-fulfilling crises’ yang mengatakan bahwa krisis dapat muncul

(pada negara yang fundamentalnya baik) apabila pengambil keputusan merasa biaya untuk

mempertahankan nilai tukar jauh lebih besar dari manfaat yang akan diperoleh. Teori

terakhir, generasi ketiga, dikenal sebagai contagion effect theory. Teori ini mengatakan krisis

dapat menular dari negara satu ke negara lainnya melalui hubungan perdagangan ( trade

l ink) ataupun kesamaan fundamental ekonomi.

Analisis Data

Krisis mata uang yang melanda negara-negara ASEAN-4 + Korea bagaimanapun

juga tidak terlepas dari kondisi fundamental ekonomi negara-negara tersebut yang

menyimpan resiko terjadinya krisis. Untuk itu, perlu dilakukan analisis data, terutama

terhadap beberapa variabel ekonomi yang terkait dengan resiko krisis mata uang seperti

current account balance, pinjaman luar negeri, dan tingkat kesehatan perbankan.

1. Current Account Balance

Perkembangan transaksi berjalan suatu negara perlu diwaspadai dengan cermat,

karena defisit transaksi berjalan yang berlangsung dalam jangka panjang dapat menekan

cadangan devisa. Oleh karena itu, defisit transaksi berjalan sering kali dipandang sebagai

signal ketidak-seimbangan makroekonomi yang memerlukan tindakan penyesuaian nilai

tukar atau kebijakan makroekonomi yang lebih ketat.

Negara-negara yang mengalami krisis ternyata semuanya mengalami defisit transaksi

berjalan, sebaliknya negara yang tidak terkena krisis mengalami surplus. Besarnya defisit

tersebut pada tahun 1995 berkisar dari yang terberat sebesar 8,43 % PDB untuk Malaysia

sampai yang paling rendah sebesar 1,81 % PDB untuk Korea. Indonesia sendiri mengalami

defisit sebesar 3,33 % PDB, suatu jumlah yang melebihi batas maksimum yang direkomendasi

IMF sebesar 2 % PDB.

Walaupun angka-angka diatas merupakan data tahun 1995, namun sebenarnya defisit

transaksi berjalan yang dialami negara-negara yang mengalami krisis tersebut sudah

berlangsung sejak lama.

Page 69: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

7Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia

Tabel 2

PROFILE NERACA PEMBAYARAN TAHUN 1995

-25000

-20000

-15000

-10000

-5000

0

5000

10000

15000

20000

1991 1992 1993 1994 1995 1996

Gra fik 1Perkembangan Current Account Ba lance

Thailand

Kore a

Indone s iaPhilip ina

M alays ia

Singapura

Taiw an

Hongk ong

US$ Juta

Defisit transaksi berjalan yang dialami negara-negara yang terkena krisis paling tidak

telah berlangsung sejak 1991 yang terus berakumulasi dari tahun ke tahun. Bahkan Korea

selama 3 tahun terakhir mengalami penurunan transaksi berjalan yang sangat tajam.

Sementara, negara-negara yang terkena krisis lainnya, seperti Thailand dan Indonesia juga

mengalami defisit yang semakin meningkat, walaupun tidak setajam Korea.

dalam USD juta

CURRENT ACCOUNT INVESTASI PORTFOLIO OTHER CADANGAN DEVISA

NEGARA (juta USD) % PDB INVESTMENT (juta USD)

1 2 3 4 5 6 7

NEGARA DALAM KRISISTHAILAND -13.554 -8,2 1.182 4.081 16.645 24.206INDONESIA -6.620 -3,3 7.100 1.700 2.500 16.000MALAYSIA -7.362 -8,6 4.342 -1.649 -1.405 15.994PHILIPPINES -1.980 -2,7 1.079 1.190 3.040 4.287KOREA -8.251 -1,8 -1.753 10.825 8.149 21.983

NEGARA TIDAK KRISIS SINGAPORE 15.093 17,7 3.006 -7.127 -2.750 46.213HONGKONG 1.030 0,7 -19.296 24.108 6.415 55.400TAIWAN 5.474 2,1 -1.424 493 -7.259 60.754JEPANG 100.925 2,2 -20.648 -29.902 -8.342 182.820

Sumber : Annual report 1996 HKMA untuk Hongkong, CEIC untuk Taiwan; Laporan Tahunan BI tahun 1995/96 untuk Indonesia; IFS Yearbook 1997 untuk negara lainnya.

Page 70: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

8 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Aspek Pembiayaan

Defisit transaksi berjalan yang telah berlangsung secara persistent tersebut harus

dapat dibiayai dari capital inflows agar tidak mengganggu cadangan devisa. Capital inflows

dapat berupa Foreign Direct Investment (FDI), portfolio, ataupun pinjaman luar negeri (baik

oleh Pemerintah maupun swasta). Pembiayaan defisit transaksi berjalan melalui FDI

dipandang sebagai langkah yang paling aman dalam membiayai pembangunan, karena

dana tersebut biasanya digunakan untuk kepemilikan dan kontrol atas pembangunan pabrik,

peralatan, dan prasarana. Dengan demikian FDI tersebut meningkatkan kapasitas

pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sementara capital inflows dalam bentuk pinjaman

memungkinkan untuk digunakan membeli barang-barang konsumsi, bukan untuk barang

investasi. Disamping itu, capital inflows melalui FDI bersifat tidak lancar, sehingga investor

tidak dapat menarik dananya dengan segera. Hal ini berbeda dengan capital flows dalam

bentuk portfolio yang dapat ditarik secara mendadak dan dalam jumlah besar.

Dalam prakteknya, negara-negara yang terkena krisis ternyata lebih menggantungkan

diri pada dana-dana jangka pendek melalui portfolio dan other investment (transfer langsung

antar penduduk/perusahaan). Dana jangka pendek yang masuk pada tahun 1995 mencapai

2-3 kali lebih besar dari defisit transaksi berjalan. Dengan demikian jelas bahwa negara-

negara yang terkena krisis tersebut sangat rentan terhadap krisis mata uang akibat defisit

transaksi berjalan yang semakin membesar dan ketergantungan yang tinggi kepada dana-

dana jangka pendek.

Sementara itu, resiko terjadinya krisis mata uang tersebut ternyata dikover oleh

cadangan devisa yang relatif kecil, yakni kurang dari USD 25 milyar. Sebaliknya, negara-

negara yang tidak terkena krisis, dimana transaksi berjalannya mengalami surplus, justru

TOTAL PINJAMAN JANGKA PENDEK *) PEMBAYARAN BUNGA

NEGARA ( JUTA USD) ( % gdp ) ( % Cad.Dev) ( % EKSPOR)

NEGARA DALAM KRISISTHAILAND 98368 58 164 4INDONESIA 127957 53 181 12MALAYSIA 40053 38 76 2PHILIPPINES 56189 62 196 6KOREA 125152 24 360 4

NEGARA TIDAK KRISISSINGAPORE - - - -HONGKONG - - - -TAIWAN 45447 15 33 2JEPANG - - - -

Sumber : Morgan, Emerging Markets : Economics Indicators, Oktober 1997

*) termasuk amortisasi pembayaran

Tabel 3

PROFILE PINJAMAN LUAR NEGERI 1997

Page 71: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

9Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia

memiliki cadangan devisa yang sangat besar.

Disamping tergantung dengan dana jangka pendek melalui portfolio, negara-negara

yang mengalami krisis juga menggantungkan diri pada utang luar negeri. Total pinjaman

luar negeri negara-negara yang mengalami krisis ternyata sangat besar, yakni berkisar dari

24 % GDP (Korea) sampai 62 % GDP (Philippines). Sementara, dari negara-negara yang

tidak terkena krisis, Taiwan mempunyai utang luar negeri sebesar 15 % GDP (Tabel 3).

Dari jumlah pinjaman luar negeri yang sangat besar tersebut, sebagian besar ternyata

berupa utang jangka pendek. Jika dibandingkan dengan jumlah cadangan devisa yang

dimiliki, pinjaman jangka pendek dari negara-negara yang terkena krisis besarnya mencapai

2 - 3 kali lipat dari cadangan devisanya, kecuali Malaysia yang ‘hanya’ sebesar 76 %.

Aspek Perdagangan

Sejalan dengan semakin terbukanya perekonomian dunia menuju global market, serta

perkembangan di pasar keuangan yang semakin terintegrasi dengan pasar keuangan dunia,

muncul pandangan baru mengenai defisit transaksi berjalan. Pandangan baru menyatakan

bahwa dalam kondisi free capital mobility, current account imbalances merupakan suatu

hal yang wajar sebagai hasil dari aliran modal menuju tempat-tempat yang paling produktif.

Negara-negara yang memiliki kesempatan investasi dalam negeri yang relatif lebih

menguntungkan akan mengalami defisit transaksi berjalan karena kesempatan tersebut akan

dimanfaatkan sepenuhnya, baik dengan menggunakan dana investasi dalam negeri ataupun

memanfaatkan dana-dana luar negeri untuk memperkuat dana investasi dalam negeri.

Berkaitan dengan defisit transaksi berjalan yang dialami oleh negara-negara yang

terkena krisis, apakah defisit tersebut mencerminkan macroeconomic imbalances yang

membutuhkan kebijakan penyesuaian kurs ataukah akibat kesempatan investasi yang lebih

baik ?

Defisit transaksi berjalan yang telah berlangsung sejak lama pada negara-negara yang

mengalami krisis ternyata disebabkan oleh pertumbuhan ekspor yang tidak sebanding

dengan pertumbuhan impornya. Walaupun kegiatan ekspor semakin meningkat namun

kegiatan impornya jauh lebih tinggi lagi. Tingginya kegiatan impor ini disebabkan oleh 2

hal, yaitu pesatnya kegiatan investasi yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi

dan tingginya kandungan barang impor pada produk-produk lokal.

Selama periode 1991 - 1996, ekspor Indonesia menunjukkan kinerja yang paling buruk.

Dari segi pertumbuhannya, ekspor Indonesia menunjukkan angka pertumbuhan yang

terendah setelah Taiwan. Bahkan apabila diukur dengan kontribusinya terhadap PDB, maka

ekspor Indonesia mengalami penurunan dari 25 % (1991) menjadi 22 % (1997). Hal ini

Page 72: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

10 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

mengindikasikan bahwa kegiatan investasi yang dilakukan selama ini dengan banyak

mengimpor barang modal ternyata lebih diarahkan untuk memenuhi permintaan dalam

negeri, bukan untuk kegiatan ekspor. Hal itulah yang menyebabkan defisit yang semakin

besar. Sementara kegiatan ekspor tidak banyak berkembang karena masih mengandalkan

pada produk-produk ekspor tradisional, seperti tekstil, sepatu, palm oil, dsb. Akibatnya

ekspor kita selama ini pertumbuhannya sangat rendah karena produk-produk tersebut nilai

tambahnya sangat kecil dan kurang elastis terhadap harga. Sementara itu, saingan bertambah

banyak dengan reformasi ekonomi yang dijalankan negara-negara sosialis/eks sosialis,

seperti China, Vietnam, Khazastan, dsb.

Diantara negara ASEAN-4, Malaysia menunjukkan kinerja ekspor yang paling

mengesankan. Kegiatan ekspornya pada tahun 1997 telah mencapai angka 80 % PDB dimana

angka ini hanya kalah oleh ekspor Singapore dan Hongkong. Kebalikan dari Indonesia,

investasi yang tinggi di Malaysia tampaknya benar-benar diarahkan untuk kegiatan ekspor.

Hal ini terbukti dari pertumbuhan ekspornya yang jauh lebih tinggi dari pertumbuhan

ekonominya.

Tabel 4

PERKEMBANGAN EKSPOR 1991 - 1996

Prospek defisit transaksi berjalan negara-negara yang terkena krisis di masa

mendatang dapat diprediksi dari komposisi impornya. Dilihat dari pengguna akhirnya

(end-user), barang impor dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu barang konsumsi,

bahan baku dan barang setengah jadi, dan barang modal. Impor barang konsumsi memiliki

EKSPOR 1991 EKSPOR 1996

NEGARA USD Juta % PDB USD Juta % PDB

NEGARA DALAM KRISISTHAILAND 28.428 29 55.721 30INDONESIA 29.142 25 49.814 22MALAYSIA 34.349 71 78.246 80PHILIPPINES 8.767 19 20.417 24KOREA 73.982 34 133.619 34

NEGARA TIDAK KRISISSINGAPORE 59.025 135 125.014 133HONGKONG 98.577 115 180.745 117TAIWAN 76.115 42 115.726 42JEPANG 338.201 9 385.679 9

Sumber : CEIC, IFS Year Book 1997

Page 73: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

11Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia

kecenderungan untuk memperbesar defisit, karena volumenya terus meningkat sebanding

dengan pertambahan penduduk. Sebaliknya, dalam jangka panjang impor barang modal

dapat menurunkan defisit, terutama apabila dapat menghasilkan barang-barang ekspor.

Sementara itu, impor bahan baku dan barang setengah jadi dapat memperbesar atau

memperkecil defisit, tergantung kepada penggunaannya, yaitu untuk memproduksi barang

ekspor atau barang-barang yang dikonsumsi didalam negeri.

Berdasarkan data impor tahun 1990 - 1996, defisit transaksi berjalan negara-negara

yang terkena krisis masih akan berlangsung terus, karena komposisi impornya tidak banyak

berubah. Bahkan untuk Indonesia sendiri, komposisi barang modal mengalami penurunan

(dari 28 % menjadi 22%), sebaliknya barang konsumsi mengalami kenaikan (dari 4 % menjadi

7 %). Negara-negara lain, seperti Thailand dan Malaysia, impor barang modal justru

mengalami kenaikan yang tajam (dari 48 % menjadi 56%). Untuk jelasnya, lihat gambar

dibawah ini. Untuk negara-negara yang tidak terkena krisis, pada umumnya impor barang

modal mengalami kenaikan dan impor barang konsumsi mengalami penurunan.

2. Kinerja Perbankan

Goldfajn dan Valdes 1 dalam penelitiannya menemukan keterkaitan antara krisis

perbankan dengan krisis mata uang. Perbankan berfungsi sebagai lembaga intermediasi

1 Goldfajn, Ilan; valdes, Rodrigo, ‘Capital Flows and the Twin Crises : The Role of Liquidity’ , IMF Working PaperNo. WP/97/87, July 1997.

GRAFIK 2PERKEMBANGAN KOMPOSISI IMPOR

1990 - 1996

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

90

96

90

96

90

96

90

96

90

96

90

96

90

96

90

96

BA RA NG MODA LBA HA N BA KUKONSUMSI

THA I IND. M A L P HIL K O R S ING HO NG TW N

Page 74: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

12 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

yang mentransformasikan/merubah aset tidak lancar menjadi aset lancar dan berjangka

pendek. Pada satu sisi, tawaran aset yang lancar dan berjangka pendek ini sangat menarik

perhatian investor asing sehingga perbankan dapat menarik capital inflows dalam jumlah

besar. Namun disisi lain, pada saat terjadi shock ekonomi, intermediasi dapat menyebabkan

terjadinya capital outflows dalam jumlah besar dan mendadak, sehingga perbankan tidak

mampu memenuhi kewajibannya akibat asetnya sebagian besar tidak lancar. Hal inilah

yang menyebabkan terjadinya krisis perbankan yang diikuti oleh krisis mata uang. Padahal

apabila tidak ada jasa intermediasi perbankan, shock ekonomi tersebut belum tentu dapat

menyebabkan terjadinya krisis.

Penelitian yang dilakukan para peneliti yang lain, seperti Eichengreen, Rose, dan

Wyplosz 2 dan Kaminsky-Reinhart 3 , menyimpulkan bahwa sebelum terjadi krisis mata uang

biasanya didahului oleh aktivitas perbankan yang meningkat tajam dan segera menurun

drastis setelah terjadi krisis. Peningkatan aktivitas perbankan tersebut ditandai oleh :

a) Peningkatan capital flows.

b) Peningkatan M2 Multiplier yang meningkat 20 % lebih tinggi dari masa-masa tenang.

c) Pertumbuhan rasio domestik kredit/GDP yang meningkat tajam dan mencapai

puncaknya pada saat terjadi krisis (rata-rata mencapai 15 % lebih tinggi dari masa

tenang).

Hasil-hasil penelitian para ahli tersebut ternyata terbukti pada saat terjadi krisis di

Asia baru-baru ini.

Tabel 5

AKTIVITAS PERBANKAN 1995 - 1996

2. Eichengreen,B.,Rose,A., and C. Wyplosz, ‘Speculative Attacks on Pegged Exchange Rates: An EmpiricalInvestigation,’ NBER Working Paper No. 4898, 1994.

3. Kaminsky, G.L., and C.M. Reinhart, ‘The Twin Crises : The Causes of Banking and Balance of PaymentsProblems’, International Finance Discussion paper, 1996

PERTUMBUHAN PERTUMBUHAN CAMPUR TANGAN KREDIT PADA KREDIT PROPERTI

NEGARA KREDIT M2 GOV'T PADA KREDIT *) KELOMPOK *) ( % Total Kredit )

NEGARA DALAM KRISISTHAILAND 88,60% 12,90% BEBERAPA BANYAK 13,79INDONESIA 22,70% 29,60% BANYAK BANYAK 17,87MALAYSIA 29,50% 21,40% BEBERAPA BEBERAPA 31,45PHILIPPINES 40,30% n.a. BEBERAPA BEBERAPA 19,00KOREA 17,40% 17,80% BANYAK BANYAK 12,10

NEGARA TIDAK KRISISSINGAPORE 17,30% 9,80% n.a. n.a. 32,15HONGKONG 13,94% 9,30% TIDAK ADA TIDAK ADA 19,45TAIWAN n.a. 8,40% n.a. n.a. 48,18JEPANG 0,45% 3,16% n.a. n.a. 12,49

*) sumber : The Banker, Asian Meltdown , Desember 1997 ; data lainnya dari IFS Year Book 1997 dan CEIC.

Page 75: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

13Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia

Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa aktivitas perbankan negara-negara yang

terkena krisis selama 1995-1996 telah meningkat dengan tajam. Hal ini dapat dilihat dari

pertumbuhan pemberian kredit dan pertumbuhan M2.

Berkaitan dengan independensi perbankan dalam pemberian kredit, menurut hasil

penelitian the Banker menyimpulkan bahwa sistem perbankan di negara-negara yang terkena

krisis pada umumnya memiliki kualitas aset yang relatif kurang sehat dan beresiko tinggi

akibat banyaknya campur tangan Pemerintah dalam pemberian kredit perbankan, serta

tingginya konsentrasi kredit pada kelompok/group tertentu/terkait dengan bank.

Disamping itu, selama 5 tahun terakhir, sebagai akibat dari pasar keuangan dunia

yang semakin terintegrasi menyebabkan sistem perbankan semakin mudah mendapatkan

sumber dana alternatif dari pasar luar negeri. Sebagai akibatnya, rasio antara foreign asset

dan foreign liabilities menjadi tidak seimbang. Terutama bank-bank Thailand yang paling

aktif melakukan pinjaman luar negeri, disamping Malaysia dan Indonesia sendiri.

Tabel 6

PERKEMBANGAN RASIO FOREIGN LIABILITIES /

FOREIGN ASSET PERBANKAN

Kondisi perbankan yang sangat rapuh tersebut merupakan salah satu faktor yang

mendorong terjadinya krisis. IMF sendiri sudah lama mengamati keterkaitan antara krisis

perbankan dengan krisis mata uang dan krisis ekonomi. Hasil penelitian IMF 4

menyimpulkan bahwa krisis mata uang yang diikuti/diawali dengan krisis perbankan

akan memberikan dampak yang sangat besar kepada perekonomian nasional. Hal ini dapat

dilihat dari waktu yang dibutuhkan untuk recovery rata-rata mencapai dua kali lebih panjang

dari currency crises, serta penurunan output sebesar 14,4 persen dari pertumbuhan normal

(apabila hanya mengalami currency crises, penurunan output rata-rata mencapai 4,3 persen).

4 IMF : World Economic Outlook- Prospects and Policy Issues, March 1998.

NEGARA 80 85 90 91 92 93 94 95 96

NEGARA DALAM KRISISTHAILAND 1,49 1,36 1,95 1,71 2,16 2,24 4,61 4,93 6,94INDONESIA 0,57 0,67 1,16 1,04 1,25 1,62 1,83 1,79 1,69MALAYSIA 1,49 2,12 1,22 2,14 3,56 3,00 1,61 1,54 n.a.PHILIPPINES 2,23 1,16 0,61 0,52 0,64 0,61 0,77 1,00 1,75KOREA 1,53 2,75 1,07 1,29 1,14 0,91 1,01 1,13 1,27

NEGARA TIDAK KRISISSINGAPORE 1,22 1,34 0,99 0,95 0,94 1,02 1,05 1,20 1,28HONGKONG n.a. 0,99 1,02 1,01 1,01 1,01 1,02 1,00 1,00TAIWAN n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. 1,30 1,50 1,10JEPANG 0,25 0,18 0,11 0,09 0,08 0,21 0,25 0,23 0,26

Sumber : CEIC untuk Hongkong dan Taiwan, Laporan Tahunan BI untuk Indonesia, dan IFS Year book 1997 untuk negara lainnya.

Page 76: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

14 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Kondisi Fundamental Ekonomi Menurut Leading Indicators Kaminsky

Dengan mempelajari bukti-bukti empiris menjelang terjadinya krisis mata uang,

Kaminsky, Lizondo, dan Reinhart 5 telah menyusun Sistem Deteksi Dini Krisis Mata Uang

berdasarkan beberapa indikator. Mengingat indikator-indikator yang digunakan merupakan

variabel-variabel fundamental ekonomi maka metode ini dapat dipakai untuk menilai kondisi

fundamental ekonomi suatu negara.

Indikator Yang digunakan

Dari 12 indikator yang diusulkan oleh Kaminsky (12 indikator ini terbukti menunjukkan

kinerja yang baik sebagai indikator krisis mata uang), paper ini menggunakan 9 indikator.

Tiga indikator yang tidak digunakan adalah Excess M1 balance, terms of trade, dan Real

Interst Differential. Excess M1 balance dan terms of trade tidak digunakan karena kesulitan

data, sedang interest differential dikarenakan variabel ini sudah terwakili oleh real interest

rate. Indikator -indikator yang digunakan dalam paper ini adalah sebagai berikut.

1. Real Effective Exchange Rate

REER merupakan salah satu variabel yang sering dipakai untuk menunjukkan daya

saing produk di pasar internasional. REER menunjukkan kondisi nilai tukar apakah

under valued atau overvalued. Pada REER diatas 100 berarti terjadi overvalued, yang

berarti memperlemah daya saing produk ekspor, dan dibawah 100 berarti nilai tukar

undervalued. Oleh karena itu, nilai REER yang terlalu rendah ataupun terlalu tinggi

memberikan efek yang tidak baik (batas atas dan batas bawah digunakan sebagai ambang

batas). Golfajn dan Valdes 6 memperkirakan variabel ini bersifat ‘summary variable’

dan memiliki predictive power dalam memprediksi krisis.

2. Pertumbuhan ekspor

Kegiatan ekspor sangat penting bagi suatu negara dalam rangka mendapatkan

devisa. Penurunan laju pertumbuhan ekspor menyebabkan transaksi berjalan semakin

memburuk. Sebaliknya, laju pertumbuhan ekspor yang tinggi akan menghasilkan hard

currency yang dapat memperkuat cadangan devisa, namun mengakibatkan apresiasi

domestic currency, menambah uang beredar melalui NFA, dan mendorong inflasi. Dalam

kaitannya dengan krisis, pertumbuhan ekspor yang tinggi dapat mencegah terjadinya

krisis (batas atas tidak digunakan sebagai ambang batas).

5 Kaminsky, Graciela, Saul Lizondo and Carmen M. Reinhart, Leading Indicators of Currency Crises, IMF WorkingPaper No. WP/97/79, 1997.

6 Goldfajn, Ilan, Valdes, Rodrigo O., Are Currency Crises Predictable ? , IMF Working Paper No. WP/97/159, IMF.

Page 77: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

15Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia

3. Harga Saham

Perkembangan harga saham dapat menunjukkan kondisi perekonomian suatu

negara. Kecenderungan kenaikan harga saham dalam jangka panjang menunjukkan

perekonomian sedang tumbuh dengan pesat, sebaliknya jatuhnya harga saham

mengindikasikan perekonomian sedang mengalami kelesuan. Walaupun kenaikan harga

saham bersifat positip bagi perekonomian, namun pertumbuhan yang terlalu tajam

perlu diwaspadai, karena ada kemungkinan terjadi overheating. Dalam jangka pendek

harga saham dapat berfluktuasi, karena pasar saham bersifat substitute bagi sistem

perbankan. Jadi, batas atas dan batas bawah digunakan sebagai ambang batas.

4. M2/Reserve

Rasio M2/reserve menunjukkan kemampuan cadangan devisa dalam menghadapi

serangan terhadap mata uang domestik. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin lemah

kemampuan cadangan devisa. Jadi, batas bawah tidak digunakan sebagai ambang batas.

5. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan perekonomian sedang tumbuh

dengan pesat, namun pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi dapat mengindikasikan

terjadi overheating. Pertumbuhan ekonomi yang rendah ataupun negatif menunjukkan

perekonomian mengalami kelesuan. Jadi, batas atas dan batas bawah digunakan sebagai

ambang batas.

6. Pertumbuhan reserve

Cadangan devisa sangat vital bagi kelangsungan hidup negara, terutama untuk

keperluan impor, pembayaran utang, ataupun menghadapi serangan para spekulan.

Tanpa ditopang oleh cadangan devisa yang kuat, perekonomian suatu negara dapat

runtuh dalam seketika. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan cadangan devisa yang tinggi,

dalam kaitannya dengan krisis bersifat positip, sehingga batas atas tidak digunakan

sebagai ambang batas.

7. Multiplier M2

Multiplier M2 merupakan rasio antara uang beredar dalam arti luas (M2) dengan

uang primer yang ada di bank sentral. Angka multiplier M2 yang besar menunjukkan

bahwa kegiatan perekonomian berjalan dengan cepat karena uang primer yang keluar

dari bank sentral dengan cepat mengalami penggandaan (multiplier) oleh BPUG.

Sebaliknya, angka multiplier M2 yang kecil menunjukkan kegiatan perbankan sedang

mengalami kelesuan. Angka multiplier M2 yang terlalu tinggi perlu diwaspadai karena

Page 78: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

16 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

ada kemungkinan sistem perbankan over ekspansif yang dapat menyebabkan kejatuhan

bank-bank dan mendorong timbulnya krisis. Jadi, batas atas dan batas bawah digunakan

sebagai ambang batas.

8. Kredit/GDP

Rasio kredit domestik terhadap GDP menunjukkan seberapa besar aktivitas

perkreditan. Volume kredit yang tinggi menunjukan kegiatan investasi berkembang

dengan baik, dan hal ini menunjukkan bahwa kegiatan perekonomian sedang tumbuh

pesat. Namun demikian, pertumbuhan kredit yang terlalu tinggi perlu diwaspadai karena

dapat menimbulkan kebangkrutan bank-bank (banking failure). Sebaliknya, aktivitas

perkreditan yang rendah mengindikasikan perekonomian sedang melemah. Jadi, batas

atas dan batas bawah digunakan sebagai ambang batas.

9. Real Interest Rate

Suku bunga riil sebaiknya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Suku bunga

riil yang terlalu tinggi menghambat kegiatan investasi dan mendorong capital inflows,

sedang suku bunga riil yang terlalu rendah tidak mendorong masyarakat untuk

menabung di bank.

Indikator dikatakan mengeluarkan signal apabila nilainya melebihi ambang batas

yang telah ditetapkan. Semakin banyak signal yang dikeluarkan berarti semakin besar

kemungkinan terjadi krisis. Penetapan ambang batas didasarkan atas nilai rata-rata dan

standar deviasi dari setiap indikator selama masa tenang (tranquil time).

Hasil Pengujian

Data yang digunakan adalah data triwulanan antara tahun 1990 - 1997, yang terbagi

menjadi ‘masa tenang’ (meliputi periode 1990 - 1994) dan ‘menjelang krisis’ (periode 1995 -

1996). Dengan menggunakan tiga standar deviasi, yang berarti tingkat kepercayaan signal

tersebut mencapai 99 %, ternyata diantara 8 negara tersebut, Singapore dan Philippines

mengeluarkan signal yang paling banyak pada saat menjelang krisis (1995-96), yaitu

sebanyak 23 kali, yang diikuti oleh Malaysia (12), Hongkong(12), dan Taiwan(12). Sedangkan

pada saat kondisi normal, paling banyak ada 1 atau 2 signal.

Hasil ini mengindikasikan bahwa menjelang krisis, fundamental ekonomi sebagian

besar negara-negara tersebut semakin memburuk. Namun demikian, kondisi fundamental

ekonomi yang memburuk tersebut berlaku tidak saja terhadap negara yang mengalami krisis,

namun juga terjadi pada negara yang tidak mengalami krisis.

Page 79: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

17Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia

Dilihat dari indikator yang mengeluarkan signal, menjelang krisis ( 2 tahun sebelum

krisis terjadi), sebagian besar negara ASEAN-4 dan NIEs mengalami peningkatan

pertumbuhan kredit dan multiplier M2 secara tajam (Tabel 8). Hal ini mengindikasikan

bahwa terjadi gajala overheating pada negara-negara tersebut. Indikasi ini diperkuat oleh

harga saham yang juga melonjak tinggi, terutama di beberapa negara, seperti Philippines,

Singapore, dan Hongkong.

Tabel 7

JUMLAH SIGNAL YANG MUNCUL SELAMA 2 TAHUN

Untuk Indonesia, apabila menggunakan batas kontrol sebesar 3 kali standar deviasi

(yang berarti tingkat kepercayaannya mencapai 99 %) maka baik selama masa tenang

maupun menjelang krisis tidak ada signal yang keluar. Namun dengan menggunakan 2

standar deviasi (tingkat kepercayaan 95 %) ternyata ada 10 signal yang dikeluarkan menjelang

krisis. Signal tersebut berasal dari lonjakan pemberian kredit, M2, dan REER. Hal ini

mengindikasikan bahwa selama menjelang krisis Indonesia mengalami ekspansi ekonomi

yang terlalu tinggi. Dibandingkan dengan selama masa tenang, jumlah signal yang

dikeluarkan menjelang krisis mencapai 5 kali lebih banyak.

Secara umum dapat dikatakan bahwa metode sistem deteksi dini yang dikembangkan

oleh Kaminsky kurang berhasil mendeteksi krisis di kawasan Asia. Jumlah signal yang

dikeluarkan oleh Singapore, Hongkong dan Taiwan ternyata lebih banyak dari Indonesia

dan Korea, yang berarti menurut sistem tersebut fundamental Indonesia dan Korea lebih

baik dari pada fundamental Singapore, Hongkong dan Taiwan.

µ ± 2.σ µ ± 3.σNEGARA M ASA M ENJELANG M ASA M ENJELANG

TENANG KRIS IS TENANG KRIS IS

NEGARA DALAM KRIS ISTHA ILA ND 3,6 22 0,8 9INDO NE S IA 2 10 0 0M A LA Y S IA 3,6 21 0,4 12P HILIP P INE S 7,2 30 1,6 23K O RE A 5,4 13 0,8 3

NEGARA TIDAK KRIS ISS ING A P O RE 5,2 29 2,4 23HO NG K O NG 4 19 1,6 12TA IW A N 3,2 17 0,4 12JE P A NG 2 2,4 0 0

Page 80: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

18 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Tabel 8

JUMLAH SIGNAL YANG MUNCUL SELAMA 2 TAHUN

UNTUK INDONESIA

Tabel 9

JUMLAH SIGNAL YANG DIKELUARKAN

OLEH TIAP-TIAP INDIKATOR SELAMA 2 TAHUN *)

Kegagalan tersebut kemungkinan disebabkan oleh pemilihan leading indikator yang

kurang sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi kawasan Asia. 7 Disamping itu,

penggunaan sistem deteksi dini dalam meramalkan terjadinya krisis sangat diragukan

keampuhannya, karena hasil dari sistem deteksi dini tersebut akan mempengaruhi perilaku

7 Kaminsky mendapatkan indikator-indikator tersebut dari analisisnya terhadap 25 negara yang pernah mengalamikrisis selama 1970 - 1995. Meliputi 5 negara maju dan 15 negara berkembang. Selama periode tersebut terjadi 76krisis mata uang dan 26 krisis perbankan.

µ ± σ µ ± 2.σ µ ± 3.σINDIKATOR MASA MENJELANG MASA MENJELANG MASA MENJELANG

TENANG KRISIS TENANG KRISIS TENANG KRISIS

REER 2 4 0,4 1 0 0D EKSPOR 1,6 2 0 0 0 0IHSG 2,8 4 0 0 0 0M2/RESERVE 3,2 8 0,4 2 0 0D OUTPUT 3,2 1 0,4 0 0 0D RESERVE 1,2 1 0,4 0 0 0

M2 MULTIPLIER 3,2 3 0 2 0 0CREDIT/GDP 1,6 8 0,4 5 0 0REAL INT. RATE 2 0 0 0 0 0

TOTAL 20,8 31 2 10 0 0

THAILAND INDONESIA MALAYSIA PHILIPPINES KOREA

INDIKATOR MASA MENJELANG MASA MENJELANG MASA MENJELANG MASA MENJELANG MASA MENJELANG

TENANG KRISIS TENANG KRISIS TENANG KRISIS TENANG KRISIS TENANG KRISIS

REER 0 1 0 0 0 0 0 4 0 0∆ EKSPOR 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0IHSG 0,4 0 0 0 0 1 0,4 3 0,8 1M2/RESERVE 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0∆ OUTPUT 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0∆ RESERVE 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0

M2 MULTIPLIER 0 0 0 0 0 5 1,2 8 0 1CREDIT/GDP 0,4 7 0 0 0 6 0 8 0 0REAL INT. RATE 0 0 0 0 0,4 0 0 0 0 1

TOTAL 0,8 9 0 0 0,4 12 1,6 23 0,8 3

Page 81: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

19Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia

policy maker dan pelaku pasar, sehingga mengakibatkan indikator-indikator tersebut akan

kehilangan daya prediksinya.

Faktor Efek Penularan (Contagion Effect)

Fenomena efek penularan saat ini merupakan suatu topik yang sedang hangat dibahas

para ahli. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa efek

penularan dapat terjadi melalui 2 cara, yaitu karena ada hubungan dagang (trade links) dan

kesamaan kondisi dan kebijakan makroekonomi.

Gerlach dan Smets 8 mengembangkan suatu model yang dapat menjelaskan mekanisme

efek penularan melalui hubungan perdagangan. Didalam modelnya, serangan terhadap

suatu mata uang menyebabkan mata uang tersebut terdepresiasi sehingga dapat

meningkatkan daya saing produknya. Peningkatan daya saing ini berarti penurunan ekspor

bagi negara-negara pesaingnya, sehingga dapat mengakibatkan negara pesaingnya

mengalami defisit transaksi berjalan, penurunan cadangan devisa secara bertahap, dan

pada akhirnya menghasilkan suatu serangan terhadap mata uangnya.

Disamping memberikan efek penularan pada negara pesaingnya, krisis mata uang

juga dapat memberikan efek penularan pada negara mitra dagangnya. Krisis yang melanda

suatu negara mengakibatkan depresiasi, sehingga harga barang ekspornya menjadi turun.

Bagi negara mitra dagangnya, hal ini berarti penurunan harga barang impor yang dapat

mendorong penurunan tingkat inflasi dan permintaan uang beredar. Untuk melindungi

mata uangnya, pelaku ekonomi pada negara mitra dagang dapat melakukan swap yang

mengakibatkan terkurasnya cadangan devisa yang dikuasai bank sentral. Dalam kondisi

cadangan devisa yang menurun, krisis mata uang dapat timbul karena cadangan devisa

tidak cukup kuat menyerap serangan spekulasi para pelaku pasar uang.

Kesamaan kondisi makroekonomi juga dapat memunculkan efek penularan apabila

salah satu negara mengalami krisis. Krisis yang diakibatkan oleh kesamaan makroekonomi

ini pada umumnya dipicu oleh para pelaku pasar uang. Shiller 9 pada tahun 1995

mengembangkan model untuk menjelaskan salah satu mekanisme efek penularan melalui

kesamaan kondisi makroekonomi. Menurutnya, para pelaku pasar uang sebenarnya banyak

menerima informasi yang sama (melalui alat komunikasi yang sama, seperti Reuter), sehingga

suatu reaksi atas sepotong informasi yang baru dapat menyebar ke seluruh dunia dalam

waktu yang singkat dan menyampaikan pesan pada pelaku pasar internasional untuk

melakukan reaksi yang sama. Kemungkinan ini dapat terjadi apabila respons yang ditempuh

sebagian pelaku pasar mampu mengatasi keyakinan pasar dan merubah ekspektasi pasar.

8 Lihat Eichengreen, Rose, dan Wyplosz (1996) halaman 11.9 Lihat Eichengreen, Rose, dan Wyplosz (1996) halaman 14.

Page 82: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

20 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Jadi, serangan terhadap suatu mata uang dapat merangsang pelaku pasar internasional untuk

melakukan langkah yang sama. Demikian pula sebaliknya, reaksi yang diambil pelaku pasar

internasional dapat mendorong pelaku pasar lokal untuk melakukan langkah yang sama.

Berkaitan dengan krisis yang saat ini sedang melanda Asia, walaupun fundamental

ekonomi memegang peranan yang penting, sebagaimana tampak dari perbedaan

fundamental ekonomi negara yang terkena krisis dengan yang tidak terkena krisis, namun

efek penularan diduga ikut berperan sebagai pemicu terjadinya krisis. Hal ini dapat dilihat

dari tenggang waktu terjadinya serangan yang beruntun dalam waktu yang relatif sangat

singkat, berturut-turut dari Thailand, Philippines, Malaysia, Indonesia, dan terakhir Korea.

Sementara itu, serangan dari para pelaku pasar ini juga melanda negara-negara NIEs lainnya,

namun serangan ini relatif dapat diredam dengan baik.

Bentuk Model Probit

Untuk membuktikan dugaan bahwa efek penularan ikut memberikan kontribusi

terhadap terjadinya krisis, dalam paper ini digunakan model probit. Model probit banyak

dipakai untuk data kualitatif yang mencerminkan suatu pilihan alternatif. Dalam model ini,

model probit mencerminkan ada 2 alternatif bagi pelaku pasar uang, yaitu apakah akan

melakukan serangan atau tidak, dengan mempertimbangkan data fundamental ekonomi

dan data serangan pada mata uang lain. Untuk mentransformasikan alternatif pilihan dari

bentuk kualitatif ke kuantitatif, model probit menggunakan fungsi distribusi normal

kumulatif, sehingga nilainya berkisar dari 0 ke 1. Dengan kata lain, model probit tersebut

menyatakan besarnya kemungkinan pelaku pasar melakukan serangan.

Bentuk umum model dapat dinotasikan :

Yi,t = a

0 + a

i X

i,t + b

i Z

i,t + e dimana

Yi,t

= 1 apabila terjadi serangan pelaku pasar pada negara i pada periode t.

= 0 apabila tidak.

Xi,t

= Variabel yang mewakili Faktor Penularan, dengan nilai

Xi,t

= 1 apabila ada negara lain yang mendapat serangan pelaku pasar

pada periode t ( Yj,t = 1 , j ≠ i )

Xi,t

= 0 apabila tidak.

Zi,t

= Kondisi fundamental ekonomi negara i pada periode t.

ai

= Koefisien yang menggambarkan besarnya kontribusi efek penularan terhadap

kemungkinan pelaku pasar melakukan serangan pada negara i.

bi

= koefisien yang menggambarkan besarnya kontribusi faktor fundamental terhadap

Page 83: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

21Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia

kemungkinan pelaku pasar melakukan serangan pada negara i.

ε = variabel random dengan mean = 0.

a0

= konstanta

Variabel Zi,t diperoleh dengan menggunakan rumus berikut :

Zi,t = S AK

n,t . B

n

n

dimana :

Zi,t

= kondisi fundamental ekonomi negara i pada periode t

n = jumlah indikator

A Kn,t

= Angka Kredit dari indikator n pada periode t pada negara i.

Bn

= bobot dari indikator n.

Untuk mengidentifikasi terjadinya serangan spekulasi dari pelaku pasar, dalam

paper ini digunakan 3 indikator, yaitu perubahan nilai tukar nominal, perubahan suku

bunga, dan perubahan cadangan devisa. Perubahan dari ketiga indikator tersebut di-

indek. Untuk menghindari salah satu indikator mendominasi indek, maka perubahan

tiap-tiap indikator dibobot dengan menggunakan variance dari indikator lainnya. Untuk

mengidentifikasi serangan digunakan pembatas 2 standar deviasi.

Kuantifikasi Kondisi Fundamental Ekonomi

Untuk mewakili/menggambarkan kondisi fundamental ekonomi, digunakan 10

indikator (variabel ekonomi) yang dianggap paling relevan bagi pelaku pasar dalam

memutuskan untuk melakukan serangan atau tidak. Variabel-variabel ekonomi tersebut

diperoleh dari hasil analisis data dan penelitian mengenai sistem deteksi dini krisis

mata uang.

Sesuai dengan hasil penelitian kaminsky dkk, ternyata setiap variabel ekonomi

(indikator) mempunyai performance yang tidak sama dalam mendeteksi signal

kemungkinan terjadi krisis dikemudian hari. Oleh karena itu, dalam paper ini setiap

variabel diberikan bobot tersendiri. Semakin besar bobotnya berarti semakin besar

pengaruhnya dalam menimbulkan krisis. Bobot setiap variabel diperoleh dari Vector

Auto Regression (VAR) dengan mengukur varian dekomposisi nilai tukar terhadap varian

setiap variabel tersebut dalam jangka panjang.

Variabel ekonomi yang digunakan dalam model ini berikut satuan yang dipakai

dan bobotnya adalah sebagai berikut :A

Page 84: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

22 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

N o INDIKATOR SATUAN BOBOT

1 Transaksi berjalan % PDB 7 .6

2 Portfolio + other Investment % Cad. Devisa 3 .5

3 Cadangan Devisa % PDB 8 .6

4 Pinjaman Luar Negeri % PDB 5 .4

5 Pinjaman Jangka pendek % Cad Devisa 9 .5

6 Pertumbuhan Kredit % 11.7

7 Pertumbuhan M2 % 2 .6

8 Kinerja Ekspor % PDB 4 .5

9 Pertumbuhan IHSG % 5 .2

10 REER % 34.7

Setiap indikator dibagi menjadi 4 tingkatan berdasarkan kriteria tertentu. Untuk setiap

tingkatan diberikan angka kredit. Semakin besar angka kredit berarti semakin baik kondisi

indikator tersebut. Besarnya angka kredit dan kriteria yang digunakan untuk membagi

indikator adalah sebagai berikut.

TINGKATAN PREDIKAT ANGKA KREDIT

1 kuat 4

2 sedang 3

3 beresiko 2

4 lemah 1

PREDIKAT

N O INDIKATOR kuat sedang beresiko lemah

1 Transaksi berjalan surplus 0 - 1 % 1 %< x £ 2% > 2 %

2 Portfolio + other Inv. negatif < 5 % 5 - 10% > 10 %

3 Cadangan Devisa > 8 bulan 6 - 8 bulan 3 £x <6 bln < 3 bulan

4 Pinjaman Luar Negeri tidak ada < 80 % 80 - 160 % > 160 %

5 Pinjaman Jangka pendek tidak ada 0 - 50 % 50 - 75 % > 75 %

6 Pertumbuhan Kredit < 20 % 20 - 40 % 40< x£60 % > 60 %

7 Pertumbuhan M2 < 20 % 20 - 40 % 40< x£60 % > 60 %

8 Kinerja Ekspor > 70 % 70 - 50 % 50 <x£30 % < 30 %

9 Pertumbuhan IHSG 0 - 5 % 5 - 10 % 11 - 20 % > 20 %

10 Pertumbuhan REER negatif 0 £ x < 5 % 5 - 10 % > 10 %

Page 85: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

23Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia

H asil Pengujian

Dengan menggunakan data triwulanan selama 1995:1 - 1997:3, kondisi fundamental

ekonomi negara-negara ASEAN-4 dan NIEs dapat diwakili oleh angka kuantitatif tunggal

sebagai berikut:

Tabel 10

HASIL PERHITUNGAN KEKUATAN FUNDAMENTAL EKONOMI

ASEAN-4 DAN NIEs

Data diatas menunjukkan bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia merupakan

yang terburuk setelah Philippines. Sementara Korea ternyata menunjukkan fundamental

yang terbaik diantara negera-negara yang terkena krisis. Diantara negara-negara yang tidak

terkena krisis, Jepang memiliki fundamental ekonomi yang terkuat.

Dengan menggunakan maximum likelihood, model probit diatas menghasilkan output

sebagai berikut :

KRISIS = -0,01 FUNDA + 2,65 CONTA

(-3,7) (3,13)

Log likelihood = - 12,65

Hasil diatas menunjukkan bahwa kondisi fundamental ekonomi dan faktor contagion

secara signifikan memberikan kontribusi terhadap serangan para spekulan. Koefisien

fundamental yang negatif menyatakan bahwa semakin kuat kondisi fundamental ekonomi

suatu negara, semakin kecil kemungkinan spekulan melakukan serangan. Koefisien faktor

contagion yang positip menyatakan bahwa adanya krisis di suatu negara mendorong

spekulan melakukan serangan pada negara lain. Kesimpulan ini sesuai dengan data pada

Tabel 10. Sejak awal 1996 sebenarnya kondisi fundamental negara-negara yang terkena

Periode Malaysia Indonesia Philippines Thailand Korea Singapore Taiwan Hongkong JEPANG

96,1 238,6 220,7 174,3 198,6 247,3 321,3 353,8 309,0 360,0

96,2 246,1 207,7 209,0 282,3 282,0 310,8 334,7 319,4 360,0

96,3 275,8 219,4 234,6 247,6 282,9 356,0 353,8 348,9 368,7

96,4 275,0 216,6 256,7 282,3 247,3 321,3 313,9 343,7 368,7

97,1 209,5 231,1 164,3 212,9 271,2 321,3 305,2 284,7 368,7

97,2 270,3 279,9 167,8 294,4 268,9 352,5 343,4 303,8 288,9

97,3 270,3 265,8 174,2 294,8 258,4 345,5 353,8 319,4 368,7

97,4 272,4 301,7 157,0 283,1 280,8 321,3 353,8 319,4 334,0

RATA-RATA 257,3 242,9 192,2 262,0 267,4 331,3 339,1 318,5 352,2

Page 86: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

24 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

krisis tidak lebih baik dari periode 1997:3. Tapi pada saat itu tidak terjadi serangan apapun.

Serangan para spekulan ke negara-negara yang terkena krisis justru terjadi pada periode

1997:3 setelah kejatuhan Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa adanya krisis di suatu

negara (faktor contagion) menjadi t rigger (faktor pemicu) bagi serangan para pelaku pasar uang.

Analisa Sensitifitas

Untuk memperkuat hasil perhitungan diatas, perlu dilakukan uji sensitifitas dengan

mengubah kriteria penggolongan indikator fundamental ekonomi serta mengubah angka

kredit untuk masing-masing klasifikasi sebagai berikut :

INDIKATOR KRITERIA UJI I (longgar) UJI II (ketat)

Transaksi berjalan surplus, 1 %, 2% surplus, 2 %, 4% surplus, 1/2 %, 1%

Portfolio + other Inv. Negatif, 5% , 10% Negatif, 10% , 20% Negatif, 2,5% , 5%

Cadangan Devisa 8, 6, 3 bulan 6, 4, 2 bulan 10, 8, 4 bulan

Pinj. Luar Negeri tidak ada, 80 %, 160% tidak ada,120 %, 200% tidak ada, 40 %, 80%

Pinjaman Jk pendek tidak ada, 50%, 75% tidak ada, 75%, 100% tidak ada, 25%, 50%

Pertumbuhan Kredit 2 0%, 40%, 60% 40%, 60%, 80% 10%, 15%, 20%

Pertumbuhan M2 2 0%, 40%, 60% 40%, 60%, 80% 10%, 15%, 20%

Kinerja Ekspor 7 0%, 50%, 30% 60%, 40%, 20% 90%, 70%, 50%

Pertumbuhan IHSG 5%, 10%, 20% 7%, 15%, 25% 3%, 5%, 10%

Pertumbuhan REER negatif, 5%, 10% negatif, 7%, 15% negatif, 3%, 5%

PREDIKAT ANGKA KREDIT UJI III UJI IV

KUAT 4 5 8

SEDANG 3 3 6

BERESIKO 2 1 4

L E M A H 1 0 2

Page 87: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

25Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia

Dari hasil perhitungan dapat diperoleh hasil sebagai berikut :

FAKTOR FAKTOR L O G

FUNDAMENTAL CONTAGION LIKELIHOOD

KOEF t-stat KOEF t-stat

HASIL AWAL -0.0101 -3.705 2.650 3.133 -12.658

UJI I -0.0098 -3.345 2.706 2.868 -12.427

UJI II -0.0115 -4.167 2.679 3.473 -13.448

UJI III -0.0083 -4.459 2.364 3.551 -14.993

UJI IV -0.0050 -3.705 2.650 3.133 -12.658

Hasil diatas menunjukkan bahwa faktor fundamental dan faktor contagion secara

signifikan mempengaruhi keputusan pelaku pasar untuk melakukan serangan atau tidak.

Dengan mengubah kriteria penggolongan ‘tingkat kesehatan’ faktor fundamental ekonomi

menghasilkan faktor contagion yang robust . Demikian pula, dengan mengubah angka kredit

untuk masing-masing predikat ternyata juga menghasilkan faktor contagion yang robust.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Kesimpulan

• Dari analisis data terlihat bahwa negara-negara yang mengalami krisis, yakni Thailand,

Indonesia, Malaysia, Philippines, dan Korea mengalami defisit transaksi berjalan secara

persistence. Untuk membiayai defisit ini, mereka lebih mengandalkan pada dana jangka

pendek terutama dalam bentuk portfolio dan utang luar negeri. Dari aspek perdagangan,

defisit tersebut masih akan berlangsung di tahun-tahun mendatang, karena sebagian

ekspornya masih mengandalkan produk manufaktur ringan, sebaliknya impor barang-

barang konsumsi menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat.

• Kondisi diatas, semakin diperburuk oleh sistem perbankan yang tidak sehat. Adanya campur

tangan pemerintah dalam pemberian kredit, pemberian kredit pada kelompok, pertumbuhan

kredit dan M2 yang terlalu tinggi, serta pertumbuhan foreign liabilities yang sangat tinggi.

• Adanya perbedaan fundamental ekonomi antara negara yang terkena krisis dengan

yang tidak terkena krisis ternyata gagal dideteksi dengan baik oleh Sistem deteksi Dini

yang dikembangkan oleh Kaminsky. Menurut hasil pengujian dengan metoda tersebut

mengatakan kondisi fundamental ekonomi Indonesia jauh lebih baik dari Singapore,

Hongkong, dan Taiwan.

Page 88: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

26 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

• Disamping kondisi fundamental ekonomi, efek penularan ternyata memberikan kontribusi

yang signifikan terhadap krisis mata uang. Dari pengujian model probit ternyata efek

penularan memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan kondisi ekonomi.

Implikasi Kebijakan

• Dalam jangka pendek, Indonesia masih akan mengalami defisit transaksi berjalan akibat

lemahnya daya saing produk, beban pembayaran utang yang terus membengkak, dan

kebutuhan impor yang tinggi. Untuk memperbaiki defisit tersebut, perlu segera dilakukan

reformasi ekonomi melalui langkah-langkah sebagai berikut:

◊ Merubah pola pikir dan menumbuhkan komitmen dari semua pihak untuk bertekad

meningkatkan ekspor.

◊ Memperbaiki iklim investasi dengan memberikan insentif kepada PMA yang

menguasai teknologi tinggi dan mampu menghasilkan produk-produk ekspor yang

berdaya saing tinggi.

◊ Menghilangkan semua distorsi pasar dalam negeri untuk menghilangkan ekonomi

biaya tinggi dan meningkatkan daya saing.

• Mengingat defisit masih akan terus berlangsung, berarti Indonesia masih membutuhkan

capital inflows. Untuk itu, pemerintah perlu mengambil kebijakan-kebijakan baru dengan

memberikan insentif kepada dana-dana jangka panjang. Disamping itu, pasar keuangan

dalam negeri perlu ditingkatkan kesehatannya melalui perbaikan struktur, kelembagaan,

aspek hukum dan peraturan, serta infrastruktur.

• Krisis yang saat ini terjadi di Indonesia sebagian juga disebabkan oleh sistem perbankan

yang tidak sehat. Bank Indonesia perlu mengambil langkah-langkah baru untuk

memperkuat sistem perbankan sesuai dengan standar internasional.

• Negara-negara di kawasan Asia perlu melakukan kerja sama yang lebih erat, terutama

dalam melakukan regional surveillance. Dengan kerja sama ini diharapkan krisis dapat

dicegah sejauh mungkin, sehingga menghindari terjadinya contagion effect yang dengan

cepat dapat menyebar di seluruh kawasan.

Daftar Pustaka

Goldfajn, Ilan; valdes, Rodrigo, Capital Flows and the Twin Crises : The Role of Liquidity,

IMF Working Paper No. WP/97/87, July 1997.

Eichengreen,B.,Rose,A., and C. Wyplosz, Speculative Attacks on Pegged Exchange Rates:

An Empirical Investigation, NBER Working Paper No. 4898, 1994.

Page 89: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

27Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia

Kaminsky, G.L., and C.M. Reinhart, The Twin Crises : The Causes of Banking and Balance

of Payments Problems, International Finance Discussion paper, 1996

Kaminsky, Graciela, Saul Lizondo and Carmen M. Reinhart, Leading Indicators of

Currency Crises, IMF Working Paper No. WP/97/79, 1997.

Goldfajn, Ilan, Valdes, Rodrigo O., Are Currency Crises Predictable ?, IMF Working

Paper No. WP/97/159, IMF.

MAS, Current Account Deficits in the ASEAN-3. Is there cause for concern ?, Occasional

Paper No. 1, January 1997.

The Banker, Asian Meltdown.

Sumber Data

IMF, International Financial Statistics, Yearbook dan Monthly.

Morgan, J.P., Emerging Markets : Economic Indicators, berbagai edisi.

Bank Indonesia, Laporan Tahunan dan Triwulanan, berbagai edisi.

Bloomberg.

HKMA, Annual report 1996.

Page 90: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

37Manajemen Moneter dalam Masa Krisis

MANAJEMEN MONETER DALAM MASA KRISIS

Doddy Zulverdi * )

Krisis nilai tukar yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah berkembang menjadi

krisis ekonomi akibat kerapuhan di sisi ekonomi mikro dan ketidaktepatan kombinasi kebijakan ekonomi makro.

Permasalahan yang dihadapi dalam pemilihan strategi kebijakan ekonomi makro adalah adanya konflik (trade-

off) antarkebijakan akibat sifat krisis yang multidimensional.

Kebijakan moneter sebagai salah satu elemen kebijakan ekonomi juga tidak terlepas dari kesulitan

yang sama, yaitu dalam mengakomodasi berbagai sasaran kebijakan secara serentak. Kesulitan tersebut telah

berlangsung sejak periode sebelum krisis dan berdampak negatif terhadap kondisi fundamental ekonomi makro

yang berdasarkan hasil pengamatan ternyata tidaklah sekuat yang diyakini semula.

Kesulitan yang dihadapi oleh otoritas baik dalam memilih maupun mengimplementasikan strategi

kebijakan moneter juga dialami oleh berbagai negara yang pernah mengalami krisis serupa. Tidak ada satu

strategi pun yang cocok diterapkan di semua situasi dan di semua negara. Pemilihan strategi yang tepat

ditentukan oleh jenis tekanan eksternal yang dihadapi, karakteristik struktur ekonomi, dan prioritas sasaran

akhir yang dipilih. Berdasarkan kriteria tersebut dan mengingat masih rapuhnya sistem perbankan sebagai

suatu jalur transmisi kebijakan moneter terpenting serta masih sangat rentannya perekonomian Indonesia

terhadap tekanan-tekanan eksternal, maka penerapan strategi jangkar inflasi di dalam suatu sistem nilai tukar

yang agak fleksibel kiranya layak untuk dipertimbangkan secara mendalam.

Tulisan ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama menjelaskan latar belakang pentingnya

memilih strategi kebijakan moneter (termasuk kebijakan nilai tukar) yang tepat untuk membawa Indonesia

keluar dari krisis ekonomi. Dalam bagian kedua diulas beberapa alternatif strategi kebijakan ekonomi-moneter

dari sisi teori. Selanjutnya, bagian ketiga membahas faktor-faktor yang memicu dan memperdalam krisis di

Indonesia dan kebijakan yang telah diambil termasuk konflik yang dihadapi dalam penerapan strategi kebijakan

moneter. Di bagian keempat, dengan mengacu kepada konsep teori dan pengalaman negara-negara lain serta

pengalaman Indonesia sendiri, diajukan beberapa alternatif strategi kebijakan moneter yang dapat diterapkan

di Indonesia. Bagian kelima mengemukakan beberapa kesimpulan umum berikut rekomendasi kebijakan yang

ditawarkan.

*) Doddy Zulverdi : Peneliti Ekonomi Junior, Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan, UREM, BI

Penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada Erwin Haryono dan Wahyu Agung Nugroho, keduanya adalahAsisten Peneliti Ekonomi di Bagian APK, UREM-BI, atas bantuan riset yang diberikan dalam penyusunan tulisan ini.

Page 91: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

38 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Pendahuluan

B erbagai analisis menyimpulkan bahwa penyebab utama parahnya krisis di Asia

adalah kerapuhan di sisi ekonomi mikro seperti sistem perbankan yang tidak sehat,

ketergantungan sektor usaha pada hutang baik dari dalam maupun luar negeri ( highly

leveraged), dan sistem pasar yang dikuasai oleh segelintir monopolis yang menjadi kuat

akibat praktek kolusi. 1 Tidak sedikit yang menilai bahwa kondisi kerapuhan di sisi mikro

tersebut kemudian diperburuk oleh ketidaktepatan kombinasi kebijakan ekonomi makro

(policy mix) yang diambil pada awal dan selama krisis. 2

Sebagai salah satu instrumen kebijakan ekonomi makro, kebijakan moneter memiliki

peran yang sangat penting dalam penyelesaian krisis ekonomi yang sedang terjadi di

Indonesia. Apalagi mengingat bahwa krisis ini telah berkembang menjadi fenomena yang

dikenal sebagai financial distress, yaitu proses demonetisasi berupa penurunan permintaan

akan likuiditas perekonomian (M2) sebagai akibat meningkatnya permintaan akan uang

kartal. Apabila dibiarkan terus berlanjut, proses ini akan menimbulkan dampak negatif

terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pemicu terjadinya fenomena f l ight t o

currency yang begitu tiba-tiba adalah ketidakpastian nilai tukar rupiah (McNelis, 1988).

Oleh karena itu, upaya pemulihan ekonomi sangat tergantung kepada ketepatan strategi

kebijakan moneter yang diambil, khususnya dalam rangka mengembalikan kepastian nilai

tukar.

Tulisan ini bertujuan untuk menginventarisasi kemungkinan penyebab semakin

parahnya krisis nilai tukar di Indonesia dilihat dari sisi kemungkinan ketidaktepatan

kombinasi kebijakan moneter yang telah diambil selama ini. Dari hasil peninjauan ke

belakang tersebut dan didukung oleh pengalaman negara-negara yang pernah atau sedang

mengalami krisis yang mirip, diharapkan akan diperoleh gambaran arah kebijakan moneter

dan nilai tukar yang tepat dalam mendukung proses pemulihan kegiatan ekonomi di masa

datang. Dapat ditambahkan bahwa tulisan ini hanya membahas berbagai alternatif strategi

kebijakan moneter di dalam suatu perekonomian yang terbuka (tidak ada pembatasan

transaksi devisa).

Alternatif Strategi Kebijakan di Masa Krisis: Tinjauan Teoritis

Kebijakan moneter adalah salah satu elemen penting dari paket kebijakan ekonomi

yang digunakan dalam mengatasi krisis ekonomi. Namun, efektivitas kebijakan moneter

itu sendiri sangat tergantung kepada ketepatan dan keharmonisan pembagian tugas di

1 Lihat misalnya World Bank (1998) dan IMF (1998).2 Lihat misalnya Radelet dan Sachs (1998).

Page 92: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

39Manajemen Moneter dalam Masa Krisis

antara berbagai kebijakan yang tersedia. Oleh karena itu, bagian ini akan diawali dengan

tinjauan singkat mengenai berbagai pilihan kebijakan yang terdapat di dalam paket tersebut.

Selanjutnya, secara khusus akan dibahas peranan kebijakan moneter di dalam penyelesaian

krisis disertai dengan alternatif strategi kebijakan moneter yang tersedia.

Pilihan Kebijakan dalam Menghadapi Tekanan Eksternal

Ada tiga jenjang pilihan kebijakan yang harus diputuskan oleh pemerintah dalam

menghadapi tekanan-tekanan eksternal (Krugman, 1995), yaitu:

• Apakah tekanan-tekanan eksternal tersebut harus dihadapi melalui kebijakan financing

(yaitu dengan meminjam dana dari luar negeri untuk menutupi penurunan penerimaan

ekspor dan kenaikan biaya impor/biaya bunga) atau melalui kebijakan adjustment (yaitu

dengan melakukan berbagai penyesuaian dalam rangka mendorong ekspor dan

mengurangi impor).

• Seandainya pilihan jatuh kepada kebijakan adjustment, seberapa besar bobot penyesuaian

perlu dibebankan masing-masing kepada strategi pengurangan pengeluaran ( expenditure

reducing policy) dan strategi pengalihan pengeluaran ( expenditure switching policy) .

• Akhirnya, alternatif mana yang akan dipilih di antara dua pilihan strategi kebijakan

pengalihan pengeluaran, yaitu antara kebijakan devaluasi dan kebijakan perdagangan.

Kebijakan financing akan diambil apabila tekanan-tekanan yang terjadi diyakini hanya

bersifat temporer dan dapat diatasi dengan menggunakan dana luar negeri dalam jumlah

yang minimal. Sebaliknya, apabila tekanan-tekanan tersebut lebih bersifat jangka panjang

maka harus dilakukan kebijakan adjustment. Namun, terdapat beberapa kondisi yang

seringkali mendorong otoritas untuk menerapkan kedua kebijakan secara bersama-sama,

yaitu:

• Tekanan-tekanan sosial politik seringkali menghalangi otoritas dalam melakukan

penyesuaian-penyesuaian secara maksimal sehingga mau tidak mau harus dibantu

dengan kebijakan financing. Hal ini karena kebijakan penyesuaian mengandung berbagai

pilihan yang tidak menyenangkan seperti kenaikan pajak/penurunan subsidi,

pengurangan konsumsi, dan sebagainya.

• Sulitnya membedakan antara tekanan-tekanan yang bersifat temporer dan permanen

menyebabkan otoritas seringkali memutuskan untuk menerapkan kedua kebijakan secara

bersamaan untuk menghindari resiko salah pilih.

• Dampak dari kebijakan penyesuaian biasanya baru dirasakan secara efektif setelah

periode yang relatif panjang. Oleh karena itu, penggunaan sumber dana luar negeri

Page 93: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

40 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

seringkali diperlukan untuk mengurangi dampak negatif jangka pendek dari krisis yang

terjadi sambil menunggu hasil dari kebijakan penyesuaian.

• Negara yang mengalami krisis seringkali mengalami kesulitan untuk memperoleh dana

luar negeri, terutama dari pihak swasta, dalam jumlah yang memadai karena adanya

krisis kepercayaan. Oleh karena itu, otoritas tidak dapat semata-mata menggantungkan

diri kepada kebijakan financing.

Kebijakan pengurangan pengeluaran bertujuan untuk mengurangi pengeluaran oleh

penduduk suatu negara sehingga mengurangi tekanan terhadap neraca pembayaran, nilai

tukar, dan laju inflasi. Terdapat tiga cara yang dapat diambil otoritas untuk mengurangi

pengeluaran nasional, yaitu:

• Mengurangi pengeluaran pemerintah.

• Mengurangi pengeluaran masyarakat melalui peningkatan pajak atau pemotongan

subsidi.

• Membatasi hutang sektor swasta melalui pembatasan pemberian kredit oleh sistem

perbankan (kebijakan ini berada di dalam ruang lingkup kebijakan moneter).

Sementara itu, kebijakan pengalihan pengeluaran bertujuan untuk memperbaiki

transaksi berjalan dengan cara mengalihkan pengeluaran masyarakat dari produk impor

ke produk dalam negeri dan mendorong peningkatan ekspor. Terdapat dua instrumen

utama yang dapat diterapkan oleh pemerintah untuk mengalihkan pengeluaran nasional,

yaitu: devaluasi dan kebijakan perdagangan (perubahan tarif, pemberlakuan kuota, dan

subsidi ekspor). Berbeda dengan kebijakan pengurangan pengeluaran, kebijakan pengalihan

pengeluaran tidak secara langsung memaksa masyarakat untuk menurunkan

pengeluarannya sehingga resiko kontraksi ekonomi dapat diminimalkan. Namun,

kelemahan utama kebijakan pengalihan pengeluaran adalah cenderung mendorong

kenaikan laju inflasi. Hal ini terjadi karena apabila perekonomian sudah berada pada tingkat

penggunaan kapasitas penuh maka kenaikan permintaan domestik dan permintaan ekspor

akan menimbulkan tekanan kenaikan harga-harga di dalam negeri. Kalau pun

perekonomian masih berada di bawah kapasitas penuh, tekanan inflasi masih tetap akan

timbul dalam bentuk imported inflation akibat depresiasi/devaluasi nilai tukar.

Mengingat berbagai kelebihan dan kelemahan yang terkandung di dalam masing-

masing kebijakan, berbagai negara seringkali menerapkan kombinasi kebijakan

pengurangan dan pengalihan pengeluaran. Namun, karena begitu besarnya faktor

ketidakpastian di dalam suatu perekonomian yang sedang mengalami krisis dan sangat

tingginya tekanan imported inflation (akibat devaluasi/depresiasi), pemerintah seringkali

terpaksa menerapkan kebijakan pengurangan pengeluaran secara drastis. Akibatnya,

Page 94: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

41Manajemen Moneter dalam Masa Krisis

minimal dalam jangka pendek, negara-negara tersebut mengalami fenomena stagflasi, yaitu

tingginya laju inflasi yang diiringi oleh resesi ekonomi.

Selanjutnya, di antara dua instrumen kebijakan pengalihan pengeluaran, pilihan yang

diambil akan sangat tergantung kepada efisiensi birokrasi dan dukungan politik yang

diberikan masyarakat kepada pemerintah. Kebijakan devaluasi memiliki keunggulan

daripada kebijakan perdagangan karena tidak membutuhkan administrasi dan birokrasi

yang rumit. Sebaliknya, kebijakan devaluasi memiliki kelemahan karena menimbulkan

pergeseran distribusi pendapatan yang seringkali secara politik tidak menguntungkan bagi

keberhasilan kebijakan tersebut.

Alternatif Strategi Kebijakan Moneter

Dari serangkaian pilihan kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah dalam

mencoba mengatasi tekanan-tekanan eksternal, terlihat bahwa kebijakan moneter dan nilai

tukar memiliki peran penting dalam penerapan kebijakan penyesuaian ( adjustment) .

Kebijakan moneter adalah salah satu instrumen kebijakan pengurangan pengeluaran

sedangkan kebijakan nilai tukar adalah salah satu instrumen kebijakan pengalihan

pengeluaran. Untuk itu, berikut ini akan diulas berbagai pilihan strategi kebijakan maupun

kombinasi kebijakan yang dapat diambil oleh otoritas dalam menerapkan kebijakan moneter

dan nilai tukar.

William Poole (1970) mengidentifikasi tiga alternatif strategi kebijakan moneter, yaitu:

strategi jangkar uang beredar ( money stock targeting), strategi jangkar suku bunga ( interest

rate targeting), dan strategi kombinasi sistematis antara sasaran volume uang beredar dan

tingkat suku bunga. Ketiga strategi tersebut lebih relevan diterapkan di dalam suatu

perekonomian tertutup (derajat mobilitas modal rendah) atau di dalam suatu perekonomian

terbuka yang menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang karena hanya di dalam kedua

bentuk perekonomian tersebut otoritas moneter memiliki independensi penuh dalam

mengendalikan jumlah uang beredar dan/atau suku bunga domestik.

Dengan menggunakan kerangka model IS-LM, Poole menunjukkan bahwa di antara

dua pilihan ekstrim: jangkar uang beredar dan jangkar suku bunga, strategi yang tepat

tergantung kepada jenis tekanan ekonomi makro yang terjadi. Apabila suatu

perekonomian mengalami tekanan-tekanan riil ( real shocks) se hingga kurva IS

mengalami pergeseran maka strategi jangkar uang beredar adalah pilihan yang lebih

tepat karena perubahan suku bunga (bagi perekonomian tertutup) atau perubahan nilai

tukar (bagi perekonomian terbuka) akan meredam tekanan-tekanan tersebut dan

meminimalkan dampak negatifnya terhadap stabilitas harga atau produksi. Sebaliknya,

apabila yang terjadi adalah tekanan-tekanan moneter ( monetary shocks) yang menggeser

Page 95: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

42 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

kurva LM maka yang lebih tepat adalah strategi jangkar suku bunga karena perubahan

uang beredar atau neraca pembayaran akan meredam tekanan-tekanan tersebut dan

meminimalkan dampak negatifnya terhadap stabilitas harga atau produksi.

Grafik 1 mengilustrasikan suatu perekonomian sedang mengalami tekanan-tekanan

riil yang bersifat random sehingga kurva IS bergeser di antara IS1 dan IS

2.3 Dengan asumsi

fungsi permintaan uang stabil, jika jumlah uang beredar dikendalikan pada level M*

(strategi jangkar uang beredar) maka kurva LM yang terjadi adalah LM1 dan tingkat

produksi/pendapatan akan berada di antara Y1 dan Y

2. Namun, apabila suku bunga

dikendalikan pada tingkat r* (strategi jangkar suku bunga) maka kurva LM yang terjadi

adalah LM2 dan tingkat produksi/pendapatan dapat berada di antara Y

0 dan Y

3, suatu

rentang yang lebih lebar daripada antara Y1 dan Y

2. Dalam hal ini, strategi jangkar uang

beredar adalah pilihan yang lebih tepat karena dapat lebih meminimalkan dampak negatif

tekanan riil terhadap stabilitas produksi/pendapatan.

Grafik 2 menggambarkan suatu perekonomian sedang mengalami tekanan

permintaan uang yang bersifat random. Apabila jumlah uang beredar dikendalikan pada

level M* maka kurva LM akan bergerak antara LM1 dan LM

2 dan tingkat produksi akan

berada di antara Y1 dan Y

2. Sebaliknya, apabila suku bunga dipertahankan pada tingkat r*,

kurva LM dan tingkat produksi yang terjadi masing-masing adalah LM3 dan Y

f (tingkat

3 Poole (1970, hal. 200) mengasumsikan tingkat harga konstan sehingga strategi kebijakan yang diambil diarahkan untukmencapai sasaran stabilitas produksi pada tingkat full employment. Secara implisit, hal ini juga berarti bahwa sasaranyang dituju adalah stabilitas harga karena dengan mengupayakan perekonomian selalu berproduksi pada tingkat fullemployment berarti mengurangi tekanan perubahan harga-harga.

Y0

Y3

r

r *

YY

1Y

fY

2

L M1

L M2

IS1

IS2

Grafik 1

r

r *

YY

1Y

fY

2

L M1

L M2

IS

L M3

Grafik 2

Page 96: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

43Manajemen Moneter dalam Masa Krisis

produksi/pendapatan full employment). Dengan demikian, strategi yang lebih tepat adalah

strategi jangkar suku bunga.

Sebagaimana terlihat pada Grafik 1, strategi jangkar uang beredar dapat dibuat lebih

optimal dengan mengubah elastisitas kurva LM terhadap perubahan suku bunga.

Perubahan elastisitas tersebut dapat dilakukan dengan membuat suplai uang beredar sensitif

terhadap suku bunga. Secara sederhana, hal ini dapat diilustrasikan oleh sistem persamaan

deterministik berikut.

(1) M = a0 + a

1.Y + a

2.r (Kurva LM)

(2) M s = b1 + b

2.r (Suplai uang yang sensitif terhadap suku bunga)

Substitusikan persamaan (2) ke dalam persamaan (1) :

⇔ b1 + b

2.r = a

0 + a

1.Y + a

2.r

⇔ a1.Y = b

1 - a

0 + (b

2 - a

2).r

⇔ Y = (b1 - a

0)/ a

1 + (b

2 - a

2)/ a

1.r

Persamaan yang terakhir adalah kurva LM dengan suplai uang sensitif terhadap

suku bunga. Koefisien variabel r, yaitu (b2 - a

2)/a1, adalah elastisitas kurva LM terhadap

suku bunga. Elastisitas tersebut tergantung kepada elastisitas permintaan uang terhadap

suku bunga (a2), elastisitas suplai uang terhadap suku bunga (b

2), dan suatu konstanta (a

1).

Karena elastisitas permintaan uang terhadap suku bunga (a2) tidak berada dalam kendali

otoritas moneter maka upaya mengubah elastisitas kurva LM hanya dapat dilakukan dengan

mengubah elastisitas suplai uang terhadap suku bunga (b2). Dengan perkataan lain,

kebijakan moneter yang lebih optimal dapat diperoleh dengan menerapkan strategi di

mana sasaran jumlah uang beredar dan sasaran suku bunga ditetapkan berdasarkan

suatu hubungan tertentu (dalam hal ini, hubungan tersebut dikuantifikasi dalam bentuk

koefisien b2).

Sekalipun strategi kombinasi tersebut secara teoritis dapat menghasilkan kebijakan

yang lebih optimal, dalam praktek tidak selalu demikian. Alasannya, otoritas moneter

dituntut mengetahui lebih banyak parameter daripada yang dituntut oleh strategi jangkar

uang beredar maupun jangkar suku bunga (Poole, hal. 209). Di dalam situasi yang masih

diliputi oleh ketidakpastian, semakin banyak parameter yang harus diestimasi, semakin

tinggi resiko kegagalan strategi yang dipilih.

Di samping ketiga alternatif strategi di atas, terdapat dua pilihan strategi lain, yaitu

strategi jangkar nilai tukar dan jangkar laju inflasi ( inflation targeting) (Houben, 1997).

Sebagaimana halnya strategi jangkar suku bunga, strategi jangkar nilai tukar lebih cocok

diterapkan pada perekonomian yang mengalami tekanan-tekanan moneter khususnya

Page 97: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

44 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

dalam bentuk fluktuasi permintaan uang. Dalam hal ini, tekanan-tekanan tersebut akan

diredam oleh penyesuaian yang terjadi pada neraca pembayaran sehingga dampak

negatifnya terhadap stabilitas harga dan produksi dapat diminimalkan.

Alternatif strategi jangkar laju inflasi terutama tepat untuk diterapkan di dalam

perekonomian yang mengalami tekanan-tekanan besar baik moneter maupun riil pada

saat bersamaan. Keunggulan utama strategi ini terletak pada kemampuannya untuk secara

langsung mempengaruhi ekspektasi inflasi dan pada saat yang sama tetap memberikan

keleluasaan kepada otoritas dalam menyusun respons yang tepat terhadap berbagai tekanan

yang melanda perekonomian.

Kondisi Indonesia Sebelum dan Selama Masa Krisis

Penyebab Krisis yang Melanda Indonesia

Tekanan-tekanan eksternal dapat mempengaruhi perekonomian suatu negara melalui

dua jalur utama, yaitu pasar barang internasional dan pasar keuangan internasional.

Tekanan-tekanan yang berasal dari pasar barang internasional dapat berbentuk penurunan

permintaan ekspor atau gangguan suplai barang impor. Sedangkan tekanan yang berasal

dari pasar keuangan internasional dapat berbentuk kenaikan suku bunga riil internasional

dan terputusnya akses ke pasar keuangan internasional akibat anjloknya kepercayaan

investor. Untuk kasus Indonesia, faktor yang disebutkan terakhir tampaknya lebih relevan

dalam menjelaskan penyebab krisis yang terjadi. Yang kemudian sering menjadi bahan

perdebatan adalah penyebab dari hilangnya kepercayaan tersebut.

Secara ekstrim terdapat dua pendapat mengenai penyebab hilangnya kepercayaan

investor terhadap Indonesia. Pendapat pertama meyakini bahwa kerapuhan sistem

keuangan internasional telah membuat berbagai negara sangat rentan terhadap contagion

effect (Radelet dan Sachs, 1998). Oleh karena itu, menurut kubu ini jalan keluarnya adalah

dengan memperketat rambu-rambu yang mengatur bekerjanya sistem keuangan

internasional serta meredifinisi peran dan tugas lembaga-lembaga Bretton-Woods agar lebih

mampu mengemban misi utamanya sebagai penjaga stabilitas sistem moneter internasional.

Sebaliknya, pendapat kedua meyakini bahwa kelemahan internal seperti kerapuhan sistem

perbankan, sistem pasar yang monopolistik, dan ketidaktepatan kebijakan makro adalah

faktor utama hilangnya kepercayaan investor.

Faktor ketidaktepatan kebijakan ekonomi makro agaknya bertentangan dengan

keyakinan kita dan berbagai lembaga keuangan internasional selama ini bahwa fundamental

ekonomi Indonesia sangat kuat karena didukung oleh kebijakan ekonomi makro yang

Page 98: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

45Manajemen Moneter dalam Masa Krisis

berhati-hati. Pertanyaannya adalah: apakah indikator-indikator ekonomi makro sebelum

krisis memang bergerak normal dan tidak mengindikasikan kemungkinan timbulnya krisis?

Indikator Krisis dari Sisi Ekonomi Makro

Berdasarkan hasil studi Kaminsky-Reinhart (1996) dan Kaminsky (1998) terhadap

102 krisis keuangan yang terjadi di 20 negara, terdapat beberapa indikator ekonomi makro

dan keuangan yang mampu memberikan peringatan secara dini akan kemungkinan

timbulnya krisis. Dengan menggunakan indikator-indikator tersebut terlihat adanya indikasi

peningkatan kerentanan ekonomi Indonesia terhadap tekanan-tekanan eksternal. Dengan

perkataan lain, kondisi fundamental ekonomi makro Indonesia dalam periode sebelum

krisis tidaklah sekuat yang diduga semula.

Berikut ini adalah gambaran beberapa indikator moneter dan keuangan yang

mengindikasikan adanya peningkatan tekanan bubble economy dan masalah perbankan

terutama sejak tahun 1996 (lihat Panel 1):

• Pertumbuhan tahunan multiplier M2 kembali meningkat sejak awal tahun 1996 dan

terus menunjukkan pertumbuhan positif hingga awal tahun 1997 setelah mengalami

perlambatan secara tajam sejak tahun 1990. Pertumbuhan positif multiplier M2 telah

meningkatkan kemampuan perbankan dalam menciptakan uang.

• Rasio kredit terhadap PDB yang terus bergerak naik sejak akhir 1994, menunjukkan

kenaikan yang semakin cepat sejak akhir 1996.

• Rasio suku bunga kredit terhadap deposito (terutama deposito 1 bulan) cenderung

meningkat sejak pertengahan 1995 hingga pertengahan 1997. Hal ini kemungkinan

mencerminkan penurunan kualitas kredit perbankan. Dalam situasi ini, perbankan

akan terpaksa menaikkan suku bunga kredit melebihi kenaikan suku bunga simpanan

untuk menutupi kerugian atau potensi kerugian yang berasal dari kredit macet.

• Sejak pertengahan tahun 1996 terdapat kecenderungan peningkatan pertumbuhan

simpanan valas. Sebaliknya, pertumbuhan simpanan rupiah cenderung mengalami

penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan ekspektasi depresiasi rupiah

di masyarakat.

• Sejak pertengahan tahun 1996 terjadi “ excess supply” M1 riil. Kondisi ini dapat

disebabkan oleh penciptaan uang yang berlebihan akibat ekspansi perbankan yang

tidak berhati-hati atau dapat pula disebabkan oleh lebih rendahya permintaan riil

daripada suplai akibat meningkatnya ekspektasi inflasi dan depresiasi.

Page 99: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

46 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Suku Bunga Deposito Riil (%)

-60

-50

-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

rdep1

rdep12

Rasio Suku Bunga Pinjaman terhadap Deposito

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

1.60

1.80

Jun-

93

Se

p-9

3

Dec

-93

Mar

-94

Jun-

94

Se

p-9

4

Dec

-94

Mar

-95

Jun-

95

Se

p-9

5

Dec

-95

Mar

-96

Jun-

96

Se

p-9

6

Dec

-96

Mar

-97

Jun-

97

Se

p-9

7

Dec

-97

Mar

-98

Jun-

98

KMK/dep1

KMK/dep12

Perubahan 12 bulanan multiplier M2 (MA 12)

-10

-5

0

5

10

15

20

25

30

35%

Rasio kredit terhadap PDB Nominal (MA 6)

4.0

5.0

6.0

7.0

8.0

9.0

Dec

-93

Feb-

94A

pr-9

4Ju

n-94

Aug

-94

Oct

-94

Dec

-94

Feb-

95

Apr

-95

Jun-

95A

ug-9

5O

ct-9

5D

ec-9

5Fe

b-96

Apr

-96

Jun-

96A

ug-9

6O

ct-9

6D

ec-9

6Fe

b-97

Apr

-97

Jun-

97A

ug-9

7O

ct-9

7D

ec-9

7Fe

b-98

Apr

-98

Jun-

98

Perubahan 12 Bulanan Posisi Dana Pihak Ketiga (%)

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

100

120

total deposits

rupiah deposits

forex deposits (Rp Constant rate) *

Catatan: Forex deposits dalam Rupiah dengan nilai tukar konstan. (Jan '97: Rp 2.396/USD)

Excess M1 Riil: Selisih Antara Aktual dengan Estimasi Permintaan M1 Ri i

-20

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

Fe

b-9

1A

pr-

91J

un-

91

Au

g-9

1O

ct-

91D

ec

-91

Fe

b-9

2A

pr-

92J

un-

92

Au

g-9

2O

ct-

92D

ec

-92

Fe

b-9

3A

pr-

93J

un-

93

Au

g-9

3O

ct-

93D

ec

-93

Fe

b-9

4A

pr-

94J

un-

94

Au

g-9

4O

ct-

94D

ec

-94

Fe

b-9

5A

pr-

95J

un-

95

Au

g-9

5O

ct-

95D

ec

-95

Fe

b-9

6A

pr-

96J

un-

96

Au

g-9

6O

ct-

96D

ec

-96

Fe

b-9

7A

pr-

97J

un-

97

Au

g-9

7O

ct-

97D

ec

-97

Fe

b-9

8A

pr-

98J

un-

98

0

100

200

300

400

500

600

700

ExcessActual

Fitted

Excess Actual & Fitte d

Jan-

90A

pr-9

0Ju

l-90

Okt

-90

Jan-

91A

pr-9

1Ju

l-91

Okt

-91

Jan-

92A

pr-9

2Ju

l-92

Okt

-92

Jan-

93A

pr-9

3Ju

l-93

Okt

-93

Jan-

94A

pr-9

4Ju

l-94

Okt

-94

Jan-

95A

pr-9

35Ju

l-95

Okt

-95

Jan-

96A

pr-9

6Ju

l-96

Okt

-96

Jan-

97A

pr-9

7Ju

l-97

Okt

-97

Jan-

98A

pr-9

8Ju

l-98

Ja

n-9

0

Ju

n-9

0

No

v-9

0

Ap

r-91

Se

p-9

1

Fe

b-9

2

Ju

l-92

De

s-9

2

Ma

y-93

Ok

t-93

Ma

r-94

Ag

s-9

4

Ja

n-9

5

Ju

n-9

5

No

v-9

5

Ap

r-96

Se

p-9

6

Fe

b-9

7

Ju

l-97

De

s-9

7

Ma

y-98

Ja

n-9

1

Ma

y-91

Se

p-9

1

Ja

n-9

2

Ma

y-92

Se

p-9

2

Ja

n-9

3

Ma

y-93

Se

p-9

3

Ja

n-9

4

Ma

y-94

Se

p-9

4

Ja

n-9

5

Ma

y-95

Se

p-9

5

Ja

n-9

6

Ma

y-96

Se

p-9

6

Ja

n-9

7

Ma

y-97

Se

p-9

7

Ja

n-9

8

Ma

y-98

Panel 1

Page 100: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

47Manajemen Moneter dalam Masa Krisis

Beberapa indikator eksternal berikut juga memberikan indikasi semakin rentannya

ekonomi Indonesia terhadap tekanan-tekanan eksternal (lihat Panel 2):

• Pertumbuhan ekspor nonmigas menunjukkan kecenderungan menurun sejak

pertengahan tahun 1995. Melambatnya pertumbuhan ekspor tersebut terkait dengan

penguatan (apresiasi) nilai tukar riil sejak akhir tahun 1992, yaitu tahun dimulainya

penerapan sistem nilai tukar crawling peg. Dalam periode tersebut terdapat indikasi kuat

bahwa nilai tukar rupiah cenderung mengalami overvalued seperti diperlihatkan oleh

semakin melebarnya selisih antara nilai tukar aktual dengan trend -nya.

• Meskipun nilai tukar riil mengalami apresiasi dan overvalued, pertumbuhan impor

nonmigas justru cenderung menurun sejak akhir tahun 1995. Sebagaimana akan

dijelaskan berikut ini, melambatnya pertumbuhan impor nonmigas diperkirakan terkait

dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi.

Berikut ini adalah gambaran beberapa indikator sektor riil dalam periode sebelum

dan selama krisis (lihat Panel 2):

• Setelah sempat mengalami lonjakan cukup tinggi dalam tahun 1994, pertumbuhan

ekonomi menunjukkan trend menurun sejak pertengahan 1995. Selanjutnya, sejak

triwulan terakhir 1997 pertumbuhan ekonomi menurun sangat tajam.

• Agak sulit untuk memperoleh gambaran konklusif dari perkembangan indeks harga

saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta. Dilihat dari trend jangka panjang, IHSG

menunjukkan pertumbuhan yang cenderung menurun sejak awal tahun 1990. Namun,

perkembangan sejak awal 1996 hingga terjadinya krisis rupiah pada bulan Juli-Agustus

1997 memperlihatkan pertumbuhan yang cenderung meningkat. Kecenderungan

peningkatan harga saham di tengah kecenderungan melambatnya pertumbuhan ekonomi

menunjukkan kuatnya tekanan spekulatif selama periode sebelum krisis.

Kebijakan yang Telah Diambil

Pertanyaan lanjutan adalah: Kebijakan apa yang telah diambil oleh pemerintah

untuk meredam tekanan spekulatif dan sejauh mana efektivitasnya? Di samping itu,

mengingat besarnya kemungkinan timbulnya konflik antarkebijakan dalam mencapai

berbagai sasaran sehingga selalu terdapat resiko ketidaktepatan kombinasi kebijakan yang

diambil maka satu pertanyaan lain juga relevan untuk diajukan, yaitu: Sejauh mana

kemungkinan kombinasi kebijakan yang telah diambil, baik sebelum maupun selama krisis,

justru menambah tekanan spekulatif dan mempersulit penyelesaian krisis?

Page 101: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

48 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Panel 2

Deviasi Nilai Tukar Terhadap Trend

-50%

0%

50%

100%

150%

200%

250%

Jan-

88

Jun-

88N

ov-

88

Apr

-89

Sep

-89

Feb-

90Ju

l-90

De

c-90

May

-91

Oc

t-91

Mar

-92

Aug

-92

Jan-

93Ju

n-93

No

v-93

Apr

-94

Sep

-94

Feb-

95Ju

l-95

De

c-95

May

-96

Oc

t-96

Mar

-97

Aug

-97

Jan-

98Ju

n-98

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

Deviasi

Actual

Fit ted

Deviasi Actual & Fitted

Indeks Nilai Tukar Riil Bilateral (Rp terhadap US$, Juni 1 9

95

100

105

110

115

120

125

Perubahan 12 Bulanan Nilai Ekspor (MA 12)

-10

0

10

20

30

40

50

60%

Perubahan 12 Bulanan Nilai Impor (MA 12)

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

50S

ep-8

5Ja

n-86

May

-86

Sep

-86

Jan-

87M

ay-8

7S

ep-8

7Ja

n-88

May

-88

Sep

-88

Jan-

89M

ey-8

9S

ep-8

9Ja

n-90

May

-90

Sep

-90

Jan-

91M

ay-9

1S

ep-9

1Ja

n-92

May

-92

Sep

-92

Jan-

93M

ay-9

3S

ep-9

3Ja

n-94

May

-94

Sep

-94

Jan-

95M

ay-9

5S

ep-9

5Ja

n-96

May

-96

Sep

-96

Jan-

97M

ay-9

7S

ep-9

7Ja

n-98

May

-98

%

Perubahan 12 Bulanan PDB Riil (MA 12)

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

De

c-84

Jun-

85

De

c-85

Jun-

86

De

c-86

Jun-

87

De

c-87

Jun-

88

De

c-88

Jun-

89

De

c-89

Jun-

90

De

c-90

Jun-

91

De

c-91

Jun-

92

De

c-92

Jun-

93

De

c-93

Jun-

94

De

c-94

Jun-

95

De

c-95

Jun-

96

De

c-96

Jun-

97

De

c-97

Jun-

98

% Perubahan 12 Bulanan Indeks Pasar Modal (MA 12)

-50

0

50

100

150

200

250

Ma

r-85

Sep

-85

Mar

-86

Sep

-86

Mar

-87

Sep

-87

Mar

-88

Sep

-88

Mar

-89

Sep

-89

Mar

-90

Sep

-90

Mar

-91

Sep

-91

Mar

-92

Sep

-92

Mar

-93

Sep

-93

Mar

-94

Sep

-94

Mar

-95

Sep

-95

Mar

-96

Sep

-96

Mar

-97

Sep

-97

Mar

-98

Sep

-98

%

Sep

-85

Jan-

86M

ay-8

6S

ep-8

6Ja

n-87

May

-87

Sep

-87

Jan-

88M

ay-8

8S

ep-8

8Ja

n-89

Mey

-89

Sep

-89

Jan-

90M

ay-9

0S

ep-9

0Ja

n-91

May

-91

Sep

-91

Jan-

92M

ay-9

2S

ep-9

2Ja

n-93

May

-93

Sep

-93

Jan-

94M

ay-9

4S

ep-9

4Ja

n-95

May

-95

Sep

-95

Jan-

96M

ay-9

6S

ep-9

6Ja

n-97

May

-97

Sep

-97

Jan-

98M

ay-9

8

Jan-

88A

pr-8

8Ju

l-88

Ok

t-88

Jan-

89A

pr-8

9Ju

l-89

Ok

t-89

Jan-

90A

pr-9

0Ju

l-90

Ok

t-90

Jan-

91A

pr-9

1Ju

l-91

Ok

t-91

Jan-

92A

pr-9

2Ju

l-92

Ok

t-92

Jan-

93A

pr-9

3Ju

l-93

Ok

t-93

Jan-

94A

pr-9

4Ju

l-94

Ok

t-94

Jan-

95A

pr-9

5Ju

l-95

Ok

t-95

Jan-

96A

pr-9

6Ju

l-96

Ok

t-96

Jan-

98A

pr-9

8Ju

l-98

Page 102: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

49Manajemen Moneter dalam Masa Krisis

Kebijakan Pra-Krisis

Otoritas moneter sudah lama menyadari resiko yang terkandung di dalam arus

modal masuk yang terlampau deras, terutama yang berjangka pendek, terhadap

perekonomian Indonesia. Upaya-upaya untuk menghambat derasnya arus modal jangka

pendek telah banyak dilakukan, seperti: melebarkan rentang intervensi nilai tukar,

menaikkan giro wajib minimum, dan membatasi ekspansi kredit perbankan ke sektor

properti. Namun, upaya-upaya tersebut tampaknya tidak memberikan hasil yang memadai.

Bahkan, sebagaimana tercermin pada berbagai indikator di atas, pasar seolah-olah

mengesampingkan gejala melemahnya kondisi fundamental ekonomi makro serta

mengabaikan peringatan yang terkandung di dalam berbagai kebijakan pemerintah.

Terdapat beberapa kemungkinan penyebab kurang efektifnya kebijakan-kebijakan

yang telah diambil oleh otoritas moneter dalam meredam tekanan-tekanan spekulatif, yaitu:

A. Sentimen positif terhadap prospek emerging markets , termasuk Indonesia, selama periode

pra-krisis masih terlalu kuat dibandingkan dengan intensitas kebijakan yang diarahkan

untuk membendung derasnya arus masuk modal. Kebijakan yang diterapkan dengan

“dosis” yang tidak tepat justru dapat menimbulkan efek negatif. Hal ini diperlihatkan

oleh ketidakberhasilan kebijakan pelebaran rentang intervensi dalam meredam arus

masuk modal spekulatif. Dalam kondisi masih kuatnya sentimen positif terhadap

ekonomi Indonesia, pelebaran rentang intervensi justru memberikan ruang gerak bagi

penguatan (apresiasi) nilai rupiah (lihat grafik Perkembangan Rentang Intervensi dan

Nilai Tukar Rp/US$) .4 Apresiasi nilai tukar riil secara perlahan-lahan menggerogoti

daya saing perekonomian domestik sehingga memperlemah kondisi fundamental

ekonomi makro. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa penggunaan satu instrumen

kebijakan (dalam hal ini kebijakan nilai tukar) untuk mencapai lebih dari satu sasaran

(yaitu mempertahankan daya saing produk dalam negeri sekaligus menghambat arus

modal spekulatif) dapat berakhir pada kegagalan dalam mencapai semua sasaran.

B. Kebijakan yang diarahkan untuk meredam tekanan spekulatif ketika sentimen pasar

sudah berbalik arah menjadi negatif justru telah semakin memperparah sentimen negatif

tersebut. Kebijakan pelebaran rentang intervensi terakhir tanggal 11 Juli 1997 yang

dilakukan sebagai respons terhadap krisis nilai tukar di Thailand diperkirakan telah

memberikan sinyal kepada para spekulan akan ketidaksiapan/ketidaksediaan otoritas

moneter dalam mempertahankan kebijakan nilai tukarnya. Kondisi ini telah semakin

4. Grafik tersebut memperlihatkan bahwa nilai tukar yang terjadi di pasar cenderung menempel pada batas bawah rentangintervensi (kecuali sejak pelebaran rentang intervensi terakhir tgl. 11 Juli 1997). Hal ini mencerminkan kuatnya tekananapresiasi akibat derasnya arus masuk modal.

Page 103: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

50 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

memperkuat tekanan depresiatif terhadap rupiah hingga akhirnya otoritas moneter

terpaksa melepaskan rentang intervensi tersebut.

Kebijakan Selama Krisis

Kebijakan moneter adalah salah satu bagian dari paket kebijakan ekonomi yang

diambil dalam rangka menyelesaikan krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Paket

kebijakan ekonomi yang diterapkan di Indonesia secara garis besar tidak berbeda dengan

yang diterapkan oleh negara-negara lain yang memperoleh bantuan IMF. 5 IMF menawarkan

satu paket kebijakan yang mereka sebut langkah-langkah yang bersifat segera (immediate

efforts) dalam rangka mengembalikan kepercayaan. Langkah-langkah tersebut mencakup: 6

• Penerapan sistem nilai tukar mengambang ( floating exchange rate) .

• Penerapan kebijakan moneter ketat yang bersifat sementara untuk meredam tekanan

terhadap neraca pembayaran.

• Tindakan-tindakan terpadu untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan sistem keuangan

yang mencakup: penutupan dan pengawasan ketat terhadap lembaga-lembaga keuangan

yang tidak sehat, rekapitalisasi perbankan, dan peningkatan partisipasi asing dalam

sistem keuangan domestik.

Perkembangan Rentang Intervensi dan Nilai Tukar Rp/US$

5 Rangkuman beberapa pokok kebijakan di bidang moneter dan perbankan yang diterapkan oleh Thailand dan KoreaSelatan dapat dilihat dalam Lampiran.

6 Lihat IMF (1998) halaman 2 - 3.

2210

2310

2410

2510

2610

2710

2810

2910

15 28 9 18 29 7 16 1 12 22 2 12 23 2 13 23 3 12 21 2 11 22 31 9 20 29 9 18 27 8 17 28 6 15 26 5 16 26 8 17 28 6 19 28 11 20 2 14 24 5 15 27 5 16 25 4 15 25 5 14 25

Pelebaran spreadRp 192 --- Rp 304

11 Juli '97

Pelebaran spreadRp 118 --- Rp 192

11 Sept. '96

Pelebaran spreadRp 66--- Rp 118

13 Juni '96

Des '95 1996 1997

Kebj. Nilai tukar Free floating 14 Agustus '97

Page 104: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

51Manajemen Moneter dalam Masa Krisis

• Reformasi struktural untuk menghilangkan berbagai penghalang pertumbuhan ekonomi

(seperti monopoli, hambatan perdagangan, dan praktek-praktek usaha yang tidak

transparan) dan meningkatkan efisiensi fungsi intermediasi keuangan serta kesehatan

sistem keuangan di masa mendatang.

• Upaya-upaya untuk membuka kembali atau mempertahankan jalur-jalur sumber dana

luar negeri.

• Penerapan kebijakan fiskal yang berhati-hati termasuk dengan membiayai program

restrukturisasi sektor keuangan dan mempertahankan/ meningkatkan pengeluaran-

pengeluaran untuk kepentingan sosial.

Dimasukkannya kebijakan restrukturisasi sektor keuangan sebagai salah satu

langkah pertama yang harus diambil oleh negara yang mengalami krisis mencerminkan

keyakinan IMF bahwa unsur utama penyebab krisis adalah kelemahan di sektor tersebut.

Namun, justru di sinilah fokus kritik yang dialamatkan kepada IMF. Penerapan kebijakan

restrukturisasi sektor keuangan di saat kondisi kepercayaan berada pada titik terendah

dianggap telah semakin memperparah krisis dan mempersulit penerapan kebijakan

moneter. 7 Hal ini diperkirakan telah mengakibatkan Indonesia mengalami apa yang dikenal

sebagai krisis kembar, yaitu terjadinya krisis perbankan dan neraca pembayaran secara

bersamaan. Kondisi ini telah mengakibatkan resep-resep kebijakan ortodoks seperti

devaluasi (atau floating rate) atau kebijakan moneter ketat tidak dapat menyelesaikan kedua

krisis secara bersamaan.

Secara singkat, penyebab terjadinya krisis kembar dapat dijelaskan sebagai berikut. 8

• Intervensi valas yang dilakukan oleh otoritas moneter di awal krisis untuk meredam

tekanan depresiasi nilai rupiah telah menyedot likuiditas perbankan. Hal ini dapat

mengarah kepada credit crunch dan selanjutnya krisis perbankan apabila tidak dilakukan

kebijakan sterilisasi. Karena depresiasi nilai rupiah secara tajam akhirnya tidak dapat

dihindari, bank-bank yang memiliki kewajiban valas dalam jumlah besar harus

menanggung kerugian besar. Kondisi ini diperburuk lagi dengan meningkatnya kredit

macet akibat kesulitan yang dihadapi oleh para debitur dalam membayar kewajibannya

yang semakin besar seiring dengan tingginya suku bunga.

• Penekanan pada penyelesaian bank bermasalah (khususnya dalam bentuk likuidasi bank-

bank) sementara kepercayaan masyarakat kepada rupiah dan perbankan nasional sedang

berada pada titik terendah telah menimbulkan fenomena flight to currency. Fenomena ini

7 Lihat misalnya Nananukool (1998) dan Radelet dan Sachs (1998).8 Uraian lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang dapat mendorong timbulnya krisis kembar dapat dilihat dalam

Kaminsky dan Reinhart (1996) halaman 1-2.

Page 105: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

52 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

telah memaksa otoritas moneter untuk mengeluarkan bantuan likuiditas (BLBI) dalam

jumlah besar kepada bank-bank sehingga sangat mengurangi efektivitas kebijakan

moneter.

• Di samping kedua alasan di atas, terjadinya krisis perbankan maupun neraca pembayaran

secara bersamaan dapat pula disebabkan oleh dampak negatif dari liberalisasi keuangan.

Dalam hal ini, liberalisasi sektor keuangan telah mendorong timbulnya bubble economy

dan ekspansi kredit yang tidak hati-hati di kalangan perbankan. Distorsi ekonomi mikro

— seperti jaminan pemerintah secara implisit atas simpanan masyarakat tanpa disertai

pengawasan bank yang ketat — yang menimbulkan lonjakan kredit perbankan, pada

akhirnya akan berakhir pada kejatuhan sistem perbankan.

Beberapa masalah lain dari sisi kebijakan moneter yang diduga telah memperlambat

proses pemulihan kondisi ekonomi di Indonesia adalah:

A. Perubahan arah kebijakan yang diambil akibat adanya tekanan-tekanan untuk

mengakomodasi berbagai sasaran yang saling berlawanan ( trade-off ) telah menurunkan

kredibilitas kebijakan pemerintah secara keseluruhan. Kenaikan suku bunga yang

diberlakukan oleh otoritas moneter untuk meredam tekanan depresiasi rupiah pada

awal krisis ternyata telah menimbulkan kesulitan pada sektor usaha sehingga memaksa

otoritas moneter untuk menurunkan suku bunga sejak September 1997. Perubahan

arah kebijakan suku bunga ini telah mengurangi kredibilitas pemerintah karena

memberikan kesan kepada pasar seolah-olah otoritas moneter tidak konsisten atau ragu-

ragu dalam menerapkan kebijakan uang ketat. Penurunan kredibilitas ini mengakibatkan

tidak berjalannya proses built-in adjustment yang seharusnya menguatkan nilai tukar.

Perkembangan Kurs (bid side) dan Suku Bunga SBI 1 Bulan( Juni 1997 - Oktober 1998 )

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

Jun

1997 22 Oct 31 11 N

ov 20 2D

ec 11 22 2 Jan

13 1998 22 3

Feb 12 23 4

Mar

h 13 24 2 Apr 15 24 6

May 22 2 Jun 11 22 1 Jul

13 22 31 11 Aug 21 1

Sep

t10 21 30

0

10

20

30

40

50

60

70

80

( Kurs )( Bunga SBI )

Suku Bunga SBI 1 Bulan

Nilai Tukar Rp/US$

Page 106: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

53Manajemen Moneter dalam Masa Krisis

B. Kebijakan yang terlalu responsif terhadap perubahan sentimen pasar diduga telah

semakin mendorong tekanan spekulatif. Untuk menstabilkan gejolak nilai tukar dan

mengarahkannya ke tingkat yang terjangkau oleh perekonomian nasional, otoritas

moneter telah beberapa kali menaikkan tingkat suku bunga SBI. Namun, karena

kenaikan-kenaikan suku bunga tersebut pada umumnya diawali atau dipicu oleh

tekanan-tekanan depresiatif terhadap rupiah maka timbul kesan bahwa otoritas moneter

sangat responsif terhadap tekanan depresiasi (lihat grafik Perkembangan Kurs dan Suku

Bunga SBI). Hal ini diduga telah mendorong para spekulan untuk melontarkan rumor

atau sentimen negatif di pasar valas yang seringkali tidak bersifat fundamental dengan

harapan otoritas moneter akan menanggapinya dalam bentuk intervensi pasar atau

kenaikan suku bunga lebih lanjut.

C. Kombinasi kebijakan fiskal dan moneter ketat di awal krisis telah memperburuk

ekspektasi pasar akan prospek ekonomi dan nilai tukar. Meskipun kebijakan fiskal ketat

telah dikoreksi oleh pemerintah dan IMF, namun kebijakan tersebut telah sempat

memperlemah nilai tukar rupiah ke level yang cukup sulit untuk diturunkan kembali.

D. Penetapan sasaran (indikatif) nilai tukar telah memberikan kesan bahwa otoritas tidak

sepenuhnya committed pada sistem nilai tukar mengambang yang diberlakukan sejak 14

Agustus 1997. Apalagi sasaran indikatif tersebut telah beberapa kali direvisi ke atas (depresiasi)

sehingga semakin memperkuat ekspektasi depresiasi sekaligus ekspektasi inflasi di pasar.

Kondisi ini diduga telah mendorong semakin kerasnya tekanan-tekanan spekulatif terhadap

rupiah sehingga mempersulit upaya memperkuat nilai tukar rupiah dan meredam laju inflasi.

Ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari uraian di atas, yaitu:

• Sulit menemukan suatu kombinasi kebijakan yang tepat untuk mengakomodasi berbagai

sasaran secara bersamaan. Dalam hal ini, strategi yang lebih tepat tampaknya adalah

dengan memberikan prioritas utama pada suatu sasaran akhir.

• Krisis ekonomi Indonesia yang multidimensional telah menimbulkan konflik

antarkebijakan sehingga kinerja masing-masing kebijakan menjadi tidak optimal.

• Kebijakan moneter tidak akan bekerja secara efektif apabila tidak terdapat kepercayaan

kepada sistem perbankan domestik.

Oleh karena itu, sembari mempertajam prioritas kebijakan dan meneruskan upaya

penyehatan perbankan nasional agar kepercayaan masyarakat cepat pulih, otoritas moneter

harus terus berupaya mencari cara guna memperbaiki efektivitas kebijakan moneter. Salah

satu upaya tersebut adalah dengan memperbaiki sistem lelang SBI. Sebelum tanggal 29 Juli

1998, suku bunga SBI ditentukan oleh Bank Indonesia. Kondisi likuiditas yang ketat serta

Page 107: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

54 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

segmentasi di pasar uang antarbank (yang terkait dengan perbedaan tingkat kesehatan

antarbank yang sangat mencolok) telah menyebabkan suku bunga PUAB jauh lebih tinggi

daripada suku bunga SBI. Bahkan, seiring dengan tingginya laju inflasi, suku bunga SBI

secara riil telah menjadi negatif. Akibatnya, lelang SBI tidak mampu menyedot kelebihan

likuiditas di pasar uang. Situasi tersebut berubah sejak tanggal 29 Juli 1998 ketika Bank

Indonesia menerapkan sistem lelang SBI yang baru. Dalam sistem tersebut, suku bunga SBI

sepenuhnya ditentukan pasar sehingga SBI lebih efektif dalam menyerap likuiditas di pasar.

Sementara proses restrukturisasi perbankan masih berjalan, peningkatan efektivitas

kebijakan moneter telah berdampak positif terhadap stabilisasi nilai tukar rupiah dan

penurunan tekanan inflasi. Perkembangan terakhir juga menunjukkan bahwa sasaran akan

lebih cepat tercapai apabila terdapat konsistensi kebijakan dan penugasan suatu kebijakan

pada satu prioritas sasaran. Apabila hal ini terus berlanjut, dalam waktu yang tidak terlalu

lama diperkirakan otoritas moneter akan memperoleh ruang gerak yang lebih luas untuk

menurunkan suku bunga.

Alternatif Strategi Kebijakan Moneter untuk Indonesia

Uraian sebelumnya adalah hasil retrospeksi atas kombinasi kebijakan yang telah

diambil selama ini. Tentunya yang relevan bagi kita sekarang adalah bentuk strategi

kebijakan moneter apa yang tepat untuk diterapkan agar ekonomi Indonesia segera keluar

dari krisis. Sebagaimana telah disinggung dalam bagian II, pemilihan strategi kebijakan

moneter dan nilai tukar yang tepat tergantung kepada tiga faktor, yaitu:

• Jenis tekanan yang dihadapi. Apabila perekonomian mengalami tekanan moneter maka

penggunaan patokan suku bunga (atau nilai tukar bagi perekonomian terbuka) adalah

yang paling ideal karena fluktuasi permintaan uang yang terjadi akan diakomodasi oleh

neraca pembayaran tanpa mengganggu stabilitas harga atau produksi. Sebaliknya,

apabila perekonomian menghadapi tekanan riil, sebaiknya menerapkan pengendalian

besaran moneter ( monetary rules atau money anchor) karena perubahan nilai tukar akan

menyesuaikan tingkat pengeluaran luar negeri akan barang-barang domestik dan tingkat

pengeluaran domestik akan barang-barang luar negeri — terutama ketika tingkat upah

nominal dan harga-harga sulit bergerak turun — sehingga akan menstabilkan

pertumbuhan produksi domestik.

• Karakteristik struktur ekonomi suatu negara. Efektivitas pengendalian besaran moneter

(money anchor) antara lain tergantung kepada adanya fleksibilitas tingkat upah riil (e.g.

tidak ada indeksasi upah nominal) agar perubahan nilai tukar nominal berdampak jangka

panjang terhadap tingkat upah riil dan produksi. Efektivitas pengendalian nilai tukar

(exchange rate anchor) tergantung kepada derajat mobilitas modal. Pendekatan ini akan

Page 108: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

55Manajemen Moneter dalam Masa Krisis

lebih memberikan hasil yang memuaskan apabila diterapkan di dalam perekonomian

yang lebih terbuka — karena stabilitas nilai tukar akan lebih terkait dengan stabilitas

harga — dan memiliki sektor tradable yang cukup terdiversifikasi untuk meredam

tekanan-tekanan pada industri-industri tertentu.

• Prioritas sasaran ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah khususnya yang berkaitan

dengan trade-off antara produksi, inflasi, dan neraca pembayaran. Bagi negara yang

menerapkan pengendalian besaran moneter biasanya akan mengalami variabilitas inflasi

jangka pendek yang lebih besar (karena tekanan permintaan uang tidak secara otomatis

diakomodasi) namun mengalami variabilitas produksi dan neraca pembayaran yang

lebih kecil (karena nilai tukar akan menjadi instrumen penyesuai). Di sisi lain, pendekatan

pengendalian nilai tukar memberikan keuntungan berupa transparansi kebijakan, yang

merupakan insentif bagi disiplin fiskal.

Dengan menggunakan kriteria di atas, uraian berikut akan mencoba mengidentifikasi

strategi kebijakan moneter dan nilai tukar yang tepat untuk diterapkan dalam menghadapi

krisis di Indonesia.

A. Jangkar Uang Beredar

Cukup sulit untuk memilah secara akurat jenis tekanan eksternal yang melanda

Indonesia. Dari uraian pada bagian III dijelaskan bahwa contagion effect telah menjadi

memicu tekanan di neraca pembayaran dalam bentuk derasnya arus modal keluar. Dengan

perkataan lain, tekanan dari sisi moneter adalah pemicu krisis ekonomi di Indonesia.

Rata-rata Upah Riil Pekerja Mingguan

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

0.70

0.80

0.90

Mar

-94

Jun-

94

Sep

-94

Dec

-94

Mar

-95

Jun-

95

Sep

-95

Dec

-95

Mar

-96

Jun-

96

Sep

-96

Dec

-96

Mar

-97

Jun-

97

Sep

-97

Dec

-97

Mar

-98

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

hotel

mining

manufacturing

hotel & mining manufacturing

Page 109: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

56 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Namun, karena adanya kelemahan di sisi mikro khususnya di sektor perbankan, tekanan

dari sisi moneter tersebut secara cepat telah melahirkan gelombang tekanan baru berupa

tekanan dari sektor riil, yaitu gangguan pasokan barang akibat terhambatnya impor dan

kebangkrutan sektor usaha. Dalam kondisi ini, secara teoritis penerapan strategi jangkar

uang beredar dengan sistem nilai tukar mengambang akan mampu mengembalikan

stabilitas ekonomi. Apalagi kondisi pasar tenaga kerja tampaknya cukup fleksibel

sebagaimana terlihat pada perkembangan tingkat upah riil terutama di sektor manufacturing

dan mineral yang cukup responsif terhadap perubahan nilai tukar (lihat Grafik Rata-rata

Upah Riil Mingguan).

Namun, pengalaman beberapa negara yang menerapkan kebijakan floating rate dan

diikuti oleh penggunaan base money sebagai nominal anchor (seperti Filipina di tahun 1984)

menunjukkan bahwa kebijakan moneter seringkali diterapkan dengan tidak konsisten.

Kombinasi kedua kebijakan seringkali mengandung beberapa kelemahan (Houben, 1997).

Pertama, kombinasi floating rate dan sasaran base money diterapkan secara fleksibel sehingga

membuat penugasan instrumen kebijakan kepada sasaran-sasaran ekonomi menjadi rancu

(ambiguous). Dengan absennya suatu jangkar nominal yang mantap maka terdapat

kecenderungan untuk menerapkan sasaran kebijakan moneter berganda seperti:

mengendalikan pertumbuhan uang, menstabilkan nilai tukar, memupuk cadangan devisa,

menjaga daya saing ekspor, dan menjaga tingkat suku bunga pada level yang mampu

mendorong pertumbuhan ekonomi. Sesuai kenyataannya, trade-off di antara berbagai

sasaran ini tidak selalu menghasilkan pencapaian sasaran inflasi. Kedua, tanpa komitmen

yang jelas terhadap satu sasaran nominal, perekonomian kehilangan suatu piranti untuk

mengendalikan ekspektasi inflasi. Ketiga, kebijakan nilai tukar dan intervensi valas

seringkali diterapkan secara tidak simetris. Ketika terjadi tekanan apresiasi nilai tukar

terutama akibat arus modal masuk otoritas kebanyakan menahan tekanan tersebut dengan

membeli devisa sehingga menambah base money (sterilisasi hanya dilakukan secara parsial).

Sebaliknya, ketika terjadi tekanan depresiasi otoritas cenderung membiarkannya dan

membatasi penjualan devisa yang seharusnya dapat mendukung nilai tukar dan menyerap

base money. Dengan demikian, asimetri kebijakan ini cenderung bias ke arah inflasi.

Untuk kasus Indonesia, adanya sasaran indikatif nilai tukar rupiah dalam paket

kebijakan stabilisasi ekonomi Indonesia sementara base money berperan sebagai nominal

anchor dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan seperti yang dijelaskan di atas

khususnya berupa kemungkinan timbulnya konflik di antara berbagai tujuan kebijakan

dan ketiadaan jangkar nominal yang mantap.

Di samping itu, di tengah suasana ketidakpastian, tingkat dan komposisi permintaan

akan uang dapat secara mendadak berubah sehingga mengganggu kestabilan velocity dan

multiplier. Akibatnya, otoritas moneter akan mengalami kesulitan dalam menyusun proyeksi

Page 110: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

57Manajemen Moneter dalam Masa Krisis

besaran-besaran moneter secara akurat dan dalam mengendalikan jumlah uang beredar. 9

Dalam situasi ini, strategi jangkar uang beredar mengandung resiko yang cukup besar.

Apabila terlalu ketat, kebijakan moneter dapat terlalu mengekang pertumbuhan produksi.

Sebaliknya, apabila terlalu longgar akan mempersulit pencapaian sasaran inflasi. Faktor

lain yang harus diperhitungkan adalah apabila arah kebijakan ekonomi ke depan

berorientasi populis maka penerapan sasaran moneter akan semakin mengalami kesulitan.

B. Jangkar Suku Bunga

Strategi ini akan cocok diterapkan apabila Indonesia tetap mempertahankan

kebijakan nilai tukar mengambang. Namun, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa

kebijakan nilai tukar mengambang bukanlah pilihan yang tepat bagi Indonesia untuk saat

ini. Kesimpulan tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa struktur industri kita masih

sarat dengan kandungan impor yang tinggi sehingga perubahan nilai tukar sangat

berpengaruh terhadap kestabilan tingkat harga (Waluyo dan Siswanto, 1998). Membiarkan

mekanisme pasar menstabilkan nilai tukar dan menghindarkan terulangnya krisis di masa

mendatang juga bukan merupakan solusi yang tepat. Hal ini karena meskipun mekanisme

pasar (f ree floating) dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya penyimpangan nilai tukar

riil dari nilai ekuilibriumnya (real exchange rate misalignment) namun berkurangnya resiko

misalignment itu sendiri tidak menjamin terhindarnya suatu negara dari resiko krisis nilai

tukar (Goldfajn, 1997).

C. Jangkar Nilai Tukar

Di samping faktor-faktor yang telah disebutkan dalam poin B, faktor-faktor lain yang

mendukung penerapan strategi jangkar nilai tukar adalah:

• Perekonomian Indonesia telah berkembang menjadi relatif sangat terbuka. Dalam kondisi

ini, nilai tukar telah menjadi indikator harga relatif terpenting dalam perekonomian

sehingga menjadi instrumen yang efektif dalam mencapai stabilitas harga.

• Pasar tenaga kerja bersifat fleksibel karena suplai berlimpah dan tidak ada kekakuan

tingkat upah yang disebabkan oleh faktor-faktor kelembagaan. Fleksibilitas pasar tenaga

kerja, terutama dalam konteks peningkatan produktivitas, akan mengurangi kebutuhan

akan penyesuaian nilai tukar nominal.

• Tidak adanya pembatasan devisa telah mempermudah arus keluar masuk modal

sehingga mampu mengakomodasi tekanan-tekanan moneter secara otonomus tanpa

harus mengandalkan pada fleksibilitas nilai tukar.

9 Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan semakin tidak stabilnya income velocity of money dan moneymultiplier di Indonesia (Warjiyo dan Zulverdi, 1998).

Page 111: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

58 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Di sisi lain, terdapat faktor-faktor yang kurang mendukung penerapan strategi jangkar

nilai tukar, yaitu:

• Beberapa sisi di neraca pembayaran masih sensitif terhadap tekanan-tekanan eksternal

sehingga masih membutuhkan nilai tukar yang fleksibel. Di sisi pembayaran, hutang

luar negeri yang sangat besar membuat Indonesia sangat rentan terhadap perubahan

suku bunga internasional (lihat Grafik hutang/PDB, DSR). Di samping itu,

ketergantungan kepada impor komoditi-komoditi penting khususnya bahan pangan

membuat perekonomian sangat sensitif terhadap perubahan harga internasional. Di sisi

penerimaan, meskipun diversifikasi produk ekspor telah berlangsung cukup lama namun

akses ke pasar modal internasional belum pulih sehingga sistem nilai tukar yang lebih

fleksibel masih diperlukan untuk meredam berbagai tekanan eksternal.

• Prospek sisi fiskal masih belum menentu sebagai akibat turunnya potensi pajak dan

berkurangnya peranan swasta dalam membiayai pembangunan infrastruktur. Dalam

situasi ini, pasar akan meragukan terjaganya disiplin fiskal sekaligus meragukan

kredibilitas jangkar nilai tukar.

Di samping itu, terdapat beberapa kelemahan strategi jangkar nilai tukar, yaitu:

• Hilangnya independensi kebijakan moneter dalam meredam tekanan-tekanan riil, baik

yang bersifat eksternal maupun internal. Hal ini terutama akan menjadi sangat relevan

ketika perekonomian sangat rentan terhadap perubahan sentimen pasar (faktor eksternal,

contagion effects) dan gangguan alam dan ketidakstabilan sosial politik (faktor internal).

0

20

40

60

80

100

120

140

1993 1994 1995 1996 1997 35947

Debt Outstanding/GDP

Debt Service Ratio

Posisi Hutang LN Total dan DSR Indonesia

Page 112: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

59Manajemen Moneter dalam Masa Krisis

• Apabila nilai tukar riil cenderung mengalami apresiasi yang disebabkan oleh perubahan

struktural yang cepat, kemajuan teknologi, liberalisasi perdagangan, dan meningkatnya

daya saing negara-negara pesaing, meskipun strategi jangkar nilai tukar kemungkinan

besar dapat menurunkan laju inflasi, namun kenaikan harga-harga masih tetap lebih

tinggi daripada kenaikan harga-harga di negara-negara partner dagang sehingga lambat

laun daya saing produk domestik akan semakin melemah.

D. Jangkar Laju Inflasi

Mengingat rapuhnya perekonomian Indonesia baik terhadap tekanan-tekanan

moneter maupun riil, keunggulan jangkar uang beredar maupun nilai tukar menjadi

dipertanyakan. Penerapan baik jangkar uang beredar maupun nilai tukar dapat

menimbulkan biaya-biaya yang besar dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi.

Alternatif lain yang dapat diterapkan di Indonesia adalah jangkar laju inflasi. Terdapat

beberapa argumentasi yang mendukung penerapan jangkar laju inflasi di Indonesia, yaitu:

• Para pelaku ekonomi, terlebih di masa krisis, membutuhkan suatu jangkar nominal untuk

mengarahkan ekspektasi mereka. Mengingat jangkar nilai tukar ( fixed exchange rate)

sulit diterapkan saat ini sementara disisi lain jumlah uang beredar adalah indikator yang

terlalu abtrak bagi para pelaku ekonomi maka jangkar laju inflasi dapat berperan secara

langsung dalam mengarahkan ekspektasi laju inflasi.

• Sistem perbankan nasional adalah jalur transmisi kebijakan moneter terpenting. Dalam

kondisi normal, sinyal-sinyal kebijakan moneter akan disalurkan melalui sistem

perbankan untuk akhirnya mempengaruhi ekpektasi inflasi di masyarakat. Masih sangat

rapuhnya kondisi perbankan nasional saat ini dengan sendirinya sangat mengurangi

efektifitas kebijakan moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar maupun suku

bunga. Untuk itu, penggunaan jangkar laju inflasi diharapkan dapat membatasi

kelemahan sistem perbankan tersebut.

Agar efektif, penerapan sasaran laju inflasi sebagai jangkar nominal memerlukan

penyesuaian kerangka kelembagaan sebagai berikut:

• Pencapaian sasaran laju inflasi harus dijadikan tugas pokok bank sentral.

• Bank sentral perlu meningkatkan transparansi pelaksanaan tugasnya dengan secara

eksplisit memberikan argumentasi-argumentasi logis atas berbagai perubahan kebijakan

yang mungkin dilakukan. Hal ini dapat dilakukan melalui pemberian informasi yang

lengkap mengenai perkembangan terakhir laju inflasi dan hal-hal yang melatarbelakangi

penetapan suatu sasaran laju inflasi. Beberapa variabel yang bersifat informasi (seperti

Page 113: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

60 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

pertumbuhan uang beredar, perkembangan nilai tukar) yang konsisten dengan

pencapaian sasaran laju inflasi dapat pula dipublikasikan.

• Pelembagaan akuntabilitas bank sentral misalnya melalui pemberian laporan kepada

parlemen secara periodik mengenai pencapaian sasaran laju inflasi.

Sekalipun demikian, terdapat beberapa kesulitan dalam menerapkan laju inflasi

sebagai jangkar nominal khususnya apabila bank sentral menganggap bahwa laju inflasi

berada jauh di luar kendalinya. Hal ini dapat terjadi antara lain karena sulitnya

memperkirakan dampak dari tekanan-tekanan moneter dan riil terhadap harga-harga serta

sulitnya mengkuantifikasi secara akurat transmisi kebijakan moneter terhadap inflasi di

masa perubahan struktural yang cepat. Di samping itu, dengan sulitnya memperkirakan

dampak tekanan-tekanan tersebut, penggunaan sasaran laju inflasi secara ketat dapat

menimbulkan volatilitas instrumen (khususnya suku bunga) yang sangat tinggi melebihi

keuntungan yang diperoleh dari stabilitas inflasi. Permasalahan ini dapat diatasi melalui

penetapan rentang sasaran laju inflasi yang lebih lebar dan dengan mengeluarkan dampak

kebijakan pemerintah atau perubahan harga-harga barang tertentu dari penghitungan

sasaran inflasi. Namun, rentang sasaran laju inflasi terlalu lebar maka kredibilitas kebijakan

bank sentral akan sangat berkurang.

Bagaimana cara membangun kredibilitas?

Manfaat yang diperoleh dari masing-masing strategi sangat tergantung kepada

kredibilitas kebijakan. Di antara beberapa alternatif strategi kebijakan moneter di atas,

mungkin yang paling sulit adalah membangun kredibilitas kebijakan yang menggunakan

pendekatan jangkar uang beredar karena sasaran uang beredar bersifat abstrak. Sekalipun

demikian, keyakinan akan suatu sasaran moneter dapat dibangun melalui pemberian sinyal

yang transparan mengenai latar belakang penentuan sasaran dan pemberian penjelasan

yang logis mengenai berbagai perubahan arah kebijakan.

Dalam kasus jangkar nilai tukar, kredibilitas akan tergantung kepada dua syarat, yaitu:

• Sebelum menetapkan suatu level nilai tukar, laju inflasi harus bergerak pada trend

menurun ke arah laju inflasi negara-negara mitra dagang.

• Jumlah cadangan devisa harus meningkat dibandingkan dengan level yang ada sekarang

untuk menghadapi tekanan-tekanan spekulasi yang berniat menguji kemampuan otoritas

dalam menerapkan jangkar nilai tukar. Hal ini akan cukup sulit dipenuhi selama arus

masuk modal dan kepercayaan investor belum pulih kembali.

Kredibilitas jangkar laju inflasi sebagian besar akan ditentukan oleh transparansi

kelembagaan dan akuntabilitas bank sentral dalam memenuhi sasaran laju inflasi. Komitmen

Page 114: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

61Manajemen Moneter dalam Masa Krisis

pemerintah secara eksplisit terhadap pencapaian sasaran laju inflasi yang menjadi tanggung

jawab bank sentral akan sangat menentukan kredibilitas kebijakan ini.

Penutup

Berikut beberapa pokok pikiran dan satu rekomendasi kebijakan :

• Kondisi fundamental ekonomi makro Indonesia sebelum krisis memang menunjukkan

tekanan-tekanan yang berpotensi untuk menjadi krisis.

• Terdapat indikasi adanya ketidaktepatan kebijakan atau kombinasi kebijakan yang

diambil dalam periode sebelum, di awal, dan selama krisis yang diduga telah menjadi

faktor yang memperburuk krisis nilai tukar di Indonesia.

• Ketidaktepatan kebijakan tersebut sebagian besar disebabkan oleh kompleksitas masalah

yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia sehingga seringkali terjadi benturan di

antara berbagai kebijakan.

• Upaya stabilisasi ekonomi di dalam konteks sistem nilai tukar mengambang penuh

tampaknya tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia.

• Penggunaan suatu jangkar nominal, baik berupa jangkar nilai tukar atau jangkar laju

inflasi, tampaknya layak untuk dipelajari lebih dalam kemungkinan penerapannya di

Indonesia. Mengingat masih rapuhnya sistem perbankan nasional sebagai jalur transmisi

kebijakan moneter terpenting serta masih sangat rentannya perekonomian Indonesia

terhadap tekanan-tekanan eksternal, suatu sistem nilai tukar yang agak fleksibel

tampaknya lebih cocok untuk dikombinasikan dengan strategi jangkar inflasi.

Daftar Pustaka

ADB Institute, Asia: Responding to Crisis ,1998.

Bank Indonesia, Report for the Financial Year 1997/98, Jakarta, 1998.

Bank Negara Malaysia, Measures to Regain Monetary Independence, Kuala Lumpur,

September 1998.

_______________, Exchange Control Notices, Kuala Lumpur, 1998.

Goldfajn, Ilan, dan Rodrigo O. Valdes, Are Currency Crisis Predictable?, IMF Working

Paper No. 97/159, Washington, D.C., 1997.

Harberger, Arnold C., Notes on the Indonesian Crisis, An Aide-memoire on a series of

meeting in Jakarta, UCLA, September 1998.

Page 115: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

62 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

___________________, The Anatomy of Crisis, Keynote Address at a conference on

sustaining economic growth in Indonesia, UCLA, Desember 1997.

Houben, Aerdt C.F.J., Exchange Rate Policy and Monetary Strategy Options in the

Philippines - the Search for Stability and Sustainability, IMF Paper on Policy Analysis and

Assessment, PPAA/97/4, Washington, D.C., 1997.

IMF, World Economic Outlook, May Edition, Washington, D.C., 1995.

_____________, The IMF’s Response to the Asian Crisis, External Relations Department,

Washington, D.C., Juli 1998.

Kaminsky, Graciela L., Currency and Banking Crisis: the Early Warnings of Distress,

Washington, D.C., 1998.

Kaminsky, Graciela L., dan Carmen M. Reinhart, The Twin Crisis: the Causes of Banking

and Balance of Payments Problems, Washington, D.C., 1996.

Krugman, Paul, External Shocks and Domestic Policy Responses, dalam The Open

Economy: Tools for Policymakers in Developing Countries, edited by Rudiger Dornbusch

and F. Leslie C.H. Helmers, p. 54-79, Oxford University Press, New York, 1995.

______________, Currency Crises, downloaded at http://www.mit.edu/krugman.

October.1998.

McNelis, Paul D., Money Demand, Financial Distress, and Exchange Rate Uncertainty in

Indonesia, A Research Paper written at Bank Indonesia, unpublished, Jakarta, April 1998.

________________, Financial Liberalization, Share Price Volatility and Monetary Policy:

The Experience of Indonesia, A Research Paper written at Bank Indonesia, unpublished, Jakarta,

Juli 1994.

Meigs, James, Lessons for Asia from Mexico, The Cato Journal Vol 17 No.3, 1998.

Nananukool, Surasak, Learning from the Asia Currency Curency Crisis - An Insider View

from Thailand, A paper presented at the Carnegie Mellon University, Graduate School of

Industrial Administration, March 1998.

Paderenga, Cayetano, Currency Crisis and Policy Response: The ASEAN and Philippine

Case, September 1998.

Pasadilla, Gloria, What Make Countries Vulnarable to Currency Crisis ?, ADB Institute

Seminar-Workshop on Asia’s Financial Crisis: Lessons and Policy Responses, September

1998.

Page 116: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

63Manajemen Moneter dalam Masa Krisis

Poole, William, Optimal Choice of Monetary Policy Instruments in A Simple Stochastic

Macro Model, Quarterly Journal of Economics, Vol. 84, hal. 197 - 216, Mei 1970.

Radelet, Steven, dan Jeffrey Sachs, The Onset of the East Asian Financial Crisis, 1998.

Waluyo, Dody B., dan Benny Siswanto, Peranan Kebijakan Nilai Tukar dalam Era

Deregulasi dan Globalisasi, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, No. 1, Juli 1998.

Warjiyo, Perry, dan Doddy Zulverdi, Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran

Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1,

No. 1, Juli 1998.

World Bank, Indonesia in Crisis: A Macroeconomic Update, Washington, D.C., 1998.

Lampiran

Langkah-langkah Kebijakan di Bidang Moneter dan Perbankanyang Diambil oleh Thailand dan Korea Selatan

Thailand

Diawali dengan kinerja yang buruk dari lembaga-lembaga keuangan domestik dan

besarnya hutang luar negeri yang akan jatuh tempo dalam tahun 1997, nilai baht mendapat

tekanan yang besar dari pasar (spekulan) agar terdepresiasi. Terpuruknya nilai baht pada

gilirannya memperparah keadaan lembaga keuangan yang sebagian mempunyai pinjaman

luar negeri yang tidak di- hedged. Bubble economy yang antara lain ditunjukkan oleh besarnya

kredit pada sektor properti yang dibiayai oleh bank dengan sumber dana hutang luar negeri

turut memberikan andil atas kondisi tersebut.

Menghadapi masalah ini, pemerintah Thailand terpaksa mengalihkan sistem nilai

tukar menjadi sistem mengambang dan meminta kepada IMF untuk memberikan paket

pinjaman guna menghadapi krisis tersebut. Paket pinjaman tersebut disertai dengan

program restrukturisasi sektor keuangan, peningkatan tabungan pemerintah dengan

menaikkan pajak, perbaikan transaksi berjalan, dan pengetatan moneter. Namun beberapa

pengamat menilai paket tersebut tidak memadai karena: pertama, dari sisi jumlah bantuan

yang dianggap terlalu kecil bagi ukuran Thailand yang telah banyak kehilangan cadangan

devisa untuk mempertahankan nilai baht, dan yang kedua adalah tidak adanya rekomendasi

yang memadai untuk menyelesaikan masalah hutang sektor swasta yang akan jatuh tempo

tahun 1997 dan berpotensi untuk menekan nilai baht.

Page 117: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

64 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

A. Kebijakan Moneter

Peningkatan suku bunga yang dilakukan untuk menarik arus modal masuk telah

menyebabkan mandeknya fungsi bank-bank komersial sehingga tekanan-tekanan baik

sebagai akibat penutupan perusahaan keuangan, peningkatan standar perbankan, maupun

dari kebijakan suku bunga tinggi telah menjadikan kondisi perbankan menjadi semakin

terpojok. Kondisi ini telah mengakibatkan krisis likuiditas di Thailand pada akhirnya

mengganggu kegiatan dunia usaha sehingga peluang peningkatan ekspor sektor industri

yang seharusnya terjadi karena depresiasi nilai baht menjadi hilang. Gambaran umum

kinerja ekspor yang tidak menguntungkan ini masih terselamatkan oleh ekspor dari sektor

pertanian yang mengalami peningkatan karena naiknya harga produk-produk pertanian

di pasar internasional.

Pada bulan Mei 1998 dalam usahanya untuk menghidupkan kembali sektor industri,

Thailand telah bersepakat dengan IMF untuk menurunkan tingkat bunga dan meningkatkan

pertumbuhan jumlah uang beredarnya seiring dengan meningkatnya permintaan uang.

B. Kebijakan Perbankan

Diawali dengan pendirian FRA (Financial Sector Restructuring Agency) yang

bertanggung jawab atas rencana rehabilitasi perusahaan keuangan dan assetnya dan

pendirian AMC (Asset Management Corporation) yang mengurusi dan menjual asset yang

tidak sehat, Thailand melakukan penyehatan sistem keuangan di Thailand, antara lain

dengan menutup 58 perusahaan keuangan, dengan dasar kriteria kondisi likuiditas

perusahaan yang bersangkutan. Dari sisi upaya penyehatan sistem keuangan hal tersebut

memang baik, hanya saja dalam jangka pendek penutupan perusahaan keuangan yang

dilakukan ini telah menimbulkan berbagai masalah dan menyebabkan semakin merosotnya

perekonomian. Timbulnya berbagai masalah tersebut disebabkan oleh: pertama adanya

keterkaitan yang erat antara perusahaan keuangan dengan sektor usaha yang lain sehingga

penutupan itu mengakibatkan macetnya kegiatan usaha yang bertumpu pada pinjaman

dari perusahaan keuangan; kedua karena sumber dana dari perusahaan keuangan adalah

dari bank, maka penutupan itu berakibat pada peningkatan non-performing loan bank-bank

yang mempunyai konsekuensi pada peningkatan cadangan aktiva yang pada gilirannya

menghambat ekspansi kredit dari perbankan; ketiga adalah masalah kriteria penutupan

yang dipakai di mana banyak perusahaan keuangan yang mempunyai modal lebih besar

dari standar internasional tentang rasio kecukupan modal, ternyata ditutup dengan alasan

jumlah pinjaman dari bank sudah melebihi modal perusahaan itu. Langkah penutupan

perusahaan keuangan tersebut dilanjutkan dengan meningkatkan secara bertahap peraturan

perbankan yang menyangkut akuntansi perbankan, keterbukaan, peningkatan CAR dan

pengetatan kriteria non performing loan dan penyediaan cadangan penyisihan aktiva.

Page 118: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

65Manajemen Moneter dalam Masa Krisis

Korea Selatan

Kebijakan pemerintah Korea Selatan dalam menyikapi krisis yang terjadi tidak

berbeda jauh dengan yang dilakukan oleh negara-negara lain yang terkena krisis dan

mendapatkan bantuan dari IMF. Kebijakan tersebut pada umumnya mengarah pada

liberalisasi perekonomian dalam rangka meningkatkan efisiensi dan pengetatan kegiatan

ekonomi dalam jangka pendek. Secara garis besar kebijakan-kebijakan yang diambil oleh

Korea Selatan antara lain adalah sebagai berikut:

A. Kebijakan Moneter dan Nilai Tukar

Seperti halnya negara lain yang mengalami krisis nilai tukar, Korea Selatan telah

melakukan kebijakan uang ketat dalam rangka meredam gejolak nilai tukarnya. Kebijakan

ini dilakukan bersamaan dengan restrukturisasi perbankan, liberalisasi pasar modal dan

peningkatan transparansi perusahaan-perusahaan. Selain itu, dalam rangka mengeliminir

kelemahan dari sistem kurs yang lama sejak bulan Desember 1997 Korea telah

mengambangkan nilai tukar won ( free floating) dan menghilangkan daily exchange rate band.

Disetujuinya restrukturisasi hutang luar negeri perbankan jangka pendek sebesar US$ 22

miliar dan diterbitkannya obligasi pemerintah dalam denominasi US$ di luar negeri turut

mendukung upaya stabilisasi nilai won. Perkembangan lain yang terjadi adalah adanya

pergeseran struktural dimana Korea Selatan sekarang mengalami surplus transaksi berjalan.

Hal ini disebabkan karena menurunnya impor sebagai akibat dari terkontraksinya

perekonomian dan juga meningkatnya daya saing barang produksi Korea akibat dari

terdepresiasinya nilai won.

B. Kebijakan Perbankan

Usaha pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dilakukan

Pemerintah dengan cara:

1. Dalam periode Januari s.d. April 1998 Pemerintah menutup 14 merchant bank dan

mewajibkan merchant bank yang lain untuk memenuhi CAR sebesar 6% di bulan April

1998 dan 8% akhir Juni 1999. Di samping itu, Pemerintah mendirikan Lembaga Perantara

Merchant Bank untuk membayar deposito nasabah, mengambil alih, mengumpulkan dan

melikuidasi asset merchant bank yang ditutup.

2. Memberikan bantuan likuiditas (dalam won) kepada bank-bank yang mempunyai kaitan

dengan merchant bank yang ditutup.

3. Bank-bank yang tidak memenuhi batas minimal CAR diwajibkan untuk menyampaikan

rencana rekapitalisasi kepada Otoritas Pengawas Perbankan.

Page 119: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

66 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

4. Pengkonsolidasian pelaksanaan deposit insurance oleh Korean Deposit Insurance Cooperation

(KDIC) serta memperluas cakupan kewajiban institusi (commercial, merchant dan

institusi keuangan lain) yang dijamin dalam deposit insurance.

5. Pendirian Supervisory Commission yang bertanggung jawab atas pengawasan dan

restrukturisasi bank dan lembaga keuangan bukan bank.

Upaya-upaya tersebut kemudian dilanjutkan dengan mengeluarkan kebijakan-

kebijakan tambahan (Agustus 1998), antara lain:

1. Memberikan bantuan keuangan kepada Bank of Korea, melakukan penyertaan modal

pada bank, dan memberikan special funding facility kepada merchant bank yang hampir

bangkrut sebesar lebih dari 50% modal bank yang bersangkutan.

2. Menyediakan special fund yang dirancang dalam Korea Asset Management Corporation

(KAMC), yang merupakan suatu wadah dimana bank-bank dapat menjual non-performing

asset-nya.

3. Pemerintah memberikan jaminan atas hutang-hutang luar negeri lembaga keuangan

Korea Selatan, termasuk bank komersial dan merchant bank.

C. Kebijakan Pasar Modal dan Investasi Asing

Di bidang pasar modal dan investasi asing, Pemerintah Korea Selatan menempuh

kebijakan-kebijakan sebagai berikut:

1. Peningkatan batas maksimal kepemilikan asing atas perusahaan publik Korea Selatan

secara keseluruhan dari 26% menjadi 50%, dan secara individual dari 7% menjadi 50%;

menghilangkan pembatasan investasi asing pada non-guaranteed bond yang dikeluarkan

oleh perusahaan kecil dan menengah; mengijinkan investasi asing dalam pasar guaranteed

corporate bond market (maturity > 3 tahun) dengan batas maksimal 10% untuk individual

dan secara keseluruhan maksimal 30% (11 Desember 1997).

2. Menaikkan batas maksimal investasi asing di non-guaranteed corporate (convertible) bond

dari 30 % menjadi 50% (12 Desember 1997).

3. Mengijinkan asing untuk melakukan investasi pada government bond dan special bond

sampai dengan 30% dan menghilangkan pembatasan investasi asing individual pada

corporate bond (23 Desember 1997).

4. Memperlunak pembatasan kepemilikan asing di bank komersial dan menghapus

maksimal kepemilikan sebesar 4%. Penguasaan modal bank oleh bank asing tidak

dibatasi, akan tetapi harus bertahap, tahap pertama 10%, tahap kedua 25%, dan 31%

Page 120: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

67Manajemen Moneter dalam Masa Krisis

pada tahap ketiga. Kepemilikan oleh individu domestik di atas 4% diperbolehkan

sepanjang pihak bank asing juga mempunyai kepemilikan yang sama atau lebih besar

(29 Desember 1997).

5. Penghapusan semua batas maksimal investasi asing pada pasar government bond, s pecial

bond, dan corporate bond. Memperketat aturan pinjaman luar negeri yang jatuh tempo di

atas 3 tahun (30 Desember 1997).

6. Menghilangkan restriksi pinjaman luar negeri perusahaan sampai dengan 2 juta USD

untuk perusahaan modal ventura. Pemerintah mengijinkan lembaga nonkeuangan

mengeluarkan surat hutang di pasar uang kepada pihak asing tanpa batas jumlah (16

Februari 1998).

7. Bank Asing dan Broker diijinkan mendirikan cabang-cabang.

Page 121: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

69Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya

MANAJEMEN NILAI TUKAR DI INDONESIA DANP E R M A S A L A H A N N Y A

Miranda S. Goeltom dan Doddy Zulverdi *)

Pendahuluan

N ilai tukar rupiah yang relatif stabil dan bahkan cenderung mengalami apresiasi

sebelum Juli 1997 telah mendorong capital inflow yang cukup besar ke Indonesia.

Fenomena tersebut merupakan hal yang logis bagi suatu negara yang menganut sistem

devisa bebas dan perekonomiannya terbuka karena arus modal akan selalu mengikuti return

investasi yang terbesar dan resiko seminimal mungkin. Namun sejak currency turnmoil

melanda Thailand dan menyebar ke negara-negara ASEAN lainnya pada pertengahan Juli

1997, capital inflow tersebut telah menjadi bumerang karena telah berubah menjadi arus

balik yang membahayakan baik terhadap nilai tukar rupiah maupun terhadap perekonomian

nasional. Nilai tukar rupiah secara simultan mendapat tekanan yang cukup berat karena

besarnya capital outflow akibat hilangnya kepercayaan investor asing terhadap prospek

perekonomian Indonesia. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah tersebut diperberat lagi

dengan semakin maraknya kegiatan speculative bubble, sehingga sejak krisis berlangsung

nilai tukar rupiah mengalami depresiasi hingga mencapai 75%.

Krisis nilai tukar yang telah berkembang menjadi krisis ekonomi hingga saat ini belum

menunjukkan tanda-tanda akan berakhir sehingga telah mempengaruhi kinerja perekonomian

nasional. Laju pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan dan bahkan telah memasuki

masa resesi yang cukup dalam, inflasi meningkat pesat baik karena gangguan produksi maupun

karena imported inflation, tingkat pengangguran semakin meningkat dan penduduk yang hidup

di bawah garis kemiskinan semakin banyak, serta permasalahan-permasalahan lainnya.

Disadari bahwa fluktuasi nilai tukar rupiah hanya merupakan muara dari akumulasi

permasalahan ekonomi yang selama ini terpendam baik yang dialami di sektor moneter,

perbankan dan sektor riil. Dengan demikian usaha menstabilkan nilai tukar rupiah tidak

akan bermanfaat jika tidak didukung dengan usaha-usaha pembenahan seluruh kelemahan

aspek perkonomian nasional baik berupa sistem, perangkat dan peraturan. Sehubungan

dengan hal tersebut pembenahan di sektor mikro bersamaan dengan kebijakan makro untuk

*) Miranda S. Goeltom :Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Operasi Pengendalian Moneter, danDevisa, Bank Indonesia.

Doddy Zulverdi : Peneliti Ekonomi Junior, Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan, UREM, BI

Page 122: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

70 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

menstabilkan nilai tukar rupiah merupakan langkah yang ideal untuk dilakukan agar

Indonesia dapat segera keluar dari krisis.

Dengan memperhatikan kondisi tersebut serta permasalahan dan karakteristik

perekonomian nasional, permasalahan selanjutnya adalah bagaimana mempercepat

stabilitas nilai tukar rupiah guna mempercepat usaha pemulihan ekonomi nasional.

Sehubungan dengan hal tersebut maka mendiskusikan manajemen moneter yang ideal untuk

menstabilkan nilai tukar rupiah merupakan suatu topik yang menarik untuk dikaji pada

kesempatan ini. Berbagai pendapat masih diperdebatkan mengenai manajemen nilai tukar

yang tepat untuk diterapkan di Indonesia. Termasuk apakah sistem nilai tukar f lexible cukup

memadai untuk perekonomian Indonesia, dan apakah langkah untuk mengisolasikan nilai

tukar suatu negara dari perekonomian global misalnya melalui capital control seperti yang

dilakukan oleh Malaysia, cukup memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia.

Kesemua hal tersebut akan dibahas dalam paper ini, yang pembahasannya dibagi

atas tujuh bagian. Bagian kedua akan membahas secara singkat aspek teoritis dari sistem

nilai tukar dikaitkan dengan sistem devisa yang dianut suatu negara. Bagian ketiga akan

mendiskusikan perkembangan manajemen nilai tukar di Indonesia. Bagian keempat akan

membahas perkembangan sistem devisa di Indonesia. Bagian lima akan membahas

permasalahan-permasalahan yang saat ini sedang dihadapi oleh Indonesia dalam era nilai

tukar mengambang ( floating exchange rate). Bagian keenam akan mendiskusikan arah

kebijakan nilai tukar dan sistem devisa di masa yang akan datang. Sementara bagian terakhir

akan menyajikan kesimpulan dari tulisan ini.

Sistem Nilai Tukar dan Sistem Devisa: Tinjauan Teoritis

Sistem Nilai Tukar dan Kaitannya dengan Sistem Devisa

Model Mundell (1968) - Fleming (1962) merupakan alat analisis yang paling populer

dalam menjelaskan mekanisme transmisi moneter dalam suatu perekonomian terbuka yang

menerapkan salah satu dari dua pilihan ekstrim sistem nilai tukar, yaitu sistem nilai tukar

tetap (fixed exchange rate) dan sistem nilai tukar mengambang ( floating exchange rate). Model

tersebut mengasumsikan suatu negara yang menganut sistem devisa bebas dengan skala

ekonomi yang relatif kecil. Hal ini mengandung implikasi bahwa, bagi negara tersebut, suku

bunga internasional, tingkat harga internasional, dan tingkat pendapatan internasional

merupakan variabel-variabel eksogen. Implikasi lain adalah suku bunga domestik akan

selalu bergerak searah dengan pergerakan suku bunga internasional.

Berdasarkan kerangka model tersebut, di suatu negara yang menerapkan sistem nilai

tukar tetap, otoritas moneter tidak memiliki keleluasaan dalam mengendalikan kondisi

Page 123: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

71Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya

moneter domestik. Suatu kebijakan ekspansi moneter melalui pembelian surat berharga pasar

uang, misalnya, hanya akan mendorong perubahan portofolio bank sentral dari devisa

menjadi surat berharga pasar uang domestik tanpa mengubah jumlah uang beredar.

Mekanisme ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Akibat kebijakan ekspansi moneter, suku

bunga domestik akan mengalami tekanan ke bawah. Karena surat-surat berharga di pasar

domestik merupakan substitusi sempurna dari surat-surat berharga di pasar internasional

maka tekanan penurunan suku bunga domestik akan mendorong para pemilik dana untuk

membeli surat-surat berharga luar negeri yang selanjutnya akan menimbulkan tekanan

depresiasi mata uang domestik. Bank sentral, dalam upayanya mempertahankan nilai tukar,

akan terpaksa melakukan intervensi di pasar valas dan mengurangi jumlah cadangan devisa

yang berarti akan mengurangi jumlah uang beredar dan mendorong kenaikan suku bunga

domestik, masing-masing kembali mendekati tingkat semula

Implikasi kebijakan dari sistem nilai tukar tetap adalah:

• Bank sentral tidak dapat mengendalikan jumlah uang beredar (endogen).

• Bank sentral harus memelihara cadangan devisa dalam jumlah yang memadai.

• Untuk mempertahankan kredibilitas kebijakan nilai tukar tetap dan menghindari

terkurasnya cadangan devisa, otoritas moneter dan otoritas fiskal harus menghindarkan

diri dari kebijakan yang bersifat inflasioner.

• Apabila terjadi tekanan inflasi domestik yang bersifat eksogen baik yang bersumber dari

dalam negeri (seperti gangguan pasokan pangan) maupun dari luar negeri (seperti kenaikan

harga-harga internasional), alternatif kebijakan devaluasi adalah pilihan yang berat namun

harus diambil selama kondisi cadangan devisa tidak memadai untuk mendukung nilai tukar.

Bagi suatu negara yang sangat rentan terhadap gangguan eksternal (misalnya karena

memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sektor luar negeri) maupun gangguan internal

(misalnya karena sering mengalami gangguan alam), kebijakan nilai tukar tetap merupakan

kebijakan yang mengandung resiko tinggi. Resiko devaluasi akan selalu menghantui para

pelaku ekonomi domestik dan investor asing sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi

dan menyuburkan perilaku spekulasi.

Sementara itu, bagi suatu negara yang menganut sistem nilai tukar mengambang,

otoritas moneter memiliki keleluasaan untuk mengendalikan jumlah uang beredar karena ia

tidak memiliki kewajiban untuk mempertahankan nilai tukar pada level tertentu. Apabila

tingkat harga-harga domestik bersifat rigid, suatu kebijakan ekspansi moneter akan

mendorong depresiasi nilai tukar dan meningkatkan daya saing produk dalam negeri

sehingga produksi nasional akan terdorong naik.

Page 124: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

72 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Dornbusch (1976) memperkenalkan pengembangan dari model Mundell-Fleming untuk

sistem nilai tukar mengambang dengan memasukkan konsep dinamik dan rational expectations.

Pengembangan tersebut memungkinkan adanya penyesuaian harga, suku bunga, dan

ekspektasi secara bertahap di pasar asset sehingga kebijakan moneter hanya akan memiliki

dampak sementara ( transitory) terhadap tingkat produksi. Dengan perkataan lain, dalam

jangka panjang ketika tingkat harga sudah sepenuhnya menyesuaikan diri dengan perubahan

nilai tukar, kebijakan moneter akan bersifat netral terhadap tingkat produksi.

Implikasi kebijakan dari sistem nilai tukar mengambang adalah:

• Dalam jangka pendek, bank sentral memiliki keleluasaan dalam mengendalikan jumlah

uang beredar (eksogen).

• Bank sentral tidak perlu memelihara cadangan devisa dalam jumlah besar.

• Meskipun kebijakan ekspansioner akan mampu meningkatkan tingkat produksi namun

tetap harus memperhatikan daya dukung perekonomian domestik (kapasitas produksi

nasional). Jika tidak, kebijakan ekspansioner tersebut pada akhirnya akan mendorong

kenaikan laju inflasi.

Di antara dua kutub sistem nilai tukar, terdapat banyak varian sistem nilai tukar

yang merupakan kompromi dari kedua sistem tersebut. Perbedaan mendasar di antara

berbagai varian tersebut terletak pada tingkat intensitas intervensi yang dilakukan oleh

otoritas moneter di pasar valas. Salah satu sistem yang banyak dianut adalah sistem

mengambang terkendali ( managed floating). Dalam sistem ini, target nilai tukar yang

ditetapkan oleh otoritas moneter seringkali tidak diumumkan kepada publik dan bersifat

fleksibel. Sasaran akhir dari sistem ini biasanya adalah mempertahankan nilai tukar riil

pada level yang mampu menjaga daya saing produk dalam negeri. Sistem ini cukup kredibel

apabila laju inflasi dapat dikendalikan pada level yang cukup rendah dan pemerintah

menjalankan kebijakan ekonomi makro yang berhati-hati. Meskipun tidak sebesar yang

dibutuhkan untuk mempertahankan kebijakan nilai tukar tetap, sistem mengambang

terkendali masih membutuhkan tersedianya cadangan devisa.

Jenis Sistem Devisa

Pada umumnya sistem devisa dapat dibagi dua, yaitu sistem devisa kontrol dan

sistem devisa bebas. Dalam sistem devisa kontrol, kegiatan transaksi devisa baik residen

maupun nonresiden dibatasi oleh Pemerintah. Derajat tingkat pembatasan berbeda-beda

pada masing-masing negara tergantung pada ultimate target dari kebijakan tersebut.

Sementara pada sistem devisa bebas tidak ada pembatasan dalam melakukan transaksi

devisa baik yang dilakukan oleh residen maupun non residen.

Page 125: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

73Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya

Kebijakan devisa suatu negara berkaitan erat dengan kebijakan nilai tukarnya.

Kebijakan devisa bebas biasanya diikuti dengan kebijakan nilai tukar yang lebih fleksibel

baik managed floating maupun flexible exchange rate. Negara-negara yang menerapkan sistem

nilai tukar tetap umumnya menerapkan kebijakan devisa yang terkontrol, misalnya Cina,

Chili dan terakhir adalah Malaysia. Kontrol devisa dilakukan dalam rangka

mempertahankan nilai tukar dari tekanan-tekanan. Dengan kontrol devisa maka permintaan

devisa akan dapat dikendalikan, sementara penawaran devisa dapat ditingkatkan khususnya

yang berasal dari penerimaan ekspor. Kontrol devisa ini juga bermanfaat untuk

mengisolasikan mata uang suatu negara dari kegiatan speculative bubble. Namun, di sisi

lain kontrol devisa mempunyai implikasi negatif, seperti menciptakan black market, ni lai

tukar yang overvalued, dan meningkatkan distorsi ekonomi dalam jangka pendek, serta

dalam hal birokrasi suatu negara tidak bersih maka dapat meningkatkan korupsi.

Fungsi Nilai Tukar

Penentuan sistem nilai tukar merupakan suatu hal penting bagi perekonomian suatu

negara karena hal tersebut merupakan satu alat yang dapat digunakan untuk mendorong

pertumbuhan ekonomi dan mengisolasi perekonomian suatu negara dari gejolak

perekonomian global. Pada dasarnya kebijakan nilai tukar yang ditetapkan suatu negara

mempunyai beberapa fungsi utama. Pertama, berfungsi untuk mempertahankan

keseimbangan neraca pembayaran, dengan sasaran akhir menjaga kecukupan cadangan

devisa. Oleh karena itu, dalam menetapkan arah kebijakan nilai tukar tersebut diutamakan

untuk mendorong dan menjaga daya saing ekspor dalam upaya untuk memperkecil defisit

current account atau memperbesar surplus current account. Fungsi kedua adalah untuk menjaga

kestabilan pasar domestik. Fungsi ini untuk menjaga agar nilai tukar tidak dijadikan sebagai

alat untuk spekulasi, dalam arti bahwa dalam hal nilai tukar suatu negara mengalami

overvalued maka masyarakat akan terdorong membeli valuta asing, dan sebaliknya apabila

undervalued maka masyarakat akan terdorong menjual valuta asing. Ketidakstabilan pasar

domestik yang demikian dapat menimbulkan kegiatan spekulatif seperti perkembangan

akhir-akhir ini, yang pada gilirannya dapat mengganggu kestabilan makro. Fungsi ketiga

sebagai instrumen moneter khususnya bagi negara yang menerapkan suku bunga dan nilai

tukar sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Dalam fungsi ini depresiasi dan

apresiasi nilai tukar digunakan sebagai alat untuk sterilisasi dan ekspansi jumlah uang

beredar. Fungsi keempat adalah sebagai nominal anchor dalam pengendalian inflasi. Nilai

tukar banyak digunakan oleh negara-negara yang mengalami chronic inflation sebagai nominal

anchor baik melalui pengendalian depresiasi nilai tukar maupun dengan mem-peg -kan nilai

tukar suatu negara dengan satu mata uang asing. Sebagai gambaran pada akhir tahun

1970an, orthodox programs dilaksanakan di Argentina, Chili dan Uruguay dan pada

Page 126: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

74 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

pertengahan tahun 1980an, heterodox programs dilaksanakan di Argentina, Brazil, Israel

dan Mexico, selain itu juga pada tahun 1991 convertibility plan diterapkan di Argentina.

Dasar Pertimbangan Penetapan Nilai Tukar

Pemilihan rezim nilai tukar pada umumnya didasarkan atas beberapa pertimbangan,

seperti tingkat keterbukaan perekonomian suatu negara terhadap perekonomian global,

tingkat kemandirian suatu negara dalam melaksanakan kebijaksanaan ekonomi di dalam

negeri, dan aktivitas perekonomian suatu negara. 1 Pertimbangan pertama adalah preferensi

suatu negara terhadap keterbukaan ekonominya, apakah suatu negara lebih cenderung

menerapkan kebijakan ekonomi yang terbuka atau tertutup. Dalam hal suatu negara lebih

cenderung menganut ekonomi yang lebih tertutup dan ingin mengisolasikan gejolak

keuangan dari negara lain ( contagion effect) maka fixed exchange rate merupakan prioritas

utama. Sementara apabila suatu negara lebih condong terbuka maka pilihan nilai tukar

yang lebih fleksibel merupakan pilihan utama karena dengan sistem ini capital inflow dapat

disterilisasi melalui sistem tersebut.

Dari aspek kemandirian dalam melaksanakan kebijakan ekonomi, misalnya dalam

hal melaksanakan kebijakan moneter yang independen, maka sistem nilai tukar fleksibel

merupakan pilihan utama. Sementara apabila dilihat dari aspek aktivitas ekonomi maka

semakin besar skala ekonomi suatu negara berarti semakin besar kegiatan volume transaksi

ekonomi sehingga permintaan akan uang juga semakin meningkat. Dalam hal ini, sistem

yang tepat digunakan adalah sistem nilai tukar fleksibel karena jika negara tersebut memiliki

sistem nilai tukar tetap maka dibutuhkan cadangan devisa yang sangat besar untuk menjaga

kredibilitas sistem nilai tukar tersebut.

Sementara itu, dasar pertimbangan pemilihan nilai tukar dalam konteks terjadinya

underlying shock pada pasar uang dan pasar barang (LM dan IS) dikemukakan oleh Garber

dan Svenson (1994). Dalam hal gejolak yang terjadi di pasar uang (LM) relatif lebih besar

dari gejolak yang terjadi di pasar barang (IS) maka pilihan yang lebih baik adalah floating

exchange rate. Bila kasus sebaliknya, gejolak di pasar barang (IS) relatif lebih besar dari

gejolak di pasar uang (LM) maka pilihan yang lebih baik adalah fixed exchange rate. Dalam

hal keduanya tidak ada yang dominan maka kebijakan yang terbaik adalah managed floating.

1 Untuk diskusi yang lebih mendalam mengenai pertimbangan pemilihan sistem nilai tukar dapat dilihat padaManuel Guitian, The Choice of an Exchange Rate Regime dalam Approaches to Exchange Rate Policy, Washington,D.C., International Monetary Fund.

Page 127: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

75Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya

Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia

Sesuai dengan Undang-undang No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral, salah satu

tugas Bank Indonesia adalah mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai tukar

rupiah. Secara garis besar, sejak tahun 1970 Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai

tukar, yaitu:

a. Sistem Nilai Tukar Tetap (1970-1978)

♦ Sesuai dengan Undang-undang No. 32 tahun 1964, Indonesia menganut sistem nilai

tukar tetap dengan kurs resmi Rp250 per 1 USD (sebelumnya Rp45 per 1 USD), sementara

kurs mata uang lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap USD di bursa

valuta asing Jakarta dan di pasar internasional.

♦ Dalam periode ini, Indonesia menganut sistem kontrol devisa yang relatif ketat. Para

eksportir diwajibkan menjual hasil devisanya kepada bank devisa untuk selanjutnya

dijual kepada pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia. Namun demikian, dalam rezim

ini tidak ada pembatasan dalam hal kepemilikan, penjualan maupun pembelian valuta

asing. Sebagai konsekuensi kewajiban penjualan devisa tersebut maka Bank Indonesia

harus dapat memenuhi seluruh kebutuhan valuta asing bank komersial untuk memenuhi

permintaan para importir maupun masyarakat yang membutuhkan valuta asing. Pada

masa tersebut, pemerintah mem-peg-kan Rupiah terhadap US dollar, dimana penentuan

nilai tukar mutlak dilakukan oleh pemerintah atas dasar kurs nilai tukar riil. Dengan

sistem nilai tukar tetap ini, Bank Indonesia memiliki wewenang penuh dalam mengawasi

transaksi devisa. Sementara untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada tingkat yang telah

ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing.

♦ Sistem nilai tukar tetap dengan sistem kontrol devisa pada awal tahun 1970-an masih

dimungkinkan karena lembaga keuangan belum berkembang, volume transaksi devisa

masih relatif kecil dan belum ada pasar valuta asing serta mata uang rupiah belum menjadi

tradable good dan kegiatan spekulasi valas belum ada. Di samping itu, pemerintah masih

melakukan pembatasan-pembatasan dalam hal melakukan pinjaman luar negeri,

penanaman modal asing, dan portfolio investment, sehingga intervensi langsung yang

dilakukan oleh pemerintah dapat bekerja efektif.

♦ Disadari bahwa nilai tukar yang overvalued dapat mengurangi daya saing produk-produk

ekspor di pasar internasional. Oleh karena itu, pada periode ini pemerintah melakukan

devaluasi sebanyak 3 kali, masing-masing pada 17 April 1970 dengan kurs sebesar Rp378

per 1 USD, tanggal 23 Agustus 1971 dengan kurs sebesar Rp415 per 1 USD dan pada

tanggal 15 November 1978 dengan kurs sebesar Rp625 per 1 USD.

Page 128: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

76 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

b. Sistem nilai tukar mengambang terkendali (1978-Juli 1997)

♦ Pada sistem ini nilai tukar rupiah diambangkan terhadap sekeranjang mata uang ( basket

of currencies) negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Kebijakan ini

diimplementasikan bersamaan dengan dilakukannya devaluasi Rupiah pada tahun 1978

sebesar 33,6%. Dengan sistem tersebut, pemerintah menetapkan kurs indikasi dan

membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu. Untuk menjaga kestabilan

nilai tukar rupiah, pemerintah melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas

atas atau batas bawah dari spread.

♦ Perkembangan nilai tukar rupiah selama periode managed floating dapat dilihat dalam

grafik 1. Dalam pelaksanaannya, sistem ini mempunyai esensi yang berbeda-beda sesuai

dengan karakteristik perekonomian pada saat tersebut. Karakteristik tersebut berhubungan

erat dengan seberapa besar Bank Indonesia mengendalikan nilai tukar tersebut dengan

melakukan penekanan pada unsur management atau floating -nya.

♦ Sesuai dengan karakteristiknya maka sistem nilai tukar mengambang terkendali pada

periode tersebut dapat dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu managed floating I, managed

floating II, dan crawling band. Periode 1978 - 1986 dapat dianggap sebagai periode managed

floating I di mana unsur manajemen lebih besar dari floating. Kondisi tersebut terlihat

dari pergerakan nilai tukar nominal yang relatif tetap dan perubahan relatif baru terjadi

pada tahun-tahun tertentu, yaitu pada saat Bank Indonesia melakukan devaluasi rupiah.

Cukup kuatnya unsur manajemen pada periode tersebut tidak terlepas dari kondisi

perekonomian yang relatif belum berkembang seperti saat ini, sehingga Bank Indonesia

0

10 0 0

2 0 0 0

3 0 0 0

4 0 0 0

50 0 0

6 0 0 0

70 0 0

8 0 0 0

9 0 0 0

10 0 0 0

110 0 0

12 0 0 0

13 0 0 0

14 0 0 0

150 0 0

16 0 0 0

0

10 0 0

2 0 0 0

3 0 0 0

4 0 0 0

50 0 0

6 0 0 0

70 0 0

8 0 0 0

9 0 0 0

10 0 0 0

110 0 0

12 0 0 0

13 0 0 0

14 0 0 0

150 0 0

16 0 0 0

8 3 8 4 8 5 8 6 8 7 8 8 8 9 9 0 9 1 9 2 9 3 9 4 9 5 9 6 9 7

Crawl ing

B andM anaged

F lo at ing IIM anaged F loat ing I

9 8

Grafik 1.

Perkembangan Nilai Tukar Rp/USD 1978:I - 1998:8

8 28 18 07978

F lexibl e

Page 129: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

77Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya

tidak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan nilai tukar sesuai dengan target yang

diinginkan dalam rangka mengendalikan inflasi dan menjaga daya saing produk-

produk ekspor.

♦ Perkembangan selanjutnya dengan semakin terbukanya perekonomian nasional terhadap

perekonomian dunia yang ditandai dengan semakin besarnya capital inflow ke Indonesia,

serta semakin pesatnya perkembangan sektor keuangan dan dunia usaha maka kebijakan

nilai tukar managed floating, lebih ditekankan pada unsur floating nya sementara unsur

pengendaliannya ( managed) semakin mengecil (periode managed floating II /1987-1992).

Dalam periode ini, kekuatan pasar semakin besar sehingga unsur floating semakin

dirasakan perlu mengingat manajemen yang terlalu dominan dapat berakibat misalignment

pada nilai tukar riil. Dalam grafik 1 terlihat bahwa perubahan nilai tukar terjadi setiap

saat, dan ini merupakan gambaran dari upaya Bank Indonesia untuk menyesuaikan

nilai tukar rupiah dengan kondisi pasar atau daya saing perekonomian.

♦ Fleksibilitas nilai tukar rupiah semakin ditingkatkan melalui penerapan kebijakan nilai

tukar crawling band sejak tahun 1992 hingga Agustus 1997. Peningkatan fleksibilitas nilai

tukar tersebut telah mendorong perkembangan pasar valuta asing dalam negeri, yang

tercermin dari semakin berkurangnya ketergantungan bank-bank kepada Bank Indonesia

dalam melakukan transaksi devisa. Kegiatan transaksi valas yang sebelumnya dilakukan

bank dengan Bank Indonesia hampir seluruhnya telah bergeser ke pasar valas antarbank.

Di samping itu, jumlah pelaku transaksi juga semakin meningkat dan produk pasar valuta

asing semakin bervariasi. Hal ini terlihat dari transaksi swap Bank Indonesia yang menurun

tajam dari sebesar USD 13 miliar pada tahun 1991 menjadi sebesar USD 1 miliar tahun

1994. Sebaliknya transaksi swap antarbank meningkat dari USD 29 miliar pada tahun

1991 menjadi sebesar USD 596 miliar pada tahun 1997. Pada sisi lain, peningkatan

fleksibilitas melalui pelebaran rentang intervensi juga telah memberikan keleluasaan

kepada Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter sehingga dapat

mempermudah perencanaan pelaksanaan operasi pasar terbuka.

c. Sistem nilai tukar mengambang bebas (sejak 14 Agustus 1997)

♦ Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar rupiah mengalami tekanan-tekanan yang

menyebabkan semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD. Tekanan tersebut

berawal dari currency turmoil yang melanda Thailand yang dengan segera menyebar ke

Indonesia dan negara ASEAN sehubungan dengan karakteristik perekonomian yang

mempunyai kemiripan. Langkah-langkah yang dilakukan Bank Indonesia antara lain

dengan dengan melakukan intervensi baik secara spot maupun forward untuk sementara

memang dapat menstabilkan nilai tukar rupiah.

Page 130: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

78 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

♦ Namun tekanan depresiatif tersebut semakin meningkat khususnya lagi sejak awal

Agustus 1997, di mana rupiah telah menembus Rp2.650 per 1 USD. Sehubungan dengan

itu dan dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang maka pada

tanggal 14 Agustus, pemerintah memutuskan untuk menghapus rentang intervensi dan

menganut sistem nilai tukar mengambang bebas ( flexible exchange rate) .

♦ Penghapusan rentang intervensi ini juga dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif

dari kegiatan spekulatif terhadap rupiah dan memantapkan pelaksanaan kebijakan

moneter dalam negeri. Walaupun Indonesia telah menganut flexible exchange rate, namun

kegiatan intervensi valas masih tetap dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk

menghilangkan distorsi-distorsi di pasar valuta asing mengingat pasar ini belum

sempurna dan kurang rasional.

♦ Dalam perkembangannya pergerakan nilai tukar rupiah pada era floating tersebut

mengalami fluktuasi yang cukup tinggi. Fluktuasi tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh

faktor fundamental ekonomi, tetapi juga oleh faktor-faktor non ekonomis yang umumnya

dimanfaatkan oleh para spekulan valas (lihat grafik 2). Beberapa faktor pendorong yang

mengakibatkan terus bergejolaknya nilai tukar rupiah tersebut sebenarnya berasal dari

banyaknya kelemahan faktor fundamental mikroekonomi, sedangkan efek menular

(contagion effect) dari krisis nilai tukar Thailand hanya merupakan pemicu saja. Beberapa

kelemahan faktor fundamental mikroekonomi tersebut adalah: Pertama, besarnya

ketergantungan swasta terhadap sektor luar negeri, sehingga dalam lima tahun terakhir

utang luar negeri swasta meningkat rata-rata sebesar 28,6% dibandingkan dengan utang

luar negeri pemerintah yang naik hanya sebesar 0,4% per tahun. Dengan demikian pangsa

utang luar negeri swasta meningkat dari sebesar 29% pada tahun 1993 menjadi sebesar

57% pada akhir tahun 1997. Kondisi tersebut diperburuk lagi dengan banyaknya dana

tersebut diinvestasikan pada sektor usaha konsumtif, seperti properti, dan sektor usaha

lainnya yang rendah tingkat efisiensinya, disamping dana tersebut tidak dilindung nilai

(unhedged) ; Kedua, pertumbuhan ekspor yang melambat pada tahun terakhir sebagai akibat

rendahnya efisiensi sektor dunia usaha; Ketiga; kerapuhan (f ragi l i ty) sektor keuangan

khususnya sektor perbankan sebagai akibat pengelolaan usaha yang lemah dan kurang

transparan serta pemberian kredit yang terkait dengan bank, sehingga meningkatkan non

performing loan dan resiko usaha bank. Kesemua hal tersebut telah menyebabkan c api tal

outflow akibat berkurangnya kepercayaan investor asing terhadap perekonomian

Indonesia.

♦ Melihat kecenderungan perkembangan akhir-akhir ini nilai tukar rupiah telah mengalami,

turning point sejak tanggal 10 Juli 1998. Kecenderungan penguatan rupiah tersebut terlihat

Page 131: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

79Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya

jelas apabila kita mengurangi disturbances pada s eries nilai tukar Rupiah/USD, dengan

menggunakan metode moving average 20 hari (Grafik 3). Kebijakan moneter yang ketat

dan intervensi valuta asing yang tepat waktu merupakan faktor pendorong penguatan

nilai tukar rupiah tersebut.

Perkembangan Kurs Rp/USD Jan. 1998 s.d. September 1998

2,000

3,000

4,000

5,000

6,000

7,000

8,000

9,000

10,000

11,000

12,000

13,000

14,000

15,000

16,000

17,000

2 9 16 23 2 9 16 23 2 9 16 23 30 6 15 22 30 7 15 25 1 8 15 22 29 7 14 21 28 4 11 19 26 2 9 16 23

Reaksi negatif pasar terhadap RAPBN 98/ 99 yg dinilai ekspansif & krit ik IMF thp reformasi yg lambat7 s/d 8 Januari '98

IMF tetap commit utk mem bantu RI dan gerakan Aku cinta Rupiah (12 Jan. '98)

Pemerintah menjamin deposan & kreditur (27 Jan 98) &kenaik an suku bunga SBI (27jan 98)

Isu Penerapa CBS (Mg I s/d IIFeb 98)

IMF tdk setuju dgn Renc. PenerapanCBS (16 Feb98)

Kenaikkan suku bunga SBI (23 Mar 1998)

Penanda tanganan Suplementary Letter of Inten 1MF ( 8 Apr 98)

Berbagai kerusuhan /Peristiwa Mei *98

JunAprJan98 Feb Mar Mei

Penanda tanganan Suplementary Letter of Inten II 1MF ( 24Juni 98)

MelemahnyaJPYMg.I s/d MgIII Juni

Jul Agt Sept

Kebijakan OPT relatif ketat dan intervensi valas

Suku bunga Intervensi dinaikkan menjadi 70%

Berbagai kerusuhan dandemonstarsi mhs

Mg II Sep 98

Perkembangan Kurs Tengah Antar Bank (Moving 20 days)

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

16,000

1July1997

11 24 5Aug.

15 27 8Sept

.

18 30 10Oct.

22 3Nov.

13 25 8Dec.

18 31 13Jan.1998

23 5Feb

17 27 11Mar.

23 2April

16 29 12Mei

25 4June

16 26 9Jul.

21 31 12Aug

25 4Sept

16

Grafik 2

Grafik 3

Page 132: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

80 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Perkembangan Kebijakan Devisa di Indonesia

a. Sistem Devisa Kontrol

♦ Hingga tahun 1967, Indonesia menerapkan sistem devisa kontrol yang cukup ketat, di

mana sesuai dengan Undang-Undang No. 32/1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa

ditetapkan bahwa devisa yang berasal dari kekayaan alam dan usaha Indonesia dikuasai

oleh negara. Eksportir wajib menjual devisa hasil ekspor kepada bank devisa yang

selanjutnya dijual kembali kepada Bank Indonesia. Di samping itu, warga negara

Indonesia atau badan hukum Indonesia juga wajib mendaftar dan menyimpan surat

berharga dalam valuta asing yang dimilikinya pada bank devisa pemerintah.

♦ Kebijakan ini cukup berhasil dalam mengisolasikan perekonomian nasional terhadap

pengaruh eksternal, namun di sisi lain kebijakan ini telah menciptakan pasar gelap valuta

asing. Nilai tukar rupiah di pasar valuta asing jauh di atas harga yang ditetapkan oleh

pemerintah.

b. Sistem Devisa Bebas

♦ Sejak tahun 1967 secara berangsur-angsur kontrol devisa mulai dilepas dan sistem devisa

Indonesia mulai mengarah ke sistem devisa bebas khususnya lagi sejak dikeluarkannya

Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Undang-undang

ini bertujuan untuk menarik masuknya modal asing dalam rangka pembiayaan investasi

di dalam negeri. Dalam perkembangannya ternyata masih ada keraguan investor asing

bahwa mereka tidak akan dapat mengirimkan keuntungan usaha ke negaranya (p rofi t

transfer). Sehubungan dengan hal tersebut Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan

Pemerintah No. 16 tahun 1970 tentang penyempurnaan pelaksanaan ekspor, impor dan

lalu lintas devisa. Dalam ketentuan tersebut ditetapkan bahwa setiap orang dapat dengan

bebas memperoleh dan menggunakan devisa umum.

♦ Indonesia memasuki sistem devisa bebas murni sejak tahun 1982 dengan dikeluarkannya

Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1982 tentang penghapusan kewajiban penjualan devisa

hasil ekspor kepada Bank Indonesia. Penerapan sistem devisa bebas telah memberikan

implikasi positif dalam mendorong aliran modal masuk ke Indonesia, baik dalam bentuk

penanaman modal asing, pinjaman, dan investasi portfolio di pasar modal. Aliran modal

masuk tersebut sangat diperlukan untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan

yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari dalam negeri sekaligus menutup kesenjangan

antara investasi dan tabungan ( saving-investment gap) yang selama 3 dasa warsa terakhir

mencapai sekitar 3% dari GDP. Arus modal tersebut telah memberikan kontribusi yang

cukup besar dalam mendorong tingginya pertumbuhan ekonomi pada masa-masa tersebut.

Page 133: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

81Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya

♦ Di sisi lain sistem devisa bebas juga mempunyai implikasi negatif karena dapat

menimbulkan kerawanan pada perekonomian nasional apabila tidak diikuti dengan sikap

kehati-hatian para pelaku ekonomi. Besarnya arus modal masuk khususnya dana-dana

yang berjangka pendek yang ditanamkan dalam bentuk portfolio investment, dapat

membahayakan perekonomian nasional apabila arus dana tersebut seketika berbalik

menjadi arus modal keluar. Krisis yang dialami negara Amerika Latin seperti Meksiko

pada tahun 1994, dan krisis ekonomi terakhir yang terjadi di Thailand, Indonesia dan

negara ASEAN lainnya merupakan bukti dari berbahayanya hot capital inflows tersebut.

Permasalahan yang Dihadapi Indonesia Saat Ini

Sistem nilai tukar mengambang terkendali yang berlaku di Indonesia sejak tahun

1978 s.d. 14 Agustus 1997 telah memberikan kontribusi yang positif terhadap perkembangan

ekonomi. Terlepas dari itu, dalam perkembangannya muncul berbagai permasalahan yang

telah memaksa Indonesia untuk secara bertahap menyesuaikan kebijakan nilai tukar hingga

akhirnya beralih ke sistem nilai tukar mengambang.

Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam era nilai tukar

mengambang penuh ( free floating rate) , yai tu:

♦ Hilangnya kepercayaan dalam dan luar negeri terhadap sistem perbankan dan prospek

ekonomi dalam negeri telah mendorong derasnya arus modal ke luar. Dalam kondisi

ini, built-in automatic adjustment yang seharusnya bekerja melalui pengaruh kenaikan

suku bunga domestik terhadap arus balik modal asing sehingga nilai tukar kembali stabil

ternyata tidak bekerja efektif karena tidak adanya faktor kepercayaan tersebut.

♦ Faktor rendahnya kepercayaan telah membuat harga dari instrumen-instrumen keuangan

yang lazim digunakan untuk melindungi nilai ekonomi dari pengaruh fluktuasi nilai

tukar (hedging) meningkat sedemikian tingginya sehingga secara ekonomis menjadi tidak

layak untuk digunakan.

♦ Kegiatan ekspor yang seharusnya meningkat tajam akibat depresiasi nilai tukar riil yang

sangat tajam (hampir 300% hingga bulan Agustus 1998), ternyata menunjukkan kinerja

yang tidak sesuai dengan harapan. Sebaliknya, depresiasi nilai tukar riil telah

menurunkan impor secara drastis sehingga semakin memperburuk kinerja sektor

produksi dan mengurangi pasokan barang di dalam negeri sehingga semakin menambah

tekanan inflasi.

♦ Jumlah hutang luar negeri yang sangat besar semakin menambah tekanan permintaan

terhadap valuta asing.

Page 134: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

82 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

♦ Pada awalnya, anjloknya nilai tukar rupah lebih banyak berdampak negatif terhadap

kinerja keuangan perusahaan-perusahaan yang memiliki beban hutang, khususnya

hutang luar negeri, yang besar. Namun, seiring dengan kontraksi permintaan domestik

yang sangat tajam, kinerja perusahaan-perusahaan lain juga ikut memburuk.

♦ Cukup cepatnya proses pass-through perubahan nilai tukar terhadap harga-harga di dalam

negeri telah memicu lonjakan laju inflasi di dalam negeri. Hasil penelitian Bank Indonesia

(1998) menunjukkan bahwa suatu tekanan depresiasi nilai tukar akan segera

meningkatkan laju inflasi dalam periode 1 - 2 bulan sejak terjadinya tekanan tersebut.

Pengaruhnya baru akan benar-benar hilang setelah 9 - 10 bulan sejak awal terjadinya

tekanan depresiasi.

INDONESIA'S BALANCE OF PAYMENTin million of US$

Items 1996/97 1997/98Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4

NON OIL/GAS (net) -3724 -3068 -2430 -3384 -1634 -1779 -599 795Exports, fob 9771 9965 10073 9458 11980 11782 11356 10806Imports, fob -10795 -10410 -9822 -10099 -10168 -11157 -10023 -7271Services, net -2700 -2623 -2681 -2743 -3446 -2404 -1932 -2740

OIL(net ) 489 286 368 116 82 48 -86 -113Exports, fob 1687 1709 2147 1970 1650 1527 1624 1053Imports, fob -756 -995 -1313 -1359 -1019 -963 -1164 -668Services, net -442 -428 -466 -495 -549 -516 -546 -498

GAS(net) 647 656 1009 966 450 336 483 318Exports, fob 1070 1142 1512 1534 1107 1055 1254 968Imports, fob -67 -68 -68 -67 -68 -68 -68 -67Services, net -356 -418 -435 -501 -589 -651 -703 -583

CURRENT ACCOUNT -2588 -2126 -1053 -2302 -1102 -1395 -202 1000Exports, fob 12528 12816 13732 12962 14737 14364 14234 12827Imports, fob -11618 -11473 -11203 -11525 -11255 -12188 -11255 -8006Services, net -3498 -3469 -3582 -3739 -4584 -3571 -3181 -3821

OFFICIAL CAPITAL -434 7 56 -449 362 -191 3158 870PRIVATE CAPITAL (net) 2427 2832 3812 4417 1864 1981 -8600 -7072

CAPITAL ACCOUNT 1993 2839 3868 3968 2226 1790 -5442 -6202

TOTAL -595 713 2815 1666 1124 395 -5644 -5202

ERROR & OMISSIONS 1103 -781 -105 -918 1119 -1691 -496 374

MONETARY MOVEMENTS -508 68 -2710 -748 -2243 1296 6140 4828

MEMORANDUM ITEMSOfficial Reserves 16483 16415 19125 19873 - - - -Gross Foreign Assets Outstanding - - - - 28854 27559 21418 16590

Sumber : Bank Indonesia

Page 135: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

83Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya

Manajemen Nilai Tukar Mendatang

Kebijakan Nilai Tukar

Sejak diterapkannya kebijakan nilai tukar mengambang penuh (f ree floating rate) tanggal

14 Agustus 1997, nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan-tekanan yang berat baik dari

faktor ekonomi maupun non-ekonomi serta faktor internal maupun non-eksternal. Semua

faktor ini datang dalam waktu yang bersamaan dan semua memberikan tekanan yang kuat

pada rupiah untuk terus mengalami depresiasi. Hal ini menyebabkan nilai tukar rupiah

berfluktuasi secara tajam sehingga sulit untuk menilai efektivitas sistem nilai tukar

mengambang yang telah diterapkan dan sejauh mana kebijakan ini lebih baik dibandingkan

dengan kebijakan sebelumnya yaitu sistem nilai tukar mengambang terkendali. Dengan

kata lain, timing dalam menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang memang tidak

menguntungkan meskipun keputusan tersebut kemungkinan merupakan pilihan yang

terbaik ketika itu.

Sampai saat ini kita masih menganut kebijakan nilai tukar mengambang karena

diyakini bahwa sistem ini masih yang terbaik dalam situasi perekonomian Indonesia yang

masih mengalami berbagai permasalahan seperti capital outflows, loss of confidence d ari

investor asing, besarnya corporate foreign debt, dan menurunnya nilai ekspor. Seluruh masalah

tersebut membuat penerapan kebijakan nilai tukar terkendali atau tetap menjadi terlalu

riskan, apalagi jumlah cadangan devisa yang dikuasai pemerintah relatif kecil. Sistem ini

dikatakan masih terbaik mengingat bahwa bank sentral tidak memiliki kewajiban untuk

melakukan intervensi di pasar valuta asing karena tidak terikat pada satu target nilai tukar

rupiah.

Di dalam sistem nilai tukar mengambang, penguatan nilai rupiah diharapkan akan

secara bertahap terjadi melalui penerapan kebijakan moneter dan fiskal yang berhati-hati,

restrukturisasi perbankan, penyelesaian hutang luar negeri, dan perbaikan sektor riil.

Dukungan baik dalam bentuk dana maupun keahlian dari berbagai lembaga keuangan

internasional dan negara-negara sahabat diharapkan akan lebih menjamin keberhasilan

berbagai upaya tersebut. Namun, kenyataannya prospek keberhasilan masih diselimuti

kabut akibat:

(i) Masih adanya keraguan pasar terhadap kestabilan politik Indonesia dan/atau

kemampuan Pemerintah menjamin keamanan warganya.

(ii) Masih adanya keraguan terhadap kemampuan ekonomi Indonesia dalam memikul

beban hutang luar negeri di masa-masa yang akan datang. Keraguan tersebut terutama

berkaitan dengan ketidakyakinan pasar akan kecepatan pemulihan ekonomi Indonesia.

(iii) Keraguan terhadap kecepatan pemulihan kondisi perbankan.

Page 136: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

84 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Selama keragu-raguan pasar tersebut masih belum berhasil dihilangkan maka upaya

penguatan nilai tukar rupiah akan memakan waktu yang lebih lama daripada yang dapat

ditanggung oleh ketahanan sosial ekonomi bangsa ini. Oleh karena itu, sangat beralasan

apabila muncul desakan untuk mencari alternatif kebijakan yang dapat mempercepat proses

penguatan rupiah. Salah satu alternatif kebijakan yang diusulkan adalah kembali

menerapkan sistem rentang intervensi atau crawling peg (salah satu varian dari sistem

managed floating). Rentang intervensi tersebut harus dipertahankan dengan disiplin moneter

yang ketat yang mengandung implikasi bahwa apabila jumlah cadangan devisa tidak

memadai untuk mempertahankan rentang intervensi maka pilihan kebijakan suku bunga

tinggi harus diterapkan.

Kemungkinan timbulnya dampak berupa penerapan kebijakan suku bunga tinggi

tentunya akan menimbulkan keberatan dari dunia usaha. Akan tetapi pilihannya bukanlah

antara suku bunga tinggi atau rendah melainkan antara:

(i) keadaan seperti sekarang ini yang serba tidak pasti kapan nilai tukar akan menguat,

dan dengan demikian kapan suku bunga dapat mulai turun, dan;

(ii) keadaan yang lebih pasti mengarah pada penguatan nilai tukar, walaupun dengan resiko

suku bunga yang sangat tinggi untuk sementara, dan lebih pasti pula waktunya dapat

mengarah pada penurunan suku bunga;

atau pilihan lain antara:

(i) nilai tukar yang berfluktuasi dan dapat melemah secara tajam apabila terjadi tekanan

yang besar terhadap rupiah, dengan suku bunga yang diupayakan tidak terlalu tinggi

namun tidak tertutup kemungkinan harus naik pada tingkat yang cukup tinggi, dan;

(ii) nilai tukar yang relatif tetap dengan resiko suku bunga yang kadang-kadang harus

tinggi untuk mempertahankan nilai tukar tersebut.

Pilihan (i) dari dua set pilihan di atas kiranya bukanlah pilihan yang ideal mengingat:

• perubahan nilai tukar berdampak secara langsung pada unit usaha yang di dalam

neracanya terkandung resiko kurs; dan perubahan nilai tukar secara tajam dapat dengan

seketika menyebabkan bangkrutnya unit usaha tersebut (tidak demikian halnya dengan

perubahan suku bunga);

• perubahan nilai tukar secara langsung berdampak pada inflasi melalui kenaikan harga

barang-barang impor dan ekspor, dan pelemahan nilai tukar yang besar akan

menyebabkan perubahan distribusi pendapatan yang besar pula. Kelompok

berpenghasilan tetap akan menderita dampak pemiskinan yang hebat;

Page 137: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

85Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya

• apabila tekanan yang dihadapi cukup berat maka dapat terjadi bahwa, selain nilai tukar

yang melemah, suku bunga pun harus dinaikkan, sehingga perekonomian mendapat

pukulan dari dua sisi sekaligus; dalam hal ini tujuan sistem nilai tukar mengambang

secara bebas dapat dikatakan menjadi tidak tercapai mengingat suku bunga pun pada

akhirnya harus mengalami penyesuaian yang cukup besar.

Satu penelitian yang dilakukan oleh para peneliti ekonomi di Bank Indonesia juga

memperoleh kesimpulan bahwa — sepanjang sasaran akhir pengendalian moneter adalah

kestabilan harga (single target) — maka pengelolaan sistem nilai tukar mengambang terkendali

(managed floating) adalah yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia. Kesimpulan ini

didasarkan pada kenyataan bahwa struktur industri kita sarat dengan kandungan impor

yang tinggi sehingga perubahan nilai tukar sangat berpengaruh terhadap kestabilan tingkat

harga, sementara di sisi lain perubahan nilai tukar hanya berdampak terbatas terhadap

kinerja ekspor. Dalam perkataan lain, nilai tukar yang terlalu berfluktuatif lebih banyak

berdampak negatif terhadap perekonomian domestik.

Perhitungan berdasarkan pendekatan NATREX (Natural Real Exchange Rate)

memberikan wawasan bahwa dalam jangka panjang beberapa variabel fundamental (seperti

terms of trade, produktivitas, rasio tabungan terhadap PDB) secara signifikan mempengaruhi

pergerakan nilai tukar riil (lihat persamaan di bawah). Dalam periode tertentu NATREX

sebagai pencerminan faktor fundamental mampu menjelaskan pergerakan nilai tukar riil.

Namun, pada periode mengambang ( free floating) terlihat adanya perbedaan arah antara

NATREX dengan nilai tukar riil (REER). Ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa

dalam kurun waktu tersebut gerakan nilai tukar riil juga dipengaruhi oleh faktor-faktor

non-fundamental sehingga sulit untuk mengharapkan mekanisme pasar dapat menstabilkan

nilai tukar secara otomatis.

LREER = 4,83 + 1,25 LTOT - 0,12 LPRDVT - 0,03 GNS - 0,02 RDIFF

(11,5) ( 9,2) ( -2,5) ( -5,2) ( -2,6)

R2 = 0,81 DW-stats = 1,52

R2 adjusted = 0,79 F-stat = 54,4

Angka dalam tanda kurung adalah t -statistic.

Keterangan:

LREER = log nilai tukar riil efektif

LTOT = log terms of trade

LPRDVT = log produktivitas (PDB riil dibagi jumlah tenaga kerja)

G N S = rasio tabungan nasional tehadap PDB

RDIFF = perbedaan suku bunga deposito 3 bulan dengan LIBOR

Page 138: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

86 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Pada prinsipnya penelitian tersebut menyimpulkan bahwa target riil semakin sulit

dicapai dalam era f ree floating sehingga selama rentang intervensi nilai tukar tidak digunakan

maka intervensi otoritas moneter secara berkala ke pasar masih diperlukan, dengan syarat

mempertimbangkan ketepatan timing, sifat, dan batas acuan intervensi yang didukung

oleh keberadaan suatu Market Intelligence Unit.

Membiarkan nilai tukar ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar tampaknya bukan

merupakan solusi yang tepat untuk menstabilkan nilai tukar dan menghindarkan terulangnya

krisis nilai tukar di masa datang. Suatu penelitian dengan menggunakan data 26 negara

menyimpulkan bahwa, meskipun penyimpangan nilai tukar riil dari nilai ekuilibriumnya (r eal

exchange rate misalignment) merupakan komponen penting dalam membentuk ekspektasi nilai

tukar di pasar, namun ekspektasi nilai tukar itu sendiri tidak dapat memperkirakan terjadinya

krisis. Dengan perkataan lain, sebagian besar krisis nilai tukar adalah peristiwa-peristiwa yang

unpredictable. 2 Oleh karena itu, penerapan sistem nilai tukar mengambang pun tidak dapat

menjamin bahwa — apabila terjadi suatu exogenous shock yang menimbulkan real exchange rate

misalignment — pasar akan segera mengantisipasi kemungkinan timbulnya krisis dan

melakukan berbagai penyesuaian sehingga krisis dapat dihindari.

Pengalaman di Filipina sebagai salah satu negara yang terkena dampak krisis nilai

tukar di Asia juga menyimpulkan bahwa kebijakan pengendalian nilai tukar merupakan

pilihan kebijakan yang tepat. 3 Meskipun penerapan sistem nilai tukar fleksibel adalah sangat

penting guna mengembalikan keseimbangan eksternal dan mendorong pertumbuhan sektor

ekonomi berorientasi ekspor, namun ketidakseragaman kinerja pencapaian sasaran-sasaran

moneter dan tidak simetrisnya reaksi kebijakan terhadap tekanan nilai tukar telah

menimbulkan kinerja inflasi yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Karena penerapan

jangkar nominal dalam kebijakan moneter akan meningkatkan efektivitas pengendalian

inflasi dan menghasilkan prospek pertumbuhan yang ekonomi yang lebih mantap maka

penerapan patokan nilai tukar ( exchange rate peg) — di samping penerapan r ule dalam

pengendalian uang beredar dan sasaran inflasi — menjadi pilihan yang lebih tepat.

Terdapat dua alternatif timing dimulainya penerapan alternatif kebijakan rentang

intervensi tersebut, yaitu:

(i) menunggu sampai nilai tukar mencapai tingkat yang wajar, kemudian baru sistem

tersebut diterapkan;

2 Ilan Goldfajn dan Rodrigo O. Valdes, Are Currency Crisis Predictable?, IMF Working Paper No. 159 tahun 1997.3 Aerdt Houben, Exchange Rate Policy and Monetary Strategy Options in the Philippines - the Search for Stability and

Sustainability, IMF Paper on Policy Analysis and Assessment, Washington, D.C., 1997.

Page 139: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

87Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya

(ii) mulai menerapkan sistem tersebut sekarang, dimulai dengan nilai tukar yang berlaku

untuk kemudian diturunkan sedikit demi sedikit sehingga mencapai target.

Dalam hal alternatif (ii), target akhir nilai tukar tersebut sebaiknya diumumkan untuk

mempengaruhi psikologi pasar. Dalam keadaan di mana nilai tukar yang wajar sukar untuk

dicapai (karena faktor politik, spekulasi, dsb.) maka pilihan akan cenderung jatuh pada

al ternati f (i i ).

Berikut ini adalah ilustrasi dari penerapan sistem nilai tukar menggunakan rentang

intervensi :

Pada waktu diterapkan (misalnya hari ini, ketika kurs tengah di pasar sekitar Rp10.700 per

dolar AS).

• Terapkan dan umumkan rentang intervensi nilai tukar, misalnya terendah Rp10.200 dan

tertinggi Rp11.200.

• Umumkan bahwa Bank Indonesia akan menurunkan rentang intervensi tersebut sedikit

demi sedikit, sehingga dalam waktu 3 bulan menjadi, misalnya, terendah Rp8.200 dan

tertinggi Rp9.200. (Pengumuman ini diperkirakan akan membentuk psikologi pasar

bahwa nilai tukar akan menguat, sehingga para peserta pasar akan mulai membeli

rupiah.) Sudah tentu bahwa para peserta pasar tidak dengan serta merta percaya bahwa

Bank Indonesia akan berhasil menurunkan rentang intervensi tersebut, dan pasar pasti

akan mencoba kekuatan dan kekukuhan kebijakan Bank Indonesia. Akan tetapi dengan

disiplin moneter yang ketat untuk mempertahankan rentang intervensi, diperkirakan

pasar akan segera yakin akan kekuatan dan kekukuhan tersebut.

• Pertahankan batas tertinggi rentang intervensi dengan kebijakan (disiplin) moneter yang

ketat. Dalam hal ini Bank Indonesia menyediakan devisa ($) bagi bank-bank yang ingin

membeli $ tersebut pada batas tertinggi rentang intervensi. Bank-bank yang berhak

membeli $ dari Bank Indonesia dapat dibatasi hanya bank-bank yang mempunyai saldo

giro positif pada Bank Indonesia.

• Apabila nilai tukar mendekati batas terendah rentang intervensi, Bank Indonesia dapat

mempertahankan batas terendah tersebut dengan membeli valuta asing, akan tetapi dapat

pula menggeser rentang intervensi ke bawah apabila dipandang sudah waktunya untuk

menggeser rentang intervensi tersebut.

Untuk selanjutnya:

• Rentang intervensi sedikit demi sedikit diturunkan hingga mencapai target yang

diumumkan, yaitu Rp8.200 - Rp9.200.

Page 140: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

88 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

• Apabila rentang intervensi sudah mencapai target yang diumumkan, Bank Indonesia

dapat mengumumkan bahwa target selanjutnya yang ingin dicapai adalah rentang

intervensi Rp6.200 - Rp7.200, apabila nilai tukar pada tingkat tersebut dipandang sebagai

nilai tukar yang wajar, dan akan menurunkan rentang intervensi sedikit demi sedikit

sampai mencapai target tersebut misalnya dalam waktu tiga bulan.

• Apabila rentang intervensi sudah mencapai target akhir (misalnya Rp6.200 - Rp7.200)

maka rentang intervensi tersebut akan dipertahankan untuk seterusnya. Perubahan hanya

akan dilakukan apabila terjadi perubahan mendasar pada faktor-faktor yang

melatarbelakanginya (seperti perubahan yang besar pada nilai tukar antara US$ dan

matauang-matauang utama lainnya).

Berkaitan dengan timing dari penerapan kebijakan nilai tukar mengambang terkendali,

Prof. Arnold Harberger mengajukan skenario “Tiga Fase” yang dapat dijelaskan sebagai berikut. 4

Fase I

Dalam fase ini, otoritas moneter sebaiknya tetap mempertahankan kebijakan nilai

tukar mengambang. Tindakan yang perlu dilakukan adalah menerapkan kebijakan yang

berhati-hati (kebijakan yang tidak menimbulkan tambahan tekanan inflasioner) tanpa secara

-80.00

-60.00

-40.00

-20.00

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

1.60

1.80

2.00

CPI Ina/CPI USA Index Nom. USD/Rp

Pertumbuhan Nilai tukar Riil USD/Rp

1996 1997 1998

Perkembangan Nilai Tukar Riil (Bilateral USD/Rp)Periode 1996 - Juli 1998

4 Lihat dua tulisan Arnold C. Harberger yang disampaikan pada serangkaian pertemuan yang disponsori USAID diUniversitas Indonesia dan di Bank Indonesia. Kedua tulisan tersebut masing-masing berjudul “The Anatomy ofCrisis” dan “Notes on the Indonesian Crisis.”

Page 141: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

89Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya

kaku menetapkan sasaran inflasi. Biarkan nilai tukar nominal menguat secara perlahan-

lahan dan tingkat harga bergerak naik sehingga mendorong penguatan nilai tukar riil.

Kebijakan yang bersifat pasif ini sebaiknya dipertahankan hingga nilai tukar riil mendekati

satu level sebelum krisis (Harberger mengusulkan untuk mengakhiri penerapan fase I ketika

nilai tukar riil mencapai sekitar 1,3 kali level sebelum krisis. Sebagai catatan, saat ini nilai

tukar riil rupiah telah melemah sekitar 2 kali level sebelum krisis.)

Terdapat beberapa alasan penguatan nilai tukar secara perlahan meskipun nilai

tukar rupiah dibiarkan mengambang, yaitu: (i) arus modal keluar yang dipicu oleh

kepanikan para pemilik dana sudah mulai berkurang, (ii) permintaan impor menurun tajam

sejalan dengan menurunnya aktivitas ekonomi yang diperkuat lagi dengan adanya efek

substitusi barang impor dengan barang lokal, (iii) masuknya dana bantuan dan pinjaman

luar negeri menambah jumlah cadangan devisa yang dikuasai oleh pemerintah.

Sementara itu, tingkat harga-harga domestik akan terus bergerak naik karena: (i)

efek tidak langsung dari akumulasi depresiasi sejak awal krisis terhadap kenaikan harga-

harga belum sepenuhnya berakhir ( incomplete pass-through), (ii) tingkat keseimbangan upah

nominal akan bergerak naik, (iii) keinginan untuk meningkatkan volume kredit ke sektor

swasta dan akumulasi tambahan devisa akan mendorong kenaikan jumlah uang beredar.

Fase II

Ketika nilai tukar riil telah menguat hingga mencapai level yang diinginkan, otoritas

dapat beralih ke fase kedua. Dalam fase ini, otoritas menerapkan kebijakan yang bersifat

“adaptif”, yaitu berupaya mengendalikan/menyesuaikan nilai tukar nominal secara harian

dengan sasaran mempertahankan nilai tukar riil pada level tertentu ( constant real exchange

rate targeting) yang tidak lain merupakan esensi dari kebijakan nilai tukar mengambang

terkendali (managed floating rate). Kebijakan ini diharapkan akan menimbulkan surplus

neraca pembayaran dan memupuk cadangan devisa. Berdasarkan skenario yang optimistis,

kebijakan ini akan mendorong ekspor dan meningkatkan PMA dan arus modal masuk

lainnya untuk selanjutnya mendorong kenaikan PDB riil dan penurunan laju inflasi. Apabila

sasaran kenaikan cadangan devisa tidak berhasil, kebijakan ini dapat dimodifikasi dengan

menaikkan sasaran nilai tukar riil (depresiasi). Sebaliknya, apabila kenaikan cadangan

devisa terjadi terlalu cepat atau jumlah cadangan devisa telah mencapai level yang tinggi,

sasaran nilai tukar riil dapat diturunkan (apresiasi).

Fase III

Ketika jumlah cadangan devisa sudah mencapai level yang diperkirakan dapat meredam

tekanan spekulatif dan PDB telah kembali mencatat pertumbuhan positif yang cukup memadai,

prioritas kebijakan dapat dialihkan ke arah penurunan laju inflasi. Untuk itu, otoritas perlu

Page 142: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

90 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

beralih dari kebijakan “adaptif” menjadi kebijakan yang secara aktif berupaya menurunkan laju

depresiasi nilai tukar nominal. Setelah nilai tukar nominal menguat pada level tertentu, pada

akhirnya otoritas akan dihadapkan pada tiga pilihan sistem nilai tukar yang lebih bersifat

permanen, yaitu sistem mengambang, sistem rentang intervensi, atau sistem nilai tukar tetap.

Kebijakan Lalu Lintas Devisa

Pada prinsipnya sistem devisa bebas yang kita terapkan sejak tahun 1982 masih relevan

kita pertahankan walaupun perekonomian Indonesia masih menghadapi permasalahan-

permasalahan berat seperti tersebut di atas. Beberapa pertimbangan yang mendasari alasan

penerapan sistem devisa bebas di Indonesia:

• Indonesia saat ini sangat membutuhkan modal asing. Dalam situasi seperti sekarang, upaya

pembatasan lalu lintas devisa hanya akan menghilangkan minat investor asing untuk masuk

ke Indonesia.

• Sistem kontrol devisa membutuhkan kelengkapan birokrasi yang bersih dan efisien.

• Sistem kontrol devisa mengandung beberapa kelemahan seperti dapat mendorong perilaku

manipulatif di kalangan eksportir dan importir serta menimbulkan misalokasi sumber daya.

Kebijakan devisa bebas memerlukan sistem monitoring lalu lintas devisa yang disiplin,

konsisten, dan efektif serta dalam coverage yang memadai agar kebijakan nilai tukar rupiah fleksibel

lebih compatible dengan kebijakan devisa bebas. Untuk itu, perlu dilakukan upaya penyempurnaan

sistem pelaporan lalu lintas devisa. Saat ini Bank Indonesia tengah melakukan upaya penyusunan

sistem pelaporan dalam rangka penyusunan statistik neraca pembayaran cash basis. Sistem

pencatatan c ash basis ini diharapkan akan mampu menggambarkan flow of fund transaksi luar

negeri secara akurat dan terinci dan melengkapi statistik neraca pembayaran khususnya untuk

transaksi-transaksi jasa dan modal swasta, sehingga pada akhirnya ikut membantu peningkatan

efektivitas kebijakan moneter. Di samping itu, Bank Indonesia juga tengah mengupayakan

peningkatan monitoring terhadap rekening vostro milik nonresiden serta monitoring transaksi

valas di pasar uang baik secara o n l ine maupun paper based. Melalui upaya ini diharapkan akan

diperoleh gambaran mengenai perkembangan internasionalisasi rupiah dan potensi tekanan-

tekanan spekulatif terhadap nilai tukar rupiah secara lebih dini.

Untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, semua sumber devisa termasuk hasil ekspor

harus terus ditingkatkan. Oleh karena itu, Bank Indonesia akan berupaya mengoptimalkan

berbagai fasilitas/insentif yang selama ini telah disediakan dan menciptakan fasilitas/insentif

baru agar semakin banyak eksportir yang bersedia menyerahkan devisa hasil ekspornya ke Bank

Indonesia.

Page 143: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

91Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya

Kesimpulan

Berdasarkan kondisi objektif saat ini maka alternatif sistem nilai tukar crawling peg

mungkin dapat dipertimbangkan, tentunya dengan komitmen untuk tetap mengendalikan

besaran-besaran moneter secara konsisten.

Di tengah kebutuhan kita akan modal asing dan cadangan devisa, sistem devisa

bebas masih merupakan pilihan terbaik. Namun, sistem devisa tersebut memerlukan sistem

monitoring lalu lintas devisa yang komprehensif dan akurat.

Sistem devisa bebas yang diarahkan untuk mendukung penerapan sistem crawling

peg perlu didukung dengan upaya-upaya tambahan untuk meningkatkan cadangan devisa

yang berasal dari ekspor. Hal ini dilakukan dengan memberikan fasilitas/insentif kepada

para eksportir.

Daftar Pustaka

Dornbusch, Rudiger, dan F. Leslie C.H. Helmers, eds., The Open Economy: Tools for

Policymakers in Developing Countries, Oxford University Presss, New York, 1995.

Friedman, B.M., dan F.H. Hahn, eds., Handbook of Monetary Economics, Volume 2,

North-Holland, Amsterdam, 1993.

Goldfajn, Ilan, dan Rodrigo O. Valdes, Are Currency Crisis Predictable?, IMF Working

Paper No. 97/159, Washington, D.C., 1997.

Guitian, Manuel, The Choice of an Exchange Rate Regime, Approaches to Exchange Rate

Policy, IMF, Washington, D.C.

Harberger, Arnold C., Notes on the Indonesian Crisis, An Aide-memoire on a series of

meetings in Jakarta, UCLA, September 1998.

_________________, The Anatomy of Crisis, Keynote Address at a conference on

sustaining economic growth in Indonesia, UCLA, Desember 1997.

Houben, Aerdt C.F.J., Exchange Rate Policy and Monetary Strategy Options in the

Philippines - the Search for Stability and Sustainability, IMF Paper on Policy Analysis and

Assessment, Washington, D.C., 1997.

Waluyo, Doddy B., dan Benny Siswanto, Peranan Kebijakan Nilai Tukar dalam Era

Deregulasi dan Globalisasi, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.1, No. 1, Bank

Indonesia, Jakarta, 1998.

Page 144: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

169Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis

MEMPREDIKSI KONDISI PERBANKANMELALUI PENDEKATAN SOLVENCY SECARA DINAMIS

Indira & Dadang Muljawan *)

Munculnya krisis keuangan dan perbankan yang terjadi di suatu negara ditandai oleh beberapa indikator

seperti tingginya kredit bermasalah, kesulitan likuiditas serta insolvensi dari lembaga keuangan maupun

perbankan. Terdapat beberapa konsep yang menerangkan definisi krisis perbankan, pertama adalah penilaian

terhadap negative net present value dari cashflow dan kedua adalah penilaian terhadap net worth dari lembaga

keuangan atau perbankan. Apabila otoritas pengawasan perbankan dapat mengetahui secara akurat dan

bahkan memprediksi tingkat solvency untuk masa yang akan datang akan sangat membantu dalam menentukan

tindakan-tindakan yang harus diambil agar sistem perbankan selalu berada dalam kondisi solvent.

Insolvency dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti rendahnya kualitas aktiva perbankan, buruknya

permodalan serta sebab-sebab secara makro yang tidak secara langsung mempengaruhi kondisi perbankan.

Namun berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal perbankan melalui penghitungan rasio-rasio keuangan

yang dapat dianggap sebagai proxies dari kesehatan bank serta dengan menggunakan metoda Discriminant

Analysis diperoleh beberapa faktor yang secara signifikan mempengaruhi kondisi solvency. Faktor-faktor

tersebut adalah kualitas aktiva produktif, kecukupan modal (CAR) dan likuiditas.

Faktor-faktor penentu tersebut tidak berdiri sendiri, namun memiliki interkorelasi antara satu dengan

lainnya dalam satu jangka waktu tertentu. Interkorelasi antar variabel berdasarkan fungsi waktu dinyatakan

dalam matrix system. Berdasarkan matrix system dapat diprediksi kondisi faktor-faktor penentu satu periode

yang akan datang dan kondisi solvency perbankan baik secara individual maupun global.

Melalui pengembangan lebih lanjut dengan mengidentifikasi variabel-variable mikro serta makro yang

memiliki korelasi dengan kondisi solvency perbankan, metode ini dapat digunanakan sebagai dasar dalam

membangun sistem pengawasan dini (early warning model) guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya

krisis perbankan dimasa mendatang.

*) Gusti Ayu Indira : Peneliti Bank Junior, Tim 2, UPPB, BI, email : [email protected]

Dadang Muljawan : Peneliti Bank Junior, Tim 2, UPPB, BI, email : [email protected]

Penulis mengucapkan terima kasih untuk diskusi dan komentar dari Ibu Miranda S.Gultom (Direktur BI), Bp. ErmanMunzir (Kepala UPPB), Bp. Ardhayadi (Deputi Kepala UPwB2), Bp. Muliaman D.Hadad (Peneliti Ekonomi, BiroGubernur), dan bantuan dalam perolehan data kepada Tim 4-UPPB

Page 145: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

170 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Tinjauan Singkat Krisis Keuangan dan Perbankan

D ewasa ini krisis keuangan dan perbankan sudah menjadi suatu fenomena umum

yang terjadi tidak hanya di negara-negara maju seperti Amerika dan Jepang, namun

juga melanda negara-negara berkembang di belahan dunia bagian Timur, misalnya negara-

negara kawasan Asia Pasifik. Krisis yang melanda sistem keuangan tidak hanya menjadi

beban bagi perekonomian suatu negara tetapi juga berpotensi mempengaruhi efektivitas

kebijaksanaan moneter. Dalam hal ini, beban ekonomi yang harus ditanggung adalah

berkurangnya volume dan efisiensi lembaga intermediasi sebagai akibat ditutupnya operasi

sejumlah bank maupun gencarnya upaya bank merestrukturisasi portofolionya. Krisis

keuangan juga menempatkan pemerintah pada posisi yang dilematis dalam menuangkan

suatu kebijakan. Di satu sisi pemerintah dituntut untuk berhati-hati dalam menerapkan

kebijakan moneter agar tidak memperburuk sistem perbankan, namun disisi lain sistem

perbankan yang tidak sehat dapat menjadi faktor penghambat pencapaian target kebijakan

moneter.

Secara global, krisis keuangan dapat disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal

yang terdapat dalam sistem keuangan suatu negara. Beberapa pakar keuangan, melalui

latar belakang dan sudut pandangnya masing-masing, berupaya memberikan penjelasan

logis terhadap latar belakang krisis tersebut. Diantaranya adalah Stanley Fischer yang

mengemukakan tiga hal mendasar yang dapat menjelaskan latar belakang terjadinya krisis

tersebut 1. Pertama, walaupun tidak ada kaitan langsung antara deregulasi dan krisis

keuangan, sistem perbankan di beberapa negara banyak yang menghadapi problema setelah

pemerintah melancarkan kebijakan deregulasi, khususnya jika kerangka ketentuan (regulatory

framework) serta perangkat sistem pengawasan (prudential supervision) tidak mampu

mengakomodasi tuntutan deregulasi tersebut 2.

Kedua, perkembangan financial market yang demikian marak dan diikuti oleh berbagai

inovasi produk-produk keuangan yang bercirikan inherent risk yang relatif tinggi, namun

ironisnya substansi produk-produk tersebut belum dipahami sepenuhnya oleh otoritas

pengawasan bank. Apabila dianalogikan, maka dapat dikatakan bahwa perkembangan

industri keuangan, khususnya perbankan bergerak dalam deret ukur, sementara kemampuan

otoritas pengawas bergerak dalam deret hitung.

Ketiga, Pemerintah melakukan liberalisasi di sektor keuangan tanpa memastikan

apakah sistem keuangan domestik dalam kondisi sehat dan stabil, serta kebijakan makro

1. Stanley Fischer, Central Banking : The Challenges Ahead - Financial System Soundness, Finance & Development,March 1997.

2. Misalnya, Argentina, Finlandia, Thailand dan Venezuela.

Page 146: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

171Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis

ekonomi berjalan dengan efektif. Sementara itu, Mark Gertler & Andrew Rose (1994)

berargumentasi bahwa liberalisasi tidak perlu ditunda sampai kondisi makroekonomi

sempurna, namun paling tidak liberalisasi tersebut didukung oleh kebijakan yang secara

langsung mempromosikan pertumbuhan dan stabilitas sektor riil. Berdasarkan pengamatan

secara historis di beberapa negara, dapat disimpulkan bahwa liberalisasi di sektor keuangan

pada umumnya didahului oleh suatu masa dimana institusi keuangan mengalami 'tekanan'

(financial repression) melalui berbagai kebijakan pemerintah yang membatasi ruang gerak.

Misalnya kebijakan penyaluran kredit yang diprioritaskan kepada sektor-sektor pemerintah

(dictated/directed lending), kebijakan pemeliharaan reserve requirement dengan persentase yang

cukup tinggi 3, kebijakan penetapan suku bunga baik terhadap produk-produk keuangan

yang ada disisi a ssets maupun l iabil i ties, dan sebagainya. Pada masa tersebut, pemerintah

memposisikan perbankan sebagai instrumen untuk mempromosikan kegiatan investasi

dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi. Beranjak dari konsepsi dasar tersebut,

pengawasan yang dilakukan terhadap sistem perbankan lebih difokuskan pada kepatuhan

bank dalam menunjang kebijakan ekonomi dan moneter (macro economic supervision), sementara

pengawasan terhadap kesehatan (prudential supervision) kurang mendapatkan perhatian.

Dengan adanya kebijakan pagu suku bunga menyebabkan masyarakat lebih tertarik

menanamkan uangnya dalam bentuk aset yang mampu memberi perlidungan terhadap

inflasi (inflation hedges), misalnya tanah dan emas, yang tentu saja tidak dapat berperan

secara efisien sebagai financial intermediation. Kondisi ini pada gilirannya menciptakan iklim

ekonomi yang kurang kondusif, sehingga pada akhirnya Pemerintah mengambil tindakan

represif melalui kebijakan liberalisasi sektor keuangan. Kebijakan ini selanjutnya membawa

dampak pada pertumbuhan aset bank yang pesat, peningkatan hutang (over-indebtedness)

serta asset price bubbles. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Paul Krugman, penyebab

krisis yang terjadi di kawasan Asia lebih disebabkan oleh asset price bubles yang dikemudian

hari mengalami kemerosotan nilai (col lapse) 4. Problem berawal dari moral hazard yang terjadi

pada financial intermediation dimana dianggap bahwa pemerintah baik secara nyata maupun

implisit akan memberikan jaminan terhadap dana masyarakat karena berpegang pada

anggapan too big to fai l. Pola pikir demikian mendasari financial intermediation melakukan

aktivitas lending yang cenderung berisiko tinggi, sehingga pada gilirannya memacu inflasi

atas asset prices 5. Untuk sementara waktu peningkatan asset prices akan membuat kinerja

3. Penelitian yang dilakukan oleh Maxwell J. Fry menunjukkan bahwa selama periode 1978-1987, rata-rata rasioreserve requirement di 91 negara berkembang mencapai 21,2% dibandingkan dengan 7,1% rasio di negara maju.

4. Krugman memformulasikan suatu model yang menjelaskan bahwa krisis Asia diawali oleh financial excess yangkemudian diikuti oleh financial collapse. Pandangan ini memberikan interpretasi bahwa currency crisis bukanmenyebabkan krisis melainkan merupakan gejala awal (symptom) terjadinya krisis.

5. Jepang merupakan salah satu negara yang menghadapi masalah asset prices bubles, dan saat ini sedang melakukanrestrukturisasi setelah berupaya keras mengatasi masalah tersebut selama 10 tahun terakhir.

Page 147: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

172 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

neraca lebih baik daripada kenyataannya. Namun pada saat terjadi asset prices burst, financial

intermediation akan menghadapi masalah insolvency. Secara umum dapat disimpulkan bahwa

financial liberalization dapat menjadi faktor yang meningkatkan kerentanan sistem perbankan

(banking fragility).

Krisis Perbankan di Indonesia

Setelah mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil selama 3 dekade terakhir,

Indonesia dilanda krisis keuangan yang berawal pada semester ke-2 tahun 1997, yang secara

aggregat membuat pertumbuhan yang telah dicapai menjadi tidak berarti. Dengan meminjam

istilah yang digunakan World Bank, krisis di Indonesia dapat dianalogikan dengan "the

dog that didn't bark", karena tidak ada yang memprediksi bahwa Indonesia akan dilanda

krisis yang berkepanjangan.

Sejauh ini belum ada satu sumber yang menetapkan suatu patokan yang bersifat baku

yang dapat menandakan bahwa kondisi perbankan berada dalam keadaan krisis. Suatu

studi empiris yang dilakukan oleh Asli Demirguc-Kunt dan Enrica Detragiache 6 untuk

menentukan faktor determinan krisis perbankan menggariskan bahwa suatu periode

kemerosotan perbankan dapat dikategorikan sebagai krisis apabila memenuhi paling sedikit

satu dari empat kondisi berikut, yaitu (i) rasio non-performing assets terhadap t otal assets

dalam sistem perbankan telah melampaui 10%, (ii) biaya penyelamatan bank paling tidak

mencapai 2% dari GDP, (iii) masalah perbankan telah menyebabkan terjadinya nasionalisasi

bank-bank, dan (iv) penarikan dana besar-besaran (bank runs) atau pembekuan dana nasabah

(deposit freezes) atau penjaminan simpanan masyarakat secara merata yang diberlakukan

oleh pemerintah.

Apabila studi tersebut dikaitkan dengan kondisi perbankan di Indonesia, maka

dapat dikatakan bahwa perbankan Indonesia sudah masuk dalam kategori krisis,

sebagaimana tercermin pada indikator berikut, yaitu (i) pada bulan Mei 1998, rasio aktiva

produktif yang non-performing terhadap total asset mencapai 23,8%, (dengan proporsi pada

setiap jenis bank terlihat pada Grafik 1); (ii) estimasi biaya penyelamatan bank diperkirakan

mencapai kurang lebih Rp. 320 triliun, yang berarti + 51% dari total GDP; (iii) pada bulan

Agustus 1998, pemerintah mengumumkan beberapa bank yang dinasionalisasikan; (iv)

karena berbagai isu yang menerpa, beberapa bank diserbu oleh para nasabah yang hendak

menarik simpanan mereka walaupun pemerintah telah memberlakukan program

penjaminan terhadap seluruh dana masyarakat yang disimpan di bank.

6. Studi tersebut didasarkan atas studi yang dilakukan oleh Caprio & Klingebiel (1996), Drees & Pazarbasioglu(1995), Kaminsky & Reinhart (1996), Lindgren et al. (1996), dan Sheng (1995) melalui survey terhadap bangkingsector fragility diseluruh dunia dalam periode 1980-1994.

Page 148: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

173Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis

Sebagaimana halnya sektor-sektor perindustrian lainnya, industri perbankan

Indonesia juga dikelilingi oleh berbagai lingkungan, baik internal maupun eksternal, yang

dapat membentuk, mengarahkan serta mempengaruhi keberadaan industri tersebut. Carl-

John Lindgren, Gillian Garcia dan Matthew I. Saal (1996) mengidentifikasi 3 faktor yang

mempengaruhi perilaku dan kondisi kesehatan sistem perbankan, yaitu lingkungan

operasional, pengaturan internal dan pengaturan eksternal. Ketiga faktor tersebut tidak

dapat dipisah-pisahkan, namun harus secara bersama-sama dibangun dan dikondisikan

agar dapat mendukung keberadaan sistem perbankan yang dikehendaki.

Dikaitkan dengan krisis perbankan di Indonesia, keberadaan faktor-faktor tersebut

sedikit banyak dapat membantu memberikan pemahaman terhadap penyebab awal

terjadinya krisis. Pertama, lingkungan operasional (operating environment) yang kurang

kondusif dalam membangun serta mempertahankan sistem perbankan yang mapan,

sebagaimana tercermin dari infrastruktur ekonomi, kondisi ekonomi dan non-ekonomi serta

liberalisasi sektor keuangan. Infrastruktur ekonomi itu sendiri terdiri dari kerangka

kelembagaan (institutional framework) dan wadah dimana lembaga tersebut berkiprah, yaitu

pasar keuangan (financial market). Dalam konteks industri perbankan, institutional framework

yang berperan cukup penting adalah struktur hukum dan politik yang memberikan kepastian

dan jaminan untuk melindungi aset dan operasional bank, misalnya perundangan kepailitan,

anti monopoli, kompetisi dan lain sebagainya.

Faktor kedua dari infrastruktur ekonomi adalah liberalisasi sektor keuangan. Apabila

tidak dilandasi dengan infrastuktur yang diperlukan dan disertai dengan penyesuaian

yang tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, maka dapat dipastikan

liberalisasi hanya akan menjadi cikal bakal munculnya permasalahan yang kompleks.

Contoh dari ekses negatif program liberalisasi perbankan dapat dilihat pada sejarah

perjalanan perbankan Indonesia, dimana melalui kebijakan tahun 1988 pemerintah memberi

kemudahan bagi pendirian bank. Kebijakan ini pada akhirnya membawa dampak pada

(21.4%) Bank Persero

(22.5%) BUSN Devisa

(11.4%) BUSN Non Devisa

(9.5%) BPD

(21.0%) Bank Campuran

(14.2%) Bank Asing

Grafik 1

Page 149: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

174 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

struktur industri perbankan Indonesia dengan intensitas kompetisi yang tinggi dan

berpengaruh buruk pada tingkat efisiensi dan kesehatan perbankan dalam jangka panjang.

Secara teoritis, keberadaan pasar perbankan yang terbuka, kompetitif dan berfungsi dengan

baik dapat menjadi social control dalam melakukan seleksi alam bagi bank yang tidak efisien

dan efektif, serta dapat membentuk suatu disiplin pasar (market discipline) yang mendukung

terciptanya sistem perbankan yang sehat. Dalam prakteknya tidak demikian yang terjadi.

Market discipline tidak dapat ditegakkan dengan mudah karena dilema yang harus dihadapi

pemerintah, yaitu antara systemic risk vs liquidity support. Dengan membiarkan bank

berguguran, pemerintah khawatir akan risiko yang ditimbulkan apabila masyarakat

kehilangan kepercayaan terhadap lembaga perbankan yang secara filosofi dibangun atas

dasar kepercayaan masyarakat. Beranjak dari kekhawatiran tersebut, pemerintah memilih

untuk memberikan bantuan bagi bank-bank yang kesulitan likuiditas.

Faktor ketiga dari infrastruktur ekonomi adalah kondisi ekonomi dan non-ekonomi.

Sebagai institusi yang berperan penting dalam dunia perekonomian, sistem perbankan dapat

merefleksikan kondisi perekonomian secara keseluruhan. Pada saat perekonomian

mengalami kelesuan maupun resesi, maka perbankan akan berpotensi menghadapi masalah

dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Secara umum sistem perbankan yang

sehat akan memiliki struktur permodalan dan cadangan yang memadai untuk mendukung

aktivitas bisnis dalam kondisi normal, namun kasus-kasus yang terjadi dibeberapa negara

membuktikan bahwa standar permodalan minimun yang ditetapkan tidak memadai dalam

kondisi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hal inipun terjadi di Indonesia, dimana krisis

perekonomian, yang diawali dengan depresiasi mata uang domestik terhadap US dollar

(currency crisis), mengakibatkan banyak bank-bank menjadi insolvent, dimana (i) sisi liabilities

yang didominasi valuta asing membengkak, (ii) asets yang non-performing meningkat karena

banyak debitur yang default, (iii) kepanikan para deposan sehingga banyak yang menarik

dananya, (iv) depresiasi yang berkepanjangan menyebabkan kredit dalam valuta asing

meningkat sehingga rasio CAR menjadi turun. Namun perlu diingat bahwa currency crisis

sebaiknya tidak dipandang sebagai faktor penyebab terjadinya krisis perbankan, melainkan

lebih merupakan suatu momentum yang membuktikan betapa rapuhnya (fragi le) industri

perbankan di Indonesia, karena cepat atau lambat dengan kondisi yang rapuh, perbankan

akan berpotensi mengalami stagnasi.

Disamping itu, sistem perbankan di Indonesia juga banyak dipengaruhi oleh kondisi

non-ekonomi, misalnya stabilitas dan campur tangan politik ataupun bencana alam.

Goncangan politik yang terjadi saat ini secara langsung menurunkan kepercayaan terhadap

ekonomi dan sistem keuangan sehingga mengakibatkan meningkatnya arus modal ke luar

negeri ( capi tal fl ight), kenaikan harga-harga serta turbulensi nilai tukar. Sementara itu, campur

tangan politik menyebabkan tidak efektifnya implementasi kebijakan intern perbankan

Page 150: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

175Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis

maupun sistem pengawasan oleh otoritas. Misalnya kewajiban penyaluran kredit kepada

sektor ataupun industri tertentu yang sebenarnya tidak menciptakan nilai tambah dalam

rantai produksi nasional, yang dikucurkan tanpa penilaian terhadap kelayakan proyek

tersebut.

Kedua, pengaturan internal (internal governance). Kesehatan suatu bank sangat

bergantung pada pemilik dan pengelola bank. Pemilik bertanggungjawab terhadap

kecukupan modal bank untuk dapat mengantisipasi kerugian yang mungkin terjadi,

sementara pengelola membangun dan mempertahankan bank agar tetap sehat,

mempertahankan nilai bank dengan memastikan portfolio asset yang sehat dan dapat

menghasilkan income yang memadai serta menilai struktur kewajiban ( l iabi l i ties) dalam

rangka mengelola likuiditas bank. Pada kenyataannya, banyak pemilik yang menjadikan

bank sebagai sumber pembiayaan (cash cow) bagi kepentingan usahanya, dan bahkan kredit

yang dikucurkan melampui Batas Maksimum Pemberian Kredit. Apabila motivasi memiliki

bank didasarkan pada keinginan untuk memanfaatkan bank bagi kepentingan sendiri, maka

internal governance secanggih apapun tidak dapat menjamin kesehatan bank. Disamping

itu, seringkali terjadi benturan kepentingan (confl ict of interest) antara pemilik dan pengelola.

Masing-masing pihak berusaha melindungi kepentingannya dan mencapai tujuannya

sehingga pada akhirnya mengabaikan tujuan semula, yaitu memaksimalkan the value of the

bank.

Ketiga, pengaturan eksternal (external governance) melalui pengaturan dan

pengawasan yang dilakukan oleh bank sentral. Sejauh ini, salah satu kelemahan dalam

pengaturan perbankan di Indonesia adalah penciptaan market discipline yang memastikan

bahwa bank yang tidak sehat tidak dapat melanjutkan usahanya. Untuk menunjang

berfungsinya pengaturan dan pengawasan perbankan yang kredibel, otoritas pengawasan

harus berada dalam suatu struktur institusi yang memiliki kapasitas, otoritas dan

independensi.

Menyadari bahwa krisis perbankan akan membebani perekonomian nasional, maka

pemahaman mengenai konsep solvency menjadi sangat strategis di dalam mengantisipasi

terjadinya krisis, yaitu melalui proyeksi kondisi di masa yang akan datang yang dapat

memberikan indikasi awal terhadap kecenderungan banking fragility yang pada akhirnya

dapat membawa perbankan pada kondisi krisis.

Analisis Solvency

Pengklasifikasian secara tepat apakah suatu sistem perbankan berada dalam kondisi

sehat atau tidak sehat bukan merupakan hal yang mudah karena tidak ada suatu patokan

(benchmark) yang dapat menentukan kapan sistem perbankan tidak sehat atau kapan krisis

perbankan akan terjadi. Disamping itu, tingkat kerentanan (vulnerable) sistem perbankan

Page 151: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

176 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

dari waktu ke waktu berubah-ubah. Pada saat tertentu sistem perbankan dapat berfungsi

dengan baik namun pada lain kesempatan menunjukkan tanda/gejala adanya masalah di

masa mendatang (potential problem). Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka sebagai

langkah antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya krisis perbankan., otoritas pengawasan

di berbagai negara telah merancang suatu early warning system yang berfungsi sebagai

indikator dalam menentukan kemungkinan suatu bank mengalami kesulitan. Pada dasarnya

indikator-indikator tersebut bersumber dari laporan-laporan periodik yang disampaikan

bank kepada otoritas pengawasan. Semakin banyak data yang tersedia, maka model yang

dapat dikembangkan menjadi semakin komprehensif.

Salah satu faktor penting yang mendukung terciptanya sistem perbankan yang

sehat adalah bank yang sehat. Sampai saat ini pendekatan yang digunakan secara luas

untuk menentukan kesehatan suatu sistem perbankan adalah konsep solvency. Carl-Johan

Lindgren, Gillian Garcia dan Mathew Saal mendefinisikan sistem perbankan yang sehat

sebagai "one in which most banks (those accounting for most of the system's assets and liabilities) are

solvent and are likely to remain so. Solvency is reflected in the positive net worth of a bank, as

measured by the difference between the assets and liabilities in its balance sheet. The likelihood of

remaining solvent will depend on banks' being profitable, well managed, and sufficiently well

capitalized to withstand adverse events".

Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa suatu sistem perbankan dikatakan

sehat apabila bank-bank dalam sistem tersebut berada dalam kondisi solvent, yang dalam

hal ini sangat erat dipengaruhi oleh kondisi profitabilitas, manajemen dan modal yang

memadai. Suatu bank dapat dikatakan solvent apabila nilai aset yang dimiliki lebih besar

dibandingkan dengan nilai kewajibannya kepada deposan maupun kreditur, dengan kata

lain, bank tersebut masih memiliki net worth. Bank dengan net worth yang relatif rendah

(undercapitalized bank) akan sangat rentan, dalam arti mudah c ol lapse jika terjadi kerugian

maupun shock, misalnya perubahan kebijakan, assets price collapse dan sebagainya. Dalam

kondisi pasar yang dinamis dan kompetitif, profitabilitas bank sangat bergantung pada

tingkat efisiensi, sehingga apabila suatu bank tidak dikelola secara efisien maka bank tersebut

akan menderita kerugian sampai pada tingkat tertentu dimana bank akan menjadi insolvent

dan selanjutnya i l l iquid.

Dari beberapa literatur IMF yang mengetengahkan mengenai masalah perbankan,

diantaranya yang ditulis oleh Lindgren, Garcia and Saal (1996), dapat dikemukakan bahwa

dalam kondisi normal, i l l i quidi ty selalu didahului oleh insolvency, artinya bank yang

mengalami kesulitan likuiditas umumnya adalah bank yang insolvent, kecuali jika kesulitan

likuiditas tesebut disebabkan penarikan dana secara besar-besaran yang disebabkan oleh

factor panic. Dalam prakteknya, masalah yang seringkali dihadapi bank yang muncul

Page 152: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

177Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis

kepermukaan adalah masalah kesulitan likuiditas ( i l l iquidi ty). Hal ini disebabkan bank

yang mengalami kerugian karena tidak dapat beroperasi secara efisien ataupun tidak dikelola

secara profesional dan berhati-hati, dapat menyembunyikan ataupun tidak membukukan

kerugian tersebut dalam income statement, baik dengan melakukan plafondering maupun accrue

bunga kredit yang non-performing. Untuk sementara waktu kerugian tersebut dapat diatasi

dengan mencari sumber dana dari nasabah-nasabah baru ataupun pinjaman lainnya, namun

pada saat sumber dana sulit diperoleh maka kesulitan likuiditas tidak dapat dihindari.

Selain itu, tidak tertutup kemungkinan suatu bank dapat tetap l iquid meskipun secara

finansial sudah insolvent karena memperoleh bantuan likuiditas dari bank sentral dalam

kapasitasnya sebagai lender-of last resort. Hal ini dapat disebabkan oleh 2 hal, pertama, bank

sentral menghidari terjadinya systemic risk yang disebabkan oleh bank panic karena bank

yang insolvent terpaksa harus dilikuidasi, walaupun kemungkinan beban kumulatif yang

harus ditanggung pemerintah melampaui beban yang timbul jika pemerintah melikuidasi

ataupun merestrukturisasi bank-bank tersebut. Kedua, keterbatasan dalam sistem informasi

perbankan serta early warning system yang belum mampu memberikan indikasi serta prediksi

terhadap bank yang insolvent maupun berpotensi menjadi insolvent.

Konsep solvency pada dasarnya bersifat statis karena pengukuran hanya dilakukan

pada suatu titik waktu tertentu sehingga belum sepenuhnya dapat menggambarkan kondisi

bank yang sebenarnya. Untuk menyempurnakan pendekatan solvency ini diperlukan suatu

penilaian yang lebih berorientasi kedepan (forward-looking) yang mencakup faktor penentu

insolvency, yaitu antara lain meliputi kualitas aset dan rentabilitas yang buruk, faktor-faktor

kualitatif, misalnya kelemahan manajemen, kegagalan pengendalian intern dan ekstern

serta dampak potensial dari kejadian/fenomena eksternal. Dalam salah satu artikelnya

mengenai ketentuan permodalan, Allan Greenspan menyatakan bahwa the likelihood of

insolvency is determined by the level of capital a bank holds, the maturities of its assets and liabilities,

and the riskiness of its portfolio 7. Pandangan ini menyatakan bahwa insolvency terkait erat

dengan struktur permodalan bank, pengelolaan likuiditas yang tercermin dari profil maturitas

sumber dan penanaman dana serta pengelolaan risiko penanaman dana. Sementara itu,

dari sudut pandang ekonomi, kondisi insolvency terjadi jika present value dari aliran net cash

flow yang diharapkan bernilai negatif dan melampaui jumlah modal bank. Pengukuran

insolvency melalui pendekatan-pendekatan tersebut diatas harus didukung oleh sistem

informasi perbankan yang komprehensif, misalnya tersedianya laporan maturity profile,

laporan cash flow serta penilaian risiko portfolio. Saat ini sistem pelaporan perbankan belum

sepenuhnya dapat mencerminkan kondisi perbankan yang sebenarnya, sehingga dapat

7. Allan Greenspan, dalam sudut pandangnya mengenai ketentuan permodalan yang harus mencakup insolvencyprobability

Page 153: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

178 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

menjelaskan mengapa masalah perbankan yang muncul tidak dapat dideteksi lebih dini

bahkan dinegara-negara maju sekalipun.

Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa bank yang mengalami masalah

likuiditas umumnya merupakan bank yang insolvent ataupun berpotensi menjadi insolvent.

Beranjak dari pemahaman demikian, maka dalam penelitian ini akan dianggap bahwa

bank-bank dibawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) adalah

bank yang sudah dan/atau berpotensi menjadi insolvent. Berdasarkan ketentuan berlaku,

kriteria suatu bank harus dimasukkan dalam pengawasan BPPN adalah apabila bank

tersebut telah menggunakan dana likuiditas Bank Indonesia lebih dari 200% modal disetor

dan rasio kecukupan modal (CAR) lebih kecil atau sama dengan 5%, serta gagal melunasi

fasilitas diskonto maksimal 21 hari setelah jatuh tempo. Dari kriteria tersebut dapat

disimpulkan bahwa bank yang masuk dalam pengawasan BPPN adalah bank yang memiliki

net worth yang cenderung menurun, atau mengarah pada insolvent serta menghadapi masalah

likuiditas.

Apabila sudah diketahui karakteristik bank-bank yang insolvent tersebut maka melalui

metode kuantitatif Discriminant Analysis dapat diperkirakan faktor-faktor yang paling

membedakan (the most discriminating factor) antara bank yang solvent dan insolvent 8. Adapun

persamaan fungsi Discriminant Analysis adalah :

Z = V 1 X 1 + V 2 X 2 + ...... + V n X n ,

dimana V 1 , V 2 , ......... , V n = koefisien discriminant

X 1 , X 2, ......... , X n = variable independen.

Model Z score ini merupakan analisa linear dimana variabel independen diberi

timbangan secara obyektif dan dijumlahkan untuk memperoleh nilai keseluruhan, yang

kemudian akan dijadikan basis dalam mengklasifikasikan bank kedalam salah satu

kelompok a priori tersebut. Disamping itu, melalui model ini dapat diketahui bank-bank

yang berpotensi menjadi insolvent karena memiliki karakteristik yang mendekati bank yang

insolvent. Apabila dikembangkan lebih lanjut, metode ini dapat digunakan sebagai early

warning system yang membantu pelaksanaan fungsi pengawasan bank.

Sebagaimana dikemukakan diatas, faktor penentu insolvency juga mencakup faktor-

faktor kualitatif, misalnya kelemahan manajemen, kegagalan pengendalian intern dan

8. Model ini sebenarnya pernah digunakan oleh Sinkey (1975) dalam memformulasi early- warning model untukmemprediksi bank failures, dan juga oleh Altman & Sametz (1977) untuk membedakan antara perusahaan yangsehat dan bangkrut. Discriminant Analysis digunakan untuk mengklasifikasi suatu obyek observasi kedalambeberapa grup a priori berdasarkan karakteristik obyek observasi tersebut. Utamanya digunakan untukmengelompokkan dan/atau memprediksi obyek observasi, dalam hal variabel dependen berbentuk kualitatif,misalnya bangkrut atau tidak bangkrut, sehat atau tidak sehat.

Page 154: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

179Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis

ekstern serta dampak potensial dari kejadian/fenomena eksternal, misalnya perubahan

kebijakan makroekonomi dan sebagainya. Namun demikian mengingat belum tersedianya

informasi yang komprehensif mengenai kuantifikasi faktor-faktor kualitatif tersebut maka

sebagai variabel independen dalam model ini dapat digunakan faktor penilaian tingkat

kesehatan, yaitu CAMEL (Capital adequacy, Asset quality, Management, Earning dan Liquidity),

ataupun rasio-rasio keuangan lainnya sebagai proxies dari CAMEL. Dalam tulisan ini

akan digunakan 8 rasio keuangan yang dianggap cukup dapat mewakili penilaian CAMEL

(lihat tabel 1). Selanjutnya dengan menggunakan 8 rasio tersebut sebagai variable independen

dalam Discriminant Analysis yang diseleksi secara bertahap (stepwise procedure) diketahui

bahwa terdapat 3 variabel independen yang cukup signifikan untuk dapat diaplikasikan

kedalam model discriminant function, yaitu X1, X3 dan X8. Apabila diurut secara ranking

berdasarkan angka discriminant loadings, variabel yang paling signifikan dalam membedakan

antara 2 dependen variabel adalah faktor Asset Quality, Capital dan Liquidity, dan yang

merupakan the most discriminating factor, adalah Asset Quality yang dalam hal ini diwakili

oleh rasio Kualitas Aktiva Produktif (KAP). Melalui model tersebut dapat disimpulkan bahwa

faktor yang paling berpengaruh dalam menentukan kemungkinan insolvency adalah kualitas

aktiva produktif. Disamping itu, analisis ini juga menghasilkan suatu persentase ketepatan

klasifikasi antara grup solvent dan insolvent sebesar 77,9%, sedangkan ketidaktepatan sebesar

22,1% dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain data rasio-rasio bank yang tidak

konsiten, misalnya rasio KAP tinggi namun CAR baik atau sebaliknya.

Dari hasil analisis tersebut juga diperoleh discriminant coefficient yang digunakan untuk

memformulasikan discriminant function dan menghitung Z score, yai tu :

Z = 0,519 X1 - 0,748 X3 + 0,353 X8

Persamaan tersebut dapat diaplikasikan untuk menentukan kondisi bank secara

individual dengan memasukan rasio-rasio variabel independen. Proses selanjutnya adalah

menentukan cutting score yang merupakan kriteria penentu dalam pengelompokkan, yaitu :

Z CU = N A Z A + N B Z B

N A + N B

dimana : Z CU = Critical cutting score

N A = jumlah anggota grup A

N B = jumlah anggota grup B

Z A = Centroid grup A

Z B = Centroid grup B

Z C U = [(55) x (-0,966)] + [(167) x (0,318)] = 0

(55) + (167)

Page 155: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

180 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Berdasarkan hasil penghitungan cutting score tersebut dapat ditentukan klasifikasi

bank, yaitu insolvent jika discriminant score negatif dan solvent j ika discriminant score posi ti f.

Tabel 1

Beberapa rasio keuangan sebagai indikator dalam early warning model

Untuk memprediksi kondisi, perlu dilakukan identifikasi perilaku antara satu variabel

dengan variabel lainnya dalam satu matrix system (A). Melalui metode ini, prediksi tidak

hanya didasarkan pada kondisi satu variabel saja, akan tetapi juga interdependency antara

satu variabel dengan lainnya. Identifikasi matrix system dilakukan secara moving average

karena perilaku matrix system akan berbeda dari waktu ke waktu, sebagaimana digambarkan

dalam diagram berikut :

Dengan fungsi solusi : Y = K X

Var . Rasio Definisi

X1

X2

X3X4

X5

X6

X7

X8

CapitalCapital adequacy ratio

Equity capital to assets

Asset QualityClassified loans to total loans

Loans to assets

ManagementOperating expense to total

revenue

EarningLoan revenue to total

revenue

Return on assets

LiquidityLiquid assets to total assets

Total Modal (sesuai penghitungan KPMM) dibagi Aktiva

Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)

Modal equity (modal disetor + agio + modal pinjaman) dibagi

total aset

Total kredit yang diklasifikasikan dibagi total kredit

Total kredit dibagi total aset

Total biaya operasional dibagi total pendapatan

Total pendapatan bunga kredit dibagi total pendapatan

Total pendapatan bersih dibagi total aset

Total aset lancar dibagi total aset

X oX dalam persamaan o

X = A X A X1

X3

X8

=

a11 a12 a13

a21 a22 a23

a31 a32 a33

oX1

oX3

oX8

Page 156: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

181Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis

Dalam tulisan ini akan dilakukan prediksi terhadap 18 bank yang dipilih secara

random, yang mewakili seluruh jenis bank baik yang dianggap sebagai bank yang solvent

maupun bank yang dianggap insolvent. Proses selanjutnya adalah menetapkan rasio-rasio

variable X1, X3 dan X8 dari 18 bank tersebut pada bulan Januari-Juli 1998. Dengan

menggunakan regresi dalam periode Januari sampai Juli 1998 didapatkan koefisien

pendekatan yang membentuk matrix system dan koefisien kon stanta untuk ke-18 bank tersebut.

Matrik-matriks tersebut merupakan matrixs system dari bank-bank secara individual yang

diharapkan akan dapat memberikan respon yang mendekati keadaan sebenarnya jika

diberikan input. Prediksi untuk kondisi solvency bulan Agustus [ solvency (t)] dengan

memasukkan input kondisi bulan Juli [KAP(t+1), CAR(t+1), LIQ(t+1)]. Selanjutnya setelah

didapatkan [KAP(t), CAR(t), LIQ(t)] fungsi dimasukkan ke dalam fungsi solvency umum

sehingga menghasilkan prediksi solvency di bulan Agustus. Sebagai contoh, apabila fungsi

ini dimasukkan kedalam 4 bank maka akan diperoleh gambaran sebagaimana dalam Grafik

2. Grafik tersebut menunjukkan bahwa solvency merupakan fungsi dari faktor kualitas aktiva

produktif, capital adequacy ratio dan likuiditas. Pergerakan dari faktor-faktor tersebut untuk

selanjutnya dapat menerangkan arah kecenderungan solvency.

0

10

20

30

40

50

Perc

enta

ge

jan feb mar apr may jun jul aug

Bank A

Bank B

Bank C

Bank D

Kualitas Aktiva Produktif

0

5

10

15

20

Perc

enta

ge

jan feb mar apr may jun jul aug

Bank A

Bank B

Bank C

Bank D

Capital Adequacy Ratio

0

0.02

0.04

0.06

0.08

Perc

enta

ge

jan feb mar apr may jun jul aug

Bank A

Bank B

Bank D

Data D

Liquidity

-30

-20

-10

0

10

Perc

enta

ge

jan feb mar apr may jun jul aug

Bank A

Bank B

Bank C

Bank D

Solvency

Grafik 2

Page 157: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

182 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Selanjutnya, hasil uji akurasi terhadap nilai prediksi diketahui bahwa matrik sistem

cukup dapat memberikan hasil prediksi yang cukup baik meskipun tingkat akurasi yang

ditunjukkan dalam standar deviasi menunjukkan angka sebaran yang cukup lebar. Hal ini

disebabkan oleh kondisi perbankan yang tidak berada dalam kondisi yang normal. Terdapat

lonjakan-lonjakan besaran yang tidak dengan cepat dapat terekam oleh matrik sistem karena

sistem yang teridentifikasi disusun berdasarkan metoda moving average sehingga efek

smoothing menyebabkan sistem lambat untuk mengadaptasi perilaku sistem secara cepat.

Analisis secara statistik terhadap hasil prediksi digambarkan dalam grafik berikut :

0

2

4

6

8

In terva l

Fre

ku

en

si

>-0.4 >-0.2 -0.2-0.2 <0 .4 <0 .6

Kurva Sebaran KAP

0

1

2

3

4

Inte rval

Fre

kue

ns

i

>-0.4 >-0.2 -0 .2-0.2 <0.4 <0.6

Kurva Sebaran Likuiditas

Mean simpangan : 6.9% Mean simpangan : -10%

Standar deviasi : 58% Standar deviasi : 80%

0

2

4

6

8

In terva l

Fre

ku

en

si

>-0.4 >-0.2 -0.2-0.2 <0 .4 <0 .6

Kurva Sebaran CAR

0

1

2

3

4

5

Inte rval

Fre

kue

ns

i

>-0.4 >-0.2 -0.2-0.2 <0.4 <0.6

Kurva Sebaran Solvensi

Mean simpangan : -24% Mean simpangan : 13,6%

Standar deviasi : 53% Standar deviasi : 33,9%

Page 158: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

183Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis

Kesimpulan

Krisis perbankan yang terjadi di setiap negara membawa dampak yang merugikan

terhadap perekonomian secara umum dan sistem keuangan secara khusus. Untuk

mengantisipasi hal tersebut, perlu dikembangkan suatu early warning system yang dapat

memprediksi kondisi kesehatan suatu bank secara individu maupun sistem perbankan

secara keseluruhan dengan menggunakan konsep solvency dan faktor-faktor yang mewakili

probabilitas terjadinya insolvency. Dalam hal ini penggunaan Discriminant Analysis akan

sangat membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor utama (crucial) yang dapat

menjelaskan perbedaan antara bank yang solvent dan insolvent. Selanjutnya, melalui

identifikasi matrix system yang dikembangkan dari variabel-variabel yang diperoleh dari

Discriminant Analysis, dapat diprediksi perilaku sistem baik secara individual maupun

sistemik serta respons yang akan dihasilkan oleh sistem terhadap suatu variabel endogen

maupun eksogen.

Hasil pengujian terhadap 18 bank dengan metode tersebut menunjukkan nilai proyeksi

yang cukup mendekati nilai nyata yang ditunjukkan dengan mean simpangan yang kecil.

Walaupun demikian, matrix system yang terbentuk tidak dapat secara segera mengadaptasi

perubahan yang cepat. Hal ini disebabkan efek dari moving average yang bersifat

menghaluskan (smoothing) variabel-variabel yang terekam.

Untuk membangun suatu model yang dapat menggambarkan kondisi yang

sebenarnya, diperlukan pengkajian lebih lanjut mengenai :

1. Variabel-variabel endogen lainnya, khususnya yang bersifat kualitatif yang perlu

dikuantifikasi untuk menyempurnakan model early warning, misalnya kelemahan

dalam manajemen dan internal control, risk portfolio, fluktuasi nilai tukar dan

sebagainya.

2. Pengembangan suatu matrix system yang mendekati kondisi sebenarnya sehingga dapat

digunakan untuk mengantisipasi respon perbankan terhadap perubahan-perubahan

yang bersifat eksogen seperti variabel-variabel ekonomi seperti economic growth.

Daftar Pustaka

Hooks, Linda M, Bank Asset Risk : Evidence From Early Warning Models, Contemporary

Economic Policy Vol. XIII, October 1995

Lindgren, Carl-Johan, Gillian Garcia, and Matthew Saal, Bank Soundness and

Macroeconomic Policy, International Monetary Fund, Washington, 1996

Page 159: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

184 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Fischer, Stanley, Financial System Soundness, Finance & Development, March 1997

Mishkin, Frederic S., Understanding Financial Crises : A Developing Country Perspective,

National Bureau of Economic Research, Inc., May 1996.

Demirguc-Kunt, Asli & Enrica Detragiache, The Determinants of Banking Crises : Evidence

from Developing and Developed Countries, IMF Working Paper, 1997

Mark Gertler & Andrew Rose, Finance, Public Policy, and Growth, Financial Reform,

Theory and Experience, 1994.

Page 160: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

185Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut

*) Mahdi Mahmudy : Peneliti Ekonomi Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, UREM, Bank Indonesia,Email : [email protected]

SETAHUN KRISIS ASIA : BEBERAPA PELAJARAN YANG DAPATDIAMBIL DARI KRISIS TERSEBUT

Mahdi Mahmudy *)

Krisis keuangan Asia yang pertama kali dipicu oleh devaluasi Thai Baht pada pertengahan tahun lalu

telah menyeret jatuhnya nilai mata uang dan pasar modal negara-negara tetangganya seperti Malaysia,

Phillipina, Korea, dan Indonesia. Semakin terpuruknya perekonomian, mengakibatkan negara-negara yang

terkena krisis untuk meminta bantuan lembaga internasional seperti IMF, world Bank dan ADB. Berbagai

kebijakan ekonomi makro baik moneter, fiskal, keuangan dan sektor riil telah dicoba untuk mengatasi krisis

tersebut. Namun, karena kompleks faktor penyebab, serta munculnya permasalahan sosial dan politik akibat

krisis tersebut, kebijakan makro yang konvensional berupa pengetatan moneter dan fiskal belum menunjukkan

hasil seperti yang diharapkan.

Krisis tersebut diperburuk oleh kondisi perekonomian Jepang yang juga sedang mengalami berbagai

permasalahan internal. Jepang, sebagai negara yang perekonomiannya terbesar kedua didunia, merupakan

lokomotif yang penting dalam mendorong perekonomian Asia dan dunia. Terpuruknya perekonomian Asia

telah membawa pengaruh contagion terhadap Russia, Eropa Timur dan Amerika Latin. Bila tidak segera diatasi

secara menyeluruh dan bersama-sama, krisis tersebut diduga akan mengakibatkan krisis global dan membawa

perekonomian dunia kearah depresi.

Page 161: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

186 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Pendahuluan

M eskipun telah memasuki usia setahun, krisis ekonomi dan keuangan Asia belum

menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Bahkan, krisis tersebut cenderung

mengglobal. Hal ini diperburuk oleh perekonomian Jepang yang juga sedang mengalami

sakit yang cukup parah akibat besarnya non-performing loan sektor perbankan dan hambatan-

hambatan struktural lainnya. Jepang, sebagai negara yang perekonomiannya terbesar di

dunia, merupakan salah satu lokomotif penting dalam mendorong perekonomian Asia

dan dunia. Suramnya kondisi perekonomian Asia mempunyai pengaruh contagion terhadap

kawasan lainnya.

Tulisan ini akan memaparkan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan krisis tersebut,

baik faktor-faktor penyebab, pengaruh pada perkembangan ekonomi kawasan lainnya,

kebijakan yang telah diambil, serta kritikan terhadap kebijakan IMF dalam upaya-upaya

penanganan krisis selama ini. Struktur organisasi penulisan akan sebagai berikut. Krisis

ekonomi dan keuangan Asia serta dampaknya terhadap kawasan lainnya serta

perekonomian dunia dikemukan pada bagian II. Bagian III akan menjelaskan beberapa

faktor penyebab krisis muncul. Kebijakan yang diambil dalam mengatasi krisis serta kritik-

kritik terhadap kebijakan yang disarankan IMF dikemukan pada bagian IV. Tulisan ini

akan diakhiri dengan rangkuman yang merupakan bagian V.

Krisis Asia serta dampaknya terhadap perekonomian kawasan lainnya

Krisis Asia yang dipicu pertama kali oleh devaluasi Thai Baht pada awal Juli tahun

1997 yang lalu, kemudian dikenal dengan “Tom Yum Effect”, telah membawa gelombang

jatuhnya mata uang, serta melemahnya pasar modal negara-negara tetangganya seperti

Malaysia, Korea, Phillipina, serta Indonesia. Bahkan negara-negara Asia yang kuat

perekonomiannya seperti Singapura dan Hongkong juga tidak luput dari goncangan badai

krisis tersebut. (lihat Grafik 1 dan 2)

Lebih lanjut krisis Asia tersebut terus menggelinding dan membesar seperti

bergulirnya snow ball. Sakitnya perekonomian Asia telah menyebar ke Russia dan Eropa

Timur . Melemahnya nilai tukar Rubel menyebabkan melemahnya mata uang serta pasar

modal negara-negara yang perekonomiannya sangat terkait erat dengan Russia seperti

Ukraine, Belarus, Czech Republic, Polandia, serta Rumania.

Bagaikan domino principle, epidemi krisis menelan korban berikutnya negara-negara

Amerika Latin. Brazil yang perekonomiannya cukup besar dan berpengaruh terhadap

perkembangan perekonomian di kawasan Amerika latin mulai terkena imbas krisis

ekonomi Russia dan Asia. Ketergantungan Brazil yang sangat besar terhadap capital inflow

Page 162: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

187Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut

Grafik 1 Perkembangan Nilai TukarBeberapa Mata Uang Asia Terhadap Dolar AS

Baht Thai land/ Dolar

60

55

50

45

40

35

30

25

20Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98

16,800

14,800

12,800

10,800

8,800

6,800

4,800

2,800

800Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98

Rupiah/Dolar

W on Korean/ Dolar

2,200

2,000

1,800

1,600

1,400

1,200

1,000

800Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98

Yen Jepang/ Dolar

150

140

130

120

110

100Trw IV/ 97 Trw I/ 98 Trw II/98 Trw III/98

0

5000

10000

15000

20000

25000

Nikkei 225 (Jepang)

Hang Seng (Hong Kong)

Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98

Grafik 2. Indeks Harga Saham di Beberapa Negara

Page 163: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

188 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

untuk membiayai anggaran defisit, sekitar 7% dari GDP, mengakibatkan negara tersebut

terpaksa membayar mahal terhadap gejala capital outflow dengan menaikkan suku bunga

secara drastis mendekati 50% pada bulan September 1998. Melemahnya perekonomian

Brazil diduga akan membawa pengaruh yang buruk terhadap negara Amerika latinnya

seperti Venezeula, Argentina, Columbia, Chili dan Mexico.

Krisis keuangan Asia mengakibatkan anjloknya pertumbuhan perekonomian negara-

negara Asia dan Asean khususnya. Hal ini tercermin dari pertumbuhan GDP mereka.

Pertumbuhan real GDP kawasan Asia dan khususnya negara-negara ASEAN-4 1 pada tahun

1997 masing masing melambat menjadi 6,6% dan 3,7% dari 8,2% dan 7,1% pada tahun

sebelumnya. Dalam tahun 1997 krisis keuangan Asia secara langsung belum berdampak

terhadap negara-negara industri utama. Pertumbuhan Domestik Bruto riil negara-negara

industri utama tersebut secara umum (kecuali Jepang) sedikit meningkat menjadi 2,9%

dibandingkan sebesar 2,8% pada tahun 1996 2 .

Namun, secara tidak langsung negara-negara industri mulai merasakan pengaruh krisis.

Pengaruh tidak langsung tersebut antara lain terlihat dari jatuhnya harga-harga komoditi

yang diperdagangkan. Terpuruknya perekonomian negara-negara di kawasan yang terkena

krisis disertai dengan melemahnya mata uang mereka, menyebabkan jatuhnya harga tradable

goods serta melambatnya perdagangan dengan negara-negara industri yang dekat dengan

Asia seperti, New Zealand dan Australia. Majalah Economist 3 menyebutkan dampak krisis

menyebabkan commodity price index turun sebesar 30% sejak pertengahan tahun 1997.

Penurunan ini merupakan yang tertinggi sejak 25 tahun terakhir. Bahkan harga-harga

industrial commodities secara riil berada pada posisi yang paling rendah sejak tahun 1930-an.

Memasuki tahun 1998, perekonomian negara-negara Asia dan Amerika Latin masih

melambat. Hal ini terutama disebabkan oleh menurunnya tingkat konsumsi, investasi, serta

belum pulihnya capital inflow ke kawasan tersebut 4 . Melambatnya pertumbuhan ekonomi

negara-negara Asia dan Amerika Latin tersebut, mulai mengkhawatirkan negara-negara

maju. Mereka menyadari kalau tidak segera diatasi, krisis Asia, Rusia, Eropa Timur, serta

Amerika Latin bisa mengarah ke krisis global terutama karena kepanikan pelaku pasar

keuangan dan menurunnya volume perdagangan dunia. Terpuruknya pasar modal

dinegara-negara yang mengalami krisis mulai menunjukkan psychology effect terhadap pasar

saham Wall Street dan pasar modal negara industri lainya. Krisis Russia dan Brazil sempat

1 Indonesia, Malaysia, Phillipina, dan Thailand2 IMF Annual Report tahun 19983 Edisi 5 September 19984 Berdasarkan World Economic and Finanacial Surveys 1998(IMF), krisis Asia mengakibatkan total net private capital

inflows tahun 1997 ke Asia anjlok menjadi US$13,9 miliar dari US$110,4 miliar tahun 1996.

Page 164: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

189Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut

membuat panik pelaku pasar atau investor Amerika, sehingga mereka mulai menjual saham

yang mereka miliki. (lihat Grafik 3).

Dengan perkembangan-perkembangan tersebut, IMF memperkirakan pertumbuhan

world ouput dalam tahun 1998 hanya 2,0%, menurun dibandingkan dengan pertumbuhan

tahun 1997 sebesar 4,1%. Amerika pada mulanya menganggap dan yakin krisis Asia tidak

akan mempunyai dampak terhadap perekonomian mereka. Namun, setelah melihat Rusia,

Eropa Timur dan Amerika Latin juga terkena, serta perekonomian Jepang yang masih

terpuruk, mulai khawatir terhadap perekonomian mereka. Hal ini terlihat dari proyeksi

pertumbuhan ekonomi Amerika pada tahun 1998 menjadi 3,5% dibandingkan pertumbuhan

tahun sebelumnya 3,9%.

Faktor-faktor penyebab krisis

Secara garis besar ada beberapa faktor pemicu krisis keuangan dan ekonomi tersebut.

Pertama, karena besarnya hutang perusahaan swasta seperti Indonesia, Korea, dan Thailand.

Disamping besar jumlahnya, pada negara-negara tertentu (Thailand, Korea dan Indonesia)

hutang swasta tersebut cenderung tidak di hedge, berjangka pendek, serta digunakan untuk

pembiayaan investasi di r eal estate serta non-tradable goods lainnya. Kedua, free capital mobility

terutama yang berjangka pendek. Dengan adanya globalisasi dan semakin terintegrasinya

pasar keuangan dunia, perubahan persepsi pasar atau adanya upaya spekulasi hedge fund

akan mengakibatkan berbaliknya arus aliran modal secara massive yang lebih lanjut akan

2000

2200

2400

2600

2800

3000

3200

Dow Jones (Amerika)

FT (Inggris)

Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98

Grafik 3. Indeks Harga Saham di Negara Maju

Page 165: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

190 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

menekan nilai tukar dan mempengaruhi inflasi 5 . Ketiga, karena lemahnya sektor keuangan.

Liberalisasi sektor keuangan mengakibatkan cepatnya pertumbuhan sistem keuangan.

Pertumbuhan yang cepat tersebut cenderung tidak diikuti dengan rambu-rambu pengaman

serta sistem pengawasan yang handal. Besarnya pinjaman luar negeri dari sektor keuangan

yang tanpa di hedge dan berjangka pendek banyak dijumpai pada negara-negara Asia. Financial

panic merupakan faktor keempat penyebab krisis. Situasi bank run karena masyarakat panik

terhadap anjloknya nilai tukar serta adanya beberapa bank yang collapse dan ditutup,

mengakibatkan masyarakat menarik dananya dari sistem perbankan untuk di simpan di rumah,

dibelikan hard currencies, atau ditransfer ke luar negeri. Kondisi krisis ini pada negara tertentu,

seperti Indonesia, mengakibatkan pergantian pemerintahan yang diikuti oleh munculnya

masalah-masalah non-ekonomi seperti social unrest, serta tekanan-tekanan politik terhadap

pemerintah. Keadaan ini telah membuat kegiatan pemulihan ekonomi menjadi semakin lama.

Kebijakan yang diambil serta beberapa kritik terhadap kebijakan IMF

Melemahnya mata uang negara-negara Asia disertai dengan menurunnya cadangan

devisa, baik dalam rangka intervensi untuk memperkuat nilai tukar, maupun karena adanya

capital ouflow, membuat negara yang terkena krisis tersebut meminta bantuan lembaga

internasional seperti IMF, World Bank, ADB, serta pinjaman bilateral lainnya. Resep kebijakan

yang disepakati IMF untuk mengatasi permasalahan krisis tersebut, meliputi berbagai langkah

kebijakan ekonomi makro baik dibidang moneter dan fiskal, keuangan, serta sektor riil.

Dibidang moneter, dilakukan upaya-upaya pengetatan antara lain dengan menaikkan

suku bunga dan pengetatan kredit. Tujuan dari kebijakan tersebut antara lain untuk

memperkuat nilai tukar dan mengatasi inflasi yang tinggi. Disamping itu, kebijakan moneter

yang ketat juga diharapkan akan mengembalikan kepercayaan pasar. Dalam hal kebijakan

nilai tukar, dianjurkan untuk menerapkan nilai tukar yang fleksibel. Thailand dan Phillipines

sejak krisis mengambangkan nilai tukar mereka, sementara Indonesia menghapuskan

intervention band dan membiarkan rupiah mengambang sejak tanggal 14 Agustus 1998 untuk

mengurangi upaya spekulasi dan mempertahankan cadangan devisa.

Dibidang fiskal, pada tahap awal IMF menekankan perlunya pelaksanaan kebijakan

fiskal yang ketat untuk membantu kontraksi moneter dan memperkuat nilai tukar. Namun,

kemudian IMF merubah stance kebijakan fiskal dari ketat menjadi longgar, karena keadaan

yang tidak memungkinkan. Sebagai contoh, IMF menyetujui perubahan kebijakan fiskal yang

semula ketat menjadi sedikit longgar pada Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia negara

5 Berdasarkan “World Economic and Finacial Surveys 1998” (IMF), krisis Asia mengakibatkan total net private capitalinflows tahun 1997 ke Indonesia, Malaysia, Philipina, dan Thailand menjadi negatif US$ 11 miliar dari US$ 72,9 miliartahun 1996

Page 166: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

191Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut

yang paling parah terkena krisis keuangan di Asia. Krisis di Indonesia mengakibatkan

tingginya tingkat pengangguran, meningkatnya jumlah orang yang berada dibawah garis

kemiskinan yang berdasarkan perkiran Bank dunia sekitar 45 juta atau 21% dari total

penduduk. Disamping itu, dalam tahun 1998 perekonomian Indonesia diperkirakan

mengalami pertumbuhan negatif 13%-15% . Untuk mengurangi dampak negatif dan

munculnya social unrest dari krisis tersebut, program jaringan pengaman sosial (s ocial safety

nets) dan pemberian subsidi untuk beberapa komoditas disepakati untuk dilaksanakan. Untuk

TA 1998/99 fiskal defisit Indonesia diperkirakan 8,5% dari GDP yang seluruhnya akan dibiayai

dari luar negeri.

Disektor perbankan, IMF menyarankan untuk meningkatkan pengawasan , serta

melakukan restrukturisasi perbankan antara lain dengan melakukan penutupan bank-bank

yang tidak sehat seperti penutupan 16 bank di Indonesia, 58 finance companies di Thailand,

serta 14 merchant banks di Korea. Disamping itu, perbankan nasional juga diminta untuk

meningkatkan kemampuan mereka dengan mengacu kepada standard perbankan

internasional seperti mengenai perluasan cakupan asset-asset produktif, penyediaan loan

loss provision (penyisihan penghap usan aktiva produktif), serta ketentuan Capital Adequacy Ratio.

Disamping itu, dalam upaya mengurangi tekanan permintaan terhadap USD yang

lebih lanjut bisa memperlemah nilai tukar, kebijakan untuk menjadwalkan kembali hutang

swasta dan pemerintah juga dilaksanakan oleh Korea dan Indonesia. Sebagai contoh, Indonesia

berhasil melakukan rescheduling hutang swasta melalui berbagai pertemuan yaitu di New

York pada bulan April 1998, Tokyo pada bulan Mei 1998, serta disepakatinya Frankfurt

Agreement, pada bulan Juni 1998, antara swasta dan lender luar negeri. Kemudian dilanjuti

dengan Paris Club Meeting untuk menjadwalkan kembali hutang-hutang Pemerintah yang

jatuh tempo pada TA 1998/99 - sekitar US$ 1,8 miliar.

Di sektor rill dilakukan berbagai kebijakan deregulasi dan restrukturisasi dalam

rangka meningkatkan efisiensi perekonomian nasional. Berbagai hambatan perdagangan

termasuk monopoli dan oligopoli dalam kegiatan ekonomi dihapuskan. Demikian pula

hambatan-hambatan terhadap kegiatan investasi asing dikurangi. Berbagai subsidi secara

bertahap akan di hapus. Reformasi struktural dilakukan diberbagai bidang, misalnya, pada

perdagangan dalam dan luar negeri. Disamping itu, Korea dan Indonesia berupaya untuk

mempercepat privatisasi perusahaan-perusahaan Pemerintah.

Kritikan-kritikan terhadap kebijakan IMF dalam mengatasi krisis

Penanganan krisis oleh IMF melalui kebijakan pengetatan atau demand restraint

mendapat kritik banyak pakar ekonomi seperti Jeffrey Sachs (The Head of Harvard Institute

for International Development ) dan Paul Krugman.

Page 167: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

192 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Sach, misalnya, mengkritik kebijakan IMF mengenai penutupan bank di beberapa

negara. Penutupan bank-bank yang tidak sehat di Thailand dan Indonesia dalam kondisi

normal mungkin akan membawa dampak positif. Namun, dalam kondisi keuangan yang

tidak normal, dan belum adanya skim deposit insurance, penutupan bank bank tersebut

semakin memacu kepanikan dan ketidak percayaan masyarakat terhadap sistem keuangan.

Hal ini mengakibatkan masyarakat menarik dananya secara besar-besaran dari perbankan.

Di Indonesia, kondisi bank run ini lebih lanjut mengakibatkan f l ight to safety yaitu perpindahan

dana dari bank-bank swasta ke bank pemerintah dan bank asing. Selanjutnya hal ini

mengakibatkan liquidity squeeze yang mengakibatkan perbankan sulit untuk melakukan

penghimpunan maupun penyaluran dana. Perkembangan tersebut mengakibatkan kreditor

luar negeri juga enggan untuk memperpanjang kembali hutang mereka ke perbankan yang

mengakibatkan semakin ketatnya likuiditas dan tingginya suku bunga.

Sachs juga mengkritik saran IMF yang menganjurkan negara-negara Asia yang

mengalami krisis untuk mentargetkan surplus budget sebesar 1% dari GDP. Hal ini karena

negara-negara tersebut selama ini umumnya telah melaksanakan kebijakan fiskal yang

berhati-hati dan inti permasalahan krisis bukan bersumber dari fiskal. Pengetatan fiskal

dalam kondisi perekonomian yang sudah kontraksi akan mengakibatkan perekonomian

semakin dalam terpuruk. IMF kelihatannya menyadari kondisi ini, dan akhirnya

mengizinkan negara-negara yang terkena krisis untuk melaksanakan deficit budget.

Mengenai kebijakan moneter yang ketat dalam hal ekspansi kredit dan peningkatan

suku bunga untuk mengurangi likuiditas perekonomian guna memperkuat nilai tukar,

menurut Sach tidak banyak bermanfaat dalam kondisi financial panic. Tingginya suku bunga

dan ketatnya penyaluran kredit mengakibatkan bank mengalami negatif spread, non-

performing loan meningkat, serta cenderung merugi. Ketatnya pemberian kredit, diikuti

dengan tingginya suku bunga mengakibatkan pasar modal dan sektor real semakin

terpuruk, serta meningkatkan unemployment. (lihat Grafik 4a dan 4b).

Paul Krugman 6, menulis dalam berbagai artikel di majalah Fortune dan Far Eastern

Economic Review, yakin bahwa upaya temporary currency control disertai dengan penurunan

suku bunga atau dikenal dengan “Plan B” merupakan bagian upaya yang penting untuk

mengatasi krisis Asia. Hal ini berhubung kebijakan-kebijakan IMF (Plan A) dalam mengatasi

krisis Asia selama ini tidak hanya gagal tetapi telah memperburuk situasi.

Lebih jauh Krugman menyatakan bahwa dalam menerapkan kebijakan kontrol devisa

tersebut, suatu negara harus selalu mengacu pada upaya menekan hambatan-hambatan

pelaksanaan kegiatan usaha seminimal mungkin. Pertama, pelaksanaan kontrol sebagus

6 Professor of economics at the Massachusetts Institute of Technology

Page 168: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

193Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut

apapun akan menimbulkan distorsi yang dapat memperparah kondisi perekonomian.

Sehubungan dengan itu, kebijakan pengendalian nilai tukar ini hendaknya bersifat

sementara untuk memberikan ruang gerak bagi pemulihan ekonomi. Kedua, kontrol devisa

dan pemberlakuan nilai tukar tetap hendaknya ditujukan untuk mempertahankan nilai

tukar yang tinggi semata karena yang diperlukan adalah nilai tukar real yang kompetitif

untuk menunjang ekspor. Ketiga, kebijakan pengendalian nilai tukar hendaknya digunakan

sebagai alat bantu reformasi ekonomi sehingga memberikan ruang gerak bagi pelaksanaan

kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif untuk memacu kegiatan sektor real. Namun,

upaya lainnya menyangkut pembenahan sektor keuangan tetap harus dipercepat.

Negara Asia yang menerapkan ide Krugman tersebut adalah Malaysia 7 dengan

memberlakukan selective exchange control (ECM) pada tanggal 1 september 1998 yang baru

0

200

400

600

800

KLSE (Malaysia)

JSX (Indonesia)

SET (Thailand)

Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98

Grafik 4a. Indeks Harga Saham di Beberapa Negara

20

30

40

50

60

70

80

KOSPI (Korea)

Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98

Grafik 4b. Indeks Harga Saham di Korea

7 Bank Negara Malaysia,””Measures to Regain Monetary Independence”, press release, September 1998

Page 169: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

194 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

lalu. Kebijakan ini diambil untuk mengendalikan nilai tukar Malaysian Ringgit(RM) yang

melemah, menghambat spekulasi terhadap RM, dan meminimumkan dampak negatif dari

arus modal jangka pendek terhadap perekonomian domestik. Kebijakan ECM tersebut

diikuti dengan kebijakan kurs tetap dan pelonggaran kebijakan moneter dengan penurunan

suku bunga untuk mendorong kegiatan sektor real. Kebijakan ECM yang drastis ini diambil

Malaysia karena menilai kebijakan moneter yang ketat dan restrukturisasi keuangan yang

dilakukan selama ini tidak menolong banyak dalam mengatasi krisis selama ini, bahkan

telah memperburuk kondisi yang ada.

Negara Asia lain yang cukup berhati-hati dan bertahap dalam meliberalisasi transaksi

devisa adalah RRC. Sampai saat ini RRC masih membatasi eksportir dalam kepemilikan

devisa yaitu sekitar 15% dari hasil penerimaan ekspor. Mata uang Ren Min Bi (RMB)

diupayakan tidak menjadi convertible currency . Namun, untuk investasi jangka panjang,

negara tersebut relatif terbuka terutama untuk sektor high-tech industry dan prasarana 8 .

Kritik yang keras terhadap IMF juga dilontarkan oleh PM Inggris, Tony Blair. Dalam

debat tahunan di Majelis umum PBB pada tanggal 21 September yang baru lalu ia mengatakan

bahwa IMF dan World Bank sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengelola perekonomian

dunia tidak bisa lagi dipertahankan karena adanya gejolak pasar uang global. Untuk itu

perlu new Bretton Wood System untuk menghadapi millenium yang akan datang.

Penutup

• Dengan adanya globalisasi disektor keuangan, pengaruh contagion terhadap negara lain

menjadi semakin besar. Oleh karena itu setiap negara harus mempunyai sistem keuangan

yang handal, kebijakan ekonomi makro yang solid dan berhati-hati, serta kestabilan

politik, guna mengurangi dampak negatif globalisasi.

• Perlu ditingkatkan kerja sama ekonomi intra kawasan yang lebih erat dalam rangka

meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan mempertahankan stabilitas mata uang di

kawasan. Disamping itu, perlu dipercepat upaya pembentukan pengawasan regional

(ASEAN Monitoring Mechanism) yang merupakan early warning system untuk

mengetahui permasalahan di masing-masing negara dan kawasan guna mencari

kebijakan yang tepat untuk mengatasinya. ASEAN Monitoring Mechanism ini diharapkan

dapat melengkapi bentuk pengawasan yang dilakukan oleh IMF selama ini.

8 Berdasarkan data the 1998 APEC Economic Outlook, Foreign Direct investment ke China pada tahun 1997 mencapaiUS$45,3 miliar.

Page 170: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

195Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut

• Guna mengantisipasi permasalahan ekonomi pada abad 21 mendatang, dan menghindari

seringnya terjadi fluktuasi nilai tukar mata uang negara-negara anggota di kawasan

ASEAN, perlu dirintis upaya untuk menciptakan satu mata uang tunggal di Asia atau

khususnya ASEAN seperti mata tunggal uang Eropa (EMU). EMU yang akan

diberlakukan pada Januari 1999 yang akan datang, persiapan pembentukannya dilakukan

lebih dari 20 tahun.

• Krisis Asia yang telah menyebar ke Russia dan Eropa Timur, serta Amerika latin, bila

tidak diatasi secara menyeluruh dan sungguh-sungguh oleh lembaga-lembaga

internasional dan negara G7 bisa mengakibatkan krisis global dan membawa

perekonomian ke arah depresi.

• Free capital mobility khususnya yang berjangka pendek perlu dilakukan pengaturannya

secara internasional, sebab arus modal tersebut yang dari tahun ketahun semakin besar

volumenya disertai dengan transaksi derivative yang cukup kompleks mempunyai andil

yang besar dalam menciptakan krisis terutama pada emerging markets.

• Lembaga internasional perlu menyusun suatu early warning system terhadap kondisi

ekonomi makro negara-negara anggota untuk menghindari krisis perekonomian yang

lebih luas. Disamping itu perlu ditingkatkan transpararancy, akurasi serta timely data

ekonomi makro dan keuangan setiap negara.

• Berdasarkan pengalaman negara yang menganut sistem keuangannya yang lebih tertutup

disertai adanya rambu-rambu dalam prudential regulation atas arus modal jangka pendek,

seperti China, kelihatannya tidak mudah terkena imbas krisis ekonomi yang terjadi.

• Last but not least cukup menarik pendapat Stiglitz 9 (World Bank) mengenai negara yang

menganut sistem ekonomi terbuka dalam kaitannya dengan capital flows “ Small open

economies are like rowing boats on an open sea. One can not predict when they might capsize; bad

steering increases the chances of disaster and a leaky boat makes it inevitable. But their chances of

being broadsided by a wave are significant no matter how well they are steered and no matter how

seaworthy they are. The financial movements of the past few years are like the sea ” .

Daftar Pustaka

APEC Economic Outlook , August 1998.

ASEAN Central Bank Forum, Meeting of Deputies, Kuala Lumpur, September 6, 1998.

9 Joseph Stiglitz dalam artikel Boats, planes and capital flows

Page 171: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

196 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Bank Indonesia, UREM -Bagian SEI, Catatan Perihal Kebijakan Pengendalian Nilai Tukar

Malaysia, September 1998.

Bank Negara Malaysia, Measures to Regain Monetary Independence, press release,

September 1998

Camdessus, Michael, From the Asian Crisis Toward a New global Architecture.

Economist, edisi 5 September 1998.

Graciela L. Kaminsky and Carmen M. Reinhart, Financial Crises in Asia and Latin

America : Then and Now, January 1998.

International Monetary Fund, Annual Report 1998.

International Monetary Fund, World Economic Outlook, September 1998.

Krugman, Paul, Far Eastern Economic review dan Fortune, .

Report of the Subcommitte on Asian Financial and Capital Market of the Committee

on Foreign Exchange and Other Transaction, Lessons from the Asian Currency Crises.

Reuters

Sach, Jeffrey, IMF is a power unto itself, December 1997.

Steven Radelet and Jeffrey Sachs, The Onset of the Asian Financial Crisis, February

1998.

Stiglitz, Joseph, Boat Planes , and Capital Flows, March 1998.

Page 172: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

197Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut

Lampiran

Tabel 1Pertumbuhan Ekonomi Negara Maju dan Negara Berkembang*)

dalam persen

Proyeksi

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999

Dunia 2.6 3.9 3.6 4,2 4.1 2.0 2.5Negara-negara maju 1.2 3.2 2.5 3.0 3.1 2.0 1.9 Negara-negara industri utama 1.0 2.8 2.0 2.8 2.9 2.1 1.9

Amerika Serikat 2.3 3.5 2.0 3.4 3.9 3.5 2.0

Inggeris 2.1 4.3 2.7 2.2 3.4 2.3 1.2

Italia -1.2 2.2 2.9 0.7 1.5 2.1 2.5

Jepang 0.3 0.6 1.5 3.9 0.8 -2.5 0.5

Jerman -1.2 2.7 1.8 1.3 2.2 2.6 2.5

Kanada 2.2 4.1 2.3 1.2 3.7 3.0 2.5

New Zealand 5.1 6.0 3.9 3.1 2.3 -0.5 1.7Negara-negara berkembang 6.5 6.8 5.9 6.6 5.8 2.3 3.6 Berdasarkan kawasan

Afrika 1.0 2.6 2.9 5.8 3.2 3.7 4.7

Asia 9.3 9.6 8.9 8.2 6.6 1.8 3.9

ASEAN-4 n.a. n.a. n.a. 7.1 3.7 -10.4 -0.1

China 13.5 12.6 10.5 9.6 8.8 5.5 n.a

Eropa dan Timur Tengah 3.9 0.7 3.5 4.7 4.5 3.2 3.9

Amerika Latin 3.6 5.0 1.2 3.5 5.1 2.8 2.7

Argentina 6.3 8.5 -4.6 4.8 8.6 5.0 n.a

Brazilia 4.9 5.9 4.2 2.8 3.2 1.5 n.a

Chile 7.0 5.7 10.6 7.4 7.1 4.5 n.a

Columbia 5.4 5.8 5.8 2.1 3.1 2.7 n.a

Negara industri baru Asia (NIEs) 6.3 7.6 7.3 6.3 6.1 -1.6 1.7Hong Kong SAR 6.1 5.4 3.9 4.6 5.3 -5.0 0.0

Korea 5.8 8.6 8.9 7.1 5.5 -7.0 -1.0

Singapura 10.4 10.5 8.8 6.9 7.8 0.0 0.2

Taiwan 6.3 6.5 6.0 5.7 6.9 4.0 3.9

Negara-negara ASEANBrunei Darussalam 0.5 1.8 2.0 2.8 3.5 n.a. n.a.

Indonesia 6.5 7.5 8.2 8.0 4.6 -13.8 -2.3Philipina 2.1 4.4 4.8 5.7 5.1 -0.6 n.a

Malaysia 8.3 9.2 9.5 8.6 7.8 -6.4 n.a

Thailand 8.5 8.9 8.7 5.5 -0.4 -8.0 n.a

Negara-negara dalam transisi -6.7 -7.6 -1.3 -0.1 2.0 1.8 3.0Eropa Tengah dan Timur -4.1 -2.6 1.3 1.6 2.8 3.5 4.1

di luar Belarus dan Ukraina -0.2 3.5 5.1 3.7 3.2 3.9 4.4

Rusia -8.7 -12.6 -4.0 -5.0 0.9 -6.0 1.0

*) Produk Domestik Bruto riil.

Sumber : - IMF, World Economic Outlook, August 1998

- IMF, International Financial Statistics, September 1998

- Bank Indonesia, Laporan Tahunan (untuk data Indonesia)

Page 173: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

198 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Tabel 2Laju Inflasi Negara Maju dan Negara Berkembang

dalam persen

Proyeksi

1994 1995 1996 1997 1998 1999Negara-negara maju 2.6 2.5 2.4 2.1 1.7 1.7 Negara-negara industri utama 2.2 2.3 2.2 2.0 1.4 1.6

Amerika Serikat 2.6 2.8 2.9 2.3 1.6 2.3

Inggeris*)

2.4 2.8 2.9 2.8 2.8 2.8Italia 4.1 5.2 3.9 1.7 1.8 1.7Jepang 0.7 -0.1 0.1 1.7 0.4 -0.5Jerman 2.7 1.8 1.5 1.8 1.0 1.4Kanada 0.2 2.2 1.6 1.4 1.3 1.9

New Zealand 2.3 1.7 1.4 1.6Negara-negara berkembang 51.0 22.7 13.4 8.5 10.5 7.7 Berdasarkan kawasan

Afrika 39.3 32.9 26.7 11.0 7.7 7.0Asia 14.8 11.9 7.9 4.7 8.3 6.7Eropa dan Timur Tengah 31.9 35.7 24.6 22.6 22.6 13.7Amerika Latin 208.5 41.6 20.8 13.9 10.8 8.0 Argentina 4.2 3.4 0.2 0.8 1.3 n.a Brazilia 2123.7 59.6 11.1 7.9 5.0 n.a Chile 11.4 8.2 7.4 6.1 5.4 n.a Columbia 22.8 20.9 20.8 18.5 19.5 n.a

Negara industri baru Asia (NIEs) 5.6 4.6 4.2 3.2 5.6 3.2Hong Kong SAR 9.5 7.1 6.0 5.7 3.0 -3.8Korea 6.2 4.5 4.9 4.4 8.5 4.3Singapura 3.0 1.8 1.4 2.0 1.8 2.0Taiwan 2.6 4.6 3.1 2.1 2.0 2.0

Negara-negara ASEANBrunei Darussalam 2.4 6.0 2.0 3.0 n.a. n.a.Indonesia 9.2 8.6 6.6 10.3 89.4 39.6Philipina 9.0 8.1 8.4 6.0 10.0 n.a.Malaysia 3.7 3.4 3.5 2.7 6.0 n.a.Thailand 5.1 5.8 5.9 5.6 9.0 n.a.

Negara-negara dalam transisi 268.4 128.6 41.0 28.0 30.0 n.a.Eropa Tengah dan Timur 153.3 75.3 32.0 38.0 18.0 n.a. Di luar Belarus dan Ukraina 45.1 25.1 23.0 41.0 17.0 n.a.Rusia 302.0 190.1 48.0 15.0 48.0 n.a.

*) Indeks harga eceran di luar bunga hipotik.Sumber: - IMF, World Economic Outlook, August 1998. - Bank Indonesia, Laporan Tahunan (untuk data Indonesia) - J.P. Morgan. Emerging Markets: Economics Indicators, Juli 1998

Page 174: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

199Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut

Tabel 3Perkembangan Harga Beberapa Komoditas Primer Nonminyak

Jenis Komoditas 1994 1995 1996 1997 1998*)

Kopi (sen $/pound) Dari Brasil (di New York) 143.32 145.98 120.29 166.8 96.23

Emas ($/fine ounce) Inggeris 384.22 384.16 387.82 331.1 292.75

Nikel (sen $/pound) Inggeris 287.21 373.02 340.38 314.1 196.52

Karet (sen $/pound) Semua jenis (di New York) 48.93 56.65 54.83 53.54 52.63

Timah (sen $/pound) London 247.66 281.11 279.36 255.85 256.33

Tembaga (sen $/pound) Inggeris 104.58 133 104.03 103.2 75.1

*) Sampai dengan Juli 1998.

Sumber : IMF, International Financial Statistics, September 1998

Page 175: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

200 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998

Private Capital Flows ke Emerging Market

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997

Emerging Market Total Net Private Capital Inflows 1) 31 126.9 120.9 164.7 160.5 192 240.8 173.7

Net Foreign Direct Investment 17.6 31.3 37.2 60.6 84.3 96 114.9 138.2Net Portfolio Investment 17.1 37.3 59.9 103.5 87.8 23.5 49.7 42.9Others -3.7 58.4 23.8 0.7 -11.7 72.5 76.2 -7.3

AsiaTotal Net Private Capital Inflows 19.1 35.8 21.7 57.6 66.2 95.8 110.4 13.9

Net Foreign Direct Investment 8.9 14.5 16.5 35.9 46.8 49.5 57 57.8Net Portfolio Investment -1.4 1.8 9.3 21.6 9.5 10.5 13.4 -8.6Others 11.6 19.5 -4.1 0.1 9.9 35.8 39.9 -35.4

Amerika LatinTotal Net Private Capital Inflows 10.1 26.1 56 64.3 47.4 35.7 80.5 91.1

Net Foreign Direct Investment 6.7 11 13.6 12.8 24.3 25.3 36.9 51.2Net Portfolio Investment 17.5 14.7 30.4 61.1 60.6 -0.1 25.2 33.5Others -14 0.3 12 -9.5 -37.5 10.5 18.5 6.5

Negara Asia yang mengalami krisis 2)

Total Net Private Capital Inflows 24.9 29 30.3 32.6 35.1 62.9 72.9 -11Net Foreign Direct Investment 6.2 7.2 8.6 8.6 7.4 9.5 12 9.6Net Portfolio Investment 1.3 3.3 6.3 17.9 10.6 14.4 20.3 11.8Others 17.4 18.5 15.4 6.1 17.1 39 40.6 -32.3

Timur Tengah dan EropaTotal Net Private Capital Inflows 0.2 65.7 38 26.6 17.9 16.9 24.4 25.4

Net Foreign Direct Investment 1 1.3 1 3.9 4.3 3.7 2.6 3.3Net Portfolio Investment 2.6 22.3 20.9 15.4 13.2 8.8 9.2 8.2Others -3.4 42.2 16.1 7.3 0.5 4.4 12.4 13.9

Negara-negara dalam transisiTotal Net Private Capital Inflows 3.5 -2.4 7.2 12.2 18.4 29.8 21.3 34.5

Net Foreign Direct Investment -0.3 2.4 4.2 6 5.4 13.2 13.1 18.2Net Portfolio Investment 0 0 0.1 4.5 4.1 2.9 2.2 7.3Others 3.7 -4.8 2.9 1.7 8.9 13.6 5.9 9

Sumber : International Monetary Fund, International Financial Statistics and World Economic Outlook database.

1) Net Foreign Direct Investment ditambah Net Portfolio Investment dan Net Other Investment 2) Indonesia, Korea, Malaysia, Philipines, Thailand

Tabel 4

(dalam miliar US$)

Page 176: DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL ·  · 2013-09-27Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh ... Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar

201Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut

Tabe l 5H arga dan Volume Pe rdagangan D unia

p e rsen p e ru b a h a n

Pro ye k s i

1 99 4 1 99 5 1 99 6 1 99 7 1 99 8 1 99 9

P e r da g a n g a n b a r a n g da n ja s a P e r da g a n g a n d u n i a1 )

Vo lum e 9 .3 9 .5 6 .7 9 .8 4 .6 5 .6D e f la t o r h arga D a la m do la r A S 2 .3 8 .3 -1 .1 -5 .8 -4 .1 1 .3 D a la m SD R -0 .2 2 .2 3 .3 -0 .6 -0 .6 1 .8

V o l u m e p e rd a g a n g a nE k sp o r N ega ra -n e ga ra m a ju 8 .8 8 .8 5 .9 1 0 .1 4 .1 5 .2

N ega ra -n e ga ra be rk e m ba n g 1 3 .0 1 0 .5 8 .8 1 0 .6 4 .8 6 .1Im p o r N ega ra -n e ga ra m a ju 9 .7 8 .9 6 .4 8 .8 5 .2 5 .3 N ega ra -n e ga ra be rk e m ba n g 7 .0 1 1 .9 8 .2 1 2 .4 3 .6 6 .5

N i l a i t u k a r d a g a n g N ega ra -n e ga ra m a ju 0 .0 0 .1 0 .0 -0 .7 0 .5 -0 .3 N ega ra -n e ga ra be rk e m ba n g -0 .2 1 .8 1 .9 0 .6 -2 .3 1 .0

P e r da g a n g a n b a r a n g P e r da g a n g a n d u n i a

Vo lum e 1 0 .2 1 0 .2 6 .5 1 0 .3 4 .8 5 .6D e f la t o r h arga D a la m do la r A S 2 .5 8 .5 -1 .2 -6 .2 -4 .5 1 .4 D a la m SD R 0 .0 2 .4 3 .2 -1 .0 -2 .3 1 .9

H a r g a da l a m d o l a r A S M an ufa k t ur 3 .1 1 0 .3 -3 .2 -9 .4 -3 .2 0 .7M in y a k -5 .5 8 .0 1 8 .4 -5 .4 -2 8 .0 1 3 .0K o m o dit a s p r im e r n o n m iga s 1 3 .6 8 .2 -1 .2 -3 .3 -1 3 .4 0 .9

H a r g a da l a m d o l a r S D RM an ufa k t ur 0 .5 4 .1 1 .2 -4 .4 -1 .0 1 .2M in y a k -7 .8 1 .9 2 3 .7 -0 .2 -2 6 .4 1 3 .6K o m o dit a s p r im e r n o n m iga s 1 0 .8 2 .1 3 .3 2 .0 -1 1 .5 1 .3

V o l u m e p e r d a g a n g a n E k sp o r N ega ra -n e ga ra m a ju 9 .4 9 .4 5 .9 1 0 .7 4 .4 5 .1 N ega ra -n e ga ra be rk e m ba n g 1 4 .3 1 1 .9 8 .3 1 1 .2 4 .9 6 .3 P e n ge k sp o r m iga s 8 .1 2 .6 6 .3 6 .9 1 .2 5 .0 Buk an p e n ge k sp o r m iga s 1 6 .5 1 4 .7 8 .9 1 2 .4 6 .0 6 .6Im p o r

N ega ra -n e ga ra m a ju 1 1 .0 9 .4 5 .7 9 .7 5 .6 5 .4

N ega ra -n e ga ra be rk e m ba n g 7 .6 1 2 .6 9 .1 1 0 .5 3 .0 6 .8

P e n ge k sp o r m iga s -1 1 .1 4 .5 1 .1 1 5 .5 3 .7 6 .5

Buk an p e n ge k sp o r m iga s 1 1 .9 1 4 .1 1 0 .5 9 .7 2 .8 6 .9 D e f l a to r h a r g a d a l a m S D R

E k sp o r N ega ra -n e ga ra m a ju 0 .4 3 .0 1 .7 -2 .4 -2 .4 1 .4 N ega ra -n e ga ra be rk e m ba n g -0 .8 1 .1 8 .0 3 .0 -4 .0 3 .0 P e n ge k sp o r m iga s -7 .9 2 .1 1 5 .8 2 .8 -1 3 .9 7 .7 Buk an p e n ge k sp o r m iga s 1 .7 0 .8 5 .8 3 .1 -1 .2 1 .9Im p o r N ega ra -n e ga ra m a ju -0 .2 2 .8 2 .6 -1 .6 -2 .8 2 .2 N ega ra -n e ga ra be rk e m ba n g -0 .3 -1 .1 5 .0 2 .5 -0 .6 1 .9 P e n ge k sp o r m iga s -1 .1 0 .6 4 .0 2 .6 1 .3 1 .5 Buk an p e n ge k sp o r m iga s -0 .1 -1 .4 5 .2 2 .5 -1 .0 1 .9

N i l a i t u k a r d a g a n g N ega ra -n e ga ra m a ju 0 .5 0 .2 -1 .0 -0 .8 0 .4 -0 .7 N ega ra -n e ga ra be rk e m ba n g -0 .5 2 .2 2 .8 0 .5 -3 .4 1 .1

P e n ge k sp o r m iga s -6 .8 1 .4 1 1 .3 0 .2 -1 5 .1 6 .1

Buk an p e n ge k sp o r m iga s 1 .9 2 .2 0 .6 0 .6 -0 .3 -0 .1

Sum be r : IM F , Wo rld E c o n o m ic O u tlo o k, A ugust 1 9 9 8