1 krisis moneter indonesia

74
1 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran KRISIS MONETER INDONESIA : SEBAB, DAMPAK, PERAN IMF DAN SARAN*) Lepi T. Tarmidi **) Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, sementara ini telah berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjutannya. Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank: Bab 2 dan Hollinger). Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus. Lihat Tabel. Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan. (Bandingkan juga IMF, 1997: 1). Namun semua kelemahan ini masih mampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datang badai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok penahan yang ada, yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang datang mengancam.

Upload: pengkah

Post on 27-Jun-2015

751 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1 Krisis Moneter Indonesia

1 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

KRISIS MONETER INDONESIA :

SEBAB, DAMPAK, PERAN IMF DAN SARAN*)

Lepi T. Tarmidi

**)

Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, sementara ini telah

berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni

lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup

dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya

disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai

musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti

kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah

selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan

peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan

kelanjutannya.

Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu

dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank: Bab 2

dan Hollinger). Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah

pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran

relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca

berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih

cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus. Lihat Tabel.

Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan

domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi

tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan

kurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam

jumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana

dari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi

juga krisis kepercayaan. (Bandingkan juga IMF, 1997: 1). Namun semua kelemahan ini masih

mampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datang

badai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok penahan yang ada,

yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang

datang mengancam.

*) Tulisan ini merupakan revisi dan updating dari pidato pengukuhan Guru Besar Madya pada FEUI dengan judul

“Krisis Moneter Tahun 1997/1998 dan Peran IMF”, Jakarta, 10 Juni 1998.

**) Lepi T. Tarmidi : Wakil Kepala Pusat Kajian APEC, Universitas Indonesia, email : [email protected] Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

INDIKATOR UTAMA EKONOMI INDONESIA 1990 - 1997

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997

Pertumbuhan ekonomi (%) 7,24 6,95 6,46 6,50 7,54 8,22 7,98 4,65

Page 2: 1 Krisis Moneter Indonesia

Tingkat inflasi (%) 9,93 9,93 5,04 10,18 9,66 8,96 6,63 11,60

Neraca pembayaran (US$ juta) 2,099 1,207 1,743 741 806 1,516 4,451 -10,021

Neraca perdagangan 5,352 4,801 7,022 8,231 7,901 6,533 5,948 12,964

Neraca berjalan -3.24 -4,392 -3,122 -2,298 -2.96 -6.76 -7,801 -2,103

Neraca modal 4,746 5,829 18,111 17,972 4,008 10,589 10,989 -4,845

Pemerintah (neto) 633 1,419 12,752 12,753 307 336 -522 4,102

Swasta (neto) 3,021 2,928 3,582 3,216 1,593 5,907 5,317 -10.78

PMA (neto) 1,092 1,482 1,777 2,003 2,108 4,346 6,194 1,833

Cadangan devisa akhir tahun

(US$ juta) 8,661 9,868 11,611 12,352 13,158 14,674 19,125 17,427

(bulan impor nonmigas c&f) 4,7 4,8 5,4 5,4 5,0 4,3 5,2 4,5

Debt-service ratio (%) 30,9 32,0 31,6 33,8 30,0 33,7 33,0

Nilai tukar Des. (Rp/US$) 1,901 1,992 2,062 2.11 2.2 2,308 2,383 4.65

APBN* (Rp. milyar) 3,203 433 -551 -1.852 1,495 2,807 818 456

* Tahun anggaran

Sumber : BPS, Indikator Ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia;

World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 19983 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

Sebagai konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus

1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar

AS, dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim managed

floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank

Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai

tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah

kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997

menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadi

sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999.

Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya

Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini

lemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas, tetapi terutama karena utang

swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor

rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang

mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya1

. Krisis yang berkepanjangan

ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang

mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang

swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS

ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia

tidak akan mengalami krisis. Dengan lain perkataan, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi

mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis

akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan

Page 3: 1 Krisis Moneter Indonesia

gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab

lainnya yang datangnya saling bersusulan. Analisis dari faktor-faktor penyebab ini penting,

karena penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa.

Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri,

ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis

finansial (Nasution: 28). Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-

sama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan (World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yang

pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli

1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini,

dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir

utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun. Sebab yang kedua adalah kelemahan

1 Dalam teori, overshooting nilai tukar biasanya bersifat sementara untuk kemudian mencari keseimbangan jangka

panjang baru. Tetapi selama krisis ini berlangsung, nilai overshooting adalah sangat besar dan sudah berlangsung

sejak akhir tahun 1997.4 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

pada sistim perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan pemerintah

menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dan

keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah

ketidak pastian politik menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan

Presiden Soeharto pada waktu itu.

Sementara menurut penilaian penulis, penyebab utama dari terjadinya krisis yang

berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat

tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda

menurut sisi pandang masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan rangkuman dari

berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:

1) Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai,

memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas

berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim

devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang yang sebesar-

besarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening

valas di dalam negeri atau di luar negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam negeri,

sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar negeri.

2) Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8%

(1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya,

menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan

pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari

kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama

makin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai Rupiah yang overvalued berarti juga

proteksi industri yang negatif. Akibatnya harga barang impor menjadi relatif murah dan

produk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor yang

kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor

Page 4: 1 Krisis Moneter Indonesia

menjadi kurang kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini

sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan

nilai tukar yang nyata.

3) Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan

menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia

cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya (bandingkan

juga Wessel et al.: 22), ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Akumulasi

utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang

sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa

tahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official debt). Ada tiga pihak yang5 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

bersalah di sini, pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karena

telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah

terus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam

rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah.

Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian

dana ke luar negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah.

Jadi di sini pemerintah dihadapi dengan buah simalakama. Keadaan ini menguntungkan

pengusaha selama tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi selama bertahun-tahun sehingga

memberi rasa aman dan orang terus meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang semakin

besar. Dengan demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh

pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap

utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek pemerintah

dengan dibentuknya tim PKLN. Bagi debitur dalam negeri, terjadinya utang swasta luar

negeri dalam jumlah besar ini, di samping lebih menguntungkan, juga disebabkan suatu

gejala yang dalam teori ekonomi dikenal sebagai fallacy of thinking2

, di mana pengusaha

beramai-ramai melakukan investasi di bidang yang sama meskipun bidangnya sudah

jenuh, karena masing-masing pengusaha hanya melihat dirinya sendiri saja dan tidak

memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya. Pihak kreditur luar negeri juga ikut

bersalah, karena kurang hati-hati dalam memberi pinjaman dan salah mengantisipasi

keadaan (bandingkan IMF, 1998: 5). Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga

ikut menanggung sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur.

Kalau masalahnya hanya menyangkut utang luar negeri pemerintah saja, meskipun

masalahnya juga cukup berat karena selama bertahun-tahun telah terjadi net capital

outflow3

yang kian lama kian membesar berupa pembayaran cicilan utang pokok dan

bunga, namun masih bisa diatasi dengan pinjaman baru dan pemasukan modal luar

negeri dari sumber-sumber lain. Beda dengan pinjaman swasta, pinjaman luar negeri

pemerintah sifatnya jangka panjang, ada tenggang waktu pembayaran, tingkat bunganya

Page 5: 1 Krisis Moneter Indonesia

relatif rendah, dan tiap tahunnya ada pemasukan pinjaman baru.

Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan

diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah

US$ 53,5 milyar. Sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge

(Nasution: 12). Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmati

selisih biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri (Wessel et al., hal. 22), misalnya

2 Yang dimaksud di sini adalah perilaku pengusaha yang bertindak atas pertimbangan dirinya sendiri tanpa mengetahui

apa yang dilakukan oleh pengusaha lainnya. Misalnya pengusaha ramai-ramai mendiri-kan apotik, membuka

tambak udang, membangun realestat dan kondomium.

3 Total pembayaran cicilan utang pokok dan bunga setelah dikurangi pinjaman baru.6 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

bank-bank. Maka beban pembayaran utang luar negeri beserta bunganya menjadi tambah

besar yang dibarengi oleh kinerja ekspor yang melemah (bandingkan IDE). Ditambah

lagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilai

rupiah membengkak dan menyulitkan pembayaran kembalinya.

Pinjaman luar negeri dan dana masyarakat yang masuk ke sistim perbankan, banyak

yang dikelola secara tidak prudent, yakni disalurkan ke kegiatan grupnya sendiri dan

untuk proyek-proyek pembangunan realestat dan kondomium secara berlebihan sehingga

jauh melampaui daya beli masyarakat, kemudian macet dan uangnya tidak kembali

(Nasution: 28; Ehrke: 3). Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif besar yang

dilakukan oleh sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor investasi yang tidak

menghasilkan devisa (non-traded goods) di bidang tanah seperti pembangunan hotel, resort

pariwisata, taman hiburan, taman industri, shopping malls dan realestat (Nasution: 9;

IMF Research Department Staff: 10). Proyek-proyek besar ini umumnya tidak

menghasilkan barang-barang ekspor dan mengandalkan pasar dalam negeri, maka sedikit

sekali pemasukan devisa yang bisa diandalkan untuk membayar kembali utang luar

negeri. Krugman melihat bahwa para financial intermediaries juga berperan di Thailand

dan Korea Selatan dengan moral nekat mereka, yang menjadi penyebab utama dari krisis

di Asia Timur. Mereka meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi sehingga terjadi

investasi berlebihan di sektor tanah (Krugman, 1998; Greenwood). Mereka mulai mencari

dollar AS untuk membayar utang jangka pendek dan membeli dollar AS untuk di hedge

(World Bank, 1998, hal. 1.4).

4) Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing (bandingkan juga Ehrke: 2-3) yang dikenal

sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa

yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan

dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri

sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini juga

meminjam dari sistim perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya

mengapa Bank Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi di pasar valas karena

tidak akan ada gunanya. Meskipun pada awalnya spekulan asing ikut berperan, tetapi

Page 6: 1 Krisis Moneter Indonesia

mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas pecahnya krisis moneter ini. Sebagian

dari mereka ini justru sekarang menderita kerugian, karena mereka membeli rupiah dalam

jumlah cukup besar ketika kurs masih di bawah Rp. 4.000 per dollar AS dengan

pengharapan ini adalah kurs tertinggi dan rupiah akan balik menguat, dan pada saat itu

mereka akan menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS (Wessel et al., hal. 1).

Namun pemicu adalah krisis moneter kiriman yang berawal dari Thailand antara

Maret sampai Juni 1997, yang diserang terlebih dahulu oleh spekulan dan kemudian

menyebar ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia (Nasution: 1; IMF Research7 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

Department Staff: 10; IMF, 1998: 5). Krisis moneter yang terjadi sudah saling kait-mengkait

di kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya (butir 16 dari

persetujuan IMF 15 Januari 1998).

5) Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita

batas intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan

mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal

14 Agustus 1997 (Nasution: 2). Terkesan tidak adanya kebijakan pemerintah yang jelas

dan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisis (Nasution: 1) dan keadaan ini masih

berlangsung hingga saat ini. Ketidak mampuan pemerintah menangani krisis

menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untuk

memberi bantuan finansial dengan cepat (World Bank, 1998: 1.10).

6) Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10; IDE),

yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor

dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah

yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah

dibandingkan dengan produk dalam negeri.

7) Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran diming-

imingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif

stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar (bandingkan World

Bank, 1998, hal. 1.3, 1.4; Greenwood). Selisih tingkat suku bunga dalam negeri dengan

luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang relatif besar

dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat devaluasi yang relatif stabil

sekitar 4% per tahun sejak 1986 menyebabkan banyak modal luar negeri yang mengalir

masuk. Setelah nilai tukar Rupiah tambah melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana

modal asing terus mengalir ke luar negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat bunga

yang tinggi atas surat-surat berharga Indonesia (Nasution: 1, 11). Kesalahan juga terletak

pada investor luar negeri yang kurang waspada dan meremehkan resiko (IMF, 1998: 5).

Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah (World Bank, 1998, p. 2.1).

8) IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang

dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan

dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia juga

Page 7: 1 Krisis Moneter Indonesia

menunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan

perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. Singapura yang

menjanjikan l.k. US$ 5 milyar meminta pembayaran bunga yang lebih tinggi dari pinjaman

IMF, sementara Brunei Darussalam yang menjanjikan l.k. US$ 1 milyar baru akan

mencairkan dananya sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain yang berjanji akan8 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

membantu telah mencairkan dananya dan telah habis terpakai. IMF sendiri dinilai banyak

pihak telah gagal menerapkan program reformasinya di Indonesia dan malah telah

mempertajam dan memperpanjang krisis.

9. Spekulan domestik ikut bermain (Wessel et al., hal. 22). Para spekulan inipun tidak

semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim

perbankan untuk bermain.

10.Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu

membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan

dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, di mana serbuan terhadap

dollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumi

dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannya

ke luar negeri mengantisipasi ketidak stabilan politik dalam negeri. Sejak awal Desember

1997 hingga awal Mei 1998 telah terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri

karena ketidak stabilan politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu (World Bank,

1998: 1.4, 1.10). Kerusahan besar-besaran pada pertengahan Mei yang lalu yang ditujukan

terhadap etnis Cina telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat ini akan keamanan

harta, jiwa dan martabat mereka. Padahal mereka menguasai sebagian besar modal dan

kegiatan ekonomi di Indonesia dengan akibat mereka membawa keluar harta kekayaan

mereka dan untuk sementara tidak melaukan investasi baru.

11. Terdapatnya keterkaitan yang erat dengan yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap

dollar AS (lihat IDE). Setelah Plaza-Accord tahun 1985, kurs dollar AS dan juga mata

uang negara-negara Asia Timur melemah terhadap yen Jepang, karena mata uang negara-

negara Asia ini dipatok dengan dollar AS. Daya saing negara-negara Asia Timur

meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak perusahaan Jepang melakukan relokasi

dan investasi dalam jumlah besar di negara-negara ini. Tahun 1995 kurs dollar AS berbalik

menguat terhadap yen Jepang, sementara nilai utang dari negara-negara ini dalam dollar

AS meningkat karena meminjam dalam yen, sehingga menimbulkan krisis keuangan.

(Ehrke: 2).

Di lain pihak harus diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu pembenahan

yang mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun

masih bisa ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan

perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Memang terjadi dislokasi sumber-sumber

ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh perorangan/kelompok tertentu yang

menguntungkan mereka ini dan merugikan rakyat banyak dan perusahaan-perusahaan

Page 8: 1 Krisis Moneter Indonesia

yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli di berbagai bidang, penyaluran dana

yang besar untuk proyek IPTN dan mobil nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan9 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar

negeri, dan kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun kelemahan sektor

riil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahi

sektor riil saja, tidak memecahkan permasalahan.

Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara kebutuhan akan valas dalam

jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS

melambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera didahulukan untuk

mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri,

membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam

dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah

pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas sosial

dan politik.

Program Reformasi Ekonomi IMF

Menurut IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia disebabkan karena

pemerintah baru meminta bantuan IMF setelah rupiah sudah sangat terdepresiasi. Strategi

pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah mengembalikan kepercayaan pada mata uang,

yaitu dengan membuat mata uang itu sendiri menarik. Inti dari setiap program pemulihan

ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial. (Fischer 1998b). Sementara itu pemerintah

Indonesia telah enam kali memperbaharui persetujuannya dengan IMF, Second

Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) tanggal 24 Juni,

kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah review yang keempat, tanggal 16 Maret 1999.

Program bantuan IMF pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997.

Program reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang:

1. Penyehatan sektor keuangan;

2. Kebijakan fiskal;

3. Kebijakan moneter;

4. Penyesuaian struktural.

Untuk menunjang program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar US$

11,3 milyar selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04 milyar dicairkan

segera, jumlah yang sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program penyehatannya

telah dijalankan sesuai persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara bertahap sesuai

kemajuan dalam pelaksanaan program. Dari jumlah total pinjaman tersebut, Indonesia

sendiri mempunyai kuota di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang bisa dimanfaatkan. (IMF,

1997: 1). Di samping dana bantuan IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negara-

negara sahabat juga menjanjikan pemberian bantuan yang nilai totalnya mencapai lebih10 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

kurang US$ 37 milyar (menurut Hartcher dan Ryan). Namun bantuan dari pihak lain ini

dikaitkan dengan kesungguhan pemerintah Indonesia melaksanakan program-program

Page 9: 1 Krisis Moneter Indonesia

yang diprasyaratkan IMF.

Sebagai perbandingan, Korea mendapat bantuan dana total sebesar US$ 57 milyar

untuk jangka waktu tiga tahun, di antaranya sebesar US$ 21 milyar berasal dari IMF. Thailand

hanya memperoleh dana bantuan total sebesar US$ 17,2 milyar, di antaranya US$ 4 milyar

dari IMF dan masing-masing US$ 0,5 milyar berasal dari Indonesia dan Korea.

Karena dalam beberapa hal program-program yang diprasyaratkan IMF oleh pihak

Indonesia dirasakan berat dan tidak mungkin dilaksanakan, maka dilakukanlah negosiasi

kedua yang menghasilkan persetujuan mengenai reformasi ekonomi (letter of intent) yang

ditanda-tangani pada tanggal 15 Januari 1998, yang mengandung 50 butir. Saran-

saran IMF diharapkan akan mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan cepat dan

kurs nilai tukar rupiah bisa menjadi stabil (butir 17 persetujuan IMF 15 Januari 1998). Pokok-

pokok dari program IMF adalah sebagai berikut:

A. Kebijakan makro-ekonomi

- Kebijakan fiskal

- Kebijakan moneter dan nilai tukar

B. Restrukturisasi sektor keuangan

- Program restrukturisasi bank

- Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan

C. Reformasi struktural

- Perdagangan luar negeri dan investasi

- Deregulasi dan swastanisasi

- Social safety net

- Lingkungan hidup.

Setelah pelaksanaan reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai hambatan,

maka diadakanlah negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary memorandum pada

tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Cakupan

memorandum ini lebih luas dari kedua persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang masuk

adalah penyelesaian utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan

masing-masing program dirangkum dalam matriks komitmen kebijakan struktural. Strategi

yang akan dilaksanakan adalah:

1. menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia;

2. memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan;

3. memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien

dan berdaya saing;11 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

4. menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta;

5. kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor

bisa bangkit kembali.

Ke tujuh appendix adalah masing-masing:

1. Kebijakan moneter dan suku bunga

2. Pembangunan sektor perbankan

Page 10: 1 Krisis Moneter Indonesia

3. Bantuan anggaran pemerintah untuk golongan lemah

4. Reformasi BUMN dan swastanisasi

5. Reformasi struktural

6. Restrukturisasi utang swasta

7. Hukum Kebangkrutan dan reformasi yuridis.

Prioritas utama dari program IMF ini adalah restrukturisasi sektor perbankan.

Pemerintah akan terus menjamin kelangsungan kredit murah bagi perusahaan kecil-

menengah dan koperasi dengan tambahan dana dari anggaran pemerintah (butir 16 dan 20

dari Suplemen). Awal Mei 1998 telah dilakukan pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta dan

jumlah yang sama akan dicairkan lagi berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan Juli,

bila pemerintah dengan konsekuen melaksanakan program IMF. Sementara itu Menko Ekuin/

Kepala Bappenas menegaskan bahwa “Dana IMF dan sebagainya memang tidak kita gunakan

untuk intervensi, tetapi untuk mendukung neraca pembayaran serta memberi rasa aman,

rasa tenteram, dan rasa kepercayaan terhadap perekonomian bahwa kita memiliki cukup

devisa untuk mengimpor dan memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri” (Kompas, 6 Mei

1998). Pencairan berikutnya sebesar US$ 1 milyar yang dijadwalkan awal bulan Juni baru

akan terlaksana awal bulan September ini.

Kritik Terhadap IMF

Banyak kritik yang dilontarkan oleh berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal menangani

krisis moneter di Asia, yang paling umum adalah bahwa: (1) program IMF terlalu seragam,

padahal masalah yang dihadapi tiap negara tidak seluruhnya sama; dan (2) program IMF

terlalu banyak mencampuri kedaulatan negara yang dibantu (Fischer, 1998b). Radelet dan

Sachs secara gamblang mentakan bahwa bantuan IMF kepada tiga negara Asia (Thailand,

Korea dan Indonesia) telah gagal. Setelah melihat program penyelematan IMF di ketiga

negara tersebut, timbul kesan yang kuat bahwa IMF sesungguhnya tidak menguasai

permasalahan dari timbulnya krisis, sehingga tidak bisa keluar dengan program

penyelamatan yang tepat. Salah satu pemecahan standar IMF adalah menuntut adanya

surplus dalam anggaran belanja negara, padahal dalam hal Indonesia anggaran belanja

negara sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 hampir selalu surplus, meskipun surplus12 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

ini ditutup oleh bantuan luar negeri resmi pemerintah. Adalah kebijakan dari Orde Baru

untuk menjaga keseimbangan dalam anggaran belanja negara, dan prinsip ini terus

dipegang. Selama ini tidak ada pencetakan uang secara besar-besaran untuk menutup

anggaran belanja negara yang defisit, dan tidak ada tingkat inflasi yang melebihi 10%.

Memang dalam anggaran belanja negara tahun 1998/1999 terdapat defisit anggaran yang

besar, namun ini bukan disebabkan karena kebijakan deficit financing dari pemerintah, tetapi

oleh karena nilai tukar rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS. Semakin jatuh nilai tukar

rupiah, semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran belanja. Karena itu pemecahan

utamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar.

J. Stiglitz, pemimpin ekonom Bank Dunia, mengkritik bahwa prakondisi IMF yang

Page 11: 1 Krisis Moneter Indonesia

teramat ketat terhadap negara-negara Asia di tengah krisis yang berkepanjangan berpotensi

menyebabkan resesi yang berkepanjangan. Kemudian berlakunya praktek apa yang

dinamakan “konsensus Washington”, yaitu negara pengutang lazimnya harus

mendapatkan restu pendanaan dari pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya memperluas

kesempatan ekonomi AS. (Kompas, 13 Mei 1998). Kabar terakhir menyebutkan bahwa

pencairan bantuan tahap ketiga awal Juni ni akan tertunda lagi atas desakan pemerintah

AS yang dikaitkan dengan perkembangan reformasi politik di Indonesia, dan ini akan

menunda cairnya bantuan dari sumber-sumber lain (Hartcher dan Ryan).

Anwar Nasution mengkritik bahwa reformasi ekonomi yang disarankan IMF bentuknya

masih samar-samar. Tidak ada penjelasan rinci, bagaimana caranya untuk meningkatkan

penerimaan pemerintah dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mencapai sasaran

surplus anggaran sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan bagaimana ingin

dicapai sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan satu-satunya adalah

peningkatan ekspor non-migas, namun kelemahan utama dari IMF adalah tidak ada program

yang jelas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya produksi untuk mendorong

ekspor non-migas. (Nasution: 27-28).

Penasehat khusus IMF untuk Indonesia (P.R. Narvekar) sendiri juga dikutip sebagai

mengatakan bahwa “IMF kerap menerapkan standar ganda dalam pengambilan keputusan.

Di satu pihak, perwakilan IMF mewakili negara dan pemerintahan dengan kebijakan dan

visi politik masing-masing, sementara keputusan yang diambil harus mengacu pada fakta

konkret ekonomi. Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas pelanggaran hak asasi

manusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini, menjadi hal yang disoroti Dewan

Direktur IMF dalam pengambilan keputusannya pekan depan”. Demikianpun halnya

dengan Bank Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998).

Sri Mulyani mengemukakan, bahwa di bidang kebijaksanaan makro IMF tidak

memperlihatkan adanya konsistensi antarinstrumen kebijaksanaan. Di satu pihak IMF13 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

memberikan kelenturan dengan mengizinkan dipertahankannya subsidi dan menyediakan

dana untuk menciptakan jaringan keselamatan sosial, sedang di lain pihak menganut

kebijaksanaan moneter yang kontraktif. Kedua kebijaksanaan ini bisa memandulkan

efektivitas kebijaksanaan makro, terutama dalam rangka stabilitas nilai tukar dan inflasi.

(Sri Mulyani: 72). “Secara makro ancaman kegagalan terbesar kesepakatan ketiga ini berasal

dari kebijaksanaan moneter yang masih ambivalen, karena keharusan BI melakukan fungsi

lender of last resort bagi perbankan nasional, yang bertentangan dengan tema pengetatan,

juga ketidak sejalanan kebijaksanaan moneter dan fiskal” (Sri Mulyani: 72).

Saran IMF menutup sejumlah bank yang bermasalah untuk menyehatkan sistim

perbankan Indonesia pada dasarnya adalah tepat, karena cara pengelolaan bank yang

amburadul dan tidak mengikuti peraturan, namun dampak psikologisnya dari tindakan ini

tidak diperhitungkan. Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada otoritas moneter, Bank

Indonesia dan perbankan nasional, sehingga memperparah keadaan dan masyarakat

Page 12: 1 Krisis Moneter Indonesia

beramai-ramai memindahkan dananya dalam jumlah besar ke bank-bank asing dan

pemerintah atau ditaruh di rumah, yang menimbulkan krisis likuiditas perbankan nasional

yang gawat. Hal ini juga diakui oleh IMF (butir 14, 15 dan 24 dari persetujuan IMF tanggal

15 Januari 1998).

Pertanyaan mendasar yang harus ditujukan kepada IMF menurut penulis adalah

sejauh mana IMF bersungguh-sungguh dalam hal membantu mengatasi krisis ekonomi

yang sedang melanda Indonesia dewasa ini? Apakah sama seperti kesungguhan Amerika

Serikat ketika membantu Meksiko bersama-sama dengan IMF dan negara-negara maju

lainnya yang berhasil menggalang sebesar hampir US$ 48 milyar Januari 1995? Setelah

mencapai titik terendah tahun 1995, perekonomian Meksiko dengan cepat pada tahun 1996

dapat bangkit kembali. Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya secara bertahap dalam

jarak waktu yang cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan Indonesia untuk

menjalankan programnya secara ketat dan membiarkan keadaan ekonomi Indonesia terus

merosot menuju resesi yang berkepanjangan. Dengan menahan pencairan bantuan tahap

kedua dan setelah diundur, hanya dicicil US$ 1 milyar dari jumlah US$ 3 milyar, ditambah

jarak yang cukup lama antara paket bantuan pertama dan kedua, menyulitkan pemulihan

ekonomi Indonesia secara cepat, menghilangkan kepercayaan terhadap rupiah, bahkan

memperparah keadaan. Karena badan internasional lain dan negara-negara sahabat yang

menjanjikan bantuan juga menunggu signal dari IMF, berhubung semua bantuan tambahan

yang besarnya mencapai US$ 27 milyar dikaitkan dengan cairnya bantuan IMF. Di lain

pihak, kita juga perlu berterima kasih kepada IMF karena dengan menunda mencairkan

bantuannya, IMF sedikit banyak mempunyai andil dalam perjuangan menggulirkan tuntutan

reformasi politik, ekonomi dan hukum di Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada

mundurnya Presiden Soeharto.14 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

Saran IMF untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan menerapkan kebijakan uang

ketat, menaikkan suku bunga dan mengembalikan kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi,

dari waktu ke waktu mengadakan intervensi terbatas di pasar valas dengan petunjuk IMF

(lihat butir 14, 16, 17, 21 dari persetujuan 15 Januari 1998; butir 5, 7 dari Suplemen). Sayangnya

tidak ada program khusus yang secara langsung ditujukan untuk menguatkan kembali

nilai tukar rupiah, juga tidak ada Appendix untuk masalah ini. IMF tidak memecahkan

permasalahan yang utama dan yang paling mendesak secara langsung. IMF bisa saja terlebih

dahulu mengambil kebijakan memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah, kalau mau,

dengan mencairkan dana bantuan yang relatif besar pada bulan November lalu, yang

didukung oleh bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank dan negara-negara

sahabat. Dengan demikian timbulnya krisis kepercayaan yang berkepanjangan dapat

dicegah. IMF sendiri tampaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan berputar-

putar pada kebijakan surplus anggaran, uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan sektor

riil yang memang perlu dan sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan khusus dari negara-

negara maju yaitu membuka peluang investasi yang seluas-luasnya bagi mereka dengan

menggunakan kesempatan dalam kesempitan Indonesia.

Page 13: 1 Krisis Moneter Indonesia

Di lain pihak memang harus diakui bahwa tekanan ini perlu untuk memastikan

kesungguhan Indonesia, karena untuk beberapa tindakan memang ada tanda-tanda

kekurang sungguhan di pihak Indonesia. Tidak adanya program dari IMF yang jelas dan

berjangka pendek untuk mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar dan

menstabilkannya membuat pemerintah cukup lama terombang-ambing antara memilih

program IMF atau currency board system, yang justru menjanjikan kepastian dan kestabilan

nilai tukar pada tingkat yang wajar.

Krisis ekonomi yang tengah berlangsung ini memang bukan tanggung-jawab IMF

dan tidak bisa dipecahkan oleh IMF sendiri. Namun kekurangan yang paling utama dari

IMF adalah bahwa IMF dalam program bantuannya tidak mencari pemecahan terhadap

masalah yang pokok dan sangat mendesak ini dan berputar-putar pada reformasi struktural

yang dampaknya jangka panjang. Bila semua kekuatan bantuan ini dikumpulkan sekaligus

secara dini, maka hal ini dengan cepat akan memulihkan kembali kepercayaan masyarakat

dalam negeri dan internasional. Namun bantuan dana IMF dan ketergantungan harapan

pada IMF ini di(salah)gunakan untuk menekan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan

reformasi struktural secara besar-besaran. Ibaratnya orang yang sudah hampir tenggelam

diombang-ambing ombak laut tidak segera ditolong dengan dilempari pelampung, tapi

disuruh belajar berenang dahulu.

Reformasi struktural sebagaimana yang dianjurkan oleh IMF memang mendasar

dan penting, tetapi dampak hasilnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang, sementara

pemecahan masalahnya sudah sangat mendesak, di mana makin ditunda makin banyak15 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

perusahaan yang jatuh bergelimpangan. Banyak perusahaan yang mengandalkan pasaran

dalam negeri tidak bisa menjual barang hasil produksinya karena perusahaan-perusahaan

ini umumnya memiliki kandungan impor yang tinggi dan harga jualnya menjadi tidak

terjangkau dengan semakin jatuhnya nilai tukar rupiah. Jadi, utang luar negeri swasta dan

nilai tukar rupiah yang merosot jauh dari nilai riilnya adalah masalah-masalah dasar jangka

pendek, yang lama tidak disinggung oleh IMF. Di sini timbul keragu-raguan akan kemurnian

kebijakan reformasi IMF, sehingga timbul teka-teki, apakah IMF benar-benar tidak melihat

inti permasalahannya atau berpura-pura tidak tahu? Atau IMF mengambil kesempatan

dalam kesempitan untuk memaksakan perubahan-perubahan yang sudah lama menjadi

duri di matanya dan bagi Bank Dunia serta mewakili kepentingan-kepentingan asing?

Tampaknya di balik anjuran program pemulihan kegiatan ekonomi ada titipan-titipan politik

dan ekonomi dari negara-negara besar tertentu. Program reformasi IMF secara mencurigakan

mengulang kembali tuntutan-tuntutan deregulasi ekonomi yang sudah sejak bertahun-tahun

didengungkan oleh Bank Dunia dan belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah

Indonesia (lihat World Bank, 1996, bab 2;World Bank, 1997, bab 4 dan 5).

Permintaan IMF untuk menghentikan dengan segera perlakuan pembebasan pajak

dan kemudahan kredit untuk proyek mobil nasional dan IPTN adalah tepat, karena dalam

jangka pendek proyek ini akan mengacaukan kebijakan pemerintah di bidang fiskal,

Page 14: 1 Krisis Moneter Indonesia

anggaran dan moneter secara berarti. Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi BBM

dan listrik yang kian membesar secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun sudah

benar. Subsidi listrik relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi silang

sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tetap dikenakan tarif listrik yang murah dan

melalui peningkatan efisiensi, misalnya penagihan yang lebih efektif. Namun penurunan

subsidi BBM dan listrik oleh pemerintah secara drastis dan mendadak pada tanggal 4 Mei

1998 yang lalu mempunyai dampak yang sangat luas terhadap perekonomian rakyat kecil,

meskipun kepentingan rakyat kecil sangat diperhatikan dengan adanya jaringan

keselamatan sosial. Tindakan drastis ini sedikit-banyak telah membantu memicu terjadinya

kerusuhan-kerusuhan sosial dan politik. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah

pemerintah tidak bisa menunda kenaikan BBM dan listrik untuk beberapa bulan, menunggu

keresahan masyarakat reda? Di sini pemerintah salah membaca isi dari kesepakatan dengan

IMF, karena IMF menganjurkan penghapusan subsidi secara bertahap dan tidak secara

mendadak. Dalam suplemen program IMF April 1998 disebutkan bahwa subsidi masih bisa

diberikan kepada beberapa jenis barang yang banyak dikonsumsi oleh penduduk

berpenghasilan rendah seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam situasi sekarang

hampir tidak ada peluang untuk meningkatkan pajak. Baru pada tanggal 1 Oktober 1998

direncanakan subsidi akan diturunkan secara berarti. (butir 10 dan 11 dari Suplemen).

Subsidi untuk bahan pangan, BBM dan listrik sudah diperhitungkan dan dinaikkan dalam

anggaran pemerintah (butir 20 dari Suplemen). Membengkaknya subsidi ini disebabkan16 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

oleh beberapa faktor, seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar

yang tidak dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar rupiah. Jadi tindakan

yang pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai rupiah ke tingkat yang wajar dan

dari sini baru menghitung besarnya subsidi. Tidak bisa biaya produksi dihitung atas dasar

nilai tukar dengan dollar AS yang masih relatif tinggi lalu dibebankan kepada konsumen,

sementara pendapatan masyarakat adalah dalam rupiah yang tidak berubah sejak sebelum

terjadinya krisis moneter, kalau tidak menurun dan banyaknya PHK. Keadaan ini tidak

sebanding, kita harus melihat sebab-sebab lain di balik kenaikan biaya produksi. Halnya

akan lain, bila pendapatan masyarakat dalam rupiah juga ikut naik dua atau tiga kali lipat

sesuai dengan kenaikan nilai tukar dollar AS, seperti orang asing yang tinggal di Indonesia misalnya.

Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari terjadinya

krisis yang berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas naik sangat tinggi dan siapa

yang menarik keuntungan dari krisis ini? Janganlah rakyat banyak diminta untuk berkorban

mengatasi krisis ini atau membebankan di atas penderitaan rakyat dengan misalnya

menaikkan harga BBM dan tarif listrik.

Di antara saran-saran IMF juga ada yang mengenai perluasan penyertaan modal

asing dalam kegiatan ekonomi Indonesia yang terlalu jauh. Modal asing sudah diberi peluang

yang cukup besar untuk investasi di Indonesia dengan diperbolehkannya kepemilikan

hingga 100% baik untuk pendirian PMA, bank asing maupun penguasaan saham dari

Page 15: 1 Krisis Moneter Indonesia

perusahaan-perusahaan yang telah go public, kecuali saham bank nasional yang go public.

Meskipun demikian IMF masih meminta dihapuskannya larangan membuka cabang bagi

bank asing, izin investasi di bidang perdagangan besar dan eceran, dan liberalisasai

perdagangan yang jauh lebih liberal dari komitmen resmi pemerintah di forum WTO, AFTA

dan APEC. Masalahnya bukan sentimen nasionalisme, tetapi apa sumbangan dari

keterbukaan ini terhadap restrukturisasi ekonomi dari program IMF, stabilisasi ekonomi

dan moneter, dan apa sumbangannya terhadap pemasukan modal asing? Bukan masalah

anti asing atau sentimen nasionalisme yang sempit, tetapi apa salahnya bila pemerintah

menyisakan bidang kegiatan untuk pengusaha Indonesia, terutama yang bermodal kecil?

Apa permintaan IMF ini tidak terlalu jauh? Kedengarannya seperti IMF menerima titipan

pesan sponsor dari negara-negara besar yang ingin memaksakan kepentingannya dengan

menggunakan kesempatan dalam kesempitan. (Bandingkan juga Sri Mulyani: 72-3).

Saran IMF lainnya yang disisipkan dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya dengan

program stabilisasi ekonomi dan moneter adalah desakannya untuk menyusun Undang-

Undang Lingkungan Hidup yang baru (butir 50 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998).

Ikut campurnya IMF dalam penyelesaian utang swasta adalah sangat baik, karena

IMF sebagai lembaga yang disegani bisa banyak membantu memulihkan kepercayaan kreditor17 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

luar negeri, yang akan memperlancar dan mempercepat proses penyelesaian utang. IMF

bisa bertindak sebagai perantara yang netral dan dipercaya.

Dampak dari Krisis

Dewasa ini semua permasalahan dalam krisis ekonomi berputar-putar sekitar kurs

nilai tukar valas, khususnya dollar AS, yang melambung tinggi jika dihadapkan dengan

pendapatan masyarakat dalam rupiah yang tetap, bahkan dalam beberapa hal turun

ditambah PHK, padahal harga dari banyak barang naik cukup tinggi, kecuali sebagian

sektor pertanian dan ekspor. Imbas dari kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam secara

umum sudah kita ketahui: kesulitan menutup APBN, harga telur/ayam naik, utang luar

negeri dalam rupiah melonjak, harga BBM/tarif listrik naik, tarif angkutan naik, perusahaan

tutup atau mengurangi produksinya karena tidak bisa menjual barangnya dan beban utang

yang tinggi, toko sepi, PHK di mana-mana, investasi menurun karena impor barang modal

menjadi mahal, biaya sekolah di luar negeri melonjak. Dampak lain adalah laju inflasi yang

tinggi selama beberapa bulan terakhir ini, yang bukan disebabkan karena imported inflation4

,

tetapi lebih tepat jika dikatakan foreign exchange induced inflation. Masalah ini hanya bisa

dipecahkan secara mendasar bila nilai tukar valas bisa diturunkan hingga tingkat yang

wajar atau nyata (riil). Dengan demikian roda perekonomian bisa berputar kembali dan

harga-harga bisa turun dari tingkat yang tinggi dan terjangkau oleh masyarakat, meskipun

tidak kembali pada tingkat sebelum terjadinya krisis moneter.

Pada sisi lain merosotnya nilai tukar rupiah secara tajam juga membawa hikmah.

Secara umum impor barang menurun tajam termasuk impor buah, perjalanan ke luar negeri

Page 16: 1 Krisis Moneter Indonesia

dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri, kebalikannya arus masuk turis asing akan

lebih besar, daya saing produk dalam negeri dengan tingkat kandungan impor rendah

meningkat sehingga bisa menahan impor dan merangsang ekspor khususnya yang berbasis

pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat sejalan dengan merosotnya nilai tukar

rupiah, pengusaha domestik kapok meminjam dana dari luar negeri. Hasilnya adalah

perbaikan dalam neraca berjalan. Petani yang berbasis ekspor penghasilannya dalam rupiah

mendadak melonjak drastis, sementara bagi konsumen dalam negeri harga beras, gula, kopi

dan sebagainya ikut naik. Sayangnya ekspor yang secara teoretis seharusnya naik, tidak

terjadi, bahkan cenderung sedikit menurun pada sektor barang hasil industri. Meskipun

penerimaan rupiah petani komoditi ekspor meningkat tajam, tetapi penerimaan ekspor dalam

valas umumnya tidak berubah, karena pembeli di luar negeri juga menekan harganya karena

tahu petani dapat untung besar, dan negara-negara produsen lain juga mengalami depresiasi

4 Suatu inflasi dikatakan terjadi karena imported inflation bila harga barang-barang di negara pengekspornya naik,

dan ini tidak terjadi.18 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

dalam nilai tukar mata uangnya dan bisa menurunkan harga jual dalam nominasi valas.

Hal yang serupa juga terjadi untuk ekspor barang manufaktur, hanya di sini ada kesulitan

lain untuk meningkatkan ekspor, karena ada masalah dengan pembukaan L/C dan keadaan

sosial-politik yang belum menentu sehingga pembeli di luar negeri mengalihkan pesanan

barangnya ke negara lain.

Sebagai dampak dari krisis ekonomi yang berkepanjangan ini, pada Oktober 1998 ini

jumlah keluarga miskin diperkirakan meningkat menjadi 7,5 juta, sehingga perlu dilancarkan

program-program untuk menunjang mereka yang dikenal sebagai social safety net.

Meningkatnya jumlah penduduk miskin tidak terlepas dari jatuhnya nilai tukar rupiah

yang tajam, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara penghasilan yang berkurang

karena PHK atau naik sedikit dengan pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkat

inflasi yang tinggi, sehingga bila nilai tukar rupiah bisa dikembalikan ke nilai nyatanya

maka biaya besar yang dibutuhkan untuk social safety net ini bisa dikurangi secara drastis.

Namun secara keseluruhan dampak negatifnya dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih

lebih besar dari dampak positifnya.

Prospek Ekonomi Indonesia

Prospek ekonomi untuk beberapa tahun mendatang adalah kurang cerah dan akan

ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang negatif. Menurut perkiraan IMF pada bulan Maret

1999 lalu, pertumbuhan GDP nyata Indonesia pada tahun 1998/9 diperkirakan akan negatif

sebesar 16%, dan tingkat inflasi sekitar 66%. Keadaan ekonomi yang sangat parah ini

diperkirakan pada bulan-bulan mendatang masih akan berlangsung terus, karena krisis

belum juga menyentuh dasar jurang. Berapa lama krisis ekonomi ini masih akan berlangsung,

sulit untuk diramalkan karena tergantung pada banyak faktor. Faktor-faktor tersebut adalah

bantuan IMF dan donor-donor lainnya yang segera, menguatnya nilai tukar rupiah terhadap

dollar AS pada tingkat yang wajar, pulihnya kepercayaan investor dalam dan luar negeri,

keamanan yang mantap, suasana politik dan sosial yang stabil.

Page 17: 1 Krisis Moneter Indonesia

Tapi sekali krisis berakhir dan ekonomi berbalik bangkit kembali (rebound), maka

perbaikan ini diperkirakan akan berlangsung relatif cepat. Karena prasarana dasar untuk

pembangunan sudah tersedia, tenaga terlatih, pabrik, mesin-mesin sudah ada, sehingga

yang diperlukan adalah pulihnya kepercayaan dan masuknya modal baru.

Saran-Saran

Krisis moneter telah memberikan pelajaran yang sangat berharga untuk menentukan

kebijakan di masa depan, maka upaya yang paling utama dan mendesak bagi Indonesia19 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

dewasa ini adalah program penyelamatan yang bisa mengembalikan kepercayaan

masyarakat serta menstabilkan kurs rupiah pada nilai tukar yang nyata (bandingkan juga

Stiglitz). Para ekonom dari CSIS berpendapat bahwa langkah yang harus diambil untuk

mengatasi kemelut ini adalah dengan menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS

dalam tingkat yang wajar, restrukturisasi perbankan, dan penyelesaian masalah utang

swasta dengan penjadwalan ulang (Kompas, 9 April 1998).

Penulis menginterpretasikan nilai tukar nyata sebagai nilai tukar berdasarkan

purchasing power parity yang bisa menjaga keseimbangan dalam neraca berjalan dan yang

bisa menjamin ekonomi nasional beroperasi. Dengan sistim ini, harga barang-barang

produksi dalam negeri dengan kandungan lokal tinggi bisa meningkat daya saingnya

sehingga bisa berkembang dan orang tidak mengandalkan bahan impor karena menjadi

mahal, industrialisasi substitusi impor berlanjut, harga mobil terjangkau oleh masyarakat,

impor secara otomatis akan berkurang (misalnya buah, jalan-jalan ke luar negeri, berobat di

luar negeri, kirim anak sekolah di luar negeri, pola makan makanan yang bahannya gandum),

dan meningkatkan ekspor. Kegiatan jasa hotel, perjalanan, perdagangan dan angkutan juga

bisa hidup kembali.

Setelah mendapat pengalaman dari krisis ini, dana asing akan sangat hati-hati masuk

ke Indonesia, begitupun pengusaha domestik akan sangat hati-hati untuk meminjam dari

luar negeri. Ditambah dengan hilangnya insentif untuk meminjam dari luar negeri karena

biaya pinjaman yang lebih rendah diimbangi dengan tingkat depresiasi yang lebih tinggi

dan karena tidak adanya lagi intervensi kurs oleh BI. Dengan demikian sumber utama krisis

di masa lalu untuk masa mendatang sudah dapat dieliminir, sejauh persyaratan di atas bisa

dipenuhi. Dengan demikian, kegiatan ekonomi Indonesia terutama harus ditunjang oleh

kekuatan sendiri berdasarkan dana modal yang tersedia di dalam negeri. Dunia perbankan

nasional juga telah diajarkan dari manfaat jangka panjang untuk bertindak prudent.

Bank Dunia menyarankan mengembalikan kepercayaan terhadap rupiah dengan

empat kebijakan utama: restrukturisasi beban utang swasta, reformasi dan memperkuat

sistim perbankan, memperbaiki “governance”, dan menjaga stabilitas fiskal dan moneter

selama masa transisi (World Bank, 1998, p. 2.2).

Inti dari pemecahan krisis moneter dalam jangka pendek haruslah ditujukan kepada

pencegahan penumpukan pembayaran utang luar negeri, baik swasta maupun pemerintah,

pada suatu saat tertentu dan membagi (spread-out) pembayaran ini secara merata dalam

Page 18: 1 Krisis Moneter Indonesia

jangka waktu yang lebih panjang pada tingkat yang terkendali (manageable).

Beberapa saran dari penulis untuk mengatasi krisis ekonomi dewasa ini adalah

sebagai berikut:20 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

1. Karena Indonesia telah menanda-tangani persetujuan program reformasi struktural

ekonomi dengan IMF, maka pemerintah juga harus melaksanakannya dengan konsekuen,

terlebih lagi karena bantuan IMF ini terkait dengan bantuan negara-negara donor lainnya

yang jumlahnya sangat besar. Pemerintah melaksanakan reformasi dan restrukturisasi

sektor riil dan keuangan secara konsekuen untuk memperkuat fundamental ekonomi

Indonesia. Makin cepat pemerintah melaksanakan program-program reformasi, makin

cepat juga dananya cair. Yang nanti akan menjadi masalah adalah bagaimana membayar

utang bantuan darurat yang mencapai US$ 46 milyar tersebut di samping utang-utang

pemerintah dan swasta yang ada.

Namun pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, harus

bertindak proaktif menghadapi IMF dengan mengajukan saran-sarannya sendiri dan

menolak program-program yang tidak relevan dan cenderung merugikan Indonesia.

2. Membentuk kabinet baru yang terdiri atas teknokrat untuk mengembalikan kepercayaan

masyarakat Indonesia maupun luar negeri akan kesungguhan program reformasi. Dengan

adanya kepercayaan ini, termasuk program reformasi IMF, diharapkan akan terjadi arus

balik devisa dan masuknya modal luar negeri.

3. Mengusahakan penundaan pembayaran utang resmi pemerintah berupa pembayaran

cicilan pokok dan bunga selama misalnya dua tahun melalui Paris Club. Sejauh ini

Indonesia memang selalu patuh untuk membayar semua utang-utangnya secara tepat

waktu, yang juga selalu mendapatkan pujian dari Bank Dunia dan IMF. Namun dalam

keadaan krisis yang parah ini, apa salahnya jika Indonesia meminta penundaan waktu

pembayaran kembali utang? Nama Indonesiapun tidak menjadi jelek karenanya, sebab

Paris Club adalah instrumen internasional yang memang khusus dirancang untuk

membantu negara-negara sedang berkembang dalam menghadapi masalah pembayaran

kembali utang-utang luar negeri pemerintah. Sementara ini sudah banyak negara sedang

berkembang yang memanfaatkan fasilitas ini. Dengan demikian, Indonesia bisa bernapas

untuk memperkuat posisi cadangan devisanya. Sebab menurut APBN tahun 1998/99

jumlah pembayaran cicilan utang pokok luar negeri beserta bunganya mencapai US$

7.560 juta, sementara pinjaman luar negeri baru sebesar US$ 6.450 juta. Jumlah ini sangat

berarti untuk memperkuat cadangan devisa negara. Seandainya Indonesia tidak menerima

bantuan barupun, maka masih ada selisih positif sebesar lebih dari US$ 1 milyar yang

bisa dihemat. Keuntungan dari penundaan pembayaran utang ini adalah, bahwa beban

utang tidak menjadi bertambah, hanya saja jangka waktu pembayaran kembalinya saja

yang lebih panjang, tanpa merusak nama Indonesia sebagai debitur yang baik. Bila Jepang

hanya mau membantu dengan dengan menambah pinjaman baru, berarti bahwa beban

utang termasuk pembayaran bunga untuk di kemudian hari akan bertambah besar.

Page 19: 1 Krisis Moneter Indonesia

Penjadwalan kembali pembayaran utang resmi pemerintah ini juga akan banyak21 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

membantu meringankan defisit anggaran belanja, terlebih lagi dengan semakin

terpuruknya nilai tukar rupiah semakin besar pula defisit dalam anggaran belanja negara

yang harus ditutup. Hal ini telah dilakukan oleh pemerintah dan telah dicapai

kesepakatan, bahwa Indonesia akan menunda pembayaran cicilan utang pokoknya saja.

4. Menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang riil, artinya tidak lagi overvalued ketika

regim managed floating, bahkan bisa dipertimbangkan untuk membiarkannya sedikit

undervalued untuk meningkatkan daya saing secara internasional dan merangsang

produksi dalam negeri dan ekspor. Nilai tukar nyata yang wajar ini harus dicari dengan

memperhatikan kriteria-kriteria berikut, paling tidak tingkat depresiasi rupiah tidak lebih

rendah dari depresiasi nyatanya. Dengan kurs ini defisit anggaran belanja negara bisa

ditekan, juga tingkat inflasi, pembayaran utang luar negeri pemerintah dan swasta dalam

rupiah dapat ditekan sehingga mampu dikembalikan, begitupun harga BBM/listrik dan

pakan ternak, harga barang-barang produksi dalam negeri dapat terjangkau termasuk

sembako dan pabrik-pabrik beroperasi kembali, orang-orang yang menganggur dapat

bekerja kembali, jumlah penduduk miskin dapat ditekan kembali dan jaringan keamanan

sosial tidak lagi diperlukan, biaya angkutan udara bisa diturunkan, perjalanan domestik

dan luar negeri dapat hidup kembali. Dilain pihak kurs dollar AS ini harus cukup tinggi

untuk menahan impor berbagai macam barang dan bahan serta meningkatkan daya

saing produk dalam negeri termasuk buah-buahan, insentif untuk meminjam dana dari

luar negeri hilang, biaya perjalanan ke dan sekolah di luar negeri tetap masih mahal,

yang semuanya mengurangi pengurangan devisa. Sebaliknya daya saing ekspor masih

cukup tinggi, sehingga ekspor masih bisa tetap bergairah. Bila ini disadari sebagai hal

yang utama dan yang paling mendesak untuk mengakhiri krisis ini, maka seluruh daya

upaya dan pikiran dapat diarahkan untuk memecahkan persoalannya.

Kebijakan depresiasi nilai tukar yang relatif besar dampaknya sama seperti kebijakan

proteksi produksi dalam negeri, karena merubah perbandingan harga antara barang

dalam negeri aktif dalam forum-forum internasional seperti APEC, ASEAN, dan

sebagainya untuk mencari pemecahan atas krisis moneter yang sedang melanda banyak

negara Asia Timur. Masalah pokoknya adalah bagaimana memperkuat nilai tukar mata

uang masing-masing kembali pada tingkat yang wajar. Misalnya dengan mengajukan

gagasan-gagasan pemecahan yang konkrit dan mendesak diadakannya pertemuan-

pertemuan dengan segera. Hingga kini sikap pemerintah Indonesia terkesan pasif.

6. Mengadakan negosiasi ulang utang luar negeri swasta Indonesia dengan para kreditor

untuk meminta penundaan pembayaran, yang sekarang sedang diusahakan oleh Tim

Penanggulangan Utang Luar Negeri Swasta (PULNS) atau Indonesian Debt Restructuring

Agency (INDRA).22 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

7. Mengembalikan stabilitas sosial dan politik dan rasa aman secepatnya sehingga bisa

memulihkan kepercayaan pemilik modal dalam dan luar negeri.

Page 20: 1 Krisis Moneter Indonesia

8. Untuk mengembalikan kepercayaan dari masyarakat yang menyimpan uangnya di dalam

negeri, pemerintah bisa mempertimbangkan melakukan operasi swap, apalagi didukung

oleh cadangan devisa pemerintah yang semakin membesar.

9. Menghalangi kemungkinan kegiatan spekulasi valas besar-besaran dengan mempelajari

kemungkinan melakukan pengawasan devisa secara terbatas tanpa melepas prinsip

regim devisa bebas atau melanggar kesepakatan dengan IMF, misalnya transfer pribadi

dibatasi sampai jumlah tertentu, US$ 10.000. Selanjutnya tidak memberi peluang untuk

memperdagangkan rupiah atau menaruh deposito Rupiah di luar negeri. Deposito valas

hanya boleh di bank-bank devisa dalam negeri dan tidak boleh ditempatkan di luar.

Krugman juga menganjurkan memungut pajak atas dana yang masuk dan membuat

peraturan yang menghambat pengiriman dana ke luar (lihat Wessel dan Davis, hal. 16).

Daftar Kepustakaan

Anwar, Moh. Arsjad. 1997. “Transformasi Struktur Perekonomian Indonesia: Pola

dan Potensi”, dalam: M. Pangestu, I. Setiati (penyunting), Mencari Paradigma Baru Pembangunan

Indonesia, Jakarta: CSIS, hal. 33-48.

Bank Indonesia. 1998. “Financial Crisis in Indonesia”, Jakarta, August.

Bello, W. 1998. “Mencari Solusi Alternatif untuk Mengatasi Krisis”, saduran, Jakarta:

Kompas, 1 September, hal. 3.

Ehrke, M.1998. “Pangloss oder die beste aller moeglichen Welten, Ursachen und

Auswirkungen der Asienkrise”, Bonn: Friedrich Ebert Stiftung, Februari.

Fischer, S. 1998a. “IMF dan Krisis Asia”, Kompas, Jakarta, 6 April.

________. 1998b. “Peranan IMF Saat Krisis”, Kompas, Jakarta, 8 April.

________. 1998c. “The Asian Crisis and the Changing Role of the IMF”, Washington,

D.C.: Finance & Development, Vol. 35 No. 2, June, pp. 2-5.

Greenwood, J. 1997. “The Lessons of Asia’s Currency Crisis”, Hong Kong: The Asian

Wall Street Journal, 9 Oktober, hal. 6.

Gunawan, A.H., Sri Mulyani I.. 1998. “Krisis Ekonomi Indonesia dan Reformasi (Makro)

Ekonomi”, makalah pada Simposium Kepedulian Universitas Indonesia Terhadap Tatanan

Masa Depan Indonesia”, Kampus UI, Depok, 30 Maret - 1 April.23 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

Hartcher, P., C. Ryan. 1998. “The IMF Turns Off the Tap”, Australian Financial Review,

May 21.

Hollinger, W.C. 1996. Economic Policy under President Soeharto: Indonesia’s Twenty-Five

Year Record, the United States-Indonesia Society.

IMF. 1997. “IMF Approves Stand-By Credit for Indonesia”, Washington, D.C., Press

Release No. 97/50, November 5.

IMF. 1997. “IMF Approves Stand-By Credit for Indonesia”, Press Release No. 97/50,

November 5.

IMF. 1998. World Economic Outlook, Washington, D.C., May.

IMF. 1999. “Indonesia, Supplemetary Memorandum of Economic and Financial Policies,

Page 21: 1 Krisis Moneter Indonesia

Fourth Review Under the Extended Arrangement”, March 16.

IMF Research Department Staff. 1997. “Capital Flow Sustainability and Speculative

Currency Attacks”, Finance and Development, Washington, D.C.: World Bank, December, hal.

8-11.

IMF Staff. 1998. “The Asian Crisis: Causes and Cures”, Washington, D.C.: Finance &

Development, Vol. 35 No. 2, June, pp.18-21.

“IMF Cairkan Semilyar Dollar AS”, Jakarta: Kompas, 6 Mei 1998.

“IMF Mulai Sadar Transparensi”, Jakarta: Kompas, 13 Mei 1998, hal. 9.

“Indonesia - IMF Agreement on Economic Reforms”, January 15, 1998.

“Indonesia - Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies”,

Jakarta, April 10, 1998.

Institute of Developing Economies (IDE). 1997. 1998 Economic Outlook for East Asia,

Tokyo, December 9.

Kitamura, K.; T. Tanaka (editors). 1997. Examining Asia’s Tigers, Nine Economies

Challenging Common Structural Problems, Tokyo: Institute of Developing Economies, IDE Spot

Survey.

Korea Letter of Intent, February 7, 1998,

Krause, L.B. 1994. The Pacific Century: Myth or Reality?, the 1994 Panglaykim Memorial

Lecture, Jakarta: CSIS.24 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

Krugman, P. 1994. “The Myth of Asia’s Miracle”, Foreign Affairs, November/December,

hal. 62-77.

_________. 1997. “Currency Crisis”.

_________. 1998a. “What Happened to Asia”, The Economist, January. Dimuat di Kompas

dengan judul “Di Balik Terjadinya Krisis Keuangan Asia”, 27 Januari, hal. 17.

__________. 1998b. “Saatnya Dipertimbangkan Solusi Alternatif”, Jakarta: Kompas,

28 Agustus, hal. 3.

Montes, M.F. 1998. The Currency Crisis in Southeast Asia, Singapore: ISEAS, 3rd updated

reprint.

Nasution, Anwar. 1997. “Lessons from the Recent Financial Crisis in Indonesia”,

makalah pada “1997 Economics Conference”, diselenggarakan bersama oleh USAID, ACAES,

LPEM-FEUI, Jakarta, 17-18 Desember.

Radelet, S., J. Sachs. 1998. “Why Not Let the Banks Own the Debtor Firms?”, The

Sunday Times, Singapore, July 26, p. 28-29.

“RI-IMF Hasilkan Memorandum Tambahan”, Jakarta: Kompas, 9 April 1998.

“Saran Ali Wardhana untuk Atasi Krisis, Ada yang Harus Dilakukan dan yang Harus

Dihindari”, Jakarta: Kompas, 26 Agustus 1998, hal. 3.

Schuman, M., N. Cho. 1997. “South Korea, IMF Agree on Bailout; Economy Is Slated for

Rapid Change”, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, December 4.

Sender, H.1997. “What’s a Fund for?”, Hong Kong: Far Eastern Economic Review,

September 25, hal. 140-2.

Page 22: 1 Krisis Moneter Indonesia

Soros, G. 1998. “The Crisis of Global Capitalism”, Hong Kong: The Asian Wall Street

Journal, September 16.

Stiglitz, J. 1998. “Restoring the Asian Miracle”, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal,

February 2, hal. 8.

Sri Mulyani Indrawati. 1998. “Kesepakatan Ketiga”, Gatra, No. 25 Tahun IV, Jakarta, 9

Mei, hal. 72-3.

Tarmidi, L.T. 1998a. “APEC dan Krisis Moneter di Kawasan Asia Timur”, majalah

Global, Jakarta, No. 5, hal. 31-38.

___________. 1998b. Krisis Moneter Tahun 1997/1998 dan Peran IMF, pidato pengukuhan

Guru Besar Madya Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 10 Juni.25 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

___________. 1998c. “APEC and the Monetary Crisis in East Asia”, paper presented

at the APEC Study Centre Consortium Conference, Bangi, Malaysia, August 11-13.

Thailand Letter of Intent, February 24, 1998.

“Utang Swasta Sekitar 64 Milyar Dollar AS”, Jakarta: Kompas, 2 Mei 1998.

Wessel, D., B. Davis. 1998. “Crisis Crusaders, Would-Be Keyneses Debate How to

Fight Global Woes”, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, September 28, hal. 1, 16.

Wessel, D., D. McDermott, G. Ip. 1997. “Money Trail: Who Ruptured the Rupiah”,

Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, December 31, hal. 1, 22.

World Bank. 1994. Indonesia: Stability, Growth and Equity in Repelita VI, May 27.

__________. 1996. Indonesia, Dimensions of Growth, Report No. 15383-IND, May 7.

__________. 1997. Indonesia, Sustaining High Growth with Equity, Report No. 16433-

IND, May 30.

__________. 1998. Indonesia in Crisis, A Macroeconomic Update, draft Report, July 2.31 Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia

KONSEP CROSS-GUARANTEE

DALAM PROGRAM PENJAMINAN

DAN KEMUNGKINAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

Maulana Ibrahim dan Agusman

*)

Tulisan ini mencoba mengetengahkan salah satu bentuk pikiran alternatif dalam program

penjaminan yang dikenal dengan konsep Cross-Guarantee. Sangat berbeda dengan konsep-konsep

lainnya dalam program penjaminan, konsep ini sangat progresif dalam hal mempercayakan

penyelenggaraan penjaminan kepada mekanisme pasar dan meniadakan intervensi pemerintah,

sehingga mengarah sepenuhnya pada swastanisasi baik penyelenggaraan penjaminan maupun

pelaksanaan pengaturan dan pengawasan bank yang menyertainya.

Sebagai suatu konsep yang ditujukan untuk mengatasi berbagai kelemahan deposit insurance

scheme yang berlaku sekarang ini, maka konsep Cross-Guarantee menekankan pentingnya penggunaan

pendekatan risk-sensitive analysis dalam penetapan besarnya premi. Konsep ini juga mengupayakan

adanya perlakuan yang sama untuk bank-bank besar dan bank-bank kecil dalam memper-oleh

penjaminan. Pendekatan Too-Big-To-Fail (TBTF) yang sejak beberapa waktu terakhir telah

Page 23: 1 Krisis Moneter Indonesia

menimbulkan inkonsistensi dalam proses penjaminan diharapkan dapat dihilangkan oleh konsep ini.

Apabila diterapkan sepenuhnya, konsep Cross-Guarantee juga akan mengakibatkan perubahan

yang sangat mendasar terhadap seluruh pola dan praktek penjaminan dan pengawasan bank yang

sudah dijalankan selama ini. Dengan merujuk pada ide yang dilontarkan Bert Ely tentang Cross-

Guarantee, dalam tulisan ini akan didalami prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam konsep

tersebut beserta pengaruhnya terhadap pola penjaminan dan pengawasan bank, sekaligus mempelajari

kemungkinan penerapannya di Indonesia.

*) Maulana Ibrahim : Kepala Urusan Pengawasan Bank 2, Bank Indonesia

Agusman : Pengawas Bank, Urusan Pengawasan Bank 2, Bank Indonesia32 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

Pendahuluan

P rogram penjaminan merupakan salah satu kebijaksanaan yang diambil pemerintah

untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada sistem perbankan nasional

yang sempat terganggu karena parahnya krisis ekonomi dan keuangan yang

dihadapi Indonesia sejak paroh kedua tahun 1997. Ditinjau dari karakteristiknya, skim

program penjaminan yang dipilih pemerintah tersebut ternyata lebih bersifat blanket guarantee

(penjaminan menyeluruh).

Sulit untuk memungkiri bahwa skim penjaminan pemerintah yang bersifat menyeluruh

itu akan sangat memberatkan keuangan pemerintah, khususnya karena tidak sebandingnya

nilai premi dengan cakupan penjaminan disamping adanya peluang untuk melakukan

moral hazard. Untuk tindakan darurat1

, hal tersebut barangkali masih dapat diterima, namun

untuk jangka panjang tampaknya perlu dicari alternatif lain yang memungkinkan

terselenggaranya program penjaminan yang efisien dan efektif. Dalam hubungan ini,

Kusumaningtuti (1999)2

misalnya, telah mencoba mengkaji kemungkinan penggantian

ketentuan blanket guarantee tersebut dengan deposit protection scheme.

Pencarian kemungkinan alternatif lain program penjaminan merupakan hal yang

perlu dilakukan secara terus menerus. Di Amerika Serikat sendiripun upaya pencarian

tersebut masih tetap dilakukan meskipun program penjaminannya dianggap telah jauh

lebih maju dan mapan. Dalam Konferensi mengenai Bank Structure and Competition yang

baru-baru ini diadakan oleh Federal Reserve Bank of Chicago, Bert Ely3

, seorang pakar

deposit insurance telah mengemukakan konsep Cross-Guarantee sebagai salah satu alternatif.

Tulisan ini mencoba mengetengahkan pikiran-pikiran Bert Ely mengenai konsep Cross-

Guarantee tersebut, serta mencoba mempelajari kemungkinan penerapannya di Indonesia.

Latar Belakang Konsep Cross-Guarantee

Konsep Cross-Guarantee muncul antara lain karena adanya berbagai kritik dan

ketidakpuasan terhadap skim penjaminan yang diterapkan pada Federal Deposit Insurance

Corporation (FDIC) di Amerika Serikat. Kritikan tersebut perlu ditanggapi karena FDIC

Page 24: 1 Krisis Moneter Indonesia

1 Menurut V.Sundararajan dan Tomas J.T.Balino, tindakan darurat (emergency measures) yang dilakukan bank

sentral dapat berupa pemberian fasilitas lender of last resort, intervensi terhadap bank-bank/lembaga keuangan

bermasalah dan pembentukan deposit insurance. Untuk mendalami masalah ini lebih lanjut lihat tulisan mereka

berdua dalam Banking Crises: Cases and Issues, Editor: V.Sundararajan dan Tomas J.T.Balino, International

Monetary Fund, Washington, D.C., 1991.

2 Kusumaningtuti S.S., Ketentuan Blanket Guarantee dan Kemungkinan Penggantiannya dengan Deposit Protection

Scheme, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Vol.1, No.3, Desember 1998.

3 Bert Ely, The Cross-Guarantee Concept and Interbank Markets, Paper dalam “The 35th Annual Conference on

Bank Structure and Competition”, The Federal Reserve Bank of Chicago, 7 Mei 1999.33 Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia

sekarang ini menghadapi risiko yang lebih besar dibandingkan dengan periode-periode

sebelumnya4

.

Salah satu hal yang memperoleh kritikan adalah mengenai ruang lingkup penjaminan

FDIC yang cenderung agak kurang konsisten sehubungan dengan penerapan pendekatan

“Too-Big-To-Fail” (TBTF). Sebagaimana diketahui, pada dasarnya yang dijamin oleh FDIC

adalah dana pihak ketiga (deposits) maksimum sebesar USD.100.000,- sedangkan non-deposits

liabilities seperti pinjaman yang diterima, komitmen dan kewajiban off-balance sheet serta

kewajiban antar bank di atas USD.100.000 tidak dijamin. Namun dalam hal suatu bank

dinilai TBTF maka seluruh pos kewajibannya akan dijamin, termasuk juga pos pinjaman

subordinasi.

Meskipun penerapan asas TBTF sangat dimungkinkan berdasarkan konsep Reformasi

Deposit Insurance (deposit insurance reforms) yang disetujui Kongres Amerika Serikat dan

berlaku sejak setelah tahun 1988, akan tetapi tetap saja ada kritik bahwa perlakuan khusus

tersebut dapat menimbulkan diskriminasi diantara sesama bank, khususnya bagi bank-

bank yang “Too-Small-To-Safe” (TSTS), sehingga pada gilirannya dapat merugikan masyarakat

penyimpan dana.

Kritikan berikutnya yang sering ditujukan kepada FDIC adalah berkenaan dengan

penetapan premi yang harus dibayar oleh bank-bank yang ikut penjaminan. Perhitungan

premi oleh FDIC dinilai kurang mencerminkan risiko yang harus ditanggungnya.

Sebagaimana layaknya perusahaan asuransi, seharusnya semakin besar risiko yang

ditanggung semakin besar premi, dan sebaliknya5

. Namun dalam prakteknya prinsip tersebut

ternyata tidak diterapkan karena dua alasan pokok berikut ini. Pertama, pendapatan dari

penanaman dana oleh FDIC jauh melebihi biaya-biaya operasionalnya. Dengan kata lain,

laba yang diperoleh FDIC cukup besar sehingga ketergantungan pada premi menjadi semakin

lebih berkurang. Alasan kedua adalah karena jumlah dana yang ditanamkan oleh FDIC

telah melebihi ketentuan minimum Reserve Ratio (RR) perbankan sebesar 1,25%. Oleh karena

itu, tampaknya hanya dalam FDIC mengalami kerugian dan deposit growth menekan RR di

bawah 1,25% barulah premi akan dinaikkan.

Page 25: 1 Krisis Moneter Indonesia

Disamping itu premi yang dikenakan oleh FDIC sekarang ini juga dinilai terlalu

berlebihan (overcharging) untuk bank-bank yang sehat dan terlalu kecil (undercharging) untuk

bank-bank yang bermasalah, sehingga menimbulkan cross-subsidies, yaitu bank-bank yang

4 Adanya risiko yang lebih besar tersebut antara lain dikemukakan oleh Jin-Chuan Duan, Arthur F. Moreau dan

C.W.Sealey dalam “Deposit Insurance and Bank Interest Rate Risk: Pricing and Regulatory Implications”,

Journal of Banking & Finance, No.19 Tahun 1995, hal.1091-1108.

5 Ide agar FDIC menetapkan premi sebagaimana layaknya perusahaan asuransi swasta mula-mula sekali dilontarkan

oleh Merton (1977). Hal ini diungkap dalam tulisan Yoram Landskroner dan Jacob Paroush, “Deposit Insurance

Pricing and Social Welfare”, Journal of Banking & Finance, No.18, Tahun 1994, hal. 531-552.34 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

sehat membayar kewajiban bank-bank yang tidak sehat. Hal ini erat kaitannya dengan

belum diterapkannya secara penuh prinsip risk-sensitive premium sebagaimana yang

dipersyaratkan oleh Section 302 FDICIA6

serta penggunaan alat ukur risiko yang belum

sesuai. Sekarang ini FDIC menggunakan 2 (dua) alat ukur risiko yaitu Capital Levels dan

CAMEL Rating, namun pendekatan ini dinilai kurang ideal dalam perhitungan premi.

Menurut Bert Ely, seharusnya alat ukur yang digunakan adalah leading indicators of banking

risks seperti risk mismatches, rapid growth, weak internal controls dan execessive exposure to emerging

speculative bubbles.

Kritikan lainnya adalah mengenai masih terbukanya peluang untuk melakukan moral

hazard dalam sistem yang berlaku sekarang. Hal ini terjadi karena pada satu pihak FDIC

memiliki kekuasaan besar dalam penentuan premi, sedangkan pihak lain yaitu birokrasi

pemerintah (regulator) berkewajiban untuk meminimumkan kerugian FDIC dan mencegah

kegagalan bank (bank failures). Struktur seperti ini ternyata dapat mengakibatkan terjadinya

regulatory moral hazard pada tingkat pembuat ketentuan, dan potensial untuk berubah menjadi

real moral hazard pada tingkat FDIC. Contoh yang paling baru dari fenomena regulatory moral

hazard ini adalah dalam hal kegagalan BestBank di Boulder, Colorado pada bulan Juli 1998.

Karakteristik Sistem Cross-Guarantee dalam Penjaminan

Terlepas dari berbagai kritik terhadap skim penjaminan FDIC sebagaimana

dikemukakan di atas, secara implisit konsep Cross-Guarantee sebenarnya sudah melekat

pada FDIC, meskipun belum seutuhnya. Melalui premi yang mereka bayar, bank-bank yang

ikut program penjaminan FDIC pada hakekatnya saling menjamin satu-sama lain, karena

masing-masing bank-bank yang dijamin (insured banks) pada akhirnya menjadi pihak yang

bertanggung jawab terhadap semua kerugian yang terjadi apabila ada bank-bank yang

mengalami kegagalan usaha (failed banks). Mekanisme Cross-Guarantee ini memiliki

kemiripan dengan mekanisme yang berlaku pada Standby Letter of Credits, khususnya

dalam hal terdapat multiple participant.

Penerapan konsep Cross-Guarantee dalam program penjaminan memer-lukan

perubahan mendasar terhadap skim penjaminan dan pola pengawasan bank yang sedang

berjalan. Perubahan-perubahan tersebut dapat mencakup aspek penyelenggara, lembaga

Page 26: 1 Krisis Moneter Indonesia

penjamin, ruang-lingkup penjaminan, bentuk kontribusi dari bank yang dijamin, sumber

pembayaran klaim, pelaksana pengawasan bank, ketentuan perbankan, lembaga lain yang

terlibat dan lain-lain. Pada Lampiran-1 disajikan perbandingan antara Cross-Guarantee

dengan skim penjaminan deposit insurance konvensional untuk masing-masing aspek tersebut.

6 FDICIA singkatan dari FDIC Improvement Act. Menurut George G.Kaufman, apabila diterapkan secara penuh

maka ketentuan yang tercakup dalam FDICIA dapat efektif menurunkan moral hazard. Selanjutnya lihat George

G.Kaufman, “FDICIA and Bank Capital” dalam Journal of Banking & Finance, No.19, Tahun 1995, hal.721-722.35 Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia

Agar konsep Cross-Guarantee tersebut dapat diimplementasikan dalam praktek maka

perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Setiap bank diberi kebebasan untuk menentukan sendiri penjaminnya (direct guarantor-

nya). Bank yang dijamin (insured bank) selanjutnya akan melakukan pembicaraan dengan

direct guarantor-nya untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan yang akan dituangkan

dalam bentuk perjanjian penjaminan (cross-guarantee contract). Perjanjian ini akan

berfungsi sebagai pengganti ketentuan perbankan yang berlaku sekarang. Dengan

demikian, akan terjadi pergeseran dari government regulation and deposit insurance kepada

contractual regulation and guarantees (swasta).

b. Apabila direct guarantor gagal memenuhi kewajibannya maka guarantor dari direct guarantor

tersebut harus bertanggungjawab. Secara bersama-sama para direct guarantor akan

membentuk suatu sindikat direct guarantor (lihat Lampiran-2). Selanjutnya, secara accrual

accounting setiap direct guarantor akan langsung mengakui dan mencatat kerugian sebesar

share yang harus ditanggungnya apabila bank yang dijaminnya mengalami kegagalan

usaha. Direct guarantor akan melakukan pembayaran dengan menggunakan general funds

(cadangan umum) yang merupakan salah satu unsur modalnya. Dengan cara ini, seluruh

kerugian karena bangkrutnya suatu bank akan langsung diserap oleh modal bank-bank

yang ada dalam sistem perbankan suatu negara. Jumlah modal yang tersedia untuk

menyerap kerugian juga akan semakin besar dan semua itu terjadi atas dasar komitmen

sukarela (committed voluntarily).

c. Untuk memastikan bahwa bank-bank yang dijamin mematuhi cross-guarantee contract

maka sebuah perusahaan swasta yang disebut “syndicate agent“ akan disewa. Syndicate

agent ini selanjutnya akan menggantikan fungsi pengawas dan pemeriksa bank yang

ada sekarang. Penunjukan syndicate agent ini dilakukan secara terbuka sehingga akan

mendorong adanya kompetisi yang sehat dan efisiensi.

d. Sebuah lembaga baru yang disebut Cross Guarantee Regulation Corporation (CGRC) harus

dibentuk. Lembaga ini berfungsi untuk memastikan bahwa perjanjian penjaminan (cross-

guarantee contract) yang disepakati para pihak telah sesuai dengan aturan penyebaran

risiko (risk dispersion rule) serta ketentuan-ketentuan lainnya.

Perlu kiranya dikemukakan bahwa aturan penyebaran risiko (risk dispersion rule)

merupakan salah satu pilar penting dalam konsep Cross-Guarantee. Aturan ini mencakup

hal-hal sebagai berikut:

Page 27: 1 Krisis Moneter Indonesia

♦ Setiap penjamin (guarantor) harus dijamin oleh penjamin-penjamin lainnya dalam suatu

sistem cross-guarantee, minimal untuk menyelesaikan kewajiban cross-guarantee dari

setiap penjamin. Dengan demikian setiap dolar kerugian pasti akan dapat diselesaikan

oleh bank-bank yang berada dalam himpunan para penjamin (the universe of guarantors).36 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

♦ Setiap perjanjian penjaminan (cross guarantee contracts) harus menyebutkan jumlah

minimum para penjamin dan persentase risiko yang ditanggung mereka masing-masing.

♦ Setiap penjamin bertanggungjawab sebatas jumlah risiko cross-guarantee yang

ditanggungnya, baik untuk setiap bank maupun secara aggregat. Secara aggregat, setiap

bank penjamin tidak diperkenankan menerima pendapatan dari premi

7

dalam setahun

melebihi 3 (tiga) persen dari total modalnya.

♦ Untuk memastikan bahwa tidak akan pernah ada suatu bank mengalami kegagalan

usaha karena menjadi penjamin maka perlu diberlakukan suatu standard stop-loss rule,

yang menyatakan bahwa “apabila satu penjamin mengalami kerugian cross-guarantee

melebihi lima kali premi yang diperolehnya dalam setahun maka kewajiban cross-

guarantee-nya harus dialihkan kepada direct guarantor-nya.

Manfaat Swastanisasi Penjaminan melalui Cross-Guarantee

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, penerapan konsep Cross-

Guarantee akan menimbulkan pergeseran peranan dari pemerintah kepada pihak swasta

dalam melakukan penjaminan serta pengaturan dan pengawasan bank. Oleh karena itu,

agar dapat terlaksana dengan baik, Cross-Guarantee memerlukan peran aktif dari pihak

swasta untuk mewujudkan suatu skim penjaminan yang diarahkan oleh kekuatan pasar

(market-driven cross-guarantee). Skim penjaminan berbasiskan pasar tersebut diharapkan dapat

mengeliminir intervensi dari pemerintah, sehingga penjaminan akan terlaksana secara

efisien dan efektif. Karena adanya kebebasan dalam proses merumuskan mekanisme

penjaminan untuk setiap bank, maka konsep Cross-Guarantee dipandang lebih berorientasi

ke depan dibandingkan dengan konsep penjaminan (FDIC) yang berlaku sekarang.

Semangat untuk melakukan privatisasi penjaminan melalui Cross-Guarantee jelas

terlihat sejak awal penentuan bank penjamin (direct guarantor) yang dilakukan secara sukarela

(voluntary) dan demokratis. Demikian pula penentuan perjanjian penjaminan (cross-guarantee

contract) sepenuhnya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu insured

banks dan direct guarantor-nya. Yang perlu dijaga adalah agar perjanjian dimaksud sudah

memperhitungkan premi atas dasar sensitivitas terhadap risiko (risk-sensitive premium),

memenuhi aturan penyebaran risiko (risk dispersion rule) serta ketentuan-ketentuan lainnya

yang dianggap penting oleh para pihak. Sebagai aturan yang akan menggantikan prudential

regulation maka perjanjian penjaminan harus dibuat sedemikian rupa agar dapat menampung

prinsip kehati-hatian.

7 Dalam hal ini premi merupakan proxy terbaik dari cross-guarantee risk.37 Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia

Page 28: 1 Krisis Moneter Indonesia

Dengan swastanisasi penjaminan dan pengawasan bank maka nantinya tidak akan

ada lagi fenomena “satu ketentuan yang berlaku untuk semua” (one-size-must-fit-all government

regulation) yang selama ini merupakan salah satu kelemahan inheren dari ketentuan

perbankan yang dibuat pemerintah. Dalam praktek selama ini sering ditemukan adanya

beberapa ketentuan yang sulit diterapkan karena bersifat terlalu umum dan kurang

mempertimbangkan karakteristik individual bank. Atas dasar konsep Cross-Guarantee ini,

insured banks dapat membuat berbagai ketentuan yang mengatur dirinya secara spesifik

berdasarkan kesepakatan dengan direct guarantor-nya.

Konsep Cross-Guarantee juga memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi

insured banks untuk berdiskusi dan bernegosiasi dengan direct guarantor-nya untuk segala

hal termasuk mengenai masa depan bank tersebut. Hal ini pada gilirannya akan membuat

strategi business dan perencanaan bank menjadi semakin tajam dan terarah. Pada pihak

lain, kegiatan kontrol atau pengawasan akan semakin lebih ketat karena langsung dilakukan

oleh kekuatan pasar. Apabila suatu bank memperoleh penilaian yang jelek dari pasar maka

yang akan menanggung akibatnya bukan hanya bank yang bersangkutan saja, tetapi juga

menjalar kepada bank yang menjadi direct guarantor. Hal-hal tersebut akan membuat

persaingan dalam industri perbankan akan semakin ketat dan mendorong efisiensi besar-

besaran dalam sektor keuangan.

Persaingan sehat juga akan terjadi diantara sesama syndicate agent yang akan berfungsi

sebagai pengganti pengawas dan pemeriksa bank yang ada sekarang. Karena kemungkinan

akan banyak perusahaan syndicate agent yang muncul maka direct guarantor diberi

keleluasaan dalam menentukan syndicate agent yang mereka pilih. Hal ini pada gilirannya

dapat mendorong kompetisi yang sehat diantara sesama perusahaan syndicate agent dan

mendorong efisiensi pekerjaan penjaminan.

Manfaat berikutnya dari konsep Cross-Guarantee dapat ditinjau dari segi ruang

lingkup penjaminannya. Tanpa memandang besar kecilnya suatu bank, mereka akan dijamin

sebagaimana layaknya bank-bank lainnya, asal bank-bank tersebut dapat menemukan direct

guarantor-nya. Oleh karena itu, pendekatan TBTF menjadi tidak relevan sama sekali dalam

konsep Cross-Guarantee. Dengan menggunakan konsep Cross-Guarantee, maka transaksi-

transaksi non-funding obligations seperti account payment, unexpired leases dan kewajiban yang

muncul karena tuntutan hukum akan dapat ikut dijamin. Kewajiban yang tidak dapat dijamin

hanyalah pinjaman subordinasi karena memiliki karakteristik campuran (hybrid) hutang

dengan modal. Sama halnya dengan program penjaminan biasa, maka dalam cross-

guarantee, unsur modal juga tidak dijamin8

.

8 Pengecualian hanya terjadi dalam hal TBTF, karena ada kemungkinan pinjaman subordinasinya juga akan ikut

dibayar, tergantung pada bobot permasalahan bank yang TBTF tersebut.38 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

Manfaat lainnya dari konsep Cross-Guarantee adalah adanya kesempatan untuk

melakukan penyesuaian secara cepat terhadap perhitungan premi berdasarkan kekuatan

Page 29: 1 Krisis Moneter Indonesia

pasar. Perhitungan tersebut akan mencerminkan risk-sensitivity dari bank yang dijamin

dan diharapkan dapat disesuaikan segera baik secara bulanan atau mingguan. Dalam hal

ini besarnya premi dapat langsung dibicarakan oleh masing-masing bank dengan direct

guarantor-nya. Dengan adanya kemungkinan untuk melakukan perhitungan premi

berdasarkan kecenderungan pasar tersebut maka cross-subsidies yang inheren dalam skim

penjaminan yang ada sekarang diharapkan akan dapat dihilangkan.

Pengaruh terhadap Pasar Antar Bank dan Sistem Pembayaran

Cross-guarantee dapat menghilangkan counterparty risk yang selama ini melekat dalam

transaksi antar bank (lihat Lampiran-3). Sistem Kliring akan terbebas dari risiko tidak

dibayarnya tagihan antar bank karena adanya jaminan bahwa direct guarantor masing-masing

bank pada akhirnya akan bertanggungjawab sesuai perjanjian penjaminan (cross-guarantee

contract) yang mereka sepakati. Hal ini pada gilirannya memungkinkan terselenggaranya

suatu Sistem Pembayaran yang bebas risiko (risk-free basis).

Penggunaan konsep Cross-Guarantee ini juga dapat mendorong penggunaan secara

luas net settlement procedures dalam Sistem Pembayaran. Bagi bank sentral hal ini akan sangat

menguntungkan karena net settlement procedures tersebut dapat lebih efisien dari real-time

gross settlement .

Kemungkinan Penerapan Konsep Cross-Guarantee di Indonesia

Skim penjaminan yang sekarang ini diterapkan di Indonesia masih mengandung

berbagai kelemahan baik pada tingkat konsep maupun pada tingkat pelaksanaan. Pada

tingkat konsep, karena bersifat blanket guarantee (jaminan menyeluruh) maka skim tersebut

dapat mengakibatkan beban yang sangat berat bagi keuangan pemerintah, padahal

kemampuan keuangan pemerintah sendiri sudah sangat terbatas. Disamping itu peluang

untuk moral hazard juga besar karena unsur keadilan yang kurang terpenuhi yang tercermin

antara lain dari gejala cross-subsidies dimana bank-bank yang sehat membayar kewajiban

bank-bank yang tidak sehat. Pada tingkat pelaksanaan, terdapat pula indikasi bahwa dalam

praktek tidak seluruh aspek penjaminan dapat terlaksana. Sebagai contoh, untuk

melaksanakan penjaminan transaksi off-balance sheet derivatives perlu ada bukti-bukti

bahwa transaksi itu genuine, sesuatu yang sangat sulit dibuktikan kecuali oleh perbankan

sendiri.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, konsep Cross-Guarantee tampaknya

dapat menjadi salah satu alternatif jalan keluar, karena hakekat persoalan penjaminan

dikembalikan secara utuh kepada pelaku pasar sendiri yaitu antara bank-bank yang39 Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia

bertransaksi, sehingga mereka perlu saling menjamin dan saling menjaga kestabilan sistem

perbankan. Namun demikian perlu kiranya diingat agar pemilihan konsep Cross-Guarantee

tersebut hendaknya tidak terlepas dari tujuan utama dari program penjaminan, yaitu untuk

mencegah kegagalan pasar perbankan (banking market failure) dan untuk membangkitkan

kembali kepercayaan masyarakat serta menghentikan bank runs9

.

Page 30: 1 Krisis Moneter Indonesia

Meskipun dapat dipandang sebagai salah satu alternatif jalan keluar, penerapan

konsep Cross-Guarantee di Indonesia dapat menimbulkan pro dan kontra. Mereka yang pro

mungkin lebih didasarkan atas adanya peluang besar untuk meringankan beban keuangan

pemerintah, apalagi dalam situasi krisis seperti sekarang. Sementara itu, yang kontra lebih

melihat dari sisi kesiapan perbankan dan kalangan pemerintahan kita dalam menerapkan

konsep dimaksud. Hal yang terakhir ini tampaknya ada benarnya juga karena untuk sampai

pada konsep Cross-Guarantee perlu dijawab terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan berikut

ini:

√ Apakah bank-bank di Indonesia sudah sedemikian sehat dan kuat sehingga mampu

untuk saling menjamin (cross-guarantee) sesama mereka ?

√ Apakah bank-bank di Indonesia sudah cukup dewasa untuk mendiskusikan sendiri

sesama mereka hal-hal yang berkenaan dengan penjaminan, business strategy dan

prudential regulation untuk dituangkan dalam semacam perjanjian yang mengikat mereka

secara bersama-sama ?. Pertanyaan ini cukup penting mengingat selama ini bank-bank

di Indonesia sangat tergantung pada petunjuk dan arahan yang diberikan oleh otoritas

moneter sebagai pengawas dan pembina bank-bank.

√ Apakah sistem informasi yang terdapat pada masing-masing bank dan secara nasional

telah sanggup menyediakan data/informasi yang diperlukan untuk penetapan premi

yang sensitif terhadap risiko ?

√ Apakah pihak otoritas pengawas yang ada sekarang berkenan menyerahkan fungsinya

pada mekanisme pasar melalui syndicate agent dan dapat menerima keberadaan Cross

Guarantee Regulation Corporation (CGRC) sebagai lembaga yang akan memverifikasi

perjanjian penjaminan (cross-guarantee contract) ?.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas cukup relevan untuk kondisi Indonesia dan

memerlukan jawaban-jawaban yang tidak sederhana. Pengkajian lebih lanjut sangat

diperlukan untuk mencegah pengambilan keputusan yang keliru yang dapat berakibat kontra-

produktif terhadap masa depan sistem perbankan dan sektor keuangan negara kita.

9 Mengenai hal ini lihat misalnya Kerry Cooper dan Donald R.Fraser, “The Risk of Depository Institution Failure

and The Role of Deposit Insurance” dalam Banking Deregulation and The New Competition in Financial

Services, Ballinger Publishing Company, Cambridge Massachusetts, 1984.40 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

Daftar Pustaka

Bert Ely, The Cross-Guarantee Concept and Interbank Markets, Paper dalam “The 35th

Annual Conference on Bank Structure and Competition”, The Federal Reserve Bank of Chicago,

7 Mei 1999.

George G.Kaufman, “FDICIA and Bank Capital” dalam Journal of Banking & Finance,

No.19, Tahun 1995, hal.721-722.

Jin-Chuan Duan, Arthur F.Moreau and C.W.Sealey dalam “Deposit Insurance and

Bank Interest Rate Risk: Pricing and Regulatory Implications” dalam Journal of Banking &

Finance, No.19 Tahun 1995, hal.1091-1108.

Page 31: 1 Krisis Moneter Indonesia

Kerry Cooper and Donald R.Fraser, “The Risk of Depository Institution Failure and

The Role of Deposit Insurance” dalam Banking Deregulation and The New Competition in Financial

Services, Ballinger Publishing Company, Cambridge Massachusetts, 1984.

Kusumaningtuti S.S., Ketentuan Blanket Guarantee dan Kemungkinan Penggantiannya

dengan Deposit Protection Scheme, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia,

Vol.1, No.3, Desember 1998.

V.Sundararajan dan Tomas J.T.Balino, Banking Crises: Cases and Issues, Editor

V.Sundararajan dan Tomas J.T.Balino, International Monetary Fund, Washington, D.C., 1991.

Yoram Landskroner dan Jacob Paroush, “Deposit Insurance Pricing and Social

Welfare” dalam Journal of Banking and Finance, No.18, Tahun 1994, hal.531-552.41 Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia

Lampiran-1

PERBANDINGAN ANTARA CROSS-GUARANTEE

DENGAN DEPOSIT INSURANCE KONVENSIONAL

No. ASPEK DEPOSIT INSURANCE CROSS-GUARANTEE

1 Penyelenggara Pemerintah Swasta

2 Lembaga Penjamin FDIC Sesama bank, baik sebagai direct

guarantor maupun indirect guarantor.

3 Ruang-lingkup Penjaminan Terbatas dan sangat subjektif dalam Seluruh pos-pos kewajiban, kecuali

penentuan bank-bank yang "TBTF" Pinjaman Subordinasi.

(Too-Big-Too-Fail).

4 Bentuk kontribusi dari yang dijamin Premi (namun belum memenuhi Premi ("risk sensitive premium").

kriteria "risk-sensitive premium").

5 Sumber pembayaran klaim Hasil pengelolaan dan penanaman General funds (general reserves) dari

premi pada sektor-sektor yang direct guarantors.

menguntungkan.

6 Pelaksana pengawasan bank Bank Sentral dan FDIC Murni swasta, dilaksanakan oleh

"Syndicate Agent".

7 Ketentuan perbankan Prudential regulation konvensional Berdasarkan kesepakatan antara

bank yang dijamin (insured banks)

dengan direct guarantor-nya

("Contractual Regulation").

8 Lembaga lain yang terlibat Tidak ada lembaga lain yang terlibat Dibentuk lembaga baru yang disebut

kecuali FDIC, Bank Sentral dan Cross Guarantee Regulation Corporation

"insured banks". (CGRC) untuk memastikan bahwa

perjanjian jaminan sudah sesuai aturan

penyebaran risiko dan ketentuan lainnya.42 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

Monitoring fee

Obligation to protect

competitively sensitive data

Page 32: 1 Krisis Moneter Indonesia

Syndicate Agent

(Independent of

any other party)

Ensures that cross-gurantee contract

complies with risk dispersion

rules and other statutory

requirementsThis is the html version of the file http://komjakarta.org/wp-content/uploads/2010/02/ekonomi_pasar_yg_neo-liberalistik_vs_ekonomi_berkeadilan_sosial_-_bonnie_setiawan.pdf.

Google automatically generates html versions of documents as we crawl the web.

Page 11EKONOMI PASAR YANG NEO-LIBERALISTIK VERSUS EKONOMI BERKEADILAN SOSIAL *Oleh: Bonnie Setiawan **

Media biasa menggunakan kata-kata: "Rupiah anjlok karena pemerintah tidak mengikuti kemauanpasar atau kehendak pasar". Inilah yang dimaksud sebagai keterikatan terhadap Modal atauketerikatan terhadap Ekonomi Pasar. Arti yang dimaksud dari istilah "pasar" tersebut adalahsistem ekonomi yang kapitalistik. "Pasar Bebas" artinya kebebasan bergerak dari ekonomi modal(dan para pemilik modal) sebebas-bebasnya. Pasar bebas adalah mesin utama dari Globalisasiyang saat ini sedang naik daun. Dan untuk memahami Pasar Bebas ini, maka orang perlumemahami Neo-Liberalisme (liberalisme baru). Inilah ideologi mutakhir kapitalisme yang saat inisedang jaya-jayanya, terutama slogan TINA (There is No Alternatives) dari mulut MargaretThatcher. Semenjak 1970-an hingga kini, Neo-Liberalisme mulai menanjak naik menjadi kebijakandan praktek negara-negara kapitalis maju, dan didukung oleh pilar-pilar badan dunia: Bank Dunia,IMF dan WTO. Dengan memahami Neo-Liberal, maka kita dapat memahami berbagai sepak terjang badan-badanmultilateral dunia; kita dapat memahami perubahan kebijakan domestik di negara-negara maju;kita dapat memahami mengapa terjadi krisis moneter dan ekonomi yang tidak berkesudahan; kitadapat memahami mengapa Indonesia didikte dan ditekan terus oleh IMF; kita dapat memahamimengapa Rupiah tidak pernah stabil; kita dapat memahami mengapa BUMN didorong untuk di-privatisasi; kita dapat memahami mengapa listrik, air, BBM, dan pajak naik; kita dapat memahamimengapa impor beras dan bahan pangan lain masuk deras ke Indonesia; kita dapat memahamimengapa ada BPPN, Paris Club, Debt Rescheduling dan lain-lain; dan banyak lagi soal-soal yangmembingungkan dan memperdayai publik.Nama dari program Neo-Liberal yang terkenal dan dipraktekkan dimana-mana adalah SAP(Structural Adjustment Program). Program penyesuaian struktural merupakan program utama dariBank Dunia dan IMF, termasuk juga WTO dengan nama lain. WTO memakai istilah-istilah sepertifast-track, progressive liberalization, harmonization dan lain-lain. Intinya tetap sama. Di balik namasopan "penyesuaian struktural", adalah "penghancuran dan pendobrakan radikal" terhadapstruktur dan sistem lama yang tidak bersesuaian dengan mekanisme pasar bebas murni. JadiPasar Bebas adalah intinya (mesin penggeraknya), Neo-Liberal adalah ideologinya, dan SAPadalah praktek atau implementasinya. Sementara tujuannya adalah ekspansi sistem kapitalismeglobal. PASAR BEBAS VERSI NEO-LIBERALISMESejarah Neo-Liberal bisa dirunut jauh ke masa-masa tahun 1930-an. Adalah Friedrich von Hayek(1899-1992) yang bisa disebut sebagai Bapak Neo-Liberal. Hayek terkenal juga dengan julukanekonom ultra-liberal. Muridnya yang utama adalah Milton Friedman, pencetus monetarisme.Pada saat itu adalah juga masa kejayaan Keynesianisme, sebuah aliran ilmu ekonomi oleh JohnMaynard Keynes. Keynesian dianggap berjasa dalam memecahkan masalah Depresi besar tahun1929-1930. Terutama setelah diadopsi oleh Presiden Roosevelt dengan program "New-Deal"maupun Marshall Plan untuk membangun kembali Eropa setelah Perang Dunia ke-II, makaKeynesian resmi menjadi mainstream ekonomi. Bahkan Bank Dunia dan IMF kala itu terkenalsebagai si kembar Keynesianis, karena mempraktekkan semua resep Keynesian. Dasar pokokdari ajaran Keynes adalah kepercayaannya pada intervensi negara ke dalam kehidupan ekonomi.Menurutnya, kebijakan ekonomi haruslah mengikis pengangguran sehingga tercipta tenaga kerja* Disampaikan pada Diskusi Publik “Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial” yang diadakan oleh ‘ForumKomunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi’ tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta.** Direktur Eksekutif di Institute for Global Justice (IGJ), Jakarta. [email protected]

Page 22penuh (full employment) serta adanya pemerataan yang lebih besar. Dalam bukunya yangterkenal di tahun 1926 berjudul “The End of Laissez-Faire”, Keynes menyatakanketidakpercayaannya terhadap kepentingan individual yang selalu tidak sejalan dengankepentingan umum. Katanya, “Sama sekali tidak akurat untuk menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip ekonomi politik, bahwa kepentingan perorangan yang paling pintar sekalipun akan selalubersesuaian dengan kepentingan umum”. Keynesianisme masih tetap menjadi dominant economysampai tahun 1970-an.Sementara itu neo-liberal belum lagi bernama. Akan tetapi Hayek dan kawan-kawan sudahmerasa gelisah dengan mekarnya paham Keynes ini. Pada masa itu pandangan semacam neo-liberal sama sekali tidak populer. Meskipun begitu mereka membangun basis di tiga universitasutama: London School of Economics (LSE), Universitas Chicago, dan Institut Universitaire de

Page 33: 1 Krisis Moneter Indonesia

Hautes Etudes Internasionales (IUHEI) di Jenewa. Para ekonom kanan inilah yang kemudiansetelah PD-II mendirikan lembaga pencetus neo-Liberal, yaitu Societe du Mont-Pelerin, Pertemuanmereka yang pertama di bulan April 1947 dihadiri oleh 36 orang dan didanai oleh bankir-bankirSwiss. Termasuk hadir adalah Karl Popper dan Maurice Allais, serta tiga penerbitan terkemuka,Fortune, Newsweek dan Reader's Digest. Lembaga ini merupakan "semacam freemansory neo-liberal, sangat terorganisir baik dan berkehendak untuk menyebarluaskan kredo kaum neo-liberal,lewat pertemuan-pertemuan internasional secara reguler". Pandangan Neo-Liberal dapat diamati dari pikiran Hayek. Bukunya yang terkenal adalah "TheRoad to Serfdom" (Jalan ke Perbudakan) yang menyerang keras Keynes. Buku tersebut kemudianmenjadi kitab suci kaum kanan dan diterbitkan di Reader’s Digest di tahun 1945. Ada kalimat didalam buku tersebut: "Pada masa lalu, penundukan manusia kepada kekuatan impersonal pasar,merupakan jalan bagi berkembangnya peradaban, sesuatu yang tidak mungkin terjadi tanpa itu.Dengan melalui ketertundukan itu maka kita bisa ikut serta setiap harinya dalam membangunsesuatu yang lebih besar dari apa yang belum sepenuhnya kita pahami". Neo-liberalmenginginkan suatu sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme abad-19, di mana kebebasanindividu berjalan sepenuhnya dan campur tangan sesedikit mungkin dari pemerintah dalamkehidupan ekonomi. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukanpemerintah. Mekanisme pasar akan diatur oleh persepsi individu, dan pengetahuan para individuakan dapat memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi, sehingga mekanisme pasardapat menjadi alat juga untuk memecahkan masalah sosial. Menurut mereka, pengetahuan paraindividu untuk memecahkan persoalan masyarakat tidak perlu disalurkan melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan. Dalam arti ini maka Neo-liberal juga tidak percaya pada Serikat Buruhatau organisasi masyarakat lainnya.Dengan demikian Neo-liberal secara politik terus terang membela politik otoriter. Ini ditunjukkanoleh Hayek ketika mengomentari rejim Pinochet di Chili, "Seorang diktator dapat saja berkuasasecara liberal, sama seperti mungkinnya demokrasi berkuasa tanpa liberalisme. Preferensipersonal saya adalah memilih sebuah kediktatoran liberal ketimbang memilih pemerintahandemokratis yang tidak punya liberalisme". Demokrasi politik, menurut neo-Liberal, dengandemikian adalah sistem politik yang menjamin terlaksananya kebebasan individu dalammelakukan pilihan dalam transaksi pasar, bukan sistem politik yang menjamin aspirasi yangpluralistik serta partisipasi luas anggota masyarakat. Bahkan salah seorang pentolan neo-Liberal,William Niskanen, menyatakan bahwa suatu pemerintah yang terlampau banyak mengutamakankepentingan rakyat banyak adalah pemerintah yang tidak diinginkan dan tidak akan stabil. Bilaterjadi konflik antara demokrasi dengan pengembangan usaha yang kapitalistis, maka merekamemilih untuk mengorbankan demokrasi. Salah satu benteng neo-liberal adalah Universitas Chicago, di mana Hayek mengajar di situ antaratahun 1950 sampai 1961, dan Friedman menghabiskan seluruh karir akademisnya. Karena itumereka juga terkenal sebagai "Chicago School". Buku Friedman adalah "The Counter Revolutionin Monetary Theory", yang menurutnya telah dapat menyingkap hukum moneter yang telahdiamatinya dalam berabad-abad dan dapat dibandingkan dengan hukum ilmu alam. Friedmanpercaya pada freedom of choice (kebebasan memilih) individual yang ekstrim. Dengan demikian,neo-Liberal tidak mempersoalkan adanya ketimpangan distribusi pendapatan di dalam

Page 33masyarakat. Pertumbuhan konglomerasi dan bentuk-bentuk unit usaha besar lainnya semata-matadianggap sebagai manifestasi dari kegiatan individu atas dasar kebebasan memilih danpersaingan bebas. Efek sosial yang ditimbulkan oleh kekuasaan ekonomi pada segelintirkelompok kuat tidak dipersoalkan oleh neo-Liberal. Karenanya demokrasi ekonomi tidak ada didalam agenda kaum neo-Liberal.1

Pandangan kaum neo-Liberal pada dasarnya tidak populer di masyarakat Barat. Mereka antiterhadap welfare state (negara kesejahteraan) dan mereka juga anti demokrasi. Tetapi mengapamereka bisa berjaya sekarang? Susan George menjawabnya, bahwa mereka berasal dari sebuahkelompok kecil rahasia dan mereka sangat percaya pada doktrin tersebut, yang kemudian denganbantuan para pendananya, membangun jaringan yayasan-yayasan internasional yang besar,lembaga-lembaga, pusat-pusat riset, berbagai publikasi, para akademisi, para penulis, sertahumas yang mengembangkan, mengemas dan mempromosikan ide dan doktrin tersebut tanpahenti. Kata Susan, “mereka membangun kader-kader ideologis yang luar biasa efisiennya karenamereka memahami apa yang disampaikan oleh pemikir marxis Itali Antonio Gramsci ketika iaberbicara tentang konsep hegemoni kultural. Bila kamu dapat menguasai kepala orang, maka hatidan tangan mereka akan ikut”.2 Salah seorang yang menjadi ujung tombaknya adalah AnthonyFisher, seorang pengusaha sukses yang kemudian mendirikan Institute of Economic Affairs (IEA)pada tahun 1955 dengan bantuan dana dari kaum indutrialis lainnya. Tujuan lembaga ini adalah“menyebarkan pemikiran ekonomi yang kuat di berbagai universitas dan berbagai lembagapendidikan mapan lainnya”. IEA inilah yang kemudian memberi pengaruh besar kepada MargaretThatcher, seperti dikatakan Milton Friedman, “Tanpa adanya IEA, maka saya meragukan akanbisa terjadi revolusi Thatcherite”. Salah satu koran yang menjadi corong neo-Liberal di Inggerisadalah The Daily Telegraph. Lembaga lain juga didirikan, yaitu Centre for Policy Studies (CPS) ditahun 1974 yang sangat berpengaruh kepada para politisi di Inggeris. IEA kemudian melahirkanAdam Smith Institute (ASI) di tahun 1976. Kerjasama mereka dengan Heritage Foundation,didirikan di Washington tahun 1973 oleh lulusan LSE, adalah “guna membuat hal yang sama bagipolitik Amerika sebagaimana yang dilakukan oleh CPS kepada politik Inggeris”. Anthony Fisherkemudian menjadi presiden pertama dari lembaga Fraser Institute di Kanada di tahun 1974. Ditahun 1977, ia mendirikan International Centre for Economic Policy Studies di New York, di manasalah satu pendirinya adalah Bill Casey, yang kemudian menjadi Direktur CIA. Tahun 1979, Fishermendirikan Institute for Public Policy di San Francisco. Fisher juga terlibat dalam mendirikanCentre for International Studies (CIS) di Australia, di mana Direkturnya Greg Lindsay merupakankontributor penting berkembangnya ide pasar bebas di politik Australia. Dalam rangkamemudahkan mengelola berbagai lembaga tersebut, Fisher mendirikan Atlas Economic ResearchFoundation yang menyediakan struktur kelembagaan pusat, yang di tahun 1991 mengklaimmembantu, mendirikan, membiayai sekitar 78 lembaga serta mempunyai hubungan dengan 81

Page 34: 1 Krisis Moneter Indonesia

lembaga lainnya di 51 negara. Ketika tembok Berlin rubuh, maka banyak personelnya yang pindahke Eropa Timur guna “merubah ekonomi-ekonomi yang sakit menjadi kapitalisme”.3

Para ekonom neo-Liberal di tahun 1970-an berhasil menembus dominasi ilmu ekonomi. Di tahun1974, Hayek dianugerahi Nobel Ekonomi. Sesudahnya Friedman mendapat Nobel Ekonomi ditahun 1976. Juga Maurice Allais, seorang anggota Mont-Pelerin Society, mendapat NobelEkonomi di tahun 1988. Sejak tahun 1970-an, neo-Liberal mulai berkibar. Sejak itu pulalah seluruhparadigma ekonomi secara perlahan masuk ke dalam cara berpikir neo-Liberal, termasuk kedalam badan-badan multilateral, Bank Dunia, IMF dan GATT (kemudian menjadi WTO).Dengan demikian Margaret Thatcher menjadi pengikut dari Hayek, sedangkan murid dariFriedman adalah Ronald Reagan. Inilah yang menghantar neo-Liberal menjadi ekonomimainstream di tahun 1980-an lewat Thatcherism dan Reaganomics. Thatcher sebenarnya adalah1 Lihat dalam Eric Toussaint, Your Money or Your Life: The Tiranny of Global Finance, Pluto Press, 1999,hlm. 178-182; dan Sritua Arief, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, CIDES, 1998, hlm. 36-39.2 Susan George, “A Short History of Neoliberalism”, dalam Walden Bello, Nicola Bullard, Kamal Malhotra(ed.), Global Finance: New Thinking on Regulating Speculative Capital Markets, Zed Books, 2000, hlm. 28-29.3 Ted Wheelwright, “How Neo-Liberal Ideology Triumphed”, Third World Resurgence, No. 99/1998, hlm. 11-12.

Page 44seorang social-darwinist, sampai akhirnya ia menemukan buku Hayek, dan kemudian menjadisalah satu pengikutnya. Doktrin pokok dari Thatcher adalah paham kompetisi – kompetisi di antaranegara, di antara wilayah, di antara perusahaan-perusahaan, dan tentunya di antara individu.Kompetisi adalah keutamaan, dan karena itu hasilnya tidak mungkin jelek. Karena itu kompetisidalam pasar bebas pasti baik dan bijaksana. Kata thatcher suatu kali, “Adalah tugas kita untukterus mempercayai ketidakmerataan, dan melihat bahwa bakat dan kemampuan diberikan jalankeluar dan ekspresi bagi kemanfaatan kita bersama”. Artinya, tidak perlu khawatir ada yangtertinggal dalam persaingan kompetitif, karena ketidaksamaan adalah sesuatu yang alamiah. Akantetapi ini baik karena berarti yang terhebat, terpandai, terkuat yang akan memberi manfaat padasemua orang. Hasilnya, di Inggeris sebelum Thatcher, satu dari sepuluh orang dianggap hidup dibawah kemiskinan. Kini, satu dari empat orang dianggap miskin; dan satu anak dari tiga anakdianggap miskin. Thatcher juga menggunakan privatisasi untuk memperlemah kekuatan SerikatBuruh. Dengan privatisasi atas sektor publik, maka Thatcher sekaligus memperlemah Serikat-Serikat Buruh di BUMN yang merupakan terkuat di Inggeris. Dari tahun 1979 sampai 1994, makajumlah pekerja dikurangi dari 7 juta orang menjadi 5 juta orang (pengurangan sebesar 29%).Pemerintah juga menggunakan uang masyarakat (para pembayar pajak) untuk menghapus hutangdan merekapitalisasi BUMN sebelum dilempar ke pasar. Contohnya Perusahaan Air Minum (PAM)mendapat pengurangan hutang 5 milyar pounds ditambah 1,6 milyar pounds dana untukmembuatnya menarik sebelum dibeli pihak swasta. Demikian pula di Amerika, kebijakan neo-Liberal Reagan telah membawa Amerika menjadi masyarakat yang sangat timpang. Selamadekade 1980an, 10% teratas meningkat pendapatannya 16%; 5% teratas meningkatpendapatannya 23%; dan 1% teratas meningkat pendapatannya sebesar 50%. Ini berkebalikandengan 80% terbawah yang kehilangan pendapatan; terutama 10% terbawah, jatuh ke titik nadir,kehilangan pendapatan15%.4

Sejak 1980-an pula, bersamaan dengan krisis hutang Dunia Ketiga, maka paham neo-Liberalmenjadi paham kebijakan badan-badan dunia multilateral Bank Dunia, IMF dan WTO. Tiga poindasar neo-Liberal dalam multilateral ini adalah: pasar bebas dalam barang dan jasa; perputaranmodal yang bebas; dan kebebasan investasi. Sejak itu Kredo neo-Liberal telah memenuhi polapikir para ekonom di negara-negara tersebut. Kini para ekonom selalu memakai pikiran yangstandard dari neo-Liberal, yaitu deregulasi, liberalisasi, privatisasi dan segala jampi-jampi lainnya.Kaum mafia Berkeley UI yang dulu neo-klasik, kini juga berpindah paham menjadi neo-liberal.Poin-poin pokok neo-Liberal dapat disarikan sebagai berikut:5

1. ATURAN PASAR. Membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap keterikatan yangdipaksakan pemerintah. Keterbukaan sebesar-besarnya atas perdagangan internasional daninvestasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan serikat buruh dan penghapusan hak-hakburuh. Tidak ada lagi kontrol harga. Sepenuhnya kebebasan total dari gerak modal, barangdan jasa.2. MEMOTONG PENGELUARAN PUBLIK DALAM HAL PELAYANAN SOSIAL. Ini sepertiterhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk ‘jaring pengaman’untuk orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, sepertijalan, jembatan, air bersih – ini juga guna mengurangi peran pemerintah. Di lain pihak merekatidak menentang adanya subsidi dan manfaat pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis.3. DEREGULASI. Mengurangi paraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangikeuntungan pengusaha.4. PRIVATISASI. Menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor swasta.Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit,bahkan juga air minum. Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih besar, yang nyatanyaberakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam sedikit orang dan membuat publik membayarlebih banyak.5. MENGHAPUS KONSEP BARANG-BARANG PUBLIK (PUBLIC GOODS) ATAU KOMUNITAS.Menggantinya dengan “tanggungjawab individual”, yaitu menekankan rakyat miskin untuk4 Susan George, Ibid., hlm. 29-31.5 Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia, “What is Neo-Liberalism?”, Third World Resurgence No. 99/1998,hlm. 7-8.

Page 55mencari sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan kesehatan, pendidikan, jaminansosial dan lain-lain; dan menyalahkan mereka atas kemalasannya. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan program di Bank Dunia dan IMF ini, maka program neo-Liberal, mengambil bentuk sebagai berikut:6

Page 35: 1 Krisis Moneter Indonesia

1. Paket kebijakan Structural Adjustment (Penyesuaian Struktural), terdiri dari komponen-komponen: (a) Liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang bebas; (b) Devaluasi; (c)Kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembatasan kredit, peningkatan suku bungakredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga public utilities, danpenekanan untuk tidak menaikkan upah dan gaji.2. Paket kebijakan deregulasi, yaitu: (a) intervensi pemerintah harus dihilangkan ataudiminimumkan karena dianggap telah mendistorsi pasar; (b) privatisasi yang seluas-luasnyadalam ekonomi sehingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai negara; (c)liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk penghapusan segala jenis proteksi; (d)memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yanglebih luas dan longgar. 3. Paket kebijakan yang direkomendasikan kepada beberapa negara Asia dalam menghadapikrisis ekonomi akibat anjloknya nilai tukar mata uang terhadap dollar AS, yang merupakangabungan dua paket di atas ditambah tuntutan-tuntutan spesifik disana-sini. Di Indonesia, paham neo-liberal mulai terasa pengaruhnya di tahun 1980-an, ketika pemerintahmulai menerapkan kebijakan liberalisasi keuangan dan ekonomi, yang berujud dalam berbagaipaket deregulasi semenjak tahun 1983. Paralel dengan masa itu adalah terjadinya krisis hutangdunia Ketiga di tahun 1982, ketika Mexico default (menyatakan tidak mampu membayarhutangnya). Setelah itu Bank Dunia dan IMF masuk ke dalam perekonomian negara-negara yangterkena krisis hutang lewat perangkat SAP. Saat itu terutama di negara-negara Amerika Latin danAfrika. Indonesia belumlah terkena krisis, dan karenanya jauh dari hiruk-pikuk SAP. Akan tetapisejak itu jelas pola pembangunan Indonesia mulai mengadopsi kebijakan neo-liberal, khususnyakarena keterikatan Indonesia kepada IGGI, Bank Dunia dan IMF. LIBERALISME EKONOMI YANG MEMATIKAN Berbagai kebijakan deregulasi perbankan dan keuangan di awal tahun 1980-an adalah awal dariliberalisme ekonomi dan dominasi paham neo-liberal di antara para ekonom. Sejak itu berbagaikebijakan, peraturan, dan tindakan pemerintah adalah untuk melayani kepentingan korporasi, yangpada masa itu adalah para konglomerat Orde Baru, keluarga Suharto dan TNC yangdigandengnya. Dengan liberalisme itu, mereka menjarah berbagai asset dan sumberdaya nasionaluntuk memenuhi kepentingan keserakahan modal dan kehidupan serba mewah mereka.Globalisasi melestarikan kompradorisme (kaki tangan dan kepanjangan tangan kapitalismeinternasional), tetapi sekaligus juga hendak menancapkan kukunya lebih dalam lagi gunamenguasai secara total perekonomian nasional suatu negara. Pada intinya adalahmenghancurkan kedaulatan nasional. Kaum komprador yang terlalu berkuasa secara nasionaljuga tidak mereka sukai, seperti kerajaan bisnis Suharto serta kroni-kroni konglomeratnya, karenaseringkali mampu menghalang-halangi kepentingan kapital global untuk kepentingan merekasendiri yang mengganggu mekanisme pasar. Yang mereka inginkan sekarang adalah dominasisepenuhnya, mekanisme pasar sepenuhnya, dan kontrol hukum sepenuhnya. Kita bisa mencatat banyak kejadian kasus globalisasi yang kemudiannya telah menghancurkandan mengorbankan Indonesia, baik dari segi kedaulatan nasional, kedaulatan hukum, dan korbanberjuta-juta rakyat Indonesia memasuki masa depan yang gelap. Krisis yang terus berlanjut hinggakini adalah gambaran bahwa Indonesia merupakan korban terparah globalisasi. Ini yang tidak maudiakui oleh IMF, Bank Dunia dan para ekonom neo-liberal, yang selalu menyalahkannya kepadapemerintah dan negara bersangkutan, baik dari segi KKN, korupsi, bad-governance dan lainnya;6 Sritua Arif, Op.cit., hlm. 360-367.

Page 66karena hendak menutupi kepentingan mereka yang sebenarnya. Kenyataannya baik IMF/BankDunia dan Pemerintah Orde Baru, dua-duanya bersalah dan harus bertanggungjawab.Kita menghadapi dua masalah besar yang harus segera diselesaikan. Pertama, adalah sistemKKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) yang parah. Indonesia menjadi bangsa yang celaka dan merugikarena selama 32 tahun hanya membangun KKN. KKN ini terjadi karena pemerintahnya sejakawal memang berorientasi untuk Korupsi, sehingga kekayaan nasional yang luar biasa besarnyahanya dibagi di kalangan elite saja (keluarga Presiden dan kroni-kroni konglomerat serta elitkekuasaan). Dan yang menyedihkan nampaknya system KKN masih terus berlanjut hingga kini.Kedua, adalah sistem Pasar Bebas yang kapitalistik yang memanfaatkan KKN untuk keuntunganpemodal asing (TNC/MNC) dari negara-negara maju. Contoh paling jelas adalah Freeport diPapua dan Exxon di Aceh. Sistem pasar bebas dan globalisasi ini mengekalkan hubungan neo-kolonialisme-imperialisme, sehingga Indonesia sukar sekali keluar dari ketergantungannya padanegara-negara maju dan badan-badan dunia tersebut. Di sini akan diberikan contoh-contoh kasus bagaimana kedua hal tersebut telah membawadampak luar biasa pada pemiskinan, penindasan dan penjualan bangsa secara besar-besarankepada asing; dan di lain pihak kaum elit komprador Orde Baru yang sampai sekarang masih tetapbebas dari hukuman atas terjadinya malapetaka nasional ini dan terus melanggengkan situasi ini :1. Perampokan besar-besaran Bank SentralIni sesungguhnya adalah skandal keuangan Bank Sentral terbesar di dunia. Bantuan LikuiditasBank Indonesia, adalah skema program bail-out (penalangan) utang perbankan (swasta danpemerintah) untuk dialihkan menjadi beban pemerintah lewat penerbitan obligasi. Ini adalahbagian dari program pemulihan krisis ekonomi Indonesia yang dipaksakan oleh IMF lewat LoI,bersama-sama dengan Bank Dunia dan ADB sejak bulan Oktober 1997. Semula BLBIbernama KLBI yang bersifat “Kredit”; kini diganti menjadi bersifat “Bantuan”, sehingga tidakjelas lagi aspek pertanggungjawabannya. BLBI secara jelasnya adalah bantuan dana yangdiberikan oleh BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas, jadi merupakan utangbank-bank penerima kepada BI. Akan tetapi melalui program penjaminan pemerintah, haktagih BI dialihkan kepada pemerintah. Untuk membayar hak tagih tersebut, pemerintahmenerbitkan Surat Utang (Obligasi) senilai Rp 164,53 trilyun dan juga menerbitkan Surat Utanguntuk penyediaan dana dalam rangka program penjaminan senlai Rp 53,77 trilyun. Meskipun hakekatnya adalah pinjaman dengan persyaratan suku bunga, jangka waktu danjaminan tertentu, pada akhirnya menjadi pengurasan uang negara yang diduga dilakukan baikoleh bank penerima maupun oleh pejabat-pejabat BI sendiri. Pengurasan tersebut diperkirakantelah mencapai Rp 144,53 trilyun (per-29 Januari 2000). Laporan audit investigasi BPK tanggal

Page 36: 1 Krisis Moneter Indonesia

31 Juli 2000 mengungkapkan dugaan penyimpangan tersebut. Potensi kerugian negara yangditimbulkannya adalah Rp 138,44 trilyun (95,78%) dari dana penyaluran BLBI. Sementarapenyimpangan dari bank penerima dana BLBI berupa berbagai pelanggaran yang mencapainilai Rp 84,84 trilyun (59,7%) dari dana BLBI, dilakukan oleh 48 bank penerima. Sementara itukerugian dan dampaknya terhadap APBN juga luar biasa. Pemerintah dengan ini mempunyaikewajiban untuk membayar angsuran dan bunga obligasi tersebut, yang dibayar dari danaAPBN. Di tahun 2001 diperkirakan angsuran dan bunga obligasi tersebut mencapai Rp 55,7trilyun, artinya sekitar 18,9% dari APBN hanya akan dipakai untuk membayar beban utangBLBI. Sementara bila kita tengok pengeluaran APBN untuk keperluan subsidi masyarakathanya mencapai 16,4% (Rp 48,2 trilyun) dan untuk keperluan pembangunan hanya 11,3% (Rp33,3 trilyun). Dengan skandal keuangan BLBI ini, yang disarankan oleh IMF, maka telahmengorbankan berbagai subsidi yang seharusnya diterima oleh rakyat lewat APBN.7

2. Tambal sulam kemiskinan lewat utang7 “BLBI: Bantuan atau Bencana”, Pernyataan Bersama LSM Tentang Penyelesaian Kasus BLBI; LoI danMEFP 31 Oktober 1997, di www.imf.org

Page 77Program pinjaman dari Bank Dunia dan ADB dengan nama SSNAL (Social Safety NetAdjustment Loan) atau pinjaman untuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dilaksanakansejak terjadinya krisis. Besarnya US$ 600 juta yang tahap pertamanya telah dikucurkansebesar US$ 300 juta pada Januari 2000. Merupakan politik etis dari Bank Dunia agar krisisyang terjadi tidak menyebabkan kerusakan yang tidak diinginkan yang bisa merugikankepentingan Bank Dunia sendiri. Sejak awal telah ditentang oleh para aktivis, karena hanyamenambah beban utang dan bersifat tambal sulam. Skema program JPS ini dibagi ke dalam12 program, diantaranya OPK (Operasi Pasar Khusus), PDM-DKE (Pemberdayaan Daerahdalam Mengatasi Dampak Ekonomi), DBO (Dana Bantuan Operasional), dan PKP (PadatKarya Perkotaan). Sampai tahun anggaran 1999/2000 program JPS telah menghabiskan danaRp 15 trilyun.Dalam kenyataannya, terbukti terjadi banyak penyimpangan. Salah satu bukti yang jelasadalah sebesar Rp 8 trilyun dari Rp 17,9 trilyun dana JPS di tahun anggaran 1998/1999 malahdigunakan untuk kampanye otonomi luas Timor Timur dan Kampanye Pemilu 1998. Demikianpula, dugaan penyelewengan dana JPS tahun 1999/2000 hampir sebanyak Rp 4,5 milyar danaOPK dan Rp 500 juta dana PDM-DKE untuk 15 propinsi di Indonesia, di mana sebagian besarpenyelewengan (49%) terjadi di tingkat kecamatan. Demikian pula dari hasil audit BPK,ditemukan bahwa dana JPS bidang pendidikan tahun 1998/1999 dan 1999/2000 terdapatpengeluaran sebesar Rp 5,4 milyar yang diragukan kebenarannya, dan terdapat dana untukBeasiswa dan Dana Bantuan Operasional (DPO) sebesar Rp 12,3 milyar yang tidak disalurkanke siswa dan sekolah. Juga ditemukan 21 kasus yang merugikan negara sebesar Rp 1,5milyar, kekurangan penerimaan negara sebesar Rp 75,6 juta, dan uang yang tidak bisadipertanggungjawabkan (6 temuan) sebesar Rp 227,9 juta. Meskipun jelas ada banyakpenyimpangan, Bank Dunia dan pemerintah terus melanjutkan program ini. Baru kemudiansetelah terlihat bahwa program ini dapat menghancurkan kredibilitas Bank Dunia sendiri,akhirnya pada Juli 2001 oleh Bank Dunia program ini dibatalkan sama sekali. 3. Penghancuran ketahanan panganLewat LoI Oktober 1997 dan MEFP 11 September 1998, IMF menuntut diberlakukannya tariffimpor beras sebesar 0%. Ini juga berlaku bagi jagung, kedele, tepung terigu dan gula. Selainitu LoI juga mengatur agar BULOG tidak lagi mengurus kestabilan harga pangan dan agarmelepaskannya ke mekanisme pasar. BULOG dibatasi menjadi sebatas perdagangan beras,itupun harus bersaing dengan pedagang swasta. Demikian pula BULOG harus mengambilpinjaman dari bank komersial, tidak lagi dari dana BLBI yang sangat ringan. Liberalisasi jugatelah diberlakukan dalam hal harga pupuk dan sarana produksi padi lainnya yang tidak lagidisubsidi pemerintah, melainkan diserahkan pada mekanisme pasar. Sementara itu subsidipetani lewat KUT (kredit usaha tani) hanya sebesar Rp 1,8 trilyun (bandingkan dengan danaBLBI). Dengan demikian kini petani menghadapi harga produksi yang mahal, sementara hargajual padi hancur. Liberalisasi pertanian sebenarnya juga bagian dari ratifikasi Indonesia atasAgreement on Agriculture (AOA) dari WTO, yang mengatur penghapusan dan pengurangantarif serta pengurangan subsidi.Sejak itu masuklah secara besar-besaran impor beras dari luar dengan harga lebih murah dariberas hasil petani lokal. BULOG dan pihak swasta kini berlomba untuk mendatangkan berasdari mancanegara. HKTI mencatat bahwa hingga akhir Maret 2000, beras impor yang masukke Indonesia mencapai 9,8 juta ton, 6 juta ton diantaranya sudah masuk pasar. Padahalproduksi beras dalam negeri sekitar 30 juta ton, sementara kebutuhan nasional diperkirakanmencapai 32 juta ton; sehingga sebenarnya Indonesia hanya membutuhkan impor 2 juta ton.Karena jeritan para petani dan kritik yang berdatangan, akhirnya bea masuk impor dinaikkanmenjadi 30%, itupun semula IMF berkeberatan. Akan tetapi ternyata hal ini tetap bukanpenghalang bagi importir untuk mengimpor beras dari Thailand, Vietnam dan Australia dengantetap meraih untung. Harga beras impor dari Thailand misalnya, setelah keluar dari TanjungPriok dijual Rp 1.600/kg, dan beras dari Australia dijual Rp 1.400/kg; dan tetap masih meraihlaba sekitar Rp 600. Meskipun kemudian pemerintah menghentikan impor beras pada Maret2000, ternyata belum dapat mengangkat harga gabah di tingkat petani. Beras impor terus saja

Page 88masuk dengan deras. Akibatnya yang parah, adalah harga padi lokal terus merosot tajam,sehingga kini hanya mencapai sekitar Rp 600/kg. Padahal harga pupuk sudah sekitar Rp700/kg. Inilah awal dimulainya tragedi kehancuran ketahanan pangan Indonesia, bila tidak adalangkah-langkah protektif dengan segera. Petani pedesaan mengalami kebangkrutan dan akanmenyebabkan kerawanan ekonomi masyarakat pedesaan yang tak terkira. Dengan liberalisasipertanian ini, maka akan habislah petani Indonesia dilibas oleh TNC dan importir besar.8

4. Penciptaan pasar tanah

Page 37: 1 Krisis Moneter Indonesia

Pemerintah (dan BPN) bersama dengan Bank Dunia dan AusAid sedang menjalankan suatumega-proyek yang disebut sebagai Land Administration Project (LAP). Ini adalah suatu proyekambisius mengenai deregulasi pertanahan dengan istilah “Land Resource and ManagementPlanning” yang akan berlangsung selama 25 tahun (1995-2020) yang hendak merancangsuatu desain perubahan manajemen dan administrasi pertanahan yang tujuan akhirnya adalahterciptanya pasar tanah (land market). Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap setiap limatahun. LAP I (1995-2000) menelan biaya sebesar US$ 140,1 juta, didanai dari anggarannasional sebesar US$44,9 juta (32%), pinjaman dari Bank Dunia US$ 80 juta (57%) dansisanya US$ 15,2 juta (11%) adalah grant dari AusAid. Meskipun program ini telah ditentangoleh aktivis, akan tetapi mereka tetap jalan terus. Terakhir LAP II akan kembali dilaksanakan,dan akan mulai memasukkan obyek tanah masyarakat adat, karena sudah adanya pilot proyeksebelumnya yang dijalankan di Sumatera Barat. Rencananya LAP II akan bernilai sebesar US$110 juta, yaitu US$ 20 juta dari pemerintah Indonesia dan US$ 90 juta dari pinjaman BankDunia.Pelaksanaan LAP I, sebagaimana sudah diduga, telah menimbulkan banyak masalah.Registrasi tanah LAP I yang katanya menggunakan prinsip transparansi, partisipasi dan kontrolmasyarakat, ternyata tidak terjadi. Penemuan di lapangan oleh KPA (Konsorsium PembaruanAgraria) memperlihatkan adanya peluang bagi petugas untuk korupsi dan menipu warga.Warga juga tidak mengetahui keberadaan LAP sampai petugas BPN datang mengukur tanahmereka. Juga tidak ada standard biaya registrasi. Sebuah kasus di Depok, warga dikenakanbiaya Rp 50.000, sementara kwitansi dari BPN hanya tertera Rp 11.500. Bahkan hasil analisisdari Bank Dunia sendiri berjudul “The Social Assessment of the Land Certification Program:The Indonesia Land Administration Project”, LAP I mempunyai banyak masalah, diantaranyaadalah: proyek tersebut tidak sustainable, karena 62% dari Tim Ajudikasi Tanah telah bubarsesudah proyek selesai. Selain itu di Jawa ada jutaan hektar tanah yang merupakan “residualclaims”, yaitu tanah yang diambil secara paksa dari rakyat pada zaman Orde Baru. Masalah“residual claims” ini seharusnya diselesaikan terlebih dahulu, sebelum ada proses sertifikasi.LAP I juga mempunyai dampak negatif terhadap kaum perempuan, karena nama-namaperempuan tidak dimasukkan di dalam sertifikat tanah. Sementara itu BPN berkilah mengenaibeban hutang. Menurutnya pembayaran utang akibat program LAP ini akan diambil daripemasukan UU PHTB (Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), di mana ditentukan setiaptransaksi tanah atau bangunan senilai di atas Rp 30 juta sejak Januari 1998 akan dikenaipajak 5%. Dengan demikian, rakyat kembali yang akan dibebankan pembayaran utang.Secara keseluruhan, LAP akan meliberalisasi pertanahan di Indonesia, karena tanah kinidijadikan obyek komoditas (barang dagangan). Dampaknya, tanah akan dijadikan obyekpenguasaan pemodal besar dan TNC, dengan legalitas yang dijamin.9

5. Penguasaan air minum Air minum telah dijadikan incaran banyak TNC dunia. Sektor Air disebut juga sebagai “emasbiru” (blue gold), merupakan sektor yang strategis sekaligus bisnis besar. Liberalisasi airdidorong pula oleh Bank Dunia. Dalam laporannya tentang kerangka kebijakan untuk sektor airdi perkotaan (Urban Water Supply Sector Policy Framework), Bank Dunia merekomendasikan8 MEFP, 11 September 1998; Bisnis Indonesia, 13 April 2000, 2 Oktober 2000; Suara Pembaruan, 18 Maret20009 KPA’s First, Second and Third Memorandum on Land Administration Project in Indonesia; “Hentikan LAP IIdan Tinjau LAP I”, Background Paper INFID untuk Lobby CGI, Oktober 2000

Page 99agar Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya – milik Pemda DKI – diswastakan. Tujuannya untukmeringankan beban utang pemerintah. Dengan itu, Bank Dunia lalu memberikan pinjamansebesar Rp 2,4 trilyun untuk pengembangan Jakarta, termasuk di dalamnya untuk pembiayaanpengelolaan air minum. Hasilnya tanggal 12 Juni 1994, dikeluarkan instruksi presiden(Suharto) untuk mengalihkan pengelolaan usaha air minum di Jakarta dan sekitarnya kepadaswasta (privatisasi). Proses privatisasi ini melalui proses KKN, di mana akhirnya dikuasai olehPT Kekarpola Airindo milik Sigit Harjojudanto dan Bambang Trihatmojo yang menggandengperusahaan air Inggeris, Thames Water International (TWI); dan oleh PT Garuda DiptaSemesta milik Anthony Salim yang menggandeng perusahaan air dari Perancis, Lyonnaise desEaux (LDE). Padahal privatisasi ini jelas-jelas melanggar Konstitusi UUD 45 pasal 33 dan UUNo. 1 tahun 1961 yang melarang swastanisasi bisnis air minum. Setelah Suharto turun tahta,akhirnya diambil alih oleh Pemda Jakarta lewat instruksi Gubernur Sutiyoso No. 131 tanggal 22Mei 1998, tetapi dua perusahaan asing tersebut semakin dikukuhkan sebagai pengelola. Duaperusahaan asing tersebut kemudian berganti nama menjadi PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja)dan PT Thames PAM Jaya (TPJ). Pemda DKI mengambil alih dengan saham 10 persen,sementara Thames dan Lyonnaise sebagai pemilik saham mayoritas yaitu 90%. Mereka jugamendapatkan hak eksklusif untuk mengelola seluruh asset PAM Jaya selama 25 tahun, tanpaperlu membangun jaringan infrastruktur dan pelanggan, sehingga bisa langsung menanggukkeuntungan. Bayangkan saja captive market (pasar yang sudah pasti) dari PAM Jaya, yaitu 2,3juta pelanggan.Akan tetapi dalam penetapan harga air untuk semester I tahun 1999, PT TPJ menetapkanharga Rp 2.400 per-meter kubik, dan Palyja Rp 2.900 pe-meter kubik. Padahal harga jual airPAM Jaya ke konsumen jauh di bawah itu, yakni Rp 2.130 per-meter kubik. Hasilnya,kekurangan tersebut harus ditutupi oleh perusahaan daerah ini. Sampai Oktober 2000, defisityang harus ditanggung pemerintah adalah sebesar Rp 86,4 milyar dengan beban utang Rp394,6 milyar. Jadi alhasil sebenarnya pemerintah mensubsidi rakyat atau mensubsidi TNC?Dan siapa yang membayar semua itu? Sampai kini pun layanan dan harga air tetap tidakmemuaskan. Akan tetapi PAM kini tidak bisa berbuat apa-apa, karena sudah terikat kontrakselama 25 tahun. Serikat Pekerja PAM yang juga telah berjuang untuk menentang proses ini,justru 20 aktivisnya ditahan dan terus-menerus ditekan. Meskipun sudah berjuang lebih daridua tahun, nampaknya TNC dan pemerintah jalan terus. Nampaknya proses privatisasi iniakan menjadi contoh bagi privatisasi air minum berikutnya di daerah-daerah lain.10

6. Mafia Utang lewat Kredit EksporFasilitas kredit ekspor disediakan oleh ECA (Export Credit Agencies and Investment Insurance

Page 38: 1 Krisis Moneter Indonesia

Agencies), yang merupakan badan milik pemerintah di negara-negara maju. Perannya adalahmerealisasikan berbagai proyek investasi dan infrastruktur berskala besar di negara-negaraberkembang. Badan ini memberikan asuransi risiko politik apabila ada “jaminan balik” (counterguarantee) dari pemerintah Indonesia. Pemerintah diwajibkan untuk menjamin keamananpolitik dan membayar kembali investasi yang sudah dikeluarkan apabila proyek gagal akibatsituasi politik. Meskipun merupakan proyek antar swasta, tetapi karena dijamin olehpemerintah, maka risiko hutang swasta bisa menjadi hutang pemerintah. Cara kerja ECA inimirip mafia, karena di negara asalnya tidak dapat dikontrol parlemen, tidak transparan, dantidak membuka informasi kepada publik mengenai proyek-proyeknya. Sementara di Indonesia,mega proyek yang didanainya, adalah proyek-proyek berbiaya tinggi yang penuh dengan KKN.Di Indonesia proyek-proyek yang dibiayainya sebanyak 33 buah, yang biasanya merupakanmega-proyek milik konglomerat, kroni dan anak-anak Suharto. Diantaranya adalah berbagaipabrik pulp and paper, yaitu PT Tanjung Enim Lestari, PT Indah Kiat Pulp and Paper diSumatera Selatan, dan PT Riau Andalan Permai di Riau; tambang tembaga dan emas PTNewmont Nusa Tenggara di Sumbawa; proyek PLTGU Paiton I di Jawa Timur; serta berbagaiproyek semen, teknologi satelit, serta teknologi dan transport militer. 10 TEMPO, 27 November-3 Desember 2000

Page 1010Dalam kenyataannya, semua mega-proyek ini bermasalah karena mark-up proyek dan korupsibesar-besaran; serta membawa bencana, karena merusak lingkungan, menggusur rakyat danmenambah beban hutang. Pada masa Suharto, dari tahun 1992-1996, hutang dari ECAsebanyak US$ 28,2 milyar, atau 24% dari stok hutang Indonesia.Tiga besar ECA yang aktif diIndonesia adalah Bank Exim Jepang (JEXIM, sekarang merger dengan OECF menjadi JBIC),Bank Exim AS, dan Hermes dari Jerman. JBIC (Japan Bank for International Cooperation) kiniadalah ECA terbesar di dunia, yang juga mengelola proyek-proyek pinjaman bilateralpemerintah Jepang. JBIC mendanai 10 proyek besar di Indonesia, yaitu PLTGU Paiton,Tambang Batu Hijau, LNG Pertamina, Semen Indo-Kodeco, penyulingan minyak Pertamina,Indocement, proyek listrik Jawa dan Jawa Barat, listrik Tambak Lorok, Tanjung Enim Lestaripulp and paper, dan tambang INCO. ECA kini cenderung semakin menggantikan mekanismeODA (Overseas Development Assistance), karena besarnya kepentingan TNC-TNC di negaramaju untuk mengerjakan berbagai mega-proyek infrastruktur lewat pembiayaan bilateralmaupun multilateral. ECA juga aman bagi TNC, karena akan digaransi oleh pemerintah.Artinya rakyat juga yang harus membayar hutangnya.11

7. Penjarahan kekayaan intelektual masyarakat/komunitasPerjanjian TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights), salah satu perjanjiandi dalam WTO, telah diratifikasi oleh pemerintah. Ini adalah perjanjian HAKI (Hak AtasKekayaan Intelektual) terkait perdagangan, yang memberikan hak istimewa bagi individu atauperusahaan atas karya ciptanya, dalam bentuk Paten, Merk, dan Hak Cipta; juga untuk SirkuitTerpadu, Rahasia Dagang, dan Indikasi Geografis. Indonesia telah membuat 5 UU HAKIsebagaimana di atas, karena harus bersesuaian dengan TRIPs. Dengan UU Paten, makaberbagai barang temuan dapat dikuasai siapa saja yang mendaftarkannya terlebih dahulu.Syaratnya adalah merupakan temuan baru, mengandung langkah inovatif, dan dapatditerapkan dalam industri (produksi massal). Paten atas makhluk hidup, yaitu mikro-organismedan jasad renik juga dapat dipatenkan. Ini adalah kepentingan TNC bioteknologi yang telahmemantenkan berbagai benih dan tanaman hasil rekayasa genetik. Dengan TRIPs ini makaakan terjadi bahaya besar lewat pematenan atas kekayaan intelektual milik publik /komunitas.HAKI komunitas dapat saja dirampok oleh perusahaan-perusahaan asing maupun parapeneliti/individu, dengan sekedar merubah proses dan produknya. Ini disebut sebagai bio-piracy (pembajakan hayati). Hal ini telah terjadi dengan rempah-rempah Indonesia. Perusahaan kosmetik besar Jepang,Shiseido, telah mematenkan kosmetiknya yang berasal dari berbagai bahan rempah diIndonesia, seperti kayu rapet, kemukus, lempuyang, pelantas, pulowaras, diluwih, cabe jawa,brotowali, kayu legi, dan bunga cangkok. Sementara itu Tempe, makanan tradisional Jawa,juga telah dipatenkan. Tercatat ada 19 paten tentang tempe, di mana 13 buah paten adalahmilik AS, yaitu: 8 paten dimiliki oleh Z-L Limited Partnership; 2 paten oleh Gyorgy mengenaiminyak tempe; 2 paten oleh Pfaff mengenai alat inkubator dan cara membuat bahan makanan;dan 1 paten oleh Yueh mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe.Sedangkan 6 buah milik Jepang adalah 4 paten mengenai pembuatan tempe; 1 patenmengenai antioksidan; dan 1 paten mengenai kosmetik menggunakan bahan tempe yangdiisolasi. Paten lain untuk Jepang, disebut Tempeh, temuan Nishi dan Inoue (Riken VitaminCo. Ltd) diberikan pada 10 Juli 1986. Tempe tersebut terbuat dari limbah susu kedelaidicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung, dekstrin, Na-kaseinatdan putih telur. Demikian pula kasus pematenan disain kerajinan perak hasil kerja Suwarti diBali, oleh pengusaha asal AS. Justru kemudian Suwarti yang dituntut oleh pengusahatersebut, ketika dia masuk ke pasar Amerika. Suwarti tidak bisa berbuat apa-apa, karena biayaperadilan HAKI sangat mahal untuk pengrajin seperti dirinya. Ini adalah kasus nyatapembajakan HAKI komunitas Indonesia oleh pemodal besar. Kecenderungan ini akan semakinmeningkat. Padahal bagi orang Indonesia, berbagai kekayaan budaya itu tidak mungkindipatenkan, karena merupakan milik publik. Dalam kasus lain, paten atas benih dan tanamantransgenik oleh TNC, akan mengancam keberlangsungan benih tradisional dan kelestarian11 ECA NEWS, edisi I, Januari 2000; Stephanie Fried dan Titi Soentoro, “Export Credit Agency Finance inIndonesia”, Jakarta, April 2000

Page 1111tanaman. Petani akan semakin tergantung kepada benih-benih milik TNC. Di lain pihak, TNCtersebut akan masuk langsung untuk menanamnya di negara bersangkutan, sebagaimanayang terjadi dengan kasus Monsanto yang menanam kapas Bt di Sulawesi Selatan. Pertanianlama-kelamaan akan menjadi lahan bisnis dan monopoli (paten) teknologi oleh TNC-TNC.

Page 39: 1 Krisis Moneter Indonesia

BAGAIMANA MEWUJUDKAN PEREKONOMIAN BERKEADILAN SOSIALKini saatnya memformulasikan kebijakan ekonomi yang berkeadilan sosial yang memutusketerikatan dan ketergantungan kepada agenda globalisasi. WTO dan IMF telah membatasipilihan-pilihan kebijakan yang ada dan memaksakan kebijakan yang hanya sesuai dengan agendamereka. Pada masa lalu mereka memakai pendekatan “Economic Growth” (pertumbuhanekonomi) sebagai doktrin, dan sekarang mereka menambahkan “Kompetisi Bebas” sebagaidoktrin. Ini harus ditentang dan dicarikan alternatifnya. Ada banyak alternatif yang tersediasebenarnya, asalkan kita tidak “turut dan manut” saja terhadap pasar bebas / globalisasi. Olehkarena itu berbagai kelompok nasional harus berembuk dan berdialog bersama guna menetapkanpokok-pokok pandangan dan visi nasional yang non-Pasar Bebas. Banyak alternatif yang mungkindilakukan (There Are Many Alternatives), yaitu:1. Sistem ekonomi jangan berprinsip pasar bebas (liberalisme ekonomi). Haruslah mencontohberbagai pengalaman negara lain, termasuk AS, Jerman dan Jepang, yang dalam sejarahnyajuga memakai ekonomi merkantilis dan proteksionis ketimbang pasar bebas di masa awalpembangunannya. Indonesia masih dalam tahap-tahap awal perkembangannya, dankarenanya perlu menerapkan ekonomi yang proteksionis dan kerakyatan.2. Sistem ekonomi haruslah mendahulukan pasar domestik dan menaruh di belakang orientasipada pasar ekspor. Sistem ekonomi dikembangkan untuk memperkuat produksi domestikuntuk pasar dalam negeri, sehingga memperkuat perekonomian rakyat; dan bukan untukmelayani kepentingan TNC dan konglomerat atas pasar eksport.3. Pertanian dijadikan prioritas utama perekonomian, karena di sinilah hidup mayoritas rakyat.Karena itu alokasi untuk sektor pertanian (termasuk kelautan dan perikanan) harus lebih besardari yang lain-lainnya. Pertanian harus dirubah melalui agrarian reform, sehingga terjadidistribusi tanah dan sumberdaya yang merata. Selain itu diadakan berbagai kemudahan danfasilitas serta perlindungan bagi petani untuk memperkuat sektor pertanian.4. Industrialisasi berdasarkan pada bahan baku setempat, sehingga tidak tergantung impor dariluar. Ini berarti di satu pihak memperkuat sektor pertanian, sektor kelautan dan lain-lainnya;serta memperkuat sektor industri itu sendiri serta industri-industri kecil yang terkait dengannya.5. Diadakan perekonomian yang berorientasi kepada kesejahteraan, yaitu negara menjalankanberbagai peran penyelenggaraan barang publik (public goods) dan prasarana publik (publicfacilities), seperti air, listrik, transportasi, kesehatan, pendidikan dan lainnya. Segala sesuatuyang bersifat publik haruslah bersifat gratis.6. Tidak tergantung kepada badan-badan multilateral, dan ikut serta merubah badan-badantersebut agar menjadi badan yang terutama melayani kepentingan negara-negara DuniaKetiga 7. Penghapusan sebagian besar hutang karena alasan-alasan etika, moral, dan ekonomi yanglayak. 8. Melepaskan diri dari rejim devisa bebas dan rejim nilai tukar mengambang bebas (free-floatexchange rate); dan sebagai gantinya menetapkan kontrol modal (capital control) dan nilaitukar tetap (fixed exchange). 9. Menyokong diadakannya Tobin Tax terhadap arus keluar masuk modal swasta yang saat inimerupakan ‘hot money’ dan volatilitasnya sangat tinggi.10. Menolak paham Neo-liberal dan mencari alternatif ilmu ekonomi yang lebih mencerminkankepentingan rakyat dan nasional, seperti dengan neo-protectionism, neo-keynesianism,welfare state, ekonomi kerakyatan dan lain-lainnya.11. Demokrasi yang diarahkan bagi penguatan aspirasi rakyat dan organisasi rakyat; kebebasanberpikir, berbicara, berorganisasi; dan pemenuhan HAM sepenuhnya.12. Kerjasama Dunia Ketiga untuk bersama-sama menghadapi kepentingan negara-negara maju(G-7, OECD), untuk di dapat resolusi yang layak bagi Dunia Ketiga, seperti memperkuat

Page 1212kembali hasil yang telah dicapai UNCTAD lewat GSP (Generalized System of Preference) danpengurangan hutang.Adapun rekomendasi kebijakan kongkrit yang perlu segera dilakukan agar kita bisa segera keluardari keterikatan kepada kapitalisme global adalah sebagai berikut:Pertama, Indonesia tidak membutuhkan resep neo-lliberalisme sebagaimana saran IMF, BankDunia maupun WTO. Indonesia harus dapat memilah-milah liberalisasi macam apa yang memangdibutuhkan, dan liberalisasi macam apa yang harus ditolak mentah-mentah dan dibuang jauh-jauh. Kedua, Indonesia harus segera memulai membenahi diri sendiri dan mengerjakan PR-nya yangtidak kunjung diselesaikan, yaitu pemberantasan segera atas KKN, pemrosesan hukum atassemua pelaku KKN Orba, dan penyitaan harta jarahan kaum KKN untuk kepentingan negara danprogram-program kesejahteraan rakyat. Ketiga, perekonomian Indonesia harus kembali ke rel-nya, yaitu ekonomi kerakyatan(sebagaimana yang digagas oleh Bung Karno, Bung Hatta dan lain-lain). Ekonomi kerakyatan inimenempatkan rakyat Indonesia sebagai kekuatan dasar perekonomian, yang mampumenggerakkan roda perekonomian lewat penguatan pasar domestik (nasional, wilayah,lokal);penguatan pertanian dan pedesaan yang masih sekitar 70% perekonomian nasional; danpenguasaan dan pengelolaan sepenuhnya kekayaan alam Indonesia yang melimpah-ruah. Keempat, memutus sepenuhnya ketergantungan pada badan-badan multilateral, seperti IMF,Bank Dunia dan WTO. Hutang yang merupakan mekanisme ketergantungan harus segera diputus,dengan menghapus hutang haram dan peringanan berbagai beban hutang lainnya. Demikian pulaforum WTO harus dirubah menjadi forum bagi kepentingan negara-negara berkembang, dan untukitu Indonesia harus memainkan peran yang kuat dan tegas, sebagai salah satu pemimpin negaraberkembang. Apakah dengan memutus keterikatan kepada kapitalisme global tersebut, berarti kita akandiasingkan atau mengisolasi diri. Tidak sama sekali! Indonesia tetap ada dalam kapitalisme global,sebagaimana RRC, Kuba, Vietnam, Libya, Iran atau Venezuela. Akan tetapi Indonesia tidak diikatoleh agenda neo-liberalisme, tetapi mempunyai kebijakan ekonomi-politiknya sendiri yang sesuaidengan kepentingan dan kebutuhannya sendiri. Bila tetap terikat, maka kita hanya akan menjadibangsa kuli yang rendah. Bila tidak terikat, maka akan menjadi bangsa yang disegani dan tuan

Page 40: 1 Krisis Moneter Indonesia

atas dirinya sendiri. Tentu saja tidak harus konfrontasional terhadap kekuatan kapitalisme global(yaitu AS dan Eropa Barat). Perjuangan politik tetap bebas-aktif dan berdaulat. Perjuangan utamatetap di jalur ekonomi, yaitu dengan mensejahterakan rakyat miskin dan mengikis habis korupsi. Banyak hal yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk merebut kembali “kedaulatannya”, sebagaibangsa yang besar dan kuat, dan tidak disepelekan dan diinjak-injak oleh negara-negara lain danbadan-badan global. Asumsi dasarnya adalah, kalau rakyat Indonesia kuat, maka negaranya jugaakan kuat. Kalau rakyatnya sejahtera, maka negaranya juga akan sejahtera. Kalau rakyatnyacerdas, maka negaranya juga akan cerdas. Inilah yang seharusnya terus dipikirkan oleh kitatentang Indonesia masa depan yang lepas dari diktator pasar kapitalisme global.***

OptionsDisable

Get Free Shots

  

All About Economic Beranda Makro

Mikro

Page 41: 1 Krisis Moneter Indonesia

Tips   Usaha

UKM

Akpem

Enyong

jump to navigation

Awal Krisis Moneter   Indonesia Juni 14, 2007

Posted by dinconomy in Makro. trackback

Krisis yang melanda bangsa Indonesia, menjadi awal terpuruknya sebuah negara dengan kekayaan alam yang melimpah ini. Dari awal 1998, sejak era orde baru mulai terlihat kebusukannya Indonesia terus mengalami kemerosotan, terutama dalam bidang ekonomi. Nilai tukar semakin melemah, inflasi tak terkendali, juga pertumbuhan ekonomi yang kurang berkembang di negara ini.

Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik.

Tapi banyak perusahaan Indonesia banyak meminjam dolar AS. Di tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut — level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.

Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody’s menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi “junk bond”.

Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul di neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.

Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesiaa, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presidenSampai 1996, Asia menarik hampir setengah dari aliran modal negara berkembang. Tetapi, Thailand, Indonesia dan Korea Selatan memiliki “current account deficit” dan perawatan kecepatan pertukaran pegged menyemangati peminjaman luar dan menyebabkan ke keterbukaan yang berlebihan dari resiko pertukaran valuta asing dalam sektor finansial dan perusahaan.

Page 42: 1 Krisis Moneter Indonesia

Pelaku ekonomi telah memikirkan akibat Daratan Tiongkok pada ekonomi nyata sebagai faktor penyumbang krisis. RRT telah memulai kompetisi secara efektif dengan eksportir Asia lainnya terutaman pada 1990-an setelah penerapan reform orientas-eksport. Yang paling penting, mata uang Thailand dan Indonesia adalah berhubungan erat dengan dollar, yang naik nilainya pada 1990-an. Importir Barat mencari pemroduksi yang lebih murah dan menemukannya di Tiongkok yang biayanya rendah dibanding dollar.

Krisis Asia dimulai pada pertengahan 1997 dan mempengaruhi mata uang, pasar bursa dan harga aset beberapa ekonomi Asia Tenggara. Dimulai dari kejadian di Amerika Selatan, investor Barat kehilangan kepercayaan dalam keamanan di Asia Timur dan memulai menarik uangnya, menimbulkan efek bola salju.

Banyak pelaku ekonomi, termasuk Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs, telah meremehkan peran ekonomi nyata dalam krisis dibanding dengan pasar finansial yang diakibatkan kecepatan krisis. Kecepatan krisis ini telah membuat Sachs dan lainnya untuk membandingkan dengan pelarian bank klasik yang disebabkan oleh shock resiko yang tiba-tiba. Sach menunjuk ke kebijakan keuangan dan fiskal yang ketat yang diterapkan oleh pemerintah pada saat krisis dimulai, sedangkan Frederic Mishkin menunjuk ke peranan informasi asimetrik dalam pasar finansial yang menuju ke “mental herd” diantara investor yang memperbesar resiko yang relatif kecil dalam ekonomi nyata. Krisis ini telah menimbulkan keinginan dari pelaksana ekonomi perilaku tertarik di psikologi pasar.

Komentar»

1. Qinimain Zain - Mei 31, 2008

Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 31 Mei 2008

Matinya Ilmu Administrasi dan Manajemen(Satu Sebab Krisis Indonesia)Oleh Qinimain Zain

FEELING IS BELIEVING. C(OMPETENCY) = I(nstrument) . s(cience). m(otivation of Maslow-Zain) (Hukum XV Total Qinimain Zain).

INDONESIA, sejak ambruk krisis Mei 1998 kehidupan ekonomi masyarakat terasa tetap buruk saja. Lalu, mengapa demikian sulit memahami dan mengatasi krisis ini?

Sebab suatu masalah selalu kompleks, namun selalu ada beberapa akar masalah utamanya. Dan, saya merumuskan (2000) bahwa kemampuan usaha seseorang dan organisasi (juga perusahaan, departemen, dan sebuah negara) memahami dan mengatasi krisis apa pun adalah paduan kualitas nilai relatif dari motivasi, alat (teknologi) dan (sistem) ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Di sini, hanya menyoroti salah satunya, yaitu ilmu pengetahuan, system ilmu pengetahuan. Pokok bahasan itu demikian penting, yang dapat diketahui dalam pembicaraan apa pun, selalu dikatakan dan ditekankan dalam berbagai forum atau kesempatan membahas apa pun bahwa untuk mengelola apa pun agar baik dan obyektif harus berdasar pada sebuah sistem, sistem ilmu pengetahuan. Baik untuk usaha khusus bidang pertanian, manufaktur, teknik, keuangan, pemasaran, pelayanan, komputerisasi, penelitian, sumber daya manusia dan kreativitas, atau lebih luas bidang hukum, ekonomi, politik, budaya, pertahanan, keamanan dan pendidikan. Kemudian, apa definisi sesungguhnya sebuah sistem, sistem ilmu pengetahuan itu? Menjawabnya mau tidak mau menelusur arti ilmu pengetahuan itu sendiri.

Page 43: 1 Krisis Moneter Indonesia

Ilmu pengetahuan atau science berasal dari kata Latin scientia berarti pengetahuan, berasal dari kata kerja scire artinya mempelajari atau mengetahui (to learn, to know). Sampai abad XVII, kata science diartikan sebagai apa saja yang harus dipelajari oleh seseorang misalnya menjahit atau menunggang kuda. Kemudian, setelah abad XVII, pengertian diperhalus mengacu pada segenap pengetahuan yang teratur (systematic knowledge). Kemudian dari pengertian science sebagai segenap pengetahuan yang teratur lahir cakupan sebagai ilmu eksakta atau alami (natural science) (The Liang Gie, 2001), sedang (ilmu) pengetahuan sosial paradigma lama krisis karena belum memenuhi syarat ilmiah sebuah ilmu pengetahuan. Dan, bukti nyata masalah, ini kutipan beberapa buku pegangan belajar dan mengajar universitas besar (yang malah dicetak berulang-ulang):

Contoh, “umumnya dan terutama dalam ilmu-ilmu eksakta dianggap bahwa ilmu pengetahuan disusun dan diatur sekitar hukum-hukum umum yang telah dibuktikan kebenarannya secara empiris (berdasarkan pengalaman). Menemukan hukum-hukum ilmiah inilah yang merupakan tujuan dari penelitian ilmiah. Kalau definisi yang tersebut di atas dipakai sebagai patokan, maka ilmu politik serta ilmu-ilmu sosial lainnya tidak atau belum memenuhi syarat, oleh karena sampai sekarang belum menemukan hukum-hukum ilmiah itu” (Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1982:4, PT Gramedia, cetakan VII, Jakarta). Juga, “diskusi secara tertulis dalam bidang manajemen, baru dimulai tahun 1900. Sebelumnya, hampir dapat dikatakan belum ada kupasan-kupasan secara tertulis dibidang manajemen. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa manajemen sebagai bidang ilmu pengetahuan, merupakan suatu ilmu pengetahuan yang masih muda. Keadaan demikian ini menyebabkan masih ada orang yang segan mengakuinya sebagai ilmu pengetahuan” (M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, 2005:19, Gajah Mada University Press, cetakan kedelapan belas, Yogyakarta).Kemudian, “ilmu pengetahuan memiliki beberapa tahap perkembangannya yaitu tahap klasifikasi, lalu tahap komparasi dan kemudian tahap kuantifikasi. Tahap Kuantifikasi, yaitu tahap di mana ilmu pengetahuan tersebut dalam tahap memperhitungkan kematangannya. Dalam tahap ini sudah dapat diukur keberadaannya baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Hanya saja ilmu-ilmu sosial umumnya terbelakang relatif dan sulit diukur dibanding dengan ilmu-ilmu eksakta, karena sampai saat ini baru sosiologi yang mengukuhkan keberadaannya ada tahap ini” (Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, 2005:18-19, PT Refika Aditama, cetakan ketiga, Bandung).

Lebih jauh, Sondang P. Siagian dalam Filsafat Administrasi (1990:23-25, cetakan ke-21, Jakarta), sangat jelas menggambarkan fenomena ini dalam tahap perkembangan (pertama sampai empat) ilmu administrasi dan manajemen, yang disempurnakan dengan (r)evolusi paradigma TOTAL QINIMAIN ZAINn (TQZ): The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority, TQZ Administration and Management Scientific System of Science (2000): Pertama, TQO Tahap Survival (1886-1930). Lahirnya ilmu administrasi dan manajemen karena tahun itu lahir gerakan manajemen ilmiah. Para ahli menspesialisasikan diri bidang ini berjuang diakui sebagai cabang ilmu pengetahuan. Kedua, TQC Tahap Consolidation (1930-1945). Tahap ini dilakukan penyempurnaan prinsip sehingga kebenarannya tidak terbantah. Gelar sarjana bidang ini diberikan lembaga pendidikan tinggi. Ketiga, TQS Tahap Human Relation (1945-1959). Tahap ini dirumuskan prinsip yang teruji kebenarannya, perhatian beralih pada faktor manusia serta hubungan formal dan informal di tingkat organisasi. Keempat, TQI Tahap Behavioral (1959-2000). Tahap ini peran tingkah-laku manusia mencapai tujuan menentukan dan penelitian dipusatkan dalam hal kerja. Kemudian, Sondang P. Siagian menduga, tahap ini berakhir dan ilmu administrasi dan manajemen akan memasuki tahap matematika, didasarkan

Page 44: 1 Krisis Moneter Indonesia

gejala penemuan alat modern komputer dalam pengolahan data. (Yang ternyata benar dan saya penuhi, meski penekanan pada sistem ilmiah ilmu pengetahuan, bukan komputer). Kelima, TQT Tahap Scientific System (2000-Sekarang). Tahap setelah tercapai ilmu sosial (tercakup pula administrasi dan manajemen) secara sistem ilmiah dengan ditetapkan kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukumnya, (sehingga ilmu pengetahuan sosial sejajar dengan ilmu pengetahuan eksakta). (Contoh, dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru milenium III, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas dan D(ay) atau Hari Kerja – sistem ZQD, padanan m(eter), k(ilogram) dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta – sistem mks. Paradigma (ilmu) pengetahuan sosial lama hanya ada skala Rensis A Likert, itu pun tanpa satuan). (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).

Bandingkan, fenomena serupa juga terjadi saat (ilmu) pengetahuan eksakta krisis paradigma. Lihat keluhan Nicolas Copernicus dalam The Copernican Revolution (1957:138), Albert Einstein dalam Albert Einstein: Philosopher-Scientist (1949:45), atau Wolfgang Pauli dalam A Memorial Volume to Wolfgang Pauli (1960:22, 25-26).Inilah salah satu akar masalah krisis Indonesia (juga seluruh manusia untuk memahami kehidupan dan semesta). Paradigma lama (ilmu) pengetahuan sosial mengalami krisis (matinya ilmu administrasi dan manajemen). Artiya, adalah tidak mungkin seseorang dan organisasi (termasuk perusahaan, departemen, dan sebuah negara) pun mampu memahami, mengatasi, dan menjelaskan sebuah fenomena krisis usaha apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistem-(ilmu pengetahuan)nya.

PEKERJAAN dengan tangan telanjang maupun dengan nalar, jika dibiarkan tanpa alat bantu, membuat manusia tidak bisa berbuat banyak (Francis Bacon).

BAGAIMANA strategi Anda?

*) Ahli strategi, tinggal di Banjarbaru, email: [email protected] (www.scientist-strategist.blogspot.com).

THANK you very much for Dr Heidi Prozesky – SASA (South African Sociological Association) secretary about Total Qinimain Zain: The New Paradigm – The (R)Evolution of Social Science for the Higher Education and Science Studies sessions of the SASA Conference 2008.

Balas

2. Anna - November 26, 2008

Thanks infonya….mampir yach Mas ke blog ku.

Balas

Page 45: 1 Krisis Moneter Indonesia

message

name email url

Beritahu saya tulisan-tulisan baru melalui surel.

Beritahu saya mengenai komentar-komentar selanjutnya melalui surel.

Kebijakan moneterDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.

Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.

RSS

Home

About

Catatan Redaksi

Tips & Trik Penulisan di Wartawarga

Seberapa besar pengaruh krisis global dalam perekonomian IndonesiaJanuary 3rd, 2010 • Related • Filed Under

PENGARUH KRISIS MONETER AMERIKA SERIKAT

Page 46: 1 Krisis Moneter Indonesia

A. KRISIS MONETER DI AMERIKA SERIKAT

Sebelum membahas lebih jauh, mari kita simak pendapat Fauzi Ichsan, Senior Vice President Standard Chartered Bank, yang menceritakan dengan cukup detail tentang krisis moneter yang pernah terjadi. “Lama saya mengira bahwa krisis ekonomi terparah yang pernah saya alami adalah krisis moneter (krismon) Asia pada tahun 1997/1999. Ternyata dampak krismon Asia kalah jauh dibandingkan dengan krisis finansial yang melanda dunia sekarang. Sewaktu krismon Asia, setidaknya ada ’surga aman’ atau ’safe heaven’ bagi para investor global, yaitu di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Investor bisa menjual saham dan surat utangnya di Indonesia, Thailand dan Korea (walau rugi) yang mengalami krisis, dan membeli saham di bursa New York dan London. Sekarang, negara safe heaven pun mengalami krisis ekonomi yang parah. Investor kesulitan mencari safe heaven untuk memarkir dananya dan, karena pasar saham, surat utang dan komoditas semuanya anjlok, cash is king again“.

Seberapa parah krisis finansial dunia ini?

Patokan ada. Lehman Brothers, Bear Stearns, Merrill Lynch, AIG, Freddie Mac dan Fannie Mae, sebagai lembaga finansial raksasa AS, selamat menghadapi resesi ekonomi AS paska serangan teroris tahun 2001. Mereka selamat manghadapi resesi ekonomi dunia akibat embargo minyak OPEC tahun 1973 dan selamat menghadapi dua perang dunia. Mereka juga selamat menghadapi resesi ekonomi dunia tahun 1930-an yang sering disebut “the great depression”, akibat krisis keuangan AS pada 1929.

Namun, mereka tidak selamat menghadapi krisis kredit pembelian rumah (KPR) subprime di AS pada 2007/2008. Artinya, terpuruknya beberapa lembaga keuangan terbesar di dunia tersebut adalah indikasi bahwa permasalahan ekonomi AS dan dunia sekarang memang jauh lebih parah dari perkiraan kita sebelumnya.

Dari uraian di atas, kita tahu bahwa krisis moneter di Amerika Serikat akhir-akhir ini telah mewabah ke berbagai benua dan dipastikan lebih parah dari krisis yang sudah pernah terjadi.

B. DAMPAK SECARA GLOBAL

Krisis moneter di Amerika Serikat kali ini menumbulkan dampak luar biasa secara global. Hal ini bisa dilihat dari kepanikan investor dunia dalam usaha mereka menyelamatkan uang mereka di pasar saham. Mereka ramai-ramai menjual saham sehingga bursa saham terjun bebas. Sejak awal 2008, bursa saham China anjlok 57%, India 52%, Indonesia 41% (sebelum kegiatannya dihentikan untuk sementara), dan zona Eropa 37%. Sementara pasar surat utang terpuruk, mata uang negara berkembang melemah dan harga komoditas anjlok, apalagi setelah para spekulator komoditas minyak menilai bahwa resesi ekonomi akan mengurangi konsumsi energi dunia.

Di AS, setelah melihat bursa saham Wall Street terus melorot, akhirnya kongres menyetujui program penyelamatan sektor keuangan (troubled asset recovery program – TARP) senilai US$ 700 miliar yang diajukan oleh pemerintah. Namun, karena lamanya negosiasi politik antara pemerintah dan kongres, investor kecewa melihat politikus di Washington tidak memiliki sense of crisis.

Krisis pasar modal (saham dan surat utang) global pada dasarnya hanya memengaruhi investor pasar modal. Tetapi krisis perbankan global bisa mempengaruhi sektor riil ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Inti cerita yang terjadi adalah sektor perbankan AS sedang terpuruk, kekurangan modal, dan enggan meminjamkan dolarnya, termasuk ke bank-bank internasional di Eropa dan Asia.

Page 47: 1 Krisis Moneter Indonesia

Akibatnya, perbankan internasional kekurangan dolar untuk memberi pinjaman ke para pengusaha dunia yang membutuhkan dolar untuk investasinya (untuk impor mesin, bahan baku, dan sebagainya), termasuk di Indonesia.

Kita sudah tahu bahwa dolar AS merupakan mata uang inti dalam dunia usaha. Akibatnya, walaupun suku bunga bank sentral AS (atau Fed Funds Target Rate) sampai diturunkan ke 1,5%, suku bunga London Inter-Bank Offer Rate (LIBOR), sebagai patokan suku bunga yang digunakan oleh pelaku ekonomi, melonjak tajam.

Masalah rumit yang terjadi sekarang, macetnya sistem pembayaran dan penyaluran kredit global sebagai ‘oksigen untuk napasnya dunia bisnis’. Suku bunga bank sentral bisa rendah, tetapi suku bunga kredit untuk pelaku bisnis, kalaupun bisa dapat pinjaman, sangat tinggi karena perbankan ketakutan meminjamkan dananya. Menurut para ahli ekonomi, sebenarnya hal itu merupakan bahaya sektor perbankan global. Jadi, bukan anjloknya pasar saham, yang sebetulnya bisa melumpuhkan pertumbuhan ekonomi dunia secara perlahan.

Akhirnya, bank sentral dunia mengerti betapa pentingnya melakukan kebijakan yang terkoordinasi. Tujuh bank sentral (termasuk US Federal Reserve, European Central Bank, Bank of England dan Bank of Canada) akhirnya memangkas suku bunganya 0,5%. Ini merupakan yang pertama kalinya kebijakan suku bunga bank sentral dilakukan secara bersamaan dalam skala yang besar. Terjadi di tahun 2008 ini.

Hal lain yang dilakukan adalah kebijakan terkoordinasi bank sentral dan pemerintah dunia selebihnya harus ditujukan untuk memenuhi tiga sasaran. Pertama, memulihkan kembali sistem perbankan dan pembayaran global yang lumpuh agar sirkulasi dana internasional bisa normal kembali – dan bank bisa memberi kredit lagi.

Kedua, mengeluarkan aset bermasalah (terutama surat utang KPR subprime) dari perbankan AS dan memperbesar modal perbankan agar lebih bisa memberi kredit dalam jumlah yang bisa mendukung pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, bank sentral dunia harus berani terus menurunkan suku bunga (untuk membantu meringankan bunga kredit) dan, yang lebih penting, pemerintah harus memperbesar belanjanya untuk pembangunan infrastruktur dan memberi stimulus ekonomi – karena investor swasta enggan berinvestasi dalam krisis likuiditas.

Kebijakan di atas bisa berhasil, bisa juga gagal. Hal tersebut beralasan karena kebijakan ekonomi berskala global belum pernah dilakukan dalam sejarah, tetapi risiko terjadinya resesi ekonomi dunia yang parah akan lebih besar kalau bank sentral dan pemerintah dunia tidak melakukan apa-apa.

Kalau berhasil, kapan hasilnya akan kelihatan? Paling cepat dua tahun. Artinya, resesi ekonomi AS dan Eropa akan lebih parah (sementara pertumbuhan ekonomi dunia melambat) pada 2009, sebelum pulih pada 2010. Kenapa? Karena titik terburuk ekonomi AS dan Eropa belum tercapai: misalnya, turunnya harga properti AS (pemicu krisis subprime) belum berakhir (jumlah rumah yang belum terjual masih terlalu banyak), pabrik masih melakukan PHK masal dan masih banyak bank yang harus bangkrut.

Selain itu, dampak stimulus kebijakan moneter dan fiskal memang makan waktu lebih dari satu tahun. Kalau ekonomi dunia baru pulih 2010, kapan pasar saham global pulih? Paling cepat semester 1, 2009, karena pasar saham biasanya menguat 6-9 bulan sebelum sektor riil ekonomi pulih.

C. DAMPAK DI INDONESIA

Page 48: 1 Krisis Moneter Indonesia

Dampak resesi ekonomi AS dan Eropa terhadap Indonesia tentunya negatif, tetapi karena net-ekspor (ekspor dikurangi impor) hanya menggerakkan sekitar 8% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, maka dampaknya relatif kecil dibandingkan dengan negara tetangga yang ketergantungan ekspornya ke AS besar, misalnya Hong Kong, Singapura, dan Malaysia.

Seperti pada tahun 2001/2002, atau terakhir kali AS mengalami resesi, ada tiga negara di Asia yang tidak terlalu terpukul ekonominya: China, India, dan Indonesia. Ketiga negara ini memiliki penduduk yang banyak sehingga belanja masyarakatnya merupakan motor penggerak ekonomi yang kuat. Untuk ekonomi Indonesia, dampak negatif kenaikan harga bahan bakar minyak sebesar 125% pada 2005 jelas lebih besar dari pada dampak resesi ekonomi AS.

Namun demikian, krisis finansial global dan lumpuhnya sistem perbankan global yang berlarut akan berdampak sangat negatif terhadap Indonesia, karena pembiayaan kegiatan investasi di Indonesia (baik oleh pengusaha dalam maupun luar negeri) akan terus menciut, penyerapan tenaga kerja melambat dan akibatnya daya beli masyarakat turun, yang akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Dari sini kita tahu bahwa dampak krisis moneter di Amerika Serikat terhadap perekonomian Indonesia tidak hanya pada melemahnya nilai tukar Rupiah, namun juga pada berbagai sector lain yang lebih rumit. Berikut akan dijelaskan dengan singkat.

Rupiah Melemah

Akibat krisis moneter di Amerika Serikat, nilai tukar rupiah melemah dan sempat menembus Rp 9.860 per USD. Di pasar antarbank, rupiah bahkan sempat menembus Rp 10.000 per USD. Pelemahan rupiah yang terjadi saat ini masih sejalan dengan beberapa mata uang lainnya.

Berbeda dengan krisis 1997, BI kini juga telah mengetahui pencatatan valas perbankan. BI juga tetap waspada dan terus menjaga agar tidak terjadi pergerakan gejolak yang terlalu besar. BI sebagai bank sentral meminta pasar tidak panik menghadapi situasi saat ini.

Turbulensi di pasar finansial saat ini terjadi di seluruh dunia. Bank sentral akan terus memantau perkembangan ekonomi global, dan berusaha agar dampaknya bisa seminimal mungkin.

Jatuhnya Bursa Saham

Dampak lain yang terjadi akibat krisis moneter di Amerika Serikat adalah jatuhnya bursa saham yang terjadi dalam pertengahan Oktober 2008. Meskipun para ahli ekonomi menilai kecil kemungkinan krisis ini menjelma menjadi krisis ekonomi berupa ambruknya perbankan dan sektor riil. Namun untuk meningkatkan kepercayaan pelaku pasar, pemerintah sebaiknya fokus menjaga daya beli masyarakat.

Pada hari Jumat tanggal 10 Oktober 2008, pemerintah membatalkan rencana pembukaan kembali perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang ditutup pada hari Rabu, 8 Oktober 2008. Hal ini dilakukan karena otoritas bursa ingin melindungi emiten. Emiten perlu dilindungi dari kemungkinan keterpurukan nilai harga saham akibat sentimen negatif pasar terhadap kondisi keuangan global yang sedang krisis.

Para ahli menilai tingkat krisis yang dihadapi Indonesia sangat berbeda dengan Amerika Serikat (AS), Eropa, dan negara maju lainnya. Di AS, krisis telah merasuk ke semua sektor, mulai dari pasar modal, perbankan, hingga sektor riil.

Page 49: 1 Krisis Moneter Indonesia

Namun, di Indonesia krisis hanya terjadi di pasar modal. Krisis yang terjadi di pasar modal dinilai tidak mudah bertransmisi ke sektor lain mengingat kontribusi pasar modal dalam sistem keuangan Indonesia amat kecil.

Wakil Presiden Jusuf Kalla juga memberikan pendapatnya di sebuah surat kabar bahwa sebenarnya ekonomi tidak terlalu terpengaruh dengan ambruknya bursa dunia, seperti Wall Street. ”Perbedaannya, kita banyak menggantungkan pada ekonomi domestik. Seperti di AS, pengaruh bursa itu sampai 1,5 kali dari produk domestik bruto mereka. Kalau kita pengaruhnya hanya 20 persen. Jadi, jangan terlalu dirisaukan,” kata Wakil Presiden dalam sebuah wawancara di media massa.

Penyesuaian yang terjadi di pasar modal dan nilai tukar domestik merupakan hal wajar karena seluruh dunia terkena imbas krisis keuangan AS. Penurunan ekonomi AS dan Eropa dinilai tidak perlu dikhawatirkan mengingat peran mereka dalam perdagangan dunia makin menyusut. Sebagai gantinya, kini muncul kekuatan ekonomi baru, seperti China, India, dan Rusia.

Krisis keuangan global yang terjadi saat ini merupakan koreksi atas kesenjangan (gap) yang terjadi antara pertumbuhan sektor riil dan sektor finansial. Koreksi berupa penurunan harga-harga di sektor finansial dan kenaikan harga-harga di sektor riil, seperti harga komoditas.

Hal tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa meskipun krisis moneter di Amerika Serikat telah memicu krisis ekonomi global, dan di Indonesia juga terkena dampaknya dengan melemahnya nilai Rupiah dan jatuhnya pasar saham, kita tidak perlu khawatir karena krisis tersebut tidak akan melumpuhkan perekonomian Indonesia seperti yang terjadi pada sepuluh tahun yang lalu.

Rating: 0.0/10 (0 votes cast)Rating: 0 (from 0 votes)

Popularity: 1% [?]

www.ginandjar.com

1

KRISIS MONETER DAN DAMPAKNYA TERHADAP REPELITA VII

Oleh:

Ginandjar Kartasasmita

Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri

Disampaikan pada Rapim ABRI

Jakarta, 10 Februari 1998

I. PENDAHULUAN

Page 50: 1 Krisis Moneter Indonesia

Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Illahi Rabi yang senantiasa

melimpahkan rahmat dan lindungan-Nya kepada kita sekalian. Selanjutnya, dalam suasana yang sangat

diwarnai oleh semangat silaturahmi ini, kami juga mengucapkan Selamat Lebaran 1418 Hijriah, Minal

Aidin Wal Faizin, dan Mohon Maaf Lahir dan Bathin kepada saudara-saudara yang merayakannya.

Seperti kita semua ketahui, bangsa Indonesia sedang menghadapi cobaan yang sangat berat.

Krisis ekonomi yang sedang kita alami sekarang secara mendasar telah mengubah kondisi

perekonomian Indonesia. Dampak negatipnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Pertumbuhan

ekonomi kita menurun tajam, disertai dengan pengangguran yang meningkat pesat. Kenaikan harga-

harga tidak tertahankan lagi. Keadaan menjadi lebih buruk dengan adanya musim kekeringan yang

sangat panjang. Di beberapa daerah telah terjadi rawan pangan yang cukup parah.

Kondisi yang berat ini tentu akan mempengaruhi pembangunan nasional kita di masa depan.

Masalah krisis ekonomi, dan pengaruhnya terhadap formulasi Repelita VII akan menjadi pusat

pembahasan saya pada pagi hari ini. Namun, karena Repelita VII harus merupakan penjabaran dari

Garis-garis Besar Haluan Negara 1998 yang saat ini belum memperoleh pengesahan oleh wakil-wakil

kita di MPR, maka saya akan membahasnya secara garis besarnya saja.

II. KRISIS KEUANGAN

Perkembangan nilai tukar Rupiah yang kita hadapi sejak Agustus hingga awal tahun 1998 ini

menunjukkan gejolak yang lebih panjang dan lebih dalam. Nilai rupiah telah merosot lebih dari 75

persen sejak bulan Juli 1997 yang lalu. Depresiasi Rupiah, yang banyak pihak menyatakan telah

melebihi kewajaran ini, berkembang menjadi krisis ekonomi. Bagaimana proses terjadinya krisis ini

masih belum dapat ditentukan secara tepat, namun ada beberapa faktor yang diperkirakan dominan

mendorong terjadinya krisis.

Sejak dilepaskannya rentang intervensi dalam bulan Agustus 1997 yang lalu, terdapat faktor

internal yang menyebabkan tajamnya penurunan nilai tukar rupiah. Kita harus mengakui adanya faktor

imbas dari gejolak nilai tukar mata-uang negara-negara tetangga, yang dimulai dari Thailand. Namun,

faktor eksternal tersebut diperkirakan lebih kecil efeknya daripada tiga masalah internal perekonomian

kita yang mencuat ke permukaan selama dua tahun terakhir.

Masalah pertama adalah akumulasi serta membengkaknya kesenjangan tabungan dan investasi

masyarakat yang tercermin pula dalam defisit transaksi berjalan. Misalnya dalam kurun waktu

1993/94-1996/97, defisit transaksi berjalan terus mengalami peningkatan dari US$ 2,9 miliar menjadi

US$ 8,1 miliar.

Kedua, adalah lemahnya sektor perbankan seperti tercermin dari besarnya kredit macet yang

disebabkan oleh praktek perbankan yang tidak berhati-hati (prudent). Banyak kredit disalurkan bukan

berdasarkan pada kriteria-kriteria yang umum digunakan, misalnya keuntungan. Banyak bank yang

menyalurkan hanya kepada kelompok-kelompok bisnisnya. Hal ini tidak saja melanggar ketentuan www.ginandjar.com

2

perbankan legal lending limit, tetapi juga meningkatkan resiko usaha bank yang bersangkutan. Sektor

Page 51: 1 Krisis Moneter Indonesia

property juga mendapatkan kredit yang berlebihan. Industri perbankan yang lemah tersebut menjadi

lebih lemah dengan adanya gejolak moneter. Likuidasi 16 bank pada bulan Nopember yang lalu

ternyata semakin menggoyahkan kepercayaan nasabah dan kreditor bank kepada sistem perbankan

kita. Untuk memulihkan kepercayaan tersebut, sampai Pemerintah perlu memberikan jaminan kepada

nasabah dan kreditor Bank, untuk menenangkan para depositor dan berangsur-angsur dapat

memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan kita.

Tingginya suku bunga dalam negeri pada waktu yang lalu membuat banyak perusahaan lebih

tertarik mencari pinjaman luar negeri yang bersuku bunga lebih rendah, khususnya dalam mata uang

dolar AS, daripada dana dalam negeri. Hutang luar negeri swasta meningkat dengan pesat selama

Repelita VI ini. Nilai hutang swasta saat ini diperkirakan mencapai sekitar US$ 73,9 miliar

1

, dari

keseluruhan hutang luar negeri pada saat ini sekitar US$ 137,4 miliar. Keadaan ini dianggap sebagai

salah satu pemicu krisis ekonomi Indonesia. Dengan adanya gejolak nilai tukar, pihak swasta langsung

memburu dolar untuk membayar hutang mereka, walaupun sebagian daripadanya masa jatuh temponya

belum tiba. Mereka khawatir bahwa Rupiah akan terus melemah, dan tentu saja akan sangat

mengganggu kesehatan perusahaan mereka. Kekhawatiran yang berlebihan ini menjadi kenyataan

(self-fulfilling prophecy), karena semakin banyak yang memburu dolar maka rupiah semakin melemah.

Ini merupakan masalah ketiga, yakni besarnya hutang perusahaan swasta kita dalam bentuk dolar.

Krisis moneter yang melanda kawasan Asia ini mengakibatkan rupiah terdepresiasi menjadi

sekitar Rp. 10.000 per satu dolar Amerika pada hari terakhir ini. Padahal pada 1 Juli 1997 yang lalu

harga satu dolar Amerika masih Rp. 2.430. Jadi depresiasinya adalah 75,8 persen, padahal di negara-

negara sekawasan yang juga terkena krisis moneter, depresiasi yang tertinggi adalah 48,8 persen, yaitu

mata-uang Baht. Krisis ini mempunyai ramifikasi yang sangat luas. Pertama, perusahaan-perusahaan

baik BUMN maupun swasta yang mempunyai hutang luar negeri dan tidak mengasuransikannya

(hedge) mengalami kesulitan melunasi pokok dan bunga hutangnya. Sebagian bahkan secara teknis

sudah bangkrut oleh karena modal neto sudah negatip. Akibat lanjutannya adalah makin meningkat

lagi kredit macet di sektor perbankan, dan terjadi pemutusan hubungan kerja. Keadaan ini telah

menyebabkan makin rendahnya kepercayaan masyarakat domestik maupun internasional akan prospek

perekonomian kita. Masyarakat kita sendiri menjadi enggan menyimpan dananya di perbankan dan

cenderung menyimpan uang dalam bentuk dolar. Masyarakat internasional terlebih lagi sangat

meragukan kesehatan lembaga keuangan dan perusahaan swasta nasional, yang juga didorong oleh

menurunnya peringkat perusahaan swasta nasional kita yang diberikan oleh Standard & Poor dan

Moody. Bahkan Letter of Credit (L/C) yang dikeluarkan oleh bank swasta nasional tidak diterima oleh

eksportir asing, sehingga menimbulkan hambatan terhadap impor, termasuk bahan baku, yang sangat

diperlukan.

Kedua, harga bahan baku dan barang antara (intermediate goods) terutama yang diimpor

meningkat. Sebagai akibatnya, harga barang jadi juga meningkat. Kenaikan tersebut pada akhirnya

harus diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Sebagai akibatnya inflasi

meningkat.

Page 52: 1 Krisis Moneter Indonesia

Kenaikan harga dari kebutuhan masyarakat ini tercermin dari kenaikan tingkat inflasi sejak

Oktober 1997, utamanya pada bulan Januari lalu yang mencapai sekitar 6,9 persen, suatu tingkat

inflasi tertinggi dalam kurun waktu 20 tahun ini. Inflasi dalam tahun anggaran 1997/98 sampai dengan

Januari telah mencapai 16,0 persen. Sebagai negara yang selama 30 tahun berhasil mengendalikan

inflasi pada tingkat yang aman sudah tentu keadaan ini sangat mengkhawatirkan. Sudah hampir dapat

dipastikan bahwa upah riil buruh, utamanya upah gaji tetap (fixed income earner), akan turun cukup

besar.

Kita telah merasakan bahwa harga-harga kebutuhan bahan pokok telah meningkat dengan

1

Hutang swasta nasional sebenarnya hanya sekitar US$ 23,07 miliar, dan sisanya sebagian besar

terdiri dari hutang perusahaan patungan dengan pihak luar negeri. www.ginandjar.com

3

pesat. Selain kebutuhan pokok, penyediaan obat-obatan yang hampir 90 persen bahan bakunya diimpor

juga mengalami goncangan. Stok bahan baku untuk obat-obatan yang terbatas, serta menurunnya daya

beli masyarakat akan menurunkan kemampuan masyarakat untuk mendapatkan obat-obatan yang

sangat diperlukannya.

Kita harus menyadari bahwa proses penyesuaian dengan situasi baru ini masih belum selesai.

Walaupun inflasi dalam bulan Januari lalu sudah mencapai 6,9 persen, proses penyesuaian harga

tersebut belum selesai sehingga tingkat harga umum diperkirakan akan masih meningkat. Hambatan

terhadap proses penyesuaian harga ini, karena satu dan lain hal, akan berakibat penurunan produksi

atau bahkan penutupan perusahaan sama sekali. Penyesuaian yang dilakukan oleh dunia usaha ini akan

menyebabkan tingkat pengangguran masih meningkat. Kedua masalah ini, inflasi dan pengangguran

yang semakin meningkat, akan menyebabkan daya beli masyarakat akan semakin menurun. Akibatnya

akan meningkat pula kerawanan sosial dan ancaman bagi stabilitas politik.

Seperti kita ketahui bersama, asumsi yang digunakan dalam penyusunan RAPBN 1998/99

adalah nilai tukar sebesar Rp. 5.000 per dolar AS, tingkat inflasi sekitar 20 persen, dan tanpa adanya

pertumbuhan riil dari perekonomian kita. Dengan menggunakan asumsi ini, Pemerintah telah

menyadari bahwa tingkat pengangguran akan meningkat. Bahkan diperkirakan tingkat pengangguran,

mencapai sekitar 10 persen dari angkatan kerja kita, atau sekitar 8,7 juta pekerja, dibandingkan

perkiraan tahun 1997 sekitar 5,7 persen atau 5,3 juta pekerja. Bisa kita perkirakan bahwa

pengangguran terdidik akan meningkat pesat pula.

Keadaan akan lebih buruk apabila nilai tukar rupiah tidak menguat kembali seperti yang kita

harapkan. Memang tidak akan kembali seperti semula, yaitu sekitar Rp. 2.500 per dolar AS, karena

dalam tingkat itu Rupiah kita overvalued, tetapi di atas Rp. 5.000/6.000, sesungguhnya Rupiah kita

menurut perkiraan sudah undervalued. Jika keadaan seperti sekarang ini terus berlangsung,

perekonomian kita akan mengalami pertumbuhan negatip, suatu keadaan yang tidak pernah kita alami

dalam kurun waktu Orde Baru ini. Demikian pula dengan tingkat pengangguran kita yang akan

semakin meningkat dengan menurunnya kemampuan penyerapan tenaga kerja akibat pertumbuhan

Page 53: 1 Krisis Moneter Indonesia

negatip dari perekonomian kita.

Selain krisis ekonomi kita juga mengalami kekeringan yang disebabkan oleh badai El Nino

yang mempengaruhi kawasan Asia. Musim kekeringan yang berkepanjangan yang menyebabkan

mundurnya musim tanam dan panen pada tahun 1997/98 terjadi di berbagai daerah di seluruh

Indonesia. Selain berdampak langsung terhadap penurunan produksi sektor pertanian, musim

kekeringan inipun mengakibatkan kebakaran hutan di beberapa daerah, yang pada gilirannya

menurunkan produktivitas sektor pertanian. Pada tahun 1997 yang baru lalu, sub-sektor tanaman bahan

makanan mengalami pertumbuhan negatip, -1,8 persen, dan demikian juga dengan sektor kehutanan

sebesar -0,6 persen. Sedangkan sub-sektor tanaman perkebunan, peternakan dan perikanan masih dapat

tumbuh lebih dari 4 persen.

Memasuki tahun 1998, keterlambatan musim tanam dan panen ini tidak dapat mendorong

sektor pertanian untuk segera kembali pulih. Selain itu, ternyata gejala El Nino masih mempengaruhi

iklim kita, sehingga musim hujan ini tidak berlangsung seperti biasanya. Sejak bulan Pebruari ini

mulai terasa berkurangnya curah hujan di beberapa tempat di Indonesia. Bahkan di Kalimantan Timur,

curah hujan sangat sedikit sehingga kebakaran hutan harus selalu diwaspadai. Sektor pertanian yang

diharapkan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi pada saat yang sulit ini tidak dapat tumbuh

secepat yang diharapkan.

Melambatnya pertumbuhan sektor pertanian ini juga ikut memberikan tekanan berat pada

kemampuan perekonomian Indonesia dalam penyerapan tenaga kerja, apalagi dalam keadaan krisis

ekonomi saat ini. Juga mempengaruhi ketersediaan komoditi pangan, sehingga berpengaruh pula pada

laju inflasi. Biasanya sektor konstruksi di perkotaan dapat menyerap tenaga kerja yang berasal dari

pedesaan dalam musim kemarau. Namun krisis ekonomi yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan

sektor konstruksi ini berdampak pada penurunan tenaga kerja musiman yang bisa diserap. Pekerja

musiman, yang biasanya merupakan tenaga lepas, ini merupakan kelompok sasaran dari program padat

kerja yang sudah mulai kita laksanakan. www.ginandjar.com

4

Pemerintah menyadari bahwa krisis ekonomi akan mempunyai dampak yang besar dan harus

ditangani dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat crash program. Untuk menjaga stabilitas harga

pangan, Pemerintah telah mengimpor beras. Selain itu diupayakan peningkatan produksi pangan

dengan menekan kehilangan hasil panen musim tanam 1997/98, serta meningkatkan intensifikasi dan

pemanfaatan lahan-lahan ‘tidur’ (tidak produktif). Sementara itu melalui program padat karya

diharapkan dapat menyerap tenaga kerja yang kehilangan pekerjaannya. Kegiatan crash program ini

diarahkan kepada pekerja berketerampilan rendah di daerah perkotaan dan perdesaan. Sedangkan jenis

kegiatannya mencakup rehabilitasi atau pembangunan jalan desa, saluran irigasi, lingkungan dan

usaha-usaha produktif lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat.

Dalam penyusunan anggaran tahun mendatang, upaya penanggulangan kemiskinan dan

pemerataan pembangunan tetap dilanjutkan dan diprioritaskan. Anggaran rupiah yang didaerahkan

mencapai dua per tiga dari seluruh tabungan pemerintah. Dengan alokasi ini diharapkan daerah dapat

memelihara momentum pembangunan dan kegiatan ekonomi masyarakat.

Page 54: 1 Krisis Moneter Indonesia

Upaya penciptaan lapangan kerja juga terus dilanjutkan dan mencakup antara lain program

pengembangan wirausaha, serta pengembangan agroindustri dan produksi pangan, yang relatif padat-

karya dan tidak begitu terpengaruh oleh melonjaknya nilai tukar Rupiah terhadap mata-uang asing.

Pada tataran makro langkah-langkah untuk mengatasi berkembangnya gejolak nilai tukar

Rupiah telah diupayakan sejak awal gejolak. Pemerintah menjalankan kebijaksanaan fiskal dan

moneter yang ketat. Kebijaksanaan fiskal yang dilaksanakan antara lain meliputi penjadwalan kembali

beberapa proyek-proyek dan merevisi penggunaan anggaran pembangunan. Sementara itu dalam

rangka kebijaksanaan moneter ketat maka suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dinaikkan.

Selain itu Pemerintah telah menyusun program reformasi dan restrukturisasi ekonomi dan

keuangan yang menyeluruh dan mencakup berbagai bidang. Program-program itu meliputi bidang

moneter, perbankan, fiskal, perdagangan dalam dan luar negeri, investasi dan privatisasi BUMN. Sejak

diumumkannya program reformasi ini oleh Bapak Presiden pertengahan bulan Januari 1998 yang lalu

sebagai kesepakatan dengan IMF, telah banyak yang dilaksanakan dengan dikeluarkannya berbagai

peraturan dan Keputusan Presiden serta Instruksi Presiden yang bertujuan menyehatkan sistem

perbankan kita dan menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat, misalnya pembentukan Dewan

Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan, pemberian jaminan atas deposito masyarakat dan

pinjaman perbankan, pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional, penyelesaian utang swasta,

dan berbagai program lainnya.

Krisis ekonomi yang sedang kita alami ini merupakan cobaan yang sangat berat bagi

perjalanan hidup bangsa kita. Pengangguran diperkirakan masih akan meningkat, sementara harga-

harga kebutuhan pokok naik dengan cepat. Keadaan ini mungkin menyebabkan sebagian dari kita

mengira bahwa hal ini merupakan akibat dari reformasi yang kita sudah mulai dan akan kita jalankan

terus.

Pandangan itu tidak sepenuhnya tepat. Langkah-langkah reformasi ini merupakan langkah

yang harus dijalani agar kita dapat keluar dari krisis ekonomi ini. Memang reformasi ini terasa seperti

pil pahit yang harus kita ‘telan’. Sebagian dari kita mungkin tidak bisa menerima program-program

reformasi yang akan dan sudah dijalankan. Di sinilah diharapkan peran ABRI, yaitu mengamankan

pelaksanaan langkah reformasi dengan mencegah oknum-oknum mengail di air keruh.

III. REPELITA VII

Dengan berbagai keadaan seperti yang saya uraikan di atas jelas bahwa sesungguhnya kita

sedang dalam keadaan krisis ekonomi yang terparah sejak awal Orde Baru, bahkan oleh duniapun telah

dianggap sebagai kondisi yang dapat mengganggu ekonomi kawasan dan ekonomi dunia pada

umumnya. Kemungkinan besar sebagian sasaran-sasaran yang ditetapkan dalam Repelita VI akan sulit

dicapai. Sehingga dalam memasuki Repelita VII kita masih akan mengejar berbagai sasaran yang

belum terpenuhi pada Repelita VI. www.ginandjar.com

5

Dalam proses penyesuaian ini diperkirakan tidak akan terjadi pertumbuhan untuk tahun

1998/99. Kita tidak dapat mengetahui berapa lama kita akan keluar dari krisis ini dan setelah keluar

Page 55: 1 Krisis Moneter Indonesia

dari krisis berapakah tingkat pertumbuhan yang berkelanjutan tersebut. Mungkin saja tingkat

pertumbuhan yang berkelanjutan untuk Indonesia akan berada di bawah pertumbuhan yang biasa kita

nikmati selama ini.

Seperti kita ketahui, pertumbuhan ekonomi kita selama ini memang cukup tinggi. Selama 30

tahun terakhir ekonomi Indonesia tumbuh dengan rata-rata 7 persen per tahun. Bahkan, dalam tahun

1996 pertumbuhan ekonomi kita mencapai sekitar 8 persen. Hanya sedikit lebih rendah dari tahun

1995 yang mencapai 8,2 persen. Berdasarkan pengalaman pertumbuhan yang selalu tinggi inilah kita

menetapkan sasaran pertumbuhan ekonomi selama PJP II sebesar rata-rata 7 persen per tahunnya.

Dengan kata lain, kita bisa menganggap bahwa pertumbuhan 7 persen adalah pertumbuhan yang

berkelanjutan sesuai dengan daya dukung perekonomian kita. Namun, dengan perkembangan akhir-

akhir ini perekonomian kita mengalami penyesuaian struktural yang sangat drastis. Sehingga sasaran

rata-rata pertumbuhan pada Repelita VII sebesar 7 persen untuk sementara ini di luar jangkauan kita.

Potensi pertumbuhan perekonomian ini dapat kita dekati dari sumber-sumber

pertumbuhannya, yaitu pertumbuhan modal, tenaga kerja, dan produktivitas. Perlu saya tekankan di

sini bahwa prioritas pembangunan dalam Repelita VII tetap pada bidang ekonomi seiring dengan

pembangunan SDM, dan landasan kebijaksanaan pembangunan tetap pada Trilogi Pembangunan, yaitu

pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas.

Akumulasi modal diperkirakan tidak akan meningkat secepat beberapa tahun terakhir ini.

Selama ini Indonesia dianggap sebagai tempat yang menarik untuk melakukan investasi. Investasi

langsung luar negeri selalu meningkat dengan pesat. Selain investasi langsung luar negeri, dana luar

negeri dalam bentuk pinjaman maupun portofolio-pun meningkat dengan pesat. Indonesia dianggap

sebagai tempat yang sangat menguntungkan dalam melakukan investasi. Dengan demikian kita terbiasa

dengan masuknya modal dari luar negeri untuk mendukung pembangunan yang sedang kita jalankan.

Nampaknya untuk kurun waktu Repelita VII segala keberuntungan ini akan sulit kita peroleh lagi.

Berkurangnya kepercayaan pihak luar negeri terhadap mata uang kita akan mengakibatkan lebih

langkanya investasi langsung luar negeri maupun dana luar negeri lainnya. Dalam dua atau tiga tahun

ke depan para investor akan sangat berhati-hati sebelum memutuskan untuk menanamkan modalnya di

Indonesia. Kondisi ini juga menuntut ABRI untuk tetap dapat menjaga stabilitas politik dan keamanan

kita.

Pemeliharaan stabilitas politik tersebut harus didukung dengan upaya-upaya penyediaan

bantuan sebagai jaring penyelamat (safety net), khususnya untuk mengurangi beban masyarakat kita

yang berpendapatan rendah dan miskin selama proses penyesuaian ini berlangsung. Karena memang

saudara-saudara kita inilah yang paling rawan dalam menghadapi perubahan kondisi ekonomi. Saat ini

telah dijalankan berbagai proyek padat karya. Proyek-proyek seperti ini mungkin masih akan

diperlukan pada awal-awal Repelita VII sehingga lapisan masyarakat yang terkena dampak krisis

keuangan mempunyai waktu untuk dapat menyesuaikan dengan keadaan ekonomi yang baru.

Selain itu, kita juga sudah mendapatkan bukti bahwa untuk membantu saudara-saudara kita ini

harus dilandasi dengan konsep pemberdayaan. Kita tidak akan melindungi secara berlebihan. Karena

hal ini hanya akan memperlemah. Satu-satunya jalan adalah memberdayakan, memberi akses kepada

mereka untuk dapat meningkatkan modal, baik finansial, maupun SDM dengan penyediaan fasilitas-

Page 56: 1 Krisis Moneter Indonesia

fasilitas pelayanan sosial yang diperlukan seperti pendidikan, kesehatan dan lainnya. Namun untuk

satu dua tahun ke depan ini Pemerintah tampaknya harus kembali memberi subsidi pada masyarakat

untuk beberapa kebutuhan pokok, seperti beras, gula, kedele, terigu, dan BBM. Secara bertahap

subsidi tersebut harus kita kurangi lagi.

Kita tidak boleh melupakan program pengentasan masyarakat miskin. Kita masih bertekad

bahwa kemiskinan absolut sebagian besar sudah akan terselesaikan pada akhir Repelita VII. Dalam

penanggulangan kemiskinan, kita telah mendapatkan hasil yang cukup menggembirakan, walaupun

jumlah penduduk miskin masih besar. Saudara kita yang harus hidup di bawah garis kemiskinan

absolut berjumlah 22,5 juta atau sekitar 11,3 persen. Program ini harus dilanjutkan, bahkan www.ginandjar.com

6

ditingkatkan dalam Repelita VII.

Di samping menjaga stabilitas politik, salah satu tugas utama kita dalam menarik minat

investor dalam Repelita VII, adalah melanjutkan proses pemulihan kepercayaan terhadap

perekonomian Indonesia. Melanjutkan pemulihan kepercayaan terhadap mata uang rupiah dan pasar

modal harus menjadi prioritas utama. Karena hanya dengan kepercayaan yang semakin mantap ini,

maka investasi dan oleh karena itu pertumbuhan ekonomi, akan mencapai tingkat yang berkelanjutan

lagi.

Pemantapan pelaksanaan reformasi ekonomi harus terus dilanjutkan. Kebijaksanaan ekonomi

yang akan diambil dalam Repelita VII harus pula mengacu pada komitmen kita terhadap lingkungan

internasional, seperti WTO, APEC dan AFTA.

Sumber pertumbuhan yang kedua adalah pertumbuhan angkatan kerja. Secara kuantitas, faktor

ini tidak menjadi permasalahan. Namun agar efektif diperlukan sumber daya manusia yang lebih baik.

Dalam jangka pendek memang kita tidak akan kekurangan tenaga kerja tetapi pada saat kita terlepas

dari resesi ini, apalagi bila struktur industri kita menjelma dengan bentuk yang berbeda, kebutuhan

akan sumber daya manusia yang lebih berkualitas tidak dapat dihindari.

Selain itu, telah terbukti selama ini bahwa peningkatan pendidikan masyarakat kita merupakan

‘modal’ bagi masyarakat kita yang berpendapatan rendah untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Dengan demikian, selain untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dengan lebih cepat,

pendidikan juga akan memperkecil tingkat kesenjangan pada masyarakat kita.

Untuk itu dalam Repelita VII segala upaya wajib belajar yang telah dilakukan di sekolah dasar

akan terus dilanjutkan. Program Wajib Belajar 9 tahun (WAJAR 9 tahun) akan tetap mendapatkan

prioritas yang tinggi, sehingga dapat dilakukan sesuai rencana, yaitu selambat-lambatnya tuntas pada

Repelita VIII. Perbaikan kurikulum perlu dilakukan pada semua tingkat pendidikan. Upaya

peningkatan tingkat partisipasi pada tingkat sekolah menengah pertama dan atas akan terus diupayakan

selama Repelita VII ini. Selanjutnya dalam situasi yang sulit ini kita juga tidak akan melupakan

pendidikan tinggi. Dalam suasana ekonomi yang makin terbuka dan bebas ini lulusan pendidikan

tinggi akan makin dibutuhkan. Sudah tentu pemerintah tidak dapat melakukan sendiri penyelenggaraan

pendidikan tinggi tersebut. Pemerintah membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi pihak swasta

untuk ikut serta dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi. Dengan makin banyaknya lulusan

Page 57: 1 Krisis Moneter Indonesia

perguruan tinggi diharapkan kita akan semakin kompetitif.

Sumber pertumbuhan ketiga adalah peningkatan produktivitas. Peningkatan kualitas SDM

seperti diuraikan di atas akan sangat menunjang peningkatan produktivitas, utamanya setelah proses

penyesuaian yang sedang kita alami saat ini. Tidak kalah pentingnya sebagai sumber peningkatan

produktivitas adalah realokasi sumber daya ekonomi. Reformasi ekonomi yang sedang kita lakukan

akan membebaskan segala macam hambatan dalam realokasi sumber daya ekonomi tersebut. Berbagai

keputusan akan lebih banyak dilakukan oleh para pelaku pasar.

Namun penurunan produktivitas tenaga kerja mungkin akan terjadi dalam proses penyesuaian.

Hal ini disebabkan oleh kecenderungan dunia usaha kita untuk tidak begitu saja memecat para

karyawannya. Dengan demikian, walaupun produktivitas mungkin akan menurun, namun hal ini masih

lebih baik bagi pekerja daripada harus kehilangan pekerjaan. Selain itu, dunia usaha juga akan dapat

segera meningkatkan produktivitas usahanya dengan cepat jika proses penyesuaian telah berhasil

dilaluinya, tanpa harus mencari dan melatih pekerja baru lagi.

Dalam rangka peningkatan produktivitas tersebut, peningkatan peran pemerintah daerah harus

ditingkatkan. Karena pemerintah daerahlah yang merupakan ujung tombak dari kegiatan pembangunan

yang dilaksanakan Pemerintah. Pemerintah daerah lebih mengetahui karakteristik daerah dan

kebudayaan setempat. Proses umpan balik dari masyarakatpun diharapkan memberikan hasil yang

lebih cepat. Sehingga agenda yang penting dalam Repelita VII adalah mendorong proses desentralisasi.

Di lain pihak, desentralisasi tidaklah cukup hanya dengan kemauan politik semata. Desentralisasi harus

pula dibarengi dengan peningkatan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia di daerah. Karena

kemampuan sumber daya yang tidak memadai justru akan menurunkan efisiensi dan efektivitas dari www.ginandjar.com

7

proyek pembangunan di daerah.

IV PENUTUP

Demikianlah uraian saya mengenai berbagai keadaan serta prioritas yang akan

melatarbelakangi pembuatan Repelita VII. Walaupun kita masih menghadapi krisis ekonomi yang

sangat berat ini, tetapi saya percaya bahwa ekonomi kita jauh akan lebih sehat setelah krisis ini

terlewati.

Sudah tentu masih banyak lagi program-program penting yang akan masuk dalam Repelita

VII, saya mengharapkan Rapim ABRI ini dapat pula memberikan masukan agar dapat ikut mewarnai

Repelita VII.