dampak kebijakan dalam pembangunan waduk jatigede impact...

77
161 Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact of Policy in Jatigede Dam Development Dicky Fransisco Simanjuntak 1 masmian mahida 2 Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Penerapan Teknologi Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jl.Pattimura No.20 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Email : 1 [email protected], 2 [email protected] Tanggal diterima: 27 Agustus 2015; Tanggal disetujui: 30 Oktober 2015 ABSTRACT The main challenge in the construction of Jatigede Dam is land acquisition. Jatigede construction delays have caused delays in development of public facilities that have impacted the welfare of affected villages. This has led to the rise of disparities between regions in District Jatigede. This study aims to analyze the impact of policy on the development of Jatigede Dam. By studying the impact of a policy during the construction process, different types of potentially adverse impacts can be identified. This study uses a qualitative method by using primary and secondary data. Primary data were obtained from the field observations around Jatigede inundation area. Secondary data were obtained by reviewing previous studies, conflict- related research, studies and regulations, and news related to the construction of Jatigede Dam. The results showed that a democratic approach is needed in the management of conflict. Operationalization strategy in management of conflict should be through social control by preventive and persuasive methods. It would also require certainty and decisiveness in the implementation of the policies. Keywords: Jatigede Dam, conflict, policies, impact of policies, social control ABSTRAK Tantangan utama dalam pembangunan Waduk Jatigede adalah pengadaan lahan. Terhambatnya pembangunan Waduk Jatigede telah menyebabkan tersendatnya pembangunan fasilitas publik yang berdampak pada kesejahteraan desa yang terkena dampak. Hal ini menyebabkan munculnya kesenjangan antar wilayah di Kecamatan Jatigede. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dampak kebijakan pada proses pembangunan Waduk Jatigede. Dengan diketahuinya dampak sebuah kebijakan dalam proses pembangunan, dapat diidentifikasi berbagai jenis dampak yang berpotensi merugikan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil observasi lapangan di sekitar area genangan Waduk Jatigede. Data sekunder diperoleh dengan mengkaji penelitian terdahulu, penelitian terkait konflik, studi perundangan, dan berita-berita terkait pembangunan Waduk Jatigede. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibutuhkan pendekatan demokratis dalam penanganan konflik. Strategi operasionalisasi kebijakan penanganan konflik adalah melalui pengendalian sosial secara preventif dan persuasif. Selain itu dibutuhkan juga kepastian dan ketegasan dalam implementasi kebijakan. Kata Kunci : Waduk Jatigede, konflik, kebijakan, dampak kebijakan, pengendalian sosial penDaHuluan Pembangunan infrastruktur Sumber Daya Air, seperti waduk dan bendungan sangat dibutuhkan pada saat ini dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional ketahanan pangan merupakan dasar bagi ketahanan ekonomi. Untuk dapat melaksanakan pembangunan dengan baik, ketahanan pangan haruslah diwujudkan terlebih dahulu. Sambrani (2014) menyebutkan bahwa ketersediaan infrastruktur yang berkualitas merupakan sebuah keharusan agar pembangunan ekonomi yang cepat dapat tercapai serta membutuhkan investasi terus menerus. Data Balai Bendungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan hingga tahun 2014 jumlah bendungan besar di Indonesia, berjumlah 208 dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah seluruh bendungan tersebut mengairi lahan irigasi seluas kurang lebih 827.905 hektar.

Upload: phungthuy

Post on 10-Mar-2019

254 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

161

Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe

Impact of Policy in Jatigede Dam Development

Dicky Fransisco Simanjuntak1 masmian mahida2

Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Penerapan Teknologi Badan Penelitian dan Pengembangan

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Jl.Pattimura No.20 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110Email :[email protected], [email protected]

Tanggal diterima: 27 Agustus 2015; Tanggal disetujui: 30 Oktober 2015

ABSTRACT

The main challenge in the construction of Jatigede Dam is land acquisition. Jatigede construction delays have caused delays in development of public facilities that have impacted the welfare of affected villages. This has led to the rise of disparities between regions in District Jatigede. This study aims to analyze the impact of policy on the development of Jatigede Dam. By studying the impact of a policy during the construction process, different types of potentially adverse impacts can be identified. This study uses a qualitative method by using primary and secondary data. Primary data were obtained from the field observations around Jatigede inundation area. Secondary data were obtained by reviewing previous studies, conflict-related research, studies and regulations, and news related to the construction of Jatigede Dam. The results showed that a democratic approach is needed in the management of conflict. Operationalization strategy in management of conflict should be through social control by preventive and persuasive methods. It would also require certainty and decisiveness in the implementation of the policies.

Keywords: Jatigede Dam, conflict, policies, impact of policies, social control

ABSTRAK

Tantangan utama dalam pembangunan Waduk Jatigede adalah pengadaan lahan. Terhambatnya pembangunan Waduk Jatigede telah menyebabkan tersendatnya pembangunan fasilitas publik yang berdampak pada kesejahteraan desa yang terkena dampak. Hal ini menyebabkan munculnya kesenjangan antar wilayah di Kecamatan Jatigede. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dampak kebijakan pada proses pembangunan Waduk Jatigede. Dengan diketahuinya dampak sebuah kebijakan dalam proses pembangunan, dapat diidentifikasi berbagai jenis dampak yang berpotensi merugikan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil observasi lapangan di sekitar area genangan Waduk Jatigede. Data sekunder diperoleh dengan mengkaji penelitian terdahulu, penelitian terkait konflik, studi perundangan, dan berita-berita terkait pembangunan Waduk Jatigede. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibutuhkan pendekatan demokratis dalam penanganan konflik. Strategi operasionalisasi kebijakan penanganan konflik adalah melalui pengendalian sosial secara preventif dan persuasif. Selain itu dibutuhkan juga kepastian dan ketegasan dalam implementasi kebijakan.

Kata Kunci : Waduk Jatigede, konflik, kebijakan, dampak kebijakan, pengendalian sosial

penDaHuluan

Pembangunan infrastruktur Sumber Daya Air, seperti waduk dan bendungan sangat dibutuhkan pada saat ini dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional ketahanan pangan merupakan dasar bagi ketahanan ekonomi. Untuk dapat melaksanakan pembangunan dengan baik, ketahanan pangan haruslah diwujudkan terlebih dahulu. Sambrani (2014) menyebutkan bahwa ketersediaan infrastruktur yang berkualitas

merupakan sebuah keharusan agar pembangunan ekonomi yang cepat dapat tercapai serta membutuhkan investasi terus menerus.

Data Balai Bendungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan hingga tahun 2014 jumlah bendungan besar di Indonesia, berjumlah 208 dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah seluruh bendungan tersebut mengairi lahan irigasi seluas kurang lebih 827.905 hektar.

Page 2: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

162

Pada praktiknya, pemerintah saat ini yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sedang melakukan program pembangunan 49 bendungan yang direncanakan pada tahun 2014 hingga tahun 2019.

Namun, tantangan pembangunan 49 bendungan di Indonesia sangatlah berat, terutama dari aspek sosial, yakni pembebasan lahan. Permasalahan sosial ini berkaitan kuat karena menimbulkan konflik vertikal, antara pemerintah dengan masyarakat. Selain itu, diperlukan pengendalian sosial untuk menghindarkan konflik yang terjadi atau setidaknya mengurangi konflik lebih lebar.

Dari sisi legal aspek, pemerintah menerbitkan Undang-undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang mengamanahkan penyelesaian perselisihan dalam masyarakat yang dilakukan secara damai dengan mengutamakan musyawarah untuk mufakat dan Pemerintah serta Pemerintah Daerah berkewajiban meredam potensi konflik dalam masyarakat. Namun pada prakteknya di lapangan dengan adanya UU No. 7 Tahun 2012, masih banyak proses penanganan konflik tanah di Indonesia yang berakhir dengan kekerasan negara (represif) daripada dengan transformasi konflik (Susan, 2012).

Beberapa studi terkait konflik menyebutkan bahwa proses alokasi lahan di Indonesia merupakan sebuah proses politik (Nurrochmat et al., 2012) dan diatur oleh kebijakan-kebijakan yang saling bertentangan (Brockhaus et al., 2012). Dalam Qian (2015) dijelaskan bahwa penduduk desa terkadang menolak untuk direlokasi karena berbagai alasan dan hanya sedikit yang terkait dengan kebijakan ganti rugi. Beberapa penduduk desa yang sudah tua telah memiliki keterikatan psikologis yang kuat dengan rumah pedesaan dan lingkungan mereka dan menolak segala jenis perubahan.

Konflik baru muncul saat pemerintah lokal bernegoisasi dengan para petani dalam pengadaan lahan untuk kepentingan pribadi dan memberikan ganti rugi tambahan. Kesalahan institusi adalah penyebab utama dari jenis konflik lahan seperti ini. Kesalahan ini disebabkan oleh kontradiksi dan inkonsistensi pada hukum yang mengatur pengadaan lahan (Huia dan Bao, 2012).

Shi (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa dalam proyek infrastruktur hidrolik faktor-faktor kompensasi lahan, penggusuran permukiman yang tidak adil, kerugian usaha ekonomi akibat pengadaan lahan dan penggusuran, dan dampak-dampak pembangunan pada usaha ekonomi merupakan resiko-resiko sosial yang paling kritikal.

Dhiaulhaq et al. (2014) menjelaskan ketika konflik terjadi pemegang utama kekuasaan (biasanya perusahaan dan pemerintah) harus berusaha menjamin dilakukan transformasi konflik (mengatasi penyebab dasarnya), daripada menangani permasalahan di permukaan saja.

Dhiaulhaq et al. (2015) menjelaskan bahwa mediasi bukanlah senjata paling ampuh dan tidaklah cukup dalam menangani penyebab dasar konflik, terutama ketimpangan struktural. Walaupun mediasi memiliki beberapa keterbatasan, secara alamiah mediasi merupakan metode penanganan konflik yang paling sesuai untuk membawa perubahan dan hasil yang berkelanjutan. Kemudian Suryawan (2014) dalam penelitiannya terkait konflik Jatigede menjelaskan pentingnya pengidentifikasian konflik sebagai dasar untuk meminimalisir potensi konflik.

Hasil-hasil penelitian dan kajian di atas terutama lebih pada aspek identifikasi penyebab konflik terjadi sehingga proses pembebasan lahan untuk pembangunan terkendala. Sementara itu, pada aspek kebijakan atau dampak kebijakan yang telah diambil pemerintah dalam proses pengadaan tanah dalam pembangunan infrastruktur Waduk Jatigede belum ada. Oleh karenanya, sangat penting untuk mengkaji atau menganalisa aspek dampak kebijakan, sehingga hasil kajian ini dapat dipakai sebagai acuan bagi proses pengadaan lahan di tempat lain untuk mempercepat proses pembangunan infrastruktur bidang sumber daya air di Indonesia.

Berdasarkan hal di atas, menarik untuk dikaji atau dianalisa lebih dalam terkait dengan dampak kebijakan pada proses pengadaan lahan pada pembangunan infrastruktur sumber daya air, yakni Waduk Jatigede. Untuk itu, pertanyaan yang diajukan adalah : Bagaimana dampak sebuah kebijakan terhadap pembangunan Waduk Jatigede?

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak kebijakan pembangunan Waduk Jatigede terhadap pelaksanaan pembangunan Waduk Jatigede. Sasaran dari penelitian ini yaitu: a) mengetahui pendekatan dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan konflik sosial pembangunan; b) mengetahui permasalahan utama penyebab terhambatnya pembangunan Waduk Jatigede; dan c) mengetahui dampak dari terhambatnya pembangunan Waduk Jatigede. Dengan diketahuinya dampak sebuah kebijakan dalam proses pembangunan infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, khususnya Waduk Jatigede maka para pengambil kebijakan akan

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 161 - 171

Page 3: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

163

Dampak Kebijakan dalam Pembangunan Waduk Jatigede Dicky Fransisco Simanjuntak dan Masmian Mahida

lebih berhati-hati dengan melakukan langkah-langkah yang terencana dan sistematis dalam rangka meminimalisasi berbagai jenis dampak yang berpotensi merugikan kesejahteraan umum serta memaksimalkan dampak positif dengan adanya pembangunan waduk tersebut.

kajian puStaka

kebijakan publik

Nugroho (2012) mendefinisikan kebijakan publik sebagai setiap keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan. Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa kebijakan publik menentukan bentuk suatu kehidupan setiap bangsa dan negara. Kebijakan publik merupakan respons negara terhadap suatu masalah. Keunggulan suatu negara ditentukan oleh kemampuan negara tersebut mengembangkan kebijakan-kebijakan publik yang unggul.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, politik yang menjalankan negara disebut politik pembangunan. Demokrasi Pancasila yang dianut Indonesia memiliki bentuk operasional dalam bentuk politik pembangunan, dan politik pembangunan memiliki bentuk operasional kebijakan publik pembangunan.

Dalam rangka mencapai ketahanan pangan dan ketahanan air, di dalam RPJMN 2015-2019 salah satunya akan dilakukan dengan peningkatan layanan irigasi dengan membangun 49 waduk. Hal ini merupakan salah satu sasaran pembangunan sektor unggulan Indonesia. Sebagai sebuah negara berkembang maka wajar jika kebijakan-kebijakan di Indonesia merupakan kebijakan publik pembangunan yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran pembangunan tersebut.

Kebijakan di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang di dalam pasal 7 telah ditetapkan jenis dan hierarkinya. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki tersebut, yang berarti peraturan di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan pada hierarki di atasnya.

Nugroho juga menjelaskan bahwa setiap kebijakan publik yang ditetapkan sebagai sebuah dokumen formal dan berlaku mengikat kehidupan bersama, maka kebijakan publik tersebut menjadi hukum. Dengan kata lain hukum merupakan bagian

dari kebijakan publik.

kebijakan publik dalam konflik

Dalam konteks konflik, Nugroho memberikan tiga pendekatan terhadap arah kebijakan publik (public policy). Pertama, pendekatan demokratis yang memberikan manfaat bagi mayoritas publik daripada sebagian kecil publik. Pendekatan kedua, yaitu dengan menetapkan tingkat ketercapaian yang tertinggi atau risiko atau kegagalan yang paling rendah. Pendekatan ketiga adalah dengan menetapkan kebijakan yang paling mungkin diterima oleh pihak yang berkonflik. Pendekatan ini hanya sesuai diterapkan pada konflik yang sifatnya horizontal dan fisik.

Keberhasilan pembangunan di suatu negara sangat ditentukan dari kapasitas untuk “menanggung konflik” dan kecakapan untuk mengelola konflik. Dominasi konflik akan merugikan negara berkembang seperti Indonesia. Nugroho menambahkan bahwa kerugian terbesar dari konflik adalah memudarkan social capital dari suatu bangsa, dan habisnya sumber daya dengan sia-sia. Imbasnya adalah stagnasi pembangunan dan akan berpola involutif (jalan di tempat) dan degradatif. Hal ini terlihat pada pembangunan waduk Jatigede yang mengalami hambatan sejak diinisiasi pada tahun 1963.

Berdasarkan penjelasan di atas, pendekatan yang diambil untuk memberikan arah kebijakan dalam konflik pembangunan waduk Jatigede merupakan pendekatan demokratis. Pendekatan ini diambil dengan mempertimbangkan bahwa pembangunan Waduk Jatigede akan memberikan manfaat bagi mayoritas masyarakat.

pengendalian Sosial

Zetterberg (2014) mendefinisikan pengendalian sosial sebagai sebuah mekanisme sosial yang melibatkan reaksi sosial atau hukuman terhadap perilaku yang dianggap menyimpang. Harris (2013) menjelaskan lebih lanjut bahwa pelaksanaan terhadap rencana, sama halnya dengan pengendalian sosial, menargetkan perilaku dan kegiatan yang tidak sesuai, melanggar aturan atau bertentangan dengan aturan-aturan penggunaan lahan dan bangunan. Peran utamanya adalah untuk mengembalikan keteraturan dan memperkuat mekanisme pengendalian pembangunan.

Pengendalian sosial dapat dibagi menurut proses dan sifatnya seperti dijelaskan oleh Fajar (2015) yaitu sebagai berikut:

1. Berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua, yaitu

Page 4: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

164

preventif dan represif. Upaya preventif adalah berbagai upaya pengendalian sosial yang dilakukan untuk mencegah terjadinya berbagai gangguan terhadap kedamaian dan ketertiban masyarakat. Upaya-upaya preventif dilakukan misalnya melalui proses sosialisasi. Upaya represif adalah berbagai upaya pengendalian sosial yang dilakukan untuk mengembalikan kedamaian dan ketertiban masyarakat yang pernah terganggu. Upaya-upaya represif dilakukan dalam bentuk pemberian sanksi kepada warga masyarakat yang menyimpang atau melanggar norma yang berlaku.

2. Dilihat dari dimensi cara pelaksanaannya, pengendalian sosial bisa dibedakan atas pengendalian sosial yang dilaksanakan secara persuarsif dan pengendalian sosial yang dilakukan secara koersif. Cara persuasif merupakan upaya pengendalian sosial yang dilakukan dengan menekankan pada tindakan yang sifatnya mengajak atau membimbing warga masyarakat agar bersedia bertindak sesuai dengan norma yang berlaku. Cara persuasif cenderung menekankan pada upaya penyadaran masyarakat. Cara koersif merupakan upaya pengendalian sosial yang dilakukan dengan menekankan pada tindakan yang sifatnya memaksa warga masyarakat agar bersedia bertindak sesuai dengan norma yang berlaku. Cara koersif cenderung menekankan pada berbagai upaya pemaksaan masyarakat.

Kirdina (2014) mengatakan bahwa ada hubungan dialektik antara lembaga dan pengendalian sosial. Pandangan umum yang populer adalah lembaga berada di bawah pengendalian sosial, dan kelompok-kelompok sosial mengendalikan lembaga dan perubahannya. Pandangan lain menyebutkan bahwa lembaga mengendalikan perkembangan sosial atau dengan kata lain perkembangan sosial berada di bawah pengendalian lembaga. Kirdina mengatakan bahwa dua pandangan ini berlawanan, namun saling melengkapi karena berada pada tingkatan lingkungan kelembagaan yang berbeda. Kirdina menekankan pentingnya peran lembaga dalam penyusunan kebijakan dan pengendalian sosial. Oleh karena itu, salah satu tugas dalam penyusunan kebijakan sosial dan ekonomi dan masyarakat sipil di setiap negara adalah untuk mendukung kombinasi yang optimal dari lembaga-lembaga dominan dan pelengkap sesuai dengan karakteristik sejarah negara tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sangatlah penting dalam penyusunan kebijakan pembangunan Waduk Jatigede harus memperhatikan lembaga-lembaga dominan maupun pelengkap yang berperan dalam pembangunan dan masyarakat sipil yang terkena

dampak pembangunan tersebut.

Rouillard (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa proses partisipatif, yang merupakan contoh pendekatan preventif dan persuasif, dapat berjalan selaras dengan instrumen-instrumen kebijakan lainnya, seperti regulasi-regulasi dan instrumen-instrumen ekonomi. Hal ini dapat berkontribusi terhadap meningkatnya pencapaian kebijakan dan hubungan yang lebih baik antara lembaga-lembaga dan pengelola-pengelola lahan. Selain itu, Apipalakul (2015) menyebutkan bahwa manajemen konflik dapat dilakukan melalui proses partisipasi masyarakat. Penelitian tindakan partisipatif merupakan cara yang penting untuk mendapatkan informasi dari masyarakat. Percakapan melalui kuesioner dan focus group dapat lebih menjelaskan tentang permasalahan-permasalahan, kebutuhan-kebutuhan yang merupakan cara yang penting untuk meminimalkan konflik. Manajemen konflik dapat dilakukan dengan negoisasi melalui pendekatan dialog untuk mencapai kesepakatan bersama dengan transparansi dan keadilan.

Waduk jatigede

Waduk Jatigede merupakan sebuah waduk yang berada di Kabupaten Sumedang. Pembangunan waduk ini telah direncanakan sejak tahun 1963. Waduk ini dibangun dengan membendung aliran Sungai Cimanuk di wilayah Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat.

Lokasi proyek pembangunan Waduk Jatigede merupakan bagian wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung mencakup daerah aliran sungai Kabupaten Garut, Sumedang, Majalengka, Cirebon, Indramayu, Kuningan, dan Brebes di Provinsi Jawa Tengah. Letak dam proyek pembangunan Waduk Jatigede terletak di Kampung Jatigede Kulon Desa Cijeungjing Kecamatan Jatigede Kabupaten Sumedang. Adapun lahan yang dibutuhkan seluas 4.891,13 hektar yang meliputi 5 (lima) kecamatan atau 26 (dua puluh enam) desa (Nureni, 2011).

Manfaat dari Waduk Jatigede yang diharapkan adalah mengairi areal irigasi seluas 90.000 hektar; pengendalian banjir daerah Indramayu, Cirebon, dan sekitarnya; dan melayani kebutuhan air bersih Kabupaten Cirebon, Indramayu, dan kawasan Balongan dengan kapasitas 3.500 liter/detik. Terkait penyediaan air irigasi dan pengendalian banjir, pertimbangannya adalah Indonesia merupakan negara tropis dan memiliki curah hujan yang relatif besar namun tidak merata. Jika air yang banyak itu tidak dibendung terlebih dahulu, maka banyak volume air yang hanya akan mengalir

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 161 - 171

Page 5: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

165

No Desa Sektor1 Cienteung Barat2 Cisitu Barat3 Jemah Timur4 Mekarasih Timur5 Kadujaya Utara6 Pajangan Utara7 Ranggon Selatan8 Sirnasari Selatan9 Sukapura Selatan

Tabel 1. Desa berbatasan langsung dengan Waduk Jatigede

Sumber : Lapangan, 2014

Gambar 1. Empat sektor observasi lapangan Waduk Jatigede

Sumber : Lapangan, 2014

begitu saja. Jika dibendung, maka air tersebut dapat dimanfaatkan potensinya untuk keperluan sehari-hari dan sebagai cadangan di musim kemarau.

metODe penelitian

Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil observasi lapangan di sekitar area genangan Waduk Jatigede. Data primer ini sangat berguna dalam menggambarkan kondisi faktual lapangan, sehingga menunjang kualitas hasil penelitian. Observasi dilakukan di daerah terkena dampak langsung pembangunan Waduk Jatigede, yakni sektor barat, timur, utara, dan selatan dengan maksud untuk memperoleh keterwakilan antar wilayah (seperti gambar 1). Sedangkan tabel 1 berikut adalah nama-nama area desa yang telah dilakukan penelitian.

Sedangkan untuk data sekunder diperoleh dengan mengkaji penelitian terdahulu, penelitian terkait

konflik, studi perundangan, dan media elektronik. Studi literatur sumber sekunder dilakukan untuk mendukung analisis hasil pengkajian dan untuk memperoleh aspek kebaharuan. Selain itu, dengan mempelajari dokumen-dokumen terkait akan diperoleh informasi terkait pola sebuah peraturan diterapkan pada masyarakat secara objektif.

HaSil Dan pembaHaSan

penelitian Validasi biaya Hidup

Beberapa kebijakan terkait percepatan pembangunan Waduk Jatigede banyak dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Salah satunya pada tahun 2014 telah dilaksanakan advis sosial ekonomi lingkungan terkait Validasi Kebutuhan Biaya Hidup di Sekitar Waduk Jatigede. Advis ini dilaksanakan dalam rangka penyelesaian masalah sosial ekonomi lingkungan pembangunan waduk Jatigede. Validasi dilakukan terhadap perhitungan kebutuhan biaya hidup orang terkena dampak (OTD) pembangunan waduk jatigede yang telah dilakukan oleh tim independen sebagai dasar dari rancangan peraturan presiden.

Penelitian dilaksanakan di desa yang berbatasan langsung dengan waduk Jatigede, yakni Desa Cienteung, Cisitu, Jemah, Mekarasih, Kadujaya, Pajangan, Ranggon, Sirnasari, Sukapura. variabel-variabel yang diriset adalah yang terkait dengan kebutuhan pokok sehari-hari ini dibagi ke dalam 10 subkategori, yakni (1) beras, (2) gula putih/pasir, (3) kopi, teh, dan susu, (4) gula merah, (5) minyak goreng, (6) bumbu dapur, (7) sayur-mayur, (8) lauk-pauk, (9) gas elpiji, dan (10) biaya listrik. Hasil kegiatan tersebut bahwa rata-rata kebutuhan per desa diperoleh angka sebesar Rp 1.813.540 per KK/bulan (dengan rentang Rp 1.382.483 – Rp 2.202.614). Nilai tersebut akan dijadikan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait salah satu besaran ganti rugi dari aspek kebutuhan pokok masyarakat.

analisa perundangan dan Dampak kebijakan pemerintah Daerah

Manfaat Waduk Jatigede begitu besar bagi kepentingan umum yang mana direncanakan untuk dimanfaatkan sebagai pengaman banjir 14.000 hektar, jaringan air irigasi 90.000 hektar, Pembangkit Listrik Tenaga Air 110 Megawatt, dan air baku 3.500 liter per detik.

Namun, dalam praktiknya proses pengadaan tanah untuk pembangunan Waduk Jatigede yang telah dilakukan dari tahun 1982 yang mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No 15 tahun 1975 mengalami berbagai kendala, hingga berakhir

Dampak Kebijakan dalam Pembangunan Waduk Jatigede Dicky Fransisco Simanjuntak dan Masmian Mahida

Page 6: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

166

dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede. Dengan terbitnya Peraturan Presiden tersebut maka ditetapkan peraturan turunannya, yakni Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 258/KPTS/M/2015 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor S-396/MK.02/2015.

Peraturan Presiden(Perpres) Nomor 1

Tahun 2015

Keputusan Menteri PUPR Nomor

258/KPTS/M/2015

SK Menteri Keuangan Nomor S-396/MK.02/2015

SK Gubernur Jawa Barat Nomor

611.1/Kep.386-Bappeda/2015

Gambar 2. Proses penetapan dan realisasi ganti rugi orang terkena dampak Waduk Jatigede.

Kemudian direalisasikan dalam kebijakan daerah Provinsi yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 611.1/Kep.386-Bappeda/2015 yang menetapkan kriteria masyarakat terkena dampak pembangunan Waduk Jatigede yang memperoleh uang ganti rugi dan uang kerohiman/santunan. Penetapan realisasi melalui surat keputusan gubernur Jawa Barat tersebut perlu dioperasionalkan secara tepat sehingga dapat meminimalisir timbulnya konflik sosial, yang antara lain disebabkan kurang tahunya masyarakat terhadap adanya surat keputusan tersebut dan kurang jelasnya prosedur dalam proses ganti rugi dalam surat keputusan gubernur tersebut. Lebih dalam lagi, jika operasionalisasinya tidak tepat dapat menganggu proses percepatan pembangunan waduk tersebut.

Gambar 2 menjelaskan proses penetapan hukum hingga realisasi ganti rugi terhadap masyarakat terkena dampak pembangunan Waduk Jatigede, dimana besaran nilai uang tunai masyarakat yang terkena dampak pembangunan Waduk Jatigede ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan usulan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Kriteria penduduk yang menerima ganti rugi dan santunan ditetapkan oleh Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat berdasarkan hasil verifikasi dan validasi yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

Dijelaskan dalam tabel 2 tersebut bahwa sejak diterapkannya Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat

No Tahun Realisasi Kebijakan Daerah Operasionalisasi Kebijakan Realisasi Dampak Sosial Kebijakan

melarang masyarakat setiap pemegang hak atas tanah dan bangunan pada

areal yang diproyeksikan sebagai lokasi Proyek Jatigede untuk

memindahtangankan atau melakukan tindakan perubahan lain pada tanah

maupun bangunannya.

2 2000 Surat keputusan Gubernur No. 36 tahun 2000 tentang

pelarangan membangun di daerah genangan.

Sebagian warga mengikuti peraturan kebijakan tersebut, namun sebagian lain menolak

dengan tetap melakukan kegiatan di atas areal proyek lokasi waduk

Jatigede.

1 1981 Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 181.1/SK -

1267 / Pem.Um/1981

Melarang masyarakat setiap pemegang hak atas tanah dan bangunan pada

areal yang diproyeksikan sebagai lokasi Proyek Waduk Jatigede untuk

memindahtangankan atau melakukan tindakan perubahan lain pada tanah

maupun bangunannya.

Sebagian warga mengikuti peraturan kebijakan tersebut, namun sebagian lain menolak

dengan tetap melakukan kegiatan di atas areal proyek lokasi waduk

Jatigede.

Tabel 2. Beberapa Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat terkait Pembangunan Waduk Jatigede dari segi operasionalisasi dan realisasinya

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 161 - 171

Sumber : Hasil Analisis, 2015

Page 7: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

167

No Tahun Realisasi Kebijakan Daerah Operasionalisasi Kebijakan Realisasi Dampak Sosial Kebijakan

Masyarakat menerima pembangunan Waduk Jatigede

karena untuk kepentingan umum dengan menerima uang ganti rugi

dan uang santunan, namun beberapa kelompok masyarakat menolak karena relokasi saat ini

secara keseluruhan belum ditangani dengan baik, seperti persoalan mata

pencaharian dan akses fasilitas umum di tempat relokasi.

Memberikan penangan dampak sosial kepada masyarakat terhadap dampak pembangunan waduk Jatigede dengan

uang ganti rugi dan uang santunan yang layak dengan masyarakat penerima yang

telah ditentukan.

Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 611.1/Kep.386-

Bappeda/2015

20157

Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No.

611.1/Kep.1373-Admrwk/2010 tentang Perubahan atas

Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 611.1/Kep.78-

Sarek/2006 tentang pembentukan Tim Koordinasi

Pembangunan Waduk Jatigede.

20104 Menunjang kelancaran tugas dan fungsi Tim Koordinasi Pembangunan Waduk

Jatigede, khususnya dalam penanganan dampak sosial dan lingkungan

pembangunan Waduk jatigede dengan seluruh pejabat berwenang di pusat dan

Provinsi Jawa Barat.

Dilaksanankan dengan kerjasama antar unsur yang menjadi anggota

dalam Tim Koordinasi Pembangunan Waduk Jatigede.

Tim satuan Manunggal Satu Atap (SAMSAT) telah enyelesaikan laporan hasil evaluasi dan verifikasi data atas permasalahan penanganan dampak sosial dan lingkungan Pembangunan

Waduk Jatigede.

Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No.

611.1/Kep.1068/Admrek/2012

masih terdapat warga yang menolak dengan melakukan demonstrasi di kantor bupati Sumedang karena tidak setuju dengan hasil evaluasi

dan verifikasi.

20126

Menunjang kelancaran tugas dan fungsi Tim Koordinasi Pembangunan waduk

Jatigede, khususnya dalam penanganan dampak sosial dan lingkungan

pembangunan Waduk Jatigede dengan anggota seluruh pejabat berwenang di

Pusat dan Provinsi Jawa Barat.

Dilaksanakan dengan kerjasama antar unsur yang menjadi anggota

dalam Tim Koordinasi Pembangunan Waduk Jatigede.

Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor

611.1/Kep.78-sarek/2006 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pembangunan

Waduk Jatigede.

3 2006

20105 Percepatan dengan kerjasama antar unsur yang menjadi anggota dalam

Tim Koordinai Pembangunan Waduk Jatigede dalam penanganan dampak

sosial pembangunan Waduk jatigede.

Melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan fasilitasi percepatan penangan

dampak sosial dan lingkungan pembangunan Waduk Jatigede.

Surat Keputusan Gubernur Jawa barat Nomor

611.1/Kep.1058-Admrek/2010 tntang Satuan Tugas

Percepatan Pembangunan Waduk Jatigede.

Sumber : Hasil analisa berbagai sumber, 2015

Dampak Kebijakan dalam Pembangunan Waduk Jatigede Dicky Fransisco Simanjuntak dan Masmian Mahida

Page 8: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

168

tersebut dari tahun 1981 hingga 2015 mengalami berbagai kendala terutama dalam hal realisasi kebijakan yang menyebabkan dampak sosial, yakni secara garis besarnya adalah resistensinya masyarakat terkena dampak pembangunan Waduk Jatigede karena dari besaran uang ganti rugi hingga relokasi yang menurut sebagian masyarakat masih belum jelas terkait bagaimana dengan mata pencaharian mereka di tempat baru.

pengendalian Sosial Waduk jatigede

Dengan adanya Peraturan Presiden No.1 Tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede hingga direalisasikan dalam sebuah kebijakan yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 611.1/Kep.386-Bappeda/2015, tentu akan menjadi solusi bagi percepatan pembangunan Waduk Jatigede. Karena Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam peraturan presiden ini mengakomodasi dampak sosial masyarakat terutama orang terkena dampak pada area genangan waduk. Namun, operasionalisasi kebijakan

Preventif Persuasif

Pelaksana lapangan, yakni Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Pekerjaan

Umum dan Perumahan Rakyat dan kementerian /lembaga terkait bersama Pemerintah Daerah, yakni Pemerintah

Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang melakukan mengajak

para tokoh agama (toma), tokoh masyarakat (toma), tokoh adat (toda), dan

memberikan arahan kepada masyarakat terkena dampak pembangunan waduk

jatigede bahwa manfaat waduk sangat baik bagi kepentingan umum dan memastikan

secara legal aspect bahwa relokasi ditempat baru akan diberikan jaminan layak hidup minimal seperti sebelum

relokasi, terkait hak mata pencaharian dan akses fasilitas umum.

Pelaksana lapangan, yakni Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan kementerian /lembaga terkait bersama Pemerintah Daerah, yakni Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan

Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang melakukan sosialisasi tentang

tata cara atau segala macam proses dalam penanganan dampak sosial

pembangunan Waduk Jatigede.

Operasionalisasi Kebijakan Surat

Keputusan Gubernur Jawa Barat terkait

pembangunan Waduk Jatigede

Strategi

Pengendalian Sosial

Tabel 3. Strategi dan pendekatan dalam proses penanganan dampak sosial pembangunan Waduk Jatigede

Sumber : Hasil analisa pendekatan Roucek, 2015

tersebut, jika tidak dilakukan dengan strategi tepat yang berdasar pada perilaku sosial masyarakat dapat berakhir dengan konflik. Dalam kasus ini, dibutuhkan langkah atau strategi, yakni pendekatan demokratis untuk kepentingan umum pada saat menentukan arah kebijakan publik. Kemudian dengan melakukan strategi pengendalian sosial

terhadap status tanah desa, khususnya tanah tempat dibangunnya Waduk Jatigede, yakni di Desa Cijeungjing Kecamatan Jatigede yang mengakibatkan tersendatnya pembangunan beberapa fasilitas publik atau prasarana umum dan sarananya yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan desa tersebut. Indikator tersebut dapat dilihat pada tabel

pada saat operasionalisasi kebijakan yang dilakukan dengan pendekatan preventif dan persuasif.

Berikut tabel 3 dijelaskan bagaimana strategi dan pendekatan utama yang dilakukan di awal dalam proses penanganan dampak sosial pembangunan Waduk Jatigede sehingga dapat meminimalisir konflik sosial.

indikator Dampak kebijakan

Konflik sosial pembangunan Waduk jatigede yang terjadi sehingga berdampak pada proses berlarutnya pembangunan Waduk Jatigede tersebut merupakan permasalahan utama. Dalam kasus pembangunan Waduk Jatigede, hasil analisa menunjukkan bahwa terdapat iklim ketidakpastian dan ketidaktegasan terhadap implementasi pada hampir setiap kebijakan Kepala Daerah, yakni pada Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat sejak tahun 1981 hingga tahun 2012.

Iklim ketidakpastian dan ketidaktegasan tersebut secara langsung akan berpengaruh

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 161 - 171

Page 9: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

169

Tabel 4. Luas Sawah Menurut Jenis Pengairan Dirinci Per Desa Tahun 2013

4 di bawah ini, yakni tidak adanya pembangunan prasarana pengairan, seperti bangunan irigasi teknis untuk mengairi sawah di Desa Cijeungjing. Kemudian, dalam data Kecamatan Jatigede Dalam Angka tahun 2014 sawah di Kecamatan Jatigede khususnya di Desa Cijeungjing masih diairi dengan irigasi non teknis dengan luas terkecil, yakni 34 hektar dibanding dengan desa lainnya di Kecamatan Jatigede. Secara tidak langsung, seperti tercermin dalam data BPS Kabupaten Sumedang dalam Statistik Daerah Kecamatan Jatigede, 2014 menunjukkan bahwa potensi pertanian di Kecamatan Jatigede terdiri dari lahan sawah 1.629,00 ha pada tahun 2010 terdapat penurunan pada tahun 2011, 2012, 2013 dimana lahan sawah menjadi 1.609 ha. Dari luas lahan sawah tersebut diperoleh produksi padi pada tahun 2013 sebesar 18,301 kwintal, seperti terlihat pada tabel 5. Desa Karedok merupakan penghasil padi terbesar di Kecamatan Jatigede, sedangkan Desa Cijeungjing merupakan desa yang paling sedikit menghasilkan padi. Sehingga dengan kecilnya luas sawah dengan jenis bangunan pengairannya secara tidak langsung berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat desa Cijeungjing.

Indikator lain, yakni panjang prasarana jalan pada Desa Cijeungjing lebih pendek dari pada desa lain yang ada di kecamatan Jatigede (seperti tabel 6), yakni 0,8 kilometer. Jika dilihat dari densitas jalan pada tabel 7, Desa Cijeungjing merupakan desa dengan nilai densitas jalan terendah di antara desa-desa lain di Kecamatan Jatigede, yaitu hanya 0,15 km/km2. Sehingga dengan pendeknya panjang

Desa Teknis Non Teknis Jumlah

Sukakersa 0 154 154

Mekarasih 0 185 185

Ciranggem 0 177 177

Cisampih 0 130 130

Kadu 0 127 127

Lebaksiuh 0 151 151

Cintajaya 0 120 120

Cipicung 0 93 93

Jemah 0 145 145

Cijeungjing 0 34 34

Kadujaya 0 78 78

Karedok 0 215 215

Jumlah 0 1.609 1.609

Sumber : Kecamatan Jatigede Dalam Angka, 2014

Komoditas Luas Panen

(ha)

Produksi (kw)

Hasil/ha

Padi 2.863 18.301 63,92

Padi Ladang 450 16.01 35,57

Jagung 586 29.19 49,81

Ubi kayu 570 84.96 149,05

Kedelai 197 3.72 18,88

Kacang hijau 31 370 11,94

Ubi jalar 16 1.64 102,50

Kacang tanah 915 11.74 12,83

Tabel 5. Luas Panen, Produksi dan Hasil Per Hektar Tanaman Padi dan Palawija

Sumber : Kecamatan Jatigede Dalam Angka, 2014

jalan dapat mengakibatkan kurangnya aksesibilitas dan mobilitas masyarakat ke daerah lain yang berdampak pada kesenjangan antar wilayah di Kecamatan Jatigede tersebut. Secara keseluruhan nilai densitas jalan Kecamatan Jatigede hanya 1,09 km/km2, yang menunjukkan salah satu dampak berlarut-larutnya penyelesaian pembangunan Waduk Jatigede di daerah tersebut.

Proses pembangunan Waduk Jatigede yang memakan waktu hampir 34 tahun ini tentu memiliki dampak sosial maupun dampak ekonomi dan dampak lingkungan. Oleh karenanya, dalam konteks konflik pendekatan yang paling tepat adalah pendekatan demokratis dalam menentukan arah kebijakan publik dimana pendekatan ini aspek

Aspal Diperkeras

Tanah

Sukakersa 6,00 796 4,00 2,00 0,00

Mekarasih 11,17 1.153,70 3,55 7,62 0,00

Ciranggem 11,15 1.147,6 5,15 0,00 6,00

Cisampih 8,50 1.027,18 1,00 3,50 4,00

Kadu 15,90 795,52 2,90 9,00 4,00

Lebaksiuh 11,80 791,22 2,40 9,40 0,00

Cintajaya 10,63 682,30 5,00 4,63 1,00

Cipicung 10,80 678,57 8,80 2,00 0,00

Jemah 10,30 1.445,84 1,00 8,10 1,20

Cijeungjing 0,80 524,13 0,80 0,00 0,00

Kadujaya 5,00 663,14 5,00 0,00 0,00

Karedok 19,50 1.491,81 3,80 15,70 0,00

Jumlah 121,55 11.197,01 39,60 50,05 31,90

Desa Panjang Jalan (km)

Luas Desa (ha)

Jenis Permukaan

Tabel 6. Panjang Jalan Desa (km) Dirinci Per Desa Tahun 2013

Sumber : Kecamatan Jatigede Dalam Angka, 2014

Dampak Kebijakan dalam Pembangunan Waduk Jatigede Dicky Fransisco Simanjuntak dan Masmian Mahida

Page 10: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

170

pembangunan sarana dan prasana Desa Cijeungjing sehingga berdampak bagi kesejahteraan masyarakat Desa Cijeungjing khususnya dan secara umum desa-desa di Kecamatan Jatigede.

Dalam mendukung percepatan pembangunan infrastruktur waduk terutama bagi masyarakat/orang terkena dampak (OTD), perlu dibuatkan sebuah badan khusus yang tugasnya adalah memastikan OTD dapat pindah di tempat yang layak secara sosial ekonomi dan lingkungan. Dengan adanya badan khusus tersebut, diharapkan dapat menjawab setiap permasalahan pembangunan infrastruktur waduk khususnya, dan infrastruktur bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada umumnya.

uCapan teRima kaSiH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Tim Advis Validasi Kebutuhan Biaya Hidup Warga di Sekitar Waduk Jatigede atas terlaksananya penelitian ini.

DaFtaR puStaka

Apipalakul, Chanya et al. 2015. Development of Community Participation on Water Resource Conflict Management. Procedia - Social and Behavioral Sciences Journal Volume 186 May 2015: 325 – 330. http://dx.doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.04.048 (diakses 28 September 2015)

Brockhaus, Maria et al. 2012. An overview of forest and land allocation policies in Indonesia: Is the current framework sufficient to meet the needs of REDD+?. Forest Policy and Economics Journal Volume 18 May 2012: 30–37. http://dx.doi.org/10.1016/j.forpol.2011.09.004 (diakses 1 Agustus 2015)

Dhiaulhaq, Ahmad et al. 2014. Transforming conflict in plantations through mediation: Lessons and experiences from Sumatera, Indonesia. Forest Policy and Economics Journal Volume 41 April 2014: 22–30. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1389934114000161 (diakses 1 Agustus 2015)

Dhiaulhaq, Ahmad et al. 2015. The use and effectiveness of mediation in forest and land conflict transformation in Southeast Asia: Case studies from Cambodia, Indonesia and Thailand. Environmental Science & Policy Journal Volume 45 January 2015: 132–145. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1462901114002019 (diakses 1 Agustus 2015)

Fajar, Rachmaty. Definisi Pengendalian Sosial.

kepentingan umum/asas manfaat bagi mayoritas publik adalah mutlak dilakukan. Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede membuktikan aspek kepentingan umum sangat dijunjung, namun tetap bergantung implementasi di lapangan karena kondisi sosial masyarakat di sekitar Waduk Jatigede yang dinamis.

keSimpulan

Berdasarkan data dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jika operasionalisasi kebijakan pembangunan Waduk Jatigede dilakukan tanpa pendekatan yang tepat, maka berpotensi memicu konflik sosial terutama pada masyarakat terkena dampak pembangunan. Dalam hal konflik pembangunan Waduk Jatigede, pendekatan kebijakan yang diambil merupakan pendekatan demokratis dengan mengutamakan aspek kepentingan umum, yaitu asas manfaat bagi mayoritas publik. Strategi operasionalisasi kebijakan pembangunan Waduk Jatigede yang tepat adalah melalui pengendalian sosial dengan menggunakan cara preventif dan persuasif.

Dampak kurang pasti dan tegasnya implementasi kebijakan oleh pemerintah menyebabkan proses pembangunan Waduk Jatigede berlarut-larut hingga hampir 34 tahun sejak pertama kali Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat dikeluarkan tahun 1982 hingga yang terbaru tahun 2015. Selama ini ketidakpastian dan ketidaktegasan terhadap implementasi kebijakan pemerintah daerah terkait pembangunan Waduk Jatigede berpengaruh pada

Desa Panjang Jalan (km)

Luas Desa

(km2)

Densitas Jalan

(km/km2)Sukakersa 6 7,96 0,75

Mekarasih 11,17 11,54 0,97

Ciranggem 11,15 11,48 0,97

Cisampih 8,5 10,27 0,83

Kadu 15,9 7,96 2,00

Lebaksiuh 11,8 7,91 1,49

Cintajaya 10,63 6,82 1,56

Cipicung 10,8 6,79 1,59

Jemah 10,3 14,46 0,71

Cijeungjing 0,8 5,24 0,15

Kadujaya 5 6,63 0,75

Karedok 19,5 14,92 1,31

Jumlah 121,55 111,97 1,09

Tabel 7. Densitas Jalan Per Desa Di Kecamatan Jatigede Tahun 2013

Sumber : Kecamatan Jatigede Dalam Angka, 2014

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 161 - 171

Page 11: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

171

https://www.academia.edu/7432695/Definisi_Pengendalian_Sosial (diakses 3 Agustus 2015)

Harris, Neil. 2013. Surveillance, social control and planning: citizen-engagement in the detection and investigation of breaches of planning regulations. The Town Planning Review Journal Volume 84(2) Maret 2013: 171-196. http://dx.doi.org/10.3828/tpr.2013.11 (diakses 1 Agustus 2015)

Hui, Eddie C.M., dan Haijun Bao. 2012. The logic behind conflicts in land acquisitions in contemporary China: A framework based upon game theory. Land Use Policy Journal Volume 30 Issue 1 January 2013: 373–380. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0264837712000622 (diakses 1 Agustus 2015)

Kecamatan Dalam Angka Tahun 2014. BPS Kabupaten Sumedang.

Kirdina, Svetlana. 2014. Institutions and the Importance of Social Control in a Nation’s Development. Journal Of Economic Issues Vol. XLVIII No. 2 June 2014: 309-322. http://e-resources.perpusnas.go.id:2057/docview/1534086054?pq-origsite=summon (diakses 1 Agustus 2015)

Nugroho, Riant. 2012. Public Policy. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.

Nureni, Lela. 2011. Dampak Pembangunan Bendungan Jatigede Terhadap Reorientasi Mata Pencaharian Masyarakat Di Daerah Calon Genangan Jatigede Kabupaten Sumedang. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Nurrochmat, Dodik R. et al. 2012. Ekonomi politik kehutanan: Mengurai mitos dan fakta pengelolaan hutan. INDEF.

Qian, Zhu. 2015. Land acquisition compensation in post-reform China: Evolution, structure and challenges in Hangzhou. Land Use Policy Journal Volume 46 Juli 2015: 250–257. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0264837715000605 (diakses 1 Agustus 2015)

Rouillard, J. J., et al. 2014. The role of public participation in encouraging changes in rural land use to reduce flood risk. Land Use Policy Journal Volume 38 Mei 2014: 637-645. http://dx.doi.org/10.1016/j.landusepol.2014.01.011 (diakses 28 September 2015)

Sambrani, Vinod N. 2014. PPP from Asia and African Perspective towards Infrastructure Development: A Case Study of Greenfield Bangalore International Airport, India. Procedia - Social and Behavioral Sciences

Journal Volume 157 November 2014:285–295. http://dx.doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.11.031 (diakses 28 September 2015).

Setianto, Suryawan. 2014. Konflik Sosial Dalam Pembangunan Infrastruktur SDA Kasus Waduk Jatigede. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Vol. 6 No. 3 November 2014: 181-192.

Shi, Qian. 2014. On the management of social risks of hydraulic infrastructure projects in China : A case study. International Journal of Project Management Volume 33 Issue 3 April 2015: 483-496. http://dx.doi.org/10.1016/j.ijproman.2014.06.003 (diakses 28 September 2015)

Susan, Novri. 2012. Scenario Building on Law No. 7 of 2012 about Social Conflict Intervention: The Possible Future of Land Conflict Management in Indonesia. Procedia Environmental Sciences Journal Volume 17 2013:870–879. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1878029613001072 (diakses 1 Agustus 2015)

Zetterberg, L., et al. 2014. The compliant court—Procedural fairness and social control in compulsory community care. International Journal of Law and Psychiatry Volume 37 Issue 6 November–December 2014: 543–550. http://dx.doi.org/10.1016/j.ijlp.2014.02.027 (diakses 1 Agustus 2015)

Dampak Kebijakan dalam Pembangunan Waduk Jatigede Dicky Fransisco Simanjuntak dan Masmian Mahida

Page 12: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

173

DAMPAK AKSES AIR MINUM DAN SANITASI TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN

The Impact of Drinking Water Acces and Sanitation to Walfare Improvement

Deka Nata KustantoUniversitas Indonesia, Setditjen Cipta Karya Kementerian Pu

Email: [email protected]

Tanggal diterima: 25 Agustus 2015; Tanggal disetujui: 29 Oktober 2015

ABSTRACT

Access to drinking water and safe sanitation are important in determining life expectancy. Construction of water and sanitation affect on health status, because the water and sanitation infrastructure is part of factors builder life expectancy . With increasing access to water and proper sanitation at the individual, household and society, will degrade society diseases and contribute to the increase in life expectancy resulting in an increase in the welfare of society. Using data from countries and cities in Indonesia in 1999 to 2013 to see the changes in life expectancy . We focused look at the role of water and sanitation because according to available data, there is a significant increase in household access to drinking water and improvement of sanitation. This variable will be used in explaining the variation in life expectancy changes. This paper will contribute to the development of health by looking at the factors that determine the increase in life expectancy in developing countries.

Keywords: Welfare, Life Expectancy, Drinking Water Access and Sanitation

ABSTRAKAkses air minum dan sanitasi yang aman penting dalam menentukan harapan hidup. Pembangunan bidang air dan sanitasi mempengaruhi derajat kesehatan, karena prasarana air dan sanitasi merupakan bagian faktor pembangun angka harapan hidup. Dengan peningkatan akses air dan sanitasi yang layak di tingkat individu, rumah tangga dan masyarakat, akan menurunkan penyakit berbasis masyarakat dan memberikan kontribusi dalam peningkatan angka harapan hidup yang berakibat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan menggunakan data kabupaten dan kota di Indonesia tahun 1999 sampai dengan 2013 untuk melihat perubahan angka harapan hidup. Kami lebih fokus melihat peran air dan sanitasi karena menurut data yang ada, terdapat peningkatan yang signifikan terhadap akses rumah tangga memperoleh air minum serta peningkatan sanitasi yang layak. Variable ini akan digunakan dalam menjelaskan perubahan variasi harapan hidup. Makalah ini akan memberikan kontribusi perkembangan kesehatan dengan melihat faktor-faktor yang menentukan peningkatan harapan hidup di Negara berkembang.

Kata Kunci : Kesejahteraan, Angka Harapan Hidup, Akses Air Minum dan Sanitasi

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kesejahteraan suatu negara dapat diukur dari sisi ekonomi, maupun kesehatan. Dari sisi ekonomi dapat dilihat dari Produk Domestik Bruto Per Kapita (PDB per kapita). Sisi kesehatan, kesejahteraan dapat diukur dengan menggunakan angka harapan

hidup. Individu yang kesehatannya baik akan lebih produktif di tempat kerja dan dapat memperoleh pendapatan yang tinggi. Orang yang sehat juga akan menunjang produktivitasnya dengan pendidikan dan menambah tabungan untuk masa tua .

Kesejahteraan dilihat dari sisi kesehatan telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian yang

Page 13: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

174

dilakukan sebelumnya. (Becker 2005) melihat kesejahteraan yang diwakilkan oleh Life Expectancy mempunyai hubungan yang penting dengan kualitas hidup yang diproksikan oleh pendapatan per kapita. Penelitian Becker selanjutnya digunakan sebagai acuan oleh (Soares 2007) untuk melihat hubungan pendapatan dengan kesejahteraan yang diukur menggunakan Life Expectancy di Brazil yang menunjukan hubungan yang positif.

Table 1.1 menunjukan pada negara dengan high income, angka harapan hidupnya lebih tinggi

dibandingkan dengan negara middle dan low income. Selain itu Negara dengan high income juga mempunyai akses air minum dan sanitasi yang baik, sehingga dengan sanitasi yang baik akan berakibat meningkatkan life expectancy lebih tinggi. Sementara pada negara middle income dan low income, akses air minum dan sanitasi masih rendah sehingga angka harapan hidup pada negara tersebut juga rendah. Dari data di atas terdapat hubungan yang positif antara akses sanitasi dan air minum terhadap angka harapan hidup dan level income.

Tabel 1.1 International Life Expectancy, Improved Water, and Improved Sanitation

1999 2013 1999 2013 1999 2013

High Income 75.19 79.14 94.39 97.3 95.05 96.25Middle Income 65.58 70.06 71.08 86.24 51.32 63.2Low Income 50.58 59.2 40.47 54.93 19.01 27.26Indonesia 65.84 70.81 67.5 78 45.9 59.7

NEGARA Life Expectancy Improved Water Improved Sanitation

Sumber : World Bank, 2015

Data diatas menunjukan life expectancy yang menunjukkan jumlah bayi yang baru lahir akan hidup jika angka kematian yang berlaku saat lahir sama sepanjang tahun. Improved water menunjukan presentase penduduk yang menggunakan sumber air minum berupa air sambungan pipa (ledeng) dan sumber air lainnya yang layak untuk dikonsumsi seperti sumur bor, sumur galian dan mata air yang terlindungi. Sedangkan improved sanitation merupakan presentase penduduk yang menggunakan fasilitas sanitasi yang memisahkan penggunaan sendiri, bersama dan umum serta menggunakan saluran pembuangan berupa septic tank dan menggunakan jamban.

Indonesia sendiri kondisinya hampir sama dengan negara yang memiliki level middle income. Pada table 1.1 dapat dilihat terdapat perkembangan akses air minum dan sanitasi dari 71 pada tahun 1999 menjadi 86 pada tahun 2013. Seiring dengan peningkatan akses air minum dan sanitasi terjadi peningkatan juga pada Life Expectancy dari 65 tahun 1999 menjadi 70 pada 2013. Dengan kondisi Indonesia yang termasuk kategori negara middle income, kita akan menguji apakah hubungan yang positif antara akses air minum dan sanitasi terhadap life expectancy dan welfare berlaku juga di Indonesia.

100

90

80

70

60

50

40

0 50 000 100 000 150 000 2000 000

LIFE

EX

PEC

TAN

CY

PDRB PER KAPITA

pdrb

Grafik 1.1 Hubungan Life Expectancy dengan PDRB Per KapitaSumber : BPS, 2013

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 173 - 179

Page 14: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

175

Dampak Akses Air Minum dan Sanitasi terhadap Peningkatan KesejahteraanDeka Nata Kustanto

Penelitian tentang Life Expectancy sudah banyak dilakukan, namun masih belum banyak yang menghubungkan dampak akses air minum dan sanitasi terhadap Life Expectancy. (Jafar 2013) melihat faktor ekonomi dan non ekonomi yang mempengaruhi Life Expectancy pada 91 Negara dengan pendapatan Low, Middle, dan High. Factor non ekonomi, salah satunya dilihat dari akses air minum dengan menggunakan persentase total penduduk yang tidak menggunakan akses air minum yang aman. (Shan 2014) melihat Life Expectancy pada 30 Negara OECD, namun belum melihat dampak akses air minum dan sanitasi terhadap Life Expectancy.

Penelitian tentang Life Expectancy juga sudah pernah dilakukan di Indonesia. Salah satunya (Sugiantari et al 2013) yang melihat faktor yang mempengaruhi angka harapan hidup yang dilakukan pada propinsi Jawa Timur pada tahun 2010. Penelitian tersebut belum menggunakan variabel akses air minum dan sanitasi untuk melihat perubahan dari angka harapan hidup. (Rakhmawati 2011) juga melihat faktor-faktor yang mempengaruhi angka harapan hidup pada propinsi Jawa Barat tahun

2007 – 2008. Penelitian ini melihat pengaruh yang positif antara rasio dokter, angka melek huruf dan pengeluaran per kapita yang disesuaikan terhadap Angka Harapan Hidup (Syartika 2010) juga melihat determinan Angka Harapan Hidup di Sumatera Utara. Penelitian tersebut baru menggunakan hanya satu propinsi, sehingga belum menggambarkan keadaan Indonesia secara keseluruhan.

Akses air minum dan sanitasi yang aman penting dalam menentukan harapan hidup di negara-negara (Jafar, 2013). Hasil pembangunan bidang air minum dan sanitasi akan memiliki pengaruh pada tingkat kesejahteraan penduduk, khususnya dari aspek kesehatan. Pembangunan bidang air dan sanitasi mempengaruhi derajat kesehatan, karena prasarana air dan sanitasi merupakan bagian faktor pembangun angka harapan hidup. Dengan peningkatan akses air dan sanitasi yang layak di tingkat individu, rumah tangga dan masyarakat, akan menurunkan penyakit berbasis masyarakat dan memberikan kontribusi dalam peningkatan angka harapan hidup.

Life Expectancy

Mortality Rate

Welfare

Akses Water

Akses Sanitation

Illiteracy Rate

Gambar 1.1 Hubungan Akses Water, Sanitation, terhadap WelfareSumber : Soares, 2007

Beberapa penelitian yang melihat hubungan sanitasi dan air minum terhadap kesejahteraan. (Burufi 2012) melihat hubungan negatif akses sanitasi terhadap penurunan angka kematian. Ketersediaan akses rumah tangga terhadap air minum dan sanitasi yang layak, berpengaruh terhadap suatu wilayah yang berujung pada penurunan angka kematian (Burufi, 2012). Soares (2007) melihat hubungan pendapatan dengan kesejahteraan yang diukur menggunakan Life Expectancy di Brazil. Selain itu, Soares melihat pengaruh air minum dan sanitasi terhadap Life Expectancy yang menunjukan terdapat hubungan positif peningkatan akses ke sanitasi terhadap life expectancy sebesar 38 persen.

Bersamaan dengan perubahan angka harapan hidup di Indonesia, terjadi juga peningkatan akses sanitasi masyarakat Indonesia yang meningkat dari tahun 1990 sebesar 24 persen menjadi 60 persen pada tahun 2010. Sementara peningkatan akses air meningkat dari 37 persen menjadi 73 persen.

Grafik 1.2 menunjukan hubungan akses air minum dan sanitasi terhadap Life Expectancy di Indonesia tahun 1990 dan 2013. Dari grafik tersebut menunjukan hubungan positif dari tahun 1990 dan 2013 antara akses pada air dan sanitasi terhadap life expectancy Hal ini senada dengan penelitian Soares (2007) dan Burufi (2012) yang menunjukan hubungan antara peningkatan air dan sanitasi terhadap life expectancy dan penurunan kematian.

Dengan menggunakan data kabupaten dan kota di Indonesia tahun 1996 sampai dengan 2013 untuk melihat perubahan angka harapan hidup, kami lebih fokus melihat peran air dan sanitasi karena menurut data yang ada, terdapat peningkatan yang signifikan terhadap akses rumah tangga dalam memperoleh air minum serta peningkatan sanitasi yang layak. Variabel ini akan digunakan dalam menjelaskan perubahan variasi harapan hidup. Makalah ini akan memberikan kontribusi perkembangan kesehatan dalam dua cara. Pertama, kita akan melihat kesejahteraan suatu negara dilihat

Page 15: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

176

dari perbaikan kesehatan yang sudah dilakukan. Kedua, mengetahui faktor-faktor apa saja yang menentukan peningkatan harapan hidup di negara berkembang.

Perumusan Masalah

Mengacu pada (Becker 2005) yang melihat kesejahteraan diukur dengan harapan hidup dan (Soares 2007) yang melihat pengaruh air minum dan sanitasi terhadap harapan hidup, serta (Burufi 2012) yang melihat pengaruh air minum dan sanitasi terhadap mortality maka pertanyaan penelitian yang diajukan melalui penelitian yang akan dilakukan adalah apakah hubungan sanitasi dan air minum terbukti signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan Indonesia.

KAJIAN PUSTAKA

Perubahan Kesejahteraan dari Life Expectancy

Model yang digunakan dalam penelitian ini merujuk kepada (Becker et al 2005) dan (Soares 2007), dengan menggunakan fungsi utilitas tidak langsung V(Y,T) dari seorang individu dengan waktu seumur hidup T dan pendapatan seumur hidup Y.

Dimana y(t) merupakan income saat umur t, c(t) merupakan konsumsi pada tahun t, r adalah interest rate dan ρ merupakan discount factor. Sedangkan fungsi kendala merupakan perfect capital market.

Selanjutnya mempertimbangkan individu pada dua titik waktu, dengan pendapatan seumur hidup dan harapan hidup dilambangkan dengan Y dan T

100

90

80

70

60

50

40

0

Life

Exp

ecta

ncy

Akses Air Minum

Akses Air Minum dan Akses Sanitasi

Akses Sanitasi

20 40 60 80 100 120

Grafik 1.2 Hubungan Life Expectancy dengan Akses Air Minum dan SanitasiSumber : BPS, 2013

pada periode pertama dan Y’ dan T’ pada periode kedua. Kemudian kita akan melihat infra marginal income W(T, T’) yang akan memberikan orang dengan tingkat utilitas yang sama diamati pada

periode kedua, namun harapan hidup diamati pada periode pertama.

V(Y^’+ W(T,T^’ ),T)= V(Y^’,T^’) (2)

Hubungan Life Expectancy terhadap Akses Air Minum dan Sanitasi

Secara umum, model awal yang digunakan mempertimbangkan kesejahteraan yang dilihat dari sisi kesehatan (H) sebagai fungsi dari akses air minum dan sanitasi (WATS) serta variabel lain (X), sehingga hubungannya dapat ditulis sebagai :

H=F (WATS,X) (2.1)

dengan fungsi

kendala

(1)

dengan fungsi

kendala

Kesehatan merupakan output dari fungsi produksi yang tidak hanya dipengaruhi oleh akses air minum dan sanitasi saja,melainkan juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan (EDUC) dan income (INC) serta faktor lain yang tidak diobservasi.

H=f(WATS,ILL,INC,|μ) (2.2)

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 173 - 179

Page 16: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

177

Seperti studi (Soares 2007) yang melihat kesejahteraan dilihat dari sisi kesehatan dalam dua cara yaitu dengan melihat Life Expectancy (LE) dan Mortality (M), maka akan dilakukan beberapa penyesuaian. (Soares 2007) menggunakan Life Expectancy (LE) dan Mortality untuk melihat dampak Akses Air Minum dan Sanitasi. Sedangkan (Burufi 2005) dan (Jafar 2013) menggunakan Life Expectancy untuk melihat dampak Akses Air Minum, sehingga dapat dimodelkan :

LE=f(WATS,ILL,INC |μ) (2.3)

Penelitian Sebelumnya

Beberapa penelitian relevan kaitannya dengan hubungan Life Expectancy terhadap akses air minum dan sanitasi. Shan (2014) melihat penurunan angka kematian disebabkan oleh peningkatan akses air minum pada negara OECD. Sede (2015) melihat Life Expectancy dari sosio ekonomi. Sementara Soares (2007) melihat hubungan sanitasi terhadap Life Expectancy yang menunjukan hubungan positif di Brazil. Hal ini berarti semakin baik akses air minum dan sanitasi suatu daerah, maka akan meningkatkan Life Expectancy suatu daerah.

METODE PENELITIAN

Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data SUSENAS yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 1999 sampai 2013. Menggunakan kabupaten kota yang berada di Indonesia konsisten dari tahun 1998 sampai 2013 dengan mengabaikan kabupaten kota yang baru terbentuk dalam rentang waktu penelitian.

Metode Analisis

Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk memberi gambaran umum mengenai permasalahan. Selain itu, analisis ini juga digunakan untuk memberikan penjelasan atas estimasi model. Analisis ini biasanya menggunakan tabel atau grafik sehingga dapat mempermudah dalam menjelaskan suatu informasi tertentu.

Analisis Kuantitatif

Alat analisis yang digunakan dalam studi adalah ekonometrika. Sehingga dari kerangka teori yang dibentuk sebelumnya, akan diubah dalam bentuk spesifikasi empiris.

Pada persamaan empiris diatas digunakan untuk mengestimasi Life Expectancy dengan menggunakan estimasi ordinary least square OLS, dan fixed effect dimana variabel utama yang akan kita lihat adalah WATS yang merupakan variabel akses air minum dan sanitasi. Untuk menguji variabel independen perlu dikontrol juga oleh variabel kontrol yang terdiri dari Illiteracy Rate dan PDRB per Kapita.

Definisi Operasional

Berikut merupakan definisi operasional variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini.

Variabel Dependen

a. Life Expectancy

Penelitian ini menggunakan variabel dependen Life Expectancy yang merupakan rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup pada tingkat kabupaten.

Variabel Independen

(3.1)

a. Akses Air Minum

Akses air minum diukur menggunakan persentase rumah tangga per kabupaten yang menggunakan sarana air untuk minum dengan kriteria : • air leding eceran/meteran, • pompa/sumur terlindung/mata air terlindung

dengan jarak ke tempat penampungan kotoran/tinja ≥ 10 m

b. SanitasiSanitasi diukur dengan menggunakan persentase rumah tangga per kabupaten dengan kriteria :• Penggunaan fasilitas Buang Air Sendiri dan

Bersama.• Jenis kloset leher angsa• Tempat pembuangan akhir tinja tangki/SPAL

Variabel Kontrol

Untuk mengontrol variabel-variabel tersebut, maka digunakan variabel-variabel lainnya:a. Illateracy Rate (ILL) / Angka melek huruf Angka melek huruf adalah persentase penduduk

usia 15 tahun keatas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya.

b. PDRB Per Kapita Angka yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan PDRB per Kapita kabupaten/kota dengan menggunakan harga konstan. Hal ini dilakukan karena PDRB dengan harga konstan mengabaikan pengaruh inflasi yang ada.

Dampak Akses Air Minum dan Sanitasi terhadap Peningkatan KesejahteraanDeka Nata Kustanto

Page 17: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

178

Hasil Pembahasan

Hubungan kesejahteraan denngan Life Expectancy.

ln_pdrb OLS FEle 0.0822 0.2818

(0.000) (0.000)ill 0.0396 0.0364

(0.000) (0.000)Const -0.1721 -13.445

(0.691) (0.000)

Dari tabel 1.2 menunjukan hubungan Life Expectancy dengan kesejahteraan yang dilihat dari PDRB perkapita. Hasilnya menunjukan baik dengan menggunakan OLS maupun Fixed Efect Life Expectancy menunjukan hubungan yang positif signifikan dengan pengaruh sebesar 28 %. Hal ini sesuai dengan (Soares 2007) yang menunjukan keuntungan peningkatan kesejahteraan yang berasal dari perubahan harapan hidup di negara Brazil sebesar 38 persen. Dengan semakin tingginya angka harapan hdup masyarakat kabupaten/kota di Indonesia dan rendahnya angka melek huruf pada suatu kabupaten kota akan membuat masyarakat dapat memperoleh pekerjaan yang layak dan dapat meningkatkan pendapatan perkapita sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.

Hubungan Life Expectancy terhadap Akses Air Minum dan Sanitasi

Variabel dependen adalah harapan hidup rata - rata kabupaten/kota. Variabel independen adalah persentase rumah tangga yang menggunakan akses air bersih layak (water), persentase rumah tangga yang menggunakan akses sanitasi layak (sanitation), persentase penduduk yang melek huruf per kabupaten kota (ill) dan pendapatan perkapita rumah tangga (ln_pdrb). Dengan menggunakan 271 kabupaten kota di indonesia yang ada dari tahun 1999 sampai 2013.

Hasil estimasi yang disajikan di atas pada kolom 1 dan 2 menunjukan regresi OLS dan Fixed Effect. Hasil estimasi menunjukan variabel akses air minum dan sanitasi berpengaruh signifikan terhadap Life Expectancy di Indonesia. Baik menggunakan OLS maupun Fixed effect kedua variabel tersebut berpengaruh secara signifikan. Seperti yang telah diprediksi sebelumnya, semakin bagus akses air minum dan akses sanitasi yang digunakan oleh masyarakat Indonesia akan meningkatkan angka

Tabel 1.2 Pengaruh Life Expectancy Terhadap Kesejahteraan

Sumber : Output Stata Diolah, 2015

Life Expectancy OLS (1) FE (2) OLS (3)

LE-1 0.8325 0.109 0.83550.000 0.000 0.000

Water 0.0002 0.006 0.00030.903 0.004 0.987

Sanitation 0.0045 0.005 0.0040.024 0.022 0.052

Ill 0.0098 0.0401 0.01120.069 0.001 0.026

Ln (Income ) 0.0439 1.4180.456 0.000

Const 10.809 43.525 11.0030.001 0.000 0.000

R square 0.9066 0.4161 0.9065

Tabel 1.3 Faktor yang mempengaruhi angka harapan hidup kabupaten kota di Indonesia 1999-2013

Sumber : Output Stata Diolah, 2015

harapan hidup masyarakat Indonesia. Hal ini senada dengan penelitian (Soares 2007) dan (Jafar 2013) yang menunjukan pengaruh positif antara akses air minum di 91 negara.

Pada kolom 3 dan 4 kita memperkenalkan perubahan spesifikasi untuk memperjelas jenis variasi yang meningkatkan hasil. Pada kolom ke 3, kita mengecualikan pendapatan perkapita dari harapan hidup masyarakat Indonesia. Hal ini senada dengan penelitian (Soares 2007) dan (Jafar 2013) yang menunjukan pengaruh positif antara akses air minum di 91 negara.

Pada kolom 3 dan 4 kita memperkenalkan perubahan spesifikasi untuk memperjelas jenis variasi yang meningkatkan hasil. Pada kolom ke 3, kita mengecualikan pendapatan perkapita dari regresi. Koefisien akses air minum dan sanitasi menunjukan hasil yang stabil, sedangkan variabel angka buta huruf menunjukan perubahan. Perubahan dalam bidang pendidikan berkorelasi dengan pendapatan jauh lebih penting dari pada penentu harapan hidup. Dengan demikian kehadiran pendapatan per kapita pada spesifikasi utama tidak menunjukan bias yang cukup besar.

Besarnya pengaruh akses air minum dan sanitasi terhadap harapan hidup sangat kecil meskipun

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 173 - 179

Page 18: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

179

hubungannya positif dan signifikan, namun pengaruhnya sangat kecil. Hal ini disebabkan masih banyak penduduk di kabupaten kota yang masih belum merasakan akses air minum dan sanitasi yang layak, terutama pada wilayah Indonesia bagian timur. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah terutama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat agar lebih memprioritaskan pembangunan sarana dan prasarana air minum yang layak khususnya untuk daerah Indonesia bagian timur.

Selain itu, peneliti belum menggunakan variabel imunisasi untuk menentukan pengaruh Life Expectancy. Imunisasi menjadi faktor yang berpengaruh terhadap Life Expectancy dikarenakan dengan peningkatan imunisasi akan mengurangi angka kematian sehingga Life Expectancy pada suatu daerah akan lebih tinggi. Namun, hal ini harus menggunakan data long run / jangka panjang karena kita tidak dapat menentukan pengaruh variabel independen terhadap variabel Life Expectancy dalam jangka pendek.

Kesimpulan

Makalah ini menunjukan bahwa akses air minum dan sanitasi mempengaruhi harapan hidup pada kabupaten kota di Indonesia. Temuan ini sejalan dengan temuan pada dunia Internasional yang menunjukan hubungan yang positif antara akses air minum dan sanitasi terhadap angka harapan hidup. Oleh karena itu diharapkan peran utama pemerintah dalam penyediaan akses air minum dan sanitasi sangatlah penting dilakukan agar tidak terjadi ketimpangan pembangunan infrastruktur kesehatan pada Kabupaten/Kota di Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih saya ucapkan kepada BPS yang memberikan kemudahan dalam memperoleh data dan semua pihak yang telah membatu dalam proses penyusunan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Burufi, Ana Maria, et al, 2012, Infant mortality in Brazil, 1980-2000: A spatial panel data analysis, BMC Public Health

Becker, Gary S., Philipson, Tomas J., Soares, Rodrigo R., 2005. The quantity and quality of life and the evolution of world inequality. American Economic Review 95 (1) : 277–291.

Jafar, Abu Muhammad, 2013. Life Expectancy and its Socioeconomic Determinants – A Discriminant Analysis of National Level Data. International Journal of Humanities and Social

Rakhmawati, Dwi Putri, 2011. Analisis Faktor-faktor

yang mempengaruhi angka harapan hidup di Propinsi Jawa Barat 2007-2009. Tesis Universitas Gajah Mada.

Sede, Peter, Ohemeng, 2015. Socio-economic determinants of life expectancy in Nigeria (1980 – 2011). Health Economics Review

Soares, Rodrigo R, 2007. Health and the evolution of welfare across Brazilian Municipalities. Journal of Development economic : 590-608.

Syartika, Reny. 2010. Determinan Angka harapan hidup Di Provinsi Sumatera Selatan 2005-2007. Tesis UGM.

Sugiantari, Ayuk Putri. 2013 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Angka Harapan Hidup di Jawa Timur Menggunakan Regresi Semiparametrik Spline. Jurnal Sains Dan Seni Pomits 2(1).

Shan, Jian Wen, 2014. How did national life expectation related to school years in developing countries—An approach using panel data mining Computer Methods and Programs in Biomedicine.

Worldbank. GDP Per Kapita Negara di Dunia, www.data.worldbank.org/indicator. (Diakses tanggal 20 Oktober 2015)

BPS. Life Expectancy kabupaten kota Indonesia. www. bps.go.id (Diakses tanggal 20 Oktober 2015).

Dampak Akses Air Minum dan Sanitasi terhadap Peningkatan KesejahteraanDeka Nata Kustanto

Page 19: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

180

Page 20: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

181

ANALYZING USER PERSPECTIVE FOR TOLL ROAD SERVICE QUALITY IMPROVEMENT

(CASE STUDY OF SURABAYA METROPOLITAN TOLL ROAD)

Analisis Perspektif Pengguna Terhadap Peningkatan Kualitas Pelayanan Jalan Tol

(Studi Kasus : Jalan Tol Metropolitan Surabaya)

Herry T. Zuna and Argasadha RetapradanaDirectorate General of Highways, Ministry of Public Works and Housing

Email : [email protected]

Tanggal diterima: 31 Agustus 2015; Tanggal disetujui: 29 Oktober 2015

ABSTRACT

Toll road user expectation on the quality of service as part of sustainable development will have to be determined by the government as regulator. Normally, there are two main indicators considered to measure toll road performance, namely, physical condition and travel time which related to traffic flow. Even not yet defined as an important factor for toll road performance, user’s perspective has been widely involved as a measure and tool to improve service quality in many sector. The main objective of this paper is to propose important service quality attributes of toll road and evaluate its performance based on customers’ point of view. Using Importance Performance Analysis, authors reveal 14 attributes which should be prioritized, nine of them need significant improvement to achieve users expectation, namely smoothness of road surface condition, no traffic congestion, riding safety, toll gate facilities, fast response of emergency unit, availability of emergency unit, ease to get emergency unit, accident handling, and road maintenance.

Keywords: Toll road, performance, service quality, user perspective, importance performance analysis

ABSTRAK

Ekspektasi pengguna jalan tol terhadap kualitas pelayanan perlu didorong sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan pada sektor jalan tol. Pada umumnya, dua indikator utama yang dipertimbangkan untuk mengukur kinerja jalan tol adalah kondisi fisik jalan tol serta waktu perjalanan yang erat kaitannya dengan kondisi lalu lintas. Meskipun belum didefinisikan sebagai salah satu faktor penting dalam kinerja jalan tol, Persepsi pengguna telah banyak digunakan sebagai alat ukur untuk meningkatkan kualitas layanan di banyak sektor jasa. Artikel ini bertujuan untuk mengemukakan atribut kualitas pelayanan yang perlu menjadi prioritas pada jalan tol serta mengevaluasi perfomanya berdasarkan sudut pandang pengguna. Dengan menggunakan analisis kepentingan-performa, penulis mengungkapkan 14 atribut yang perlu diprioritaskan. Sembilan diantaranya memerlukan perbaikan signifikan untuk mencapai harapan pengguna, yaitu kemulusan jalan, kondisi lalu lintas, keselamatan, fasilitas gardu tol, respon petugas bantuan dan darurat, ketersediaan petugas bantuan dan darurat, kemudahan mendapatkan petugas bantuan dan darurat, penanganan kecelakaan, dan pemeliharaan jalan.

Kata Kunci : jalan tol, kinerja, kualitas pelayanan, persepsi pengguna, analisis kepentingan performa

INTRODUCTION

Mobility is fundamental for the economic growth, especially in developing countries. Every economic activity involves both human trips and freight movement. Most of mobility in developing country, specifically Indonesia, highly depends on road infrastructure. This means, road infrastructure has a significant impact on development of a

country, specifically on the nation’s competitiveness (Basri 2008). Along with the growth of population and economy, trips generated on road continue to grow and it is necessary to increase road capacity to support movement and economic activity.

Surabaya, the second biggest city in Indonesia, has become one of the busiest cities in Southeast Asia, and is still continue to grow. With lack of

Page 21: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

182

adequate public transportation, citizens of Surabaya Metropolitan use private vehicles to take a trip especially for business trip. The number of private vehicles operating in Surabaya has already reached 3 million units, with 500.000 of them are private cars (Retapradana 2013). Moreover, Surabaya is the node of logistic activities in East Java, as the existing of International Port of Tanjung Perak. In order to increase capacity of the existing roads, the Government of Indonesia have built 4 toll roads in Surabaya Metropolitan Area. These toll roads connect Surabaya to other surrounding cities and transportation outlets (Juanda International Airport and Tanjung Perak Seaport). Not only do these toll roads give alternative for route selection, they also support logistic activities so freight transport can easily reach the port.

Toll road is a part of highway network for which a fee (or toll) is assessed for passage and is managed by the Ministry of Public Works. Toll roads provide alternative for travellers as well as providing better service than non-toll roads. Better service in this case, mostly refers to shorter travel time, by which using toll roads travellers can easily reach their destinations faster than using non-toll roads because normally toll roads allow faster travel speed. Level of Service or traffic condition, which affect travel time variable create a causal relationship with customer satisfaction (Sakai et al 2011). In addition, toll roads also offer comfortable journey (Basri 2008). Furthermore, the outcome of toll road development is to reduce traffic density on non-toll roads, as it gives more route choices for road users. However, based on daily observation, toll road users were still using toll road, even if congestion was occurred in the toll road.

In order to maintain quality of toll road, Ministry of Public Work (2014) has issued Minimum Service Standard which regulated on Ministry of Public Work Regulation No. 16 Year 2014. This regulation sets the quality of 6 service substances, namely road surface condition, average travel speed, accessibility, mobility, safety and emergency unit. Hartanto and Susilo (2001) stated 5 main indicators mostly used by Government to measure road performance, namely International Roughness Index Value (IRI), Bridge Condition Mark Value (BCM), Net Present Value (NPV), Vehicle Operational Cost (VOC), and average travel speed. Although the standard has to be accommodated by three stakeholders, namely regulator, operator and customers, mostly the measurement is on the operator orientation, which has very limited involvement of customer perspective. In contrast, some countries such as United Kingdom, Australia, New Zealand, and Canada have involved user satisfaction survey as a

tool and an indicator to measure road performance (Karlaftis & Kepaptsoglou 2012).

Involvement of customers in service providing process, known as service co-creation. Customer are involved and inseparable in the value-creating process as a co-creator role, so they play can assist provider to set a standard of a service they should perceive (Gronroos 2011). The main function of defining service quality level is to reach customer satisfaction. Customer satisfaction is defined as how the users feel after receiving a service. Basically, satisfaction felt by the customer appears since there are expectations towards the received service. Expectations can be viewed as anticipation from the users towards the service during transaction (Gautam 2012). As the main function of toll road is to provide a better service than non-toll road, it’s supposed to give better satisfaction level to road users compared when they use non-toll road. By reaching customer satisfaction, customers are encouraged to become loyal customers (Motlagh et al 2013). Because of this reason, customer satisfaction can be defined as one of the most important element in service delivery.

The main objective of this paper is to propose important service quality attributes of toll road and evaluate its performance based on customers’ point of view.

LITERATURE REVIEW

The theory of customer satisfaction has led into paradigm of disconfirmation. Theory of disconfirmation stated by measuring the gap between perceived service and expected service (Gautam 2012). There are three types of disconfirmation. First, positive disconfirmation, which occurs when the level of perceived service is better than expected. Second, negative disconfirmation, which occurs when the level of perceived service is less than expected. Third, zero disconfirmation, which occurs when the level of perceived service is equal to expected level.

Disconfirmation theory was occurred because there is a gap between customer and operator. The process of service delivery mainly involving two main stakeholders, namely operator and customer. Interaction between both of them create a loop of service quality, which define service level of each stakeholder for measuring service quality.

The gap may occur on many circumstances. The gap may occur on internal process in the firm, such as gap between service standard and service delivery, or even costumers misinterpretation or misunderstanding prior to service deliverance,

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 181 - 191

Page 22: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

183

Analyzing User Perspective for Toll Road Service Quality Improvement(Case Study of Surabaya Metropolitan Toll Road)

Herry T. Zuna and Argasadha Retapradana

which influence the service perceived by customer. On the other hand, gap may occur on customer viewpoint. Service quality received by customer did not meet their expectation. Generally, researchers focus on the gap on customer viewpoint, which mean the gap of service quality expected and

service quality perceived. This gap considered as the basic disconfirmation / gap which can be revealed, after this gap has been discovered, operator should analyse which system has gone wrong.

Word of mouth coomunication Personal needsPersonal needs Past experience Ideal standards

Expected service

Perceived service

Gap 8

Gap 9Gap 7

Gap 6 Gap 5Gap 1

Gap 10Gap 3

Gap 2

Gap 12

Gap 11

Gap 13

Customer

ProviderGap 4

Service delivery (including pre-and

post contacts)

External communications to

customers

Translation of Strategy and policy into service quality

speci�ications

Employee perceptions of

customer expectation

Employee perceptions of

customer perceptions

Management perceptions of

customer perceptions

Gap 14

Management perceptions of

customer expectations

Service quality strategy and policy

Old component

Newmodi�ied component

Separation line (provider-customer)Old linkNew linkOld gap

New gap

Figure 3. Service Gap Diagram (Shahin & Samea 2010)

Shahin and Samea (2010) reviewed several Service Gap Models. Based on the review, Some of Service Gap Models are not yet comprehensive. Shahin and Samea then developed a Service Gap Model by adding 5 (five) components from the original one, namely: ideal standards, translation of strategy and policy into service quality specification, service quality strategy and policy, employee perceptions of customer perceptions, and management perceptions of customer perceptions.

In the case of toll road provision in many country, including Indonesia, government take part on this sector as a regulator, which have influenced on service quality targeted by operator as the standard have been set on government rules as mention above. Different with other service sector, as an infrastructure, toll road have no competitive market. National Government is the only stakeholder authorize to provide this service, with the support

of private party as operator. Monopoly situation of toll road provision have made the service quality based on customers perspective never considered as important, resulting dissatisfaction of toll road service.

According to the description above, to maintain customers satisfaction is the main objective of service provision. Therefore, studies about service quality of toll road based on user perception is necessary to be conducted, as has been done on other sector such as public transport, airline, education, hospital (Randheer et al 2012; Aydin & Yildrim 2012; Akhlaghi et al 2012; Purcarea et al 2013).

Table 1 shows the Overview of Surabaya Metropolitan Toll Road, including length, BUJT (Badan Usaha Jalan Tol), traffic volume (vehicles/day), and years of operation.

Source : (Shahin & Samea 2010)

Page 23: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

184

Surabaya-Madura Toll Road 5,4 km PT Jasa Marga (Persero) Tbk 51.377 2009

Surabaya-Gempol Toll Road 49 km PT Jasa Marga (Persero) Tbk 226.459 1986

Surabaya-Gresik Toll Road 20,7 km PT Margabumi Matraraya 76.573 1993

Surabaya-Mojokerto Toll Road 1,89 km PT Marga Nujyasumo Agung 32.252 2011

Traffic Volume (vehicles/day)

Years of Operation

BUJTLengthRoad Segment

PT Citra Margatama Surabaya12,8 kmWaru-Juanda International Airport Toll Road

36.863 2008

Table 1. Overview of Surabaya Metropolitan Toll Roads

Source : Badan Pengelola Jalan Tol (2014)

NOVELTY

This research tries to place toll road not only as a goods, but also as a service. Therefore, it analyse the characteristic of toll gates from its service delivery process. This research analyses service quality of toll roads in Indonesia, specifically in Surabaya Metropolitan Area. In addition, this research tries to apply co-creation process in the case of Indonesia Toll Road.

MATERIAL AND METHODS

This research was conducted in Surabaya Metropolitan Area, part of Gerbangkertasusila Megapolitan. Five toll road sections operating in this metropolitan area are discussed in this article:

• Surabaya-Madura toll road• Surabaya-Gempol toll road• Surabaya-Gresik toll road• Surabaya-Mojokerto toll road• Waru-Juanda International Airport toll road

This research used BPJT (Badan Pengelola Jalan Tol) primary data collected in December 2013. In order to obtain users perception data, 300 questionnaires were distributed for these 5 toll roads with different number of questionnaires for each toll road depending on its traffic density (BPJT 2013).

Questionnaire was designed to contain questions about respondent characteristics, travel characteristics, and quality of toll road service attributes. For quality of service section, respondents were asked to give their perception about the importance level and evaluate the performance of each toll road attributes, using 5-point linkert scale as shown in the following:

1 = not important/not satisfied2 = less important/less satisfied

3 = fair important/enough satisfied4 = important/satisfied5 = very important/very satisfied

There are many ways to evaluate service quality level, including Importance-Performance Analysis (IPA) suggested by Martilla and James (1977). IPA is one of popular tools which allows service provider to better understand their customers, so they can perform the proper service to their customers. IPA forms a matrix using importance level and performance level of service quality. IPA matrix is divided by importance mean value and performance mean value into 4 quadrant, which are generally: • Quadrant 1: high importance – high

performance, called “maintain performance”• Quadrant 2: high importance – low performance,

called “focus for improvement”• Quadrant 3: low importance – low performance,

called “low priority”• Quadrant 4: low importance – high performanc,

called “reduce wasted performance”

Using this quadrant, firm can use the strategy effectively and efficiently to improve their overall performance level. This analysis shows that not all attributes should be improved, because some attributes have little influence on user satisfaction such as attributes on quadrant 3 and 4. It gives recommendation on which attributes should be on priority for improvement and which should be on waiting list or not be improved at all.

with = mean of performance value = mean of importance value

K = number of attributes

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 181 - 191

Page 24: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

185

IPA technique has been widely applied in the evaluation and performance of the service sector. Wong et al (2011) evaluated e-government service in Japan using IPA. They experienced that IPA method can be used to evaluate the performance of the services sector. IPA method is known as quite

often technique used to provide recommendations as guidance in the management of the service sector.

RESULT AND DISCUSSION

The discussion in this paper is divided into two categories. First, discussion on respondent characteristics along with trips characteristics. Second, discussion on importance and performance level of each service attributes using Importance Performance Analysis.

CHARACTERISTIC OF RESPONDENTS

The respondent data collected from questionnaire is presented on Table 1 as the basic information of respondents. From the table below, it shows that most of the respondents work as driver and that the toll fee was paid by their boss/firm which explains even that their income is less than Rp 5 millions per month, increase of travel cost is not of their concern.

High importance

Low importance

High performanceLow performance

Quadrant 2 Quadrant 1

Quadrant 3 Quadrant 4

Figure 4. Matrix of Importance- Performance

Age Under 25 3%25-34 37%35-44 41%45-54 23%55+ 6%

Education Junior high school or less 34%High school 47%Higher education 19%

Job Driver 68%Non professional 12%Expert and professional 20%

Monthly Salary Less than 5 millions Rupiah 93%5 millions – 10 millions Rupiah 6%More than 10 millions Rupiah 1%

Table 2. Respondent Characteristics

Source : Analysis (2014)

Table 2 shows trip characteristic of the respondent. Most of vehicles operated on this toll road is passenger vehicles, with a small portion of freight vehicles. Most of the respondents use toll road for business / work trips on daily basis. From discussion above, it can be said that trips generated on this toll road are describing urban activity, with some portion of logistic activity because the existence of seaport.

The data also shown that most of the respondents think that by using toll road they can reach their destination faster than using non-toll roads. While travel time is very dependent on level of service or traffic density, still road users seem to expect toll road as a solution to get out of traffic

congestion. With the minimum travel speed of 60 km/hour (Government of Indonesia 2014), toll road is supposed to give benefit in term of shorter travel time compared to non-toll road.

IMPORTANCE PERFORMANCE ANALYSIS

Table 3 shows the importance and performance value for each attributes. Based on customers’ perception, all attributes have high value of importance level. The lowest is call center service with value of 4.04, and the highest is road comfort with value of 4.91. This mean, all attributes have importance value more than 4, which is considered as important.

Source : Martilla and James 1977

Analyzing User Perspective for Toll Road Service Quality Improvement(Case Study of Surabaya Metropolitan Toll Road)

Herry T. Zuna and Argasadha Retapradana

Page 25: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

186

Next, customers evaluate service quality based on their perspectives. The highest performance value is honest toll gate operators, with value of 3.81, while the lowest performance value is ornaments, with value of 2.84. With the average performance value is 3.43, service quality of toll road delivered with fair performance.

However, even only few attributes served along with disappointment, all of them cannot maintain expectation level from customers. All attributes show negative gap value. With the highest gap value is “no traffic congestion” attributes, with gap of -1.7. It is contrast with the statement before said that travel time benefit was the main reason of using toll road.

Type of vehicle Passenger 83%Freight 17%

Frequency of usage 4 times a week or more 50%2-3 times a week 30%1 time a week or less 20%

Trip purpose Work/business 86%Leisure 13%Others 1%

Reason of usage Travel time saving 91%Safety benefit 3%Comfort benefit 7%Other reason 2%

Table 3. Trip Characteristics

Source : Analysis (2014)

No Attributes Importance Performance Gap

1 road comfort 4.91 3.61 -1.32 smoothness of road surface 4.68 3.42 -1.263 road marking 4.32 3.48 -0.844 road lighting 4.61 3.29 -1.325 road sign 4.51 3.74 -0.776 ornaments 4.09 2.87 -1.227 tree 4.14 2.94 -1.28 emergency lane 4.42 3.27 -1.159 road cleanliness 4.5 3.74 -0.76

10 no traffic congestion 4.88 3.18 -1.711 riding safety 4.85 3.36 -1.4912 sight distance 4.39 3.67 -0.7213 toll gates facilities 4.55 3.35 -1.214 Call center service 4.04 3.41 -0.6315 information display 4.14 3.63 -0.5116 fast response of emergency unit 4.56 3.31 -1.2517 availability of emergency unit 4.62 3.27 -1.3518 ease to get emergency unit 4.66 3.3 -1.3619 accident handling 4.73 3.38 -1.3520 road maintenance 4.69 3.41 -1.2821 accuracy of information 4.2 3.65 -0.5522 security from crime 4.54 3.47 -1.0723 friendly toll gates operator 4.37 3.69 -0.68

Table 4. Importance Performance Gap Value of Toll Road Attributes

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 181 - 191

Page 26: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

187

Source : Analysis (2014)

No Attributes Importance Performance Gap

24 honest toll gates operator 4.44 3.81 -0.6325 toll gates operator performance 4.56 3.55 -1.01

Grand Mean 4.49 3.43

Based on table 3 and discussion above, IPA matrix was formed. However, the strategy for each quadrant should be re-defined, since there are unique characteristics revealed from the discussion of IPA result. There are 2 conditions which caused this step needs to be done. First, mean of importance value is of 4.49 with no attributes have importance value

below 4, which mean every attributes considered as important even plotted on quadrant below . Second, the gap between performance value and importance value is negative, so that even plotted above , the performance of the attributes still not yet satisfy customers. Because of this 2 reasons, IPA matrix strategy can be defined as follows:

Prioritize and need significant improvement

Quadrant 2

Prioritize and need improvement

Quadrant 1

Need significant improvement later

Quadrant 3

Need slight improvement later

Quadrant 4

x

y

Figure 5. Modified IPA matrix strategy based on questionnaire result

IPA Matrix was formed based on table 3. IPA matrix devides 4 quadrants using x-axis with value of 4.49 and y-axis with value of 3.43. IPA matrix can be seen on figure 6.

Figure 6 illustrated plotting of service quality attributes based on customer perception. The matrix shows 5 attributes plotted on quadrant 1, namely (1) road comfort, (5) road sign, (22) security from crime, and (25) toll gates operator performance. These attributes have very high importance value and good performance, but not yet reach customer expectation.

There are 9 attributes plotted on quadrant 2, namely (2) smoothness of road surface, (10) no traffic congestion, (11) riding safety, (13) toll gate

facilities, (16) fast response of emergency unit, (17) availability of emergency unit, (18) ease to get emergency unit, (19) accident handling, and (20) road maintenance. These attributes have very high importance but still aren’t delivered with satisfied performance, so they need great improvement.

With the importance value below (standard of importance), quadrant 3 and 4 are considered less important, but the quality still need to be improved. Quadrant 3 contain 5 attributes, namely (4) road lighting, (6) ornaments, (7) tree, (8) emergency lane, (14) call center service. While quadrant 4 contain 6 attributes, namely (3) road marking, (12) sight distance, (15) information display, (21) accuracy of information, (23) friendly toll gates operator, and (24) honest toll gates

Source : Analysis 2014

Analyzing User Perspective for Toll Road Service Quality Improvement(Case Study of Surabaya Metropolitan Toll Road)

Herry T. Zuna and Argasadha Retapradana

Page 27: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

188

operator. As stated before, both of quadrant 3 and 4 are still need to be improved, because still considered as important, though operator need to concern on quadrant 1 and 2 first. Five attributes

on quadrant 3 need significant improvement later, while in contrast, 6 attributes on quadrant 4 only need slight improvement.

PERFORMANCE

IMPO

RTANCE

5,00

4,80

4,60

4,40

4,20

4,002,80 3,00 3,20 3,40 3,60 3,80

Figure 6. IPA Matrix of Surabaya Toll Roads

Quadrant 1 Quadrant 2 Quadrant 3 Quadrant 4

road comfort smoothness of road surface road lighting road marking road sign no traffic congestion ornaments sight distance road cleanliness riding safety tree information display

security from crime toll gates facilities emergency lane accuracy of information

toll gates operator performance

fast response of emergency unit Call center service

friendly toll gates operator

availability of emergency unit honest toll gates operator

easy to get emergency unit

accident handling

road maintenance

Table 5. Attributes grouping based on IPA matrix

Source : Analysis (2014)

According to table 5, there are 14 prioritized attributes with high importance based on costumer’s perception (quadrant I and II). Those are the average results of the five toll roads discussed

in this article. Attributes grouping in each toll road shows slightly different plotting in every quadrant, as shown in table 6 below.

Source : Analysis 2014

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 181 - 191

Page 28: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

189

Quadrant

Surabaya-Madura

Toll Road

Surabaya-Gempol Toll

Road

Surabaya-Gresik Toll

Road

Surabaya-Mojokerto Toll Road

Waru-Juanda International Airport Toll

Road

Road Comfort I I II II I

Road Sign I IV II I IV

Road Cleanliness I IV II II IV

Security from Crime II IV II I I

Toll Gates Operator Performance I I II II I

Smoothness Of Road Surface II I II II I

No Traffic Congestion I II II II I

Riding Safety II II II II I

Toll Gates Facilities II III II I II

Fast Response Of Emergency Unit II III II II I

Availability Of Emergency Unit I II II II II

Easy To Get Emergency Unit II II II II I

Accident Handling II I II II I

Road Maintenance I I II II I

road lighting II II II II Iornaments II III III III IIItree III III III III IIIemergency lane II III II II IVcall center service IV II III III III

road marking IV IV III III IVsight distance I IV III II IVinformation display IV IV III III IVaccuracy of information IV IV III III IVfriendly toll gates operator IV IV I I IVhonest toll gates operator IV IV I I IV

Source: Analysis (2014) I

II

III

IV

Attributes

: Keep Up the Good Work

: Concentrate Here

: Low Priority

: Possibly Overkill

Table 5. Attributes Grouping Based on IPA Matrix in Each Toll Road

Analyzing User Perspective for Toll Road Service Quality Improvement(Case Study of Surabaya Metropolitan Toll Road)

Herry T. Zuna and Argasadha Retapradana

Page 29: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

190

Attributes grouping in Surabaya-Madura Toll Road is nearly the same as the average grouping. There are only slight differences in each quadrant, except for grouping in quadrant III. Four out of five attributes are plotted in different quadrant, namely (4) road lighting, (6) ornaments, and (8) emergency lane in quadrant II, and (14) call center service in quadrant IV.

Surabaya-Gempol Toll Road has quite different attributes grouping, especially in quadrant I and II. Attributes (5) road sign, (9) road cleanliness, and (25) toll gate operation performance are plotted in quadrant IV, which considered not important. In quadrant II, there are also quite significant differences, namely (2) smoothness of road surface, (13) toll gates facilities, (16) fast response of emergency unit, (19) accident handling, and (20) road maintenance. In contrast, the attributes grouping for quadrant IV is the same as the average grouping result.

Surabaya-Gresik Toll Road attributes grouping also shows different result. All of the attributes in quadrant I are plotted in quadrant II, meaning all of them are important but need to be significantly improved. The results in quadrant II are the same, while in quadrant III only shows slight differences. However, there are no attributes plotted in quadrant IV in this toll road.

Surabaya-Mojokerto Toll Road attributes grouping shows different results in each quadrant. Same as the previous road, this road doesn’t have any attributes plotted in quadrant IV. Three out of five attributes in quadrant I are plotted in quadrant II, namely (1) road comfort, (9) road cleanliness and (25) toll gates operation performance. In quadrant II and III there are only slight difference, but the attributes grouping in quadrant IV is completely different.

Attributes grouping in Waru-Juanda International Airport Toll Road shows the same result in the fourth quadrant. In quadrant I, II, and III there are significant differences, including seven out of nine attributes in quadrant II plotted in quadrant I.

CONCLUSION

Based on discussion, IPA technique is useful to give recommendation on service quality improvement. However, the strategy provided by IPA Matrix should be re-defined based on result of the survey. The strategy can be different with certain circumstances.

The analysis shows that all 25 service quality

attributes have high importance level. Therefor, this study devide the importance level of service quality into two groups, priority and secondary. There are 14 atrributes with high level of expectation which need to be prioritized, namely road comfort, road sign, road cleanliness, security from crime, toll gates operator performance, smoothness of road surface, no traffic congestion,riding safety, toll gates facilities, fast response of emergency unit, availability of emergency unit, easy to get emergency unit, accident handling, and road maintenance,

Among those 14 attributes with high level of expectations, with 5 of them on quadrant 1 only need slight improvement to attain customer satisfaction, which are road comfort, r o a d sign, road cleanliness, security from crime, toll gates operator performance, and smoothness of road surface, while 9 others need great improvement to reach user expectation, which are smoothness of road surface, no traffic congestion, riding safety, toll gates facilities, fast response of emergency unit, availability of emergency unit, easy to get emergency unit, accident handling, and road maintenance.

The operator of toll road in Surabaya still need to enhance the quality of other attributes, if the ideal condition of priority attributes have been met. The strategy can be an effort to improve service and competitiveness of toll roads, also to maintain customer satisfaction. To obtain more recommendation from customers, it is necessary to ask open question to obtain more wide answer and recommendation.

In the next research, author will analyze toll road service quality attribute from operator perspective and government perspective. Comparison between three stakeholders will be analyzed to see the coherence of toll road attributes. In the end of the research, comprehensive service attributes can be proposed.

ACKNOWLEDGMENT

Authors would like to thank Indonesia Toll Road Authority (BPJT) for supporting this study by providing primary data from their survey on 2013 and let us used it on our study.

REFERENCES

Akhlaghi, E., Amini S., and Akhlaghi, H. 2012. Evaluating Educational Service Quality in Technical and Vocational Colleges using SERVQUAL Model. Procedia - Social and Behavioral Sciences 46 : 5285-5289.

Ayazli, I. E., Fatmagul K., Steffen L., and Hulya D. 2015. Simulating Urban Growth Driven by

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 181 - 191

Page 30: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

191

Transportation Networks: A Case Study of The Instanbul Third Bridge. Elsevier Land Use Policy 49 : 332-340.

Aydin, K., and Yildirim, S. 2012. The Measurement of Service Quality with Servqual for Different Domesitic Airline Firms in Turkey. Serbian Journal of Management 7 (2): 219 – 230.

BPJT. 2013. Survey Kepuasan Pengguna Jalan Tol terhadap Pelayanan Jalan Tol. Jakarta.

Gautam V. 2012. An Empirical Analysis to Study the impact of Service Quality Attributes on Customer Value, Satisfaction and Loyalty in Mobile Telecommunication Services in Dehradun. Thesis. ICFAI University.

Gronroos, C. 2011. Value Co-creation in Service Logic: A Critical Analysis. Marketing Theory 11: 279-301.

Ministry of Public Works. 2014. Standar Pelayanan Minimal jalan Tol, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16/PRT/M/2014.

Karlaftis M and Kepaptsoglou K. 2012. Performance Measurement in the Road Sector: A Cross-Country. International Transport Forum Discussion Paper 10.

Motlagh A. T., Sadeh E., Sadeh S., Jafari H., Morovat J. A., Enaamzadeh A. 2013. How does Service Quality Lead to Loyalty in the Hotel Industry in Iran. Research Journal of Applied Sciences, Engineering and Technology 5.

Purcarea V. L., Gheorghe I. R., Petrescu C. M. 2013. The Assessment of Perceived Service Quality of Public Health Care Services in Romania Using the SERVQUAL Scale. Procedia Economics and Finance 6 : 573–585.

Randheer K., AL-Motawa A. A., Vijay. P. J. 2012. Measuring Commuters’ Perception on Service Quality Using SERVQUAL in Public Transportation. International Journal of Marketing Studies 3 (1).

Retapradana A. 2013. Studi Kesesuaian Rencana Moda Trem Terhadap Permintaan Pelaku Perjalanan (Studi Kasus: Kawasan Pusat Kota Surabaya). Undergraduate Thesis. Institut Teknologi Bandung.

Sakai T., Yamada-Kawai K., Matsumoto H., Uchida T. 2011. New Measure of the Level of Service for Basic Expressway Segments Incorporating Customer Satisfaction. Procedia Social and Behavioral Sciences 16 : 57–68.

Tileng, M. Y., Wiranto H. U., and Rudy L. 2013. Analysis of Service Quality using Servqual Method and Importance Performance Analysis (IPA) in Population Department, Tomohon City. International Journal of Computer Applications 70 (19) : 23-30.

Shahin A. and Semea M. 2010. Developing the Models of Service Quality Gaps: A Critical Discussion.

Business Management Strategy Vol 1.Wong M. S., Hideki N and George P. 2011. The Use

of Importance-Performance Analysis (IPA) in Evaluating Japan’s E-Government Services. Journal of Theoretical and Applied Electronic Commernce Research Vol 6

Analyzing User Perspective for Toll Road Service Quality Improvement(Case Study of Surabaya Metropolitan Toll Road)

Herry T. Zuna and Argasadha Retapradana

Page 31: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

193

ESTIMASI MANFAAT PENGURANGAN EMISI CO2 PADA RESTORASI RAWA GAMBUT TERDEGRADASI DENGAN CANAL BLOCKING

(STUDI KASUS : RESTORASI RAWA GAMBUT SEI AHAS KALTENG)

Estimating The Benefit of CO2 Emissions Reduction in Restoration of Degraded Peat Swamp With Canal Blocking

(Case Study Peat Swamp in Sei Ahas Kalteng)

Ridwan Marpaung1

1Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl.Patimura No.20 Gedung Heritage lt.3 Jakarta Selatan

E-mail:[email protected]

Tanggal diterima: 31 Juli 2015 , Tanggal disetujui: 28 Oktober 2015

ABSTRACT

Indonesia memiliki luas lahan gambut tropika terbesar di dunia (21 juta ha). 1,95 juta ha lahan gambut ini sudah terdegradasi yang menyumbangkan lebih dari 50% emisi gas rumah kaca di Indonesia. Sebagian besar penyebab degradasi lahan gambut ini adalah drainase berlebihan untuk pengusahaan lahan pertanian. Rawa gambut terdegradasi dirubah menjadi sumber emisi karbon dari penyimpan karbon. Untuk mengurangi emisi karbon ini digunakan teknologi canal blocking. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan manfaat pengurangan emisi karbon, besarnya manfaat dan margin keuntungan jika dibandingkan dengan skema REDD dan dari harga acuan pasar karbon dunia. Penelitian ini berlokasi pada Sei Ahas Provinsi Kalimantan Tengah. Data dikumpulkan melalui survey, wawancara dan studi literatur. Analisis manfaat pengurangan emisi menggunakan metode stock difference yang dikombinasikan dengan metode Net Present Value. Hasil analisis menunjukkan manfaat karbon sebesar 693,85 tCO2-e/ha atau 1.178,2 US $/ha, dan manfaat non karbon 5.893,57 US $/ha/tahun. Tidaka ada margin keuntungan pengurangan emisi menggunakan canal blocking jika dibandingkan dengan skema pengurangan emisi REDD menggunakan tanaman Acacia crassicarpa maupun tanaman karet (Hevea brasilliensis), tetapi mengacu pada harga karbon dunia, margin keuntungan cukup berarti yaitu 2,70 US $/tCO2-e (61,36%).

Keywords: manfaat, pengurangan emisi karbon, restorasi, rawa gambut terdegradasi, canal blocking

ABSTRAK

Indonesia has the largest tropical peatland in the world (21 million hectares). 1.95 million hectares of peatland has been degraded and contributes to more than 50% of carbon emissions in Indonesia. Most of degraded peatlands caused by excessive drainage is for cultivation of agricultural. Degraded peat land changed into the source of carbon emissions from carbon pool. To reduce the carbon emissions is used the canal blocking technology. The purpose of this study was to prove the of carbon reduction emissions, the ammount of the benefits and profit margin when compared to the REDD scheme and from the global carbon market prices. This research is located in Sei Ahas in Central Kalimantan Province. Data were collected through surveys, interviews and literature riviews. Emissions reduction benefit analyzed with using stock difference method combined with Net Present Value method. The analysis showed the carbon benefit was 693,85 tCO2-e / ha or 1.178, 2 US $/ha and non-carbon benefit 5.893,57 US $/ha/year. There is no margin gain if reduction emission with canal blocking compared to REDD scheme using Hevea brasiliensis and Acacia Crassicarpa plantatio, but refering to standar global carbon prices, the margin gain is significant enough with 2.70 US $/tCO2-e (61,36%).

Kata kunci : benefit, emission carbon reduction, restoration, degraded peat swamp, canal blocking

Page 32: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

194

PENDAHULUAN

Degradasi Rawa Gambut di Indonesia

Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri tanpa bantuan dari luar, dan 41% jika mendapat bantuan luar pada tahun 2030 (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015). Untuk mencapai tujuan ini, berbagai skenario pengurangan emisi karbon dilakukan. Salah satu dari skenario ini adalah melalui pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD) termasuk hutan rawa gambut. Skenario REDD di Indonesia dikembangkan untuk pembangunan ekonomi berwawasan ekonomi hijau. Hutan rawa gambut adalah hutan terbesar penyumbangkan emisi karbon. Indonesia adalah suatu negara yang memiliki luas lahan gambut tropika terbesar di dunia, yaitu 21 juta ha (34%) dari luas lahan gambut dunia. Lahan gambut ini menyebar di Pulau Sumatera (7,2 juta ha), Kalimantan (5,8 juta ha), dan Papua (8,0 juta ha) (Bappenas 2009). Lebih dari 55 % luas lahan gambut ini masih tertutup hutan, tetapi luas tutupan ini berkurang dengan cepat antara 12% sampai 15% tahun 2000-2006 (Bappenas 2009). Penyebab utama pengurangan hutan rawa gambut ini adalah pembukaan hutan dan drainase untuk pengusahaan lahan pertanian.

Menurut Bappenas (2009) ada seperempat bagian lahan gambut yang ada di Indonesia dilindungi dan dikonservasi. Sekitar 3,3 juta ha tetap terjaga hutannya, namun 1,95 juta ha lagi sudah mengalami degradasi. Hutan gambut yang terdegradasi ini menyumbangkan lebih dari 50% emisi gas rumah kaca di Indonesia.

Khususnya degradasi rawa gambut di Pulau Kalimantan, disebabkan pembukaan rawa gambut 1 juta ha untuk memenuhi kebutuhan pangan yang dilakukan dengan cara membuat kanal-kanal drainase sepanjang 4500 km dengan lebar 30 m sehingga terjadi over drainase. Over drainase ini berdampak pada kerusakan rawa gambut (Jaenicke et. al 2010). Menurut Clement et al. (2015), hampir seluruh rawa gambut yang dikonversi dan dieksploitasi dimulai dari drainase yang berlebihan sehingga mempengaruhi fungsi hidrologis rawa gambut yang pada gilirannya akan mengeringkan rawa gambut. Rawa gambut yang terdegradasi ini praktis tidak mempunyai manfaat bagi masyarakat dan bahkan menjadi sumber bencana kebakaran. Kalaupun dapat diusahakan akan beresiko tinggi dan tidak mendapat keuntungan.

Menurut Agus et.al (2009), rawa gambut tetap dapat diusahakan untuk lahan pertanian walaupun

secara terbatas. Pengusahaan lahan pertanian ini terutama dimaksudkan untuk komoditas pertanian yang mempunyai toleransi tinggi terhadap muka air gambut seperti hevea brasiliensis (Hevea braziliensis), padi sawah dan sagu. Wibowo (2009) menyebutkan tanah gambut tergolong tanah marginal dan rentan terhadap gangguan. Usaha peningkatan produktivitas lahan harus diikuti dengan usaha mencegah kerusakan ekosistem rawa gambut. Rawa gambut , secara ekonomi, merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan sebagai sumber mata pencaharian penduduk. Disamping itu, rawa gambut juga mempunyai berbagai fungsi lainnya seperti : pengatur tata air, tempat hidup keanekaragaman hayati, tempat rekreasi dan sebagai tempat penyimpan karbon terbesar.

Rawa gambut yang terdegradasi ini jika tidak segera direstorasi, akan sangat merugikan baik dari dampak terhadap lingkungan terutama emisi karbon, dari kehilangan kesempatan pengusahaan lahan pertanian secara terbatas oleh penduduk, seperti tanaman Hevea braziliensis, dan dari kayu hasil hutan.

Salah satu cara untuk memfungsikan kembali rawa gambut yang terdegradasi ini adalah dengan melakukan upaya restorasi. Upaya yang banyak dilakukan di Indonesia adalah dengan membangun konstruksi - konstruksi bangunan canal blocking. Canal blocking ini berfungsi untuk menaikkan muka air sehingga kondisi hidrologi gambut berubah menjadi seperti semula yang menyebabkan terjadinya revegetasi hutan, maupun pengusahaan lahan secara terbatas.

Manfaat Restorasi Rawa Gambut Terdegradasi

Rawa gambut merupakan suatu sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi. Salah satu fungsi penting rawa gambut ini adalah sebagai tempat penyimpanan stock karbon terbesar (Parry, 2014; Page et. al 2011; Ritzema et. al 2014; Worrall et. al 2010 ; Jainicke et al 2010 ; Bullock et al 2012). Fungsi lainnya adalah sebagai penyedia layanan ekosistem yaitu tempat yang kaya akan keanekaragaman hayati; mengatur tata air; tempat pemandangan ; rekreasi; sebagai sumber mata pencaharian penduduk; dan sebagai tempat penghasil kayu (Parry et al. 2014). Rawa gambut yang terdegradasi adalah rawa gambut yang telah mengalami kerusakan atau kehancuran ekosistemnya sehingga tidak lagi dapat menjalankan sebagian atau seluruh fungsi-fungsinya.

Rawa gambut memiliki sumber daya alam dan lingkungan yang mempunyai berbagai manfaat. Nilai manfaat ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu nilai manfaat langsung maupun nilai

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 193 - 205

Page 33: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

195

manfaat tidak langsung (Wijaya dan Wiryawan, 2013). Nilai manfaat langsung yaitu, yang terkait dengan komoditas pertanian seperti : karet (Hevea braziliensis), kayu, rotan, padi, buah-buahan maupun ikan. Manfaat tidak langsung sebagai pengatur tata air, penyimpanan karbon dan sebagai sumber keanekaragaman hayati. Moxey at al. (2014) membagi manfaat rawa gambut menjadi dua yaitu: manfaat karbon dan non karbon.

Manfaat karbon dari rawa gambut adalah sebagai tempat penyimpanan karbon dan menangkap karbon, sedangkan manfaat non karbon di ukur melalui pendekatan non-market. Rawa gambut yang terdegradasi akan kehilangan berbagai manfaat ini. Namun untuk rawa gambut yang dapat diusahakan secara terbatas manfaat non karbon dapat diperoleh dari hasil pertanian atau perkebunan dan kayu.

Penelitian ini berfokus pada manfaat yang cukup signifikan bagi Indonesia yaitu manfaat karbon yaitu pengurangan emisi dan manfaat non karbon yaitu bagi keberlanjutan pengusahan pertanian seperti hevea brasiliensis masyarakat.

Jika ditinjau dari sifat gambut, karbon yang tersimpan dalam rawa gambut mempunyai sensitivitas tinggi terhadap perubahan atau penurunan muka air gambut Bonn et al. (2014). Penurunan muka air gambut akan meninggikan zona aerobick dekomposisi, yang secara cepat mengubah lahan gambut sebagai tempat penyimpanan atau penangkap CO2 menjadi sumber pengemisi dari gas rumah kaca (Evans et al. 2014). Pada kondisi ini manfaat rawa gambut sebagai tempat penyimpanan karbon akan hilang dan sebaliknya akan menjadi sumber pengemisi. Hasil studi yang dilakukan oleh Hooijer et al. (2010) pada rawa gambut di Sumatera dan Kalimantan menjelaskan bahwa : karbon dioksida CO2 yang teremisi akibat kerusakan gambut berkisar antara 355 Mt/tahun sampai 855 Mt/tahun (82%). Jika harga karbon global sekitar US $10/tCO2, maka diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.911 juta US $/tahun sampai 7.011 juta US $/tahun. Kerugian ini belum dihitung dari hilangnya manfaat dari hasil pertanian masyarakat dan lainnya.

Mengingat besarnya kehilangan manfaat ini, salah satu upaya yang dilakukan mengembalikan fungsi dan manfaat rawa gambut terdegradasi ini adalah melalui restorasi. Restorasi rawa gambut adalah suatu proses untuk membantu recovery fungsi dan manfaat rawa gambut terdegradasi atau rusak ke posisi semula. Restorasi rawa gambut terdegradasi adalah upaya pengurangan emisi karbon melalui pencegahan deforestasi) dan degradasi hutan(REDD). Upaya REDD ini harus

memberikan manfaat bagi Indonesia sebagai negara yang telah melaksanakan pengurangan emisi.

REDD berfungsi sebagai mekanisme untuk memberikan kompensasi pada upaya pengurangan deforestasi dan kerusakan hutan yang telah terverifikasi atau upaya peningkatan stock karbon (Sabarudi & Muttaqien, 2014). Manfaat REDD ini perlu dirasakan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan juga sampai pada masyarakat. Transfer fiskal untuk distribusi manfaat REDD haruslah dapat menggantikan seluruh biaya-biaya yang muncul dalam implementasi REDD tersebut. Studi Cacho et. al (2014 ), di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau harga kredit karbon dari implementasi kebijakan REDD harus lebih tinggi dari biaya total yang muncul dalam implementasi REDD, sehingga keuntungan bersih (net margin) dapat diperoleh.

Telah banyak penelitian dilakukan untuk mengukur pengurangan emisi karbon dengan skema REDD. Rahmat (2010) menemukan biaya pengurangan emisi melalui revegetasi rawa gambut terdegradasi dengan tanaman Acacia Crassicarpa adalah 1,61US $ /tCO2-e. Studi pengurangan emisi karbon lainnya pada rawa gambut dengan tanaman karet (Hevea Brasiliensis) oleh Herman et al. (2009), menemukan besarnya emisi CO2-e adalah 64 tCO2-e/ha/tahun, dengan harga karbon ekivalen CO2-e berkisar antara 1,26 US $/tCO2-e sampai 4,05 US $/tCO2-e. Selanjutnya, Sofiyuddin (2012) menemukan pendapatan bersih sekarang untuk tanaman karet pada lahan gambut di Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi adalah adalah 1.747 US $/ha dengan emisi CO2-e 1562,3 tCO2-e/ha/tahun. Berdasarkan data ini besarnya biaya pengurangan emisi 1,1 US $/tCO2-e.

Skema pengurangan emisi karbon dengan cara lain adalah dengan pembangunan kontruksi canal blocking yang dapat menaikkan tinggi muka air. Penelitian ini menunjukkan adanya pengurangan emisi CO2-e rata-rata dihitung dari besarnya tinggi muka air adalah 45 tC/ha/tahun atau 168,2 tCO2-e/ha/tahun. Jaenicke et al. (2010) menemukan besarnya CO2-e yang direduksi dengan adanya konstruksi canal blocking berkisar antara 1.4-1.6 MtCO2-e per tahun.

Penelitian diatas menunjukkan besarnya emisi karbon pada lahan terdegradasi dengan harga CO2-e diperoleh dari pengurangan emisi melalui Skema REDD, maupun dengan cara membangun canal blocking. Penelitian ini hanya berkisar penentuan harga karbon saja belum menyentuh pengusahaan lahan perkebunan penduduk seperti hevea brasiliensis penduduk (Hevea brasiliensis) yang mendukung restorasi rawa dan revegetasi sebagai

Estimasi Manfaat Pengurangan Emisi CO2 pada Restorasi Rawa Gambut Terdegradasi Dengan Canal Blocking (Studi Kasus : Restorasi Rawa Gambut Sei Ahas Kalteng)

Ridwan Marpaung

Page 34: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

196

Gambar 1. Peta lokasi studiSumber : Puslitbang Sumber Daya Air, 2012

dampak positif dari restorasi gambut terdegradasi dengan teknologi canal blocking.

Restorasi rawa gambut berkelanjutan beorientasi pada restorasi melalui pemulihan muka air tanah dengan membangun konstruksi canal blocking sampai rawa gambut yang direstorasi dapat diusahakan secara terbatas oleh masyarakat setempat, dan sebagian rawa direvegetasi untuk kesejahteraan masyarakat sekitar dan untuk pengurangan emisi karbon sesuai dengan tujuan REDD di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengisi kekosongan diatas.

Usaha mencegah kerusakan gambut agar lahan gambut dapat ditingkatkan produktivitasnya memerlukan biaya yang besar (Wibowo 2009). Restorasi lahan gambut dapat dipandang sebagai suatu investasi dengan biaya untuk memperoleh manfaat. Salah satu upaya untuk merestorasi lahan gambut terdegradasi ini adalah dengan membangun konstruksi canal blocking. Restorasi rawa gambut menyediakan suatu peluang investasi melalui pengembangan pasar karbon (Bonn et al. 2014). Selanjutnya Worrall et al. (2010) menyebutkan pengelolaan lahan gambut berpeluang untuk memperbaiki tempat penyimpanan karbon melalui revegetasi dari lahan gambut yang terdegradasi. Restorasi rawa gambut memulihkan rawa gambut dari pengemisi karbon menjadi penyimpan karbon sehingga bermanfaat bagi pengurangan emisi karbon (Peacock et al. 2013 ; Quin et al. 2014). Restorasi rawa gambut juga mendapat keuntungan untuk menggantikan keuntungan tanaman yang berdampak pada biaya kesempatan yang hilang tinggi (Glenk K. et al 2014). Restorasi rawa gambut

jika dipandang dari sisi manfaat ekonomi adalah suatu investasi yang membutuhkan biaya-biaya yang harus dibandingkan dengan beberapa nilai manfaat. Menurut Moxey et al. (2014), manfaat dalam restorasi rawa gambut terdiri dari manfaat karbon dan manfaat non karbon, sedangkan biaya terdiri dari capital costs dan ongoing costs.

Restorasi rawa gambut terdegradasi dengan canal blocking dan pengusahaan lahan pertanian secara terbatas serta revegetasi ini mempunyai manfaat pengurangan emisi karbon dan non karbon. Restorasi rawa gambut ini adalah restorasi secara menyeluruh dan berkelanjutan. Masalahnya adalah belum terbukti manfaatnya pengurangan emisi , manfaat apa saja yang diperoleh, dan manfaat jika dibandingkan dengan skenario pengurangan emisi karbon melalui skema REDD dengan penanaman tumbuhan acasia crassicarpa, dan tanaman karet Hevea brasilliensis serta manfaat dari harga acuan pasar karbon dunia.

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan manfaat pengurangan emisi, besar manfaat yang diperoleh, serta margin keuntungan jika dibandingkan dengan skenario pengurangan emisi karbon melalui skema REDD dan dari harga acuan pasar karbon dunia.

METODE PENELITIAN

Lokasi kegiatan penelitian ini terletak pada Desa Sei. Ahas , Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Luas rawa gambut ini adalah 133,46 ha. Jumlah petani yang menjadi responden adalah 33 kepala keluarga (KK). Gambar 1. berikut adalah lokasi studi.

AL

USCABLO

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 193 - 205

Page 35: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

197

Lokasi 1 terletak pada jenis gambut hemik (setengah matang) dan gambut fibrik (mentah) yang dicirikan banyak endapan kayu dan tanaman yang masih dalam dekomposisi dalam air. Rata-rata ketebalan tanah gambut 3 m. lebar aliran sungai adalah 4 m dan muka air berada pada kedalaman (60-75)cm. Lokasi Konstruksi canal blocking 2 ini terletak disebelah utara lokasi konstruksi canal blocking 1. Disisi kiri canal blocking 2 ini terdapat tanah gambut dengan ketebalan 1 m, sedangkan pada sisi kanan tidak terdapat tanah gambut. Lebar aliran sungai 6-7 m, dan kedalam air pada saat musim kemarau 50 cm. Lokasi konstruksi canal blocking 3 (tiga) adalah paling utara dengan lebar saluran anatra 15 – 20 m. Pada lokasi ini tanah berupa tanah lempung dan tanah gambut saprik (matang).

Pengumpulan Data

Data primer terkait dengan sosial ekonomi petani diperoleh dari survei dan wawancara dengan petani. Data primer rencana dan biaya pembangunan canal blocking diperoleh dari pejabat BBWS Kalimantan II dan Balai Rawa.

Data sekunder dikumpulkan dari studi-studi terdahulu terkait dengan pengurangan emisi karbon di rawa gambut pada skema REDD. Data diambil secara purposif dengan kriteria : rawa gambut terdegadasi dan direstorasi dengan konstruksi canal blocking. Kriteria berikutnya adalah rawa gambut dimanfaatkan oleh masyarakat secara terbatas untuk pengusahaan lahan pertanian dan sebagian lagi tidak diusahakan. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2013 dari bulan Januari sampai dengan bulan Nopember 2013.

Metode Analisis

Besarnya perubahan cadangan karbon apabila terjadi restorasi lahan gambut dapat dihitung dengan dua cara yaitu dengan pendekatan metode gain-loss dan metode stock-difference. Pada tulisan ini digunakan metode stock difference. Metode ini dipilih berdasarkan ketersediaan dan kelengkapan datanya. Metode stock difference adalah suatu alternatif perhitungan perubahan cadangan karbon dengan mengukur besarnya cadangan karbon di suatu pool pada saat yang berbeda dan rata-rata laju kehilangan dan penambahan karbon ditentukan dengan membagi dengan interval waktu pengukuran.

Besarnya karbon yang tersimpan dalam suatu pool sistem dapat dihitung dengan metode stock difference berikut :

∆C = perubahan stock karbon dalam suatu poll per tahun (tC/tahun)

Ct1 = Stock karbon pada suatu pool pada waktu t1 (tC)

Ct1 = Stock karbon pada suatu pool pada waktu t2 (tC)

Simpanan karbon dihitung dengan menentukan volume gambut terlebih dahulu. Volume ini dihitung dengan menggunakan perangkat lunak QGIS melalui peta elevasi dari LIDAR. Besarnya gambut teroksidasi adalah 0,8 dari volume gambut. Berat kering gambut adalah hasil kali bulk density dengan valume gambut. Stock karbon adalah 0,5 dari berat kering karbon (Puslitbang SDA 2012). Stock karbon teroksidasi ini adalah karbon yang berada diatas muka air rata-rata pada musim hujan dan musim kemarau. Stock karbon akan habis seluruhnya selama periode penurunan gambut.

Periode penurunan gambut diukur menggunakan subsidence poles dengan pengamatan 1 bulan pada musim kemarau dan 2 atau 3 bulan pada musim hujan. Pengukuran muka air tanah dilakukan dengan alat dipwells. Selanjutnya dari data yang ada kemudian dianalisis dengan rumus hubungan antara laju penurunan dengan tinggi muka air tanah berikut (Puslitbang SDA 2012) :

Subsidence rate (cm/tahun)=0,41+6,04.WD... (2)

WD = tinggi muka air (meter)

Dengan diketahui tinggi gambut diatas muka air maka, waktu penurunan yaitu waktu yang diperlukan sampai stock karbon habis. Dengan asumsi apabila restorasi dilakukan maka tinggi muka air akan kembali pada posisi alaminya, maka berdasarkan hal ini dapat diketahui waktu penurunan gambut. Waktu penurunan ini adalah waktu yang diperlukan gambut diatas muka air untuk teroksidasi semuanya. Dengan demikian dapat ditentukan stock karbon yang tinggal pada setiap waktu melalui simulasi ini.

Emisi flux CH4 tidak termasuk dalam perhitungan ini karena tidak dominan dibandingkan dengan flux CO2 rawa gambut di Kalimantan (Jauhiainen & Silvennoine, 2012). Karbon (C) adalah satuan biomasa, jika di ubah menjadi karbon dioksida ekivalen (CO2-e) akan dikalikan dengan 44/12=3,67. Manfaat karbon pengurangan emisi adalah hasil kali

)12(12

ttCC

C tt

−−

∆................(1)

Estimasi Manfaat Pengurangan Emisi CO2 pada Restorasi Rawa Gambut Terdegradasi Dengan Canal Blocking (Studi Kasus : Restorasi Rawa Gambut Sei Ahas Kalteng)

Ridwan Marpaung

Page 36: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

198

No PEMILIK LAHANLUAS LAHAN

YANG DIMILIKI (Ha)

LUAS TANAMAN

KARET (Ha)

LUAS TANAMAN

PADI/SAWAH (ha)

LUAS TANAMAN LAINNYA

(ha)

LAHAN YANG

BELUM DIGARAP

(ha)1 Mariaci 6,00 1,50 0,00 0,50 4,002 Tili 0,88 0,05 0,00 0,00 0,823 Dodi 3,00 0,50 0,50 0,00 2,004 Atuk 0,75 0,65 0,00 0,10 0,005 Sopel 2,10 0,95 0,00 0,10 1,056 Nia 1,50 0,90 0,00 0,10 0,507 Imah 4,00 1,00 0,90 0,10 2,008 Aluh 3,00 3,00 0,00 0,00 0,009 Nila 3,00 3,00 0,00 0,00 0,0010 Ogah 1,50 1,00 0,00 0,50 0,0011 Desi 4,50 3,00 0,00 1,50 0,0012 Siah 1,50 0,00 0,00 0,00 1,5013 Bermo 10,00 1,00 1,00 0,00 8,0014 Lomi 4,50 0,00 0,29 0,00 4,5015 Noryadi 4,00 2,00 0,00 0,00 2,0016 Simpel 2,00 0,00 0,50 0,50 1,0017 Bambang Riadi 1,60 0,50 0,35 0,15 1,5018 Samuji 18,79 18,79 0,00 0,00 0,0019 Atak 1,60 0,50 0,00 0,10 1,0020 Marli 2,00 0,88 0,00 0,00 1,1221 Los 2,17 1,50 0,00 0,00 0,6722 Suhandi 2,00 0,00 0,00 0,00 2,0023 Tarji 24,00 19,00 0,00 1,00 4,0024 Turung 4,34 2,89 0,00 0,00 1,4525 Tuni 2,89 0,00 0,00 0,00 1,4526 Karno 2,54 1,00 0,50 0,18 1,6827 Wardi 4,00 1,00 0,00 0,00 3,0028 Bambang Rafi 2,00 1,00 0,00 0,00 1,0029 Sanie 2,80 1,00 0,00 0,00 1,8030 Tatak 2,00 0,50 1,00 0,00 0,5031 Manda 2,50 0,50 0,50 0,00 1,5032 Sarita 4,00 1,80 0,00 0,20 2,0033 Isap 2,00 0,00 0,00 0,00 2,00

133,46 69,41 5,54 5,03 54,04TOTAL

Tabel 1. Jenis dan Luas Kepemilikan Lahan Petani

Sumber : Hasil survei Balai Rawa Puslitbang Sumber Daya Air 2012

antara CO2-e (ΔC) saving dikalikan dengan harga satuan karbon dalam perdagangan dunia yaitu mengacu pada Verifed Carbon System (VCS) yaitu 4,4 US $/tCO2-e dan harga karbon acuan Word Carbon Price sebesar 10 US $/tCO2-e(Busch et al. 2012).

Selain manfaat karbon, manfaat non karbon mencakup nilai manfaat dari pengusahan lahan pertanian oleh masyarakat seperti Hevea brasiliensis, padi sawah dan jenis produksi pertanian lainnya.Manfaat ini dihitung dengan rumus berikut.

Dimana :NPV = Net Present Value dari KonstruksiCP = Harga KarbonCO2-e (saving) = Besarnya CO2-e netto

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data Sosial Ekonomi Responden

Data berikut adalah data hasil survei pada responden petani yang lahan pertaniannya berada disekitar pembangunan canal blocking. Tabel 1 berikut adalah : data jenis dan luas kepemilikan lahan petani. Berikut adalah tabel jenis dan luas kepemilikan lahan gambut.

nt

ttiCtBtNPV

0 )1( .......(3)

Dimana :Bt = Manfaat pada tahun ke-tCt = Biaya pada tahun ke-tn = umur hidup suatu siklus tanaman i = Discount Rate

Besarnya harga karbon untuk pengurangan emisi dihitung dengan rumus berikut

.......(4)

)(2

1

savingCONPV

CPe

t

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 193 - 205

Page 37: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

199

tenaga kerja berkisar antara Rp 50.000-, sampai Rp 70.000-, per hari.

Persentase Pengusahaan Lahan Masyarakat Desa Sei Ahas Kalteng

Karet

Padi/Sawah

Lainnya

Belum Digarap

40,3%51,8%

3,8% 4,1%

Grafik 2. Persentase Pengusahaan Lahan Masyarakat Desa Sei Ahas Kalteng

Sumber : Hasil survey (2015)

Jenis Tanaman

Tenaga Biaya Peralatan (OH) (Rp) (Rp)

Karet (<1 tahun)

51,74 3.104.400 1.024.452

Karet (2-10 tahun)

25,8 1.548.000 92.880

>10 tahun 99,4 5.964.000 536.760 Padi/sawah 63,4 3.804.000 380.400 Tanaman Lainnya

0 0 0

Tabel 2. Biaya produksi masing-masing komoditas

Sumber : Diolah dari Working Paper “Analysis of Local Livehoods From Past to Present in the Central Kalimantan Ex-Mega Rice Project 2009

Tahun Harga karet Harga gabah kering (Rp/kg) (Rp/kg)

2005 1940 2200 2006 2570 2500 2007 3200 2800 2008 3820 2700 2009 4450 3400 2010 5070 3800 2011 5700 4100 2012 6300 4200 2013 6950 4200

Table 3. Harga komoditas karet dan gabah di Kalimantan Tengah

Sumber : Hasil survei Puslitbang sosekling

Dari tabel 1 diketahui jumlah petani yang disurvei ada 33 Kepala Keluarga (KK). Luas total lahan yang dimiliki adalah 133,4 ha. Rata-rata petani memiliki luas lahan 4,46 ha. Dari gambar 2. dapat diketahui bahwa tanaman yang paling banyak diusahakan petani Sei Ahas adalah tanaman Hevea Braziliensis dengan luas 69,41 ha (51,8%). Luas lahan untuk tanaman padi sawah 5,5 ha (4,1%), dan luas tanaman lainnya (buah-buahan) adalah 5,03 ha (3,8%). Luas lahan tanaman untuk padi dan tanaman lainnya adalah kecil < 5% dari luas seluruhnya. Selain luas tanaman Hevea Braziliensis, ternyata luas lahan yang belum diusahakan oleh petani cukup besar yaitu 54,04 ha (40,3 %). Lahan yang tidak digarap ini dapat ditanami kembali (revegetasi) untuk menangkap CO2-e, sehingga menambah manfaat karbon. Untuk lahan yang sudah digarap merupakan lahan yang produktif untuk menghasilkan komoditas pertanian seperti Hevea Braziliensis, padi dan hasil buah-buahan. Tanaman produktif yang bersumber dari biomasa tanaman maupun manfaat non karbon dari hasil komoditas.

Tanaman karet, padi/gabah dan tanaman buah-buahan memerlukan biaya produksi selama umur satu siklus hidup tanaman. Biaya produksi tanaman tersebut mencakup biaya tenaga, biaya bibit, pupuk, pestisida, dan peralatan. Tabel 2. adalah biaya produksi tanaman per hektar oleh masyarakat petani Sei Ahas Kalimantan Tengah.

Dari hasil wawancara dengan penduduk setempat, umumnya lahan diolah sendiri oleh rumah tangga pemilik lahan dan hasilnya diambil sendiri tanpa menggunakan jasa tenaga kerja di luar rumah tangga. Walaupun dikerjakan sendiri, perhitungan nilai manfaat tetap memasukkan biaya tenaga petani yang mengerjakan lahan tersebut. Menurut hasil wawancara dengan petani, upah

Tabel 3. Berikut adalah harga komoditas karet Hevea brasiliensis, gabah dan tanaman lainnya yang selalu bervariasi setiap tahun di Desa Sei Ahas. Berikut ini adalah data hasil survei komoditas tanaman harga komoditas karet, dan gabah kering dari tahun 2005 sampai 2013 di desa Sei Ahas.

Dari hasil wawancara dengan petani desa Sei Ahas, rata-rata produksi padi adalah 1800 kg/tahun/ha. Dari hasil perhitungan, rata-rata produksi tanaman karet, setelah berumur lebih dari 5 tahun adalah 8,0 t/tahun/ha. Dengan menggunanakan data tabel 2 dan 3 diatas, diketahui nilai manfaat bersih sekarang (NPV) menggunakan rumus (2) untuk tanaman Hevea Brasiliensis adalah Rp 54.195.530/ha.

Hasil ini menunjukkan tanaman karet, adalah tanaman yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dibandingkan dengan tanaman lainnya.

Stock Karbon dalam Biomasa Tanaman dan Emisi CO2

Stock karbon diatas gambut adalah biomasa tegakan pohon yang didapat dari hasil penelitian

Estimasi Manfaat Pengurangan Emisi CO2 pada Restorasi Rawa Gambut Terdegradasi Dengan Canal Blocking (Studi Kasus : Restorasi Rawa Gambut Sei Ahas Kalteng)

Ridwan Marpaung

Page 38: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

200

Sumber Stock Karbon

Emisi karbon

(tC/ha) tC/ha) Rawa Gambut Dangkal

539,8

Hutan Rawa Gambut 179,7 Tanaman Karet 41,0 Tanaman Padi/Sawa 1,0 Tanaman lainnya 10,0 Rumput (alang-alang) 3,0 Kondisi terdegradasi 0,095 x 106 Terbangunnya 3 canal blocking &revegetasi

0,040 x 106

Table 4 . Stock Karbon dan Emisi Karbon

Sumber : Diolah dari Suyanto et al (2009), Mudiyarso et al (2010), dan Puslitbang SDA (2012)

sebelumnya pada jenis tanaman yang sama. Stock karbon diatas gambut ini adalah biomasa yang tumbuh setelah terjadi restorasi. Untuk tanaman Hevea Braziliensis dan hutan gambut diasumsikan memerlukan waktu 25 tahun. Stock karbon pada gambut adalah stock karbon diatas rata-rata muka air tanah pada musim hujan dan musim kemarau. Stock karbon diatas muka air tanah ini adalah stock karbon yang akan habis semua menjadi emisi karbon karena teroksidasi. Tabel 4. berikut adalah data stock karbon diatas gambut dan pada gambut.

Stock karbon pada gambut saat t1=0 tahun adalah stock karbon pada awal sebelum dilakukan restorasi. Pada tahap ini diasumsikan belum ada tanaman diatas gambut dan dalam kondisi gambut terdegradasi. Besarnya stock karbon diatas gambut pada biomasa tanaman adalah 0 (nol) yaitu ; pada saat hutan rawa gambut dibersihkan (land clearing) untuk ditanami tanaman Hevea Braziliensis, setelah drainase lahan gambut dilakukan. Dari data Puslitbang SDA, besarnya volume gambut berdasarkan rata-rata tinggi muka air pada musim hujan dan musim kemarau adalah 27,16 x 106 m3. Volume gambut yang teroksidasi = 0,8 x 27,16 x 106 m3 = 21,73 x 106 m3 . Berat kering gambut adalah 0,096 gr/cm3 x 21,73 x 106 m3 = 2,09 Mton. Volume karbon = 0,5 x 2,09 Mton = 1,05 Mton. Besarnya stok karbon per hektar = 1,05 Mton/1905,8 ha = 550,95 tC/ha. Hutan rawa gambut sudah terdegradasi sejak dibukanya lahan PLG tahun 1995-1999. Artinya rawa gambut sudah terdegradasi 17 tahun sejak tahun 1995 sampai tahun 2012. Waktu penurunan rata-rata rawa gambut terdegradasi dalam kedaan terdrainase, tanpa canal blocking dan terjadi kebakaran gambut adalah 23,75 tahun (Puslitbang SDA 2012). Sementara degradasi sudah berlangsung 17 tahun, ini berarti stock karbon gambut menjadi 6,75/23,75 x 550,95 tC/ha = 156,59 tC/ha. Restorasi

dengan canal blocking dan revegetasi diasumsikan dilakukan pada tahun 2012, yaitu tahun awal restorasi t1=0 tahun.

Stock karbon pada waktu t2 = 25 tahun adalah stock karbon dari dimulainya restorasi rawa gambut atau mulai dibangunnya 3 (tiga) buah canal blocking sampai tercapainya satu siklus hidup tanaman Hevea brasiliensis dan revegetasi hutan gambut. Pada saat ini stock karbon hutan rawa gambut dan tanaman Hevea Brasiliensis sudah mencapai 179, 7tC/ha dan Hevea Braziliensis 41,0 tC/ha. Setelah 25 tahun yaitu pada satu siklus hidup tanaman Hevea Braziliensis dan umur rencana canal blocking , stock karbon tersisa tidak ada atau 0 (nol) tC/ha, sebab untuk teroksidasi rawa gambut hanya memerlukan waktu 23,5 tahun. Untuk rawa gambut dengan skenario restorasi menggunakan 3 canal blocking, tanpa kebakaran gambut, dan revegetasi, waktu penurunan gambut rata-rata adalah 87 tahun. Pada saat dimulainya restorasi stock karbon pada saat t1=0 tahun adalah 156,85 tC/ha. Setelah 25 tahun stock karbon gambut menjadi 45/87x 156,59 tC/ha = 81,12 tC/ha. Berdasarkan data ini maka stock karbon yang tinggal setelah 25 tahun masing-masing adalah 0 tC/ha untuk rawa gambut yang terdegradasi dan 191,47 tC/ha untuk rawa gambut yang sudah direstorasi. Restorasi rawa gambut dengan canal blocking ini menambahan stock karbon sebesar 191,47 tC/ha.

Biaya Rata-Rata Investasi Canal Blocking dan Biaya Manajemen serta Monitoring

Konstruksi Canal blocking di Kalimantan umumnya konstruksi yang terbuat dari kayu galam yang ditancapkan kedalam tanah dasar kemudian pada ruang antara barisan kayu diisi dan dipadatkan dengan tanah gambut. Hasil Wawancara dengan BWS Kalimantan II diketahui biaya konstruksi total untuk pembangunan satu canal blocking 2,7 M. Pekerjaan pembangunan canal blocking meliputi pekerjaan pendahuluan, pekerjaan tanah, pemancangan tiang, dan pekerjaan geotextile. Area rencana pembangunan canal blocking ini terletak di 3 (tiga) titik dengan luas efektif 1905,8 ha. Data pemeliharaan canal blocking tidak diketahui dan diasumsikan 5% pertahun. Berdasarkan data ini maka biaya konstruksi canal blocking per ha lahan gambut yang restorasi adalah Rp 8.617.021/ha. Biaya ini ditambah dengan biaya perawatan sebesar 5% pertahun sebesar Rp 430.851/ha/tahun. Berdasarkan wawancara dengan Balai Rawa, kanal terbuat dari beton dengan pondasi kayu galam yang terbenam pada lahan gambut. Umur pondasi kayu galam dalam keadaan terbenam lebih tinggi dari dibandingkan dengan yang tidak tenggelam. Umur rencana konstruksi canal blocking adalah 25 tahun.

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 193 - 205

Page 39: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

201

Table 5 . Perhitungan Manfaat Karbon dengan Metode Stock-Difference sampai 25 tahun

Sumber : Diolah dari hasil penelitian Puslitbang Sumber Daya Air (2012, Suyanto et al (2014) dan Mudiyarso et al. (2010)

Biaya manajemen dan monitoring yaitu berkisar antara 5% sampai 20 % dari biaya konstruksi total canal blocking. Pada pada tulisan ini diasumsikan 10%, maka biaya manajemen dan monitoring pengurangan emisi CO2-e adalah Rp 861.702/ha

Manfaat Pengurangan Emisi Karbon setelah Konstruksi Canal Blocking

Manfaat Karbon

Besarnya karbon netto yang dapat disimpan pada pool lahan gambut dihitung dengan metode

Stock-Difference. Hasil perhitungan ini dapat mengestimasi nilai manfaat karbon sebelum dan sesudah dibangunnya konstruksi canal blocking. Tabel.5 berikut menjelaskan besar karbon yang dapat di di simpan dan yang diemisikan setelah 25 tahun.

Asumsi yang digunakan adalah sebelum canal blocking dibangun pengusahaan lahan pertanian tidak efektif karena tidak ada pengaturan tinggi muka air sesuai dengan kebutuhan tanaman dan bahaya kebakaran gambut.

ΔC= (ΔC2 - ΔC1)x%

Luas Rawa Gambut

ΔC1x% Luas

Gambut

Luas Rawa Gambut

ΔC2 x % Luas Rawa Gambut

Luas

(ha)(%) (tC/ha) (ha) (%) (tC/ha) (tC/ha)

Biomasa tanaman Hevea Braziliensis

69,41 (52,0%)

21,32 21,32

Biomasa tanaman hutan rawa gambut

64,05 (48,0%)

86,62 86,62

Gambut 1905,8 (100%)

0 Gambut 1905,8 (100%)

81,12 81,12

Total net Stock Carbon

0 189,06

Total (tCO2e/ha)

693,85

Lahan diatas gambut belum diusahakan (tumbuh alang-alang dan semak belukar)

133,46 (100%)

0

Terdegradasi selama 25 tahun Setelah Restorasi dengan Canal Blocking Selama 25 tahun

Penggunaan Tanah

Jenis Penggunaan Rawa Gambut

Pada saat konstruksi canal blocking belum dibangun, dimana rawa gambut sudah terdegradasi, pengusahaan rawa gambut untuk produksi Hevea Braziliensis, tidak berhasil dengan baik. Sebagian besar rawa gambut terdegradasi ini dibiarkan menjadi lahan kosong (40,3%). Drainase yang berlebihan menyebabkan lahan gambut menjadi kering sehingga meningkatkan resiko kebakaran lahan gambut yang akan menghanguskan tanaman. Rawa gambut yang terdegradasi ini muka airnya turun, mengakibatkan kerugian karbon akibat betambahnya emisi dari turunnya muka air tanah dan dari kebakaran gambut, sedangkan non karbon adalah kegagalan panen. Kegagalan ini dialami pada proyek pengembangan rawagambut sejuta hektar di Kalimanan Tengah. Rawa gambut seperti ini

tidak produktif dan cenderung dibiarkan sehingga ditumbuhi alang-alang dan semak belukar. Besarnya stock karbon diatas lahan gambut terdegradasi yang ditumbuhi oleh alang-alang dan semak belukar ini diasumsikan 0 (nol) tC/ha. Stock karbon dibawah tumbuhan alang-alang dan semak belukar ini adalah stock karbon gambut yang berada diatas muka air rata-rata pada musim hujan dan musim kemarau. Besarnya stock karbon rawa gambut setelah 25 tahun mengalami degradasi.

Pada kondisi terdegradasi, emisi karbon setelah selama 25 tahun berasal dari sumber rawa gambut yang terdrainase. Dalam hal ini stock karbon tanaman yang tumbuh diatas gambut yang tidak diusahakan. Pada kondisi ini stock karbon tanaman

Estimasi Manfaat Pengurangan Emisi CO2 pada Restorasi Rawa Gambut Terdegradasi Dengan Canal Blocking (Studi Kasus : Restorasi Rawa Gambut Sei Ahas Kalteng)

Ridwan Marpaung

Page 40: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

202

Tabel 6 . Manfaat Bersih Non Karbon Sebelum dan Sesudah Konstruksi Canal Blocking dibangun

Sumber : Diolah dari laporan Suyanto et al. (2009) dan hasil survei Puslitbang Sosekling (2012)

alang-alang kecil dan dalam hal ini dianggap 0 (nol). Pada kondisi ini tidak ada penambahan stock karbon oleh tumbuhan diatas gambut. Sebaliknya, pada gambut terjadi emisi karbon dari gambut yang terdrainase disebabkan turunnya muka air rawa yang berakibat pengurangan stock karbon sebesar 156, 59 tC/ha sehingga stock karbon yang tersisa menjadi 0 (nol) tC/ha. Besar total stock karbon setelah 25 tahun terdegradasi adalah jumlah stock karbon diatas gambut ditambah dengan stock karbon pada gambut menjadi 189,06 tC/ha.

Setelah restorasi rawa gambut dengan canal blocking selama 25 tahun terlihat adanya penambahan stock karbon oleh biomasa yang tumbuh yaitu tanaman Hevea Braziliensis dan revegetasi hutan rawa gambut. Pada kondisi ini terjadi penambahan stock karbon dari tanaman sebesar 107,94 tC/ha. Rawa gambut yang telah direstorasi, menaikkan muka air tanah, sehingga menurunkan emisi yang pada akhirnya akan menurunkan emisi karbon. Besarnya stock karbon setelah emisi ini menjadi 81,12 tC/ha. Jumlah total stock karbon setelah restorasi menjadi 693,85 tC/ha.

Pada kondisi ini karbon yang dapat disimpan (saving) setelah restorasi dengan canal bloking adalah 189,06 tC/ha – 0 tC/ha menjadi 693,8189,06

tC/ha. Saving karbon ini akan mengurangi emisi sebesar 693,85 tCO2e/ha. Hal ini menunjukkan adanya saving karbon sebesar 100 %.

Manfaat Non Karbon

Disamping manfaat karbon, restorasi rawa gambut terdegradasi dapat mempertahankan muka air tanah sesuai dengan kebutuhan dan jenis tanaman. Pengaturan muka air rawa gambut ini diperlukan agar tanaman dapat tumbuh untuk menghasilkan komuditas yang dapat di manfaatkan oleh masyarakat dan juga untuk mencegah terjadinya kebakaran rawa gambut. Keadaan seperti ini memungkinkan pengusahaan lahan pertanian penduduk dapat berlanjut. Manfaat non karbon ini meliputi hasil tanaman Hevea Braziliensis yang diusahakan oleh masyarakat setempat. Disamping itu dengan adanya revegetasi atau penanaman hutan gambut kembali akan menambah pendapatan masyarakat dari hasil hutan seperti kayu dan pengurangan biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mencegah kebakaran rawa gambut.Besarnya Nilai manfaat bersih sekarang untuk tanaman Hevea Braziliensis dengan discount rate 12%/tahun dan umur tanaman Hevea Braziliensis adalah 25 tahun dimana, tanaman Hevea Braziliensis mulai berproduksi setelah umur 5 tahun adalah seperti

Manfaat

Luas Manfaat Biaya NPV1 Luas Manfaat Biaya NPV2 ∆NPV=(NPV1-NPV2)

(ha) (Rp/ha) (Rp x1000/ha)

(Rp x 1000 /ha)

(ha) (Rp x1000 /ha)

(Rp x1000/ ha) (Rpx1000/ha)

(Rpx1000/ha)

Tanaman Hevea Braziliensis

69,41 68.606 14.411 54.195 54.195

Hasil HutanKayu

64,05 12.913 1.364 11.549 11.549

Kebakaran Rawa

133,4 0 -264 -264 Kebakaran Rawa

133,4 0 0 0 0

Jumlah -264 65.744 66.008

Sebelum Konstruksi Canal Blocking Dibangun Sesudah Konstruksi Canal Blocking Dibangun

Sumber Manfaat & Biaya

Sumber Manfat dan Biaya

Lahan diatas gambut belum diusahakan

133,46 0 0 0

tercantum dalam tabel 6 berikut.

Tabel. 6 menjelaskan bahwa manfaat bersih non karbon untuk tanaman sebelum dibangunnya konstruksi canal blocking tidak ada. Asumsi ini didasarkan bahwa rawa gambut terdegradasi akan mudah terbakar yang mengakibatkan tanaman tidak akan efektif menghasilkan produk. Disamping itu tidak ada kontrol muka air rawa gambut untuk disesuaikan dengan kebutuhan tanaman.

Manfaat bagi masyarakat menjadi tidak ada bahkan sebaliknya, masyarakat akan membayar biaya penanggulangan kebakaran gambut sebesar Rp 264.000/ha/tahun. Setelah konstruksi canal blocking dibangun, manfaat netto sekarang yang didapat masyarakat menjadi Rp 66.008.000/ha/tahun Manfaat netto terbesar diperoleh masyarakat adalah dari produksi tanaman Hevea Brasilliensis sebesar Rp 54.195.531/ha/tahun (82,1%). Dari

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 193 - 205

Page 41: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

203

Sumber Biaya Biaya Terdiskon (Rp/ha)

Konsruksi Canal Blocking

8.617.021,0-,

Pemeliharaan 3.379.224,0-, Manajemen dan Monev

1.199.624,0-,

Total Biaya 13.195.869,0-,

Tabel 7 . Biaya Kontruksi Canal Blocking

Sumber : Hasil Analisis (2105)

Grafik 3. Harga Karbon pada Skenario Pengurangan EmisiSumber : hasil analis (2015)

komoditas kayu hutan Rp 11.549.000/ha/tahun (17,5%). Hasil ini menunjukkan tanaman Hevea Braziliensis lebih menguntungkan masyarakat untuk diusahakan dibandingkan dengan mengambil kayu hasil hutan. Manfaat lainnya adalah masyarakat tidak mengeluarkan biaya lagi untuk mencegah kebakaran gambut.

Biaya dan Manfaat Pengurangan Emisi Karbon

Dari hasil wawancara dengan BWS Kalimantan II dan Balai Rawa Puslitbang SDA, diketahui, biaya pembangunan total sebuah kontruksi canal blocking mencapai 2,7 M. Konstruksi canal blocking direncanakan dibangun padai 3 (tiga) titik dengan luas lahan yang direstorasi mencapai 1905,8 ha. Umur rencana kontruksi canal blocking adalah 25 tahun. Tipe konstruksi canal blocking yang dibangun terbuat dari beton, sedangkan pondasi terbuat dari cerucuk galam. Biaya pembangunan dan pemeliharaan konstruksi canal blocking adalah biaya yang secara keselurahan dikorbankan untuk mendapatkan manfaat. Biaya ini adalah biaya investasi untuk konstruksi canal blocking dan pemeliharaannya. Dengan diskon rate 12 % dan umur rencana canal blocking25 tahun maka hasil perhitungan biaya pembangunan canal blocking adalah seperti tercantum dalam tabel 7.

Dengan membagikan biaya terdiskon dengan

manfaat pengurangan emisi didapat harga karbon sebesar Rp 13.195.869/ha : 693,85 CO2-e/ha = Rp 19.018,33/tCO2-e . Harga karbon ini jika dikonversi ke nilai dollar US dengan nilai kurs tukar dollar (1$ USD ) sama dengan Rp.11.200 (pada tahun 2012), maka didapat harga karbon pada pengurangan emisi karbon ini adalah 1,70 US $ /tCO2-e. Sedangkan manfaat karbon adalah 1.178, 2 U$/ha. Harga karbon 1,70 US $ /tCO2-e. Ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan harga yang ditawarkan oleh perdagangan karbon dunia yaitu 4,4 $/tCO2-e (Verified carbon Standard (VCS) (Busch et al. 2012). Gambar 2. berikut ini menjelaskan harga karbon pada skenario manfaat pengurangan emisi dengan konstruksi canal blocking dibandingkan dengan manfaat pengurangan emsisi menggunakan skema REDD dengan tanaman Acacia crassicarpa dan tanaman karet skala kecil yang diusahakan oleh penduduk atau masyarakat setempat. .

1,7 1,61

1,10

4,40

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

4,5

5

Restorasi dengan Canal Blocking

Tanaman Acacia crassicarpa

Tanaman Karet (Hevea

brasilliensis)

VCS (World)

Harg

a Kar

bon

(US

$/tC

O2-

e)

Harga Karbon pada Scenario Pengurangan Emisi Karbon

Har

ga K

arbo

n (U

S$ /

tCO

2-e)

Harga Karbon pada Scenario Pengurangan Emisi Karbon

Restorasi dengan Canal

Blocking

Tanaman Acasia crassicarpa

Tanaman Karet (Hevea brasilliensis)

VCS (World)

Dari grafik 3 diatas, pengurangan emisi karbon melalui pembagunan konstruksi canal blocking ini cukup menarik karena menawarkan margin keuntungan sebesar 2,70 US $/tCO2-e jika mengacu pada harga karbon oleh VCS, atau 61,36%

Hasil penelitian sebelumnya terkait dengan pengurangan emisi karbon pada skenario REDD menunjukkan bahwa harga karbon yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga karbon melalui mekanisme pengurangan emisi karbon melalui

Estimasi Manfaat Pengurangan Emisi CO2 pada Restorasi Rawa Gambut Terdegradasi Dengan Canal Blocking (Studi Kasus : Restorasi Rawa Gambut Sei Ahas Kalteng)

Ridwan Marpaung

Page 42: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

204

restorasi rawa gambut terdegradasi dengan konstruksi canal blocking.

Hasil Penelitian Sofiyuddin et al. (2012) pada lahan pertanian tanaman karet, di rawa gambut yang dikonversi ke tanaman perkebunan karet 1,1 US $ /tCO2-e. Harga ini lebih rendah 0,6 US $ /tCO2-e (35,29%) jika dibandingkan dengan harga karbon dari restorasi rawa gambut terdegradasi dengan konstruksi canal blocking. Hal ini menunjukkan manfaat pengurangan emisi karbon melalui restorasi rawa gambut terdegradasi dengan menggunakan canal blocking tidak mempunyai margin keuntungan jika dibandingkan dengan manfaat pengurangan emisi menggunakan tanaman karet (Hevea brasilliensis). menbesarnya margin keuntungan adalah 0,95 US $/tCO2-e (35,85 %). Skema REDD lainnya, Rahmat (2010) melakukan penanaman kembali rawa gambut terdegradasi dengan tanaman Acacia crassicarpa menemukan harga karbon sebesar 1,61 US $/tCO2-e. Skenario pengurangan emisi karbon ini tidak jauh berbeda 0,09 US $/tCO2-e (5,29%). Hal ini menunjukkan manfaat pengurangan emisi karbon melalui restorasi rawa gambut terdegradasi dengan menggunakan canal blocking tidak mempunyai margin keuntungan jika dibandingkan dengan manfaat pengurangan emisi menggunakan tanaman dengan tanaman Acacia crassicarpa Walaupun demikian manfaat pengurangan emisi, dari segi manfaat non karbo adalah keberlanjutan usaha perkebunan karet masyarakat sekitar canal blocking dan penambahan pendapatan dari hasil kayu dengan adanya revetasi. Jika dijumlahkan manfaat non karbon Rp 66.008.000/ha/tahun.

Dengan diketahuinya manfaat pengurangan emisi karbon melalui restorasi rawa gambut ini maka, dapat diperkirakan persentase pengurangan emisi dari sektor restorasi rawa gambut terhadap target capaian pengurangan emisi tahun tahun 2030 sebesar 29%.

KESIMPULAN

Restorasi rawa gambut terdegradasi dengan konstruksi canal blocking dengan pengusahaan tanaman karet, secara terbatas dan revegetasi terbukti membawa manfaat karbon dan non karbon. Manfaat karbon adalah dapat mengurangi emisi karbon sebesar 693,85 tCO2-e/ha, atau 1.178, 2 U$/ha dan manfaat non karbon pengusahaan lahan pertanian secara berkelanjutan dan dalam bentuk uang adalah sebesar Rp. 66.008.000-,/ha/tahun atau 5.893,57$/ha/tahun . Tidak ada margin keuntungan yang diperoleh dari manfaat pengurangan emisi menggunakan canal blocking jika dibandingkan dengan pengurangan emisi

dengan menggunakan skema REDD baik dengan tanaman Acacia crassicarpa maupun menggunakan tanaman karet, tetapi margin keuntungan restorasi rawa gambut dengan canal blocking ini lebih cukup berarti jika dibandingkan dengan harga karbon di pasaran perdagangan karbon dunia adalah 2.70 US $/tCO2-e (61,36%)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih pada Bapak Prof. Pamekas dan Ibu Eriza dan mitra bestari yang telah memberikan masukan yang berharga. Demikian juga kami ucapkan terimakasih pada Balai Rawa Puslitbang Sumber Daya Balai Rawa, dan BBWS Wilayah II Kalimantan atas bantuannya menyediakan data untuk tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agus F. 2013. Konservasi dan Karbon untuk MitiGasi Perubahan Iklim Mendukung Keberlanjutan Pembangunan Pertanian. Pengembangan Pertanian. 6 (1) : 23-33

Agus F et al. 2009. Carbon Dioxide Emission in Land Use Transitions to Plantation, Jurnal Litbang Pertanian (4)119-126

Bappenas. 2009. Reducing Carbon Emission from Indonesian’s Peatland, Interm Report of A Multi-Diciplinary Study. National Development Planing Agency, Indonesia.

Bonn A. et al. 2014. Investing in nature : Developing Ecosystem Service Markets for Peatland Restoration. Journal Ecosystem Services : 54-65

Bullock, H.C. et. al. 2012. Peatland, Their Economic value and Priorities for Their Future Management – The Example of Ireland, Land Use Policy 29 (4) : 921 - 928

Busch J, et al. 2012. Structuring Economic Incentives to Reduce Emissions From Deforestation within Indonesia, Proceedings of the National Academy of Science 109 :1062-1067.

Cacho, J.O. 2014. Benefits and Cost of Deforestation by Smallholdes : Implication for Forest Conservation and Climate Policy, Ecological Economics (107) : 321-332

Clement, E.G., 2015. New Approach to Restoration of Shallow Marginal Peatlands, Journal of Environmental Management, (30) : 1-14

Evans, C.D., et al. 2014, Relationship between Anthropogenic Pressure and Ecosytem Functions in UK Blanket Bog : Lingking Process Understanding to Ecosystem Service Valuation. Ecosystem Service Journal (9) : 5-19.

Glenk, K., et al. 2014. A framework for Valuing Spatially Targeted Peatland Restoration, Ecosystem Service Journal (9) : 20-33

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 193 - 205

Page 43: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

205

Hooijer, A., et al. 2010. Current and Future CO 2 Emission from Drained Peatlands in Indonesia, Biogeosciences, (7) : 1505 -1514.

Jauhiainen, J. dan Silvennoinen H. 2012. Diffusion GHG fluxes at Tropical Peatland Drainage Canal Water Surface, Suo 63 (3-4) : 93-95

Jaenicke, J., et al. 2010. Planning Hydrologycal Restoration of Peatlands in Indonesia to Mitigate Carbon Dioxide Emission, Mitig Adapt Strateg Glob Change (15) : 223-229

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015. Intended Nationally Determined Contribution, Republik Indonesia, Indonesia.

Moxey A., dan Moran D. 2014. UK Peatland Resoration : Some Arithmetic. Sience of The Total Environment (484) : 114-120.

Murdiyarso, D., et al. 2010. Oppotunities For Reducing Greenhouse Gas Emissions in Tropical Peatlands, Journal PNAS, 107 (46) : 19655-19660

Subarudi dan Muttaqien, Z.H. 2014. Peningkatan Tata Kelola, Kebijakan dan Pengaturan Kelembagaan REDD, Kementerian Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor

Page, S.E., et al. 2011. Global and regionalImportance of Tropical Peatlands Carbon Pool, Global Change Bipol., (17): 798-818.

Parry, L.E, et al. 2014. Restoration of Blanket Peatlands. J. Environ. Manag. (133) : 193-205.

Peacock, M., et al. 2013. Natural Vegetation of Bog Pools After Peatland Restoration Involving Dicth Blocking- The Influence of Pools Depth and Implication of Carbon Cycling. Ecol. Eng (57) : 297-301.

Puslitbang Sosekling, 2013. Laporan Ahir Pengembangan Potensi Rawa Berbasis Daya Dukung Masyarakat danLingkungan, Jakarta

Puslitbang Sumber Daya Air, 2012. Laporan Akhir Penelitian Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Daerah Rawa, Bandung

Quin, T., et al. 2014. Restoration of Upland Heath from Agrominoid-to a Calluna Vulgaris-Dominated Community Provides A Carbon Benefit. Agri. Ecosyst. Environ. (185) :133-143.

Rahmat, M., 2010. Evaluasi Manfaat dan Biaya Pengurangan Emisi Sera Penyerapan Karbon Pada Lahan Gambut di HTI PT. SBA WI. Jurnal Bumi Lestari 10 (2) : 275-284

Ritzema H., et.al. 2014. Canal Blocking Strategies for Hidrological Restoration of Degraded Tropical Peatlands in Central Kalimantan, Indonesia. Catena(114) : 11-20

Sofiyuddin, M. et al. 2012, Assessment of Profitability of Land Use Systems in Tanjung Jabung Barat

District, Jambi Province, Indonesia, Open Journal of Forestry 2 (4) : 252-256

Suyanto et al., 2014. Opportunity Costs of Emission Caused by Land-Use Changes. Journal of Forestry 4 (1) : 85-90

Suyanto et al., 2009. Analysist of Local livelihood from Past to Present in Central Kalimantan Ex-Mega Ricde Project Area. Word Agroforestry Centre, Bogor, Indonesia

Wijaya E., dan Wiryawan A.B., 2013. Hambatan Kesiapan Masyarakat Desa Sei Ahas dalam Pembangunan Canal Blocking pada Rawa Gambut, Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum, 5 (3): 141-152

Wibowo, A.,2009. Peran Lahan Gambut dalam Perubahan Iklim Global, Jurnal Tekno Hutan Tanaman, 2(1) : 19-28

Worrall F. et al. 2010. Assesing the Probablity of Carbon and Greenhouse Gas Benefit from the Management of peat Soil.Science of the Total Environment. (408) :2657-2666

Estimasi Manfaat Pengurangan Emisi CO2 pada Restorasi Rawa Gambut Terdegradasi Dengan Canal Blocking (Studi Kasus : Restorasi Rawa Gambut Sei Ahas Kalteng)

Ridwan Marpaung

Page 44: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

206

Page 45: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

207

PENGUKURAN PRODUKTIVITAS SISTEM OPERASIONAL PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM (PDAM)

Operation System Productivity Measurement of Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)

V. Reza Bayu Kurniawan1, Yudha Pracastino Heston2, Chitra Widyasani P.3

1Program Studi Teknik Industri Universitas Sarjanawiyata TamansiswaJl. Kusumanegara No. 157 Yogyakarta. Telp/fax (0274) 586949

2,3 Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Bidang PermukimanJl. Laksda Adisucipto No.165 Yogyakarta. Telp/fax (0274) 555205/546978

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

Tanggal diterima : 11 Agustus 2015; Tanggal disetujui: 22 Oktober 2015

ABSTRACT

Evaluasi kinerja penting bagi perusahaan, seperti halnya Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), evaluasi kinerja merupakan tugas Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM). Evaluasikinerja dikategorikan menjadiempat aspek yaitu keuangan, pelayanan, operasional, dan sumber daya manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan menganalisa sistem operasional PDAM, melalui pengukuran produktivitas yang lebih komprehensif dan memberikan rekomendasi perbaikan kinerja. Objek penelitian adalah enam PDAM di Indonesia: Kabupaten Badung, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Tegal, Kabupaten Sintang, Kota Balikpapan, dan Kabupaten Lombok Utara. Pengukuran produktivitas menggunakan konsep model matematis Overal Equipment Effectiveness (OEE) yang terdiri dari indikator operation availability, performance efficiency, dan production rate. Hasil pengukuran produktivitas adalah PDAM Kota Balikpapan memiliki nilai produktivitas tertinggi,66.98% availability 95.83%, performance efficiency 96.40%, dan quality rate 72.50%. Sedangkan nilai produktivitas terendah adalah PDAM Kabupaten Sintang 10.18% availability 37.50%, performance efficiency 41.30%, dan quality rate 65.70%. Rekomendasi pengukuran produktivitas PDAM dapat menjadi pertimbangan untuk digunakan oleh BPPSPAM.

Keywords : kinerja PDAM, produktivitas, operarion availability, performance efficiency, production rate

ABSTRAK

Performance evaluation is important for bussiness enterprise, as well as Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM),performance evaluation is Badan Pendukung Pengembangan Sistem Air Minum (BPPSPAM) task. Performance indicators categorized into financial, service, operational, and human resources aspect. This research purposes to evaluate and analyze PDAM operation system through productivity measurement and then give recommendation, that productivity measurement can be done through indicators that have been determined to get more comprehensive result. The objects of this research are six PDAM in Indonesia, they are PDAM: Kabupaten Badung, Kabupaten Gunung Kidul,Kabupaten Tegal, Kabupaten Sintang, Kota Balikpapan, and Kabupaten Lombok Utara. Productivity measurement can be performed using basic concept model of Overall Equipment Effectiveness, that consist of operation availability indicator, performance efficiency, and production rate. The results are PDAM Kota Balikpapan has the highest productivity value 66.98 % with availability value 95,83 %, performance efficincy value 96.40% and quality rate value 72,50%. Meanwhile the lowest productivity value is PDAM Kabupaten Sintang, that is 10,18%. PDAM productivity recommendation can be considered for BPPSPAM to use.

Kata Kunci : PDAM performance evaluation, productivity, operation availability, performance efficiency, production rate

PENDAHULUAN

Evaluasi kinerja perusahaan merupakan hal yang sangat penting.Umpan balik atas hasil evaluasi kinerja perusahaan atau biasanya dijelaskan melalui gap dapat berupa saran atau perbaikan untuk peningkatan kinerja dan dapat digunakan oleh manajemen tingkat atas untuk mengambil

keputusan. Mahsun (2006) dalam Huda (2013) menyebutkan manfaat dari pengukuran kinerja meliputi menyamakan pemahaman terkait standar yang digunakan dalam mencapai kinerja, memastikan capaian rencana kinerja, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kinerja, memberikan apresiasi dan hukuman secara obyektif atas capaian kinerja, menjadi alat komunikasi dalam mencapai

Page 46: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

208

sasaran kinerja, menjadi alat ukur kepuasan pelanggan, menjadi alat bantu pemahaman proses kegiatan, memastikan obyektivitas pengambilan keputusan, menunjukkan upaya peningkatan yang perlu dilaksanakan, dan mengungkapkan permasalahan.

Evaluasi kinerja perusahaan dilakukan oleh setiap perusahaan. Kaitannya dengan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), evaluasi kinerja tahunan merupakan tugas dari Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM). Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), disebutkan bahwa salah satu fungsi BPPSPAM adalah melaksanakan evaluasi terhadap standar kualitas dan kinerja pelayanan penyelenggaraan SPAM. Evaluasi kinerja PDAM dilakukan oleh BPPSPAM dengan mendasarkan pada hasil audit kinerja PDAM oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ditunjuk, sehingga hasil evaluasi kinerja dapat dipertanggungjawabkan.

BPPSPAM sebagai badan yang ditunjuk oleh pemerintah untuk melakukan evaluasi kinerja PDAM, bersama dengan BPKP, PERPAMSI dan beberapa PDAM telah menyusun indikator penilaian/evaluasi kinerja PDAM. Indikator-indikator ini merupakan hasil pengembangan pada tahun 2010 meliputi empat aspek penilaian yaitu aspek keuangan, pelayanan, operasional, dan sumber daya manusia. Hasil dari penilaian keempat aspek tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu PDAM Sehat, PDAM Kurang Sehat, dan PDAM Sakit. Pembobotan keempat aspek yang telah disusun oleh BPPSPAM bersama dengan BPKP, PERPAMSI dan beberapa PDAM tersebut relatif berimbang dan proporsional. Berdasarkan karakteristiknya, bobot masing-masing aspek yaitu aspek keuangan sebesar 25%, aspek pelayanan sebesar 25%, aspek operasional sebesar 35%, dan aspek sumber daya manusia sebesar 15%. Dari keempat aspek yang digunakan sebagai indikator pencapaian hasil kinerja, aspek operasional merupakan aspek dengan bobot yang paling besar dalam penilaian hasil/evaluasi kinerja PDAM yaitu sebesar 35%. Dasar pertimbangan tersebut dijelaskan melalui buku Kinerja PDAM 2014 oleh BPPSPAM bahwa aspek operasional memiliki peranan yang sangat penting dalam perolehan pendapatan. Sesuai dengan Buku Kinerja PDAM, beberapa indikator yang digunakan untuk menilai aspek operasional yaitu efisiensi produksi, tingkat kehilangan air, jam operasi pelayanan, tekanan air pada sambungan pelanggan, dan penggantian meter air pelanggan.

Berdasarkan keempat aspek penilaian kinerja PDAM yang telah disusun oleh BPPSPAM, dapat dilakukan penilaian secara lebih detail dan komprehensif melalui indikator produktivitas. Penilaian produktivitas perusahaan juga menjadi salah satu dasar penilaian yang sangat penting bagi perusahaan. Dengan produktivitas yang semakin meningkat, diharapkan dapat meningkatkan perkembangan dan kemajuan perusahaan (Supriyanto dan Wisnubroto 2014). Menurut Utami (2002) produktivitas menjadi faktor yang penting karena menggambarkan kinerja ekonomis perusahaan yang meliputi dua hal yaitu kinerja operasional dan kinerja keuangan.Dijelaskan bahwa kinerja operasional dinilai dari aliran input-proses-aliran output, sedangkan kinerja keuangan dinilai berdasarkan aliran keluar dan masuknya dana.

Secara konseptual, pengukuran produktivitas merupakan bagian dari aspek operasional yang memiliki pengaruh paling besar dalam penilaian evaluasi dan kinerja PDAM. Penilaian operasional yang dilakukan oleh BPPSPAM selama ini menunjukkan bahwa indikator operasional yang meliputi efisiensi produksi, tingkat kehilangan air, jam operasi pelayanan, tekanan air pada sambungan pelanggan, dan penggantian meter pelanggan ditunjukkan dalam suatu nilai yang memiliki interpretasi independen. Sedangkan di lain sisi, penilaian produktivitas dapat memberikan gambaran operasional dari indikator-indikator yang telah dinilai oleh BPPSPAM terhadap kemampuan ekonomis, dalam hal ini sistem operasi, di PDAM. Untuk itu, pengukuran produktivitas PDAM ini dilakukan untuk menganalisa sistem manajemen PDAM dari indikator-indikator yang telah ditetapkan oleh BPPSPAM. Pengukuran produktivitas ini menjadi unsur kebaruan yang ditawarkan dalam tulisan ini.

KAJIAN PUSTAKA

Pengukuran tentang produktivitas di suatu perusahaan dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Indriati dkk (2014) mengukur produktivitas dengan menggunakan metode green productivity. Pendekatan green productivity digunakan sekaligus untuk mengukur kinerja lingkungan dengan environmental performance indicator. Pengukuran produktivitas dengan metode green productivity bertujuan untuk mengurangi dampak limbah ke lingkungan akbat hasil produksi. Widyastuti dkk (2014) juga menggunakan metode green productivity dalam rangka reduksi limbah dan pengelolaan lingkungan sehingga dapat meningkatkan produktivitas perusahaan. Widyastuti dkk (2014) menyimpulkan bahwa dengan menggunakan metode green

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 207 - 217

Page 47: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

209

Tabel 1. Indikator Kinerja, Model Matematis dan Keterangan Indikator Kinerja PDAM Untuk Aspek Keuangan, Pelayanan, Operasional, dan Sumber Daya Manusia

productivity dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan produktivitas perusahaan sebesar 1.25% serta kontribusi terhadap perbaikan kualitas lingkungan. Dewi dkk (2013) melakukan pengukuran dan perbaikan produktivitas dengan menggunakan metode objective matrix (OMAX) dan perbaikan dengan prinsip 5S. Hasil yang didapatkan di suatu objek yang diteliti menunjukkan peningkatan produktivitas sebesar 117%. Metode OMAX juga digunakan oleh Tanaamah dkk (2013) dalam penelitiannya untuk mengidentifikasi kriteria dan mengukur produktivitas dengan objek hotel. Wibowo dan Alfen (2014), menyebutkan ukuran yang sistematis dan komprehensif perlu dikembangkan untuk efisiensi sektor air. Kebutuhan untuk pendampingan teknis dan finansial diperlukan untuk PDAM yang berada di bawah rata – rata penilaian, untuk peningkatan pelayanan dan keuntungan.

Dari berbagai pendekatan yang digunakan untuk mengukur produktivitas dapat disimpulkan bahwa produktivitas memiliki peranan yang sangat penting bagi perusahaan. Phusavat (2013) menjelaskan bahwa terminologi produktivitas digunakan untuk menunjukkan tingkat seberapa kompetitif

suatu perusahaan. Pada penelitian ini, penilaian produktivitas PDAM dihitung dari indikator-indikator yang telah dihimpun di dalam laporan kinerja PDAM oleh BPPSPAM sehingga nantinya penilaian akan evaluasi kinerja operasional PDAM dapat dilakukan dan diinterpretasikan dengan lebih baik.

Penetapan indikator penilaian/evaluasi kinerja PDAM menggunakan pendekatan Balanced Scorecard. Chaeronsuk dan Chansa-ngavej (2008) menjelaskan bahwa pendekatan Balanced Scorecard menghubungkan antara kinerja keuangan (financial performance) dan kinerja non-keuangan (non-financial performance). Dengan menggunakan pendekatan ini, dapat diberikan gambaraterkait kinerja keuangan, pelanggan, proses bisnis internal dan proses pembelajaran serta pertumbuhan. Pendekatan balanced scorecard (Nawirah 2014) dapat dipakaiuntuk organisasi publik dengan beberapa penyesuaian. Dari keempat aspek tersebut dihasilkan nilai evaluasi dan disimpulkan ke dalam tiga klasifikasi yaitu PDAM Sehat, PDAM Kurang Sehat, dan PDAM Sakit. Perhitungan masing-masing aspek ditampilkan pada Tabel 1.

No Indikator Kinerja Model Matematis Keterangan

1 Rentabilitas : Kemampuan perusahaan memperoleh laba

a. ROEIndikator ini digunakan untuk mengetahui tingkat profitabilitas suatu perusahaan.

b. Rasio OperasiIndikator ini menunjukkan kemampuan dalam melakukan efisiensi dan peningkatan pendapatan untuk menutup

biaya operasi.2 Likuiditas : Kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya

a. Rasio KasIndikator Rasio Kas digunakan untuk melihat kemampuan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

b. Efektivitas Penagihan

Indikator ini menunjukkan kemampuan mengelola pendapatan dari hasil penjualan air kepada pelanggan (piutang

air) secara efektif sehigga menjadi 3 Solvabilitas : Kemampuan

memenuhi kewajibannyasaat dilikuidasi

Indikator ini digunakan untuk mengetahui kemampuan aktiva/aset dalam menjamin kewajiban/hutang

Keuangan

biaya operasi.

air) secara efektif sehingga menjadi penerimaan PDAM.

jangka panjangnya.

Jumlah equity

Pengukuran Produktivitas Sistem Operasional Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) V. Reza Bayu Kurniawan, Yudha Pracastino Heston, Chitra Widyasani P

Page 48: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

210

No Indikator Kinerja Model Matematis Keterangan

1 Cakupan PelayananIndikator ini digunakan untuk melihat kemampuan dalam melakukan pelayanan air di wilayah pelayanan.

2 Pertumbuhan Pelanggan (% per tahun)

Indikator ini menggambarkan aktivitas PDAM dalam menambah jumlah pelanggannya.

3 Tingkat Penyelesaian Aduan

Indikator ini menggambarkan upaya menyelesaikan aduan yang berasal dari pelanggan atau bukan.

4 Kualitas Air Pelanggan

Indikator ini menggambarkan sejauh mana PDAM mampu melayani pelanggannya dengan kualitas air minum (3K) sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum.

5 Konsumsi Domestik

Indikator ini untuk mengetahui tingkat rata-rata konsumsi air per pelanggan runah tangga dalam satu bulan dalam tahun yang bersangkutan, lebih jauh maka dapat pula diketahui rata-rata konsumsi liter per orang per hari, hal ini penting mengingat pendekatan konsumsi minimal (Basic Needs Approach/BNA).

1 Efisiensi Produksi

Efisiensi produksi merupakan indikator yang menunjukkan tingkat efisiensi PDAM dalam memanfaatkan kapasitas terpasangnya.

2 Kehilangan Air/Tidak Berekening

Indikator ini menjelaskan kemampuan mengendalikan penjualan air minum melalui sistem distribusi perpipaan.

3 Jam Operasi Layanan

Indikator ini menjelaskan kemampuan mempertahankan pelayanan pegaliran air kepada pelanggannya dengan tingkat kontinyu 1 x 24 jam per hari.

4 Tekanan Air Pada Sambungan Pelanggan

Indikator ini digunakan untuk mengetahui capaian tekanan air PDAM pada rata-rata pipa pelanggannya.

5 Penggantian Meter Pelanggan

Indikator ini digunakan untuk menilai tingkat penggantian meter pelanggannya sesuai ketentuan yang berlaku.

1 Rasio Jumlah pegawai/1000 pelanggan

Indikator ini digunakan untuk mengukur efisiensi pegawai PDAM terhadap pelanggan.

2 Rasio Diklat Pegawai Indikator ini digunakan untuk menilai tingkat kompetensi pegawai PDAM.

Pelayanan

Operasional

Sumber Daya Manusia

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 207 - 217

Page 49: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

211

Sumber : Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (2014)

Model Matematis Keterangan

Loading Time − DowntimeLoading Time

× 100%

Processed Amount × Theoretical Cycle Time

Operation Time× 100%

Processed Amount − Defect AmountProcessed Amount

× 100%

No Indikator Model Matematis Keterangan

1 AvailabilityAvailability merupakan suatu rasio yang menggambarkan pemanfaatan waktu yang tersedia untuk kegiatan operasi mesin atau peralatan.

2 Performance EfficiencyPerformance efficiency merupakan suatu rasio yang menggambarkan kemampuan dari peralatan dalam menghasilkan barang

3 Quality RateQuality Rate merupakan suatu rasio yang menggambarkan kemampuan peralatan dalam menghasilkan produk yang sesuai standar.

Sumber : Ansori dan Mutajib, 2013

Tabel 2. Deskripsi Indikator OEE: Availability, Performance Efficiency dan Quality Rate, dan Model Matematis

Selain dengan menggunakan pengukuran produktifitas, pengukuran kinerja dapat juga dilakukan dengan menerapkan prinsip Overal Equipment Effectiveness (OEE). Penerapan metode OEE memberikan beberapa manfaat yaitu dapat digunakan untuk menentukan starting point dari perusahaan ataupun peralatan/mesin, selain itu dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi kejadian bottleneck di dalam peralatan/mesin, mengidentifikasi kerugian produktivitas (true productivity loses), dan menentukan prioritas dalam usaha (Ansori dan Mutajib, 2013). Erwin (2014) menggunakan metode OEE untuk melakukan efisiensi yang tepat sasaran dan meningkatkan produktivitas proses produksi dengan studi kasus perusahaan pembuat baterei kering dan baterei Lithium Coin. Menurut Erwin (2014), OEE dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur dan mengevaluasi seberapa efektif kinerja peralatan (dalam hal ini mesin) secara keseluruhan. Kaitannya dengan pengukuran

keefektifan mesin dengan menggunakan metode OEE, juga dilakukan oleh Mohammad (2015) yang menyatakan bahwa metode OEE secara tepat dapat mengukur keefektifan mesin pada proses produksi dan mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan mesin serta dapat menjadi bahan perbaikan untuk penerapan Total Productive Maintenance (TPM) bagi perusahaan. Ahmad dkk (2013) menggunakan metode OEE sebagai alat untuk mengukur dan mengetahui kinerja mesin dan peralatan di departemen forging studi kasus PT APP. Habib dan Supriyanto (2012) dalam penelitiannya menggunakan metode OEE sebagai perbaikan efektivitas mesin dengan objek CNC cutting. Djunaidi dan Natasya (2013) melakukan pengukuran produktivitas mesin dengan menggunakan metode OEE. Penerapan metode OEE untuk menghitung produktivitas mesin telah diteliti dengan objek yang berbeda-beda. Model matematis untuk menghitung indikator OEE ditampilkan pada Tabel 2.

No Indikator Kinerja Model Matematis Keterangan

3 Biaya Diklat /Biaya Pegawai

Indikator ini untuk mengetahui tingkat apresiasi dalam mengupayakan pegawai lainnya agar kompeten.

Menurut Nakajima (1988) dalam Ansori dan Mutajib (2013), kondisi ideal untuk OEE setelah dilaksanakannya TPM pada suatu perusahaan yaitu nilai availability>90%, nilai performance efficiency>95% dan nilai quality rate>99% sehingga kondisi ideal pencapaian nilai OEE adalah >85%. Perhitungan matematis OEE selanjutnya akan

disesuaikan dengan indikator-indikator BPPSPAM untuk menilai produktivitas PDAM.

Metode Penelitian

Metode pengukuran produktivitas sistem operasional PDAM mengacu pada konsep dasar Overal Equipment Effectiveness (OEE).

Pengukuran Produktivitas Sistem Operasional Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) V. Reza Bayu Kurniawan, Yudha Pracastino Heston, Chitra Widyasani P

Page 50: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

212

Konsep dasar model matematis OEE selanjutnya ditransformasikan sesuai dengan indikator-indikator operasional yang telah dinilai oleh BPPSPAM. Dalam pengukuran produktivitas sistem operasional PDAM, OEE memiliki terminologi yang baik dalam mengukur kinerja operasional suatu perusahaan, termasuk dalam hal ini PDAM. Hansen (2002) menegaskan bahwa OEE dapat membantu pengukuran seberapa baik kinerja suatu sistem manufaktur, dalam hal ini sistem operasional instalasi pengolahan air minum PDAM. OEE merupakan metode yang digunakan untuk mengukur kinerja dari suatu sistem produksi. Dalam sistem kehandalan, OEE digunakan sebagai alat ukur (metrik) dalam penerapan program TPM (Total Productive Maintenance) guna menjaga peralatan pada kondisi ideal. OEE merupakan besaran efektivitas peralatan atau mesin. OEE dihitung berdasarkan kemampuan dari alat-alat perlengkapan, efisiensi kinerja dari proses, dan tingkat mutu produk.

Pada penelitian ini, metode OEE digunakan sebagai dasar konsep untuk menghitung produktivitas sistem operasional PDAM. Indikator-indikator yang digunakan untuk menghitung produktivitas sistem manajemen PDAM sesuai dengan indikator-indikator yang telah dievaluasi oleh BPPSPAM. Nilai produktivitas sistem operasional PDAM nantinya dapat menginterpretasikan kinerja dari aspek finansial dan non-finansial, serta dapat digunakan oleh pengambil keputusan dalam perbaikan sistem operasional di PDAM hanya melalui satu paramater (produktivitas).

Objek pada penelitian ini adalah PDAM yang berada di wilayah kerja Balai Litbang Penerapan Teknologi II, yaitu Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara. Karakteristik PDAM yang dipilih sebagai objek penelitian meliputi hasil penilaian kinerja (PDAM sehat, PDAM kurang sehat, PDAM sakit), skala bisnis PDAM (PDAM Kota dan PDAM Kabupaten), serta tingkat Non-Revenue Water PDAM. Berdasarkan karakteristik tersebut maka ditetapkanlah lokasi penelitan berjumlah 6 PDAM, yaitu:

1. PDAM Kabupaten Badung, merupakan PDAM dengan kondisi sehat, skala bisnis PDAM kabupaten dengan jumlah pelanggan 63.455 sambungan rumah, dan memiliki tingkat NRW 30,30%.

2. PDAM Kabupaten Gunung Kidul merupakan PDAM dengan kondisi sehat, skala bisnis PDAM kabupaten dengan jumlah pelanggan 34.890

sambungan rumah, dan memiliki tingkat NRW 25,7%.

3. PDAM Kabupaten Tegal, merupakan PDAM yang tergolong sehat, skala bisnis PDAM kabupaten dengan jumlah pelanggan 19.684 sambungan rumah, dan memiliki tingkat NRW 27,1%.

4. PDAM Kabupaten Sintang, merupakan PDAM dengan kondisi sakit, skala bisnis PDAM kabupaten dengan jumlah pelanggan 4.143 sambungan rumah, dan memiliki tingkat NRW 34,3%.

5. PDAM Kota Balikpapan, merupakan PDAM dengan kondisi sehat, skala bisnis PDAM kota dengan jumlah pelanggan 87.750 sambungan rumah, dan memiliki tingkat NRW 27,5 %.

6. PDAM Kabupaten Lombok Utara, merupakan PDAM yang tergolong kurang sehat, skala bisnis PDAM kabupaten dengan jumlah pelanggan 6.617 sambungan rumah, dan memiliki tingkat NRW 32,40%.

Keenam PDAM yang memiliki karakteristik berbeda tersebut nantinya dapat merefleksikan pola indikator produktivitas secara umum untuk karakteristik tertentu.

Data yang dihimpun untuk mengukur produktivitas masing-masing PDAM adalah data sekunder dari Buku Kinerja PDAM Wilayah I, II, III, dan IV oleh BPPSPAM tahun 2014. Dari indikator-indikator penilaian/evaluasi kinerja PDAM selanjutnya dihitung produktivitas di masing-masing sampel PDAM dengan menggunakan konsep dasar model matematis OEE. Model matematis yang telah didefinisikan dalam pengukuran OEE ditransformasikan ke dalam pengukuran dari indikator BPPSPAM. Model matematis untuk menghitung nilai PDAM Availability, PDAM Efficiency, dan PDAM Quality Rate ditampilkan pada Tabel 3. Pengukuran produktivitas PDAM dihitung dengan menggunakan rumus:

Produktivitas (%) = Operation Availability (%) × Efficiency(%) × WTP Production Rate (%).................(1)

Pada pengukuran produktivitas PDAM, nilai kondisi ideal perlu dipertimbangkan lagi karena rata-rata PDAM di seluruh Indonesia memiliki tingkat NRW sebesar 20%-40% dan waktu operasi aktual yang bervariasi sehingga akan mempengaruhi nilai produktivitas PDAM.

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 207 - 217

Page 51: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

213

Tabel 3. Model Matematis Operation Availability, Efficiency, dan WTP Production Rate Untuk Menghitung Produktivitas PDAM

Tabel 4. Data Dasar Perhitungan Produktifitas

Tabel 5. Data Actual Operating Time, Actual Volume dan NRW Amount pada Enam Sampel PDAM (BPPSPAM, 2014)

No Rumus OEE Indikator Rumus Produktivitas PDAM

Loading Time / Downtime Actual Operating TimeLoading Time Planned Operating Time

Processed Amount x Theoretical Cycle Time Actual Volume x Cycle TimeOperation Time Operation Time

Processed Amount x Defect Amount Actual Volume - NRW VolumeProcessed Amount Actual Volume

Operation avaibility (%)

Efficiency (%)

Production rate (%)

Indikator

1 Availability (%)

Performance Efficiency (%)

2

3 Quality Rate (%)

Sumber : Hasil Penelitian (2015)

Hasil dan Pembahasan

Data dasar perhitungan yang diperoleh dari hasil kinerja PDAM, digunakan untuk menghitung Jam Operasional, Volume Riil dan NRW dalam setahun (tabel 4). Untuk memperoleh jam operasional, yaitu dari perkalian jam operasional harian dikali 3600 (detik) dikalikan 365 (hari). Untuk memperoleh volume riil dalam liter per tahun dengan mengkalikan volume riil (liter/detik) dengan jam operasional (detik/tahun). NRW total diperoleh volume riil dikalikan dengan NRW distribusi.

Data yang memuat variabel-variabel actual operating time, actual volume, dan Non-Revenue Water (NRW) amount yang akan dihitung dengan menggunakan tiga indikator produktivitas di enam PDAM sampelditampilkan pada Tabel 5.

Dari data yang sudah dikumpulkan, selanjutnya dilakukan pengukuran produktivitas PDAM yang meliputi operation availability, efficiency, dan production rate. Hasil pengukuran tiga indikator produktivitas (operation availability, efficiency, dan production rate) di setiap sampel PDAM ditampilkan pada Tabel 6.

PDAM

Kapasitas produksi (L/det)

Voulme riil (L/det)

Jam operasional

(jam)

Efisiensi per

tahunNRW

Distribusi

Kab. Badung 1619 1129 22 46,802,052,000 70% 30,34%

Kab. Gunung Kidul 686 266 18 16,225,272,000 39% 25,70%

Kab. Tegal 194 150 24 6,117,984,000 77% 27,10%

Kab. Sintang 132 55 9 1,561,032,000 42% 34,30%

Kota Balikpapan 1200 1156 23 36,266,400,000 96% 27,50%

Kab. Lombok Utara 149 61 23 4,503,078,000 41% 32,40%

Kapasitas produksi per tahun (L)

Sumber : Hasil Penelitian (2015)

1 IV Kab. Badung 28.908.000 32.637.132.000 9.889.050.996

2 II Kab. Gunung Kidul 23.652.000 6.291.432.000 1.616.898.024

3 II Kab. Tegal 31.536.000 4.730.400.000 1.281.938.400

4 III Kab. Sintang 11.826.000 650.430.000 223.097.490

5 III Kota Balikpapan 30.222.000 34.936.632.000 9.607.573.800

6 IV Kab. Lombok Utara 30.222.000 1.843.542.000 597.307.608

NoVolume Riil/ Actual Volume (lt/tahun)

NRW Amount (lt/tahun)

Jam Operasional /Actual Operating Time (detik/tahun)

PDAMWil

Sumber : Hasil Penelitian (2015)

Pengukuran Produktivitas Sistem Operasional Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) V. Reza Bayu Kurniawan, Yudha Pracastino Heston, Chitra Widyasani P

Page 52: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

214

No Wil PDAM Operation

Availability (%) Efficiency (%)

Production Rate (%)

Produktivitas (%)

1 IV Kab. Badung 91.67 69.80 69.70 44.60 2 II Kab. Gunung Kidul 75.00 38.80 74.30 21.62 3 II Kab. Tegal 100.00 77.40 72.90 56.42 4 III Kab. Sintang 37.50 41.30 65.70 10.18 5 III Kota Balikpapan 95.83 96.40 72.50 66.98 6 IV Kab. Lombok Utara 95.83 40.60 67.60 26.30

Tabel 5. Hasil Pengukuran PDAM Operating Availability, PDAM Efficiency, PDAM Production Rate, dan Nilai Produktivitas PDAM

Sumber : Hasil Penelitian (2015)

Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 6, nilai produktivitas terbesar adalah PDAM Kota Balikpapan dan nilai produktivitas terendah adalah PDAM Kabupaten Sintang. PDAM Kota Balikpapan memiliki nilai produktivitas sebesar 66.98% dengan nilai operation availability sebesar 95.83%, nilai efficiency sebesar 96.40%, dan nilai production rate sebesar 72.50%. Sedangkan nilai produktivitas terendah dari keenam sampel PDAM yang dipilih adalah PDAM Kabupaten Sintang yang memiliki nilai produktivitas sebesar 10.18%. PDAM Kabupaten Sintang memilki nilai operation availability sebesar 37.50%, efficieny sebesar 41.30%, dan production rate sebesar 65.70%. Selain PDAM Kota Balikpapan yang memilik nilai produktivitas tertinggi, PDAM Kota Tegal juga memiliki nilai ketiga indikator produktivitas yang konsisten ditunjukkan dengan nilai operation availability yang mencapai 100%, efficieny sebesar 77.40%, dan production rate sebesar 72.90%.

Operation Availability menunjukkan kemampuan operasi PDAM dalam melayani kebutuhan penyediaan air kepada pelanggannya dalam satu tahun. Berdasarkan data nilai operation availability yang ditunjukkan pada Tabel 5, PDAM Kabupaten Tegal memiliki nilai operation availability tertinggi mencapai 100% yang berarti bahwa PDAM Kabupaten Tegal memiliki waktu operasi selama 24 jam dalam satu hari.Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pelayanan yang dilakukan oleh PDAM Kabupaten Tegal kepada pelanggannya sangat baik. Dari keenam sampel PDAM yang dipilih, nilai operation availability terendah adalah PDAM Kabupaten Sintang sebesar 37.50%. Nilai availability yang begitu rendah di PDAM Kabupaten Sintang menunjukkan bahwa PDAM Kabupaten Sintang hanya menggunakan waktu operasinya sebesar 37.50% dari waktu operasi PDAM yang direkomendasikan selama satu tahun.

Indikator kedua untuk menghitung nilai produktivitas adalah efficiency. Berdasarkan data efficiency yang ditunjukkan pada Tabel 5, PDAM

Kota Balikpapan memiliki nilai efficiency tertinggi sebesar 96.40% dan PDAM Kabupaten Gunung Kidul memiliki nilai efficiency terendah sebesar 38.80%. efficiency merupakan rasio antara volume aktual yang didistribusikan dengan total kapasitas volume. Dari data efficiency, PDAM Kota Balikpapan sangat efisien dalam mengoperasikan unit instalasi pengolahan airnya, ditunjukkan dengan besarnya nilai efisiensi yang mencapai 96.40%. Besarnya nilai efficiency dapat memberikan dua kesimpulan yaitu bahwa PDAM Kota Balikpapan mampu menunjukkan tingkat efisiensi operasi yang baik melalui volume riil yang didistribusikan, dan yang kedua menunjukkan bahwa PDAM Kota Balikpapan hampir 100% telah menggunakan kapasitas produksi unit instalasi pengolahan airnya dengan maksimal. Hal ini menjadi tantangan bagi PDAM Kota Balikpapan. Dengan nilai efisiensi sebesar 96.40%, PDAM Kota Balikpapan harus mulai merencanakan untuk menambah kapasitas produksi unitinstalasi pengolahan airnya dengan mengimplementasikan berbagai rekomendasi kebijakan jangka panjang dan jangka pendek. Penambahan kapasitas jangka panjang dapat dilakukan dengan membangun unit instalasi pengolahan air yang baru. Pembangunan baru unit instalasi pengolahan airmemerlukan biaya yang besar (capital expenditure) namun juga memberikan dampak berupa penambahan kapasitas yang sangat besar. Pembangunan unit instalasi pengolahan air yang baru minimal dapat memberikan penambahan kapasitas sebesar dua kali dari kapasitas produksi saat ini. Rekomendasi jangka panjang dilakukan untuk mengantisipasi prediksi pertumbuhan jumlah pelanggan eksponensial.

Alternatif kebijakan kedua yang dapat dilakukan oleh PDAM Kota Balikpapan dalam mengantisipasi kekurangan kapasitas (capacity backlog) dibandingkan permintaan (demand) yang terus meningkat adalah penambahan kapasitas jangka pendek dengan menerapkan teknologi uprating.Teknologi uprating merupakan salah satu metode optimalisasi peningkatan kapasitas

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 207 - 217

Page 53: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

215

produksi unit pengolahan air dengan biaya rendah. Pamekas (2015) menjelaskan bahwa uprating adalah upaya peningkatan kapasitas produksi air minum dengan tidak menambah luas lahan dan unit instalasi baru. Teknologi ini disebut sebagai optimasi instalasi pengolahan air atau peningkatan kapasitas produksi. Objek pada unit instalasi pengolahan air yang akan dioptimasi dengan mengimplementasikan teknologi uprating terletak pada bak pengendap kedua (secondary sedimentation) dengan cara menambah luas bidang pengendapan partikel tersuspensi yang telah membentuk gumpalan (flok) pada kondisi aliran laminer. Implementasi teknologi uprating dapat meningkatkan kapasitas produksi PDAM Kota Balikpapan untuk mengantisipasi pertumbuhan pelanggan dalam jangka pendek dengan biaya yang rendah.

Indikator ketiga untuk mengukur nilai produktivitas PDAM adalah production rate. Nilai production rate menunjukkan tingkat Non-Revenue Water (NRW) atau air tidak berekening terhadap volume riil-nya di suatu PDAM. Tingkat NRW merupakan salah satu indikator penting yang

digunakan untuk menilai tingkat kesehatan PDAM. Dari tingkat NRW dapat disimpulkan kinerja PDAM dari berbagai aspek mulai dari aspek pelayanan, aspek keuangan, aspek operasional, dan aspek sumber daya manusia. Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 5, PDAM Kabupaten Gunung Kidul memiliki nilai production rate tertinggi sebesar 74.30%. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan nilai production rate PDAM Kota Balikpapan walau PDAM Kota Balikpapan memiliki nilai produktivitas tertinggi.

Pengukuran produktivitas dapat menunjukkan kemampuan ekonomis sistem operasional PDAM dengan lebih komprehensif melalui tiga indikator pembentuknya (operation avalability, efficiency dan production rate). Hal ini menunjukkan kinerja finansial dan non-finansial PDAM. Evaluasi secara kualitatif dan validasi metode ini dapat dilakukan dengan observasi instansi sehingga memberikan rekomendasi kepada PDAM yang bersangkutan terkait rekomendasi perbaikan yang harus dilakukan sesuai dengan data-data yang ditunjukkan. Grafik nilai indikator masing-masing produktivitas PDAM (operation availability, efficiency, dan production rate) ditampilkan pada Gambar 1.

PDAM Kab. Badung PDAM Kab. Gunung Kidul

Avaibility

Quality Rate Efficiency

Avaibility

Quality Rate Efficiency

80,00%

60,00%

40,00%

20,00%

0,00%

100,00%

80,00%

60,00%

40,00%

20,00%

0,00%

Gambar 1. Grafik Produktivitas di PDAM Kab. Badung dan Kab. Gunung KidulSumber : Hasil Penelitian (2015)

PDAM Kab. Tegal

80,00%

60,00%

40,00%

20,00%

0,00%

Avaibility

Quality Rate Efficiency

100,00%

80,00%

60,00%

40,00%

20,00%

0,00%

Avaibility

Quality Rate Efficiency

PDAM Kab. Sintang

Gambar 2. Grafik Produktivitas di PDAM Kab. Tegal dan Kab. SintangSumber : Hasil Penelitian (2015)

Pengukuran Produktivitas Sistem Operasional Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) V. Reza Bayu Kurniawan, Yudha Pracastino Heston, Chitra Widyasani P

Page 54: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

216

Gambar 3. Grafik Produktivitasdi PDAM Kota Balikpapan dan Kab. Lombok UtaraSumber : Hasil Penelitian (2015)

PDAM Kota Balikpapan PDAM Kab. Lombok Utara

100,00%

80,00%

60,00%

40,00%

20,00%

0,00%

Avaibility

Quality Rate Efficiency

100,00%

80,00%

60,00%

40,00%

20,00%

0,00%

Avaibility

Quality Rate Efficiency

Kesimpulan

Dari hasil pengukuran produktivitas, PDAM Kota Balikpapan memiliki nilai operation availability, efficiency dan production rate yang cenderung tinggi berturut-turut sebesar 95.83%, 96.40%, dan 72.50%. Berbeda dengan grafik PDAM Kab.Sintang yang lebih cenderung ke titik production rate. Besar nilai operation availability dan efficiency di PDAM Kab. Sintang adalah 37.50% dan 41.30%, sedangkan nilai production rate sebesar 65.70%. Grafik proporsi nilai produktivitas yang seimbang terletak di PDAM Kab Tegal dan Kota Balikpapan.

Perbaikan kinerja dapat dilakukan dengan mengevaluasi nilai pada ketiga indikator, meliputi operation availability, performance efficiency, dan production rate. Rekomendasi kebijakan melalui nilai operation availability dan efficiency dapat dilakukan dengan mempertimbangkan cakupan distribusi PDAM. PDAM yang memiliki skala bisnis yang besar membutuhkan kinerja operation availability yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan distribusinya. Di lain sisi, semakin besar nilai performance efficiency PDAM menunjukkan bahwa hampir 100% kemampuan kapasitas produksinya sudah digunakan untuk keperluan distribusi, sehingga dibutuhkan kebijakan untuk menambah kapasitas produksi unit instalasi pengolahan airnya dengan mengimplementasikan rekomendasi kebijakan jangka panjang dan jangka pendek. Rekomendasi kebijakan jangka panjang dapat dilakukan dengan membangun unit instalasi pengolahan air yang baru, sedangkan alternatif kebijakan jangka pendek dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi uprating. Indikator ketiga yang merupakan salah satu indikator terpenting dalam mengukur kinerja PDAM adalah production rate. Perbaikan nilai production rate dapat dilakukan dengan menurunkan nilai Non-Revenue

Water (NRW) atau air tidak berekening terhadap volume riil yang didistribusikan. Manajemen penanganan NRW yang baik disuatu PDAM akan secara komprehensif menilai berbagai aspek kinerja di suatu PDAM baik aspek pelayanan, operasional, keuangan, dan sumber daya manusia.

Evaluasi produktivitas PDAM ini dapat menjadi pertimbangan untuk digunakan oleh BPPSPAM dengan mengukur produktivitas PDAM yang merefleksikan kemampuan ekonomis sistem operasional (kinerja finansial dan non-finansial) perusahaan dari variabel jam kerja, volume yang didistribusikan, kapasitas volume, dan tingkat NRW.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih disampaikan penulis kepada BPPSPAM Kemen PUPR, Perpamsi, PDAM Badung, PDAM Gunung Kidul, PDAM Tegal, PDAM Sintang, PDAM Balikpapan, PDAM Lombok Utara, AKATIRTA, Balitbang PUPR, Yun Prihantina ST. MSc, Wahyu K, S.Sos, M. Jauharul, SE, MM, Nur Alvira, SKM, MPH, Balai Litbang Sosekling Bid. Kim, PKPT dan semua pihak terkait.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Soenandi, I., dan Aprilia, C. 2013. Peningkatan Kinerja Mesin Dengan Pengukuran Nilai OEE Pada Departemen Forging Di PT. APP. Jurnal Ilmiah Teknik Industri 1(2) :67-74.

Ansori, N., dan Mustajib, I.F. 2013. Sistem Perawatan Terpadu: Edisi Pertama. Penerbit Graha Ilmu. Indonesia.

BPPSPAM. 2014.Buku Kinerja PDAM 2014 Wil I. Jakarta.

BPPSPAM. 2014.Buku Kinerja PDAM 2014 Wil II. Jakarta.

BPPSPAM. 2014.Buku Kinerja PDAM 2014 Wil III. Jakarta.

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 207 - 217

Page 55: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

217

BPPSPAM. 2014. Buku Kinerja PDAM 2014 Wil IV. Jakarta.

BPPSPAM. 2014. Petunjuk Teknis Evaluasi Kinerja PDAM. Jakarta.

Chaeronsuk, C., dan Chansa-ngavej, C. 2008. Intangible Asset Management Framework for Long-term Financial Performance. Journal of Industrial Management & Data Systems 108 (6) : 812-828.

Dewi, M.P., Rosiawan, M., dan Sari, Y. 2013. Penerapan Good Manufacturing Practices dan 5S Untuk Peningkatan Produktivitas Di PT. Catur Pilar Sejahtera Surabaya. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya 2 (1).

Erwin, H. 2014.Thesis: Evaluasi Proses Produksi Baterei Lithium Coin Berdasarkan Pendekatan Overall Equipment Effectiveness Studi Pada PT FDK Indonesia. Yogyakarta: Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada.

Djunaidi, M., dan Natasya, R. 2013. Pengukuran Produktivitas Mesin Dengan Overall Equipment Effectiveness (OEE) Di PT. Sinar Sosro KPB. Cakung. Simposium Nasional Teknologi Terapan (SNTT).

Habib, A.S., dan Supriyanto, H. 2012. Pengukuran Nilai Overall Equipment Effectiveness (OEE) Sebagai Pedoman Perbaikan Efektivitas Mesin CNC Cutting. Jurnal Teknik POMITS 1 (1):1-6.

Hansen, R.C. 2002. Overall Eqquipment Effectiveness – A Powerful Production/Maintenance Tool for Increased Profits. Industrial Press Inc. New York.

Huda, M. dan Riharjo I.B. 2013. Analisis Pelaporan Kinerja pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur. Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi 2 (12).

Indriati, N.N., Rahman, A., Tantrika, C.F.M. 2014. Analisis Produktivitas dan Environmental Performance Indicator (EPI) Pada Produk SKM Dengan Metode Green Productivity Pada Perusahaan Rokok Adi Bungsu Malang. Jurnal Rekayasan dan Manajemen Sistem Industri 2(5 ).

Mohammad, I.R. 2015. Skripsi: Penerapan Overall Equipment Effectiveness (OEE) Dalam Implementasi Total Productive Maintenance (TPM) Studi Kasus Di PT. Adi Satria Abadi Kalasan. Fakultas Teknik, Sains dan Matematika, Jurusan Elektro dan Ilmu Komputer, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.

Nawirah. 2014. Penerapan Sistem Manajemen Strategi Berbasis Balance Scorecard pada Organisasi Sektor Publik. El Muhasaba: Jurnal Akuntansi 4 (2) (E-ISSN:2442-8922).

Pamekas. 2015. NRW dan Uprating Instalasi Pengolahan Air Minum - Bahan Paparan. Jakarta 31 Juli 2015.

Phusavat, K. 2013. Productivity Management in an Organization: Measurement and Analysis. ToKnowPress. Thailand.

Supriyanto F.T., dan Wisnubroto, M.Y.P. 2014. Analisis Produktivitas Menggunakan Metode Cobb Douglas dan Metode Habberstad (POSPAC) (Studi Kasus di Pabrik Pengecoran Logam PT Baja Kurnia). Jurnal REKAVASI 2 (1)Mei : 25-32 (ISSN: 2338-7750 25).

Tanaamah, A.R., Beeh, Y.R., dan Ngemba, H.R. 2013. Produktivitas Hotel Menggunakan Metode OMAX (Studi Kasus: Hotel Le Beringin Salatiga). Jurnal Teknologi Informasi-Aiti 10 (2) Agustus : 101-200.

Utami, C.W. 2002. Peningkatan Nilai Perusahaan Melalui Perbaikan Produktivitas Dan Kualitas Pada Sektor Jasa Sebuah Analisis Konseptual. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan 4 (1): 56-64.

Wibowo A., dan Alfen H.W., 2014, Benchmarking the Efficienciesof Indonesia’s Municipal Water Utilities Using Stackelberg Data Envelopment Analysis. Benchmarking: An International Journal 22 (4 )2015 : 588-609.©Emerald Group Publishing Limited,1463-5771,DOI10.1108/BIJ-01-2014-0009.

Widyastuti, N., Parwati, C.I., dan Asih E.W. 2014. Analisis Produktivitas Pada Proses Penyepuhan Dengan Metode Green Productivity. Jurnal REKAVASI, 2 (1) Mei : 33-38.

Pengukuran Produktivitas Sistem Operasional Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) V. Reza Bayu Kurniawan, Yudha Pracastino Heston, Chitra Widyasani P

Page 56: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

218

Page 57: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

219

TERITORIALITAS DAN KEAMANAN PENGHUNI PADA PERMUKIMAN HORISONTAL DAN VERTIKAL (RUMAH SUSUN SEDERHANA)

(STUDI KASUS : RUMAH SUSUN SEDERHANA SEwA (RUSUNAwA) BUMI CENGKARENG INDAH, JAKARTA)

Territoriality and Residents Security in Horizontal and Vertical Housing (Low-Cost Housing)

(Case study: Rental low-cost housing (Rusunawa) Bumi Cengkareng Indah, Jakarta)

Fermanto Lianto1, Y. Basuki Dwisusanto2

1Dosen Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Tarumanagara, Jakarta.2Dosen Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Email: [email protected]

Tanggal diterima: 01 September 2015, Tanggal disetujui: 27 Oktober 2015

ABSTRACT

Human in daily activities necessary to get security. Concept of territoriality which refers to behavior and social life, with boundaries (physical and non-physical), compromised, preserved and maintained, either individually or in groups, to keep security and harmony between human and the community. The function of territoriality in basic human needs for security, can be divided into multiple sub-levels: (1) Primary Function: sense of security; (2) Secondary function: sense of power/ownership; (3) Territory Function: sense of esteem, establish identity, self-image and recognition/self-actualization. This research was conducted through: (1) A literature review that explores the concept of territoriality in architecture: characteristics, functions and classification of territoriality; (2) Observations to understand the concept of territoriality that formed in some horizontal or vertical housing, especially low-cost housing in Jakarta – Indonesia.

Keywords: Territoriality, Privacy, Low-cost Housing, Rusunawa, Unit Flat

ABSTRAK

Manusia dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari perlu mendapatkan jaminan keamanan. Konsep teritorialitas yang mengacu pada pola tingkah laku dan kehidupan sosial, dengan batasan yang jelas (fisik dan non fisik), dikompromikan, dijaga dan dipertahankan, baik secara individu maupun kelompok, agar dapat menjaga keamanan dan keharmonisan hubungan antar manusia di dalam sebuah komunitas. Fungsi teritorialitas dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan keamanan, dapat dibagi dalam beberapa sub tingkatan berdasarkan kepentingannya, yaitu: (1) Fungsi primer: memberikan rasa aman; (2) Fungsi sekunder: menandai area kekuasaan/ kepemilikan; (3) Fungsi tersier: memenuhi rasa penghargaan, membentuk identitas, citra diri dan pengakuan/ aktualisasi diri. Penelitian ini dilakukan melalui: (1) Telaah pustaka yang mengupas konsep teritorialitas dalam arsitektur, yaitu: karakteristik, fungsi dan klasifikasi teritorialitas; (2) Melakukan observasi untuk memahami konsep teritorialitas yang terbentuk pada beberapa permukiman horisontal maupun vertikal, khususnya rumah susun sederhana di Jakarta – Indonesia.

Kata kunci : Teritorialitas, Privasi, Rumah susun sederhana, Rusunawa, Satuan rumah susun.

PENDAHULUAN

Manusia dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari perlu mendapatkan jaminan kenya-manan dan rasa aman agar terbebas dari berbagai

gangguan keamanan. Manusia dalam memposisikan keberadaan di lingkungannya membutuhkan privasi pribadi yang jelas dalam ruang dan tempat, melalui perwujudan konsep teritorialitas dalam arsitektur.

Page 58: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

220

1) Teritorialitas merupakan suatu perwujudan “ego” seseorang karena tidak ingin diganggu, atau sebagai suatu perwujudan dari privasi seseorang. Territory: is a plot of land controlled by a specific person, animal or country, or where a person has knowledge, rights or responsibilities (The American Heritage, 2015)

2) Pruitt Igoe dihancurkan dengan dinamit pada tanggal 15 Juli 1972, karena meningkatnya frekuensi bunuh diri, banyaknya vandalisme, dan mahalnya biaya pemeliharaan.

Penerapan konsep teritorialitas dalam arsitektur sangat penting, namun pada kenyataannya tidak berjalan sesuai dengan harapan, masih terdapat pelanggaran-pelanggaran terhadap privasi dan teritori.

Pada lingkungan permukiman, baik permukiman horisontal maupun vertikal di kota-kota besar seperti Jakarta – Indonesia, terutama pada rumah susun sederhana, dimana banyak terdapat ruang-ruang bersama tanpa batas-batas yang jelas, dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Kebutuhan akan ruang untuk meletakkan barang pribadi, ruang bersosialisasi, kebutuhan sehari-hari, dan sebagainya, menyebakan terjadinya pelanggaran teritori, seperti: pemanfaatan ruang publik sebagai ruang privat atau sebaliknya. Permasalahan ini ditambah dengan kurangnya pengawasan serta penjagaan dari para penghuni. Sehingga perlu adanya penataan kembali konsep teritorialitas yang sudah ada, agar tidak terjadi fenomena/masalah pelanggaran terhadap privasi/teritori para penghuni yang tidak jarang dapat menimbulkan pertengkaran.

Hal ini terlihat pada kasus studi rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Bumi Cengkareng Indah (BCI), Jakarta – Indonesia, dan bebe-rapa contoh rusuna lainnya, serta pada beberapa permukiman horisontal. Sehingga menimbulkan pertanyaan sebagai berikut: Bagaimanakah hubungan antara dinamika teritorialitas yang terjadi terhadap keamanan penghuni, pada permu-kiman horisontal dan vertikal, terutama rumah susun sederhana?

Manusia membutuhkan privasi dan teritori untuk memenuhi kebutuhan akan kenyamanan, dan keamanan, yang perlu dijaga dan dipertahankan, sehingga nantinya sebuah karya arsitektur dapat memenuhi fungsi, kebutuhan, dan motivasi terhadap adanya konsep teritorialitas yang sesuai dari masing-masing individu maupun kelompok pada permukiman horisontal dan vertikal, khususnya rumah susun sederhana di Jakarta – Indonesia.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan melalui telaah pustaka yang mengupas konsep teritorialitas dalam arsitektur, serta melakukan observasi untuk memahami konsep teritorialitas yang terbentuk

pada beberapa permukiman horisontal maupun vertikal, khususnya rumah susun sederhana di Jakarta – Indonesia.

TERITORIALITAS DALAM ARSITEKTUR

Teritorial adalah ruang atau tempat yang digunakan secara khusus, dikuasai/dimiliki, diakui oleh orang lain, dikendalikan/dikontrol, dan dipertahankan (baik secara fisik, atau melalui aturan dan simbol-simbol) oleh individu atau kelompok, untuk memuaskan kebutuhan hidup bermasyarakat sehari-hari. Teritorial ditandai dengan konkrit atau simbolik, sehingga dapat memberikan rasa aman bagi yang berada di dalamnya, dari bahaya yang sedang terjadi di luar atau interaksi yang tidak diinginkan. Teritorial dilakukan melalui kegiatan penempatan (occupancy), mekanisme pertahanan dan secara simbolik dengan keterikatan tempat (place attachment) di dalam komunitasnya (Edney, 1976).

Teritorial juga berhubungan dengan priva-si, ruang personal, dan kesesakan (density). “Sesak” sebagai akibat dari kegagalan mencapai tingkat privasi yang diinginkan. Maka mempertahankan ruang personal dan memperlihatkan perilaku teritorialitas merupakan dua mekanisme untuk mencapai tingkat privasi yang diinginkan guna mencapai tingkat privasi yang optimum dan menghindari stress yang tidak perlu (Lang, 1987 ; Altman, 1975 ; Halim, 2005).

Pertumbuhan penduduk, kesesakan, degradasi lingkungan, dan kekerasan perkotaan, serta kurangnya pengawasan, tidak dapat saling menjaga/mengamankan dari hal-hal yang tidak diinginkan, menyebabkan ketakutan akan terjadinya kejahatan (fear of crime), terancamnya keamanan penghuni permukiman. Seperti yang terjadi pada perumahan Bijlmermeer di Amsterdam – Belanda, dan perumahan Pruitt Igoe – di St. Louis Missouri – Amerika Serikat2 yang akhirnya di hancurkan.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Newman (1972) di perumahan untuk masyarakat golongan rendah/bawah di sebuah perkotaan, ditemukan bahwa apabila suatu lingkungan yang mempunyai batasan teritori yang jelas, terbukti bahwa tingkat kriminalitas dan vandalisme (misalnya: aktivitas mencoret-coret dan merusak lingkungan) yang semakin berkurang. Rumah yang tidak dilengkapi

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 219 - 227

Page 59: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

221

Gambar 1. Bangunan Bijlmermeer, Belanda.Sumber : Kompasiana (2015)

dengan identitas teritori yang jelas cenderung lebih rawan terhadap perampokan, terutama rumah yang tidak memiliki pagar, garasi, dan rumah yang letaknya berjauhan dengan rumah lainnya.

Manusia membutuhkan privasi di dalam berelasi/berhubungan sosial dengan komunitas dan lingkungannya sebagai salah satu perwujudan teritorial, untuk memaknai suatu ruang dan tempat, serta berusaha untuk memberikan batasan atas area kepemilikannya yang dikenal sebagai teritori (Lyman and Scott, 1967; Skaburskis, 1974). Hubungan antara manusia dengan ruang dapat dinyatakan sebagai berikut:

Salah satu perasaan kita yang penting mengenai ruang adalah perasaan teritorial. Perasaan ini memenuhi kebutuhan dasar akan identitas diri, kenyamanan dan rasa aman pada pribadi manusia… (Wilson, 1971:15) ..…The need for privacy, personal space, and territory is universal and contributes to the meeting of other human needs such as security, affiliation, and esteem… (Lang, 1987:145)

Konsep teritorialitas merujuk pada setting perilaku teritorial manusia (perilaku spasial yang memberikan jejak-jejak/tanda-tanda) sebagai ruang yang terbatasi, dalam berinteraksi secara individu dan kelompok yang bersifat intra spesifik, dimana seseorang ingin menyatakan diri, memiliki, menggunakan, menjaga, melakukan pertahanan

dan kontrol khusus. Teritorialitas menampilkan identitas seseorang atau kelompok sebagai sebuah ruang eksklusif, yang diasosiasikan dengan perasaan, psikologi, penilaian dan keteri-katan atas ruang/tempat, simbolisasi dengan perilaku yang posesif, penataan obyek di dalamnya melalui pernyataan kepemilikan baik secara kon-krit (fisik) atau simbolik (non fisik).

A territory is a delimited space that a person or a group uses and defends as an exclusive preserve. It involves psychological identification with a place, sym-bolizedby attitudes of possessiveness and arrangement of objects in the area…, Territorial behaviour is a self-other boundary regulation mechanism that involves per-sonalization of or marking a place or object and commu-nication that it is owned by a person or group (Lang, 1987:148).

Pada umumnya kepemilikan atau hak dalam teritorialitas ditentukan oleh persepsi orang yang bersangkutan sendiri, yaitu: (1) Dalam bentuk aktual yang pada kenyataannya memang benar sebagai pemiliknya, dan diakui keberadaannya oleh orang lain, seperti: kamar tidur, rumah pribadi, dan sebagainya; (2) Berupa kehendak untuk menguasai atau mengontrol suatu tempat dalam periode waktu tertentu, seperti: meja ma-kan di restaurant, rumah kontrakan, sebuah taman umum yang pada pagi hari dipakai oleh ibu-ibu senam pagi-sore harinya dipakai anak-anak bermain, sedangkan pada malam harinya dipakai bapak-bapak untuk berkumpul, dan sebagainya.

Namun seringkali aktualisasi persepsi tersebut menjadi sangat subyektif, seperti fenomena yang terjadi di Jakarta: dimana terdapat “penghuni liar” dalam perkampungan kumuh, pinggiran kali, atau dibawah kolong jembatan yang akan dibongkar, maka mereka akan menolak dan mempertahankannya, karena merasa sudah menjadi teritorinya dan sudah menguasai tempat itu selama bertahun-tahun tanpa ada yang mengganggunya.

Teritorialitas merupakan suatu pola ting-kah laku manusia yang berhubungan dengan ke-pemilikan atau hak yang dikuasai/dimiliki dan di-

Gambar 2. Pruitt Igoe, Amerika Serikat. angunan Bijlmermeer, Belanda.

Sumber : Kompasiana (2015)

Gambar 3. Contoh Penghuni Liar Di Pinggiran Kali Atau Di Bawah Jembatan

Sumber : Hasil Penelitian (2015)

Teritorialitas dan Keamanan Penghuni Pada Permukiman Horisontal dan Vertikal (Rumah Susun Sederhana)(Studi Kasus : Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Bumi Cengkareng Indah, Jakarta)

Fermanto Lianto, Y. Basuki Dwisusanto

Page 60: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

222

kendalikan/dikontrol serta dipertahankan (baik secara fisik berupa ruangan, tempat, ataupun non fisik berupa ruang, simbolik, suasana), dengan persepsi dari masing-masing orang atau kelompok (bersifat obyektif ataupun subyektif), yang akan memberikan rasa nyaman dan aman, sehingga si “pemilik” (secara legal atau tidak) akan merasa tersinggung jika daerah yang sudah dianggap “miliknya” tersebut terganggu.

1. Karakteristik Teritorialitas

Karakteristik sebuah teritorialitas dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana kepemilikan (ownership) atau hak atas tempat melalui penandaan ruang/tempat, yang dikuasai, dimiliki, atau dikendalikan oleh seorang individu atau kelompok baik secara konkrit/nyata (fisik) dan/ atau simbolik (psikologis).

Karakteristik teritorialitas membutuhkan mekanisme kontrol untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar (fisiologis) manusia, berupa: identitas, stimulasi, keamanan, dan memberikan kerangka acuan untuk membela terhadap gangguan dan mempertahankannya apabila dimasuki/dilanggar dengan cara apapun oleh orang asing, serta memuaskan beberapa kebutuhan/ motif aktualisasi diri dan simbol status (exclusiveness) disamping juga menegaskan kepemi-likan (Lang, 1987:148). Dari uraian diatas terlihat bahwa kepemilikan lebih berarti dibandingkan dengan keinginan untuk mempertahankan diri dan wila-yahnya terhadap serangan dari luar.

Berdasarkan karakteristik tersebut dile-takkan dasar pengertian sekaligus batasan defi-nisi tentang ruang (space), ruangan (room) dan tempat (place), yaitu: (1) Ruang dan ruangan juga ditandai sebagai batasan (maya atau nyata) oleh perilaku manusia yang diwadahinya (content dan container); (2) Tempat menunjuk pada ruang dalam konteks perilaku lingkungan yang dinyatakan dengan adanya batas fisik (nyata) yang dibangun melingkupi suatu ruang (terkadang dengan tujuan untuk membatasi gerak, pandangan atau suara).

Karakter perilaku keruangan bisa sangat beragam, namun ada satu kesamaan mendasar yang disebut teritorialitas yang mendudukkan teritori sebagai wilayah kekuasaan dan kepemilikan dalam organisasi informasi yang berkaitan dengan identitas kelompok.

2. Fungsi Teritorialitas

Fungsi teritorialitas manusia berbeda dengan binatang, dimana konsep awal teritori binatang berdasarkan naluri untuk mempertahankan diri dan

menjaga teritorinya, sedangkan fungsi teritorialitas manusia ditentukan dari seberapa jauh hubungan antara lingkungan terhadap perilaku manusia yang bersifat instinctive/naluri dan learned/pembelajaran.

Hal ini menentukan intensitas dan bentuk aksi teritorialnya, sehingga mampu memetakan jenis perilaku yang diantisipasi, siapa yang dihadapi, dan bagaimana statusnya, sehingga memungkinkan manusia menjadi lebih fleksibel ber-kenaan dengan penggunaan teritori dalam fungsi, karena tidak berhubungan dengan cara bertahan hidup saja, tetapi lebih sebagai “pengorganisasi-an” berbagai dimensi, yaitu: elemen-elemen so-sial, kultur/budaya dan kognitif, serta diasosiasikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi, seperti: citra diri dan pengakuan diri.

Fungsi teritorialitas dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan keamanan, dapat dibagi dalam beberapa sub tingkatan berdasarkan kepentingannya (disusun berdasarkan kebu-tuhan yang mendasar/penting hingga yang paling tinggi), yaitu:

ESTEEM

POWER

SECURITY

Gambar 4 : Fungsi Teritorialitas Dalam Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia Akan Keamanan.

Sumber : Hasil Elaborasi Penulis, 2015

(1) Fungsi primer/mendasar untuk memberikan rasa aman (sense of security): yaitu bebas dari pengaruh bahaya dari luar, seperti: cuaca, bencana alam, kecelakaan, pencurian, vandalisme dan kriminal, teroris, dan sebagainya, serta memiliki keyakinan diri akan rasa aman, contoh: mempunyai teritori akan tempat untuk bernaung/shelter, seperti: rumah kontrakan atau apartemen sewa.

(2) Fungsi sekunder untuk menandai area kekuasaan/kepemilikan (sense of power): yang berkaitan dengan kegiatan bermukim/interaksi, pemeliharaan hubungan dengan pihak-pihak lain dan lingkungan sekitarnya, dan untuk

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 219 - 227

Page 61: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

223

menghindari tindakan agresi dari pihak luar, contoh: mempunyai teritori kepemilikan akan tempat, seperti: memiliki rumah/apartemen sendiri.

(3) Fungsi tersier untuk memenuhi rasa peng-hargaan (sense of esteem): yaitu identitas, citra diri (self-image) yang menggambarkan keduduk-an serta peran seseorang dalam masyarakat, dan pengakuan/aktualisasi diri (self-recognition/esteem) dalam membentuk sense of place/community, contoh: mempunyai teritori sebagai sense of place, contoh: memiliki rumah/apartemen yang besar, mewah dengan pekarangan yang luas, di kompleks yang elite dengan keamanan terjamin.

3. Klasifikasi dan Skala Organisasi dalam Teritorialitas

Tingkah laku teritorialitas manusia bukan sekedar untuk mempertahankan hidup, tetapi juga berintikan pada privasi, sosial serta komunikasi, sehingga klasifikasi teritorialitas merupakan suatu hal yang penting untuk mengetahui bagaimana terjadinya suatu teritori yang berpu-sat pada individu masing-masing. Hal ini berkaitan dengan skala organisasi teritori, yaitu ada yang besar/luas, ada yang kecil/sempit, ada pula yang terdapat di dalam teritori lainnya, atau saling berbagi satu sama lain. Berikut beberapa klasifikasi dan skala dalam teritorialitas menurut beberapa tokoh:

Klasifikasi dan skala teritorialitas ini seringkali menjadi tidak jelas, terutama pada teritori semi publik atau publik, dan mendapat gangguan/

perebutan dari pihak luar, sehingga dibutuhkan suatu sistem pengamanan atau kontrol oleh penghuninya melalui batas-batas nyata atau simbolik sebagai bentuk pengawasan atas teritorinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Setiap manusia ingin mengklaim dan mem-pertahankan teritorinya dengan berbagai cara (melalui tanda-tanda, batas fisik, dan sebagainya), agar tidak diganggu oleh pihak lain. Manu-sia juga ingin berinteraksi dengan manusia lain-nya dalam komunitasnya untuk memberikan teritori yang lebih luas dan mempertahankannya secara bersama-sama secara bertanggung jawab. Namun pada kenyataannya banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam penerapan teritori, bahkan diperebutkan terutama pada daerah-daerah teritori dengan batasan atau tanda-tanda yang tidak jelas.

Sebagai salah satu contoh permasalahan dalam teritorial yang terjadi di lingkungan permukiman multifamily, terutama permukiman sederhana (seperti kita ketahui, tingkat pelanggaran, kekerasan dan kejahatan lebih sering terjadi pada permukiman perkotaan dengan penghuni berpenghasilan rendah, karena rendahnya kualitas desain dan bangunan serta lingkungannya, membuat lebih rawan terhadap gangguan keamanan dan kejahatan daripada permukiman menengah atau tinggi). Khususnya pada bangunan hunian bertingkat atau rumah susun sederhana di mana penghuni biasanya “berbagi” lorong/selasar, fasilitas umum (indoor maupun outdoor), ruang parkir, dan sebagainya.

Permasalahan yang terjadi sangat bervari-asi tergantung pada beberapa variabel seperti: demografis, tingkat kepadatan/kesesakan, latar belakang, profesi/pekerjaan, pendidikan, berbagai golongan usia, mulai dari bayi sampai orang tua dalam waktu 24 jam sehari, status sosial ekonomi, budaya, karakteristik, kebiasaan yang berbeda-beda dari para penghuni rumah susun sederhana, serta melakukan berbagai macam aktivitas yang berbeda-beda. Penyesuaian atau perubahan perilaku penghuni rumah susun antara lain terjadi pada aspek perilaku, sosial, mau-pun pada fisik hunian, karena adanya kebutuhan penghuni untuk menyesuaikan diri terhadap rumah susun yang dihuninya atau penyesuaian wadah fisik menurut kebutuhan setiap penghuninya.

Hal ini dapat mengganggu teritorial dan privasi penghuni lainnya, seperti: (1) Suara musik yang

3

Daerah publik kelompok besar

Daerah semi publik dan

publik perkotaan

Dalam ProxemicsTeritori Tubuh

Teritori PrimerTeritori

SekunderTeritori Umum

Chermayeff dan Alexander

Daerah pribadi

perorangan

Daerah keluarga atau kelompok kecil & besar (sekunder)

Irwin Altman (1975)

Teritori Utama

-Teritori

SekunderTeritori Publik

J. Duglas Porteous (Lang

1987:149)

Personal Space

Home Base (Micro Space)

Home Range (Meso space)

(Macro Space)

Oscar NewmanTeritori Privat

Teritori PrivatTeritori Semi

Privat

Teritori Semi Publik dan

Publik

Hussein El-Sharkawy (Lang

1987:150)

Attached & Central

Territory

Supporting Territory

Supporting Territory

Peripheral Territory

Klasifikasi & Skala

Teritori Privat

Teritori Semi Privat

Teritori Semi Publik

Teritori Publik

Lyman dan Scot (1967)

Teritori Tubuh

-Teritori

Interaksi-

Gambar 5 : Klasifikasi Dan Skala Dalam Teritorialitas Menurut Beberapa Tokoh

Sumber : Analisis, 2015

3) Proxemic adalah jarak yang berbeda yang menimbul-kan perilaku khas penerimaan indera, antar pribadi yang terlibat dalam jarak-jarak tersebut. Dalam konteks ini, jarak antara individu menentukan kualitas dan kuantitas rangsangan yang menjadi perubah. Jarak juga mengkomunikasikan informasi tentang tipe hubungan antar individu (hubungan intim atau kurang intim).

Teritorialitas dan Keamanan Penghuni Pada Permukiman Horisontal dan Vertikal (Rumah Susun Sederhana)(Studi Kasus : Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Bumi Cengkareng Indah, Jakarta)

Fermanto Lianto, Y. Basuki Dwisusanto

Page 62: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

224

keras, tangisan anak kecil atau pertengkaran keluarga, pulang malam atau dini hari (gangguan pendengaran/auditory); (2) Pola hidup yang tidak sehat, kotor, buang sampah sembarangan, sampah yang menumpuk karena tidak dibuang petugas (gangguan penciuman/ olfactory); (3) Mencorat-coret dinding, menempel gambar/poster (gangguan penglihatan/visual).

Kurangnya pemahaman dan kejelasan teritorial antar penghuni, dapat menyebabkan terjadinya berbagai konflik kepentingan, gangguan kenyamanan, keamanan. Berikut beberapa dinamika teritorialitas yang terjadi pada beberapa per-mukiman horisontal dan vertikal, terutama rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Bumi Cengkareng Indah (BCI), Jakarta – Indonesia:

1. Open Territory

Kawasan rumah susun sederhana biasanya didesain tanpa batas fisik yang jelas (tanpa pagar pembatas), dan pada perkembangannya fungsi satuan rumah susun , terutama pada lantai dasar berubah menjadi fungsi komersial (transfor-mation territory) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (perubahan teritori privat atau semi publik menjadi publik/komersial). Hal ini menye-babkan masuknya para pedagang kaki lima atau-pun pedagang asongan, serta terjadi perubahan yang tidak direncanakan dan tidak sesuai dengan pola tata ruang awalnya (dari hunian atau tempat bermain menjadi kios-kios/kaki lima). Hal ini ju-ga menyebabkan kawasan rumah susun menjadi “terbuka” (open territory) dan ramai, sehingga dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran ter-hadap privasi dan teritori penghuni lainnya.

Kondisi rumah susun sederhana yang “terbuka” ini, membuat tingkat kerawanan akan gangguan keamanan yang tinggi, karena akan mengundang warga di luar penghuni rumah su-sun untuk datang dan melakukan kegiatan di kawasan rumah susun. Hal ini juga mengakibatkan terbukanya peluang terjadinya kegiatan kriminal, seperti: pencurian

Gambar 6 : Masuknya Pedagang Asongan, Kaki Lima dan Kios Dalam Area Rumah Susun

Sumber : Hasil penelitian, 2015

barang-barang milik penghuni, perampokan, penganiayaan, pelecehan seksual, perbuatan mesum, narkoba, bunuh diri, pembunuhan, teroris, dan sebagainya, yang dapat mengganggu keamanan penghuni lainnya. Hal ini menyebabkan para penghuni menambah pagar pengaman untuk menjaga barang-barang berhar-ga dan keamanan teritori mereka.

Jakarta, Kompas.com - Penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, mengeluhkan kurangnya sistem keamanan di area rusun. Dalam setengah tahun, setidaknya sekitar tujuh motor raib diambil maling. Penghuni bernama Ika (35) termasuk salah satu korbannya. Ia mengaku baru dua bulan memiliki motor dari hasil cicilan. “Saya hilang juga (motornya) karena kan diparkir di lapangan bawah. Padahal, baru dua bulan cicil, hilang. Kurang pengawasan kayaknya ya. Seingat saya sekitar tujuh motor hilang di sini,” ujar warga relokasi Kemayoran, Jakarta Pusat, tersebut (7 Agustus 2014).

4) Satuan rumah susun adalah unit rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum (Undang Undang No. 16 Tahun 1985).

Gambar 7 : Gambar pengaman tambahanSumber : Hasil penelitian, 2015

2. Contested Territory

Dalam kehidupan di permukiman horisontal maupun vertikal, terutama pada rumah susun sederhana, seringkali terjadi pelanggaran teritorialitas dan perebutan teritori terutama pada daerah dengan batasan teritorial atau tanda - tanda yang tidak/kurang jelas.

Beberapa contoh bentuk pelanggaran/invasi/perebutan teritori yang dapat diindikasikan, diantaranya:

(1) Invasi (fisik) terhadap teritorial, yaitu: secara fisik seseorang memasuki teritori orang lain atau teritori semi publik dan publik, biasanya dengan maksud mengambil kendali atas teritori tersebut, seperti: penggunaan koridor/selasar pada rumah susun sebagai tempat menaruh barang-barang pribadi, tempat duduk-duduk/ruang tamu/teras, tempat berjualan/bermain dan sebagainya.

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 219 - 227

Page 63: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

225

(2) Invasi (psikologis) terhadap teritorial, yaitu: berubahnya fungsi bangunan hunian atau satuan rumah susun, menjadi fungsi komersial, seperti: salon, restoran, kios, kos-kosan, warnet, warung, dan sebagainya, sehingga sifat/klasifikasi terito-

Gambar 8 : Contoh Invasi/Agresi Fisik Terhadap Teritori Publik.

Sumber : Hasil penelitian, 2015

rinya berubah dari teritori semi privat menjadi teritori publik. Hal ini juga merupakan ganggu-an/konflik terhadap teritori (secara psikologis) yang akan menyebabkan orang “luar” atau kendaraan (publik) memasuki kawasan hunian (privat).

(3) Invasi terhadap waktu penggunaan teritorial, yaitu berubahnya fungsi teritori semi publik atau publik sejalan dengan periode waktu tertentu, seperti: taman umum yang digunakan pada pagi hari untuk kegiatan ibu-ibu senam pagi, sore

Gambar 9 : Contoh Invasi/Agresi Psikologis Terhadap Teritori Publik

Sumber : Hasil penelitian, 2015

hari dipakai untuk kegiatan anak-anak bermain, dan malam hari dipakai untuk kegiatan bapak-bapak berkumpul, atau teras sebuah ruko yang dipergu-nakan untuk bengkel pada siang hari dan restauran pada malam harinya.

(4) Kekerasan terhadap teritorial, yaitu: sebagai sebuah bentuk pelanggaran yang bersifat tem-porer atas teritori orang lain atau teritori publik, biasanya hal ini bukan untuk menguasai teritori orang lain melainkan suatu bentuk gangguan,

mi-salnya: gangguan atau perusakan terhadap fasili-tas publik, dan sebagainya.

Gambar 10 : Contoh Waktu Penggunaan TeritorialSumber : Hasil penelitian, 2015

Gambar 11 : Contoh Kekerasan Terhadap Teritorialitas Terhadap Teritori Publik

Sumber : Hasil penelitian, 2015

(5) Kontaminasi terhadap teritorial, yaitu: seseorang mengganggu teritori orang lain dengan meninggalkan sesuatu yang tidak menyenangkan, seperti: sampah, coretan atau merusaknya, dan sebagainya.

Gambar 12 : Contoh Perlakuan Kontaminasi Terhadap Teritori Privat Atau Publik

Sumber : Hasil penelitian, 2015

3. Compromised Territory

Pada kondisi tertentu, para penghuni rumah susun sederhana dapat menghargai batasan teritorial masing-masing walaupun tanpa batasan fisik yang jelas, bahkan mempunyai toleransi yang tinggi. Hal ini terlihat pada saat berlangsungnya acara hajatan/pesta, doa bersama/sholat berjamaah (sholat-id), upacara kematian, dan sebagainya, karena tidak adanya ruangan yang memadai, maka menggunakan ruang-ruang semi publik atau publik yang di kompromikan (compromised territory), untuk kepentingan bersama dalam kurun waktu tertentu (temporary territory).

Hal ini menunjukkan bahwa teritorialitas tidak terkonstruksi secara individu, melainkan secara

Teritorialitas dan Keamanan Penghuni Pada Permukiman Horisontal dan Vertikal (Rumah Susun Sederhana)(Studi Kasus : Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Bumi Cengkareng Indah, Jakarta)

Fermanto Lianto, Y. Basuki Dwisusanto

Page 64: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

226

bersama-sama, karena sudah terbentuknya budaya pola kehidupan sosial yang baik, seperti: saling menghargai, gotong-royong, tolong-menolong dan sebagainya.

Gambar 13 : Contoh Ruang Publik Untuk Kepentingan Pribadi Atau Bersama

Sumber : Hasil penelitian, 2015

4. Surveillance

Salah satu upaya yang dapat dilakukan penghuni dalam menjaga dan mempertahankan teritorinya, agar terhindar dari gangguan orang-orang yang berniat jahat, adalah dengan melakukan pengawasan (surveillance). Tindakan pengawasan ini juga disebut “eyes on the street” (Wendt, 2009:16), yaitu lingkungan fisik yang memberikan kesempatan pengawasan bagi warga atau lingkungan sekitarnya, untuk menga-wasi dan mengamati secara sambil lalu maupun terus menerus.

Pada rumah susun sederhana, kebiasaan penghuni membuka pintu lebar-lebar pada pagi hari untuk mendapatkan sirkulasi udara yang baik, sekaligus memberikan kesempatan pengawasan alami (secara visual), dengan melihat ke arah tempat-tempat umum/publik dan semi publik (selasar/koridor). Kegiatan ini dilakukan sebagai bagian dari kegiatan penghuni sehari-hari dari dalam ruangan sambil beraktivitas, misalnya: ibu-ibu sambil memasak di dapur atau bapak - bapak duduk sambil membaca koran dan menonton televisi, anak-anak bermain di depan pintu unit rumah susun, sehingga menghindari terjadinya blind spot area.

Gambar 14 : Ilustrasi pengawasan dari balik jendela dan kegiatan penghuni di depan unit rumah susun (natural surveillance).

Sumber : Hasil penelitian, 2015

Dengan adanya pengawasan alami (natural surveillance) ini dapat meningkatkan persepsi bahwa dengan semakin banyak orang yang dapat melihat ke jalan/koridor/selasar/halaman (area publik), maka semakin kecil kesempatan untuk tindakan kejahatan, karena tindakan kejahatan dimulai dari jalan. Pengawasan alami dilakukan dengan cara merancang penempatan fitur-fitur fisik, bagi kegiatan-kegiatan untuk memaksimal-kan interaksi sosial yang positif.

Sistem pengawasan alami relatif lebih mudah, murah, dan efektif selama komunitas saling mengenal antara penghuni (residents) dan orang asing (stranger/outsider). Kelemahan dari sistem pengawasan ini adalah apabila penghuni sedang tidak berada di posisi pengawasan atau sedang pergi keluar, atau apabila para penghuni tidak saling mengenal satu sama lainnya, sehingga tidak ada yang mengawasi apabila terjadi tindakan kejahatan, atau bahkan ketika terjadi pencurian para tetangga menganggap sebagai tamu atau bagian dari keluarga penghuni.

Oleh karena itu dapat ditambahkan sistem pengawasan lain, seperti: (1) Pengawasan formal/terorganisir, berupa mempekerjakan satuan pengamanan (hansip/satpam), atau mengadakan sistem jaga malam (ronda) bagi penghuni; (2) Pengawasan mekanik, berupa penggunaan CCTV (closed-circuit television), untuk menjaga daerah-daerah yang rawan tindakan kejahatan dan tidak terpantau oleh pengawasan alami. Namun sistem pengawasan ini relatif lebih mahal, tetapi cukup efektif untuk memberikan image akan keamanan, dan mempersulit/mengurangi keinginan untuk berbuat kejahatan.

KESIMPULAN

Keamanan penghuni belum terjamin sepenuhnya, karena desain kawasan rusunawa Bumi Cengkareng Indah (BCI), Jakarta – Indonesia, yang terbuka dengan batasan yang tidak jelas dan masuknya fungsi komersial ke dalam area rumah susun (open territory).

Teritorialitas berhubungan dengan privasi, kepemilikan, dan rasa aman, sehingga dapat menjelaskan tingkat keamanan penghuni pada rumah susun (contested territory).

Teritorialitas pada rumah susun sederhana terbentuk oleh kebutuhan, perilaku, karakteristik, dan sosial budaya penghuni, serta tidak terkonstruksi secara individu, melainkan secara bersama-sama (compromised territory).

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 219 - 227

Page 65: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

227

Pengawasan (surveillance) sangat dibutuhkan sebagai bagian dari kegiatan sehari-hari penghuni, karena dapat meningkatkan persepsi bahwa dengan semakin banyak orang yang dapat melihat ke jalan/koridor/selasar/halaman (area publik), maka semakin kecil kesempatan untuk tindakan kejahatan.

Desain rusunawa BCI belum memperhatikan aspek teritorialitas penghuni yang penting dalam pengembangan permukiman untuk menjaga keamanan dan keharmonisan hubungan antar penghuni sebagai sebuah komunitas.

REKOMENDASI

Bagi dunia Arsitektur, desain permukiman horisontal maupun vertikal, terutama rumah susun sederhana, perlu memperhatikan aspek konsep teritorialitas yang tepat yang terbentuk dari penghuni, berdasarkan: kebutuhan, karakteristik, pola perilaku, budaya, dan kehidupan sosial penghuni serta lingkungannya.

Bagi para penghuni rumah susun sederhana, perlu adanya pengertian, pemahaman dan penerapan konsep teritorialitas dengan memperhatikan, menjaga dan menghargai privasi dan teritori penghuni lainnya agar tidak terjadi perselisihan demi kepentingan bersama sebagai sebuah komunitas.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada semua pihak terutama dosen UNTAR dan UNPAR yang telah membantu dalam menyelesaikan naskah penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Altman, Irwin. 1975. Environment and Social Behavior: Privacy, Personal Space, Territory and Crowding, Monterey. California: Brooks Cole.

Edney, J.J. 1976. Human Territories: Comment on Functional Properties, Environment and Behavior 8, (1) : 31-47.

Gissen, David. 2010. Territory, Architecture Beyond Environment, Architectural Design, May/June 2010, Profil no. 205.

Halim, Deddy. 2005. Psikologi Arsitektur, Pengantar Kajian Lintas Disiplin. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Kompas. 2015. Bangunan Pruitt Igoe. http://properti.kompas.com/read/2014/12/01/155445521/IniDiaSembilanBangunanKontroversial SepanjangMasa (Diaskses 26/07/2015).

Kompasiana. 2015. Bangunan Bijlmermeer Belanda.http://www.kompasiana.com/tafikuieks/

hotel-pecandu-narkoba-dikawasan-hitam-amsterdam_54f 7c0e5a33311bc208b4836 (Diakses 25/07/2015).

Lang, Jon. 1987. Creating Architectural Theory: The role of the behavioral sciences in design, Privacy, Territoriality and Personal Space – Proxemic Thoery. New York: Van Nostrand Reinhold.

Lyman, Stanford M., and Marvin B. Scott. 1967. Territoriality – A Neglected Sosiological Dimension, Social Problems 15: 236-249.

Skaburskis, Jacqueline V. 1974. Territoriality and Its Relevance to Neighborhood Design: A Review, Architectural Research and Teaching 3, no. 1:39-44.

The American Heritage. 2015. Territory Definition.http://www.yourdictionary.com/territory (Diakses 27/07/2015).

Undang Undang Republik Indonesia, No. 16 Ta-hun 1985: Tentang Rumah Susun. (Lembar-an Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3318).

Wendt, Matthias. 2009. The Importance of Death and Life of Great American Cities (1961) by Jane Jacobs to the Profession of Urban Planning. New Visions for Public Affairs – volume 1, School of Urban Affairs and Public Policy – Universi-ty of Delaware, Newark, DE.

Wilson, Forrest. 1971. Structure the Essence of Architecture. New York: Van Nostrand Reinhold Company.

Teritorialitas dan Keamanan Penghuni Pada Permukiman Horisontal dan Vertikal (Rumah Susun Sederhana)(Studi Kasus : Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Bumi Cengkareng Indah, Jakarta)

Fermanto Lianto, Y. Basuki Dwisusanto

Page 66: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

228

Page 67: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

229

PENDUGAAN NILAI JASA LINGKUNGAN SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CISEEL MENGGUNAKAN

PENDEKATAN CONTINGENT VALUATION METHOD

Estimation of The Value of Environmental Services Sub Watershed Ciseel Using Contingent Valuation Method Approach

Kuat Pudjianto1, Dudung Darusman2, Bramasto Nugroha3, Omo Rusdiana4

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian BogorProgram Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Gedung SPs Lantai II Kampus IPB Baranangsiang, Bogor 16144. Telp/Fax. (0251) 8332779Pos-el: [email protected]

Tanggal diterima: 10 Oktober 2015, Tanggal disetujui: 28 Oktober 2015

ABSTRACT

The sub-watershed Ciseel is classified as one of the critical watersheds in Indonesia. This situation has led to negative externalities in the form of floods and droughts which can reduce the welfare of society. To eliminate the negative externalities necessarry rehabilitation and conservation in the upstream sub watershed Ciseel should be carried out is required. Based on the Soil and Water Assesment Tool (SWAT) analysis shows that rehabilitation and conservation an area of 1.402 hectares to reduce the rate of erosion in the upstream and increase the supply of water flow in the Ciseel sub-watershed. Environmental improvements in the upstream is expected to improve the quntity and quality of water in the sub watershed Cisee, but often the decision makers can not identify environmental damage. This reseach tried to estimate the value of environmental services in sub watershed Ciseel using Contingent Valuation Method (CVM) approach to calculate wllingness to pay of society. Based on the results of the research most people (91%) support and willing to pay for rehabilitation and conservation activities. The mean value of willingness to pay (WTP) amounted Rp.3,491/ person/ month. Factors influencing the society’s willingness to pay is the income level. A total potential value of environmental services is Rp. 30.201.157.668/ year. Value of environmental services can cover rehabilitation and conservation cost amounted Rp.21,541,481.93/Ha/year.

Keywords: Critical watershed, CVM, WTP, and Environmental quality .

ABSTRAK

Sub DAS Ciseel di wilayah DAS Citanduy merupakan salah satu sub DAS yang tergolong kritis di Indonesia. Kondisi ini telah menimbulkan eksternalitas negatif berupa banjir dan kekeringan yang dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengeliminasi eksternalitas negatif tersebut diperlukan rehabilitasi dan konservasi lahan di daerah hulu sub DAS Ciseel. Berdasarkan analisis Soil Water Assesment Tool (SWAT) diketahui luas lahan yang perlu direhabilitasi untuk mengurangi laju erosi dan meningkatkan aliran air bawah tanah (ground water) sekitar 1.402 Ha. Upaya perbaikan lingkungan di hulu DAS tersebut diharapakan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas air di sub DAS Ciseel. Penelitian ini mencoba mengestimasi nilai jasa lingkungan kedalam nilai ekonomi menggunakan pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) dengan menghitung kesedian membayar (WTP) masyarakat. Dari hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat sebagian besar (91%) mendukung dan bersedia membayar pembiayan perbaikan lingkungan sub DAS Ciseel. Rata-rata WTP masyarakat sebesar Rp. 3.491/orang/bulan. Faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap nilai WTP masyarakat adalah tingkat pendapatan. Nilai total potensi jasa lingkungan adalah sebesar Rp. 30.201.157.668/tahun. Nilai jasa lingkungan tersebut dapat mengkover biaya rehabilitasi dan konservasi lahan sebesar Rp. 21.541.481,93/Ha/tahun.

Kata kunci : DAS kritis, Contingent Valuation Mothod, Willingness to pay, dan Kualitas Lingkungan.

PENDAHULUAN

Daerah aliran sungai Ciseel merupakan salah satu DAS di wilayah DAS Citanduy yang mengalami degradasi lingkungan. Hal ini terindikasi dengan tingkat fluktuasi ketersediaan air di sungai Pada

musim hujan masih sering terjadi banjir, terutama daerah Lakbok Selatan, sekitar 50% wilayahnya tergenang air. Sebaliknya pada musim kemarau di beberapa daerah seperti Paledah, Sindangwangi, Sukanegara dan Ciganjeng terjadi kekeringan yang luasnya mencapai 1.316,63 Ha (BBWS Citanduy,

Page 68: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

230

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 229 - 239

2013). Degradasi sub DAS Ciseel tidak terlepas dari pola penggunaan lahan di daerah hulu DAS. Kecenderungan petani pemilik atau pengelola lahan di hulu DAS melakukan konversi lahan ke non-vegetasi permanen diduga telah menjadi salah satu penyebab terjadinya degrdasi DAS yang berdampak pada penurunan kuantitas dan kualitas air.

Pada daerah-daerah tertentu tutupan lahan hutan dipandang sebagai pengatur aliran air ke dalam sungai dimana pada musim hujan dapat menyimpan air dan melepaskannya pada musim kemarau. Penelitian yang dilakukan oleh Mubarok, dkk (2014) di DAS Way Betung menunjukkan bahwa perubahan pola penggunaan lahan mempengaruhi aliran air bawah permukaan (lateral dan base flow) terhadap ketersediaan air di sungai. Demikian juga hasil penelitian Nasrullah (2013) di Danau Tempe menunjukkan bahwa perubahan tutupan lahan telah mempengaruhi neraca air dan sedimentasi. Hasil-hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa tutupan lahan dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas air.

Air di sungai yang merupakan jasa lingkungan DAS sampai saat ini masih dianggap common pool resource yang tidak memiliki harga pasar (non market value), sehingga nilai jasa lingkungan tersebut sering diabaikan karena sulit diungkapkan dengan angka, padahal manfaat yang diberikan cukup besar bagi kesejahteraan masyarakat. Untuk mencerminkan nilai sumber daya alam yang sebenarnya perlu memasukan manfaat non pasar kedalam analisis biaya manfaat yang menurut Mueller (2013) memiliki dampak yang signifikan terhadap keberlanjutan program-program restorasi. Nilai manfaat jasa lingkungan tidak akan diperoleh jika kondisi jasa lingkungan tersebut dalam kondisi tidak baik, oleh karena itu untuk memperbaiki kualitas jasa lingkungan di sub DAS ciseel perlu dilakukan rehabilitasi dan konservasi lahan. Namun seringkali para pengambil kebijakan sulit untuk mengkuantifikasikan nilai kerusakan lingkungan kedalam nilai ekonomi, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui nilai ekonomi jasa lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengestimasi nilai jasa lingkungan sub DAS Ciseel menggunakan pendekatan Contingent Valuation Method (CVM). Nilai jasa lingkungan ini dapat digunakan oleh pengambil kebijakan (policy makers) sebagai bahan pertimbangan dalam menerapkan kebijakan pengelolaan sub DAS Ciseel agar lebih sustainable.

KAJIAN PUSTAKA

Permasalahan yang sering dijumpai pada DAS adalah degradasi lahan, erosi, sedimentasi, banjir,

dan kekeringan yang menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas air. Kerusakan daerah aliran sungai (DAS) pada dasarnya terkait dengan kondisi geofisik DAS dan perilaku sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Sementara air pada DAS merupakan Common Pool Resources (CPRs) yang memiliki karakteristik sifat substansial yang dapat dinikmati oleh semua orang tanpa pengecualian, sehingga jika tidak ada upaya pelestariannya batas ketersediaan manfaat CPRs tersebut akan habis. Dari perspektif ekonomi, CPR tidak memiliki mekanisme keseimbangan harga (pasar), sehingga jika terjadi kelangkaan tidak dapat dicerminkan dalam biaya riil setiap pemanfaatnannya (Fauzi 1999 dalam Pustika 2013).

Belum adanya sistem pasar untuk manfaat-manfaat intangible air, para ahli telah berusaha mengembangkan pendekatan teknik penilaian jasa air yang dihasilkan ekosistem DAS kedalam nilai moneter yang dikenal dengan valuasi ekonomi. Barbier (1997) dalam Herwanti (2014) mengartikan valuasi ekonomi sebagai upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang disediakan oleh lingkungan dan sumber daya. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa valuasi ekonomi pada hakekatnya adalah penterjemahan barang dan jasa non pasar dimana untuk memperolehnya tidak terjadi transaksi antara penjual dan pembeli, sehingga dibutuhkan teknik untuk menterjemahkan nilainya kedalam satuan harga.

Metode valuasi ekonomi untuk kualitas lingkungan menurut Patunru (2010) dalam Pustika (2013) dibagi kedalam 2 kelompok menurut sumber data atau informasinya, yaitu pendekatan preferensi tersirat (revaled preference/RP) dan pendekatan preferensi tersurat (stated preference/SP). Pendekatan RP dilakukan melalui observasi atas pilihan individual, sedangkan pendekatan SP dilakukan dengan jalan menanyakan langsung kepada individu berapa kesediaan membayar untuk menikmati perbaikan jasa lingkungan pada level tertentu. Salah satu metode yang sering digunakan dalam pengukuran jasa lingkungan adalah Contingent Valuation Method (CVM) yang menurut Loomis et al.(1999) dianggap mampu mengukur nilai manfaat pasif dari jasa lingkungan. CVM pada hakekatnya bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar (willingness to pay/WTP) masyarakat terhadap suatu perbaikan kualitas lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran WTP, maka nilai jasa lingkungan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa (2014).

Page 69: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

231

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di wilayah sub DAS Ciseel yang masuk dalam wilayah DAS Citanduy. Secara administrasi sub DAS Ciseel terletak di wilayah Propinsi Jawa Barat. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Agustus- November 2015.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemanfaat jasa air irigasi dan pelanggan PDAM. Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan secara purposive dengan mengambil Kecamatan Cineam sebagai sampel dengan pertimbangan bahwa kecamatan tersebut merupakan kecamatan terdekat dengan sub DAS Ciseel dan paling terkait dengan kerusakan sub DAS Ciseel.

Jumlah populasi 701 orang, terdiri dari 302 orang pemanfaat air irigasi dan 399 orang pelanggan PDAM. Masing-masing diambil sampel sebesar 76 orang dan 80 orang. Pemilihan sampel menggunakan metode systematic random sampling. Data primer diperoleh melalui wawancara dan pengisian daftar pertanyaan terbuka untuk menyatakan nilai moneter yang ingin dibayarkan untuk perbaikan lingkungan sub DAS Ciseel. Data sekunder diperoleh dari penelusuran kepustakaan, jurnal, internet, BPS, Dinas Kehutanan, BBWS Citanduy dan kantor kecamatan.

Metode menghitung ketersediaan air lahan dan sediment yield menggunakan model Soil and Water Assesment Tool (SWAT) untuk menjelaskan proses hidrologi yang secara matematik diformulasikan sebagai berikut (Di Luzio, et al. 2004) :

SWt = SWt-1 + Rdayt - (Qsurf t + Eat + Wseept + Qgwt)...........1Dimana: SWt = kandungan air tanah pada saat t (mm)

SWt-1 = kandungan air tanah pada saat t-1 Rdayt = curah hujan pada saat t (mm) Qsurft = run-off pada saat t (mm) Eat = aktual evapotranspirasi pada saat t Wseept = perkolasi air tanah dari lapisan tanah ke

aquifer pada saat t (mm)Qgwt = ground water flow pada saat t (mm), dan

t dalam harianPendugaan nilai jasa lingkungan menggunakan

metode Contingent Valuation Method (CVM) untuk mengetahui nilai WTP masyarakat. Pendekatan WTP didasarkan pertimbangan bahwa penelitian ini adalah berbasis perilaku masyarakat, sehingga responden dapat bersikap cermat terhadap jawaban WTP dengan mempertimbangkan pendapatan maupun preferensinya (Fauzi, 2014). Untuk memperkirakan kurva lelang digunakan Analisis Korelasi dan Analisis Regresi Berganda menggunakan software SPSS versi 21.Kebaruan (Novelty)

Dalam penelitian ini analisa pendugaan nilai jasa lingkungan didukung dengan analisis karakteristik DAS yang menggambarkan tingkat kerusakan lingkungan DAS secara akurat. Dengan demikian nilai jasa lingkungan yang diukur dari WTP masyarakat dapat dialokasikan dan dimanfaatkan pada sasaran yang tepat dan terukur berbasis karakteristik DAS, sehingga lebih efektif, efisien dan aplikatif. Penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di wilayah sub DAS Ciseel. Secara geografi wilayah sub DAS Ciseel berada pada koordinat 108o13’51’’-108o 43’15’’ BT dan 7o20’37’’- 7o34’20’’LS. Luas DAS Ciseel sekitar

Gambar 1 : Lokasi PenelitianSumber : Diolah, 2015

Pendugaan Nilai Jasa Lingkungan Sub Daerah Aliran Sungai Ciseel MenggunakanPendekatan Contingent Valuation Method

Kuat Pudjianto, Dudung Darusman, Bramasto Nugroha, Omo Rusdiana

Page 70: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

232

78.337 Ha. Berdasarkan wilayah administrasi, sub DAS Ciseel berada di Kabupaten Ciamis (66,9%), Kabupaten Tasikmalaya (21,95%), Kota Banjar (8,2%) dan Kota Tasikmalaya (2,94%). (Gambar 1)Rata-rata suhu udara di dataran rendah sub DAS Cisel sekitar 20-34o C dan pada dataran tinggi sekitar 18-22 oC. Jumlah curah hujan rata-rata per tahun berkisar 2.735 mm, tertinggi pada bulan Desember dan terendah pada bulan Agustus-September. Rata-rata kelembaban udara di wilayah Sub DAS Ciseel berkisar antara 85%-91,71%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kesediaan Membayar (WTP) Masyarakat

Hasil survei terhadap seluruh responden mengenai kesediaan membayar (WTP) untuk perbaikan lingkungan daerah hulu sub DAS Ciseel disajikan pada Tabel 1.

Pada Tabel 1 menunjukan bahwa sebagian besar responden (91%) menyatakan bersedia untuk membayar perbaikan biaya rehabilitasi dan konservasi lahan di daerah hulu DAS Ciseel. Mereka merasa bahwa saat ini air di sungai Ciseel sudah mulai berkurang dan semakin kotor, terutama pada saat musim kemarau. Lahan-lahan sawah pada umumnya kering sehingga para petani merasa kesulitan. Sebagai solusinya para petani pemanfaat irigasi menggunakan lahan sawahnya untuk tanaman kedelai yang relatif sedikit memerlukan air. Kondisi ini hampir sama dengan masyarakat petani di China yang pada saat kekeringan mengambil kegiatan ekonomi lain, atau mengikuti kebijakan Pemerintah untuk menciptakan situasi yang dapat memaksimumkan keuntungan mereka. Kesadaran petani terhadap lingkungan DAS juga cukup tinggi meskipun lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat di wilayah sub DAS Ciseel. Hasil penelitian Tao (2012) menunjukkan 61,8% dari responden menyatakan kesediaan membayar (WTP) untuk perbaikan hutan dan konstruksi.

Tingkat kesediaan membayar responden dari pelanggan PDAM di wilayah sub DAS Ciseel adalah sebesar 93,75%, masih lebih tinggi dibanding

dengan responden pemanfaat air irigasi yang hanya 88,16%. Tingginya kesediaan membayar para pelanggan PDAM tersebut disebabkan mereka merasa sangat kesulitan jika kekurangan air, bahkan ada sebagian pelanggan yang sama sekali tidak mendapatkan air dari PDAM pada saat musim kemarau, sehingga mereka setuju dan mendukung terhadap upaya perbaikan daerah hulu sub DAS Ciseel yang dianggap penting, karena daerah hulu DAS merupakan sumber air yang perlu dilindungi. Responden pemanfaat air irigasi yang menyatakan tidak bersedia membayar pada umumnya karena keterbatasan pendapatan, sedangkan pelanggan PDAM yang tidak bersedia membayar pada umumnya karena merasa sudah cukup puas dengan kondisi sub DAS Ciseel saat ini, meskipun mereka kesulitan air pada saat musim kemarau. Berdasarkan data tersebut maka secara umum responden di wilayah sub DAS Ciseel memahami pentingnya jasa

lingkungan DAS bagi kehidupannya. Oleh karena itu mereka sangat setuju dan mendukung terhadap upaya-upaya perbaikan lingkungan di bagian hulu DAS sebagai catchment area sekaligus berfungsi sebagai tata guna air.

Identifikasi jasa lingkungan

Alih fungsi lahan dari tanaman keras (hutan) menjadi tanaman musiman (jagung, pepaya, padi sawah dan palawija) di daerah hulu sub DAS Ciseel diduga menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi dan perkolasi serta peningkatan laju erosi tanah. Kondisi tersebut menyebabkan sedimentasi di sungai yang menimbulkan eksternalitas negatif berupa banjir dan kekeringan yang merugikan masyarakat. Hasil analis SWAT menunjukkan bahwa aliran sungai Ciseel di bagian hulu, tengah dan hilir sekitar 46% berasal dari aliran permukaan (surface flow), 54% aliran air dibawah permukaan (lateral dan ground water flow). Kecilnya kontribusi aliran air bawah tanah tersebut merupakan salah satu faktor penyebab menurunnya tingkat ketersediaan air di sungai pada musim kemarau, karena ketersediaan air dalam DAS tergantung pada magnitute dari

Jml

Res. Jumlah % Jumlah %

1 Pemanfaat air Irigasi 76 67 88,16 9 11,842 Pelanggan PDAM 80 75 93,75 5 6,25

Jumlah : 156 142 92,00 14 18,00

Rata-Rata 91,00 9,00

No Pemanfaat jasa airBersedia Tidak Bersedia

Tabel 1 : Kesediaan responden untuk membayar biaya rehabilitasi dan konservasi

Sumber : Diolah, 2015

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 229 - 239

Page 71: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

233

Tabel 2 : Klasifikasi area di sub DAS Ciseel berdasarkan sediment yield

Sumber : Diolah, 2015

input-output dan kapasitas penyimpanan (Verdin, 2012).

Tingkat erosi tanah dalam DAS ditentukan oleh kondisi tutupan lahan, terutama di daerah hulu DAS. Dari hasil analisa SWAT diketahui luas lahan dengan laju erosi yang tergolong sedang, berat dan sangat berat di sub DAS Ciseel adalah seluas 1.402 H (Tabel 2). Untuk menurunkan laju erosi dari lahan tersebut perlu dilakukan rehabilitasi, terutama pada lahan terbuka, pertanian lahan kering dan semak belukar di kelerengan lebih dari 15% (Gambar 2).

Disamping itu lahan-lahan dengan laju erosi yang masih tergolong sangat ringan dan ringan tetap harus dipertahankan karena konservasi ekosistem yang berkontribusi terhadap pasokan air lebih efektif daripada memperbaiki kondisi lahan yang telah rusak (Hull, 2013). Dengan mempertahankan kondisi lahan yang masih baik dan merehabilitasi lahan yang rusak di hulu DAS, diharapkan laju erosi bisa terkendali dan aliran air bawah tanah meningkat, sehingga dapat mengeliminasi ekternalitas negatif yang saat ini dirasakan oleh masyarakat di wilayah sub DAS Ciseel.

Tingginya laju erosi tergantung pada kondisi kelerengan lahan, semakin berlereng laju erosi

Gambar 2 : Rata-rata laju erosi di setiap jenis tutupan lahan berdasarkan kelas lereng di sub DAS CiseelSumber : Hasil Analisis SWAT, 2015

Sedi

men

t yie

ld (t

on/h

a/ye

ar)

300

250

200

150

100

50

00-8% 8-15% 15-25% 25-40% >40%

Class Slope

Forest

Agroforestry

Shrub

Dry Land Agriculture

Bare soil

semakin tinggi. Gambar 2 menununjukkan bahwa laju erosi di lahan terbuka relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis tutupan yang lain dengan semakin meningkatnya kelerengan lahan. Jika dilihat secara umum laju erosi di sub DAS Ciseel masih tergolong aman karena sekitar 98,22% masih dalam katagori sangat ringan dan ringan. Meskipun demikian dengan semakin bertambahnya penduduk dan aktivitas ekonomi perlu diantisipasi kemungkinan meningkatnya laju erosi secara berjenjang dari sangat ringan menjadi sangat berat

karena dengan kondisi sekarangpun sub DAS Cisel sudah mengalami pendangkalan sungai. Oleh karena itu agar lingkungan dapat terjaga dengan baik diperlukan partisipasi dari seluruh masyarakat di wilayah sub DAS Ciseel untuk menjaga dan melindungi DAS agar tetap berfungsi dengan baik.

Konstruksi Skenario Hipotesis

Skenario yang ditawarkan kepada masyarakat adalah melakukan rehabilitasi dan konservasi lahan di wilayah hulu sub DAS Ciseel untuk mengembalikan atau memperbaiki kondisi lahan agar fungsi hidrologi DAS dapat lebih optimal,

Pendugaan Nilai Jasa Lingkungan Sub Daerah Aliran Sungai Ciseel MenggunakanPendekatan Contingent Valuation Method

Kuat Pudjianto, Dudung Darusman, Bramasto Nugroha, Omo Rusdiana

Luas area(Ha)

1 0 – 15 Sangat ringan 73,671 94,042 15 – 60 Ringan 3,271 4,183 60 – 180 Sedang 1,306 1,674 180 – 480 Berat 80 0,105 >480 Sangat berat 16 0,02

No. Sedimen yield (ton/Ha/Th)

Katagori %

Page 72: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

234

sehingga kuantitas dan kualitas air dapat terjamin. Dengan terjaminnya kuantitas dan kualitas air, maka masyarakat dapat meningkatkan nilai guna (utility) dari jasa air yang di konsumsinya (marginal utility). Sebagai konsekwensinya masyarakat diminta kesediaannya untuk membayar pembiayaan perbaikan jasa lingkungan tersebut.

Nilai WTP Masyarakat

Hasil survai dengan menggunakan kuesioner terbuka kepada seluruh responden pemanfaat air irigasi dan pelanggan PDAM diperoleh nilai rata-rata WTP sebesar Rp. 4.807,-/bulan. Berdasarkan nilai rata-rata WTP tersebut, maka dengan jumlah penduduk sebesar 720.929 jiwa maka nilai p o t e n s i j a s a l i n g k u n g a n s u b DA S C i s e e l s e b e s a r Rp. 2.516.763.139,-/bulan atau Rp. 30.201.157.668,-/tahun (Tabel 3). Nilai jasa lingkungan sub DAS Ciseel ini masih lebih rendah jika dibanding dengan dana kompensasi biaya konservasi untuk penyedia jasa wilayah hulu dari berbagai kelompok pengelola air minum sebagai pengguna jasa lingkungan di DAS Cisadane Hulu yang mencapai 110, 46 milyar/tahun Sutopo (2010). Perbedaan ini disebabkan karena rata-rata WTP masyarakat sub DAS Ciseel yang diperhitungkan hanya pemanfaat air irigasi dan pelanggan PDAM (tidak termasuk dunia usaha). Oleh karena itu masih perlu digali lagi potensi jasa lingkungan dari sektor swasta.

Tabel 3 menunjukan rata-rata WTP masyarakat (Pemanfaat air irigasi dan pelanggan PDAM) sebesar Rp. 6.535.152/orang/tahun. Nilai ini masih lebih kecil jika dibanding dengan nilai WTP masyarakat di DAS Arau yang mencapai Rp. 9.390.432,95 - Rp.15.624.087,13/tahun (Nursidah, 2012). Rendahnya nilai WTP di sub DAS Ciseel dapat disebabkan oleh 2 kemungkinan yaitu : Pertama kondisi ekonomi masyarakat di sub DAS

Ciseel kemungkinan lebih rendah dibanding dengan masyarakat di wilayah DAS Arau, karena banyak penelitian (Ndetewio 2013; Manlosa et al., 2013; dan Calderon et al. 2013) menunjukan bahwa WTP masyarakat terhadap jasa lingkungan berkaitan dengan tingkat pendapatan. Kedua, tingkat kesadaran masyarakat di sub DAS Ciseel terhadap kelestarian lingkungan juga lebih rendah di banding dengan masyarakat di wilayah DAS Arau. Namun dugaan ini masih perlu dikaji lebih lanjut.

Jika dilihat per satuan wilayah, maka dengan luas wilayah 78.337 ha, potensi jasa lingkungan sub DAS Ciseel per satuan luas adalah Rp. 385.528,65/Ha/ tahun (Rp.30.201.157.668 : 78.337). Dari hasil perhitungan laju erosi (Tabel 2), maka potensi jasa lingkungan sebaiknya diarahkan kepada perbaikan lahan dengan laju erosi yang tergolong sedang, berat dan sangat berat seluas 1.402 Ha. Pelaksanaan dapat dilakukan melalui 2 tahap sesuai dengan kondisi laju erosi. Tahap pertama adalah lahan dengan laju erosi yang tergolong berat dan sangat berat seluas 96 hektar menjadi prioritas pertama, dan tahap kedua adalah lahan dengan laju erosi yang tergolong sedang seluas 1.306 hektar menjadi prioritas kedua.

Dari hasil perhitungan potensi jasa lingkungan per satuan wilayah sebesar Rp.385.528,65/ha/tahun, jika seluruh nilai potensi jasa lingkungan sub DAS Ciseel digunakan untuk rehabilitasi dan konservasi

lahan seluas 1.402 Ha (lahan dengan laju erosi berat dan sangat berat), maka nilai jasa lingkungan dapat mengcover biaya rehabilitasi dan konservasi lahan di sub DAS Ciseel sebesar Rp. 21.541.481,93/ha/tahun (Rp.30.201.157.668:1.402). Apabila nilai jasa lingkungan ini dapat terealisir maka akan menjadi modal alam yang potensial untuk dijadikan sebagai sumber pembiayaan pengelolaan DAS yang sustainable.

Jml

Res Per bulan Per tahun

1 Pemanfaat air irigasi 76 2.632 200.032 2.400.384

2 Pelanggan PDAM 80 4.35 348 4.176.000

Jumlah : 156 6.982 548.032 6.576.384

Rata-Rata 156 3.491 544.596 6.535.152

Jumlah Penduduk 720.929 2.516.763.139 30.201.157.668

No RespondenRata-rata

WTP

Nilai Jasa Lingkungan

Tabel 3 : Rata-rata WTP Masyarakat dan Nilai Jasa Lingkungan sub DAS Ciseel

Sumber : Diolah, 2015

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 229 - 239

Page 73: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

235

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi WTP

Hasil analisis korelasi antara faktor jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, luas tanah garapan, tingkat pendapatan, dan persepsi masyarakat dengan nilai WTP menunjukkan bahwa semua variabel tersebut memiliki hubungan yang signifikan dengan WTP masyarakat (pemanfaat air irigasi dan pelanggan PDAM), kecuali variabel tingkat pendidikan. Hasil analisis uji korelasi Product Moment (Pearson) menggunakan software SPSS versi 16 secara lengkap disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 menunjukkan bahwa faktor pendapatan merupakan faktor yang memiliki korelasi nyata paling kuat terhadap WTP dibanding faktor yang

lain, baik untuk pemanfaat air irigasi maupun pelanggan PDAM dengan nilai koefisien korelasi >0,8. Ukuran kekutan hubungan korelasi antar variabel memang masih bersifat relatif, namun Lin et al. (2008) menyatakan bahwa nilai koefisien korelasi > -0,50 (negatif) dan >0,50 (positif) memiliki hubungan linier yang kuat. Berdasarkan pernyataan ini maka faktor lain yang memiliki hubungan nyata kuat untuk pemanfaat air irigasi adalah tingkat pendidikan dan luas tanah garapan, sedangkan untuk pelanggan PDAM adalah jenis kelamin dan tingkat pendidikan, sedangkan faktor-faktor yang lain meskipun memiliki korelasi nyata pada tingkat signifikan 0,05, namun korelasinya lemah (dibawah 0,50). Hal ini berarti faktor pendapatan

adalah factor yang paling mempengaruhi kesediaan membayar (WTP) masyarakat, semakin tinggi tingkat pendapatan, maka kesediaan membayarnya (WTP) cenderung semakin tinggi atau sebaliknya. Demikian juga untuk faktor tingkat pendidikan, luas tanah garapan dan jenis kelamin. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Ndetewio (2013). Manlosa et al.(2013), dan Calderon et al. (2013), juga menunjukkan bahwa faktor-faktor ekonomi sosial tersebut, terutama faktor pendapatan memiliki hubungan signifikan yang kuat dengan nilai WTP masyarakat. Keinginan membayar masyarakat dapat diukur dalam bentuk kenaikan pendapatan yang menyebabkan sesorang berada dalam posisi indifferent terhadap perubahan eksogenous karena

perubahan harga atau perubahan kualitas sumber daya (Fauzi, 2014). Oleh karena itu variabel pendapatan menjadi penting dalam penerapan konsep WTP.

Hasil analisis regresi berganda menggunakan metode Moment Product (Pearson) menghasilkan persamaan linier untuk nilai WTP masyarakat sub DAS Ciseel sebagai berikut :

Model persamaan WTP Petani pemanfaat air irigasi,..............(1)

Y = - 4.681,29(b0) + 1.192,25X1 + 15,23X2 + 367,28X3 + 0,46X4 + 0,001X + 1.580.76X6

Tabel 4 : Hubungan antara variabel bebas (umur, tingkat pendidikan, luas tanah garapan, pendapatan dan persepsi lingkungan) terhadap variabel terikat (nilai WTP)

Sumber : Diolah, 2015Keterangan : **) Korelasi signifikan pada tingkat 0,05

Pendugaan Nilai Jasa Lingkungan Sub Daerah Aliran Sungai Ciseel MenggunakanPendekatan Contingent Valuation Method

Kuat Pudjianto, Dudung Darusman, Bramasto Nugroha, Omo Rusdiana

Terikat Bebas Toleran VIF

1

WTP (Y) Jenis Kelamin (X1) 0,354** 0,002 0,935 1,070Umur (X2) 0,073 0,528 0,893 1,120Tingkat Pendidkan (X3) 0,558** 0,000 0,625 1,600Luas tanah garapan (X4) 0,637** 0,000 0,452 2,211Pendapatan (X5) 0,838** 0,000 0,345 2,896Persepsi (X6) 0,383** 0,001 0,953 1,049

2

WTP (Y) Jenis Kelamin (X1) 0,741** 0,000 0,365 2,736Umur (X2) 0,198 0,079 0,854 1,170Tingkat Pendidkan (X3) 0,609** 0,000 0,574 1,743Luas tanah garapan (X4) 0,449** 0,000 0,797 1,255Pendapatan (X5) 0,880** 0,000 0,367 2,723Persepsi (X6) 0,307** 0,006 0,992 1,008

Pemanfaat Air Pelanggan PDAM:

No

Variabel Koe�isien Korelasi

Signi�ikansiMultikolinieritas

Pemanfaat Air Irigasi:

Page 74: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

236

Model persamaan WTP Pelanggan PDAM,.......................................(2)

Y = - 4.037,35(b0) + 536,43X1 + 9,52X2 + 388,44X3 + 0,83X4 + 0,001X5 + 2.310.73 X6 Dimana,b0 = KonstantaX1 = Jenis kelaminX2 = UmurX3 = Tingkat pendidikanX4 = Luas tanah garapanX5 = PendapatanX6 = Persepsi masyarakat

Model Persamaan (1)

• Konstanta Bo = -4.681,29, artinya jika variabel jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, luas tanah garapan, pendapatan dan persepsi masyarakat nilainya 0, maka WTP nilainya negatif.

• Koefisien X1 = 1.192,25, artinya jika variabel umur, tingkat pendidikan, luas tanah garapan, pendapatan dan persepsi masyarakat nilainya tetap dan nilai jenis kelamin berubah (naik atau turun) 1 poin, maka nilai WTP akan berubah (naik atau turun) sebesar Rp.1.192,25.

• Koefisien X2 = 15,23, artinya jika variabel jenis kelamin, tingkat pendidikan, luas tanah garapan, pendapatan dan persepsi masyarakat nilainya tetap dan nilai umur berubah (meningkat atau turun) 1 poin, maka nilai WTP akan berubah (naik atau turun) sebesar Rp.15,23.

• Koefisien X3 = 367,28, artinya jika variabel jenis kelamin, umur, luas tanah garapan, pendapatan dan persepsi masyarakat nilainya tetap dan nilai tingkat pendidikan berubah (naik atau turun) 1 poin, maka nilai WTP akan berubah (naik atau turun) sebesar Rp.367,28.

• Koefisien X4 = 0,46, artinya jika variabel jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pendapatan dan persepsi masyarakat nilainya tetap dan nilai luas tanah garapan berubah (naik atau turun) 1 poin, maka nilai WTP akan berubah (naik atau turun) sebesar Rp.0,46.

• Koefisien X5 = 0,001, artinya jika variabel jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, luas tanah garapan dan persepsi masyarakat nilainya tetap dan nilai pendapatan berubah (naik atau turun) 1 poin, maka nilai WTP akan berubah (naik atau turun) sebesar Rp.0,001.

• Koefisien X6 = 1.580,76, artinya jika variabel jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, luas

tanah garapan, dan pendapatan nilainya tetap dan nilai persepsi masyarakat berubah (naik atau turun) 1 poin, maka nilai WTP akan berubah (naik atau turun) sebesar Rp.1.580,76.

Berdasarkan hasil uji regresi, nilai koefisien korelasi (R) model WTP Pemanfaat air irigasi adalah 0,898, maka koefisien determinasi (R Square/ R2) adalah sebesar 0,898 x 0,898 = 0,806. Berarti kemampuan variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5 dan X6) dalam menjelaskan varians dari variabel terikatnya (Y/WTP pemanfaat air irigasi) adalah sebesar 80%, berarti terdapat 20% varians variabel terikat yang dijelaskan oleh faktor lain.

Untuk menguji apakah model regresi tersebut terdapat korelasi diantara variabel bebas, maka dilakukan uji multikolinieritas. Hasil uji multikolinieritas menunjukkan bahwa nilai toleran semua variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5 dan X6) lebih besar dari 0,10 (Tabel 4), sementara itu nilai Variance Inflation Factor (VIF) semua variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5 dan X6) lebih keci dari 10, sehingga model regresi tersebut tidak terjadi multikolineritas terhadap data yang diuji (antar variabel bebas).

Model Persamaan (2)

• Konstanta Bo = -4.037,35, artinya jika variabel jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, luas tanah garapan, pendapatan dan persepsi masyarakat nilainya 0, maka WTP nilainya negatif.

• Koefisien X1 = 536,43, artinya jika variabel umur, tingkat pendidikan, luas tanah garapan, pendapatan dan persepsi masyarakat nilainya tetap dan nilai jenis kelamin berubah (naik atau turun) 1 poin, maka nilai WTP akan berubah (naik atau turun) sebesar Rp. 518,08.

• Koefisien X2 = 9,52, artinya jika variabel jenis kelamin, tingkat pendidikan, luas tanah garapan, pendapatan dan persepsi masyarakat nilainya tetap dan nilai umur berubah (naik atau turun) 1 poin, maka nilai WTP akan berubah (naik atau turun) sebesar Rp. 9,52.

• Koefisien X3 = 388,44 , artinya jika variabel jenis kelamin, umur, luas tanah garapan, pendapatan dan persepsi masyarakat nilainya tetap dan nilai tingkat pendidikan berubah (naik atau turun) 1 poin, maka nilai WTP akan berubah (naik atau turun) sebesar Rp. 388,44.

• Koefisien X4 = 0,83, artinya jika variabel jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pendapatan dan persepsi masyarakat nilainya tetap dan nilai luas tanah garapan berubah (naik atau

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 229 - 239

Page 75: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

237

turun) 1 poin, maka nilai WTP akan berubah (naik atau turun) sebesar Rp.0,83.

• Koefisien X5 = 0,001, artinya jika variabel jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, luas tanah garapan dan persepsi masyarakat nilainya tetap dan nilai pendapatan berubah (naik atau turun) 1 poin, maka nilai WTP akan berubah (naik atau turun) sebesar Rp. 0,001.

• Koefisien X6 = 2.310,73, artinya jika variabel jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, luas tanah garapan, dan pendapatan nilainya tetap dan nilai persepsi masyarakat berubah (naik atau turun) 1 poin, maka nilai WTP akan berubah (naik atau turun) sebesar Rp. 2.310,73.

Berdasarkan hasil uji regresi, nilai koefisien korelasi (R) model WTP Pelanggan PDAM adalah 0,925, maka koefisien determinasi (R Square/ R2) adalah sebesar 0,925 x 0,925 = 0,855. Berarti kemampuan variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5 dan X6) dalam menjelaskan varians dari variabel terikatnya (Y/WTP Pelanggan PDAM) adalah sebesar 85%, berarti terdapat 15% varians variabel terikat yang dijelaskan oleh faktor lain.

Untuk menguji apakah model regresi tersebut terdapat korelasi diantara variabel bebas, maka dilakukan uji multikolinieritas. Hasil uji

Pendugaan Nilai Jasa Lingkungan Sub Daerah Aliran Sungai Ciseel MenggunakanPendekatan Contingent Valuation Method

Kuat Pudjianto, Dudung Darusman, Bramasto Nugroha, Omo Rusdiana

multikolinieritas menunjukkan bahwa nilai toleran semua variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5 dan X6) lebih besar dari 0,10 (Tabel 4), sementara itu nilai VIF semua variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5 dan X6) lebih keci dari 10, sehingga model regresi tersebut tidak terjadi multikolineritas terhadap data yang diuji (antar variabel bebas).

Gambar 3 : Grafik probabilitas normalSumber : Output regresi

Gambar 4 : Grafik probabilitas normalSumber : Output regresi

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kerusakan lingkungan sub DAS Ciseel disebabkan karena adanya tanah terbuka di kelerengan lebih dari 15% dengan laju erosi yang tergolong berat

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda tersebut, meskipun variabel pendapatan masyarakat memilki korelasi nyata paling kuat (0,838 dan 0,880), namun nilai koefisien regresinya relatif kecil dibanding dengan variabel tingkat pendidikan, luas tanah garapan dan jenis kelamin yaitu 0,001, sehingga kenaikan atau penurunan pendapatan masyarakat hanya berpengaruh kecil terhadap nilai WTP masyarakat. Oleh karena itu, meskipun nilai jasa lingkungan sub DAS Ciseel potensial sebagai sumber pembiayaan perlindungan DAS, namun pengelolaan DAS dalam skala tertentu (besar) saat ini tidak dapat hanya bertumpu pada nilai jasa lingkungan (WTP masyarakat), tetapi harus didukung oleh sumber pembiayaan lain dengan sistem sharing cost. Implementasinya dapat melalui penerapan instrumen kebijakan skema pembayaran jasa lingkungan.

Pengujian Normal Probability (distribusi data) dapat dilihat pada output regresi yang disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka distribusi data normal dan model regresi telah memenuhi asumsi normalitas. Dengan demikian kesimpulan-kesimpulan yang dibuat berdasarkan uji global didukung oleh hasil dari evaluasi ini.

Page 76: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

238

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy. 2013. Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Citanduy. Banjar : Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Calderon M.M, et al. 2013. Households Willingness to Pay for improved Watershed Services of the Layawan in Oroquieta City, Philippines. Journal of Sustainable Development 6 (1).

Di Luzio, M., Srinivasan R., Arnold J.G. 2004. A GIS-Coupled hydrological model system for the watershed assessment of agricultural non point and point sources of pollution. Transactions in GIS 8(1): 113-136.

Pustika, N., Mahmud M., dan Mukhtasor. 2013. Analisis Pengelolaan Kawasan Pantai Kenjeran Berbasis Masyarakat. Skripsi Teknik Kelautan. Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Herwanti, S. 2014. Detecting Resemblance Of Orchid Plant Image Through Support Vector Machine (SVM) Of Kernel Linear Method. Jurnal Ilmiah ESAI 8 (3).

Hull, R. 2013. Environmental Economics : A Case Study for the Big cottonwood Canyon Watershed. Pamona College, Claremont, California.

Lind, D.A., Marchal, W.G., Wathen, S.A. 2014. Teknik-teknik Statistika dalam Bisnis dan Ekonomi Menggunakan Kelompok Data Global. Jakarta : Penerbit Salemba Empat. BSN : 978 979 061236 5.

Loomis J et al. 1999. Analysis Measuring the total economic value of restoring ecosystem services in an impaired river basin : results from a contingent valuation survey. Journal of Ecological Economics 33 [2000] : 103-117.

Manlosa AO et al. 2013. Willingness to Pay for Conserving Layawan Watershed for Domestic Water Supply in Oroquieta City, Philippines. Journal of Environmental Science and Management 16 [2] : 1-10.

Mubarok, Z, Anwar, S, Murtilaksono, K, Wahjunie, E.D. 2014. Skenario Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Way Betung Sebuah Simulasi Karakteristik Hidrologi Menggunakan Model SWAT. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan DAS Terpadu untuk Kesejahteraan Masyarakat. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Universitas Brawijaya. ISBN 978-602-99218-8-5

Mueller, JM. 2013. Estimating willingness to pay for watershed restoration in Flagstaff, Arizona using dichotomous-choice contingent valuation. Forestry An International Journal

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 229 - 239

dan sangat berat seluas 1.402 hektar. Untuk memperbaiki kondisi tersebut perlu dilakukan rehabilitasi dan konservasi dengan melibatkan masyarakat. Sebagian besar (91%) masyarakat di wilayah sub DAS Ciseel mendukung dan bersedia membayar (WTP) untuk biaya perbaikan lingkungan. Rata-rata WTP masyarakat sebesar Rp. 3.491/orang/ bulan. Faktor yang mempengaruhi Nilai WTP masyarakat adalah tingkat pendapatan. Nilai potensi jasa lingkungan sub DAS Ciseel adalah sebesar Rp. 30.201.157.668/ tahun. Jika nilai potensi jasa lingkungan tersebut digunakan untuk pembiayaan rehabilitasi dan konservasi di lahan 1,402 hetar, maka diperoleh nilai potensi jasa lingkungan sebesar Rp.21.541.481,93/ha/tahun. Dalam perspektif ekonomi, nilai jasa lingkungan tersebut sangat potensial untuk dijadikan modal alam dalam pengelolaan sub DAS Ciseel secara berkelanjutan.

Saran.

Pengambil kebijakan (policy makers) perlu segera melaksanakan rehabilitasi dan konservasi lahan di kelerengan lebih dari 15% yang rawan terhadap erosi tanah, sehingga dapat mengurangi eksternalitas negatif berupa banjir dan kekeringan di wilayah sub DAS Ciseel. Dukungan dari masyarakat dapat dijadikan sebagai momentum untuk memulai memanfaatkan jasa lingkungan air sebagai sumber pembiayaan dalam pengelolaan sub DAS Ciseel. Implementasinya dapat dilakukan melalui penerapan skema pembayaran jasa lingkungan. Untuk meningkatkan nilai WTP masyarakat, Pemerintah Daerah perlu mengembangkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang kondusif dengan menciptakan dan mengembangkan usaha-usaha ekonomi (pertanian dan non pertanian) produktif berbasis sumberdaya alam dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip sustanability dan good governance.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian ini, terutama kepada Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.Sc., Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc, Forest. Trop sebagai Komisi Pembimbing. Terima kasih juga disampaikan kepada BBWS Citanduy yang telah membantu menyediakan data dan informasi, Kantor Kesatuan Bangsa dan Limas, Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis yang telah memberikan ijin penelitian, serta seluruh masyarakat di wilayah sub DAS Ciseel yang telah membantu memberikan data dan informasi yang sangat bermanfaat dalam pelaksanaan penelitian.

Page 77: Dampak kebijakan Dalam pembangunan WaDuk jatigeDe Impact ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_3_2015.pdf · dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan

239

of Forest Research, Institute of Chartered Foresters [2014] : 327-333.

Nasrullah. 2013. Analisis Perubahan Tutupan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Neraca Air dan Sedimentasi Danau Tempe Sulawesi Selatan. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol.10. ISSN 0216-3934.

Ndetewio PI, Mwakaje AG, Mujwahuzi, Ngana J. 2013. Factors influencing willingnes to pay for watershed services in lower Moshi, Pangani Basin, Tanzania. International Journal of Agriculture and Environmental [2] : 57-72.

Nursidah. 2012. Pengembangan Institusi untuk Membangun Kemandirian dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu (Studi Kasus pada Satuan Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Arau Sumatera Barat). Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sutopo, M.F, Mawardi, M.I. 2010. Analisis Kesediaan Masyarakat menerima Pembayaran Jasa Lingkungan dalam Pengelolaan Air Minum di DAS Cisadane Hulu. Jurnal Hidrosfir Indonesia 5 [3] : 1-11. ISSN 1907-1043.

Tao, Z., Yan, H,, Zhan, J. 2012. Economic Valuation of Forest Ecosystem Services in Heshui Watershed using Contingent Valuation Method. Procedia Environmental Sciences 13 [2012] : 2445-2450.

Verdin, G.P, Navar-Chadez, J.J, Kim, J,S, and Flores, R.S. 2012. Economic Valuation of Watershed Servives for sustainable Florest Management: Insight from Mexico. Sustainable Forest Management-Current Research [14] : 260-274. ISBN 978-953-51-0621-0.

Pendugaan Nilai Jasa Lingkungan Sub Daerah Aliran Sungai Ciseel MenggunakanPendekatan Contingent Valuation Method

Kuat Pudjianto, Dudung Darusman, Bramasto Nugroha, Omo Rusdiana