daftar isi yustisia merdeka: jurnal ilmiah hukum volume...

84
DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume 2 Nomor 1 Maret 2016 ISSN: 2407-8778 PERLINDUNGAN HUKUM PENGARANG/PENULIS BUKU MENURUT UU NO 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA Anik Tri Haryani, S.H.,M.Hum 1-11 STATUS LEGAL FORMAL (BI PATRIDE) KEWARGANEGARAAN ANAK DARI PERKAWINAN CAMPURAN KEWARGANEGARAAN Lulus Udjiwati 12-19 AKSIOLOGI: RELASI ANTARA ILMU PENGETAHUAN DAN KEHIDUPAN UMAT MANUSIA (Sebuah Kajian dari Dimensi Filsafat Ilmu) Mohamad Tohari 20-28 HUKUM TRANSENDENTAL DALAM KONSTELASI PEMIKIRAN HUKUM POSTIVISTIK DI INDONESIA Elviandri 29-38 PERLINDUNGAN PEKERJA DALAM PERJANJIAN WAKTU TIDAK TERTENTU (PKWT) MENURUT UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2013 TENTANG KETENAGAKERJAAN Krista Yitawati 39-50 QUO VADIS POLITIK HUKUM AGRARIA INDONESIA DI ERA REFORMASI (Suatu Tinjauan Kritis terhadap Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanahan) Subadi 1 dan Rizky Wahyu Nugroho 2 51-67 REKONSTRUKSI PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN DI JAWA DENGAN MODEL KOLABORATIF HOLISTIK Sigit Sapto Nugroho 1 , Hilman Syahrial Haq 2 68-80

Upload: dangdien

Post on 03-Mar-2019

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

DAFTAR ISIYUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016ISSN: 2407-8778

PERLINDUNGAN HUKUM PENGARANG/PENULIS BUKU MENURUT UU NO 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA Anik Tri Haryani, S.H.,M.Hum

1-11

STATUS LEGAL FORMAL (BI PATRIDE) KEWARGANEGARAAN ANAK DARI PERKAWINAN CAMPURAN KEWARGANEGARAANLulus Udjiwati

12-19

AKSIOLOGI: RELASI ANTARA ILMU PENGETAHUAN DAN KEHIDUPAN UMAT MANUSIA (Sebuah Kajian dari Dimensi Filsafat Ilmu)Mohamad Tohari

20-28

HUKUM TRANSENDENTAL DALAM KONSTELASI PEMIKIRAN HUKUM POSTIVISTIK DI INDONESIAElviandri

29-38

PERLINDUNGAN PEKERJA DALAM PERJANJIAN WAKTU TIDAK TERTENTU (PKWT) MENURUT UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2013 TENTANG KETENAGAKERJAANKrista Yitawati

39-50

QUO VADIS POLITIK HUKUM AGRARIA INDONESIA DI ERA REFORMASI(Suatu Tinjauan Kritis terhadap Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanahan)Subadi1 dan Rizky Wahyu Nugroho2

51-67

REKONSTRUKSI PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN DI JAWA DENGAN MODEL KOLABORATIF HOLISTIK Sigit Sapto Nugroho1, Hilman Syahrial Haq2

68-80

Page 2: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Abstrak;Buku adalah gudang pengetahuan, melalui buku-buku kita bisa belajar ilmu. Keberadaan buku tidak terlepas dari peran seorang penulis dan penerbit. Untuk menulis buku memerlukan pemikiran dan beberapa kreativitas untuk menuangkan ide-ide ke dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, penulis harus dilindungi atas pekerjaannya. Agar pelanggaran - pelanggaran dapat dicegah dan ditindaklanjuti sehingga mereka dapat bekerja lagi. Jika pelanggaran hukum dapat menuntut pidana atau perdata, selain Undang-Undang No. 28 Tahun 2014, telah membentuk manajemen kolektif untuk melindungi hak-hak ekonomi penerbit, pengguna yang menggunakan hak cipta dan pelayanan publik hak cipta terkait dalam bentuk bersifat komersial.

Kata kunci: perlindungan hukum, penulis, hak cipta

Page 3: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah HukumVolume 2 Nomor 1 Maret 2016; ISSN : 2407-8778

PERLINDUNGAN HUKUM PENGARANG/PENULIS BUKU MENURUT UU NO 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA

Anik Tri Haryani, S.H.,M.HumDosen Fakultas Hukum Unmer Madiun

Abstrak;Buku adalah gudang pengetahuan, melalui buku-buku kita bisa belajar ilmu. Keberadaan buku tidak terlepas dari peran seorang penulis dan penerbit. Untuk menulis buku memerlukan pemikiran dan beberapa kreativitas untuk menuangkan ide-ide ke dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, penulis harus dilindungi atas pekerjaannya. Agar pelanggaran - pelanggaran dapat dicegah dan ditindaklanjuti sehingga mereka dapat bekerja lagi. Jika pelanggaran hukum dapat menuntut pidana atau perdata, selain Undang-Undang No. 28 Tahun 2014, telah membentuk manajemen kolektif untuk melindungi hak-hak ekonomi penerbit, pengguna yang menggunakan hak cipta dan pelayanan publik hak cipta terkait dalam bentuk bersifat komersial.

Kata kunci: perlindungan hukum, penulis, hak cipta

AbstractThe book is a repository of knowledge , through books we can learn science. The existence of the book is inseparable from the role of a writer and publisher. To write a book requires thought and some creativity to pour ideas into written form . Therefore, the author should be protected to the work. In order for the violation - violation can be prevented and actionable so that they want to work again. If a violation of the author can prosecute criminal or civil , in addition to the law No. 28 of 2014 has established collective management organizations to protect the economic rights of the publisher of users who use copyright and copyright related public services in the form of a commercial nature.

Key word : legal protection, author, copyright

yang pengaturannya terdapat dalam ilmu hukum dan dinamakan Hukum HKI. Yang dinamakan hukum HKI meliputi suatu bidang hukum yang membidangi hak-hak yuridis atas karya-karya atau ciptaan-ciptaan hasil olah

Pendahuluan1. Latar Belakang

Hak cipta adalah bagian dari sekumpulan hak dinamakan hak kekayaan intelektual (HKI)

Page 4: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

2 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Anik Tri Haryani

pikir manusia bertautan dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomi.1

HKI mempunyai fungsi utama untuk memajukan kreatifitas dan inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat secara luas sedangkan hak cipta secara khusus juga berfungsi sebagai alat untuk memperkenalkan, memperkaya dan menyebarluaskan kekayaan budaya bangsa. Bahkan salah satu aspek yang melekat pada HKI adalah adanya aspek sosial bagi seluruh jenis HKI kecuali merek, manakala masa perlindungannya habis maka semuanya menjadi milik umum atau public domain. Salah satu contoh jenis hak cipta yang nyata memberikan manfaat bagi manusia adalah buku. Masyarakat tidak menyangkal lagi bahwa buku merupakan kebutuhan utama bagi dunia pendidikan. Banyak karya buku yang diciptakan oleh para penulis. Dari hasil kreativitasnya penulis mampu menciptakan buku ilmiah yang bermanfaat bagi masyarakat. Proses pembuatan buku membutuhkan tenaga, biaya dan waktu sehingga hasil karya penulis perlu diberikan perlindungan Hak cipta.

Di Indonesia sendiri perlindungan terhadap pencipta buku atau pengarang buku masih jauh dari harapan karena para pengarang belum memperoleh perlindungan secara maksimal dari berbagai macam pelanggaran hak cipta mulai dari plagiat, perbanyak ciptaan tanpa ijin bahkan sampai pada pembajakan karya cipta.

Pemerintah telah berupaya melalui berbagai macam cara dengan memperbaiki peraturan tentang hak cipta yang disesuaikan dengan kebutuhan penulis maupun pengarang dengan dikeluarkannya peraturan terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 28 tahun

1 Edy Damian, Hukum Hak Cipta , Alumni, Bandung, 2009, hal. 29

2014 tentang Hak Cipta yang menggantikan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta. Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 yang dimaksud Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.2 Hak cipta merupakan hak kekayaan intelektual yang dapat dialihkan kepada orang lain. Dengan kata lain, hak cipta adalah hak yang bisa dijadikan uang.3

Perkembangan Hak Cipta yang didorong oleh berbagai aspek mempunyai dampak bagi penyempurnaan peraturan hukum di bidang hak cipta. Hak-hak yang timbul dari suatu ciptaan di bidang kekayaan intelektual, kepada si pencipta oleh hukum diberikan bersamaan dengan keistimewaan-keistimewaan tertentu yaitu hak untuk mengeksploitasi ciptaannya. Sedangkan untuk menghindari adanya pelanggaran berupa pembajakan atau penggandaan, perlu adanya rambu-rambu pengaturan secara seksama dan diformulasikan dalam peraturan perundang-undangan.

Ditempatkannya berbagai ciptaan yang dilindungi, misalnya buku terutama karena selain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tercantum dalam Mukaddimah UUD 1945, juga karena terkaitnya dengan empat fungsi positif buku, yaitu:1. Buku sebagai media atau perantara, artinya

buku dapat menjadi latar belakang bagi kita atau pendorong untuk melakukan sesuatu.

2 UU No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta3 Masri Maris, Buku Panduan Hak Cipta Asia,

IKAPI, Jakarta, 2006, hal.12

Page 5: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 3

Perlindungan Hukum Pengarang/Penulis Buku

2. Buku sebagai milik, artinya buku adalah kenyataan yang sangat berharga, tak ternilai, karena merupakan sumber ilmu pengetahuan

3. Buku sebagai pencipta suasana, artinya buku setiap saat dapat menjaditeman dalam situasi apapun, buku dapat men-ciptakan suasana akrab sehingga mampu mempengaruhi perkembangan dan karakter seseorang menjadi baik.

4. Buku sebagai sumber kreativitas, artinya dengan banyak membaca buku dapat membawa kreativitas yang kaya gagasan dan kreativitas biasa yang memiliki wawasan yang luas4.Selain keempat fungsi tersebut, buku bagi

bangsa Indonesia juga merupakan sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan merupakan salah satu jenis ciptaan asli yang termasuk dalam perlindungan hak cipta seperti diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan konvensi Internasional. Dengan diaturnya buku sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi oleh berbagai perundang-undangan nasional dan konvensi internasional Hak Cipta, tidak dapat disangkal lagi bahwa kehadiran buku sebagai ciptaan yang harus dilindungi sudah jelas diakui. Hal ini disebabkan buku yang merupakan kekayaan intelektual seorang pencipta selain mempunyai arti ekonomis bagi yang mengeksploitasinya, juga mempunyai arti yang penting bagi pembangunan spiritual dan material suatu bangsa. Oleh karena itu berbagai bentuk pelanggaran terhadap buku harus dicegah dan ditindaklanjuti.

Pelanggaran yang terjadi dalam hak cipta di bidang buku antara lain pembajakan buku. Perbuatan ini tidak hanya merugikan pengarang atau pencipta tapi juga merugikan

4 Edy Damian, op.cit, hal. 158

pihak toko buku, pemilik modal dan terutama pihak penerbit, karena penerbit menjadi sumber produksi, jika para penerbit lesu darah, maka pihak yang terkena dampak adalah pemilik modal, dan yang kedua adalah pengarang. Pembajakan yang dilakukan terhadap karya-karya, seperti lagu, film, dan buku telah merugikan negara cukup besar, yaitu mencapai Rp. 1 triliun setiap tahunnya. Namun, korban terparah dari pembajakan ini adalah para pencipta dan pekerja seni yang menciptakan karya tersebut.5 Persoalan hak cipta selain menyangkut kepentingan pemegang hak cipta itu sendiri, juga secara tidak langsung mempengaruhi penerbit karena para penerbitlah secara langsung terlibat dalam melestarikan ciptaan para pengarang.6 Para pengarang/pencipta akan enggan menulis buku karena penghasilannya rendah, sehingga menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat karena seharusnya para ilmuwan berlomba-lomba menyebarkan ilmu yang dimiliki kepada masyarakat. Pembajakan buku inipun dikhawatirkan akan membawa dampak serius terhadap program gemar membaca yang dicanangkan oleh pemerintah. Pembajakan buku dilakukan dengan mencetak buku yang diperkirakan dapat mendatangkan keuntungan, tanpa meminta izin kepada penerbit atau pengarang/ pencipta. Dengan demikian pembajak tidak perlu membayar honor pengarang dan penerbit. Pembajakan dilakukan dengan mencetak buku yang bersangkutan tanpa merubah bentuk tulisan, dan lain-lain, termasuk mutu kertas, tetapi ada pula yang merubah bagian-bagian, huruf,

5 http:/www.kompas cyber news.com, diakses 5 januari 2016

6 Harsono Adi Sumarto, Hak Milik Intelektual Khususnya Hak Cipta, Akademi Pressindo, Jakarta, 1990, hal. 24

Page 6: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

4 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Anik Tri Haryani

mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan biasanya dijual oleh pedagang-pedagang kecil yang menjual dengan mutu rendah dan kebanyakan diperdagangkan para penjaja di kios-kios. Para pembajak buku ini lebih mementingkan untuk mendapatkan keuntungan yang besar.

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :1. Bagaimanakah hubungan antara penerbit

dengan pengarang/penulis buku ?2. Bagaimanakah perlindungan hukum

yang diberikan kepada pengarang/penulis menurut Undang-Undang No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta ?

2. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah :

a) Menganalisis dan mengetahui hubungan antara penerbit dengan pengarang/penulis buku.

b) Mengetahui perlindungan hukum yang diberikan kepada pengarang/penulis menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.

3. Manfaat PenelitianHasil penelitian ini diharapkan dapat

memberi guna dan manfaat bagi :1. Perguruan Tinggi (Universitas), khususnya

Program Studi (Prodi) yang mengelola Prodi Ilmu Hukum, baik bagi dosen maupun mahasiswa dapat menambah wawasannya dibidang Hak Atas Kekayaan Intelektual, khususnya Hak Cipta.

2. Pengarang atau penulis buku juga masyarakat secara umum agar mengetahui hubungan antar penerbit dengan penga-rang dan perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang Hak

Cipta kepada pengarang/penulis.

4. Metode penelitianJenis penelitian yang akan digunakan

dalam penulisan hukum ini adalah penelitian normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.7 Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.8 Sebagaimana tipe dan pendekatan penelitian yang dipilih, maka memerlukan sumber bahan hukum yang dianalisis, yakni bahan hukum primer, ialah bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan sebagainya, maupun bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, misalnya buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, dan sebagainya.9

Prosedur pengumpulan bahan hukum untuk penelitian ini dilakukan dengan cara inventarisasi dan kategorisasi. Sumber bahan hukum yang telah dikumpulkan kemudian dikategorikan. Selanjutnya, sumber bahan hukum yang telah dikumpulkan dan dikate-gorikan tersebut berdasarkan cara studi kepustakaan dilakukan dengan mempelajari pendapat para ahli yang tertuang dalam buku-buku literatur, kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan majalah hukum. Apabila

7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif suatuTinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.13

8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2005, hal. 52

9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hal. 142.

Page 7: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 5

Perlindungan Hukum Pengarang/Penulis Buku

berkaitan dengan rumusan masalah yang sedang dibahas dapat dilakukan pengutipan jika diperlukan.

Dalam penelitian ini, semua bahan hukum, baik sumber bahan hukum primer maupun sumber bahan hukum sekunder, dianalisis dengan menggunakan metode deduktif, yaitu metode yang menganalisis ketentuan-ketentuan hukum sebagai suatu hal yang umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

5. Hasil Pembahasan

a. Hubungan antara penerbit dengan pengarang/penulis bukuPengertian hak cipta asal mulanya

menggambarkan hak untuk menggandakan atau memperbanyak suatu karya cipta. Istilah copyright (Hak Cipta ) tidak jelas siapa yang pertama memakainya, tidak ada1 (satu) pun perundang-undangan yang secara jelas menggunakannya pertama kali. Menurut Stanley Rubenstain, sekitar tahun 1740 tercatat pertama kali orang menggunakan istilah “copyright”. Di Inggris istilah hak cipta ( copyright) pertama kali berkembang untuk menggambarkan konsep guna melindungi penerbit dari tindakan penggandaan buku oleh orang lain yang tidak mempunyai hak untuk menerbitkannya. Perlindungan bukan diberikan kepada si pencipta, melainkan diberikan kepada pihak penerbit. Perlindungan tersebut dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas investasi penerbit dalam membiayai percetakan suatu karya. Hal ini sesuai dengan landasan penekanan sistem hak cipta dalam “common law system” yang mengacu pada segi ekonomi.10

10 Muhammad Djumhana dan djubaedillah, Hak Milik Kekayaan Intelektual, Sejarah, Teori,

Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta mempunyai perbedaan dengan hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.11

Hak terkait adalah hak yang berkaitan dengan hak cipta, yaitu hak eksklusif bagi pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukkannya; bagi produser rekaman suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi lembaga penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.12

Hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Perlindungan hukum harus ditekankan kepada pencipta dalam arti memberikan perlindungan hukum terhadap hasil karya atau ciptaan seorang pencipta. Seseorang dapat dikatakan tidak menjiplak, meniru bahkan membajak hasil karya cipta dari pencipta apabila dalam hal ini ada suatu perjanjian antara pencipta dengan yang ingin meniru atau menjiplaknya bahwa suatu ciptaan itu benar-benar merupakan ciptaan dari pengarang itu sendiri. Perlindungan hukum hak cipta sebagai

dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal.47-48

11 Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, PT. Alumni, Bandung,, 2006, hal. 120

12 Pasal 1 angka 5 UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Page 8: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

6 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Anik Tri Haryani

hak khusus atau tunggal tersebut meliputi dua aspek yaitu hak ekonomi dan hak moral.

Hak ekonomi adalah hak yang dimiliki pencipta untuk mendapatkan keuntungan atas ciptaannya. Hak ekonomi yang melekat pada pencipta meliputi hak untuk mengumumkan, memperbanyak dan memberi ijin kepada orang lain untuk mengumumkan atau memperbanyak hasil ciptaan tersebut.

Sedangkan hak moral merupakan hak yang meliputi kepentingan pribadi/individu. Hak moral melekat pada pribadi pencipta. Hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun dan dengan jalan apapun tidak dapat ditinggalkan daripadanya seperti mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya, mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan/integritas ceritanya.

Seorang pencipta menurut Undang-undang Hak Cipta untuk melaksanakan haknya menikmati hasil ciptaan dapat melakukannya dengan pengalihan hak yang dimiliki. Hak yang dialihkan pada dasarnya tiada lain adalah hak pengalihan hak eksklusif pencipta atas suatu ciptaan yang dapat berupa suatu karya tulis misalnya kepada penerbit. Penerbit yang kemudian akan mengeksploitasi ciptaan karya tulis seseorang pencipta dalam suatu jangka waktu tertentu. Caranya dengan mendayagunakan atau mengelola suatu karya cipta seorang penulis selanjutnya pihak lain memberi suatu imbalan sebagai kompensasi atas hak untuk mengeksploitasi suatu ciptaan karya tulis misalnya berupa royalti, honorarium, fee atau bentuk-bentuk imbalan lain yang disepakati bersama dalam suatu perjanjian.13 Salah satu dari berbagai jenis perjanjian yang mengatur pengalihan

13 Eddy Damian, op cit, hal.204

hak cipta suatu ciptaan khususnya karya tulis yang diterbitkan dalam wujud buku untuk dieksploitasi adalah perjanjian penerbitan buku antara penulis dengan penerbit buku.

Dunia perbukuan di Indonesia dewasa ini belum mengenal pembuatan perjanjian penerbitan buku antara penerbit buku dengan pencipta karya tulis (penulis/pengarang) yang telah distandarisir.14

Berbagai macam perjanjian penerbitan buku pada dasarnya sah-sah saja diadakan, asal memenuhi ketentuan-ketentuan per-undang-undangan yang berlaku terutama KUH Perdata dan UUHC, dan disetujui oleh pencipta dan penerbit buku. Secara tradisional buku didefinisikan sebagai penerbitan suatu karya tulis dan/atau gambar dalam bentuk sekumpulan halaman yang dijilid dan biasanya diproduksi dalam sejumlah eksemplar tertentu.15

Tidak sedikit para pencipta dan penerbit buku kurang menyadari apa saja yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang harus dituangkan dalam suatu perjanjian penerbitan buku.

Pada dasarnya suatu perjanjian penerbitan buku merupakan formulasi pengalihan hak cipta karya tulis dari penulis kepada penerbit buku. Formulasi atau konsep buku pengalihan hak cipta ini belum didapati dalam praktek.

Perjanjian lisensi penerbitan buku antara penulis dan penerbit buku dapat di-golong kan ke dalam golongan perjanjian untuk melakukan pekerjaan (jasa) tertentu sebagaimana diatur dalam KUH Perdata buku III, Bab ketujuh, pasal 1601 sampai 1601C.16

14 Ibid, hal. 22415 Ibid, hal. 17716 Ibid, hal. 214

Page 9: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 7

Perlindungan Hukum Pengarang/Penulis Buku

Hubungan kerjasama antara penulis dengan penerbit, yang bertujuan untuk mengalihkan karya tulis (untuk dieksploitasi) dari penulis kepada penerbit. Hubungan itu dituangkan dalam akta otentik atau dibawah tangan, dinamakan perjanjian penerbitan buku. Penerbit yang menghendaki dari pihak penulis dilakukannya pekerjaan mencipta suatu karya tulis yang akan dieksploitasi hak-hak ekonominya oleh penerbit, dengan cara menerbitkan dalam bentuk buku.17

Suatu perjanjian penerbitan buku yang tergolong sebagai perjanjian lisensi eksklusif mengatur didalamnya beberapa hal tentang pengalihan atau transformasi hak cipta dari penulis kepada penerbit buku. Pada suatu pengalihan hak cipta dengan perjanjian penerbitan yang tergolong perjanjian lisensi esklusif, kepada penerbit hanya diberikan ijin untuk perbanyakan atau penggandaan karya tulis dalam bentuk buku.18

b. Perlindungan Hukum Pengarang/Penulis Buku Berdasarkan UU No 28 Tahun 2014 Tentang Hak CiptaPerlindungan hukum terhadap hak cipta

pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah Indonesia secara terus menerus berusaha untuk memperbaharui peraturan perundang-undangan di bidang hak cipta untuk menye-suaikan diri dengan perkembangan yang ada, baik perkembangan di bidang ekonomi maupun di bidang tekhnologi.

Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa pelanggaran hak cipta telah mencapai

17 Ibid, hal.214-21518 Ibid, hal. 230

tingkat yang membahayakan dan dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat pada umumnya dan minat pengarang pada khususnya19.

Usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka perlindungan terhadap karya cipta ini ternyata belum membuahkan hasil yang maksimal. UUHC 2002 dalam memberikan perlindungan hukum terhadap suatu karya cipta maupun terhadap hak dan kepentingan pencipta atau pemegang hak cipta sudah cukup bagus dibandingkan dengan UUHC sebelumnya. Dalam realitasnya, pelanggaran hak cipta masih menggejala dan seolah-olah tidak dapat ditangani walaupun pelanggaran itu dapat dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai macam bentuk pelanggaran yang dilakukan dapat berupa pembajakan terhadap karya cipta, mengumumkan, mengedarkan maupun menjual karya cipta orang lain tanpa seizin pencipta ataupun pemegang hak. Dampak lain dari pelanggaran ini di samping akan merusak tatanan masyarakat pada umumnya, juga akan mengakibatkan lesunya gairah untuk berkarya di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra serta berkurangnya penghasilan atau pemasukan negara berupa pajak penghasilan yang seharusnya dibayar oleh pencipta atau pemegang hak cipta. 20

Pelanggaran hak cipta dapat berupa mengambil, mengutip, merekam, memper-banyak atau mengumumkan sebagian atau seluruh ciptaan orang lain, tanpa izin pen-cipta atau pemegang hak cipta atau yang

19 Insan Budi Maulana, Ridwan Khairandy, Nurjihad, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual, Pusat Studi Hukum UII Yogyakarta Bekerjasama Dengan Yayasan Klinik Haki Jakarta, 2000, hal. 89

20 Ibid, hal. 89

Page 10: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

8 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Anik Tri Haryani

dilarang oleh undang-undang atau melanggar perjanjian.

Perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta meliputi:a. Pengumuman, Pendistribusian, Komu-

nikasi, dan/atau Penggandaan lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;

b. Pengumuman, Pendistribusian, Komu-nikasi, dan/atau Penggandaan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh atau atas nama pemerintah, kecuali dinyatakan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan, pernyataan pada Ciptaan tersebut, atau ketika terhadap Ciptaan tersebut dilakukan Pengumuman, Pendistribusian, Komunikasi, dan/atau Penggandaan;

c. Pengambilan berita aktual, baik seluruh-nya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap; atau

d. Pembuatan dan penyebarluasan konten Hak Cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan Pencipta atau pihak terkait, atau Pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut.

e. Penggandaan, Pengumuman, dan/atau Pendistribusian Potret Presiden, Wakil Presiden, mantan Presiden, mantan Wakil Presiden, Pahlawan Nasional, pim pinan lembaga negara, pimpinan ke menterian/lembaga pemerintah non kementerian, dan/atau kepala daerah dengan memperhatikan martabat dan kewajaran sesuai dengan ketentuan per-

aturan perundang-undangan.21

Perbuatan pelanggaran hak cipta pada dasarnya ada dua kelompok, yaitu :1. Dengan sengaja dan tanpa hak meng-

umumkan, memperbanyak suatu cipta an atau memberi izin untuk itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain melanggar larangan untuk mengumum-kan, memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan dan ketertiban umum.

2. Dengan sengaja memamerkan, mengedar-kan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta.Berdasarkan hal itulah, diperlukan adanya

perlindungan hukum bagi pencipta dan penerbit hak cipta atas buku. Perlindungan hukum yang ada merupakan upaya yang diatur oleh Undang undang Hak Cipta guna mencegah terjadinya pelanggaran HAKI oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Perlindungan hukum diperlukan bagi pencipta atau pemegang hak cipta atas buku agar hak-hak yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta atas buku terlindungi.

Untuk melindungi hak-hak para pencipta buku negara melalui undang- undang juga telah menyediakan dua sarana hukum yang dapat digunakan untuk menindak pelaku pelanggaran terhadap hak cipta, yaitu melalui instrumen hukum perdata dan pidana.

Dalam konteks hukum perdata berdasarkan KUH Perdata, pihak pencipta buku dapat mengajukan gugatannya berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata sebagai suatu perbuatan

21 Pasal 43 Undang-Undang Nomor 24 tahun 20014

Page 11: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 9

Perlindungan Hukum Pengarang/Penulis Buku

melawan hukum. Hal ini disebabkan karena adanya suatu perbuatan pelanggaran hak subjektif orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri.22 Hak subjektif orang lain merupakan hak cipta yang dimiliki oleh pencipta yang terdiri dari hak ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang bernilai ekonomi seperti uang, sedangkan hak moral yang menyangkut perlindungan atau reputasi dari si pencipta. Perbuatan yang dilakukan karena adanya perbuatan melawan hukum tersebut dapat digugat dengan ganti rugi yang ditentukan hukum dan hukum yang berlaku dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi : “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian”.

Sedangkan dalam konteks hukum ber-dasarkan UUHC Nomor 28 tahun 2014, jika ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang telah dilindungi oleh Undang-Undang dilanggar, maka si pencipta maupun penerbit hak cipta atas buku berhak mengajukan gugatan untuk menuntut ganti kerugian ke Pengadilan Niaga, dengan tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran hak cipta tersebut. Pencipta juga berhak untuk meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu (Pasal 99 ayat (3) huruf a UUHC no 28 tahun 2014). Pemegang hak cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memintakan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, penemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran hak

22 Setiawan, Pokok-Pokok Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1977, hal. 76

cipta (Pasal 99 ayat (2) UUHC no 28 tahun 2014). Sebelum memutuskan putusan akhir dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pengumumam dan/atau perbanyakan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta pasal 99 ayat (3) huruf b UUHC no 28 tahun 2014.

Selain penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 UUHC Nomor 28 tahun 2014, penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran hak cipta bisa melalui alternatif penyelesaiaan sengketa arbiterase. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, yang dimaksud dengan arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.

Sedangkan alternatif penyelesaian seng-keta adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.23

Undang-Undang Hak Cipta telah men-jangkau perlindungan hukum terhadap karya cipta atas buku terutama bagi pengarang dan penerbit. Hal ini tampak jelas adanya hak-hak bagi pemegang hak cipta, dalam hal ini pencipta dan penerbit yang benar-benar dilindungi. Tidak hanya pencipta dan penerbit sebagai pemegang hak ciptaan, ahli waris dari pencipta pun mempunyai hak untuk melakukan penuntutan.

23 Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbiterase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Page 12: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

10 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Anik Tri Haryani

Pasal 96 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 ayat 1 menyebutkan bahwa :

“pencipta, pemegang hak cipta atau ahli warisnya yang mengalami kerugian hak ekonomi berhak memperoleh ganti rugi.”

Selain itu dalam UU Nomor 28 tahun 2014 mengatur tentang Lembaga manajemen kolektif. Lembaga manajemen kolektif adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalty.24

Pasal 87 UU no 28 tahun 2014 menyebut-kan bahwa :

”Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap pencipta, pemilik hak terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan hak cipta dan hak cipta terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.”

Berdasarkan hal tersebut maka peng-guna hak cipta dan hak cipta terkait yang memanfaatkan hak cipta dan hak cipta terkait dapat membayar royalty kepada pencipta, pemegang hak cipta melalui lembaga manajemen kolektif. Dengan adanya lembaga menajemen kolektif ini maka pencipta maupun pemegang hak cipta lebih terlidungi haknya dari para pengguna hak cipta karena lembaga manajemen kolektif akan menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalty dari pengguna yang bersifat komersial.

24 Pasal 1 angka 22 UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Kesimpulan

1. Salah satu dari berbagai jenis perjanjian yang mengatur pengalihan hak cipta suatu ciptaan khususnya karya tulis yang diterbitkan dalam wujud buku untuk dieksploitasi adalah perjanjian penerbitan buku antara penulis dengan penerbit buku. Hubungan yang terjadi antar penerbit dengan penulis adalah hubungan kerjasama, yang bertujuan untuk mengalihkan karya tulis (untuk dieksploitasi) dari penulis kepada penerbit. Hubungan itu dituangkan dalam akta otentik atau dibawah tangan, dinama-kan perjanjian penerbitan buku.

2. Untuk melindungi hak-hak para pencipta buku Negara melalui Undang- Undang juga telah menyediakan dua sarana hukum yang dapat digunakan untuk menindak pelaku pelanggaran terhadap hak cipta, yaitu melalui instrumen hukum perdata dan pidana. Berdasarkan KUH Perdata, pihak pencipta buku dapat mengajukan gugatannya berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata sebagai suatu perbuatan melawan hukum Sedangkan dalam UUHC Nomor 28 tahun 2014, pencipta maupun penerbit hak cipta atas buku berhak mengajukan gugatan untuk menuntut ganti kerugian ke Pengadilan Niaga, dengan tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran hak cipta tersebut. Selain itu dalam pasal 87 UU no 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta dibentuk Lembaga Manajemen kolektif untuk melindungi hak ekonomi pencipta diman tugas lembaga ini adalah untuk menarik imbalan dari pengguna yang memanfaatkan hak cipta dan hak cipta terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.

Page 13: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 11

Perlindungan Hukum Pengarang/Penulis Buku

Saran

1. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat mengenai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sehingga masyarakat mengetahui adanya peraturan baru yang berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya. Penulis/pengarang hendaknya menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar hak-haknya sebagai penulis terlindungi.

2. Sebaiknya hasil karya pencipta ( buku-buku ) didaftarkan pada kantor Hak Cipta Paten dan Merek untuk mendapatkan perlindungan dari pembajak.

Daftar Pustaka

Edy Damian, Hukum Hak Cipta , Alumni, Bandung, 2009

Harsono Adi Sumarto, Hak Milik Intelektual Khususnya Hak Cipta, Akademi Pressindo, Jakarta, 1990

Insan Budi Maulana, Ridwan Khairandy, Nurjihad, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual, Pusat Studi Hukum UII Yogyakarta Bekerjasama Dengan Yayasan Klinik Haki Jakarta, 2000

Muhammad Djumhana dan Djubaedillah, Hak Milik Kekayaan Intelektual, Sejarah, Teori, dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003

Masri Maris, Buku Panduan Hak Cipta Asia, IKAPI, Jakarta, 2006

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007

Setiawan, Pokok-Pokok Perikatan, Bina Cipta, Bandung,1977

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2005

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006

Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, PT. Alumni, Bandung, 2006

Peraturan Perundang-UndanganUU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbiterase

dan Alternatif Penyelesaian SengketaUU Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Internethttp:/www.kompas cyber news.com

Page 14: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah HukumVolume 2 Nomor 1 Maret 2016; ISSN : 2407-8778

STATUS LEGAL FORMAL (BI PATRIDE) KEWARGANEGARAANANAK DARI PERKAWINAN CAMPURAN KEWARGANEGARAAN

Lulus UdjiwatiDosen Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi

Email : [email protected]

AbstrakMakalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis status kewarganegaraan legal formal anak-anak dari campuran pernikahan kewarganegaraan. Metode penulisan didasarkan pada penelitian hukum normatif. Formal status kewarganegaraan hukum anak-anak dari campuran pernikahan kewarganegaraan dalam batas dengan usia anak untuk menentukan warga negara Indonesia atau melepaskannya, karena pada prinsipnya Republik Indonesia (RI) hanya mengakui satu kewarganegaraan.

Kata kunci: status kewarganegaraan anak, mixed pernikahan.

Abstrak :This paper aims to identify and analyze the formal legal citizenship status of children of mixed marriages citizenship. The method of writing is based on normative legal research. Formal legal citizenship status of children of mixed marriages citizenship in the limit with the child's age to determine be Indonesian citizens or release it, because in principle the Republic of Indonesia (RI) recognizes only one nationality.

Keywords: Citizenship Status of Children, Mixed Marriage.

A. Latar Belakang

Bagi suatu Negara anak adalah warga Negara yang belum jadi dalam arti masih memerlukan pengetahuan maupun didikan menjadi warga Negara yang mampu dan sadar akan hak dan kewajibannya. Di Indonesia istilah warganegara terjemahann dari kata citizen dalam bahasa Inggris atau citoyen dalam bahasa Perancis. Secara etimologis citizen berasal dar masa Romawi yang pada waktu itu berbahasa Latin yaitu kata “civis” atau “civitas” sebagai anggota atau warga

dari suatu city stale 1). Jadi konsep warga sebenarnya bukanlah hal yang baru namun telah muncul sejak jaman Yunani Kuno yang merupkan asal usul demokrasi. Pada saat itu konsep warga, politis, citizen masih amat terbatas tidak mencakup seluruh penghuni polis (Negara kota)

Menurut Prof. Dr. Achmad Sanusi, SH., MPA, menafsirkan kewarganegaraan

1 Winarno, M.Si, Kewarganegaraan Indonesia dari Sosiologi Menuju Yuridis, Alfabeta, Bandung.

Page 15: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 13

Status Legal Formal (BI Patride) Kewarganegaraan

dari bahasa Latin “Civis, selanjutnya dalam bahasa Inggris Civic artinya mengenai warga Negara atau kewarganegaraan2). Beliau juga berpendapat sejauh civic dipandang disiplin dalam ilmu politik, maka fokus studinya mengenai kedudukan dan peranan warga negara dalam menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan sepanjang batas-batas ketentuan konstitusi Negara yang bersangkutan.

Warga Negara dari suatu Negara merupa-kan suatu unsur pokok suatu Negara, selain wilayah dan kedaulatan, oleh karena itu dalam menentukan status kewarganegaraan seseorang didasarkan pada ketetapan Undang-undang. Dalam suatu Pemerintahan warganegara memiliki hubungan timbal balik antara warga dan negaranya. Setiap warga Negara mempunyai hak dan kewajiban yang diatur dalam UUD 1945. Demikian sebaliknya Negara sebagai penguasa memiliki kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak dari warganya.

Perkembangan Undang-undang tentang kewarganegaraan melewati beberapa masa, yaitu pada masa prakolonial, masa kolonial, dan pasca colonial. Hal ini ditandai dengan beberapa peraturan yaitu; UU No. 3 Tahun 1946, tetantang warga Negara dan penduduk Indoneia, UU No. 2 Tahun 1958, tentang persetujuan RI – RRC mengenai dwi kewarganegaraan, UU No. 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaan Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1976 perubahan Ps. 18 Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan Indonesia. Undang-undang tersebut digantikan dengan Undang-

2 CST Kansil, Christin ST Kansil, Pendidikan Kewarganegaraan, Pradana Paramita, Jakarta

undang No 12 tahun 2006 dengan konteks pemikiran sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan RI sehingga harus dicabut dan diganti yang baku.

Bagi warga Negara Indonesia yang menikah dengan warga Negara asing menimbulkan pemikiran baru yang harus diatur dalam UU No 12 Tahun 2006 ini terutama status anak yang belum kewarganegaraan ganda (bipatride)

Pada umumnya UU kewarganegaraan pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam UU ini merupakan suatu pengecualian. Setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih satu kewarganegaraan : Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan disampaikan dalam waktu paling lama 3 tahun setelah anak usia 18 tahun atau sudah kawin diatur dalam Ps. UU No 12 Tahun 2006.

Keterlambatan dalam memutuskan untuk memilih kewarganegaraan sering terjdi dan hal ini bisa berdmpak deportasi dari wilayah Indonesia.

B. Pembahasan

a). Status Hukum Warga NegaraSetiap Negara mempunyai kebijakan

masing-masing dalam mengatur warga atau penduduk negaranya. Indonesia sebagai Negara yang pluralism, memiliki undang-undang yang melindungi setiap warga atau orang asing yang ada di Indonesia yaitu UUD 1945. Secara jelas hal ini diatur dalam pasal 26 UUD 1945.1) Yang menjadi warga Negara ialah orang-

orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang sebagai warga Negara

Page 16: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

14 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Lulus Udjiwati

2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia

3) Hal-hal yang menegenai warganegara dan penduduk diataur dengan Undang-undang.Pengertian bangsa Inonesia asli secara

umum diartikan sebagai golongan pribumi dan keturunannya. Menurut B.P Paulus pengertian orang-orang “bangsa Indonesia asli” mengalami perubahan dan perkem-bangan. Orang iIndonesia asli adalah golongan-golongan orang yang mendiami bumi nusantara secara turun temurun sejak zaman tandum. Zaman tandum yaitu zaman dimana tanah dijadikan sebagai sumber hidup, manunggal dengan dirinya sendiri, dipercaya, dijaga danyang-danyang desa, mempunyai sifat-sifat magic religious, diamanatkan oleh nenek moyangnya, untuk dijaga dan dipelihara, tempat menyimpan jazadnya setelah berpindah kea lam baka 3).

Keaslian dapat ditentukan beradasarkan tiga alternative yaitu :1. Turunan atau pertalian darah (geneologis)2. Ikatan pada tanah atau wilayahnya (ter-

ritorial)3. Turunan atau pertalian darah dan ikatan

pada tanah atau wilayah (geneologis – territorial)Pendapat B.P. Paulus mendapat tanggapan

dari Handoyo yang menyatakan bahwa pemahaman orang-orang bangsa Indonesia asli menjadi problematic dari sisi hukum karena dapat di paham sebagai berikut :4)

3 Paulus B.P, 1983, Kewarganegaraan RI ditinjau dari UUD 1945, Jakarta, Pradya Paramita

4 Handoyo, Hesti Cipto, 2003 Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, Universitas Atmajaya

a. Orang-orang yang keturunannya telah ada di Indonesia sejak Indonesia menyatakan kemerdekaan 17 Agustus 1945 atau

b. Orang-orang sejak zaman peradaban Indonesia terbentuk sudah ada. Termasuk Phitecanthropus, Paleo Javanicus atau Homo Solonensis yang fosilnya ditemuan di Sangiran dan sepanjang bengawan Solo, ataukah

c. Orang-orang yang dalam sejarah bangsa Indonesia berasal dari Yaman Utara di daerah Cina serta pedagang Gujarat.Perkembangan hokum kewarganegaraan

menimbulkan persoalan terutama masalah diskriminasi penegakan hokum terhadap warganegara yang dianggap bukan orang-orang Indonesia asli. Hal ini akhirnya men cetuskan upaya untuk mengganti UU kewarganegaraan No 62 Tahun 1958 dengan UU Nomor 12 Tahun 2006 yang menentukan bahwa orang bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi warganegara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan atas kehendak sendiri, artinya warga Negara tersebut tidak pernah menyatakan dirinya melepaskan atau mendapat pemerian dari Negara lain untuk menjadi wrga Negara selain Indonesia.

Namun menjadi berbeda status kewarga-negaraan seseorang apabila memeliki ke-warganegaraan lain karena penghrgaan dalam suatu bidng keahlian. Misal; Habibi yang memilik kewarganegaraan Indonesia waraga Negara Jerman karena kepandaian dibidang teknologi.

Dalam hal kewarganegaraan yang bersifat pemberian atau penghargaan, maka seseorang mempunyai 2 hal yaitu hak optie dan hak repudiasi. Adapun hak optie adalah hak untuk menerima sedangkan hak repudiasi yaitu hak menolak pemberian kewarganegaraan

Page 17: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 15

Status Legal Formal (BI Patride) Kewarganegaraan

dari suatu Negara lain. Apabila mempunyai 2 kewarganegaraan maka status tersebut harus mengikuti peraturan yang dimiliki oleh masing-masing Negara yang tentunya berbeda.

Warga Negara memiliki suatu peran dan juga tanggung jawab yang sangat penting bagi kemajuan maupun kemunduran suatu bangsa. Dibawah teori kontrak sosial, status kewarganegaraan memiliki implikasi terhadap hak dan kewajiban. Setiap warga negara mempnyai hak serta kewajiban yang wajib diakui (recognized) oleh Negara, wajib dihormati (respected), dilindungi (protected) dan fasilitasi (facilitated) serta di penuhi (fulfilled) oleh Negara. Demikian pula se-baliknya seorang warga Negara mempunyai kewajiban-kewajiban kepada Negara untuk wajib diakui (recognized), dihormati (respected), ditaati atau di tunaikan (complied) oleh setiap warganegara misalnya : kewajiban membayar pajak.

Perkembangan suatu Negara menimbul-kan persoalan penting yaitu tentang nasionalisme dan status kewaganegaraan seseorang. Mengutip pendapat A.W. Bradley dan K.D. Ewing dalam buku Jimly. Asshiddiqie, tentang ilmu hukum tata Negara bahwa nasionalismedan status kewarganegaraan itu menghubungkan seseorang dengan orang lain dalam pergaualan di dunia Internasional.5) Dalam perkembangan zaman modern ini memberikan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang terbuka antara negara, dan hal ini tidak dapat dihindari. Dampaknya yaitu di setiap wilayah Negara dapat dipastikan ada orang atau warganegara asing selain warga negaranya sendiri, dengan

5 Jimly A., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raya Grafindo Persada, Jakarta, h. 383

demikian tidak semua penduduk suatu Negara merupakan warga negaranya. Bedanya apabila warganegara (citizens) mempunyai hubungan yang tidak terputus dengan negaranya, walaupun ia berada di luar negeri, asalkan warga tersebut tidak memutuskan sendiri kewarganegaraannya, sedangka bagi orang asing yang tinggal di suatu Negara hanya mempunyai hubugan selama ia bertempat tinggal di Negara tersebut.

Bentuk perlindungan terhadap warga Negara asing terlihat pada pasal 29 (2) UUD 1945 terlihat perlindungan bagi warga Negara atau warga asing di wilayah Indonesia yakni : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu. Hal ini terlihat degan jelas perlindungan hak dengan tidak membedakan WNI dan WNA.

B. Peraturan Menegenai Kewarganegara-an di Indonesia

Kewarganegaraan dalam arti yuridis – sosiologis menunjukkan adanya suatu ikatan antara seseorang denga Negara. Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan adanya ikatan hokum seseorang dengan Negara, sedangkan kewarganegaraan dalam arti sosiologis adalah ikatan yang terjadi bukan karena ikatan hokum tetapi adanya ikatan emosional, seperti ikatan perasaan, ikatan keturunan, ikatan nasib, ikatan sejarah dan ikatan tanah air. Dapat diartikan bahwa ikatan tersebut lebih mendalam dan lebih banyak alasannya yang dijadikan ikatan oleh seseorang tersebut kepada Negara dan bangsanya.

Hukum kewarganegaraan (kewarga-negaraan dalam arti formil) peraturan ten-tang kewarganegaraan Indonesia untuk

Page 18: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

16 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Lulus Udjiwati

pertama kali yaitu Undang-undng No 3 tahun 1946 tentang warganegara dan penduduk Indonesia. Namun dalam perkembangannya Undang-undang tentang kewarganegaraan mengalami perubahan secara berturut-turut sebagai berikut :6

1. Undang-undang No. 6 tahun 1947 tentang perubahan atas UU No. 3 tahun 1946 tentang Negara dan warganegara

2. UU No. 8 tahun 1947 tentang memper-panjang waktu untuk mengajukan per-nyataan berhubung dengan kewarga-negaraan Negara Indonesia

3. UU No. 11 tahun 1948 teantang memper-panjang waktu lagi untuk mengajukan pernyataan berhubung dengan kewarga-negaraan Indonesia

4. UU No 62 tahun 1958 tentang kewargan-egaraan RI

5. UU No. 3 tahun 1976 tentang perubahan atas pasal 18 UU No. 62 tahun 1958 ten-tang kewarganegaraan RI

6. UU No 12 tahun 2006 tentang kewarga-negaraan RIDengan demikian perihal kewarga-

negaraan sebelum tahun 2006 tidak lagi di pakai karena sudah diatur dalam UU No 12 tahun 2006. Adapun pelaksanaan dari UU tersebut terdiri dari :a. Peraturan Pemerintah RI No. 2 tahun

2007 tentang tata cara untuk memperoleh, kehilangan, pembatalan, dan memperoleh kembali kewarganegaraan RI

b. Peraturan Menteri Hkum dan H.A.M RI No. M.01.H.I.03.01 tahun 2006 tentang tata cara memperoleh kewarganegaraan RI berdasar pasal 41 dan memperoleh

6 Winarno, Kewarganegaraan Indonesia dari Sosiologis Menuju Yuridis, h. 104, Alfa Beta, 2009

kembali kewarganegaraan RI berdasar pasal 42 UU No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan RI

c. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.02.H.1.05.06 tahun 2006 tentang tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi WNIIstilah kewarganegaraan menurut ke-

tentuan UU No. 12 tahun 2006 adalah segala hal ikhwal yang terhubungan dengan warga Negara (Ps. 1), oleh karena itu kewarganegaraan mencakup beberapa hal anatara lain :1. Penentuan siapa yang termasuk warag

Negara2. Cara menjadi warga negara atau pewarga-

negaraan3. Tentang kehilangan kewarganegaraan4. Tentang cara memperoleh kembli kewar-

ganegaraan yang hilang.Untuk memenuhi keinginan masyarakat

dan untuk melaksanakan amanat UUD 1945 maka UU No 12 tahun 2006 memperhatikan beberapa azas kewarganegaraan secara umum atau universal sebagai berikut :a. Asas Ius Sanguinis (law of the blood) yaitu

asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan

b. Asas Ius Soli (law of the soil) yaitu asas yang menentukan berdasarkan tempat kelahiran, yang diperuntukkan bagi anak-anak sesuai ketentuan yang diatur dalam UU.

c. Asas Kewarganegaraan tunggal yaitu asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.

d. Asas kewarganegaraan ganda yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan bagi anak-anak sesuai ketentuan Undang-Undang

Page 19: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 17

Status Legal Formal (BI Patride) Kewarganegaraan

Adanya Undang-undang No. 12 tahun 2006 memberikan pedoman bagi anak-anak yang lahir dari orang tua dengan kewarga-negaraan yang berbeda sehingga diharapkan memberikan kepastian hukum bagi anak-anak yang karena status orang tua berbeda dapat menyatakan keinginannya untuk memilih kewarganegaraan yang diinginkannya.

C. Bipatride Status Kewarganegaraan

Undang-undang kewarganegaraan Indonesia yaitu UU No. 12 tahun 2006 pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda atau di istilahkan Bipatride atau disebut juga kewarganegaraan rangkap, kecuali bagi anak-anak. Di Dalam UU kewarganegaraan, kewarganegaraan ganda yang dimiliki anak merupakan suatu pengecualian.

Prinsip dasar kewarganegaraan Indonesia yaitu asas Ius Soli dan Ius Sanguinis dan asas campuran. Perkembangan sarana transportasi, perhubungan dan komunikasi memudahkan seseorang menjalin hubungan dengan orang lain yang berbeda kewarganegaraan, bahkan semakin banyak orang-orang menikah dengan pasangan yang berbeda dengan kewarganegaraan. Konsekuensinya adalah waraga Negara tersebut melahirkan anak yang memiliki orang tua dengan kewarganegaraan yang berbeda.

Setiap Negara berhak menentukan asas manakah yang hendak dipakai untuk menentukan siapa yang termasuk warga negeranya. Oleh karena itu di berbagai negera memliki peraturan-peraturan yang berbeda bagi kewarganegaraannya, bahkan bisa pula terjadi conflict of law atau pertentangan hokum, missal Negara A menganut Ius Soli, Negara B menganut Ius Sanguinis.

Terkhusus di Negara Indonesia bagi anak-anak yang memiliki kewarganegaraan gada

di berikan batasan, setelah berusia 18 tahun atau sudaah kawin maka anak tersebut harus memebrikan pernyataan untuk memilih salah satu kewarganegaraan dalam waktu 3 tahun setelah anak berusia 18 tahun atau sudah menikah (kawin). Pernyataan tersebut dibuat secara tertulis disampaikan kepada pejabat yang berwenang dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.

Adapun prosedur kewarganegaraan anak setelah berusia 18 tahun sebagai berikut :1. Pernyataan diajukan secara tertulis dalam

bahasa Indonesia di atas kertas bermaterei cukup dan sekurang-kurangnya memuat :a. Nama lengkap awalb. Tempat dan tanggal lahirc. Jenis kelamind. Alamat tempat tinggale. Nama lengkap orang tuaf. Status perkawinan orang tuag. Kewarganegaraan orang tua

2. Pernyataan dilampiri :a. Foto copy kutipan akta kelahiran

anak yang disahkan oleh pejabat atau perwakilan RI

b. Foto copy kutipan akta perkawinan/ buku nikah orang tua yang di sahkan oleh pejabat atau perwakilan RI

c. Foto copy kutipan buku nikah/ akta perkawinan anak yang belum usia 18 tetapi sudah kawin dan disahkan pejabat atau perwakilan RI (ditunjuk-kan kepada Presiden melalui Menkumham)

d. Foto copy paspor RI dan atau paspor asing atau surat lainnya yang disahkan oleh pejabat atau perwakilan RI

e. Surat pernyataan melepaskan kewarganegaraan asing dari anak

Page 20: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

18 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Lulus Udjiwati

yang mengajukan surat pernyataan, di atas kertas ber materei cukup yang disetujui oleh pejabat Negara atau asing yang berwenang atau kantor perwakilan Negara asing.

f. Pas Foto berwarna terbaru dari anak yang menyampaikan pernyataan berukuran 4 x 6 sebanyak 6 lembar. 7

Selanjutnya pejabat atau perwakilan RI memeriksa kelengkapan tersebut dan hasilnya berupa :a). Permohonan di tolak apabila persyaratan

belum sesuai dengan peraturan per-undang-undangan dan

b). Warga yang memilih kewarganegaraan Indonesia maka ia wajib mendapatkan keputusan menteri yang menyatakan pernyataan memilih

c). Bagi anak yang memilih kewarganegara-an Asing maka wajib mengembalikan putus an, dokumen atau surat lain yang membuktikan kewarganegaraan Indonesia.Dewasa ini hubungan manusia cenderung

terbuka, dinamika pergaulan antar umur manusia yang semakin longgar dan dinamis. Gejala kewarganegaraan ganda ini sangat mungkin akan terus berkembang di masa-masa yang akan dating. Hal ini memunculkan warga dengan dwi kewarganegaraannya terutama di kalangan orang kaya. Oleh karena itu semua Negara modern dihadapkan pada masalah riel yaitu kewarganegaraan ganda.

Sebaiknya suatu Negara dapat menentukan bahwa kewarganegaraan ganda hanya dimungkinkan untuk hal-hal tertentu saja dan di atur secara bilateral dalam hubungan

7 YLBH, Australia Aid, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, h, 68, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2014

antar Negara seperti Negara Indonesia dengan Amerika,atau dengan Negara lainnya. Apat pula ditentukan bahwa jika seseorang anak lahir dari ibu berkewarganegaraan dan ayah berkewarganegaraan Amerika. Setelah dewasa anak menentukan pilihan menjadi WNI atau ayahnya saja.

Dalam hal memilih sebenarnya Negara tidak bisa memaksakan dengan instrument UU agar memilih. Salah satu kewarganegaraan ibunya atau ayahnya. Hal yang paling penting adalah orang yang bersangkutan tetap menjalankan kewajiban membayar pajak. Pilihan ini dilihat dari segi untung dan rugi, bahwa seseorang tetap ingin menjadi bipatride. Bisa saja pemerintah tidak dirugikan.

Pasal 28 (4) Undang-Undang Dasar 1945 hanya menyatakan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraannya. Tidak ada pernyataan bahwa setiap orang berhak atas satu kewarganegaraan. Penekanannya tidak boleh ada keadaan warga yang apatride (tanpa kewarganegaraan). Status kewarganegaraan pada seseoarng pokoknya terkait dengan status seseorang sebagai warga dari suatu Negara, oleh karena itu dipahami bersifat tunggal.

Berbeda dengan status ganda dari se-seorang yang berasal dari status perbedaan kewarganegaraan. Ada pula status ganda ke warganegaraan karena pemberian atau penghargaan. Di Indonesia orang asing yang telah berjasa kepada Negara RI atau dengan alas an kepentingan yang dapat diberi kewarganegaraan RI oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR RI. Penghargaan dalam hal ini adalah prestasi di bidang kebudayaan, kemanusiaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi, olah raga, lingkungan hidup yang telah memberikan kemajuan dan mengharumkan nama bangsa Indonesia. Pemberian kewarganegaraan

Page 21: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 19

Status Legal Formal (BI Patride) Kewarganegaraan

ini bisa diterima atau bahkan ditolak kalau menyebabkan seseorang menjadi apatride (kehilangan kewarganegaraan) karena Negara orang tersebut tidak mengakui dari kewarganegaraan atau bipatride.

KESIMPULAN

Status Bipatride menurut hokum di Indonesia tentang pewarganegaraan mem-berikan kelonggaran kepada anak-anak Indonesia yang memiliki atau lahir dari orang tua dengan kewarganegaraan berbeda, namun kelonggaran ketentuan tersebut memberikan batasan sampai pada usia 18 tahun atau belum berumur 18 tahun, tetapi sudah menikah. Setelah umur 18 tahun diberikan waktu 3 tahun untuk membuat pernyataan memilih salah satu kewarganegaraan orang tuanya dengan membuat pernyataan secara tertulis kepada Presiden melalui Menkumham.

Pernyataan memilih salah satu kewarga-negaraan disetujui maka akan mendapatkan suatu pernyataan sebagai WNI. Jika pilihan-nya menjadi WNI, maka ada kewajiban menyerahkan dokumen persyaratan kewarga-negaraan Indonesia, dan apabila seseorang memilih kewarganegaraan asing, maka dikembalikannya dokumen, maka hak menjadi WNI sudah terlepas karena prinsipnya Negara Indonesia hanya mengenal kewarganegaraan tunggal.

Bipatride sifatnya sementara bagi anak-anak yang belum menentukan memilih sendiri atau membuat pernyataan menjadi warga dari suatu Negara. Status kewarganegaraan tunggal ditetapkan sebagai dasar untuk menciptakan keamananan dan stabilitas Negara baik dibidang ekonomi maupun bidang lainnya.

DAFTAR BACAAN

C. ST. Kansil, Christin, ST. Kansil, Pendidikan Kewarganegaraan, Pradya Paramita, Jakarta, 2002

Handoyo, Hesti Cipto, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan HAM, Univ. Atmajaya, Yogyakarta, 2003

Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Tata Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009

Paulus B.P., Kewarganegaraan RI di Tinjau dari Undang-Undang Dasar 1945, Pradya Paramita, 1983

Winarno, Kewarganegaraan Indonesia dari Sosiologis Menuju Yuridis, Alfabeta, Bandung, 2009.

LBH, Autralian Aid, Panduan Bantuan Hk di Indonesia, Obor Indonesia, Jakarta, 2014

_________, Undang-Undang Dasar 1945_________, Undang-Undang No. 12 Tahun

2006

Page 22: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah HukumVolume 2 Nomor 1 Maret 2016; ISSN : 2407-8778

AKSIOLOGI: RELASI ANTARA ILMU PENGETAHUANDAN KEHIDUPAN UMAT MANUSIA

(Sebuah Kajian dari Dimensi Filsafat Ilmu)

Mohamad Tohari Mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Dosen FH Undaris Ungaran

AbstrakKeberadaan Ilmu Pengetahuan (science) pada zaman dahulu mengalami pergesiran fungsi. Pada zaman dahulu kuno Ilmu pengetahuan tidak memiliki kontribusi atau tidak memiliki konsekuensi dalam kehidupan umat manusia. Pada zaman kuno dahulu tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk menyadarkan manusia bahwa manusia itu adalah mahkluk kodrati. Dewasa ini fungsi sosial ilmu pengetahuan telah berubah secara radikal, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan (Science) begitu pesat. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa ilmu pengetahuan telah banyak membantu masyarakat. seolah-olah umat manusia sekarang tidak dapat hidup tanpa ilmu pengetahuan. Kebutuhan hidup umat manusia yang paling sederhana pun sekarang memperlukan ilmu pengetahuan. Misalnya untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia seperti kebutuhan pangan, sandang dan papan, sangat tergantung dengan yang namanya ilmu, meski yang paling sederhana pun.

Kata Kunci: Pengetahuan, Ilmu Pengetahuan, Kehidupan Manusia.

AbstractThe existence of Science (science) in ancient times experienced pergesiran function. In ancient times the ancient Science does not contribute or do not have consequences in the life of mankind. In the ancient times the purpose of science is to awaken people that human beings are creatures of nature . Today the social function of science has radically changed, along with the development of science (Science) is so rapid . Can not be denied that science has helped many people . as if mankind now can not live without science. The necessities of life of mankind simplest now take a concerted science. For example, to meet the basic human needs such as food, clothing and shelter, is highly dependent with the name of science, even the most simple .

Keywords: Knowledge, Science , Human Life .

Page 23: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 1 Nomor 2 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 21

Aksiologi: Relasi Antara Ilmu Pengetahuan dan Kehidupan

PENDAHULUAN

Ada perbedaan yang menyolok antara keadaan ilmu pengetahuan (Science) pada zaman dahulu dan ilmu pengetahuan pada zaman sekarang. Posisi ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari umat manusia pada zaman dahulu kala berbeda sekali. Pada Zaman kuno dahulu pengaruh ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia sehari-hari dapat dikatakan praktis tidak ada (A. Gunawan Setiardja:2007).

Ilmu pengetahuan tidak memiliki konsekuensi dalam kehidupan bermasyarakat. Kalau kita membaca tulisan Aristoteles dalam Metaphysica 1 Bab 2 “Sesudah umat manusia mengurusi kehidupannya sehari-hari, barulah manusia memperhatikan ilmu pengetahuan”. Agaknya aktivitas ilmiah pada zaman kuno dahulu tidak bertujuan untuk menciptakan comfort atau untuk memperbaiki taraf hidup umat manusia sehari-hari, karena pada pada zaman kuno dahulu beranggapan bahwa taraf kehidupan umat manusia ditentukan oleh alam. Mustahillah manusia akan merubah alam. Manusia merasa tanpa daya terhadap alam. Tidak ada pikiran pada manusia untuk mengalahkan alam demi kepentingan hidupnya. Maka tujuan manusia menekuni ilmu pengetahuan bukan untuk mengendalikan atau mengatasi kekuatan alam. Pada zaman kuno dahulu tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk menyadarkan manusia bahwa manusia itu adalah mahkluk kodrati, jadi masuk dalam tataran alam; tetapi sekaligus untuk menyadari bahwa manusia adalah mahkluk yang lain dari pada mahkluk lainnya, ialah mahkluk yang memiliki kesadaran.

Sekarang fungsi sosial ilmu pengetahuan telah berubah secara radikal, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan (Science) yang begitu pesat, yang disebabkan banyaknya

tuntutan keperluan hidup umat manusia. Di sisi lain, timbul kekhawatiran yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan itu, karena tidak ada seorang pun atau lembaga yang memiliki otoritas untuk menghambat implikasi negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan. Dewasa ini ilmu pengetahuan bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri (Jujun S Suriasumantri:2001).

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa ilmu pengetahuan telah banyak membantu masyarakat. Akan tetapi juga tidak dapat dipungkiri begitu saja adanya dampak negatif. Tentu saja dampak negatif ilmu pengetahuan tidak seharusnya membuat manusia pesimis bahkan menyerah terhadap perkembangan tersebut. Manusia tidak seharusnya hanya mengekor pada ilmu pengetahuan begitu saja kemudian menjadi budak, akan tetapi ilmu pengetahuan yang harus berada di tangan manusia atau di bawah kendali manusia.

Ilmu pengetahuan dikembangkan oleh dan untuk kepentingan kesejahteraan manusia, maka tidak seharusnya manusia menyerah. Justru dengan ciptaannya manusia harus siap bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Ilmu pengetahuan terus menerus dikembangkan untuk membantu kehidupan masyarakat.

Berangkat dari uraian tersebut di atas, tulisan ini mencoba mendiskripsikan Relasi Antara Ilmu Pengetahuan Dan Kehidupan

Page 24: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

22 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Mohamad Tohari

Umat Manusia (Sebuah Kajian dari Dimensi Filsafat Ilmu).

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini dengan pendekatan studi pustaka dengan memadukan pendekatan integrasi antara perspektif lmu hukum dengan kajian filsafat ilmu.

PEMBAHASAN

1. Difinisi Ilmu Pengetahuan Sepanjang sejarahnya manusia dalam

usahanya memahami dunia sekelilingnya mengenal dua sarana (Suraryo,2007:55) yaitu pengetahuan ilamiah (scientific knowledge) dan penjelasan gaib (mystical explanations). Kini di satu pihak manusia memiliki sekelompok pengetahuan yang sistematis dengan berbagai hipotesis yang telah dibuktikan kebenarannya secara sah, tetapi di pihak lain sebagian mengenal pula aneka keterangan serba gaib yang tidak mungkin diuji sahnya untuk menjelaskan rangkian peistiwa yang masih berada di luar jangkuan pemahamannya. Di antara rentangan pengetahuan ilmiah dan penjelasan gaib itu terdapatlah persoalan ilmiah yang merupakan kumpulan hipotisis yang dapat diuji, tetapi belum secara sah dibuktikan kebenarannya.

Ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang berasal dari bahasa latin scentia dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu mengalami perluasan arti sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan sistematik. Dalam bahasa Jerman wissenschaft.

The Liang Gie (dalam Suraryo) memberi-kan pengertian ilmu adalah rangkian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman

secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.

Ilmu sebagai aktifitas ilmiah dapat berwujud penelaahan (study), penyelidikan (inquiry), usaha menemukan (attempt to find) atau pencarian (search). Oleh kerena itu, pencarian biasanya dilakukan berulang kali, maka dalam duniailmu kini dipergunakan istilah research (penelitian) untuk aktifitas ilmiah yang paling berbobot guna menemukan pengetahuan baru.

Dari aktifitas ilmiah dengan metode ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan dapatlah dihimpun sekumpulan pengetahuan yang baru atau disempurnakan pengetahuan yang telah ada, sehingga di kalangan ilmuwan maupun para filsuf pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa ilmu adalah sesuatu kesimpulan pengetahuan yang sistematis.

Adapun menurut Bahm (dalam Koento Wibisono, 1997) difinisi ilmu pengetahuan melibatkan paling tidak enam komponen, yaitu masalah (problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas (activity), ke-simpulan (conclution), dan pengaruh (effects).

2. Karekteristik Ilmu PengetahuanPengetahuan yang baimanakah yang

membedakan antara pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan lain? Jawaban dari per-tanyaan ini adalah tidak dapat secara langsung dituturkan, melainkan kita harus melihat terlebih dahulu persoalan yang sesungguhnya yang membedakan ilmu dari pengetahuan lainnya.

Karekteristik (ciri) perosalan pengetahuan ilmiah antara lain adalah persoalan dalam ilmu itu penting untuk segera dipecahkan dengan maksud untuk memperoleh jawaban. Dalam

Page 25: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 1 Nomor 2 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 23

Aksiologi: Relasi Antara Ilmu Pengetahuan dan Kehidupan

kaitan ini memang ilmu muncul dari adanya problema dan harus dari suatu problema, tetapi probelma itu telah diketahuinya sebagai suatu persoalaan yang tidak terselesaikan dalam pengetahuan sehari-hari.

Selain itu, setiap ilmu dapat memecahkan masalah sehingga mencapai suatu kejelasan serta kebenaran, walaupun bukan kebenaran akhir yang abadi dan mutlak. Kemudian bahwa setiap jawaban dalam masalah ilmu yang telah berupa kebenaran atau penyangkalan. Hal lain juga bahwa setiap masalah dalam ilmu harus dapat dijawab dengan cara penelaahan atau penelitian keilmuan yang seksama, sehingga dapat dijelaskan dan didefinisikan.

The Liang Gie (Dalam Surajiyo) mengatakan bahwa ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah memiliki karekteristik (ciri) sebagai berikut:• Empiris,pengetahuanitudiperolehber­

dasarkan pengamatan dan percobaan; • Sistematis, berbagai keterangan dan

data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan keter gantungan dan teratur;

• Objektif, ilmu berarti pengetahuan itubebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi;

• Analitis, pengetahuan ilmiah berusahamembeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahai berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu;

• Verifikatif,dapatdiperiksakebenarannyaoleh siapa pun juga.Di samping The Liang Gie yang telah

memberikan kretieria atau penciri ilmu pengetahuan yang sudah penulis diskripsikan pada alenia sebelumnya, A. Gunawan

Setiardja (2007) memberikan pencirian ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut:• Ilmupengetahuandituntutsupayadisusun

secara sistematis, baik dalam penelitian maupun dalam buah susunannya. Mak-sudnya ialah harus dibangun dengan kerangka dasar yang lebih jelas.

• Ilmu pengetahuan harus bercorakuniversal, umum.

• Mempergunakan bahasa ilmiah yangberbeda dengan bahasa sehari-hari.

• Bukan berdasarkan pengamatan biasamelainkan berdasarkan observasi ilmiah. Dalam pengamatan unsure subjektivitas masih jelas, sedangkan dalam observasi ilmiah subjektivitas dikesampingkan.

• Ciriilmupengetahuanadalahobjektivitas.Setiap ilmu pengetahuan harus objektif, maksudnya diarahkan oleh objek dan tidak didistorsi oleh prasangka subyektif.

• Supaya objektivitas terjamin sebaikmungkin. Ilmu pengetahuan harus me-menuhi persyaratan tuntutan “inter-subjektivitas” artinya ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti, walaupun verifikasi akan bersifat berbeda sejauh tipe ilmu pengetahuan akan berbeda. Ilmu Pengetahuan harus dapat dikomunikasikan.

• Ilmupengetahuanharusbercorakpro­gresif, maka harus ada sifat kritis. Sebab ilmu pengetahuan bukan hanya maju dan membuka wilayah-wilayah baru, melainkan apa saja yang telah dikerjakan dan diteliti selalu terbuka untuk ditinjau kembali untuk disempurnakan.

• I lmu pengetahuan harus dapatdipergunakan. Aspek transendensi harus nampak. Bahwa ilmu pengetahuan harus dapat dipergunakan, berkaitan dengan

Page 26: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

24 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Mohamad Tohari

kebertautan antara teori dan praksis, antara ilmu pengetahuan teoritis dan praktis. Tentu saja, cara mempergunakan suatu ilmu pengetahuan berbeda-beda, tergantung dari sifat ilmu pengetahuan.

3. Kebenaran Ilmu PengetahuanHal kebenaran sesungguhnya memang

merupakan tema sentral di dalam filsafat ilmu (ilmu pengetahuan) secara umum orang merasa bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran (Surajiyo, 2007). Rasanya lebih tepat kalau pertanyaan kemudian dirumuskan menjadi apakah pengetahuan (sain) yang benar itu ?

Problematik mengenai kebenaran, seperti halnya problematik tentang pengetahuan (Sain), merupakan masalah-masalah yang mengaju pada tumbuh dan kembangnya dalam filsafat ilmu. Apabila orang memberikan prioritas kepada peranan pengetahuan, dan apabila orang percaya bahwa dengan pengetahuan itu manusia akan menemukan kebenaran dan kepastian, maka mau tidak mau orang harus berani menghadapi pertanyaan tersebut, sebagai hal yang mendasarkan hal yang mendasari sikap dan wawasannya.

Purwadarminta (dalam Surajiwo) mem-berikan difinisi kenanaran adalah: a) keadaan (hal dan sebagaiannya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya); Misal, kebenaran berita ini masih saya sangsikan; kita harus berani membela kebenaran dan keadilan. b) sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya); misal, kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama. c) kejujuran; ketulusan hati; misal, tidak ada seorang pun sangsi akan kebaikan dan kebenaran hatimu. d) selalu izin; berkenaan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan.

e) jalan kebetulan; misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran saja.

Menurut Ahmad Tafsir (2006) Ilmu Pengetahuan berisi teori-teori. Jika kita mengambil buku Ilmu (sain) pendidikan, maka kita akan menemukan teori-teori tentang pendidikan, buku ilmu bumi membicarakan teori-teori tentang bumi, buku ilmu hukum membicarakan teori-teori tentang hukum. Demikian seterusnya. Jadi, isi ilmu ialah teori. Jika kita bertanya apa ukuran kebenaran ilmu pengetahuan (sain), maka yang kita tanyakan apa ukuran kebenaran teori-teori sain.

Ada teori sain ekonomi: bila penawaran sedikit, permintaan banyak, maka harga akan naik. Teori ini sangat kuat, karena kuatnya maka ia ditingkatkan menjadi hukum, disebut hukum penawaran dan permintaan. Berdasarkan hukum ini, maka barangkali benar dihipotesis-kan: Jika hari hujan terus, mesin pemanas gabah tidak diaktifkan, maka harga beras akan naik. Untuk membuktikan apakah hipotesis itu benar atau salah, kita cukup melakukan dua langkah. Pertama, kita uji apakah teori itu logis ? Apakah logis jika hari hujan terus harga gabah akan naik ?

Jika hari hujan terus, maka orang tidak dapat menjemur padi, penawaran beras akan menurun, maka harga beras akan naik. Jadi, logislah bila hujan terus harga beras akan naik. Hipotesis itu lolos ujian pertama, ujian logika. Kedua, uji empiris. Adakan eksperimen. Buatlah hujan buatan selama mungkin, mesin pemanas gabah tidak diaktifkan, beras dari daerah lain tidak boleh masuk. Periksa pasar. Apakah harga beras naik ? secara logic seharusnya naik. Dalam kenyataannya mungkin saja tidak naik, misalnya karena orang mengganti makannya dengan selain beras. Jika eksperimen itu dikontrol dengan ketat, hipotesis tadi pasti didukung oleh

Page 27: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 1 Nomor 2 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 25

Aksiologi: Relasi Antara Ilmu Pengetahuan dan Kehidupan

kenyataan. Jika didukung oleh kenyataan (beras naik) maka hipotesis itu menjadi teori, dan teori itu benar, karena ia logis dan empiris.

4. Relasi Antara Ilmu Pengetahuan Dan Kehidupan Umat ManusiaAdanya pengetahuan dan ilmu penge-

tahuan tidak terlepas dari yang namanya manusia. Manusialah yang berpengetahuan dan yang berilmu pengetahuan. Tidak mungkin kita berbicara mengenai pengetahuan dan ilmu pengetahuan lepas dari yang namanya manusia (A Gunawan Setiardja: 2007).

Pengalaman manusia sudah berkembang sejak lama. Yang dapat dicatat dengan baik ialah sejak tahun 600 an SM. Yang mula-mula timbul aganya ialah pengetahuan filsafat dan hamper bersamaan dengan itu berkembang pula ilmu pengetahuan (sain) dan pengetahuan mistik (Ahmad Tafsir:2006).

Pada masa lampau kedudukan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari bagi umat manusia belum dapat dirasakan. Pada masa lampau ilmu pengetahuan sama sekali tidak atau belum memberikan pengaruh terhadap kehidupan umat manusia. Ungkapan Aristoteles tentang ilmu “umat manusia menjamin urusannya untuk hidup sehari-hari, barulah ia arahkan perhatiannya kepada ilmu pengetahuan (Van Melsen dalam Surajiyo).

Jadi, rupanya kegiatan ilmiah tidak bertujuan mempermudah urusan ini atau meningkatkan taraf hidup jasmani. Apalagi, pada waktu itu tidak mungkin orang berpikir untuk meningkatkan taraf hidup, karena tingginya taraf hidup dianggap telah ditentukan oleh alam kodrat dan manusia tidak sanggup mengubah alam kodrat. Dulu ilmu pengetahuan mempunyai tujuan yang sama sekali berbeda. Ilmu pengetahuan bertujuan memper-ingatkan manusia bahwa

selain makhluk alamiah (makhluk yang tersimpul dalam tata susunan alam), ia masih merupakan sesuatu yang lain, yaitu makhluk yang mengetahui tentang dirinya dan dengan demikian juga tentang perbedaannya dengan alam. Ilmu pengetahuan bermaksud mendalami pengertian tentang diri manusia dan alam itu supaya secara rohani manusia dapat sampai pada inti dirinya. Karena itu ilmu pengetahuan tidak berguna dalam arti bahwa ilmu pengetahuan tidak berusaha mencapai sesuatu yang lain. Ilmu pengetahuan dipraktekkan untuk ilmu pengetahuan itu sendiri.

Dewasa ini ilmu pengetahuan menjadi sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari, seolah-olah umat manusia sekarang tidak dapat hidup tanpa ilmu pengetahuan. Kebutuhan hidup umat manusia yang paling sederhana pun sekarang memperlukan ilmu pengetahuan. Misalnya untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia seperti kebutuhan pangan, sandang dan papan, sangat tergantung dengan yang namanya ilmu, meski yang paling sederhana pun. Maka kegiatan ilmiah dewasa ini berdasarkan pada dua keyakinan berikut: 1) segala sesuatu dalam realitas dapat diselidiki secara ilmiah, bukan saja untuk mengerti realitas dengan lebih baik, melainkan juga untuk menguasainya lebih mendalam menurut segala aspeknya. 2) semua aspek realitas membutuhkan juga penyelidikan primer, seperti air, makanan, udara, cahaya, kehangatan, dan tempat tinggal tidak akan cukup tanpa penyelidikan itu (Van Melsen dalam Surajiyo).

Dengan demikian, ilmu pengetahuan dewasa ini mengalami fungsi yang berubah secara radikal, dari tidak berguna sama sekali dalam kehidupan praktis umat manusia menjadi “tempat tergantung” kehidupan

Page 28: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

26 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Mohamad Tohari

umat manusia. Penemuan-penemuan secara empiris memberikan kemungkinan baru, yang ternyata ada gunanya dalam praktis. Ilmu pengetahuan yang semula rasional-empiris menjadi rasional-eksperimental. Dengan demikian, ilmu pengetahuan mempunyai akibat yakni berguna dalam kehidupan umat manusia. Maka kini fungsi kemasyarakatan dari ilmu pengetahuan telah berubah secara radikal. Bahwa ilmu pengetahuan sekarang ini melayani kehidupan sehari-hari masyarakat menurut segala aspeknya. Mungkin masih ada sisa sedikit dari fungsi (ilmu pengetahuan) aslinya. Tetapi yang jelas adalah bahwa pada zaman sekarang ilmu pengetahuan mengabdikan diri, melayani kehidupan sehari-hari dalam segala seginya.

Perubahan ini menurut A Gunawan Setiardja (2007) berdasarkan dua hal yaitu: Pertama, sekarang seluruh realitas terbuka, bisa diselidiki secara ilmiah, bukan hanya untuk memahami realitas ini lebih mendalam, melainkan juga untuk menguasainya lebih intensif dalam segala seginya. Lambat laun manusia menyadari bahwa alam itu sama sekali tidak tertutup, melainkan terbuka untuk diteliti, dijajagi. Manusia mulai menyadari transendensinya, keunggulannya untuk mengatasi strukur alam jasmani, walaupun transendensinya ini bersifat relatif. Kedua, bahkan lambat laun akhir-akhir ini kita umat manusia menkonstatir bahwa sekarang alam bukan hanya bisa diteliti, melainkan perlu diteliti. Hampir semua realitas sekarang dalam kondisi yang sedemikian rupa sehingga membutuhkan penelitian yang mendalam. Mengapa? karena manusia pada zaman modern sudah terlalu banyak mengadakan intervensi, campur tangan dalam alam. Kebutuhan-kebutuhan primer kita seperti air, udara, tanah, sinar dan sebagainya sudah

tercemar sudah rusak. Keadaannya sudah tidak memadai lagi untuk kita pergunakan.

Tentu saja dapat dikatakan juga bahwa kita sekarang ini berada dalam semacam gerak spiral: di satu sisi kita harus menggunakan ilmu pengetahuan untuk menjamin kebutuhan-kebutuhan kita yang paling elementer dan di lain sisi keharusan itu sebagian disebabkan karena telah mempengaruhi dan mengubah keadaan hidup kita yang natural. Kita sendiri telah menciptakan suatu situasi yang ganjil. Lebih dahulu kita telah merusak lingkungan hidup yang natural (air, udara, tanah) dan kemudian kita harus membersihkan lagi lingkungan itu. Tidak alasan untuk mem-banggakan situasi seperti itu. Namun demikian, kita sepatutnya hati-hati dulu dan tidak terlanjur cepat melontarkan penilaian kita. Bagaimanapun juga dulu hanya sejumlah kecil orang sanggup memanfaat-kan sumber-sumber alamiah dan dengan berbuat demikian mereka selalu merugikan serta mengorbankan orang lain. Bagi kita sekarang lebih penting adalah pertanyaan bagaimana sampai terjadi bahwa ilmu pengetahuan tidak saja menjadi berguna untuk kehidupan sehari-hari melainkan juga unsur yang tidak mungkin dilepaskan lagi dari hidup kita.

Gagasan Islam tentang ilmu pengetahuan menyatu dengan keinginan men capai keba-hagian akhirat, cita-cita akan manfaat bagi kemanusiaan, dan tanggung jawab dalam rangka meraih ridha Allah. Mengalir ke masa depan bak banjir cepat yang penuh kekuatan dan daya hidup, dan terkadang menye rupai taman mempesona, alam semesta ini seperti buku yang dipersembahkan kepada kita untuk dipelajari, sebuah pameran untuk disaksikan, dan sebuah amanah yang dipercayakan kepada kita dengan kebolehan mengambil manfaat darinya. Dengan mempelajari makna dan

Page 29: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 1 Nomor 2 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 27

Aksiologi: Relasi Antara Ilmu Pengetahuan dan Kehidupan

isi amanah ini, kita harus menggunakannya dengan cara yang bermanfaat bagi generasi masa depan serta generasi sekarang. Jika kita mau, kita dapat mengartikan ilmu pengetahuan sebagai hubungan sebagaimana diidamkan di atas antara manusia dan dunia ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan adalah warisan bersama umat manusia, bukan milik pribadi dari orang-orang tertentu. Permulaannya dimulai dengan permulaan umat manusia. Ketika budaya intelektual Eropa mencapai kedewasaan yang memadai, yang sebagian besarnya dicapai melalui prestasi negara-negara selain-Eropa lainnya, ilmu-ilmu eksperimental secara khusus telah matang bagi perkembangan baru menyeluruh melalui Renaissance, Abad Kebangkitan.

Jika ilmu pengetahuan sejati berarti mengarahkan kecerdasan menuju kebahagiaan akhirat tanpa mengharapkan keuntungan materi, melakukan pengkajian tak kenal lelah dan terperinci tentang alam semesta untuk menemukan kebenaran mutlak yang mendasarinya, dan mengikuti metoda yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, maka ketiadaan hal-hal tersebut memiliki arti bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat memenuhi harapan kita.

Sebelum Kristen, Islam adalah pembawa obor pengetahuan ilmiah. Pemikiran agama yang memancar dari kebahagian akhirat, dan cinta serta semangat yang muncul dari pemikiran itu, yang disertai rasa kefakiran dan ketidakberdayaan di hadapan Pencipta Maha Kekal, berada di balik kemajuan ilmiah besar selama 500-tahun yang tersaksikan di dunia Islam hingga akhir abad kedua belas. Gagasan ilmu pengetahuan berdasarkan Wahyu Ilahi, yang mendorong penelitian ilmiah di dunia Islam, diper-sembahkan nyaris

sempurna oleh tokoh-tokoh terkemuka zaman itu, yang tenggelam dalam pikiran tentang kebahagiaan akhirat, meneliti alam semesta tanpa kenal lelah untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Ketaatan mereka kepada Wahyu Ilahi menyebabkan kecerdasan yang berasal dari Wahyu itu memancarkan cahaya yang memunculkan gagasan baru ilmu pengetahuan di dalam jiwa manusia.

Jika gagasan ilmu pengetahuan, yang diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat seolah merupakan bagian dari risalah Ilahi, dan yang dipelajari dengan semangat ibadah, tidak pernah terkena serangan Mongol yang menghancurkan serta terpaan Perang Salib yang tak berbelas kasih dari Eropa, maka dunia hari ini akan lebih tercerahkan, memiliki kehidupan intelektual yang lebih kaya, teknologi yang lebih sehat, dan ilmu pengetahuan yang lebih menjanjikan. Saya katakan ini karena gagasan Islam tentang ilmu pengetahuan menyatu dengan keinginan mencapai kebahagian akhirat, cita-cita akan manfaat bagi kemanusiaan, dan tanggung jawab dalam rangka meraih ridha Allah.

Cinta akan kebenaran mengarahkan penelitian ilmiah sejati. Ini berarti mendekati alam semesta tanpa pertimbangan keuntungan materi dan balasan duniawi, dan mengamati dan mengenalinya sebagaimana kenyataan sebenarnya. Sementara mereka yang dileng-kapi dengan cinta seperti itu dapat men capai tujuan akhir dari penelitian mereka, mereka yang terkena syahwat duniawi, cita-cita materi, prasangka ideologis, dan taklid buta terhadapnya, serta tidak mampu mengem-bangkan rasa cinta akan kebenaran apa pun, akan gagal, atau lebih buruk lagi, mengalihkan jalannya penelitian ilmiah dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai senjata mematikan

Page 30: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

28 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Mohamad Tohari

untuk digunakan melawan kemampuan terbaik umat manusia.

PENUTUP

Berdasarkan diskripsi yang dipaparkan di atas, dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :1. Ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha

sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.

2. Tidak dapat dipungkiri Ilmu pengetahuan telah banyak membantu masyarakat dan mempermudah segala urusan masyarakat. Akan tetapi juga tidak dapat dipungkiri begitu saja adanya dampak negatif.

3. Tentu saja dampak negatif ilmu pengetahuan tidak seharusnya membuat manusia pesimis bahkan menyerah terhadap perkembangan tersebut. Manusia tidak seharusnya hanya mengekor pada ilmu pengetahuan begitu saja kemudian menjadi budak, akan tetapi ilmu pengetahuan yang harus berada di tangan manusia atau di bawah kendali manusia.

DAFTAR RUJUKAN

A Gunawan Setiardja. 2007. Manusia dan Ilmu: Telaah Filsafat atas Manusia yang Menekuni Ilmu Pengetahuan. Semarang. Tanpa Penerbit.

Ahmad Tafsir. 2006. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.

Jujun S. Suriasumantri. 2001. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : PT. Sinar Harapan.

Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu & Perkem-bangannya di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

The Liang Gie. 2004. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty

Van Welsen, A.G.M. 1985. Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita. Terjamahan K. Bertens, judul aslinya Wetenschap en Verantwoordelijkheid. Jakarta. Gramedia.

Zubaedi, dkk. 2007. Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn. Jogjakarta. Ar-Ruzz Media.

Page 31: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah HukumVolume 2 Nomor 1 Maret 2016; ISSN : 2407-8778

HUKUM TRANSENDENTAL DALAM KONSTELASIPEMIKIRAN HUKUM POSTIVISTIK DI INDONESIA

ElviandriDosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI),

Mahasiswa Program Doktor(S3) SekolahPascasarjanaUniversitasMuhammadiyah Surakarta

AbstrakParadigma positivime yang dianut dalam sistem hukum Indonesia adalah untuk mewujudkan kemerdekaan individu dengan senjata utamanya adalah kepastian hukum, bukan untuk mewujudkan keadilan sehingga keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan.SedangkanIlmu hukum transendental berakar pada kehendak Allah kepada makhluknya yang diturunkan melalui nabi dan rasul-Nya, para mualim dan aulia yang senantiasa istiqomah dan berpegang teguh pada garis ilahiyah (sunnahtullah). Sunnahtullah merupakan basis filsafat hukum alam (natural law) dijabarkan melalui ayat ayat-Nya baik yang tertulis (Al-Qur’an dan Sunnah) maupun yang terjabarkan dalam alam semesta dan realitas kehidupan

Kata kunci: HukumTransendental, HukumPositivistik

AbstractPositivime paradigm adopted in the Indonesian legal system is to realize the independence of the individual with his main weapon is legal certainty, rather than to achieve justice so that justice and expediency may be sacrificed. While rooted in the transcendental law Science will of God to his creatures is revealed through His prophets and apostles, the propagator and aulia ever constancy and cling to the divine line (sunnahtullah). Sunnahtullah is the philosophical basis of natural law (natural law) are translated through his verses both written (Al-Qur’an and Sunnah ) and that span the hierarchy in the universe and the reality of life.

Keywords: Transcendental Law, Law positivistik

A. Pendahuluan

Dalam paradigma Positivisme Hukum, undang-undang atau keseluruhan peraturan-perundang-undangan dipikirkan sebagai

sesuatu yang memuat hukum secara lengkap sehingga tugas hakim tinggal menerapkan ketentuan undang-undang secara mekanis dan linear untuk menyelesaikan permasalahan

Page 32: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

30 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Elviandri

masyarakat, sesuai bunyi undang-undang.1 Namun, paradigma Positivisme Hukum klasik yang menempatkan hakim sebagai tawanan undang-undang, tidak memberikan kesempatan pada pengadilan untuk menjadi suatu institusi yang dapat mendorong per-kembangan masyarakat. Pada era reformasi pun, kita belum bisa mengatakan bahwa putusan-putusan hakim berkontribusi besar bagi perubahan masyarakat Indonesia. Bahkan, para hakim masih berkiprah menggunakan metode berpikir positivistik yang lazim dipakai menangani masalah hukum dalam masyarakat yang keadaannya stabil.2

Ajaran Positivisme Hukum, digambarkan sebagai wilayahyang steril, terpisah dari moral. Doktrin Kelsenian, bahkan menampik keberadaanilmu hukum yang terkontaminasi anasir-anasir sosiologis, politis, ekonomis,

1 Pemikiran ini diilhami oleh ajaran Montesquieu yang sangat mendewakan eksistensi undang-undang. Awalnya, ajaran hakim adalah corong undang-undang (bouches des lois) ditujukan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh hakim. Cara berpikir ini kemudian dianut dan dikembangkan oleh ajaran Positivisme Hukum yang mengaplikasikan norma positif ke dalam struktur kasus-kasus konkret, membuat putusan hakim lebih memberikan jaminan kepastian hukum, serta prediktabilitas dan stabilitas hukum. Ajaran bahwa hakim hanyalah corong undang-undang dan dilarang menciptakan hukum, dilihat dari tradisi hukum yang berkembang di dunia umumnya dianut negara-negara yang menganut tradisi kontinental pada abad ke 19. Lihat, M.D.A. Freeman, Llyods’s, Introduction to Jurisprudence, London: Sweet & Maxwell, 2001, hal. 1384 -1386. Lihat, Neil MacCormick, Rhetoric and Rule of Law Theory of Legal Reasoning, Oxford University Press, hal. 256.

2 Widodo Dwi Putro, Tinjauan Kritis-Filosofis Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Disertasi, Universitas Indonesia Nfakultas Hukum Program Pascasarjana, 2011

historis,dan sebagainya. Ilmu hukum dimurnikan (sebenarnya lebih tepat disebut “direduksi”)menjadi ilmu yang mempelajari “command of lawgivers”. Dalam ajaran ini, makahakim tidak perlu secara kreatif memikirkan tentang hukum yangideal (das sollen),melainkan hanya menerapkan norma hukum positif (ius constitutum).

Doktrin berpikir hakim seperti itu, tidak lepas dari “kerangka” disiplin ilmuhukum. Dalam disiplin ilmu hukum, sekurang-kurangnya ada tiga tataran disiplinilmu, yakni (i) Dogmatika Hukum, (ii) Teori Hukum, dan; (iii) Filsafat Hukum.3Ketiga disiplin ilmu hukum ini (dogmatika hukum, teori hukum, dan filsafat hukum)mempunyai aksentuasi yang berbeda. Dogmatika Hukum (rechtsdogmatiek) jugasering disebut sebagai Ilmu Hukum dalam arti sempit, berada dalam tataran palingkonkrit. Sifat konkrit ini makin berkurang pada tataran Teori Hukum, dan makinmengarah ke tingkat yang lebih abstrak pada Filsafat Hukum.

Dogmatika Hukum yang berada dalam wilayah konkrit dan praktis dengansendirinya mempunyai kedekatan acuan dengan sistem hukum positif. Kedekatandengan hukum positif mulai berkurang pada tataran Teori Hukum, dan selanjutnyasemakin kecil frekwensi pertemuannya dengan Filsafat Hukum. Hal ini yang melatarimengapa Dogmatika Hukum bersifat monodisipliner (preskriptif), sementara Teori Hukum lebih mengarah ke multidisipliner, dan semakin memuncak pada FilsafatHukum dengan

3 Lihat, Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie?, (Diterjemahkan oleh Arief Sidharta, Apakah Teori Hukum Itu?), Penerbitan tidak Berkala No. 3, Bandung: Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 2001, hal 47.

Page 33: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 31

Hukum Transendental dalam Konstelasi Pemikiran

ditambahkan cara pandang yang reflektif, kritis, dan holistik.

Pengaruh obsesi Positivisme Hukum memurnikan anasir-anasir non hukum, mempersempit batas-batas ilmu hukum setidaknya menjadi dua, yakni Dogmatika Hukum dan Teori Hukum. Filsafat Hukum disingkirkan karena ia (Filsafat Hukum)adalah filsafat yang mempelajari hukum, sebagaimana Sosiologi Hukum danAntropologi Hukum, Psikologi Hukum, dan sebagainya. Filsafat Hukum dianggapbukan merupakan ilmu hukum yang murni dan otentik sebagai ilmu hukum yangberbicara tentang teks-teks aturan hukum. Bahkan, Teori Hukum di bawah bayang-bayangPositivisme Hukum akan dipersempit lagi menjadi ilmiah positif (dan tidakinterdispliner) yang menonjolkan penye lidikan tentang struktur dasar, asas-asas dasar,dan pengertian-pengertian dasar yang dapat ditemukan kembali dalam setiap sistemhukum positif. Sesungguhnya ilmu hukum positivistik tinggal Dogmatika Hukum.

B. MetodePenelitian

Metode penelitian yang digunakandalampenelitianinimerupakanperpaduanpendekatan studi pustaka danpendekatan integrasi terutamaantara perspektif Ilmu hukum dengan kajian filsafat ilmusehinggadiperolehpemahamandalampemikiranfilosofis.

C. HasilPenelitiandanPembahasan

1. Akar Sejarah TransendenDulu ketika Socrates memproklamasikan

“menarik filsafat kembali ke bumi”, sesung-guhnya pekik proklamasi ini kerap dipahami sebagai lonceng kematian human reality di tengah epistem filsafat klasik yang kian melangit. Warisan filsafat yang mereka terima dan pahami tidak lagi sebuah filsafat yang

menyibak paradigma sosial dan kebenaran-kebenaran secara rasional, melainkan filsafat metafisik yang penuh dengan mitos, dongeng, tahayul, yang malah menjadi penghalang bagi gerak kebebasan berpikir dan otonomi manusia. Filsafat metafisik tercoreng.

Sekarang ketika filsafat hadir di Islam dengan sosoknya yang sedemikian, tidak aneh jika tokoh seperti Abid Al-Jabiri secara radikal berkesimpulan, bahwa dalam masya-rakat modern, saintifik dan teknokratik, epistemologi selain demonstratif tidak lagi memiliki porsi yang harus diperhitungkan, bahkan dianggap sisa-sisa, keterbelakangan. Singkatnya, Jabiri juga mensinyalir bahwa ilmu kalam dan tasawuf dipandang tidak layak, karena nilainya semu, dan rasionalisme menjadi kunci tunggal menuju modernitas Islam di masa depan.

Dua ungkapan di atas mengartikan bahwa filsafat metafisik mulai dimodifikasi semenjak masa Socrates, dan seorang strukturalis seringkali kalap saat menyikapi keterbelangan Muslim paska runtuhnya Bagdad, tertatih-tatih mengejar kemajuan Barat yang makin jauh. Sindrom dan membabi-buta motif-motif yang tidak sesuai dengan Barat. Barat dipandang sebelah mata sebagai jalan tunggal menuju modernitas, dan Timur dijebloskan ke jurang nista. Barat adalah rasionalisme, kemajuan, keberhasilan dan transformasi modern, sedangkan Timur adalah irasionalisme, pen-dongeng, kemunduran dan kegagalan.4

Secara dialektik pemberontakan masya-rakat modern terhadap transendental yang dituduh sebagai muara regresifitas nalar

4 Amirallah Asyarie, Filsafat Transendental dan Problematika Keilahian https://filoschool. wordpress.com 2011/02/21/filsafat-transendental-dan-problematika-keilahian. Diakses 02 November 2015.

Page 34: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

32 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Elviandri

Muslim, adalah bagian dari proses historis bagaimana manusia mencoba menggugat dan menguji nilai-nilai transendental dalam menemukan kualitas kebenaran yang lebih dewasa dan hakiki. Dan sama sekali bukan berarti pengutukan dan pengharaman. Setiap produk pemikiran memiliki kebenarannya sendiri, dan kesalahan sebagai temali yang hadir bersamaan dengan adanya kebenaran di dalamnya.

Semua produk pemikiran bahkan agama seklipun, pada akhirnya akan berdiri di hadapan sejarah untuk diuji. Dalam pada itu sejarah menentukan hasil seleksinya. Sebagian ternyata telah ditinggal orang dan menjadi cerita masa lampau, sebagian bertahan dengan melakukan modifikasi, dan sebagian lagi hidup secara tegar dan bertambah ramai.

Memimpikan hanya ada satu epistemologi di dunia adalah utopia. Namun, satu hal yang barangkali disepakati bahwa misi utama proses berfilsafat adalah menjelaskan dan memahami ketetapan-ketetapan Tuhan di satu pihak dengan realita dan perjalanan manusia di pihak lain. Pendeknya, filsafat berusaha membimbing dan menyadarkan manusia untuk melihat realitas lain yang lebih hakiki, yaitu realitas Ilahi, baik secara tansendental, empiris, atau raional. Dan sebenarnya ketiga spektrum ini hanya lain dalam sifat, tapi satu dalam tujuan. Sehingga ketiganya bukan serdadu yang saling menundukan dan mengalahkan, tapi berhubungan secara harmonis dan saling melengkapi.

Memang betul saint dan teknologi telah memperpendek jarak negara satu dengan yang lain, planet satu dengan planet yang lain, meskipun kedekatan itu tidak menjamin eratnya persahabatan antar manusia dan tidak pula berarti pengalaman dan per-jalanan spiritualnya semakin jauh. Sejauh

pengembaraan manusia dengan teknologinya, tanpa visi keahlian, mereka akan terkurung dan berputar-putar dalam orbit bumi dan selalu di hadapkan pada jalan buntu dalam upaya meraih pengetahuan dan kesadaran tentang Realitas Tertinggi.

Maka adalah pengetahuan trandsendental yang menjadi gerbang paling jelas mengukuh-kan Realitas Absolut (Allah) dan keluar dari matrealisme. Seperti dikatakan Mulla Shadra “Melalui gerbang itulah kekuatan kosmos yang tidak terhingga tercurah dalam eksistensi manusia”. Transendental menjadi solisi problematika keilahian.

Transendental sebagai ruh filsafat meta-fisik, di tangan Mulla Shadra malah menjadi gerbang memahami keagungan Allah dengan segala eksistensi yang tercipta dari-Nya. Transendental menjadi sumber nalar rasional dan empirisme sekaligus keberagamaan dan keberkemausiaan dengan kesadaran batin pada Tuhan dan semesta. Memahami hakikat kebenaran yang absolut dari kebenaran-kebenaran yang relatif. Memandang semesta bukan sebagai eksistensi yang terlepas dari penciptanya, mealinkan pewujudan sederhana dari zat yang tidak terimanjenasikan.

Yang akhirnya membawa manusia untuk menghayati secara seksama konsep ke-manunggalan eksistensi antara manusia, alam dan Tuhan karena ketiganya adalah satu ekosistem yang saling terkait. Dari itu Mulla Shadra menggagas konsep gerak substansial dengan sketsa yang sekata dengan para biolog dan atomis modern. Aliran Eksistensialisme mencapai kesempurnaannya seperti diungkapkan Hery Corbin, “dibandingkan dengan Eksistensialsime Shadra, Eksistensialisme Sarter dan Martin Heidegger tampak seperti catatan kaki baginya.” Maka tidak ada hubungan kausalitas antara ketinggian spiritual dengan cacat nalar dan rasio.

Page 35: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 33

Hukum Transendental dalam Konstelasi Pemikiran

Pensenyawakan tiga epistem ini kita namakan “kesatuan gerak”, kesatuan gerakan keahlian sekaligus juga kemanusiaan dan keberagamaan, sebagai solusi dari problem kehidupan modern yang kerap terjadi kecen-derungan pada lapisan atau kelompok sosial tertentu yang mengarah pada situasi ter-asingkan atau alienasi yang bisa kita bedakan, setidaknya dalam tiga kelompok.5

Pertama, mereka yang teraleniasi dari Tuhannya, disebabkan oleh prestasi sain dan teknologi sehingga menjadi seorang positivis. Pandangan miris yang dibangun di atas premis positivis-empirisme yang membawa implikasi negatif pada persoalan yang realitasnya berada di luar jangkauan indra. Realitas metafisis dianggap sebagai realitas semu, karena cara pandang aliran ini ialah, realitas simbolik dan metafisik dilihat sebagai evolusi dari realitas materi yang akhirnya membawa yang bersangkutan pada keyakinan paganisme dan ateis yang tidak meyakini adanya Tuhan.

Kedua, mereka yang teralineasi dari lingkungannya karena konsep spiritual yang mengasingkan. Sebuah konsep spritual yang anti modifikasi, menetap pada titik statis dengan pemahaman yang tidak eklektik, sehingga tampak aneh.

Ketiga, kelompok yang terasing dari Tuhannya dan sekaligus teralineasi dari lingkungannya. Mereka adalah kelompok pragmatisme-matrealisme yang memandang dunia sebagai awal dan akhir kehidupan. Padahal terdapat indikasi yang nyata bahwa kebutuhan masyarakat modern pada dunia spiritual semakin menguat. Mereka bilang, “Ilmu sain bisa saja menjelaskan kenapa matahari berevolusi, tapi teori itu tak akan

5 Ibid.

sanggup menjelaskan kenapa sesuatu yang ada berasal dari ketiadaan.”

Bagaikan cahaya, keahlian dan kesadaran keberagamaan dalam spirit transendental menembus kabut kegelapan pandangan mata. Dalam Al-Quran pengetahuan spiritual berimpit erat dengan kebenaran nalar dan kesadaran kemanusiaan. Jadi semakin tinggi kesadaran keberagamaan seseorang, mestinya semakin tinggi juga kualitas nalar dan semangat kemanusiaannya. Bukan sebaliknya.

Dengan menjadikan Tuhan sebagai pusat orientasi, manusia akan senantiasa mempunyai motivasi kehidupan, terhindar dari perangkap bermusuhan melawan alam. Karena pasti manusia akan berada pada posisi yang kalah. Justru dengan menjadikan Allah sebagai tujuan akhirnya ia akan terbebas dari derita alienasi yang bersifat kejiwaan. Allah menjadi pesona yang Mahahadir yang melimpahkan kekuatan, pengendalian sekaligus kedamaian hati, sehingga yang bersangkutan senantiasa berada dalam orbit Tuhan dengan intelegensi yang brilian, bukannya pada orbit bumi yang tidak jelas ujung pangkalnya.

2. Epistemologi TransendenDalam epistimologi ilmu terdapat

model yang mengintegrasikan ilmu yang rasional dan nilai yang berangkat dari hati yang transendental. Filusuf Ibnu Arabi dikenal sebagai peletak tasawuf falsafati yang sebelumnya diajarkan Dzun Nun al-Mishri yang dikenal sebagai peletak model irfani yang bertumpu pada konsep makrifat (transendental) yang menggabungkan antara pendekatan hati (qolbu) dan pendekatan rasional (akal). Dzun Nun al-Mishri dikenal sebagai peletak unsur filsafat dalam tasawuf melalui metode integrasi yang dianggap kontraversial.

Page 36: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

34 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Elviandri

Tasawuf falsafi menjelaskan hukum yang rasional dan alam transendental yang dianggap misteri, yang pada hakikatnya dalam rangka meraih cinta Allah setinggi-tingginya dan berusaha menjadi kekasih-Nya. Oleh para pendukungnya dianggap sebagai bentuk upaya mencontoh apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW yang juga memiliki gelar sebagai habibullah (kekasih Allah).

Al-Ghazali yang dikenal tokoh tasawuf akhlaqi dengan karya yang amat munumental ihyaulumiddin tidak setuju dengan model tasawuh falsafi yang mengarah pada imanensi dalam hubungannya antara manusia dengan Tuhannya. Menurut Lukman Hakim, Al-Ghazali sebenarnya telah memadukan antara tasawuf falsafi dan tasawuf amali menjadi tasawuf akhlaqi dan Al-Ghazali dianggap telah berhasil secara espistimologi dalam memadu-kan syariat dan hakikat. Halini berkaitan erat membuat model hubungan antara ilmu dan nilai spiritual. Di kalangan ilmuwan, tasawuf falsafi dikenal sebagai metode yang memadukan antara olah spiritual dan filsafat yang diambil dari berbagai sumber filsafat. Filsafat ini telah memberikan sumbangan besar dalam khazanah intekual Islam baik di Timur, seperti di Indonesia maupuni masyarakat barat. 6

Kuntowijoyo memaknai transendental dengan dengan mendasarkan keimanankepada Allah (Ali Imron : 110) dengan mengenalkan ilmu profetik, berupa humanisasi(ta’muruna bil ma’ruf), liberasi (tanhauna anil munkar) dan transendensi (tu’minunabillah). Dalam hal ini, unsu transendensi harus menjadi dasar unsur yang lain dalampengembangan ilmu dan

6 Absori, Epistimologi Ilmu Hukum Transendental dan Implementasinya dalam Pengembangan Program Doktor Ilmu Hukum, 2015, Prosiding Seminar Nasional: ISBN 978-602-72446-0-3. Hal. 40-45

peradaban manusia. Metode pengembangan ilmu dan agama menurut Kuntowijoyo disebut dengan istilah profetik mendasarkan pada Al-Quran danSunnah merupakan basis utama dari keseluruan pengembangan Ilmu pengetahuan. Al-Quran dan Sunnah dijadikan landasan bagi keseluruhan bangunan ilmu pengetahuanprofetik, baik ilmu kealaman (ayat Kauniyah) sebagai basis hukum-hukum alam, (Ayat Nafsiyah) sebagai basis makna, nilai dan kesadaran maupun ketuhanan(Ayat Qauliyah) sebagai basis hukum-hukum Tuhan.

Demensi transendental bisa dilihat pada ajaran yang paling dasar, yakni aqidah yang mengajarkan pemahaman hubungan antara manusia dengan alam dan dengan Tuhannya. Manusia dan alam pada hakikatnya adalah makhluk yang bersifat fana, sementara Tuhan adalah penguasa atas alam semesta beserta isinya (robbul alamin) yang bersifat kekal (baqa). Kebahagian terbesar seorang muslim mana kala dia mampu pasrah secara tolalitas mematuhi perintah (hukumhukum) Allah yang bersifat kodrati (sunnahtullah), baik yang bersifat umum ataupun yang terperinci, sebagai konsekwensi dari pengakuannya bahwa Allah Maha Esa, penguasa segalanya, dan segala makhluk bergantung padanya-Nya.

Menurut Ziauddin Sardar usaha untuk menemukan kembali sains Islam dimulai dari sebuah penolakan aksioma tentang alam semesta, waktu, kemanusiaan dan tujuansains barat, serta metodologinya karena sains barat telah membuat reduksi objektifikasi alam dan siksaan hewan- hewan yang menyakitkan yang menyakitkan untuk sebuah eksperimen dengan untuk penemuan ilmu pengetahuan baru. Ziauddin Sardar menginginkan sebuah pencarian ilmu pengetahuan yang objektif dan dilakukan seagai ibadah yang posisinya sama dengan bentuk peribadan sehari hari

Page 37: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 35

Hukum Transendental dalam Konstelasi Pemikiran

sebagaimana yang dilakukan seorang muslim dalam menjalankan kewajibannya seperti sholat, puasa, haji dan bentuk peribadan lainnya.

Perspektif ilmu hukum transendental, ilmu hukum bukan hanya didasarkan pada kebenaran pada taraf haqq alyakin, yang terhimpun dalam Al-Qur'an dan Hadits, tetapi juga berdasarkan kebenaran yang diperoleh dengan kemampuan potensi manusia melalui perenungan, penalaran dan diskursus yang berkembang di masyarakat. Manusia menggali, mengolah dan merumuskan ilmu dengan tujuan tidak semata untuk ilmu tetapi juga untuk kebijakan, kemaslahatan masyarakat luas, dengan ridha, dan kasih sayang Allah.7

Ilmu hukum transendental berakar pada kehendak Allah kepada makhluknya yang diturunkan melalui nabi dan rasul-Nya, para mualim dan aulia yang senantiasa istiqomah dan berpegang teguh pada garis ilahiyah (sunnahtullah). Sunnahtullah merupakan basis filsafat hukum alam (natural law) dijabarkan melalui ayat ayat-Nya baik yang tertulis (Kitab dan Sunnah) maupun yang terjabarkan dalam alam semesta dan realitas kehidupan.

Ilmu hukum transendental ditujukan untuk pegangan hidup manusia mencapai kebahagiandunia maupun akhiratIlmu hukum transendental hanya bisa dipahami dengan pendekatan holistik yangmelihat manusia dan kehidupannya dalam wujud yang utuh, tidak semata bersifat materitetapi ruhaniyah (inmateral). Ilmu hukum transendental tidak dapat dipisah antara jasadfisik (formal) dan nilai-nilai transendental. Justifikasi ilmu hukum transendental sematayang diburu adalah demi keadilan berdasar kebenaran atas kuasa Allah, Dzat yang MahaKuasa, penentu hidup dan kehidupan manusia. Ilmu hukum

7 Ibid.

transendental beroreintasipada kemaslahatan manusia sebagai wujud dari kasih sayang untuk makhluknya.8

3. Postivisme Hukum IndonesiaAbad ke-19 menandai munculnya gerakan

positivisme di dalam masyarakat dan di bidang hukum, positivisme di dalam bidang hukum dikenal dengan nama positivisme yuridis9. Abad tersebut menerima warisan pemikiran-pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat idealistis, seperti halnya hukum alam. Dalam pada itu, perkembangan dan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang terjadi pada abad ke-19 itu telah menimbulkan semangat serta sikap yang bersifat kritis terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Pandangan serta sikap yang kritis terhadap hukum alam itu telah menimbulkan hasil-hasil yang merusak kehadiran hukum alam tersebut. Oleh pikiran kritis itu ditunjukkan, tetapi hukum tersebut tidak mempunyai dasar, atau merupakan hasil dari penalaran yang palsu.10

Aliran ini (positivisme) dikenal adanya dua sub aliran yang terkenal, yaitu11:a. Aliran hukum positif yang analistis,

pendasarnya adalah John Austin.b. Aliran hukum positif yang murni, di-

pelopori oleh Hans Kelsen.c. Aliran hukum positif yang analistis meng-

artikan hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu

8 Ibid.9 Theo Huijbers. 1990. Filsafat Hukum Dalam

Lintasan Sejarah.. Yogyakarta: Kanisius, hal. 12810 Satjipto Rahardjo. 1991. Ilmu Hukum.

Bandung: Citra Aditya Bakti, hal, 26711 Lili Rasyidi. 1993. Dasar-dasar Filsafat

Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, hal, 42

Page 38: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

36 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Elviandri

suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik-buruk.Aliran positivisme yang lahir sekitar 2 abad

yang lalu tidak dapat dipisahkan dari konteks politik yang mewarnai kehadiran negara modern, yaitu faktor politik liberalisme. Fokus pemikiran liberal adalah pada kemerdekaan individu, maka adalah sangat logis jika positivime yang dalam sejarahnya lahir dalam atmosfir liberalisme tidak dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas bagi masyarakat.

Sistem hukum, dalam paradigma posi-tivis me tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan sekedar melindungi kemerdekaan individu. Paradigma positivisme berpandangan, demi kepastian maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan.12

Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti sebagai positivisme. Austin (1790-1859) seorang positivisme yang utama, mempertahankan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sumber-sumber lain disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah. Lebih lanjut Austin menyebutkan hukum adalah perintah

12 Achmad Ali. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 40-410

dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara. Seorang positivism lainnya adalah Geremy Bentham (1748-1832) seorang pejuang yang gigih untuk pengkodifikasian hukum Inggris.13

Pikiran positivisme terutama berkembang dalam keadaan masyarakat yang stabil. Namun yang menjadi sangat menarik adalah, baik Austin maupun Bentham tidak mengemukakan pikirannya tentang positivisme tersebut di dalam keadaan masyarakat yang stabil seperti saat itu. Bentham dan Austin berpendapat bahwa harus ada kejelasan yang menyeluruh terlebih dahulu mengenai hukum sebagaimana adanya. Positivisme keduanya dilandasi oleh adanya penolakan mereka terhadap naturalisme dan kecintaan mereka terhadap ketertiban dan ketepatan14

Fungsi dari hukum adalah untuk mengatur hubungan antara negara dan warganya serta hubungan antar manusia, agar kehidupan di dalam masyarakat berjalan dengan lancar dan tertib. Hal ini mengakibatkan bahwa tugas hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban) dan keadilan di dalam masyarakat.

Realisasi dari sebuah negara hukum, agar mencapi tujuannya maka hal yang paling penting adalah bagaimana sistem penegakan hukumnya. Penegakan hukum dapat diartikan sebagai ”Kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaedah-kaedah / pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir. Untuk menciptakan (sebagai “social engineering”), memelihara dan

13 Op. Cit. Satjipto Rahardjo, hal, 22714 Ibid.

Page 39: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 37

Hukum Transendental dalam Konstelasi Pemikiran

mempertahankan (sebagai “social control”) kedamaian pergaulan hidup”.15

Dengan demikian, maka sistem penegakan hukum (yang baik) menyangkut penyerasian antara nilai-nilai dengan kaedah-kaedah serta dengan perilaku nyata dari manusia.

Kepastian hukum mengharuskan dicipta-kannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yang berlaku umum. Agar tercipta suasana yang aman dan tenteram di dalam masyarakat, maka peraturan-peraturan harus ditegakkan dan dilaksanakan dengan tegas. Untuk kepentingan itu maka kaedah-kaedah hukum tersebut harus diketahui sebelumnya dengan pasti. Oleh karena itu kaedah-kaedah hukum yang dinyatakan berlaku surut seringkali menimbulkan ketidakpastian hukum.

Bagi suatu negara modern dewasa ini, tujuan negara adalah untuk mencapai kese-jahteraan dan kebahagian rakyat, atau dengan perkataan lain untuk mencapai keadilan sosial. Suatu negara yang hanya bertujuan untuk mencapai kepastian hukum saja di dalam bentuknya yang negatif akan menjadi negara kekuasaan (machtsstaat). Berbeda dengan kepastian hukum yang bersifat umum, maka keadilan lebih menekankan pada faktor atau keadaan-keadaan yang khusus. Hal ini disebabkan oleh karena keadilan itu sebenarnya merupakan soal perasaan. Keadilan sebenarnya merupakan suatu keadaan keseimbangan yang membawa ketentraman di dalam hati orang yang apabila diganggu akan menimbulkan kegoncangan. Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa

15 Purnadi Purbacaraka. 1997. Penegakan hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan. Bandung: Alumni, hal, 25

keadilan senantiasa mengandung suatu unsur penghargaan, penilaian dan pertimbangan.

Paradigma pisitivisme menghendaki adanya kepastian hukum, walaupun harus mengesampingkan keadilan. Di Indonesia yang lebih dominan memakai paradigma positivisme ini menandakan bahwa hukum merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan demi terciptanya ketertiban dalam masyarakat. Kalau demikian berbicara persoalan keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia dihadap kan pada persoalan yang sulit. Karena didalam penegakan hukum, harus dapat memenuhi keadilan prosedural/formal dan keadilan substansial. Sebagai negara hukum diterapkannya hukum merupakan proses yang adil namun dalam prakteknya sering kali penerapan hukum ini terdapat hal-hal yang dianggap tidak adil di dalam masyarakat.

Paradigma positivisme, yang di maksud dengan hukum adalah aturan-aturan atau norma norma yng tertulis, atau dalam arti aturan yang sudah dipositifkan, sedangkan kalau hal ini akan berbicara keadilan sering kali penerapan aturan atau norma-norma yang tidak tertulis justru lebih adil secara substansi. Sehingga penegakan hukum dalam paradigma positivisme lebih mengutamkan kepastian hukumnya, tanpa melihat substansi dari apa yang terjadi. Melihat kenyataan tersebut maka di Indonesia dengan melihat kecenderungan paradigma positivisme ini akan menghasilkan sebuah keadilan yang formal/prosedural saja, sedangkan keadilan substansinya tidak dapat tercapai.

D. Simpulan

1. Paradigma positivime yang dianut dalam sistem hukum Indonesia adalah untuk mewujudkan kemerdekaan individu dengan senjata utamanya

Page 40: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

38 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Elviandri

adalah kepastian hukum, bukan untuk mewujudkan keadilan. Sebagaimana semboyan paradigma positivime bahwa, demi kepastian hukum maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan. Dari konsep tersebut maka keadilan dalam positivisme lebih mengarah pada konsep keadilan prosedural/formalnya saja karena konsep keadilan menurut positivisme adalah apabila hukum yang tertulis itu dapat diterapkan dengan baik dan menunjukkan kepastiannya.

2. Ilmu hukum transendental berakar pada kehendak Allah kepada makhluknya yang diturunkan melalui nabi dan rasul-Nya, para mualim dan aulia yang senantiasa istiqomah dan berpegang teguh pada garis ilahiyah (sunnahtullah). Sunnahtullah merupakan basis filsafat hukum alam (natural law) dijabarkan melalui ayat ayat-Nya baik yang tertulis (Kitab dan Sunnah) maupun yang terjabarkan dalam alam semesta dan realitas kehidupan. Ilmu hukum transendental ditujukan

untuk pegangan hidup manusia mencapai kebahagian dunia maupun akhirat Ilmu hukum transendental hanya bisa dipahami dengan pendekatan holistik yang melihat manusia dan kehidupannya dalam wujud yang utuh, tidak semata bersifat materi tetapi ruhaniyah (inmateral). Ilmu hukum transendental tidak dapat dipisah antara jasad fisik (formal) dan nilai-nilai transendental. Justifikasi ilmu hukum transendental semata yang diburu adalah demi keadilan berdasar kebenaran atas kuasa Allah, Dzat yang MahaKuasa, penentu hidup dan kehidupan manusia. Ilmu hukum transendental beroreintasi pada kemaslahatan manusia sebagai wujud dari kasih sayang untuk makhluknya.

DAFTAR PUSTAKA

Absori, Epistimologi Ilmu Hukum Transen-dental dan Implementasinya dalam Pengembangan Program Doktor Ilmu Hukum, 2015, Prosiding Seminar Nasional: ISBN 978-602-72446-0-3.

M.D.A. Freeman, Llyods’s, Introduction to Jurisprudence, London: Sweet & Maxwell

Neil MacCormick, Rhetoric and Rule of Law Theory of Legal Reasoning, Oxford University Press

Widodo Dwi Putro, Tinjauan Kritis-Filosofis Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Disertasi, Universitas Indonesia Nfakultas Hukum Program Pascasarjana, 2011

Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie ?, (Diterjemahkan oleh Arief Sidharta, Apakah Teori Hukum Itu ?), Penerbitan tidak Berkala No. 3, Bandung: Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 2001.

Amirallah Asyarie, Filsafat Transendental dan Problematika Keilahian https://filoschool. wordpress.com 2011/02/21/filsafat-transendental-dan-problematika-keilahian. Diakses 02 November 2015.

Theo Huijbers. 1990. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah.. Yogyakarta: Kanisius.

Satjipto Rahardjo. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, hal, 267

Lili Rasyidi. 1993. Dasar-dasar Filsafat Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti

Achmad Ali. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia

Purnadi Purbacaraka. 1997. Penegakan hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan. Bandung: Alumni

Page 41: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah HukumVolume 2 Nomor 1 Maret 2016; ISSN : 2407-8778

PERLINDUNGAN PEKERJA DALAM PERJANJIAN WAKTU TIDAK TERTENTU (PKWT)

MENURUT UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2013TENTANG KETENAGAKERJAAN

Krista YitawatiDosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun

AbstrakDari jurnal ini menyimpulkan, pelaksanaan perlindungan Perjanjian pekerja / buruh Ketenagakerjaan untuk jangka waktu tertentu, jika dilakukan sesuai dengan aturan yang ada, sudah ada perlindungan yang memadai bagi pekerja / buruh Perjanjian Kerja untuk jangka waktu tertentu, hanya saja di berlatih masih banyak kendala yang disebabkan oleh aturan Perjanjian Kerja jelas tentang penerapan jangka waktu tertentu, sehingga penyimpangan dari pelaksanaan pelaksanaan perlindungan pekerja / buruh Perjanjian kerja waktu tertentu. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tentang perlindungan pekerja / buruh antara lain, kesulitan yang berhubungan dengan peraturan, tetapi juga kesulitan yang berhubungan dengan perjanjian kerja, dan yang terakhir adalah pengawasan kendala. Solusi untuk masalah ini, pemerintah harus segera melakukan perbaikan dengan pengaturan dari Perjanjian Kerja pekerja / buruh Waktu Tertentu (PKWT), membuat perjanjian kerja format baku, dan sebaiknya setiap karyawan pengawas memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan langsung terhadap pelanggaran terjadi dalam perjanjian Kerja waktu tertentu pekerja / buruh (PKWT) yang dilakukan oleh perusahaan.

Kata kunci: perlindungan hukum, perjanjian kerja, waktu tertentu (PKWT)

AbstractFrom this journal concluded, the implementation of the protection of the workers / laborers Employment Agreement for specific time periods, if done in accordance with existing rules, there are already adequate protection to workers / laborers Employment Agreement for specific time periods, it's just that in practice there are still many obstacles caused by unclear Working Agreement rules on the application of specific time periods, resulting in a deviation from the implementation of the implementation of the protection of the workers / laborers labor Agreement Specific time. The obstacles encountered in the implementation of the employment agreement specified time (PKWT) on the protection of workers / laborers among others, the difficulties associated with the regulations, but it also difficulties associated with labor agreements, and the last is a constraint supervision.

Page 42: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

40 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Krista Yitawati

The solution to this problem, the government should immediately make improvements to the settings of the worker / laborer Employment Agreement Specific Time (PKWT), making format employment agreement raw, and preferably every employee supervisor has the authority to take action directly against the violation occurs in the worker / laborer Certain time Employment agreement (PKWT) conducted by the company.

Keywords: law protection, employment agreement a certain time(PKWT)

memperoleh pekerjaaan dan penghasilan yang dapat mendatangkan kesejahteraan.

Perjanjian kerja merupakan sebuah awal dari terjalinnya hubungan kerja antara pihak pengusaha dan pekerja. Menurut Sunjung H Manulang, hubungan kerja adalah “suatu hubungan antara pengusaha dengan pekerja yang timbul kerena perjanjian kerja yang diadakan untuk waktu tertentu maupun waktu tidak tentu”.1

Perjanjian kerja yang dibuat antara peng usaha dan pekerja atau buruh ini me-lahirkan suatu hubungan hukum yaitu hubungan kerja. Perjanjian kerja merupakan titik tolak berlakunya hubungan kerja harus diwujudkan dengan sebaik-baiknya, dalam arti mencerminkan rasa keadilan baik bagi pekerja maupun pengusaha, karena kedua pihak ini akan terlibat dalam suatu hubungan kerja. Pelaksanaan pekerjaan dalam hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha diperlukan suatu perangkat hukum untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kedua belah pihak terhadap masalah yang timbul pada saat pelaksanaan pekerjaan. Perlindungan dan kepastian hukum ini dapat terjamin dengan adanya perjanjian kerja antara para pihak yang membuatnya.

1 Sunjun H Manulang. 1990. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta : PT Rineka Cipta, hal 63.

PENDAHULUAN

Latar Belakang MasalahPembangunan yang dilaksanakan oleh

pemerintah Indonesia selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Guna mencapai tujuan tersebut pelaksanaan pembangunan harus senantiasa memperhatikan keserasian, keselarasan, keseimbangan dan kebulatan tekad yang utuh dalam seluruh kegiatan pembangunan.

Pembangunan sektor ketenagakerjaan merupakan bagian dari upaya pembangunan sumber daya manusia dan merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan ini diarahkan pada peningkatan harkat, martabat dan kemampuan manusia, serta kepercayaan diri sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera adil dan makmur, baik secara material maupun spritual.

Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “setiap warga negara mempunyai hak atas pekerjaan dan peng-hidupan yang layak bagi kemanusiaan”, hal ini berarti bahwa salah satu tujuan penting dari pembangunan adalah memberikan kesempatan bagi tiap warga negara untuk

Page 43: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 41

Perlindungan Pekerja dalam Perjanjian Waktu Tidak Tertentu

Pasal 50 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pada dasarnya ”hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja atau buruh”, sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian kerja menurut Pasal 1 anggka 14 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 adalah ”perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak”.

Ketentuan tentang perburuhan dulu diatur dalam KUH Perdata dalam Buku III Bab 7A , peraturan ini bersifat liberal karena sesuai dengan falsafah negara yang membuatnya sehingga dalam banyak hal banyak yang tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. Perjanjian kerja diatur yang diatur dalam Bab 7A Buku III KUH Perdata semula merupakan kebijakan hukum yang bersifat privat yaitu menyangkut hubungan antara dua pihak yang mengadakan perjanjian kerja tersebut.

Hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja ini bila tetap diserahkan pada para pihak maka tujuan hukum perburuhan untuk menciptakan keadilan sosial dalam bidang perburuhan akan sulit tercapai karena pihak yang kuat akan selalu menguasai pihak yang lemah. Pengusaha sebagai pihak yang kuat tentunya akan menekan pihak pekerja yang berada pada posisi yang lemah. Melihat kondisi yang demikian maka pemerintah turut serta dalam menetapkan kebijakan publik dalam bidang perburuhan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan dibidang perburuhan, hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap kewajiban dan hak pengusaha maupun pekerja, misalnya masalah pengupahan tidak berlaku lagi ketentuan yang dalam KUH Perdata namun diberlakukan Peraturan Pemerintah

No. 8 Tahun 1981 Tentang Perlidungan Upah yang sekarang diubah lagi menjadi Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Sektor ketenagakerjaan merupakan suatu masalah yang rumit, karena berkaitan dengan hubungan antara pekerja dan pengusaha yang bersifat sub ordinatif (atasan dan bawahan) sehingga sering menimbulkan anggapan bahwa pekerja merupakan pihak yang lemah oleh karena itu diperlukan peranan dari pemerintah untuk melindungi pekerja.

Penyebab terjadinya akibat tersebut terdapat berbagai faktor, antara lain adalah perkembangan perekonomian yang demikian cepat. Sehingga perusahaan dituntut untuk memberikan pelayanan yang serba lebih baik, akan tetapi dengan biaya yang lebih murah sehingga dapat menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Akibatnya banyak perusahaan yang mengubah struktur mana-jemen perusahaan mereka agar menjadi lebih efektif dan efisien, serta biaya yang dikeluarkan perusahaan dalam melakukan kegiatan produksinya lebih kecil, dimana salah satunya adalah dengan cara memborongkan pekerjaan kepada pihak lain atau dengan cara mempekerjakan pekerja/buruh dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Dengan menerapkan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tersebut, biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk suatu pekerjaan menjadi lebih kecil, karena perusahaan tidak harus memiliki tenaga kerja/pekerja dalam jumlah yang banyak. Sebagaimana diketahui apabila perusahaan memiliki pekerja yang banyak, maka perusahaan harus memberikan berbagai tunjangan untuk kesejahteraan para pekerja, seperti tunjangan pemeliharaan kesehatan, tunjangan pemutusan hubungan kerja (PHK),

Page 44: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

42 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Krista Yitawati

tunjangan penghargaan kerja dan sebagainya. Akan tetapi dengan mempekerjakan tenaga kerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), maka biaya tersebut dapat ditekan.

Sebenarnya tidak ada larangan hukum bagi perusahaan untuk menerapkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), karena semua itu sudah diatur secara jelas dan tegas oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikenal dua bentuk perjanjian kerja yang berdasarkan waktu, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).2

Hal yang menimbulkan permasalahan adalah banyaknya terjadi pelanggaran dalam penerapan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Di mana banyak terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), atau dengan kata lain Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dilaksanakan tidak sesuai atau bahkan tidak mengacu kepada aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Kete-nagakerjaan.

Dalam prakteknya di lapangan, selain penerapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

2 Sentosa Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia TentangKetenagakerjaan ( Bandung : CV. Nuansa Aulia, 2005), hal. 38.

yang dilaksanakan juga sangat merugikan pekerja. Sebagai contoh banyak pengusaha yang melakukan pelanggaran dengan memakai pekerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk mengerjakan pekerjaan yang bersifat tetap/permanen di perusahaannya.

Kerugian lain penerapan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah, selain tidak memberikan kepastian terhadap hubungan kerja yang ada juga upah kerja yang diberikan lebih murah serta kurangnya bahkan tidak ada perhatian sama sekali dari pengusaha, karena status pekerja hanya sebagai karyawan tidak tetap dan hanya bekerja untuk jangka waktu sebentar saja. Yang lebih berbahaya lagi dalam beberapa waktu belakangan ini, Per-janjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sudah menjadi semacam trend bagi pengusaha untuk menekan biaya pekerja/buruh (labour cost) demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Dari keadaan tersebut tentunya pihak yang paling dirugikan adalah tenaga kerja atau pekerja atau buruh yang bekerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tersebut. Karena selain perlindungan dan syarat kerja yang diberikan sangat jauh dari ketentuan yang seharusnya dan sewajarnya diberikan, juga terdapatnya perbedaan yang sangat jauh pada perlindungan yang diberikan jika dibandingkan dengan pekerja/tenaga kerja yang dipekerjakan dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Namun demikian penegakan hukum terhadap keadaan ini juga menjadi sebuah dilematis tersendiri, karena di tengah keadaan dimana pengangguran sangat tinggi secara logika akan terpikir, mana yang lebih baik menyediakan lapangan kerja untuk banyak orang dengan gaji yang mungkin kecil dan

Page 45: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 43

Perlindungan Pekerja dalam Perjanjian Waktu Tidak Tertentu

syarat kerja serta ketentuan kerja yang tidak memadai atau rendah atau belum sepenuhnya wajar, atau menggaji sedikit pekerja dengan gaji yang baik atau wajar akan tetapi hanya memberikan sedikit lapangan kerja serta membuat banyak pengangguran. Memang idealnya adalah menyediakan banyak la-pangan kerja dengan gaji yang wajar/layak. Hal tersebut juga menjadi alasan banyaknya diterapkan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan yang dikaji dalam jurnal ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan

pekerja/buruh dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ?

2. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam pem-berian perlindungan pekerja/buruh dan bagaimana solusinya ?

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu suatu pendekatan terhadap objek penulisan dengan berpedoman pada peraturan per-undang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan.

Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.3

3 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, h. 93.

Fakta yang ada dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan yang masih berlaku. Undang-undang dan regulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Setelah metode pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan yang digunakan selanjutnya adalah pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pan-dangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.4 Dalam penulisan ini, pendekatan konseptual (conceptual approach) digunakan adalah pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam hukum ketenagakerjaan terkait dengan perjanjian kerja.

Untuk memecahkan rumusan masalah dalam penelitian ini, diperlukan adanya sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim. Sumber bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Selain menggunakan bahan-bahan hukum primer, penelitian ini juga menggunakan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain buku-buku literatur, kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, serta komentar-komentar para ahli atas putusan pengadilan. Khususnya yang berkaitan dengan

4 Ibid., h. 95.

Page 46: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

44 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Krista Yitawati

perjanjian kerja waktu tertentu dalam hukum ketenagakerjaan.

PEMBAHASAN

Pelaksanaan Perlindungan Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Secara umum tentang perlindungan terhadap pekerja/buruh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun belakangan ini dalam masyarakat banyak terjadi keresahan terutama tentang pekerja yang melaku kan pekerjaan dengan sistem kontrak. Kere sahan dari masyarakat itu timbul karena dalam kenyataannya terdapat perbedaan kesejah-teraan yang sangat mencolok yang diterima oleh pekerja dengan sistem kontrak jika dibandingkan dengan pekerja tetap.

Pada kenyataannya sekarang ini di tengah adanya keresahan dari masyarakat tersebut, justru banyak perusahaan-perusahaan yang mempunyai kecenderungan untuk memakai para pekerja dengan sistem kontrak tersebut, dan pada umumnya dilakukan melalui pihak ketiga atau dikenal dengan istilah perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Jadi perusahaan yang membutuhkan pekerja/buruh baru untuk bekerja di perusahaannya dapat meminta kepada perusahaan penyedia jasa tenaga kerja untuk mencarikan pekerja/buruh sesuai dengan kriteria yang diinginkannya.

Jika diperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pelaksanaan pekerjaan dengan sistem kontrak bukanlah hal yang dilarang, karena dalam kenyataannya ada 2 (dua) bentuk pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu yang dipraktekkan, yaitu ada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

yang dilakukan antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja dimana pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dilakukan antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja ini lebih dikenal dengan istilah outsourcing.

Pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dilakukan antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja ini lebih dikenal dengan istilah outsourcing, diman pekerja/buruh yang berada di bawah Perusahaan Outsourcing/Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja akan dipekerjakan kepada perusahaan lain yang memberikan pekerjaan kepada Perusahaan Outsourcing/Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja. Meskipun bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan, namun semua tanggung jawab terhadap pekerja berada di Perusahaan Outsourcing/Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja. Dengan kata lain pekerja/buruh yang ada di Perusahaan Outsourcing dipekerjakan atas nama Perusahaan Outsourcing untuk melakukan pekerjaan yang diberikan kepada Perusahaan Outsourcing oleh perusahaan pemberi pekerjaan. Dasar hukum dalam pelaksanaan hal sebagaimana diterangkan di atas adalah Pasal 64 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi : perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Sebenarnya jika dilihat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah ada perlindungan yang diberikan terhadap pekerja/buruh, termasuk mereka yang bekerja dengan sistem kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Hanya saja dalam penerapannya tidak semua

Page 47: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 45

Perlindungan Pekerja dalam Perjanjian Waktu Tidak Tertentu

yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, terutama yang terkait dengan ketenagakerjaan.

Menurut Soepomo dalam Asikin yang dikutip oleh Abdul Hakim, perlindungan tenaga kerja dapat dibagi menjadi tiga macam, yakni :5 1. Perlindungan Ekonomis

Yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk apabila tenaga kerja tersebut tidak mampu bekerja di luar kehendaknya.

2. Perlindungan SosialYaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, ke-bebasan berserikat dan perlindungan untuk berorganisasi.

3. Perlindungan TeknisYaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja.Perlindungan tenaga kerja sebagaimana

yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertujuan untuk menjamin berlangsungnya hubungan kerja yang harmonis antara pekerja/buruh dengan pengusaha tanpa disertai adanya tekanan-tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Oleh karena itu pengusaha yang secara sosio-ekonomi memiliki kedudukan yang kuat wajib membantu melaksanakan ketentuan perlindungan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksanaannya telah diatur berbagai perlin-

5 Abdul Hakim, Pengantar Hukum Ketenaga-kerjaan Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 61-62.

dungan terhadap pekerja/buruh, termasuk pekerja/buruh yang memakai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Beberapa perlindungan terhadap pekerja/buruh yang memakai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksanaannya, yaitu :

a. Perlindungan Terhadap Pekerjaan Yang Bersifat PermanenDalam Undang-undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diatur secara tegas, bahwa terhadap pekerja/buruh yang bekerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanya dapat dilakukan untuk pekerjaan tertentu.

Pekerjaan tertentu tersebut adalah sebagai-mana diatur pada Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ke-tenaga kerjaan yang berbunyi: perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :1) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang

sementara sifatnya; 2) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaian-

nya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

3) Pekerjaan yang bersifat musiman; atau 4) Pekerjaan yang berhubungan dengan

produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Pada Pasal 59 ayat (1) di atas terlihat,

bahwa pekerjaan yang boleh dilakukan terhadap pekerja/buruh dengan memakai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanyalah sebagaimana diterangkan dalam

Page 48: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

46 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Krista Yitawati

Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di atas.

Apabila dalam pelaksanaannya, pengusaha yang memakai pekerja/buruh dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tidak mematuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut, terdapat sanksi yang akan diterima oleh pengusaha yang juga merupakan salah satu bentuk perlindungan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (7) yang berbunyi: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Terhadap pekerjaan yang hanya boleh dilakukan oleh pekerja/buruh dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu berupa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Dari keterangan yang dikemukakan di atas terlihat, bahwa perlindungan ter-hadap pekerjaan bagi pekerja/buruh yang dipekerjakan memakai sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang di-berikan oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah sangat baik atau sangat terlindungi, dimana para pekerja/buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) jika disuruh melakukan pekerjaan yang bukannya pekerjaan mereka, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan, maka status mereka demi hukum atau oleh hukum bukan lagi menjadi pekerja/buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) namun telah berubah statusnya menjadi pekerja/buruh Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), yang maknanya dianggap sebagai karyawan/pekerja tetap.

b. Perlindungan Terhadap UpahSeperti diketahui, tujuan orang bekerja

adalah untuk mendapatkan penghasilan atau upah guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian pengupahan merupakan aspek yang sangat penting dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja/buruh. Mengingat pentingnya peran upah terhadap perlindungan pekerja/buruh, maka hal ini secara tegas diamanatkan dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi: setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Pada penjelasan dari Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 ten-tang Ketenagakerjaan diterangkan, bahwa yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua.

Dari hal di atas terlihat, bahwa per-lin dungan terhadap kesejah-teraan para pekerja/buruh telah diberikan dengan baik oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana ketentuan

Page 49: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 47

Perlindungan Pekerja dalam Perjanjian Waktu Tidak Tertentu

upah ini berlaku secara umum yaitu baik terhadap pekerja/buruh yang diperkerjakan memakai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun pekerja/buruh yang diperkerjakan memakai Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Prinsip pengupahan yang dipakai oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah :1) Hak menerima upah timbul pada saat

adanya hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus;

2) Pengusaha tidak boleh mengadakan diskriminasi upah bagi pekerja/buruh laki-laki dan pekerja/buruh wanita untuk jenis pekerjaan yang sama;

3) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan {Pasal 93 ayat (1)};

4) Komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap dengan fomulasi upah pokok minimal 75% dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap (Pasal 94);

5) Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak (Pasal 96).Guna lebih memberikan upah yang layak

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka pemerintah menetapkan adanya upah minimum sebagaimana diatur dalam Pasal 88 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Terhadap upah minimun yang diterapkan, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membaginya, yaitu sebagaimana yang diatur

pada Pasal 89 ayat (1) yang berbunyi : upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat terdiri dari :1) Upah minimum berdasarkan wilayah

provinsi atau kabupaten/kota; 2) Upah minimum berdasarkan sektor pada

wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Ketentuan tersebut lebih lanjut tentang

upah diatur dalam PP 78 Tahun 2015 yaitu:a. Kebijakan pengupahan;b. Penghasilan yang layak;c. Pelindungan Upah;d. Upah minimum;e. Hal-hal yang dapat diperhitungkan

dengan upah;f. Pengenaan denda dan pemotongan Upah;

dang. Sanksi administratif.

Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan terkait formula tersebut sudah final dan mulai berlaku untuk kenaikan UMP 2016. Terkait soal komponen-komponen dalam Kebutuhan Hidup Layak (KHL), evaluasinya akan berlaku lima tahun. Mengenai jenis dan komponen KHL Formula kenaikan upah cukup diatur dalam Perpres. Aturan turunannya yaitu Peraturan Menteri Ketenaga-kerjaan (Permenaker) akan mengatur selain formula kenaikan. Permenaker, aturan soal upah ada 7 misalnya pendapatan non upah, bonus, dan THR. Kalau soal upah minimum pakai PP. Formulanya pakai UMP, inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Rumusan baru pengupahan dalam Peraturan Pemerintah (PP) yaitu UMP tahun depan = UMP tahun berjalan + (UMP tahun berjalan x (inflasi + pertumbuhan ekonomi)). Sebagai

Page 50: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

48 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Krista Yitawati

contoh, kondisi UMP di DKI Jakarta dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi masing-masing 5%. Maka UMP sekarang Rp 2,7 juta, ditambah Rp 2,7 juta dikali 10%. Artinya Rp 2,7 juta ditambah Rp 270.000 yang berarti Rp 2,97 juta.6

Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Terhadap Pemberian Perlindungan Pekerja/Buruh dan Solusinya

Kendala-kendala yang terdapat dalam pemberian perlindungan terhadap pekerja/buruh yang bekerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) antara lain adalah :

1. Kendala Yang Berkaitan Dengan Per-aturan Seperti diketahui pekerja dengan sistem

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada dasarnya hanya untuk pekerjaan tertentu sebagaimana diatur pada Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang

sementara sifatnya; b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaian-

nya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. Pekerjaan yang berhubungan dengan

produk baru, kegiatan baru, atau produk

6 http://news.detik.com/berita/3079106/cermati-seksama-ini-isi-pp-78-yang-jadi-alasan-buruh-demo-ke-jalan-dan-mogok, 24 November 2015 at 12.41 WIB.

tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Tetapi dalam pelaksanaannya ternyata

tidak mudah untuk mendefinisikan makna dari untuk “pekerjaan tertentu” yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Karena penilaian dari sisi yang berbeda akan menghasilkan pandangan yang berbeda tentang pekerjaan tertentu tersebut. Serta tidak ada yang bisa menjamin bahwa pekerjaan tersebut akan selesai dalam sekali waktu. Karena dalam kenyataannya banyak pekerja/buruh yang memakai sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang telah bekerja lebih dari 3 (tiga) tahun untuk pekerjaan yang sama, akan tetapi mereka memang diputus selama sebulan, sebelum dilanjutkan dengan kontrak baru.

2. Kendala Yang Berkaitan Dengan Per-janjian KerjaPerjanjian kerja biasanya telah disedia-

kan secara sepihak oleh perusahaan yang akan mempekerjakan pekerja/buruh ter-sebut, dimana isi dari perjanjian kerja tersebut sudah dibuat secara sepihak oleh per usahaan dan pihak pekerja/buruh hanya tinggal menandatangani saja sebagai bentuk menyetujuinya atau dapat menolak perjanjian kerja tersebut. Berhubung isi perjanjian kerja telah dibuat terlebih dahulu secara sepihak oleh perusahaan, maka biasanya isinya cenderung berat sebelah dan lebih memberikan keuntungan kepada pengusaha, dan pekerja/buruh berada dalam posisi yang dirugikan. Keadaan ini menurut Sri Gambir Melati Hatta, timbul karena kedudukan pengusaha yang kuat baik dalam segi ekonomi maupun kekuasaan, sedangkan pekerja/buruh berada dalam posisi yang lemah karena sebagai pihak yang membutuhkan pekerjaan. Posisi monopoli

Page 51: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 49

Perlindungan Pekerja dalam Perjanjian Waktu Tidak Tertentu

pengusaha ini membuka peluang baginya untuk menyalahgunakan kedudukannya. Akibatnya pengusaha mengatur hak-haknya dan tidak kewajibannya.7

3. Kendala Yang Berkaitan Dengan Peng-awasanTugas pengawasan di bidang ketenaga-

kerjaan dilakukan oleh Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi dengan menunjuk pegawai pengawas yang memiliki kewajiban dan wewenang penuh dalam melaksanakan fungsi pengawasan dengan baik. Pelaksanaan pengawasan di bidang ketenagakerjaan ini dilakukan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup tugasnya dan tanggung-jawabnya di bidang ketenagakerjaan, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 178 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kendala yang dihadapi oleh badan pengawas ketenagakerjaan dalam pemberian perlindungan pekerja/buruh dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), adalah karena ketidakjelasan peraturan yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), salah satunya adalah terhadap pembuatan kontrak kerja yang dilakukan perusahaan terhadap pekerja/buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Di mana dalam kontrak kerja sebagaimana yang disyaratkan oleh penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak pernah dijelaskan secara rinci apa pekerjan yang akan dilakukan, apakah sekali selesai atau pekerjaan yang merupakan promosi.

7 Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia , (Bandung : PT. Alumni, 1999), hal. 139.

KESIMPULAN

1. Perlindungan terhadap pekerja/buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada dasarnya dalam pelaksanaannya belum berjalan secara optimal, mengingat masih sering terjadi pelanggaran, dikarenakan oleh ketidakjelasan aturan tentang penerapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, khususnya berkenaan dengan pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun, pekerjaan yang bersifat musiman atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan.

2. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap pemberian perlindungan pekerja/buruh diantaranya adalah kendala yang berkaitan dengan peraturan, selain itu juga ada kendala yang berkaitan dengan pembuatan/atau bentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), terakhir adalah kendala pengawasan. Untuk kendala tersebut, pemerintah sebaiknya segera melakukan perbaikan terhadap pengaturan pada pekerja/buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pemerintah sebaiknya membuat format perjanjian kerja waktu tertentu secara baku, dan untuk kendala yang berkaitan dengan pengawasan, dan sebaiknya setiap pegawai pengawas diberikan kewenangan untuk melakukan penindakan langsung terhadap pelanggaran yang terjadi pada pekerja/buruh Perjanjian Kerja Waktu

Page 52: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

50 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Krista Yitawati

Tertentu (PKWT) yang dilakukan oleh perusahaan.

B. Saran 1. Pada setiap kontrak kerja yang memakai

sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hendaknya diberikan penjelasan tentang pekerjaan yang akan dilakukan, sehingga terhadap setiap Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dibuat menjadi jelas bagi pekerja/buruh, atau mengenai pengaturan persyaratan jenis dan sifat pekerjaan yang selama ini diatur oleh pemerintah, hendaknya diserahkan saja kepada kebutuhan para pihak.

2. Sebaiknya upah yang diberikan kepada pekerja/buruh dengan sistem perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) lebih ditingkatkan atau disesuaikan dalam bentuk semacam upah minimum bagi pekerja/buruh dengan sistem perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) demi perlindungan bagi mereka, karena belum tentu akan diperpanjang kontraknya atau mendapatkan pekerjaan lagi dalam waktu dekat apabila mereka di berhentikan (PHK).

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim, Pengantar Hukum Ketenaga-kerjaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003).

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007.

Sunjun H Manulang. 1990. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Sentosa Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia TentangKetenagakerjaan (Bandung : CV. Nuansa Aulia, 2005).

Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, (Bandung : PT. Alumni, 1999), hal. 139.

http://news.detik.com/berita/3079106/cermati-seksama-ini-isi-pp-78-yang-jadialasan-buruh-demo-ke-jalan-dan-mogok, 24 November 2015 at 12.41 WIB.

Page 53: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah HukumVolume 2 Nomor 1 Maret 2016; ISSN : 2407-8778

QUO VADIS POLITIK HUKUM AGRARIA INDONESIA DI ERA REFORMASI

(Suatu Tinjauan Kritis terhadap PembahasanRancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanahan)

Subadi1 dan Rizky Wahyu Nugroho2

1Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun2Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ponorogo

AbstrakBumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria (UUPA 1960) yang diterbitkan pada Tahun 1960, dirasakan sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan permasalahn ke “agrarian’ yang semakin kompleks dan multi dimensional. Permasalahan agraria sering terkait dengan permasalahan lingkungan, motif ekonomi, yang tidak jarang telah terjadi deviasi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada. Hal tersebut seakan menjadi sebuah lingkaran permasalahan yang saling kait mengkait dan saling berkesinambungan. Era modern yang sering ditandai dengan era industrialisasi seakan menjadi tantangan tersendiri bagi penciptaan solusi yang masif dan konstruktif untuk perlindungan masalah “agraria”. Pemanfaatan tanah yang tidak memperhitungkan segala aspek yang ada diatasnya menjadi jamak kita temui. Respon negara atau pemerintah menyikapi hal tersebut adalah menyusun peraturan perundang-undangan yang dijadikan pedoman operasional bagi penataan tanah di Indonesia. Namun peraturan perundang-undangan induk yang tetap dijadikan pegangan adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Sudah waktunya dengan perkembangan ketatanegaraan, perkembangan masyarakat yang semakin dinamis, dan era reformasi ini, disusun Undang-Undang Pertanahan yang baru yang lebih modern dan mampu merespons terhadap segala kompleksitas permalahan pertanahan ke depan.

Kata kunci; quo fadis, politik hukum, agraria, reformasi

AbstractEarth, water and natural resources contained in it are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people. UUPA 1960, it was felt no longer relevant to the development of permasalahn to "agrarian 'increasingly complex and multi-dimensional. Agrarian issues often related to environmental issues, the economic motive, which is not uncommon to have occurred deviations from the legislation that exists. It seemed to be a

Page 54: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

52 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

circle of problems intertwined and mutually sustainable. The modern era is often marked by the era of industrialization seemed to be a challenge for the creation of massive and constructive solution to the problem of protection "agrarian". Utilization of land that does not take into account all aspects of existing thereon plural we have encountered. The response of state or government addressing this is to develop legislation that made operational guidelines for structuring the ground in Indonesia. However, the legislation still cling to the parent who is Act No. 5 of 1960. It is time to constitutional development, the development of society increasingly dynamic, and this reform era, compiled Land Act that a new, more modern and capable of responding to the complexity permalahan land ahead.

Key note: quo vadis, political law, agrarian reform

A. Pendahuluan

Lima belas tahun setelah kemerdekaan, pada tanggal 24 September 1960 terbit Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) setelah melalui proses panjang sejak tahun 1948. UUPA sejatinya dimaksudkan untuk berlaku sebagai lex generalis (“undang-undang pokok”) bagi pengaturan lebih lanjut obyek materiilnya, yakni bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Walaupun dimaksudkan untuk dapat menjadi “payung” atau “platform” untuk penjabaran lebih lanjut ketentuan-ketentuan UUPA, namun masih ada celah yang belum sempat diisi oleh UUPA untuk, paling tidak, mengatur hal pokok-pokok, secara umum, atau garis besar ketentuan terkait dengan sumber daya alam (SDA) selain tanah. Sebagaimana diketahui, UUPA memang telah menggariskan dasar dan ketentuan pokok yang berlaku untuk semua bidang SDA dalam 10 (sepuluh) pasalnya. Namun demikian, hanya ada 1 (satu) pasal dalam UUPA yang secara

eksplisit mengatur tentang SDA selain tanah, yakni Pasal 8 UUPA yang dalam penjelasannya antara lain menyebutkan bahwa ketentuan ini merupakan pangkal bagi peraturan perundang-undangan terkait pertambangan dan lain-lainnya1.

UUPA terdiri dari 67 (enam puluh tujuh) pasal yang terdiri dari 58 (lima puluh delapan) pasal dan 9 (sembilan) pasal khusus terkait ketentuan konversi. Di samping 10 (sepuluh) pasal yang mengatur tentang dasar dan ketentuan pokok, maka pengaturan tentang tanah terdapat dalam 53 (lima puluh tiga) pasal, sisanya, 4 (empat) pasal mengatur hal-hal di luar ketentuan pokok dan pertanahan. Oleh karena dominasi pengaturan tentang pertanahan dalam UUPA, maka dalam proses penerbitannya pernah diwacanakan tentang nama undang-undang ini.2

1 Pasal 8 UUPA berbunyi:“Atas dasar hak mengu-asai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa.”

2 Iman Soetiknjo, Proses Terjadinya UUPA, Peranserta Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1987, hlm 190.

Page 55: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 53

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

Hutang UUPA untuk melengkapi ketentuan pokok di luar bidang pertanahan itu tidak kunjung dilunasi sehingga UUPA masih menyisakan “Pekerjaan Rumah” yang belum selesai . Dalam perjalanan waktu, seiring dengan kebijakan ekonomi yang lebih cenderung menekankan pada pertumbuhan dibandingkan pemerataan, maka bagian dari pekerjaan rumah UUPA yang belum selesai itu “diambil alih” oleh berbagai undang-undang sektoral, misalnya UU No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan (telah diganti dengan UU No. 41 Tahun 1999), UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan (telah diganti dengan UU No. 22 Tahun 2001), UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (telah diganti dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air), dan berbagai undang-undang lain yang terbit kemudian yang dalam kenyataannya tidak satupun undang-undang sektoral tersebut merujuk pada UUPA, melainkan masing-masing langsung merujuk pada Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Era bertumbuh kembangnya undang-undang sektoral menandai didegradasinya UUPA yang pada awalnya dimaksudkan untuk menjadi lex generalis bagi pengaturan SDA menjadi sederajat dengan undang-undang sektoral lainnya dan dengan demikian menjadikan UUPA sebagai lex specialis yang hanya mengatur bidang pertanahan. Ditinggalkannya semangat dan prinsip-prinsip yang mendasari UUPA oleh undang-undang sektoral dapat ditengarai dalam perbedaan antara UUPA dengan undang-undang sektoral berkaitan dengan: 1) orientasi; 2) keberpihakan; 3) pengelolaan dan implementasinya; 4) perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM); 5) pengaturan good

governance; 6) hubungan orang dengan SDA, dan 7) hubungan antara negara dengan SDA3.

Sebagai akibatnya, undang-undang sektoral itu tidak sinkron satu sama lain, bahkan saling tumpang tindih dengan segala dampaknya, sebagaimana ditengarai oleh Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Dampak negatif tumpang tindih peraturan perundang-undangan di bidang SDA itu telah mendorong MPR RI untuk memberikan arah kebijakan dalam pengelolaan SDA yang meliputi, antara lain: “melakukan peng-kajian ulang terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan per-undang-undangan yang didasarkan pada prinsip Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam” (TAP MPR RI No. IX/MPR/2001). Amanat tersebut diulangi lagi dalam TAP MPR RI No. V/MPR/2003 yang antara lain berbunyi sebagai berikut “Presiden bersama-sama DPR membahas UU Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA yang akan berfungsi sebagai UU Pokok…” (garis bawah oleh penyusun). Amanat tersebut mengisyaratkan terbentuknya suatu undang-undang terkait SDA yang bersifat lex generalis; dengan perkataan lain mereposisi UUPA sejalan dengan prinsi-prinsip Pembaruan Agraria, dengan demikian akan mengakhiri

3 Mengenai tumpang tindih pengaturan tentang sumberdaya alam, dapat dibaca dalam Maria Sumardjono, Nurhasan Ismail, Ernan Rustiadi, Abdullah Aman Damai, Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia, Antara yang Tersurat dan Tersirat, Fakultas Hukum UGM bekerjasama dengan Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2011.

Page 56: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

54 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

ketidaksinkronan antarundang-undang sektoral.

Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, terbit Keppres No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Dalam Pasal 1 huruf a disebutkan: “Dalam rangka mewujudkan konsepsi, kebijakan dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu, serta pelaksanaan TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Badan Pertanahan Nasional melakukan langkah-langkah percepatan; “ Penyusunan Rancangan Undang-undang Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Rancangan Undang-undang tentang Hak Atas Tanah serta peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan.”

Pembentukan UU Pertanahan sebagai salah satu upaya penyempurnaan UUPA ditempuh dengan melengkapi dan menjabar-kan pengaturan di bidang pertanahan dan menegaskan penafsiran yang tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip dasar UUPA. Falsafah UUPA tetap dipertahankan, sedangkan prinsip-prinsip dasar UUPA diper-kuat dan dikembangkan sesuai dengan prinsip pembaruan agraria.

Falsafah UUPA sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menampilkan dua kata kunci yakni bahwa Negara sebagai organisasi kekuasaan memperoleh kewenangan dari bangsa Indonesia untuk menguasai bumi (termasuk tanah), air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dan bahwa hak menguasai dari negara itu digunakan dengan tujuan untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Adapun kewenangan negara untuk menguasai itu tidak hanya berisi kewenangan untuk mengatur, seperti yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, namun mencakup pula kewenangan untuk membuat kebijakan, melakukan pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan terhadap isi kewenangannya yang terdiri dari tiga hal, yakni berkenaan dengan (1) obyek yang diatur (bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya); (2) hubungan hukum antara subyek dengan obyek; dan (3) hubungan hukum dan perbuatan hukum terkait obyek yang diatur. Perluasan makna Hak Menguasai Negara tersebut sesuai dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi undang-undang terkait SDA. Dengan mendasarkan pada falsafah UUPA dan prinsip-prinsip PA, penyusunan RUU Pertanahan dilakukan untuk melengkapi dan menjabarkan hal-hal yang belum diatur dalam UUPA dan mempertegas penafsiran yang tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip-prinsip PA.

RUU tentang Pertanahan sebagai lex specialis diharapkan dapat menjadi “jembatan antara” untuk meminimalisasi ketidak sin-kronan peraturan perundang-undangan sektoral terkait bidang pertanahan. Dalam jangka panjang diharapkan terbentuk undang-undang yang secara komprehensif mengatur tentang sumber daya alam sebagai lex generalis yang merupakan perwujudan hukum di bidang sumber daya alam sebagai satu sistem. Berdasarkan atas uraian tersebut di atas permasalahan dirumuskan sebagai berikut; bagaimanakah arah dan ruang lingkup politik hukum agraria Indonesia dalam pengaturannya di RUU tentang Pertanahan yang akan datang yang disusun berdasarkan falsafah UUPA dan prinsip-prinsip pembaruan agraria ?

Page 57: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 55

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

B. Arah dan Ruang Lingkup Politik Hukum Agraria Indonesia Penga-turannya Di RUU Tentang Pertanahan yang akan datang

Menurut pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila, tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa kepada seluruh rakyat Indonesia yang wajib disyukuri keberadaanya. Wujud dari rasa syukur itu adalah bahwa tanah harus dikelola dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan perkem-bangan peradaban dan budaya bangsa Indonesia. Pengelolaan tanah harus didasarkan kepada pengaturan hukum yang mampu mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai latar belakang budaya dan adat istiadat bangsa Indonesia yang bersifat komunal religius. Untuk itu pengaturan pengelolaan tanah harus sejalan dengan nilai-nilai demokrasi, termasuk demokrasi ekonomi, yakni dengan mengakomodasi kepentingan seluruh suku bangsa yang ada. Dengan demikian diharapkan tanah sebagai sumber daya modal dan sumber daya sosial dapat dijadikan sebagai sumber kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Setelah 53 tahun berlakunya UUPA ter-nyata masih banyak persoalan di bidang pertanahan yang belum terselesaikan baik persoalan lama yang sudah ada sebelumnya maupun persoalan baru. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan di bidang pertanahan yang prinsip-prinsip dan pokok-pokoknya terdapat di dalam UUPA perlu dilakukan penguatan melalui pengaturan baru. Di samping itu, di luar UUPA baik sebagai peraturan pelaksanaan UUPA maupun tidak juga telah mengatur tentang pertanahan yang

belum tentu mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Akibatnya, banyak terjadi penyimpangan terkait dengan pemilikan dan penguasaan tanah baik disadari maupun tidak disadari oleh masyarakat sehingga berdampak terhadap penegakan hukum pertanahan secara keseluruhan di Indonesia.

Pengaturan bidang pertanahan pada pokoknya sudah diatur di dalam UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA). Sebagai UU pokok, UUPA tidak mengatur secara rinci tentang obyek pengaturannya, termasuk tentang tanah yang menjadi obyek utama yang diatur UUPA. Oleh karena itu, diperlukan UU yang akan melengkapi atau merinci aturan-aturan pokok tentang pertanahan yang ada di UUPA. RUU Pertanahan ini dimaksudkan sebagai pelengkap dari kekurangan aturan yang terdapat di dalam UUPA. Dengan demikian RUU Pertanahan ini merupakan peraturan pelaksana dari UUPA (sebagai lex generalis) yang khusus mengatur tentang pertanahan saja (sebagai lex specialis).

Walaupun RUU Pertanahan ini bersifat lex specialis namun keberadaannya dimaksud-kan untuk mewujudkan sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan di bidang pertanahan. Hal ini merupakan konsekuensi dari sudah tersebarnya pengaturan pertanahan di berbagai peraturan perundang-undangan, baik sebagai pelaksana dari UUPA sendiri maupun UU sektoral di bidang kehutanan, pertambangan, perkebunan, sumberdaya air, ketenagalistrikan, penanaman modal, dan sebagainya. Akibatnya, substansi atau materi muatan RUU Pertanahan ini akan berdampak terhadap pengaturan pertanahan yang sudah ada. Sejalan dengan itu RUU Pertanahan ini juga bermaksud menyatukan, menghimpun, atau mengkompilasi semua pengaturan di bidang pertanahan.

Page 58: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

56 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

Dalam perkembangannya, sejalan dengan perjalanan waktu ternyata tidak semua konsep materi muatan pengaturan di dalam UUPA yang jelas penafsirannya. Beberapa konsep materi muatan aturannya perlu kejelasan penafsiran, seperti badan hukum yang bisa memegang hak milik, orang asing yang boleh memegang hak pakai dan hak sewa tanah, tanah absentee, hak atas tanah untuk instansi pemerintah (hak pakai pemerintah, salah kaprah hak pengelolaan) dan sebagainya. Dengan demikian RUU Pertanahan ini juga dimaksudkan untuk memperjelas penafsiran konsep yang terdapat di dalam UUPA.

Asas-asas yang mendasari penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan adalah sebagai berikut:a. Asas kebangsaan.

Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa tanah, sebagai bagian dari sumberdaya alam merupakan hak bangsa Indonesia secara keseluruhan. Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi, artinya selama Bangsa Indonesia dan tanah masih ada maka hubungan itu masih tetap ada.

b. Hak Menguasai Negara.Yang dimaksud dengan “asas Hak Mengu-asai Negara” adalah bahwa Negara mem peroleh kewenangan dari Bangsa Indonesia untuk membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola dan melaku kan pengawasan terhadap peng-gunaan tanah, hubungan hukum antara orang dengan tanah dan hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum mengenai tanah, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

c. Kenasionalan.Yang dimaksud dengan “asas kenasional-

an” adalah bahwa hanya warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, yang dapat mem-punyai Hak Milik. Bagi warganegara asing dan badan hukum Indonesia maupun asing, dapat diberikan hak atas tanah selain Hak Milik.

d. Pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat.Yang dimaksud dengan “asas pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat” adalah bahwa hak Masyarakat Hukum Adat atas tanah yang berada di wilayahnya diakui dan dilindungi. Di atas tanah ulayat dapat diberikan suatu hak atas tanah atas persetujuan tertulis Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan.

e. Fungsi sosial dan ekologis.Yang dimaksud dengan “asas fungsi sosial” adalah bahwa hak atas tanah harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak atas tanahnya. Tanah tidak boleh tidak digunakan, apalagi jika hal tersebut merugikan kepentingan pihak lain dan masyarakat. Antara kepentingan perorangan dan kepentingan umum dalam pemanfaatan tanah harus terdapat keseimbangan.Yang dimaksud dengan “asas fungsi ekologis” adalah bahwa manfaat ekonomis tanah dapat berlangsung dalam waktu yang relatif lama dan untuk pemanfaatan-nya harus memperhatikan kelestariannya.

f. Keadilan dalam perolehan dan peman-faatan tanah.Yang dimaksud dengan “asas keadilan dalam perolehan dan pemanfaatan tanah” adalah penegasan fungsi utama

Page 59: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 57

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

tanah, yakni tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang berarti bahwa kemanfaatannya dapat dirasakan secara merata oleh rakyat. Untuk mencapai tujuan itu, harus dicegah terjadinya ketimpangan pemilikan penguasaan tanah.

g. Keanekaragaman dalam kesatuan hukum.Yang dimaksud dengan “asas keaneka-ragaman dalam kesatuan hukum” adalah berlakunya hukum adat yang ditaati oleh masyarakatnya, di samping hukum negara.

h. Perencanaan dalam penggunaan tanah.Yang dimaksud dengan “asas perencanaan dalam penggunaan tanah” adalah tanah bahwa karena tanah merupakan sumber-daya alam yang langka, untuk mem-pertahankan keberlanjutan fungsi-nya diperlukan perencanaan dalam penggunaan tanah, termasuk persedia-annya.

i. Asas-asas umum pemerintahan yang baik.Yang dimaksud dengan “asas-asas umum pemerintahan yang baik” adalah bahwa pengelolaan tanah semenjak dari perencanaan, pelaksanaan, dan peng-awasannya harus dilakukan secara transparan, partisipatif, dan akuntabel.Dalam RUU Pertanahan juga mengatur

beberapa poin di bawah ini, diantaranya adalah :4

1. Hubungan antara negara, masyarakat hukum adat, dan orang dengan tanah bersumber dari hak bersama Bangsa Indonesia atas seluruh tanah di seluruh

4 Anonim, “Naskah Akademik RUU Pertanahan”, http://djpp.kemenkumham.go.id, diakses pada 30 Oktober 2015.

wilayah Indonesia. Hak bersama Bangsa Indonesia atas seluruh wilayah Indonesia mengandung sifat magis dan religius karena adanya pengakuan sumber daya alam sebagai karunia Tuhan. Hubungan tersebut bersifat abadi karena adanya pernyataan tidak pernah berakhirnya hubungan hukum selama bangsa Indonesia dan wilayah Indonesia masih ada. Hak Bangsa tersebut melahirkan kewenangan untuk mengatur aspek-aspek pertanahan demi tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat.

2. Dalam RUU Pertanahan ini juga terdapat pengaturan mengenai Hak Pengelolaan. Pengertian HPL adalah hak menguasai dari negara (HMN) yang sebagian ke-wenangannya dilimpahkan kepada pemegangnya. Istilah HPL sendiri tidak terdapat dalam UUPA. Secara implisit, pengertiannya dapat dijumpai dalam Penjelasan Umum II (2) UUPA yang berbunyi sebagai berikut:“Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan, atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (Pasal 2 ayat (4)”.

Istilah HPL muncul pertama kali dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan – ketentuan Tentang Kebijaksanaan Selanjutnya. Dalam

Page 60: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

58 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

Undang-Undang tentang Pertanahan, HPL sebaiknya dikembalikan pada konsep dasarnya yang dirumuskan dalam Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965 yakni pemberian hak atas tanah di atas HPL itu dibatasi, namun dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan pembatasannya tidak pada jenis hak atas tanah yang diberikan, tetapi pada kewenangan pemegang HPL untuk memberikan hak atas tanah, yakni dibatasi untuk satu kali saja. Implikasinya adalah, bahwa dengan pemberian hak tersebut maka tanah HPL kembali dalam penguasaan negara. Implikasi selan jutnya, karena HPL merupakan aset (BMN/BMD) maka hapusnya HPL wajib dimintakan persetujuan kepada pengelola BMN yakni Menteri Keuangan atau pengelola BMD, yakni Gubernur/Bupati/Walikota untuk diterbitkan Surat Keputusan Penghapusan berdasarkan Pasal 41 huruf a jo Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah. Pelaksanaan penghapusan harus dilaporkan kepada pengelola barang.Secara sederhana ada dua alternatif HPL terkait hubungannya dengan pihak ketiga: (1) jika HPL tetap dipertahankan, dapat dimanfaatkan dalam empat bentuk sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006. Penyerahan pemanfaatan tanah dalam bentuk keputusan; (2) jika di atas HPL akan diterbitkan hak atas tanah, pemberian hak atas tanah hanya berlaku satu kali saja. Dengan berlakunya Undang-Undang tentang Pertanahan, maka terhadap HPL yang

sudah ada sebelum Undang-Undang tentang Pertanahan berlaku, dilakukan penyesuaian dalam waktu 2 (dua) tahun. Terhadap penyerahan manfaat di atas bagian-bagian tanah HPL yang sudah berlangsung dan tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Pertanahan, masih terus berlangsung sampai dengan berakhirnya perjanjian penyerahan pemanfaatan tanah yang bersangkutan.

3. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Hukum AdatMasyarakat hukum adat dan hak-hak yang dipunyainya (hak ulayat) harus diakui, dihormati dan dilindungi karena keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat tidak dapat dipisahkan. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tidak akan mempunyai makna jika tidak disertai dengan pengakuan terhadap hak-hak yang dipunyainya yang bertumpu pada wilayah, dan begitu juga sebaliknya.

4. Prinsip-Prinsip hak atas tanah, terdiri dari:a. Keanekaragaman dalam kesatuan

hukumSelama ini, hukum agraria nasional dibentuk secara sentralistik oleh Pe-merintah dan Pemerintah Daerah hanya diberi kewenangan untuk melak sana-kannya. Sesuai dengan Pasal 5 UUPA, sumber hukum yang digunakan sebagai acuan dan dasar adalah hukum adat. Hal ini berarti bahwa asas-asas hukum, norma, dan lembaga hukum adat yang sudah diseleksi dan dihilangkan dari unsurnya yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kepentingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

Page 61: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 59

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

dijadikan dasar pembentukan hukum tanah nasional. b. Asas pemisahan horisontalPemilikan atas tanah, tidak serta merta diikuti dengan pemilikan bangunan, tanam-tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang berada di atas maupun di bawahnya. Namun demikian, sesuai degan kenyataan dan perkembangan kebutuhan masyarakat, asas ini juga membuka kemungkinan bahwa kepemilikan atas tanah dan bangunan, tanam-tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah di atas atau di bawahnya menjadi satu dengan syarat bila secara fisik tanah dengan bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah itu merupakan kesatuan dan dimiliki oleh subyek hak yang sama.c. Penentuan batas penguasaan tanah.Dalam rangka menjamin keadilan dalam akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah, Pemerintah perlu menentukan batas minimum dan batas maksimum penguasaan dan pemilikan tanah. Penentuan batas minimum didasarkan pada ketentuan kehidupan yang layak, sedangkan penentuan batas maksimum didasarkan pada ketersediaan kawasan budi daya di setiap Kabupaten/Kota.d. Fungsi sosial dan ekologi hak atas

tanahPenguasaan tanah yang semata-mata hanya untuk kepentingan individu itu melanggar asas fungsi sosial. Melalui fungsi sosial,kewenangan yang ditim-bulkan oleh suatu hak atas tanah tidak bersifat mutlak, tetapi relatif. Tanah harus

digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak atas tanahnya dan tidak boleh tidak digunakan terlebih apabila hal tersebut merugikan kepentingan pihak lain atau masyarakat. Dalam pengertian fungsi sosial, harus diupayakan adanya keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. e. Penggunaan dan pemanfaatan tanah.Agar kepentingan yang beragam terhadap penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat berlangsung secara tertib, maka penggunaan dan pemanfaatan tanah dilaksanakan sesuai dengan Rencana Tata Ruang yang sudah ditetapkan, yang kemudian dijabarkan dalam pengaturan yang lebih rinci oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Sebagai pelaksanaan asas-asas pemerintahan yang baik, maka penyusunan rencana tersebut harus melibatkan peran serta masyarakat.

5. Hak Atas TanahHak atas tanah adalah kewenangan yang timbul dari hubungan hukum antara orang dengan tanah, ruang di atas tanah dan/atau ruang di bawahtanah untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula ruang bawah tanah, air serta ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaannya.Pasal 16 UUPA menentukan bermacam-macam hak atas tanah. Dalam perjalanan waktu, sesuai dengan amanat UUPA, berkenaan dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. Namun

Page 62: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

60 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

demikian, berdasarkan kenyataan yang terjadi selama ini, berbagai kasus terkait konflik/sengketa maupun “penelantaran” tanah-tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, maupun penyalahgunaannya, antara lain, hanya memanfaatkan sertipikat hak atas tanah sebagai jaminan utang tanpa upaya untuk menaati kewajiban yang disyaratkan dalam pemberian hak atas tanahnya, merupakan berita sehari-hari. Dampaknya tentu saja terjadinya ketidakadilan dalam pemanfaatan tanah bagi pihak yang kurang diuntungkan karena tidak mempunyai akses modal dan akses politik untuk memperoleh hak atas tanah.Secara khusus, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan, dimuat prinsip-prinsip umum terkait dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang dikembangkan dan dijabarkan dari ketentuan dalam UUPA maupun Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, dengan mengakomodasi fakta empiris sebagai implikasi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait HGU, HGB, dan HP. Prinsip-prinsip tersebut terkait dengan isi kewe nangannya, pemegang hak, peralihan dan pembebanannya dengan Hak Tanggungan. Mengingat berbagai dampak negatif penyalahgunaan hak atas tanah yang sudah diberikan, maka secara khusus, dalam rangka memberikan keadilan dalam pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan maupun Hak Pakai selaras dengan pelaksanaan fungsi sosial hak atas tanah, maka

pemberian Hak Guna Usaha yang luasnya 25 (dua puluh lima) hektar atau lebih, dan pemberian Hak Guna Bangunan serta Hak Pakai Dengan Jangka Waktu untuk kegiatan usaha diberikan persyaratan yang obyektif. Bagi Hak Guna Usaha yang luasnya 25 (dua puluh lima) hektar atau lebih, dipersyaratkan kepemilikan modal yang besarannya sesuai dengan luas tanah yang dimohon serta penerapan teknologi yang sesuai untuk kegiatan usahanya.

6. Reforma Agraria.Reforma Agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan ber kenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan peman-faatan sumber daya agraria, dilaksana-kan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (TAP MPR-RI No. IX/MPR/2001).Reforma Agraria atau secara legal formal disebut juga dengan Pembaruan Agraria adalah proses restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agrarian (khususnya tanah). Dalam pasal 2 TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 dijelaskan bahwa "Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia".5

5 Subadi, Reforma Agraria, makalah dalam Pendidikan dan Pelatihan bagi Pejabat di lingkup

Page 63: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 61

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

Reformasi agraria (agrarian reform) harus memperhatikan beberapa prinsip, yaitu:1. memelihara dan mempertahankan

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

3. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keaneka-ragaman dalam unifikasi hukum;

4. mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber-daya manusia Indonesia;

5. mengembangkan demokrasi, kepa-tuhan hukum, transparansi dan opti-mali asi partisipasi rakyat;

6. mewujudkan keadilan dalam pengua-saan, pemilikan, penggunaan, peman-faatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;

7. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan;

8. melaksanakan fungsi sosial, kelestari-an, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;

9. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam;

10. mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragam-an budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;

Perhutani, Madiun, 2015.

11. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;

12. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan mana-jemen sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.

Kebijakan reformasi agrarian diarahkan untuk untuk mencapai, beberapa hal, yaitu:1. Melakukan pengkajian ulang terhadap

berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujud-nya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip Reforma Agraria.

2. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memper-hati kan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan.

3. Menyelenggarakan pendataan per-tanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

4. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi

Page 64: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

62 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip reforma agraria.

5. Memperkuat kelembagaan dan ke-wenangannya dalam rangka mengem-ban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang terjadi.

6. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumberdaya agraria yang terjadi.

Terkait dengan penyusunan RUU Per-tanahan, penjabaran Reforma Agraria dimaknai sebagai berikut: 1) Penguatan hak rakyat atas tanah melalui distribusi dasn redistribusi tanah obyek Pembaruan Agraria disertai pemberian akses permodalan, pasar, dsb; 2) Penyelesaian konflik pertanahan/agraria; 3) Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak masyarakat hukum adat secara nyata.Ketiga hal tersebut dapat dilakukan secara simultan dan dijabarkan dalam perumusan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan. Terkait dengan hal ini, bandingkan dengan rangkaian aktivitas Reforma Agraria yang dimuat dalam kertas posisi usulan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) kepada Presiden Republik Indonesia Tahun 2002.

7. Pendaftaran Tanah Paradigma pendaftaran tanah, sesuai arah kebijakan yang ditetapkan dalam TAP MPR RI No. IX/MPR/2001, dilaksanakan dalam rangka pemerataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.

8. Perolehan tanah untuk kepentingan umum dan pengalihfungsian tanah.a. Perolehan tanah untuk kepentingan

umum.Dalam rangka menyediakan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, telah terbit Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang telah dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya, yakni Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum jo Perkaban Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 melanggar konsep tentang perolehan tanah untuk kepentingan umum sebagai satu sistem, yakni dengan sama sekali tidak menerapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya, ketika musyawarah tidak mencapai hasil.Sebagai gantinya, penyelesaian sengketa tentang penentuan lokasi dan ganti kerugian ditempuh melalui Pengadilan Tata Usaha Negara/ Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung .

b. Pengalihfungsian tanah.Sudah merupakan kejadian sehari-hari, bahwa alih fungsi tanah, khususnya tanah pertanian, menjadi penggunaan non pertanian karena kebutuhan antara lain (1) perumahan, permukiman, pusat perbelanjaan,

Page 65: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 63

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

perkantoran; (2) industri; (3) pariwisata; (4) fasilitas olah raga; dan (5) infrastruktur. Dampak negatif alih fungsi tanah pertanian sudah diminimalisasi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Khusus terhadap alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan (“LPPB”) dikenai sanksi dan dilarang dialihfungsikan kecuali untuk kepentingan umum disertai degan persyaratan tertentu (Pasal 44).

9. Pengadaan tanah untuk kepentingan peribadatan dan sosial.Sebagai negara yang mengakui keberagam-an, termasuk dalam menjalan kan ajaran agama, maka terkait dengan penyediaan tanah untuk keperluan peribadatan dan sosial, di samping melalui lembaga wakaf yang dikenal dalam ajaran Islam, maka keberadaan lembaga yang mempunyai fungsi serupa dengan lembaga wakaf, yang berasal dari agama yang diakui oleh negara, diakui dan dilindungi.

10. Penyelesaian SengketaAkar permasalahan yang menimbulkan sengketa disebabkan karena adanya persaingan yang tidak seimbang antar kelompok kepentinganuntuk memperoleh akses dan memanfaatkan sumber daya alam yang bersifat langka. Secara garis besar tipologi sengketa tanah menurut Badan Pertanahan Nasional adalah sebagai berikut6: a) Masalah penguasaan dan pemilikan tanah; b) Masalah

6 Badan Pertanahan Nasional dalam Maria Sumardjono, “Pembaruan Agraria dan Sengketa

penetapan hak dan pendaftaran tanah; c) Masalah mengenai batas/letak bidang tanah; d) Masalah tuntutan ganti rugi eks tanah partikelir; e) Masalah tanah ulayat; f ) Masalah tanah obyek landreform; g) Masalah pembebasan/pengadaan tanah; h) Masalah pelaksanaan putusan pengadilan. Hukum telah menyediakan sarana untuk penyelesaian sengketa, terutama terkait dengan keabsahan pemilikan tanah, sebagaimana dibuktikan dengan data fisik, administratif dan yuridis terkait obyek dan subyek/pemegang hak atas tanah. Penyelesaian sengketa terkait keabsahan pemilikan tanah dilakukan oleh badan peradilan karena hanya hakim yang dapat memutuskan mengenai kebenaran materiil suatu tuntutan. Jika sengketa diakibatkan oleh putusan pejabat, maka diselesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Di luar itu, para pihak yang bersengketa, bila menghendaki, dapat memilih cara penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement) melalui cara negosiasi, konsiliasi, dan mediasi.Dalam penyelesaian sengketa agraria, ada beberapa pertimbangan yang dibutuhkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa yaitu (1) Ketidakpuasan terhadap peran pengadilan dalam menyelesaikan sengketa tanah yang terlalu formal, relatif lama, biaya relatif mahal, dan diraakan tidak atau kurang memenuhi rasa keadilan; (2) Belum ada pengaturan tentang mekanisme penyelesaian sengketa tanah yang lebih fliksibel dan responsif

Pertanahan”, presentasi RDPU Komisi II DPR RI, Jakarta 9 Februari 2012.

Page 66: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

64 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

bagi para pihak yang sedang bersengketa; (3) Mendorong keterlibatan masyarakat untuk ikut menyelesaikan sengketa tanah secara partisipatif; dan (4) Memperluas akses untuk mewujudkan keadilan bagi mayarakat. Dari sisi lain, rancangan Undang-undang pertanahan yang me-rupa kan bagian dari PROLEGNAS 2015[5] telah mengakomodir pemben-tukan pengadilan khusus yang menangani sengketa pertanahan atau dalam hal ini disebut sebagai sengketa agraria yaitu; “Untuk pertama kali dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Per-tanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 pada setiap pengadilan negeri yang berada di setiap ibukota provinsi”. Oleh sebab itu, semangat pembentukan pengadilan khusus agraria telah jelas terlihat dan merupakan hal yang diprioritaskan.7

Alasan-Alasan Pentingnya Peradilan yaitu :8

1. Masalah Tanah Merupakan Masalah yang Khusus/Spesifik.

2. Sejumlah Besar Kasus Sengketa Tanah di Indonesia Belum dapat di Selesaikan Secara Tuntas Oleh Pengadilan Umum.

3. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Masih Memiliki Banyak Kelemahan

4. Kewenangan Pembatalan Sertifikat.11. Penataan, pengendalian penggunaan dan

pemanfaatan tanah.

7 Muh. Afdhal Yanuar, “Kontroversi Pembentukan Pengadilan Khusus Agraria”, http://afdalaktivis.blogspot.com, diakses pada 27 Oktober 2015.

8 Anonim, “Sebuah Pandangan tentang Peng-adilan Agraria”, http://garasi.in, diakses pada 27 Oktober 2015.

Pemerintah melakukan penataan dan pengendalian penggunaan dan peman-faatan tanah dalam rangka pemberian hak atas tanah, sesuai dengan kewengan dan kewajiban yang melekat pada hak yang bersangkutan, cara-cara pengusahaannya, serta kesesuaiannya dengan tata ruang yang ada.Untuk mendukung implementasi keten-tuan-ketentuan yang mempunyai dampak penting bagi pencapaian tujuan kemanfaatan tanah bagi rakyat, pemegang hak atau warga masyarakat dapat dikenai sanksi terhadap pengalihfungsian peng-gunaan tanah dari rencana per untukan dan penggunaan tanah semula dan/atau yang telah ditetapkan dalam pemberian hak. Indonesia sebagai negara agraris telah

mengalami perkembangan yang demikian pesat, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan kehidupan masyarakatnya, dan mulai ada perubahan menuju ke negara industri. Adanya perubahan tersebut menuntut UUPA agar diadakan penyempurnaan. Penyempurnaan ketentuan berbagai peraturan pelaksanaan hukum tanah nasional yang bersumber dari UUPA memang diperlukan. Penyempurnaan yang perlu dilakukan salah satunya berkaitan dengan hak atas tanah khususnya mengenai hak-hak lain yang akan diatur kemudian, karena terdapat hak atas tanah yang belum diatur dalam UUPA tetapi hanya diatur dengan peraturan pemerintah atau peraturan menteri dalam negeri (contoh: Hak Pakai untuk orang asing, HPL).

Hal yang perlu dilakukan untuk mewu-judkannya adalah:a. Penyempurnaan UUPA karena UUPA

hanya mengatur hal-hal yang pokok (fundamental) saja, sedangkan untuk

Page 67: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 65

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

pelaksanaan setiap pasal dalam UUPA harus dibuatkan Undang-Undang, khususnya Pasal 1 s/d 19, contoh Pasal 2 mengenai Hak Menguasai atas tanah dari Negara (Tanah Negara) harus dibuatkan UU mengenai tanah Negara agar semua pihak ada kesamaan pengertian mengenai tanah penguasaan negara dan badan apa yang berwenang mengelola tanah negara.

b. Harus ada penegasan bahwa sebagai yang memperoleh kewenangan yang memegang penguasaan tanah negara adalah BPN RI sebagaimana UU No. 7 Tahun 1958 tentang Peralihan Tugas dan Wewenang Agraria, dari Menteri Dalam Negeri kepada Menteri Agraria pada waktu itu.

c. Penyempurnaan UUPA juga perlu dengan menjabarkan atau memperjelas ketentuan UUPA khususnya Bab II dan Bab III untuk menyesuaikan kondisi saat ini dan masa-masa mendatang, serta menyesuaikan dengan perundang-undangan baru terutama perundang-undangan yang tidak ada kaitannya dengan masalah agraria tetapi dengan kewenangan, contoh nya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, artinya masalah pertanahan ansich kewenangan Pemerintah Pusat.

d. RUU agraria (pertanahan) harus mengatur semua hal yang berkaitan dengan bumi, air dan ruang angkasa, khususnya tanah hubungannya dengan berbagai sektor (seperti pertambangan, perkebunan, kehutanan).Penyempurnaan UUPA ini diperlukan

untuk menjabarkan atau memperjelas UUPA, karena ketidaksinkronan materi muatan yang terkandung di dalam undang-undang sektoral dengan materi muatan UUPA yang dapat menyebabkan terjadinya konflik hukum

(conflict of law). Selain itu, UUPA dirasakan belum dapat mengikuti perkembangan yang ada serta mengandung beberapa kekurangan, diantaranya:a. UUPA belum memuat aspek perlindungan

hak asasi manusia bagi masyarakat khususnya petani, pemilik, tanah, serta masyarakat adat;

b. UUPA tidak mampu merespon per-kembangan global; dan

c. UUPA belum menjelaskan secara tegas institusi mana yang harus mengakomodir pengelolaan dan pengurusan tanah.Selain itu, pendaftaran tanah sebagaimana

diamanatkan oleh UUPA belum berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul sertifikat ganda dalam satu bidang tanah yang diterbitkan oleh BPN dan baru sekitar 30% dari keseluruhan bidang tanah di Indonesia yang telah dilakukan pendaftaran tanah.

Atas dasar hasil studi pustaka dan tang-gapan/masukan sebagai hasil kegiatan pengumpulan data tersebut, perlu dibentuk undang-undang khusus pertanahan untuk memberikan kepastian hukum atas penguasaan seseorang terhadap tanah. Pembentukan UU tentang Pertanahan diperlukan sebagai salah satu langkah strategis untuk meminimalisir atau menghilangkan kecurigaan bahwa Pemerintah berpihak kepada pengusaha atau sektor swasta, selain itu mampu meningkatkan iklim investasi di mana investor akan merasa aman menanamkan modalnya karena telah terdapat suatu kepastian hukum menyangkut tanah dan resiko konflik pertanahan dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan.9

9 Jawaban tertulis Biro Hukum Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur,pada pengumpulan data Tim Penyusun RUU tentang Pertanahan, Setjen DPR RI, 7 Mei 2012

Page 68: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

66 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

UU tentang Pertanahan ini nantinya juga diperlukan untuk memberikan penjelasan terhadap pengertian-pengertian yang belum jelas dalam UUPA maupun peraturan pelaksanaanya. Contohnya pengertian dari beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah ada dalam PP Nomor 224 Tahun 1961 mengatur hak prioritas, yaitu dengan hak prioritas pertama ada pada bekas pemegang hak, prioritas kedua ada pada orang yang mengelola namun pengertian mengelola tidak ada terjemahannya dari ketentuan peraturan tersebut, apakah orang yang yang menggarap kebun adalah termasuk prioritas pengelola atau tidak ada juga yang berpendapat bahwa penggarap bukan pengelola karena hanya menggarap kebun, pengarap menjadi pengelola jika sudah tinggal dan mendapat izin dari yang berwenang, pejabat yang berwenang ini diartikan bermacam-macam tergantung penguasanya. Ini berarti harus ada terjemahan secara konkrit dari pengertian yang dikehendaki oleh peraturan supaya tidak diterjemahan lain.

Pembentukan UU Pertanahan merupakan suatu keharusan dan untuk penguatan Pasal 1 s.d Pasal 15 UUPA terutama terkait dengan hak menguasai negara, fungsi sosial tanah, dan tanah negara, namun tetap berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah digariskan dalam UUPA. Hal ini mengingat bahwa ruang lingkup yang ada dalam UUPA sangat luas, meliputi bumi, air dan ruang angkasa. Dengan cakupan yang sangat luas itu maka justru seringkali menimbulkan berbagai permasalahan. Selain itu pengaturan hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA nampak menggabungkan antara hak-hak barat dan hak adat yang ada pada waktu sebelum lahirnya UUPA. Jadi perlu adanya pengaturan secara khusus mengenai pertanahan, untuk dapat memberikan

kepastian hukum dan kesederhanaan hukum. Selain itu, hak atas tanah dasarnya hanya pengakuan atas permukaan atas bumi. Konsep hak atas tanah ini harus diubah, yaitu tanah mencakup di atas dan di bawah permukaan bumi. Perkembangan konsep hak atas tanah ini perlu diformulasikan ke dalam pasal-pasal.10 Faktor ini juga didukung oleh telah terjadi Land grabbing, yaitu tanah individual atau tanah adat yang diambil secara tidak sah oleh private company. UU Pertanahan diperlukan sebagai landasan untuk memberikan akses masyarakat mewujudkan keadilan terkait dengan banyak terjadinya konflik pertanahan (tanah yang dikuasai oleh masyarakat kurang dari 10%).

RUU pertanahan juga diperlukan karena dewasa ini terdapat bermacam-macam masalah pertanahan. Untuk Pulau Jawa masalah timbul karena tanah dimiliki secara individualistis, sedangkan di luar Pulau Jawa masalah berkembang dari hak ulayat sebagai tanah bersama masyarakat hukum adat (berdasarkan kearifan lokal). Hak ulayat sebagai hak bersama di mana seluruh masyarakat hukum adat mempunyai tanah di wilayah hukum adat itu. Hak ulayat ini merupakan dasar bagi hukum tanah nasional berupa UUPA yang bersumber utama hukum adat. Ini berarti hukum tanah nasional adalah hukum adat. Semoga di Tahun 2015 ini kita sudah memiliki Undang-Undang Pertanahan yang baru, karena DPR RI telah berkomitmen untuk memprioritaskan pembahasan RUU Pertanahan tersebut. Ini menjadi klimaks dari

10 Ahmad Syafiq, hasil diskusi dengan Tim Penyusun RUU tentang Pertanahan Setjen DPR RI dalam rangka mendapatkan masukan terhadap penyusunan Naskah Akademik dan draf RUU tentang Pertanahan, 17 April 2012.

Page 69: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 67

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

segala permasalahan tentang pertanahan yang kompleks dan multidimensional.11

C. Kesimpulan

Sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara diberi kewenangan untuk menguasai bumi, termasuk tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berkenaan dengan pertanahan, negara berwenang untuk membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola dan melakukan pengawasan terkait dengan: peruntukan, persediaan dan pemeliharaan tanah; hubungan hukum antara orang dengan tanah; dan hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum mengenai tanah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang terbit pada 24 September 1960 telah mengatur dan menjabarkan tentang pertanahan dalam pokok-pokoknya atau garis besarnya. Dengan perkembangan ilmu dan teknologi, sosial-ekonomi, dan budaya serta kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks, UUPA perlu dilengkapi.

Demikian juga karena kebijakan ekonomi pada tahun 1970an cenderung diarahkan pada pertumbuhan, dalam berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan pertanahan terjadi penyimpangan dalam penafsirannya karena tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip-prinsip dasar UUPA, dan oleh karena itu perlu ditegaskan kembali. Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan disusun untuk melengkapi dan menjabarkan UUPA dan menegaskan penafsiran yang tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip-prinsip

11 Anonim, “Daftar 37 RUU Prirotas Prolegnas 2015”, http://hukumonline.com, diakses 30 Oktober 2015.

UUPA. Untuk mendukung upaya ini, falsafah UUPA dijadikan landasan, dan prinsip-prinsip UUPA diperkuat dan dikembangkan selaras dengan prinsip-prinsip Pembaruan Agraria. Penyusunan Undang-Undang tentang Pertanahan juga dimaksudkan untuk menjadi “jembatan antara” dalam rangka meminimalkan ketidakkonsitenan antara UUPA dengan UU di bidangsumberdaya alam terkait pertanahan, sesuai dengan amanat Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

DAFTAR PUSTAKA

Iman Soetiknjo, Proses Terjadinya UUPA, Peranserta Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1987, hlm 190.

Badan Pertanahan Nasional dalam Maria Sumardjono, “Pembaruan Agraria dan Sengketa Pertanahan”, presentasi RDPU Komisi II DPR RI, Jakarta 9 Februari 2012.

Subadi, Reforma Agaria, Makalah disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pejabat di Lingkup Perhutani, Madiun, 2015.

Anonim, “Sebuah Pandangan tentang Pengadilan Agraria”, http://garasi.in, diakses pada 27 Oktober 2015.

Anonim, “Naskah Akademik RUU Pertanah-an”, http://djpp.kemenkumham.go.id, diakses pada 30 Oktober 2015.

Anonim, “Daftar 37 RUU Prirotas Prolegnas 2015”, http://hukumonline.com, diakses 30 Oktober 2015.

Muh. Afdhal Yanuar, “Kontroversi Pembentuk-an Pengadilan Khusus Agraria”, http://afdalaktifis.blogspot.co.id ,diakses pada 27 Oktober 2015.

Page 70: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah HukumVolume 2 Nomor 1 Maret 2016; ISSN : 2407-8778

REKONSTRUKSI PENGELOLAANSUMBERDAYA HUTAN DI JAWA

DENGAN MODEL KOLABORATIF HOLISTIK

Sigit Sapto Nugroho1, Hilman Syahrial Haq2

1Mahasiswa Program Doktor (S3) Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta2Mahasiswa Program Doktor (S3) Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram

AbstrakPengelolaan sumberdaya hutan di Jawa selama ini bersifat top-down merupakan bagian dari legal positivistik yang berbasis pada sifat objektif, empiris dan rasional serta didukung dengan model sistematis, prosedural dan formal telah menjadi main-stream kuat di Indonesia mengakibatkan ketidakmampuan hukum dalam menyikapi problematika hukum di masyarakat yang semakin berkembang. Dipihak lain mulai terdapat pemikiran-pemikiran baru yang mengusung post positivistik di bidang hukum dengan paradigma yang bersifat subjektif, abstrak dan irasional serta didukung teologi dan Ketuhanan dengan pendekatan chaos theory of law yang menempatkan keteraturan dan ketidakteraturan hukum sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Di sinilah kehadiran model kolaboratif holistik dalam pengelolaan hutan menjadi keniscayaan.

Kata kunci: Pengelolaan Sumberdaya Hutan, Kolaboratif Holistik

AbstractManaging forest resources in Java has been a top-down is part of the legal positivistic, based on the nature of the objective, empirical and rational and supported by the model of systematic, procedural and formal has become main-stream strong in Indonesia resulted in the inability of law in addressing the problems of law growing community. On the other hand started there are new ideas that carries post positivistic legal paradigm that is subjective, abstract and irrational and supported theology and Deity with the approach of chaos theory of law that puts regularity and irregularity of the law as a whole unit (holistic). This is where the presence of the collaborative model of holistic forest management becomes a necessity.

Keywords: Forest Resources Management, Collaborative Holistic

Page 71: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 69

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

A. Pendahuluan

Kawasan hutan Indonesia selama ini telah banyak dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia, saat ini telah mengalami deforestasi hutan dan degradasi lahan, yang telah menimbulkan keprihatinan baik secara nasional maupun internasional. Bahkan pengelolaan sumberdaya hutan sampai saat ini masih diwarnai konflik –konflik diberbagai daerah yang tak kunjung selesai.

Potensi kawasan hutan tersebut, kurang/lebih 3 (tiga) juta Ha, terletak di pulau Jawa yang telah dikelola sejak tahun 1892 atau 122 tahun yang lalu, yang pengelolaannya pada perkembangan terakhir dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bernaung di bawah Departemen Kehutanan yaitu Perum Perhutani.

Pengelolaan hutan di Jawa yang secara yuridis dikelola oleh Perum Perhutani sejak tahun 1972. Pengelolaan hutan di Jawa sejak jaman penjajahan sampai saat ini, ternyata dari segi sosial-ekonomi (social economy) belum dapat dirasakan manfaatnya dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.1

Pelaksanaan Pengelolaan hutan meng-hadapi permasalahan yang bersifat kompleks

1 I Nyoman Nurjaya, 2001, Magersari (Studi Kasus Pola Hubungan Kerja Penduduk Setempat Dalam Pengusahaan Hutan, Desertasi, Pasca Sarjana UI, Jakarta, hal.15-20… lihat juga Subadi dan Sigit Sapto Nugroho, 2012, Model Mega Wana Agrowisata Kawasan Hutan Berbasis Pemberdayaan Potensi Lokal di Lereng Gunung Wilis Kabupaten Madiun Jawa Timur, laporan Hibah Kompetensi Dikti, hal 1…lihat juga Sigit Sapto Nugroho, 2014, Model Pengembangan Desa Konservasi Berbasis Pendayagunaan Potensi Lokal Kawasan Lindung Lereng Gunung Wilis Kabupaten Madiun Jawa Timur, Laporan Hibah Dosen Pemula Dikti, hal 3.

baik tataran yuridis normatif maupun dalam tataran pelaksanaan di lapangan yang sering mengakibatkan terjadinya konflik-konflik antara Perhutani dengan masyarakat sekitar hutan. Keadaan demikian ini memang tidak dapat terlepas dari adanya kepentingan terhadap pengelolaan hutan dan bahkan eksploitasi hutan untuk memenuhi sebuah ambisi kebutuhan pembangunan ekonomi nasional dengan dalih untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata.2

Perkembangan pengelolaan hutan yang selama ini dijalankan dalam tataran teoritis maupun tataran praktis telah terjadi krisis hukum yang begitu kompleks dan multi-dimensional, Realitas yang ada penyelesai an konflik-konflik hukum yang terjadi seperti halnya dalam pengelolaan sumberdaya hutan dipandang masih amat kurang memuaskan sehingga justru yang terjadi konflik-konflik masih sering terjadi. Dengan perasaan yang amat kurang puas mereka yang awam gampang untuk berprasangka akan adanya sesuatu yang koruptif sepanjang proses, tak lain akibat ulah aparat penegak hukum dan ulah oknum pejabat yang ada. Sementara itu para aktivis lebih berani menuduh ketidakadilan yang bersumber dari tiadanya lagi kemampuan hukum formal yang dibangun berdasarkan falsafah dan teori-teori positivisme 3 dalam ilmu hukum untuk memenuhi fungsinya sebagai sarana kontrol yang sekaligus mestinya juga harus lebih bersifat fasilitatif dalam kehidupan bermasyarakat yang kian

2 Sigit Sapto Nugroho, 2004, Pengelolaan Sumber daya Hutan Bersama Masyarakat (Studi Di Wilayah Kerja Perum Perhutani KPH Saradan Jawa Timur), Tesis,Universitas Brawijaya, Malang, hal 3

3 Soetandyo Wignyosoebroto 2002, Hukum: Paradigma, Metode Dan Dinamika Masalahnya, Elsam-Huma, Jakarta, hal 59

Page 72: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

70 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

tumbuh dan berkembang ke bentuk struktural organisatorisnya yang kian kompleks, majemuk dan heterogen.

Kendala utama di bidang hukum di Indonesia terletak pada pemikiran hukum yang teramat legal-positivistik, di mana ilmu hukum yang dipelajari dan dijadikan solusi terhadap krisis, semata-mata hukum positif, yang menganggap bahwa hukum Negara adalah satu-satunya hukum, diluar itu tidak ada hukum. Positivisme mengangkat ilmu hukum menjadi ilmu yang mempelajari hukum sebagai suatu bangunan atau tatanan yang logis-rasional, didukung dengan model sistematis, prosedur, formal dan berbentuk baku yang diterapkan dalam perundang-undangan. Sehingga hukum positip cenderung sebagai corong dari keinginan dan harapan yang dicita-citakan oleh pembentuknya.

Pada realitas hukum ada berbagai faktor kontradiktif yang melekat pada doktrin positivisme. Pertama, pemahaman hukum positif memerlukan kemahiran kebahasan dan kemahiran teknis, Hal demikian jarang dipunyai rakyat kecil. Kedua, persoalan hukum rakyat kecil dalam kehidupan sehari-hari identik dengan kebutuhan pokok (kebutuhan primer) artinya hukum positif akan bisa diterima masyarakat kecil apabila hukum positip mampu menopang kearah pencapaian kebutuhan primer dengan baik. Ketiga, keadilan hukum positip dimata rakyat kecil hanya bisa dicerna atas dasar kepekaan cita rasa dan bukan atas dasar logika rasional.

Identik dengan pemikiran Newtonian, hukum positif (sering disebut sebagai hukum modern) adalah karya manusia yang purposeful, sistematis logis – rasional sehingga segala sesuatu yang serba metafisis dan teologis dipandang sebagai abberational data sehingga mesti ditolak. Positivisme berolah ilmu dengan

cara-cara atomisasi, yaitu memecah-mecah, memilah-milah dan menggolong-golongkan objek yang dipelajari secara rasional. Sehingga dalam suasana tertib berfikir yang atomistik-linier-mekanistik, perkembangan ilmu hukum seakan-akan telah menemukan bentuknya yaitu hukum yang diperlukan bagi manusia modern. Hal ini yang ingin dicapai dengan hukum bukanlah keadilan dan kebahagiaan melainkan cukup membuat, menjalankan dan menerapkan hukum secara rasional, artinya hukum hukum sudah diyakini sebagai cermin kebenaran apabila orang sudah berpegangan pada rasionalitas itu. Hukum tidak untuk tujuan yang lebih besar dari sekedar rasionalitas. Akibatnya hukum menjadi kering.4

Perkembangan ilmu dan teori-teori hukum postmodern tidak bisa menerima begitu saja tertib berfikir yang atomistik-linier-mekanistik, Bagi ilmuwan-ilmuwan pengikut ini, hukum bukanlah statis tetapi dinamis. Hukum tidak bisa direduksi kedalam partikel-partikel yang lepas dan mandiri. Hukum yang utuh adalah kesatuan jaringan dari entitas-entitas yang dihubungkan dalam suatu proses interaksi, interkoneksi dan indeterminasi. Dalam hal ini hukum terlihat ketidakpastian (uncertainly) dan ada yang bersifat matafisis dan teologis. Untuk itu agar ilmu hukum dapat dilihat dari arti sebenarnya ilmu, realitas keteraturan maupun ketidak teraturan itu harus diterima dengan utuh, tidak boleh ada reduksi sebagaimana dilakukan positivisme. Cara untuk berolah ilmu terhadap realitas hukum yang kompleks adalah dengan menggunakan teori hukum yang bertolak dari realitas tak teratur atau kacau (chaos theory of law) dan sekaligus menempatkan keteraturan

4 Sudjito, 2014, Ilmu Hukum Holistik, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta hal vii

Page 73: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 71

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

dan ketidakberaturan hukum tersebut sebagai kesatuan yang utuh (holistik).

Berdasarkan realitas yang ada pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa selama ini dalam tataran empiris justru yang cenderung berhasil dalam pengelolaan hutan yang dilakukan masyarakat desa hutan dengan cara lokal-tradisional atau lebih dikenal dengan cara mendasarkan kearifan lokal atau cara-cara adat yang secara realitas ternyata tidak selalu tertib dan tunduk pada hukum formal begitu saja bahkan ketidakberaturan, tetapi lebih karena budaya hukum masyarakat dan hubungan ikatan batin (spiritual) yang kuat antara hutan dengan masyarakat sekitar hutan.

Untuk dapat mewujudkan sumberdaya hutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat memang tidak mudah. Untuk memecah-kan persoalan pengelolaan sumberdaya hutan secara nasional memang dibutuhkan ide-ide besar tetapi ide-ide besar biasanya berawal dari ide yang bersifat lokal, dengan kata lain perlu adanya perubahan mindset, yaitu mengawali kerja besar dari hal yang kecil. Dalam konsep atau pemikiran filosofis keberaturan maupun ketidakberaturan tidak perlu dipertentangkan sebagai entetitas yang terpisah tetapi harus dipandang sebagai suatu proses perubahan dan saling mempengaruhi. Di sinilah dalam tataran filosofis perlu adanya penghargaan terhadap pluralisme hukum, keunikan, keberagaman dan perbedaan.

Berangkat dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permalahan antara lain :1. Apakah pengelolaan sumberdaya hutan

di Jawa selama ini merupakan suatu tatanan hukum yang sistematis, logis dan rasional atau justru merupakan suatu tatanan hukum yang kompleks, dinamis dan penuh ketidakpastian?

2. Apakah adanya realitas hukum pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa yang kompleks, dinamis dan penuh ketidakpastian dapat mewujudkan pemikiran filosofis tatanan hukum holistik?

B. Metode Penelitian

Metode penelitian dengan studi pustaka dengan cara melakukan penelitian dan pem-bahasan data kemudian diuraikan dengan meng gunakan pendekatan integrasi antara ilmu hukum dengan kajian filsafat.

C. Pembahasan :

1. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Di Jawa Apakah Suatu Tatanan Hukum yang Sistematis, Logis dan Rasional atau Justru Merupakan Tatanan Hukum yang Kompleks, Dinamis dan Penuh KetidakpastianKonfigurasi hukum yang mengatur

penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia tercermin dalam rumusan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Filosofi penguasaan dan kemanfaatan sumber daya alam tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria/Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang menegaskan mengenai Hak Menguasai Negara (HMN), sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk mengatur hubungan-hubungan hukum dan perbuatan-perbuatan hukum warga negara yang menyangkut bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk sumber daya hutan.

Page 74: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

72 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

Dalam konteks penguasaan dan pengelola-an sumberdaya hutan maka Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan: “ Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Intinya hutan sebagai sumber kekayaan alam Indonesia pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, dan digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmur-an rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia. Dalam pengertian ini hutan “dikuasai” oleh negara, tetapi bukanlah berarti hutan “dimiliki” oleh negara, melainkan suatu pengertian yang meng-andung kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang dalam bidang hukum publik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Sebagimana dikemukakan Barber5 ideologi seperti yang dimaksud dalam konstitusi dan dijabarkan dalam perundang-undangan di atas merupakan cerminan dari artikulasi nilai dan norma serta konfigurasi hukum negara yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan, atau merupakan ekspresi dari ideologi yang memberi otoritas dan legitimasi kepada negara

5 Barber, Charles Victor, 1989, The State, The Environtmen, and Development : Genesisi and Transformation of Social Forestry Policy in new Order Indonesia, Doctoral Desertation University of California Barkeley, USA, hal 34-35

untuk menguasai dan mengelola sumber daya hutan dalam wilayah negara.6

Berangkat dari realitas yuridis normatif di atas bahwa pengelolaan sumberdaya hutan diarahkan pada tujuan utama yaitu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemerintah melalui kebijakan top-down yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat legal formal, sistematis dan rasional mengatur kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan, Hal ini merupakan bagian dari pemikiran aliran ilmu hukum positivistik.

Menurut Satjipto Raharjo7, ilmu hukum yang berkembang saat ini khususnya di Indonesia cenderung menjadi ilmu praktis (practical science) dan bukan (belum) me-rupakan ilmu hokum sebagai sebenar ilmu (genuine science). Dinyatakan bahwa “…kita telah terjebak pada konsep hukum para professional yang disebut “lawyer’s law, “law for the lawyers” atau “law for profesionals….”. Suatu konsep hokum yang lahir dari pemikiran kaum positivis yang hanya mau mengakui kebenaran itu pada hal-hal yang praktis, yaitu realitas yang pasti, bisa dibuktikan dan bisa diterima akal (logika). Ilmu hukum sebagai practical science bekerja dengan menggarap teks-teks normatif yang disebut hukum positif. Ia tidak menggarap hokum dari realitas yang utuh, tetapi sebatas realitas yang logis –rasional saja. Identik dengan pemikiran Newtonian, yang melihat alam sebagai suatu bangunan yang sistematis, mekanistis, linier dan deterministik, para positivistis juga menghendaki agar hokum modern itu harus rasional, sistematis dan logis.

6 Peluso, Nancy Lee, 1992, Rich Forests Poor People, University Of California Press, Barkeley-Los Angeles-Oxford, hal 11

7 Sudjito, Ibid, hal 4

Page 75: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 73

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah dengan peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan sumberdaya hutan melihat bahwa hukum dipositipkan dalam wujud sebagai perundang-undangan atau hukum formal (hukum negara) yang dibuat melalui cara-cara mekanis sehingga hukum itu rasional dan sistematis. Tuntutan positivisasi setiap norma hukum menurut sejarahnya dilakukan demi tertatanya kehidupan bernegara modern yang mnjamin kepastian hukum dan kebebasan bagi setiap individu warga negaranya.

Dalam paradigma positivisme tatanan hukum merupakan salah satu tatanan social yang mendukung terwujudnya kehidupan masyarakat yang sedikit banyak tertib dan teratur. Dalam pandangan Satjipto Rahardjo, ciri tatanan hukum yang menonjol apabila dibandingkan dengan tatanan yang lain (tatanan kebiasaan dan kesusilaan) yaitu pada penciptaan hukum yang murni dibuat sengaja oleh suatu badan perlengkapan dalam masyarakat yang dibentuk untuk itu. Pada proses penciptaanya tatanan hukum didukung oleh norma-norma yang secara sengaja dan sadar dibuat untuk menegakkan suatu jenis norma-norma yang secara sengaja dan sadar dibuat untuk menegakkan suatu jenis ketertiban tertentu dalam masyarakat. Pihak yang menentukan jenis ketertiban itu tidak lain adalah masyarakat atau perwakilannya yang ditunjuk melalui mekanisme kerja tertentu. Kelompok masyarakat inilah yang kemudian memiliki wewenang sah untuk menciptakan hukum itu.8

Menurut Hans Kelsen hukum berurusan dengan bentuk (formal), bukan isi (materi). Jadi keadilan sebagai isi hokum berada diluar

8 Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, Alumni Bandung, hal 17

hokum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tetapi tetaplah hokum karena dibuat dan dikeluarkan penguasa. Hukum adalah keharusan mengatur tingkah laku manusia sebagai makluk rasional.9

Salah satu ciri hukum modern adalah dalam hal penggunannya secara aktif dan sadar untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Kesadaran tersebut menyebabkan hokum modern menjadi sangat instrumental sifatnya. Kehidupan ini seakan bisa direkayasa dengan sbuah hukum, dan perekayasanya adalah kaum elite. Hal ini sebagaimana dalam hukum kehutanan dimana hukum lebih hanya sebagai instrumen untuk mencapai tujuannya. Dilihat dari perspektif strategi pembangunan hukum, maka yang selama ini dijalankan dalam pengelolaan hutan di Indonesia adalah pembangunan hukum yang represif (repressive law) yang bersifat positivis instrumentalis. Dalam tatanan hukum represif, hukum sebagai abdi kekuasaan represif dari pemerintah yang berdaulat (pengemban kekuasaan politik) yang memiliki kewenangan tanpa batas. Dalam tipe ini, maka hukum dan negara serta hukum dan politik tidak terpisah sehingga aspek instrumental dari hukum sangat mengemuka dari aspek ekspresifnya.10

Paradigma ini merupakan kreasi dari suatu bingkai budaya kontrol (culture control) terhadap sumber daya alam khususnya sumber daya hutan yang berbasiskan Negara (State-based forest resource management) yang semata-mata dikelola untuk kepentingan pendapatan dan devisa negara . Paradigma seperti ini dicirikan dengan perilaku dan orientasi yang

9 Ibid, hal 242-24610 Nonet, Philip dan Zelznik, philip, 1978, Law

and Society in Transition : Toward Resonsive Law, New York, Harper & Raw, hal 14-15

Page 76: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

74 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

cenderung mengatur dan mengendalikan (policing and controling) meraih keuntungan jangka pendek, perencanaan yang kaku, pengambilan keputusan yang unilateral dan menjadi andalan bagi pendapatan dan devisa negara. Bentuk institusi dan implementasinya berciri sentralistik, pengelolaan tunggal oleh departemen, pendekatan atas bawah (top-down), orientasi target, perencanaan makro, penganggaran yang ketat, pendekatan sekuriti, dan cenderung menerapkan banyak sanksi. Sedangkan metode pengelolaanya memiliki ciri-ciri antara lain kaku, tujuan tunggal, homogen, produk tunggal, sistem silvikultur tunggal, dan hubungan majikan buruh.11

Dalam tataran empiris yuridis pengelolaan sumberdaya hutan ternyata tidak hanya mendasarkan pada legal formal saja artinya ada hukum yang hidup didasarkan pada kearifan local masyakat setempat. Atau kalau di Indonesia umumnya merupakan masyarakat sederhana. Di mana ciri-ciri sebuah masyarakat sederhana antara lain dapat dilihat dari struktur hukumnya yang lebih menonjolkan peran norma adat. Dalam masyarakat sederhana seperti itu hukum pengelolaan sumberdaya hutan tidak hanya dipahami sekedar teks-teks normative tentang apa yang seharusnya dipatuhi, ditaati dan dilakukan tetapi juga merupakan bagian integral dari kehidupan seluruh warga sekitar hutan. Sebagai contoh kehidupan masyarakat Samin di Bojonegoro yang mengelola hutan diwilayahnya dengan menggunakan cara-cara

11 I Nyoman Nurjaya, 1999, Menuju Pengelolaan Sumberdaya Hutan yang Berorientasi pada Pola Kooperatif: Perspektif Legal Formal dalam Awang, san Afri & Bambang Adi S, (editor), Perubahan Arah dan Alternatif Pengelolaan Sumber daya Hutan perhutani di Jawa, Perhutani & Fakultas Kehutanan UGM, Jogjakarta, Hal. 8).

tradisional sesuai dengan hokum adat mereka tetapi hutan dapat dijaga kelestariannya dengan baik karena alam dilihat secara sains-sakral adanya hubungan yang mendasarkan keridaan Tuhan.

Secara realitas bahwa pengelolaan sumberdaya hutan dalam masyarakat adat yang merupakan daerah kawasan hutan memberikan gambaran cukup jelas bahwa komunitas lokal ( pesanggem=petani hutan), (blandong=pekerja hutan) hukum pengelolaan sumberdaya hutan tidak sekedar bermakna sebagai teks-teks yang normatif yang mengatur bagaimana mengelola dan peduli terhadap hutan belaka tetapi jugaterkait dengan kegiatan-kegiatan sosial, budaya, adat, bahkan keagamaan. Realitas demikian membuktikan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa hanya dapat dilihat sebagai bangunan hokum yang sistematis, logis-rasional tetapi juga menjalankan interaksi yang kuat dalam dan dengan lingkungan masyarakatnya yang kompleks, dinamis dan penuh dengan ketidak pastian.

Artinya masyarakat diberikan peran untuk melakukan pemberdayaan sesuai dengan kearifan lokal yang ada. Karena konsepsi pemberdayaan ini mempunyai asumsi bahwa pembangunan akan berjalan dengan sendirinya apabila masyarakat dengan kearifan lokal yang dimilikinya diberi hak untuk mengelola sumber daya alam. Selain konsep pemberdayaan juga sangat menuntut adanya penghormatan terhadap keberagaman, kekhasan lokal dan peningkatan kemandirian lokal. 12

12 Pranarka, A.M.W. Vidhyandika Moeljarto, 1996, Pemberdayaan (Empowerment) dalam Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan, dan Implementasi (penyunting Onny S. Prijono & AMW Pranarka), CSIS, Jakarta, hal 58

Page 77: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 75

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

Menghadapi dan menjelaskan kenyataan tentang pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa yang kompleks tentunya tidak hanya dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang linier-mekanistik seperti dalam ajaran legal positivistik. Keberadaan hukum pengelolaan sumberdaya hutan yang kompleks, dinamis dan penuh ketidak pastian tidak boleh digolongkan sebagai realitas yang salah, menyimpang ataupun abberational data sehingga perlu direduksi. Pereduksian atas realitas sangat bertentangan dengan sikap ilmiah yang bertolak dari pengamatan terhadap yang benar-benar ada dalam masyarakat. Untuk memahami realitas demikian diperlukan teori hukum yang bertolak dari realitas hukum yang tak teratur atau kacau (chaos) dan sekaligus menempatkan keteraturan dan ketidak aturan hukum sebagai suatu satu kesatuan yang utuh (holistik).

Adanya kedua sistem hukum pengelolaan sumberdaya hutan baik secara legal formal dan cara-cara kearifan lokal yang kompleks dinamis dan penuh ketidakpastian bertemu tejadilah interaksi, komunikasi dan saling mempengaruhi sehingga hukum pengelolaan sumberdaya hutan dalam keutuhan menjadi bersifat cair (fluid, mellee), tidak memiliki struktur pasti, bahkan cenderung asimetris. Keadaan dan sifat hukum yang demikian terkait kekuatan sentripetal dan sentrifugal dalam masyarakat. Yang dimaksud kekuataan sentripetal dan kekuatan sentrifugal adalah kekuatan yang berpangkal dari unsur-unsur kemanusiaan yang berupa rasio dan kalbu. Ketika penggunaan rasio lebih dominan daripada kalbu maka pengelolaan sumberdaya hutan cenderung eksploitatif hanya mengejar keuantungan bagi kaum kapitalis. Pada kondisi demikian hukum menjadi tidak teratur (disodered). Tetapi ketika disadari

bahwa keteraturan hukum merupakan prasyarat bagi kehidupan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, akan terjadi interaksi antar stakeholders untuk mewujudkan keteraturan hukum (ordered).

Masyarakat yang cair (social melee) berkonsekuensi pada tatanan hukum yang cair (legal melee), untuk menyebut tatanan hukum yang tidak teratur dan kompleks, karena masyarakat bersifat asimetris dan juga kompleks, maka sebagai suatu realitas mikro dari masyarakat hukumpun demikian. Masyarakat merupakan himpunan dari serbaragam relasi bangunan mencerminkan berbagai pengaruh saling mempengaruhi kepentingan.13

2. Pengaturan Hukum Pengelolaan Sum-berdaya Hutan di Jawa yang Kompleks, Dinamis dan Penuh Ketidak pastian dapat Mewujudkan Pemikiran Filosofis Menuju Tatanan Hukum Holistik.Berangkat dari pelaksanaan pengelolaan

sumberdaya hutan di Jawa yang cenderung bersifat top down, legal formal, sistematis dan logis yang merupakan hegemoni paradigma positivisme (hukum modern) yang identik dengan peraturan perundang-undangan. Di mana sistem hukum modern positivistik mencerminkan logika-empirisme dengan memahami hukum secara rasional dan hukum sebagai realitas objektif di masyarakat. Sistem ilmu hukum modern positivistik memberikan dominasi peran manusia dalam menggali rasionalitas dan kenyataan objektif, serta melepaskan dari peran Tuhan. Sistem hukum logika-empirisme seperti tergambarkan oleh konsep aufklarung yang mengutamakan

13 Absori, Kelik Wardiono, Saepul Rochman, 2015, Hukum Profetik, Genta Publising, Yogyakarta., hal 216

Page 78: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

76 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

kebebasan asasi manusia dengan tokoh-tokoh seperti Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu dan Rousseau.

Sistem hukum modern positivistik yang mengesampingkan peran Tuhan akhirnya menimbulkan masalah-masalah dalam dunia hukum. Kebebasan asasi manusia dengan rasio dan realitasnya. Kehidupan manusia menjadi kering dan kehilangan makna, karena ilmu hukum modern positivistik tidak dapat menyentuh pada aras batiniah yang spiritual. Immanuel Kant dengan konsep idealisme berusaha tidak membatasi pada logika-empirisme, tetapi juga melihat etika dan teologi keTuhanan. Begitu juga dengan Hegel yang tidak membatasi pada logika-empiris, tetapi juga melihat sejarah, negara, agama dan Tuhan.

Kini era modernisme itu sudah hampir berakhir. Fenomena postmodern telah hadir menandai berakhirnya sebuah cara pandang modernisme yang bersifat universal. Etos postmodern adalah menolak penjelasan yang universal dan konsisten. Mereka menggantikan semua itu dengan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan maupun terhadap apa yang bersifat khusus (partikular dan lokal). Posmodern menolak penekanan pada ketunggalan metode penemuan ilmiah melalui scientific method, yang merupakan fondasi intelektual dari modernisme untuk menciptakan dunai lebih baik. Secara singkat dapat dikatan postmodernisme anti-modernisme, dan secara mutatis mutadis postpositivisme anti positivisme.

Menurut teori ketidakteraturan hukum oleh Charles Sampford dalam bukunya “The Disorder of Law, A Critique of Legal Theory, Asumsi dasar teori ini adalah hubungan-hubungan social bersifat asimetris. Hal ini terjadi berlangsung karena hubungan-

hubungan tersebut bertumpu pada kekuatan dan wewenang individu atau pihak-pihak. Para pihak mempersepsikan secara berbeda-beda mengenai hubungan social termasuk hubungan hokum. Oleh karenanya, hal yang dipermukaan kelihatan teratur, tertib dan pasti apabila dicermati ternyata penuh dengan ketidakteraturan, ketidaktertiban dan ketidakpastian. Keadaan yang tidak memiliki formal-formal atau struktur yang pasti yang oleh Sampford diistilahkan dengan melle.

Atas dasar asumsi yang demikian itu menurut Sampford, hukum sesungguhnya bukan merupakan institusi yang sistematis, logis-rasional melainkan merupakan realitas yang cair (legal melee). Berdasarkan hal demikian makna suatu undang-undang bukan semata-mata ditentukan oleh yang tersurat dalam aturan formal tersebut melainkan ditentukan posisi posisi individu atau para pihak yang melakukan hubungan hukum.

Sebagaimana pendapat di atas Sampford menyatakan bahwa masyarakat pada dasarnya tanpa sistem atau dalam kondisi asimetris yang disebut ilmu hukum nonsitemik. Hukum adalah bagian dari onsi masyarakat, dalam keadaan yang demikian maka hukumpun melee (legal melee). Dalam pemikiran ilmu hukum nonsistemik terdapat pluralitas, transformasi, keanekaragaman, perbedaan, diversitas yang selama ini keberadaanya tidak dianggap dalam tradisi hukum yang sistemik.14

Dengan demikian dipandang dari sudut teori ketidakteraturan hukum pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa yang digambarkan bersifat kompleks, dinamis dan penuh dengan ketidakpastian, dimana adanya peran masyarakat lokal dengan kearifannya terkadang tidak dapat dilakukan dengan

14 Ibid, Hal viii

Page 79: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 77

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

pendekatan legal positivistik yang bersifat linier-mekanistik tidak boleh digolongkan sebagai realitas yang salah atau menyimpang. Untuk melihat hal yang demikian teori ketidakteraturan hukum Sampford mendorong hadirnya teori kekacauan (chaos theory) atau teori kekacauan dalam hukum (chaos theory of law).

Berdasarkan teori kekacauan hukum melihat pemahaman bahwa hukum meupakan realitas yang kompleks, tak teramalkan, simpangsiur, dan acak. Pandangan teori ini indeterministik artinya memandang segala sesuatu serba tak pasti. Tesis umunya bahwa kekacauan sebagai metafora dari fungsi hukum merupakan sarana kuat untuk menggambarkan dan memahami hukum dengan lebih baik. Sejalan hal demikian Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip Sudjito15 berpandangan bahwa untuk memahami realitas hukum yang kompleks, tentulah tidak dapat dilakukan dengan pendekatan linier-mekanistik-rasional, seperti dalam ajaran rechdogmatik atau legal-positivisme. Untuk menghadapi realitas yang kompleks diperlukan ketersediaan ilmuwan untuk melihat dunia hukum bukan sebagai keadaan yang serba tertib dan teratur melainkan keadaan yang kacau (chaos).

Perlu diketahui bahwa hingga saat ini chaos theory sering dipandang dengan pandangan yang keliru, termasuk chaos theory of law ketidakteraturan belaka. Chaos theory tidak menyatakan bahwa system yang teratur itu tidak ada. Istilah chaos dalam chaos theory justru merupakan “keteraturan”, bahkan esensi keteraturan. Ketidkteraturan memang hadir ketika ilmuwan mengambil pandangan reduksionistik dan memusatkan perhatian pada perilaku saja, tetapi kalau sikap

15 Sudjito, Opcit, hal 27

holistic yang digunakan dalam memandang pada perilaku keseluruhan system terpadu keteraturan yang akan nampak. Jadi chaos theory yang dianggap berkenaan dengan ketidakteraturan pada saat yang sama berbicara tentang keteraturan. Ketidakteraturan dalam pandangan reduksionistik merupakan keteraturan dalam pandangan holistik.

Adanya hukum pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa yang bersifat kompleks, dinamis dan penuh ketidakpastian harus dipandang dari hukum sebagai realitas yang utuh tanpa adanya reduksi bertumpu pada paradigma holistik..

Paradigma holistik yang dipelopori oleh Fritjof Tjapra16 turut mempengaruhi pemikiran ilmu hukum di Indonesia. Terdapat beberapa ilmu hukum yang menggunakan konsep holistik untuk menganalisis dan metodologis.. Menurutnya paradigma hukum holistik diawali dari tulisan Tjapra “turning point” atau sebagai masa ketidakmampuan melihat kehidupan secara utuh, sehingga menyebabkan krisis dimensi intelektual, moral dan spiritual. Manusia tidak dapat memusatkan perhatian pada objek yang dipisahkan dari lingkungannya dan membiarkan objek ter sebut bersatu dengan lingkungannya. Kehidupan adalah suatu jaringan besar, sehingga terhadap masing-masing bagian dapat dilakukan studi, tetapi masing-masing tidak dapat dipelajari dan dipahami secara terisolasi. Menurut Theresia17 paradigma hukum holistik berusaha melihat gejala-gejala

16 Fritjof Tjapra, 2007, The Turning Point; terjemahan Titik Balik Peradaban, Penerbit Jejak Yogyakarta, hal 47

17 Theresia Anita Christiani, 2008, Studi Hukum Berdasarkan Perkembangan Paradigma Pemikiran Hukum Menuju Metode Holistik, Jurnal Hukum Pro Justitia Vol 26

Page 80: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

78 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

dalam masyarakat sebagai fenomena hukum dengan tidak meninggalkan realitas kehidupan masyarakat, sehingga gambaran hukum yang dihasilkan menjadi utuh.

Pendapat serupa dinyatakan Khudzaifah Dimyati bahwa pemikiran untuk mengem-bangkan teori hukum di Indonesia di masa depan tidak hanya mengadopsi pemikiran yang memiliki setting Indonesia akan tetapi juga mempertimbangkan relasi-relasi hukum yang bersifat global sebagai bahan pemikiran dan membangun teori hokum di Indonesia merupakan intellectual activity yang membutuhkan pemikiran yang mendalam dengan perspektif holistik.18

Berdasarkan realitas yang ada dalam pengelolaan sumberdaya hutan harus diterima secara utuh akan menjadi sebuah tatanan (order). Tatanan(oder) yang utuh merupakan kesatuan antara tujuan, asas-asas hokum dan prosedur hukum. Tujuan dan asas-asas hukum pada dasarnya merupakan penampakan dari niat sebagai nilai moralitas hukum yang paling dasar, sedangkan prosedur hukum merupakan penjabaran dari asas-asas hukum tersebut. Dalam konteks paradigma holistik tatanan (order) yang progresif membuat ruang gerak terhadap pluralisme hukum dan memberikan kesempatan kepada stakeholders untuk bermusyawarah menemukan kebenaran yang lebih dekat dengan Allah Swt.

Hukum pengelolaan sumberdaya hutan sebagai tatanan (order) bukan merupakan tatanan yang mutlak serta final melainkan berada dalam proses untuk terus menjadi tatanan yang terus menerus mebangun menuju tingkat kesempurnaan yang baik sehingga hokum pengelolaan sumberdaya hutan dapat

18 Khudzaifah Dimyati, 2014, Pemikiran Hukum, Genta Publising, Yogyakarta, hal vii

menjadi sarana untuk mewujudkan tercapainya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selama proses berlangsung perlu kepekaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik tingkat lokal, nasional maupun global dan hendaknya tetap konsisten mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bukan untuk memihak kepentingan kelompok masyarakat ataupun Negara tertentu.

Tolok ukur keadilan dan kesejahteraan itu bukan semata-mata pada hal-hal yang rasional dan bersifat lahiriah melainkan mencakup ter-penuhinya kebutuhan-kebutuhan bathiniah, metafisis dan spiritual-religius. Suasana tertib, teratur da pasti itu ternyata tidak serta merta melekat dalam kehidupan masyarakat. Betapapun masyarakat maupun pemerintah seakan nyakin bahwa ketertiban, keteraturan dan kepastian itu merupakan condition sine quanon bagi terwujudnya kehidupan yang lebih produktif, tetapi realitas dari dan di dalam ketertiban, keteraturan dan kepastian senantiasa muncul ketidaktertiban, ketidak-teraturan dan ketidakpastian. Order dan disorder senantiasa ada dalam aras proses social yang berkesinambungan. Melalui proses social yang didasarkan pada paradigma holistik semua kekacauan (chaos) dapat dikelola sebuah peluang terwujudnya system hokum sebagai tatanan (order) yang utuh. Ketertiban, keteraturan dan kepastian tidak sekedar ditempatkan pada konteks hukum Negara, tetapi juga dalam konteks sunatullah yang menghargai pluralisme hukum dalam proses yang berporos pada Allah Swtdan menuju keridaan Allah Swt. Proses ini diawali dari diri setiap manusia (ibda’ bi nafsihi) sebagai manuaia pribadi, makluk sosial dan sekaligus khalifatullah.

Page 81: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, YUSTISIA MERDEKA 79

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

D. Kesimpulan

1. Pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa dalam tataran yuridis normatif member-lakukan hukum bersifat sentralistik-formal-rasional melalui kebijakan yang bersifat top-down sehingga hukum merupakan bangunan yang teratur dan penuh kepastian tetapi dalam tataran yuridis empiris pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa didasarkan pada cara-cara lokal tradisional yang bersifat komplek, dinamis dan penuh ketidakpastian. Ketika dua system hukum bertemu terjadi interaksi, komunikasi dan saling mempengaruhi sehingga hukum pengelolaan sumberdaya hutan dalam keutuhanya bersifat cair (melee), tidak memiliki struktur yang pasti dan cenderung asimetris. Berubahnya hukum yang penuh keteraturan menjadi bersifat cair karena adanya kekuatan yang berpangkal pada rasio dan kalbu.

2. Melalui pemikiran filosofis secara holistik menunjukan bahwa realitas hukum yang kompleks, dinamis apabila diterima secara utuh dapat menjadi sebuah tatanan (order). Di mana untuk mewujudkan tatanan tersebut perlu kesatuan antara tujuan, asas dan prosedur hukum yang merupakan nilai moralitas hukum yang paling dasar. Dalam konteks paradikma holistik sebuah tatanan merupakan cermin kesatuan antara unsur kemanusiaan, kesatuan manusia dengan alam dan kesatuan manusia dengan Tuhan. Dimana tatanan yang progresif senantiasa membuka ruang gerak terhadap pluralisme hukum dan mendorong stakeholders untuk bermusyawarah menemukan kebenaran yang lebih dekat dengan Allah Swt guna

mewujudkan sumberdaya hutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

DAFTAR PUSTAKA

Absori, Kelik Wardiono, Saepul Rochman, 2015, Hukum Profetik, Genta Publising, Yogyakarta

Barber, Charles Victor, 1989, The State, The Environtmen, and Development : Genesisi and Transformation of Social Forestry Policy in new Order Indonesia, Doctoral Desertation University of California Barkeley, USA

Fritjof Tjapra, 2007, The Turning Point; ter-jemahan Titik Balik Peradaban, Penerbit Jejak Yogyakarta

I Nyoman Nurjaya, 1999, Menuju Pengelolaan Sumberdaya Hutan yang Berorientasi pada Pola Kooperatif: Perspektif Legal Formal dalam Awang, san Afri & Bambang Adi S, (editor), Perubahan Arah dan Alternatif Pengelolaan Sumber daya Hutan perhutani di Jawa, Perhutani & Fakultas Kehutanan UGM, Jogjakarta

……….,2001, Magersari (Studi Kasus Pola Hubungan Kerja Penduduk Setempat Dalam Pengusahaan Hutan, Desertasi, Pasca Sarjana UI, Jakarta

Kudzdaifah Dimyati, 2014, Pemikiran Hukum, Genta Publising, Yogyakarta

Nonet, Philip dan Zelznik, philip, 1978, Law and Society in Transition: Toward Resonsive Law, New York, Harper & Raw

Peluso, Nancy Lee, 1992, Rich Forests Poor People, University Of California Press, Barkeley-Los Angeles-Oxford

Pranarka, A.M.W. Vidhyandika Moeljarto, 1996, Pemberdayaan (Empowerment) dalam Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan,

Page 82: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

80 YUSTISIA MERDEKA, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

dan Implementasi (penyunting Onny S. Prijono & AMW Pranarka), CSIS, Jakarta

Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, Alumni Bandung

Subadi dan Sigit Sapto Nugroho, 2012, Model Mega Wana Agrowisata Kawasan Hutan Berbasis Pemberdayaan Potensi Lokal di Lereng Gunung Wilis Kabupaten Madiun Jawa Timur, laporan Hibah Kompetensi Dikti

Sigit Sapto Nugroho, 2014, Model Pengembangan Desa Konservasi Berbasis Pendayagunaan Potensi Lokal Kawasan Lindung Lereng Gunung Wilis Kabupaten Madiun Jawa Timur, Laporan Hibah Dosen Pemula Dikti

………., 2004, Pengelolaan Sumber daya Hutan Bersama Masyarakat (Studi Di Wilayah Kerja Perum Perhutani KPH Saradan Jawa Timur), Tesis,Universitas Brawijaya, Malang

Soetandyo Wignyosoebroto 2002, Hukum: Paradigma, Metode Dan Dinamika Masalahnya, Elsam-Huma, Jakarta

Sudjito, 2014, Ilmu Hukum Holistik, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta

Theresia Anita Christiani, 2008, Studi Hukum Berdasarkan Perkembangan Paradigma Pemikiran Hukum Menuju Metode Holistik, Jurnal Hukum Pro Justitia Vol 26

Page 83: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

PEDOMAN PENULISAN NASKAHJURNAL YUSTISIA MERDEKA

Jl. Serayu No.79 Madiun 63133Telp. (0351) 457777. Fax. (0351) 492425

Email : [email protected]

1. Naskah merupakan tulisan ilmiah dalam bentuk narasi yang berupa artikel ilmiah hasil penelitian, gagasan konseptual, analisis kritis di bidang hukum, konstitusi dan isu-isu ketatanegaraan;

2. Naskah merupakan karya sendiri (tidak plagiat) dan belum pernah dipublikasikan di media lain;

3. Sistematika penulisan naskah gagasan konseptual atau pemikiran ilmiah meliputi : Judul, Nama Penulis, Instansi, E-mail (jika ada), Abstract, Key words, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Pembahasan (langsung dibuat menjadi sub-sub judul sesuai dengan persoalan yang dibahas), Penutup (Simpulan dan Saran), Daftar Pustaka;

4. Sistematika penulisan naskah ilmiah hasil penelitian meliputi : Judul, Nama Penulis, Instansi, E-mail (jika ada), Abstract, Key words, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Perumusan Masalah, Metode Penelitian, Hasil Penelitian dan Pembahasan, Penutup (Simpulan dan Saran), Daftar Pustaka;

5. Naskah diketik dengan 1,5 spasi dengan menggunakan kertas ukuran A4; Huruf naskah Times New Roman dengan ukuran font 12;

6. Jumlah halaman naskah minimal 15, dan maksimal 20 halaman;7. Ukuran Margin kiri 4 cm, dan margin atas, bawah serta kanan 3 cm;8. Naskah ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan/atau bahasa inggris; 9. Abstrak diketik dengan spasi satu/tunggal dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris

maksimal 100 - 150 kata dilengkapi dengan kata kunci dengan jumlah 3 – 5 kata;10. Kata kunci diurutkan sesuai dengan alfabet;11. Abstract (bahasa inggris) diletakan setelah judul naskah dan nama penulis, sedangkan abstrak

(bahasa indonesia) diletakan setelah abstract (bahasa inggris);12. Setiap kutipan diberikan keterangan sumber kutipan dengan menggunakan model footnote,

tata cara penulisannya berupa: Nama pengarang (tidak dibalik dan tanpa gelar), tahun penerbitan, judul buku (dicetak miring), tempat penerbitan: penerbit, halaman kutipan (ditulis hlm.)Contoh untuk buku Teks:Alwi Wahyudi, 2014, Ilmu Negara dan Tipologi Kepemimpinan Negara, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, hlm. 35.

Page 84: DAFTAR ISI YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum Volume …unmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Jurnal Yustisia... · mutu kertas, cetakan dan sebagainya. Buku-buku bajakan

Contoh untuk Jurnal:Subadi, 2012, Desentralisasi Pengelolaan Tanah Kawasan Hutan di Jawa antara Harapan

dan Kenyataan, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 13. No. 3, Edisi Pebruari 2012, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hlm.460.

Contoh untuk Web Site:Sigit Sapto Nugroho, 17 Maret 2014, “Tinjauan Yuridis Kewenangan Pemerintah daerah

dalam Pengelolaan Minyak dan Gas dalam Perspektif Otonomi Daerah”, tersedia di website http: //www.unmermadiun/repository jurnal/ diakses tanggal 10 Agustus 2014;

13. Kata asing/istilah asing/istilah daerah yang belum diadopsi menjadi bahasa Indonesia diketik dengan diberi huruf miring/italic;

14. Tiap naskah diutamakan menggunakan pustaka primer berupa artikel ilmiah yang telah diterbitkan di Jurnal Ilmiah.

15. Jumlah pustaka yang digunakan minimal 10 buah terbitan 10 tahun terakhir dengan 80 % diantaranya adalah pustaka primer.

16. Penulis wajib mencantumkan nomor telpon dan e-mail yang dapat dihubungi;17. Naskah dikirimkan ke e-mail: [email protected], dalam bentuk softcopy

dalam Microsoft Word dengan bentuk file.doc; 18. Naskah yang dimuat adalah naskah yang mengikuti kaidah dalam pedoman penulisan dan

dinyatakan layak berdasarkan hasil penyuntingan dari penyunting pelaksana dan penyunting ahli;

19. Naskah yang tidak dimuat akan diberitahukan.