daftar isi - sinta.unud.ac.id · pada jaman sekarang pemerintah daerah sebagai bagian yang tidak...
TRANSCRIPT
1
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN…...……………………………………………. i
HALAMAN SAMPUL DALAM …………………………..…………….......... ii
HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM …………...... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI …..……………… iv
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ………..…….. v
KATA PENGANTAR …………………...…………………………………...... vi
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN …………………..………………….... ix
DAFTAR ISI …...………………...……………………………………………... x
ABSTRAK ……………………………………..…………………………........ xii
ABSTRACT ………………………………………..……………………...….. xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................... 6
1.3. Ruang Lingkup Masalah ................................................................................. 6
1.4. Originalitas Penelitian .....................................................................................6
1.5. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 8
a. Tujuan Umum ............................................................................................ 8
b. Tujuan Khusus ........................................................................................... 8
1.6. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 9
a. Manfaat Teoritis ......................................................................................... 9
b. Manfaat Praktis .......................................................................................... 9
1.7. Landasan Teoristis .......................................................................................... 9
x
2
1.8. Metode Penelitian ......................................................................................... 20
a. Jenis Penelitian ......................................................................................... 20
b. Jenis Pendekatan ...................................................................................... 20
c. Sumber Bahan Hukum ............................................................................. 21
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ....................................................... 21
e. Teknik Analisis ........................................................................................ 22
BAB II TINJAUAN UMUM
2.1. Pengertian Kewenangan ................................................................................ 23
2.2. Pengertian Pemerintahan Desa ...................................................................... 27
2.3. Peraturan Desa .............................................................................................. 33
BAB III KEWENANGAN PEMERINTAHAN DESA DALAM
MEMBENTUK MATERI MUATAN PERATURAN DESA
3.1. Kewenangan Pemerintahan Desa Dalam Undang-Undang Desa .................. 35
3.2. Materi Muatan Dalam Peraturan Desa .......................................................... 40
BAB IV ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM MEMBENTUK
PERATURAN DESA
4.1. Asas-Asas Dalam Pembentukan Peraturan Desa Menurut UU 12 Tahun
2011................................................................................................................45
4.2. Asas-Asas Dalam Pembentukan Peraturan Desa Menurut Undang-Undang
Desa ............................................................................................................. 58
BAB V PENUTUP
5.1. Simpulan........................................................................................................ 70
5.2. Saran............................................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 73
xi
3
ABSTRAK
Adanya dualisme pemerintahan desa di Bali, yaitu antara desa adat
dengan desa dinas selaku bagian dari pemerintah kabupaten/kota. Hal tersebut
diakibatkan masih adanya pemikiran bahwa desa dinas adalah sebagai daerah
otonom. Sedangkan secara yuridis yang memiliki otonomi adalah desa adat.
Berdasarkan konsep negara kesatuan tidak boleh ada negara di dalam negara.
Berlakunya UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan yang menyatakan peraturan desa termasuk dalam hierarki peraturan
perundang-undangan diharapkan tidak akan menimbulkan konflik kewenangan
antara desa dinas dengan desa adat.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah
metode penelitian yang bersifat normatif. Penelitian ini meneliti materi muatan dan
asas-asas yang digiunakan dalam pembentukan peraturan desa. Ada dua
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu materi muatan peraturan
desa dan asas-asas yang digunakan dalam membentuk peraturan desa. Dengan
diketahui materi muatan dalam peraturan desa dan dipahaminya asas-asas yang
digunakan dalam pembentukan peraturan desa diharapkan tidak ada kekaburan
norma dalam pelaksanaannya dan seluruh komponen masyarakat ikut serta dan
mengetahui peraturan yang akan dibentuk oleh desa.
Adapun hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah kewenangan
pemerintahan desa dalam menentukan materi muatan peraturan desa di dasarkan
pada dua aspek yaitu kewenangan pemerintah desa dalam UU desa berdasarkan
pada Pasal 19 UU desa dan kewenangan untuk menentukan materi muatan dalam
peraturan desa. Selanjutnya bahwa asas-asas yang digunakan dalam membentuk
peraturan desa adalah asas formal dan materiil.
Kata kunci : kewenangan, materi muatan, peraturan desa.
xii
4
ABSTRACT
Dualism of the village administration in Bali, which is between the
traditional village to village offices as part of the district / city. It is still there due
to the thought that the village office is as an autonomous region. While legally
autonomous is indigenous villages. Based on the concept of a unitary state there
should be no state within a state. The enactment of Law No. 12 of 2011 on the
establishment of legislation which states the rules villages included in the hierarchy
of legislation is not expected to lead to conflicts of authority between the village
office with indigenous villages.
The method used in this thesis research is a research method that is
normative. This study examines the substance and principles that is being used in
the formation of village regulations. There are two issues to be addressed in this
study is the substance of regulations and principles used in forming village
regulations. With unknown substance of the regulations and understands the
principles that are used in the formation of village regulations expected no haziness
norms in its implementation and the entire community to participate and know the
regulations will be established by the village.
The results obtained in this study is the village government authority in
determining the substance of the rules villages is based on two aspects, namely the
government's authority in the village of village law based on Article 19 of the Law
of the village and the authority to determine the substance of the regulation of the
village. Furthermore, that the principles used in forming a village regulation is the
principle of formal and substantive.
Keywords: authority, material content, village regulations.
xiii
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Desa di Indonesia telah ada sejak jaman dahulu sebelum masuknya Bangsa Belanda.
Sejak adanya pemerintahan kerajaan, keberadaan desa sudah diakui oleh para raja di masa itu.
Namun, seluruh kerajaan pada waktu itu mengakui keberadaan desa sebagai bagian dari
persekutuan hukum adat. Pada jaman kerajaan, desa dipimpin oleh ketua adat, alim ulama atau
orang-orang perintis pembuka desa.
Pada jaman penjajahan Belanda pimpinan desa ditunjuk oleh Pemerintah Belanda untuk
memimpin desa atau sering disebut dengan Demang. Demang bertugas untuk mengurus urusan
masyarakat dan menjadi antek-antek Belanda, memuluskan kepentingan penjajahan Belanda
untuk menguasai Indonesia.1
Desa adalah bentuk pemerintahan terkecil yang ada Indonesia. Luas wilayah desa
biasanya tidak terlalu luas dan dihuni oleh sejumlah keluarga. Mayoritas penduduknya bekerja
dibidang agraris dan tingkat pendidikannya cenderung rendah. Karena jumlah penduduknya
tidak begitu banyak, maka biasanya hubungan kekerabatan antar masyarakatnya terjalin kuat.
Para masyarakatnya juga masih percaya dan memegang teguh adat dan tradisi yang
ditinggalkan para leluhur mereka.
Pada jaman sekarang Pemerintah Daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam pelaksanaan tugas-tugasnya diberi
kewenangan untuk mengatur urusan daerahnya sendiri yang dikenal dengan otonomi daerah.
Pengaturan otonomi daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
1Marjoko, Iswan Kaputra, dan Hawari Hasibuan, 2013, Peraturan Desa Untuk Kemandirian Rakyat.
(Petunjuk Teknis Pembuatan Peraturan Desa dan Partisipasi Masyarakat), The Akctivator For Rural Progres, Bitra
Indonesia, Medan, h. 3.
1
6
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa Pemerintahan Daerah Provinsi,
Daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan.
Tata pemerintahan ialah keseluruhan pranata hukum yang digunakan sebagai landasan
untuk menjalankan kegiatan pemerintahan dalam arti khusus ialah pemerintahan dalam negeri
dan dapat juga disebut sebagai “bestuursrecht” atau hukum tata-negara dalam arti “sempit”
demikan menurut Prof H.J. Logemen,2 dalam hal ini sesuai dengan pengertian Hukum Tata
Pemerintahan tersebut. Tata Pemerintahan ialah mencakup semua pranata mengenai suasana
organisasi, tata kerja, formasi aparaturnya, tugas kewajiban, wewenang dan tanggung jawab
serta hubungan kerja daripada badan-badan pemerintahan (Pemerintahan Pusat-Daerah
Tingkat I-Daerah Tingkat II dan Pemerintahan Desa).3
Gagasan mengenai usaha penyempurnaan tata pemerintahan dan administrasi
pemerintahan desa dalam uraian-uraian selanjutnya ialah dimaksudkan guna landasan
pembangunan masyarakat bangsa kita sebagai masyarakat yang maju dan moderen dengan
tetap mengawetkan/memelihara nilai-nilai tradisi pemerintahan desa yang positif dan
meninggalkan hal-hal yang sudah usang dan tidak sesuai lagi dengan alam kemajuan.4
Secara substansial dan fungsional di Bali dikenal 2 (dua) Desa, yakni Desa Pekraman
dan Desa Dinas/Pemerintahan (selanjutnya disebut Desa), yang masing-masing mempunyai
kedudukan, tugas dan fungsi sendiri-sendiri sesuai sifat keterikatan warga terhadap organisasi
desanya.
Secara yuridis desa adat mendapat pengayoman dan landasan hukum yang kuat bukan
saja dari Pancasila dan Pasal 18 b ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tetapi juga dari Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
2 Staatsreeht Van Veder Lands Indie, tanpa tahun terbit, Tata Pemerintahan Dan Administrasi
Pemerintahan Desa, Sumber Saparin, h. 4. 3Ibid, h. 22.
4 Saparin, 1986, Administrasi Pemerintahan Desa, Yudistira, Jakarta, h. 21.
7
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam upaya meminimalkan permasalahan yang mungkin timbul pada desa-desa di Bali
serta dalam rangka memaksimalkan kinerja apratur desa, perlu adanya peraturan yang
mengatur secara jelas dan tegas kedudukan, fungsi dan tugas serta wewenang masing-masing
antara Desa Dinas dengan Desa Pekraman. Disini penulis khusus membahas mengenai desa
dinas, karena keterkaitannya dengan permasalahan dalam peraturan desa.
Desa dinas adalah organisasi pemerintahan di desa yang menyelenggarakan fungsi
administrative, seperti mengurus kartu tanda penduduk, dan lain-lain persoalan kedinasan
(pemerintahan). Desa dinas dipimpin oleh kepala desa. kepala desa memiliki dasar untuk
membentuk peraturan desa.
Dalam aspek yuridis, Desa diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam Pasal tersebut ditegaskan bahwa Desa
adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Makna yang dapat dipahami dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2014 adalah bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahannya. Salah satu kewenangan mengatur Pemrintahan Desa tercermin
dalam pembentukan Peraturan Desa. Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 menyebutkan, Peraturan desa adalah peraturan perundang-
undangan yang ditetapkan oleh kepala desa setelah dibahas dan disepakati bersama badan
8
permusyawaratan desa. Dengan demikian Pembentukan Peraturan Desa merupakan suatu
kegiatan yang amat penting, yaitu melibatkan kepala desa dengan Badan Permusyarawatan
Desa.
Lebih lanjut Peraturan desa diatur dalam Pasal 69 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2014, yang mengatur ketentuan- ketentuan mengenai : jenis peraturan desa,
bahwa peraturan desa tidak boleh bertentang dengan kepentingan umum dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, penetapan peraturan desa, rancangan Peraturan desa,
evaluasi, konsultasi peraturan desa, pengundangan dan penetapan peraturan desa.
Pemahaman Pasal 69 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 hanya
mengatur proses membentuk Peraturan Desa sampai dengan tahapan penetapan peraturan
desa. Namun demikian mengenai materi muatan peraturan desa tidak ada diatur dalam Pasal
69 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014. sehingga menimbulkan ketidak
jelasan mengenai materi apa yang boleh diatur dalam peraturan desa.
Selajutnya dalam Peraturan Pelaksana Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dalam
Pasal 83 dan Pasal 84 hanya mengatur ketentuan berkaitan dengan Rancangan Peraturan
Kepala Desa. Dalam Pasal 83 dan Pasal 84 juga tidak di atur berkaitan dengan materi muatan
yang boleh diatur dalam Peraturan Desa. Dengan demikian ada kekaburan norma baik dalam
Pasal 69 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 maupun adanya
kekosongan norma dalam Pasal 83 dan Pasal 84 dalam Peraturan Pelaksana REpublik
Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa.
Memahami adanya kekaburan hukum terkait dengan tidak adanya ketentuan materi
muatan dalam Peraturan Desa, maka penelitian ini sangat relevan untuk diteliti secara
mendalam. Dengan demikian perlu adanya kejelasan tentang kewenangan desa dalam
9
pembentukan peraturan desa serta materi-materi muatan yang dapat dituangkan kedalam
peraturan desa tersebut. Selanjutnya perlu juga dipahami terkait dengan asas-asas yang
digunakan dalam pembentukan peraturan desa. Oleh karena itu penting untuk dilakukan
penelitian lebih lanjut terkait Kewenangan Pemerintahan Desa dalam Membentuk Peraturan
Desa.
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kewenangan pemerintahan desa dalam menentukan materi muatan
peraturan desa?
2. Asas-asas apakah yang digunakan dalam membentuk peraturan desa?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Untuk membatasi permasalahan agar tidak menyimpang dari judul, maka ruang lingkup
penulis dalam skripsi ini dibatasi, hanya meliputi :
Aspek dari kewenangan pemerintahan desa dalam menentukan materi muatan peraturan
desa dan asas-asas yang digunakan dalam membentuk peraturan desa.
1.4. Originalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran di internet pada tanggal 4 Maret 2016 pukul 17.00 WITA telah
ditemukan 2 (dua) judul skripsi yaitu :
1. Judul : Pelaksanaan Kewenangan Pemerintah Desa Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan.
Penulis : Suhana.
Rumusan Masalah :
10
a. Bagaimana pelaksanaan kewenangan pemerintah desa dalam penyelenggaraan
pemerintahan di desa Mantang Besar Kecamatan Mantang Kabupaten Bintan?
b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan pelaksanaan pemerintahan desa dalam
penyelenggaraan pemerintahan di desa Mantang Besar Kecamatan Mantang
Kabupaten Bintan?
2. Judul : Pelaksanaan Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten Kepada Pemerintah
Desa Di Kabupaten Luwu Utara.
Penulis : Hardianto Maspul.
Rumusan Masalah :
a. Bagaimanakah Pelaksanaan Penyerahan Urusan Pemerintahan kabupaten kepada
pemerintah desa berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2007 di
Kabupaten Luwu Utara?
b. Apakah faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan urusan Pemerintahan
Kabupaten Luwu Utara yang diserahkan kepada Pemerintah Desa?
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengankat 1 (satu) judul skripsi. Judul tersebut
adalah Kewenangan Pemerintahan Desa Dalam Membentuk Peraturan Desa. Penulis
melakukan penelitian yang berkaitan dengan bagaimana kewenangan pemerintahan desa dalam
menentukan materi muatan peraturan desa dan asas-asas apakah yang digunakan dalam
membentuk peraturan desa.
Berdasarkan pada judul dan rumusan masalah yang penulis angkat tentu berbeda dengan
judul skripsi di atas. Oleh karena itu skripsi yang peneliti angkat adalah masih original dan
dapat di pertanggungjawabkan.
1.5. Tujuan Penelitian
11
Setiap pembahasan pasti memiliki tujuan tertentu karena dengan adanya tujuan yang jelas
maka akan memberikan arah yang jelas pula untuk mencapai tujuan tersebut. Adapun tujuan
dari pembahasan ini adalah :
a. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan pemerintahan
desa dalam membentuk peraturan desa. Disamping itu, juga bertujuan untuk memenuhi
salah satu syarat untuk mencapai gelar serjana strata 1 (S-1) dalam jurusan Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Udayana.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui kewenangan pemerintahan desa dalam menentukan materi
muatan peraturan desa.
2. Untuk mengetahui asas-asas yang digunakan dalam membentuk peraturan desa
1.6. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoristis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan
ilmu hukum khususnya hukum pemerintahan.
b. Manfaat Praktis
Untuk memberikan sumbangan pemikiran khususnya dalam aspek kewenangan
pemerintahan desa dalam membentuk peraturan desa.
1.7. Landasan Teoristis
1.7.1. Pengertian Desa
12
Pengertian Desa menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.7.2. Pengertian Peraturan Desa
Berdasarkan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah, Desa atau yang disebut dengan
nama lain diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam rangka pengaturan kepentingan masyarakat, maka guna meningkatkan kelancaran
dalam penyelenggaraan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat sesuai
dengan perkembangan dan tuntutan reformasi serta dalam rangka mengimplementasikan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
ditetapkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Peraturan desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, dengan
demikian maka peraturan desa harus merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, serta harus memperhatikan
kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat, dalam upaya mencapai tujuan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan masyarakat jangka panjang, menengah dan jangka pendek.
1.7.3. Konsep Negara Hukum
Pengertian hukum, menurut Imanuel Kant, bahwa para ahli hukum sudah lebih dari 100
tahun mencari difinisi hukum, tetapi belum ditemukan difinisi yang memuaskan. Pendapat
13
tersebut dipertegas lagi oleh T. Arnold dengan mengatakan “Law can never be difinied”,5oleh
karena itu Antony Allot berpendapat, guna menghindari kerancuan dalam menggunakan
terminologi hukum, mengusulkan tiga pengertian penomena hukum yang berbeda, yaitu
hukum sebagai konsep abstrak atau ide umum (Law),6 hukum sebagai sistem hukum yang
berlaku dalam suatu negara, dan hukum sebagai norma atau peraturan menurut satu sistem
hukum (Law). Paling tidak ada 9 (sembilan) pengertian tentang hukum, antara lain hukum
sebagai ilmu pengetahuan, hukum sebagai disiplin, hukum sebagai kaidah, hukum sebagai tata
hukum, hukum sebagai petugas (hukum), hukum sebagai keputusan penguasa, hukum sebagai
proses pemerintahan, hukum sebagai prilaku yang ajeg atau hukum sebagai sikap yang teratur.7
Negara hukum pengertian pokoknya menurut Joeniarto ialah kekuasaan negara dibatasi
oleh hukum (rechtsstaat), bukan didasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Lebih lanjut
dinyatakan, bahwa tujuan dari negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan negara oleh
hukum. Disamping itu, suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum perlu diketahui
elemen-elemen atau unsur-unsurnya yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar Tahun
1945 beserta peraturan pelaksanaannya, dan yang terpenting adalah praktek dilapangan apakah
sudah dilaksanakan atau belum.8
Sehubung dengan elemen-elemen negara hukum, para sarjana hukum moderen
menegaskan, apabila berbicara konsep “Rule of Law” (Negara Hukum), maka konsep tersebut
harus mengandung pengertian sebagai berikut:
1. Adanya undang-undang yang berisi penghormatan terhadap kemerdekaan asasi dan
pengakuan atas hak-hak sipil dan politik setiap individu.
5 I Dewa Gede Atmadja, 1994, Aspek Hukum dan Birokrasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Studi Pelaksanaan Inpres Dati II di Provinsi Daerah Tingkat I Bali, Universitas Airlangga, Surabaya, h. 16. 6 Ibid, h. 17. 7 Sri Setianingsih Suardi, 1996, Hukum Internasional sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat
Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h.237. 8 I Dewa Gede Admadja, Loc cit
14
2. Adanya kewajiban bagi negara untuk menciptakan kondisi sosial ekonomi, edukatif,
kulturil, yang memungkinkan terwujudnyaaspirasi dan martabat manusia.
3. Pengakuan tentang kebebasan pers.
4. Menjamin substansi dari setiap undang-undang tidak bertentangan dengan hak-hak
asasi manusia dan menugaskan negara menciptakan kondisi kearah berkembangnya
konsep “Rule of Law”.
5. Adanya peradilan yang bebas, yaitu adanya jaminan bila hak-hak warga negaranya
dilanggar oleh penguasa, warga dapat menuntut melalui peradilan yang tidak
memihak.9
Dengan melihat unsur negara hukum (Barat) dan konsep Rule Of Law sebagai bahan
perbandingan, maka negara hukum Indonesia secara formal mempunyai unsur-unsur sebagai
berikut:
a. Hukumnya bersumber kepada pancasila.
b. Kedaulatan berada ditangan rakyat dilaksanakan berdasarkan undang-undang.
c. Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi dan bukan berdasarkan absolutisme.
d. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, dalam arti bebas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah.
e. Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, serta
wajib menjunjung hukum dan pemerintahannya tanpa kecuali.
f. Hukumnya berfungsi mengayomi dalam arti menegakkan:
- Kehidupan yang demokratis.
- Kehidupan yang berkeadilan sosial.
- Kehidupan yang berperikemanusiaan.
9 S. Tasrif, 1971, Menegakkan The Rule of Law Di Bawah Orde Baru, Persatan Advokat Indonesia,
Jakarta, h. 12.
15
Penegasan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, juga dikemukakan oleh beberapa
pakar, yang mengatakan yakni, Negara Indonesia ialah negara hukum(rechtsstaat) berdasarkan
pancasila.10 Dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian
negara hukum pada umumnya (genusbegrip), disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, artinya
digunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita.11
Negara hukum yang dianut Indonesia tidaklah dalam arti formal, namun negara hukum
dalam arti material yang juga diistilahkan dengan negara kesejahteraan (Welfare State) atau
“Negara Kemakmuran”.12
Beberapa bukti bahwa negara Indonesia adalah negara kesejahteraan, yaitu:13
1. Salah satu sila dari Pancasila sebagai dasar falsafah negara (sila kelima) adalah
keadilan sosial. Ini berarti tujuan negara adalah menuju kepada kesejahteraan dari
para warganya;
2. Dalam alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dikatakan
bahwa tujuan pembentukan negara Indonesia salah satunya adalah memajukan
kesejahteraan umum.
Prinsip Negara Hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan jaman.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kompleksnya kehidupan masyarakat di era
global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip Negara hukum.
Perkembangan Negara Hukum di era moderen ini dipengaruhi oleh konsep Eropa
Continental yang disebut ” Rechtstaat dan Anglo Saxon yang disebut Rule Of Law”.
a. Eropa Continental ( Rechtstaat )
10 Padmo Wahjono, 1983, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila, CV. Rajawali,
Jakarta, h. 2. 11 Padmo Wahjono, 1982, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 7. 12 E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Icthtiar, Jakarta, h. 21-22.
13 Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, h. 70.
16
Sistem hukum rechtstaatadalah sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai
ketentuan-ketentuan hukum dihimpun secara sistematis yang ditafsirkan lebih lanjut oleh
hakim dalam penerapannya. Hampir 60 % Negara Indonesia menganut sistem ini. Konsep
rechtstaat bertumpu pada asas legalitas dalam kerangka adanya aturan perundang-undangan
yang tertulis dan menitik beratkan kepastian. Pendekatan yang ditekankan adalah keadilan
berdasarkan hukum dalam artian yang seluas-luasnya. Perkembangan rechtstaat di Eropa
Continental menurut F.J. Stahl mencakup 4 (empat) hal yaitu :
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang.
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
b. Anglo Saxon ( Rule Of Law)
Rule Of Law tumbuh dan berkembang pertama kali pada Negara yang menganut
“Common Law System” seperti Inggris dan Amerika Serikat. Ke dua Negara tersebut
melaksanakan sebagai perwujudan dari persamaan hak, kewajiban dan derajat dalam suatu
Negara dihadapan hukum. Sistem Rule Of Law adalah suatu sistem yang didasarkan atas
yurisprudensi yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang menjadi dasar putusan hakim
selanjutnya. Konsep Rule Of Law dipelopori oleh Albert Venn Dicey memiliki tiga ciri penting
digabungkan dengan konsep Negara hukum F.J. Stahl :
1. Supremacy Of Law artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara
adalah hukum.
2. Equality Before The Law artinya persamaan dalam kedudukan bagi semua warga Negara
baik selakupribadi maupun dalam kualifikasi sebagai pejabat Negara.
17
3. Dive Process Of Law artinya bahwa segala tindakan pemerintah harus didasarkan atas
peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
Konsep Rechtstaat lahir karena menentang absolutisme sehingga Sifatnya revolusioner
sedangkan Rule Of Lawberkembang secara evolusioner yang bertumpu atas sistem hukum
Common Law.14
1.7.4. Teori Kewenangan
Pengertian kewenangan menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah
kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang
lain.
Berbicara kewenangan memang menarik, karena secara alamia manusia sebagai mahluk
social memiliki keinginan untuk diakui ekstensinya sekecil apapun dalam suatu
komunitasnya,dan salah satu factor yang mendukung keberadaan ekstensi tersebut adalah
memiliki kewenangan.
Secara pengertian bebas kewenangan adalah hak seorang individu untuk melakukan
sesuatu tindakan dengan batas-batas tertentu dan diakui oleh individu lain dalam suatu
kelompok tertentu.
Teori atau konsep kewenangan selalu digunakan dalam konsep hukum publik. Dalam
kamus bahasa Indonesia tidak dibedakan pengertian kewenangan dan wewenang, keduanya
mengandung arti hak dan kekuasaan.
Dalam beberapa literatur ditemukan pendapat tentang kewenangan dan wewenang.
Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan, bahwa:
14http://argawahyush.blogspot.co.id/2013/04/konsep-negara-hukum.html, diakses tanggal 25 maret 2016.
18
“Kita perlu membedakan antara kewenangan (authority,gezag) dan wewenang
(completence), walaupun dalam praktek perbedaannya tidak selalu dirasakan perlu.
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari
kekuasaan legislative/administrative. Di dalam terdapat wewenang-wewenang
(rechtsbevoegdheden). Kewenangan adalah kekuasaan terhadap golongan orang-orang
tertentu atau terhadap sesuatu bidang pemerintahan (bidang urusan) tertentu yang bulat,
sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Wewenang adalah
kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik, sedangkan hak adalah
kekuasaan untuk melakukan suatu tindak hukum privat atau hukum pribadi (hukum
perdata).15
Menurut Philipus M. Hadjon, istilah wewenang atau kewenangan digunakan sejajar
dengan istilah bevoegdheid dalam konsep hukum publik. Dalam konsep hukum publik
wewenang atau kewenangan berkaitan dengan kekuasaan yaitu kekuasaan hukum
(rechtsmacht). Sebagai suatu konsep hukum publik, wewenang atau kewenangan terdiri atas
sekurang-kurangnya tiga komponen, yaitu:
- Peengaruh
- Dasar hukum
- Konformitas hukum16
Menurut T. Hani Handoko ada 2 (dua) pandangan yang saling berlawanan mengenai
sumber wewenang, yaitu :
1. Teori formal (pandangan klasik) : wewenang adalah dianugrahkan ; wewenang ada
karena seseorang diberikan atau dilimpahkan hal tersebut. Pandangan menganggap
15Prajudi Atmosudirjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.73-74. 16Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang wewenang, Bahan Penataran Hukum Administrasi, Universitas
Airlangga, Surabaya, h. 2.
19
bahwa wewenang berasal dari tingkat masyarakat yang sangat tinggi dan kemudian
secara hukum diturunkan dari tingkat-ketingkat.
2. Teori penerimaan (acceptance theory of authority) : berpendapat bahwa wewenang
seseorang timbul hanya bila hal itu diterima oleh kelompok atau individu kepada siapa
wewenang tersebut dijalankan dan ini tidak tergantung pada penerima (reciver).17
Sementara berbicara tentang sumber-sumber kewenangan,maka terdapat 3 (tiga) sumber
kewenangan yaitu :
1. Sumber Atribusi yaitu pemberian kewenangan pada badan atau lembaga / pejabat
Negara tertentu baik oleh pembentuk Undang-Undang Dasar maupun pembentuk
Undang-Undang. Teori atribusi membahas bagaimana seseorang menyusun suatu
penjelasan berangkat dari kata tanya “mengapa”. Teori ini berkembang dalam psikologi
sosial terutama sebagai senjata yang digunakan dalam menjawab berbagai
permasalahan terkait dengan persepsi sosial. Misalnya jika seseorang berlaku agresif,
apakah hal ini berarti ia seorang yang agresif (karakteristik individu) ataukah karena
situasi yang mengharuskan ia berbuat demikian (situasional) Tentu saja atribusi sangat
berhubungan dengan informasi-informasi yang memang digunakan untuk menarik
kesimpulan. Atribusi memiliki keistimewaan yang telah ditemukan oleh Bradbury dan
fincham pada tahun 1990. Dalam studinya, terungkap bahwa tipe atribusi dapat menjadi
petunjuk suatu hubungan itu baik atau tidak.18Sebagai contoh : Atribusi kekuasaan
presiden dan DPR untuk membentuk Undang-Undang.
2. Sumber Delegasi yaitu penyerahan atau pelimpahan kewenanangan dari badan /
lembaga pejabat tata usaha Negara lain dengan konsekuensi tanggung jawab beralih
17http://arwanarsyad.co.id/2011/06/atribusi-kewenangan-delegasi-dan-mandat.html?m=1, diakses tanggal
30 maret. 18Ibid.
20
pada penerima delegasi.Sebagai contoh : Pelaksanaan persetujuan DPRD tentang
persetujuan calon wakil kepala daerah.
3. Sumber Mandat yaitu pelempahan kewenangan dan tanggung jawab masih dipegang
oleh sipemberi mandat.Sebagai contoh : Tanggung jawab memberi keputusan-
keputusan oleh menteri dimandatkan kepada bawahannya.
Dari ketiga sumber tersebut maka merupakan sumber kewenangan yang bersifat
formal,sementara dalam aplikasi dalam kehidupan social terdapat juga kewenanagan informal
yang dimiliki oleh seseorang karena berbagai sebab seperti: Kharisma, kekayaan, kepintaran,
ataupun kelicikan.
Tetapi pada kesempatan ini,akan lebih banyak berbicara tentang kewenangan yang
bersifat formal dan berkaitan erat dengan konsep hubungan pemerintah pusat dan daerah.Pasal
10 ayat (3) Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah menyatakan bahwa
urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi :
a. Politik luar negeri
b. Pertahanan
c. Keamanan
d. Yustisi
e. Moneter dan fiscal nasional
f. Agama19
1.8. Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Penulisan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif,
yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas
19http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-kewenangan.html, diakses tanggal 27 maret 2016.
21
hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan. Metode penelitian hukum normatif ini adalah penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.20
b. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan undang-
undang (statue approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan
historis (historis approach).
c. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah studi
kepustakaan hukum yang dikelompokan ke dalam tiga bahan hukum yaitu sebagai berikut :
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat21 seperti : Undang-
Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang tidak mengikat dan memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : Rancangan Peraturan Daerah,
hasil-hasil penelitian, karya ilmiah dari kalangan hukum, dan jurnal hukum.
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penulisan penelitian ini pengumpulan bahan hukum yang digunakan antara lain :
a) Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan cara mengumpulkan peraturan
perundang-undangan yang ada kaitannya dengan permasalahan penelitian.
b) Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
yang bertujuan untuk mendapatkan bahan hukum yang bersumber dari buku-buku
20 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan singkat, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13. 21 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI) Press, h. 52.
22
yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dengan cara mengutip buku-buku
literature ilmu hukum serta tulisan-tulisan hukum lainnya yang relevan dengan
permasalahan. Studi pustaka disini dilakukan melalui tahap-tahap identifikasi
pustaka sumber data, identifikasi bahan hukum yang diperlukan, dan inventarisasi
bahan hukum yang diperlukan tersebut.
e. Teknik Analisis
Bahan hukum maupun informasi penunjang yang telah terkumpul berkenaan dengan
peraturan desa, selanjutnya dianalisis melalui langkah-langkah deskripsi, sistematisasi dan
eksplanasi. Dalam deskripsi dilakukan kegiatan memahami isi atau makna dari satu aturan
hukum. Pada tahapan ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan
hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan dibidang peraturan desa baik
berupa undang-undang, maupun peraturan pemerintah.
Pada tahap sistematisasi dilakukan pemaparan terhadap hubungan herarki antara
aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini. Pada tahapan
ini juga dilakukan koherensi antara aturan hukum yang berhubungan agar dipahami dengan
baik. Selanjutnya pada tahap eksplanasi dilakukan analisis terhadap makna yang terkandung
dalam aturan-aturan hukum sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling
berhubungan secara logis.