daftar isi ..i ii halaman pengesahan panitia penguji ... · 1.7.1 teori negara hukum ... 1.7.4...

31
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DEPAN……………………………………………………..i HALAMAN SAMPUL DALAM ……………………………………………….......ii HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ……………….....iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ……………………….iv HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI …………………...v KATA PENGANTAR ………………………………………………………….......vi SURAT PERNYATAAN KEASLIAN …………………………………………......x DAFTAR ISI………………………………………………………………………...xi ABSTRAK ……………………………………………………………………........xiv ABSTRACT ………………………………………………………………………...xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………………………………………………1 1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………......6 1.3 Ruang Lingkup Masalah………………………………………………7 1.4 Orisinalitas Penelitian ………………………………………………...7 1.5 Tujuan Penelitian……………………………………………………...8 1.5.1 Tujuan Umum…………………………………………………8 1.5.2 Tujuan Khusus………………………………………………...8 1.6 Manfaat Penelitian………………………………………………….....9 1.6.1 Manfaat Teoritis…………………………………………….....9 1.6.2 Manfaat Praktis………………………………………………..9 1.7 Landasan Teoritis……………………………………………………...9 1.7.1 Teori Negara Hukum……………………………………….....9 1.7.2 Teori Hak Asasi Manusia……………………………………10 1.7.3 Teori Good Governance……………………………………..12 1.7.4 Teori Penegakan Hukum…………………………………….14

Upload: duongkiet

Post on 07-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN……………………………………………………..i

HALAMAN SAMPUL DALAM ……………………………………………….......ii

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ……………….....iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ……………………….iv

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI …………………...v

KATA PENGANTAR ………………………………………………………….......vi

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN …………………………………………......x

DAFTAR ISI………………………………………………………………………...xi

ABSTRAK ……………………………………………………………………........xiv

ABSTRACT ………………………………………………………………………...xv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah………………………………………………1

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………......6

1.3 Ruang Lingkup Masalah………………………………………………7

1.4 Orisinalitas Penelitian ………………………………………………...7

1.5 Tujuan Penelitian……………………………………………………...8

1.5.1 Tujuan Umum…………………………………………………8

1.5.2 Tujuan Khusus………………………………………………...8

1.6 Manfaat Penelitian………………………………………………….....9

1.6.1 Manfaat Teoritis…………………………………………….....9

1.6.2 Manfaat Praktis………………………………………………..9

1.7 Landasan Teoritis……………………………………………………...9

1.7.1 Teori Negara Hukum……………………………………….....9

1.7.2 Teori Hak Asasi Manusia……………………………………10

1.7.3 Teori Good Governance……………………………………..12

1.7.4 Teori Penegakan Hukum…………………………………….14

1.8 Metode Penelitian……………………………………………………18

1.8.1 Jenis Penelitian………………………………………………19

1.8.2 Jenis Pendekatan……………………………………………..19

1.8.3 Sumber Data…………………………………………………20

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data…………………………………..21

1.8.5 Teknik Analisis……………………………………….….......24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKKAN HUKUM,

KEWENAAN DAN PEKERJA DISABILITAS

2.1 Penegakkan Hukum………………………………………………….24

2.1.1 Pengertian Penegakkan Hukum………………………………..24

2.1.2 Penegakkan Hukum Administrasi……………………………...26

2.2 Kewenangan.…..................……………………………………...…...28

2.2.1 Pengertian Kewenangan………………………………………..28

2.2.2 Kewenangan Pemerintah Daerah ……………………………...30

2.3 Tinjauan Umum Pekerja Disabilitas………………………………....34

2.3.1 Pengertian Pekerja dan Pekerja Disabilitas…………………….34

2.3.2 Klasifikasi Penyandang Disabili………………………….........36

BAB III PERANAN APARAT PEMERINTAH DALAM PERLINDUNGAN

DAN PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS SEBAGAI

TENAGA KERJA

3.1. Dasar Hukum Dan Aparat Yang Berwenang Dalam Penegakan

Hukum Terkait Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang

Disabilitas Sebagai Tenaga Kerja……………………………………42

3.2. Efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015

Tentang Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Sebagai Tenaga Kerja………………………………………………..46

3.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu peraturan

hukum…………………………………………………………46

3.2.2 Faktor yang mempengaruhi penerapan peraturan daerah Provinsi

Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Dan

Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Sebagai Tenaga

Kerja…………………………………………………..............49

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PENERIMAAN TENAGA

KERJA PENYANDANG DISABILITAS DI PROVINSI BALI

4.1 Hambatan Yang Dihadapi Pemerintah Dalam Perlindungan Dan

Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Sebagai Tenaga

Kerja……………………….................................................................54

4.2 Upaya Yang Dilakukan Dalam Mengatasi Hambatan Yang

Dihadapi……………………………………………………………...59

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan…………………………………………………………….63

5.2 Saran…………………………………………………………………...64

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RESPONDEN

LAMPIRAN-LAMPIRAN

RINGKASAN SKRIPSI

ABSTRAK

Penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang beraragam,

diantaranya penyandang disabilitas yang mengalami disabilitas mental, disabilitas

fisik maupun gabungan dari disabilitas mental dan fisik. Kondisi penyandang

disabilitas tersebut mungkin hanya sedikit berdampak pada kemampuan untuk

berpartisipasi di tengah masyarakat, atau bahkan berdampak besar sehingga

memerlukan suatu dukungan dan bantuan dari orang lain. Selain itu penyandang

disabilitas menghadapi kesulitan yang lebih besar dibandingkan masyarakat non

disabilitas dikarenakan hambatan dalam mengakses layanan umum, seperti akses

dalam layanan pendidikan, kesehatan, maupun dalam hal ketenagakerjaan Untuk

hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat serta dapat mencari

penghasilan penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapat pekerjaan. Dalam

hal ini maka diperlukannya peran pemerintah Provinsi Bali guna memperkerjakan

penyandang disibilitas dengan adanya ketentuan Peraturan Daerah Provinsi Bali

Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang

Disabilitas pemerintah berharap pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas dalam

ketenagakerjaan bisa terpenuhi.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah

metode penelitian yang bersifat empiris dengan mengkaji permasalahan dengan

metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan fakta berdasarkan data yang

diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui

penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui pengamatan dan wawancara.

Adapun hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah peran Pemerintah

provinsi Bali dalam upaya pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagai tenaga

kerja berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 tentang

Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas belum dilaksanakan

secara mkasimal karena terkait penerimaan tenaga kerja belum berlaku secara efektif

karena terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas tersebut yaitu faktor

hukum, faktor penegak hukum, faktor masyarakat dan faktor budaya. Terdapat pula

hambatan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang

Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas tersebut yaitu adanya

penerapan sanksinya belum dijalankan secara efektif, peraturan perlu disosialisasikan

kembali, kurangnya pemahaman perusahaan dan penyandang disabilitas terhadap

peraturan yang berlaku, perlu dilakukan pengawasan secara berkala terhadap

perusahaan yang tidak menerima penyandang disabilitas sebagai tenaga kerja.

Kata Kunci : Efektifitas Hukum, Penerimaan Tenaga Kerja, Penyandang

Disabilitas

ABSTRACT

Disabilities are diverse social groups including the disability has mental

disability, physical disability or a combination of both mental and physical

disabilities. Conditions of the disability may has few impacts on the ability to

participate in society, or even have a major impact, therefore the disabilities need

support and assistance from others. Besides that, the disabilities face greater

difficulties than non-disabled people due to barriers in accessing public services, such

as access to education, health services, and in terms of employment.

The disabilities have the right to get job for live and developing their life

fairly with dignity and can earn money. In this case, the role of the Bali provincial

government is important to employ the disabilities. The government hopes with Bali

Provincial Regulation Number 9 of 2015 Concerning the Protection and Fulfilling

Rights of Disabilities, the fulfilling rights of the disabilities in employment can be

met.

The method used in reseach is empirical methods which observe problems

with the method of approach to law and fact based on the data that directly obtained

from society as the first source through field research, conducted either through

observation and interviews.

The results obtained in this study is the role of government was in an effort to

fulfill the rights of persons with disabilities as workers under Bali Provincial

Regulation Number of 2015 Concerning the Protection and Fulfilling Rights of

Disabilities has not become effective because there are factors that influence the

effectiveness, such as legal factors, law enforcement factors, community factors and

cultural factors. There are also obstacles in Bali Provincial Regulation Number 9 of

2015 Concerning the Protection and Fulfilling Rights of Disabilities that is the

implementation of sanctions has not been implemented effectively, the rules need to

be re-socialized, lack of understanding of the company and the disabilities with

applicable regulations. It is necessary to supervise periodically against companies that

do not receive the disabilities as workers.

Keywords: Effectiveness Legal, Acceptance of Labor, Disability

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Istilah penyandang disabilitas di Indonesia memiliki beragam arti

.Kementerian Sosial menyebut penyandang disabilitas sebagai penyandang cacat,

Kementerian Pendidikan Nasional menyebut dengan istilah berkebutuhan khusus,

sedangkan Kementerian Kesehatan menyebut dengan istilah Penderita Cacat. 1

WHO mendefinisikan disabilitas dengan berbasis pada model sosial sebagai

berikut : 2

a. Impairment (kerusakan atau kelemahan) yaitu ketidaklengkapan atau

ketidaknormalan yang disertai akibatnya terhadap fungsi tertentu. Misalnya

kelumpuhan di bagian bawah tubuh disertai ketidakmampuan untuk

berjalan dengan kedua kaki.

b. Disability/handicap (cacat/ketidakmampuan) adalah kerugian/keterbatasan

dalam aktivitas tertentu sebagai akibat faktor-faktor sosial yang hanya

sedikit atau sama sekali tidak memperhitungkan orang-orang yang

1 Eko Riyadi,at.al, 2012, Vulnerable Groups: Kajian dan Mekanisme Perlindungannya,

PUSHAM UII, Yogyakarta, h. 293.

2 Coleridge Peter, 2007, Pembebasan dan Pembangunan, Perjuangan Penyandang Cacat di

Negara-Negara Berkembang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.132.

menyandang “kerusakan/kelemahan” tertentu dan karenanya mengeluarkan

orang-orang itu dari arus aktivitas sosial.

Pengertian lain disebutkan pula oleh The International Classification of

Functioning (ICF) yaitu “Disability as the outcome of the interaction between a

person with impairment and the environmental and attitudinal barriers s/he

may face”. Pengertian ini lebih menunjukkan disabilitas sebagai hasil dari

hubungan interaksi antara seseorang dengan penurunan kemampuan dengan

hambatan lingkungan dan sikap yang ditemui oleh orang tersebut. 3

Penyandang disabilitas mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang

sama dengan masyarakat pada umumnya atau non disabilitas. Sebagai bagian dari

warga negara Indonesia, sudah sepantasnya penyandang disabilitas mendapatkan

perlakuan khusus, yang dimaksudkan sebagai upaya perlindungan dari sesuatu yang

tidak dapat diduga terhadap berbagai tindakan diskriminasi dan terutama

perlindungan dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Perlakuan khusus tersebut

dipandang sebagai upaya maksimalisasi penghormatan, pemajuan, perlindungan dan

pemenuhan hak asasi manusia universal.4

Penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang beraragam,

diantaranya penyandang disabilitas yang mengalami disabilitas mental, disabilitas

3 UNESCO Bangkok, 2009, Teacing Children With Disabilities in Inclusive Settings,

UNESCO Bangkok, Bangkok, h.5.

4 Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi‐Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 273.

fisik maupun gabungan dari disabilitas mental dan fisik. Kondisi penyandang

disabilitas tersebut mungkin hanya sedikit berdampak pada kemampuan untuk

berpartisipasi di tengah masyarakat, atau bahkan berdampak besar sehingga

memerlukan suatu dukungan dan bantuan dari orang lain.5Selain itu penyandang

disabilitas menghadapi kesulitan yang lebih besar dibandingkan masyarakat non

disabilitas dikarenakan hambatan dalam mengakses layanan umum, seperti akses

dalam layanan pendidikan, kesehatan, maupun dalam hal ketenagakerjaan.

Disabilitas seharusnya tidak menjadi halangan untuk memperoleh hak hidup

dan hak mempertahankan kehidupannya. Landasan konstitusional bagi perlindungan

penyandang disabilitas di Indonesia, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 28 A UUD

1945, yakni : "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup

dan kehidupannya". Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh

manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat

ditawar lagi (non derogable rights). Hak hidup mutlak harus dimiliki setiap orang,

karena tanpa adanya hak untuk hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Secara

tegas Indonesia juga memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang

Penyandang Disabilitas yang memberikan landasan hukum secara tegas mengenai

kedudukan dan hak penyandang disabilitas. Dalam konsideran UU Penyandang Cacat

ditegaskan bahwa "Penyandang Disabilitas mempunyai kedudukan hukum dan

5 International Labour Office, 2006, Kaidah ILO tentang Pengelolaan Penyandang Cacat

di Tempat Kerja, ILO Publication, Jakarta, h. 3.

memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara Indonesia dan sebagai

bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan masyarakat Indonesia

merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, untuk hidup maju dan

berkembang secara adil dan bermartabat". Selain itu hak-hak fundamental berikut

kewajiban penyandang disabilitas juga ditegaskan dalam Pasal 41 Ayat 2 Undang-

Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang

menyebutkan bahwa : "Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita

hamil dan anak anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus". Begitu

pula dengan Pasal 42 UU HAM yang berbunyi : "Setiap warga negara yang berusia

lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan,

pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang

layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan

kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara". Dalam hal ini penyandang cacat seharusnya memiliki kedudukan, hak

dan kewajiban yang sama dengan warga negara non disabilitas.

Jumlah penyandang disabilitas khususnya di Provinsi Bali mencapai 19.640

orang, terdiri dari orang 10.679 laki-laki dan 8.961 orang perempuan. Data

peningkatan jumlah penyandang disabilitas ini berdasarkan data penyandang

disabilitas tahun 2015 di Dinas Sosial Provinsi Bali.

Penyandang disabilitas membutuhkan perhatian dari pemerintah, khususnya

dalam hal ketenagakerjaan perlu mendapat perhatian dari pemerintah karena

penyandang disabilitas dianggap tidak layak untuk melakukan suatu pekerjaan. Hal

ini dikarena penyandang disabilitas memiliki kekurangan yang dapat dilihat dalam

ketentuan pasal 4 ayat 1 UU No 8 Tahun 2016 tentang penyandang Disabilitas seperti

:

1. Penyandang Disabilitas fisik, yaitu terganggunya fungsi gerak, antara lain

amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke,

akibat kusta, dan orang kecil.

2. Penyandang Disabilitas intelektual, yaitu terganggunya fungsi pikir karena

tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas

grahita dan down syndrom.

3. Penyandang Disabilitas mental, yaitu terganggunya fungsi pikir, emosi, dan

perilaku, antara lain:

a. Psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan

gangguan kepribadian dan

b. Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi

sosial di antaranya autis dan hiperaktif.

4. Penyandang Disabilitas sensorik, yaitu terganggunya salah satu fungsi dari panca

indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.

Untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat serta

mencari penghasilan penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapat pekerjaan.

Dalam hal ini maka diperlukannya peran pemerintah Provinsi Bali guna

memperkerjakan penyandang disibilitas tersebut, dengan adanya ketentuan Peraturan

Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perlindungan dan Pemenuhan

Hak Penyandang Disabilitas mengenai penerimaan tenaga kerja, dapat dilihat dalam

ketentuan pasal 13 yakni:

“Setiap penyandang disabilitas mempunyai kesamaan hak dan kesempatan

untuk mendapatkan pekerjaan dan/melakukan pekerjaan yang layak sesuai

dengan jenis dan derajat kedisabilitas”.

Seperti yang telah diuraikan pada paragraf di atas, penyandang disabilitas

memiliki hak yang sama atau peluang bagi penyandang disabilitas dalam bidang

ketenagakerjaan tidak berbeda dengan nondisabilitas . Maka dari itu Perda ini perlu

diteliti lebih lanjut untuk mengetahui sudah efektif atau belum dan hal tersebut

menjadi suatu permasalahan yang dirasa penulis menarik untuk dibahas dan dijadikan

skripsi yang berjudul " PENERAPAN PERATURAN DAERAH PROVINSI

BALI NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN

PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS DALAM PENERIMAAN

TENAGA KERJA".

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, Penulis mengangkat beberapa

permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015

Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dalam

penerimaan tenaga kerja penyandang disabiliitas di Provinsi Bali?

2. Hambatan apa saja yang terjadi terhadap penerimaan tenaga kerja penyandang

disabilitas di Provinsi Bali?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah, perlu ditegaskan mengenai

materi yang diatur didalamnya.Hal ini dimaksudkan untuk menghindari

menyimpangnya pembahasan materi dari pokok permasalahan yang telah dirumuskan

sebelumnya, sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Adapun ruang lingkup

permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup permasalahannya meliputi

pembahasan mengenai efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9

Tahun 2015 Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang

Disabilitas terhadap penerimaan tenaga kerja penyandang disabilitas di Provinsi

Bali.

2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi

pembahasan mengenai hambatan yang terjadi terhadap penerimaan tenaga kerja

penyandang disabilitas di Provinsi Bali.

1.4 Orisinalitas Penelitian

“Penerapan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang

Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Dalam Penerimaan

Tenaga Kerja” ini sengaja penulis angkat menjadi judul penelitian. Judul ini

merupakan karya ilmiah yang sejauh ini belum pernah ditulis di lingkungan Fakultas

Hukum Universitas Udayana. Penulis menyusun penelitian ini berdasarkan referensi

buku-buku, peraturan perundang-undangan, media cetak dan media elektronik, juga

melalui bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, keaslian penelitian ini dapat

penulis pertanggung jawabkan.

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini

adalah sebagai berikut:

1.5.1 Tujuan umum

Adapun tujuan umum dalam penulisan skripsi ini, yaitu untuk mengetahui

efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang

Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dalam penerimaan tenaga

kerja

1.5.2 Tujuan khusus

Adapun tujuan khusus penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9

Tahun 2015 Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang

Disabilitas terhadap penerimaan tenaga kerja penyandang disabilitas di

Provinsi Bali.

2. Untuk mengetahui hambatan yang terjadi terhadap penerimaan tenaga

kerja penyandang disabilitas di Provinsi Bali.

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut:

1.6.1 Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai

efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang

Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas terhadap penerimaan

tenaga kerja penyandang disabiliitas di Provinsi Bali.

1.6.2 Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi upaya untuk mengembangkan

wawasan dan pendewasaan cara berfikir serta meningkatkan daya nalar terhadap

masalah-masalah yang menyangkut Tenaga Kerja Penyandang disabilitas dari

prespektif hukum, sehingga diharapkan lebih aktif dan kritis dalam menyikapi

permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan hal tersebut.

1.7 Landasan Teoritis

Adapun landasan teori yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini

antara lain:

1.7.1 Teori Negara Hukum

Sesuai Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945, Indonesia adalah negara hukum,

dengan demikian, negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan

pengakuan terhadap hak – hak asasi seluruh warganegara termasuk orang-orang

disabilitas salah satunya ialah dalam hak atas pekerjaan.

Pengusaha memikul tanggungjawab utama dan secara moral pengusaha

mempunyai kewajiban untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga

kerja,6 termasuk pekerja disabilitas.Perlindungan tenaga kerja ditujukan pada

perbaikan upah, syarat kerja, kondisi kerja dan hubungan kerja, keselamatan kerja,

jaminan sosial di dalam rangka perbaikan kesejahteraan tenaga kerja secara

menyeluruh.7

6 Imam Soepomo, 1987, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta,

h.81

7 G. Kartasapoetra, R.G Kartasapoetra, dan A.G Kartasapoetra,Op.cit, h.127

Pekerja disabilitas fisik memiliki hak, kewajiban, kesempatan, dan peran

yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana

yang didapatkan oleh pekerja non disabilitas. Hal tersebut telah ditegaskan di dalam

Pasal 5 UU Ketenagakerjaan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang

sama untuk memperoleh pekerjaan tanpa adanya suatu diskriminasi.

1.7.2 Teori Hak Asasi Manusia

Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari Droits de L’homme

(Perancis), Human Rights (Inggris), dan mensekelije rechten (Belanda). Di Indonesia,

hak asasi lebih dikenal dengan istilah hak-hak asasi atau juga dapat disebut sebagai

hak fundamental.8

Menurut Prof. Koentjoro Poerbapranoto, hak asasi adalah hak yang bersifat

asasi, artinya hak yang dimiliki oleh manusia secara kodrat dan tidak dapat

dipisahkan dari manusia itu sendiri sehingga sifatnya suci.9Sehingga dapat juga

dikatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang dimiliki oleh

seseorang sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir.

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan

mengenai pengertian hak asasi manusia, bahwa :

8 Budiyanto, 2000, Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara, Erlangga,Jakarta, h. 56.

9 Ibid, h. 58.

“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan

keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, dan

merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan

dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi

kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia".

Dari bunyi undang-undang tersebut ditegaskan bahwa adanya kewajiban

dari setiap individu untuk menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban tersebut

dengan tegas dituangkan dalam undang-undang sebagai seperangkat kewajiban

sehingga apabila tidak dilaksanakan maka tidak mungkin akan terlaksana dan

tegaknya perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Undang-undang ini memandang kewajiban dasar manusia merupakan sisi

lain dari hak asasi manusia. Tanpa menjalankan kewajiban dasar manusia, adalah

tidak mungkin terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia, sehingga dalam

pelaksanaannya, hak asasi seseorang harus dibatasi oleh kewajiban untuk

menghormati hak asasi orang lain.

1.7.3 Teori Good Governance

Governance diartikan sebagai mekanisme, praktek dan tata cara

pemerintahan dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalah-masalah

publik. Dalam konsep governance, pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan

tidak selalu menjadi aktor yang menentukan. Implikasi peran pemerintah sebagai

pembangunan maupun penyedia jasa layanan dan infrastruktur akan bergeser menjadi

bahan pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di

komunitas. Governance menuntut redefinisi peran negara, dan itu berarti adanya

redefinisi pada peran warga. Adanya tuntutan yang lebih besar pada warga, antara

lain untuk memonitor akuntabilitas pemerintahan itu sendiri.10

Dalam United National Development Program (1997) mengemukakan

bahwa karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam

praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik meliputi 11

:

1. Partisipasi (Participation) : setiap orang atau setiap warga masyarakat, baik

laki-laki maupun perempuan harus memiliki hak suara yang sama dalam

proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui

lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masing-

masing.

2. Aturan Hukum (Rule og Law): kerangka aturan hukum dan perundang-

undangan harus berkeadilan, ditegakan, dan dipatuhi secara utuh, terutama

aturan hukum tentang hak asasi manusia.

3. Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam kerangka

kebebasan aliran informasi .

10

Sumarto Hetifa Sj, 2003, Partisipasi dan Good Governance,Yayasan Obor Indonesia ,

Bandung, h.1

11 Srijanti , A Rahman HI dan Purwanto SK, 2009, Pendidikan kewarganegaraan untuk

Mahasiswa,Graha Ilmu,Yokyakarta, h. 220.

4. Daya tanggap (Responsiveness): setiap institusi dan prosesnya harus

diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan

(Stakeholders).

5. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation): pemerintah yang baik

(good govermance) akan bertindak sebagai penengah (mediator) bagi

berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau

kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika

dimungkinkan juga dapat terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak,

dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai

kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.

6. Berkeadilan (Equity): pemerintah yang baik akan memberikan kesempatan

yang sama baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka

meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.

7. Efektivitas dan Efesien (Effectiveness and Effciency): setiap proses kegiatan

dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar

sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya

berbagai sumber-sumber yang tersedia.

8. Akuntabilitas (Accountability): para pengambil keputusan dalam organisasi

sektor publik, swasta, dan masyarakiat madani memiliki pertanggung

jawaban (akuntabilitas) kepada publik ( masyarakat umum), sebagaimana

halnya kepada para pemilik kepentingan (stakeholders).

9. Visi Strategis (Strategic Vision): para pemimpin dan masyarakat memiliki

perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan

pemerintahan yang baik (good govermance) dan pembangunan manusia

(human development) bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk

pembangunan tersebut.

Dari keseluruhan prinsip-prinsip Good Govermance diatas memiliki

keterkaitan antara prinsip satu dengan prinsip lainya sehingga perlu adanya

keselarasan agar terciptanya pemerintahan yang baik.

1.7.4 Teori Penegakan Hukum

a. Teori Penegakan Hukum

Negara Republik Indonesia merupakan Negara Hukum sehingga dalam

penyelenggaraannya Negara harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggung

jawabkan secara hukum. Dalam negara hukum juga memperhatikan mengenai

kedaulatan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahannya, namun tidak boleh

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan Pancasila.

Secara konsepsional, inti dan arti dari penegakan hukum terletak pada

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah

yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai penjabaran nilai tahap

akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan

hidup.12

Menurut Soekanto inti dari penegakan hukum adalah keserasian hubungan

antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan berwujud

dengan perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai akhir untuk menciptakan,

memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut dikatakan

bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan Perundang-

undangan, walaupun kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian

Teori Efektivitas Hukum.13

Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidak

serasian antara “tritunggal” nilai, kaidah, dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi

apabila terjadi ketidak serasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di

dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang

mengganggu kedamaian pergaulan.14

Berdasarkan uraian penjelasan-penjelasan tersebut diatas, masalah pokok

dalam penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin

mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga

12 Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja

Grafindo, Jakarta, h. 5

13

Ibid.

14 Ibid, h. 7.

dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor

tersebut antara lain:

1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu faktor dari Undang-Undangnya

2. Faktor penegak hukum, yakni para pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.15

Apabila kelima faktor tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat, hal

tersebut dikarenakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari

efektivitas penegakan hukum.16

b. Teori Efektivitas Hukum

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa hukum sebagai kaidah merupakan

patokan mengenai sikap tindak atau prilaku yang pantas. Metode berpikir yang

dipergunakan adalah metode deduktif-rasional, sehingga akan menimbulkan jalan

pikiran yang dogmatis. Disisi lain terdapat pandangan yang memandang bahwa

15 Ibid, h. 8.

16 Ibid, h. 9.

hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang teratur. Metode berpikir yang

digunakan adalah induktif-empiris, sehingga hukum itu dilihatnya sebagai tindak

pengulangan dalam bentuk yang sama dan mempunyai tujuan tertentu.

Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum yang nantinya akan disoroti

dari tujuan yang ingin dicapai. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar

masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan sanksi, karena

dalam sanksi tersebut maka dapat dilihat dapat atau tidaknya suatu hukum tersebut

diterapkan dan ditegakkan di dalam masyarakat. Efektivitas dapat diartikan sebagai

suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha

atau kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah

mencapai tujuannya. Apabila tujuan yang dimaksud adalah tujuan suatu instansi,

maka proses pencapaian tujuan tersebut merupakan keberhasilan dalam

melaksanakan program atau kegiatan menurut wewenang, tugas dan fungsi instansi

tersebut.

Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja

hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk mentaati hukum

tersebut. Hukum dapat dikatakan efektif jika faktor-faktor yang mempengaruhi

hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuruan dari efektif atau

tidaknya suatu Peraturan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku masyarakat itu

sendiri. Suatu hukum atau Peraturan akan efektif apabila masyarakat berperilaku

sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh Peraturan tersebut, maka

efektivitas hukum atau Peraturan tersebut telah dicapai.

Teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto relevan

dengan teori yang dikemukakkan oleh Romli Atmasasmita, yaitu bahwa faktor-fakor

yang menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap

mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan

tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.17

1.8 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah ilmu tentang metode-metode yang digunakan

dalam penelitian.Untuk membuktikan kebenaran ilmiah dari sebuah penelitian yang

dilaksanakan, dilakukan pengumpulan data dan fakta yang keseluruhannya

berhubungan erat dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut.

Kerangka pemikiran yang diperlukan di dalam penelitian hukum,

merupakan suatu paradigma mengenai pengertian-pengertian pokok atau pengertian-

pengertian dasar di dalam sistem hukum yang sifatnya universal.18

Penelitian dalam dunia perguruan tinggi merupakan bagian yang sangat

penting, vital, dan wajib dilakukan karena mengandung muatan akademis dan

17 Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & PenegakanHukum,

Mandar Maju, Bandung, h. 55.

18 Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir abad Ke-20,

Alumni, Bandung, h. 76.

pengabdian kepada masyarakat. Sebuah penelitian dapat membantu, memberi

masukan dan solusi dalam memecahkan problem yang sedang dihadapi oleh hukum

dan masyarakat. Secara akademik, penelitian merupakan bagian dari pengembangan

keilmuan. Sehinggga sebuah perguruan tinggi tanpa adanya program atau aktifitas

penelitian, maka patut dipertanyakan keberadaannya.19

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini

menggunakan metode penelitian hukum empiris. Metode studi empiris merupakan

metode penelitian terhadap fakta empiris yang diperoleh berdasarkan observasi atau

pengalaman, objek yang diteliti lebih ditekankan pada kejadian sebenarnya daripada

persepsi orang mengenai kejadian.

1.8.1 Jenis penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini

menggunakan metode penelitian studi empiris. Metode studi empiris merupakan

metode penelitian terhadap fakta empiris yang diperoleh berdasarkan observasi atau

pengalaman, objek yang diteliti lebih ditekankan pada kejadian sebenarnya daripada

persepsi orang mengenai kejadian.

1.8.2 Jenis pendekatan

19

Arief Furqan (tanpa tahun), Potret Penelitian Di PTAI: Harapan Dan Kenyataan,

Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta, h.1.

Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini adalah

penelitian deskriptif. Etna Widodo dan Mukhtar menjelaskan penelitian deskriptif

sebagai berikut :

“Penelitian deskriptif kebanyakan lebih pada menggambarkan apa adanya suatu

gejala, variabel, atau keadaan. Namun demikian, tidak berarti semua penelitian

deskriptif tidak menggunakan hipotesis. Penggunaan hipotesis dalam penelitian

deskriptif bukan dimaksudkan untuk diuji melainkan bagaimana berusaha

menemukan sesuatu yang berarti sebagai alternatif dalam mengatasi masalah

penelitian melalui prosedur ilmiah.”

Melalui pendekatan deskriptif penulis dalam skripsi ini melakukan

penelitian dengan langsung tarjun ke lapangan dengan menguji suatu fakta yang

terjadi apa adanya.

1.8.3 Sumber data

Dalam metode penelitian ini, untuk memperoleh data yang lengkap penulis

menggunakan:

a. Data primer, yaitu sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh langsung

melalui penelitian lapangan atau berasal dari sumber yang pertama. Adapun

data primer yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu berupa observasi

dan wawancara.

b. Data sekunder, yaitu data-data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan

dokumen-dokumen yang terkait penelitian. Adapun bahan hukum sekunder

yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

3. Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan sosial.

5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: KEP-

205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja Dan Penempatan Tenaga Kerja

Penyandang Cacat.

7. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang

Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam peneletian ini teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis

yaitu:

1. Studi Lapangan

Studi lapangan yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung pada

lembaga atau perusahaan yang bersangkutan untuk memperoleh data primer yang

dibutuhkan dengan cara:

a. Observasi

Observasi merupakan teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data

dengan cara melakukan pengamatan secara langsung ke tempat yang dijadikan objek

penelitian. Agar observasi yang dilakukan oleh peneliti memperoleh hasil yang

maksimal, maka perlu dilengkapi format atau blangko pengamatan sebagai instrumen.

Dalam pelaksanaan observasi, peneliti bukan hanya sekedar mencatat, tetapi juga

harus mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penilaian ke dalam suatu

skala bertingkat.

Seorang peneliti harus melatih dirinya untuk melakukan pengamatan.

Banyak yang dapat kita amati di dunia sekitar kita dimanapun kita berada. Hasil

pengamatan dari masing-masing individu akan berbeda, disinilah diperlukan sikap

kepekaan calon peneliti tentang realitas diamati. Boleh jadi menurut orang lain

realitas yang kita amati, tidak memiliki nilai dalam kegiatan penelitian, akan tetapi

munurut kita hal tersebut adalah masalah yang perlu diteliti.

Observasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu observasi partisipasi dan

non-partisipan. Observasi partisipasi dilakukan apabila peneliti ikut terlibat secara

langsung, sehingga menjadi bagian dari kelompok yang diteliti. Sedangkan observasi

non partisipan adalah observasi yang dilakukan dimana peneliti tidak menyatu

dengan yang diteliti, peneliti hanya sekedar sebagai pengamat.

Menurut Nasution, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

melakukan observasi, antara lain:

1. Harus diketahu dimana observasi dapat dilakukan, apakah hanya ditempat-

tempat pada waktu tertentu atau terjadi diberbagai lokasi.

2. Harus ditentukan siapa-siapa sajakah yang dapat diobservasi, sehingga benar-

benar representative.

3. Harus diketahui dengan jelas data apa yang harus dikumpulkan sehingga

relevan dengan tujuan penelitian.

4. Harus diketahui bagaimana cara mengumpulkan data, terutama berkaitan

dengan izin pelaksanaan penelitian.

5. Harus diketahui tentang cara-cara bagaimana mencatat hasil observasi.

b. Wawancara

Wawancara merupakan proses komunikasi yang sangat menentukan dalam

proses penelitian. Dengan wawancara data yang diperoleh akan lebih mendalam,

karena mampu menggali pemikiran atau pendapat secara detail. Oleh karena itu

dalam pelaksanaan wawancara diperlukan ketrampilan dari seorang peneliti dalam

berkomunikasi dengan responden. Seorang peneliti harus memiliki ketrampilan

dalam mewawancarai, motivasi yang tinggi, dan rasa aman, artinya tidak ragu dan

takut dalam menyampaikan wawancara. Seorang peneliti juga harus bersikap netral,

sehingga responden tidak merasa ada tekanan psikis dalam memberikan jawaban

kepada peneliti.

Secara garis besar ada dua macam pedoman wawancara, yaitu:

1. Pedoman wawancara tidak terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang hanya

memuat garis besar yang akan ditanyakan. Dalam hal ini perlu adanya kreativitas

pewawancara sangat diperlukan, bahkan pedoman wawancara model ini sangat

tergantung pada pewawancara.

2. Pedoman pewawancara terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang disusun

secara terperinci sehingga menyerupai chek-list. Pewawancara hanya tinggal

memberi tanda v (check).

Dalam pelaksanaan penelitian dilapangan, wawancara biasanya wawancara

dilaksanakan dalam bentuk ”semi structured”. Dimana interviwer menanyakan

serentetan pertanyaan yang sudah terstruktur, kemudian satu persatu diperdalam

dalam menggali keterangan lebih lanjut. Dengan model wawancara seperti ini, maka

semua variabel yang ingin digali dalam penelitian akan dapat diperoleh secara

lengkap dan mendalam.

2. Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan yaitu mencari dan mengumpulkan bahan yang

berhubungan dengan masalah yang diteliti untuk memperoleh data sekunder dengan

membaca, mempelajari, dan mendalami literatur-literatur yang berhubungan dengan

masalah yang diteliti.

1.8.5 Teknik Analisis

Teknik analisis data dalam suatu penelitian merupakan hal yang penting

untuk menguraikan dan memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan pada data-

data yang sudah dikumpulkan. Di tahapan ini, semua data yang telah terkumpul baik

dari studi dokumen maupun studi penelitian secara wawancara dan observasi akan

diolah serta akan dianalisis secara deskripsi kualitatif yaitu dengan menghubungkan

antara data yang ada yang berkaitan dengan pembahasan dan selanjutnya disajikan

secara deskriptif analisis. Yang dengan kata lain, artinya bahwa data yang telah

rampung akan dipaparkan disertai analisis sesuai dengan teori yang terdapat pada

buku literatur serta peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk nantinya

didapatkan kesimpulan sebagai akhir dari penulisan penelitian ini.