bab i pendahuluan -...

28
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Geodesi Geomatika merupakan disiplin ilmu yang menitik beratkan pada pengumpulan, pemrosesan dan penyampaian data geografis atau data informasi spasial. Salah satu metode akuisisi data spasial yang sering digunakan dalam dunia Geodesi Geomatika adalah akuisisi data dengan metode LiDAR. Secara umum LiDAR memiliki keuntungan yaitu waktu akuisisi dan proses data yang relatif cepat, cakupan daerah yang luas, data yang dihasilkan akurat, dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Pada dasarnya data LiDAR merupakan data hasil perekaman gelombang- gelombang laser yang dipancarkan dan ditangkap kembali oleh perangkat keras LiDAR. Dalam akuisisi datanya, LiDAR membutuhkan pesawat terbang sebagai wahananya. Sejauh ini pesawat terbang yang digunakan sebagai wahana LiDAR pasti memiliki kesalahan dalam perekaman datanya. Hal ini dikarenakan pesawat tidak bisa secara konstan stabil mempertahankan arah, gerakan, elevasi, dan jalur terbang yang telah direncanakan sebelumnya, sehingga dibutuhkan koreksi khusus terhadap pergerakan pesawat dengan software tertentu. Berbagai macam software pemrosesan data LiDAR telah membuktikan bahwa akuisisi data spasial dengan metode LiDAR mulai banyak diminati oleh pelaku bidang survei. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa teliti dan reliable data yang dihasilkan setelah diproses dengan software LiDAR tertentu. Software post processing data LiDAR memberikan kemudahan para pengguna untuk mengkoreksi jalur terbang dari data LiDAR secara automatis, dimana tiap-tiap jalur terbang dilakukan koreksi heading, roll, pitch, dan z shift sesuai dengan pergerakan pesawat. Data LiDAR juga dapat dimodifikasi dan dikoreksi secara manual, dimana adjustment data LiDAR pada tiap jalur terbang dilakukan berdasarkan titik-titik ground yang telah diketahui tingginya. Pentingnya informasi tentang perbedaan tingkat akurasi dari koreksi antar jalur terbang dengan

Upload: builien

Post on 13-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Geodesi Geomatika merupakan disiplin ilmu yang menitik beratkan pada

pengumpulan, pemrosesan dan penyampaian data geografis atau data informasi

spasial. Salah satu metode akuisisi data spasial yang sering digunakan dalam dunia

Geodesi Geomatika adalah akuisisi data dengan metode LiDAR. Secara umum

LiDAR memiliki keuntungan yaitu waktu akuisisi dan proses data yang relatif cepat,

cakupan daerah yang luas, data yang dihasilkan akurat, dan memiliki nilai ekonomis

yang tinggi.

Pada dasarnya data LiDAR merupakan data hasil perekaman gelombang-

gelombang laser yang dipancarkan dan ditangkap kembali oleh perangkat keras

LiDAR. Dalam akuisisi datanya, LiDAR membutuhkan pesawat terbang sebagai

wahananya. Sejauh ini pesawat terbang yang digunakan sebagai wahana LiDAR

pasti memiliki kesalahan dalam perekaman datanya. Hal ini dikarenakan pesawat

tidak bisa secara konstan stabil mempertahankan arah, gerakan, elevasi, dan jalur

terbang yang telah direncanakan sebelumnya, sehingga dibutuhkan koreksi khusus

terhadap pergerakan pesawat dengan software tertentu.

Berbagai macam software pemrosesan data LiDAR telah membuktikan

bahwa akuisisi data spasial dengan metode LiDAR mulai banyak diminati oleh

pelaku bidang survei. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa teliti dan

reliable data yang dihasilkan setelah diproses dengan software LiDAR tertentu.

Software post processing data LiDAR memberikan kemudahan para

pengguna untuk mengkoreksi jalur terbang dari data LiDAR secara automatis,

dimana tiap-tiap jalur terbang dilakukan koreksi heading, roll, pitch, dan z shift

sesuai dengan pergerakan pesawat. Data LiDAR juga dapat dimodifikasi dan

dikoreksi secara manual, dimana adjustment data LiDAR pada tiap jalur terbang

dilakukan berdasarkan titik-titik ground yang telah diketahui tingginya. Pentingnya

informasi tentang perbedaan tingkat akurasi dari koreksi antar jalur terbang dengan

2

metode automatis dan manual, serta saat ini belum pernah dilakukan penelitian

terkait pengaruh perbedaan adjustment jalur terbang, mendasari penulis untuk

melakukan penelitian ini.

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan pada sub-bab latar

belakang, hal yang hendak dicapai penulis pada penelitian ini adalah nilai

perbandingan tingkat akurasi data hasil metode koreksi antar jalur terbang secara

automatis dan manual.

I.3. Batasan Masalah

Batasan masalah dari Perbandingan Ketelitian Data LiDAR Hasil Koreksi

Antar Jalur Terbang Secara Automatis dan Manual adalah :

1. Uji ketelitian LiDAR dilakukan untuk menghitung perbedaan koreksi

secara manual dan automatis.

2. DEM yang digunakan merupakan ground class yang merupakan hasil

klasifikasi point clouds.

3. Titik uji hasil pengukuran Total Station (TS) merupakan data yang

dianggap benar bila dibandingkan dengan data LiDAR. Kedua data

tersebut mempunyai sistem koordinat yang sama.

I.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat akurasi data hasil

koreksi antar jalur terbang yang dihasilkan dari metode manual dan automatis.

I.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Pengguna software Terrasolid dapat mengkoreksi data LiDAR dengan

metode manual apabila menemui masalah dalam koreksi secara automatis

2. Pengguna Terrasolid dapat menghasilkan data output yang lebih akurat

dengan nilai RMSE yang sesuai standar.

3. Mengurangi atau meniadakan kesalahan-kesalahan yang dapat

mengurangi keakuratan data yang dihasilkan oleh software Terrasolid

3

I.6. Tinjauan Pustaka

Nugroho (2013) melaksanakan penelitian dengan menguji ketelitian elevasi

data LiDAR dengan menggunakan data hasil olahan GNSS sebagai pembanding.

Penelitian dilakukan di sekitar area Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan

luas area penelitian sekitar 1,7001 km2. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu citra orthophoto, DEM (Digital Elevation Model) dan 161 titik uji GNSS yang

tersebar merata di sekitar area Universitas Gadjah Mada. Sebelum melakukan

pengukuran titik uji dengan menggunakan GNSS, terlebih dahulu terlebih dahulu

dilakukan penandaan diatas citra orthophoto mengenai lokasi titik uji yang akan

diukur. Pengukuran titik uji GNSS harus memenuhi standar baku yang telah

ditetapkan, yaitu minimum 20 titik uji tiap tutupan lahan. Posisi titik uji hasil

pengukuran GNSS tidak berada tepat persis dengan posisi titik uji hasil penyiaman

ALS, dikarenakan posisi titik uji GNSS tidak dilakukan penandaan saat penyiaman

ALS berlangsung. Posisi titik uji diperoleh dari hasil interpolasi point clouds ALS

yang didasarkan pada posisi titik uji GNSS. Titik uji hasil interpolasi tersebut

kemudian diselisihkan dengan titik uji GNSS. Langkah berikutnya melakukan seleksi

data menggunakan uji global (3σ) dengan rentang kepercayaan -3σ < x – μ < 3σ.

Langkah terakhir adalah menghitung nilai RMSE (Root Mean Square Error) vertikal

tiap tutupan lahan dan analisis ketelitian berdasarkan standar ketelitian NMAS

(National Map Accuracy Standard)/NSDAA (National Standard for Spatial Data

Accuracy) agar dapat dijadikan referensi dalam pengadaan DEM untuk pembuatan

peta skala besar (peta penutup lahan 3 dimensi maupun peta orthophoto) dan

pengadaan DTM ketelitian tinggi. Ketelitian yang dihasilkan untuk tanah terbuka

0,132 m, vegetasi rendah (rumput) 0,131 m, jalan aspal 0,168 m, dan paving blok

0,160 m.

Harnanto (2012) melaksanakan penelitian dengan membandingkan ketelitian

hasil akuisisi ALS terhadap pengukuran topografi menggunakan TS di lokasi

tambang batubara pada lima kategori tutupan lahan, yaitu: daerah tebangan

(clearcut), daerah vegetasi (lightly thinned), jalan tanah (soil road), daerah tambang

(open pit area), dan tanah terbuka (barren ground). Pengambilan data dilakukan

pada bulan Desember 2010. Akuisisi data dilakukan pada salah satu daerah tambang

4

batubara di Muara Bungo provinsi Jambi menggunakan LITE-MAPPER 5600

Airborne Lidar System dengan laser scanner RIEGL LMS Q560. Spesifikasi

parameter survei ALS yang digunakan seperti tinggi terbang 1000m, kecepatan

pesawat rerata 100 knot, sudut sapuan 600, PRR 70 khz, dan scan speed 45 lines/s.

Pada penelitian ini menggunakan titik uji sebanyak 100 buah titik yang diketahui

koordinatnya secara 3 dimensi. Titik tersebut merupakan hasil pengukuran secara

terestris di lapangan yang diasumsikan memiliki ketelitin lebih baik dibandingkan

dengan data hasil penyiaman ALS dan dianggap benar. Titik uji hasil pengukuran TS

yang digunakan dalam penelitian biasanya tidak berada pada posisi yang sama pada

titik hasil penyiaman ALS, dan berada diantara titik-titik hasil penyiaman ALS,

karena titik pengukuran TS tidak dilakukan premark pada saat akuisisi data.

Sehingga untuk memperoleh titik uji pada point clouds perlu dilakukan interpolasi

titik pada DEM ALS berdasarkan data titik uji TS yang digunakan. Titik uji ALS

yang dibandingkan merupakan hasil interpolasi linier dengan menggunakan

perangkat lunak TerraScan Microstation V8i. Ketelitian elevasi yang di hasilkan di

lakukan analisis menggunakan NMAS (National Map Accuracy Standard)/NSDAA

(National Standard for Spatial Data Accuracy) agar dapat dijadikan referensi dalam

pengadaan DEM untuk pembuatan peta topografi daerah tambang skala besar.

Kartika (2010) melaksanakan penelitian dengan membandingkan ketelitian

elevasi hasil penyiaman ALS dari tinggi terbang 1100 m terhadap ketelitian elevasi

hasil penyiaman ALS dari tinggi terbang 700 m pada daerah beraspal. Akuisisi data

dilakukan di runway Cakrabuana Cirebon, pada runway 04 sampai dengan 22 dengan

arah azimuth 40 sampai dengan 220 serta elevasi ± 21 m di atas permukaan laut.

Ketelitian elevasi hasil penyiaman ALS dalam penelitian ini diuji menggunakan data

hasil pengukuran TS yang dianggap benar. Proses akuisisi data ALS menggunakan

RIEGL LMS Q560 Airborne Laser Scanner. Spesifikasi parameter survei ALS yang

digunakan, yaitu tinggi terbang 700 m dan 1100 m, kecepatan pesawat 60 m/s, sudut

sapuan 60, scan speed 60 lines/s, spasi titik 1 m. Berdasarkan parameter penyiaman

tersebut, penyiaman dengan tinggi terbang 700 m diperoleh lebar swath 808,290 m,

Pulse Repetition Rate (PRR) 48,497 khz, angular step width 0,0082. Kemudian

penyiaman dengan tinggi terbang 1100 m diperoleh lebar swath 1270,171 m, Pulse

Repetition Rate (PRR) 76,210 khz, angular step width 0,052. Pengolahan data ALS

5

menggunakan perangkat lunak TerraScan Microstation V8i. Berdasarkan hitungan

ketelitian yang dilakukan, hasil penyiaman ALS pada daerah beraspal memiliki

ketelitian sangat baik walaupun aspal hanya memiliki tingkat reflektifitas sebesar

20%. Reflektifitas sebesar ini dapat diperoleh DEM yang mencukupi untuk produksi

skala besar. Ketelitian elevasi hasil penyiaman ALS dari tinggi terbang 1100 m dan

700 m pada daerah beraspal mencapai 15,9 cm dan 14,1 cm.

ZhaoLijian (2008) melakukan studi survei topografi ALS pada dataran pasang

surut dan zona pantai. Lokasi penelitian ini memeiliki karakteristik khusus berupa

daerah berlumpur yang sulit diakses manusia. Ketelitian data ALS dianalisis

menggunakan 49 titik uji hasil pengukuran GPS. Dari analisis tersebut diperoleh

RMSE sebesar ± 1,327 m untuk titik uji yang tersebar pada daerah dengan topografi

bergelombang dan diperoleh RMSE sebesar ± 0,403 m untuk titik uji yang

terdistribusi pada daerah datar. Berdasarkan standar ketelitian GBIT 13990 – 92

(1:5000, 1:10000 Topographic Map Aerial Photographic Surveying Industri

Standard), ketelitian data ALS tersebut mencukupi kebutuhan pemetaan topografi

hingga skala 1:5000.

Penelitian mengenai ketelitian data ALS pada daerah perkotaan telah dilakukan

di china oleh Wenquan (2008). Akuisisi data dilakukan pada bulan Maret 2006

menggunakan ALTM 3 100 Optech System. Lokasi studi berada di Nanjing Povinsi

Jiangsu China dengan luas 10 km2. Spesifikasi parameter akuisisi data ALS yang

digunakan, yaitu ketinggian terbang 800 m, kecepatan pesawat rata-rata 160

km/jam,arah terbang dari barat ke timur dan dari timur ke barat, jumlah jalur terbang

12, pulse repetition frequency (PRF) 100 KHz, sudut scan 20o, overlap swath 44%,

footprint distance 0,51 m, jarak GPS base station ke area studi 130 km. Pengolahan

data ALS dilakukan dengan menggunakan TerraSolid software yang terdiri dari

TerraScan, TerraPhoto, dan TerraModeler. Untuk menentukan ketelitian data ALS

digunakan 19 titik uji yang diukur menggunakan GPS. Setelah dilakukan analisis

diperoleh rata-rata beda elevasi sebesar 0,008 m, beda elevasi maksimum +0,151,

beda elevasi minimum -0,383 m. RMSE sebesar 0,119 m dan simpangan baku

sebesar 0,122 m.

Penelitian yang dilakukan penulis adalah membandingkan elevasi hasil koreksi

data ALS secara manual dan automatis, dengan data pengukuran terestris sebagai

6

data yang dianggap benar. Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari 2012.

Akuisisi data dilakukan pada daerah di sekitar Universitas Gadjah Mada

menggunakan LITE-MAPPER 5600 Airborne Lidar System dengan laser scanner

RIEGL LMS Q560 dan dibawa dengan menggunakan pesawat Cessna 402B.

Spesifikasi parameter survei ALS yang digunakan seperti tinggi terbang 1000 m,

kecepatan pesawat rata-rata 117 knot, sudut sapuan 60o, PRR 100 KHz, dan scan

speed 100 lines/s. Pada penelitian ini menggunakan titik uji sebanyak 150 buah

dengan jenis tutupan lahan yang berbeda-beda dan dengan koordinat 3 dimensi yang

diketahui. Titik tersebut merupakan hasil pengukuran terestris menggunakan Total

Station yang dianggap memiliki ketelitian lebih tinggi dibanding hasil penyiaman

ALS dan dianggap benar. Oleh karena titik uji dengan TS tidak dilakukan premark

pada saat akuisisi data, maka untuk memperoleh titik uji pada point cloud, perlu

dilakukan interpolasi titik pada DEM ALS berdasarkan data titik uji TS yang

digunakan. Titik uji ALS yang dibandingkan merupakan hasil interpolasi linear

secara manual.

7

I.7. Landasan Teori

1.7.1. Teknologi LiDAR

LiDAR (Light Detection and Ranging) telah secara luas dikenal oleh berbagai

kalangan yang digunakan untuk akuisisi data, baik itu di dunia topografi, morfologi,

hidrografi, forestri dan lain-lain.

Keakuratan LiDAR yang mencapai fraksi desimeter baik dalam planar maupun

ketinggian membuat LiDAR menjadi pilihan utama untuk pengukuran yang

membutuhkan keakuratan sekaligus kecepatan. Dalam mencapai hasil yang optimal,

ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan (Maas 2003). Diantaranya adalah :

1. Jarak maksimum dari base station GPS tidak boleh lebih dari 10km

(Cramer, 1997; Behan dkk., 2000; Kozmus dan Stopar, 2003; Turton, 2006)

2. Harus ada satelit konstelasi maupun geometri yang memadai.

(Katzenbeisser, 2003; Turton, 2006).

3. Di awal dan akhir pengukuran disarankan terdapat GPS statis yang

merekam data dengan menggunakan mobile GPS station yang dioperasikan

dekat dengan stasiun referensi. (Behan dkk., 2000; Burman, 2000).

Gambar I.1. prinsip kerja LiDAR

8

1.7.1.1. Prinsip kerja LIDAR secara umum.

Sistem kerja LiDAR berbeda-beda untuk tiap pabrikan. Tetapi semua jenis

LiDAR menggunakan komponen berikut :

1. Detektor dan pemancar laser

2. Mekanisme dan kotrol penyiaman

3. GPS (Global positioning system)dan IMU (Inertial measurement unit).

4. A high-accuracy, high-resolution clock untuk mengukur waktu emisi laser

dan kembalinya laser

5. pengukur sudut penyiaman.

6. Komputer high performance,

7. Media penyimpanan kapasitas besar

Dengan komponen di atas, maka pulsa laser dapat dipancarkan, pantulan pulsa

dari laser tersebut yang dipantulkan oleh permukaan tanah dapat terdeteksi dan

waktu yang presisi dapat terekam. Dengan tingkat akurasi posisi dan orientasi tinggi

yang dihasilkan oleh GPS dan IMU, maka pantulan sinar laser dari permukaan tanah

dapat dihitung, dengan persamaan berikut ini (Wehr and Lohr 1999).

R = c/2 . tL …………………………………………………… (I.1)

Keterangan :

R = jarak antara sensor dengan titik target yang diukur (m)

c = konstanta kecepatan cahaya (3.108 m/s)

tL = Travelling Time (ns)

Jarak yang harus dilewati laser sebanyak 2 kali, yaitu jarak sensor menuju

target dan dikembalikan lagi ke sensor sehingga jarak sensor ke titik target harus

dibagi dua.

Menurut Wehr dan Lohr (1999) prinsip pengukuran jarak menggunakan beda

fase menerapkan cara memancarkan sinar laser secara terus yang disebut sistem

gelombang sinar laser CW (continuous wave-system). Prinsip pengukuran jarak

dengan beda fase dapat dihitung dengan persamaan (Li dkk 2005).

(

) (

) (

) (

) ……………………….(I.2)

9

Keterangan :

R : Jarak dari sensor ke titik target yang diukur dengan beda fase (m)

ΔR : Selisih jarak yang didapat dari pancaran gelombang sinar laser (m)

c : Konstanta kecepatan cahaya (3.108

m/s)

f : frekuensi (Hz)

φ : fase (rad)

Δ φ : resolusi fase (rad), dan

π : phi (3,14)

Cermin mempunyai fungsi utama, yaitu memancarkan sinyal dari sensor laser

ke permukaan topografi. Tipe cermin dibagi menjadi dua, yaitu cermin putar dan

cermin osilasi dengan tipe pantulan yang berbeda (Sutanta 2002, dalam Nugroho

2013). Tipe pantulan cermin putar dan cermin osilasi dapat dilihat pada Gambar I.2

Gambar I.2 (a)Pola data hasil scanning dengan oscillating mirror dan

(b)rotating mirror (Sutanta 2002, dalam Nugroho 2013)

Berdasarkan Gambar I.2, arah terbang ditunjukkan dengan menggunakan arah

panah kemudian angka i, ii, dan iii merupakan pendefinisian dari garis penyiaman.

Karakteristik lain dari sensor, antara lain (Sutanta 2002, dalam Nugroho 2013) :

1. Panjang gelombang dari sinar laser yang digunakan,

2. Divergence angle,

3. Ukuran pulsa sinar laser di permukaan tanah (foot print size)

4. Frekuensi pemancaran pulsa

5. Frekuensi penyiaman, dan

6. Sudut penyiaman.

10

Menurut Istarno (2011) cara kerja LRF (Laser Range Finder) seperti halnya

RADAR, dengan pengecualian laser mentransmisikan pulsa sempit atau sorotan

(beam) sinar yang lebih baik dari pancaran gelombang radio. LRF terdiri dari dua

unit, yaitu : optis-mekanis scanner (penyiam) dan unit pengukur jarak laser (Wehr

dan Lohr 1999). Sensor tersebut merupakan kombinasi antara pemancar laser dan

penerima elektro-optis

Terdapat beberapa tipe penyiaman (scanner) yang umumnya digunakan untuk

akuisisi data LIDAR (Optech 2003, dalam Istarno dkk 2011), antara lain :

1. Penyiam cermin putar dengan kecepatan konstan

Gambar I.3 Pola penyiaman cermin putar kecepatan konstan (Maune 2007,

dalam Istarno dkk 2011)

2. Penyiam cermin osilasi

Gambar I.4 Pola penyiaman cermin osilasi (Maune 2007, dalam Istarno dkk 2011)

11

3. Penyiam cermin nutasi

Gambar I.5 Pola penyiaman cermin nutasi (Maune 2007, dalam Istarno dkk 2011)

4. Penyiam elips

Gambar I.6 Pola penyiam eliptik (Maune 2007, dalam Istarno dkk 2011)

Untuk mendapatkan data range setiap pantulan sinar yang dikembalikan ke

data recorder maka dilakukan waveform signal processing. Waveform signal

processing merupakan prosedur pengolahan data LIDAR dengan menggunakan

algoritma signal processing, yaitu metode pulse range secara Gauss. Pada metode ini

setiap bagian signal laser yang mengenai objek akan membentuk echo pulse berupa

tampilan grafik Gauss.(Kartika 2010)

12

Gambar I.7. Pembentukan echo pulse (RIEGL 2009)

Gambar di atas mengilustrasikan pembentukkan echo pulse saat penyiaman

LIDAR. Pulsa berwarna merah merupakan signal laser yang dipancarkan ke target,

sedangkan warna biru adalah echo pulse yang terbentuk dari bagian signal laser yang

mengenai obyek. Setiap bagian signal laser yang mengenai obyek akan membentuk

echo pulse berupa tampilan grafik Gauss dengan bentuk unik. Prinsip dasar digitasi

full waveform adalah lebar echo pulse menunjukkan kekasaran permukaan,

volumetrik dan kemiringan permukaan obyek, amplitudo dari echo pulse

menunjukkan reflektivitas obyek, jarak antar echo pulse menunjukkan tinggi target

sedangkan posisi echo pulse menunjukkan jarak absolut target.

Dalam pengolahannya, informasi echo signal diolah dalam bentuk kurva

Gaussian yang digunakan untuk mengestimasi lokasi masing-masing echo dan

bentuk scattering-nya, seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

13

Gambar I.8. Waveform Signal Processing (RIEGL 2009)

Ketika signal berinteraksi dengan reflektivitas permukaan target maka bagian

signal laser yang mengenai obyek akan membentuk gelombang kejut (echo pulse)

berupa tampilan grafik Gauss yang merupakan signal analog. Kemudian signal

analog disampel pada interval waktu tertentu dan dikonversi ke signal digital

menghasilkan digital data stream. Data stream disimpan dalam RIEGL data recorder

berdasarkan waktu akurat pengukuran perjalanan sinyal untuk off-line post

processing selanjutnya. Dalam post processing, signal dapat direkonstruksi secara

sempurna sehingga dapat dianalisis secara detil untuk menghasilkan informasi jarak

target, tipe target dan parameter lain (Kartika 2010).

1.7.1.2. Komponen sistem LiDAR.

LiDAR memiliki sistem yang saling terhubung dengan komponen-komponen

lainnya. Komponen utama yang digunakan diantaranya ialah : aerial platform, sensor

laser, IMU, GPS, dan perangkat lunak dan perangkat keras untuk pengolahan

LiDAR.

Aerial Platform. Sistem LiDAR dipasang pada wahana pesawat terbang atau

helikopter sebagai platform saat akuisisi data pada kegiatan survei. Pusat koordinat

dan orientasi terletak pada IMU.

Laser Scanner Unit. Sensor menembakkan sinar laser ke obyek kemudian

dipantulkan kembali oleh obyek tersebut, sehingga diperoleh data jarak. Tipe laser

14

yang dipancarkan dapat dibedakan menjadi pulse system dan continuous wave (CE-

system). Gelombang yang digunakan adalah near infrared. Terkait dengan

kemampuan gelombang near infrared maka survei LIDAR tidak bisa dilakukan saat

cuaca buruk seperti hujan, mendung dan berkabut. Bagian dari laser scanner yang

memancarkan sinar adalah transmitter (Wehr 2009).

Inertial Navigation System. Komponen ini merupakan suatu sistem inersial

untuk menentukan dan menghitung orientasi 3D posisi tiap titik terhadap kesalahan

roll,pitch, dan yaw (heading) pada tiap posisi LIDAR. INS dengan peralatan berupa

IMU melakukan pengukuran terhadap pergerakan dan rotasi pesawat terhadap sumbu

x (roll), sumbu Y (pitch), dan sumbu Z (yaw) berdasarkan grafitasi lokal dan utara

sebenarnya. Sistem referensi INS menggunakan kaedah tangan kanan. Dimana

sumbu x searah dengan pergerakan pesawat dan sumbu Y searah dengan sayap

kanan pesawat. (Harnanto 2007)

Global Positioning System. GPS merupakan sistem penentuan posisi tiga

dimensi secara teliti. Terdapat dua jenis GPS yang digunakan dalam pengukuran

LiDAR, yaitu GPS yang dipasang di tanah sebagai base station, dan GPS yang

ditempatkan di badan pesawat sebagai rover. GPS yang berada di tanah harus

diaktifkan saat pesawat mulai lepas landas hingga pesawat mendarat agar dapat

merekam secara utuh posisi lintasan pesawat dalam pengambilan data selama

penerbangan. GPS sebagai alat pengukur posisi yang memiliki tingkat kestabilan

yang baik untuk pengamatan dalam jangka waktu yang cukup lama. Airbone GPS

dapat menghasilkan ketelitian horisontal 5 cm dan vertikal 10 cm, sedangkan IMU

dapat menghasilkan attitude dengan akurasi dalam beberapa centimeter. (Liu 2008).

1.7.2. Ketelitian elevasi hasil penyiaman LiDAR

Pada penelitian ini, data elevasi yang dijadikan sebagai referensi menggunakan

data elevasi hasil pengukuran terestris menggunakan Total Station. Ketelitian

diperoleh dengan membandingkan data pengukuran LiDAR dengan data Total

Station yang dianggap benar dan dianggap memiliki ketelitian yang lebih tinggi

dibandingkan data LiDAR. Ketelitian hasil penyiaman LiDAR berdasarkan nilai

RMSE (Root Mean Square Error) yang diperoleh. Pengujian ini dilakukan dengan

15

menggunakan titik sampel uji yang berjumlah 214 titik pada kategori ketinggian

yang berbeda, Kerapatan titik dari raw data LiDAR tergantung pada PRR (Pulse

Repetion Rate) dari sensor LiDAR, sudut penyiaman, dan tinggi terbang pesawat

(Nugroho 2013).

1.7.5.1. Titik uji. Pemilihan titik uji dilakukan pada daerah yang sudah ditentukan.

Daerah yang dipilih adalah wilayah yang bertampalan antara flight line satu dengan

lainnya. kemiringan terain tidak boleh lebih curam dari 20% karena kesalahan

horisontal akan mempengaruhi perhintungan RMSE vertikal. Titik uji pada

penelitian ini berada di sekitar titik-titik GCP yang diukur dengan receiver GNSS.

1.7.5.2. Ketelitian elevasi. Ketelitian LiDAR salah satunya ditentukan oleh besarnya

RMSE dari elevasi. RMSE adalah akar kuadrat dari rata-rata perbedaan data yang

dikuadratkan antara nilai koordiant dataset dan nilai koordinat dari hasil survei

independen dengan ketelitian yang lebih tinggi untuk titik-titik identik (NSSDA

1998).

RMSE elevasi didapat dari hitungan kuadrat akar rata-rata perbedaan nilai

elevasi yang didapat dari penyiaman LIDAR dengan data hasil ukuran independen

yang mempunyai ketelitian lebih tinggi. Dengan rumus matematis sebagai berikut

(ASPRS 2004).

n

ZZRMSE surveilidar

2)(

………………………………………….(I.3)

Keterangan:

ZLiDAR = elevasi data hasil penyiaman LIDAR

Zsurvei = elevasi hasil survei independen yang mempunyai ketelitian lebih

tinggi

n = jumlah titik uji

Flood (1999), dalam Nugroho (2013) menyatakan bahwa hubungan matematis

ketelitian vertikal NMAS dan NSSDA dapat dihitung dengan persamaan sebagai

berikut.

Ketelitian (Z) = 1,96 * RMSE (Z)……………………………………….(I.4)

16

NSSDA (1998), dalam Nugroho (2013) menyatakan bahwa jika kesalahan

vertikal terdistribusi normal, faktor 1,96 diterapkan untuk menghitung kesalahan linier

pada tingkat kepercayaan 95%.

1.7.3. Sistem tinggi LiDAR

Tinggi suatu titik di bumi didefinisikan sebagai jarak vertical terhadap suatu

bidang referensi. Pendefinisian ketinggian suatu bidang referensi (datum) sering

disebut system tinggi. Sistem tinggi di bidang geodesi berdasarkan bidang acuannya

yang dijadikan sebagai kerangka referensi tinggi ada 2, yaitu :

1. Sistem tinggi orthometris (geoid), yaitu jarak dari suatu titik di permukaan

bumi yang diukur sepanjang garis gaya berat bumi sampai ke geoid. Sistem

tinggi orthometris mempunyai realisasi fisis di permukaan bumi sehingga

dapat digunakan untuk keperluan praktis.

2. Sistem tinggi geometris (elipsoid), yaitu jarak linier di atas bidang ellipsoid

yang diukur sepanjang normal ellipsoid pada titik tersebut. Sistem tinggi

geometris tidak memiliki realisasi fisis di permukaan bumi sehingga tidak

dapat digunakan untuk keperluan praktis. Gambar hubungan tinggi

geometris (elipsoid), orthometris (geoid), dan topografi dapat dilihat pada

Gambar I.9.

Gambar I.9 hubungan tinggi geometris (elipsoid), orthometris (geoid), dan

topografi

17

Menurut Heliani (2011) prinsip hubungan matematis antara ketinggian titik di

atas elipsoid (h), tinggi titik diatas geoid (H), dan undulasi geoid di suatu titik di

permukaan topografi (N) dapat ditulis dalam persamaan (I.5)

N = h – H…………………………………………………………….(I.5)

Keterangan :

N : Undulasi geoid di suatu titik di permukaan topografi (m)

h : Tinggi titik di atas elipsoid (m)

H : Tinggi titik di atas Geoid (m)

Ketinggian titik di atas ellipsoid (h), didapat dari pengukuran GPS, sedangkan

ketinggian titik diatas geoid (H) didapat dari pengukuran sipat datar. Apabila tidak

memungkinkan dilakukan pengukuran sipat datar maka dapat digunakan model geoid

global. Jikanilai ketinggian titik di atas elipsoid (h), ketinggian titik di atas geoid (H)

diketahui, maka nilai undulasi geoid di suatu titik di atas permukaan bumi dapat

dihitung dengan persamaan (I.5).

GPS adalah sistem penentuan posisi dengan menggunakan satelit yang didesain

untuk menentukan posisi secara tiga dimensi dan memberikan informasi waktu

secara kontinu. Pemetaan LIDAR menggunakan dua sistem penentuan posisi, yaitu

penentuan posisi menggunakan ground GPS dengan tipe GPS Geodetic Dual

Frequency dan airborne GPS (GPS navigasi pesawat). Ground GPS didirikan di

permukaan topografi yang berfungsi sebagai titik kontrol tanah (base station).

Airborne GPS (GPS navigasi pesawat) berfungsi sebagai alat perekam posisi

pesawat, dan waktu saat pesawat terbang.

Posisi obyek di permukaan topografi didapat dengan mengintegrasikan dua

sistem utama, yaitu LIDAR dan GPS. Posisi obyek yang didapat dari hasil akuisisi

LIDAR berada di atas referensi elipsoid. Oleh karena itu, titik koordinat yang

dihasilkan dari pengukuran GPS adalah koordinat geografis dengan ketinggian

elipsoid

18

1.7.4. Kekuatan sinyal laser

Ketelitian hasil penyiaman LiDAR antara lain ditentukan oleh kekuatan sinyal

laser. Faktor yang mempengaruhi kekuatan sinyal laser antara lain panjang

gelombang dan energi dari pulsa yang dipancarkan, tinggi terbang, serta kemampuan

reflektivitas obyek. Makin tinggi wahana terbang maka kekuatan sinyal laser makin

berkurang. Reflektivitas merupakan kemampuan obyek memantulkan kembali laser

yang mengenainya. Reflektivitas permukaan obyek menentukan kekuatan pantulan

pulsa LiDAR yang diterima detektor. Kekuatan pantulan LiDAR inilah yang disebut

dengan intensitas LiDAR. Kualitas data sangat ditentukan oleh besarnya presentase

sinyal yang diterima kembali oleh sensor. Pada tipe area yang mampu mematulkan

100% dari pulsa yang diterima maka akan dihasilkan data elevasi yang sangat akurat.

Kualitas data sangat ditentukan oleh besarnya presentase sinyal yang diterima

kembali oleh sensor. Besar reflektivitas setiap kategori tutupan permukaan bumi

adalah berbeda – beda tergantung dari kekasaran permukaannya (Kartika 2010).

Di bawah ini disajikan grafik reflektivitas untuk berbagai kategori tutupan

permukaan bumi.

Gambar I.10. Grafik reflektivitas target (RIEGL 2009)

19

I.7.5. Sumber kesalahan LiDAR.

LiDAR atau ALS merupakan teknologi yang modern dan canggih, namun

bukan berarti alat tersebut tidak memiliki kesalahan. Kesalahan tersebut ada pada

masing-masing komponen yang saling terhubung. Adapun kesalahan LIDAR akan

disebutkan dibawah ini.

a. Kesalahan acak (random errors)

Kesalahan acak menyebabkan ketidaktepatan koordinat yang diperoleh

yang dipengaruhi oleh kesalahan komponen persamaan LIDAR. Menurut

Habib (2008), terdapat beberapa efek noise (position noise, orientation

noise, dan range noise) pada sistem pengukuran LIDAR dalam

menghasilkan point cloud.

a. Position noise.

Pengaruh dari noise ini adalah independen terhadap tinggi terbang dan

metode penyiaman.

b. Orientation noise.

Noise ini akan lebih mempengaruhi koordinat horisontal daripada

koordinat vertikal. Pengaruhnya dependen terhadap tinggi terbang dan

sudut penyiaman.

c. Range Noise.

Range Noise akan lebih mempengaruhi komponen vertikal.

Pengaruhnya independen terhadap tinggi terbang, tetapi dependen

tehadap sudut penyiaman.

b. Kesalahan sistematik.

Kesalahan sistematik terbentuk dari kesalahan bias dan kalibrasi yang

buruk dalam proses penyiaman LiDAR. (Cekada dkk 2009).Basic

systematic error dapat dimodelkan dengan persamaan geolokasi (Schenk

2001). Kesalahan ini mempengaruhi akurasi , jarak, planimetris, dan

ketinggian. Tetapi karena kesalahan ini merupakan kesalahan sistematik,

maka kesalahan ini dapat secara umum dihilangkan dengan mengkaliberasi

sistem penyiaman laser. Persamaan geolokasi tanpa kesalahan dapat

dijabarkan sebagai berikut (Schenk 2001).

20

.................( I.6)

Keterangan :

XL = lokasi berkas laser pada sistem koordinat ortogonal global

X0 = merupakan center point dari GPS pesawat pada sistem koordinat

ortogonal global

RW = merupakan rotasi dari sistem koordinat ortogonal lokal, ke

sistem koordinat ortogonal global

RGEO = merupakan rotasi dari sistem referensi pada ketinggian vertikal

lokal ke sistem referensi ortogonal lokal

RINS = merupakan rotasi dari sistem referensi tubuh pesawat ke sistem

referansi lokal pada ketinggian lokal

S0 = merupakan vektor offset antara GPS/INS dan sistem penyiaman

laser

RM = penyimpangan pada penyangga alat (mounting)

RS = rotasi antara pancaran sinar laser dan sistem penyiaman yang

didapat dari scan angle

h_d = vektor pengukuran jarak yang diperoleh

Gambar 1.11 Ilustrasi unsur-unsur persamaan geolokasi (Schenk 2001).

Jika ditambahkan komponen kesalahan yang tidak berkorelasi maka

persamaan geolokasinya akan menjadi seperti berikut :

.......(I.7)

21

Keterangan:

∆XO = kesalahan tingkat akurasi sensor GPS

∆RINS = kesalahan sudut INS

∆S0 = kesalahan offset dari vektor GPS/INS dan sistem penyiaman

laser

∆RM = kesalahan penyimpangan penyangga alat

∆d = kesalahan pada pengukuran jarak

Besar total kesalahan yang berpengaruh pada pengukuran data LiDAR

dinamakan Schenk’s error model, yang dimodelkan sebagai berikut :

................................................................................(I.8)

Berdasarkan persamaan I.6 dan I.7 maka kesalahan-kesalahan yang dapat

terjadi dalam pengukuran LiDAR adalah:

a. Kesalahan pada sudut penyiaman

Kesalahan pada sudut penyiaman yang mempengaruhi data hasil

penyiaman LiDAR dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian

(Cekada dkk 2009) yaitu :

i. index error and swath-angle error

ii. vertical beam misalignment

iii. horizontal beam misalignment

(1) (2) (3)

Gambar 1.12 kesalahan pada sudut penyiaman (Cekada dkk 2009)

b. INS systematic errors

Kesalahan sistematik pada INS sangat bergantung pada harga dan

kualitas sistem INS. Kesalahan yang terjadi setelah kaliberasi pada

roll ϕ dan pitch θ biasanya memiliki rentang dari 0,004o hingga

22

0,02o

(Katzenbeisser 2003; Skaloud danLichti 2006; Friess 2006).

Kesalahan pada heading ψ dua kali lebih besar daripada kesalahan

yang terjadi pada roll ϕ dan pitch θ (Katzenbeisser 2003).

Gambar 1.13 Ilustrasi kesalahan Heading, roll, pitch

(Katzenbeisser 2003)

c. Kesalahan pada penyangga alat penyiaman (mounting bias error)

Besarnya sudut penyimpangan pada penyangga alat penyiaman

biasanya kurang dari 3o (Bäumker dan Heimes 2002; Morin dan El-

Sheimy 2002; Katzenbeisser 2003; Skaloud dan Lichti 2006).

(mounting bias error) dapat dianggap sebagai ketidaksejajaran

antara sistem referensi INS dan alat penyiaman laser. Kesalahan ini

bergantung pada prosedur kaliberasi serta kesalahan sistematik

lainnya dan kesalahan ini sulit untuk dimodelkan (Schenk 2001;

Katzenbeisser 2003)

d. Kesalahan pada translasi vektor

Kesalahan ini bergantung pada (mounting bias error) dan translasi

S0 (Schenk 2001).

e. Kesalahan pada pengukuran jarak laser

Kesalahan ini bergantung pada kecepatan terbang dan pencatat

waktu interval laser. Besarnya kesalahan alat pencatat waktu dapat

dianggap konstan dan nilainya ditetapkan oleh produsen sensor.

Namun pada kenyataannya, kesalahan ini dapat dipengaruhi oleh

perubahan temperatur dan bertambahnya umur alat.

23

1.7.6. Definisi DEM, DTM dan DSM

Digital Elevation Model (DEM), Digital Terrain Model (DTM) dan Digital

Surface Model (DSM) memiliki pengertian yang hampir sama sehingga sering timbul

pertanyaan. Namun pengertian ketiga istilah tersebut berbeda – beda untuk masing –

masing negara.

DEM merupakan data elevasi digital terain (topografi dan batimetri) tanpa

adanya fitur permukaan bumi seperti bangunan dan vegetasi (ASPRS 2004).

Menurut Kartika (2010) ”DEM merupakan model permukaan bumi yang terbentuk

dari titik –titik yang memiliki nilai koordinat 3D (X, Y, Z). Titik – titik tersebut

dapat berupa titik sample permukaan bumi atau titik hasil interpolasi atau

ekstrapolasi titik – titik sample”.

Istilah DTM hampir sama dengan DEM yakni representasi relief dari terain

serta informasi ketinggian dari permukaan bumi tanpa ada fitur alam maupun buatan

manusia, namun DTM mencakup unsur – unsur dengan elevasi yang signifikan dari

fitur topografi yakni unsur linier berupa breakline, mass point (DEM) dan hidrologic

condition sehingga DTM mampu memodelkan relief secara lebih realistik atau

sesuai dengan kenyataan (ASPRS 2004).

Gambar I.14 Ilustrasi DTM dan DSM (ASPRS 2004)

DSM adalah model dari permukaan bumi termasuk fitur – fitur baik alami

maupun buatan manusia seperti gedung, vegetasi dan pepohonan (ASPRS 2007).

DSM menggambarkan puncak fitur yang terdapat di atas bare-earth. DSM

merupakan model elevasi topografis permukaan bumi yang memberi batas acuan

yang benar secara geometris, yang ke atasnya dapat diletakkan lapisan data lainnya.

Data DSM mencakup bangunan, vegetasi, dan jalan, serta fitur terain alami.

24

1.7.7. Interpolasi linier

Penentuan titik uji LiDAR dapat dilakukan dengan cara interpolasi terhadap

point cloud. Titik-titik uji hasil pengukuran Total Station akan dibandingkan dengan

data hasil penyiaman LiDAR. Dari titik-titik itu, hasil pengukuran Total Station

biasanya tidak tepat berada pada titik penyiaman LiDAR, akan tetapi berada di antara

titik-titik hasil pengukuran LiDAR, sehingga perlu dilakukannya proses interpolasi

linier agar titik uji Total Station dapat tepat berada pada titik point cloud LiDAR.

Proses interpolasi ini mengunakan pemodelan dalam bentuk TIN yang

merupakan representasi permukaan bumi dalam bentuk kumpulan titik-titik elevasi

yang terdistribusi secara acak. TIN merupakan bentuk jaring segitiga dengan unsur-

unsur linier seperti breaklines dan mass point. Untuk membentuk jaring segitiga

yang teliti diperlukan titik-titik yang terdistribusi rapat dan memiliki ketilitian yang

tinggi sehingga model yang diperoleh dapat menggambarkan representatif

permukaan bumi secara teliti. Penentuan elevasi titik uji berdasarkan dari titik point

cloud LiDAR yang dilakukan berdasar titik uji posisi X dan Y pada hasil pengukuran

Total Station. Dengan demikian, nilai elevasi titik uji pada TIN model merupakan

interpolasi linear dari ketinggian point cloud di sekitarnya.

Untuk membentuk TIN yang mampu merepresentasikan terain dengan kualitas

bagus diperlukan data elevasi yang sangat rapat dengan ketelitian tinggi. Jika

terdapat serangkaian titik (X ,Y) pada bidang datar, maka nilai dari titik-titik tersebut

dapat divisualisasikan sebagai ketinggian Z pada bidang tersebut. Titik-titik

pembentuk bidang-bidang segitiga pada TIN model merupakan nodal yang memiliki

koordinat 3D (X, Y, Z), permukaan-permukaan segitiga-segitiga tersebut menjadi

bidang interpolasi titik-titik yang ada didalamnya. Misal titik A1 (X1,Y2), A2 (X2,

Y2), dan A3 (X3,Y3) terdapat pada satu bidang dan merupakan nodal-nodal dari

sebuah segitiga serta memiliki nilai Z1, Z2, dan Z3, dengan demikian nilai semua

titik (Z) pada posisi A (X, Y) dalam sebuah bidang segitiga adalah sebagai berikut.

Z = aX + bY + c .............................................................................(I.9)

Persamaan (1.4) di atas merupakan persamaan dasar dari interpolasi linier.

Untuk menentukan elevasi sebuah titik pada suatu bidang melalui interpolasi linier

dengan teknik ini diperlukan minimal tiga buah titik agar koefisien-koefisien (a ,b ,c)

pada persamaan tersebut dapat dipecahkan. Dari ketiga titik tersebut dapat dibentuk

25

sisitem persamaan linier sebagai berikut.

Z1 = aX1 + bY1 + c ......................................................................(I.10)

Z2 = aX2 + bY2 + c ......................................................................(I.11)

Z3 = aX3 + bY3 + c ......................................................................(I.12)

Persamaan I.10, I.11, I2. dapat disusun dalam bentuk matriks X = A. B,

koefisien X sebagai matriks a,b,c, koefisien A sebagai matriks X,Y dan koefisien B

sebagai matriks Z, maka terbentuk persamaan matrik sebagai berikut.

=

............................................. ( I.13)

Hasil interpolasi akan semakin baik jika bentuk segitiga penyusun TIN model

sistematis yakni mendekati segitiga sama kaki dan hasil interpolasi semakin buruk

jika perbandingan panjang salah satu sisinya dengan tinggi segitiga semakin besar

(Guruh 2007).

I.7.8. Survei Terestris

Menurut Basuki (2006), pemetaan terestris adalah proses pemetaan yang

pengukurannya langsung di permukaan bumi dengan peralatan tertentu. Teknik

pemetaan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu dan

teknologi. Dengan perkembangan peralatan ukur tanah secara elektronis, maka

proses pengukuran menjadi semakin cepat dengan tingkat ketelitian yang tinggi, dan

dengan dukungan komputer langkah dan proses perhitungan menjadi semakin

mudah, cepat, dan penggambarannya dapat dilakukan secara otomatis.

1.7.7.1 Penentuan posisi dengan GPS metode static surveying. Salah satu metode

penentuan posisi dengan GPS adalah static surveying, dimana data yang dihasilkan

dari pengukuran GPS metode ini memiliki tingkat akurasi yang tinggi (orde mm atau

cm). (Abidin 2007)

Lamanya waktu pengukuran bergantung pada hal-hal berikut :

1. Tingkat kepresisian yang diinginkan

2. Jumlah satelit yang terlihat

3. Geometri dari satelit

3

2

1

Z

Z

Z

c

b

a

133

122

1111

YX

YX

YX

26

4. Jenis receiver, single frequency atau dual frequency

5. Jarak antar receiver

Menurut Abidin (2007), Selama pengukuran, titik-titik yang diukur posisinya

tidak bergerak. Penentuan posisinya dapat berupa absolute maupun differential

positioning dan data yang digunakan bisa menggunakan data pseudorange maupun

data fase. Pengukuran yang dilakukan harus cukup lama agar software post

processing dapat memberikan solusi atas integer ambiguity. Namun receiver dan

software post processing generasi terbaru telah dapat memberikan solusi atas integer

ambiguity dengan jumlah data yang sedikit.

Jaring survei GPS dibentuk oleh titik-tik yang diketahui koordinatnya (titik

tetap), dan titik-titik yang akan diketahui koordinatnya. Titik-titik tersebut

dihubungkan dengan baseline-baseline yang komponennya (dx,dy,dz) diketahui.

Gambar I.15 Bentuk geometri jaring GPS (Abidin 2007).

I.7.7.2. Survei terestris konvensional. Pengukuran awal dari pekerjaan survei terestris

adalah titik-titik kerangka dasar pemetaan yang cukup merata secara geometris di

daerah yang akan dipetakan. Titik-titik tersebut telah diketahui koordinatnya

sebelumnya, atau diukur menggunakan GPS dengan metode static surveying. Titik-

titik tersebut digunakan untuk mengikatkan detil-detil yang merupakan obyek dari

unsur-unsur yang ada di permukaan bumi yang akan dijadikan sebagai true value

dari data LiDAR.

1. Kerangka dasar pemetaan

Kerangka dasar dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kerangka horizontal

(planimetris), dan kerangka vertikal (tinggi). Kerangka dasar pemetaan horizontal

bermacam-macam pemilihan, dan pemakaiannya, yang ditentukan antara lain oleh

27

luas daerah yang dipetakan, ketersediaan peralatan, dan kemudahan perhitungan

(Basuki 2006).

2. Detil

Detil adalah segala obyek yang ada di lapangan, baik yang bersifat alamiah

seperti sungai, lembah, bukit, alur, dan rawa, maupun hasil budaya manusia seperti

jalan, jembatan, gedung, lapangan, stasiun, selokan, dan batas-batas pemilikan tanah

yang akan dijadikan isi dari peta yang akan dibuat. (Basuki 2006)

Pemilihan detil, distribusi dan teknik pengukurannya dalam pemetaan sangat

tergantung dari skala dan tujuan peta dibuat. Misal untuk peta kadaster atau

pendaftaran hak atas tanah,yang diperlukan adalah unsur batas-batas pemilikan

tanah, sedang beda tinggi atau topografinya tidak diperlukan. Sedang untuk peta

teknik, yang diperlukan adalah unsur-unsur topografi, detil alamiah serta hasil

budaya manusia yang konkrit ada di lapangan.

Penentuan posisi dari titik-titik detil, diikatkan pada titik-titik kerangka

pemetaan yang terdekat yang telah diukur sebelumnya, atau mungkin juga ditentukan

dari garis ukur, yang merupakan sisi-sisi dari kerangka peta ataupun garis yang

dibuat khusus untuk itu.

Posisi titik detil dihitung dengan rumus :

Xa = Xp + dpa sin αpa...........................................................................................(I.14)

Ya = Yp + dpa cos αpa..........................................................................................(I.15)

Za = Zp + ∆hpa.......................................................................................................(I.16)

Keterangan :

a : titik detil

P : titik poligon yang telah diketahui koordinatnya

αpa : azimuth sisi pa

1.7.9. Uji global

Data yang akan digunakan haruslah data yang terbebas dari blunder. Pada

perhitungan selanjutnya harus dilakukan seleksi agar didapatkan data yang baik.

Seleksi tersebut dilakukan menggunakan uji global agar data blunder dapat

28

dihilangkan atau dibuang sehingga data yang digunakan untuk proses selanjutnya

dapat dipercaya. Uji global dilakukan dengan membuat rentang kepercayaan

menggunakan simpangan baku (σ ) pada data sebesar -3σ < x – μ < 3σ (Sudjana

2005). Apabila nilai data terletak diantara rentang tersebut maka data dapat diterima.

Simpangan baku (σ) dihitung dengan rumus berikut.

1

)( 2

1

n

ZZin

i

………………………………………........(I.17)

Keterangan:

σ = simpangan baku

Zi = selisih elevasi hasil penyiaman LIDAR dengan hasil survei terestris

untuk data ke-i

Z = rata – rata selisih elevasi hasil penyiaman LIDAR dengan hasil survei

terestris

n = jumlah data

x – μ= selisih antara nilai titik uji dengan data yang dianggapbenar

I.8. Hipotesis

Hasil koreksi manual data LIDAR pada software Terrasolid memiliki ketelitian

elevasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil koreksi secara automatis.