daftar isi · 2020. 5. 1. · daftar isi menimbang birokrasi, partai, dan politik di indonesia 1....

24
DAFTAR ISI Menimbang Birokrasi, Partai, dan Politik di Indonesia 1. Ekonomi-Politik Kebijakan Impor Garam Indonesia Periode 2007-2012 Lukman Baihaki 1-16 2. Etnisitas sebagai Instrumen Politik dan Keamanan di Kalimantan Barat Pasca Rezim Orde Baru Jumadi, Mohammad Rizal Yakoop 17-34 3. Partai Islam dalam Dinamika Demokrasi di Indonesia Gonda Yumitro 35-50 4. Membongkar Veto Player dalam Politik Kepartaian Indonesia Menuju Pemilu 2014 Arya Budi 51-66 5. Menimbang Media Sosial dalam Marketing Politik di Indonesia: Belajar dari Jokowi-Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2012 Wisnu Prasetya Utomo 67-84 6. Mereformasi Birokrasi dari Perspektif Sosio-Kultural: Inspirasi dari Kota Yogyakarta Erisandi Arditama 85-100 Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ISSN 1410-4946 Volume 17, Nomor 1, Juli 2013 (1-100) i

Upload: others

Post on 04-Feb-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • DAFTAR ISI

    Menimbang Birokrasi, Partai, dan Politik di Indonesia

    1. Ekonomi-Politik Kebijakan Impor Garam IndonesiaPeriode 2007-2012Lukman Baihaki 1-16

    2. Etnisitas sebagai Instrumen Politik dan Keamanandi Kalimantan Barat Pasca Rezim Orde BaruJumadi, Mohammad Rizal Yakoop 17-34

    3. Partai Islam dalam Dinamika Demokrasi di IndonesiaGonda Yumitro 35-50

    4. Membongkar Veto Playerdalam Politik Kepartaian Indonesia Menuju Pemilu 2014Arya Budi 51-66

    5. Menimbang Media Sosial dalam Marketing Politik di Indonesia:Belajar dari Jokowi-Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2012Wisnu Prasetya Utomo 67-84

    6. Mereformasi Birokrasi dari Perspektif Sosio-Kultural:Inspirasi dari Kota YogyakartaErisandi Arditama 85-100

    Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ISSN 1410-4946

    Volume 17, Nomor 1, Juli 2013 (1-100)

    i

  • 17

    Etnisitas sebagai Instrumen Politik dan Keamanandi Kalimantan Barat Pasca Rezim Orde Baru

    Jumadi1Mohammad Rizal Yakoop2

    Abstract

    Political changes of the New Order regime have an impact on the dynamics of local politics in WestKalimantan. These changes raise complex issues related to ethnic and religious issues in the rivalrybetween Dayak and Malay elite. Therefore, this article aims to study the ethnic as an instrument ofpolitics post New Order regime 1999-2008 case West Kalimantan and link into political representationand the community security by utilizing qualitative approach. In addition, the data for this study is basedon primary and secondary data. The primary data obtained through in-depth interviews with selectedinformants. While the secondary data obtained from books and journals. This writing used the concep-tual framework of Jack Snyder (2000) about democratizing states and ethnic nationalism and Ted RobertGurr (1994) on ethno politic and instrumentalism approach. The study found some important factors thatinfluence the emergence of identity politics in West Kalimantan, namely structural factors, politicalconditions, unbalanced representation of political and ethnic stereotypes. However, political factors andunbalanced ethnic representation in power are the main causes of the emergence of identity politics inWest Kalimantan. The results also show that the occurrence of ethnic identity politics and religion hasinfluence on the shape of political representation and community security.

    Keywords:Ethnicity; instrument of politics; security.

    Abstrak

    Perubahan politik dalam rezim Orde Baru telah memberi pengaruh terhadap dinamikapolitik di Kalimantan Barat. Masalah ini menimbulkan permasalahan kompleks berkaitandengan isu etnis dan agama dalam persaingan antara elit Dayak dan Melayu. Artikel inibertujuan mengkaji etnis sebagai instrumen politik dan keamanan di Kalimantan Barat,pasca rezim Orde Baru, dengan pendekatan kualitatif. Sumber data dalam kajian iniberdasarkan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui kaidah temu bualmendalam dengan informan terpilih, sedangkan data sekunder diperoleh dari buku danjurnal. Tulisan ini menggunakan kerangka konsep Jack Snyder (2000) tentang democratiz-ing states dan ethnic nationalism, dan Ted Robert Gurr (1994) tentang ethnopolitic danpendekatan instrumentalisme. Kajian ini mengidentifikasi beberapa faktor penting yang

    1 Staf Pengajar FISIP Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat. Tulisan ini merupakan bagiandari hasil penelitian Tesis Doktoral yang berjudul “Perwakilan Politik Berasaskan Etnik dan Agama sebagaiInstrumen Politik dan Keselamatan Komuniti: Kes Kalimantan Barat 1999-2008”, pada Fakulti Sains Sosial danKemanusiaan (FSSK) Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Penulis dapat dihubungi [email protected].

    2 Prof. Madya dan Dosen sains politik di Pusat Pengajian Sejarah, Politik, dan Strategi, Fakulti Sains Sosial danKemanusiaan (PPSPS, FSSK), Unversiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Bangi. Dapat dihubungi [email protected].

    Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikVolume 17, Nomor 1, Juli 2013 (17-34)

    ISSN 1410-4946

  • 18

    Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17, Nomor 1, Juli 2013

    mempengaruhi munculnya politik identitas di Kalimantan Barat, antara lain faktorstruktural, keadaan politik, ketidakberimbangan perwakilan politik, dan stereotip etnis.Bagaimanapun, faktor keadaan politik dan ketidakberimbangan perwakilan etnis dalamkekuasaan adalah penyebab utama munculnya politik identitas di Kalimantan Barat.Hasil penelitian ini menunjukkan terjadinya politik identitas etnis, selain itu agama jugaberpengaruh kepada bentuk keterwakilan politik dan keamanan komunitas.

    Kata Kunci:etnisitas; instrumen politik; keamanan.

    PendahuluanBerakhirnya rezim Orde Baru di bawah

    kepemimpinan Soeharto, politik Indonesiamemasuki era baru yaitu demokratisasi.Wujud dari semakin demokratisnya sistempolitik tersebut ditandai dengan pulihnyahak-hak politik rakyat, penguatan peranpartai politik, pelaksanaan PemilihanUmum yang demokratis, revitalisasi perandan fungsi lembaga legislatif, kebebasanpers, dan diberlakukannya otonomi yangluas kepada pemerintahan daerah.

    Penyelenggaraan otonomi daerah padaawal reformasi, dalam praktiknya, memangmembawa dampak yang cukup signifikanbagi dinamika politik di tingkat daerah.Eksistensi masyarakat daerah, peran DewanPerwakilan Rakyat Daerah (DPRD), danproses rekruitmen kepemimpinan di daerah,khususnya dalam pemilihan kepala daerahtelah menunjukkan perkembangan yangberbeda, jika dibandingkan dengan masakekuasaan Orba. Aktor, institusi, danbudaya lokal pun bermunculan kembali,serta mulai memainkan peranan dalampolitik lokal. Aktor-aktor lokal yangterorganisir dalam institusi adat dan partaipolitik menjadi salah satu kekuatan barudalam dinamika politik lokal. Kebijakandesentralisasi dan otonomi daerah yangmemberikan kekuasaan dan kewenanganpolitik yang begitu besar kepadamasyarakat di daerah, pada realitanya jugamemunculkan sebuah fenomena politikidentitas yang berasaskan etnis dan agama.Proses politik dan rekruitmenkepemimpinan di daerah selama sepuluh

    tahun terakhir ini lebih cenderungdidasarkan pada asal-usul daerah, etnis, danagama.

    Fakta menunjukkan bahwa prosesrekruitmen kepemimpinan di beberapadaerah di Indonesia, khususnya di wilayahProvinsi Kalimantan Barat (Kalbar) pascarezim Orba, tidak hanya mengarah padatuntutan “putra daerah” akan tetapi makinmeluas pada penggunaan identitas etnis danagama. Dalam banyak kasus pemilihankepala daerah, seperti gubernur dan bupati,politik identitas yang didasarkan pada etnisdan agama merupakan asas legitimasidalam struktur politik pada level lokal.3Potensi konflik dalam interaksi antarkelompok etnis yang bersaing sangat jelasketika berhubungan dengan masalahkekuasaan dan kepemimpinan politik.Pemilihan Gubernur, Bupati dan WalikotaKalimanan Barat selama sepuluh tahunterkahir memberikan gambaran semakinmenguatnya politik identitas.

    Demokratisasi politik di ranah lokaldalam waktu sepuluh tahun inimenyebabkan persaingan untukmemperebutkan kekuasaan politik menjadimakin keras. Mobilisasi jaringan

    3 Hasil Survey LSI termuat dalam laporan penelitianLSI edisi 9 Januari 2008 dan edisi 10 Februari 2008menunjukkan, bahwa masih kuatnya sentimenetnis dalam pemilihan pejabat publik di KalimantanBarat. Sentimen etnis ini diukur denganmempertanyakan kepada responden, apakahmenurut mereka agama dan etnis para kandidatmerupakan faktor yang diutamakan ketika dalammemilih? Sebanyak 56,4 persen menyatakanmempertimbangkan faktor agama dan etnis.

  • 19

    kekerabatan, etnis, dan keagamaankemudian diciptakan untuk memenangkanpersaingan politik tersebut. Di KalimantanBarat, setiap pemilihan kepala daerah selalumempertimbangkan keterwakilan etnis danagama, sehingga power sharing antarakelompok etnis dominan selalu mewarnaisetiap proses pemilihan kepemimpinanpolitik. Pertimbangan-pertimbangan unsursuku dan agama tersebut dalam praktiknyatidak hanya pada jabatan-jabatan politiksaja, akan tetapi juga meluas pada jabatan-jabatan di birokrasi pemerintahan. Besarkecilnya kemampuan kelompok etnis dalammendapatkan kekuasaan politik dankepemimpinan di birokrasi pemerintahandianggap berimplikasi pada keamananmasyarakatnya (community security).

    Sebagai daerah yang masyarakatnyacukup majemuk dan seringkali dilandakonflik sosial, fenomena politik identitas danketerwakilan politik yang didasarkan padaetnis dan agama dalam proses politik diKalbar pasca rezim Orba, cukup menarikuntuk dikaji. Berkenaan dengan penjelasandi atas, maka tulisan ini membahas duamasalah: faktor-faktor apakah yangmenyebabkan munculnya politisasi etnisdan agama? Apa pengaruhnya terhadapkeamanan masyarakat?

    MetodologiPenelitian ini, selain kajian literatur, juga

    menekankan pada penelitian lapangan.Berdasarkan fakta-fakta lapangan yangterkumpul dibuat generalisasi empiristentang fenomena politik identitas etnis danagama yang mengemuka dalam setiappemilihan Kepala Daerah Kalimantan Barat.Jenis penelitian dalam kajian ini termasukeksploratory yaitu penelitian yangdilaksanakan untuk mendapatkan data daninformasi tentang sesuatu yang relatif baru,ditujukan untuk kepentingan pendalamanlanjutan (Babbie dan Benaquisto, 2010: 80).Kajian ini juga menggunakan analisis yang

    sifatnya bertema (thematic) mengacu kepadamasalah yang bersifat spesifik yaituetnisitas, keterwakilan politik, dankeamanan komunitas.

    Data dalam penelitian ini meliputi dataprimer dalam bentuk wawancaramendalam dan terbuka (open ended inter-view) dengan informan, data sekunderdidapat dari artikel, buku, serta dokumen.Kaidah penentuan sumber untukmendapatkan orang yang akandiwawancara dilakukan secara purposive,yaitu dipilih berdasarkan padapertimbangan dan tujuan dari penelitian ini.Untuk mendapatkan validitas data, penelitimenggunakan teknik triangulasi.Triangulasi dilakukan dengan caramembandingkan hasil wawancara,pengamatan, dan dokumen yang diperoleh.Membandingkan pendapat pada saatdilakukan penelitian dengan situasi yangpernah terjadi dengan pendapat antaratokoh adat, tokoh masyarakat, dan politisi.

    Kerangka TeoretisKata etnis menjadi suatu predikat

    terhadap identitas seseorang atau kelompok.Menurut Shamsul (2000: 1), istilah identitaspada umumnya mempunyai duapengertian: pertama merujuk pada identitasindividu, dan kedua, bersifat identitaskolektif. Oleh karena itu, ada anggapandalam masyarakat bahwa setiap individu itudilahirkan berbeda-beda dan memiliki ciriserta wataknya sendiri. Seseorang tidak bisamenolak menjadi Afrika, Madura, Papua,atau menjadi Cina, sekaligus juga tidak bolehmeminta menjadi Jawa, Batak, atau Melayu.Predikat tersebut menjadi suatu yang takenfor granted sejak awal mula penciptaannya.Etnisitas merupakan kategori-kategori yangditerapkan pada kelompok atau kelompokorang yang dibentuk dan membentukdirinya dalam kebersamaan ataukolektivitas (Rex, 1993: 8).

    Etnisitas sebagai Instrumen Politik dan Keamanan di Kalimantan Barat Pasca Rezim Orde Baru

  • 20

    Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17, Nomor 1, Juli 2013

    Lake dan Rothchild (1998: 5-6)mempunyai perspektif yang berbeda dalammelihat etnisitas. Mereka melihat etnisitasdengan cara pandang yang instrumentalis.Etnisitas merupakan label yang memberihubungan simbol untuk kepentingan politik.Pandangan ini mempunyai persamaandengan keanggotaan di dalam partai politik.Dalam perspektif yang sama, Jacques Bertrand(2004: 57-59) mengatakan bahwa kekerasankomunal etnis merupakan konjungtur kritis(critical junctures) bagi upaya memperbaruirelasi kekuasaan dan sumber daya. Setiapperubahan struktur pada lembaga politikkenegaraan akan berkontribusi pada polarisasiidentitas etnis, agama, dan kelompok politikyang potensial memunculkan kekerasan. Olehkarena itu, menurut Bertrand (2004),pendekatan “instrumentalis” yang fokus padaperan elit dalam memobilisasi identitas etnisberpendapat bahwa, etnisitas seringkalimenjadi saluran bagi arus konflik danperjuangan politik, pemimpin, dan para aktorpolitik untuk memobilisasi dukungan massa,dalam usahanya bersaing dalammemperebutkan kekuasaan politik.

    Membahas etnisitas dalam konteks politikjuga sangat penting untuk memahami konsepidentitas, karena etnisitas sesungguhnyamampu membangun sebuah identitaskelompok. Secara umum, identitas diartikansebagai citra yang membedakan suatuindividu atau kelompok dengan individu ataukelompok lainnya, dibangun oleh individuatau kelompok tersebut, dan dimodifikasisecara terus-menerus melalui interaksi denganpihak-pihak lain (Katzenstein, 1996: 59).Sedangkan perspektif konstruksi sosialmemberikan pandangan bahwa,pembentukan identitas sebagai suatufenomena sosial yang dapat dipahami denganmelihat dua realita sosial, yaitu realita authori-ty-defined dan realita sosial everyday-defined. 4

    Identitas sebagai konstruksi sosialmenurut Berger (1966) adalah suatu elemenkunci realita subjektif yang berada dalamsuatu hubungan dialectical denganmasyarakat.5 Identitas merupakan bentukdari proses sosial, dan di dalamnya akanterbentuk identitas yang nantinyamenentukan struktur sosial. Hal senadadijelaskan pula oleh Alcoff dan Mohanty,Rosaldo, Siebers (2006)6, dan Gupta (2007)7bahwa identitas politik sesungguhnya jugamerupakan proses konstruksi sosial.

    Secara konseptual, identitas politikmerupakan konstruksi yang menentukanposisi kepentingan subjek di dalam ikatansuatu komunitas politik seperti kelas, gen-der, ras, seksualitas, dan etnisitas.Sedangkan politik identitas lebih mengacupada mekanisme politik pengorganisasianidentitas, baik itu identitas politik maupunsosial, sebagai sumberdaya dan instrumenpolitik.8 Menurut Beyme (1996:118),tindakan politik identitas pada hakikatnya

    4 Shamsul A.B. (1996). Debating About Identity in Ma-laysia: A Discourse Analysis. Southeast Asian Stud-ies, hlm. 34.

    5 Belger, Peter L. dan Luckmann, Thomas. (1966). TheSocial Construction of Reality A Treatise in the Sociol-ogy of Knowledge. Penguin Books Australia.Menurut Berger, identity is a phenomenon that emergesfrom the dialectic between individual and society. Iden-tity types, on the other hand, are social products toutcourt, relatively stable elements of objective social real-ity (hlm. 195). Berger dan Luckmann kemudianmenjelaskan bahwa terjadi dialektika antaraindividu menciptakan masyarakat dan masyarakatmenciptakan individu. Proses dialektika ini terjadimelalui eksternalisasi, objektivitas, daninternalisasi. Sedangkan yang dimaksud Bergersebagai realita sosial adalah pengetahuan yangbersifat keseharian, hidup, dan berkembang dalammasyarakat seperti konsep, kesadaran, danwacana publik sebagai hasil dari konstruksi sosial.Realita sosial terdiri dari realita objektif, simbolik,dan subjektif. Realita tersebut dikonstruksi pulamelalui proses eksternalisasi, objektivasi, daninternalisasi.

    6 Tulisan mereka tentang identitas politik dapatdilihat dalam Alcoff, Linda Martin dan Satya P.Mohanty (ed). (2006). Identity Politics Reconsidered.New York: Palgrave Macmillan.

    7 Gupta, Suman. (2007). Social Constructionist IdentityPolitics and Literary Studies. New York: PalgraveMacmillan.

    8 Pembahasan lebih lanjut terkait dinamika interaksiantara identitas sosial dan politik sebagai sumber

  • 21

    adalah suatu gerakan sosial yang inginmengubah keadaan masyarakatnya.9Namun, dalam perkembangan berikutnya,politik identitas justru dimanfaatkan suatukelompok mayoritas untuk memperkuatdominasi kekuasaannya.

    Menurut Ted Robert Gurr (1993),mobilisasi dan strategi elit etnis selaluberdasarkan interaksi dua faktor yaitu,reaksi emosional dan hasil kalkulasi politikstrategis. Selain itu, ada empat faktor yangsangat menentukan intensitas kekecewaandan potensi kelompok etnis melakukan aksipolitik. Pertama, besarnya tingkatketerbelakangan atau penderitaan kolektifsuatu kelompok komunal jikadibandingkan dengan kelompok lain.Kedua, kuatnya perasaan identitaskelompok. Ketiga, derajat kohesi danmobilisasi kelompok, dan terakhir adalahkontrol represif oleh kelompok-kelompokdominan.

    Pendekatan yang cenderunginstrumentalis melihat, kebutuhan akandefinisi identitas etnis dalam politik bersifatmaterial atau bertujuan memperolehkekuasaan. Pandangan instrumentalislainnya adalah Paul Brass (1979) tentangperanan elit dalam kelompok yangmemanipulasi simbol identitas etnis dan

    John Breuilly (1993)10 dengan teori politiknyamengenai terbentuknya nasionalisme.

    Pendekatan ini memberi sumbangsihuntuk memahami politik identitas. Secarateoretis, pendekatan ini menjelaskanpersaingan kelompok etnis dalam politik.Para pemimpin etnis seringkalimenggunakan kelompok budaya sebagaiinstrumen untuk memobilisasi massa dalampersaingan politik.11 Sehingga, pandanganinstrumentalis tentang etnisitas seperti yangdijelaskan oleh Barth (1969)12, Banton (1983),Brass (1996), Hartmann dan Cornell (1998),dan Smith (2001), menjadikan masalah yangberhubungan dengan kepentingan sosial,politik, dan sumber budaya sebagai halpenting karena berhubungan denganpenguasaan dan status sebuah kelompoketnis. Menurut perspektif instrumentalis,etnisitas muncul sebagai hasil interaksi yangberkelanjutan antara keadaan alami suatu

    konstruksi politik identitas, dapat ditemukan dalamdua buku Martin yaitu Alcoff, Linda Martin. (2003).Identities: Modern and Postmodern. Dan buku yangkedua, Alcoff, Linda Martin., and Mendietta, E.(eds). Identities: Race, Class, Gender, and Nationality.Malden-MA: Blackwell Publishing.

    9 Beyme, Klause von. (1996). Biopolitical Ideologies andTheir Impact in The New Social Movements.Dalam Biopolitic, The Politics of The Body, Race andNature, Agnes Heller dkk (eds). Brookfield, USA:Avebury, Beyme membuat karakteristik polagerakan politik identitas yaitu: Pertama, gerakanpolitik identitas, yang pada dasarnya membangunkembali narasi besar yang prinsipnya merekatolak dan membangun suatu teori yangmengendalikan faktor-faktor biologis sebagaipenyusun perbedaan-perbedaan mendasar dalamrealita kehidupannya. Kedua, dalam gerakan politikidentitas ada kecenderungan tertentu untukmembangun sistem reversed apartheid.

    1 0 Breuilly, John. (1993). Nationalism and the State (Edisike-2). Manchester: Manchester University Press.Breuilly tidak setuju dengan pendapat yangmenyatakan bahwa identitas budaya merupakankarakteristik bagi penentu nasionalisme.Menurutnya, nasionalisme boleh jadi merupakanargumen yang dipakai sub-elit untuk memobilisasirakyat, mengkoordinasikan berbagai kepentinganyang berbeda di antara kelompok sosial, danmengabsahkan tindakan mereka dalam rangkamendapatkan atau mempertahankan kekuasaandi negara modern.

    1 1 Smith, Anthony D. (2001). Nationalism, Theory,Ideologi, History. Oxford, UK: Published by Arrange-ment with Blacwell Publishing Ltd.Pendekatan instrumentalis muncul sekitar tahun1970-an di Amerika Serikat, dalam perdebatanmengenai dominasi etnis (kulit putih) di negarayang seharusnya menjadi negara multietnis. Halini memicu perdebatan sengit sepanjang dekade1960 dan 1970-an mengenai sejauh mana kelompokkepentingan atau penekan yang berperilaku instru-mental dalam politik.

    1 2 Barth dalam bukunya Ethnic Groups and Boundaries(1996: 36), mengemukakan bahwa bentuk tatanankelompok etnis sangat bervariasi, begitu jugahubungan antar etnis. Dalam kontekskontemporer, kegiatan-kegiatan politik dalamkelompok etnis merupakan cara baru untukmemunculkan perbedaan suku dan budaya, sertauntuk mengartikulasikan kepentingan kelompoketnis yang terdikotomi.

    Etnisitas sebagai Instrumen Politik dan Keamanan di Kalimantan Barat Pasca Rezim Orde Baru

  • 22

    Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17, Nomor 1, Juli 2013

    komunitas lokal, peluang-peluang ekonomi,dan politik yang ada. Berdasarkan perspektifini, manusia dilihat sebagai agen yang secaraaktif membuat pilihan, yang secara strategismempersembahkan dan menonjolkanlambang-lambang etnisnya dengan carayang mereka anggap sesuai (Yancey dalamFauzi, 2004). Kajian yang dilakukan olehGurr (1993: 42) pun menunjukkan masalahketidakadilan atau ketidakseimbangan yangmuncul pada keterwakilan politik danbudaya dalam partai politik, parlemen, danpemerintahan. Hal itu mengemuka sebagaisalah satu faktor penting yang dapatmenimbulkan sentimen etnis dalam politik,sehingga identitas sosial dan budaya bisamenjadi instrumen penting dalammembangun politik identitas yangberdasarkan etnis dan agama.

    Etnisitas merupakan jenis perpecahanyang paling sulit dikendalikan olehdemokrasi dan terkadang berimplikasiterhadap keamanan komunitas etnis.Konsep keamanan komunitas sebenarnyaadalah bagian dari human securitysebagaimana dijelaskan Human Develop-ment Report UNDP 1994 dalam Tadjbakhsdan Chenoy (2007: 16), bahwa keamanankomunitas dipahami sebagai munculnyaancaman dalam kemajemukan budayayang menuntut adanya keamanan daripenindasan, kekerasan, dan diskriminasietnis. Perihal keamanan komunitas apabiladiaplikasikan pada konteks persainganpolitik identitas, dipahami sebagai suatukeadaan telah terintegrasinya berbagaikelompok dalam masyarakat, dengantingkat responsif dan solidaritas yang tinggi,tetap terjaminnya kebebasan, tidak adanyaintimidasi politik, dan terakomodasinyakepentingan sosial, ekonomi, politik, danbudaya.

    Pentingnya Isu Etnis dan Agama dalamKepemimpinan Politik Lokal

    Sebagai etnis mayoritas, Dayak danMelayu tak hanya menjadi bagianterpenting bagi pemerintah pusat dalampengaturan politik di Kalbar, seringkali tetapdihadapkan pada persaingan politikberdasarkan simbol-simbol etnis. Keduaetnis tersebut merasa sebagai penduduk asliKalbar yang berhak menduduki berbagaiposisi penting, misalnya pemimpin partaipolitik, anggota DPRD, kepala daerah, danjabatan lainnya di birokrasi pemerintahdaerah. Dalam catatan sejarah kepemim-pinan di daerah, secara sosial dan politik or-ang-orang Melayu memang lebih dominan,karena para sultan dan raja yang pernahberkuasa di daerah-daerah kabupaten dankota di Kalbar mengidentifikasikan dirinyasebagai kelompok etnis Melayu.13

    Orang-orang Dayak seringkali merasabahwa selama masa kepemimpinan sultanatau raja Melayu ketika penjajahan Belanda,mereka diperlakukan diskriminatif. Sebagaipenduduk asli sekaligus mayoritas, merekamerasa tidak memiliki hak yang samadengan orang-orang Melayu. Mereka tidakdiperbolehkan bekerja dilingkaran pentingkesultanan, sehingga secara sosial dan politikmerasa termarginalkan. Berbedakeadaannya dengan orang-orang Melayuyang secara sosial dan politik mendapatposisi jauh lebih baik (Tanasaldy, 2007).

    13 Di Kalimantan Barat istilah Melayu seringkalimerujuk kepada orang-orang Sumatera danSemenanjung Malaysia, mereka pada masa laludatang ke Kalbar untuk berdagang danmengajarkan agama Islam. Dalam perkembanganselanjutnya, orang-orang Dayak yang masukagama Islampun disebut sebagai orang Melayu.Di pedalaman Kalimantan Barat, orang Dayakyang masuk Islam mereka sebut dengan Senganan,yaitu kelompok masyarakat asli yang telahmengalami asimilasi dengan orang-orang Melayumelalui perdagangan dan kemudian menerimaIslam menjadi agamanya. Di Kalbar setidaknyaterdapat dua belas Kerajaan/Kesultanan Melayuyang pernah berkuasa.

  • 23

    Berkuasanya rezim Orde Baru,sesungguhnya menjadi sesuatu yang palingmenyakitkan bagi masyarakat lokal,khususnya etnis Dayak. Namun, denganberbagai cara mereka tetap berupayamembangun kesadaran etnisitas di dalamkomunitasnya. Dalam rentang waktu yangpanjang, masyarakat Dayak makinberusaha menguatkan identitas etnisnyadengan mempertentangkan perbedaanantara etnis Dayak dengan etnis yang lain.Kontestasi ini terutama dihadapkan denganetnis Melayu, etnis yang dianggap sebagaipendatang, memiliki kekuasaan yang lebihdominan dan beragama Islam.

    Meski demikian, kekuatan militer yangdominan pada masa Orba bisameminimalisir kontraksi etnis yangdibangun oleh tokoh-tokoh Dayak tersebut.Pendekatan negara yang berbasis stabilitasdan keamanan menekan berkembangnyaberbagai simbol etnis dan budaya, yangmerupakan kearifan lokal masyarakatDayak dan Melayu. Rezim Orba membuatkebijakan kebudayaan yang mempercepatterserapnya budaya daerah olehkebudayaan nasional, yang dilatarbelakangioleh semangat untuk menciptakanuniformitas budaya.

    Orde Baru sesungguhnya merupakanmasa kontemplasi dan konsolidasi bagitokoh-tokoh Dayak untuk membangunkekuatan di bidang pendidikan, ke-budayaan, dan ekonomi kerakyatan. Dalamwaktu dua puluh tahun lebih itu, merekaberusaha semakin menguatkan identitasetnis mereka dengan menunjukkanperbedaan antara Dayak dengan Melayu.Mereka mengidetifikasi dirinya sebagainonmuslim, penduduk asli, mayoritas, tapidimarginalkan sekaligus dijajah olehpemerintah pusat dan orang-orang Melayu.Mereka mendirikan berbagai organisasisosial-politik dan ekonomi untukmemberdayakan kelompok etnisnya.

    Dalam tempo dua belas tahunkemudian, pemberdayaan yang dilakukanoleh tokoh-tokoh Dayak dan sejumlah NonGovernment Organization (NGO), yangdidirikan oleh kelompok muda Dayakterpelajar, telah berhasil bertransformasimenjadi suatu gerakan sosial dan politik.14Gerakan seperti yang dilakukan olehkalangan intelektual Dayak tersebut tidakterjadi dalam komunitas Melayu, walaupunpada dasarnya orang-orang Melayu jugamerasakan dampak dari politik rezim Orbayang otoriter dan cenderung represif.

    Selama Orba, tidak ada NGO yangdidirikan oleh orang-orang Melayu, yangsecara spesifik melakukan pemberdayaanpada masyarakat Melayu itu sendiri. Tokoh-tokoh Melayu banyak yang mendudukiposisi strategis seperti pemimpin danpengurus partai politik, anggota DPRD,pejabat birokrasi pemerintah daerah, danpimpinan di berbagai organisasi sosialkemasyarakatan (ORMAS) yang didirikanGolkar dan militer. Mereka berpandanganbahwa cara dan langkah politik tersebutadalah bagian dari partisipasi mereka untukmemperjuangkan nasib orang-orang1 4 Dalam upaya memberdayakan komunitas etnis

    Dayak secara sosial, ekonomi, dan politik,sekumpulan orang-orang Dayak terpelajar yangdipimpin oleh A.R. Mecer pada tahun 1981mendirikan sebuah lembaga sosial Yayasan KaryaSosial Pancur Kasih (YKSPK). Yayasan ini selainmendirikan lembaga-lembaga pendidikan, jugamenumbuhkan lembaga keuangan yang diberinama Credit Union (CU). Lembaga keuangan iniberkembang signifikan dan menjadi salah satumotor pemberdayaan ekonomi kerakyatanmasyarakat Dayak. Tahun 1991, para tokoh mudaterpelajar Dayak mendirikan Institute of DayakologyResearch and Development (IDRD). Lembaga riset inifokus kepada penyelidikan, pelestarian,pendokumentasian, dan revitalisasi budaya Dayak.Awal mula pendirian, IDRD mendapat bantuankeuangan dari Konferensi Waligereja Indonesia(organisasi uskup-uskup di Indonesia) yangberpusat di Jakarta. Dalam perkembanganselanjutnya, lebih banyak lagi NGO-NGO yangdidirikan. Semua NGO tersebut beraktivitasmemberdayakan masyarakat Dayak danmendapat dukungan keuangan dari keuskupan danNGO-NGO internasional.

    Etnisitas sebagai Instrumen Politik dan Keamanan di Kalimantan Barat Pasca Rezim Orde Baru

  • 24

    Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17, Nomor 1, Juli 2013

    Melayu di Kalbar.15 Membangun hubunganpolitik layaknya simbiosis mutualismedengan pemerintah dan militer merupakanpilihan politik yang lebih baik, ketimbangmelakukan gerakan politik yang berbedapandang dengan penguasa Orba.

    Dilaksanakannya otonomi daerah,yang memberikan ruang untuk melakukanpembentukan daerah-daerah kabupatenbaru di Kalbar, telah mempengaruhisemakin munculnya politik identitas.Berbagai gerakan yang menginginkanpembentukan daerah otonom baru tidaksekadar untuk kepentingan perbaikanadministrasi dan pelayanan publik saja,akan tetapi seringkali berhubungan dengankepentingan elit-elit yang mengatas-namakan identitas kelompok etnismayoritas di daerah tersebut. Di erareformasi saat ini, semua faktor politikseringkali dihubungkan dengan etnis olehdua kelompok utama, yaitu Melayu danDayak. Politik identitas berdasar etnis danagama menjadi faktor determinan bagi elitlokal untuk mendapatkan kekuasaan.16Persaingan-persaingan yang didasarkanpada etnis dan agama dalam politik lokal,

    antara elit politik yang berada tingkatprovinsi, kabupaten, dan kota di Kalbar saatini tidak lagi bersifat laten, tetapi sudahsangat terbuka. Simbol-simbol dan isu etnisdan agama menjadi sangat penting dalamsetiap pemilihan kepala daerah, penentuanjabatan di birokrasi pemerintahan daerah,penentuan pimpinan partai politik, dan hal-hal yang terkait dengan kepentingan politiklainnya. Cara ini dianggap mampumenjamin kepentingan dan masyarakat bisadimobilisasi untuk memberikan dukungankepada elitnya, guna mendapatkankekuasaan di daerah.

    Keberhasilan tujuh orang tokoh etnisDayak menjadi bupati dan lima wakil bupatidalam pemilihan kepala daerah secaralangsung pada tahun 2005, dari dua belaskabupaten yang ada di Kalbar, sertaterpilihnya Cornelis sebagai GubernurKalimantan Barat pada tahun 2007,merupakan sukses besar bagi tokoh-tokohDayak dalam merajut isu-isu etnis dan agama,ketidakadilan dan marginalisasi sebagaiinstrumen politik dapat membangkitkankesadaran sosial dan politik masyarakatDayak. Jargon-jargon politik yang sifatnyamembangun kesadaran kelompok etnis yangdijadikan simbol perjuangan politik Cornelismemang menjadi magnet politik yang kuatuntuk membangkitkan kesadaran etnis dalampolitik, hal inipun dianggap oleh masyarakatDayak sebagai kejayaan politik setelah hampirselama 41 tahun tidak diberikan kesempatanuntuk menjadi gubernur di Kalbar.17

    1 5 Pada rezim Orba, banyak organisasi-organisasisayap yang mereka dirikan. KOSGORO (KesatuanOrganisasi Serbaguna Gotong Royong), MKGR(Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong), danSOKSI (Sentral Organisasi Karya Seluruh Indone-sia) yang merupakan kelompok utama daripendukung partai Golkar dan menjadi pilihan or-ang-orang Melayu untuk meningkatkan tingkatpartisipasi dalam politik. Kemudian banyak jugaorang-orang Melayu yang menjadi anggota danaktivis organisasi kepemudaan yang dibentukmiliter dan parti Golkar, seperti FKPPI, PemudaPancasila, Pemuda Panca Marga, KNPI, AMPI, danmasih banyak lagi organisasi-organisasikeagamaan yang lainnya.

    1 6 Menurut Dr. H. Haitami Salim tokoh agama, tokohmasyarakat Melayu dan ketua Forum Umat Islam(FUI) Kalbar (hasil wawancara 24 Desember 2012),isu etnis dan agama memang sangat efektif dalammemobilisasi dukungan politik dalam setiap pilkadaBupati dan Gubernur di Kalimantan Barat di erareformasi saat ini. Menurut Haitami, di dalamkomunitas Dayak isu dan kampanye yangbernuansakan agama juga terjadi. Perbedaannyadengan etnis Melayu, kalau di dalam komunitas

    etnis Dayak mereka lakukan secara lebih tertutup,terprogram dan persatuannya lebih kuat.Sedangkan dalam komunitas etnis Melayu isuagama dilakukan secara terbuka, namun dalamperjuangannya tidak terprogram danpersatuannya tidak terlalu kuat seperti yang terjadidalam komunitas etnis Dayak dan komunitasKristen.

    1 7 Menurut Elyakim Simon Djalil, mantan BupatiKabupaten Sintang dan tokoh masyarakat etnisDayak (hasil wawancara tanggal 15 November2012), tidak bisa dipungkiri bahwa era reformasidan otonomi daerah merupakan era kejayaanbeberapa elit masyarakat Dayak dalam meraih

  • 25

    Faktor-faktor Munculnya PolitikIdentitas Etnis

    Dalam banyak kasus, kajian ilmu politikyang coba melihat negara-negara yangberada dalam tahap menuju demokrasiterkonsolidasi (consolidated democracy), prosesrestorasi identitas etnis dan agama biasanyabercampur baur dengan masalah-masalahyang khusus terjadi di era transisi menujurezim yang demokratis. Menurut Snyder(2000), hampir seluruh konflik etnis yangterjadi selama tahun 1990-an terjadi dinegara-negara demokrasi baru.18Kecenderungan yang terjadi denganterbukanya jalan demokratisasi secaraotomatis juga seringkali memberi ruang bagimunculnya masalah-masalah dasarmengenai identitas. Dalam perspektif liberal,identitas dalam konteks hubungan antaraindividu dengan masyarakat bukanlah suatuhal yang rumit, karena setiap individumempunyai ciri atau sifat yang samasehingga menjadikan mereka mempunyaisimbol atau identitas sebagai anggota padasuatu kelompok tertentu dalam masyarakat(Rouse, 1995). Namun pada perkembangan-nya, kajian budaya memberikan pandanganyang berbeda. Identitas dilihat sebagai suatuproses pembentukan atau konstruksi sosialyang tidak stabil, berlaku dalam suatu

    jaringan hubungan kekuasaan (Nonini danOng, 1997). Oleh karena itu, identitas tidakharus dilihat sebagai inti yang tidak berubahkarena identitas berhubungan denganbanyak faktor.

    Transisi demokrasi di Indonesia yangdiiringi dengan pemberian desentralisasi danotonomi yang luas kepada daerah, dalampraktiknya juga menimbulkan masalahpolitik baru. Pada waktu yang bersamaan,ketika space demokratisasi tersebut dibuka,nilai-nilai sosial dan budaya yangmengedepankan semangat toleransi dankebersamaan yang di pelihara secara artifi-cial oleh rezim Orba seakan tergradasi oleheuforia otonomi dan kebebasan. Konflik sosialyang didasarkan pada perbedaan suku danagama di tengah masyarakat seakan linierdengan proses demokrasi yang dibangun diera reformasi. Kebebasan dan keterbukaanyang menjadi pilar dalam prosesdemokratisasi seakan menjadi sumbermunculnya sentimen kedaerahan dankesukuan. Politik identitas yang didasarkanpada etnis dan agama dalam setiap prosesrekruitmen pemimpin di daerah menjadibagian yang tak terpisahkan dalam dinamikapolitik lokal, seperti di Kalbar khususnya.

    Secara umum, fenomena terfragmen-tasinya masyarakat dalam era transisidemokrasi bukan saja terjadi di Indonesia,tetapi juga di negara yang multi-etnis sepertiBritania, Afrika, Asia, dan negara-negarapecahan Uni Soviet. Hasil penelitianRupesinghe (1996)19, Snyder (2000)20, dan

    kekuasaan politik di daerah. Sebuah penantianpolitik yang cukup lama bagi masyarakat Dayaktelah berlalu, karena setelah Oevang Oeraymenjadi gubernur pada tahun 1960-1966, tidakpernah lagi ada orang Dayak yang bisa menjadigubernur.

    1 8 Snyder, Jack. (2000). From Voting to Violence: Democ-ratization and Nationalist Conflict. New York: Norton.Snyder menjelaskan bahwa beragam faktamenunjukkan adanya hubungan antarademokratisasi dan konflik yang disulut olehnasionalisme. Sejalan dengan semakin banyaknyaorang memainkan peran yang lebih besar dalampolitik, maka bertambah besar pula kemungkinankonflik SARA (Suku, Agama dan Ras) di dalamsuatu negara. Studi sistematis mengenai semuakonflik SARA yang terjadi pada 1990 hingga 1998menunjukkan bahawa tuntutan politik bernuansaSARA memuncak selama masa transisi menujudemokrasi atau Negara-negara yang mengalamikemajuan tanggung (partial) dalam kebebasanpolitik atau kebebasan sipil.

    1 9 Rupesinghe, Kumar. (1996). Governance and Con-flict Resolusition in Multi-Ethnic Societies, dalamKumar Rupesinghe and Valery A. Tishkov, Ethnicityand Power in Contemporary World. Tokyo: United Na-tions University Press, hlm. 23. Dalam kajiannyamengenai kebangkitan primordialisme di negara-negara pecahan Uni Soviet, Rupesinghe sampaipada sebuah kesimpulan bahwa demokratisasimerupakan paradoks, di satu sisi memberikankebebasan dan hak-hak politik rakyat, namun padasisi yang lain turut memicu munculnya kesadaranprimordialisme dalam bentuk kebangkitan etnisdan fundamentalisme agama.

    2 0 Ibid (2000), Hasil kajian Snyder di beberapa negaraseperti Britania, Afrika, Asia, dan negara-negara

    Etnisitas sebagai Instrumen Politik dan Keamanan di Kalimantan Barat Pasca Rezim Orde Baru

  • 26

    Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17, Nomor 1, Juli 2013

    Smith (2001)21 menunjukkan bahwa negarayang masyarakatnya plural, baru keluar darisebuah rezim otoriter dan menuju sistemdemokrasi, akan selalu menghadapi masalah-masalah kebangkitan primordialisme dankonflik SARA. Walaupun kajian Snyder(2000) tidak fokus ke Indonesia, namunfenomena implikasi dari transisi demokrasiterhadap munculnya masalah tersebut terjadijuga di berbagai daerah di Indonesia, dalamkurun waktu sepuluh tahun terakhir ini.Dalam kondisi paradoks sedemikian,pertanyaan yang relevan untuk dijawabadalah faktor apa sajakah yangmenyebabkan munculnya sentimen primor-dial di era demokratisasi saat ini di tingkatlokal, khususnya di Kalimantan Barat?Fenomena kebangkitan primordialis(primordialist revival), baik dalam konteksetnis maupun agama dalam masyarakatmajemuk, telah menjadi pusat perhatiankalangan ilmuwan politik ketika pertikaianantar etnis terjadi di beberapa negara.Pertikaian antar entis yang terjadi di bekasnegara Uni Soviet, Semenanjung Balkan,beberapa wilayah di Afrika dan Asia Selatanmemberi sebuah gambaran akan perlunyapemahaman terhadap pentingnya primordialdan masalah identitas dalam kehidupanpolitik (Rupesinghe: 1996; Horowitz: 1994). 22

    Pada konteks transisi menujudemokrasi, terdapat beberapa pandanganyang menjelaskan fenomena bangkitnyaidentitas etnis dan agama. Menurutpandangan yang bersifat struktural-konstruktif, kebangkitan sentimen primor-dial yaitu suku dan agama pada dasarnyajuga berhubungan dengan masalahketidakadilan distribusi ekonomi (Cornell,Stephen dan Hartmann, Douglas, 1998:13).23 Namun, kasus menguatnya politikidentitas etnis di Kalbar pasca rezim Orbatak cukup hanya dikaji dengan suatupendekatan struktural-konstruktif. Peranpemimpin formal dan informal tingkat lokalyang mendapat dukungan dari elit nasional,juga merupakan faktor utama yangmendorong bangkitnya sentimen kesukuandalam dinamika politik di daerah saat ini.Demokratisasi, keterbukaan, dan otonomidaerah menjadi momentum bagi kekuatan-kekuatan elit di daerah untuk membangunsimbol-simbol kultural dan kesukuan yangmencerminkan kearifan lokal (local wis-dom), yang muaranya adalah untukmendapatkan sumber-sumber kekuasaan.

    Sesuai dengan perspektif konstruksisosial menurut Shamsul (1996),24pembentukan identitas adalah suatufenomena sosial dan dapat dipahami denganmelihatnya dalam konteks dua realita sosial.Pertama, realita authority defined, yaiturealita yang didefinisikan oleh pihak yangberada dalam struktur kekuasaan dominan.Kedua, realita everyday defined, yaitu realitayang dialami sendiri oleh individu dalam

    pecahan Uni Soviet menunjukkan bahwa tuntutanpolitik SARA memuncak selama masa transisimenuju demokrasi. Masa transisi tersebut dinegara yang sedang berkembang dapat menjuruske salah satu bentuk nasionalisme yaitu; sipil,SARA, revolusioner, dan kontra revolusioner.

    2 1 Anthony D Smith. (2001). Nationalism, Theory,Ideologi, History. UK : Published by Arrangementwith Blacwell Publishing Ltd, Oxford. Menurut Smith,dalam dekade terakhir ini hampir sebagian darinegara-negara yang berada di Yugoslavia, Kaukus,anak benua India dan Timur Tengah selalu dipicudan ditentukan oleh sentimen etnis dan aspirasinasionalis yang kuat, yang berujung pada konflikyang banyak menimbulkan korban jiwa dan hartabenda.

    2 2 Horowitz, Donald L. (1994). Democracy in DividedSocieties, dalam Larry Diamond dan Marc F.Plattner. Nationalism, Ethnic Conflict and Democracy.Maryland: The Johns Hopkins University Press.Horowitz menjelaskan bahwa demokratisasi

    merupakan gerakan yang mendunia, tetapi ditempat dimulainya tidak universal dan tidakberhasil dengan seragam. Terdapat banyak alasanmengapa demokratisasi dan demokrasimengalami kegagalan. Pada banyak negara diAfrika, Asia, Eropa Timur, dan bekas Uni Sovietalasan utamanya adalah konflik etnis.

    2 3 Cornell, Stephen, dan Hartmann, Douglas. (1998).Ethnicity and Race: Making Identities in A ChangingWorld. Thousand Oaks, London, New Delhi: PineForge Press, hlm. 13.

    2 4 Shamsul A.B. (1996). Debating about Identity in Ma-laysia: A Discourse Analysis. Southeast Studies 34 (3).

  • 27

    kehidupan sehari-harinya. Kedua realitatersebut ada, beriringan setiap waktu, dansaling mempengaruhi.

    Munculnya keinginan untuk me-wujudkan identitas kelompok mungkindatang dari internal kelompok itu sendiri,dimotivasi oleh dorongan kekitaan, rasagotong-royong, keistimewaan diri ataukomunalisme. Namun yang sering terjadi,menurut Shamsul (2000)25 merupakanhubungan timbal-balik pengaruh luar dandalam, yang terjadi serentak akibat faktorsejarah, politik, ekonomi, agama, dan lain-lain.

    Fenomena politik identitas dan tuntutanakan perimbangan keterwakilan politikberdasarkan kelompok etnis di Kalbar,sesungguhnya memiliki sejarah panjang,yang lebih banyak dipraktikkan olehkomunitas Dayak ketimbang Melayu yangmempunyai posisi politik lebih kuat.Fenomena tersebut semakin tampak di eraotonomi daerah saat ini. Kalangan elitDayak menganggap saat ini adalah waktuyang tepat bagi komunitas mereka untukmendapat kekuasaan politik, denganmenduduki berbagai posisi penting didaerah. Mereka beranggapan era Orbatidak memberikan ruang dan kesempatankepada masyarakat lokal, khususnya orang-orang Dayak untuk menduduki posisi-posisi

    strategis tersebut. Pemerintah pusatmembatasi aktivitas tokoh Dayak dalampolitik dan pemerintahan, menggantikan-nya dengan figur militer dari Jawa. OrdeBaru pada dasarnya adalah masa gelap dankontemplasi serta konsolidasi bagi Dayak(Amirrachman, 2007:28).

    Keadaan ini sebenarnya dirasakan pulaoleh orang-orang Melayu, meski secarapolitik sedikit lebih untung karena masih adayang diberi kepercayaan untuk memimpindan memegang posisi strategis di birokrasi,baik provinsi maupun kabupaten/kota. Olehkarena itu, ekspresi perjuangan politik etnisDayak untuk mendapatkan kekuasaan agaklebih keras jika dibandingkan dengan etnisMelayu. Salah satu contohnya di masa akhirpemerintahan Orba adalahterjadinyaperistiwa pembakaran gedung DPRD diMempawah dan protes mereka terhadapproses pemilihan Bupati Sanggau padatahun 1998. Melalui Majelis Adat Dayak(MAD), elit-elit kelompok Dayak melakukangerakan penolakan terhadap KolonelSumitro, seorang anggota militer berasaldari etnis Jawa, yang dicalonkan sebagaiBupati Sanggau , pada waktu itu di dukungoleh militer dan Gubernur Kalbar AsparAswin.

    Berbagai bentuk perjuangan yang lebihagresif dan menggunakan ancamankekerasan tersebut, pada banyak kasusmemang membawa keberhasilan untuk elitetnis tersebut, Cornelis Kimha berhasilterpilih menjadi Bupati KabupatenPontianak. Pada tahun yang sama YacobusLuna, salah seorang birokrat senior, jugamenang dalam pemilihan Bupati diKabupaten Bengkayang, sebuah kabupatenbaru hasil pemekaran dari KabupatenSambas. Begitupun di Kabupaten Landakdengan mayoritas penduduknya adalahetnis Dayak, pasangan Cornelis danNikodimus Nehen yang berasal dari etnisDayak berhasil terpilih menjadi bupati danwakil bupati. Puncak keberhasilan

    2 5 Shamsul A.B. (2000, 12 September). PembentukanIdentity sebagai Fenomena Sosial Satu KomentarKonseptual dan Empirikal. Makalah seminar“Mencermati Fenomena Dayak Islam diKalimantan Barat”, anjuran STAIN, Pontianak, In-donesia. Menurut beliau, dalam situasi perubahandan krisis sosial yang dialami dapat membukaruang dan suasana yang cukup subur di akarrumput. Setiap individu dalam kelompok sosialdapat memunculkan ide dan wacana tentangpembentukan identitas kolektif sebagai suatubenteng sosial bersifat kekitaan. Sehingga dalamsituasi seperti itu kelompok sosial yang terlibat,dengan sadar dapat mencari dan membinaidentitas kolektif kelompok masing-masing gunamengukir niche dan kedudukan dalam masyarakat.Untuk tujuan itu ada yang menggunakan faktorras, suku, agama, dan ada yang menggunakanfaktor jenis kelamin.

    Etnisitas sebagai Instrumen Politik dan Keamanan di Kalimantan Barat Pasca Rezim Orde Baru

  • 28

    Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17, Nomor 1, Juli 2013

    perjuangan ini ialah terpilihnya Cornelissebagai Gubernur Kalbar tahun 2008.

    Berbagai gerakan politik elit Dayakyang agresif ternyata mendapat reaksi darielit Melayu, yang merasa eksistensinyasebagai bagian dari penduduk asli terancam.Maka, orang-orang Melayu merasa perlumenandingi gerakan politik Dayak tersebut(Davidson, 2003:346). Sikap low profile dantidak frontal yang ditunjukkan elit Melayu,yang berhimpun dalam Majelis Adat BudayaMelayu (MABM), serta lemahnya solidaritasdi kalangan elit dan antara elit denganmasyarakat Melayu, menjadi salah satusumber gagalnya elit Melayu bersaingdengan elit Dayak dalam memperebutkankepemimpinan di tingkat provinsi dankabupaten/kota. Berbeda dengan elitMelayu, elit Dayak mampu menjadikanMajelis Adat Dayak (MAD) sebagai wadahuntuk membangun identitas dan solidaritasetnisnya secara masif sampai ke akarrumput. Keberanian elit Dayak untukmenanggung akibat dari tindakan agresiftersebut, menjadi sumber bangkitnyadukungan masyarakat etnis Dayak untukbertindak lebih berani.

    Berdasarkan hasil penelitian danpenjelasan diatas, apabila dilihat dalamperspektif instrumentalis maka ada empatfaktor yang mempengaruhi munculnyapolitik identitas etnis dan agama di Kalbar.Pertama, faktor struktural dan momentum,sebagai reaksi terhadap kebijakanpemerintah Orba yang cenderung tidak adildan memarginalkan masyarakat asli, sertamunculnya reaksi terhadap kebijakanpembangunan yang tidak seimbang. Mo-mentum kebebasan politik dan otonomidaerah, menjadikan kelompok masyarakatlokal semakin berani untuk menuntut hak-hak sosial, politik, ekonomi, dan budaya.Realitanya, reaksi yang agresif dalammenuntut hak-hak tersebut lebih banyakdilakukan oleh etnis Dayak daripadaMelayu. Kedua adalah keterwakilan

    kepemimpinan politik yang tidak seimbang.Tidak proporsionalnya keterwakilan etnisdan agama pada jabatan penting di daerahselama ini, seperti gubernur, bupati, dan dibirokrasi menjadikan elit kedua etnisbersaing menuntut hak yang sama daningin mempertahankan posisi politik yangtelah diperoleh.

    Ketiga adalah adanya persekongkolanpolitik antara elit lokal dan pusat dalammembangkitkan isu etnis dan agama.Munculnya politik identitas etnis dan agamadalam kasus pemilihan gubernur tahun 2007misalnya, sangat berhubungan dengankemampuan elit lokal dan pusat dalammenggunakan simbol etnis dan agamauntuk meraih dukungan politik. Kerjasamatersebut lebih banyak memainkan simbol-simbol agama dengan memperkuatperbedaan antara pemimpin nonmuslimdengan muslim. Peran organisasi adat,keagamaan, dan NGO pun sangatmenentukan, terutama atas keberhasilanpasangan etnis Dayak.

    Selain itu, kekuatan Cornelis sebagaisimbol kekuatan masyarakat Dayak dalampemilukada gubernur juga didukung olehbeberapa aktivis Dayak, yang berhimpun dibeberapa organisasi sosial dan keagamaan,NGO seperti Institut Dayakologi,Pergerakan Cendekiawan Dayak, IkatanSarjana Katolik, Persatuan IntelegensiaKristen Indonesia (PIKI), Credit Union,Kepastoran, Majelis Adat Budaya Tionghoa(MABT), dan beberapa lembaga sosial danpembangunan masyarakat lainnya.Keadaan ini jauh berbeda dengan apa yangterjadi dalam komunitas etnis Melayu, dimana selain tidak adanya kekuatan NGOdan juga terfragmentasinya kekuatan politikelit-elit Melayu. Penyatuan kekuatan umatKatholik dan Protestan dalam memberikandukungan kepada pasangan Cornelis-Christiyandi Sanjaya, merupakan faktorutama menjadi simbol perjuangan etnisDayak dan etnis China di Kalbar.

  • 29

    Faktor keempat adalah munculnyaprasangka dan stereotip etnis. Sebagianbesar orang Dayak berpandangan, jika or-ang Melayu yang berkuasa dan memimpin,maka ia akan lebih mementingkan etnisnyadan orang-orang yang beragama Islam saja.Sebaliknya, orang Melayu juga ber-anggapan jika orang Dayak yang berkuasadan memimpin, maka akan terjadiKristenisasi jabatan-jabatan penting dibirokrasi pemerintahan.

    Pengaruhnya terhadap KeamananKomunitas

    Salah satu bentuk dari fungsi integrasipolitik yang dimiliki oleh pemerintah adalahmembangun sebuah konfigurasi politikakomodatif, yang merepresentasikanketerwakilan kelompok etnis dominan danmemfasilitasi komunikasi sosial berbagaietnis yang ada di wilayah kekuasaannya.Kebijakan politik tersebut penting dibuatsebagai satu upaya untuk menciptakanharmonisasi sebagai salah satu pilar yangmenopang tegaknya integrasi sosial, politik,dan keamanan komunitas. Sebagaimanayang dikemukan oleh Dahl dan Forbes(dalam Diamond dan Plattner, 1994: 22a-23a), akan pentingnya praktik danpengertian yang akomodatif dari kelompokelit dalam membangun suatu sistem“keamanan timbal balik”, yang menjaminderajat perlindungan minimal bagikepentingan dasar setiap kelompok yangbersaing, sehingga kekalahan tidakdianggap dikucilkan daripada kekuasaandan sumber daya.

    Walaupun secara sosial hubunganantara etnis Dayak dan Melayu tidaktampak konfliktual, namun adanya etnisitasdan agama dalam persaingan politikberpengaruh pada munculnya jarakhubungan etnis di masyarakat akar rumput,yang ditandai dengan tingginya salingcuriga dalam setiap agenda pemilukada.Pasca pilkada, jarak sosial dan kecurigaan

    antara elit politik terjadi terus-menerus.Sedangkan pada masyarakat bawah,ketegangan di antara kelompok etnis sebagaiakibat kompetisi politis berkorelasi denganrasa keamanan di komunitasnya.

    Sebagai konsekuensi dari kuatnyapersaingan politik tersebut, keamanankomunitas (community security) saat iniselalu dihubungkan dengan besar kecilnyaketerwakilan politik etnis dalamkepemimpinan politik dan birokrasi dipemerintahan daerah. Dinamika sosial danpolitik pemilukada gubernur dan bupati/walikota di beberapa kabupaten dan kotadi Kalimantan Barat, yang berdasarkan etnisdan agama, bisa menjadi instrumen politikpenting dalam persaingan politik dankeamanan. Persaingan politik tersebutmemang berbeda pengaruhnya terhadapaspek keamanan masyarakat, hal itudipengaruhi oleh beberapa faktor, pertama,besarnya perbandingan komposisipenduduk dari etnis Dayak dan Melayuyang tinggal dalam suatu wilayahkabupaten dan kecamatan tersebut.

    Tabel 1.Perbandingan Persentase Jumlah Etnis

    Dayak dan Etnis Melayu di EmpatBelas Kabupaten dan Kota di Provinsi

    Kalimantan Barat

    Sumber: Kalbar Dalam Angka Tahun 2011. Data sudahdiolah penulis.

    Etnisitas sebagai Instrumen Politik dan Keamanan di Kalimantan Barat Pasca Rezim Orde Baru

  • 30

    Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17, Nomor 1, Juli 2013

    Semakin kecil jumlah komunitasetnisnya, maka semakin besar potensiancaman keamanan yang dialami,sebaliknya semakin besar komposisietnisnya, maka semakin terjamin keamanankomunitasnya. Menurut Gusti Suryansyahyang juga merupakan Sultan dari KerajaanMelayu Landak26, bagi masyarakat Melayuminoritas yang bermukim di dalamkomunitas Dayak, perasaan terancam ituseringkali muncul. Aspek keamananterkadang menjadikan masyarakat MelayuLandak tidak terlalu berani terlibat secaraterbuka dalam persaingan politik denganetnis Dayak, fenomena yang sama jugadirasakan oleh masyarakat Melayu dipedalaman Kabupaten Melawi. MenurutSyahdan Amri27, sebagai minoritas,masyarakat Melayu di pedalaman Melawitidak terlalu berani terang-teranganmembangun persaingan politik di setiapeven pilkada, karena menyangkut aspekkeamanan masyarakatnya. Keadaan ini jugaterjadi dalam komunitas etnis Dayak diKabupaten Sambas yang penduduknyamayoritas etnis Melayu. Minoritasnyakomposisi etnis Dayak menjadikan merekatidak berani secara terbuka bersaing denganetnis Melayu dalam setiap pilkada.

    Kedua, faktor karakteristik masyarakat.Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisirdan pedalaman memiliki karakter yangberbeda, begitu juga dengan masyarakatyang wilayahnya seringkali dilanda konfliksosial dengan yang tidak.28 Dalam konteks

    persaingan politik tersebut, keamanankomunitas kelompok etnis juga dimaknai jikapemimpin daerah dapat dikuasai, sehinggaakan berpengaruh pada terwujudnyadominasi sosial, budaya, dan politik. Adanyadominasi tersebut akan berhubunganlangsung dengan terkontrolnya keamanankelompok etnisnya. Kuatnya persainganpolitik berdasarkan etnis dan agama diKalbar tersebut telah mengancam keamananmasyarakat. Prinsip Democratic Stabilitysebagai sebuah prinsip untuk mencapai suatukeamanan dan kedamaian belumsepenuhnya berlaku di Kalimantan Barat.

    Dampak dari dinamika politik yangmakin kompetitif di Kalbar tersebut, padapraktiknya mewujudkan politik power shar-ing, sebuah konfigurasi politik akomodatifyang merepresentasikan keterwakilankelompok etnis dominan dan memfasilitasiterjadinya komunikasi sosial di antaraberbagai etnis yang ada di wilayahkekuasaannya. Di Kalbar, pembagiankekuasaan di daerah secara proporsionalantara kedua etnis di beberapa kabupatenseperti Kapuas Hulu, Ketapang, dan Melawidapat membuat masyarakat dari keduaetnis yakin akan terjaminnya keamanankomunitas mereka.

    Berbeda dengan yang terjadi diKabupaten Landak, Bengkayang, Sintang,dan Sekadau, komunitas Melayu tidakmendapat tempat yang signifikan dalamkekuasaan sehingga keamanan komunitas-nya merasa terancam. Tindakan politik yangmasih mengakomodasi kelompok etnisdilakukan guna meredam berbagai gejolaksosial dan politik, yang dapat mengarahkepada konflik sosial. Pembagian kekuasaandalam jabatan politik dan institusi-instusilainnya dalam masyarakat heterogen,memang merupakan salah satu cara daripengelolaan konflik dan menjaga keamananmasyarakat di daerah.

    Sebagian besar ilmuwan politikberpendapat, bahwa satu-satunya cara untuk

    2 6 Hasil wawancara 10 Desember 20122 7 Hasil wawancara 10 Oktober 20122 8 Di Kabupaten Landak, Bengkayang, dan Sambas

    yang merupakan daerah kategori rawan konflik diKalbar, tingkat keamanan dari komunitas etnisminoritas dalam setiap persaingan politik pilkadabupati dan gubernur sangat terancam. Penerapanhukum adat yang terkadang dipolitisir olehbeberapa oknum dan tidak sesuai dengan aturanadat sebenarnya, membuat masyarakat Melayudan etnis pendatang lainnya merasa terancamkeamanannya, terlebih jika isu-isu etnis dan agamamengemuka dalam setiap pemilihan bupati dangubernur.

  • 31

    mempertahankan sebuah masyarakat multi-etnis dari perpecahan adalah diperlukaninstitusi politik formal yang mampumenjamin kesepakatan dalam prosesrekruitmen dan pembagian kekuasaan secarademokratis, serta dapat mengakomodirpluralitas dalam masyarakat. Pola pembagiankekuasaan di Kalbar memang tidakmenerapkan demokrasi consosiasionalismeseperti konsep Lijphart (1977), karena secarapolitis yang diakomodasikan bukankekuatan-kekuatan institusi politik formalseperti partai politik, akan tetapi padapenentuan kepemimpinan daerah danjabatan-jabatan di birokrasi pemerintahan ditingkat lokal. Politik akomodasi denganpembagian kekuasaan berdasar representasikelompok etnis inilah yang saat ini terjadi dibeberapa kabupaten dan menjadikesepakatan politik guna membangunintegrasi sosial masyarakatnya.

    Dalam hubungannya denganketerwakilan politik tersebut, Timothy D.Sisk (dalam Harris dan Reilly, 2000: 141-144)berpendapat bahwa, mencegah perpecahanadalah dengan menciptakan sebuah sistempemerintahan yang memungkinkankomunitas yang ada untuk berbagikekuasaan. Sistem politik denganpembagian kekuasaan tersebut dilakukandengan dua cara, yaitu pembuatankebijakan idealnya melalui konsensus, dankedua, semua kelompok etnis mayoritasdilibatkan dalam pemerintahan, untukkelompok minoritas terutama dijaminpengaruhnya dalam pembuatan kebijakanmengenai isu-isu sensitif. Kemudian menurutTimothy, ada dua pendekatan utama dalammekanisme pembagian kekuasaan dalammasyarakat multi-entis. Pertama,pendekatan “fondasi kumpulan”, yaituadanya akomodasi oleh para pemimpin etnisdi pusat politik dan adanya jaminan otonomikumpulan dan hak-hak minoritas. Kedua,pendekatan integratif, yaitu pendekatanyang menolak menggunakan kelompok

    etnis sebagai bahan penyusunanmasyarakat bersama.

    Mengacu pada pandangan Sisk, makadalam praktiknya pembagian kekuasaan diKalbar lebih pada pendekatan fondasikelompok etnis, bukan dengan fondasi yangintegratif. Pendekatan tersebut lebih mampumenciptakan implikasi politik yang kondusifuntuk membangun integrasi sosial dibeberapa kabupaten. Mengakomodasiketerwakilan kelompok etnis dalamkepemimpinan di daerah menjadi faktorutama dalam menjaga keamanan danstabilitas sosial politik masyarakat. Olehkarena itu, membangun konfigurasiketerwakilan etnis Melayu dan Dayakdalam kepemimpinan di beberapakabupaten masih selalu menjadipertimbangan utama dalam setiappemilihan kepala daerah. Pembagiankekuasaan dengan sistem power sharingantara etnis dominan dapat lebih“memuaskan” dan “meredamkan”ketegangan antarkelompok etnis.

    KesimpulanSejak runtuhnya Orba tahun 1998, In-

    donesia berjuang menerapkan sistemdemokrasi dan otonomi yang luas ke daerah.Namun, di saat yang bersamaan,demokratisasi juga memunculkan masalah-masalah sosial dan politik di daerah,persaingan politik di daerah cenderungterfragmentasi pada sentimen identitas etnisdan agama. Isu-isu etnis dan agamadijadikan instrumen oleh elit untukmemobilisasi dukungan politik darikelompok etnisnya, untuk menggelorakansemangat mengubah keadaan kelompoketnisnya menjadi lebih baik secara sosial,ekonomi, dan politik.

    Pendekatan instrumentalis turutmenyumbang pemahaman politik identitasdi Kalbar, karena secara teoretis pendekatanini menjelaskan kompetisi berbagaikelompok etnis dalam politik, pemimpin

    Etnisitas sebagai Instrumen Politik dan Keamanan di Kalimantan Barat Pasca Rezim Orde Baru

  • 32

    Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17, Nomor 1, Juli 2013

    etnis selalu menggunakan kelompokbudaya sebagai instrumen untukmemobilisasi massa dalam persainganpolitik. Penelitian ini menemukan bahwafaktor penyebab meningkatnyapenggunaan politik identitas etnis danagama lebih disebabkan oleh situasi politikyang lebih terbuka, adanya prosesmarginalisasi politik, perasaan terancam darietnis pendatang, tidak berimbangnyaketerwakilan politik, dan muaranya adalahpersaingan elit politik dari kedua etnis,Dayak dan Melayu, yang menjadikan etnisdan agama sebagai instrumen politikmereka. Dampak dari dinamika politik yangsemakin kompetitif di Kalbar tersebut,memunculkan politik berbagi kuasa sebagaisebuah konfigurasi politik akomodatif, yangmerepresentasikan keterwakilan kumpulanetnis dominan yang ada di wilayahkekuasaannya.

    Dalam konteks persaingan politikantara etnis Dayak dan Melayu, keamanankomunitas etnisnya saat ini mereka pahamiapabila kepemimpinan daerah mampumereka dapatkan maka akan berpengaruhpada terwujudnya dominasi politik. Sebagaikonsekuensi dari pemaknaan keamanankomunitas, dengan besar-kecilnyaketerwakilan etnis dalam kepemimpinanpolitik dan institusi birokrasi, makapersaingan politik untuk mendapatkanposisi yang lebih besar menjadi sangatpenting. Dalam persaingan seperti itu, etnisdan agama tidak hanya sekadar dijadikanisu, namun menjadi instrumen pentinguntuk menjamin kepentingan dankeamanan komunitasnya. Democratic Sta-bility sebagai sebuah prinsip untukmencapai suatu keamanan dan kedamaiankomunitas etnis, sulit untuk diwujudkan diKalimantan Barat selama persaingan politikmasih diasaskan kepada etnis dan agama.

    Daftar Pustaka

    Amirrachman, Alpha. (Ed)/ 2007.Revitalisasi Kearifan Lokal: StudiResolusi Konflik di Kalimantan Barat,Maluku, dan Poso. International Centerfor Islama and Pluralist (ICIP). Jakarta.

    Asmu’ie, Achyar dan Jumadi. (2006).Integrasi Politik di Kalimantan Barat:Studi Kasus Kabupaten Ketapang. Hasilpenelitian Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik Universitas TanjungpuraPontianak.

    A.B, Shamsul. (1996). Debating About Iden-tity in Malaysia: A Discourse Analysis.Southeast Studies 34 (3).

    A.B, Shamsul. (2000, 12 September).Pembentukan Identity sebagai FenomenaSosial Satu Komentar Konseptual danEmpirikal. Makalah seminar“Mencermati Fenomena Dayak Islamdi Kalimantan Barat”, anjuran STAIN,Pontianak, Indonesia.

    Babbie, Earl & Benaquisto, Lucia. (2010).Fundamentals of Social Research. NelsonEducation.

    Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat.(2011). Kalimantan Barat Dalam AngkaTahun 2011.

    Banton, Michael. (1983). Racial and EthnicCmpetition. Cambridge UniversityPress.

    Barth, Fredrik. (Ed)/ 1969. Ethnic Groupsand Boundaries. Boston: Little, Brown,and Co.

    Bertrand, Jacques. (2004). Nationalism andEthnic Conflict in Indonesia. England:Cambridge University Press, Cam-bridge.

    Beyme, Klause von. (1996). Biopolitical Ide-ologies and Their Impact in The NewSocial Movements. Dalam Biopolitic,

  • 33

    The Politics of The Body, Race and Na-ture. Agnes Heller dkk (eds). Brookfield,USA: Avebury.

    Bourchier, David & Hadiz, R. Vedi. (2003).Indonesian Politics and Society: A Reader.Routledge-Curzon.

    Brass, Paul. (1979). Elite Groups, SymbolManipulation, and Ethnic Identityamong the Muslim of North India.Dalam David Taylor dan Malcolm Yapp(eds). Political Identity in South Asia.London and Dublin: Curzon Press.

    Breuilly, John. (1993). Nationalism and theState (Edisi ke-2). Manchester:Manchester University Press.

    Cornell, Stephen & Hartmann, Douglas.(1998). Ethnicity and Race: Making Iden-tities in a Changing World. Pine ForgePress. Thousand Oaks, London, NewDelhi.

    Dahl, Robert A. (1992). Demokrasi dan ParaPengkritiknya. Terjemahan oleh A.Rahman Zainuddin. Yayasan Obor In-donesia. Jakarta

    Dahl, Robert A. (1982). Dilemmas of Plural-ist Democracy: Autonomy vs Control.New Haven and London: Yale UniversitiPress.

    Davidson, Jamie Seth. (2002). Violence andPolitic in West Kalimantan, Indonesia.Disertasi Doktor, University Washing-ton.

    Diamon, Larry. (1994). Revolusi DemokrasiPerjuangan untuk Kebebasan danPluralisme di Negara SedangBerkembang. Terjemahan Yayasan OborIndonesia.

    Erb, Maribeth & Sulistiyanto, Priyambudi(edited). (2009). Deepening Democracy InIndonesia: Direct Elections For LocalLeaders. Singapore: Institut Of SouthAsian Studies.

    Gupta, Suman. (2007). Social Construction-ist Identity Politics and Literary Stud-ies. New York: Palgrave Macmillan.

    Gurr, Ted Robert. (1993). Minorities at Risk:A Critical View of Ethnopolitical Con-flicts. Washington DC: United StatesInstitute of Peace Press.

    Harris, Peter & Reilly, Ben. (1998). dalamDemocracy and Deep-Rooted Conflict:Options for Negotiators. InternationalIDEA.

    Horowitz, Donald L. (1994). Democracy inDivided Societies, dalam Larri Diamond& Marc F. Plattner. Nationalism, EthnicConflict, and Democracy. Maryland: TheJohns Hopkins University Press.

    Katzenstein, Peter. (1996). The Culture ofNational Security: Norms and Identity inWorld Politics. New York: ColombiaUniversity Press, hlm. 59.

    Klinken, Gerry Van. (2005). Pelaku Baru,Identiti Baru: Kekerasan antar Sukupada Masa Pasca Soeharto di Indone-sia. Konflik Kekerasan Internal TinjauanSejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakandi Asia Pasifik. Yayasan Obor Indone-sia.

    Lake, D.A. & Rothchild, D. (1998). The In-ternational Spread of Ethnic Conflict:Fear, Diffusion and Escalation. New Jer-sey: Princeton University Press.

    Lijphart, Arend. (1977). Democracy and Plu-ral Societies: A Comparative Exploration.New Haven: Yale.

    Lingkaran Survey Indonesia (LSI). LaporanKajian LSI Edisi 09 Januari 2008 danEdisi 10 Februari 2008.

    Nancy, Rosenblum L. (2003). Religious Par-ties, Religious Political Identity, and theCold Shoulder of Liberal DemocraticThought. Journal Ethical Theory andMoral Practice 6: 23-53. Kluwer Aca-

    Etnisitas sebagai Instrumen Politik dan Keamanan di Kalimantan Barat Pasca Rezim Orde Baru

  • 34

    Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17, Nomor 1, Juli 2013

    demic Publisher, Printed in the Nether-lands.

    Nonini, D.M. dan Ong.A. (1997). ChineseTransnationalism as an Alternative Mo-dernity. Ungrounded Empires: TheCultur Politics of Modern ChineseTransnationalism.

    Nordholt, Henk Schulte Henk dan Klinken,Van Gerry. (Eds)/ 2007. Politik Lokal diIndonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indo-nesia.

    Oyugi, O. Walter. (1997). Ethnicity in theElection Process: The 1992 General Elec-tion in Kenya. African Association ofPolitical Science.

    Posner, Daniel N. (2005). Institution and Eth-nic Politics in Africa. New York: Cam-bridge University Press.

    Rex, John dan Drury, Beatrice. (Eds)/ 1993.Ethnic Mobilization in A MulticulturalEurope. Brookfield: Avebury.

    Rouse R .(1995). Question of Identity:Personhood and Collectivity inTransational Migration to the UnitedStates. Critique of Anthropology 15:351-380.

    Rupesinghe, Kumar.(1996). Governance andConflict Resolution in Multi-Ethnic So-cieties. Dalam Kumar Rupesinghe andValery A. Tishkov. Ethnicity and Powerin Contemporary World. Tokyo: UnitedNations University Press.

    Smith, Anthoni D. (2001). Nationalism,Theory, Ideologi, History. Published byArrangement with Blacwell PublishingLtd, Oxford, UK.

    Snyder, Jack. (2000). From Voting to Violence:Democratization and Nationalist Con-flict. New York: Norton.

    Tadjbakhsh, Shahrbanou & M.Chenoy,Anuradha. (2007). Human Security Con-cepts and Implications. London:Routledge.

    Tanasaldy, Taufiq. (2007). Politik IdentitasEtnis di Kalimantan Barat. DalamNordholt, Henk Schulte Henk &Klinken, Van Gerry. (Eds)/ 2007. PolitikLokal di Indonesia. Jakarta: YayasanObor Indonesia.

    Yok Fee, Lee. (2007). Subjektiviti dan IdentitiOrang Cina di Malaysia: Lokal dan Glo-bal. Dalam Alisjahbana, Armida S dkk(Eds). Indonesia dan Malaysia dalam EraGlobalisasi dan Desentralisasi:Mewujudkan Kemakmuran Bersama.Universitas Padjajaran dan UniversitiKebangsaan Malaysia.

  • 207

    PERSYARATAN NASKAH UNTUKJURNAL ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (JSP)

    1. Naskah yang ditulis untuk JSP meliputi hasil penelitian, baik penelitian lapanganmaupun penelitian pustaka dan artikel refleksi anaisis fenomena sosial politik.

    2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Inggris. Sistematika naskah hasil penelitianadalah judul, nama penulis, abstrak disertai kata kunci, pendahuluan, metode,pembahasan atau analisis, simpulan, serta daftar rujukan.

    3. Naskah diketik dengan program Microsoft Word di atas kertas HVS Kuarto sekitar5000-6000 kata dengan huruf Times New Roman ukuran 12 pts.

    4. Naskah diserahkan langsung kepada redaksi atau juga dapat melalui attachment e-mail ke alamat: [email protected].

    5. Judul artikel dalam Bahasa Indonesia tidak boleh lebih dari 14 kata, sedangkan juduldalam Bahasa Inggris tidak boleh lebih dari 12 kata. Judul dicetak dengan huruf kapitaldi tengah-tengah dengan ukuran huruf 14 poin.

    6. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik, disertai lembaga asal, danditempatkan di bawah judul artikel. Dalam hal naskah ditulis oleh tim, penyuntinghanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantumdalam urutan pertama. Penulis utama harus mencantumkan alamat korespodensi ataue-mail.

    7. Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Panjangmasing-masing abstrak 75-100 kata, sedangkan jumlah kata kunci 3-5 kata. Abstrakminimal berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian.

    8. Tabel dan gambar harus diberi judul, berspasi tunggal, nomor dan sumber harus jelas.Jika terdapat foto atau gambar, sebaiknya dalam format hitam putih.

    9. Daftar rujukan hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk, dan semua sumber yangdirujuk harus tercantum dalam daftar rujukan. Sumber rujukan minimal 80% berupapustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang digunakan adalah sumber-sumberberupa artikel-artikel penelitian dalam jurnal atau laporan penelitian (termasuk skripsi,tesis, disertasi, buku, dab publikasi lainnya yang relevan). Artikel yang dimuat di JSPdisarankan untuk digunakan sebagai rujukan.

    10. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama akhir,tahun). Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangantentang nomor halaman tempat asal kutipan. Contoh: (Laclau, 1989: 81).

    11. Cek setiap rujukan artikel untuk akurasi dan pastikan setiap karya yang dikutip dalamartikel ditulis dalam Daftar Pustaka atau Rujukan. Karya-karya yang tidak dikutip,tetapi tercantum dalam Daftar Pustaka atau Rujukan akan dihilangkan olehpenyunting.

    12. Daftar rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secaraalfabetis dan kronologis.

  • 208

    Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

    Buku:Anderson, B. (1983). Imagined Communities. London: Verso.

    Buku kumpulan artikel:Saukah, A. & Waseso, M.G. (Eds)/ 2002. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah (Edisi ke-4, cetakan ke-1). Malang: UM Press

    Artikel dalam buku kumpulan artikel:Curran, J. (1991). Rethinking the Media as a Public Sphere 4.

    Artikel dalam jurnal atau majalah:Haryanto, Ignatius. (2008). Industri media membesar, bagus untuk bisnis, tapi untuk

    demokrasi?. Jurnal Sosial Demokrasi. Vol. 3 No. 1 Edisi Juli-September.

    Artikel dalam Koran:Pramono, Sidik. 12 Desember 2011. Menagih Hanji (De)sentralisasi. Kompas, hlm. 6.

    Tulisan/berita dalam Koran (tanpa nama pengarang):Kompas. 8 Desember, 2011. Pemilihan Pimpinan KPK: Antara Pakta Integritas dan

    Independensi, hlm. 3.

    Dokumen resmi:Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1978. Pedoman Penulisan Laporan

    Penelitian. Jakarta: Depdikbud. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: PT. Armas Duta Jaya.

    Buku terjemahan:Hennesssy, Bernard. (1989). Pendapat Umum. Edisi keempat, terjemahan Amiruddin

    Nasution. Jakarta: Penerbit Erlangga.

    Makalah, Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian:Dhakidae, D. (1991). The State, The Rise of Capital and the fall of Political Journalism:

    Political Economy of Indonesia News Industry. Disertasi PhD tidak diterbitkan,Ithaca, New York: Cornell University.

    Suwannathat-Pian, K. (2004, 5-7 Februari). Question of Identity of the Muslims in Southern Thailand, A Comparative Examination of Responses of the Sam-Sams in Satunand of the Thai Malay Muslim in the Three Provinces of Yala, Narathiwat, andPattani to Thailand’s Quest for National Identity. Paper presented at the A PluralPeninsula: Historical Interaction among the Thai, Malays, Chinese and Others,Nakhon Si Thammarat.

  • 209

    Internet (karya individual):Clancy, Robert. (2011). Etnics of Democracy. (Online). (http://www.cooperativeindividua

    lism.org/clancy-robert_ethics-of-democracy.html, diakses 14 Juni 2011).

    Internet (artikel dalam jurnal online):Kuncoro, Mudrajad. (2011). The Global Economic Crisis and Its Impact on Indonesia’s

    Education. Journal of Indonesian Economy and Business (Online), Volume 26,No.1, 2011 (http://jebi.feb.ugm.ac.id/, diakses 29 Desember 2011).

    Internet (bahan diskusi):Wilson, D. 20 November 2005. Summary of Citing Internet Sites. NETTRAIN Discus

    sion List. (Online), ([email protected], diakses 22 November 1995)

    13. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bebestari (reviewers) yang ditunjukoleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis diberi kesempatan untukmelakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bebestariatau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan akan diberitahu melalui alamate-mail Penulis.

    14. Penyunting mempunyai hak untuk mengubah dan memperbaiki ejaan, tata tulis, dantata bahasa naskah yang dimuat.

    15. Segala sesuatu yang menyangkut perizinan pengutipan atau penggunaan softwarekomputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HaKI yangdilakukan oleh penulis, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya,menjadi tanggung jawab penuh penulis.

    16. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapatkan honorarium dan bukti pemuatansebanyak 3 (tiga) eksemplar dan cetak lepas sebanyak 5 (lima) eksemplar. Artikel yangtidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.