d1215030.doc · web viewpengertian dan proses komunikasi sebuah definisi singkat dibuat oleh harold...
TRANSCRIPT
JURNAL
STUDI KASUS POLA KOMUNIKASI GURU DENGAN ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DALAM MENINGKATKAN KIAT
BELAJAR DI SMA NEGERI 8 SURAKARTA TAHUN 2017
Oleh:
MARDZIYASTUTI MULYO UTAMI
D1215030
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
STUDI KASUS POLA KOMUNIKASI GURU DENGAN ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DALAM MENINGKATKAN KIAT
BELAJAR DI SMA NEGERI 8 SURAKARTA TAHUN 2017
Mardziyastuti Mulyo Utami
Dwi Tiyanto
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
AbstractChildren with Special Needs can be described as children with special characteristics which is different from children in general, without always showing any mental, emotional or physical disability. Currently Children with Special Needs can attend school in inclusion, side by side with other non-special needs children. Inclusion school is an ordinary education where those education system adapts to the special needs of every child in the class, both non-special needs and special needs children.This research is a qualitative research using case study method. Data collection was done by interviewing main source, field observation and documentation. The sampling technique in this research is purposive sampling. The sample are 5 Children with Special Needs or called inclusive student with visual impairment (low vision).The result of this research is that the teacher of SMA Negeri 8 Surakarta using various communication pattern when delivering the subject and while interacting with the students of SMA Negeri 8 Surakarta, that is: one way communication pattern, two way communication pattern, and multi direction communication pattern. The obstacles in improving the learning of Children with Special Needs are the nature of the those children that are introvert to the teacher, the lack of closeness between the teachers with the special needs children, Children with Special Needs feel inferior or lack of confidence while around the regular students.
Keyword: Children with Special Needs, Low vision, Communication pattern, Interpersonal Communication, Inclusive School
1
Pendahuluan
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dapat dijelaskan sebagai anak dengan
karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu
menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam
ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan
belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan.
Sejak September tahun 2013, Pemerintah Pusat Kota Solo mencanangkan “Solo
Kota Inklusi”, yang berarti semua sekolah di Kota Solo tidak boleh diskriminatif
terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Namun tidak jarang kelompok ABK
masih merasakan yang namanya diskriminasi atau di pandang sebelah mata oleh
orang lain. Perlakuan berbeda atau diskriminasi yang Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) dapatkan di sekolah mengakibatkan kurangnya kiat belajar Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK). Saat minat belajar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
menurun, sehingga tidak adanya rasa persaingan dalam mendapatkan nilai yang baik
di sekolah. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merasa lemah dalam pelajaran namun
tidak ada keinginan untuk mendapatkan nilai yang lebih baik.
Melihat permasalahan ini, diperlukan komunikasi interpersonal secara lebih
mendalam antara guru dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) untuk
meningkatkan kiat belajar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka didapatkan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana pola komunikasi guru dengan ABK di sekolah inklusi?
2. Bagaimana cara guru dalam meningkatkan kiat belajar ABK?
3. Apa saja hambatan ABK dalam belajar dan saat melakukan komunikasi
dengan guru maupun masyarakat di sekolah inklusi?
2
Kajian Pustaka
Pengertian dan Proses Komunikasi
Sebuah definisi singkat dibuat oleh Harold D. Lasswell (dalam Suranto, 2010:8)
bahwa cara yang tepat untuk menerangkan suatu tindakan komunikasi ialah
menjawab pertanyaan “Who Says What in Which Channel To Whom With What
Effect?” (Siapa yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa,
kepada siapa dan apa pengaruhnya).
Selanjutnya banyak definisi yang dibuat oleh para ahli, seperti menurut Book,
dalam Cangara (2003), “Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang
menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan (1) membangun
hubungan antar sesama manusia (2) melalui pertukaran informasi (3) untuk
menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain (4) serta berusaha mengubah sikap dan
tingkah laku itu”.
Rogers bersama D. Lawrence Kincaid (1981) mengembangkan teori yang sudah
dibuat sebelumnya sehingga melahirkan suatu definisi baru yang menyatakan bahwa:
“Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau
melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya
akan tiba pada saling pengertian yang mendalam” (Cangara, 2003:19).
Pola Komunikasi
Pola komunikasi dapat diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang
atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan cara yang tepat sehingga pesan
yang dimaksud dapat dipahami (Djamarah, 2004:1)
Menurut Effendy (1986:32), Pola Komunikasi terdiri dari 3 macam, yaitu:
1. Pola komunikasi satu arah (one way communication) adalah proses
penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan baik menggunakan
media maupun tanpa media, tanpa ada umpan balik dari komunikan. Dalam
hal ini komunikan bertindak sebagai pendengar saja.
3
2. Pola komunikasi dua arah atau timbal balik (two way traffic communication)
yaitu komunikator dan komunikan menjadi saling tukar fungsi dalam menjalin
fungsi mereka. Komunikator pada tahap pertama menjadi komunikan dan
pada tahap berikutnya saling bergantian fungsi. Namun pada hakekatnya yang
memulai percakapan adalah komunikator utama. Komunikator utama
memiliki tujuan tertentu melaui proses komunikasi tersebut, prosesnya
dialogism serta umpan balik terjadi secara langsung.
3. Pola komunikasi multi arah yaitu proses komunikasi terjadi dalam satu
kelompok yang lebih banyak di mana komunikator dan komunikan akan
saling bertukar pikiran secara dialogis.
Sama halnya dengan pendapat Djamarah (2010:12) dalam proses interaksi
edukatif, pola komunikasi antara guru dan peserta didik ada tiga pola yaitu,
komunikasi sebagai aksi, komunikasi sebagai interaksi, dan komunikasi sebagai
transaksi.
Komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah menempatkan guru sebagai
pemberi aksi, dan peserta didik besifat pasif. Dalam komunikasi sebagai interaksi
atau komunikasi dua arah, guru berperan sebagai pemberi aksi atau penerima aksi.
Demikian pula halnya peserta didik, bisa sebagai penerima aksi, bisa pula sebagai
pemberi aksi. Antara guru dengan peserta didik akan terjadi dialog.
Kemudian komunikasi sebagai transaksi atau komunikasi banyak arah,
komunikasi tidak hanya terjadi antara guru dan peserta didik. Namun peserta didik
dituntut lebih aktif saat mengikuti proses belajar mengajar.
Komunikasi Interpersonal
Menurut De Vito mendefinisikan komunikasi interpersonal merupakan
pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain, atau
sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung (Liliweri, 1991:13).
Dari definisi tersebut, komunikasi interpersonal bisa berlangsung antara dua orang
4
yang berinteraksi atau berbincang, seperti ayah dengan anaknya, atau guru dengan
muridnya.
Onong U, Effendy mendefinisikan komunikasi interpersonal adalah komunikasi
antar dua orang, dimana terjadi kontak langsung dalam bentuk percakapan,
komunikasi jenis ini bisa langsung secara berhadapan muka (face to face) bisa juga
melalui medium, contoh: telepon. Ciri khas komunikais interpersonal adalah dua arah
atau timbal balik (Effendy, 1993:61)
Sedangkan menurut Joseph A. Devito dalam Marhaeni Fajar (2009) menjelaskan
definisi komunikasi antarpribadi dalam bukunya yang berjudul “The Interpersonal
Communication Book” sebagai: “proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua
orang atau lebih di antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan
beberapa umpan balik seketika” (Fajar, 2009:78).
Metode Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui pola komunikasi guru dengan Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam meningkatkan kiat belajar di SMA Negeri 8
Surakarta Tahun 2017. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
menggunakan metode studi kasus. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini
meliputi jenis, yaitu: data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan
dengan metode wawancara dengan narasumber, observasi di lapangan dan
dokumentasi. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive
sampling. Sampel berjumlah 5 Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) atau disebut
dengan siswa inklusi dengan kecacatan low vision.
Sajian dan Analisis Data
1. Proses Komunikasi dan Pola Komunikasi Guru Dengan Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) Di SMA Negeri 8 Surakarta
Selain sebagai makhluk individu, manusia juga sebagai makhluk sosial. Artinya
manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan berinteraksi
5
dengan manusia yang lain. Proses komunikasi minimal harus mengandung kesamaan
makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan
komunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi
juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan,
melakukan suatu perbuatan atau kegiatan dan lain-lain.
Hal ini sesuai dengan definisi komunikasi menurut Rogers dan D. Lawrence
Kincaid (1981) yang menyatakan bahwa: “Komunikasi adalah suatu proses di mana
dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu
sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam”
(Cangara, 2003:19).
Pendidikan dapat disebut pula sebagai proses komunikasi. Karena terjadinya
interaksi antara pengajar dan peserta didik dalam proses belajar mengajar. Bila
ditinjau dari prosesnya, pendidikan adalah komunikasi dalam arti kata bahwa dalam
proses tersebut terlibat dua komponen yang terdiri atas manusia, yakni pengajar atau
guru sebagai komunikator dan peserta didik sebagai komunikan. Pada umumnya
pendidikan berlangsung secara berencana di dalam kelas secara tatap muka (face-to-
face). Pengajar atau guru menyampaikan materi pelajaran dengan kepada peserta
didik. Saat menyampaikan informasi atau menyampaikan materi pelajaran kepada
peserta didik, itu artinya guru sudah melakukan komunikasi dan interaksi kepada
peserta didik.
Guru menggunakan berbagai metode atau pola komunikasi dengan arah pola
komunikasi yang berbeda. Dalam penelitian ini akan difokuskan kepada pola
komunikasi yang terjadi antara guru dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) atau
siswa inklusi sebagai peserta didik di SMA Negeri 8 Surakarta.
Pengertian dari pola komunikasi dapat diartikan sebagai bentuk atau pola
hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan cara yang
tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Djamarah, 2004:1).
6
Dalam proses interaksi edukatif, menurut Djamarah (2010:12), pola komunikasi
antara guru dan peserta didik ada tiga pola yaitu, komunikasi sebagai aksi,
komunikasi sebagai interaksi, dan komunikasi sebagai transaksi.
Pada dasarnya guru yang akan memulai interaksi kepada peserta didik. Guru
akan menyampaikan materi pelajaran di kelas. Dalam interaksi guru dengan pesrta
didik itu memiliki tujuan pedagogis.
“Nassaji and Wells (2001) believed that in the classroom, the dominant mode of interaction is not ‘casual conversation’, since most talk between teacher and students has a pedagogical purpose. In teacher-whole-class interaction, in particular, it is almost always teachers who initiate sequences. Nassaji and Wells (2001) percaya bahwa di kelas, cara interaksi yang dominan bukan 'percakapan santai', karena kebanyakan pembicaraan antara guru dan siswa memiliki tujuan pedagogis. Dalam interaksi guru-kelas, khususnya, hampir selalu guru yang memulai urutan” (Hashamdar, 2012).
Pola komunikasi yang terjadi pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) sebagai
peserta didik dengan guru di SMA Negeri 8 Surakarta dapat terjadi dalam beberapa
pola:
a. Pola Komunikasi Satu Arah
Komunikasi satu arah dapat disebut juga dengan komunikasi sebagi aksi.
Dimana dalam komunikasi satu arah ini, guru berperan sebagai pemberi aksi
dan peserta didik sebagai penerima yang bersifat pasif. Metode yang digunakan
biasanya dengan metode ceramah. Metode ceramah ini dianggap efektif dalam
penyampaian pesan atau informasi dari komunikator kepada komunikan.
Namun pola komunikasi ini membuat peserta didik menjadi pasif dan tidak aktif
di dalam kelas.
Seperti yang dilakukan oleh Bu Ninik saat mengajar di kelas XI MIPA 4, ia
melakukan pola komunikasi satu arah kepada siswanya. Bu Ninik akan
menyampaikan materi pelajaran dengan metode ceramah didepan kelas. Peserta
didik akan mendengarkan dan menyimak dengan baik. Kapasitas peserta didik
hanya sebagai pendengar saja. (Observasi pada tanggal 17 Mei 2017).
7
Hal ini di dukung oleh teori pola komunikasi menurut Effendy (1986:32), yaitu: “Pola komunikasi satu arah (one way communication) adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan baik menggunakan media maupun tanpa media, tanpa ada umpan balik dari komunikan. Dalam hal ini komunikan bertindak sebagai pendengar saja”.
Contoh diatas merupakan pola komunikasi antara guru dengan peserta didik
secara umum. Sedangkan pola komunikasi satu arah yang terjadi antara guru
dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) secara lebih kecil lingkupnya
seperti yang dilakukan oleh Bapak Slamet, selaku wali kelas XI IPS 3:
“Kita lihat konteksnya dulu ya. Atau problemnya. Kadang saya menggunakan dua arah. Kadang satu arah. Jadi saya kadang-kadang agak mengintimidasi. Dalam arti intimidasi positif loh ya. Misalnya intimidasi positif saya begini, ini saya beri tugas, tapi dia tidak mengerjakan, lalu saya tanya“kenapa tidak mengerjakan? Kamu itu kan juga siswa yang sama. Kamu juga harus mengerjakan. Itu kewajiban kamu”. seperti itu” (wawancara dengan Bapak Slamet, tanggal 19 Mei 2017, bertempat di Ruang Guru SMA Negeri 8 Surakarta).
Tidak jarang pola komunikasi satu arah ini gunakan oleh guru untuk
memotivasi peserta didik, untuk meningkatkan kiat belajar peserta didik. Guru
bersifat dominan sehingga akan lebih mudah untuk mengarahkan peserta didik.
Saat pola komunikasi satu arah berlangsung tidak banyak respon yang berarti
dari peserta didik, karena kapasitasnya hanya sebagai pendengar. Namun, hanya
beberapa guru saja yang menggunakan pola komunikasi satu arah. Lainnya
menggunakan komunikasi dua arah.
b. Pola Komunikasi Dua Arah
Komunikasi dua arah dapat disebut juga dengan komunikasi sebagai
interaksi, dimana komunikan dan komunikator dapat berperan sama, yaitu
sebagai pemberi aksi dan penerima aksi. Pola komunikasi dua arah ini, dapat
terjadi saat guru dan peserta didik melakukan percakapan. Tetapi terbatas pada
guru dan siswa secara individual. Peserta didik yang lainnya tidak dapat
bergabung dalam interaksi tersebut. Namun begitu pola komunikasi dua arah ini
lebih baik dari pola komunikasi satu arah.
8
Pada komunikasi dua arah ini, dapat terjadi saat guru dan peserta didik
melakukan percakapan. Peneliti melakukan observasi di lapangan, saat itu Bu
Ninik melakukan komunikasi dua arah dengan siswa inklusi bernama Ridwan.
Bu Ninik bertanya kepada Ridwan, mengapa Ridwan tidak mengikuti kegiatan
bimbingan khusus yang telah disediakan oleh sekolah. Lalu Ridwan menjawab
bahwa ia belum membutuhkannya. Karena ia merasa dapat mengikuti KBM
seperti biasa. Sehingga ia tidak mengikuti kegiatan bimbingan khusus tersebut.
Namun Bu Ninik menjelaskan kegunaan dan manfaat dari kegiatan bimbingan
khusus itu. Lalu di respon langsung Ridwan, bahwa ia akan mengikuti kegiatan
tersebut. (Observasi pada tanggal 15 Mei 2017).
Selain pola komunikasi satu arah, ada pula komunikasi dua arah atau timbal
balik (two way traffic communication) Hal ini di dukung oleh teori pola
komunikasi menurut Effendy, yaitu:
“Komunikator dan komunikan menjadi saling tukar fungsi dalam menjalin fungsi mereka. Komunikator pada tahap pertama menjadi komunikan dan pada tahap berikutnya saling bergantian fungsi. Namun pada hakekatnya yang memulai percakapan adalah komunikator utama. Komunikator utama memiliki tujuan tertentu melaui proses komunikasi tersebut, prosesnya dialogism serta umpan balik terjadi secara langsung” (Effendy, 1986:32).
Dalam pola komunikasi dua arah ini akan terjadi umpan balik (feedback),
karena komunikan dapat merespon atau menanggapi ucapan komunikator
bahkan komunikan dapat langsung bertanya kepada komunikator.
Seperti yang di katakan oleh Bu Heni, “kalau komunikasi dengan Anisa ini biasanya dua arah, mbak. Saya menyampaikan sesuatu, dia bisa menanggapi dengan baik. Dia selalu memberi respon. Dengan dia menjawab kan saya tahu, bahwa dia sudah mengerti atau belum” (wawancara dengan Ibu Heni, tanggal 9 Oktober 2017 bertempat di Ruang Guru SMA Negeri 8 Surakarta).
Komunikasi yang terjadi antara guru dan peserta didik dalam ruang kelas
termasuk komunikasi kelompok (group communication), karena terjadi dalam
sebuah kelompok meskipun kelompoknya relatif kecil. (Effendy, 2006:101).
9
Guru sewaktu-waktu bisa mengubahnya menjadi komunikasi antarpersona.
Terjadilah komunikasi dua arah atau dialog dimana peserta didik menjadi
komunikan dan komunikator, demikian pula dengan guru. Terjadinya
komunikasi dua arah ini ialah apabila peserta didik bersikap responsif,
mengetengahkan pendapat atau mengajukan pertanyaan, diminta atau tidak
diminta. Jika peserta didik pasif saja, dalam arti kata hanya mendengarkan tanpa
ada gairah untuk mengekspresikan suatu pernyataan atau pertanyaan, maka
meskipun komunikasi itu bersifat tatap muka tetap saja berlangsung satu arah
dan komunikasi tersebut tidak efektif.
c. Pola Komunikasi Multi Arah
Komunikasi multi arah dapat disebut juga sebagai komunikasi transaksi.
Komunikasi ini tidak hanya melibatkan interaksi dinamis antara guru dan siswa,
tetapi juga melibatkan interaksi yang dinamis antara siswa dengan siswa yang
lainnya. Proses belajar mengajar dengan pola komunikasi ini membuat peserta
didik menjadi lebih aktif, karena mereka dapat saling berinteraksi dengan guru
dan juga peserta didik yang lain.
Menurut Pak Slamet, tiap guru memiliki caranya masing-masing dalam
berkomunikasi dengan siswa-siswinya.
“Tapi bagi saya, saya mencoba misalnya kita berdiskusi. Saya beri waktu khusus untuk Rida, saya bilang gini, “coba kamu pikirkan dulu, dari tema ini apa yang ingin kamu sampaikan? Kalau tidak di forum dulu, atau dengan rekan-rekan dulu, minimal kamu punya satu ide. Sampaikan ke teman-teman. Nanti kalau kamu kesulitan saat menyampaikan, ini bisa dibantu oleh teman-temanmu. Tapi pada akhirnya, kamu harus bisa menyampaikan sendiri. Tidak boleh lewat temanmu. Tapi minimal kamu punya ide dulu”. Saya bilang gitu ke Rida. Akhirnya kan nanti terjadi diskusi juga mbak, antara saya dengan Rida, dan Rida dengan teman-temannya juga”. (wawancara dengan Bapak Slamet, tanggal 5 Oktober 2017 bertempat di Ruang Guru SMA Negeri 8 Surakarta).
Hal ini di dukung oleh teori pola komunikasi menurut Effendy, yaitu:
“Proses komunikasi terjadi dalam satu kelompok yang lebih banyak di mana
komunikator dan komunikan akan saling bertukar pikiran secara dialogis.
10
Dalam pola komunikasi multi arah seperti ini melibatkan bukan hanya guru
dengan siswa, melainkan juga antar siswa dengan siswa”. (Effendy, 1986:32).
Upaya untuk meningkatkan kiat belajar siswa inklusi dapat dilakukan
dengan beberapa cara, yakni dengan memberikan motivasi kepada siswa
inklusi, memberi saran dan nasihat. Penyampaian motivasi kepada siswa inklusi
akan mudah dilakukan bila guru, sebagai pemberi motivasi, memiliki hubungan
yang baik dengan siswa inklusi sebagai peserta didik. Namun sifat Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) sedikit lebih pasif dibandingkan siswa reguler
lainnya. Hal ini dikarenakan rasa minder akan kekurangan yang mereka miliki.
Motivasi menurut Janu Murdiyatmoko (2007:70-72) yaitu dorongan yang
diberikan kepada individu kepada individu lainnya. Tujuan motivasi adalah agar
orang yang diberi motivasi atau dorongan untuk menuruti dan bersemangat.
Motivasi inilah yang sering diberikan oleh guru-guru SMA Negeri 8
Surakarta kepada para peserta didik, inklusi maupun reguler, Motivasi ini
diberikan untuk mendorong kiat belajar peserta didik agar mendapatkan nilai
akademik yang lebih baik lagi. Pemberian motivasi sering dilakukan kepada
siswa inklusi agar mereka tidak minder dan dapat berbaur atau berteman dengan
siswa reguler.
Dengan memberi motivasi kepada peserta didik, diharapkan kiat belajar
peserta didik dapat meningkat dan mendapat prestasi yang baik di sekolah.
2. Komunikasi Interpersonal Antara Guru Dengan Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) Dalam Meningkatkan Kiat Belajar Siswa Inklusi
Upaya untuk meningkatkan kiat belajar peserta didik, dapat dilakukan oleh
guru dengan menggunakan komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal
adalah komunikasi antar dua orang, dimana terjadi kontak langsung dalam
bentuk percakapan, komunikasi jenis ini bias langsung secara berhadapan muka
(face to face) bias juga melalui medium, contoh: telepon. Ciri khas komunikais
interpersonal adalah dua arah atau timbal balik (Effendy, 1993:61).
11
Dengan komunikasi interpersonal, diharapakan proses komunikasi yang
terjadi dapat berjalan lebih efektif, karena hanya melibatkan dua orang yang
mana satu pihak bertugas menjadi komunikator dan pihak yang lainnya menjadi
komunikan. Yang berperan sebagai komunikator ialah guru, dan yang manjadi
komunikan ialah peserta didik.
Dalam komunikasi interpersonal yang terjadi antara guru dengan siswa
inklusi, guru menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu untuk
menyampaikan maksudnya. Seperti yang diungkapkan oleh Bu Heni, beliau
menggunakan pendekatan pribadi:
“Pendekatan paling secara pribadi misalnya, ada tugas-tugas yang mungkin dia kurang paham, ya silakan bertanya. misalnya saat belajara di kelas dia kurang paham, biasanya dia ke saya secara pribadi, bertanya lebih lanjut mengenai apa yang dia tidak paham itu. dan saya menjelaskan lagi ke dia pelan-pelan hingga dia mengerti. jadi ya pendekatannya secara pribadi gitu mbak” (wawancara dengan Ibu Heni, tanggal 9 Oktober 2017 bertempat di Ruang Guru SMA Negeri 8 Surakarta).
Pendekatan yang digunakan oleh Bapak Slamet dalam komunikasi
interpersonal yang ia lakukan dengan Rida, adalah pendekatan kasih sayang.
“Mungkin tidak ada di teori-teori kebanyakan ya. Yang saya lakukan adalah dengan pendekatan kasih sayang kalau saya. Jadi Rida saya posisikan istimewa tapi bukan nilainya saya beri bagus. Misalnya saya anggap anak ini adalah anak saya. Dengan komunikasi antara bapak dengan anak, berbeda dengan guru dan murid. Jadi saya kalau berkomunikasi itu berputar dulu. Artinya saya bahas keluarga, teman baru ke tema apa yang akan disampaikan. Jadi saya kadang-kadang agak melenceng dari teori-teori yang sudah ada sih mbak. Hehehehe. Saya ini punya trik sendiri, bagaimana tujuannya bisa tersampaikan kepada Rida dan Rida ini tidak tertinggal jauh oleh teman-temannya soal materi, maupun soal berkomunikasi. Dan hasilnya juga ada. kemaren dia berani mengungkapkan sebuah problem” (wawancara dengan Bapak Slamet, tanggal 5 Oktober 2017 bertempat di Ruang Guru SMA Negeri 8 Surakarta).
Mesikupun dengan cara yang berbeda, namun pendekatan yang digunakan
oleh guru-guru adalah pendekatan individual. Pendekatan individual artinya
setia individu anak berbeda sehingga membutuhkan pendekatan dengan cara
yang berbeda pula. Sehingga mereka memperlakukan tiap anak pun berbeda.
12
3. Faktor Pendukung Dan Faktor Penghambat Dalam Belajar Dan Saat
Melakukan Komunikasi Dengan Guru Di Sekolah Inklusi
Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar tentunya ada beberapa
faktor yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya kegiatan belajar mengajar.
Faktor yang mempengaruhi belajar dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu
yang sedang belajar, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berada di
luar individu. Slameto. (2003:54).
Faktor internal yaitu faktor yang ada dalam diri individu, yang sangat besar
pengaruhnya terhadap aktivitas belajar seseorang. Yang termasuk faktor internal
antara lain:
1. Faktor jasmani. Faktor jasmani menjadi salah faktor yang memiliki
pengaruh yang besar dalam proses belajar siswa. Faktor jasmani ini
meliputi: faktor kesehatan dan faktor cacat tubuh. Dari kelima ABK yang
menjadi obyek penelitian, semuanya memiliki kekurangan pada indera
penglihatannya (low vision.). Dengan kekurangannya itu, secara otomatis
dapat mempengaruhi proses belajar. Mereka mengalami kesulitan dalam
mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas, mereka juga sulit untuk
menulis catatan yang ada di papan tulis, dan mengerjakan soal latihan
yang diberikan oleh guru.
2. Faktor psikologi meliputi: intelegensi, perhatian, minat, bakat, dan
kesiapan dalam menerima materi pelajaran. Faktor psikologi ini berkaitan
dengan kepribadian dari masing-masing individu. Sifat kepribadian dari
siswa inklusi ini ada yang aktif namun ada juga yang pasif. Siswa yang
aktif, dapat dikatakan memiliki perhatian yang baik terhadap materi yang
disampaikan oleh guru. Siswa inklusi yang termasuk siswa yang aktif
adalah Ridwan dan Aris. Namun siswa yang pasif, dapat dikatakan bahwa
perhatiannya kurang terhadap materi yang disampaikan oleh guru. Ia
13
kurang memiliki minat belajar serta tidak sigap atau tidak siap selama
berinteraksi dengan guru. Siswa inklusi yang termasuk siswa yang pasif
adalah Rida, Aldia dan Anisa. Namun bukan berarti mereka tidak
memiliki perhatian dan minat belajar yang baik, hanya saja tidak sebaik
yang lainnya.
Selanjutnya faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar individu,
yang dapat mempengaruhi aktivitas belajar seseorang. Yang termasuk faktor
eksternal salah satunya:
1. Faktor keluarga meliputi keadaan keluarga dan relasi antar anggota
keluarga.
Keluarga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas belajar.
Hal ini karena keluarga adalah pihak yang sangat dekat dengan siswa
sehingga dapat mempengaruhinya. Keluarga tidak selamanya berpengaruh
baik, ada pula yang berpengaruh tidak baik. Namun pengaruh tidak baik
ini tidak selamanya terjadi seperti itu. Hanya pada saat-saat tertentu,
seperti saat keluarga memiliki suatu masalah, sehingga memperngaruhi
minat belajar siswa yang sedang mengalami masalah keluarga.
Menurut Ibu Ninik, keluarganya Ridwan dalam keadaan yang baik.
Artinya Ridwan mendapatkan perhatian dari keluarganya.
“Kalau keluarganya itu baik semua sih mbak. Jadi yang sering komunikasi dengan saya itu bapaknya. Bapaknya yang selalu datang saat ambil rapot. Bapaknya itu perhatian sekali dengan Ridwan, karena merasa kasihan dengan kondisi Ridwan. Jadi bapaknya itu juga sudah bilang, “yang penting anak saya itu dapat naik kelas”. Pihak keluarganya Ridwan sangat mendukung untuk Ridwan” (wawancara dengan Ibu Ninik, tanggal 7 Oktober 2017 bertempat di Ruang Guru SMA Negeri 8 Surakarta).
Namun berbeda dengan Rida, Bapak Slamet menceritakan secara
singkat bahwa Rida memiliki masalah keluarga yang cukup membuat
minat belajar Rida menurun.
14
“Kebetulan Rida ini memiliki masalah keluarga ya mbak. Dia ini tidak tinggal dengan keluarganya, tapi tinggal di asrama. Sepengetahuan saya juga, dia ini diasuh oleh familynya yang lain. Nah keluarganya itu sedang memiliki masalah keluarga sendiri, jadi berdampaklah kepada Rida. Dia jadi kepikiran hal itu terus, dan menurunkan minat belajarnya” (wawancara dengan Bapak Slamet, tanggal 5 Oktober 2017 bertempat di Ruang Guru SMA Negeri 8 Surakarta).
Namun selama penulis melakukan penelitian, didapatkan beberapa faktor
yang menjadi penghambat dalam penerapan pola komunikasi guru dengan Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam meningkatkan kiat belajar siswa antara
lain:
- Sifat ABK Yang Tertutup Terhadap Guru
Seperti sifat salah satu siswi inklusi yang bernama Rida, ia merupakan siswi
yang tertutup bahkan terhadap wali kelasnya sendiri. Ia merasa kalau hal yang
berhubungan dengannya lebih baik ia simpan sendiri, tidak perlu diadukan atau
diceritakan kepada guru:
“Kalau ada yang mengejek atau membully, saya biasanya diemin aja sih mbak. Siapa sih saya ini? Biarin aja mereka mau ngomong apa tentang saya. Ga perlu dibilangin ke guru lah. Diemin aja” (wawancara dengan Rida pada tanggal 8 Mei 2017 bertempat di Perpustakaan SMA Negeri 8 Surakarta).
Peneliti sangat menyayangkan akan hal tersebut. Penerapan pola
komunikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) akan berjalan lebih baik apabila
Anak Berkebutuhan Khusus ABK atau siswa inklusi ini dapat menceritakan
keluh kesahnya kepada guru atau koordinator pendidikan inklusi, untuk ditindak
lanjuti agar tidak ada masalah yang sama dikemudian hari.
- Kurangnya Kedekatan Antara Guru Dengan ABK.
Yang menjadi penghambat dalam optimalisasi penerapan pola komunikasi
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan guru, selain sifat ABK yang
tertutup, masalah kurangnya kedekatan guru dengan ABK juga turut menjadi
faktor penghambat.
15
Diakui oleh beberapa guru yang sekaligus menjadi wali kelas, mereka
merasa tidak begitu dekat atau akrab dengan siswa inklusi yang ada dikelasnya.
Kedekatan yang ada hanya sebatas hubungan guru dengan muridnya seperti
biasa saja. Tidak ada kedekatan yang berlebihan.
Seperti yang dirasakan oleh Ibu Heny, ia mengaku bahwa hubungannya
dengan siswa inklusi bernama Anisa, hanya sewajarnya saja:
“Kalau terlalu dekat juga tidak jadi saya sebisa mungkin menyamakan dengan yang lainnya. Untuk tidak menimbulkan rasa kecemburuan sosial tadi ya. Jadi paling hanya lebih seringnya ke WA (aplikasi chat). Kalau secara lisan gitu mungkin tidak terlalu sering. Jadi misalnya kalau dia ada tugas, atau ada latihan atau besoknya mau kemana, sehingga memberitahukan ke Saya lewat WA. Jadi kan mending dia memberitahu dulu sebelum ada latihan atau lain sebagainya itu” (wawancara dengan bu Heny, pada tanggal 10 Mei, bertempat di Ruang Guru Piket SMA Negeri 8 Surakarta).
Namun ada juga yang mengaku memiliki hubungan yang lebih baik.
Misalnya Bu Ninik, beliau menganggap siswa-siswanya sama seperti anak
sendiri. Sehingga ia memperlakukannya seperti hubungan orang tua dengan
anaknya:
“Nek dekat, saya itu memang dengan anak-anak seperti dengan anak sendiri ya. Jadi kaya Ridwan itu ya kita sama anak-anak seperti orang tua dengan anak. Ya saya cuma kalau ada keluhan apa dari orang tuanya saya mesti, jujur saja baru menanyakan kepada dia. Soalnya saya takut, anak itu kan tidak selalu sama, kadang-kadang ada anak yang mau membuka hati untuk cerita, tapi kan kaya Ridwan dia itu kan susah untuk cerita, untuk diambil apa ya, misalnya punya masalah itu ndak pernah mau cerita sama saya sebagai wali. Tapi kalau orang tuanya saya dekat. Maksudnya sering curhat sama orang tuanya. Cuma ke anaknya sendiri karena itu tadi, ndak mau cerita. Misalnya saya tanya apa gitu, ya ndak mau ngomong apa-apa” (wawancara dengan Bu Ninik, pada tanggal 15 Mei 2017, bertempat di Teras Mushola SMA Negeri 8 Surakarta).
Aspek kedekatan hubungan ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam
optimalisasi penerapan pola komunikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
dengan guru.Bila faktor penghambat ini dapat diatasi, maka penerapan pola
komunikasi. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan guru dapat berjalan
dengan baik.
16
- ABK Merasa Minder Atau Kurang Percaya Diri
Faktor penghambat lainnya yakni, ABK merasa minder atau kurang percaya
diri saat berada disekitar siswa reguler. Hal ini dikarenakan ABK merasa
berbeda dengan siswa reguler karena kekurangan fisik yang mereka miliki.
Seperti yang dialami oleh Aldia, ia mengaku pernah membaur dengan siswa
reguler, namun akhirnya ia merasa minder. Ia lebih nyaman untuk bergabung
dengan siswa sesama inklusi saja:
“Aku pernah membaur sama mereka tapi ujung-ujungnya kaya dikacangin gitu. Di cuekin. Jadinya yaudahlah ya. Aku sekarang jadi kaya minder sendiri sih kalo gabung sama mereka. Makanya aku kalo kemana-mana sendiri. Aku kalo kemana-mana palingan cuma sama sesama anak inklusi aja, ga pernah sama anak reguler” (wawancara dengan Aldia pada tanggal 8 Mei 2017 bertempat di Perpusatakaan SMA Negeri 8 Surakarta).
Dari hasil penelitian dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada
narasumber, hampir semua narasumber merasakan hal yang sama seperti yang
dirasakan Aldia, yakni merasa minder saat berada disekitar siswa reguler.
Misalnya seperti yang dirasakan oleh Rida: “Aku kurang nyaman sih mbak. Ya
minder gitu. Soalnya kan mereka normal, sedangkan aku ya begini. Jadi ya
kurang suka aja” (wawancara dengan Rida pada tanggal 8 Mei 2017 bertempat
di Perpusatakaan SMA Negeri 8 Surakarta).
Namun masih ada siswa inklusi yang bersikap cuek saat bersama dengan
siswa reguler. Yakni Aris, ia dapat berbaur dengan siswa reguler tanpa harus
merasa minder: “Kalo aku biasa aja mbak. Ngapain minder? Kan kita sama-
sama sekolah disini. Jadi udah sama-sama aja gak apa-apa” (wawancara dengan
Aris pada tanggal 8 Mei 2017 bertempat di Perpusatakaan SMA Negeri 8
Surakarta)
Sama halnya dengan yang dirasakan oleh Ridwan, ia setuju dengan yang
dikatakan oleh Aris, sehingga ia dapat berbaur dengan siswa reguler seperti
biasa:
17
“Aku juga biasa aja sih mbak. Soalnya kan biasanya juga aku main bareng sama mereka. Apa-apa juga sama mereka. Jadi ngapain minder? Kalo minder malah diledekin sama temen-temen. Jadi biasa aja” (wawancara dengan Ridwan pada tanggal 8 Mei 2017 bertempat di Perpusatakaan SMA Negeri 8 Surakarta).
Setelah mendengar jawaban dari narasumber, memang beberapa faktor
tersebut diatas dapat mempengaruhi optimalisasi penerapan pola komunikasi
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan guru. Proses pola komunikasi dapat
berjalan lancar apabila faktor-faktor penghambat diatas dapat diatasi. Oleh
karena itu, komunkator dalam hal ini guru, harus sebisa mungkin meminimalisir
agar faktor-faktor tersebut mengganggu kelancaran pola komunikasi.
Penutup
Berdasarkan dari hasil pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan
peneliti, maka dapat ditarik kesimpulan yang sesuai dengan masalah penelitian ini
yaitu sebagai berikut:
1. Guru SMA Negeri 8 Surakarta menggunakan berbagai metode atau pola
komunikasi dengan arah pola komunikasi yang berbeda saat menyampaikan
materi pelajaran maupun saat berinteraksi dengan siswa-siswi SMA Negeri 8
Surakarta. Pola komunikasi yang terjadi pada Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) atau siswa inklusi sebagai peserta didik dengan guru di SMA Negeri 8
Surakarta dapat terjadi dalam beberapa pola, yaitu:
a. Pola Komunikasi Satu Arah
Dari hasil penelitian, pola komunikasi satu arah biasanya digunakan oleh
guru saat menyampaikan materi pelajaran dengan metode ceramah di depan
kelas. Kekurangan dari pola komunikasi satu arah ini adalah guru bersifat
lebih dominan sehingga membuat peserta didik menjadi pasif dan tidak aktif
di dalam kelas. Selain itu respon dari masing-masing peserta didik pun
beragam, ada yang memperhatikan namun ada pula yang sibuk dengan
urusannya sendiri.
18
b. Pola Komunikasi Dua Arah
Dari hasil penelitian, pola komunikasi dua arah ini dilakukan oleh guru dan
siswa saat melakukan percakapan. Tetapi terbatas pada guru dan siswa
secara individual. Siswa yang lainnya tidak dapat bergabung dalam interaksi
tersebut. Pola komunikasi dua arah ini lebih baik dari pola komunikasi satu
arah karena siswa yang berperan sebagai komunikan dapat memberikan
responnya (feedback) secara langsung kepada komunikator.
c. Pola Komunikasi Multi Arah.
Dari hasil penelitian, pola komunikasi multi arah ini tidak hanya melibatkan
interaksi dinamis antara guru dan siswa, tetapi juga melibatkan interaksi
yang dinamis antara siswa dengan siswa yang lainnya. Proses belajar
mengajar dengan pola komunikasi ini membuat peserta didik menjadi lebih
aktif, karena mereka dapat saling berinteraksi dengan guru dan juga peserta
didik yang lain.
2. Saat proses belajar mengajar, guru menggunakan komunikasi interpersonal
untuk memberikan motivasi dan nasihat langsung kepada siswa inklusi dalam
meningkatkan kiat belajar siswa inklusi. Karena komunikasi interpersonal
terjadi antara komunikator dengan komunikan secara tatap muka. Namun tidak
menutup kemungkinan komunikasi tersebut terjadi menggunakan bantuan
media perantara.
3. Faktor yang menjadi penghambat dalam penerapan pola komunikasi guru
dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam meningkatkan kiat belajar
siswa antara lain:
- Sifat Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) atau siswa inklusi yang tertutup
terhadap guru. Hal ini membuat guru sulit untuk memberikan masukan atau
motivasi kepada siswa inklusi.
- Kurangnya kedekatan antara guru dengan Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) sehingga guru tidak mengetahui apabila siswa sedang mengalami
19
kesulitan atau sedang memiliki masalah yang menyebabkan siswa menjadi
tidak semangat belajar. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan prestasi
akademik siswa.
- Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merasa minder atau kurang percaya diri
saat berada di sekitar siswa reguler. Meskipun siswa inklusi dapat
berinteraksi dan bergaul dengan siswa reguler lainnya, tidak dapat
dipungkiri bahwa siswa inklusi juga terkadang merasa minder atau tidak
percaya diri. Hal ini membuat siswa inkusi sulit untuk menerima masukan
atau motivasi yang disampaikan oleh siswa reguler yang notabene adalah
teman-temannya sendiri.
Daftar Pustaka
Cangara, Hafied. (2003). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Djamarah, Syaiful Bahri. (2004). Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga: Sebuah Perspektif Pendidikan Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Effendy, Onong Uchjana. (1986) Dimensi-Dimensi Komunikasi. Bandung: Alumni.––––. (1993). Ilmu, Teori & Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. ––––. (2006). Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek. Bandung: Penerbit Remaja
Rosda Karya.Fajar, Marhaeni. (2009). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha
Ilmu.Hashamdar, Mohammad. (2012). The Teacher-Student Communication Pattern: A
Need To Follow? BRAIN. Broad Research in Artifical Intelligence and Neuroscience. Volume 3, Issue 4, "Brain and Language", December 2012, ISSN 2067-3957 (online), ISSN 2068 - 0473 (diunduh pada tanggal 28 Juni 2017 pukul 22:02 WIB)
Liliweri, Alo. (1991). Komunikasi Antarpribadi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.Murdiyatmoko, Janu. 2007. Sosiologi: Memahami Dan Mengkaji Masyarakat.
Jakarta: PT Grafindo Media Pratama.
20