d1215002.docx · web viewdan terakhir anonymity yaitu identitas yang palsu atau disamarkan. dalam...
TRANSCRIPT
JURNAL
GENDERLECT STYLE DALAM NEW MEDIA
(Studi Analisis Media Siber tentang Genderlect Style Pengguna Media Sosial
Instagram)
Oleh:
Agnes Febriana Rahmawati
D1215002
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
GENDERLECT STYLE DALAM NEW MEDIA
(Studi Analisis Media Siber tentang Genderlect Style Pengguna Media Sosial
Instagram)
Agnes Febriana Rahmawati
Monika Sri Yuliarti
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
AbstractThe purpose of this study is to describe in detail how the genderlect style
between men and women in using social media Instagram. The methodology used in this study is descriptive qualitative with analysis of the cyber media technics. The main source obtained from observation and interview to men and women Instagram users. There is two stages in this research, namely with an observation in level of texts and an interview in level of contexts. This study used the Genderlect Style theories from Deborrah Tannen, material identity from Wood and Smith, and message production from Barbara O’Keefe. The conclusion from this reasearch is that there is including the identity on social media Instagram, a women users more likely to featuring with their identities than a men users. The kind of message to be delivered, the women users prefer to upload about the topics of personal, meanwhile the men users was more pleased to upload the topic about the general. Then in a way of producing the message, the women users was more pleased expressive in wrote a message than the men users was more pleased conventional.Keywords: Genderlect Style, Material Identity, Message Production, New Media
Pendahuluan
Hadirnya media sosial telah memberi perubahan pada pengaruh sosio-
teknologi terhadap komunikasi secara keseluruhan. Perubahan yang terjadi
mencakup pada perubahan dunia teknologi maupun dunia komunikasi, mengingat
media sosial saat ini telah menjadi suatu media komunikasi online yang menjadi
unsur penting dalam membangun, menjalin atau mempertahankan suatu hubungan
interpersonal.
Banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dari media sosial ini dalam
berinteraksi maka komunikasi antar pribadi kini dapat dilakukan oleh para
1
pengguna satu dengan pengguna lainnya. Interaksi yang terjadi dalam media
sosial pun menjadikan pengguna sebagai komunikator sekaligus komunikan.
Tidak hanya itu, kini interaksi antara komunikator dengan komunikan dapat
terjadi tanpa harus bertemu secara tatap muka. Hal ini tentunya memberikan
kebebasan pada pengguna dalam mengekspresikan segala sesuatu di dalam dunia
online.
Namun dalam kebebasan mengekspresikan segala sesuatu di dunia maya,
ternyata dapat berbalik menjadi atmosfer negatif. Sisi negatif dari hadirnya media
sosial yaitu para pengguna bebas dalam memposting segala sesuatu termasuk hal-
hal yang kurang pantas dan kurang mendidik, salah satunya di media sosial
Instagram. Konten visual maupun audiovisual yang disajikan dalam media sosial
ini tentunya menarik banyak pengguna tak terkecuali anak-anak. Mulai dari
konten yang lebih banyak mengadaptasi budaya barat seperti memamerkan aurat
hingga gaya hidup yang tidak sesuai dengan budaya di Indonesia. Tidak adanya
batasan-batasan dalam menggunakan media sosial ini tentunya dikhawatirkan
akan memberikan dampak negatif bagi generasi muda. Seharusnya pengguna
instagram lebih memperhatikan konten-konten apa saja yang pantas untuk
diunggah dan tidak.
Belakangan ini mulai muncul kasus-kasus yang berkaitan dengan jejaring
sosial Instagram. Salah satu kasusnya adalah kasus Karin Novilda atau lebih
dikenal dengan nama Awkarin yang seringkali memanfaatkan akun Instagramnya
untuk mengekspresikan diri dengan mengunggah foto-foto yang dianggap terlalu
vulgar oleh kalangan netizen dan juga gaya hidup yang cenderung ke arah negatif
hingga seringkali mengunggah caption dengan menuliskan kata-kata kasar untuk
dikonsumsi publik khususnya anak-anak karena dianggap akan memberikan
pengaruh negatif bagi generasi muda yang mengikutinya.
Tidak hanya kasus Awkarin saja, muncul pula Anya Geraldine yang tidak
jauh berbeda dengan Awkarin, Anya juga seringkali mengunggah foto-foto
mengenai kehidupan pribadinya hingga foto-foto mesra bersama kekasihnya yang
dianggap melewati batas oleh kalangan netizen.
2
Kedua contoh kasus di atas dalam jejaring sosial Instagram merupakan
contoh bahwa tidak adanya batasan-batasan yang jelas dalam media sosial
membebaskan pengguna untuk mengekspresikan segala sesuatu. Dalam hal lebih
lanjut pada kedua kasus ini diunggah oleh pengguna wanita, yang dalam konsep
gender, dikonstruksikan masyarakat merupakan sosok yang feminim, sopan
santun, dan lemah lembut. Namun dalam kasus tersebut, konsep gender justru
menjadi pertanyaan.
Ketika membahas tentang gender, bahasa dan komunikasi dalam
komunikasi tatap muka, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa perempuan
dan laki-laki menggunakan bahasa dan berbicara dengan cara yang berbeda.
Shirley dalam Littlejohn (2009: 170) menyimpulkan bahwa kaum perempuan
merasa lebih tidak nyaman dan lebih tidak berekspresif dalam situasi publik
dibanding laki-laki. Kaum perempuan berhati-hati dengan apa yang mereka
katakan dan menerjemahkan apa yang mereka rasakan dan pikirkan ke dalam
pengertian kaum laki-laki dalam masyarakat dan akibatnya adalah dibungkamnya
kaum perempuan.
Menurut Tannen dalam Griffin (2009: 463) perempuan berbicara untuk
mendapatkan human connection sedangkan laki-laki berbicara untuk status atas
budaya patriarki. Tannen juga menyebut bahwa komunikasi antara perempuan dan
laki-laki merupakan cross cultural connection.
Dari kedua konsep tersebut, dapat disimpulkan bahwa genderlect
membahas mengenai cara orang menyampaikan ide, gagasan atau pemikiran
antara satu sama lain yang dipengaruhi oleh gender dan dipandang dengan dua
budaya yang berbeda. Pada kondisi idealnya perempuan dikonstruksikan oleh
masyarakat sebagai seseorang yang lemah lembut dan penuh kasih sayang.
Sementara itu, laki-laki dikonstruksi oleh masyarakat sebagai seseorang yang
maskulin. Tannen dalam Griffin (2009: 430) meyakini bahwa fokus pembicaraan
perempuaan adalah koneksi dan memelihara hubungan, sedangkan laki-laki
berfokus pada status dan kebebasan.
Namun, konstruksi yang dibangun oleh masyarakat tersebut cenderung
mulai berubah ketika dilihat di dalam new media. Dimana perempuan lebih
3
emosional, maskulin dan lebih senang menimbulkan konflik. Feminitas tidak
tampak lagi pada pesan yang diunggah oleh perempuan yang cenderung lebih
kasar dan lebih kuat. Berbeda dengan laki-laki, yang terlihat lebih apa adanya
dibandingan perempuan dan lebih terlihat menjaga hubungan.
Berdasarkan penjelasan di atas, hal ini menjadi menarik untuk dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai genderlect style antara pengguna laki-laki dan
pengguna perempuan di dalam media sosial Instagram.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas permasalahan yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana genderlect style dalam level teks dan level konteks di media sosial
Instagram?
Tinjauan Pustaka
1. Definisi Komunikasi
Menurut Harold Lasswell dalam Mulyana (2014: 69) mendefinisikan
komunikasi sebagai berikut:
“Proses penyampaian pesan atau informasi dari komunikator kepada komunikan melalui media tertentu yang menimbulkan efek yang digambarkan dengan menjawab pertanyaan Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?”
Membahas komunikasi tidak lepas dari unsur-unsur komunikasi yang
merupakan komponen penting dalam proses komunikasi. Berdasarkan
definisi Lasswell dalam Mulyana (2014: 69-71) unsur-unsur komunikasi
meliputi: (a) komunikator (source), (b) pesan (message), (c) saluran
(channel), (e) komunikan (receiver), (f) umpan balik (effect).
Adapun unsur-unsur yang digunakan pada penelitian ini, pertama
pengguna media sosial Instagram berperan sebagai komunikator dalam
menyampaikan informasi mengenai segala aktivitasnya. Pengguna tidak
hanya berperan sebagai komunikator melainkan dapat pula sebagai
komunikan, yakni si penerima pesan. Pesan yang disampaikan dalam media
4
sosial Instagram ini dapat berupa unggahan foto, caption, video, dan lain
sebagainya yang dibagikan oleh pengguna. Saluran yang digunakan untuk
menyampaikan pesan tersebut adalah internet, sedangkan efek yang
diharapkan adalah mendapatkan umpan balik dari pengguna lain seperti tanda
like, komentar, dan lain-lain.
2. Genderlect Style
Mansour (2013: 8) mendefinisikan konsep gender sebagai suatu sifat
yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi
secara sosial maupun kultural.
“Menurut Tannen dalam Griffin (2009: 430), genderlect style merupakan sebuah istilah yang menunjukkan bahwa gaya maskulin dan feminim dari wacana yang terbaik dipandang sebagai dua budaya yang berbeda.”
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa genderlect style
membahas mengenai cara seseorang menyampaikan ide, gagasan, atau
pemikiran antara satu sama lain yang dipengaruhi oleh gender dan dipandang
dengan dua budaya yang berbeda. Tannen meyakini bahwa fokus
pembicaraan perempuan adalah koneksitas (rapport talk), sedangkan laki-laki
pada status dan kebebasan (report talk). Tannen meyakini terdapat gap antara
laki-laki dan perempuan, dikarenakan masing-masing berada pada posisi
lintas budaya yang berbeda (cross culture). (Griffin, 2009: 430-431)
Berkenaan dengan ketiga nilai ini, Tannen dalam Griffin (2009: 432-
435) mengkategorikan temuan-temuannya sebagai berikut: (a) public
speaking versus private speaking, (b) telling a story, (c) listening, (d) asking
questions, (e) conflict
3. Identitas Material
Pada saat mencantumkan sebuah identitas di internet, pengguna harus
bertanya pada dirinya sendiri apa tujuan untuk menulis identitas yang
mengakibatkan pengguna bertanya pada diri sendiri siapa mereka. Pada
tahapan lebih lanjut, mereka akan membuat identitas material, yaitu identitas
yang digunakan untuk memperkenalkan diri di internet. (Nasrullah, 2014: 5)
5
Terdapat tiga tipe identitas dalam interaksi di internet yang
dikemukakan oleh Wood dan Smith dalam Nasrullah (2014: 143-145), yakni
real-life identity, pseudonymity, dan anonymity. Real-life identity merupakan
identitas asli yang menunjukkan siapa individu sebenarnya. Pseudonymity
yaitu identitas yang tidak dimunculkan secara utuh. Dan terakhir anonymity
yaitu identitas yang palsu atau disamarkan. Dalam ruang virtual, anonimitas
dapat terjadi sepenuhnya. Seseorang dapat mengubah nama atas kehendak
mereka sendiri dan tidak ada keterkaitan dengan identitas di dunia nyata.
4. Produksi Pesan
Paradigma Lasswell dalam Mulyana (2014: 39) menjelaskan bahwa
komunikator menyandi (encode) pesan yang akan disampaikan kepada
komunikan. Barbara O’Keefe dalam Littlejohn (2009: 188) menggarisbawahi
tiga logika penyusunan pesan yang mungkin mencakup dari orang yang
kurang memusatkan diri hingga orang yang paling memusatkan diri, yaitu: (a)
logika ekspresif, (b) logika konvensional, (d) logika retoris.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode analisis
media siber. Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui fenomena genderlect
style pada pengguna laki-laki dan perempuan di dalam media sosial Instagram.
Sumber data primer diperoleh dengan cara melakukan pengamatan dan
wawancara terhadap pengguna Instagram. Informan untuk penelitian ini adalah
pengguna media sosial Instagram baik laki-laki dan perempuan yang termasuk
dalam kriteria, yaitu sudah menggunakan media sosial Instagram lebih dari satu
tahun, aktif dalam menggunakan media sosial Instagram, memiliki lebih dari 50
unggahan foto maupun video, serta menjadi teman dari peneliti. Data pendukung
lainnya diperoleh dari dokumen, artikel, literatur, jurnal serta situs internet yang
berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
data kualitatif, dengan teorinya Miles dan Huberman. Teknik analisis ini pada
dasarnya terdiri dari tiga komponen (Herdiansyah, 2010: 164-180): 1)
6
Pengumpulan data, 2) Reduksi data (data reduction), 3) Penyajian data (data
display), 4) Verifikasi atau kesimpulan. Dalam penilitian ini penulis menggunakan
teknik triangulasi, yaitu teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan
dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada.
Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi teori dan
triangulasi data. Dimana triangulasi teori ini digunakan dengan menginterpretasi
data yang sejenis dengan informan yang berbeda. Hal ini lakukan peneliti untuk
memeriksa keabsahan data tersebut.
Sajian dan Analisis Data
A. Identitas Material Informan
Identitas material dibagi menjadi tiga bagian yaitu username, bio, dan
foto profil pengguna media sosial Instagram. Di dalam media sosial
Instagram, identitas material merupakan hal penting karena di dalam sebuah
profil yang dicantumkan berguna untuk memperkenalkan dirinya kepada
orang lain. Pengguna dapat menuliskan berbagai informasi, hobi atau
kesenangan, pekerjaan, pemikiran hingga status mereka di dalam profil. Hal
ini bertujuan agar pengguna dapat dikenal oleh orang lain. Profil ini biasanya
berisikan nama, foto, dan tulisan.
Dari hasil penelitian terhadap 10 pengguna media sosial Instagram
yang terdiri dari 5 pengguna laki-laki dan 5 pengguna perempuan, mereka
sama-sama mencantumkan identitas asli mereka di media sosial Instagram.
Pengguna laki-laki maupun perempuan memunculkan identitas di media
sosial dengan menggunakan identitas asli atau real-life identity agar
memudahkan orang untuk mencari akun Instagram pengguna. Terdapat pula
pseudonymity identitas yang tidak dimunculkan secara utuh, pengguna
menampilkan username hanya dengan mencantumkan nama panggilan agar
terlihat simple dan mudah diingat. Pada penelitian ini tidak ditemukan
pengguna laki-laki maupun perempuan yang menggunakan identitas palsu
atau anonymity. Sehingga dalam hal ini tidak terdapat perbedaan antara
7
pengguna laki-laki dan pengguna perempuan dalam mencantumkan identitas
mereka di media sosial Instagram.
Lebih lanjut, dalam media sosial, pengguna dapat menampilkan foto
profil dengan menggunakan foto diri sendiri, foto bersama keluarga atau
teman, dan bahkan foto orang lain yang diidolakan sesuai dengan keinginan
pengguna. Terdapat dua temuan dari penggunaan foto profil yang ditampilkan
oleh pengguna laki-laki maupun perempuan di media sosial Instagram yaitu
menggunakan foto diri asli tanpa filter dan foto diri asli dengan menggunakan
editing filter. Filter disini adalah sebuah fitur yang digunakan seseorang untuk
mengubah tampilan foto agar terlihat lebih baik atau bahkan sangat berbeda
dengan tampilan aslinya. Tiga dari lima pengguna laki-laki menampilkan foto
diri asli tanpa menggunakan filter dengan alasan tidak ingin terlihat
berlebihan. Sementara dua orang lainnya menambahkan edit filter dalam
menampilkan foto profil karena ingin terlihat maksimal. Hal ini berbeda
dengan lima pengguna perempuan yang mengedit fotonya terlebih dahulu
agar terlihat cantik, bagus, dan menarik.
Dalam menampilkan foto profil di media sosial Instagram, dapat
dikatakan bahwa baik pengguna laki-laki maupun pengguna perempuan
menggunakan foto diri asli sesuai dengan identitas mereka. Namun terdapat
temuan bahwa baik pengguna laki-laki maupun perempuan mengedit fotonya
terlebih dahulu sebelum menjadikannya sebagai foto profil. Seseorang yang
menampilkan foto diri sebagai identitas di media sosial lebih cenderung untuk
mengeditnya terlebih dahulu. Hal ini diperkuat dengan adanya motivasi dan
dorongan dari pengguna laki-laki maupun perempuan untuk mengedit foto
diri asli sebelum menampilkannya sebagai foto profil.
Kemudian dalam mencantumkan bio baik pengguna laki-laki maupun
pengguna perempuan mencantumkan identitas diri dan kata-kata ungkapan
pada bio di media sosial Instagram. Namun yang sedikit membedakan,
pengguna perempuan cenderung menggunakan bio untuk menunjukkan
identitasnya agar lebih mudah dikenal orang. Hal ini sangat berkaitan dengan
8
teori genderlect style dimana perempuan berhasrat pada human connection,
sedangkan laki-laki berhasrat pada status.
B. Jenis Penyampaian Pesan Pengguna Instagram
Terdapat dua jenis pesan yang disampaikan pengguna laki-laki
maupun perempuan di media sosial Instagram yang tebagi terbagi menjadi
dua yaitu private area dan public area. Berbicara mengenai jenis pesan,
Tannen dalam Griffin (2009: 432) mengatakan bahwa dalam berkomunikasi,
laki-laki lebih senang menggunakan gaya informatif dalam format reportase
yang berkaitan dengan topik-topik umum. Sedangkan perempuan lebih
senang bercerita tentang hal-hal yang bersifat pribadi jika dibandingkan
dengan laki-laki.
Membahas tentang private area pada pengguna media sosial
Instagram, biasanya berkaitan dengan keterbukaan dalam membicarakan
kehidupan pribadi di media sosial. Pada penelitian ini, peneliti menemukan
beberapa jenis pesan yang diunggah pengguna laki-laki maupun pengguna
perempuan yang berkaitan dengan unggahan yang berupa private area.
Peneliti menemukan adanya jenis pesan yang sama antara pengguna laki-laki
dan perempuan, namun ada juga jenis pesan yang berbeda yang diunggah
oleh dua pengguna tersebut. Tidak hanya itu saja, terdapat tujuan yang
berbeda antara pengguna laki-laki dan perempuan dalam mengunggah pesan.
Salah satu jenis pesan yang sering diunggah oleh pengguna laki-laki
maupun perempuan yang berupa private area adalah tentang teman dan
personal relationship. Dari kelima pengguna laki-laki, hanya terdapat satu
topik yang diunggah tentang temannya yaitu mengunggah tentang
kebersamaan dengan teman mereka. Hal ini bertujuan untuk mengabadikan
moment dan menghargai kebersamaan. Sedangkan pada pengguna perempuan
terdapat dua topik yang diunggah yaitu mengenai kebersamaan dengan teman
dan konflik dengan teman. Berbeda dengan pengguna laki-laki yang
cenderung lebih senang mengunggah tentang kebersamaan dengan temannya,
terdapat pengguna perempuan yang sering membuat pesan yang mengandung
konflik dalam mengunggah moments di media sosial Instagram. Konflik yang
9
dimunculkan oleh pengguna perempuan dengan cara meluapkan emosi dalam
bentuk sindiran yang ditujukan kepada temannya di media sosial Instagram.
Tidak hanya mengunggah tentang teman saja, peneliti juga menemukan
pengguna laki-laki dan pengguna perempuan yang mengunggah kebersamaan
dengan pacar. Baik pengguna laki-laki maupun pengguna perempuan dalam
mengunggah mengenai pacar bertujuan untuk berbagi kebahagiaan.
Dalam mengunggah moments dengan teman atau personal
relationship terdapat persamaan dan perbedaan antara pengguna laki-laki dan
perempuan. Persamaannya adalah baik pengguna laki-laki maupun pengguna
perempuan sama-sama sering mengunggah kebersamaan yang dilakukan
dengan teman-temannya. Tetapi dalam hal ini terdapat perbedaan antara
pengguna laki-laki dan perempuan di media sosial Instagram. Perbedaan
tersebut terletak pada konflik yang lebih sering diciptakan oleh pengguna
perempuan, sedangkan pengguna laki-laki terlihat sangat menjaga hubungan
mereka di media sosial Instagram.
Hal ini tentu berbeda dengan konsep yang diutarakan oleh Tannen
dalam Griffin (2009: 430) yang mengatakan bahwa perempuan cenderung
menghindari konflik dibandingkan laki-laki yang cenderung menciptakan
konflik. Sehingga terlihat bahwa laki-laki lebih berpikir rasional dan menjaga
human connection, sedangkan perempuan lebih emosional di media sosial
Instagram.
Media sosial merupakan salah satu media yang berkaitan erat dengan
publik karena merupakan milik publik dan masuk ke dalam ranah publik.
Charles dalam Elvinaro (2007: 96) mengatakan bahwa publik adalah pesan-
pesan komunikasi massa yang pada umumnya tidak ditujukan kepada
perseorangan secara eksklusif, melainkan bersifat terbuka, umum, dan publik.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pesan yang masuk ke dalam public area
adalah pesan yang bersifat umum dan terbuka.
Peneliti menemukan lima jenis pesan yang masuk ke dalam kategori
public area yang diunggah oleh pengguna laki-laki maupun perempuan di
media sosial Instagram yaitu tentang pekerjaan, tempat populer, lagu,
10
makanan minuman, dan informasi publik. Meski pengguna seringkali
mengunggah tentang jenis pesan yang sama, namun masing-masing pengguna
memiliki tujuan yang berbeda-beda.
Dalam mengunggah tentang aktivitas pekerjaan, baik pengguna laki-
laki maupun pengguna perempuan sama-sama mengunggah kegiatan yang
dilakukan. Namun terdapat perbedaan antara pengguna laki-laki dan
perempuan yaitu tujuan mereka dalam mengunggah aktivitas. Pengguna laki-
laki mengunggah kegiatan yang dilakukan sebagai bentuk promosi dari
pekerjaannya, sementara pengguna perempuan mengunggah pekerjaannya
cenderung untuk menunjukkan eksistensi.
Tidak hanya mengunggah tentang pekerjaan, baik pengguna laki-laki
maupun pengguna perempuan sama-sama sering mengunggah tentang tempat
yang sedang populer, namun perbedaannya terletak pada tujuan mereka
dalam mengunggah tempat tersebut. pengguna perempuan terlihat lebih
menonjolkan gaya hidupnya dibandingkan dengan pengguna laki-laki yang
lebih sebagai berbagi informasi.
Berbicara mengenai jenis pesan, Tannen dalam Griffin (2009: 432)
mengatakan bahwa dalam berkomunikasi, laki-laki lebih senang
menggunakan gaya informatif dalam format reportase yang berkaitan dengan
topik-topik umum. Sedangkan perempuan lebih senang bercerita tentang hal-
hal yang bersifat pribadi jika dibandingkan dengan laki-laki.
Hal di atas menyerupai hasil temuan penelitian ini yang membuktikan
bahwa perempuan lebih senang membicarakan tentang pesan yang bersifat
private area dibandingkan dengan public area. Pengguna perempuan
cenderung lebih senang mengunggah tentang hal-hal yang bersifat pribadi
seperti kebersamaan dengan teman, pacar, hingga membicarakan konflik
dengan menuliskan kalimat-kalimat yang berupa sindiran. Sebaliknya, laki-
laki lebih senang membicarakan pesan yang bersifat public area
dibandingkan dengan private area. Meskipun ada beberapa laki-laki yang
membicarakan tentang private area, namun perempuan cenderung lebih
banyak daripada laki-laki.
11
C. Cara Pengguna Memproduksi Pesan di Media Sosial Instagram
Di media sosial Instagram, komunikasi terjadi secara dua arah antara
para pengguna pada saat mengunggah moment. Seorang pengguna dapat
berperan sebagai komunikator dan sekaligus menjadi komunikan. Sebagai
komunikator, pengguna berperan untuk menyampaikan pesan kepada
komunikan. O’Keefe dalam Little John (2009: 188) menjelaskan tentang tiga
logika penyusunan pesan oleh komunikator sesuai dengan cara-cara yang
dipilih untuk menyampaikan pesan kepada komunikan, yaitu menyampaikan
pesan yang bersifat ekspresif, konvensional, dan retoris.
Pesan yang ekspresif adalah perasaan yang disampaikan secara lugas
dari dalam hati dan perasaan komunikator yang bersifat terbuka, meledak-
ledak, dan tidak ada makna tersirat di dalamnya. Pesan-pesan yang
disampaikan secara ekspresif ini merupakan pesan yang diluapkan seseorang,
bukan pesan yang memikirkan kepentingan orang banyak. (Miller, 2005: 111)
Pesan ekspresif dalam penelitian ini yaitu pesan yang menggunakan simbol.
Simbol menurut Mulyana (2014: 92) adalah sesuatu yang digunakan untuk
menunjuk sesuatu yang lain, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang.
Simbol meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek yang
maknanya disepakati bersama. Bentuk ekspresif dalam penyusunan pesan
pada sebuah teks dapat dilakukan dengan menggunakan simbol seperti
emoticion, sticker, serta penggunaan tanda baca juga dapat mewakili ekspresi.
Pada penelitian ini terdapat lima pesan ekspresif yang menggunakan
simbol, yaitu menambahkan tanda baca seru yang berlebihan, huruf kapital
yang berlebihan, emoticion, sticker, dan hashtag. Namun peneliti hanya
menemukan tiga pesan ekspresif yang menggunakan simbol pada pengguna
laki-laki yaitu dengan menambahkan emoticion, sticker, dan hashtag. Dapat
dikatakan bahwa pengguna perempuan lebih dominan dalam menggunakan
simbol-simbol tertentu dalam memproduksi pesan ekspresif.
Logika pesan yang kedua yaitu logika pesan konvensional. Menurut
O’Keffe dalam Little John (2009: 189) pesan konvensional adalah pesan yang
memandang komunikasi sebagai permainan yang dimainkan dengan
12
mengikuti aturan. Komunikasi disini adalah sebuah cara pengungkapan diri
yang dilakukan sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku termasuk hak
dan kewajiban orang-orang yang terlibat. Pesan yang disampaikan adalah
pesan yang sopan, pantas, dan berdasarkan aturan-atura yang diketahui setiap
orang.
Pesan konvensional dalam penelitian ini berupa penulisan sesuai
dengan ejaan yang disempurnakan (EYD), penggunaan tanda baca sesuai
aturan, penggunaan quotes atau kutipan, dan mengunggah pesan yang
mengandung kebaikan. Dalam penulisan sesuai dengan ejaan yang
disempurnakan (EYD), peneliti menemukan bahwa pengguna laki-laki lebih
sering menggunakan penulisan yang sesuai dengan EYD daripada pengguna
perempuan. Penulisan yang benar dan sesuai tersebut dapat dilihat dari
penggunaan huruf kapital dan tanda baca yang sesuai dengan aturan.
Pengguna perempuan mengungkapkan jarang sekali menulis caption sesuai
dengan EYD karena tidak ingin terlihat kaku dan ingin terlihat lebih santai.
Yang terakhir yaitu logika pesan retoris. Pesan retoris menurut Miller
(2005: 111) adalah logika penyusunan pesan yang memandang komunikasi
sebagai kreasi untuk mengubah aturan dan norma melalui negosiasi. Pesan ini
disebut retoris karenaa komunikator dalam menyampaikan pesan dengan
menggunakan cara-cara persuasif agar pesan yang disampaikan disetujui oleh
komunikan. Pada penelitian ini, dari kesepuluh pengguna laki-laki maupun
perempuan, peneliti hanya menemukan satu pengguna perempuan yang
mengunggah pesan secara retoris. Sementara, pada pengguna laki-laki, tidak
ditemukan pengguna yang mengunggah pesan secara retoris.
Dalam hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pengguna
perempuan memiliki tiga bentuk penyampaian pesan yaitu penyusunan pesan
secara ekspresif, penyusunan pesan secara konevensional, dan penyusunan
pesan secara retoris. Hal ini sedikit berbeda dengan pengguna laki-laki yang
hanya memiliki dua bentuk penyampaian pesan yaitu penyusunan pesan
secara ekspresif dan penyusunan pesan secara konvensional.
13
Perbedaan tesebut terlihat bahwa pengguna Instagram laki-laki lebih
cenderung menyampaikan pesan secara konvensional meskipun terdapat
beberapa pengguna laki-laki yang menyampaikan pesan secara ekspresif.
Penyusunan pesan secara konvensional terlihat dari hasil unggahan moment
yang diunggah pengguna laki-laki yang menggunakan kata-kata yang apa
adanya dan lebih bersifat lelucon.
Hal ini sama dengan yang disampaikan Tannen dalam Griffin (2009:
433), yang mengatakan bahwa laki-laki lebih cenderung banyak bercerita
dengan menggunakan lelucon. Laki-laki menggunakan lelucon sebagai suatu
cara maskulin dalam menunjukkan status.
Sedangkan pengguna perempuan lebih senang menyusun pesan
dengan cara ekspresif dan retoris di media sosial Instagram. Hal ini terlihat
dari hasil unggahan pengguna perempuan yang lebih senang menggunakan
tanda seru secara berlebihan, menambahkan simbol berupa emoticion atau
sticker, serta menggunakan pesan-pesan tertentu untuk mempengaruhi
pengguna lain agar setuju dengan pendapat yang disampaikannya.
Kesimpulan
Dalam penggunaan media sosial Instagram, terdapat perbedaan antara
pengguna laki-laki dan pengguna perempuan dalam mengunggah moments.
Berkaitan dengan jenis pesan yang disampaikan antara pengguna laki-laki dan
pengguna perempuan, pengguna perempuan cenderung lebih senang mengunggah
hal-hal yang bersifat pribadi atau private area. Sedangkan pengguna laki-laki
lebih sering mengunggah hal-hal yang bersifat umum atau public area. Terdapat
temuan yang menarik dalam penelitian ini, bahwa pengguna perempuan lebih
senang untuk membicarakan konflik di media sosial Instagram dibandingkan
dengan pengguna laki-laki yang lebih cenderung untuk menghindari konflik.
Kemudian pengguna perempuan lebih senang menampilkan gaya hidup di media
sosial Instagram, sementara pengguna laki-laki lebih senang menggunakan
Instagram untuk berbagi informasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa laki-laki
14
lebih senang menjaga hubungan dibandingkan perempuan yang lebih senang
memunculkan konflik.
Dari beberapa hasil temuan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat
sedikit perubahan konsep genderlect style dari Deborah Tannen dalam new media
pada penelitian di media sosial Instagram ini. Perubahan tersebut terletak pada
perempuan yang cenderung bersifat report talk dan laki-laki lebih cenderung
bersifat rapport talk. Hal ini dapat dilihat dari beberapa temuan mengenai jenis
pesan yang disampaikan dan cara memproduksi pesan. Dalam jenis pesan yang
disampaikan, pengguna perempuan cenderung lebih senang mengunggah tentang
konflik dibandingkan dengan laki-laki yang lebih senang menjaga hubungan.
Tidak hanya itu, dalam cara memproduksi pesan, pengguna perempuan lebih
bersifat ekspresif dibandingkan laki-laki yang sering mengunggah pesan secara
konvensional.
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis memiliki beberapa saran
sebagai berikut: Pada penelitian ini, ditemukan bahwa pengguna perempuan lebih
bersifat terbuka tentang kehidupan pribadinya di media sosial. Sehingga dapat
diharapkan sekali agar pengguna perempuan mengerti batasan-batasan dan dapat
lebih bijak dalam mengunggah sesuatu di media sosial Instagram. Pada penelitian
genderlect style ini, terdapat banyak keterbatasan dalam pemilihan sampel dan
informan karena hanya terbatas pada lingkaran teman Instagram peneliti, sehingga
hasil penelitian ini belum tentu akan sama hasilnya jika diteliti dengan topik dan
media yang sama. Penelitian ini hanya berfokus pada genderlect style di dalam
media sosial Instagram, sehingga memungkinkan hasil yang berbeda jika diteliti
menggunakan media sosial lain seperti facebook, twitter, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, diharapkan peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian
dengan menggunakan media sosial lain agar mendapatkan lebih banyak hasil
temuan pada konsep genderlect style dalam new media.
Daftar Pustaka
15
Budiargo, Dian. (2015). Berkomunikasi Ala Net Geneation. Jakarta: PT. Gramedia
Elvinaro, Ardianto, Lukiati Komala dan Siti Karlinah. (2007). Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatam Media
Griffin, Em. (2009). A First Look at Communication Theory. New York: Mc. Graw-Hill
Herdiansyah, Haris. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika
Littlejohn, Stephen W dan Karen A Foss. (2009). Teori Komunikasi, terj. Mohammad Yusuf Hamdan. Jakarta: Salemba Humanika
Mansour, Fakih. (2013). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Miller, Katherine. (2005). Communication Theories, Perspective, Processes, and Contexts: Second Edition. USA: Mc-Graw Hills Companies.
Mulyana, Deddy. (2014). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Nasrullah, Rulli. (2014). Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia). Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
16