cuplikan sriwijaya

16
enapa mayoritas orang Palembang di Sumatra Selatan mirip China, walau ia beragama Islam? Itulah sebagian ‗sisa hidup‘ peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang pernah berjaya di kawasan Asia. Kerajinan tenun songket khas Palembang, pakaian adat Palembang yang mirip China, dan tari-tarian tradisional, termasuk peninggalan Sriwijaya yang hingga kini masih dapat kita nikmati. Apakah empek- empek juga termasuk jenis kudapan yang sudah dikenal pada masa Sriwijaya berjaya? Mungkin saja begitu. Pada abad ke 7 hingga 13 M, Sriwijaya mengalami zaman keemasan. Sebagai kerajaan maritim, namanya dikenal hingga ke mancanegara. Kekuatan maritim dapat dilacak dari peninggalan kemudi kapal Sriwijaya yang ditemukan di Sungai Buah, Palembang, pada 1960-an. Kemudi yang terbuat dari kayu onglen hitam itu panjangnya mencapai delapan meter. Tak heran kalau armada kapal milik Sriwijaya mampu berlayar ke China dengan membawa komoditas perkebunan, seperti cengkeh, pala, lada, timah, rempah-rempah, emas, dan perak. Barang-barang itu dibeli atau ditukar dengan porselin, kain katun, atau kain sutra. Pada masa kegemilangannya, banyak pendatang dari mancanegara singgah ke Sriwijaya sekadar untuk tetirah atau berniaga. Beragam jenis kapal bertambat di pelabuhan Sungai Musi. Mereka juga bermukim di kerajaan yang dulunya menjadi pusat pendidikan ajaran Budha dan ilmu pengetahuan. Beberapa bangsawan dan orang kebanyakan menikah dengan pendatang dari China. Tak heran kini mayoritas orang Palembang kebanyakan berkulit kuning langsat dan bermata sipit. Apabila para bangsawan Sriwijaya tak dibantai habis pasukan Majapahit, kemungkinan mereka adalah keturunannya. Nasib ribuan pendeta Budha juga tak jelas hingga kini. Apakah mereka dihabisi pasukan Majapahit atau menyingkir ke Tanah Jawa, Thailand, China, dan India? Atau mereka harus berganti agama kala Islam masuk ke bekas kerajaan Sriwijaya? Tapi yang jelas, sebagian dari mereka adalah keturunan para pedagang China, dan juga para bajak laut asal China yang menguasai jalur sungai dan laut selama 200 tahun lamanya, usai Sriwijaya hancur lebur diserbu Majapahit. Keganasan para perompak itu berakhir setelah Panglima Perang Chengho yang diutus penguasa China datang dan memerangi mereka. Sebagian perompak yang selamat dari serbuan Chengho, lalu alih usaha di daratan, beranak pinak, dan membentuk koloni tersendiri. Mereka memutus tradisi dan nilai-nilai yang berkembang di tanah leluhur bangsa China, dan sebaliknya menanamkan kehidupan khas perompak yang berangasan. Sebuah tugu prasasti di Kampung Kapiten, Kelurahan Tujuh Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, menunjukkan pemujaan kepada Dewa Samudra, sebagai peringatan adanya komunitas China yang menetap di Palembang. Adakah kaitan antara mereka dan ‗Preman Palembang‘ yang kini tersohor itu? Sepertinya perlu ada penelitian yang lebih mendalam. Kalau di Palembang ada Kampung Jawa, bisa jadi mereka adalah keturunan pasukan Majapahit yang menetap disana.

Upload: luqmanraharjo

Post on 05-Jul-2015

132 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

Sekilas tentang Sriwijaya

TRANSCRIPT

Page 1: Cuplikan Sriwijaya

enapa mayoritas orang

Palembang di Sumatra

Selatan mirip China, walau

ia beragama Islam? Itulah sebagian

‗sisa hidup‘ peninggalan Kerajaan

Sriwijaya yang pernah berjaya di

kawasan Asia. Kerajinan tenun

songket khas Palembang, pakaian

adat Palembang yang mirip

China, dan tari-tarian tradisional,

termasuk peninggalan Sriwijaya

yang hingga kini masih dapat

kita nikmati. Apakah empek-

empek juga termasuk jenis kudapan yang

sudah dikenal pada masa Sriwijaya berjaya? Mungkin saja begitu.

Pada abad ke 7 hingga 13 M, Sriwijaya mengalami zaman keemasan. Sebagai kerajaan maritim,

namanya dikenal hingga ke mancanegara. Kekuatan maritim dapat dilacak dari peninggalan

kemudi kapal Sriwijaya yang ditemukan di Sungai Buah, Palembang, pada 1960-an. Kemudi

yang terbuat dari kayu onglen hitam itu panjangnya mencapai delapan meter. Tak heran kalau

armada kapal milik Sriwijaya mampu berlayar ke China dengan membawa komoditas

perkebunan, seperti cengkeh, pala, lada, timah, rempah-rempah, emas, dan perak. Barang-barang

itu dibeli atau ditukar dengan porselin, kain katun, atau kain sutra. Pada masa kegemilangannya,

banyak pendatang dari mancanegara singgah ke Sriwijaya sekadar untuk tetirah atau berniaga.

Beragam jenis kapal bertambat di pelabuhan Sungai Musi. Mereka juga bermukim di kerajaan

yang dulunya menjadi pusat pendidikan ajaran Budha dan ilmu pengetahuan. Beberapa

bangsawan dan orang kebanyakan menikah dengan pendatang dari China. Tak heran kini

mayoritas orang Palembang kebanyakan berkulit kuning langsat dan bermata sipit. Apabila para

bangsawan Sriwijaya tak dibantai habis pasukan Majapahit, kemungkinan mereka adalah

keturunannya. Nasib ribuan pendeta Budha juga tak jelas hingga kini. Apakah mereka dihabisi

pasukan Majapahit atau menyingkir ke Tanah Jawa, Thailand, China, dan India? Atau mereka

harus berganti agama kala Islam masuk ke bekas kerajaan Sriwijaya? Tapi yang jelas, sebagian

dari mereka adalah keturunan para pedagang China, dan juga para bajak laut asal China yang

menguasai jalur sungai dan laut selama 200 tahun lamanya, usai Sriwijaya hancur lebur diserbu

Majapahit. Keganasan para perompak itu berakhir setelah Panglima Perang Chengho yang diutus

penguasa China datang dan memerangi mereka.

Sebagian perompak yang selamat dari serbuan Chengho, lalu alih usaha di daratan, beranak

pinak, dan membentuk koloni tersendiri. Mereka memutus tradisi dan nilai-nilai yang

berkembang di tanah leluhur bangsa China, dan sebaliknya menanamkan kehidupan khas

perompak yang berangasan. Sebuah tugu prasasti di Kampung Kapiten, Kelurahan Tujuh Ulu,

Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, menunjukkan pemujaan kepada Dewa Samudra, sebagai

peringatan adanya komunitas China yang menetap di Palembang. Adakah kaitan antara mereka

dan ‗Preman Palembang‘ yang kini tersohor itu? Sepertinya perlu ada penelitian yang lebih

mendalam. Kalau di Palembang ada Kampung Jawa, bisa jadi mereka adalah keturunan pasukan

Majapahit yang menetap disana.

Page 2: Cuplikan Sriwijaya

Secuil peninggalan berbentuk benda mati seperti arca kini masih bisa Anda simak di Museum

Bala Putradewa, Palembang, Sumatra Selatan. Tercatat ada 2 museum lagi di Palembang, yaitu

Museum Situs Taman Purbakala Sriwijaya (TPKS) dan Museum Sultan Badaruddin II, namun

semuanya tak terawat dengan baik. Perlu ada upaya pemerintah untuk menyatukan ketiganya,

dan menamai museum itu ‗Museum Sriwijaya‘.

Sejak penjajahan Belanda hingga kini, sisa-sisa kejayaan Sriwijaya berupa barang antik telah

pindah tangan ke luar negeri. Palembang, Jambi, dan Lampung adalah padang perburuan

bagi kolektor dan pedagang barang antik. Kini tak lagi tersisa.

Dimanakah pusat Kerajaan Sriwijaya?

Itulah pertanyaan yang hingga kini masih menggantung, karena belum juga ditemukan

peninggalan istana atau kraton. Kemungkinan besar pada saat penyerbuan pasukan Majapahit,

istana tersebut dibumi hanguskan. Sejumlah manuskrip dan prasasti tentang kerajaan Sriwijaya

juga banyak yang telah rusak, hilang, atau masih terkubur dalam tanah. Ketidak lengkapan

temuan arkeologis tersebut menyebabkan para peneliti kesulitan menyusun sejarah kemunculan

dan pertumbuhan Kerajaan Sriwijaya secara lengkap dan runtut.

Sejarah Sriwijaya justru banyak disusun berdasarkan berita-berita dari pengelana asing, seperti

dari China, India atau Arab. Setidaknya ada 18 situs dari masa Sriwijaya di Palembang. Empat

situs diantaranya memiliki penanggalan sekitar abad ke-7 sampai ke-9, yaitu situs Candi

Angsoka, prasasti Kedukan Bukit, situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa. Beberapa

prasasti juga telah ditemukan, yang isinya menceritakan keberadaan Sriwijaya dan kutukan bagi

para pembangkang. Beberapa peninggalan Sriwijaya juga ditemukan di Jambi, Lampung, Riau,

dan Thailand.

Kebesaran Sriwijaya juga terlacak dari peninggalan di India dan Jawa. Prasasti Dewapaladewa

dari Nalanda, India, abad ke-9 Masehi menyebutkan, Raja Balaputradewa dari Swarnadipa

(Sriwijaya) membuat sebuah biara. Prasasti Rajaraja I tahun 1046 mengisahkan pula, Raja

Kataha dan Sriwiyasa Marajayayottunggawarman dari Sriwijaya menghibahkan satu wilayah

desa pembangunan biara Cudamaniwarna di kota Nagipattana. India. Manuskrip sejarah, seperti

Kitab Sejarah Dinasti Song dan Dinasti Ming, berada di China. Raja Sriwijaya juga mendukung

penuh pembangunan Candi Borobudur di Pulau Jawa yang terbuat dari batu gunung. Sedangkan

candi-candi peninggalan Sriwijaya di Sumatra semuanya terbuat dari batu bata yang cepat aus

dimakan zaman. Kenapa? Karena lokasinya jauh dari gunung.

Kabar terakhir datang dari Malaysia. Raimy Che-Ross, peneliti Malaysia, pada tahun lalu

menemukan sebuah kota yang hilang di pedalaman Johor. Rahasia itu terkuak berawal dari

sebuah naskah kuno milik Stamford Raffles. Ia memperkirakan reruntuhan puing itu berasal dari

kota Gelanggi yang pada 1025 M diserbu pasukan Chola dari India Selatan pimpinan Raja

Rajendra Cholavarman. Kota itu dulunya terkait erat dengan Kerajaan Sriwijaya. Pada 1612, Tun

Seri Lanang, bendahara Royal Court di Johor, menyebut kota Gelanggi yang hilang sebagai

Perbendaharaan Permata (Treasury of Jewels). Sebagai catatan, pasukan Cola bergabung dengan

Kerajaan Majapahit untuk menyerbu Sriwijaya pada 1377 hingga ludes. Palembang pun lalu jadi

kota mati, dan tak lama kemudian dikuasai para perompak dari China. Para bajak laut itu

Page 3: Cuplikan Sriwijaya

digempur pasukan China pimpinan Chengho, armada Majapahit dengan dukungan Raja

Aditiawarman dari Kerajaan Melayu.

Sriwijaya telah hilang ditelan zaman

Menurut budayawan dan ketua Dewan Kesenian Sumatra Selatan (DKSS) Djohan Hanifah

kepada Kompas, kebesaran Sriwijaya benar-benar terputus oleh kekuasaan Kerajaan Palembang

Darussalam dan Belanda, yang membangun budaya jauh berbeda. ―Beberapa candi dan

peninggalan Sriwijaya sempat dihancurkan dan dikubur dalam tanah dengan alasan teologis.

Estetika, ilmu pengetahuan, dan seni yang berkembang pada masa Sriwijaya tak lagi tumbuh

pada masa berikutnya sampai sekarang,‖ ujarnya.

Kebesaran Sriwijaya memang benar-benar telah hilang dimakan nafsu para penjarah,

perselingkuhan politik kekuasaan, penyebaran agama baru, dan lalu musnah ditelan zaman. Kota

Palembang yang kini kian metropolis dan hingar bingar membuat peninggalan masa lalu jadi

bertambah kesepian. Pertanyaan penting: Masih adakah spirit untuk membangkitkan kembali

kebesaran masa lalu di hati sanubari masyarakat Sumatra Selatan, khususnya penduduk

Palembang? Walahualam.

=============================================== Runtutan Waktu (Timeline)

_________________

400

Hindu dan Budha telah berkembang di Indonesia dilihat dari sejarah kerajaan-kerajaan dan

peninggalan-peninggalan pada masa itu antara lain candi, patung dewa, seni ukir, barang-barang

logam.

_________________

650 Kerajaan Sriwijaya mampu mengendalikan Selat Malaka selama 640 tahun, sejak 650 hingga

ditaklukkan Singosari pada 1290.

——

Raimy Che-Ross, peneliti Malaysia, pada 2004 menemukan sebuah kota yang hilang di

pedalaman Johor (bertarikh 650 M). Berawal dari sebuah naskah kuno milik Stamford Raffles. Ia

memperkirakan reruntuhan puing itu berasal dari kota Gelanggi yang pada 1025 diserbu pasukan

Chola dari India Selatan pimpinan Raja Rajendra Cholavarman.

_________________

671

I Tsing, seorang pendeta Budha dari Cina, berangkat dari Kanton ke India. Ia singgah di

Sriwijaya untuk belajar tatabahasa Sansekerta, kemudian ia singgah di Melayu selama dua bulan,

dan baru melanjutkan perjalanannya ke India.

_________________

682 Dapunta Hyang Sri Jayanasa bersama balatentaranya mendirikan wanua (tempat tinggal)

Sriwijaya.

__________________

684 Pembangunan Taman Sriksetra oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa.

Page 4: Cuplikan Sriwijaya

__________________

685

I-Tsing kembali ke Sriwijaya, disini ia tinggal selama empat tahun untuk menterjemahkan kitab

suci Budha dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina.

_________________

692

Salah satu kerajaan Hindu di Indonesia yaitu Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi besar

dan pusat perdagangan yang dikunjungi pedagang Arab, Parsi, Cina. Yang diperdagangkan

antara lain tekstil, kapur barus, mutiara, rempah-rempah, emas, perak. Sebagian dari

Semenanjung Malaya, Selat Malaka, Sumatera Utara, Sunda, Jambi termasuk kekuasaaan

Sriwijaya. Pada masa ini perkembangan kerajaan Sriwijaya berkaitan dengan masa ekspansi

Islam di Indonesia dalam periode permulaan. Sriwijaya dikenal juga sebagai kerajaan maritim.

_________________

800

Candi Borobudur dibangun kerabat dan rakyat wangsa/dinasti Cailendra (750-842) yang

berkuasa pada saat itu. Borobudur dibangun 300 tahun sebelum Angkor Wat, Kamboja.

Borobudur tersusun dari batu lahar seluas 55 ribu m2 dan berada di atas bukit. Candi ini sempat

dipugar atas bantuan UNESCO, pada Agustus 1983 ditetapkan sebagai tempat bersejarah dunia.

—-

Prasasti Dewapaladewa dari Nalanda, India, abad ke-9 Masehi menyebutkan, Raja

Balaputradewa dari Swarnadipa (Sriwijaya) membuat sebuah biara.

_________________

1100 Islam diperkirakan mulai masuk ke Indonesia pertama kali melalui Aceh pada abad 11-12 M

(Samudra Pasai).

_________________

1025 Pasukan Chola dari India pimpinan Raja Rajendra Cholavarman menggempur kota Gelanggi

(kini Johor pedalaman). Sebelumnya menggempur kota Gangga Negara (kini Beruas di Perak).

__________________

1046 Raja Kataha dan Sriwiyasa Marajayayottunggawarman dari Sriwijaya menghibahkan satu

wilayah desa pembangunan biara Cudamaniwarna di kota Nagipattana, India.

_________________

1270 – 1297 Malikussaleh, raja Kerajaan Islam Samudera Pasai yang pertama kali membawa masuk ajaran

Islam ke Asia Tenggara. Di samping makamnya yang sederhana, terdapat juga makam putranya,

Malikuddhahir (1297-1326 M).

_________________

1290

Kerajaan Singosari menaklukkan Sriwijaya.

_________________

1345 – 1346 Musafir Maroko, Ibn Battuta melewati Samudra Pasai dalam perjalanannya ke dan dari China.

Diketahui juga bahwa Samudra merupakan pelabuhan yang sangat penting, tempat kapal-kapal

Page 5: Cuplikan Sriwijaya

dagang dari India dan Cina. Ibn Battuta mendapati bahwa penguasa Samudra Pasai adalah

seorang pengikut Mahzab Syafi‘i salah satu ajaran dalam Islam.

_________________

1350 – 1389

Puncak kejayaan Majapahit dibawah pimpinan Raja Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada.

Majapahit menguasai seluruh kepulauan Indonesia bahkan Jazirah Malaka sesuai dengan

―Sumpah Palapa‖ Gajah Mada yang ingin Nusantara bersatu.

____________________

1377 Kerajaan Sriwijaya runtuh sebagai akibat pemisahan negara penghibah upeti dan penyerbuan

massal oleh Kerajaan Cola dari India Selatan dan Kerajaan Majapahit. Akhirnya, Sriwijaya

ditaklukkan armada bajak laut China. Palembang kemudian dikuasai secara berturut-turut oleh

para perompak dari China, Kesultanan Palembang Darussalam, dan pemerintah kolonial

Belanda.

_________________

?

Perompak asal China menguasai jalur sungai dan laut di Sumatra selama 200 tahun lamanya.

Keganasan para perompak itu berakhir setelah Panglima Perang Chengho yang diutus penguasa

China datang dan memerangi mereka.

_________________

1512 – 1515 Tome Pires, seorang ahli obat-obatan dari Lisbon menghabiskan waktunya di Malaka dan

membuat buku yang berjudul Suma Oriental. Menurut Pires pada masa itu sebagian besar raja-

raja Sumatra beragama Islam, mulai dari Aceh sebelah utara terus menyusur ke pesisir timur

hingga Palembang para penguasanya beragama Islam.

_________________

1600 Kerajaan Palembang Darussalam tumbuh sejak abad ke-16, namun tidak meneruskan kebesaran

Sriwijaya.

_________________

1612 Tun Seri Lanang, bendahara Royal Court di Johor, menyebut kota Gelanggi yang hilang sebagai

Perbendaharaan Permata (Treasury of Jewels). Kota ini konon masih ada kaitan erat dengan

Kerajaan Sriwijaya.

_________________

1682

Pasukan VOC dipimpin Francois Tack dan Isaac de Saint Martin berlayar menuju Banten guna

menguasai perdagangan di Banten. VOC merebut dan memonopoli perdagangan lada di Banten.

Orang-orang Eropa yang merupakan saingan VOC diusir. Orang-orang Inggris mengundurkan

diri ke Bengkulu dan Sumatera Selatan satu-satunya pos mereka yang masih ada di Indonesia.

_______________

?

Sultan Mahmud Badaruddin I

__________________

? Sultan Mahmud Badaruddin II

Page 6: Cuplikan Sriwijaya

__________________

1700 – 1900

Kekuasaan Belanda merasuki daerah Palembang sejak awal abad ke-18 sampai dengan

pertengahan abad ke-20 M. Lebih bercorak Kristiani, dan menekankan perdagangan untuk

mengembangkan wilayah jajahan. Kondisi itu semakin menjauhkan kemegahan Sriwijaya.

__________________

1851 Kesultanan Palembang Darussalam runtuh.

__________________

1892

Desember – JK van der Meulen menemukan prasasti Kota Kapur di dekat Sungai Mendo,

Bangka. Prasasti di atas tanggul batu itu berisi kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada Raja

Sriwijaya.

__________________

1918 Nama Sriwijaya mulai dikenal sebagai kerajaan sejak G. Coedes menerbitkan artikel berjudul

‗Le Royaume de Crivijaya‘.

__________________

1920 17 November – Ditemukan prasasti Talangtuo di Desa Gandus, Palembang. Berisi tulisan

huruf palawa berbahasa Melayu Kuno bertarikh 684 H, menyebutkan tentang pembangunan

Taman Sriksetra oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa.

30 Desember – Ditemukan prasasti Kedukan Bukit di tepi Sungai Kedukan Bukit, Palembang.

Prasasti bertarikh 682 M yang dipahat batu kali itu menceritakan perjalanan Dapunta Hyang

bersama balatentaranya untuk mendirikan wanua (tempat tinggal) Sriwijaya.

*disadur langsung dari:

http://osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-03/msg00922.html -Artikel lain-

The Rise of Sriwijaya Empire

Pada tahun 600 Masehi terdapat suku di pedalaman Sumatera Selatan yang di kenal dengan nama

suku Sakala Bhra (purba) yang berarti Titisan Dewa, suku ini mendiami daerah pegunungan dan

lembah bagian utara di sekitar gunung Seminung daerah perbatasan Sumatera Selatan dengan

Lampung.

Suku ini terpecah menjadi dua kelompok masyarakat, yang pertama yang mendiami kawasan

sekitar gunung Seminung dan turun ke lembah bagian utara sampai ke Lampung kemudian

sebagian lagi turun ke daerah bawah dengan mengikuti aliran sungai di daerah huluan sumatera

selatan yang kemudian di kenal dengan suku SAMANDA DI WAY yang berarti orang yang

mengikuti aliran sungai dan berakhir di Minanga ( Purba ), suku ini yang kelak kemudian asal

mula suku Daya, Komering dan Ranau. (Van Royen -1927)

Page 7: Cuplikan Sriwijaya

Minanga karena kedudukannya di tepi Pantai ditinjau dari berbagai segi memikul beban sebagai

ibukota negara. Adapun bahasa yang mereka pergunakan adalah Bahasa Malayu Kuno atau Proto

Malayu yang merupakan cikal bakal bahasa komering, di daerah uluan sumatera selatan.

Kerajaan tersebut di pimpin oleh seorang Raja yang hebat dan sakti, yang bernama JAYA

NAGA kemudian oleh masyarakat pedalaman di beri Gelar DA PUNTA HYANG yang berarti

Maha Raja yang Keramat, sekarang pun di daerah uluan sumatera selatan masih dapat kita kenal

gelar Pu-Yang untuk orang yang kita anggap sesepuh maupun orang yang mempunyai kesaktian

tinggi.

Kerajaan ini kemudian di kenal dengan negeri kedatuan SRIWIJAYA disebut juga dalam kronik

(tulisan) di negeri China yaitu kerajaan Shi Li Fo Shih. Kerajaan ini setiap tahunnya mengirim

utusan ke negeri China tercatat sejak tahun 670 s/d 742 yang pada saat itu di negeri China sedang

berkuasa Dinasti Tang ( 618–907 ). Disebut pada dalam satu tulisan di negeri China bahwa ada

kerajaan dari Laut China Selatan yang selalu mengirim utusannya ke Tiongkok. Kerajaan itu

bernama Shi-Li-Fo-Shih yang di terjemahkan menjadi Sriwijaya. Pada tahun 671 Masehi seorang

pendeta China yang bernama It-Tsing mengunjungi kerajaan ini dalam perjalanannya menuju

India untuk memperdalam ajaran Budha. It-Tsing menetap 6 bulan di Minanga ibukota kedatuan

Sriwijaya untuk memperdalam bahasa Sansekerta, dengan bantuan Dapunta Hyang Sri Jaya

Naga, It-Tsing Berangkat menuju tanah Melayu (Jambi) dan menetap selama 2 bulan sebelum

melanjutkan perjalanan melalui Keddah terus keutara menuju India.

Dapunta Hyang Sri JayaNaga sangat disayangi dan disanjung oleh rakyatnya karena selain

mempunyai kesaktian tinggi juga merupakan pemimpin yang arif, bijaksana dan adil terhadap

rakyatnya. Jaya Naga juga seorang penganut Budha yang taat. Dengan Kesaktiannya ia dapat

mengetahui dan membaca gerak gerik alam, langit, matahari, bulan, bintang, hawa, hujan, angin,

batu, tanah dan hewan, sehingga penduduk kedatuan ini menganggap Jaya Naga merupakan

sosok titisan Dewa diatas Brahmana yang merupakan perantara manusia dengan sang Ghaib

yang diturunkan ke bumi untuk menjaga dan melindungi pulau surga (Swarna Dwipa). Setiap

kata yang diucapkannya merupakan petunjuk, setiap petuah dan nasehat menjadi adat dan

istiadat, kebaikannya merupakan anugerah dan kebahagian bagi penduduk dan kemarahan beliau

merupakan malapetaka.

Setiap daerah taklukkannya Jaya Naga selalu menunjuk pemimpin setempat yang di ambil dari

Jurai Tua (sesepuh masyarakat) untuk menjadi Datu (Ratu – pemimpin) di daerahnya sendiri

tetapi tetap terikat sebagai bagian dari daerah kedatuan Sriwijaya. Jaya Naga juga mampu

menyatukan beberapa rumpun suku yang ada di daerah pedalaman atau uluan sumatera selatan

yang awalnya semua penduduk berasal dari tiga rumpun suku yang mendiami tiga gunung yang

ada yaitu Gunung Seminung, Gunung Dempo dan Bukit Kaba. Sistem pemerintahan inilah yang

kelak menjadi asal mula sistem pemerintahan Marga yang ada di daerah uluan Sumatera Selatan.

Kedatuan Sriwijaya merupakan kerajaan yang dikenal makmur dengan hasil alamnya berupa

kayu kamper, kayu gaharu, pinang, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang

membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Selain itu juga kerajaan Sriwijaya merupakan

pusat kebudayaan agama Budha Mahayana yang mana daerah ini merupakan perlintasan

perjalanan para pendeta budha yang ingin memperdalam pertapaannya dari India ke China

Page 8: Cuplikan Sriwijaya

maupun sebaliknya, dan dalam perkembangannya kerajaan Sriwijaya merupakan pusat Studi

agama Budha di kawasan Asia tenggara terutama daerah semenanjung Selat Malaka dan Selat

Sunda terbukti dari catatan It-Tsing, kerajaan Sriwijaya mempunyai 1.000 pendeta Budha,

pendeta Budha yang cukup terkenal dari Kedatuan Sriwijaya ini bernama Sakyakirti.

Penduduk kerajaan ini sebagian merupakan petani dan sebagian lagi merupakan saudagar yang

melakukan perdagangan dengan India, Melayu dan China. Pedagang dari Tiongkok dagang ke

Sriwijaya dengan membawa keramik, porselein dan sutra untuk di tukarkan dengan emas,

permata dan komoditas lain dari negeri ini yang merupakan tempat dimana komoditas penting

pada jaman itu sampai dengan sekarang merupakan kekayaan alam pulau ini sehingga orang

pada masa itu menyebut pulau ini dengan Pulau Surga (Swarna Dwipa).

Kerajaan ini di aliri oleh sungai-sungai (kanal-kanal) kecil yang memasuki perkotaan karena

perahu merupakan sarana transportasi penting masyarakat kota tersebut sehingga kerajaan ini

terkenal dengan armada kapal–kapal yang kuat dan rapi yang kemudian dapat menguasai seluruh

kawasan pelayaran di selat Malaka dan selat Sunda.

Pada saat itu pelabuhan Palembang yang merupakan pintu masuk ke perairan sungai-sungai yang

ada di uluan Sumatera selatan banyak di kuasai perompak-perompak. Kondisi seperti ini

membuat kapal kapal yang berlayar di pantai timur Pulau Sumatera berlabuh di pelabuhan

Melayu (Jambi) kemudian melanjutkan pelayaran tanpa memasuki pelabuhan Palembang.

Kisah perkembangan kerajaan Sriwijaya ini dimulai dari apa yang diutarakan dalam Prasasti

Kedukan Bukit. Pada Hari kesebelas bulan terang bulan Wai Saka tahun 605, Dapunta Hyang

Jayanaga berperahu kembali ke Minanga selepas melakukan pertapaan di gunung Seminung.

Dalam pertapaannya Jaya Naga meminta restu dan memohon petunjuk dan kekuatan dari sang

Ghaib di Gunung Seminung untuk menaklukkan tempat-tempat yang strategis agar dapat

menguasai jalur pelayaran di Laut Cina Selatan di karenakan pada waktu itu Minanga (ibukota

kerajaan) terletak dalam suatu teluk dimana sungai komering bermuara kurang strategis di

pandang dari sudut perdagangan.

Untuk Mewujudkan cita – citanya tersebut Dapunta Hyang Sri Jaya Naga melakukan konsolidasi

dengan daerah belakang yang satu rumpun yaitu rumpun Sakala Bhra (Purba). Kemudian

Dapunta Hyang Sri Jaya Naga menaklukan daerah yang juga satu Rumpun tersebut yang terletak

di sekitar bukit Pesagih di Hujung Langit Lampung Barat dan kemudian semua penduduk di ikat

oleh Sumpah setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk menjadi bagian dari kerajaan

Sriwijaya. (Prasasti Hujung Langit – Lampung Barat) Sepulang dari penaklukan daerah belakang

makin kuatlah pasukan kerajaan Sriwijaya yang di dukung oleh pasukan tambahan dari satu

rumpun, pasukan atau laskar sriwijaya terkenal akan keberanian, dan kekuatannya.

Dapunta Hyang Sri Jaya Naga mulai melakukan ekspansi pertamanya yaitu dia harus

menaklukan Tanjung Palembang dan menunjuk Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) di daerah

Palembang sebagai titik temu. Palembang pada jaman itu merupakan kota di pinggir pantai di

mana bukit Sigiuntang merupakan tanjung Palembang yang menjorok ke laut. Tempat ini adalah

dataran tinggi yang merupakan mercusuar atau tempat pintu masuk ke tanjung Palembang yang

merupakan akses laut menuju ke sungai sungai yang ada di Sumatera Selatan.

Page 9: Cuplikan Sriwijaya

Pada peta pantai timur Sumatra purba di tepi pantai timur teluk purba terdapat 2 tanjung yang

menjorok jauh ke arah laut, kearah utara dengan Jambi di ujungnya, dan yang timur menjorok

kearah tenggara dengan Palembang berada diujungnya. Tanjung Palembang terbentuk oleh Bukit

Siguntang sedang di selatan bukit ini terdapat teluk yang menjorok dalam lagi di mana sungai

komering bermuara.

Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga membawa 20.000 ( Dua Puluh Ribu ) pasukannya

dengan 1.312 berjalan kaki melalui daratan atau hutan belantara dan sebagian lagi membawa

perahu mengikuti perairan. Selama dalam perjalanan terjadilah pertempuran–pertempuran kecil

yang tidak terlalu berarti yang merupakan perlawanan dari daerah-daerah yang di lintasi oleh

laskar Kerajaan Sriwijaya.

Pada tanggal 16 Juni 683 Masehi atau sekitar tujuh hari perjalanan sampailah rombongan

pasukan yang di pimpin Dapunta Hyang Sri Jaya Naga di Muka Uphang. Perjalanan pasukan

Sriwijaya mendapat kemenangan besar sehingga memberikan kepuasan bagi Sang Raja Dapunta

Hyang Sri Jaya Naga, kemudian Sang Raja memerintahkan untuk membuat bangunan atau

rumah (barak) untuk tempat para laskar Sriwijaya yang berjumlah 2 laksa laskar Sriwijaya, untuk

mengabadikan kemenangan tersebut di pahatlah Prasati Kedukan Bukit.

Setelah Mengadakan konsolidasi di daerah Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) dan kemudian

menguasai pelabuhan palembang, maka pada hari kedua bulan terang bulan Caitra tahun 606

Saka (23 Maret 684 M) Dapunta Hyang Sri Jaya Naga sangat puas akan kesetiaan rakyat

setempat. Oleh karena itu di bangunlah Taman Sriksetra dengan pesan agar semua hasil yang di

dapat di dalam taman ini seperti Nyiur, Pinang, Enau, Rumbia dan semua yang dapat

dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, demikian pula halnya dengan tebat dan telaga agar

dapat di pelihara sehingga berguna bagi sekalian makhluk. Untuk itu Dapunta Hyang Sri Jaya

Naga memohon restu agar ia selalu sehat sentosa terhindar dari para penghianat yang tidak setia,

termasuk para abdi bahkan oleh istri-istri beliau. Karena beliau tidak akan menetap lama beliau

menambah pesannya, ―Walaupun dia tidak berada di tempat dimanapun dia berada janganlah

hendaknya terjadi curang, curi, bunuh dan zinah di situ. Akhirnya di harapkan doa agar beliau

mendapatkan Anuttara bhisayakasambodhi.― (Parasasti Talang Tuo)

Setahun kemudian terjadilah pemberontakan yang di pimpin oleh Perwira Lokal yaitu Kandra

Kayet sehingga menimbulkan korban termasuk salah satu Panglima Perang Sriwijaya terbunuh

yang bernama Tan Drun Luah, walaupun demikian Kandra Kayet yang gagah perkasa dapat di di

bunuh oleh Dapunta Hyang Sri Jaya Naga dan mati sebagai penghianat. Untuk mengingat hal ini

maka di buatlah suatu prasasti persumpahan untuk mengikat setiap para pejabat lokal yang ada di

daerah taklukan agar dapat tetap setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kalau tidak maka

akan terkutuklah dan di makan sumpah ( Prasasti Telaga Batu ).

Batu persumpahan yang dimaksud antara lain berbunyi, ―Kamu sekalian, seperti kamu

semuanya, anak raja, bupati, panglima besar, hakim, pengadilan kamu sekalian akan dimakan

sumpah yang mengutuk kamu. Apabila kamu sekalian tidak setia kepada kami kamu akan

dimakan sumpah.‖ (1-6)

Page 10: Cuplikan Sriwijaya

Apabila kamu berhubungan dengan pendurhaka yang menghianati kami , orang yang tidak

tunduk kepada kami serta kedatuan kami, kamu akan dibunuh oleh sumpah kutuk ini.‖ (7-8)

― Apabila kamu menabur emas permata untuk meruntuhkan kedatuan kami atau menjalankan

tipu muslihat dan apabila kamu tidak tunduk kepada negara kedatuan kami maka terkutuklah

kamu akan dimakan dibunuh sumpah kutuk.‖ (11-12)

―Demikian pula apabila kamu melawan kepada kami di daerah-daerah perbatasan negara

kedatuan kami kamu akan dimakan, di bunuh.‖ (13-14)

―Lagi pula kami tetapkan pengangkatan menjadi datu dan mereka yang melindungi sekalian

daerah negara kedatuan kami putra mahkota, putra raja kedua, dan pangeran lain yang didudukan

dengan pengangkatan menjadi datu, kamu akan dihukum apabila kamu tidak tunduk kepada

kami.‖ (19-20)

Secara Geografis palembang adalah tempat yang strategis untuk menguasai lalu lintas pelayaran

di Laut China Selatan. Namun kebanyakan pada waktu itu kapal–kapal berlayar singgah di

kerajaan Melayu (Jambi) yang juga merupakan pelabuhan strategis di pantai timur Sumatera

kemudian kapal kapal tersebut melanjutkan perjalanannya ke utara tanpa singgah lagi di

pelabuhan palembang. Melihat kondisi seperti ini Dapunta Hyang Jaya Naga berencana untuk

menaklukan kerajaan Melayu Jambi) untuk di jadikan wilayah kekuasaan kedatuan Sriwijaya.

Dapunta Hyang Sri Jaya Naga bersama pasukannnya segera menuju Melayu, yang dari semula

tanah Melayu sudah di rencanakan untuk di tundukkan.

Pada tahun 685 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, Kerajaan Melayu takluk

di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Melayu yang kaya emas telah meningkatkan

prestise kerajaan. Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di

Sumatera dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya.

Untuk meneruskan perjalanan ke Selatan dengan tujuan akhir adalah bumi Jawa tentu saja

Melayu harus segera pula di tinggalkan. Peristiwa pemberontakan Kandra Kayet terus saja

terbayang oleh sri baginda dan ini di jadikan sebagai contoh oleh Sri Baginda Dapunta Hyang Sri

Jaya Naga kepada setiap pejabat lokal bahwa setiap penghianatan, walau di lakukan oleh seorang

perkasa sekalipun dapat ditumpas. Kemudian penduduk kerajaan Melayu pun di ikat dengan

sumpah maka dipahatlah prasasti Karang Brahi.

Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali berangkat dengan melalui lautan berarti harus melalui

selat Bangka. Oleh karena itu kerajaan Bangka harus pula di tundukkan lebih dahulu. Setelah

menaklukan kerajaan Bangka, Dapunta Hyang Jaya Naga bersiap melanjutkan perjalanannya ke

Bumi Jawa, namun sebelum keberangkatan Sri Baginda, penguasa lokal dan rakyatnya harus di

beri peringatan dan diikat dengan persumpahan untuk selalu setia kepada Dapunta Hyang Sri

Jaya Naga. Demikianlah pada akhirnya, pada hari pertama bulan terang Waiseka tahun 608 Saka

atau tahun 686 Masehi Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga meninggalkan Batu Prasasti

Persumpahan yang kita kenal sebagai Parasasti Kota Kapur dan segera menuju Bumi Jawa yang

tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Dalam perjalanan Sri Baginda menuju Bumi Jawa masih ada

daerah yang berdiri sendiri di pantai timur Sumatera bagian selatan. Untuk kepentingan

Page 11: Cuplikan Sriwijaya

keamanan penguasaan laut selatan, kerajaan itu harus pula ditundukan. Kerajaan itu sebenarnya

berasal dari satu rumpun wangsa Sakala Bhra. Kerajaan itu adalah kerajaan Ye-Po-Ti (Way

Seputih) di Lampung Selatan. Sama dengan peristiwa-peristiwa lainnya, setiap beliau

meninggalkan daerah–daerah yang rawan pemberontakan harus diadakan sumpah setia terlebih

dahulu. Sumpah tersebut terpahat dalam Prasasti Palas Pasemah.

Dari Way Seputih Rombongan langsung menuju Bumi Jawa, Dapunta Hyang Sri Jaya Naga

mengutus salah Satu Panglima terbaiknya yang juga merupakan kerabat dekat kerajaan yaitu

Dapunta Sailendra untuk memimpin pasukan Sriwijaya menuju Bumi Jawa. Dari data yang ada

tampaknya mereka menuju Jawa tengah bagian utara. Pada saat inilah di nyatakan oleh berita di

neger China (Dinasti Tang) bahwa kerajaan Sriwijaya terpecah menjadi dua bagian masing-

masing mempunyai pemerintahan sendiri. (Kronik Dinasti Tang).

Pada periode perkembangan kerajaaan Wangsa Sailendra di Jawa Tengah harus melaksanakan

perintah Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk membangun candi di Ligor

(Muangthai). Candi tersebut baru selesai tahun 775 di resmikan oleh raja Wisnu dari Wangsa

Sailendra. Sementara itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali ke Minanga untuk melanjutkan

memerintah Kedatuan Sriwijaya yang menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka dan

Laut China Selatan.

Berdasarkan prasasti Kota Kapur, Kerajaan Sriwijaya menguasai bagian selatan Sumatera hingga

Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat

Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.

akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di

bawah pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Budha Sailendra di

Jawa Tengah berada di bawah dominasi Sriwijaya. Masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga,

yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Di akhir Abad ke 7 ibukota Minanga telah mengalami malapetaka hingga silap atau hilang secara

misterius di telan bumi. Keadaan ini membuat Sri Baginda Dapunta Hyang Jaya Naga bersedih

sehingga mengasingkan diri ke Gunung Seminung untuk bertapa sampai akhir hayatnya.

(Legenda Minanga Sigonong-Gonong)

Sriwijaya di Swarnabhumi

Sejak pertapaan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga di Gunung Seminung sekitar tahun 742 sebagian

besar anggota pasukan dan rombongan yang mengikutinya terpecah masing-masing mencari

tempat sendiri-sendiri, ada yang kemudian mendirikan Minanga baru dan ada juga yang lari ke

pulau Jawa. Sementara kota Minanga sendiri menjadi mitos kota yang hilang yang sampai

sekarang menjadi suatu kawasan yang paling angker yang di namakan penduduk sekitar menjadi

Sigonong-Gonong yang tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang tanpa seijin ghaib disana.

Siapa yang masuk ke daerah itu tanpa izin akan ikut hilang tak tampak oleh kasat mata. (Legenda

Minanga Sigonong-Gonong).

Sementara itu menurut analisis Paleografi, teluk Minanga di mana sungai Komering bermuara

telah mengalami pendangkalan akibat dari pengendapan lumpur dari sungai Komering. Pantai

timur di bagian Sumatera Selatan mengalami pendangkalan 125 meter per tahun, dimana sejak

Page 12: Cuplikan Sriwijaya

keberangkatan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga ke Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) pada tahun

683 Masehi sampai dengan kepulangan tahun 742 Masehi Teluk Minanga telah mendangkal

sepanjang 6 kilometer. Membuat kedudukan Minanga sudah jauh dari garis pantai timur

Sumaetra. Dengan posisi seperti itu maka Kerajaan Sriwijaya tidak mungkin lagi mengawasi

daerah-daerah bawahannya secara efektif, sehingga lambat laun daerah yang ditaklukan dan

diikat dengan persumpahan itu menjadi lepas berdiri sendiri.

Daerah daerah tersebut kemudian membentuk pemerintahan lokal yang berdiri sendiri.

Palembang kemudian menjadi kota pelabuhan yang berdiri sendiri yang terkenal dengan nama

Swarna Bhumi, Jambi menjadi kerajaan lokal dan menjadi kota pelabuhan terbesar pada saat itu.

Sementara daerah uluan di Sumatera Selatan mereka membuat kelompok masyarakat

seketurunan (Kepuhyangan) dan hidup menyebar di pedalaman Sumatera Selatan yang dikenal

dengan masyarakat hukum dengan azas pertalian darah (Geneologische Rechtgemeenschap).

Dalam masyarakat hukum dengan azas seperti ini maka kekuasaan dengan sendirinya di pegang

oleh seorang ‗Jurai Tua‘ yang di sebut Pase-lurah atau Pasirah yang dikenal sekarang ini yang

berkedudukan sebagai pemimpin (primus inter pares). Kewajiban pemimpin tidak lebih dari

memelihara dan mempertahankan hukum yang mereka sepakati dan dijadikan adat bagi sesama

mereka, menjaga batas–batas wilayah dan menjaga batas-batas antara yang boleh dan yang

terlarang.

Di daerah Batanghari Komring, kelompok seketurunan ini menempati daerah yang disebut

‗Morga‘ dikepalai oleh seorang sepuh yang berfungsi sebagai Ratu Morga dengan gelar KAI-

PATI. Di daerah Rejang kelompok seketurunan ini dinamai Petulai yang dipimpin seorang

sesepuh dengan sebutan DEPATI. (Marga di Bumi Sriwijaya–H.M.Arlan Ismail, SH–2005).

Masa inilah atau selama 218 tahun terjadi kekosongan pemerintahan di Sriwijaya. Tercatat oleh

berita di negeri China, Sriwijaya tidak pernah lagi mengirim utusan ke negeri China sejak tahun

742 Masehi (Kronik Dinasti Tang) sampai tahun 960 Masehi.

Sementara itu di Jawa Tengah berkembang dinasti Dapunta Sailendra yang merupakan Raja-Raja

dari Bhumi Sriwijaya yang diutus Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk menaklukan Bhumi Jawa.

Nama Dapunta Sailendra di kumandangkan dimana-dimana sementara Dapunta Hyang Sri Jaya

Naga Raja Sriwijaya tetap di puja-puja oleh Dinasti Sailendra. Pada tahun 775 Masehi terpahat

sebuah prasasti di Ligor ( Muangthai ) menandai peresmian sebuah bangunan candi yang terdiri

beberapa bagian yang intinya adalah pujian terhadap Raja Sriwijaya yang dikatakan laksana

bulan di musim rontok yang sinarnya menyuramkan segala sinar bintang, raja yang berkuasa

gemilang dan yang paling baik di antara segenap raja dipermukaan Bhumi, kemudian

menyatakan bahwa raja Sriwijaya yang memerintahkan untuk membangun batu Trisamaya

Caitya untuk Padmapani, Sakyamuni dan Wajrapani guna di persembahkan kepada semua Jina

yang menduduki sepuluh tempat diangkasa dan memerintahkan Jayanta membangun Stupa

Trayamasi. Kemudian yang terakhir menyatakan raja Wisnu dari Wangsa Sailendra yang

berkuasa pada masa itu kemudian di tutup dengan pujian kembali kepada raja Sriwijaya yang

dikatakan menyerupai Indra. (Prasasti Ligor–Muangthai).

Pangeran Balaputra Dewa merupakan putera bungsu Raja Samaragrawira dari Wangsa Sailendra

kehilangan haknya untuk memerintah negeri di Bhumi Jawa di karenakan putera tertua adalah

Pangeran Samaratungga sehingga Pangeran Samaratungga yang berhak memimpin kerajaan di

Page 13: Cuplikan Sriwijaya

Bhumi Jawa, yang kemudian Jatiningrat menikah dengan Pramodawardhani putri Raja

Samaratungga sehingga kemudian mewarisi takhta atas kerajaan di Bhumi Jawa.

Pada tahun 850 Masehi Balaputra Dewa dan pengikutnya kembali ke daerah Sumatera Selatan

untuk malakukan pertapaan di Gunung Seminung guna memperdalam ilmu dan kesaktian.

Sepanjang perjalanan di daerah uluan sumatera selatan sampai ke gunung Seminung Balaputra

Dewa di sambut baik oleh penduduk di wilayah bekas kedatuan Sriwijaya karena Balaputra

Dewa merupakan keturunan dari wangsa Sailendra Raja-Raja di Bhumi Jawa yang berasal dari

Bhumi Sriwijaya yang mereka anggap sebagai titisan Jaya Naga sang Maha Raja yang mereka

puja-puja selama ini. Pada saat selesai dari pertapaannya Balaputra Dewa diangkat oleh para

sesepuh adat yang terdiri dari pemimpin–pemimpin kelompok Marga untuk menjadi Ratu dan

kembali mempersatukan wilayah-wilayah kerajaan Sriwijaya yang telah berdiri sendiri akibat

kekosongan pemerintahan selama periode 117 tahun sejak di tinggal Dapunta Hyang Sri Jaya

Naga bertapa dan menghilang di Gunung Seminung, dimana daerah-daerah itu hanya diikat oleh

sumpah setia yang mereka percayai selama ini sebagai alat pemersatu semua rumpun suku.

Setelah terjadi kekacauan perdagangan di Kanton antara tahun 820 – 850, pemerintahan Jambi

menyatakan diri sebagai kerajaan merdeka dengan mengirimkan utusan ke China pada tahun 853

Masehi. Kemudian Balaputra Dewa dengan cepat dapat membangun kejayaan kerajaan Sriwijaya

kembali yang berpusat di Palembang dengan dukungan oleh masyarakat di bekas wilayah

Kedatuan Sriwijaya. Bahasa yang di pakai oleh kerajaan ini yaitu bahasa Sansekerta. Hal ini

yang kemudian membuat kerajaan di Jambi kawatir akan penguasaan kembali oleh dinasti

Sailendra sehingga kerajaan Jambi mengirim utusan ke negeri China pada tahun 871 untuk

mendapatkan perlingdungan dari Negeri China namun hal ini berlangsung tak lama, kemudian

pasukan Balaputra Dewa dapat menguasai Jambi, adapun politik dalam negeri yang selalu

dipakai sebagai alat persatuan untuk wilayah-wilayah taklukan kerajaan ini memakai nama

Sriwijaya.

Setelah menguasai pulau sumatera sampai ke Langkasuka dan Kedah semakin kuatlah dinasti

Balaputera Dewa di Swarna Bhumi sebagai kerajaan maritim di pantai timur Sumatera. Dinasti

Balaputera Dewa di Swarna Bhumi meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer

Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan Sriwijaya di

abad yang sama. [16] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan dinasti

Balaputera Dewa di Swarna Bhumi sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan

perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat Palembang dan

mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar

Tiongkok, Melayu, dan India

.

Dinasti Balaputra Dewa di Swarna Bhumi juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke

seluruh Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Kalimantan bagian Barat. Dinasti Balaputra Dewa

juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, dan sebuah prasasti tertahun 860

Masehi mencatat bahwa raja Balaputra Dewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas

Nalanda, Pala.Hubungan dengan dinasti Cola di India selatan di bawah pemerintahan Raja

Kesawariwarman Rajaraja pada mulanya cukup baik dan menjadi buruk setelah terjadi

peperangan di abad ke-11.

Page 14: Cuplikan Sriwijaya

Pada tahun 960 Masehi Raja Sri Udayadityawarman yang merupakan keturunan dari Balaputra

Dewa dari Dinasti Sailendra yang pada saat itu memerintah Sriwijaya di SwarnaBhumi mengirim

utusan ke China dan mengirimkan berita telah kembali kerajaan Sriwijaya penguasa laut China

Selatan yang berada di Swarna Dwipa (Pulau Sumatera) dan beribukota di Swarna Bhumi

(Palembang), kerajaan ini kemudian terkenal di China dengan nama San-Fo-Tsi yang di artikan

Sriwijaya di Swarna Bhumi.

Pada tahun 962 datang lagi utusan kerajaan San-Fo-Tsi di bawah dinasti Sailendra yang

merupakan keturunan Raja Balaputra Dewa ke Tiongkok berturut-turut sampai dengan tahun

1097 masehi.

Pada tahun 992 mulai terjadi peperangan antara Dinasti Sailendra di Swarna Bhumi dengan

dinasti Sanjaya penguasa Bhumi Jawa. Pada masa itu yang memerintah di Bhumi Jawa adalah

Raja Dharmawangsa dari dinasti Sanjaya sedang di San-Fo-Tsi yang memerintah adalah Raja Sri

Cudamaniwarmadewa keturunan Balaputra Dewa dari Dinasti Sailendra. Kemudian Armada

pasukan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) dapat memukul mundur pasukan Raja Dharmawangsa.

Kemudian pada tahun 1003 Raja Sri Cudamaniwarmadewa dari Sriwijaya San-Fo-Tsi mengirim

dua orang utusan ke negeri China untuk mempersembahkan upeti pada Kaisar. Kedua utusan ini

menceritakan bahwa di negerinya telah selesai di bangun sebuah candi Budha tempat berdoa, dan

mendoakan agar Kaisar di karuniai panjang usia, kemudian kaisar memberikan nama Candi

tersebut dengan Cheng-Tien-Wan-Show dan memberikan hadiah Lonceng untuk Candi tersebut.

Pada tahun 1006 Masehi Raja Sri Cudamaniwarmadewa di gantikan oleh penerusnya yaitu Raja

Sri Marawijaya Tunggawarman dari Dinasti Sailendra dan menghadiahkan sebuah desa sebagai

persembahan kepada Budha dalam Wihara yang di bangun oleh ayahnya Raja Sri

Cudamaniwarmadewa.

Tahun 1012 Raja Kasawariwarman Rajaraja mangkat, kemudian di gantikan putranya yang

bernama Rajendra Cola naik tahta untuk memerintah kerajaan Cola Mandala dari India Selatan,

yang kemudian membuat politik kerajaan Cola Mandala dengan San-Fo-Tsi mulai berubah.

Pada Tahun 1017 Masehi Raja Rajendra Cola mengirim Bala tentara menyerbu Keddah yang

merupakan salah satu pelabuhan yang ada di bawah Kerajaan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) serangan

ini dapat di patahkan oleh armada-armada laut kerajaan Sriwijaya (San-Fo-Tsi).

Pada tahun 1025 Masehi Raja Marawijaya Tunggawarman di gantikan oleh Putranya yaitu

Pangeran Sangrama Wijaya Tunggawarman. Pada tahun inilah permusuhan Kerajaan Cola

Mandala dengan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) mencapai puncaknya, dimana Kerajaan Cola Mandala

di pimpin oleh Raja Rajendra Cola menyerbu secara besar-besaran terhadap wilayah Sriwijaya

(San-Fo-Tsi). Adapun daerah yang di serbu tersebut antara lain, ibukota Sriwijaya (Palembang),

Melayu (Jambi), Ilamuri (Lamuri–Aceh), Manak Kawarna (Nikobar), Kadaram (Keddah), dan

berhasil menangkap Raja Sanggrama Wijaya Tunggawarman di daerah Keddah. Walaupun

demikian kerajaan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) tetap berdiri yang kemudian menunjuk penerus Tahta

Sriwijaya (San-Fo-Tsi) adalah Raja Dewa Kulotungga dari dinasti Sailendra. Meskipun invasi

Raja Rajendra Cola tidak berhasil sepenuhnya, tetapi invasi tersebut telah melemahkan hegemoni

Page 15: Cuplikan Sriwijaya

Sriwijaya (San-Fo-Tsi) yang berakibat terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk

kerajaan sendiri seperti Kediri, sebuah kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.

Pada Tahun 1079 Masehi Raja Dewa Kulotungga sebagai Raja Sriwijaya (San-Fo-Tsi)

memperbaiki Candi Tien Ching di Kota Kuang Cho dekat kanton yang merupakan tempat suci di

sebelah utara Kanton. Pada tahun 1080 Raja Dewa Kulotungga wafat dan di gantikan oleh

puterinya. Kemudian Puteri Raja Dewa Kulotungga menikah dengan salah satu Bangsawan dari

Jambi ini tercatat dalam kunjungan Puteri Raja Dewa Kulotungga pada 1097 sudah di dampingi

oleh wakil dari kerajaan Chan-Pi (Jambi).

Sebagaimana kita ketahui masyarakat di daerah sumatera selatan mempunyai adat bahwa

penerus Jurai atau dinasti itu terletak pada anak laki-laki sebagai penerus tahta kerajaan.

Sehingga kebiasaan masyarakat sumatera selatan adalah tempat atau ibukota kerajaan mengikuti

Jurai penguasa pada saat itu. Pada masa inilah generasi dari wangsa Sailendra di Swarnabhumi

berakhir. Kemudian era selanjutnya adalah kerajaan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) berpindah pusat

pemerintahannya ke Jambi ini menunjukan bahwa penguasa pada saat itu di pimpin oleh Jurai

atau dinasti Melayu dengan gelar Mauli Warmadewa yang berasal dari kata Tamil yang berarti

Mahkota Raja-Raja yang menandakan identitas raja-raja dari wangsa Melayu di Jambi.

Sriwijaya di Swarnapura

Pada masa itu sistem pemerintahan tradisional di Sumatera Selatan di mana pusat pemerintahan

biasanya mengikuti tempat di mana Jurai (Dinasti=Wangsa) yang berkuasa itu berasal.

Kemudian raja dari Wangsa Melayu di Sriwijaya (San-Fo-Tsi) yang terkenal pertama adalah

Pangeran Suryanarana yang bergelar Mauli Warmadewa.

Sejak Kepemimpinan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) dari wangsa Melayu yang berpusat di Jambi maka

Ibukota Pemerintahan pun pindah ke Jambi yang terkenal pada saat itu dengan nama

Swarnapura. Kemudian pada masa itu nama ibukota lama (Palembang) berubah dari

Swarnabhumi menjadi Po-Lin-fong. Adapun masa pemerintahan Wangsa Melayu di Sriwijaya

(San-Fo-Tsi) dapat mengembalikan hubungan baik dengan kerajaan Cola Mandala dari India

selatan.

Pada Tahun 1178 di bawah pemerintahan Raja Sri Maha Raja (Srimat) Tri Lokaya Mauli

Warmadewa kerajaan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) mengirimkan utusan nya ke negeri China yang

selama 59 tahun terhenti sejak tahun 1097 dengan membawa berita seperti tertulis dalam Ling-

Wai-Taiwa yang di beritakan oleh Cu-Ku-Fei bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua

kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni Sriwijaya (San-Fo-Tsi) dan Jawa (Kediri). Di Jawa

dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat

Sriwijaya memeluk Budha. Berdasarkan sumber ini pula dikatakan bahwa beberapa wilayah

kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri, antara lain Kien-pi (Kampe, di utara Sumatra) dan

beberapa koloni di semenanjung Malaysia. Pada masa itu Sriwijaya (San-Fo-Tsi) telah

membawahi 15 negeri di Laut Selatan antara lain, Pong-Pong (Pahang), Tong Ya Nong

(Trenggano), Ling Ya Si Kia (Langkasuka), Kui Lan Tan (Kelantan), Fo-Lo-An (Dungan), Ji-Li-

Tong (Jelotong), Tsi Len Mai (Semang), Pa Ta (Batak), Tan Ma Ling (Tamalingga), Ki Lo Hi

(Grahi), Po-Lin-Pong (Palembang), Sin –To (Sunda), Kim-Pei (Kampe), Lan-Ma-li (Lamuri–

Page 16: Cuplikan Sriwijaya

Aceh), Si-Lan (Sailon). Kemudian berturut turut sejak tahun 1178 sampai dengan 1373 Masehi

Sriwijaya (San-Fo-Tsi) seperti yang di beritakan di negeri China adalah beribukota di Jambi.

Pada akhir tahun 1275 tentara Kerajaan Singosari pada masa kepemimpinan Kartanegara

mengirim utusan ke Sriwijaya (San-Fo-Tsi) untuk mengajak bersama-sama menghadapi pasukan

Kubilai Khan dari Mongol dikarenakan utusan Mongol yang bernama Meng Chi yang di utus ke

Singosari mendapat perlakuan yang memalukan bagi kerajaan Mongol sehingga membuat

Kubilai Khan marah dan bermaksud menyerang kerajaan Singosari. Utusan Singosari mendapat

penolakan dari kerajaan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) di karenakan Sriwijaya merupakan sekutu dari

Kerajaan China.

Menghadapi kondisi Sriwijaya (San-Fo-Tsi) yang tidak mau membantu Singosari akhirnya

Singosari memutuskan untuk menyerang dengan maksud dapat merubah sikap Sriwijaya

terhadap kerajaan China. Pada saat yang sama utusan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) meminta bantuan

ke negeri China atas serangan dari kerajaan Singosari tersebut. Dan kemudian Kubilai Khan

mulai melancarkan serangan ke Singosari yang membuat pasukan Singosari yang berada di

perairan Sriwijaya yang siap untuk menyerang ditarik mundur sehingga San-Fo-Tsi lepas dari

cengkeraman Singosari. Setelah Singosari meninggalkan Swarna Bhumi, San-Fo-Tsi tidak

mampu lagi mengembalikan kebesaran seperti semula. Dan akhirnya pada tahun 1286 kerajaan

San-Fo-Tsi dapat ditaklukan Singosari.

Pada tahun 1293 dengan kematian Jaya Katwang, San-Fo-Tsi lepas dari Singosari dan kembali

memperoleh kemerdekaannya. Namun sebelum San-Fo-Tsi dapat menunjukan kebesarannnya

kembali telah disusul dengan adanya invasi Patih Gajah mada di bawah kerajaan Majapahit.

Kemudian Majapahit menunjuk Adityawarman untuk memeritah kerajaan Malayupura di

Darmasraya (Prasasti Adityawarman 1347 M).

Pada tahun 1373 datang utusan terakhir dari Sriwijaya (San-Fo-Tsi) ke Tiongkok yang

menyatakan bahwa negerinya telah terpecah menjadi 3 kerajaan :

1. Mahana Po Lin Fong (di Palembang)

2. Kerajaan Minangkabau (di Sumatera Barat)

3. Kerajaan Melayu (di Darmasraya)

Kemudian tahun selanjutnya ketiga kerajaan tersebut berturut turut mengirmkan utusannya ke

negeri China untuk memproklamirkan kerajaan mereka. Pada tahun 1374 datang utusan dari

kerajaan Mahana Po-Lin-Pong (Maharaja Palembang). Pada tahun 1375 datang utusan dari

kerajaan Minagkabau dibawah Raja Adityawarman, dan kemudian pada tahun 1376 datang pula

utusan dari kerajaan Melayu yang berkedudukan di Darmasraya. Dengan demikian, maka

berakhirlah riwayat kerajaan San-Fo-Tsi yang kita anggap sebagai kelanjutan kerajaan Sriwijaya.

Sriwijaya

Berawal di Minanga

Berjaya di Palembang

Berakhir di Jambi

( H.M. Arlan Ismail,SH – 2003 ).