cost-effectiveness analysis pengobatan demam tifoid anak menggunakan sefotaksim dan kloramfenikol di...

5
Mandala of Health. Volume 5, Nomor 2, Mei 2011 Riyatno, Cost-effectiveness analysis demam tifoid anak 324 COST-EFFECTIVENESS ANALYSIS PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK MENGGUNAKAN SEFOTAKSIM DAN KLORAMFENIKOL DI RSUD. PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO Ine Puspitasari Riyatno 1 , Eman Sutrisna 1 1 Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman Email: [email protected] ABSTRACT Typhoid fever is an endemic disease in developing country. The highest incidency of typhoid fever is in children. There are many antibiotics are used to medicate thyphoid fever in children. The using of different antibiotics affects higher medicine cost that patients have to pay. Therefore the research is needed for knowing the cost effective of the two antibiotics between the use of cefotaxime and chloramphenicol in medication of thyphoid fever in children in RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo is needed. This research used non experimental analitic method with cross- sectional study. This study included 26 typhoid fever children who were treated in first class of Aster room in RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. It used secondary datas which included medicine costs (drugs, laboratories dan room) and day of treatment. The datas were analyzed statistically with independent t-test to find the differences of medication cost and day of treatment between cefotaxime and chloramphenicol using. It resulted that the using of cefotaxime cost Rp. 1.075.000,00 and chloramphenicol took Rp. 714.200,00; day of treatment of cefotaxime using was 6 days and chloramphenicol was 4 days. The independent t- test showed that there were significant cost and LHR differences between cefotaxime and chloramphenicol using in medication of typhoid fever in children. The conclusion of this research is chloramphenicol has more cost-effective than cefotaxime in medication of typhoid fever in children. Keywords: cost-effectiveness analysis, cefotaxime, chloramphenicol, children typhoid fever PENDAHULUAN Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis 1 . Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis di Negara berkembang, yaitu 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit 2 . Kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi di Indonesia dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus 1 . Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anak-anak. Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada kelompok umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi klinis yang ringan 3 .

Upload: naela-rizqi-ardiyanto

Post on 22-Jun-2015

73 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

Farmakoekonomi CEA

TRANSCRIPT

Page 1: Cost-effectiveness Analysis Pengobatan Demam Tifoid Anak Menggunakan Sefotaksim Dan Kloramfenikol Di Rsud. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Mandala of Health. Volume 5, Nomor 2, Mei 2011 Riyatno, Cost-effectiveness analysis demam tifoid anak

324

COST-EFFECTIVENESS ANALYSIS PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAKMENGGUNAKAN SEFOTAKSIM DAN KLORAMFENIKOL DI RSUD. PROF.

DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Ine Puspitasari Riyatno1, Eman Sutrisna1

1Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal SoedirmanEmail: [email protected]

ABSTRACT

Typhoid fever is an endemic disease in developing country. The highest incidency oftyphoid fever is in children. There are many antibiotics are used to medicate thyphoid fever inchildren. The using of different antibiotics affects higher medicine cost that patients have to pay.Therefore the research is needed for knowing the cost effective of the two antibiotics between theuse of cefotaxime and chloramphenicol in medication of thyphoid fever in children in RSUD Prof.Dr. Margono Soekarjo is needed. This research used non experimental analitic method with cross-sectional study. This study included 26 typhoid fever children who were treated in first class ofAster room in RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. It used secondary datas which includedmedicine costs (drugs, laboratories dan room) and day of treatment. The datas were analyzedstatistically with independent t-test to find the differences of medication cost and day of treatmentbetween cefotaxime and chloramphenicol using. It resulted that the using of cefotaxime cost Rp.1.075.000,00 and chloramphenicol took Rp. 714.200,00; day of treatment of cefotaxime using was6 days and chloramphenicol was 4 days. The independent t- test showed that there were significantcost and LHR differences between cefotaxime and chloramphenicol using in medication of typhoidfever in children. The conclusion of this research is chloramphenicol has more cost-effective thancefotaxime in medication of typhoid fever in children.

Keywords: cost-effectiveness analysis, cefotaxime, chloramphenicol, children typhoid fever

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan suatu

penyakit infeksi sistemik yang disebabkan

oleh Salmonella typhi. Demam tifoid

dijumpai secara luas di berbagai negara

berkembang yang terutama terletak di daerah

tropis dan subtropis1. Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003

memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus

demam tifoid di seluruh dunia dengan

insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.

Kasus demam tifoid dilaporkan

sebagai penyakit endemis di Negara

berkembang, yaitu 95% merupakan kasus

rawat jalan sehingga insidensi yang

sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari

laporan rawat inap di rumah sakit2. Kasus ini

tersebar secara merata di seluruh propinsi di

Indonesia dengan insidensi di daerah

pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan

di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/

tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus

per tahun. Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada

91% kasus1.

Insidens tertinggi demam tifoid

terdapat pada anak-anak. Demam tifoid pada

anak terbanyak terjadi pada kelompok umur

5 tahun atau lebih dan mempunyai

manifestasi klinis yang ringan3.

Page 2: Cost-effectiveness Analysis Pengobatan Demam Tifoid Anak Menggunakan Sefotaksim Dan Kloramfenikol Di Rsud. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Mandala of Health. Volume 5, Nomor 2, Mei 2011 Riyatno, Cost-effectiveness analysis demam tifoid anak

325

Obat golongan kuinolon sampai saat

ini masih belum tersedia untuk anak-anak

dan remaja yang bebas dari efek samping.

Obat standar yang saat ini digunakan untuk

demam tifoid yaitu kloramfenikol, ampisilin

atau amoksilin, kotrimoksasol (pengobatan

lini pertama). Antibiotik alternatif lain untuk

pengobatan demam tifoid yaitu golongan

sefalosporin generasi ketiga (seftriakson dan

sefotaksim secara intravena, cefixim secara

oral), dan golongan fluoro-kuinolon3,4.

Masalah biaya kesehatan (rumah sakit,

dokter, obat, pemeriksaan laboratorium dan

lain-lainnya) sejak beberapa tahun terakhir

telah banyak menarik perhatian, tidak hanya

di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri5.

Untuk mengalokasikan sumber daya yang

tersedia, perlu dilakukan analisis ekonomi

yang terkait dengan pelayanan kesehatan

yaitu Cost-Minimization Analysis, Cost-

Effectiveness Analysis, Cost-Utility Analysis,

dan Cost-Benefit Analysis. Cost-effectiveness

analysis merupakan alat bantu dalam

menganalisis program-program tersebut

sebelum diputuskan alternatif mana yang

akan dipilih6.

Cost-effectiveness analysis merupakan

suatu penelitian untuk menemukan cara

dalam meningkatkan efisiensi dan

memobilisasi sumber dana dan dapat

dipergunakan untuk membantu

mengembangkan pemikiran-pemikiran

khusus tanpa mengabaikan aspek-aspek

sosial dari sektor kesehatan itu sendiri7.

Berbagai macam antibiotika digunakan untuk

mengobati demam tifoid pada anak di RSUD

Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto.

Pilihan antibiotik untuk demam tifoid anak di

ruang aster kelas I adalah sefotaksim,

kloramfenikol, dan ampisilin. Penggunaan

antibiotik yang berbeda mengakibatkan

besarnya biaya obat yang dikeluarkan pasien.

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian

untuk mengetahui antibiotik mana yang lebih

cost-effective antara penggunaan sefotaksim

dan kloramfenikol pada kasus demam tifoid

anak.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

observasional analitik dengan desain cross

sectional. Sampel diambil berdasarkan data

sekunder berupa catatan medis yang tercatat

di bagian rekam medik pasien demam tifoid

anak yang di rawat inap di di ruang aster

kelas I RSUD Prof. Margono Soekarjo

Purwokerto periode Januari 2008 –

Desember 2009. Berdasarkan rumus besar

sampel pengukuran komparatif kategorik

tidak berpasangan didapatkan jumlah sampel

yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah

berjumlah 13 orang pada masing-masing

kelompok. Teknik pengambilan sampel yang

digunakan adalah consecutive sampling yaitu

semua subjek yang datang dan memenuhi

kriteria pemilihan dimasukkan dalam

penelitian sampai jumlah subjek yang

diperlukan terpenuhi.

Penelitian ini membandingkan biaya

pengobatan demam tifoid anak antara

sefotaksim dengan kloramfenikol serta

membandingkan efektivitas (lama hari rawat)

Page 3: Cost-effectiveness Analysis Pengobatan Demam Tifoid Anak Menggunakan Sefotaksim Dan Kloramfenikol Di Rsud. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Mandala of Health. Volume 5, Nomor 2, Mei 2011 Riyatno, Cost-effectiveness analysis demam tifoid anak

326

dari masing-masing obat tersebut. Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria inklusi

sebagai berikut: Pasien yang didiagnosis

demam tifoid yang menjalani rawat inap di

ruang Aster kelas I, menggunakan antibiotik

tunggal sefotaksim atau kloramfenikol,

berusia 1-14 tahun dengan catatan medik

lengkap. Kriteria eksklusi pada penelitian ini

adalah pasien demam tifoid dengan penyakit

penyerta, pasien keluar dari rumah sakit

karena keinginan sendiri (pulang paksa) atau

kabur sebelum dinyatakan sembuh, pasien

meninggal dunia dan pasien yang

menggunakan asuransi kesehatan. Analisis

bivariat menggunakan independent t-test

untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan

cost-effective antara sefotaksim dan

kloramfenikol pada pengobatan demam tifoid

anak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari data Sub Bagian Rekam medik

RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo periode

Januari 2008 – Desember 2009 diperoleh

data seluruh pasien demam tifoid anak pada

kelas 1 ruang Aster sebanyak 42 pasien.

Berdasarkan kriteria eksklusi, jumlah pasien

menjadi 30. Tetapi berdasar hasil rumus

besar sampel, sampel yang dibutuhkan pada

penelitian ini adalah sebanyak 26 pasien.

Dari hasil uji independent t-test pada

Tabel 1 didapatkan hasil p = 0,041 yang

berarti bahwa terdapat perbedaan bermakna

antara total biaya pasien demam tifoid anak

dengan terapi sefotaksim dan kloramfenikol.

Dari hasil uji independent t-test pada Tabel 2

didapatkan hasil p = 0,001 yang berarti

bahwa terdapat perbedaan bermakna antara

lama hari rawat (LHR) pasien demam tifoid

anak dengan terapi sefotaksim dan

kloramfenikol.

Tabel 1. Perbedaan total biaya

Variabel Mean t pSefotaksimKloramfenikol

1075500714200

2,208 0,041

Tabel 2. Perbedaan Lama Hari Rawat

Variabel Mean t pSefotaksimKloramfenikol

5,844,38

3,668 0,001

Hasil penelitian dengan pendekatan

cost-effective dari pengobatan demam tifoid

anak menggunakan sefotaksim dan

kloramfenikol yaitu total biaya yang

dikeluarkan oleh pasien dengan terapi

kloramfenikol lebih kecil dibandingkan

dengan terapi sefotaksim. Hal ini dapat

disebabkan, direct medical cost dipengaruhi

oleh lamanya perawatan. Semakin lama lama

hari perawatannya, maka semakin banyak

juga biaya yang dikeluarkan oleh pasien.

Pasien yang memperoleh terapi

kloramfenikol hanya memerlukan rata-rata 4

hari sedangkan pada pasien yang

memperoleh terapi sefotaksim memerlukan

rata-rata 6 hari, hal ini disebabkan efektivitas

kloramfenikol lebih besar dari sefotaksim

dalam menurunkan gejala demam pada

pasien demam tifoid anak.

Suatu obat dikatakan cost-effective

apabila mempunyai efektivitas sama tetapi

harga obat sama atau mempunyai efektivitas

Page 4: Cost-effectiveness Analysis Pengobatan Demam Tifoid Anak Menggunakan Sefotaksim Dan Kloramfenikol Di Rsud. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Mandala of Health. Volume 5, Nomor 2, Mei 2011 Riyatno, Cost-effectiveness analysis demam tifoid anak

327

lebih tinggi tetapi harga obat sama atau

mempunyai nilai ACER lebih rendah (jika

efektivitas dan harga lebih tinggi)8. Hasil

penelitian ini didapatkan efektivitas

kloramfenikol lebih besar daripada

efektivitas sefotaksim dan total cost

kloramfenikol lebih kecil daripada total cost

sefotaksim. Maka dapat disimpulkan bahwa

kloramfenikol lebih dominan atau lebih cost-

effective dari sefotaksim dalam pengobatan

demam tifoid anak di kelas 1 ruang Aster

RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh

M.Muhlis (2007)9 di RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta yaitu kloramfenikol lebih cost-

effective daripada sefiksim. Rata-rata total

biaya pasien dengan terapi kloramfenikol

sebesar 261.850/kasus, sedangkan pada

sefiksim Rp 381.167/kasus. Rata-rata lama

hari rawat pasien dengan terapi

kloramfenikol 4 hari sedangkan pada pasien

dengan terapi sefiksim adalah 5 hari.

Penelitian ini menunjukkan bahwa alternatif

yang paling ekonomis adalah kloramfenikol.

Kloramfenikol telah menjadi terapi

pilihan untuk demam tifoid selama hampir 40

tahun, khususnya di negara berkembang

dimana biaya terapi dianggap penting10.

Kloramfenikol memiliki aktivitas tinggi

terhadap sebagian besar isolat klinis pada

bakteri Salmonella thypii. Respon terhadap

terapi sangat konstan dibandingkan dengan

antibiotik yang lain, dengan penurunan suhu

tubuh yang normal secara teratur antara 3-5

hari setelah memulai pengobatan. Terapi

antibiotik yang tepat (obat, dosis, dan durasi

yang tepat) sangat penting untuk

menyembuhkan demam tifoid dengan

komplikasi yang minimal11.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan terhadap cost-effectiveness

analysis antara pasien demam tifoid anak

yang menggunakan sefotaksim dengan pasien

demam tifoid anak yang menggunakan

kloramfenikol yang dirawat inap di kelas 1

ruang Aster RSUD. Prof. Dr. Margono

Soekarjo Purwokerto periode Januari 2008-

Desember 2009 dapat disimpulkan bahwa

rata-rata LHR pada pasien demam tifoid anak

yang menggunakan sefotaksim adalah 5,84

hari, sedangkan rata-rata lamanya hari rawat

inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 4,38

hari. Rata-rata biaya pada pasien demam

tifoid anak yang menggunakan sefotaksim

sebesar Rp 1.075.500,00, sedangkan rata-

rata biaya pada pasien demam tifoid anak

sebesar Rp 714.200,00. Secara

farmakoekonomi kloramfenikol lebih cost-

effective dibandingkan dengan sefotaksim

pada pengobatan demam tifoid anak.

DAFTAR PUSTAKA1. Pawitro, U. E, Noorvitry, M,

Darmowandowo, W. 2002. Ilmu PenyakitAnak Edisi 1. Salemba Medika. Jakarta. pp

2. Parry, C. M. 2002. Typhoid fever. NewEngland Journal Medicine. 347(22):1770-82.

3. Hadinegoro, S. R. 1999. Masalah MultiDrug Resisten pada Demam Tifoid Anak.Cermin Dunia Kedokteran. 124: 5-8.

Page 5: Cost-effectiveness Analysis Pengobatan Demam Tifoid Anak Menggunakan Sefotaksim Dan Kloramfenikol Di Rsud. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Mandala of Health. Volume 5, Nomor 2, Mei 2011 Riyatno, Cost-effectiveness analysis demam tifoid anak

328

4. Nelwan, R.H. 1999. Alternatif BaruPengobatan Demam Tifoid yang Resisten.Cermin Dunia Kedokteran. 124: 9-10.

5. Mills, A., Gileon, L. 1999. EkonomiKesehatan Untuk Negara SedangBerkembang Sebuah Pengantar. BiroPerencanaan Departemen Kesehatan.Jakarta. pp: 67

6. Tjiptoherianto, P., Soesetyo, B. 1994.Ekonomi Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta,Jakarta. pp: 164-167.

7. Sulastomo. 2003. Manajemen Kesehatan.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Pp

8. Dorothy, S. 2009. Role of EconomicEpidemiology: With Special Reference toHIV/AIDS. Economic EpidemiologyWorkshop. 64-66

9. Muhlis, M., Fitria. 2007. Analisis Cost-Effectiveness Penggunaan Kloramfenikoldan Sefalosporin pada Demam Tifoid Anakdi Salah Satu Rumah Sakit Pemerintah diYogyakarta Periode 2003-2005. FakultasFarmasi Universitas Ahmad Dahlan.Yogyakarta.

10. Islam, F., Butler, T., Kabir, I., Alam, N.H.1993. Treatment of Thypoid Fever withCeftriaxone for 5 Days or Chlorampenicolfor 14 Days: a Randomized Clinical Trial.Antimicrobial Agents and Chemotherapy 37:1572-1575

11. Bhutta, Zulfiqar, A. 2006. Current Conceptin The Diagnosis and Treatment of ThypoidFever. British Medical Journal33:76-82.