content of jurnal (12)

146
ANTHRAX DI INDONESIA Asih Rahayu Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak : Anthrax merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis. Bakteri ini mampu membentuk endospora yang tahan hingga puluhan tahun di dalam tanah sehingga menjadi sumber infeksi (daerah endemis) dan berakibat sulitnya eradikasi penyakit ini di Indonesia. Penyakit ini terutama menyerang ternak seperti sapi, kambing dan kuda, kadang – kadang babi dan dapat menular ke manusia melalui tiga jalan yaitu per cutan, per oral atau per inhalasi. Manifestasi klinis pada manusia diantaranya berupa malignant pustule, hematemesis, pneumonia hemorrhagic atau meningitis. Keberhasilan pemberantasan anthrax pada manusia tergantung pada pemberantasan penyakit ini pada hewan. Kata kunci : Anthrax, Bacillus anthracis,zoonosis ANTHRAX in INDONESIA Asih Rahayu Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract : Anthrax is a zoonosis disease caused by Bacillus anthracis bacteria. This bacteria is able to produce an endospora that lasts for decades inside the soil and thus becomes an infection source (endemic areas), causing difficulties to eradicate this disease in Indonesia. This disease mainly infects cattle such as cows, goats, horses, and pigs in some cases. It can also infect humans through three ways which is per cutaneous, per oral, and per inhalation. The clinical manifestations in humans are malignant pustule, hematemesis, pneumonia hemorrhagic or meningitis. The success of eradicating anthrax from humans fully depends on the eradication of this disease from the animals. Key words : Anthrax, Bacillus anthracis, zoonosis PENDAHULUAN Anthrax merupakan penyakit infeksi menular akut yang termasuk salah satu dari penyakit penyakit zoonosis. Penyakit ini banyak dibicarakan di Indonesia terutama pada saat menjelang hari raya Iedul Adha, sebab penyakit ini berkaitan erat dengan hewan ternak sapi maupun kambing yang merupakan hewan kurban. Anthrax disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, suatu bakteri yang mempunyai kemampuan membentuk endospora yaitu suatu bentuk pertahanan diri suatu bakteri, sehingga 1

Upload: immey-ssi-moy

Post on 28-Nov-2015

151 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

Page 1: Content of Jurnal (12)

ANTHRAX DI INDONESIAAsih Rahayu

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Abstrak : Anthrax merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis. Bakteri ini mampu membentuk endospora yang tahan hingga puluhan tahun di dalam tanah sehingga menjadi sumber infeksi (daerah endemis) dan berakibat sulitnya eradikasi penyakit ini di Indonesia. Penyakit ini terutama menyerang ternak seperti sapi, kambing dan kuda, kadang – kadang babi dan dapat menular ke manusia melalui tiga jalan yaitu per cutan, per oral atau per inhalasi. Manifestasi klinis pada manusia diantaranya berupa malignant pustule, hematemesis, pneumonia hemorrhagic atau meningitis. Keberhasilan pemberantasan anthrax pada manusia tergantung pada pemberantasan penyakit ini pada hewan.Kata kunci : Anthrax, Bacillus anthracis,zoonosis

ANTHRAX in INDONESIAAsih Rahayu

Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya

Abstract : Anthrax is a zoonosis disease caused by Bacillus anthracis bacteria. This bacteria is able to produce an endospora that lasts for decades inside the soil and thus becomes an infection source (endemic areas), causing difficulties to eradicate this disease in Indonesia. This disease mainly infects cattle such as cows, goats, horses, and pigs in some cases. It can also infect humans through three ways which is per cutaneous, per oral, and per inhalation. The clinical manifestations in humans are malignant pustule, hematemesis, pneumonia hemorrhagic or meningitis. The success of eradicating anthrax from humans fully depends on the eradication of this disease from the animals.Key words : Anthrax, Bacillus anthracis, zoonosis

PENDAHULUANAnthrax merupakan penyakit

infeksi menular akut yang termasuk salah satu dari penyakit – penyakit zoonosis. Penyakit ini banyak dibicarakan di Indonesia terutama pada saat menjelang hari raya Iedul Adha, sebab penyakit ini berkaitan erat dengan hewan ternak sapi maupun kambing yang merupakan hewan kurban.

Anthrax disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, suatu bakteri yang mempunyai kemampuan membentuk endospora yaitu suatu bentuk pertahanan diri suatu bakteri, sehingga menyebabkan bakteri ini sulit dieradikasi.

Penyakit ini tergolong penyakit kuno, sejak tahun 1850 Davaine dan Rayer serta Pollander pada tahun 1855 telah menemukan bakteri Bacillus anthracis dari jaringan hewan yang mati akibat penyakit anthrax. Pada tahun 1857 Brauell telah dapat memindahkan bakteri ini dengan cara menginokulasikan darah dari hewan yang terinfeksi pada percobaan. Pada tahun 1877 Robert Koch berhasil mengisolasi bakteri ini di laboratorium.

Penyakit anthrax juga semakin dibicarakan dan dianggap penting karena selain berpengaruh terhadap kesehatan manusia maupun ternak, juga berdampak negatif terhadap perekonomian serta perdangangan khususnya ternak secara nasional maupun internasional. Selain itu ternyata penyakit anthrax berpengaruh terhadap Sosio-politik dan keamanan suatu negara karena endospora bakteri ini berpotensi untuk dipergunakan sebagai senjata biologis.

Beberapa daerah di Indonesia sampai merupakan daerah endemis anthrax diantaranya di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.ETIOLOGI :

Morfologi : Anthrax disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yang merupakan bakteri berbentuk batang besar dengan ujung persegi dan sudutnya tajam dengan ukuran panjang 3 – 5 µm dan lebar 1 – 2 µm. Bakteri ini bersifat Gram positif yang akan tampak berwarna biru ungu di bawah mikroskop bila diwarnai dengan Gram. Pemeriksaan di bawah mikroskop terhadap preparat ulas yang diambil dari

1

Page 2: Content of Jurnal (12)

specimen darah atau jaringan hewan penderita akan tampak bakteri ini tersusun berpasangan, berantai maupun sendiri sendiri dengan gambaran khas seperti ruas pohon bambu / bamboo tree appearance. Bacillus anthracis dapat membentuk endospora yang berbentuk oval dan terletak central , tidak lebih besar daripada diameter bentuk vegetatifnya. Endospora ini hanya terbentuk apabila bakteri berada di luar tubuh hostnya atau pada tubuh host yang telah mati. Endospora juga dapat ditemukan pada kultur / biakan, di tanah /lingkungan, pada jaringan atau darah hewan penderita yang telah mati. Ciri morfologis lain dari Bacillus anthracis adalah mempunyai capsul pada saat berada di dalam tubuh host tetapi capsule ini tidak dapat terjadi pada Bacillus anthracis yang dibiakkan secara in vitro kecuali bila dalam medianya diberikan natriumbicarbonate dengan konsentrasi 5% CO2 . 2,5,7,8

Sifat fisiologis dan biokimiawi : Bacillus anthracis dapat tumbuh pada hampir semua media pertumbuhan bakteri pada umumnya tetapi akan sangat baik tumbuhnya dan akan menunjukkan ciri khasnya secara baik apabila dikultur pada Blood Agar Plate dengan kandungan darah bebas antibiotika. Pertumbuhan maksimal diperoleh bila diberikan suasana pH 7 – 7,4 secara aerob. Suhu optimal yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya adalah 37°C walaupun bakteri ini dapat tumbuh pada suhu antara 15°C hingga 40°C . Setelah 24 jam masa inkubasi Bacillus anthracis pada media sederhana akan tumbuh sebagai koloni yang besar, menonjol, opaque, berwarna putih keabuan, tepian tidak rata dengan ukuran diameter sekitar 2 – 5 mm, dan dengan bantuan kaca pembesar permukaan koloni tampak berbulu plumose, berjumbai seperti rambut keriting yang diistilahkan sebagai caput medusae / medusa head/ hairlike curl / fringelike edge. Bakteri ini non motil dan ini berbeda dengan spesies bakteri genus Bacillus yang umumnya motil. Bacillus anthracis memfermentasi glukosa, maltosa dan sukrosa dengan menghasilkan sejumlah asam tetapi bakteri ini tidak memfermentasi manitol, laktosa dan galaktosa. Sifat biokimiawi lain dari bakteri ini adalah mencairkan gelatin

secara perlahan, mereduksi nitrat menjadi nitrit, serta tes Voges Preskauernya / VP positif. 2,5,7

EPIDEMIOLOGI :Sumber infeksi : Tanah yang

tercemar endospora bakteri Bacillus anthracis merupakan sumber infeksi dan bersifat bahaya laten karena dapat terserap oleh akar tumbuh-tumbuhan hingga mencapai daun maupun buahnya sehingga berpotensi untuk menginfeksi ternak maupun manusia yang mengkonsumsinya. Sumber infeksi lainnya adalah bangkai ternak pengindap anthrax. Miliaran endospora bakteri ini terdapat dalam darah dan organ – organ dalam penderita pada keadaan septisemia. Pada dasarnya seluruh tubuh bangkai penderita, termasuk benda yang keluar dari bangkai tersebut mengandung endospora bakteri ini . Dalam satu mililiter darah setidaknya mengandung 1 miliar endospora. Spora-spora tersebut dapat diterbangkan angin, atau dihanyutkan aliran air kemudian dapat mencemari air, pakan, rumput, peralatan dan sebagainya. 11

Pada hewan sumber infeksi utama penyakit anthrax adalah tanah.Selama masa akhir dari penyakit ini pada hewan, bakteri vegetatif Bacillus anthracis akan keluar dalam jumlah banyak bersama darah penderita melewati lubang – lubang kumlah alami misalnya telinga, hidung, anus. Bakteri ini dengan segera membentuk endospora dan berdiam diri di tanah bertahun –tahun bahkan hingga 60 -70 tahun. Hal inilah yang kemungkinan dapat menjadi sumber infeksi dari anthrax yang terus menerus ada.Tingkat kematian akibat anthrax pada herbivora sekitar 80%. Anthrax pada hewan terdeteksi pada hampir di seluruh negara terutama di daerah mediteranian, Afrika dan Asia. Beberapa produk hewan misalnya bulu domba atau tepung tulang yang diimport dari daerah endemis kemungkinan juga dapat menjadi sumber penularan bila terkontaminasi oleh endospora bakteri ini. Di Amerika beberapa daerah misalnya Louisiana, Oklahoma, Colorado, California merupakan daerah yang secara sporadis sering terjadi kasus anthrax.5

Hampir semua mamalia peka terhadap anthrax. Di Indonesia anthrax

2

Page 3: Content of Jurnal (12)

sering dijumpai pada sapi, kerbau, kambing, domba, kuda dan kadang pada babi. Tanah berkapur dan tanah yang bersifat basa /alkalis merupakan habitat yang sangat sesuai untuk endospora anthrax. Umumnya anthrax menyerang hewan pada musim kering / kemarau, karena rumput sangat langka, sehingga sering terjadi ternak makan rumput yang tercabut sampai akarnya. Lewat akar rumput inilah kemungkinan bisa terbawa pula spora dari anthrax.

Berdasar penelitan yang selama ini telah dilakukan, pada manusia, dilaporkan tingkat kematian mencapai 18 persen.11

Di Indonesia, anthrax pertama kali ditemukan di Teluk Betung Propinsi Lampung pada tahun 1884. Pada tahun 1885 dilaporkan terjadi anthrax di Buleleng (Bali), Rawas (Palembang) dan Lampung. Pada tahun 1886 anthrax dilaporkan terjadi di daerah Banten, Padang, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Menurut Sukmanegara, seorang ahli yang mendalami penyakit anthrax, epidemi penyakit ini pada sapi, kerbau, kambing, domba dan babi terjadi pada periode 1906-1957 di berbagai daerah di Indonesia seperti Jambi, Palembang, Padang, Bengkulu, Buktitinggi, Sibolga, Medan, Jakarta, Purwakarta, Bogor, Priangan, Banten, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surakarta, Banyumas, Madiun, Bojonegoro, Sumbawa, Sumba, Lombok, Flores, Bali, SulawesiSelatan, Menado, Donggala dan Palu. Tahun 1975, wabah anthrax berjangkit di enam daerah, yaitu Jambi, Jawa Barat, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan dan Sulewesi Tenggara. Derajat sakit (morbidity rate) tiap 100.000 populasi hewan dalam ancaman tiap provinsi menunjukkan derajat tertinggi ada di Jambi (530 tiap 100.000) dan terendah di JawaBarat (0,1 tiap 100.000). Dari laporan itupun diketahui, lima daerah mempunyai derajat sakit lebih rendah dari 15 tiap 100.000 populasi dalam ancaman dan hanya Jambi yang mempunyai angka ekstrim. Tahun 1980, di Nusa Tenggara Timur terjadi anthrax di Sumba Timur yang meminta korban sapi, kuda, kerbau, babi,anjing, dan manusia. Hewan yang paling banyak terserang adalah kuda. Manusia yang terserang tidak ada yang

mati, tetapi 14 orang menderita karbunkel kulit. Pada tahun 1990 dilaporkan terjadi serangan penyakit anthrax terhadap peternakan sapi perah di Kabupaten Semarang dan Boyolali yang menyebabkan kematian ratusan ekor sapi. Pada tahun 1994 laporan serangan anthrax hanya berasal dari Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat. Pada bulan April 1997 Indonesia sempat dikejutkan adanya berita kasus anthrax pada sapi yang terjadi di Victoria dan New South Wales (Australia), sebab sebagian daging sapi yang dijual di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia,berasal dari Australia. Maka ,untuk melindungi konsumen diIndonesia, Direktorat Jenderal Peternakan sempat mengeluarkan larangan sementara impor daging sapi dan bahan-bahan asal hewan dari Australia itu, sampai situasi benar-benar aman. Pada tahun 2000, Indonesia di kejutkan lagi dengan munculnya anthrax di peternakan burung unta / Struthio camelus, di Purwakarta, Jawa Barat, bahkan satu-per satu warga yang terserang anthrax bermunculan.

Sedikitnya sudah 10 daerah propinsi yang oleh Departemen Pertanian dinyatakan berisiko untuk usaha peternakan yaitu antara lain Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Papua. Pernyataan tersebut didasarkan atas hasil survei yang dilakukan pada bulan April 2000. 1

Kasus anthrax di Purwakarta Jawa Barat tercatat mulai tahun 1962 di desa Cibungur, 1963 di desa Cirende yang berulang pada tahun 1985 , 1965 di desa Cikadu, 1966 di desa Cibukamanah yang berulang pada tahun 1975 dan 1983, 1985 di desa Cirangkong, 1999-2000 di desa Cipayungsari.4

PATHOGENESA: Sebagai penentu patogenitas dari

Bacillus anthracis adalah adanya 2 faktor virulensi yaitu capsul dan antigen toxin yang berupa exotoxin complex yang terdiri dari PA /Protective Antigen, LF / Lethal Factor dan EF /Edema Factor yang dapat dihasilkan. Capsul akan menyebabkan gangguan pada proses fagositosis sedangkan exotoxin complex

3

Page 4: Content of Jurnal (12)

berhubungan dengan gejala yang ditimbulkan. Protective Antigen akan mengikat receptor yang selanjutnya diikuti masuknya Lethal Factor dan Edema Factor ke dalam sel. Sinergi antara PA dengan EF akan menyebabkan edema sedangkan sinergi antara PA dengan LF akan menyebabkan kematian. 5

Anthrax terutama menyerang hewan ternak sapi,kambing, domba / biri-biri, kuda. Endospora dariBacillus anthracis yang mencemari tanah kemungkinan akan menempel pada rerumputan atau tanaman lainnya dan termakan oleh ternak. Manusia umumnya terinfeksi oleh endospora bakteri ini melalui lesi di kulit, inhalasi atau per oral.

Setelah infeksi, endospora bakteri ini akan tumbuh menjadi bakteri vegetatif pada jaringan di tempat endospora masuk. Bakteri vegetatif ini akan menyebabkan edema gelatinosa dan congesti. Selanjutnya terjadi penyebaran bakteri ini melalui aliran lymphe menuju aliran darah dan terjadi bakteriemia hingga sepsis.

MANIFESTASI KLINIS : Gejala klinis Anthrax pada hewan

diawali dengan suhu tubuh tinggisekitar 41 - 42 °C, kehilangan nafsu makan yang mengarah kepada terhentinya produksi susu pada sapi perah, edema di sekitar leher, hidung, kepala dan scrotum, selain itu penderita terlihat sempoyongan, gemetar dan dengan segera timbul kematian. Penderita yang lemah biasanya mati dalam waktu 1 - 3 hari.Pada babi dan kuda umumnya lebih tahan, gejala penyakit berjalan secara kronis dan menyebabkan pembengkakan pada daerah tenggorokan.4

Manusia dapat terinfeksi melalui salah satu dari ketiga kemungkinan yaitu melalui kulit, melalui inhalasi atau melalui ingesti.

Manifestasi klinis pada manusia tergantung dari jalan masuknya endospora Bacillus anthracis ke dalam tubuh host. Cutaneous anthrax merupakan manifestasi klinis terbanyak pada manusia, dinyatakan sekitar 95% dari kejadian anthrax. 2,3,5,9

Pada manusia, cutaneous anthrax bermula dari infeksi oleh endospora bakteri ini melalui lesi kulit. Dalam waktu 12 -36 jam setelah infeksi akan timbul

papula yang akan berubah segera menjadi vesicular yang berisi cairan berwarna biru gelap. Ruptur dari vesicular akan meninggalkan bekas berupa eschar kehitaman pada bagian pusat lesi dan dikelilingi oleh daerah menonjol yang merupakan reaksi keradangan. Ulcus necrotic inilah yang sering disebut sebagai malignant pustule yang sering terjadi di kulit tangan, lengan, atau kulit kepaladan tidak terasa sakit.2,5,9

Pada cutaneous anthrax, umumnya penderita mengeluh demam subfebris dan sakit kepala. Pada pemeriksaan, umumnya di daerah terbuka seperti muka, leher, lengan dan tangan ditemukan kelainan berupa papula, vesicula yang berisi cairan dan jaringan nekrotik berbentuk ulsera yang ditutupi oleh kerak berwarna hitam, kering yang disebut eschar ( pathognomonik ) disekitar ulkus, sering didapatkan eritema dan edema. Pada perabaan edema tersebut tidak lunak dan tidak lekuk ( non pitting ) bila ditekan, disebut juga malignant pustule.11

Infeksi oleh endospora bakteri ini melalui inhalasi akan menimbulkan mediastinitis, demam, malaise, myalgia, batuk non produktif, kemudian dapat menjadi parah dengan adanya edema paru, pneumonia haemorrhagic sehingga terjadi respiratory distress dan cyanosis serta dalam beberapa kasus dapat terjadi kematian dalam waktu 24 jam. Pada anthrax bentuk pernapasan ini, biasanya terjadi pada orang –orang yang menangani produk – produk hewan misalnya pada penyortir bulu domba, sehingga sering disebut sebagai wool-sorter’s disease. 2,3,5,9

Pada anthrax bentuk pernapasan keluhan penderita umumnya demam subfebris, batuk non produktif, lesu, lemah dan dalam 2 - 4 hari kemudian terjadi gangguan pernafasan hebat disertai suhu yang meningkat, cyanosis dyspneu, keringat berlebihan, dan detak jantung menjadi lebih cepat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema subkutan di daerah dada dan leher. 11

Pada anthrax bentuk pencernaan, infeksi endospora didapatkan melalui oral karena makanan yang tercemar dan ditandai dengan gejala sakit perut, nausea, vomit dan diare , bahkan dapat terjadi haematemesis dan diare berdarah akibat

4

Page 5: Content of Jurnal (12)

ulcerasi pada mucosa gastrointestinal. Walaupun dapat mengakibatkan kehilangan banyak cairan darah sehingga terjadi schock dan kematian tetapi pada manusia bentuk ini merupakan yang paling jarang terjadi. 2,3,5

Pada anthrax saluran pencernaan keluhan penderita biasanya adalah rasa sakit perut yang hebat, mual, muntah, tidak nafsu makan, suhu badan meningkat dan hematemesis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan perut membesar dan keras serta dapat berkembang menjadi ascites dan edema scrotum.11

Ketiga bentuk anthrax tersebut di atas memungkinkan terjadinya gejala lebih lanjut berupa meningitis yang fatal akibat septicemia. Anthrax meningitis merupakan akibat dari komplikasi bentuk anthrax yang lain. Gejala klinisnya seperti radang otak maupun selaput otak yaitu demam, sakit kepala hebat, kejang, penurunan kesadaran dan kaku kuduk. 2,5,11

DIAGNOSIS LABORATORISUntuk penegakan diagnosa perlu

dilakukan pemeriksaan laboratoris dengan pengecatan langsung atau kultur terhadap specimen yang diambil dari malignant pustule, sputum , darah atau discharge penderita. Hal ini tergantung dari manifestasi klinis yang terjadi pada penderita tersebut. Kesulitan dalam isolasi Bacillus anthracis dari kultur ini umumnya adalah banyaknya bakteri pencemar berupa genus Bacillus yang non pathogen misalnya Bacillus cereus. Beberapa sifat dari Bacillus anthracis yang berbeda dengan Bacillus cereus dapat digunakan untuk membedakan keduanya misalnya kemampuan membentuk capsule, sensitive terhadap penicillin, non motil dan kemampuan melisis bakteriophaga merupakan sifat Bacillus anthracis yang tidak dimiliki oleh Bacillus cereus.3,5,9

Immunodiagnostik berupa test PCR atau Elisa juga dapat dilakukan sebagai diagnosa laboratoris selain Test ascoli yang merupakan test serologis khususnya terhadap hewan yang mati tersangka anthrax.5,7.8,9

Yang perlu diketahui adalah bahwa diagnosa laboratoris terhadap tersangka anthrax hanya boleh dilakukan oleh laboratorium tertentu yang

mempunyai standar BSL2 /Biological Safety Level 2.9,10,11

PENANGANAN PENYAKITPada hewan : pada setiap kejadian

atau dugaan anthrax pada hewan harus segera dilaporkan kepada Dokter Hewan yang berwenang dan Dinas Peternakan setempat, karena dampaknya bisa sangat luas apabila dilakukan penanganan yang salah. Pengobatan dapat menggunakan penisilin, tetrasiklin, dan preparat sulfa. Apabila pengaruh obat sudah hilang, vaksinasi baru dapat dilakukan sebab pengobatan dapat mematikan endospora yang terkandung dalam vaksin. Untuk memutus rantai penularan, bangkai ternak tersangka anthrax dan semua material yang diduga tercemar misalnya karena pernah bersinggungan dengan hewan penderita harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur dalam-dalam serta bagian atas dari lubang kubur dilapisi batu kapur secukupnya. Area penguburan hendaknya diberi tanda supaya semua pengembalaan hewan di area sekitar menjauhi lokasi penguburan. 4

Pada manusia, penanganan yang baik senantiasa harus berpedoman pada pengamatan komprehensif, sehubungan dengan penanganan penyakit antraks ini perlu kiranya dilakukan anamnesa terarah karena diagnosa dini penyakit anthrax umumnya sulit ditegakkan. Seperti diketahui bahwa pada awalnya anthrax menunjukkan gejala dan tanda yang bersifat umum seperti demam subfebris, sakit kepala. Oleh karena sebagian besar manifestasi klinis penyakit antraks adalah antraks kulit maka umumnya penderita datang dengan keluhan demam, sakit kepala disertai tumbuhnya papula yang gatal atau vesikel yang berisi cairan. Pada keadaan seperti inilah perlu dilakukan anamnesa terarah seperti adanya riwayat sering kontak dengan ternak atau produknya, status pekerjaan misalnya petani ladang, peternak, pegawai Rumah Potong Hewan, penyamak kulit dantidak kalah pentingnya bagi kalangan medis adalah mengetahui dimana dia berada, di wilayah endemis atau perbatasan.

Mendeteksi secara dini penyakit anthrax dapat mudah dilakukan bila kalangan medis sudah pernah melihat

5

Page 6: Content of Jurnal (12)

secara langsung kelainan pathognomonis yang ada seperti eschar pada kulit, yaitu kerak hitam yang berada ditengah ulkus yang mongering.

Pada manusia pemberian antibiotik intravena direkomendasikan pada kasus antraks inhalasi, gastrointestinal dan meningitis. Bacillus anthracis resisten terhadap antibiotika yang sering dipergunakan pada penanganan sepsis seperti sefalosporin tetapi hampir sebagian besar bakteri ini sensitif terhadap penisilin, doksisiklin, siprofloksasin, kloramfenikol, vankomisin, sefazolin, klindamisin, rifampisin, imipenem,aminoglikosida, sefazolin, tetrasiklin, linezolid, dan makrolid. Bagi penderita yang alergi terhadap penisilin maka kloramfenikol, eritromisin, tetrasikilin, atau siprofloksasin dapat diberikan.6

Pemberian antibiotika topikal tidak dianjurkan pada cutaneous anthrax dengan gejala sistemik, edema yang luas, atau lesi di kepala dan leher, dan sebaiknya diberikan antibiotika intravena. Walaupun sudah ditangani secara dini dan adekuat, prognosis anthrax inhalasi, anthrax gastrointestinal, dan anthrax meningeal biasanya tetap buruk. Pada cutaneous anthrax dan gastrointestinal anthrax yang bukan karena bioterorisme, pemberian antibiotika harus tetap dilanjutkan hingga paling tidak 14 hari setelah gejala reda. Oleh karena anthrax inhalasi secara cepat dapat memburuk, maka pemberian antibiotika sedini mungkin sangat diperlukan. Keterlambatan pemberian antibiotika sangat mengurangi angka kemungkinan hidup. Oleh karena pemeriksaan mikrobiologis yang cepat masih sulit dilakukan maka setiap orang yang memiliki risiko tinggi terkena anthrax harus segera diberikan antibiotika sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Untuk kasus anthrax inhalasi, Food and Drug Administration / FDA menganjurkan penggunaan antibiotika penisilin, doksisiklin, dan siprofloksasin sebagai antibiotika pilihan.6

Karena kemungkinan telah dilakukan rekayasa kuman sehingga resisten terhadap beberapa antibiotik maka siprofloksasin merupakan obat pilihan

utama pada antraks bioterorisme. Antibiotik profilaksis diberikan pada penduduk yang terpapar endospora bakteri ini. Vaksinasi diberikan pada kelompok risiko tinggi terpapar endospora. Sementara itu pengendalian infeksi dan dekontaminasi juga perlu dilakukan.Untuk kasus anthrax yang diduga karena bioterorisme, seperti setelah adanya serangan anthrax yang terjadi pada tahun 2001 di Amerika Serikat dan berdasarkan uji kepekaan yang dilakukan, CDC menganjurkan pemakaian kombinasi 2-3 antibiotika untuk pengobatan antraks inhalasi. Pemberian dua atau lebih antibiotika secara intravena dikatakan sangat bermanfaat meningkatkan angka harapan hidup, mengingat kemungkinan adanya rekayasa terhadap bakteri Bacillus anthracis dipakai sebagai serangan bioterorisme , sehingga bakteri menjadi resisten terhadap satu atau lebih antibiotika.6,10,11

Pada hewan coba, pemberian antibiotika pada infeksi anthrax dapat menekan respon kekebalan. Walaupun seseorang yang menderita anthrax inhalasi tetap hidup setelah pemberian antibiotika, mengingat proses germinasi spora dapat tertunda, maka kemungkinan kambuh dapat terjadi, oleh karena itu bagi penderita anthrax inhalasi atau seseorang yang terpapar dengan spora anthrax secara inhalasi, dianjurkan pemberian antibiotika harus dilanjutkan paling tidak hingga 60 hari dan bila keadaan penderita telah membaik maka pemberian antibiotika dapat diganti menjadi per oral.6

Di Indonesia, karena setiap petugas kesehatan sudah dilatih untuk menangani, sebaiknya bila ada penderita yang diduga menderita anthrax maka sebaiknya segera dibawa ke Puskesmas atau rumah sakit. Menurut staf ahli Bidang Kesehatan Lingkungan dan Epidemiologi Depkes dr I Nyoman Kandun MPH, pemerintah menyediakan obat untuk anthrax di seluruh kabupaten endemis anthrax, pemerintah juga memberikan pelatihan surveillance dan diagnosis klinis serta laboratorium di empat provinsi endemis. Pemerintah juga telah mendistribusikan poster, leaflet, dan buku petunjuk penanganan anthrax serta melakukan kerja sama lintas sektoral

6

Page 7: Content of Jurnal (12)

dalam pemberantasan anthrax dan langkah penanggulangan lain.11

Pada anthrax kulit dapat diberikan Procain penisilin 2 x 1,2 juta IU diberikan secara IM selama 5 - 7 hari. Atau dapat juga dengan menggunakan benzil penicillin 2500 IU secara IM setiap 6 jam. Perlu diperhatikan mengingat drug of choise untuk antraks adalah penicillin sehingga sebelum diberikan suntikan harus dilakukan skin test terlebih dahulu. Bila penderita/ tersangka hipersensitif terhadap penisilin dapat diganti dengan memberikan tetrasiklin, klorampenikol atau eritromisin. 11

Pada anthrax intestinal dan pulmonal dapat diberikan Penisilin G 18 - 24 juta IU / hari, IVFD ditambah dengan streptomisin 1 - 2 gram untuk tipe pulmonal, dan untuk tipe gastro intestinal tetrasiklin 1 gram/ hari. Terapi supportif dan simptomatis perlu diberikan, biasanya plasma ekspander dan regiment vasopresor bila diperlukan. Pada anthrax intestinal dapat pula menggunakan chloramphenicol 6 gram/ hari selama 5 hari, kemudian diteruskan 4 gram/ hari selama 18 hari, diteruskan dengan eritromisin 4 gram/ hari untuk menghindari supresi pada sumsum tulang.11

Penanganan di Rumah Sakit : penderita anthrax yang dirujuk ke Rumah Sakit umumnya penderita yang penyakitnya makin memburuk seperti adanya septikemi, syok, dan dehidrasi, untuk itu penanganannya adalah harus dirawat di ruang isolasidan dilakukan tindakan medik dan pemberian obat-obatan simptomatis/ supportif, antibiotika,desinfeksi terhadap ekreta dan sekreta yang dikeluarkan penderita serta pengambilan dan pengiriman spesimen ke Laboratorium.11

PENCEGAHANBerbagai upaya dapat dilakukan

untuk mencegah penularan anthrax pada manusia diantaranya dengan menghindari kontak langsung dengan bahan atau makanan yang berasal dari hewan yang dicurigai terkena anthrax. Selain itu perlu dilakukan pemusnahan bangkai hewan yang mati karena anthrax secara benar sehingga tidak memungkinkan endospora dari bakteri ini untuk menjadi sumber

infeksi. Vaksinasi pada hewan ternak perlu dilakukan untuk mencegah infeksi pada ternak sapi, kerbau, kambing, domba maupun kuda.

KESIMPULAN Anthrax merupakan penyakit

zoonosis yang dapat menimbulkan kematian

Anthrax disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, suatu bakteri berbentuk batang Gram positif yang dapat membentuk endospora

Endospora Bacillus anthracis tahan hingga puluhan tahun di dalam tanah sehingga merupakan sumber penularan yang sulit untuk dieradikasi

Infeksi anthrax pada manusia dapat melalui 3 jalur yaitu per oral, per inhalasi dan per cutan

Urutan manifestasi klinis anthrax pada manusia dari yang tersering adalah tipe cutaneous anthrax ( malignant pustule ), pulmonary anthrax dan gastrointestinal anthrax

Diagnosa laboratoris hanya diperbolehkan pada laboratorium tertentu yang berstandar BSL2

Bacillus anthracis peka terhadap penicillin dan tetracycline sehingga merupakan antibiotika pilihan

Pencegahan infeksi anthrax dapat dilakukan dengan cara menghindari kontak dengan hewan tersangka beserta produknya serta melakukan vaksinasi pada ternak yang rentan serta memusnahkan bangkai hewan penderita

KEPUSTAKAAN1. Bisnis Indonesia. 2000. Sepuluh

Propinsi Berbahaya Untuk Lokasi Peternakan. 07 Mei 2000.

2. Brooks GF et al.1996. Mikrobiologi Kedokteran.Ed 20.hal 194-196.

3. Chin J.2006.Manual Pemberantasan Penyakit Menular.Ed 17. hal 23-30.

4. Dharmojono. 2000. Anthrax, Penyakit Ternak Mengejutkan

7

Page 8: Content of Jurnal (12)

Tetapi Tidak Mengherankan. Infovet Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan; Ed 67, Pebruari 2000.

5. Joklik WK et al. 1996. Zinsser Microbiology.20th Ed. hal 615-620.

6. Pohan HT.2005. Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaan Antraks.Majalah Kedokteran Indonesia; vol 55; no 1; hal 23- 29.

7. Todar K.2009. Textbook of Bacteriology : Bacillus anthracis & anthrax.

8. Tortora GJ et al.2009.Microbiology.10thEd.Pearson International Edition.

9. Weyant RS et al.2001.Basic Laboratory Protocols for the Presumptive Identification of Bacillus anthracis.CDC.

10. www.bioterorism.slu.edu. Bioterorism Agent : fact sheet Anthrax /Bacillus anthracis.

11. www.infeksi.com. Pusat Informasi Penyakit Infeksi Rumah Sakit Prof.dr.Sulianti Saroso.

8

Page 9: Content of Jurnal (12)

HYMENOLEPIASIS NANABagus Uda Palgunadi

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma SurabayaAbstrak :Hymenolepiasis nana adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi stadium dewasa maupun stadium larva dari cacing pita kerdil Hymenolepis nana yang secara primer merupakan parasit pada manusia. Manusia merupakan sumber infeksi yang paling penting bagi manusia lainnya, walaupun tikus dan mencit juga dapat menjadi sumber infeksi dari cacing pita ini. Dalam siklus hidupnya Hymenolepis nana tidak memerlukan hospes perantara. Akibat infeksi dari cacing ini biasanya tidak menimbulkan kerusakan pada mukosa usus tetapi dapat terjadi desquamasi sel epithel dan nekrosis pada tempat perlekatan cacing dewasa, sehingga dapat menimbulkan enteritis pada infeksi yang berat.Diagnosa ditegakkan dengan cara menemukan telur yang khas pada feses penderita. Praziquantel merupakan obat pilihan terhadap hymenolepiasis nana. Untuk menekan dan menghindari infeksi cacing pita ini, perlu meningkatkan kebersihan lingkungan, kebersihan perorangan terutama pada keluarga besar, meningkatkan kesadaran dan higienes pada anak-anak, mengobati penderita sehingga tidak menjadi sumber penularan serta memberantas hospes reservoar sebagai sumber infeksi seperti tikus dan hewan pengerat lainnya.Kata kunci : Hymenolepiasis nana, Hymenolepis nana, cacing pita kerdil, zoonosis , enteritis.

HYMENOLEPIASIS NANABagus Uda Palgunadi

Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma SuarabayaAbstract :Hymenolepiasis nana is a zoonosis disease caused by infection in adult stage or larvae stage of dwarf tapeworm Hymenolepis nana , that has primarily become a parasite for humans. Human is a main infection source for other human being, even though mouse and mice can also be the infection source of this disease. In its life cycle, Hymenolepis nana doesn't need any intermediate host. The infection doesn't affect on intestinal mucosa , but it may lead to the desquamasi of epithel cell and necrosis in which the parasite attached, causing enteritis in certain severe infection cases. This disease is diagnosed by finding typical type of egg inside the patient's feces. Praziquantel is a drug of choice against hymenolepiasis nana. To repress and avoid the infection, we must rise the sanitary awareness in our surroundings at the individual level and for children. Medication treatment for the infected patients is also need to prevent further contamination, and eradication of hospes recervoar as its source of infection, such as mouse and other rodents animals, is recommended as well. Keyword : hymenolepiasis nana, Hymenolepis nana, dwarf tapeworm, zoonosis, enteritis

PENDAHULUAN :Hymenolepiasis merupakan

penyakit zoonosis yang disebabkan oleh dua spesies cacing pita kerdil /dwarf tapeworm dari genus Hymenolepis yang menginfeksi manusia. Dua spesies tersebut adalah Hymenolepis nana yang secara primer merupakan parasit pada manusia dan Hymenolepis diminuta yang secara primer merupakan parasit pada tikus, mencit dan rodensia lain tetapi dapat juga menginfeksi manusia.

Hymenolepiasis nana merupakan penyakit cacing pita yang disebabkan oleh Hymenolepis nana stadium dewasa maupun stadium larva yang menginfeksi saluran usus manusia.

Di Indonesia kejadian hymenolepiasis nana relatif rendah dibanding dengan kejadian infeksi oleh

cacing pita lainnya. Menurut survey yang dilakukan Sri S Margono, di Jakarta ditemukan cacing pita ini sejumlah 0,2-1 % dari seluruh sampel survey yang diperiksa terhadap cacing pita di Indonesia, sedangkan menurut penelitian Adi sasongko dari 101 sampel yang diteliti hanya satu sampel yang positif terdapat telur Hymnolepis nana.(Margono SS,1989 ; Sasongko A dkk, 2002)

EPIDEMIOLOGI: Hymenolepis nana tersebar secara

kosmopolitan diseluruh dunia terutama di daerah sub tropis maupun tropis serta lebih banyak terjadi didaerah panas daripada di daerah dingin. (Maegraith B, 1985)

Daerah penyebaran Hymenolepis nana antara lain adalah Mesir, Sudan,

9

Page 10: Content of Jurnal (12)

Thailand, India, Jepang, Amerika Selatan yaitu Brazilia dan Argentina, Eropa Selatan yaitu Portugal, Spanyol dan Sicilia. (Manson-Bahr PEC and Bell DR, 1987)

Kejadian Hymenolepiasis nana sering terjadi pada para imigran yang berasal dari daerah kering dan biasanya infeksi pada penderitanya bersifat asymtomatis. (Strickland GT, 1984).

Hymenolepis nana adalah cacing pita kerdil yang merupakan parasit paling sering dijumpai pada manusia khususnya di Asia. Karena siklus hidupnya secara langsung, maka memungkinkan penularannya dari manusia ke manusia dengan cepat dapat terjadi. Parasit ini merupakan cacing pita terkecil serta satu-satunya cacing pita yang tidak memerlukan induk semang antara / intermediate host. (Duerden BI et al.,1987 ; Brooks GF et al,1996).

Anak-anak lebih sering terinfeksi Hymenolepis nana daripada orang dewasa terutama pada anak-anak usia 8 tahun. Pada tahun 1942 diperkirakan lebih dari 20 juta orang terinfeksi oleh cacing pita ini, survey menunjukkan bahwa angka kejadiannya berkisar antara 0,2 – 3,7 %, walaupun pada daerah tertentu angka kejadiannya mencapai 10 % pada anak-anak yang menderita akibat infeksi oleh cacing pita ini. Namun menurut Markell, gambaran prevalensinya saat ini belum diketahui secara pasti. ( Neva A and Brown HW,1994 ; Joklik WK et al,1996 ; Markell EK et al,1992)

Prevalensi infeksi cacing pita ini tinggi pada daerah dengan kondisi hygiene pribadi dan lingkungan yang kurang baik. Infeksi lebih sering terjadi di dalam lingkungan keluarga ataupun di dalam suatu institusi dari pada di dalam populasi yang besar. (Strickland GT, 1984).

Infeksi oleh cacing ini sering terjadi pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi dan status imunodefisiensi. Infeksi mungkin mulai terjadi pada awal tahun kehidupannya tetapi gejala klinisnya baru timbul setelah 5 tahun kemudian. (Duerden BI et al, 1987).

Infeksi terjadi secara langsung melalui tangan ke mulut, atau infeksi dapat terjadi karena menelan telur cacing yang mengkontaminasi makanan atau

minuman. Kebiasaan yang kurang sehat dari anak-anak menyebabkan prevalensi infeksinya cukup tinggi pada anak-anak. ( Chin J, 2006 : Roberts J and Janovy Jr, 2000).

Manusia merupakan sumber infeksi yang paling penting bagi manusia lainnya, walaupun tikus dan mencit juga dapat menjadi sumber infeksi dari cacing pita ini. Penularan melalui ingesti feses rodent yang mengandung telur cacing pita ini lebih sering terjadi dari pada melalui ingesti kumbang yang terinfeksi. Autoinfeksi dapat terjadi akibat infestasi dari ratusan cacing pita ini pada host tunggal ( Joklik WK, 1996).

Manusia merupakan reservoar alamiah dan penularan biasanya terjadi secara langsung dari manusia ke manusia lainnya dengan cara ingesti telur yang ada dalam feces penderita. Walaupun penularan melalui makanan dan minuman dapat juga terjadi, tetapi hal tersebut jarang dijumpai karena telur cacing pita ini mempunyai daya tahan yang rendah diluar hostnya. Larva dari flea dan kumbang dapat terinfeksi setelah ingesti telur cacing pita ini dan berkembang menjadi cisticercoid di dalam hemocoelenya. (Strickland GT, 1984)

ETIOLOGI :Morfologi : Hymenolepiasis nana

disebabkan oleh Hymenolepis nana yang merupakan cacing pita yang sangat pendek dengan ukuran panjang 25 – 40 mm dan lebar 0,1 - 0,5 mm, dengan jumlah proglotidnya mencapai 200 buah. Scolex bulat dengan 4 batil isap seperti mangkok, memiliki rostelum yang pendek dan refraktil, berkait kecil dalam satu baris. Bagian lehernya panjang dan permukaannya halus. Strobila dimulai dari proglotid muda yang sangat pendek dan sempit, belum terbentuk organ genital, kearah distal semakin lebar dan pada ujung distal strobila membulat. Proglotid dewasa berbentuk trapezium dengan lebar proglotid kira-kira 4 kali panjangnya, mempunyai ovarium sebuah dan berlobus, mempunyai testis bulat berjumlah 3 buah dengan porus genitalis unilateral. Pada proglotid gravid yang berbentuk trapezium, mempunyai lebar 4 kali panjangnya serta uterus berbentuk kantung

10

Page 11: Content of Jurnal (12)

yang berisi 80 – 180 butir telur. ( Neva A and Brown HW, 1994 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009)

Telur Hymenolepis nana berbentuk oval atau bulat dengan ukuran 47 x 37 mikron, memiliki dinding berupa dua lapis membrane yang melindungi embrio heksakan di dalamnya. Pada kedua kutub membrane sebelah dalam, terdapat dua buah penebalan dimana keluar 4-8 filamen halus. Adanya filamen inilah yang dapat membedakan telur Hymenolepis nana dari Hymenolepis diminuta.

Siklus hidup : Habitat cacing ini adalah pada 2/3 bagian atas dari ileum. Cacing ini dapat hidup sampai beberapa minggu, sedangkan telur cacing ini hanya dapat bertahan hidup selama 2 minggu setelah dikeluarkan bersama feses hostnya. Hospes definitif dari cacing ini adalah manusia, mencit dan tikus. Cacing ini di dalam siklus hidupnya tidak memerlukan hospes perantara, kecuali Hymenolepis nana var. fraterna yang hospes alamiahnya adalah tikus dan menggunakan flea serta kumbang sebagai hospes perantaranya. Proglotid gravid Hymenolepis nana akan pecah didalam usus penderita dan mengeluarkan telur yang segera menjadi infektif bila dikeluarkan bersama feses penderita. Manusia tertular jika memakan telur cacing ini. Di dalam usus halus, telur akan menetas menjadi oncospher dan menembus villi usus halus serta akan kehilangan kaitnya. Selanjutnya dalam 4 hari kemudian akan menjadi larva cysticercoid. Larva ini terdapat pada tunica propria usus halus penderita. Beberapa hari kemudian larva ini akan kembali ke lumen usus penderita untuk menjadi dewasa dalam waktu 2 minggu. ( Neva A and Brown HW, 1994 ; Duerden BI, 1987).

Dalam 30 hari setelah infeksi, dapat ditemukan telur dalam tinja hospes. Kadang-kadang telur dapat menetas di dalam lumen usus halus penderita kemudian oncospher akan menembus villi usus dan siklus hidupnya akan berulang kembali. Cara infeksi yang demikian ini disebut sebagai autoinfeksi interna yang dapat memperberat infeksi sehingga memungkinkan terjadi reinfeksi pada

individu yang sama. (Neva A and Brown HW, 1994 ; Joklik WK, 1996).PATOGENESA DAN MANIFESTASI KLINIS

Perubahan patologis akibat hymenolepiasis nana tergantung pada intensitas infeksi, status imunologis hospes dan adanya penyakit-penyakit lain yang menyertainya. Akibat infeksi dari cacing ini biasanya tidak menimbulkan kerusakan pada mukosa usus tetapi dapat terjadi desquamasi sel epithel dan nekrosis pada tempat perlekatan cacing dewasa, sehingga dapat menimbulkan enteritis pada infeksi yang berat.

Infeksi yang ringan biasanya tidak menimbulkan gejala klinis /asymptomatis atau hanya timbul gangguan pada perut yang terlihat kurang nyata. Pada infeksi yang berat akibat infestasi lebih dari 1000 cacing, terutama pada anak-anak yang biasanya merupakan autoinfeksi interna dapat menimbulkan gejala berupa kurangnya nafsu makan, penurunan berat badan, nyeri epigastrium, nyeri perut dengan atau tanpa diare yang disertai darah, mual, muntah, pusing, toxaemia, pruritus anal, uticaria serta gangguan syaraf misalnya irritabilitas, konvulsi dan kegelisahan. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK, 1996; Maegraith B, 1985; Manson-Bahr PEC and Bell DR, 1987; Ghaffar A and Brower G, 2010; Roberts L and Janovy Jr, 2000; Markell EK, 1992; Strickland GT, 1984)

Hymenolepiasis nana yang berat pada anak – anak dapat menimbulkan asthenia, penurunan Berat badan, hilangnya nafsu makan, insomnia, nyeri perut disertai diare, muntah , pusing , gangguan saraf serta reaksi alergi pada anak yang sensitive. Anemia sekunder dan eosinofilia antara 4-16% kemungkinan dapat pula terjadi. Pada anak – anak juga sering terjadi autoinfeksi interna sehingga dimungkinkan terjadi infeksi berat yaitu diare bercampur darah, sakit perut dan gangguan sistemik yang berat. ( Soedarto,2008 ; Ongkowaluyo JS, 2002)

DIAGNOSAGejala klinis pada hymenolepiasis

nana biasanya tidak jelas sehingga diagnosa penyakit ini tergantung pada pemeriksaan laboratorium dengan

11

Page 12: Content of Jurnal (12)

ditemukannya telur dalam feses penderita. Proglotid biasanya tidak ditemukan di dalam feses, karena telah mengalami desintegrasi di dalam usus sebelum dikeluarkan. Bila ditemukan cacing dewasa dalam feses, indentifikasi dilakukan pada bagian scolexnya yang berbeda dengan cacing pita yang lain. (Joklik WK, 1996)

Diagnosa pasti terhadap hymenolepiasis nana dapat ditegakkan dengan menemukan telur yang mempunyai gambaran khas pada feces penderita. Telur Hymenolepis nana dapat dibedakan dengan telur Hymenolepis diminuta, karena telur Hymenolepis nana ukurannya relatif lebih kecil dan mempunyai 4-8 filamen yang disebut sebagai polar filament, sedangkan telur Hymenolepis diminuta ukurannya relatif lebih besar dan tidak mempunyai polar filament. (Markell B, 1992)

PENGOBATANSebagai obat pilihan dapat

diberikan Niclosamide /Yomesan dengan dosis 2,0 gram, dikunyah, sekali sehari diberikan selama 5-7 hari. Obat lain yaitu Praziquantel peroral dengan dosis tunggal 15 mg/kg barat badan diberikan setelah makan pagi. Praziquantel ternyata cukup toleran dan berhasil lebih baik daripada niclosamide. Obat ini akan menimbulkan pembentukan vakuola pada leher cacing. (Natadisastra D dan Agoes R, 2009)

Obat lain yang dapat digunakan adalah Paramomysin dan Quinacrine walaupun dalam hal ini Paramomysin kurang efektif, sedangkan Quinacrine sedikit bersifat toxic. (Joklik WK,1996; Markell EK et al, 1992).

PENCEGAHAN DAN KONTROLInfeksi oleh cacing pita ini

umumnya terjadi secara langsung dari tangan ke mulut. Pada manusia infeksi selalu disebabkan oleh telur yang tertelan dari benda yang terkontaminasi tanah, dari tempat-tempat defekasi atau langsung dari anus ke mulut.Karena penularan cacing pita ini secara langsung dan manusia sebagai sumber infeksi utama maka pencegahannya agak sulit dilakukan. Untuk menekan dan menghindari infeksi cacing pita ini, perlu

meningkatkan kebersihan lingkungan, kebersihan perorangan terutama pada keluarga besar, meningkatkan kesadaran dan higienes pada anak-anak, mengobati penderita sehingga tidak menjadi sumber penularan serta memberantas hospes reservoar sebagai sumber infeksi seperti tikus dan hewan pengerat lainnya. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK et al, 1996; Onggowaluyo JS, 2002)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Brooks GF et al.1996. Mikrobiologi Kedokteran.Ed 20.hal 680-682.

Chin J.2006.Manual Pemberantasan Penyakit Menular.Ed 17. hal 321-322.

Duerden BI et al.1987. A New Short Textbook of Microbial and Parasitic Infection. ELBS. hal 156.

Ghaffar A and Brower G.2009. Cestoda (on line) http:www.med.sc.edu:85/parasitology/cestodes.htm April,15,2010 . Diakses 30 Nopember 2009.

Joklik WK et al. 1996. Zinsser Microbiology.20th Ed. hal 1207-1208.

Maegraith B. 1985. Adam and Maegraith Clinical Tropical Diseases. 8 th Ed. ELBS.Blackwell Scientific Publication. hal596, 600.

Manson-Bahr PEC and Bell DR. 1987. Manson`s Tropical Diseases. 19thEd. ELBS. Bailere Tindall. hal 521-524.

Margono SS.1989. Cestodes in Man in Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan,Vol XVII no2,1989

Markell EK et al . 1992. Medical Parasitology. 7thEd.WB Saunders Company, Philadelphia. hal 255-257.

Natadisastra D dan Agoes R. 2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Edisi I. EGC. Jakarta . hal 120-121.

12

Page 13: Content of Jurnal (12)

Neva A and Brown HW .1994. Basic Clinical Parasitology. 6 th Ed. Prentice-Hall International Inc. hal 191-193

Onggowaluyo JS. 2002. Parasitologi Medik I. Edisi I .EGC. Jakarta. hal 113-114.

Roberts L and Janovy Jr, 2000. Foundation of Parasitology. 6th Ed. Mc graw-Hill Higher Education.

Sasongko A dkk.2002..Intestinal Parasitic Infections in Primary School Children in Pulau Panggang and Pulau Pramuka,Kepulauan Seribu. Makara,Kesehatan,vol6,No1,Juni 2002.

Soedarto.2008. Parasitologi Klinik. Airlangga University Press. hal 32-34.

Strickland GT. 1984. Hunter`s tropical Medicine. 6th Ed. WB Saunders Company. Philadelphia. hal 760, 767-770,962.

13

Page 14: Content of Jurnal (12)

PENGGUNAAN PREDNISON PADA PENDERITA ASMA BRONKHIALE DIKAITKAN DENGAN KADAR IgE DAN IgG PENDERITA

Lusiani TjandraBagian Farmasi Kedokteran

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma SurabayaAbstrak

Latar belakang : akhir-akhir ini diperoleh laporan bahwa infeksi virus meningkat pada penderita yang mendapat pengobatan dengan prednison. Maka diadakan penelitian mengenai kadar IgG dan IgE penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison.

Metode : presipitasi dengan alat imun difusi radial. Hasil penelitian: didapat hasil kadar IgG rata-rata penderita asma bronkhial yang

menggunakan prednison sebagai terapi 1332,09 mg/dl, lebih kecil dibanding dengan kadar IgG rata-rata penderita asma bronchial yang tidak menggunakan prednison. Kadar IgE rata-rata penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagai terapi 4224,0.10-5 mg/dl lebih kecil dibanding dengan kadar IgE rata-rata penderita asma bronchial yang tidak menggunakan prednison. Penggunaan prednison sebagai terapi asma bronchial mengakibatkan penurunan kadar IgG, tetapi penurunan yang terjadi masih dalam batas normal IgG manusia dewasa (639 – 1349 mg/dl).

Kesimpulan : Penggunaan prednisone tidak mengakibatkan peningkatan infeksi virus pada penderita asma bronkhial yang mendapat pengobatan dengan prednison.Kata kunci : Asma bronchial, Ig E dan Ig G.

Prednisone USE IN PATIENTS WITH ASTHMA BRONKHIALE linked IgE AND IgG LEVELS PATIENTS

Lusiani TjandraMedical Pharmacist

Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma SurabayaAbstract

Background: There’s been reported that the use of prednisone increase the occurrence of disease caused by viruses. And so, this study was done to find out the IgG and IgE status in asthmatic bronchial patients who used prednisone.

Methods: The immunodiagnostic test applied was the precipitation test. Results: Showed that the average of IgG in asthmatic bronchial patients who used prednisone

is 1332,09 mg/dl, less than the average IgG in patients who did not use prednisone. The average of IgE in asthmatic bronchial patients who used prednisone is 4224,0.10-5mg/dl, less than the average of IgE in patients who did not use prednisone. The use of prednisone as a therapy for asthma bronchiale does lower the rate of IgG but that rate is still within the range of normal IgG rate in human body (639 – 1349 mg/dl).

Conclusions: So, the use of prednisone can’t make human suffers from diseases cause by viruses just because the use of prednison as a therapy in asthma bronchiale.Keywords: Asthmatic Bronchiale, Ig E dan IgG .

PENDAHULUANSeseorang yang pernah kontak

dengan antigen tertentu, maka pada kontak berikutnya dengan antigen yang sama akan menyebabkan respon imunologik sekunder; hal ini merupakan reaksi alami tubuh untuk mempertahankan diri. Pada keadaan tertentu, reaksi imunologik berlangsung berlebihan atau tidak wajar sehingga menimbulkan kerusakan jaringan. Reaksi ini disebut reaksi hipersensitifitas. Salah satu jenis reaksi hipersensitifitas adalah reaksi anafilaktik. Faktor terpenting yang berperan pada

reaksi anafilaktik adalah imunoglobulin E (IgE). Jika molekul antigen berikatan dengan molekul-molekul IgE yang terikat pada sel-sel mastosit atau basofil, dapat mengakibatkan degranulasi sehingga dilepaskan berbagai mediator yang aktif secara farmakologik. Mediator-mediator yang dibebaskan akan mempunyai dampak langsung pada jaringan. Salah satu manifestasinya adalah asma bronkhial (Anderson, 2002).

Asma bronkhiale merupakan suatu penyakit kronik yang menyerang 4-5% penduduk Amerika Serikat, atau kira-kira

14

Page 15: Content of Jurnal (12)

10 juta pasien. Penyakit asma ditandai dengan bronkokonstriksi akut yang menyebabkan pernapasan yang singkat dan cepat, batuk, sesak napas dan mengi. Gejala-gejala akut asma dapat sembuh spontan, atau lebih sering memerlukan terapi seperti agonis- ß2 (Chesnutt, 2008). Respons kedua yang lambat atau fase lambat dapat terjadi 4-12 jam kemudian, mungkin memerlukan pengobatan dengan steroid. Asma tidak sama seperti bronchitis kronis, fibrosis kistik atau bronkiektasis, biasanya bukan suatu penyakit yang progresif, asma bronkhiale dapat menyebabkan penyakit paru obstruktif kronik yang menahun. Jarang, penyakit asma bronkhiale ditandai dengan kekambuhan dan kesembuhan. Kematian akibat asma bronkhiale jarang terjadi, tetapi morbiditas menyebabkan biaya berobat jalan dan rawat inap yang tinggi. Tujuan terapi adalah untuk menghilangkan gejala dan mencegah berulangnya serangan asma (Mycek, 2005)

Glukokortikoid adalah golongan obat yang paling efektif untuk asma bronkhiale, meskipun mekanisme kerja dalam mengobati asma belum diketahui. Diperkirakan efeknya sebagai anti-inflamasi, anti-eosinofilia serta mempertinggi respon reseptor beta sebagai faktor-faktor yang menunjang keefektifannya. Prednison merupakan salah satu obat golongan glukokortikoid, biasanya diberikan peroral untuk pengobatan asma bronkhia1. Obat ini selain mempunyai efek terapeutik juga bekerja menekan respon imun yaitu menekan respon sel B dan sel T terhadap antigen karena akan menyebabkan kerusakan imunitas humoral dan seluler (Mycek, 2005).

Pada tinjauan pustaka akan dibahas efek dari penggunaan prednison pada penyakit asma bronkial dikaitkan dengan kadar IgE dan IgG penderita. Hal ini karena penggunaan prednison yang salah satu efek sampingnya adalah supresi pada sistem imunitas tubuh secara sistemik. Penting bagi seorang dokter untuk mengetahui indikasi dari pemberian suatu corticosteroid, dalam hal ini pemberian prednison. Selain itu juga harus diperhatikan tentang dosis dan lama terapinya. Hal ini dimaksudkan agar

kualitas obat dan efek obat menjadi lebih maksimal dengan menurunkan efek negatif dari obat itu sendiri.

PATOFISIOLOGI ASMA BRONKHIALE

Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas. Inflamasi ditandai dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi pembuluh darah), rubor (kemerahan juga karena vasodilatasi pembuluh darah), tumor (karena eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan sensoris), dan functio laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-akhir ini syarat terjadinya radang harus disertai satu syarat lagi, yaitu infiltrasi sel-sel radang. Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa memandang penyebabnya (Sundaru, 2006).

Pada asma baik alergik maupun non-alergik dijumpai adanya inflamasi dan hiperaktifitas saluran napas, paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai dua keadaan tersebut yaitu jalur imunologis terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur IgE, masuknya antigen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells = sel penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil pengolahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T-helper / T penolong). Sel T penolong akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit, serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, leukotrin, platelet activating factor, bradikinin, tromboksan, dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskuler, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus, dan fibrosis sub-epitel sehingga menimbulkan hiperaktifitas saluran napas. Jalur non-alergik selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf otonom yang menghasilkan inflamasi dan hiperaktifitas saluran napas (Sundaru, 2006).

15

Page 16: Content of Jurnal (12)

Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran nafas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak dan tidak dapat diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume

residual, kapasitas residu fungsional (KRF). Pasien akan bernafas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi bertujuan agar saluran nafas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan dengan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi diperlukan bantuan otot-otot bantu nafas (Sundaru, 2006).

Gambar 1. Mekanisme kerja sitokin pada asma alergika. IL= interleukin; GM-CSF= granulocyte-macrophage colony-stimulating-factor; RANTES = regulated on activation, T cell expressed dan secreted; TNF= tumor necroting factor; SCS= stem cell factor (diambil dari Mcfadden, 2005).

Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara obyektif dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi) sedangkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan adanya penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi (Sundaru, 2006).

Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada daerah-daerah yang kurang

mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan kelainan pada asma sub-klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat, banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hupoksemia dan kerja otot-otot pernapasan menjadi berat

16

Page 17: Content of Jurnal (12)

serta terjadi peningkatan prduksi CO2, hal ini akan mengakibatkan terjadinya asidosis respiratorik atau gagal napas. Dengan penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-hal berikut:

1. Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi.

2. Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak setara dengan sirkulasi darah paru.

3. Gangguan difusi gas di tingkat alveoli.

Ketiga faktor tersebut mengakibatkan hipoksemia, hiperkapnea, asidosis respiratorik pada tahap yang sangat lanjut (Forbes, 2000)

PREDNISONTablet Prednison mengandung

prednison yang merupakan glukokortikoid. Glukokortikoid adalah steroid adrenokortikal, dimana kedua-duanya ada yang alami dan sintetik, yang mudah dan siap diserap melalui traktus gastrointestinalis. Sifat fisiko-kimia dan rumus prednison adalah (Anonim 1, 2009)

Gambar 2. Rumus Bangun Prednison C21H26O5 (di ambil dari Anonim 5, 2009) Nama kimia: 17-hydroxy-17-(2-

hydroxyacetyl)-10,13-dimethyl 7,8,9,10,12,13, 14,15,16,17-decahydro-6H-cyclopenta[a]phenanthrene-3,11-dione.Berat molekul: 358,428 g/mol.Titik leleh: 233-235 °C.Kelarutan dalam air: 312 mg/L.Enzim metabolisme fase 1 yang berperan: CYP3A4.Target primer obat : Glukokortikoid Reseptor (GR), dengan nama gen NR3C1, berfungsi untuk reseptor glukokortikoid. Mempunyai dua model peran: sebagai factor transkripsi yang mengikat kepada elemen respon glukokortikoid (Glukokotikoid Response Element/GRE) dan sebagai modulator untuk faktor transkripsi yang lain. Berpengaruh pada respons inflamasi, proliferasi sel, dan diferensiasi target jaringan (Anonim 1, 2009).

Secara internasional tiap tablet, untuk pemberian per oral, mengandung 5 mg, 10 mg, atau 20 mg untuk USP (anhydrous) prednison (Anonim 3, 2009). Pemberian loading dose tablet prednisone berkisar antara 5 mg sampai 60 mg per hari, tergantung pada keadaan spesifik

yang sedang diterapi (dengan prinsip trial and error). Dosis rendah digunakan untuk menangani keadaan yang kurang berbahaya sedangkan pada pasien tertentu mungkin dibutuhkan loading dose yang tinggi (Fanta, 2009) Loading dose dipertahankan atau disesuaikan sampai respons yang memuaskan, setelah itu pengaturan dosis yang tepat dilakukan dengan pengurangan loading dose obat secara perlahan sampai mencapai dosis yang paling rendah tetapi tetap memberikan respons klinis yang cukup. Jika setelah terapi jangka panjang obat hendak dihentikan, direkomendasikan penghentian dilakukan secara bertahap (Neal, 2005).Dosis untuk eksaserbasi akut asma pada orang dewasa adalah prednison 30mg, 2 kali sehari selama 5 hari. Bila perlu jangka terapi dapat diperpanjang sampai 7 hari dengan dosis yang lebih rendah. Dosis khusus untuk anak-anak dengan asma bronkhial akut yaitu 1-2mg/kgBB/hari untuk 3-10 hari (maksimal 60mg/hari) (Anonim 7, 2009).

17

Page 18: Content of Jurnal (12)

Indikasi Dan Kontraindikasi.Indikasi penggunaan prednison tampak pada tabel di bawah ini (Anonim 5, 2009)

TABEL I. INDIKASI PENGGUNAAAN PREDNISON1. Hiperplasi adrenal. 31. Anemia hipoplastik sejak lahir.2. Reaksi alergi diakibatkan oleh obat. 32. Idiopathic Thrombocytopenia Purpura (ITP)

dewasa.3. Serangan asma akut atau kronis yang

hebat.33. Acute atau Chronic Lymphocytic Leukemia

(ALL/CLL)4. Perennial atau seasonal rhinitis alergika. 34. Thrombositopenia sekunder dewasa.5. Serum sickness. 35. Eritroblastopenia.6. Giant cell arteritis. 36. Bursitis akut atau subakut.7. Rheumatik atau nonrheumatik karditis

akuta.37. Limfoma Hodgkin's atau non-Hodgkin's

8. Dermatomyositis systemik. 38. Epikondilitis9. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). 39. Waldenstrom's makroglobulinemia10. Atopic dermatitis. 40. Tenosinovitis nonspesifik akuta.11. Contact dermatitis. 41. Primary brain tumors (adjunct)12. Exfoliative dermatitis. 42. Sindroma nefrotik.13. Bullous dermatitis. 43. Meningitis tuberkulosa.14. Dermatitis herpetiformis. 44. Multiple sklerosis15. Seborrhoic dermatitis yang parah. 45. Myasthenia gravis.16. Erythema multiforme yang parah

(Sindroma Stevens-Johnson).46. Hiperkalsemia berkaitan dengan neoplasma.

17. Mycosis fungoides. 47. Cerebral edema.18. Pemphigus. 48. Chorioretinitis19. Psoriasis yang parah. 49. Choroiditis posterior difusa.20. Insufisiensi adrenokortikal akut. 50. Conjungtivitis alergika.21. Addison's disease. 51. Herpes zoster ophthalmikus.22. Insufisiensi adrenokortikal sekunder. 52. Infalamasi segmen anterior bola mata.23. Adrenal hiperplasia kongenital. 53. Iridosiklitis.24. Berylliosis. 54. Aspiration pneumonitis.25. Thyroiditis nonsupuratif. 55. Iritis.26. Colitis ulseratif. 56. Keratitis.27. Crohn's disease. 57. Optik neuritis.28. Anemia hemolitik didapat. 58. Sympathetic ophthalmia.29. Corneal marginal allergic ulcers. 59. Sarkoidosis simptomatis.30. Loeffler's syndrome yang tidak dapat

ditangani dengan cara lainnya.60. Fulminating atau disseminated pulmonary

tuberculosis dengan kemoterapi antituberkulosis lainnya.

Kontraindikasi penggunaan kortikosteroid dapat dilihat pada tabel II (Anonim 4, 2009) :

TABEL II. KONTRAINDIKASI PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID.

1. Infeksi jamur sistemik.2. Peptik ulcer.3. Osteoporosis.4. Pankreatitis (kecuali pankreatitis oleh karena sarkoidosis).5. Psikosis.6. Psikoneurosa yang parah.7. Pasien yang baru saja diberi vaksin virus hidup termasuk smallpox.8. Viral hepatitis tidak terkomplikasi.9. Hipersensitifitas terhadap kandungan komponen yang diketahui.

18

Page 19: Content of Jurnal (12)

Mekanisme Kerja ObatGlukokortikoid adalah hormon

yang muncul secara alamiah yang mencegah atau menekan proses radang dan respons imun ketika diberikan dengan dosis farmakologi (Anonim 2, 2009). Pada tingkat molekuler, glukokortikoid yang tidak terikat dapat melintasi membran sel dan yang terikat dengan reseptor sitoplasma yang spesifik, mempunyai ikatan yang afinitas tinggi. Ikatan ini menginduksi respons berupa perubahan transkripsi dan akhirnya terjadi sintesis protein, untuk mencapai kerja steroid yang sesuai dengan harapan. Prednison adalah bentuk sintetik dari steroid dimana obat ini merupakan prodrug yang akan diubah oleh hati menjadi prednisolon yang merupakan bentuk aktif dan steroid. Steroid bekerja dengan cara seperti: inhibisi infiltrasi leukosit pada tempat terjadinya peradangan, ikut bekerja pada fungsi mediator respons radang, dan penekanan pada respons imun humoral. Beberapa efek lainnya seperti reduksi edema atau jaringan parut, juga penekanan secara umum pada respons imun. Kerja anti-inflamasi dari kortikosteroid diperkirakan karena kortikosteroid ikut melibatkan protein inhibitor Fosfolipase A2, yang disebut dengan lipocortins. Lipocortins mengontrol biosintesis mediator radang yang poten seperti prostaglandin dan leukotriene dengan cara menghambat pembentukan asam arakidonat secara tidak langsung melaui mekanisme penghambatan Fosfolipase A2 (Katzung , 2001).

Pola ADME (Rang, 2007)Prednison diabsorbsi dari traktus

gastrointestinalis sebesar 50%-90%. Efek puncak sistemik didapat setelah 1-2 jam konsumsi obat. Obat yang bersirkulasi terikat erat pada protein plasma albumin dan transcortin, dan hanya bagian tidak terikat dari dosis aktif. Sistemik prednison didistribusi secara cepat menuju ginjal, usus, kulit, liver, dan otot. Kortikosteroid terdistribusi pada air susu ibu dan mampu melintasi plasenta.

Prednison dimetabolisme secara aktif di liver menjadi prednisolon oleh hidrogenisasi grup keton pada posisi 11 di hati, kemudian prednisolon dimetabolisme

lagi lebih lanjut menjadi metabolit biologis inaktif (seperti glukonoride dan sulfat).

Prednison diekskresi melalui traktus urinarius sebesar 3 ± 2% tanpa berubah bentuk menjadi prednisolon. Diekskresi dalam bentuk prednisolon sebesar 15 ± 5% bersama dengan beberapa bagian prednisolon yang tidak berubah menjadi metabolit inaktif.

Prednison mempunyai waktu paruh biologis sekitar 18-36 jam dan waktu paruh eliminasi plasmanya adalah 3,5 jam. Sedangkan prednisolon sebagai metabolit aktifnya mempunyai waktu paruh plasma sekitar 2-4 jam. Dalam distribusinya prednison terikat dengan protein plasma albumin dan transcortin sebesar 65%-91%. Prednison mempunyai bioavalibilitas sebesar 80 ± 11% ( Rang, 2007).

TOKSISITASPada penggunaan prednisone

jangka panjang, jika ingin menghentikan pemakaiannya harus melakukan tapering, karena saat pemberian prednisone jangka panjang, glandula adrenal mengalami atrofi dan berhenti memproduksi kortikosteroid tubuh alami. Karena itu penggunaan prednison harus dihentikan secara bertahap sehingga glandula adrenal mempunyai waktu untuk pulih kembali dan melanjutkan produksi kortisol (Suherman, 2008).

Ilustrasi pemberian obat prednison dan mekanisme timbulnya efek samping dapat dilihat pada gambar 3. Dalam gambar 3A tampak keadaan normal jalur Hipotalamus-Hipofise-Organ dalam tubuh seseorang sebelum mengkonsumsi prednison. Pada gambar 3B tampak mulai diberikan dosis normal prednison sehingga produksi hormon kortisol oleh tubuh menjadi mengecil. Pada gambar 3C tampak pemberian prednison dalam jumlah besar dan dengan jangka waktu yang lama sehingga terjadi atrofi dari kelenjar adrenal. Sedangkan pada gambar terakhir 3D, tampak penghentian prednison secara mendadak sehingga kelenjar adrenal yang tadinya atrofi tidak mampu memulihkan dirinya secara sempurna sehingga produksi kortisol alamiah benar-benar terhenti.

19

Page 20: Content of Jurnal (12)

Gambar 3A. Keadaan normal produksi hormon kortisol dalam tubuh manusia melalui Hipothalamus-Hipofise-Cortex adrenal.Gambar 3B. Penggunaan prednison (panah coklat) terjadi penurunan produksi hormon kortisol dalam tubuh penderita.Gambar 3C. Terjadi atropi kelenjar adrenal pada pemberian prednison dalam jumlah besar.Gambar 3D. Terjadi defisiensi hormon kortisol apabila pemberian prednison dalam jangka waktu yang lama tiba-tiba dihentikan tanpa menghiraukan prinsip tapering off (diambil dari Lullmann, 2000).

Efek samping paling khas pada penggunaan prednison adalah keadaan yang disebut dengan moon face (wajah pasien menjadi berisi sehingga terlihat bulat seperti bulan purnama) dan buffalo hump (timbunan lemak berlebih pada punggung bagian atas sehingga tampak seperti punuk kerbau) (Anonim 4, 2009). Efek samping prednison lainnya antara lain tekanan darah menjadi tinggi, berkurangnya kadar kalium dalam plasma, glaukoma, katarak, munculnya ulkus pada usus dua belas jari (duodenum), memburuknya keadaan diabetes, dapat terjadi obesitas tetapi juga mungkin terjadi penurunan berat badan, susah tidur, pusing, perasaan bahagia yang tidak tepat, bulging eyes, jerawat/acne, kulit menjadi rapuh, garis merah atau ungu di bawah kulit, proses penyembuhan luka dan jejas yang melambat, pertumbuhan rambut meningkat, perubahan pendistribusian lemak ke seluruh tubuh (khas: buffalo hump), kelelahan yang ekstrim, lemah

otot, siklus mens yang tidak teratur, penurunan keinginan melakukan aktivitas seksual, rasa terbakar pada ulu hati, peningkatan pengeluaran keringat, penghambatan pertumbuhan pada anak-anak, kejang, dan gangguan psikiatri (termasuk di dalamnya adalah depresi, euforia, insomnia, perubahan mood mendadak, perubahan kepribadian, dan juga dapat berupa kelakuan psikotik) (Rang, 2009).

Prednison menekan sistem imun sebagai konsekuensinya, meningkatkan frekuensi atau keparahan dari infeksi oleh mikroorganisme lain dan mengurangi efektivitas dari vaksin dan antibiotik. Prednison dapat menyebabkan osteoporosis yang mengakibatkan fraktur pada tulang (Anonim 6, 2009).

PENELITIANAkhir-akhir ini diperoleh laporan

bahwa infeksi virus meningkat pada penderita yang mendapat pengobatan

20

A DCB

Page 21: Content of Jurnal (12)

dengan prednison. Mengingat hal tersebut maka Yovita Lisawati, Bie Tjeng, dan Rusdi A. dari Departemen Farmasi Universitas Andalas di Padang mengadakan penelitian dengan mengukur kadar IgG dan IgE penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagai terapi dengan metoda presipitasi dengan alat imun difusi radial. Sehingga dapat diketahui apakah penggunaan prednison untuk pengobatan asma bronkhial mempunyai efek supresi imun sistemik yang dapat mengakibatkan seseorang yang mengkonsumsi prednison mudah terinduksi oleh penyakit-penyakit akibat virus. (Lisawati, 2009)

Berikut adalah cara kerja dari penelitian (Lisawati, 2009) :1. Pemilihan sampel Sampel penderita asma bronkhial murni, usia 30-40 tahun mendapatkan terapi campuran obat efedrin, CTM, dan gliseril guaiakolat, diperoleh 20 sampel yang memenuhi syarat, 11 penderita sebagai sampel yang menggunakan Prednison selama lebih kurang 1 tahun dalam bentuk tablet dosis 5 mg Sampel pembanding 9 penderita asma bronkhial yang tidak pernah mendapatkan prednison atau obat-obat golongan imunosupresan lainnya.

2. Pengambilan sampel Darah pasien asma bronkhial diambil secara intravena sebanyak 2 ml dengan menggunakan jarum suntik, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 2000 rpm.Serum diambil menggunakan pipet, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi lain; tabung ditutup dengan nesco film dan disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 2°C-8°C.

3. Penentuan kadar IgG 1). Pembuatan larutan kontrol untuk plat NOR-Partigen lgG. Sebagai kontrol untuk plat NOR-Partigen IgG digunakan Kontrollogen® L and LU.

Akuades sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam vial kemudian dibiarkan pada suhu kamar selama 5 menit.

Kemudian vial digerakkan secara melingkar dengan hati-hati untuk melarutkan dan mencampur material kontrol yang masih menempel pada dinding dan tutup vial.

2). Penentuan kadar IgG1. Tutup plastik dan plat NOR-

Partigen IgG dibuka dan plat dibiarkan terbuka kira-kira 5 menit pada temperatur kamar.

2. Kontrollogen® dipipet sebanyak 5 μ1 dan dimasukkan ke dalam sumur pertama pada plat NOR-Partigen IgG secara tegak lurus.

3. Serum sampel dipipet sebanyak 5 μl dan dimasukkan pada sumur-sumur selanjutnya pada plat NOR-Partigen secara tegak lurus.

4. Plat ditutup dengan tutup plastik dan diinkubasikan selama 2 hari pada temperatur kamar.

5. Diameter presipitasi yang terbentuk diukur dengan menggunakan rol Behring dan kadar IgG ditentukan dengan menggunakan tabel kalibrasi.

4. Penentuan kadar IgE1. Pembuatan larutan standar untuk

plat LC-Partigen IgE Sebagai standar digunakan IgE standard serum (7700-IU/ml).

IgE standard serum yang terdapat dalam vial dilarutkan dengan 0,5 ml akuades.Dibuat pengenceran larutan IgE standard serum sesuai dengan instruksi yang tertera pada plat imunodifusi LC-Partigen IgE yaitu dengan perbandingan 1:4, 1:2, 1:1.

2. Penentuan kadar IgE1. Tutup plastik dan plat LC-

Partigen IgE dibuka dan plat dibiarkan terbuka kira-kira 5 menit pada temperatur kamar.

2. Pada sumur satu sampai tiga dimasukkan larutan IgE standard serum dengan perbandingan 1:4, 1:2, 1:1 dan sumursumur selanjutnya diisi dengan serum sampel.

21

Page 22: Content of Jurnal (12)

3. Larutan standar dan serum sampel masing-masing dipipet sebanyak 20 μ1 dan dimasukkan ke dalam sumur secara tegak lurus.

4. Plat dibiarkan terbuka selama 30 menit (sampai serum berdifusi).

5. Kemudian dipipet kembali 20 μ1 larutan standar dan serum sampel tadi dan dimasukkan ke dalam masing-masing sumur secara tegak lurus.

6. Plat dibiarkan terbuka kira-kira 10 sampai 20 menit, kemudian ditutup dengan tutup plastik dan diinkubasikan selama 5 hari pada temperatur kamar.

7. Diameter presipitasi yang terbentuk diukur dengan menggunakan rol Behring dan kadar IgE ditentukan dengan menggunakan kurva kalibrasi.

Dari penelitian tersebut didapatkan hasil yang dicatat di dalam tabel di bawah ini:Tabel III. Hasil rata - rata kadar IgG dan kadar IgE Penderita Asma Bronkhial yang Menggunakan Prednison dan tanpa prednisone ( Lisawati, 2009).

Prednison Tanpa Prednison

Rata-rataKadar IgG(mg/dl)

1332,09 1676,67

Rata-rataKadar IgE(10-5 mg/dl)

4224,0 7113,6

Dari hasil di atas dapat diambil kesimpulan penelitian bahwa :1) Kadar IgG rata-rata penderita asma

bronkhial yang menggunakan prednison sebagai terapi 1332,09 mg/dl, lebih kecil dibanding dengan kadar IgG rata-rata penderita asma bronchial yang tidak menggunakan prednison 1676,67mg/dl (p < 0,0 1).

2) Kadar IgE rata-rata penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagai terapi 4224,0.10-5

mg/dl lebih kecil dibanding dengan kadar IgE rata-rata penderita asma bronchial yang tidak menggunakan prednison 7113,6 10-5 mg/dl (p < 0,05).

PEMBAHASANAsma bronkhial merupakan suatu

penyakit kronik yang ditandai dengan episode bronkokonstriksi akut dan mungkin memerlukan pengobatan dengan steroid. Tujuan terapi adalah untuk menghilangkan gejala dan mencegah berulangnya serangan asma. Diperkirakan efek steroid sebagai anti-inflamasi, anti-eosinofilia serta mempertinggi respon

reseptor beta sebagai faktor-faktor yang menunjang keefektifannya. Prednison merupakan salah satu obat golongan glukokortikoid, biasanya diberikan peroral untuk pengobatan asma bronkhial.

Akhir-akhir ini diperoleh laporan bahwa infeksi virus meningkat pada penderita yang mendapat pengobatan dengan prednison. Maka diadakan penelitian mengenai kadar IgG dan IgE penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagai terapi perlu diperiksa dengan metoda presipitasi dengan alat imun difusi radial. Dari penelitian didapat hasil kadar IgG rata-rata penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagai terapi 1332,09 mg/dl, lebih kecil dibanding dengan kadar IgG rata-rata penderita asma bronchial yang tidak menggunakan prednison. Kadar IgE rata-rata penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagai terapi 4224,0.10-5 mg/dl lebih kecil dibanding dengan kadar IgE rata-rata penderita asma bronchial yang tidak menggunakan prednison. Penggunaan prednison sebagai terapi asma bronchial mengakibatkan penurunan kadar

22

Page 23: Content of Jurnal (12)

IgG, tetapi penurunan yang terjadi masih dalam batas normal IgG manusia dewasa. Hal ini berdasarkan pernyataan dari Meites,1989 (berdasarkan United States of America References Value), dimana dikatakan kadar IgG normal manusia dewasa minimal untuk dapat diinvasi penyakit diakibatkan virus dengan mudah adalah 639 – 1349 mg/dl ( Kliegman, 2007). Tetapi bagaimanapun juga tetap tidak menutup kemungkinan apabila penggunaan prednison diteruskan dalam jangka waktu yang lama dan digunakan dosis yang tidak rasional maka penderita akan mudah terkena penyakit-penyakit akibat induksi virus.

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk meneliti pengaruh penggunaan prednison terhadap kadar immunoglobulin lainnya.

KESIMPULANDiperoleh laporan bahwa infeksi

virus meningkat pada penderita yang mendapat pengobatan dengan prednison. Maka kadar IgG dan IgE penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagai terapi perlu diperiksa dengan metoda presipitasi dengan alat imun difusi radial. Dari penelitian didapat hasil kadar IgG rata-rata penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagai terapi 1332,09 mg/dl, lebih kecil dibanding dengan kadar IgG rata-rata penderita asma bronchial yang tidak menggunakan prednison. Kadar IgE rata-rata penderita asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagai terapi 4224,0.10-5 mg/dl lebih kecil dibanding dengan kadar IgE rata-rata penderita asma bronchial yang tidak menggunakan prednison. Penggunaan prednison sebagai terapi asma bronchial mengakibatkan penurunan kadar IgG, tetapi penurunan yang terjadi masih dalam batas normal IgG manusia (639 – 1349 mg/dl).

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Anderson PO, Knoben JE, Troutman WG. Handbook of Clinical Drug Data, 10th edition. Singapore : McGraw-Hill, 2002 ; 634-637.

Anonim1. Active ingredient: Prednisone - Chemisty and Biological Activity. Diunduh dari http://www.druglib.com/activeingredient/prednisone/chembio/. Diakses pada tgl 3 Maret 2009, 23:16..

Anonim2. Prednisone (Prednisone) - Clinical Pharmacology. Diunduh dari http://www.druglib.com/druginfo/prednisone/pharmacology/. Diakses pada tgl 3 Maret 2009, 23:13.

Anonim3. Prednisone (Prednisone) - Description. Diunduh dari http://www.druglib.com/druginfo/prednisone/description/. Diakses pada tgl 3 Maret 2009, 23:08.

Anonim4. Prednisone (Prednisone) - Drug Interactions, Contraindications, Overdosage. Diunduh dari http://www.druglib.com/druginfo/prednisone/ interactions_overdosage_ contraindica tions/. Diakses pada tgl 3 Maret 2009, 23:12.

Anonim5. Prednisone (Prednisone) - Indications and Dosage. Diunduh dari http://www.druglib.com/druginfo/prednisone/indications_dosage/. Diakses pada tgl 3 Maret 2009, 23:09.

Anonim6. Prednisone (Prednisone) - Side Effects and Adverse Reactions. Diunduh dari http://www.druglib.com/druginfo/prednisone/side-effects/. Diakses pada tgl 3 Maret 2009, 23:11.

Anonim7.. PredniSONE Drug Information Provided by Lexi-Comp. Diunduh dari http://www.merck.com/mmpe/lexicomp/prednisone.html/. Diakses pada tgl 3 Maret 2009, 23:24.

23

Page 24: Content of Jurnal (12)

Chesnutt MS, Murray JA, Prendergast TJ. Asthma. Dalam: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. 2008 CURRENT Medical Diagnosis & Treatment, 47th edition. Singapore : McGraw-Hill LANGE, 2008 ; 205-216.

Fanta CH. Corticosteroids in the Management of Acute, Severe Asthma. Diunduh dari http://www.asthma.partners.org/NewFiles/FantaSteroidsandSevereAsthma.html. Diakses pada tgl 14 Maret 2009, 22:37.

Forbes CD, Jackson WF. Color Atlas And Text of Clinical Medicine, 2nd edition. Singapore : Mosby-Wolfe, 2000 ; 285, 313-315.

Katzung BG. Farmakologi Dasar dan Klinik, Buku 2, Edisi 8. Jakarta : Penerbit Salemba Medika, 2001.

Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th edition. United States of America : Saunders-Elsevier, 2007 ; 2947.

Lullmann H, Zeigler A, Mohr K, Bieger D. Color Atlas of Pharmacology. 2nd edition, revised and expanded. Stuttgart-NewYork : Thieme, 2000 ; 248-251.

Lisawati Y, Tjeng B, Rusdi A. Pemeriksaan Kadar IgG dan IgE Pada Penderita Asma Bronkial Yang Menggunakan Prednison. Diunduh dari http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12/PemeriksaankadarIgGdanIgEpadaPenderitaasmaBronkial114.pdf/12PemeriksaankadarIgGdanIgEpadaPenderitaAsmaBronkial114.html. Diakses pada tgl 3 Maret 2009, 18.57.

Mcfadden, ER. Asthma. Dalam: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th edition. Singapore : McGraw-Hill, 2005 ; 1508-1516.

Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Farmakologi: Ulasan Bergambar, Edisi 2. 1997.

Neal MJ. At a Glance: Farmakologi medis, Edisi 5. Jakarta : Penerbit Erlangga, 2005 ; 72-73.

Rang HP, Dale MM, Ritter JM, Flower RJ. Rand And Dale’s Pharmacology, 6th edition. Elsevier-Churchill Livingstone.,2007 ; 427-435.

Schein. Prednisone: Deltasone®, Orasone®, Prednisone. Diunduh dari http://noairtogo.tripod.com/prednisone.htm Description,Mechanism of Action, Pharmacokinetics/. Diakses pada tgl 3 Maret 2009, 23:18.

Suherman SK, Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikotropin, adrenokartikosteroid, anlog-sintetik dan antagonisnya. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi, Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2008 ; 499-516.

Sundaru H, Sukamto. Asma Bronkial. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006 ; 245-254.

24

Page 25: Content of Jurnal (12)

SEHATAtik Sriwulandari

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRAK

Manusia yang sehat tidak hanya sehat jasmani, tetapi juga sehat rohani. Sehingga tubuh sehat dan ideal dari segi kesehatan meliputi aspek fisik, mental dan sosial dan tidak hanya bebas dari penyakit (Definisi Sehat WHO Tahun 1950). Semua aspek tersebut akan mempengaruhi penampilan atau performance setiap individu, dalam melakukan aktivitas sehari hari seperti bekerja, berkarya, berkreasi dan melakukan hal-hal yang produktif serta bermanfaat.Kesehatan, pendidikan dan pendapatan setiap individu merupakan tiga faktor utama yang sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu setiap individu berhak dan harus selalu menjaga kesehatan, yang merupakan modal utama agar dapat hidup produktif, bahagia dan sejahtera.

HEALTHAtik Sriwulandari

Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma SurabayaABSTRACT

A healthy human is not only a sound body, but also spiritually healthy. So healthy and ideal body in terms of health aspects of physical, mental and social and not only free of disease (WHO Definition of Health 1950). All these aspects will affect the appearance or performance of each individual, in performing daily activities like work, work, be creative and do things that are productive and useful.

Health, education and income of every individual are the three main factors which influence the quality of human resources. Therefore, every individual has the right and must always maintain good health, which is the main capital in order to live productive, happy and prosperous.

DEFINISI SEHATSehat dapat di definisikan,

kemampuan seseorang (individu) dalam menggerakkan sumber daya baik fisik, mental maupun spiritual, untuk pemeliharaan dan keuntungan dirinya sendiri di masyarakat dimanapun ia berada.

WHO mengatakan bahwa “ Health is not everything, but without it, Everything is noghing”.

Memang kita perlu memelihara kesehatan kita masing-masing.

SEHAT DAN SAKITMasalah kesehatan merupakan

masalah kompleks yang merupakan resultante dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia, sosial budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya.Derajat kesehatan masyarakat yang disebut sebagai psycho socio somatic health well being, merupakan resultante dari 4 faktor yaitu:1. Environment atau lingkungan.2. Behaviour atau perilaku, Antara yang pertama dan kedua dihubungkan dengan

ecological balance.3. Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk, dan sebagainya.4. Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasiensangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial, perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama (yang ditentukan secara klinis), bergantung dari variabel-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi yangberbeda di kalangan pasien.

Pengertian sakit menurut etiologi naturalistik dapat dijelaskan dari segi impersonal dan sistematik, yaitu bahwa sakit merupakan satu keadaan atau satu hal yang disebabkan oleh gangguan terhadap sistem tubuh manusia. Pernyataan tentang pengetahuan ini dalam tradisi klasik Yunani, India, Cina, menunjukkan model keseimbangan (equilibrium model)

25

Page 26: Content of Jurnal (12)

seseorang dianggap sehat apabila unsur-unsur utama yaitu panas dingin dalam tubuhnya berada dalam keadaan yang seimbang. Unsur-unsur utama ini tercakup dalam konsep tentang humors, ayurveda dosha, yin dan yang.Departemen Kesehatan RI telah mencanangkan kebijakan baru berdasarkan paradigma sehat.

Paradigma sehat adalah cara pandang atau pola pikir pembangunan kesehatan yang bersifat holistik, proaktif antisipatif, dengan melihat masalah kesehatan sebagai masalah yang dipengaruhi oleh banyak faktor secara dinamis dan lintas sektoral, dalam suatu wilayah yang berorientasi kepada peningkatan pemeliharaan dan per-lindungan terhadap penduduk agar tetap sehat dan bukan hanya penyembuhan penduduk yang sakit. Pada intinya paradigma sehat memberikan perhatian utama terhadap kebijakan yang bersifat pencegahan dan promosi kesehatan, memberikan dukungan dan alokasi sumber daya untuk menjaga agar yang sehat tetap sehat namun tetap mengupayakan yang sakit segera sehat.

Pada prinsipnya kebijakan tersebut menekankan pada masyarakat untuk mengutamakan kegiatan kesehatan daripada mengobati penyakit. Telah dikembangkan pengertian tentang penyakit yang mempunyai konotasi biomedik dan sosio kultural.Dalam bahasa Inggris dikenal kata disease dan illness sedangkan dalam bahasa Indonesia, kedua pengertian itu dinamakan penyakit. Dilihat dari segi sosio kultural terdapat perbedaan besar antara kedua pengertian tersebut. Dengan disease dimaksudkangangguan fungsi atau adaptasi dari proses-proses biologik dan psikofisiologik pada seorang individu, dengan illness dimaksud reaksi personal, interpersonal, dan kultural terhadap penyakit atau perasaan kurang nyaman.

Para dokter mendiagnosis dan mengobati disease, sedang-kan pasien mengalami illness yang dapat disebabkan oleh disease illness tidak selalu disertai kelainan organik maupun fungsional tubuh. Tulisan ini merupakan tinjauan pustaka yang membahas pengetahuan

sehat-sakit pada aspek sosial budaya dan perilaku manusia; serta khusus pada interaksi antara beberapa aspek ini yang mempunyai pengaruh pada kesehatan dan penyakit. Dalam konteks kultural, apa yang disebut sehat dalam suatu kebudayaan belum tentu disebut sehat pula dalam kebudayaan lain. Di sini tidak dapat diabaikan adanya faktor penilaian atau faktor yang erat hubungannya dengan sistem nilai

PERILAKU SEHAT DAN PERILAKU SAKIT

Penelitian-penelitian dan teori-teori yang dikembangkan oleh para antropolog seperti perilaku sehat ( health behavior ), perilaku sakit (illness behavior) perbedaan antara illness dan disease, model penjelasan penyakit (explanatory model ), peran dan karir seorang yang sakit (sick role), interaksi dokter- perawat, dokter-pasien, perawat-pasien, penyakit dilihat dari sudut pasien, membuka mata para dokter bahwa kebenaran ilmu kedokteran modern tidak lagi dapat dianggap kebenaran absolut dalam proses penyembuhan.

Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar mem-peroleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri, penjagaan kebugaran melalui olah raga dan makanan bergizi.

Perilaku sehat diperlihatkan oleh individu yang merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu mereka betul-betul sehat. Sesuai dengan persepsi tentang sakit dan penyakit maka perilaku sakit dan perilaku sehat pun subyektif sifatnya. Persepsi masyarakat tentang sehat-sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu di samping unsur sosial budaya. Sebaliknya petugas kesehatan berusaha sedapat mungkin menerapkan kreteria medis yang obyektif berdasarkan gejala yang tampak guna mendiagnosis kondisi fisik individu.

26

Page 27: Content of Jurnal (12)

PERSEPSI MASYARAKAT Persepsi masyarakat mengenai

terjadinya penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, karena tergantung dari kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlainan dengan ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di masyarakat; dapat turun dari satu generasi kegenerasi berikutnya dan bahkan dapat berkembang luas.

Berikut ini contoh persepsi masyarakat tentang penyakit malaria, yang saat ini masih ada di beberapa daerah pedesaan di Papua (Irian Jaya). Makanan pokok penduduk Papua adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa-rawa. Selain rawa-rawa, tidak jauh dari mereka tinggal terdapat hutan lebat. Penduduk desa tersebut beranggapan bahwa hutan itu milik penguasa gaib yang dapat menghukum setiap orang yang melanggar ketentuannya. Pelanggaran dapat berupa menebang, membabat hutan untuk tanah pertanian, dan lain-lain akan diganjar hukuman berupa penyakit dengan gejala demam tinggi menggigil, dan muntah. Penyakit tersebut dapat sembuh dengan cara minta ampun kepada penguasa hutan, kemudian memetik daun dari pohon tertentu, dibuat ramuan untuk di minum dan dioleskan ke seluruh tubuh penderita. Dalam beberapa hari penderita akan sembuh.

Persepsi masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan ditentukan dari penuturan sederhana dan mudah secara turun temurun. Misalnya penyakit akibat kutukan Allah, makhluk gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman berbisa, binatang, dan sebagainya. Pada sebagian penduduk Pulau Jawa, dulu penderita demam sangat tinggi diobati dengan cara menyiram air di malam hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi-jampi oleh dukun dan pemuka masyarakat yang disegani digunakan sebagai obat malaria.

HIDUP NORMAL , SEHAT dan BERKUALITAS

Ciri hidup berkualitas : - perasaan sehat (well being)- kepuasan hidup dan penuh syukur- segar jasmani- keadaan emosional yang baik

- intelektual yang berfungsi baik- work performance yang baik- partisipasi sosial yang wajar

Hidup Normal dan sehat sama halnya dengan hidup dalam keseimbangan yang dalam hal ini adalah Homeostasis. Hal ini antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut :

Tubuh Orang dewasa mengandung 60 % air. Dari cair tubuh yang 60 % berat badan itu, terbagi dalam 2 kompartement :

- Cair intra sel (40 % BB)- Cair Ekstra sel (20% BB)

Sel yang jumlahnya triliunan dalam tubuh kita merupakan unit fungsional terkecil dan diperlengkapi dengan organelle untuk mempertahankan hidupnya.

Sel amat tergantung dengan kondisi cair ekstra sel menyerupai air laut, maka sering dijuluki “Internal Sea”

Sel mendapatkan sumber makanan dari “internal sea” dan membuang sampah hasil metabolisme juga ke dalam “internal sea”, sehingga mudah dimengerti kalau susunan cari ekstra sel mudah berubah-ubah; tetapi susunan cair ekstra sel yang berubah melampaui batas tertentu akan mengancam hidup sel-sel tubuh. Maka perlu diciptakan mekanisme untuk mempertahankan susunan cair ekstra sel kurang lebih konstan sehingga timbul lah konsep homeostasis.

Untuk ini sel-sel dalam tubuh kita mengorganisir diri membentuk jaringan membentuk organ dan akhirnya membentuk bermacam-macam system antara lain :Systems :

- Cardiovascular- Respiratory- Gastro-intestinal- Nervous- Endocrine- Locomotorious- Urogenital- Reproductive- ImmuneSemua system harus bekerja sama

untuk mempertahankan Homeostasis. Control system dapat berupa makro dan mikro, di mana ada suatu proses yang

27

Page 28: Content of Jurnal (12)

disebut adaptation, dan membutuhkan stability Homeodynamic Stability .

Hidup sehat dan berkualitas harus menjaga 3 unsur yaitu :

1. Makan2. Tidur3. Olahraga

MAKANMakanan terdiri unsur zat gizi

yang diperlukan untuk tubuh yang terdiri dari Hidrat arang, protein, lemak, mineral, vitamin, air dan serat. Hidrat arang protein dan lemak disebut zat gizi makro dan vitamin serta mineral disebut sebagai zat gizi mikro. Kebutuhan zat gizi sehari tergantung dari umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan/aktivitas, suhu lingkungan dan kondisi tertentu. Misalnya pada ibu hamil/meneteki atau sedang sakit, membutuhkan zat gizi lebih banyak.

Triguna Makanan adalah sebagai 1) sumber zat tenaga atau energi, 2) sumber zat pembangun, dan 3) sumber zat pengatur. Hidrat arang, lemak dan protein merupakan komponen utama sebagai sumber energi yang dibutuhkan untuk aktivitas, sedangkan protein dibutuhkan sebagai sumber zat pembangun yaitu untuk pembentukan sel-sel tubuh. Dan vitamin co-enzyme atau hormon untuk membantu proses metabolisme dalam tubuh. Kebutuhan energi untuk laki-laki dewasa berkisar antara 1.900 – 2.700 Kkal/hari, sedangkan pada wanita antara 1.700 – 2.100 Kkal./hari.

Widya Karya Pangan dan Gizi VI tahun 1998, menetapkan AKG bagi orang dewasa secara nasional berdasarkan kebutuhan energi/kalori dari protein, sebagai berikut:

Indikator Tingkat Konsumsi Tingkat PersediaanEnergi 2.150 K Kalori 2.500 K KaloriProtein 46,2 gram 55 gram

(9 gram protein ikan, 6 gram protein hewani lain dan 40 gram protein nabati)

AKG diatas bila kita jabarkan menurut takaran konsumsi makanan sehari pada orang dewasa umur 20-59 tahun, yaitu: nasi/pengganti 4-5 piring, lauk hewani 3-4 potong, lauk nabati 2-4 potong, sayuran 1 ½ - 2 mangkok dan buah-buahan 2-3 potong. Dengan catatan dalam keadaan berat badan ideal.

Untuk mengetahui Berat Badan ideal dapat menggunakan rumus Brocca sebagai berikut : BB ideal = (TB – 100) – 10% (TB – 100). Batas ambang yang diperbolehkan adalah + 10%. Bila > 10% sudah kegemukan dan bila diatas 20% sudah terjadi obesitas.Contoh: wanita dengan TB = 161 cm, BB = 58 kg BB ideal = (161 – 100) – 10% (161 – 100) = 61 – 6,1 = 54,9 (55 kg). BB 58 kg masih dalam batas > 10%.

Ketidakseimbangan antara asupan makanan dan penggunaan zat gizi yang terkandung untuk keperluan metabolisme tubuh akan mengganggu fungsi metabolisme tersebut. Kekurangan zat gizi akan menyebabkan status gizi kurang atau gizi buruk. Sebaliknya kelebihan zat gizi akan menyebabkan status gizi lebih, yang ditandai dengan kegemukan atau obesitas.

Kekurangan atau kelebihan zat gizi pada seseorang dapat terjadi secara spesifik sesuai pola makan orang tersebut, yang dapat menimbulkan penyakit tertentu, tergantung zat gizi apa yang kurang/lebih di konsumsi. Misalnya kekurangan zat besi (Fe), dapat menimbulkan anemia defisiensi besi, karena kurangnya hemoglobin yang tertentu. Pola makan yang cenderung tinggi kalori, protein dan lemak akan menyebabkan tingginya kadar glukosa, lemak, kolesterol dan asam urat dalam darah, yang dapat mempengaruhi sistem kardiovaskuler.

Jumlah kebutuhan makanan dipengaruhi oleh rasa lapar dan dikendalikan oleh Feeding >< Satiety Center. Makanan yang berlebihan akan menyebabkan bertambahnya limbah penyakit, dan metabolisme meningkat meningkatnya radikal bebas oksidan.

Kegemukan merupakan salah satu risiko terjadinya penyakit kardio-vaskuler. Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1972, 1986 dan 1992 diketahui bahwa penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan salah satu dari penyakit degeneratif yang sekarang

28

Page 29: Content of Jurnal (12)

sudah menduduki tempat nomor satu penyebab kematian di Indonesia. Dari berbagai penelitian menunjukkan adanya hubungan antara dislipidemia, diabetes mellitus, hipertensi, obesitas dengan penyakit jantung koroner.

Kegemukan atau obesitas terjadi karena konsumsi makanan yang melebihi kebutuhan Angka Kecukupan Gizi (AKG) per hari. Bila kelebihan ini terjadi dalam jangka waktu lama, dan tidak diimbangi dengan aktivitas yang cukup untuk membakar kelebihan energi, lambat laun kelebihan energi tersebut akan diubah menjadi lemak dan ditimbun di dalam sel lemak di bawah kulit. Akibatnya orang tersebut akan menjadi gemuk. Pada awalnya ditandai dengan peningkatan berat badan, Bilamana penimbunan makin banyak, terjadi perubahan anatomis. Pada wanita penumpukan jaringan lemak, biasanya berada di sekitar pinggul, paha, lengan, punggung dan perut. Baru meluas ke seluruh tubuh sampai ke muka. Sedangkan pada laki-laki, penumpukan jaringan lemak umumnya terjadi di bagian perut.TIDUR

- Hampir 1/3 umur kita digunakan untuk tidur

- Suatu proses pulih asal Segar- Harus dijaga keseimbangan

dengan “melek”- Lama kebutuhan tidur : individual- Terjadi di luar kehendak langsung,

sering menjadi masalah pada usia lanjut

- Perlu persiapan : rileks, hindari stres, pakaian longgar, konsentrasikan pikiran membaca.

OLAHRAGAMempunyai efek

multidimensional :- Kesegaran jasmani meningkat- Kondisi otot, tulang dan

persendian meningkat- Kondisi pembuluh darah

meningkat- Kemampuan fisik organ / tubuh

meningkat- Suasana hati (mood) meningkat- Sistem Imun meningkat

- Darah :o Hb meningkato HDL meningkato Cholesterol menuruno LDL menuruno TG menuruno Tekanan darah menuruno Berat badan menuruno Stres menurun

Olahraga dapat :- Memelihara / mempertahankan

kapasitas cadangan tubuh- Mencegah / menghambat

pertumbuhan sel kanker- Mengoptimalkan kinerja sistem

kontrol tubuh

Olahraga Kesegaran jasmani :- Efektif- Mudah dilakukan- Tidak tergantung alat-alat- Murah- Tidak tergantung tempat- Dapat dilakukan terus menerus

Bentuk Olahraga Sederhana1. Renang

Renang adalah olahraga yang terbaik, sebab cabang ini memberikan resiko cidera yang paling kecil/sedikit kemungkinannya. Pada waktu berenang, badan kita terapung, hingga mengurangi tekanan yang berlebihan terhadap persendian dan tulang. 2. Jalan

Berjalan bermanfaat untuk meregangkan otot-otot kaki dan daya tahan, bila jalannya makin lama makin cepat, tentu saja dalam ke lenturannya. Jika melangkah panjang dan mengayunkan lengan 10-20 kali, akan terdapat kelenturan. Jogging atau berlari juga sering dilakukan tetapi sebenarnya lebih baik berjalan cepat.3.. Bersepeda

Bersepeda baik bagi penderita encok (arthritis), karena ia berjalan cepat menyebabkan sakit pada sendi-sendinya. Bersepeda baik untuk meningkatkan peregangan dan daya tahan, tapi tidak menambah kelenturan pada derajat yang lebih tinggi.

29

Page 30: Content of Jurnal (12)

Sedangkan olahraga lain berupa senam, tennis meja, tennis merupakan tambahan dan bukan merupakan pengganti.

KESIMPULANKajian mengenai konsekuensi

kesehatan perlu memperhatikan konteks budaya dan sosial masyarakat

Dengan menjaga keseimbangan dalam hal makan, tidur dan olahraga, tubuh dipastikan akan tetap sehat, bugar.

KEPUSTAKAANBlum HL. Planning for Health; Development Application of Social Change Theory. , New York: Human Science Press, 1972

Gaya Hidup Warga Usia Pertengahan Dan Usia Lanjut SertaPengaruhnya Terhadap Kesehatan, Prof. Hung Zhao Guang, Untuk Kalangan Alumni Pahoa/ Jpp/Sma

Paradigma Sehat, Pola Hidup Sehat, dan Kaidah Sehat. Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI, 1998

Rudi Salan. Interface Psikiatri Antropologi. Suatu kajian hubungan antara psikiatri dan antropologi dalam konteks perubahan sosial. Disampaikan dalam Seminar Perilaku dan Penyakit dalam Konteks Perubahan Sosial. Kerjasama Program Antropologi Kesehatan Jurusan Antropologi Fisip UI dengan Ford Foundation , Jakarta 24 Agustus 1994.

Solita Sarwono. Sosiologi Kesehatan: beberapa konsep beserta aplikasinya. Gajah Mada University Press. Cet. pertama, 1993.

Soekarman, R, 1989 Masalah Olahraga pada Anak, Surabaya : Seminar Wanitadan Olahraga

Tubuh Sehat Ideal Dari Segi Kesehatan, Prof. Dr. Dr. Azrul Azwar Mph Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan Ri, 2004

Who. The Otta Wa Charter For Health Promotion,1986

30

Page 31: Content of Jurnal (12)

31

Page 32: Content of Jurnal (12)

DEMAM TIFOIDInawati

Departemen Patologi AnatomiDosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

AbstrakDemam Tifoid adalah penyakit infeksi bakteri yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditularkan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi.Gejala klinisnya antara lain ; panas,dan keluhan pada saluran cerna. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan darah. Penyakit ini termasuk penyakit infeksi yang membutuhkan antibiotik untuk penanganannya. Komplikasi yang dapat ditimbulkan meliputi komplikasi intestinal maupun ekstra intestinal. Pada saat ini telah ditemukan vaksin yang dapat mencegah penyakit demam typhoid ini.

TYFOID FEVERInawati

Department of Anatomical PathologyLecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya

AbstractTyphoid fever is a bacterial infectious disease caused by Salmonella typhi. The disease is transmitted through food or water contaminated by feces or urine of people who terinfeksi.Gejala clinical, among others, heat, and complaints of the gastrointestinal tract. Diagnosis based on a diagnose and blood. These diseases include infectious diseases that require antibiotics for treatment. Complications include the complications that can cause intestinal and extra intestinal. At this time have found a vaccine that can prevent this disease typhoid fever.

DEFINISI:

Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri, yang disebabkan oleh Salmonella typhi . Penyakit ini ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi. Gejala biasanya muncul 1-3 minggu setelah terkena, dan mungkin ringan atau berat. Gejala meliputi demam tinggi, malaise, sakit kepala, mual, kehilangan nafsu makan ,sembelit atau diare, bintik-bintik merah muda di dada (Rose spots), dan pembesaran limpa dan hati. Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, S paratyphi A, S paratyphi B dan S paratyphi C. Jika penyebabnya adalah S paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh S typhi.

PENYEBAB

Demam typhoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri golongan Salmonella yang memasuki tubuh penderita melalui saluran pencernaan. Sumber utama yang terinfeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan

mikroorganisme penyebab penyakit,baik ketika ia sedang sakit atau sedang dalam masa penyembuhan.Pada masa penyembuhan, penderita masih mengandung Salmonella spp didalam kandung empedu atau di dalam ginjal. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara, sedang 2 % yang lain akan menjadi karier yang menahun.Sebagian besar dari karier tersebut merupakan karier intestinal (intestinal type) sedang yang lain termasuk urinary type. Kekambuhan yang yang ringan pada karier demam tifoid,terutama pada karier jenis intestinal,sukar diketahui karena gejala dan keluhannya tidak jelas.

PENYEBARAN KUMAN

Demam tifoid adalah penyakit yang penyebarannya melalui saluran cerna (mulut, esofagus, lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar, dstnya). S typhi masuk ke tubuh manusia bersama bahan makanan atau minuman yang tercemar. Cara penyebarannya melalui muntahan, urin, dan kotoran dari penderita yang kemudian secara pasif terbawa oleh lalat (kaki-kaki lalat). Lalat itu mengontaminasi

32

Page 33: Content of Jurnal (12)

makanan, minuman, sayuran, maupun buah-buahan segar. Saat kuman masuk ke saluran pencernaan manusia, sebagian kuman mati oleh asam lambung dan sebagian kuman masuk ke usus halus. Dari usus halus itulah kuman beraksi sehingga bisa ” menjebol” usus halus. Setelah berhasil melampaui usus halus, kuman masuk ke kelenjar getah bening, ke pembuluh darah, dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu, dan lain-lain).Jika demikian keadaannya, kotoran dan air seni penderita bisa mengandung kuman S typhi yang siap menginfeksi manusia lain melalui makanan atau pun minuman yang dicemari. Pada penderita yang tergolong carrier (pengidap kuman ini namun tidak menampakkan gejala sakit), kuman Salmonella bisa ada terus menerus di kotoran dan air seni sampai bertahun-tahun. S. thypi hanya berumah di dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, demam tifoid sering ditemui di tempat-tempat di mana penduduknya kurang menjaga kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan.

Sekali bakteria S. thypi dimakan atau diminum, ia akan masuk ke dalam saluran darah dan tubuh akan merespons dengan menunjukkan beberapa gejala seperti demam.

GAMBARAN KLINIK

Masa Inkubasi

Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, berupa :

anoreksia rasa malas sakit kepala bagian depan nyeri otot lidah kotor gangguan perut (perut kembung

dan sakit)

Gambaran klasik demam tifoid (Gejala Khas)Biasanya jika gejala khas itu yang tampak,

diagnosis kerja pun bisa langsung ditegakkan. Yang termasuk gejala khas Demam tifoid adalah sebagai berikut.

-Minggu Pertama (awal terinfeksi)

Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºc hingga 40ºc, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak,sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.

-Minggu Kedua

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi

33

Page 34: Content of Jurnal (12)

perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain.

- Minggu Ketiga

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.

-Minggu keempat

Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat

dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan dengan :

-Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya Salmonella.Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat lekopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus. Peningkatan yang cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita. Tidak selalu mudah mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu tidak selalu khas seperti di atas. Bisa ditemukan gejala- gejala yang tidak khas. Ada orang yang setelah terpapar dengan kuman S typhi, hanya mengalami demam sedikit kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu bisa terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman ini langsung menjadi sakit. Tergantung banyaknya jumlah kuman dan tingkat kekebalan seseorang dan daya tahannya, termasuk apakah sudah imun atau kebal. Bila jumlah kuman hanya sedikit yang masuk ke saluran cerna, bisa saja langsung dimatikan oleh sistem pelindung tubuh manusia. Namun demikian, penyakit ini tidak bisa dianggap enteng, misalnya nanti juga sembuh sendiri.-Kultur GalDiagnosis definitive penyakit tifus dengan isolasi bakteri Salmonella typhi dari specimen yang berasal dari darah penderita. Pengambilan specimen darah sebaiknya dilakukan pada minggu pertama timbulnya penyakit, karena kemungkinan untuk positif mencapai 80-90%, khususnya pada pasien yang belum mendapat terapi antibiotic. Pada minggu

34

Page 35: Content of Jurnal (12)

ke-3 kemungkinan untuk positif menjadi 20-25% and minggu ke-4 hanya 10-15%.-Tes WidalPenentuan kadar aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H dalam darah (antigen O muncul pada hari ke 6-8, dan antibodi H muncul pada hari ke 10-12. Pemeriksaan Widal memberikan hasil negatif sampai 30% dari sampel biakan positif penyakit tifus, sehingga hasil tes Widal negatif bukan berarti dapat dipastikan tidak terjadi infeksi. Pemeriksaan tunggal penyakit tifus dengan tes Widal kurang baik karena akan memberikan hasil positif bila terjadi : *Infeksi berulang karena bakteri Salmonella lainnya  *Imunisasi penyakit tifus sebelumnya  *Infeksi lainnya seperti malaria dan lain-lain Pemeriksaan Kultur Gal sensitivitasnya rendah, dan hasilnya memerlukan waktu berhari-hari, sedangkan pemeriksaan Widal tunggal memberikan hasil yang kurang bermakna untuk mendeteksi penyakit tifus.-Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF sebagai solusi pemeriksaan yang sensitif, spesifik, praktis untuk mendeteksi penyebab demam akibat infeksi bakteri Salmonella typhi. Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF dilakukan untuk mendeteksi antibody terhadap antigen lipopolisakarida O9 yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella typhi. Tes Ig M Anti Salmonella memiliki beberapa kelebihan:*Deteksi infeksi akut lebih dini dan sensitive, karena antibodi IgM muncul paling awal yaitu setelah 3-4 hari terjadinya demam (sensitivitas > 95%). *Lebih spesifik mendeteksi bakteri Salmonella typhi dibandingkan dengan pemeriksaan Widal, sehingga mampu membedakan secara tepat berbagai infeksi dengan gejala klinis demam (spesifisitas > 93%). *Memberikan gambaran diagnosis yang lebih pasti karena tidak hanya sekedar hasil positif dan negatif saja, tetapi juga dapat menentukan tingkat fase akut infeksi. 

*Diagnosis lebih cepat, sehingga keputusan pengobatan dapat segera diberikan. *Hanya memerlukan pemeriksaan tunggal dengan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan Widal serta sudah diuji di beberapa daerah endemic penyakit tifus. 

KOMPLIKASI

1. Komplikasi Intestinal

Perdarahan usus Perforasi usus Ileus paralitik

2. Komplikasi Ekstra –Intestinal -Komplikasi Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan septik),miokarditis,trombosis dan tromboflebitis -Komplikasi darah : anemia hemolitik ,trombositopenia, dan /atau Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan Sindrom uremia hemolitik -Komplikasi paru : Pneumonia,empiema,dan pleuritis -Komplikasi hepar dan kandung empedu : hepatitis dan kolesistitis -Komplikasi ginjal : glomerulonefritis,pielonefritis, dan perinefritis -Komplikasi tulang : osteomielitis,periostitis,spondilitisdan Artritis -Komplikasi Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrom guillain-barre, psikosis dan sindrom katatonia

PENGOBATAN

1. Perawatan umum

Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.

35

Page 36: Content of Jurnal (12)

Mobilisasi pesien harus dilakukan secara bertahap,sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.

Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.Defekasi dan buang air kecil harus dperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih. Pengobatan simtomik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan maupun perforasi intestinal.

Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita, misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan demam.

2. Diet

Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini,yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.

3. Obat

Obat-obat antimikroba yang sering digunakan adalah :

-Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien demam tifoid.Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau intravena,sampai 7 hari bebas demam.Penyuntikan

kloramfenikol siuksinat intramuskuler tidak dianurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.Dengan kloramfenikol,demam pada demam tifoid dapat turun rata 5 hari.

-Tiamfenikol : Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan kloramfenikol.Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada klloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam tiofoid dapat turun rata-rata 5-6 hari

-Ko-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol) : Efektivitas ko-trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol,Dosis untuk orang dewasa,2 kali 2 tablet sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol).dengan ko-trimoksazol demam rata-rata turun setelah 5-6 hari.

-Ampislin dan Amoksisilin : Dalam hal kemampuan menurunkan demam,efektivitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol.Indikasi mutlak penggunannnya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia.Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kgBB sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam.Dengan Amoksisilin dan Ampisilin,demam rata-rata turun 7-9 hari.

-Sefalosporin generasi ketiga : Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin generasi ketiga antara lain

36

Page 37: Content of Jurnal (12)

Sefoperazon,seftriakson, dan sefotaksim efektif untuk demam tifoidtetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti.

-Fluorokinolon : Fluorokinolon efektif untuk demam tifoidtetapi dosis dan lama pemberian belum diketahui dengan pasti.

-Furazolidon.

Pencegahan penyakit

Vaksin parenteral

Vaksin demam tipus biasanya diberikan dalam serangkaian dua suntikan subkutan 0,5 ml diberikan pada empat interval mingguan. Tingkat perlindungan adalah 70%.

Dosis booster dianjurkan setiap 3 tahun di daerah endemis tifus.

Ini tidak boleh diberikan kepada wanita hamil dan merupakan kontraindikasi dalam pemulihan mereka dari penyakit serius.

Vaksin oral

Vaksin hidup diberikan secara lisan dalam bentuk tiga kapsul diambil pada hari 1, 3 dan 5, dengan dosis booster setelah 3 + tahun.

Tidak harus diberikan sampai setidaknya seminggu telah berlalu sejak pasien telah diambil setiap antibiotik yang efektif terhadap Salmonella. Tidak ada data mengenai keamanan pada kehamilan atau kemanjurannya pada anak-anak di bawah 6 tahun (dan dalam hal apapun anak harus cukup lama untuk dapat menelan kapsul utuh).

Bentuk oral paling tidak sama efektifnya dengan (dan dalam beberapa kasus lebih efektif daripada) vaksin yang disuntikkan.

Ini tidak boleh diberikan kepada wanita hamil dan merupakan kontraindikasi

dalam pemulihan mereka dari penyakit serius.

Daftar Pustaka

Braunwald. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th Edition, New York, 2005Bhutta ZA. Bhutta ZA. Typhoid fever. Demam tipus. In: Rakel P, Bope ET, eds. Conn ’s Current Therapy 200 8. Dalam: P Rakel, Bope ET, eds. Conn 's Terapi Lancar 200 8. 60th ed. 60 ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2008:chap 48. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2008: bab 48. Kaye KS, Kaye D. Salmonella infections (including typhoid fever). Kaye KS, Kaye D. infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid). In: Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil Medicine . In: Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil Kedokteran. 23rd ed. 23 ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007:chap 329. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007: chap 329. Ranjan L.Fernando et al. Tropical Infectious Diseases Epidemiology, Investigation, Diagnosis and Management, London, 2001;45:270-272http://www.who.int/topics/typhoid_fever/enhttp://www.who.int/immunization/topics/typhoid/en/index.htmlhttp://www.jevuska.com/2008/05/10/demam-tifoid-typhoid-feverwww.medscape.comwww.emedicine.comwww.merck.comhttp://www.who.int/vaccine_research/diseases/diarrhoeal/en/index7.htmlhttp://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001332.htmhttp://www.expat.or.id/medical/typhoid.htmlhttp://en.wikipedia.org/wiki/Typhoid_feverhttp://www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/TyphoidFever_g.htm http://prodia.meta-technology.net/populer_detail.php

37

Page 38: Content of Jurnal (12)

ADAPTASI KARDIOVASKULAR TERHADAP LATIHAN FISIKOleh : Akmarawita kadir

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma SurabayaABSTRAKTujuan latihan adalah meningkatkan kekuatan, ketahanan, kelentukan, kelincahan dan kecepatan. Kekuatan-kekuatan ini berhubungan dengan struktur dan faal dalam tubuh. Kalau latihan itu dikerjakan secara teratur dan sesuai dengan cara berlatih, maka diharapkan adanya perubahan-perubahan (adaptasi) yang menunjang tercapainya kekuatan-kekuatan tersebut. (Soekarman. 1986)

CARDIOVASCULAR ADAPTATION TO PHYSICAL TRAININGBy: Akmarawita Kadir

Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma SurabayaABSTRACT

The purpose of the exercise is to increase strength, endurance, flexibility, agility and speed. These powers relate to the structure and function in the body. If exercise is done regularly and in accordance with the way practice, it is expected that any changes (adaptations) that support the achievement of these forces.

PENDAHULUANTujuan latihan adalah

meningkatkan kekuatan, ketahanan, kelentukan, kelincahan dan kecepatan. Kekuatan-kekuatan ini berhubungan dengan struktur dan faal dalam tubuh. Kalau latihan itu dikerjakan secara teratur dan sesuai dengan cara berlatih, maka diharapkan adanya perubahan-perubahan (adaptasi) yang menunjang tercapainya kekuatan-kekuatan tersebut. (Soekarman. 1986)

Dalam suatu latihan yang terprogram (physical training) untuk

mencapai suatu performa/penampilan yang baik ada beberapa fase yang harus diperhatikan, yaitu fase overload, restoration, adaptation dan reversal. (Moyna. 2001)

Tujuan overload (latihan dengan beban lebih, dari beban sebelumnya) adalah agar kemampuan kardiovaskuler (jantung dan peredaran darah) dan kemampuan otot-otot kerangka dapat berkembang terus, sampai terjadinya proses adaptasi, sehingga meningkatkan performa/penampilan.

38

Page 39: Content of Jurnal (12)

Gbr 1. Super compensation cycle. A. Program latihan yang overload satu atau lebih sistem fisiologis. B. sel-sel, jaringan-jaringan dan organ-organ diperbaiki. C. Perbaikan fitness yang disebabkan perubahan struktur dan fungsi. D. Fitness menurun bila program latihan dihentikan. (Moyna. 2001)

Adaptasi fisiologi pada latihan fisik sangat tergantung pada umur, intensitas, durasi, dan frekuensi latihan, faktor genetik, dan cabang olahraga yang dipertandingkan.

Oleh karena itu latihan-latihan yang dikerjakan adalah terutama untuk ketahanan jantung dan paru, maka dengan sendirinya yang terlihat adalah salah satunya perubahan pada kedua organ tersebut, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mengangkut oksigen. (Soekarman. 1986)

FISIOLOGI KARDIOVASKULER PADA LATIHAN

Jantung adalah dua buah pompa berotot yang terletak dalam satu alat. Jantung bagian kiri memompa darah ke seluruh jaringan tubuh dan jantung bagian kanan memompa darah ke paru. Serat otot jantung berhubungan sedemikian rupa sehingga seluruh serat-serat otot jantung berfungsi seakan-akan satu otot. Jantung mempunyai sifat untuk menimbulkan irama kontraksi sendiri (Fox. 1993, Soekarman. 1986).

Stroke VolumeStroke volume (isi sekuncup)

adalah volume atau jumlah darah yang di pompa oleh jantung pada setiap denyutannya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah darah yang dapat di pompa keluar oleh jantung, yaitu :

(1) Besarnya ventrikel (bilik jantung) itu sendiri. Dengan melakukan latihan Ventrikel dapat bertambah besar.

(2) Kekuatan dari jantung waktu memompa. Hal ini tergantung dari

kekuatan otot jantung, dan kekuatan ini dapat bertambah dengan adanya latihan.

(3) Jumlah darah yang dikembalikan ke jantung. Latihan olahraga yang berjalan secara ritmik, dan menekan pembuluh darah balik (vena) pada otot-otot kaki, dapat mengembalikan jumlah darah yang cukup banyak dan membantu menaikkan stroke volume (Sumosardjuno. 1994, Guyton. 2000)

Cardiac outputCardiac output (curah jantung)

adalah jumlah darah yang di pompa oleh jantung setiap menit. Ini bisa naik sesuai dengan kenaikan tingkat kerja sampai pada titik kelelahan.

Perbedaan nyata antara pelari yang betul-betul terlatih dan yang kurang baik kondisinya terletak pada jumlah cardiac output-nya, atau pada jumlah darah yang dapat di pompa setiap menit ke dalam otot-otot dalam bandanya.

Darah yang di pompa dari jantung setiap denyut nya ditentukan oleh laju pemompaan jantung (heart rate) dan jumlah darah yang dikeluarkan (stroke volume) sehingga cardiac output dapat dihitung :

Cardiac Output = Heart Rate x Stoke VolumeDi samping itu cardiac output juga dapat dihitung dengan cara mengetahui konsumsi oksigen maksimal seseorang selama satu menit dan perbedaan rata-rata antara kandungan oksigen pada arteri dan vena (a-v O2 diff). (Sumosardjuno. 1994, Guyton. 2000)

Konsumsi O2 (ml/menit)Cardiac Output = ----------------------------------x 100

a-v O2. diff

Aliran DarahDarah di pompa oleh jantung ke

berbagai bagian tubuh kita, sesuai dengan

kebutuhan jaringan masing-masing. Selama melakukan latihan olahraga, darah dikirim ke daerah yang paling tinggi

39

Page 40: Content of Jurnal (12)

kebutuhan metabolismenya, yaitu otot-otot. Daerah-daerah yang kurang membutuhkannya, yaitu aktivitas metabolismenya sedikit, hanya mendapat sedikit darah, misalnya usus.

Pada hari-hari dengan cuaca yang panas, kulit mendapat darah yang cukup untuk membantu mendinginkan badan. Karenanya darah mengalir ke kulit, sehingga mengakibatkan darah yang berada di otot-otot berkurang. Hal ini menerangkan mengapa dalam latihan di tempat yang panas tidak diperbolehkan. (Sumosardjuno. 1994, Guyton 2000)

Tekanan DarahTekanan darah adalah tekanan dari

darah yang berada di pembuluh-pembuluh darah pada waktu jantung berdenyut, ini disebut sistolik. Sedangkan yang berada di antara denyutan jantung, tekanannya disebut tekanannya disebut diastolik. (Sumosardjuno.1994)

Supaya jantung dapat berfungsi sebagai pompa yang baik, maka pada jantung didapatkan katub-katub. Katub-katub ini menjaga agar jantung bekerja lebih efektif. Katub antara atrium dan ventrikel menutup pada waktu kontraksi

otot ventrikel. Apabila terjadi kebocoran, maka diperlukan lebih besar tenaga dari ventrikel untuk memompa sejumlah darah yang sama ke sirkulasi pulmoner atau sirkulasi sistemik. Lama-kelamaan terjadi hipertropi otot jantung yang kalau tetap tidak diadakan koreksi dapat menjadi (dekompensasi) payah jantung.

Jantung bagian kiri memompa darah ke sirkulasi sistemik lebih luas dan mempunyai tahanan yang tinggi, sedangkan sirkulasi pulmoner mempunyai tahanan yang rendah. Oleh karena itu otot ventrikel kiri lebih tebal daripada ventrikel kanan.

Jantung sebagai pompa mempunyai sifat untuk mengeluarkan rangsangan secara berirama. Dalam keadaan biasa irama jantung berasal dari simpul SA (Sino auricular node) yang terletak di atrium kanan. Selanjutnya semua bagian dari jantung mengikuti irama dari simpul S-A ini. Banyak faktor yang mempengaruhi irama dari simpul ini, diantaranya adalah rangsangan suhu yang meningkat, kekurangan oksigen, turunnya tekanan darah, ketokolamin dan lain-lain. (Fox. 1993, Guyton. 2000)

40

Page 41: Content of Jurnal (12)

Gambar2. Sistem kardiovaskuler (Silverthorne. 2001)

Pada latihan terjadi dua kejadian yaitu peningkatan curah jantung (cardiac output) dan redistribusi darah dari otot-otot yang tidak aktif ke otot-otot yang aktif. Curah jantung tergantung dari isi sekuncup (stroke volume) dan frekuensi denyut jantung (hart rate). Kedua faktor ini meningkat pada waktu latihan. Redistribusi darah pada waktu latihan menyangkut vasokonstriksi pembuluh darah yang memelihara daerah yang tidak aktif vasodilatasi dari otot yang aktif yang disebabkan oleh kenaikan suhu setempat, CO2 dan asam laktat serta kekurangan oksigen.(Fox. 1993, Soekarman.1986)

Pada latihan yang mengakibatkan frekuensi jantung meningkat serta isi sekuncup meningkat, maka curah jantung juga meningkat. Pada atlet, irama jantung dalam keadaan istirahat lebih rendah dibandingkan dengan seorang yang tidak terlatih. Irama jantung pada waktu istirahat dapat mencapai 40 x/menit pada seorang

atlet, sedangkan pada seorang yang tidak terlatih mencapai 90 x/menit. Isi sekuncup (stroke volume) pada seorang atlet lebih besar daripada yang bukan atlet. Hal ini terjadi pada waktu istirahat maupun pada waktu bekerja. Curah jantung maksimum (cardiac output) pada seorang atlet dapat mencapai 40 l/menit. Curah jantung sangat mempengaruhi maksimum daya serap oksigen. Boleh dikatakan lebih besar curah jantung, lebih besar pula daya serap oksigennya (Fox. 1993, Soekarman. 1986).

Pengendalian CardiovascularBermacam-macam informasi dari

semua bagian tubuh dikirimkan ke pusat pernafasan dan sirkulasi. Dengan berdasarkan informasi ini pusat mengirimkan rangsangan untuk penyesuaian (adaptasi) terhadap kebutuhan.

Gambar 3. Gambaran respon kardiovaskuler saat latihan. Central command memulai proses respon, yang dipertahankan dalam kondisi keseimbangan melalui sistem feedback dari kardiopulmonar serta baroreseptor arterial, dan sistem neurologik. (Moyna. 2001)

41

Page 42: Content of Jurnal (12)

Di bawah ini akan diberikan gambar penyesuaian organ tubuh baik jantung dan peredaran darah pada orang dalam keadaan istirahat dan yang latihan.

Dari gambar di bawah ini terlihat perubahan dari cardiac output, distribusi ke otot yang aktif dari 650 cc menjadi 20.850 cc, distribusi yang menurun pada

alat-alat dari 3100 cc menjadi 600 cc. Dalam waktu istirahat ventilasi per menit 4-15 liter per menit. Pada waktu latihan ventilasi per menit meningkat sampai mencapai 180 liter per menit. Yang terpenting dalam olah raga adalah kemampuan jantung dan paru secara sempurna. (Soekarman. 1986)

Gambar 4 Penyesuaian organ tubuh pada keadaan istirahat dan latihan. (Soekarman. 1986)

ADAPTASI SISTEM KARDIOVASKULER

Perubahan fungsi sistem kardiovaskuler selama latihan tergantung pada tipe (dinamis atau statis) dan intensitas latihan. Selama latihan dinamis (seperti lari, renang, atau bersepeda) akan merangsang kontraksi kelompok otot-otot besar. Sehingga menyebabkan respon/perubahan akut yang besar pada sistem kardiovaskuler yaitu sangat meningkatnya cardiac output, heart rate, dan tekanan darah sistolik, dan sedikit peningkatan pada tekanan rata-rata arteri dan tekanan darah diastolik. Respon akibat latihan dinamik ini, akan merangsang pusat otak, dan apabila latihan diteruskan akan memberikan signal mekanisme umpan balik pada kardiovaskular center di

batang otak, sehingga menimbulkan perubahan-perubahan berupa penurunan tahanan vaskuler (vascular resistance) untuk mengimbangi peningkatan perfusi otot, dan peningkatan cardiac output untuk meningkatkan ambilan oksigen. Yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan arteri rata-rata.

Respon kardiovaskuler pada latihan dinamik dan static sangat berbeda, pada latihan static (high intensity, strength exercise, dan latihan yang membatasi kontraksi otot seperti angkat berat atau latihan isometric) didapatkan hasil sedikit peningkatan ambilan oksigen, cardiac output, dan stroke volume daripada latihan dinamik. Tetapi pada latihan static lebih meningkatkan tekanan darah dan tekanan

42

Page 43: Content of Jurnal (12)

rata-rata arteri. (Fahey. 1984, Fletcher. 1995, Levine. 2001).

Gambar. 5 Respon Hemodinamik pada latihan dinamik (regular, rhythmic contraction of large muscle group), dan static (isometric or high intensity sustained contraction) (Levine. 2001)

Latihan endurance (aerobic) menyebabkan banyak perubahan adaptasi pada sistem kardiovaskuler. Perubahan ini dapat dilihat pada tabel 1. Latihan aerobic (daya tahan) ini sangat baik untuk

meningkatkan kapasitas sistem kardiovaskular. (Fahey. 1984, Fox. 1989, Soekarman. 1986, Sumosardjuno. 1994, Seiler. 1996, Wilmore. 2003)

Tabel. 1 Adaptasi kardiovaskuler yang didapat pada latihan daya tahan (endurance/aerobic) (Fox. 1989, Fahey. 1984)

FACTOR REST SUBMAXIMAL EXERCISE

MAXIMAL EXERCISE

HEART SIZE ↑ - -HEART RATE ↓ ↓ ↓STROKE VOLUME ↑ ↑ ↑A-V 02 DIFFERENT O↑ ↑ ↑CARDIAC OUTPUT O↓ O↓ ↑

43

Page 44: Content of Jurnal (12)

WORK CAPACITY - - ↑SYSTOLIC BLOOD PRESSURE O↓ O↓ ODIASTOLIC BLOOD PRESSURE O↓ O↓ O↓MEAN ARTERIAL BLOOD PRESSURE O↓ O↓ O↓TOTAL PERIPHERAL RESISTANCE O O↓ O↓CORONARY BLOOD FLOW ↓ ↓ ↑BRAIN BLOOD FLOW O O OVISCERAL BLOOD FLOW O ↑ OINACTIVE MUSCLE BLOOD FLOW O O OACTIVE MUSCLE BLOOD FLOW ↓O ↓O ↑SKIN BLOOD FLOW O O OBLOOD VOLUME ↑ - -PLASMA VOLUME ↑ - -RED CELL MASS O↑ - -HEART VOLUME ↑ - -

Symbol :↑ = meningkat↓ = menurun O= tidak ada perubahan

Peningkatan Ukuran Jantung ( Heart Size )

Ukuran jantung pada atlit pada umumnya lebih besar bila dibandingkan dengan bukan atlet. Pada atlet untuk olahraga ketahanan (endurance/aerobic) maka peningkatan ukuran jantung disebabkan peningkatan volume ventrikel tanpa peningkatan tebal otot. Sedangkan pada atlet untuk gerakan-gerakan cepat

(non endurance/anaerobic) seperti lari cepat, gulat, dan lain-lainnya maka peningkatan ukuran disebabkan oleh penebalan dinding ventrikel dengan tanpa peningkatan volume ventrikel. Bersamaan dengan peningkatan ukuran jantung, juga didapatkan peningkatan jumlah kapiler (Fox 1993, Soekarman 1986, Fleck 1992, Sumosardjuno 1994, Seiler 1996, Wilmore 2003)

Tabel 2. Cardiac morphology adaptations at rest (Fleck 1992)Wall thickness Left ventrikel Septal Right ventrikel

↑↑↑↑↑↑No Change

Chamber volume Left ventrikel Right ventrikel

↑↑ or No ChangeNo Change

Left ventrikel mass ↑↑↑ or No Change

Penurunan Frekuensi Jantung/Denyut Nadi (Bradikardi)

Dengan penurunan frekuensi jantung, maka jantung mempunyai cadangan denyut jantung (Heart Rate

dari frekuensi pengeluaran impuls dari paru jantung. Dengan perubahan volume, maka isi sekuncup (stroke volume) menjadi lebih besar dan bila cadangan denyut jantung meningkat hasilnya curah

44

Page 45: Content of Jurnal (12)

Gambar. 6 Respon Heart rate sebelum dan setelah latihan. (Fahey 1984, Seiler 1996)

Peningkatan Volume Darah Dan Hemoglobin

Kemampuan mengangkut oksigen tergantung dari jumlah hemoglobin dan jumlah darah. Apabila hemoglobin meningkat, maka kemampuan mengikat oksigen juga meningkat. Namun peningkatan hemoglobin akan menyebabkan viskositas darah meningkat sehingga akan menyebabkan meningkatnya tekanan dalam pembuluh darah yang berakibat kapasitas mengangkut oksigen justru menurun. Yang mengikat bukanlah jumlah Hb/100 cc darah, tetapi jumlah Hb total. Peningkatan jumlah Hb total ini disebabkan karena peningkatan volume darah sesudah latihan yang cukup lama, maka jumlah darah meningkat dari 5 l menjadi 6 l. (Soekarman 1986. Fox. 1993)

Peningkatan Stroke VolumeAkibat dari pembesaran otot

jantung akan menyebabkan volume darah meningkat, maka dengan demikian jantung dapat menampung darah lebih banyak, dan dengan sendirinya stroke volume pada waktu istirahat menjadi lebih besar. Karena stoke volume pada waktu istirahat menjadi lebih besar, maka hal ini memungkinkan jantung memompa darah dalam jumlah yang sama setiap menit dengan denyutan lebih sedikit.

Jantung atlet endurance memiliki stroke volume jauh lebih besar daripada orang yang tidak terlatih dengan umur yang sama. Baik pada waktu istirahat maupun pada waktu latihan. Latihan daya tahan ini meningkatkan stroke volume saat istirahat, selama latihan sub maksimal dan latihan maximal (Soekarman. 1986, Sumosardjuno. 1994, Fahey. 1984, Fox.1993, Seiler. 1996, Wilmore. 2003)

Gambar. 7 Perubahan stroke volume(Fahey. 1984)

Cardiac OutputAda tendensi cardiac output tidak

mengalami perubahan saat istirahat dan kerja yang sub maximal, tetapi sangat meningkat pada kerja yang maksimal.

Cardiac output pada waktu istirahat lebih kurang antara 4-6 liter per

menit, dan maksimumnya sekitar 20-30 liter per menit. Pada orang normal dan betul-betul terlatih dapat mencapai 40 liter per menit. (Soekarman. 1986, Sumosardjuno. 1994, Fahey. 1984, Fox. 1993, Seile.r. 1996, Wilmore. 2003)

45

Page 46: Content of Jurnal (12)

Gambar. 8 Perubahan cardiac output.(Fahey. 1984)

Peningkatan Jumlah KapilerLatihan endurance yang lama

untuk suatu kompetisi menyebabkan pembesaran otot rangka, yang diikuti oleh meningkatnya pembuluh darah kapiler pada otot tersebut. Pembuluh darah kapiler pada otot bertambah banyak, sehingga memungkinkan difusi oksigen di dalam otot dapat lebih mudah, akibatnya

mempunyai kemampuan untuk mengangkut dan mempergunakan oksigen lebih besar daripada orang yang tidak terlatih. Karena itu dapat mengkonsumsi oksigen lebih banyak per-unit massa otot, dan dapat bekerja lebih tahan lama. (Soekarman. 1986, Sumosardjuno. 1994, Fahey. 1984, Fox. 1993, Seiler. 1996, Wilmore. 2003)

Gambar. 9 Perubahan jumlah kapiler antara yang terlatih dan yang tak terlatihGambar. 10 Perubahan diameter serabut otot antara yang terlatih dengan tak terlatih (Fox. 1993)

Tekanan DarahPada waktu istirahat, tekanan yang

normal adalah 120 mmHg sistolik dan 80 mmHg diastolik (120/80). Selama melakukan olahraga, tekanan sistolik naik

secara cepat dan kadang-kadang dapat mencapai 200 atau 250 mmHg (respon akut). Sedangkan tekanan diastolik perubahannya hanya sedikit. (Sumosardjuno. 1994, Fahey. 1984)

46

Page 47: Content of Jurnal (12)

Gambar. 11 Perubahan tekanan darah. (Fahey. 1984)

Latihan Daya tahan/endurance (training) cenderung menurunkan tekanan systole, diastole dan tekanan rata-rata arteri. Penurunan tekanan darah ini penting untuk menghindari terjadinya resiko penyakit-penyakit jantung. (Fahey. 1984)

Selama latihan daya tahan yang bersifat dinamis (lari, bersepeda, dll) terjadi dilatasi kapiler dalam otot yang sedang bekerja menurunkan tahanan arteri terhadap aliran darah, yang melebihi dari vasokonstriksi pembuluh darah pada jaringan yang tidak bekerja. Oleh karena itu pengaruh perubahan diameter pembuluh darah selama latihan menurunkan tekanan darah. (Lamb. 1984)

Aliran DarahDengan training, akan

menurunkan aliran darah coroner pada istirahat, maupun selam latihan submaximal. Peningkatan stroke volume dan penurunan heart rate menyebabkan penurunan konsumsi oksigen otot jantung. Peningkatan aliran darah koroner terjadi pada latihan maximal, ini untuk

mendukung peningkatan metabolic untuk peningkatan cardiac output. (Fahey. 1984)

Aliran darah otot rangka cenderung rendah selama latihan submaximal dan meningkat pada latihan maximal. Pada otot yang aktif (latihan maximal) kecenderungan arteriole untuk menekan jaringan lain (selain otot), dan mengalihkan darah ke otot yang sedang aktif. (Lamb. 1984)

Arteriovenous Oksigen DifferentLatihan fisik menyebabkan

perbedaan a-v O2 yang lebih besar, terutama pada latihan maximal. Peningkatan a-v O2 ini disebabkan oleh jumlah kandungan oksigen yang di konsumsi oleh jaringan (otot) meningkat semakin banyak kandungan oksigen semakin besar perbedaannya. Peningkatan perbedaan a-v O2 ini juga dipengaruhi oleh distribusi aliran darah, karena jaringan yang secara metabolic lebih aktif (seperti pada latihan maximal) mengandung oksigen lebih banyak dibandingkan jaringan yang kurang aktif. (Fahey. 1984, Fox. 1993)

Gambar. 12 Perubahan A-V O2 Difference. (Fahey. 1984)

KESIMPULANAdaptasi fisiologi pada latihan

fisik sangat tergantung pada umur, intensitas, durasi, frekuensi latihan, faktor genetik, dan cabang olahraga yang ditekuni (tipe latihan, baik static maupun dinamik).

Tujuan dari adaptasi fisiologi adalah untuk ketahanan jantung dan paru, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan untuk mengangkut oksigen.

Latihan endurance (ketahanan) menyebabkan banyak perubahan (adaptasi) pada sistem kardiovaskuler.

47

Page 48: Content of Jurnal (12)

Adaptasi kardiovaskuler pada latihan fisik menyebabkan volume total (stroke volume) dari jantung meningkat, kenaikan ini disebabkan oleh membesarnya rongga jantung. Maka jantung dapat menampung darah lebih banyak, sehingga stroke volume pada waktu istirahat menjadi lebih besar, hal ini memungkinkan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang sama setiap menit dengan denyutan lebih sedikit.

Adaptasi kardiovaskuler ini juga menyebabkan peningkatan volume darah dan hemoglobin, jumlah kapiler otot dan mempengaruhi cardiac output, tekanan darah, aliran darah serta A-V O2 diff.

Terjadinya proses adaptasi kardiovaskuler terhadap latihan fisik ini adalah terutama untuk mencegah kerusakan jaringan, khususnya Resiko penyakit jantung.

DAFTAR PUSTAKAFox E.L., Bowers R.W., Foss M.L. 1993.

The Physiological Basis for Exercise and Sport. 5th. Ed. Boston-USA. WCB/McGraw-Hill.

Fletcher G.F, Balady G., 1995. Exercise Standards, A statement for Healthcare Professionals From The American Heart Association, Article of Circulation. American Heart Association, Inc

Fleck S.J. 1992. Cardiovascular Response to Strength Training, in Strength and Power in Sport. Edited : Komi P.V., International Olympic Committee, London. Blackwell Scientific Publication.

Fahey, B. 1984. Exercise Physiology, Human Bioenergetics and Its Applications. USA. Johon Eiley & Sons.

Guyton A.C. 2000. Text Book of Medical Physiology. 10th. Ed. USA. W.B. Saunders Co.

Levine B.D. 2001. Exercise Physiology for The Clinician. In Exercise and Sports Cardiology. Editor : Thompson P.D., McGraw-Hill Companies, Inc.

Lamb D.R. 1984. Physiology of Exercise Responses an Adaptation. 2th. Ed. Macmillan Publishing Company.

Moyna N.M. 2001. Principles of Exercise Training For Physicians, In Exercise and Sports Cardiology. Editor: Thompson P.D., McGraw-Hill Companies, Inc.

Silverthorne D.V. 2001. Human

Physiology an Integrated Approach. 2th. Ed. New Jersey P – Hall, Inc.

Sumosardjuno S. 1994. Pengetahuan Praktis Kesehatan dalam Olahraga 2. Jakarta. PT. Gramedia.

Soekarman R. 1986. Dasar Olahraga untuk Pembina, Pelatih dan Atlit. Jakarta. CV. Haji Masagung.

Seiler S. 1996. Myocardial Adaptations to Training. Article of Burns Telecommunications center. April. 1996. Montana State University – Bozeman.

Wilmore J.H. 2003. Aerobic Exercise and Endurance. J of The Physician and Sports medicine, Vol.31 - No. 5 May. 2003.

PERAN AKUPUNKTUR DALAM OBSTETRIOleh :

Harry Kurniawan GondoDosen Ilmu Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma

Surabaya

48

Page 49: Content of Jurnal (12)

Program Pendidikan Dokter Specialis IObstetri & Ginekologi FK Udayana – RSUP Sanglah Denpasar, Bali

ABSTRAKIstilah “akupunktur” berasal dari bahasa Latin acus yang berarti jarum, dan punctura yang

berarti ditusuk. Di Cina, ribuan tahun lalu, tercatat bahwa tentara yang terluka akibat panah kadang sembuh dari penyakit yang telah mereka derita selama bertahun-tahun. Muncul ide bahwa, dengan menusuk kulit pada titik tertentu, penyakit akan sembuh. orang Cina mulai meniru efek panah, dengan menusuk kulit menggunakan jarum. Akupunktur merupakan bagian penting dalam pengobatan tradisional Cina, yang mencakup teknik lain seperti “kop”, “moxibustion”, masase (“Tuina”), dan obat herbal Cina. Lebih dari 20 tahun terakhir popularitas akupunktur telah meningkat di banyak bagian di seluruh dunia. Semakin banyak ketertarikan terhadap penggunaan akupunktur dalam praktek kebidanan. Organisasi kesehatan dunia (WHO) menyatakan bahwa terdapat cukup bukti yang menunjang efek terapi akupunktur yang memungkinkannya menjadi bagian penting dalam pelayanan kesehatan primer dan bahwa akupunktur harus sepenuhnya diintegrasikan dengan kedokteran konvensional.Kata Kunci : Akupunture, Obstetri

ROLE IN Obstetric AcupunctureBy:

Harry Kurniawan GondoLecturer Anatomical Sciences Faculty of Medicine, University of Wijaya

Kusuma SurabayaMedical Education Program Specialist I

Obstetrics & Gynecology, Medical Faculty of Udayana - Sanglah Hospital in Denpasar, Bali

ABSTRACTTerm " acupuncture" coming from Latin Ianguage “acus” meaning needle, and punctura meaning to be jabed. InChinese, thousands of last year, noted that sore army effect of arrow sometime get over disease they which have suffer during through years. Emerge idea that, by jabing husk certain dot, disease will recover. Chineman start to imitate arrow effect, by jabing husk use needle. Acupuncture represent important shares in traditional medication Chinese, including other technique like "kop", " moxibustion", masase ("Tuina"), and Chinese herb drug. More than 20 the last year of popularitas acupuncture have mounted many shares in all the world. More and more interest to usage of acupuncture in practice midwifery. Organizational Health of World ( WHO) express that there are complete evidence which supporting conducive acupuncture therapy effect become important shares in service of health of primary and that acupuncture have to fully integrated with conventional doctor.Key word : Acupunture, Obstetric

I. PendahuluanDalam mempresentasikan akupunktur dalam bidang kebidanan saat ini, di Rumah Sakit (RS), maka kita perlu meninjau ulang sejarah akupunktur, akan sangat membantu jika kita mengerti tidak hanya teori pengobatan tradisional Cina, tetapi juga kerangka filosofi yang mendasari pemikiran orang Cina.

II. Pengobatan Tradisional CinaPengobatan rradisional Cina adalah

sistem kedokteran yang tidak hanya menggunakan akupunktur tetapi juga herbal, makanan, masase (“Tuina”), dan latihan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit. Teori akupunktur diambil dari teks leluhur

Cina, The Emperor’s Classic of Internal Medicine (The Nei Jing) yang dikompilasi antara tahun 300 dan 100 SM. Teori kedokteran yang terkandung di dalamnya masih merupakan pedoman paling berwenang ke Pengobatan Tradisional Cina.

Sistem pengobatan Cina berakar dari filosofi yang sangat berbeda dengan pengobatan barat. Akupunktur adalah metode yang menggunakan jarum halus untuk merangsang saluran energi yang berjalan di bawah permukaan kulit. Ini mempengaruhi perubahan keseimbangan energi tubuh dan bekerja untuk mengembalikan kesehatan. Orang Cina menyebut energi atau kekuatan kehidupan tersebut “Qi”, yang dibaca “chi”. Qi meliputi

49

Page 50: Content of Jurnal (12)

semua hal, dan pada manusia sebagian diturunkan dan sebagian dari makanan yang dimakan dan udara yang dihirup. Ini menjaga darah tetap bersirkulasi, menghangatkan tubuh dan melawan penyakit. Qi mengalir melalui saluran atau meridian yang membentuk jaringan dalam tubuh dan menghubungkan semua bagian dan fungsi secara bersama-sama sehingga mereka bekerja sebagai satu unit. Terdapat 12 saluran utama, masing-masing terhubung dengan organ dalam dan dinamai menurut organ tersebut (Gambar 1). Seperti juga ini, terdapat delapan saluran ekstra, yang juga mengikuti jalur set dalam tubuh. Aurikula telinga memiliki set titik akupunktur yang lengkap yang sesuai dengan berbagai bagian dan sistem tubuh yang berbeda (Gambar 2).

Jika telinga disamakan dengan fetus yang fleksi dengan lobus mewakili kepala fetus, titik akupunktur sesuai dengan anatomi tubuh. Akupunktur telinga berasal dari Cina, tetapi sangat berkembang di Perancis pada tahun 1950-an oleh Dr Nogier yang menambahkan titik-titik pragmatis ke titik-titik tradisonal.

Gambar 1 :Tampak saluran dan titik akupunture

Gambar 2 :Titik akupunture pada telinga (acupunture aurelia point)

Biasanya simtomatis dan relatif mudah dipelajari. Jarum akupunktur pendek, biasanya sepanjang setengah inci, dapat digunakan saat terapi. Metode lain adalah jarum yang mirip tiang atau jarum yang tertanam atau biji yang dapat ditinggalkan in situ selama beberapa hari. Biji tersebut biasanya biji mostar yang sangat keras, dan jika ditekan, sangat merangsang titik tersebut. Keuntungan biji adalah tidak melukai kulit dan oleh karenanya lebih tidak mungkin menimbulkan infeksi jika ditinggalkan in situ selama beberapa hari.

Dalam kesehatan, Qi bergerak halus melalui saluran tersebut, tetapi jika untuk beberapa alasan ia menjadi terblok, atau terlalu lemah atau terlalu kuat, maka akan terjadi penyakit. Tujuan ahli akupunktur adalah untuk mengoreksi aliran Qi dengan menusukkan jarum tipis ke dalam titik tertentu pada saluran tersebut sehingga

menimbulkan perubahan pada bagian atau fungsi tubuh. Teori medis Cina logis yang mendasari mengasumsikan bahwa sebuah bagian hanya dapat dimengerti sebagai suatu keseluruhan. Orang Cina megidentifikasi hubungan antara fenomena oleh teori Yin dan Yang sebagai dua kekuatan yang berlawanan. Yin, yang menandakan bagian utara gunung, mengimplikasikan dingin, kegelapan, interior, pasif, dan negatif. Yang, sisi selatan, mengimplikasikan kehangatan, cahaya, aktivitas, ekspresivitas, dan positif. Jika Yin atau Yang tidak seimbang, terjadilah gangguan kesehatan. Organ yang terlalu Yin bersifat terlalu lemah, statis, dan mengakumulasi kotoran. Organ yang terlalu Yang bersifat terlalu overaktif, tak dapat dikontrol, dan dapat menimbulkan panas. Seperti prinsip Yin dan Yang. Pengobatan Tradisional Cina menggunakan polaritas lain

50

Page 51: Content of Jurnal (12)

di mana semua penyakit dan ketidakharmonisan dapat digambarkan.

Bersama-sama, mereka disebut dengan “delapan prinsip”. Mereka meliputi kosong-penuh, panas-dingin, dan kelebihan-kekurangan, dan digunakan untuk mengelompokkan gejala. Comtohnya: muka merah, nadi cepat, demam, urin gelap, dan nyeri yang diperburuk oleh kehangatan bersifat gejala Yang yang panas, sedangkan pergerakan lambat, nadi lambat, lidah pucat, urin jernih tipis, dan nyeri yang membaik dengan kehangatan adalah keadaan Yin yang dingin. Klasifikasi penyakit ini menunjukkan metode yang sesuai untuk terapi, pasien yang didiagnosis keadaan panas, terapi ditujukan untuk menghamburkan panas. Jika diagnosisnya kelemahan dan dingin, tujuannya adalah membangun kekuatan dan pemanasan menggunakan moxibustion.

Pengobatan Tradisional Cina tidak hanya memperhatikan gejala penyakit, tetapi juga usia, kebiasaan, sifat fisik dan emosional, dan semua aspek lain dari seseorang dilihat secara keseluruhan, sebagai bagian lingkungan yang tak dapat dilepaskan. Penyebab internal dari suatu penyakit dapat tergantikan, dengan asal emosional atau sebagai akibat kebiasaan terlalu sabar. Masalah emosional dapat berasal dari fisik, dan gejala fisik dapat dicetuskan oleh emosi. Contohnya adalah kemarahan yang berlebihan, menyebabkan energi lari ke kepala yang menyebabkan

muka merah, mata memerah, sakit kepala, bahu kaku, dll. Ketidakharmonisan hati dapat menyebabkan iritabilitas, kemarahan, mengeluh, dan depresi.

Penyebab eksternal suatu penyakit paling banyak dihubungkan dengan lingkungan, khususnya keadaan cuaca seperti dingin, lembab, panas, dll, dan khususnya perubahan cuaca secara mendadak, latihan dan istirahat terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat membahayakan keseimbangan energi; trauma, seperti kecelakaan, jatuh, operasi, dll.

III. Teori Pengobatan Tradisional Cina dan kebidananBeberapa dari delapan meridian ekstra yang merujuk ke bagian sebelumnya sangat peduli terhadap fisiologi wanita dan dengan kelahiran anak, khususnya saluran “Ren” dan “Chang” (Gambar 3). Karakter Cina untuk “Ren” berarti “kehamilan dan makanan”. Jika saluran Ren bekerja dengan baik, maka dapat hamil dan memberi makan janin. Saluran tersebut bermula di uterus, keluar dari perineum dan naik ke garis tengah anterior tubuh. Saluran Chong diketahui sebagai “lautan darah”. Ini juga bermula di uterus, keluar dari perineum dan menaiki tubuh secara bilateral. Sangat dipedulikan mengenai menstruasi yang sehat dan kehamilan.

Gambar 3 Diagram gambar saluran Ren dan Chong

51

Page 52: Content of Jurnal (12)

Pada Pengobatan Tradisional Cina, kemampuan untuk hamil menunjukkan bahwa saluran Ren dan Chong berfungsi. Akupunktur berhasil digunakan pada beberapa kasus infertilitas.

Beberapa dari 12 titik saluran reguler juga terlibat dalam reproduksi, khususnya pada meridian ginjal, hati, limpa, dan jantung. Ginjal dikatakan mengontrol pertumbuhan fisik, perkembangan, maturasi, dan reproduksi. Ginjal juga merupakan kendali akhir untuk organ lain dan untuk Qi dan darah. Orang Cina memasukkan kelenjar adrenal jika

membicarakan mengenai ginjal, dan dalam istilah barat, pentingnya ginjal ini dapat dimengerti dalam istilah steroid dan fungsi hormonal. Titik-titik akupunktur tertentu harus dihindari selama kehamilan karena dapat menyebabkan keguguran: khususnya, titik “Sanyinjiao atau limpa 6” yang terletak di kaki bagian bawah dan “Hegu atau usus besar 4” yang terletak di tangan (Gambar 4). Tentunya titik-titik tersebut dapat bermanfaat pada wanita yang kehamilannya post-matur yang akan menjalani induksi persalinan.

Gambar 4 :Tampak gambar titik ”Hegu” pada tangan dan titik ”Sanyijiao” pada kaki

IV. Aplikasi Akupunture pada praktek kebidanan Akupunktur ideal untuk melahirkan. Akupunktur menawarkan terapi yang aman, mudah diberikan, dan tidak mahal bagi wanita pada periode antenatal, intrapartum, dan postpartum. Wanita selalu berhati-hati dalam minum obat selama kehamilan, dan sejak kejadian talidomid, para dokter juga menjadi berhati-hati.

Banyak bidan di negara barat yang tertarik dengan akupunktur karena para ibu yang mereka rawat melaporkan berkurangnya nyeri yang mereka rasakan dengan akupunktur. Banyak pula media yang tertarik dengan banyak artikel di jurnal seperti Midwives Chronicle dan Nursing Times. Beberapa unit kebidanan di Inggris memiliki satu atau lebih bidan yang

menawarkan akupunktur untuk pasien mereka. Unit kebidanan lain telah menunjukkan ketertarikan dan mendorong para bidan untuk berlatih, kadang dibiayai pula. Satu unit kebidanan di Plymouth memiliki dua bidan yang dilatih akupunktur, dan bersama-sama, mereka telah menangani lebih dari 2000 wanita dengan masalah terkait kehamilan. Pelayanan ini telah tersedia sejak tahun 1988 dan memiliki dukungan yang luar biasa baik dari staf manajemen maupun staf medis.

Ada banyak keadaan yang dapat ditolong dengan akupunktur selama kehamilan. Di unit kebidanan Plymouth, yang paling banyak adalah nyeri punggung, siatika, dan mual. Angka keberhasilannya sangat tinggi. Wanita dirujuk untuk terapi dengan keadaan tertentu, seperti :

52

Page 53: Content of Jurnal (12)

hiperemesis, nausea, rasa panas dalam perut, Carpal tunnel syndrome, nyeri kepala, migren, vena varikosa, konstipasi, varises vulva, hemoroid, induksi persalinan, sinusitis, dll.

Sickness, nausea, dan hiperemesis gravidarum. Ini dapat menyebabkan penderitaan absolut pada awal kehamilan, dan pada beberapa kasus, hali ini dapat berlanjut. Wanita dengan hiperemesis berat yang membutuhkan rawat inap yang dipisahkan dari anaknya, lebih banyak mengalami sakit hati dan ketidaknyamanan di rumah dapat bersama dengan teman yang cuti kerja, dll. Mereka dapat diterapi dengan akupunktur sebagai pasien rawat inap, dan jika cukup sehat untuk dipulangkan, dapat melanjutkan terapi sebagai pasien rawat jalan jika perlu. Jumlah terapi yang dibutuhkan sangat bervariasi sesuai individu dan keparahannya. Beberapa wanita mencatat perbaikan segera dan bahkan membatalkan pertemuan kedua. Hal ini tidak biasa, dan ketiga terapi tersebut adalah jumlah rata-rata yang dibutuhkan. Jarum ditusukkan ke dalam pergelangan tangan pada titik “Neiguan” (perikardium 6) dan “Zhongwan” (ginjal 12) pada sebagian besar kasus, dengan tambahan titik lain bila perlu. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, setiap terapi diadaptasi sesuai individu.

Nyeri punggung dan siatika. Ini adalah keluhan lain yang sering ditemukan dalam kehamilan. Bagi banyak wanita, untungnya hal ini hanya dialami selama kehamilan, tetapi ada pula yang telah lama mengalami nyeri punggung yang sering mengalami eksaserbasi akibat pengaruh hormon dan juga perubahan postur yang datang dengan semakin lanjutnya usia kehamilan. Fisioterapi kadang lebih tepat, dan dengan hubungan yang baik antara dua bagian tersebut, rujukan dapat dilakukan. Beberapa wanita tidak mengalami perbaikan dengan fisioterapi, dan mencoba akupunktur, dan sebaliknya.Pada stadium awal, memungkinkan untuk dilakukan terapi dengan wanita terlentang, tetapi dengan semakin besarnya kehamilan, ia harus berbaring miring dengan bantal di antara kedua lututnya. Jarum ditusukkan lokal di sekitar daerah nyeri, juga di bawah kaki. Titik digunakan yang melakukan

tonifikasi pada Qi ginjal, yang bertanggung jawab untuk kesehatan daerah punggung bawah dan tulang secara umum dalam pengobatan Tradisional Cina. Terapi pertama dapat memperburuk keadaan di mana “Qi stagnan” mulai bergerak, dan penting untuk menmperingatkan si wanita. Setelah terapi ke-dua, biasanya akan diikuti dengan perbaikan yang progresif.

Konstipasi. Kebanyakan wanita mengalami perubahan pada kebiasaan buang air besar selama kehamilan, dan lagi-lagi mungkin kita bisa menyalahkan hormon untuk hal ini, khususnya relaksasi otot polos oleh progesteron. Pada mereka yang memiliki masalah demikian, ini dapat menjadi ketidaknyamanan utama dan menyebabkan distress utama. Titik akupunktur dipilih berdasarkan kasus masing-masing individu, tetapi biasanya di lengan, tepat di atas pergelangan tangan, dan di tungkai bawah, tepat di bawah lutut.

Presentasi bokong. Aplikasi Pengobatan Tradisional Cina pada praktek kebidanan telah menarik banyak perhatian. Teknik yang digunakan untuk membantu versi janin disebut “moxibustion”, yang berarti membakar sejenis herbal yang bernama moxa, nama Cina untuk mugwort (Artemisia vulgaris atau herbal Saint John). Teknik tersebut mencakup memanaskan titik akupunktur pada kedua kaki selama 15 menit, lebih dari 10 kali setiap harinya. Ini tampaknya meningkatkan aktivitas janin, yang diharapkan cukup untuk memutar janin dari presentasi bokong menjadi presentasi kepala. Studi yang dirancang di Cina menggunakan teknik ini melaporkan berbagai angka keberhasilan yang berkisar dari 80,9% sampai 90,3%. Sebuah studi yang dibuat di Italia pada tahun 1990 melaporkan angka keberhasilan sebesar 66,6% pada sebuah grup ayng terdiri dari 33 wanita dengan usia kehamilan yang berkisar dari 30 sampai 38 minggu. Sebagian besar paper penelitian mengenai moxibustion menunjukkan bahwa usia kehamilan 34 minggu adalah waktu yang optimal untuk melakukan teknik tersebut, yang menghasilkan angka keberhasilan yang tinggi. Sebuah trial yang dibuat oleh peneliti sedang dilaksanakan, yang diharapkan dapat membuktikan lebih jauh mengenai efek

53

Page 54: Content of Jurnal (12)

teknik ini bagi ibu dan janinnya. Menurut mekanisme kerja ini, sebuah trial yang dilakukan oleh Cooperative Research Group of Moxibustion Version of Jangxi Province membuat postulasi bahwa peningkatan sekresi kortikoadrenal, melalui hasil berupa peningkatan estrogen plasenta dan perubahan kadar prostaglandin yang mereka ukur, meningkatkan tonus basal dan meningkatkan kontraktilitas uterus, merangsang motilitas janin, dan oleh karenanya membuat versi lebih mungkin dilakukan. Peningkatan motilitas janin ini adalah salah satu dari sifat moxibustion yang paling menonjol, dirasakan oleh hampir semua wanita selama paruh ke-dua terapi selama 15 menit, dan menetap bahkan setelah akhir rangsang.

Studi ke-dua oleh peneliti yang sama menyajikan hasil terapi selama satu minggu menggunakan moxa pada 241 wanita hamil dengan usia kehamilan berkisar antara 28 sampai 34 minggu, dibanding 264 subyek kontrol. Pada wanita yang diterapi dengan moxa, terdapat 195 versi (81%) versus 130 (49%) pada grup kontrol, perbedaannya bermakna secara statistik (P <0,05). Jika terapi moxa dilanjutkan selama 7 hari, angka keberhasilan secara keseluruhan adalah 87%.

Trial Cardini mengkonfirmasi temuan ini pada trial Cina bahwa angka keberhasilan lebih tinggi pada multigravida, seperti yang diduga karena menurunnya tonus otot abdomen.

Karena teknik ini tidak melibatkan jarum apapun, dan membutuhkan aplikasi harian selama lebih dari 10 hari, seorang partner atau teman dari si wanita dapat diberi instruksi untuk aplikasi ini dan mereka dapat melanjutkan terapi di rumah. Ini menguntungkan tidak hanya kenyamanannya, tetapi juga memberi sensai kontrol keadaan, dan jika berhasil, akan ada perasaan mereka telah menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Dengan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan efikasi teknik ini, mungkin bagi teknik ini untuk menjadi terapi rutin dalam manajemen presentasi bokong. Bidan dapat dilatih dengan mudah untuk aplikasi ini. Keuntungan yang jelas adalah penurunan jumlah kelahiran dengan presentasi bokong beserta komplikasinya, juga potensi penurunan angka sectio cesarea pada presentasi bokong primigravida (rutin di banyak unit).

Induksi persalinan. Aplikasi akupunktur ini pada kebidanan telah merangsang sejumlah stusi klinis di berbagai negara. Dalam Jia Yi Jing (tertanggal 282 Tarich Masehi), sebuah dinasti klasik Jin Cina, menyatakan: “Pada persalinan yang memanjang dan plasenta yang tertinggal menggunakan Kunlun”, sebuah titik akupunktur di belakang maleolus medialis. Studi telah menggali kemampuan ahli akupunktur untuk menginisiasi kontraksi sebelum ruptur membran, dan sebelum si wanita mengalami nyeri persalinan. Peneliti lain mencatat bahwa dengan akupunktur, “hubungan antara kekuatan kontraksi dengan derajat dilatasi serviks berbeda pada persalinan spontan dengan persalinan yang diinduksi oleh oksitosin”. Implikasinya di sini adalah bahwa jalur fisiologis yang berbeda mungkin terlibat dalam persalinan yang diinduksi dengan akupunktur. Akumulasi hasil dari ratusan studi telah menunjukkan bahwa hormon atau neurotransmiter apapun dapat dipengaruhi oleh rangsangan akupunktur yang sesuai. Ini dapat menjelaskan perbedaan antara kedua metode induksi persalinan di atas.

Pada sekitar 12 studi klinis terpisah mengenai induksi persalinan dengan akupunktur, efek samping negatif harus tetap dilaporkan atau diidentifikasi. Ini berlawanan dengan efek sampin yang mungkin terjadi akibat Syntocynon, seperti kontraksi yang kuat namun abnormal atau kontraksi yang memanjang atau ruptur uterus, juga respon-respon lain. Kerugian lain mungkin bahwa periode akupunktur yang dibutuhkan unutk merangsang kontraksi mungkin selama 5 jam pada beberapa kasus, yang mungkin tidak praktis atau dapat diterima oleh wanita. Pengalaman peneliti di sini adalah bahwa saat mengusahakan induksi di sekitar usia kehamilan aterm, sering berdasarkan permintaan si ibu, dibutuhkan beberapa terapi, masing-masing berlangsung selama 1 jam setiap harinya.

Titik akupunktur yang paling sering digunakan untuk merangsang kontraksi adalah “Hegu” atau usus besar 4 dan “Sanyinjiao” atau limpa 6, yang ditusukkan bersama, secara bilateral. Mereka sering dirangsang menggunakan unit elektroakupunktur untuk efek maksimal. Dalam istilah pengobatan tradisional Cina,

54

Page 55: Content of Jurnal (12)

mereka memiliki efek yang sangat kuat terhadap energi uterus, menyebabkannya turun, dan karena alasan inilah bahwa kedua titik ini termasuk dalam daftar dilarang digunakan pada awal kehamilan. Pada beberapa kasus, tekanan kuat pada titik ini mungkin cukup jika tidak ada jarum, untuk mengembalikan kontraksi yang telah melemah selama dimulainya persalinan.

Analgesia pada persalinan. Aplikasi akupunktur dalam kebidanan telah memunculkan banyak minat, dan banyak penelitian. Pada beberapa kasus, ini merupakan alasan diperkenalkannya akupunktur di unit kebidanan oleh para bidan.

Hasil studi terhadap analgesia akupunktur pada persalinan sangat bervariasi. Salah satu masalah utama dalam menilai analgesia adalah subyektivitas persepsi nyeri. Metode penilaian ini juga sangat bervariasi, yang membuat perbandingan trial menjadi sulit.

Kelahiran dengan bantuan akupunktur yang oertama kali dilaporkan di Eropa dilakukan oleh Dr Christman Ehrstroem di Stockholm, Swedia pada tahun 1972. Pada tahun 1974, Darras, di Perancis, melaporkan 20 kelahiran yang dibantu dengan elektroakupunktur. Mereka adalam primi dan multipara, semuanya kelahiran non-operatif tanpa episiotomi ataupun forseps. Ia melaporkan 16 keberhasilan, tiga berhasil sebagian, dan satu gagal.

Yang lebih baru, Martoudis dan Christofides (1990) membuat sebuah trial di Siprus menggunakan kombinasi yang menarik antara titik aurikula dengan titik pada tangan, pada 186 orang yang akan melahirkan. Waktu rangsangan akupunktur bervariasi dari 20 sampai 30 menit, dan mean mulai efektifnya efek analgesia adalah 40 menit. Mean durasi efek analgesia adalah 6 jam. Pada semua parturien yang melahirkan pada periode ini, tidak diperlukan obat analgesia. Pada 24 kasus, elektroakupunktur tidak berefek, dan mereka mendapat obat analgesia. Rata-rata nilai APGAR adalah 9,60 pada 1 menit, rata-rata yang sangat tinggi yang berbicara baik untuk keamanan metode ini. Untuk mengevaluasi hasil terapi seobyektif mungkin, diberikan kuesioner ke parturien, juga kepada bidan

yang bertugas di ruang persalinan dan juga kepada dokter yang membantu kelahiran.

Rekaman yang diambil sebelum menusukkan jarum menunjukkan dengan jelas bahwa nyeri dirasakan pada awal kontraksi, dan berakhir ketika konraksi selesai. Rekaman yang diambil ketika efek elektroakupunktur maksimum menunjukkan nyeri yang dirasakan pada stadium yang jauh lebih lanjut pada suatu kontraksi, dan berakhir jauh lebih awal dibanding akhir kontraksi.

Irene Skelton adalah bidan pertama di Inggris yang melakukan studi terhadap akupunktur dan persalinan, dilaporkan pada tahun 1988. Ini adalah studi selama 2 tahun yang melibatkan 170 kelahiran di Glasgow, meneliti efektivitas yang komparatif dari analgesia konvensional dengan akupunktur. Ia menyimpulkan bahwa “Akupunktur memiliki bagian penting dalam kontrol nyeri persalinan. Wanita yang mendapat akupunktur merasa lebih terkontrol dalam persalinan dan melahirkan dan secara umum lebih puas dengan “pengalaman melahirkan” dibanding grup kontrol”.

Metode aplikasi akupunktur telinga untuk persalinan telah berubah seiring dengan pengalaman. Pada hari-hari awal, dipilih titik pada tangan dan tungkai bawah, sesuai teks leluhur dan metode yang lebih baru digunakan oleh para peneliti, tetapi ini ditemukan terlalu mengurangi mobilitas. Titik telinga saat ini digunakan, biasanya dengan elektrostimulasi. Jarum setengah inci ditusukkan ke titik yang dipilih dan diselotip. Kartilago telinga cukup keras untuk memegang jarum tetap pada tempatnya. Timah ringan dari mesin elektroakupunktur direkatkan dengan dua jarum dan si wanita diinstruksikan dalam penggunaan stimulator. Ia dapat mengontrol intensitas rangsangan, tetapi frekuensinya ditentukan dan di-pre-set oleh dokter. Setelah ditempatkan, si wanita bebas bergerak atau mencari posisi yang nyaman. Jika ia ingin mandi, mesin dihentikan, tetapi jarum dapat tetap di tempatnya. Efek biasanya dimulai 10-20 menit kemudian, dan wanita yang bersalin terlihat lebih tenang dan santai, mampu mengatasi kontraksinya, meskipun ia masih tetap dapat merasakannya. Beberapa wanita mulai tertidur di antara kontraksi dan bangun saat kontraksi berikutnya. Keadaan mengantuk dan sangat santai ini dapat

55

Page 56: Content of Jurnal (12)

disebabkan oleh stimulasi serotonin. Derajat analgesia yang didapat bervariasi, begitu pula dengan metode lain, dan tentunya subyektif. Pada beberapa kasus, akupunktur tidak cukup, khususnya jika mendekati transisi ke kala dua persalinan. Ini adalah saatnya Entonox dapat sangat membantu dan biasanya cukup untuk melibat si ibu sampai mulai mengedan. Tentunya dalam persalinan yang sangat panjang dan melelahkan, mungkin dengan komplikasi, anestesia epidural mungkin perlu dan penting bahwa si wanita merasa mampu memintanya tanpa merasa ia gagal karena tidak dapat berhasil dengan akupunktur saja. Ini harus dicatat oleh si wanita mengenai ia datang untuk berdiskusi tentang analgesia akupunktur dalam periode antenatal.

Titik yang digunakan untuk analgesia adalah “Uterus”, “Shenmen”, dan “Endokrin”. Yang pertama dipilih dengan alasan yang jelas sebagai organ target. Titik ke-dua digunakan untuk analgesia umum dan relaksasi di seluruh tubuh, dan yang ke-tiga unutk merangsang kontraksi. Tidak ada penelitian yang tersedia saat penulisan yang melihat penggunaan titik-titik telinga saja pada persalinan.

Dalam sebuah review terhadap delapan clinical trial mengenai analgesia akupunktur untuk persalinan, enam menunjukkan hasil yang baik atau sukses sedangkan dua dengan hasil negatif. Kebanyakan studi ini dilakukan terhadap wanita dalam jumlah kecil. Mereka menggunakan rancangan yang berbeda, hanya beberapa yang menggunakan kontrol, dan menggunakan berbagai metode pemeriksaan. Karena sering menjadi kasus, lebih banyak penelitian yang dibutuhkan dengan pola yang distandarisasi terhadap wanita dalam jumlah besar. Salah satu masalah tentunya adalah pendanaan. Masalah lain adalah ketersediaan dokter yang terlatih dengan baik untuk melakukannya. Karena sebagian besar peneliti medis didanai oleh perusahaan obat, mencari uang untuk penelitian ke dalam terapi komplementer yang dapat mengurangi kebutuhan akan obat dapat menjadi suatu masalah.

Masalah postnatal, Hemoroid. Hemoroid adalah keluhan yang sangat sering dalam kehamilan dan periode postnatal segera,

menyebabkan banyak ketidaknyamanan dan distress, dan dapat menjadi masalah dalam menyusui akibat posisi yang buruk. Ada titik “empiris” untuk hemoroid yang disebut “Chengsan” atau UB 57, yang berlokasi di belakang betis. Ia berada di meridian kandung kemih yang berjalan di sekitar anus dan bahkan jika digunakan sendiri, titik ini dapat mengurangi nyeri dalam beberapa jam, mengurangi bengkak, nyeri, dan ketidaknyamanan di daerah tersebut. Sering dibutuhkan hanya satu kali terapi, tetapi jika tidak, dan jika ibu dan anak masih di rumah sakit, ini dapat diulangi setiap hari, yang sesuai sebelum dimulainya waktu sibuk di rumah.

Retensio urin Untungnya, ini tidak terlalu sering terjadi, tetapi jika terjadi, dapat diikuti oleh implikasi serius, dan terpisah dari distress kateterisasi berulang, ini dapat menyebabkan ketidakbahagiaan yang sangat karena harus rawat inap, dan meskipun telah merencanakan untuk pulang segera setelah melahirkan. Ini sering dihubungkan dengan melahirkan dengan bantuan forseps yang traumatis, edema perinum, dan kadang anestesia epidural. Dalam istilah Pengobatan Tradisional Cina, akupunktur dapat melakukan tonifikasi terhadap kandung kemih dan menarik energi ke daerah tersebut, yang menimbulkan sensasi ingin kencing, yang sering tidak terjadi pada kasus-kasus ini. Jarum biasanya ditusukkan ke titik di bawah tungkai bawah, juga lokal di atas simfisis pubis, dan digunakan rangsangan yang kuat. Bahkan jika si wanita telah mencoba selama beberapa hari dan tidak berhasil kencing, satu terapi mungkin cukup baik untuk merangsang keinginan kencing dengan volume yang cukup dalam satu jam.

Laktasi yang tidak cukup Akupunktur dapat berguna khususnya dalam keadaan di mana si ibu stres, dan meskipun sangat ingin menyusui, produksi ASI-nya berkurang. Ini sering sebagai masalah pada kelahiran prematur, di mana si bayi masih dirawat di unit perawatan khusus bayi, dan khususnya jika si bayi tidak sehat dan sedang berjuang untuk hidup. Bagian fisiologi laktasi melibatkan refleks neurohormonal yang dihasilkan oleh rangsangan pada puting susu yang menyebabkan dilepaskannya oksitosin

56

Page 57: Content of Jurnal (12)

dari hipofisisi anterior. Refleks ini dapat ditekan oleh pusat yang lebih tinggi di otak, yang menyebabkan stres dan cemas untuk mempengaruhi refleks “mengeluarkan”.

Terapi akupunktur dapat ditujukan pada relaksasi kuat juga menyediakan “tonik” untuk membangun si ibu, dan meningkatkan aliran energi atau “Qi” ke payudara. Telah diketahui bahwa akupunktur memiliki pengaruh yang kuat terhadap kadar hormon, dan tidak ada petunjuk mengenai pengaruhnya terhadap pusat yang lebih tinggi, sehingga beralasan untuk membuat spekulasi bahwa keberhasilannya dalam memulai laktasi dikarenakan oleh peningkatan kadar oksitosin dan prolaktin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Budd S, Acupunture

OPTIMASI FREKUENSI DAN DOSIS PAPARAN GELOMBANG UTRASONIK UNTUK MEMBUNUH JENTIK NYAMUK

Mas Mansyur, E. Devi Dwi Rianti, Heru SetiawanDosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

ABSTRAK:Nyamuk merupakan salah satu serangga ditimpakan kepada orang-orang yang disebabkan oleh pard memimpin dalam berbagai penyakit tak terlukiskan seperti malaria, demam berdarah dan cikungunya. Nyamuk adalah membawa masalah bagi ruang hidup terutama di daerah penurunan sanitasi banjir tersebut. Pencegahan penyakit yang disebabkan oleh nyamuk telah dilakukan dengan banyak cara antara lain dengan menggunakan insektisida seperti DDT, BHC, dll Insektisida memungkinkan untuk menyebabkan keracunan bagi manusia dan makhluk hidup lain. Menggunakan insektisida yang tidak terkontrol akan memberikan kompleks risiko tinggi. Ini adalah ide yang baik untuk mendapatkan metode alternatif yang lebih baik. Gelombang ultrasonik memilih sebagai metode alternatif untuk efektivitas dan ramah lingkungan. Fokus penelitian telah dilakukan untuk memiliki frekuensi gelombang ultrasonik optimal mematikan yang disebabkan persentase tertinggi dan untuk mendapatkan dosis atau kepadatan volume energi gelombang ultrasonik untuk menghancurkan larva nyamuk secara keseluruhan. Sebagai hasil observasi dan analisa data telah dilakukan oleh 50 Mosquito Larva dan 50 W ultrasonik bertenaga memberikan frekuensi optimum adalah 86 KHz, dengan Persentase Lethal 78%. Selain itu, semakin kapal hubungan linier untuk volume, sehingga volume kepadatan energi 3,95904 kJ / ml.Kata kunci: Metode Alternatif, ramah lingkungan, persentase mematikan

57

Page 58: Content of Jurnal (12)

FREQUENCY OPTIMIZATION OF WAVE EXPOSURE AND DOSE TO KILL ultrasonic mosquito larvae

Mas Mansyur, E. Devi Dwi Rianti, Heru SetiawanLecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya

ABSTRACT :Mosquito is the one of inflicted insect upon people caused by the lead pard in many indescribable diseases such as malaria, dengue and cikungunya. Mosquito is bring problem for living space especially in decreasing sanitation such flooded area. The disease prevention caused by Mosquito has done in many ways among the others by using insecticide such as DDT, BHC, etc. Insecticide enable to caused poisoned to people and others living creatures. Using uncontrolled insecticide will be give high risk complex. It is a good idea to get a better alternative method. The ultrasonic waves choose as alternative method for its effectiveness and environmental friendliness. The focus of research has been done to have optimum frequency of ultrasonic waves caused highest lethal percentage and to get the dosages or the volume density of energy of ultrasonic waves to destroy Mosquito larva on the whole. As the result of observation and data analysis has done by 50 Mosquito Larva and 50 W ultrasonic powered give the optimum frequency is 86 KHz, with Lethal Percentage is 78%. Besides, is getting the linier relation ship to volume, so that the volume density of energy is 3.95904 kJ/ml.Keywords : Alternative method, environmental friendliness, lethal percentage

PENDAHULUANDiperkirakan hampir tiga juta spesies

makhluk hidup yang termasuk Phylum Artopoda, misalnya serangga yang merupakan kelas terbesar dan terpenting. Sampai saat ini telah dikenal lebih dari 500.000 species serangga. Sejumlah besar species serangga bermanfaat dalam kehidupan manusia, tetapi tidak sedikit pula yang menyebabkan kerugian bagi manusia (Wiantari, 1993).

Nyamuk merupakan salah satu jenis serangga yang merugikan manusia. Karena banyak berperan dalam penyebaran berbagai macam penyakit. Seperti : malaria, demam berdarah, cikungunyah. Nyamuk dapat menimbulkan masalah pada lingkungan pemukiman terutama yang sanitasinya kurang baik, seperti tempat-tempat yang dapat menimbulkan genangan air (got, kaleng-kaleng bekas maupun bak mandi yang jarang dikuras).

Penanggulangan penyakit yang ditularkan oleh penyakit ini telah banyak dilakukan antara lain dengan menggunakan insektisida seperti DDT, BHC. Insektisida ini dapat menimbulkan keracunan baik pada manusia maupun mahluk hidup lainnya. Disamping itu insektisida menyebabkan meningkatnya daya tahun dalam tubuh nyamuk terhadap zat ini. Pemakaian insektisida tanpa terkendali dapat menimbulkan keracunan bahkan kematian, oleh karena itu perlu dipikirkan metode yang lebih baik untuk mengendalikan hama nyamuk ini. Fogging memang dapat

membunuh nyamuk, tetapi jentik-jentiknya tetap tak terbasmi (Sarudji, 2006).

Gelombang ultrasonik merupakan metode yang dapat mengendalikan insektisida untuk menghambat pertumbuhan serangga ini. Gelombang ultrasonik merupakan gelombang mekanik yang frekuensinya lebih dari 20.000 Hz dan di dalam gas atau zat cair berupa gelombang longitudinal. Gelombang mekanik memiliki cepat rambat sebanding dengan kerapatan medium rambatannya, sehingga cepat rambat dalam zat cair lebih besar dibanding dalam gas. Selama perambatannya di dalam medium gelombang ultrasonik mengalami atenuasi karena adanya peristiwa-peristiwa pematulan, hambatan dan absorpsi sehingga intensitasnya berkurang. Disamping sifat-sifat ini, juga sifat-sifat karakteristik yaitu dapat menimbulkan kalor, gaya ultrasonik steady, kavitasi dan strees makanik yang besar (Goeberman, 1988).

Keuntungan penggunaan gelombang ultrasonik untuk membunuh jentik nyamuk diantara adalah tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, tidak mengeluarkan bunyi yang membisingkan telinga manusia karena frekuensinya melebihi jangkauan pendengaran manusia normal, dapat membunuh jentik nyamuk secara termis akibat efek panas yang ditimbulkan, dan efek-efek lain yang ditimbulkan gelombang ultrasonik (Maskunah, 1988).

Kematian jentik Aedes Aegypti terbesar terjadi akibat pemaparan gelombang uitrasonik dengan frekuensi 85 kHz. Daya

58

Page 59: Content of Jurnal (12)

gelombang ultrasonik, waktu pemaparan juga berpengaruh (Wiantari, 1993). Pada percobaan ini interval frekuensinya telalu lebar yaitu 5 kHz, sehingga diperlukan frekuensi paparan gelombang ultrasonik yang lebih halus.

Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk menentukan Frekuensi optimal yang mampu membunuh jentik nyamuk dengan persen kematian terbesar, dan menentukan dosis. Paparan optimal meliputi daya, waktu dan volume. Medium gelombang ultrasonik yang mampu membunuh jentik nyamuk dengan kematian sebesar 100 %.

BAHAN DAN CARA KERJA.Proses penelitian ini diawali dengan

mendisain pembangkit gelombang ultrasonik. Pembangkit gelombang ini disebut transduser ultrasonik, karena pembangkit ini mengubah energi listrik menjadi energi akustik. Pada penelitian ini dipilih transduser elektromagnetik. Karena dapat digunakan untuk membangkitkan gelombang ultrasonik baik di zat padat maupun fluida disamping itu transduser jenis ini banyak dijual di pasaran. Gambar 1. adalah diagram blok pembangkit gelombang ultrasonik. Adapun foto-foto peralatan yang di gunakan dalam penelitian ditunjukkan pada Lampiran.

Gambar 1. Diagram Blok Pembangkit Gelombang Ultrasonik.

Jentik nyamuk diambil dari selokan yang berada disekitar tempat penelitian. Hal ini di maksudkan agar setelah penelitian ini selesai, hasilnya langsung dapat digunakan untuk membunuh jentik nyamuk yang berada di selokan.

Untuk menentukan frekuensi optimum dilakukan dengan cara, memasukkan 50 ekor jentik nyamuk ke dalam gelas ukur yang berisi 50 ml air. Kemudian dipapari dengan gelombang ultrasonik dengan frekuensi bervariasi, sedangkan daya gelombang ultrasonik, volume air dan waktu di buat konstan.

Frekuensi optimum yang di peroleh di gunakan sebagai dasar percobaan berikutnya.Untuk menentukan dosis paparan gelombang ultrasonik di lakukan cara memapari 50 ekor jentik nyamuk dengan

gelombang ultrasonik berdaya konstan. Sedangkan volume air bervariasi, kemudian percobaan di lanjutnya dengan volume air konstan sedangkan daya gelombang ultrasonik divariasi. Lalu mencatat waktu paparan yang menyebabkan kematian seluruh jentik nyamuk.

HASILUntuk menentukan frekuensi

optimal paparan gelombang ultrasonik, dilakukan variasi frekuensi antara 20-100 kHz. Sebagai hewan coba digunakan 50 ekor jentik nyamuk dimasukkan ke dalam gelas ukur yang berisi 50 mi air kemudian di papari dengan gelombang ultrasonik dengan daya sebesar 50 W dalam waktu 1 jam. Adapun hasil pengukuran ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1: Hasil Pengamatan Jumlah Kematian Jentik Nyamuk terhadap Frekuensi.Frekuensi (kHz)

Jumlah Kematian ( 12 menit ) Total % KematianI II III IV V

20 2 3 2 2 4 13 2630 2 2 4 4 4 14 2840 3 4 3 5 5 20 4050 3 3 4 5 5 20 4060 5 3 4 5 6 23 4670 3 5 5 5 7 25 50

59

Signal Generator

Penguat Transduser Sampel

Osiloskop

Page 60: Content of Jurnal (12)

80 4 6 5 8 7 30 6082 4 6 6 8 8 32 6484 4 5 9 9 8 35 7086 5 4 9 9 9 36 7288 6 4 7 7 10 34 6890 3 5 6 6 10 30 60100 4 4 5 6 6 25 50

Untuk mengetahui energi paparan gelombang ultrasonik yang mampu menghasilkan persen kematian sebesar 100% dilakukan pengamatan waktu paparan terhadap variasi daya keluaran pembangkit gelombang ultrasonik. Adapun hasil Pengukurannya ditunukkan pada Tabel 2.

Untuk mengetahui energi persatuan volume gelombang ultrasonik yang mampu

menghasilkan persen kematian sebesar 100% dilakukan pengamatan waktu paparan terhadap variasi dengan daya keluaran pengbangkit gelombang ultrasonik konstan 200 W. Sebagai hewan coba digunakan 50 ekor jentik nyamuk di masukkan ke dalam gelas ukur yang berisi 50 ml, 150 ml, 200 ml dan 250 ml air, Adapun hasil pengukuran ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 2 : Hasil Pengamatan Waktu Paparan terhadap Variasi Daya dengan Volume Konstan

Tabel 3 : Hasil Pengamatan Waktu Paparan Terhadap Volume dengan Daya Konstan

No Data (watt) Waktu (menit) No Volume (ml) Waktu (menit)1. 100 32,33 1. 50 15,702. 150 20,40 2. 100 33,103. 200 15,70 3. 150 47,604. 250 12,40 4. 200 68,805. 300 10,10 5. 250 80,33

Untuk menentukan energi paparan persatuan volume dilakukan dengan variasi energi menggunakan daya konstan sebesar

200 W. Hubungan antara energi dan volume tersebut ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 : Hubungan Energi Paparan Gelombang Ultrasonik Terhadap VolumeNo. Volume (ml) Waktu (menit) Energi (kJ)1. 50 15,70 188,402. 100 33,10 397,203. 150 47,60 571,204. 200 68,80 825,605. 250 80,33 963,96

Grafik Hasil Percobaan

60

20 30 40 50 60 70 80 82 84 86 88 90 100

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Prosen Kematian terhadap frekuensi

Frekuensi (kHz)

Pro

se

n k

em

ati

an

(%

)

Page 61: Content of Jurnal (12)

Gambar 1 : Grafik Hubungan Persen Kematian Terhadap Frekuensi Gelombang Ultrasonik

Dari grafik di atas terlihat bahwa persen kematian terbesar (sebesar 72%), terjadi pada frekuensi 86 kHz. Frekuensi ini disebut frekuensi optimum. Frekuensi ini

digunakan untuk percobaan selanjutnya.

Gambar 2 : Grafik Hubungan Antara Waktu Paparan terhadap Daya

Gambar 3 : Grafik hubungan energi terhadap volume

PEMBAHASANBerdasarkan hasil pengamatan yang

dilakukan, pada gambar 1. diperoleh frekuensi optimal untuk membunuh jentik nyamuk sebesar 86 kHz. Dengan persen kematian sebesar 72% Kriteria pemilihan frekuensi optimal didasarkan atas frekuensi optimal didasarkan atas frekuensi gelombang ultrasonik (variabel bebas) dengan persen kematian jentik nyamuk (variabel terikat) terbesar Frekuensi optimal ini berkaitan dengan panjang gelombang ultrasonik sebesar 1,57 cm.Hal ini mengacu pada cepat rambat gelombang ultrasonik di air sebesar 1350 m/s. Bila dibandingkan

dengan ukuran jentik nyamuk yang pada umumnya < 1 cm, maka seharusnya frekuensi optimal tersebut bernilai di atas 100 kHz, namun karena transduser ultrasonik yang dijumpai di pasaran memiliki rentang frekuensi di bawah 100 kHz, maka perlu dilakukan upaya untuk mendapatkan transduser yang sesuai, agar diperoleh hasil yang diharapkan.

Dari hasil pengamatan waktu paparan (variabel terikat) terhadap variasi daya, (variabel bebas) diperoleh hasil bahwa semakin besar daya yang dipancarkan semakin kecil waktu yang dibutuhkan untuk membunuh jentik

61

100 150 200 250 300

0

5

10

15

20

25

30

35

Waktu paparan terhadap daya

D aya (W )

Wa

ktu

(m

en

it)

50 100 150 200 250

0

200

400

600

800

1000

Hubungan Energi terhadap volume

Volume (ml)

Ene

rgi (

kJ)

Page 62: Content of Jurnal (12)

nyamuk secara keseluruhan. Jadi waktu paparan berbanding terbalik dengan daya, sehingga bila diinginkan waktu paparan sesingkat mungkin dibutuhkan daya yang lebih besar. (Gambar 2).

Hasil pengamatan waktu (variabel bebas) yang dibutuhkan untuk membunuh seluruh jentik nyamuk dengan daya sebesar 200W pada volume bervariasi (variabel bebas), tampak bahwa adanya hubungan linier antara energi yang dibutuhkan dengan volume air tempat hidup jentik nyamuk (Gambar 3). Energi persatuan volume yang dibutuhkan untuk membunuh seluruh jentik nyamuk bernilai 3,95904 kJ/ml. Tingginya nilai energi persatuan volume ini terkait dengan keterbatasan respon transduser ultrasonik yang digunakan. Bila frekuensi respon transduser semakin tinggi, maka selain berkaitan dengan nilai frekuensi alamiah jentik nyamuk, juga meningkatkan impedansi transduser. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya efisiensi energi transduser. Jadi keterbatasan respon transduser merupakan kendala utama optimasi pendayagunaan gelombang ultrasonik untuk membunuh jentik nyamuk.

Terlepas dari kendala eksperimen yang ada, upaya pendayagunaan gelombang ultrasonik untuk membunuh jentik nyamuk memiliki prospek yang baik. Hasil ini membuka peluang penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan metode pengendalian nyamuk sebagai vektor penyakit, khususnya demam berdarah, dengan memotong siklus kehidupan nyamuk.

Keuntungan gelombang ultrasonik sebagai gelombang mekanik dengan frekuensi di atas frekuensi ambang dengar manusia adalah tidak terjadinya efek kebisingan yang mengganggu. Disamping itu paparan gelombang ultrasonik di air memiliki efektivitas yang lebih baik, karena cepat rambat gelombang ultrasonik di air yang lebih tinggi dibanding di udara. Hal ini ditunjang pula oleh derajat kebebasan bergeraknya jentik nyamuk di air lebih terbatas dibanding nyamuk di udara.KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang bertujuan menentukan frekuensi dan dosis optimal paparan gelombang ultrasonik untuk membunuh jentik nyamuk dapat dipetik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Frekuensi optimal yang berkaitan dengan persen kematian tertinggi adalah 86 kHz, dengan persen kematian sebesar 72%. Kondisi tersebut dicapai pada paparan gelombang ultrasonik dengan daya 50W, volume 50 ml dan waktu paparan selama 1 jam.

2. Untuk mencapai persen kematian jentik nyamuk sebesar 10% dibutuhkan paparan gelombang ultrasonik dengan energi persatuan volume sebesar 3,95904 kJ/ml.

SARANDari hasil penelitian menunjukkan

bahwa upaya pendayagunaan gelombang ultrasonik untuk membunuh jentik nyamuk memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai metode alternatif pengendalian nyamuk. Selain tidak beresiko menimbulkan pencemaran lingkungan, metode ini juga memiliki efektivitas yang cukup baik.

Kendala utama penerapan metode ini adalah terbatasnya respon frekuensi transduser, sehingga perlu diupayakan untuk mendapatkan jenis transduser dengan spesifikasi yang diinginkan agar upaya optimasi frekuensi dan dosis paparan memiliki hasil yang lebih baik, ditinjau dari aspek fisis maupun ekonomis. Dengan respon frekuensi yang lebih baik, diharapkan faktor energi persatuan volume yang dibutuhkan untuk membunuh jentik nyamuk secara menyeluruh akan memiliki nilai lebih kecil, sehingga tercipta efisiensi energi yang diinginkan.

DAFTAR PUSTAKAAckerman, Eugene, 1989, Biophysical

Science, Prentice Hall Inc, Engelwood Cliffs, New Jersey.

Cameron, I.R. and Skofronik, 1978, Medical Physics, A. Wiley Intersciences, New York.

Cromer, Alan, 1994, Physics For Life Sciences, Mc. Graw Hill Inc. Publication, New York.

Gabriel, J.F., 1993, Fisika Kedokteran, Edisi 5, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

62

Page 63: Content of Jurnal (12)

Goeberman, G.I., 1988, Ultrasonics Theory and Application, The English University Press, Ltd, London.

Hariadji, Imam, 1990, Pemanfaatan Gelombang Ultrasonik untuk Mengusir Lalat Rumah, Skripsi, FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya

Maskunah, 1988, Pengaruh Gelombang Ultrasonik Terhadap Suspensi Bakteri, Kolokium, FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya

Mansyur, Mas, 2006, Pengukuran Cepat Rambat Gelombang Ultrasonik dengan Metode Beda Fase, Jurnal LPPM UWK, Surabaya

Nasir, Moh., 1988, Metode Penelitian, Penerbit Ghalia, Jakarta.

Priyo T, Anggono, 1992, Studi Tentang Cepat Rambat Gelombang Ultrasonik dan Metode Pengukurannya, Kolokium FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya

Sarudji, Didik, 2006, Kesehatan Lingkungan, Media Ilmu, Sidoarjo

Spiegel, R.M., 1996, Statistika, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Wiantari, Sugiani, 1993, Pemanfaatan Gelombang Ultrasonik untuk Membunuh Larva Aedes Aegypti, Skripsi, FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya

Widodo, Asnar, 1990, Efisiensi Pencucian Gelombang Ultrasonik, Kolokium FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya.

ISOLASI DAN KARAKTERISASI ENZIM SELULASEOleh

MasfufatunDosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

ABSTRAK Carboxy Methyl Cellulose (CMC) merupakan turunan selulosa yang mudah larut dalam air.

Oleh karena itu CMC mudah dihidrolisis menjadi gula-gula sederhana oleh enzim selulase. Bekicot adalah hewan lunak, mudah berkembang biak dan memanfaatkan selulosa sebagai sumber energinya serta kandungan proteinnya cukup tinggi. Oleh karena itu bekicot dapat dijadikan sebagai sumber enzim selulase untuk menghidrolisis Carboxy Methyl Cellulose (CMC)

Peneltian ini bertujuan untuk isolasi enzim selulase dari bekicot, Achatina fulica dan menentukan karakterisasinya. Kadar Glukosa yang dihasilkan dari aktivitas enzim selulosa dianalisa dengan menggunakan metode Semogy-Nelson,. Dari penelitian ini ternyata enzim selulase yang diisolasi dari hepatopankreas bekicot, Achatina fulica memiliki aktivitas spesifik sebesar 2,85 U/mg protein dan beraktivitas optimum pada suhu 50oCdan pH 5,16 serta memiliki memiliki parameter kinetik harga Vm sebesar 0,23mg/mL per menit dan Km sebesar 0,53 mg/mL. Bagian enzim selulosa mulai jenuh pada konsentrasi 4%.Kata kunci : Carboxy Methyl Cellulose, hidrolisis, selulase

ISOLATION AND CHARACTERIZATION cellulaseBy

MasfufatunLecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya

ABSTRACTCarboxy Methyl Cellulose (CMC) is a derivative of cellulose soluble in water. Therefore, CMC easily hydrolyzed into simple sugars by the enzyme cellulase. Snails are animals soft, easy to breed and utilize cellulose as a source of energy and protein content is high enough. Therefore, snails can be used as a source of cellulase enzyme to hydrolyze carboxy Methyl Cellulose (CMC)This research aims to isolate cellulase enzyme from the snail, Achatina fulica and determine its characterization. Glucose levels produced from cellulose enzyme activity were analyzed by using the method Semogy-Nelson. From this research it turns out cellulase enzyme isolated from hepatopankreas

63

Page 64: Content of Jurnal (12)

snail, Achatina fulica has a specific activity of 2.85 U / mg protein and activity 50oCdan temperature optimum at pH 5.16 and have had kinetic parameters Vm price of 0.23 mg / mL per minute and Km is 0.53 mg / mL. Part enzyme cellulose getting fed at a concentration of 4%.Keywords: carboxy Methyl Cellulose, hydrolysis, cellulase

Pendahuluan Selulosa merupakan biomolekul yang

paling banyak ditemukan di alam dan merupakan unsur utama penyusun kerangka tumbuhan. Diperkirakan sekitar 1011 ton selulosa dibiosintesis tiap tahun. Daun kering mengandung 10-20%selulosa; kayu 50% dan kapas 90%(Kolman, 2001). Selama ini limbah pertanian maupun kehutanan, seperti jerami gandum maupun padi, tongkol jagung, bagas, kulit kacang dan lain-lain belum dimanfaatkan secara optimal, padahal limbah-limbah tersebut merupakan sumber energi yang potensial. Kandungan selulosanya yang tinggi sehingga dapat dikonversi menjadi gula-gula sederhana (gula pereduksi) dan selanjutnya difermentasi menjadi etanol oleh khamir atau bakteri.

Carboxy Methyl Cellulose (CMC) merupakan turunan selulosa, kopolimer dua unit β-D glukosa dan β-D-glukopiranosa 2-O-(karboksilmetil)-garam monosodium yang terikat melalui ikatan β-1,4-glikosidik. CMC memiliki kelarutan lebih tinggi daripada selulosa, sehingga mudah dihidrolisis. Hidrolisis CMC menjadi gula-gula sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan katalis asam, enzim maupun mikroba selulolitik. Beberapa penelitian melaporkan bahwa proses hidrolisis secara enzimatis lebih menguntungkan daripada menggunakan asam. Selain tidak menimbulkan masalah korosi dan berlangsung pada kondisi mild (pH 4,8 dan suhu 500C), ternyata proses hidrolisais secara enzimatis menghasilkan yield lebih tinggi daripada hidrolisis yang dikatalisis asam (Duff and Murray, 1996). Enzim selulase diproduksi oleh mikroba selulolitik dari golongan bakteri dan jamur. Permasalahan yang sering muncul dalam penelitian adalah kurang tersedianya enzim selulase yang murah dan efisien. Salah satu alternatif untuk mengatasi hal ini adalah dengan memanfaatkan bekicot sebagai sumber enzim selulase. Selama ini bekicot banyak digunakan sebagai pakan ternak karena

kandungan proteinnya yang cukup tinggi (75 gram/100gram daging bekicot). Silaban, R., 1999 menemukan mikroba selulolitik, Pseudomonas alcaligenes PaAf-18 di dalam tubuh bekicot. Mikroba selulolitik tersebut memproduksi enzim selulase untuk mencerna makanan (selulosa) dan sebagian disimpan dalam hepatopankreas yang salurannya bermuara ke sistem pencernaan. Isolasi enzim selulase dari hepatopankreas bekicot lebih mudah dilakukan daripada isolasi dari bakteri atau jamur, yakni melalui proses dekstruksi sel, homogenasi dan sentrifugasi.

Dalam melakukan kerja katalitiknya, aktivitas enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu konsentrasi substrat, pH, suhu, konsentrasi enzim dan waktu reaksi (Price, 1979). Di industri pengungkapan sifat dan karakteristik suatu produk enzim sangat diperlukan untuk efisiensi proses produksi dan lebih jauh akan difungsikan untuk memperoleh produk akhir yang berkualitas. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk isolasi enzim selulase dari bekicot, Achatina fulica dan menentukan karakteristiknya yang meliputi kondisi suhu, pH, konsentrasi substrat dan parameter kinetik. Dari penelitian diharapkan glukosa sebagai hasil hidrolisis dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan etanol.

Bahan dan MetodeBahan-bahan utama yang

diperlukan dalam penelitian ini adalah bekicot, Achatina fulica sebagai sumber enzim , diperoleh dari perladangan mayarakat Sidoarjo, dipilih yang besar dan cangkangnya masih utuh. Carboxy Methyl Cellulose (CMC) sebagai substrat dalam proses hidrolisis diperoleh dari laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Airlangga Surabaya. A. Isolasi Enzim Selulase dari Hepatopankreas Bekicot, Achatina fulica

64

Page 65: Content of Jurnal (12)

Sebanyak 35 gram hepatopankreas bekicot dihomogenisasi dengan 500ml 1% NaCl dingin (pH=7) dalam waringblender selama 3 menit pada suhu 1-4oC. Homogenat yang diperoleh kemudian disaring melalui kain pada suhu 2-4oC dan filtratnya disentrifuge selama 80 menit pada suhu 2oC dan 4200 rpm dalam International Refrigerated Centrifuge dengan rotor no. 840. Supernatan yang diperoleh merupakan preparat enzim selulase selanjutnya dilakukan uji aktivitas dan kandungan proteinnya. (Soedigdo, dkk., 1980)

B. karakterisasi enzim selulase Menentukan kondisi optimum

aktivitas enzim selulasepH Optimum

pH optimum ditentukan dengan cara sebagai berikut: disediakan beberapa larutan CMC 2% dalam bufer asetat dengan pH berbeda 4,5; 5,0; 5,16, 5,25 dan 5,5. Masing-masing larutan diambil 40 ml dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 100 ml yang berbeda. Ke dalam masing-masing labu erlenmeyer ditambahkan 10 ml larutan enzim kemudian diinkubasi pada suhu optimum selama 1 jam dengan kecepatan 160 rpm.. Reaksi dihentikan dengan pemanasan selama 10 menit. Kadar Gula reduksi dalam hidrolisat selulosa ditentukan dengan menggunakan metode Semgy-Nelson.Suhu Optimum

Suhu optimum dilakukan dengan cara sebagai berikut: Ke dalam 6 buah labu erlenmeyer 100ml dimasukkan masing-masing 40 ml CMC 2% dalam larutan buffer asetat pH 5 dan ditambahkan 10 ml enzim selulase. Campuran dalam labu diinkubasi pada suhu berbeda (30oC, 40oC, 50oC dan 60oC) dan kecepatan 160 rpm selama 60 menit.. reaksi dihentikan dengan pemanasan selama 10 menit. Kadar Gula reduksi dalam hidrolisat Carbokxy Methyl Cellulose (CMC) ditentukan dengan menggunakan metode Semgy-Nelson.Konsentrasi Susbstrat optimum

Konsentrasi substrat optimum ditentukan dengan cara sebagai berikut: disediakan larutan CMC dalam larutan buffer asetat pH 5 dengan konsentrasi

yang berbeda dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 100ml masing-masing sebanyak 40ml. Selanjutnya ditambahkan 10ml larutan enzim. Campuran diinkubasi pada suhu 500C selama 1 jam. Sesudah reaksi enzimatik dihentikan dengan pemanasan, ditentukan kadar gula reduksinya dengan menggunakan metode Somogy-Nelson.

Menentukan Parameter Kinetik Reaksi Enzimatis

Parameter kinetik reaksi enzimatis adalah laju reaksi maksimum (Vm ) dan tetapan Michaelis-Menten (Km), ditentukan dengan menggunakan persamaan Michelis Menten atau persamaan Lineweaver Burk. Persamaan Michelis Menten diperoleh dengan membuat kurva hubungan [S] dengan V, sedangkan persamaan Lineweaver Burk diperoleh dengan membuat kurva hubungan 1/[S] dengan 1/V. Data laju reaksi (V) diperoleh dari percobaan optimasi substrat.

C. Metode AnalisisUji aktivitas Selulase

Pada tabung reaksi betutup diisi dengan 1,0ml larutan buffer asetat pH 4,8 dan 0,5ml larutan enzim dalam buffer asetat. Selanjutnya campuran tersebut dipanaskan. Pada saat suhu mencapai 50OC, ke dalam tabuing tersebut dimasukkan kertas saring berukuran 1,0 x 6,0 cm ( 50 mg) lalu diaduk (NB. Semua bagian kertas saring Whatman No 1 harus tercelup dalam cairan). Setelah 1 jam reaksi dihentikan dengan pemanasan dalam air mendidih selama 10 menit dan selnjutnya dilakukan uji gula reduksi pada filtratnta dengan menggunakan metode Somogy-Nelson. (Ghose,1987)Analisa Kadar Gula Reduksi

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan pipet mikro sebanyak 200 l, dimasukkan secara kuantitatif ke dalam tabung ependorf. Kemudian disentrifugasi kecepatan tinggi selama 5 menit. Dipisahkan antara residu dan filtratnya. Filtrat ditentukan kadar glukosanya dengan metode Semogyi-Nelson.Absorbansi sampel (y) diekstrapolasikan pada persamaan regresi linier yang telah didapat, dari kurva

65

Page 66: Content of Jurnal (12)

standar glukosa, sehingga setiap kadar glukosa dapat ditentukan..

Uji Kandungan Protein pada Enzim Selulase

Enzim selulase yang diisolasi dari hepatopankreas bekicot ditrentukan kadar proteinnya dengan cara sebagai berikut: ke dalam tabung reaksi yang berisi 7 mL

ekstrak kasar enzim ditambahkan 3 ml reagen Bradford, lalu diinkubasi selama 5 menit. Setelah waktu inkubasi, absorbansi larutan enzim diukur pada panjang gelombang maksimum 595 nm. Absorbansi yang diperoleh diplotkan pada persamaan regresi linier kurva standar protein

D. Diagram Alir Percobaan

66

dihomogenisasi dalam waringblender pada suhu 1 – 4oC selama 3 menit

35 g Hepatopankreas Bekicot 500 mL 1% NaCl dingin (pH=7)

Campuran

dicampur

homogenat

disentrifus dingin pada suhu 2°C, 4200 rpm selama 80 menit

Supernatanekstrak selulase

Uji aktivitas

Karakterisasi

Residu

disaring

Residususpensi

Page 67: Content of Jurnal (12)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Eksatraksi Enzim Selulase dari

Hepatopankreas Bekicot, Achatina fulica

Bekicot (Achatina fulica) memiliki ciri khas warna garis-garis pada tempurung/cangkangnya tidak begitu mencolok sebagaimana gambar 4.1. Hewan ini menggantungkan hidupnya pada selulosa sebagai sumber energinya. Oleh karena itu banyak ditemukan mikroba selulitik di dalam sistem pencernaanya. Enzim selulase merupakan enzim ekstrasellular yang diproduksi di dalam sel mikroba selulolitik dan kemudian dikeluarkan dari sel masuk ke dalam sistem pencernaan untuk mencerna selulase. Dengan demikian enzim selulase diisolasi dari hepatopankreas bekicot (Achatina fulica) yang bermuara pada sistem pencernaan.

Sel hewan tidak memiliki dinding sel sehingga proses isolasi enzim berlangsung lebih mudah. Proses isolasi enzim selulase dari hepatopankreas

melalui tahapan dekstruksi sel yaitu pelepasan enzim dari matriks sel. Enzim selulase dipisahkan dari matriks sel dengan cara merusak membran sel melalui pengaturan tekanan osmosa larutan diluar sel dengan menggunakan larutan NaCl dan homogenisasi dengan menggunakan waringblender

(Palmer, 1995). Homogenat yang diperoleh dari proses dekstruksi disaring dan disentrifus dengan tujuan untuk memisahkan enzim selulase dari matriks sel yang lain . Supernatan yang diperoleh merupakan ekstrak kasar enzim selulase, berwarna coklat muda(gambar 2) dan sebanyak 470 mL dari 500 mL homogenat (35 gram hepatopankreas) dan pH 5,2. Selanjutnya ekstrak kasar tersebut diuji kadar proteinnya dengan menggunakan metode Bradford. Metode ini didasarkan pada reaksi antara reagen Bradford dengan protein sehingga terbentuk senyawa kompleks berwarna biru menurut reaksi berikut:

H+ (H3PO4)Coomassie Blue + Protein Kompleks berwarna biru

Larutan kompleks biru ini diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Semakin tinggi Absorbansi yang terukur maka semakin tinggi kadar proteinnya .Kandungan protein dalam ekstrak kasar enzim selulase sebesar 1,72 mg per mL ekstrak enzim selulase. Kandungan protein ini jauh lebih rendah dibandingkan hasil penelitian yang dilaporkan Saryono (1991), bahwa enzim selulase yang diekstrak dari bekicot

(Achatina fulica) memiliki kandungan protein sebesar 4,4 mg/mL ekstrak. Hal ini kemungkinan karena ekstrak enzim yang dihasilkan pada penelitian ini terlalu encer (gambar.2) dan tidak dilakukan proses pemekatan sebagaimana yang telah dilakukan Saryono (1991). Pemekatan ekstrak enzim dilakukan melalui proses liofilisasi dengan tujuan untuk mengurangi pelarut pada kondisi suhu -87oC dan tekanan 1,3 bar.

Gambar 1. Bekicot, Achatina fulica Gambar 2. Ekstrak Kasar Enzim Selulase

67

Page 68: Content of Jurnal (12)

Keberhasilan isolasi enzim selulase ditentukan melalui uji aktivitas enzim dengan menggunakan substrat kertas saring whatman no 1. Aktivitas yang terukur merupakan aktivitas selulosa total (FP-ase). Kadar glukosa sebagai hasil aktivitas enzim selulase ditentukan dengan metode Somogyi-Nelson. Metode ini didasarkan pada reaksi reduksi tembaga (II) menjadi tembaga (I) dalam larutan yang mengandung K-Na tartrat, yang kemudian oleh adanya reagen arsenomolibdat hasil ini membentuk senyawa kompleks berwarna biru. Larutan kompleks biru ini diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Ekstrak enzim selulase dari bekicot memiliki aktivitas selulase total (Filter Paper Ase) sebesar 0,020 mol glukosa /mL substrat per menit atau 0,02 Unit dan aktivitas spesifik sebesar 0,023 Unit/mg protein.

1 Unit Aktivitas : banyaknya enzim yang dapat menghasilkan 1 mol glukosa per mililiter substrat tiap menit pada kondisi percobaan.

Hasil Aktivitas enzim selulase ini berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan Saryono (1991),bahwa aktivitas enzim selulase terhadap selulase ampas nanas mencapai 3,4 mg/mL per menit dan aktivitas spesifik sebesar 0,7727 Unit/mg protein. Hal ini terjadi karena Saryono (1991) melakukan tahap pemurnian terhadap ekstrak enzim selulase setelah tahap liofilisasi. Pemurnian dilakukan melalui tahap fraksinasi dan dialisis dengan tujuan untuk menghilangkan semua komponen non protein yang masih tersisa dalam larutan.

Oleh karena itu perlu dilakukan tahap liofilisasi dan pemurnian terlebih dahulu terhadap ekstrak kasar enzim selulase sebelum melakukan proses hidrolisis selulosa secara enzimatis.

B. Karakterisasi Enzim Selulase Penentuan Kondisi Optimum

Aktivitas Enzim SelulaseAktivitas enzim dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antara lain pH, temperatur dan konsentrasi substrat. Untuk mengetahui aktivitas optimum, maka dilakukan pengukuran aktivitas dengan kondisi yang bervariasi.

pH OptimumEnzim memiliki pH optimum

yang karakteristik, yaitu pH yang dapat menghasilkan aktivitas maksimal dalam mengkatalisis suatu reaksi. Perubahan pH berpengaruh terhadap aktivitas enzim melalui pengubahan struktur atau muatan residu asam amino yang berfungsi dalam pengikatan substrat

pH yang bervariasi juga dapat menyebabkan perubahan konformasi enzim. Hal ini terjadi karena gugus bermuatan (-NH3

+ atau –COO-) yang jauh dari daerah terikatnya substrat, yang mungkin diperlukan untuk mempertahankan struktur tersier, akan mengalami perubahan muatan pada pH yang berbeda. Hal ini akan menyebabkan terganggunya ikatan ionik dan terputusnya folding maksimum enzim sehingga konformasi enzim berubah. Perubahan konformasi enzim akan menyebabkan aktivitas enzim menjadi menurun.

Gambar 3. menunjukkan bahwa aktivitas optimum ekstrak kasar enzim selulase berlangsung pada pH optimum, yaitu pH 5,2 dengan aktivitas sebesar 0,053 Unit dan aktivitas spesifik 0,003 U/mg dengan kadar glukosa sebesar 0,57 mg/mL susbtrat (28 mg glukosa/g CMC). pH optimum ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan Saryono(1999), bahwa aktivitas optimum enzim selulase dalam menghidrolisis limbah nanas berlangsung pada pH 5,2. Enzim selulase masih bisa beraktivitas pada pH diatas dan dibawah pH 5,2 tetapi aktivitasnya lebih rendah. Hal ini kemungkinan karena terjadi perubahan muatan gugus fungsi residu asam amino pada enzim, terutama asam amino jenis asam glutamat(Bhat, 1997). Disamping itu konformasi enzim dimungkinkan juga telah mengalami perubahan konformasi (denaturasi) akibat perubahan pH yang bervariasi.

68

Page 69: Content of Jurnal (12)

Gambar 3. Kurva Pengaruh pH terhadap Aktivitas Ekstrak Kasar Enzim Selulase

Temperatur OptimumPada temperatur optimum reaksi

enzimatis berlangsung paling cepat karena aktivitas enzim maksimum. Peningkatan temperatur menyebabkan aktivitas ekstrak kasar enzim meningkat. Hal ini disebabkan oleh temperatur yang makin tinggi akan meningkatkan energi kinetik, sehingga menambah intensitas tumbukan antara substrat dengan enzim. Pada temperatur optimum, tumbukan antara enzim dan substrat sangat efektif, sehingga pembentukan kompleks enzim-substrat makin mudah dan produk yang terbentuk

meningkat. Di atas temperatur optimum enzim akan mengalami denaturasi dan kehilangan aktivitas katalitiknya (inaktivasi). Proses inaktivasi enzim pada temperatur yang sangat tinggi berlangsung melalui 2 tahap yaitu diawali dengan pembukaan parsial struktur sekunder, tersier dan atau kuartener molekul enzim akibat putusnya ikatan-ikatan kovalen maupun ikatan hidrofobik dan selanjutnya terjadi perubahan struktur primer enzim karena adanya kerusakan asam-asam amino tertentu oleh pemanasan.

Gambar 4. Kurva Pengaruh Temperatur terhadap Aktivitas Ekstrak Kasar Enzim Selulase

Gambar 4 menunjukkan bahwa aktivitas optimum ekstrak kasar enzim selulase dicapai pada temperatur 50oC, dengan aktivitas 0,053 Unit (0,053 mol glukosa/mL substrat per menit) dan aktivitas spesifik 0,0031 U/mg dengan kadar glukosa sebesar 56,77 mg/100mL (28,39 mg glukosa/g CMC). Temperatur optimum ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sreenath (2002), yang melaporkan bahwa aktivitas optimum

enzim selulase dari Trichoderma viridae dan Aspergilus niger dalam menghidrolisis Carboxy Methyl Cellulose (CMC) berlangsung pada suhu 50oC. Kondisi ini berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan Saryono (1991) dan maisaroh (2009). Aktivitas optimum selulase terhadap selulosa ampas nanas berlangsung pada temperatur optimum 37oC (Saryono, 1991) sedangkan terhadap selulosa ampas tebu (bagas) pada

69

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

Akti

vit

as S

pesif

ik

Selu

lase(U

/g)

30 40 50 60

Temperatur ( oC)

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

Akt

ivit

s S

pes

ifik

Sel

ula

se(U

/g)

4.6 4.8 5 5.2 5.4 5.6

pH

Page 70: Content of Jurnal (12)

temperatur 40oC (Maisaroh, 2009). Perbedaan temperatur optimum ini kemungkinan karena Carboxy Methyl Cellulose (CMC) memiliki viskositas yang lebih tinggi dibandingkan selulosa yang lain pada konsentrasi yang sama (2 %), sehingga enzim selulosa membutuhkan energi yang cukup tinggi untuk membentuk kompleks dengan substrat Carboxy Methyl Cellulose (CMC). Oleh karena itu untuk memperoleh data yang akurat perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh variasi substrat terhadap temperatur optimum aktivitas enzim selulase.

Konsentrasi Substrat OptimumKonsentrasi substrat merupakan

salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas enzim. Gambar 4.5. menunjukkan bahwa konsentrasi substrat sebanding dengan aktivitas ekstrak kasar enzim. Pada konsentrasi substrat rendah, aktivitas ekstrak kasar

enzim juga rendah, karena sisi aktif enzim hanya sedikit mengikat substrat, sehingga produk gula pereduksi yang dihasilkan juga sedikit. Demikian juga dengan konsentrasi substrat yang makin tinggi, maka sisi aktif enzim akan makin banyak mengikat substrat, sehingga produk glukosa yang dihasilkan juga makin banyak. Penambahan substrat lebih lanjut hanya sedikit meningkatkan aktivitas ekstrak kasar enzim, karena hampir semua enzim telah membentuk kompleks enzim-substrat, sehingga tidak terdapat lagi sisi aktif enzim yang bebas.

Gambar 5. Kurva Hubungan Konsentrasi Substrat terhadap Aktivitas Ekstrak Kasar Selulase

Pada konsentrasi substrat di atas 4% ternyata mulai terjadi penurunan kecepatan reaksi enzimatis. Hal ini terjadi karena semakin tinggi konsentrasi Carboxy Methyl Cellulose (CMC) maka makin tinggi viskositasnya sehingga probabilitas substrat berikatan dengan sisi aktif enzim semakin kecil. Dengan demikian aktivitas optimum berlangsung pada konsentrasi substrat 4%. Data yang diperoleh dari optimasi substrat ini digunakan untuk menentukan parameter kinetik enzim selulase yang meliputi Vm

(Kecepatan Reaksi Maksimum) dan Km (Konstanta Michaelis- Menten)

Penentuan Parameter Kinetika Reaksi Enzimatis

Vm merupakan kecepatan maksimum yaitu kecepatan yang berangsur-angsur dicapai pada konsentrasi substrat tinggi (enzim telah jenuh dengan substrat) sedangkan Km merupakan konstanta yang menyatakan konsentrasi substrat pada saat kecepatan reaksi mencapai setengah kali kecepatan maksimum.

Harga Vm dan Km dapat ditentukan dengan membuat grafik antara 1/V dengan 1/[S].

Persamaan Michaelis- Menten:

V m=V m . [ S ]Km + [ S ]

Dapat dinyatakan sebagai berikut:

70

0

1

2

3

4

5

6

7

1 2 3 4 5

[S]%

Ak

tiv

ita

s s

pe

sif

ik S

elu

las

e

(U/g

)

Page 71: Content of Jurnal (12)

1V=

Km + [S ]V m . [ S ] atau

1V=Km

V m

.1[ S ]

+ 1V m

Dari persamaan di atas terlihat bahwa 1/V adalah fungsi dari 1/[S]. Dengan demikian jika dibuat kurva hubungan antara 1/V dengan 1/[S], akan terbentuk garis lurus (gambar 6).

Gambar 6. Kurva Hubungan 1/V dengan 1/[S]

Ekstrak kasar enzim selulase yang diisolasi dari bekicot (Achatina fulica) memiliki harga Vm sebesar 0,002 mg/mL per menit dan Km sebesar 0,005 mg/mL. Parameter kinetik ini berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan Saryono (1991), bahwa enzim selulase dari bekicot dengan menggunakan substrat suspensi ampas nanas dalam buffer asetat pH 5,2 mempunyai harga Km 0,014 mg glukosa/mL dan nilai Vm sebesar 0,025 mg/mL/menit. Perbedaan nilai parameter kinetik ini dimungkinan karena substrat yang digunakan berbeda. Setengah kecepatan maksimum enzim selulase dari bekicot (Achatina fulica) tercapai pada konsentrasi substrat Carboxy Methyl Cellulose (CMC) lebih tinggi dibandingkan substrat ampas nanas.

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulanDari penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa1. Enzim selulase yang diisolasi dari

bekicot (Achatina fulica) bekerja optimum pada pH 5,2, temperatur 50oC, dan konsentrasi substrat 4%

2. Aktivitas enzim selulase dari bekicot (Achatina fulica) terhadap Carboxy Methyl Cellulose (CMC) sebesar 0,02 mol/mL per menit (0,02 Unit) sedangkan kandungan proteinnya 1,72

mg/mL enzim sehingga aktivitas spesifiknya sebesar 0,023 Unit/mg protein

3. Karakterisasi enzim selulase dari bekicot dengan menggunakan substrat CMC dalam buffer asetat pH 5,2 mempunyai harga Vm sebesar 0,23mg/mL per menit dan Km sebesar 0,53 mg/mL

Saran1. untuk meningkatkan kandungan

protein dan aktivitas ekstrak kasar enzim selulase dari bekicot (Achatina fulica)maka perlu dilakukan tahapan liofilisasi dan pemurnian.

2. perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai pengaruh variasi substrat terhadap temperatur optimum aktivitas enzim selulase..

DAFTAR PUSTAKABhat, M.K., (1997), Cellulose Degrading

Enzymes and Their Potential Industrial Applications, Food Macromolecul Science Departement, Institute pf Food Research. Biotechnology Advances. Vol.15. 583-620

Bradford MM, 1976. A Rapid and Sensitive Method for the Quantitation of Microgram

71

y = 2.2857x + 4.2836

R2 = 0.9927

0

50

100

150

200

250

-20 0 20 40 60 80 100 120

1/[S]

1/V

Page 72: Content of Jurnal (12)

Quantities of Protein Utilizing the Principle of Protein-Dye Binding. Anal. Biochem. 72: 248–254

Ghose, T.K., (1987), Measurement of Cellulase activities, Pure and Applied Chemistry, 59, 257-268

Indra, D., K.Ramalingam, and Mary Babu., (2005), Isolation, Purification and Characterization of Collagenase from Hepatopancreas of The Snail Achatian fulica, Comparative Biochemistry and Physiology 142, 1-7

Koolman, J. dan Rohm, K.(2001), Atlas Berwarna dan Teks Biokimia, Terjemahan Septelia, Penerbit Hipokrates , Jakarta

Lee,Y.J., et al. (2008), “Purification and Characterization of Cellulase Produced by Bacillus amyoliquefaciens DL-3 Utilizing Rice Hull”,

Bioresource Technology, vol. 99 hal. 378–386

Soedigdo, P., L.S.Nio, A. Soekeni,R.C. Barnett, (1970), Cellulase from The Snail Achatina fulica (Fer), Physial Zoology, 43,2,139-144

Soedigdo, P., Muliawati, M. Wirahadikusumah, (1980), Penuntun Praktikum Biokimia Dasar, edisi kedua, Departemen Kimia FMIPA ITB, Bandung.

Silaban, Ramlan., (1999), Enzim Selulolitik pada Bakteri Pseudomonas alchaligenes PaAf-18, PhD Theses from JBPTITBPP, Bandung

Sudarmadji, S., Haryono,B., Harsono., (1984), Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian, Liberti, Yogyakarti

Duff, S.J.B., Murray, W.D., (1996), Bioconvertion of forest products industry waste cellulosics to fuel ethanol: a review. Bioresour. Technol. 55, 1 – 33.

STRONGILOIDESIndah Widyaningsih

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma SurabayaAbstrakStrongyloidiasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing gelang stercoralis Strongyloides. Gelang ini dapat ditemukan di tanah yang terkontaminasi oleh tinja yang mengandung cacing, yang kemudian liang melalui kulit dan memasuki aliran darah. Mereka kemudian masuk ke paru-paru dan liang melalui jaringan memisahkan saluran udara dari esophafus dan masukkan saluran pencernaan, di mana mereka bertelur dan bereproduksi.Banyak orang yang terinfeksi dengan cacing gelang tidak memiliki gejala penyakit.  Strongyloides infeksi lebih sering terjadi pada iklim tropis dan subtropis dari daerah beriklim dingin. Stercoralis Strongyloides adalah parasit yang memiliki siklus hidup baik yang hidup bebas dan parasit. Dalam siklus hidup parasit, cacing betina ditemukan dalam jaringan dangkal dari usus kecil manusia. Tidak ada laki-laki parasit.

STRONGYLOIDESIndah Widyaningsih

Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma SurabayaAbstractStrongyloidiasis is a parasitic disease caused by the roundworm Strongyloides stercoralis. The roundworm is found in soil contaminated by feces containing the worm, which then burrow through the skin and enter the bloodstream. They then enter the lungs and burrow through the tissue separating the airways from the esophafus and enter the digestive tract, where they lay eggs and reproduce. Many people who are infected with the roundworm have no symptoms of the disease.

72

Page 73: Content of Jurnal (12)

Strongyloides infections are more common in tropical and subtropical climates than in cooler temperate areas. Strongyloides stercoralis is a parasite that has both free-living and parasitic life cycles. In the parasitic life cycle, female worms are found in the superficial tissues of the human small intestine. There are no parasitic males.

BAB IPENDAHULUAN

Strongiloides stercoralis pertama kali ditemukan pada tahun 1876 di dalam tinja tentara Perancis yang mengalami diare dan baru kembali dari Indo Cina. Strongiloides terutama ditemukan di daerah beriklim tropik dan subtropik dimana pada daerah tersebut terdapat kelembaban yang tinggi, sedangkan didaerah beriklim dingin jarang ditemukan tetapi dapat bertahan didalam iklim yang dingin ( 1 )

Penyakit diare yang disebabkan oleh Strongyloides stercoralis disebut Strongyloidiasis ( diare Cochin China ). ( 2 )

Beberapa peneliti menyelidiki klasifikasi perbedaan siklus hidup dan mungkin patogenesisnya dari cacing ini selama awal tahun 1900. Nigishori ( 1928 ) dan Faust De Groat ( 1940 ) menjelaskan terjadinya autoinfeksi interna yang merupakan bagian penting dalam siklus hidupnya, terutama bila berhubungan dengan pasien yang rentan. Stongyloides terutama ditemukan di daerah panas tetapi dapat hidup di daerah beriklim dingin. Daerah geografisnya lebih sering tumpang tindih dengan infeksi cacing tambang. ( 1, 2, 3 )

Frekuensi di Amerika Serikat masih jauh dari dari data sebenarnya disebabkan oleh gejalanya yang asimptomatis. Data terbaru iduga 100 – 200 juta orang terinfeksi oleh parasit ini dan ini tersebar kurang lebih di 70 negara. ( 6, 7 , 8 , 9 )

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

II. 1. EPIDEMIOLOGILebih dari I milyar penduduk di

dunia terinfeksi oleh satu atau lebih nematoda usus salah satunya adalah Strongiloides stercoralis dimana infeksi cacing ini merupakan urutan kelima

setelah Ascaris ( cacing bulat ), Necator americanus ( cacing tambang ), Trichuris triciuria ( cacing cambuk ) dan Enterebius vermicularis ( cacing kremi ).

Menurut literature yang ada srongyloides terdiri dari 52 spesies kebanyakan dari spesies tersebut dapat mengakibatkan infeksi pada manusia

Penyebaran infeksi Strongyloides seiring dengan infeksi cacing tambang tetapi frekuensinya lebih rendah pada daerah dengan iklim dingin. Infeksi erutama terjadi pada daerah dengan iklim tropic dan subtropik dimana panas, kelembaban dan tidak adanya sanitasi yang baik memungkinkan terjadinya infeksi strongyloides ini. Infeksi Srongyloides ini terdistribusi khususnya di kawasan Asia Tenggara, sub Sahara Afrika dan Brazil. Di Amerika Serikat strongyloidiasis merupakan endemik pada daerah di bagian selatan dan ditemukan di antara penghuni panti asuhan mental yang memiliki sanitasi dan hygiene yang buruk dan diantara imigran serta veteran militer yang pernah tinggal di daerah endemik di luar negri. Stongyloides stercoralis merupakan salah satu spesies yang dapat menginfeksi pada manusia

Strongyloides endemik pada negara Amerika terutama Tennessee, Kemtucky dan Virginia bagian barat. Populasi yang sering terserang adlah mereka yang sering bepergian atau imigran dari daerah endemik dan para veteran perang dunia II serta perang di Vietnam. Epidemiologi di Kanada menemukan bahwa para imigran dari Asia terutama dari Vietnam teinfeksi oleh parasit ini. Prevalensi di dunia di duga 2 20 % berada pada daerah endemik. ( 8, 9, 10 )

Strongilidiasis ini dapat menyerang segala usia dan semua jejins kelamin. Jika pada anak – anak basanya mereka yang kontak dengan tanah yang mengandung parasit jni.

73

Page 74: Content of Jurnal (12)

Gambaran prevalensi S stercoralis di dunia dibandingkan dengan kasus infeksi cacing lain.

Gambaran daerah Endemis S. Stercoralis.

II. 2. TAXONOMI DAN MORFLOGI

Kingdom : AnimaliaFilum : NematodaKlas : SecementeaOrdo : RhabditidiaFamili : StrongyloididaeGenus : StrongyloidesSpesies : S. stercoralis

Helmint dibagi menjadi :1. Nemathelminthes ( cacing gilik ) (

nema = benang )2. Platyhelminthes ( cacing pipih )

Stadium dewasa cacing yang termasuk Nemathelmynthes ( kelas Nematoda ) berbentuk bulat memenjang dan pda potongan rnsversal terlihat rongga badan dan organ dalamnya. Cacing ini mempunyai alat kelamin yang terpisah.Nematoda dibagi menjadi :

1. Nematoda yang hidup pada rongga usus

2. Nematoda jaringan yang hidup di jaringan tubuh

Strongyloides stercoralis merupakan cacing nematode yang hidup dalam lumen usus duodenum dan yeyunum.

74

Page 75: Content of Jurnal (12)

Pada umumnya hanya cacing betina yang hidup parasitik pada manusia. Cacing betina berbentuk benang halus, tidak berwarna dengan panjang badan sekitar 2.2 mm ( coklat ).Stadium dari Strongyloides stercoralis adalah :

1. Telur :

Berbentuk telur lonjong mirip telur cacing tambang berukuran 55 x 30 mikron, mempunyai dinding tipis yang tembus sinar. Telur dikeluarkan didalam mukosa usus dan menjadi larva sehingga di dalam feses tidak ditemukan adanya telur.

Gambar telur

2. Larva :Bentukan larva ada dua macam yaitu : larva Rabditiform dan larva filariform ( bentuk infektif ). Larva rabditiform berukuran 200 dan 250 mikron, mempunyai mulut pendek denagan dua

pembesaran oesefagus yang khas. Larva filariform ukurannya lebih panjang kurang lebih 700 mikron, langsing dan mempunyai mulut pendek oesofagus larva ini bebrbentk silindris.

Rabditiform larva

75

Page 76: Content of Jurnal (12)

Filariform larva

II. 3. SIKLUS HIDUPDalam siklus hidup s. stercoralis

tidak diperlukan hospes perantara. Sebagai hospes definitif adalah manusia. Telur cacing dikeluarkan oleh cacing betina didalam mukosa usus duodenum dan jeyunum yang lalu menetas menjadi larva rabditiform. Cacing betina hidup sebagai parasit dengan ukuran 2,20 x 0, 04 mm, adalah berbentuk filariform, tidak berwarna, semitransparan dengan kutikulum yang bergaris halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesofagus panjang, langsing dan silindrik. Sepasang uterus berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jernih dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas ukurannya lebih kecil dibanding dengan yang parasit. Cacing jantan yang hidup bebas lebih kecil dari yang betina dan mempunyai ekor yang melingkar.

Cara berkembang biak dari s. stercoralis yaitu telur diletakkan di mukosa usus duodenum dan jeyunum kemudian menetas menjadi larva rabditiform yang dapat masuk kedalam ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja.Strongyloides stercoralis mempunyai 3 macam daur hidup : 1. Siklus langsung

Sesudah 2 sampai 3 hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran kira – kira 225 x 16 mikron berubah bentuk menjadi filariform dengan bentuk langsing dan merupakan bentuk infektif,

panjangnya kurang lebih 700 mikron. Bila larva filariform ini menembus kulit manusia kemudian masuk kedalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru – paru. Dari paru – paru parasit . menjadi dewasa menembus alveolus masuk ke trakea lalu terjadi reflek batuk, sehinnga parasit dapat masuk kedalam usus halus. Cacing betina dapat bertelur ditemukan kira – kira 28 hari sesudah infeksi. Siklus langsung sering terjadi di negara – negara yang lebih dingin dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut. ( 4, 5 )

2. Siklus tidak langsung

Pada siklus tidak langsung, larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk bebas ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan 2 buah spikulum. Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang dapat menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam beberapa hari dapat menjadi larva filariform dan masuk kedalam hospes baru, atau larva rabditoform dapat juga megulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bila keadaan lingkungan sekitar optimum yaitu iklim tropik dan subtropik ( 4, 5 )

76

Page 77: Content of Jurnal (12)

Gambar siklus hidup S. stercorlaris3. Autoinfeksi

Larva rabditiform kadang – kadang menjadi larva filariform di dalam usus atau didaerah sekitar anus ( perianal ), misalnya pada pasien dengan obstipasi lama sehinnga bentuk rabditiform sempat berubah menajdi filariform didalam usus. Pada penderita diare yang lama dimana kebersihan kurang diperhatikan, bentuk rabditiform akan menjadi bentuk filariform pada tinja yang melekat pada dubur.

Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit maka akan terjadi suatu daur perkembangan di dalam hospes. Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongyloidiasis menahun pada penderita yang hidup pada daerah non endemik. Patogenesis

Infeksi dari strongyloides adalah melalui kontak kulita dengan tanah yang sudah terinfeksi oleh larva rabditiform, dimana larva ini memasuki kulit dan masuk kedalam organ – organ tubuh melalui pembuluh darah atau melalui limfogen. ( 8, 9, 10 )

II. 4. GEJALA KLINISKelainan pada strongyloidiasis dapat

bervariasi tergantung dari berat ringannya penyakit dan organ tubuh yang terkena.

Pada beberapa orang tidak menunjukkan gejala sama sekali dan secara klinis hanya dijumpai eosinofilia .

Berdasarkan siklus hidupnya maka organ tubuh yang dapat terkena adalah : kulit, paru – paru dan usus.

KulitPada penetrasi kulit reaksi yang

timbul adalah rasa gatal dan eritema, jika larva yangmenembus kulit jumlahnya banyak maka akan menimbulkan creeping eruption dan rasa gatal yang sangat hebat. ( 8 )

Gbr creping euptionParu - paru

Migrasi larva ke paru – paru dapat merangsang timbulnya gejala tergantung dari banyaknya larva yang ada dan intensitas respon imunnya. Ada yang asimptomatis ada yang sampai pneumonia. ( 8 )

77

Page 78: Content of Jurnal (12)

Usus ( Gastrointestinal symptom )Gejala pada saluran pencernaan

antara lain : anoreksia, berat badan menurung, muntah, diare kronik, konstpasi, terkadang terjadi obstruksi pada usus.

Pada infeksi yang berat akan terjadi kerusakkan mukosa usus, gejala dapat berupa ulkus peptikum. Dari infeksi yang kronik bebeapa kasus dapat berlangsung hingga 30 tahun sebagai akibat kemampuan larvanya untuk melakukan autoinfeksi. ( 8 )

Saraf Gejala – gejala meningitis sering di

jumpai. ( 8 )

ReproduksiAda kasus yang dilaporkan bahwa

ditemukannya larva strongyloides pada sperma sesorang yang menderita infertile. (8 )

II. 5. DIAGNOSISPada diagnosis klinis tidak pasti karena strongyloidiasis tidak memberikan gejala klinis yang nyata. Diagnosis pasti adlah ditemukannya larva di dalam feses, dalam biakkan atau dalam aspirsi duodenum. Biakkkan tinja selama kurang lebih 2 x 24 jam menghasilkan larva filariform dan cacing dewasa yang hidup bebas.Bebarapa laporan mengatakan bahwa pemeriksaan bahan dari duodenum dapat menemukan larva apabila di dalam tinja negative ( Jones, 1950 ). Suatu teknik khusus yang telah dianjurkan untuk pemeriksaan bahan duodenum yaitu dengan kapsul Entero test, teknik konsentrasi khusus ( Baermann ) dan metode kultur larva ( Harada Mori, cawan Petri ). ( 6 )

II. 6. PENGOBATANTiabendazol merupakan obat pilihan

dengan dosis 25 mg per kg berat badan, satu atau dua kali sehari selama 3 hari. Menebdazol dapat juga digunaka dengan dosis 100 mg tiga kali sehari selama dua atau empat minggu dapat memberikan hasil yang baik. Mengobati penderita

strongyloidiasis harus memperhatikan terhadap kebersihan sekitar anus dan mencegah terjadinya konstipasi. ( 2,3 )

BAB IIIKESIMPULAN

1. Strongyloides stercoralis ditemukan di daerah tropik dan subtropik

2. Siklus hidup ada dua : parasitik dan hidup bebas

3. Manusia dapat terinfeksi oleh S. stercoralis melalui penetrasi melalui kulit atau membran mukosa yang kontak dengan tanah yang mengandung larva filariform yang infeksius

4. Proses auto infeksi dapat terjadi karena cacing ini dapat hidup bertahun – tahun setelah manusia terinfeksi dari daerah endemis

5. Diagnosis dari Strongyloidiasis ditegakkan dengan ditemukannya larva dalam feses atau cairan tubuh yang lain

6. Gejala klinis dari infeksi strongyloides asimptomatis, antara lain adanya gangguan GIT seperti nyeri pada abdomen, diare. Dapat juga menimbulkan gejala pada paru – paru jika sudah menginfeksi paru – paru.

7. Pada pasien – pasien dengan imunokompromise dapat juga terinfeksi oleh strongyloidiasis

DAFTAR PUSTAKA

1. Lynne S Garcia. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. EGC Jakarta. 1996. Hal : 155 – 161

2. Soedarto. Helmintologi Kedokteran. EGC Jakarta 1995. Hal : 91 – 93

78

Page 79: Content of Jurnal (12)

3. Harison. Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Hal : 1040 – 1041

4. Srisari Gandahusada. Parasitologi Kedokteran. FKUI. Jakarta. Edisi 3. 2004. Hal : 20 – 23

5. Harold W Brown. Dasar Parasitologi Klinis. Gramedia. Jakarta. 1979. Hal : 183 – 189

6. Emily Carpenter. Strongyloides stercoralis. 1996. Last up date March, 27 2006

7. Cohen, Powderly : infectious Disease. 2nd ed. 2004 : 503 – 515, 1186 – 1187

8. Goh SK, Chow PK, Chung AY, et all : Strongyloides colitis in patient with Cushing Syndrom. Gastrointest Endosc 2004 May ; 59(6): 738 – 741

9. Ly MN, Bethel SL : Cutaneus strongyloidiasis infection. An usual presentation. J Am Acad Deramtol 2003 Augt ; 49.

10. Moon TD, Oberhelm RA: Antiparasitic therapy in child. Pediadtric Journal 2005 Jun ; 52 (3): 917 - 948

79

Page 80: Content of Jurnal (12)

PENGARUH VARIABILTAS IKLIM TERHADAP PERKEMBANGANWATER-BORNE DISEASES

SudarsoBagian llmu Kesehatan Masyarakat

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma SurabayaAbstrakIsu pemanasan global dalam 21 abad ini menjadi isu utama. Pengaruh pemanasan global selain pada fenomena lain, seperti banjir, erosi, kekeringan, peningkatan suhu bumi, perubahan iklim dan juga pengaruhnya terhadap manusia, terutama untuk kesehatan. Perubahan iklim diharapkan memiliki dampak considerablke pada kesehatan, dan salah satu yang paling penting adalah penyakit yang ditularkan melalui air. Cuaca mempengaruhi transportasi dan penyebaran agen mikroba melalui curah hujan dan limpasan dan kelangsungan hidup dan / atau faktor pertumbuhan seperti temperature.Knowledge tentang proses dan nasib transportasi polutan mikroba yang berkaitan dengan curah hujan dan pencairan salju adalah kunci untuk memprediksi risiko dari perubahan variabilitas cuaca. Penyakit yang terbawa air dapat terinfeksi oleh banyak rute pemaparan, serta kerentanan individu atau populasi, untuk patogen ditularkan melalui air, dengan kualitas air, ketersediaan, sanitasi, dan kebersihan semua memainkan role.More dari 100 jenis bakteri patogen, virus, dan prozoa dapat ditemukan di air yang terkontaminasi.

THE EFFECT OF CLIMATE ON DEVELOPMENT VARIABILTASWater-borne diseases

SudarsoSection of Public Health Science

Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma SurabayaAbstractGlobal warming issue in 21 century this become especial issue. The effect of global warming besides at another phenomenon, like floods, erosion, dryness, increasing temperature of earth, climate change and also its influence to human being, especially for health. Climate change is expected to have considerablke impact on health, and one of the most important is waterborne diseases. Weather influences the transport and dissemination of the microbial agents via rainfall and runoff and survival and/or growth such factors as temperature.Knowledge about transport processes and fate of microbial pollutants associated with rainfall and snowmelt is key to predicting risk from change in weather variability. Water-borne diseases can be infected by many routes of exposure, as well as individual or population susceptibility, to waterborne pathogens, with water quality, avaibility, sanitation, and hygiene all playing a role.More than 100 types of pathogenic bacteria, viruses, and prozoa can be found in contaminated water.

Variabilitas Iklim akibat pemanasan global.

Permasalahan yang sering diperdebatkan, dan menjadi isu dalam abad ke 21 ini adalah dampak perubahan iklim, variabilitas iklim yang terjadi akibat banyaknya kegiatan manusia, dan berpengaruh kehidupan manusia .(Watson R.T.,et al.1998). Secara ilmiah kejadian fenomena alam diduga karena pemanasan global, dan sampai menjadikan suatu pembahasan serius di dunia, bahkan beberapa ahli di dunia, yang ingin mentargetkan kenaikan suhu bumi maksimal 20C ( Moore F.C, 2009). Kondisi adanya pemanasan global, mengakibatkan area luas di Greenland Ice

Sheert , salju meleleh, sehingga berakibat daerah Gurun Es Antarika Barat, West Antartic Ice Sheet, memperoleh resiko yang cukup berarti, dengan akibat terjadi kerusakan ekosistem global dan juga terhadap siklus hidrologi.(Bierbaum, R.M.,et al.2007).

Pemanasan Global, mempunyai konsekuensi terjadinya variabilitas iklim, dengan ditandai oleh perubahan suhu udara, dan curah hujan, serta limpasan air( Markandya A and Aline Chiabia, 2009). Kondisi tersebut masih berkombinasi dengan adanya penecemaran udara, pencemaran air , sehingga mempunyai dampak yang cukup berat bagi kehidupan, mulai peningkatan permukaan laut, dan

80

Page 81: Content of Jurnal (12)

banjir dikawasan hunian pantai, seperti yang terjadi di Bangladesh, dengan hilangnya luas lkahan 20 %, dan berkurangnya lahan produktif 330 C (Watson and McMichael, 2001).

Perubahan iklim selain disebabkan oleh beban gas CO2, CH4 dan NOx juga ditambah oleh gas emisi yang membuat lebih panas, yaitu gas karbon hitam (komponen dari semacam jelaga) dan juga gas ozone yang berada di lapisan trophosphere, yaitu lapisan udara 0 – 12 km diatas permukaan daratan bumi ( Masters G M, 1974). Karbon hitam adalah partikel yang ada akibat pembakaran tidak sempurna , seperti bahan kayu, pembakaran dari mesin disel dan pembakaran biomasa, dengan bahan bakar minyak dari fosil, mempunyai peran penting dalam menambah pemanasan bumi, dan juga radiasi bumi (Ramanathan V, 2008; IPCC, 2004).Pengaruh variabilitas iklim terhadap water-borne diseases.Water-Borne Diseases

Water-Borne Diseases, adalah penyakit pada individu atau kelompok penduduk yang peka, disebabkan oleh kuman patogen, yang berada di media air, dengan pola penularan melalui saluran pencernaan, pernapasan, absorbsi kulit dari organisme mikroba, ataupun algae yang beracun, semua tersebut akibat kualitas air, karena kondisi hygiene dan sanitasi sebagai peran utama tidak dijaga (Frost F.J. et al, 1996

Variabilitas iklim disuatu daerah mengakibatkan adanya variasi suhu udara, kelembaban, curah hujan, serta limpasan air, mempunyai poitensi atas perkembangan kehidupan microbial agents, dengan lebih dari 100 tipe bacteria pathogen, virus, dan protozoa, khususnya dalam air kotor ( Feachem R,et al.,1981; Bitton G.,et al.,1986.;Mara D and Feachem RGA, 1999).

Paparan waterborne diseases, juga foodborne diseases dapat terjadi melalui air minum, terutama yang tercemar kotoran manusia, juga ikan laut (baik adanya toksin, mikroba, atau karena buangan aiur kotor),atau dari sumber air olahan, baik dari bahan baku air irigasi ataupun air yang tercemar .( Rose J.B.,et al.2001). Khusus untuk waterborne

diseases, adanya pengaruh variabilitas iklim menyebabkan limpasan air hujan, beban air kotor kota, rembasan dari septictank, sistem olahan air kotor yang terkombinasi antara saluran irigasi dan saluran air hujan menjadi berat. Di sisi lain gelombang laut dapat membawa sampah, termasuk hewan mati, kotoran manusia dan juga air kotor yang tak terolah (Craun GF, 1991).

Sumber kontaminasi dan Pola alur paparan .

Banyak sekali alur masuknya sumber pencemaran ke dalam media air, dengan adanya variabilitas iklim , sehingga berpengaruh kepada manusia yang peka, terhadap pathogen yang berada di media air, dengan peran utama kondisi higiene dan sanitasi , baik melalui inhalasi, absorbsi kulit, toksin di algae(ganggang). Sebagai contoh, agent pathogen¸ masuk melalui air minum yang tercemar, memakan makanan ikan laut yang diternak di air yang tercemar, maupun makan ikan dari air irigasi, maupun air tercemar yang sudah diproses (Frost F.J and Craun G.F, 1996). Masuknya sumber pencemar tersebut, juga bisa melalui kontak dengan air tercemar dari usaha komersil, seperti dalam usaha tempat pancing, atau tempat rekreasi, kolam renang (ASM, 1998).

Kualitas air sangat tergantung atas pengelolaan air dan tanah, baik dari bahan baku air yang ada, maupun dari air laut yang secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh titik masuknya zat pencemar, seperti industri, aktifitas kota, pertanian (Craun GF, 1991). Beban ekologis air semakin berat oleh adanya variabiliutas iklim, selain berpengaruh terhadap kehidupan hewan liar, melimpahnya mikroba secara alamiah, dan juga melimpahnya air laut karena sistem yang ada, sangat mempengaruhi kesehatan manusia (NRC, 1990; Epstein P.R.,et al.,1998).

... Kualitas air sangat tergantung atas pengelolaan air dan tanah, baik dari bahan baku air yang ada, maupun dari air laut yang secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh titik masuknya zat pencemar, seperti industri, aktifitas

81

Page 82: Content of Jurnal (12)

kota, pertanian (Craun GF, 1991). Beban ekologis air semakin berat oleh adanya variabiliutas iklim, selain berpengaruh terhadap kehidupan hewan liar, melimpahnya mikroba secara alamiah, dan juga melimpahnya air laut karena sistem yang ada, sangat mempengaruhi kesehatan manusia (NRC, 1990; Epstein P.R.,et al.,1998). Beberapa gangguan kesehatan akibat waterborne diseases

Ada kekhususan serta berbagai variabilitasnya terkait beberapa resiko terganggunya kesehatan akibat bakteri pathogen dengan kejadian Water-Borne Diseases dan Food-Borne Diseases, seperti dalam tabel 1 ( NRC, 1999; Howard B.J.,et al.,1994 ).. sebagai contoh pada periode tahun 1993-1994 di Amerika Serikat penduduk yang sakit akibat minum air yang terkontaminasi , dan sebagain besar terjadi di Milwaukee, Wisconsin (Ford TE, 1999). Ditemukan, bahwa

sebagian kejadian tersebut karena sejenis parasit protozoa, yang disebut Cryptosporodium pavum.(Hoxie N.J.,et al.,1997).Parasit Cryptosporodium ini kehidupannya dalam pencernaan mamalia berkembang sangat banyak dalam bentuk kista/oocyst disebar melalui kotoran/feces, dan bisanya karena bahan baku air minum terkontaminasi oleh banjir atau limpasan hujan, sehingga sitem pengolahan air minum tak mampu membunuh kista ( MacKenzie W.R.,et al.,1994). Di dunia beberapa kejadian luar biasa akibat parasit tersebut banyak dilaporkan karena limpasan hujan dan banjir (Rose JB.1997)

Dalam tabel 1.berikut , beberapa resiko gangguan kesehatan akibat berbagai pathogen dengan air dan makanan sebagai media penularan.

Tabel 1.Beberapa resiko gangguan kesehatan akibat berbagai pathogen dengan air dan makanan sebagai media penularan.

Gangguan kesehatan

Tipe pathogen Ditemukan di air kotor

Penularan melalui media air

Penularan melalui media makanan

82

Page 83: Content of Jurnal (12)

Peritonitis akutArthritisAseptic meningitisKanker, pectic ulcer

KholeraDiare dan gastroenteritis

GranulomaPenyakit jantungDiabetes ketergantungan insulinGagal ginjal

Kerusakan liver/hati

Luka infeksiLuka inkeksi, gastroenteritis

Anisakis simplexGiardia Salmonella, CampylobacterEchoviruses,Coxsackie virusesHelibacter pylori

V.choleraeBeberapa enteric virusesNorwalk virusGiardia, CryptosporodiumSalmonella, E.ColiShigella species, Salmonella CalcivirusesRotaviruses (infantile gastroenteritis viruses)Astroviruses, enterovirusesMycobacterium marinumCoxsackie B virusCoxsackie B virus (Yoon J.W.,et al,1979)E.Coli 0517:H7MicrosporidiaCylosporaV.vulnificusHepatitis A virusHepatitis E virusV.alginolytusV.parahaemolyticus

-+++/- (diduga dalam feces)--+++++++

--++

+++-+---

+ (tempat rekreasi)+++/-(terutama dalam air tanah)++++++++

-+++

+++-++++

++++

+++-++++

--++

++/-+++--+

(Rose J.B. 2001; NRC, 1999; Howard B.J.,et al.,1994 )..

Salah satu penyakit yang merupakan kombinasi dari waterborne diseases dan food-borne diseases yang mempunyai insidens tinggi dan hampir menyebar ke dunia, terutama di negara dengan kondisi sanitasi yang tidak memenuhi syarat, adalah penyakit kholera / cholera. Pada air laut sering ditemui Vibrio bacteria, yang salah satu penyebab penyakit kholera, dan sangat terkait dengan makanan sebagai medianya (Epstein PR, 1993).Disamping hal tersebut terkorelasi dengan kholera adalah penderita diare, walaupun penderita diare dapat disebabkan oleh berbagai penyebab, namun kholera menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna.

Penyakit KoleraCholera, cholera, adalah penyakit

dengan penyebab V. cholerae patogen dari serogrup selain O1 dan O139. Seperti halnya semua V. cholerae, vibrio ini pertumbuhannya bertambah cepat pada lingkungan dengan NaCl 1%. V. cholerae strain non - O1 atau non-0139 jarang sekali memproduksi toksin kolera atau membawa faktor-faktor kolonilisasi dari strain O1 dan O139 yang dapat menimbulkan wabah. (Dep.Kes RI, 2008).

Vibrio cholerae sebagai penyebab penyakit cholera merupakan pathogen dari air pantai, yang menyebabkan terjadinya

83

Page 84: Content of Jurnal (12)

banyak kematian terutama di daerah yang kondisi sanitasi yang jelek dan daerah yang relatif penduduknya tertinggal atau miskin ( Mourino P.R.R.et al.2003). Di sisi lain peran Vibrio cholerae sangat bermakna untuk menyebar karena perubahan ekosistem, terutama oleh perubahan iklim (Colwell, R. R., and J. A. Patz. 1997, Epstein, P. R. 1995).

Keterkaitan dengan perubahan iklim banyak peneliti menyatakan, bahwa keberadaan Vibrio cholerae sangat didukung oleh kehidupan zooplankton di laut, yaitu pada pelagic plankton , khususnya pada copepod zooplankters, dan pada daerah wabah sangat berhubungan dengan berkembangnya phytoplankton dimaksud (Lobitz, B.,2000). Keberadaan Vibrio cholerae di air laut menjadi lebih berkembang pesat oleh adanya limpasan air, akibat banjir, yang lebih disebabkan oleh perubahan iklim, dan menjadikan air banyak mengandung organik yang terlarut , dissolved ox gen ( Mourino P.R.R.et al.2003) .

Di Indonesia, penderita kholera, hampir merata di beberapa Provinsi, namun pada awal April sampai dengan awal Agustus 2008 di Prponsi Papua , menelan korban 105 jiwa dari penderita diare-kolera, yang seabgian besar dari kabupaten Nabire dan Kabupaten Panilai (Ditjen PP&PL Depkes RI, 2008). Hasil riset kesehatan dasar Departemen Kesehatan RI , tahun 2008, bahwa kematian bayi tahun 2007 terbanyak adalah disebabkan oleh diare yatu 31,4 % (Balibangkes, 2008). Secara umum diare dimaksud penyebabnya berbagai kuman, diantaranya kolera, namun yang pasti didominasi oleh golongan water borne diseases.

Kejadian penyakit kolera di dunia yang terkait oleh variabilitas iklim dan konsekuensi yang timbul, misalnya badai, banjir dan yang lain semakin tahun meningkat. Secara empiris kejadian peningkatan penyakit kolera berkorelasi dengan adanya variabilitas iklim pertahunnya(Hartman DL, 2002). Sebagai contoh adanya kejadian ENSO ( El Niήo/Sothern Oscillation ) yang berakibat kenaikan suhu menyebabkan di Peru selama tahun 1997 /1998 penderita diare

yang rawat inap meningkat 2 kali lipat ( Rose JB, et al, 2000).

Upaya yang diperlukan

Adanya iklim dengan variabilitasnya di sepanjang tahun, harus diselesaikan secara global dan dengan pendekatan holistik. Upaya berikut adalah spesifik untuk pencegahan penyakit/waterborne diseases, khususnya akibat adanya variabilitas iklim, yaitu :

Peningkatan pengawasan dalam pengolahan air minum.Optimalisasi upaya adalah dengan pemantauan kualitas fisik instalasi pengolahan, dan memantau kualitas air dari produksi sampai konsumen. Disisi lain di negara yang sudah sangat memperhatikan uopaya ini adalah selalu memantau jenis mikroorganisme penyebab waterborne diseases. Di Indonesia, pemeriksaan bakteri E.Coli seharusnya dilakukan selain pada air hasil olahan perusahaan air minum, tetapi juga secara rutin sampling di konsumen/ poada rumah.

Peningkatan Pengelolaan Pengolahan Air kotorAir kotor kota, biasanya berupa campuran antara air kotor dari domestik dan air hujan, dalam kondisi tersebut, terkait ddengan variabilitas iklim dengan curah hujan juga bervariasi, dengan curash hujan yang relatif meningkat, maka efektifitas tampungan saluran sangat diperlukan pengawasan. Permasalahannya adalah pendistribusian air kotor yang semakin meluas, bila sampai melimpas ke permukiman, mempunyai potensi penularan mkrorganisme waterborne diseases, karena kemapuan hidup mikroorgaisme tersebut akibat adanya salinitas dari hujan (Pruss A, 1998)

Perlindungan terhadap sumber airPengertian sumber air, selain mata air, juga air untuk rekreasi, yang harus dilindungi dari limpasan

84

Page 85: Content of Jurnal (12)

bahan kimia, ataupun dilindungi dengan tumbuhan kuat dan besar. Hal tersebut perlu dilakukan, karena setiap tahun, khususnya bila ada gelombang laut, badai, maka rata rata meluapnya air, sehingga membawa beban pencemaran di kota sampai dengan 60 % (Jahncke JL.1996).

Perlindungan terhadap makananPerlindungan makanan, disebabkan makanan sangat erat terkait dengan peran air, sehingga peran pencemaran air cukup besar, termasuk perkembangan kuman oleh kondisi cuaca dan iklim, termasuk juga kondisi pembuangan air kotor ( Rose JB, et al.2001)

Tindakan SurvailansDiperlukan suatu grand design atau disain besar dalam upaya peningkatan survailans epidemiologis, dengan menekankan laporan angka kematian dan kesakitan penyakit terkait dengan wtaerborne-diseases melelui pendekatan yang komprehensip antar sektor.

Peningkatan penyuluhan kesehatan masyarakatUpaya penyuluhan tentang penyakit waterborne-diseases diperlukan peningkatan baik secara kuantitas dan kualitas.

Kesimpulan

Variabilitas iklim askibat pemanasan global, selain mempunyai konsekuensi meningkatnya bencana alam, seperti badai, banjir, kekeringan, peningktan suhu bumi, akibat rekasi rumah kaca, maka juga berdampak terhadap gangguan kesehatan masyarakat, terutama terhadap beberpa penyakit. Beberapa penyakit adalah , waterborne-diseases, foodborne-diseases, vectorborne-diseases, dan khusus untuk waterborne diseases,penyakit kolera, mempunyai potensi menimbulkan kejadian luar biasa di beberapa negara, termasuk di Indonesia, disebabkan oleh dukungan kondisi sanitasi yang belum memadai. Disisi lain, penyakit kolera memiliki dua dimensi sebagai waterbirne

diseases dan juga terkait dengan foodborne-diseases. Untuk solusi masalah diperlukan upaya strategis dalam program kesehatan, dengan prioritas peningkatan upaya survailans epidemiologis.

DAFTAR PUSTAKAAmerican Society for

Microbiology(ASM), Office of Public Affairs. Microbial Pollutants in Our Nation's Water. 1998: Environmental and Public Health Issues. Washington, DC:American Society for Microbiology.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dep.Kes RI. 2008 Simposium Nasional IV Jakarta

Bierbaum, R.M.;Holdern, J.P.;MacCracken, M.C; Moss, R.H.;Raven, P.H.2007.Confronting Climate Change :Avoiding the Unmanageable and Managing the Unvoidable.Uniuted Nation Foundation:Washington,DC,USA.

Bitton G, Farrah SR, Montague CL, Akin EW.1986 Viruses in drinking water. Environ Sci Technol 20:216-222

Colwell, R. R., and J. A. Patz. 1997. Climate, infectious disease, and health: an interdisciplinary perspective. The American Academy of Microbiology, Washington, D.C.

Craun GF. 1991 Waterborne Diseases in the United States. Boca Raton:CRC Press

Departemen Kesehatan RI. Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2008. Pusat Komunikasi Publik Depkes RI.

Epstein PR. 1993 Algal blomms in the spread and persistence of cholerae.Biosystems 31 :209-221.

85

Page 86: Content of Jurnal (12)

Epstein PR, Sherman BH, Siegfried ES, Langston A, Prasad S, McKay B. 1998 .Marine Ecosystems: Emerging Diseases as Indicators of Change. Health Ecological and Economic Dimensions of Global Change (HEED) program. Boston:Center for Health and the Global Environment, Harvard Medical School,;pp 85

Feachem R, Garelick H, Slade J.1981 Enteroviruses in the environment. Trop Dis Bull 78:185-230 .

Ford TE.1999. Microbiological safety of drinking water. Environ Health Perspect 107:191-206

Frost F.J.; Craun G.F.; Calderon R.L.1996. Waterborne diseseases surveillance.J.Am Water Works Assoc 88: pp 66-75

Howard BJ, Keiser JF, Smith TF, Weissfeld AS, Tilton RC.1994 Clinical and Pathogenic Microbiology. St. Louis, MO:Mosby

Hoxie NJ, Davis JP, Vergeront JM, Nashold RD, Blair KA. 1997Cryptosporidiosis-associated mortality following a massive waterborne outbreak in Milwaukee, Wisconsin. Am J Public Health 87:2032-2035

Intergovermental Panel on Climate Change.2004.Climate Change 2007: The Physical Science Basis; Cambride University POress:New York,N.Y, USA.

Jahncke JL.1996.The application of the HACCP concept tocontrol exotic shrimp viruses. In :NMFS Workshop on Exotic Shrimp Viruses, New Orleans.

Mara D, Feachem RGA.1999 Water- and excreta-related diseases: unitary environmental classification. N

Environ Engineer 125:334-339 (1999).

Markandya A., Aline Chiabai.2009. Valuing Climate Change Impacts on Human Health : Empirical Evidence From the Literature.Spain. Int.J.Environ.Res.Public Health, 6,759-786

Masters Gilbert M.1974.Introduction to Environmental Science and Technology. John Wiley @ Sons.Canada.

MacKenzie WR, Hoxie NJ, Proctor ME, Gradus MS, Blair KA, Peterson DE, Kazmierczak JJ, Addiss DG, Fox KR, Rose JB, et al.1994 A massive outbreak in Milwaukee of Cryptosporidium infection transmitted through the public water supply. N Engl J Med 331:161-167

Moore Frances C. 2009.Climate change and Air Pollution :Exploring the Synergies and Potential for Mitigation in Industrializing Countries.St New Haven,USA, Sustainability,I, pp.43-54

NRC.1990 Managing Troubled Waters, The Role of Marine Environmental Monitoring. Washington, DC:National Academy Press

Pruss A.1998. Review of Epidemiological studies on health efeects from exposure to recreational water. Int.J Epidemiol 27 : 1-9.

Ramanathan V.;Carmichael,G.2008. Global and Regional changes due to black carbon.Natural Geosci, 1,pp. 221 – 227

Rose JB.1997 Environmental ecology of Cryptosporidium and public health implications. Annu Rev Public Health 18:135-161

86

Page 87: Content of Jurnal (12)

Rose J.B.;Daeschener;Eastertling DR; Curriero FC ; Lele S, Patz JA. 2000. Climate and Waterborne Disease Outbreaks. J Am Water Works 92: 77-87

Rose J.B.; Paul R.Epstein; Erin K.Lipp; Benyamin H.Sherman; Susan M.Bernard; and Jonathan A.Patz.2001. Climate variability and Change in the United States: Potential Impacts on Water and Foodborne Diseseas Caused by Microbial Agents.Environmental Health Perpectives, Volume 109,Supplement 2,May 2001;pp1-6.

Watson R.T.; Zynyowera M.C.; Moss R.H. 1998. IPCC Special Report on The Regional Impacts of Climate Change : An Assesment of Vuneraility.Cambrid Univ.Press,Cambride, UK

Watson , R.J.;McMichael, A.J.2001. Global Climate Change- the

Latest assessment: Does Global Warming Warrant a Health Warning?.Global Change &Human Health 2, 64-75.

KORELASI ANTARA PREVALENSI ENTEROBIASIS VERMICULARIS DENGAN HIGIENES PERORANGAN PADA ANAK USIA 5 – 18 TAHUN DI

DESA KARANGASEM KECAMATAN KUTOREJO KABUPATEN MOJOKERTO

Oleh:Heru Setiawan, Mas Mansyur, E. Devi Dwi Rianti

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma SurabayaABSTRAK

Enterobiasis Vermicularis adalah penyakit infeksi parasit cacing yang ditandai oleh gejala khas berupa pruritus ani dan gejala-gejala nonspesifik lainnya berupa mual, sakit perut, nafsu makan menurun, berat badan menurun dan enurisis. Penduduk desa Karangasem kecamatan Kutorejo kabupaten Mojokerto, mengambil air dari sungai kali Cangkring dan sumur untuk menunjang aktivitasnya. Hal ini merupakan cara efektif sebagai media penularan Enterobiasis disamping itu higienes perorangan sangat berperan dalam penularan penyakit ini. Dari hasil penelitian yang kami lakukan terdapat korelasi yang bermakna antara prevalensi Enterobiasis Vermicularis dengan higienes perorangan pada anak usia 5 – 18 tahun di desa Karangasem kecamatan Kutorejo kabupaten Mojokerto , dengan X2 hitungan sebesar 98,08 sedangkan X2 tabel = 3,84, disamping itu faktor usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan turut berpengaruh.Kata kunci: Cacing, Higienes, Media penularan

CORRELATION BETWEEN ENTEROBIASIS vermicularis prevalence hygienes WITH INDIVIDUAL IN CHILDREN AGED 5-18 YEARS IN VILLAGE SUB KARANGASEM Kutorejo MOJOKERTO DISTRICT

By:

87

Page 88: Content of Jurnal (12)

Heru Setiawan, Mas Mansyur, E. Devi Dwi RiantiLecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya

ABSTRACTEnterobiasis vermicularis parasitic worm infection is a disease characterized by typical symptoms of pruritus ani and other nonspecific symptoms include nausea, abdominal pain, decreased appetite, weight loss and enurisis. Villagers Karangasem district Kutorejo Mojokerto district, taking water from rivers and wells Cangkring times to support its activities. This is an effective way as a medium of transmission besides hygienes Enterobiasis individual was instrumental in the transmission of this disease. From the research we are doing there is a significant correlation between the prevalence Enterobiasis vermicularis with individual hygienes in children aged 5-18 years in the village of Karangasem district Kutorejo Mojokerto regency, with a count of 98.08 whereas X2 X2 table = 3.84, besides the factor age, sex and education level also affected.Key words: Worms, hygienes, Media transmission

PENDAHULUANPenyakit cacing kremi atau yang

di dunia kedokteran biasa disebut dengan Enterobiasis Vermicularis atau Oxyuris vermicularis adalah salah satu penyakit infeksi parasit yang banyak dijumpai di masyarakat. Penyakit ini mempunyai daerah penyebaran di seluruh dunia dan menyerang seluruh lapisan masyarakat, di kota maupun di desa pada sosio tinggi maupun rendah, pada usia anak maupun dewasa. Prevalensi tertinggi ditemukan pada usia pra sekolah yaitu 40 – 50% , sedangkan pada balita dan dewasa jarang ditemukan (Harold W.Brown, 1983). Manusia adalah satu-satunya hospesnya, sehingga siklus hidupnya menjadi sempurna pada tubuh manusia dan menyebabkan mudahnya penularan antara manusia ataupun penularan ulang yang biasa disebut auto-infection (Soedarto,1991).

Telur cacing kremi menjadi infektif dalam waktu enam jam setelah diletakkan di daerah perianal atau cacing betina dewasa dan segera drjadi dapat menulari manusia. Penularan terjadi dengan 3 cara yaitu; rute faecal-oral melalui kontaminasi makanan dan minuman, inhalasi akibat dari telur yang terbawa oleh debu dan retro infection akibat dari larva cacing yang masuk kembali ke dalam usus besar (Soedarto, 1987). Dari hasil penelitian didapat telur cacing kremi sebanyak 92 % dari 241 contoh debu yang berasal dari berbagai macam alat dan perabot rumah tangga seperti tempat tidur, meja, kursi, kakus, bak mandi. Jumlah terbanyak ditemukan ditempat tidur. Ini menunjukkan betapa mudahnya telur ke seluruh lingkungan

rumah, pada suhu kamar antara 20 – 24 oC dan kelembapan 30 – 54 %, hanya < 10 % telur yang tetap infektif selama 2 hari (Harold W.Brown, 1983).

Meskipun penyakit cacing kremi ini tidak berbahaya dan jarang menimbulkan lesi besar, tetapi dapat mengganggu aktifitas manusia karena gejala khasanya yaitu; rasa gatal di sekitar anus (pruritus ani) yang dialami pada malam hari akibat migrasi dari cacing betina gravid untuk meletakkan telur-telurnya (Soedarto, 1991). Inilah yang menimbulkan gangguan tidur dan kegelisahan dan hastrat untuk menggaruknya yang akan berpengaruh pada penularannya. Keluhan lain dapat berupa nafsu makan meurun, enurisis, sakit perut dan mual-mual yang semuanya tidak terlalu spesifik (Soedarto, 1991).

Kebersihan perorangan adalah hal penting yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya Enterobiasis Vermicularis. Beberapa alasan yang menyebabkan dipilihnya topic penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Prevalensi Enterobiasis Vermicularis cukup banyak terutama pada anak-anak.

2. Pola kebersihan pribadi anak berbeda sehingga berpengaruh terhadap terjadinya Enterobiasis Vermicularis.

3. Dipilih responden dengan batas usia anak dan remaja karena prevalensi terbanyak dari penyakit ini adalah pada usia tersebut.

Beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya Enterobiasis Vermicularis adalah:

88

Page 89: Content of Jurnal (12)

1. Faktor kelembapan;Enterobiasis Vermicularis banyak ditemukan pada penderita yang di rumah dengan ruang yang lembab terutama dengan ruang tidur yang jarang terkena sinar matahari langsung, padahal telur Enterobiasis Vermicularis dapat bertahan hidup pada kelembaban 54% atau pada suhu 200 C (Harold W. Brown, 1983; Soedarto, 1991).

2. Faktor kebersihan pribadiTelur infektif merupakan sebab utama penularan Enterobiasis Vermicularis. Telur tersebut dapat tersangkut dibawah jari tangan, dapat pula tetap berada di perianal akibat kurang bersih saat membersihkan anus setelah buang air besar. Telur dapat tetap di badan bila pakaian jarang diganti dalam beberapa hari. Kebiasaan mencuci tangan sebelum mandi dan keteraturan mandi setiap hari juga merupakan hal yang berpengaruh terhadap timbulnya Enterobiasis Vermicularis (Harold W. Brown, 1983; Soedarto, 1991).

3. Faktor mekanikKebiasaan menggaruk daerah anus sewaktu timbul gejala gatal dapat menimbulkan penyebaran telur infektif yang akan mempengaruhi penularan (Soedarto, 1991).

4. Faktor lingkunganPerabot rumah, alat – alat mandi, pakaian mudah ditempeli telur infektif yang juga tercampur

dalam debu rumah. Semua ini memudahkan penularan secara inhalasi (Harold W. Brown, 1983).

Mengigat penularan Enterobiasis Vermicularis sangat mudah terjadi, maka pada umumnya penyakit ini menyerang seluruh anggota keluarga. Oleh karena itu apabila ada satu orang yang dipastikan menderita penyakit ini, maka selain penderita, anggota keluarga yang lainnya juga diobati dan sebaliknya pengobatan ini sering diulang (Soedarto, 1991).

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi Enterobiasis Vermicularis pada usia 5 – 18 tahun di desa Karangasem, kecamatan Kutorejo, kabupaten Mojokerto. Sedangkan tujuan khusus adalah mengetahui hubungan antara higienes perorangan yang baik dengan prevalensi Enterobiasis Vermicularis.

BAHAN DAN CARA KERJADesa karangasem terletak 6 km

dari kecamatan Mojosari dan 12 km dari kabupaten Mojokerto. Desa ini terdiri dari 3 dusun yaitu; dusun Karangasem, Sudimoro dan Sugian. Luas desa Karangasem 140.800 ha. Desa Karangasem seluruhnya sudah menggunakan penerangan listrik, sedangkan sumber airnya diambil dari sungai kali Cangkring untuk mandi, cuci dan minum penduduk Karangasem menggunakan air sumur. Untuk buang air besar biasanya disungai. Jumlah penduduk desa Karangasem 1.687 jiwa dengan distribusi penduduk tempak pada tabel 1.

Tabel 1. Distribusi penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin

Umur (thn) Pria Wanita Jumlah0-45-9

10-1415-1920-2425-2930-3435-3940-4445-4950-5455-59

6680100454442444140414240

6679100494143464543454644

132159203948585908683868884

89

Page 90: Content of Jurnal (12)

60-6465-6970-75

75 keatas

42424077

43434678

858586155

Jumlah 827 860 1687

Dari data terlihat bahwa populasi anak yang berusia 5 – 18 tahun sebanyak 456 anak.Besar SampelBesar Sampel ditentukan dengan rumus :

p.q Np – NSE = √ X √

N Np – 1SE : Standard ErrorP : Proporsi dimana suatu keadaan bias terjadi didalam populasiq : 1 – pNp : Besar populasi

Degree of reliability (5%) 0,05SE = = = 0,026 Zc (dari 95 % confidence level) 1,96

Karena Np = 456 , maka : 0,5 . 0,5 456 – N0,0262 = x N 456 – 1

0,25 . 456 – 0,25 N6,5 . 10-4 =

455 N

N = 196

Dari perhitungan di atas didapat jumlah sampel yang harus disurvey yaitu sebesar 196 sampel.

Uji statistik yang digunakan adalah Chi Square (X2) Test, untuk mencari korelasi antara higiens perorangan dengan prevalensi Enterobiasis Vermicularis anak usia 5 -18 tahun di desa Karangasem kecamatan Kotorejo kabupaten Mojokerto. Rumus yang digunakan adalah :

( ( 0 – E ) – ½ )2

X2 = E

df = ( k – 1 ) atau ( r – 1 )Keterangan :O : Frekuensi observasi sampelE : Frekuensi expecteddf : Derajat kebebasanTaraf signifikasi = 0,05Bila X2 perhitungan > nilai titik kriteria ini berarti ada korelasi antara prevalensi Enterobiasis Vermicularis dengan higienes perorangan pada anak usia 5 – 18 tahun. HASIL

90

Page 91: Content of Jurnal (12)

Data primer dari percobaan ini diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner terhadap responden dan secara random sampling. Dari perhitungan jumlah responden yang digunakan sebagai sampel sebanyak 196 responden.

1. Karakteristik Umum Responden

Tabel 2. Distribusi umur responden Tabel 3. Distribusi jenis kelamin responden

Tabel 4. Distribusi pendidikan respondenPendidikan f %

Tidak tamat SDTamat SDTamat SMP

144448

73,4622,464,08

Jumlah 196 100%

2. Prevalensi Enterobiasis Vermicularis pada Responden

Tabel 5. Prevalensi Enterobiasis Tabel 6. Prevalensi Enterobiasis Vermicularis pada responden Vermicularis menurut umur

Enterobiasis Vermicularis

f %

+

-

45

51

22,95

77,04

Jumlah 196 100%

3. Prevalensi Enterobiasis Vermicularis menurut higienes perorangan

91

Jenis kelamin f %

Laki – lakiPerempuan

11977

60,7139,28

Jumlah 196 100%

Umur f % 5 – 9

10 – 1415 – 18

837340

42,3437,2420,42

Jumlah 196 100%

Jenis kelamin

Enterobiasis Vermicularis

+ -f % f %

Laki – laki

Perempuan

28

17

14,28

8,67

88

63

44,90

32,14

Jumlah 45 22,95 151 77,04

Umur f %

5 - 910 – 1415 – 18

27144

6031,118,88

Jumlah 45 100%

Pendidikan Enterobiasis Vermicularis

+ -f % f %

Tak tamat SDTamat SDTamat SMP

386-

19,893,06

-

105388

53,5719,384,09

Jumlah 45 22,95 151 77,04

Page 92: Content of Jurnal (12)

Tabel 9. Prevalensi Enterobiasis Tabel 10. Prevalensi Enterobiasis Vermicularis menurut higienes Vermicularis menuruthigienes perorangan yang baik perorangan yang buruk

Keterkaitan antara Enterobiasis Vermicularis dengan keadaan umum responden.

Tabel 11. Keterkaitan antara Enterobiasis Vermicularis dan higienes peroranganEnterobiasisVermicularis

Higienes perorangan JumlahBaik Buruk

+

_

11/35,13

142/117,87

34/9,87

9/33,13

45

151

Jumlah 153 43 196

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan Chi Square Test (X2) diperoleh:

- X2 hitung = 98,08- X2 tabel = 3,84

Karena X2 hitung > X2 tabel, ini berarti ada hubungan yang bermakna antara prevalensi Enterobiasis Vermicularis dengan higienes perorangan pada anak usia 5 – 18 tahun di desa Karangasem kecamatan Kutorejo kabupaten Mojokerto.

PEMBAHASANDari hasil penelitian yang kami

lakukan di desa Karangasem kecamatan Kutorejo kabupaten Mojokerto dengan mengambil sampel sebanyak 196 responden, kami mendapatkan data prevalensi Enterobiasis Vermicularis sebanyak 45 orang (22,45 %) di mana sebagian besar terdapat pada responden usia 5 – 9 tahun yaitu sebesar 27 anak ( 60 %). Hasil ini (tabel 6) adalah sesuai dengan data prevalensi penyakit tersebut secara umum yang menunjukkan insiden tertinggi pada usia pra sekolah dan usia sekolah. Prevalensi tersebut terjadi karena pada usia 5 – 9 tahun seorang anak masih belum mempunyai pengetahuan dan

kesadarn yang baik tentang higienes sanitasi.

Prevalensi Enterobiasis vermicularis menurut jenis kelamin menunjukkan data bahwa ada perbedaan angka prevalensi penyakit ini. Pada perempuan didapat hasil sebesar 8,67 %, sedangkan pada laki – laki 14,28 % (tabel 3). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa resiko terjadinya Enterobiasis Vermicularis adalah lebih besar pada laki – laki daripada perempuan. Kemungkinan ini disebabkan karena laki – laki lebih aktif dalam beraktifitas sehingga memperbesar resiko kontak, juga kecenderungan laki – laki yang relatif kurang menjaga kebersihan badan daripada anak perempuan.

Tingkat pendidikan mempunyai angka berbeda terhadap prevalensi Enterobiasis. Pada golongan tidak tamat SD diperoleh nilai 19,89 % sedangkan pada golongan tamat SD dan SMP masing – masing sebesar 3,06 dan 0 % (tabel 8). Dari data ini dapat disimpulkan adanya hubungan erat antara pendidikan dengan higienes perorangan dimana pada golongan tidak tamat SD hanya sedikit mengenyam pendidikan formal sehingga pengetahuan dan kesadaraan mereka

92

EnterobiasisVermicularis

Higienes perorangan yang baik

f %+

-

11

142

7,18

92,82

Jumlah 153 100,00

EnterobiasisVermicularis

Higienes perorangan yang buruk

f %+

-

34

9

79,06

20,94

Jumlah 43 100,00

Page 93: Content of Jurnal (12)

tentang hidup secara sehat dan bersih masih rendah sehingga mereka mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena Enterobiasis.

Pada higienes perorangan yang baik didapat prevalensi Enterobiasis sebesar 7,18 % (tabel 9) sedangkan pada higienes perorangan yang buruk didapat prevalensi sebesar 79,06 % (tabel 10). Ini menunjukkan bahwa higienes poerorangan yang buruk mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena Enterobiasis. Kebiasaan mandi akan mempengaruhi kelembaban tubuh, kebiasaan mencuci tangan menurunkan resiko penularan secara oro-faecal, kebersihan kuku jari tangan akan mempengaruhi perkembangan telur Enterobiasis dan penularan oro-faecal. Semua hal tersebut adalah faktor penting dari higienes perorangan yang berhubunngan erat dengan terjadinya Enterobiasis Vermicularis. Uji statistik keterkaitan antara higienes perorangan dan prevalensi Enterobiasis juga menunjukkan adanya hubungan antara keduanya ( X2

hitung > X2 tabel). Walaupun demikian tidak semua higienes perorangan yang buruk mempunyai resiko terkena Enterobiasis. Dari hasil survey kami mendapatkan sebanyak 9 responden dengan higienes perorangan yang buruk tetapi tidak mengalami Enterobiasis. Ini berarti ada faktor lain yang mempengaruhi diantaranya adalah faktor daya tahan tubuh dan sumber penularan.

KESIMPULANDari hasil percobaan yang kami

lakukan dapat disimpulkan bahwa adanya korelasi yang bermakna antara prevalensi Enterobiasis Vermicularis dengan higienes perorangan pada anak usia 5 – 18 tahun di desa Karangasem kecamatan Kutorejo kabupaten Mojokerto. Disamping itu faktor usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan turut berpengaruh.

SARAN1. Diharapkan lebih memperhatikan

higienes perorangan terutama pada usia anak pra sekolah dan usia sekolah hingga dapat membantu mengurangi prevalensi Enterobiasis Vermicularis.

2. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan formal sehingga dapat menambah pengetahuan dan kesadaran untuk hidup sehat.

3. Menjaga kebersihan lingkungan rumah sehingga terhindar dari resiko terjadinya Enterobiasis Vermicularis di dalam keluarga.

4. Melakukan penanganan terhadap penderita Enterobiasis secara serius terutama dikalangan anak – anak dan mencegah terjadinya penularan.

DAFTAR PUSTAKA1. Amsyari, Fuad; 1983,

Makalah Penelitian Kesehatan di daerah, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

2. Amsyari, Fuad; 1981, Prinsip – Prinsip dan Dasar Statistik Dalam Perencanaan Kesehatan, Ghalia Indonesia, Jakarta.

3. Harold W. Brown;1983, Dasar Parasitologi Klinis, PT Gramedia Jakarta.

4. Kuntoro; 1983, Analisa Data Kuantitatif, Kualitatif dan Semi Kuantitatif, PT. Gramedia Jakarta.

5. Kusnoputranto, Haryoto; 1986, Kesehatan Lingkungan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, FKM – UI, Jakarta.

6. Sudarto; 1987, Parasitologi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Universitas Airlangga.

7. Sudarto; 1991, Herminthologi Kedokteran, EGC Jakarta

8. Soeparman; 1990, Ilmu Penyakit Dalam, Dewan Penerbit FKUI, Jakarta.

9. Siegel, Sidney; 1990, Statistik Non Parametrik untuk Ilmu – Ilmu Sosial, PT. Gramedia Jakarta.

10. Watik Pratiknya, Ahmad; 1986, Dasar – Dasar

93

Page 94: Content of Jurnal (12)

Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, CV Rajawali, Jakarta.

94