cognitive behavior therapy untuk meningkatkan...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY UNTUK
MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL PADA
MAHASISWA YANG MENGALAMI DISTRES PSIKOLOGIS
DI UNIVERSITAS INDONESIACognitive Behavior Therapy for Undergraduate Students with Psychological
Distress to Increase Social Skills at Universitas Indonesia
TESIS
EMMANUELA KIRANA SANGITAN
1006796191
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY UNTUK
MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL PADA
MAHASISWA YANG MENGALAMI DISTRES PSIKOLOGIS
DI UNIVERSITAS INDONESIACognitive Behavior Therapy for Undergraduate Students with Psychological
Distress to Increase Social Skills at Universitas Indonesia
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
EMMANUELA KIRANA SANGITAN
1006796191
FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI
PEMINATAN PSIKOLOGI KLINIS DEWASA
DEPOK, JUNI 2012
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
iii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul “Cognitive
Behavior Therapy untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial pada Mahasiswa
yang Mengalami Distres Psikologis di Universitas Indonesia” adalah hasil karya
saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya
nyatakan dengan benar.
Depok, 6 Juni 2012
Yang menyatakan
Emmanuela Kirana Sangitan
(NPM 1006796191)
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh:
Nama : Emmanuela Kirana SangitanNPM : 1006796191Program Studi : Magister Psikologi Profesi, Peminatan Psikologi Klinis
DewasaJudul Tesis : Cognitive Behavior Therapy untuk Meningkatkan
Keterampilan Sosial pada Mahasiswa yang MengalamiDistres Psikologis di Universitas Indonesia
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Profesi
Psikologi pada Program Peminatan Psikologi Klinis Dewasa, Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, pada Kamis, tanggal 14 Juni 2012.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Sherly Saragih Turnip, S.Psi., M.Phil. ……...……………
Pembimbing : Dra. Ina Saraswati, M.Si. ……...……………
Penguji : Prof. Dr. Suprapti Sumarmo Markam ……...……………
Depok, Juni 2012
Disahkan oleh
Ketua Program Studi Psikologi ProfesiFakultas Psikologi UI
Dra. Dharmayati Utoyo Lubis, MA., Ph.D.NIP. 19510327 197603 2 001
Dekan Fakultas Psikologi UI
Dr. Wilman Dahlan Mansoer, M. Org. PsyNIP. 19490403 197603 1 002
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
v
Dedicated to Kinantan Sangitan and Widyastri Satria
Thank you for always being there and knowing just what to doThank you for knowing the words to say when I’m feeling way beyond blue
Thank you for patiently listening to all my worries and stressesThank you for caring enough to get me out of all my messes
Thank you for being my constant support when I didn’t think I could copeThank you for lifting my spirits and letting me know there is hope
Thank you for being the BEST parents a daughter could ever wish for
Words could never explain how I feel about youBut I hope you know that I truly love you two!
I love you with all my heartToday and forever more
~Unknown
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus, yang telah
membimbing saya hingga tesis ini selesai. Pengerjaan tesis tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak, untuk itu saya mengucapkan terima kepada:
1. Mamah dan Papi serta Sebastian Gary Sangitan, my personal
psychologist(s). Thank you for your understanding and love. Oh, and also
the time and energy to massage my technology-muscles.
2. Yahya Prasetya, the Superman, for your unconditional love, patience,
everything you do to make me happy and to cheer me up.
3. Momma Wulan Satria, Tatih Damayanti Satria, Oom Aditrisna Satria, Tante
Venda Tanoloe, Kenneth Satria, dan Andrea Satria, the all-time-supporter.
4. Sherly Saragih Turnip, S.Psi., M.Phil. dan Dra. Ina Saraswati, M.Si sebagai
pembimbing tesis yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran
untuk membantu dan mendukung dalam penulisan tesis hingga karya tulis
ini selesai. Selain itu, terima kasih telah menenangkan dan meyakinkan saya
saat cemas selama menyusun tesis.
5. Fitri Fausiah, S. Psi., M. Psi., dan Nathanael Sumampouw, M.Psi., sebagai
tim dosen pembimbing payung penelitian Kesehatan Mental Mahasiswa UI,
yang selalu menyemangati dan mendukung saya untuk menyelesaikan tesis
dengan baik dan tepat waktu.
6. Para pembimbing kasus individual: Dra. Augustine R. Basri, M. Si.,
Adhityawarman Menaldi, M. Psi., Dra. Erida Rusli, M. Si., Dra. Sugiarti A.
Musabiq, M. Kes., Dra. Yudiana Ratna Sari, M. Si., Dr. Adriana S. Ginanjar, M.S.,
Dr. E. Kristi Poerwandari, M. Hum., dan Grace Kilis, M.Psi.. Beserta seluruh
dosen Klinis Dewasa Psikologi Universitas Indonesia, yang telah
memberikan pendampingan selama 2 tahun ini, mulai dari kuliah,
penanganan kasus individual, kasuistik, diskusi informal, dan telah bersedia
memberikan waktu untuk konseling gratis. Terima kasih atas ilmu yang
telah dibagi, bimbingannya selama ini, dan dukungan yang membuat saya
yakin dapat menyelesaikan pendidikan profesi psikologi serta menjadi
psikolog yang baik di kemudian hari.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
vii
7. #KLD17: Ika Nurfitriani Listyanti, Della Karni, Ayuningdyah Sekararum,
Dewi Ashuro Itouli Siregar, dan Bona Sardo H. Hutahaean; terima kasih
sudah menjadi teman berpayungan dalam menyusun tesis ini. Mulai dari
berkeringat mencari partisipan, bergantian menggunakan ruangan, sampai
saling mendukung ketika mulai lelah dengan tuntutan akademis serta
tekanan waktu. Juga kepada Citra, Mbak Dessy, Edo, Rini, Rena, Iin,
Bombih, Tika, Kresna, Hanum, Decha, Rangga, Nia, Retha, Olav, Wita,
Manik, Titis, Tiker, dan Vivi. Mereka “keluarga” baru saya yang saling
mendukung satu sama lain. 25 orang hebat yang membuat hidup saya
berwarna dan bermakna, dengan segala tipe kepribadian mereka. Terima
kasih untuk dukungan, bantuan, kekonyolan, dan canda tawanya.
8. Mbak Minah dan Mas Somat, terima kasih atas bantuannya selama ini dan
bersedia dipusingkan dengan urusan akademik juga penggunaan ruangan
untuk kepentingan penelitian saya. Terima kasih pula kepada seluruh
karyawan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia atas bantuan langsung
dan tidak langsung kepada saya.
9. DI, LA, dan DE, terima kasih atas kesediaannya berpartisipasi dalam
penelitian ini.
10. Seluruh pihak yang telah membantu dan mendoakan saya namun tidak dapat
disebutkan satu per satu di sini. Terima kasih untuk kebaikannya.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yesus akan membalas segala kebaikan
saudara-saudara semua. Tesis ini tak lepas dari kekurangan, namun saya berharap
tesis ini berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan bagi siapapun yang
tertarik untuk membahas topik serupa. Untuk berkorespondensi mengenai
penelitian ini dapat melalui e-mail: [email protected].
Depok, 6 Juni 2012
Emmanuela Kirana Sangitan
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
(Hasil Karya Perorangan)
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Emmanuela Kirana SangitanNPM : 1006796191Program Studi : Magister Psikologi Profesi, Peminatan Psikologi Klinis
DewasaFakultas : PsikologiJenis karya : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepadaUniversitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-Exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
“Cognitive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial padaMahasiswa yang Mengalami Distres Psikologis di Universitas Indonesia”
beserta perangkat yang ada, jika diperlukan. Dengan Persetujuan Hak BebasRoyalti Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihkanbentuk, mengalihmediakan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data(database), merawat, serta memublikasikan tesis saya di internet atau media lainuntuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya selama tetapmencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta dan juga sebagai pemilikHak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya-benarnya secara sadartanpa paksaan dari pihak manapun.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 18 Juni 2012
Yang membuat pernyataan,
(Emmanuela Kirana Sangitan)
viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
(Hasil Karya Perorangan)
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Emmanuela Kirana SangitanNPM : 1006796191Program Studi : Magister Psikologi Profesi, Peminatan Psikologi Klinis
DewasaFakultas : PsikologiJenis karya : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepadaUniversitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-Exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
“Cognitive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial padaMahasiswa yang Mengalami Distres Psikologis di Universitas Indonesia”
beserta perangkat yang ada, jika diperlukan. Dengan Persetujuan Hak BebasRoyalti Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihkanbentuk, mengalihmediakan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data(database), merawat, serta memublikasikan tesis saya di internet atau media lainuntuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya selama tetapmencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta dan juga sebagai pemilikHak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya-benarnya secara sadartanpa paksaan dari pihak manapun.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 18 Juni 2012
Yang membuat pernyataan,
(Emmanuela Kirana Sangitan)
viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
(Hasil Karya Perorangan)
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Emmanuela Kirana SangitanNPM : 1006796191Program Studi : Magister Psikologi Profesi, Peminatan Psikologi Klinis
DewasaFakultas : PsikologiJenis karya : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepadaUniversitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-Exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
“Cognitive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial padaMahasiswa yang Mengalami Distres Psikologis di Universitas Indonesia”
beserta perangkat yang ada, jika diperlukan. Dengan Persetujuan Hak BebasRoyalti Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihkanbentuk, mengalihmediakan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data(database), merawat, serta memublikasikan tesis saya di internet atau media lainuntuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya selama tetapmencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta dan juga sebagai pemilikHak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya-benarnya secara sadartanpa paksaan dari pihak manapun.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 18 Juni 2012
Yang membuat pernyataan,
(Emmanuela Kirana Sangitan)
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
ix
ABSTRAK
Nama : Emmanuela Kirana SangitanProgram Studi : Psikologi Profesi, Peminatan Psikologi Klinis DewasaJudul Tesis : Cognitive Behavior Therapy untuk Meningkatkan
Keterampilan Sosial pada Mahasiswa yang MengalamiDistres Psikologis di Universitas Indonesia
Latar Belakang Tingkat distres psikologis mahasiswa Universitas Indonesia (UI)termasuk tinggi, sebesar 39%. Sebanyak 9,1% mahasiswa melaporkan masalahSocial-Psychological Relations (SPR) menjadi masalah terberatnya. Masalah iniberkaitan dengan rendahnya keterampilan sosial. Keterampilan sosial yang rendahmenjadi prediktor terhadap kemunculan distres psikologis. Keterampilan inimelibatkan persepsi dan evaluasi individu terhadap suatu situasi sosial, sepertimerasa tidak mampu menjalin hubungan dengan baik, evaluasi negatif terhadapdiri sendiri tanpa bukti, dan takut akan penilaian negatif dari orang lain. Salah satuintervensi yang efektif adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT). CBT bertujuanuntuk merestrukturisasi kognitif agar muncul respon yang lebih adaptif. MetodePenelitian randomized control trial ini dilakukan dengan one group before-and-after study design dan convenience sampling di UI Depok. Intervensi dengan CBTdilakukan sebanyak 6 sesi. Hasil Kedua partisipan mengalami peningkatanketerampilan sosial dan penurunan distres psikologis, diketahui dari perbaikanskor Social Skills Inventory (SSI), Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25),dan evaluasi kualitatif. Kesimpulan CBT efektif untuk meningkatkanketerampilan sosial dan menurunkan distres psikologis pada mahasiswa UI.Teknik yang dianggap membantu adalah penentuan tujuan, thought diary,pencarian bukti, pembuatan thought card, behavior experiment, dan teknikbernapas.
Kata kunci:Cognitive behavior therapy, keterampilan sosial, distres psikologis, mahasiswa
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
x
ABSTRACT
Name : Emmanuela Kirana SangitanProgramme : Clinical PsychologyJudul Tesis : Cognitive Behavior Therapy for Undergraduate Students
with Psychological Distress to Increase Social Skills atUniversitas Indonesia
Background The psychological distress level of undergraduate students inUniversitas Indonesia was considered high, with index of 39%. A number of 9.1%undergraduate students reported to experienced Social Psychological Relationsproblem as the main issue. This problem related to the low social skills. Lowexpertise in social skills was predicted as the main cause of psychological distress.This skills involving individual perception and evaluation to a certain socialsituations, such as self-perceived to be incompetent to build a good relationship,negative self-evaluation without proper evidence, and fear of negative evaluationfrom others. One of the effective intervention techniques to deal with this problemis Cognitive Behavior Therapy (CBT). The aim of CBT is cognitive restructuring,in order to create more adaptive responses. Method Randomized control trial wasconducted with one group before-and-after study and also convenience samplingin Universitas Indonesia. The intervention was conducted in 6 sessions. ResultBoth participants reported that the social skills increased and the psychologicaldistress reduced indicated by the improvement score in Social Skills Inventory(SSI), Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25), and also qualitativeevaluation. Conclusion CBT is an effective intervention to increase social skillsand reduce psychological distress among undergraduate students at UniversitasIndonesia. Techniques that are considered helpful were goal-setting thought diary,evidences seeking, thought card, behavior experiment, and breathing technique.
Keywords:Cognitive behavior therapy, social skills, psychological distress, undergraduatestudents
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
xi
DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………………..…. ii
Lembar pernyataan orisinalitas ……………………………………………….… iii
Lembar pengesahan …………………………………………………….……….. iv
Ucapan terima kasih ………………………………………………….…………. vi
Halaman pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah...………...………….. viii
Abstrak ……………………………………………………………………….………… ix
Abstract …….………………………………………………………………….….…….. x
Daftar isi ….……………………………………………………………………..……… xi
Daftar gambar …………………………………………………………………..……… xv
Daftar tabel ……………………………………………………………………………. xvi
BAB I PENDAHULUAN .………………………………………….………… 1
1.1. Latar Belakang …………………………………………………………… 1
1.2. Rumusan Masalah ……………………………………….……………….. 6
1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………….………………… 6
1.4. Manfaat Penelitian ……………………………………….………………. 6
1.5. Sistematika Penulisan ……………………………………......…………… 7
BAB II TINJAUAN TEORITIS ……………………………………………… 8
2.1. Keterampilan Sosial ……………………………………………………… 8
2.1.1. Pengertian Keterampilan Sosial …………………………………….. 8
2.1.2. Dimensi keterampilan sosial ………………………………………… 9
2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial…………..… 10
2.1.4. Dampak dari keterampilan sosial yang rendah …..………………… 12
2.2. Distres Psikologis .……………………………………………………… 13
2.2.1. Pengertian Distres Psikologis…..…………………………………… 13
2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi distres psikologis……………... 15
2.3. Cognitive Behavior Therapy (CBT)..…………………………………..…18
2.3.1. Pengertian CBT……………..………………………………………..18
2.3.2. Karakteristik CBT..…………………………………………………..19
2.3.3. Prinsip Dasar CBT..…………………….…………………………... 20
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
xii
2.3.4. Tujuan CBT………………………………………………………..... 22
2.3.5. Komponen-komponen dalam CBT…………………………………. 22
2.3.6. Tahap pelaksanaan………………………………………………….. 25
2.4. Mahasiswa……………………………………………………………….. 29
2.4.1. Pengertian Mahasiswa dan mahasiswa Universitas Indonesia..……..29
2.4.2. Tugas perkembangan mahasiswa…………………………………… 30
2.4.3. Masalah-masalah mahasiswa………..……………………………… 30
2.5. CBT sebagai intervensi untuk meningkatkan keterampilan sosial pada
mahasiswa…………………………………………………………………33
BAB III METODE PENELITIAN…………………………………………… 35
3.1. Desain Penelitian………………………………………………………… 35
3.2. Permasalahan Penelitian…………………………………………………. 36
3.3. Partisipan Penelitian…………………………………………………….. 36
3.3.1. Kriteria Partisipan Penelitian……………………………………….. 36
3.3.2. Prosedur Pemilihan Partisipan……………………………………… 37
3.4. Metode Pelaksanaan Intervensi………………………………………… 39
3.5. Alat ukur penelitian…………………………………………………….. 42
3.5.1. Pengukuran Distres Psikologis……………………………………… 42
3.5.2. Pengukuran Permasalahan Mahasiswa……………………………... 43
3.5.3. Pengukuran Keterampilan Sosial…………………………………… 44
3.5.3.1. Administrasi dan Skoring SSI………………………………… 44
3.5.3.2. Uji Keterbacaan……………………………………………….. 46
3.5.4. Wawancara………………………………………………………….. 47
BAB IV HASIL PENGUKURAN AWAL…………………………………… 49
4.1. Proses dan Hasil Screening Partisipan…………………………………. 49
4.1.1. Proses Screening Partisipan………………………………………… 49
4.1.2. Hasil Screening Partisipan………………………………………….. 49
4.1.2.1. Keterampilan Sosial DI………………………………………. 51
4.1.2.2. Keterampilan Sosial LA……………………………………… 52
4.1.2.3. Keterampilan Sosial DE……………………………………… 54
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
xiii
4.2. Partisipan Penelitian yang Mengikuti Intervensi……………………… 55
4.2.1. Data Partisipan I……………………………………………………. 56
4.2.1.1. Data Pribadi DI……………………………………………….. 56
4.2.1.2. Observasi Umum……………………………………………… 56
4.2.1.3. Gambaran Kasus……………………………………………… 57
4.2.2. Data Partisipan II…………………………………………………… 60
4.2.2.1. Data Pribadi LA………………………………………………. 60
4.2.2.2. Observasi Umum……………………………………………… 61
4.2.2.3. Gambaran Kasus……………………………………………… 62
4.2.3. Data Partisipan III………………………………………………….. 66
4.2.3.1. Data Pribadi DE………………………………………………. 66
4.2.3.2. Observasi Umum……………………………………………… 66
4.2.3.3. Gambaran Kasus……………………………………………… 67
BAB V HASIL INTERVENSI……………………………………………….. 71
5.1. Pemaparan Kasus DI……………………………………………………. 71
5.1.1. Observasi Terhadap DI…………………………………………….. 71
5.1.2. Proses Pelaksanaan Intervensi Terhadap DI……………………….. 73
5.1.3. Hasil Intervensi Terhadap DI ………………………………………. 81
5.1.3.1. Hasil Pengukuran Efektivitas Intervensi dengan CBT……….. 81
5.1.3.2. Refleksi Subjektif DI Terhadap Proses dan Keberhasilan
Intervensi.................................................................................... 82
5.1.3.3. Evaluasi DI terhadap Intervensi………………………………. 82
5.2. Pemaparan Kasus LA…………………………………………………… 83
5.2.1. Observasi Terhadap LA…………………………………………….. 83
5.2.2. Proses Pelaksanaan Intervensi terhadap LA……………………….. 85
5.2.3. Hasil Intervensi Terhadap LA……………………………………… 92
5.2.3.1. Hasil Pengukuran Efektivitas Intervensi dengan CBT……….. 92
5.2.3.2. Refleksi Subjektif LA Terhadap Proses dan Keberhasilan
Intervensi…………………………………………………….. 94
5.2.2.3. Evaluasi LA terhadap Intervensi…………………………….. 95
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
xiv
5.3. Pemaparan Kasus DE…………………………………………………... 95
5.3.1. Observasi Terhadap DE…………………………………………….. 95
5.3.2. Proses Pelaksanaan Intervensi terhadap DE……………………….. 96
5.3.3. Perkiraan Efektivitas Intervensi terhadap DE…………………….. 100
BAB VI DISKUSI……………………………………………………………. 102
6.1. Proses Pelaksanaan Intervensi…………………………………………….. 102
6.2. Hasil Pelaksanaan Intervensi…………………………………………….... 108
6.3. Evaluasi Keberhasilan Intervensi…………………………………………. 110
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………….... 113
7.1. Kesimpulan…………………………………………………………….. 113
7.2. Saran……………………………………………………………………. 113
7.2.1. Saran Metodologis………………………………………………… 113
7.2.2. Saran Praktis………………………………………………………. 114
Daftar Pustaka…………………………………………………………………. 115
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Ilustrasi Desain Penelitian………………………………………. 36
Gambar 3.2 Alur Pemilihan Partisipan Penelitian…………………………….... 39
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Tipe Masalah dan Jumlah Sesi CBT……………………………. 20
Tabel 3.1. Cut-Off Point Tiap Dimensi Keterampilan Sosial……………… 46
Tabel 3.2. Item Social Skills Inventory (SSI) yang Diubah………………... 46
Tabel 4.1. Hasil Pretest DI, LA, DE………………………………………. 50
Tabel 5.1 Waktu Pelaksanaan Intervensi DI……………………………… 71
Tabel 5.2. Pengukuran Kuantitatif DI……………………………………... 81
Tabel 5.3. Waktu Pelaksanaan Intervensi LA……………………………... 83
Tabel 5.4. Pengukuran Kuantitatif LA…………………………………….. 92
Tabel 5.5. Waktu Pelaksanaan Intervensi DE……………………………... 95
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut Selye (dalam Sarafino, 2002), distress merupakan salah satu
bentuk stres. Distress atau sering disebut dengan distres psikologis memiliki
pengaruh buruk dan dapat membahayakan seseorang sehingga seringkali
menimbulkan kerugian. Miller (2011) menyebutkan bahwa distres psikologis
dapat mengganggu fungsi seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Dampak terburuk dari distres psikologis adalah seseorang dapat mengalami
depresi dan kecemasan (Nevid, Rathus & Greene, 2003). Hal ini juga mungkin
terjadi pada mahasiswa (D'Zurilla & Sheedy, dalam Ross, Niebling, & Heckert,
1999). Menurut Adlaf, et. al., Dyrbye, et. al., dan Roberts, et. al. (dalam Verger,
dkk., 2009) tingkat distres psikologis pada mahasiswa lebih tinggi jika
dibandingkan populasi pekerja dengan usia dan jenis kelamin yang sama.
Banyak hal yang dapat menyebabkan distres psikologis pada mahasiswa,
antara lain tuntutan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, cara belajar baru,
melatih kemandirian, persepsi mereka mengenai kewajiban sebagai mahasiswa
dan tekanan dari lingkungan, keharusan untuk bertemu dengan banyak orang yang
memiliki latar belakang berbeda-beda (Verger, dkk, 2009; Kobayashi, 2005).
Lebih lanjut, tuntutan yang dihadapi mahasiswa dapat dibedakan menjadi tuntutan
akademis dan tuntutan untuk menjalin hubungan sosial.
Misra & Castillo (2004) menemukan berbagai macam tuntutan akademis
yang memunculkan distres psikologis pada mahasiswa. Tuntutan tersebut adalah
tekanan keluarga, kondisi finansial, kompetisi dengan teman, dan mengerjakan
tugas kuliah, mengikuti ujian, persaingan untuk mendapatkan nilai baik,
kewajiban untuk memahami pengetahuan baru dengan waktu terbatas,
penyesuaian diri terhadap budaya universitas atau fakultas, dan dengan sistem
pendidikan yang berbeda dari sekolah sebelumnya (Cheng, Leong, & Geist;
Abouserie; Kohn & Frazer; Leong & Mallinckrodt; dalam Misra & Castillo, 2004)
Tuntutan akademik lainnya berasal dari lingkungan kelas, bayangan akan
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
2
Universitas Indonesia
kesuksesan karir dan masa depan, pengajar, dan kegiatan perkuliahan itu sendiri
(Murphy, dalam Santrock, 2008).
Dari hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa, diketahui bahwa
mereka memiliki kebutuhan untuk berdiskusi dalam kelompok, mempresentasikan
tugas di depan kelas, bertemu dengan narasumber, ikut dalam kegiatan kampus
dengan harapan memperluas jaringan pertemanan, serta berinteraksi dengan
teman kost. Tuntutan untuk menjalin hubungan sosial dengan orang lain seperti itu
juga dapat memunculkan distres psikologis pada mahasiswa.
Hal ini didukung oleh berbagai literatur yang menemukan bahwa
mahasiswa juga dituntut untuk memiliki hubungan baik dengan teman kuliah,
bekerja sama dalam kelompok, mengikuti kegiatan organisasi, unit kegiatan
mahasiswa (UKM), dan menemukan pasangan yang potensial (Wright, dalam
Ross, Niebling, & Heckert; Utama (2010), dan Ross, Niebling, & Heckert, 1999).
Jou & Fukada (2002) menyebutkan bahwa sebaiknya mahasiswa memiliki
hubungan dan dukungan sosial yang sifatnya dua arah dan saling timbal balik.
Kedua hal ini akan menentukan keberhasilan seorang mahasiswa dalam
menyesuaikan diri di dunia kuliah. Cohen & Wills (dalam Jou & Fukada, 2002)
menemukan hasil bahwa hubungan sosial yang dimiliki seorang mahasiswa akan
membuat mahasiswa tersebut jauh lebih sehat mental dibandingkan dengan
mahasiswa yang tidak memiliki hubungan sosial. Sebagai mahasiswa, memang
ada tuntutan untuk menyeimbangkan antara tugas kuliah, tugas organisasi, dan
kehidupan pribadi (Hall, Forrester, & Borsz, dalam Febrianty, 2011).
Montgomery & Cote (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007) juga menyatakan
hal yang sama. Penting bagi seorang mahasiswa untuk mampu membangun
hubungan sosial dan akademik yang kuat dengan teman sebaya dan para pengajar.
Studi pada populasi mahasiswa Universitas Indonesia (UI) menemukan
tingkat distres psikologis mahasiswa UI terbilang tinggi, yakni sebesar 39%
(Utama, 2010). Lebih lanjut, dalam penelitiannya ditemukan sebanyak 9,1%
mahasiswa UI melaporkan ranah masalah social-psychological relations (SPR –
atau hubungan sosial-psikologis) menjadi masalah terberat bagi mereka. Masalah
hubungan sosial-psikologis juga dialami oleh mahasiswa lainnya, meski bukan
menjadi masalah yang terberat bagi mereka. Hal ini diperkuat dengan hasil
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
3
Universitas Indonesia
penelitian Ross, Niebling, & Heckert (1999), yakni pengaruh tuntutan untuk
menjalin hubungan sosial lebih besar 4% dibandingkan dengan pengaruh tuntutan
akademik dalam memunculkan distres psikologis pada mahasiswa. Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tuntutan untuk menjalin hubungan
sosial berasosiasi dengan tingkat distres psikologis pada mahasiswa UI.
Mahasiswa yang memiliki distres psikologis tinggi juga memiliki masalah yang
dirasa berat dalam hal menjalin hubungan sosial.
Dalam memenuhi tuntutan untuk menjalin hubungan sosial, individu harus
memiliki keterampilan sosial dalam berinteraksi dengan orang lain (Segrin, 2001).
Ia menyebutkan bahwa keterampilan sosial yang dimaksud antara lain dapat
berkomunikasi dengan efektif, mengekspresikan diri di hadapan orang lain dengan
tepat, memahami dan berempati dengan orang lain, dapat berbaur dengan orang
lain, serta menjaga hubungan baik. Riggio (1986) menyebutnya dengan
keterampilan untuk mengirimkan informasi ke orang lain (mengekspresikan diri)
dan keterampilan untuk menerima informasi dari orang lain (sensitif). Brady
(dalam Arrindell, dkk., 2005) menyatakan bahwa keterampilan sosial penting
untuk mengembangkan dan menjaga hubungan sosial yang memuaskan. Jika
seorang individu memiliki keterampilan sosial yang rendah, maka hal tersebut
menjadi salah satu prediktor terhadap kemunculan distres psikologis dalam
hubungan sosial yang dimilikinya (Segrin, 2001). Menurut Kessler, Stein, &
Berglund, (dalam Arrindell, dkk., 2005), keterampilan sosial yang rendah dapat
berupa inhibisi sosial, ketidakcakapan dalam bergaul, dan muncul perasaan takut
saat berinteraksi dengan orang lain. Artinya, mahasiswa UI yang memiliki
keterampilan sosial yang rendah dikhawatirkan akan mengalami kesulitan dalam
berinteraksi dengan orang lain dan mengalami distres psikologis.
Dari berbagai hasil penelitian, ditemukan bahwa sering kali seseorang
merasa tidak mampu menjalin hubungan sosial dengan orang lain karena
keyakinan diri (belief) yang rendah. Keyakinan yang dimaksud menurut Clark &
Wells dan Rapee & Heimberg (dalam Cartwright-Hatton, Tschernitz, &
Gomersall, 2005) adalah keyakinan bahwa mereka memiliki keterampilan sosial
yang rendah sehingga mengurangi kepercayaan diri saat berada dalam situasi
sosial. Heinrichs, Gerlach, & Hofmann (2006) menyatakan tinggi rendahnya
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
4
Universitas Indonesia
keterampilan sosial yang dimiliki individu juga melibatkan persepsi dan evaluasi
terhadap situasi sosial dimana mereka berada. Dalam penelitiannya, Hope, dkk.
(2010) menemukan bahwa keyakinan dan persepsi yang sering muncul pada
individu dengan keterampilan sosial yang rendah adalah merasa tidak mampu
menjalin hubungan sosial dengan baik, takut akan penilaian negatif dari orang
lain, dan antisipasi terhadap situasi sosial yang dianggap menakutkan. Contoh
keyakinan dan persepsi yang sering muncul adalah self-labeling, evaluasi negatif
terhadap diri sendiri tanpa ada penilaian dari orang lain contohnya seperti “Saya
tidak mampu bicara di depan umum dan saya pasti akan meracau jika
melakukannya” dan “Pasti dia akan berpikir bahwa saya nampak sangat kikuk”.
Keyakinan dan persepsi lainnya adalah past-memories, yaitu pikiran negatif
mengenai pengalaman di masa lalu yang memunculkan kecemasan dan
avoidance, yaitu segala pikiran yang berkaitan dengan penghindaran, pelarian,
atau perilaku yang dianggap memunculkan rasa aman, seperti “Saya tidak pernah
berhasil memulai pembicaraan dengan lawan jenis, sepertinya saya lebih baik
menghindari kontak mata dengan dia”. Wells & Papageorgiou (dalam Cartwright-
Hatton, Tschernitz, & Gomersall, 2005) mengatakan perlu adanya intervensi
untuk mengubah keyakinan dan persepsi yang merugikan ini sehingga individu
dapat memiliki hubungan sosial yang lebih baik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa baru, UI sudah
melakukan intervensi di awal kuliah bagi seluruh mahasiswa baru yang bertujuan
untuk meningkatkan keterampilan sosial. Intervensi ini antara lain dorongan untuk
mengikuti UKM, terlibat aktif dalam organisasi kemahasiswaan, pelatihan
klasikal tentang empati, cara berkomunikasi, bekerja dalam kelompok, dan
sebagainya. Tujuannya adalah membantu seluruh mahasiswa baru mempersiapkan
diri untuk beradaptasi dengan lingkungan universitas dan juga membantu mereka
yang kesulitan untuk menjalin hubungan sosial. Namun pada kenyataannya,
segala bentuk intervensi tersebut belumlah cukup untuk meningkatkan
keterampilan sosial pada mahasiswa UI. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya
prevalensi distres psikologis pada mahasiswa UI dalam kurun waktu setahun
menjadi 48,6% di 2011 dibandingkan dengan 39% di tahun 2010 (Maharani,
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
5
Universitas Indonesia
2011). Tidak adanya intervensi terhadap kognitif dan perilaku membuat peneliti
merasa perlu untuk melakukan intervensi dan ditangani secara individual.
Salah satu intervensi yang efektif untuk mengatasi rendahnya keterampilan
sosial pada mahasiswa adalah cognitive behavior therapy (CBT). CBT meyakini
bahwa proses kognisi seperti pikiran, interpretasi, persepsi, dan keyakinan
memiliki pengaruh terhadap respon, perilaku, dan emosi individu (Westbrook,
Kennerley, & Kirk, 2007 dan Stallard, 2004). Menurut Bedell & Lennox (1997),
CBT terbukti efektif untuk mengatasi berbagai macam masalah psikologis. Selain
itu, mereka juga menyatakan bahwa CBT bekerja secara cepat dan dapat
dipertanggungjawabkan meski dilakukan dalam waktu singkat. Terapi ini
mempercayai bahwa setiap individu dapat mengubah dirinya menjadi lebih baik
dengan mengatasi masalahnya sendiri (Bedell & Lennox, 1997).
Pada mahasiswa yang merasa memiliki masalah dalam menjalin hubungan
sosial, CBT menyasar pada keyakinan dan persepsi mereka mengenai
keterampilan sosial yang dimilikinya. CBT fokus pada perilaku objektif dan
pikiran, keyakinan serta perasaan mereka pada masa sekarang. Dengan kata lain,
CBT dapat diterapkan untuk terapi individual yang berguna untuk meningkatkan
keterampilan sosial seseorang. Tujuan terapi ini adalah mengubah proses kognitif
sehingga dapat menampilkan respon yang lebih adaptif. Menurut Bedell &
Lennox (1997), penanganan dengan CBT mencakup pengembangan kesadaran
individu (self-awareness), kesadaran terhadap orang lain, cara menjalin
komunikasi interpersonal, penyelesaian masalah yang dihadapinya, dan mencari
strategi coping yang efektif. CBT akan membantu individu menyadari dan
memahami proses berpikirnya dengan lebih baik sehingga meningkatkan
keterampilan sosial.
Aydin, Tekinsav-sütçü, & Sorias (2010) menyatakan bahwa CBT dapat
membantu seseorang dalam mengenali hal-hal yang berkaitan dengan situasi
sosial dan perilakunya. Dengan begitu, individu dapat mengubah penilaiannya dan
melakukan restrukturisasi kognisi. CBT membutuhkan kemampuan berpikir yang
lebih sistematis sehingga diperlukan kematangan kognitif individu (Stallard,
2004). Selama terapi individu dituntut untuk berpikir asbtrak, seperti
mengembangkan perspektif baru atau memunculkan berbagai macam alternatif
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
6
Universitas Indonesia
dari masalah yang dialami. Dapat dikatakan bahwa terapi ini cocok untuk
diterapkan pada mahasiswa. Menurut Fischer & Pruyne (dalam Papalia, Olds, &
Feldman, 2007) mahasiswa memiliki kemampuan berpikir yang lebih kompleks
karena pendidikan yang mereka peroleh di universitas. Kematangan kognisi
memungkinkan mahasiswa untuk melakukan refleksi diri, mencari alternatif
solusi untuk menyelesaikan masalah, lebih adaptif, lebih logis, dan mampu
menyadari jalan pikirannya.
Tujuan intervensi dengan CBT adalah mengubah persepsi atau keyakinan
mahasiswa dan mengatasi distorsi kognisi yang merugikan sehingga mereka dapat
memiliki hubungan sosial yang lebih baik. Dengan demikian, mereka mampu
memenuhi tuntutan atau kebutuhan untuk menjalin hubungan sosial, sesuai
dengan peran sebagai mahasiswa. Adanya hubungan sosial yang baik, seperti
dengan pengajar atau teman kuliah, akan menurunkan distres psikologis seorang
mahasiswa.
1.2. Rumusan Masalah Penelitian
Apakah Cognitive Behavior Therapy (CBT) efektif untuk meningkatkan
keterampilan sosial pada mahasiswa yang mengalami distres psikologis di
Universitas Indonesia, yang diindikasikan dari perbaikan skor SSI dan HSCL-25
serta evaluasi kualitatif?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas Cognitive Behavior
Therapy (CBT) dalam meningkatkan keterampilan sosial pada mahasiswa yang
mengalami distres psikologis di Universitas Indonesia, dengan melihat perbaikan
skor SSI dan HSCL-25 serta evaluasi kualitatif.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah mengetahui efektivitas cognitive
behavior therapy (CBT) dalam meningkatkan keterampilan sosial pada
mahasiswa yang mengalami distres psikologis di Universitas Indonesia.
Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah membantu mahasiswa
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
7
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia yang mengalami distres psikologis dalam meningkatkan
keterampilan sosialnya.
1.5. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
- Bab I. Pendahuluan: berisi latar belakang permasalahan serta tujuan dan
manfaat diadakannya penelitian.
- Bab II. Tinjauan teoritis: berisi teori mengenai variabel-variabel yang
digunakan dalam penelitian ini.
- Bab III. Metode penelitian: berisi penjelasan mengenai sampel penelitian, alat
ukur asesmen awal, dan tahapan penelitian.
- Bab IV. Hasil pengukuran awal dan rancangan intervensi: berisi hasil asesmen
awal melalui wawancara, observasi, alat tes, dan kesimpulan serta rancangan
intervensi ataupun modul meliputi lama pelaksanaan dan tahapan pelaksanaan
intervensi.
- Bab V. Hasil intervensi: berisi penjelasan lengkap mengenai hasil pencatatan
dan evaluasi kualitatif serta kuantitatif dari proses intervensi yang dilakukan.
- Bab VI. Diskusi: berisi masukan atau pendapat mengenai hal-hal yang terjadi
di luar perkiraan awal ataupun segala temuan selama proses intervensi.
- Bab VII. Kesimpulan dan saran
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
8
Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai landasan teori yang digunakan
dalam penelitian dan pelaksanaan intervensi. Teori yang digunakan adalah teori
mengenai keterampilan sosial, faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial,
dampak dari keterampilan sosial yang rendah, distres psikologis dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya, Cognitive Behavior Therapy (CBT) yang digunakan
dalam penelitian ini, dan masalah-masalah yang dhadapi mahasiswa Universitas
Indonesia.
2.1. Keterampilan Sosial
2.1.1. Pengertian Keterampilan Sosial
Riggio dan Reichard (2008) menyatakan bahwa keterampilan sosial
merupakan kemampuan individu untuk mengekspresikan diri ketika berinteraksi
dengan orang lain, mampu “membaca” dan memahami berbagai macam situasi
sosial, memiliki pengetahuan mengenai peran sosial, norma, dan peraturan,
mampu menyelesaikan masalah interpersonal, serta mampu menjalani peran
sosial. Sedangkan menurut Barreras (2008) keterampilan sosial merupakan
keterampilan untuk berinteraksi, beradaptasi, dan berfungsi dengan baik di
lingkungan sosial. Dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial merupakan
keterampilan untuk berinteraksi, beradaptasi, dan berfungsi dengan baik di
lingkungan sosial karena individu mampu untuk mengekspresikan diri ketika
berinteraksi dengan orang lain, mampu “membaca” dan memahami berbagai
macam situasi sosial, memiliki pengetahuan mengenai peran sosial, norma, dan
peraturan, mampu menyelesaikan masalah interpersonal, serta mampu menjalani
peran sosial.
Segrin (2001) menambahkan bahwa keterampilan sosial membuat
seseorang mampu untuk terlibat dalam interaksi yang sesuai dan efektif dengan
orang lain. Keterampilan ini diperlukan untuk berada dalam lingkungan sosial dan
menjalankan aktivitas sehari-hari, seperti mempertahankan pekerjaan dan
menjalin hubungan pertemanan (Iannaccone, Wienke, Cosden, 1991).
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
9
Universitas Indonesia
2.1.2. Dimensi keterampilan sosial
Dalam Riggio (1989) dan Riggio & Reichard (2008), keterampilan sosial
memiliki enam dimensi yang diukur dengan Social Skills Inventory (SSI).
Dimensi yang dimaksud yaitu:
a. Emotional expressivity
Keterampilan dalam berkomunikasi secara non-verbal, khususnya saat
menyampaikan pesan emosional kepada orang lain. Dimensi ini
menunjukkan keterampilan individu untuk mengekspresikan diri secara
spontan dan sesuai, peka terhadap situasi emosional, serta mampu
menampilkan perilaku yang sesuai dengan situasi interpersonal. Biasanya
individu yang baik dalam mengekspresikan emosinya dianggap oleh orang
lain sebagai individu yang ceria dan enerjik. Orang lain mudah untuk
mengetahui apa yang sedang mereka rasakan karena individu tersebut
sangat ekspresif.
b. Emotional sensitivity
Keterampilan dalam menerima dan memahami emosi serta sinyal non-
verbal dari orang lain. Individu yang sensitif sangat memperhatikan sinyal-
sinyal emosional dan non-verbal pada orang lain. Mereka mampu
menangkap sinyal emosional dengan tepat dan efisien saat berkomunikasi.
c. Emotional control
Keterampilan dalam mengatur dan meregulasi pesan emosional dan non-
verbal pada diri individu, khususnya saat menyampaikan atau
menyembunyikan emosi yang mereka dirasakan. Individu yang mampu
mengatur emosinya, dapat mengekspresikan perasaannya dan menampikan
isyarat emosional yang sesuai dengan lingkungan. Contohnya seperti
tersenyum untuk menyembunyikan perasaan sedih saat di hadapan orang
lain.
d. Social expressivity
Keterampilan dalam mengekspresikan diri secara verbal dan keterampilan
dalam bergaul dengan orang lain saat berada di situasi sosial. Individu
yang mendapatkan nilai tinggi dalam dimensi ini cenderung extrovert,
ramah, dan suka berada di antara banyak orang. Hal ini terjadi karena
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
10
Universitas Indonesia
mereka mudah untuk memulai pembicaraan dengan orang lain. Mereka
juga termasuk individu yang antusias, spontan, impulsif, dan senang
menjadi pusat perhatian.
e. Social sensitivity
Keterampilan dalam menginterpretasi ekspresi verbal dari orang lain dan
paham mengenai norma sosial dalam menampilkan perilaku yang diterima
lingkungan. Individu yang sensitif biasanya cenderung memperhatikan
orang lain. Dengan adanya pengetahuan mengenai norma dan aturan
sosial, individu ini terkadang sangat mementingkan kesesuaian perilaku
diri dan orang lain. Pada kasus-kasus tertentu, individu yang memiliki nilai
tinggi dalam dimensi ini biasanya sangat memperhatikan perilaku mereka
sehingga dapat memunculkan kecemasan sosial. Kecemasan ini yang akan
menghambat pastisipasi mereka dalam interaksi sosial. Mereka khawatir
dengan penilaian orang lain jika perilakunya dipersepsikan tidak sesuai
dengan norma sosial.
f. Social control
Keterampilan dalam mengatur dan menampilkan diri dalam situasi sosial.
Individu yang baik dalam dimensi ini biasanya mampu beradaptasi di
lingkungan sosial dan cukup percaya diri. Mereka juga mengetahui norma-
norma yang berlaku di lingkungannya. Dengan demikian, mereka mampu
menjalankan berbagai macam peran sosial. Namun konsekuensinya jika
individu terlalu mementingkan norma adalah mereka selalu menyesuaikan
perilakunya sehingga sesuai dengan apa yang mereka anggap pantas dalam
situasi sosial.
Riggio (1986) menggunakan alat ukur Social Skills Inventory (SSI) untuk
melihat keterampilan sosial pada mahasiswa. Oleh karena itu, alat ukur SSI yang
akan digunakan untuk melihat keterampilan sosial pada mahasiswa UI.
2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial
Keberhasilan dalam menjalin hubungan sosial dipengaruhi oleh banyak
faktor yang berhubungan dengan individu, respon orang lain, dan konteks sosial
(Spence, 2003). Dalam menjalin hubungan sosial, perlu adanya respon verbal dan
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
11
Universitas Indonesia
non-verbal yang mempengaruhi persepsi atau respon dari orang lain selama
berinteraksi. Individu sebaiknya mampu untuk menyesuaikan respon non-verbal
seperti kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh, jarak sosial, gestur tertentu;
dengan situasi sosial yang berbeda-beda. Sama halnya dengan respon verbal
seperti nada suara, volume, kecepatan, dan kejelasan berbicara juga
mempengaruhi impresi dan bagaimana orang lain bereaksi terhadapnya. Faktor-
faktor keterampilan pada tingkat mikro tersebut penting dalam menentukan
keberhasilan seseorang menjalin hubungan sosial dengan orang lain.
Untuk faktor yang lebih makro, individu sebaiknya mampu untuk
mengintegrasikan keterampilan mikro dalam strategi yang tepat untuk
menghadapi tuntutan sosial. Contohnya seperti mampu memulai percakapan yang
meliputi kemampuan mengidentifikasi waktu yang tepat untuk memulai
percakapan, memilih topik pembicaraan, dan sebagainya. Ada banyak tuntutan
sosial seperti meminta bantuan, menawarkan bantuan, menolak permintaan orang
lain, menanyakan informasi, mengajukan permintaan untuk bergabung,
mengundang orang lain, dan masih banyak lagi.
Menurut Spence (2003), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
keterampilan sosial dan menentukan bagaimana individu berperilaku dalam
hubungan sosial. Keterampilan sosial dipengaruhi oleh faktor kognitif, emosi, dan
lingkungan. Faktor tersebut antara lain kemampuan untuk memahami reaksi atau
respon orang lain saat terlibat dalam sebuah interaksi atau pembicaraan. Jika
sudah memahami, maka individu sebaiknya mampu untuk mempersepsikan
isyarat sosial dan bahasa tubuh orang lain. Jika individu tidak memilikinya, maka
mereka akan memunculkan respon yang tidak sesuai dengan norma sosial.
Individu diharapkan dapat memunculkan keterampilan sosial, artinya mereka
harus memahami kapan harus menunda atau memunculkan perilaku-perilaku
tertentu yang sesuai. Selain kemunculan perilaku, diperlukan kemampuan untuk
mengatur emosi. Jika seseorang mengalami kecemasan atau sedang merasa
marah, maka mereka tidak akan mampu untuk memunculkan keterampilan sosial
yang sesuai dengan lingkungannya. Kecemasan menjadi salah satu faktor yang
menghambat kemunculan keterampilan sosial yang dimiliki individu.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
12
Universitas Indonesia
Faktor kognisi juga mempengaruhi keterampilan sosial, yakni distorsi
kognisi dan gaya berpikir yang salah (unhelpful thinking style). Distorsi kognisi
membuat individu memunculkan keterampilan sosial dan perilaku yang tidak
sesuai karena adanya kesalahan dalam mempersepsikan lingkungannya. Penelitian
Lochman dan Dodge (dalam Spence, 2003) menemukan bahwa individu yang
sedang marah biasanya memunculkan interpretasi yang salah mengenai perilaku
orang lain dan akhirnya muncul respon agresif yang meningkatkan agresivitas.
Selain itu, kecemasan sosial dapat membuat individu meragukan keterampilan
sosial mereka sehingga mengganggu hubungan sosial yang dimilikinya.
Kemunculan keterampilan sosial yang sesuai dengan lingkungan juga
dipengaruhi oleh reaksi dari orang lain. Reaksi sosial ini akan menentukan
bertahannya suatu perilaku. Contohnya seperti remaja yang bermasalah cenderung
menampilkan perilaku sosial yang kurang baik karena mendapatkan dukungan
kuat dari peer-nya. Selain itu, kemampuan menyelesaikan masalah interpersonal
turut mempengaruhi kemampuan individu dalam memahami berbagai situasi
sosial. Individu yang memahami adanya masalah dalam hubungan sosialnya,
maka mereka mampu untuk mencari berbagai cara alternatif penyelesaian
masalahnya. Akhirnya mereka juga mampu untuk membayangkan konsekuensi
dari perilakunya.
2.1.4. Dampak dari keterampilan sosial yang rendah
Sudah dikatakan di sub-bab sebelumnya bahwa keterampilan sosial
penting dalam menjalin hubungan atau interaksi dengan orang lain. Jika individu
mampu untuk berinteraksi dengan baik, maka mereka dapat memiliki hubungan
yang berkualitas dan hubungan pertemanan yang berarti, serta emosi yang lebih
stabil karena adanya dukungan sosial. Individu dengan keterampilan sosial yang
baik biasanya lebih resisten dan memiliki resiliensi dalam menghadapi kejadian-
kejadian yang penuh tekanan, dapat memahami orang lain, berempati, menjalin
komunikasi yang dinilai baik oleh orang lain, dan dapat menjalin hubungan yang
harmonis (Segrin, 2001). Ia menambahkan bahwa biasanya mahasiswa memiliki
keterampilan sosial yang sedang.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
13
Universitas Indonesia
Di sisi lain, rendahnya keterampilan seseorang akan membuat mereka
mengalami masalah psikososial (Jones, Hobbs, & Hockenbury; Segrin; dan
Wallace et al., dalam Segrin, 2001). Dari penelitian mereka, ditemukan
keterampilan sosial yang rendah akan membuat individu memiliki resiko
mengalami distres psikologis. Menurut Segrin (2001), individu dengan
keterampilan sosial yang kurang baik juga cenderung mengalami masalah
psikososial, tidak mampu berinteraksi dengan baik, dan lebih rentan mengalami
distres psikologis.
Distres yang dialami oleh individu dipengaruhi oleh ketiadaan dukungan
sosial (Cole & Milstead; Riggio & Zimmerman, dalam Segrin 2001). Hal ini
diperkuat oleh pernyataan Lewinsohn (dalam Segrin, 2001) bahwa individu lebih
rentan mengalami distres psikologis jika jarang mendapatkan reinforcement
positif dari lingkungannya. Pada akhirnya individu tersebut tidak mampu
memunculkan perilaku yang dianggap baik dan terkena dampak negatif dari
perilakunya. Sprinthall & Collins (1995) juga menyatakan hal yang sama, yakni
individu yang memiliki keterampilan sosial yang buruk akan mengalami masalah
perilaku dalam lingkungannya. Mereka sulit untuk menjalin hubungan sosial dan
mempertahankan hubungan tersebut. Lebih jauh, dampak terburuk dari
keterampilan sosial yang rendah berasosiasi dengan munculnya kecemasan dan
depresi (Christoff, Scott, Kelley, Schlundt, Baer, & Kelly; Platt, Spivack, Altman,
Altman, & Peizer; Sarason & Sarason, dalam Hansen, Nangle, Meyer, 1998).
Simtom yang muncul pada individu tersebut sepeti mood depresif, kepercayaan
diri yang rendah, dan tidak memiliki harapan akan masa depannya (Sprinthall &
Collins, 1995).
2.2. Distres Psikologis
2.2.1. Pengertian Distres Psikologis
Stres adalah kondisi di mana seseorang merasa tidak mampu untuk
memenuhi tuntutan pada situasi tertentu (baik dalam bentuk fisik atau psikologis)
secara efektif (Lazarus & Folkman, dalam Sarafino, 2002). Nevid, Rathus, &
Greene (2003) menyatakan bahwa stres digunakan untuk menunjukkan suatu
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
14
Universitas Indonesia
tekanan atau tuntutan yang dialami individu agar ia beradaptasi atau
menyesuaikan diri.
Stres dibagi oleh Selye (dalam Sarafino, 2002) menjadi 2 jenis
berdasarkan pengaruhnya terhadap seseorang. Jenis stres yang pertama yaitu
eustress, stres yang bermanfaat dan bersifat konstruktif. Ada kalanya stres baik
bagi seseorang, yakni ketika tekanan dari lingkungan akan meningkatkan
keberfungsian seseorang hingga mencapai titik terbaik. Kondisi ini yang
dipercaya bahwa tidak semua stres berbahaya bagi kesehatan mental seseorang.
Jenis stres yang kedua adalah distress atau sering disebut dengan distres
psikologis. Distres psikologis memiliki pengaruh buruk bagi seseorang sehingga
menimbulkan kerugian, antara lain menimbulkan masalah pada kesehatan mental
seseorang. Myrowsky & Ross (2003) menyebut distress sebagai keadaan subjektif
yang tidak menyenangkan.
Lebih lanjut, Myrowsky & Ross (2003) menyatakan bahwa distres
psikologis memiliki dua bentuk utama, yaitu depresi dan kecemasan. Hal ini
diperkuat oleh Nevid, Rathus & Greene, (2003) bahwa dampak terburuk dari
distres psikologis adalah membuat seseorang mengalami depresi dan cemas.
Individu yang mengalami depresi menunjukkan perasaan sedih, tidak
bersemangat, merasa kesepian, tidak memiliki harapan, tidak berharga,
mengharapkan kematian, memiliki masalah tidur, menangis, menganggap semua
hal sulit, dan merasa tidak mampu untuk memulai sesuatu. Sedangkan individu
yang mengalami kecemasan mengalami ketegangan, gelisah, khawatir, mudah
marah, dan ketakutan (Myrowsky & Ross, 2003).
Depresi dan kecemasan masing-masing memiliki dua bentuk, yaitu mood
dan malaise (Myrowsky & Ross, 2003). Mood merujuk pada perasaan seperti
sedih akibat depresi dan kekhawatiran terhadap kecemasan. Malaise (rasa tidak
enak) merujuk pada kondisi tubuh, seperti lesu, bingung akibat depresi, gelisah,
dan muncul penyakit-penyakit ringan (sakit kepala, sakit perut, pening) akibat
cemas. Miller (2011) menyatakan bahwa distres psikologis dapat mengganggu
fungsi seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Distres psikologis tidak bisa lepas dari kondisi kesehatan mental
seseorang. Menurut Mirowsky & Ross (2003) distres psikologis dan kesehatan
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
15
Universitas Indonesia
mental merupakan dua hal yang saling berkaitan. Mereka menemukan bahwa
terdapat korelasi yang negatif antara distres psikologis dengan kesehatan mental.
Hubungan ini dapat dijelaskan sebagai berikut, jika individu memiliki nilai distres
psikologis tinggi, maka nilai kesehatan mentalnya rendah. Begitu juga ketika nilai
distres psikologis rendah, maka nilai kesehatan mental tinggi. Hal ini diperkuat
oleh penelitian Keyes et al. dan Wood & Joseph (dalam Fledderus, dkk., 2011)
yang menemukan bahwa usaha-usaha untuk meningkatkan kesehatan mental akan
menurunkan distres psikologis pada individu. Selain itu, Korkeila et al. (dalam
Verger, et. al, 2009), menyebutkan bahwa kemunculan distres psikologis menjadi
indikator buruknya kesehatan mental seseorang. Dapat disimpulkan bahwa
kondisi kesehatan mental dapat diketahui dengan melihat kondisi distres
psikologis seseorang.
2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi distres psikologis
Matthews (2000) menyatakan bahwa distres dipengaruhi oleh faktor
situasional atau lingkungan (seperti kejadian dalam hidup seseorang, kondisi
fisiologis, kognitif, dan sosial) dan faktor intrapersonal (seperti trait kepribadian).
Faktor-faktor yang mempengaruhi distres psikologis adalah sebagai berikut:
a. Pengaruh fisiologis
Berbagai penelitian yang melihat pengaruh fisiologis terhadap distres
psikologis menemukan bahwa otak manusia turut mengatur dan
memunculkan afek negatif. Sebuah penelitian pada individu dengan kasus
parah menemukan ada bagian-bagian otak yang yang mempengaruhi
distres psikologis, seperti kerusakan amygdala dan lobus frontalis dapat
menimbulkan gangguan respon emosional dan juga kehilangan kontrol
atas perilaku seseorang (Matthews, 2000). Pada akhirnya individu dengan
kasus parah kesulitan untuk memunculkan emosi yang sesuai dengan
lingkungannya.
b. Pengaruh kognitif
Bukti bahwa kognitif turut mempengaruhi distres psikologis berasal dari
berbagai penelitian eksperimen. Dalam Matthews (2000), beberapa
penelitian menemukan bahwa dampak psikologis ataupun fisiologis
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
16
Universitas Indonesia
dipengaruhi oleh kepercayaan dan harapan yang dimiliki seseorang
terhadap penyebab distres psikologis.
c. Pengaruh sosial
Gangguan dalam hubungan sosial yang berkaitan dengan situasi duka,
perselisihan dalam kehidupan perkawinan, dan konsidi tidak bekerja
adalah salah satu faktor yang berpotensi memunculkan distres psikologis
(Matthews, 2000). Sebaliknya, ketersediaan dukungan sosial dapat
mengurangi distres psikologis yang dialami seseorang.
d. Pengaruh kepribadian individu
Trait kepribadian turut mempengaruhi distres psikologis yang dialami
individu. Eysenck (dalam Matthews, 2000) menyatakan bahwa
neuroticism dapat memprediksi kemunculan mood negatif seperti depresi
dan kecemasan. Sebaliknya, faktor extraversion yang berkaitan dengan
kebahagiaan dan kemunculan afek positif, menunjukkan korelasi negatif
dengan pengukuran distres psikologis.
Menurut Mirowsky dan Ross (2003), distres psikologis akan memiliki
pengaruh yang berbeda-beda untuk tiap individu. Berikut ini merupakan beberapa
kondisi yang mempengaruhi distres psikologis, yaitu:
a. Status sosial ekonomi, semakin tinggi status sosial ekonomi seseorang
(termasuk tingkat pendidikan, status kepegawaian atau memiliki
pekerjaan, dan penghasilan), maka semakin rendah tingkat distres
psikologis yang dialami individu tersebut.
b. Status pernikahan juga mempengaruhi distres psikologis, didapatkan hasil
bahwa individu yang sudah menikah cenderung tidak mengalami distres
psikologis dibandingkan individu yang belum menikah. Individu yang
tidak menikah sering merasa kesepian, hidupnya kurang teratur, dan tidak
memiliki keterikatan yang menimbulkan rasa aman. Pernikahan membuat
seseorang memiliki dukungan sosial yang berasal dari pasangannya.
c. Gender, di mana perempuan lebih mudah mengalami distres psikologis
dibandingkan laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh adanya peran gender dari
lingkungan. Perempuan cenderung memiliki lebih banyak peran, seperti
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
17
Universitas Indonesia
mengurus rumah tangga, memperhatikan orang lain (keluarga, teman),
terlebih jika perempuan tersebut memiliki pekerjaan. Banyaknya tuntutan
seperti itu membuat perempuan lebih rentan mengalami distres psikologis.
d. Kejadian-kejadian tidak menyenangkan yang terjadi dalam hidup
seseorang, semakin sering terjadi perubahan yang tidak diinginkan dalam
kehidupan seseorang, semakin besar tingkat distres psikologis yang
dialami individu tersebut. Hal ini sering ditemui, salah satunya pada
mahasiswa.
e. Usia
Mirowsky & Ross (2003) menemukan bahwa individu di usia muda
memiliki tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu yang lebih tua. Penelitian ini juga menemukan bahwa
individu yang berusia di bawah 30 tahun cenderung memiliki tingkat
kecemasan dan kemarahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
individu yang lebih tua. Mahasiswa sendiri, berada dalam rentang usia
antara 18 sampai 24 tahun, sehingga seharusnya tingkat distres psikologis
tidak akan berbeda.
f. Tuntutan peran dalam lingkungan
Mirowsky & Ross (2003) menyebutkan bahwa tuntuan peran dalam
lingkungan turut mempengaruhi tingkat distres psikologis seseorang. Istri
yang harus bekerja dan sekaligus mengurus rumah tangga memiliki tingkat
distres psikologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan suaminya. Masa
kuliah merupakan masa yang dianggap memiliki banyak tuntutan.
Menurut Verger, dkk. (2008) mahasiswa termasuk kelompok yang rentan
mengalami distres psikologis karena mereka memiliki banyak tuntuan,
seperti berkuliah dan menyesuaikan diri dengan status sosial mereka
sebagai seorang mahasiswa.
Untuk mengukur distress psikologis, peneliti akan melihat simtom-simtom
yang muncul, yaitu kecemasan dan depresi (Matthews, 2000). Pada penelitian ini,
peneliti akan menggunakan alat ukur untuk melihat kecemasan dan depresi
dengan menggunakan Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25).
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
18
Universitas Indonesia
2.3. Cognitive Behavior Therapy (CBT)
2.3.1. Pengertian CBT
Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan istilah yang digunakan
untuk mendeskripsikan intervensi psikologis yang bertujuan untuk menurunkan
distres psikologis dan menghilangkan perilaku maladaptif dengan mengubah
proses kognisi (Kaplan, dkk, dalam Stallard, 2004). Menurut Beck & Weishaar
(2011) cara seseorang memberikan respon terhadap hal-hal yang terjadi dalam
hidupnya dipengaruhi oleh kognisi, afek, motivasi, dan perilaku mereka. Menurut
Kendal (dalam Stallard, 2004), CBT memiliki asumsi bahwa afek dan perilaku
seseorang dipengaruhi oleh kognisi.
CBT melihat bahwa adanya masalah psikologis disebabkan karena proses
kognisi yang terdistorsi (Stallard, 2004). Beck & Weishaar (2011) juga
menyatakan hal yang sama, respon-respon maladaptif disebabkan oleh persepsi
dan interpretasi yang salah, serta kognisi individu yang disfungsional. Oleh karena
itu, CBT merupakan intervensi terhadap kognisi dan perilaku, yang dapat
mengubah pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang. CBT dapat membetulkan
kesalahan dan bias yang terjadi saat memproses informasi dan mengubah
keyakinan utama (core belief) yang dapat memunculkan kesimpulan yang salah
(Beck & Weishaar, 2011).
Lebih lanjut, Beck & Weishaar (2011) menyatakan bahwa selama sesi
terapi berlangsung, perlu adanya proses kolaborasi antara terapis dan klien untuk
menguji keyakinan klien terhadap diri mereka sendiri, orang lain, atau
lingkungannya. Menurut Spence & Donovan (dalam Stallard, 2004), CBT efektif
untuk mengatasi masalah dalam hubungan interpersonal atau sosial. Adanya
distorsi kognitif yang kemudian memunculkan pemikiran atau keyakinan yang
salah terhadap sebuah situasi, seperti yang dialami oleh individu saat berada
dalam situasi sosial. Penggunaan CBT didasari oleh beberapa alasan, antara lain:
a. CBT dapat mengatasi berbagai macam masalah psikologis
b. CBT fokus pada satu masalah spesifik
c. Terapi yang efisien dalam waktu
d. Adanya hubungan yang kolaboratif antara terapis dan klien
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
19
Universitas Indonesia
e. CBT mempercayai bahwa individu dapat menjadi terapis bagi dirinya
sendiri.
Dalam bukunya, Bedell & Lennox (1997) menyatakan bahwa CBT efektif
untuk mengatasi berbagai macam masalah psikologis, termasuk mengatasi
rendahnya keterampilan sosial individu. Aydin, Tekinsav-sütçü, & Sorias (2010)
menyatakan bahwa dengan CBT dapat dilakukan restrukturisasi kognisi sehingga
membantu individu mengenali hal-hal yang berkaitan dengan situasi sosial dan
perilaku mereka saat menjalin hubungan dengan orang lain. Dengan CBT,
individu dapat mengubah penilaian yang umumnya negatif dan disfungsional
menjadi penilaian baru yang lebih sistematis dan adaptif.
2.3.2. Karakteristik CBT
CBT memiliki beberapa hal yang sama dengan terapi lain, namun memiliki hal
lain yang menjadikannya berbeda. Menurut Westbrook, Kennerley, & Kirk
(2007), ada beberapa karakteristik CBT, yaitu:
a. Berstruktur dan partisipasi aktif
CBT merupakan terapi berstruktur dan memfokuskan pada masalah yang
dialami klien. CBT terdiri dari proses asesmen, perumusan masalah yang
dialami klien saat ini, intervensi, monitoring, dan evaluasi (Stallard, 2004).
Masalah ini harus diidentifikasi terlebih dahulu sehingga menjadi spesifik,
dengan demikian dapat diselesaikan atau dikurangi. Terapis akan
membantu klien untuk mempertahankan struktur selama terapi
berlangsung.
b. Singkat
CBT biasanya berlangsung singkat, sekitar 6-20 sesi untuk tiap masalah
yang spesifik. Lamanya CBT berlangsung dipengaruhi oleh beban masalah
yang dialami dan juga diri klien itu sendiri.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
20
Universitas Indonesia
Tipe masalah Jumlah sesi
Masalah ringan (mild) 6 sesi
Masalah ringan menuju sedang (mild to moderate) 6 – 12 sesi
Masalah sedang menuju berat (moderate to severe) 12 – 20 sesi
masalah berat dengan gangguan kepribadian > 20 sesi
Tabel 2.1. Tipe Masalah dan Jumlah Sesi CBT
c. Stallard menambahkan bahwa CBT memiliki karakteristik lain, yaitu
mengacu pada teori. CBT didasarkan pada pada model yang telah diuji
secara empiris. Dengan demikian, hal ini menjadi alasan dan fokus dari
pengunaan CBT. Dapat dikatakan bahwa CBT merupakan intervensi yang
kohesif dan rasional, dan bukan hanya gabungan dari beberapa teknik.
2.3.3. Prinsip Dasar CBT
Dalam CBT terdapat berbagai macam prinsip dasar, keyakinan terhadap
individu, masalah individu, dan terapi yang menjadi pokok dari CBT (Westbrook,
Kennerley, & Kirk, 2007). Prinsip-prinsip dasar dari CBT adalah:
a. Prinsip kognitif
Gagasan utama dari terapi yang berkaitan dengan kognitif adalah reaksi
emosional dan perilaku individu sangat dipengaruhi oleh kognisi
seseorang. Kognisi yang dimaksud adalah pikiran, keyakinan, dan
interpretasi tentang dirinya sendiri atau situasi di mana mereka berada.
Secara fundamental, kognisi mempengaruhi cara seseorang memaknai
segala kejadian dalam hidup mereka. Kognisi membuat tiap orang
memiliki pemaknaan dan reaksi emosi yang berbeda-beda terhadap
peristiwa yang mereka alami. Menurut CBT, kognisi yang membuat
interpretasi tiap individu berbeda. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan
kognisi memunculkan emosi yang berbeda-beda. CBT mempercayai
bahwa pendekatan ini dapat membantu individu yang mengalami masalah
dengan mengubah kognisinya mengenai apa yang mereka rasakan.
(change their cognition change the way they feel)
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
21
Universitas Indonesia
b. Prinsip behavioral
CBT mempertimbangkan perilaku individu penting dalam
mempertahankan atau mengubah kondisi psikologis seseorang. CBT
mempercayai bahwa perilaku berpengaruh kuat terhadap pikiran dan
emosi seseorang. Oleh karena itu, mengubah perilaku individu merupakan
cara yang sangat kuat dalam mengubah pikiran dan emosi orang tersebut.
c. Prinsip kontinum
CBT percaya bahwa lebih baik melihat masalah kesehatan mental sebagai
sebuah proses normal yang berlebihan dibandingkan sebagai kondisi
patologis. Dapat dikatakan bahwa masalah psikologis berada pada “ujung”
kontinum dan bukan dalam dimensi yang berbeda. Hal ini berarti masalah
psikologis dapat terjadi pada setiap orang dan teori CBT berlaku tidak
hanya bagi klien namun juga bagi terapis.
d. Prinsip here and now
Terapi lain, seperti psikodinamika melihat simtom sebagai masalah
psikologis. Proses perkembangan, motivasi yang tersembunyi, konflik
yang terjadi tanpa disasari menjadi akar dari masalah yang akan ditangani
dengan terapi psikodinamika. Sedangkan behavior therapy (BT) melihat
simtom sebagai target utama dari terapi dan melihat bahwa simtom terjadi
dari proses yang berlangsung sejak lama. CBT sendiri mewarisi
pendekatan BT dengan memfokuskan pada kondisi saat ini. Dan yang
menjadi perhatian utama adalah proses yang terjadi dalam mengurus
masalah yang terjadi.
e. Prinsip interaksi antar sistem
Prinsip ini melihat masalah sebagai interaksi antara sistem yang ada pada
individu dan dengan lingkungannya. Dalam CBT terdapat 4 sistem, yaitu
kognisi, afek atau emosi, perilaku, dan fisiologis. Sistem-sistem ini saling
berinteraksi dalam sebuah proses kompleks dan juga berinteraksi dengan
lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik, sosial,
keluarga, budaya, dan ekonomi.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
22
Universitas Indonesia
2.3.4. Tujuan CBT
Dalam bukunya, Stallard (2004) menyatakan tujuan CBT adalah
meningkatkan kesadaran diri (self-awareness), memfasilitasi pemahaman diri
(self-understanding) agar menjadi lebih baik, dan memperbaiki kontrol diri (self-
control) dengan mengembangkan kognisi dan perilaku yang lebih tepat. Menurut
Stallard (2004), CBT bertujuan untuk:
a. Membantu klien mengidentifikasi semua pemikiran dan keyakinan yang
merugikan dirinya. Biasanya pemikiran dan keyakinan yang mereka miliki
sifatnya negatif, salah (atau bias), dan cenderung mengkritik diri sendiri.
Dalam CBT, klien akan melakukan pemantauan terhadap dirinya,
pembelajaran, percobaan, dan pengujian terhadap pemikiran dan
keyakinan yang ia miliki sehingga ada perubahan kognisi. Dengan
demikian, perubahan kognisi menjadi lebih positif, seimbang, dan
bermanfaat bagi klien.
b. Identifikasi masalah kognitif dan perilaku yang dialami klien. Selain itu,
terapis juga mengajarkan, menguji, mengevaluasi, dan mengkekalkan
keterampilan untuk menyelesaikan masalahnya serta memunculkan
perilaku baru pada diri klien.
c. Pemahaman yang lebih mendalam mengenai sifat dan penyebab
munculnya emosi negatif. Sesudah itu menggantinya dengan emosi yang
lebih positif atau menyenangkan.
d. Meyakinkan klien bahwa mereka mampu untuk menghadapi situasi baru
ataupun situasi sulit dengan cara yang lebih sesuai, karena memiliki
kognisi dan perilaku yang lebih adaptif.
2.3.5. Komponen-komponen dalam CBT
Menurut Stallard (2004), CBT dipengaruhi oleh berbagai komponen.
Komponen spesifik dari intervensi ini ditentukan dari pembuatan formulasi
masalah tiap klien. Oleh karena itu, CBT disusun sesuai dengan kebutuhan klien
sehingga sifatnya tailor made dan membuat pelaksanaan CBT sangat fleksibel.
Stallard (2004) mengemukakan 5 komponen dalam CBT, yaitu:
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
23
Universitas Indonesia
1. Formulasi dan psikoedukasi merupakan komponen dasar dari CBT.
Komponen ini melibatkan memberikan edukasi mengenai hubungan antara
pikiran, perasaan, dan perilaku manusia. Seperti penentuan sebuah
masalah dan mengidentifikasi seluruh respon yang muncul karena masalah
tersebut. Setelah itu klien menentukan respon yang memiliki pengaruh
terbesar. Psikoedukasi dapat berupa penjelasan dari terapis mengenai
materi intervensi seperti CBT itu sendiri dan pemahamanan mengenai
kemunculan sebuah masalah.
2. Kognisi
a. Pemantauan pikiran (thought monitoring) untuk mengidentifikasi
pikiran-pikiran otomatis negatif dan keyakinan dasar (core belief) yang
dimiliki klien. Dari komponen ini, selain dapat mengetahui pola pikir
klien, terapis juga dapat mengidentifikasi situasi-situasi yang
memunculkan emosi yang kuat pada klien atau kemunculan pikiran
yang berisi kritik negatif terhadap diri. Pengenalan terhadap model A-
B-C pada saat psikoedukasi membuat klien mampu mengorganisasi
informasi dan mengevaluasi pikiran mengenai dirinya, lingkungan, dan
perilaku klien.
b. Proses identifikasi distorsi dan defisit kognitif (identification of
cognitive distortions and deficits) terjadi setelah klien melakukan
pemantauan pikiran (thought monitoring). Proses ini membuat klien
mampu untuk mengidentifikasi pikiran, asumsi, keyakinan yang
terdistorsi, dan pola pikir yang tidak berguna. Akhirnya kesadaran
klien akan penyebab kemunculan pikiran negatif akan meningkat,
seperti berbagai macam unhelpful thinking style tipe mental filter,
jumping to conclusion, personalisation, catastrophising, black and
white thinking, magnification, dan sebagainya serta pengaruh pikiran
negatif terhadap perasaan dan perilaku klien.
c. Evaluasi pikiran (thought evaluation) dilakukan untuk menguji dan
mengevaluasi kognisi klien, perubahan pola pikir klien, dan
pembentukan cara berpikir yang lebih berguna dan adaptif. Seperti
mencari informasi baru, berpikir dengan menggunakan perspektif lain,
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
24
Universitas Indonesia
dan mencari bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan awal
(yang biasanya negatif dan merugikan klien). Dari proses ini, klien
berusaha mengubah keyakinan atau pikiran negatifnya. Klien juga
didukung oleh terapis untuk membentuk pikiran alternatif yang lebih
baik, lebih fungsional dan seimbang (development of alternative
cognitive processes).
d. Terapis juga membantu klien mempelajari keterampilan kognitif yang
baru (development of new cognitive skills) seperti mengevaluasi
pikiran negatif dengan melakukan positive self-talk atau kalimat-
kalimat positif yang memotivasi klien, menulis diary mengenai hal-hal
positif, dan terbiasa untuk mencari pikiran-pikiran alternatif yang
dapat membantu mengatasi masalah.
3. Perilaku
a. Penentuan tujuan (target setting) merupakan bagian dari intervensi
CBT. Klien diminta untuk menentukan tujuan dari terapi yang
disepakati bersama (goal planning) dan dapat diketahui jika ada
perubahan. Penentuan tujuan ini tidak terlepas dari prinsip SMART
(Specific / spesifik, Measurable / dapat diukur, Achievable / dapat
diraih, Relevant / relevan, and Time Frame/ ada jangka waktu
pencapaian). Klien dapat mencapai perubahan karena mempelajari
keterampilan baru yang didapatkan dari tiap sesi. Untuk itu, klien
diminta untuk mengerjakan tugas rumah yang diberikan terapis.
Pencapaian target terapi akan dilihat kembali dan membuat klien
paham progres dari terapi yang dijalaninya.
b. Pada CBT dilakukan pencarian gaya berpikir klien dengan cara yang
terstruktur, sehingga terapis bersama dengan klien dapat mengevaluasi
dan menguji pikiran klien. Pengujian dilakukan dengan eksperimen
perilaku (behavior experiments atau BE) untuk melihat apakah
prediksi klien benar atau salah mengenai suatu hal / kejadian. BE
dinilai sebagai strategi yang paling efektif untuk mendukung
perubahan perilaku klien (Westbrook, Kennerly, & Kirk, 2007). Klien
diminta untuk merancang kemunculan sebuah perilaku sehingga saat ia
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
25
Universitas Indonesia
melakukannya, klien dapat menemukan pikiran yang lebih positif dan
adaptif, serta mengetahui bahwa pikirannya tidak selalu benar.
4. Emosi
a. Umumnya CBT melibatkan psikoedukasi mengenai emosi (affective
education) agar klien mampu mengidentifikasi dan membedakan
emosi yang dirasakan (seperti marah dan sedih), serta mengidentifikasi
sensasi fisik yang muncul (jantung berdebar, berkeringat dingin, atau
sesak napas).
b. Dengan pemantauan emosi (affective monitoring) klien mampu
menghubungkan antara emosi, pikiran, dan perilaku, mampu
mengenali intensitas emosi yang dirasakan, serta kesadaran akan
perubahan yang terjadi pada diri klien.
c. Pada pengaturan emosi (affective management), klien diajarkan untuk
relaksasi sehingga dapat mengatasi masalah seperti kecemasan, fobia,
dan stres pasca trauma. Klien diajarkan untuk melakukan relaksasi
progresif atau mengatur napas sehingga membantu mereka mengatasi
masalah. Jika klien semakin sadar akan pola emosinya, mereka mampu
untuk menyusun strategi untuk tindakan preventif terhadap
kemunculan gejala fisik yang mengganggu.
5. Penguatan (reinforcement) dan rewards terhadap perilaku yang sesuai
merupakan komponen penting dalam CBT. Penguatan dapat dilakukan
klien secara kognitif seperti positive self-talk, secara material seperti
hadiah, atau dengan aktivitas tertentu yang membuat klien merasa lebih
baik atau jika sudah mencapai tujuan. Penguatan juga dapat diperoleh dari
orang lain, terutama orang-orang terdekat, seperti dorongan untuk menjadi
lebih baik atau pujian jika mampu memunculkan perilaku yang dianggap
positif.
2.3.6. Tahap pelaksanaan
Menurut Beck & Weishaar (2011), pelaksanaan dapat CBT dibagi menjadi tiga
sesi, yaitu:
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
26
Universitas Indonesia
a. Sesi inisial
Tujuan dari sesi pertama ini adalah melakukan wawancara awal.
Diharapkan dengan wawancara awal terapis dapat membangun relasi
dengan klien dan memperoleh informasi penting tentang klien. Di
wawancara awal, penting bagi terapis untuk bertanya mengenai perasaan
dan pemikiran klien mengenai harapan dari terapi yang mereka ikuti.
Klien juga diperbolehkan untuk menceritakan terlebih dahulu hal-hal yang
membuat mereka ingin mengikuti intervensi atau masalah yang dialami.
Menurut Beck, Rush, dkk. (dalam Beck & Weishaar, 2011) diskusi
mengenai harapan klien dapat membuat mereka lebih santai. Dari diskusi
ini, terapis dapat menjelaskan hubungan antara kognisi dengan afek pada
CBT dan membantu klien menyesuaikan diri dengan proses terapi. Salah
satunya dengan membangun hubungan kolaboratif dan mengubah
anggapan klien yang salah mengenai terapi, seperti mengira bahwa dalam
terapi mereka akan diminta atau memperoleh instruksi dari terapis untuk
melakukan hal-hal tertentu.
Informasi yang diperlukan oleh terapis pada sesi pertama adalah
diagnosis, sejarah munculnya keluhan, situasi kehidupan klien saat ini,
masalah psikologis yang dialami, sikap klien terhadap terapi, dan motivasi
untuk menjalani terapi. Di sesi pertama, terapis perlu merumuskan
masalah yang dialami klien. Perumusan masalah dan pengumpulan
informasi mengenai latar belakang klien dapat berlangsung selama
beberapa kali pertemuan. Hal terpenting adalah pada pertemuan pertama
terapis harus fokus terhadap masalah yang spesifik dan dapat memberikan
ketenangan atau kelegaan pada klien dengan cepat karena sudah diberikan
kesempatan untuk bercerita kepada terapis.
Dalam merumuskan masalah, terapis perlu menganalisa dua aspek
yang terkait dengan masalah, yaitu aspek fungsional dan kognitif. Analisa
fungsional dapat mengindentifikasi elemen masalah, seperti manifestasi
dari masalah, di situasi seperti apa masalah biasanya muncul, frekuensi,
intensitas, dan durasi kemunculan masalah, serta konsekuensi dari masalah
yang dialami. Sedangkan analisa kognitif dapat mengindentifikasi
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
27
Universitas Indonesia
pemikiran dan gambaran yang muncul saat ada pencetus masalah yang
sifatnya emosional. Termasuk bagaimana klien merasa mampu mengontrol
kedua hal tersebut, bayangan mereka saat mengalami distres, dan
kemungkinan munculnya respon saat masalah itu benar-benar terjadi.
Pada sesi pertama ini, terapis diperbolehkan untuk lebih aktif. Selain
itu, terapis juga dapat memberikan pekerjaan rumah kepada klien. Terapis
biasanya mengarahkan klien untuk mengenali hubungan antara pikiran,
perasaan, dan perilakunya. Pada sesi selanjutnya, klienlah yang diharapkan
menjadi lebih aktif. Salah satunya dengan menentukan sendiri pekerjaan
rumah yang akan dikerjakan dan pemberian tugas lebih fokus pada
menguji beberapa asumsi spesifik.
Selama sesi-sesi awal, perlu dibuat daftar masalah yang dialami klien.
Di dalam daftar ini terdapat simtom spesifik, perilaku, ataupun masalah
yang sudah ada sejak lama. Setelah itu dibuat urutan prioritas dari masalah
yang ada sehingga didapatkan masalah yang ingin diselesaikan terlebih
dahulu. Penentuan ini berdasarkan pada tingkat keparahan atau distres
yang dialami, kemungkinan penyelesaian masalah, keparahan simtom, dan
lamanya masalah ini dialami oleh klien. Jika terapis dapat membantu klien
menyelesaikan masalahnya di sesi-sesi awal, keberhasilan ini dapat
memotivasi klien untuk membuat perubahan dalam hidupnya.
b. Sesi pertengahan dan akhir
Setelah melewati sesi-sesi awal, penekanan terapi berganti dari fokus
pada simtom yang dialami klien menjadi pola berpikir klien. Hubungan
antara pikiran, afek, dan perilaku akan ditunjukkan melalui pengujian
pikiran-pikiran otomatis (automatic thoughts). Saat klien menyadari
bahwa pikiran-pikirannya yang negatif mempengaruhi keberfungsiannya,
maka mereka mempertimbangkan asumsi dasar mengenai hal yang
memunculkan pikiran tersebut. Peneliti membantu klien dengan
mengajukan berbagai pertanyaan sampai klien menemukan sendiri alasan
mengapa ia berpikir seperti itu.
Seringkali asumsi tersebut tidak disadari oleh klien dan muncul setelah
klien menyadari tema dari pikiran-pikiran otomatis yang dimilikinya. Saat
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
28
Universitas Indonesia
pikiran-pikiran itu diketahui, maka asumsi dasar yang dimiliki klien dapat
diintervensi. Setelah itu, asumsi tersebut akan dimodifikasi dengan
menguji validitas, kesesuaian dengan hidup klien, dan fungsinya bagi
mereka.
Di sesi selanjutnya, klien yang akan bertanggung jawab untuk
mengidentifikasi masalah, pencarian solusi, dan menentukan sendiri
pekerjaan rumah. Terapis tidak lagi menjadi guru, melainkan menjadi
penasehat saat klien mulai mampu menggunakan teknik kognitif dalam
menyelesaikan masalahnya. Intensitas pertemuan pun semakin berkurang
ketika klien tidak lagi tergantung pada terapis. Akan dilakukan terminasi
ketika tujuan terapi sudah tercapai dan klien merasa mampu
mengaplikasikan keterampilan mereka dan perspektif yang baru dengan
mandiri.
c. Sesi penyelesaian terapi
Di sesi awal, perlu adanya perjanjian mengenai perkiraan lama sesi
akan dilakukan. Dengan demikian, klien memahami bahwa akan ada
terminasi sesuai dengan perjanjian awal. Di akhir pertemuan, klien
seharusnya sudah paham bahwa tujuan dari CBT adalah membuat mereka
menjadi terapis bagi dirinya sendiri. Dengan adanya daftar masalah,
membuat klien tahu apa yang akan dicapai selama sesi terapi. Pengetahuan
akan kemajuan atau keberhasilan dalam menyelesaikan masalah
didapatkan dari observasi perilaku, memonitor diri sendiri, lapor diri, dan
kuesioner.
Selama sesi berlangsung, klien akan mengalami keberhasilan atau
kegagalan atau kemunduran, seperti munculnya masalah yang sama di
kemudian hari. Hal ini menjadi kesempatan bagi klien untuk
mempraktekkan keterampilan mereka yang baru. Menjelang terminasi,
klien diingatkan bahwa wajar jika terjadi kegagalan dan meyakinkan
bahwa mereka seharusnya mampu mengatasi karena sudah pernah
mengatasi masalah tersebut. Terapis akan menanyakan bagaimana klien
menyelesaikan masalahnya selama sesi terapi. Terapis juga akan mengajak
klien membayangkan tentang apa yang akan mereka lakukan jika
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
29
Universitas Indonesia
mengalami masalah yang sama di kemudian hari dan melihat bagaimana
mereka mengatasi hal tersebut. Terminasi biasanya akan diikuti dengan
satu atau dua sesi lanjutan, biasanya sebulan setelah terapi selesai. Sesi ini
bertujuan untuk melihat pencapaian dan membantu klien menggunakan
keterampilan barunya.
2.4. Mahasiswa
Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa. Oleh sebab itu, peneliti
merasa perlu untuk menjelaskan mengenai karakteristik dari mahasiswa itu
sendiri. Mulai dari pengertian, tahap perkembangan yang tengah dilaluinya, dan
masalah yang dihadapi mahasiswa pada umumnya.
2.4.1. Pengertian Mahasiswa dan mahasiswa Universitas Indonesia
Menurut Sarwono (dalam Utama, 2010) mahasiswa adalah setiap orang
yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan
batas usia 18-30 tahun. Hassan & Sukra (dalam Utama, 2010) menyatakan bahwa
mahasiswa adalah pelajar atau peserta didik yang mengikuti pendidikan di
perguruan tinggi dengan syarat memiliki ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA)
atau yang sederajat, dan memiliki kemampuan yang disyaratkan oleh perguruan
tinggi yang bersangkutan.
Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) adalah peserta didik yang terdaftar
dan sedang mengikuti program pendidikan di Universitas Indonesia (Keputusan
Rektor Universitas Indonesia, 2006). Lebih lanjut, mahasiswa UI diterima melalui
berbagai macam jalur, yaitu jalur SIMAK-UI (Seleksi Masuk UI), UMB (Ujian
Masuk Bersama), SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri),
KSDI (Kerjasama Daerah Industri), PPKB (Progam Pemerataan Kesempatan
Belajar), dan jalur prestasi (dalam http://simak.ui.ac.id).
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa merupakan
individu yang mengikuti pendidikan di perguruan tinggi dengan syarat memiliki
ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang sederajat, dan memiliki
kemampuan yang disyaratkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dan
memiliki batas usia antara 18-30 tahun. Sedangkan pengertian mahasiswa UI
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
30
Universitas Indonesia
sendiri adalah orang yang mengikuti pendidikan perguruan tinggi di Universitas
Indonesia, yang diterima melalui jalur SIMAK-UI, UMB, SNMPTN, KSDI,
PPKB, atau jalur prestasi. Mahasiswa UI memiliki beban kuliah sebanyak 144-
146 SKS dan dijadwalkan untuk berkuliah selama 8 – 12 semester (Keputusan
Rektor Universitas Indonesia, 2004).
2.4.2. Tugas perkembangan mahasiswa
Utama (2010) menyatakan bahwa mahasiswa S1 reguler di Universitas
Indonesia mayoritas berada pada usia antara 18 – 24 tahun. Mengacu pada rentang
usia, mahasiswa termasuk ke dalam tahap perkembangan dewasa muda (young
adulthood) (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Individu diharapkan dapat
menjalankan tugas-tugas perkembangan dengan baik, menyesuaikan diri dengan
pola kehidupan baru, memenuhi harapan lingkungan, dan menjadi lebih mandiri.
2.4.3. Masalah-masalah mahasiswa
Mooney & Gordon (dalam Utama, 2010) mengkategorikan masalah-
masalah yang biasanya dihadapi mahasiswa menjadi 12 kelompok, yaitu:
a. Kesehatan dan perkembangan fisik (health and physical development)
Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan kondisi tubuh, fisik dan
kesehatan mahasiswa. Contoh masalah dalam ranah kesehatan dan
perkembangan fisik adalah tidak sekuat dan sesehat seperti yang
diharapkan, memiliki bermacam-macam alergi, merasa ada tekanan dan
nyeri pada kepala, secara bertahap berat badan menurun, serta kurang
udara segar dan sinar matahari.
b. Kondisi kehidupan dan keuangan (finances, living conditions, and
employment)
Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan masalah keuangan dan
pekerjaan yang umum dihadapi mahasiswa. Contoh masalah dalam ranah
kondisi keuangan dan pekerjaan adalah berhutang untuk kebutuhan
perkuliahan, hidup pas-pasan, wisuda terancam karena kekurangan biaya,
membutuhkan uang untuk pendidikan lanjutan, dan terlalu banyak masalah
keuangan.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
31
Universitas Indonesia
c. Aktivitas sosial dan rekreasional (social and recreational activities)
Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan alokasi waktu untuk melakukan
aktivitas sosial, hobi, dan waktu untuk diri sendiri. Contoh masalah dalam
ranah aktivitas sosial dan rekreasional adalah tidak menjalani kehidupan
yang bermakna, tidak menggunakan waktu luang dengan baik, ingin
meningkatkan diri menjadi lebih berbudaya, ingin meningkatkan
kemampuan berpikir, dan ingin mempunyai lebih banyak kesempatan
untuk mengekspresikan diri.
d. Hubungan sosial–psikologis (social-psychological relations)
Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan masalah psikologis yang
dihadapi mahasiswa ketika berada dalam lingkungan sosial. Contoh
masalah dalam ranah hubungan sosial–psikologis adalah mendambakan
kepribadian yang lebih menyenangkan, ingin lebih populer, cemas
mengenai bagaimana kesan orang lain tentang diri, dan merasa tidak
nyaman berada dengan orang lain.
e. Hubungan psikologis individu (personal-psychological relations)
Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan kondisi psikologis diri
seseorang. Contoh masalah dalam ranah hubungan psikologis individu
adalah “moodiness”, perasaan sering berubah-ubah dengan cepat, galau,
gagal pada banyak hal yang coba dilakukan, sangat mudah menyerah,
bernasib buruk, dan kadang-kadang berharap tidak pernah dilahirkan.
f. Seks dan pernikahan (courtship, sex, and marriage)
Masalah dalam ranah ini berhubungan dengan kondisi seks dan pernikahan
yang dihadapi mahasiswa. Contoh masalah dalam ranah seks dan
pernikahan adalah takut kehilangan seseorang yang dicintai, mencintai
orang yang tidak mencintai saya, terlalu terhambat dalam hal-hal yang
berhubungan dengan seksualitas, takut menjalin hubungan yang mendalam
dengan lawan jenis, dan bertanya-tanya apakah akan pernah menemukan
pasangan yang cocok.
g. Rumah dan keluarga (home and family)
Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan hubungan dengan orang tua dan
kondisi keluarga. Contoh masalah dalam ranah rumah dan keluarga adalah
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
32
Universitas Indonesia
orangtua berpisah atau bercerai, orangtua mengalami masa sulit karena
perpisahan atau perceraian, mencemaskan salah satu anggota keluarga,
ayah atau ibu sudah meninggal, dan merasa tidak punya rumah.
h. Moral dan agama (morals and religion)
Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan hubungan individu dengan
Tuhan, agama, dan nilai-nilai moral yang berlaku di lingkungan. Contoh
masalah dalam ranah moral dan agama adalah berbeda dalam keyakinan
agama dengan keluarga, gagal untuk melihat kaitan antara agama dan
kehidupan, tidak tahu apa yang harus dipercaya tentang Tuhan, ilmu
pengetahuan berkonflik dengan agama yang dianut, dan membutuhkan
prinsip hidup.
i. Penyesuaian diri di dunia kampus (adjusment to college world)
Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan persiapan individu memasuki
dunia kuliah dan kondisi diri yang berhubungan dengan dunia perkuliahan.
Contoh masalah dalam ranah penyesuaian diri di dunia kampus adalah
melupakan hal-hal yang sudah dipelajari selama bersekolah, mendapat
nilai-nilai rendah, lemah dalam karya tulis, lemah dalam mengeja atau
tatabahasa, dan lambat dalam membaca.
j. Pekerjaan dan pendidikan di masa datang (the future: vocational and
educational)
Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan karir, pekerjaan, pendidikan
masa depan, dan bagaimana usaha individu untuk mencapainya. Contoh
masalah dalam ranah pekerjaan dan pendidikan di masa datang adalah
tidak mampu memasuki jurusan yang dikehendaki, mengambil jurusan
yang salah, ingin pindah ke universitas atau jurusan lain, menginginkan
pengalaman paruh waktu dalam bidang yang digeluti, dan meragukan
apakah pendidikan yang diikuti akan menyiapkan seseorang untuk bekerja.
k. Kurikulum dan prosedur pengajaran (curriculum and teaching procedures)
Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan budaya kampus, kurikulum
yang berlaku selama kuliah, sistem pengajaran, dan kondisi kampus.
Contoh masalah dalam ranah kurikulum dan prosedur pengajaran adalah
universitas atau tempat pendidikan tidak mempedulikan kebutuhan
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
33
Universitas Indonesia
mahasiswa, kuliah-kuliah membosankan, terlalu banyak dosen yang
kurang mampu mengajar, dan dosen-dosen kurang memahami bahan ajar.
l. Permasalahan masa kini (Current Issues)
Masalah dalam ranah ini merupakan masalah yang terkait dengan isu-isu
terkini mahasiswa. Contoh masalah dalam ranah masalah ini adalah tidak
dapat menghindari teman-teman yang menggunakan obat obat terlarang
dan terlalu banyak clubbing.
2.5. CBT sebagai intervensi untuk meningkatkan keterampilan sosial pada
mahasiswa
Menurut Spence (2003), rendahnya keterampilan sosial akan membuat
individu memiliki hubungan sosial yang kurang baik. Mathur, dkk. (1998)
menyatakan individu yang memiliki keterampilan sosial yang rendah biasanya
kesulitan untuk menjalin dan menjaga hubungan interpersonal dengan orang lain.
Selain itu, rendahnya keterampilan sosial berdampak pada penolakan dari
kelompok, terisolasi dari lingkungan sosial, dan individu mengalami kesepian
(Mathur, dkk., 1998). Bagi beberapa mahasiswa, masalah dalam hubungan sosial
menjadi masalah utama yang memunculkan distres psikologis.
Untuk meningkatkan keterampilan sosial, ada beberapa cara yang dapat
digunakan, antara lain instruksi langsung dari terapis, modeling, bermain peran,
dan latihan langsung. Namun berbagai intervensi tersebut memiliki tujuan agar
mahasiswa menguasai keterampilan sosial yang dibutuhkan, seperti berani
menyapa orang lain, memulai pembicaraan, memilih topik pembicaraan, meminta
dan menawarkan bantuan, menolak permintaan orang lain, atau mengontrol rasa
malu atau perasaan tidak mampu saat berada di situasi sosial. Terlebih pada
mahasiswa, mereka diharapkan dapat bekerja sama dalam kelompok, tergabung
dalam sebuah organisasi, menemukan pasangan (lawan jenis), dan membangun
hubungan sosial serta akademik yang baik dengan teman sebaya atau para
pengajar. Beberapa terapis mempercayai dengan penguasaan keterampilan
tersebut, mahasiswa dapat mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari.
Beberapa literatur yang ditemukan menyebutkan rendahnya keterampilan
sosial yang dimiliki seseorang dipengaruhi oleh persepsi dan keyakinan mereka
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
34
Universitas Indonesia
saat berada di situasi sosial. Hal ini diperkuat dengan pendapat Spence (2003),
bahwa keterampilan sosial yang rendah dipengaruhi oleh adanya distorsi kognitif
dan gaya berpikir yang salah. Menurut Wells & Papageorgiou (dalam Cartwright-
Hatton, Tschernitz, & Gomersall, 2005), intervensi yang dinilai sesuai untuk
meningkatkan keterampilan sosial adalah intervensi kognitif dengan
menggunakan CBT. Spence (2003) juga menyatakan perlu adanya restrukturisasi
kognitif bagi individu dengan keterampilan sosial yang rendah. Intervensi dengan
CBT bertujuan mengubah persepsi atau keyakinan mahasiswa dan mengatasi
distorsi kognisi yang merugikan sehingga mereka dapat memiliki hubungan sosial
yang lebih baik. Bedell & Lennox (1997) menambahkan bahwa CBT akan
membantu mahasiswa menyadari dan memahami proses berpikirnya dengan lebih
baik. Dengan demikian, intervensi ini diharapkan dapat meningkatkan
keterampilan sosial pada mahasiswa yang mengalami distres psikologis.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
35
Universitas Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang dilakukan
pada pelaksanaan intervensi ini. Akan dijelaskan mengenai partisipan penelitian,
desain penelitian, metode pelaksanaan intervensi, proses intervensi, analisis dalam
intervensi, sampai alat ukur yang digunakan untuk melakukan pretest dan post-
test.
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini termasuk bagian dari payung penelitian kesehatan mental
pada mahasiswa Universitas Indonesia. Payung penelitian terdiri dari 6 orang
mahasiswa dengan 4 orang pembimbing. Secara umum, penelitian ini membantu
mahasiswa yang mengalami distres psikologis. Sedangkan secara khusus
penelitian ini melihat efektivitas cognitive behavior therapy (CBT) dalam
meningkatkan keterampilan sosial pada mahasiswa Universitas Indonesia. Peneliti
menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, desain yang
digunakan adalah one group before-and-after study design (Kumar, 1999).
Peneliti akan melakukan pengukuran terhadap variabel partisipan di dua
waktu yang berbeda, yakni awal dan akhir penelitian. Di antara awal dan akhir
penelitian akan dilakukan intervensi kepada partisipan. Dalam penelitian ini,
pengukuran terhadap tingkat distres psikologis menggunakan Hopkins Symptom
Checklist-25 (HSCL-25) dan pengukuran keterampilan sosial mahasiswa UI
menggunakan Social Skills Inventory (SSI). Keduanya diberikan sebelum dan
sesudah pelaksanaan intervensi dengan CBT. Hasil pretest dan post-test akan
dibandingkan untuk melihat efektivitas CBT dalam meningkatkan keterampilan
sosial pada mahasiswa Universitas Indonesia yang mengalami distres psikologis.
Peneliti akan menghitung perubahan skor HSCL-25 dan SSI dari pretest dan post-
test. Secara kuantitatif, CBT dapat dikatakan efektif jika di akhir intervensi
tingkat distres partisipan akan menurun dan akan ada peningkatan keterampilan
sosial. Secara kualitatif, efektivitas CBT akan diketahui dari metode wawancara
informal yang tidak terstruktur dan observasi terhadap partisipan. Peneliti dapat
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
36
Universitas Indonesia
meminta partisipan untuk menentukan sendiri perubahan yang dirasakan setelah
mengikuti intervensi selama 6 sesi.
Berikut ini merupakan ilustrasi desain penelitian yang akan dilakukan:
Gambar 3.1. Ilustrasi desain Penelitian
Keterangan:
O1 : Pengukuran awal keterampilan sosial mahasiswa UI dengan SSI
X : Intervensi terhadap keterampilan sosial dengan menggunakan CBT
O2 : Pengukuran akhir keterampilan sosial mahasiswa UI dengan SSI
3.2. Permasalahan Penelitian
Apakah CBT efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial pada
mahasiswa yang mengalami distres psikologis di Universitas Indonesia, yang
diindikasikan dari perbaikan skor SSI dan HSCL-25 serta evaluasi kualitatif?
3.3. Partisipan Penelitian
3.3.1. Kriteria Partisipan Penelitian
Peneliti menetapkan beberapa kriteria untuk mendapatkan partisipan penelitian,
yaitu:
a. Laki-laki atau perempuan yang berada pada tahap perkembangan dewasa muda,
yang memiliki rentang usia 18- 25 tahun.
b. Berkuliah di Universitas Indonesia dan berada dalam program pendidikan S1
c. Mengalami distres psikologis yang tinggi, yang ditunjukkan dengan skor tes
Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25) sebesar ≥ 1,75.
d. Memiliki masalah dalam ranah Social-Psychological Relation ≥ 8 masalah
(berdasarkan alat ukur Mooney Problems Check Lists / MPCL)
e. Memiliki setidaknya satu dimensi keterampilan sosial yang kurang dan dimensi
yang timpang jika dibandingkan dengan dimensi lain, yang diukur dengan alat
Social Skills Inventory (SSI)
f. Bersedia mengikuti intervensi yang dilakukan peneliti sebanyak 6 sesi dan
mengisi informed consent yang disediakan oleh peneliti.
O1 - X - O2
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
37
Universitas Indonesia
3.3.2. Prosedur Pemilihan Partisipan
Teknik sampling yang digunakan peneliti adalah convenience sampling
dengan mengakses lingkungan yang tersedia dan dapat dijangkau peneliti
(Kerlinger & Lee, 2000). Peneliti menyebarkan informasi mengenai intervensi
yang akan dijalankan melalui selebaran (flyer) ke sepuluh fakultas di Universitas
Indonesia yang berada di kampus Depok. Fakultas tersebut adalah Fakultas
Psikologi, Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Fakultas Ilmu
Budaya, Fakultas Ekonomi, Fakultas Teknik, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keperawatan,
dan Fakultas Ilmu Komputer. Selain itu, peneliti juga menaruh pemberitahuan ini
di Klinik Terpadu Psikologi, BKM, halte bus, dan kantin-kantin yang ada di
beberapa fakultas. Penyebaran flyers dilakukan selama ± 10 hari (16 Maret – 26
Maret 2012) dan tidak ada waktu penyebaran tertentu.
Penyebaran informasi mengenai intervensi yang akan dilakukan pada
mahasiswa UI juga dilakukan melalui media elektronik, seperti Twitter dan
Blackberry Messenger. Peneliti juga meminta bantuan kepada teman-teman
mahasiswa UI dan anggota BEM tiap fakultas untuk menyebarluaskan informasi
tersebut. Sejak penyebaran informasi, diperoleh 74 calon partisipan yang
menyatakan berminat untuk mengikuti program intervensi. Mereka mendaftar
kepada peneliti melalui pesan singkat (SMS).
Peneliti menampung semua pendaftar dan melakukan pendataan identitas.
Pendataan dilakukan dengan mengumpulkan nama, nomor telepon, jenis kelamin,
usia, angkatan, dan asal fakultas calon partisipan. Sejak tanggal 23 Maret 2012,
kelompok peneliti menghubungi mereka satu per satu untuk meminta konfirmasi
kedatangan untuk mengikuti problem screening. Problem screening dilakukan
pada tanggal 26 sampai dengan 28 Maret 2012. Tujuannya untuk mengidentifikasi
kesesuaian karakteristik calon partisipan dan permasalahan yang ingin mereka
atasi dengan program intervensi. Aktivitas ini dilakukan di empat ruang ekspan
yang berada di gedung B Fakultas Psikologi UI. Mengingat penelitian ini
termasuk dalam payung penelitian, peneliti mencari mahasiswa dengan
keterampilan sosial yang rendah dan juga memiliki masalah self-esteem yang
berkaitan dengan penyesuaian diri mahasiswa saat berkuliah. Mereka diberikan
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
38
Universitas Indonesia
empat alat ukur agar proses pemilihan partisipan sesuai dengan kriteria penelitian,
yaitu Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25), Mooney Problem Check Lists
(MPCL), Social Skills Inventory (SSI), dan Self-Esteem Scales (SES).
Setelah problem screening selesai dilakukan, peneliti bersama tim payung
penelitian menentukan sejumlah mahasiswa yang memungkinkan untuk menjadi
partisipan penelitian. Peneliti juga menentukan pemilihan calon partisipan secara
kualitatif, yaitu dengan melihat keluhan yang ditulis di kuesioner. Sejumlah
pendaftar yang tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian kemudian akan
diberikan konseling dan buklet berisi tips praktis (self-help booklet) terkait dengan
keterampilan sosial dan self-esteem sebagai pegangan. Beberapa pendaftar juga
akan ditawarkan untuk dirujuk kepada mahasiswa Program Magister Profesi
Psikologi Klinis Dewasa lain yang juga sedang menyusun tesis apabila
permasalahannya sesuai dengan topik yang diteliti. Sebagian juga ditawarkan
untuk dirujuk kepada psikolog.
Setelah didapatkan hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif,
peneliti menghubungi mahasiswa UI yang sesuai dengan kriteria penelitian untuk
datang mengikuti pre-sesi. Dari pemilihan acak, terpilih 3 mahasiswa UI yang
dapat mengikuti intervensi untuk keterampilan sosial dengan metode Cognitive
Behavior Therapy sejumlah 3 orang. Peneliti mengundang ketiganya untuk
mengikuti presesi agar peneliti dapat melakukan wawancara awal. Presesi
dilakukan pada tanggal 3 dan 5 April 2012 di ruang ekspan B.015 yang berada di
gedung B Fakultas Psikologi UI.
Saat presesi, peneliti mewawancara dan melakukan observasi terhadap
masalah yang disampaikan calon partisipan. Kepada tiga mahasiswa UI yang
terpilih, disampaikan penjelasan singkat mengenai waktu pelaksanaan intervensi
dan meminta persetujuan mereka untuk mengikuti intervensi. Setelah itu, peneliti
menjelaskan tujuan intervensi dan gambaran umum dari intervensi yang akan
dilakukan. Peneliti akan menanyakan kesediaan calon partisipan untuk mengikuti
intervensi dan meminta mereka untuk mengisi informed consent. Berikut
merupakan bagan alur pencarian partisipan penelitian:
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
39
Universitas Indonesia
Gambar 3.2 Alur Pemilihan Partisipan Penelitian
3.4. Metode Pelaksanaan Intervensi
Intervensi dalam penelitian ini menggunakan teknik Cognitive Behavior
Therapy (CBT). Dalam CBT, peneliti menjadi terapis dan akan melakukan terapi
individual kepada tiap partisipan terpilih. Peneliti menyusun modul intervensi
dengan menggunakan teknik-teknik yang umum diterapkan pada CBT
Pelaksanaan CBT akan dilakukan selama enam sesi, yang masing-masing
berdurasi selama ± 90 sampai 120 menit. Menurut Westbrook, Kennerley, & Kirk
(2007), CBT dapat dilakukan dari 6 sesi untuk masalah ringan (mild) sampai lebih
dari 20 sesi untuk masalah berat. Sesi CBT akan dilakukan sebanyak sekali dalam
waktu satu minggu sehingga keseluruhan intervensi akan memakan waktu selama
6 minggu. Rancangan pelaksanaan intervensi pada penelitian ini akan dijabarkan
secara umum dan secara spesifik. Secara umum, gambaran rancangan kegiatan
dan tujuannya dalam setiap sesi adalah sebagai berikut: (Keterangan: rincian
rancangan kegiatan dan modul lengkap terlampir)
Penyebaran flyers& media elektronik
(selama 10 hari)
74 mahasiswa UI mendaftar via
SMS
Problem screening
(selama 3 hari)
Peneliti melihatkuesioner dan
keluhan tertulis
Mengundang partisipan datang ke psikologi UI
Tidak terpilih: diberi konseling
singkat dan booklet
Terpilih: 32 orangdalam payung
penelitian
Dari pemilihan acak, untuk CBT:
3 partisipanDI, LA, dan DE
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
40
Universitas Indonesia
Sesi Tujuan Bentuk Kegiatan
Sesi 1 Menjalin rapport dengan
partisipan dan penjelasan
mengenai intervensi
Psikoedukasi mengenai
keterampilan sosial dan CBT
Partisipan paham mengenai
formulasi masalah yang
dihadapi dan mengidentifikasi
respon yang muncul
Psikoedukasi mengenai berbagai
macam respon, pengisian tabel
respon fisik, perilaku, dan pikiran,
serta pengisian bagan formulasi
masalah.
Partisipan menentukan tujuan
tujuan dari intervensi dengan
prinsip SMART
Pengisian daftar tujuan “My Goals”
dan penentuan mini goals untuk
mencapai tujuan utama yang
ditentukan oleh partisipan.
Partisipan juga diminta menentukan
skala pencapaian tujuan.
Sesi 2 Partisipan paham mengenai
hubungan antara pikiran dan
perasaan
Psikoedukasi mengenai hubungan
emosi dengan pikiran seseorang.
Partisipan mengisi emosi dan pikiran
otomatis yang muncul dari kasus
pribadi partisipan
Partisipan mampu
menemukenali emosi yang
dirasakan
Psikoedukasi dengan memberikan
daftar kata-kata yang menunjukkan
berbagai macam emosi dalam
bahasa Indonesia. Partisipan diminta
mengisi respon emosi yang mungkin
muncul dari contoh kasus
Partisipan menyadari adanya
pikiran otomatis
Psikoedukasi mengenai pikiran
otomatis dan mengisi pikiran-pikiran
otomatis yang mungkin muncul dari
contoh kasus
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
41
Universitas Indonesia
Partisipan memahami model A-
B-C
Psikoedukasi mengenai A-B-C dan
mengisi lembar “Situasi, Pikiran,
atau Emosi?”
Partisipan mampu
mengidentifikasi pikiran yang
tidak berguna
Pengisian thought diary dan
mengidentifikasi core belief dengan
melakukan thought discovery
questions.
Sesi 3 Partisipan mampu
mengidentifikasi gaya berpikir
yang salah dan yang tidak
disadarinya
Psikoedukasi mengenai gaya
berpikir dengan pemberian daftar 10
gaya berpikir yang tidak berguna.
Partisipan menentukan gaya berpikir
dengan mengisi thought diary.
Partisipan paham mengenai
pengubahan perasaan negatif
harus mencari dan mengubah
gaya berpikir yang salah serta
keyakinan yang dimilikinya
Psikoedukasi mengenai gaya
berpikir yang salah
Partisipan dapat melakukan
pencarian bukti-bukti untuk
menantang pikiran (core belief)
Pencarian bukti-bukti dengan
mengisi lembar “My hot thoughts”
Partisipan dapat melakukan
dispute (uji validitas pikiran)
Partisipan menjawab pertanyaan
disputation yang diajukan peneliti
Sesi 4 Partisipan mampu mengubah
pikirannya dengan mengganti
pikiran yang salah dan yang
merugikan dengan keyakinan
(belief) yang baru, mendukung,
dan seimbang
Meminta pendapat partisipan
mengenai cara berpikirnya yang
negatif dan tidak adaptif. Peneliti
mendorong partisipan untuk mencari
balanced core belief, menilai ulang
emosi, dan keyakinan terhadap core
belief di lembar “End Results”.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
42
Universitas Indonesia
Partisipan dapat mempercayai
pikiran dan keyakinan baru
Psikoedukasi mengenai efek
pengulangan agar dapat
mengaktivasi balanced core belief,
salah satunya dengan membuat
thought card
Mendorong partisipan untuk
merancang behavior
experiments
Psikoedukasi mengenai behavior
experiments
Sesi 5 Partisipan mampu menguji
core belief melalui behavior
experiment (BE)
Partisipan menyusun rancangan BE
di lembar “Behavior Experiments”
Sesi 6 Partisipan menyadari adanya
perubahan
Partisipan menentukan perubahan
yang terjadi dan melihat daftar “My
Goals” di sesi pertama
Partisipan memahami cara
mempertahankan kebiasaan
baru dan penerimaan terhadap
kemunduran
Psikoedukasi mengenai kemunduran
dan meminta partisipan mengisi
lembar “Self-management plan”
3.5. Alat ukur penelitian
Penelitian ini hanya menggunakan 3 dari 4 alat ukur, yaitu Hopkins
Symptom Checklist-25 (HSCL-25), Mooney Problem Check Lists (MPCL), dan
Social Skills Inventory (SSI). Peneliti juga melakukan wawancara informal kepada
partisipan penelitian. Berikut penjelasan singkat mengenai alat ukur yang
digunakan:
3.5.1. Pengukuran Distres Psikologis
Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25), merupakan alat ukur lapor diri
(self report). HSCL-25 digunakan untuk mendeteksi simtom dari kecemasan dan
depresi yang dialami individu dalam kurun waktu satu bulan terakhir. HSCL-25
terdiri dari 25 item, dengan 10 item untuk melihat simtom kecemasan dan 15 item
untuk melihat simtom depresi (Ventevogel, dkk., 2007).
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
43
Universitas Indonesia
Seluruh pernyataan dalam alat ukur ini menggunakan skala Likert, dengan
skala 1 sampai 4. Skala 1 menunjukkan bahwa simtom tersebut tidak mengganggu
sama sekali, skala 2 dipilih jika simtom yang muncul sedikit mengganggu, skala 3
menunjukkan jika simtom tersebut agak mengganggu, dan terakhir skala 4 yang
menyatakan bahwa gejala tersebut sangat mengganggu (Ventevogel, dkk., 2007).
Skor dalam HSCL-25 dihitung dengan menjumlahkan skor yang didapat individu
kemudian dibagi dengan jumlah item. Jika individu mendapat skor lebih dari atau
sama dengan (≥) 1.75, maka individu tersebut dapat dikatakan mengalami distres
psikologis (Ventevogel, dkk., 2007). HSCL-25 yang digunakan dalam penelitian
ini merupakan hasil adaptasi ke bahasa Indonesia. HSCL-25 pernah digunakan
dalam penelitian terhadap mahasiswa UI pada tahun 2010 dan 2011.
3.5.2. Pengukuran Permasalahan mahasiswa
Mooney Problem Check List (MPCL) bukanlah sebuah tes, melainkan
sebuah daftar untuk membantu mahasiswa mengetahui masalah yang dialaminya.
Alat ukur ini berisi berbagai masalah yang biasa dihadapi oleh siswa, baik itu
siswa sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan
mahasiswa. MPCL sering digunakan untuk konseling, panduan intervensi
kelompok, survei, dan penelitian (Mclntyre, 1953). MPCL yang digunakan dalam
penelitian ini adalah versi yang ditujukan untuk mahasiswa.
Untuk mengisi MPCL, mahasiswa diminta untuk membaca setiap
pernyataan. Setelah itu, mahasiswa diminta untuk melingkari masalah-masalah
yang sedang mereka alami dan dianggap mengganggu mereka. Setelah selesai
dengan daftar masalah, mahasiswa diminta menuliskan langsung masalah yang
mereka hadapi. MPCL yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil
adaptasi ke bahasa Indonesia. MPCL tersebut pernah digunakan dalam penelitian
terhadap mahasiswa UI pada tahun 2010 dan 2011. Dalam penelitian ini, peneliti
hanya mencantumkan 30 masalah dalam ranah Social Psychological Relationship
yang berkaitan dengan masalah yang akan diintervensi. Tujuannya adalah untuk
mengetahui apakah masalah dalam ranah ini dianggap mengganggu oleh
mahasiswa.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
44
Universitas Indonesia
3.5.3. Pengukuran Keterampilan Sosial
Social Skills Inventory (SSI) merupakan inventori untuk mengukur
keterampilan dasar sosial. SSI terdiri dari 90 pernyataan yang meliputi 6 dimensi
(Riggio, 1986). Dimensi-dimensi ini mengukur keterampilan sosial secara global,
yaitu aspek emosional (nonverbal) dan sosial (verbal). Tiap aspek memiliki 3
dimensi yakni expressivity (ekspresi), sensitivity (sensitivitas), dan control
(kontrol). Ekspresi mengacu pada keterampilan individu dalam berkomunikasi
atau mengirimkan pesan kepada orang lain. Sensitivitas mengacu pada
keterampilan untuk menerima dan menginterpretasi pesan dari orang lain.
Terakhir adalah kontrol yang mengacu pada keterampilan individu dalam
meregulasi dan mengatur proses komunikasi.
SSI yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil adaptasi ke
dalam bahasa Indonesia. Sebelumnya, peneliti membeli kuesioner SSI dalam
bahasa Inggris, sesudah itu mengalihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia.
Setelah itu, peneliti meminta bantuan kepada dua orang lain untuk memberikan
expert judgment dan melakukan back-translating dari bahasa Indonesia ke dalam
bahasa Inggris. Peneliti kemudian melakukan uji keterbacaan kepada 10
mahasiswa Universitas Indonesia. Dengan adanya umpan balik, peneliti
melakukan penyempurnaan SSI dengan membandingkan SSI yang pernah
digunakan oleh Rizanti (2010) kepada populasi dewasa muda di Jakarta.
3.5.3.1. Administrasi dan Skoring SSI
Partisipan diminta untuk mengisi 90 item pernyataan, dengan skala 1
(“Sangat Tidak Menggambarkan Diri Saya”), skala 2 (“Agak Tidak
Menggambarkan Diri Saya”), skala 3 (“Agak Menggambarkan Diri Saya”), dan
skala 4 (“Sangat Menggambarkan Diri Saya”). Dari pengisian SSI, akan
didapatkan nilai total yang dapat memprediksikan keterampilan sosial seseorang.
SSI yang digunakan merupakan hasil adaptasi dari dua penelitian di Universitas
Indonesia pada tahun 2010.
Tiap dimensi ketrampilan sosial diwakili oleh 15 item yang disusun
sedemikian rupa dalam alat ukur sehingga item-item yang mengukur dimensi
yang sama saling berjarak 6 item dengan item yang mengukur dimensi yang lain.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
45
Universitas Indonesia
Misalnya saja item 2, 8, 14, 20, 26, 32, 38, dan seterusnya adalah item-item yang
mengukur dimensi Emotional Sensitivity. Dari 90 item dalam SSI, terdapat 32
item yang di-skor secara reverse. Total skor SSI menunjukkan keterampilan
sosial individu secara global. Secara umum, semakin tinggi skor total SSI
individu, maka semakin baik pula keterampilan sosial individu tersebut.
Selain skor global, peneliti melihat skor dari masing-masing dimensi.
Menurut Riggio (1986), tiap dimensi dalam SSI saling terkait satu sama lain dan
tidak dapat berdiri sendiri. Keterampilan sosial yang dianggap baik
direpresentasikan oleh skor yang seimbang pada tiap dimensi SSI. Jika ada salah
satu dimensi yang skornya timpang dibandingkan dengan dimensi lain, maka
keterampilan sosial individu tersebut tidak dapat dikatakan baik. Ketimpangan
suatu dimensi ditetapkan dari selisih skor individu dengan skor rata-rata pada
dimensi keterampilan sosial.
Pada SSI yang digunakan dalam penelitian ini, dimensi yang timpang
adalah dimensi yang memiliki perbedaan dengan standar deviasi sebanyak kurang
atau lebih dari 6 angka. Angka dalam standar deviasi tersebut diperoleh dari hasil
interpolasi dengan standar deviasi yang digunakan oleh Riggio (1986). Peneliti
menggunakan standar deviasi yang terkecil untuk dapat membedakan individu
dengan keterampilan sosial yang baik dan kurang baik. Dimensi yang timpang
adalah dimensi yang memiliki skor di atas atau di bawah 6, dengan melihat nilai
cut-off tiap dimensi keterampilan sosial. Misalnya seperti seorang individu
memiliki dimensi emotional expressivity yang timpang karena memiliki skor 22.
Dalam adaptasi alat ukur ini, peneliti hanya menggunakan 4 skala pilihan
jawaban, untuk menghindari kecenderungan menjawab nilai tengah. Oleh karena
itu, peneliti melakukan interpolasi skor dari 5 skala pada alat ukur yang belum
diadaptasi milik Riggio (1986). Interpolasi dilakukan peneliti dengan menghitung
nilai cut-off (terlampir) dari Riggio (1986), kemudian dikalikan dengan 0,8.
Hasilnya adalah angka yang menjadi cut-off dengan 4 skala pilihan jawaban.
Penentuan cut-off mengikuti norma berdasarkan jenis kelamin subjek.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
46
Universitas Indonesia
Dari interpolasi alat ukur, didapatkan nilai cut-off untuk tiap dimensi keterampilan
sosial. Berikut ini merupakan nilai cut-off berdasarkan jenis kelamin:
ASPEK LAKI-LAKI PEREMPUAN
EE
Emotional Expressivity
29,05 30,25
ES
Emotional Sensitivity
30,37 30,79
EC
Emotional Control
31,57 29,14
SE
Social Expressivity
26,21 24,90
SS
Social Sensitivity
29,11 31,37
SC
Social Control
34,00 31,12
TOTAL 199,68 187,88
Tabel 3.1. Cut-Off Point Tiap Dimensi Keterampilan Sosial
3.5.3.2. Uji Keterbacaan
Dilakukan uji keterbacaan kuesioner SSI kepada mahasiswa UI. Peneliti
meminta responden untuk memberikan umpan balik dan memberitahukan item-
item yang dirasakan sulit untuk dipahami. Dari hasil uji keterbacaan, dilakukan
perbaikan dan berikut merupakan beberapa item SSI yang diubah:
No Pernyataan Pernyataan yang diubah
2. Saat orang lain berbicara, saya
lebih banyak memperhatikan
gerakannya daripada mendengar-
kan omongannya
Saat orang lain berbicara, saya juga
memperhatikan gerakannya selain
mendengarkan omongannya
9. Seringkali sulit bagi saya untuk
berekspresi “muka datar” saat
menyampaikan lelucon atau cerita
lucu.
Seringkali sulit bagi saya untuk
menampilkan ekspresi datar ketika
menceritakan lelucon atau cerita
lucu.
17. Saya akan lebih memilih untuk
berpartisipasi dalam diskusi politik
Saya akan lebih memilih untuk
berpartisipasi dalam diskusi politik
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
47
Universitas Indonesia
Tabel 3.2. Item Social Skills Inventory (SSI) yang Diubah
3.5.4. Wawancara
Saat melakukan screening, peneliti melakukan wawancara dengan tipe
unstandardized non-structured interview di mana peneliti hanya memiliki
panduan utama yang akan ditanyakan. Wawancara dengan tipe ini bersifat
fleksibel karena peneliti tidak terpaku oleh aturan baku mengenai isi pertanyaan,
daripada hanya memperhatikan
dan menganalisa apa yang
dikatakan partisipan
daripada hanya memperhatikan dan
menganalisa apa yang dikatakan
partisipan diskusi
33. Saya mampu untuk tetap
berekspresi “muka datar”
meskipun teman-teman mencoba
membuat saya tertawa atau
tersenyum.
Saya mampu mempertahankan
ekspresi datar meskipun teman-
teman mencoba membuat saya
tertawa atau tersenyum
50. Secara langsung saya bisa
mengetahui orang yang “tidak
tulus” pada saat saya bertemu
dengan orang tersebut.
Saya bisa langsung mengetahui
seseorang yang „tidak tulus‟ begitu
bertemu dengannya
55. Saya sering menyentuh teman saya
ketika sedang berbicara
dengannya.
Saya sering menggunakan sentuhan
saat berbicara dengan teman saya
68. Dengan mudahnya saya
memberikan pelukan atau
sentuhan yang nyaman kepada
orang yang sedang mengalami
tekanan.
Saya mudah untuk memeluk atau
menyentuh orang lain agar mereka
merasa nyaman di kala tertekan
87. Dengan mudahnya saya mengubah
diri saya dari yang terlihat senang
menjadi sedih semenit kemudian.
Saya dapat dengan mudah
mengubah-ubah diri saya tampak
senang dan sedih dalam waktu
singkat.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
48
Universitas Indonesia
urutan bertanya, dan kalimat yang digunakan (Kerlinger & Lee, 2000). Panduan
utama pertanyaan terdiri dari:
1. Latar belakang kehidupan partisipan
Peneliti bertanya mengenai identitas diri, kondisi keluarga, hubungan
partisipan dengan anggota keluarganya, pola asuh orang tua, hubungan
interpersonal selama ini.
2. Riwayat keluhan partisipan
Peneliti bertanya mengenai kondisi yang dirasakan mengganggu sehingga
partisipan membutuhkan bantuan psikologis, perasaan partisipan, awal
mula munculnya masalah, konsekuensi masalah, dan usaha partisipan
mengatasi masalah tersebut
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
49
Universitas Indonesia
BAB IV
HASIL PENGUKURAN AWAL
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai penjabaran kasus yang terdiri dari
proses screening yang dijalani klien, identitas, observasi umum, hasil pengukuran
awal, dan analisa awal.
4.1. Proses dan Hasil Screening Partisipan
4.1.1. Proses Screening Partisipan
Peneliti sudah menetapkan beberapa kriteria calon klien yang dapat
mengikuti intervensi. Untuk menentukan kriteria, peneliti memberikan buklet
yang berisi kuesioner. Calon klien mengisi 3 jenis kuesioner, yaitu Hopkins
Symptom Checklist-25 (HSCL-25), Mooney Problem Check List (MPCL), dan
Social Skills Inventory (SSI). Dari proses screening yang dilakukan oleh
kelompok peneliti, didapatkan 3 mahasiswa yang terpilih secara acak untuk
mengikuti intervensi dengan CBT, yaitu DI, LA, dan DE.
Peneliti meminta ketiganya tersebut untuk datang mengikuti sesi sebelum
intervensi dimulai (pre-sesi). Peneliti memberikan penjelasan singkat mengenai
hasil screening dan menginformasikan bahwa mereka terpilih untuk mengikuti
intervensi. Setelah itu, ditanyakan kesediaan mereka untuk mengikuti intervensi.
Sesudah DI, LA, dan DE menyatakan mereka setuju untuk mengikuti intervensi,
peneliti memberikan penjelasan singkat mengenai proses intervensi yang akan
mereka ikuti dan meminta mereka menandatangani informed consent (terlampir).
Setelah itu peneliti membuat janji temu dan menentukan tanggal pelaksanaan sesi
pertama.
4.1.2. Hasil Screening Partisipan
Dari kuesioner yang diisi ketiga partisipan, didapatkan skor kriteria yang
sudah ditentukan sebelumnya. Berikut merupakan hasil screening ketiga klien:
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
50
Universitas Indonesia
Aspek Pengukuran Skor DI Skor LA Skor DE
Distres psikologis
(dengan HSCL-25)
3.24 2,76 2,32
Jumlah masalah Social
Psychological Relations (SPR) yang
dimiliki (dengan MPCL)
14 20 9
Total skor keterampilan sosial
(dengan SSI)
231 210 208
Emotional expressivity 40 38 43
Emotional sensitivity 40 (30) 37
Emotional control (23) (26) (29)
Social expressivity 44 29 26
Social sensitivity 48 48 42
Social control 36 39 (31)
Tabel 4.1. Hasil Pretest DI, LA, DE
Keterangan: (…) = dimensi yang kurang
Dari hasil di atas dapat diketahui bahwa ketiganya memiliki distres
psikologis yang tinggi, karena melebihi angka 1,75. Dari ketiganya, nampak
bahwa DI yang memiliki distres psikologis paling tinggi, baru kemudian diikuti
oleh LA dan DE. Setelah itu, peneliti melihat aspek masalah Social-Psychological
Relations (SPR), ketiganya merasa memiliki masalah dalam menjalin hubungan
sosial karena memiliki masalah tersebut lebih dari 8 masalah. Selain melihat skor
SPR, peneliti juga melihat keluhan yang mereka tuliskan pada bagian terakhir
kuesioner. Ketiganya mengeluhkan kualitas hubungan sosial yang mereka miliki
sebagai masalah yang mereka rasakan saat ini.
Selain mempertimbangkan tingkat distres psikologis yang tinggi dan
masalah SPR yang lebih dari 8, peneliti menghitung skor yang mereka dapatkan
dari kuesioner SSI. Syarat mengikuti intervensi adalah ada salah satu aspek
keterampilan sosial yang kurang dan ada dimensi yang mengalami ketimpangan.
Penentuannya melihat dari tabel cut-off yang sudah ditentukan di bab III. DI
memiliki skor rendah pada satu aspek, yaitu emotional control (EC). Sedangkan
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
51
Universitas Indonesia
DE dan LA mendapatkan skor rendah pada dua aspek. DE mendapatkan skor
rendah pada aspek emotional control (EC) dan social control (SC). LA
mendapatkan skor rendah pada aspek emotional sensitivity (ES) dan emotional
control (EC). Dengan skor di atas, ketiganya dapat mengikuti intervensi untuk
meningkatkan keterampilan sosial. Berikut merupakan penjelasan mengenai
keterampilan sosial yang dimiliki ketiga partisipan sehingga terpilih untuk
mengikuti intervensi:
4.1.2.1. Keterampilan Sosial DI
Dari pre-test, DI mendapatkan skor keterampilan sosial sebesar 231. Skor
ini menunjukkan bahwa DI memiliki keterampilan sosial keseluruhan cukup baik
dan belum termasuk defisit. Perlu diingat bahwa skor keterampilan sosial
didapatkan dari keenam hal yang menjadi dimensi dari keterampilan sosial itu
sendiri. Dari keenam dimensi dalam keterampilan sosial, dimensi emotional
control merupakan dimensi yang memiliki skor paling rendah dan timpang.
Sementara itu, dimensi social sensitivity merupakan dimensi yang memiliki skor
paling tinggi. Dari tabel 4.1., dapat dilihat bahwa ada 5 dimensi yang timpang dan
terdapat perbedaan skor yang cukup tinggi antara dimensi terrendah dengan
dimensi tertinggi. Ketimpangan yang terjadi menunjukkan skor dimensi-dimensi
yang dimiliki DI belum seimbang dan kurang baik. Oleh karena itu, DI dinyatakan
layak untuk mengikuti intevensi.
Dimensi emotional control dengan skor 23 menunjukkan DI sulit
mengatur dan meregulasi pesan emosional serta non-verbal pada dirinya. Ia
mengalami kesulitan pada saat menyampaikan atau menyembunyikan emosi yang
ia alami. Perilaku yang nampak dan dikeluhkan DI antara lain sikap keras kepala,
cenderung tidak mau mengalah, bersikap kekanak-kanakan, dan emosi negatif
terlihat jika ia tidak menyukai seseorang. Dapat disimpulkan bahwa dimensi ini
termasuk dimensi yang kurang baik dalam keterampilan sosial. Sementara itu,
beberapa dimensi keterampilan sosial lainnya meski timpang namun termasuk
baik.
Perlu diperhatikan mengenai dimensi social sensitivity merupakan aspek
yang memiliki nilai tertinggi. Meski tinggi, dimensi ini memiliki dampak yang
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
52
Universitas Indonesia
kurang baik bagi DI. Skor 48 menunjukkan DI sensitif sehingga mampu
menginterpretasi ekspresi verbal dari orang lain. Ia memahami norma sosial
dalam menampilkan perilaku yang diterima lingkungan dan cenderung
memperhatikan penilaian dari orang lain. Dengan adanya pengetahuan mengenai
norma dan aturan sosial, DI menjadi individu yang mementingkan kesesuaian
perilaku dirinya dengan lingkungan dimana ia berada. Skor yang tinggi membuat
DI sangat memperhatikan perilakunya sehingga memunculkan kecemasan sosial.
Kecemasan inilah yang menghambat kemampuan DI dalam interaksi sosial
sehingga memiliki masalah dalam menjalin hubungan sosial.
Dari wawancara, DI menyampaikan keluhan bahwa cenderung khawatir
dengan penilaian orang lain jika perilakunya dipersepsikan tidak sesuai dengan
norma sosial. Menurut DI, ia memang sering merasa cemas mengenai pendapat
orang lain tentang dirinya, ingin tampil sebagai individu yang lebih
menyenangkan, merasa dibicarakan atau tidak disukai orang lain, dan akhirnya
merasa rendah diri.
4.1.2.2. Keterampilan Sosial LA
Dari hasil pre-test, LA mendapatkan skor keterampilan sosial sebesar 210.
Skor ini menunjukkan LA memiliki keterampilan sosial keseluruhan di atas rata-
rata dan tidak termasuk defisit. Skor ini didapatkan dari keenam dimensi dalam
keterampilan sosial yang dimiliki LA. Dari keenam dimensi, terdapat dimensi
emotional control dan emotional sensitivity menjadi dimensi yang paling rendah
karena di bawah cut-off point. Di sisi lain, social sensitivity merupakan dimensi
yang memiliki skor paling tinggi. Dari tabel 4.1. di atas, terdapat 3 dimensi yang
timpang, yaitu emotional expressivity, social sensitivity, dan social control. Selain
itu, peneliti juga melihat perbedaan skor yang cukup tinggi antara dimensi
terrendah dengan dimensi tertinggi. Oleh karena itu, LA dinyatakan layak untuk
mengikuti intervensi.
Dimensi emotional control yang rendah dengan skor 26 menunjukkan LA
kesulitan untuk mengatur dan meregulasi pesan emosional serta non-verbal pada
dirinya. LA mengalami kesulitan saat akan menyampaikan atau menyembunyikan
emosi yang ia alami. Perilaku yang nampak dan dikeluhkan LA antara lain mudah
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
53
Universitas Indonesia
marah, orang lain dapat mengetahui jika LA sedang kesal, cara berbicaranya
dianggap otoriter oleh orang lain, dan tidak mampu mengungkapkan emosi positif
pada keluarganya.
Dimensi kedua yang termasuk rendah adalah dimensi emotional sensitivity
dengan skor 30. Skor ini menunjukkan keterampilan LA dalam menerima dan
memahami emosi serta sinyal non-verbal dari orang lain di sekitarnya. LA
termasuk individu yang kurang sensitif terhadap sinyal emosional dan non-verbal
yang ditunjukkan oleh orang lain, sehingga kurang mampu menangkap sinyal
emosional dengan tepat. Dengan keterampilan seperti itu, efisiensi saat menjalin
hubungan sosial menjadi berkurang. Hal ini sesuai dengan keluhan LA dari
wawancara yang sudah dilakukan antara lain adanya kesalahpahaman dengan
teman-teman kuliahnya, merasa tidak disukai teman-temannya, dan berpikir
bahwa para staf marah karena tidak membalas SMS-nya.
Sementara itu, dimensi social sensitivity merupakan dimensi yang
memiliki nilai tertinggi. Meski tinggi, dimensi ini tidak selalu bermanfaat bagi
LA. Skor sebanyak 48 menunjukkan LA yang sensitif sehingga sangat mampu
menginterpretasi ekspresi verbal dari orang lain. LA memahami norma sosial
dalam menampilkan perilaku yang diterima lingkungan dan cenderung
memperhatikan penilaian dari orang lain. Dengan adanya pengetahuan mengenai
norma dan aturan sosial, ia sangat mementingkan kesesuaian perilaku diri dengan
lingkungan dimana LA berada. Skor yang tinggi membuat LA sangat
memperhatikan perilakunya sehingga memunculkan kecemasan sosial.
Kecemasan yang dimiliki ini menjadi penghambat dalam interaksi sosial.
LA juga menyampaikan dalam wawancara, bahwa ia sangat memikirkan penilaian
teman-teman, merasa ada teman-teman yang menjauhinya, merasa malu karena
berusaha menjalin hubungan baik dengan adik, sungkan jika harus berbincang
dengan ayahnya, merasa tidak memiliki kelebihan sehingga ia tidak percaya diri.
Pada akhirnya, jika LA tidak percaya diri atau merasa malu, ia cenderung
menghindari interaksi dengan orang lain agar tidak salah tingkah di depan lawan
bicaranya. LA ingin menjadi orang yang lebih memperhatikan lingkungan dengan
cara yang lebih positif, memiliki teman banyak dan dekat secara emosional.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
54
Universitas Indonesia
4.1.2.3. Keterampilan Sosial DE
Dari hasil pre-test, DE mendapatkan skor keterampilan sosial sebesar 208.
Skor ini menunjukkan DE memiliki keterampilan sosial keseluruhan yang cukup
baik dan belum termasuk defisit. Skor total yang diperoleh DE didapatkan dari
keenam hal yang menjadi dimensi dari keterampilan sosial. Dari 6 dimensi dalam
keterampilan sosial, dimensi emotional control dan social control merupakan
dimensi yang memiliki skor rendah (dibawah cut-off point) dibandingkan dengan
dimensi lain. Sementara itu, ada dimensi emotional expressivity dan social
sensitivity yang menjadi dimensi dengan skor tinggi dan termasuk timpang. Dari
tabel 4.1, dapat dilihat bahwa ada 3 dimensi yang timpang dan terdapat perbedaan
skor yang cukup tinggi antara dimensi terrendah dengan dimensi tertinggi.
Terlihat bahwa ada ketidakseimbangan skor dimensi yang dimiliki DE. Oleh
karena itu, DE dinyatakan layak untuk mengikuti intevensi.
Dimensi emotional control dengan skor 29 merupakan dimensi yang
memiliki skor terrendah namun tidak timpang. Skor pada dimensi ini
menunjukkan DE yang kesulitan mengatur dan meregulasi pesan emosional serta
non-verbal pada dirinya. DE mengalami kesulitan pada saat menyampaikan atau
menyembunyikan emosi yang dialami. Perilaku yang nampak dan dikeluhkan DE
adalah mudah kesal, orang lain mengertahui jika DE marah, sikap keras kepala,
cenderung tidak mau mengalah, dan mudah tersakiti.
Selain dimensi emotional control, ada dimensi social control yang
termasuk dimensi yang kurang baik karena berada di bahwa cut-off point. Dimensi
ini membuat DE kurang baik dalam mengatur dan menampilkan diri dalam situasi
sosial. Dari wawancara, DE merasa kurang mampu beradaptasi dengan cepat di
berbagai situasi sosial sehingga membuatnya merasa kurang percaya diri.
Akhirnya DE mengeluhkan masalah akibat merasa egois dan sering menampilkan
sikap kekanak-kanakan. Nampaknya DE perlu waktu untuk memahami
lingkungannya, setelah mampu menerima norma yang berlaku, barulah DE
merasa nyaman di lingkungan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa kedua dimensi
tersebut termasuk dimensi yang kurang baik dalam keterampilan sosial yang
dimiliki DE. Sementara itu, beberapa dimensi keterampilan sosial lainnya meski
timpang namun termasuk baik.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
55
Universitas Indonesia
Peneliti merasa perlu memperhatikan dimensi emotional expressivity dan
social sensitivity yang menjadi dimensi dengan nilai tertinggi. Meski keduanya
memiliki skor tinggi, dimensi-dimensi tersebut memiliki dampak yang kurang
baik bagi DE. Skor 43 untuk dimensi emotional expressivity dinilai DE
mengganggu karena ia sangat ekspresif terutama untuk emosi-emosi negatif.
Menurut DE, hal ini mengganggunya karena orang lain mudah mengetahui jika
DE sedang kesal atau marah. Namun ekspresi DE hanya terbatas pada emosi
negatif. Ia agak kesulitan untuk mengekspresikan emosi positif, terutama pada
keluarga. Perpaduan antara dimensi emotional control yang rendah membuat DE
merasa kesulitan untuk mengungkapkan emosi dengan baik dan sesuai dengan
norma. Untuk dimensi social sensitivity, DE mendapatkan skor 42. Skor ini
menunjukkan DE merupakan individu yang sensitif sehingga ia mampu
menginterpretasi ekspresi verbal dari orang lain. DE berusaha menampilkan
perilaku yang diterima lingkungan dan memperhatikan penilaian orang lain.
Dengan kesadaran akan sifat-sifat diri yang negatif membuat DE
mementingkan kesesuaian perilaku dirinya dengan lingkungan di mana ia berada.
Skor tinggi pada dimensi social sensitivity membuat DE memperhatikan
perilakunya hingga memunculkan kecemasan sosial. Kecemasan inilah yang
menghambat kemampuan DE dalam interaksi sosial. Persepsi DE bahwa dirinya
kurang mampu dalam mengendalikan emosi, menampilkan diri dalam situasi
sosial, sangat ekspresif terutama menampilkan emosi negatif, dan mengalami
kecemasan sosial, membuatnya memiliki masalah dalam menjalin hubungan
sosial. Oleh karena itu, dengan adanya variasi skor pada keenam dimensi
membuat DE layak mengikuti intervensi untuk meningkatkan keterampilan
sosialnya.
4.2. Partisipan Penelitian yang Mengikuti Intervensi
Berikut ini merupakan hasil dari wawancara yang dilakukan peneliti
kepada ketiga partisipan penelitian sebelum mengikuti intervensi.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
56
Universitas Indonesia
4.2.1. Data Partisipan I
4.2.1.1. Data Pribadi DI
Inisial nama lengkap : DI
Usia : 24
Jenis kelamin : Perempuan
Domisili : Depok dan Bogor
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : D3
Pekerjaan : Mahasiswa
Angkatan : 2009
Pelaksanaan wawancara awal : 5 April 2012
4.2.1.2. Observasi Umum
DI memiliki badan yang proporsional, dengan tinggi badan diperkirakan
155 cm dan berat badan sekitar 50 kg. DI berkulit sawo matang, menggunakan
jilbab, dan pakaiannya selalu rapi. Saat datang ia selalu menggunakan pakaian
yang senada, berjilbab rapi, dan menggunakan celana panjang. Ia berkacamata,
selalu menggunakan sepatu, dan menggunakan jam tangan di tangan kirinya.
Secara umum DI bersikap kooperatif dan selalu ada kontak mata dengan
peneliti. Ia berbicara dengan suara yang cukup kencang, sangat lancar, dan dengan
tempo agak cepat. Nampak bahwa DI memiliki dorongan untuk berbicara yang
cukup besar namun dapat mengaturnya ketika peneliti membatasi bicaranya
karena keterbatasan waktu. Seperti beberapa kali ia terkejut karena waktu sudah
mendekati waktu kuliahnya, namun DI tetap saja bercerita dan nampak belum
mau beranjak dari ruangan pemeriksaan.
Nada bicaranya sesuai dengan apa yang dibicarakannya. Begitu juga
dengan ekspresi emosi yang ditampilkan. Saat menceritakan kejadian yang
menyedihkan, raut muka berubah menjadi sendu. Ketika menceritakan hal-hal
yang menyenangkan seperti keluarganya, DI menjadi senang dan banyak
tersenyum. Secara umum, DI sangat ekspresif dalam menampilkan emosinya.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
57
Universitas Indonesia
Cara DI bercerita terstruktur dan umumnya ia memberikan kesimpulan di
akhir ceritanya. Penjelasannya membuat peneliti mudah memahami apa yang
ingin disampaikannya. DI banyak menggunakan contoh-contoh kejadian dengan
menggunakan nama peneliti untuk menggantikan nama teman yang
diceritakannya. Sedari awal ia bertemu, DI cukup terbuka dan banyak
menyampaikan cerita dalam hidupnya.
DI membutuhkan waktu untuk memahami instruksi yang peneliti
sampaikan. Beberapa kali DI melakukan kesalahan dalam mengerjakan tugas dan
baru mengatakan bahwa ia bingung. Setelah instruksi disampaikan untuk kedua
kalinya, barulah DI paham apa yang harus dikerjakannya. Saat mengerjakan
tugas-tugas, ia cenderung diam dan menuliskan tugas-tugas dengan cepat. Ketika
bingung, DI cenderung akan bercerita terlebih dahulu baru kemudian
menuliskannya di kertas. Selama sesi berlangsung, beberapa kali DI melihat
ponselnya yang bergetar. Setelah melihat isinya atau nama penelepon, ia segera
menyimpan kembali ponselnya.
4.2.1.3. Gambaran Kasus
DI merasa tidak memiliki kelebihan apapun meski menyadari bahwa
memang tidak ada orang yang sempurna. Ia merasa dirinya biasa saja dan yakin
bahwa memang begitu adanya. Menurutnya, bukti bahwa ia biasa saja adalah
tidak ada prestasi sama sekali. DI memiliki teman dekat (RIS) yang berkuliah di
psikologi, ia sering mengeluhkan bahwa dirinya tidak ada yang bisa dibanggakan.
RIS sudah berulang kali menyatakan bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan
mengatakan bahwa kelebihan DI adalah dapat memasak. Menurut DI, memasak
itu bukanlah menjadi hal yang bisa dibanggakan.
Saat ini, DI merasa tidak memiliki teman karena ada masalah dengan
teman-teman kuliahnya. Kondisi ini membuatnya merasa diomongin dan dijauhi.
Menurut DI, teman-teman yang berbuat seperti itu seakan bermuka palsu karena
di depannya mereka berlaku seperti tidak ada masalah apapun. Masalah ini
muncul pada bulan Januari 2012. Sebagai bendahara kelas, ia melakukan laporan
pertanggungjawaban di hadapan teman-teman sekelasnya. Beberapa orang teman
perempuannya seakan memojokan DI karena merasa ia tidak terbuka dalam
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
58
Universitas Indonesia
memberikan laporan keuangan. Mereka menuduh DI melakukan hal yang tidak
jujur saat menjadi bendahara. Tuduhan teman-temannya adalah DI yang
menggunakan uang kas untuk kepentingan pribadinya. Sedangkan DI tidak
melakukannya dan merasa ia tidak memerlukannya uang tersebut karena cukup
secara finansial dan tidak pernah terpikir untuk berbuat curang. DI merasa banyak
teman kuliah yang “menusuk dari belakang”. terutama teman-teman perempuan.
DI merasa lebih mudah berteman dengan laki-laki yang lebih logis dan jarang
menggunakan perasaan atau pake hati. DI pun merasa lebih nyaman berteman
dengan laki-laki. Dengan partner skripsi pun DI merasa tidak dekat. Kebetulan
teman ini juga berteman dengan kelompok perempuan yang mengajukan tuduhan
terhadap DI.
Di bulan Januari 2012, ia pun putus hubungan dengan sang pacar (AJ).
Kebetulan pemutusan hubungan ini terjadi menjelang DI melaksanakan seminar
skripsi. Saat itu perasaan DI sangat sedih dan marah serta merasa kehilangan
dukungan dari orang terdekatnya 2 tahun belakangan. Pemutusan hubungan ini
membuat DI merasa buruk. Ia sudah mencoba berkali-kali dan meyakinkan diri
bahwa ia tidak seburuk itu, namun tetap saja pikiran itu muncul. Setelah putus, AJ
seakan menghilang tanpa kabar selama 1 bulan. Ketidakjelasan alasan mengenai
pemutusan membuat DI bingung dan yakin betul bahwa memang dirinya salah.
Setelah putus, DI mendapatkan penjelasan dari sahabat AJ. Laki-laki ini
menyampaikan kepada DI pendapat AJ tentang dirinya selama ini. Mendengar
cerita itu membuat DI semakin terpukul dan merasa tidak percaya diri. Ia tidak
tahu bahwa AJ selama ini mengeluhkan sifat-sifat buruknya kepada sahabatnya.
DI semakin kecewa karena tahu bahwa AJ tidak pernah mau berterus terang dan
memilih untuk menyimpan dendam serta kekesalan tanpa mau memberi tahu DI.
Setelah 1 bulan menghilang, DI baru bisa bertemu AJ untuk menanyakan
penyebab yang sebenarnya. DI merasa AJ tidak jujur dan alasan pemutusannya
tidak masuk akal. AJ memutuskan DI karena merasa bahwa sifat-sifat DI sudah
sangat sulit diubah dan tidak yakin dapat diubah oleh siapapun. Sejak pertemuan
itu, DI merasa bahwa AJ seakan menghindarinya. DI pun selalu teringat
bagaimana pernyataan AJ yang tidak cinta lagi terhadap DI. Ia tidak menyangka
bahwa kedekatan dan komitmen untuk menikah dapat berubah begitu cepat.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
59
Universitas Indonesia
Meski mengalami berbagai macam kejadian yang tidak mengenakan, DI
menyadari bahwa ia memiliki keluarga dan seorang sahabat yang memberikan
dukungan sepenuhnya. Dukungan ini membuat DI merasa terbantu dan dapat
menjaga “kewarasannya”.
DI sadar bahwa ia merupakan orang yang spontan dan keras. Namun tidak
galak, ia hanya agak sulit untuk bersikap lemah lembut seperti kebanyakan
perempuan lainnya. Keraguan AJ akan perubahan sifat DI membuatnya merasa
buruk. Selain itu, AJ juga menyampaikan kepada sahabatnya bahwa DI suka
sekali mengatur, posesif, dan suka mengekang. Menurut DI, ia tidak tahu bahwa
pacarnya terganggu dengan sifat yang suka mengatur dan terkesan posesif. DI
beranggapan bahwa jika tidak ada keluhan, artinya tidak ada masalah. DI
mengemukakan bahwa wajar jika dirinya meminta untuk diantarkan oleh pacar
kemanapun untuk alasan keamanan. DI tidak menyangka bahwa ternyata
kebiasaan itu membuat orang lain terganggu. Ia tahu bahwa dirinya kurang peka.
Selama ini, jika ia melakukan kesalahan, AJ selalu berkata ia sudah memaafkan
DI. Ia mempercayai pernyataan AJ dan menganggap dirinya sudah benar-benar
dimaafkan.
Anggapan tentang diri yang buruk ternyata tidak hanya dari pacar atau
teman-temannya. Ayahnya pun sering menceritakan ulang kepada teman-teman
atau keluarga besar bahwa DI dulu mahasiswa yang pemalas sehingga indeks
prestasinya kurang bagus dan pernah hampir drop-out (DO) ketika menjalani D3-
nya di UI. DI kesal dengan perilaku ayahnya namun tidak bisa berbuat apapun. DI
merasa malu kalau ayahnya menceritakan hal itu. Ia berusaha untuk membuktikan
bahwa saat ini ketika menjalani S1 ia mendapatkan nilai yang cukup baik. Namun
bukti bahwa DI sudah menjadi lebih rajin tidak disadari oleh sang ayah.
Menurutnya sekarang ia sudah berubah, saat ini ia sudah berusaha namun
terkadang muncul pikiran bahwa ia salah masuk jurusan kuliah. DI sering merasa
bodoh karena sulit menghafal dan kurang mampu menghitung-hitung. Ia merasa
tidak memiliki kelebihan apapun. DI sempat berpikir bahwa dirinya akan lebih
baik jika masuk FISIP, namun lagi-lagi terhambat kemampuannya menghafal.
Kedua orang tua juga sering membandingkan DI dengan sepupunya yang
dianggap lebih hebat. Sepupunya saat ini sedang berkuliah di Kanada. Menurut
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
60
Universitas Indonesia
orang tua, DI tidak sepintar sepupunya. Lingkungan DI juga seakan tidak yakin
dengan ilmu yang sedang dipelajarinya saat ini. Keraguan dan perbandingan dari
lingkungannya membuat DI merasa tidak akan bisa menjadi baik. DI merasa cara
pengasuhan kedua orang tuanya membuat DI merasa ia harus kuat dan dapat
mengatasi masalahnya. DI tidak bercerita bahwa ia sedang menjalani intervensi
psikologis karena takut dilarang orang tuanya, terutama oleh ayah.
Hal-hal ini membuat DI putus harapan (“Mbak, aku ngerasa hopeless”).
Saat ini DI memang masih mengharapkan dan membutuhkan dukungan untuk
mengerjakan skripsinya. Ia ingin dipercaya orang lain mengenai kemampuannya,
baik dalam bidang akademis ataupun kinerjanya. DI juga merasa bahwa ia
termasuk orang yang tidak mampu mengontrol emosi. Orang lain dengan mudah
mengetahui jika DI sedang marah atau kesal. Untuk mengatasi masalah ini, DI
berlatih mengatur ekspresi wajah di depan cermin. Menurutnya, aktivitas ini
melatihnya untuk menampilkan senyum yang baik. DI merasa sejak latihan
tersenyum ia merasa lebih baik. Ia sadar bahwa jika diam maka wajahnya terlihat
“jutek” dan DI berusaha mengubah itu. Namun berbagai kejadian yang ia alami
membuat DI bersyukur karena menjadi lebih dekat dengan keluarga. Tadinya DI
banyak menghabiskan waktu dengan pacar. Ia menjadi lebih rajin sholat dan di
rumah bersama keluarga. Muncul keinginan untuk menjadi orang dengan
kepribadian yang lebih menyenangkan.
4.2.2. Data Partisipan II
4.2.2.1. Data Pribadi LA
Inisial nama lengkap : LA
Usia : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Domisili : Depok
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Mahasiswa
Angkatan : 2010
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
61
Universitas Indonesia
Pelaksanaan wawancara awal : 3 April 2012
4.2.2.2. Observasi Umum
LA terlihat kecil dan kurus. Diperkirakan ia memiliki tinggi badan sekitar
150 cm dengan berat badan sekitar 45 kg. Ia berkulit sawo matang, menggunakan
jilbab panjang, dan pakaiannya selalu rapih serta bersih. LA hampir selalu
menggunakan rok panjang dan baju kaus berlengan panjang. Wajahnya terlihat
bersih dan terawat. Ia menggunakan kacamata.
Selama pertemuan, LA bersikap kooperatif dan sangat terbuka pada
peneliti. LA sendiri mengemukakan hal ini dan ia sendiri terkejut bahwa ia dapat
menceritakan hal-hal yang selama ini ia simpan sendiri. LA selalu menjalin
kontak mata dengan peneliti dan juga sesekali memperhatikan materi yang
peneliti berikan. Ia berbicara dengan jelas, suaranya cukup keras, dan temponya
sedang. LA juga menjawab apa yang ditanyakan peneliti dan menanyakan
langsung jika ia merasa bingung. LA menggunakan nama panggilannya sebagai
kata ganti orang pertama.
Ekspresi emosi LA sesuai, jika ia menceritakan hal yang lucu, LA
tersenyum atau tertawa. Sama seperti ketika LA menceritakan kejadian yang tidak
mengenakan atau yang membuatnya merasa tidak nyaman. Raut wajah LA
menjadi sendu dan beberapa kali ia menitikan air mata, terutama saat bercerita
mengenai hubungannya dengan keluarga. Nada bicaranya pun memelan. Dapat
dikatakan bahwa LA cukup ekspresif dalam menampilkan emosinya. Ketika
menceritakan hal-hal yang kurang menyenangkan, LA memainkan jati tangan,
tissue, atau alat tulis yang sedang dipegangnya.
Cara LA bercerita cukup runut dan jelas. LA sangat terbuka dan detil
dalam menceritakan sesuatu. Hal ini membuat peneliti memahami apa yang
disampaikannya. Ketika diminta untuk mengerjakan tugas, ia dengan cepat
memahami instruksi yang disampaikan peneliti. Sebelum menulis, ia
menceritakannya terlebih dahulu baru kemudian menuliskannya di kertas. Ia
melakukannya dengan cepat dan dengan diam. Sepanjang sesi, nampak LA tidak
mudah terdistraksi oleh suara-suara dari luar ruangan. Ia sesekali melihat
ponselnya jika bergetar namun segera disimpannya kembali. Hal ini terjadi
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
62
Universitas Indonesia
menjelang ia berkuliah karena dicari oleh teman sekelasnya. Selain itu, LA tidak
pernah melihat ponselnya.
4.2.2.3. Gambaran Kasus
LA datang dengan keluhan bahwa ia tidak memiliki teman untuk
membicarakan masalah-masalahnya dan juga tidak ada yang dapat diajak untuk
melakukan aktivitas bersama-sama. Selain itu, LA merasa bahwa dirinya sulit
untuk dekat dan menjalin hubungan yang lebih akrab dengan orang lain, terutama
dengan laki-laki.
Keluhan yang LA ungkapkan adalah merasa sulit untuk menjalin
hubungan dekat. Hal ini mulai disadarinya sejak ia duduk di bangku SMA.
Kebetulan LA pindah ke kota lain untuk melanjutkan SMA-nya. Di kota tersebut,
ia tinggal di sebuah kost. LA tinggal berdua dengan teman sekamar selama kurang
lebih 3 tahun. Namun hubungan mereka hanya sebatas teman sekamar dan tidak
berkembang lebih dari itu. Dengan teman sekolah lainnya, LA juga merasa sulit
untuk dekat. Usaha yang telah ia lakukan untuk menjalin kedekatan antara lain
dengan ikut berkumpul. Saat duduk di kelas 3, LA merasa bahwa semakin ada
jarak dengan teman-temannya. Sejak lulus SMA, LA tidak lagi menjalin
hubungan dengan teman-teman sekolahnya dan teman sekamarnya. LA mengaku
bahwa ia tidak pernah lagi menanyakan kabar satu sama lain semenjak lulus.
Awalnya LA mengira bahwa hal ini terjadi karena ia pindah kota. Berbeda ketika
ia di SMP, LA memiliki kelompok pertemanan yang sampai sekarang masih
berhubungan. LA mengatakan bahwa ketika SMP ia memiliki teman yang aktif
dalam mendekatkan teman-temannya. Oleh karena itu, LA merasa senang karena
selalu diajak untuk berkumpul bersama. Semakin dewasa, LA menyadari bahwa
saat SMA itu ia berubah menjadi sosok yang egois. LA hanya menghubungi
teman sekolahnya saat membutuhkan mereka. Keluhan sulit untuk menjalin
hubungan dekat terulang kembali ketika LA berkuliah. Ia mengaku bahwa dirinya
lebih banyak menyendiri dan tidak memiliki teman dekat ataupun kelompok
pertemanan seperti waktu di SMP.
Ada kalanya LA merasa bahwa ia termasuk individu yang otoriter,
terutama saat berorganisasi. Sejak SMA, LA tergabung dalam organisasi di
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
63
Universitas Indonesia
sekolahnya. Ketika itu sikap otoriternya mulai terlihat. Saat berkuliah, ia pun aktif
dalam sebuah organisasi di fakultas. Pada semester 1 dan 2, di saat LA masih
sama-sama menjadi pengurus organisasi tersebut, ia cukup mampu menjalin
hubungan baik dengan beberapa temannya (ada 4 orang temannya). Namun sejak
ia menjadi ketua departemen (kadep) di organisasi kemahasiswaan, ia merasa
hubungan dengan keempat orang temannya semakin jauh. Menurutnya LA,
dengan tugas dan kewajibannya sebagai kadep membuat dirinya menjadi sosok
yang otoriter, seperti sulit untuk menerima masukan dari orang lain. Saat menjadi
kadep, LA merasa dirinya tegas dan kebetulan sikapnya ini dipandang bagus oleh
atasannya. Ia dianggap sebagai pemimpin perfeksionis oleh bawahannya. LA
sendiri mengakui bahwa dirinya memang sering mengejar para stafnya dan
terkesan mendesak mereka. Jika ada staf yang tidak melaksanakan tugasnya, maka
LA menjadi “gregetan”. Ia akhirnya memikirkan tugas staf tersebut dan
mengambil alih tugas mereka. LA tahu bahwa ada 2 macam respon dari stafnya,
yaitu menghindar dan ada yang termotivasi. Bagi staf yang menghindar, LA
berpendapat pasti mereka merasa sebal dengan dirinya karena selalu diingatkan
(dibawelin) dan akhirnya merasa tidak dianggap oleh LA.
Ia menyadari adanya perubahan dalam hubungannya dengan keempat
teman itu, yakni semakin jarang pergi atau makan bersama. Perubahan frekuensi
pertemuan ini yang disadari pertama kali oleh LA. Setelah menyadari hal ini, LA
berusaha untuk kembali mendekatkan diri. Salah satunya dengan mencoba
bergabung kembali dalam kelompok. Namun ketika LA berada dalam kelompok,
ia merasa tidak memahami topik pembicaraan teman-temannya tersebut. Keadaan
“ngga nyambung” ini membuat LA tidak nyaman berada di antara teman-
temannya. Jika begitu, LA merasa kesal dan memilih untuk menjauh. Tujuannya
adalah mencegah mood yang memburuk dan menghindari ia berbicara ketus pada
teman-temannya. LA khawatir jika temannya sakit hati karena mendengar
ucapannya. LA sadar bahwa ketika ia marah orang-orang disekitarnya dengan
mudah mengetahui hal ini. Ia pun mengaku bahwa dirinya termasuk orang yang
mudah tersulut emosinya.
Setiap kali terjadi masalah, penyelesaian yang paling sering dilakukannya
LA adalah mendekati kembali teman-temannya. Ia merasa bahwa hubungannya
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
64
Universitas Indonesia
memang membaik namun ada perbedaan tidak seperti semula. LA merasa
berjarak dengan teman-temannya. Ia mengeluhkan keadaan ini yang membuatnya
ketinggalan informasi seperti informasi beasiswa, seminar, atau aktivitas di
kampus, karena tidak ada teman yang memberi tahunya. Agar tak ketinggalan
informasi atau agar lebih paham mengenai suatu mata kuliah, LA tidak malu
untuk meminta agar diikutsertakan dalam kegiatan belajar kelompok. Hal ini
terkadang membuatnya dongkol atau kesal dengan dirinya sendiri karena tidak
ada yang mengajaknya sehingga ia terpaksa meminta. Menurut LA, ada pola
pertemanan di kampusnya. Orang-orang yang memiliki kesamaan karakter akan
berteman dan membentuk kelompok, baik untuk urusan akademis ataupun non-
akademis. Dengan demikian, orang-orang seperti LA tidak mudah untuk
mendapatkan kelompok kecuali mereka yang aktif mencari.
Menurut LA, sifat egoisnya juga tidak berkurang saat berkuliah. Ia masih
saja menghubungi teman-teman kuliahnya ketika ada keperluan tertentu. LA
merasa beruntung bahwa ia menyadari hal ini. Ia pun melakukan usaha seperti
mengirimkan pesan singkat hanya untuk menanyakan kabar atau sekadar ngobrol,
namun menurut LA pada akhirnya pasti ia menyampaikan maksud atau keperluan
tertentu. Hal ini membuat pembicaraan berlanjut mengenai kepentingan LA
terhadap temannya itu. LA menyebut hubungan dengan teman seangkatannya
“tidak sehat”. Namun selama ini LA menyatakan dirinya mampu menjalin
hubungan baik dengan orang yang lebih tua. Dengan adik kelas, LA juga cukup
mampu menjaga hubungan baik. Menurut pendapatnya, hal ini terjadi karena adik
kelas tidak mengetahui sifat LA dan LA masih merasa mampu untuk mengontol
mereka. Dengan adik kelasnya, LA merasa mampu untuk menjalin hubungan
timbal balik, meski masih sebatas urusan akademik atau organisasi.
Saat berkuliah, ia tinggal di sebuah kost. Selama hampir 2 tahun tinggal di
kost tersebut, LA jarang bersosialisasi dengan teman-teman satu kost. Menurutnya
dengan banyaknya tugas dan beban akademik membuatnya jarang keluar kamar.
Tidak seperti yang lain, di mana mereka memiliki kebiasaan berkumpul di kamar
salah satu penghuni saat malam hari. LA pernah mencoba bergabung beberapa
kali, dari percobaan ini LA merasa aktivitas berkumpul bersama hanya
membuang-buang waktunya. Banyak pembicaraan “ngalor ngidul” yang tidak
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
65
Universitas Indonesia
dimengertinya sehingga LA merasa lebih baik ia mengerjakan tugas di kamar.
Setelah itu muncul perasaan bahwa dirinya bukan menjadi bagian dari kelompok.
Meski di kost ada kakak kelasnya, LA merasa orang tersebut menghindari dirinya
ketika di kampus. Ia menganggap bahwa kakak kelasnya sudah mengetahui diri
LA yang sebenarnya sehingga memilih untuk menghindari LA.
Menurut LA, masalah ini tidak mengganggu fungsinya di dunia akademis.
Ia tetap dapat berkuliah dan dapat menjalankan perannya sebagai ketua kelas. Saat
diberikan tanggung jawab atau pekerjaan, LA cukup yakin bahwa dirinya dapat
melakukannya dengan baik. Salah satu contoh adalah dosen senang dan
menganggap LA menjalankan tugasnya dengan baik sebagai ketua kelas.
Selain sulit menjalin hubungan dengan teman, LA mengaku bahwa
hubungannya tidak dekat dengan keluarganya (Bapak dan Mama). Dengan ibu,
LA masih lebih sering mengobrol namun tidak membicarakan hal-hal yang
mendalam. Pembicaraan hanya seputar kehidupan akademis saja. LA menangkap
kesan bahwa ibu tidak mau berbagi cerita mengenai masalah dengan LA yang
sudah dewasa. Dengan ayahnya, LA sangat jarang berbincang kecuali untuk
masalah finansial. Selain itu, LA tidak pernah membicarakan hal-hal lain. LA
mengaku ia segan dan malu ketika harus berbincang dengan ayahnya. Begitu juga
hubungan LA dengan kedua adiknya. LA sangat jarang bercengkrama dengan
adik-adiknya.
Sampai saat ini, LA mengaku sudah terbiasa dengan pola asuh dan pola
komunikasi yang tidak dekat secara emosional seperti itu. Dalam keluarga, LA
merasa lebih mudah untuk menunjukkan emosi negatif, seperti marah dan sedih.
LA selalu merasa malu saat ia menunjukkan emosi senang dan sayang kepada
anggota keluarganya. Contohnya adalah LA jarang memberikan kado ulang tahun
secara langsung, ia lebih memilih untuk menaruhnya saja di samping tempat tidur
sehingga ia tidak perlu mengekspresikan emosi senang. Ia paham bahwa hal ini
tidaklah buruk namun rasa malu yang menahan LA untuk memberikannya secara
langsung. LA sebenarnya ingin menjalin komunikasi yang lebih dekat dengan
kedua orang tua. Kebiasaan keluarga melakukan aktivitas bersama-sama seperti
berpergian atau makan bersama tidak membuat komunikasi menjadi lebih hangat.
Selama ini topik pembicaraan hanya seputar dunia akademis saja.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
66
Universitas Indonesia
Dengan menjalin hubungan dengan lawan jenis, LA merasa dirinya
bersikap lebih hati-hati. Saat ada laki-laki yang mengajak berkenalan atau
berhubungan, LA merasa lebih mudah mengekspresikan emosinya lewat media
dibandingkan secara langsung. Ia merasa bahwa dirinya secara otomatis
menghindar ketika didekati karena dirinya merasa malu dan muncul ketakutan
jika salah tingkah. Pada akhirnya LA menduga bahwa kesulitannya untuk
berteman dekat disebabkan oleh sifatnya yang sulit untuk percaya dengan orang
lain. Ia harus mengenal orang tersebut barulah dapat terbuka.
4.2.3. Data Partisipan III
4.2.3.1. Data Pribadi DE
Inisial nama lengkap : DE
Usia : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Domisili : Ciputat
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Mahasiswa
Angkatan : 2010
Pelaksanaan wawancara awal : 5 April 2012
4.2.3.2. Observasi Umum
DE terbilang kurus, dengan tinggi badan diperkirakan 160 cm dan berat
badan sekitar 50 kg. Ia berkulit agak sawo matang dan selalu mengunakan
pakaian yang santai namun bersih. Setiap mengikuti sesi, DE menggunakan kaus,
celana jeans, dan membawa tas ransel. Ia beberapa kali menggunakan sepatu keds
atau sepatu datar. Rambutnya yang panjang nampak selalu terurai berantakan dan
ia membiarkan poninya menutupi setengah wajahnya.
DE selalu bersikap kooperatif sepanjang sesi meski di awal-awal
pertemuan ia belum mau bercerita banyak dan hanya menjawab apa yang
ditanyakan peneliti. Selama pertemuan, selalu ada kontak mata dengan peneliti.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
67
Universitas Indonesia
DE berbicara dengan suara yang cukup kencang, cukup lancar, dan tempo
bicaranya cepat. DE banyak cerita bila ditanya oleh peneliti. Ia paham kapan
waktunya untuk bercerita dan kapan waktunya untuk mengerjakan tugas. Gaya
bicara DE cukup sesuai, dari nada bicara dan juga ekspresi emosinya. Ketika DE
menceritakan hal yang lucu, ia akan tersenyum atau tertawa lepas. Berbeda ketika
ia menceritakan kejadian yang tidak mengenakan. Wajahnya menjadi
menyedihkan, raut muka berubah menjadi agak lesu, dan nada bicaranya
memelan. DE nampak cukup ekspresif dalam menampilkan emosinya. Beberapa
kali ia menutup wajahnya, terutama jika ia malu saat bercerita kepada peneliti.
Caranya bercerita tidak terlalu terstruktur namun peneliti masih dapat
memahaminya karena penjelasan dari DE. Ia cukup terbuka dan detil mengenai
apa yang diceritakannya. Penjelasan tersebut yang membuat peneliti mengerti
ceritanya. Di sesi awal, DE banyak bercerita mengenai hubungannya dengan
sahabat dan pacar. Ia jarang bercerita mengenai keluarganya. DE mudah
memahami instruksi yang disampaikan peneliti. Saat mengerjakan tugas yang
diberikan peneliti, DE mengerjakannya dengan cepat dan dalam diam. Sebelum
menulis, ia memiringkan kertas baru kemudian menulis. Terkadang ia bercerita
terlebih dahulu baru kemudian menuliskan kalimat singkat di kertas.
4.2.3.3. Gambaran Kasus
DE merasa membatasi diri dan sulit untuk menjalin hubungan yang lebih
dekat dengan orang lain. Saat ini, ia merasa terganggu dengan hal tersebut. DE
mengaku bahwa ia kurang menyukai kelompok-kelompok pertemanan (peer
group) yang ada di fakultasnya. Menurutnya ia tidak memiliki pikiran yang
sejalan dengan mereka. Ia memiliki prinsip bahwa dalam berteman, bertemanlah
dengan siapa saja dan jangan memilih-milih.
Prinsip ini membuat DE memilih untuk diam dan cenderung pasif ketika
ada pembuatan kelompok di kelas, ia tidak sibuk membentuk kelompok seperti
yang dilakukan teman-temannya. Selama ini, jarang yang mengajak DE
bergabung dengan kelompoknya. DE merasa bahwa teman-temannya meragukan
kemampuannya di kuliah. Padahal di sisi lain, DE yakin dirinya cukup kompeten
(“Kan aku cukup kompeten. Masih banyak yang dibawah aku padahal, tapi
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
68
Universitas Indonesia
mereka pasti dipilih untuk ikut kelompoknya”). Hal ini kerap kali terjadi sehingga
DE sering mendapatkan kelompok “sisa”. Kelompok tersebut terdiri dari orang-
orang yang tidak mendapatkan kelompok atau tidak diajak sehingga otomatis
menggabungkan diri menjadi sebuah kelompok. Awalnya DE selalu kesal jika
masuk dalam kelompok “sisa” yang terkesan orang buangan. Muncul perasaan
tidak dibutuhkan jika DE tidak mendapatkan kelompok. Namun ia memutuskan
untuk menerima hal ini dan menghilangkan kekesalannya agar dapat
menyelesaikan tugas bersama kelompok tersebut. Ia ingin membuktikan ke
teman-teman lain bahwa kelompok “sisa” pun bisa bekerja dengan baik. Ada
kalanya DE merasa bahwa kelompok yang dibentuk berdasarkan pertemanan
tidak mampu menunjukkan performa yang baik. Sering kali kelompok tersebut
tidak bekerja dengan serius karena banyak bercanda atau mengobrol, sehingga
kurang efektif. DE mengaku dirinya lebih senang jika kelompok di kelas dibentuk
oleh dosen. DE merasa bahwa kelompok otomatis terbentuk biasanya terdiri dari
orang-orang yang sama setiap waktu karena memang berteman dekat di luar
kuliah.
DE menceritakan suatu kejadian yang membuatnya kesal. Suatu hari, ia
sudah berkata pada sahabatnya (SH) bahwa jika nanti ada pembentukan
kelompok, DE ingin satu kelompok dengan SH. Namun ketika kelompok sudah
terbentuk, ternyata DE belum mendapatkan kelompok. SH lupa dan berpikir
bahwa DE akan sekelompok dengan pacar DE. Sementara pacar DE mengira
bahwa DE akan sekelompok dengan SH. Akhirnya DE tidak satu kelompok
dengan siapapun dan kembali tergabung dalam kelompok sisa. Saat itu DE merasa
sangat kesal dengan sang pacar dan SH. Ketika itu, ia merasa tersisihkan.
DE merasa dirinya sangat ekspresif, jadi jika sedang mengalami emosi
negatif, orang-orang di sekitarnya dapat langsung mengetahuinya. Menurut DE, ia
merupakan individu yang mudah marah namun mudah reda juga. Ketika marah,
DE merasa kesulitan untuk menahan emosi tersebut. Hal-hal yang memicu
munculnya emosi tersebut adalah jika hal-hal yang berjalan tidak sesuai dengan
rencananya, terutama jika disebabkan oleh orang lain. Menurutnya, ia selalu
sudah menyiapkan segala sesuatunya sesuai dengan apa yang diinginkan. DE
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
69
Universitas Indonesia
menganggap dirinya seorang perencana. Jika rencana yang dibuatnya berubah
karena orang lain, ia dengan mudah menjadi kesal dengan orang tersebut.
Jika kesal atau marah, ia lebih suka menjauh. DE mengakui bahwa dirinya
seorang yang cengeng. Jika ada masalah, maka ia tidak dapat menahan tangis.
Biasanya ia menangis dengan teman lain dan beralasan bahwa terjadi suatu hal
yang menyakitkan. DE enggan untuk menceritakan bahwa ia kesal dan sedih
karena tidak dapat kelompok atau tidak ada yang mengajaknya. Menurut DE,
alasan ini memalukan dan ia tidak ingin ada yang mengetahuinya.
Selain sulit untuk dekat, DE merasa dirinya sulit untuk terbuka dengan
orang-orang di dekatnya. Saat ini, ia hanya memiliki 1 sahabat (SH) yang
dipersepsikan memiliki karakteristik yang sama. Meski DE memiliki pacar yang
dinilai paling dekat, ia tetap saja kurang terbuka kepadanya. Pacarnya pun sudah
pernah menyampaikan keluhan bahwa DE nampak sangat tertutup dan enggan
untuk berbagi cerita dengan pacarnya. DE merasa bahwa sifat tertutupnya
merupakan hasil dari pola asuh orang tuanya. Ia merasa hubungan dengan orang
tuanya tidak dekat dan merasa ada jarak di antara mereka. Dengan orang tua, DE
jarang sekali berkomunikasi, kecuali untuk urusan finansial. Sedari dulu kedua
orang tua bekerja dan DE terbiasa sendirian di rumah hanya ditemani pembantu
rumah tangganya. Jika orang tua pulang, biasanya sudah larut malam sehingga
memang mereka tidak terbiasa untuk bercerita. DE mengatakan bahwa kedua
orang tua hanya bertanya urusan akademis. DE sendiri tidak suka jika orang tua
bertanya mengenai hal tersebut karena sejak SD ia tidak memiliki masalah
akademis.
Akhirnya sifat DE yang tertutup dan sulit dekat tercermin dari
perilakunya. DE mengaku ketika kuliah ia lebih senang duduk sendiri di barisan
depan. Ia merasa tidak bermasalah jika harus duduk sendirian. Selain itu, DE
menyadari bahwa ia sulit untuk berkonsentrasi sehingga memilih untuk duduk di
depan agar tidak terganggu oleh teman-teman.
DE menilai dirinya tidak dapat berbicara seperti perempuan pada
umumnya, yaitu dengan lemah lembut dan dapat berbasa-basi. Saat ia berbicara,
umumnya DE langsung menuju pada inti pembicaraan. Seperti DE yang jarang
menawarkan bantuan dan memilih untuk langsung melakukannya. Kebiasaan ini
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
70
Universitas Indonesia
membuatnya kurang nyaman, ia ingin mencoba untuk berbasa-basi atau sekadar
menanyakan kabar ke teman-temannya.
Sejak dulu, DE terbiasa untuk berpikir negatif. Seperti ia langsung
menuduh atau berprasangka buruk terhadap orang lain. Kebiasan ini membuat DE
tidak nyaman sehingga saat ini ia sedang berusaha untuk mengubah diri. Ia sudah
menuliskan secara mandiri perubahan aya yang akan dicapai. Salah satunya
dengan mulai berpikir positif. DE mengaku bahwa ia sudah cukup baik dalam
mencapai tujuannya, yaitu berusaha untuk berpikir positif terhadap semua
keadaan ataupun kepada orang lain. Namun DE menyadari bahwa ia tetap menilai
dirinya negatif. Ia merasa dirinya seorang yang pelupa, suka menunda, tidak
seperti kebanyakan teman perempuannya, dan mudah marah.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
71
Universitas Indonesia
BAB V
HASIL INTERVENSI
Pada bab lima, peneliti membahas mengenai proses pelaksanaan intervensi
berdasarkan rancangan intervensi yang peneliti susun pada Bab 3. Penjelasan pada
bab ini meliputi observasi terhadap partisipan selama mengikuti intervensi, proses
pelaksanaan, dan pengukuran akhir setelah intervensi pada tiap partisipan.
5.1. Pemaparan Kasus DI
5.1.1. Observasi Terhadap DI
Berikut ini merupakan tabel jadwal pelaksanaan intervensi dengan DI,
yang meliputi jadwal pertemuan yang sudah dijanjikan dan realisasi waktu
pelaksanaan intervensi.
Intervensi Jadwal Pelaksanaan Realisasi Pelaksanaan
Pre-sesi Kamis, 5 April 2012
13.30
Kamis, 5 April 2012
13.30 – 15.30
(120 menit)
Sesi 1
(90”)
Selasa, 10 April 2012
14.00
Selasa, 10 April 2012
14.30 – 16.00
(90 menit)
Sesi 2
(120”)
Selasa, 17 April 2012
13.00
Selasa, 17 April 2012
13.30 – 16.00
(150 menit)
Sesi 3
(120”)
Selasa, 24 April 2012
13.00
Selasa, 24 April 2012
13.40 – 17.00
(200 menit)
Sesi 4
(120”)
Rabu, 2 Mei 2012
09.00
Rabu, 2 Mei 2012
08.45 – 11.50
(185 menit)
Sesi 5
(90”)
Jumat, 11 Mei 2012
08.30
Jumat, 11 Mei 2012
08.50 – 10.30
(100 menit)
Sesi 6
(90”)
Rabu, 16 Mei 2012
08.00
Rabu, 16 Mei 2012
08.30 – 11.00
(150 menit)
Tabel 5.1. Waktu Pelaksanaan Intervensi DI
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
72
Universitas Indonesia
DI mampu mengikuti intervensi dengan cukup baik. Ia mengikuti proses
intervensi sebanyak 6 kali hingga selesai. Secara umum, pelaksanaan sesi dengan
DI berjalan sesuai dengan rencana awal meski ada beberapa sesi yang terpaksa
diubah karena kepentingan akademis. Terlihat bahwa pada awalnya sesi
berlangsung secara rutin, sesuai dengan perjanjian di presesi, yaitu setiap hari
Selasa. Namun sejak sesi keempat, ada perubahan waktu karena menyesuaikan
dengan waktu pengerjaan skripsi DI yang harus dilakukan di laboratorium. DI
memilih untuk mengubah sesi menjadi hari Rabu tiap minggunya. Perubahan ini
sudah disampaikan terlebih dahulu oleh DI kepada peneliti.
Selama intervensi, DI cenderung tidak tepat waktu dan hanya
memberitahukan alasan ketika ditanya peneliti melalui SMS. Ia terlambat pada
sesi 1, 2, 3, 5, dan 6. Sedangkan DI datang lebih awal dari waktu perjanjian pada
saat sesi 4. Pada sesi 1, DI datang terlambat karena masih menunggu teman
bergantian menjaga laboratorium. Di sesi dua, alasan keterlambatannya adalah
menunggu bis kuning yang tidak kunjung datang. Di sesi ketiga, DI memajukan
waktu sesi karena harus bertemu dengan dosen pada pukul 16.00 di fakultasnya.
Namun ia datang terlambat karena harus menunggu bis kuning. Pada sesi kelima
dan keenam, intervensi mundur dari jadwal yang sudah ditentukan karena DI yang
masih menunggu dijemput saudaranya.
Waktu pelaksanaan sesi intervensi cenderung melewati rentang waktu
pelaksanaan sesi (perkiraan peneliti 90-120 menit). Hal ini disebabkan DI yang
banyak bercerita sehingga melewati batas waktu intervensi. Meski sudah
diingatkan mengenai waktu yang terbatas, DI tetap bercerita dan meminta waktu
kepada peneliti. Nampak bahwa DI senang berbicara dan membutuhkan waktu
lebih lama dari yang sudah ditentukan. Ada kalanya DI perlu waktu lebih lama
untuk memahami beberapa instruksi dari peneliti. Ia akan menanyakan kepada
peneliti maksud dari instruksi atau meminta peneliti mengulang kembali instruksi
tersebut. Begitu juga di beberapa sesi, ketika DI diminta mencari bukti-bukti yang
menentang pikirannya. Secara umum, DI mampu mengikuti proses intervensi
dengan baik karena mencapai tujuan-tujuan intervensi yang sudah ditetapkan
peneliti. Selama intervensi, DI bersikap kooperatif, aktif, terjadi komunikasi yang
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
73
Universitas Indonesia
sifatnya 2 arah, mampu memahami penjelasan peneliti, dan bersedia mengerjakan
lembar kerja sesuai instruksi.
5.1.2. Proses Pelaksanaan Intervensi Terhadap DI
Sesi Target Pencapaian Sesi
1 Menjalin rapport DI merasa nyaman dengan peneliti dan
memanggil peneliti dengan nama. DI terbuka
dalam bercerita.
Penjelasan intervensi DI mengikuti proses dengan baik dan
menyatakan paham mengenai proses intervensi.
Identifikasi masalah dan
respon yang muncul
DI memerlukan waktu untuk menentukan
masalah karena merasa banyak masalah yang
bobotnya sama. Akhirnya ia dapat memilih
sebuah masalah spesifik yang akan ditangani. DI
menceritakan mengenai beberapa penyebab
munculnya masalah. DI bercerita terlebih dahulu
baru kemudian menulis respon-respon yang
muncul dari sebuah kejadian. DI menyatakan
paham hubungan antara emosi, pikiran, dan
perilaku.
Pembuatan formulasi
masalah
Secara umum DI mengikuti proses dengan
cukup baik dan mampu membuat formulasi
masalah. Memang pada awalnya DI agak
bingung menentukan kejadian spesifik. Nampak
DI lebih mudah untuk bercerita terlebih dahulu
daripada langsung menuliskannya. Begitu juga
dengan penuliskan keempat aspek yang menjadi
respon dari sebuah kejadian. DI awalnya agak
bingung untuk menentukan penghayatannya,
namun dengan bantuan peneliti DI berhasil dan
mendapatkan tilikan.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
74
Universitas Indonesia
Penentuan tujuan dari
intervensi dengan
prinsip SMART
DI menginginkan adanya perubahan dan paham
mengenai prinsip SMART. Ia menuliskan 4
tujuan dan mengurutkannya dari tujuan yang
paling ingin dicapai DI. Setelah itu, DI
menentukan mini goals dari tujuan utama dan
angka dalam skala pencapaian tujuannya.
Berikut tujuan DI dalam mengikuti intervensi:
1. Berpikiran positif (terutama tentang hal-
hal di masa depan)
2. Mengendalikan emosi
3. Menjadi pribadi yang lebih baik
Mini goals dari tujuan utama:
1. Tersenyum
2. Mulai berbicara lebih halus
Analisa dan evaluasi peneliti:
DI dapat mengikuti sesi pertama dengan baik walaupun membutuhkan
waktu untuk memahami beberapa instruksi dalam sesi. DI dapat mencapai tujuan-
tujuan yang diharapkan dari sesi pertama. DI merasa cemas saat memikirkan
pendapat orang lain tentang dirinya. Nampak bahwa masalah yang dimiliki DI
berkaitan dengan kejadian-kejadian yang berulang dan kejadian yang cukup berat
di awal tahun 2012. Kejadian itu antara lain ayah yang mengulang-ulang
kesalahan DI di depan orang lain, putus hubungan dengan pacar, pendapat mantan
pacar tentang sifat DI yang buruk, dan tuduhan yang dikemukakan oleh beberapa
orang teman kuliah DI terhadap kinerjanya sebagai bendahara kelas.
DI memiliki keyakinan bahwa dirinya buruk dan menyatakan sulit untuk
mengatasi keyakinan tersebut. Selama sesi, nampak DI memiliki tilikan meski
peneliti beberapa kali mengulang instruksi dan memperjelas apa yang
disampaikan. Peneliti menilai DI cukup sadar dan peka akan apa yang terjadi
padanya, seperti mencari bantuan ketika merasa memiliki masalah berat dan
respon yang ia alami ketika berada di suatu situasi.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
75
Universitas Indonesia
Sesi Target Pencapaian Sesi
2 Pembahasan tugas
rumah dan mini goals
DI tidak mengerjakan dan menolak ketika
peneliti meminta DI mengerjakan di awal sesi.
Ia berpendapat dirinya sudah paham hanya
dengan mengidentifikasi dalam pikirannya. Ia
telah mencapai mini goals yang sudah
ditetapkan. DI merasa senang ketika tujuan
tersebut sudah berhasil dicapainya.
Penjelasan hubungan
emosi dan pikiran
DI mengikuti proses dengan baik dan paham
akan hubungan antara emosi dan pikiran. DI
paham bahwa emosi negatif yang muncul
dipengaruhi oleh pikiran yang juga negatif saat
berada pada situasi tertentu.
Affective education
sehingga paham
mengenai emosi
DI mengikuti proses dengan baik dan cukup
peka dengan emosinya. DI dapat membedakan
emosi-emosi pada contoh kasus.
Penjelasan mengenai
pikiran otomatis
DI mengikuti proses dengan baik dan mampu
mengidentifikasi pikiran otomatis pada contoh
kasus. Seperti pada worksheet 6.
Pengenalan terhadap
model A-B-C
DI mengikuti proses dengan baik dan mampu
membedakan antara situasi, pikiran, dan emosi.
DI dapat mengidentifikasi mana yang
merupakan sebuah situasi, emosi (perasaan),
atau pikiran. Seperti cemas dan takut
merupakan emosi, serta “saya seharusnya tidak
dimarahi” merupakan pikiran.
Thought monitoring DI mengikuti proses dengan baik dan dapat
mengidentifikasi A-B-C berdasarkan kasus
pribadinya, yakni saat ditinggalkan oleh mantan
pacarnya. Kejadian ini memberikan dampak
yang cukup hebat pada DI sehingga muncul
emosi sedih dan memberikan angka 90 untuk
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
76
Universitas Indonesia
menunjukkan intensitas emosi sedih tersebut.
Pencarian core belief DI mengikuti proses dengan baik sehingga
menemukan core belief dari pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan peneliti. Core belief
yang dimiliki DI adalah “Merasa dirinya buruk”
dengan tingkat keyakinan 70 dari skala 0-100.
DI menceritakan keyakinan ini hampir selalu
muncul dalam hidupnya dengan memberikan
contoh-contoh kejadian di masa lalu.
Analisa dan evaluasi peneliti:
DI dapat mengikuti sesi kedua dengan baik. Ia telah mencapai mini goals dalam
usaha mencapai tujuan utama, mampu memahami hubungan emosi dan pikiran
otomatis, serta dapat mengidentifikasi pikiran otomatis dan emosinya pada situasi-
situasi tertentu. Dalam sesi ini, DI berhasil menemukan core belief-nya dengan
bantuan berbagai pertanyaan yang diajukan peneliti. Ia memahami bahwa
keyakinan tersebut kerap kali muncul jika DI berada pada situasi tertentu.
Sesi Target Pencapaian Sesi
3 Pembahasan tugas
rumah
DI tidak mengerjakan tugas karena ia sudah
paham mengenai A-B-C sehingga tidak merasa
perlu menuliskannya meski sudah berjanji. Ia
mau mengerjakannya ketika peneliti
memberikan lembar thought diary kepadanya,
namun DI menuliskan kejadian yang sama
seperti di sesi sebelumnya.
Identifikasi unhelpful
thinking style
DI dapat mengidentifikasi unhelpful thinking
styles yang sering digunakannya, yaitu
personalisation, labelling, dan magnification.
Pencarian bukti-bukti
(detective works)
DI mudah mencari bukti-bukti pendukung core
belief. Namun DI membutuhkan waktu sangat
lama untuk mencari bukti-bukti yang menentang
core belief-nya (90 menit). DI merasa tidak
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
77
Universitas Indonesia
punya kelebihan dan sifat yang dimilikinya tidak
lebih baik dibandingkan orang lain.
Disputation DI senang ketika menyadari dirinya memiliki
kelebihan seperti apa yang sudah ditulisnya.
Nampak DI sulit untuk mempercayai hal
tersebut. DI merasa dirinya selama ini tidak
pantas dipuji karena ajaran ayahnya. Menurut
ayah DI, ia harus memperhatikan kritik orang
lain dan tidak mengingat-ingat pujian dari orang
lain.
Saat melakukan disputation, DI merasa
keyakinan tersebut tidak realistis dan tidak
selalu benar. Di akhir sesi, DI mengemukakan
dirinya tidak seburuk yang ia pikirkan
sebelumnya meski masih ada beberapa hal
dalam dirinya yang perlu dibenahi atau diubah.
Analisa dan evaluasi peneliti:
DI membutuhkan waktu sangat lama untuk menemukan bukti yang berlawanan
dengan core belief yang dimilikinya. Peneliti menilai DI kesulitan saat melakukan
detective works meski pada akhirnya DI mencapai tujuan yang diharapkan
peneliti. Peneliti menduga core belief tersebut sudah mengakar dan cukup kuat
sehingga DI membutuhkan usaha keras untuk mengatasinya. Peneliti menilai
disputation yang dilakukan DI cukup berhasil, karena DI sudah menyadari
pikirannya yang tidak realistis dan tidak selalu benar.
Sesi Target Pencapaian Sesi
4 Pembahasan tugas
rumah
DI tidak mengerjakan tugas dan menolak ketika
peneliti memintanya untuk mengerjakan saat itu
juga. Ia merasa senang karena menyadari akan
perubahan yang dialaminya dan sudah mampu
mengatur pikirannya.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
78
Universitas Indonesia
Evaluasi hasil
disputation
DI menyatakan keheranan karena memiliki
pikiran yang tidak berguna dan tidak selalu
benar.
Pembuatan balanced
core belief
DI mengikuti proses dengan baik dan mampu
menentukan balanced core belief. DI mencapai
tujuan yang diharapkan peneliti dengan adanya
penurunan intensitas emosi dan tingkat
keyakinan DI terhadap pikiran awal yang negatif
(core belief).
Klien mempercayai
balanced core belief
dengan membuat
thought card
DI mengikuti proses dengan baik dan
menentukan sebuah kalimat untuk dituliskan
dalam thought card. DI menyatakan sudah
paham cara untuk mempercayai balanced core
belief, yakni dengan pengulangan.
Perancangan behavior
experiment
DI menyatakan ingin menguji kebenaran dari
balanced core belief-nya, yaitu “I can be better
because I can solve my weakness”. Caranya
dengan menyapa atau memanggil teman-
temannya terlebih dahulu, terutama teman-teman
yang pernah menuduh DI dan berbuat tidak enak
pada DI.
Analisa dan evaluasi peneliti:
Peneliti merasa bahwa DI belum cukup mampu untuk mengerjakan tugas
rumah (pengubahan kognitif) secara mandiri. Peneliti menduga DI masih
memerlukan bantuan atau dukungan meski tidak dikemukakannya. DI merasa
mengalami perubahan sejak sesi sebelumnya. Saat ini DI merasa lebih mampu
untuk berpikir positif dengan menceritakan kejadian yang dialaminya. Pada sesi
ini, DI nampak terokupasi pada sebuah topik yang kurang berhubungan dengan
masalahnya. Ia sedang terokupasi mengenai seorang teman laki-laki yang sedang
ditaksirnya. DI berulang kali bercerita mengenai bagaimana perasaannya terhadap
teman tersebut, angan-angan DI seandainya ia dapat lebih dekat dengan temannya
itu.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
79
Universitas Indonesia
DI paham mengenai aplikasi balanced core belief, yakni dengan pengulangan
dan latihan langsung. Dengan demikian, dapat menguji kebenaran dari balanced
core belief. Secara umum, DI telah mencapai tujuan yang diharapkan peneliti di
sesi ini.
Sesi Target Pencapaian Sesi
5 Review materi sesi
sebelumnya
DI merasa sulit untuk mempercayai balanced
core belief, namun ia mampu untuk mengatur
emosinya agar menjadi lebih positif. Thought
card dirasakan membantunya mempertahankan
keyakinan terhadap balanced core belief.
Affective management DI mengikuti proses dengan baik dan mampu
menentukan teknik bernapas yang membantu
dirinya.
Pengujian balanced
core belief melalui
perancangan behavior
experiment
DI mengikuti proses dengan baik dan mampu
merancang behavior experiment (pada
worksheet 13)
Analisa dan evaluasi peneliti:
DI merasa agak kesulitan dalam mempercayai balanced core belief (“I can
be better, because I can solve my weakness”) namun mampu menemukan cara
untuk mengatasinya. Ia menyadari adanya perubahan pada dirinya dan nampaknya
lebih peka terhadap respon emosinya. DI juga mampu mengatur pikirannya
dengan mencari pikiran yang lebih positif dan adaptif, salah satunya dengan
bantuan thought card dan pembuatan positive self-talk.
DI paham mengenai keuntungan dari teknik bernapas yang diajarkan peneliti
jika ia mengalami kejadian yang tidak mengenakan. Di sesi ini, ia nampaknya
sudah memahami bagaimana cara untuk menguji keyakinan yang salah, dengan
merancang BE yang harus direalisasikan.
Sesi Target Pencapaian Sesi
6 Review materi sesi
sebelumnya
DI merasa BE yang dilakukan berjalan cukup
baik dan menyadari bahwa keyakinannya salah.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
80
Universitas Indonesia
Ia mampu untuk membuat kesimpulan dan
balanced core belief. DI merasakan sendiri
bagaimana pikirannya diuji dan menyadari
kesalahan dalam pikirannya, serta keuntungan
melakukan BE.
Klien menyadari
pencapaian dan
perubahan pada dirinya
DI merasa ada perubahan dan menyusun
pencapaiannya selama sesi. Ia mampu
mengidentifikasi faktor-faktor pendukung serta
penghambat terjadinya perubahan dalam dirinya.
Penentuan rencana
untuk mempertahankan
kebiasaan yang lebih
positif dan menyusun
langkah-langkah
preventif
DI menyadari akan adanya kegagalan atau
kemunduran dan mampu menentukan langkah-
langkah preventif yang dirasakan berguna bagi
dirinya.
Post-test DI mengikuti proses dengan baik dan menyadari
akan adanya perubahan sejak pengisian
kuesioner saat pre-test.
Evaluasi DI mengikuti proses dengan baik dan
memberikan umpan balik secara verbal, sesuai
dengan apa yang diajukan peneliti.
Analisa dan evaluasi peneliti:
Dari intervensi yang dilakukan dan dari pencapaian tujuan sesi, peneliti menilai
DI sudah semakin memahami dirinya dan cara mengontrol diri yang semakin
baik. DI menyatakan dirinya sudah menerima kekurangan dan mampu menyadari
kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. DI juga menyadari kemungkinan
terjadinya kemunduran dan sudah tahu cara-cara untuk mencegah serta mengatasi
kemunduran tersebut. Secara umum, DI merasa sangat terbantu dan merasakan
sendiri adanya perubahan pada dirinya.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
81
Universitas Indonesia
5.1.3. Hasil Intervensi Terhadap DI
5.1.3.1. Hasil Pengukuran Efektivitas Intervensi dengan CBT
Aspek Pengukuran Pre-ttest Post-test Keterangan
Keterampilan sosial (SSI) 231 253 Membaik
Emotional expressivity 40 40 Tetap
Emotional sensitivity 40 46 Membaik
Emotional control (23) 33 Membaik
Social expressivity 44 48 Membaik
Social sensitivity 48 40 Membaik
Social control 36 46 Membaik
Distres psikologis (HSCL-25) 3.24 1.68 Membaik
Tabel 5.2. Pengukuran Kuantitatif DI
Keterangan: (…) = dimensi yang kurang
Peneliti melihat efektivitas CBT dalam meningkatkan keterampilan sosial
dengan melihat dinamika perubahan skor pada keterampilan sosial, terutama
dimensi emotional control dan social sensitivity, serta perubahan tingkat distres
psikologis DI. Dengan adanya intervensi dengan CBT, skor dimensi emotional
control membaik karena mengalami peningkatan dari skor 23 menjadi 33.
Perubahan skor menunjukkan ada peningkatan keterampilan dalam mengatur dan
meregulasi pesan emosional serta non-verbal, seperti mulai sering berpikir positif
sehingga emosi yang muncul tidak selalu negatif dan DI mampu untuk mencari
alternatif pikiran yang lebih positif. Peningkatan ini juga membuat DI mampu
untuk menyampaikan dan menyembunyikan emosi yang ia alami, salah satunya
dengan berkurangnya frekuensi mengeluh.
Selain itu, dimensi social sensitivity juga membaik karena terjadi
penurunan dari 48 menjadi 40. Perubahan ini terlihat dari perilaku DI yang
menyadari dirinya juga memiliki kelebihan dan ada orang lain yang
memperhatikan sisi positifnya. Meski terjadi penurunan pada 1 dimensi, secara
keseluruhan keenam dimensi menjadi lebih baik dan seimbang. Perubahan skor
tiap dimensi membuat skor total keterampilan sosial DI berubah dari 231 menjadi
253. Selain meningkatnya skor total keterampilan sosial, terjadi penurunan distres
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
82
Universitas Indonesia
psikologis yang signifikan pada DI. Setelah ia mengikuti intervensi dengan CBT,
terjadi penurunan tingkat distres psikologis dari 3.24 menjadi 1.68. Dengan
tingkat distres psikologis seperti itu, artinya DI tidak lagi mengalami distres
psikologis. Dari perubahan keterampilan sosial dan tingkat distres, dapat
disimpulkan bahwa intervensi dengan CBT efektif untuk meningkatkan
keterampilan sosial dan menurunkan distres psikologis pada DI.
5.1.3.2. Refleksi Subjektif DI Terhadap Proses dan Keberhasilan Intervensi
DI berpendapat setelah menjalani intervensi selama 6 sesi, ia mengalami
perubahan. Perubahan yang ia sadari antara lain merasa perilaku dan pola pikirnya
menjadi lebih positif, lebih mampu mengatur emosinya, lebih menghargai diri
sendiri, caranya melihat segala sesuatu lebih positif, menyadari bahwa pikiran
negatifnya tidak selalu benar, merasa lebih baik, dan lebih jarang mengeluh.
Di awal sesi, nampak DI lebih banyak mengeluh dan nuansa emosinya
cenderung negatif (marah dan kesal). Ia masih terus beranggapan bahwa kejadian-
kejadian buruk di awal tahun merupakan kesalahannya dan orang-orang tidak
menyukai dirinya. Namun di sesi-sesi akhir, DI merasa lebih baik dan menerima
hal-hal positif yang dimilikinya. Ia juga merasa lebih percaya diri saat berinteraksi
dengan orang lain.
5.1.3.3. Evaluasi DI terhadap Intervensi
Peneliti meminta DI memberikan umpan balik dan evaluasi dari intervensi
yang sudah dijalaninya. Peneliti menanyakan 3 hal, yaitu umpan balik mengenai
materi intervensi, program intervensi secara keseluruhan, dan evaluasi terhadap
peneliti. Untuk materi intervensi, DI merasa materi yang disampaikan bagus
sehingga ia mengetahui diri sendiri, pemulihan diri, dan bagaimana pencapaian
target. DI merasa senang karena dapat menemukan sendiri jawaban atas
pertanyaan ataupun masalahnya.
Umpan balik DI mengenai program intervensi adalah kebingungannya di
awal sesi, karena tidak mendapatkan saran dari peneliti sementara DI berharap ia
akan mendapatkan jawaban. Ia mengira intervensi yang akan dilakukan sama
seperti konseling, di mana peneliti akan memberikan saran yang diminta DI.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
83
Universitas Indonesia
Peneliti yang selalu bertanya balik akhirnya membuat DI berpikir dan membantu
DI menemukan hal-hal yang belum terlihat selama ini. Dengan pengajuan
pertanyaan reflektif seperti itu, membuat DI berpikir dan menemukan sendiri jalan
keluarnya, akhirnya ia tidak lagi bingung mengenai intervensi tersebut. DI juga
merasa bahwa peneliti merupakan kunci untuk membuka pintu yang sulit.
Evaluasi DI terhadap peneliti adalah sabar mendengarkan dirinya yang banyak
berbicara, sangat pengertian, ramah, terbuka, dan mau membantunya. Ia juga
merasa tidak dianggap sebagai subjek penelitian untuk pengerjaan tesis semata.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti dirasakan jelas dan membantu.
5.2. Pemaparan Kasus LA
5.2.1. Observasi Terhadap LA
Intervensi Jadwal Pelaksanaan Realisasi Pelaksanaan
Pre-sesi Selasa, 3 April 2012
10.00
Selasa, 3 April 2012
10.00 – 11.00
(60 menit)
Sesi 1
(90”)
Selasa, 17 April 2012
08.00
Selasa, 17 April 2012
08.30 – 10.00
(90 menit)
Sesi 2
(120”)
Kamis, 26 April 2012
16.00
Kamis, 26 April 2012
16.00 – 18.15
(135 menit)
Sesi 3
(120”)
Senin, 30 April 2012
08.30
Senin, 30 April 2012
08.50 – 10.25
(95 menit)
Sesi 4
(120”)
Kamis, 10 Mei 2012
16.30
Kamis, 10 Mei 2012
16.45 – 18.50
(125 menit)
Sesi 5
(90”)
Senin, 14 Mei 2012
08.00
Senin, 14 Mei 2012
08.30 – 10.15
(105 menit)
Sesi 6
(90”)
Selasa, 22 Mei 2012
08.00
Selasa, 22 Mei 2012
08.45 – 10.50
(125 menit)
Tabel 5.3. Waktu Pelaksanaan Intervensi LA
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
84
Universitas Indonesia
LA mampu mengikuti intervensi dengan cukup baik. LA mengikuti proses
intervensi sebanyak 6 kali hingga selesai. Secara umum, pelaksanaan sesi sesuai
dengan rencana awal meski ada sesi-sesi yang terpaksa diubah karena LA yang
berhalangan datang. Terlihat bahwa pada awalnya sesi berlangsung secara rutin,
sesuai dengan perjanjian di presesi, yaitu setiap hari Selasa.
Selama mengikuti intervensi, LA cenderung tidak tepat waktu namun ia
selalu memberitahu peneliti sebelum waktu perjanjian mengenai alasan
keterlambatannya. LA datang terlambat pada sesi 1, 3, 4, 5, dan 6. LA pernah
datang tepat waktu hanya pada sesi 2. Pada sesi 1, LA datang terlambat karena
harus mengumpulkan tugas terlebih dahulu. Sesi 3 juga terlambat karena sarapan
sebelum mengikuti sesi. Untuk sesi 4, LA terlambat karena baru saja sampai di
kampus setelah kerja praktik. Di sesi kelima dan terakhir, sesi terlambat dimulai
karena LA sarapan terlebih dahulu.
Sejak sesi pertama, realisasi intervensi tidak selalu sesuai dengan
perjanjian di presesi. LA sudah mengatakan sebelumnya kepada peneliti bahwa ia
akan selalu datang namun menyesuaikan dengan jadwal latihan praktik di rumah
sakit. Halangan ini membuat terjadinya perubahan jadwal sesi, seperti yang terjadi
pada sesi kedua. LA memundurkan hari pertemuan yang semula hari Senin,
namun karena LA mengalami nyeri haid sehingga sesi diundur menjadi hari
Selasa. Pemberitahuan ini disampaikan LA kepada peneliti pada pagi hari
sebelum waktu pertemuan. Namun pada hari Selasa, LA tidak dapat datang karena
ada kegiatan di fakultasnya sehingga ia menundanya menjadi hari Rabu. Ketika
hari Rabu, LA kembali tidak dapat datang mengikuti sesi karena perubahan
jadwal kuliah oleh dosennya. Dengan demikian sesi baru bisa dilaksanakan pada
hari Kamis setelah ia selesai kuliah.
Waktu pelaksanaan sesi intervensi dengan LA cenderung melewati batas
waktu yang sudah ditentukan meski tidak terlalu lama. Peneliti menduga bahwa
LA membutuhkan waktu lebih lama untuk bercerita dan membicarakan hal-hal
lain selama sesi namun tetap mengetahui batasan waktu tiap sesinya. Selama
intervensi, LA hanya membutuhkan waktu lebih lama pada saat pencarian bukti-
bukti yang menentang pikiran negatifnya.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
85
Universitas Indonesia
Secara umum LA dapat mengikuti proses intervensi dengan baik karena
sudah mencapai tujuan-tujuan intervensi yang ditetapkan peneliti. Selama
intervensi LA alur jalannya intervensi dengan baik, mengerjakan tugas rumah,
mengisi lembar kerja sesuai dengan instruksi peneliti, bersikap aktif, dan sangat
kooperatif.
5.2.2. Proses Pelaksanaan Intervensi terhadap LA
Sesi Target Pencapaian Sesi
1 Menjalin rapport LA merasa nyaman dengan peneliti dan terbuka
kepada peneliti.
Penjelasan intervensi LA mengikuti proses dengan baik dan
mengajukan pertanyaan mengenai emosi dan
hubungannya dengan kemunculan pikiran-
pikiran tertentu.
Identifikasi masalah dan
respon yang muncul
LA langsung mendiskusikan masalahnya dengan
peneliti dan memutuskan untuk mengatasi satu
masalah yang paling membebaninya saat ini.
Menurut LA, masalah-masalah yang dialaminya
berkaitan satu sama lain. Saat latihan
mengidentifikasi, LA mengaku lebih sering
menyadari pikirannya terlebih dahulu baru
kemudian respon lainnya. Secara umum, LA
mampu mengidentifikasi respon-respon dan
paham akan hubungan diantaranya.
Pembuatan formulasi
masalah
LA mengikuti proses dengan cukup baik dan
mampu membuat formulasi masalah. Ia
menceritakan kejadiannya terlebih dahulu baru
kemudian menuliskan. LA menuliskan berbagai
respon dan mampu membuat penghayatan
dengan cepat. Setelah itu, LA mendapatkan
tilikan atas apa yang sebenarnya terjadi dan
menyadari pikirannya tidak selalu benar.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
86
Universitas Indonesia
Penentuan tujuan dari
intervensi dengan
prinsip SMART
LA memahami prinsip SMART dan menyatakan
ingin ada perubahan dalam dirinya. LA
menuliskan 4 tujuan dan mengurutkannya dari
tujuan yang paling ingin dicapainya. Kemudian
LA menyusun mini goals dari tujuan utama dan
angka dalam skala pencapaian tujuannya.
Berikut tujuan LA dalam mengikuti intervensi:
1. Jadi orang yang ramah, ceria, care
dengan lingkungannya
2. Punya teman banyak dan dekat
3. Bisa mengungkapkan emosi positif
(terutama ke keluarga)
4. Bisa ngobrol dengan teman-teman yang
tidak sesuai topik omongannya
Mini goals dari tujuan utama:
1. Senyum dan menyapa orang-orang yang
dikenal
2. Duduk ngobrol baik di kampus atau di
kosan
3. Ngajak temen kos makan malam bareng
4. Ngajak temen berangkat minimal 1
minggu sekali
LA menangis ketika menceritakan pencapaian
tujuan yang dipersepsikan masih 0 (dari skala 0-
100).
Analisa dan evaluasi peneliti:
LA mengikuti sesi pertama dengan baik dan memiliki tilikan. LA bersedia terbuka
dengan peneliti dengan menceritakan hal-hal yang sensitif. Secara umum, LA
sudah mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan dari sesi pertama.
Masalah LA, yaitu sulit percaya dengan orang lain membuat LA merasa dirinya
bukan pemimpin yang baik (delegasi tugas) dan bukan teman yang baik. Masalah
ini membuat LA tidak memiliki teman dekat. Dengan keluarga, hubungan LA
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
87
Universitas Indonesia
tidak dekat secara emosional. Menurut peneliti, isu keluarga menjadi isu utama
bagi LA dan menjadi topik yang sangat sensitif. Namun LA tidak banyak
bercerita mengenai isu tersebut. Fokus LA pada hubungan sosial di lingkungan
kampus. LA memiliki tilikan bahwa pikirannya tidak selalu benar. Ia termasuk
individu yang peka dengan dirinya, LA mengetahui apa yang terjadi padanya.
Sesi Target Pencapaian Sesi
2 Pembahasan tugas
rumah dan mini goals
LA mengerjakan tugas dan mendapatkan tilikan
bahwa pikirannya tidak selalu benar. LA juga
menguji pikirannya dengan menanyakan
langsung pada orang yang berhubungan dengan
masalahnya. LA menyatakan sudah paham cara
mengidentifikasi responnya. Ia senang ketika
peneliti menyadarkannya bahwa LA sudah
mencapai semua mini goals yang sudah
ditetapkan.
Penjelasan hubungan
emosi dan pikiran
LA mengikuti proses dengan baik dan paham
akan hubungan antara emosi dan pikiran. LA
memberikan contoh kasus pribadinya untuk
mengkonfirmasi pemahamannya akan materi
sesi.
Affective education
sehingga paham
mengenai emosi
LA mengikuti proses dengan baik dan peka
terhadap emosinya. LA dapat membedakan
emosi-emosi pada contoh kasus.
Penjelasan mengenai
pikiran otomatis
LA mengikuti proses dengan baik dan mampu
mengidentifikasi pikiran otomatis pada contoh
kasus (seperti pada worksheet 6).
Pengenalan terhadap
model A-B-C
DI mengikuti proses dengan baik dan mampu
membedakan antara situasi, pikiran, dan emosi.
LA mengerjakan lembar kerja dengan baik dan
berhasil mengidentifikasi mana yang merupakan
sebuah situasi, emosi (perasaan), atau pikiran.
Seperti marah dan panik merupakan emosi serta
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
88
Universitas Indonesia
duduk di kantin dan penyataan “mereka pasti
menertawakan saya” merupakan sebuah situasi.
Thought monitoring DI mengikuti proses dengan baik dan dapat
mengidentifikasi A-B-C berdasarkan kasus
pribadinya, yaitu ketika persiapan sebuah acara
belum matang menjelang pelaksanaannya
(sementara LA yang menjadi penanggungjawab
acara tersebut). Kejadian ini memberikan
dampak yang cukup hebat pada LA sehingga
muncul stres dengan intensitas 70.
Pencarian core belief LA mengikuti proses dengan baik sehingga
menemukan core belief dari pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan peneliti. Core belief
yang dimiliki LA adalah “Merasa dirinya buruk”
dengan tingkat keyakinan 90 dari skala 0-100.
LA baru menyadari bahwa keyakinan ini hampir
selalu muncul. LA juga menyampaikan contoh-
contoh kejadian yang mendukung keyakinan
tersebut.
Analisa dan evaluasi peneliti:
LA mengikuti sesi kedua dengan baik dan memiliki tilikan. Pencapaian LA pada
sesi ini adalah mencapai mini goals dalam usahanya mencapai tujuan utama,
sudah paham mengenai hubungan emosi dan pikiran otomatis, serta LA mampu
mengidentifikasi pikiran otomatis dan emosinya pada situasi-situasi tertentu. DI
sesi kedua, LA berhasil menemukan core belief dengan bantuan berbagai
pertanyaan yang diajukan peneliti. LA baru menyadari bahwa keyakinan tersebut
sangat kuat dan hampir selalu muncul.
Sesi Target Pencapaian Sesi
3 Pembahasan tugas
rumah
LA belum sempat mengerjakan tugas karena
kesibukannya dan berjanji akan mengerjakannya
untuk sesi berikutnya.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
89
Universitas Indonesia
Identifikasi unhelpful
thinking style
LA mampu mengidentifikasi unhelpful thinking
styles yang sering digunakannya, yaitu
personalisation dan labelling. LA mengaku ia
sudah pernah menggunakan semua gaya berpikir
namun 2 gaya tersebut yang paling sering
digunakannya.
Pencarian bukti-bukti
(detective works)
LA sangat mudah mendapatkan bukti-bukti
pendukung core belief. Namun LA mengaku
tidak bisa menemukan bukti-bukti yang
menentang core belief-nya. LA merasa dirinya
tidak cukup baik untuk menuliskan sifat positif
atau kelebihan yang dimilikinya. LA cenderung
mengabaikan dan menganggap remeh hal ini.
Teknik bernapas untuk
relaksasi
LA sudah tahu teknik bernapas dan memilih
melakukan teknik bernapas dibandingkan
dengan relaksasi progresif. Dengan mencoba LA
semakin menyadari fungsi relaksasi dalam
mengatasi gejala fisik yang mengganggunya
Disputation LA merasa pikirannya tidak realistis dan dirinya
tidak seburuk itu. Ia senang ketika menyadari
dirinya memiliki kelebihan seperti apa yang
sudah ditulis di kertas. LA mendapatkan tilikan
bahwa tidak ada keuntungan dari berpikir
negatif. Ia terbiasa memperhatikan kritik
dibandingkan pujian dari orang lain.
Analisa dan evaluasi peneliti:
LA membutuhkan waktu untuk menemukan bukti yang berlawanan dengan core
belief yang dimilikinya. Peneliti menilai LA mengalami kesulitan saat melakukan
detective works. Akhirnya LA mampu mencari bukti yang menentang core belief
dan mencapai tujuan yang diharapkan peneliti di sesi ini. Core belief LA sudah
mengakar cukup lama dan pengaruhnya cukup kuat terhadap LA sehingga ia
harus berusaha lebih keras untuk mengatasinya. Disputation yang dilakukannya
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
90
Universitas Indonesia
berhasil karena LA sedari awal sesi sudah menyadari bahwa pikirannya tidak
selalu benar. Refleksi dari disputation membuat LA semakin yakin bahwa
pikirannya tidak realistis.
Sesi Target Pencapaian Sesi
4 Pembahasan tugas
rumah
LA mengerjakan tugas rumah, pencarian bukti
dirasakan sulit namun ia mampu melakukannya.
Ia merasa senang karena keberhasilannya dan
merasa lega karena menemukan sendiri hal
positif dalam dirinya.
Evaluasi hasil
disputation
LA mengungkapkan bukti-bukti mendukung
core belief-nya tidak realistis.
Pembuatan balanced
core belief
LA mengikuti proses dengan baik dan mampu
menentukan balanced core belief. Ia mencapai
tujuan yang diharapkan peneliti dengan adanya
penurunan intensitas emosi dan tingkat
keyakinan LA terhadap pikiran awal yang
negatif (core belief).
Klien mempercayai
balanced core belief
dengan membuat
thought card
LA mengikuti proses dengan baik dan dapat
menentukan sebuah kalimat untuk dituliskan
dalam thought card.
Perancangan behavior
experiment
LA ingin menguji kebenaran dari core belief lain
yang dimilikinya, yaitu kakak yang tidak baik.
LA ingin menjadi tempat curhat dan teman bagi
adik perempuannya.
Analisa dan evaluasi peneliti:
Nampak LA memiliki keinginan untuk menjadi lebih baik dan kooperatif selama
intervensi. Ia mampu mengerjakan tugas rumah secara mandiri. LA sudah
menyadari bahwa pikirannya tidak selalu benar dan menguntungkan dirinya. Ia
mampu mengubah pikiran yang merugikan dengan mencari pikiran baru yang
mendukung dan seimbang. Ia memahami pengulangan dan latihan langsung dapat
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
91
Universitas Indonesia
membantu dirinya mempercayai keyakinan baru. LA juga mampu menyusun BE
sesuai dengan kemampuannya. Secara umum, LA telah mencapai tujuan yang
diharapkan peneliti di sesi ini.
Sesi Target Pencapaian Sesi
5 Review materi sesi
sebelumnya
LA masih kesulitan untuk merealisasikan
rancangan BE yang dibuatnya di sesi
sebelumnya. Ia mau mencobanya ketika sesi
berlangsung. Thought card dianggap membantu
LA mengingat-ingat balanced core belief.
Pengujian balanced
core belief melalui
perancangan behavior
experiment
LA mengikuti proses dengan baik dan mampu
merancang behavior experiment (pada
worksheet 13).
Analisa dan evaluasi peneliti:
LA cukup mampu mempercayai balanced core belief (“Saya adalah orang yang
tanggung jawab”). Namun ia memiliki core belief lain yang akan diujinya
sehingga LA belum dapat membuat balanced core belief yang baru. LA merasa
tertantang untuk membuktikan pikirannya. Ia cukup menyadari kemampuannya
meski terkadang agak ragu pada awalnya. Peneliti merasa LA mampu mengatur
pikiran sehingga dapat mengatasi keyakinan yang cenderung negatif. LA mampu
menguji keyakinan yang salah, dengan merancang BE yang konkrit dan dapat
direalisasikan.
Sesi Target Pencapaian Sesi
6
Review materi sesi
sebelumnya
LA merasa BE berjalan lancar dan menyadari
pikirannya (prediksi) tidak selalu benar. Ia
mampu membuat kesimpulan dan balanced core
belief. Untuk BE berikutnya, LA lebih memilih
untuk menuliskan prediksi positif sehingga ia
berusaha untuk mencapainya.
Klien menyadari
pencapaian dan
LA merasa ada perubahan dan mampu
mengidentifikasi pencapaiannya selama ini. LA
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
92
Universitas Indonesia
perubahan pada dirinya juga dapat menentukan faktor-faktor
penghambat dan pendukung terjadinya
perubahan dalam dirinya.
Penentuan rencana
untuk mempertahankan
kebiasaan yang lebih
positif dan menyusun
langkah-langkah
preventif
LA memahami adanya kemungkinan terjadinya
kemunduran atau kegagalan, ia mampu
menentukan langkah-langkah preventif yang
dirasakan membantu.
Post-test LA mengikuti proses dengan baik dan
menyadari akan adanya perubahan sejak
pengisian kuesioner saat pre-test.
Evaluasi LA mengikuti proses dengan baik. Ia
memberikan umpan balik secara tertulis verbal,
sesuai dengan apa yang diajukan peneliti.
Analisa dan evaluasi peneliti:
Peneliti menilai LA semakin memahami dirinya sendiri dan mampu
mengidentifikasi kelebihan atau sifat-sifat positifnya. LA memahami bahwa setiap
orang memiliki kelebihan dan kekurangan. LA mengerti bahwa akan ada
kemungkinan terjadinya kemunduran atau kegagalan di masa depan dan sudah
mengetahui langkah preventif yang dapat dilakukannya secara mandiri. Secara
umum, LA merasa terbantu dan menyadari ada perubahan pada dirinya.
5.2.3. Hasil Intervensi Terhadap LA
5.2.3.1. Hasil Pengukuran Efektivitas Intervensi dengan CBT
Aspek Pengukuran Pre-ttest Post-test Keterangan
Keterampilan sosial (SSI) 210 271 Membaik
Emotional expressivity 38 44 Membaik
Emotional sensitivity (30) 43 Membaik
Emotional control (26) 41 Membaik
Social expressivity 29 52 Membaik
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
93
Universitas Indonesia
Social sensitivity 48 36 Membaik
Social control 39 55 Membaik
Distres psikologis (HSCL-25) 2.76 1.60 Membaik
Tabel 5.4. Pengukuran Kuantitatif LA
Keterangan: (…) = dimensi yang kurang
Untuk mengetahui efektivitas CBT dalam meningkatkan keterampilan
sosial, peneliti melihat bagaimana dinamika skor pada keterampilan sosial,
terutama dimensi emotional control, emotional sensitivity, dan social sensitivity,
serta perubahan tingkat distres psikologis pada LA. Setelah selesai mengikuti
intervensi, terjadi perubahan berupa peningkatan ataupun penurunan skor di tiap
dimensi. Pada dimensi emotional control, terjadi peningkatan skor dari 26
menjadi 41. Perubahan skor menunjukkan peningkatan keterampilan dalam
mengatur dan meregulasi pesan emosional serta non-verbal, seperti mulai sering
berpikir positif sehingga emosi yang muncul tidak selalu negatif dan ia juga dapat
mencari pikiran alternatif yang lebih positif. Peningkatan ini membuat LA mampu
untuk menyampaikan dan menyembunyikan emosi yang ia alami, salah satunya
adalah menyampaikan pendapat dengan cara yang ia anggap lebih asertif dan
mulai berusaha untuk menunjukkan perhatian kepada keluarganya.
Peningkatan juga terjadi pada dimensi emotional sensitivity, terjadi
peningkatan skor dari 30 menjadi 43. Perubahan skor pada dimensi ini
menunjukkan peningkatan keterampilan dalam memahami emosi dan sinyal non-
verbal dari orang lain, seperti mulai memperhatikan ekspresi emosi orang lain dan
reaksi orang lain terhadap dirinya. Peningkatan ini membuat LA mampu untuk
memahami ekspresi emosi dan sinyal non-verbal dari orang lain. Ia pun semakin
mampu untuk membedakan mana emosi yang positif dan negatif.
Sedangkan terjadi penurunan yang berdampak baik bagi LA. Dengan
intervensi CBT, skor dimensi social sensitivity menurun, dari 48 menjadi 36.
Perubahan ini terlihat dari perilaku LA yang menyadari dirinya juga memiliki
kelebihan dan dirinya tidak selalu menjadi pihak yang bersalah jika ada kejadian
negatif. Dengan adanya penurunan pada dimensi social sensitivity, hal ini tidak
menurunkan skor total keterampilan sosial. Secara umum skor keterampilan sosial
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
94
Universitas Indonesia
LA justru meningkat karena ada lima dimensi lain yang mengalami peningkatan
secara signifikan, menjadi lebih baik dan lebih seimbang. Dengan demikian,
terdapat peningkatan skor keterampilan sosial LA dari 210 menjadi 271.
Selain perubahan skor keterampilan sosial, terjadi penurunan distres
psikologis yang signifikan pada LA. Pada pretest, didapatkan hasil bahwa LA
mengalami distres psikologis dan dinyatakan layak untuk mengikuti intervensi.
Setelah LA mengikuti intervensi sampai selesai, terjadi penurunan dari 2.76
menjadi 1.60 dan LA tidak lagi mengalami distres psikologis. Dari perubahan
kedua aspek, dapat disimpulkan bahwa intervensi dengan CBT efektif untuk
meningkatkan keterampilan sosial dan menurunkan distres psikologis pada LA.
5.2.3.2. Refleksi Subjektif LA Terhadap Proses dan Keberhasilan Intervensi
Setelah menjalani intervensi selama 6 sesi, LA merasa ada perubahan
dalam dirinya. Perubahan yang LA sadari antara lain berkurangnya kebiasaan
berpikir negatif, semakin sering menghabiskan waktu dengan teman-temannya,
merasa semakin mampu mengendalikan emosi, mengatur emosi marah, dan sikap
otoriternya. Menurut LA, jika ada kejadian yang sama terjadi maka ia mampu
untuk berpikir lebih positif, baik mengenai diri sendiri maupun orang lain. LA
merasa belum mampu untuk mengekspresikan emosi positif kepada keluarganya
secara langsung, namun setidaknya LA merasa ia sudah mau berusaha untuk
menjalin komunikasi dengan keluarganya.
Di sesi awal, LA sering menangis jika membicarakan kualitas hubungan
sosial yang ia miliki, seperti hubungan dengan keluarga dan dengan teman kuliah.
Emosi LA cenderung negatif jika ia menceritakan kedua hal ini. Ia juga merasa
buruk dan cenderung menyalahkan diri sendiri jika ada kejadian-kejadian yang
kurang mengenakan. Perubahan terlihat di sesi-sesi akhir, ia mengungkapkan
dirinya sudah lebih mampu menilai diri sendiri dan menghargai apa yang ia
miliki. Ia juga menyadari kelebihan yang dimilikinya. Dengan begitu, LA merasa
semakin percaya diri saat berinteraksi dengan orang lain.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
95
Universitas Indonesia
5.2.2.3. Evaluasi LA terhadap Intervensi
Peneliti meminta LA memberikan umpan balik dan evaluasi dari
intervensi yang sudah dijalaninya. Peneliti menanyakan 3 hal, yaitu umpan balik
mengenai materi intervensi, program intervensi secara keseluruhan, dan evaluasi
terhadap peneliti. LA merasa lebih mudah untuk memberikan umpan balik secara
tertulis. Menurut LA materi intervensi cukup menarik, menambah hal baru,
membuatnya bersemangat dan termotivasi. Namun LA merasa materi akan lebih
mudah jika bahasa yang digunakan dipermudah, seperti penggunaan istilah
dengan bahasa Inggris.
LA menilai program intervensi secara keseluruhan asyik, membuatnya
semangat kalau mau intervensi, cukup ngena, membuatnya berintrospeksi, dan
memberikan semangat bagi dirinya. Evaluasi LA terhadap peneliti adalah asik
banget, cara menerangkan materi dan bicaranya jelas, dapat menciptakan suasana
intervensi yang nyaman, tidak membuatnya canggung saat bercerita, dan sangat
welcome. LA merasa bahwa peneliti bisa mendorongnya untuk mandiri dan
berpikir kritis.
5.3. Pemaparan Kasus DE
5.3.1. Observasi Terhadap DE
Intervensi Jadwal Pelaksanaan Realisasi Pelaksanaan
Pre-sesi Kamis, 5 April 2012
12.00
Kamis, 5 April 2012
12.30 – 12.50
(20 menit)
Sesi 1
(90”)
Kamis, 12 April 2012
13.30
Kamis, 12 April 2012
13.30 – 15.10
(100 menit)
Sesi 2
(120”)
Kamis, 26 April 2012
13.30
Kamis, 26 April 2012
13.40-15.15
(95 menit)
Tabel 5.5. Waktu Pelaksanaan Intervensi DE
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
96
Universitas Indonesia
DE hanya mengikuti intervensi sampai sesi kedua. Dalam 2 sesi yang
sudah dilewati, pelaksanaan selalu sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan
sebelumnya. DE selalu datang sesuai dengan waktu perjanjian kecuali untuk sesi
kedua, namun ia tidak menyampaikan alasan keterlambatannya. Pelaksanaan sesi
DE termasuk cepat dan berlangsung sesuai dengan rencana peneliti.
Saat akan memasuki sesi kedua (Kamis, 19 April 2012), DE membatalkan
kedatangannya di pagi hari karena ia harus mengikuti acara di jurusannya. Ketika
ditanyakan mengenai kelanjutan sesi, DE berjanji akan mengabarkan namun tidak
ada kabar selanjutnya. Pada tanggal 23 April 2012, peneliti memutuskan untuk
menanyakan kembali beberapa hari sebelum waktu perjanjian dan tidak
mendapatkan jawaban. Setelah itu, pada tanggal 25 April 2012 di siang hari, DE
menanyakan apakah ia dapat mengikuti sesi sebelum pukul 16.00. Namun ketika
peneliti bersedia, DE memilih untuk mengikuti sesi pada hari Kamis, 26 April
2012. Sesi kedua berjalan dengan lancar dan hubungan terapeutik tetap terjalin
dengan baik. Memasuki sesi ketiga, pada pukul 14.00 (Kamis, 3 Mei 2012), DE
membatalkan pertemuan karena ia harus bertemu dosennya bersamaan dengan
waktu sesi intervensi. Peneliti pun menanyakan alternatif tanggal pertemuan
berikutnya, namun sejak itu DE tidak pernah memberikan kabar apapun kepada
peneliti. Peneliti akhirnya memutuskan untuk menghubungi DE kembali pada
tanggal 10 Mei 2012 dan DE tetap tidak merespon atau memberikan kabar.
5.3.2. Proses Pelaksanaan Intervensi terhadap DE
Sesi Target Pencapaian Sesi
1 Menjalin rapport Rapport terjalin dengan baik. DE nyaman
memanggil pemeriksa dengan “Kak” dan ia
banyak bercerita mengenai aktivitasnya. DE
lebih aktif selama sesi berlangsung dibandingkan
dengan sesi sebelumnya.
Penjelasan intervensi DE mengikuti proses dengan baik dan
menyatakan sudah paham mengenai proses
intervensi.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
97
Universitas Indonesia
Identifikasi masalah dan
respon yang muncul
DE menceritakan masalah-masalah yang sudah
disampaikannya terlebih dahulu dan
mendiskusikannya dengan peneliti. DE dapat
memilih masalah yang dirasa paling
membebaninya saat ini. DE mengemukakan
masalah lain dapat diatasi jika masalah utama
sudah ditangani terlebih dahulu. DE
menceritakan bagaimana ia berinteraksi dengan
orang lain dan baru kemudian menuliskan respon
yang muncul. Ia menyatakan paham hubungan
antara emosi, pikiran, dan perilaku.
Pembuatan formulasi
masalah
DE mengikuti proses dengan baik dan mampu
membuat formulasi masalah. DE agak bingung
ketika menentukan respon fisik yang jarang
dirasakannya sehingga DE tidak ingat. Mampu
mendapatkan penghayatan atau keyakinan yang
negatif dari proses ini.
Penentuan tujuan dari
intervensi dengan
prinsip SMART
DE ingin ada perubahan dan paham mengenai
prinsip SMART yang disampaikan peneliti. DE
menuliskan 3 tujuan dan mengurutkannya dari
tujuan yang paling ingin dicapainya. Setelah itu,
ia mampu menentukan mini goals dari tujuan
utama dan angka dalam skala pencapaian
tujuannya. Berikut tujuan DE dalam mengikuti
intervensi:
1. Lebih diterima di lingkungan sosial
2. Lebih punya banyak teman dekat
3. Lebih bisa mengontrol emosi
Mini goals dari tujuan utama adalah:
1. Menanyakan kabar
2. Duduk tidak menyendiri
3. Menawarkan bantuan
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
98
Universitas Indonesia
Analisa dan evaluasi peneliti:
DE mengikuti sesi pertama dengan baik dan dengan cepat memahami materi yang
disampaikan atau instruksi peneliti selama sesi berlangsung. Ia telah mencapai
tujuan-tujuan yang diharapkan dari sesi pertama. Masalah DE adalah sulit dekat
dan terbuka kepada orang lain. Masalah ini mulai disadari DE saat berkuliah. DE
jarang diajak untuk bergabung dalam sebuah kelompok di kelasnya. Akhirnya DE
akan tergabung dengan kelompok “sisa”. Sikap DE yang dinilai negatif (seperti
cenderung menjauh dan menghindar) membuat DE semakin jarang diajak
berkelompok. DE juga merasa bahwa ia sulit untuk terbuka dengan orang lain.
Pacar merupakan sosok yang paling dekat dengannya saat ini. DE hanya memiliki
1 sahabat perempuan namun ia tetap merasa sulit terbuka apa adanya. Hubungan
DE dengan keluarga kurang dekat secara emosional. Selama sesi, DE memiliki
tilikan dan cukup peka dengan apa yang terjadi pada dirinya.
Sesi Target Pencapaian Sesi
2 Pembahasan tugas
rumah dan mini goals
DE belum mengerjakan tugas rumah dan merasa
bingung ketika peneliti meminta DE
mengerjakan di awal sesi. DE mengemukakan
sudah paham bagaimana mengidentifikasi
respon-respon dan mendapatkan penghayatan
dari apa yang terjadi. DE telah mencapai mini
goals yang sudah ditetapkan dan merasa cukup
senang karena terbiasa melakukan hal-hal yang
positif.
Penjelasan hubungan
emosi dan pikiran
DE mengikuti proses dengan baik dan paham
mengenai hubungan antara emosi dan pikiran.
DE mengemukakan bahwa ia seringkali
menyadari emosinya terlebih dahulu jika ada
suatu kejadian.
Affective education
sehingga paham
mengenai emosi
DE mengikuti proses dengan baik dan cukup
peka dengan emosinya. DE menceritakan
emosinya dan bagaimana pengaruh emosi
tersebut padanya. DE mampu membedakan
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
99
Universitas Indonesia
emosi-emosi pada contoh kasus, seperti dari
sebuah kejadian kemudian ia mengidentifikasi
emosi yang mungkin muncul.
Penjelasan mengenai
pikiran otomatis
DE mengikuti proses dengan baik dan mampu
mengidentifikasi pikiran otomatis pada contoh
kasus (pada worksheet 6).
Pengenalan terhadap
model A-B-C
DE mengikuti proses dengan baik dan mampu
membedakan antara situasi, pikiran, dan emosi.
DE dapat mengidentifikasi mana yang
merupakan sebuah situasi, emosi (perasaan), atau
pikiran. Seperti panik merupakan emosi dan
“akan terjadi sesuatu yang buruk pada diriku”
merupakan pikiran.
Thought monitoring DE mengikuti proses dengan baik dan dapat
mengidentifikasi A-B-C berdasarkan kasus
pribadi, yakni saat sulit mendapatkan kelompok.
Kejadian ini memberikan dampak yang cukup
hebat padanya sehingga muncul emosi kecewa
dan memberikan angka 85 untuk menunjukkan
intensitas emosi tersebut.
Pencarian core belief DE mengikuti proses dengan baik sehingga
menemukan core belief dari pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan peneliti. Core belief
yang dimiliki DE adalah “Merasa tidak dianggap
oleh lingkungan sekitar” dengan tingkat
keyakinan 75 dari skala 0-100. Keyakinan ini
tidak selalu muncul dan hanya terjadi di
lingkungan akademis saja. DE menceritakan
kejadian yang membuatnya memiliki keyakinan
seperti itu. DE juga menyampaikan dugaannya
terhadap alasan teman-teman sekelasnya tidak
ada yang mengajak DE berkelompok.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
100
Universitas Indonesia
Analisa dan evaluasi peneliti:
DE mengikuti sesi kedua dengan baik. DE mencapai mini goals yang sudah
ditetapkan sebelumnya dalam usaha mencapai tujuan utama, mampu memahami
hubungan emosi dan pikiran otomatis, serta dapat mengidentifikasi pikiran
otomatis dan emosinya pada situasi-situasi tertentu. Pada sesi kedua, DE berhasil
mendapatkan core belief dengan bantuan berbagai pertanyaan yang diajukan
peneliti. Menurut DE, core belief ini hanya muncul jika ia berada di lingkungan
akademis (kuliah)
5.3.3. Perkiraan Efektivitas Intervensi terhadap DE
Pengukuran efektivitas intervensi dengan CBT terhadap masalah DE tidak
dapat dituntaskan karena DE hanya mengikuti sesi intervensi sampai sesi kedua.
Dengan demikian, peneliti hanya mengevaluasi DE dari 3 pertemuan yang sudah
dijalani, yaitu presesi, sesi 1, dan sesi2. Menurut peneliti, ada perubahan sikap DE
sejak pre-sesi sampai pada sesi pertama.
Saat presesi, DE belum terbuka sepenuhnya dan masih merasa belum
mampu untuk menyelesaikan masalahnya serta cenderung membiarkan masalah
itu ada. Keterbukaan dirasakan karena DE bersedia menceritakan hal-hal yang
tidak pernah disampaikannya ke orang lain, menyampaikan ketakutan-
ketakutannya dalam menjalin hubungan sosial, dan juga kekurangan yang ia
miliki. Saat memasuki sesi pertama, topik pembicaraan DE lebih luas dan ia lebih
banyak bercerita. DE juga nampak lebih aktif, salah satunya dengan mengajukan
pertanyaan jika ada materi yang kurang dimengerti. Di sesi pertama, DE mampu
mengidentifikasi masalah dan menentukan satu masalah yang paling membebani
dirinya. Ia juga paham bahwa jika masalah utama terselesaikan, maka masalah
lain dalam hubungan sosial juga dapat terselesaikan.
Secara umum, DE mengikuti sesi intervensi dengan baik dan sesuai
dengan harapan peneliti. Ia bersikap kooperatif, mendengarkan penjelasan
mengenai materi psikoedukasi, menyatakan pemahamannya, bertanya balik atau
mengkonfirmasi dengan apa yang ia ketahui mengenai materi, mengerjakan tugas-
tugas sesuai yang diinstruksikan peneliti, dan lebih santai saat menjalani proses
intervensi. Banyak emosi-emosi positif, seperti candaan yang dilontarkan dan
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
101
Universitas Indonesia
ekspresi emosi yang menunjukkan ia merasa nyaman bercerita. Di sesi pertama,
DE mengungkapkan bahwa ia senang dengan adanya intervensi yang membuat
dirinya paham mengenai langkah-langkah dalam menyelesaikan masalahnya.
Contohnya adalah pembuatan mini goals. Realisasi dan pencapaian mini goals
membuat DE merasa senang.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
102
Universitas Indonesia
BAB VI
DISKUSI
Pada bab ini, peneliti mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan
pelaksanaan penelitian. Peneliti akan mendiskusikan proses dan hasil penelitian.
Setelah itu akan ada pembahasan dan evaluasi keberhasilan intervensi serta
metodologi penelitian yang digunakan.
6.1. Proses Pelaksanaan Intervensi
Secara umum, proses pelaksanaan intervensi sesuai dengan apa yang
sudah ditetapkan peneliti. Kedua partisipan mampu mengikuti proses intervensi
yang dilakukan sebanyak 6 sesi intervensi dan berlangsung selama 6 minggu
berturut-turut. Hal ini sesuai dengan pendapat Westbrook, Kennerley, & Kirk
(2007), CBT terbukti dapat dilakukan sebanyak 6 sesi untuk mengatasi masalah
yang terbilang ringan (mild). Keduanya mengaku terbantu dengan adanya
intervensi.
Saat menjalani intervensi, kedua partisipan bersikap aktif dan kooperatif.
Menurut Westbrook, Kennerley, & Kirk (2007), dalam CBT memang dibutuhkan
partisipasi aktif dari partisipan. Selama sesi berlangsung, keduanya selalu
bersemangat dan antusias dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan peneliti.
Mereka juga mengingat-ingat materi yang disampaikan peneliti dan
mengaplikasikan pengetahuan baru yang diajarkan peneliti. Keduanya menjalani
sesi dengan rutin, mengikuti alur rancangan intervensi yang ditetapkan peneliti,
mengerjakan tugas rumah, dan mendengarkan penjelasan mengenai materi
psikoedukasi.
Efektivitas CBT diketahui dari evaluasi (post-test) dengan menggunakan
Social Skills Inventory (SSI). Pada kedua partisipan terjadi peningkatan skor total
dari keterampilan sosial. Dari keenam dimensi keterampilan sosial, terdapat lima
dimensi yang mengalami peningkatan skor atau tetap dan terjadi penurunan pada
satu dimensi. Perubahan ini sesuai dengan harapan peneliti dan membuat
keterampilan sosial kedua partisipan membaik. Dengan intervensi, keenam
dimensi menjadi lebih seimbang. Hal ini sesuai dengan pendapat Riggio (1986),
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
103
Universitas Indonesia
keterampilan sosial yang dianggap baik direpresentasikan oleh skor yang
seimbang pada tiap dimensi SSI. Menurut Riggio (1989) dan Riggio & Reichard
(2008), kemampuan individu untuk berinteraksi, beradaptasi, dan berfungsi di
lingkungan sosial akan membaik. Perubahan yang juga terjadi pada kedua
partisipan adalah penurunan tingkat distres psikologis. Sebelum mengikuti
intervensi, mereka mengalami distres psikologis yang tinggi sehingga sudah
mencapai taraf mengganggu. Tetapi setelah intervensi, penurunan distres
psikologis pada kedua partisipan cukup signifikan dan kini mereka dapat
dikatakan tidak mengalami distres psikologis tinggi.
Perubahan ini terjadi karena CBT berhasil mengatasi masalah yang
dimiliki partisipan karena rancangan intervensi yang sudah sesuai dengan masalah
yang dihadapi. Hal ini merupakan alasan peneliti menggunakan CBT, karena CBT
dapat mengatasi berbagai macam masalah psikologis dan fokus pada satu masalah
spesifik (Stallard, 2004). Selain itu, rancangan intervensi yang disusun peneliti
membuat partisipan mampu menemukenali masalah yang mereka alami. CBT
membantu partisipan mengidentifikasi semua pemikiran dan keyakinan yang
merugikan dirinya. Dari proses ini, kedua partisipan mampu mengidentifikasi
pemikiran dan keyakinan yang sifatnya negatif dan merugikan (core belief).
Dengan CBT, mereka juga mampu untuk mengidentifikasi distorsi
kognitif (cognitive distortions) yang dimilikinya. Menurut Spence (2003), distorsi
kognisi memang membuat individu memunculkan keterampilan sosial dan
perilaku yang tidak sesuai karena adanya kesalahan dalam mempersepsikan
lingkungannya. Proses identifikasi distorsi kognitif membuat partisipan mampu
mengenali pola pikir yang tidak berguna (unhelpful thinking style) dalam
kemunculan masalah mereka, yaitu tipe personalisation dan labelling.
Dari proses identifikasi pikiran dan keyakinan (thought monitoring), kedua
partisipan menyadari bahwa masalah yang sering mereka alami seperti kehilangan
banyak teman, merasa tidak disukai orang lain, dan kesepian disebabkan oleh
pikirannya sendiri. Keduanya menyadari bahwa mereka cenderung menyalahkan
dan menganggap diri negatif jika tidak berhasil menjalin hubungan sosial dengan
baik. Partisipan mampu menemukan keyakinan negatif (atau core belief) yang
mereka miliki, yaitu merasa dirinya buruk. Pikiran yang dimiliki partisipan sesuai
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
104
Universitas Indonesia
dengan apa yang dinyatakan Hope, dkk. (2010). Hope, dkk.. Menurut mereka,
keyakinan yang sering muncul pada individu dengan keterampilan sosial yang
kurang baik adalah merasa tidak mampu menjalin hubungan sosial dengan baik,
takut akan penilaian negatif dari orang lain, memiliki evaluasi negatif terhadap
diri sendiri tanpa ada penilaian dari orang lain atau bukti yang mendukung.
Rancangan intervensi memungkinkan kedua partisipan untuk menguji
berbagai macam pikiran negatif dengan mencari bukti-bukti yang menentang
pikiran (core belief) tersebut. Dalam penelitian ini, keduanya berhasil mencari
mencari bukti-bukti penentang sampai jumlah yang sudah ditetapkan, meski
mereka membutuhkan waktu yang sangat lama. Pencarian bukti yang dilakukan
kedua partisipan adalah mencari sejumlah hal atau sifat positif yang mereka
miliki. Melihat partisipan yang membutuhkan waktu lama untuk mencari bukti,
peneliti memberikan reinforcement kepada mereka. Menurut Stallard (2004),
reinforcement merupakan komponen penting dalam CBT jika ingin memunculkan
perilaku tertentu. Peneliti merasa dengan adanya dukungan (reinforcement)
membuat partisipan semakin percaya diri saat menguji pikirannya dan
menyadarkan partisipan bahwa mereka mampu mencapai tujuan yang sudah
ditetapkan.
Dengan melakukan pencarian bukti, artinya tujuan CBT sudah tercapai.
Partisipan dapat mengubah kognisi karena keduanya mampu untuk menguji dan
mengevaluasi kognisinya, melakukan perubahan pola pikir, serta terjadi
pembentukan cara berpikir yang lebih berguna, positif, dan adaptif. Menurut
kedua partisipan, proses ini sangat membantu. Begitu juga dengan adanya ide
untuk membuat thought card. Kartu tersebut menjadi pengingat jika keduanya
sedang merasa sedih atau tidak berdaya. Dalam kartu tersebut berisi tulisan
partisipan mengenai pikiran atau keyakinan yang baru dan lebih seimbang.
Keduanya juga merasa behavior experiment (BE) sangat membantu
menyadarkan bahwa pikirannya tidak selalu benar. Keberhasilan BE dalam
rancangan penelitian ini membuktikan kebenaran dari pendapat Westbrook,
Kennerly, & Kirk (2007). BE merupakan strategi yang paling efektif untuk
mendukung perubahan perilaku individu.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
105
Universitas Indonesia
Dengan adanya pemahaman mengenai pikiran dan keberhasilan untuk
mengubah kognisi, membuat kedua partisipan dapat mengembangkan persepsi
yang berbeda mengenai keterampilan sosialnya. Awalnya partisipan berpikir
bahwa mereka memiliki keterampilan sosial yang rendah. Keyakinan ini
mengurangi kepercayaan diri partisipan saat berada dalam situasi sosial. Hal ini
sejalan dengan apa yang dinyatakan Clark & Wells dan Rapee & Heimberg
(dalam Cartwright-Hatton, Tschernitz, & Gomersall, 2005). Tinggi rendahnya
keterampilan sosial yang dimiliki individu juga melibatkan persepsi dan evaluasi
terhadap situasi sosial dimana mereka berada (Heinrichs, Gerlach, & Hofmann,
2006).
Selama sesi, peneliti banyak mengajukan pertanyaan reflektif (Socratic
questioning). Menurut partisipan, pertanyaan yang diajukan membuat partisipan
menemukan sendiri jawaban atas pertanyaannya dan menganggap peneliti hanya
membantu membuka pintu yang sulit, dapat berintrospeksi dan berpikir kritis
untuk membantu mengatasi masalahnya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan peneliti memang membantu meski pada awalnya tidak mudah untuk
dipahami partisipan.
Perubahan kognisi juga terjadi karena tilikan yang dimiliki partisipan
mengenai masalah dan penyebabnya. Dengan mengikuti intervensi, partisipan
menjadi paham bahwa pikirannya yang harus diubah guna menyelesaikan masalah
dalam hubungan sosial. Dalam CBT, partisipan diharapkan mampu berpikir lebih
sistematis dan melakukan abstraksi, untuk itu diperlukan kematangan kognitif
(Stallard, 2004). Kedua partisipan mampu untuk mendapatkan tilikan karena
keduanya seorang mahasiswa. Kematangan kognisi seorang mahasiswa
memungkinkan mereka melakukan refleksi diri, mencari alternatif solusi untuk
menyelesaikan masalah, lebih adaptif, lebih logis, dan mampu menyadari jalan
pikirannya. Dengan demikian, restrukturisasi kognisi dapat terlaksana pada kedua
partisipan dan mereka berhasil mengubah pikirannya.
Selain mengidentifikasi pikiran, rancangan intervensi yang disusun
peneliti membuat partisipan lebih paham mengenai sifat dan penyebab munculnya
emosi negatif. Peneliti juga berhasil mendukung partisipan untuk mengubahnya
dengan emosi yang lebih positif atau menyenangkan. Psikoedukasi mengenai
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
106
Universitas Indonesia
emosi (affective education) membantu partisipan mengidentifikasi dan
membedakan emosi yang dirasakan serta serta mengidentifikasi sensasi fisik yang
muncul. Setelah itu, adanya affective monitoring membuat partisipan mampu
menghubungkan antara pikiran dan perilaku, menentukan intensitas emosi yang
dirasakan, serta kesadaran akan perubahan yang terjadi pada diri mereka.
Keberhasilan intervensi juga didukung dengan penyusunan materi
psikoedukasi yang singkat dan lembar kerja yang membantu partisipan
memahami masalahnya serta cara mengatasi masalah tersebut. Peneliti membuat
lembar materi dan lembar kerja menarik dengan adanya warna atau gambar
sehingga partisipan tertarik untuk membaca atau mengerjakannya. Dalam
penelitian ini, peneliti juga mengenalkan cara-cara untuk mengatasi masalah
dengan pendekatan CBT, salah satunya adalah teknik bernapas untuk
menenangkan diri. Pemberian psikoedukasi atau cara-cara praktis ini disesuaikan
dengan kebutuhan partisipan.
Fleksibilitas dalam CBT yang bersifat tailor made yang membuat
intervensi ini berhasil karena menyesuaikan dengan masalah dan kebutuhan
partisipan. Partisipan akan mendapatkan intervensi yang diperlukan dan sesuai
dengan kondisi mereka. Menurut peneliti, sesi yang sudah disusun sedemikian
rupa turut berperan dalam keberhasilan intervensi. Dalam susunan sesi intervensi,
sudah mencakup semua komponen utama dari CBT yang dikemukakan oleh
Stallard (2004).
Selama intervensi, adanya dukungan dari peneliti membuat partisipan
merasa mampu untuk menghadapi situasi baru ataupun situasi sulit dengan cara
yang lebih sesuai, karena memiliki kognisi dan perilaku yang lebih adaptif. Kedua
partisipan juga menjadi lebih percaya diri untuk mengaplikasikan pengetahuan
baru yang sudah diajarkan selama intervensi. Keberhasilan intervensi dalam
meningkatkan keterampilan sosial juga dipengaruhi oleh motivasi internal yang
dimiliki kedua partisipan. Mereka mengikuti intervensi dengan rutin meski ada
sesi yang diundur.
Keberhasilan intervensi dengan CBT juga diketahui dari sudut pandang
subjektif tiap partisipan. Keduanya merasa ada perubahan positif pada dirinya,
mulai dari perubahan cara berpikir (cognitive), perilaku (behavior), emosi dan
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
107
Universitas Indonesia
fisiologis. Perubahan yang dirasakan DI terjadi karena ia mampu mencapai
beberapa tujuannya, ada perubahan perilaku dan pola pikir menjadi lebih positif,
sadar bahwa pikirannya tidak selalu benar, lebih menghargai dirinya sendiri.
Dengan demikian, DI lebih percaya diri dalam mengaplikasikan balanced core
belief yang ditemukan selama sesi, cenderung melihat segala sesuatu lebih positif
dan menyeluruh, dan lebih jarang mengeluh.
Sama seperti DI, LA juga merasa ada perubahan setelah mengikuti
intervensi. LA merasa semakin mampu mencapai tujuannya, dapat mengetahui
bahwa pikirannya tidak selalu benar sehingga muncul rasa bangga, menyadari
dirinya memiliki kelebihan dan tidak selalu buruk sehingga muncul perasaan
berharga, bersikap proaktif terhadap usahanya melakukan perubahan. Akhirnya
LA cukup percaya diri dan optimis dalam mengaplikasikan balanced core belief
yang ia temukan selama sesi. Perubahan ini membuat berkurangnya kebiasaan
berpikir negatif, makin sering menghabiskan waktu dengan teman kuliah, merasa
mampu untuk mengendalikan emosi negatif, mampu berpikir lebih positif
(mengenai diri atau orang lain), dan bersedia untuk mendekati keluarga secara
aktif serta mengekspresikan emosi positifnya kepada mereka.
Intervensi efektif karena kedua partisipan berhasil mencapai semua target
yang sudah ditetapkan peneliti sebelum memulai intervensi. Keduanya dapat
mengubah persepsi atau keyakinan mereka yang merugikan sehingga dapat
memiliki hubungan sosial yang lebih baik. Keberhasilan ini membuat kedua
partisipan mampu memperkirakan masalah apa yang akan terjadi di kemudian hari
dan menentukan beberapa tindakan preventif yang dianggap membantu dari
semua cara-cara yang diajarkan selama sesi.
Selain peningkatan keterampilan sosial, intervensi juga berhasil
menurunkan distres psikologis secara signifikan pada kedua partisipan. Setelah
intervensi selesai dilakukan, simtom-simtom kecemasan dan depresi pada
partisipan berkurang. Akhirnya dengan berkurangnya simtom-simtom yang
mengganggu, membuat distres psikologis menurun. Sebelumnya, kedua partisipan
mengalami distres psikologis karena berbagai penyebab, antara lain beberapa
kejadian yang tidak menyenangkan dan pengaruh tuntuan sosial.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
108
Universitas Indonesia
Menurut Hurlock (1990), individu yang memasuki masa dewasa muda,
diharapkan mampu beradaptasi terhadap pola kehidupan yang baru dan menjalani
peran sosial. Salah satu tugas perkembangan partisipan sebagai individu dewasa
muda dan sekaligus mahasiswa adalah memiliki hubungan baik dengan teman
kuliah, bekerja sama dalam kelompok, mengikuti kegiatan organisasi, dan
menemukan pasangan (lawan jenis) yang potensial (Wright, dalam Ross,
Niebling, & Heckert; Utama (2010), dan Ross, Niebling, & Heckert, 1999). Selain
itu, sebagai mahasiswa kedua partisipan diharapkan mampu membangun
hubungan sosial dan akademik yang kuat dengan teman sebaya dan para pengajar
(Montgomery & Cote, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Menurut peneliti,
persepsi partisipan mengenai ketidakmampuan dalam menjalin hubungan sosial
yang membuat mereka mengalami distres psikologis yang cukup tinggi. Dengan
intervensi, mereka sudah mampu mencari pikiran alternatif yang lebih positif dan
seimbang, sehingga tingkat distres psikologis pun mengalami penurunan.
Selain hal-hal yang sudah di sebutkan di atas, keberhasilan intervensi tidak
terlepas dari faktor eksternal, seperti lokasi pelaksanaan intervensi, kondisi
ruangan, dan kinerja peneliti sendiri. Untuk lokasi, peneliti merasa pemilihan
lokasi intervensi cukup strategis dan mudah diakses kedua partisipan yang
merupakan mahasiswa Universitas Indonesia. Selain itu, ruangan yang digunakan
untuk intervensi cukup baik dan mendukung kelancaran sesi. Pendingin ruangan
membuat kedua partisipan merasa nyaman. Ruangan yang tertutup dan bertirai
membuat jalannya sesi tidak terganggu oleh kehadiran orang lain dan suara-suara
dari luar yang dapat mendistraksi partisipan. Tempat duduk juga diatur
sedemikian rupa sehingga tidak ada yang dapat melihat wajah partisipan karena
partisipan duduk membelakangi pintu dan agak menjauh dari pintu. Dengan
demikian, privasi dan kerahasiaan identitas partisipan tetap terjaga.
6.2. Hasil Pelaksanaan Intervensi
Hasil penelitian menunjukkan CBT dapat mengatasi masalah partisipan.
Dari pengukuran secara kuantitatif ataupun kualitatif, CBT terbukti efektif dalam
meningkatkan keterampilan sosial pada partisipan yang mengalami distres
psikologis. Dalam penelitian ini, CBT dapat mengubah persepsi dan keyakinan
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
109
Universitas Indonesia
partisipan saat berada di situasi sosial. CBT bertujuan untuk mengidentifikasi
adanya distorsi kognitif dan gaya berpikir yang salah.
Efektivitas CBT sejalan dengan pendapat menurut Wells & Papageorgiou
(dalam Cartwright-Hatton, Tschernitz, & Gomersall, 2005), bahwa intervensi
yang dinilai sesuai untuk meningkatkan keterampilan sosial adalah intervensi
kognitif dengan CBT. Pengubahan persepsi atau keyakinan partisipan dan usaha
mengatasi distorsi kognisi yang merugikan membuat kedua partisipan memiliki
hubungan sosial yang lebih baik. Secara umum CBT mampu mengurangi
kekhawatiran partisipan karena mereka sendiri sudah menyadari kelebihan yang
dimiliki, sudah menerima diri mereka apa adanya, dan tidak lagi menilai diri
mereka negatif. Hal ini berpengaruh pada membaiknya dimensi-dimensi dalam
keterampilan sosial kedua partisipan.
Dengan mengikuti intervensi, dimensi-dimensi pada keterampilan sosial
menjadi lebih seimbang. CBT membuat partisipan mampu berinteraksi,
beradaptasi, dan berfungsi dengan baik di lingkungan sosial karena mereka dapat
mengekspresikan diri ketika berinteraksi dengan orang lain, mampu “membaca”
dan memahami berbagai macam situasi sosial, memiliki pengetahuan mengenai
norma sosial, mampu menyelesaikan masalah interpersonal, dan dapat
menjalankan peran sosial. Dengan meningkatnya kemampuan seperti itu,
membuat partisipan mampu untuk terlibat dalam interaksi yang sesuai dan efektif
dengan orang lain.
Intervensi membuat partisipan semakin baik dalam menyampaikan pesan
emosional kepada orang lain. Mereka mampu mengekspresikan diri secara
spontan dan sesuai, semakin peka terhadap situasi emosional, dan mampu
menampilkan perilaku yang sesuai dengan situasi interpersonal. Mereka semakin
mampu menerima dan memahami emosi serta sinyal non-verbal dari orang lain.
Partisipan mampu menangkap sinyal emosional dengan tepat dan efisien saat
berkomunikasi. Intervensi juga meningkatkan keterampilan dalam mengatur dan
meregulasi pesan emosional dan non-verbal, khususnya saat partisipan
menyampaikan atau menyembunyikan emosi yang mereka dirasakan. Dengan
keterampilan seperti itu, partisipan dapat mengekspresikan perasaannya dan
menampikan isyarat emosional yang sesuai dengan lingkungan.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
110
Universitas Indonesia
Selain perubahan pada dimensi emosi, CBT juga membuat partisipan lebih
baik dalam mengekspresikan diri secara verbal, menginterpretasi ekspresi verbal
dari orang lain, dan paham mengenai norma sosial dalam menampilkan perilaku
yang diterima lingkungan. Keduanya tetap mementingkan kesesuaian perilaku
dirinya dengan orang lain, namun kecemasan sosial sudah berkurang. Kedua
partisipan tidak lagi khawatir dengan penilaian orang lain. Mereka juga semakin
baik dalam mengatur dan menampilkan diri dalam situasi sosial. Peningkatan
kepercayaan diri turut mempengaruhi bagaimana kedua partisipan beradaptasi di
lingkungan sosial. Dengan demikian, keduanya mampu menjalankan berbagai
macam peran sosial.
Menurut partisipan, hasil intervensi ini dipengaruhi oleh beberapa hal yang
sifatnya subjektif. Bagi DI, faktor-faktor pendukung keberhasilan intervensi
adalah keinginan kuat untuk berubah, memiliki orang-orang yang mendukung
(termasuk peneliti), dan adanya kesempatan untuk mengikuti sesi terapi. DI
merasa ia benar-benar ingin mengatasi masalahnya sehingga dapat menjadi
seseorang yang lebih baik dan mampu menjalin hubungan yang menyenangkan. Ia
juga merasa peneliti mendukung dan mau membantu dirinya untuk berubah. DI
menganggap peneliti tidak hanya sekedar membantu untuk kepentingan pribadi
peneliti (berkaitan dengan pengerjaan tesis). DI merasa kesempatan untuk
mendaftarkan diri mengikuti intervensi merupakan faktor yang mendukung DI
untuk berubah menjadi lebih baik. Begitu juga dengan LA, ia merasa intervensi
berhasil karena beberapa faktor. Faktor-faktor yang dimaksud adalah sifatnya
yang suka berinteraksi, jelas saat berbicara, memiliki fasilitas komunikasi dan
ponsel yang dapat mengakses Twitter dan Facebook, dan niat serta usaha LA
untuk berubah.
6.3. Evaluasi Keberhasilan Intervensi
Berdasarkan evaluasi dan diskusi di atas, peneliti melihat seluruh target
intervensi sudah dicapai oleh partisipan. Pencapaian ini hampir sama antara satu
partisipan dengan partisipan lain. Kemampuan partisipan dalam mengubah pikiran
dan perilaku membuat intervensi dengan CBT efektif untuk meningkatkan
keterampilan sosial dan menurunkan distres psikologis.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
111
Universitas Indonesia
Nampaknya keberhasilan intervensi dipengaruhi oleh hubungan terapeutik
yang terbangun sejak presesi. Dalam penelitian ini, presesi sengaja dilakukan
untuk melakukan wawancara awal dan menjalin rapport. Saat presesi, peneliti
memperoleh informasi penting tentang partisipan dan berdiskusi mengenai
pendapat partisipan sehingga membuat mereka lebih santai untuk menjalani
intervensi (Beck, Rush, dkk., dalam Beck & Weishaar, 2011). Ketika presesi,
peneliti menanyakan latar belakang kehidupan partisipan yang meliputi identitas
diri, kondisi keluarga, hubungan partisipan dengan anggota keluarganya, pola
asuh orang tua, hubungan interpersonal selama ini. Setelah itu beralih ke
wawancara mengenai riwayat keluhan dengan menanyakan kondisi yang
dirasakan mengganggu sehingga partisipan membutuhkan bantuan psikologis,
perasaan partisipan, awal mula munculnya masalah, konsekuensi masalah, dan
usaha partisipan mengatasi masalah tersebut. Peneliti sendiri merasa bahwa
keduanya merasa nyaman bercerita sejak presesi. Hal ini dibuktikan dengan kedua
partisipan yang terbuka menceritakan masalahnya. Ada kemungkinan bahwa
peneliti sebagai orang yang baru dikenal membuat kedua partisipan merasa aman
jika menceritakan masalah dan kondisinya. Peneliti juga mementingkan
kenyamanan partisipan saat mengikuti sesi. Peneliti menyediakan minum,
makanan ringan seperti kue kering, dan tisu. Adanya benda-benda itu membuat
partisipan menjadi santai dan nyaman ketika mereka membutuhkannya.
Selama intervensi, terjadi hubungan kolaboratif antara peneliti dan kedua
partisipan, yang sesuai dengan pendapat Westbrook, Kennerley, & Kirk (2007).
Peneliti membagi pengetahuan mengenai cara-cara penyelesaian masalah yang
efektif. Sementara partisipan menjadi pihak yang benar-benar memahami masalah
yang berkaitan dengan keterampilan sosial. Ketika menggunakan CBT, memang
perlu adanya hubungan terapeutik yang baik antara kedua belah pihak. Hubungan
terapeutik ini yang memperbesar motivasi partisipan untuk mengikuti intervensi.
Kebetulan kedua partisipan memiliki motivasi internal sehingga peneliti berperan
dalam menjaga dan menjaga motivasi tersebut tetap ada. Kedua partisipan
memiliki sikap proaktif, antara lain mengerjakan tugas rumah, mengaplikasikan
keterampilan yang dipelajarinya, dan merealisasikan behavior experiment.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
112
Universitas Indonesia
Peneliti merasa fleksibilitas sebagai terapis juga turut mempengaruhi
keberhasilan intervensi. Dalam memberikan intervensi, peneliti menyesuaikan
rancangan intervensi dengan kebutuhan partisipan. Peneliti juga memberikan
waktu lebih longgar kepada partisipan, dengan demikian mereka merasa nyaman
bercerita dan bersedia mengikuti sesi sampai selesai. Fleksibilitas dari intervensi
ini terlihat dari beberapa sesi yang melebihi waktu yang sudah ditetapkan.
Pemberian waktu untuk bercerita ternyata membuat kedua partisipan merasa
senang karena merasa diberi kesempatan bercerita serta tidak dianggap hanya
sebagai subjek penelitian saja (subjek tesis). Partisipan mengungkapkan bahwa
dengan pemberian waktu mereka dapat berpikir atau mengutarakan pemikirannya.
Fleksibilitas juga nampak dari perubahan jadwal sesi dengan partisipan.
Kemunduran jadwal terjadi karena partisipan yang berhalangan datang. Mereka
terhambat oleh urusan akademis seperti mengikuti kuliah pengganti, jam kuliah
dimajukan, harus bertemu dengan dosen, dan urusan non-akademis seperti
mengalami nyeri haid dan harus memimpin sebuah rapat organisasi di
fakultasnya. Intervensi yang fleksibel memungkinkan peneliti untuk mengajukan
alternatif hari untuk pelaksanaan sesi, namun tetap menjaga agar jarak waktu
antara sesi sebelum dan berikutnya tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat.
Pengajuan waktu alternatif juga menyesuaikan dengan jadwal peneliti, agar tidak
bentrok dengan waktu pertemuan dengan partisipan lain. Keberhasilan intervensi
dilakukan tepat waktu juga dipengaruhi oleh peneliti yang selalu mengirimkan
pesan singkat (SMS) sebagai pengingat untuk janji pertemuan sesi berikutnya.
Meski intervensi berjalan dengan lancar, peneliti tetap merasa ada
keterbatsan dalam menjalani intervensi. Peneliti merasa terbatas dalam
mengontrol pengerjaan tugas rumah dan tidak mendapatkan informasi yang
berkaitan dengan masalah partisipan dari sudut pandang orang lain atau
significant others yang dimiliki partisipan (alloanamnesa).
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
113
Universitas Indonesia
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa CBT efektif untuk meningkatkan
keterampilan sosial dan menurunkan distres psikologis pada mahasiswa
Universitas Indonesia (UI). Intervensi ini terbilang efektif dengan realisasi
sebanyak 6 sesi sesuai dengan rencana awal penelitian. Penerapan CBT untuk
mengatasi rendahnya keterampilan sosial dan tingginya tingkat distres psikologis
mahasiswa UI memunculkan perubahan yang signifikan pada kedua partisipan.
7.2. Saran
Dari evaluasi secara umum mengenai pelaksanaan intervensi untuk
meningkatkan keterampilan sosial pada mahasiswa UI yang mengalami distres
psikologis, ada beberapa saran yang dapat disampaikan peneliti untuk
meningkatkan kualitas program intervensi atau penelitian serupa di waktu
mendatang. Beberapa saran yang dapat diberikan peneliti adalah sebagai berikut:
7.2.1. Saran Metodologis
a. Dalam intervensi, selain wawancara dengan klien, perlu dilakukan
wawancara (alloanamnesa) dari significant others yang dimiliki klien.
Tujuannya mendapatkan informasi dari perspektif lain yang berkaitan
dengan masalah utama mereka.
b. Jika masalah yang dimiliki klien sampai memunculkan respon fisik yang
mengganggu, perlu adanya sesi khusus untuk relaksasi progresif.
c. Perlu dilakukan follow-up mengenai perkembangan partisipan sesudah
mengikuti sesi intervensi, seperti 1 bulan sesudah intervensi selesai
dilakukan.
d. Mengingat pelaksanaan sesi intervensi ada yang melewati perkiraan
waktu, perlu dipertimbangkan mengenai pengurangan materi untuk tiap
sesi dan menambah jumlah sesi pertemuan.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
114
Universitas Indonesia
e. Perlu di pertimbangkan mengenai penggunaan bahasa asing dalam proses
intervensi, seperti bahasa Inggris, agar partisipan tidak kesulitan
memahami apa yang disampaikan peneliti.
7.2.2. Saran Praktis
a. Untuk merancang program intervensi dengan Cognitive Behavior Therapy,
partisipan diberikan kesempatan untuk menjalani sesi konseling sebelum
memulai sesi CBT. Tujuannya adalah memberikan waktu kepada
partisipan untuk membahas masalah pribadinya secara menyeluruh dan
masalah-masalah lain yang bukan merupakan masalah utama.
b. Untuk mengetahui kondisi klien pasca intervensi, perlu dilakukan tahap
follow-up. Jika klien mengalami kemunduran atau membutuhkan bantuan
lebih lanjut, peneliti dapat memberikan langkah-langkah alternatif yang
dapat dipilih klien.
c. Adanya pengembangan program intervensi menjadi terapi kelompok
dengan menggunakan CBT untuk sekelompok individu yang memiliki
kesamaan masalah, seperti dalam satu universitas atau fakultas.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
115
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Arrindell, W.A., Akkerman, A., van der Ende, J., Schreurs, P. J. G., Brugman, A.,
Stewart, R. E., Bouhuys, A.L., van Ooijen, N., Bridges, K. R., Sanderman,
R. (2005). Normative studies with the Scale for Interpersonal Behaviour
(SIB): III. Psychiatric inpatients. Personality and Individual Differences,
vol. 38, 941–952
Aydin, A., Tekinsav-sütçü, S., & Sorias, O. (2010). Evaluation of the
Effectiveness of a Cognitive-Behavioral Therapy Program for Alleviating
the Symptoms of Social Anxiety in Adolescents. Turkish Journal of
Psychiatry, 1-11.
Barreras, R. B. (2008). An Experimental Analysis of the Treatment Validity of the
Social Skills Deficit Model for At-Risk Adolescents. Disertasi. Riverside:
Doctor of Philosophy University Of California.
Beck, A. T. & Weishaar, M. E. (2011). Cognitive Therapy. Dalam Corsini, R. J.
& Wedding, D. (editors). Current Psychotherapies, 9th
ed. (hlm. 257-287).
Canada: Brooks-Cole
Bedell, J. & Lennox, S. S. (1997). Handbook for Communication and Problem-
Solving Skills Training: A Cognitive-Behavioral Approach. New York:
John Wiley & Sons, Inc.
Cartwright-Hatton, S., Tschernitz, N., & Gomersall, H. (2005). Social anxiety in
children: social skills deficit, or cognitive distortion? Behaviour Research
and Therapy, vol. 43, 131–141.
Febrianty, Aisyah Herni. (2011). Pengaruh Faktor Protektif dan Risiko
Psychological Distress pada Mahasiswa Universitas Indonesia. Skripsi.
Depok: Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Fledderus, M., Bohlmeijer, E. T., Pieterse, M. E., dan Schreurs, K. M. G. (2011).
Acceptance and commitment therapy as guided self-help for psychological
distress and positive mental health: a randomized controlled trial.
Psychological Medicine, 42, 485–495.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
116
Universitas Indonesia
Hansen, D. J., Nangle, D. W., & Meyer, K. A. (1998). Enhancing the
effectiveness of social skills interventions with adolescents. Education and
Treatment of Children, 21 (4), 489-513.
Heinrichs, N., Gerlach, A. L., & Hofmann, S. G. (2006). Social Skills Deficits.
Dalam Hersen, M. (editor). Clinician's Handbook of Adult Behavioral
Assessment (hlm. 235-252). London: Elsevier Inc.
Hope, D. A., Burns, J. A., Hayes, S. A., Herbert, J. D., & Warner, M. D. (2010).
Automatic Thoughts and Cognitive Restructuring in Cognitive Behavioral
Group Therapy for Social Anxiety Disorder. Cognitive Therapy
Restucturing (34), 1–12
Hurlock, E.B. (1990). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan, edisi kelima. Terj: Istiwidayanti & Soedjarwo.
Jakarta: Penerbit Erlangga
http://simak.ui.ac.id. Jalur Masuk UI 2011/2012. Diaskes pada Maret 2012.
Iannaccone, C. J., Wienke, W. D., & Cosden, M. A. (1991). Social Skills
Instruction in Secondary Schools: Factors Effecting Its Implementation.
The High School Journal, Vol. 75 (2), 111-118.
Jou, Y. H. & Fukada, H. (2002). Stress, health, and reciprocity and sufficiency of
social support: The case of university student in Japan. The Journal of
Social Psychology, vol. 142 (3). 353-370
Keputusan Rektor Universitas Indonesia, nomor 478/SK/R/UI/2004, Tentang
Evaluasi Keberhasilan Studi Mahasiswa Universitas Indonesia. Depok.
Kerlinger, F & Lee, H B. (2000). Foundations of behavioral research 4th ed. USA:
Harcourt College publishers
Kitzrow, Martha Anne. (2003). The Mental Health Needs of Today’s College
Students: Challenges and Recommendations. NASPA Journal, vol. 41 (1),
167-181.
Kumar R. (1999). Research Methodology: A Step-by-Step Guide for Beginners.
Australia: Pearson Education
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
117
Universitas Indonesia
Kobayashi, Eriko. (2005). Perceived Parental Expectations Among Chinese
American College Students: The Role of Perceived Discrepancy and
Culture in Psychological Distress. Tesis. Philadelphia: Doctor of
Philosophy The Pennsylvania State University.
Maharani, Winda. (2011). Perbedaan Tingkat Psychological Distress pada
Mahasiswa Universitas Indonesia yang Membutuhkan Pelayanan Badan
Konsultasi Mahasiswa di Tahun 2010 dan 2011. Skripsi. Depok: Sarjana
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Mathur, S. R., Kavale, K. A., Quinn, M. M., Forness, S. R., & Rutherford, R. B.
(1998). Social Skills Interventions with Students with Emotional and
Behavioral Problems: A Quantitative Synthesis of Single-Subject
Research. Behavioral Disorders, 23(3), 193-201.
Matthews, G. (2000). Distress. Dalam G. Fink (Ed.). Encyclopedia of stress (Vol.
1, pp. 723-729). San Diego, CA: Academic Press.
Mclntyre, C. J. (1953). The Validity of the Mooney Problem Check List. The
Journal of Applied Psychology, 37 (4), 270-272.
Miller, J. L. (2011). The Relationship between Identity Development Processes
and Psychological Distress in Emerging Adulthood. Disertasi.
Washington: Doctor of Philosophy The George Washington University.
Mirowsky, J., & Ross, C. E. (2003). Social causes of psychological distress. New
York: Aldine de Gruyter.
Misra, Ranjita & Castillo, Linda G. (2004). Academic Stress Among College
Students: Comparison of American and International Students.
International Journal of Stress Management, 11 (2), 132–148.
Nevid, J. S., Rathus, S. A. & Greene. (2003). Psikologi abnormal edisi kelima
jilid 1. (Terj. Tim Fakultas Psikologi Universitas Indonesia). Jakarta:
Erlangga.
Papalia, Diane E., Olds, Sally Wendkos, & Feldman, Ruth Duskin. (2007).
Human Development (10th
edition). New York: McGraw-Hill.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
118
Universitas Indonesia
Riggio, R. E. (1986). Assessment of Basic Social Skills. Journal of Personality
and Social Psychology, vol. 51 (3), 649-660.
Riggio, R. E. & Reichard, R. J. (2008). The emotional and social intelligences of
effective leadership: An emotional and social skill approach. Journal of
Managerial Psychology, 23 (2), 169-185
Ross, S. E., Niebling, B. C., & Heckert, T. M. (1999). Sources of Stress Among
College Students. College Student Journal, 33 (2), 312-318.
Santrock, J. W. (2008). Life-span Development, 11th
ed. New York: McGraw Hill.
Sarafino, E.P. (2002). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions (4th ed.).
New York: John Whey & Sons, Inc.
Segrin, Chris. (2001). Social Skills and Negative Life Events: Testing the Deficit
Stress Generation Hypothesis. Current Psychology, 20 (1), 19-35.
Spence, Susan H. (2003). Social Skills Training with Children and Young People:
Theory, Evidence, and Practice. Child and Adolescent Mental Health, 8
(2), 84-96.
Sprinthall, N. A. & Collins, W. A. (1995). Adolescent Psychology: A
Developmental View, 3rd
ed. New York: McGraw-Hill, Inc.
Stallard, Paul. (2004). Think Good – Feel Good: Cognitive Behaviour Therapy
Workbook for Children and Young People. West Sussex: John Wiley &
Sons
Stallman, H. M. (2008). Prevalence of Psychological Distress in University
Students Implication for Service Delivery. Australian Family Physician,
37, 673-677
Utama, B. (2010). Kesehatan Mental dan Masalah-Masalah Pada Mahasiswa S1
Universitas Indonesia. Skripsi. Depok: Sarjana Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
Ventevogel, P., De Vries, G., Scholte, W. F., Shinwari, N. S., Nassery, H. F. R.,
van den Brink, W., & Olff, M. (2007). Properties of the Hopkins Symptom
Checklist-25 (HSCL-25) and the Self-Reporting Questionnaire (SRQ-20)
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
119
Universitas Indonesia
as screening instruments used in primary care in Afghanistan. Soc
Psychiatry Epidemiology, 42: 328–335
Verger, P., Combes, J. P., Kovess-Masfety, V., Choquet, M., Guagliardo, V.,
Rouillon, F. & Peretti-Wattel, P. (2009). Psychological distress in first
year university students: socioeconomic and academic stressors, mastery
and social support in young men and women. Social Psychology
Epidemiology, 44, 643–650
Westbrook, D., Kennerley, H., & Kirk, J. (2007). An Introduction to Cognitive
Behaviour Therapy: Skills and Applications. Los Angeles: SAGE
Publications
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
LAMPIRAN
Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25)
Mooney Problems Check Lists (MPCL)
Social Skills Inventory (SSI)
Pernyataan Persetujuan: Informed Consent
Modul Sesi I
Materi mengenai keterampilan sosial dan Cognitive Behavior Therapy
Tabel SMART goal
Lembar contoh kasus respon emosi
Lembar daftar emosi dalam bahasa Indonesia
Lembar contoh pikiran-pikiran otomatis
Lembar Kerja
o Worksheet 1: Respon fisik, perilaku, dan pikiran
o Worksheet 2: Bagan formulasi masalah spesifik
o Worksheet 3: My Goals
o Worksheet 4: Main and Mini Goals
o Worksheet 5: Lembar contoh kasus “emosi”
o Worksheet 6: Lembar contoh “pikiran otomatis”, tabel pikiran dan perasaan
pribadi
o Worksheet 7: Lembar “Situasi, Pikiran, atau Emosi?”
o Worksheet 8: Lembar “Thoughts diary”
o Worksheet 9: Lembar “thoughts diary” dan “unhelpful thinking styles”
o Worksheet 10: Lembar “My hot thoughts”
o Worksheet 11: Lembar “End Results”
o Worksheet 12: Lembar rancangan Behavior Experiment (langkah 1 dan 2)
o Worksheet 13: Lembar “Behavior Experiments”
o Worksheet 14: Lembar “Self-management plan”
o Worksheet 15: Lembar “Feedback from you”
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25)
Petunjuk Pengisian
Di bawah ini adalah daftar keluhan atau masalah yang kadang-kadang kita alami.
Bacalah baik-baik setiap masalah dan cocokkan dengan keadaan Anda selama satu
minggu terakhir sampai hari ini. Kemudian berikan penilaian seberapa mengganggu
keluhan/masalah itu bagi Anda, dengan memberi tanda silang (X) pada kolom yang
sesuai:
No
Pernyataan
Tidak
Sama
Sekali
Sedikit
Meng-
ganggu
Agak
Meng-
ganggu
Sangat
Meng-
ganggu
1. Perasaan takut yang
mendadak tanpa sebab
4. Gugup atau berdebar-debar
10. Perasaan gelisah sehingga
Anda tidak dapat duduk
tenang
21. Perasaan seperti mau
dijebak atau ditangkap
25. Perasaan tidak berguna
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Mooney Problems Check Lists (MPCL)
Petunjuk Pengisian
Bagian berikut ini bukanlah sebuah tes. Ini adalah daftar masalah-masalah yang sering
dihadapi oleh mahasiswa. Bacalah daftar pernyataan berikut secara perlahan, dan jika
pernyataan tersebut merupakan masalah yang Anda rasakan dan mengganggu Anda
saat ini, lingkarilah kalimat itu, misalnya, “5. Merindukan seseorang di rumah/di
kampung halaman”. Lakukanlah hal yang sama pada seluruh daftar pernyataan,
lingkarilah pernyataan yang merupakan masalah (kesulitan, kekhawatiran) bagi Anda.
Bacalah daftar berikut secara perlahan, dan ketika Anda menemukan masalah
yang Anda rasakan dan mengganggu Anda, lingkarilah kalimat tersebut.
1. Takut-takut atau pemalu
2. Mudah sekali menjadi tersipu malu
3. Tidak nyaman berada dengan orang lain
4. Tidak punya sahabat di kampus
5. Merindukan seseorang di rumah/di kampung halaman
41. Tidak menyukai seseorang
42. Tidak disukai oleh seseorang
43. Merasa bahwa tidak seorangpun memahami saya
44. Tidak ada orang yang dapat diajak membicarakan kesulitan kesulitan saya
45. Sukar bagi saya untuk membicarakan kesulitan-kesulitan saya
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Social Skills Inventory (SSI)
Inventori Gambaran Diri
Pada bagian ini terdapat 90 pernyataan tentang gambaran diri Anda. Di kolom
jawaban di sebelah kanan, anda diminta untuk memberikan tanda (√) di kotak yang
menurut anda paling menggambarkan diri Anda dalam setahun terakhir.
Apabila pernyataan tersebut sangat menggambarkan diri anda silahkan mengisi
kotak 4, bila pernyataannya sangat tidak menggambarkan diri anda, maka isilah kotak 1.
Dalam survei ini tidak ada jawaban benar atau salah karena yang ingin diketahui
adalah seberapa besar pernyataan berikut ini menggambarkan diri Anda. Penilaian
dilakukan berdasarkan skala di bawah ini:
Keterangan:
1. Sangat Tidak Menggambarkan Diri Saya
2. Agak Tidak Menggambarkan Diri Saya
3. Agak Menggambarkan Diri Saya
4. Sangat Menggambarkan Diri Saya
No Pernyataan 1 2 3 4
11. Sumber utama kesenangan dan penderitaan saya
adalah orang lain
22. Saya lebih memilih pekerjaan yang
membutuhkan kerjasama dengan orang banyak
33. Saya mampu mempertahankan ekspresi datar
meskipun teman-teman mencoba membuat saya
tertawa atau tersenyum
44. Salah satu kesenangan terbesar dalam hidup saya
adalah berada bersama dengan orang lain
55. Saya sering menggunakan sentuhan saat
berbicara dengan teman saya
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Pernyataan Persetujuan
Informed Consent
Dalam rangka pengumpulan data penelitian untuk penulisan tesis, Peneliti
meminta kesediaan Saudara untuk menjadi Partisipan penelitian.
Partisipan penelitian bersedia mengikuti program intervensi psikologis berupa
Cognitive Behavior Therapy (CBT) yang akan dilaksanakan setiap satu kali dalam
seminggu sebanyak 6 (enam) pertemuan, masing-masing selama satu hingga satu
setengah jam (60-90 menit) pada waktu dan tempat yang telah disepakati bersama.
Partisipan penelitian juga bersedia mengisi kuesioner yang akan diberikan secara
bertahap di awal program intervensi, di akhir program intervensi, dan satu minggu
setelah program intervensi berakhir.
Segala bentuk data yang diperoleh akan dijaga kerahasiaannya dan hanya akan
digunakan untuk kepentingan penelitian dan penulisan Tesis Program Magister Profesi
Psikologi Klinis Dewasa, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Partisipan penelitian
berhak mengajukan keberatan pada Peneliti jika ada hal-hal dalam penelitian yang tidak
berkenan baginya. Selanjutnya masalah ini akan dicari solusinya berdasarkan
kesepakatan bersama antara Partisipan penelitian dan Peneliti. Keikutsertaan Partisipan
dalam penelitian ini bersifat sukarela dan Partisipan dapat mengundurkan diri kapan
saja tanpa memberikan penjelasan apapun.
Dengan menandatangani lembar persetujuan ini berarti Partisipan penelitian
menyatakan bersedia ikut serta dalam penelitian ini, dan telah memperoleh penjelasan
dari Peneliti tentang tujuan penelitian dan jaminan kerahasiaan data partisipan.
Depok, April 2012
Peneliti, Partisipan Penelitian,
Emmanuela Kirana S., S.Psi. ( )
NPM: 1006796191
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Modul Sesi I
Agenda Tujuan Langkah-langkah Alat bantu
Membangun
rapor dengan
klien dan
menyepakati
proses CBT
Menjalin
hubungan
terapeutik dan
klien paham
memahami
penjelasan
mengenai
keterampilan
sosial dan
prosedur
pelaksanaan
terapi
Peneliti menjelaskan gambaran
singkat mengenai:
Penjelasan singkat mengenai
keterampilan sosial (sebagai
masalah yang akan ditangani)
Tujuan penelitian dan gambaran
umum CBT
Penjelasan singkat mengenai
pelaksanaan CBT
Materi
mengenai
keterampilan
sosial berupa
handouts
yang dapat
disimpan
oleh klien
Psikoedukasi
Identifikasi
masalah
Klien paham
mengenai
masalah yang
dialami dan
berbagai
respon yang
muncul
Peneliti mengajak klien
menelaah lebih dalam mengenai
suatu masalah spesifik dengan
menanyakan beragam
pertanyaan.
Klien menuliskan respon yang
muncul saat berada di sebuah
situasi sosial yang menjadi
masalahnya dengan mengisi
tabel respon fisik, perilaku, dan
kognisi (terlampir).
- Respon lain yang juga
muncul adalah respon fisik,
terutama ketika mengalami
kecemasan saat berada di
situasi spesifik
- Meminta klien menuliskan
respon fisik yang muncul,
seperti detak jantung, napas,
tekanan darah, dan sensasi
fisik lainnya
Tabel
respon
fisik,
perilaku,
pikiran
Gambar
bagan
hubungan
3 respon
Contoh
kasus
formulasi
masalah
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Formulasi
masalah
Penjelasan bahwa seringkali
individu menyadari emosinya
dan mempengaruhi kognisi
serta perilakunya
Sesudah itu melihat bagan
hubungan antara emosi,
perilaku dan kognisi saat
muncul suatu masalah
(terlampir)
Mengajak klien membuat bagan
untuk memformulasikan
masalah spesifik dan
menyampaikan bahwa ini
menjadi latihan untuk di rumah
(terlampir)
Menemukan maintaining
process yang dimiliki klien
Lembar
bagan
formulasi
masalah
Goal
planning
Identifikasi
keinginan klien
dan kemung-
kinan adanya
perubahan
Menentukan
tujuan CBT
Mengajak klien untuk
menyadari bahwa mereka dapat
membuat perubahan situasi
dengan membuat dan
mengembangkan tujuan.
Menentukan apa yang menjadi
keinginan klien (terlampir)
Tabel “My
Goals”
Menentukan
tujuan yang
menjadi prioritas
utama dan tujuan
ini disesuaikan
dengan
kemampuan klien
Melihat daftar tujuan dan
meminta klien menentukan
tujuan yang ingin dicapai
terlebih dahulu. Penyusunan
bisa berdasarkan kemudahan
dalam mencapai tujuan. Tujuan
yang ingin dicapai sebaiknya
fleksibel dan mudah
disesuaikan dengan perubahan
yang mungkin terjadi dan
menggunakan prinsip SMART
(terlampir)
- Spesific: spesifik dan jelas
- Measureable: dapat diukur
dan bisa dinilai peningkatan
atau penurunan
- Achievable: dapat dicapai
dan realistik
- Relevant: relevan dengan
Tabel “My
Goals”
Tabel
“SMART
Goal”
Kertas
kerja
Tabel
tujuan
jangka
pendek
dan
panjang
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
keadaan saat ini
- Time Frame: ada batas
waktu untuk evaluasi
pencapaian tujuan
Penentuan skala pencapaian
goal:
X----------------------------------X
0 100 Belum Sudah
tercapai tercapai
Jika klien kesulitan untuk
menentukan tujuan, dapat
menggunakan miracle question.
Klien juga dapat menuliskan
keinginan, harapan, dan mimpi
mereka.
Klien dibantu untuk membuat
tujuan jangka pendek untuk
meraih tujuan jangka panjang
dengan mengisi daftar tabel
tujuan (dari tujuan utama,
jangka waktu pencapaian tujuan
utama, tujuan yang lebih kecil,
dan jangka waktu pencapaian
tujuan kecil) (terlampir)
Penutup Menyimpulkan
tujuan terapi
Menutup sesi dan penyampaian
tugas rumah pembuatan
formulasi masalah
Membuat janji temu untuk sesi
berikutnya
Lembar
bagan
formulasi
masalah
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
C O N T O H
Jantung berdegup kencang
Merasa cemas dan takut sehingga ingin keluar dari ruangan.
Merasa tidak aman dan terancam
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Worksheet 1
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Pikiran
Perasaan
Perilaku
Sensasi fisik
(BAGAN FORMULASI MASALAH SPESIFIK)
Kejadian
Penghayatan
Worksheet 2
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
My GOALs rank
1.
2.
3.
4.
5.
Main goal Jangka waktu Mini goal Jangka waktu
Worksheet 3
Worksheet 4
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
CONTOH KASUS
Kamu ada di sebuah pesta ulang tahun si X dan X mengajak kamu berkenalan dengan Y.
Saat kamu berbincang dengan Y, dia tidak melihat langsung ke arah kamu, tetapi lebih
sering melihat di sekeliling ruangan.
NO PIKIRAN EMOSI YANG MUNGKIN
MUNCUL
1 Wah, dia kurang ajar sekali yaa. Dia ngga mau liat
saat gue ngomong! Gila yaa…
2 Dia pasti berpikir kalo gue itu ngga menarik dan
pembicaraan gw ngebosenin. Ngga ada orang yang
pengen ama gue.
Di suatu malam, kamu pulang ke rumah sehabis kuliah. Saat sampai rumah, kamu
menyadari bahwa rumah dalam keadaan gelap dan semua lampu rumah tidak menyala.
Ternyata pintu rumah juga dalam keadaan terbuka. Saat kamu masuk, rumah dalam
keadaan gelap. Tiba-tiba terdengar “Surprise!!”, kemudian lampu menyala dan kamu
melihat banyak teman dan keluarga berkumpul sambil membawa kue ulang tahun.
NO PIKIRAN EMOSI YANG MUNGKIN
MUNCUL
1 Oh tidak! Gue ngga percaya kalo orang tua susah
payah menyiapkan pesta ini. Semuanya melihat ke
arah gue dan pakaian gue kucel banget. Rasanya gw
pengen cepat-cepat pergi dari sini.
2 WOW! Gue lupa kalo hari ini ulang tahun gue.Baik
sekali teman-teman dan keluarga gue. Gue merasa
sangat diperhatikan dan seakan dianggap penting.
Worksheet 5
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Kamu baru aja selesai menyiapkan makan malam buat beberapa orang teman. Tiba-tiba seorang
teman menelepon dan mengatakan bahwa mereka tidak jadi datang karena ada urusan yang lebih
penting.
NO PIKIRAN EMOSI YANG
MUNGKIN MUNCUL
1
Kesal
2
Cemas
Kamu sedang berbelanja di Carrefour. Ketika melewati lorong kaleng makanan, kamu menjatuhkan
beberapa kaleng sehingga terdengar bunyi kencang dan kaleng-kaleng itu menggelinding. Akhirnya
beberapa orang melihat ke arah kamu dan terpaksa menghentikan kereta dorongnya.
NO PIKIRAN EMOSI YANG
MUNGKIN MUNCUL
1
Malu
2
Senang
LATIHAN DENGAN KASUS PRIBADI
PIKIRAN EMOSI YANG MUNGKIN MUNCUL
Worksheet 6
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
No Contoh Situasi, Pikiran,
atau Emosi?
1 Gugup
2 Berbicara di telepon dengan seorang teman
3 Akan terjadi sesuatu yang buruk pada diriku
4 Duduk di kantin
5 Mereka pasti berpikir bahwa saya bodoh
6 Panik
7 Saya yakin ujian tadi akan mendapat nilai buruk
8 Cemas
9 Berbelanja kebutuhan bulanan untuk di kos
10 Takut
11 Mengingat pembicaraan dengan teman sekelas
12 Marah
13 Saya seharusnya tidak dimarahi
14 Berpikir mengenai arisan bulan depan
15 Mereka pasti akan menertawakan saya
Worksheet 7
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
THOUGHTS DIARY
A – Activating Events / Kejadian
B – Beliefs / Keyakinan
- Tuliskan semua pikiran yang membuat A terhubung dengan C Apa yang saya pikirkan? Apa yang saya katakan pada diri saya? Apa yang terlintas dipikiran saat itu?
- Tentukan yang paling membuat distres dan garis bawahi
- Berikan nilai 0-100 untuk intensitasnya
C – Consequences / Konsekuensi
(perasaan, simtom fisik, perilaku) - Tuliskan semua perasaan yang muncul - Tuliskan simtom fisik dan perilaku kamu - Garisbawahi emosi yang paling sesuai
dengan kejadian - Berikan nilai 0-100 untuk intensitas
emosinya
Worksheet 8
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
THOUGHT DIARY
A – Activating Events / Kejadian
B – Beliefs / Keyakinan
- Tuliskan semua pikiran yang membuat A terhubung dengan C Apa yang saya pikirkan? Apa yang saya katakan pada diri saya? Apa yang terlintas dipikiran saat itu?
- Tentukan yang paling membuat distres dan garis bawahi
- Berikan nilai 0-100 untuk intensitasnya
C – Consequences / Konsekuensi
(perasaan, simtom fisik, perilaku) - Tuliskan semua perasaan yang muncul - Garisbawahi yang paling sesuai dengan
kejadian - Berikan nilai 0-100 untuk intensitasnya
Unhelpful Thinking Styles
Worksheet 9
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
MY HOT THOUGHTS:
Bukti Nyata yang Mendukung
My Hot Thoughts
Bukti Nyata yang Bertentangan
dengan My Hot Thoughts
Worksheet 10
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
My Balanced thought
Re-rate Emotion (0-100)
Re-rate Hot Thoughts (0-100)
Worksheet 11
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Step I
Core belief yang akan diuji :
New or alternative Belief :
step II
Perkiraan aktivitas :
Prediksi saya :
Worksheet 12 Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Core belief yang akan diuji:
Aktivitas Prediksi Kejadian yang sebenarnya
Kesimpulan
Balanced core belief
Worksheet 13 Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Self Management Plan Strategi yang membantu dan harus selalu dilatih (apakah itu relaksasi, thought diary, penentuan goal harian atau mingguan, dsb) Automatic thoughts yang sering muncul Unhelpful thinking style yang sering digunakan tanpa disadari Balanced thought yang ditemukan Situasi yang paling berpotensi menimbulkan masalah Dukungan sosial yang dimiliki
Worksheet 14
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
FEEDBACK FROM YOU
1. MATERI INTERVENSI
2. PROGRAM INTERVENSI
3. EVALUASI TERHADAP PENELITI
Worksheet 15
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012