cita hukum pancasilae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/cita hukum pancasila.pdfdan tujuan...

212
- Prof. Dr. Absori, S.H., M.Hum. et.al - CITA HUKUM PANCASILA Ragam Paradigma Hukum Berkepribadian Indonesia

Upload: others

Post on 26-May-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

- Prof. Dr. Absori, S.H., M.Hum. et.al -

CITA HUKUM PANCASILARagam Paradigma Hukum Berkepribadian

Indonesia

Page 2: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

Perum Gumpang BaruJl. Kresna No. 1, Gumpang, Kartasura, Solo.Phone : 0271-7652680, HP. 081548542512

Email : [email protected]

CITA HUKUM PANCASILARagam Paradigma Hukum Berkepribadian Indonesia

Penulis:

AbsoriFarkhani

Sigit Sapto NugrohoElviandri

Muhammad TohariNurjannah Septyatun

Any FaridaYulias ErwinSri Waljinah

Siti SoekiswatiUsman Munir

Editor :Hilman S. Haq,

S.H., M.H.

Tata Letak :Taufiqurrohman

Cetakan I :Oktober 2016

Diterbitkan Oleh:

Cover :naka_abee

Prof. Dr. Absori, S.H., M.Hum. et.al.Cita Hukum Pancasila; Prof. Dr. Absori, S.H., M.Hum. et.al.; Editor: Hilman S. Haq, S.H., M.H. ; Solo: Pustaka Iltizam; 2016212 hlm.; 23 cm

ISBN: 978-602-7668-75-1

Page 3: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

3Cita Hukum Pancasila

KATA PENGANTAR

Indonesia sebagai bangsa yang besar, dengan wilayah yang luas terpisah dalam beberapa pulau besar dan ribuan pulau kecil, ragam budaya, suku dan bahasa, memerlukan nilai yang diakui dan disepakati bersama yang dapat dijadikan nilai pengingat sekaligus pengikat kesatuan dan nasionalisme. Nilai yang dimaksud harus benar-benar ideal, anti diskriminasi, luhur dan sekaligus mendasar, mudah diingat dan omnipresent pada setiap aktivitas warganya. Ini-lah kiranya yang menjadi pikiran para pejuang dan pendiri negara (founding fathers) terdahulu, kemudian ditemukanlah apa yang disebut dengan Pancasila.

Meminjam istilah Von Savigny, Pancasila dapat dikatakan se-bagai volkgeist bangsa Indonesia. Kelahirannya memang singkat, tetapi memerlukan waktu perjuangan yang sangat panjang dengan tumbal jutaan rakyat karena penindasan penjajah yang silih ber-ganti. Setelah kelahirannya pun diuji dengan berbagai peristiwa pemberontakan, ketidakstabilan politik dan ekonomi, isu-isu dis-integrasi bangsa. Kini Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dianggap sebagai “harga mati” untuk kelangsungan negeri ini.

Kemerdekaan telah berlalu lebih dari 70 tahun, Indonesia dalam segala hal bisa dikatakan lebih baik dari masa awal-awal kemerdekaan dahulu. Tapi tantangan untuk mengisi kemerdekaan dan menjadikan negara ini menjadi lebih baik dari masa ke masa, nampaknya masih belum juga berakhir dari ujian yang mendera; kemandirian ekonomi sedang mendapat ujian berat karena hutang, penggelapan pajak, korupsi dan kinerja BUMN yang belum optimal dan produktif. Kedigjayaan hukum kita sedang dilecehkan oleh para pemilik modal dan para penegak hukum yang merubah diri menjadi “pelacur” ayat-ayat hukum dan peraturan perundangan. Kondisi politik yang tak tentu arah untuk apa hingar bingarnya. Ke-daulatan kita sering kali dilecehkan oleh negara jiran dan negara

Page 4: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

4 Cita Hukum Pancasila

pemberi hutang. Pancasila baru sekadar idealita yang sering kali dilupakan bagaimana implementasinya dalam kehidupan berbagsa dan bernegara.

Menurut Mahfud MD, kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional dapat dipandang dari tiga aspek yaitu filosofis, yuridis dan politik. Dari aspek filosofis, Pancasila men-jadi pijakan bagi penyelenggaraan bernegara yang dikristalisasi-kan dari nilai-nilainya. Dari aspek yuridis, Pancasila sebagai dasar negara menjadi cita hukum (rechtside) yang harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan nilai dan fatsun dalam berpolitik dan pe-ngelolaan negara. Walau seringkali tersisihkan oleh aspek-aspek kepentingan kaum pemodal atau kelompok kepentingan lainnya.

Walaupun ragam ironi di negeri gemah ripah lohjinawi ini, harapan masih tetap ada, cita-cita pantang untuk diakhiri cerita-nya. Begitu pula dengan para penulis dalam buku ini, bermula dari berbincang dan mendiskusikan Pancasila sebagai dasar negara (groundnorm), nilai pengikat integrasi bangsa (integrative value), jati diri bangsa (national identity), nilai ideal (ideal value), jiwa bangsa (volkgeist), sumber dari segala sumber hukum dan sebutan lainnya, mereka tumpahkan gundah gulananya namun tetap meng-gantung cita atas bangsanya.

Karena para penulis ini semuanya adalah para pembelajar hukum, maka kajian dalam dalam buku ini memotret nilai-nilai Pancasila dengan harapan dan cita agar nilai-nilainya dapat di-cerap dengan sesungguhnya dalam ranah hukum nasional. Ragam paradigma cita hukum dalam bingkai Pancasila untuk membahas bagaimana membangun hukum sumber daya alam, hukum eko-nomi yang Pancasilais, hukum kesehatan, etika profesi, penegakan hukum dan etika politik.

Selanjutnya ragam tulisan ini semoga bermanfaat bagi siapa-pun pembelajar hukum, terkhusus bagi mereka yang konsen men-jadikan Pancasila sebagai obyek utama kajiannya di bidang hukum.

Penulis

Page 5: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

5Cita Hukum Pancasila

Daftar Isi

Kata Pengantar ....................................................................................... 3Daftar Isi ................................................................................................... 5

POLITIK PEMBANGUNAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM BERSENDIKAN CITA HUKUM PANCASILAOleh : Prof. Dr. Absori, M.Hum. .......................................................................7

HUKUM BERKETUHANAN YANG MAHA ESA SEBAGAI BASIS ETIK PEMBANGUNAN HUKUM DALAM BINGKAI PANCASILA Oleh: Farkhani, S.H., S.HI., M.H .................................................................... 25

MEMBUMIKAN HUKUM PANCASILA SEBAGAI BASIS HUKUM NASIONAL MASA DEPAN Oleh: Sigit Sapto Nugroho, S.H., M.Hum .................................................. 41

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR (SDA) DALAM BINGKAI ETIK PANCASILA Oleh: Elviandri, S.HI., M. Hum ................................ 69

MEMBANGUN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA ERA GLOBALISASI DALAM PERSPEKTIF ETIKA PANCASILA Oleh: Mohamad Tohari, S.H., M. Hum ....................................................... 89

EKONOMI KERAKYATAN UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN SOSIAL YANG PANCASILAISOleh: Nurjannah Septyanun, S.H., M.H .................................................. 113

LANDASAN ETIS NEGARA HUKUM INDONESIA DALAM BINGKAI PANCASILA Oleh: Any Farida, S.H., M. Hum .................. 129

Page 6: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

6 Cita Hukum Pancasila

NILAI-NILAI PANCASILA DALAM INDEPENDENSI HAKIM DAN KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh: Yulias Erwin, S.H., M.H ........... 145

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM KODE ETIK PROFESI SEBAGAI LANDASAN PEMBINAAN SUMBER DAYA MANUSIA DI KEPOLISIAN Oleh: Sri Waljinah, S.Pd., M.Si ......... 171

MAFIA OBAT DI INDONESIA; Borok Perikemanusiaan dan Keadilan Sosial dalam Negara yang Berlandaskan Pancasila Oleh: dr. Siti Soekiswati, M.H ..................................................................... 187

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK; Mewujudkan Demokrasi Indonesia Yang BermartabatOleh: Usman Munir, S.H., M. Hum ............................................................ 197

BIODATA PENULIS .............................................................................208

Page 7: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

7Cita Hukum Pancasila

POLITIK PEMBANGUNAN HUKUM

SUMBER DAYA ALAM BERSENDIKAN CITA

HUKUM PANCASILA

Oleh : Prof. Dr. Absori, M.Hum.

Guru Besar pada Universitas Muhammadiyah Surakarta, Ketua Program Studi S3 Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah

Surakarta

Page 8: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

8 Cita Hukum Pancasila

PendahuluanPada era reformasi, ideologi Pancasila dipertanyakan banyak

pihak keampuhannya sebagai pijakan, perekat dan pilar penyangga kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak aneh apabila kemu-dian muncul tawaran idologi lain yang lebih menjanjikan, bahkan tanpa sadar dari petinggi negara sampai rakyat bawah pikiran dan perilakunya sudah pragmatis, menjauh dari nilai-nilai sebagaima-na yang diajarkan ideologi Pancasila. Ideologi Pancasila dinilai se-makin rapuh dan lemah. Pancasila dianggap sudah tidak pantas lagi ditempatkan sebagai ideologi karena sudah tidak mampu lagi mempengaruhi anak bangsa untuk setia menjalankan dan mem-pertahankannya.

Persoalan mendasar yang berkaitan dengan terjadinya krisis ideologi Pancasila terjadi diberbagai bidang. Di bidang pendidikan, materi pelajaran Pancasila sudah dihilangkan digantikan dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Di bidang politik, Pancasi-la hanya dijadikan alat justifikasi dalam rangka melanggengkan kekuasaan. Pada Era Orde Baru Pancasila dipaksakan sebagai asas tunggal dan diindoktrinasi melalui melalui berbagai penataran P4. Pada era reformasi ideologi Pancasila semakin tidak jelas per-annya, karena perilaku elit pemerintah dan partai politik identik dengan memperkuat dirinya (kroni) melalui koalisi, yang ujung-ujungnya dalam rangka memperkaya melalui praktek korupsi dan melanggengkan hegomonial kekuasaan.

Di bidang hukum, banyak produk hukum dibuat tidak punya pijakan vertikal dengan ideologi Pancasila. Ideologi Pancasila tidak lagi dijadikan pijakan utama dalam upaya pembangunan hukum nasional. Banyak produk hukum yang terkesan dipaksaan pemben-tukannya dan lebih berorientasi pada kepentingan yang bersifat pragmatis. Uji materiil sebuah produk UU hanya dilihat keabsya-hannya dengan UUD melalui uji Mahkamah Konstitusi. Sementara dalam penegakan hukum, tampak bahwa hukum masih berada dalam bayang-banyang kepentingan politik dan ekonomi. Sebagai negara hukum, aparat penegak hukum dan lembaga penegak hu-

Page 9: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

9Cita Hukum Pancasila

kum masih belum mampu bersifat adil dan menempatkan hukum sebagai panglima.

Sendi Cita Hukum PancasilaInti dari sendi Pancasila yang terdiri dari lima sila, berupa ketu-

hanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Menurut bapak pendiri bangsa Soekarno inti Pancasila kalau diperas berupa gotong royong. Dalam bidang hukum, manisfestasi dari ideologi Pancasila terjabarkan dalam cita hukum Pancasila yang berfungsi sebagai fondasi dan arah dari pembangunan dan pengembangan hukum nasional. Cita hukum Pancasila dimaknai sebagai aturan tingkah laku masyarakat yang berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta dan pikiran dari masyarakat sendiri. Dalam hal ini terdapat tiga unsur, yakni keadilan, kehasilgunaan dan kepastian hukum1.

Dalam dinamika kehidupan masyarakat sendi cita hukum akan berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani, norma kritik dan faktor yang memotivasi dalam penyelengaraan hukum (pem-bentukan, penemuan dan penerapan hukum) dan perilaku hukum. Dalam hal ini tata hukum merupakan sebuah eksemplar ramifikasi cita hukum ke dalam berbagai kaidah hukum yang tersusun dalam sebuah sistem. Dengan demikian pembangunan dan pengemba-ngan hukum seyogyanya bertumpu dan mengacu pada cita hukum.

Oleh bapak pendiri bangsa, Pancasila ditempatkan sebagai landasan filsafat dalam menata kerangka dan struktur dasar orga-nisasi negara. Pancasila dimaknai sebagai pandangan hidup bangsa yang mengungkap tentang hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesamanya dan manusia dengan alam semesta yang berintikan keyakinan tetang tempat manusia individu di dalam ma-syarakat dan alam semesta.

Soerjanto Poespowardojo memaknai Pancasila sebagai pan-dangan hidup, ideologi persatuan dan legitimasi pembangunan. A. Hamid S. Attamimi yang memakni Pancasila sebagai “cita hukum”

1 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Fundadi dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandung: Disertasi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 1996, hal. 214.

Page 10: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

10 Cita Hukum Pancasila

(rechtsidee), padanan dari ideologi (die ideologie) atau ajaran ten-tang nilai (die ideenlehre), yang memiliki fungsi konstitutif atau norma tertinggi; Padmo Wahjono yang menyuguhkan Pancasila se-bagai ideologi ketatanegaraan. M. Sastrapratedja yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan landasan bagi pembangunan budaya dengan menempatkan ideologi dan ilmu dalam posisi masing-ma-sing; ilmu pengetahuan dapat membantu ideologi dalam melurus-kan distorsi tentnag kenyataan, sedangkan ideologi dapat merang-sang ilmu pengetahuan serta memberi orientasi pemanfaatannya. Sri Edi Sasono yang mengaitkan Pancasila dengan kehidupan (de-mokrasi) ekonomi terutama koperasi, Mubyarto; politik Ekonomi Pancasila sebagai landasan sekaligus tujuan dengan pertimbangan moralitas ketimbang rasionalitas, Bintoro Tjokroamidjojo yang menakar Pancasila dalam birokrasi dan aparatur pemerintah ditin-jau dari sistem dan pendekatan perilaku; dan Safroedin Bahar yang menghubungkan Pancasila dengan HANKAM yang kita kenal de-ngan dwi-fungsi ABRI.2

Pandangan di atas dapat terlihat dalam gagasan bahwa Pancasila selain sebagai komponen pokok sistem nilai hukum nasional dan staatsfundamentalnorms, termasuk dalam lingkup ke-filsafatan bangsa dan negara Indonesia. Kedudukan Pancasila se-bagai filsafat dapat ditinjau paling tidak menurut Abubakar Busro dengan tiga kenyataan, yakni kenyataan materiil (dari jangkauan dan isinya bersifat nilai-nilai fundamental, universal, komprehen-sif, dan metafisis, bahkan pokok-pokok pengajarannya meliputi nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan), kenyataan fungsional praktis (merupakan jalinan tata nilai dalam sosio-budaya bangsa Indonesia, sehingga wujudnya dapat dilihat berupa adanya prinsip kepercayaan kepada Tuhan, tepa selira, setia kawan, kekeluargaan, gotong-royong, musyawarah-mufakat, dan lain-lain), dan kenyata-an formal (para pendiri negara mengangkat dan merumuskan Pan-

2 Oetojo Oesman dan Alfian (peny), Pancasila sebagai Ideologi dalam berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: BP-7 Pusat, 1992 dalam Absori, Kelik Wardiono dan Saepul Rochman, Hukum Profetik, Kritik terhadap Paradigma Hukum Nonsistematik, Yogyakarta: Genta Publishing, 2015, hal. 313-314.

Page 11: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

11Cita Hukum Pancasila

casila sebagai ideologi yang wujudnya tampak dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia).3

Cita hukum pancasila bertolak pada pandangan hidup bangsa Indonesia yang berkeyakinan bahwa alam semesta dengan segala isinya, termasuk manusia dan alam sebagai suatu keseluruhan terjalin dalam hubungan yang harmonis diciptakan oleh Tuhan. Kehadiran manusia di dunia dikodaratkan dalam kebersamaan dengan sesamanya, namun tiada manusia memiliki kepribadian yang unik yang membedakan yang satu dengan yang lain. Di sinilah terdapat kesatuan dalam perbedaan. Disamping itu kebersamaan (kesatuan) memperlihatkan kodrat kepribadian yang berbeda dan unik, yang berarti terdapat perbedaan dalam kesatuan. Kodrat perbedaan tersebut tidak bisa disangkal tanpa melibatkan kadar kemanusian, yang dapat diwujudkan dalam kehidupan di dalam masyarakat4.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa inti dari sendi cita hukum Pancasila berupa, pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua, penghormatan atas martabat manusia, ketiga, wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara, keempat, persamaan dan ke-layakan, kelima, keadilan sosial, keenam, moral dan budi pekerti yang luhur, dan ketujuh, partisipasi dan transparansi dalam proses pengambilan keputusan publik5.

Implementasinya dalamPembangunan Hukum Sumber Daya Alam

Sejak reformasi bergulir hingga sekarang, sejumlah lemba-ga swadaya masyarakat dan organisasi lingkungan dengan gigih mendesak berbagai pihak termasuk pemerintah dan DPR untuk melakukan pembaruan hukum sumber daya alam. Melalui pem-baruan hukum sumber daya alam diharapkan akan dapat diakomo-dasi berbagai pemikiran yang menempatkan masyarakat sebagai

3 Agus Budi Susilo, Penegakan Hukum yang Berkeadilan Dalam perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum: Suatu Alternatif Solusi Terhadap Problematika Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Perspektif XVI No. 4 tahun 2011 September, hal. 247.

4 Bernard Arief Sidharta, ibid,, hal 217.5 Bernard Arief Sidharta, ibid,, hal 219.

Page 12: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

12 Cita Hukum Pancasila

pemegang kekuasaan (stakeholders) pada posisi yang mempunyai daya kekuatan yang menentukan dalam pengelolaan sumber daya alam.

Beberapa pokok pikiran yang ditawarkan berupa pertama, perlunya dipertimbangkan aspek daya dukung ekosistem dan per-lindungan sungsi sumber daya alam dan lingkungan dalam setiap keputusan politik yang diambil. Kedua, menetapkan langkah-lang-kah konkrit untuk membentuk kebijakan (politik) untuk mewu-judkan keadilan bagi masyarakat dalam mengakses sumber daya alam guna mencegah dan menanggulangi konflik berkepanjangan yang dapat memicu desintegrasi bangsa, Ketiga, melakukan re-konstrukturisasi dan rekonsolidasi kelembagaan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan agar menjadi lebih kokoh dan terintegrasi. Keempat, Menyusun program pembangunan lima tahun (Propenas) di bidang sumber daya alam dan lingkungan yang merespon permasalahan nyata dalam masyarakat dengan menetapkan capaian-capaian konkrit dan tolak ukur keberhasilan melalui pelibatan masyarakat yang optimal6.

Dari beberapa pokok pikiran tersebut kemudian dijabarkan menjadi lebih rinci dan konkrit, yakni pertama, amandemen Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menghindari interpretasi yang cenderung eksesif terhadap hak menguasai negara, dan memberi bobot serta pengakuan tentang pentingnya perlindungan daya dukung eko-sistem, masyarakat dan fungsi lingkungan hidup. Kedua, meru-muskan Propenas yang memuat uraian kebijakan sumber daya alam dan lingkungan secara rinci dan terukur melalui proses pe-rumusan yang partisipatoris. Ketiga, menyiapkan segera mungkin RUU Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang akan berfung-si sebagai “payung” kebijakan sumber daya alam di berbagai sek-tor. RUU tersebut diharapkan mampu mencerminkan perubahan paradigma pengelolaan sumber daya alam yang selama ini meng-abaikan aspek masyarakat.

6 Mas Akhmad Santoso, Good Governance dan Hukum Lingkungan, Jakarta: ICEL, 2001, hal 143.

Page 13: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

13Cita Hukum Pancasila

Keempat, penataan kelembagaan perlu diarahkan pada suatu kementerian yang bertangung jawab terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup yang memiliki kemampuan melakukan koor-dinasi di tingkat pusat dan daerah dalam menjalankan aktivitas pembangunan tidak mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan berbasiskan ke-rakyatan. Kelima, membentuk Dewan Pembangunan Berkelanju-tan Nasional (DPBN) untuk mempercepat pengintegrasian prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan serta berbasiskan kerakyatan ke dalam seluruh aspek pembangu-nan7.

Kebijakan pembangunan hukum sumber daya alam dalam kerangka politik pembangunan hukum harus bersendi pada cita hukum Pancasila, yakni Pancasila, ditempatkan pada kerangka dasar pembangunan hukum yang berkaitan dengan sumber daya alam yang aspeknya meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang ter-kandung di dalamnya dilakukan dalam rangka mencapai sebesar- besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 Ayat (3) dan (4) UUD 1945. Selanjutnya, dalam rangka melak-sanakan demokrasi ekonomi perlu mendasarkan prinsip kebersa-maan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasaan lingku-ngan, dan kemandirian…..8.

Implikasi dari amanat cita hukum pancasila, kebijakan pe-ngelolaan sumber daya alam harus mendasarkan prinsip dasar, pertama tanggung jawab negara sebagai pemegang kekuasaan sumber daya alam, dan kedua, memperkuat hak-hak masyarakat (rakyat) sebagai pemegang kedaulatan negara. Karena itu pengelo-laan sumber daya alam harus dikuasai oleh negara sebagai organi-sasi kekuasaan rakyat, bukan oleh pemilik modal atau pengusaha yang hanya berorientasi pada keuntungan semata. Kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada negara tersebut tidak boleh menge-sampingkan pemegang empunya, yakni rakyat berupa hak-hak rakyat atas sumber daya alam, termasuk hak-hak atas lingkungan

7 Ibid, 144-145.8 Lihat Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 (Hasil Amandemen)

Page 14: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

14 Cita Hukum Pancasila

hidup yang sudah ditetapkan sebagai bagian dari hak asasi manu-sia.

Pada tataran realitas politik pada era pemerintah Megawati, desakan dari berbagai elemen kekuatan masyarakat pada era re-formasi melahirkan kesadaraan baru akan pentingnya meletakan agenda pembaruan hukum sumber daya alam, yang ditetapkan melalui TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang konsekuensinya harus di-laksanakan oleh pemerintah. Namun demikian, dalam perkemba-ngannya seiring dengan semakin melemahnya semangat reformasi, agenda pembaruan hukum sumber daya alam tersebut tidak di-laksanakan dan seperti dilupakan untuk diagendakan oleh pemer-intah. Melalui berbagai tekanan sejumlah kualisi Organisasi Non Pemerintah (Ornop), MPR mengeluarkan TAP MPR No. VI/2002 tentang rekomendasi yang menekankan pada Presiden untuk menyiapkan penyusunaan peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sumber daya alam dan menyelesaikan ber-bagai konflik sumber daya alam, sekaligus mengantisipasi konflik di masa mendatang guna mencapai keadilan dan kepastian hukum sebagaimana ditetapkan dalam TAP MPR No. IX/20019.

Pada sidang MPR 2003, MPR melalui TAP MPR No. V/2003 telah merekomendasikan beberapa saran untuk menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di bidang sumber daya alam se-cara proporsional dan adil mulai dari persoalan hukumnya sampai implementasinya di lapangan. Bersamaan dengan itu DPR segera membahas UU Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang nantinya akan berfungsi sebagai undang-undang pokok. Di samping itu, MPR telah menyarankan untuk membentuk lembaga atau institusi independen untuk menyusun kelembagaan dan me-kanisme penyelesaian konflik sumber daya alam, agar memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga berbagai konflik dan kekerasan yang bersumber dari persoalan sumber daya alam dapat dicegah dan ditanggulangi.

9 Lihat Usep Setiawan, “Menemukan Pintu Masuk untuk Keluar, dalam Pembaruan Agararia : Antara Negara dan Pasar”, Jurnal Analisis Sosial, Vol 1 No. 1 April 2004, hal 66.

Page 15: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

15Cita Hukum Pancasila

Respon Pemerintah Megawati pada waktu itu terhadap reko-mendaasi tersebut dinilai lambat. Pemerintah kurang mempunyai kehendak politik yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan lahir-nya sebuah UU Pokok di bidang pengelolaan sumber daya alam. Se-bagai jawabannya pemerintah hanya merespon secara parsial me-lalui kebijakan sektoral, dengan Kepres No. 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Kebijakan tersebut tidak menyentuh pokok persoalan yang mendasar keinginan masyarakat dan persoalan pengelolaan sumber daya alam sehingga kebijakan tersebut tidak dapat berjalan karena mendapat protes secara ber-gelombang dari masyarakat.

Para aktivis penyelamat sumber daya alam dan lingkungan telah memaknai amanat pembaruan UU Sumber Daya Alam dengan mengajukan usulan UU Pengeloaan Sumber Daya Alam dan Ling-kungan Hidup. Kualisi Ornop10 telah mendukung adanya pembaru-an kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui “dwi moratorium”, berisi pertama, moratorium proses pe-rumusan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya alam, seperti RUU Pertambangan, RUU Minyak dan Gas Bumi, RUU Pertanahan Nasional dan berbagai Perda yang ter-kait. Kedua, moratorium perizinan eksploitasi sumber daya alam dan penyelesaian konflik sumber daya alam melalui pendirian “Komisi Penyelesaian Konflik”, untuk itu perlu dibentuk undang-undang yang mengatur hal tersebut atau dalam bentuk Perpu.

Keinginan untuk mewujudkan UU Pengelolaan Sumber Daya Alam pada era Pemerintahan Megawati ternyata tidak terpenuhi. Pemerintah dianggap telah gagal menjalankan amanat rakyat un-tuk melakukan perubahan pembaruan hukum di bidang sumber daya alam, baik yang bersifat pokok maupun sektoral. Pemerintah mendapat kecaman yang amat keras dari Kualisi Ornop karena merestui lahirnya UU sektoral yang dinilai hanya menguntungkan dunia usaha dan merugikan masyarakat, seperti UU No. 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.

10 Kualisi Organisasi Non Pemerintah (Ornop) Dimotori oleh WALHI dan ICEL.

Page 16: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

16 Cita Hukum Pancasila

Perjuangan masyarakat untuk melakukan penolakan atas lahirnya UU Sumber Daya Air dilakukan dengan cara mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan alasan hu-kum bahwa UU Sumber Daya Air bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 Ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945. Dalam keputusannya yang dijatuhkan pada tanggal 19 Juli 2005, majelis hakim yang telah menolak permohonan peninjauan yang diajukan oleh lima pemo-hon yang mengatasnamakan kepentingan rakyat.

Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak dilakan secara bulat. Diantara sembilan hakim Mahakamah Konstitusi dua hakim diantaranya menyatakan tidak sependapat (dissenting opinion) atas keputusan tersebut. Disamping itu keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga telah diprotes oleh segenap elemen ma-syarakat.Hakim Mahkamah Konstitusi dianggap telah menciderai dan menyakiti hati rakyat dan dianggap memihak pada kepenti-ngan dunia usaha (kapitalis).

Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, dalam suatu kesempatan Presiden meyampaikan pandangannya di bi-dang pembangunan hukum sumber daya alam dan lingkungan, yak-ni pertama, menegakan hukum dan menyerasian aturan mengenai pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, kedua mencip-takan sistem intensif dan disintensif yang tegas dalam pengeloaan sumber daya alam dan lingkungan, ketiga memperbaiki koordi-nasi lintas departemen dalam pengendalian pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, keempat, melibatkan masyarakat lokal dan gerakan masyarakat sipil (civil society) secara sistemik dalam upaya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, dan kelima, menindak secara tegas dan efektif praktik-praktik penyelewengan pengawasan dan pengendalian pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang dilakukan oleh aparatur birokrasi.

Dalam tataran pelaksanaan pada masa Susilo Bambang Yudo-yono belum menunjukan hasil nyata dalam upaya mewujudkan UU Sumber Daya Alam yang bersendikan ideologi Pnacasila. Demikian juga penegakan hukum dan penanganan berbagai kasus sengkteta sumber daya alam dan lingkungan belum menunjukan hasil yang

Page 17: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

17Cita Hukum Pancasila

menggemberikan. Pemerintah dinilai oleh kalangan aktivis sum-ber daya alam dan lingkungan hanya mengurusi masalah politik dan sibuk mengeluarkan kebijakan ekonomi. Akibatnya persoa-lan sumber daya alam dan lingkungan, seperti kasus konflik per-tanahan, perkebunan rakyat, penambangan liar batu bara, kasus Lapindo, pencemaran Buyat, illegal logging, dan pencemaran dan kerusakan sumber daya alam di sejumlah daerah tidak dapat di-tangani secara tuntas. Kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada sumber daya alam dan lingkungan berakibat pada terjadinya berbagai peristiwa atau musibah bencana alam yang terus terjadi secara beruntun di berbagai tempat di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Jihad KonstitusiMelihat perkembangan politik pembangunan hukum di bi-

dang sumber daya alam yang cenderung kapitalis dan liberal dan kurang selaras dengan ideologi negara, yakni Pancasila, cita-cita kemerdekaan dan pendiri bangsa Muhammadiyah terpanggil un-tuk melakukan apa yang disebut “jihad konstitusi”. Muhammadiyah dengan segenap elemen masyarakat sipil melakukan Uji materi (judiciel review)y terhadap UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber-daya Air (SDA) aikhirnya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk selanjutnya sambil menunggu adanya UU SDA yang baru pengelolaan sumber daya air dikembalikan ke UU No. 11 ta-hun 1974 tenatang Pengairan. Keputusan MK yang telah menga-bulkan seluruh uji materi dianggap amat penting dalam rangka menegakan kedaulatan negara atas sumber daya air sebagaimana yang diatur alam Pasal 33 UUD 1945.Untuk itu, kiranya pemerintah dan DPR perlu segera membuat RUU SDA yang baru yang isinya ha-rus mencerminkan peran negara, akses masyarakat, semangat ke-adilan yang semuanya harus bermuara pada kesejahteraan rakyat. Jangan sampai terjadi lagi monopoli sumber daya air oleh swasta dengan mengekploitasi tanpa kendali sementara keuntungan yang diproleh tidak mensejahterakan rakyat di sekitarnya. Tidak jarang masyarakat harus menanggung beban akibat sulitnya mengakses

Page 18: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

18 Cita Hukum Pancasila

air dan menimbulkan konflik antar masyarakat dengan perusahaan pengelola sumber daya air.

Beberapa argumen yang dijadikan alasan dalam uji materi di Mahkamah Konstitusi adalah bahwa hak atas sumber daya air merupakan hak asasi manusia, sehingga hak tersebut tidak hanya diatur pada Pasal 33 ayat (3) Undang Undang dasar 1945 saja, teta-pi juga pada Pasal 28H Undang Undang Dasar 1945. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemak-muran rakyat”dan Ayat (4) UUD 1945 menyebutkan“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasaan lingkungan, dan kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional”.

Dalam hal ini, sumber daya air bukanlah barang ekonomi, teta-pi menyangkut hajat hidup orang banyak.Karena itu negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi harus menempatkan sebagai pe-megang amanah kekuasaan untuk menjalankan peran pengaturan, pengendalian dan pemanfaatan, yakni dengan melakukan pengelo-laan dan penatausahaan atas sumber daya air diorientasikan untuk kepentingan bersama dan seadil-adilnya demi terwujudnya kese-jahteraan sosial untuk rakyat banyak.

Diundangkannya UU Sumber Daya Air, yakni UU No, 7 ta-hun 2004 menimbulkan sejumlah masalah. Pasal 9 Ayat (1) “hak guna air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerahsesuai dengan ke-wenangannya”. Pasal 9 Ayat (1) tersebut membuka peluang ter-jadinya privatisasi pengelolaan sumber daya air oleh swasta dan mengabaikan peran badan usaha negara, seperti BUMN dan BUMD sebagaimana diamanatkan Pasal 33 Ayat (2) yang menyebutkan Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang me-nguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Pada Pasal 45 ayat (3) menyatakan:”pengusahaan sumber daya air ... dapat dilaku-kan oleh perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antar badan usaha..”.

Page 19: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

19Cita Hukum Pancasila

Potensial UU SDA dapat melahirkan konflik horizontal, Pasal 48 ayat (1) yang menyebutkan “Pengusahaan sumber daya air dalam suatu wilayah sungai yang dilakukan dengan membangun dan/atau menggunakan saluran distribusi hanya dapat digunakan untuk wilayah sungai lainnya apabila masih terdapat ketersediaan air yang melebihi keperluan penduduk pada wilayah sungai yang bersangkutan”. Pasal tersebut berangkat pada pemahaman bahwa sungai dipahami sebatas administrataif, padahal sifat sungai dapat bersifat lintas administratif baik kabupaten maupun provinsi. Ke-tentuan tersebut bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), yang diatur dalam Pasal 28 H Ayat (1) UUD 1945.

Kelemahan lain dari UUSDA yang tidak kalah urgen adalah, mengacam keberadaan hak ulayat masyarakat, terutama pada ketentuan Pasal 6 ayat (2) yang menytakan “penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerahdengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan yang lain”.

Pasal 6 ayat (2) tersebut bertentangan peraturan peundang-undangan yang lain, seperti UU No. 5 Tahun 1960 tentang Per-aturan Dasar Pokok Pokok Agraria menyebutkan bahwa “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, sosialisme In-donesia dan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasar pada hukum agama”.

Maknanya hukum adat harus menjadi dasar atau prinsip, karena di dalamnya sarat nilai-nilai yang tidak dapat dirasional-kan secara positivistik melalui hukum negara yang bersifat formal di dalam wilayah negara Indonesia yang begitu luas dan penuh dengan adat dan tradisi yang beragam. Jadi hak ulayat masyara-kat hukum adat tidak sekedar tetap diakui tetapi lebih jauh dari itu hukum adat harus menjadi dasar pengaturan hukum sumber daya alam.

Page 20: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

20 Cita Hukum Pancasila

Demikian juga dalam Pasal 6 Ayat (3) juga terdapat kejang-galan berpikir bahwa “Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat”. Pasal 6 Ayat (3) tersebut bertentangan dengan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyara kat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan se-suai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatu-an Republik Indonesia”.

Artinya kalau tidak di legalisasi lewat Peraturan Daerah (Perda) maka tidak akan di akui atau dianggap tidak ada, padahal kenyataannya di lapangan yang namanya masyarakat hukum adat atau hak ulayat identik dengan kelompok masyarakat yang penge-tahuan tentang politik dan hukum tertulis sangat terbatas, hal ini terkait dengan banyak hal, mulai dari pembangunan yang tidak merata, baik pendidikan, ekonomi dan juga akses atas sumber SDA itu sendiri. Karena itu MK menyatakan bahwa pengakuan hak ula-yat masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup sifatnya konsti-tutif bukan deklaratif.

Hukum Sumber Daya Alam PartisipatifKebijakan pembangunan hukum dalam masyarakat yang se-

dang berubah seperti yang terjadi di Indonesia pada saat sekarang memerlukan arah dan masukan yang memberi nilai tambah, yang sangat diperlukan untuk mengatur kehidupan berbangsa dan ber-negara yang tertib, teratur, dan berkeadilan, di samping melindungi hak-hak asasi manusia. Untuk mencapai sasaran tersebut diperlu-kan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan akselerasi re-formasi hukum yang mencakup aspek legislasi, sumber daya manu-sia, kelembagaan dan infrastruktur, dan budaya hukum. Keempat faktor tersebut merupakan standar nilai dalam memecahkan per-soalan-persoalan mendasar dalam bidang hukum yang mencakup perencanaan hukum, proses pembuatan hukum, penegakan hu-kum, dan pembinaan kesadaran hukum11.

11 “Term of Reference”, Seminar Pembangunan Hukum Nasional Ke VII, BPHN, Bali, 2003.

Page 21: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

21Cita Hukum Pancasila

Menurut Satjipto Rahardjo, pembangunan hukum dan pem-bangunan sosial tidak bisa dilepas sebagai proses-proses yang terpisah satu sama lain, yang berjalan sendiri-sendiri. Dalam hal ini kehidupan hukum merupakan bagian dari proses sosial yang lebih besar. Dalam pembangunan hukum kita tidak lepas dari ciri-ciri sentralistis dan berencana sehingga terjadi kontraksi yang me-narik hukum ke dalam pusaran gelombang pembangunan dengan sekalian cirinya. Pembangunan hukum nasional dibutuhkan peng-himpunan sumber daya dalam masyarakat yang lebih besar lagi. Hukum menjadi salah satu tumpuan yang sekaligus merupakan sumber daya yang dibutuhkan pembangunan12.

Untuk mengetahui gambaran hukum Indonesia dibutuhkan teorisasi hukum Indonesia yang mampu membangun konsep hu-kum Indonesia berdasarkan berbagai data atau muatan Indonesia sendiri. Teorisasi yang demikian hendaknya mampu menunjukan apa yang kita mau, ke mana kita berjalan, serta konsep dan doktrin sosial, politik, dan lain-lain. Sekarang ini bangsa Indonesia telah mampu menghimpun banyak kenyataan, seperti dalam masalah lingkungan munculnya doktrin “membangun tanpa merusak”. Dok-trin ini menguak suatu masa yang penting dalam sejarah perada-ban manusia, khususnya di Indonesia. Ia muncul sebagai asas yang menyandang karakteristik sosial abad ke-20 dan amat berbeda dengan doktrin laissez-faire abad sebelumnya. Indonesia menyak-sikan kerusakan lingkungan disebabkan oleh agresivitas teknologi dan kepadatan penduduk, harus mencanangkan suatu doktrin yang amat berbeda.Daya dukung fisik dan sosial kita tidak lagi mampu mendukung doktrin liberal kapitalis13.

Kiranya perlu diakomodasi dalam merumuskan masukan pembangunan hukum sumber daya alam berupa pemikiran yang berakar pada pendekatan partisipatif sebagai implikasi dari me-nguatnya upaya untuk memberlakukan model pembanguanan de-mokrasi yang basis pada kerakyatan. Karena itu, pembaruan hu-kum yang akan dilakukannya harus menempatkan hukum dalam

12 Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum Nasional dan Perubahan Sosial, dalam Identitas Hukum Nasional, dalam Artidjo Alkostar (Ed), Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1997, hal 171-172.

13 Ibid, hal 180-181.

Page 22: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

22 Cita Hukum Pancasila

komunitas kemasyarakatan (society) dan kemanusiaan (humanity) sebagai fokus utama.

Pendekatan partisipatif merupakan suatu dekonstruksi yang menempatkan masyarakat dalam posisi yang menentukan dalam pengelolaan masalah lingkungan. Di bidang hukum pendekatan partisipatif tampak dalam pembuatan peraturan, penegakan dan pengawan penanganan masalah sumber daya alam. Demokratisasi dalam pembuatan hukum dengan indikator masuknya spirit rakyat untuk tampil ke permukaan yang diwujudkan dalam berbagai ben-tuk, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan. Pendekatan partisipatif merupakan pendekatan yang menempat-kan masyarakat sebagai subjek yang menentukan dalam pengelo-laan dan penyelesaian sengketa lingkungan yang lahir sesuai de-ngan tuntutan semangat demokratisasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

Dalam salah satu artikelnya Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa proses sosial dan politik di negeri ini telah mendekonstruksi berbagai bangunan dan tatanan yang ada menjadi cair dan kem-bali ke asalnya, yaitu “rakyat”. Rakyat telah mencairkan lembaga perwakilan dan mekanisme pemilihan kepemimpinan. Indonesia pelan-pelan mengalami perubahan dari suatu masyarakat yang direkayasa, dikonstruksi menjadi sesuatu yang lebih alami14. Se-mangat demokrasi yang murni berbasis masyarakat inilah yang menjadi arus besar yang akan mendorong lokomotif perubahan di negeri ini, termasuk perubahan hukum, khsusnya dalam pengelo-laan dan penyelesaian masalah lingkungan.

Ke depan dalam rangka memberi masukan dalam melaku-kan pembaruan hukum yang berkaitan dengan sumber daya alam dan lingkungan, kiranya perlu untuk lebih diakomodasi kekuatan otonomi masyarakat dan organisasi kepentingan, seperti lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lingkungan dengan ditempat-kan pada posisi yang lebih memadai dalam konteks untuk mendo-rong tumbuhnya masyarakat madani (civil society). Atas dasar itu, kiranya perlu masyarakat terus didorong dan diisi dengan sema-

14 Satjipto Rahardjo, “Indonesia Sekarang Milik Rakyat”, Kompas, 25 Agustus 2004.

Page 23: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

23Cita Hukum Pancasila

ngat untuk memperbesar dan memperkuat daya tawar, termasuk dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam kehidupan ko-munitas yang beragam dan kompleks.

PenutupPembangunan hukum sumber daya alam dan lingkungan di-

lakukan harus menempatkan masyarakat pada akses yang lebih be-sar dalam rangka memperkuat otonomi masyarakat menuju civil society. Akses masyarakat tersebut meliputi akses informasi pub-lik, akses partisipasi, dan akses keadilan dengan lebih mengako-modasi hak-hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat dan kewajiban negara untuk menjamin hak tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

Akses masyarakat selama ini kurang dapat berkembang. Hal ini disebabkan pertama belum dikembangkannya peraturan dan mekanisme untuk mewujudkan partisipasi, kedua, masih belum meratanya persepsi, itikad, dan kultur pejabat publik dalam mewu-judkan partisipasi masyarakat yang genuine dan meaningful, ke-tiga, masih belum meratanya keasadaran anggota masyarakat akan hak dan urgensi partisipasi dalam penyelenggaraan negara, keem-pat, masih rendahnya kapasitas dan kualitas anggota masyarakat dan pejabat pemerintah untuk melakukan proses partisipasi15.

Peran masyarakat dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, dari sejak pengambilan keputusaan, pengelolaan dan pengawasan. Akses masyarakat perlu diberi ruang yang cukup untuk mengakses informasi yang utuh dan akurat Akses masyarakat dalam pengelo-laan lingkungan menyangkut hak atas peran serta masyarakat yang lebih hakiki dan rinci, akses informasi, partisipasi publik dan akses keadilan. Di samping itu, perlu instrumen ketentuan peraturan dan institusi yang memberikan perlindungan lingkungan dan pencega-han, penanganan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan dan penegakan hukumnya.

15 Indro Sugianto, “Mensinergikan Kekuatan Masyarakat Sipil dalam Penegakan Hukum Lingkungan”, Makalah Diskusi Panel, Kerja sama Program Magister Ilmu Lingkungan Undip dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Semarang, 11 Nopember 2003, hal. 15.

Page 24: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

24 Cita Hukum Pancasila

DAFTAR PUSTAKA

Absori, Kelik Wardiono dan Saepul Rochman, Hukum Profetik, Kritik terhadap Paradigma Hukum Nonsistematik, Yogyakarta: Genta Publishing, 2015.

Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Fundadi dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hu-kum Nasional Indonesia, Bandung: Disertasi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 1996.

Indro Sugianto, “Mensinergikan Kekuatan Masyarakat Sipil dalam Penegakan Hukum Lingkungan”, Makalah Diskusi Panel, Kerja sama Program Magister Ilmu Lingkungan Undip dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Semarang, 11 Nopember 2003.

Mas Akhmad Santoso, Good Governance dan Hukum Lingkungan, Jakarta: ICEL, 2001.

Satjipto Rahardjo, “Indonesia Sekarang Milik Rakyat”, Kompas, 25 Agustus 2004.

_____________________, Pembangunan Hukum Nasional dan Perubahan Sosial, dalam Identitas Hukum Nasional, dalam Artidjo Alkostar (Ed), Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1997.

Term of Reference”, Seminar Pembangunan Hukum Nasional Ke VII, BPHN, Bali, 2003.

Usep Setiawan, “Menemukan Pintu Masuk untuk Keluar, dalam Pembaruan Agararia : Antara Negara dan Pasar”, Jurnal Analisis Sosial, Vol 1 No. 1 April 2004.

Page 25: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

25Cita Hukum Pancasila

HUKUM BERKETUHANAN YANG MAHA

ESA SEBAGAI BASIS ETIK PEMBANGUNAN

HUKUM DALAM BINGKAI PANCASILA

Oleh: Farkhani, S.H., S.HI., M.H

Dosen Fakultas Syari’ah Institus Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga

Page 26: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

26 Cita Hukum Pancasila

PendahuluanSecara konseptual hukum terus berkembang mengikuti

perkembangan cara hidup manusia dalam berinteraksi dengan ma-nusia lain dan lingkungannya dan bahkan dengan dirinya sendiri. Pada masa jauh sebelum konsep hukum dirumuskan oleh para fi-losof Yunani, sesungguhnya hukum telah ada dan dipraktikan dalam kehidupan manusia bahkan telah terkodifikasikan dalam kitab-kitab atau lembaran-lembaran (shahifah) wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi terdahulu. Hukum-hukum yang telah ada itu kemudian dikonsepsikan sebagai Hukum Tuhan. Bahkan bila kita merujuk pada al-Qur’an, hukum yang pertama kali dibe-bankan kepada komunitas manusia pertama (Adam dan Hawa) adalah Hukum Tuhan (QS. 2: 35) atau al-Kitab Kejadian 2: 16.

Kalaupun kita hendak merujuk pada awal perkembangan pe-mikiran hukum pada sejarah perkembangan filsafat Yunani, pada awalnya konsep atau teori hukum belum dikenal, karena memang para cendikia saat itu bukanlah ahli hukum. Diskursus yang per-tama muncul berkenaan dengan alam dan ruh (metafisik), kemu-dian negara dan politik. Diskursus dua yang terakhir ini karena me-mang para filosof itu mayoritas berlatar belakang bangsawan yang (pernah) terlibat aktif dalam pengorganisasian negara dan para politisi serta ahli-ahli agama. Dalam pembahasan mengenai negara dan politik ini, baru muncul diskursus tentang hukum di kalangan mereka, relevansinya adalah dengan penciptaan negara yang ter-tib, adil dan sejahtera. Jadi konsep atau teori hukum merupakan produk sampingan dari agama, etika dan politik.

Karena para filosof terdahulu adalah para ahli agama, etika dan politik, maka sangat wajar bila konsep atau teori hukum yang pertama muncul adalah konsep atau teori Hukum Tuhan, sumber formilnya jelas telah ada, merujuk pada kitab-kitab wahyu terda-hulu. Teori, diktum dan penegakan hukumnya berdasarkan pada tuntunan agama. Oleh karenanya ahli hukum yang dianggap paling otoritatif adalah para pemangku agama. Kondisi demikian berlang-sung sampai pada abad pertengahan, abad kegelapan bagi bangsa Eropa, termasuk Yunani. Pada zaman ini terjadi perselingkuhan

Page 27: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

27Cita Hukum Pancasila

antara penguasa tirani dan pemangku agama, gereja. Saat itulah dominasi tirani dan gereja hampir melingkupi semua sendi ke-hidupan masyarakat, termasuk dalam hal penemuan dan pengem-bangan ilmu pengetahuan harus disesuaikan dan tunduk pada doktrin-doktrin gereja. Kasus Galilea Galileo menjadi titik tolak perlawanan kaum cendikia (midle class) dengan mengembangkan konsep pemisahan agama dan ilmu pengetahuan (sekularisasi). Disinilah awal keruntuhan Hukum Tuhan dalam penerapannya pada kehidupan masyarakat. Menurut Soetandyo ini adalah awal sekularisasi dari Hukum Tuhan menuju Hukum Alam1.

Awal abad 19 sampai abad 20, konsep awal mengenai hukum alam berkembang dan sekarang menguat menjadi positivisme hu-kum yang empiris-rasionalis, hukum murni, memisahkan dengan tegas antara hukum dengan moral, agama, etika sampai pada ti-tik memisahkan hukum dari segala unsur yang bukan termasuk hukum. Kiranya pengaruh positivisme hukum sangat mendunia, merasuk pada sistem hukum di banyak negara, termasuk Indone-sia.

Pada abad 20 mulai ada pergeseran, perkembangan baru wa-cana diskursus hukum dari positivisme menuju postpositivisme (dari ilmu modernisme menuju postmodernisme). Perkembangan baru ini muncul ditengarai karena positivisme hukum sudah di-anggap tidak relevan dan banyak kegagalan dalam mewujudkan hakekat dan tujuan pembentukan hukum. Positivisme hukum dalam praktiknya sangat rigid, berkacamata kuda dan tidak dapat menyentuh makna hukum pada ranah law enforcment (penegakan hukum). Maka tidak jarang ketertiban, keadilan, kemanfaatan, ke-bahagiaan, kesejahteraan yang lebih diharapkan dari pembentukan hukum menjadi keterbalikannya dalam realitas. Kepastian hukum yang rigid itu lebih sering diagungkan dari pada tujuan hukum yang lebih mulia.

Sampai disini, pemaparan dimuka tidak begitu jauh dengan kondisi bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai saat

1 Theresia Anita Christiani, 2008, “Studi Hukum Berdasarkan Perkembangan Paradigma Pemikiran Hukum Menuju Metode Holistik”, dalam Jurnal Hukum Pro Justitia, Oktober 2008, Vol. 26 No. 4.

Page 28: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

28 Cita Hukum Pancasila

ini. Pada awal kemerdekaan, politisi yang terlibat dalam proses kemerdekaan dan para founding fathers negara mayoritas adalah agamawan atau paling tidak memilik basic keagamaan yang kuat terlebih dahulu sebelum berjuang dalam dunia politik.

Pengaruh para agamawan itu sangat kental dalam menyusun dasar negara khususnya, Pancasila. Dalam alinea keempat, ber-talian dengan tujuan bernegara ditegaskan bahwa ia wajib ber-dasarkan pada nilai-nilai Pancasila dengan sila pertama “ketuhan-an yang maha esa”.

Penempatan sila pertama dengan klausul “ketuhanan yang maha esa” yang berbeda pada awal konsep pancasila yang ditawar-kan M. Yamin dan Soekarno menjadi ruh bangsa bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara harus berdiri di atas keyakinan pada ketuhanan yang maha esa, termasuk dalam hal menjadikan Indo-nesia negara hukum.

Tulisan ini mencoba membahas bagaimana seharusnya negara hukum Pancasila yang berlandaskan atau berdiri di atas asas ketu-hanan yang maha esa.

Indonesia; Negara Agama?Sejak awal kemerdekaan, perdebatan negara Indonesia akan

dibawa ke ranah negara agama atau bukan sudah menjadi perde-batan yang cukup sengit pada diri perumus negara. Ada dua po-sisi biner yang saling berhadapan antara nasionalis agamis dan nasionalis sekuler. Obyek formal yang digugat dalam persoalan tersebut adalah Piagam Jakarta yang memuat konsep awal tentang dasar bernegara. “Ancaman” tidak akan bergabungnya saudara dari Timur menjadikan ada sedikit perubahan (penghapusan) diktum Pancasila pada sila pertama. Perubahan yang kemudian disepakati itu tetap diyakini oleh para pendiri bangsa ini bahwa negara Indo-nesia harus tegas di atas asas/sila ketuhanan yang maha esa.

UUD 1945 sebagai konstitusi dan tata hukum pertama, yang menjadi landasan bergulirnya kehidupan dalam tata negara dan tata sosial kebangsaan Indonesia menyebut dengan tegas bahwa

Page 29: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

29Cita Hukum Pancasila

negara Indonesia adalah negara hukum. Ketuhanan yang maha esa dan negara hukum, dikemudian hari jelas-jelas menjadi identitas bagi bangsa ini yang membedakan dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Satu identitas yang unik, bukan negara agama tapi bukan pula agama sekuler. Karena pengertian negara agama dan negara sekuler yang berikan Franz Magnis Suseno tidak menempel pada negara Indonesia.

Negara sekuler menurut Franz Magnis Suseno adalah negara yang menganggap sepi keberadaan agama-agama dalam masyara-kat. Agama tidak ditindas, tetapi juga tidak didukung dan sama sekali tidak diikut sertakan dalam kebijakan-kebijakan negara. Negara diselenggarakan dalam konsep berpikir seolah-olah tidak ada agama dalam masyarakat. Sebaliknya,negara agama merupa- kan negara yang diatur dan diselenggarakan menurut hukum agama. Negara agama dengan sendirinya selalu merupakan nega-ra yang dikuasai oleh satu agama tertentu. Implikasinya, agama-agama lain akan di-delete dari pengaruhnya atas penyelenggaraan negara itu2.

Kebebasan beragama yang tertuang dalam pasal 29 UUD 1945, di Indonesia tidak boleh dimaknai sebagai kebebasan untuk beragama atau untuk tidak memeluk agama apapun. Kebebasan agama itu dimaknai sebagai kebebasan yang diberikan oleh negara (konstitusi) untuk memeluk salah satu agama (apapun) yang diakui oleh negara. Maka dari itu komunisme atau keyakinan menegasi-kan keberadan Tuhan dan/atau dengan berbagai manifestasinya ti-dak diperkenan eksis di bumi Indonesia. Bahkan karena traumatik peristiwa Gestapu 1965 (pemberontakan PKI), pelarangan ajaran komunisme beserta kawan semisalnya dinyatakan terlarang me-lalui TAP MPRS No XXV/ 1966.

Peraturan perundangan yang diciptakan oleh lembaga legis-latif ataupun poros kekuasaan trias politika, dapat dikatakan tidak ada yang sunyi dari nilai ataupun norma agama, bahkan banyak peraturan yang dari segi penamaan ataupun kontennya 100% beri-

2 FX.Adji Samekto, “Membangun (Kembali) Hukum Indonesia yang Berbasis Pancasila” dalam http://www.pojoksamber.com, diakses pada 9 Mei 2016.

Page 30: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

30 Cita Hukum Pancasila

si dari ajaran satu agama yang diakui oleh negara. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu negara agak kurang kuat untuk membendung peraturan-peraturan kedaerahan yang mayoritas berisi substansi dari norma atau nilai yang ada pada satu agama. Kasus terakhir adalah diberlakukannya perda miras oleh Gubernur Papua. Tapi ada juga peraturan perundangan yang bersifat sekuler yang masih dapat diterima oleh nalar agama masyarakat Indonesia. Bukti kecil itu menjadi penegas bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi nilai dan/atau norma agama dapat saja dijadikan sebagai hukum positif yang diberlakukan untuk seluruh atau sebagian masyarakat Indonesia selama menempuh prosedur legislasi yang telah diatur dalam peraturan perundangan.

Ketuhanan Yang Maha Esa Sebagai Basis Nilai Hukum Pancasila

Dalam perjalan sejarah –tentunya dengan peristiwa-peristiwa penting yang menyertainya- Pancasila disepakati bersama sebagai cara pandang hidup bangsa (the way of life) dan sekaligus sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Secara teoretik, cara pandang hidup bangsa (the way of life) selalu berbasis nilai-nilai yang bersifat meta-yuridis, berbasis nilai-nilai dan moralitas yang disepakati bersama. Dan Pancasila adalah basis nilai-nilai spritual bangsa yang diambil dari ajaran-ajaran agama dan basis moralitas humanisme universal. Rumusan-rumusan nilai yang terangkum dalam lima sila Pancasila jelas bersifat meta-yuridis. Nilai-nilai tersebut akan menjadi norma hukum setelah di-break-down-kan pada sisi kehidupan berbangsa dan bernegara ma-syarakat Indonesia yang selanjutnya dibuat rumusan hukum yang konkrit dan tegas serta disepakat bersama melalui mekanisme yuridis-politis menjadi hukum yang mengikat.

Memperbincangkan Pancasila sebagai way of life dan sumber dari segala sumber hukum Indonesia, maka mengetahui konsep tentang staatsfundamentalnorm yang merupakan landasan penting bagi lahirnya konsep Pancasila sebagai sumber dari segala sum-ber hukum. Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara)

Page 31: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

31Cita Hukum Pancasila

merupakan istilah yang digunakan Hans Nawiasky dengan teorinya tentang Jenjang Norma Hukum (die theorie von stufenordnung der rechtsnormen) sebagai pengembangan dari teori Hans Kelsen ten-tang Jenjang Norma (stufentheorie)3.

Kembali ditegaskan bahwa Pancasila adalah basis nilai spiri-tual dan humanisme universal bagi bangsa ini, sudah selayaknya menjadi acauan dan diposisikan sebagai norma dasar atau norma tertinggi dalam kasta teori stufennya Hans Kelsen maupun Hans Nawiasky.

Berbicara tentang kasta dalam hirarki norma hukum yang di-sampaikan oleh Nawiasky, Nawiasky membagi dalam 4 (empat) hi-rarkis hukum, yaitu;

1. Staatsfundamentalnorm yang berupa norma dasar bernegara atau sumber dari segala sumber hukum;

2. Staatsgrundgezetze yang berupa hukum dasar yang apabila dituangkan dalam dokumen negara menjadi konstitusi atau vervassung;

3. Formelegezetze atau undang-undang formal yang pada pe-raturan tersebut dapat ditetapkan suatu ketentuan yang bersi-fat imperatif, dalam pengertian pelaksanaan maupun sanksi hukum;

4. Verordnung en dan autonome satzungen yakni aturan-aturan pelaksanaan dan peraturan yang otonom, baik yang lahir dari delegasi maupun atribusi4.

Berdiri dia atas teori Nawiasky, semakin jelas bahwa Panca-sila dalam praktek tata hukum negara Indonesia menempati posisi sebagai Staatsfundamentalnorm, atau dalam teori stufennya Hans Kelsen menggunakan istilah grundnorm untuk hirarki tertinggi peraturan perundangan.

3 Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia: Makna, Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Jakarta dan Yogyakarta: Konstitusi Press dan Citra Media, 2006, hal. 59.

4 Dardji Darmodihardjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1999, hal. 21.

Page 32: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

32 Cita Hukum Pancasila

Pemberian sebutan atau istilah yang berbeda antara Hans Nawiasky dan Hans Kelsen untuk norma dasar yang menjadi hirar-ki tertinggi dalam hukum dikomentari oleh Jimly Asshiddiqie bah-wa istilah staatsfundamentalnorm yang digunakan oleh Nawiasky untuk membedakan maksud dengan konstitusi. Karena menurut-nya tidak semua nilai-nilai yang terdapat dalam konstitusi meru-pakan staatsfundamentalnorm. Nilai-nilai yang termasuk staats-fundamentalnorm menurutnya hanya sebagai spirit nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi itu, sedangkan norma-norma yang tertulis di dalam pasal-pasal undang-undang dasar termasuk kat-egori abstract norms. Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan sistem konstitusi Republik Indonesia, dapat dibedakan antara Pembukaan UUD 1945 (pen: yang didalamnya ada Pancasila), dengan pasal-pasal UUD Negara Republik Indonesia Tahun 19455.

Atas konsep staatsfundamentalnorm yang dikemukakan Hans Nawiansky tersebut, Kusnisar menyatakan bila konsep itu diterap-kan dalam sistem norma hukum di Indonesia maka norma-norma hukum yang berlaku akan dilihat sebagai suatu sistem yang ber-lapis-lapis dan berjenjang-jenjang sekaligus berkelompok-kelom-pok, pemberlakuan suatu norma akan bersumber dan didasar-kan pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara (staatsfundamentalnorm)6, Pancasila adalah norma dasar yang di-maksud.

Aidul Fitri dalam satu kajian Hukum Tata Negara di Univer-sitas Muhammadiyah Surakarta pernah menyatakan bahwa se-sungguhnya ada perdebatan atau perbedaan pendapat tentang apa yang menjadi norma dasar negara Indonesia, ada yang mengatakan Pancasila, ada pula yang menyatakan Piagam Jakarta sebagai nor-ma awal cikal bakal tata hukum Indonesia. Namun menurut hemat penulis apapun argumentasinya, dalam Piagam Jakarta ada Pan-

5 Lihat Jimly Assihiddiqie, Pengantar Ilmu Tata Negara, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kesekretariatan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

6 Kusnisar, “Pancasila Sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum di Indoneisa”, 2012, ejournalundiksha.ac.id, diakses tanggal 4 Mei 2016.

Page 33: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

33Cita Hukum Pancasila

casila dengan klausul asli yang lebih panjang dari yang kita baca sehari-hari dalam upacara bendera, dan itu telah diyakini oleh se-luruh elemen bangsa ini.

Semenjak reformasi bergulir, bersamaan dengan itupula di-gulirkan asa terhadap pembentukan dan penegakkan hukum yang lebih progresif dari pada orde sebelumnya. Hukum yang ditengarai pada masa orde sebelumnya

sebagai alat penguasa dan otoriter diharapkan berubah men-jadi hukum yang responsif dan mampu mengubah kondisi masyara-kat ke arah yang lebih baik. Lembaga-lembaga independen baru negara dibentuk dalam rangka meraih asa tersebut. Lalu muncul-lah Mahakamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial sebagai wujud aksiologis dari nilai yang dijunjungkan.

Pemikiran yang cukup relevan dipaparkan utuk kepentingan ini adalah teori Gustav Radbruch (1878-1949) yang mengajarkan bahwa hukum harus memenuhi ajaran 3 (tiga) nilai dasar yang ha-rus terintegrasi dalam hukum, yakni bahwa hukum harus memuat 3 (tiga) nilai dasar yaitu: nilai keadilan (aspek filosofis); nilai kepastian (aspek yuridis) dan nilai kemanfaatan (aspek sosiologis). Setiap peraturan hukum harus dapat dikembalikan keabsahannya pada 3 (tiga) nilai dasar tersebut. Artinya bahwa dalam upaya pem-bentukan hukum sampai pada penegakannya masih perlu ada upa-ya keras agar budaya hukum dalam kehidupan berbangsa dan ber-negara benar-benar settle, dalam maksud seirama dengan norma dasar negara, Pancasila.

Guna mewujudkan cita hukum Pancasila bukan persoalan yang mudah, nilai filosofis yang sedemikian abstrak itu perlu diu-raikan dalam pemikiran yang lebih sederhana dan aplikatif. Pen-jabaran-penjabaran dari yang bermuatan nilai global sampai pada yang ditail perlu terus dirumuskan serta diperbaharui dari waktu ke waktu. Saafroedin Bahar mengakui bahwa tidaklah mudah men-jabarkan serta menindaklanjuti Pancasila. Menurutnya ada tiga hal yang menyebabkan kesukaran penjabaran Pancasila itu. Pertama, oleh karena selama ini elaborasi tentang Pancasila itu bukan saja

Page 34: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

34 Cita Hukum Pancasila

cenderung dibawa ke hulu, yaitu ke tataran filsafat, bahkan ke tata-ran metafisika dan agama yang lumayan abstrak dan sukar dicari-kan titik temunya. Kedua, oleh karena terdapat kesimpangsiuran serta kebingungan tentang apa sesungguhnya core value dari lima sila Pancasila itu. Ketiga, justru oleh karena memang tidak demikian banyak perhatian diberikan kepada bagaimana cara melaksanakan Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut secara fungsional ke arah yaitu ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara7.

Karena belum terbentuknya budaya hukum yang sesuai de-ngan cita hukum Pancasila, kegamangan-kegamangan dalam hu-kum masih akan sering diketemukan dalam upaya meraih cita hu-kum yang Pancasilais. Misalnya, harapan-harapan yang merujuk pada teori Philip Nonet dan Schelzenik serta teori Rescou Pound menjadi jauh panggang dari api pada saat para penegak hukum kita menghadapi kasus-kasus semisal pencurian dua biji kakao, sebuah semangka residu panen, kayu jati yang sesungguhnya milik sen-diri, minyak kayu putih dan beberapa kasus lain yang kebanyakan pelakunya adalah para manula, orang yang sangat miskin, minim pengetahuan terhadap hukum berhadapan dengan koorporasi.

Para pelaku yang manula itu begitu pasrah, melawan dengan tangisan dan amarah disertai dengan penghibaan agar dilepaskan dari jerat hukum. Pada sisi lain, koruptor yang digaji dan difasilitasi dengan uang rakyat, yang terang-terangan memakan uang rakyat selalu tampil klimis, necis, mengubar tawa dan senyum, mendadak menjadi selebritis dan gagah berani menantang hukum, bahkan di-berikan fasilitas “berbeda” dari yang seharusnya. Belum lagi de-ngan kasus-kasus lain yang menjadikan hukum tidak lagi dihormati dan dimengerti serta diimplementasikan sebagaimana layaknya. Oleh karena itu penegasan pada cita hukum Pancasila yang sebe-narnya perlu digagas dengan serius dan berkesinambungan.

Satu dasawarsa ini muncul ide dan gerakan hukum progresif yang dimotori Satjipto Rahardjo, seorang begawan hukum dari Uni-versitas Dipenogoro Semarang. Ide hukum progresifnya disamping

7 Lihat Turiman Fachturahman Nur, “Prismatika Hukum Pancasila (Suatu Analisis “Benang Merah” Antar HAM, Globalisasi dengan Ideologi Pancasila”, dalam http://rajawaligarudapancasila.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 9 Mei 2016.

Page 35: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

35Cita Hukum Pancasila

didasari dengan keilmuah hukum yang matang, diiringi dengan ha-sil kontemplasi spiritual-religius di akhir-akhir masa hidupnya. Di Univesitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta muncul ide penafsiran hukum al-ta’wil al-ilmi yang berawal dari model pembacaan teks dengan model bayani, burhani dan irfani, selanjutnya memuncul-kan istilah ilmu hukum profetik. Di Universitas Pasundan Bandung, dimulai dari disertasinya Anton F. Susanto menggagas wacana hu-kum non-sistemik. Di Univeritas Muhammadiyah Surakarta mun-cul ide hukum transendental dan hukum profetik yang dimotori oleh pemikiran-pemikiran beberapa guru besar pengelola program doktor ilmu hukum dan mahasiswa-mahasiswanya8. Terakhir muncul istilah wacana hukum langitan oleh Anton F. Susanto ketika mengomentari buku Hukum Profetik yang ditulis oleh Absori, Kelik Wardiono dan Saipul Rohman. Komentarnya itu ditulis dalam se-buah buku kecil berjudul Kritik Teks Hukum Ulasan dan Komentar Singkat Terhadap Wacana Hukum Langitan9.

Lain dari pada itu, di beberapa daerah (pasca reformasi) mun-cul perda-perda bernuansa syari’at Islam. Aceh dengan otonomi khususnya, dengan tegas memberlakukan hukum Islam. Di Papua, ada sebuah kota yang menamakan dirinya kota Injili. Terakhir, baru-baru ini ada respon kemarahan dari Gubernur Bali terhadap pernikahan sejenis yang terselenggara dengan meriah. Respon ke-marahan Sang Gubernur tidak berdasar pada hukum positif tetapi lebih berdasar pada nilai agama Hindu yang menentang keras per-nikahan sejenis. Dan yang terbaru adalah pemberlakuan larangan miras dalam peraturan daerah provinsi Papua. Penulis berkeyaki-nan bahwa norma dan nilai yang ditransplantasikan dalam perda itu adalah dari ajaran agama (kristen/bibel).

Fenomena-fenomena tersebut sesungguhnya adalah menun-jukan indikasi-indikasi bahwa aras hukum negeri ini yang semula positivistik-rasionalistik-empirik sedang mengarah, mencari ja-lan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang

8 Lihat Absori, Kelik Wardiono, Saepul Rochman, Hukum Profetik Kritik Terhadap Paradigma Hukum Non-Sistemik, Yogyakarta: Gentha Publishing, 2015.

9 Lihat Anton F. Susanto, 2015, Kritik Teks Hukum Ulasan dan Komentar Singkat Terhadap Wacana Hukum Langitan, Bandung: Logos Publishing, 2015.

Page 36: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

36 Cita Hukum Pancasila

agamis. Maka kiranya penting pula untuk mendiskusikan peluang hukum-hukum yang ada dalam agama-agama di Indonesia dieks-plorasi dan dielaborasi menjadi pembentuk hukum positif Indone-sia yang lebih konkrit.

Pertanyaannya apakah perda undang-undang yang mengatur persoalan keagamaan, perda bernuansa syari’at Islam, perda yang bernuansa Injil atau agama lain bertentangan dengan Pancasila. Tentu saja tidak! Justru menurut hemat penulis itulah salah satu core valeu (basis) dalam hukum Pancasila.

Memang Indonesia bukanlah agama, tapi fakta yang ada adalah bahwa masyarakat Indonesa merupakan masyarakat ber-agama -dengan ragam pilihan agama dan kepercayaan pada Tuhan yang Maha Esa yang ditetapkan oleh pemerintah, masyarakatnya sangat agamis; dengan maraknya ragam upacara keagamaan, ra-mainya tempat-tempat ibadah, kepatuhan pada pemangku agama, dan pada persoalan tertentu hukum agama lebih dijunjung dari pada hukum negara dan lain-lain. Dan fakta sejarah, banyak nilai dan norma agama yang memberi warna dan mengilhami lahir be-ragam peraturan perundangan. Setelah reformasi, fakta munculnya perda-perda bernuansa agama serta munculnya keinginan cukup deras penerapan hukum agama menjadi hukum negara.

Kita harus tetap ingat bahwa Pancasila adalah dasar negara, way of life dan sumber dari segala sumber hukum di Inondesia. Konstitusi negara juga dengan tegas mengumumkan bahwa Indo-nesia adalah negara hukum. Ini adalah ketentuan formalnya, akan tetapi bernegara hukum tidak cukup pada tataran formal saja, me-lainkan harus diikuti dengan upaya-upaya mengisi negara hukum tersebut dengan berbagai perangkat dan perilaku agar benar-benar menjadi negara hukum materiil atau substansial. Pada tataran ini, masih terdapat perbedaan-perbedaan tajam mengenai pemikiran negara hukum yang berimbas pada konsep/model pembaharuan hukum nasional; sebagian ingin berkiblat ke Barat baik ke Eropah Kontinental (Civil law) dan Anglo Saxon atau kombinasi keduanya dan ada juga mengacu ke sistem hukum Islam, dan sebagian lain ingin membumi pada nilai-nilai kultural Indonesia asli. Paparan ini

Page 37: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

37Cita Hukum Pancasila

merupakan bagian dari analisis ke arah menjadikan negara hukum substansial itu kedalam tataran konsep10.

Hemat penulis, kembali saja menengok Pancasila sebagai nor-ma dasar negara, perhatikan dengan sungguh-sungguh, dipelajari akar sejarah dan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya ke-mudian lakukan penjabaran-penjabaran untuk membentuk hukum Indonesia. Semua sila yang terkandung didalamnya dapat dilaku-kan pengkajian. Tapi perlu dingat bahwa dasar negara itu di awali dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertamanya. Ini dapat dimaknai bahwa sila pertama itu adalah core value, pengin-spirasi sila-sila berikutnya, norma yang paling dasar, paling tinggi dan paling adi luhung.

Bila itu diyakini bersama, maka konsekuensinya, hukum nega-ra yang Pancasilais adalah hukum yang memperhatikan, memper-timbangkan, yang terilhami, atau pada persoalan tertentu dapat saja berupa transplantasi hukum yang ada pada agama-agama yang berlaku di Indonesia. Melalui kesepakatan bersama, prosedur yang dilakukan sesuai dengan aturan yang ada, norma-norma aga-ma yang abstrak diwujudkan dalam peraturan perundangan yang konkrit yang diberlakukan untuk seluruh warga negara.

Teknisnya, bisa saja dilakukan konfergensi nilai atau norma yang berkaitan hukum dari agama-agama yang ada; kesamaaan-kesamaan yang ada dapat dijadikan sebagai hukum yang berlaku nasional. Dapat pula dijadikan deferrgensi pada persoalan yang sangat spesifik dan dapat diberakukan secara kedaerahan dan ses-aui dengan banyaknya pemeluk agama dengan tetap menghormati pemeluk agama lain dan tanpa perlu melanggar hak azasi manusia.

Memang tidak mudah untuk melakukan upaya ini, kaum yang sangat sekuler akan melakukan penolakan secara keras. Tapi menu-rut penulis, kaum sekuler ini pasti akan menerima bila keuntungan nyata dapat mereka rasakan. Satu contoh, Inggris sebagai negara yang sekular ternyata menerima perbankan syari’ah (Islam) bah-

10 Turiman Fachturahman Nur, “Prismatika Hukum Pancasila (Suatu Analisis “Benang Merah” Anatar HAM, Globalisasi dengan Ideologi Pancasila) dalam http://rajawaligarudapancasila.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 9 Mei 2016

Page 38: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

38 Cita Hukum Pancasila

kan menjadi pusat kajian perbankan Islam, karena yakin dan fakta lebih menguntungkan dibandingkan sistem konvensional. Bahkan Prancis yang juga sangat sekular itu mengikuti langkah Inggris. Seorang sarjana Inggris bernama Richard Hooker dalam karyanya Of the Laws of Ecclesiastical Polity (1989) menggambarkan tentang sebuah tatanan yang beradab yang mencakup kehidupan dunia dan surga, manusia dan malaikat....otoritas sipil diturunkan secara langsung dari hukum Tuhan, sehingga hukum dapat menjadi suatu bentuk pengakuan bahwa kedudukannya adalah kasih Tuhan, su-aranya adalah keselarasan dunia11.

Jadi, sebenar tidak perlu lagi ragu, atau merasa takut dan pho-bia terhadap hukum agama, karena ia akan bersifat transendental dan orang yang beragama tidak akan berani mengkangkangi hukum itu sebagaimana sekrang kita melihat praktik-praktik semacam itu.

PenutupPancasila adalah norma dasar negara, way of life dan sumber

dari segala sumber hukum di Indonesia. Pancasila dengan sila per-tama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah core value, dapat digunak-an sebagai norma yang paling dasar dari empat sila lainnya. Bila dikaitka dengan identitas negara hukum, maka hukum Indonesia adalah hukum yang Pancasilais. Hukum yang Pancasilais berarta adalah hukum yang mendasarkan pada norma ajaran agama-aga-ma yang ada di Indonesia, apalagi tipikal keberagamaan masyara-kat Indonesia sangat agamis dan patuh terhadap hukum agamanya. Konfergensi dapat dijadikan satu jalan untuk menuju cita hukum Pancasila itu dan berlaku untuk nasional. Defergensi hanya untuk persoalan spesifik yang dapat diberlakukan perdaerah dengan per-timbangan pemeluk agama tertentu, namun tetap menghormati pemeluk agama-agama yang lain.

11 Ian Ward, Pengantar Teori Hukum Kritis terj. Nuralita Yusron dan M. Khizim, Bandung: Nusa Media 2014, hal. 35.

Page 39: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

39Cita Hukum Pancasila

DAFTAR PUSTAKA

Absori, Kelik Wardiono, Saepul Rochman, Hukum Profetik Kritik Terhadap Paradigma Hukum Non-Sistemik, Yogyakarta: Gentha Publishing, 2015.

Anton F. Susanto, 2015, Kritik Teks Hukum Ulasan dan Komentar Singkat Terhadap Wacana Hukum Langitan, Bandung: Logos Publishing, 2015.

Dardji Darmodihardjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Grame-dia, 1999.

FX.Adji Samekto, “Membangun (Kembali) Hukum Indonesia yang Berbasis Pancasila” dalam http://www.pojoksamber.com, diakses pada 9 Mei 2016.

Ian Ward, Pengantar Teori Hukum Kritis terj. Nuralita Yusron dan M. Khizim, Bandung: Nusa Media 2014.

Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia: Makna, Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Jakarta dan Yogya-karta: Konstitusi Press dan Citra Media, 2006.

Jimly Assihiddiqie, Pengantar Ilmu Tata Negara, Jakarta: Sekreta-riat Jenderal dan Kesekretariatan Mahkamah Konsti-tusi RI, 2006.

Kusnisar, “Pancasila Sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum di Indoneisa”, 2012, ejournalundiksha.ac.id, diakses tang-gal 4 Mei 2016.

Theresia Anita Christiani, 2008, “Studi Hukum Berdasarkan Perkembangan Paradigma Pemikiran Hukum Menuju Metode Holistik”, dalam Jurnal Hukum Pro Justitia, Oktober 2008, Vol. 26 No. 4

Page 40: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

40 Cita Hukum Pancasila

Turiman Fachturahman Nur, “Prismatika Hukum Pancasila (Suatu Analisis “Benang Merah” Anatar HAM, Globalisasi dengan Ideologi Pancasila) dalam http://rajawaligaru-dapancasila.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 9 Mei 2016.

Page 41: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

41Cita Hukum Pancasila

MEMBUMIKAN HUKUM PANCASILA

SEBAGAI BASIS HUKUM NASIONAL

MASA DEPAN

Oleh: Sigit Sapto Nugroho, S.H., M.Hum

Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun

Page 42: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

42 Cita Hukum Pancasila

PendahuluanTatanan hukum di Indonesia sejak penjajahan Belanda sam-

pai dengan setelah kemerdekaan mencerminkan tatanan hukum yang bercorak positivistik, Hal tersebut ditandai dengan adanya hukum yang tertulis dan digunakan sebagai dasar dalam men-jalankan kehidupan pemerintahan penjajahan Belanda. Hukum tertulis merupakan main-stream dari civil law sistem yang dianut negara Belanda. Yang mana sistem hukum tersebut mengacu pada hukum adalah peraturan perundang-undangan tertulis. Seperti ad-anya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dll. Dari praktek hukum yang dilakukan masa penjajahan Belanda ketika itu menjadikan tipologi pemahaman ilmu hukum yang positivistik. Hal tersebut dapat dilihat dari sifat civil law sistem yang sistematis, prosedur dan formal.

Pasca kemerdekaan tatanan hukum di Indonesia mulai di-warnai kembali pada corak karakter hukum adat yang merupa-kan bagian penguatan identitas nasional1 mencoba menunjukkan eksistensi kedaulatan negara Indonesia yang baru merdeka, maka segenap pemikiran tentang ketatanegaraan diambil dari pemikiran yang berkarakter keIndonesiaan. Pada masa ini hukum lebih meng-gali cita hukum yang ada di masyarakat. Artinya praktek hukum di-laksanakan dalam rangka penguatan rasa nasionalisme.2 Meskipun tetap dalam penyelenggaraan negara masih menggunakan hukum peninggalan penjajahan Belanda.

Hukum yang berkembang di Indonesia selanjutnya condong ke arah hukum yang tertulis dengan mengutamakan pada aspek sistematis dan prosedur formal yang dimuat dalam bentuk per-aturan perundang-undangan. Sehingga dalam tataran pelaksanaan kendala utama di bidang hukum di Indonesia terletak pada pemiki-ran hukum yang teramat legal-positivistik, di mana ilmu hukum yang dipelajari dan dijadikan solusi terhadap krisis, semata-mata

1 Aidul Fitriciada Azhari, Rekontruksi Tradisi Bernegara Dalam UUD 1945, Yogyakarta: Genta Publishing, 2014, hal. 16.

2 Sigit Sapto Nugroho, Pengantar Hukum Adat, Surakarta: Pustaka Iltizam, 2016, hal. 5.

Page 43: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

43Cita Hukum Pancasila

hukum positif, yang menganggap bahwa hukum Negara adalah satu-satunya hukum, diluar itu tidak ada hukum. Positivisme me-ngangkat ilmu hukum menjadi ilmu yang mempelajari hukum se-bagai suatu bangunan atau tatanan yang logis-rasional, didukung dengan model sistematis, prosedur, formal dan berbentuk baku yang diterapkan dalam perundang-undangan. Sehingga hukum positip cenderung sebagai corong dari keinginan dan harapan yang dicita-citakan oleh para pembentuknya.

Pada realitas hukum ada berbagai faktor kontradiktif yang me-lekat pada doktrin positivistik yaitu hukum positif. Pertama, pema-haman hukum positif memerlukan kemahiran kebahasan dan ke-mahiran teknis, Hal demikian jarang dipunyai rakyat kecil. Kedua, persoalan hukum rakyat kecil dalam kehidupan sehari-hari iden-tik dengan kebutuhan pokok (kebutuhan primer) artinya hukum positif akan bisa diterima masyarakat kecil apabila hukum positip mampu menopang kearah pencapaian kebutuhan primer dengan baik. Ketiga, keadilan hukum positip dimata rakyat kecil hanya bisa dicerna atas dasar kepekaan cita rasa dan bukan atas dasar logika rasional.

Pemahaman hukum tersebut akhirnya menimbulkan ber-bagai masalah. Seperti kasus KPK dengan Polri, koruptor yang bebas berkeliaran, kasus pemerkosaan anak dibawah umur dan sebagainya. Penegakkan hukum tersebut hanya dilakukan untuk bergelut dengan peraturan perundang-undangan. Padahal per-aturan perundang-undangan adalah hasil produk politik yang tidak lepas dari kepentingan. Bagaimana akan menjadi negara hukum, jika hukum hanya dipahami sebagai sistem yang formal dalam per-aturan perundang-undangan tertulis

Pemahaman hukum yang tekstual menimbulkan multi tafsir dan persepsi, bahkan tidak jarang menimbulkan konflik hukum. Peraturan perundang-undangan tertulis sebagai bentuk negara hu-kum, tetapi dipihak lain dapat menimbulkan permasalahan dalam penegakkan hukumnya.

Page 44: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

44 Cita Hukum Pancasila

Indonesia yang cenderung menganut civil law system warisan Belanda, dan beberapa hal menganut common law system tetapi bukan berarti tidak memiliki otentisitas hukum sendiri. Keaneka-ragaman Indonesia merupakan karakter asli yang tidak dapat dihapuskan. Perlunya kebijakan hukum yang cerdas untuk mem-formulasi hukum nasional yang tetap mengadopsi nilai-nilai hu-kum yang ada di masyarakat.3 Waktunya bangsa ini keluar dari kungkungan hukum positivistik. Oleh karena itu diperlukan para-digma pembangunan hukum berbasis Pancasila untuk mewujud-kan kehidupan Indonesia di masa depan yang lebih baik. Dengan paradigma pembangunan hukum nasional berbasis Pancasila akan memberikan cara pandang yang luas menyeluruh saling terkait satu dengan lain seperti yang tertuang dalam nilai-nilai Pancasila dan berkarakter ke-Indonesiaan.

Pancasila Sebagai Basis Pembangunan Sistem Hukum Nasional

Pancasila sebagai landasan pembangunan hukum di Indonesia dipelopori oleh Notonagoro. Menurutnya Pancasila memiliki arti penting terhadap pembentukan hukum, Pancasila sebagai falsafah kehidupan bangsa Indonesia merupakan realitas keotentisitasan hukum Indonesia. Menurut beliau, Pancasila secara yuridis telah disepakati sebagai ideologi negara Indonesia, hal tersebut berarti juga membawa implikasi terhadap hukum yang berlaku di Indo-nesia juga harus berideologi Pancasila.

Pembangunan hukum berbasis Pancasila juga disampaikan oleh Sudjito bahwa negara Indonesia dalam menuju peradaban ma-syarakat bermartabat dihadapkan pada berbagai tantangan dan pengaruh ideologi asing yang mengganggu pencapaian kebi-jakan yang ditetapkan negara.Pancasila sebagai daras filsafat dapat menjadi landasan pembaharuan hukum Indonesia karena memuat nilai-nilai kehidupan masyarakat. Pancasila sebagai ideologi nega-ra berarti ideologi hukum tersebut mengantarkan kristalisasi pola pikir dan sikap serta perilaku kita berdasarkan Pancasila. Pancasila

3 Ade Saptomo, Budaya Hukum dan Kearifan Lokal. Jakarta: FHUP Press, 2014, hal 175-177.

Page 45: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

45Cita Hukum Pancasila

merupakan norma hukum pokok atau kaidah fundamental dan me-miliki kedudukan yang tetap dan kuat. Karena Pancasila sebagai ideologi negara Indoenesia, maka Pancasila memiliki pengaruh cu-kup besar dalam menentukan arah tujuan negara. Sedangkan arah tujuan negara merupakan aturan hukum yang harus ditaati oleh semuanya agar tujuan negara yang akan dicapai dapat terwujud. Dalam rangka itulah Pancasila menjadi sumber pokok segala hu-kum di Indonesia.4

Apabila kita melihat secara historis sejak disahkan secara konstitusional pada tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila dapat di-katakan sebagai dasar (falsafah) Negara, pandangan hidup, ideolo-gi nasional dan ligature (pemersatu) dalam perikehidupan kebang-saan dan kenegaraan Indonesia. Dengan singkat kata Pancasila adalah dasar statis yang mepersatukan sekaligus bintang penuntun (Leitstar) yang dinamis yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisi seperti itu, Pancasila merupakan jati diri, kepribadian, moralitas dan haluan keselamatan bangsa. Dengan demikian Negara Indonesia memiliki landasan moralitas dan halu-an yang jelas dan visioner. Suatu pangkal tolak dan tujuan peng-harapan yang penting bagi keberlangsungan dan kejayaan Negara.5

Sebabagai basis moralitas dan haluan kebangsaan –kenegara-an Pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis dan aksio-logis yang kuat. Setiap sila memiliki justifikasi historisitas, rasio-nalitas dan aktualitasnya yang dipahami, dihayati, dipercayaidan diamalkan secara konsisten menopang pencapaian agung perada-ban bangsa dan dapat mendekatai perwujudan Negara Paripurna.

Permasalahan yang terjadi sekarang ini perwujudan Negara hukum yang berbasis Pancasila adalah bagaimana memperdalam pemahaman, penghayatan dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai yang terkandung pada setiap sila Pancasila dan kesalingterkai-tannya satu sama lain, untuk kemudian diamalkan secara konsisten dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

4 Sudjito, “Pancasila Sebagai Dasar Filsafat Dan Paradigma Ilmu Hukum”, materi Kuliah Umum Sekolah Pasca Sarjana UMS, 29 November 2014.

5 Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas Dan Aktualitas Pancasila, Gamedia Jakarta: Pustaka Utama, 2012, hal. 41-42.

Page 46: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

46 Cita Hukum Pancasila

Dalam konteks ini yang diperlukan adalah apa yang menurut Kuntowijoyo disebut sebagai proses “radikalisasi Pancasila”. Radi-kalisme dalam arti ini revolusi gagasan, demi membuat Pancasila tegas, efektif dan menjadi petunjuk bagaimana Negara ini ditata-dikelola dengan benar. Radikalisasi Pancasila yang dimaksudkan adalah (1) mengembalikan Pancasila sebagai ideologi Negara, (2) mengembangkan Pancasila sebagai ideologi Pancasila sebagai ilmu, (3) mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila dan korespon-densi dengan realitas sosial, (4) Pancasila yang semula melayani kepentingan vertikal (Negara) menjadi Pancasila yang melayani ke-pentingan horizontal, dan (5) menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan Negara.

Proses radikalisasi itu dimaksudkan untuk membuat Panca-sila menjadi lebih operasional dalam kehidupan dan ketatanega-raan dan sanggup memenuhi kebutuhan praktis atau pragmatis dan bersifat fungsional. Pemikiran-pemikiran lain yang bersifat abstraksi-filosofis juga bukan tanpa makna. Justru pemikiran yang bersifat abstraksi-filosofis menjadi lebih bermakna sejauh diberi kaki operasionalisasinya agar bisa menyejarah dan memiliki mak-na bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Dengan demikian menjadikan Pancasila sebagai landasan pembaharuan hukum di Indonesia merupakan keharusan agar nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dapat diaktualisasikan dalam kehidupan hukum di Indonesia.6

Pembangunan paradigma hukum berbasis Pancasila juga diter-apkan terutama terhadap penegakkan hukum di Indonesia adalah suatu pemikiran dan tindakan nyata dalam memberikan peruba-han positif dalam penegakkan hukum di Indonesia. Hukum yang positivistik harus disesuaikan dengan hukum yang bijaksana. Yaitu hukum yang dalam prakteknya dapat memberikan kemanfaatan bagi rakyat. Hukum positivistik harus diperbarui dengan hukum yang berdimensi luas dan mendalam. Sehingga diperoleh cara penerapan hukum yang menjamin kebaikan hidup manusia. 6 web.unair.ac.id/artikel_detail-111326-Artikel%20Islam-Pancasila%20di%20Langit%20

Biru. Html, diakses Tanggal 3 Mei 2016 Pukul 07.00 WIB.

Page 47: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

47Cita Hukum Pancasila

Berbicara tentang etika penegakkan hukum Bernard L Tanya7 menyatakan bahwa etika yang pertama yaitu kesadaran etis ten-tang kewajiban melaksanakan kewajiban, kedua, taat asas, ketiga nilai tugas penegakkan hukum itu sendiri, keempat, penghayatan jati diri aparat penegak hukum, kelima, pelaksanaan tugas mendis-tribusikan keadilan, keenam, pelayanan aparat penegak hukum, dan ketujuh, perilaku aparat hukum.

Pembangunan hukum dalam penegakkan hukum berbasis pancasila dilakukan dengan menerapkan hukum sesuai dengan prinsip nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, muswawarah dan keadilan. Penegakkan hukum tidak hanya memenuhi tuntutan formalitas peraturan perundang-undangan, tetapi menyangkut ke-semua prinsip dan nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila terse-but. Penegakkan hukum dapat berjalan dengan baik, jika hukum di-praktekkan sesuai dengan kelima prinsip nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila tersebut.8

Pancasila berperan sebagai paradigma pembangunan hukum harus menjadi acuan dalam segala pemikiran, sikap dan tindakan serta kegiatan hukum yang dilakukan di negara Indonesia. Ter-masuk di bidang hukum tentu harus berpedoman terhadap Pan-casila, agar hukum yang dihasilkan sesuai dengan prinsip nilai-nilai Pancasila. Sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka Pancasila sebagai grundnorm bagi setiap peraturan perundang-undangan yang memiliki posisi di bawah Pancasila. Sehingga harus mendasarkan rasio logisnya pada Pancasila dan tidak boleh berten-tangan dengannya. Penerapan nilai-nilai filsafat hukum Pancasila menjadi penting pada setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia. Material filsafat hukum Pancasila digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. filsafat hukum Pancasila dengan demikian lahir dari perasaan dan pengetahuan bangsa Indonesia atas diri dan lingkungannya.

7 Bernard L Tanya, Penegakan Hukum dalam Terang Etika, Yogyakarta: Genta Publising, 2011, hal. 25-27.

8 Fokky Fuad. “Filsafat Hukum Pancasila; Antara Cita Ideal Hukum dan Nilai Praksis”. Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Negeri Jakarta. Volume 13 No 1 Oktober 2013.

Page 48: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

48 Cita Hukum Pancasila

Pancasila sebagai dasar filsafat dan paradigma pembangunan hukum Indonesia harus menempatkan pancasila sebagai sumber pembentukan, pelaksanaan dan penegakkan hukum. Sehingga Pancasila sebagai ideologi hukum tidak hanya dipandang sebagai syarat formal tertulis saja, tetapi lebih bermakna dan nyata dilak-sanakan dalam praktek penegakkan hukum di Indonesia.9 Panca-sila merupakan sumber hukum yang tak terhingga luas, dalam dan kayanya. Pancasila merupakan intisari dari segala kelembagaan kenegaraan dan hukum serta penyelesai terhadap masalah-masa-lah bangsa. Ketatanegaraan Indonesia dengan seluk-beluk pelaksa-naan dan permasalahan yang ada dapat terurai dengan menggu-nakan Pancasila sebagai pedoman pelaksanaannya. Telah terbukti dalam sejarah negara Indonesia bahwa Pancasila menjadi pelin-dung dari segala ancaman yang berusaha mengganggu integrasi nasional Indonesia.10 Pancasila sebagai falsafah pandangan hidup bangsa seyogyanya dicerminkan dalam prinsip, nilai dan norma kehidupan dalam berbangsa, bernegara dan berbudaya. Dengan demikian nilai-nilai yang melekat pada Pancasila layak menjadi norma dasar bagi tata hukum Indonesia. Dalam konteks itu panca-sila merupakan keyakinan normatif Indonesia.

Sebagai keyakinan normatif, Pancasila menjadi dasar pe-nilaian (reflektif) tentang apa yang berharga dan apa yang penting dan yang tidak, serta yang membentuk suatu kehidupan (termasuk kehidupan hukum) yang baik dan yang bermakna.

Keyakinan normatif dalam Pancasila diuraikan oleh Bernard L Tanya11 dalam delapan bingkai Pancasila yang merupakan spirit, logika dan nilai-nilai yang membuat Pancasila bermakna bagi Indonesia dan menjadi basis yang fundamental dalam membangun sistem hukum Indonesia.

9 Sudjito, Op-Cit.10 Iwan Nugroho, “Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Falsafah Pandangan Hidup Bangsa Untuk

Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Dan Pembangunan Lingkungan Hidup”, dalam Jurnal Konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi dan Puskasi Universitas Widyagama Malang. ISSN 1829-7706, 2010.

11 Bernard L Tanya, 2015, Pancasila Bingkai Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publising, hal. 1-9.

Page 49: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

49Cita Hukum Pancasila

Adapun delapan bingkai Pancasila tersebut antara lain : (1) Spirit merawat Ke-Indonesia-an, dimana kehadiran Pancasila adalah untuk Ke-Indonesia-anyang majemuk yang terdiri puluhan suku bangsa dengan ragam kemajemukan budaya tradisi, agama dan sebagainya harus diterima sebagai kenyataan yang harus di-rawat dan dirayakan.(2) Spirit gentlemen agreement yang meru-pakan kesepakatan terhormat (Founding Fathers) yang saling menghormati, meskipun adanya perbedaan pendapat yang sulit untuk dipertemukan. Dengan dasar keyakinan nilai prinsip kehor-matan dan jiwa besar para pendiri bangsa secara kesatria dan ele-gan menyesampingkan jalan primordial sebagai cara hidup (yang menguntungkan bagi diri dan kelompoknya) dan memilih sepakat menempuh cara hidup toleran melalui Pancasila. (3) Lebens philo-sophie tentang kehidupan bersama dalam rumah Indonesia, dimana Pancasila merupakan pedoman hidup bersama dalam rumah Indo-nesia yang sanggup memberikan harapan, memberikan keyakinan, dan embangun komitmen para penghuninya untuk hidup rukun dan sejahtera di dalamnya.(4) Semangat menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik dalam berbagai matra. Hal ini merupakan patokan spirit yang mendasari cara hidup dalam rumah Indonesia sehingga setiap penghuninya, siapapun dia dalam seluruh tinda-kannya harus bertitik tolak dari semngat untuk melakukan yang benar, adil dan baik dalam segala hal. Dengan demikian ini men-dasari realisasi spirit sebagai etika sosial warga bangsa (5) Keharu-san merawat nilai kemanusiaan, keadilan dan keadaban, memberi-kan dasar noramtif bagi hukum Indonesia untuk mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan disatu sisi, dan tuntuan bertindak adil dan beradab disisi yang lain. (6) Keharusan merawat integrasi nasional atau merawat persatuan Indonesia , hal ini dimaksudkan untuk menjaga kehidupan berbangsa yang berujung pada terwujudnya integrasi nasional. (7) Merawat kerakyatan, hal ini merupakan dok-trin Indonesia mengenai hidup bernegara. Kerakyatan boleh diar-tikan sebagai demokrasi tetapi demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi bagi kehidupan bersama bangsa Indonesia yang tidak terpisahkan dengan mimpi : Indonesia yang kian kokoh menjadi sebuah rumah bagi penghuninya yang ingin hidup damai, tentram

Page 50: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

50 Cita Hukum Pancasila

dan sejahtera didalamnya. (8) Keadilan sosial, Sila kelima ini se-bagai doktrin tentang demokrasi ekonomi, yaitu adanya keharusan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Doktrin demokrasi ini menjadi landasan politik negara dan hukum dalam merawat kehidupan bermasyarakat.

Atas dasar kedelapan bingkai Pancasila tersebut sebagaimana kata Bung Karno adalah Weltanshauung Indonesia, yakni panda-ngan dunia untuk suatu tempat tertentu yang bernama Indonesia. Pancasila adalah filsafat tentang kehidupan bersama dalam suatu negara Indonesia. Filsafat yang sanggup memberi harapan, mem-beri keyakinan dan komitmen.12

Keyakinan bahwa Pancasila merupakan fondasi, filsafat piki-ran sedalam-dalamnya, jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya se-bagaimana isi pidato Sukarno tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI memiliki makna Pancasila itu memiliki leluasan seluas alam fikiran filsafat bangsa Indonesia dan mempunyai kedalam pengertian sedalam jiwa dan hasrat yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia, Dengan demikian nilai-nilai Pancasila pastilah senantiasa hidup dan dihayati bangsa ini, Nilai-nilai itu memiliki karakter kearifan sekaligus sebagai tradisi (warisan leluhur) dan nilai hic et nunc (disini saat ini). Kearifan bangsa Indonesia sebagai tradisi dan hic et nunc, dengan demikian adalah “roh” dari pancasila itu sendiri. Atau kearifan bangsa inilah fondasi sesungguhnya dari Pancasila (yang hidup dan dihidupi oleh masyarakat Indonesia).13

Dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia berarti memberikan perubahan yang baik terhadap hukum. Perubahan yang baik pada dasarnya adalah bagaimana hukum dapat diterima semua pihak dalam hubungan antar manusia. Sehingga hukum ti-dak merugikan orang lain atau bahkan merugikan orang banyak. Hukum harus berani menentukan kebenaran yang benar dan ke-salahan yang salah tanpa tendensi atau kepentingan dibalik hukum. Karena segala masalah yang terjadi ketika dihadapkan pada hu-

12 Ibid, hal 913 Armada Riyanto Dkk, 2015, Kearifan Lokal Pancasila, Butir-butir Filsafat Keindonesiaan,

PT. Kanisius, Yogyakarta, hal 14

Page 51: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

51Cita Hukum Pancasila

kum pasti akan menuntut kepastian untuk memutuskannya, maka diperlukan jiwa besar hukum dari penegak hukum yang mema-hami hukum bukan sekedar peraturan perundang- undangan ter-tulis, tetapi hukum merupakan nilai-nilai luhur kehidupan yang dapat membawa kebaikan. Sesuai dengan ideologi Pancasila yang menganggap bahwa Indonesia sebagai bagian dari seluruh umat manusia, sehingga dalam melaksanakan hukum harus melihat ma-salah secara menyeluruh dan integral.

Pancasila Sebagai Aspek Pengembanan Hukum dan Poli-tik Bernegara

Sebagaimana dikemukakan oleh Myrna A. Safitri14 dalam kaitannya dengan hukum, tantangan penting adalah menjadikan Pancasila tidak hanya sebagai cita hukum, bintang panduan ter-hadap norma hukum namun menjadikan nyata dalam laku berhu-kum. Di sini, penting melihat Pancasila hadir dalam seluruh aspek pengembanan hukum.

Pengembanan hukum atau rechts-beoefening adalah segala ke-giatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum dalam masyarakat. Pengembangan hukum meliputi aspek teoretis dan praktis. Aspek teoretis bertujuan memahami hukum secara il-miah, metodis-sistematis dan logis rasional. Di sini kita menemu-kan hukum sebagai sebuah disiplin, yang meliputi filsafat hukum, teori hukum dan ilmu hukum atau dogmatika hukum.

Dogmatika hukum atau disebut sebagai ilmu hukum dalam arti sempit mempelajari makna objektif dan aspek teknis-yuridis dari hukum; teori hukum memberi penjelasan tentang bahan hu-kum dan kegiatan yuridis dalam kenyataan kemasyarakatan. Fil-safat hukum mencari hakikat hukum dengan mempelajari hukum secara umum, bukan terikat pada norma tertentu. Filsafat hukum membahas dasar mengikat (legitimasi) hukum dan hakikat dan kri-teria keadilan.

14 Myrna Safitri, 2013, Konversi Pancasila dari Cita Hukum Menuju Tradisi Warga Negara, Digest Epistema Volume 4 Tahun 2013.

Page 52: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

52 Cita Hukum Pancasila

Aspek praktis dari pengembanan hukum meliputi pemben-tukan hukum, penemuan hukum dan bantuan hukum. Pembentu-kan hukum merupakan kegiatan penciptaan hukum positif. Salah satu contohnya adalah pembuatan undang-undang di Dewan Per-wakilan Rakyat. Penemuan hukum terkait dengan upaya hakim untuk menggali hukum dalam pembuatan vonis atau penetapan. adapun bantuan hukum tampil sebagai tindakan nyata untuk pembelaan terhadap hak-hak warga negara yang terampas.Demiki-anlah, jika Pancasila hadir dalam aspek teoretik dan praktik dari pengembanan hukum maka upaya konversi Pancasila semakin mu-dah dilakukan.

Menurut Moh. Mahfud MD,15 dalam pembentukan negara hu-kum, maka Pancasila harus melahirkan kaidah-kaidah penuntun dalam pembuatan politik hukum atau kebijakan negara lainnya yaitu:

a. kebijakan umum dan politik hukum harus tetap menjaga integrasi atau keutuhan bangsa baik secara ideologi mau-pun secara teritori,

b. kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasarkan pada upaya membangun demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (negara hukum) sekaligus,

c. kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasar-kan pada upaya membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,

d. kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasarkan pada prinsip toleransi beragama yang berkeadaban.

Demikian pula menurut Notonagoro 16 sebagai konsekuensi Pancasila tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, maka pem-bukaan yang memuat Pancasila itu sebagai staatsfundamental-norm. Konsekwensinya nilai-nilai Pancasila, secara yuridis harus

15 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998, hal. 35.16 Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pencasila …. sebagaimana dikutip Philipus

M Hadjon, Pancasila Sebagai Dasar Negara Dan Hukum Tata Negara, Jurnal Yustika Surabaya: FH UBAYA, 1998, hal. 63.

Page 53: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

53Cita Hukum Pancasila

diderivasikan kedalam UUD Negara Indonesia dan selanjutnya pada seluruh peraturan perundangan lainnya. Dalam kedudukan seperti ini Pancasila telah memiliki legitimasi filosofis, yuridis dan politis. Dalam kapasitas ini Pancasila telah diderivasikan dalam suatu nor-ma-norma dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.

Pancasila sebagai landasan politik dalam kehidupan bernega-ra dan berbangsa, dengan demikian juga melandasi politik hukum dalam pembangunan hukum negara yang berdasarkan Pancasila. Jika pandangan filsafat hukum Pancasila diterima dalam konsepsi pemikiran hukum dan dijadikan landasan normatif pembentukan dan pelaksanaan hukum, maka semua pola penyelenggaraan nega-ra akan bertumpu pada Pancasila. Hal ini juga harus diikuti dalam perumusan aturan-aturan hukum yang menjadi dasar pengakuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Berdasarkan norma-norma peraturan perundang-undangan tersebut dapat diimplementasi-kan realisasi kehidupan kenegaraan yang bersifat praksis. Oleh karena itu tidak mungkin implementasi dilakukan secara langsung dari Pancasila kemudian direalisasikan di dalam berbagai konteks kehidupan, karena hal tersebut harus melalui penjabaran dalam suatu norma yang jelas. Banyak kalangan memandang hal tersebut secara rancu seakan-akan memandang Pancasila itu secara lang-sung bersifat operasional dan praksis dalam berbagai konteks ke-hidupan bermasyarakat.

Pancasila sebagai landasan politik dalam kehidupan bernega-ra dan berbangsa, dengan demikian juga melandasi politik hukum dalam pembangunan hukum negara yang berdasarkan Pancasila. Jika pandangan filsafat hukum Pancasila diterima dalam konsepsi pemikiran hukum dan dijadikan landasan normatif pembentukan dan pelaksanaan hukum, maka semua pola penyelenggaraan nega-ra akan bertumpu pada Pancasila. Hal ini juga harus diikuti dalam perumusan aturan-aturan hukum yang menjadi dasar pengakuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Berdasarkan norma-norma peraturan perundang-undangan tersebut dapat diimplementasi-kan realisasi kehidupan kenegaraan yang bersifat praksis. Oleh karena itu tidak mungkin implementasi dilakukan secara langsung

Page 54: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

54 Cita Hukum Pancasila

dari Pancasila kemudian direalisasikan di dalam berbagai konteks kehidupan, karena hal tersebut harus melalui penjabaran dalam suatu norma yang jelas. Banyak kalangan memandang hal tersebut secara rancu seakan-akan memandang Pancasila itu secara lang-sung bersifat operasional dan praksis dalam berbagai konteks ke-hidupan bermasyarakat.

Politik hukum yang pada dasarnya mengandung dua sisi yang tidak terpisahkan, yakni : sebagai arahan pembuatan hukum atau legal policy lembaga-lembaga negara dalam pembuatan hukum, dan sekaligus alat untuk menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy tersebut untuk mencapai tujuan negara. Dengan pengertian tersebut, maka pembahasan politik hukum untuk mencapai tujuan negara dengan satu sistem hukum nasional mencakup sekurang-kurangnya hal-hal berikut:17

a. Tujuan negara atau masyarakat Indonesia yang diidam-kan sebagai orientasi politik hukum, termasuk panggilan nilai-nilai dasar tujuan negara sebagai pemandu politik hukum;

b. Sistem hukum nasional yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu serta faktor-faktor yang mempengaruhinya;

c. Perencanaan dan kerangka pikir dalam perumusan kebi-jakan hukum;

d. Isi hukum nasional dan faktor-faktor yang mempenga-ruhinya;

e. Pemagaran hukum dengan prolegnas dan judicial review, legislative, review, dan sebagainya.

Politik hukum merupakan arah pembangunan hukum yang berpijak pada sistem hukum nasional untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara atau masyarakat bangsa. Hukum di Indonesia harus mengacu pada cita-cita masyarakat bangsa, yakni tegaknya hukum

17 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Pustaka LP3ES 2006,hal.16.

Page 55: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

55Cita Hukum Pancasila

yang demokratis dan berkeadilan sosial. Pembangunan hukum ha-rus ditujukan untuk mengakhiri tatanan sosial yang tidak adil dan menindas hak-hak asasi manusia; dan karenanya politik hukum harus berorientasi pada cita-cita negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan berkeadilan sosial dalam satu masyarakat bangsa Indonesia yang bersatu, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.18

Menurut Bagi Manan , Politik Hukum terdiri dari atas :

a. Politik Hukum yang bersifat tetap ( permanen ), yaitu yang berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakkan hukum. Bagi bangsa Indonesia , Politik Hukum tetap antara lain :

1) Terdapat satu sistem hukum yaitu Sistem Hukum Nasi-onal. Setelah 17 Agustus 1945, maka politik hukum yang berlaku adalah politik hukum nasional , artinya telah terjadi unifikasi hukum ( berlakunya satu sistem hukum diseluruh wilayah Indonesia ). Sistem Hukum nasional tersebut terdiri dari:

a) Hukum Islam ( yang dimasukkan adalah asas – asas-nya)

b) Hukum Adat ( yang dimasukkan adalah asas – asas-nya )

c) Hukum Barat (yang dimasukkan adalah sistemati-kanya)

2) Sistem hukum nasional yang dibangun berdasarkan Pan-casila dan UUD 1945.

3) Tidak ada hukum yang memberi hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan pada suku, ras, dan agama. Kalaupun ada perbedaan , semata-mata didasar-kan pada kepentingan nasional dalam rangka keasatuan dan persatuan bangsa.

18 Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan LBH Indonesia, 1998, hal. 20.

Page 56: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

56 Cita Hukum Pancasila

4) Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat. Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan hukum, sehingga masyara-kat harus ikut berpartisipasi dalam pembentukan hukum .

5) Hukum adat dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjang nyata- nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masya-rakat.

6) Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada parti-sipasi masyarakat.

7) Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum ( keadilan sosial bagi seluruh rakyat ) terwujud-nya masyarakat yang demokratis dan mandiri serta ter-laksananya negara berdasarkan hukum dan konstitusi.

b. Politik Hukum yang bersifat temporer. Dimaksudkan sebagai kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan.

Dalam konteks politik hukum jelas, bahwa hukum adalah alat yang bekerja dalam sistem hukum tertentu untuk mencapai tujuan negara atau cita-cita masyarakat Indonesia.19 Tujuan negara kita, bangsa Indonesia, adalah membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Secara definitif, tujuan negara kita tertuang di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang meliputi:

a. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;

b. Memajukan kesejahteraan umum;

c. Mencerdaskan kehidupan bangsa;

d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan ke-merdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Tujuan negara ini didasarkan pada lima dasar negara (Panca-sila), yaitu: ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan

19 Mahfud MD, Op.Cit, hal.16-17.

Page 57: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

57Cita Hukum Pancasila

beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila inilah yang memandu politik hukum nasional dalam berbagai bidang.

Hukum sebagai alat untuk mencapai Tujuan Negara, selain berpijak pada lima dasar (Pancasila), juga harus berfungsi dan se-lalu berpijak pada empat prinsip cita hukum (rechtsidee), yakni:

a. Melindungi semua unsur bangsa (nation) demi keutuhan (integrasi).

b. Mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan.

c. Mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (nomokrasi)

d. Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadaban dalam hidup beragama.

Empat prinsip cita hukum tersebut haruslah selalu menjadi asas umum yang memandu terwujudnya cita-cita dan tujuan nega-ra, sebab cita hukum adalah kerangka keyakinan (belief framework) yang bersifat normatif dan konstitutif. Cita hukum itu bersifat nor-matif karena berfungsi sebagai pangkal dan prasyarat ideal yang mendasari setiap hukum positif, dan bersifat konstitutif karena mengarahkan hukum dan tujuan yang hendak dicapai oleh negara.

Pancasila telah ditematkan sebagai cita hukum Indonesia (rechtsidee) dan sumber dari segala sumber hukum yang merupa-kan tingkatan tertinggi dalam te hukum nasinal mempunyai teori jenjang norma hukum. Sehingga cita hukm (rechtsidee) Pancasila dalam pembangunan sistem hukum nasional mempunyai tiga nilai yaitu :

a. Nilai dasar, yaitu asas-asas yang diterima sebagai dalil yang sedikit banyak mutlak. Nilai dasar Pancasila tersebut adalah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, nilai kerakyatan dan ni-lai keadilan.

Page 58: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

58 Cita Hukum Pancasila

b. Nilai instrumental, yaitu pelaksanaan umum dari nilai-nilai dasar. Terutama berbentuk norma huum yang selan-jutnya dikristalisasi dalam perundang-undangan.

c. Nilai praktis, yaitu nilai yang sesungguhnya dilaksanakan dalam kenyataan yang berasal dari nilai dasar dan nilai instrumental. Sehingga nilai praktis sesungguhnya men-jadi batu uji apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat Indonesia. Misal-kan kepatuhan masyarakat terhadap hukum atau pene-gakkan hukum.

Ketiga nilai tersebut kemudian dikongkritisasi kedalam nor-ma-norma hukum. Pengkrotisasi ketiga nilai tersebut sangatlah penting karena hukum yang hendak dibangun harus memadukan dan menyelaraskan kepentingan nasional Indonesia baik yang ber-taraf nasional, regional ataupun global. Sehingga dengan berpijak pada nilai-nilai Pancasila sebagai bintang pemandu untuk menguji dan memberikan arah pada hukum positip di Indonesia. Sehingga oleh Muladi Pancasila dijadikan margin of appreciation doctrine yang senantiasa menjiwai pengembangan hukum di Indonesia. 20Menurut Bernard Arief Sidharta sebagaimana dikutip Nyana Wangsa21 Pancasila juga sebagai guiding principle berperan sebagai norma kritis untuk menguji dan mengkaji berbagai tindakan dan putusan di bidang politik, kenegaraan, hukum dan ekonomi.

Adapun penjabaran terhadap nilai-nilai Pancasila dalam pem-bangunan hukum Indonesia tersebut adalah :

a. Nilai Ketuhanan, Artinya bahwa dalam pembentukan hukum di Indonesia harus dilandasi oleh nilai-nilai Ketuhanan atau keagamaan. Selain itu juga dalam setiap pembentukan hukum harus ada jaminan bagi kebebasan beragama dan tidak boleh ada hukum yang mengistimewakan salah satu agama tertentu dan menganaktirikan agama yang lainnya. Sehingga hukum di

20 Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila, Bandung: Nusa Media, 2015, hal. 156-157.

21 Nyana Wangsa dan Kristian, Hermeneutika Pancasila, Bandung: Refika Aditama, 2015, hal. 94.

Page 59: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

59Cita Hukum Pancasila

Indonesia dapat menciptakan Indonesia sebagai bangsa dan Negara yang beragama.

b. Nilai kemanusiaan, Artinya bahwa dalam setiap pembentukan hukum harus menciptakan bangsa yang beradab dan hukum yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak asasi manusia.

c. Nilai persatuan, artinya bahwa dalam pembentukan hukum harus meperhatikan persatuan atau integritas bangsa dan Negara. Dalam pembentukan hukum tidak boleh mengakibat-kan perpecahan (dis-integrasi) dan memecah belah bangsa dan Negara.

d. Nilai kerakyatan, Artinya bahwa dalam pembentukan hukum harus dilandasi oleh nilai-nilai demokratis dan melibatka semua unsur yang ada di Negara baik eksekutif, legislatif yudi-katif maupun masyarakat. Sehingga hukum di Indonesia dapat mendukung terciptannya demokrasi di Indonesia.

e. Nilai keadilan sosial, Artinya bahwa dalam pembentukan hu-kum nasional harus bertujuan untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi selruh rakyat Indonesia.

Sementara itu penjabaran nilai-nilai atau sila-sila Pancasila dalam pembangunan hukum menurut Magnis Suseno mencakup lima hal, yaitu :22

a. Pembangunan hukum hanya dapat mempertahankan mutu manusiannya apabila dilandasi oleh sikap hormat terhadap manusia, mengakui kedudukan manusia yang sama, tidak memperlakukan manusia sebagai obyek perencanaan, tidak pernah mengorbankan pihak yang satu demi keuntungan pi-hak yang lain dan tidak memberi kemajuan dengan menyeng-sarakan orang lain. Pengejewantahan sikap ini sesuai dengan sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.

b. Pembangunan hukum tidak menjadikan manusia sebagai obyek sasaran atau bahkan sarana dan korban bagi usaha ke-

22 Ahmad Gunawan dan Mu’amar Ramadhan , Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, hal. 283-284.

Page 60: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

60 Cita Hukum Pancasila

majuan, maka hendaknya pembangunan tidak dilaksanakan secara paternalistic dan teknokratis, melainkan secara dialo-gis dan partisipatif. Pengejawantahan sikap ini sesuai dengan sila keempat yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah ke-bijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

c. Pembanguna hukum harus menghormati manusia secara kongkrit yang berarti menjamin segi-segi asasi manusia atau menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Pengejawanta-han sikap ini sesuai dengan sila kedua dan keempat.

d. Pembangunan hukum harus mengoperasikan prinsip-prinsip hormat terhadap martabat manusia ke dalam struktur dan lembaga kehidupan masyarakat. Pengejawantahan sikap ini sesuai dengan sila ke lima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

e. Pembangunan hukum harus mempunyai sikap hormat terha-dap martabat manusia bagi suatu pembangunan perlu dike-mukakan tuntutan normatif terhadap penentuan prioritas pembangunan. Pengejawantahan ini sesuai dengan sila kedua dan sila ketiga.

Dengan dijabarkannya nilai-nilai Pancasila kedalam hukum nasional, diharapkan hukum nasional mampu mencapai tujuan berikut, yaitu : Pertama, dapat mengikuti perkembangan dinami-ka yang terjadi dalam masyarakat. Pembangunan hukum nasional yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila diharapkan dapat mengi-kuti perkembangan masyarakat . hal ini dikarenakan Pancasila yang digali dari budaya dan kehidupan masyarakat Indonesia sendiri berakibat secara langsung maupun tidak langsung akan mengikuti perkembangan yang terjadi. Pembangunan hukum nasional diben-tuk supaya mengikuti perkembangan yang ada didalam masyara-kat. Sebagaimana diketahui bahwa hukum selalu tertinggal dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Hal in sebagaimana di-katakan oleh Satjipto Rahardjo23 bahwa hukum adalah untuk ma-nusia dan bukan sebaliknya, dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang luas yaitu untuk harga diri

23 Ibid.

Page 61: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

61Cita Hukum Pancasila

manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemualiaan manusia. Oleh sebab itu dalam pembentukan sistem dan hukum nasional harus dapat mengikuti perkembangan dan dinamika yang terjadi dalam masyarakat.

Kedua, Hukum dapat berlaku secara efektif digali dalam ma-syarakat. Setelah hukum dapat mengikuti perkembangan dinamika dalam masyarakat maka hukum nasional diharapkan akan dapat diberlakukan secara aktif di dalam masyarakat. Dalam artian bah-wa hukum tersebut tidak teraleniasi (terasing) dari masyarakat.

Setidaknya ada tiga makna hukum teraleniasi dari masyarakat yaitu :

a. Hukum hanya menjadi teks yang tidak memiliki makna sosial yang signifikan.

b. Hukum menjelma menjadi beban atau faktor pemicu benturan (chaos) dalam masyarakat.

c. Akan terjadi ketidak patuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri, sehingga hukum akan kehilangan kewibawaannya di-hadapan masyarakat yang diaturnya.

Ketiga, adanya harmonisasi antar hukum. Dalam Negara hu-kum Pancasila, pembangunan hukum nasional ditujukan untuk menciptkan harmonisasi hukum dan menghilangkan pluralisme hukum yang selama ini terjadi. Badan Pembinaan Hukum Nasio-nal Departemen Kehakiman memberikan pengertian harmoni-sasi hukum sebagai kegiatan ilmiah untuk menuju proses peng-harmonisan hukum tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis, maupun yuridis. Dari pengertian tersebut, harmonisasi diartikan sebagai upaya atau proses untuk merealisasikan keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan, diantara norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional.24 Norma-norma hukum di dalam

24 Teguh Prasetyo dan Abdul Halam Barkatullah, 2012, Filsafat Teori Dan Ilmu Hukum (Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermartabat), Rajawali Press, Jakarta, hal 331.

Page 62: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

62 Cita Hukum Pancasila

peraturan perundang-undangan sebagai subsistem dalam satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional, tidak terhalang oleh perbedaan-perbedaan tidak saling bertentangan atau tidak terjadi duplikasi atau tumpang tindih. Sehingga setiap hukum yang dibuat harus sinkron atau tidak bertentangan secara vertikal dengan pera-turan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Keempat, tidak bertentangan dengan tujuan bangsa dan Nega-ra Indonesia. Dalam pembangunan /pembentukan hukum nasional yang berlandaskan kepada nilai atau sila Pancasila dalam mewu-judkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam pembu-kaan UUD 1945 yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; melaksanakan keter-tiban dunia; dan keadilan sosial.

Hukum Pancasila Sebagai Hukum Nasional Di Masa Depan

Pembangunan hukum yang berlandaskan kepada Pancasila harus diarahkan untuk menampung dan mendukung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan perkembangan dan kemajuan pembangunan yang terjadi di bidang lain. Sehingga hukum Panca-sila mampu untuk menciptaan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum yang bertujuan untuk meningkatkan persatuan dan kesatu-an bangsa dan Negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum nasional di masa yang akan datang adalah hukum yang res-ponsif.25 Yang mana dalam pembangunan hukum dilakukan secara transparan dan terbuka yang melibatkan elemen-elemen masyara-kat dan mengikuti perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri. Selama ini pembangunan hukum di Indonesia merupakan strategi pembangunan hukum yang koserva-tif karena kekuasaan terbesar dalam pembentukan hukum beraada di lembaga eksekutif dan legislatif.

25 Hukum responsif merupakan tipologi menurut Philippe Nonetz dan Philip Selznick dimana Tipologi ke dalam tiga tipe keadaan didasarkan pada penglihatannya terhadap operasionalisasi hukum dalam masyarakat tentang bentuk-bentuk legal ordering: Repressive law, Autonomous law, Responsive law.

Page 63: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

63Cita Hukum Pancasila

Hukum nasional Indonesia yang responsif berlandaskan pada Pancasila mengemban dua fungsi, yakni fungsi ekspresif dan fungsi instrumental. Menurut Arief Sidharta26 fungsi ekspresif mengung-kapkan pandangan hidup, nilai-nilai kebudayaan dan keadilan. Se-dangkan nilai instrumental hukum nasional sebagai sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas, dan predik-tabilitas, sarana untuk melestarikan budaya-budaya dan mewu-judkan keadilan, sarana pendidikan dan pengabdian masyarakat, sarana pembaruan masyarakat (mendorong, mengkanalisasi dan mengarahkan perubahan masyarakat). Dengan kedua fungsi terse-but maka hukum nasional di Indonesia diharapkan akan menjadi hukum modern yang dapat menyesuaikan dengan keadaan dan dinamika yang terjadi di masyarakat lokal, regional maupun inter-nasional.

Hukum Pancasila yang responsif yang mengayomi atau me-lindungi dapat terwujud apabila hukum mampu memberikan rasa aman dan tentram terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara serta rakyat secara keseluruhan. Hukum menjadi tempat perlin-dungan dan pengayom bagi rakyat dari tindakan-tindakan yang mengacam dan merusakan rasa aman, ketentraman dan hak-hak asasi sehingga hukum Pancasila adalah hukum yang responsif yang berwibawa dimata dan di hati seluruh rakyat dan bangsa Indone-sia. Demikian hukum Pancasila diharapkan mampu memenuhi ke-inginan kita selama ini yaitu hukum yang berkeadilan dan bermar-tabat.

Hukum yang berkeadilan berdasarkan Pancasila adalah rumu-san keadilan yang terlaksana dalam masyarakat Indonesia adalah keadilan yang menekankan pada keseimbangan antara hak dan ke-wajiban yaitu untuk menikmati hasil pembangunan dan kewajiban darma baktinya. Dengan adanya rumusan keadilan ini maka pem-bangunan hukum nasional dalam Negara hukum Pancasila pada dasarnya bertujuan mengarahkan untuk melindungi : (1) segenap bangsa Indonesia, (2) seluruh tumpah darah Indonesia, (3) cita-

26 Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, CV Mandar Maju, Bandung, hal 189.

Page 64: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

64 Cita Hukum Pancasila

cita dan tujuan bangsa Indonesia, (4) masyarakat Indonesia dan individu-individu, (5) jiwa, kebebasan individu, kehormatan dan harta bendanya, (6) pelaksanaan pembangunan (hukum harus ber-fungsi sebagai sarana menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh).

Hukum menciptakan masyarakat bermartabat adalah hu-kum yang mampu memanusiak manusia artinya bahwa hukum yang memperlakukan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanu-siaan menurut hakekat dan tujuan hidupnya. Hal ini dikarenakan manusia adalah makluk yang mulia sebagaimana ciptaan Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana tercantum dalam sila ke dua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, yang mempunyai nilai pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dengan segala hak dan kewajibannya yang mendapatkan perlakuan yang adil terhadap manusia, terhadap diri sendiri, alam sekitar dan terhada Tuhan.27

PenutupPancasila sebagai dasar Negara yang sila-silanya merupakan

satu kesatuan yang sistematis haruslah menjadi dasar sistem moral dan etika dalam kehidupan berbangsa bernegara dan ter-masuk dalam berbudaya. Sehingga Pancasila mempunyai fungsi se-bagai pijakan dan landasan moral, etika bagi kehidupan berhukum dan kehidupan berbangsa dan bernegara . Pijakan landasan moral, etika ini sangat penting agar supaya pembangunan hukum di In-donesia tercapai tujuan bernegara kita untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Untuk itu pembangunan hukum di Indonesia didasarkan pada kepribadian yang bersumber pada nilai-nilai kehidupan budaya, serta jiwa rakyat/bangsa (volkgeist) Indonesia. Pembangunan hu-kum yang berdasaran volkgeist Indonesia sangat diperlukan un-tuk menciptakan hukum berkepribadian bangsa Indonesia. Yaitu pembangunan sistem hukum Indonesia yang dilandasi oleh dasar

27 Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, Yogyakarta: Media Perkasa, 2013, hal. 92.

Page 65: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

65Cita Hukum Pancasila

falsafah dan ideologi Negara Pancasila. Sehingga hukum Pancasila mampu untuk menciptaan keadilan, ketertiban dan kepastian hu-kum yang bertujuan untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hu-kum nasional di masa yang akan datang adalah hukum yang res-ponsif.

ooo

Page 66: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

66 Cita Hukum Pancasila

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia ,Jakarta: Yayasan LBH Indonesia, 1998.

Ade Saptomo, Budaya Hukum dan Kearifan Lokal. Jakarta: FHUP Press, 2014.

Aidul Fitriciada Azhari, Rekontruksi Tradisi Bernegara Dalam UUD 1945, Yogyakarta: Genta Publishing, 2014.

Ahmad Gunawan dan Mu’amar Ramadhan, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Armada Riyanto dkk, Kearifan Lokal Pancasila, Butir-butir Filsafat Keindonesiaan, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015.

Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: CV Mandar Maju, 2000.

Bernard L Tanya, Penegakan Hukum dalam Terang Etika, Yogyakarta: Genta Publising, 2011.

______, Pancasila Bingkai Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publising 2015.

Fokky Fuad. “Filsafat Hukum Pancasila; Antara Cita Ideal Hukum dan Nilai Praksis”, Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Negeri Jakarta. Volume 13 No 1 Oktober 2013.

Iwan Nugroho. “Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Falsafah Pandangan Hidup Bangsa Untuk Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Dan Pembangunan Lingkungan Hidup”, Jurnal Konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi dan Puskasi Universitas Widyagama Malang. ISSN 1829-7706, 2010.

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1998.

Page 67: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

67Cita Hukum Pancasila

_____, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Pustaka LP3ES 2006.

Myrna Safitri, “Konversi Pancasila dari Cita Hukum Menuju Tradisi Warga Negara”, Digest Epistema Volume 4 Tahun 2013.

Nyana Wangsa dan Kristian, Hermeneutika Pancasila, Bandung: Refika Aditama, 2015.

Philipus M Hadjon, Pancasila Sebagai Dasar Negara Dan Hukum Tata Negara, Jurnal Yustika Surabaya: FH UBAYA. 1998.

Sigit Sapto Nugroho, Pengantar Hukum Adat, Surakarta: Pustaka Iltizam, 2016.

Sudjito, “Pancasila Sebagai Dasar Filsafat Dan Paradigma Ilmu Hukum”, materi Kuliah Umum Sekolah Pasca Sarjana UMS 29 November 2014.

Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, Yogyakarta: Media Perkasa, 2013.

Teguh Prasetyo dan Abdul Halam Barkatullah, Filsafat Teori Dan Ilmu Hukum (Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermartabat), Jakarta: Rajawali Press, 2012.

Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila, Bandung: Nusa Media, 2015.

Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas Dan Aktuali-tas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012.

Internet :web.unair.ac.id/artikel_detail-111326-Artikel%20Islam-Pancasila

%20di%20Langit%20 Biru. Html, diakses Tanggal 3 Mei 2016 Pukul 17.00 Wib.

Page 68: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

68 Cita Hukum Pancasila

Page 69: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

69Cita Hukum Pancasila

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR (SDA)

DALAM BINGKAI ETIK PANCASILA

Oleh: Elviandri, S.HI., M. Hum

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Riau

Page 70: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

70 Cita Hukum Pancasila

PendahuluanPerdebatan sekitar pengelolaan sumber daya air berserta

konflik kepentingan yang ada di dalamnya terkait pada: pertama, kecenderungan negara memprivatisasi pengelolaan sumber daya air yang memberi peluang sangat besar kepada swasta untuk ter-libat dalam pengelolaan dan pembagian air kepada masayarakat;1 kedua, kontrol yang sangat besar lembaga-lembaga internasional terhadap pengelolaan sumber daya air sebagai bagian dari upaya mengubah krisis air menjadi peluang pasar (market opportunity) untuk mencari keuntungan; ketiga, warisan kerusakan dari sistem pengelolaan yang dikembangkan oleh rezim lama bukan hanya berakibat pada kelangkaan air, juga berdampak pada aspek ekono-mi, sosial, dan politik (comunity) petani.2

Air sebagai kebutuhan “ultraprimer” dengan tingkat konsumsi terus bertambah serta tidak ada benda subtitusinya memungkin-kan swasta penyedia air minum dapat menancapkan kuku kekuasa-annya kian dalam tanpa melihat derita dan nestapa rakyat miskin.3

Keputusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 Tanggal 18/2/2015 yang membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), wajah pengelolaan SDA di negeri ini telah mengalami perubahan. Semangat dari keputusan hakim Mahka-mah Konstitusi yang menyatakan tidak berlakunya UU Nomor 7 Ta-hun 2004 ialah menjamin keadilan dalam pemanfaatan air bersih bagi setiap anggota masyarakat. Namun, tetap memberikan ruang investasi untuk pemanfaatan air bagi perusahaan BUMN, BUMD, dan swasta. Pemerintah diharapkan tidak memaknainya sebagai pengembalian hak dan kewajiban pengelolaan sumber daya air se-

1 Riset Mahadev Bhat dan Athena Stamatiades tentang Kependudukan dan Lingkungan Hidup di Florida Selatan Amerika tahun 2003 menunjukan, konflik yang di sebabkan oleh komersial ekonomi dan politik terhadap teluk eksploitasi Biscayne Bay, dimana masyarakat umum menjadi kelompok terbesar namun juga terlemah, lihat Mahadev Bhat, Athena Stamatiades, Institutions, Incentives, and Resource Use Conflicts: The Case of Biscayne Bay, Florida, Population and Environment, Vol. 24, No. 6, Restoring the Florida Everglades: Balancing Population and Environment, Jul., 2003, hal. 485-509.

2 Makinuddin & Sasongko, Analisis Sosial: Bersaksi dalam Advokasi Irigasi, Bandung: AKATIGA, 2006, hal. 118.

3 Gatot Irianto, “Dampak Privatisasi Air Minum”, Opini, Kompas, 19 Pebruari 2004.

Page 71: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

71Cita Hukum Pancasila

mata. Akan tetapi, mestinya membuat kebijakan perundangan yang lebih baik, dengan mempertimbangkan hak dasar tiap masyarakat yang dilindungi oleh konstitusi Indonesia berbasis keadilan sosial dalam bingkai etika Pancasila.

Pancasila adalah rumusan realitas, bukan hanya realitas Indo-nesia, melainkan realitas manusia pada umumnya. Dimana manu-sia yang terlahir pada sebuah bangsa yang menghadapi masalah akibat adanya kemajemukan suku, agama, ras dan kebudayaan. Indonesia berada dalam kondisi kemajemukan itu, maka realitas akan kemajemukan manusia Indonesia akan sangat rentan terha-dap perpecahan. Pancasila sebagai dasar negara republik Indonesia yang telah menempuh perjalanan panjang lebih dari setengah abad telah memunculkan ragam perdebatan, interpretasi dan penafsiran dengan menggunakan berbagai macam perspektif.

Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan salah satu yang mendasari lahirnya Pancasila sebagai falsafah sekaligus menjadi ideologi bangsa. Dengan kata lain Pancasila digunakan sebagai petunjuk hidup, pedoman hidup serta sebagai penujuk arah bagi semua aktifitas hidup masyarakat Indonesia dalam segala bidang. Pancasila berfungsi sebagai cita-cita yang selalu diusahakan untuk dicapai oleh tiap-tiap manusia Indonesia sehingga diharapkan bisa terwujud. Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa pelaksanaan pancasila dalam hidup bermasyarakat tidak boleh bertentangan dengan norma agama maupun norma-norma yang telah ada di dalam masyarakat.

Pancasila sebagai sebuah ideologi, faham, cita dan ide sama posisinya sebagai grundnorm yang diajukan oleh Hans Kelsen. Bah-wa sebagai grundnorm Pancasila mengandung nilai dan semangat yang mulia dan diyakini mampu mengantarkan bangsa Indonesia menuju tujuannya.4 Pancasila sebagai sebuah ideologi harus tetap bertahan pada jati dirinya, yaitu mampu bergerak ke dalam (segi

4 Bernard L. Tanya, dkk., Pancasila Bingkai Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2015, hal.13-27.

Page 72: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

72 Cita Hukum Pancasila

intrinsik) yaitu konsisten,5 koheren,6 dan koresponden.7 Dari (segi ekstrinsik) pancasila harus menjadi penyalur dan penyaring kepen-tingan horisontal maupun vertikal.8 Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila bersifat universal dan abstrak. Walaupun harus diakui terdapat kesulitan memadukan antara nilai absolut dan kepentingan aktual. Namun, nilai bersama dan kon-sensus nasional, harus mampu mengendalikan kepentingan hori-sontal dan vertikal.9

Pancasila adalah kategori operatif, yaitu prinsip-prinsip atau norma-norma asasi yang, meskipun tidak disadari atau bahkan tidak dimengerti, menjadi asas perbuatan.10 Fungsi dan peran Pancasila yang dijiwai oleh kelima silanya adalah sebagai pedoman bagi penegakan hukum terutama yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, di antaranya adalah yang menjadi pokok atau topik yang menjadi kajian dalam tulisan ini yaitu tentang Pengelo-laan Sumber Daya Air (SDA) Dalam Bingkai Etika Pancasila.

Pancasila, Nilai, Ideologi dan Asas HukumNilai-nilai Pancasila tidak cukup hanya ditafsirkan secara

tunggal. Pancasila dalam pembacaannya haruslah secara plural. Nilai Pancasila tidak dapat dilihat secara hirarkis, karena dalam Pancasila tidak ada nilai yang lebih tinggi daripada nilai-nilai lain-nya atau satu nilai mendominasi nilai yang lain. Dengan demikian, maka dalam konteks ilmu hukum non-sistematiknya Anton F. Su-santo melihat Pancasila sebagai pola relasi gradasi antara sila-sila dalam Pancasila itu sendiri dan tidak bersifat sistematis hirarkis.

5 Konsisten dalam bahasa Latin consistere berarti ‘berdiri bersama’, artinya sesuai, harmoni atau memiliki hubungan logis. Satu sila harus memiliki kesatuan yang padu, dalam Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997, hal. 82.

6 Koheren dalam bahasa Latin cohaerere berari ‘lekat satu dengan yang lainnya’, artinya satu sila harus memiliki kaitan antara satu dengan yang lain, dalam ibid.

7 Koresponden dalam bahasa Latin com, berarti ‘bersama’, respondere artinya ‘menjawab’, artinya memiliki kesesuaian antara teori dan praktik, antara deologi dengan kenyataan, dalam ibid.

8 Ibid, hal. 81-82.9 Ibid, hal. 55.10 Kumpulan Karangan Drijakara, Drijakara Tentang Negara dan Bangsa, Yogyakarta:

Kanisius, 1980, hal. 53 dalam Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam, Yogyakarta: Surya Raya, 2004, hal. 14.

Page 73: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

73Cita Hukum Pancasila

Anton menilai Pancasila sederajat, tidak ada sila yang lebih tinggi dibanding sila-sila lainnya dan yang lebih penting lagi dan mendasar adalah tidak ada lagi logika oposisi biner dalam pemba-caan Pancasila. Maka dengan dekonstruksi seperti ini, susunan hi-erarki scara piramidal, saling mengkualifikasi, meliputi dan menji-wai menjadi sesustu yang tidak perlu.11

Pancasila berfungsi sebagai “teks” atau “konsep” yang isinya mengandung nilai yang berbeda satu sama lain. Perbedaan itu tidak harus dibuat menjadi sama dengan maksud agar memiliki harmoni yang kemudian menjadi paradigma kehidupan masyarakat Indo-nesia dalam sistem nilai yag tercerimin pada perbedaan atau plu-ralitas disegala aspek kehidupan.12 Pancasila harus juga dipahami sebagai pengalaman kemanusiaan, bukan sekedar susunan konsep abstrak dalam pikiran dan hanya menjadi kata-kata yang diucap-kan di ruang publik belaka.

Pekerjaan yang seharusnya tidak pernah terhenti bagi siapun adalah selalu mengupayakan memberikan makna baru pada nilai-nilai Pancasila, sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi tetap relevan dengan zaman. Hal ini menjadi sangat pent-ing ketika nilai-nilai tersebut akan diwujudkan ke dalam norma hu-kum, maka pemahaman kita akan hukum bukan lagi pemahaman tunggal melainkan plural dan dapat berubah-ubah. 13

Pancasila sebagai sebuah nilai selain menjadi sumber tertib hukum atau sumber hukum, falsafah dan pandangan hidup serta pandangan dunia (weltanschauung) juga merupakan ideologi bang-sa. Maka dalam konteks ini Indonesia sebagai penganut ideologi pancasila harus konsekuen dengan ideologinya.14

Pancasila dapat dimaknai sebagai sebuah pondasi yang saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Sebagai landasan filosofis-ideologis menjadi asas dalam membangun bangsa Indo-

11 Anton F. Susanto, Ilmu Hukum Non-Sistematik, Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hal. 293.

12 Ibid. hal. 295.13 Ibid. Hal. 297.14 Anton F. Susanto dalam Hyuronimus Rhiti, Filsafat Hukum (Edisi Lengkap), Yogyakarta:

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011, hal. 188.

Page 74: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

74 Cita Hukum Pancasila

nesia sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan, bukan berakhir menjadi sebuah negara yang penuh absurditas dan anomaly atau hanya sekedar metafisis untuk menguatkan pendapat kelompok-kelompok tertentu.

Pancasila dalam konteks cita-cita seharusnya relevan dengan kenyataan mengenai landasan nilai ideal. Pembentukan berbagi sistem yang dianut bangsa Indonesia tertuang dalam konstitusi yang disebut Undang-Undang Dasar 1945, dan termuat dalam pe-raturan yang lain, akan tetapi pembentukan sistem tersebut juga harus mendasarkan pada sumber paling mendasar yang didalam-nya termuat berbagai tujuan, cita-cita, serta cermin kepribadian bangsa, sehingga diharapkan setiap sistem, kebijakan, maupun peraturan yang disusun tidak bertentangan dengan beberapa hal tersebut.

Adanya pemaknaan akan nilai-nilai yang terkandung didalam pancasila maka langkah awal untuk melakukan pembaharuan khu-susnya di bidang hukum sesuai dengan apa yang menjadi hara-pan masyarakat dapat tercapai. Meskipun tidak dapat dipungkiri seiring dengan perkembangan zaman serta pencampuran budaya secara global tanpa disadari amanat yang terkandung di dalam pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum sedikit demi sedikit semakin terkikis dan dapat menyebabkan menipisnya rasa nasiaonalisme dan cinta tanah air bangsa Indonesia sehingga hal tersebut akan mempengaruhi kualitas sistem yang diciptakan.15

Pancasila; Etika dan MoralitasEtika Pancasila berangkat dari refleksi kritis atas nilai-nilai

fundamental Pancasila. Lebih jauh Yudi Latif16 menegaskan Panca-sila sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan. Etika Pancasila mendasarkan dirinya pada keberadaan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila menjadi inspi-rasi sekaligus pegangan hidup dalam mewujudkan harapan dan ci-ta-cita bangsa. Secara garis besar, nilai-nilai dasar Pancasila berlan-

15 Rikardo Simarmata, Digest Law, Society & Development, Volume I Desember 2006-Maret 2007.

16 Yudi Latif, Negara Paripurna, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2011, hal. 42.

Page 75: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

75Cita Hukum Pancasila

daskan pada adanya Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil.17 Nilai universal yang dimiliki masing-masing sila menunjukkan orientasi sekaligus idealitas yang hendak diwujudkan negara ini. Sehingga seluruh komponen bangsa berkewajiban menempatkan Pancasila sebagai fondasi gerak bagi kemajuan bangsa

Persoalan ini tentunya menyentuh sisi-sisi moralitas (baca:etis) dari keberadaan manusia itu sendiri. Etika sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua, mencoba memberikan panduan atas persoalan-persoalan yang terjadi di tengah kemelut eksisten-sial kemanusiaan. Bukan saja dalam kehidupan hari ini, pada masa lampau pun etika dalam bentuknya yang masih sederhana sudah mulai melakukan langkah-langkah yang elegan bagi menuntun ma-nusia ke arah yang lebih baik. Sebagai sebuah refleksi ilmiah ten-tang tingkah laku manusia dari sudut norma-norma atau dari sudut baik dan buruk, etika mendasarkan dirinya pada aspek normatif. Normativitas inilah yang kemudian merupakan sudut pandang yang khas dan sekaligus yang membedakan etika dengan disiplin ilmu lain yang membahas tingkah laku manusia.18

Disinilah kemudian Pancasila sebagai falsafah negara Indone-sia memberikan sebuah sudut pandang yang luas-mendalam terha-dap persoalan-persoalan kemanusiaan universal bangsa Indonesia. Melalui sila-sila yang ada di dalam Pancasila, bangsa Indonesia di-harapkan menjadi sebuah negara-bangsa yang di samping kuat-ko-koh terhadap dimensi spritualitasnya, juga memiliki landasan yang sangat mengakar pada nilai-nilai kemanusiaannya sendiri. Hal ini-lah yang digambarkan oleh Notonagoro tentang keterkaitan antara sila pertama dengan sila-sila berikutnya di dalam Pancasila.19

Ke-Tuhan-an merupakan pijakan utama sekaligus acuan bagi pembentukan tata-kehidupan yang berpri-kemanusiaan, yang di dalam sila kedua lebih dikonsentrasikan pada aspek “adil dan be-radab”. Ke-Tuhan-an menjadi sebuah landasan ontologis sekaligus epistemologis di dalam merancang-bangun sebuah peradaban In-

17 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, cet. Ke-9, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hal. 46.

18 K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994. hlm. 25.19 Notonagoro, Op. Cit. hal. 46-66.

Page 76: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

76 Cita Hukum Pancasila

donesia yang berurat-berakar pada nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Dari dua landasan ini akan melahirkan sebuah normativi-tas (aksiologis) kehidupan yang mencerdaskan sekaligus berefek mencerahkan.

Dari pemaham di atas, minimal ada tiga cara berfikir etis yang dapat dijadikan dasar penilaian kritis atas tindakan kita sebagai warga masyarakat yang menjadikan pancasila sebagai grundnorm terlebih lagi bagi aparat penegak hukum.20

a. Etika Deontologis

Etika deontologis adalah cara berfikir etis yang mendasarkan diri pada prinsip atau norma objektif (hukum ataupun norma-norma moral, agama dan adat istiadat, dll) yang dianggap harus berlaku dakam situasi dan kondisi apapun. Pendekatan etika de-ontologis bersifat rule driven, yang menilai moralitas dari suatu tin-dakan didasarkan pada tindakan yang ditentukan oleh aturan yang menjadi rujukan. Tokoh utama deontologis adalah Immanuel Kant, yang mengajukan dua ukuran objektif untuk menyatakan suatu tin-dakan itu secara etis “benar” atau “salah”. Prinsip pertama, menurut Kant yaitu bertindaklah atas dalil, bahwa apa yang anda lakukan itu dapat berlaku sebagai hukum yang bersifat universal. Artinya, apa yang kita lakukan itu “benar” apabila dimanapun dan kapan-pun adalah yang seharusnya dilakukan oleh siapapun. Prinsip ke-dua, adalah tindakan itu benar apabila memeperlakukan manusia, baik itu orang lain atau diri sendiri, di dalam setiap hal, sebagai tu-juan dan bukan sekedar sebagai alat, sehingga setiap tindakan yang memperlakukan manusia sebagai objek, bukan sebagai subjek yang penuh sebagai manusia, maka tindakan tersebut adalah salah.

Dalam kedua prinsip tersebut menurut Kant terkandung “ke-wajiban moral” sebagai dasar tindakan etis. Kewajiban moral yang melekat pada tugas, posisi, status, jabatan adalah menjadi dasar tindakan etis dan karenanya mutlak harus dilakukan, bersifat im-peratif kategoris. Tugas adalah suatu perintah normatif, dan oleh karena itu merupakan kewajiban yang harus dilakukan tanpa

20 Bernard L. Tanya, Penegak Hukum Dalam Terang Etika, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011, hal. 12.

Page 77: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

77Cita Hukum Pancasila

syarat, seperti kewajiban bersikap adil, berlaku jujur dan menghor-mati hak orang lain dalam sistem peradilan pidana.

b. Etika Teleologis

Etika teleologis adalah cara berfikir etis yang memberi teka-nan pada tujuan dan akibat dari sebuah tindakan. Tindakan yang berangkat dari tujuan yang luhur, apalagi berakibat baik, akan baik secara etis, sebaliknya setiap tindakan dilakukan dengan tujuan ja-hat, akan jahat secara etis. Menurut John Stuart Mill yang berali-ran utilitarianisme, yang menjadi ukuran baik berdasarkan pada dalil “The gratest good for the greatest number”, sebuah tindakan dikatakan baik apabila “membawa kebaikan yang paling besar bagi sebanyak mungkin orang”.

c. Etika Kontekstual (Etika Situasi),

Etika Kontekstual adalah cara berfikir etis untuk mengambil tindakan yang paling tepat/pantas dan paling dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan situasi konkret. Jadi penilaian etis tidaknya suatu tindakan, sanagat tergantung pada situasi konkret. Jika etika deontologis mendasarkan tindakan etis bardasarkan kewajiban moral yang melekat pada tugas, maka etika kontekstual menempuh jalan lain yakni apa yang secara kontekstual paling tepat dan paling dapat di pertanggung jawabkan. Etika kontekstual meyakini bahwa tidak ada tindakan ataupun keadaan yang dalam dirinya baik atau jahat. Baik atau jahat tergantung pada konteks situasi. Yang men-jadi pusat dari etika kontekstual adalah “cinta kasih pada sesama”.

Ketiga cara berfikir etis yang diuraikan di atas, bukan untuk di-pilih melainkan untuk dimanfaatkan, karena mansing-masing me-miliki kebenarannya sendiri-sendiri, juga kekurangannya masing-masing. Yang penting adalah selalu berusaha semaksimal mungkin untuk mengambil keputusan dengan memilih dan menentukan tin-dakan yag paling benar, paling baik dan tepat.

Kaidah hukum yang tersedia, dalam situasi tertentu mungkin tidak memadai dijadikan landasan untuk bertindak etis menurut konteks tertentu. Oleh karena itu, dalam hukum terdapat ruang

Page 78: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

78 Cita Hukum Pancasila

yang disebut “diskresi” untuk mengambil tindakan yang paling te-pat/pantas dan paling dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan dua kondisi yaitu “necessary evil” (tindakan yang diambil terpaksa dan mungkin jahat karena tidak ada jalan lain) dan “the lesser evil” (mengambil tindakan yang memiliki resiko paling kecil). 21

Oleh karena itu dibutuhkan kesadaran etis (modal moralitas) yang memadai agar tugas dan kewajiban yang diemban aparat pe-negak hukum dapat di tunaikan secara benar, baik dan tepat, dan untuk itu di butuhkan penegak hukum yang memiliki moralitas pa-ling tidak pada salah satu tipe dari ketiga tipe yaitu: Pertama, “mo-ralitas taat asas” yang merujuk pada suatu kepentingan atau hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum objektif yang tidak hanya berlaku untuk satu-satu kelompok saja, tetapi hukum yang mempunyai keabsahan yang lebih jelas, yakni hukum negara. Aparat penegak hukum yang memiliki level “moralitas taat asas” akan melakukan atau tidak malakukan sesuatu dalam penegakan hukum, dengan bertanya apakah hukumnya.

Kedua, “moralitas akal kritis” yang mempertanyakan eksisten-si suatu kaidah (hukum) menurut fungsinya, bilamana hukun yang ada tidak lagi dapat memenuhi fungsinya, ia harus diubah. Hukum yang mutu dan lebih baik harus di ciptakan. Inilah yang mendasari terjadinya reformasi hukum, termasuk reformasi sistem penegakan hukum.

Ketiga, “moralitas hati nurani” sebagai moralitas puncak, pan-tang menghianati hati nurani dan keyakinan tentang yang benar dan yang baik. Visi dan misi yang melekat pada “moralitas hati nurani” jelas yaitu demitegaknya harkat dan martabat seluruh umat manusia. Seoarang penegak hukum yang memiliki “moralitas hati nurani” akan mempertaruhkan tindakannya, apapun resiko-nya demi untuk menegakkan hukun dan memajukan harkat dan martabat manusia.22

21 Ibid. 24.22 Bernard L. Tanya dan Yovita A. Mangesti, Moralitas Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing,

2014, hal. 116-117.

Page 79: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

79Cita Hukum Pancasila

Peraturan Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA): Privatisasi hingga Liberalisasi

Permasalahan terkait sumber daya air terjadi di seluruh bela-han dunia, termasuk di Indonesia. Sumber daya air telah dieksploi-tasi secara besar-besaran yang pada gilirannya berdampak pada terbatasnya ketersediaan air. Kebijakan air di Indonesia mengalami perubahan dan tantangan dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh berbagai hal misalnya agenda donor (funding agency), peruba-han kebijakan pemerintah, dinamika dan tipikal pemangku kepen-tingan di level pengelolaan sumber daya air hingga layanan air.

Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) pasca reformasi berdasar-kan UU No. 7 Tahun 2004. Namun sangat disayangkan karena UU SDA ini telah melegalkan keterlibatan pihak swasta dalam proses pengelolaan air tanpa kendali dan pengawasan (privatisasi). Hal ini tentu masalah sangat serius karena menggeser makna air yang se-belumnya merupakan barang publik berubah menjadi komoditas yang lebih mementingkan aspek ekonomi yang akhirnya berorien-tasi pada mencari keuntungan (profit). Pergeseran makna ini ter-lihat dalam pengaturan mengenai hak guna usaha air yang dapat diberikan kepada swasta tanpa kendali dan pengawasan. Air sering diperlakukan seakan-akan merupakan sumber daya yang melim-pah dan tak ada habisnya, yang karenanya sering disia-siakan. Se-mentara di sisi lain air kini telah menjadi potensi konflik yang nyata, dan kasus kelangkaan air merebak di berbagai daerah, terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sulitnya akses air dan kekeringan yang melanda berbagai daerah serta pesatnya pertumbuhan penduduk makin membuat air menjadi barang mewah. Bahkan sejak tahun 2009, PBB telah mene-gaskan bahwa telah terjadi krisis air yang parah, sehingga negara-negara harus ikut serta dalam gerakan transboundary water, yaitu saling berbagi air antar negara.

Keputusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 Tanggal 18/2/2015 yang membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) disebabkan oleh adanya praktek Privati-

Page 80: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

80 Cita Hukum Pancasila

sasi23 hingga Liberalisasi24 SDA. Hal tersebut dapat kita lihat pada: Pertama, liberalisasi air dilegalisasi oleh Pasal 6 ayat (2), Pasal 6 ayat (3), Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), Pasal 29 ayat (3), Pasal 40 ayat (4) dan Pasal 49 UU (SDA).

Kedua, Membuka peluang terjadinya privatisasi pengelolaan sumber daya air oleh swasta dan mengabaikan peran badan usaha negara, seperti BUMN dan BUMD, Pasal 9 Ayat (1) dan Pasal 45 Ayat (3) UU SDA yang menyatakan: “pengusahaan sumber daya air... dapat dilakukan oleh perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antar badan usaha”.

Ketiga, akibat dari liberalisasi air maka monopoli sumber daya air tidak dapat dibantah lagi. Hal itu dapat dilihat dari data Kom-pas25 bahwa perusahaan air minum kemasan di pulau jawa kurang

23 Privatisasi dalam sektor air, adalah mengalihkan sebagian atau seluruh aset/pengelolaan dari perusahaan-perusahaan publik yang mengelola sumberdaya air (misalnya PDAM) ke tangan pihak swasta. Ada banyak bentuk privatisasi sumberdaya air. Mulai dari hanya mengalihkan tanggung jawab pemerintah ke pihak swasta dalam mengelola sistem pelayanan air bersih, atau dialihkan secara lebih menyeluruh bukan hanya dalam pengelolaannya, tapi juga dalam hal kepemilikannya. Atau, yang lebih gawat lagi, penjualan sebuah sumberdaya air yang menjadi hak masyarakat lokal (hak masyarakat adat, hak ulayat) ke tangan pihak swasta. Saat ini, usaha tawaran dan usaha untuk memprivatisasi air/sumberdaya air makin meningkat. Datangnya, dari perusahaan-perusahaan raksasa trans-nasional (TNCs). Instrumennya, melalui kebijakan-kebijakan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional. Lihat, Nadia Hadad, Privatisasi Air Indonesia, Background Paper INFID Tentang Privatisasi Air, 2003, hlm.6. Privatisasi juga bisa dimaknai, Secara konsepsional, ada beberapa bentuk pengalihan kepemilikan/penguasaan atas air yang dapat disebut privatisasi: Pertama, outsourcing, artinya lembaga pemerintahan melimpahkan sebagian kewajibannya kepada pihak ketiga. Kedua, Design, Build, Operate (DBO) berupa negosiasi kontrak terhadap pihak swasta untuk pekerjaan desain dan konstruksi, seringkali diiringi dengan peremajaan dan peningkatan fasilitas. Ketiga, Kemitraan publik-privat, yang merujuk pada persetujuan antara pemerintah lokal dengan organisasi swasta, di mana kedua pihak membagi tugas dan tanggung jawab secara relatif seimbang.

24 Liberalisme berkaitan dengan kata Libertas (bhs. latin) yang artinya kebebasan, dan Liberalisme mencakup banyak aliran yang berbeda artinya di bidang politik, ekonomi dan keagamaan, yang berpangkal tolak pada kebebasan orang-perorangan terhadap kekuasaan apapun (A. Heuken SJ: Ensiklopedi Gereja). Liberalisme dapat dimengerti sebagai (1) tradisi politik (2) filsafat politik dan (3) teori filsafat umum, mencakup teori nilai, konsepsi mengenai orang dan teori moral sama halnya dengan filsafat politik. ... Di Perancis, liberalisme lebih dekat dikaitkan dengan sekularisme dan demokrasi (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2003).

Berangkat dari definisi di atas maka dapat kita gambarkan tentang konsep dasarnya dan tujuan Liberalisasi tersebut yaitu bagaimana meminimalisir peranan negara dalam perekonomian, sementara yang lebih ditonjolkan adalah peran sektor swasta, dan lembaga-lembaga internasional yang bergerak di bidang ekonomi .

25 Kompas, 2 Maret 2015.

Page 81: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

81Cita Hukum Pancasila

lebih 100 perusahaan swasta. Keempat, efek dari leiberalisasi maka air menjadi objek komoditas yang diperdagangkan (economic good), sehingga harga air bergantung pada penawaran dan permin-taan pasar. 26

Air dijadikan sebagai objek komoditas ekonomi jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang meyatakan bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya digunakan demi dan un-tuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Air, seharusnya, ber-fungsi sebagai barang milik publik (public good) dengan kewena-ngan penuh Negara untuk mengatur dan mengelolanya.

Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) Berbasis Etika Pancasila.

Bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa besar jika me-ngabaikan nilai-nilai dasar dari kehidupannya. Nilai-nilai dasar itu sesungguhnya tercermin dari sila-sila pancasila. Pancasila yang lahir dan tumbuh di tengah-tengah budaya dan kehidupan bangsa Indonesia, seharusnya dijadikan sebagai sebuah landasan kuat-kokoh bagi mewujudkan kesejahteraan yang berkemajuan dan berkeadaban.

Pada hakikatnya, kebutuhan akan mereposisi kembali (baik secara konseptual maupun kontekstual) pemaknaan terhadap Pan-casila sebagai sebuah landasan ideologis-filosofis menjadi kebutu-han mendesak terutama dalam pengelolaan sumber daya air (SDA) berbasis etika pancasila. Seharusnya Pancasila dimaknai secara utuh dan saling bertautan serta melengkapi. Dengan kata lain, keti-dakhadiran sebuah asas pancasila dalam pengelolaan sumber daya air (SDA) baik secara konseptual maupun praktek, maka akan men-jadikan negara ini cacat secara permanen. Misalnya, ketika berbi-cara konsep dan praktek keadilan pada butir ke-V, maka akan men-jadi sebuah kesia-siaan apabila kita melupakan konsep dan praktek kepemimpinan yang beradab pada butir ke-IV. Oleh karena itu, kita butuh pemimpin yang berpihak kepada rakyat terutama pada pe-

26 Agus Riyanto, Kembalinya Hak Negara Dan Kesiapan Pengelolaan Sumber Daya Air Di Indonesia, 2015 http://business-law.binus.ac.id/2015/03/20/kembalinya-hak-negara-dan-kesiapan-pengelola- an-sumber-daya-air-di-indonesia/. Diakses, 7 Mei 2016.

Page 82: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

82 Cita Hukum Pancasila

ngelolaan sumber daya air (SDA) yang berbasis pada etika panca-sila sehingga dengan demikian dapat terwujud keadilan sosial.

Kita membutuhkan pancasila kembali, karena merupakan proses negosiasi terus menerus dari sebuah bangsa yang tak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa “eka”, dan tak ada yang bisa sepenuh-nya meyakinkan bahwa dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu yang Maha Benar. Kita membutuhkan pancasila kembali, seperti saya katakan di atas, kita hidup di sebuah zaman yang makin menyadari ketidaksempurnaan nasib manusia.

Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) yang berbasis etika pan-casila dapat kita lihat pada tabel dibawah ini27:

Tabel.1.1

Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) yang Berbasis Etika Pancasila

Etika dan Moralitas PancasilaPengelolaan Sumber Daya Air (SDA)

yang Berbasis Etika PancasilaNilai dasar yang tertuang

dalam sila pertama Pancasila adalah nilai ketuhanan. Nilai ketuhanan menyangkut keya-kinan dan kepercayaan. Aspek etis yang dilahirkan dari sila per-tama Pancasila adalah moralitas ketuhanan.

Berdasarkan moralitas ke-tuhanan. Artinya, pengelolaanya harus mengedepankan nilai-nilai ketuhanan dan harus dapat dipa-hami sebagai bentuk pemenuhan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Nilai kemanusiaan yang terdapat dalam sila kedua merepresentasikan kedudukan manusia yang sederajat dan bermartabat. Dalam nilai kema-nusiaan juga melekat atribut adil dan beradab yang mempertegas orientasi kemanusiaan berdasar Pancasila

Berdasarkan moralitas manu-sia beradab. Artinya, pengelolaanya harus melibatkan masyarakat dan mendatatangkan kebermanfaatan bagi orang banyak, karena me-nyangkut bagi hajat hidup kolektif.

27 Tabel di atas merupakan hasil renungan penulis dan bersumber pada artikel: Mulia Ardi, Etika Perpajakan Berbasis Etika Pancasila, Jurnal Madani Edisi I/ Mei 2012.

Page 83: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

83Cita Hukum Pancasila

Sila ketiga memuat nilai dasar persatuan. Persatuan juga merupakan modalitas utama dalam mengintegrasikan selu-ruh kepentingan dan memeliha-ra kohesivitas yang melekatkan entitas bangsa ini dalam satu bingkai kebangsaan

Berdasarkan nilai dasar per-satuan. Artinya, pengelolaanya harus mengintegrasikan seluruh kepentingan dan memelihara ko-hesivitas yang melekatkan entitas bangsa ini bukan privatsiasi atau komersialisasi yang menguntung-kan orang atau institusi tertentu

Nilai kerakyatan menegas-kan bahwa orientasi sesungguh-nya dari keberadaan bangsa ini harus bermuara pada kepenti- ngan rakyat. Rakyat adalah kekuatan terbesar yang me-nentukan harapan dan cita-cita bangsa.

Berdasarkan orientasi kerak-yatan. Artinya, pengelolaannya di-manifestasikan melalui keikutser-taan rakyat dalam kebijakan yang diambil pemerintah agar berorien-tasi pada kepentingan rakyat. Se-hingga pengelolaannya berdasrkan pada nilai-nilai kearifan dan kebi-jaksanaan bukan “pasar”.

Sila terakhir Pancasila yaitu sila kelima memuat nilai keadilan sosial yang ditujukan bagi seluruh bangsa Indonesia. Melalui sila ini, pemerintah me-mastikan bahwa siapapun akan memperoleh haknya berdasar-kan pada kewajiban-kewajiban yang melekat di dalamnya.

Berdasarkan keadilan sosial. Artinya, pengelolaannya berori-entasi pada upaya mewujudkan keadilan sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. pemerintah harus me-mastikan bahwa siapapun akan memperoleh haknya (akses) untuk mendapatkan air besrih, kapanpun dan dimanapun diseluruh wilayah Indonesia.

Keberadaan nilai-nilai universal dalam pancasila semestinya terpatri dalam setiap aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai tersebut menjadi fondasi bagi keber-langsungan pembangunan. Pembangunan harus dilandasi dengan nilai-nilai dasar Pancasila. Dalam kerangka inilah, etika Pancasila diwujudkan untuk menjembatani realitas masyarakat, bangsa dan negara dengan idealitas yang merupakan harapan dan cita-cita bangsa Indonesia. Keberadaan etika Pancasila diperlukan guna

Page 84: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

84 Cita Hukum Pancasila

mengkondisikan pemerintah dan rakyat untuk selalu berada pada tujuan semula pendirian bangsa.

Berdasarkan pengelolaan sumber daya air (SDA) yang berba-sis etika pancasila di atas maka model pengelolaan sumber daya air (SDA) dalam RUU sumber daya air yang baru, kiranya perlu un-tuk lebih mengakomodasi partisipasi masyarakat dan organisasi masyarakat, seperti lembaga swadaya masyarakat dengan ditem-patkan pada posisi yang lebih memadai dalam konteks untuk men-dorong tumbuhnya masyarakat madani (civil society).

Atas dasar itulah, kiranya masyarakat terus didorong dan diisi dengan semangat untuk memperbesar dan memperkuat eksistensi dirinya dalam mewujudkan RUU Sumber daya air yang didasarkan kepada beberapa prinsip, Pertama, tanggungjawab negara sebagai pemegang amanat kekuasaan atas sumber daya air (SDA) dan ada-nya jaminan untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada negara terse-but tidak boleh mengesampingkan pemegang kedaulatan, yakni rakyat berupa hak-hak rakyat atas sumber daya air (SDA) sebagai bagian dari hak asasi manusia. Kedua, memperkuat hak-hak ma-syarakat sebagai pemegang kedaulatan negara. Oleh karena, itu pengelolaaan sumber daya air (SDA) harus dikuasai oleh negara sebagai orgaisasi kekuasaan rakyat, bukan oleh pemilik modal atau pengusaha yang hanya berorientasi pada keuntungan semata.

RUU sumber daya air (SDA) yang baru harus menempatkan masyarakat pada akses yang lebih besar dalam rangka memperkuat daya tawar masyarakat menuju civil society. Akses masyarakat tersebut meliputi akses informasi publik, akses partisipasi, dan akses keadilan dengan lebih mengakomodasi hak-hak masyarakat atas sumber daya air dan kewajiban negara untuk menjamin hak tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

PenutupPengelolaan sumber daya Air (SDA) berbasis etika pancasila

yang penulis tawarkan pada tulisan ini adalah: Pertama, berdasar-

Page 85: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

85Cita Hukum Pancasila

kan moralitas ke-Tuhan-an. Artinya, pengelolaanya harus mengede-pankan nilai-nilai ke-Tuhan-an dan harus dapat dipahami sebagai bentuk pemenuhan tanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kedua, berdasarkan moralitas manusia beradab. Artinya, pengelolaanya harus melibatkan masyarakat dan mendatatang-kan kebermanfaatan bagi orang banyak, karena menyangkut hajat hidup kolektif.

Ketiga, berdasarkan nilai dasar persatuan. Artinya, pengelo-laanya harus mengintegrasikan seluruh kepentingan dan memeli-hara kohesivitas yang melekatkan entitas bangsa ini, bukan privati-siasi atau komersialisasi yang menguntungkan orang atau institusi tertentu.

Keempat, berdasarkan orientasi kerakyatan. Artinya, pengelo-laannya dimanifestasikan melalui keikutsertaan rakyat dalam kebi-jakan yang diambil pemerintah agar berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga pengelolaannya berdasarkan pada nilai-nilai ke-arifan dan kebijaksanaan bukan “pasar”.

Kelima, berdasarkan keadilan sosial. Artinya, pengelolaannya berorientasi pada upaya mewujudkan keadilan sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. pemerintah ha-rus memastikan bahwa siapapun akan memperoleh haknya (akses) untuk mendapatkan air bersih, kapanpun dan dimanapun diselu-ruh wilayah Indonesia.

ooo

Page 86: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

86 Cita Hukum Pancasila

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam, Yogyakarta: Surya Raya, 2004.

Anton F. Susanto, Ilmu Hukum Non-Sistematik, Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.

Drijakara, Drijakara Tentang Negara dan Bangsa, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Hyuronimus Rhiti, Filsafat Hukum (Edisi Lengkap), Yogyakarta: Uni-versitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011.

K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.

L. Tanya, Bernard, Pancasila Bingkai Hukum Indonesia, Cetakan Per-tama, Yogyakarta: Genta Publishing, 2015.

________________, Penegak Hukum Dalam Terang Etika, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011.

_________________ dan Yovita A. Mangesti, Moralitas Hukum, Yogyakar-ta: Genta Publishing, 2014.

Mahadev Bhat, Athena Stamatiades, Institutions, Incentives, and Resource Use Conflicts: The Case of Biscayne Bay, Flor-ida, Population and Environment, Vol. 24, No. 6, Resto-ring the Florida Everglades: Balancing Population and Environment Jul., 2003.

Makinuddin & Sasongko, Analisis Sosial: Bersaksi dalam Advokasi Irigasi, Bandung: AKATIGA, 2006.

Mulia Ardi, Etika Perpajakan Berbasis Etika Pancasila, Jurnal Mada-ni Edisi I/ Mei 2012.

Page 87: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

87Cita Hukum Pancasila

Nadia Hadad, Privatisasi Air Indonesia, Background Paper INFID Tentang Privatisasi Air, 2003.

Notonagoro, Pancasila secara Ilmiah Populer, cet. Ke-9, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Rikardo Simarmata, Digest Law, Society & Development, Volume I Desember 2006-Maret 2007.

Riyanto, Agus, Kembalinya Hak Negara Dan Kesiapan Pengelolaan Sumber Daya Air Di Indonesia, 2015http://business-law.binus.ac.id/2015/03/20/kembalinya-hak-negara-dan-kesiapan-pengelola-an-sumber-daya-air-di-indo-nesia/. Diakses, 7 Mei 2016

Yudi Latif, Negara Paripurna, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2011.

Page 88: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

88 Cita Hukum Pancasila

Page 89: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

89Cita Hukum Pancasila

MEMBANGUN HUKUM

PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA ERA

GLOBALISASI DALAM PERSPEKTIF ETIKA

PANCASILA

Oleh: Mohamad Tohari, S.H., M. Hum

Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNDARIS Semarang

Page 90: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

90 Cita Hukum Pancasila

PendahuluanMasalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicara-

kan. Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Selama masih banyak konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak pada era globalisasi sekarang ini.

Memasuki era baru (globalisasi) saat ini bagi masyarakat In-donesia di dalam rangka membangun hukum nasional dihadapkan pada tekanan-tekanan globalisasi perdagangan bebas. Globalisasi telah merambah hampir kesemua ranah kehidupan masyarakat, sehingga diperkirakan bakal muncul suatu global society1 dengan kualifikasi global seperti: global economic, global education, global human condition, global humanity, global order, dan global village.

Globalisasi di bidang ekonomi (global economic) telah men-dorong integrasi ekonomi global yang mendorong oleh aliran uang dan informasi pada satu sisi, perdagangan dan investasi pada sisi lain.2 Teknologi komunikasi dan transportasi berkembang sema-kin canggih sehingga mempermudah aktifitas ekonomi. Keaneka-ragaman dan kecanggihan produk barang dan jasa juga merupakan konsekuensi dari globalisasi ekonomi.3

Dalam kegiatan bisnis terdapat hubungan yang saling mem-butuhkan antara produsen dengan konsumen. Namun hubungan demikian ini seringkali memunculkan ketidaksetaraan posisi di-antara keduanya. Secara umum hubungan antara produsen de-ngan konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena kedua-nya (produsen-konsumen) saling menghendaki dan mempunyai

1 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Suryandaru Utama, 2005, hal. 71.

2 Baca Budi Winarno, Globalisasi Peluang atau Ancaman Bagi Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2008, hal. 56.

3 Sebagaimana dinyatakan oleh Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991, hal. 66-68.

Page 91: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

91Cita Hukum Pancasila

tingkat ketergantungan yang cukup tinggi.4 Kepentingan pelaku usaha (produsen) adalah memperoleh laba dari transaksi dengan konsumen, sedangkan kepentingan konsumen adalah memperoleh kepuasan5 melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk ter-tentu. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan munculnya dampak negatif yang dirasakan oleh konsumen, misalnya beredar-nya produk yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan keamanan, membahayakan konsumen bahkan dapat menimbulkan korban jiwa.

Upaya mewujudkan hubungan kemitraan antara produsen dan konsumen, untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen melalui peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemam-puan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh-kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung-jawab sehingga terwujud perlindungan konsumen yang mengarah pada upaya yang menjamin adanya kepastian hukum bagi kon-sumen. Maka pembangunan hukum perlindungan konsumen yang berbasis etika dalam perspektif pancasila mutlak harus dilakukan.

Etika merupakan cabang falsafah dan sekaligus merupakan suatu cabang dari ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Sebagai cabang falsafah yang membahas sistem-sistem pemikiran yang mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Sebagai cabang ilmu ia membahas bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu. Etika sebagai ilmu dibagi dua, yaitu etika umum dan etika khusus.

Etika umum membahas prinsip-prinsip umum yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. Dalam falsafah Barat dan Timur, se-perti di Cina dan seperti dalam Islam, aliran-aliran pemikiran etika beranekaragam. Tetapi pada prinsipnya membicarakan asas-asas dari tindakan dan perbuatan manusia, serta sistem nilai apa yang

4 Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi. Bandung: CV. Mandar Maju, 2000, hal. 80. Baca pula Husni Syawali, dkk (ed.), Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: CV. Mandar Maju, 2000, hal.36. Baca juga Sanusi Bintang & Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal.107.

5 Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (hasil) suatu produk yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Harapan pelanggan (konsumen) merupan perkiraan atau keyakinan tentang apa yang akan diterima bila ia membeli atau mengkonsumsi suatu produk.

Page 92: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

92 Cita Hukum Pancasila

terkandung di dalamnya. Etika sebagai cabang ilmu membahas bagaima-na dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu. Etikasosial me-liputi cabang etika yang lebih khusus seperti etika keluarga, etika profesi, etika bisnis, etika lingkungan, etika pendidikan, etika ke-dokteran, etika jurnalistik, etika seksual dan etika politik. Pancasila merupakan nilai dasar yang menjadi rambu-rambu bagi politik hukum nasi-onal. Nilai-nilai dasar itu kemudian melahirkan empat kaidah penuntun hu-kum6 yang harus dijadikan pedoman dalam pembangunan hukum termasuk dalam hal ini adalah pembangunan hukum perlindungan konsumen.

Empat kaidah itu meliputi, pertama hukum Indonesia harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa, baik secara teritorial maupun ideologis. Pan-casila sebagai dasar negara Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen merupakan Grundnorm ataupun menurut Teori Hans Nawiasky disebut sebagai Staatsfundamentalnorm. Dalam hal ini menurut A. Hamid S. Attamimi secara eksplisit bahwa Pancasila adalah norma funda-mental negara (Staatsfundamentalnorm)7 Republik Indonesia. Pancasila memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik di negara ini. Di setiap saat dan dimana saja kita berada kita diwajibkan untuk beretika di setiap tingkah laku kita.

Pancasila sebagai norma dasar dijadikan tuntunan dalam pe-nyusunan tata hukum Indonesia, menurut Bernard L. Tanya8 ada delapan bingkai Pancasila sebagai gugus nilai yang melekat pada Pancasila sehingga layak menjadi normar dasar bagi tata hukum In-donesia. Bagi hukum, delapan bingkai tersebut, berfungsi sebagai norma dasar yang memberi pondasi moral-etik. Bingkai pertama adalah merawat Ke-Indonesia-an, memberi misi bagi hukum, hu-kum Indonesia memiliki misi utama yaitu mewujudkan Indonesia menjadi “rumah bagi semua penghuninya (yang majemuk) untuk hidup tentram di dalamnya. Bingkai kedua dari Pancasila, memberi landasan etos cara berhukum, yaitu etos sosial yang mengedepank-an kejujuran, ksatria, berani bertanggungjawab, taat asas, pantang

6 http://indah-widjaya.ac.id, “Etika Dalam Perspektif Pancasila Yang Mengarah Pada Perlindungan Konsumen”, diunduh 1 Mei 2016, 20.00 WIB.

7 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori & Ilmu Hukum (Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartaabat), Raja grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal, 384.

8 Bernard L Tanya, Theodorus Yosep Parera, & Samuel F. Lena, Pancasila Bingkai Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2015, hal, 13.

Page 93: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

93Cita Hukum Pancasila

ingkar janji, memihak kebenaran, menjunjung keadilan, patuh dan setia pada aturan main bersama.

Bingkai ketiga, (lebensphilosophie), memberikan konteks eksistensial bagi hukum Indonesia. Hukum Indonesia adalah hu-kum bagi kehidupan bersama dalam rumah Indonesia. Kehidupan bersama ini adalah kehidupan yang didasarkan pada sikap gotong royong untuk mewujudkan kebaikan. Bingkai keempat, semangat menyelenggarakan segala yang benar, adil, dan baik se-bagai inti-sari dari sila Ke-Tuhanan, memberikan landasan moral-etik pada hukum Indonesia. Penyelenggaraan hukum pada semua level, ha-rus bertitik tolak dari semangat untuk melakukan yang benar, adil, dan baik. Bingkai kelima, keharusan merawat nilai kemanusiaan, keadilan, dan keadaban, memberikan dasar normatif bagi hukum Indonesia, Bingkai keenam, adalah keharusan merawat integrasi nasional, memberikan fondasi kebangsaan pada hukum Indonesia agar mengedepankan kepentingan persatuan nasional diatas loy-ali-tas-loyalitas primordial sempit suatu golongan atau kelompok.

Bingkai ketujuh, adalah keharusan merawat kerakyatan/de-mokrasi yang berhikmat dan bijaksana, memberikan fondasi ker-akyatan pada hukum. Hukum harus pro-rakyat. Bingkai kedelapan, adalah keharusan merawat keadilan sosial dalam hidup berma-syarakat. Nilai dan spirit mulia dalam delapan bingkai itulah yang dapat dipandang sebagai kelebihan Pancasila diban-dingkan den-gan grundnorm-nya Kelsen.9 Pancasila mengandung content nilai-nilai dasar yang spesifik untuk dijadikan bingkai tata hukum, se-dangkan grundnorm-nya Kalsen ibarat gelas kosong yang bisa diisi apa saja dengan sejuta kemungkinan, baik atau buruk.

Lahirnya UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Kon-sumen (UUPK) merupakan secercah harapan positif bagi kon-sumen. Banyak aspek yang dapat dipelajari dari lahirnya undang-undang ini beserta segala peraturan yang mengiringinya, atau peraturan sebelumnya yang terkait. Berdasarakan pemaparan tersebut, penulis mendiskusikan bagaimanakah membangun hu-kum perlindungan konsumen pada era globalisasi yang berbasis etika dalam perspektif pancasila ?9 Ibid, hlm. 27.

Page 94: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

94 Cita Hukum Pancasila

Pengertian etikaEtika adalah Ilmu tentang norma-norma tingkah laku manu-

sia sebagai manusia.10 Pengertian lain dari etika adalah suatu ilmu yang menggunakan tingkah laku manusia sebagai objeknya dan memiliki cara pandang yang normatif karena dapat dilihat sisi posi-tif dan negatif dari tingkah laku manusia tersebut.11Etika berbicara tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia sebagai manusia: tentang apa yang “benar”, apa yang “baik”, dan apa yang “tepat”.12

Etika adalah menyangkut keyakinan mengenai nilai-nilai. Dan menurut Robert M. Steeman, nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, sesuatu yang memberi makna kepada kehidupan; yang memberi kepada hidup ini titik-tolak, isi, dan tujuan. Nilai mewar-nai dan menjiwai tindakan seseorang.

Etika merupakan cabang falsafah dan sekaligus merupakan suatu cabang dari ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi, menjadi beberapa cabang menurut lingku-ngan masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok ba-hasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat pertamaberisi tentang segala sesuatu yang ada sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Misalnya haki-kat manusia, alam, hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan, tentang pe-ngetahuan, tentang apa yang kita ketahui dan tentang yang transenden. Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus.

Thomas Aquinas salah satu tokoh ajaran hukum kodrat, mengatakan bahwa hukum harus didasarkan pada etika. Artinya hukum harus memiliki fondasi etik, dan fondasi etik itu, harus beranjak dari kodrat manusia. Yang menjadi kodrat manusia menurut Thomas Aquinas adalah kebaikan.

Jika Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum (grundnorm) yang oleh Notonagoro Pancasila ditempatkan sebagai Staatsfundamental-

10 Dossy Iskandar Prasetyo & Bernard L. Tanya, Hukum Etika & Kekuasaan, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011, hal. 16.

11 http://indah-widjaya.ac.id, Op. cit.12 Bernard L. Tanya, Penegakan Hukum Dalam Terang Etika, Yogyakarta: Genta Publishing,

2011, hal. 6.

Page 95: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

95Cita Hukum Pancasila

norm13, maka Pancasila ditempatkan ditempatkan sebagai landasan etik dari hukum. Pancasila tergali dari beragam nilai budaya bangsa dan kemudian menjadi bahan dasar (grundnorm) pembentukan hukum yang ideal.14 Filsafat hukum Pancasila tentunya secara logis mengutamakan sifat religius-komunal dibandingkan sifat individual. Penciptaan hukum bertujuan untuk melindungi masyarakat luas dan bukan megutamakan kepentingan individu. Jika kepent-ingan individu diutamakan, maka nilai itu bertentangan dengan landasan etik hukum Pancasila yaitu religius-komunal. Hukum yang diciptakan men-jadi gugur, ketika ia (hukum) bertentangan dengan landasan etik utamanya.Oleh karena itu, sudah sepantasnya bila dalam penyusunan UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengacu pada eti-ka yang ada dalam Pancasila dengan menggunakan delapan bingkai Pancasilasebagai acuannya.

Nilai-nilai yang Terkandung pada Ideologi PancasilaNilai-nilai luhur pancasila dapat dikatakan memperoleh ba-

nyak asupan globalisasi dari nilai-nilai yang berasal dari luar khu-susnya Islam. Konsep ide mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa ser-ta kemanusiaan pada dasarnya mengakomodasi nilai-nilai tauhid yaitu hubungan baik antara manusia dan Tuhan, serta hubungan baik antara sesama manusia. Nilai-nilai tauhid yang terdapat dalam kandungan sila Pancasila menjadi pedoman dalam bertingkah laku mendapat tantangan besar dalam konteks globalisasi dunia. Tan-tangan atas nilai-nilai dasar bangsa berhadapan dengan nilai-nilai baru yang tidak jarang mampu mengikis nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia.

Pancasila disadari merupakan hasil dari pemikiran para bapak bangsa untuk mengali dan merumuskan nilai-nilai tertinggi Bangsa Indonesia. Pancasila digali dari endapan-endapan filsufis bangsa, untuk itu ia dibutuhkan sebagai kendali bertindak bagi segenap warga bangsa. Pancasila selain sebagai komponen pokok sistem ni-

13 Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori & Ilmu Hukum (Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartaabat), Jakarta: Raja grafindo Persada, 2014, hal. 384.

14 Fokky Fuad Wasitaatmadja, Filsafat Hukum Akar Religiositas Hukum, Prenadamedia group, Jakarta, 2015, hal. 254.

Page 96: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

96 Cita Hukum Pancasila

lai hukum nasional dan staatsfundamentalnorms, termasuk dalam lingkup kefilsafatan Bangsa dan Negara Indonesia.15

Pendekatan filsafat terhadap hukum selalu mempertanyakan nilai yang mendasar dari hukum.16 Apakah hakekat hukum yang sesungguhnya, apakah kekuatan kekuatan mengikat dari hukum, apakah tujuan hukum. Filsafat hukum Pancasila berupaya meng-gali apakah hakekat hukum dalam kerangka filsafat hukum Pan-casila. Pancasila diletakan sebagai sumber segala sumber hukum, maka setiap aturan hukum yang memiliki posisi di bawah Pancasila sebagai grundnorm harus mendasarkan pada rasio-logisnya pada pancasila dan tidak boleh bertentangan dengannya (Pancasila). Dalam konteks penerapan nilai-nilai yang terkandung pada ideolo-gi Pancasila pada setiap aturan hukum dan perundang-undangan di Indonesia.

Dalam pandangan filsafat, nilai (value) sering dihubungkan dengan masalah kebaikan. Sesuatu dikatakan mempunyai nilai, apabila sesuatu itu berguna, benar (nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral), religius (nilai religi), dan sebagainya. Nilai itu ideal, bersifat ide. Karena itu, nilai adalah sesuatu yang abstrak dan tidak dapat disentuh dengan panca indera. Yang dapat ditangkap adalah barang atau laku perbuatan yang mengandung nilai itu.

Secara umum pengertian nilai adalah kualitas ketentuan yang bermakna bagi kehidupan manusia perorangan, masyarakat, bang-sa, dan Negara. Kehadiran nilai dalam kehidupan manusia dapat menimbulkan aksi dan reaksi, sehingga manusia akan menerima atau menolak kehadirannya. Konsekuensinya, nilai akan menjadi tujuan hidup yang ingin diwujudkan dalam kenyataan. Sehubungan dengan nilai-nilai pancasila yang berkembang di dalam masyarakat Indonesia, nlai-nilai seperti nilai keadilan dan keujuran merupakan nilai-niali yang selalu menjadi kepedulian manusia untuk dapat di-wujudkan dalam kenyataan. Sebaliknya, kezaliman dan kebohon-gan merupakan nilai yang selalu ditolak.

15 Absori, Kelik Wardiono,& Saepul Rochman, Hukum Profetik: Kritik Terhadap Paradigma Hukum Non-Sistematik, Genta Publishing, Yogyakarta, 2015, hal 314

16 Fokky Fuad Wasitaatmadja,Opcit, hal, 250.

Page 97: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

97Cita Hukum Pancasila

Implementasi Ideologi pancasila bersifat fleksibel dan interak-tif (bukan doktriner). Hal ini karena ditunjang oleh eksistensi ide-ologi pancasila yang memang sejak digulirkan oleh para founding fathers (pendiri negara) telah melalui pemikrian-pemikiran yagn mendalam sebagai kristalisasi yang digali dari nilai-nilai sosial-bu-daya bangsa Indonesia sendiri.

Nilai-nilai Pancasila itu menjadi roh dari hukum yang akan dibentuk, sehingga hukum yang berlaku memuat kesadaran akan bertuhan, memuliakan manusia, mempersatukan beragam golo-ngan, mengutamakan musyawarah, dan adil.17 Yang menurut Su-karno kelima nilai tersebut menyatu menjadi sebuah nilai utama yaitu nilai gotong royong. Hukum yang diciptakan akan diartikan sebagai hukum gotong royong, sebuah hukum yang membangun segenap komponen bangsa dalam sebuah kerjasama tradisional berupa gotong royong. Gotong royong bermakna adanya kebersa-maan dan sikap saling menolong diantara individu-individu dalam masyarakat.

Ideologi pancasila bersifat fleksibel karena mengandung nilai-nilai sebagai berikut:

a. Nilai Dasar

Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai-nilai yang memiliki sifat tetap (tidak berubah), nilai-nilai ini terdapat dalam Pembu-kaan UUD 1945 alinea keempat. Nilai-nilai dasar tersebut adalah Ketuhanan (sila pertama),nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan sosial. Nilai-nilai dasar ini relatif ti-dak dapat dirubah, dan menjadi dasar atau landasan pokok dan fun-damental bagi penyelenggara Negara Indonesia, yang akan dijabar-kan lebih lanjut menjadi nilai instrumental dan nilai praksis yang lebih bersifat fleksibel, dalam bentuk norma-norma yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

b. Nilai Instrumental

Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelak-sanaan dari nilai dasar. Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuh-

17 Ibid, hal, 252.

Page 98: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

98 Cita Hukum Pancasila

nya apabila belum memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas dan konkrit. Apabila nilai instrumental itu berkaitan de-ngan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka itu akan menjadi norma moral. Namun apabila nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi atau Negara, maka nilai instru-mental itu merupakan suatu arahan, kebijakan, atau strategi yang-bersumber pada nilai dasar sehingga dapat juga dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar. Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai instrumental dapat ditemukan dalam pasal-pasal undang-undang dasar yang merupakan penjabaran Pancasila. Oleh karena itu, dapat dikatakan disini bahwa nilai intrumental dari Pancasila merupakan nilai-nilai lebih lanjut dari nilai-nilai dasar yang dijabarkan secara lebih kreatif dan dinamis dalam bentuk UUD 1945, TAP MPR, dan peraturan perundang-undangan lainnya.

c. Nilai Praksis

Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam kehidupan yang lebih nyata dengan demikian nilai praksis merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai dasar dan nilai-nilai instrumental. Nilai praksis merupakan nilai-nilai yang sesungguhnya dilaksanakan dalam kehidupan nyata sehari-hari baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, mau-pun bernegara. Nilai praksis yang abstrak (misalnya menghormati kerja sama, kerukunan, dan sebagainya) diwujudkan dalam bentuk sikap, perbuatan, dan tingkah laku sehari-hari. Dengan demikian, nilai-nilai tersebut tampak nyata dan dapat kita rasakan bersa-maan.

Adapaun nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila adalah sebagai berikut :18

Sila petama : Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, terkandung nilai religius, antara lain:

a. Kepercayaan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta segala sesuatu dengan sifat-sifat yang sempurna dan

18 Muchtar Kusumaatmadja dalam Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Opcit, hal,373-374.

Page 99: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

99Cita Hukum Pancasila

suci seperti Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha Adil, Maha Bi-jaksana, dan sebagainya;

b. Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yakni menjalan-kan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Sila kedua: Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, terkan-dung nilai kemanusiaan, antara lain :

a. Pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dengan se-gala hak dan wajib asasinya;

b. Perlakuan yang adil terhadap sesama manusia, terhadap diri sendiri, alam sekitar, dan terhadap Tuhan;

c. Manusia sebagai makhluk beradab atau berbudaya yang me-miliki daya cipta, rasa, karsa, dan keyakinan.

Sila ketiga: Sila persatuan Indonesia, terkandung nilai persa-tuan bangsa, antara lain:

a. Pengakuan terhadap bhinika tunggal ika suku bangsa (ethnis), agama, adat istiadat, kebudayaan;

b. Pengakuan terhadap persatuan bangsa dan wilayah Indonesia serta wajib membela dan menjunjung tingginya (patriotisme);

c. Cita dan bangga akan bangsa dan negara Indonesia (nasiona-lisme).

Sila keempat: Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebi-jaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, terkandung nilai kerakyatan, antara lain :

a. Negara adalah untuk kepentingan seluruh rakyat;

b. Kedaulatan adalah di tangan rakyat;

c. Manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyara-kat mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama;

d. Pimpinan kerakyatan adalah hikmat kebijaksanaan yang di-landasi akal sehat;

Page 100: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

100 Cita Hukum Pancasila

e. Keputusan diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat oleh wakil-wakil rakyat.

Sila kelima: Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, terkandung nilai keadilan sosial, antara lain :

a. Perlakuan yang adil di segala bidang kehidupan terutama bi-dang politik, ekonomi, dan sosial budaya;

b. Perwujudan keadilan sosial itu meliputi seluruh rakyat Indo-nesia;

c. Keseimbangan antara hak dan kewajiban;

d. Cita-cita masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual bagi seluruh rakyat Indonesia;

e. Cinta akan kemajuan dan pembangunan.

Mengenai perlindungan konsumen (consumer protection), berarti berbicara tentang salah satu sisi dari korelasi antara lapa-ngan perekonomian dengan lapangan etika.Dalam kegiatan bisnis terdapat hubungan yang saling membutuhkan antara pelaku usa-ha dan konsumen. Kepentingan pelaku usaha adalah memperoleh laba (profit) dari transaksi dengan konsumen, sedangkan kepenti-ngan konsumen adalah memperoleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk tertentu. Dalam hubungan yang demikian seringkali terdapat ketidaksetaraan antara keduanya. Konsumen biasanya berada dalam posisi yang lemah dan karena-nya dapat menjadi sasaran eksploitasi dari pelaku usaha yang se-cara sosial dan ekonomi mempunyai posisi yang kuat. Oleh karena itu, diperlukan seperangkat aturan hukum yang dapat melindungi atau memberdayakan konsumen. Perlindungan konsumen meru-pakan hak warga negara yang pada sisi lain merupakan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya, khusunya atas produk yang halal dan baik. Sehingga dalam menentukan aturan hukum tersebut diperlukan adanya campur tangan negara melalui pene-tapan sistem perlindungan hukum terhadap konsumen. Berkaitan dengan hal tersebut telah disahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Page 101: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

101Cita Hukum Pancasila

Aspek Hukum Perlindungan KonsumenDalam kedudukan tertentu, setiap orang pasti menjadi kon-

sumen atas barang atau jasa tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Interaksi antara konsumen dengan produsen (pe-nyedia barang atau jasa) pada umumnya dapat terjadi setiap saat oleh para pihak, baik secara insidental maupun secara periodik. Interaksi dan transaksi tersebut menimbulkan hubungan hukum yang pada akhirnya menimbulkan hak dan kewajiban pada para pihak. Dalam hal ini, kemungkinan yang bisa terjadi misalnya tarik-menarik kepentingan antara produsen dan konsumen, atau per-saingan yang tidak sehat diantara para pelaku ekonomi, pelaku us-aha dan pelaku bisnis. Kemungkinan tersebut dapat menimbulkan kerancuan, kekacauan, ketidakadilan dan ketidakseimbangan yang berkelanjutan.19 Akhirnya, akan menimbulkan ketidak-nyamanan bagi setiap orang yang dapat memicu keresahan.

Pada hakekatnya, UU Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999) tidak semata-mata memberi perlindungan kepada kon-sumen saja tetapi memberi perlindungan kepada masyakat (pu-blik) pada umumnya, mengingat setiap orang adalah konsumen.20 UU ini secara mendasar memberikan keseimbangan dalam bebe-rapa hal, yaitu:

a. Kedudukan pelaku usaha dengan konsumen mengenai:

1. Harmonisasi antara pelaku usaha dengan konsumen, keduanya saling membutuhkan yang satu tidak mungkin memutuskan hubungan dengan yang lain;

2. Menyamakan persepsi bahwa masing-masing sisi mem-punyai hak dan kewajiban yang seimbang.

b. Menyadarkan masyarakat bahwa ada hak-hak sendiri yang dapat dipertahankan dan dituntut kepada pihak yang lain, mengenai:

1. Tata cara menyelesaikan sengketa, termasuk hukum acaranya;

19 Sri Redjeki Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia, Banyumedia Publishing, Malang, 2007, hal, 133.

20 Ibid, hal,135.

Page 102: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

102 Cita Hukum Pancasila

2. Apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan baik oleh pelaku usaha maupun oleh konsumen;

3. Informasi apa saja yang harus diberikan oleh pelaku usa-ha kepada konsumen, demikian pula sebaliknya.

c. Menyadarkan pelaku usaha dan konsumen bahwa kedudukan mereka adalah seimbang dengan tidak saling membebani satu terhadap yang lainnya.

Berdasarkan pertibangan-pertembangan tersebut maka un-dang-undang perlindungan yang diundangkan pada tahun 1999. Pada hakekatnya, undang-undang perlindungan konsumen sama sekali tidak membentuk dua kepentingan yang saling berhadapan menjadi dalam posisi yang bermusuhan tetapi sebaliknya, menem-patkan dua pihak untuk saling mengerti kedudukan masing-mas-ing sehingga dapat tercapai adanya keseimbangan dan keserasian dari keduannya agar saling tercapai kebutuhan bersama, dalam konteks inilah nilai dan spirit mulia delapan bingkai Pancasila ter-cermin dalam UU Perlindungan Konsumen . Itulah hukum perlin-dungan konsumen Indonesia yang dijiwai oleh nilai-nilai etik Pan-casila untuk menjadi pedoman kehidupan bersama dalam “Rumah Indonesia”.21

Dasar Hukum Perlindungan KonsumenDi Indonesia saat ini sudah ada beberapa perangkat hukum

yang dapat dijadikan dasar hukum bagi konsumen yang menjadi-kan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan, perang-kat hukum sebagaimana yang dimaksud diantaranya adalah :

a. UUD 1945 pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), pasal 27, dan pasal 33.

b. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lem-baran Negara RI Tahun 1999 No. 42, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3821).

21 Bernard L Tanya, Theodorus Yosep Parera, & Samuel F. Lena, Opcit.

Page 103: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

103Cita Hukum Pancasila

c. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik In-donesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817).

d. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbritase dan Alternatif Penye-lesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Ta-hun 1999 Nomor 138,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872)

e. PP No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

f. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/Mpp/Kep/ 12/2001 Tahun 2001 Ten-tang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

g. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 tentang Penanganan Pengaduan Konsumen yang ditujukan kepada seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota.

h. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795/DJPDN/ SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.

Asas dan Tujuan Perlindungan KonsumenPerlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, ke-

seimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepas-tian hukum.22

a. Asas Manfaat. Dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa se-gala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepenti-ngan konsumen dan pelaku usaha secarakeseluruhan.

b. Asas Keadilan. Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempa-

22 Baca Pasal 2 UU Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Page 104: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

104 Cita Hukum Pancasila

tan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memberikan haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Asas Keseimbangan. Dimaksudkan untuk memberikan kese-imbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha,dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen. Dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pe-manfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas Kepastian Hukum. Dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.23

Kelima asas hukum perlindungan konsumen ini jika disesuai-kan dengan asas-asas Pancasila yang bersumber dari lima silanya, maka Pancasila yang memuat lima asas, yang substansi masing-masing asas Pancasila dari sila pertama adalah memuat etika, sila kedua adalah asas kemanusiaan, sila ketiga nasionalisme, sila keempat kerakyatan/ demokrasi, dan sila kelima keadilan sosi-al. Dengan demikian yang menjadi benang merah kesesuaiannya, dengan memperhatikan dan elaborasi antara isi asas-asas Pan-casila dengan asas hukum perlindungan konsumen, adalah sebagai berikut: 1) asas etika dari sila pertama Pancasila pada asas hukum perlindungan konsumen termuat dalam asas keamanan dan kese-lamatan konsumen; 2) asas kemanusian pada sila kedua Pancasila pada asas hukum perlindungan konsumen termuat dalam asas ke-seimbangan; 3) Asas nasionalisme pada sila ketiga Pancasila pada asas hukum perlindungan konsumen termuat dalam asas manfaat; 4) asas kerakyatan/demokrasi pada sila keempat Pancasila pada asas hukum perlindungan konsumen termuat dalam asas kepastian hukum; 5) asas keadilan sosial pada sila kelima Pancasila pada asas hukum perlindungan konsumen termuat dalam asas keadilan.

23 H.U. Adil Samadani, Dasar-Dasar Hukum Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2013, hal, 187.

Page 105: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

105Cita Hukum Pancasila

Adapun tujuan dari perlindungan konsumen adalah sebagai berikut24:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian kon-sumen untuk melindungi diri.

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, me-nentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengan-dung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa,kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen.

Posisi Hukum Perlindungan Konsumen dalam Perdaga-ngan Bebas

Situasi akhir-akhir ini yang mendesak pemerintah dan pelaku usaha untuk segera memulihkan kegiatan bisnis dan perekonomi-an sering kali dihadapkan pada persoalan perlindungan konsumen. Pasokan barang dan jasa melalui kegiatan promosi yang gencar tidak selamanya dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat, dan bahkan seringkali mengakibatkan masyarakat menjadi kor-ban. Sifat berfikir objektif sering dikalahkan oleh kegiatan promosi yang dikemas sedemikian rupa sehingga mengubur sikap rasional konsumen. Situasi dan kodisi yang mengharuskan Indonesia terli-bat secara aktif dalam pasar bebas dan globalisasi semakin mem-buat masalah yang dihadapi konsumen semakin kompleks. Melalui

24 Baca Pasal 3 UU Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Page 106: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

106 Cita Hukum Pancasila

Undang-Undang No. 7 Tahun 1994, Negara kita telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia atau-World Trade Organization (WTO), dan yang akhir-akhir ini adalah-Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau dikenal juga dengan istilah Asean Economic Community(AEC).

Dalam aturan-aturan yang ditetapkan WTO, sebenarnya per-lindungan konsumen lebih mendapat perhatian dan perlindungan hukum, misalnya perlindungan hak kekayaan intelektual, standar-standart barang dan jasa yang diperdagangkan, serta sanksi bagi negara-negara yang memproduksi barang dan jasa yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum. Dalam TRIPs (Trade Related In-telectual Properties) antara lain disebutkan bahwa negara anggota wajib melaksanakan ketentuan tentang penggunaan merek sebagai upaya untuk melindungi konsumen sebagai korban peniruan me-rek. Selain itu, pada peraturan yang tercantum dalam GATT (Gen-eral Agreement on Tariffs and Trade) mengisyaratkan pencantuman indikator atas asal barang impor sebagai upaya untuk melindungi konsumen.

Dalam tataran tertinggi pengakuan terhadap eksistensi hak-hak konsumen ditempatkan dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar) suatu Negara. Untuk kawasan Asia Tenggara, Negara yang sudah menempatkan hak-hak konsumen dalam konstitusi (Un-dang-Undang dasar) adalah Filipina (1986), Thailand (1997), dan Vietnam (1992). Pada umumnya pengaturan tentang perlindungan konsumen ditempatkan dalam tingkat undang-undang (act).

Di Indonesia perlindungan terhadap konsumen diatur secara khusus dalam undang-undang dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara RI tahun 1999 Nomor 42, dan Tambahan Lem-baran Negara RI Nomor 3821).

Negara-negara yang sekarang ini disebut negara-negara maju telah menempuh pembangunannya melalui tiga tingkat, yaitu uni-fikasi, industrialisasi, dan Negara kesejahteraan.25 Pada tingkat

25 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta: 2008, hal, 3.

Page 107: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

107Cita Hukum Pancasila

pertama (unifikasi) yang menjadi masalah berat adalah bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesa-tuan nasional. Tingkat kedua (industrialisasi), perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi politik. Akhirnya pada tingkat ketiga (Negara kesejahteraan), tugas negara yang terutama adalah melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membe-tulkan kesalahan-kesalahan pada tahap-tahap sebelumnya dengan menekankan kesejahteraan masyarakat.

Kehadiran UU Perlindungan Konsumen secara umum sekurang-kurangnya dapat dilihat dari dua perspektif,26 yaitu: Per-tama, walaupun hak-hak konsumen di Indonesia secara eksplisit belum diakomodir dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang telah diamandemen, ada beberapa Pasal dalam UUD NKRI Tahun 1945 yang berhubungan dengan kepetingan konsumen. UU Per-lindungan Konsumen merupakan penjabaran lebih lanjut hak-hak konstutusional sebagai konsumen seperti ketentuan :

1. Pasal 28 H ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945: Setiap orang ber-hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta ber-hak memperoleh pelayanan kesehatan.

2. Pasal 31 ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945: Setiap warga nega-ra berhak mendapat pendidikan; ayat (2) Setiap warga ne-gara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

3. Pasal 34 ayat (3) UUD NKRI Tahun 1945: Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasi-litas pelayanan umum yang layak.

Kedua, UU Perlindungan Konsumen merupakan penjabaran lebih detil dari hak asasi manusia, lebih khusus lagi hak-hak eko-nomi. Terlebih lagi, melalui UU No. 11 Tahun 2005 Pemerintah In-donesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Beberapa ketentuan dalam Konvensi

26 Sudaryatmo, “Hukum Perlindungan Konsumen dan Implementasinya di Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 30-No.1 Tahun 2011.

Page 108: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

108 Cita Hukum Pancasila

Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang berhubungan dengan kepentingan konsumen antara lain:

1. Pasal 11 ayat (1) Negara-negara Pihak pada Kovenan ini me-ngakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk cukup pangan, sandang dan papan yang layak, dan atas perbaikan kondisi hidupnya yangberkelanjutan. Negara-negara Pihak akanmengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin realisasi dari hak ini, denganmengakui arti pentingnya essensi Kovenan ini berdasarkan asas kebebasan; ayat (2) Negara-negara Pihak pada kovenan ini mengakui hak-hak mendasar bagi setiap orang untuk bebas dari kelaparan, dan harus mengambil lang-kah-langkah baik secara sendiri-sendiri maupun melalui kerja sama Internasional,termasuk program-program khusus yang diperlukan.

2. Pasal 13 ayat (1) Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka setuju bahwa pendidikan harus diarahkan pada pengembangan ke-pribadian manusia seutuhnya dan kesadaran atas harkat dan martabatnya dan harus memperkuat penghomatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan yang men-dasar. Mereka selanjutnya setuju bahwa pendidikan harus membuat semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, memajukan rasa sa-ling pengertian, toleransi dan persahabatan diantara semua bangsa dan ras, kelompok etnik atau agama, dan memajukan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memeli-hara perdamaian; Ayat (2) Untuk mengupayakan realisasi hak itu secara penuh, Negara-negara Pihak pada Kovenan ini me-ngakui bahwa:a.Pendidikan dasar harus diwajibkan dan terse-dia secara cuma-cuma bagi semua orang; b. Pendidikan lan-jutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan tingkat menengah, harus tersedia secara umum dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak,

Page 109: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

109Cita Hukum Pancasila

dan khususnya dengan menerapkan pendidikan cuma-cuma secara bertahap.

PenutupBerdasarkan hasil pembahasan masalah yanng diuraikan di

atas, maka dapat suatu kesimpulan bahwa keberadaan asas-asas Pancasila atau delapan bingkai Pancasila yang dikonseptualisasi-kan ke dalam asas hukum merupakan conditio sine quanon , karena mengandung nilai-nilai moral dan etis yang mengarahkan pemben-tukan hukum yang memenuhi nilai-nilai filosofis, sosiologis dan yuridis.

Terdapat beberapa nilai dan spirit mulia bingkai pancasila atau asas-asas Pancasila dengan asas hukum perlindungan konsumen dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindu-ngan Konsumen. Adapun mengenai penerapan asas-asas Pancasila dalam asas hukum perlindungan konsumen yang terdapat pada pasal-pasal Undang_undang Perlindungan Konsumen (UUPK), dan dapat dilihat garis besar dari UUPK. Dengan demikian dari elabo-rasi penerapan asas Pancasila dalam asas-asas hukum pada pasal-pasal UUPK ternyata tidak semua pasal-pasal UUPK yang mene-rapkan asas-asas Pancasila dalam asas hukum dari UUPK tersebut.

ooo

Page 110: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

110 Cita Hukum Pancasila

DAFTAR PUSTAKA

Absori, Kelik Wardiono, & Saepul Rochman, Hukum Pro-fetik: Kritik Terhadap Paradigma Hukum Non-Sistematik,Yogyakarta: Genta Publishing, 2015.

Bernard L. Tanya, Penegakan Hukum dalam Terang Etika, Yogyakar-ta: Genta Publishing, 2011,

____________________, Theodorus Yosep Parera, & Samuel F. Lena, Pan-casila Bingkai Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2015.

Budi Winarno, Globalisasi Peluang atau Ancaman Bagi Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2008.

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Dossy Iskandar Prasetyo & Bernard L. Tanya, Hukum Etika & Kekua-saan, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011.

Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Sema-rang: Suryandaru Utama, 2005.

Fokky Fuad Wasitaatmadja, Filsafat Hukum Akar Religiositas Hu-kum, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.

H.U. Adil Samadani, 2013, Dasar-Dasar Hukum Bisnis, Jakarta: Mitra Wacana Media.

Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati (ed.), Hukum Perlindungan Kon-sumen, Bandung: Mandar Maju, 2000.

Sanusi Bintang & Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Sri Redjeki Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia, Malang: Banyume-dia Publishing, 2007.

Page 111: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

111Cita Hukum Pancasila

______________, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Bandung: Mandar Maju, 2000.

Sudaryatmo, “Hukum Perlindungan Konsumen dan Implementa-sinya di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 30-No.1 Tahun 2011, halaman 35.

Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasi-onal, Bandung: Alumni, 1991.

Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadi-lan dan Bermartabat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014.

Yonita A. Mangesti & Bernard L Tanya, Moralitas Hukum, Yogyakar-ta: Genta Publishing, 2014.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Kon-sumen (Lembaran Negara RI tahun 1999 Nomor 42, dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3821).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan In-ternasional Covenant On Economic, Social And Cultural Right (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekono-mi, Sosial Dan Budaya)Lembaran Negara Republik In-donesia Tahun 2005 Nomor 118,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557

http://indah-widjaya.ac.id, Etika Dalam Perspektif Pancasila Yang Mengarah Pada Perlindungan Konsumen. diunduh 1 Mei 2016, 20.00 WIB.

portalgaruda.org/article.php, Tami Rusli, 2011, “Pembangunan Hu-kum Berdasarkan Cita Hukum Pancasila”, Jurnal Prana-ta Hukum, Volume 6 Nomor I Tahun 2011, didownload tanggal 2 Mei 2016.

Page 112: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

112 Cita Hukum Pancasila

Page 113: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

113Cita Hukum Pancasila

EKONOMI KERAKYATAN UNTUK

MEWUJUDKAN KEADILAN SOSIAL

YANG PANCASILAIS

Oleh: Nurjannah Septyanun, S.H., M.H

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram

Nusa Tenggara Barat

Page 114: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

114 Cita Hukum Pancasila

PENDAHULUANBerbicara tentang etik atau moral, maka fundamennya adalah

manusia dan perilaku, bukan bahan hukum yang termuat dalam aturan hukum positif. Basis etik atau moral hukum dalam Pancasila berangkat dari bagaimana cara berhukumnya manusia-manusia para pemangku hukum. Para pemangku hukum dalam hal ini ter-diri dari hakim, jaksa, pengacara (yudikatif), kepala negara, kepala daerah (eksekutif), anggota DPR Pusat dan Daerah (Legislatif), diharuskan untuk memiliki kesadaran dan kepedulian yang tinggi terhadap amanat falsafah Pancasila dalam berhukum. Amanat dan fundamen falsafah Pancasila sama dengan fundamen hukum pro-gresif, yaitu manusia, bukan bahan hukum (legal stuff). Penulis sepakat dengan pandangan Profesor Satjipto Raharjo pengagas hukum progresif, kaitannya dengan fundamen hukum progresif dengan fundamen etik atau moral hukum dalam bingkai Pancasila yaitu manusia dan perilakunya. Menurut beliau, fundamen Hukum progresif adalah manusia sebagai fundamen hukum haruslah baik dan bernurani sehingga layak menjadi modal dalam membangun kehidupan berhukum yang progresif.1

Pancasila yang menjadi bingkai hukum di Indonesia, memberi-kan delapan frame yang harus disadari, difahami dan diejawantah-kan oleh setiap orang yang menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai wujud pemikiran yang memandang Indonesia sebagai negara kesatuan yang adil dan makmur melalui keadilan sosial yang diberikan kepada seluruh rakyatnya. Wujud keadilan sosial tersebut tidak dapat dilakukan tanpa adanya se-buah sistem ekonomi yang mendukungnya, atas dasar demokrasi yang terbangun secara bersama-sama dari, oleh dan untuk kese-jahteraan rakyat.

Delapan bingkai Pancasila tersebut yaitu; pertama, spirit merawat ke-Indonesiaa-an; kedua, spririt gentleman agreement; Ketiga, Pancasila sebagai pedoman hidup bersama dalam rumah Indonesia; keempat, semangat menyelenggarakan segala yang

1 Bernard L.Tanya, Hukum Progresif: Perspektif Moral dan Kritis, dalam Dekonstruksi Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Konsorsium Hukum Progresif 2013, hal. 39.

Page 115: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

115Cita Hukum Pancasila

benar, adil dan baik dalam berbagai matra : kelima,seruan untuk merawat nilai-nilai kemanusiaan, doktrin manusia tentang mutu manusia (Indonesia) yang berperikemanusiaan dan mampu adil dan beradab; keenam, keharusan merawat persatuan Indonesia, yaitu dengan merawat kehidupan berbangsa harus berujung pada terwujudnya integrasi nasional; ketujuh, merawat kerakyatan, dan bingkai kedelapan, keadilan sosial.2

Berdasarkan aspek etik atau moral hukum Indonesia, dan delapan bingkai Pancasila sebagai bingkai hukum Indonesia, maka penulis mencoba menarik dan mengambil salah satu bingkai Pan-casila yaitu bingkai keadilan sosial ditinjau dari aspek ekonomi ker-akyatan

Ekonomi Pancasila, menjadi doktrin dari demokrasi ekonomi yang pilihan tersebut menjadi bingkai dari keharusan merawat ke-adilan sosial. ekonomi Pancasila dikenal juga sebagai ekonomi ke-rakyatan. Ekonomi kerakyatan merupakan konsep ekonomi dengan dasar pemikiran bahwa dari rakyatlah yang memegang peranan utama, oleh rakyatlah kegiatan ekonomi dibangun dan dilakukan, serta untuk rakyat pula hasil ekonomi tersebut menyejahterakan.

Berdasarkan sejarah hukum Ekonomi Indonesia, memper-lihatkan bermacam-macam kebijakan ekonomi yang dibuat oleh ahli ekonomi dibantu oleh ahli hukum Indonesia. Beberapa kebi-jakan memperlihatkan corak ekonomi Pancasila yang bergaya so-sialis, namun beberapa diantara kebijakan tersebut terdapat pula kebijakan yang bersifat sangat kapitalis.3 Politik ekonomi kapitalis sangatlah menindas golongan ekonomi kelas bawah. Dan menjadi legitimasi terhadap golongan ekonomi kelas atas. Dalam tataran pembangunan ekonomi Indonesia, bentuk dan pola ekonomi, serta sistem politik ekonomi yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa yai-tu ekonomi kerakyatan melalui demokrasi ekonomi yang seimbang, tidak terwujud dengan baik dan benar. Walaupun pada kenyata-

2 Bernard L. Tanya dkk, Pancasila Bingkai Hukum Indonesia, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Genta Publishing, 2015, hal. 1-8.

3 Dian Narwastuty dkk, “Ekonomi Pancasila sebagai Upaya Membangun Perekonomian Bangsa Indonesia Ditinjau dari Pandangan Progresif, dalam buku Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Konsorsium Hukum Progresif 2013, Yogyakarta: Thafa Media, 2013, hal. 675.

Page 116: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

116 Cita Hukum Pancasila

aanya telah tertuang secara jelas dalam pasal 33 undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Ke-4. Konstitusi ini, dibentuk atas landasan filosofis, yaitu : pertama, pe-rekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan; kedua, penguasaan Negara terhadap cabang-cabang produksi yang vital dan menguasai hajat hidup orang banyak; ke-tiga, penguasaan sumber daya alam oleh negara dipergunakan un-tuk kemakmuran rakyat; keempat, bahwa dasar perekonomian di Indonesia adalah demokrasi ekonomi; kelima, bahwa diperlukan suatu aturan pelaksana yang lainnya terhadap konstitusi ini.4 Dan penulis menambahkan yang keenam, yang dirasakan cukup urgent adalah komitmen pemerintah bersama rakyat dalam menetapkan ekonomi Pancasila sebagai satu-satunya sistem ekonomi di Indo-nesia, sebagai wujud demokrasi ekonomi yang dicita-citakan dari tingkat pusat hingga daerah.

Pada dasarnya titah dari Pancasila telah memberikan langkah, dan cara hidup yang ditawarkan bagi bangsa Indonesia, termasuk didalamnya cara dalam memenuhi kebutuhan hidup secara ekono-mi. Cara hidup yang ditawarkan Pancasila dalam rumah Indonesia adalah gotong-royong dan memposisikan gotong-royong sebagai prinsip sentral. Landasan dari semua jalan gotong-royong tersebut adalah menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik.

Memaknai gotong-royong sebagai prinsip sentral diejawa-ntahkan dalam makna bahwa, Sila Pertama, merupakan jalan gotong-royong antara semua kelompok agama/kepercayaan un-tuk sama-sama mempraktekkan kemuliaan ilahi, yakni melaku-kan yang benar, yang baik dan yang luhur dalam rumah Indonesia. Menghadirkan Tuhan dalam rumah Indonesia, berarti semua ke-lompok agama/kepercayaan bergotong-royong untuk sama-sama mempraktikkan kemuliaan ilahi, yakni melakukan yang benar, yang baik dan yang luhur itu. Sila Kedua, adalah jalan gotong-royong an-tar sesama manusia (atas dasar spirit mulia sila pertama) untuk menegakkan kemanusiaan, keadaban, dan keadilan dalam rumah indonesia. Martabat manusia dihormati, cara-cara dan hidup be-

4 Ibid, hal. 672.

Page 117: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

117Cita Hukum Pancasila

radab dikedepankan, kebiadaban dan perilaku barbar hewani di-jauhi, serta mampu berlaku adil terhadap sesama. Orang-orang Indinesia yang mengaku ber-Tuhan harus mampu menegakkan kemanusiaan, keadaban dan keadilan. Sila Ketiga adalah jalan gotong-royong antara sesama anak bangsa (spirit mulia sila per-tama dan keharusan normatif sila kedua) untuk menjaga persatuan dalam rumah Indonesia. Sila Keempat, adalah jalan gotong-royong antara semua penyelenggara negara (atas dasar spirit mulia sila pertama, keharusan normatif sila kedua dan semangat persatuan sila ketiga) untuk bersama-sama (secara hikmah-bijaksana dan musyawarah-mufakat) mengelola negara untuk melayani kepen-tingan rakyat sebagai pemilik rumah Indonesia. Sila Kelima adalah jalan gotong-royong antara sesama warga masyarakat: kaya dan miskin, kuat dan lemah (atas dasar spirit mulia sila pertama, ke-harusan normatif sila kedua, semangat persatuan sila ketiga dan misi luhur sila keempat) untuk saling berbagi dan saling menata merealisasikan/mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang menghuni rumah Indonesia.5

Gotong-royong adalah salah satu wujud pelaksanaan sistem ekonomi Pancasila. Ia terbangun dari proses demokrasi dan keber-samaan atas keinginan dan cita-cita bersama, saling bahu memba-hu, saling tolong menolong dalam setiap aspek kehidupan. Proses demokrasi, apabila dikaitan dengan ekonomi dan pembangunan, merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling menyeimbangkan. Wujud dari proses demokrasi dalam sistem ekonomi, sejauh penu-lis mengamati adalah mayoritas terjadi pada masyarakat-masyara-kat adat yang masih menjunjung tinggi kearifan lokalnya. Berbagai masyarakat adat mempunyai kecenderungan untuk melakukan dan menyelesaikan masalah, khususnya masalah ekonomi, secara kolektif kolegial. Misalnya adanya sistem barter, yaitu saling tukar menukar barang yang dilakukan berdasarkan kebutuhan masing-masing, beras dengan minyak tanah, dimana ukurannya berdasar-kan nilai atau harga dari barang tersebut. Selanjutnya sistem tolong menolong dalam membangun rumah atau tempat tinggal, gotong

5 Ibid, hal. 4-5.

Page 118: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

118 Cita Hukum Pancasila

royong dalam membersihkan fasilitas umum atau milik publik dan lain sebagainya.

Gotong-royong ini identik dengan tolong menolong. Dalam ke-hidupan bermasyarakat diberbagai belahan Indonesia, tolong me-nolong, tidak terlepas dari sejauh mana kepemilikan moral dan etik dari masyarakat dalam melihat kekurangan dan kebutuhan orang lain, sehingga mampu untuk merasakan dan menjadi bagian dari sesamanya yang membutuhkan tersebut. Dalam kondisi tersebut-lah nilai-nilai luhur dari etik atau moral masyarakat akan dapat ter-lihat dan mejadi spirit dalam kehidupan berbangsa. Untuk dapat menanamkan spirit kebersamaan dibidang ekonomi tersebut, dibutuhkan kekuatan negara dan pemerintah dalam mengatur dan mengakomodirnya. Tidak diserahkan kepada mekanisme pasar yang kecenderungan akan menindas golongan ekonomi lemah dan semakin memperkuat kalangan ekonomi atas.

Undang-undang dalam bidang ekonomi yang dianggap dan dirasakan akan dapat mengatur dan mengakomodir kepentingan bersama di bidang perlindungan sosial, yaitu melalui Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial na-sional (SJSN). Sejauh ini fakta empiris menunjukkan bahwa pelak-sanaan dari UU SJSN, yang dikenal oleh masyarakat dan dijalankan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), ini masih sarat kepentingan dan tidak lebih sama seperti perusahaan asuransi yang hanya bertujuan untuk memperoleh profit semata. Sehingga spirit dan semangat awal dalam menjamin kehidupan sosial dan kesehatan masyarakat Indonesia, semakin jauh panggang dari api. Sehingga diyakini bahwa terdapat kesesatan dan pengabaian ter-hadap Pancasila pada tataran konsep konstitusi dan tataran imple-mentasi dari Undang-Undang yang mengatur bidang Ekonomi di Indonesia. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 ten-tang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Undang-Undang ini dianggap sebagai tonggak penting bagi Indone-sia dalam rangka menuju ke perekonomian yang berorientasi pada mekanisme pasar.6 Akan tetapi pada dasarnya mekanisme pasar

6 Bayu, Ariefianto, “Perundang-Undangan Ekonomi”, blogspot.com, diposting pada tanggal 04 Mei 2012,

Page 119: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

119Cita Hukum Pancasila

akan membawa kepada sistem ekonomi kapitalis, hal ini ditandai oleh penguasaan sebagian besar dari sumber daya yang ada berada di tangan pemilik modal. Sehingga apabila mekanime pasar yang menjadi tujuan dari undang-undang ini, maka terdapat kesala-han dalam menafsirkan demokrasi ekonomi yang ditafsirkan pada mekanisme pasar, dimana hal tersebut secara terang benderang akan menciderai keadilan social yang menjadi tujuan utama dari ekonomi Pancasila dalam karakter ekonomi kerakyatan. Dua un-dang-undang tersebut menjadi contoh dari sebagian kecil produk Undang-Undang yang dibuat dan disahkan oleh pemerintah (ekse-kutif) bersama DPR (legislatif) dibidang ekonomi, yang dianggap cenderung menciderai falsafah Negara Kesatuan Republik Indo-nesia yaitu Pancasila, khususnya sila ke lima “keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia” yang diakui sebagai bingkai hukum ke delapan dari Pancasila.

Ketika berbicara Pancasila sebagai basis pembangunan bang-sa Indonesia, maka turunan terhadap Pancasila adalah konstitusi yang dibangun berdasarkan kepada nilai-nilai luhur Pancasila dan menghindari adanya sebuah kesesatan terhadap konstitusi Indone-sia. Dalam persepktif yang lebih jauh, kata kesesatan konstitusi me-mang dapat ditarik kesimpulan yang lebih sederhana yaitu adanya ketidaksesuaian nilai-nilai konstitusi yang dikonstruksikan dengan nilai-nilai dasar yang diyakini sebagai bangunan pokok konstitusi itu sendiri. Kalau kita mencoba melihat lebih mendalam terhadap Indonesia yang dalam beberapa priodesasi telah mengalami pe-rubahan konstitusi, terutama yang begitu Nampak adalah proses amandemen terhadap UUD 1945, tentu ini menunjukan bahwa proses amandemen terhadap UUD 1945 perlu dikaji apakah ber-tentang dengan nilai-nilai konstitusi Indonesia.

Melihat kepada satu contoh yang lebih konkrit, yaitu ketika terjadinya pertentangan diantara substansi pasal 33 UUD 1945, di-mana dalam pasal tersebut ada 4 ayat yang kemudian menghasil-kan dua pemahaman besar, yaitu pemahaman tentang arti penge-lolaan sumber daya alam yang harus dikelola oleh Negara, dimana hal tersebut terdapat dalam ayat 1-3 dan ayat 4 berorientasi ke-

Page 120: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

120 Cita Hukum Pancasila

pada pemahaman neolibelarisme dengan memasukan kalimat yang berorentasi kepada demokratisasi ekonomi Indonesia. Dari hal tersebut diatas, pertentangan keduanya menunjukan bahwa Pan-casila telah diabaikan, sehingga mengakibatkan arah pemahaman terhadap Pancasila yang diturunkan oleh konstitusi menjadi kabur. Oleh karena itu, yang perlu dipahami seperti yang diungkapkan oleh Prof. Jimmly Assidiqie7 , bahwa hubungan antara Pancasila dan UUD 1945 itu dapat digambarkan seakan-akan sebagai hubungan antara roh dengan jasad. Pancasila adalah rohnya, sedangkan UUD 1945 merupakan jasadnya. UUD 1945 merupakan bentuk hukum-nya, sedangkan Pancasila adalah esensi nilai atau substansinya. Pendek kata, keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Karena itu, jika pun kita hendak mendirikan suatu lembaga baru yang akan diberi tugas dan tanggungjawab melakukan pem-budayaan nilai-nilai Pancasila ini, maka sebaiknya nama lembaga tersebut sekaligus dikaitkan dengan UUD 1945, sehingga menjadi lembaga pembudayaan Pancasila dan UUD 1945.8

Pancasila dalam Perspektif Etik dan Estetik terhadap Pembangunan Ekonomi yang Berkeadilan Sosial

Perspektif etik berangkat dari moral. Etik dan moral menjadi satu kesatuan yang utuh dalam filosofi kemanusiaan. George Ed-ward Moore, dalam Dossy Iskandar Prasetyo dan Bernard L. Tanya, Moore seorang pemikir etika analitis mengatakan dengan tegas bahwa: “etika/moral merupakan nilai luhur kemanusiaan menge-nai kewajiban manusia sebagai manusia…”. Etika menyuarakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang manusia terhadap manusia yang lain dalam hal-hal yang tergolong prinsip menyangkut kema-nusiaan kita.9

7 Jimmly Assidiqie, “Membudayakan Nilai-Nilai Pancasila Dan Kaedah-Kaedah Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, disampaikan pada Kongres Pancasila III, diselenggarakan atas kerjasama Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Universitas Airlangga, di Surabaya, 1 Juni, 2011, hal. 5.

8 Fatkhul Muin, “Pancasila dan Orisinalitas Keindonesiaan”, makalah yang disampaikan pada Konfrensi ke-5 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, Surakarta, 17-18 November 2015, hal. 7.

9 Dossy Iskandar Prasetyo dan Bernard L.Tanya, Hukum Etika dan Kekuasaan, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011, hal. 14.

Page 121: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

121Cita Hukum Pancasila

Teori tentang moralitas hukum, tidak bisa tidak-harus be-ranjak dari asumsi antropologis tentang kebebasan yang dimiliki manusia, berikut penggunaanya. Hampir semua teori dan doktrin modern, percaya bahwa manusia secara kodrati menenteng kebe-basan.10 Manusia dilahirkan dengan hak fundamental yang dimiliki dan secara fitrah dikaruniahi sang pencipta. Bahkan Satre, filsuf be-sar Prancis abad ke-20, menyebut kebebasan sebagai takdir Insan kamil. Namun, kebebasan itu pula, manusia menjadi mahkluk tidak aman. Pasalnya , kebebasan yang dimiliki, mendorong tiap individu berlomba dalam egonya untuk saling menguasai dalam mempere-butkan sumber daya yang terbatas.

Arah pembangunan ekonomi Indonesia saat ini Semakin me-ningkat, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas. Dari aspek kua-litas, ditandai dari semakin beranekaragamnya corak dan jenis ha-sil kreatifitas anak-anak bangsa yang dapat dilihat dari keberadaan ekonomi kreatif. Selanjutnya dari aspek kuantitas, semakin ber-tambahnya jumlah dan persentase dari industri-industri kreatif yang muncul dan tumbuh bak jamur di musim hujan. Pembangunan ekonomi, diatur berdasarkan aturan-aturan dibidang ekonomi dan mengakomodir segala aspek ekonomi yang dibutuhkan oleh para pelaku ekonomi. Para pelaku ekonomi dalam melaksanakan hukum dibidang ekonomi, senantiasa diharapkan melihat kepada dua sisi yaitu sisi etis dan sisi estetis. Mengapa pelaku ekonomi yang mem-buat dan menjalankan hukum dibidang ekonomi harus melihat sisi etis dan estetis? Pertanyaan ini akan cenderung menjadi diskrimi-natif ketika subyek-subyek hukum dibidang ekonomi melihat etis dan estetis dari aspek nilai (value) berdasarkan nilai keuntungan (profit) secara kacamata kuda, dan tanpa melihat alasan mendasar mengapa aspek etis dan estetis harus sangat diperhatikan. Nilai (value) berdarakan nilai keuntungan (profit), akan menciptakan keserakaan bagi orang-orang yang mengejar keuntungan ekonomi semata, tanpa memperhatikan keseimbangan yang seharusnya ada dan dilakukan.

10 Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, cetakan pertama, Yogyakarta: Genta Publishing, 2014, hal. 1.

Page 122: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

122 Cita Hukum Pancasila

Ekonomi Indonesia yang saat ini berada pada posisi berkem-bang, tidak terlepas dari tiga aspek yaitu, pertama, realitas berpikir, dimana dalam realitas berfikir nilai benar dan salah yang merupa-kan buah fikir dari logika. Yang kedua adalah realitas berbuat yang merupakan nilai baik dan jahat dan merupakan tolok ukur dari eti-ka. Dan yang ketiga, realitas hasil karya yang memiliki nilai keinda-han dan bahkan keburukan. Hal ini menjadi metode dalam meng-hubungkan antara filsafat dengan fakta dan atau realitas empiris. Sehingga dari pola hubungan tersebut dapat diketahui dan dianali-sis benang merah apa saja yang terhubung dan tidak terhubung, dalam tujuan dan cita-cita luhur bangsa Indonesia yang beretika dan berestetika.

Realitas empiris yang bisa menjadi peluang dan bahkan tan-tangan bangsa Indonesia adalah “pergolakan jiwa” yaitu berupa adanya pergolakan terhadap jiwa bangsa yang awalnya tergali dalam kerangka Pancasila menjadi jiwa-jiwa yang telah terkon-taminasi oleh pandangan-pandangan lain yang cenderung sekuler dan menghapus dan bahkan melenyapkan nilai-nilai dan etis dari Pancasila di dalam jiwa dan fikiran para generasi-generasi muda Indonesia. Hal tersebut terjadi dalam setiap aspek kehidupan, mu-lai dari pendidikan, gaya hidup, gaya berbahasa, gaya berinteraksi, gaya memperoleh dan mengelola pendapatan atau penghasilan dan lain sebagainya.

Pada akhirnya terdapat kondisi bahwa produk-produk hasil ekonomi terlepas dari nilai etis dan estetik. Banyak pihak yang ber-pendapat bahwa hasil produk dari ilmu pengetahuan adalah bebas nilai. Pada sisi lain penulis berpendapat sebaliknya, bahwa hasil dari produk ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Pendapat tersebut didasarkan pada urgensi nilai-nilai etik dan estetik dalam berbagai bidang terutama bidang ekonomi, dalam rangka menyaring dan mendudukkan nilai-nilai etik dan estetik diatas bidang ekonomi. Hasil produk ekonomi, misalnya industry kreatif yang menghasil-kan garment dan hasil olahan makanan yang berasal dari bahan-bahan yang tidak halal dan produk-produk hand made, yang mana adalah kewajiban etis untuk dibuat dan di produksi atas dasar pro-

Page 123: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

123Cita Hukum Pancasila

ses yang baik, dari bahan yang baik dan dengan tujuan yang baik. Harus berangkat dari kebaikan yang bersumber pada boleh dan tidak boleh, atau bahkan aspek halal dan haram yang diatur oleh keyakinan atau agama tertentu. Dan hal tersebut harus menjadi sumber toleransi atas hak masyarakat dibidang ekonomi. Apabila sebaliknya, produk ekonomi dianggap bebas nilai, maka halal dan haram, baik dan buruk akan tercampur aduk dan terkontaminasi, yang pada akhirnya aspek etis dan estetik tersebut akan tenggelam seiring berjalannya arus pemikiran liberal yang bebas sebebasnya dalam melakukan, menghasilkan sesuatu atas dasar kebenaran relatif dari setiap individu. Disinilah kesadaran yang utuh dan me-nyeluruh dari setiap anak bagsa sangat dibutuhkan dalam rangka menempatkan kembali kepada tempatnya kerangka etis dan estetis dari Pancasila dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan ber-negara, khususnya di bidang ekonomi.

Menjembatani realitas yang terjadi dibidang ekonomi, kita memerlukan pemikiran hukum responsive dan pemikiran hukum progresif. Dalam menganalisis pemikiran-pemikiran terhadap mo-ralitas dan etis, maka skema peta moralitas dari Kohlberg dapat dijadikan sebagai bahan analisis terhadap cara berhukum. Cara berhukum dengan nurani (conscience) yang bermuatan empati, kejujuran, komitmen dan keberanian membutuhkan basis moral pasca konvensional yakni “moralitas akal kritis” dan “moralitas hati nurani”. Kebutuhan minimal adalah “moralitas kewajiban” pada arah konvensional. Tapi kebutuhan maksimal, tentu haruslah “mo-ralitas akal kritis” dan “moralitas hati nurani”.

Moralitas tingkat rendah yang terjadi seperti “takut dihukum”, “takut rugi”, “demi sekaum” sangatlah tidak etis apabila dijadikan dasar dalam setiap kegiatan ekonomi. Moralitas “takut dihukum” orientasinya adalah soal bagaimana menghindari hukuman atau denda. Jika resiko dihukum sangat kecil;, maka ia akan bertindak apa saja, tanpa perduli apakah hal tersebut boleh atau tidak boleh. Tidak ada pertimbangan yang lebih dari sekedar takut dihukum. Amat sering, penanganan sebuah kasus hanya jalan di tempat, terutama kasus-kasus perdata dan pidana yang bersifat kompro-

Page 124: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

124 Cita Hukum Pancasila

mistis. Tetapi begitu menjadi sorotan publik dan dianggap menjadi representasi masalah bersama, maka maneuver-manuver tertentu dilakukan dalam rangka mengembalikan nama baik, dengan ban-tuan media cetak maupun elektronik dilakukanlah penyelesaian kasus yang dicitrakan diselesaikan dengan baik, tepat waktu, efek-tif, efisien. Hal tersebut dilakukan agar tidak mendapat celaan dan hinaan dari publiks. Sehingga moralitas seperti ini, pada dasarnya sama dengan moralitas anak-anak.11 Atau moralitas taman kanak-kanak.

Moralitas ‘takut rugi”, juga tidak memadai bagi hukum dibidang ekonomi yang jauh dari konsep ekonomi kerakyatan. Dimana mo-ralitas “takut rugi” ini, orientasinya hanya hitung-hitungan untung rugi bagi diri sendiri. Kohlberg mengatakan bahwa nilai moral yang berlaku pada jenjang ini bersifat “instrumental”. Ia hanya sebagai “alat” untuk mencapai keuntungan/kenikmatan. Berbuat baik se-bagai “alat” atau instrument untuk memperoleh keuntungan. Se-seorang melakukan sesuatu, karena mengharapkan imbal balik, tetapi imbal balik berdasarkan perhitungan.

Moralitas “demi sekaum”, dalam ekonomi kerakyatan, sangat tidak memadai dalam mewujudkan keadilan social sebagaimana amanah dan titah Pancasila. Dimana moralitas “demi sekaum” ini orientasinya berpusat pada lingkungan sendiri saja. Kepentingan orang lain, memang sudah diperhitungkan, bahkan rela untuk menanggalkan kepentingan ego demi orang lain. Tetapi orang lain itu, hanya sebatas orang yang paling dekat dengan dirinya, kelu-arga, teman, klub, kantor dan lain sebagainya. Primordialisme dan nepotosme yang mendominasi dalam moralitas ini.

Basis moral berdasarkan “kewajiban” dalam skema Kohlberg, moralitas ini disebut moralitas tugas. Ia masuk tahap moralitas konvesional. Bila terjadi konflik loyalitas maka yang harus dipilih adalah norma tau hukum yan glebih tinggi. Yaitu hukum obyektif yang tidak hanyan berlaku untuk satu kelompok saja, tetapi hukum yang mepunyai keabsahan yang luas. Hukum yang lebih berdimen-

11 Op.cit, hal. 41.

Page 125: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

125Cita Hukum Pancasila

si lintas kelompok. Pada fase ini seorang, telah mampu menembus tembok-tembok dan batas-batas yang sempit dan berpengang ke-pada hal-hal yang lebih luas. Kata kuncinya disini adalah “kewa-jiban” . seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu, bukan hanya agar diterima dan dianggap baik oleh orang lain, akan tetapi merasa dan sadar bahwa hal tesebut adalah “kewajiban” dalam posisi dan kedudukan yang dimiliki. Tidak ada ketakutan akan di-singkirkan atau akan diintimidasi dikarenakan kewajiban yang di-lakukan adalah memang sesuai dengan yang seharusnya dilakukan. Dan dari hal tersebut seseorang dapat menilai, orang-orang yang disekitarnya apakah akan menjadi rekan yang baik atau jahat.

Pada konteks etis dan moral hukum dalam ekonomi kerak-yatan, akan menjadi terjawantahkan apabila basis moral “ke-wajiban” telah menjadi dasar dalam menyusun, melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi, oleh para pelaku dan pemangku ke-pentingan dibidang pemerintahan dan bidang ekonomi, maka sesungguhnya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia akan sangat mudah untuk diraih. Sekat-sekat primordialisme dan nep-otisme akan melebur menjadi satu dalam kebersamaan universal dan menyeluruh dalam keseimbangan ekonomi. Sehingga pada akhirnya kesejateraan rakyat akan diperoleh secara merata oleh setiap anak bangsa. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut secara paripurna, maka dibutuhkan kekuatan dan komitmen dari Negara dan pemerintah dalam rangka menjadikan ekonomi kerakyatan dalam perwujudan berdasarkan basis “moral kewajiban” dalam orientasi melaksanakan titah Pancasila.

PenutupPancasila yang menjadi bingkai hukum di Indonesia, mem-

berikan delapan frame yang harus disadari, difahami dan dijawan-tahkan oleh setiap orang yang menjadi bagian dari Negara kesatu-an Republik Indonesia. Sebagai wujud pemikiran yang memandang Indonesia sebagai Negara kesatuan yang adil dan makmur melalui keadilan sosial yang diberikan kepada seluruh rakyatnya. Wujud keadilan sosial tersebut tidak dapat dilakukan tanpa adanya se-

Page 126: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

126 Cita Hukum Pancasila

buah sistem ekonomi yang mendukungnya, atas dasar demokrasi yang terbangun secara bersama-sama dari, oleh dan untuk kese-jateraan rakyat. Pada konteks etis dan moral hukum dalam ekono-mi kerakyatan, akan menjadi terjawantahkan apabila basis moral “kewajiban” telah menjadi dasar dalam menyusun, melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi, oleh para pelaku dan pemangku ke-pentingan dibidang pemerintahan dan bidang ekonomi, maka sesungguhnya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia akan sangat mudah untuk diraih. Sekat-sekat primordialisme dan nepo-tisme akan melebur menjadi satu dalam kebersamaan universal dan menyeluruh dalam keseimbangan ekonomi. Sehingga pada akhirnya kesejateraan rakyat akan diperoleh secara merata oleh setiap anak bangsa. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut secara paripurna, maka dibutuhkan kekuatan dan komitmen dari Negara dan pemerintah dalam rangka menjadikan ekonomi kerakyatan dalam perwujudan berdasarkan basis “moral kewajiban” dalam orientasi melaksanakan titah Pancasila.

ooo

Page 127: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

127Cita Hukum Pancasila

DAFTAR PUSTAKA

Bernard L. Tanya, “Hukum Progresif : Perspektif Moral dan Kritis, dalam Dekonstruksi Gerakan Pemikiran Hukum Pro-gresif”, Konsorsium Hukum Progresif 2013.

Bernard L. Tanya dkk, Pancasila Bingkai Hukum Indonesia, Yogya-karta: Genta Publishing, 2015.

Bayu, Ariefianto, Perundang-Undangan Ekonomi, blogspot.com, di-posting pada tanggal 04 Mei 2012.

Dian Narwastuty dkk, Ekonomi Pancasila sebagai Upaya Memban-gun Perekonomian Bangsa Indonesia ditinjau dari Pan-dangan Progresif, dalam buku Dekonstruksi dan Ger-akan Pemikiran Hukum Progresif, Konsorsium Hukum Progresif 2013, Yogyakarta: Thafa Media, 2013.

Dossy Iskandar Prasetyo dan Bernard L.Tanya, Hukum Etika dan Kekuasaan, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011.

Fatkhul Muin, “Pancasila dan Orisinalitas Keindonesiaan”, makalah disampaikan pada Konfrensi ke-5 Asosiasi Filsafat Hu-kum Indonesia, Surakarta, 17-18 November 2015.

Jimmly Assidiqie, “Membudayakan Nilai-Nilai Pancasila Dan Kae-dah-Kaedah UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945”, makalah disampaikan pada Kongres Pancasila III, diselenggarakan atas kerjasama Majelis Permusy-awaratan Rakyat dengan Universitas Airlangga, di Surabaya, 1 Juni, 2011.

Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, cetakan pertama, Yogyakarta: Genta Publishing, 2014

Page 128: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

128 Cita Hukum Pancasila

Page 129: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

129Cita Hukum Pancasila

LANDASAN ETIS NEGARA HUKUM INDONESIA

DALAM BINGKAI PANCASILA

Oleh: Any Farida, S.H., M. Hum

Dosen Fakaultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNDARIS Semarang

Page 130: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

130 Cita Hukum Pancasila

PendahuluanSejak tanggal 17 Agustus 1945 Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) lahir sebagai suatu entitas negara kebangsaan (nation state) baru yang setara dan sederajat dengan negara lain di tengah-tengah masyarakat negara-negara di dunia. Deklarasi kemerdekaan bangsa Indonesia dan lahirnya NKRI diikuti de-ngan pernyataan bentuk negara yaitu Republik dan sebagai negara (modern) yang berdasarkan hukum (negara hukum).Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 sebelum amandemen bahwa Indonesia adalah rechtsstaat (negara yang ber-dasarkan hukum) bukan maachtsstaat (negara berdasarkan atas kekuasaan belaka). Bahkan setelah amandemen keempat (2002) pernyataan bahwa Indonesia sebagai negara hukum ini dipertegas dalam batang tubuh UUD 1945 yaitu pasal 1 ayat (3) ditulis; “Nega-ra Indonesia adalah negara Hukum”.1

Negara hukum merupakan salah satu ciri dari negara modern yang diharapkan oleh semua negara-negara di belahan dunia, baik negara-negara Eropa dengan tradisi hukum kontinental, Inggris dan Amerika dengan tradisi anglo-saxon, negara-negara di jazirah Arab yang Islami, negara-negara komunis bahkan negara-negara dunia ketiga yang lama diperintah oleh rezim totalitarian.2 Menjadi negara hukum dengan menekankan pentingnya peranan hukum dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat dianggap penting bagi kehidupan modern yang lebih beradab.3

Kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia seba-gai negara hukum penuh dinamika dari masa kemerdekaan, masa mempertahankan kemerdekaan, masa orde lama, orde baru dan masa reformasi sampai sekarang. Kehadiran negara untuk mem-berikan perlindungan, kesejahteraan dan kebahagiaan seharus-nya menjadi rumah bagi seluruh anak bangsa. Pada saat sekarang setelah delapan belas tahun masa reformasi, kehadiran NKRI se-

1 Faisal, Ilmu HukumSebuah Kajian Kritis, Filsafat, Keadilan dan Tafsir, Yogyakarta: Thafamedia, 2015, hal. 85.

2 Tamanaha dalam Yance Arizona, Negara Hukum Bernurani dalam Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif Urgensi dan Kritik, Jakarta: Epistema Institute, 2011,hal.125.

3 Yance Arizona, ibid.

Page 131: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

131Cita Hukum Pancasila

bagai negara hukum belum menampakkan adanya transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, sehingga belum bisa menjadi rumah yang melindungi, menyejahterakan serta membahagiakan seluruh rakyatnya. Hal ini dapat dilihat dari fenomena yang memperihatinkan, seperti kemiskinan yang ma-sih banyak diderita oleh masyarakat sehingga berimplikasi pada dekandensi moral yang terbukti dengan maraknya kejahatan-keja-hatan yang sangat meresahkan; rasa keadilan yang sulit didapatkan dari penegak hukum sehingga melunturkan kepercayaan masyara-kat terhadap hukum; partai politik semakin pragmatis, irasional, disfungsional, dan disorientasi, lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau primordial partai daripada kepentingan masyara-kat maupun negara; pengusaha cenderung ‘berebut’ jadi penguasa sehingga terjadi konflik kepentingan serta terjadinya ignoransi dan resistensi pejabat terhadap kritik.4

Pemikiran tentang negara hukum mempengaruhi bagaimana praktik bernegara hukum dilaksanakan. Setiap hari kita disuguhi oleh berita-berita yang menunjukkan bahwa NKRI sebagai nega-ra hukum semakin jauh dari wujud yang seharusnya, penegakan hukum menjadi jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat nyamuk-nyamuk kecil tetapi ketika dihadapkan dengan serangga besar dan kumbang jaring-jaring tersebut tercabikkan.5 Kasus-ka-sus besar seperti Century, Hambalang, Mafia Pajak Gayus Tambu-nan, Kriminalisasi pimpinan KPK, Pengadaan Alat simulasi SIM di POLRI, Reklamasi Teluk Jakarta dan masih banyak lagi kasus-kasus yang besar dan merugikan negara begitu besar tidak terselesaikan sedangkan kasus-kasus kecil seperti kasus kapas, kakao, sandal jepit dan masih banyak kasus kejahatan konvensional karena ala-san kemiskinan begitu mudahnya palu hakim menjatuhkan sanksi karena telah memenuhi unsur legalitas hukum. Belum lagi masalah-masalah kenegaraan yang lain seperti kemiskinan dan rendahnya pendidikan yang masih menjadi akar permasalahan bangsa; ma-

4 Asep Warlan Yusuf, “Menemukan Kembali Watak Hukum Pancasila” dalam Zudan Arif Fakrulloh, Hukum Indonesia dalam Berbagai Perspektif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014,hal. 105.

5 Yance Arizona, op.cit, hal. 127-128

Page 132: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

132 Cita Hukum Pancasila

salah pelaksanaan pemerintahan yang jauh dari good governance dan clean goverment, masalah penerapan demokrasi yang setengah hati.

Indonesia memiliki Pancasila yang diyakini sejak lama seba-gai karakter dan perasan dari jiwa bangsa. Klaim sebagai negara hukum seyogyanya juga merujuk pada norma dasar yang ada pada Pancasila. Maka yang menjadi soal seharusnya bagaimana kita menemukan jati diri sebagai negara hukum dalam bingkai Pancasi-la yang kita yakini bersema itu?

Dinamika Negara Hukum IndonesiaDinamika pelaksanaan negara hukum Indonesia dapat dilihat

dari sejarah perkembangannya yang dapat dijelaskan dalam em-pat tahap yaitu:6 Tahap pertama, sejak proklamasi (1945) sampai awal dekade 1950-an. Gagasan tentang negara hukum pada tahap ini dapat ditemukan dalam sidang-sidang BPUPKI/PPKI dan dalam naskah UUD 1945.Paham integralistik Soepomo sangat mempe-ngaruhi pelaksanaan negara hukum saat ini. Hal ini tampak pada kedaulatan tertinggi yang melembaga dalam MPR, hubungan pe-nguasa (pemimpin) negara dan rakyat sebagai hubungan bapak-anak (paternalistik) sehingga yang dikedepankan adalah hubun-gan tanggungjawab, bukan hubungan hak-kewajiban antara negara dan warga negara, akibatnya persoalan hak asasi manusia sangat sedikit diatur dalam UUD 1945.

Pada masa tersebut persoalan negara hukum tidak terlalu menjadi perhatian, yang menjadi perhatian utama adalah bagaima-na mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda. UUD 1945 pada masa ini acapkali disimpangi, seperti dengan menerap-kan sistem parlementer, padahal dalam UUD 1945 jelas-jelas me-nganut sistem presidensiil.

Tahap kedua, berlangsung sejak tahun 1950-an sampai bera-khirnya Orde Lama tahun 1965. Pada masa ini orientasi pemikiran tentang negara hukum Indonesia mengarah pada dua arus utama,

6 Ibid, hal 129-131.

Page 133: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

133Cita Hukum Pancasila

yaitu Pancasila dan Islam.Hal ini bertalian dengan diskursus si-dang konstituante yang membahas tentang dasar negara dan gagal mengambil keputusan, oleh karenya konstituante dibubarkan oleh Soekarno tahun 1959.Sejak saat itu, maka dasar negara kembali ke-pada Pancasila walaupun implementasinya tidak sesuai nilai-nilai Pancasila itu sendiri, seperti pemaknaan demokrasi oleh Soekarno dengan demokrasi terpimpin.

Tahap ketiga, masa Orde Baru yang berkuas selama 32 tahun, di awal masa Orde Baru ini terjadi perubahan perjalanan negara hukum Indonesia. Pada masa ini hukum diabdikan sebagai pelayan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, selain itu hukum juga menjadi alat legitimasi kebijakan dan pelaksanaan kekuasaan pen-guasa negara yang tak terbatas. Politik penguasa saat itu tidak lagi anti Amerika, maka hubungan dengan Amerika (termasuk Inggris dan Australia) terjalin dengan apik melalui pengiriman orang-orang untuk menjadi pelajar dan kemudian menjadi para ahli hu-kum yang berbeda tradisi (Anglo Saxon) dengan ilmu hukum yang selama ini di dominasi oleh tradisi Belanda (Eropa Kontinental). Pergeseran orientasi pendidikan ilmu hukum ini mempengaruhi pembangunan hukum di Indonesia.

Tahap ini dapat disebut sebagai tahap perkenalan dengan “rule of law” yang berbeda dengan pemikiran “rechtsstaat”. Ciri yang kental dari konsep rule of law adalah tidak lagi meneruskan upaya memfundamentalkan ideologi, tetapi lebih banyak menekankan hal-hal empiris dari praktek kekuasaan negara seperti perlindun-gan terhadap hak asasi manusia.

Tahap keempat, setelah runtuhnya rezim Orde Baru atau era reformasi. Pada tahap ini adalah tahap implementasi negara hu-kum yang berpaham “rule of law” sebuah konsep negara hukum yang fondasinya dibangun dari kultur masyarakat Barat (khusus-nya negara dengan sistem hukum common law seperti Amerika, In-ggris dan Australia) yang individualistik. Implementasi rule of law dilakukan secara instrumental dengan mengadakan pembaruan legislasi, penegasan sparation of power, pengadopsian constitu-tional review dan penciptaan lembaga-lembaga negara yang inde-

Page 134: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

134 Cita Hukum Pancasila

penden. Jimly Asshiddiqie merupakan tokoh yang berkontribusi terhadap pemikiran dan praktik negara hukum pada periode ini.Pada tahap ini juga ada upaya untuk menambahkan nilai-nilai yang bersumber pada karakteristik Indonesia dalam ranah lingkungan dan ekonomi seperti dalam buku karyanya “Green Constitution” dan “Konstitusi Ekonomi”.

Pada kenyataannya, pelaksanaan pembaruan konsep rule of law hanya sampai pada tataran formal dengan perombakan per-aturan perundang-undangan dan pembenahan kelembagaan, na-mun tidak diikuti dengan pembaruan dan pembenahan substantif pada fungsi negara sebagai rumah yang melindungi, menyejahter-akan dan membahagiakan bagi seluruh anak bangsa.

Untuk mengurai masalah negara hukum ini ada baiknya me-nyimak pendapat dari Satjipto Rahardjo dengan konsep “Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya”.7 Konsep tersebut ber-intikan: Pertama, bahwa konsep rule of law maupun rechtsstaat lahir dari rahim masyarakat sosial Eropa yang bersifat individu-alis- liberalis yang sejalan dengan perkembangan nasionalisme, de-mokratisme dan kapitalisme pada abad ke 18 yang merebut hukum yang sebelumnya dikuasai oleh raja-raja dan gereja. Konsep rule of law maupun rechtsstaat ini tidak sesuai atau tidak cocok jika di-transplantasikan (diterapkan) begitu saja pada masyarakat Indo-nesia yang bersifat komunal dan plural.Kedua, negara hukum Indo-nesia adalah sesuatu yang dibangun, bukan sesuatu yang diimpor dari luar (imposed from outside).8Dalam membangun negara hukum hendaknya menggunakan hukum rakyat (cultural-interactional) baik adat maupun kebiasaan sebagai fundamen sehingga memberi ruang bagi pluralisme hukum dalam konsep negara hukum.9Ketiga, peran aktif negara dalam mewujudkan negara hukum yang mem-bahagiakan rakyatnya.Negara lah yang harus aktif melindungi dan melayani kepentingan rakyatnya, bukan sebaliknya.Negara hukum harus menjadi negara yang baik (benevolent state) yang memiliki

7 Baca Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta:Genta Publishing, 2009.

8 Yance Arizona, op.cit, hal. 133.9 Ibid.

Page 135: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

135Cita Hukum Pancasila

kepedulian.Bukan negara netral, tetapi negara yang bernurani (a state with concience).Negara harus dikelola oleh praktek-praktek kebajikan (practical wisdom) dan moralitas kebajikan (moral vir-tue) sebagai hati nurani dari para penyelenggara negara.10Keempat, menjunjung tinggi keutamaan manusia.Menurut Satjipto Rahardjo bahwa tujuan hukum adalah untuk mengabdi pada kepentingan manusia (human dignity), bukan sebaliknya.Oleh karenanya, se-gala sesuatu yang berhubungan dengan negara hukum tunduk dan ditundukkan pada “nurani” sebagai penentu (determinant) bukan peraturan sebagai faktor determinan.11Kelima, negara hukum sub-stantif, yang mana lebih mengutamakan manusia dan keadilan (hu-man dignity and justice) serta kesejahteraan warganya (welfare), dibandingkan dengan negara hukum formal yang bersendikan pembatasan kekuasaan negara, pemerintahan berdasarkan hukum serta pemerintahan yang dipilih secara demokratis.

Dalam salah satu risalahnya, Satjipto Rahardjo mengadvokasi-kan konsep negara hukum yang diusung tersebut sebagai “negara organik terbatas” yang berbeda dengan konsep negara integralis-tiknya Soepomo yang digunakan sebagai alat legitimasi otoritari-anisme pada zaman Orde Baru; berbeda dengan negara organik totaliter dan fasis seperti Nazi Jerman. 12Apakah yang dimaksud dengan konsep “negara organik terbatas”, Satjipto Rahardjo tidak memberikan penjelasan secara jelas.Ini merupakan tugas bagi kita semua untuk menjawab konsep negara hukum organik tersebut.

Mencoba untuk menjawab konsep ‘negara organik terbatas’ tersebut dalam tataran wacana maka dengan menyimak konsep negara hukum yang membahagiakan seperti diuraikan di atas dapat diketahui bahwa konsep negara hukum yang membahagia-kan ini merupakan fungsi negara hukum secara substantif yaitu untuk memberikan perlindungan, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi warganegaranya secara menyeluruh tanpa kecuali, sedangkan konsep negara organik terbatas ini lebih pada fungsi negara hukum secara formal yaitu untuk membatasi kesewenang-wenangan dan

10 Ibid.11 Ibid.12 Ibid.

Page 136: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

136 Cita Hukum Pancasila

penggunaan yang tidak semestinya dari kekuasaan negara. Fung-si negara secara formal ini untuk menyokong terwujudnya fungsi substantif. Negara organik adalah konsep yang mempersepsikan negara sebagai suatu kesatuan organ seperti manusia.13

Negara organik terbatas (negara hukum formal) ini merupa-kan suatu kesatuan organ yang harus didukung oleh seluruh kom-ponen negara, baik pemerintah maupun masyarakatnya dengan batasan-batasan hukum yang diciptakan sebagai kesepakatan ber-sama (gentleman agreement) yang harus dijunjung tinggi. Adapun elemen-elemen pada negara hukum formal tersebut antara lain: Pertama, pembatasan kekuasaan negara. Kedua, pemerintah de-ngan hukum (rule by law), artinya bahwa negara memerintah de-ngan hukum.Ketiga, pemerintah yang dipilih secara demokratis.14

Wacana negara hukum sebagai negara organik terbatas untuk mewujudkan negara hukum substantif yang membahagiakan rak-yatnya ini tidak dapat diimplementasikan jika tidak ada landasan etis dalam membangun negara hukum tersebut sesuai dengan karakter dari masyarakatnya sendiri. Landasan etis yang sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia adalah sikap batin morali-tas bangsa yang otentik seperti yang terumuskan dalam Pancasila. Pancasila sebagai perasaan otentik moralitas bangsa merupakan komitmen moral bangsa Indonesia yang ingin diwujudkan, yaitu membangun dan menghadirkan “negara yang membahagiakan rakyatnya”.15 Sikap moral ini lah yang menjadi pedoman bagaima-na melaksanakan dan menyelesaikan permasalahan/problem ke-bangsaan.

Prinsip moral dapat menjadi unsur kebebasan, tanggung ja-wab, dan hati nurani dalam mengelola negara hukum Indonesia.16 Pertama, unsur kebebasan merupakan unsur penting dalam norma moral. Kebebasan memandu manusia dalam menentukan pilihan untuk berperilaku berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya.Kebe-

13 Satjipto Rahardjo, Op.cit, hal. 71.14 Tamahana membagi negara hukum dalam dua versi yaitu negara hukum formal dan

negara hukum substanstif, seperti dikutip oleh Yance Arizona, op.cit, hal. 134.15 Faisal, op.cit, hal. 91.16 Faisal, ibid, hal. 93-96.

Page 137: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

137Cita Hukum Pancasila

basan harus melandaskan pada kosmologi bangsa Indonesia send-iri yang kontekstual, beragam dan penuh dengan perasaan otentik yaitu berwibawa dan penuh harga diri.Artinya, kebebasan tidak dijalankan dengan arogansi, anarkisme, individualistik ataupun membelakangi Pancasila. Kebebasan penuh dengan ”teposeliro” atau toleransi dan empati terhadap sesama. Moralitas kebebasan memandu perilaku berpolitik serta cara berhukum yang menem-patkan urusan manusia dan kemanusiaan menjadi utama. Filsafat moral Pancasila merupakan kebebasan yang merawat kebebasan itu sendiri.17

Kedua, unsur tanggung jawab merupakan indikator praksis dalam penjabaran nilai moral. Kebebasan memberikan pilihan bagi manusia untuk bersikap dan berperilaku. Oleh karenanya ke-bebasan dihadapkan dengan tanggung jawab menurut moral dan menurut hukum yang dapat diartikan sebagai kesediaan dasar untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Moralitas tanggung jawab ini sangat penting dalam negara hukum karena berhubungan dengan persoalan kepercayaan. Dalam pembangu-nan kapasitas negara hukum terdapat asas kepercayaan antara pe-nyelenggara negara dengan rakyatnya. Jika tidak ada kepercayaan maka negara hukum ini akan kehilangan dukungan konkrit dari ke-daulatan rakyatnya.

Ketiga, prinsip moral sangat menyandarkan diri pada unsur suara hati yang disebut juga dengan hati nurani.Apabila manusia menghadapi situasi konkret yang mengharuskan memilih sikap-sikap moral tertentu, maka yang hadir saat itu adalah suara hati.Negara hukum sebagai proyek yang terus berlangsung membutuh-kan pengawalan dari kesadaran dan kepedulian oleh seluruh kom-ponen bangsa agar tetap senantiasa berada pada moralitas kenura-nian.

Dari unsur-unsur moralitas di atas, dapat dikatakan bahwa konstruksi negara hukum Indonesia adalah negara hukum dengan nurani yaitu negara yang memiliki kesadaran dan kepedulian.

17 Hal ini sesuai dengan java local wisdom yaitu “ngono yo ngono tapi ojo ngono”

Page 138: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

138 Cita Hukum Pancasila

Negara hukum Indonesia bukan negara yang berhenti pada tugas-nya menyelenggarakan berbagai fungsi publik, melainkan negara yang ingin mewujudkan moral yang terkandung di dalamnya. Neg-ara hukum Indonesia lebih merupakan negara hukum moralitas Pancasila.Moralitas kebebasan, tanggung jawab dan kenuranian yang disifati, dilandaskan dan meneguhkan nilai-nilai Pancasila.18

Negara hukum Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Pan-casila ini juga memiliki fungsi pengayoman.Fungsi pengayoman tersebut mengisyarakatkan bahwa keberadaan negara beserta dengan perangkat yang mendukungnya mempunyai tugas untuk memberikan pengayoman dan perlindungan terhadap segenap el-emen bangsa Indonesia. Fungsi pengayoman mengandung makna melindungi manusia secara pasif dengan mencegah tindakan ke-sewenag-wenangan dan secara aktif menciptakan kondisi kema-syarakatan manusia yang memungkinkan proses kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap manusia mem-peroleh kesempatan yang luas dan sama untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh. 19

Landasan etis negara hukum Indonesia terdapat dalam dela-pan bingkai Pancasila seperti yang diusung oleh Bernard. L Tanya.20 Bingkai pertama dari Pancasila adalah spirit merawat ke-Indonesia-an, dari sudut ini Pancasila memikul misi nasional yaitu menjadi sebuah rumah bagi semua orang yang turut membangunnya, dan ingin hidup tenteram di dalamnya.Indonesia adalah nation state, yang dibangun, dilandasi dan diikat oleh semangat dan cita-cita ke-bangsaan.Bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang majemuk (plural) dengan ragam suku bangsa, budaya, tradisi, agama, etnis dan sebagainya.Pancasila adalah filsafat hidup (lebensphilosophie) tentang kehidupan bersama dalam Indonesia.Indonesia yang ber- Bhineka Tunggal Ika. Pancasila sebagai filsafat hidup maupun se-bagai dasar negara berfungsi sebagai jiwa bangsa dan jati diri na-

18 Faisal, op.cit, hal. 97.19 Teguh Prasetyo, “Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Pancasila”, dalam

Zudan Arif Fakrulloh, op.cit, hal. 101-102.20 Bernard L. Tanya, Pancasila Bingkai Hukum Indonesia,Yogyakarta:Genta Publishing,

2015,hal. 1-11.

Page 139: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

139Cita Hukum Pancasila

sional.21 Filsafat Pancasila memancarkan identitas dan integritas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-relegious.22 Integritas demikian sebagai bagian dari keunggulan dari sistem filsafat Timur karena sesuai dengan potensi martabat dan integritas kepribadian manusia.23

Bingkai kedua Pancasila adalah spirit gentleman agreement, yang merupakan kesepakatan terhormat dari orang-orang terhor-mat (founding fathers) yang saling menghormati meski terdapat perbedaan diantara mereka yang sulit dipertemukan.Pada gentle-man agreement ini terdapat nilai-nilai luhur yang sangat prinsip yaitu kehormatan dan jiwa besar. Para founding fathers secara ksa-tria dan elegan mengenyampingkan jalan primordial sebagai cara hidup dan memilih sepakat menempuh cara hidup toleran melalui Pancasila. Gentleman adalah etos sosial yang mengedepankan keju-juran, ksatria, berani bertanggung jawab, taat asas, pantang ingkar janji, memihak kebenaran, menjunjung tinggi keadilan, patuh dan setia pada aturan main bersama.Sikap gentleman seharusnya me-landasi seluruh kebijakan di bidang hukum (legislasi, yudikasi dan eksekutif).24

Bingkai Pancasila yang ketiga, yaitu bahwa Pancasila merupa-kan pedoman hidup bersama dalam rumah Indonesia yang sanggup memberi harapan, memberi keyakinan dan membangun komitmen para penghuninya untuk hidup rukun dan sejahtera di dalamnya. Pedoman hidup yang ditawarkan Pancasila adalah cara hidup “go-tong-royong”; Sila pertama merupakan jalan gotong-royong antara semua kelompok agama/kepercayaan untuk sama-sama memprak-tikkan kemuliaan ilahi, yakni melakukan yang benar, baik, dan luhur dalam rumah Indonesia. Menghadirkan Tuhan dalam rumah Indo-nesia berarti semua kelompok agama/kepercayaan bergotong-ro-yong untuk bersama-sama mempraktikkan perbuatan yang benar,

21 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum_Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 392.

22 Filsafat Theisme-relegious adalah filsafat yang tidak hanya mengandalkan ratio-logic saja, tetapi juga mendasarkan pada agama dan ketuhanan.

23 Teguh Prasetyo, ibid, hal. 393-394.24 Bernard L.Tanya, op.cit, hal 19

Page 140: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

140 Cita Hukum Pancasila

baik dan luhur.Sila kedua adalah jalan gotong-royong antar sesama manusia (atas spirit mulia sila pertama) untuk menegakkan kema-nusiaan, keadaban, dan keadilan dalam rumah Indonesia. Martabat manusia dihormati, cara-cara hidup beradab dikedepankan dan perilaku bar-bar kebiadaban dan hewani ditinggalkan, mampu berlaku adil sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Masyarakat Indonesia seharusnya merupakan orang-orang yang bertuhan dan mampu menegakkan kemanusiaan, keadaban dan keadilan.25

Sila ketiga, adalah jalan gotong royong antar sesama anak bangsa (atas dasar spirit mulia sila pertama dan keharusan norma-tif sila kedua) untuk menjaga persatuan dalam rumah Indonesia.Tugas merawat hidup bangsa adalah tugas hukum Indonesia ber-dasarkan sila ketiga, yaitu mengusahakan integrasi nasional.26 Ti-dak ada hidup bersama yang beradab dan adil yang dapat berkem-bang atau bertahan tanpa hukum.Hukum menjadi fondasi sekaligus perekat yang mencegah masyarakat dari disintegrasi, yaitu hancur dan anarkhisme.27

Sila keempat adalah jalan gotong royong antara sesama anak bangsa (atas dasar spirit mulia sila pertama, keharusan normatif sila kedua, dan semangat persatuan sila ketiga) untuk bersama-sama (secara hikmat-bijaksana dan musyawarah-mufakat) menge-lola negara untuk melayani kepentingan rakyat sebagai pemilik dan penghuni rumah Indonesia.28 Sila keempat Pancasila merupakan doktrin Indonesia mengenai hidup bernegara, yaitu “kerakyatan”, artinya poros penyelenggara negara adalah rakyat dan kepentin-gannya.Kata lainnya adalah “demokrasi”, demokrasi bagi kehidu-pan bersama bangsa Indonesia. Suatu demokrasi kerakyatan yang tak terpisah dari misi negara hukum Indonesia, “Indonesia yang kian kokoh menjadi sebuah rumah bagi semua penghuninya yang ingin hidup damai, tenteram, dan sejahtera di dalamnya”.29

25 Ibid, hal 426 Ibid, hal 65.27 Bernard L.Tanya, Moralitas Hukum sebagai Pemandu Keadaban dalam Yovita A. Mangesti

dan Bernard L.Tanya, MoralitasHukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2014, hal. 63.28 Bernard L.Tanya, dkk,Pancasila Bingkai Hukum Indonesia, op.cit, hal. 4.29 Ibid, hal 83

Page 141: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

141Cita Hukum Pancasila

Sila kelima adalah jalan gotong royong antar sesama warga masyarakat; kaya dan miskin, kuat dan lemah (atas dasar spirit mu-lia sila pertama, keharusan normatif sila kedua, semangat persat-uan sila ketiga, dan misi luhur sila keempat) untuk saling berbagi dan saling menatang merealisasikan/mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang menghuni rumah Indonesia.30Sila kelima merupakan doktrin Indonesia tentang demokrasi ekonomi, yakni keharusan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.Dok-trin demokrasi ekonomi ini menjadi landasan politik negara dan hukum dalam merawat kehidupan bermasyarakat.Ada yang spe-sifik dalam demokrasi ekonomi Indonesia, yaitu “keadilan sosial”.Bidang ekonomi yang sebenarnya miskin nilai harus ditata dengan politik nilai; keadilan sosial.Keadilan sosial merupakan “jalan nilai” versi Pancasila untuk memperkokoh “rumah Indonesia”.31

Bingkai Pancasila yang keempat, adalah semangat menyeleng-garakan segala yang benar, adil dan baik dalam berbagai matra/hal. Semangat ini sangat penting sebagai patokan atau spirit mulia yang harus mendasari cara hidup dalam rumah Indonesia. Ini berarti, se-tiap penghuninya (segenap komponen bangsa) dalam seluruh tin-dakannya sebagai anggota keluarga besar rumah Indonesia secara moral harus bersemangat untuk melakukan yang benar, adil dan baik dalam segala hal.Realisasi spirit tersebut merupakan etika so-sial bagi seluruh komponen bangsa.32

Bingkai Pancasila yang kelima merupakan doktrin Indonesia tentang mutu manusia, yaitu manusia Indonesia yang berperikem-anusiaan di satu sisi dan mampu adil dan beradap pada sisi lain. Us-aha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik dalam hal kemanusiaan semesta, terderivasi menjadi seruan untuk merawat nilai-nilai kemanusiaan.33 Nilai-nilai kemanusiaan semesta ini berkaitan dengan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM).

30 Ibid, hal 531 Ibid, hal 11132 Ibid, hal 533 Ibid, hal 7

Page 142: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

142 Cita Hukum Pancasila

Bingkai keenam Pancasila adalah keharusan merawat persa-tuan Indonesia, yaitu merawat kehidupan berbangsa untuk mewu-judkan integrasi nasional. Secara kultural, mesti ada semacam “ob-sesi kolektif-etis”, bahwa kehadiran seorang sebagai warga bangsa harus bermakna dan bermanfaat bagi orang lain, sehingga menja-dikan kenyamanan dan keselamatan bersama sebagai kepentingan bersama untuk mewujudkan persatuan Indonesia.34

Bingkai ketujuh Pancasila adalah merawat kerakyatan.Ker-akyatan dalam sila keempat Pancasila berarti keutamaan suara rakyat dan keutamaan kepentingan rakyat.Negara hadir untuk itu.Penyelenggaraan negara dalam berbagai urusan harus bermuara pada pelayanan maksimal untuk kepentingan rakyat. Seluruh pro-gram (perencanaan sampai pelaksanaan) harus dimusyawarahkan dengan rakyat. Musyawarah mufakat antara penyelenggara nega-ra merupakan perwakilan kepentingan rakyat, bukan kepentin-gan mereka masing-masing, sehingga agenda-agenda yang dibuat pemerintah dapat menjawab kebutuhan rakyat dan menjadi pemersatu bagi penghuni rumah Indonesia.35

Bingkai kedelapan Pancasila, adalah keadilan sosial. Keharu-san mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia me-lalui demokrasi ekonomi, ini menjadi landasan politik negara dan hukum dalam merawat kehidupan bermasyarakat.Untuk mewu-judkan rumah Indonesia yang rukun dan bermartabat, konstitusi mewajibkan agar sumber-sumber daya yang menguasai hajat hid-up orang banyak/rakyat harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya.36

PenutupNegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan

negara hukum (rechtsstaat/rule of law) yang berarti bahwa dalam pelaksanaan kehidupan bernegara harus berdasarkan hukum bu-kan berdasarkan kekuasaan semata.Kehidupan bernegara dan ber-

34 Ibid, hal 7-835 Ibid, hal 836 Ibid. Hal 8-9

Page 143: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

143Cita Hukum Pancasila

masyarakat di Indonesia sebagai negara hukum penuh dinamika dari masa kemerdekaan, masa mempertahankan kemerdekaan, masa orde lama, orde baru dan masa reformasi sampai sekarang. Kehadiran negara untuk memberikan perlindungan, kesejahteraan dan kebahagiaan seharusnya menjadi rumah bagi seluruh anak bangsa. Pada saat sekarang setelah delapan belas tahun masa re-formasi, kehadiran NKRI sebagai negara hukum belum menam-pakkan adanya transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, sehingga belum bisa menjadi rumah yang melind-ungi, menyejahterakan serta membahagiakan seluruh rakyatnya.NKRI sebagai negara hukum memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan rechtsstaat/rule of law dari negara-negara barat yang sosio kultural masyarakatnya individualistik dan kapitalis. Konsep negara hukum dari masyarakat barat ini tidak bisa serta merta ditransplantasikan ke dalam bangsa Indonesia.Negara hu-kum Indonesia didasarkan pada landasan etis bangsa Indonesia sendiri yang bersifat plural dan komunal. Landasan etis negara hu-kum Indonesia adalah Pancasila yang merupakan weltanchauung/lebensphilosophie sebagai pedoman cara hidup berbangsa, ber-negara dan bermasyarakat. Karena Pancasila merupakan kristal-isasi nilai-nilai luhur yang otentik dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Landasan etis negara hukum Indonesia ini terdapat dalam bingkai-bingkai Pancasila yaitu; spirit merawat keindonesiaan; spirit gentleman agreement; pedoman hidup bersama (cara hidup gotong-royong); spirit berbuat yang benar, adil dan baik dalam se-gala matra/hal; spirit merawat nilai-nilai kemanusiaan dalam mutu (kualitas) manusia yang berperikemanusiaan sekaligus adil dan beradab; merawat persatuan Indonesia; merawat kerakyatan dan merawat kehidupan bermasyarakat. Dengan landasan etis dalam bingkai Pancasila ini maka negara hukum Indonesia akan menjadi sebuah rumah bagi seluruh masyarakat (yang sangat plural ini) penghuninya untuk mendapatkan kehidupan yang tenteram, adil dan sejahtera. Negara hukum Indonesia sebagai rumah yang me-nyanangkan, menyejahterakan dan membahagiakan bagi seluruh anak bangsa.

ooo

Page 144: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

144 Cita Hukum Pancasila

DAFTAR PUSTAKA

Arif Zudan Fakhrulloh, Hukum Indonesia dalam Berbagai Perspektif, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

A. Myrna Safitri dkk. (editor), Satjipto Rahardjo dan Hukum Pro-gresif: Urgensi dan Kritik,Jakarta: Epistema Institute, 2011.

Bernard L. Tanya dkk., Pancasila Bingkai Hukum Indonesia, Yogya-karta: Genta Publishing, 2015.

Faisal, Ilmu Hukum Sebuah Kajian Kritis, Filsafat, Keadilan dan Tafsir, Yogyakarta: Thafamedia, 2015

Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Penerbit Paradigma, 2010.

Muhammad Erwin, Filsafat Hukum: Reflaksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

________, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kom-pas, 2006.

________, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia: Kaitannya dengan Profesi Hukum dan Pembangunan Hukum Nasi-onal, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat Berkeadi-lan dan Bermartabat, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Yovita. A Mangesti dan Bernard L.Tanya, Moralitas Hukum, Yogya-karta: Genta Publishing, 2014.

Page 145: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

145Cita Hukum Pancasila

NILAI-NILAI PANCASILA DALAM

INDEPENDENSI HAKIM DAN

KEKUASAAN KEHAKIMAN

Oleh: Yulias Erwin, S.H., M.H

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram

Nusa Tenggara Barat

Page 146: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

146 Cita Hukum Pancasila

PendahuluanPancasila adalah landasan filosofis bernegara dari bangsa

Indonesia. Hal ini juga dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar, yang merupakan kesepakatan umum warga negara mengenai norma dasar (grundnorm) dan aturan dasar (grundgesetze) dalam kehidu-pan bernegara. Kesepakatan ini utamanya menyangkut tujuan dan cita-cita bersama, the rule of law sebagai landasan penyelengga-raan negara, serta bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan. Jadi negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtssta-at). Hukum adalah bagian dari ilmu yang lahir melalui berbagai perubahan peradaban dengan pemikiran-pemikiran yang variatif, dan penuh dengan kontroversial. Perbedaan argumen dan paham kerap terjadi sehingga sedikit banyak mempengaruhi perkemban-gan ilmu hukum itu dari zaman ke zaman.

Sejarah mencatat, telah terjadi reformasi pemikiran tentang ilmu terhadap supremasi dan doktrin/ajaran gereja khatolik Roma yang dimulai melalui semangat renaisans (abad 15-16 M). Secara berangsur masyarakat Eropa mulai melepaskan diri dari otoritas gereja yang dianggap telah membelenggu dalam mengemukakan kebenaran berpikir, berfilsafat dan mengemukakan kebenaran. Be-gitu juga dengan ilmu hukum, khusunya hukum positif yang ber-laku di Indonesia, perlu pemikiran yang lebih mendalam guna men-emukan formasi ideal sebagai media para pencari keadilan, dan bagi para penegak hukumpun harus mampu keluar dari doktrin ilmu modern dengan memasuki dimensi yang baru yaitu doktrin posmodrenisme, yang mengandung nilai dan jiwa bangsa Indone-sia yaitu apa yag terkandung di dalam Pancasila.

Kaitannya dengan independensi kekuasaan kehakiman, bah-wa sesuai dengan ajaran trias politika yang digagas oleh Monstes-quieu, maka kekuasaan negara dibagi dan dipisahkan dalam tiga bidang kekuasaan, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudi-katif. Bidang kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan menjalankan

Page 147: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

147Cita Hukum Pancasila

peradilan atau kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman ini harus bersifat merdeka, mandiri, dan terpisah dari kekuasaan eksekutif ataupun legislatif, yang merupakan salah satu asas atau prinsip negara hukum. Kemerdekaan dan kemandirian kekuasaan yudikatif tersebut dikandung maksud agar lembaga ini dapat lel-uasa menjalankan fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan tanpa ada pengaruh atau intervensi dari kekekuasaan manapun.

Dalam konteks Konstitusi Indonesia, pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hu-kum. Hal ini berarti semua lembaga kekuasaan negara, termasuk kekuasaan yudikatif yang menjalankan kekuasaan kehakiman, ha-rus tunduk dan berdasar atas hukum. Sebagaimana telah dirumus-kan dalam Pasal 24 UUD 1945:

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Penegasan UUD 1945 tersebut menunjukkan bahwa kekua-saan kehakiman harus merdeka atau bebas dari pengaruh kekua-saan lainnya, dan untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman tersebut maka dibentuklah Mahkamah Agung dan badan-badan kehakiman lainnya sebagai pelaksana seluruh kegiatan penyeleng-garaan peradilan yang dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. Dalam tulisannya, Arief menyatakan tentang konsep kekuasaan lembaga peradilan dalam arti luas, yakni: “Kekuasaan lembaga peradilan adalah kekuasaan negara untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya Negara Republik Indonesia. Maka kekuasaan kehakiman tidak berarti hanya kekuasaan mengadili (kekuasaan menegakkan hukum di badan-badan peradilan) saja,

Page 148: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

148 Cita Hukum Pancasila

tetapi juga mencakup kekuasaan menegakkan hukum dalam selu-ruh proses penegakan hukum”.1

Sejalan dengan gagasan dan syarat-syarat tegaknya negara hukum, salah satu syaratnya adalah adanya kekuasaan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari campur tangan kekuasaa-an lainnya. Oleh karena itu, ide-ide tentang kemerdekaan lembaga yudikatif lahir bersamaan dengan gagasan negara demokrasi dan negara hukum yang sekarang telah berkembang di berbagai bela-han dunia, tidak terkecuali di Indonesia, sekalipun dalam perjalan-nannya mengalami pasang surut.2

Dalam sistem hukum Indonesia, Kekuasaan Kehakiman di-tempatkan sebagai badan yang merdeka, mandiri, dan terlepas dari kekuasaan manapun agar dapat menegakkan hukum dan keadilan secara substansial dan formal. Hal itu terlihat jelas pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, dan terakhir di-rubah dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa, “Kekua-saan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadi-lan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Re-publik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hu-kum Republik Indonesia”. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tersebut diserahkan kepada Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan lain yang berada di bawahnya dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

Lembaga peradilan sebagai lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman harus merupakan lembaga yang bebas dan mandiri, merupakan prasyarat dalam suatu negara hukum. Kebe-basan demikian terkandung di dalamnya adalah kebebasan dari

1 Barda Nawari Arief, “Pokok-pokok Pikiran Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka”, Makalah sebagai Bahan Masukan untuk Penyusunan Laporan Akhir Tim Pakar Departemen Kehakiman Periode 1998/1999, Departemen Kehakiman, Jakarta, 1999. hal. 3.

2 Rusli Muhammad, Kemandirian Pengadilan Indonesia, Yogyakarta: FH UII Pers, 2010, hal. 7.

Page 149: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

149Cita Hukum Pancasila

campur tangan badan-badan lainnya baik esksekutif maupun yu-dikatif. Kebebasan yang dimiliki pengadilan atau kehakiman tidak lain adalah suatu kemandirian yang sangat diperlukan dan meru-pakan conditio sine quanon, karena selain menunjukkan bahwa negara ini adalah negara hukum, juga menunjukkan akan adanya jaminan terselenggaranya peradilan yang independen guna men-egakkan hukum yang berintikan keadilan, jauh dari keberpihakan.

Secara konstitusional maupun perundang-undangan harus terdapat jaminan kemandirian dan kebebasan lembaga kehakiman yakni mandiri dalam menjalankan kekuasaannya, dalam arti bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah terutama dalam menyeleng-garakan peradilan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan. Dalam kenyataannya kemandirian dan kemerdekaan hakim di pen-gadilan terkadang sulit untuk diwujudkan, karena telah dintervensi atau dicampuri oleh kekuatan dan kekuasaan lain. Banyak kasus hakim dalam mengadili perkara terpengaruh atau dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan ekstra-yudisial terhadap kekuasaan keha-kiman.

Independensi kekuasan kehakiman harus menyeluruh tidak hanya terbatas pada salah satu bagian dari lembaga peradilan, tetapi independensi itu harus pula tersebar ke seluruh bagian atau komponen-komponen yang dimiliki oleh lembaga peradilan. Oleh karena itu, menurut Rusli Muhammad, independensi lembaga per-adilan (kehakiman) tidak sekedar pada tingkatan prosesnya, me-lainkan juga menyentuh pada tataran struktur organisasi, adminis-trasi, keuangan, dan personalnya.3

Pada zaman pemerintahan orde baru, hakim tidak bisa lepas dari intervensi pemerintah. Dalam konteks ini, Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru sangat menghendaki hakim pengadi-lan wajib memutus sengketa tidak boleh menyimpang dari konsep ‘pembangunan’ menurut penafsiran pemerintah, hakim juga telah menjadi bagian hegemoni dan pegawai negeri sipil yang dikondisi-kan untuk mendukung kepentingan politik pihak yang berkuasa.4

3 Ibid., hal. 54.4 Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma Non-Letigasi di Indonesia, Surakarta: UNS

Pers, 2006, hal. 103-14.

Page 150: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

150 Cita Hukum Pancasila

Sejalan dengan uraian di atas, menunjukkan bahwa ke-merdekaan kekuasaan kehakiman di Indonesia dalam perkemban-gannya mengalami pasang surut. Banyak faktor yang mempenga-ruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman, baik faktor struktural, substansial, maupun kultural. Dilihat dari sumbernya, faktar-faktor tersebut bisa bersifat internal dan eksternal dari lembaga kekua-saan kehakiman itu sendiri. Namun yang pasti, dari waktu ke wak-tu, upaya untuk memperkuat kekuasaan lembaga kehakiman yang merdeka terus diperjuangkan, sehingga tujuan penegakan hukum dan keadilan dapat tercapai. Dengan demikian, kemandirian dan independensi kekuasaan kehakiman semakin kuat untuk mampu menegakkan hukum dan keadilan.

Hakim dan Kekuasaan dalam Negara HukumSejarah timbulnya pemikiran atau cita negara hukum sebena-

rnya sudah sangat tua, jauh lebih tua dari usia ilmu negara ataupun ilmu kenegaraan. Adalah Plato yang pertama kali mengemukakan konsep mengenai “cita negara hukum” , yang mengatakan bahwa, penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pen-gaturan (hukum) yang baik yang disebutnya dengan istilah “no-moi”. Hukum dan perundangan sangatlah penting untuk menata polis.5 Hakim sebagai manusia dengan profesi yang tinggi di lem-baga peradilan adalah aktualisasi dari suatu negara hukum.

Sebagaimana telah dirumuskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Penegasan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum dituangkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Konsekuensi dari penegasan tersebut adalah adanya perlindungan hak asasi manusia, adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan yang bebas dan tidak memi-hak, serta adanya legalitas dan kepastian hukum sehingga hukum dapat diterapkan dan ditegakkan dalam segala bentuknya. Untuk mewujudkan cita-cita kekuasaan kehakiman yang merdeka, Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman

5 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum; Perspektif Historis, Bandung: Penerbit Nusa Media, 2014, hal. 7.

Page 151: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

151Cita Hukum Pancasila

merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dalam ketentuan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman, independensi hakim dalam melak-sanakan tugas kehakimannya mencakup structural indepen-dence dan functional independence. Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum dan keadilan, hakim tidaklah hanya harus terbebas dari intervensi pihak luar, namun hakim juga sangat membutuhkan moralitas tinggi, sebagaimana nilai moral yang tercermin dalam falsafah bernegara kita yakni Pancasila. Seperti hipotesis dari Plato yang mengatakan bah-wa, “di tangan pelaksana yang tidak arif dan bijaksana, maka hukum cenderung menjadi alat kemungkaran”. Jadi Plato seb-etulnya mengingatkan kita betapa faktor manusia (aparat) merupakan soal yang sangat sentral dalam hukum disamping faktor-faktor lain, semisal sarana yang memadai, dana yang cukup, kebijakan instansi dan lain sebagainya.6

Pada hakikatnya cita-cita untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri merupakan cita-cita uni-versal. Dalam konteks kemerdekaan hakim, cita-cita menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka itu dapat dilihat dalam Ba-sic Principles on Independence of The Judiciary, yang diajukan oleh Majelis Umum PBB7, yang juga dapat dilihat pada Beijing Statement of Principles of The Independence The Law Asia Region of The Judi-ciary di Manila tanggal 28 Agustus 1997, yang didalamnya ditegas-kan bahwa:

1. Kehakiman merupakan institusi nilai moral yang tertinggi pada setiap masyarakat;

2. Kemerdekaan hakim mempersyaratkan bahwa hukum memu-tuskan sebuah perkara sepenuhnya atas dasar pemahaman undang-undang dan terbebas dari pengaruh dari manapun,

6 Bernard L. Tanya, Yoan N Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hal. 42.

7 Resolusi 40/32 tanggal 29 November 1985 dan Rsolusi 40/146 tanggal 13 Desember 1985.

Page 152: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

152 Cita Hukum Pancasila

baik langsung maupun tidak langsung, hakim memiliki yuris-diksi atas segala isu yang memerlukan keadilan.

Konsepsi Kekuasaan Kehakiman yang MerdekaIndependensi kekuasaan kehakiman dapat dikategorikan ke

dalam dua keadaan, yaitu (1) independen normatif, dan (2) indepen-den empiris. Dari dua macam keadaan tersebut dalam prakteknya saling berkaitan satu sama lain, sehingga dilapangan muncul be-berapa bentuk independensi sebagai berikut:

1. Secara normatif independen dan realitanya juga independen. Disini antara ketentuan yang ada dalam perundang-undangan dengan kenyataan yang ada di lapangan kekuasaan kehakiman sama-sama independen. Bentuk ini merupakan bentuk ideal yang seharusnya terjadi pada sebuah negara hukum.

2. Secara normatif tidak independen dan realitanya juga tidak independen. Di Indonesia, model ini pernah terjadi pada ta-hun 1964 ketika UU No 19 Tahun 1964 disahkan, dimana pada pasal 19 nya disebutkan bahwa presiden dapat turut atau campur tangan dalam masalah pengadilan dan realitanya di-lapangan hal itu terjadi. Model ini merupakan terburuk dari model kekuasaan kehakiman karena kekuasaan kehakiman tidak merdeka dan tidak independen.

3. Secara normatif independen, akan tetapi realitanya tidak in-dependen. Di Indonesia, model ini pernah terjadi pada masa orde baru dimana dalam peraturan perundang-undangan se-cara tegas dinyatakan kekuasaan kehakiman itu merdeka dan independen akan tetapi pada kenyataan dilapangan para ha-kim dan pelaku kekuasaan kehakiman sering mendapat inter-vensi dari eksekutif dan ekstra yudisial lainnya.8

Dalam melaksanakan kekuasaannya yang mandiri dan merde-ka, hakim selalu diawasi dan dikontrol oleh peraturan-peraturan hukum atau undang-undang yang ada. Kehadiran berbagai per-

8 Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Jakarta: STIH Iblam, 2004, hal.10.

Page 153: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

153Cita Hukum Pancasila

aturan perundang-undangan ini dapat menjamin dan memperkuat posisi kemandirian dan kemerdekaan lembaga peradilan dalam menjalankan tugasnya, namun tidak dapat pula dipungkuri ber-dasarkan pengalaman sejarah justru terdapat peraturan perun-dang-undangan yang memberi peluang kepada lembaga kekuasaa-an lainnya untuk mencampuri atau mengintervensi kemandirian dan kemerdekaan hakim dalam menjalankan tugasnya, baik di bi-dang organisatoris, administratif maupun bidang finansial. Dalam konteks ini, menarik untuk menyimak apa yang dikemukakan oleh Said sebagai berikut: “Spirit dalam UUD 1945 yang menegaskan bahwasannya kekuasaan kehakiman itu harus terlepas dari pen-garuh kekuasaan pemerintah maka dengan sendirinya segala per-aturan perundang-undangan yang menempatkan kekuasaan keha-kiman di bawah pengaruh kekuasaan pemerintah atau eksekutif seharusnya adalah batal demi hukum, tetapi ternyata ketentuan tersebut ada atau terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan kita, salah satu diantaranya adalah Pasal 11ayat (1) Un-dang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menentukan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Pengadilan dalam keempat ling-kungan peradilan yang menyangkut organisasi, administratif dan finansial ada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan”.9

Sebagaimana telah disebutkan oleh Sahlan Said di atas, dapat memberikan suatu pengertian bahwa pengawasan dan pembinaan terhadap pengadilan dalam bidang teknis dilakukan oleh Mahka-mah Agung, tetapi di bidang organisasi, adaministrasi, dan finansi-al dilakukan oleh masing-masing departemen yang bersangkutan. Pengawasan dan pembinaan yang demikian itu berarti memberi peluang adanya intervensi terhadap lembaga peradilan oleh badan eksekutif.

Untuk dapat mewujudkan kemerdekaan dan kemandirian kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsi yustisialnya, di-

9 Sahlan Said, “Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, Pengalaman Praktek Menuju Kemandirian Hakim”, Makalah disajikan pada Seminar 50 Tahun Ke-mandirian Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, diselenggarakan Fakultas Hukum UGM, 26 Agustus 1995, hal. 5

Page 154: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

154 Cita Hukum Pancasila

perlukan beberapa prinsip dasar sebagai rambu-rambu atau pe-doman. Sekurang-kurangnya terdapat 5 (lima) prinsip dasar bagi terselenggaranya kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang se-cara garis besar dapat diringkas dalam uraian Muhammad sebagai berikut:

Pertama, berkenaan dengan kemandirian lembaga peradilan. Kemandirian dan kemerdekaan lembaga peradilan dijamin oleh negara dan diisyaratkan atau dituangkan dalam konstitusi atau hu-kum negara. Hal itu sebagai kewajiban bagi seluruh pemerintahan dan institusi-institusi lainnya untuk menghormati dan memper-hatikan kemandirian pengadilan itu. Ketika hakim bertugas un-tuk memutus perkara yang diajukan kepadanya berdasarkan atas fakta dan kesesuaian dengan hukum, tanpa ada suatu pembatasan, pengaruh-pengaruh yang tidak patut, bujukan-bujukan, tekanan-tekanan, ancaman atau intervensi langsung atau tidak langsung dari sejumlah pihak lain.

Kedua, adalah kebebasan berekspresi dan berkumpul (beror-ganisasi). Hal ini dirumuskan apabila anggota pengadilan berhak mendapatkan kebebasan berekspresi, kepercayaan, perkumpulan, dan penggunaan hak-hak seperti itu, maka para hakim akan selalu berperilaku dengan cara yang dapat menjaga martabat dari jabatan mereka dan bersikap jujur serta kemerdekaan dalam proses pera-dilan. Keterlibatan para hakim dalam suatu organisasi lain adalah untuk mewakili kepentingan mereka, untuk mengembangkan pro-fesi mereka, dan untuk perlindungan kemerdekaan proses peradi-lan yang mereka laksanakan.

Ketiga, berkaitan dengan kualifikasi dan seleksi hakim. Bahwa orang yang diseleksi untuk menjadi hakim dipengadilan adalah individu-individu yang tulus hati dan mampu dengan pendidikan dan latihan-latihan yang tepat atau memenuhi kualifikasi menurut hukum. Setiap metode seleksi harus dapat melindungi pengang-katan calon hakim atas dasar motif-motif yang tidak patut. Dalam seleksi hakim, tidak ada diskriminasi terhadap person atas dasar jenis kelamin, ras atau suku, warna kulit, agama, politik, asal usul kebangsaan atau status sosial, kekayaan, dan lain-lain, kecuali atas

Page 155: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

155Cita Hukum Pancasila

dasar kemampuan khusus, integritas, kemauan, pendidikan dan pengalaman yang dimiliki.

Keempat, kerahasian dan kekebalan profesi. Rahasia dan keke-balan profesi merupakan bagian yang relevan dengan jaminan ke-mandirian dan kemerdekaan hakim. Oleh karena itu, hakim dalam lembaga pengadilan harus diikat dengan rahasia profesional se-hubungan dengan keterlibatan dan kerahasiaan informasi mereka yang dibutuhkan dalam menjalankan tugas mereka yang berbeda dengan pekerjaan umum lainnya. Hakim harus mendapatkan keke-balan personal dari tuntutan sipil untuk kerugian material atau fi-nansial dikarenakan tindakan dalam melaksanakan fungsi peradi-lan itu sendiri.

Kelima, pendisiplinan, pemindahan, dan pemberhentian ha-kim. Tuntutan atas tanggung jawab yang ditujukan kepada hakim dalam kapasitas yudisial dan profesionalitasnya harus diproses se-cara tuntas dan fair di bawah prosedur yang sesuai. Hakim seharus-nya dapat dipindahkan atau diberhentikan hanya apabila dilaku-kan atas alasan ketidakmampuan atau perilaku yang menyebabkan mereka tidak sempurna untuk menjalankan tugasnya. Seluruh ben-tuk prosedur pendisiplinan, pemindahan, atau pemberhentian ha-kim harus ditentukan sesuai standar aturan peradilan yang ditetap-kan. Keputusan-keputusan yang diambil dalam prosedur-prosedur tersebut seharusnya dilakukan oleh sebuah komite penelitian atau peninjauan yang independen, sehingga terhindar dari keputusan yang subjektif, yang pada gilirannya merugikan dan mengganggu independensi hakim itu sendiri.10

Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan di atas, dapat diambil simpulan bahwa konsepsi kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan kehakiman yang mandiri dan bebas dari pen-garuh atau intervensi dari lembaga kekuasaan lainnya. Dengan kemandirian dan kebebasan yang dimiliki, lembaga kekekuasaan kehakiman akan dapat menjalankan fungsi yustisialnya dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan yang sebaik-baiknya. Untuk dapat melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka

10 Rusli Muhammad, Op. Cit., hal. 46-48.

Page 156: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

156 Cita Hukum Pancasila

diperlukan beberapa prinsip dasar, antara lain: (1) Adanya lem-baga peradilan atau kehakiman yang tetap mandiri, sehingga tidak tersubordinasi oleh kekuasan lembaga lain; (2) Adanya kebebasan berekspresi dan berkumpul (berorganisasi) bagi para hakim, guna memperjuangkan dan mengembangkan kualitas profesinya; (3) Ad-anya kualifikasi dan seleksi hakim secara memadai, yang berkaitan dengan pendidikan, latihan, dan pengalaman yang dimilikinya; (4) Adanya kerahasiaan dan kekebalan profesi hakim, terutama dalam proses peradilan yang dilaksanakannya; dan (5) Adanya pendis-iplinan, pemindahan dan pemberhentian hakim hanya yang sesuai dengan prosedur hukum atau perundang-undangan yang berlaku.

Selain menciptakan hakim dengan kriteria-kriteria diatas, saat ini kita membutuhkan hakim yang memiliki spiritualisme tinggi. Ditangan hakim, pencapaian keadilan dan kebahagiaan hukum dapat terwujud dengan men-dialog-kan nilai-nilai yang terkandung dalam agama, etika dan moralitas bersama dengan persoalan hu-kum. Disinilah pentingnya dimensi transendental sebagai formula yang tepat untuk merekonstruksi hukum dan struktur hukum me-lalui tangan hakim dengan pendekatan spiritual.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemerdekaan Kekua-san Kehakiman

Berbicara tentang faktor-faktor yang dapat berpengaruh terh-adap perilaku seseorang atau sekelompok orang, tampaknya bersi-fat kompleks dan multi entri. Ahli-ahli pendidikan dan psikologi sering melihat dan meninjau dari faktor-faktor internal dan fak-tor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku individu dan masyarakat.11 Sementara itu, ahli-ahli hukum seperti Lawrence M Friedman menyebutkan bahwa aspek-aspek atau kom-ponen yang dapat mempengaruhi sistem kemasyarakatan terma-suk sistem hukum adalah: (1) Aspek struktural atau kelembagaan, (2) Aspek substansial atau materi hukum, dan (3) Aspek kultural atau budaya hukum.12

11 Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Ilmu Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, hal. 17.12 As’ad Nugroho (Ed), Mencari Keadilan, Bunga Rampai Penegakan Hak Konsumen, Jakarta:

Pirac, 2001, hal. 7-11.

Page 157: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

157Cita Hukum Pancasila

a. Struktur Lembaga Peradilan

Bilamana struktur lembaga peradilan di mana para hakim ber-naung dan menjalankan fungsinya, dibangun dengan susunan mod-ern dan dukungan hukum modern pula, maka diharapkan struk-tur lembaga tersebut dapat memenuhi unsur-unsur modern yang bersifat otonom. Struktur yang demikian dengan sendirinya akan berpengaruh kepada kemerdekaan atau kebebasan lembaga pen-gadilan di mana para hakim bernaung di dalamnya.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahka-mah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna men-egakkan hukum dan keadilan. Untuk mewujudkan kekuasaan ke-hakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa perlu dilakukan penataan sistem peradilan yang terpadu. Salah satu penataan sistem peradilan yang terpadu ini ialah dengan menetap-kan struktur organisasi, administrasi dan finansial semua lembaga peradilan di bawah satu atap, yakni pada Mahkamah Agung, bukan lagi di bawah masing-masing departeman atau kementeriannya.

b. Peraturan Perundangan-undangan (Hukum)

Peraturan perundang-undangan atau hukum memang dan ha-rus dibutuhkan dalam kehidupan ini, karena tanpa hukum maka ke-semrawutan, kekacauan, dan kesewenangan akan terjadi. Yang kuat itulah yang berkuasa, dan yang berkuasa dapat saja melakukan kes-ewenangan dan penindasan demi melestarikan kekuasaannya. Hu-kum hadir untuk menata atau mengatur semua itu, sehingga yang semula terjadi kesemrawutan akan berubah menjadi kerapian, jika semula terjadi kekacauan akan berubah menjadi ketertiban, dan jika semula terjadi kesewenang-wenangan akan berubah menjadi kemanusiaan yang demokratis. Begitu vitalnya hukum ini, sehingga

Page 158: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

158 Cita Hukum Pancasila

sering hukum ditempatkan sebagai panglima dalam menyelesaikan seluruh persoalan hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbang-sa, dan bernegara. Sebagaimana yang pernah dikatakan Plato dan muridnya Aristoteles, bahwa hukum dan perundangan (nomos dan nomoi) sangatlah penting untuk menata polis.13

Dalam konteks kemandirian dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dalam sejarah hukum Indonesia pernah terdapat per-aturan perundang-undangan yang mengurangi kebebasan hakim dalam menjalankan fungsi yustisialnya. Misalnya, adanya peluang kekuasaan eksekutif untuk mengintervensi ke wilayah kekuasaan yudikatif sebagaimana tercemin dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 19 tahun 1964 yang dirumuskan: “Demi kepentingan rev-olusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan”. Begitu juga dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung yang memang undang-undang ini dibentuk untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964, pada Pasal 23 memberi peluang kepada kekuasaan eksekutif (Presiden) turut campur tangan ke dalam kekuasaan yudikatif. Ber-dasarkan pada kedua undang-undang tersebut, kita dapat menilai bahwa ternyata kekuasaan kehakiman tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang. Kedua undang-undang tersebut menyatakan bahwa tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas. Ternyata materi peraturan hu-kum (undang-undang) yang demikian itu telah membawa dampak yang bersifat negatif pada kemandirian dan kemerdekaan kekua-saan kehakiman.

Begitu juga dengan orde baru yang melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 telah menyatakan perlunya kemandirian dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fung-si yustisialnya, tetapi dalam praktik sering terjadi intervensi pe-nguasa orde baru yang otoritarian terhadap urusan kekuasaan yu-dikatif dengan dalih demi dan atas nama “pembangunan nasional”.

13 Frederich, Op.Cit., hal. 17.

Page 159: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

159Cita Hukum Pancasila

Untuk itu, dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa perlu dilaku-kan penataan sistem peradilan.

Dalam penataan sistem peradilan ini, pastinya penataan sistem hukum secara umum juga sangat diperlukan. Jika selama ini kita selalu terbelenggu oleh sistem hukum yang kental dengan positivistik, yang membatasi kreatifitas aparat penegak hukum (hakim), kini saatnya kita mencari benang merah sebagai titik temu dari perbedaan-perbedaan yang menghambat lahirnya perasaan keadilan dalam proses penegakan hukum. Adalah kembali ke falsa-fah Pancasila sebagai cerminan jiwa rakyat (volkgeist) yang menga-komodir segala persoalan-persoalan hukum dan sosial masyarakat.

Dalam teori volkgeist-nya, Savigny mengatakan bahwa, ter-dapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau kara-kter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena itu, ‘hukum adat’ yang yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Ini artinya bahwa sebenarnya dalam jiwa manusia itu sudah memiliki hukum sejati yang hanya perlu di gali saja, bukan dirubah ataupun dibuat.14 Jadi, konsep-konsep penyelesaian masalah sosial masyarakat yang terdapat dalam nilai-nilai hukum adat, disaat sek-arang ini sangatlah perlu diterapkan. Tawaran penyelesaian seng-keta yang harmonis dari sistem hukum adat membantu pula dalam mengurai kuantitas konflik yang menumpuk di tengah masyarakat.

c. Budaya dan Perilaku Hakim

Hakim sebagai komponen sentral peradilan adalah menjadi tumpuan dan harapan tegaknya hukum yang berintikan keadilan, sebab di tangan para hakim itulah hukum dapat ditegakkan, dan ditangan para hakim pula keadilan dapat diraih. Sebagai komponen utama dan terpenting, maka sangat wajar jika baik buruknya citra lembaga peradilan sangat ditentukan oleh citra yang ditampilkan oleh para hakim itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor

14 Bernard L. Tanya dkk, Op.Cit., hal. 103.

Page 160: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

160 Cita Hukum Pancasila

hakim sangat berhubungan dengan merdeka atau tidaknya kekua-saan kehakiman. Terdapat beberapa unsur yang berpengaruh ter-hadap kemandirain dan kemerdekaan hakim dalam menjalankan fungsinya. Unsur-unsur yang berkenaan dengan perilaku hakim antara lain budaya ketergantungan, jaminan profesi, status kepega-waian dan penggajian, jaminan keamanan, dan integritas moral.

Oliver Wendell Holmes, hakim agung Amerika yang amat ter-sohor pernah berkata: “The Supreme Court is not court justice, it is court of law”. Sungguh berbeda dengan itu, Mahkamah Agung di In-donesia bukanlah pengadilan untuk hukum tetapi merupakan “ben-teng terakhir keadilan”. Seorang hakim harus berusaha sedemikian rupa sehingga jarak dan diskrepansi antara hukum dan keadilan diminimalisir, dengan cara hakim harus menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.15

Dalam masyarakat Indonesia, masih kental dengan budaya ketergantungan atau paternalistik. Seharusnya, dalam masyara-kat modern budaya paternalistik ini sudah ditinggalkan, tetapi para hakim ini sulit meninggalkan budaya ini, sebab para hakim hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang telah berabad-abad hidup dengan budaya paternalistik. Dengan budaya paternalistik ini, para hakim mengharuskan dirinya tunduk dan patuh kepada atasannya. Sebelum mendapat restu dan petuah dari atasan, maka sulit bagi hakim untuk mengambil tindakan-tindakan yang merdeka dan mandiri, terlebih untuk mengambil keputusan di luar keinginan atau bertentangan dengan atasan. Menurut Rusli Muhammad, berdasarkan hasil penelitiannya diperoleh informa-si bahwa terdapat beberapa hakim yang sangat sulit dan merasa tidak kuasa mengambil keputusan bilamana keputusan itu tidak sesuai dengan keinginan Bapak Ketua, terlebih jika di dalam suatu majelis hakim, ketua majelisnya adalah Ketua Pengadilan sendiri, dalam hal yang demikian semuanya digantungkan dan tergantung kepada sang Ketua Pengadilan. Pada kondisi hakim demikian inilah akan berpengaruh kepada kemandirian dan kemerdekaan hakim. Semakin kuat budaya paternalistik di dalam dunia peradilan, sema-

15 Bernard L.Tanya, Hukum, Politik dan KKN, Surabaya: Srikandi, 2006, hal. 12-13.

Page 161: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

161Cita Hukum Pancasila

kin berkurang kemandirian dan kemerdekaan hakim dalam men-jalankan fungsinya.16

Indikator lain, kemandirian dan kemerdekaan hakim adalah jaminan profesi. Hakim sebagai salah satu profesi di bidang hukum memiliki kedudukan strategis dan istimewa dibanding dengan pro-fesi-profesi lain meskipun sama-sama berkedudukan sebagai pega-wai negeri dan sama-sama mendapat gaji dari pemerintah. Dalam pandangan publik, hakim adalah aktor sentral di dalam ruang si-dang pengadilan. Dari semua peserta dalam proses persidangan hukum, hakim secara simbolik lebih terkenal, lebih berwibawa dan lebih bergensi selama persidangan.

Penegakan hukum adalah sebuah tugas hakim sebagai salah satu pilar keadilan. Tentunya dalam melaksakan profesinya, hakim harus menyertakan moral dan etika dalam pelaksanaan kewajiban-nya, disamping pengetahuan hukum yang luas dengan inovasi dan kreatifitas dalam menemukan hukum. Oleh karena itu, jika kita ber-bicara tentang etika dalam penegakan hukum, bukan hakim yang menjadi titik sentral, melainkan manusia yang menjadi hakim itu-lah yang menrupakan titik perhatian.

Jaminan profesi hakim yang perlu mendapat perhatian adalah berkaitan dengan kedudukan hakim seperti pengangkatan, pemin-dahan, berkaitan dengan finansial, kebebasan dan keamanan di dalam menjalankan tugasnya. Kedudukan hakim harus mendapat jaminan, yakni adanya ketentuan hukum yang mengatur secara jelas dan tegas tentang pengangkatan, pemindahan, dan pember-hentian, misalnya ditentukan bahwa memberhentikan, memecat untuk sementara waktu, dan memecat permanen dari jabatan pen-gadilan tidak dibenarkan kecuali di dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang.

Adanya jaminan kepastian atas status kepegawaian bagi ha-kim yang tertuang dalam ketentuan undang-undang dimaksudkan agar pejabat pengadilan terutama hakim, mempunyai kedudukan yang kuat, tidak mudah diberhentikan, nasibnya sebagai pegawai negeri tidak tergantung dan terombang-ambingkan oleh pengaruh-

16 Rusli Muhammad, Op. Cit., hal. 86.

Page 162: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

162 Cita Hukum Pancasila

pengaruh dari pihak penguasa di dalam pemerintahan. Kedudu-kan hakim yang kuat seperti itu, akan berdampak pula kepada kemandirian dan kemerdekaannya di dalam melaksanakan fungsi yustisialnya. Sebelum zaman Reformasi, pengangkatan, kepang-katan, mutasi dan pemberhenian hakim menjadi wewenang ekse-kutif, belum menjadi urusan internal kalangan hakim sendiri. Hal ini memberi dampak sangat kuatnya ketergantungan para hakim kepada eksekutif yang berwenang menentukan urusan pengangka-tan, kepangkatan, mutasi dan pemberhentian hakim itu. Gejala ini menempakan kedudukan hakim pada posisi lemah, bukan sebagai variabel independen tetapi menjadi variabel dependen.

Urusan penghasilan atau penggajian hakim, masih menjadi urusan dan kewenangan eksekutif. Meskipun sudah ada undang-undang yang memisahkan urusan finansial bagi para hakim, na-mun hal ini belum dapat berjalan efektif, karena masalah finansial tersebut masih tergantung pada kemauan politik pihak eksekutif dan legislatif seberapa besar nominal dalam mengalokasikan angg-aran gaji para hakim dalam undang-undang APBN yang disahkanya. Hakim tidak terlibat dan tidak dilibatkan dalam proses penentuan penghasilannya itu, mereka tidak punya hak melainkan kewajiban untuk mentaati dan menerima apa yang telah ditentukan oleh eksekutif. Kebijakan penggajian atau finansial yang demikian itu, menyebabkan hakim selalu tergantung kepada kekuasan ekseku-tif. Ketergantungan tersebut, sedikit banyak, berpengaruh kepada kemandirian dan kemerdekaan hakim dalam menjalankan fungsi yustisialnya.

Selanjutnya, unsur jaminan keamanan profesi hakim dapat pula berkorelasi pada kemerdekaan dan kemandrian hakim. Ad-anya jaminan keamanan dan kenyamanan, membuat para hakim dalam menjalankan fungsi yustisialnya akan menjadi lebih tenang dan lebih konsentrasi, tidak terganggu oleh tekanan-tekanan yang mungkin dapat mengancam keselamatan jiwa dan raganya. Seba-liknya, jika jaminan keamanan tersebut tidak ada, sudah pasti selain dapat menambah banyak intervensi dari berbagai pihak, juga mem-buka peluang timbulnya tekanan-tekanan baik berupa kekerasan

Page 163: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

163Cita Hukum Pancasila

atau ancaman kekerasan yang dapat mengurangi kebebasan dan membahayakan keselamatan jiwa dan raga para hakim itu. Jika hal ini terjadi, tentu akan berpengaruh kepada hakim, kebebasan yang dimiliki akan menjadi hilang, keberanian dan ketegaran yang seha-rusnya dipertahankan menjadi goyah. Bukan lagi keberanian dan ketegaran yang muncul, namun berganti menjadi ketakutan dan ke-cemasan. Kondisi lingkungan yang tidak kondusif bagi para hakim dalam menjalankan profesinya akan berakibat pula pada hasil-hasil yang dicapai, yakni putusan-putusan atau vonis hakim yang tidak mencerminkan kemandirian dan kemerdekaan hakim dalam men-jalankan fungsi yustisialnya.

Unsur yang tidak kalah penting dalam membentuk perilaku hakim adalah aspek moralitas para hakim. Berbagai indikator yang diuraikan di atas tidak punya arti apa-apa, manakala moralitas para hakim jelek. Hakim dituntut memiliki kejujuran, keadilan, objekti-vitas dan moralitas yang baik. Namun tampak, bukan rahasia lagi bila moralitas sebahagian hakim yang ada sekarang berada pada titik yang rendah, telah rusak oleh perilaku yang tidak senonoh dan memalukan. Kejujuran dan keadilan sering ditinggalkan oleh seba-hagian hakim demi kepentingan dan keuntungan pribadi, misalnya menerima uang suap untuk menjatuhkan vonis hakim yang sesuai keinginan pihak yang perkara. Untuk itu, Muhammad menyatakan sebahagian hakim telah diperbudak oleh hawa nafsu. Hukum yang adil tidak lagi dijadikan penuntun dan pedoman dalam menyele-saikan setiap perkara, melainkan hukum dijadikan sebagai komu-ditas, sehingga lembaga-lembaga peradilan juga menjadi komudi-tas yang dapat dijualbelikan. Sepanjang tidak ada penggantian para hakim yang bermoral jelek itu dan tidak ada tindakan atau upaya-upaya untuk menatanya, maka kemerdekaan kekuasaan kehaki-man tampaknya sulit untuk diwujudkan.17 Dalam konteks moralitas hakim ini, Sulistiyono menyatakan bahwa wujud kontribusi hakim pada krisis pengadilan, di antaranya dalam bentuk: (1) Keterba-tasan pengetahuan hukum para hakim, (2) Rendahnya moralitas hakim, dan (3) Vonis hakim yang membingungkan.18

17 Ibid., hal. 98.18 Adi Sulistiyono, Op.Cit., hal. 262.

Page 164: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

164 Cita Hukum Pancasila

d. Faktor Kekuasaan

Dalam konteks politik, kekuasaan (power) bukan suatu hal yang tabu, melainkan suatu hal yang penting dan vital dalam kehidupan manusia. Begitu penting dan vitalnya kekuasaan, Penjelasan UUD Proklamasi 1945 menyatakan: “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machsstaat)”. Kekuasaan itu harus dimiliki dan dibutuhkan oleh setiap negara, jangankan negara, setiap orang pun membutuhkan kekuasaan itu. Kebutuhan akan kekuasaan karena kekuasaan akan memberikan kewenangan berbuat, bertindak, dan memutus suatu persoalan. Dalam hal ini, kekuasaan dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah lalu pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.

Begitu pentingnya kekuasaan, siapapun boleh memiliki kekua-saan, namun yang perlu diingat dan dihindari adalah jangan sampai kekuasaan itu bertumpuk dan menyatu pada satu tangan saja (oto-ritarian), sehingga dengan mudah disalahgunakan.Dalam hubun-gannya dengan pemerintahan, maka perlu adanya pembagian dan pemisahan kekuasaan ke dalam beberapa wilayah kekuasaan pemerintahan, khususnya antara kekuasaan yudikatif dan ekseku-tif.Ini sangat penting demi tegaknya hukum

Pengaruh atau intervensi kekuasaan pemerintah tidak saja melalui sarana undang-undang, tetapi juga menembus ke proses peradilan. Sri Bintang Pamungkas, menyatakan bahwa khusus me-nyangkut perkara-perkara politik atau perkara yang bersinggun-gan dengan pemerintah, maka sederetan petugas peradilan mulai dari polisi, jaksa, dan hakim harus pandai-pandai menyesuaikan diri dengan kemauan sang penguasa. Kalau tidak, akibatnya bagi para petugas hukum tersebut siap-siap untuk mendapat “sanksi” yang berat. Misalnya, dipindah atau mutasi ke tempat lain yang jauh dari kota, dipersulit naik pangkat dan golongan penggajian-nya, bahkan direkayasa untuk sampai pada pemecatannya. Mereka diatur sedemikian rupa sehingga pada hakikatnya mereka tidak

Page 165: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

165Cita Hukum Pancasila

berdaya dan tidak lagi memiliki kebebasan karena kebebasannya telah dirampas oleh kekuasaan eksekutif yang absolut itu.19

e. Faktor Politik

Hubungan politik dengan hukum dapat dilihat dari teori ten-tang masyarakat yang dikembangkan oleh Tallcott Parsons yang melihat bahwa masyarakat merupakan sistem sosial yang terbagi ke dalam sub-sub sistem. Menurut Talcott Parsons sebagaimana dikutip oleh Rahardjo, sistem sosial sebagai suatu sistem yang terbuka, yaitu yang selalu mengalami proses saling pertukaran dalam bentuk masukan dan keluaran dengan lingkungannya. Den-gan mendasarkan kepada teori Parsons tersebut dapat diketahui bagaimana hukum itu terhubung dengan bidang-bidang kehidupan lain dalam masyarakat.20

Persoalan yang muncul adalah, adakah faktor politik berpenga-ruh terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman? Apabila mem-perhatikan pernyataan-pernyataan di atas maka kita dapat me-nyatakan bahwa faktor politik dapat mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Politik dapat menentukan apakah lembaga peradilan itu akan dijadikan lembaga yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, ataukah sebaliknya, keinginan politik akan menjadikan lembaga peradilan tunduk dan berada di bawah pengaruh lembaga kekuasaan lainnya.

Begitu juga lembaga peradilan pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, jargon-jargon politik pembangu-nan yang dikembangkan, antara lain adalah “persatuan”, kebersa-maan”, keamanan”, kestabilan”, “kekeluargaan”, dan lain-lain yang bersifat semu. Pemerintah ketika itu adalah penguasa tunggal yang sangat absolut, meskipun secara formal eksekutif bukanlah satu-satunya pemegang kekuasaan sebab masih terdapat kekekuasaan legislatif dan yudikatif, namun kedua lembaga yang disebut terakh-ir yang seharusnya memiliki kekuasaan –tetapi dengan politik yang

19 Sri Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia Lewat Reformasi Total, Jakarta: Erlangga, 2001, hal. 208.

20 Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hal. 146.

Page 166: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

166 Cita Hukum Pancasila

dikembangkan oleh pemerintahan Orde Baru-- membuat kedua lembaga kekuasaan negara tersebut tidak berfungsi apa-apa, alias mandul. Mari kita lihat pernyataan muthakhir dari Menkeh yang juga Mensesneg, Muladi ketika berkata :“kasus mantan presiden Soeharto akan diselesaikan secara politis”.21

Kemerdekaan lembaga peradilan atau kekuasaan kehakiman pada masa Orde Baru rupanya masih mengalami nasib yang sama dengan Orde Lama, meskipun dalam format yang berbeda. Rekaya-sa politik melalui berbagai peraturan perundang-undangan adalah jalur yang efektif untuk melakukan intervensi kepada lembaga per-adilan. Pada masa Orde Baru pembentuk undang-undang mengh-endaki adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri dan merdeka, namun pada sisi lain secara politik lembaga peradilan tidak dapat melepaskan diri dari kekuasaan eksekutif. Melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, secara formal telah menentukan adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka, tetapi kemerdekaan lembaga peradilan ini sulit diwujudkan, sebab secara politis undang-undang ini juga memberikan kekuasaan eksekutif untuk tetap menguasai beberapa persoalan vital bagi kehidupan lembaga peradilan, teru-tama pada aspek struktur organisasi, administrasi, dan finansial yang tetap dikendalikan oleh eksekutif.

f. Faktor Kesadaran Hukum Masyarakat

Pada umumnya orang sering berpendapat, bahwa apabila kes-adaran hukum masyarakat tinggi maka kepatuhan warga masyara-kat terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku juga tinggi. Sebaliknya, bila kesadaran hukum masyarakat rendah maka derajat kepatuhan warga masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan hu-kum yang berlaku juga rendah. Pandangan ini mengkaitkan ukuran kesadaran hukum dengan berfungsinya hukum dalam masyarakat. Artinya, kesadaran hukum itu dapat diukur dari, apakah fungsi-fungsi hukum yang ada itu dalam pelaksanaannya telah berlaku secara efektif? Jika hukum difungsikan sebagai pedoman dalam

21 Bernard L. Tanya, Op.Cit., hal. 86.

Page 167: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

167Cita Hukum Pancasila

setiap urusan atau dalam setiap menyelesaikan sengketa, kemu-dian pedoman ini dalam kenyataannya digunakan oleh masyarakat, maka dapat dikatakan telah ada kesadaran hukum. Sebaliknya, jika masyarakat tidak memperhatikan atau mengabaikan sama sekali pedoman tersebut, maka dapat pula dikatakan tidak ada kesadaran hukum.

Tingkat kesadaran hukum masyarakat juga berpengaruh pada kemandirian atau kemerdekaan lembaga peradilan yang men-jalankan kekuasaan kehakiman. Tingkat kesadaran hukum ma-syarakat yang tinggi akan berpengaruh pada semakin tinggi pula kemerdekaan lembaga peradilan dalam melaksanakan fungsi yus-tisialnya. Sebaliknya, tingkat kesadaran hukum masyarakat yang rendah akan berpengauh pada semakin tidak bebasnya lembaga peradilan dalam melaksanakan fungsi yustisialnya.

Selain kesadaran hukum masyarakat pada umumnya, kesada-ran hukum anggota masyarakat yang berperkara (para pihak, ter-sangka, atau terdakwa) dapat pula berpengaruh pada kemerdekaan hakim pada lembaga peradilan. Kesadaran hukum dari anggota ma-syarakat yang berperkara, akan mempengaruhi kemandirian dan kemerdekaan lembaga peradilan. Jika kesadaran hukumnya berada pada tingkat yang rendah, maka tindakannya bukan lagi tindakan yang sesuai norma hukum, tetapi sudah merupakan tindakan yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan ketentuan hukum.

Bagaimana pula dengan sang pengacara dalam kiprahnya se-bagai salah satu komponen masyarakat penegak hukum? Bukan rahasia lagi, jika sebagian dari sang pengacara ini telah banyak memberi andil dalam merusak citra, kewibawaan, kemandirian, dan kemerdekaan lembaga peradilan. Terjadinya mafia peradilan, salah satu penyebab utamanya adalah karena ulah sang pengacara ini. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa rusaknya kewibawaan dan runtuhnya kemandirian serta terbelenggunya kemerdekaan hakim dalam lembaga peradilan selama ini, faktor utamanya adalah penyuapan, baik yang dilakukan oleh para pengusaha maupun pe-ngacara atau advokat hitam yang memperdagangkan hukum dan keadilan.

Page 168: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

168 Cita Hukum Pancasila

PenutupBerdasarkan pembahasan permasalahan yang dipaparkan

di depan, dapat dikemukan simpulan bahwa konsepsi kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan kehakiman yang man-diri dan bebas dari pengaruh atau intervensi dari lembaga kekua-saan lainnya. Dengan kemandirian dan kebebasan yang dimiliki, lembaga kekekuasaan kehakiman akan dapat menjalankan fungsi yustisialnya dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan yang sebaik-baiknya. Untuk dapat melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka atau bebas dari pengaruh dan intervensi kekuasan lembaga lain diperlukan beberapa prinsip dasar, antara lain: (1) Adanya lembaga peradilan atau kehakiman yang tetap mandiri, sehingga tidak tersubordinasi oleh kekuasan lembaga lain; (2) Ad-anya kebebasan berekspresi dan berkumpul (berorganisasi) bagi para hakim, guna memperjuangkan dan mengembangkan kualitas profesinya; (3) Adanya kualifikasi dan seleksi hakim secara mema-dai, yang berkaitan dengan pendidikan, latihan, dan pengalaman yang dimilikinya; (4) Adanya kerahasiaan dan kekebalan profesi hakim, terutama dalam proses peradilan yang dilaksanakannya; dan (5) Adanya pendisiplinan, pemindahan dan pemberhentian hakim hanya yang sesuai dengan prosedur hukum atau perundang-undangan yang berlaku.

Tentang faktor-faktor atau aspek-aspek yang dapat mempe-ngaruhi kemerdekaan kekuasan kehakiman. Sebagaimana telah diuraikan di depan, bila didasarkan pada sumbernya, terdapat faktor-faktor atau aspek-aspek internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam melak-sanakan fungsi yustisialnya guna menegakkan hukum dan keadi-lan. Faktor internal yang berasal dalam dalam lembaga kekuasan kehakiman itu sendiri, meliputi: struktur lembaga peradilan, per-aturan perundang-undangan (hukum) yang dijalankan, dan faktor budaya atau perilaku hakim.

ooo

Page 169: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

169Cita Hukum Pancasila

DAFTAR PUSTAKA

Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma Non-Letigasi di Indo-nesia, Surakarta: UNS Pers, 2006.

As’ad Nugroho (Ed), Mencari Keadilan, Bunga Rampai Penegakan Hak Konsumen, Jakarta: Pirac, 2001.

Barda Nawari Arief, “Pokok-pokok Pikiran Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka”, Makalah sebagai Bahan Masukan untuk Penyusunan Laporan Akhir Tim Pakar Departemen Ke-hakiman Periode 1998/1999, Departemen Kehakiman, Jakarta, 1999.

Bernard L, Tanya, Hukum, Politik dan KKN, Surabaya: Srikandi, 2006.

_____________________, Yoan N Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Gen-erasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum; Perspektif Historis, Band-ung: Penerbit Nusa Media , 2014.

Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Ilmu Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Jakarta: STIH Iblam, 2004.

Rusli Muhammad, Kemandirian Pengadilan Indonesia, Yogyakarta: FH UII Pers, 2010.

Sahlan Said, “Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, Pengalaman Praktek Menuju Kemandirian Hakim”, Makalah disaji-kan pada Seminar 50 Tahun Ke-mandirian Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, diselenggarakan Fakultas Hu-kum UGM, 26 Agustus 1995.

Page 170: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

170 Cita Hukum Pancasila

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yo-gyakarta: Genta Publishing, 2011.

Sri Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia Lewat Refor-masi Total, Jakarta: Erlangga, 2001.

Page 171: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

171Cita Hukum Pancasila

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA

DALAM KODE ETIK PROFESI SEBAGAI

LANDASAN PEMBINAAN SUMBER DAYA

MANUSIA DI KEPOLISIAN

Oleh: Sri Waljinah, S.Pd., M.Si

Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mu-hammadiyah Surakarta

Page 172: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

172 Cita Hukum Pancasila

PendahuluanIlmu Kepolisian merupakan ilmu pengetahuan karena me-

miliki obyek kajian, tujuan dan kemanfaatan khususnya dalam pelaksanaan tugas Kepolisian yang berhadapan langsung den-gan masyarakat. Abdussalam mengemukakan bahwa filsafat ilmu merupakan induk atau sumber semua ilmu pengetahuan termasuk Ilmu Kepolisian untuk mencapai taraf hidup manusia yang lebih tinggi. Aspek-aspek kehidupan manusia secara keseluruhan tercak-up dalam filsafat ilmu karena manusia dalam memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidup menggunakan penalaran akal (rasional-isme), dan pengalaman (empirisme) dengan menerapkan ontologi dan aksiologi.1 Bidang kajian filsafat yang universal memungkink-an kerjasama dengan cabang ilmu pengetahuan lain, di antaranya adalah Ilmu Kepolisian. Ilmu Kepolisian menitikberatkan hubun-gan dengan masyarakat dalam pelaksanaan tugas sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat. Pelaksanaan tugas tersebut memerlukan anggota Kepolisian yang handal, sehingga dibutuhkan sumber daya manusia yang selaras dengan perkembangan jaman dan tuntutan masyarakat terhadap ketertiban dan rasa aman di lingkungan masyarakat.

Tanya mengemukakan bahwa dalam dunia modern (dewasa ini), sumber daya yang terbatas itu, ditandai oleh kenyataan celah besar yang penuh ketegangan antara mereka yang hidup dalam ke-limpahan dan mereka yang hidup dalam kemiskinan.2 Pembinaan sumber daya manusia untuk menghasilkan anggota kepolisian yang sesuai dengan tuntutan masyarakat berhubungan dengan Ilmu Ke-polisian yang mengembangkan cara berpikir rasional dalam tiga macam cara berpikir atau kecerdasan, yaitu: (1) IQ (Intellectual Quotient), (2) EQ (Emotional Quotient), dan (3) SQ (Spiritual Quo-tient). Makalah ini hadir untuk mengupas bagaimana implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kode etik profesi kepolisian sebagai pen-egak hukum, pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat

1 Abdussalam, Ilmu Kepolisian sebagai Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PTIK, 2014, hal. 12 Bernard L. Tanya dkk. Pancasila Bingkai Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing,

2015, hal. 112

Page 173: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

173Cita Hukum Pancasila

Perkembangan Ilmu Kepolisian sebagai Ilmu Pengeta-huan

Syarat ilmu pengetahuan adalah melibatkan enam macam komponen pokok yaitu masalah, sikap, metode, kegiatan, kes-impulan, dan akibat. Perkembangan Ilmu Kepolisian dalam ilmu pengetahuan dimulai seiring dengan sejarah berdirinya Negara Republik Indonesia hingga era kemajuan teknologi dewasa ini. Ke-majuan cara berpikir dalam Ilmu Kepolisian dimulai sejak muncul-nya kesadaran bahwa terdapat banyak masalah dan konsep dalam pelaksanaan tugas kepolisian yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Kritik pedas terhadap lembaga kepolisian dilontarkan oleh masyarakat yang tidak puas dengan kinerja dan sikap ang-gota kepolisian yang cenderung arogan ketika berhadapan dengan masyarakat. Pelayanan terbaik diberikan kepada masyarakat kelas atas, sedang masyarakat kelas bawah kurang dilayani dengan baik, sehingga timbul sikap tidak suka pada kepolisian.3

Sejarah kepolisian Indonesia mengalami perkembangan seir-ing dengan sejarah perkembangan bangsa Indonesia. Globalisasi dan reformasi tahun 1998 menuntut kinerja profesi kepolisian di Indonesia menjadi lebih profesional. Hal tersebut tersirat pada Ketetapan (Tap) MPR Nomor VI/MPR/ 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Kepolisian diharapkan mengubah paradigma lama sebagai alat kekuasaan ke paradigma baru sebagai aparat pen-egak hukum, pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat sesuai am-anat yang terkandung dalam Pasal 13 UU Nomor 2 tahun 2002.4

Arah perubahan kepolisian terlihat pada paradigma (kerang-ka berfikir) kepolisian (sebagai organisasi) yang signifikan. Proses perubahan tersebut bertujuan merubah profesi kepolisian yang lebih profesional. Makna kepolisian yang profesional adalah ang-gota kepolisian yang mempunyai kemahiran (skill) dan pengeta-huan (knowledge) secara khusus yang diperoleh melalui persiapan

3 Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian: Kemandirian Profesionalisme dan Reformasi Polri. Surabaya: Laksbang Grafika, 2014

4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Page 174: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

174 Cita Hukum Pancasila

akademik ilmu pengetahuan tertentu yaitu Ilmu Kepolisian. Pro-fesional mengandung makna keterkaitan pada suatu profesi aka-demik (learned profession). Sumber daya manusia yang profesional merupakan salah satu faktor penting dengan menguasai penge-tahuan dan keahlian terkait dengan cabang ilmu yang bersangku-tan, sehingga memiliki kemampuan menganalisis dan mengatasi masalah-masalah sosial, meliputi ketertiban dan keamanan umum dalam masyarakat yang mengalami perubahan secara cepat.

Istilah Ilmu Kepolisian di Indonesia merupakan suatu satu cabang ilmu pengetahuan yang baru. Ilmu Kepolisian (police sci-ence) disebut juga Kajian Ilmu Kepolisian (police studies) yaitu ke-giatan-kegiatan ilmiah Ilmu Kepolisian. Dua satuan permasalahan dalam Ilmu Kepolisian yang berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dan mempengaruhi yaitu masalah sosial dan penanganannya. Ilmu Kepolisian dapat didefinisikan sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial, moral dan masyarakat, mem-pelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan, dan mempe-lajari tehnik-tehnik penyidikan dan penyelidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya.

Perkembangan Ilmu Kepolisian di Indonesia menunjukkan bahwa Ilmu Kepolisian di Indonesia merupakan kajian dengan pendekatan multi bidang (multidisplinary) yaitu mencoba mema-hami suatu masalah agar dapat diselesaikan untuk mendapatkan solusi atas masalah sehingga dibutuhkan beberapa ilmu pengeta-huan untuk menyelesaikannya (interdisplinary).

Ilmu Kepolisian awalnya adalah multidisplinary tetapi per-lahan-lahan menjadi interdisciplinary, karena antara bidang satu dengan yang lain saling berkaitan dan saling berhubungan, namun tetap dalam satu bingkai yang bulat. Ilmu pengetahuan tersebut berupa suatu kerangka teori yang meliputi metode dalam menga-nalisa serta memahami suatu permasalahan untuk penerapannya yang cocok dengan situasi serta kondisi lingkungan masyarakat.

Page 175: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

175Cita Hukum Pancasila

Hubungan Filsafat Hukum dengan Ilmu KepolisianIlmu Kepolisian merupakan ilmu terapan yang menggunakan

metode pendekatan sebagaimana yang digunakan dalam ilmu terapan den-gan kajian pokok sebagai berikut:

a. Ontologi Ilmu Kepolisian

Objek pembahasan Ilmu Kepolisian terdiri dari objek material dan objek formal. Objek material Ilmu Kepolisian adalah hal yang diselidiki, dipandang dan atau dibahas oleh Ilmu Kepolisian baik hal-hal yang kongkret maupun abstrak, yang berdasar pada tiga objek penelitian yang terkait dengan masyarakat, negara, dan ma-nusia/penduduk secara individual yang disimpulkan dari perkem-bangan tugas dan organ polisi dalam masyarakat dan negara.

Polisi berasal dari masyarakat yang bertugas mengawasi ma-syarakat lainnya. Mereka membentuk kelompok atau badan ter-tentu untuk melakukan pengawasan terhadap pelanggaran, me-nindak pelakunya dan menegakkan norma kehidupan bersama seperti yang telah disepakati sebelumnya sehingga dapat menin-gkatkan kualitas hidup masyarakat. Kegiatan kepolisian melekat pada masyarakat yang secara alami dapat diindikasikan sebagai pokok bahasan (objek material) Ilmu Kepolisian. Seperti yang ter-jadi dalam konteks negara, pengemban fungsi kepolisian sebagai fungsi pemerintahan yang ditunjuk oleh negara.

Negara merupakan objek material Ilmu Kepolisian dan pen-duduk serta manusia sebagai individunya sebagai pokok bahasan Ilmu Kepolisian. Objek formal dari suatu ilmu yang khas mem-berikan keutuhan suatu ilmu dan membedakannya dari bidang lain. Masyarakat sebagai objek material dalam Ilmu Kepolisian di-golongkan dalam 3 pandangan, yaitu:

1) Fokus pandangan Ilmu Kepolisian dalam rangka kepentin-gan masyarakat, objek performanya adalah pemeliharaan ke-amanan dan ketertiban masyarakat ;

2) Fokus pandangan Ilmu Kepolisian dalam rangka menjamin dan mempertahankan kepentingan dan kewibawaan negara

Page 176: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

176 Cita Hukum Pancasila

yang secara resmi dinyatakan dalam hukum negara, objek per-formanya adalah penegakan hukum negara;

3) Fokus pandangan Ilmu Kepolisian dalam rangka kewajiban kepolisian melindungi serta melayani hak-hak asasi dan hak -hak politik rakyat/warga negara/penduduk secara individu-al, objek performanya adalah perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

b. Epistemologi Ilmu Kepolisian

Epistemologi Ilmu Kepolisian membahas tentang kajian filsa-fat dan atau kajian Ilmu Kepolisian, yaitu sebuah teori mengenai hakekat Ilmu Kepolisian dari suatu bidang ilmu pengetahuan me-lalui proses sistematik dan pengujian atau pembuktian tentang ke-benarannya, sehingga diperoleh pengakuan yang benar dan diteri-ma oleh umum. Pengembangan konsep awal yang sederhana yang berasal dari dinamika proses kegiatan kepolisian yang sistematis, kemudian fakta dari fenomena realitas yang lazim dicatat dan di-beri lambang dengan menggunakan bahasa sehari-hari selanjutnya disosialisasikan dan akhirnya menggunakan istilah tertentu yang baku, diberikan penjelasan yang spesifik dalam bentuk definisi.

c. Aksiologi Ilmu Kepolisian

Aksiologi Ilmu Kepolisian merupakan penjelasan mengenai hakekat nilai-nilai Ilmu Kepolisian dan penilaian mengenai kegu-naan Ilmu Kepolisian sebagai bidang ilmu pengetahuan. Kegunaan Ilmu Kepolisian berkaitan dengan pelaksanaan tugas anggota ke-polisian dalam kehidupan bermasyarakat dan sebagai bagian dari masyarakat. Penerapan Ilmu Kepolisian merupakan perwujudan anggota Kepolisian yang berkarakter sebagai aparat penegak hu-kum, pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat.

Page 177: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

177Cita Hukum Pancasila

Nilai-nilai Pancasila dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia di Kepolisian

Permasalahan yang dihadapi kepolisian berkaitan dengan kekurangan dan kelemahan anggota kepolisian dalam pelaksanaan tugas di lapangan yang mencakup hal sebagai berikut:

a. Pemberian pelayanan yang dikaitkan dengan imbalan uang;

b. Prosedur penanganan pengaduan masyarakat yang berbelit-belit, dan penyidikan yang hanya di fokuskan pada kasus-ka-sus yang terang dan atau menarik;

c. Sikap arogan dan otoritian, bahkan tindak kekerasan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia; dan

d. Backing dan intervensi atasan yang sering dikeluhkan oleh anggota kepolisian di lapangan.5

Bernard L. Tanya mengemukakan, dalam lingkup kehidupan privat, maka primordialisme dan nepotisme adalah hal yang wajar, bahkan terpuji. Menolong family, menolong sesame suku, sesama ras, dan sesama agama adalah baik dan wajar. Justru kalau tidak melakukannya, anda akan dicela. Tidak tahu diri, aneh dan som-bong! Namun jika embel-embel primordial itu dibawa-bawa juga ke ruang publik, ke urusan publik, ke urusan dinas, maka di situ-lah menjadi tidak terpuji, menjadi haram”.6 Perilaku menyimpang profesi kepolisian menunjukkan bukti sumber daya manusia yang tidak profesional. Kesalahan dalam penanganan maupun perilaku menyimpang profesi kepolisian lebih cenderung disebabkan oleh faktor kesalahan manusia (human error) karena mutu dari sumber daya manusia yang rendah.

Sistem demokrasi saat ini mengharuskan kepolisian selaku aparat penegak hukum mengedepankan perlindungan hukum ter-hadap 2 (dua) hal unsur mutlak yang dimiliki masyarakat, yaitu: a. asas kebebasan, yang meliputi kebebasan menyatakan pikiran dan

5 Rycko Amelza Dahniel dan Surya Dharma, Perilaku Organisasi Kepolisian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.

6 Bernard L. Tanya, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama. Yogyakarta: Genta Publishing, 2011, hal. 40.

Page 178: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

178 Cita Hukum Pancasila

pendapat, berkelompok dengan orang yang sepaham dan mengatur hidupnya sesuai keyakinan; dan b. asas persamaan, yang mencakup persamaan di muka umum untuk semua warga negara. Unsur mut-lak dalam perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut ses-uai dengan sila keempat Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Nilai-nilai yang tergantung dalam sila keempat Pancasila terse-but dapat diterapkan dalam peningkatan profesionalitas anggota kepolisian dengan tujuan agar dalam menjalankan tugas sebagai aparat penegak hukum mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat dan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.

Tuntutan masyarakat terhadap kinerja kepolisian di era de-mokrasi membuat kepolisian harus merubah peranan profesi ke-polisian sesuai dengan harapan masyarakat. Fungsi kepolisian yang diharapkan oleh masyarakat adalah sebagai penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management). Keberadaan kepolisian dalam masyarakat akan mempengaruhi fungsi dalam struktur kehidupan, karena tanpa disadari lingkun-gan kehidupan masyarakat dapat berubah dengan cepat oleh pen-garuh keberanekaragaman sukubangsa dan budaya di Indonesia. Oleh karena itu, fungsi kepolisian sebagai penegak hukum (law en-forcement) dan penyelesaian masalah (conflict management) dapat dijalankan secara profesional sehingga tidak terjadi gesekan atas perbedaan suku bangsa, budaya maupun norma-norma dalam ke-hidupan masyarakat.

Fungsi kepolisian sebagai penegak hukum (law enforce-ment) dan penyelesaian masalah (conflict management) dapat dilaksanakan secara profesional oleh anggota kepolisian dengan pengembangan paradigma profesi kepolisian yang sipil, yaitu ke-polisian dapat memerankan sikap sebagai penegak hukum (law enforcement) sekaligus sikap sebagai tempat penyelesaian masalah (conflict management) yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Peran dan fungsi kepolisian dalam tugas di lapangan meru-juk dua penampilan, yaitu “muka angker” dan “muka tersenyum”. Profesi kepolisian yang ”muka angker” memang sangat diperlukan

Page 179: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

179Cita Hukum Pancasila

dalam menjalankan fungsi Kepolisian sebagai penegak hukum (law enforcement). Kepolisian sebagai aparat penegak hukum dapat mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan dan dapat men-gungkap tindak kejahatan, serta dapat menangkap pelakunya. Ter-utama terhadap kejahatan dengan kekerasan dan kejahatan serius (violent and serrious crimes).

Profesi kepolisian yang “muka tersenyum” dalam rangka peme-liharaan keamanan dan ketertiban sesuai fungsi kepolisian sebagai penyelesaian masalah (conflict management). Sosok polisi ideal adalah seorang yang pandai (intelegen), mempunyai “akal sehat” (common sense), menunjukkan keramahan (friendliness), meng-hargai warga individu (courtesy) dan punya kesabaran (patience). Polisi yang tersenyum siap membantu melayani warga masyarakat sebagai pengayom, pelindung dan pelayan untuk mewujudkan ke-hidupan dalam masyarakat yang aman dan tertib sebagai persatu-an Indonesia yang terkandung di dalam sila ketiga Pancasila.

Landasan Nilai-nilai Pancasila di Kepolisian dalam Pers-pektif Filsafat Hukum Indonesia

Perwujudan profesi Kepolisian sesuai peranan yang diharap-kan oleh masyarakat menuntut Kepolisian memiliki kemampuan profesional dalam berinteraksi dengan masyarakat. Permasalahan yang dihadapi oleh Kepolisian berkaitan dengan perkembangan ekonomi, politik, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, hukum, masyarakat, kebudayaan, dan agama dan komunikasi massa yang bertambah kompleks sehingga menuntut kemampuan profesional anggota Kepolisian.

Profesi Kepolisian yang bisa memenuhi harapan masyarakat dan mampu mengemban fungsi Kepolisian sebagai penegak hu-kum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict man-agement) adalah sosok “polisi sipil”7 yang sesuai dengan landasan pembinaan sumber daya manusia yang dikembangkan oleh kepoli-sian dalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indone-

7 Satjipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta: Kompas, 2007. Chairuddin Ismail, Polisi Sipil dan Paradigma Baru Polri. Jakarta: PT. Merlyn Lestari, 2009.

Page 180: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

180 Cita Hukum Pancasila

sia8 yang meliputi etika kenegaraan, kelembagaan, kemasyarakatan, dan kepribadian. Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral.

Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap ang-gota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Re-publik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah peng-abdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatan-nya. Etika kemasyarakatan adalah pengabdian anggota Kepolisian kepada masyarakat sebagai komitmen moral perwujudan pemeli-haraan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum ser-ta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Etika kepribadi-an berpedoman pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mengikat secara moral, sikap dan perilaku setiap anggota Kepolisian. Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Ke-polisian Negara Republik Indonesia harus dipertanggungjawabkan pada Sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk pemuliaan profesi kepolisian.

Keempat aspek tersebut saling berkaitan secara simultan yang harus dipelihara dan dipertahankan oleh setiap anggota Kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang profesional dengan dilan-dasi nilai-nilai luhur dalam Tribrata dengan integritas moral dan etika profesi yang berpegang teguh pada komitmen yang telah dis-epakati dalam pelaksanaan tugas. Tanya mengemukakan bahwa “…secara fungsional, moralitas amat dibutuhkan, karena tanpa pedo-man mengenai baik dan buruk, kehidupan bersama tak dapat dia-tur. Dari sisi ini, moralitas adalah suatu fungsi yang amat penting. Tanpa ada peraturan mengenai penghormatan kepada hak hidup

8 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian.

Page 181: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

181Cita Hukum Pancasila

dan hak milik orang lain, maka hampir pasti kehidupan bersama menjadi centang-perentang dan tak dapat diatur.” 9

Nilai-nilai falsafah hidup terdapat pada ketrampilan teknis yang dibutuhkan polisi dalam menghadapi tantangan sosial kekin-ian dengan tujuan mendapat kepercayaan publik (public trust). Ke-percayaan publik kepada kepolisian dapat diperoleh melalui dua hal yaitu pertama, kejujuran baik secara simbolik (sesuai persepsi masyarakat) dan substansial. Kedua, kapasitas yaitu kemampuan profesional anggota kepolisian dalam menjalankan fungsi sesuai harapan masyarakat. Oleh karena itu, anggota kepolisian yang pro-fesional harus mematuhi standar etika yang tertuang dalam per-aturan disiplin dan kode etik. Pelanggaran yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh faktor lingkungan dan kepribadian dari masing-masing anggota Kepolisian dalam menghadapi situasi yang mendorong untuk berbuat penyimpangan. Etika kepolisian dijadi-kan sebagai pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegak hukum.

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat berlaku pada semua organisasi yang menjalankan fungsi Kepolisian di Indonesia. Hal tersebut berkaitan dengan tujuan utama proses berfilsafat yaitu menjelaskan dan memahami ketetapan-ketetapan Tuhan dengan realitas kehidupan di masyarakat. Filsafat berusaha membimbing dan menyadarkan manusia untuk melihat realitas lain yang lebih hakiki, yaitu realitas Ilahi, baik secara tansendental, empiris, atau rasional. Anggota Kepolisian harus bisa berhubungan secara harmonis dan saling melengkapi dalam kehidupan masyara-kat sebagai sesama makhluk Tuhan.

Ilmu pengetahuan dan teknologi telah memperpendek jarak negara satu dengan yang lain, planet satu dengan planet yang lain, meskipun kedekatan itu tidak menjamin eratnya persahabatan antar manusia dan tidak pula berarti pengalaman dan perjalanan spiritualnya semakin jauh. Nilai-nilai luhur yang tercantum dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang diharapkan mampu mewar-

9 Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya. Moralitas Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing, 2014 hal. 100.

Page 182: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

182 Cita Hukum Pancasila

nai perbuatan manusia Indonesia dalam berinteraksi baik secara secara objektif dalam penyelenggaraan negara maupun dalam ke-hidupan sehari-hari sebagai individu.

Anggota Kepolisian sebagai aparat penegak hukum harus mengerti dan memahami nilai-nilai Pancasila dan makna filosofis yang terkandung pada sila-sila Pancasila. Penegakan keadilan oleh aparat penegak hukum harus berlandaskan sila ke-5 Pancasila yai-tu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila aparat pe-negak hukum sudah mengerti, memahami, dan menerapkan dengan benar semua nilai yang terkandung di dalam Pancasila, khususnya sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, niscaya keadilan akan terwujud seperti yang diharapkan oleh masyarakat.

Nilai-nilai Pancasila diterapkan pada cara berpikir di kepoli-sian untuk menangani dan mengatasi permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan tugasnya di masyarakat. Kemajuan cara ber-pikir di Kepolisian adalah cara berpikir secara rasional dengan menggunakan IQ (Intellectual Quotient) yang dikembangkan men-jadi tiga macam cara berpikir atau kecerdasan, yaitu: IQ (Intellectu-al Quotient); EQ (Emotional Quotient); dan SQ (Spiritual Quotient).

Berpikir atau kecerdasan tidak lagi menjadi suatu yang seder-hana, seperti berpikir secara logis, akan tetapi lebih kompleks kare-na memaknai suatu kedalaman. Spiritual Quotient atau kecerdasan spiritual merupakan model berpikir untuk yang memasuki dimen-si kedalaman, yaitu mencari makna dan nilai tersembunyi dalam obyek yang sedang ditelaah. Kecerdasan spiritual menjadi sesuatu yang perlu dicermati dalam konteks pelaksanaan tugas polisi seb-agai penegak hukum maupun pelayan masyarakat.

Kecerdasan spiritual yang dimaksud adalah: a. Rendah hati na-mun memiliki pendirian yang mantap; b. Tenang namun cepat dan tepat dalam mengambil keputusan; c. Mau melayani; d. Memandang setiap individu unik, istimewa, dan penting; e. Mau mendengar dan menerima kritik; f. Berani mengakui kesalahan; g. Adil; h. Mengu-tamakan kepentingan yang lebih besar; dan i. Menjalankan ibadah dengan baik sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya.

Page 183: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

183Cita Hukum Pancasila

Kecerdasan spiritual dalam ”hukum profetik”10 merupakan implementasi sila pertama Pancasila yaitu ketuhanan yang maha esa. Kecerdasan spiritual tersebut akan menciptakan Polisi intele-ktual yang dekat Tuhan. Polisi harus mengatasi masalah-masalah dengan hati tenang dan mengedepankan faktor kemanusiaan se-bagai implementasi sila kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradap. Kedua sila tersebut diterapkan agar tujuan dari fungsi Kepolisian selaku penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management) dapat berdayaguna.

Tanya mengemukakan bahwa “Korps Kepolisian memiliki moto luhur: “Melindungi dan Melayani”. Kata ‘melindungi’ meng-gambarkan figur polisi yang cekatan, tegas, berwibawa, dan care pada orang yang dilayani”. Kepolisian mempunyai kemampuan un-tuk mengobati penyakit di masyarakat dan memperbaiki kondisi di masyarakat yang merugikan kehidupan manusia. Kemampuan tersebut dapat ditingkatkan dengan melakukan perubahan profesi Kepolisian ke arah profesi yang menghasilkan seorang polisi in-telektual melalui usaha pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan terhadap pribadi anggota Kepolisian dengan landasan nilai-nilai Pancasila. 11

PenutupPerubahan secara umum yang ditandai dengan era globalisa-

si dan reformasi menyebabkan masyarakat menuntut perubahan Kepolisian ke arah yang profesional. Kepolisian harus mengubah fungsinya yang dulu sebagai alat kekuasaan menjadi alat pen-egakan hukum, pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Tu-juan tersebut dapat diwujudkan dengan mengubah paradigma ke-polisian menjadi profesi Kepolisian yang profesional melalui usaha pengembangkan Ilmu Kepolisian menjadi pandangan serta cara kerja dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Hal tersebut dilaku-kan agar Kepolisian mampu mengemban fungsi selaku penegak

10 Absori, Kelik Wardiono dan Saepul Rochman. Hukum Profetik: Kritik Terhadap Paradigma Hukum Non-Sistematik. Yogyakarta: Genta Publishing. 2015.

11 Bernard L. Tanya, Penegakan Hukum dalam Terang Etika. Yogyakarta: Genta Publishing, 2011, hal. 110.

Page 184: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

184 Cita Hukum Pancasila

hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict ma-nagement) di tengah-tengah masyarakat dengan paradigma baru yaitu Polisi Sipil dengan “muka tersenyum” dan profesional serta bersikap positif terhadap asas kebebasan dan asas persamaan.

Pembaharuan berdasarkan nilai sila pertama Pancasila dalam pembinaan sumber daya di Kepolisian berpijak pada kecerdasan spiritual yang akan meningkatkan kemampuan berpikir anggota Kepolisian sehingga menghasilkan kebijaksanaan dan strategi bertindak yang tepat, yang memungkinkan anggota Kepolisian di lapangan dapat berperan secara profesional sesuai fungsinya dan selaras dengan kebutuhan masyarakat.

Implementasi filosofis Pancasila dalam pembinaan sumber daya manusia di Kepolisian apabila dijalankan dengan baik dan benar akan mewujudkan semua visi yang ditetapkan oleh Kepoli-sian dapat dicapai dalam kerangka harmonisasi hukum tanpa ada kritik dan tuntutan dari internal maupun eksternal Kepolisian. Pengembangan sumber daya Kepolisian dengan mengedepankan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan menghasilkan anggota Kepolisian yang bertanggung jawab atas segala keputusan dan tindakan dalam profesi Kepolisian di masa sekarang dan masa yang akan datang.

ooo

Page 185: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

185Cita Hukum Pancasila

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, Ilmu Kepolisian sebagai Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PTIK, 2014.

Absori, Kelik Wardiono dan Saepul Rochman, Hukum Profetik: Kri-tik Terhadap Paradigma Hukum Non-Sistematik, Yogya-karta: Genta Publishing, 2015.

Bernard L. Tanya, Penegakan Hukum dalam Terang Etika, Yogyakar-ta: Genta Publishing, 2011.

______________________, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011.

______________________ dkk., Pancasila Bingkai Hukum Indonesia. Yog-yakarta: Genta Publishing, 2015.

Chairuddin Ismail, Polisi Sipil dan Paradigma Baru Polri, Jakarta: PT. Merlyn Lestari, 2009.

Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian.

Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian: Kemandirian Profesionalisme dan Reformasi Polri, Surabaya: Laksbang Grafika, 2014.

Rycko Amelza Dahniel dan Surya Dharma, Perilaku Organisasi Ke-polisian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.

Satjipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan, Jakarta: Kompas, 2007.

Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, Yogya-karta: Genta Publishing, 2014.

Page 186: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

186 Cita Hukum Pancasila

Page 187: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

187Cita Hukum Pancasila

MAFIA OBAT DI INDONESIA;

Borok Perikemanusiaan dan Keadilan Sosial

dalam Negara yang Berlandaskan Pancasila

Oleh: dr. Siti Soekiswati, M.H

Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta

Page 188: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

188 Cita Hukum Pancasila

Pendahuluan.Citra dokter kembali diguncang dengan munculnya pemberi-

taan di sebuah media cetak di kota Bima pada Senin 15 Agustus 2016, dengan tajuk Permainan Harga Obat, Cara Dokter Menjadi Ka-ya.1 Pada minggu yang sama di Semarang Jum’at 19 Agustus 2016 dengan judul Dokter “Monopoli” Bisnis Obat Dibongkar2, kembali media cetak menyajikan berita senada, yakni tentang keberadaan oknum dokter dalam mafia penyebab mahalnya harga obat yang berimbas mahalnya pelayanan kesehatan di Indonesia. Namun di sisi lain, munculnya tulisan tersebut membuat gerah para dokter karena seolah tuduhan tersebut berlaku untuk semua dokter, se-hingga Ketua IDI Semarang, dr. ES, perlu menjawab melalui media cetak yang sama di Semarang, hari berikutnya, Dokter Monopoli Obat Harus Dibuktikan.

Kecurigaan adanya oknum dokter sebagai bagian dari mafia obat sudah sejak lama berkembang di masyarakat seiring mahalnya biaya pelayanan kesehatan di Indonesia; sehingga muncul ungka-pan “orang miskin dilarang sakit”. Salah satu penyebab diantaranya adalah arus kapitalisme yang begitu kuat menyeret dunia pelaya-nan kesehatan yang awalnya adalah sebuah tugas mulia, menjadi lahan bisnis. Perubahan orientasi ini menjadikan dunia pelayan-an kesehatan di Indonesia ditengarai telah terjerat dalam sebuah sistem yang jahat, karena memperdagangkan jasanya, yaitu mafia kesehatan. Diantara cabang mafia kesehatan adalah mafia obat.3

Mafia Obat.Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), mafia

adalah perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal).4 Dari pengertian tersebut, maka mafia obat bisa diar-tikan sebagai perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang keja-

1 Koran Stabilitas, Nomor : 862 Tahun Ketujuh, Edisi Senin 15 Agustus 2016. 2 Jawa Pos Radar Semarang, Jum’at 19 Agustus 2016.3 Alexandra Indriyanti Dewi, Mafia Kesehatan, Yogyakarta: Pinus Book Publisher, Cetakan

I, 2008, hlm. 11-14.4 Suharso dan Retnoningsih Ana, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Semarang: Widya Karya,

cetakan kesepuluh, 2012, hal. 302.

Page 189: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

189Cita Hukum Pancasila

hatan pengobatan atau hal yang berkaitan dengan obat. Dimulai dari perusahaan farmasi beserta seluruh alurnya, sampai obat ke tangan pasien, ditengarai terlibat dalam sebuah mafia yang menye-babkan mahalnya harga obat.

Jaringan mafia obat ini sangat jeli, tersembunyi dan terlindu-ngi hukum karena diatur dengan sangat rapi dan dikendalikan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya, sulit dilacak dan ditembus bahkan oleh tangan hukum sekalipun.5

Sebenarnya bapak dunia kedokteran, Hipokrates, mendasari profesi dokter dengan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualisme untuk menolong nyawa manusia dengan lahirnya sumpah dokter. Seiring perkembangan ilmu dan teknologi, beberapa tokoh kedok-teran, diantaranya Vesalius, memulai penolakan teori kedokteran kuno (yang didasari nilai agama dan moral kemanusiaan) menjadi ilmu kedokteran modern yang mengedepankan keilmiahan dan mengganti tradisi lama. Ilmu kedokteran menjadi sangat materiil sejak ditemukannya mikroskop dan vaksin.6 Dalam perkembangan-nya, pengaruh arus kapitalisme semakin kuat, sehingga mengikis nilai-nilai moral kemanusiaan yang mendasari ilmu kedokteran. Hal ini besar pengaruhnya pada praktik kedokteran yang dilakukan oleh para dokter yang dididik dengan teori kedokteran modern. Pasien dianggap sebagai ‘materi’ dan pertolongan terhadap nyawa juga harus dihargai/dinilai dengan besarnya materi, karena dasar nilai agama dan moral kemanusiaan tidak lagi menjadi dasar utama pada pertolongan yang diberikan.

Moral dan Etika.Moral dimaknai dengan ajaran baik buruk perbuatan dan

kelakuan, akhlak, kewajiban dan sebagainya.7 Berasal dari bahasa Latin, mores, yaitu akhlak, tabiat, kelakuan, cara hidup atau adat-is-tiadat (yang baik). Moral bertalian dengan baik-buruknya manusia sebagai manusia dalam sikap, perilaku dan perbuatannya. Seorang

5 Alexandra, Op.Cit., hal. 8.6 Ibid, hal. 12-13.7 KBBI, Op.Cit., hal. 327.

Page 190: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

190 Cita Hukum Pancasila

dokter, adalah pekerja profesional, maka agar dikategorikan mem-punyai visi moral yang baik, dituntut mampu menghayati sejumlah norma moral yang berlaku umum, yang dapat disintesiskan secara kontekstual dan elegan, untuk kemudian dijadikan landasan kultur profesinya.8 Refleksi terhadap moral secara sistematik, kajian men-genai moralitas, analisis terhadap keputusan moral dan perilaku masa lampau, sekarang dan masa mendatang, disebut etika.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu tentang asas-asas akhlak. Secara bahasa, etika berasal dari baha-sa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat dan dari bahasa Inggris, ethics, adalah tingkah laku manusia yang baik atau tindakan yang harus dilaksanakan manusia sesuai dengan moral pada umumnya. Sehingga bisa disebut bahwa etika adalah kajian filosofis dari moral atau ilmu tentang moralitas.9

Dapat disimpulkan bahwa etika adalah ilmu tentang norma-norma perilaku manusia sebagai manusia, dengan pertanyaan sentral “bagaimana seharusnya manusia bertindak” (what ought), yaitu tindakan yang benar, baik dan tepat. Etika berurusan dengan kewajiban-kewajiban etis yang melekat pada setiap orang sebagai manusia. Ada dua ukuran objektif untuk menyatakan suatu tin-dakan secara etis banar atau salah, menurut pendapat Immanuel Kant, pertama bahwa tindakan itu dapat berlaku sebagai hukum yang bersifat universal. Kedua, memperlakukan manusia bukan sebagai alat/ objek, melainkan sebagai subjek yang penuh sebagai manusia.10

Etik Pancasila.Pancasila sebagai hasil kesepakatan dari orang-orang dan

kelompok-kelompok yang saling menghormati, agar tercipta suatu landasan bagi konsensus nasional mengenai bagaimana cara hidup

8 Wahyu Wibowo, Berani Menulis Artikel, Babakan Baru Kiat Menulis Artikel untuk Media Massa Cetak, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet. Pertama, 2006, hal. 140.

9 Sri Siswati, Etika Dan Hukum Kesehatan Dalam Perspektif Undang-Undang Kesehatan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Edisi I, Cetakan I, 2013, hal. 175-176.

10 Bernard L. Tanya dan Dossy Iskandar Prasetyo, Hukum Etika & Kekuasaan, Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan Pertama, 2011, hal. 16-17.

Page 191: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

191Cita Hukum Pancasila

(way of life) bangsa Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.11 Pada hierarki tata hukum di Indonesia, Pancasila layak menjadi norma dasar, yang oleh Kelsen populer disebut sebagai Grundnorm. Pancasila merupakan dasar bagi hukum yang berlaku di negeri ini. Ia bersifat transcendental-logic yang berada diatas tata hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam pelaksanaan hu-kum positif, Pancasila menjadi penentu uji validitasnya.12

Pancasila disebutkan sebagai landasan bagi konsensus nasio-nal untuk mengatur bagaimana cara hidup yang dapat mewujudkan kesejahteraan bersama. Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa Etik Pancasila adalah ilmu tentang norma-norma perilaku manusia sebagai manusia, yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.

Mafia Obat di Indonesia Versus Etik Pancasila.Sebagaimana dikatakan oleh Luijpen, bahwa yang mengge-

lisahkan hati manusia saat ini adalah kekurangan akan suatu dasar dan norma kritis bagi pengaturan hidup bersama. Ada tata hukum, tetapi tidak mampu memberi jaminan bagi aturan hidup bersama yang baik.13 Senada dengan Luijpen, fakta bahwa mafia obat di In-donesia dilakukan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya dengan sangat rapi dan sulit ditembus oleh hukum yang berlaku.

Menurut Luijpen, bahwa hukum tidak selalu sama isinya dalam perkembangan jaman, tidak ada hukum yang universal dan absolut dilihat dari isinya, meskipun norma-norma kemanusiaan menjadi patokan dasar setiap hukum, namun norma sendiri bersi-fat kontekstual menurut ruang dan waktu. Maka isi hukum tidak bisa dinilai menurut ukuran salah benar, yang ada adalah hukum yang tepat, cocok untuk sistem situasi sebuah masyarakat. Menu-rut Reinach, norma-norma etika yang sifatnya imperatif berlaku se-bagai norma-norma pembimbing dalam pembentukan hukum yang

11 Bernard L.Tanya, Theodorus Yosep Parera, Samuel F.Lena, Pancasila Bingkai Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan Pertama, 2015, hal. 2-3.

12 Ibid, hal. 13-14.13 Yovita A. Mangesti dan Bernard L.Tanya, Moralitas Hukum, Yogyakarta: Genta

Publishing,Cetakan Pertama, 2014, hal. 58.

Page 192: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

192 Cita Hukum Pancasila

adil.14 Dari beberapa pendapat dan uraian diatas dapat disimpul-kan bahwa yang akan tetap benar, baik dan tepat adalah nilai-nilai/ norma-norma perilaku manusia sebagai manusia, atau yang kita kenal dengan sebutan (nilai-nilai) etika. Di Indonesia etika yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat tentunya adalah etika Pancasila.

Etika Pancasila dalam hal ini bukanlah bersumber dari Grund-norm yang tanpa kejelasan isi, yang ibarat gelas kosong bisa diisi apa saja dengan sejuta kemungkinan. Etik Pancasila bersumber pada Pancasila sebagai Grundnorm yang transcendental-logic, yang berada diatas hukum positif yang berlaku.15 Dimana jiwa dasar Pancasila yang sebenarnya adalah pada sila pertamanya yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga nilai-nilai moral yang menjadi perwujudan etika Pancasila sudah seharusnya berlandaskan pada nilai-nilai ilahiah.

“Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang memberi jiwa kepada usaha meny-elenggarakan segala yang benar, adil dan baik. Sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam per-buatan dan praktik hidup dari dasar yang memimpin tadi...ia harus dipandang sebagai kelanjutan dalam praktik dari cita-cita dan amal Ketuhanan Yang Maha Esa.”16

Berarti bahwa keharusan bertindak secara beradab dan adil adalah perintah wajib bagi setiap penyelenggara negara maupun warga negara, sebagai wujud amal yang bernilai ilahiah. Nilai inilah yang harusnya menjadi dasar dalam tiap perbuatan kemanusiaan termasuk didalam pelayanan kesehatan.

Terjadinya mafia obat merupakan lingkaran setan disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya bahwa dokter oknum yang terlibat mafia obat juga manusia yang butuh hidup layak. Untuk dapat hid-up layak mereka berusaha mencari penghidupan dari pekerjaan-nya masing-masing, baik sebagai dokter, perawat, bidan, farma-sis, owner pabrik obat dan karyawannya. Penyebab yang lainnya

14 Ibid, hal. 59-62.15 Bernard L. Tanya dkk, Pancasila Bingkai Hukum Indonesia, Op.Cit. hal. 14-15.16 Ibid, hal. 59.

Page 193: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

193Cita Hukum Pancasila

adalah life-style manusia modern yang serba hedonis, menyeret dokter ataupun oknum mafia obat dan atau keluarganya. Bahan obat yang masih harus mengimpor (yang sebagian besar dari Tion-gkok) serta pajak yang tinggi menyebabkan biaya produksi yang tinggi pula.17 Fakta tersebut disuburkan dengan kurang sigapnya penyelenggara negara untuk menangani. Mulai dari aturan hukum yang tidak sepenuhnya dijalankan dengan pengawasan yang me-lekat. Pengambil kebijakan yang berkaitan dengan bidang produksi obat dan peredarannya, yang berpihak pada kapitalis (internasi-onal) dan tidak berpihak pada bangsa sendiri.

Dari sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, maka tindakan mafia obat adalah pengingkaran pada konsep keilahiahan yang mendasari setiap amal praktis tiap diri bangsa ini. Etika Pancasila mencegah seseorang agar tidak memunculkan karakter dasar seb-agaimana teori Hobbes, homo homini lupus (manusia satu menjadi serigala/ pemangsa manusia lain).18

Adapun sila kemanusiaan yang adil dan beradab mengajarkan etika untuk menghargai hak tiap manusia sebagai manusia. Kebena-ran hukum tidak dimonopoli atas nama otoritas para pembuatnya dan para penegaknya, melainkan pada nilai-nilai kemanusiaan yang merupakan norma paling dasar. Maka kebijakan yang memi-hak para kapitalis sangat bertentangan dengan etika Pancasila.19

Untuk merawat kehidupan berbangsa sebagai perwujudan pelaksanaan sila ketiga, amat penting menumbuhkan jiwa nasion-alisme Indonesia. Dalam hal ini upaya untuk mengutamakan dan bangga menggunakan produk dalam negeri penting untuk diting-katkan. Mafia obat justru menunjukkan bahwa penyelenggara neg-ara tidak berupaya mengutamakan kebanggaan terhadap produk dalam negeri, dengan mengimpor hampir 90 persen bahan baku obat dari Tiongkok.20 Dengan usia kemerdekaan 71 tahun hal itu merupakan bukti ketidakseriusan pemerintah untuk mengusa-hakan bahan baku obat dari dalam negeri sendiri.

17 Jawa Pos Radar Semarang, Ibid.18 Bernard L. Tanya, dkk. Pancasila Bingkai...Op.Cit., hlm.42-48.19 Ibid. hlm. 52-55.20 Jawa Pos Radar Semarang, Ibid.

Page 194: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

194 Cita Hukum Pancasila

Sila keempat Pancasila merupakan doktrin Indonesia men-genai hidup bernegara, yaitu kerakyatan yang berarti poros peny-elenggaraan negara adalah rakyat dan kepentingannya.21 Keadaan mafia obat didasari oleh mental oknum yang lebih mengutamakan kepentingan pribadinya, adalah pelanggaran terhadap etika Pan-casila.

Fenomena mafia obat menciderai etika Pancasila, sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena mahalnya harga obat, banyak rakyat kecil harus menjual harta mereka yang paling berharga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebelum ada program BPJS Kesehatan. Dan sesudah adaprogram BPJS Kese-hatan juga masih merasakan pembatasan hari rawat inap di Rumah Sakit, bahkan penolakan dengan alasan kamar sesuai kelas penuh, yang ada kelas diatasnya yang tentu harus menambah biaya.

PenutupKeseluruhan penyebab mafia obat tersebut bisa diupayakan

penyelesaiannya dan atau pencegahannya dengan penanaman semangat etika Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Terutama penanaman nilai-nilai Ketuhanan yang menjadi dasar dari sila-sila yang lain dengan melalui pendidikan agama yang intensif. Pelatihan pada pegawai/ penyelenggara neg-ara, penambahan jam pelajaran atau mata kuliah khusus tentang ideologi negara dapat juga dilaksanakan. Bisa juga dalam bentuk tayangan film-film pendidikan di media massa elektronik tentang etika Pancasila untuk mendidik masyarakat luas sebagai warga negara Indonesia.

ooo

21 Bernard L. Tanya, dkk. Pancasila Bingkai.. Op.Cit.,hlm. 83-85.

Page 195: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

195Cita Hukum Pancasila

DAFTAR PUSTAKA

Alexandra Indriyanti Dewi, Mafia Kesehatan, Cetakan I. Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2008.

Jawa Pos Radar Semarang, Jum’at 19 Agustus 2016.

Koran Stabilitas, Nomor : 862 Tahun Ketujuh, Edisi Senin 15 Agus-tus 2016.

Yovita A. Mangesti dan Tanya, Bernard L, Moralitas Hukum, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Genta Publishing, 2014.

Sri Siswati, Etika Dan Hukum Kesehatan Dalam Perspektif Undang-Undang Kesehatan Edisi I Cetakan I. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2013.

Ana Retnoningsih dan Suharso, Kamus Besar Bahasa Indonesia Ce-takan kesepuluh. Semarang: Widya Karya, 2012.

Bernard L.Tanya dan Dossy Iskandar Prasetyo, Hukum Etika & Kekuasaan, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Genta Pub-lishing, 2011.

____________________, Parera Theodorus Yosep dan Lena Samuel F, Pan-casila Bingkai Hukum Indonesia, Cetakan Pertama. Yog-yakarta: Genta Publishing, 2015.

Wahyu Wibowo, Berani Menulis Artikel, Babakan Baru Kiat Menulis Artikel untuk Media Massa Cetak Cet. Pertama, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Page 196: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

196 Cita Hukum Pancasila

Page 197: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

197Cita Hukum Pancasila

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK;

Mewujudkan Demokrasi Indonesia Yang

Bermartabat

Oleh: Usman Munir, S.H., M. Hum

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta

Page 198: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

198 Cita Hukum Pancasila

PendahuluanPolitik berasal dari kosa kata politic yang memiliki makna

bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan. Untuk melak-sanakan tujuan-tujuan perlu di tentukan kebijakan-kebijakan umun atau piblis policies, yang menyangkut peraturan dan pem-bagian dari sumber-sumber yang ada. Dan politik selalu menyang-kut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat bukan tujuan pribadi seseorang. Selain itu politik juga menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan1.

Etika meyangkut keyakinan mengenai nilai-nilai dan menu-rut Robert M Steeman, nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, sesuatu yang diberi makna dalam hidup, yang member kepada hidup ini titik tolak , isi dan tujuan. Nilai mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang, Oleh karena itu, tindakan etis berpegang pada sejumlah prinsip nilai.2 Tindakan etis harus selaras dengan marta-bat manusia, Etis bila setia pada kemanusian,. Integritas manusia terletak pada etikannya dan tindakan etis harus berpegang pada kebenaran.tindakan etis itu peran, tindakan etis itu menolak yang salah tindakan etis itu setia pada kebenaran3 Bahwa etis tidak bo-leh lepas dari prinsip-prinsip diatas.

Tujuan etika politik adalah mengarahkan kehidupan politik yang lebih baik, baik bersama dan untuk orang lain, dalam rangka membangun institusi-institusi politik yang adil. Etika politik mem-bantu untuk menganalisa korelasi antara tindakan individual, tind-akan kolektif, dan struktur-struktur politik yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara.

1 http://kilometer25.blogspot.com/2013/02/pembangunan-hukum.html.2 Bernard L Tanya, Penegakan Hukum Dalam Terang Etika, Yogyakarta: Genta Publishing,

2011.3 Ibid., hal. 7.

Page 199: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

199Cita Hukum Pancasila

PEMBAHASAN

Pengertian etika sebagai suatu usaha, filsafat dibagi menjadi beberapa cabang menurut lingkungan bahasanya masing masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis memper-tanyakan dan berusaha mencari jawabannya tentang segala ses-uatu, misalnya hakikat manusia, alam, hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ke-tahui dan filsafat teoritispun juga mempunyai maksud-maksud dan berkaitan erat dengan hal hal yang bersifat praktis, karena pema-haman yang dicari menggerakkan kehidupannya.4

Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang dan bagaimana kita dan mangapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu,atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang ber-tanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.5 Etika berkaitan dengan masalah nilai karena etika pada pokoknya mem-bicarakan masalah masalah yang berkatan dengan prediket nilai “susila” dan “tidak susila”,,”baik” dan “buruk”. Etika Politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia. Bidang pembahasan dan metode etika politik. Pertama etika politik ditem-patkan ke dalam kerangka filsafat pada umumnya. Kedua dijelas-kan apa yang dimaksud dengan dimensi politis manusia. Ketiga dipertanggungjawabkan cara dan metode pendekatan etika politik terhadap dimensi politis manusia itu.

Sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti: perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan negara, kebebasan berpikir dan beragama (Locke), pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie), kedaulatan rakyat (Rousseau), negara hukum demokratis/republican (Kant), hak-hak asasi manu-sia (Locke, dsb) dan keadilan sosial6

4 Abdul Hamid , dkk., Pendidikan Pancasilan & Kewarganegaraan, Bandung. Pustaka Setia, 2000.

5 Ibid., hal 3.6 Ibid., hal 4.

Page 200: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

200 Cita Hukum Pancasila

a. Etika politik

Etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait dengan bidang pembahsan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia se-bagai subjek etika.7

Pengertian etika politik berasal dari kata ‘politics’ yang memi-liki makna bermacam macam kegiatan dalam suatu sitem politik atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari system itu dan diikuti dengan pelaksanaan-pelaksanaan itu. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari system itu.8

Kalau membicarakan Pancasila sebagai etika politik maka ia mempunyai lima prinsip. Lima prinsip tersebut bukan sekedar sebuah penyesuaian dengan situasi Indonesia, melainkan karena Pancasila memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik modern (yang belum ada dalam Pan-casila adalah perhatian pada lingkungan hidup).

1. Pluralisme

Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima plurali-tas, artinya, untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pan-dangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralisme mengimplika-sikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan seke-lompok orang.

2. Hak Asasi Manusia

Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang adil dan beradab. Mengapa? Karena hak-hak asasi manu-sia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan

7 Muhammad Adib,Pustaka Ilmu, Yogyakarta, 2015 Hal 2288 Ibid.

Page 201: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

201Cita Hukum Pancasila

wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus di-perlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Karena itu, Hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak mau-pun kontekstual dalam pengertian sebagai berikut.

a. Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pem-berian Negara, masyarakat, melainkan karena ia manu-sia, jadi dari tangan Sang Pencipta.

b. Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, di ambang modernitas di mana manu-sia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam oleh Negara modern.

Bila mengkaji hak asasi manusia secara umum, maka dapat dibedakan dalam bentuk tiga generasi hak-hak asasi manusia:

1) Generasi pertama (abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis dan perlakuan wajar di depan hokum.

2) Generasi kedua (abad ke 19/20): hak-hak sosial

3) Generasi ketiga (bagian kedua abad ke 20): hak-hak kole-ktif (misalnya minoritas-minoritas etnik).

3. Solidaritas Bangsa

Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa kita ber-satu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sos-ialitas manusia berkembnag secara melingkar: keluarga, kam-pong, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidari-tas sebagai manusia.9 Maka di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosial-an itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar dengan kasar oleh korupsi.

9 http://www.academia.edu/3819639/MAKALAH_PENDIDIKAN_PANCASILA.

Page 202: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

202 Cita Hukum Pancasila

4. Demokrasi

Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia, atau sebuah elit, atau sekelompok ideologi, atau sekelompok pendeta/pastor/ulama berhak untuk menen-tukan dan memaksakan (menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mer-eka mau dipimpin. Demokrasi adalah “kedaulatan rakyat plus prinsip keterwakilan”.10 Jadi demokrasi memerlukan sebuah sistem penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.

Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar:

a. Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.

b. Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan ter-hadap hukum (negara hukum demokratis). Maka kepas-tian hukum merupakan unsur hakiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).

5. Keadilan Sosial

Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar keadilan. Moralitas masyarakat mulai dengan pe-nolakan terhadap ketidakadilan. Keadilan sosial mencegah bahwa masyarakat pecah ke dalam dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang paling-paling bisa survive di hari berikut.

Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, aga-ma-agama tertentu; keadilan sosial tidak sama dengan sosia-lisme. Keadilan sosial adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan sosial diusahakan dengan membongkar

10 Ibid., hal. 3.

Page 203: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

203Cita Hukum Pancasila

ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Di mana perlu diperhatikan bahwa ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat struktural, bukan pertama-pertama individual. Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pe-mimpin), melainkan dalam struktur-struktur politik/eko-nomi/sosial/budaya/ideologis. Struktur-struktur itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan kehendak baik dari atas. Ketidakadilan struktural pal-ing gawat sekarang adalah sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain adalah diskriminasi di semua bi-dang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.

Berdasarkan uaraian di atas, tantangan etika politik pa-ling serius di Indonesia sekarang adalah:

1. Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial.

2. Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.

3. Korupsi.

a) Demensi Manusia PolitikManusia Sebagai Makhluk Individu-Sosial

Berbagai paham antropologi filsafat memandang hakikat sifat kodrat manusia, dari kacamata yang berbeda-beda. Paham indivi-dualism yang merupakan bakal paham liberalisme, memandang manusia sebagai makhluk individu yang bebas, Konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat, bangsa, maupun negara dasar merupakan dasar moral politik negara. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepen-tingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia se-bagai individu. Sebaliknya kalangan kolektivisme yang merupakan

Page 204: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

204 Cita Hukum Pancasila

cikal bakal sosialisme dan komunisme mamandang siafat manu-sia sebagi manusia sosial. Individu menurut paham kolekvitisme dipandang sebagai sarana bagi amasyarakat. Oleh karena itu kon-sekuensinya segala aspek dalam realisasi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara paham kolektivisme mendasarkan kepada sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filsofi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebeba-san sebagi invidu dan segala aktivitas dan kreatifitas dalam hidup-nya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini dikarenakan ma-nusia sebagai masyarakat atau makhluk sosial. Kesosialanya tidak hanya merupakan tambahan dari luar terhadap individualitasnya, melainkan secara kodrati manusia ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa tergantung pada orang lain.11

Manusia didalam hidupnya mampu bereksistensi kare orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena dalam hubunganya dengan orang lain. Dasar filosofi sebagaimana ter-kandung dalam pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah monodualis yaitu sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia bukanlah totalis individualistis. Secara mo-ralitas negara bukanlah hanya demi tujuan kepentingan dan kkese-jahteraan individu maupun masyarakat secara bersama. Dasar ini merupakan basis moralitas bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, sehingga konsekuensinya segala keputusan, kebijaksanaan serta arah dari tujuan negara indonesia harus dapat dikembalikan secara moral kepada dasar-dasar tersebut.

Demensi Politis Kehidupan Manusia

Dimensin politis manusia senantiasa berkaitan dengan ke-hidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan

11 Anhar Gonggong, “Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan”, makalah disampaikan pada kegiatan LEMHANNAS RI. 2015

Page 205: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

205Cita Hukum Pancasila

kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dimensi ini memiliki dua segi fundamental yaitu pengertian dan kehendak untuk bertin-dak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berha-dapan dengan tindakan moral manusia, sehingga mausia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau akibat yang ditimbulkan karena tindakanya, akan tetapi hal ini dapat dihindarkan karena ke-sadaran moral akan tanggung jawabnya terhadap manusia lain dan masyarakat. Apabila pada tindakan moralitas kehidupan manusia tidak dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapai hak orang lain dalam masyarakat, maka harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif. Lembaga penata normatif masyarakat adalah hu-kum. Dalam suatu kehidupan masyarakat hukumlah yang member-itahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif dan otomatis menjamin agar setiap anggota masyarakat taat kepada norma-normanya. Oleh karena itu yang secara efektif dapat menentukan kekuasaan masyarakat hanyalah yang mem-punyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lembaga itu adalah negara. Penataan efektif adalah penataan de facto, yaitu penatan yang berdasarkan kenyataan menentukan kelakuan ma-syarakat. Namun perlu dipahami bahwa negara yang memiliki.

b) Nilai – nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika PolitikSebagi dasar falsafah negara Pancasila tidak hanya merupakan

sumber derivasi peraturan perundang - undangan, malainkan juga merupakan sumber moraliatas terutama dalam hubunganya den-gan legitimasi kekuasaan, hukum serta sebagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sila pertama “Ketuhan-an Yang Maha Esa” serta sila ke dua “kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidu-pan berbangsa dan bernegara.

Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, Etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijlankan sesuai dengan asas legalitas (legitimasi hukum) , secara demokrasi (legitimasi

Page 206: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

206 Cita Hukum Pancasila

demokrasi) dan dilaksanakan berdasrkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan ne-gara baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenagan harus berdasarkan legitimima-si moral religius serta moral kemanusiaan. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaran negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan.

PenutupSecara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisah-

kan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian ‘moral’ senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manu-sia. Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat ma-nusia sebagi makhluk yang beradab dan berbudaya.

Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa maupun negara bisa berkembang ke arah yang tidak baik dalam arti moral. Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter, yang memaksakan kehendak kepada manusia tana memperhitungkan dan mendasarkan kepada hak-hak dasar kemanusiaan. Dalam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka seseorang baik secara moral kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta masyarakat otoriter, karena ti-dak dapat hidup sesuai dengan aturan yang buruk dalam suatu masyarakat negara. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat ma-nusia sebagai manusia.

ooo

Page 207: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

207Cita Hukum Pancasila

DAFTAR PUSTAKA

Anhar Gonggong, “Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan”, makalah disampaikan pada kegiatan LEMHANNAS RI. 2015.

Abdul Hamid , dkk., Pendidikan Pancasilan & Kewarganegaraan, Bandung: Pustaka Setia, 2000

Bernard L. Tanya, Penegakan Hukum dalam Terang Etika, Yogya-karta: Genta Publishing, 2011.

http://www.academia.edu/3819639/MAKALAH_PENDIDIKAN_PANCASILA.

http://kilometer25.blogspot.com/2013/02/pembangunan-hu-kum.html.

Page 208: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

208 Cita Hukum Pancasila

BIODATA PENULIS

Prof. Dr. Absori, S.H., M.Hum, lahir di Brebes, 5 Mei 1963 adalah dosen mata kuliah Politik Hukum, Hukum Lingkungan dan Filsafat Ilmu di Program Studi S1, S2, dan S3 Fakultas Hukum Uni-versitas Muhammadiyah Surakarta dan pengajar di berbagai per-guruan tinggis serta pembimbing dan penguji disertasi, termasuk di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada. Menamat-kan pendidikan S1 dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (1989), Magister Ilmu Hukum Universitas Dipenogoro (1998) dan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Dipenogoro (2006). Mem-peroleh jabatan Guru Besar Ilmu Hukum (2008). Jabatan struktural yang pernah diembannya Pembantu Dekan I Fakultas Hukum UMS (1998-2002), Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat UMS (2006-2007), Wakil Rektor III (2007-2013) dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum UMS (2013-sekarang). Diantara bukunya yang telah terbit; Hukum Ekonomi pada Era Liberalisasi Perdagangan (edisi re-visi, 2013), Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (edisi revisi, 2014), Politik Hukum Menuju Hukum Progresif (2014) dan Hukum Profetik Kritik Terhadap Paradigma Hukum Non-Sistemik (bersama Kelik Wardiono dan Saepul Rochman, 2015). Penelitian yang pernah dilakukan; Model Pilihan Penyelesaian Sengketa Ling-kungan Hidup dan Pendekatan Partisipatif (hibah bersaing Ditjen Dikti 2005-2006), Kebijakan Penataan PKL di Perkotaan (YPID-Bank Dunia, 2006), Model Pembangunan Kota Berwawasan Ling-kungan (PSL-UMS, 2009-2010), Model Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sebuah Studi tentang Format Pemilihan Gabungan (Hibah Pascasarjana, Ditjen Dikti 2009-2010) Kebijakan Green Technology Rekayasa Kemanfaatan Reclaimed Asphalt Pave-ment untuk Preservasi Konstruksi Jalan (Penelitian Strategi Nasi-onal, Ditjen Dikti 2012-2013), Model Resolusi Konflik Sumber Daya Air dengan Pendekatan Ecoregion (Penelitian Unggulan Doktor dan Guru Besar, 2015) dan Model Pengelolaan Air Tanah di Daerah Le-

Page 209: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

209Cita Hukum Pancasila

reng Merapi Klaten Jawa Tengah (Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Ditjen Dikti 2015).

Any Farida, S.H, M.H, Lahir di Grobogan, 01 Oktober1971, tinggal di Kp. Randusari Rt.02/05, Kuwaron, Gubug, Grobogan, Jawa Tengah, alumni S1 FH Unissula 1994, S2 MIH FH Undip 2008 dan sedang menempuh S3 di PDIH Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dosen FH Undaris dari th 1997 - sekarang. Ketua bagian Hukum Internasiona dan Ketua Gugus Mutu FH Undaris sampai sekarang. Mengajar Pancasila dan Kewarganegaraan di STIKES Mu-hammadiyah Kudus sejak tahun 2012 - sekarang. Kontributor buku Konteks dan Perspektif Politik Terkait Hukum Humaniter Interna-sional Kontemporer, terbitan Rajawali Pers, 2015.

Elviandri, S.HI., M.Hum, lahir di Bangkinang, 21 Pebruari 1985, pendidikan dasar di sekitar kota kelahirannya dan nyantri di Muallimin Muhammadiyah Kampar. Pendidikan tingginya ditempuh di Fakultas Agama Islam Jurusan Syari’ah Universitas Muhammadi-yah Surakarta (2005) sekaligus nyantri di Pondok Hajjah Nuriyah Shabran-UMS (2006). Gelar magisternya diperoleh dari almamater yang sama di bidang Ilmu Hukum (2007). Sekarang sedang menem-puh S3 di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Sura-karta Program Doktor Ilmu Hukum. Aktivis muda Muhammadiyah (Pimpinan Cabang sampai Wilayah Pemuda Muhammadiyah) ini termasuk salah satu perintis Universitas Muhammadiyah Riau dan menjadi dosen tetap. Selain menjadi dosen, aktif juga di Gerakan Anti Narkoba dan Korupsi (GRANKO) sebagai sekjen (2015-2020), Majlis Ulama Indonesia Provinsi Riau (2015-2020), Staff ahli Ka-polda Riau (2014) pada saat Polda Riau dipimpin oleh Brigjend. Condro Kirono, Lembaga Adat Melayu Riau, FKUB Kamar dan IKAS Sepakat. Sementara ini karya-karya lebih banyak dalam artikel jur-nal, dan penelitian-penelitian di kampus dan Provinsi Riau, Bulletin Jum’at dan koran-koran di Riau.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H, lahir di Indramayu, May 24, 1976. Pendidikan dasar dan menengahnya diselesaikan di kota kelahi-rannya (SD, SMP, SMU Muhammadiyah), pernah nyantri di Pondok Pesantren Islam al-Mukmin Ngruki Sukoharjo. Pendidikan tinggin-

Page 210: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

210 Cita Hukum Pancasila

ya di tempuh di kota Surakarta pada Universita Muhammadiyah Surkarta Fakultas Agama Islam Jurusan Syari’ah dan Fakultas Hu-kum (2003), pada waktu yang sama nyantri di Pondok Hajjah Nuri-yah Shabran-UMS (2002). Gelar S2 diraih pada universitas yang sama di bidang ilmu hukum (2009), kini sedang menyelesaikan S3 di universitas yang sama. Aktivitas yang dijalani sekarang sebagai dosen Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga dan Anggota Majlis Hukum dan HAM PW Muhammadiyah Jawa Tengah. Beberapa karya yang pernah diterbitkan adalah; Essensi Ajaran Islam 2 (kontributor, LPID-UMS, Surakarta, 2007, Catatan Pinggir Seorang Guru (editor, STAIN Salatiga Press:, 2007), Pengantar Manajemen Pendidikan (editor, Fairuz Media, Sukoharjo, 2009), Pengantar Ilmu Hukum (STAIN Salatiga Press, 2010), Madrasah dan Pelestarian Lingkun-gan Sumbangan Konseptual dan Strategi Aksi (kontributor, STAIN Salatiga Press, 2011), Hukum Pemerintahan Daerah Eksperimenta-si Demokratisasi Pasca Refromasi (STAIN Salatiga Press, 2011), Hu-kum Perjanjian (editor, STAIN Salatiga Press, 2012), Konsep Jihad dan Mujahid Damai (editor, Diktis Kemenag RI, 2012), Studi Keis-laman di Perguruan Tinggi (STAIN Salatiga Press, 2013), Pengan-tar Hukum Adat (editor, Pustaka Iltizam, 2016) dan Hukum Waris Adat (editor, Pustaka Iltizam, 2016). Beberapa tulisannya juga telah dimuat di jurnal Ijtihad, Attarbiyah, dan Inferensi (STAIN Salatiga), Ishraqi (FAI-UMS) dan Profetika (Pasca Sarjana-UMS).

Mohamad Tohari, S.H., M.H. Lahir diPati, 16 September 1969. Pendidikan SD dan SLTP diselesaikan di Pati, sedangkan SLTA nya diselesaikan di Kota Kudus, Pendidikan Tingginya diselesaikan di Kota Semarang Pada Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Sema-rang Fakultas Hukum tahun1990-1995, sedangkan pendidikan Magisternya (S2) diselesaikan di Universitas Diponegoro tahun 2007-2009. Saat ini sedang menempuh pendidikan Program Dok-tor Ilmu Hukum (S3) di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Ak-tifitas yang dijalani sebagai dosen di Universitas Darul Ulum Islam-ic Centre Sudirman (Undaris) Semarang pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

Page 211: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

211Cita Hukum Pancasila

Nurjannah Septyatun, S.H., M.H., lahir di Kuken-Sumbawa, 4 September 1983. Pendidikan dasar dan menengahnya diselesaikan di kota kelahirannya, pendidikan tinggi (S1) diselesaikan di Univer-sitas Mataram. Gelar magisternya diperoleh pada universitas yang sama dalam Program Magister Ilmu Hukum. Sekarang sedang me-nyelesaikan program doktor (S3) pada Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sejak tahun 2008 menjadi dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram. Selain itu aktivitas-nya sebagai pengurus Nasyatul Aisyiyah NTB di bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Pada tahun 2013 menerima hibah penelitian dosen muda dari DIKTI. Beberapa karyanya telah diter-bitkan di beberpa jurnal.

Sigit Sapto Nugroho, S.H., M.Hum, lahir di Magetan Jawa Timur, 26 Juli 1974, Pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah di kota kelahirannya, Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum (1999) di Fakultas Hukum Unmer Madiun, Magister Hukum S2 (2004) di Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang dan saat ini sedang menempuh Program Doktoral S3 di Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Selain aktif mengajar di kampus Universitas Merdeka Madiun juga sangat aktif dalam bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dibiayai oleh DP2M Dikti serta menulis artikel pada jurnal-jurnal il-miah dengan tema berkaitan dengan Hukum Adat, Hukum Sumber-daya Alam dan Hukum Kehutanan. Buku yang pernah diterbitkan Pengantar Hukum Adat (Iltizam, 2016) Hukum Adat Waris (Iltizam, 2016)

dr. Siti Soekiswati, M.H, lahir di Bojonegeoro pada tanggal 11 September 1968. Pendidikan dasar dan menengahnya disele-saikan di kota kelahiranya. Ia melanjutkan pendidikan tingginya di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dan resmi menyandang titel dokter pada Juli 1996. Gelar Magiste Huk-umnya diperoleh dari Universitas Muhammadiyah Surakarta. Seka-rang sedang menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Is-lam Batik Surakarta sekaligus sedang menempuh S3 pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Aktivi-

Page 212: CITA HUKUM PANCASILAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6716/1/Cita Hukum Pancasila.pdfdan tujuan setiap hukum di Indonesia. Pada aspek poltik, Pancasila dapat dijadikan rujukan

212 Cita Hukum Pancasila

tas lainnya adalah sebagai dosen pada Jurusan Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan UMS, praktisi akupunturis, tercata sebagai anggota IDI Cabang Sukoharjo sejak tahun 2000, dan anggota Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) Wilayah D.I. Yogyakarta sejak tahun 2015.

Sri Waljinah, S.Pd., M. Hum, lahir di Batang pada tanggal 7 Maret 1972. SD dan SMP diselesaikan di Batang dan SMA-nya di-tempuh di Kota Kendal. Gelar sarjananya di peroleh dari Prodi Ba-hasa Indonesia FKIP UMS dan masternya diperoleh dari Fakultas Ilmu Budaya UGM. Sekarang sedang menempuh S3 di Sekolah Pasca Sarjana Program Doktor Ilmu Hukum UMS sekaligus menempus S1 di Fakultas Hukum UMS. Bekerja sebagai dosen pada Prodi Bahasa Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Usman Munir, S.H., M.H, Lahir di Lombok Timur pada 4 No-vember 1982. Sekolah Dasar dan Menengah Pertamanya disele-saikan di kota kelahirannya, sedangkan Sekolah Menengah Atas di Mataram. Gelar Sarjana dan Magister Hukumnya diperoleh dari Universitas Mataram, sekarang sedang menyelesaikan studi S3 di Sekolah Pasca Sarjana Program Doktor Ilmu Hukum UMS. Aktifit-asnya sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram, juga sebagai advokat muda di Mataram. Aktivitas lain-nya sebagai anggota Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah bidang advokasi dan anggota Pimpinan Wilayah Muhammadiyah NTB di Majlis Wakaf.

Yulias Erwin, S.H., M.H, lahir di Lombok Tengah pada tanggal 8 Juli 1977. Dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Mataram sejak tahun 2006. Pendidika SD, SMP dan SMU diselesaikan di kota kelahirannya. Gelar sarjana dan Magister Hukumnya diperoleh dari Fakultas Hukum Universitas Mataram. Sekarang sedang menem-puh pendidikan S3 di Sekolah Pasca Sarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.