ciri-ciri, tipologi, jenis-jenis korupsi, pendekatan sosiologis
DESCRIPTION
Menguraikan sulitnya mendefinisikan korupsi. Ciri-ciri dan jenis-jenis korupsi.TRANSCRIPT
1
Korupsi, Bisa Dirasakan
tapi Sulit Dirumuskan
Oleh Satrio Arismunandar
Meski sudah seperti kanker yang mengancam kehidupan seluruh bangsa,
korupsi tidak mudah didefinisikan. Ada banyak konsep tentang korupsi.
Ketika DPR-RI kompak memilih komisioner KPK yang "lunak," itu pun
sudah termasuk kategori korupsi.
Korupsi dapat dipandang sebagai fenomena penyimpangan dalam
kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan. Meski demikian,
studi tentang korupsi tidaklah harus didasarkan pada pendekatan yuridis atau
ekonomi, karena korupsi juga dapat dianggap sebagai isu moral dan filosofis.
Perilaku korupsi sudah sejak lama dikaji oleh para filsuf. Filsuf Yunani,
Aristoteles, yang diikuti oleh Machiavelli, misalnya, sejak awal sudah
merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai "korupsi moral." Korupsi moral
merujuk pada berbagai bentuk penyimpangan konstitusi, sehingga para penguasa
rezim --termasuk dalam sistem demokrasi-- tidak lagi dipimpin oleh hukum dan
tidak lagi melayani kepentingan rakyat, tetapi tak lebih hanya berupaya melayani
dirinya sendiri.
Penggunaan istilah "korupsi" dalam diskusi-diskusi filsafat tak jarang
berbentuk pengkontrasan antara wujud yang murni bersifat spiritual dengan
manifestasinya yang "sudah terkorupsi" (corrupted) di dunia fisik. Banyak filsuf
menganggap dunia fisik sebagai sesuatu yang "korup." Plato adalah contoh filsuf
yang paling ternama dari aliran pemikiran ini.
Dalam pendekatan moralitas, korupsi umumnya merujuk ke kondisi
dekadensi atau hedonisme. Sedangkan dalam perdebatan teologis, beberapa sudut
pandang tertentu terkadang dituduh merupakan bentuk korupsi dari sistem-sistem
kepercayaan yang ortodoks. Dengan kata lain, sudut pandang tersebut dituduh
telah menyimpang dari cara pandang lama yang sudah benar.
2
Dalam perspektif agama, korupsi dipandang sebagai suatu perbuatan yang
sangat tercela. Dalam perspektif ajaran Islam, korupsi termasuk perbuatan fasad
atau perbuatan yang merusak kemaslahatan, kemanfaatan hidup, dan tatanan
kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar).
Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang
bertentangan dengan prinsip keadilan (al-’adalah), akuntabilitas (al-amanah),
dan tanggung jawab.
Sulitnya Mendefinisikan Korupsi
Salah satu definisi korupsi yang paling terkenal adalah: "Korupsi
merupakan penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang pejabat publik, demi meraih
keuntungan pribadi." Jelas, bahwa penyalahgunaan kantor publik untuk
keuntungan pribadi (privat) adalah wujud paradigmatik korupsi.
Namun, korupsi tidak selalu terkait dengan kantor publik. Jika seorang
petaruh menyuap seorang petinju agar "mengalah" dalam suatu pertandingan
tinju, ini adalah korupsi untuk kepentingan privat, meski tidak melibatkan
pemegang jabatan publik manapun. Si petaruh maupun si petinju bukanlah
pejabat publik.
Salah satu cara menanggapi hal ini, adalah dengan membedakan antara
korupsi publik dengan korupsi privat. Serta berargumentasi dengan mengatakan
bahwa definisi di atas hanya khusus berlaku untuk korupsi publik.
Namun, ketika seorang warga biasa berbohong saat memberi kesaksian
dalam sidang pengadilan, ini adalah sebuah korupsi terhadap sistem peradilan
kriminal atau kantor publik. Walaupun dalam kasus ini tidak ada penyalahgunaan
kantor publik oleh seorang pejabat publik.
Dalam kasus lain, ketika seorang petugas polisi merekayasa bukti palsu,
untuk menjerat seorang tersangka pemerkosa --yang ia yakini memang betul-
betul pelaku pemerkosaan yang membahayakan masyarakat-- ini adalah sebuah
korupsi terhadap kantor publik. Walaupun petugas polisi itu melakukannya bukan
karena untuk keuntungan pribadi.
3
Karena begitu luasnya cakupan korupsi, upaya merumuskan sebuah
definisi atau konsep teoritis tentang korupsi terbukti cukup sulit. Maka, dilakukan
langkah lain, yaitu mencoba mengidentifikasi korupsi lewat pelanggaran-
pelanggaran hukum dan/atau moral yang spesifik. Misalnya, suap adalah
pelanggaran hukum dan moral yang jelas termasuk bentuk korupsi.
Masalahnya, daftar yang berisi berbagai contoh dan ragam korupsi itu bisa
panjang sekali. Lebih jauh, banyak dari tindakan-tindakan korupsi di dalam daftar
tersebut --misalnya, nepotisme-- tidak bisa dimasukkan sebagai contoh
penyuapan. Banyak perdebatan juga bisa muncul tentang mana yang layak
dimasukkan dalam daftar dan mana yang tidak layak. Praktisi penegak hukum,
misalnya, sering membedakan antara fraud (penipuan, kecurangan) dengan
korupsi.
Terdapat satu strategi lagi untuk membuat garis demarkasi tentang
perilaku korupsi. Secara tersirat, di dalam banyak literatur tentang korupsi,
terdapat pandangan bahwa korupsi pada dasarnya adalah sebuah pelanggaran
hukum, atau lebih spesifik lagi: sebuah pelanggaran hukum di ranah ekonomi.
Sejalan dengan itu, kita dapat berupaya mengidentifikasi korupsi dengan
kejahatan-kejahatan ekonomi, seperti penyuapan, penipuan, kecurangan, dan
insider trading. Sampai tahap tertentu, cara pandang ini mencerminkan
dominannya perspektif ekonomi dalam literatur akademis tentang korupsi.
Tetapi banyak tindakan korupsi tidak selalu dianggap melawan hukum.
Contohnya, penyuapan. Sebelum tahun 1977, perusahaan-perusahaan Amerika
yang menawarkan suap untuk bisa memperoleh kontrak-kontrak di negara lain
(baca: di Indonesia) tidak dianggap pelanggaran hukum. Peraturan yang melarang
suap semacam itu baru muncul kemudian.
Jadi, korupsi tidak selalu berarti pelanggaran hukum. Hal ini karena pada
dasarnya, korupsi bukanlah semata-mata masalah hukum, namun secara
fundamental korupsi adalah masalah moralitas. Meskipun begitu, tidak semua
tindakan imoralitas adalah tindakan korupsi. Korupsi hanyalah salah satu spesies
dari imoralitas.
4
Ciri-ciri dan Tipologi Korupsi
Sebagai suatu gejala sosial yang rumit, korupsi tidak dapat dirumuskan
secara sederhana dalam satu kalimat saja. Yang mungkin dan coba dilakukan
adalah membuat gambaran yang masuk akal mengenai gejala tersebut, agar dapat
dipisahkan dari gejala lain yang bukan korupsi.
Misalnya, sekadar kesalahan administratif atau salah kelola dalam urusan
perkantoran/ pemerintahan. Meskipun dampaknya bisa sama-sama merugikan
kepentingan publik, kesalahan semacam itu bukan termasuk korupsi.
Inti korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan
pribadi. Berdasarkan induksi kasus demi kasus dari masyarakat masa lalu sampai
zaman moderen, oleh pakar masalah korupsi Syed Hussein Alatas telah disusun
sejumlah ciri korupsi.
Ciri-ciri korupsi dapat diringkas sebagai berikut: (a) suatu pengkhianatan
terhadap kepercayaan, (b) penipuan terhadap badan pemerintah, (c) dengan
sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, (d) dilakukan
dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang-orang yang berkuasa atau
bawahannya menganggapnya tidak perlu, (e) melibatkan lebih dari satu orang
atau pihak, (f) adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang
atau yang lain, (g) terpusatnya kegiatan (korupsi) pada mereka yang menghendaki
keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya, (h) adanya usaha
untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan hukum, dan (i)
menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan
korupsi.
Ciri-ciri tersebut sebetulnya masih bisa diperluas lagi. Dari segi tipologi,
korupsi dapat dibagi dalam tujuh jenis, yaitu: korupsi transaktif (transactive
corruption), korupsi yang memeras (extortive corruption), korupsi investif
(investive corruption), korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), korupsi
defensif (defensive corruption), korupsi otogenik (autogenic corruption), dan
korupsi dukungan (supportive corruption).
Korupsi transaktif merujuk kepada adanya kesepakatan timbal-balik
antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak,
5
dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya.
Korupsi jenis ini biasanya melibatkan dunia usaha dan pemerintah, atau antara
masyarakat dan pemerintah.
Korupsi yang memeras adalah jenis korupsi di mana pihak pemberi
dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam
dirinya, kepentingannya, atau orang-orang dan hal-hal yang dihargainya.
Misalnya, polisi memaksa seseorang menyerahkan sejumlah uang, agar kasus
anaknya yang kedapatan mengutil barang di sebuah pasar swalayan, tidak
diteruskan oleh polisi ke proses hukum.
Korupsi investif adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian
langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan
diperoleh di masa yang akan datang.
Misalnya, ada konglomerat atau elite politik yang memantau bahwa
seorang perwira menengah di jajaran kepolisian memiliki prospek karir yang
bagus, untuk suatu saat diangkat jadi jenderal dan akan memegang jabatan
strategis di kepemimpinan Polri. Maka, sejak perwira itu masih "miskin" dan
belum jadi apa-apa, hubungan baik sudah dipupuk sejak dini lewat berbagai
pemberian yang "tidak mengikat."
Ketika suatu saat perwira muda itu akhirnya menjadi jenderal dan
menjabat Kepala Polri atau Kabareskrim, hubungan dekat pribadi yang sudah
dirintis sejak lama ini bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal lebih lanjut. Seperti,
melindungi kepentingan bisnis sang konglomerat manakala terlibat kasus korupsi
dan sebagainya.
Korupsi perkerabatan atau nepotisme, adalah penunjukan yang tidak sah
terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan,
atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan mereka.
Pengistimewaan ini bisa dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, secara
bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
Korupsi defensif adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan.
Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri. Contohnya, seorang
pengusaha impor terpaksa menyuap pejabat bea cukai agar barang yang
diimpornya segera dikeluarkan dari terminal pelabuhan. Karena, jika barang itu
6
secara sengaja diproses secara berlama-lama oleh pejabat bea cukai di pelabuhan,
ongkos sewa gudangnya makin meningkat, dan barang itu mungkin akan
mengalami kerusakan sehingga tak bisa dijual lagi.
Korupsi otogenik adalah jenis korupsi yang dilakukan seorang diri, dan
tidak melibatkan orang lain. Misalnya, anggota DPR yang mendukung
berlakunya sebuah rancangan undang-undang tanpa menghiraukan akibat-
akibatnya, dan kemudian ia menarik keuntungan finansial dari pemberlakuan
undang-undang itu, karena pengetahuannya tentang undang-undang yang akan
berlaku tersebut.
Sedangkan, korupsi dukungan tidak secara langsung menyangkut uang
atau imbalan langsung dalam bentuk lain. Tindakan-tindakan yang dilakukan
adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada. Tindakan
menghambat seorang yang jujur dan cakap untuk menduduki jabatan strategis
tertentu, bisa dimasukkan dalam kategori ini.
Contohnya, para anggota fraksi di DPR-RI diam-diam bersepakat untuk
memilih komisioner atau Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yang
relatif "lebih bisa diajak berkompromi" ketimbang kandidat-kandidat lain dalam
penanganan kasus korupsi. Maka, kesepakatan para anggota fraksi DPR ini sudah
termasuk kategori korupsi tersendiri.
Bila semua pengejawantahan tentang korupsi yang empiris dalam bentuk
barang, jasa dan transaksi dipisahkan dari gejalanya, maka yang tinggal adalah
ciri-cirinya yang hakiki: penipuan, pencurian, dan pengkhianatan. (Diolah dari
berbagai sumber)
Jakarta, 7 Desember 2013
Ditulis untuk dimuat di Majalah AKTUAL dan www.aktual.co
Biodata Penulis:
* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994),
Sekjen AJI (1995-97), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-
88), Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-Maret
7
2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV (Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior
Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013). Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan
Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.
Kontak Satrio Arismunandar:
E-mail: [email protected]; [email protected]
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com
Mobile: 081286299061