chapter1
DESCRIPTION
sainsTRANSCRIPT
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan
antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Wilayah pesisir Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati yang luar
biasa, setidaknya sekitar 30 % total luas hutan mangrove dunia dan 18 % total
luas terumbu karang dunia terdapat di Indonesia dan lebih dari 60 % atau sekitar
140 juta penduduk Indonesia bertempat tinggal dalam radius 50 kilometer dari
garis pantai (DKP, 2002).
Wilayah pesisir selatan Jawa Timur khususnya pusat-pusat wisata dan
perekonomian seperti di Teluk Prigi dan Sendang biru sangat kaya akan hasil laut
dan keindahan wilayahnya sehingga berpotensi mendorong berbagai pihak
pengguna (stakeholders) untuk mengeksploitasinya secara berlebihan sesuai
dengan kepentingan masing-masing pihak. Salah satu ancaman terhadap status
kawasan ini adalah berasal dari konflik pemanfaatan ruang antara masyarakat
dengan para stakeholder lainnya yang berakibat pada terjadinya konflik sosial,
disamping itu keberadaan hutan Mangrove di Wilayah Desa Karanggandu, Dusun
Sendang biru dan Tamban memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat
nelayan, karena disamping bermanfaat secara sosial ekonomi, kawasan mangrove
yang terpelihara dengan baik dapat melindungi dan mereduksi kerusakan yang
terjadi jika sewaktu-waktu terjadi gempa bumi yang menyebabkan tsunami.
Kabupaten Malang memiliki hutan mangrove yang tersebar di enam
kecamatan dengan luas total 340 hektar, ada lebih dari 70 % dalam kondisi rusak
berat. Berdasarkan catatan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten
Malang, tahun 2007 jumlah hutan mangrove yang rusak sekitar 209 hektar, sekitar
181,50 ha dalam kondisi rusak berat dan sisanya sekitar 27 hektar dalam kondisi
rusak ringan, hutan mangrove yang telah direhab baru sekitar 15,5 hektar lahan,
terdiri dari 11,5 hutan mangrove dan 4 ha lainnya merupakan tanaman pantai, saat
-
2
ini Kabupaten Malang masih mempunyai sekitar 131,50 ha hutan mangrove yang
berstatus baik (DKP Kabupaten Malang, 2007).
Berdasarkan kondisi geologi, angka kejadian di masa lalu, serta
keberadaan lempeng tektonik, wilayah selatan Jawa merupakan daerah dengan
tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana alam, seperti rawan gempa
tektonik dan vulkanik disepanjang ring of fire dari Sumatra, Jawa, Bali, Nusa
Tenggara, Banda hingga Maluku yang berdampak terhadap adanya bencana
tsunami. Wilayah rawan gempa utamanya pada pantai selatan Jawa Timur, yakni :
a. Resiko besar tsunami, meliputi Kabupaten Banyuwangi, Jember,
Pacitan dan Trenggalek.
b. Resiko sedang tsunami, meliputi Kabupaten Malang bagian selatan,
Blitar selatan, Lumajang, Tulungagung (SITR Jatim, 2008).
Teluk dan bagian yang melekuk dari pantai di pesisir selatan Jawa Timur
juga sangat rawan terhadap bencana ini. Apalagi biasanya para nelayan mencari
ikan dan bermukim di teluk. Disini juga pantainya landai yang memungkinkan
gelombang pasang merayap ke daratan (Pratikto, 2006).
Keberadaan hutan pantai termasuk diantaranya ekosistem mangrove bisa
menjadi tameng utama ketika tsunami menerjang pantai. Kapal atau perahu yang
hanyut bisa tertahan oleh pepohonan yang tinggi. Begitu pula dengan puing-puing
lainnya bisa tersangkut pada pohon tersebut. Menurut Pratikto (2000) berdasarkan
penelitian di Pantai Rajegwesi Banyuwangi ditemukan bahwa dengan tinggi
gelombang sebesar 1.09 m, dan energi gelombang sebesar 1493,33 Joule, dengan
adanya ekosistem mangrove di daerah tersebut, terjadi reduksi gelombang sebesar
0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar 19635,26 Joule. Kenji Harada
dan Fumihiko Imamura (2002) dalam Diposaptono dan Budiman (2005) yang
meneliti efektivitas hutan pantai untuk meredam tsunami, juga mendapatkan hasil
bahwa hutan pantai dengan tebal 200 meter, kerapatan 30 pohon per 100 meter
persegi, dan diameter pohon 15 cm dapat meredam 50 persen energi gelombang
tsunami dengan ketinggian 3 meter, juga menurut Mazda et al (1997) dalam
Kathiresan et al (2007) bahwa hutan mangrove berumur kurang lebih 6 tahun
dengan lebar 1,5 km akan mengurangi tinggi gelombang sebesar 1 m di laut
lepas dan 0,05 m di pantai.
-
3
Kepadatan spesies mangrove dan kompleksitas dan fleksibilitas dari sistem
perakaran dapat menentukan proses sedimentasi dan proses pengurangan
gelombang di daerah pesisir. Secara umum, spesies Rhizophora, yang dominan
pada zonasi dari laut menuju ke darat merupakan spesies yang lebih cocok untuk
mengurangi efek tsunami daripada spesies Avicennia yang ada umumnya di darat,
hal ini disebabkan karena jangkauan dari perakaran spesies ini dan
pneumatophores yang lebih toleran untuk hidup di laut memiliki periode hidup
yang lebih panjang terhadap perendaman oleh air laut sewaktu pasang (Kathiresan
et al, 2005).
Kegiatan survei lapang mangrove yang dikombinasikan dengan
penginderaan jauh merupakan metode yang ideal untuk memperkirakan dan
menentukan status dari hutan mangrove dan lingkungannya (Neukermans et al.,
2008), pemetaan mangrove pada level spesies dibutuhkan untuk pengertian yang
lebih teliti mengenai studi manajemen dan biodiversitas mangrove (Neukermans
et al, 2008). Pemetaan habitat mangrove dalam tingkat spesies juga berperan
penting dalam manajemen pengelolaan hutan mangrove mencakup inventarisasi
sumberdaya spesies, deteksi perubahan lahan yang terjadi, dan perencanaan tata
ruang ekosistem yang berkelanjutan (Dahdouh-Guebas et al, 2000 dalam Thu et
al, 2006).
Kathiresan et al. (2005) mengemukakan bahwa dengan penurunan dan
kerusakan lingkungan mangrove yang terus menerus terjadi maka upaya-upaya
konservasi dan restorasi serta mempertahankan bentukan alami ekosistem
mangrove sebagai bagian dari perlindungan pemukiman penduduk terhadap
gelombang pasang dan tsunami merupakan suatu kebutuhan yang sangat
mendesak untuk diprioritaskan, ditegaskan juga bahwa daerah atau zona antara
pemukiman penduduk dan laut haruslah ditanami dengan spesies tanaman yang
cocok dengan lingkungan zona atau daerah tersebut dan pemukiman penduduk
hanya boleh diizinkan berada di zona bagian belakang hutan mangrove untuk
melindungi kehidupan di pesisir terhadap bahaya bencana alam khususnya
tsunami, Latief (1997) juga menyatakan bahwa saat ini dibutuhkan hasil
penelitian tentang tipe / jenis spesies mangrove, diameter pohon, ketinggian
pohon, kerapatan, dan lebar hutan mangrove yang diperlukan dalam mencari
-
4
tingkat efektivitas ekosistem mangrove khususnya di pesisir selatan Jawa Timur
dalam rangka meredam gelombang tsunami.
Berdasarkan beberapa uraian latar belakang diatas, penelitian yang
menggambarkan tingkat kerapatan, luasan dan persebaran spesies ekosistem
mangrove berdasarkan kondisi parameter lingkungannya dan keterpisahan
zonasinya sangat diperlukan dalam menginventarisir spesies mangrove yang
tumbuh dikawasan ini, hasil penelitian ini juga dapat menggambarkan tingkat
kerentanan suatu wilayah dalam hal ini wilayah pesisir Desa Karanggandu dan
Dusun Sendang Biru terhadap tsunami, sehingga diharapkan dapat menjadi
landasan pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari dan berkelanjutan.
1.2 Perumusan Masalah
Kawasan ekosistem hutan mangrove sebagai pelindung pantai dari bahaya
tsunami dan penjaga fungsi ekosistem di wilayah pesisir semakin berkembang dan
kompleks seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan pengembangan
berbagai aktivitas ekonomi dan transportasi. Upaya-upaya pengelolaan meliputi
kegiatan konservasi, rehabilitasi dan manajemen mitigasi diperlukan untuk
menjaga ekosistem hutan mangrove terutama di pesisir Kabupaten Trenggalek
dan Malang dapat terjaga kelestariannya. Untuk mengatasi masalah tersebut
diperlukan data-data dan studi ilmiah yang mampu menggambarkan kondisi
ekosistem hutan mangrove secara lengkap sehingga dapat mengatasi
permasalahan yang terjadi, dengan demikian permasalahan dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana sebaran, jenis, tingkat kerapatan dan perubahan luasan mangrove
di sekitar areal Desa Karanggandu Kabupaten Trenggalek dan Dusun
Sendang Biru Kabupaten Malang.
2. Bagaimanakah komposisi dan struktur vegetasi mangrove
3. Bagaimanakah kualitas dan keanekaragaman lingkungan mangrove
4. Bagaimanakah tingkat kerusakan hutan mangrove pada saat ini
5. Bagaimanakah peta tutupan lahan dalam menggambarkan keterkaitan antar
zonasi dari beberapa komunitas vegetasi dan pemukiman di sekitar areal
-
5
komunitas hutan mangrove Desa Karanggandu Kabupaten Trenggalek, Desa
Sendang Biru dan Dusun Tamban Kabupaten Malang
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Memetakan perubahan luasan, tingkat kerapatan dan sebaran jenis mangrove.
2. Mengetahui komposisi dan struktur vegetasi mangrove Desa Karanggandu
dan Dusun Sendang Biru.
3. Menginformasikan nilai indeks keanekaragaman lingkungan (biodiversitas)
mangrove.
4. Mengetahui tingkat kerusakan hutan mangrove .
5. Memetakan tutupan lahan Desa Karanggandu dan Dusun Sendang Biru.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Tersedianya peta luasan, sebaran jenis, kerapatan, dan tutupan lahan
ekosistem mangrove yang dapat memberikan informasi ilmiah mengenai
kondisi ekosistem mangrove di Perairan Teluk Prigi Trenggalek dan Pantai
Sendang Biru Malang khususnya dalam mengantisipasi terjadinya bencana
tsunami.
2. Memberikan gambaran mengenai tingkat kerusakan, struktur, komposisi serta
profil vegetasi mangrove di Perairan Teluk Prigi Trenggalek dan Sendang
Biru Malang.
3. Sebagai bahan pertimbangan bagi para pemangku kepentingan (Stakeholder),
dalam pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem mangrove di Teluk Prigi
Trenggalek dan Pantai Sendang Biru Malang di masa yang akan datang.
1.5 Batasan Masalah
Untuk mengatasi masalah lain yang akan muncul pada waktu penelitian
dan mengingat keterbatasan waktu yang tersedia maka analisis masalah dalam
penelitian ini dibatasi pada :
1. Fokus penelitian adalah pada komunitas hutan mangrove meliputi kegiatan
survey lapang dan analisis dengan metode Sistem Informasi Geografis (SIG)
-
6
2. Lokasi penelitian lapang dibatasi dengan beberapa stasiun pengamatan
ekosistem mangrove, berdasarkan analisis citra dan penjelajahan lapang yang
mewakili lokasi penelitian.
3. Hasil penelitian dibatasi dengan tidak menghitung hubungan antara sebaran,
ukuran jenis dan kerapatan mangrove yang mampu meredam dan
menurunkan gelombang tsunami.
-
7