chapter ll

Upload: mahardk

Post on 14-Oct-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

neurology

TRANSCRIPT

  • BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Anatomi Sinus Paranasal

    Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung

    dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan

    sel-sel dari sinus etmoid, sebelah kranial adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal

    adalah sinus sphenoid. Sinus sphenoid terletak tepat di depan klivus dan atap

    nasofaring. Sinus paranasal juga dilapisi dengan epitel berambut-getar. Lendir

    yang dibentuk di dalam sinus paranasal dialirkan ke dalam meatus nasalis.

    Alirannya dimulai dari sinus frontal, sel etmoid anterior, dan sinus maksila

    kemudian masuk ke meatus-medius. Sedangkan aliran dari sel etmoid posterior

    dan sinus sfenoid masuk ke meatus superior. Aliran yang menuju ke dalam

    meatus inferior hanya masuk melalui duktus nasolakrimalis. Secara klinis, bagian

    yang penting ialah bagian depan-tengah meatus medius yang sempit, yang disebut

    kompleks ostiomeatal. Daerah ini penting karena hampir semua lubang saluran

    dari sinus paranasal terdapat di sana (Broek, 2010).

    Pada saat lahir, sinus paranasal belum terbentuk, kecuali beberapa sel

    etmoid. Kemudian baru pada sekitar umur dua belas tahun, semua sinus paranasal

    terbentuk secara lengkap. Kadang-kadang, salah satu dari sinus frontal tidak

    terbentuk. Bagian belakang nasofaring berbatasan dengan fossa sfeno-palatina

    (Broek, 2010).

    Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga

    hidung dan perkembangannya dimulai dari pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali

    sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid sudah ada sejak

    saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior

    pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai

    pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung.

    Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun

    (Soetjipto, 2010).

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 2.1. Anatomi Sinus Paranasal (Patel, 2007)

    2.2. Bagian-bagian Sinus Paranasal

    2.2.1. Sinus Maksila

    Sinus maksila merupakan sinus pertama yang muncul (7-10 minggu masa

    janin). Sinus maksila adalah sinus paranasal yang terbesar dan bervolume 6-8 ml

    saat lahir (Soetjipto, 2010). Proses terbentuknya sinus maksila berasal dari

    ekspansi infundibulum etmoid ke dalam maksila hingga membuat suatu massa.

    Proses ekspansi tersebut menghasilkan suatu rongga kecil pada saat lahir yang

    berukuran 7 x 4 x 4 mm. Pertumbuhan dan perkembangannya terus berlanjut pada

    masa anak-anak kira-kira 2 mm secara vertikal dan 3 mm anteroposterior. Proses

    perkembangan tersebut mulai menurun pada usia 7 tahun, diikuti fase

    pertumbuhan kedua berikutnya. Pada usia 12 tahun, pneumatisasi mencapai

    bagian lateral, yaitu di bawah bagian lateral dinding orbita pada sisipan prosesus

    zigomatikus, secara inferior ke bagian dasar hidung dan setelah pertumbuhan gigi

    (dentisi) kedua di bawah dasar hidung. Setelah proses dentisi, sinus hanya akan

    membesar secara perlahan-lahan dan mencapai ukuran maksimum pada usia 17

    hingga 18 tahun. Ukuran standar volume sinus maksila pada orang dewasa adalah

    Universitas Sumatera Utara

  • sekitar 15 cm2 dan secara kasar bentuknya menyerupai piramid. Dasar piramid

    dibentuk oleh dinding medial sinus maksilaris dengan sisi apeks piramid ke arah

    resesus zigomatikus (Stammberger, 2008).

    Menurut Damayanti Soetjipto dan Endang Mangunkusumo (2010), yang

    perlu diperhatikan dari segi anatomi sinus maksila berdasarkan segi klinis adalah

    bahwa dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu

    premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan terkadang gigi taring (C) dan gigi

    moral M3. Selanjutnya sinusitis maksilaris juga dapat menimbulkan komplikasi

    orbita. Selain itu, letak ostium sinus maksila yang lebih tinggi dari dasar sinus

    menyebabkan drenase hanya tergantung dari gerak silia. Drenase yang harus

    melalui infundibulum yang sempit juga dapat menyebabkan sinusitis jika di

    daerah tersebut mengalami inflamasi.

    2.2.2. Sinus Etmoid

    Selama 9 dan 10 minggu masa gestasi, 6 hingga 7 lipatan muncul di

    bagian dinding lateral dari kapsul nasalis janin. Lipatan-lipatan ini dipisahkan dari

    satu dengan yang lain sesuai alurnya. Lebih dari seminggu kemudian, lipatan-

    lipatan tersebut berfusi menjadi 3-4 puncak dengan sebuah bagian anterior

    'ascending' dan sebuah bagian posterior 'descending' (ramus asendens dan ramus

    desendens). Semua struktur permanen etmoid berkembang dari puncak tersebut

    (Stammberger, 2008).

    Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya

    di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm

    dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Pada

    bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat resesus frontal yang berhubungan

    dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu area penyempitan

    disebut infundibulum yang merupakan tempat bermuaranya ostium sinus maksila.

    Peradangan di resesus frontal mengakibatkan sinusitis frontal. Sementara jika

    peradangan terjadi di infundibulum mengakibatkan sinusitis maksila (Soetjipto,

    2010).

    Universitas Sumatera Utara

  • Sinus etmoid dipisahkan oleh rangkaian resesus yang dibatasi 5 sekat

    tulang atau lamela. Lamela ini diberi nama dari yang paling anterior ke posterior :

    prosesus uncinatus, bula etmoidalis (sel etmoid yang terbesar), dasar atau lamela

    basalis dan konka superior (Walsh, 2008). Atap sinus etmoid yang disebut fovea

    etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina

    papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di

    bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid

    (Soetjipto, 2010).

    2.2.3. Sinus Sfenoid

    Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior

    (Stankiewicz, 2010). Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan ketiga

    intrauterin sebagai sebuah evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan kemudian

    menjadi sebuah rongga kecil berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada

    usia 3 tahun, pneumatisasi tulang sfenoid berkembang dan pada usia 7 tahun

    mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm (tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3

    (dalamnya). Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml (Soetjipto, 2010). Pada

    orang dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi

    hal utama yang harus diperhatikan (Stammberger, 2008).

    Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar

    hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan

    dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan pada sebelah posteriornya

    berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Soetjipto, 2010).

    2.2.4. Sinus Frontal

    Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan

    bentuk. Secara embriologik, sinus frontal mungkin dikenal sebagai sebuah sel

    etmoidalis anterior. Ukurannya tergantung pada derajat pneumatisasi, mungkin

    tidak ada sama sekali (5%) dan biasanya dibagi atau dibatasi dengan sebuah

    septum intersinus (Walsh, 2006). Pada fetus usia 4 bulan, perkembangan sinus

    frontal yang berasal dari resesus frontal dapat dilihat. Dari bagian yang paling

    Universitas Sumatera Utara

  • anterior dan segmen superior dari kompleks etmoid anterior ini, tulang frontal

    secara berangsur-angsur mengalami pneumatisasi, menghasilkan sinus frontal

    yang ukurannya bervariasi. Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto x-ray sulit

    dibedakan dari sel etmoid anterior yang lain. Berbeda dengan pneumatisasi sinus

    maksilaris yang cepat, proses pneumatisasi sinus frontal secara inisial sangat

    lambat. Meskipun begitu, pneumatisasinya akan tampak jelas pada gambaran CT-

    scan pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan meluas

    secara superior dan pada usia 12 tahun sinus sudah tampak besar. Pneumatisasi

    mungkin akan berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus dan resesus frontal

    merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan variasi (Stammberger,

    2008).

    Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi) x 2,4 cm (lebar) x 2 cm

    (dalamnya). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk

    (Soetjipto, 2010).

    2.3. Definisi Rinosinusitis

    Rinosinusitis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peradangan

    mukosa hidung dan sinus paranasal. Konsensus internasional tahun 2004

    membagi rinosinusitis menjadi akut (ARS) dengan batas sampai 4 minggu,

    subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik (CRS) jika lebih dari 3 bulan

    (Mangunkusumo, 2010). Pada sinusitis bakteri kronik, infeksi lebih cenderung

    mengarah pada kerusakan sistem aliran mukosiliar akibat infeksi berulang

    dibandingkan infeksi bakteri yang persisten (Rubin, 2008). Kadang-kadang semua

    sinus paranasal meradang pada waktu yang sama (pansinusitis) (Broek, 2010).

    Universitas Sumatera Utara

  • Tabel 2.3.1. Klasifikasi Rinosinusitis (Benninger, 2008)

    Klasifikasi Durasi

    Akut 7 hari hingga 4 minggu Subakut 4 hingga 12 minggu Akut Rekuren 4 kali episode ARS per tahun Kronik 12 minggu Eksaserbasi Akut Rinosinusitis Kronik

    Keadaan akut yang memburuk pada CRS

    2.4. Etiologi

    Menurut Andrew P. Lane dan David W. Kennedy (2003), faktor-faktor

    yang berhubungan dengan patogenesis rinosinusitis dibagi dalam 2 besar, yaitu

    faktor manusia dan lingkungan. Faktor manusia misalnya seperti genetik /

    kelainan kongenital (kista fibrosis, sindrom silia imotil), alergi / kondisi imun

    tubuh, kelainan anatomi, penyakit sistemik, kelainan endokrin, gangguan

    metabolik, dan keganasan. Sedangkan faktor lingkungan misalnya seperti infeksi

    (virus, bakteri, dan jamur), trauma, bahan kimia berbahaya, iatrogenik

    (medikamentosa ataupun pembedahan).

    Sinusitis yang disebabkan oleh infeksi ada 3 agen penyebabnya, yaitu

    virus, bakteri, dan jamur. Rhinosinusitis akibat virus disebut common cold. Virus

    yang menginfeksi antara lain : rhinovirus (50%), coronavirus (20%), influenza,

    parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus. Sementara

    rinosinusitis bakterial akut disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan

    Haemophilus influenza (sekitar 60% kasus rinosinusitis akibat bakteri). Sisanya

    disebabkan oleh Streptococcus grup A, Streptococcus milleri, Staphylococcus

    aureus, Neisseria spp., basil gram negatif, Klebsiella sp., Moraxella catarrhalis,

    dan Pseudomonas sp. Patogen anaerobik seperti Peptostreptococcus, Bacteroides

    spp., dan Fusobacteria ditemukan pada kasus sinusitis maksilaris yang merupakan

    infeksi sekunder terhadap penyakit gigi (Issing, 2010). Jenis jamur yang paling

    sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesies Aspergillus dan Candida

    (Mangunkusumo, 2010).

    Universitas Sumatera Utara

  • Beberapa faktor predisposisi selain yang di atas adalah lingkungan

    berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan tersebut

    secara perlahan akan menyebabkan perubahan mukosa dan kerusakan silia dalam

    hidung dan sinus paranasal (Mangunkusumo, 2010).

    2.5. Patofisiologi

    Sinus normal biasanya dalam keadaan yang steril. Bakteri yang masuk ke

    sinus dapat dieliminasi dengan cepat melalui sekresi mukus yang dikeluarkan oleh

    sel epitel kolumnar bersilia. Mukus itu sendiri dihasilkan oleh sel goblet dan

    kelenjar submukosa. Oleh karena itu, jika ada kelainan pada silia, maka proses

    eliminasi bakteri pun terhambat (Lane, 2003).

    Baik atau tidak baiknya keadaan sinus dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu

    patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary

    clearance) di dalam kompleks ostio-meatal (KOM). Mukus sangat bermanfaat

    dalam menjaga kesehatan sinus karena mengandung substansi antimikrobial

    (immunoglobulin) dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan

    tubuh terhadap kuman yang masuk bersama-sama dengan udara pernafasan

    (Soetjipto, 2010).

    Inflamasi hidung dan sinus dari berbagai penyebab dapat mengakibatkan

    obstruksi ostium-ostium sinus dan menjadi faktor predisposisi terhadap infeksi.

    Faktor yang berperan dalam terjadinya acute bacterial sinusitis (ABRS) banyak,

    secara garis besar dibagi atas 2 bagian, yaitu faktor manusia dan lingkungan.

    Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita itu sendiri (faktor manusia),

    yaitu faktor genetik seperti sindrom silia imotil atau kista fibrosis, abnormalitas

    anatomi (konka bulosa, kelainan septum, atau turbinatum paradoksal), penyakit

    sistemik, keganasan, dan alergi. Sedangkan faktor lingkungan meliputi infeksi

    bakteri, virus, jamur, atau paparan primer maupun sekunder asap tembakau, akut

    atau kronik bahan iritan atau bahan kimia berbahaya, faktor iatrogenik termasuk

    pembedahan, medikamentosa ataupun pemasangan NGT. Berdasarkan bukti-bukti

    yang ada saat ini, para individu dengan riwayat alergi memiliki tingkat insidensi

    yang lebih tinggi terjadinya rinosinusitis akut dan kronik (Benninger, 2008).

    Universitas Sumatera Utara

  • Rinosinusitis akut biasanya terjadi karena infeksi virus pada saluran

    pernafasan bagian atas. Infeksi ini lebih umum terjadi pada individu yang

    memiliki faktor-faktor predisposisi yang telah dijelaskan sebelumnya. Infeksi

    tersebut akan menyebabkan pembengkakan mukosa hidung sehingga

    mengakibatkan oklusi atau obstruksi ostium sinus (Benninger, 2008). Apapun

    penyebabnya, sekali saja ostium mengalami oklusi, hipoksia lokal akan terjadi

    pada kavum sinus dan sekresi sinus menjadi terakumulasi. Kombinasi antara

    keadaan hipoksia dan sekresi yang tertumpuk tadi akan menyebabkan tumbuhnya

    bakteri patogen di dalam sinus (Lane, 2003). Peradangan juga menyebabkan

    mukus menjadi lebih kental dan gerakan silia lebih lambat daripada normal.

    Alergi sangat berperan penting pada kejadian rinosinusitis. Reaksi antigen-

    antibodi pada keadaan alergi menyebabkan pelepasan mediator inflamasi,

    termasuk histamin. Mediator-mediator ini meningkatkan permeabilitas vaskular,

    edema mukosa, dan pada akhirnya mengakibatkan obstruksi ostia. Walaupun agen

    infeksius dapat menjadi penyebab utama inflamasi sinus, mereka juga ditemukan

    sebagai infeksi sekunder pada individu yang mengalami rinitis alergi (Benninger,

    2008).

    Berbeda dengan rinosinusitis akut, patofisiologi rinosinusitis kronik masih

    belum dapat diketahui secara jelas, namun faktor predisposisi lebih berperan

    penting, misalnya seperti penyakit sistemik dan lingkungan (Shah, 2008). Pada

    pasien rinosinusitis kronis yang penyebabnya bakteri patogen, organisme

    terbanyak adalah Staphylococcus sp. (55%) dan Staphylococcus aureus (20%).

    Beberapa studi lain menyebutkan prevalensi yang tinggi ditemukan dengan

    infeksi enterobakter, bakteri anaerob, bakteri gram-negatif, dan jamur (Benninger,

    2008).

    2.6. Gejala Klinis

    Berdasarkan data Rhinosinusitis Task Force of the American Academy of

    Otolaryngology-Head and Neck Surgery (1997), gejala dan tanda rinosinusitis

    dibagi menjadi kriteria mayor dan minor. Gejala mayor antara lain : obstruksi

    hidung/sumbatan, adanya sekret hidung yang purulen, gangguan penghidu seperti

    Universitas Sumatera Utara

  • hiposmia/anosmia, dijumpai sekret purulen pada pemeriksaan hidung, nyeri wajah

    seperti tertekan, kongesti wajah (penuh), dan demam (hanya pada rinosinusitis

    akut). Sedangkan gejala minor antara lain : sakit kepala, demam (non-akut),

    halitosis, lemah/letih, nyeri gigi, batuk, nyeri telinga/ seperti ditekan dan merasa

    penuh di telinga. Untuk diagnosis rinosinusitis dibutuhkan 2 gejala mayor atau 1

    gejala mayor dan 2 gejala minor (Benninger, 2008).

    2.7. Epidemiologi Rinosinusitis

    2.7.1. Distribusi Rinosinusitis Berdasarkan Orang

    Penelitian Hedayati, et al tahun 2010 di Rumah Sakit Boo Ali Iran,

    didapatkan proporsi penderita rinosinusitis kronik tertinggi yaitu pada kelompok

    umur 20-29 tahun sebanyak 21 orang (42%). Penderita terdiri dari 26 laki-laki

    (52%) dan 24 perempuan (48%), dimana keluhan terbanyak yaitu hidung

    tersumbat pada 48 orang (96%).

    Hasil penelitian Sogebi, et al (2002-2006) di Sagamu Nigeria didapatkan

    110 penderita rinosinusitis kronik dengan distribusi umur yaitu < 18 tahun 21

    orang (19,1%) dan 18 tahun 89 orang (80,9%). Penderita terdiri dari 54 laki-laki

    (49,09%) dan 56 perempuan (50,91%), dimana lokasi rinosinusitis terbanyak yaitu

    sinus maksila (70,51%).

    Penelitian Multazar tahun 2008 di RSUP H. Adam Malik Medan,

    didapatkan proporsi penderita rinosinusitis kronis tertinggi pada kelompok umur

    2835 tahun 20,61%, umur diatas 18 tahun 88,18%, dengan proporsi laki-laki

    42,91% dan perempuan 57,09%. Keluhan utama ialah hidung tersumbat (75,3%).

    Pada pemeriksaan foto polos SPN didapatkan proporsi single rinosinusitis 87,8%,

    sedangkan multisinusitis pada pemeriksaan CT Scan SPN 44,4%. Penatalaksanaan

    medikamentosa 77,36%, sedangkan operasi BSEF 80,6% (Multazar, 2011).

    Penelitian Darmawan dkk tahun 2005, jumlah penderita rinosinusitis pada

    anak di RSCM Jakarta tahun 1998-2004 adalah 163 orang, terdiri dari 90 lelaki

    (55,2%) dan 73 perempuan (44,8%). Kelompok umur terbanyak yaitu > 6 tahun

    113 orang (69,3%) dan manifestasi klinis terbanyak adalah batuk 152 orang

    Universitas Sumatera Utara

  • (93,3%). Asma ditemukan pada 84 orang (51,5%) dan rinitis alergi 44 orang

    (27%) (Frisdiana, 2011).

    Penelitian Eko tahun 2008 di Yogyakarta dengan menggunakan desain

    Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan rinitis alergi berhubungan

    secara bermakna dengan kejadian rinosinusitis maksila kronik (p=0,003) dan

    diperoleh nilai OR=3,95 (CI 95%=1,55-10,11).

    Penelitian Primartono tahun 2003 di Semarang dengan menggunakan

    desain Cross Sectional, hasil analisis statistik menunjukkan deviasi septum

    berhubungan secara bermakna dengan kejadian rinosinusitis maksila kronik

    (p=0,019) dan diperoleh nilai RP=4,90 (CI 95%=1,19-20,11).

    2.7.2. Distribusi Rinosinusitis Berdasarkan Tempat dan Waktu

    Rinosinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika.

    Menurut National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS), sekitar 14 %

    penderita dewasa mengalami rinosinusitis yang bersifat episode per tahunnya.

    Prevalensi rinosinusitis kronik di Kanada tahun 1997 pada perempuan yaitu 5,7%

    dan laki-laki 3,4%. Prevalensi rinosinusitis kronik di Skotlandia Utara dan Karibia

    Selatan tahun 1999 yaitu 9,6% dan 9,3% (Frisdiana, 2011).

    Penelitian Staikuniene et al (2000-2005) di Lithuania, dari 121 penderita

    rinosinusitis kronik didapatkan 84 orang (69,4%) menderita polip hidung dan 48

    orang (39,6%) menderita asma. Penelitian See Goh, et al (April 2001 Agustus

    2002) di Malaysia didapatkan 30 penderita rinosinusitis kronik dimana 8 orang

    (26,7%) disebabkan oleh infeksi jamur yang diagnosisnya ditegakkan dari

    spesimen pembedahan.

    2.8. Diagnosis

    Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

    pemeriksaan penunjang (Mangunkusumo, 2010). Anamnesis yaitu dengan cara

    menanyakan riwayat dan perjalanan penyakit apakah sudah berlangsung selama

    lebih dari 12 minggu serta didapatkan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dengan

    2 gejala minor (Benninger, 2008). Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior

    Universitas Sumatera Utara

  • dan posterior. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis

    maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis

    etmoid posterior dan sfenoid) (Mangunkusumo, 2010). Meatus medius sering

    dapat diinspeksi dengan baik setelah pemberian dekongestan (Shah, 2008). Pada

    rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis (Mangunkusumo, 2010).

    Naso-endoskopi (kaku maupun fleksibel) sangat penting dalam evaluasi

    rinosinusitis. Pada acute bacterial rhinosinusitis (ABRS), naso-endoskopi

    bermanfaat untuk konfirmasi diagnosis sekaligus mendapatkan sekret dari meatus

    media untuk dikultur (Shah, 2008). Untuk mengurangi kontaminasi dari hidung,

    kultur dari meatus media dapat dilakukan melalui aspirasi sinus maksila yang

    merupakan gold standard untuk diagnosis ABRS (Benninger, 2008).

    Pemeriksaan penunjang pilihan utama untuk menilai gambaran sinus

    adalah CT-scan. Kelebihannya ialah mampu memberi gambaran sinus pada

    rinosinusitis kronis yang gejalanya tidak sesuai dengan pemeriksaan klinis.

    Diagnosis dapat ditegakkan dengan atau tanpa naso-endoskopi. Namun, CT-scan

    memiliki keterbatasan yaitu sulit membedakan rinosinusitis dengan infeksi virus

    saluran pernafasan bagian atas, kecuali jika sudah timbul komplikasi. Visualisasi

    optimal didapatkan dengan coronal scans (Shah, 2008). Pemeriksaan penunjang

    yang lain adalah foto polos, yaitu dengan posisi Waters, PA dan lateral. Biasanya

    foto tersebut hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila

    dan frontal (Mangunkusumo, 2010). Sinuskopi dilakukan dengan pungsi

    menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior dan dengan alat

    endoskopi bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya. Tindakan

    selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. MRI hanya dilakukan jika

    ada kecurigaan komplikasi pada orbita dan intrakranial (Shah, 2008).

    2.9. Terapi

    Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah

    komplikasi, dan mencegah perubahan akut menjadi kronik (Mangunkusumo,

    2010). Jenis terapi dibagi menjadi 2 pilihan, yaitu secara medikamentosa dan

    pembedahan.

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.9.1. Medikamentosa

    Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase

    dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan

    merupakan terapi pilihan pada sinusitis bakterial akut. Antibiotik yang dipilih

    adalah yang berspektrum lebar, yaitu golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika

    kuman resisten terhadap amoksisilin, maka diberikan amoksisilin-klavulanat atau

    sefalosporin generasi ke-2. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun

    gejala klinik sudah hilang (Mangunkusumo, 2010). Jika penderita tidak

    menunjukkan perbaikan dalam 72 jam, maka dilakukan reevaluasi dan mengganti

    antibiotik yang sesuai.

    Pengobatan secara medikamentosa menunjukkan hasil yang lebih

    memuaskan jika diberikan sesuai dengan hasil kultur (Busquets, 2006). Gold

    standard untuk kultur sinus adalah pungsi sinus maksilaris, namun hal ini harus

    dilakukan pada pasien tertentu dan dilakukan dengan hati-hati karena dapat

    menyebabkan komplikasi minor seperti nyeri dan perdarahan. Kultur sinus sangat

    penting dalam memilih jenis obat pada rinosinusitis kronik karena organisme

    patogennya berbeda dengan ABRS. Antibiotik yang biasanya diberikan pada

    rinosinusitis kronik adalah yang sesuai untuk kuman gram negatif (S. aureus) dan

    anaerob (Shah, 2008).

    Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika

    diperlukan, seperti analgetik, mukolitik seperti guaifenesin (Shah, 2008), steroid

    oral/ topikal, pencucian rongga hidung (irigasi) dengan NaCl atau pemanasan

    (diatermi) (Mangunkusumo, 2010). Steroid hidung (spray) sering diberikan untuk

    terapi pemeliharaan/maintenance pada rinosinusitis kronik. Nasal saline irrigation

    adalah jenis terapi yang penting dalam mengobati rinosinusitis kronik. Bilasan

    hidung tersebut akan mencegah akumulasi krusta-krusta di hidung dan membantu

    lancarnya klirens mukosiliar. Irigasi antibiotik seperti gentamisin (80 mg/L)

    dipertimbangkan pemberiannya pada rinosinusitis kronik yang refrakter (Shah,

    2008).

    Universitas Sumatera Utara

  • Untuk pasien dengan riwayat alergi dapat ditangani dengan cara

    menghindarkan faktor pencetus, pemberian steroid topikal, dan imunoterapi

    (Shah, 2008). Antihistamin generasi ke-2 diberikan bila ada alergi berat

    (Mangunkusumo, 2010).

    2.9.2. Pembedahan

    Tatalaksana pembedahan yang dilakukan ada beberapa cara, antara lain :

    bedah sinus endoskopi fungsional dan operasi sinus terbuka, seperti operasi

    Caldwell-Luc, etmoidektomi eksternal, trepinasi sinus frontal dan irigasi sinus.

    a. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/ FESS) merupakan operasi

    terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasinya berupa:

    sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik

    disertai kista atau kelainan yang irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi

    sinusitis serta sinusitis jamur (Mangunkusumo, 2010).

    b. Operasi Caldwell-Luc Operasi dengan metode Caldwell-Luc dilakukan pada kelainan sinus

    maksilaris. Indikasi operasi dengan metode ini yaitu jika terlihat manifestasi klinis

    seperti mukokel sinus maksilaris, polip antrokoanal, misetoma, atau benda asing

    yang tidak dapat dijangkau melalui endoskopi intranasal (Lund, 2008).

    c. Etmoidektomi Eksternal Etmoidektomi eksternal telah banyak digantikan oleh bedah endoskopi.

    Meskipun begitu, masih ada keuntungan dalam menggunakan metode operasi ini.

    Misalnya, biopsi dapat dilakukan secara eksternal pada lesi sinus etmoid atau

    frontal. Manfaat lain dari metode ini yaitu dapat memperbaiki komplikasi orbita

    dari sinusitis etmoid akut atau frontal dengan cepat dan aman (Lane, 2003).

    Universitas Sumatera Utara

  • d. Trepinasi Sinus Frontal Metode operasi ini bermanfaat untuk infeksi akut ketika endoskopi nasal

    sulit dilakukan akibat perdarahan mukosa hidung. Operasi ini aman dan

    dekompresi pus pada sinus frontalis cepat dilakukan (Lane, 2003).

    e. Irigasi Sinus

    Irigasi sinus bermanfaat sebagai diagnostik sekaligus terapi. Irigasi sinus

    dilakukan pada sinusitis maksilaris akut yang tidak dapat ditangani dengan

    pengobatan konservatif dan juga dijadikan sebagai prosedur tambahan untuk

    drainase eksternal pada komplikasi orbita yang akut. Pungsi antrum biasanya

    dilakukan pada meatus inferior hidung (Lund, 2008).

    2.10. Komplikasi

    Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya

    antibiotik. Komplikasinya berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Komplikasi

    lain yang dapat dijumpai pada sinusitis kronik yaitu osteomielitis, abses

    subperiostal serta kelainan paru (Mangunkusumo, 2010).

    2.10.1. Komplikasi Orbita

    Komplikasi orbita disebabkan infeksi sinus paranasal yang berdekatan

    dengan mata (orbita), paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis

    frontal dan maksila (Mangunkusumo, 2010). Ryan Chandler (1970) membagi

    komplikasi orbita menjadi 5, yaitu selulitis preseptal, selulitis orbita, abses

    subperiosteal, abses orbita, dan trombosis sinus kavernosus (Gianonni, 2006).

    2.10.2. Komplikasi Intrakranial

    Komplikasi intrakranial dapat berupa meningitis, abses subdural, abses

    intraserebri , dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi intrakranial lebih

    umum dijumpai pada pasien sinusitis kronik dibandingkan sinusitis akut

    (Giannoni, 2006).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.10.3. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal

    Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat sinusitis

    frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila

    dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Mangunkusumo, 2010).

    2.10.4. Kelainan Paru

    Kelainan paru akibat komplikasi rinosinusitis yaitu seperti bronkitis kronik

    dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru

    ini disebut sino-bronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma

    bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan

    (Mangunkusumo, 2010).

    Universitas Sumatera Utara