cedera kepala.doc
TRANSCRIPT
CEDERA KEPALA
Anatomi
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan
tulang yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak
yang lembut, yang membuat kita seperti adanya, akan
mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan.
Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat diperbaiki lagi.
Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar
bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat
langsung dari cedera dan banyak lainnya timbul sekunder
dari cedera. Efek-efek ini harus dihindari dan ditemukan
secepatnya oleh tim medis untuk menghindari rangkaian
kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik,
bahkan kematian.
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika,
suatu jaringan fibrosa, padat dapat digerakkan dengan
bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma
eksternal. Di antara kulit dan galea terdapat suatu lapisan
lemak dan lapisan membran dalam yang mengandung
pembuluh-pembuluh besar. Bila robek, pembuluh-
pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan dapat
menyebabkan kehilangan darah yang berarti pada
penderita dengan laserasi pada kulit kepala. Tepat di
bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang
mengandung vena emisaria dan diploika. Pembuluh-
pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala
sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas
memperlihatkan betapa pentingnya pembersihan dan
debridement kulit kepala yang seksama bila galea
terkoyak (Schwartz, 1989).
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan
keras yang tidak memungkinkan perluasan isi intrakranial.
Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atayu tabula
yang dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar
disebut tabula eksterna, dan dinding bagian dalam disebut
tabula interna. Struktur demikian memungkinkan suatu
kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang
lebih ringan. Tabula interna mengandung alur-alur yang
berisikan arteria meningea anterior, media dan posterior.
Apabila fraktur fraktur tulang tengkorak menyebabkan
terkoyaknya salah satu dari arteria-arteria ini, perdarahan
arterial yang diakibatkannya, yang tertimbun dalam ruang
epidural, dapat menimbulkan akibat yang fatal kecuali bila
ditemukan dan diobati dengan segera. Ini merupakan
salah satu keadaan darurat bedah saraf yang memerlukan
pembedahan dengan segera.
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meniges.
Ketiga lapisan meninges adalah durameter, araknoid, dan
piameter. Masing-masing mempunyai fungsi tersendiri dan
strukturnya berbeda dari struktur lainnya (Gambar 55-4)
(juga lihat Bab 50).
Dura adalah membran luar yang liat, semi translusen,
dan tidak elastis. Fungsinya untuk (1) melindungi otak, (2)
menutupi sinus-sinus vena (yang terdiri atas durameter
dan lapisan endotelial saja – tanpa jaringan vaskular) dan
(3) membentuk periosteum tabula interna. Dura melekat
erat dengan permukaan dalam tengkorak. Oleh karena bila
dura robek dan tidak diperbaiki dengan sempurna dan
dibuat kedap udara akan timbul berbagai masalah, maka
kemungkinan fungsi terpenting dari dura adalah sebagai
pelindung. Dapat terjadi perluasan fraktur dan bukannya
penyembuhan, dan kebocoran cairan otak kronik yang
dapat menimbulkan sikatriks dan menjadi fokal epilepsi.
Tetapi pada beberapa keadaan dura sengaja dibiarkan
terbuka, misalnya pada edema otak (untuk mengurangi
tekanan bagi otak yang menonjol), drainase cairan otak,
atau setelah tindakan trepanasi eksplorasi (untuk
memeriksa dan mengosongkan bekuan darah).
Dura mempunyai suplai darah yang kaya. Bagian
tengah dan posterior disuplai oleh arteria meningea media
yang bercabang dari arteria vertebralis dan karotis
interna. Pembuluh anterior dan etmoid juga merupakan
cabang dari arteria karotis interna dan menyuplai fosa
anterior. Arteria meningea posterior yaitu cabang dari
arteria oksipitalis, menyuplai darah ke fosa posterior.
Di dekat dura tetapi tidak menempel padanya adalah
membran halus, fibrosa, dan elastis yang dikenal sebagai
arakhnoid. Membran ini tidak melekat pada durameter,
akan tetapi ruangan antara kedua membran tersebut –
ruang subdural – merupakan ruangan yang potensial.
Perdarahan antara dura dan arakhnoid (ruang subdural)
dapat menyebar dengan bebas, dan hanya terbatas oleh
sawar falks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang
melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit jaringan
penyokong dan oleh karena itu mudah sekali cedera dan
robek pada trauma kepala (otak).
Di antara arakhnoid dan piameter (yang terletak
langsung di bawah arakhnoid) terdapat ruang
subarakhnoid. Ruangan ini melebar dan mendalam pada
tempat tertentu, dan memungkinkan sirkulasi cairan
serebrospinal. Pada sinus sagitalis superior dan
transversal, arakhnoid membentuk tonjolan vilus (benda
Pacchioni) yang bertindak sebagai lintasan untuk
mengosongkan cairan serebrospinal ke dalam sistem vena.
Piameter adalah suatu membran halus yang sangat
kaya dengan pembuluh darah halus. Piameter merupakan
satu-satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam
semua sulkus dan membungkus semua girus; kedua
lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus. Pada
beberapa fisura dan sulkus di sisi medial hemisfer otak,
piameter membentuk sawar antar ventrikel dan sulkus
atau fisura. Sawar ini merupakan struktur penyokong dari
pleksus koroideus pada setiap ventrikel.
Kerusakan otak yang dijumpai pada trauma kepala
dapat terjadi melalui dua cara : (1) efek langsung trauma
pada fungsi otak dan (2) efek-efek lanjutan dari sel-sel
otak yang bereaksi terhadap trauma.
Kerusakan neurologik langsung disebabkan oleh
suatu benda atau serpihan tulang yang menembus dan
merobek jaringan otak, oleh pengaruh suatu kekuatan
atau energi yang diteruskan ke otak, dan akhirnya oleh
efek percepatan-perlambatan pada otak, yang terbatas
dalam kompartemen yang kaku.
Derajat kerusakan yang disebabkan oleh hal-hal ini
tergantung pada kekuatan yang menimpa – makin besar
kekuatan, makin parah kerusakan. Ada dua macam
kekuatan yang dihasilkan melalui dua jalan yang
mengakibatkan dua efek yang berbeda. Pertama, cedera
setempat yang disebabkan oleh benda tajam dengan
kecepatan rendah dan tenaga kecil. Kerusakan fungsi
neurologik terjadi pada tempat yang terbatas dan
disebabkan oleh benda atau fragmen-fragmen tulang yang
menembus dura pada tempat serangan. Kedua, cedera
menyeluruh, yang lebih lazim dijumpai pada trauma
tumpul kepala dan setelah kecelakaan mobil. Kerusakan
terjadi waktu energi atau kekuatan diteruskan pada otak.
Banyak dari energi diserap oleh lapisan pelindung, yaitu
rambut, kulit kepala dan tengkorak ; tetapi pada trauma
hebat, penyerapan ini tidak cukup untuk melindungi otak
sisa energi diteruskan ke otak dan menyebabkan
kerusakan dan gangguan sepanjang jalan yang dilewati
karena jaringan lunak menjadi sasaran kekuatan itu. Jika
kepala bergerak dan berhenti dengan mendadak dan
kasar, seperti pada kecelakaan mobil, kerusakan tidak
hanya disebabkan oleh cedera setempat pada jaringan
saja tetapi juga oleh akselerasi dan deselerasi. Kekuatan
akselerasi dan deselerasi menyebabkan isi dalam
tengkorak yang keras bergerak, dengan demikian
memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dengan benturan. Ini
disebut juga cedera contrecoup. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, terdapat bagian dalam rongga
tengkorak yang kasar, dan bila otak bergerak melewati
daerah ini (misalnya krista sfenoidalis), bagian ini akan
merobek dan mengoyak jaringan. Kerusakan diperhebat
bila trauma juga menyebabkan rotasi tengkorak. Bagian
otak yang paling besar kemungkinannya menderita cedera
terberat adalah bagian anterior dari lobus frontalis dan
temporalis, bagian posterior lobus oksipitalis, dan bagian
atas mesensefalon (Becker, 1988 ; Ropper, 1991).
Efek sekunder trauma yang menyebabkan perubahan
neurologik berat, disebabkan oleh reaksi jaringan
terhadap cedera. Setiap kali jaringan mengalami cedera,
responsnya dapat diperkirakan sebelumnya dengan
perubahan isi cairan intrasel dan ekstrasel, ekstravasasi
darah, peningkatan suplai darah ke tempat itu, dan
mobilisasi sel-sel untuk memperbaiki dan membuang
debris seluler.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak,
bergantung dari menit ke menit ke suplai nutrien yang
konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat
peka terhadap cedera metabolik apabila suplai terhenti.
Sebagai akibat cedera, sirkulasi otak dapat kehilangan
kemampuan untuk mengatur volume darah beredar yang
tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah
tertentu dalam otak.
Hematoma Epidural
Hematoma epidural merupakan suatu akibat serius
dari cedera kepala dengan angka mortalitas sekitar 50%.
Hematoma epidural paling sering terjadi di daerah
parietotemporal akibat robekan arteria meningea media
(Gambar 55-5). Hematoma epidural di daerah frontal dan
oksipitalis sering tidak dicurigai dan memberi tanda-tanda
setempat yang tidak jelas. Bila hematoma epidural tidak
disertai cedera lain dari otak biasanya pengobatan yang
dini dapat menyembuhkan penderita dengan sedikit atau
tanpa defisit neurologik.
Riwayat klasik penderita hematoma epidural adalah
terjadinya cedera kepala yang diikuti keadaan tidak sadar
beberapa saat. Periode ini kemudian diikuti oleh suatu
periode lusid. Penting untuk dicatat bahwa interval lusid
ini bukan merupakan tanda diagnostik yang dipercaya bagi
hematoma epidural. Pertama, interval lusid mungkin
berlalu tanpa diketahui, terutama bila hanya sekejap saja.
Kedua, penderita dengan cedera otak berat tambahan
dapat tetap berada dalam keadaan stupor (Becker, 1988).
Hematoma yang membesar di daerah temporal
menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak ke arah
bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus (unkus dan sebagian dari girus hipokampus)
mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium.
Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda
neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis (lihat
Gambar 55-3).
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria
yang mengurus formasio retikularis di medula oblongata
menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini juga
terdapat nuklei saraf kranial ketiga (okulomotorius).
Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan
ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis
yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan
kelemahan respons motorik kondralateral (yaitu,
berlawanan dengan tempat hematoma), refleks hiperaktif
atau sangat cepat, dan tanda Babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka
seluruh isi orak akan terdorong ke arah yang berlawanan,
menyebabkan tekanan intrakranial yang besar. Timbul
tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intrakranial
antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-
tanda vital dan fungsi pernafasan.
Diagnosis perdarahan epidural dibuat berdasarkan
tanda dan gejala klinis, dan berdasarkan arteriogram
karotis serta ekoensefalogram. Pengobatan adalah
evakuasi bedah hematoma dan mengatasi perdarahan dari
arteria meningea media yang terkoyak. Intervensi bedah
harus dikerjakan dini dan sebelum tekanan serius pada
jaringan otak menimbulkan kerusakan. Mortalitas tetap
tinggi meskipun diagnosis dan pengobatan dilakukan dini,
yaitu karena trauma dan sekuele berat yang menyertainya
(Cohen et al., 1983).
Hematoma Subdural
Sementara hematoma epidural pada umumnya
berasal dari arteria, hematoma subdural berasal dari vena
(Gambar 55-5). Hematoma ini timbul akibat ruptur vena
yang terjadi dalam ruangan subdural. Hematoma subdural
dipilah menjadi tipe-tipe yang berbeda dalam
simtomatologi dan prognosis : akut, subakut, dan kronik.
Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala
neurologik penting dan serius dalam 24 sampai 48 jam
setelah cedera. Seringkali berkaitan dengan trauma otak
berat, hematoma ini juga mempunyai mortalitas yang
tinggi (Schwartz, 1989).
Gangguan neorologik progresif disebabkan oleh
tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak
dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan
tekanan pada batang otak dalam foramen magnum, yang
selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak.
Keadaan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya
pernafasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan
tekanan darah.
Diagnosis dibuat dengan arteriogram karotis dan
ekoensefalogram atau CT Scan. Adanya hematoma
subdural akut harus selalu dipikirkan pada penderita yang
nebdapat trauma neurologik berat yang memperlihatkan
tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Karena
lebih dari separuh kasus hematoma ini terjadi bilateral,
sangat penting menentukan tipe cedera yang terjadi dan
melakukan tindakan diagnostik yang tepat (misalnya
arteriogram bilateral) untuk menyingkirkan kemungkinan
hematoma bilateral (Schwartz, 1989).
Pengobatan terutama berupa tindakan pengangkatan
hematoma, dekompresi dengan mengangkat tempat-
tempat pada tengkorak, dan jika perlu, bagian-bagian
lobus frontalis atau lobus temporalis, serta melepaskan
kompresi dura. Bahkan pada diagnosis dini dan
pembedahan dini sekalipun, angka mortalitas tetap
berkisar 60%, sebagian besar disebabkan oleh trauma
otak berat dan kegagalan organ utama yang menyertai
trauma berat.
Hematoma Subdural Subakut
Hematoma subdural akut menyebabkan defisit
neurologik yang bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam
tetapi kurang dari dua minggu setelah cedera (Schwartz,
1989). Seperti hematoma subdurat akut, hematoma ini
juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan
subdural.
Anamnesis klinis yang khas dari penderita hematoma
subdural subakut adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti
perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun,
setelah jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan
tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Tingkat
kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa
jam. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring
pembesaran hematoma, penderita dapat mengalami
kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respons
terhadap rangsang bicara maupun nyeri. Seperti
hematoma subdural akut, pergeseran isi intrakranial dan
peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh
akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau
sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari
kompresi batang otak.
Seperti pada pengobatan hematoma subdural akut,
pengobatan hematoma subdural subakut dilakukan dengan
mengangkat bekuan darah secepat dan sesegera mungkin.
Hal ini dapat dilaksanakan dengan berbagai cara
tergantung pada keadaan klinis penderita. Karena banyak
bekuan darah ini bersifat bilateral, maka kedua ruang di
subdural harus dibersihkan dan bila ada indikasi bedah
eksplorasi (Schwartz, 1989).
Hematoma Subdural Kronik
Ada hal yang menarik dalam anamnesis penderita
hematoma subdural kronik. Trauma otak yang menjadi
penyebab dapat menjadi sangat ringan sehingga
terlupakan. Timbulnya gejala pada umumnya tertunda
beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun
setelah cedera pertama.
Trauma pertama merobek salah satu vena yang
melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara
lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari
setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membran
fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang
mampu menarik cairan ke dalam hematoma. Penambahan
ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih
lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di
sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma
subdural akan mengalami perubahan-perubahan yang khas
(Tabel 55-2).
Hematoma subdural kronik seringkali disebut
“peniru” karena tanda dan gejala biasanya tidak spesifik,
tidak terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh banyak
proses penyakit lain. Beberapa penderita mengeluh sakit
kepala. Tanda dan gejala yang paling khas adalah
perubahan progresif dalam tingkat kesadaran termasuk
apati, letargi, dan berkurangnya perhatian, dan
menurunnya kemampuan untuk mempergunakan
kecakapan kognitif yang lebih tinggi. Hermianopsia,
hemiparesis, dan kelainan pupil ditemukan pada kurang
dari 50% kasus. Cairan spinal amat jarang dapat
membantu menegakkan diagnosis, dan dapat saja
menunjukkan kelainan yang tidak spesifik dimana terjadi
kenaikan kandungan protein dan xantokromia, atau
mengandung sedikit sel darah merah, tekanan pada
umumnya normal. Bila terdapat afasia, pada umumnya
tipe anomik (afasia lancar dengan pengulangan dan
pengertian) (Cohen et al., 1983).
Diagnosis paling baik dibuat dengan arteriografi, CT
Scan dapat memperlihatkan adanya hematoma, sehingga
dapat menghindari tindakan arteriogram, tetapi hasil
negatif belum dapat menyingkirkan diagnosis hematoma
subdural.
Hematoma kecil akan mengalami resolusi secara
spontan bila dibiarkan mengikuti riwayat alamiahnya. Pada
penderita dengan hematoma kecil tanpa tanda-tanda
neurologik, maka tindakan pengobatan yang terbaik
mungkin hanyalah melakukan pemantauan ketat. Bagi
penderita dengan gangguan neurologik yang progresif dan
gejala kelemahan, cara pengobatan yang paling baik
adalah dengan pembedahan untuk mengangkat bekuan,
sebab bahaya terbesar pada hematoma subdural kronik
adalah terjadinya herniasi unkus temporal dan kematian
(Schwartz, 1989 ; Cohen et al., 1983).