cedera kepala print

75
CEDERA KEPALA PERDARAHAN INTRASEREBRAL Pembimbing: dr. H. Guido Muhammad Solihin, Sp.An Disusun Oleh: Siska Febrina (080100018) Marianto (080100112) Rini Y Andalia (080100197) DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Upload: febrinasiska

Post on 01-Dec-2015

154 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

ich

TRANSCRIPT

Page 1: Cedera Kepala PRINT

CEDERA KEPALA

PERDARAHAN INTRASEREBRAL

Pembimbing:

dr. H. Guido Muhammad Solihin, Sp.An

Disusun Oleh:

Siska Febrina (080100018)

Marianto (080100112)

Rini Y Andalia (080100197)

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013

Page 2: Cedera Kepala PRINT

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas

berkat dan hidayah-Nya sehingga laporan kasus ini dapat kami selesaikan tepat

pada waktunya.

Pada laporan kasus ini kami menyajikan kasus mengenai cedera kepala:

perdarahan intraserebral. Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk

memenuhi tugas kepaniteraan klinik Departemen Anestesiologi dan Terapi

Intensif, Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan pula terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada dr. Guido Muhammad Solihin, Sp.An, atas kesediaan

beliau sebagai pembimbing kami dalam penulisan laporan kasus ini. Besar

harapan kami, melalui laporan ini, pengetahuan dan pemahaman kita mengenai

cedera kepala semakin bertambah.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih belum

sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu,

dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun demi perbaikan laporan kasus ini. Atas bantuan dan segala dukungan

dari berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima

kasih. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang kesehatan.

Medan, 19 April 2013

Penulis

Page 3: Cedera Kepala PRINT

iii

DAFTAR ISI

HalamanKATA PENGANTAR .............................................................................................iiDAFTAR ISI ............................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................11.1. Latar Belakang......................................................................................11.2. Tujuan Penulisan...................................................................................21.3. Manfaat Penulisan ................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................32.1. Definisi Cedera Kepala.........................................................................32.2. Epidemiologi Cedera Kepala................................................................32.3. Klasifikasi Cedera Kepala.....................................................................42.4. Etiologi dan Patofisiologi Cedera Kepala.............................................52.5. Diagnosis Cedera Kepala......................................................................15

2.5.1. Gejala dan Tanda..........................................................................152.6.1. Pemeriksaan Penunjang...............................................................16

2.6.Penatalaksanaan.......................................................................................182.7.Komplikasi...............................................................................................332.8.Prognosa...................................................................................................34

BAB 3 LAPORAN KASUS.....................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: Cedera Kepala PRINT

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cedera kepala didefinisikan sebagai perubahan pada fungsi mental atau fisik yang

berhubungan dengan adanya benturan pada kepala.1 Trauma kepala merupakan

suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit gawat darurat suatu rumah

sakit. Trauma kepala juga menjadi salah satu penyebab kematian utama di

kalangan usia produktif khususnya di negara berkembang. Hal ini diakibatkan

karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran

untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah selain penanganan pertama

yang belum benar rujukan yang terlambat.2

Secara global, diketahui 57 juta penduduk di seluruh dunia menderita

cedera kepala dan dirawat di rumah sakit setiap tahunnya. Sekitar 10 juta

penderita cedera kepala mengalami kematian.3 Cedera kepala terjadi pada 1,5 juta

penduduk di Amerika Serikat per tahun. Sekitar 50,000 pasien akan meninggal

akibat cedera otak, 235,000 penderita dirawat inap,5,6 sedangkan 80.000-90.000

akan mempunyai gangguan neurologis yang tetap.6

Secara keseluruhan, pria menderita cedera kepala dua kali lebih banyak

dari wanita. Diketahui bahwa anak berusia 0-4 tahun dan anak lebih dari 15-19

tahun lebih sering menderita cedera kepala daripada kelompok usia lainnya.7

Di Indonesia, menurut Akbar, insiden trauma kepala tahun 1995 sampai

1998 terdiri dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala ringan

sebanyak 60,3% (2.463 kasus), trauma kepala sedang sebanyak 27,3% (1.114

kasus) dan trauma kepala berat sebanyak 12,4% (505 kasus). Kematian akibat

trauma kepala mencatatkan sebanyak 11% berjumlah 448 kasus. Angka kejadian

trauma kepala pada tahun 2004 dan 2005 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

(RSCM), FKUI mencatat sebanyak 1.426 kasus.8 Di Rumah Sakit Haji Adam

Malik Medan tahun 2009, jumlah penderita trauma kepala diketahui sebanyak 248

orang.8

Page 5: Cedera Kepala PRINT

2

Fokus utama dalam penanganan penderita dengan cedera kepala adalah

mencegah cedera otak sekunder. Tindakan resusitasi yang awal dan cepat sangat

penting untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas. Untuk itu, perlu

diketahui pengetahuan dasar mengenai cedera kepala dan penanganan awal yang

harus dilakukan untuk penderita cedera kepala.

1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk lebih mengerti dan

memahami mengenai tatalaksana awal dan tindakan anestesi secara umum pada

cedera kepala. Laporan kasus ini juga dibuat untuk memenuhi persyaratan dalam

mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen

Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera

Utara.

1.3. Manfaat

Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis

dan pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara

umumnya agar dapat lebih mengetahui dan memahami mengenai tatalaksana awal

dan tindakan anestesi pada penderita cedera kepala.

Page 6: Cedera Kepala PRINT

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Cedera Kepala

Cedera kepala didefinisikan sebagai perubahan pada fungsi mental atau

fisik yang berhubungan dengan adanya benturan pada kepala.1

2.2. Epidemiologi Cedera Kepala

Secara global, diketahui 57 juta penduduk di seluruh dunia menderita

cedera kepala dan dirawat di rumah sakit setiap tahunnya. Sekitar 10 juta

penderita cedera kepala mengalami kematian.3,5 Insidensi cedera otak per tahun di

Amerika Serikat diperkirakan 180-220 kasus per 100.000 populasi.

((http://emedicine.medscape.com/article/433855-overview#showall) Sekitar

50,000 pasien akan meninggal akibat cedera otak,4 235,000 penderita dirawat

inap,5,6 sedangkan 80.000-90.000 akan mempunyai gangguan neurologis yang

tetap.6

Di Indonesia, belum ada data secara nasional mengenai cedera kepala. Di

Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan tahun 2009, jumlah penderita trauma

kepala diketahui sebanyak 248 orang.9

Secara keseluruhan, pria menderita cedera kepala dua kali lebih banyak

dari wanita. Diketahui bahwa anak berusia 0-4 tahun dan anak lebih dari 15-19

tahun lebih sering menderita cedera kepala daripada kelompok usia lainnya.7

Cedera otak merupakan penyebab kematian terbanyak pada pasien dengan trauma

(>50%). Sebagian besar pasien dengan cedera otak (75-80%) menderita cedera

kepala ringan.1 Kecelakaan berupa terjatuh dan tabrakan sepeda motor terjadi

pada 80% cedera otak.4,7 Hampir 100% penderita cedera kepala berat dan

sebanyak 65% dari penderita cedera kepala sedang akan menjadi cacat secara

permanen dan tidak akan kembali ke tingkat sebelum cedera terjadi. 1

2.3. Klasifikasi Cedera Kepala

Page 7: Cedera Kepala PRINT

4

Menurut ATLS (2007), cedera kepala dapat diklasifikasikan menurut 3

deskripsi yaitu berdasar: Mekanisme, beratnya, dan morfologi. Beratnya cedera

otak dapat ditentukan secara langsung dengan menentukan tingkat kesadaran dan

ada atau tidaknya tanda lateralisasi disfungsi CNS, perubahan pupil, dan

gangguan motorik.4

Pada pasien trauma, tingkat kesadaran dinilai dengan menggunakan skor

GCS. Cedera kepala dapat dibagi menjadi berat, sedang atau ringan berdasarkan

skor GCS. Skor GCS juga merupakan indikator prognosis secara keseluruhan dan

nilai prediktif untuk dilakukannya pembedahan. Pada sebuah penelitian,

diketahui bahwa kemungkinan kraniotomi pada pasien dengan skor GCS kurang

dari 8 adalah 19%, yang mempunyai skor di antara 8 dan 13 sekitar 9%, dan pada

pasien dengan skor GCS lebih dari 13, hanya 3% yang memerlukan kraniotomi.4

Tabel 2.1. Klasifikasi Cedera OtakMekanisme Tumpul Kecepatan tinggi (tabrakan

mobil)Kecepatan rendah (jatuh, dipukul)

Tembus Luka tembakCedera tembus lain

Beratnya Ringan GCS 14-15Sedang GCS 9-13Berat GCS 3-8

Morfologi Fraktur Tengkorak

Kalvaria Garis vs bintangDepresi/non depresiTerbuka/tertutup

Dasar Tengkorak

Dengan/tanpa kebocoran CSSDengan/tampa paresis N.VII

Lesi intrakranial Fokal EpiduralSubduralIntraserebral

Difus KonkusiKonkusi multipelHipoksia/iskemik

2.4. Etiologi dan Patogenesis Cedera Kepala

Page 8: Cedera Kepala PRINT

5

Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul

biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan

benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

(ATLS) Hal yang menyebabkan neurodegenerasi dan penyembuhan secara

fungsional setelah cedera otak digeneralisasikan menjadi 4 kategori: cedera primer

yang memutus jaringan otak, cedera sekunder yang menyebabkan patologi di otak

dengan tingginya produksi laktat, radikal bebas, IL, glutamat, dan kalsium intrasel

sebagai respon cedera primer, respon inflamasi yang menyebabkan

neurodegenerasi, dan regenerasi yang berkontribusi pada perbaikan saraf.10

Mekanisme cedera otak merupakan hal yang bersifat kompleks, bervariasi,

dan belum sepenuhnya dipahami. Trauma mekanik, iskemia, kerusakan energi

seluler, cedera reperfusi eksitotoksin, edema, cedera vaskuler, dan cedera yang

menginduksi apoptosis, merupakan faktor-faktor yang berpengaruh pada hampir

semua cedera otak akut.11

Cedera kepala ditentukan oleh dua mekanisme yang berbeda yaitu cedera

primer yang terjadi pada saat benturan terjadi dan cedera sekunder yang terjadi

karena proses patologis yang dimulai pada saat terjadi benturan dengan gejala

klinis yang lambat. Cedera primer sensitif terhadap tindakan preventif. Iskemik

serebral dan hipertensi intrakranial merupakan cedera sekunder dan cedera ini

sensitif dengan intervensi terapeutik.12

Ada dua fase utama dari cedera kepala yang diakibatkan oleh trauma

kepala. Fase pertama adalah kerusakan otak awal yang terjadi segera pada saat

benturan, yang meliputi cedera neural, cedera glial primer, dan respon vaskuler,

dimana hal ini dapat meliputi laserasi kulit kepala, fraktur tulang tengkorak,

kontusi, perdarahan pungtat, perdarahan subarachnoid dan cedera aksonal difus.

Sedangkan fase kedua dari cedera merupakan perkembangan kerusakan neurologi

yang terjadi setelah cedera primer, dimana hal ini dapat berkembang dalam waktu

beberapa hari sampai minggu. Cedera sekunder dapat diakibatkan oleh adanya

edema cerebral, hipoksia, dan perdarahan yang tertunda.12

Cedera primer didefinisikan sebagai cedera otak traumatik primer yang

disebabkan oleh kekuatan eksternal pada kepala yang menimbulkan kerusakan

Page 9: Cedera Kepala PRINT

6

jaringan di luar toleransi strukturalnya. Cedera otak dipicu oleh gaya mekanis

eksternal pada kepala melalui 2 mekanisme yaitu gaya inersial dan gaya kontak

Gaya kontak menghambat kepala dari bergerak setelah benturan sedangkan gaya

inersi yang membuat adanya akselerasi pada kepala (translasi atau rotasi atau

keduanya) dengan atau tanpa gaya kontak. Kekuatan kontak umumnya

menimbulkan cedera fokal seperti fraktur tulang tengkorak, kontusi, hematom

epidural dan subdural.12 Kekuatan inersia terjadi akibat otak yang mengalami

akselerasi atau deselerasi (tranlasional, rotasional, atau keduanya). Kekuatan

inersia dapat menyebabkan cedera otak fokal atau difus, dimana akselerasi

tranlasional yang murni dapat menyebabkan cedera fokal seperti kontusi

countrecoup, hematom intracerebral, dan hematom subdural, sedangkan akselerasi

rotasional atau angular (sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas dengan

kecepatan tinggi), biasanya menyebabkan cedera otak difus. Cedera primer ini

dapat berlanjut pada kerusakan yang irreversibel akibat disrupsi sel, bergantung

pada mekanisme dan keseriusan dari kejadian tersebut.13

Trauma kepala dapat mengakibatkan kerusakan pada kulit kepala, tulang

tengkorak dan otak. Laserasi kulit kepala, dapat menyebabkan perdarahan yang

signifikan tetapi pada hampir semua kasus, hemostasis dapat terjadi dengan

mudah. Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4

jenis fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture,

compound fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut:

1. Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit

2. Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa

depresi, distorsi dan ‘splintering’.

3. Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.

4. Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak.

Selain retak terdapat juga hematoma subdural (Duldner, 2008).

Fraktur dasar tengkorak dapat terjadi akibat trauma tumpul yang berat

pada daerah frontal atau occiput, dan didiagnosis dengan penemuan klinik dari

adanya ekimosis periorbital (raccoon eyes), ekimosis pada daerah postaurikuler

(Battle’s sign), hemotimpanum, atau kebocoran cairan cerebrospinal, dapat

Page 10: Cedera Kepala PRINT

7

memiliki penyulit berupa meningitis atau abses otak. Pasien dengan fraktur tulang

tengkorak memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya hematom intrakranial yang

tertunda, dan harus diobservasi dalam waktu 12-24 jam setelah cedera awal.

Cedera primer dapat meliputi cedera aksonal difus kontusi hematom, dan

perdarahan subarachnoid traumatik.14-16

Konkusi merupakan kehilangan fungsi neurologik sentral yang sifatnya

segera, terjadi tiba-tiba, dan tanpa disertai sekuel yang diakibatkan oleh trauma

kraniocerebral. Karakteristiknya adalah hilangnya kesadaran, amnesia sementara

(hilangnya memori), konfusi, disorientasi, perubahan visual, disfungsi otonom,

sakit kepala, tinitus, dan iritabilitas dengan derajat yang bervariasi, tanpa adanya

abnormalitas cerebral yang bermakna (tidak disertai adanya kerusakan patologis

pada otak).14,17,18

Pada cedera kepala ringan, mungkin terdapat kehilangan kesadaran

sementara tanpa gejala neurologis yang muncul, kecuali dengan amnesia residual.

Perubahan mikroskopik biasanya terdeteksi di dalam saraf dan jaringan penunjang

dalam beberapa jam setelah cedera terjadi. Walaupun penyembuhan biasanya

terjadi dalam 24 jam, gejala ringan, seperti sakit kepala, irritabilitas, insomnia,

dan sulit berkonsentrasi dan mengingat dapat menetap hingga beberapa bulan. Ini

disebut sebagai sindroma postkonkusi.11

Kontusi serebral merupakan area yang mengalami kerusakan pada

parenkim otak dan dapat menimbulkan defisit neurologis bergantung pada lokasi

anatominya. Kontusi umumnya ditemukan paling sering pada lobus frontal,

khususnya pada bagian ujung dan sepanjang permukaan orbital inferior; pada

lobus temporal, khususnya pada kutub anterior dan sepanjang permukaan inferior;

dan pada daerah sambungan frontotemporal. Bagian anterior dari lobus frontal

dan temporal merupakan bagian yang rawan atau rapuh karena kontur yang kasar

dari tulang tengkorak pada regio ini. Kontusi kadang dihubungkan dengan

disrupsi dari sawar darah otak dan dapat disertai penyulit berupa perluasan dari

perdarahan yang terjadi, pembentukan edema, atau kejang. Kontusi yang besar

dapat menimbulkan efek massa yang menyebabkan peningkatan tekanan

intrakranial atau herniasi otak. Hal ini mengakibatkan perubahan pada fungsi

Page 11: Cedera Kepala PRINT

8

perhatian, memori, afek, emosi, dan tingkah laku. Pada kasus yang jarang terjadi,

kontusi terjadi pada lobus parietal dan occipital. Kontusi cerebral fokal dapat

bersifat superfisial, dan hanya melibatkan girus otak. Kontusi hemoragik dapat

berkumpul menjadi hematom intrakranial konfluen yang luas.14,19,20

Kontusi biasanya bersifat lokal dan dihubungkan dengan adanya

perdarahan, edema, dan nekrosis. Kontusi dapat dibagi menjadi dua kelompok.

Kontusi coup lebih berat pada jaringan otak dibawah lokasi benturan dan biasanya

berhubungan dengan cedera akselerasi. Kontusi countrecoup berlokasi pada

permukaan otak yang berlawanan dengan lokasi trauma dan dihubungkan dengan

cedera deselerasi. Kontusi traumatik juga dihubungkan dengan kejadian hematom

intracerebral superfisial. Edema yang terjadi di sekitar kontusi merupakan jenis

vasogenik. Edema vasogenik uumnya terjadi pada substansi alba, dan merupakan

akibat dari adanya destruksi jaringan dan disrupsi sawar darah otak. Perdarahan

yang terjadi pada otak dapat bersifat fokal atau multifokal. Hematom intracerebral

juga dapat terjadi pada lobus frontal dan temporal, dan kadang muncul sebagai

perluasan perdarahan dari kontusi. Lokasi terjadinya kontusi yang kurang sering

ditemukan adalah pada fossa posterior dan ganglia basalis.19

Hematom intrakranial

Cedera kepala dapat menyebabkan perdarahan pada ruang epidural,

subdural atau subarachnoid. Perdarahan intrakranial ini, yang mungkin

membutuhkan evakuasi melalui tindakan operasi, bergantung pada ukuran dan

lokasinya. Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan efek massa dimana dapat

hal ini dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi otak

disertai kompresi struktur otak yang vital.21

Hematom intraserebral terjadi pada 2-3% orang yang mengalami cedera

kepala, dapat bersifat tunggal atau multipel, dan juga dapat disertai kontusi otak.

Meskipun paling sering terjadi pada lobus frontal atau temporal, hematom ini juga

dapat terjadi pada substansi alba dari bagian dalam hemisfer otak. Pembuluh

darah yang kecil mengalami trauma akibat cedera penetrasi atau benturan dengan

tenaga yang besar. Selanjutnya hematom intracerebral berperan seperti massa

yang makin meluas, dapat meningkatkan tekanan intrakranial, menimbulkan

Page 12: Cedera Kepala PRINT

9

kompresi jaringan otak, dan menyebabkan koma. Hematom intracerebral yang

tertunda dapat terjadi dalam waktu 3-10 hari setelah kejadian cedera kepala.20

Cedera aksonal difus menggambarkan kerusakan otak dimana terjadi

disrupsi dari proyeksi akson neuronal pada substansi alba cerebral, dan terjadi

pada pasien yang mengalami kehilangan kesadaran segera atau menjadi koma

pada saat terjadinya trauma kepala. Bergantung pada tingkat keseriusan cedera,

pasien dapat mengalami cedera aksonal difus yang ringan, sedang, atau berat.

Akibat adanya perbedaan gradien akselerasi pada beberapa area di otak selama

terjadintya benturan primer, maka dapat terjadi efek kekuatan yang tersebar pada

perhubungan substansi alba dengan grissea, corpus callosum, atau batang otak.

Akibat dari kekuatan ini adalah robekan difus dari akson-akson dan pembuluh

darah kecil. Cedera aksonal difus merupakan akibat dari efek kocokan (efek

inersia dari input mekanik pada kepala yang berhubungan dengan level akselerasi

dan deselerasi yang tinggi, efek gerakan kepala). Akselerasi rotasional (gerakan

memutar) merupakan mekanisme primer cedera, yang menimbulan adanya gaya

dan distorsi di dalam otak. Gerakan kepala yang secara bebas melekat pada leher,

memberikan dorongan atau gaya rotasional untuk menimbulkan dorongan atau

gaya yang disebarkan pada jaringan otak. Cedera aksonal yang paling berat

berlokasi lebih perifer dari batang otak, dan dapat menimbulkan gangguan

kognitif dan afektif yang luas. Kerusakan yang terjadi, dapat mengurangi

kemampuan dalam proses dan respon terhadap informasi, dan mengganggu

perhatian.14,17,19,20 Secara patofisiologi, kerusakan aksonal hanya dapat dilihat

dengan menggunakan mikroskop elektron dimana melibatkan banyak akson, baik

terjadi sendiri maupun disertai dengan robekan jaringan. Area dimana akson dan

pembuluh darah kecil mengalami kerusakan, dapat terlihat sebagai perdarahan

kecil, khususnya pada corpus callosum dan kuadran dorsolateral dari batang otak

bagian rostral di superior pedunculus cerebellar. Akson yang mengalami

kerusakan dapat terlihat dalam waktu 12 jam sampai beberapa hari setelah

terjadinya cedera. Tingkat keseriusan dari kerusakan difus bergantung pada

seberapa besar daya benturan mengenai batang otak. Cedera aksonal difus tidak

dihubungkan dengan hipertensi intrakaranial yang segera terjadi setelah cedera,

Page 13: Cedera Kepala PRINT

10

tetapi kadang dapat terjadi pembengkakan otak yang sifatnya akut yang

disebabkan oleh peningkatan volume darah intravaskuler di dalam otak dan

vasodilatasi.20

Cedera Sekunder

Banyak penelitian yang telah melaporkan bahwa autoregulasi cerebral

dapat mengalami gangguan setelah terjadinya cedera otak traumatik. Hal ini

menyebabkan pasien dengan cedera kepala menjadi rawan terhadap akibat dari

cedera sekunder seperti hipotensi, hipertensi intrakranial, hipoksia, perdarahan

intrakranial, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi, dan

ketidakseimbangan elektrolit dan metabolik. Cedera kepala sekunder terjadi

beberapa jam sampai beberapa setelah benturan awal kepala. Cedera sekunder

berhubungan dengan sintesis dan pelepasan neurokimia yang mengubah aliran

pembuluh darah, hemostasis ion dan metabolisme serebral. Sebagian besar

mediator yang dihasilkan pada cedera sekunder bersifat destruktif.13 Selain itu,

cedera sekunder akan menyebabkan pembengkakan otak, hematom intrakranial,

infeksi atau iskemik serebri.11

Iskemik diketahui merupakan penyebab tersering dari cedera otak

sekunder. Iskemik post-traumatik akan mengaktivasi kaskade metabolik yang

menghasilkan radikal bebas oksigen. Selain itu, radikal bebas juga bisa dihasilkan

dari peningkatan konsentrasi kalsium intrasel (diaktivasi melalui kanal ion).

Cedera otak sekunder dapat menyebabkan hipoksia dan hipotensi yang terjadi

ketika proses resusitasi sehingga mengganggu mekanisme regulatorik yang

mempertahankan aliran darah dan suplai oksigen ke otak.11

Awal dari cedera otak ditandai dengan kerusakan jaringan langsung dan

gangguan pengaturan aliran darah otak dan metabolisme. Pola seperti iskemik ini

menyebabkan akumulasi asam laktat karena metabolisme anaerobik, peningkatan

permeabilitas membran, dan terjadinya edema. Metabolisme anaerobik yang

terjadi tidak dapat mempertahankan kebutuhan energi sel sehingga terjadi

kegagalan pompa ion membran yang bergantung pada energi. Kaskade patologis

berikutnya diikuti dengan depolarisasi membran terminal dan pelepasan

Page 14: Cedera Kepala PRINT

11

neurotransmiter eksitatorik (glutamat, aspartat), aktivasi N-methyl-d-aspartate, α-

amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolpropionate, dan kanal Ca2+ dan Na+ yang

bergantung pada tegangan. Influks dari Ca2+ dan Na+ menyebabkan aktifnya lipid

peroksidase, protease, dan fosfolipase yang meningkatkan radikal bebas dan asam

lemak bebas. Aktivasi kaspase, translokase, dan endonuklease akan memulai

perubahan struktural progresif dari membran dan DNA nukleosom. Perubahan ini

selanjutnya akan menyebabkan degradasi membran vaskular dan sel yang pada

akhirnya menjadi apoptosis.12

Kejang post trauma dapat dikelompokkan menjadi segera (terjadi dalam

waktu 7 hari setelah trauma), atau lambat (terjadi > 7 hari setelah trauma).

Beberapa faktor yang menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk terjadinya

kejang post trauma antara lain skor GCS < 10, kontusi kortikal, fraktur depresi

tengkorak, hematom subdural, hematom epidural, hematom intracerebral, luka

penetrasi, dan kejang dalam waktu 24 jam setelah trauma. Edema otak difus atau

lokal merupakan komplikasi yang serius dari cedera kepala dan dapat berlanjut

pada peningkatan tekanan intrakranial. Efek massa dari edema meningkat dalam

waktu 72 jam setelah trauma.4,21

Hipertensi intrakranial setelah terjadinya trauma kranioserebral dapat

disebabkan oleh hematom intrakranial, edema cerebral, atau hiperemia cerebral.

Hukum Monro Kellie menyatakan bahwa adanya sedikit perubahan pada volume

intrakranial dapat secara jelas menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial

karena sifat tulang tengkorak yang rigid (kaku) dan inelastik. Pada situasi normal,

volume intrakranial terdiri dari 80% jaringan otak, 10% cairan cerebrospinal, dan

10% volume darah intrakranial yang terdapat didalam tulang tengkorak yang kaku

dan tidak dapat meluas. Tiga komponen ini memiliki pengaruh terhadap tekanan

intrakranial yang secara normal tetap terjaga dalam batas 0-15 mmHg sat diukur

pada ventrikel lateral. Adanya peningkatan volume dari salah satu kompartemen

atau adanya penambahan kompartemen baru yang sifatnya patologis (seperti

perdarahan intrakranial), harus dapat dikompensasi oleh pengurangan volume dari

kompartemen lainnya. Mekanisme kompensasi yang merupakan buffer atau

penyangga seperti perubahan volume, meliputi peningkatan absorpsi cairan

Page 15: Cedera Kepala PRINT

12

cererospinal, redistribusi cairan cerebrospinal dari ruang intrakranial ke ruang

subarachnod medula spinalis, dan reduksi volume darah cerebral. Daya tampung

(komplians) cerebral menunjukkan adanya perubahan volume intrakranial dapat

mempengaruhi perubahan tekanan intrakranial. Saat terjadi edema otak, cerebrum

meluas dan cairan mengalami pergeseran tempat dari kompartemen intrakranial.

Sehingga, komplians akan menurun dan tekanan intrakranial meningkat dengan

cepat. Saat uncus ipsilateral dari lobus temporal bagian medial membengkak dan

menekan serat saraf pupilokonstriktor dari nervus oculomotorius perifer maka

dapat terjadi dilatasi pupil.14,17,21,22

Falx cerebri, tentorium cerebelli, dan foramen magnum merupakan

struktur yang relatif kaku (rigid) dan menjadi pemisah daerah otak. Karena

banyak proses patologik bersifat fokal, maka gradien tekanan dapat disebarkan

secara merata diantara setiap kompartemen intrakranial. Adanya peningkatan

tekanan intraranial dapat menimbulkan efek yang buruk melalui adanya gradien

tekanan diantara setiap kompartemen otak yang berbeda. Kombinasi dari

pergeseran otak akibat adanya massa fokal, tekanan intrakranial yang tinggi, dan

gradien tekanan diantara pemisah dura dan tulang (falx cerebri, tentorium, dan

foramen magnum) dapat menyebabkan jaringan otak mengalami herniasi dari

kompartemen dengan tekanan yang tinggi ke kompartemen dengan tekanan yang

rendah. Jika gradien tekanan ini memiliki besar yang cukup, maka dapat terjadi

pergeseran atau herniasi jaringan otak dan dapat mengakibatkan kompresi struktur

yang vital. Sebagai contoh, herniasi transtentorial dapat terjadi saat peningkatan

tekanan dan volume supratentorial cukup untuk menggeser uncus dan bagian

medial dari lobus temporal melalui celah tentorial; yang menyebabkan kompresi

dan disfungsi dari midbrain dan nervus okulomotorius. Herniasi transtentorial

ditunjukkan oleh adanya pupil yang dilatasi ipsilateral dan pupil yang terfiksasi

atau reaktif. Kompresi medula terjadi saat tekanan intrakranial meningkat dan

tonsilla cerebellar mengalami herniasi melalui foramen magnum. Kondisi ini yang

dikenal sebagai herniasi tonsilar, dapat berakibat fatal karena lokasi pusat respirasi

dan vasomotor yang vital berada pada area di batang otak ini. Selain itu, karena

tekanan perfusi cerebral berhubungan dengan tekanan intrakranial, maka

Page 16: Cedera Kepala PRINT

13

peningkatan tekanan intrakranal dapat menimbulkan gangguan perfusi cerebral.

Pada otak yang normal, aliran darah ke otak tetap konstan sekitar 50 ml/100 gr

jaringan otak per menit, selama mekanisme autoregulasi cerebral masih intak,

dimana terjadi perubahan diameter dan resistensi dari pembuluh darah cerebral

akibat adanya perubahan tekanan, sehingga aliran darah ke otak yang konstan

tetap dipertahankan selama tekanan perfusi cerebral sekitar 50-150 mmHg. Jika

tekanan rata-rata arteri sangat menurun atau terjadi peningkatan tekanan

intrakranial, maka selanjutnya tekanan perfusi cerebral menjadi sangat rendah

untuk dapat dikoreksi oleh mekanisme autoregulasi, sehingga hal ini dapat

menimbulkan iskemi cerebral. Jika tekanan perfusi cerebral berkurang dalam

jumlah yang besar (< 40-50 mmHg) maka dapat terjadi iskemi atau infark

cerebral. Sehingga monitoring tekanan darah sistemik merupakan hal yang

penting dilakukan saat terjadi peningkatan tekanan intrakranial.14,23

Saat hematom intrakranial makin meluas, maka akan menimbulkan

kompresi dan pergeseran dari struktur di sekitarnya. Perluasan ini dapat

menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial saat kapasitas penyangga dari isi

tengkorak sudah habis. Bukti adanya iskemia kadang ditemukan pada saat autopsi

setelah cedera kepala tumpul. Iskemi fokal dapat terjadi pada lokasi kontusi atau

dapat diakibatkan oleh vasospasme yang diinduksi oleh perdarahan subarachnoid

traumatik. Iskemi global dapat disebabkan oleh hipotensi sistemik atau

menurunnya tekanan perfusi cerebral yang ditimbulkan oleh peningkatan tekanan

intrakranial.23

Iskemia pasca trauma dapat menginisiasi kaskade peristiwa metabolik

yang berlanjut menjadi peningkatan produksi radikal bebas oksigen, asam amino

eksitatorik, sitokin, dan agen inflamasi lainnya. Glutamat dan aspartat merupakan

asam amino eksitatorik yang paling sering terbentuk pada cedera eksitotoksik,

dimana pembentukannya dimediasi oleh aktivasi N-metil-D-aspartat, alfa-amino-

3-hidroksi-5-metilisoazol-4-proprionic acid, atau reseptor asam kainak. Adanya

overaktivasi dari reseptor-reseptor ini, dapat menyebabkan influx yang besar dari

kalsium yang terionisasi ke dalam sitosol, dan menyebabkan peningkatan jumlah

Page 17: Cedera Kepala PRINT

14

kalsium terionisasi intraseluler yang memegang peranan pada terjadinya

neurodegenerasi setelah cedera pada sistem saraf pusat.16

Infeksi dapat bersifat lokal (meningitis atau abses otak) atau sistemik.

Infeksi lokal dapat terjadi saat timbul gangguan pada integritas menings yang

diakibatkan oleh cedera penetrasi atau fraktur campuran pada atap dan basis

tengkorak. Infeksi sistemik umumnya melibatkan saluran pernafasan dan

genitourinarius. Sepsis sistemik dapat menyebabkan gangguan neurologis yang

dapat semakin membaik dengan resolusi dari infeksi. Hipertermia yang terjadi

kadang dapat menjadi penyulit masalah tekanan intrakranial yang sudah ada.23

Di antara akibat sistemik sekunder, yang paling signifikan adalah meliputi

hipoksia dan hipotensi. Penelitian klinis prospektif telah menunjukkan bahwa dua

kondisi ini memiliki pengaruh dan hasil keluaran yang jelek pada cedera kepala

berat. Hipotensi sistemik yang terjadi pada saat kedatangan pasien cedera kepala

berat di rumah sakit, telah terbukti berhubungan dengan peningkatan 150%

terjadinya kematian. Pada pasien dengan cedera kepala yang signifikan,

hipoksemia dapat disebabkan oleh obstruksi saluran nafas bagian atas,

pneumothorax, hemothorax, edema pulmonal, dan hipoventilasi. Hipoksemia

harus dikoreksi dengan cepat untuk mencegah potensi kerusakan jaringan saraf.

Hipotensi dapat menurunkan perfusi cerebral, yang selanjutnya dapat

menimbulkan iskemi dan infark cerebral. Hal ini berbahaya jika disertai dengan

peningkatan tekanan intrakranial. Selain itu, gangguan pada autoregulasi cerebral

dapat terjadi setelah cedera otak. Dengan auoregulasi yang normal, maka aliran

darah ke otak tetap konstan meskipun terjadi fluktuasi dari tekanan arteri rata-rata

antara 60 dan 180 mmHg. Autoregulasi dibutuhkan untuk memberikan pasokan

yang tetap stabil dari oksigen dan nutrii ke jaringan otak dan membuang sampah

metabolik. Konstriksi dan dilatasi dari arteriol yang terjadi dengan cepat

merupakan respon dari adanya perubahan tekanan. Dilatasi pembuluh darah

cerebral terjadi saat tekanan darah arteri menurun atau saat metabilisme otak

meningkat. Tetapi, jika respon normal ini terganggu, maka aliran darah ke otak

secara langsung akan berhubungan dengan tekanan darah sistemik. Sehingga jika

Page 18: Cedera Kepala PRINT

15

terjadi hipotensi, maka dapat terjadi penurunan perfusi jaringan dan iskemi.

Operasi yang berhubungan dengan episode hipotensi dapat menimbulkan dampak

yang negatif untuk perfusi otak dan dapat mempengaruhi kualitas hasil keluaran.

Penyebab sistemik lainnya dari cedera otak sekunder, yang masih dapat dicegah

antara lain adanya ketidakseimbangan elektrolit, anemia, hipoglikemia,

hipertermia, gangguan pembekuan darah (koagulopati), dan kejang.14,17,24

Gangguan elektrolit sering ditemukan pada pasien dengan cedera kepala

sedang dan berat. Yang paling sering terjadi adalah sindrom sekresi antidiuretik

hormon yang tidak sesuai. Serum sodium dapat menurun secara signifikan,

dimana gangguan status neurologi pasien dapat terjadi pada level dibawah 120-

125 mEq/L. Diabetes Insipidus dapat terjadi pada cedera kepala yang lebih berat,

kadang sebagai kejadian preterminal pada pasien dengan gangguan neurologi

rostrocaudal progresif yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial

yang tidak terkontrol.23

Cedera kepala yang berat dapat menginduksi kondisi katabolisme dengan

ekskresi nitrogen yang sama dengan pada cedera lainnya. Takikardi yang

diinduksi oleh katekolamin, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan curah

jantung setiap menit, merupakan kondisi yang sering terjadi. Iskemi otot jantung

juga dapat terjadi akibat cedera kepala tertutup.23

2.5. Diagnosis Cedera Kepala

2.5.1. Gejala dan Tanda25

- Sakit kepala, mual, muntah, bradikardi, tekanan darah meningkat

- Pemeriksaan Glasgow Coma Scale

- Post Traumatic Amnesia

Indeks yang digunakan untuk menentukan tingkat cedera kepala. PTA

didefinisikan sebagai lamanya waktu setelah cedera kepala saat pasien merasa

bingung, disorientasi, konsentrasi menurun, atensi menurun, dan atau

ketidakmampuan untuk membentuk memori baru.

Page 19: Cedera Kepala PRINT

16

Tabel 2.2. Gejala Cedera Kepala berdasarkan PTA26

PTA 1 hari atau kurang

Perbaikan yang cepat dan sepenuhnya dengan terapi yang sesuai. Pada beberapa kasus ditemukan disabilitas yang menetap, biasanya post-ok syndrome

PTA lebih dari 1 hari, tapi kurang dari seminggu

Masa penyembuhan lebih panjang, biasanya beberapa minggu sampai bulan. Penyembuhan sepenuhnya sangat mungkin dengan perawatan yang baik

PTA 1-2 minggu Penyembuhan memerlukan waktu beberapa bulan, pada beberapa pasien masih terdapat gejala sisa. Pada umumnya dapat kembali berkerja, pasien dapat melakukan aktivitas social dengan perawatan yang baik.

PTA 2-4 minggu Proses penyembuhan berlangsung lama, biasanya 1 tahun atau lebih. Didapatkan deficit permanen, sebagian tidak dapat melakukan aktivitas fungsional (bekerja atau melakukan aktivitas social)

PTA lebih dari 4 minggu

Terdapat defisit dan disabilitas yang permanen, dibutuhkan pelatihan dan perawatan jangka panjang

- Patah tulang atap orbita

Hematom (Racoon eyes)

Likorea dari hidung

- Patah tulang petrosum tulang tengkorak

Hematom sekitar os.mastoid

Perdarahan dari telinga

- Paralisis n.fasialis

- Defisit neurologis yang terjadi tergantung pada lokasi cedera.

Page 20: Cedera Kepala PRINT

17

2.5.2. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma

kapitis adalah:27

1. Roentgen foto kepala

Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak. Foto polos

kepala atau otak memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dalam

mendeteksi perdarahan intracranial. Pada era CT scan foto polos kepala

mulai ditinggalkan.

2. CT-Scan

CT Scan, harus segera dilakukan segera mungkin, idealnya dalam waktu

30 menit setelah cedera. Semua pasien dengan GCS <15 sebaiknya

menjalani pemeriksaan CT Scan sedangkan pada pasien dengan GCS 15,

CT scan dilakukan hanya dengan indikasi tertentu seperti:

- Nyeri kepala hebat

- Adanya tanda-tanda fraktur basis kranii

- Adanya riwayat cedera yang berat, muntah lebih dari 1 kali

- Penderita lansia (usia >65 tahun) dengan penurunan kesadaran atau

amnesia

- Kejang

- Riwayat gangguan vaskuler atau mengunakan obat-obat antikoagulan

- Gangguan orientasi, berbicara, membaca dan menulis, gangguan

keseimbangan atau berjalan

Interpretasi CT scan kepala harus diakukan secara sistemik agar tidak

ada yang terlewatkan. Kulit kepala pada tempat benturan biasanya mengalami

pembengkakan atau dijumpai hematom subgaleal. Retak atau garis fraktur

dapat tampak jelas pada pemeriksaan teknik bone window. Penemuan

penting pada CT scan kepala adalah adanya perdarahan intracranial dan

pergeseran garis tengah (efek masa). Septum pelucidum yang seharusnya

berada di antara kedua ventrikel lateralis harusnya berada di tengah-tengah.

Garis tengah dapat ditarik antara Krista galli di anterior dan inion di bagian

posterior. Pada CT scan tidak selalu dapat dibedakan perdarahan epidural atau

Page 21: Cedera Kepala PRINT

18

sub dural tetapi dapat dilihat khas pada perdarahan epidural gumpalan darah

tampak bikonveks atau menyerupai lensa cembung.

3. MRI kepala

Merupakan tehnik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan dengan CT

scan, kelainan yang tidak tampak pada CT scan dapat dilihat oleh MRI. Namun

dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan CT scan

sehingga tidak sesuai dalam situasi gawat darurat.

4. PET atau SPECT

Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emission

Computer TomographyI (SPECT) mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas

pada fase akut dan kronis meskipun CT scan atau MRI dan pemeriksaan

neurologis tidak memperlihatkan kerusakan. Namun, spesifisitas penemuan

abnormalitas tersebut masih dipertanyakan. Saat ini, penggunaan PET atau

SPECT pada fase awal kasus CKR masih belum direkomendasikan. PET atau

SPECT. Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emission

Computer TomographyI (SPECT) mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas

pada fase akut dan kronis meskipun CT scan atau MRI dan pemeriksaan

neurologis tidak memperlihatkan kerusakan. Namun, spesifisitas penemuan

abnormalitas tersebut masih dipertanyakan. Saat ini, penggunaan PET atau

SPECT pada fase awal kasus CKR masih belum direkomendasikan.

2.6. Penatalaksanaan

a. Cedera kepala ringan

Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (GCS 14-15).

(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat). Pengelolaan setelah

pasien distabilkan:28

Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia, nyeri

kepala, perdarahan hidung/mulut/telinga, kejang

Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik

Pemeriksaan neurologis

Page 22: Cedera Kepala PRINT

19

Kriteria Transport ke Rumah Sakit Non Pusat Trauma:28

1. Amnesia post traumatika jelas

2. Riwayat kehilangan kesadaran

3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat

5. Intoksikasi alkohol atau obat

6. Tanda-tanda Fraktura tengkorak

7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)

8. Kejang

9. Cedera penyerta yang jelas

10. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan

Dipulangkan:28

1. Pasien tidak memiliki kriteria rujuk

2. Beritahukan untuk kerumah sakit bila timbul masalah dan jelaskan

tentang 'lembar peringatan'

3. Rencanakan untuk kontrol kerumah sakit dalam 1 minggu

b. Cedera kepala sedang

Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk

mengikuti perintah sederhana (GCS 9-13).

Pengelolaan setelah pasien distabilkan:28

Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan

hidung/mulut/telinga, kejang

Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik

Pemeriksaan neurologis

Transport ke pusat trauma/bedah saraf.

c. Cedera kepala berat

Page 23: Cedera Kepala PRINT

20

Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena

gangguan kesadaran (GCS ≤ 8). (Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala

berat dengan GCS > 8).28

Penilaian cedera kepala berat

1. Oksigenasi dan tekanan darah29

Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%) atau hipotensi (tekanan

darah sistolik <90 mm Hg*) adalah parameter yang nyata berkaitan dengan

outcome yang buruk. Oksigenasi darah : Presentase saturasi oksigen darah diukur

dengan oksimeter denyut nadi (bila ada). Tekanan darah sistolik dan diastolik

diperiksa sesering yang dimungkinkan dan dimonitor secara berkelanjutan.

Kerusakan otak sekunder pada cedera kepala berat sering terjadi dan sangat

mempengaruhi outcome.

*) 0-1 tahun : <65; 2-5 tahun : < 75; 6-12 tahun : <80; 13-16 tahun : < 90.

2. Skor skala koma Glasgow29

GCS adalah indikator beratnya cedera kepala terutama dalam kaitannya

dengan perbaikan atau perburukan pada pemeriksaan berulang. Penilaian tunggal

GCS tidak dapat memprediksi outcome, namun perburukan 2 poin dimana GCS

sembilan atau kurang menunjukkan cedera serius. Skor 3-5 : outcome buruk. GCS

didapat dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal atau pada pasien yang

tidak ikut perintah dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku atau anterior ketiak

dll. GCS dinilai lagi setelai penilaian inisial (pada penilaian inisial dapat

digunakan AVPU : cepat, namun tidak menampilkan kuantitas motorik), setelah

jalan nafas terkontrol, setelah resusitasi ventilatori dan respiratori. Hipoksemi dan

hipotensi berdampak negatif terhadap GCS. GCS dinilai pula sebelum pemberian

sedatif atau agen paralitik, dan setelah obat-obat tsb. dimetabolisasi. GCS inisial

3-5, atau perburukan dua poin atau lebih memprediksikan outcome buruk. 20 %

dengan GCS 3-5 hidup, 8-10 % dengan hidup yang fungsional.

3. Pupil

Pupil asimetri : perbedaan kiri dan kanan ≥ 1 mm. Pupil yang tidak bereaksi

terhadap cahaya : reaksi tidak ada atau kurang dari 1 mm. Perhatikan pula adanya

trauma orbital. Nilai apakah pupil satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap

Page 24: Cedera Kepala PRINT

21

cahaya. Apakah satu atau kedua sisi berdilatasi. Apakah satu atau kedua sisi tidak

bereaksi terhadap cahaya dan berdilatasi. Pupil dinilai lagi setelah resusitasi dan

stabilisasi. Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar

evaluasi. Kelainan pupil membantu menentukan tindakan, terutama bila

berdilatasi unilateral atau, berdilatasi dan tidak bereaksi terhadap cahaya bilateral,

mengarahkan pada herniasi otak yang memerlukan tindakan darurat untuk

menurunkan tekanan intrakranial. Konstriksi terhadap cahaya adalah fungsi

simpatik. Rangsang cahaya berakibat respons direk (ipsilateral) dan respons

konsensual (kontralateral), tergantung intaknya sistem aferen yang membawa

sinyal dari retina ke otak tengah, serta sistem eferen parasimpatik pada bagian luar

saraf ketiga dari otak tengah ke pupil. Nuklei saraf ketiga di otak tengah terletak

dekat area yang mengatur kesadaran dibatang otak. Karenanya pemeriksaan pupil

sangat penting pada pasien dengan gangguan kesadaran. Saraf ketiga keluar dari

otak tengah dibawah unkus, bagian lobus temporal, dan terancam untuk

terkompresi sebagai akibat edema, perdarahan intrakranial, dan hematoma

epidural atau subdural. Kompresi saraf ketiga unilateral menekan jalur eferen

refleks pupil, menghambat respons cahaya langsung, disaat respons konsensual

utuh. Hipoksemia, hipotensi dan hipotermia juga berhubungan dengan dilatasi

serta reaksi cahaya pupil. Trauma langung pada saraf ketiga disertai tidak adanya

trauma intrakranial yang nyata bisa menyebabkan kelainan pupil walau biasanya

disertai dengan kelainan motorik saraf ketiga. 70 % pasien dengan pupil

berdilatasi bilateral mengalami outcome buruk. Peneliti lain mendapatkan 91 %

tewas. 54 % pasien dengan refleks cahaya negatif pulih dengan baik.29

Tindakan terhadap cedera kepala berat

1. Jalan nafas, ventilasi dan oksigenasi

Hipoksemia (apnea, sianosis atau saturasi oksigen Hb arterial [SaO2] < 90 %)

harus dicegah atau segera dikoreksi. Bila ada, saturasi oksigen dimonitor sesering

mungkin atau berkelanjutan. Hipokesemia dikoreksi dengan memberikan oksigen

suplemen. Jalan nafas harus diamankan pada GCS < 9, ketidakmampuan

mempertahankan jalan nafas adekuat, atau bila hipoksia tidak terkoreksi dengan

oksigen suplemen. Intubasi endotrakheal paling efektif mempertahankan jalan

Page 25: Cedera Kepala PRINT

22

nafas. Hiperventilasi profilaksis rutin harus dicegah. Indikasi dilapangan hanya

bila terjadi herniasi otak seperti posturing ekstensor atau kelainan pupil (asimetrik

atau tidak bereaksi) yang masih tampak setelah hipotensi atau hipoksemia

dikoreksi. Normal ventilasi (dengan intubasi dan ventilator bila ada) sekitar 10

X/menit untuk dewasa, 15-20 X/menit pada anak-anak, dan 20-30 X/menit bagi

bayi. Hiperventilasi ditentukan sebagai 20 X/menit bagi dewasa, 30 X/menit bagi

anak-anak dan 35-40 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi dianjurkan sebagai

tindakan primer dilapangan karena mudah dilakukan dan berefek segera.

Hiperventilasi menurunkan tekanan parsial arterial dioksida karbon (PaCO2)

dengan akibat vasokonstriksi, menurunkan aliran darah serebral (CBF) dan

menurunkan tekanan intrakranial (ICP). Namun hiperventilasi dini profilaktik

tidak lagi dianjurkan sebagai tindakan rutin, karena pada pasien cedera otak

traumatika biasanya aliran darah serebral turun menjadi dua pertiga dari normal

dan hiperventilasi lebih menurunkan aliran darah serebral hingga berpotensi

mencapai titik iskemia otak, hingga memperburuk perfusi otak dan outcome

pasien. Hiperventilasi dilakukan hanya sementara sampai pasien tiba di pusat

bedah saraf dimana analisis gas darah akan menuntun tingkat ventilasi.28.29

2. Resusitasi cairan

Resusitasi cairan pada pasien cedera otak traumatika adalah untuk mencegah

hipotensi dan / atau membatasinya pada durasi sesingkat mungkin. Hipotesi

adalah bila tekanan darah sistolik ≤ 90 mm Hg. Pada anak dengan cedera otak

traumatika berat usia 0-1 tahun : < 65; usia 2-5 tahun : < 75; usia 6-12 : < 80 dan

usia 13-16 < 90 mm Hg. Terapi cairan diberikan untuk menunjang kinerja

kardiovaskuler untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral yang adekuat dan

mengurangi peluang kerusakan otak sekunder. Paling umum di pra rumah sakit

digunakan kristaloid isotonik. Diberikan sejumlah yang dibutuhkan dalam

mempertahankan tekanan darah normal. Volume cairan yang tidak adekuat atau

dibawah daya resusitasi dapat mempresipitasi hipotensi mendadak hingga harus

dicegah. Resusitasi hipertonik dengan salin hipertonik dengan atau tanpa dekstran

memberikan hasil menggembirakan. Tidak ada bukti bahwa mannitol bermanfaat

pra rumah sakit, kecuali pada pasien dengan peninggian tekanan intrakranial jelas.

Page 26: Cedera Kepala PRINT

23

Di UGD, tekanan perfusi serebral tidak dapat dihitung karena di pra rumah sakit

tekanan arterial rata-rata (MAP) dan tekanan intrakranial (ICP) tidak dihitung.

(Bahkan mungkin juga di UGD nya sendiri). Frekuensi denyut jantung dan

tekanan darah digunakan sebagai pengukur indirek pengangkutan oksigen pada

fase pra rumah sakit dan juga pada evaluasi inisial di UGD. Pengukuran ini kasar

hingga sering tidak menunjukkan hubungan yang baik dengan kehilangan darah,

namun tidak ada tindakan lain yang dapat menilai kehilangan darah secara akurat.

Otoregulasi sering gagal pada cedera kepala, meningkatkan keterancaman otak

atas berkurangnya preload. Bila gagal curah jantung, pengangkutan oksigen juga

gagal. Intervensi resusitatif dimulai segera untuk mencegah turunnya tekanan

darah. Kehilangan darah sulit dinilai hingga tampil hipotensi. Sayangnya

hipotensi tidak jelas bisa ditentukan, misalnya bagi kebanyakan orang 90 mm Hg,

bagi orang lain mungkin 80 atau 100. Karena penyebab hipotensi umumnya

sekunder atas perdarahan atau kehilangan cairan lainnya, maka volume

intravaskuler tampaknya cara terbaik untuk memperbaiki tekanan darah.

Kristaloid untuk memperkuat preload jantung, mempertahankan curah jantung

(CO), tekanan darah dan pengangkutan oksigen perifer. Dianjurkan infus cepat 2

liter RL atau salin normal sebagai bolus inisial pada dewasa. Pada pasien tanpa

cedera kepala, pikirkan bahwa resusitasi tanpa hemostasis bedah menyebabkan

kehilangan darah sekunder akibat bergesernya klot hemostatik. Begitu pula

hemodilusi yang terjadi dapat memperburuk keadaan pada trauma tertentu seperti

trauma penetrasi torso. Karenanya resusitasi cairan ideal adalah tidak

menyebabkan kehilangan darah sekunder dan hemodilusi. 28

3. Tindakan terhadap otak

Herniasi serebral : Tanda-tandanya adalah gangguan kesadaran serta tidak

adanya respons, termasuk posturing ekstensor, pupil berdilatasi, tidak bereaksi

terhadap cahaya atau perburukan neurologis progresif (penurunan GCS lebih dari

dua poin dari sebelumnya pada pasien dengan GCS inisial < 9). Hiperventilasi

adalah intervensi jalur pertama terhadap pasien tersangka ancaman herniasi otak.

Status neurologis memerlukan penilaian berulang dan bila diikuti hilangnya

tanda-tanda herniasi otak, hiperventilasi dihentikan.

Page 27: Cedera Kepala PRINT

24

Mannitol pra rumah sakit untuk herniasi otak. Tindakan saat transport pasien :

Sedasi, analgesia, dan blok neuromuskuler (sesuai sarana tersedia) berguna dalam

mengoptimalkan transport pasien cedera kepala. Penyebab lain perubahan status

kesadaran : Hipoglikemia dilaporkan sebagai pencetus trauma. Hipoglikemia bisa

tampil dengan perubahan kesadaran dengan atau tanpa defisit neurologis lain.

Dianjurkan pasien dengan penurunan kesadaran yang tidak jelas etiologinya

ditentukan glukosanya secara cepat atau diberikan glukosa secara empiris. Cedera

neuronal bisa akibat trauma inisial (cedera primer) atau akibat mekanisme indirek

(cedera sekunder) seperti hipoksemia, hipotensi dan edema serebral. Juga bisa

akibat keadaan yang bersamaan seperti hipoglikemia atau keracunan obat. Tujuan

resusitasi adalah mempertahankan perfusi otak dan meminimalkan cedera

neuronal. Mannitol efektif mengurangi tekanan intrakranial dan dianjurkan untuk

mengontrol peninggian tekanan intrakranial. Namun belum jelas manfaatnya pada

pasien tanpa tanda-tanda herniasi otak. Walau mekanisme kerjanya kontroversi,

manfaatnya adalah bahwa mannitol merupakan plasma expander kerja cepat dan

efek osmotik diuretiknya. Sebagai plasma expander ia akan menurunkan

hematokrit dan viskositas darah dengan akibat meningkatkan aliran darah otak

dan meningkatkan pengangkutan oksigen ke otak yang merupakan dasar resusitasi

otak. Efek osmotiknya pada awalnya mengurangi edema intraseluler hingga

menurunkan tekanan intrakranial. Onsetnya setelah 15-30 menit namun bertahan

90 menit hingga 6 jam.26

Mannitol bisa terakumulasi di otak dengan akibat reverse osmotic shift yang

berpotensi meninggikan tekanan intrakranial (karenanya dirumah sakit lebih baik

diberikan berulang dari pada infus kontinyu untuk mengurangi kemungkinan

komplikasi ini). Potensi komplikasi mannitol lainnya adalah gagal ginjal.

Perhatikan juga bahwa mannitol berpotensi menimbulkan hipotensia. Lidokain

intravena mencegah peninggian tekanan intrakranial saat intubasi endotrakheal.

Namun tidak ada bukti peninggian tekanan intrakranial transien saat manipulasi

intubasi berpengaruh pada outcome. Berikan lidokain 1.5 mg/kg beberapa menit

sebelum laringoskopi dan dianjurkan diberikan bersama pelindung saraf pusat lain

seperti fentanyl (50 ųg, q2-3 menit) atau thiopental (3-5 mg/kg). Sedasi dan

Page 28: Cedera Kepala PRINT

25

analgesia adalah kunci penting dalam pengelolaan pra rumah sakit, terutama bila

perjalanan memerlukan waktu panjang. Langkah pertama terhadap pasien gelisah

atau mengamuk adalah menilai dan mengoreksi hipotensi, hipoksemia,

hipoglikemia dan ketidaknyamanan. Bebat mekanik tidak dianjurkan dan

meletakkan pasien pada risiko kerusakan fisik. Karena kooperasi pasien penting

dalam transport yang aman, berikan agen farmakologis termasuk blok

neuromuskuler (bila sarana tersedia). Benzodiazepin (lorazepam 2-5 mg IV ) dan

fenothiazin umum digunakan. Pra rumah sakit bisa diberikan droperidol 5 mg

intravena. Blok neuromuskuler aksi singkat aman digunakan pra rumah sakit.

Rangsang nyeri akan meninggikan tekanan intrakranial, hingga pemberian sedasi,

analgesia dan blok neuromuskuler bisa dipertimbangkan, walau bukan tanpa

risiko disamping mempengaruhi GCS. Kadar gula darah kurang dari 80 mg/dl

mulai bergejala. Hipoglikemia ringan tampil dengan diaphoresis, nyeri kepala dan

kelemahan pada 75 % pasien. Defisit neurologis fokal dan kejang bisa terjadi.

Kadar 30 mg/dl tampil dengan konfusi atau delir. Kadar dibawah 10 mg/dl dengan

koma dalam yang mungkin irreversibel. Kontroversi terjadi pada akurasi strip

pemeriksa, dampak perfusi perifer yang buruk terhadap strip pemeriksa, serta

potensi kerusakan akibat pemberian glukosa secara empirik. Dianjurkan

memeriksa kadar gula dari pada memberikan terapi empirik, kecuali bila kadar

gula tidak bisa didapat dan pasien mengalami gangguan status mental tanpa

disertai defisit fokal.26,29

Transportasi

Semua pasien dengan cedera otak traumatika dengan GCS < 9 langsung

dirujuk ke fasilitas yang berkemampuan pemeriksaan CT segera, fasilitas bedah

saraf memadai, dan fasilitas pengamat tekanan intrakranial (bila ada) serta

kemampuan menindak hipertensi intrakranial. Pasien dengan GCS 9-13

berpotensi mengalami cedera intrakranial dan tindakan bedah saraf, hingga harus

dirujuk kepusat bedah saraf. Sebagian kematian akibat cedera adalah tanggung-

jawab cedera kepala.29

Page 29: Cedera Kepala PRINT

26

Transportasi merupakan bagian penting yang mempengaruhi outcome.

Langkah yang berpengaruh pra rumah sakit adalah : Informasi lengkap yang

dikumpulkan petugas pra rumah sakit dan yang diminta petugas rumah sakit

rujukan seperti apakah pasien sadar, dapat berbicara, membuka mata, atau

menggerakkan ekstremitas dapat membantu menentukan adanya cedera otak.

Penilaian pra rumah sakit atas mekanisme, jenis dan beratnya cedera (parahnya

kerusakan kendaraan, benturan kaca depan, penggunaan sabuk pengaman dan alat

pengaman lain), kejadian, dan khususnya pemeriksaan pasien penting untuk

menilai situasi neurologis keseluruhan. Tanda-tanda vital dan oksimetri denyut

nadi bila ada, membantu menemukan hipotensi dan hipoksemia. Skor GCS dan

kondisi pupil memberikan informasi beratnya cedera otak. Berdasar penilaian

pasien, intervensi pra rumah sakit dimulai untuk mencegah hipotensi atau

hipoksemia serta potensi yang mengancam hidup atau kecacadan lainnya.26,28,29

Di sini tingkat keterampilan penolong sangat menentukan mutu intervensi.

Rumah sakit penerima juga menentukan outcome. Beberapa faktor berpengaruh

pada tindakan yang optimal. Untuk perkotaan, waktu tanggap pendek, rumah sakit

banyak, waktu transport singkat, berakibat tindakan lebih cepat dan dekat. Namun

dikota UGD lebih sibuk, jalanan macet, dan protokol mungkin tidak mengizinkan

jalan pintas kepusat trauma lain.29

Di daerah yang jauh dari pusat trauma, petugas harus diberi kemudahan

memanfaatkan alat transportasi yang lebih cepat. Bila sarana bedah saraf tidak

tersedia, bawa dulu kefasilitas terdekat untuk stabilisasi pasien, untuk selanjutnya

tergantung kebutuhan. Lakukan penilaian neurologis berulang untuk

mengevaluasi atau menemukan setiap perubahan kondisi dan status neurologis

pasien selama perjalanan.29

Pengelolaan pada pasien tanpa tanda-tanda herniasi

Sedasi dan relaksan farmakologis bila perlu untuk transport seperti

dijelaskan terdahulu. Mannitol profilaktik tidak diberikan karena efek deplesi

volume oleh kerja diuretiknya. Parameter ventilatori adalah oksigenisasi optimal

dan ventilasi normal.29

Page 30: Cedera Kepala PRINT

27

Pengelolaan pada pasien dengan tanda-tanda herniasi

Tindakan seperti dijelaskan terdahulu. Hiperventilasi mudah dicapai

dengan menambah tingkat ventilatori dan tidak tergantung atau terpengaruh oleh

keberhasilan resusitasi volume. Karena hipotensi bisa berakibat perburukan

neurologis dan hipertensi intrakranial, mannitol kurang disukai kecuali resusitasi

cairan sudah tercapai. Mannitol diberikan bolus seperti telah dijelaskan. Pasien

segera ditranport.26

Tujuan resusitasi adalah perbaikan volume sirkulasi, tekanan darah,

oksigenasi dan ventilasi. Tekanan intrakranial harus dijaga tetap rendah tanpa

mempengaruhi tindakan resusitasi. Mannitol dan hiperventilasi bisa

membangkitkan lagi iskemia intrakranial atau mempengaruhi resusitasi hingga

dicadangkan hanya untuk herniasi atau perburukan seperti telah dijelaskan.

1. Resusitasi tekanan darah dan oksigenasi

Hipotensi (TDS < 90 mm Hg) atau hipoksia (apnea, sianosis, atau saturasi

oksigen < 90 % atau PaO2 < 60 mmHg) harus dimonitor dan dicegah, atau

dikoreksi segera. MAP harus dipertahankan diatas 90 mm Hg dengan infus

cairan untuk menjaga tekanan perfusi serebral (CPP) diatas 70 mm Hg.

Pasien dengan GCS < 9, atau jalan nafas tidak dapat dipertahankan atau bagi

yang tetap hipoksemik walau suplemen oksigen diberikan, memerlukan

intubasi endotrakheal. Cairan resusitasi seperti RL, salin normal, salin

hipertonis serta mannitol seperti pada tindakan pra rumah sakit rujukan.

Sekali monitor TIK terpasang (bila ada), manipulasi tekanan darah

disesuaikan dengan pengelolaan tekanan perfusi serebral. Pengelolaan Inisial

Cedera Kepala Berat, GCS ≤ 826,29

Page 31: Cedera Kepala PRINT

28

Gambar 2.1. Algoritma Penanganan Inisial Head Injury

Diagnostik / Terapi Emergensi. Evaluasi Trauma Umum. Intubasi Endotrakheal.

Resusitasi Cairan. Ventilasi (PaCO2 35 mm Hg). Oksigenasi. Sedasi. ± Paralisis

Farmakologis (aksi pendek).

Herniasi ?* ± Hiperventilasi * Perburukan ?* ± Mannitol 1 g/kg *

* Hanya bila ada tanda-tanda herniasi atau perburukan neurologis progresif tidak

karena kelainan ekstrakranial.

2. Indikasi monitoring tekanan intrakranial (tik)

Bila ada, dilakukan terhadap cedera kepala berat dengan CT abnormal. Cedera

kepala berat adalah bila GCS 3-8 setelah resusitasi kardiopulmoner. CT abnormal

adalah bila dijumpai hematoma, kontusi (memar), edema atau sisterna basal yang

terkompres. Bila CT normal, monitor dilakukan bila dijumpai dua atau lebih hal

berikut : usia diatas 40 tahun, posturing motor uni atau bilateral, tekanan darah

sistolik < 90 mm Hg. Monitoring tidak rutin bagi cedera kepala ringan atau

moderat, kecuali untuk adanya lesi massa traumatika tertentu. Sebagian kerusakan

Page 32: Cedera Kepala PRINT

29

otak terjadi akibat impak trauma, namun kerusakan sekunder bisa beberapa jam

hingga beberapa hari kemudian. Kematian dan kesakitan dapat dikurangi dengan

pengelolaan intensif seperti intubasi, transportasi, resusitasi, CT dan evakuasi lesi

massa intrakranial segera, serta perawatan ICU. TIK (ICP) normal adalah 0-10

mm Hg (0-136 mm air). Umumnya diatas 20 mm Hg dianggap batas untuk mulai

tindakan. Namun tekanan perfusi serebral (CPP) lebih penting dari TIK semata.

(CPP=MAP-ICP). Monitoring TIK adalah untuk mengawasi perfusi otak. Pada

pasien hipotensif, peninggian TIK ringan saja dapat berbahaya. Monitoring TIK

saat ini tidak umum dilakukan kecuali pada pusat cedera kepala yang besar,

karena berisiko, makan waktu, perlu tenaga terlatih dan mahal.29

3. Hiperventilasi

Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi

jangka panjang (PaCO2 ≤ 25 mm Hg) setelah cedera otak traumatika harus

dicegah. Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 ≤ 35 mm Hg) 24 jam pertama setelah

cedera otak traumatika harus dicegah karena memperburuk perfusi saat aliran

darah serebral berkurang. Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat

bila terjadi perburukan neurologis akut, atau untuk jangka yang lebih lama pada

hipertensi intrakranial yang kebal terhadap sedatif, paralisis, drainase cairan

serebrospinal dan diuretik osmotik.26,29

4. Mannitol

Efektif mengontrol peninggian tekanan intrakranial pada cedera kepala berat

dengan dosis 0,25-1 g/kg BB. Indikasi adalah herniasi transtentorial dan

perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan ekstrakranial. Cegah

hipovolemik dengan penggantian cairan. Osmolalitas serum harus dibawah 320

mOsm/l agar tidak terjadi gagal ginjal. Euvolemia dipertahankan dengan

penggantian cairan adekuat. Kateter foley sangat penting. Bolus intermitten lebih

efektif dibanding infus kontinu Mannitol penting pada pasien cedera kepala,

terutama fase akut bila diduga atau nyata ada peninggian tekanan intrakranial.28

5. Barbiturat

Page 33: Cedera Kepala PRINT

30

Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan

hipertensi intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap tindakan

medis atau bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun risiko dan

komplikasi membatasi penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan

dengan memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau menindak

ketidakstabilan hemodinamik. Pentobarbital diberikan dengan dosis awal

(loading) 10 mg/kg dalam 30 menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian,

diikuti dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. Bila

dilakukan koma barbiturat, awasi saturasi oksigen arteriovenosa karena beberapa

pasien bisa mengalami hipoksia otak.29

6. Steroid

Steroid termasuk methilprednisolon tidak terbukuti bermanfaat memperbaiki

outcome atau menurunkan tekanan intrakranial, karenanya tidak dianjurkan.29

7. Anti kejang profilaktif

Dianjurkan pada kasus dengan risiko kejang tinggi :

GCS < 10.

Kontusi (memar) kortikal, lihat dari CT.

Fraktur tengkorak terdepres.

Hematoma subdural.

Hematoma epidural.

Hematoma intraserebral.

Cedera tembus tengkorak.

Kejang dalam 24 jam sejak cedera.

Alasan pemberian anti kejang adalah bahwa bahwa insidens kejang pasca

trauma relatif tinggi hingga pemberian anti kejang akan memberikan manfaat

karena kejang akan meninggikan tekanan intrakranial, perubahan tekanan darah,

perubahan pengangkutan oksigen, dan meningkatkan pelepasan neurotransmiter.

Kejang juga berakibat cedera aksidental, efek psikologis serta hilangnya

kemampuan kontrol. Dipercaya bahwa pencegahan kejang dini mencegah epilepsi

kronik karena terbukti kejang pertama membentuk fokus kejang permanen.

Page 34: Cedera Kepala PRINT

31

Namun anti kejang juga mempunyai berbagai efek samping hingga hanya

diberikan pada keadaan tsb. dan diberikan tidak lebih dari satu minggu. Berikan

Fenitoin atau carbamazepin seperta pra rumah sakit.29

8. Indikasi operasi

1. Luka kulit kepala

Hal yang terpenting adalah membersihkan luka sebelum melakukan

penjahitan. Debridement yang tidak adekuat akan menyebabkan infeksi luka

kepala. Perdarahan dari luka kulit kepala dapat diatasi dengan penekanan,

kauterisasi atau ligasi pembuluh darah besar. Jahit, pasang klips atau staples.

Inspeksi, apakah ada fraktur tengkorak atau benda asing.28,29

2. Fraktur impresi tengkorak

Fraktur depresi yang tidak signifikan dapat ditolong dengan menutup kulit

kepala yang laserasi.28,29

3. Lesi massa intrakranial

Dilakukan kraniotomi dan atau burrhole. Kraniotomi biasanya

dimaksudkan suatu tindakan yang lebi besar daripada sekedar membuat lubang

bor. Burrhole pada kranium untuk eksplorasi atau evakuasi hematom (SDH kronis

atau higroma).28,29

Lesi massa harus dioperasi bila pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih.

Setiap pergeseran dapat dilihat pada CT scan, angiografi, atau ventrikulografi.

Semua hematoma epidural, subdural, atau intraserebral yang mempunyai

pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih harus dievakuasi secara operatif.

Hematoma kecil dengan pergeseran ringan tanpa kelainan neurologi, lakukan

pendekatan konservatif, namun bisa terjadi perburukan, dan pengamatan yang

ketat sangat diperlukan. Bila terjadi perburukan, CT ulang harus dilakukan segera.

Semua lesi massa dengan pergeseran 5 mm atau lebih harus dioperasi, kecuali

pasien dalam mati otak.29

Dasar pemikiran ini adalah terbukti bahwa beberapa pasien dengan pupil

yang non reaktif bilateral, gangguan respons okulosefalik, dan postur deserebrasi

sekalipun dapat mengalami perbaikan. Pasien kontusi dengan sisterna basal

terkompres memerlukan operasi segera. Hematoma lobus temporal besar ( lebih

Page 35: Cedera Kepala PRINT

32

dari 30 cc) mengharuskan operasi dini. Bila CT scan tidak dapat dilakukan segera,

keputusan operasi berdasarkan ventrikulografi dan pengamatan TIK.29

Dari angiogram, temuan berikut ini indikasi operasi:

a. Massa intra atau ekstra aksial menyebabkan pergeseran pembuluh serebral

anterior menyeberang garis tengah sejauh 5 mm atau lebih.

b. Massa ekstra aksial lebih dari 5 mm terhadap tabula interna, bila ia

berhubungan dengan pergeseran arteri serebral anterior atau media

berapapun jauhnya.

c. Massa ekstra aksial bilateral lebih dari 5 mm terhadap tabula interna.

Kecuali untuk pasien dengan atrofi otak yang jelas, setiap massa

intrakranial akan menyebabkan peninggian TIK.

d. Massa lobus temporal menyebabkan pengangkatan arteria serebral media

atau pergeseran garis tengah. Pasien ini berada dalam posisi paling

berbahaya, karena pembengkakan ringan dapat menyebabkan herniasi

tentorial dengan sangat cepat.

Indikasi operasi emergensi lain adalah bila terjadi interval lucid serta bila

terjadi herniasi unkal (pupil / motorik tidak ekual) bila CT tidak tersedia, fraktura

terdepres terbuka, dan fraktura terdepres tertutup yang lebih dari 1 tabula atau

lebih dari satu sentimeter kedalamannya. Operasi juga dipertimbangkan bila

pergeseran garis tengah serta massa ekstra aksial yang kurang dari 5 mm namun

mengalami perburukan atau sisterna basal terkompres. Operasi tidak dilakukan

bila telah terjadi mati batang otak.29

Tehnik Operasi

1. Kraniotomi atau Trepanasi

Trepanasi / kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang

bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Secara sementara

membuat bone flap dan disingkirkan dari kepala supaya bias dilakukan

pengeluaran dari bekuan darah SDH atau EDH.Bone flap didapat dengan

mengebor empat titik pada cranium dan membuat garis linear yang

menghubungkan empat titik tersebut sehingga terbentuk bone flap.

2. Burrhole

Page 36: Cedera Kepala PRINT

33

Tindakan pembedahan yang ditujukan langsung pada tempat lesi atau tempat

adanya bekuan darah EDH dan mengeluarkan bekuan darah tersebut dengan

hanya membuat satu lubang pada tempat lesi.

2.7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi bila cedera kepala merupakan cedera yang berat

atau cedera ringan/sedang yang tidak tertangani maka dapat terjadi26:

- Gangguan neurologik, cedera saraf otak dapat berupa anosmia, gangguan

visus, strabismus, gangguan pendengaran atau keseimbangan, disarti hingga

hemiparesis.

- Sindrom pascatrauma, biasanya pada cedera kepala ringan, atau pingsan

yang tidak lebih dari 20 menit. Keluhan dapat berupa nyeri kepala, kepala

terasa berat, mudah lupa, daya konsentrasi menurun, dan lain-lain.

- Ensefalopati pascatrauma, gambaran klinis tampak sebagai demensia,

penurnan kesiagaan, dan yang lainnya.

- Epilepsi pascatrauma, biasanya terjadi karena cedera koortikal

- Koma,penderita dengan trauma kepala berat dapat berakhir dengan keadaan

korteks serebrum tidak berfungsi lagi semua rangsangan dari luar dapat

diterima namun tidak disadari. Penderita biasanya dalam keadaan tutup

mata dan terdapat siklus banngun tidur. Penderita dapat bersuara, gerakan

ototnya lemah atau tidak ada sama sekali.

- Mati otak, pada keadaan mati otah selain henti napas, semua refleks batang

otak tidak dapat ditimbulkan, seperti refleks, pupil, kornea, refleks muntah

dan batuk.

2.8. Prognosis

Prognosis ditetapkan berdasarkan keadaan kesadaran pada saat pasien masuk

semua penderita mendapat terapi agresif menurut konsultasi dari ahli bedah saraf.

Terutama pada anak-anak yang mempunyai daya pemulihan yang baik. Penderita

usia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebi rendah untuk pemulihan

Page 37: Cedera Kepala PRINT

34

dari cedera kepala. Pasien dengan GCS yang rendah pada 6-24 jam setelah

trauma, prognosisnya lebih buruk daripada pasien dengan GCS 15.26,28,29

Page 38: Cedera Kepala PRINT

35

BAB 3

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien : P, Pria, umur 61 tahun, TB =165 BB = 60 kg

Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran

Telaah : Hal ini sudah dialami pasien sejak ± 3 jam sebelum masuk

Rumah Sakit akibat kecelakaan lalu lintas, pasien sedang mengendarai sepeda

motor kemudian ditabrak oleh sepeda motor lainnya dengan mekanisme trauma

tidak jelas. Riwayat pingsan (+), muntah menyembur (+), riwayat kejang (-)

RPT : -

RPO : Tidak jelas

P rimary Survey

A : Airway: Clear; Snoring: (-); Gargling: (-); Crowing: (-); C-Spine:

curiga fraktur servikal, inline immobilisation

B : RR: 24 x/i; SP: Vesikuler; ST: -; SpO2 : 90%; Riwayat sesak (-);

Asma (-); Pneumohematotoraks (-)

C : Akral: H/M/K; Pulse: (+), reguler, t/v: kuat/cukup, frekuensi: 82 x/i;

TD: 130/80 mmHg; shock: (-)

D : Sens: GCS 11 (E2V4M5); pupil bulat anisokor: Ø: ki 5 mm / ka 3

mm; RC +/+

E : Trauma di kepala, Fraktur (-), edema (-), Temp: 36,00C

Secondary Survey

B1 : Airway: Clear; RR: 24 x/i; SP: Vesikuler; ST: (-); SpO2: 90%;

Riwayat sesak: (-); asma (-); pneumohematotoraks (-)

B2 : Akral: H/M/K; Pulse: (+), reguler, t/v: kuat/cukup, frekuensi: 82 x/i;

TD: 130/80 mmHg; Temp: 36,00C

Page 39: Cedera Kepala PRINT

36

B3 : Sens: GCS 11 (E2V4M5); pupil bulat anisokor: Ø: ki 5 mm / ka 3

mm; RC +/+; Bloody Rinorhoe (-), Bloody Otorrhoe (-), Battle sign

(-).

B4 : UOP (-), vol : -, warna : -

B5 : Abdomen soepel, peristaltik (+), mual (-), muntah (-), NGT (-)

B6 : Edema (-) , Fraktur (-)

Penanganan di IGD

PrimarySurvey

Gejala Kesimpulan Tindakan Evaluasi

A Snoring: (-), Gargling: (-), Crowing: (-)

Airway: clear

B RR: 24 x/iSP/ST: vesikuler/-SpO2: 90%

Kurang O2 nasal kanul 3 l/i

Sesak berkurangRR 20 x/i

C Akral: H/M/KPulse: (+), reg, t/v kuat/cukup, frek 82 x/iTD 130/80 mmHg

Hemodinamik relatif stabil

- IV line 18 G dan three way

- Cek lab DR, elektrolit, RFT, HST, KGD ad rdm

- Inj. Ketorolac 30 mg

- Inj. Ranitidine 50 mg

- Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 8 jam

D Sens: GCS 11 (E2V4M5), pupil anisokor ki 5mm/ ka 3mmRC: +/+

Penurunan kesadaran ec head injury

- Head CT-scan- Head up 30o

- Manitol Loading 300 cc setelah Head CT-scan menunjukkan kelainan

Mengurangi TIK

Page 40: Cedera Kepala PRINT

37

- Informed consent untuk operasi

Laboratory Finding :

Test (14-4-2013) Results Normal Value

Darah Lengkap

Hemoglobin (Hb) 9.20 g % 13.2 – 17.4 g %

Leukocyte (WBC) 18.29 x 103/mm3 4.5 – 11.0 x103/mm3

Hematocrite 26.50 % 43 - 49 %

Trombocyte (PLT) 186 x 103/mm3 150 – 450 x103/mm3

Laboratory Findings:

Parameters Value Normal Value

KGD ad random 113.20 mg/dl < 200 mg/dl

Ureum 42.00 mg/dl < 50 mg/dl

Creatinin 2.33 mg/dl 0,7- 1,2 mg/dl

Natrium (Na) 133 mEq/L 135 – 155

Kalium (K) 4.9 mEq/L 3,6 – 5,5

Chloride (Cl) 108 mEq/L 96 – 106

pH 7.364 7.35 – 7.45

pCO2 39.1 mmHg 38 – 42 mmHg

pO2 169,2mmHg 85 – 100 mmHg

HCO3 21.8 mmol/L 22 – 26 mmol/L

Total CO2 23.0 mmol/L 19 – 25

Base Excess -3.3 mmol/L (-2) – (+2)

Saturasi O2 99.4 % 95 – 100%

Page 41: Cedera Kepala PRINT

38

Foto Thorax

Page 42: Cedera Kepala PRINT

39

Foto CT Scan

Kesan foto : Perdarahan parenkimal di lobus frontalis kiri dengan edema

yang

mendesak ventrikel lateralis kiri.

Diagnosa : HI GCS 11 + ICH o/t (L) Frontal

Page 43: Cedera Kepala PRINT

40

Tindakan : Craniectomy Dekompresi , PS ASA : 2E, Anestesi dengan GA-ETT,

Posisi Supine.

Pre-Op

-ACC untuk tindakan Anestesi pasien, persiapkan :

SIA (Surat Izin Anestesi)

Puasa 8 jam sebelum operasi

Pasang IV line di tangan kiri + three way + Transfusi set + IVFD R-sol 30

gtt/I dan pastikan lancar.

Oral dan Personal higine

Anjuran : Persiapan minimal 2 kantong WB,untuk persiapan transfuse

durante op.

Post Op

B1 : Airway : Unclear, SP : Snoring, ST (-), Terpasang Guddle (+)

B2 : Akral : H/M/K, TD 140/70 mmHg, HR 65 x/i,reguler, T/V :

kuat/cukup

B3 : Sens : DPO , pupil isokor, RC +/+.

B4 : UOP (+), vol : 100cc ml/jam, warna putih.

B5 : Abdomen soepel, peristaltik (+)

B6 : Edema (-), Luka operasi tertutup verban di kepala

A : Post Op Crainektomy Dekompresi

Terapi Post op di Pasca Bedah

P : -Bed Rest & Head Up 30%

-O2 8lt/menit via face mask Non-Rebreathing

-IVFD R-Sol 30 gtt/menit

-Diet SV 1500 kkal/hari + 60gr protein /hari

-Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam/IV

Page 44: Cedera Kepala PRINT

41

-Inj. Ketoroac 30mg/8jam

-Inj. Ranitidine 50mg/8jam/IV

-Inj. Fentanyl 200 mg / 50 ml dlm NaCl 0,9%, 5cc/jam.

-Cek Lab : DL, KGD Ad R, HST, RFT, LFT, Elektrolit, Albumin,

AGDA, As.Laktat.

-Jika Hb <10 Transfusi 1 bag PRC.

Page 45: Cedera Kepala PRINT

42

DAFTAR PUSTAKA

1. Olson DA. Head Injury. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1163653-overview#showall.

[Accessed April 17 2013].

2. Japardi I. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Available from:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1976/1/bedah-iskandar

%20japardi61.pdf. [Accessed 17 April 2013].

3. Langlois JA, Rutland-Brown W, Wald MM. 2006. The Epidemiology and

Impact of Traumatic Brain Injury. J Head Trauma Rebabil 21(5): 375-8.

4. Chin LS, Aldrich EF, DiPatri AJ, Eisenberg HM. Neurosurgery. In :

Sabiston Textbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical

Practice 17th edition. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox

KL. editors. Elsevier. Philadelphia. 2004. p. 2152-54

5. University of Florida. Traumatic Brain Injury. Available from:

http://neurosurgery.ufl.edu/patient-care/diseases-conditions/traumatic-

brain-injury/. [Accessed April 16 2013].

6. Langlois JA, Rutland-Brown W, Thomas KE. Traumatic Brain Injury in

the United States: Emergency Department Visits,Hospitalizations, and

Deaths. Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention, National

Center for Injury Prevention and Control; 2004.

7. Faul M, Xu L, Wald MM, Coronado VG. Traumatic brain injury in the

United States: emergency department visits, hospitalizations, and deaths.

Atlanta (GA): Centers for Disease Control and Prevention, National

Center for Injury Prevention and Control; 2010.

8. Akbar M. 2007. Neuroprotectan in Head Trauma: Aspek Gawat Darurat,

Hassanuddin University. Available:

http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/medhas/06_emerg

ency_Neuro%20Sistem%20Trauma%20Emergensi%202008.pdf.

[Accessed 22 April 2010].

Page 46: Cedera Kepala PRINT

43

9. Veni K. 2011. Gambaran Penderita Trauma Kepala di Unit Gawat Darurat

Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2009. Available from:

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/25734. [Accessed April 16

2013].

10. Ray SK, Dixon Ce, Banik NL. Molecular Mechanisms in The

Pathogenesis of Traumatic Brain Injury. Available from:

http://www.hh.um.es/Abstracts/Vol_17/17_4/17_4_1137.htm. [Accessed

April 17 2013].

11. Branch K, Hallingstad DA, Murphy MJ, Strauch G. Pathophysiology

Concepts of Altered Health States. Book D, Gunta KE, Carroll EW, et al

(eds). Brain Injury. United States: Lippincott; 672-677.

12. Werner C, Engelhard K. Pathophysiology of Traumatic Brain Injury. Br J

Anaesth 99 (1): 4-9.

13. Ray SK, Dixon CE, Banik NL. 2002. Molecular Mechanisms in The

Pathogenesis of Traumatic Brain Injury. Histol Histopathol 17: 1137-1152.

14. Lycette CA, Doberstein C, Rodts GE, McBride DQ. Neurosurgical Critical

Care. In : Current Critical Care Diagnosis & Treatment Second Edition.

Bongard FS, Sue DY. editors. The McGraw-Hill Companies. New York :

2003. p. 730-34.

15. Chin LS, Aldrich EF, DiPatri AJ, Eisenberg HM. Neurosurgery. In :

Sabiston Textbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical

Practice 17th edition. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox

KL. editors. Elsevier. Philadelphia. 2004. p. 2152-54.

16. Cohen SM, Marion DW. Traumatic Brain Injury. In : Textbook of Critical

Care Fifth Edition. Fink MP, Abraham E, Vincent J, Kochanek PM.

editors. Elsevier Inc. Philadelphia. 2005. 377-81.

17. Newton E. Head Trauma. In : Emergency Medicine Secrets Fourth

Edition. Markovchick VJ, Pons PT. editors. Mosby, Inc. Philadelphia.

2006. p. 592-95.;

18. Henry MC, Stapleton ER. EMT Prehospital Care Revised Third Edition.

Mosby, Inc. St. Louis. 2007. p. 678-81.)

Page 47: Cedera Kepala PRINT

44

19. Vender JR, Flannery AM. Head Injury. In : Critical Care Medicine

Principles of Diagnosis and Management in the Adult Second Edition.

Parrillo JE, Dellinger RP. editors. Mosby, Inc. St. Louis. 2002. p. 1330-

35.;

20. Boss BJ. Alterations of Neurologic Function. In : Understanding

Pathophysiology 3rd edition. Huether SE, McCance KL. editors. Mosby,

Inc. St. Louis. 2004. p. 392-95

21. Adams GA, Garland AM, Shatney CH, Sherck JP, Wren SM. Surgery

Clerkship Guide. Mosby, Inc. St. Louis. 2003. p. 525-29

22. Porth CM, Gaspard KJ. Essential of Pathophysiology. Liipincott Williams

& Wilkins. Philadelphia. 2004. p. 668-75.

23. Moulton RJ, Pitts LH. Head Injury and Intracranial Hypertension. In :

Principles of Critical Care Third Edition. Hall JB, Schmidt GA, Wood

LDH. editors. The McGraw-Hill Companies. New York : 2005. p. 1395-

1400.

24. Banasik JL. Acute Disorders of Brain Function. In : Pathophysiology

Third Edition. Copstead LC, Banasik JL. editors. Elsevier Inc. St. Louis.

2005. p. 1095-99.

25. Sjamsuhidajat, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran

EGC. Jakarta.2005

26. Schwartz, dkk. 2000. Intisari Prinsp-Prinsip Ilmu Bedah. Penerbit Buku

Kedokteran Jakarta: EGC.

27. Denise LM. Brain Contusion Imaging. Updated:

http://emedicine.medscape.com/article/337782. [Accessed April 13, 2013].

28. ATLS, advanced trauma life support, edisi 7

29. Konsensus Nasional. 2006. Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma

Spinal. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta.