cdk-193 vol39 no5 th2012 ok - kalbemed.com encephalitis.pdf · singapura, dan indonesia...

2
349 CDK-193/ vol. 39 no. 5, th. 2012 TINJAUAN PUSTAKA PENDAHULUAN Japanese encephalitis merupakan penyakit akut yang ditularkan melalui nyamuk terinfek- si. Virus Japanese encephalitis termasuk famili Flavivirus. Penyakit ini pertama dikenal pada tahun 1871 di Jepang; diketahui menginfeksi sekitar 6000 orang pada tahun 1924, kemudi- an terjadi KLB besar pada tahun 1935; hampir setiap tahun terjadi KLB dari tahun 1946-1950. Virus Japanese encephalitis pertama diisolasi pada tahun 1934 dari jaringan otak penderita ensefalitis yang meninggal. Penyakit ini endemik di daerah Asia, mulai dari Jepang, Filipina, Taiwan, Korea, China, Indo- China, Thailand, Malaysia, sampai ke Indone- sia serta India. Diperkirakan ada 35.000 kasus Japanese encephalitis di Asia setiap tahun. Angka kematian berkisar 20-30%. Anak usia 1-15 tahun paling sering terinfeksi. Di Indone- sia, penelitian penyakit Japanese encephalitis sudah dilakukan sejak 1975, menunjukkan seroprevalensi sebesar 10-75%. 1,2,3 Penyebaran penyakit ini tergantung musim, terutama pada musim hujan saat populasi nyamuk Culex meningkat, kecuali di Malaysia, Singapura, dan Indonesia (diperkirakan spo- radik, terutama di daerah pertanian). Di Indonesia, terdapat sekitar 19 jenis nyamuk yang dapat menularkan penyakit ini; paling sering adalah Culex tritaeniorhynchus, yang banyak dijumpai di daerah persawahan, rawa- rawa, dan genangan air. Babi dan unggas yang hidup di air, seperti bangau, merupakan hewan utama reservoir virus ini. Nyamuk Culex tritaeniorhynchus terdiri dari berbagai jenis, dapat menularkan baik ke manusia maupun ke hewan peliharaan lainnya. Di Indonesia virus Japanese encephalitis perta- ma diisolasi dari nyamuk pada tahun 1972, di daerah Bekasi. Survai di rumah sakit Sanglah Bali pada tahun 1990-1992 atas 47 kasus en- sefalitis menemukan 19 kasus serologi positif terhadap Japanese encephalitis. Survei sama pada 2001-2002 atas 262 kasus ensefalitis me- nemukan 112 kasus (42,75%) positif dengan angka kematian (mortality rate) 16% dan ang- ka kecacatan (sequelae rate) 53,12%. 4 Laporan dari rumah sakit yang sama (1997) atas 12 pasien dengan diagnosis ensefalitis didapat 2 kasus positif Japanese encephalitis. 5,6 Penyakit ini dapat dicegah dengan vaksinasi; beberapa negara seperti Thailand sudah me- masukkan imunisasi Japanese encephalitis ke dalam program rutin—kasus ensefalitis turun bermakna dari 14,7 per 100.000 penduduk menjadi 1 per 100.000 penduduk. 2 Beberapa daerah di Indonesia menunjukkan sekitar 11-67% seropositif (1993-2000). Peme- riksaan menggunakan uji HI (Hemaglutination Inhibition) dan uji ELISA. Pada hewan, penyakit ini dapat menimbulkan abortus, meninggal, atau tanpa gejala. Hewan yang dapat terinfeksi penyakit ini meliputi ter- nak lembu, sapi, ayam, bebek dan kambing, dan vertebrata lainnya, termasuk ular, kodok, tikus, dan kelalawar. Burung merupakan he- wan penting dalam penyebaran penyakit ini. Virus dapat bereplikasi di dalam darah hewan tanpa menimbulkan penyakit serius, yang memungkinkan siklus penularan. Manusia dan kuda merupakan dead-end host, artinya tidak terjadi penularan dari manusia atau kuda ke manusia atau hewan lain melalui gigitan nyamuk. 2 Penyakit Japanese encephalitis pada manu- sia dapat menimbulkan gejala ringan seperti demam flu biasa sampai berat, bahkan kema- tian. Pada kasus berat, dapat meninggalkan gejala sisa (40-75%), termasuk kelumpuhan dan keterbelakangan mental/penurunan in- teligensia. Karena virus Japanese encephalitis termasuk famili flavivirus yang sama dengan virus den- gue, harus dilakukan juga uji terhadap virus dengue. Japanese Encephalitis Masri Sembiring Maha Bagian Biomedis dan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta,Indonesia GEJALA KLINIS 1,7 Masa inkubasi bervariasi antara 4 sampai 14 hari. Perkembangan gejala terbagi atas 4 stadium: prodromal (2-3 hari), fase akut (3-4 hari), fase subakut (7-10 hari), fase penyembuhan/ convalescence (4-7minggu). Pada kasus fatal, pasien dapat koma dan meninggal. Gejala biasanya datang tiba-tiba, seperti nyeri kepala, gangguan pernapasan, penurunan nafsu makan, mual, sakit perut, muntah, ke- lainan saraf, termasuk gangguan jiwa. Gejala kerusakan otak sehubungan dengan infeksi dapat berupa: kejang dan/atau perge- rakan abnormal, pergerakan bola mata yang tidak simetris, refleks kornea negatif, per- napasan tidak teratur. Demam tidak terlalu tinggi disertai gangguan pernapasan mung- kin merupakan gejala klinis Japanese enceph- alitis . Kejang dialami oleh 10-24 % penderita anak; lebih sedikit pada dewasa. Gejala pening- katan tekanan intrakranial mencakup nyeri kepala hebat, muntah, pupil tidak reaktif ter- hadap cahaya, hemiplegia, bradikardia, dan hipertensi. Pada fase ini, biasanya pemerik- saan cairan otak menunjukkan peningkatan leukosit. Beberapa hari kemudian, tampak limfosit dominan. Albuminuria sering di- temukan. Pemeriksaan fisik a. Kelainan neurologik biasanya bervariasi. b. Kelemahan menyeluruh, tonus otot meningkat, dan peningkatan refleks (ter- masuk refleks patologis) sering ditemu- kan, diikuti hiporefleksia. c. Papiledema ditemukan pada sekitar 10% pasien dan pada 33% pasien, ditemukan tanda saraf kranial (seperti mata juling). d. Tanda ekstrapiramidal sering ditemukan, termasuk wajah seperti topeng, tremor, kaku, dan gerakan gerakan tidak lazim. CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 349 CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 349 6/5/2012 11:02:06 AM 6/5/2012 11:02:06 AM

Upload: lythien

Post on 06-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: CDK-193 vol39 no5 th2012 ok - kalbemed.com Encephalitis.pdf · Singapura, dan Indonesia (diperkirakan spo-radik, ... termasuk ular, kodok, tikus, ... ke manusia atau hewan lain melalui

349CDK-193/ vol. 39 no. 5, th. 2012

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUANJapanese encephalitis merupakan penyakit akut yang ditularkan melalui nyamuk terinfek-si. Virus Japanese encephalitis termasuk famili Flavivirus. Penyakit ini pertama dikenal pada tahun 1871 di Jepang; diketahui menginfeksi sekitar 6000 orang pada tahun 1924, kemudi-an terjadi KLB besar pada tahun 1935; hampir setiap tahun terjadi KLB dari tahun 1946-1950. Virus Japanese encephalitis pertama diisolasi pada tahun 1934 dari jaringan otak penderita ensefalitis yang meninggal.

Penyakit ini endemik di daerah Asia, mulai dari Jepang, Filipina, Taiwan, Korea, China, Indo-China, Thailand, Malaysia, sampai ke Indone-sia serta India. Diperkirakan ada 35.000 kasus Japanese encephalitis di Asia setiap tahun. Angka kematian berkisar 20-30%. Anak usia 1-15 tahun paling sering terinfeksi. Di Indone-sia, penelitian penyakit Japanese encephalitis sudah dilakukan sejak 1975, menunjukkan seroprevalensi sebesar 10-75%.1,2,3

Penyebaran penyakit ini tergantung musim, terutama pada musim hujan saat populasi nyamuk Culex meningkat, kecuali di Malaysia, Singapura, dan Indonesia (diperkirakan spo-radik, terutama di daerah pertanian).

Di Indonesia, terdapat sekitar 19 jenis nyamuk yang dapat menularkan penyakit ini; paling sering adalah Culex tritaeniorhynchus, yang banyak dijumpai di daerah persawahan, rawa-rawa, dan genangan air. Babi dan unggas yang hidup di air, seperti bangau, merupakan hewan utama reservoir virus ini. Nyamuk Culex tritaeniorhynchus terdiri dari berbagai jenis, dapat menularkan baik ke manusia maupun ke hewan peliharaan lainnya.

Di Indonesia virus Japanese encephalitis perta-ma diisolasi dari nyamuk pada tahun 1972, di daerah Bekasi. Survai di rumah sakit Sanglah Bali pada tahun 1990-1992 atas 47 kasus en-sefalitis menemukan 19 kasus serologi positif terhadap Japanese encephalitis. Survei sama

pada 2001-2002 atas 262 kasus ensefalitis me-nemukan 112 kasus (42,75%) positif dengan angka kematian (mortality rate) 16% dan ang-ka kecacatan (sequelae rate) 53,12%.4 Laporan dari rumah sakit yang sama (1997) atas 12 pasien dengan diagnosis ensefalitis didapat 2 kasus positif Japanese encephalitis.5,6

Penyakit ini dapat dicegah dengan vaksinasi; beberapa negara seperti Thailand sudah me-masukkan imunisasi Japanese encephalitis ke dalam program rutin—kasus ensefalitis turun bermakna dari 14,7 per 100.000 penduduk menjadi 1 per 100.000 penduduk.2

Beberapa daerah di Indonesia menunjukkan sekitar 11-67% seropositif (1993-2000). Peme-riksaan menggunakan uji HI (Hemaglutination Inhibition) dan uji ELISA.

Pada hewan, penyakit ini dapat menimbulkan abortus, meninggal, atau tanpa gejala. Hewan yang dapat terinfeksi penyakit ini meliputi ter-nak lembu, sapi, ayam, bebek dan kambing, dan vertebrata lainnya, termasuk ular, kodok, tikus, dan kelalawar. Burung merupakan he-wan penting dalam penyebaran penyakit ini. Virus dapat bereplikasi di dalam darah hewan tanpa menimbulkan penyakit serius, yang memungkinkan siklus penularan. Manusia dan kuda merupakan dead-end host, artinya tidak terjadi penularan dari manusia atau kuda ke manusia atau hewan lain melalui gigitan nyamuk.2

Penyakit Japanese encephalitis pada manu-sia dapat menimbulkan gejala ringan seperti demam fl u biasa sampai berat, bahkan kema-tian. Pada kasus berat, dapat meninggalkan gejala sisa (40-75%), termasuk kelumpuhan dan keterbelakangan mental/penurunan in-teligensia.

Karena virus Japanese encephalitis termasuk famili fl avivirus yang sama dengan virus den-gue, harus dilakukan juga uji terhadap virus dengue.

Japanese EncephalitisMasri Sembiring Maha

Bagian Biomedis dan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan KesehatanDepartemen Kesehatan RI, Jakarta,Indonesia

GEJALA KLINIS1,7

Masa inkubasi bervariasi antara 4 sampai 14 hari.

Perkembangan gejala terbagi atas 4 stadium: prodromal (2-3 hari), fase akut (3-4 hari), fase subakut (7-10 hari), fase penyembuhan/convalescence (4-7minggu). Pada kasus fatal, pasien dapat koma dan meninggal.

Gejala biasanya datang tiba-tiba, seperti nyeri kepala, gangguan pernapasan, penurunan nafsu makan, mual, sakit perut, muntah, ke-lainan saraf, termasuk gangguan jiwa.

Gejala kerusakan otak sehubungan dengan infeksi dapat berupa: kejang dan/atau perge-rakan abnormal, pergerakan bola mata yang tidak simetris, refl eks kornea negatif, per-napasan tidak teratur. Demam tidak terlalu tinggi disertai gangguan pernapasan mung-kin merupakan gejala klinis Japanese enceph-alitis .

Kejang dialami oleh 10-24 % penderita anak; lebih sedikit pada dewasa. Gejala pening-katan tekanan intrakranial mencakup nyeri kepala hebat, muntah, pupil tidak reaktif ter-hadap cahaya, hemiplegia, bradikardia, dan hipertensi. Pada fase ini, biasanya pemerik-saan cairan otak menunjukkan peningkatan leukosit. Beberapa hari kemudian, tampak limfosit dominan. Albuminuria sering di-temukan.

Pemeriksaan fi sika. Kelainan neurologik biasanya bervariasi.b. Kelemahan menyeluruh, tonus otot

meningkat, dan peningkatan refl eks (ter-masuk refl eks patologis) sering ditemu-kan, diikuti hiporefl eksia.

c. Papiledema ditemukan pada sekitar 10% pasien dan pada 33% pasien, ditemukan tanda saraf kranial (seperti mata juling).

d. Tanda ekstrapiramidal sering ditemukan, termasuk wajah seperti topeng, tremor, kaku, dan gerakan gerakan tidak lazim.

CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 349CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 349 6/5/2012 11:02:06 AM6/5/2012 11:02:06 AM

Page 2: CDK-193 vol39 no5 th2012 ok - kalbemed.com Encephalitis.pdf · Singapura, dan Indonesia (diperkirakan spo-radik, ... termasuk ular, kodok, tikus, ... ke manusia atau hewan lain melalui

CDK-193/ vol. 39 no. 5, th. 2012350

TINJAUAN PUSTAKA

Pemeriksaan laboratorium1,7

Fase akut: peningkatan leukosit, kemudian limfosit predominan di cairan otak.

Sering juga dijumpai albuminuria.

DIAGNOSIS1,2

Diagnosis pasti adalah ditemukannya virus dalam darah atau cairan spinal, tetapi isolasi virus sangat sulit pada manusia karena masa viremia yang mungkin pendek sekali sehing-ga saat pasien mengalami gejala, masa vire-mianya sudah berlalu.

Uji serologi: Uji HI (hemagglutination inhibi-tion) dan ELISA memerlukan serum akut dan konvalesen sehingga bisa dilihat kenaikan titer antibodi terhadap virus Japanese en-cephalitis.

PENANGANAN7

Tidak ada pengobatan spesifi k, hanya terapi simtomatis dan suportif:• pemeliharaan jalan napas,• pemberian oksigen walaupun tidak ada

tanda sianosis,• pemantauan sirkulasi darah,• pencegahan kelebihan cairan,• pemantauan gula darah (hiperglisemia

sering terjadi),• bila kejang, lakukan penanganan kejang

pada umumnya,• jika ada tanda-tanda peninggian tekanan

intrakranial, diperlukan manitol; jika me-mungkinkan, periksa cairan otak,

• pada pasien yang tidak sadar, perlu kate-ter urine,

• pencegahan dekubitus,• pencegahan kerusakan kornea, kurangi

rangsangan dari luar,• pemberian cairan dan suplemen (vitamin

dan mikronutrien),• pemberian antibiotik untuk infeksi se-

kunder,• pasien rawat lama atau sembuh dengan

defi sit neurologis membutuhkan fi siote-rapi dan rehabilitasi.

PENCEGAHAN7,8

Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi. Beberapa negara seperti Thailand, China, Ne-pal, India dan Jepang sudah memasukkan imunisasi Japanese encephalitis dalam salah satu program imunisasi rutin.

Imunisasi juga dianjurkan untuk orang yang bepergian ke daerah endemik Japanese en-cephalitis. Vaksin yang beredar saat ini ada-lah JE-Vax dari Jepang (Biken), Korea (Green Cross), dan SA-14-14-2 (China). Pemberian dengan subkutan. Vaksin SA-14-14-2 membe-rikan kabar baik karena cukup satu dosis dan memberikan respon antibodi 83-100% pada anak usia 6-7 tahun. Pada anak usia lebih tua dilakukan dua kali dengan selang 1-3 bulan, memberikan respon antibodi cukup tinggi

(94-100%). Selain vaksinasi terhadap manusia, vaksinasi hewan terutama untuk kuda dan ter-nak lainnya.

SIMPULAN1. Japanese encephalitis merupakan penya-

kit yang ditularkan oleh vektor nyamuk.2. Japanese encephalitis bisa bervariasi

keparahannya, dari ringan sampai fatal, atau sembuh dengan gejala sisa.

3. Hewan ternak peliharaan dapat menjadi reservoir penyakit Japanese encephalitis.

4. Japanese encephalitis dapat menyebab-kan kejadian luar biasa, terutama pada musim hujan.

5. Belum ada antivirus Japanese encephali-tis.

6. Vaksinasi merupakan pencegahan ter-baik.

SARAN1. Para klinisi hendaknya mempertimbang-

kan penyakit Japanese encephalitis seba-gai salah satu penyebab ensefalitis.

2. Pada demam tiba-tiba disertai peruba-han kesadaran perlu dicurigai Japanese encephalitis.

3. Di daerah endemis (serologi positif pada hewan), hendaknya dipertimbangkan imunisasi Japanese encephalitis.

4. Perlu survei yang melibatkan banyak ru-mah sakit untuk melihat daerah endemis penyakit Japanese encephalitis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bromm AK, Smith DW, et al. Arbovirus Infections. In: Cook GC, Zumla AI. Manson’s Tropical Diseases. 21st ed. Saunders:Philadelphia. 2003, pp. 725-95.

2. Endy TP, Nisalak A. Japanese Encephaltis Virus: Ecology and Epidemiology. Current Topic in Microbiology and Immunology 2002; 267:11-47.

3. Halstead SB, Jacobson J. Japanese Encephalitis. Advances in Virus Res. 61:103-38.

4. Depertemen Kesehatan RI. Direktorat P2M&L. Dipresentasikan dalam midterm review study JE di 6 Provinsi, 2005, Jakarta.

5. Dirjen P2MPL, Subdit Zoonosis, Depkes (1993/1994-2003). Laporan serosurvey Japanese Encephalitis.

6. Yoshida M, Igarashi A, et al. The fi rst report on human cases serologically diagnosed as Japanese encephalitis in Indonesia. The Southeast Asian J Trop Med Publ Health 1999;30(4): 698-

706.

7. Halstead SB. Arbovirus of the Pacifi c and Southeast Asia.. In Textbook of Pediatric Infectious Diseases., Feigin RD, Cherry JD. 2nd ed, Philadelphia : WB Saunders, 1987;pp. 1502-8.

8. http://www.Childrensvaccine.org/html/v_enceph_vac.htm

9. WHO: Immunization, Vaccines and Biologicals: Japanese Encephalitis, 2004.http://www.who.int/vaccines-diseases/diseases/je.shtml

CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 350CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 350 6/5/2012 11:02:06 AM6/5/2012 11:02:06 AM