catatan perjalanan welirang.pdf.pdf
DESCRIPTION
Uploaded from Google DocsTRANSCRIPT
WELIRANGselembar catatan ekspedisi
WELIRANG, SELEMBAR CATATAN EKSPEDISI Arif Ashari, Priyo Akuntomo, Fajrin Abdurrahman, Anwar Suyudi
© MPA MAHAMERU 2012 FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Kampus Karangmalang Sleman – Yogyakarta 55281
Tim Ekspedisi Welirang MPA Mahameru: 26 – 29 April 2012 Fajrin Etawa M-VI/002 (Ketua) Priyo Akuntomo M-LB/001/2011 Arie Carstensz M-I/002 Yudi Kromo M-VI/007
i
SAMBUTAN KETUA MPA MAHAMERU 2012
ii
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas terselesaikannya kegiatan MPA Mahameru Welirang
Expedition 2012, yang diikuti dengan terbitnya buku Welirang,
Selembar Catatan Ekspedisi. Buku ini merupakan kumpulan
tulisan anggota tim ekspedisi mengenai berbagai macam hal
yang dijumpai dan dialami selama ekspedisi, baik itu kondisi
lingkungan fisik, sosial masyarakat, situasi jalur pendakain di
lapangan, serta kisah-kisah seputar perjalanan di Gunung
Welirang.
Bagi kami di MPA Mahameru, kegiatan ekspedisi bermakna
lebih dari sekedar pendakian gunung biasa. Dalam ekspedisi
seluruh anggota tim mendapatkan tugas untuk “memotret”
berbagai situasi yang ada di gunung untuk kemudian
disampaikan kepada publik. Kami menyadari bahwa dalam
kegiatan outdoor banyak dijumpai berbagai hal yang menarik,
namun demikian tidak semua orang memiliki kesempatan yang
sama untuk berkegiatan di luar ruangan. Oleh karena itu
melalui kegiatan ekspedisi kami memiliki misi untuk membagi
pengalaman dan pengetahuan yang telah diperoleh dari
lapangan kepada publik.
MPA Mahameru Welirang Expedition 2012 telah dilaksanakan
tanggal 26-29 April 2009, dan oleh-olehnya kini berada di
tangan pembaca sekalian. Semoga tulisan kecil ini dapat
menambah wawasan dan memberikan inspirasi khususnya
kepada generasi muda untuk mengenal dan mencintai alam,
masyarakat, dan tanah air kita Indonesia. Pembentukan
karakter dan semangat patriotisme di kalangan generasi muda
merupakan bagian penting dalam mencapai keberhasilan
pembangunan, dan kegiatan ekspedisi pendakian gunung
merupakan salah satu upaya untuk menuju ke sana.
Yogyakarta, Agustus 2012
Toffan Hussein W (M-VI/003)
IT IS NOT THE MOUNTAIN WE CONQUER, BUT OURSELVES
iii
DAFTAR ISI
Para “summiteers” Puncak Welirang
Geomorfologi dan Geologi Gunung Welirang: Si Tua yang Masih Terus Ber-Evolusi
Catatan Utama: Sebuah Anugerah Bernama Welirang
Jalur Pendakian Gunung Welirang: Landai Namun Panjang
Sosial Ekonomi Masyarakat Gunung Welirang: Dari tambang Hingga Prostitusi
Mendaki Ke Atas Padang Belerang Epilog: Susah Senang Ekspedisi Panjang.....
Sambutan Ketua MPA Mahameru ..... i Pengantar: Gunung dan Kehidupan Manusia ..... 1
3 13 35
50 62 70 109
PENGANTAR
Banyak bangsa di dunia ini
yang memposisikan gunung
dalam kasta tertinggi diantara
banyak hal yang berkaitan
dengan kehidupannya. Gunung
sering dijadikan sebagai
perlambang kehidupan. Kisah-
kisah peradaban besar manusia
sering membawa serta gunung
pada kedudukan yang utama, dan
seakan-akan gunung merupakan
wajah sang alam yang menyertai
kehidupan manusia.
Ada pula yang begitu
menghormati gunung, sehingga
mengandaikan bahwa disitulah
tempat bersemayam para dewa
yang mengatur jagat kehidupan
manusia. Suatu ketika gunung
juga menimbulkan malapetaka,
namun demikian peristiwa itupun
seringkali dianggap sebagai
sesuatu yang lumrah. ‘gunung
sedang punya gawe’, setelah itu
kembali normal dan menjadi
sahabat bagi kehidupan manusia.
Seperti itulah gambaran mengenai gunung
yang diajarkan oleh nenek moyang. Kita patut
bersyukur karena ‘kita punya banyak’. Bagi kami
salah satu bentuk ungkapan syukur itu adalah
dengan mendatanginya, mengenalnya, sehingga
timbul rasa memiliki dan keinginan untuk
melestarikannya. “masih banyak gunung yang
belum kita datangi”, begitu yang terlintas dalam
pikiran kami. Salah satunya Gunung Arjuno dan
Welirang yang merupakan dua gunung tertinggi di
kompleks Arjuno-Welirang. Keinginan itu akhirnya
bisa kami wujudkan, walau baru satu puncak
yang berhasil kami tapaki. Puncak Welirang!
Gunung dan Kehidupan Manusia
Arie Carstensz, Priyo Akuntomo, Fajrin Etawa, & Yudi Kromo
1
Dalam perjalanan dari Surabaya menuju Pandaan (pagi hari, Jumat 27 April 2012)
Puncak Gunung Welirang nampak begitu gagah di kejauhan. Menjulang tinggi dengan
puncaknya yang mengepulkan asap tebal. Ke arah selatan ada tiga puncak lain yang
berderet sejajar, sama-sama muncul dari balik kabut disirami cahaya matahari pagi, Puncak
Kembar I, Puncak Kembar II, dan Puncak Arjuno. Ada satu gunung berbentuk kerucut
sempurna yang paling awal menyambut kedatangan kami, Gunung Penanggungan, gunung
yang memiliki banyak benda peninggalan Majapahit dan menurut cerita legenda adalah
Puncak Semeru yang jatuh ke bawah. Di belakangnya berdiri puncak yang lebih tinggi, itulah
Welirang, gunung yang menghidupi banyak manusia dengan tambang belerangnya, dengan
kekayaan alamnya, dan dengan keindahan panoramanya.
(Jujur saja) awalnya Puncak Welirang (3156 mdpal) bukan merupakan target utama
ekspedisi ini. Di kompleks Gunungapi ini ada puncak yang lebih prestisius yaitu Puncak
Arjuno (3339 mdpal) yang terletak paling selatan dari empat puncak yang berdiri sejajar,
semuanya dengan ketinggian diatas 3.000 mdpal. Target awal adalah ke Puncak Welirang,
kemudian dilanjutkan ke Puncak Arjuno melalui jalur yang menyisir tepian Puncak Kembar I
dan Kembar II. Namun tentu saja ekspedisi bukan sekedar ambisi. Selain perencanaan dan
persiapan yang matang pelaksanaannya juga harus sebaik-baiknya dengan memperhatikan
banyak faktor. Kondisi cuaca yang kurang baik serta kondisi fisik anggota tim yang kurang
memadai membuat target ekspedisi harus dikurangi, dan akan diselesaikan di kesempatan
yang akan datang. Selain pertimbangan keselamatan yang paling utama, tentu saja
pertimbangan biaya (yang biasanya sangat diperhatikan) mengingat ekspedisi ini tidak
termasuk kategori ekspedisi mahal.
Dari puncak welirang saja sudah banyak cerita yang bisa kami bagi kepada anda
para pembaca. Kisah perjalanan yang penuh semangat meskipun didera kelelahan, digertak
petir di suatu tempat yang kami sebut “tanjakan putus asa”, kesasar ke kawah aktif dengan
bau belerang yang sengak, bekas villa belanda di dekat puncak, pemandangan Puncak
Welirang yang putih dan berasap, berbincang dengan seorang penambang belerang, dan
masih banyak kisah lainnya. Selalu ada hikmah yang bisa dipetik dari setiap perjalanan
‘naik-naik ke puncak gunung’. Sepulang dari gunung Soe Hok Gie pernah berkata:
“Perjalanan yang melelahkan tetapi indah. Mereka telah melihat alam tanah airnya. Mereka
telah melihat rakyatnya. Dan yang paling penting… mereka telah mengenal Indonesia”.
2
SEBUAH ANUGERAH BERNAMA: WELIRANG
Catatan Utama
Sejauh yang diketahui oleh
manusia hingga saat ini, Bumi
merupakan satu-satunya planet di
alam semesta yang mampu
mendukung tatanan kehidupan
yang layak. Dengan kata lain
Bumi adalah satu-satunya planet
yang bisa dihuni. Di dalamnya
terdapat suatu sistem yang
teratur dengan komponennya
meliputi unsur abiotik, biotik, dan
budidaya manusia. Ketiga unsur
inilah yang saling mempengaruhi
satu sama lain dan membentuk
sistem kehidupan di Planet Bumi.
Gunung merupakan salah
satu diantara unsur abiotik.
Peranannya dalam mendukung
kehidupan sangat besar. Di
gunung terdapat berbagai macam
sumberdaya dan energi. Gunung
adalah anugerah dari Tuhan
untuk kehidupan. Sepanjang
kehidupan itu ada, maka peranan
gunung juga selalu ada untuk
menopangnya.
Manusia sebagai makhluk yang berakal pada
gilirannya akan mengelola unsur-unsur yang lain
dalam lingkungan (abiotik dan biotik) meskipun
manusia pada hakikatya merupakan ‘makhluk yang
lemah’ namun dengan akal dan budayanya
manusialah yang berperan sebagai pemimpin
dalam sistem lingkungan. Oleh karena itu baik
buruknya kondisi lingkungan akan sangat
tergantung dari bagaimana peranan manusia.
Gunung Welirang telah sejak lama menjadi
bagian dari sejarah peradaban manusia. Gunung
ini bagaikan anugerah yang diberikan tuhan untuk
kehidupan, sepanjang waktu tak terhitung manfaat
yang telah diperoleh dari keberadaannya. Gunung
tidak tunduk kepada manusia, dia mempunyai
sistem sendiri. Oleh karenanya manusia harus
memperhatikan betul untuk tidak ‘memaksakan
kehendak’. Bila tidak bijak dan meletakkan gunung
sebagai sahabat maka akan datanglah bencana.
Sebuah anugerah bernama: Welirang Arie Carstensz, Priyo Akuntomo, Fajrin Etawa, & Yudi Kromo
4
Gunung Welirang (3156 mdpal) sebenarnya merupakan salah satu puncak dari
empat puncak yang berderet pada suatu garis lurus arah tenggara – barat daya (lebih tepat:
selatan tenggara – utara baratdaya). Keempat puncak itu adalah Welirang, Kembar I,
Kembar II, dan Arjuno. Di kalangan awam dan pendaki gunung hanya dikenal Gunung
Arjuno (3339 mdpal) dan Gunung Welirang (3156 mdpal), seolah ada dua gunung yang
berdiri berdampingan dan saling berhimpitan. Secara geomorfologi penjelasannya lebih
rumit, namun menarik karena selain menunjukkan kedudukan masing-masing puncak
tersebut juga membawa kita menelusuri awal mula pembentukannya (genetiknya). Welirang
juga termasuk dalam sepuluh puncak tertinggi di Pulau Jawa, diantara puncak-puncak
lainnya yaitu: Mahameru (3676 mdpal), Slamet (3428 mdpal), Sumbing (3371 mdpal), Arjuno
(3339 mdpal), Raung (3332 mdpal), Lawu (3265 mdpal), Welirang (3156 mdpal), Sindoro
(3153 mdpal), Merbabu (3142 mdpal), dan Argopuro (3088 mdpal). Karena kedudukannya
yang berada berhimpitan membentuk satu gunung dengan Gunung Arjuno, maka Gunung
Welirang bersama dengan Gunung Arjuno lebih dikenal sebagai Gunung Arjuno-Welirang.
Secara Administratif Gunung Arjuno-Welirang terletak di wilayah tiga Kabupaten
yaitu Kabupaten Malang, Kabupaten Mojokerto, dan Kabupaten Pasuruan. Gunung ini
termasuk dalam tipe gunungapi strato. Letaknya yang berada di antara kota-kota utama
Jawa Timur yaitu Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Malang, dan Mojokerto membuat
kedudukan gunung ini sangat penting, terutama dalam kaitannya dengan fungsi hidrologis
dan klimatologis. Daya dukung sumberdaya dari gunung ini berperan besar dalam
menopang tata kehidupan di kota-kota tersebut.
Wilayah Jawa Timur: Gunung Arjuno-Welirang berada dalam lingkaran merah Sumber: DEM SRTM
Welirang adalah gunungapi yang aktif, namun aktivitasnya relatif normal. Sangat
sedikit informasi mengenai rekam jejak letusan yang pernah terjadi di gunung ini. Neumann
van Padang dalam bukunya ‘History of volcanology in the East Indies’1 tidak mencantumkan
Welirang sebagai salah satu gunungapi yang meletus setelah abad 19, hanya saja letusan
Arjuno pada masa lalu mungkin pernah diceritakan secara turun-temurun melalui cerita
rakyat. Demikian pula dengan van Bemmelen yang tidak mencantumkan letusan terakhir
Arjuno-Welirang diantara 129 gunungapi aktif yang ada dalam catatannya2
Sumberdaya alam yang diberikan oleh Gunung Arjuno-Welirang tidak hanya itu saja.
Keindahan panorama alam di gunung ini telah mendorong berkembangnya beberapa
daerah tujuan wisata antara lain (1) Tretes, Kabupaten Pasuruan, dengan obyek wisata air
terjun kakek bodo; (2) Padusan, Pacet, Kabupaten Mojokerto, dengan obyek wisata
pemandian air panas, air terjun, dan perkemahan; (3) Sumber Brantas, Selekta, dan
Songoriti, di Batu, Kabupaten Malang dengan obyek wisata alam pegunungan dan sumber
air panas. Selain itu terdapat pula Taman Hutan Raya R. Soeryo, serta perkebunan teh di
Wonosari, Lawang, Kabupaten Malang. Di Puncak Welirang juga terdapat penambangan
belerang yang dilakukan masyarakat secara tradisional. Neumann van Padang (1983) juga
secara khusus menyinggung mengenai penambangan ini dalam tulisannya. Nampaknya
manfaat yang diberikan oleh Gunung Arjuno-Welirang telah cukup lama dinikmati oleh
masyarakat yang mendiami kaki lerengnya. Adanya petilasan-petilasan ziarah di Gunung
Arjuno sekali lagi menunjukkan kedekatan kehidupan manusia dengan gunung ini dari sisi
spiritual. Manusia memandang gunung sebagai anugerah yang harus dijaga dan dihormati.
. Di satu sisi
bahaya akibat letusan gunungapi sangat kecil, disisi lain sumberdaya yang dimiliki sangat
besar. Hal ini seakan menjadikan Welirang sebagai anugerah dari Tuhan bagi masyarakat
yang bermukim di sekitar Welirang.
Dalam ekspedisi ini baik ketika berangkat maupun pulang kami melintasi jalur yang
sama, yaitu Jalur Tretes di Kabupaten Pasuruan yang terletak di lereng utara Arjuno-
Welirang. Dapat dikatakan jalur ini sangat kaya akan air, bahkan di beberapa tempat yang
digunakan sebagai pos pendakian terdapat sumberdaya air dengan debit cukup besar.
Keberadaan sumberdaya air yang cukup besar ini sangat penting artinya untuk mendukung
kehidupan di bawahnya, termasuk daerah Sidoarjo yang saat ini telah berkembang sebagai
kawasan industri. Di Pandaan, sebuah kota kecil yang berada di kaki sebelah utara Gunung
Welirang terdapat pabrik air mineral. Sumber airnya tentu saja dari Gunung Welirang dan
Gunung Penanggungan sebagai daerah tangkapan air yang memasok sumberdaya air
untuk daerah tersebut.
1 Neumann van Padang, M. 1983. History of the volcanology in the former Netherlands East Indies, Scripta Geologica 71. 2 Van Bemmelen, R. W.1949. The Geology of Indonesia, Vol IA General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes. The Haque: Government Printing Office. 6
Sebagai salah satu gunung yang berada dalam kompleks Gunung Arjuno, Gunung
Welirang telah sejak lama menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia di wilayah ini.
Meskipun gaung kisah peradaban manusia yang menyebut nama Welirang tidak legendaris
seperti Arjuno atau Penanggungan, namun hampir pasti bahwa kehidupan manusia di
sekitarnya tidak terlepas dari hubungan timbal balik dengan Welirang. Atau setidaknya
Welirang berperan sebagai abdi, yang memberikan berbagai sumberdaya bagi kehidupan,
sekalipun dalam berbagai kisah yang dituturkan nampaknya manusia tidak terlalu banyak
bercengkerama dengan Welirang seperti halnya dengan Arjuno atau Penanggungan.
Gunung Arjuno (Puncak Arjuno), ‘saudara tuanya’ yang berdiri paling selatan
merupakan gunung yang dikenal sangat mistik di kompleks gunung Arjuno-Welirang.
Berbagai kisah yang dipercaya turun temurun telah mendorong sebagian manusia untuk
memposisikan Gunung Arjuno pada kedudukan yang penting dalam kehidupannya. Hingga
saat ini beberapa tempat di Gunung Arjuno masih banyak diziarahi. Beberapa tempat
tersebut antara lain Petilasan Eyang Sakri, Petilasan Eyang Sekutrem, Petilasan Eyang
Semar, dan sebagainya.
Gunung Penanggungan (1659 mdpal), yang lebih rendah di sebelah timurnya sangat
dekat dengan peradaban manusia. Di gunung ini terdapat bangunan ritual kuno, yang
diperkirakan telah ada sejak masa Hindu-Buddha abad X hingga XVI. Beberapa diantaranya
berupa goa-goa alam yang diperkirakan digunakan sebagai tempat goa pertapaan,
tumpukan bebatuan yang merupakan candi atau altar persajian (punden berundak) kepada
arwah nenek moyang atau penyembahan dewa-dewa.
Pendakian Arjuno-Welirang melalui Jalur Tretes turut memberikan penghidupan bagi masyarakat sekitar yang berjualan makanan di pos pendakian
Gunung Penanggungan diibaratkan sebagai Gunung Mahameru di Jambhudwipa,
India. Puncak gunung ini menjadi tempat bersemayam para dewa, sehingga pada awalnya
disebut Gunung Pawitra. Nama Pawitra berubah menjadi Penanggungan, diperkirakan
terjadi pada sekitar abad XVI. Abad itu sebagai masa peralihan peradaban Hindu-Buddha di
Jawa ke peradaban Islam. Sesuai Babad Sangkala, ini terjadi akibat pasukan Kerajaan
Demak merebut kekuasaan di Majapahit (1525-1527). Dalam Kitab Tantu Panggelaran yang
menyebutkan awal kisah penamaan Gunung Pawitra. Di kitab itu ada disebutkan, "Yata
inadegaken dening watek dewata pucak sang hyang Mahameru. 'Ih Papwitra' ling ning
dewata kabeh; yata ring Pawitra ngaranya mangke pucak sang hyang Mahameru".
Ditafsirkan, "Kemudian didirikan puncak Mahameru oleh para dewa. 'Ih Pawitra,' ucap
semua dewa, dan begitulah nama selanjutnya dari puncak sang hyang Mahameru"3
Gunung Mahameru dipandang sebagai pusat alam semesta. Gunung Pawitra itu
menjadi puncak tertinggi yang akan menanggung atau menyangga kehidupan di Bumi ini.
Kecenderungan itulah yang dimauinya untuk mengartikan makna perubahan Gunung
Pawitra menjadi Gunung Penanggungan, karena gunung inilah yang mampu menanggung
atau menyangga kehidupan manusia di Bumi
.
4
.
Sejak awal peradaban manusia hingga sekarang gunung memang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Manusia pada setiap jaman mempunyai
caranya sendiri untuk hidup berdampingan dan mengelola berbagai sumber kehidupan yang
diberikan oleh gunung. Gunung Welirang dan gunung-gunung di sekitarnya bagaikan
anugerah yang diberikan tuhan untuk manusia, sepanjang waktu tak terhitung manfaat yang
telah diperoleh. Sayangnya masih banyak pihak yang tidak memahami kedudukan alam
dalam menyangga kehidupan, lantas menganggap bahwa manusia adalah super power
yang mempunyai kebebasan tanpa batas untuk mengeksploitasi alam. Gunung adalah
sahabat, mungkin juga abdi yang tulus, tapi bukan budak. Manusia yang memiliki mental
untuk menguasai alam memang terkadang tidak punya rasa menghargai.
3 Kompas, Senin 23 September 2002 4 Gunung Penanggungan 1659 mdpal, www.merbabu.com 12
SI TUA YANG MASIH TERUS BER-EVOLUSI Geomorfologi dan Geologi Gunung Welirang:
Geomorfologi dan Geologi Gunung Welirang
A.J. Pannekoek, seorang ahli
geomorfologi dalam bukunya
Outline of the Geomorphology of
Java1 menjelaskan mengenai
kondisi geomorfologi di Pulau
Jawa. Pulau Jawa yang luasnya
127.000 km2, memanjang dari
barat ke timur lebih kurang 1.000
km, memiliki sifat fisiografi yang
khas yang disebabkan oleh
beberapa keadaan antara lain
iklim tropis.
Pulau Jawa berbentuk
memanjang dan sempit, sebagai
akibat dari kedudukannya yang
berada dalam suatu geosinklinal
muda dan jalur orogenesa
dengan banyak vulkanisme yang
kuat. Pulau Jawa merupakan
bagian dari Sistem Pegunungan
Sunda yang memanjang dari
timur: Busur Banda – sepanjang
Kepulauan Sunda Kecil – Pulau
Jawa – Pulau Sumatera – Pulau
Andaman – Pulau Nikobar –
Arakan Yoma (di Myanmar).
Pulau Jawa terbagi menjadi tiga wilayah
fisiografi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur. Jawa Barat terletak dari ujung barat pulau
hingga garis yang menghubungkan Kota Cirebon
dengan Pangandaran. Bagian selatannya berupa
jalur pegunungan yang panjang dan lebar. Bagian
tengahnya berupa depresi yang ditumbuhi oleh
gunung berapi. Bagian utaranya berupa pelipatan
jalur peneplain, gunungapi, dan delta aluvial.
Jawa Tengah terletak dari garis yang
menghubungkan Kota Cirebon dengan
Pangandaran hingga garis yang menghubungkan
Kota Semarang dengan Parangtritis. Bagian
selatannya berupa sisa plateau yang sebagian
besar telah tertutup oleh dataran aluvial. Bagian
tengahnya berupa pegunungan. Bagian utaranya
berupa gunungapi, pegunungan struktural-
denudasional, serta dataran aluvial.
Jawa Timur terletak dari garis yang
menghubungkan Kota Semarang dengan
Parangtritis hingga ujung timur pulau. Bagian
selatannya berupa dataran tinggi (plateau). Bagian
tengahnya berupa kelompok pegunungan tinggi
(gunungapi). Sedangkan bagian utaranya berupa
pelipatan.
Si tua yang masih terus ber-evolusi Arie Carstensz
14
Gunung Arjuno-Welirang secara geomorfologi merupakan bagian dari Kelompok Arjuno yang terletak di Zona
Tengah Jawa Timur. Kompleks pegunungan (gunungapi) di Zona Tengah Jawa Timur berturut-turut dari barat ke timur
adalah: Kelompok Gunung Merbabu-Merapi, Kelompok Gunung Lawu, Kelompok Gunung Wilis, Kelompok Gunung
Arjuno, Kelompok Pegunungan Tengger, Kelompok Gunung Lamongan, Kelompok Pegunungan Iyang, dan Kelompok
Pegunungan Ijen.
Kelompok Gunung Arjuno terdiri dari beberapa gunung baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif.
Menurut Reinout Willem Van Bemmelen1 (seorang ahli geologi) beberapa gunung yang termasuk dalam Kelompok
Gunung Arjuno antara lain Kelud (1.731 mdpal), Kawi (2.651 mdpal), Butak (2.868 mdpal), Anjasmoro (2.282 mdpal),
Welirang (3.156 mdpal), dan Arjuno (3.339 mdpal). Diantara gunung-gunung tersebut terdapat lembah antar
gunungapi Malang yang berketinggian 445 mdpal.
Bagian yang paling tua dari kelompok ini adalah Gunungapi Anjasmoro yang telah
mengalami pengikisan menjadi puncak yang tidak teratur dan banyak terdapat igir-igir yang
berbelok menuju ke berbagai arah, berbagai kenampakan lubang kepundan dan bentuk-
bentuk kerucut asli telah lama hilang. Van Bemmelen menyebut gunung ini sebagai generasi
pertama. Sementara itu bersamaan dengan proses yang terjadi di Gunungapi Anjasmoro
terjadi pula pelipatan pada lapisan Jombang di Delta Brantas, dimana kemungkinan terdapat
saling hubungan antara kedua proses tersebut.
Generasi kedua adalah Gunungapi Arjuno tua. Bentuk kerucutnya masih tampak
meskipun tergali oleh parit-parit radial yang begitu kuat. Bentuk kerucut ini terpotong oleh
celah yang berbentuk bulan sabit, dimana bagian dalam dari celah ini menurun atau sudah
hilang. Pengendapannya mengalami gerak lipatan yang lemah di sepanjang kaki bagian
utara. gerak lipatan ini terjadi pada akhir Pleistosen atau Holosen. Bagian dari generasi
kedua lainnya adalah Gunungapi Kawi dan Gunungapi Kelud tua. Generasi ketiga atau tipe
yang paling muda adalah Gunungapi Arjuno muda yang tumbuh pada puncak Gunungapi
Arjuno tua. Generasi ketiga lainnya adalah Gunungapi Penanggungan dengan kerucut
parasiternya, Gunungapi Welirang, dan Gunungapi Kelud muda yang aktif. Gunung kelud
memiliki danau kawah yang pertama kali dicapai oleh ilmuwan eropa, Franz Willem
Junghuhn pada 16 September 1844. Gunung ini menurut Neumann Van Padang merupakan
Anggota Kelompok Arjuno yang aktif setelah tahun 1900.
Merbabu-Merapi
Lawu
Wilis
Arjuno
Tengger
Lamongan Iyang
Ijen
Wilayah Geomorfologi Zona Tengah Jawa Timur menurut A.J. Pannekoek (1949)
16
Di bagian timur laut kelompok Gunung Arjuno terdapat patahan yang mengarah
selatan tenggara – utara barat daya. Patahan biasanya berasosiasi dengan aktivitas
vulkanisme, karena adanya patahan akan menjadi celah sebagai jalur keluarnya magma
menuju ke permukaan bumi. Oleh karena itu di sepanjang patahan biasanya tumbuh
gunungapi-gunungapi yang membentuk rangkaian memanjang. Di bagian paling barat
wilayah geomorfologi Zona Tengah Jawa Timur juga terdapat patahan sesar opak dari
Samudera Hindia mengarah ke utara Pulau Jawa. Pada patahan ini tumbuh beberapa
gunungapi antara lain Merapi, Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran. Patahan lain di sebelah
baratnya berada pada kedudukan yang tegak lurus dengan patahan ini, yang kemudian
ditumbuhi Gunung Sumbing, Sindoro, dan kompleks Dieng. Oleh karena gunungapi tumbuh
di sepanjang bidang patahan itu sehingga banyak kita jumpai gunungapi-gunungapi di Pulau
Jawa yang kedudukannya nampak terletak pada suatu garis lurus.
Patahan di bagian timur laut kelompok Gunung Arjuno ini juga menunjukkan
keadaan yang serupa, yaitu tumbuhnya beberapa gunungapi menjadi satu rangkaian di
R
W YA
OA OA
AN
AN: Anjasmoro, OA: Arjuno tua, YA: Arjuno muda, W: Welirang, R: Gunung Ringgit yang sebagian ditutupi oleh pegunungan muda Atas: sketsa oleh A.J. Pannekoek
17
sepanjang bidang patahan. Akan tetapi karena patahannya relatif kecil maka jalur rangkaian
gunungapi yang terbentuk pendek dan wilayahnya relatif sempit. Akibatnya titik pusat erupsi
yang terbentuk nampak terhubung satu dengan lainnya (tidak terpisahkan kaki gunungnya).
Oleh karena itu sekilas hanya nampak sebagai satu gunung yang memiliki beberapa
puncak. Di sepanjang jalur patahan ini terdapat empat puncak utama yang memiliki
kepundan sebagai titik pusat erupsi baik yang masih aktif maupun tidak yaitu berturut-turut
dari selatan ke utara adalah Puncak Arjuno, Puncak Kembar II, Puncak Kembar I, dan
Puncak Welirang.
Puncak Arjuno berada di bagian paling selatan, berdiri diantara dua kaldera
berbentuk tapal kuda. Herman Th Verstappen (19945; 20006
Kondisi geomorfologi Puncak Welirang dan sekitarnya
) melakukan analisis mengenai
geomorfologi di sepanjang patahan komplek Arjuno-Welirang dengan mengunakan foto
udara. Menurut Verstappen (dan juga Pannekoek) Puncak Arjuno yang sekarang
merupakan Gunung Arjuno muda. Sedangkan Gunung Arjuno tua tinggal berupa sisa sisa
dengan dua kaldera, yaitu kaldera yang berada di selatan Puncak Arjuno berbentuk tapal
kuda membuka ke arah timur, dan yang berada di sebelah utara membuka ke arah utara.
Lebih lanjut menurut Verstappen, bentuklahan vulkanik yang berkembang di
sepanjang patahan Arjuno-Welirang sangat kompleks. Selain Puncak Arjuno yang berupa
lava dome diantara dua kaldera, terdapat pula beberapa patahan minor, serta pusat erupsi
berupa kawah yang lebih kecil. Di sebelah utara Puncak Arjuno terdapat Puncak Kembar II
yang kedudukannya berhimpitan dengan lava dome yang lebih rendah dibatasi oleh patahan
minor dengan arah tegak lurus patahan utama. Lereng Gunung Arjuno tua diliputi oleh
material debu vulkanik, sedangkan lereng Gunung Kembar II dan lava dome di sebelahnya
didominasi oleh material hasil longsor vulkanik. Gunung Kembar II di puncaknya terdapat
kawah yang masih aktif mengeluarkan solfatara.
Ke arah utara dari Gunung Kembar II terdapat Gunung Kembar I. Di kaki sebelah
selatan Gunung Kembar I terdapat kawah kecil. Puncak Kembar I juga mempunyai kawah
yang aktif yang ditunjukkan dengan keluarnya gas solfatara. Di sebelah utara Gunung
Kembar I terdapat lava dome yang cukup besar. Diantara kembar I dan lava dome tersebut
terdapat celah sempit yang biasa digunakan sebagai jalur untuk menuju Puncak Welirang.
Apabila baru pertama kali melakukan pendakian ke Puncak Welirang kita akan mengalami
beberapa kali tipuan puncak. Dari celah diantara Kembar I dan lava dome nampak sudah
5 Verstappen, H. Th. 1994. The Volcanoes if Indonesia and Natural Disaster Reduction, With Some Examples. The Indonesian Journal of Geography Vol. 26, No. 68, Desember 1994, Hal 27 – 35. 6 Verstappen H Th. 2000. Outline of the Geomorphology of Indonesia, a Case Study on Tropical Geomorphology of a Tectogene Region. Enschede: International Institute for Aerospace Surveys and Earth Sciences. 18
ada puncak yang bisa jadi akan dikira Puncak Welirang tapi sebenarnya adalah puncak lava
dome tersebut, sehingga jalur pendakian hanya melingkar di sisi baratnya saja. Setelah
melingkari sisi barat lava dome kita akan menjumpai tipuan ke dua yaitu Puncak Welirang
Tua. Puncak Welirang yang hendak dicapai dalam pendakian adalah puncak tertinggi yaitu
Puncak Welirang muda yang masih berada di sebelah utaranya sehingga harus memutari
sisi barat lereng Puncak Welirang tua.
Di atas Puncak Welirang tua terdapat dua kawah besar yang sudah tidak aktif, salah
satu diantaranya menunjukkan proses geomorfologi berupa longsor vulkanik. Di sebelah
barat kedua kawah besar tersebut terdapat dua kawah kecil. Lereng Welirang tua sebelah
timur tertutupi oleh material debu vulkanik, sedangkan lereng baratnya lebih bervariasi yaitu
debu vulkanik di bagian atas serta material hasil longsor vulkanik yang mendominasi di
bagian bawah hingga berbatasan dengan kaki Gunung Anjasmoro.
Gunung Welirang muda merupakan bagian paling utara (lebih tepat utara barat daya)
dari rangkaian kerucut vulkanik di sepanjang patahan Arjuno-Welirang. Puncak gunung ini
juga merupakan target pendakian ke Welirang, yaitu terletak pada ketinggian 3156 mdpal,
lebih rendah dari Puncak Arjuno yang berada pada ketinggian 3339 mdpal. Gunung
Welirang Muda merupakan yang paling aktif diantara semua pusat erupsi pada patahan
Arjuno-Welirang. Puncak Welirang berada diantara kawah kawah besar yang sudah tidak
terlalu aktif, namun masih mengeluarkan solfatara. Bahkan di puncak sendiri terdapat
beberapa celah kecil yang menjadi lubang keluarnya asap solfatara. Meskipun kawah di
dekat puncak solfataranya tidak terlalu banyak tetapi situasi di puncak sangat pengap
dengan solfatara yang kemungkinan berasal dari kawah utama yang terletak di bagian
paling utara.
Kawah utama asap solfataranya sangat banyak, bahkan nampak membumbung
tinggi apabila dilihat dari jalur jalan Surabaya-Malang. Di kawah inilah terdapat aktivitas
penambangan belerang yang dilakukan oleh masyarakat. Lereng barat Puncak Welirang
muda tersusun oleh endapan material lahar, sedangkan lereng timur tertutupi oleh material
debu vulkanik demikian juga lereng utaranya. Pada bagian bawah lereng barat juga dijumpai
longsoran vulkanik yang membentuk igir-igir beberapa dibatasi oleh lereng terjal di bagian
tepinya. Meskipun Gunung Welirang aktif akan tetapi sejarah letusan gunung ini kurang
begitu diketahui. Sebagaimana telah disampaikan di bagian awal Gunung Welirang tidak
termasuk dalam daftar gunungapi yang meletus sejak tahun 1900 baik dalam catatan Meur
Neumann Van Padang maupun Reinout Willem Van Bemmelen.
19
Lava Dome yang terletak di sebelah utara Gunung Kembar I
Endapan bekas aliran lahar di lereng barat Welirang muda
Gua vulkanik yang terbentuk di bawah Puncak Welirang
Salah satu kawah Welirang tua yang tidak aktif
Lintasan menuju Puncak Welirang berupa material bekas aliran lahar
Igir menuju Puncak Welirang dipenuhi batuan sisa aktivitas vulkanik
Kawah yang luas di Gunung Welirang muda tepat di bawah Puncak Tertinggi Welirang saat ini tidak aktif lagi. Kawah yang aktif dan ditambang terletak lebih ke arah utara
Lintasan jalur pendakian melewati igir sempit diantara dua kawah (kiri dan kanan)
Vegetasi khas daerah tinggi yang dijumpai pada jalur menuju puncak
Lereng utara Gunung Kembar I dilihat dari celah antara Kembar I dengan lava dome
Sketsa geomorfologi sepanjang patahan Puncak Arjuno – Welirang yang dibuat oleh Verstappen
Kondisi geomorfologi di bawah Puncak Welirang Gunung welirang merupakan gunungapi bertipe strato yaitu gunung dengan ciri
utama berbentuk kerucut. Tipe strato (bertingkat) menunjukkan perlapisan material yang
nampak seperti tingkatan-tingkatan. Bentuk kerucut ini tidak halus/sempurna dari puncak
hingga lereng kaki tetapi menunjukkan perubahan kemiringan lereng secara mendadak
(break of slope). Kondisi ini disebabkan oleh perbedaan tipe material penyusun yang
nampak seperti tingkatan (strato) tadi. Secara umum material yang dikeluarkan dalam
aktivitas pembentukan tubuh gunungapi tipe ini dapat dibedakan menjadi lava dan
piroklastik. Lava bersifat cair kental sehingga distribusinya terbatas hanya di sekitar
kepundan saja sedangkan material piroklastik yang berbentuk padat dapat mencapai jarak
yang lebih jauh. Dilihat dari tipe letusan yang menghasilkan pembentukan morfologinya,
gunungapi tipe strato terbentuk dari letusan yang besar (eksplosif) dan lelehan (effusive).
Secara umum geomorfologi lereng gunungapi tipe strato dapat dibedakan menjadi
kepundan, kerucut gunungapi, lereng gunungapi, kaki gunungapi, dan dataran fluvial
gunungapi. Ciri yang menbedakan unit geomorfologi satu dengan yang lain adalah
kemiringan lereng dan relief, sedangkan batasnya adalah tekuk lereng yang berupa
perubahan kemiringan secara mendadak (break of slope). Mengapa terjadi perubahan
kemiringan secara mendadak? Karena disinilah batas dari jenis material yang diendapkan
tadi. Jenis material tertentu dengan karakteristiknya akan mempengaruhi kemiringan lereng
dan relief yang terbentuk.
Kepundan/kawah merupakan cekungan/lubang dengan dinding-dinding curam di
puncak kerucut vulkansebagai pusat erupsi pada gunungapi. Kerucut gunungapi merupakan
bagian atas dari tubuh gunungapi strato dengan relief bergunung dan kelas kemiringan
lereng sangat curam, biasanya ditandai dengan garis-garis kikisan yang dalam. Lereng
gunungapi merupakan bagian tengah tubuh gunungapi strato di bawah kerucut vulkan
dengan relief berbukit hingga bergunung, kelas kemiringan lereng curam hingga sangat
curam, garis-garis kikisan lebih dalam dan membentuk pola drainase radial. Kaki gunungapi
merupakan bagian paling bawah dari tubuh gunungapi strato ditandai oleh relief
bergelombang, berombak, hingga berbukit dengan kelas kemiringan lereng miring, agak
curam, hingga curam. Dataran fluvial gunungapi adalah dataran yang terbentuk dari material
gunungapi yang terangkut oleh tenaga aliran air/sungai, relief datar hingga berombak lemah,
kemiringan datar hingga landai. Untuk lebih memperjelas pemahaman mengenai kemiringan
lereng dan unit relief yang dimaksud di atas, pada tabel berikut ini akan disajikan klasifikasi
kemiringan lereng dan unit relief menurut Van Zuidam dan Cancelado (1979)7
.
7 Van Zuidam, R.A. dan F.I. Van Zuidam Cancelado. 1979. Terrain Analysis and Classification Using Aerial Photograph, A Geomorphological Approach. The Netherlands: ITC Enschede 31
Unit relief Beda tinggi relatif (m) Datar <5 Berombak 5 – 50 Berombak – bergelombang 25 – 75 Bergelombang – berbukit 50 – 200 Berbukit curam 200 – 500 Bergunung curam 500 – 1000 Bergunung >1000
Kelas kemiringan lereng Persentase kemiringan lereng Datar 0 – 2 Landai 3 – 7 Miring 8 – 13 Agak curam 14 – 20 Curam 21 – 55 Sangat curam 56 – 140 Luar biasa curam >140
Gambar: Satuan Geomorfologi Gunung Welirang
Kerucut gunungapi Lereng gunungapi Kaki gunungapi
Kerucut gunungapi
Lereng gunungapi
Kaki gunungapi
32
Kondisi geomorfologi pada satuan kerucut gunungapi telah dideskripsikan
sebelumnya dalam pembahasan mengenai kondisi geomorfologi puncak welirang dan
sekitarnya. Selanjutnya dalam pembahasan mengenai kondisi geomorfologi di bawah
Puncak Welirang satuan geomorfologi yang akan dibahas meliputi lereng gunungapi dan
kaki gunungapi. Lereng gunungapi meliputi wilayah yang cukup luas. Pada jalur pendakian
lereng gunungapi terbentang dari POS III (Pondokan) pada ketinggian 2440 mdpal hingga
ketinggian 1.000an mdpal di atas POS I (Pet Bocor). Proses geomorfologi yang berlangsung
antara lain pelapukan, erosi, dan gerakan massa. Kenampakan yang menarik adalah
dijumpainya kerucut parasiter Gunung Ringgit di sebelah kiri (selatan) jalur pendakian.
Kondisi hidrogeomorfologi ditandai munculnya mataair di Pos Pondokan (Pos III) dan Pos
Kokopan (Pos II) dengan debit yang cukup besar. Litologi batuan penyusun yang berasal
dari aktivitas Gunungapi Welirang maupun Kembar I dan II kemungkinan besar yang
berperan sebagai akuifer sehingga mampu menyimpan airtanah. Perkembangan tanah yang
berlangsung adalah latosolisasi, yang ditandai oleh tanah berwarna merah. Latosolisasi
terjadi karena pengaruh temperatur tinggi dan curah hujan yang tinggi pula. Akibat
temperatur tinggi, bahan organik yang terdapat di permukaan tanah akan mengalami
penguraian yang disebut mineralisasi. Penguraian ini berjalan sempurna sehingga bersifat
basa. Hujan yang tinggi menyebabkan infiltrasi juga tinggi. Karena infiltrasi berlangsung
dalam kondisi basa, maka unsur-unsur dalam tanah yang ikut terlindi hanya unsur-unsur
yang ringan saja. Sementara unsur berat seperti mangan (Mn) dan besi (Fe) akan tertinggal
di horizon atas yang selanjutnya mengalami oksidasi sehingga tanah berwarna merah.
Namun demikian di bagian permukaan tanah terdapat akumulasi bahan organik yang tebal
yang berasal dari sisa-sisa seresah hutan. Sebagian diantaranya sudah mengalami
pembusukan sehingga menghasilkan horizon organik berwarna pekat yang cukup tebal.
Berdasarkan pengamatan sederhana mengenai warna, tekstur, dan struktur tanah dapat
diperkirakan jenis tanah pada satuan geomorfologi lereng gunungapi adalah tanah latosol
(ultisols) dan tanah regosol/litosol (entisols/inceptisols)
Pada satuan kaki gunungapi bentukan gemorfologi tidak terlalu kompleks. Proses
yang berlangsung adalah pelapukan, erosi, dan gerakan massa. Yang cukup menarik di
satuan geomorfologi lereng kaki ini adalah perkembangan tanah laterit. Laterit (oksisols)
merupakan suatu jenis tanah yang menggumpal dan mengeras. Berwarna merah
kekungingan (seperti karat), sering digunakan sebagai bahan pengeras jalan. Laterit
sebenarnya merupakan jenis yang sama dengan latosol yaitu mengalami perkembangan
latosolisasi. Akan tetapi dalam pembentukan laterit kondisi drainase tanah berlebih sehingga
lengas tanah sangat sedikit akibatnya oksidasi berlangsung hebat sehingga Fe dan Mn
membentuk gumpalan keras menyerupai karat. Laterit sangat banyak dijumpai di atas Pos I
(Pet Bocor) meluas sampai ke lereng bawah gunungapi. 33
Perkembangan tanah Latosolisasi, tanah berwarna merah karena mengalami oksidasi, beberapa bagian berkembang menjadi laterit diawali oleh adanya konkresi (gumpalan-gumpalan keras)
Laterit yang mengeras seperti batu, berwarna merah, banyak dijumpai di satuan morfologi kaki lereng gunungapi
Perkembangan tanah di lereng gunungapi Welirang. Tanah latosol berwarna merah dengan horizon organik yang tebal di bagian atasnya
Horizon organik (hitam pekat)
Horizon mineral (merah)
DARI TAMBANG HINGGA PROSTITUSI Sosial ekonomi masyarakat sekitar Gunung Welirang:
Sosial Ekonomi Masyarakat sekitar Gunung Welirang
Kehidupan sosial ekonomi di sekitar
Gunung Welirang sangat kompleks. Pada
mulanya pengamatan mengenai sosial
ekonomi masyarakat dalam ekspedisi ini
lebih difokuskan pada kegiatan
pertambangan belerang yang dilakukan
secara tradisional di kawah welirang.
Hasilnya adalah, kami berhasil
mewawancarai salah seorang penambang
belerang dan mendapatkan banyak
informasi darinya. Namun dalam
perjalanan pulang kami menjumpai sesuatu
yang tidak kalah menarik, kehidupan di
kawasan wisata tretes. Dari pengamatan
nampaknya pergaulan generasi muda di
tretes begitu bebas dan kurang terkendali.
Karena pada awalnya kami memang
tidak berencana untuk mendalami
permasalahan ini maka kami belum sempat
mendapatkan informasi primer dari hasil
wawancara dengan masyarakat setempat,
dan kami rencanakan akan dilakukan
dalam ekspedisi Arjuno pada kesempatan
mendatang. Karena terlanjur penasaran
dengan hasil “pengamatan sederhana”
kami, akhirnya khusus untuk kehidupan di
kawasan wisata tretes kami mencoba
menelusuri informasi dari sumber-sumber
sekunder yang dipublikasikan melalui
media massa.
Nadi kehidupan Tambang Belerang Memang tidak selamanya gunungapi
membuat musibah bagi manusia. Dilihat dari segi
positifnya, gunungapi juga mempunyai banyak
manfaat bagi kehidupan manusia. Pernahkah kita
berfikir kenapa penduduk Indonesia sebagian besar
berada di Pulau Jawa? Salah satu alasannya
adalah Pulau Jawa tanahnya subur. Kesuburan
tanah ini dipengaruhi oleh banyaknya gunung api
yang terdapat di pulau ini. Hal semacam ini
barangkali merupakan salah satu sisi positif dari
adanya aktivitas vulkanisme. Kenapa gunung api
bisa menyuburkan tanah? Ketika gunung meletus
banyak mengeluarkan abu. Abu vulkanik ini pada
awalnya menutupi daerah pertanian dan merusak
tanaman yang ada. Namun dalam jangka waktu
setahun atau dua tahun saja, tanah ini menjadi jauh
lebih subur. Kesuburan ini dapat bertahan lama
bahkan bisa puluhan tahun. Selain itu tanah
hancuran bahan vulkanik sangat banyak
mengandung unsur hara yang menyuburkan tanah.
Dari tambang hingga prostitusi Yudi Kromo
36
Bahan galian yang sangat berharga banyak dihasilkan gunung api. Pada saat
gunung api masih aktif dihasilkan bahan galian seperti: belerang, pasir, batu bangunan, tras,
batu apung, dan sebagainya. Sedangkan pada saat gunung api yang istirahat dapat
dihasilkan bahan tambang seperti: emas, perak, besi, timah, marmer, dan lainnya. Di
samping itu banyak pula batuan malihan akibat persinggungan magma dengan mineral
tertentu, sehingga terbentuk cadangan mineral baru yang lebih berharga, seperti tembaga,
batu pualam, dan kokas. Gunung api juga bermanfaat sebagai penangkap hujan yang baik.
Dengan tanahnya yang subur, berakibat pada tumbuh suburnya berbagai tumbuhan dan
hutan yang lebat. Ini berarti gunung berapi menjadi tempat reservoir air tanah yang sangat
baik. Hutan lebat ini bisa menghasilkan mata air yang sangat berguna terutama sebagai
sumber air di musim kemarau. Sedangkan musim hujan, hutan dapat menyerap air dan
menahan erosi/longsor sehingga dapat mencegah terjadinya banjir. Seringkali gunungapi
juga memiliki keindahan yang menarik untuk wisata, misalnya kawah Gunung Bromo di
Jawa Timur atau Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat. Memang gunung api bisa
menjadi obyek wisata alam yang menarik. Di sini kita bisa menyaksikan kepundan yang
menarik, pemandangan yang indah, hawa yang sejuk dan segar, aroma bau belerang, atau
keanehan dan keindahan lain yang hanya bisa ditemukan di sekitar gunung api.
Gunung Arjuno-Welirang adalah gunungapi yang terletak di perbatasan Pasuruan
dan Malang di Provinsi Jawa Timur. Gunung ini sering menjadi tujuan pendakian. Gunung ini
mempunyai banyak manfaat diliat dari segi ekonomi. Dijalur Tretes-Pandaan yang
merupakan kaki Gunung Arjuno-Welirang berkembang kegiatan pariwisata. Adanya wisata
kemudian turut mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan. Termasuk diantaranya tumbuh
berkembangnya hotel di sekitar wilayah ini. Dengan pemanfaatan lahan sekitar menjadi
tempat wisata maka secara langsung dapat mengerakan sektor ekonomi. Banyak peluang
usaha yang turut berkembang diantaranya adalah pedagang kecil atau kaki lima sampai
dengan pedagang besar. Karena tingkat keramaian yang sangat padat di sepanjang jalan
tretes banyak sekali masyarakat yang memanfatkan peluang tersebut dengan bedagang
bemacam-macam produk seperti pedagang buah, souvenir, dan makanan/lesehan.
Nun jauh diatas, jauh dari keramaian wisata Tretes juga berlangsung upaya mengais
rejeki oleh masyarakat. Di beberapa pos pendakian juga ada masyarakat sekitar yang
berdagang makanan untuk para pendaki, di pos pertama (pet bocor) ada warung yang
menjual berbagai macam makanan seperti gorengan, pisang, kerupuk, air mineral dan lain
sebagainya. Demikian pula di pos kedua (kokopan) juga masih ada orang yang membuka
warung yang menjual bemacam-macam makanan, padahal perjalanan dari kaki gunung/pos
pendaftaran hingga Pos II kurang lebih membutuhkan 3-4 jam perjalanan. Sedangkan di
pondokan pos terakhir terdapat pemondokan bagi masyarakat sekitar yang bekerja sebagai
penambang belerang di kawah gunung welirang. 37
Pondokan penambang belerang, disinilah para penambang beristirahat. Lokasi ini juga merupakan Pos III pendakian sehingga banyak pendaki yang turut menginap dengan membangun camp disini
Salah satu pondok penambang di Pos III
Yudi tengah mewawancara salah seorang penambang
Kegiatan di pondokan ketika sedang tidak ada aktivitas menambang
Penambang yang ada digunung welirang sudah sangat lama mereka mewarisi
kegiatan yang dilakukan sejak nenek moyang, mereka tidak tahu awal mula terjadi
penambangan yang ada di gunung welirang, kebanyakan dari mereka hanya diwarisi oleh
orang tua atau bagi hasil dengan pemilik tambang yang tidak mampu menambang lagi.
Neumann Van Padang dalam bukunya telah menyinggung penambangan belerang ini,
sehingga nampaknya sejak awal abad 20 kegiatan penambangan telah dilakukan oleh
masyarakat. Jumlah rata-rata penambang sekitar dua puluh lima orang yang menambang di
kawah gunung welirang. Peralatan yang digunakan juga sangat sederhana seperti linggis
untuk mencongkel bebatuan, ditengah asap belerang yang baunya sangat menyengat. Gas
belerang berbau tajam dan tak bewarna dapat menimbulkan serangan asma dan karena gas
ini menetap di udara, bereaksi dan membentuk partikel-partikel halus dan zat asam. Disisi
lain, asap belerang juga menimbulkan efek iritasi pada saluran nafas sehingga menimbulkan
gejala batuk dan sesak nafas. Hal seperti itulah yang kira-kira terjadi ketika para pekerja
tambang bekerja di dalam lorong bumi "open pit" di Papua, dimana sirkulasi udara sangat
terbatas, atau ketika suhu rendah, penambang berjalan yang membawa bijih tambang
mengandung SO2 dan susah menguap, memungkinkan terhirup oleh pekerja. Dalam jangka
panjang tanpa didukung peralatan dan fasilitas penunjang kesehatan yang baik bukan tidak
mungkin penambang belerang di Gunung Welirang juga menghadapi permasalahan yang
sama. Itulah salah satu resiko yang dihadapi sebagai seorang penambang belerang, selain
itu sebagai salah satu gunung aktif yang terdapat di Pulau Jawa Gunung Welirang dapat
mengalami peningkatan aktivitas sewaktu-waktu.
Bapak penambang yang diwawancarai oleh Yudi adalah salah satu dari puluhan
penambang yang bergelut dengan kawah welirang sangat pekat dengan asapnya, bapak ini
bekerja selama satu minggu dalam setiap penambangan. Jauh dari rumah dan keluarga
hidup dengan teman-teman sesama penambang dengan gubuk yang sederhana yang
beratapkan jerami. Bapak ini tidak mempunyai tempat penambangan sendiri, dia hanya
menambang milik orang lain karena pemiliknya sudah tua. Rata-rata setiap harinya
penambang mampu menambang sekitar dua karung yang rata-rata perkarung dengan bobot
sekitar 40-50 kg. Dengan jarak tempuh dua sampai tiga jam dari pondokan sampai kawah,
penambang membawa 100 kg dengan dipikul memakai bambu. Sebenarnya ada
penambang yang menggunakan gerobak dorong untuk mengangkut hasil galian, tetapi tidak
semudah yang dibayangkan, dengan medan yang sangat terjal pastinya sangat sulit
walaupun menggunakan gerobak dorong. Jarak tempuh yang sangat panjang yaitu kalau
tanpa muatan bisa ditempuh dengan 2-3 jam dengan membawa membawa beban 80-100 kg
perjalanan bisa menjadi sangat lama. Pendapatan yang diperoleh sehari sekitar 100-200
ribu bila satu kilogram dihargai Rp.1000-RP.2000/kg dengan hasil galian sekitar 90-100kg
perhari. Sebenarnya hasil yang diperoleh cukup besar apabila kita melihat dari nominalnya, 42
tapi apabila diukur dari pengorbanan para penambang termasuk ancaman terhadap
kesehatan tentu saja nilai ini menjadi tidak ada apa apanya. Selain itu penambang harus
membagi hasil dengan pemilik tambang, hasil biasanya sudah ditentukan dalam perjanjian
pertama, penambang hanya mengejar setoran pada setiap harinya. Pemilik tambang tidak
memperdulikan seberapa banyak yang diperoleh dalam menambang. Dengan bermodalkan
kain yag dibasahi para penambang bertempur dengan panasnya matahari dan asap
belerang yang sangat menyengat dan membuat sesak dada, hanya untuk sesuap nasi.
Setelah belerang sampai di pondokan belerang akan diambil oleh pengepul yang siap
mengambil dengan menggunakan mobil jeep. Si pengepul nantinya akan dijual kepada
koperasi atau kepada perusahaan yang membutuhkan. Di Gunung Welirang memang ada
jalur mobil untuk mengangkut belerang, kalau tidak menggunakan mobil pastinya sangat
sulit untuk mengangkut belerang tersebut. Karena pondokan sampai bawah membutuhkan
waktu tempuh 7-8 jam berjalan kaki, pastinya tidak mungkin bila membawa muatan belerang
yang sangat berat dengan berjalan kaki menempuh jarak yang terlalu jauh.
Belerang mempunyai berbagai manfaat yang membuat material ini mempunyai nilai
ekonomi yang cukup tinggi manfaat yang dimiliki diantaranya: air belerang dapat
menyembuhkan penyakit kulit sudah terbukti secra medis. Banyak sekali tempat-tempat
terapi kulit yang menyembuhkan pasiennya dengan menggunakan belerang. Belerang dapat
membunuh kuman kuman dan bakteri tertentu yang menyerang kulit. Belerang dapat
menyembuhkan penyakit kulit karena belerang mempunyai tingkat keasaman yang cukup
tinggi. Tetapi belerang hanya dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit kulit yang
ringan-ringan saja, seperti panu, kadas dan jerawat. Penyakit seperti tumor tidak bisa
disembuhkan dengan menggunakan air belerang.
Belerang (Sulfur) bermanfaat untuk merangsang kolagen, serat yang membuat kulit
tampak lebih kencang, serta dapat mengurangi kerutan pada wajah. Tanda penuaan,-
muncul garis-garis halus dan kerutan- terjadi ketika produksi kolagen mulai menurun.
Karena, kolagen sangat dibutuhkan untuk pembentukan sel kulit baru. Proses penurunan
produksi kolagen biasanya terjadi di atas usia 20 tahun, Kebanyakan para wanita
menggunakan krim yang mengandung kolagen sebagai perawatan luar untuk kulitnya.
Kenyataannya kolagen dalam bentuk krim yang dioleskan ke kulit, kurang memberi manfaat
untuk kulit, karena molekul kolagen yang terlalu besar sulit masuk ke dalam lapisan kulit.
Perawatan kulit dari dalam ternyata lebih efektif dibanding perawatan dari luar. Caranya
adalah dengan mengonsumsi makanan dapat meningkatkan produksi kolagen dalam tubuh.
Belerang juga mempunyai manfaat bagi pertumbuhan tananman, bila kita mengenal
pupuk ZA, maka di dalamnya terdapat kandungan unsur N dan S. Unsur Nitrogennya
sebesar 21 % dan Sulfur ( belerang ) sebesar 24 %. Artinya apa? kandungan Sulfurnya kok
bisa lebih tinggi dari N nya Oleh sebab itu, marilah kita mengenal fungsi Sulfur ini bagi 43
tanaman. Unsur Sulfur yang lebih dikenal dengan nama Belerang diserap tanaman dalam
bentuk ion sulfat (SO4=). Zat ini merupakan bagian dari protein yang terdapat dalam bentuk
cystein, methionin, thiamine. Sebagian besar sulfur di dalam tanah berasal dari bahan
organik yang telah mengalami dekomposisi dan sulfur elemental ( bubuk/ batu belerang )
dari aktivitas vulkanis. Sulfur yang larut dalam air akan segera diserap tanaman, karena
unsur ini sangat dibutuhkan tanaman terutama pada tanaman-tanaman muda. Dengan
terpenuhi kandungan mineral yang dibutuhkan tanaman maka akan terbentuk butir hijau
daun sehingga daun menjadi lebih hijau, menambah kandungan protein dan vitamin hasil
panen, meningakatkan jumlah anakan yang menghasilkan (pada tanaman padi), berperan
penting pada proses pembulatan zat gula, dan memperbesar umbi bawang merah dan
bawang putih.
Selain untuk menyembuhkan penyakit kulit dan penyubur tanaman belerang juga
mempunyai manfaat yang untuk membuat produk industry yang menjadi bahan utama
dalam pembuatan produk diantaranya: Digunakan untuk membuat cat, badak, tekstil, cairan
sulfida, C2S, debu anti serangga, pengawet kayu, pabrik kertas, korek api, obat-obatan.
Manfaat diatas merupakan sedikit manfaat yang menyebabkan belerang menjadi barang
yang diburu para penambang untuk dapat memperoleh selembar kertas.
Paradoks: Pesona Wisata Tretes hingga Tretes Undercover Sekali lagi, tulisan ini disusun berdasarkan sumber sekunder yang telah
dipublikasikan di berbagai media termasuk media online. Pada kesempatan ekspedisi
Arjuno yang akan datang kami merencanakan untuk mendalami dan mengkaji lebih lanjut
tema ini. Dan karena sudah “terlanjur penasaran” dengan situasi yang baru kami ketahui
“belakangan” berikut ini akan kami sajikan hasil penelusuran sementara berbagai informasi
terkait dari data sekunder untuk melengkapi “pengamatan mata” yang kami lakukan dalam
perjalanan pulang dari pendakian Welirang.
Tretes adalah nama suatu kawasan yang berada di Kabupaten Pasuruan, terletak di
kaki Gunung Welirang. Tretes menawarkan paronama alam yang sangat menarik kareana
diberada di ketinggian sekitar 800 mdpl, sehingga dapat melihat Kota Sidoarjo dari
ketinggian. Pada malam hari Kota Sidoarjo seperti bintang yang bergemerlap karena lampu
kota yang menerangainya, kalau kurang lebihnya tretes seperti di Kaliurang kalau di Jogja.
Dengan suasana yang dingin banyak orang yang meluangkan waktunya untuk
menghilangkan penat seharian bekerja, rata-rata orang saat malam hari adalah pasangan
muda-mudi yang menikmati suasana pegunungan dengan makan jagung bakar yang dijual
oleh para pedagang di sepanjang jalan tretes. Sebenarnya tidak hanya jagung bakar ada
bermacam-macam pedagang yang berjualan disana, tapi rata-rata adalah pedagang
lesehan yang menjajakan bermacam-macam masakan. 44
Tretes membunyai banyak tempat wisata yang dapat di kunjungi berbagai macam
kalangan. Dengan suasana yang begitu sejuk sangat cocok untuk menghilangkan
kepenatan seminggu penuh untuk bekerja. Sebenarnya yang paling cocok adalah keluarga,
karena paling banyak adalah wisata alam8
Air terjun kakek bodo
. Wisata alam dan hawa sejuk membuat betah
orang yang berwisata di kawasan ini. Kawasan ini memiliki beberapa tempat wisata seperti:
Air Terjun Kakek Bodo, Air Terjun Putuk Truno, Candi Jawi dan bukit perkemahan yang
cocok bagi pencinta alam, selain itu kawasan ini dekat dengan Taman Safari Indonesia.
Berikut beberapa wisata yang ada di tretes dan keterangannya:
Air Terjun Kakek Bodo terletak di pegunungan Prigen atau di lereng Gunung Welirang
Pandaan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Air terjun ini berada di ketinggian sekitar 850
meter dari permukaan laut karena Tretes sendiri terletak di ketingian kurang lebihnya 850
meter dipermukaan laut9. Tinggi air terjun mencapai 40 meter. Luasnya mencapai 27.7 ha
yang terdiri dari area perkemahan, air terjun, area parkir dan area makam Kakek Bodo.
Menurut cerita penduduk setempat, konon nama Kakek Bodo ini berasal dari cerita seorang
lelaki tua yang bodoh. Lelaki tua ini dulunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di
sebuah keluarga Belanda, lalu dia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya dan
mensucikan diri dari keduniawian dengan cara bertapa. Dari keputusannya inilah, keluarga
Belanda ini menyebutnya kakek yang bodoh. Namun berkat bertapanya, sang kakek
memiliki kelebihan berupa kesaktian. Kesaktian ini pun digunakan untuk membantu
masyarakat setempat yang meminta pertolongan. Sang kakek pun meninggal di tempat
bertapanya, yang terletak tidak jauh dari air terjun yang saat ini dikenal dengan sebutan Air
Terjun Kakek Bodo. Begitulah kurang lebihnya cerita dari masyarakat sekitar yang
mempercayai asal usul nama dari air terjun kakek bodo. 10
Di kawasan Kakek Bodo ini kita
bisa berenang karena tersedia kolam renang, atau bila mau bisa juga mandi di bawah air
terjun. Tapi jangan kaget karena suhu udara di kawasan tretes ini relatif rendah, maka air
terjun ini pun terasa segar dan tentu saja dingin. Selain itu kita bisa melakukan wisata
outbond seperti flying fox, dan melihat makam Kakek Bodo yang tak jauh dari air terjunnya.
Dan bagi petualang sejati juga bisa menikmati obyek wisata yang lainnya yaitu menelusuri
jalan setapak yang menanjak menuju ke Gunung Arjuna dan Gunung Welirang yang berada
di sebelah barat air terjun Kakek Bodo.
8 http://pesona.student.umm.ac.id/ 9 http://www.1001wisata.com/air-terjun-kakek-bodo-tretes/ 10 http://www.1001wisata.com/air-terjun-kakek-bodo-tretes/ 45
Terjun Putuk Truno
Selain air terjun kakek bodo ada juga putok truno, air terjun ini tidak beda jauh dengan
kakek bodo hanya berjarak sekitar 400 meter dari air terjun kakek bodo. Bagi teman-teman
yang sangat menyukai wisata air terjun tidak salah kalau putok truno menjadi target
selanjutnya wisata yang harus dikunjungi11. Air Terjun Putuk Truno adalah salah satu air
terjun dari beberapa yang ada di kaki Gunung Welirang, tepatnya berada di Jl. Putuk Truno,
Prigen, Tretes, Pasuruan. Air terjun ini memiliki ketinggian sekitar 45 meter, sehingga
hempasan air menciptakan percikan air yang cukup indah bila dilihat dari atas. Menurut
cerita dari warga masyarakat sekitar asal-usul nama dari air terjun putuk truno. Nama Putuk
Truno diambil dari salah satu pertapa di air terjun ini yaitu Joko Truno, yang akhirnya
menjelma menjadi ular (Putuk). Dari pintu masuk utama, kita harus menuruni jalan setapak
kurang lebih 300 m untuk mencapai air terjun ini. Di beberapa tempat, ada peringatan untuk
berhati-hati karena daerah tersebut rawan longsor. Sisi kanan berupa tebing, sementara di
samping kiri sungai yang tertutupi oleh rimbunnya pepohonan. Di atas tebing sebelah kiri,
kita dapat melihat vihara yang persis dibangun di pinggir tebing12
Candi Jawi
. Di sekitar Air terjun Putuk
Truno, disediakan tempat duduk, sehingga yang tidak mau berbasah-basah ria bisa melihat
indahnya percikan air terjun dari atas, dan pemandangan alam sekitar, sambil makan bekal
makanan yang dibawa dari rumah. Tapi bila mau berbasah ria, ada tangga yang bisa
dituruni sampai ke air terjun.
Selain wisata alam di tretes juga ada wisata budaya, disana ada sebuah candi hindu-
buda yaitu candi jawi. Candi ini terletak di desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Pasuruan,
Jawa Timur. Untuk tepatnya Candi ini terletak di pertengahan jalan raya antara Kecamatan
Pandaan - Kecamatan Prigen13
abu
. Candi Jawi banyak dikira sebagai tempat pemujaan atau
tempat peribadatan Buddha, namun sebenarnya merupakan tempat penyimpanan dari
raja terakhir Singhasari, Kertanegara. Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi
Singhasari. Kedua candi ini ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat
peribadatan Raja Kertanegara14
11 http://berlibur-yuk.blogspot.com/2010/08/sejuknya-air-terjun-putuk-truno.html 12 http://berlibur-yuk.blogspot.com/2010/08/sejuknya-air-terjun-putuk-truno.html 13 http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Jawi 14 http://candi.pnri.go.id/jawa_timur/jawi/jawi.htm
. Dalam Negarakertagama pupuh 56 disebutkan bahwa
Candi Jawi didirikan atas perintah raja terakhir Kerajaan Singasari, Kertanegara, untuk
tempat beribadah bagi umat beragama Syiwa-Buddha. Raja Kartanegara adalah seorang
penganut ajaran Syiwa Buddha. Selain sebagai tempat ibadah, Candi Jawi juga merupakan
tempat penyimpanan abu jenazah Kertanegara. Hal ini memang agak mengherankan,
karena letak Candi Jawi cukup jauh dari pusat Kerajaan Singasari. Diduga hal itu
46
disebabkan karena rakyat di daerah ini sangat setia kepada raja dan banyak yang menganut
ajaran Syiwa-Buddha. Dugaan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa saat Raden
Wijaya, menantu Raja Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegara dijatuhkan oleh Raja
Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), ia sempat bersembunyi di daerah ini,
sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.
Taman safari Indonesia II
Tretes merupakan tempat yang komplit untk wisata di akhir pekan atau liburan
bersama baik teman atau keluarga. Taman safari merupakan obyek wisata yang menyajikan
bermacam-macam permaianan, pertunjukan dan fauna15
Di Tretes banyak bangunan
. Taman Safari Indonesia II terletak
di sebelah selatan ketimur dari pusat kota Pandaan. Obyek Taman Safari Indonesia II
merupakan oyek wisata bertaraf nasional yang paling diminati dan mampu meyedot animo
masyarakat Indonesia pada umumnya. Taman Safari ini berada di desa Jatirejo, Prigen
dengan ketinggian wilayahnya 800-1.500 meter dpl. Obyek ini merupakan lembaga
konservasi suaka margasatwa yang menempati areal seluas 340 ha. Salah satu keunikan di
Taman Safari II dibandingkan dengan kebun binatang adalah pengunjung dapat
menyaksikan kehidupan satwa liar sesuai habitat aslinya, ada 3 bagian kawasan yang
ditemukan di Taman Safari ini yaitu: kawasan Amerika, Eropa, kawasan Asia dan kawasan
Afrika. Disamping itu, nanti para pengunjung juga disuguhkan 3 zona yaitu zona kehidupan
satwa, zona rekreasi sebagai tempat untuk menampilkan atraksi dari satwa dan tempat
permainan anak-anak, zona baby zoo sebagai tempat untuk mengenal lebih dekat
wisatawan dengan anak satwa liar untuk bermain dan berfoto.
Hotel dan Villa, sanagatlah wajar tempat seperti itu
dimanfaatkan oleh seseoarang yang mempunyai modal untuk membangun fasilitas hotel
dan vila, dengan tempat yang indah dan didukung banyak obyek wisata sehingga tempat itu
menjadi peluang bisnis bagi para pemilik modal. Manfaat hoteldan vila adalah tempat untuk
memfasilitasi tempat wisata yang ada di tempat tersebut. Dengan tersedianya hotel dan vila
pengunjung dapat menginap di tempat tersebut. Semakin lama wisatawan tinggal di tempat
tersebut semakin baik untuk berlangsungnya perputaran uang yag ada di tempat itu.
Dengan adanya hotel dan vila pendapatan daerah atau APBD dapat meningkat, karena
semangin besar pendapatan hotel dan vila maka semakin besar pajak yang diperoleh
daerah tersebut. Dengan pendapatan pajak yang tinggi maka akan berdampak pada
kemakmuran daerah tersebut. Dengan pendapatan yang besar pemerintah dareh dapat
mengolokasikan dana untuk kesejahteraan warganya.contohnya untuk kebijakannya seperti
infrastruktur yang memadai, seperti jalan, jembatan, irigasi, gedung instasi pemerintah dll.
15 http://www.pandaanku.com/2012/04/tempat-wisata-di-kota-dingin-pandaan.html 47
Kebijakan kesehatan seperti pemberian jamkesmas untuk masyarakat miskin kalau perlu
seluruh warga. Sektor ekonomi dengan pemberian modal UKM dengan bunga serendah-
rendahnya. Berikut sedikit cerita tentang manfaat hotel dan vila bagi kehidupan warga
sekitar, yang berdampak signifikan di berbagai segi kehidupan masyarakat.
Hiburan di Tretes bukan hanya untuk keluarga saja tetapi ada hiburan malam bagi
orang yang senang dengan memanjakan nafsu syahwat, dan justru yang membuat tretes
semakin terkenal adalah karena keberadaan hiburan malam. Dengan didirikan berbagai
macam hotel dan vila secara tidak langsung menjadi fasilitas untuk malalukan bisnis
tersebut16
hiburan di Tretes
. Tretes banyak vila atau rumah yang di sewakan, biasanya penduduk tretes
sudah stand by di atasa motor dan menawarkan jasa Villa atau yang lain Seperti di gang
Bakwan, Tretes terkenal dengan hiburan menemani kita mengusir hawa yang dingin. Di
Pecalukan juga, banyak villa-villa dan teman wanita untuk menemani. Di Pesanggrahan,
Tretes malah hiburannya menarik. karena terkenal bagus dan asyik. Di watu adem juga ada,
kebanyakan memanjakan kita yang sebagai penyewa. Dan penduduk di
sana akan membantu kita mencari apa yang kita perlukan.
Tempat-tempat yang menawarkan kenikmatan syahwat banyak bertebaran di
beberapa tempat. Baik yang berpraktek secara terang-terangan maupun yang berkedok
panti pijat17
Konon, sebutan Mbarakan tersebut berasal dari kata “Mbah’e Urakan”. Kata “Mbah”
disini memiliki makna “senior”, “dedengkot” atau “ahli” dan kata “Urakan” kurang lebih
memiliki arti “tidak memiliki sopan santun”, atau “liar”. Karena kehidupan di tempat tersebut
memang liar, tidak/kurang memiliki sopan santun. Wanita-wanita pemuas nafsu syahwat
yang mengenakan pakaian minim, mabok dan membunyikan sound sistem dengan suara
yang nyaring, maka orang-orang menyebutnya dengan istilah “Mbah’e Urakan”. Hingga
akhirnya, lokalisasi tersebut di kenal dengan sebutan “Mbarakan”
. Sedikit cerita tentang asal-usul salah satu tempat prostitusi yang berada di
Mbarakan. Dahulu, di Tretes, terdapat tempat transaksi prostitusi yang di lokalisir di suatu
kawasan yang di kenal dengan nama “Mbarakan”. Lokasi tersebut agak terpencil. Jauh dari
pusat keramaian. Bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan.
18
16 http://www.acilku.com/48/hiburan-di-tretes/tretes/ 17 https://krampyang.wordpress.com 18 https://krampyang.wordpress.com/
. Tapi seiring dengan
semakin pesatnya laju pertambahan penduduk, lokalisasi tersebut mulai tergusur. Sebagian
dari para wanita-wanita penghibur penghuni eks lokalisasi Mbarakan lebih memilih
berpraktek secara mandiri. Mereka tinggal di kamar-kamar kost yang banyak bertebaran di
wilayah Tretes. Berbaur dengan pemukiman penduduk. Mereka menjaring mangsa lewat
bantuan para perantara yang berprofesi sebagai tukang ojek, maupun penduduk sekitar
yang memang secara sengaja berprofesi sebagai makelar villa. Dan sebagiannya lagi, lebih
48
memilih bertahan mengikuti para mucikarinya. Menyewa rumah di antara pemukiman padat
penduduk di keramaian wilayah Tretes. Dan kembali menjalankan bisnis prostitusinya.
Beberapa tempat yang menjadi pilihan para mucikari yang eksodus dari Mbarakan adalah;
Gang Dahlia, Gang Sono, Gang Bakwan, Pesanggrahan, Watu Adem.
Tretes adalah tempat yang cukup ramai jadi tidak heran bila disana banyak terjadi
tindak kriminal. Di tretes yang sangat terkenal akan prostitusinya disana juga sering terjadi
trafiking atau penjualan anak. Trafiking sering terjadi pada anak-anak atau wanita, kalau
anak biasanya dijadikan pengemis untuk meminta-minta dijalan sedangkan wanita biasanya
dipaksa untuk menjadi PSK19
Selain tempat trafiking untuk di jual keluar daerah disana juga terjadi penjualan dari
tempat lain atau daerah luar tretes, dengan tempat prostitusi yang sangat terkenal
tretesmerupakan tempat tujuan bagi trafiking luar untuk menjual barang dagangannya ke
tretes
Contoh trafiking yang terjadi di tretes terjadi pada tanggal 4
Mei 2012 Kepolisian Daerah Jawa Timur mengungkap kasus "trafficking" (perdagangan
manusia) yang dialami anak berusia 12 tahun dari Desa Sapu Lante, Kecamatan Pasrepan,
Kabupaten Pasuruan yang sempat "dijual" ke Kalimantan Selatan dan Tretes, Pasuruan.
Awalnya, korban bernama Bad alias Ir alias Shin dititipkan orang tuanya kepada RI saat
masih berumur enam tahun untuk diasuh karena alasan ekonomi. Namunayah angkatnya RI
(40) tidak membesarkan Bad dengan baik, melainkan Bad justru "dijual" ke S di Kalimantan
Tengah sebagai pekerja sek komersial (PSK). Di Kalteng, Bad sering terkena razia,
sehingga Bad yang masih di bawah umur itu pun dikembalikan ke ayah angkatnya di
Pasuruan, tapi Bad sempat diminta membayar Rp6 juta di sana,
20
. Empat gadis ditemukan sudah siap dijual ke wilayah Tretes, Kabupaten Pasuruan,
yang memang selama ini dikenal sebagai “rumah” bagi para PSK. Beruntung, sebelum
dibawa ke Tretes, anggota Mapolres Batu berhasil menggagalkan rencana itu di wilayah
Desa Beji, Kota Batu. Penangkapan berhasil dilakukan setelah polisi mendapatkan informasi
dari masyarakat sekitar lokasi. Ada laporan kalau ada empat gadis yang siap dijual ke
Tretes. Satu gadis berasal dari Desa Beji, Kota Batu, dua gadis lagi dari Kota Malang, dan
satu gadis lainnya berasal dari wilayah Donggala, Sulawesi Tengah. Wanita ini dijual oleh
pelaku seharga Rp 1,5 juta.
19 http://www.antarajatim.com/ 20 http://www.beritajatim.com/ 49
PARA “SUMMITEERS” PUNCAK WELIRANG
PARA SUMMITEERS PUNCAK WELIRANG
Anggota tim dalam ekspedisi ini hanya empat orang yaitu Priyo, Arie, Fajrin, dan Yudi.
Awalnya tentu lebih dari empat orang, tetapi karena terkendala berbagai hal tinggallah
empat orang ini yang tersisa. Sejak perencanaan, persiapan teknis, belanja perbekalan,
survei transportasi, hingga mempersiapkan peralatan, semua dikerjakan bersama-sama.
Berikut ini adalah profil singkat mereka.
Nama lengkapnya Priyo Akuntomo, lahir di Jakarta Selatan 1 Mei 1984. Sebagai
satu-satunya anggota tim yang pernah mendaki Gunung Arjuno melalui Jalur
Tretes pada tahun 2007, Priyo berperan sebagai pemandu sekaligus “konsultan”
dalam pendakian ini. Soal teknis pendakian anggota tim yang lain dipastikan
nurut kepadanya. Kontribusinya paling besar untuk foto-foto yang terpajang di
buku ini, sebagai akibatnya foto yang berisi gambar dirinya tentu yang paling
sedikit dibanding anggota tim lainnya. Priyo juga sangat memperhatikan hal-hal
kecil yang biasanya kurang diperhatikan dalam pendakian, termasuk makanan.
Di luar pendakian, Priyo masih memegang “rekor” sebagai satu-satunya anggota MPA Mahameru yang tidak
pernah kuliah di UNY. Ya, dia adalah anggota luar biasa MPA Mahameru dengan nomor M-LB/001/2011.
Kisah hidupnya juga cukup menarik, Priyo yang jawa tulen asli Karanganyar, Solo, lahir di Jakarta, besar di
Denpasar, lama tinggal di Malang selama studi S1 di Universitas Brawijaya, menetap di Jogja sejak studi S2
di UGM (2008-2011) hingga sekarang. Pengalaman mendaki gunungnya diabadaikan dalam blognya:
akuntomountain.wordpress.com
Nama aslinya adalah Arif Ashari, lahir di Magelang pada tanggal 2 Maret 1986.
Di MPA Mahameru dia lebih terkenal sebagai Arie Carstensz, dan sehari-hari
disapa “Kang Arie”. Selain itu dia juga termasuk dalam kaum sesepuh, angkatan
pertama MPA Mahameru dengan nomor M-I/002. Meskipun golongan tua namun
juga masih aktif dalam berbagai kegiatan MPA Mahameru khususnya pendakian.
Harapan terbesarnya adalah terus berada di Jogja, jadi bisa mewakili teman-
teman sepuh untuk membina MPA Mahameru. Selain berusaha untuk selalu
eksis Kang Arie juga senang bergaul dengan anggota lain semua angkatan.
Arie merupakan alumni Jurusan Pendidikan Geografi UNY Angkatan 2003. kemudian belajar di Pasasarjana
UGM seangkatan dengan Priyo tetapi beda jurusan. Arie studi Geografi sementara Priyo di program studi ilmu
lingkungan. Selama aktif di MPA Mahameru dia pernah menjabat ketua pada tahun 2007, kemudian ketua
senat pada tahun 2008 dan 2009. Saat ini sangat menikmati status sebagai golongan tua (yang selalu merasa
muda) diantara anggota lainnya yang berstatus sebagai “murid” di kelas sekaligus “teman” di organisasi.
PRIYO
ARIE
51
Nama aslinya adalah Fajrin Abdurrahman, tapi lebih beken sebagai Fajrin Etawa
(tidak perlu dipikirkan darimana asal nama itu). Lahir di Maluku Tengah, 13
Maret 1992. Anggota MPA Mahameru dengan nomor M-VI/002. Walaupun paling
muda, namun dialah ketua tim dalam ekspedisi ini. Tugas yang dilaksanakan
dengan baik dan penuh tanggungjawab tentunya. Pegalaman yang paling
mengesankan adalah “ribut” dengan Yudi soal tenda dan spesies ulat batu vs
ulat bagor. Semboyannya dalam pendakian adalah: “aku lebih milih ketemu pet
bocor (Pos I) daripada ketemu cewek cantik”. Kisah hidupnya yang nomaden tidak kalah dengan Priyo. Fajrin lahir dan tinggal di Maluku Tengah sampai
umur 2 tahun, kemudian pindah ke Surabaya dan tinggal disana sampai umur 4 tahun kemudian kembali lagi
ke Maluku Tengah. Tiga tahun kemudian pindah ke Purbalingga dan menetap selama 10 tahun sehingga
logat ngapak mulai menjadi identitasnya. Dari tahun 2009 hingga sekarang tinggal di Jogja untuk menempuh
pendidikan di Jurusan Pendidikan Geografi UNY. Cita-citanya adalah menjadi guru teladan yang dikagumi
murid-murid cewek. Saat ini menjabat sebagai Kepala Divisi Logistik MPA Mahameru
FAJRIN
Lahir di Klaten pada tanggal 9 Februari 1990 dengan nama Anwar Suyudi, pria
ini lebih akrab disapa dengan nama Yudi Kromo. Masa kecil hingga remaja ia
habiskan di kampung halamannya, Mutihan, Bayat, Klaten. Oleh karena itu tidak
mengherankan bila ia memiliki cukup banyak penggemar di kampungnya. Saat
ini tinggal di Jogja untuk belajar di Jurusan Pendidikan Akuntansi, FE, UNY.
Anggota MPA Mahameru dengan nomor M-VI/007 ini terkenal memiliki ide-ide
brilian untuk program kerja di Divisi Ekspedisi MPA Mahameru. Jam terbangnya
dalam dunia pendakian tidak bisa dipandang remeh. Meskipun termasuk dalam kelompok minoritas di MPA Mahameru, karena tidak berasal dari Fakultas Ilmu
Sosial, namun berkat dedikasinya yang tinggi iapun diberikan amanah untuk menjabat sebagai Kepala Divisi
Ekspedisi MPA Mahameru. Yudi juga dikenal memiliki semangat pantang menyerah terutama dalam
pendakian. Semboyannya dalam pendakian adalah: “ra trimo mas aku nek wis tekan kene ora muncak”,
terucap di lereng Gunung Pangrango, Jawa Barat. Pria yang rutin jogging di Rektorat UNY ini memiliki cita-
cita menjadi guru yang baik serta memiliki keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
YUDI
52
LANDAI NAMUN PANJANG Jalur Pendakian Gunung Welirang
JALUR PENDAKIAN GUNUNG WELIRANG VIA TRETES
lllaaannndddaaaiii nnnaaammmuuunnn pppaaannnjjjaaannnggg (priyo akuntomo)
Jalur Welirang via Tretes merupakan salah satu jalur favorit pendakian ke puncak
gunung tersebut dibandingkan jalur lain. Walaupun jarak tempuh relatif lebih panjang,
namun aksesibilitas yang mudah, ketersediaan air yang melimpah serta adanya warung di
Kopkopan membuat banyak pendaki memilih jalur ini, terutama pendaki pemula. Jalur
pendakian hingga Pondokan penambang belerang merupakan jalur kendaraan pengangkut
belerang/jeep sehingga jalur pendakian menjadi sangat jelas dan kemungkinan tersesat
menjadi kecil.
Jalur pendakian Welirang via Tretes secara umum bisa dibagi menjadi tiga segmen ,
yait pos pendaftaran – kokopan, kokopan – pondokan, dan pondokan – puncak. Walau
hanya terdiri dari 2 pos namun jarak antar pos ini sangat jauh. Berikut adalah gambaran
jalur pendakian Welirang via Tretes.
Segmen 1 : Pos Pendaftaran - Kokopan
Suasana pendaftaran pendakian di Pos PHPA
Basecamp pendakian berada di depan hotel
Tanjung atau sebelah hotel surya. Basecamp
yang berupa Pos PHPA (Perlindungan Hutan
dan Pelestarian Alam) milik Departemen
Kehutanan. Pos ini juga merupakan pintu masuk
menuju Taman Hutan Raya (Tahura) Raden
Soerja. Basecamp dilengkapi dengan kamar
mandi serta disekitarnya terdapart warung
maupun toko kelontong sehingga pendaki bisa
melakukan persiapan di sini.
63
Pet Bocor
kopkopan
Pendakian dimulai dengan mengikuti jalan
beton yang cukup lebar, hingga bertemu
tikungan dan jalanan berganti makadam, dan
memasuki kawasan hutan raya. Setelah
berjalan 30 – 45 menit berjalan, akan dijumpai
sebuah warung yang dikenal sebagai pet bocor.
Disini biasanya digunakan sebagai tempat
persiapan terakhir pendaki sebelum pendakian
karena terdapat warung. Nama Pet bocor
sendiri berasal dari kata pipa (pet) air minum
yang bocor, yang kini sudah tidak bocor lagi
Selepas pet bocor kita akan menyusuri
jalan makadam dengan vegetasi campuran,
yaitu perkebunan dan hutan produksi.
Kopkopan dapat dicapai setelah berjalan 3
– 3,5 jam dari pet bocor. Kopkopan berupa
tanah lapang yang bisa digunakan untuk
mendirikan sekitar 6 – 8 tenda 4 orang. Di sini
juga terdapat sumber air yang melimpah serta
pada hari hari tertentu, seperti akhir pekan dan
liburan, terdapat warung yang menjual
minuman, gorengan dan mie.
Segmen 2 Kokopan – Pondokan
Hutan pinus jelang pos pondokan
yang masuk dalam kawasan hutan lalijiwo
Pondokan berjarak 3 – 3,5 jam dari
kopkopan. Berdasarkan vegetasinya, segmen
ini bisa dibagi menjadi dua, yaitu perkebunan
rakyat dan kawasan hutan pinus (ketinggian
2000 MDPAL ke atas).
Pondokan merupakan tempat bermalam
para penambang. Di sini juga menjadi
percabangan jalur Arjuno dan Welirang. Di
Kopkopan terdapat sumber air yang berupa bak 64
Salah satu pondokan penambang belerang
penampungan air aliran anak sungai yang biasa
digunakan para penambang. Perlu diingat untuk
tidak mendirikan tenda di area pondokan agar
tidak mengganggu para penambang. Area
berkemah dapat ditemukan di atas (selatan)
pondokan. Para penambang dikenal kurang
ramah terhadap pendaki sehingga ada baiknya
selalu waspada, menjaga etika dan tidak
membuat kegaduhan di sekitar area pondokan.
Pondokan - Puncak Welirang
Jalur menuju puncak, cukup lebar dan jelas
puncak semu
Puncak Welirang dapat ditempuh dalam
waktu 3 jam. Jalur menuju puncak cukup jelas
dan lebar karena merupakan jalur para
penambang. Variasi antara jalur tanah dan
berbatu dijumpai sepanjang perjalanan. Hutan
pinus yang cukup lebat menjadi pemandangan
yang menemani pendakian.
Lepas hutan pinus, terdapat persimpangan
menuju puncak Kembar I (kiri) dan Puncak
Welirang (kanan). Di persimpangan ini terdapat
tanah lapang yang dapat digunakan sebagai
tempat berkemah. Jelang puncak terdapat
persimpangan kembali yaitu lurus (menuju
kawah penambang) dan kanan (menuju Puncak
Welirang). Sebelum mencapai Puncak Welirang
akan melalui beberapa puncak semu.
Tips - Puncak Welirang seringkali tertutup kabut. Usahakan mencapai puncak pada pagi hari
sehingga pemandangan masih dapat terlihat
- Usahakan tidak meninggalkan barang di pos pondokan karena sering terjadi pencurian
- Usahakan mendirikan tenda di luar area pondokan para penambang agar tidak
mengganggu penambang. Area berkemah dapat dijumpai di atas (selatan) tempat
pondokan penambang. 65
Transportasi
Basecamp pendakian Welirang via tretes dapat diakses dengan mudah melalui moda
angkutan umum. Baik dari arah Malang ataupun Surabaya hanya perlu berganti moda
sekali. Berikut adalah transportasi untuk mencapai basecamp tretes
- Terminal bungurasih Surabaya – Terminal Pandaan
Terminal Bungursih – Terminal Pandaan : menggunakan Bus Surabaya – Malang turun
di Terminal Pandaan. Ada dua pilihan, menggunakan bus patas (cepat namun mahal)
atau bus ekonomi (hemat tapi sering berhenti di tengaha perjalanan untuk mengambil
dan menurunkan penumpang). Jika berangakat dari malang juga sama, dari terminal
Arjosari naik bus Malang – Surabay turun di terminal Pandaan
- Terminal Pandaan – Tretes (pos perijinan) : Dari terminal pandaan menuju basecamp
menggunakan angkutan umum, dengan tujuan tretes (hotel tanjung). Umumnya para
pengemudi angkutan umum sudah paham ketika melihat rombongan pendaki dengan
tas ransel di punggung.
Flora Fauna
Pendakian gunung bukan sekedar untuk mengapai puncak. Masih banyak hal yang
bisa dinikmati selama perjalanan terutama keragaman flora dan fauna. Jalur Pendakian
Gunung Welirang via Tretes yang berada di kawasan Tahura Raden Soerya memiliki
kekayaan flora dan fauna yang menarik.
Flora didominasi tumbuhan jenis : Cemara ( Casuarina junghuniana), Saren (
Toenasureni), Pasang (Quercus lincata), Kemelandingan gunung (Mycura javabica) dan
berbagai jenis tumbuhan bawah seperti Padi-padian (Sarghum vitidumvakl). Sedangkan
Fauna yang dapat dijumpai antara lain adalah Rusa (Cerous timorensis), Kijang
(Muntiacus muncak), Babi hutan (Sus Srofa), Kera abu-abu (Macaca fascicuis), dan Budeng
( Presbytis cristata)21
Jenis burung yang dapat dijumpai antara lain: cekakak sungai (Halcyon chloris) dan
burung madu sriganti (Cinnyris jugularis), keduanya masuk dalam satwa dilindungi (PP No 7
tahun 1999); Elang ular bido (Spilornis cheela) dan elang (htam Ichtinaetus malayensis)
yang termasuk dalam satwa dilindungi (UU No 5 tahun 1990 dan PP no 7 tahun 1999 serta
masuk dalam appendix II CITIES); Elang Buteo (Buteo buteo) yang termasuk dalam hewan
yang dilindungi menurut PP no 7 tahun 1999 dan masuk dalam masuk dalam appendix II
CITIES
.
22
21 Pusat Inventarisasi dan Statistik Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan 2002. Data dan Informasi Kehutanan Provinsi Jawa Timur. 22 Hubertus Buntoro Ajie, 2009. Burung – burung di Kawasan Pegunungan Arjuno Welirang Taman Hutan Raya Raden Suryo, Jawa Timur Indonesia.
. Keberadaan burung burung tersebut dapat dilihat di kawasan antara Basecamp
66
hingga Kopkopan. Selain burung – burung yang dilindungi, masih banyak jenis burung yang
dapat dijumpai seperti cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), perenjak jawa (Prinia
familiaris), cinenen jawa (Orthotomus sepium), anis merah (Zoothera citrine), Punai gagak
(Treron sphenura).
Keberadaan flora dan fauna ini menjadi suguhan menarik untuk menemani pendakain.
Maka tak ada salahanya menaruh perhatian selama melakukan pendakian karena jika
beruntuk kita bisa melihat satwa yang dilindungi bahkan bisa mengambil gambarnya.
Rupa Rupa
Gunung Arjuno-Welirang merupakan pegunungan yang memiliki jalur pendakian sadel.
Pendakian sadel dapat diartikan pendakian yang dilakukan pada dua puncak atau lebih
yang membentuk sadel dengan jarak yang tak terlampau jauh. Gunung Salak (salak I-salak
II), Merbabu (Kentheng Songo – Syarief) serta Arjuno-Welirang merupakan gunung –
gunung yang memiliki jalur pendakian sadel.
Jalur pendakian sadel Arjuno Welirang sendiri terdiri dari Puncak Arjuno- puncak
Gunung Kembar II- puncak Gunung Kembar I - Puncak welirang. Untuk mencapai ke empat
puncak itu membutuhkan waktu kurang lebih 6 jam (dari puncak arjuno hingga mencapai
puncak welirang). Perlu persiapan pendakian yang matang karena pendakian sadel cukup
menguras fisik. Namun tak ada salahnya mencoba pendakian sadel empat puncak ini
karena tentunya akan menberikan sensasi dan pengalaman yang yang berbeda.
67
Pos PHKA (Pengawasan hutan dan Konservasi Alam) yang menjadi perijinan pendakian. Jalur pendakian berada dalam kawasan Taman Hutan Raya sehingga segala kegiatan di dalamnya berada dalam pengawasan Departemen Kehutanan.
Vegetasi yang dijumpai pada awal perjalanan merupakan campuran antara hutan produksi, hutan pegununangn dan perkebunan warga. Hutan produksi berupa mahoni, jati dan pinus sedangkan tanaman perkebunan cukup beragam, seperti sayur sayuran, buah-buahan, dan jagung.
Pos Pantau Tahura, yang berfungsi mengawasi kegiatan di Tahura, terutama untuk mencegah pencurian kayu .
Pet Bocor, yang namanya berarti pipa bocor ini merupakan tempat beristirahat dan melengkapi sebelum memulai pendakian yang sebenarnya.
Kopkopan, tempat favorit untuk berkemah karena air yang melimpah serta pemandangan yang berupa Gunung penanggungan dan kota sidoarjo-surabaya. Terdapat warung yang menjual mie, gorengan dan pisang pada akhir pekan
Pos pondokan belereng yang merupakan persimpangan arjuno-welirang. Pos ini biasa digunakan pendaki untuk berkemah sebelum summit attack ke puncak welirang. Mengingat lokasi yang cukup rawan, para pendaki diingatkan untuk tidak meninggalkan barang di sini.
Pesimpangan Gunung kembar I – Welirang. Di sini terdapat tanah datar yang cukup luas dan ditumpuhi oleh edelweiss. Di lokasi ini dapat dimanfaatkan untuk lokasi berkemah.
Puncak Weirang merupakan suatu kerucut vulkan yang aktif. Puncak terdiri dari beberapa igir yang mengelilingi kawah mati. Kawah aktif yang juga lokasi penambangan belerang terletak di sebelah utara puncak
Hutan Pegunungan tropis mulai dijumpai pada keggian 2000m dpal, ditandai dengan keberadaan pinus dan cemara. Mendekati pos pondokan, vegetasi semakin lebat (memasuki kawasan hutan konservasi arjuno lalijiwo)
Memasuki ketinggian 2800m dpal, dapat dijumpai tanaman cantigi dan edelweiss yang merupakan vegetasi hutan sub alpin
Kopkopan (1650 mdpal) 678292.34 m T
9146044.26 m S Pet Bocor (965 mdpal)
679431.73m T 9148224.62m S
Pondokan (2500 mdpal) 675907.10m T
9143750.58m S
Puncak (3156 mdpal) 673787.53m T
9144896.42 m S
Hutan Campuran dan Perkebunan
68
Ilustrasi medan Pendakian Gunung Welirang via Tretes
Kontur Jalur Pendakian Gunung Welirang via Tretes
69
MENDAKI KE ATAS PADANG BELERANG
Ternyata belum. Sekali lagi medan
di Gunung Welirang membuat kami
frustrasi. Tidak ada petunjuk yang jelas
mengenai jalur mana yang menuju ke
puncak, selain itu tak satupun dari kami
yang pernah mendaki puncak ini
sebelumnya. Seberat-beratnya medan di
bawah sana kami masih bisa tenang
karena Priyo pernah melaluinya lima
tahun lalu ketika menuju Puncak Arjuno.
Tapi disini kami harus benar-benar
menajamkan naluri, mengikuti tanda alam
untuk mencari dimana jalur menuju
puncak. Medan disini mirip dengan
Pelawangan Gunung Slamet, Cemara
Tunggal Gunung Semeru, atau Pasar
Bubrah Gunung Merapi, bedanya jalur
lebih membingungkan karena berputar-
putar melewati beberapa gundukan bukit
kecil. Untunglah cuaca hari ini cerah,
hanya asap belerang yang menyembur
dari kawah menyesakkan nafas dan
menghalangi pandangan.
Hari ini adalah hari ketiga
pendakian, sekaligus hari kedua kami
berada di gunung. Tinggal beberapa
saat lagi perjalanan panjang kami akan
mencapai babak akhir. Perjuangan
untuk sampai disini sungguh bukan
main. Lintasan panjang berbatu yang
terjal kerap kali membuat kami frustrasi.
Akupun sempat sakit ketika mencapai
Pos III (Pondokan) lalu terselamatkan
oleh istirahat semalaman.
Hari ini semangatku sudah pulih
kembali, tapi nampaknya justru teman-
teman yang mulai kelelahan, kecuali
Priyo. Hutan-hutan lereng Welirang
yang semula rimbun kini perlahan
terbuka, lalu sampailah kami pada
suatu tempat dimana hanya ada
bebatuan dan sesekali gerumbul
rerumputan. Puncakkah?
Mendaki ke atas padang belerang
Arie Carstensz
*****
Saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah melakukan persiapan panjang, hari
ini kami akan kembali memulai ekspedisi. Impian kami adalah mencapai Puncak Arjuno lalu
kemudian ke Puncak Welirang. Keduanya memang berada di satu gunung yang sama
sehingga orang sering menyebutnya sebagai Gunung Arjuno-Welirang. Diiringi doa dan
harapan teman-teman kamipun segera berangkat. Empat hari pulang pergi dari Jogja akan
kami lalui untuk satu tujuan, mengibarkan bendera di puncak tertinggi.
Ada sebuah jalan bagus yang kami
ikuti, agak lebar dengan jejak-jejak
belerang yang tumpah. Setelah
mengelilingi satu igir besar kami kaget
bukan kepalang karena ternyata jalur ini
buntu ke kawah utama. Lalu kami
kembali melintasi igir ke tempat
sebelumnya. Disana kami mengikuti jejak
yang tidak terlalu jelas menuju ke atas.
Kami semua sepakat, inilah jalur menuju
puncak. Aku berjalan bersama dengan
Yudi, sementara Priyo bersama Fajrin
diikuti oleh rombongan pendaki lain
berada agak di bawah. Karena terdorong
oleh rasa penasaran kamipun
mempercepat langkah. Sekitar 30 menit
berjalan setelah kembali dari nyasar kami
menjumpai gua vulkanik, lalu lembah
sempit dan nampaknya diatas sana
sudah tidak ada yang lebih tinggi.
Dugaan meleset, sampai diatas kami
ternyata masih harus mendaki satu igir
lagi. Mungkin 20 menit tanpa berhenti.
Aku dan Yudi saling berpandangan, lalu
kemudian geleng-geleng kepala. Tanpa
membuang waktu kamipun segera
memanjat lereng-lereng cadas, berjalan
melintasi sisa-sisa kawah, menapaki
bebatuan yang berasap dan kadang
berbau sengak. Dan benar saja tak
berapa lama kamipun tiba di puncak.
Tidak ada keindahan edelweiss, pohon-
pohonan kerdil, ataupun rerumputan.
Disini hanya ada batu dan pasir yang
hampir semuanya berwarna kelabu. Aku
dan Yudi berhenti di satu puncak untuk
menunggu Fajrin dan Priyo yang segera
menyusul beberapa menit kemudian. Lalu
bersama-sama kami menuju puncak
tertinggi, dan bendera kami kibarkan.
Awan perlahan naik ke atas...
72
HARI PERTAMA Malam semakin larut, hari ini tanggal 26 April 2012. Selepas isya, jalanan di pinggiran
Jogja terasa lebih dingin dibanding hari-hari sebelumnya. Malam ini sesuai janji kami akan
berangkat memulai ekspedisi Arjuno-Welirang. Sekitar jam 8 aku dan Priyo sudah sampai di
Rektorat UNY, tempat yang dijanjikan sebagai titik kumpul menjelang keberangkatan. Tak
berapa lama Yudi dan Fajrin menyusul datang, dan kamipun segera melanjutkan perjalanan
ke terminal untuk menumpang bus ke Surabaya. Anggota tim ekspedisi ini hanya empat
orang yaitu aku, Priyo, Yudi, dan Fajrin. Meskipun paling muda di rombongan ini, Fajrin
adalah ketua tim MPA Mahameru Arjuno-Welirang Expedition 2012. Semangat sedang
bagus-bagusnya. Terbayang kami segera mencapai puncak yang menjadi target, Arjuno dan
Welirang, jika memungkinkan.
Sampai di terminal hanya ada dua pilihan, bus yang ‘bagus’ atau bus yang ‘ngetop’
karena sering kecelakaan. Mulanya Priyo bertanya kepada kondektur bus yang ‘bagus’,
“berapa ongkos ke Surabaya?”, “63 ribu mas plus bonus sekali makan”. Sambil terhenyak
kami segera melangkah menuju bus yang ‘ngetop’, walaupun awalnya ragu-ragu. Pilihan
yang sulit mengingat biaya ekspedisi yang mepet. Bus segera melaju meninggalkan Jogja,
Priyo nampak nyaman dengan ipodnya, Yudi manggut-manggut mengikuti irama gendang
pengamen, Fajrin sudah pulas setelah minum obat anti mabuk, aku melihat ke luar jendela
pikiranku melayang-layang entah kemana. Sesekali aku masih sempat mengirim sms
kepada Toffan, pak ketua yang selalu menanti perkembangan kabar dari tim ekspedisi. Bus
melaju kencang, kami mulai dibius rasa kantuk. Entah berapa jarak telah dilalui, ketika Priyo
mencolek pundakku aku terbangun, ternyata sudah sampai di Surabaya. 27 April 2012,
pukul 03.00 pagi.
HARI KEDUA “Apa yang bisa kita lakukan jika sampai terminal sepagi ini?” tanyaku pada teman-
teman. “ya tidur, mas” kata Yudi. Ah, gagasan bagus. Selembar matras dibentangkan Fajrin,
dipakai berdua denganku, lalu mencoba tidur-tidur ayam. Yudi dan Priyo ngobrol ngalor
ngidul entah membicarakan apa. Waktu aku terjaga ternyata hari sudah mulai terang. Kami
segera melanjutkan perjalanan dengan bus jurusan Malang. Yudi yang ‘gumunan’, heran
melihat jalan layang. “dasar ndeso, maklum di Klaten ga ada ya?” kataku. “emang di
Magelang ada mas?” Yudi ga mau kalah. Hahaha… kadang kebersamaan seperti ini terasa
begitu mahal. Terlebih bagi orang-orang yang sedang berada jauh dari rumah seperti kami.
Sahabat-sahabat inilah keluarga kami sekarang.
Tidak berapa lama perjaanan sampailah di terminal Pandaan, hanya sebentar saja
angkot segera menghampiri. Perjalanan selanjutnya nanjak-nanjak hingga ke Tretes.
Sejujurnya ini perjalanan yang mengasyikkan. Jalurnya mengingatkan ketika naik ke cibodas 73
di lereng Gunung Gede-Pangrango. Tapi disini lebih ramai, ada pasar di tepi jalan, ada pula
candi yang membuat perjalanan lebih berasa di tempat wisata. Tempatnya cukup ramai dan
hawanya sejuk. Tiba di base camp Fajrin segera melapor, dilanjutkan dengan menyerbu
warung nasi, packing ulang, berdoa, dan mulai perjalanan panjang yang nantinya sangat
menguras energi dan emosi.
Awal perjalanan Diantara kami hanya Priyo yang pernah melewati jalur ini, itupun sepertinya lebih dari
lima tahun yang lalu. Priyo lebih banyak lupa daripada ingatnya. Bagi Fajrin dan Yudi ini juga
merupakan pengalaman pertama mereka dalam pendakian lebih dari 24 jam, dengan start
pagi hari pula. Selepas base camp jalur langsung menanjak, sambil menghela nafas yang
putus-putus kami terus berjalan memasuki rimbunan semak. Lalu akhirnya berhenti dekat
sebuah gubuk tua yang nampaknya tak terawat. Istirahat sejenak, sudah mandi peluh walau
baru awal perjalanan.
Selepas istirahat sebentar perjalanan dilanjutkan, tidak berapa lama kemudian
sampailah di Pos I, pet bocor. Di sudut jalan ada warung, tapi sepertinya masih belum
menggoyahkan semangat kami yang ‘lagi bagus-bagusnya’ segera ingin ke atas. Pos I
dilewati begitu saja, kami baru berhenti di pintu jaga Tahura R Soeryo, ketika jalur jalan
semen yang dilalui sudah habis berganti jalan berbatu yang lebih mirip sungai kering
daripada jalan. Istirahat sejenak ditemani kabut tipis yang datang dan pergi, berganti dengan
cahaya matahari. Rasa-rasanya obrolan sore itu berkisar pada rute transportasi belerang
yang diangkut dengan pick up dari Pos Pondokan ke Basecamp. Saat mendaki Arjuno 4
tahun yang lalu Priyo memang sempat berpapasan dengan kendaraan pengangkut
belerang. Aku, fajrin, dan Yudi manggut-manggut mendengarkan cerita Priyo, sambil tak
henti-hentinya heran bagaimana kendaraan pembawa beban bisa melewati jalan nanjak
yang seperti sungai kering, dilewati pejalan kaki saja susah.
Karena masih awal perjalanan, semangat dan tenaga pun masih penuh, kami tidak
banyak mengeluh soal ‘jalan yang buruk’ ini. Justru begitu menikmati perjalanan. Apalagi
sepanjang jalur bunga-bunga kuning besar (sebesar bunga matahari, tetapi entah apa
jenisnya) sedang bermekaran. Sepanjang jalan batu ini kami banyak menjumpai ulat bulu.
Yudi menyebutnya ‘ulat batu’, “karena ulatnya nempel diatas batu” katanya. Perjalanan
masih diisi dengan canda tawa, biasanya Fajrin yang menjadi korban bullying. Satu-satunya
masalah adalah cuaca yang tidak menentu. Kadang panas terik datang, sesaat kemudian
tiba-tiba cuaca berubah mendung dengan kabut tebal. Kami berharap hujan tidak turun
sebelum sampai di Pos Pondokan. Selain akan menghambat perjalanan, hujan akan
menyebabkan suasana tidak nyaman serta meningkatkan bahaya lingkungan yang bisa
berakibat hipotermia. 74
“Ini namanya laterit, jenis tanah yang mengeras karena kandungan besinya mengalami
oksidasi. Tanah di gunungapi seperti di sini memang sangat kaya akan kandungan besi”
kataku memulai ‘kuliah lapangan’ sore ini. Sekedar mengimbangi rasa bosan yang mulai
datang karena medan yang dilalui hanya begini begini saja, jalan yang jelek, cuaca yang
tidak menentu, hutan yang membosankan. Rasanya perjalanan mendaki ini hanya berputar
putar saja. Setiap kali sampai diujung tikungan yang kami lihat hanya jalur yang sama
seperti yang tadi sudah dilewati tadi, begitu seterusnya. Ingin segera sampai di Pos
Kokopan tapi rasanya masih begitu jauh. Kami mulai bosan.
Rasa lelah setelah menempuh perjalanan jauh benar-benar terasa dampaknya.
Idealnya sebelum mendaki kami istirahat terlebih dahulu di base camp, sekalian
aklimatisasi. Setelah tenaga kembali pulih baru memulai pendakian. Tetapi karena waktu
ekspedisi yang mepet karena memang bukan musim libur, ditambah target mencapai dua
puncak membuat kami harus memanfaatkan waktu seefisien mungkin. Jadilah pendakian
panjang ini ditempuh dengan fisik yang kelelahan setelah menempuh perjalanan 12 jam naik
bus dari Jogja.
Jalur Kenangan
Pendakian kali ini semacam nostalgia bagiku, di jalur tretes inilah pertama kali aku melakukan pendakian 3000m dpal menuju puncak Arjuno sekitar 4 tahun yang lalu. Tentu kondisi waktu itu jauh berbeda, dengan segala persiapan dan manajemen pendakian yang masih kacau, pendakian saat itu terasa sangat berat dan lama. Alih – alih mengamati jalur, aku lebih sering memikirkan diri sendiri yang ragu bisa sampai puncak atau tidak. Jalur berbatu penuh debu dan terik matahari yang menyengat saat itu benar benar membuat nyali menciut, terlebih lagi rombongan kala itu tak ada satupun yang pernah mendaki Gunung Arjuno.
Kembali merangkai ingatan mengenai jalur pendakian ternyata bukan hal mudah, bahkan rekaulang lokasi pos pendakian pun salah. Maklum, kala itu jalur naik dan jalur turun berbeda sehingga sangat sedikit memori yang menempel di kepala. Yang paling aku ingat, jalur ini sukup panjang sehingga perlu mempersiapkan mental untuk melaluinya. Dan tentu saja, beban moral kali ini lebih besar daripada pendakian pertama karena diberi kepercayaan sebagai “konsultan” pendakian ekspedisi kali ini. Mau tak mau segala sesuatu harus dipersiapkan untuk menyukseskan pendakian kali ini, walau aku sendiri banyak lupanya daripada ingatnya. Mulai dari persiapan fisik, logistik (terutama terkait makanan, karena pendakian Arjuno dahulu merupakan salah satu pendakian dengan perencanaan logistik paling kacau) hingga persiapan rencana A, B,C, hingga D guna mengantisipasi berbagai kemungkinan yang ada. *** Priyo
75
PERJALANAN YANG BEGITU MENGESANKAN
Ngomong-ngomong soal perjalanan, aku punya kesan yang sangat ‘menggelikan’. Semua berawal dari keterpaksaan naik bus yang terkenal karena sering kecelakaan. Malam semakin larut, terminal Giwangan Jogja semakin sepi. Saat itu hanya ada dua bus yang akan berangkat menuju Surabaya, karena faktor dana yang mepet akhirnya dengan terpaksa kami memilih bus yang murah namun agak ‘berbahaya’ itu.
Aku memang yang paling semangat naik bus ini, “penasaran, mas” begitu kataku kepada Mas Arie yang paling jengkel. Nah, yang menggelikan dan sekaligus tidak bisa dilupakan adalah ekspresi wajah Mas Arie dan Fajrin yang antara mau dan tidak mau naik ke dalam bus. Terpaksa dan tidak rela tapi akhirnya naik juga. Sesampainya di dalam bus Fajrin kemudian bilang kepada Mas Arie “mas, pimpin berdoa”.
Tidak hanya sampai di situ, kebahagiaanku berlanjut dengan full music koplo sepanjang perjalanan. Sampai Madiun kira-kira tengah malam, ada seorang bapak yang ketiduran dan akhirnya kebablasan dari tempat seharusnya dia turun. Sudah jatuh tertimpa tangga, si bapak malah dimintai ongkos tambahan oleh kernet. “mas saya turun Madiun ya” kata si bapak “Madiun sudah lewat pak, tadi saya teriak Madiun Madiun ga ada yang respon” kata kernet Merasa bahwa ini salahnya bapak itu hanya diam saja “ya sudah bapak turun di depan polsek itu aja, dari situ gampang cari bus untuk balik ke Madiun” kata kernet lagi “yo wis mas” kata bapak yang langsung disahut oleh kernet: “dua ribu” (maksudnya nambah dua ribu untuk ongkos ‘kebablasan’ itu)
Sambil tidur-tidur ayam kami mendengar dialog itu dan menurutku itulah bagian terlucu sepanjang perjalanan. Sampai sekarang aku masih tertawa bila ingat cerita itu. kata Mas Arie “sepertinya dia (Yudi) begitu menikmati kesusahan orang lain”. Ada-ada saja.. Sedikit hiburan ditengah suasana panik dan waspada dalam bus yang memang melaju ugal ugalan. ***Yudi
Sesekali hujan datang menimbulkan gemerisik di dedaunan dan semak, seperti hujan
gerimis. Aku mulai sok tahu lagi (tapi beneran tahu). “Ini namanya presipitasi horizontal,
sebenarnya berupa kabut tebal yang banyak mengandung uap air. karena kejenuhannya
terlalu tinggi maka ketika menyapu permukaan sebagian airnya akan jatuh seperti hujan”
kami berdiskusi sambil cerita, sok ilmiah biar tetap nampak cerdas walaupun sedang berada
jauh dari kampus. Lereng Gunung Arjuno Welirang rasanya begitu membosankan sore ini.
Karena dilanda kejenuhan perjalanan mulai terasa berat. Kami jadi banyak berhenti, tarikan
nafas mulai terengah-engah, ingin cepat sampai Pos Kokopan membuat kami mulai dilanda
rasa frustrasi. 80
Jalan yang begitu terjal Ketika kejenuhan mulai sampai pada puncaknya akhirnya kami sampai di Pos
Kokopan (Pos II). Menurut Priyo Pos ini banyak digunakan untuk camping, tidak hanya oleh
para pendaki saja, tapi juga bagi penggemar kegiatan outdoor yang tidak minat untuk
mendaki ke puncak. “Kalau malam minggu biasanya tempat ini jadi ramai banget, kalau kita
mau camping disini pada saat turun nanti kita harus cepat-cepat. Telat sedikit atau
kemalaman sampai disini jangan harap dapat tempat untuk bikin tenda” kata Priyo. Pos
Kokopan memang tidak begitu luas, namun disini terdapat mataair dengan debit yang cukup
besar. “Disini kalau malam indah banget, lampu-lampu kota di bawah sana kelihatan, sudut
pandangnya juga bagus, lagipula jaraknya cukup jauh bagi yang bukan pendaki sehingga
sudah merupakan tantangan tersendiri untuk sampai disini” lanjutnya. Sayangnya ketika
kami sampai sore ini kami hanya disambut oleh mendung yang tebal. Jadi ‘boro-boro’ bisa
lihat lampu kota di bawah sana, jalur yang tadi dilewati saja tidak nampak. Waktu istirahat di
Pos Kokopan rasanya tidak terlalu lama mengingat perjalanan masih sangat jauh dan kami
telah membuang banyak waktu di perjalanan tadi. Kami hanya bergantian untuk sholat lalu
kembali melanjutkan perjalanan. Gubuk di pojok pos nampaknya biasa dipakai untuk
berjualan. Hanya saja sore ini nampaknya tidak ada yang berjualan, mungkin karena belum
malam minggu.
Tidak berapa lama di Pos Kokopan kami segera melanjutkan perjalanan. Jalur
sekarang menjadi lebih terjal. Badan yang sudah mulai lelah jadi malas bergerak, apalagi
tadi baru saja melewati istirahat ‘sebentar’ yang sangat tidak memuaskan. Baru berjalan
beberapa langkah rasanya sudah ingin berhenti lagi. Dalam hati aku heran bagaimana jeep
yang mengangkut belerang dari Pos Pondokan bisa melewati jalan terjal dan rusak seperti
ini. Belum sampai 30 menit dari Kokopan kami istirahat lagi di sebuah gubuk, sepertinya
memang dibuat sebagai pos pengamatan oleh Dinas Kehutanan Jawa Timur sebagi pihak
pengelola Tahura R Soeryo.
Kemudian kami mulai jalan nanjak dan nanjak lagi, kaki rasanya mulai gempor,
ditambah cuaca yang tidak menentu membuat perjalanan jadi kehilangan kenikmatannya.
Ketika mendung sedikit terbuka cahaya matahari sore yang hangat terasa memberi rasa
nyaman (hanya sebentar saja karena setelah itu mendung terus menutupi langit sampai
malam tiba ketika kami telah sampai di kokopan). Sambil duduk beristirahat tiba-tiba kami
dikejutkan oleh seekor lutung yang sedang bergelantungan di dahan pohon. Bulunya hitam
gelap dan ukurannya lebih besar daripada monyet biasa. “Kira-kira sebesar Fajrin” kami
membuka kembali canda tawa yang sempat terhenti oleh rasa lelah dan bosan sepanjang
perjalanan tadi. Tapi memang lutung ini begitu besar, Fajrin menyebutnya Jaguar karena
besar, hitam, dan pandai memanjat. Aku mulai waswas, takut kalau lutung ini tiba-tiba
menyerang. Wah bisa terjadi pertarungan antara lutung gunung dengan lutung kampus. 81
Jalanan jelek sepertinya memang tidak ada habisnya. Priyo bilang sampai Pos
Pondokan jalannya akan tetap seperti ini. “kan jalur jeep pengangkut belerang” katanya.
“nah jeepnya itu paling jauh cuma sampai di Pondokan” katanya melanjutkan. Jalan
memang tetap sama jeleknya tapi tanjakannya lebih terjal. Aku mulai merasa tidak enak
badan, mungkin karena kelelahan dan masuk angin ketika naik bus. Teman-temanpun
kondisinya kurang lebih sama walaupun tidak separah aku. Hanya Priyo yang nampak
sehat. “makanya punya badan tuh rajin-rajin diservis” kata Priyo kepada kami semua,
terutama kepadaku yang paling loyo sore ini. Ah, rasanya menyesal malas berolahraga.
Padahal dulu dalam setiap pendakianku rasa-rasanya tidak pernah aku mengalami
kelelahan sampai seperti ini. “itu dulu, waktu kamu masih sehat-sehatnya dan belum banyak
kegiatan dan beban kerja” kata Priyo. Memang benar, pikirku.
Masalah baru mulai datang sekarang. Selain jalan jelek dan terjal yang menguras
tenaga dan semangat, cuaca juga mulai memburuk. Sesekali terdengar suara gemuruh di
langit sambung menyambung. Langit semakin pekat oleh mendung dan sore menjelang
senja. Nampaknya akan turun hujan. Suara guntur terasa membuat nyali ciut, kami
mencoba terus berjalan agar cepat sampai di Pos Pondokan. Terbayang disana mendirikan
tenda, berbaring nyaman, memasak makanan yang enak. Ah, rasanya hilang semua lelah
kalau sudah sampai di Pondokan. Tapi sepertinya tempat yang kami tuju masih sangat jauh
dari bayangan. Bahkan angan-angan saja belum sampai, kecuali Priyo yang pernah
melewati jalur ini, dengan sisa-sisa ingatannya yang mengatakan bahwa: “Pondokan masih
jauh”.
Cobaan Cuaca benar-benar tidak bisa diperkirakan. Sebentar matahari bersinar terik, sebenar
turun kabut, sebentar kemudian terik lagi, turun kabut lagi, begitu seterusnya. Suatu ketika
kabut pekat datang lalu disusul hujan rintik-rintik. Kami sedang merayap di sebuah tanjakan
terjal, rasanya jalan ini seperti tidak berujung, hanya berkelak-kelok saja. Ditengah rasa
jemu sekonyong-konyong terdengar suara petir menyambar. Lalu disusul gemuruh di langit
sambung menyambung. Secara pribadi aku sudah beberapa kali merasakan “digertak”
badai gunung, yang tentu saja jauh lebih dahsyat dari ini. Tapi suasana hujan rintik-rintik di
tengah hutan ini rasanya begitu aneh. Kami semua lalu berhenti untuk memakai jas hujan,
lalu jalan lagi. Aku merasa semakin tak enak badan. Kami jalan sendiri-sendiri, terpisah satu
sama lain beberapa puluh meter. Aku sendiri yang paling tidak sehat mulai kepayahan dan
tertinggal-tinggal. Saat jarak terlalu jauh teman-teman menunggu. Yudi yang berada paling
dekat di depanku sepertinya mulai mengkhawatirkan kondisiku. Sesekali dia berhenti lalu
menoleh dengan wajah cemas. Aku tidak mau membuatnya khawatir, sambil menahan lelah
aku hanya bisa mengacungkan jempol dari kejauhan, tanda bahwa aku baik-baik saja. Saat
itu aku merasa sangat lapar, untung sebelum berangkat Priyo sempat memasukkan banyak 82
permen di saku jaketku. Lumayan, sepanjang jalan masih bisa mengunyah permen sekedar
untuk asupan darurat.
Fajrin yang berjalan paling depan hanya nampak samar-samar olehku. Kabut tebal
mulai datang sehingga menghalangi pandangan. Hujan rintik-rintik masih menyertai
perjalanan. Untung tidak hujan deras, pikirku. Apa jadinya kalau tubuh-tubuh lelah ini
diguyur hujan deras, basah dan dingin, keadaan yang lebih buruk bisa saja terjadi. Tentu
dalam keadaan seperti ini kami terus berusaha mempercepat langkah semampunya agar
cepat sampai Pondokan, tak lupa sembari memanjatkan doa di setiap langkah, memohon
perlindungan dariNya.
Kami segera beristirahat kembali, selain untuk mengurangi lelah juga agar semua
anggota tim berkumpul kembali. Berjalan sendiri-sendiri di tengah kabut tebal terlalu riskan,
takut terjadi hal-hal yang buruk akhirnya kami memutuskan untuk bersama dan berjalan
berdekatan. Aku yang sekarang berjalan paling depan, biar tidak ketinggalan lagi. Untuk
menopang tubuh yang lelah aku pakai saja tracking pole milik Priyo. Hujan telah berhenti,
teman-teman membuka jas hujannya, aku malas dan terus saja berjalan agar segera
sampai di Pondokan.
Ketika berhenti tadi kami sempat bertemu serombongan pendaki yang sedang dalam
perjalanan turun. Menurut informasi dari mereka pondokan tinggal 15 menit lagi. Wah,
benarkah? Tentu kami kembali bersemangat. Tapi kok rasa-rasanya sudah lebih dari 15
menit berjalan masih belum juga sampai? Apakah kami berjalan terlalu pelan? Apakah
mereka hanya sekedar membesarkan hati kami saja? Dengan pikiran yang dipenuhi
pertanyaan kami terus saja berjalan dan akhirnya sebelum frustrasi kembali menguasai hati
sampailah kami di Pondokan. Disini sudah ada beberapa kelompok pendaki. Malah
nampaknya ada yang tengah bersiap untuk perjalanan turun. Aku menghempaskan tubuhku
di dekat mereka. Sambil istirahat aku sempat mendapat informasi bahwa dua hari terakhir
hujan deras terus mengguyur sampai pondokan. “baru hari ini saja tidak hujan deras” begitu
kata mereka. Dalam hati aku mengucap syukur.
Tenda segera didirikan, aku dan Fajrin lalu menuju sumber air. Setelah sholat maghrib
aku masuk tenda. Teman-teman masih asyik memasak. Pintu tenda sengaja tidak aku tutup
agar tetap bisa bersama teman-teman walaupun tidak ikut berada di luar. Tak berapa lama
Priyo sudah menyiapkan mie hangat dengan ikan sardin yang aromanya sungguh nikmat.
Kami semua makan dengan lahap. Segelas susu hangat mengakhiri hari yang melelahkan,
karena setelah itu aku menjadi yang pertama ketiduran karena terbius lelah. Mungkin juga
karena kekenyangan. Entah kapan teman-teman mulai mengantuk dan berangkat tidur.
Ketika aku terjaga Priyo sudah lelap disebelahku. Fajrin berada satu tenda dengan Yudi.
Pagi belum juga datang di dalam tenda masing-masing sibuk dengan mimpinya sambil
menggigil menahan dingin. 83
MENGURAS EMOSI DAN KESABARAN
Mendaki ke Gunung Welirang memang cukup menguras emosi dan kesabaran.
Pertama, dari ketinggiannya Gunung Welirang sebenarnya termasuk dalam kategori tidak tinggi-tinggi amat. Welirang hanya 3156 mdpal, 3 meter lebih tinggi dari Gunung Sindoro di Jawa Tengah, serta lebih rendah 200an meter dengan Gunung Arjuno yang berada dalam satu gugus gunungapi dan terletak di selatannya. Selain itu, jika dihitung-hitung Welirang hanya berada dalam ranking tertinggi ke tujuh diantara sepuluh gunungapi tertinggi di Pulau Jawa, yang selengkapnya adalah Mahameru (3676 mdpal), Slamet (3428 mdpal), Sumbing (3371 mdpal), Arjuno (3339 mdpal), Raung (3332 mdpal), Lawu (3265 mdpal), Welirang (3156 mdpal), Sindoro (3153 mdpal), Merbabu (3142 mdpal), dan Argopuro (3088 mdpal). Tapi, walaupun tidak tinggi-tinggi amat jalur ke puncak Welirang melalui Tretes terbilang cukup panjang, karena Base Camp Tretes terletak di ketinggian 800 mdpal. Jadi ada beda tinggi 2300an meter, dengan lerengkaki gunungapi yang relatif landai. Atau mau ke Welirang via Jalur Lawang atau Batu? Tentu lebih jauh karena jalur-jalur yang disebutkan lebih dekat ke Puncak Arjuno.
Kedua, jalur ke Puncak Welirang penuh dengan igir tipuan. Kami yang awam dengan rute Welirang sama sekali tidak menduga banyaknya igir tipuan ini. Berdasarkan keterangan yang kami himpun dari berbagai sumber, dalam gugusan Arjuno-Welirang ada empat puncak (semuanya berketinggian diatas 3000 mdpal) yaitu berturut-turut dari utara adalah Welirang, Kembar I, Kembar 2, dan Arjuno. Memang dari citra satelit kami sempat mengidentifikasi ada banyak igir lagi selain empat yang disebutkan diatas, tapi kami berpikiran bahwa empat-empatnya berderetan berturut-turut. Ternyata? Memang benar bahwa Puncak Kembar I, Puncak Kembar II, dan Puncak Arjuno berdiri berjajar berturut-turut, tetapi Puncak Welirang yang akan kami tuju terletak jauh ke utara dari Kembar I, dibatasi oleh igir lava dome (menurut istilah Verstappen) yang lebih tinggi dari Kembar I, kemudian kami harus melintasi igir Welirang Tua, barulah kami sampai di Puncak Welirang yang beneran, yaitu Welirang Muda yang tingginya 3156 mdpal. Jadi, selain membuat kami salah paham beberapa kali mengenai puncak mana yang harus didaki, lintasan yang dilewati juga lebih panjang, lebih jauh, dan berputar-putar. Kamipun berkeliling-keliling di tempat berketinggian 3000an mdpal. ***Arie dan Fajrin HARI KETIGA Harapan baru
Pagi ini cerah sebagaimana semangat kami yang kembali menyala setelah ‘isi ulang’
di dalam tenda semalaman. Priyo sudah lebih dulu bangun dan sudah jalan-jalan entah
kemana. Mungkin menjalani hobby barunya: menghilang pagi-pagi, atau mungkin mencari
lokasi ‘belakang’, entahlah. Yudi dan Fajrin juga segera bangun sambil menggigil. Memang
pagi ini cukup dingin, walaupun sebenarnya tidak dingin-dingin banget sebagaimana suhu
udara di gunung pada pertengahan musim kemarau. 84
Acara kami pagi ini apalagi kalau tidak memasak untuk sarapan. Yudi segera
menunjukkan keahliannya dalam menanak nasi, Fajrin membuat kopi panas yang segera
saja aku minta. Priyo sudah mulai membongkar tenda. Sebentar kemudian sambil sarapan
kami segera berembuk kembali untuk menentukan teknis perjalanan summit attack pagi ini.
Aku kemudian memulai pembicaraan.
“kalau lihat situasi begini, kayaknya kita ke puncak welirang dulu aja deh” kataku yang
langsung disambut tawa oleh Priyo.
Teman-teman sepertinya sependapat denganku. Memang jatah waktu kami terlalu
mepet. Fajrin bilang harus pulang sebelum minggu sore karena ada pertemuan dengan tim
KKN. Kalau mau ke Arjuno tentu kami harus menambah satu hari karena dari Puncak
Welirang ke Puncak Arjuno langsung sepertinya terlalu ngoyo bagi kami yang kelelahan
menempuh perjalanan jauh dan terserang sakit ketinggian. “wah, sudah nggak idealis lagi
nih, sekarang lebih realistis” kata salah seorang teman
PAGI HARI, WAKTUNYA EKPLORASI RINGAN
Pagi hari adalah waktu yang tepat untuk eksplorasi sekitar tempat berkemah. Biasanya banyak hal hal menarik yang mungkin luput dari perhatian kita yang biasanya diburu waktu untuk mencapai puncak. Di Semeru, menyempatkan diri berkunjung ke sabana ayek-ayek (sambil melakukan “ritual pagi” tentunya). Di Sindoro menjelajah bibir kawah sendirian, di Lawu pun pagi-pagi menbcoba mencari tahu keberadaan rumah botol di Hargo Dalem.
Pada pendakian Welirang pun jalan jalan pagi tetap kulakukan. Ketika di Terminal Bungurasih, kala itu Fajrin dan Ari masih terlelap sedangkan Yudi mulai tidur tiduran setelah ngobrol ngalor ngidul, aku pergi kamar kecil untuk cuci muka. Penasaran dengan kondisi di sekitar terminal, sehabis cuci muka lanjut keliling seputaran terminal sambil mencari atm Bank Mandiri. Sialnya, ternyata lokasi ATM cukup jauh, sehinggga menghabiskan waktu yang cukup lama untuk kembali ke Terminal.
Ketika berada di pos pondokan pun menyempatkan diri untuk jalan jalan pagi. Bukan karena apa-apa, tapi diriku cukup peka dengan cahaya dan suara sehingga mau nda mau harus bangun ketika matahari mulai masuk ke tenda. Daripada bengong nda jelas karena pagi itu baru aku yang bangun, lebih baik mengisi waktu dengan jalan jalan sambil menghangatkan badan. Kala itu mencoba mengingat – ingat jalur menuju Arjuno, namun seiring makin menanjaknya jalur maka makin menurun niat untuk menjelajah lebih jauh. Ketika kembali ke tenda, teman – teman sudah pada bangun. ***Priyo
94
“coba kita lihat situasi diatas nanti, dari Puncak Welirang ada jalur melipir langsung ke
Puncak Arjuno, jadi kita nggak perlu kembali ke Pondokan” kata Priyo
“kalau situasi memungkinkan saja dan waktunya cukup. Lagipula di dekat Puncak Arjuno
juga ada lokasi yang baik untuk camp” Priyo melanjutkan.
Aku rasa Priyo benar, dan setelah berembuk sambil sarapan akhirnya kami sepakat
untuk mempertimbangkan kembali rencana ke Puncak Arjuno sekembalinya dari Puncak
Welirang. Priyo tak habis-habisnya tertawa bila ingat semangat dan ambisi kami sebelum
berangkat yang ingin menyapu bersih Puncak Arjuno dan Welirang via Puncak Kembar I
dan II. Rencana itu akhirnya bubar jalan karena faktor waktu yang mepet dan kesehatan. Di
gunung situasi memang tak selalu seperti yang diharapkan. Situasi mudah berubah dan
penuh dengan ketidakpastian.
Selesai sarapan, kamipun kemudian berangkat dengan semangat baru. Sayangnya
semangat kami langsung diuji dengan medan yang menanjak. Begitu meninggalkan
pondokan jalur langsung belok kanan melintasi sungai kecil yang kering. Dari tempat ini
lintasan langsung menanjak terjal tanpa ancang-ancang. Kami yang baru awal pemanasan
langsung ngos-ngosan. Disini sudah tidak ada aba-aba dari Priyo, karena empat tahun lalu
dari pondokan Priyo lanjut ke Puncak Arjuno. Jadi untuk menuju puncak modal kami
semuanya nol. Rombongan pendaki dari ITS yang mengikuti kami juga nihil pengalaman di
Welirang. Bahkan sebagian besar diantara mereka pemula. Jadi benar-benar berharap
dipandu oleh kami, meskipun mereka tidak mengatakannya. Sebagian lagi dari rombongan
mereka camp di Pondokan. Alhasil mereka jalan-jalan ke puncak tanpa membawa beban.
Cukup satu daypack untuk sedikit bekal secukupnya. Sementara masing-masing dari kami
menahan beban career penuh barang. Agak kesal juga, kami hanya bisa menggerutu “coba
bilang dari tadi kalau ada yang gak muncak, kan barang kita bisa dititipin”.
Kami sudah berjalan beberapa ratus meter lebih tinggi dari pondokan. Hutan masih
lebat. Ada dua jalur yang bisa dilewati, jalur pendaki yang berupa jalan setapak dan jalur
penambang yang lebar karena biasa digunakan untuk lintasan gerobak dorong. Awalnya
kami tidak percaya penambang bisa mengemudikan gerobak di lintasan ini, karena begitu
terjal. Bagaimana caranya mereka menahan gerobak yang penuh muatan dan tidak
tergelincir atau ikut terseret karena gaya gravitasi lereng yang sangat terjal. Kebetulan saat
itu tidak ada aktivitas mengangkut belerang hasil tambang.
“masa iya sih bisa ngangkut belerang pakai gerobak di jalan seperti ini” Yudi masih tidak
percaya
“kemarin waktu di base camp aku lihat foto-foto aktivitas penambangan, memang ada yang
pakai gerobak dorong” kataku
“lagian tadi di Pondokan ada gerobaknya kan?” Fajrin menambahkan
95
“ah paling-paling gerobaknya cuma dipakai di sekitar Pondokan yang medannya landai,
kalau disini sepertinya dipanggul” Yudi masih ngotot dengan pendapatnya
Jalur masih menanjak, hutan masih lebat, sementara jejak roda gerobak dorong
semakin jelas. Sesekali ada bonus jalur landai yang agak berputar. Di beberapa tempat ada
pohon tumbang, ukurannya ada yang cukup besar. Ketika jalur mulai terjal kembali lintasan
berbelok ke arah kanan.
“kenapa sih harus belok kanan segala, kan mendingan naik biar cepet sampai puncak” kata
Yudi dengan gaya yang diklaimnya sebagai ‘kritis’ tapi menurut teman-teman tidak bermutu
“kalau kamu mau naik ya sana, naik aja terus nanti bukannya sampai Puncak Welirang
malah sampai ke Puncak Kembar I” kataku
Lintasan pendakian terus bergerak serong ke arah kanan. Sedikit lebih mudah dilalui
karena diperkeras dengan batu, agak rapi, mungkin sengaja dibuat untuk jalur gerobak
dorong tadi. Tetapi berjalan di lintasan batu lebih melelahkan, masih lebih mudah berjalan di
jalan tanah. Asal tidak erosi atau berdebu. Dari sini nampak satu igir yang menjulang tinggi.
Siapapun yang belum pernah mendaki kesini pasti akan menduga bahwa itulah Puncak
Welirang. “tapi kok tidak berasap?” tanya kami dalam hati
Hari merambat siang, matahari kini semakin terik sementara hutan lebat yang sedari
tadi memayungi kini berganti dengan gerumbul perdu dan semak. Perubahan kondisi medan
ini membuat kami jadi cepat lelah. Fajrin dan Yudi sepertinya mulai drop. Tapi Yudi yang
paling parah. Dia mengalami penyakit gunung yang aku alami kemarin sore, lemas dan
rasanya sangat lapar. Kami membuka bekal dan memberi beberapa potong roti yang
langsung dimakan dengan lahap oleh Yudi. Aku teringat peristiwa kemarin sore, saat itu aku
merasa begitu lapar sehingga aku mengunyah beberapa bungkus permen yang diberikan
Priyo, persis seperti orang yang tidak makan beberapa hari. Dan kini penyakit itu ternyata
menyerang Yudi. Sambil beristirahat Fajrin membuka minuman bersuplemen energi,
minuman favorit dalam pendakian ini. Mendaki jalur yang melelahkan ini memang membuat
kami sebentar-sebentar harus beristirahat.
Setelah berjalan lagi beberapa saat akhirnya kami sampai di sebuah dataran yang
agak luas, yang rupanya adalah celah menuju ke puncak. Di sebelah kiri ada Puncak
Kembar I, berupa bukit kecil tetapi berasap, sepertinya mempunyai kawah pusat erupsi. Di
sebelah kanan ada bukit yang lebih besar yang awalnya kami menduga sebagai Puncak
Welirang, tetapi ternyata bukan (Verstappen menyebutnya sebagai lava dome). Kami
mengetahuinya setelah mengikuti lintasan yang ternyata berputar mengelilingi bukit ini
menuju igir yang terletak di sebelahnya. Sekarang kami tidak hanya menduga, tetapi
berharap bahwa inilah Puncak Welirang. Ternyata sekali lagi kami tertipu karena rupanya
jalur hanya berputar lagi lewat sisi sebelah baratnya. 96
Igir yang dilewati ini rupanya Puncak Welirang Tua, jadi sebenarnya Puncak Welirang
juga, tapi bukan yang tertinggi (3156 mdpal), bukan yang biasa didaki, dan bukan lokasi
penambangan belerang yang begitu ingin kami lihat. Rasa kesal dan frustrasi mulai datang.
Hari sudah semakin siang dan rasanya ingin cepat-cepat sampai puncak. Sisi baiknya kami
mendapatkan semangat ekstra. Aku dan Yudi berjalan di depan mengikuti lintasan yang
cukup lebar dengan jejak-jejak belerang yang tumpah dari keranjang. Lokasi tambang pasti
dekat puncak, jadi kami terus saja mengikuti jalur ini. Sesampainya di ujung jalan kaget
bukan kepalang karena jalur ternyata buntu ke kawah utama yang pekat dengan asap
solfatara, baunya sengak menyesakkan nafas. Sebelum pingsan karena kekurangan
oksigen kami buru-buru kembali ke tempat semula, rupa-rupanya kami nyasar beberapa
ratus meter. Setelah kembali dan meneliti jalur akhirnya kami menemukan lintasan menuju
puncak yang tadi terlewatkan, entah karena terlalu bersemangat atau konsentrasi menurun
karena kelelahan dan kekurangan oksigen akibat ketinggian.
Puncak Di “jalan yang benar” ini kami harus melintasi bebatuan cadas yang labil. Jadi harus
ekstra hati-hati dan mengatur ritme perjalanan, termasuk jaga jarak antar pendaki karena
gelinciran batu begitu berbahaya. Matahari sudah tepat berada di atas kepala, tetapi tidak
terlalu terik. Kabut tebal sebentar datang sebentar pergi, oleh karenanya cuaca menjadi
tidak menentu. Terkadang cuaca cerah sehingga bebatuan cadas nampak jelas hingga ke
puncak igir di batas pandangan, terkadang jarak pandang menjadi sangat pendek karena
cuaca berkabut.
Kami terpisah menjadi dua kelompok. Aku dan Yudi berjalan lebih dulu, sementara
Priyo dan Fajrin, diikuti oleh rombongan ITS beberapa puluh meter di bawah. Sekitar tiga
puluh menit berjalan kelompok pertama sampai di sebuah lembah yang tidak begitu luas.
Persis di sebelah kiri jalur tempat kami datang ada sebuah gua vulkanik dan sisa-sisa
pondasi bangunan. Aku ingat sebelum berangkat Priyo pernah cerita tentang adanya gua
dan bekas pesanggrahan milik Belanda di dekat Puncak Welirang. Terus terang kami masih
ragu dengan keterangan mengenai bangunan Belanda itu, tetapi yang jelas sebelum puncak
sempat menjumpai reruntuhan bangunan, walau tidak tahu pasti itu apa dan telah ada sejak
kapan.
Aku dan Yudi berhenti sejenak. Dari sini sepertinya diatas lembah sudah tidak ada
yang lebih tinggi lagi. Mungkin puncak. Karena terdorong oleh rasa penasaran tak berapa
lama berjalan lagi dan ternyata dugaan meleset, sesampainya diatas kami mendapati
pemandangan yang sama dengan dibawah tadi yaitu ternyata masih ada igir lagi yang harus
didaki. Aku dan Yudi saling berpandangan, lalu kemudian geleng-geleng kepala. Tanpa
membuang waktu kamipun segera memanjat lereng-lereng cadas, berjalan melintasi sisa-
sisa kawah, menapaki bebatuan yang berasap dan kadang berbau sengak. Hampir 20 menit 97
berjalan tanpa henti Pukul 11.01 rombongan pertama tiba di puncak. Ternyata puncak
bukanah tempat yang datar, tetapi ada beberapa igir yang runcing ke atas mengelilingi
bekas kawah yang sudah tidak aktif. Tempatku berdiri dengan Yudi sekarang kelihatannya
juga bukan yang paling tinggi. Menurut pengamatan igir sebelah timurlah yang paling tinggi.
Aku beristirahat dengan Yudi sambil menunggu Priyo dan Fajrin yang datang
menyusul tidak lama kemudian. Setelah anggota tim lengkap kami melanjutkan perjalanan
ke puncak tertinggi, yang berupa igir sempit dan bagian depannya sudah jurang ke kawah
mati. Kabut tebal tiba-tiba datang dalam perjalanan menuju puncak tertinggi ini. Aku sempat
khawatir kami bisa tersesat karena di sekitar puncak hanya dipenuhi batu, tidak ada pohon
atau semak yang bisa kami jadikan acuan jika jarak pandang terlalu pendek karena cuaca
berkabut. Pukul 11.19 kami sampai di puncak tertinggi. Sesampainya di puncak kami segera
mengibarkan bendera dan berfoto. Sayangnya tidak bisa berlama-lama karena waktu yang
semakin mepet dan cuaca yang terus memburuk. Ketika kami meninggalkan puncak
sesekali kabut tebal datang.
Puncak sudah usai, kini yang terpikirkan adalah pulang. Jujur saja aku sudah bosan
berada di gunung, jadi usul Priyo untuk camp di Kokopan (Pos II) sepertinya kurang disetujui
alasannya terlalu jauh dari base camp. Pokoknya kami merasa ingin cepat-cepat turun ke
bawah sedekat mungkin ke permukiman warga. Priyo mempunyai alternatif rencana untuk
camp di Pet Bocor (Pos I) tapi setelah dipikir ulang lokasi itu dekat dengan base camp.
Akhirnya disepakati, sore ini kita akan melakukan perjalanan panjang dari Puncak langsung
ke Base Camp, mungkin 6 jam hingga 8 jam nonstop. Tidak ada lagi rencana bermalam di
gunung, jadi kita harus keluar dari hutan kalau bisa sebelum malam. Waktu sudah
menunjukkan pukul 11.35, kini kami kembali melintasi jalur sempit yang diapit dua kawah
mati. Tak berapa lama kemudian kami menuruni lereng berbatu yang terjal lalu sampailah di
gua vulkanik yang tadi dilewati. Dengan antusias Fajrin sempat masuk untuk memeriksa
situasi di dalam, tetapi tidak lama lalu kembali ke luar dengan wajah kecewa..
Ternyata perjalanan pulang begitu cepat. Mungkin karena terdorong oleh semangat,
“diusir” oleh cuaca buruk di sekitar puncak, serta berjalan turun tidak terlalu melelahkan
sehingga tidak perlu banyak istirahat. Sekitar 40 menit berjalan dari puncak, pukul 12.13
kami sudah sampai di celah antara Kembar I dengan Lava Dome. Disini kami memutuskan
untuk istirahat agak lama, sekaligus untuk shalat dhuhur. Setelah itu kembali melanjutkan
perjalanan. Lebih dari satu jam kemudian, pukul 13.26 kami telah sampai kembali di Pos III,
Pondokan. Karena telah berjalan cukup lama, kamipun kembali istirahat cukup lama disini.
Yudi sempat wawancara dengan seorang penambang belerang. Ternyata rombongan ITS
yang sejak kemarin mendaki bersama kami memutuskan untuk camp 1 malam lagi. Setelah
memberesi sampah-sampah kami dan berpamitan dengan rombongan ITS kami langsung
tancap gas, berharap tiba di base camp sebelum malam. 98
PUNCAK WELIRANG PUNYA KEINDAHANNYA SENDIRI Jangan membayangkan Puncak Welirang indah dengan hamparan rumput
hijau seperti Puncak Sindoro, atau berhutan lebat seperti Puncak Pangrango dengan Lembah Mandalawangi yang menakjubkan dipenuhi bunga edelweiss berada di bawahnya, atau mungkin seperti Puncak Lawu yang bersemak-perdu. Puncak Welirang hanya dipenuhi batu dan pasir. Cukup luas, tetapi tidak datar, itupun disana sini terdapat lubang-lubang yang keluar asap solfatara dari dalamnya.
Jika penilaian itu dilakukan berdasarkan ukuran seperti diatas maka Puncak Welirang tidak bisa dibilang bagus, keren, atau indah. Tapi Welirang puya karakteristik sendiri yang mungkin bagus, keren, atau indah dilihat dari sisi yang lain. Puncak Welirang memiliki karakteristik khas sebagai puncak dari sebuah vulkan aktif dengan perpaduan batu-pasir-hembusan solfatara. Kondisi di Puncak Welirang hampir sama dengan puncak vulkan aktif lainnya seperti Slamet, Merapi, dan Semeru yang didominasi oleh batu dan pasir. Tetapi sekali lagi Puncak Welirang punya karakteristik yang spesifik dibanding puncak lain.
Puncak Welirang seperti mewakili kenampakan yang ada di Puncak Slamet, Merapi, dan Semeru. Puncak Welirang juga berbatu-batu seperti Puncak Merapi (sebelum erupsi tahun 2010) tetapi tidak didominasi oleh batu. Juga memiliki pasir seperti Slamet dan Semeru, tetapi tidak didominasi oleh pasir. Slamet memiliki kaldera lautan pasir yang terhampar di bawah puncak, sedangkan Semeru (Puncak Mahameru) adaah puncak datar dan luas yang berpasir. Welirang seperti perpaduan diantara keduanya, mempunyai igir-igir dan kawah-kawah kecil diantara hamparan pasir dan batu yang berselang-seling. Agak sedikit menjauhi puncak ada beberapa gerumbul vegetasi khas puncak, semak-semak berdaun kaku. ***Arie
Frustrasi Kami berjalan seperti bus sedang kejar setoran, nyaris tanpa istirahat. Kadang-kadang
30 menit berjalan baru diselingi istirahat 2 menit, lalu berjalan lagi. Perjalanan turun memang
tidak terlalu melelahkan seperti saat mendaki. Nafas juga lebih teratur dan tidak ngoyo.
Kami bersyukur sejauh ini kaki belum merasa gempor, satu-satunya kendala saat turun
adalah ketika persendian lutut kelelahan karena menahan beban tubuh dan barang bawaan
saat melawan gravitasi. Kalau ini sudah “menyerang” kaki seperti tidak mau berkompromi
dengan otak. Maunya jalan dan terus jalan tapi kaki seperti enggan bergerak. Untunglah
sejauh ini kami masih baik-baik saja dan berharap terus dalam keadaan baik sampai di
bawah. Satu demi satu tempat yang dilewati kemain sore telah kami lalui. Cuaca sama
seperti saat kemarin mendaki, kadang cerah kadang berkabut, tapi nampaknya sore ini lebih
baik karena perubahan cuaca yang mendadak jarang terjadi.
Berjalan dan terus berjalan lama-lama menyebabkan timbulnya rasa bosan juga.
Nasehat para pendaki senior yang mengatakan: “pendakian itu harus dinikmati, langkah 99
demi langkah, setahap demi setahap” rupanya hanya berlaku ketika naik ke atas. Dalam
perjalanan pulang ini yang ada hanya rasa ingin cepat-cepat sampai base camp, bersih
bersih badan (mungkin ada yang mau mandi), dan mengganti baju yang sudah dipakai tiga
hari. Persediaan air mulai menipis sehingga kini kami sudah mulai mengkonsumsi air
cadangan, air mentah yang dibawa dari Pos II (Kokopan) dalam perjalanan naik kemarin. Air
mentah yang dicampur suplemen energi ala Fajrin rasanya sungguh-sungguh nikmat luar
biasa. Sekarang kaki mulai merasa gempor dan “malas” bergerak karena terus menerus
dipaksa berjalan di jalur berbatu sambil menahan badan yang seringkali hilang
keseimbangan. Melawan gravitasi di lereng curam kadang menjengkelkan sekali.
Kira-kira pukul 16.15 kami sudah sampai di Kokopan. Sesuai kesepakatan kami akan
beristirahat “agak lama” disini. Teman-teman memanfaatkan waktu untuk bersih-bersih di
mataair, kemudian shalat ashar. Sekonyong-konyong Fajrin menunjuk ke warung yang
terletak di sudut pos sambil bicara setengah teriak “ote ote..ote ote..” (kata Fajrin ote ote
adalah istilah Surabaya untuk bakwan). Semua menoleh kepada Yudi. “duit masih ada?”
saat Yudi bilang “ya” itu seperti komando bagi kami untuk menyerbu warung.
“berapaan nih pak? Kata Priyo kepada pedagang warung
“semuanya seribuan, mas” jawab pedagang sambil memotong kayu bakar disamping
warung
Langsung saja kami hajar tanpa sisa. Ditengah-tengahnya menggigit dan mengunyah
akhirnya aku sadar bahwa yang kami makan sebenarnya tempe bongkrek, orang Jogja
menyebutya tempe gembus, sejenis tempe dari sisa ampas pembuatan tahu.
“asem, kalau dirumah aku nggak bakalan makan yang begini” kata teman-teman sambil
makan dengan lahap.
“emang di gunung apa yang kita nggak doyan?” sahut yang lain
Kami masing-masing makan satu tempe dan satu pisang, jadi habis Rp 8.000,-
uangnya ada Rp 10.000,- Fajrin yang sudah kami deteksi sebagai kapal keruk,
mendapatkan jatah untuk menghabiskan yang 2.000,- lagi. Sementara yang lain mulai
beres-beres peralatan sebelum meluncur menuju Pos I, sebelum gelap.
Pukul 16.30 kami sudah kembali menyeret-nyeret langkah menuju Pos I. Rasanya kaki
capek minta ampun, tetapi tekad sudah bulat, kalau bisa sampai Pos I sebelum maghrib.
Masih ada waktu berjalan 1 jam dari Pos II ke Pos I, kamipun mempercepat langkah dan
nyaris tanpa istirahat. Tapi setelah satu jam kok belum juga sampai Pos I? Adzan maghrib
sudah terdengar, “ah berarti sudah dekat” begitu pikiran kami. Di kejauhan nampak lampu-
lampu kota Sidoarjo mulai dinyatakan dan berkerlip indah sekali. Malam sudah benar-benar
datang, sementara kami masih berada di perjalanan antara Pos II dengan Pos I, entah
sudah dekat atau masih jauh. 100
Karena beranggapan bahwa Pos I sudah dekat, walaupun gelap kami terus saja
berjalan. Batu-batu berwarna putih menjadi “rambu-rambu” yang memandu perjalanan.
Kenapa tidak berhenti sejenak dan menyalakan lampu senter? Badan yang kelelahan tidak
mengenal logika dan berpikir jernih. Begitu inginnya sampai di Pos I membuat kami berjalan
dan terus berjalan saja tanpa berhenti. Di kiri dan kanan jalur sudah banyak semak-semak.
Yudi girang sekali sambil bilang “aku ingat, kalau sudah ketemu pohon-pohon pisang berarti
kita sudah dekat Pos I”. Pernyataan itu akhirya dijawab Fajrin hampir satu jam kemudian
“apaan dari tadi pohon pisang terus, kita juga nggak ketemu pos I”. Semuanya diam, situasi
menjadi serius dan dingin, sedingin kabut yang sesekali datang.
“Sudahlah, lebih baik kita istirahat saja dulu, sekalian mempersiapkan senter” kataku
sambil membuka diskusi kecil-kecilan dengan teman-teman. Priyo yang paling paham jalur
ini menenangkan teman-teman dengan analisisnya. Dari tadi kami memang merasa kesal
karena badan sudah lelah dan tidak sabar, tapi jalan yang dilewati rasanya hanya berputar-
putar tidak jelas. Saat melewati lorong sempit dengan semak-semak menutupi kiri-kanan
jalan, nampaknya diujung sana ada cahaya. “Wah, mungkinkah jalannya sudah berakhir dan
ketemu pos?” kata hati kami. Lalu ketika sampai di ujung jalan yang terlihat adalah jalur
panjang lagi yang berakhir di ujung kelokan. Sampai disana pun situasinya sama, begitu
terus menerus. “Apa benar jalan ini yang kita lewati kemarin, kok rasaya kelokannya lebih
banyak ya?” kata teman-teman. Yah, kondisi kami saat melewati jalur ini dalam perjalanan
naik kemarin dan turun malam ini tentu berbeda, daya pikir dan konsentrasi juga sudah
menurun, apalagi malam sudah datang dan pikiran begitu terbebani target segera sampai di
Pos I.
“astagfirullah....” kata teman-teman begitu menemukan di ujung kelokan masih ada
jalan yang seperti tadi dilewati. Sebenarnya ini hanya soal kesabaran. Suasana sama sekali
tidak asyik. Terkadang semua orang berada dalam pikirannya masing-masing sambil kaki
tetap berjalan.
“ ternyata benar, mendaki gunung membuat kita jadi lebih dekat dengan sang pencipta” kata
salah seorang teman. “lho kok?”
“lha iya, kan dari tadi nyebut terus toh?”. Kami semua tertawa situasi kembali mencair.
Tak disangka-sangka akhirnya tak berapa lama kemudian sampai juga di jalur jalan
yang diperkeras dengan semen, pintu gerbang tahura R. Soeryo. Sedikit lagi Pos I (Pet
Bocor). Tapi dasar sudah tidak sabar, sebanjang jalan tetap saja teman-teman mengoceh.
Seperti nyanyian lagu sepanjang jalan.
“pet bocor dimanakah kamu pet bocor”...
“aduuuhh pet bocor, kenapa nggak ketemu-ketemu”...
“mas, kalau kayak gini rasanya aku lebih milih ketemu pet bocor daripada ketemu cewek
cantik” kata Fajrin 101
Yudi tidak mau kalah: “aku juga, mendingan ketemu pet bocor daripada ketemu Mi****”
(menyebut bintang film dewasa Jepang).
Kami semua tertawa, sampai akhirnya Pet Bocor benar-benar ketemu. Sambil
menghempaskan badan di kursi warung, semua melihat ke arah Yudi. “teh anget Yud...”
Pulang Rasa-rasanya kami istirahat agak lama di warung Pos I. Makan gorengan sambil
nyruput teh anget, luar biasa nikmatnya. Adzan isya sudah mulai terdengar. Kamipun segera
bergegas. Kalau dihitung-hitung dari Pos I ke base camp cukup waktu 30 menit berjalan.
Tapi tubuh sudah semakin sempoyongan dan kaki gempor habis-habisan. Langkah menjadi
tidak beraturan. Ada yang berjalan seperti orang sakit polio. Aku sendiri berjalan miring
seperti kepiting, kadang-kadang jalan mundur. Gaya berjalanku sempat diejek habis-habisan
oleh Yudi. Daripada cerewet aku suruh saja dia berjalan sepertiku. Ternyata enak. Alhasil
diapun mengikutiku berjalan seperti kepiting. Ketika menjumpai turunan curam perjalanan
terhenti. Terbayang betapa sakitnya lutut menahan badan di turunan itu nanti. Walaupun
base camp sudah dekat, kami memutuskan istirahat sejenak. Memberikan kesempatan
ancang-ancang kepada lutut sebelum dipaksa kerja keras.
Kami duduk di tengah jalan, ada pula yang berbaring. Lampu senter semua dimatikan,
lalu mengobrol ditengah gelap sambil mengingat kembali apa yang sudah tercapai sejauh
ini. Perjalanan yang luar biasa dan penuh cerita. Suasana tiba-tiba menjadi hangat dengan
obrolan. Walau berat, walau menjengkelkan, susah senang yang dijalani bersama rasa-
rasanya semakin mendewasakan kami berempat, dan kamipun bersyukur memiliki sahabat-
sahabat seperti ini. Tapi tentu tidak pakai acara nangis-nangisan seperti drama korea. Tak
berapa lama kemudian perjalanan dilanjutkan sampai ke base camp. Ini malam minggu,
Tretes hingar bingar, ramai sekali. Banyak orang lalu lalang, ada yang berdua-duaan (istilah
keren anak jogja: mbojo), ada yang makan jagung bakar di warung, ada pula yang asyik
joget-joget mengikuti irama dangdut. Coba kalau tidak dalam kondisi badan capek begini,
pasti aku dan Yudi akan ikut joget-joget dangdut disana. Sementara ini yang bisa kami
nikmati cuma dengkul yang gemetaran mengikuti irama disko. Diskonya adalah jantung dag
dig dug dan nafas ngos-ngosan.
Maksud hati ingin segera bersih-bersih badan dan ganti baju, terbayang rasanya pasti
segar dan nyaman. Tapi kamar mandi di base camp hanya ada satu, itupun harus antre
dengan pendaki lain yang telah sampai lebih dulu. Sambil menunggu waktu dihabiskan
untuk mengobrol. Kebetulan ada petugas base camp yang stand by, mungkin karena malam
minggu. Suasana di Tretes saat malam hari terasa lebih hidup daripada siang harinya. Di
sana sini banyak kerumunan orang. Ada pula yang hilir mudik dengan sepeda motor.
Dibanding dengan Cibodas di kaki Gunung Gede-Pangrango atau Kaliurang di kaki Gunung
Merapi, Tretes jauh lebih semarak. 102
CURHAT YUDI TENTANG WELIRANG
Turun gunung, Yudi kemudian curhat habis-habisan tentang pengalamannya di Welirang. Memang bagi kami berempat ekspedisi ini memberikan kesan mendalam yang tidak akan terlupakan, demikian pula dengan Yudi. Berikut ini penuturan Yudi yang sempat diunggah melalui situs jejaring sosial dan banyak mendapatkan “jempol” dari teman yang sempat membaca. Penuturan tersebut “direkonstruksi” oleh Arie dan dirangkum menjadi tulisan di bawah ini:
Kesan pertamaku dalam pendakian ini adalah saat makan siang bersama di Pos II (Kokopan) dalam perjalanan mendaki ke atas di hari ke dua (hari pertama di gunung). Lagi-lagi nasi telor, sepertinya Mahameru identik dengan sego endog ya? Selain itu segarnya air di Pos II rasanya benar-benar nyess, sulit untuk dilupakan.
Mendaki memang mempererat hubungan persahabatan antara satu dengan yang lain. Di gunung kita bisa curhat bermacam-macam hal yang “disensor” saat di kampus. Terkadang cerita pengalaman hidup yang mengensankan. Tentunya tidak luput dari bercanda. Misalnya mengenai nama Fajrin Etawa (yang mirip hewan ternak) itu sebenarnya singkatan dari Etiopia – Jawa, “jadi kalau begitu Fajrin itu indo ya? Termasuk golongan keturunan alias blasteran” tentu hal ini dibantah habis-habisan oleh Fajrin yang blasteran Surabaya – Purbalingga, bukan Etiopia - Jawa.
Cerita belum berhenti, kali ini soal penyakit aneh Mas Arie. Kalau masuk angin ujung-ujungnya pasti diare. Giliran dapat kesempatan “menguras” pasti nggak keluar. Merawat Mas Arie yang mules di Pos III juga menjadi pengalaman lucu. Sambil mentertawakan diri sendiri karena target yang muluk-muluk ingin mencapai dua puncak, eh baru sampai Pos III sudah pada loyo. Seruding Ayam dari Kelantan
Bersyukurlah kita hidup di Indonesia yang dikaruniai banyak gunung-gunungapi. Kita tentu sudah paham apa manfaat gunungapi bagi kehidupan. Sebagai sumber air, sumber tambang, sumber-sumber hayati (hutan, hewan), dan sebagainya. Walaupun letusan gunungapi seringkali menyebabkan timbulnya bencana, kita patut bersyukur memiliki banyak gunungapi dengan manfaat dan keindahannya. Setidaknya hobby mendaki bisa terpuaskan. Di Pulau Jawa saja ada 12 gunungapi (14 puncak) yang memiliki ketinggian diatas 3.000 mdpal. Banyaknya gunungapi mendorong orang-orang dari luar negeri untuk datang ke Indonesia.
Mungkin kita sudah biasa bertemu dengan bule di Gunung Merapi, Semeru, Rinjani, atau Tambora. Gunung-gunung di Indonesia dan segala keindahannya telah menarik minat orang dari mancanegara untuk menjajal petualangan disini. Di Pos III kami juga bertemu dengan “orang asing” walau hanya dari negara tetangga. Dari perkenalan singkat nampaknye orang malaysie ni tak banyak cakap. Beberapa yang ngobrol dengan kami malah berlogat Indonesia. Setelah ditelusuri rupanya mereka bersama guide dari UI, baru menyelesaikan pendakian Arjuno lalu akan sambung ke Semeru. Walau tak banyak cakap mereka sempat meninggalkan warisan untuk kami: beras malaysia, sos tomat (saus tomat), dan serunding ayam (abon). “nyogok Yud?” kata Mas Arie setengah bercanda. “iya, kan lagi ada di kandang macan” kami semua tertawa. Malam perlahan datang di Pos III, dinginnya seperti berada di dalam freezer.
103
Perjalanan ke puncak juga menyimpan kisah yang takkan bisa dilupakan. Semua berawal dari fisikku yang tiba-tiba drop selepas dari Pos III. Rasa-rasanya perutku lapar sampai mau mati saat perjalanan ke puncak. Dan seperti yang lain, aku juga sempat putus asa karena banyaknya puncak bayangan. Tapi sesampainya di Puncak Welirang semua lelah hilang, hanya tinggal rasa kagum melihat puncak dengan kebulan asap kawah yang ganas. Kelemahannya cuma satu, aku yang dari kemarin cerewet ingin melihat Jembatan Suramadu dari Puncak Welirang tidak bisa kesampaian karena tertutup awan tebal. Pet Bocor
Sepulangnya dari puncak ada saat-saat bahagia, yaitu saat ketemu dengan kokopan. Saat kaki mulai gempor dan ingin istirahat. Rasa bahagia semakin bertambah karena menemukan warung serba seribu. Semua makanan yang dijual dihargai seribu rupiah. Karena lapar aku makan tempe dengan lahap, sampai habis tiga (berdasarkan pengakuanku cuma habis dua, hehe..). Saat-saat bahagia di kokopan hanya berlaku sebentar, setelah itu kembali ke perjalanan yang penuh penyiksaan menuju Pet Bocor. Jujur saja, sama seperti teman-teman yang lain, aku juga merasakan luar biasa capek. Aku merasakan tubuh bagian bawah (kaki, lutut) plus pundak rasanya lepas dari badan. Disinilah terjadi “tangisan sang dengkul racing”. Aku dan Fajrin oleh Mas Priyo dijuluki sebagai dengkul racing karena suka ngebut dalam pendakian. Tetapi kehebatan dengkul racing cuma berlaku di gunung-gunung Jawa Tengah yang bisa selesai dalam pendakian semalam suntuk. Dalam pendakian panjang di gunung-gunung Jawa Timur para dengkul racing kena batunya. Tentu hal ini menjadi bahan tertawaan Mas Priyo dan Mas Arie yang masuk kaategori “mesin tua”. Menurut istilah Mas Arie dengkul racing cuma jago kandang.
Sampai pet bocor rasanya sangat-sangat bahagia. Masih segar dalam ingatanku betapa histerisnya aku dan Fajrin saat menapaki kembali jalan beton menuju pet bocor. Sepanjang jalan aku cerewet terus, mengucapkan “pet bocor..pet bocor..pet bocor...” yang langsung disahut oleh Mas Arie: “lambemu kuwi sing bocor, Yud” (“bibirmu itu yang bocor, Yud”), lalu disambut tawa oleh yang lain. Jalan beton lebih berarti daripada Mi**** (artis film dewasa Jepang). Pet bocor dengan teh hangat yang nikmat takkan terlupakan, lalu dilanjutkan perjalanan ke base camp yang melegakan. ***Yudi
Kami berempat sempat rembugan lagi, menentukan apakah akan menginap di base
camp malam ini atau pulang. Menurut petugas base camp, di Tretes angkot masih
beroperasi sampai pukul 9 malam. Apalagi sekarang malam minggu. Dari Tretes akan
disambung naik bus ke Surabaya, “jalan raya Surabaya – Malang kan ramai, pasti busnya
sampai malam masih ada” kata salah seorang teman. Kalau dari Surabaya ke Jogja sudah
jelas ada bus yang beroperasi sampai 24 jam, bus yang kami tumpangi waktu berangkat, 104
yang terkenal karena sering kecelakaan itu. Pukul 19.30 malam hari tanggal 28 April 2012
kami sudah mantap dan siap pulang ke rumah.
Semua sepakat akan pulang malam ini juga, kamipun segera berkemas. Agak tidak
sabar antri kamar mandi untuk bersih-bersih, maklum takut kehabisan angkot. Satu dua
angkot sempat berhenti di dekat base camp selama kami berkemas, tapi sebentar kemudian
jalan lagi, rupanya tidak tahu ada empat calon penumpang yang sudah begitu rindu ranjang
masing-masing di rumah. Selesai berkemas kami berjalan ke ujung jalan menunggu angkot,
agak cemas juga takut kalau-kalau tidak ada angkot lagi. Sekitar 10 menit menunggu,
kendaraan yang dinantikan datang.
Ternyata sopir angkot masih merasa kurang dengan membawa kami berempat dan
beberapa penumpang lain. Jadilah kami dibawa melewati jalur yang lain di kota kecil Tretes,
jalur yang berbeda dengan yang kami lewati ketika berangkat. Sesekali angkot ngetem di
gang-gang “tidak jelas”, sepertinya ini jalur yang tidak biasa. Awalnya kami agak kesal
sampai tak berapa lama kemudian ada pemandangan seru dari dalam angkot. Beberapa
pasang muda-mudi berboncengan sepeda motor keluar dari penginapan. Di tempat yang
lain ada perempuan cantik berpakaian minim berjalan di kegelapan malam. Kami yang tidak
tahu apa-apa segera menduga dan menyimpulkan berdasarkan versi kami sendiri, meskipun
tetap berusaha untuk berpikir positif, hehe..
Tretes ternyata punya sisi lain yang luput dari perencanaan kami untuk menggalinya.
Yudi yang ditugasi untuk “memotret” sisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar Gunung
Welirang akhirnya dapat tugas tambahan untuk menggali kehidupan malam di Tretes.
Walaupun untuk sementara harus menggunakan data sekunder (suratkabar, internet).
Sesuai dengan namanya, Gunung Welirang memang identik dengan tambang belerang.
Kami terfokus pada pertambangan itu sehingga tidak sempat menelusuri sisi lain kehidupan
masyarakat di Tretes.
Satu jam kemudian kami sampai di Pandaan. Rupanya soal ngetem tadi
menghabiskan waktu cukup lama. Tretes – Pandaan normalnya 30 menit sudah sampai.
Sebuah bus kecil menawari kami tumpangan ke Surabaya, 10 ribu rupiah per orang dengan
membawa barang. Harga yang murah ditambah kondisi badan yang lelah membuat kami
tidak berpikir dua kali atas tawaran ini. Pada akhirnya kami menyesal karena naik bus kecil
(Yudi menyebutnya Colt Tuyul) menghabiskan banyak waktu. Berjalan terlalu pelan dan
banyak berhentinya untuk mencari penumpang. Kalau naik bus patas dengan harga dua kali
lipat seperti waktu berangkat, mungkin kami akan dua kali lebih cepat untuk sampai di
terminal Surabaya.
105
PENDAKIAN PLAN D, SEBUAH REPETISI
Pada awalnya pendakian pada akhir April 2012 ini direncanakan sebagai pendakian ekspedisi dengan target gunung Arjuno dan gunung Welirang dengan alternatif bila dimungkinkan akan melintasi puncak gunung kembar I dan kembar II. Karena pernah mendaki arjuno sebelumnya, maka aku ditugaskan untuk mempersiapkan rencana perjalanan, mulai dari alternatif rute, transportasi hingga logistik. Tentu dengan perencanaan yang cukup lama dan waktu untuk persiapan yang panjang, besar harapan ekspedisi ini akan sukses. Ternyata tidak. Perencanaan yg detail ternyata tidak akan berjalan jika tidak ada persiapan yang maksimal, terutama fisik.
Perjalanan tim yang terdiri dari aku, Ari, Fajrin, Yudi dimulai via surabaya dengan menggunakan bus SK yang tersohor. Berangkat jam 09.30 malam tiba di Bungurasih jam 03.00 pagi. Menghindari tidak adanya angkutan di pandaan maka tim memutuskan beristirahat di terminal hingga jam 5. Lama tidak ke Bungurasih, perubahan yang ada pun tak disadari. Kami mencari bus ekonomi di jalur patas….dan dengan soknya merasa sudah tidak ada lagi bus ekonomi sehingga menaiki patas. Akibatnya budget membengkak. Ternyata jalur bus ekonomi berada di sisi timur terminal.
Dengan menyambung kendaraan angkutan kota dari Terminal Pandaan menuju Tretes (Hotel Tanjung) kami tiba pukul 07.00. Di pos perijinan yang juga menjadi pos Tahura ini para pendaki dapat mempersiapkan diri sebelum memulai pendakian karena terdapat warung nasi, toko kelomtong dan juga kamar mandi. Hampir lima tahun berlalu dan sangat susah mengingat perubahan yang ada karena memori tentang tempat perijinan sangat sedikit. Pukul 07.30 kami memulai perjalanan. Awalnya cukup terik, namun selepas pet bocor, mendung mulai menyelimuti sehingga sinar matahari tak dapat menembus awan. Jalanan yang menanjak dan berbatu benar benar menguras tenaga.
Tengah hari sampai di Kopkopan, sebuah tempat lapang yang biasa digunakan untuk berkemah. Pada malam minggu, lokasi ini menjadi tempat favorit menghabiskan malam, sehingga seringkali pendaki yang datang belakangan akan kesulitan mencari ruang untuk mendirikan tenda. Di Kopkopan terdapat warung yang menjajakan makanan seperti mie, kerupuk, pisang dan gorengan. Warung ini hanya buka saat saat pendakian ramai, misalnya hari libur dan akhir pekan. Di Kopkopan in juga terdapat sumber air yang melimpah, yang berasal dari kali kecil.
Setelah beristirahat sebentar di Kopkopan, disertai makan siang dengan nasi bungkus yang dibawa dari pos perijinan, kami melanjutkan perjalanan menuju Pondokan yang menjadi target perjalanan hari ini. Perjalanan menuju Pondokan cukup menguras energi dan bagi sebagian orang , juga menguras emosi. Kurang lebih 300 meter setelah Kopkopan, kita akan menjumpai tanjakan lurus dengan kemiringan mencapai 30% yang sangat panjang. Wajar saja jika rekan – rekan mulai mengeluarkan sumpah serapah dan mulai membandingkan dengan perjalanan di gunung – gunung Jawa Tengah. Dengan tanjakan yang maknyus, emosi kembali diuji ketika kabut mulai menyerang disertai gelegar geledak yang bersahut sahutan. Rintik rintik air hujan mulai turun. Di sini rombangan mulai sedikit panik, karena khawatir terjadi badai. Dengan menggunakan jas hujan, perjalanan mulai
106
dipercepat, walau fisik sudah mulai sangat menurun. Dari sini rombongan kami berbaris bersama rombongan poltek ITS hingga pondokan.
Sebenarnya, suasana jalur pendakian selepas kopkopan, terutama ketika memasuki hutan pinus memikat dan indah. Kabut tipis yang menyelimuti jalur pendakian membuat suasana menjadi mistis. Untung saja, kekhawatiran akan badai tidak terwujud. Hanya hujan gerimis yang menyertai perjalanan kami. Dan sejujurnya, saya lebih menyukai cuaca seperti ini dibandingkan dengan cuaca terik. Tentu dengan catatan ini tidak terjadi saat summit attack. Bagiku hujan membawa kita lebih dekat dengan alam, selalu ada romantisme dalam tiap tetesnya.
Pukul 5 sore, tiba di pondokan tempat menginapnya para penambang. Namun, kali ini tidak aktivitas penambangan karena sedang libur. Hari yang mulai gelap, ditambah dengan fisik rekan rekan yang sudah terkuras, aku mulai mencari tempat untuk mendirikan tenda bersama fajrin. Sepertinya kondisi badan ini sudah malas untuk berkerja sehingga memutuskan untuk mendirikan tenda di antara gubuk milik penambang. Sebenarnya hal ini tidak dianjurkan bila ada para penambang, karena sering menimbulkan gesekan terkait kecemburuan dll, namun berhubung penambang sedang libur, tak apalah. Seharusnya selalu luangkan waktu mencari tempat berkemah yang baik dalam radius waktu 10 menit, karena biasanya ada tempat berkemah yang baik di sekitar pos. Pondokan sebagai tempat hunian sementara penambang ini juga dilengkapi dengansumber air yang berupa bak penampung air dari aliran anak sungai. Di sini biasanya para pendaki mengisi kembali persediaan air sebelum melakukan summit attack. Di sini pula menjadi jalur percabangan, dimana bila mengambil jalur kiri menuju Puncak Arjuno dengan waktu tempuh sekitar 6 jam dan jalur kanan menuju Puncak Welirang dengan waktu tempuh 3 jam.
Sebenarnya, rencana awal kami akan mengambil jalur kanan kemudian dari puncak welirang menuju puncak arjuno melalui gunung kembar I dan Kembar II. Namun rencana harus disusun ulang, dimana target berubah menjadi puncak welirang saja, kondisi fisik Ari tidak memungkinkan, karena malam itu terserang masup angin. Kedua rekan yang lain juga terlihat kelelahan, pertimbangan lainnya adalah cuaca, karena khawatir terjadi badai. Aku menyepakati saja, walau sedikit kecewa. Untuk masalah badai saya kira saya cukup percaya dengan peralatan yang dibawa untuk mengantisipasi badai, sedangkan untuk masalah fisik, seharusnya ini bisa diatasi dengan persiapan yang memadai mengingat ide pendakian sudah muncul sejak lama. Perjalanan kali ini merupakan ekspedisi dan sangat disayangkan jika harus melenceng dari dari yang direncanakan. Summit attack pun direncanakan pagi hari untuk memberi kesempatan istirahat lebih panjang.
Besoknya kami menuju puncak. Ternyata, ada sebagian rombongan Poltek ITS yang memutuskan untuk summit attack walau kemarin sempat memberitahu kamu untuk tidak ikut menggapai puncak. Agak menyesal mengetahui hal ini ketika sudah berjalan dengan ransel yang penuh beban. Jika dari awal sudah tahu ada sebagian yang muncak dan sebagian yang tetap di pondokan, kami tentu akan menitipkan sebagian dari barang kami. Perjalanan menuju puncak mencapai 3 jam. Jalur yang dilalui cukup jelas karena digunakan oleh para penambang. Mendekati puncak akan dijumpai persimpangan, dimana bila mengambil arah kanan akan menuju puncak welirang, sedangkan arah lurus menuju ke kawah tempat
107
mengambil belerang. Sebelum menuju puncak, terdapat sebuah gua, yang konon digunakan sebagai tempat penangkaran menjangan oleh belanda (di mana masih terdapat tumpukan batu yang menyerupai pondasi/dinding).
Setelah menaiki tanjakan di dekat gua , nampak Puncak Welirang. Tak lama kemudian kami mencapai puncak 3156 mdpl. Sayang, cuaca saat itu berkabut sehingga tidak dapat melihat pemandangan yang lapang. Tak berlama lama kami segera turun karena khawatir akan hujan yang turun di perjalanan pulang nanti. Dari puncak kami singgah sebentar mengisi air kemudian melanjutkan perjalanan pulang.
Perjalanan pulang ini mengejar waktu karena takut jika kemalaman maka tidak ada angkutan umum yang beroperasi. Sebenarnya tak masalah karena pendakian ini direncanakan 3 hari 2 malam sehingga perbekalan masih mencukupi untuk bermalam kembali. Sayangnya Fajrin mengejar untuk pulang malam ini karena ada keperluan esok hari. Suasana yang terburu buru ini berimbas pada ketelitianku dalam kembali mengemas barang-barang ketika hendak pulang. Trekking pole ternyata belum dikaitkan di ransel sehingga tertinggal di depan pos perijinan, dan baru tersadar ketika sudah di dalam Bus Yogyakarta. Sedihnya..
Pendakian kali ini penuh nostalgia, karena pada jalur tretes ini, 5 tahun lalu aku mendaki puncak 3000 pertamaku. Tentu banyak perubahan yang terjadi, baik dari alam, fisik , maupun manajemen perjalanan pribadi. Masih terbesit keinginan untuk menuntaskan pendakian sadel di sini. Semoga masih ada kesempatan. *** Priyo
Yudi masuk angin sejak perjalanan turun dari Kokopan sore tadi. Sementara teman-
teman berkelakar di dalam bus, Yudi tergolek lemas memeluk career. Satu-satunya hal yang
menjengkelkan dalam perjalanan ke Surabaya malam ini adalah karena salah memilih bus
sehingga membuang waktu terlalu lama di perjalanan. Sampai di terminal Purbaya
(Bungurasih) kami sempat makan malam dengan harga selangit. Itu terpaksa dipilih karena
tempat makan yang lebih murah berada jauh di luar terminal. Sedangkan kondisi kaki malam
ini sangat sulit untuk berjalan. Selesai makan kamipun ikut “berebut” bis jurusan Jogja
HARI KEEMPAT Akhirnya, Jogja
Rasa lelah dan kantuk luar biasa membuat kami terlelap di dalam bus. Padahal sama
seperti saat berangkat, bus yang kami tumpangi juga melaju ugal-ugalan. Menjelang pagi
aku sempat terbangun karena insiden tabrakan kecil bus dengan truk, tapi syukurlah tidak
terjadi apa-apa. Kira-kira pukul lima pagi 29 Juli 2012 kami sampai di Terminal Giwangan
lalu berpisah untuk sementara. Esok hari masih banyak gunung yang menanti ekspedisi
selanjutnya. Ekspedisi yang akan mengungkap berbagai hal mengenai gunung-gunung di
Indonesia, lalu membagi informasinya kepada teman-teman lain. Satu ekspedisi telah
terselesaikan walau tidak sempurna. 108
Tanggal 7, bulan 7, tahun 2012 lalu MPA Mahameru memasuki usia ke 7. Bagi
seorang manusia dalam usia tujuh tahun tentu masih anak-anak yang baru belajar
mengenal lingkungan sekitarnya, namun bagi organisasi usia tujuh tahun merupakan waktu
yang cukup lama untuk membangun dan beranjak dewasa. Selama kurun waktu tujuh tahun
ini sudah banyak jejak kegiatan MPA Mahameru dalam berbagai bidang, termasuk bidang
ekspedisi utamanya pendakian gunung. Berbagai kegiatan tersebut menyisakan
kebanggaan bagi kami pelakunya. Kebanggaan yang baru diceritakan secara verbal dan
disebarkan dari mulut ke mulut. Paling-paling ditambah dengan pamer foto di dunia maya.
Seiring waktu berjalan muncul gagasan bagus dari salah seorang teman, “mengapa hasil-
hasil kegiatan tidak dibukukan saja dalam bentuk tulisan, agar dapat dibagi kepada teman-
teman dalam skala yang lebih luas tanpa terbatas waktu, itung-itung berbagi pengalaman
dan pengetahuan”.
Bak gayung bersambut, gagasan itupun kemudian ditindaklanjuti. Hasilnya, di MPA
Mahameru sekarang ada dua istilah, pendakian dan ekspedisi. Pendakian merupakan
kegiatan mendaki biasa, jalan-jalan sekedar refreshing yang bersifat having fun. Sedangkan
ekspedisi lebih “berat” dan lebih luas cakupannya. Dalam ekspedisi selain mendaki kita juga
harus “memotret” situasi yang ada di gunung yang kita daki, baik itu fisik, biotik, sosial,
informasi jalur pendakian, termasuk kisah pendakian itu sendiri. Hasilnya kemudian disusun
dalam tulisan dan dipublikasikan. Ekspedisi ke Gunung Welirang (3156 mdpal) di Jawa
Timur ini merupakan rintisan awal kegiatan ekspedisi MPA Mahameru yang hasilnya
dibukukan. Namanya juga rintisan dan baru pertama kali dibuat, ditambah para
kontributornya juga masih dalam taraf belajar menulis, tentu hasilnya masih jauh dari
sempurna dan bagus. Hampir lima bulan tulisan sederhana ini disusun akhirnya
terselesaikan juga, walau harus tersalip Ekspedisi Slamet yang dilaksanakan 3 bulan
kemudian (Juli 2012), tetapi catatan perjalannya sudah dilaunching lebih dahulu tanggal 17
Agustus 2012 lalu.
Epilog
Susah-senang ekspedisi panjang
Fajrin Etawa
109
Melakukan ekspedisi panjang memang bukan perkara gampang. Panjang dalam arti
membutuhkan waktu lama, baik itu waktu untuk transportasi dari Jogja ke lokasi maupun
waktu pendakian mencapai puncak. Ekspedisi Welirang membutuhkan waktu empat hari
pulang pergi dari Jogja kembali ke Jogja. Dua hari untuk transportasi, dua hari lainnya untuk
mendaki. Sebenarnya target pendakian ini adalah dua puncak (Arjuno-Welirang) yang
sayangnya belum berhasil terselesaikan. Jika target dua puncak tersebut benar-benar
dikejar maka waktu ekspedisi minimal bertambah satu hari.
Ekspedisi panjang membutuhkan perencanaan dan persiapan yang matang. Oleh
karena itu menjelang keberangkatan kami semua harus rela berbagi kesibukan demi
keberhasilan ekspedisi. Aku ditunjuk sebagai ketua tim, tentunya bagiku ini merupakan
suatu kehormatan. Dalam suatu ekspedisi, sebenarnya paling aman jika salah satu anggota
sudah memiliki pengalaman mendaki ke gunung yang sama sebelumnya. Hal ini akan
sangat membantu karena orientasi medan akan lebih baik. Dengan kata lain kita lebih
mengenal gunung yang akan didaki beserta karakteristiknya. Teknis pendakian akan sangat
bergantung pada pengetahuan ini dan tentunya lebih aman daripada sekedar untung-
untungan tanpa pengetahuan sebelumnya. Mas Priyo adalah satu-satunya anggota tim yang
“mengenal” jalur Tretes, setidaknya sampai Pos Pondokan. Oleh karenanya selain sebagai
anggota tim, Mas Priyo juga berperan sebagai “konsultan” pendakian yang merencanakan
teknis pendakian termasuk schedule kami selama di gunung.
Mendaki Gunung Arjuno-Welirang via Tretes termasuk dalam kategori mahal. Di
Basecamp setiap pendaki akan membayar retribusi sebesar Rp 7.500,- dengan rincian Rp
5.000,- untuk bea masuk Taman Hutan Raya Raden Soeryo, Rp 2.000,- untuk bea masuk
pengunjung Taman Wisata Alam Tretes, Rp 200,- untuk bea asuranso PT Jasa Raharja
Putera, sementara Rp 300,- lainnya masih kurang jelas peruntukannya. Untuk pendaki asing
retribusi lebih mahal dari pendaki lokal. Selain membayar retribusi aku sebagai ketua tim
juga mengisi formulir pendakian yang memuat informasi mengenai jumlah anggota, nama
anggota, alamat asal tim pendaki, dan nomor telepon. Ketua tim juga meninggalkan KTP
selama pendakian.
Basecamp pendakian terletak di depan Hotel Tanjung atau sebelah Hotel Surya.
Basecamp sekaligus juga merupakan Pos PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam) milik Departemen Kehutanan. Oleh karena itu pos ini juga merupakan pintu masuk
menuju Taman Hutan Raya (Tahura) R Soerja. Jalur pendakian Arjuno-Welirang berada
dalam kawasan Taman Hutan Raya sehingga segala kegiatan di dalamnya berada dalam
pengawasan Departemen Kehutanan. Basecamp dilengkapi dengan kamar mandi serta
disekitarnya terdapat warung dan toko kelontong, namun basecamp cukup sempit untuk
tempat menginap. Walaupun ribet dan njlimet pendakian ke Welirang sangat berkesan dan
menyenangkan. Silahkan mencoba... 110