catatan luka bakarnya

32
Ilmu Bedah Combutio Untuk Kalangn sendiri 1.1 Definisi Suatu penyakit yang disebabkan oleh panas, arus listrik atau bahan kimia yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan lebih dalam. 1.2 Epidemiologi Terdapat sekitar 1,2 juta orang menderita luka bakar setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 6000 orang dirawat di rumah sakit dan 5000 orang meninggal. Angka mortalitas akibat luka bakar menurun sejak tahun 1971 hingga 40%. 1 Hal ini terjadi karena kemajuan pengetahuan tentang resusitasi, perawatan luka, pengendalian infeksi, dan penatalaksanaan cedera inhalasi. 2 1.3 Etiologi Berdasarkan penyebab luka bakar, luka bakar dibedakan atas beberapa jenis penyebab, antara lain : 1. Luka bakar karena api 2. Luka bakar karena air panas 3. Luka bakar karena bahan kimia 4. Luka bakar karena listrik, petir dan radiasi 5. Luka bakar karena sengatan sinar matahari. 6. Luka bakar karena tungku panas/udara panas 7. Luka bakar karena ledakan bom. 1

Upload: samuel-h-sihotang

Post on 26-Dec-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Catatan Luka Bakarnya

Ilmu Bedah

Combutio

Untuk Kalangn sendiri

1.1 Definisi

Suatu penyakit yang disebabkan oleh panas, arus listrik atau bahan kimia yang

mengenai kulit, mukosa dan jaringan lebih dalam.

1.2 Epidemiologi

Terdapat sekitar 1,2 juta orang menderita luka bakar setiap tahun di Amerika

Serikat, sekitar 6000 orang dirawat di rumah sakit dan 5000 orang meninggal. Angka

mortalitas akibat luka bakar menurun sejak tahun 1971 hingga 40%.1 Hal ini terjadi

karena kemajuan pengetahuan tentang resusitasi, perawatan luka, pengendalian

infeksi, dan penatalaksanaan cedera inhalasi.2

1.3 Etiologi

Berdasarkan penyebab luka bakar, luka bakar dibedakan atas beberapa jenis

penyebab, antara lain :

1. Luka bakar karena api

2. Luka bakar karena air panas

3. Luka bakar karena bahan kimia

4. Luka bakar karena listrik, petir dan radiasi

5. Luka bakar karena sengatan sinar matahari.

6. Luka bakar karena tungku panas/udara panas

7. Luka bakar karena ledakan bom.

1.4 Patofisiologi

Pada luka bakar terjadi perubahan lokal berupa nekrosis koagulatif pada

epidermis, dermis dan jaringan di bawahnya, dengan kedalaman tergantung pada

temperatur bahan dan durasi pajanan.2

Luka bakar diklasifikasikan berdasarkan bahan penyebab dan kedalaman luka.

Bahan yang dapat menyebabkan luka bakar adalah api, sclad (cairan panas), kontak

dengan bahan padat yang panas, bahan kimia, dan listrik. Sedangkan kedalaman luka

dapat dibagi menjadi :

1

Page 2: Catatan Luka Bakarnya

- Derajat 1 : luka terbatas pada epidermis (eritema)

- Derajat 2 superfisial : luka pada epidermis hingga dermis superfisial

atau papila dermis (bullae).

- Derajat 2 dalam : luka pada epidermis hingga dermis dalam

atau reticular dermis (bullae).

- Derajat 3 : luka mencapai seluruh dermis dan jaringan

subkutan di bawahnya. (warna kulit putih

hingga coklat kehitaman, tanpa bullae).

Tabel 1. Penilaian derajat luka bakar4

Gambar 1. Penampang kedalaman luka bakar4

Pada luka yang melibatkan sebagian tebal lapisan kulit (derajat 1 dan 2)

bisertai rasa nyeri, sedangkan derajat 3 biasanya rasa nyeri minimal atau tidak ada.1

Berdasarkan gambaran histologis, pada luka bakar terdapat tiga zona yaitu zona

koagulasi, zona stasis, dan zona hiperemia. Pada zona koagulasi terjadi nekrosis

2

Page 3: Catatan Luka Bakarnya

jaringan dan kerusakan yang ireversibel. Zona stasis berada di sekitar zona koagulasi,

dimana terjadi penurunan perfusi jaringan dengan kerusakan dan kebocoran vaskuler.

Pada zona hiperemia terjadi vasodilatasi karena inflamasi, jaringannya masih viable

dan proses penyembuhan berawal dari zona ini.1,2,5

Gambar 2. Zona luka bakar Jackson dan efeknya terhadap resusitasi adekuat

dan inadekuat5

Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan epitel akibat

cedera termis yang melepaskan mediator-mediator proinflamasi dan berkembang

menjadi Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), kondisi ini hampir selalu

berlanjut dengan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS). MODS terjadi

karena gangguan perfusi jaringan yang berkepanjangan akibat gangguan sirkulasi

mikro. Berdasarkan konsep SIRS, paradigma penatalaksanaan luka bakar fase akut

berubah, semula berorientasi pada gangguan sirkulasi makro menjadi berubah

orientasi pada proses perbaikan perfusi (srkulasi mikro) sebagai end-point dari

prosedur resusitasi.6

Pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya di tempat terjadinya luka

bakar memiliki efek sistemik jika luka bakar mencapai 30% luas permukaan tubuh.

Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai efek sistemik tersebut anatara lain berupa:5

- Gangguan Kardiovaskular, berupa peningkatan permeabilitas vaskular yang

menyebabkan keluarnya protein dan cairan dari intravaskular ke interstitial.

Terjadi vasokonstriksi di pembuluh darah sphlancnic dan perifer.

Kontraktilitas miokardium menurun, kemungkinan disebabkan adanya TNF.

3

Page 4: Catatan Luka Bakarnya

Perubahan ini disertai dengan kehilangan cairan dari luka bakar menyebabkan

hipotensi sistemik dan hipoperfusi organ

- Gangguan sistem respirasi, mediator inflamasi menyebabkan

bronkokonstriksi, dan pada luka bakar yang berat dapat timbul respiratory

distress syndrome

- Gangguan metabolik, terjadi peningkatan basal metabolic rate hingga 3 kali

lipat. Hal ini, disertai dengan adanya hipoperfusi sphlancnic menyebabkan

dibutuhkannya pemberian makanan enteral secara agresif untuk menurunkan

katabolisme dan mempertahankan integritas saluran pencernaan.

- Gangguan imunologis, terdapat penuruanan sistem imun yang mempengaruhi

sistem imun humoral dan seluler.

Masalah pada luka bakar berdasarkan kronologi dibagi menjadi:6

1. Fase akut : deteriorasi airway, breathing, circulation;

berlangsung selama 0-48 jam (72 jam)

2. Fase subakut : SIRS dan MODS, berlangsung sampai 21 hari.

3. Fase lanjut : jaringan parut (hipertrofik, keloid, kontraktur),

berlangsung sampai 8-12 bulan.

Masalah yang timbul pada luka bakar fase akut terutama berkaitan dengan

gangguan jalan napas (cedera inhalasi), gengguan mekanisme bernapas dan gangguan

sirkulasi. Ketiga hal tersebut menyebabkan gangguan perfusi jaringan yang dapat

menyebabkan kematian.6

Cedera inhalasi merupakan gangguan mukosa saluran napas akibat kontak

dengan sumber termis, toxic fumes, dan zat toksik lainnya. Dugaan kuat mengenai

adanya cedera inhalasi bila dijumpai riwayat luka bakar yang disebabkan api,

terperangkap di ruang tertutup, luka bakar pada wajah dan leher, bulu hidung

terbakar, sputum dan air liur mengandung karbon.2 Kerusakan mukosa dapat pula

disebabkan oleh minyak panas, air panas, bahan kimia yang mengenai muka, leher,

dada bagian atas. Pada cedera inhalasi terjadi edema mukosa dari orofaring dan laring

hingga membran alveoli. Hal ini dapat menyebabkan obstruksi yang ditandai dengan

stridor, suara serak, sulit bernapas, gelisah. Bronkospasme dapat terjadi bila reaksi

inflamasi melibatkan otot polos bronkus.6

4

Page 5: Catatan Luka Bakarnya

Tabel 2. Tanda dan Gejala cedera inhalasi7

Gangguan mekanisme bernapas pada luka bakar dapat terjadi pada pasien

dengan eskar melingkar di dada yang menyebabkan gangguan proses ekspansi rongga

toraks sehingga compliance paru berkurang.2,6

Gangguan sirkulasi pada luka bakar terjadi melalui mekanisme perubahan

integritas membran mikrovaskuler, perubahan hukum Starling, gangguan perfusi

(syok seluler), dan evaporative heat loss. Setelah cedera termis, terjadi pelepasan

histamin diikuti pelepasan histmain dan aktivasi komplemen yang menyebabkan

perlekatan leukosit PMN dengan endotel. Endotel inflamatif akan melepaskan radikal

bebas yang diikuti oleh peroksidasi lipid yang mengaktivasi asam arakidonat. Hal ini

menyebabkan aktivasi kaskade koagulasi dan pelepasan sitokin (IL1, IL6, TNFa).

Proses inflamasi mengakibatkan perubahan morfologi endotel dan peningkatan

permeabilitas kapiler. Peningkatan permeabilitas kapiler ini mengakibatkan

perpindahan cairan dari intravaskuler ke ruang interstisium.6

Gangguan perfusi merupakan penyebab hipoksemia. Kerusakan organ yang

terjadi sangat tergantung pada waktu karena tiap organ memiliki batas toleransi

tertentu untuk kondisi hipoksia. Sel-sel glia memiliki waktu 4 menit, sel-sel tubulus

ginjal memiliki waktu iskemik 8 jam, sel otot polos 4 jam, otot lurik 8-10 jam.6

1.5 Sistem skoring

Perhitungan luas luka bakar diperlukan untuk petunjuk pemberian volume

cairan resusitasi. Untuk dewasa, metode Wallace ‘rule of nines’ merupakan metode

yang sederhana dan akurat untuk menentukan luas luka bakar. Pada anak-anak, Lund

and Browder chart lebih akurat karena metode ini menghitung proporsi tubuh yang

berbeda pada bayi dan anak.1,2

5

Page 6: Catatan Luka Bakarnya

Rule of nine Lund and Browder

Gambar 3. Kriteria rule of nine dan Lund and Browder1,2

6

Page 7: Catatan Luka Bakarnya

1.6 Tatalaksana

1.6.1 Prehospital

Hal pertama yang harus dilakukan jika menemuikan pasien luka bakar di

tempat kejadian adalah menghentikan proses kebakaran. Maksudnya adalah

membebaskan pasien dari pajanan atau sumber dengan memperhatikan keselamatan

diri sendiri. Kemudian lepaskan semua bahan yang dapat menahan panas (pakaian,

perhiasan, logam), hal ini untuk mencegah luka yang semakin dalam karena tubuh

masih terpajan dengan sumber. Bahan yang meleleh dan menempel pada kulit tidak

boleh dilepaskan.2,8

Air suhu kamar dapat disiramkan ke atas luka dalam waktu 15 menit sejak

kejadian, namun air dingin tidak boleh diberikan untuk mencegah terjadinya

hipotermia dan vasokonstriksi.2,9

1.6.2 Resusitasi jalan napas

Resusitasi jalan napas bertujuan untuk mengupayakan suplai oksigen yang

adekuat. Pada luka bakar dengan kecurigaan cedera inhalasi, tindakan intubasi

dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi obstruksi.3,9 Sebelum

dilakukan intubasi, oksigen 100% diberikan menggunakan face mask.2 Intubasi

bertujuan untuk mempertahankan patensi jalan napas, fasilitas pemeliharaan jalan

napas (penghisapan sekret) dan bronchoalveolar lavage. Krikotiroidotomi masih

menjadi diperdebatkan karena dianggap terlalu agresif dan morbiditasnya lebih besar

dibandingkan intubasi. Krikotiroidotomi dilakukan pada kasus yang diperkirakan

akan lama menggunakan endotracheal tube (ETT) yaitu lebih dari 2 minggu pada

luka bakar luas yang disertai cedera inhalasi.6 Kemudian dilakukan pemberian

oksigen 2-4 L/menit melalui pipa endotrakeal. Terapi inhalasi mengupayakan suasana

udara yang lebih baik di saluran napas dengan cara uap air menurunkan suhu yang

menigkat pada proses inflamasi dan mencairkan sekret yang kental sehingga lebih

mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi dengan Ringer Laktat hasilnya lebih baik

dibandingkan NaCl 0,9%.6 Dapat juga diberikan bronkodilator bila terjadi

bronkokonstriksi seperti pada cedera inhalasi yang disebabkan oleh bahan kimiawi

dan listrik.10

Pada cedera inhalasi perlu dilakukan pemantauan gejala dan tanda distres

pernapasan. Gejala dan tanda berupa sesak, gelisah, takipnea, pernapasan dangkal,

7

Page 8: Catatan Luka Bakarnya

bekerjanya otot-otot bantu pernapasan, dan stridor. Pemeriksaan penunjang yang

perlu dilakukan adalah analisa gas darah serial dan foto toraks.10

1.6.3 Resusitasi cairan

Syok pada luka bakar umum terjadi dan merupakan faktor utama

berkembangnya SIRS dan MODS.6 Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar

adalah:

Preservasi perfusi yang adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh vaskuler

regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan

Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak diperlukan

Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk menjamin

survival seluruh sel

Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan

stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.6

1.6.3.1 Jenis cairan

Terdapat tiga jenis cairan secara umum yaitu kristaloid (isotonik), cairan

hipertonik dan koloid.

Larutan kristaloid

Larutan kristaloid terdiri dari cairan dan elektrolit. Contoh larutan kristaloid

adalah Ringer laktat dan NaCl 0,9%. Komposisi elektrolit mendekati kadarnya dalam

plasma atau memiliki osmolalitas hampir sama dengan plasma. Pada keadaan normal,

cairan ini tidak banya dipertahankan di ruang intravaskuler karena cairan ini banyak

keluar ke ruang interstisial. Pemberian 1L Ringer laktat akan meingkatkan volume

intravaskuler 300 ml.3

Larutan hipertonik

Larutan hipertonik dapat meningkatkan volume intravaskuler 2,5 kali dan

penggunaannya dapat mengurangi kebutuhan cairan kristaloid.Larutan garam

hipertonik tersedia dalam beberapa konsentrasi yaitu NaCl 1,8%, 3%, 5%, 7,5% dan

10%. Osmolalitas cairan ini melebihi cairan intraseluler sehingga akan cairan akan

berpindah dari intraseluler ke ekstravaskuler. Larutan garam hipertonik meningkatkan

volume intravaskuler melalui mekanisme penarikan cairan dari intraseluler.6

8

Page 9: Catatan Luka Bakarnya

Larutan koloid

Contoh larutan koloid adalah Hydroxy-ethyl starch (HES, Hetastarch, Hespan,

Hemacell) dan Dextran. Molekul koloid cukup besar sehingga tidak dapat melintasi

membran kapiler, oleh karena itu sebagian besar akan tetap dipertahankan di ruang

intravaskuler. Pada luka bakar dan sepsis, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler

sehingga molekul akan berpindah ke ruang interstisium. Hal ini akan memperburuk

edema interstisium yang ada.

HES merupakan suatu bentuk hydroxy-substituted amilopectin sintetik, HES

berbentuk larutan 6% dan 10% dalam larutan fisiologik. T1/2 dalam plasma selama 5

hari, tidak bersifat toksik, memiliki efek samping koagulopati namun umumnya tidak

menyebabkan masalah klinis.6 HES dapat memperbaiki permeabilitas kapiler dengan

cara menutup celah interseluler pada lapisan endotel sehingga menghentikan

kebocoran cairan, elektrolit dan protein. Penelitian terakhir mengemukakan bahwa

HES memiliki efek antiinflamasi dengan menurunkan lipid protein complex yang

dihasilkan oleh endotel, hal ini diikuti oleh perbaikan permeabilitas kapiler. Efek

antiinflamasi ini diharapkan dapat mencegah terjadiinya SIRS.6

1.6.3.2 Dasar pemilihan cairan

Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan cairan adalah efek

hemodinamik, distribusi cairan dihubungkan dengan permeabilitas kapiler, oxygen

carrier, pH buffering, efek hemostasis, modulasi respon inflamasi, faktor keamanan,

eliminasi, praktis dan efisiensi.6,8 Jenis cairan terbaik untuk resusitasi dalam berbagai

kondisi klinis masih menjadi perdebatan terus diteliti. Sebagian orang berpendapat

kristaloid adalah cairan yang paling aman digunakan untuk tujuan resusitasi awal

pada kondisi klinis tertentu. Sebagian berpendapat koloid bermanfaat untuk entitas

klinik lain. Hal ini dihubungkan dengan karakteristik masing-masing cairan yang

memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga sulit untuk mengambil keputusan untuk

diterapkan secara umum sebagai protokol.6

Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan cairan di kompartemen interstisial

secara masif dan bermakna sehingga dalam 24 jam pertama resusitasi dilakukan

dengan pemberian cairan kristaloid.6

9

Page 10: Catatan Luka Bakarnya

1.6.3.3 Penentuan jumlah cairan

Untuk melakukan resusitasi dengan cairan kristaloid dibutuhkan tiga sampai

empat kali jumlah defisit intravaskuler. 1L cairan kristaloid akan meningkatkan

volume intravaskuler 300ml. Kristaloid hanya sedikit meningkatkan cardiac outout

dan memperbaiki transpor oksigen.6

Penatalaksanaan dalam 24 jam pertama

Resusitasi syok menggunakan Ringer laktat atau Ringer asetat, menggunakan

beberapa jalur intravena. Pemberian cairan pada syok atau kasus luka bakar >25-30%

atau dijumpai keterlambatan >2jam. Dalam <4 jam pertama diberikan cairan

kristaloid sebanyak 3[25%(70%x BBkg)] ml. 70% adalah volume total cairan tubuh,

sedangkan 25% dari jumlah minimal kehilangan cairan tubuh yang dapat

menimbulkan gejala klinik sindrom syok.3

Pada resusitasi cairan tanpa adanya syok atau kasus luka bakar luas <25-30%,

tanpa atau dijumpai keterlambatan <2jam. Kebutuhan dihitung berdasarkan rumus

Baxter: 3-4 ml/kgBB/ % luas LB.3

Metode Parkland merupakan metode resusitasi yang paling umum digunakan

pada kasus luka bakar, menggunakan cairan kristaloid. Metode ini mengacu pada

waktu iskemik sel tubulus ginjal < 8 jam sehingga lebih tepat diterapkan pada kasus

luka bakar yang tidak terlalu luas dan tanpa keterlambatan.2,3,4

Pemberian cairan menurut formula Parkland adalah sebagai berikut:

Pada 24 jam pertama : separuh jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama,

sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada bayi, anak, dan orang tua,

kebutuhan cairan adalah 4 ml. Bila dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan

cairan 4ml ditambah 1% dari kebutuhan. Bila dijumpai hipertermia, kebutuhan

cairan ditambah 1% dari kebutuhan.

Penggunaan zat vasoaktif (Dopamin atau Dobutamin) dengan dosis 3

mg/kgBB dengan titrasi atau dilarutkan dalam 500ml Glukosa 5%, jumlah

teteasan dibagi rata dalam 24 jam.

Pemantauan untuk menilai sirkulasi sentral melalui tekanan vena sentral

(minimal 6-12cmH2O) dan sirkulasi perifer (sirkulasi renal). Jumlah produksi

urin melalui kateter, saat resusitasi (0,5-1ml/kgBB/jam) dan hari1-2 (1-2

ml/kgBB/jam). Jika produksi urin <0,5ml/kgBB/jam maka jumlah cairan

10

Page 11: Catatan Luka Bakarnya

ditingkatkan 50% dari jam sebelumnya. Jika produksi urin >1ml/kgBB/jam

maka jumlah cairan dikurangi 25% dari jam sebelumnya.

Pemeriksaan fungsi renal (ureum, kreatinin) dan urinalisis (berat jenis dan

sedimen)

Pemantauan sirkulasi splangnikus dengan menilai kualitas dan kuantitas cairan

lembung melalui pipa nasogastrik. Jika <200ml tidak ada gangguan pasase

lambung, 200-400ml ada gangguan ringan, >400ml gangguan berat.10

Penatalaksanaan 24 jam kedua

Pemberian cairan yang mengandung glukosa dan dibagi rata dalam 24 jam.

Jenis cairan yang dapat diberikan adalah Glukosa 5% atau 10% 1500-2000ml.

Batasi Ringer laktat karena dapat memperberat edema interstisial.

Pemantauan sirkulasi dengan menilai tekanan vena pusat dan jumlah produksi

urin (1-2ml.kgBB/jam). Jika jumlah cairan sudah mencukupi namun produksi

urin

<1-2ml/kgBB/jam, berikan vasoaktif sampai 5mg/kgBB.

Pemantauan analisa gas darah, elektrolit.10

Penatalaksanaan setelah 48 jam

Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintenance

Pemantauan sirkulasi dengan menilai produksi urin (3-4ml/kgBB/jam),

hemoglobin dan hematokrit.10

1.6.4 Perawatan luka

Perawatan luka dilakukan setelah tindakan resusitasi jalan napas, mekanisme

bernapas dan resusitasi cairan dilakuakan. Tindakan meliputi debridement, nekrotomi

dan pencucian luka. Tujuan perawatan luka adalah mencegah degradasi luka dan

mengupayakan proses epitelisasi.10 Untuk bullae ukuran kecil tindakannya

konservatif sedangkan untuk ukuran besar (>5cm) dipecahkan tanpa membuang lapis

epidermis di atasnya. Untuk eskar yang melingkar dan mengganggu aliran atau

perfusi dilakukan eskarotomi. Pencucian luka dilakukan dengan memandikan pasien

dengan air hangat mengalir dan sabun mandi bayi. Lalu luka dibalut dengan kasa

lembab steril dengan atau tanpa krim pelembab. Perawatan luka tertutup dengan

oclusive dressing untuk mencegah penguapan berlebihan. Penggunaan tulle berfungsi

sebagai penutup luka yang memfasilitasi drainage dan epitelisasi. Sedangkan krim

antibiotik diperlukan untuk mengatasi infeksi pada luka.10

11

Page 12: Catatan Luka Bakarnya

2.4.5 Penggunaan antibiotik

Pemberian antibiotik pada kasus luka bakar bertujuan sebagai profilaksis

infeksi dan mengatasi infeksi yang sudah terjadi. Penggunaan antibiotik sebagai

profilaksis masih merupakan suatu kontroversi.4 Dalam 3-5 hari pertama populasi

kuman yang sering dijumpai adalah bakteri Gram positif non-patogen. Sedangkan hari

5-10 adalah bakteri Gram negatif patogen. Dalam 1-3 hari pertama pasca cedera, luka

masih dalam keadaan steril sehingga tidak diperlukan antibiotik. Beberapa antibiotik

topikal yang dapat digunakan adalah silver sulfadiazin, povidone-iodine 10%,

gentamicin sulfate, mupirocin, dan bacitracin/polymixin.2,10

Tabel 3. Agen penybab infeksi pada luka bakar.7

2.4.6 Tatalaksana nutrisi

Pemberian nutrisi enteral dini melalui pipa nasogastrik dalam 24 jam pertama

pascacedera bertujuan untuk mencegah terjadinya atrofi mukos usus. Pemberian

nutrisi enteral dilakukan dengan aman bila Gastric residual volume (GRV)

<150ml/jam, yang menandakan pasase saluran cerna baik.6

Penentuan kebutuhan energi basal (Harris-Benedict):

Laki-laki : 66,5 + 13,7 BB + 5TB – 6,8 U

Perempuan : 65,5 + 9,6 BB + 1,8 TB – 4,7 U

Kebutuhan energi total = KEB x AF x FS

Keterangan:

AF: aktivitas fisik (peningkatan persentase terhadap keluaran

12

Page 13: Catatan Luka Bakarnya

energi, tirah baring/duduk 20%, aktivitas ringan 30%, sedang

40-50%, berat 75%)

FS: faktor stress besarnya sesuai dengan luas luka bakar

Penentuan kebutuhan nutrien:

Protein : 1,5-2,15 g/kgBB/hari

Lemak : 6-8 g/kgBB/hari

Karbohidrat: 7-8 g/kgBB/hari.10

Tabel 4. Penghitungan kalori dengan rumus Harris Benedict10

Namun ada metode penghitungan kebutuhan kalori yang lebih mudah dengan

menggunakan quick methode yaitu 25-30 kkal / kgBB/ hari. Metode ini lebih mudah

dan praktis serta menghindari jumlah kalori yang berlebihan jika menggunakan rumus

Harris -Benedict.

Metode lainnya dalah modifikasi rumus Harris-Benedict yang dilakukan oleh

Long:a

Men

BMR = (66.47 ± 13.75 weight ± 5.0 height = 6.76 age) x (activity factor) x

(injury factor)

Women

BMR = (655.10 ± 9.56 weight + 1.85 height = 4.68 age) x (activity factor) x

(injury factor)

Activity factor

Confined to bed: 1.2

Out of bed: 1.3

Injury factor

Minor operation: 1.20

Skeletal trauma: 1.35

Major sepsis: 1.60

Severe thermal burn: 1.5

13

Page 14: Catatan Luka Bakarnya

Tabel 5. Modifikasi Long terhadap Harris-Benedict3

1.6.7 Eksisi dan grafting

Luka bakar derajat dua dalam dan tiga tidak dapat mengalami penyembuhan

spontan tanpa autografting. Jika dibiarkan, jaringan yang sudah mati ini akan menjadi

fokus inflamasi dan infeksi. Eksisi dini dan grafting saat ini dilakukan oleh sebagian

besar ahli bedah karena memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan debridement

serial.2 Setelah dilakukan eksisi, luka harus ditutup, idealnya luka ditutup dengan kulit

pasien sendiri. Pada luka bakar seluas 20-30%, biasanya dapat dilakukan dalam satu

kali operasi dengan penutupan oleh autograft split-thickness yang diambil dari bagian

tubuh pasien. Sebagian besar ahili bedah melakukan eksisi pada minggu pertama,

biasanya dalam satu kali operasi dapat dilakukan eksisi seluas 20%. Eksisi tidak boleh

melebihi kemampuan untuk menutup luka baik dengan autograft, biologic dressing

atau allograft.2

1.6.8 Komplikasi

Komplikasi pada luka bakar dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi saat

perawatan kritis atau akut dan komplikasi yang berhubungan dengan eksisi dan

grafting.1 Komplikasi yang dapat terjadi pada masa akut adalah SIRS, sepsis dan

MODS. Selain itu komplikasi pada gastrointestinal juga dapat terjadi, yaitu atrofi

mukosa, ulserasi dan perdarahan mukosa , motilitas usus menurun dan ileus. Pada

ginjal dapat terjadi acute tubular necrosis karena perfusi ke renal yang menurun. Skin

graft loss merupakan komplikasi yang sering terjadi, hal ini disebabkan oleh

hematoma, infeksi dan robeknya graft. Pada fase lanjut suatu luka bakar, dapat terjadi

jaringan parut berupa jaringan parut hipertrofik, keloid dan kontraktur.1,2

14

Page 15: Catatan Luka Bakarnya

BAB 2

LAPORAN KASUS

A. Identitas

Nama : Tn. MA

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 41 tahun

Alamat : Banyubiru

Agama : Islam

Pekerjaan : swasta

Tanggal masuk RS : 2 Juli 2013

No. Rekam Medis : 038923-2013

B. Anamnesis

Keluhan Utama :

Luka bakar pada wajah, leher kiri, tungkai atas kiri dan tungkai bawah kanan dan

kiri sejak 3 jam SMRS.

Riwayat penyakit sekarang :

Pasien terkena rebusan yang berisi air dan minyak yang mengenai muka dan kaki

tangannya 3 jam SMRS. Pasien mengeluh kesakitan dan dibawa ke RSUD

Ambarawa.

Riwayat penyakit dahulu:

Penyakit jantung, paru, diabetes mellitus, asma, dan alergi disangkal.

Riwayat penyakit keluarga:

Penyakit jantung, diabetes mellitus, hipertensi, asma, dan alergi disangkal.

Riwayat pemberian obat:

Belum diobati luka bakarnya

Riwayat pekerjaan, sosial, ekonomi, dan kejiwaan, gaya hidup

15

Page 16: Catatan Luka Bakarnya

Bekerja swasta

C. Pemeriksaan Fisik

Primary survey

Airway : bebas

Breathing : spontan, 19x/ menit

Circulation : tekanan darah 140/100 mmHg, N = 88x/menit, teratur,

kedalaman cukup, akral hangat

Secondary survey

Kepala : bentuk normocephal

Wajah : luka bakar di wajah dan leher bagian kiri

Rambut : warna hitam dan sudah ada uban, distribusi merata dan tidak

mudah dicabut

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), dan pupil isokor

4mm/4mm

THT : kelainan (-), edema (-)

Paru : simetris, fremitus ka=ki, vesikuler +/+, rhonki (-/-), wheezing

(- /-)

Jantung : BJ I-II murni, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Datar, lemas, NT (-), BU (+) normal

Ekstremitas : akral hangat, edema (-)

Status Lokalis

Kepala : 0 %

Muka : 0 %

Leher : 4,5 % grade II superfisial

Trunkus anterior : 0 %

Trunkus posterior : 0 %

Ekstremitas atas dextra : 4,5 % grade II superfisial

Ekstremitas bawah dextra : 4,5 % grade II dalam

Ekstremitas bawah sinistra : 4,5 % grade II dalam

Bokong : 2% grade II superfisial

16

Page 17: Catatan Luka Bakarnya

D. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin dan kimia klinik

E. Diagnosis

Combustio grade II-III dengan luas 24,5%

F. Terapi

- IVFD RL 2450 ml dalam 8 jam pertama dengan jumlah tetesan 75 tetes permenit

dilanjutkan dengan 38 tetes permenit untuk 16 jam berikutnya

- Ceftriaxon 2 x 1 gr

- Ketorolac 3 x 30 mg

- Ranitidin 2 x 1 gr

- Konsul ke bagian gizi

17

Page 18: Catatan Luka Bakarnya

BAB III

PEMBAHASAN

Pasien laki-laki berusia 41 tahun dengan combustio derajat dua-tiga dengan

luas 24,5%. Penentuan derajat luka bakar pada pasien ini didasarkan berdasarkan

kedalaman luka bakar dan luas luka bakar. Kedalaman luka bakar pada pasien

diperkirakan berada pada derajat 2 superfisial, berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan bahwa luka

bakar tersebut bewarna kemerahan dengan dasar dermis, serta nyeri. Hal ini sesuai

dengan kedalaman luka bakar derajat 2A, di mana luka bakar hanya meliputi

epidermis dan sebagian dermis. Sehingga pembuluh darah dan serabut saraf yang

berada di dalam lapisan dermis yang lebih dalam dapat terselamatkan. Pembuluh

darah ini akan memberikan warna kemerahan pada kulit (luka), kontras halnya dengan

derajat 2B atau 3 yang umumnya lebih pucat. Sensasi nyeri pada pasien juga

mengindikasikan bahwa kedalaman luka bakar ini belum mencapai lapisan dermis

bagian dalam.

Penentuan luas luka bakar pada pasien didasarkan pada kriteria Lund dan

Browder sehingga diperoleh luas luka bakar 24,5%. Pasien memiliki indikasi rawat

seperti luka bakar di daerah tangan dan kaki, dan luka bakar sirkumferensial di

ekstrimitas.

Penyulit lain pada fase akut pasien juga telah diidentifikasi dan disingkirkan.

Salah satunya adalah tidak adanya trauma inhalasi pada pasien meskipun terdapat

luka bakar pada daerah wajah pasien. hal ini diketahui dari klinis pasien di mana tidak

terdapat sesak napas, suara serak, dan jelaga pada lubang hidung. Riwayat terbakar

pada ruang tertutup pun disangkal oleh pasien.

Selama perawatan, dilakukan monitoring keadaan umum pasien. hal ini

dikarenakan banyaknya penyulit yang seringkali timbul pada kasus luka bakar.

Komplikasi yang sering terjadi antara lain adalah gangguan compliance dinding dada

akibat adanya esker (pada pasien tidak ditemukan adanya luka bakar sirkumferensial

di daerah dada), sepsis, gangguan sirkulasi yang berdampak pada ARF dan

hipoperfusi splanknik, dan gangguan nutrisi, stress ulcer dan lainnya.

Monitoring sirkulasi diberikan pada pasien ini dengan IVFD RL 20 tetes per

menit dan kebutuhan cairan 2450 ml/ 8 jam pertama. Jumlah ini sudah sesuai dengan

rumus Parkland /Baxter. Rumus ini menggunakan prinsip pemberian cairan 4

18

Page 19: Catatan Luka Bakarnya

mL/kgBB/ persen luas luka bakar. Untuk memastikan bahwa sirkulasi secara umum

adalah cukup perlu dilakukan pemeriksaan klinis dan laboratorium seperti fungsi

ginjal mengingat ginjal merupakan organ yang sangat sensitif terhadap deplesi

volume akibat syok.

Selama perawatan, pasien diberikan antibiotik profilaksis terhadap sepsis

berupa ceftriaxon 2 x 1 gr. Hal ini sendiri merupakan suatu perdebatan, di mana

banyak sumber masih mempertanyakan apakah pemberian antibiotik memiliki suatu

tempat dalam penatalaksanaan luka bakar awal. Namun mengingat sepsis merupakan

salah satu penyebab kematian terbesar selain trauma inhalasi pada pasien luka bakar,

maka pemberian antibiotic ini diberikan pada pasien.

Selain monitoring sirkulasi dan sepsis, pasien juga dipantau terus mengenai

fungsi organ secara umum lainnya. seperti ginjal (ARF), lambung (stress ulcer) dan

sistem GI (hipoperfusi splanknik). Selama fase akut dan subakut ini juga dilakukan

perawatan luka dengan membersihkan luka secara steril dan dilanjutkan dengan

pemberian salep silver sulfadiazine yang juga berfungsi sebagai antiseptic dan

antibiotic topikal guna mencegah infeksi. Perawatan luka juga mencakup eksisi kulit

yang sudah mati untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.

Setelah luka mulai mengalami epitelisasi, maka pasien telah masuk ke dalam

fase kronik yang tidak kalah pentingnya. Fungsi pasien dalam kehidupan sehari-hari

erat kaitannya dengan fase ini, mengingat tingginya angka kontraktur dan parut

hipertrofis pasca penyembuhan luka bakar. Sehingga direncanakan pada pasien

dilakukan fisioterapi untuk mencegah hal tersebut dan mengurangi morbiditas pasien.

19

Page 20: Catatan Luka Bakarnya

DAFTAR PUSTAKA

1. Burns J, Phillips L. Burns. In: McCarthy J, Galiano R, Boutros S,editors.

Current Therapy in Plastic Surgery. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2006. p.

71-6.

2. Wolf S, Herndon D. Burns. In: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM,

Mattox KL,editors. Sabiston Textbook of Surgery. Philadelphia: Saunders;

2004. p. 569-92.

3. Heimbach DM. Burns. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TL, Dunn DL,

Hunter JG, Pollock RE. Schwartz’s principles of surgery, 8th ed. McGraw-Hill;

2007.

4. Hettiaratchy S, Papini R. ABC of burns; initial management of major burn: II-

assesment and resuscitation. BMJ 2004;329:101-3.

5. Hettiaratchy S, Dziewulski P. Pathophysiology and types of burns. BMJ

2004;328:1427–9.

6. Moenadjat Y. Resusitasi: dasar-dasar manajemen luka bakar fase akut.

Jakarta: Komite medik asosiasi luka bakar Indonesia; 2005. hal.5-20, 54-60.

7. Ansermino M, Hemsley C. ABC of burns; intensive care management and

control of infection. BMJ 2004;329:220–3.

8. Managing the ABC’s in the burn patient. Diunduh dari www.burnsurgery.org

diakses pada tanggal 17 Mei 2010.

9. Hettiaratchy S, Papini R. ABC of burns; initial management of major burn: I-

overview. BMJ 2004;328:1555–7.

10. Moenadjat Y. Petunjuk praktis penatalaksanaan luka bakar. Jakarta: Komite

medik asosiasi luka bakar Indonesia; 2005. hal.4-20; 30-41.

11. Barret JP. ABC of burns; burns reconstruction. BMJ 2004;329:274–6.

12. Reksoprodjo S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. 1995. Jakarta: Binarupa

Aksara.

13. Moenadjat Y. Luka Bakar Pengetahuan Klinis Praktis. 2003. edisi ke-2

(dengan perbaikan). Jakarta: Balai Penerbit FKUI

14. Peacock E E, Cohen I K.Plastic Surgery Vol I. USA: WB Saunders Company.

15. Chin GA, Mast BA. Hypertrophic Scars and Keloids. In: McCarthy JG,

Galiano RD, Boutros SG. Current Therapy in Plastic Surgery. 2006. 1st

edition. USA: WB Saunders.

20

Page 21: Catatan Luka Bakarnya

16. Spector JA, Levine JP. Cutaneous Defects: Flaps, Grafts, and Expension. In:

McCarthy JG, Galiano RD, Boutros SG. Current Therapy in Plastic Surgery.

2006. 1st edition. USA: WB Saunders.

17. Fraiberg A, Khan B, Tse R, McKay D. Plastic surgery. MCCQE 2000 review

notes and lecture series.

18. Minas T Chrysopoulo. 2008. Flaps, Classification. In URL:

http://emedicine.medscape.com/article/1284474-overview

21