catatan kritis pengelolaan masalah di dki jakarta

2
Catatan Kritis Pengelolaan Masalah Di DKI Jakarta Kondisi Obyektif Jakarta: 1. Ada 13 sungai di Jakarta yaitu Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Gro Krukut, Kali Baru/Pasar Minggu, Kali Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sun Buaran, Kali Jatikramat dan Kali Cakung. Tiga belas sungai utama mengalami penyempitan sehingga kemampuannya mengalirkan air minim. Kali Ciliwung, mulai Kalibata hingga Bukit Duri, kemampuan mengalirkan air hanya 17 persen. Kali Krukut 37 persen, dan Kali persen. Padahal aliran permukaan dari bagian tengah dan hulu sungai yang mas meningkat sekitar 50 persen dalam 30 tahun terakhir. Tiga belas sungai yang Jakarta, hulunya mulai di daerah puncak Bogor, tengahnya di wilayah Cibinong, dan juga Penyempitan sungai dan semakin derasnya aliran permukaan sungai membutuhkan kerja sama konsisten dari pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan Pemerint Barat. 2. Arus urbanisasi ke Jakarta telah menciptakan lokasi-lokasi permukiman kumuh yang hampir semuanya ilegal. Permukiman semacam itu banyak dibangun di bantaran sungaisehingga menimbulkan penyempitan sungai-sungai di Jakarta. Bila hujan deras turun di hulu ataup Jakarta sendiri, volume air yang meningkat tinggi tidak dapat tertampung oleh sungai-s telah mengalami penyempitan dan pengaliran air ke laut terhambat sehingga banjir pun terjadi. Perilaku warga yang sering membuang sampah ke sungai juga memicu pendangkalan sungai yang pada gilirannya dapat mengakibatkan banjir. 3. Jakarta Tidak Hanya Menjadi Pusat Pemerintahan, namun juga pusat bisnis dan pariwisata dan sebagainya. 4. Jumlah penduduk Jakarta 2011 mencapai sekitar 10,2 juta orang. Ditambah komuter ke Jakarta sebanyak 2,5 juta di siang hari. 5. Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang baru mencapai 9,8% luas Jakarta 6. Ekploitasi airtanahyang berlebihan dan beban bangunan bertingkat menyebabkan terjadinya penurunan tanah (land subsidence). 7. Data Polda Metro Jaya menyebutkan ada 12 juta kendaraan tahun 2011 di Jakarta. Terdiri 8,5 juta unit kendaraan roda dua dan 3,5 juta unit kendaraan roda empat. Berdasarkan kondisi obyektif diatas, maka dibutuhkan pemimpin yang mau dan mampu berdialog instansi pemerintah, pemerintah daerah lain dan berbagai pihak yang bersangkutan. Pemimpin memahami bagaimana kondisi di pusat dan mampu berkoordinasi dengan berbagai shar Jakarta dapat dikelola dengan lebih baik. Prof Emil Salim pernah bercerita ketika beliau menjadi Menteri Lingkungan Hidup, beliau ti untuk mengantri di ruangan Kepala Bappenas untuk bertemu Kepala Bappenas guna m keinginan agar lingkungan dapat dijadikan prioritas pada perencanaan pembangunan. Pemimpin yang menyatakan dirinya paling tahu Jakarta dan paling bisa menangani menimbulkan rasa egosentris pada dirinya sehingga menutup diri untuk berdialog, berkoordin dengan pihak lain. Oleh karena itu pilihan terhadap pemimpin yang mengerti kondisi pusat dan bersa alternative untuk menyelesaikan masalah di Jakarta.

Upload: arif-zulkifli

Post on 21-Jul-2015

27 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Catatan Kritis Pengelolaan Masalah Di DKI Jakarta

Kondisi Obyektif Jakarta: 1. Ada 13 sungai di Jakarta yaitu Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru/Pasar Minggu, Kali Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jatikramat dan Kali Cakung. Tiga belas sungai utama mengalami penyempitan sehingga kemampuannya mengalirkan air minim. Kali Ciliwung, mulai Kalibata hingga Bukit Duri, kemampuan mengalirkan air hanya 17 persen. Kali Krukut 37 persen, dan Kali Pesanggrahan 21 persen. Padahal aliran permukaan dari bagian tengah dan hulu sungai yang masuk ke Jakarta meningkat sekitar 50 persen dalam 30 tahun terakhir. Tiga belas sungai yang mengalir ke DKI Jakarta, hulunya mulai di daerah puncak Bogor, tengahnya di wilayah Cibinong, dan juga Depok. Penyempitan sungai dan semakin derasnya aliran permukaan sungai membutuhkan kerja sama yang konsisten dari pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2. Arus urbanisasi ke Jakarta telah menciptakan lokasi-lokasi permukiman kumuh yang hampir semuanya ilegal. Permukiman semacam itu banyak dibangun di bantaran sungai sehingga menimbulkan penyempitan sungai-sungai di Jakarta. Bila hujan deras turun di hulu ataupun di Jakarta sendiri, volume air yang meningkat tinggi tidak dapat tertampung oleh sungai-sungai yang telah mengalami penyempitan dan pengaliran air ke laut terhambat sehingga banjir pun terjadi. Perilaku warga yang sering membuang sampah ke sungai juga memicu pendangkalan sungai yang pada gilirannya dapat mengakibatkan banjir. 3. Jakarta Tidak Hanya Menjadi Pusat Pemerintahan, namun juga pusat bisnis dan jasa, industri, pariwisata dan sebagainya. 4. Jumlah penduduk Jakarta 2011 mencapai sekitar 10,2 juta orang. Ditambah komuter ke Jakarta sebanyak 2,5 juta di siang hari. 5. Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang baru mencapai 9,8% luas Jakarta 6. Ekploitasi air tanah yang berlebihan dan beban bangunan bertingkat menyebabkan terjadinya penurunan tanah (land subsidence). 7. Data Polda Metro Jaya menyebutkan ada 12 juta kendaraan tahun 2011 di Jakarta. Terdiri dari sekitar 8,5 juta unit kendaraan roda dua dan 3,5 juta unit kendaraan roda empat. Berdasarkan kondisi obyektif diatas, maka dibutuhkan pemimpin yang mau dan mampu berdialog dengan instansi pemerintah, pemerintah daerah lain dan berbagai pihak yang bersangkutan. Pemimpin tersebut memahami bagaimana kondisi di pusat dan mampu berkoordinasi dengan berbagai shareholder agar Jakarta dapat dikelola dengan lebih baik. Prof Emil Salim pernah bercerita ketika beliau menjadi Menteri Lingkungan Hidup, beliau tidak sungkan untuk mengantri di ruangan Kepala Bappenas untuk bertemu Kepala Bappenas guna menyampaikan keinginan agar lingkungan dapat dijadikan prioritas pada perencanaan pembangunan. Pemimpin yang menyatakan dirinya paling tahu Jakarta dan paling bisa menangani Jakarta akan menimbulkan rasa egosentris pada dirinya sehingga menutup diri untuk berdialog, berkoordinasi intens dengan pihak lain. Oleh karena itu pilihan terhadap pemimpin yang mengerti kondisi pusat dan bersahaja dapat menjadi alternative untuk menyelesaikan masalah di Jakarta.