case report dm

35
Case Report Session DIABETES MELITUS TIPE 2 Oleh : Dieni Rahmatika 1110312072 Rika Florensia 1110312158 Preseptor : Dr. dr. Irza Wahid, Sp.PD, KHOM, FINASIM

Upload: dieni-rahmatika

Post on 15-Feb-2016

34 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

CASE REPORT DM FK UNAND

TRANSCRIPT

Page 1: CASE REPORT DM

Case Report Session

DIABETES MELITUS TIPE 2

Oleh :

Dieni Rahmatika 1110312072

Rika Florensia 1110312158

Preseptor :

Dr. dr. Irza Wahid, Sp.PD, KHOM, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2015

Page 2: CASE REPORT DM

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karuniaNya sehingga case report session yang berjudul “Diabetes Melitus Tipe 2”

ini dapat penulis selesaikan. Makalah ini merupakan salah satu syarat untuk

mengikuti kepaniteraan klinik di Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas Padang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak

membantu menyusun makalah ini, khususnya kepada dr. Irza Wahid, Sp.Pd.,

KHOM, FINASIM selaku pembimbing dan juga kepada rekan-rekan dokter

muda.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai

masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini

dapat bermanfaat bagi kita semua dalam menambah pengetahuan dan pemahaman

terutama tentang diabetes melitus tipe II.

Padang, November 2015

Penulis

Page 3: CASE REPORT DM

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes

melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

kedua-duanya. (Indonesia, 2015)

1.2 Epidemiologi

Diabetes melitus merupakan ancaman global dan serius dari kelompok

penyakit tidak menular. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di

Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.

Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) memprediksi

adanya kenaikan jumlah penyandang DM dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi

14,1 juta pada tahun 2035.

Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh

Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa prevalensi DM di daerah urban

Indonesia untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%.

1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Melitus

Page 4: CASE REPORT DM

Tabel 2. Karakterikstik DM tipe 1 dan 2

DM Tipe 1 DM Tipe 2

Mudah terjadi ketoasidosis Tidak mudah terjadi ketoasidosis

Pengobatan harus dengan insulin Tidak harus menggunakan insulin

Onset akut Onset lambat

Biasanya pasien kurus Gemuk/tidak gemuk

Biasanya terjadi pada usia muda Biasanya >45 tahun

Berhubungan dengan

gen HLA-DR3& DR4

Tidak berhubungan dengan HLA

Didapatkan islet cell antobody Tidak ada islet antiobody cell

Riwayat keluarga pada 10% Riwayat keluarga pada 30%

30-50% kembar identik yang terkena 100% kembar identik terkena

1.4 Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2

1.4.1 Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah

a) Usia

Risiko terjadinya diabetes melitus tipe 2 meningkat seiring dengan

peningkatan usia, terutama sejak usia 45 tahun ke atas (Sooriappragasarao, 2011).

Hal ini mungkin disebabkan karena berkurangnya aktivitas fisik dan

bertambahnya berat badan seiring dengan pertambahan usia (Shaw et al., 2010).

Oleh sebab itu, ADA menganjurkan dilakukannya pemeriksaan skrining DM

terhadap orang yang berusia 45 tahun ke atas dengan interval 3 tahun sekali

(Kurniawan, 2010).

b) Jenis kelamin

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang berbeda

mengenai jenis kelamin yang paling berisiko menderita DM. Centers for Disease

Control and Prevention menyatakan bahwa perempuan lebih rentan terkena

diabetes dibandingkan laki-laki. Hal ini dibuktikan dari data yang menyebutkan

bahwa lebih dari 50% penderita diabetes melitus di Amerika Serikat adalah

perempuan (CDC, 2010). Namun, penelitian lainnya menyatakan bahwa kasus

DM lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan (Grant et al.,

2009).

Page 5: CASE REPORT DM

c) Ras

Kelompok ras kulit hitam, Hispanik, Indian, dan Kepulauan Asia Pasifik

merupakan ras yang paling rentan menderita diabetes. Prevalensi diabetes di

kelompok ras tersebut sekitar 2 – 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit

putih (Hicks, 2008; CDC, 2010).

d) Riwayat keluarga

Riwayat keluarga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya diabetes

melitus tipe 2 (Baptiste-Robertset al., 2007; Valdez, 2007). Menurut WHO,

beberapa penelitian menemukan bahwa individu dengan keluarga derajat pertama

yang menderita DM tipe 2 memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk juga menderita

DM tipe 2 dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki riwayat keluarga.

Selain itu, kembar monozigot juga lebih berisiko menderita DM tipe 2

dibandingkan dengan kembar dizigot. Menurut ADA, selain karena faktor

genetik, hal ini juga dapat terjadi akibat kecenderungan anak untuk meniru

kebiasaan diet yang buruk dan kurangnya latihan fisik yang dilakukan oleh orang

tua atau keluarga mereka.

1.4.2 Faktor Risiko yang Dapat Diubah

a) Obesitas

Obesitas didefinisikan sebagai indeks massa tubuh yang lebih dari 25

kg/m2 berdasarkan standar Asia Pasifik (WHO, 2000). Obesitas merupakan salah

satu faktor risiko terjadinya DM tipe 2 (Adiningsih, 2011). Obesitas menyebabkan

terjadinya peningkatan massa jaringan adiposa yang dikaitkan dengan resistensi

insulin yang akan menyebabkan terganggunya proses penyimpanan dan sintesis

lemak (Sugondo, 2006; Suyono, 2006). Obesitas juga dikaitkan dengan faktor diet

yang tidak baik dan dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan trigliserida > 250 mg/dl)

yang juga merupakan faktor risiko DM tipe 2 (Sooriappragasarao, 2011).

b) Kurangnya aktivitas fisik

Aktivitas fisik yang kurang merupakan salah satu faktor risiko DM tipe 2

(Sooriappragasarao, 2011). Menurut hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional

(susenas) 2004, kecenderungan faktor resiko DM tipe 2 terutama di sebabkan oleh

aktivitas fisik yang kurang sebanyak 82,9% (Adiningsih, 2011).

Page 6: CASE REPORT DM

Selain faktor-faktor di atas, faktor lainnya yang terkait dengan peningkatan

risiko terkena diabetes adalah penderita sindroma ovarium polikistik atau keadaan

lainnya yang terkait dengan resistensi insulin, sindroma metabolik, riwayat TGT

atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT), serta riwayat penyakit

kardiovaskuler, seperti stroke dan penyakit jantung koroner (Sooriappragasarao,

2011).

1.5 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal

(omnious octet) berikut :

1. Kegagalan sel beta pankreas. Fungsi sel beta pankreas sudah sangat

berkurang.

2. Liver. Terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu glukoneogenesis

sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver meningkat.

3. Otot. Didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di intramuskular,

akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transpor glukosa

dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.

4. Sel lemak. Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,

menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas dalam

plasma (FFA). Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis,

dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan

mengganggu sekresi insulin.

5. Usus. Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding

pemberian secara intravena. Efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-

1 (Glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic

peptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resistensi

terhadap GIP. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan

karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-glukokinase yang memecah

polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan

berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan.

Page 7: CASE REPORT DM

6. Sel alpha pankreas. Sel ini berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam

keadaan puasa kadarnya didalam plasma penderita meningkat. Peningkatan ini

menyebabkan HGP basal meningkat secara signifikan dibanding normal.

7. Ginjal. Terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2 (Sodium Glucose co-

Transporter) yang berperan dalam reabsorpsi glukosa di ginjal.

8. Otak. Di otak juga terjadi resistensi insulin. Sementara dalam keadaan normal,

insulin berperan dalam penekan nafsu makan yang kuat.

1.6 Diagnosis

Diagnosis DM pada umumnya akan diperkirakan dengan ditemukannya

gejala khas DM berupa poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan

yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Gejala lain yang mungkin ditemukan

pada pasien DM adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi

pada pria, dan pruritus vulvae pada pasien wanita. Kemudian, diagnosis DM harus

didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Sampel darah yang digunakan

dapat berasal dari darah vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka

kriteria kadar gula darah yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO (Suyono,

2011).

Kriteria Diagnosis DM meliputi:

1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi

tidak ada asupan kalori minimal 8 jam. atau,

2. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL 2 jam setelah Tes

Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban 75 gram. atau,

3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan

klasik.

4. Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode high-

permformance liquid chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh

National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).

Page 8: CASE REPORT DM

1.7 Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes

Melitus Tipe -2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak

menunjukkan gejala klasik DM yaitu :

1. Kelompok dengan berat badan lebih (IMT ≥ 23 kg/m2) yang disertai

dengan salah satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut :

a. Aktivitas fisik yang kurang

b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga)

c. Kelompok ras atau etnis tertentu

d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BB>4 kg atau

mempunyai riwayat DM gestasional.

e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi)

f. HDL< 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL

g. Wanita dengan sindrom poolikistik ovarium

h. Riwayat prediabetes

i. Obesitas berat, akantosis nigrikans

j. Riwayat penyakit kardiovaskular.

2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.

Tabel 4. Kadar Glukosa darah sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan

Diagnosis DM (mg/mL)

1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan secara umum bertujuan untuk meningkatkan kualitas

hidup penyandang diabetes. Diharapkan dengan penatalaksaanaan yang tepat

Page 9: CASE REPORT DM

dapat menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman,dan

mencapai target pengendalian glukosa darah. Penatalaksanaan berkesinambungan

diharapkan dapat mencegah dan menghambat progresivitas, penyulit

mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.

Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes mellitus secara garis

besar terdiri dari terapi non fakrmakologi dan terapi farmakologi. Ada pilar

penatalaksanaan DM yaitu edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani,

intervensi farmakologis.

1.8.1 Terapi Non Farmakologi

1.8.1.1 Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku

telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan

partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi

pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan

perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya

peningkatan motivasi.. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,

tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada

pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah

mendapat pelatihan khusus.

1.8.1.2 Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan

diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara

menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta

pasien dan keluarganya).

Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan

kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi melalui pengaturan pola makan yang

didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan

kebutuhan individual.

Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi

karbohidrat, protein, dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan

Page 10: CASE REPORT DM

mineral, harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan

diabetisi secara tepat.

Jenis Bahan Makanan

Karbohidrat

Sebagai sumber energi karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65%

total asupan energi.

Protein

Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-20% dari

total kalori per hari.

Lemak

Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Anjuran

konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.

1.8.1.3 Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur merupakan

salah satu pilar pengobatan dibetes mellitus tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti

berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap

dilakukan.Selain itu, kegiatan sehari-hari ini ditambah dengan latihan jasmani

yang kontinu. Prinsip latihan jasmani bagi diabetisi persis sama dengan prinsip

patihan jasmani secara umum, yaitu memenuhi beberapa hal, seperti: frekuensi,

intensitas, durasi, dan jenis.

b. Frekuensi : Jumlah olahraga per minggu sebaiknya dilakukan dengan

teratur sebanyak 3-5 kali per minggu

c. Intensitas : ringan dan sedang (60-70% maximum heart rate)

d. Durasi : 30 – 60 menit

e. Jenis : latihan jasmani endurans (aerobic) untuk meningkatkan

kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang, dan

bersepeda.

Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan

berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga dapat memperbaiki

kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dipilih sebaiknya yang disenangi

serta memungkinkan untuk dilakukan dan hendaknya melibatkan otot-otot besar.

Page 11: CASE REPORT DM

Namun, latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran

jasmani seseorang.

1.8.2 Terapi Farmakologi

1.8.2.3 Obat Antidiabetik Oral

Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien

diabetes mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan

menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina

Farmasi dan Alkes, 2005).

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:

A. Pemicu Sekresi Insulin

1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin

oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat

badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan

berat badan lebih.

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,

dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat ini

diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat

melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin

1. Tiazolidindion

Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan

meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan

ambilan glukosa di perifer.

C. Penghambat glukoneogenesis

1. Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati

(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.

Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin

dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin

Page 12: CASE REPORT DM

>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia

(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung).

Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi

keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus

diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan

akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,

sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.

Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang

paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

E. DPP-IV inhibitor

Glucagon-like peptide-1(GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang

dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus

bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan

perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi

glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl

peptidase-4(DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amideyang tidak aktif.

Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk

meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM

tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang

menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan

hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang

masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga

GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu

merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai

respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal

Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan

Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan

Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan

Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama

Page 13: CASE REPORT DM

Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.

DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan

1.8.2.4 Insulin

Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam

merespon glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino

tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri

dari 30 asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas

dalam pengendalian metabolism. Efek kerja insulin adalah membantu transport

glukosa dari darah ke dalam sel.

Insulin diperlukan pada keadaan:

• Penurunan berat badan yang cepat

• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

• Ketoasidosis diabetik

• Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

• Hiperglikemia dengan asidosis laktat

• Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

• Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali

dengan perencanaan makan.

• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Macam-macam sediaan insulin:

1. Insulin kerja singkat (short-acting)

Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah

setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular.

2. Insulin kerja panjang (long-acting)

Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di

cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah.

Metoda yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng

atau mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.

3. Insulin kerja sedang (medium-acting)

Page 14: CASE REPORT DM

Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan

mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh:

Mixtard 30 HM. Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2

kemudian akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa

darahnya. Untuk pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa

darahnya dengan kombinasi metformin dan sulfonilurea, langkah selanjutnya

yang mungkin diberikan adalah insulin (Waspadji, 2010).

1.8.2.5. Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,

untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa

darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan

dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini.

Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-

combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari

kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa

darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok

yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai

dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi

dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan. (lihat bagan 2 tentang

algoritma pengelolaan DM tipe 2).

Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi

OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang

diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut

pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis

insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit

yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut

dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara

seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka

OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.

1.9. Penyulit Diabetes Melitus

Page 15: CASE REPORT DM

Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun

1.9.1 Penyulit akut

1. Ketoasidosis diabetik(KAD)

Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan

kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda

dan gejala asidosis dan plasmaketon (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat

(300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap

2. Hiperosmolar non ketotik(HNK)

Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-

1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat

meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gapnormal atau sedikit

meningkat.

3. Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60

mg/dL. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan

insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus

diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis.

Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak

keringat, gemetar, dan rasa lapar) dangejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah,

kesadaran menurun sampai koma).

1.9.2 Penyulit menahun

1. Makroangiopati

Pembuluh darah jantung

Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang

diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent,

meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan

yang pertama muncul.

Pembuluh darah otak

2. Mikroangiopati:

Retinopati diabetik

Nefropati diabetik

3. Neuropati

Page 16: CASE REPORT DM

Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,

berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan

amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri,

dan lebih terasa sakit di malam hari. Semua penyandang diabetes yang disertai

neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko

ulkus kaki.

4. Dislipidemia pada Diabetes

Dislipidemia pada penyandang diabetes lebih meningkatkan risiko

timbulnya penyakit kardiovaskular. Perlu pemeriksaan profil lipid pada saat

diagnosis diabetes ditegakkan. Pada pasien dewasa pemeriksaan profil lipid

sedikitnya dilakukan setahun sekali dan bila dianggap perlu dapat dilakukan lebih

sering. Sedangkan pada pasien yang pemeriksaan profil lipid menunjukkan hasil

yang baik (LDL<100mg/dL; HDL>50 mg/dL (laki-laki >40 mg/dL, wanita >50

mg/dL); trigliserid <150 mg/dL), pemeriksaan profil lipid dapat dilakukan 2 tahun

sekali. Gambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada penyandang diabetes

adalah peningkatan kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolesterol HDL,

sedangkan kadar kolesterol LDL normal atau sedikit meningkat.

Page 17: CASE REPORT DM

BAB IILAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

a. Nama/Kelamin/Umur : Ny. H/Wanita/62 tahun

b. Pekerjaan/ Pendidikan : Pedagang/SMA

c. Alamat : Lubuk Begalung

d. No MR : 927952

Keluhan Utama:

Telapak kaki kiri bertambah nyeri sejak 3 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang:

Telapak kaki kiri bertambah nyeri dan rasa berdenyut sejak 3 hari SMRS.

Awalnya bengkak di sekitar jari kaki kiri sejak 2 minggu SMRS, nyeri

jika diinjak, warna sekitar agak kehitaman.

Pasien berobat ke puskesmas, lalu mendapat obat antibiotika dan

metformin 3x500 mg, namun keluhan pasien tidak berkurang. Kemudian

pasien berobat ke dokter dan mendapat terapi antibiotika tetapi keluhan

pasien tetap tidak berkurang.

Pasien dikenal menderita DM sejak ±5 tahun yang lalu, kontrol tidak

teratur, pernah mengkonsumsi obat metformin.

Riwayat sering haus (+), lapar (+), sering terbangun malam hari karena

BAK (+) sejak 5 tahun yang lalu.

Penglihatan mata kiri berkurang sejak 1 tahun yang lalu.

Penurunaan berat badan sejak 1 tahun terakhir (+), penurunan nafsu

makan (-)

Pasien mengetahui menderita hipertensi sejak 15 hari SMRS dan

mendapat terapi amlodipin.

Rasa baal pada telapak kaki kanan sejak 1 minggu yang lalu.

Riwayat luka sulit sembuh (+)

Riwayat melahirkan anak BB >4 kg (+)

BAB frekuensi 1x3 hari, konsistensi keras. Mual (-), muntah (-)

Page 18: CASE REPORT DM

BAK tidak ada kelainan

Batuk (-), sesak nafas (-)

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat diabetes mellitus (+) sejak ± 5 tahun yang lalu. Kontrol tidak

teratur.

Riwayat hipertensi (+) sejak 2 minggu yang lalu.

Riwayat penyakit jantung (-).

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit DM dan hipertensi

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan

Pasien bekerja sebagai pedagang musiman, aktvitas kurang.

Pemeriksaan Fisik

Tanda Vital

Keadaan Umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : CMC

Tekanan Darah : 150/80 mmHg

Frekuensi Nadi : 76 kali/menit

Frekuensi Napas : 20 kali/menit

Suhu : 36,8OC

Tinggi Badan : 148 cm

Berat Badan : 42 kg

WHR : 93/94

Pemeriksaan Sistemik

Page 19: CASE REPORT DM

o Kulit : teraba hangat, turgor kulit normal

o Kepala : bentuk bulat, simetris, rambut hitam, tidak mudah dicabut

o Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

o Mulut dan gigi: caries (+), oral thrush tidak ada

o Telinga : tidak ditemukan kelainan

o Hidung : tidak ditemukan kelainan

o Tenggorok : tonsil T1-T1, tidak hiperemis, faring tidak hiperemis

o Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak teraba pembesaran KGB

o Paru

Inspeksi : simetris kiri dan kanan pada saat statis maupun dinamis

Palpasi : fremitus kiri = kanan

Perkusi : sonor

Auskultasi : vesikuler, rhonci -/-, wheezing -/-

o Jantung

Inspeksi : ictus tidak terlihat

Palpasi : ictus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas kanan = LSD, Atas = RIC II, kiri = 1 jari medial

LMCS RIC V

Auskultasi : bunyi jantung murni, regular, bising (-), gallop (-),

M1>M2, P2<A2

o Abdomen

Inspeksi : perut tidak membuncit

Palpasi : hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) Normal

o Punggung : nyeri tekan CVA (-), nyeri ketok CVA(-)

o Alat kelamin : tidak diperiksa

o Ekstremitas : regio plantar pedis (s): ulkus (+). Pulsasi arteri dorsalis

pedis, tibialis posterior, poplitea (+) kanan-kiri. Sensibilitas halus dan

kasar (+) kanan-kiri.

Page 20: CASE REPORT DM

Pemeriksaan laboratorium

Hb : 10,2 gr/dl

Leukosit : 10.300/mm3

Ht : 32%

Trombosit : 270.000/mm3

Gula darah sewaktu : 281 mg/dl

Ureum/creatinin : 25/0,7

Na/K/Cl/Ca : 135/5,2/101/8,4

Diagnosa kerja

Ulkus pedis (s)

Diabetes mellitus tipe 2 tak terkontrol normoweight

Rencana terapi

Diet DD 1500 kkal

Inj cefoperazone 2x1 gr (iv)

Paracetamol 3x500 mg

Insulin 3x8 U dengan dosis koreksi

Follow Up

Tanggal S O A P

4 Nov 2015 Nyeri

telapak

kaki (+),

demam (-)

KU: sedang

Kes: CMC

TD: 140/80

Nadi: 80

Nafas: 20

Suhu: 37

GDS: 281 mg/dl

-Ulkus pedis

(s)

-DM tipe II

tidak

terkontrol

normoweight

- DD 1500 kkal

- Inj novorapid

3x8 U sc

- Redressing

ulkus

- Cek GDP, 2 jam

PP, HbA1C

- Konsul mata dan

bedah

- Kultur pus

5 Nov 2015 Nyeri KU: sedang -Ulkus pedis - DD 1500 kkal

Page 21: CASE REPORT DM

telapak

kaki (+),

demam (-)

Kes: CMC

TD: 140/80

Nadi: 78

Nafas: 20

Suhu: 36,8

(s)

-DM tipe II

tidak

terkontrol

normoweight

- Inj novorapid

3x8 U sc

- Redressing

ulkus

- Profil lipid

- Konsul mata dan

bedah

- Kultur pus

6 Nov 2015 Nyeri

telapak

kaki (+),

demam (-)

KU: sedang

Kes: CMC

TD: 130/80

Nadi: 80

Nafas: 20

Suhu: 37

GDP: 234 mg/dl

GD2PP: 257

mg/dl

-Ulkus pedis

(s)

-DM tipe II

tidak

terkontrol

normoweight

- DD 1500 kkal

- Inj novorapid

3x8 U sc

- Inj levemir 1x8

U sc

- Redressing

ulkus

- GDP GD2PP

9 Nov 2015 Nyeri

telapak

kaki (+),

demam (-)

KU: sedang

Kes: CMC

TD: 130/80

Nadi: 78

Nafas: 20

Suhu: 37

GDS: 313 mg/dl

-Ulkus pedis

(s)

-DM tipe II

tidak

terkontrol

normoweight

- DD 1500 kkal

- Inj novorapid

3x8 U sc

- Inj levemir 1x8

U sc

- Redressing

- GDP GD2PP

- Kontrol poli

endokrin

Page 22: CASE REPORT DM

DISKUSI

Seorang pasien perempuan usia 62 tahun datang ke RSUP Dr. M. Djamil

pada tanggal 3 November 2015 pukul 23.00 dengan keluhan utama telapak kaki

kiri bertambah nyeri sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya bengkak

di sekitar jari kaki kiri sejak 2 minggu SMRS, nyeri jika diinjak, warna sekitar

agak kehitaman. Dari riwayat penyakit sekarang didapatkan bahwa pasien

menderita DM sejak ±5 tahun yang lalu. Terdapat gejala klasik DM pada pasien

ini yaitu sering haus, lapar, dan sering terbangun malam hari karena BAK sejak 5

tahun yang lalu. Selain itu, gejala lain seperti penglihatan mata kiri berkurang,

penurunaan berat badan tanpa disertai penurunan nafsu makan, rasa baal pada

telapak kaki kanan, riwayat luka sulit sembuh, serta riwayat melahirkan anak BB

>4 kg juga mendukung diagnosa DM pada pasien ini.

Dari riwayat kehidupan sosial, pasien bekerja sebagai pedagang musiman

dengan aktivitas fisik yang kurang. Ini merupakan salah satu faktor risiko dari

diabetes mellitus.

Sementara dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan BMI 19,17 dan Waist

Hips Ratio 0,98. Dari hasil pemeriksaan vital sign didapatkan tekanan darah

150/80, sementara dari hasil pemeriksaan gula darah sewaktu didapatkan 281

mg/dl. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang dapat ditegakkan

diagnosis pasien yaitu ulkus plantar pedis sinistra ec diabetes melitus tipe 2 tidak

terkontrol dengan hipertensi stage II.

Pasien ini mendapatkan terapi diet DD 1500 kkal, inj novorapid 3x8 U sc,

inj levemir 1x8 U sc, redressing ulkus tiap hari serta pemeriksaan teratur GDP

GD2PP 2x1 hari.

Page 23: CASE REPORT DM

DAFTAR PUSTAKA

Grant JF, Hick N, Taylor AW, Chittleborough CR, Phillips PJ, dan the North West Adelaide Health Study Team, 2009. Gender-Specific Epidemiology of Diabetes: a Representative Cross-Sectional Study. International Journal for Equity in Health 2009, 8:6. http://www.equityhealthj.com/content/pdf/1475-9276-8-6.pdf.

Gustaviani R, 2006. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 1879 – 1881.

Hicks J, 2008.Racial and Genetic Risk Factors for Diabetes. http://diabetes.about.com/lw/Health-Medicine/Healthcare-industry/Racial-and-Genetic-Risk-Factors-for-Diabetes.htm.

Kurniawan I, 2010. Diabetes Melitus Tipe 2 pada Usia Lanjut. Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 12, Desember 2010. http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/511/508.

Manaf A, 2006. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 1890 – 1891.

Indonesia, P. (. (2015). Konsesnsus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. PERKENI.

Porth CM, Matfin G, 2009. Pathophysiology, Concepts of Altered Health States.Eighth edition. China: Wolters Kluwer Health | Lippin Cott Williams & Wilkins. Hal: 1070 – 1075.

Shaw JE, Sicree RA, Zimmet PZ, 2010. Global Estimates of the Prevalence of Diabetes.Diabetes Research and Clinical Practice.Edisi 87.Elsevier Ireland Ltd. http://blogimages.bloggen.be/diabetescheck/attach/35622.pdf.

Sugondo S, 2006. Obesitas.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 1944.

Suyono S, 2011. Kecenderungan Peningkatan Jumlah Penyandang Diabetes.Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Edisi II. Cetakan ke-8. Jakarta: Balai Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 6 – 22.

Whiting DR, Guariguata L, Weil C, Shaw J, 2011. IDF Diabetes Atlas: Global Estimates of the Prevalence of Diabetes for 2011 and 2030. Diabetes Research and Clinical Practice.Edisi 94. Elsevier Ireland Ltd. Hal: 311 – 321. http://download.journals.elsevierhealth.com/pdfs/journals/0168-8227/PIIS0168822711005912.pdf.