case report dm
DESCRIPTION
CASE REPORT DM FK UNANDTRANSCRIPT
Case Report Session
DIABETES MELITUS TIPE 2
Oleh :
Dieni Rahmatika 1110312072
Rika Florensia 1110312158
Preseptor :
Dr. dr. Irza Wahid, Sp.PD, KHOM, FINASIM
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNya sehingga case report session yang berjudul “Diabetes Melitus Tipe 2”
ini dapat penulis selesaikan. Makalah ini merupakan salah satu syarat untuk
mengikuti kepaniteraan klinik di Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak
membantu menyusun makalah ini, khususnya kepada dr. Irza Wahid, Sp.Pd.,
KHOM, FINASIM selaku pembimbing dan juga kepada rekan-rekan dokter
muda.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai
masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua dalam menambah pengetahuan dan pemahaman
terutama tentang diabetes melitus tipe II.
Padang, November 2015
Penulis
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya. (Indonesia, 2015)
1.2 Epidemiologi
Diabetes melitus merupakan ancaman global dan serius dari kelompok
penyakit tidak menular. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) memprediksi
adanya kenaikan jumlah penyandang DM dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi
14,1 juta pada tahun 2035.
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh
Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa prevalensi DM di daerah urban
Indonesia untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%.
1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus
Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Melitus
Tabel 2. Karakterikstik DM tipe 1 dan 2
DM Tipe 1 DM Tipe 2
Mudah terjadi ketoasidosis Tidak mudah terjadi ketoasidosis
Pengobatan harus dengan insulin Tidak harus menggunakan insulin
Onset akut Onset lambat
Biasanya pasien kurus Gemuk/tidak gemuk
Biasanya terjadi pada usia muda Biasanya >45 tahun
Berhubungan dengan
gen HLA-DR3& DR4
Tidak berhubungan dengan HLA
Didapatkan islet cell antobody Tidak ada islet antiobody cell
Riwayat keluarga pada 10% Riwayat keluarga pada 30%
30-50% kembar identik yang terkena 100% kembar identik terkena
1.4 Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2
1.4.1 Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah
a) Usia
Risiko terjadinya diabetes melitus tipe 2 meningkat seiring dengan
peningkatan usia, terutama sejak usia 45 tahun ke atas (Sooriappragasarao, 2011).
Hal ini mungkin disebabkan karena berkurangnya aktivitas fisik dan
bertambahnya berat badan seiring dengan pertambahan usia (Shaw et al., 2010).
Oleh sebab itu, ADA menganjurkan dilakukannya pemeriksaan skrining DM
terhadap orang yang berusia 45 tahun ke atas dengan interval 3 tahun sekali
(Kurniawan, 2010).
b) Jenis kelamin
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang berbeda
mengenai jenis kelamin yang paling berisiko menderita DM. Centers for Disease
Control and Prevention menyatakan bahwa perempuan lebih rentan terkena
diabetes dibandingkan laki-laki. Hal ini dibuktikan dari data yang menyebutkan
bahwa lebih dari 50% penderita diabetes melitus di Amerika Serikat adalah
perempuan (CDC, 2010). Namun, penelitian lainnya menyatakan bahwa kasus
DM lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan (Grant et al.,
2009).
c) Ras
Kelompok ras kulit hitam, Hispanik, Indian, dan Kepulauan Asia Pasifik
merupakan ras yang paling rentan menderita diabetes. Prevalensi diabetes di
kelompok ras tersebut sekitar 2 – 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit
putih (Hicks, 2008; CDC, 2010).
d) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya diabetes
melitus tipe 2 (Baptiste-Robertset al., 2007; Valdez, 2007). Menurut WHO,
beberapa penelitian menemukan bahwa individu dengan keluarga derajat pertama
yang menderita DM tipe 2 memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk juga menderita
DM tipe 2 dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki riwayat keluarga.
Selain itu, kembar monozigot juga lebih berisiko menderita DM tipe 2
dibandingkan dengan kembar dizigot. Menurut ADA, selain karena faktor
genetik, hal ini juga dapat terjadi akibat kecenderungan anak untuk meniru
kebiasaan diet yang buruk dan kurangnya latihan fisik yang dilakukan oleh orang
tua atau keluarga mereka.
1.4.2 Faktor Risiko yang Dapat Diubah
a) Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai indeks massa tubuh yang lebih dari 25
kg/m2 berdasarkan standar Asia Pasifik (WHO, 2000). Obesitas merupakan salah
satu faktor risiko terjadinya DM tipe 2 (Adiningsih, 2011). Obesitas menyebabkan
terjadinya peningkatan massa jaringan adiposa yang dikaitkan dengan resistensi
insulin yang akan menyebabkan terganggunya proses penyimpanan dan sintesis
lemak (Sugondo, 2006; Suyono, 2006). Obesitas juga dikaitkan dengan faktor diet
yang tidak baik dan dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan trigliserida > 250 mg/dl)
yang juga merupakan faktor risiko DM tipe 2 (Sooriappragasarao, 2011).
b) Kurangnya aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang kurang merupakan salah satu faktor risiko DM tipe 2
(Sooriappragasarao, 2011). Menurut hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional
(susenas) 2004, kecenderungan faktor resiko DM tipe 2 terutama di sebabkan oleh
aktivitas fisik yang kurang sebanyak 82,9% (Adiningsih, 2011).
Selain faktor-faktor di atas, faktor lainnya yang terkait dengan peningkatan
risiko terkena diabetes adalah penderita sindroma ovarium polikistik atau keadaan
lainnya yang terkait dengan resistensi insulin, sindroma metabolik, riwayat TGT
atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT), serta riwayat penyakit
kardiovaskuler, seperti stroke dan penyakit jantung koroner (Sooriappragasarao,
2011).
1.5 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal
(omnious octet) berikut :
1. Kegagalan sel beta pankreas. Fungsi sel beta pankreas sudah sangat
berkurang.
2. Liver. Terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu glukoneogenesis
sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver meningkat.
3. Otot. Didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di intramuskular,
akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transpor glukosa
dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.
4. Sel lemak. Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas dalam
plasma (FFA). Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis,
dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan
mengganggu sekresi insulin.
5. Usus. Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
pemberian secara intravena. Efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-
1 (Glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
peptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resistensi
terhadap GIP. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan
karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-glukokinase yang memecah
polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan
berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan.
6. Sel alpha pankreas. Sel ini berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam
keadaan puasa kadarnya didalam plasma penderita meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan HGP basal meningkat secara signifikan dibanding normal.
7. Ginjal. Terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2 (Sodium Glucose co-
Transporter) yang berperan dalam reabsorpsi glukosa di ginjal.
8. Otak. Di otak juga terjadi resistensi insulin. Sementara dalam keadaan normal,
insulin berperan dalam penekan nafsu makan yang kuat.
1.6 Diagnosis
Diagnosis DM pada umumnya akan diperkirakan dengan ditemukannya
gejala khas DM berupa poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Gejala lain yang mungkin ditemukan
pada pasien DM adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi
pada pria, dan pruritus vulvae pada pasien wanita. Kemudian, diagnosis DM harus
didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Sampel darah yang digunakan
dapat berasal dari darah vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka
kriteria kadar gula darah yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO (Suyono,
2011).
Kriteria Diagnosis DM meliputi:
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam. atau,
2. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL 2 jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban 75 gram. atau,
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan
klasik.
4. Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode high-
permformance liquid chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
1.7 Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes
Melitus Tipe -2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM yaitu :
1. Kelompok dengan berat badan lebih (IMT ≥ 23 kg/m2) yang disertai
dengan salah satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut :
a. Aktivitas fisik yang kurang
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga)
c. Kelompok ras atau etnis tertentu
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BB>4 kg atau
mempunyai riwayat DM gestasional.
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi)
f. HDL< 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL
g. Wanita dengan sindrom poolikistik ovarium
h. Riwayat prediabetes
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Tabel 4. Kadar Glukosa darah sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan
Diagnosis DM (mg/mL)
1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup penyandang diabetes. Diharapkan dengan penatalaksaanaan yang tepat
dapat menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman,dan
mencapai target pengendalian glukosa darah. Penatalaksanaan berkesinambungan
diharapkan dapat mencegah dan menghambat progresivitas, penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes mellitus secara garis
besar terdiri dari terapi non fakrmakologi dan terapi farmakologi. Ada pilar
penatalaksanaan DM yaitu edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani,
intervensi farmakologis.
1.8.1 Terapi Non Farmakologi
1.8.1.1 Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi.. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,
tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.
1.8.1.2 Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta
pasien dan keluarganya).
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi melalui pengaturan pola makan yang
didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan
kebutuhan individual.
Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi
karbohidrat, protein, dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan
mineral, harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan
diabetisi secara tepat.
Jenis Bahan Makanan
Karbohidrat
Sebagai sumber energi karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65%
total asupan energi.
Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-20% dari
total kalori per hari.
Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Anjuran
konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.
1.8.1.3 Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur merupakan
salah satu pilar pengobatan dibetes mellitus tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti
berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap
dilakukan.Selain itu, kegiatan sehari-hari ini ditambah dengan latihan jasmani
yang kontinu. Prinsip latihan jasmani bagi diabetisi persis sama dengan prinsip
patihan jasmani secara umum, yaitu memenuhi beberapa hal, seperti: frekuensi,
intensitas, durasi, dan jenis.
b. Frekuensi : Jumlah olahraga per minggu sebaiknya dilakukan dengan
teratur sebanyak 3-5 kali per minggu
c. Intensitas : ringan dan sedang (60-70% maximum heart rate)
d. Durasi : 30 – 60 menit
e. Jenis : latihan jasmani endurans (aerobic) untuk meningkatkan
kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang, dan
bersepeda.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga dapat memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dipilih sebaiknya yang disenangi
serta memungkinkan untuk dilakukan dan hendaknya melibatkan otot-otot besar.
Namun, latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani seseorang.
1.8.2 Terapi Farmakologi
1.8.2.3 Obat Antidiabetik Oral
Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien
diabetes mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan
menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2005).
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
A. Pemicu Sekresi Insulin
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan
berat badan lebih.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
1. Tiazolidindion
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di perifer.
C. Penghambat glukoneogenesis
1. Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung).
Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi
keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus
diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan
akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang
paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1(GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus
bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl
peptidase-4(DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amideyang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM
tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan
hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang
masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga
GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu
merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan
1.8.2.4 Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam
merespon glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino
tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri
dari 30 asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas
dalam pengendalian metabolism. Efek kerja insulin adalah membantu transport
glukosa dari darah ke dalam sel.
Insulin diperlukan pada keadaan:
• Penurunan berat badan yang cepat
• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
• Ketoasidosis diabetik
• Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
• Hiperglikemia dengan asidosis laktat
• Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
• Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan.
• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Macam-macam sediaan insulin:
1. Insulin kerja singkat (short-acting)
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah
setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular.
2. Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di
cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah.
Metoda yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng
atau mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.
3. Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan
mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh:
Mixtard 30 HM. Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2
kemudian akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa
darahnya. Untuk pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa
darahnya dengan kombinasi metformin dan sulfonilurea, langkah selanjutnya
yang mungkin diberikan adalah insulin (Waspadji, 2010).
1.8.2.5. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini.
Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-
combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari
kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa
darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok
yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai
dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi
dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan. (lihat bagan 2 tentang
algoritma pengelolaan DM tipe 2).
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang
diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut
pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis
insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit
yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut
dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara
seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka
OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.
1.9. Penyulit Diabetes Melitus
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
1.9.1 Penyulit akut
1. Ketoasidosis diabetik(KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda
dan gejala asidosis dan plasmaketon (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat
(300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap
2. Hiperosmolar non ketotik(HNK)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-
1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat
meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gapnormal atau sedikit
meningkat.
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60
mg/dL. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan
insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus
diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis.
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak
keringat, gemetar, dan rasa lapar) dangejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah,
kesadaran menurun sampai koma).
1.9.2 Penyulit menahun
1. Makroangiopati
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang
diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent,
meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan
yang pertama muncul.
Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati:
Retinopati diabetik
Nefropati diabetik
3. Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,
berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan
amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri,
dan lebih terasa sakit di malam hari. Semua penyandang diabetes yang disertai
neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko
ulkus kaki.
4. Dislipidemia pada Diabetes
Dislipidemia pada penyandang diabetes lebih meningkatkan risiko
timbulnya penyakit kardiovaskular. Perlu pemeriksaan profil lipid pada saat
diagnosis diabetes ditegakkan. Pada pasien dewasa pemeriksaan profil lipid
sedikitnya dilakukan setahun sekali dan bila dianggap perlu dapat dilakukan lebih
sering. Sedangkan pada pasien yang pemeriksaan profil lipid menunjukkan hasil
yang baik (LDL<100mg/dL; HDL>50 mg/dL (laki-laki >40 mg/dL, wanita >50
mg/dL); trigliserid <150 mg/dL), pemeriksaan profil lipid dapat dilakukan 2 tahun
sekali. Gambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada penyandang diabetes
adalah peningkatan kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolesterol HDL,
sedangkan kadar kolesterol LDL normal atau sedikit meningkat.
BAB IILAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
a. Nama/Kelamin/Umur : Ny. H/Wanita/62 tahun
b. Pekerjaan/ Pendidikan : Pedagang/SMA
c. Alamat : Lubuk Begalung
d. No MR : 927952
Keluhan Utama:
Telapak kaki kiri bertambah nyeri sejak 3 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Telapak kaki kiri bertambah nyeri dan rasa berdenyut sejak 3 hari SMRS.
Awalnya bengkak di sekitar jari kaki kiri sejak 2 minggu SMRS, nyeri
jika diinjak, warna sekitar agak kehitaman.
Pasien berobat ke puskesmas, lalu mendapat obat antibiotika dan
metformin 3x500 mg, namun keluhan pasien tidak berkurang. Kemudian
pasien berobat ke dokter dan mendapat terapi antibiotika tetapi keluhan
pasien tetap tidak berkurang.
Pasien dikenal menderita DM sejak ±5 tahun yang lalu, kontrol tidak
teratur, pernah mengkonsumsi obat metformin.
Riwayat sering haus (+), lapar (+), sering terbangun malam hari karena
BAK (+) sejak 5 tahun yang lalu.
Penglihatan mata kiri berkurang sejak 1 tahun yang lalu.
Penurunaan berat badan sejak 1 tahun terakhir (+), penurunan nafsu
makan (-)
Pasien mengetahui menderita hipertensi sejak 15 hari SMRS dan
mendapat terapi amlodipin.
Rasa baal pada telapak kaki kanan sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat luka sulit sembuh (+)
Riwayat melahirkan anak BB >4 kg (+)
BAB frekuensi 1x3 hari, konsistensi keras. Mual (-), muntah (-)
BAK tidak ada kelainan
Batuk (-), sesak nafas (-)
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat diabetes mellitus (+) sejak ± 5 tahun yang lalu. Kontrol tidak
teratur.
Riwayat hipertensi (+) sejak 2 minggu yang lalu.
Riwayat penyakit jantung (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit DM dan hipertensi
Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan
Pasien bekerja sebagai pedagang musiman, aktvitas kurang.
Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan Darah : 150/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 76 kali/menit
Frekuensi Napas : 20 kali/menit
Suhu : 36,8OC
Tinggi Badan : 148 cm
Berat Badan : 42 kg
WHR : 93/94
Pemeriksaan Sistemik
o Kulit : teraba hangat, turgor kulit normal
o Kepala : bentuk bulat, simetris, rambut hitam, tidak mudah dicabut
o Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
o Mulut dan gigi: caries (+), oral thrush tidak ada
o Telinga : tidak ditemukan kelainan
o Hidung : tidak ditemukan kelainan
o Tenggorok : tonsil T1-T1, tidak hiperemis, faring tidak hiperemis
o Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak teraba pembesaran KGB
o Paru
Inspeksi : simetris kiri dan kanan pada saat statis maupun dinamis
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler, rhonci -/-, wheezing -/-
o Jantung
Inspeksi : ictus tidak terlihat
Palpasi : ictus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas kanan = LSD, Atas = RIC II, kiri = 1 jari medial
LMCS RIC V
Auskultasi : bunyi jantung murni, regular, bising (-), gallop (-),
M1>M2, P2<A2
o Abdomen
Inspeksi : perut tidak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) Normal
o Punggung : nyeri tekan CVA (-), nyeri ketok CVA(-)
o Alat kelamin : tidak diperiksa
o Ekstremitas : regio plantar pedis (s): ulkus (+). Pulsasi arteri dorsalis
pedis, tibialis posterior, poplitea (+) kanan-kiri. Sensibilitas halus dan
kasar (+) kanan-kiri.
Pemeriksaan laboratorium
Hb : 10,2 gr/dl
Leukosit : 10.300/mm3
Ht : 32%
Trombosit : 270.000/mm3
Gula darah sewaktu : 281 mg/dl
Ureum/creatinin : 25/0,7
Na/K/Cl/Ca : 135/5,2/101/8,4
Diagnosa kerja
Ulkus pedis (s)
Diabetes mellitus tipe 2 tak terkontrol normoweight
Rencana terapi
Diet DD 1500 kkal
Inj cefoperazone 2x1 gr (iv)
Paracetamol 3x500 mg
Insulin 3x8 U dengan dosis koreksi
Follow Up
Tanggal S O A P
4 Nov 2015 Nyeri
telapak
kaki (+),
demam (-)
KU: sedang
Kes: CMC
TD: 140/80
Nadi: 80
Nafas: 20
Suhu: 37
GDS: 281 mg/dl
-Ulkus pedis
(s)
-DM tipe II
tidak
terkontrol
normoweight
- DD 1500 kkal
- Inj novorapid
3x8 U sc
- Redressing
ulkus
- Cek GDP, 2 jam
PP, HbA1C
- Konsul mata dan
bedah
- Kultur pus
5 Nov 2015 Nyeri KU: sedang -Ulkus pedis - DD 1500 kkal
telapak
kaki (+),
demam (-)
Kes: CMC
TD: 140/80
Nadi: 78
Nafas: 20
Suhu: 36,8
(s)
-DM tipe II
tidak
terkontrol
normoweight
- Inj novorapid
3x8 U sc
- Redressing
ulkus
- Profil lipid
- Konsul mata dan
bedah
- Kultur pus
6 Nov 2015 Nyeri
telapak
kaki (+),
demam (-)
KU: sedang
Kes: CMC
TD: 130/80
Nadi: 80
Nafas: 20
Suhu: 37
GDP: 234 mg/dl
GD2PP: 257
mg/dl
-Ulkus pedis
(s)
-DM tipe II
tidak
terkontrol
normoweight
- DD 1500 kkal
- Inj novorapid
3x8 U sc
- Inj levemir 1x8
U sc
- Redressing
ulkus
- GDP GD2PP
9 Nov 2015 Nyeri
telapak
kaki (+),
demam (-)
KU: sedang
Kes: CMC
TD: 130/80
Nadi: 78
Nafas: 20
Suhu: 37
GDS: 313 mg/dl
-Ulkus pedis
(s)
-DM tipe II
tidak
terkontrol
normoweight
- DD 1500 kkal
- Inj novorapid
3x8 U sc
- Inj levemir 1x8
U sc
- Redressing
- GDP GD2PP
- Kontrol poli
endokrin
DISKUSI
Seorang pasien perempuan usia 62 tahun datang ke RSUP Dr. M. Djamil
pada tanggal 3 November 2015 pukul 23.00 dengan keluhan utama telapak kaki
kiri bertambah nyeri sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya bengkak
di sekitar jari kaki kiri sejak 2 minggu SMRS, nyeri jika diinjak, warna sekitar
agak kehitaman. Dari riwayat penyakit sekarang didapatkan bahwa pasien
menderita DM sejak ±5 tahun yang lalu. Terdapat gejala klasik DM pada pasien
ini yaitu sering haus, lapar, dan sering terbangun malam hari karena BAK sejak 5
tahun yang lalu. Selain itu, gejala lain seperti penglihatan mata kiri berkurang,
penurunaan berat badan tanpa disertai penurunan nafsu makan, rasa baal pada
telapak kaki kanan, riwayat luka sulit sembuh, serta riwayat melahirkan anak BB
>4 kg juga mendukung diagnosa DM pada pasien ini.
Dari riwayat kehidupan sosial, pasien bekerja sebagai pedagang musiman
dengan aktivitas fisik yang kurang. Ini merupakan salah satu faktor risiko dari
diabetes mellitus.
Sementara dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan BMI 19,17 dan Waist
Hips Ratio 0,98. Dari hasil pemeriksaan vital sign didapatkan tekanan darah
150/80, sementara dari hasil pemeriksaan gula darah sewaktu didapatkan 281
mg/dl. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang dapat ditegakkan
diagnosis pasien yaitu ulkus plantar pedis sinistra ec diabetes melitus tipe 2 tidak
terkontrol dengan hipertensi stage II.
Pasien ini mendapatkan terapi diet DD 1500 kkal, inj novorapid 3x8 U sc,
inj levemir 1x8 U sc, redressing ulkus tiap hari serta pemeriksaan teratur GDP
GD2PP 2x1 hari.
DAFTAR PUSTAKA
Grant JF, Hick N, Taylor AW, Chittleborough CR, Phillips PJ, dan the North West Adelaide Health Study Team, 2009. Gender-Specific Epidemiology of Diabetes: a Representative Cross-Sectional Study. International Journal for Equity in Health 2009, 8:6. http://www.equityhealthj.com/content/pdf/1475-9276-8-6.pdf.
Gustaviani R, 2006. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 1879 – 1881.
Hicks J, 2008.Racial and Genetic Risk Factors for Diabetes. http://diabetes.about.com/lw/Health-Medicine/Healthcare-industry/Racial-and-Genetic-Risk-Factors-for-Diabetes.htm.
Kurniawan I, 2010. Diabetes Melitus Tipe 2 pada Usia Lanjut. Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 12, Desember 2010. http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/511/508.
Manaf A, 2006. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 1890 – 1891.
Indonesia, P. (. (2015). Konsesnsus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. PERKENI.
Porth CM, Matfin G, 2009. Pathophysiology, Concepts of Altered Health States.Eighth edition. China: Wolters Kluwer Health | Lippin Cott Williams & Wilkins. Hal: 1070 – 1075.
Shaw JE, Sicree RA, Zimmet PZ, 2010. Global Estimates of the Prevalence of Diabetes.Diabetes Research and Clinical Practice.Edisi 87.Elsevier Ireland Ltd. http://blogimages.bloggen.be/diabetescheck/attach/35622.pdf.
Sugondo S, 2006. Obesitas.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 1944.
Suyono S, 2011. Kecenderungan Peningkatan Jumlah Penyandang Diabetes.Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Edisi II. Cetakan ke-8. Jakarta: Balai Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 6 – 22.
Whiting DR, Guariguata L, Weil C, Shaw J, 2011. IDF Diabetes Atlas: Global Estimates of the Prevalence of Diabetes for 2011 and 2030. Diabetes Research and Clinical Practice.Edisi 94. Elsevier Ireland Ltd. Hal: 311 – 321. http://download.journals.elsevierhealth.com/pdfs/journals/0168-8227/PIIS0168822711005912.pdf.