cacing 2
DESCRIPTION
bgbhyTRANSCRIPT
5. ALBENDAZOL
Albendazol adalah obat cacing derivat benzimidazol berspektrum
lebar yang dapat diberikan per oral. Dosis tunggal efektif untuk infeksi
cacing kremi, cacing gelang, cacing trikuris, cacing S. stercoralis dan cacing
tambang. Juga merupakan obat pilihan untuk penyakit hidatid dan
sisteserkoris.
Struktur kimianya adalah sebagai berikut :
a. Farmakokinetik
Pada pemberian per oral, obat ini diserap secara tidak teratur oleh
usus. Obat ini cepat dimetabolisme, terutama menjadi albendazol sulfoksida
suatu metabolit aktif yang sebagian besar diekskresi dalam urin dan sedikit
lewat feses. Makanan berlemak akan meningkatkan absorpsi empat kali
lebih besar dibanding perut kosong. Kadar puncak metabolit aktif plasma
dicapai dalam 3 jam. Waktu paruh 8-9 jam sebagian besar metabolit terikat
dengan protein dan didistribusi ke jaringan-jaringan termasuk ke kista
hidatid.
b. Farmakodinamik
Obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan β-tubulin parasit
sehingga menghambat polimerisasi mikrotubulus dan memblok
pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing dewasa, sehingga
persediaan glikogen menurun dan pembentukan ATP berkurang, akibatnya
cacing akan akan mati. Obat ini memiliki khasiat membunuh larva N.
americanus dan juga dapat merusak telur cacing gelang, tambang dan
trikuris.
c. Indikasi
Untuk infeksi cacing kremi, cacing tambang, cacing askaris atau
trikuris. Dosis dewasa dan anak umur di atas 2 tahun adalah 400 mg dosis
tunggal bersama makan. Untuk cacing kremi, terapi hendaknya diulangi
setelah 2 minggu. Untuk askariasis berat, lama pengobatan yang dianjurkan
ialah 2-3 hari.
Untuk infeksi cacing S. stercoralis dosis terapi 2 x 400 mg per hari
selama 1-2 minggu diberikan bersama makanan. Untuk penyakit hidatid:
dosis terapi yang dianjurkan 800 mg per hari selama 30 hari; rangkaian
pengobatan ini dapat diulangi 2 sampai 3 kali, dengan interval 2 minggu.
Untuk neuro-sistiserkosis: dosis efektif yang dilaporkan adalah 15 mg/kgBB
per hari selama 1 bulan.
Dibanding prazikuantel, albendazol lebih menguntungkan karena
lebih mudah menembus masuk ke cairan serebrospinal dan bila dikombinasi
dengan kortikosteroid, kadar plasma albendazol meningkat, sebaliknya
kadar plasma prazikuantel menurun.
Untuk cutaneus larva migrans dosis terapinya 400 mg/hari selama 3
hari dan untuk kapilariasis intestinal selama 10 hari serta untuk trichinosis 2
x 400 mg/hari selama 1-2 minggu. Albendazol juga dipakai bersama-sama
dengan DEC oleh WHO dalam program eliminasi global filariasis limfatik
di dunia, yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2020. Program ini
dicanangkan oleh WHO sejak tahun 2000 melalui pemberian obat anti
filaria masal dengan kombinasi DEC (6 mg/kgBB) dan albendazol dosis
tunggal 400 mg.
d. Efek Samping
Untuk penggunana 1-3 hari, aman. Efek samping berupa nyeri ulu
hati, diare, sakit kepala, mual, lemah, pusing, insomnia, frekuensinya
sebanyak 6%. Tetapi pada salah satu penelitian dilaporkan, bahwa insidens
efek samping ini tidak berbeda dengan plasebo.
Pada pengobatan/penyakit hydatid selama 3 bulan, dilaporkan
timbulnya efek samping berupa: alopesia, leukopenia yang reversibel,
peningkatan transaminase yang reversibel, serta gangguan cerna berupa
mual, muntah, dan nyeri perut.
Pada studi toksisitas kronik dengan hewan coba ditemukan adanya:
diare, anemia, hipotensi, depresi sumsum tulang, kelainan fungsi hati,
embriotoksisitas, dan teratogenisitas.
e. Kontraindikasi
Anak umur kurang dari 2 tahun, wanita hamil dan sirosis hati.
6. TIABENDAZOL
Tiabendazol merupakan antelmitik derivat benzimidazol berspektrum
lebar dan efektif untuk mengobati infestasi berbagai nematoda pada
manusia. Obat ini berupa kristal putih, tidak larut dalam air. Daya larutnya
tergantung pH. Bila suasana sedikit asam atau basa, senyawa ini mudah
larut. Senyawa ini membentuk kompleks yang stabil dengan sejumlah
logam seperti besi, tetapi tidak mengikat kalsium.
a. Farmakokinetik
Tiabendazol mempunyai daya antelnimtik yang luas, efektivitasnya
tinggi terhadap strongiloidiasis, askariasis, oksiuriasis dan larva migrans
kulit; berguna untuk mengobati trikuriasis dan trikinosis akut. Cara kerjanya
serupa dengan derivat benimidazol lainnya, misalnya menghambat enzim
fumarat reduktase cacing. Pada cacing strongyloides obat ini menghambat
enzim asetil-kolinesterase cacing dan menyebabkan kematian cacing. Obat
ini dapat menekan perkembangan dan migrasi larva Trichinella spiralis.
Tiabendazol dapat menghancurkan sebagian larva yang terdapat di dalam
otot, tetapi tidak efektif untuk encysted larva. Seperti levamisol, tiabendazol
juga memiliki efek imuno-stimulan. Efek antiinflamasi obat ini turut
berperan dalam meringankan gejala-gejala penyakit cacing.
b. Farmakodinamik
Tiabendazol cepat diserap melalui usus dan kadar puncak obat ini
dalam darah dicapai dalam waktu 1-2 jam. Daloam waktu 2 hari, 90% obat
ini telah diekskresi bersama urin dalam bentuk hidroksi dan terkonyugasi.
Obat ini juga dapat diserap oleh kulit.
c. Indikasi
Tiabendazol merupakan obat terpilih untuk S. stercolaris dan
cutaneous larva migrans. Obat ini sebaiknya tidak digunakan lagi untuk
mengobati askaris, trikuris, cacing tambang dan cacing kremi, bila obat lain
yang lebih aman sudah ada. Beberapa laporan pada manusia
memperlihatkan efektivitas tiabendazole pada trikinosis, tetapi obat ini
hanya menghancurkan sebagian saja dari larva yang bermigrasi ke otot.
d. Efek Samping
Obat ini memberikan efek samping anoreksia, mual, muntah dan
pusing. Dalm frekuensi yang lebih rendah juga terjadi diare, nyeri
epigastrium, sakit kepala, pusing, lelah, gatal dan kantuk. Karena itu dalam
pengobatan dengan tiabendazol dianjurkan tidak melakukan kegiatan yang
memerlukan kewaspadaan mental. Perubahan fungsi hati yang selintas dapat
terjadi, maka penggunaannya harus hati-hati pada pasien dengan gangguan
fungsi hati. Telah dilaporkan terjadinya perianal rashes, tinitus,
hiperglikemi, konvulsi, lekopeni selintas, hematuri, kristaluri, gangguan
penglihatan, kolestasis intrahepatik, kerusakan sel parenkim hati, ikterus dan
gangguan fungsi hati. Sindrom Stevens-Johnson yang fatal dan kerusakan
hati yang ireversibel juga telah dilaporkan. Pemberian dosis besar pada tikus
dan mencit memperlihatkan efek teratogenik.
e. Sediaan dan Posologi
Dosis standar yang dianjurkan 2 x 25 mg/kgBB (maksimum 1,5
gram). Pemberian obat sehabis makan dan preparat berbentuk tablet,
hendaknya dikunyah dengan baik.
Untuk S. stercoralis, dosis yang dianjurkan 2 x 25 mg/kgBB selam 2
hari dengan dosis total tidak lebih dari 3 g. Untuk pasien dengan sindrom
hiperinfeksi dosis yang dianjurkan 2 x 25 mg/kgBB selam 5-7 hari.
Untuk cutaneous larva migrans dosis yang dianjurkan ialah 2 x 25
mg/kgBB selam 2-5 hari. Bila masih ditemukan adanya lesi aktif, selang 2
hari kemudian dapat diberikan lagi satu rangkai pengobatan. Hasil yang baik
juga dapat diperoleh lewat pemberian topikal salep tiabendazol 15% selam 5
hari.
Untuk trikinosis dosis yang dianjurkan 2 x 25 mg/kgBB selama 2-4
hari. Untuk visceral larva migrans dosis yang dianjurkan 2 x 25 mg/kgBB
selama 7 hari. Untuk kapilariasis intestinal didapat hasil baik dengan dosis 2
x12 mg/kgBB per hari selama 30 hari.
f. Kontraindikasi
Anak-anak dengan berat badan kurang dari 15 kg; Aktivitas yang
memerlukan kewaspadaan; dan reaksi hipersensitivitas pada gangguan
fungsi hati atau ginjal, sebaiknya digunakanobat alternatif. Demikian juga
pada wanita hamil, kecuali strongyloidiasis yang mengancam kehidupan.
7. IVERMEKTIN
Obat ini sekarang digunakan untuk pengobatan masal dan individual
terhadap onchocerciasis dan strongyloidiasis.
a. Farmakokinetik
Invermektin dihasilkan lewat proses fermentasi dari Streptomyces
avermitilis. Pemberian per oral pada manusia diabsorpsi baik dan memiliki
waktu paruh 10-12 jam. Kadar puncak dicapai dalam 4 jam. Obat ini tak
dapat melewati sawar darah otak kecuali bila ada meningitis.
b. Farmakodinamik
Cara kerja obat ini yakni memperkuat peranan GABA pada prose
transmisi di saraf tepi, sehingga cacing mati pada keadaan paralisis. Obat
berefek terhadap mikrofilaria di jaringan dan embriogenesis pada cacing
betina. Mikrofilaria mengalami paralisis, sehingga mudah dihancurkan oleh
sistem retikulo-endotelial. Karena obat ini tak melewati BBB, maka tak
menyebabkan paralisis pada hospes. Obat ini memilik margin of safety yang
lebar. Ivermektin juga efektif terhadap strongiloidosis dan merupakan obat
alternatif untuk pasien yang tak tahan atau tak mempan dengan
tiabendazole. Ivermektin tidak memiliki efek makrofilarisid bagi filariasis
bancrofty sehingga DEC (dietil-karbamazin) masih diperlukan untuk
membunuh cacing dewasanya.
c. Indikasi
Digunakan pada onkoserkiasis. Dosis tunggal sebesar 150 μg/kgBB,
obat ini efektivitasnya setara dengan dietilkarbamazin dalam hal
memberantas mikrofilaria di jaringan kulit dan rongga mata bagian depan
(anterior chamber), tetapi invermektin kerjanya lebih lambat dan
menyebabkan reaksi sistemik dan reaksi terhadap mata yang lebih ringan.
Dari salah satu studi perbandingan bahkan dilaporkan bahwa kelainan pada
bola mata timbul pada golongan yang diobati dengan dietilkarbamazin, dan
jarang ditemukan pada golongan yang diobati dengan ivermektin. Selain itu,
penurunan jumlah mikrofilaria akan bertahan lebih lama. Untuk mengurangi
gatal dan gangguan kulit dianjurkan pemberian ivermektin setiap tiga bulan.
Untuk strongiloidiasis pemberian dosis tunggal 200 μg/kgBB, memberikan
keberhasilan pengobatan lebih dari 80%.
d. Efek Samping
Pada dosis tunggal 50-200 μg/kgBB efek samping yang timbul
umumnya ringan, sebentar dan dapat ditoleransi. Biasanya berupa: demam,
pruritis, sakit otot dan sendi, sakit kepala, hipotensi, nyeri di kelenjar limfe.
Gejala efek samping ini tak separah seperti dietilkarbamazin, biasanya
cukup disembuhkan dengan pemberian antihistamin dan antipiretik. Gajala
ini berkaitan dengan jumlah mikrofilaria yang mati dan dikenal sebagai
reaksi Mazzotti. Efek teratogenik obat ini terlihat pada hewan coba.
e. Kontradiksi
Pada wanita hamil, obat ini jangan diberikan bersama-sama barbiturat,
benzodiazepin, atau asam valproat.
8. DIETILKARBAMAZIN
Dietilkarbamazin merupakan obat pilihan pertama untuk filariasis.
Obat ini dipasarkan sebagai garam sitrat, berbentuk Kristal, tidak berwarna
rasanya tidak enak dan mudah larut dalam air.
EFEK ANTELMITIK. Dietilkarbamazin menyebabkan hilangnya mikrofilaria
W. bancrofti, B. malayi dan Loa loa dari peredaran darah dengan cepat
Mikrofilaria O.volvulus hilang dari kulit, tetapi mikrofilaria dan cacing dewasa
(betina) yang terdapat di nodulus tidak dimatikan. Juga mikrofilaria W. bancrofti
dalam hidrokel tidak dipengaruhi. Ada 2 cara kerja obat ini terhadap mikrofilaria;
pertama; dengan cara menurunkan aktivitas otot, akibatnya parasite seakan-akan
mengalami paralisis, dan mudah terusir dari tempatnya yang normal dalam tubuh
hospes; kedua menyebabkan perubahan pada permukaan membrane mikrofilaria
sehingga lebih mudah dihancurkan oleh daya pertahanan tubuh hospes. Cacing
dewasa W. bancrofti, B. malayi dan Loa loa dimatikan tetapi O.volvulus tidak.
Sehingga DEC tidak dipakai lagi untuk O.volvulus. Mekanisme filarisidal pada
cacing dewasa belum diketahui.
FARMAKOKINETIK. Dietilkarbamazin cepat diabsorpsi dari usus dan
didistribusikan keseluruh cairan tubuh. Kadar puncak dicapai dalam 4 jam. Waktu
paruh berkisar antara 10-12 jam. Keterikatannya dengan plasma protein dapat
diabaikan. Sebagian besar dietilkarbamazin akan dimetabolisme secara cepat.
Ekskresi melalui ginjal, dalam bentuk utuh dan bentuk metabolit, berlangsung
sempurna dalam 48 jam setelah pemberian dosis tunggal. Eksresi ini berkurang
pada urin alkali.
EFEK SAMPING. Dietilkarbamazin relative aman pada dosis terapi. Efek
samping seperti pusing, malaise, nyeri sendi, anoreksia dan muntah, hilang bila
pengobatan dihentikan. Sakit kepala, muntah dan gelisah yang terjadi pada
pengobatan dengan dietilkarbamazin, mungkin karena obat ini merangsang SSP.
Reaksi alergi dapat timbul akibat langsung dari matinya parasite atau subtansi
yang dilepaskan oleh mikrofilaria yang hancur. Manifestasi reaksi alergi ini dapat
ringan sampai berat. Yang ringan bisa timbul pada infeksi W. bancrofti, dan B.
malayi, sedangkan yang berat biasa timbul pada infeksi Loa loa dan O. volvulus.
Gejalanya berupa sakit kepala, malaise, edema kulit, gatal yang hebat, papular
rash, pembesaran dan nyeri pada kelenjar inguinal, hiperpireksia, sakit-sakit sendi,
takikardia. Gejala ini berlangsung 3-7 hari, setelah itu dosis besar dapat diberikan
dengan aman. Untuk mengurangi gejala alergi dapat diberikan antihistamin atau
kotikosteroid, terutama bila terjadi komplikasi pada mata. Walaupun jarang
esenfalitis karena alergi dilaporkan dpat terjadi pada loiasis dan onkosersiasis.
Pada kedua penyakit ini pengobatan sebaiknya dimulai dengan dosis awal yang
rendah untuk meringankan gejala elergi.
Pemberian dosis oral 100-200 mg/kg BB pada tikus dan kelinci hamil
dilaporkan tidak menimbulkan efek teratogenik.
SEDIAAN DAN POSOLOGI. Dietilkarbamazin tersedia dalam bentuk tablet 50
mg. Pada umumnya dosis yang digunakan untuk infeksi filarial ini ditentukan
secara empiric dan bervariasi sesuai dengan kondisi setempat. Dosis oral untuk
dewasa dan anak yang terkena infestasi W. bancrofti, B. malayi dan Loa loa
adalah 2 mg/kgBB 3 kali sehari setelah makan selama 10-30 hari (umumnya 14
hari). Untuk mengurangi insiden reaksi alergi, maka dimulai dengan pemberian
dosis rendah, pada hari ke-1 diberikan dosis 50 mg (1 mg/kgBB pada anak), hari
ke-2 diberikan dosis 3 x 50 mg, pada hari ke-3 diberikan dosis 3 x 100 mg (2
mg/kgBB pada anak), selanjutnya 3 x 2 mg/kgBB/hari sampai lengkap 2-3
minggu.
Salah satu penggunaan penting dietilkarbamazin adalah untuk pengobatan
masal pada infestasi W. brancofti. Dalam rangka mengurangi transmisi, digunakan
5-6 mg/kgBB oral, cukup 1 hari perminggu atau per bulan sebanyak 6-12 dosis.
Menurut program WHO, DEC 6 mg/kgBB sebaiknya dikombinasi dengan
albendazol 400 mg.
9. PRAZIKUNTEL
Prazikuantel merupakan derivate pirazinoisokuinolin. Obat ini merupakan
antelmitik berspektrum lebar dan efektif pada cestoda dan trematoda pada hewan
dan manusia. Prazikuantel berbentuk Kristal tidak berwarna dan rasnya pahit.
EFEK ANTELMINTIK. In vitro, prazikuantel diambil secara cepat dan
reversible oleh cacing, tetapi tidak dimetabolisme. Kerjanya cepat melalui 2 cara.
(1) pada kadar efektif terendah menimbulkan peningkatan aktivitas otot cacing,
karena hilangnya Ca2+ intrasel sehingga timbul kontraksi dan paralisis spastik
yang sifatnya reversible, yang mungkin mengakibatkan terlepasnya cacing dari
tempatnya yang normal pada hospes, misalnya terlepasnya cacing S. mansoni dan
S. japonicum dari vena mensentrika dan masuk ke hati; (2) pada dosis terapi yang
lebih tinggi prazikuantel mengakibatkan vakuolisasi dan veskulasi tegument
cacing, sehingga isi cacing keluar, mekanisme pertahanan tubuh hospes dipacu
dan terjadi kehancuran cacing. Mekanisme yang mendasari efek ini masih belum
jelas. Pada hewan yang terinfeksi cacing skistosoma, prazikuantel efektif terhadap
cacing dewasa jantan dan betina, juga efektif terhadap bentuk imatur.
FARMAKOKINETIK. Pada pemberian oral absorpsinya baik. Kadar maksimal
dalam darah tercapai dalam waktu 1-3 jam. Metabolism obat berlangsung cepat di
hati melalui proses hidroksilasi dan konyugasi. Sehingga terbentuk produk yang
efek antelmintik kurang efektif. Waktu paruh obat 0,8-1,5 jam. Ekskresi sebagian
besar melalui empedu. Hanya sedikit obat yang di ekskresi dalam bentuk utuh.
Kadar obat dalam air susu ibu adalah 1/4 kali kadar plasma.
EFEK SAMPING. Efek samping timbul dari beberapajam setelah pemberian
obat dan akan bertahan selama beberapa jam setelah pemberian obat dan akan
bertahan selama beberapa jam sampa 1 hari. Yang paling sering adalah sakit
kepala, pusing, mengantuk, dan lelah; yang lainnya adalah mual, muntah, nyeri
perut, diare, pruritus, urtikaria, nyeri sendi dan otot, serta peningkatan enzim hati
selintas. Demam ringan, pruritus, dan skin rashes disertai dengan peningkatan
easinofil yang terlihat setelah beberapa hari pengobatan. Efek samping ini
mungkin diakibatkan oleh pelepasan protein asing cacing yang mati. Intensitas
dan frekuensi efek samping ini berkaitan dengan besarnya dosis dan beratnya
infeksi. Untuk terapi neurocysticercosis efek samping muncul karena penggunaan
dosis tinggi obat dan karena matinya parasit, sehingga seringkali diberikan dengan
kortikosteroid untuk mengurangi efek samping yang berat. Juga jangan digunakan
untuk hal-hal sebagai berikut: (1) ocular cysticercosis sebab kehancuran parasite
dimata dapat menimbulkan cacat menetap; (2) umur kurang dari 4 tahun, sebab
keamanan obat untuk usia ini datanya belum mendukung.
KONTRAINDIKASI. Sebaiknya tidak di berikan pada wanita hamil dan
menyusui. Demikian pula pekerja-pekerja yang memerlukan koordinasi fisik dan
kewaspadaan, harus diperingatkan mengenai efek kantuk yang terjadi pada
pemakaian obat.
Kontraindikasi mutlak adalah pada ocular cysticercosis, sebab kehancuran
parasite di mata dapat menimbulkan kerusakan mata yang tak dapat diperbaiki.
Pasien dengan gangguan fungsi hati memerlukan penyesuaian dosis.
Pemberian bersama kortikosteroid untuk menekan reaksi inflamasi perlu
mendapatkan pertimbangan karena kortikosteroid dapat mengurangi kadar plasma
sampai 50%.
POSOLOGI. Dosis dewasa dan anak diatas umur 4 tahun. Untuk infestasi S.
haematobium dan S. mansoni diberikan dosis tunggal 40 mg/kgBB; atau dosis
tunggal 20 mg/kgBB yang diulangi lagi sesudah 4-6 jam. Untuk D. latum dan H.
nana diberikan dosis tunggal 15-25 mg/kgBB, sedangkan untuk T. saginata dan T.
solium diberikan dosis tunggal 5-10 mg/kgBB. Khusus untuk T. solium, untuk
mengurangi kemungkinan timbulnya sistiserkosis, dianjurkan pemberian pencahar
2 jam sesudah pengobatan. Untuk Paragonimus westermani fascioliasis,
clonorchiasis, opisthorchiasis dosisnya 3 kali sehari 25 mg/kgBB selama 1-3 hari.
Prazikuantel harus diminum dengan air sesudah makan dan tidak boleh
dikunyah karena rasanya pahit.
10. OKSAMNIKUIN
Oksaminikum merupakan derivate tetrahidrokuinolin. Obat ini efek
sampingnya relative ringan dan jarang dijumpai. Oksaminikuin sekarang masih di
pakai di Amerika Selatan untuk infeksi S. mansoni.
11. METRIFONAT
Metrifonat adalah senyawa organofosfat yang merupakan obat alternative
untuk S. haemotobium. Obat ini tidak efektif terhadap S. mansoni dan S.
japonicum.
Obat ini adalah suatu prodrug yang dikonversi menjadi diklorvos, suatu
penghambat kuat kolinesterase.
Setelah pemberian oral, kadar puncak diperoleh dalam 1-2 jam. Waktu paruh 1 1/2 jam.
Efek sampingnya berupa gejala kolinergik yang sifatnya ringan dan selintas.
Efek samping yang dapat timbul ialah mual, muntah, diare, nyeri perut,
bronkospasme, sakit kepala, berkeringat, lelah, lemah, pening dan pusing. Gejala
ini dapat terjadi dalam 30 menit dan dapat menetap sampai 12 jam.
Metrifonat jangan diberikan pada orang yang baru terpapar dengan insektisida
atau obat yang menghambat kolinesterase. Pasien yang baru menggunakan obat
ini juga jangan diberikan. Penggunaan pelumpuh otot harus disingkirkan
sekurang-kurangnya 48 jam setelah pemberian metrifonat. Jangan diberikan pada
wanita hamil.
Dosis yang dianjurkan adalah 7,5-10 mg/kgBB, diberikan sebanyak 3 kali
dengan interval 14 hari. Metrifonat juga efektif sebagai profilaksis untuk anak di
daerah endemic dengan pemberian sebulan sekali.
12. NIKLOSAMID
Obat yang mulai diperkenalkan tahun 1960 ini digunakan untuk mengobati
cacing pita pada manusia dan hewan.
Cacing yang dipengaruhi akan dirusak sehingga sebagian skoleks dan segmen
dicerna dan tidak dapat ditemukan lagi dalam tinja.
Niklosamid merupakan obat alternative setelah ivemektin untuk T. saginata, D.
latum dan H. nana. Sebagai taenisid, perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya
sistiserkosis pada penggunaan untuk T. solium sebab niklosamid tidak merusak
telur yang ada dalam segmen sehingga telur-telur yang masih hidup ini dilepas
dalam lumen usus dari segmen cacing. Untuk mencegah ini perlu diberikan
pencahar 1-2 jam sesudah menelan obat yang terakhir, agar sisa-sisa cacing keluar
sebelum di cerna. Untuk T. saginata tidak diperlukan pencahar, karena bahaya
sistiserkosis tidak ada. Bahaya sistiserkosis ini mengurangi manfaat niklosamid
pada infeksi T. solium.
Niklosamid tersedia dalam bentuk tablet kunyah 500 mg yang harus dimakan
dalam keadaan perut kosong. Untuk orang dewasa diperlukan dosis tunggal 2
gram, sedangkan untuk anak dengan berat badan lebih dari 34 kg; 1,5 gram dan
anak dengan berat badan antara 11-34 kg: 1 gram.
PEMILIHAN PREPARASI
Ikhtisar pengobatan penyakit cacing dan dosisnya dapat dilihat dalam Tabel
34-1.
Tabel 34-1. OBAT-OBAT UNTUK INFESTASI CACING
Jenis infeksi Obat pilihan I Obat pilihan II Dosis
1. Askaris Pirantel
pamoat
Mebendazol
Piperazin sitrat
Albendazol
Pirantel : dosis tunggal 10
mg/kgBB basa.
Mebendazol : 2 kali sehari 100 mg
selama 3 hari.
Piperazin : dewasa 3,5 g sebagai
dosis tunggal selama 2 hari. Anak
75 mg/kgBB sebagai dosis tunggal
selama 2 hari.
Albendazol : dosis tunggal 400 mg.
2. Cacing
kremi
Mebendazol
Pirantel
pamoat
Albendazol Mebendazol : dosis tunggal 100
mg.
Pirantel pamoat : dosis tunggal 10
mg/kgBB (maksimum 1 g) sebagai
pirantel basa.
Albendazol : dosis tunggal 400 mg.
3. Cacing
tambang
Mebendazol
Pirantel
pamoat
Albendazol Mebendazol : 2 kali 100 mg selama
3 hari.
Pirantel : untuk A. duodenale, dosis
tunggal pirantel basa 10 mg/kgBB
(maksimum 1 g); untuk N.
americanus selama 3 hari.
Albendazol : dosis tunggal 400 mg.
4. T.
trichiura
Mebendazol Albendazol Mebendazol : 2 kali 100 mg selama
3-4 hari.
Albendazol : dosis tunggal 400 mg
5. S.
stercolaris
Ivemektin Albendazol
Tiabendazol
Ivermektin : dosis tunggal 200
µg/kgBB
Albendazol : 2 x 400 mg/hari
selama 7-14 hari
Tiabendazol : 2 x 25 mg/kgBB per
hari selama 2-3 hari berturut.
6. T. solium Prazikuantel
Niklosamid
Prazikuantel : dosis tunggal 10
mg/kgBB.
Khusus untuk T. solium dianjurkan
pencahar 2 jam sesudah terapi.
Niklosamid : untuk orang dewasa
dan anak diatas 8 tahun diberikan 2
dosis @ 1 gram selang waktu 1
jam. Untuk anak-anak 1/2 dosis
dewasa.
7. T. Prazikuantel Mebendazol Prazikuantel : seperti untuk T.
saginata Niklosamid solium.
Niklosamid : seperti untuk T.
solium.
Mebendazol : 2 x 300 mg/hari
selama 3 hari
8. Filaria Dietilkarbamaz
in (DEC)
Untuk W. brancofti, B. malayi dan
Loa loa: 3 kali sehari 2 mg/kgBB
bersama makan selama 10-30 hari.*
9. O.
volvulus
Ivemektin Dosis 150 µg/kgBB diminum
dengan air pada saat perut kosong,
diulang setiap 3 bulan selama 12
bulan, dan selanjutnya diulang
setiap tahun sampai cacing dewasa
mati (dapat berlangsung sampai 10
tahun atau lebih).
10. S.
H
aematobi
um
Prazikuantel Metrifonat Prazikuantel : dosis tunggal
sebanyak 40 mg/kgBB atau dosis
tunggal 20 mg/kgBB yang diulang
lagi sesudah 4-6 jam.
Metrifonat : dosis tunggal 7,5-10
mg/kgBB diberikan per oral
sebanyak 3 x dengan interval 14
hari
11. S.
mansoni
Prazikuantel Oksamnikuin Prazikuantel : dosis tunggal
sebanyak 40 mg/kgBB atau 3 kali
20 mg/kgBB selang 4-6 jam.
Oksamnikuin : dewasa, dosis
tunggal 15 mg/kgBB.
Anak, 20 mg/kgBB dibagi dua
dosis selang 2-8 jam.
12. S.
japonicum
Prazikuantel Prazikuantel : 2 kali 30 mg/kgBB
selang 4-6 jam
*) pada pengobatan masal : DEC 6 mg/kgBB/hari dan albendazol 400 mg dosis
tunggal (anjuran WHO)