ca serviks
TRANSCRIPT
EVALUASI PROTOKOL PENANGANAN NYERI BERDASARKAN
PEDOMAN WHO BAGI KASUS-KASUS KANKER SERVIKS
ABSTRAK
PENDAHULUAN DAN TUJUAN
Nyeri merupakan gejala kanker serviks yang sangat membebani penderitanya.
Nyeri tersebut dialami oleh 25-50% pasien-pasien kanker serviks yang baru
didiagnosis dan > 75% pasien yang mengalami kanker serviks derajat berat.
Namun demikian, nyeri masih menjadi hal yang kurang diperhatikan. Oleh sebab
itu, studi ini bertujuan unuk menilai nyeri dan mengevaluasi respons terhadap
manajemen nyeri menurut protokol bertingkat yang telah disusun dan ditetapkan
oleh WHO bagi kasus-kasus kanker serviks.
MATERIAL DAN METODE
Studi ini merupakan studi kohort prospektif yang melibatkan pasien-pasien kanker
serviks yang mengalami keluhan berupa nyeri. Pasien-pasien kanker serviks yang
mengalami penyakit-penyakit sistemik yang berat dan memiliki riwayat pernah
menjalani tindakan pembedahan mayor dalam kurun waktu 2 minggu terakhir
dieksklusikan dari studi ini. Derajat keparahan nyeri yang diakibatkan oleh kanker
dinilai dan ditentukan kuantitasnya dengan menggunakan skala analog visual
(visual analog scale; VAS). Nyeri yang terjadi tersebut ditatalaksana berdasarkan
protokol bertingkat yang telah ditetapkan oleh WHO..
HASIL
Terdapat sebanyak 61,5% pasien kanker serviks yang mengalami keluhan nyeri.
Penanganan nyeri yang dilakukan dengan menggunakan protokol WHO memiliki
overall success rate sebesar 95,3%.
KESIMPULAN
Penanganan nyeri akibat kanker dapat ditatalaksana secara efektif dengan
menggunakan algoritma bertingkat yang telah disusun dan dipublikasikan oleh
WHO. Pemberian morfin per oral dapat memberikan hasil yang efektif untuk
penanganan keluhan nyeri yang diakibatkan oleh kanker. Pemberiaan sediaan
morfin per oral dapat dengan mudah dititrasi dan memiliki rasio manfaat dengan
resiko yang menguntungkan.
KATA KUNCI: kanker serviks, diklofenak, morfin, nyeri, tramadol, protokol
penanganan nyeri bertingkat WHO.
PENDAHULUAN
Kanker serviks menjadi kasus malignansi yang paling banyak dialami oleh
para wanita yang berasal dari seluruh kelompok usia di negara berkembang,
bertanggungjawab dalam menyebabkan terjadinya 370.000 kasus baru dan
160.000 kematian per tahunnya. Di India, diperkirakan bahwa terdapat kurang
lebih 100.000 pasien kanker serviks baru per tahunnya.1 Nyeri menjadi salah satu
gejala yang dihubungkan dengan kanker serviks dan paling membebani
penderitanya. Nyeri tersebut dialami oleh 25-50% pasien-pasien kanker serviks
yang baru didiagnosis, > 75% pasien yang mengalami kanker serviks derajat
berat, dan 33% pasien kanker serviks yang sedang menjalani treatment.2 Nyeri
yang dialami tersebut turut mempengaruhi status fungsional dan kualitas hidup
pasien. Hingga sekarang ini, permasalahan tersebut menjadi hal yang belum tidak
tertangani dan terselesaikan dengan baik. WHO pada tahun 1986 menetapkan dan
mempublikasikan sebuah algoritma bertingkat yang digunakan sebagai pedoman
dalam pengendalian dan penatalaksanaan nyeri yang dialami. Meskipun telah
terdapat pedoman pengendalian nyeri yang efektif, sebagian besar para penderita
kanker memiliki kualitas hidup yang buruk, yang malah memperberat penderitaan
mereka. Sehingga, studi ini dirancang untuk menilai nyeri yang dialami oleh dan
mengevaluasi respons terhadap modalitas penatalaksanaan nyeri sesuai dengan
yang ditetapkan oleh WHO pada penderita kanker serviks.
Material dan Metode
Studi ini merupakan sebuah studi kohort komprehensif, yang dilakukan di
Departemen Obstetri dan Ginekologi yang dimiliki oleh sebuah pusat layanan
kesehatan tersier yang berlokasi di wilayah India Utara, selama periode 1 tahun.
Studi ini melibatkan pasien-pasien kanker serviks stadium I, II, III, dan IV
menurut klasifikasi FIGO yang mengalami nyeri pada abdomen, perineum,
ekstremitas inferior, dan tulang belakang. Pasien-pasien yang memiliki riwayat
pernah menjalani tindakan pembedahan mayor dalam kurun waktu 2 tahun atau
yang mengalami penyakit sistemik yang berat, seperti gagal ginjal akut atau
kronis, infeksi HIV, penyakit-penyakit pernapasan, hepatobiliaris, atau dengan
diatesis perdarahan (bleeding diathesis), trombositopenia atau dengan epilepsi
atau riwayat pernah mengalami kejang dieksklusikan dari studi.
Setelah diperoleh persetujuan oleh komite etik institusi terkait, diperoleh
izin (informed consent) dari seluruh pasien. Selanjutnya dilakukan anamnesis
riwayat yang mendetail, pemeriksaan fisik yang menyeluruh, dan beberapa
pemeriksaan yang relevan, diantaranya berupa pemeriksaan histopatologis
konfirmatorik atas kanker serviks yang dialami pada semua pasien.
Penilaian awal nyeri yang dirasakan diperoleh melalui anamnesis riwayat
nyeri, termasuk lokasi, karakteristik, durasi, intensitas, pola, faktor-faktor yang
memperberat dan memperingan nyeri. Intensitas nyeri yang dirasakan diukur
dengan menggunakan skala analog visual (visual analogue scale [Gambar 1].
Setelah dilakukan penilaian dan penentuan skor nyeri awitan (baseline pain
score), pasien-pasien tersebut memperoleh penatalaksanaan atas nyeri yang
dirasakan sesuai dengan algoritma yang dipublikasikan oleh WHO [Gambar 2].
Responder didefinisikan sebagai seorang pasien yang mengalami perubahan skor
nyeri dari ringan (1-4) atau sedang (5-6) atau berat (≥ 7) menjadi nol (0) atau
ringan (1-4). Apabila skor nyeri cenderung tetap atau mengalami peningkatan,
maka pasien tersebut digolongkan sebagai seorang non-responder.
Penatalaksanaan tahap 1 yang dilakukan berupa pemberian preparat diklofenak 50
mg per oral sebanyak 1 kali hingga 3 kali per hari bagi pasien-pasien dengan skor
nyeri 1-6 (nyeri ringan hingga sedang). Penilaian nyeri lanjutan dilakukan untuk
mengevaluasi efektivitas obat paska 48 jam setelah dimulainya pemberian terapi
medikamentosa. Para pasien yang tergolong dalam kelompok non-responder
terhadap terapi lini pertama (tahap 1) memperoleh pemberian terapi lini kedua,
dan pasien-pasien yang memiliki skor nyeri awitan yang berat (>7) juga
memperoleh pemberian regimen terapi lini kedua (tahap 2) sebagai terapi lini
pertama. Tahap 2 berupa pemberian sediaan opioid atipikal berkekuatan ringan
(mild atypical opioid), tramadol 50 mg per oral setiap 8 jam hingga 3 jam sekali.
Selanjutnya dilakukan penilaian skor nyeri paska 48 jam pemberian terapi.
Pasien-pasien yang tidak merespons terhadap pemberian regimen tahap 2,
selanjutnya akan diberikan regimen tahap 3, berupa pemberian sediaan opioid
kuat, morfin 10-30 mg per harinya. Selain itu, dilakukan pemberian terapi
medikamentosa adjuvan, berupa pemberian amitriptilin (10-25 mg hingga 75 mg
per oral dan prednisolon (5 mg hingga 10 mg per oral) yang dilakukan bersamaan
dengan pemberian regimen analgesik tahap 2 dan 3 bila diperlukan. Pada seluruh
pasien dilakukan evaluasi terhadap efek samping obat dan dilakukan
penatalaksanaan yang sesuai apabila ditemukan terjadinya berbagai efek samping
tersebut. Setelah skor nyeri pasien telah mencapai 0 (tidak nyeri), kemudian
dilakukan follow-up pada periode 2 minggu setelahnya.
Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak analisis
statistika SPSS versi 15.0. Dalam studi ini dilakukan pengukuran dan penilaian
beberapa variabel, diantaranya berupa usia, domisili (perkotaan atau pedesaan),
status paritas, stadium penyakit yang dialami, skor nyeri pre- dan paska
pemberian terapi yang dianalisis dengan menggunakan skala analog visual (visual
analogue scale; VAS), derajat respons individual terhadap obat yang diberikan
dan efek samping yang timbul.
Hasil
Studi ini melibatkan sebanyak 149 wanita yang menderita kanker serviks.
Sebanyak 36,9% pasien berada dalam kelompok usia 41-50 tahun. Sebanyak
65,9% pasien berada dalam golongan Para 5 atau lebih; 82,3%-nya berada dalam
kelas sosioekonomi yang rendah; 85,1%-nya buta aksara.
Sebanyak 61,5% dari pasien-pasien dengan kanker serviks tersebut
mengalami nyeri. Nyeri yang dirasakan pada abdomen bagian bawah merupakan
kondisi yang paling sering dialami (73,2%), selanjutnya diikuti dengan nyeri yang
terjadi pada tulang belakang (51%) dan regio perineal (33,6%). Sebagian besar
mendeskripsikan nyeri yang dialami sebagai kram/seperti diremas-remas (42,3%),
seperti tertekan/tertindih benda berat (43,6%) atau panas seperti terbakar (14,1%).
Mayoritas pasien (71,1%) mengalami durasi nyeri < 6 bulan, sedangkan sisanya
28,9% mengalami nyeri selama > 6 bulan. Nyeri yang dirasakan bersifat
intermiten pada 52,3% pasien, dan terus-menerus (kontinu) pada 47,7% pasien.
Untuk menilai dan menentukan kuantitas nyeri digunakan VAS; 18 pasien
(12,1%) memiliki skor VAS 1-4 (nyeri ringan); 73 pasien (49%) memiliki skor
VAS 5-6 (nyeri sedang), dan 58 pasien (38,9%) memiliki skor VAS ≥ 7 (nyeri
berat). Ditemukan terjadinya peningkatan derajat nyeri yang dialami seiring
dengan semakin tingginya stadium kanker yang dialami. Pada stadium I, sebanyak
70,8% pasien tidak mengalami nyeri, sedangkan pada stadium IV, seluruh pasien
(100%) mengalami nyeri.
Pasien-pasien tersebut memperoleh penatalaksanaan sesuai dengan
protokol bertingkat yang telah ditetapkan oleh WHO (Tabel 1); sebanyak 91
pasien dengan nyeri ringan dan sedang memperoleh pemberian sediaan diklofenak
(tahap 1). Yang mana, terdapat 67 pasien (73,6%) yang merespons (responder)
dan 24 pasien (26,4%) yang tidak merespons (non responder) terhadap pemberian
terapi. Pemberian tramadol per oral diberikan kepada 62 pasien yang mengalami
nyeri berat dan kepada 24 pasien dengan nyeri ringan hingga sedang yang tidak
merespons terhadap pemberian diklofenak. Dari 62 pasien yang mengalami nyeri
berattersebut, hanya terdapat 19 pasien yang merespons pemberian tramadol per
oral, sedangkan sebanyak 43 pasien tidak merespons pemberian tramadol per oral.
Dari 24 pasien yang tidak merespons terhadap pemberian diklofenak per oral (non
responder diklofenak), sebanyak 19 pasien (79,2%) menunjukkan respons, dan 5
pasien (20,8%) tidak merespons terhadap pemberian tramadol per oral. Pemberian
morfin diberikan kepada 43 pasien, dimana 41 pasien merespons, dan hanya
terdapat 2 pasien yang tidak menunjukkan terdapatnya respons terhadap
pemberian morfin. Sebanyak 9 pasien memperoleh pemberian tramadola atau
morfin yang disertai dengan pemberian terapi adjuvan. Dari 9 pasien tersebut,
sebanyak 7 pasien menunjukkan terdapatnya repsons, sementara 2 pasien sisanya
tidak menunjukkan terdapatnya respons terapeutik. Selanjutnya, 2 pasien tersebut
dirujuk ke klinik nyeri guna memperoleh penanganan lebih lanjut. Secara
keseluruhan, nyeri yang dialami dapat ditangani dengan baik, kecuali pada 2 dari
149 pasien yang terlibat dalam studi ini.
Dilakukan observasi dan analisis terkait korelasi antara skor nyeri awitan
dan respons terhadap terapi yang diberikan; sebanyak 100% pasien yang
mengalami nyeri derajat ringan merespons terhadap terapi yang diberikan dan
tidak ada yang masih mengalami nyeri paska pemberian terapi; sebanyak 95,8%
pasien yang mengalami nyeri derajat sedang memberikan respons, dan hanya
4,2% pasien yang tidak menunjukkan terjadinya respons terhadap terapi yang
diberikan; sebanyak 93,1% yang mengalami nyeri berat memberikan respons, dan
hanya terdapat 6,9% pasien yang tidak menunjukkan terjadinya respons terhadap
terapi yang diberikan.
Dalam perbandingan yang dilakukan terkait respons nyeri yang terjadi
diantara berbagai stadium kanker serviks yang dialami, ditemukan terdapatnya
korelasi positif antara berlangsungnya respons komplet pada stadium awitan
penyakit dengan yang dijumpai pada stadium akhir penyakit (100% pada stadium
I dan II, 33,3% pada stadium IV).
Selain itu juga dilakukan observasi dan analisis terhadap efek samping
yang dialami. Pada kelompok pasien yang memperoleh pemberian diklofenak,
terdapat 10,9% pasien yang mengalami mual dan muntah, dan 16,5% pasien
mengalami nyeri epigastrium. Pada kelompok pasien yang memperoleh
pemberian tramadol, mual dan muntah ditemukan terjadi pada jumlah pasien yang
lebih banyak, yakni mencapai 25%, sedangkan 8,5% pasien mengalami
konstipasi. Sebanyak 30,2% pasien yang memperoleh morfin mengalami mual;
sedangkan 25,6% pasien mengalami muntah dan konstipasi. Seluruh efek samping
yang dialami oleh pasien-pasien tersebut menunjukkan repsons positif terhadap
terapi simtomatis yang diberikan.
Diskusi
Nyeri merupakan sebuah pengalaman multi-dimensional subyektif yang
unik bagi masing-masing individu dan keberlangsungannya dapat mempengaruhi
berbagai aspek kehidupan. Nyeri juga merupakan salah satu gejala yang umum
dialami oleh pasien-pasien kanker serviks. Dan hingga kini masih menjadi
permasalahan paling umum bagi para pasien kanker dan belum dapat tertangani
dengan baik. Nyeri yang terjadi pada kasus kanker serviks tergolong sebagai suatu
proses yang kompleks dan terjadi akibat berlangsungnya invasi tumor dan dialami
oleh hampir 90% pasien. Pada beberapa pasien, nyeri yang dialami dapat
disebabkan akibat radioterapi dan kemoterapi; semantara,10% nyeri yang dialami
oleh pasien-pasien tersebut dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit lain yang
tidak berhubungan.
Kami mengevaluasi sebanyak 249 wanita yang menderita kanker serviks
dengan berbagai stadium yang berbeda. Rerata prevalensi kejadian nyeri
mencapai 61,5% pada seluruh stadium kanker. Mayoritas pasien yang mengalami
nyeri (76,8%) menderita kanker serviks stadium lanjut (III dan IV), selanjutnya
diikuti sebanyak 53% menderita kanker serviks stadium II, dan 29,2% menderita
kanker serviks stadium I. Seiring dengan peningkatan stadium kanker serviks
yang dialami, dijumpai terjadinya peningkatan prevalensi nyeri dan juga
ditemukan perbedaan yang signifikan secara statistik (P < 0,001). Van Den
Beuken et al. (2007)2 menemukan rerata prevalensi kejadian nyeri hingga
mencapai 50% pada seluruh stadium kanker, 64% pada pasien-pasien kanker
stadium berat atau metastatik, 59% pada pasien-pasien yang sedang menjalani
terapi antikanker dan 33% pasien-pasien yang telah memperoleh terapi kuratif.
Bonica et al. (1995)3 meneumukan rerata prevalensi kejadian nyeri mencapai 50%
pada berbagai stadium kanker dan 71% pada kanker stadium lanjut.
Pada kanker serviks, lokasi nyeri yang paling sering terjadi pada tulang
belakang dan abdomen bagian bawah yang diperkirakan disebabkan oleh tekanan
atau keterlibatan pleksus lumbosakralis superior dan nyeri pada pantat dan regio
perineal yang disebabkan oleh adanya keterlibatan pleksus lumbosakralis inferior.
Lokasi nyeri paling sering berada pada abdomen bagian bawah (73,2%), diikuti
pada tulang belakang (51%) dan nyeri pada perineum (33,6%).
Intensitas nyeri yang dialami diukur dengan enggunakan VAS. Sebanyak
12,1% pasien menderita nyeri derajat ringan, 49% mengalami nyeri derajat
sedang, dan 38,9% mengalami nyeri derajat berat. Seluruh 149 pasien kanker
serviks yang mengalami nyeri yang dilibatkan dalam studi ditatalaksana sesuai
dengan pedoman penatalaksanaan nyeri yang disusun dan dipublikasikan oleh
WHO. Pemberian terapi medikamentosa per oral merupakan dasar dari
penatalaksanaan nyeri tersebut. Dalam studi ini, sebanyak 95,3% pasien kanker
serviks yang mengalami nyeri merespons terhadap pemberian protokol
penatalaksanaan yang dipublikasikan oleh WHO. Diklofenak, tramadol, dan
morfin menjadi sediaan analgesik utama yang digunakan dalam protokol tersebut.
Diketahui bahwa diklofenak dapat memberikan efek analgesik yang efektif
bagi mayoritas pasien (73,63%) yang mengalami nyeri ringan hingga sedang.
Pemberian tramadol terhitung relatif efektif pada 69,56% pasien yang mengalami
nyeri ringan hingga sedang yang tidak merespons terhadap pemberian diklofenak,
tetapi kurang efektif apabila diberikan bagi pasien-pasien yang mengalami nyeri
berat (29,31%). Pemberian morfin memberikan hasil yang memuaskan bagi
95,3% pasien yang menderita nyeri berat. Sehingga, morfin diketahui sebagai
agen analgesik yang paling efektif untuk digunakan dalam penatalaksanaan nyeri
yang diakibatkan oleh kanker.
MC Nicol E et al. (2004)4 mengemukakan bahwa pemberian NSAID
dipilih untuk kasus-kasus nyeri ringan hingga sedang yang diakibatkan oleh
kanker. Wilder Smith C et al. (1994)5 menemukan bahwa pemberian morfin lebih
efektif dibandingkan dengan tramadol untuk kasus-kasus nyeri yang berhubungan
dengan kanker. Hanks G, Hawkins C et al. (2000)6 juga menyimpulkan morfin
sebagai pilihan terapi utama dan menjadi agen opioid kuat baku (gold standard)
untuk digunakan dalam penatalaksanaan kasus-kasus nyeri berat akibat kanker
yang tidak responsif terhadap pemberian substansi-substansi non opioid atau
kombinasi dengan zat-zat non opioid lemah. Grond S et al. (1997)7 juga
melaporkan berlangsungnya efek analgesia yang adekuat pada 85% pasien-pasien
yang mengalami nyeri akibat kanker.
Penggunaan morfin sendiri terhitung relatif terbatas di masa lalu karena
beberapa alasan, diantaranya berupa miskonsepsi terkait penggunaan dan efek
samping yang ditimbulkannya. Penggunaannya atas indikasi dan keperluan
manajemen nyeri akibat kanker perlu diperlonggar. Penggunaan agen opioid
dalam jangka waktu yang panjang dihubungkan dengan terjadinya dependensi
fisik dan toleransi. Friedman (1990) melaporkan bahwa adiksi morfin relatif
jarang dijumpai pada kasus-kasus nyeri akibat kanker apabila digunakan dengan
benar. Dalam studi ini, pemberian morfin secara efektif dapat meredakan dan
menghilangkan nyeri berat yang dialami oleh pasien-pasien kanker serviks. Kami
tidak menjumpai terjadinya adiksi karena studi ini merupakan sebuah studi yang
dilakukan dalam jangka waktu yang pendek. Terdapat beberapa efek samping
derajat ringan yang timbul akibat penggunaan morfin, diantaranya berupa mual,
muntah, dan konstipasi, yang seluruhnya dapat ditangani melalui pemberian terapi
simtomatis.
Kesimpulan
Nyeri merupakan salah satu gejala yang umum dialami oleh pasien-pasien kanker
serviks. Penanganan yang tertunda, kemiskinan, dan buruknya status wanita
dalam lingkungan sosial turut berkontribusi atas tingginya prevalensi kejadian
nyeri yang dialami oleh para penderita kanker serviks. Nyeri tersebut dapat
ditatalaksana secara efektif dengan menggunakan algoritma bertingkat yang telah
disusun dan dipublikasikan oleh WHO. Pemberian sediaan diklofenak dapat
menghilangkan nyeri pada 73,63% pasien kanker serviks yang menderita nyeri
ringan hingga sedang. Pemberian tramadol memberikan efek terapeutik yang
efketif bagi 44,2% pasien. Morfin merupakan sediaan medikamentosa yang paling
efektif dan memberikan efek analgesia pada 95,3% pasien. Penanganan nyeri
yang dilakukan dengan menggunakan protokol WHO memiliki overall success
rate sebesar 95,3%. Morfin merupakan sediaan terapi medikamentosa yang paling
bermanfaat untuk digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yang diakibatkan oleh
kanker.