bushido jepang aliran konfuse.docx
TRANSCRIPT
BAB 2
Landasan Teori
2.1 Konfusianisme Sebagai Dasar Pemikiran Bushido
Tokugawa Ieyasu bermaksud untuk memperkuat rasa kesetiaan Samurai
terhadap penguasa, ia mewajibkan para Samurai untuk mempelajari ajaran Konfusius
yang dianggap dapat memupuk kekuatan Samurai terhadap pemerintah. Dasar dari
ajaran tersebut bepusat pada Jisei「自制」yang berarti pengenalan terhadap diri sendiri,
dan juga pengembangan dari sikap yang ada pada diri sendiri. Dalam ajaran tersebut
dikemukakan 5 hubungan moral terhadap masyarakat yang disebut (Gorin)五倫 yaitu:
(Kun-Shu) 君主 hubungan antara majikan dan pelayan, (Oya-Ko) 親子 hubungan antara
ayah dan anak-anak, (Fu-Fu) 夫婦 hubungan antara suami dan istri, (Ani-Ototo) 兄弟
hubungan antara saudara yang lebih tua dengan yang muda, dan (Nakama) 仲間 antara
sesama teman. Selain 5 hubungan tersebut Konfusius juga mengemukakan 5 hubungan
moral terhadap pemerintah yang disebut Gojo yaitu: (Jin) kebaikan, (Gi) kebenaran,
(Rei) kewajaran, (Chi) kebijaksanaan, (Shi) keyakinan. (Theodore,1981:365)
Ajaran Konfusius datang ke Jepang sekitar abad ke 6, pada mulanya hanya
dipelajari oleh sejumlah kecil masyarakat, seperti golongan bangsawan dan pendeta
Budha. Di jaman Edo (1603-1868), ajaran ini memegang peranan yang lebih luas lagi,
yaitu sebagai disiplin pendidikan yang dipelajari oleh berbagai lapisan masyarakat.
Dalam keadaan seperti itulah, pola ideal tentang seorang Samurai lahir dan berkembang.
Pola ideal ini kemudian disebut sebagai Bushido atau dalam arti yang sebenarnya adalah
“jalan ksatria” dan merupakan pedoman moral bagi Samurai. Ajaran Konfusius
megutamakan masalah moral, dan pengendalian emosi dalam diri. Uang dianggap
15
sebagai sebab kejahatan. Seorang pemikir yang hidup di jaman sesudah Meiji, yakni
Uchimura Kanzo menyamakan hal itu dengan kepercayaan Kristen yang dianutnya.
2.2 Teori Bushido Menurut Yamaga Soko
Yamaga Soko adalah seorang ahli Konfusianisme dalam bukunya yang berjudul
Shido atau “jalan Samurai” mengemukakan konsep mengenai Bushido. Menurutnya
seorang Samurai tidak hanya sebagai prajurit yang siap tempur saja, karena Samurai
memperoleh gaji bulanan dari atasannya, maka tidak seharusnya ia menjadi manusia
“parasit”. Setiap manusia harus menyadari peran atau statusnya dalam kehidupan
masyarakat. Begitu juga dengan para Samurai, mereka merupakan golongan yang
diunggulkan serta menepati kedudukan tertinggi dalam pembagian masyarakat
dibawahnya, yakni No-Ko-Sho (petani-buruh-pedagang). Oleh karena itu Samurai harus
menjadi tokoh panutan dan pemimpin masyarakat. (Anasaki,1980:279).
Sebagai pemimpin masyarakat, Samurai harus memiliki moral yang dapat
menegakkan kewibawaannya. Seperti pengendalian diri, kesiagaan untuk mati bila
diperlukan, kesetiaan yang tinggi terhadap atasannya, dan demi tugas Samurai sanggup
mengatasi segala keinginan pribadinya, serta melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Nilai-nilai tersebut sudah ada sejak lama. Kemudian oleh Yamaga Soko ditulis ke dalam
etika Konfusius secara terperinci dalam buku Bukyo atau “paham Samurai” dan Shido.
Yamaga menganggap bahwa dunia ini seperti panggung kehidupan dan manusia
adalah penjelmaan alam yang memiliki tatanan sosial. Dasar dari moral kehidupan
adalah latihan kejiwaan untuk ketenangan, keyakinan dan kemurahan hati. Di lain pihak
ada keberanian, keteguhan serta kemampuan membedakan mana yang baik dan yang
tidak. Disiplin Samurai adalah perwujutdan dari nilai-nilai tersebut, yang dijalankan
16
dalam kehidupannya, baik sebagai prajurit maupun sebagai orang yang memerintah.
Samurai harus siap mengorbankan hidupnya baik jiwa maupun raga untuk prinsip
kebenaran yang dianutnya itu. (Anasaki,1980:279).
Yamaga juga menekankan pentingnya wawasan berpikir yang luas bagi para
Samurai. Sebagai golongan yang berkuasa pada jaman yang cukup damai, Samurai perlu
juga belajar berbagai masalah yang tidak ada hubungannya dengan militer. Seperti ilmu
kedokteran, ilmu kemasyarakatan, kesusasteraan, sejarah dan kesenian. Dengan
demikian ia akan menjadi lebih bijaksana dalam memerintah. (Theodore,1981:395).
Ajaran moral Yamaga mengenai masalah yang bersangkutan dengan kematian
dan kesetiaan, berpengaruh besar terhadap murid-muridnya. Diantaranya adalah seorang
Samurai dari propinsi Ako, yang bernama Ako Roishi. Ia dikenal sebagai pemimpin 47
Ronin. Peristiwa Ronin atau Samurai tak bertuan terjadi di propinsi Ako, dan sangat
mempengaruhi jiwa masyarakat Jepang secara nasional. Mereka bangga dengan
kesetiaan dan kekompakkan para Samurai tersebut, walaupun pada akhirnya harus
ditebus dengan kematian.
2.3 Teori Bushido Menurut Ito Jinsai
Ito Jinsai dalam teorinya mengatakan bahwa, Bushido dalam kehidupan
manusia merupakan pengembangan dan memelihara hidup dalam dirinya, supanya
tercapai Jin atau kebajikan sebagai sikap manusia yang tertinggi. Bagi Ito, Jin adalah
cinta-kasih yang harus diterjemahkan kedalam empat kebijaksanaan besar, yaitu
kesetiaan, kepercayaan, saling menghormati dan memaafkan. (Theodore,1981:411).
17
2.4 Teori Bushido Menurut Yamamoto Tsunetomo
Di dalam Bushido masalah kematian juga terurai pada buku Hagakure yang
dikarang pada tahun 1716 oleh Samurai ternama Yamamoto Tsunetomo, tetapi ditulis
oleh Tashihiro Tsuramoto menjelaskan bahwa “武士道とは死ぬことと見つけたり”
(yang dimaksud dengan Bushido adalah memenuhi jalan kematian). (Moore,1997:228).
Menurut Yamamoto di dalam buku Hagakure, bunuh diri akan terjadi apabila
seorang Samurai ingin mengabdi tanpa mempertimbangkan dirinya sendiri yang didasari
dari pengendalian diri, sehingga berani mengambil langkah kematian. Bahkan jika ia
diperintahkan untuk melakukan Seppuku (bunuh diri dengan cara memotong perut) oleh
atasannya, maka ia harus menerimanya sebagai suatu pengabdian. Dalam melaksanakan
kesetiaannya, Samurai harus menghapus kepentingan pribadi dan tindakan ini
merupakan tindakan yang paling tinggi nilainya bagi seorang Samurai.
Yamamoto menekankan, bahwa kematian seorang Samurai merupakan lambang
dari kemurnian, kesederhanaan, pemusatan pikiran dan rasa tanggung jawab terhadap
tugas yang diberikan serta pengabdian yang tulus terhadap atasannya. Jika seorang
Samurai berada di persimpangan jalan ia tidak boleh ragu-ragu memilih jalan untuk mati.
Jika ia terbunuh oleh lawannya, itu bukan merupakan hal yang memalukan. Tetapi jika
ia tidak segera bertindak sewaktu berhadapan dengan lawan, maka hal tersebut sangat
memalukan, karena ia kehilangan kesempatan yang sangat berharga.
Menurut Yamamoto kesetiaan juga merupakan nilai-nilai ideal Bushido yang
harus dianut. Kesetiaan merupakan hal yang menonjol di antara nilai-nilai lainnya.
Pengertian kesetiaan di sini adalah kesetiaan Samurai sebagai pengikut terhadap tuannya
yang diwujudkan hingga bentuk paling ekstrim, yaitu kesediaan berkorban dalam
membunuh diri sendiri. Bukti kesetiaan tersebut antara lain dikenal dengan sebutan「殉
18
死」Junshi. Berikut ini kutipan dari seorang Samurai yang mengungkapkan kesetiaan
dalam buku Hagakure karya Yasuhiro Matsunaga.
武士は、ひたすら、主人を大切に思うだけでよし。これが最上の家来である。しかし、たとえ不器用で用立たずな者でも、ひたすら殿のことを思う心さえあれば、これは頼りになる家来だ。
Terjemahan:Bushi adalah pengikut yang baik hanya apabila, ia dengan sungguh hati
mementingkan tuannya. Ini adalah tipe Samurai utama... tetapi, seorang
yang bahkan tidak bisa apa-apa dan kikuk sekalipun, dapat menjadi Bushi
yang terpercaya, jika saja ia memikirkan tuannya semata.
Berpatokan pada kutipan di atas, maka standar nilai bagi Bushi yang baik
adalah hanya apabila memikirkan, mementingkan tuannya saja. Dengan demikian, Bushi
yang ideal identik dengan Bushi yang setia. Kemampuan nampaknya tidak menjadi
syarat penting untuk menjadi Bushii utama. Sekalipun seseorang tidak terpelajar atau
terlatih, bila kemauannya kuat maka ia dipercaya dapat melakukan apa saja. Hal ini
dapat dikategorikan sebagai bagian dari spiritualisme yang merupakan perwujudan dari
pengenalan diri dalam ajaran Konfusianisme.
2.5 Teori Bushido Menurut Kumazawa Banzan
Kumazawa Banzan adalah seorang ahli Konfusius dari aliran Yomeigaku. Aliran
ini menjunjung tinggi prinsip Shinsoku Ri atau”kebenaran hati”. Menurut Kumazawa
Yomeigaku adalah inti dari Bushido dan merupakan sebuah aliran Konfusius baru yang
menekankan etika natural (Shizen Rinri). Etika natural ini adalah etika yang spontan
19
keluar dari sanubari seseorang yang dianggap baik dalam hubungan kemanusiaan.
Seorang Samurai harus menemukan jati dirinya sendiri, tanpa menghubungkan
diri dengan keturunan (iegara) dan kedudukan keluarga (mibun). Seorang yang berjiwa
Bushido harus pula memiliki sifat Chigyo-Ichi, yaitu perbuatan yang sama dengan
perkataan. Ia tidak boleh mengharapkan pujian, kehidupannya harus dimanfaatkan
sebaik mungkin, tidak boleh lengah apabila sampai mengakibatkan kematian sia-sia.
Samurai harus mempelajari dirinya, jangan sampai menjadi tinggi hati serta harus
berbuat demi nama baik, sehingga ia akan dihargai sesuai dengan perbuatannya. Motif
untuk mewujudkan Bushido adalah keyakinan pada diri sendiri, memiliki prinsip di atas
jalan kemanusiaan serta mempertahankannya tanpa gentar. (Naramoto,1977:11).
2.6 Teori Bushido Menurut Nitobe Inazo
Nitobe dalam bukunya yang berjudul Bushido banyak mengambil ajaran
Konfusianisme, khususnya mengenai berbagai macam hal yang berhubungan dengan jati
diri seorang Samurai antara lain ia mangatakan bahwa, “Seorang Samurai yang
memiliki sifat jujur dan berjalan di atas jalan yang lurus, dapat dikatakan bahwa ia
adalah seorang Samurai yang berani”. Pengertian berani di sini, tidak saja mengacu pada
keberanian dalam berjuang melawan musuh di suatu peperangan, melainkan juga berani
menghadapi berbagai cobaan hidup. Oleh karena itu Samurai yang memiliki sifat
tersebut, akan menunjukkan sifat jujur dalam prilakunya, di kalangan Samurai yang
merupakan golongan prajurit, sifat-sifat tersebut merupakan suatu kewajiban untuk
dimiliki.
Faktor jalan lurus atau kejujuran di kalangan Samurai merupakan suatu kode
etik Bushido yang tidak bisa diragukan lagi yang diadopsi dari ajaran Konfusianisme
20
sebagai wujud dari pengendalian dari dalam diri. Ia harus tegas ketika menghadapi
kapan harus mati dan kapan harus membunuh, asalkan demi kebenaran yang dianutnya.
Tanpa jalan lurus, keberanian serta kemampuan yang dimiliki seorang Samurai akan
menjadi tidak berarti. (Inazo,1991:23).
Di dalam konsep Bushido, Nitobe mengatakan bahwa murah hati merupakan
sumber akal manusia, sedangkan jalan lurus atau kejujuran adalah sebagai sarana atau
langkah untuk menunjukkan pengertian tersebut. Seorang Samurai yang menghayati
serta memahami jalan lurus dinamakan Gishi, yaitu orang yang menyadari kewajibannya.
Seorang Gishi pasti akan melaksanakan Giri, yaitu suatu pembalasan budi baik terhadap
orang yang dianggap memberikan jasa, atau dianggap memiliki hutang budi terhadap
orang yang bersangkutan.
Keberanian seorang Samurai harus didasari oleh kejujuran serta akal sehat,
tanpa kecerobohan maupun kecurangan. Nitobe berpendapat bahwa kebenaran itu adalah
melakukan hal yang dianggap benar. Seorang Samurai yang berani haruslah bersikap
tenang dalam berbagai situasi yang dihadapinya. Di tengah-tengah medan pertempuran
ia harus mampu mengendalikan diri dan berdarah dingin, tidak menjadi panik atau
goyah karena keadaan tersebut.
Sifat tulus dan kesungguhan seorang Samurai juga diuraikan oleh Nitobe, ia
berkata bahwa untuk menjadi suatu penguasa bangsa, diperlukan kasih sayang sebagai
senjata untuk merebut hati rakyat. Kasih sayang yang dimiliki Samurai tidak berbeda
halnya dengan kasih sayang pada rakyat biasa, tetapi bagi seorang Samurai, juga harus
didukung oleh sebuah kekuatan untuk membela, melindungi atau membunuh. Secara
kesatria seorang Samurai harus menyayangi dan membela yang lemah, yang terinjak dan
yang kalah seperti halnya yang diajarkan dalam Bushido.
21
Nitobe menyakinkan, bahwa perkataan yang diucapkan seorang Samurai
mengandung jaminan atas kesungguhannya, karena perkataan tersebut merupakan hasil
dari buah pikir seorang Samurai yang bermoral. Umumnya mereka melakukan sesuai
dengan apa yang telah diucapkan, tanpa merasa perlu untuk membuat pernyataan tertulis
yang dianggapnya dapat menurunkan derajat kemuliaannya sebagai seorang Samurai.
Perbuatan harus sama dengan perkataan, atau dikenal dengan sebutan Chioyo-Ichi.
Seorang Samurai pantang untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dari apa yang
telah diucapkannya. Banyak kisah menakutkan mengenai Samurai yang menebus
hidupnya dengan kematian karena penyimpangan itu.
Mempelajari ilmu bela diri merupakan bagian hidup dari Seorang Samurai,
mulai dari ia kecil seorang Samurai diwajibkan untuk mempelajari berbagai ilmu bela
diri berdasarkan aliran yang dianutnya, seperti ilmu bermain pedang, kenpo, memanah
dan lainnya. Tetapi kesemua ilmu tersebut harus digunakan sebaik mungkin untuk
kepentingan negara dan rakyat. Di dalam sebuah pertarungan seorang Samurai harus
selalu siap secara moral maupun mental, karena ketika ia bertarung ia harus bisa
menggunakan ilmunya dengan moral yang telah dipelajarinya. Sehingga segala
tindakannya akan lebih memiliki makna. Jika seorang Samurai mengalami kegagalan, ia
tidak boleh putus asa. Melainkan harus mencari sebab dari kegagalan tersebut. Dengan
demikian maka ia akan lebih mengenal dirinya.
Menjunjung tinggi harga diri dan kesetiaan juga merupakan nilai-nilai yang
penting dalam ajaran Bushido yang diajarkan kepada para Samurai. Seorang Samurai
yang lahir dan dibesarkan dengan nilai-nilai kewajiban dan keistimewaan profesi mereka.
Mereka sadar benar bahwa kehormatan adalah kemuliaan pribadi yang mewarnai jiwa
mereka. Di dalam bahasa Jepang ada istilah seperti Na (nama), Me-Moku (muka) dan
22
Gaibun (pandangan orang luar). Istilah ini bisa diterjemahkan sebagai reputasi atau
nama baik seseorang. Nama baik adalah bagian non fiksi yang tidak kelihatan oleh
manusia, tetapi dapat dirasakan. Jika nama baik tidak dijaga, reputasi bisa jatuh, dan
orang lain memiliki kesan yang tidak baik terhadap reputasi tersebut. Rasa malu yang
timbul dalam bahasa Jepang ini disebut sebagai Renchishin. Oleh karena itu menurut
Nitobe seorang Samurai akan menolak mengubah sikapnya, karena harga diri atau
kehormatan yang ternoda bagi mereka sama halnya seperti luka yang terdapat pada
batang pohon, semakin lama semakin besar. Seorang pantang menanggung malu, lebih
baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai. Samurai dibesarkan
dengan nilai-nilai kehormatan dan harga diri yang tinggi. Pendidikannya itu
menyebabkan ia sangat sadar akan nilai diri dan kewibawaannya.
Menurut Nitobe, seorang pemuda Jepang apabila meninggalkan pintu gerbang
rumahnya, banyak yang berikrar pantang kembali terkecuali apabila sudah mengukir
namanya di dunia ini. Jadi bukan ilmu atau harta yang dicari oleh seorang Samurai muda,
melainkan nama yang terhormat, untuk menghindari malu atau memperoleh nama harum,
Samurai remaja bersedia menjalani berbagai penderitaan lahir dan batin. Untuk tujuan
apa orang menjaga nama baik, serta kehormatannya, sehingga sanggup mengkorbankan
segalanya bahkan nyawapun dikorbankan, kesemuanya itu ada dalam kesetiaan yang
menjadi kunci dari nilai-nilai Bushido.
Bushido mengenal sikap kelemah lembutan seperti yang diungkapkan oleh
beberapa pemikirnya, diantaranya adalah ucapan Kumazawa Banzan yang mengatakan
bahwa bila orang lain menjelekkan anda, jangan membalasnya dengan kejelekkan, sebab
mungkin saja anda lupa dalam melaksanakan kewajiban. Kumazawa Banza juga
mengajarkan bahwa apabila orang lain marah kepada anda, jangan kembalikan
23
kemarahan itu. Bahagia akan datang apabila hawa dan nafsu dapat disingkirkan. Unsur
penting lainnya dalam Bushido adalah masalah pengendalian diri dari emosi. Ketabahan
akan menumbuhkan daya tahan seseorang dalam menghadapi kehidupan, tanpa harus
berkeluh kesah menyesali apa yang telah tejadi. Dan kesopan santunan juga
mengajarkan supaya tidak merusak kesenangan atau ketenangan, sehingga perasaan
nafsu yang bergejolak seperti perasaan kesedihan, kesakitan dan yang lainnya tidak
terlihat dari penglihatan orang lain. Dalam hal ini Nitobe mengakui bahwa ajaran
Bushido sedikit banyak telah mempengaruhi sikap orang Jepang.
24