bunga rampai cerpen minggu, pekan ke-vii, agustus 2012

328

Upload: the-indonesian-freedom-writers

Post on 23-Mar-2016

609 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

TRANSCRIPT

Page 1: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012
Page 2: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarangmemperbanyak atau memindahkan sebagian atau

keseluruhan isi buku ini dalam bentuk apapun secaraelektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi,

merekam, atau dengan tehnik perekaman lainnya, tanpaseizin tertulis dari penerbit.

Rujukan dari maksud Pasal 72 UU No. 19Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkandan memperbanyak ciptaan pencipta atau memberikan izinuntuk itu, dapat dipindana dengan pidana penjara masing-

masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda palingsedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana

penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda palingbanyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaanatau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait,

dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00

(lima ratus juta rupiah).

ii

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

Page 3: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Minggu Ke-VII

Periode: 05 - 12 Agustus 2012

Bunga RampaiCerpen Minggu

iii

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

Page 4: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

All Rights Reserved

Riset & Dokumentasi:

Ilham Q. Moehiddin

Gambar Sampul:Repro OpenArt

Gambar Belakang:Repro Fatima Tomaeva Gabellini | OpenArt

Desain sampul:IFW ArtDesign

Agustus, 2012x + 318 hal; 21 x 29,7 cm

iv

Bunga Rampai Cerpen MingguMinggu Ke-VII

Periode: 05 - 12 Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

Page 5: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

bunga rampai cerita pendek yangsedang anda baca ini adalahkumpulan yang diriset untuk

dokumenasi. tidak ada kepentinganlain, kecuali sebagai data-base semata.

v

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

Page 6: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Daftar Isi

vi

Pengantar | viii

Kebun Merah Hati | 1Kolak Emas | 8

Sisi Lain Bapak | 22Sayap Abdi | 31Mel, Ini Aku | 38

Merah Marah | 44Awan Merah Jambu | 49

Laksa | 56Potongan Kaki Perempuan | 64

Sebongkah Kertas dan Wajah Emak | 74Malaikat Mungil dan Perempuan Lolipop | 87

Upaya Menghindari Dosa | 96Baju Lebaran | 104Tamu Lebaran | 112

Seragam | 120Huh....! | 128

Daftar Isi

o

Page 7: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

vii

Kakek dan Peti Mati | 137Hujan Anak Panah | 147

Gagak Hitam | 154Romadhon Tanpa Bunda | 161

Cangik Jadi Ratu | 167Bingkai di Atas Pusara | 176

Aku Akui, Ibu! | 185Ngabuburit | 193

Pintu Lebaran | 200Hujan | 211

Lelaki Reinkarnasi | 219Menebus Impian | 228

Lebaran dalam Semangkuk Bakso | 237Baju Baru untuk Putriku | 244

Requiem Ingatan | 250Mei Lie | 258

Tidak Ada Seribu Kunang-kunang di Langit | 267Tentang Telepon, Lebaran, dan Demonstrasi | 275

Menunggu Ibu Pulang | 282Tak Usah Menunggu Lebaran | 293

Surat untuk Pelangi | 299Kehilangan Jejak | 305

Adik Tak Selalu Nakal | 310

Lampiran | 315Data Cerpen di Media Minggu Ke-VII,

Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

Page 8: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

o

Pengantar

viii

Pengantar

CERITA pendek selalu menjadi salah satu alat yangbaik untuk menyampaikan pesan sosial, moralitas,kritik, pun solilokui. Karena itulah cerpen menjadi

penting dalam perkembangan sastra.Di negara-negara dengan tradisi sastra yang maju, cerpen

yang baik kerap dianggap sebagai suatu pencapaiantertinggi selain puisi. Banyak pemenang nobel yang lebihdikenal namanya melalui cerpen yang mereka tulis. Cerpen-cerpen para penulis ternama dunia juga dijadikan alat dalampembelajaran kepenulisan cerita pendek. Kendati begitu,gagasan cerita tetap dituntut selalu segar.

Gagasan, sebuah ruang privat penceritaan kini bergesermenjadi ruang yang lebih terbuka dengan berbagai macampenyebutan atau istilah--atau dapat kita sebut saja:perluasan, penyegaran, reduksi, pinjaman, terinspirasi, dll.

Demikian privatnya sebuah gagasan sehingga untuksekadar mengikutinya saja, kita perlu menemukanserangkaian istilah, agar si pengguna tidak terjebak dalammainstream plagiasi.

Di sisi lain, langgam kepenulisan telah menempatkangagasan menjadi sesuatu yang ekslusif dalam penceritaan.Berbagai genre yang diusung para penulis ini, memberi nilaiyang lebih terhadap posisi sastra cerpen, dengan

Page 9: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

ix

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

mereposisinya ke tingkat tertentu. Maka cerpen, kianmenjadi sesuatu yang menarik dan diminati.

Tentu saja, untuk menghasilkan sebuah cerpen yang baik,siapa pun penulis mesti tahu dan memahami cara-caranya.Efek gaya cerita pada paragraf pertama kadang dijadikanmaqom bagi media tertentu sebagai prasayarat sebuahcerpen layak terbit di kolom sastranya.

Selera sastra setiap media berbeda, sehingga membukapeluang banyak penulis untuk bereksperimen, mencobapendekatan baru dalam gaya penceritaan. Maka inilah yangmenarik dalam sebuah tradisi per-cerpen-an di negeri kita:banyak ruang yang sengaja dibuka sekadar untukmelestarikan tradisi sastra agar senantiasa hidup danberkembang.

Tetapi, penulis pun harus tetap kreatif. Ini tuntutan masif.Penulis yang tak kreatif hanya akan memunculkan karya-karya bermutu rendah, dan cenderung membonceng padagagasan karya lain.

Mungkin, sekadar kreatif tidaklah cukup tanpaketerampilan menulis yang mestinya terus dipertajam.Rendahnya keterampilan menulis, adalah salah satu“ancaman” bagi perkembangan mutu cerpen Indonesia.Ini gejala yang mencemaskan, sebab masih kerap kita temui,pada setiap pekannya, cerpen-cerpen yang sebenarnya tidaklayak terbit: terlalu banyak kekeliruan dalam penggunaantanda baca, penulisan kata dan kalimat, serta hal teknislainnya.

Semoga sedikit ulasan ini menjadi perhatian kita semua;Anda dan saya.

Salam,Penyusun

Page 10: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

x

Repro: Boris Indikrov | OpenArt

Page 11: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

1

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

Husen Arifin

o

Kebun Merah Hati

Published © Harian Analisa, Minggu 12 Agustus 2012

u

u

Page 12: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

2

Kebun Merah Hati | Husen Arifin

MATAHARI sudah mengetuk pagimu terburu-buru.Hari ini aku mendapat bagian meneruskan ceritayang aku janjikan padamu, sekadar mengurai kisah

asmara dan kau tiba-tiba sedang duduk di meja dekatkasurku. Tatapanmu tak selesai ke bingkai sekecil ukuranbox produk susu.

Aku seru. Kau terpaku. Aku lempar bantal. Kau hanyamemandang, lalu kembali bermuka sintal. Aku bilang jangandilihat. Kau malah semakin di ratapan. Apa istimewanya?Di bingkai itu hanya aku dan perempuanku di kebun.

“Aku mau kau mulai dari sini,” hanya terdengar suaramutanpa wajah dan bola matamu.

“Yang mana?” aku buka tirai jendela.“Yang di bingkai ini,”“Ooo… Nanti saja. Waktunya siram tubuh. Tunggu aku!”Aku bergegas ke kamar mandi tanpa hirau pada

kesaksian pagimu melihatku dengan seorang perempuan.Aku berusaha meyakinkan ruanganku akan bersahabatkepada pemiliknya. Aku yakin, hanya dugaanmu tentangfirasat atau suud’zzon atas kepergian yang tak terkemuka.

Sebagai lelaki normal. Aku memiliki keinginan berduadengannya atau meluangkan lima menit untuk bercumbu,tapi aku tak seperti hewan-hewan yang maunya berganti-ganti pasangan. Bagaimanapun aku mengabadikanmutepat di ubun-ubun dan tak lepas wajahmu di pikiranku.Cinta memang begitu seharusnya, tak perlu suka pada duaperempuan. Setia pada satu perempuan lalu ajaklahmenjadi pasangan untuk kebahagiaan.

Itu berlaku bagi kita yang benar-benar mencintai danmengerti dan saling menghargai kekurangan-kelebihan.Baiklah, jam delapan ini aku ke kebun bersama perempuanyang sudah menunggu di kamarku.

Dua bulan lalu, dia ingin sekali mendengar cerita tentang

Page 13: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

3

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

hubungan kita dahulu. Sungguh, aku tak ingin mengulangperistiwa yang menyedihkan buatku. Aku kehilanganmu,sementara tak ada yang yakin kalau kau secepat itu berlalumeninggalkanku.

“Itu mantanmu, bukan?”Dia begitu menebak dengan curiga. Aku mengusap

kepalaku yang basah seolah tak mendengar meski akutelingaku paham kalimatnya. Dia seperti penasaran.

AKU bersama perempuanku di kebun di bawahtemaram senja. Sepulang kerja aku sering mengajaknyabermain bunga di kebun. Sebab di kebun, kita selalumengawali percakapan tentang masa depan. Ah, aku selalumendekatkan hidungku ke hidungmu. Biar kujangkaurinduku menuju hatimu.

“Seperti di bawah pohon kamboja, kita akan sampai,Nda!”

“Maksudnya apa Fin?”“Kita akan sampai ke masa depan”“Masa depan?”“Iya, masa depan kita.”“Kita?”“Bukankah kita belum mendapat restu dari orangtua?”“Semua tergantung kita yang memutuskan. Yang

menjalankan hidup berumah tangga toh kita sendiri.Orangtua kita mengarahkan kepada yang terbaik saja,sederhana saja, kita menikah, beranak, dua saja dan kitamembangun kebahagiaan begitu indahnya.”

“Aku takut kita tanpa restu mereka dan menganggapkita pasangan durhaka.”

“Apa? Pasangan drakula? Ogah ah, nanti kau hisapdarahku.”

“Ih, serius tahu.”

Page 14: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Kebun Merah Hati | Husen Arifin

4

Seakan ada jambu di pipimu. Memerah. Ranum. Inginkupetik berkali-kali. Betapa kau elok dan cintaku tak inginberbelok lagi. Berulang kubawa kau di kebun ini. Karenahatiku ingin seperti kebun di hidupmu. Teduh dan selalumenjadi naungan gelisahmu.

“Aku takut kau setengah hati, Fin!”“Kok bilang begitu?”“Karena orang tua kita yang tetap tidak merestui kitakah,

Nda?”“Bukan. Bukan masalah itu.”“Lantas apa?”“Bagaimana aku yakin padamu, sementara aku selalu

menemukan perempuan di kasurmu setiap aku membukapintu?”

“Nda, tak ada di antara mereka seperti kamu. Merekahanya bayang-bayang. Datang lalu menghilang. Aku takpernah mencintainya seperti aku mencintaimu, Nda!”

“Kenapa perempuan-perempuan itu begitu mudahnya?”“Jalan mereka. Aku tak memaksakannya, Nda.”“Kau berpura-pura mencintaiku, lalu kau setengah hati

ingin memiliku. Aku takut kau bawa ke suasana begitu.”“Aku janji, demi Tuhan. Aku akan meninggalkan mereka

demi kamu. Aku akan selalu menjaga kesetiaankukepadamu. Pegang kata-kataku, Nda!”

“Semoga saja. Baiklah kirimkan puisi-puisimu. Aku inginmalam ini kau menemaniku dengan puisi cintamu. BulanFebruari ini, aku ingin setiap hari di bawah senja, di kebunmerah hati ini.”

Kami melintasi jalan lengang. Sesekali kendaraanmelintas, mereka penjual sayuran yang mau dikirim ke desa-desa. Aku dan perempuanku terus mengukir perjalanandengan doa-doa harapan, semoga kelak di akhir kehidupan,aku mendapatkan cintanya. Sesekali juga ia dekap erat

Page 15: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

5

karena sepeda motorku kencang melaju, menebus trotoarsunyi.

DI KEBUN, kita tidak menyempurnakan janji itu, mulaidari seminggu setelah kuhantarkan ia ke rumah. Akumenaruh curiga, apakah dia benar-benar ingin menghilangdariku atau orang tuanya melarang?

Rasa kehilangan, rasa keterpurukan, rasa rindu. Semuaberkecamuk. Aku tak sanggup berbuat sesuatu. Berulangkali kucoba untuk meneleponnya lalu meminta penjelasanatas ketakhadirannya saat itu. Entah, karena apa? Tapi iadiam tanpa menjelaskan sesuatu padaku.

Aku seperti kehilangan segalanya. Dia tenggelam darikehidupanku. Bahkan aku tak tahu kabarnya sampai akutuliskan cerita ini. Padahal aku menginginkan pertemuandi kebun itu untuk mengungkap sesuatu. Seperti janjikuuntuk memberanikan diri sebagai bagian dari belahanjiwanya. Aku ingin memohon kepada orangtuanya bersediamenerima lamaranku untuk menjadi istriku. Kasih sayanglelaki jambu di bulan merindu.

Apakah ia memendam perih dan sedih mendalam?Mungkinkah itu semua lantaran ia tahu aku bersamaperempuan-perempuan baru tiap hari di kamarku? Ataukarena orangtuanya tidak sediakan lowongan bagiku? Rasatanya itu yang membuatku gusar. Aku berlama-lama dikamar. Serasa tak ada lagi hidupku.

Sambil memandangi wajahmu di bingkai itu, aku terasasepi. Kesunyian yang berusaha menusukku. Aku takmendapatimu di sampingku seperti di kebun. Haru.Linangan mataku terus mengalir ke sudut-sudut kamar. Akuterus mendiami kamar. Aku kesepian karenamu, Nda!Sudahkah kau membaca kesepianku ini. Yang dulu, setiapaku begini, kau datang menghampiriku dengan berlari-lari

Page 16: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Kebun Merah Hati | Husen Arifin

6

ke pelukanku.Mungkin saja, ini sudah bulan ke bulan, tak kuhitung

berapa waktu yang kuhabiskan hanya untuk menyeduhsenyummu bersama isyarat-isyarat cintaku. Yang hanyakarena rinduku begitu sedalam lautan lepas.

Di sampingmu dulu, aku sering mengutarakan apa yangmenjadi impian sederhanaku. Sederhana saja. Kita menikah,beranak dua saja dan kita membangun kebahagiaan itudengan indahnya. Sekarang, entah mengapa kau taksesering dulu ber tandang, berlebur di kasur ataumemasakkan nasi goreng mata sapi setiap pagi. Cuma bekasbibirmu di bajuku yang meninggalkan kenangan.

“MANTANMU cantik juga?”“Perempuan itu seperti bayang-bayang. Karena

kehadirannya aku sering terjebak di bayanganku sendiri.”“Maunya siapa?”“Entahlah.”Parfum Bellagio mewangi ke sekeliling kamarku. Hidung

perempuan selalu mengendus baunya. Tak percaya itu, cobapakai, sekali saja ke tubuhmu. Aku pakai baju dan bersiap-siap ke kebun untuk menemui peristiwa dan peristiwa.

Di kebun, aku mengajakmu bercerita yang sama,memimpikan yang sama, membangun keluarga yang sama,beranak dua saja. Lantas, kau menyudahiku dengan satuirama, satu bahasa. Kau juga menjelma bayang yangmembuatku terkesima. Apakah kau di sana menyaksikanku,Nda? n

Page 17: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Adam Martinakis | OpenArt

7

Page 18: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Kolak Emas | Agung Dodo Iswanto

8

Agung Dodo Iswanto

o

Kolak Emas

Published © Annida Online, Senin 06 Agustus 2012

u

u

Page 19: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

9

A LLAH selalu punya skenario agar hamba yangdicintai-Nya kembali. Aku sampai ingin nangis darahdapat pengalaman ini, tapi cuma sebatas ingin

doang. Secara akhirnya mah kalau nangis kan yang keluarair mata, ya? Pengalamanku kehilangan uang membuatkubersyukur kalau ternyata nikmat lidah yang bisa mencecaprasa saja betul-betul karunia luar biasa dari Allah, taksebanding dengan duit sejuta ataupun jika Allah mengubahkolak jualanku menjadi emas.

AKU suka bulan Ramadhan. Di bulan ini konsumsimasyarakat jauh meningkat dalam banyak hal. Sepertinyamereka tak pernah berpikir membelanjakan uang. Begituboros, jadi buat tukang dagang sepertiku, Ramadhan inisangat menguntungkan. Padahal kalau puasa kan hanyamakan 2 kali, ya? Atau jangan-jangan jadi makan 4 kalimalah?

Bagi kebanyakan orang bulan Ramadhan dijadikanwaktu khusus untuk ibadah, tapi bagiku ini adalah bulanuntuk meraup sebanyak mungkin uang. Hampurakeun abdi,Gusti. Maafkan saya, Ya Allah. Mudah-mudahan tidak kualat.

One day one million. Target jualan hari ini, dapatkeuntungan bersih satu juta. Bersama Romy, aku akanmelakukan mission very possible ini. Let’s the story begin…

Selepas sholat subuh, kutinggalkan kosan mungil seluas3x4 meter di daerah Panyaungan ini. Suasana masihsangatlah gelap, apa matahari bangun kesiangan kali?Bermodal sepeda jangkung merah polos tanpa stiker, kutelusuri jalanan desa yang sudah di aspal seroda demiseroda. Seperti biasa, pemandangan subuh hari selaludihiasi lalu lalang kakek-kakek tua yang baru selesai shubuhberjamaah di mesjid.

“Ngambil baju lagi, Gus?” tanya kakek tua kurus dengan

Page 20: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Kolak Emas | Agung Dodo Iswanto

10

peci hitam dan baju batik yang sama tuanya dengan beliau.Pak Ajat.

“Iya, Pak!” ujarku singkat sembari merendahkan kepala.“Mudah-mudahan dagangannya laku keras, Gus!” ujar

lagi kakek lain yang telah tertinggal di belakangku.Enaknya berangkat subuh itu banyak sekali dapat doa

dari kakek-kakek. Kalau kuperhatikan ada satu, dua, ehternyata nihil pemuda seumuranku yang ikut itu rombongan.Rata-rata usia mereka dua sampai tiga kali umurku.

Tapi doa saja tentu tidak cukup untuk hidup di duniayang keras ini, kawan. Konveksi Pak Ronny tempatkumengambil barang dagangan itu letaknya ada di Cicalengka.Kebayang kan jarak Cileunyi-Cicalengka pakai sepeda? Satusampai satu setengah jam, brow.

Mumpung jalanan masih sepi juga.Sesampainya di konveksi Pak Ronny, wilayah Cicalengka

dan sekitarnya telah tersentuh oleh hangat dan terangnyasinar matahari. Jam tangan karet (bukan jam karet) di lengankiriku telah menunjukan pukul enam tepat. Teman-temanseprofesi dari berbagai usia sudah menyerbu konveksi ini.Ya, dari berbagai usia, soalnya ada juga anak yang barululus SD mengambil dagangan di sini. Ngerti kan gimanamuaknya hidup di dunia ini?

Untunglah masih ada orang baik kayak Pak Ronny, kamiboleh mengambil barang dagangan secara cuma-cuma baruuang hasil dagangan dan barang dagangan yang tidak lakudisetorkan hari itu juga. Jadi sistem kerjanya based on hon-esty, bahasa Inggrisku jelek banget, ya? Semua pedagangyang kerja sama dengan Pak Ronny adalah orang-orangyang jujur, karena memang sebelumnya ada step by stepsehingga seseorang dipercaya untuk ngambil barang.

Aku mulai memilah dan memilih baju koko anak yangsekiranya menjanjikan bisa terjual. Memang masa

Page 21: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

11

pertengahan Ramadhan ini ibu-ibu biasanya sudah mulaimencari baju lebaran untuk anak-anak mereka. Ketikakonsumen membutuhkan, kami menawarkan. Itu kanprinsip berdagang? Dua puluh piece pakaian denganberbagai warna dan motif telah kudapatkan. Setelahmelakukan administrasi ke Rina, aku pun berpamitan kePak Ronny.

Kali ini ransel hitam butut di punggungku telah terisipenuh, lagi-lagi dengan sepeda merah aku arungi berbagaikampung dan desa untuk menunjukan skill dan teknikberdagangku yang hebat. Ingat target, one day one million.

Ku ubah rute perdagangan jalur reguler, biasanyaCicalengka-Haur Pugur-Warung Cina-Rancaekek sekarangjadi jalur perdagangan lintas kota, Cicalengka-ParakanMuncang-Tanjung Sari-Jatinangor-Cileunyi.

Empat jam berlalu sudah, alhamdulillah baju koko sudahterjual setengahnya. Kalau tidak ingat sedang puasa inginsekali rasanya minum. Aku putuskan untuk beristirahat duludi sebuah mesjid yang berukuran sedang-sedang saja. Tidakterasa sudah di Jatinangor lagi, di daerah Sayang.

Baru lima menit aku bersandar di tembok mesjid, ibu-ibu berbaris rapi keluar dari pintu mesjid usai pengajian.Kemudian seorang ibu melirik kumpulan baju koko dariransel hitam yang terbuka tergeletak di lantai sebelahku.

“Icalan naon, Jang? Jualan apa, Dek?” tanya ibu paruhbaya dengan jilbab biru yang cantik, jilbabnya loh yangcantik.

“Eh... ieu ibu. Baju koko kanggo murangkalih! Ini Bu,baju lebaran untuk anak-anak!” Aku yang setengah tertidurtiba-tiba terperanjat dan menjawab sekenanya. BahasaSundaku juga jelek sekali. Baju teh bahasa Sundanyabukannya acuk, ya?

“Pangaosna sabaraha, Jang? Harganya berapa, Dek?”

Page 22: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Kolak Emas | Agung Dodo Iswanto

12

“Mirah ibu, 75 rebu. Tiasa ditingal heula ibu, tiasa dipilih.Mangga. Murah Bu, 75 ribu. Boleh dilihat dulu, bisa dipilih.Silahkan.” Aku benci bahasa Sunda karena aku tidak bisa,huu…huu!

“Tujuh puluh lima rebu?” Ibu itu terlihat tidak terlalusenang dengan harga yang kutawarkan, yah seperti ibu-ibupada umumnya. Padahal dari Pak Ronny sendiri baju inidipatok Rp. 49.000, dan aku menjual dengan keuntungansetengahnya lebih sedikit. Yang tragis kemarin, aku bawajilbab dan hijab buat ibu-ibu dan tak ada satu pun yangterjual. Kenapa lagi kalau bukan karena kesepakatan hargayang tidak cocok. Benar-benar menyedihkan.

Ibu itu mulai meraba-raba bahan baju koko lalumemperhatikan baik baik motifnya, lalu air muka si Ibuberubah sangat jelas sekali. Wajah Ibu itu tersenyum danmenampakan rasa penasaran.

“Motifnya bagus, bahannya juga nggak murahan. Kalaucuma Rp. 75,000 sih saya beli baju ini.” Eh? Tiba tiba si Ibuberubah pikiran. Kayaknya ada aura positif nih.

“Tunggu sebentarnya, Jang. Saya ngambil uangnya dulu.”Si Ibu bergegas meninggalkan mesjid, ibu-ibu yang lainmengalihkan pandangannya ke arahku.

Bravo, kayaknya hari ini hari keberuntunganku. TumbenAllah kok baik banget, ya? Jangan-jangan ada apa-apanyanih di belakang? Kacau memang aku ini.

Ibu paruh baya berjilbab biru tadi kembalimenghampiriku, dengan tiga lembar uang berwarna merahbergambar Presiden Soekarno dan Moh. Hatta, diamemborong empat baju koko sekaligus.

“Buat cucu saya, Jang, buat hadiah lebaran mereka.”serunya.

“Sae ibu... sae pisan. Bagus ibu… bagus sekali.” Akuhampir ketawa terbahak-bahak memuji si Ibu. Yang bagus

Page 23: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

13

ya karena daganganku ludes lah.Dengan sedikit pemantik dari ibu berjilbab biru tadi,

akhirnya belum sempat adzan dzuhur berkumandangseluruh daganganku telah ludes terjual hehehe.

Alhamdulillah, akhirnya modal buat jualan kolak nantisore terkumpul juga. Sebagai bentuk syukur dengan senanghati aku sholat berjamaah di mesjid yang tak mungil tapitak juga luas ini. Yah, aku pribadi memang malas tak malassholat berjamaah di mesjid. Sehabis sholat dzuhur tujuanperjalananku —> adalah Bank Al Ma’soem Dangdeur, nahloh? Bukannya ngambil uang tapi nitip sepeda di parkirandi samping bank itu.

Aku segera naik angkot ke Kencana, ke rumah Romy.Karena kepada tetangganya lah kami mengorder kolakuntuk jualan di depan pabrik garment. Dengan keuntunganRp. 520,000 dari jualan baju. Hampir semuanya kugunakanuntuk membeli kolak, yah hampir semuanya kawan. Karenadengan jualan kolak ini lah target keuntungan satu jutahari ini bisa kudapatkan.

Selama awal bulan Ramadhan kami berdua huntingtukang dagang kolak yang murah, banyak dan enak. Karenamemang kami berdua tak bisa bikin kolak. Dengan usahayang keras akhirnya kami mendapatkan suplier kolak yangmurah, banyak dan enak itu tadi. Ternyata supliernya itumasih tetangga Romy sendiri. Rp. 2,500 per cup, murahsekali kan? Tahukah kawan berapa kami akan menjualnyadi pabrik garment? Kita tunggu sore ini ya.

“Maneh, kamu akhirnya datang juga, Gus. Dikirain gapunya modal?” sambut Romy sesampainya aku di depanrumahnya.

“Sembarangan! Nih lihat hasil jualan baju tadi pagi!”jawabku ketus.

Romy menghitung lembar demi lembar uang hasil jualan

Page 24: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Kolak Emas | Agung Dodo Iswanto

14

baju tadi,“Wah loh dapat sejuta lima ratus, Gus? Ga nyangka. Ga

jadi dagang kolak dong?”“Eh itu mah hasil jualan baju, bukan keuntungan jualan

baju,” ku ambil kembali uang yang ada di tangan Romy.“Nih, Rp. 500,000 kasihin ke Bu Ika. Kita ambil kolak duaratus cup! Seperti biasa kamu datang duluan ke depanpabrik garment jam setengah empat, langsung ambil mejajualan di bawah pohon. Urang, saya masih harus keCicalengka dulu, ngasihin setoran ke Pak Ronny!”

“Oceh deh, dua ratus cup harus habis nih, radamenantang yeuh. Kamu mau langsung cabut keCicalengka?”

“Ya eyalah, kalau enggak sekarang enggak akan keburu!”“Dikirain mau minum dulu atau duduk santai sambil

ngerokok.”“Gini-gini masih punya iman kali. Ya udah saya cabut

dulu, jangan sampai ngaret yah!“So pasti, jangan khawatir!Kali ini kutinggalkan Romy dengan wajah anehnya,

perpaduan raut muka seperti anak kecil yang dapat permendan preman pasar yang lagi dapat setoran, tapi dia itumemang satu-satunya temanku yang bisa dipercaya danjuga punya jiwa bisnis yang kental. Perjuangan belumberakhir, hampir seluruh keuntungan yang kupunyakujadikan modal beli kolak. Tinggal tersisa uang untukongkos kasih setoran ke Cicalengka. Akan kujadikan soreini soreku. Today is my day.

PERHITUNGANKU meleset, tak kusangka akan macetparah di daerah Kahatex, ada truk kontainer terguling.Walaupun sudah naik angkot tetap saja aku terlambat kasihsetoran ke Pak Ronny. Sudah hampir jam empat tapi aku

Page 25: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

15

masih belum sampai di Panyaungan. Kukayuh sepedakusejadi-jadinya, jam segini baru sampai depan sekolahAlma’soem? Parah. Seharusnya aku sudah ada diPanyaungan sejam yang lalu.

“Sorry brow, telat. Tadi ada truk kontainer jatuh deketKahatex!” Terpaksa aku minta maaf, dengan wajahpenyesalan dan nafas yang belum teratur, aku langsungbergabung dengan Romy yang sudah setia dengan standmini jualan kami.

“Hadeuh Gus, dikirain enggak bakalan datang. Tahusendiri kan gimana ramenya bubaran karyawan garment?Kalau sendirian yang jaga bukan cuma kolaknya yang habis,duitnya juga bisa-bisa habis nanti!” Romy protes keras,karena dia memang kebagian bawa kolak ke sini plus bantujualan. Aktor utama jualannya masih aku.”Iyah siap, kolaknyaudah kejual berapa, Romy?”

“Lima puluh cup, nih duitnya!” Romy memberikan uangberlembar lembar dengan memasang tampang cemberutdan jengkel teramat sangat.

“Wehhh, gila brow. Belum apa-apa udah kejual limapuluh lagi. Emang pantes Allah ngasih tuh wajah ganteng.Kepake! Hahaha.”

“So pasti, terlalu kalau tukang dagang ganteng kayakartis gini enggak ada yang beli?”

Dasar, temanku yang satu ini memang punya percayadiri melebihi anggota parpol yang lagi kampanye. “Tapikolaknya dijual Rp. 6,000 per cup sesuai yang dibilang, kan?”

“Heu euh! Tadinya saya juga rada ragu, kita cuma beli keBu Ika Rp. 2,500 terus di jual Rp. 6,000? Tapi setelah lihatwajah ganteng ini, nggak ada yang protes tuh.”

“Ahh, bilang aja Mr. Agus Prasetyo ini memang punyatalent bisnis tingkat tinggi,” ucapku tanpa keraguan.

“Iyah, kamu memang punya talent dagang. Juga punya

Page 26: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Kolak Emas | Agung Dodo Iswanto

16

talent apes ga ketulungan, digilir lagi sial boro-boro bisadagang kolak? Dagang baju aja enggak ada yang lakuberhari-hari,” sindir Romy.

“Namanya juga dagang Romy, yah kadang ada untungkadang kurang beruntung. Dah lanjut lagi dagangnya.”Kemudian aku membuka ransel hitam lalu mengambi AlQur’an keberuntunganku dan menyimpannya di laci bawahmeja.

“Buat apa Gus, make nyimpan Qur’an di bawah mejasegala. Takut ada tuyul?” tanya Romy ketus.

“Bukan, supaya dagangan kita ini diridhoi oleh Allah.”“Kebiasaan loh Gus, dari dulu.”Sore itu seperti yang telah kuperkirakan, dagangan kami

laris manis diserbu oleh karyawan garment. Bahkankaryawan pabrik lain juga banyak yang sengaja datang untukmembeli kolak kami. Romy memang punya daya tariktersendiri, walaupun aku sedikit lebih ganteng darinya (yahsedikit, banyakan dia), karyawan garment yang kebanyakandihuni oleh kaum hawa ini pertama kali terpikat olehsenyumnya yang menawan. Walaupun harganya sedikitlebih mahal, tapi berkat senyum Romy, kolak yang satucupnya memang banyak dan kurasa rasa kolaknya jugaenak –kalau dicicipi sekarang– membuat sore ini benar-benar jadi milikku.

Aku sendiri sedikit kesal karena banyak berdesakandengan perempuan-perempuan yang bukan muhrim ini.Kebanyakan pada ingin berdekatan dengan Romy (ini sihkesal bukan karena mereka bukan muhrim, tapi ya karenayang berdesakan ingin deketan sama Romy bukannya aku,hiks), tapi setelah bubaran pabrik garment berakhir, segalasesuatunya sungguh sangat memuaskan.

“Wah, sumpah deh Gus. Asli, kamu cerdas banget. Tadisaya bawa nih kolak dua ratus cup, sekarang tinggal sisa

Page 27: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

17

satu doang? Luar binasa!”“Yeah, Alhamdulillah Romy! Eh, luar binasa? Luar biasa

kali, hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Tuh uang yangada di kaleng tempat kembalian ambil aja buat kamu.”

“Yang di kaleng? Ah, serius loh Gus! Hampir 200 rebuloh?”

“Iyah serius. Soalnya yang sejuta udah saya amanin didompet. Hehehe.” sembari menepuk nepuk saku celanakusebelah kiri. Anggap saja fee buat sewa Romy jadi SPB.

“Ahh, sorry nya, Romy. Saya langsung cabut ke kosan,belum mandi dari tadi pagi!” pamitku pada Romy, sekaligussecara tidak langsung minta tolong membereskan mejajualan ini.

“Oceh, siap Bos. Mimpi apa semalam, dapat 200 rebucuma sekali jualan kolak begini.” Romy asyik dengan dirinyasendiri.

Yah kalau aku pribadi ini bukan mimpi lagi, udah jaditarget. One day one million, clear!

KUTANGGALKAN kaos coklat polos yang dari tadi pagibasah kering bergantian menjadi saksi bisu aksi heroikmenyelesaikan misi one day one million. Kedua kakikkujuga jadi merah berjam jam mengayuh sepeda merah daripagi sampai sore. Mandi sore sehabis bekerja keras sungguhsangat menyegarkan, kalau hati senang memang jadi lupamakan lupa perempuan. Asal jangan lupa sholat dan puasasaja.

Setelah berpakaian, kini saatnya menikmati hasil jerihpayahku seharian penuh. Ku ambil kembali celana jeansyang tadi kupakai.

Bagai seorang yang tersambar petir di sore hari bolong,alangkah terkejutnya ketika kusadari dompet satu jutaternyata sudah menghilang dari saku celana. Kapan

Page 28: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Kolak Emas | Agung Dodo Iswanto

18

dompetnya menghilang? Kenapa aku sampai tidak sadar?Kugeledah seluruh ruangan dan halaman kosan mungil

ini, hasilnya nihil. Tidak ketemu.Betapa tololnya aku ini, bukankah sebelum pulang dari

pabrik garment tadi masih sempat ku tepuk-tepukkantangan ini ke saku celana? Cih, kemungkinan besar akukehilangan dompet itu ketika berdesak-desakan denganpara pembeli tadi. Aku sungguh bodoh, bodoh, bodoh sekali.

Tak terasa air mata mengalir dari kedua bola mataku,aku menangis seperti anak perempuan. Ada air mata tapitidak bersuara, aku benar-benar putus asa. Kenapa jadinyaseperti ini?

Tak perlu kugambarkan bagaimana perjuanganku daritadi pagi untuk mendapatkan uang itu, tadi aku cuma sahurdengan segelas air putih. Kemarin aku tak berhasil menjualsepotong baju pun, apalagi jualan kolak. Sisa uang yangada hanya cukup untuk beli nasi buat buka puasa saja.Sekarang, aku bahkan tidak memiliki sekeping uang logamseratus rupiahpun. Suck!

“Allahu Akbar... Allahu Akbar,” suara adzan yang sudahsangat kukenal berkumandang, itu suara Pak Ajat, kakektua yang subuh hari tadi mendoakan kelancarandaganganku.

Sampai adzan berakhir dikumandangkan, air matakumasih saja mengalir, tanpa suara. Ku usap air mataku, kataPak Ustadz kalau buka puasa itu harus disegerakansekalipun hanya dengan air putih. Yah dengan air putih,kok aku malah jadi ingat itu ya?

Aku hampir lupa, di ransel hitam masih ada satu cupkolak sisa daganganku tadi. Yah masih mending lah, masasahur air putih buka ketemu air putih lagi?

Dengan menggunakan sendok plastik putih, secaraperlahan kutuangkan kolak itu ke dalam mulutku.

Page 29: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

19

“Ya Allah, manis sekali!” Kurasakan cairan lembutcampuran santan dan gula merah itu melumer di lidahku.Manis, manis sekali. Kontras dengan suasana hatiku yangsangat pahit ini.

Air mataku kembali membasahi pipi, tapi bukan air matakesedihan. Anehnya aku malah tersenyum, ah mungkin inicara Tuhan menghibur hatiku. Hanya Tuhan yang bisamelakukan hal seperti ini. Aku menangis dan berteriaksejadi-jadinya, tak peduli mengganggu tetangga kosankuyang lain.

Ya Allah, sungguh banyak sekali manusia yangmengingkari nikmatMu. Perasaan menikmati manisnyakolak dengan tulus ini langsung mengingatkanku padasebuah cerita guru waktu SMA dulu. Tentang seorang Rajayang sedang barusuh (sakit tenggorokan), lalu dia ditanyaoleh ulama jika harus memilih di antara dua; seluruhwilayah kerajaan kekuasaanya atau nikmat segelas air putihdi atas mejanya. Sang Raja ternyata lebih memilihmenyerahkan seluruh wilayah kerajaan kekuasaannya itudaripada kehilangan nikmat segelas air yang menyegarkanhausnya.

Ya Allah, sungguh hambaMu ini sangat menyedihkan.Jikalau Engkau menawarkan kolak ini dijadikan emas dandiganti dengan kehilangan nikmat segelas air yangmenyegarkan tenggorokan, tentulah aku tidak akan mau.Apalah artinya emas jika sebuah kenikmatan minum airsaja dicabut dari kita? Kolak ini sungguh lebih berhargadari emas, nikmat ini sungguh lebih berharga dari seluruhkekayaan yang ada di muka bumi.

CERITA masih berlanjut kawan, untuk pertama kalinyaaku sholat berjamaah Isya dan Taraweh di mesjid dengankesadaran penuh. Yah, kalau mau hitung-hitungan capek

Page 30: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Kolak Emas | Agung Dodo Iswanto

20

tidak capek sih mendingan tidur di kosan sambil kelaparandan kelelahan. Aku ingin sedikit membuka mataku,membuka hatiku. Tuhan telah menghiburku dengancaraNya. Mencari uang itu penting, tapi kalau kita lupadengan Yang Memberi kita rezeki, itu sama saja bohong.

Aku terkejut setelah pulang tarawehan ternyata Romysudah menungguku dengan Revo bututnya di kosan. Akumeninggalkan Al-Qur’an kesayanganku saat jualan di pabrikgarment tadi, dan bukan cuma itu, tapi ternyata uang satujutaku terselip di Al-Qur’an itu.

“Ahh, kebiasaan maneh, Gus, nyimpen duit di Qur’an.Mana lupa dibawa lagi, bisa kualat! Untung temanmu iniyang nemuin, kalau orang lain udah dibawa kabur nih duit!”seru Romy sedikit kesal.

Yah, memang cuma Allah yang bisa begini. Aku tak bisaberkata kata apa lagi.

One day one million plus a cup of kolak. Clear.(Can this imagination be true?)End. n

Page 31: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Eric Marette | OpenArt

21

Page 32: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Sisi Lain Bapak | Nikmatus Solikha

22

Nikmatus Solikha

o

Sisi Lain Bapak

Published © Annida Online, Rabu 08 Agustus 2012

u

u

Page 33: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

23

M IRIS hati Nurdin teringat bapaknya yangmeringkuk di tahanan. Makin kurus tak terawat,juga sakit-sakitan. Satu lagi yang menambah

beban pikiran Nurdin, kondisi ibunya yang tiap hari cumacengengesan sambil asyik bercakap dengan bantal, ataukalau tidak, saling tarik menarik dengan beberapa orangyang sebenarnya berbaik hati membantunya menghabiskanobat. Yah, begitulah kebiasaan wanita itu sejak jadi penghunitetap rumah putih, khusus untuk penderita gangguan jiwa.Benar-benar misis, bukan?

Dunianya kini bak dijungkir balik. Bahkan kemungkinanbesar Nurdin harus mengubur harapannya untuk bisamelanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. jangankan kuliah,bisa mengganjal perut tiap hari juga syukur. Ah, tak perlulahia berharap banyak. Hidupnya kini pun hanya menumpangdi rumah Ustadz Zulkifli yang sudah menganggapnyasaudara sendiri. Malang nian hidup bagai parasit, tapimenghidupi diri sendiri juga belum sanggup.

Tak pernah dibayangkan hidupnya berubah dalamsekejap mata. Dari terpandang menjadi hina. Belum lagicerca dan gunjing para tetangga yang tiap harinya harus iaterima. Menyakitkan! Jika bukan karena dukungan danceramah yang diberikan Ustadz Zulkifli tiap lepas jamaahsholat Shubuh, mungkin ia sudah memilih melilitkantambang di lehernya, atau menenggak racun yang dulusering digunakan ibunya untuk membasmi tikus.

“Tiap manusia yang hidup pasti akan diberi ujian. Sepertihalnya sekolah, manusia juga akan meningkat derajatnyadi mata Allah jika berhasil melalui ujian yang diberikan.”

Kalimat Ustadz Zulkifli terngiang kembali. Inikah ujianyang dimaksud? Memang, dulunya ia merasa tak pernahmendapat cobaan. Hidupnya bahagia, tak kurang suatuapapun, tapi kini? Ah, bahkan bisa dibilang Nurdin tak punya

Page 34: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Sisi Lain Bapak | Nikmatus Solikha

24

apapun. Ironis memang.“Tapi, bukankah pada dasarnya manusia memang tidak

punya apapun?” sindir Ustadz Zuklifli suatu ketika, “Ndakusah sesali sesuatu yang sudah nggak ada.”

Dan saat itu, Nurdin hanya mengangguk dan membatinkalau ucapan Ustadz ada benarnya.

“Ndak usah mikirin yang berat-berat.” Ustadz Zulkiflimenepuk pundak Nurdin dari belakang. “Memangnya lagimikir apa lagi kamu?”

“Bapak dan Ibu, pak Ustadz. Kasian mereka.” Nurdintermenung di beranda rumah. Belum juga matahari terbit,ia sudah banyak habiskan waktu untuk melamun.

“Musibah itu datangnya dari diri sendiri. Jika Allahmenyayangi hamba-Nya, maka Ia akan memberikanbalasan atas kesalahannya di dunia, sehingga bersihlahdosa-dosanya.” Ustadz Zulkifli duduk di kursi bambu.Berdampingan dengan Nurdin.

“Apa bapak akan diampuni dosanya?”Ustadz Zulkifli tersenyum, sejurus kemudian menepuk

pundak Nurdin, “Allah Maha Pengampun, ingat itu.”Nurdin hanya mengangguk, lantas kembali termenung,

teringat saat dulu, Nurdin akan tersenyum senang tiapmendengar pendapat orang tentang ‘buah tak akan jatuhjauh dari pohonnya’. Betapa tidak? Sebuah kebanggaantersendiri bagi Nurdin yang menjadi putra tunggal WidodoKusuma, seorang anggota dewan yang terkenal sangat baikdan bijaksana. Sejak diangkat sebagai salah satu anggotadewan perwakilan rakyat, bapaknya itu makin dermawansaja. Tak seperti orang-orang lain, yang biasanya akanmenjulang sisi sombongnya ketika derajatnya terangkat.

Nurdin bersyukur, bapaknya tak seperti kebanyakan or-ang. Mungkin karena Widodo dibesarkan di lingkungan yangsederhana, jadi hingga kini pun tak pernah ada gaya hidup

Page 35: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

25

mewah dalam kesehariannya. Tak cuma Nurdin yang berpikirbahwa bapaknya itu pribadi teladan, yang ia dengar daripenuturan warga sekitar tempat tinggalnya, Widodomemang pribadi yang bersahaja, penampilan dan tuturkatanya begitu apa adanya. Meskipun kekayaan yang iaperoleh lebih, pria tengah baya itu tak pernah berniatmeninggalkan rumah sederhananya di kampung. Tak salahmemang jika Widodo disegani. Menurut Nurdin, bapaknyaitu patut mendapatkannya.

“Din, bapakmu mau bangun masjid di kampung, ya?Kemarin Abah sudah ngukur tanah waqofnya,” ujarMahmud, putra Sulung Haji Hasan yang sempat mendengarkabar dari Abahnya, bahwa Widodo akan membangunmasjid besar di kampung. Sedangkan Nurdin hanyatersenyum simpul. Tak tahu harus memberikan responbagaimana. Bukankah bapaknya selalu berpesan, “Kalauberamal itu harus ikhlas, Le. Kalau bisa, jangan sampai or-ang lain tahu, khawatir hati kita diracuni sombong.”

Nurdin langsung setuju dengan nasihat Bapaknya.Beramal yang ikhlas itu seperti membuang hajat, tak perludiingat dan jangan sampai orang lain tahu. Meski demikian,Nurdin tetap saja tak habis pikir mengapa para tetanggatetap saja tahu tentang amal yang dikerjakan Bapaknya.

Masih jelas dalam ingatan Nurdin, setahun sebelumdiangkat menjadi DPR, bapaknya pernah mengucap nazar,jika ia di terima sebagai anggota dewan, maka ia akanmembangun masjid di tengah kampung.

“Siapapun yang menyisihkan sebagian rejekinya untukkepentingan masjid, insya Allah pahalanya juga mengalir,Le,” jelas Widodo suatu ketika Nurdin bertanya mengapabapaknya sangat ingin membangun masjid.

“Mengalir?” Nurdin memiringkan kepalanya. Masih takmengerti maksud bapaknya.

Page 36: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Sisi Lain Bapak | Nikmatus Solikha

26

“Iya. Misalnya saja, kamu mewakofkan sajadah di masjid,tiap sajadah itu dipakai orang buat sholat, kamu juga dapatpahala.”

“Jadi, makin banyak yang kita sumbangkan ke masjidmakin banyak pahala yang mengalir?” tanya Nurdin saatitu dengan wajah antusias. Tentu saja muncul niat dalampikiran Nurdin, kelak ia akan rajin beramal seperti bapaknya,tokoh yang ia banggakan.

“Insya Allah...” Widodo tersenyum sembari mengusapkepala anak bujangnya yang baru menginjak remaja. “Tapi,belum tentu juga, Le!” sambung Widodo.

“Kok belum tentu?” Nurdin menautkan alis. Bukankahtadi bapaknya sendiri yang bilang amal untuk masjid itumembuat pahala mengalir?

“Kalau beramal tapi nggak ikhlas, alias dipamer-pamerinsama tetangga, ya percuma, Le...” Nurdin menganggukmengerti. Benar juga apa kata bapaknya. Ah, ya! Tentu sajakuncinya ikhlas.

Widodo resmi diangkat menjadi pegawai DPR setahunsetelah mengucap nazar. Dan benar saja, pria itu menepatijanjinya untuk membangun masjid. Tak hanya itu, iamenyantuni anak yatim, merenovasi panti asuhan, danmasih banyak lagi amal-amal yang Widodo kerjakan.

“Bapak ini sudah tua, ya harus banyak-banyak nabungbuat bekal di akhirat kelak.”

Nurdin tersenyum. Tiap kali remaja itu bertanya, apa yangbikin bapak tambah dermawan? Pasti jawaban itu yangNurdin dapat.

“Tapi nggak semua orang tua kayak bapak, loh, banyakjuga yang makin tua makin pelit,” puji Nurdin tulus.

“Hahaha... dan nggak semua anak sepertimu, suka bikinkepala bapaknya besar.”

Nurdin tertawa. Bapaknya itu memang ada-ada saja.

Page 37: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

27

AWAL mimpi buruk Nurdin dimulai sekitar 3 bulan lalu,selepas mata pelajaran pertama berakhir, Nurdin dibuatterkejut dengan telpon dari ibunya yang mengabarkanbahwa bapaknya digelandang ke kantor polisi.

“KPK menemukan bukti kalau bapakmu terlibat, Le.”Nurdin mendengar isak tangis Ibunya di seberang sana.

“Mana mungkin bapak melakukan itu, Bu. Bapak kanorang baik.” Nafas Nurdin memburu, ia sangat yakin jikabapaknya hanya korban fitnah.

“Semua berpikiran begitu, tapi sekarang bapakmu lagidiperiksa lebih lanjut.”

Nurdin bergegas pulang sesaat setelah sambungantelpon berakhir. Selain suntuk memikirkan bapaknya, ia jugakhawatir dengan ibunya. Takut-takut wanita itu pingsansaking shock-nya.

Tuduhan KPK terbukti, dan Widodo resmi ditahan ditahun pertamanya menjadi DPR. Banyak yang kecewa,ternyata figur Widodo yang dibanggakan adalah seorangkoruptor. Bahkan tak jarang rumah mereka dibanjiri massa.Berteriak-teriak menyerukan nama Widodo dengan embel-embel cercaan, berdemo tanpa tujuan yang jelas, mungkinhanya meluapkan emosi. Ada pula yang mengutuk KPKyang membuat Widodo masuk penjara. Menurut sebagaianpihak, Widodo hanya perantara yang mengambil uangrakyat untuk dikembalikan pada rakyat. Tapi, siapa yangpeduli? Hukum masih berlaku di negara ini.

“Jadi, bapak berusaha membeli surga dengan uangharam?” pertanyaan itu yang terlontar di kunjunganpertama Nurdin di tahanan.

Widodo bungkam, tak berusaha melontarkan pembelaan.“Kebaikan bapak selama ini... ternyata bapak hanya

pengen menipu malaikat!” Nurdin merasa dadanya sesak.Pastinya geram dengan tindakan bodoh bapaknya.

Page 38: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Sisi Lain Bapak | Nikmatus Solikha

28

Widodo sedikit mengangkat wajahnya, kini ia dapatmenangkap gurat kecewa putra tunggalnya dengan jelas.

“Bapak khilaf, Din,” kilah Widodo. “Maaf.”“Kenapa minta maaf padaku?” Nurdin tersenyum sinis.

Ia sendiri ragu, apa masyarakat masih bisa memaafkanbapaknya yang ternyata seorang koruptor berkedok wibawa.

“Kamu tau, Le... bapak dari keluarga miskin.” Widodoterisak, dan entah mengapa Nurdin merasa bersalahmendapati itu. Apalagi ketika bapaknya memulai ceritatentang masa kecilnya yang memang bercita-cita inginmenjadi anggota DPR.

“Kamu tau kenapa bapak pengen jadi DPR?” tanyaWidodo dengan jejak airmatanya yang mulai mengering.Nurdin hanya menggeleng sebagai jawaban, tanpa balikmenatap bapaknya.

“Tentu saja ingin melakukan perubahan!”“Jadi perubahan besar itu adalah korupsi besar-berasan?”

Nurdin mencibir.“Itu khilaf! Sebenarnya bapak ndak tahan melihat teman-

teman sesama anggota dewan yang menghamburkan uangdengan terbang ke luar negeri berkedok rapat penting.Ujung-ujungnya? Mereka lebih banyak liburan.”

Ada sesuatu yang terasa menghimpit dada Nurdin. Sesak.Rasanya Nurdin ingin menyumpal kedua telinganya. Takingin mendengar penjelasan tak masuk akal dari bapaknya.

“Bapak ndak tahan melihat mereka yang pulas tertidurketika rapat. Bapak ndak tahan mereka yang mencuri uangrakyat untuk bermain dengan wanita.” Widodo kembaliterisak, kini hingga bahunya terguncang.

“Bukankah lebih baik jika bapak ambil uang rakyat untukdikembalikan pada rakyat?” per tanyaan Widodomenggantung tanpa jawab. Nurdin seolah tak peduli, meskihatinya mulai sangsi, benarkah tindakan bapaknya itu? Ah,

Page 39: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

29

mana ada tindakan benar yang membuat malu. Apalagijika membayangkan olok teman-temannya nanti jika fotobapaknya terpajang jelas di koran-koran? Di mata Nurdin,tindakan bapaknya tetaplah salah meskipun niatnya baik.Tapi, kadang orang-orang tak mau tahu atas dasar apaseseorang melakukan kesalahan, karena orang-orangmenilai dari apa yang mereka lihat, bukan apa yang merekatahu. n

Page 40: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Eduardo Naranjo | OpenArt

30

Page 41: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

31

Uzairul Anam

o

Sayap Abdi

Published © Banjarmasin Post, Minggu 12 Agustus 2012

u

u

Page 42: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Sayap Abdi | Uzairul Anam

32

K INANTI memanggilnya Alien karena ia seringmenampakkan diri tiba-tiba. Masih mending bilamuncul dengan salam sapaan. Selalu saja orang itu

datang mengagetkan Kinanti.“Aku Abdi,” jawab Alien orang aneh itu, saat Kinanti

bertanya nama.Katanya ia datang dari tempat yang amat jauh. Tak jelas

dari seberang pulau sebelah mana. Katanya ia memangsengaja ditugaskan menemui Kinanti. Tapi yang terlintasdipikiran Kinanti, paling-paling Abdi tak lebih dari sekadarlelaki hidung belang yang gemar merayu.

Selama ini Kinanti menganggap, lelaki mana yang takngilu saat melihat pinggulnya melenggak-lenggok. Lelakimana yang tak kepincut melihat g incu merah pekat disepotong bibirnya. Dan lelaki mana yang takmenginginkannya sebagai teman ranjang saat melihat rokmini super ketatnya. Selama ini Kinanti sukses menjaringmangsa berhidung belang.

“Kau selalu mengagetkanku. Bisakah kau lebih pandailagi bergaul? Salam itu penting. Kau tahu berapa banyakorang mati bunuh diri karena tersinggung tak pernahmendapat salam dari orang lain?” Kinanti meracau. Ia bosandengan sosok Abdi, si Alien itu.

“Ah, kenapa kau belum terbiasa dengan kedatanganku?Ayolah... Maksudku baik. Aku selalu mengunjungimu saatkau butuh teman, bukan? Dan itu penting untuk orangsepertimu.” Abdi menjawab dengan santai. Dengan senyum.Dengan suara yang terlalu lembut untuk seorang pria.

“Kau gila! Aku tak butuh teman sepertimu. Sebentar lagi,pasti ada yang datang menghampiriku. Yang tampan, tajir,pandai melucu, dan lebih sopan ketimbang Alien sepertimu.”

“Okey. Baiklah, aku pergi.” Abdi melangkah menjauh. “Oh.Aku lupa. Aku ingin mengajakmu pulang. Kau mau, bukan?”

Page 43: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

33

“Pergilah!”Ribuan kali Abdi mengajaknya pulang. Kinanti selalu

bertanya-tanya, kemana ia akan dibawa pulang oleh Abdi?Ke kampung halamannya di Jawa pelosok sana? Yang takpernah tampak di peta meski memakai kaca pembesarekstra. Karena memang pembuat peta tak akan sudimenuliskan nama kota asalnya. Atau mungkin karenakampung halamannya memang tak perlu ada. Bisa jadisebab itulah tempat tinggal Kinanti dulu tak pernahtersambangi subsidi pemerintah.

KEMBALI di malam berikutnya, Kinanti hadir di sebuahbangku panjang di pinggir jalan. Hanya ia sendiri duduk disana. Di bawah langit gelap pekat. Berisi sekadar satu-duabintang. Sisanya, rembulan amat pelit malam itu. Ia tampilmenggores seumpama luka sayatan. Tepatnya, sepertisayatan di punggung kanan Kinanti.

Ia ingat—mungkin juga tak akan pernah lupa—kejadianmenjijikkan yang dilakukan majikannya dulu. Majikan yangmenampungnya saat pertama kali menjejakkan kaki di kotapusat peradaban itu.

Sudah dua minggu Abdi muncul di kehidupan Kinanti.Ia selalu muncul tepat saat Kinanti duduk sendirian dimalam sunyi. Saat Kinanti menunggui pelanggan di pinggirjalan. Tak jauh dari situ, terdapat gapura batas kota berdiri.Gapura yang jika di kampung Kinanti kerap teronggok sesajidi bawahnya. Entah pesugihan, entah pekasih.

“Sepertinya susah, bila sekejap saja kau tak melamun,Kinanti,” ujar Abdi.

“Benar sekali. Memang susah bagiku memahami jalantakdir. Ah, sudahlah. Kau tak akan mengerti keadaanku,nasibku, takdirku. Tak ada yang bisa mengerti. Mereka semuahanya melihatku dari luar semata. Lalu merutukku. Mereka

Page 44: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Sayap Abdi | Uzairul Anam

34

bilang aku jalang.”“Kau benar. Aku memang tak mengerti. Bahkan aku tak

mau mengerti bagaimana keadaanmu, nasibmu, takdirmu.Aku tahu kau sudah sangat muak hidup di kota ini. Makanya,aku ingin mengajakmu pulang.”

“Pulang kemana? Aku mau kau bawa pulang. Kemanapun itu. Tapi tunggu sampai aku bisa kembali bersih. Tungguhingga tubuhku kembali suci.”

“Kalau begitu, lakukanlah sekarang.”“Kau g ila. Aku bisa kembali suci hanya dengan

reinkarnasi.”Keduanya terdiam. Abdi melihat Kinanti kembali

melangut. Tampak raut sendu Kinanti. Pundaknyamemberat seolah a puluhan peti kemas di atasnya. Taklama, Abdi pun pergi. Tanpa permisi.

Sesaat setelahnya, mobil mewah berplat merahmenghampiri Kinanti. Mereka bertransaksi. Dan klik! Wajahsepakat terpampang di kedua roman muka. Kinanti dibawaterbang lagi. Ke hotel, atau ke losmen syaitonirojim.

LALU kali ini, di minggu lainnya, Kinanti masih dalamwujud sosok wanita yang sama. Yang gigih berdagang dimalam hari.

Angin malam seperti tak mempan lagi mencumbuikulitnya. Ia pandai menahan gigil. Mungkin karena iaterbiasa menjelma jadi makhluk nokturnal. Berkeliaranmalam-malam. Menemani mereka yang butuh dilayani.

Sementara kota bernapas siang-malam. Hingga larut punorang-orang masih sibuk cari rezeki. Termasuk si penjualsate yang lewat itu. Datang berlalu di depan Kinanti. Ialupa, perutnya belum sempat terisi. Di panggilnya si tukangsate. Hidung mengendus asap sate yang melenakan bagaianestesi. Perut keroncongan tak tertahankan di balik baju

Page 45: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

35

ketatnya. Sementara sebagai pejantan, mata penjual satesesekali melirik ke dada Kinanti. Dan Kinanti pun tahu halitu.

Kinanti mencoba mendekati. Ditemukannya seorangperempuan tua yang lusuh dan pakaiannya compang-camp-ing. Sosoknya mengingatkan Kinanti pada ibunya. Ya,perempuan tua itu seusia ibu. Seorang wanita yang selalumenanti kepulangannya. Mungkin saja di desa sana, ibunyasedang kelaparan, lalu menantikannya pulang membawasebungkus makanan. Sate?

Spontan saja tangan Kinanti merentang, mengulurkansebungkus sate Namun ia sadar akan kejalangannya dandiam saja.

Ketika hendak melahap sebungkus sate di tangan, saatlidah sedetik lagi meraba rasa, ekor mata Kinanti menangkabayangan seseorang di dekat gapura. Seseorang yangtengah duduk berselonjor. Terdengar suara mengaduh danmendesis dari mulutnya. Tangannya meremas-remasperutnya sendiri. kepada si perempuan tua. Ada semacamrasa bungah dan kepuasan yang muncul dalam dirinyasetelah dilihatnya perempuan tua itu melahap habissebungkus satenya. Kinanti merasa, hidupnya sebagai jalangternyata bisa berarti bagi orang lain.

Setelah lama mengamati si perempuan tua makan sate,Kinanti kembali ke bangku kosong di pinggir jalan sepertibiasanya. Sendirian memandangi roda-roda pelalulalang.Sesaat kemudian disadarinya ada yang ganjil malam itu.Tumben sekali ia tak melihat sosok Abdi, si Alien itu.Bukankah biasanya ia acap datang mengagetkan? Kinantimendadak merasa, tanpa adanya Abdi, malam jadi heningdan sesenyap pekuburan.

Hingga heningan itu pun membuat Kinanti tak siaga.Awalnya lamat-lamat, namun kemudian suara sirine jadi

Page 46: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Sayap Abdi | Uzairul Anam

36

menggema keras. Datanglah mobil patroli itu. Ada beberapaorang berseragam di dalamnya.

Kinanti panik. Ia tahu pertanda bahaya itu. Sesuatu yangharus dihindari segera dan secepat mungkin berlari. Jikatidak, salah seorang dari mereka akan menciduknya,meringkusnya, memungutnya, bahkan memperlakukannyaseperti kotoran sapi. Namun sayangnya ia terlambat.Seorang pria ber tubuh kekar berhasil mencengkeramlengannya.

“Mau lari kemana kau? Dasar sundal!” Pria itu menyalak.Tercium bau alkohol saat ia terbahak.

Saat itu juga, ia berniat berlari ke seberang jalan danmenghilang di perkampungan penduduk. Namun tanpa diduga, sebuah mobil lewat dengan kencangnya. Dan, buugg!!

Kinanti terpental setelah sebelumnya kepala membenturkaca depan mobil itu.

Ia tersungkur di atas jalan aspal. Matanya melihat banyaksekali kunang-kunang. Dari mana mereka datang? Jutaankunang-kunang itu muncul dari balik punggung seseorangyang dikenalnya selama empat puluh hari belakangan.

“Abdi? Kaukah itu?”“Ya, ini aku. Sekarang mari pulanglah bersamaku.”“Kemana?”“Ke tempat yang telah disebutkan dalam doa wanita

pengemis di dekat gapura yang kau kasih makan itu.”Kinanti pasrah tangannya digamit Abdi. Untuk pertama

kalinya, Ia melihat Abdi mengepakkan ratusan pasang sayapdi punggungnya. Yang tentu mampu membawanya terbang.Ke atas, hingga ia bisa melihat tubuhnya sendiri teronggokbersimbah darah di atas jalan aspal. n

Page 47: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Claude Théberge | OpenArt

37

Page 48: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Mel, Ini Aku | Parlan Tjak

38

Parlan Tjak

o

Mel, Ini Aku

Published © Bali Post, Minggu 12 Agustus 2012

u

u

Page 49: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

39

Percayalah, ini pasti kerinduan yang luar biasa. Di luarkebiasaanku hampir setiap aku membayangkan

dirinya masih ada. Ini aku. Seorang kekasih dengansepuluh tahun kerinduan. Seorang ayah yang mulai

berangkat uzur digerus usia surup.

INI aku, Mel. Masih sangat muda. Tak satu pun ubantumbuh di kepala. Tak ada garis-garis kerut di gigirmataku. Sekali waktu, mataku mungkin nampak cekung.

Malam terlalu cantik untuk ditinggalkan. Kawan – kawandatang, dan aku butuh teman tertawa. Jadi, aku berbagidengan mereka sampai pagi. Apa salahnya ter tawa.Bukankah aku masih muda?

Hari minggu sederhana. Benar-benar hari libur yangmenyenangkan. Segelas besar Capuccino. Sebungkus rokokputih. Kuputar musik grunk. Serta merta adrenaline padatubuhku melonjak. Aku kegirangan, melonjak-lonjak danmasa bodoh. Kamu dimana, Mel? Matahari sudah tinggi.Sudah saatnya kamu bangun, lalu meluncur kemari. Sepertihari minggu biasanya. Kamu paling suka berjingkrak-jingkrakkan, Mel?

“Masuk, nggak dikunci, kok”“I will rock you!”Aku pasti suka kedatanganmu. Berteriak-teriaklah

sesukamu. Jingkrak-jingkrak, loncat-loncat, kau juga bolehmenendang-nendang. Ini hari yang menyenangkan. Sangatmenyenangkan hingga saat kita harus berhenti nanti.Jangan mengganggu. Tidak satupun, boleh. Tidak juga kau,Mel.

Masih tersisa selinting mariyuana di lipatan dompet, sisatadi malam. Kau, cukuplah dengan filter rendah nikotin.Kalau ingin lebih ada sensasi, aku masih menyimpan softdrink di kulkas: soda bebas alkohol.

Page 50: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Mel, Ini Aku | Parlan Tjak

40

Pasti kau marah. Berkali-berkali aku berjanji untukberhenti. Tetapi setiap kali jauh darimu, aku memakainyalag i. Bahkan belakangan, aku mulai tak peduli. Akumelakukannya di depan matamu. Bisa kubacakecemasanmu. Gampang kucerna, marah yang meledak-ledak menghentak jantungmu. Tapi begitulah. Ternyata akumencintaimu lebih dari besarnya rasa cemas dan amarahyang meledak-ledak.

“Tutup pintu dong, sayang …”“Nggak, ah. Gerah !”“Please, dong. Biar lebih aman …”“Ah, takut amat sih!”Kau banting pintu dengan kakimu. Mulutku berbusa.

Bertubi-tubi bujuk rayu. Berulang-ulang belaian sayang. Lalukita memiliki sebuah kamar yang terbakar. Tak ada satupunakhirnya, selain kau, aku dan kita yang benar-benar terbakar.

Berapa kali kau mengutukiku?Menyesal dan menumpahkan kesalahan hanya padaku.

Tetapi aku lagi tinggi. Benar-benar lost control.

SENJA datang, Mel. Ini bukan hari – hari seperti yangterlewati kemarin. Percayalah, ini pasti kerinduan yang luarbiasa. Di luar kebiasaanku hampir setiap akumembayangkan kau masih ada. Ini aku. Seorang kekasihdengan sepuluh tahun kerinduan. Belakangan kabarberedar: Kau juga yang menemaniku dengan mata sembabdi ruang VIP. Hampir sebulan, laki-laki itu dikerubuti selang-selang infus di tubuhnya. Dokter bilang aku koma.

Sebulan. Itu terlalu lama. Setiap detik, bahkan setiapdetak jantung ini menandai aku masih hidup, rasanya terlalusakit. Orang bilang aku koma. Tapi mereka tak tahu rasanya.Beragam mimpi yang tak pernah bisa benar – benar terekamdalam ingatan, hingga hari ini masih benar-benar

Page 51: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

41

mengganggu. Mengejarku, bahkan ketika aku merasa telahmenemukan persembunyian yang paling aman.

Justru mimpi-mimpi itu selalu merayuku untuk kembalikesana. Ke sebuah tempat paling putih di dunia. Dinding-dinding kamar dicat warna putih. Orang-orang, lalu lalangdengan senyum yang dipaksakan, menghunus jarum-jarumsuntik di tangan. Tiga kali sehari, mereka menancapkanbenda nan runcing itu ke pantatku, ke tanganku atau kebagian tubuhku yang lain. Seorang yang lainnya—yang cantikmirip kamu, Mel— menyodorkan segenggam pil. Lalu dengantangan-tangan lembutnya ia membungkam mulutkudengan segelas air putih. Aku lebih sering sulit menelannya.Ini malapetaka! Sebab, mereka, orang-orang yang berwarnaputih itu, bergegas memasukkan selang-selang ke dalamtubuhku. Bersama rasa sakit, benda-benda yang paling akubenci itu diperam ke dalam dagingku berhari-hari.

Bisa kamu bayangkan bagaimana rasanya, Mel?.Seharusnya kamu mengenal kata eutanesia. Kamu bisamengambil keputusan secepatnya waktu itu. Bukankah kau,pandai meniru? Palsukan saja tanda tanganku. Buat seolah-olah aku memberikan surat kuasa. Karena aku bahkan takmampu mengingat apa-apa waktu itu, selain mimpi-mimpi,juga orang-orang berwarna putih yang dalam sekejapmembiusku. Mengantarkan tubuh tak berdaya ini ke dalamsebuah jeda antara hidup dan mati.

Sayang sekali, kau juga tak berfikir ke sana. Tapi akuterharu akhirnya. Orang-orang bilang padaku: kau terlalucemas. Takut kehilangan. Tapi tak berani mengakui. Kauharap, aku kemudian ada. Ada dan menjadi lebih baik daribiasanya. Waktu itu, katanya aku masih koma, Mel.

INI aku, Mel. Merasa benar-benar uzur. Uban tumbuhdimana-mana. Garis-garis kerut melahap gigir mataku.

Page 52: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Mel, Ini Aku | Parlan Tjak

42

Dinding-dinding pipi yang mengkerut menjadi kianmengkerut setiap kali kuhisap tembakau cangklong. Inijugalah yang menemani malam-malamku. Ditambahsecangkir kopi agak pahit, aku terbiasa menggalah anak-anak kabut. Menjadi ruap-ruap malam dalam remang sinarbulan.

Aku meninggalkan senja. Sebuah jeda antara mataharidan bulan. Sebuah koma dari hari yang panjang menujumalam dan bakal aku kalahkan. Tetapi aku lupa, ternyatarasa kantuk lebih dulu mengalahkanku. Malam sudah takbisa dibunuh dengan kopi dan rokok. Angin malam biasanyamenjadi musuh paling mengerikan. Dingin sudah tak bisadibunuh dengan syal dan sweater.

Aku pasti merindukanmu, Mel. Kubayangkan, wajahmubulan jeruk purut. Warnanya kuning tua. Setua usia kita.Ingin rasanya, lama-lama menatap bulan itu dari berandahingga lenyap di bukit-bukit sebelah barat. Tapi malammenjadi terlalu panjang. Mataku perlahan-lahan menjadilamur. Kutemukan bulan itu pada tempat paling sumir:sebuah jeda antara sadar dan tidak.

Ketika aku menduga ini pasti hanya mimpi, seseorangsepertinya datang menghampiriku. Bukan kamu, Mel. Iaberwarna putih. Baju putih. Celana putih. Rambut putih. Ditangannya menghunus jarum suntik berwarna putih.

Ia berbisik padaku. Sangat lirih, Mel.“Tenang ya. Nggak sakit, kok. Nah, begitu. Biar cepat

sembuh.” n

Page 53: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Escha Van Den Bogerd | OpenArt

43

Page 54: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Merah Marah | Mizunihara

44

Mizunihara

o

Merah Marah

Published © Fajar Makassar, Minggu 12 Agustus 2012

u

u

Page 55: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

45

DARI Abu Hurairah RA. ia berkata, Rasulullah SAWbersabda, “Bila Ramadhon telah datang, makadibuka pintu Surga, dikunci pintu Neraka dan

dibelenggu semua syetan.”Aku masih bingung dengan hadis tersebut. Benarkah

semua setan telah dibelenggu? Tapi mengapa masih banyaktindak-tanduk kejahatan. Dan, banyak godaan-godaan dibulan Ramadan yang menggiurkan. Apa itu hanya sekadarhawa nafsu kita sebagai manusia?

Inilah yang membuatku tersiksa. Selalu kuanggap setanitu ada di dekat. Selalu membisikkan kata, “Makanlah, selagitak ada yang melihat.” Ah, mungkin ini hanya hawa nafsukusaja. Tidak mungkin hadis itu salah.

Hari ini dengan suasana yang berbeda. Aku, seorangpelajar wanita. Diminta membantu orang tua. Itu adalahpermintaan yang begitu sulit kukabulkan. Bagaimanaseorang pelajar—apalagi perempuan—dapat membantuayahnya di sawah? Sulit dibayangkan. Apalagi di tengahbulan Ramadan. Pasti kehausan yang pertama menimpa.

Maaf, Pak.Harus kukatakan ini. Aku tak bisa. Jika hanya mengantar

alat-alatnya, ya, mungkin bisa. Mungkin. Tak ada kepastian.Godaan terlalu gampang menghasut. Susah memang, jadijangan mengharapkanku untuk membantu.

Lain lagi dengan ibu. Dia juga punya pekerjaan yanglebih ringan. Tapi bagiku, semuanya sama saja.Menyusahkan. Ibu adalah seorang pedagang. Pedagangbuah. Dia selalu berteriak-teriak menawarkan dagangannya.Bosan.

Mereka menyuruhku memilih salah satu pekerjaan itu.Ah, kenapa harus aku? Aku ini masih SMP. Mana bisamelakukan salah satu pekerjaan itu. Tak ada yang mengerti.Mereka yang harus cari nafkah. Bukan aku.

Page 56: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Merah Marah | Mizunihara

46

“Hus, jangan begitu, Nak. Harus berbakti pada Ibu danBapak. Kami mau kamu belajar cari uang. Biar nanti tidakkesusahan jika bekerja.”

Tetap saja aku tak setuju. Walau demi kebaikan sendiri.Masalahnya, kenapa harus di bulan Ramadan? Ya, okelah,kalau aku membantu mereka. Tapi jangan di aat-saat yangmenyusahkan seperti ini. Aku tak sanggup. Cobamengertilah.

KERINGAT terus bercucuran. Tak tahan rasanya. Waktuberbuka terlalu lama bagiku. Dengan sangat terpaksa akumelakukannya juga. Yah, orang tua tetap orang tua. Dan,kita tetap sebagai anak. Tak boleh durhaka.

Tidak boleh durhaka!Bukan aku yang memilih. Jika diminta, tentu memilih

ibu. Tapi mereka seperti telah berunding. Aku ditempatkanbekerja di sawah. Kata ‘berbuka’ terus bertubi-tubimenyerang pikiran. Sudahlah, tidak sekarang. Aku inginberbakti pada mereka. Jangan mengusikku dengan nafsu-nafsu itu.

Sepertinya tidak semua setan itu terbelenggu. Yakin sekali,karena ada satu yang masih menjalar dalam tubuh. Sulitkulawan. Ia seakan telah menjadi teman. Terus ada di manapun aku berada. Tak mengenal situasi. Mungkin karenamemang itulah takdirnya.

Tanganku terus bereaksi. Walau kehendak hati saja sangatkurang. Lelah rasanya. Apalagi setan itu terus mengusik.Tak ada malaikat yang menolong. Terus meminta bantuan.Ibu, ayah. Aku benar-benar lelah.

Ayah menatapku. Sepertinya iba. Dia menyuruhku untukberistirahat. Akhirnya! Lalu dia menyodorkan sebuah gelas.Bingung melanda. Dalam gelas tertuang air segar. Astaga!

Setan dalam diri seakan merdeka. Tak percaya. Ternyata

Page 57: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

47

dalam diri ayah ada setan juga. Kuraih gelas itu. Walauragu. Tapi kupikir tak rugi juga, lagipula ayah yang menyuruh.Tak usah khawatir. Setan itu terus berbicara. Sampaimulutnya berbusa-busa. Dia tak mau berhenti sebelumberhasil.

Mulut telah bersentuhan dengan bibir gelas. Sontak gelasyang digenggam terjatuh. Bapak memandangiku.

“Astagfirullah, sadar Nak. Kau sedang berpuasa. Janganbatalkan puasamu hanya karena kehausan. Bapak juga hausdan capek. Tapi masih menahannya. Lebih baik kamu pulangke rumah saja kalau begitu.”

Aku menurut. Tanpa mengucapkan sepatah kata. Tidakmempertanyakan perihal bapak yang menyodorkan gelas.Mungkin tadi hanyalah halusinasi. Setan benar-benar telahberkuasa.

“Orang-orang itu hanya terbiasa, Nak. Bukan karena adasetan yang memengaruhi mereka. Tapi kemauan merekasendiri. Karena setan sudah menjadi sahabat. Jangan mauseperti mereka, Nak.”

Lantunan-lantunan ayat terdengar dari bilik masjid.Rasanya tak sabar mendengar azan berkumandang. Tapiada rasa tak nyaman menyelimuti. Entah itu apa. Perutterlilit. Mungkinkah aku telah tumbuh menjadi remaja putri?Ini kali pertama, menjadi sejarah tersendiri. Ada rasa takut.Wajar saja ini terjadi. Segera kaki melangkah menuju WC.

Diam menusuk. Tajam. Tak ada kata yang mamputercipta.

“Akkkkhhhh...!!!” n

Page 58: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Alena Adamenko | OpenArt

48

Page 59: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

49

Dafriansyah Putra

o

Awan Merah Jambu

Published © Harian Haluan, Minggu 12 Agustus 2012

u

u

Page 60: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Awan Merah Jambu | Dafriansyah Putra

50

AWAN itu lagi! Takjub. Orang-orang mendongak. Mata-mata itu tak bosan-bosannya memelototi nun langit,meski silau matahari kian menggigit.

Ada yang saling berbisik. Ada yang komat-kamit sendiri.Ada pula yang semakin rajin mengucap puja-puji kepadaTuhan sekeras-kerasnya. Terjadi pula pada Buyuang Bagak,preman pasar yang hobi membunuh orang. Sekali inikudengar ia merayu Tuhan. Air mukanya pucat sejadi-jadi.

Persis seperti beberapa tahun lalu, tepatnya seharisebelum gempa bumi mahadahsyat mengguncangkampung kami. Senja itu, kami melihat bentuk awanmenyerupai mata manusia. Persis benar. Tatapnya tajamnian. Seroman mata orang marah. Semua masyarakatpercaya itu adalah ‘mata’ Tuhan.

Terjadi pula di siang ini. Kami dikejutkan kembali denganpenampakan awan berbentuk serupa tempo hari: mata.Belajar dari pengalaman sebelumnya sehari setelahpenampakan awan berbentuk mata itu muncul, terjadilahgempa besar yang banyak menimbulkan korban danmenghancurkan bangunan serta merta, masyarakat banyakyang tiba-tiba menghilang bak direguk bumi. Merekamengamankan diri dan hati ke tempat sanak yang beradajauh dari sini. Ada pula yang rela menyewa hotel di balikbukit sana, biarlah uang keluar asal mendapat ketenangan,pikir mereka.

Kucoba telusuri leliku setapak kampung. Hampir semuarumah kosong melompong. Seekor anjing lupak peburubabi terikat rantai di halaman salah satu rumah. Binatangitu berkali-kali melolongan panjang. Kadang tempatmakannya di gilir kesana-kemari. Kadang terali kandangdisepak-sepak. Tingkahnya tak karuan, seperti kemasukanruh leluhur. Mungkin dalam pikirnya, begitu sampai hatisang tuan meninggalkannnya di tengah situasi gawat seperti

Page 61: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

51

ini. Anjing itu menyalak tak tentu sebab, sepertinya ia inginsekali ikut diajak mengungsi. Barangkali anjing itu takutgempa pula.

Aku mendapati Aji Sampono—orang kami lebih senangmenyebut “Aji” dibandingkah “Haji”. Sepertinya, hanya diadan aku saja yang tak beranjak dari kampung ini—sungguh!sepanjang jalan aku tak melihat ada sesosok pun manusia.

Tak ada wajah mendung atau air muka khawatir terbesitdari muka keriputnya, meskipun seluruh keluarga dantetangganya telah terbang jauh entah kemana. Kerjanyaasyik membaca dan membolak-balik kitab sebesar sakuyang selalu ia bawa kemana pergi.

Kudatangi sandarannya, memilih duduk di sebelahkanannya. “Tak mengungsi Ji?” Bilah bambu yang menjadirangka bangku panjang itu perlahan berderik.

Lama kumenunggu jawaban darinya, sebelum ia akhiribacaan kitabnya, kemudian memasukkannya ke dalam saku.

Aji menarik nafas panjang lalu melepaskannya boros.“Mengungsi ke mana? Ke neraka?” jawabnya, seolahmeremehkan pertanyaanku.

Aku menyulut sebatang kretek. Asapnya menyembursesuka hati, membuat Aji batuk-batuk. Namun kuacuhkansaja demi kenikmatan yang kurasa.

“Lah, kau sorang tak mengungsi?” Lelaki berkopiahbeludu itu balik bertanya.

Aku tak mau kalah. Kubiarkan ia sejenak menunggujawabanku, seperti yang dilakukannya tadi kepadaku.Lambat kuhisap rokok di sela jemariku, sembarimenikmatinya dalam. Tampak semakin menggila saja asapnikotin itu mencoba mengeracau beningnya udara.

“Buat apa?” Jawabku lebih singkat dari jawabannya tadi.“Hahahahaha....” Aji melepaskan tawa selepas-lepasnya.

Apakah jawabanku barusan lucu? Pikirku heran. “Kenapa

Page 62: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Awan Merah Jambu | Dafriansyah Putra

52

ketawa Ji?” Tanyaku penasaran.Aji lantas mengalihkan pandangannya ke badan jalan

yang tepat berada di hadapannya. Jalan itu lengang takseperti hari-hari biasa, ramai tak karuan, tidak itu angkot,ojek, gerobak atau pun pejalan kaki yang biasa lalu lalang.

Kami duduk diteduhi sebatang mangga pelit berbuahsatu-dua di halaman. Daunnya yang kering tampakbeguguruan; pasrah kepada sepoi angin, kepada mau debuyang mengajarkannya liar. Aji meraih selembar dedaunankering yang barusan jatuh di dekat kakinya. Kemudian lelakiitu memainkan daun itu di dalam belahan tangannya.

“Lucu ya?” Ujarnya sembari tersenyum, agak sinis.“Apanya yang lucu Aji?” Sahutku menyelidik.“Perilaku manusia di akhir jaman.” Untuk kali ini nada

suaranya sedikit tenang, setenang angin yang menemanikami. Kuhela napas panjang. Kubiakan ia melanjutkanpembicaraannya sembari sesekali memperhatikan mangga-mangganya, berharap ada yang jatuh.

“Lantaran awan saja, banyak yang kemudian menjadipendua Tuhan.” Kucoba cerna setiap kata yang keluar darimulutnya, sembari terus menyambung batangan sigaret.Kurasa ini batangan terakhir. Alamak, kotak rokokku kosong,dan malangnya lagi tak ada satu pun toko yang buka. Ah,sepertinya aku terpaksa puasa menghisap sampai parapedagang rokok pulang mengungsi.

“Bagaimana tak hendak panik Ji. Waktu dulu, seharisebelum gempa besar itu datang, kejadian awan serupaseperti ini juga pernah terjadi. Aji masih ingat kan?” Katakumencoba mengulang-ulang kejadian tempo hari.

Aji lantas tegak. Kursi bambu berderak-derak dibuatnya.“Awan adalah awan! Tuhan adalah Tuhan!” Suaranya yangsedari dari tenang tiba-tiba menderas. Daun kering yang iamainkan hancur sudah dalam kuat remasan tanganannya.

Page 63: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

53

Tak tahu apa selanjutnya yang akan kukatakan. Kulihatmatanya semakin tajam saja, seperti mata awan yangmembuat heboh masyarakat.

HAMPIR seminggu setelah kejadian itu. Akhirnya satupersatu masyarakat yang mengungsi kini telah kembali. PunAngku Polan, petinggi kampung kami, perlahan turun darimobil berpelat merah yang didapat karena jabatannya.

Angku Polan ikut mengungsi. Pemimpin kami itubukannya mengajak masyarakat lebih mendekatkan dirikepada Yang Kuasa, bahkan dialah yang menyuruh seluruhpenduduknya untuk mengungsi. Mau-maunya ia meliburkanperkantoran, juga proses belajar sekolah.

“Kita harus waspada!” Katanya kala itu, kudengarsuaranya dari siaran radio satu-satunya di kampung kamisaat beberapa jam setelah ‘mata’ itu muncul.

Di lain kisah, peristiwa ini rupanya juga membawahikmah besar. Kulihat, Buyuang Bagak begitu tenangmematuk sujud di hamparan permadani surau. Kalungrantai berbentuk tengkorak yang biasa ia kenakan sekarangberganti butiran tasbih hijau maya-maya. Tato di lengankirinya tak ada lagi. Setiap kali Buyuang Bagak memasangmuka seram, sering aku membandingkan muka itu dengannganga naga di lekuk tonjolan ototnya. Entah dengan apaia angkat gambar itu. Yang kutahu, tato itu dibuat dari besipanas, ketika ia merantau ke Jawa dulu, dan tak akan dapatdihapus, katanya, pernah ia menceritakan perihal itukepadaku.

Suasana kampung kembali seperti biasa. Petani pergike sawah dengan topi lebarnya. Pegawai sibuk di belakangmeja kerjanya. Anak sekolah yang pemalas asyik merokokdiam-diam di belakang sekolah, sedangkan pak guru asyiksendiri menyilang-nyilangkan kapur di depan kelas. Semua

Page 64: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Awan Merah Jambu | Dafriansyah Putra

54

tenang. Semua bahagia. Gempa tak jadi datang.

HARI ini seluruh masyarakat kampung kembalidikagetkan dengan munculnya penampakan awan yanganeh di langit senja. Namun, wujud yang tampak kali inilain dari sebelum-sebelumya. Bukan pula berupa mata yangmembuat masyarakat gemetar seperti beberapa saat lalu.

Sontak, pun aku terkejut akan hal ini. Entah mengapaaku teringat kepada Aji Sampono. Aku pun tertarik untukmenemuinya. Kutelusuri jalan menuju rumahnya yang selalusejuk sebab diteduhi mangga pelit berbuah satu-dua.

Di sepanjang jalan, setiap yang memiliki kepala pastimemandang cermat ke langit yang mulai kelam, bersebabmentari hendak berganti tugas dengan rembulan.

Namun, kali ini tak ada yang terlihat pucat ataupun cemaslantaran teringat dosa. Mereka malah cekikikan. Merekasibuk mengarahkan kamera handpone untuk mengambilgambar.

Sesampai di rumah Aji Sampono, kulihat muka Aji berseri-seri, seperti ada yang membebas dari dirinya.

“Aji, girang sekali nampaknya. Ada angin apakah?”“Kau lihat awan itu.” Telunjuknya menari-nari mengikuti

lekuk awan di langit itu—yang tentunya lain dari yangsebelum-sebelumnya. Aku hanya tersenyum kecil, ikutmembidik pandang ke awan itu, awan merah jambu itu. n

Page 65: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: OpenArt

55

Page 66: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Laksa | Nofriadi Putra

56

Nofriadi Putra

o

Laksa

Published © Haluan Kepri, Minggu 12 Agustus 2012

Nofriadi Putra, lahir di Belubus 1983. AlumniUniversitas Negeri Padang. Bergiat di

Komunitas Ruang Sempit. Sekarang bekerja diHaluan Kepri liputan Daik Lingga.

u

Page 67: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

57

Subuh itu cuaca menampakkan wajahnya. Cakrawalamenyembul bagai fajar. Di pantai timur, para nelayan

terlihat baru pulang menjaring ikan. Suara mesinpompongnya mendayu-dayu dari kejauhan.

Sementara, dari kubah mesjid ada suara azan yangbersipongang ke sekeliling pulau ini.

GELIAT pagi seiring bola matahari mulai merangkakdan kokok ayam yang baru saja tertelan desaunyaangin telah membangunkan warga yang ada di

sekitar gunung bercapang tiga itu dari mimpinya. Takterkeculi Nyak Sidek. Seorang laki-laki yang rumahnyaterletak di tepi hutan sagu. Entah kenapa, kali ini ia bangunlebih awal dari pagi-pagi biasanya.

Kelumun embun pagi membuat badannya terasamenggig il. Begegas ia mencuci muka ke sungai yangjaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Namun, di atas kasuryang beralaskan daun nipah, masih terlihat Sainahberbaring. Tak dihiraukannya istri kesayangannya itu.

Sekembali dari sungai mencuci muka, Sainah masihberbaring di kamar. Diatas tipis pelantar kamar yang terbuatdari papan. Lalu, dilihatnya periuk berembang itu masihkosong. Dengan buru-buru, ia bangunkan Sainah. Istri yangmelahirkan anak perempuan satu-satu baginya. Namun,setelah anaknya dilamar oleh anak kepala desa PulauSeberang, Nurmita dibawa tinggal menetap dirumahsuaminya. Sejak itu ia hidup berdua saja.

“Sainah! Bangun Sainah!” Seru Nyak Sidek sambilmempersiapkan beberapa peralatan tebang sagu di dapur.Sainah yang masih berbaring di atas kasur tidak terlalumenghiraukan suar parau suaminya. Rasa cepek sehabismenjalin daun nipah untuk dijadikan atap rumbia masihterasa dibandannya. “Sainah, bangun! Saya mau ke pare

Page 68: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Laksa | Nofriadi Putra

58

erek (rumah pengolahan sagu), lepas itu ke hutanmenebang batang sagu sama Awang!”

Dengan nada lemas, Sainah menjawab,” Hmm, ya hati-hati.”

Nyak Sidek yang dari awal buru-buru, langsung keluarrumah dengan menenteng peralatan. Parang dan gergajikecil yang telah dibelikan Awang pun tak ketinggalan. Iaakan menemui Awang di warung kawah Ncik Ndak terlebihdahulu. Sebelum itu, ia harus membeli mata parut sagu keWarung Aleng. Satu-satunya warung yang menjual alatperagat. Setelah itu baru jumpa Awang di warung buburlakse Nyak Ndak.

“AWANG, saya berpikir untuk tidak ke hutan lagi,” terbesitsuara Nyak Sidek ketika di hutan rawa setelah ia barumenabang dua batang pohon sagu.

“Eh ada apa dengan ikak, Nyak?” tanya Awang kaget.“Sudah lama saya pikirkan ini Wang.”Awang terdiam sejenak, kaget mendengar anak buahnya

itu yang telah lama membantunya mengolah sagu sejakputus sekolah SMP dulu.

“Maaf cakap Awang, Awang kan tahu, orang-orang tidaklagi mau beli sagu mentah kita.”

“Mau ikak kasih makan apa anak bini ikak, kalau ikak takke hutan lagi sama saya?”

“Saya sudah berencana mau kredit motor. Saya akanmengojek di Kampung Cina,” imbuhnya.

“Nyak Sidek, Nyak Sidek. Kalau kita tidak menebang sagulagi ke hutan, apa yang akan kita hasilkan? Apa kita sanggupbeli beras setiap hari. Ikak kan tahu di sini tidak ada sawahyang bisa untuk menghasilkan padi. Orang-orang kita disinihanya menghasilkan ikan dan sagu saja. Ikak pikir-pikir dululah apa yang ikak sebut itu,” kata Awang yang tidak tahu

Page 69: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

59

apa maksud Nyak Sidek sebenarnya.Percakapan itu tidak belangsung lama. Nyak Sidek

kembali melakukan kerjanya, begitu juga dengan NyakSidek. Kali ini, hampir 5 batang sagu yang mereka tebang.Berdua di dalam hutan bukan hal biasa. Sagu yang telahdipotong dan siap dibawa ke pare erek miliknya telah siapuntuk dirol.

Namun, Awang masih keheranan. Kenapa temansatusatunya yang dari kecil bahkan sampai usianya kini,malah tidak mau menabang sagu lagi. Pada hal usaha itubutuh bantuan orang lain. Apalagi dalam meneruskan usahasagu orang tuanya. Namun kali ini, entah apa yang adadalam pikiran temannya itu.

Tak ayal memang, apa yang dikatakan Nyak Sidek adabenarnya juga. Dalam bulan ini saja, sagu mentah yangtelah dihasilkannya masih menumpuk di pare erek miliknya.Bahkan, Aliong, salah seorang toke dari pulau seberang takkunjung datang untuk membeli sagunya. Biasanya,memasuki minggu pertama bulan baru, Aliong telah datanguntuk membali sagu mentah hasil olahannya.

Untuk membayar gaji penebangan minggu lalu saja,Awang belum membayarkan hasil keringat temannya itu.Namun, dengan keterbukaan, ia telah sampaikan pada NyakSidek bahwasanya toke sagu belum juga datang. Namundalam hatinya Awang, sebagaimana Emaknya duluberpesan, tetap melanjutkan usaha yang telah mendarahdaging dalam keluarganya.

Cerita punya cerita, Aliong memang toke besar di PulauSeberang. Selain toke sagu, ia juga mempunyai banyakkapal tangkap ikan. Namun, beberapa bulan yang lalu, adakabar kalau kapal tangkap ikan milik Aliong tertangkapmenurunkan jangkar di perairan milik warga Pulau Batu.Sampai-sampai kapalnya mau dibakar oleh warga. Apa boleh

Page 70: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Laksa | Nofriadi Putra

60

buat, akhirnya kapal Aliong diserahkan kepada pihak yangberwajib.

Sejak itu Aliong tidak pernah lagi datang ke pulau iniuntuk membeli sagu. Sampai sagu yang siap diolahnya punmasih numpuk berkarung-karung. Bukan hanya Awang saja.Pak Said, Atan dan Ngah Jalil yang punya pare erek di tepisungai desa juga mengalami hal yang sama. Sagu mentaholahan mereka menumpuk berkarung-karung.

Seminggu sudah Nyak Sidek tidak kerja lagi sama Awang.Ia cuma bantu istrinya merajut daun rumbia. Sejak itu Awangmulai gelisah. Apa yang musti ia lakukan. Untuk memenuhikebutuhan harian, istrinya rela mengeluarkan tabungan hasilkeringatnya, yang bekerja merajut daun sagu yang dijadikanatap rumah. Namun cukup membantu walau masih sajamenjalin satu demi satu daun yang sudah dikeringkan itu.

“Maimun, apa lagi yang hendak abang perbuat, Aliongtiada lagi membeli sagu kita. Sagu kita tak ada yang beli.Ditambah lagi sudah sebulan lebih Nyak Sidek tidak lagimau menebang ke hutan,” gumam Awang pada istrinyayang lagi menjalin daun rumbia diteras rumah yang terbuatdari kayu dan ditemani lampu cahaya seterongkeng.

“Sabarlah Bang. Rezki itu ada yang ngatur,” ujar Maimunpada suaminya.

“Apa perlu abang menutup usaha ini dan cari usah lain.Gaji Nyak Sidek pun belum lag i dibayar. Sedangkantabungan penjualan sagu sudah tidak ada lagi.”

“Bang, yakinlah bang. Bukankah Emak sebelummeninggal dulu sudah pesan ke Abang, Bahwa janganmenutup pare erek ini.”

“Tapi ini kenyataan Mun, kamu kan tahu sekarang toketak ada lagi yang mau beli sagu kita.”

Maimun berdiri dari tempat ia merajut daun sagu. Iaberusaha menyabarkan suaminya. Ditengah dingin sunyi

Page 71: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

61

dan suara kampung yang telah tertidur. Hanya seranggamalam yang nakal sekali-kali berbunyi di balik semak, dibalik rumput dan asamnya aroma sagu yang menyebar disekitar rumahnya dan di sekitar pare erek milik keluargaAwang yang sudah empat keturunan.

SIANG itu, cewang awan membiru di langit, sedikit awanmenyisih di puncak gunung yang bercabang tiga itu. Sesekaliair sungai merincik setelah sisa-sisa perahu yang lewat.Mungkin sebentar lagi pongang Azan Zuhur akanberkumandang. Namun, segerombolan elang bermain disiut angin, mengibaskan sayapnya. Sesekali ada yang sepertimenukik melepaskan beban badannya yang ringan kepermukaan air. Namun, sebelum sampai dipermukaan air,elang itu kembali ke cakrawala yang biru.

Entah angin apa, Awang yang lagi tidur-tidur di pareerek miliknya. Tiba-tiba saja didatangi Pak Pos dengansepeda motor warna orange. Pak Pos itu langsungmemberikan selembar amplop yang masih tersusun rapi.Tak lama bercakap-cakap seperti ada yang ditanda-tanganiAwang, Pak Pos itu berlalu menuju jalan raya.

Awang kaget, baru kali ini ia dikirimi surat. Biasanya,anaknya yang sekolah dengan beasiswa di kota kalau perluapa-apa cukup menghubungi ke Hand Phone kecil miliknya.Namun, surat ini pun beda. Ada cap besar dikiri atasamplopnya. Gambar cap itu seperti gambar bihun, kalaudikampung Awang, gambar seperti itu disebut laksa. Ia yangdari tadi memikirkan dan kaget masuk ke dalam rumahmemanggil istrinya.

“Maimun! Maimun! Maimun! Ada yang mengirim suratuntuk kita. Katanya surat dari kota Tapi entah dari siapasaya tidak tahu. Tidak mungkin anak kita mengirim suratseperti ini. Cuma disamping kiri ada cap gambar mirip laksa

Page 72: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Laksa | Nofriadi Putra

62

dan rumah.” Ujarnya.“Eh Abang, sabar Abang! Kenapa abang terburu-buru

seperti itu?”“Ini ada surat, coba kamu lihat gambarnya. Abang pun

tidak tahu siapa yang mengirim surat seperti ini,” getusAwang keheranan dengan penuh penasaran sambilmemberikan amplop itu pada istrinya.

“Coba kamu buka!”“Surat dari siapa ini Bang? Amplop Suratnya bagus seperti

ini, ada gambar pabrik laksanya.” Maimun pun penasaranseperti Awang. Malah balik bertanya dengan penuh tandatanya seperti suaminya. Tapi apa boleh buat, sambilmemandangi dan membuka isi surat amplopnya. Keduaorang itu sepertinya tidak percaya dengan apa yang adadihadapan mereka. n

Ruang Sempit, Lingga Juli 2012.

CATATAN:Periuk berembang: tempat masak nasi bagi masyarakat Daik Lingga.Ikak: Kamu dalam bahasa Melayu Daik Lingga.Pare erek: rumah tempat mengolah batang sagu jadi sagu mentahberbentuk tepung.

Page 73: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Edson Campos | OpenArt

63

Page 74: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Potongan Kaki

Perempuan

Potongan Kaki Perempuan | Suhariyadi

64

Suhariyadi

o

Published © Horison Online, Kamis 09 Agustus 2012

u

u

Page 75: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

65

BEBERAPA potong kaki tergeletak di sudut kota.Beberapa di super market. Beberapa di tong-tongsampah. Beberapa lagi di tempat-tempat hiburan.

Di jalan-jalan, beberapa potong tergeletak dipenuhi debudan dikerubungi lalat. Beberapa kendaraan melindasnya.Remuk….! Beberapa pelajar menggunakannya untuk senjataperkelaian sesama mereka. Beberapa mahasiswamenggunakannya untuk melempari istana negara saatunjuk rasa. Beberapa kenek menggunakannya untukmengganjal bus. Beberapa polisi menggunakannya untukmenghantam kepala pedagang kaki lima saat penggusuran.Beberapa anak menggunakannya untuk mobil-mobilan.

Tak ada yang merasa kehilangan potongan kaki itu. Or-ang-orang tak merasa ada kekurangan pada tubuh mereka.Bahkan setiap orang lewat tak tertarik untuk melirik. Bahkantak satu pun yang ingin bertanya tentang potongan kakiitu. Apalagi merasa kehilangan. Bukankah tubuh merekamasih lengkap? Sempurna seperti kelahirannya? Tapi satuhal yang semua orang bersepakat, potongan kaki itu pastimilik perempuan. Rata-rata potongan kaki itu mulus. Bersih.Tak ada bulu sehelai pun tumbuh di sana. Tak berotot sepertikaki lelaki. Tak berlekuk seperti kaki lelaki. Lurus. Herannya,tak ada satu pun perempuan yang merasa kehilangankakinya. Mereka tak merasa ada kekurangan dalam kakinya.Masih lengkap seperti sedia kala.

Jangan sebut kaki itu palsu. Semua asli. Masih ada darahmeleleh di sana. Darah beraroma amis, persis aroma darahmanusia. Lalat sangat tahu betapa barang yangdikerubunginya itu asli milik manusia. Tak sulit untukmembedakan yang asli dan palsu. Insting mereka sangatpeka untuk membedakan keduanya. Justru orang-orangkota tak merasakan aroma yang merebak ke udara.Memenuhi ruang kota, bercampur dengan kepulan asap

Page 76: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Potongan Kaki Perempuan | Suhariyadi

66

pabrik dan knalpot kendaraan. Mata mereka melihat, tapihidung mereka tak merasakan aroma itu. Apalagi instingnya,tak merasakan apa-apa. Tak ada yang istimewa dariperistiwa itu. Bahkan menjadi pemandangan yang biasa.Setidaknya, menjadi hiasan untuk mempercantik sudut-sudut kota. Sebuah sentuhan artistik arsitektur kota.Makanya, pasukan kuning membiarkan saja potongan kakiitu tergeletak di sana.

Jauh di pinggir kota, tak ada potongan kaki di sana.Pohon-pohon menghijau di kanan kiri jalan. Pohon-pohontua yang sengaja dibiarkan tumbuh. Entah sampai kapan.Entah sudah berapa ratus tahun. Melihat begitu besar pohondan kulitnya yang menghitam itu, ia pasti sudah ratusantahun. Pepohonan itu sudah tak tegak lagi. Bahkan bolehdibilang, tinggal menunggu waktu untuk roboh. Dahan danbatangnya menjulur ke bawah hingga orang bisa meraihnya.Tapi sayang jika mesti ditebang. Biarkan saja alam yangmenentukan, pikir yang berwenang. Alih-alih menciptakanartistik daerah pinggiran.

Di antara pepohonan itu, nampak sebuah rumah keciltepat di bawah pohon yang paling tua. Pemandangan yangharmonis antara rumah kecil sederhana itu dan pohon tuayang menghitam. Keduanya seolah saling menjadi saksisudah berapa lama umur keduanya. Di sanalah seoranganak bersama emaknya tinggal.

“Mak, di manakah surga itu berada?” Tanya seorang anakkepada emak di suatu hari. Sebuah buku tergeletak didepannya. Ada yang belum dimengerti kata-kata yangtertulis di dalamnya. Surga. Kata itu kerap kali dia baca.Tapi setiap kali pikirannya tak sampai ke pada maknanya.

“Di telapak kaki emak, Nak.” Jawab emak sambilmembersihkan kakinya dengan sabun. Wajahnya terguratsenyum penuh kebanggaan. Di telapak kakinya itu telah

Page 77: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

67

bersemayam surga untuk anak-anaknya.“Tapi bagaimana melihatnya, Mak. Telapak kaki emak

itu tak ada apa-apanya, selain debu yang emak bersihkansetiap hari.

“Ia tak bisa dilihat, Nak. Ia hanya dirasakan saat kaucium telapak kaki emak.”

“Ndak, Mak. Kaki Emak bau.” Jawab anak itu bersungut-sungut. Jijik. Dia tahu, kaki emaknya tak pernah memakaisandal setiap melewati jalan-jalan becek. Dan emaknyahanya membersihkan kaki itu dengan sabun murahan, pikiranak itu. Emak tersenyum melihat tingkah anaknya yangmasih lugu itu. Ia menyadari, suatu hari anaknya itu akanmengetahuinya. Kelak anaknya itu akan tahu arti pepatahitu.

SUATU siang anak-anak berebutan potongan kaki yangtergelatak di sudut-sudut kota. Mereka pada memegangsatu potong, lantas membersihkan dari debu yang melekatdi telapaknya. Mereka meraba-raba permukaannya dengantangannya yang mungil itu. Mereka sedang mencari-carisesuatu di sana. Beberapa saat mereka saling menatap.Jidatnya menggaris kerut sebelum waktunya berkerut. Matamereka menyiratkan sebuah pertanyaan tanpa jawaban.

“Mana yang disebut surga?” Tanya seorang anak padayang lainnya. Mereka hanya menggeleng. Mereka padamengangguk. Antara tidak tahu dan saling mengiyakan,berkecamuk di benak mereka. Mereka sama-sama tidaktahu jawaban atas pertanyaan itu. Dan mereka jugamengiyakan dalam satu hal, mereka tidak menemukan apayang dicari.

“Semua orang dewasa bohong!” Seru seorang anak.“Pak guru bohong!” seru yang lainnya.“Emakku juga bohong.” Kata seorang anak yang kemarin

Page 78: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Potongan Kaki Perempuan | Suhariyadi

68

mendapatkan cerita emaknya tentang surga.“Ibu juga bohong,” kata yang lainnya lagi.Dan mereka lantas melemparkan potongan-potongan

kaki itu ke tengah jalan. Kendaraan yang lewat melindasnya.Remuk. Sepotong kaki terlempar dan menghantampedagang bakso di pinggir jalan. Tapi pedagang itu takmarah. Ia ambil potongan kaki itu dan ia masukkan ketempat kuah baksonya yang sedang mendidih. Anak-anakitu pun tertawa menikmati keasyikan melempar potongankaki itu. Dan di setiap jalan yang dilaluinya, merekaberebutan mengambil potongan kaki dan melemparkanyabersama-sama ke tengah jalan. Mereka pun bertepuktangan saat suara gemeretak potongan kaki itu terlindaskendaraan. Orang-orang dewasa yang melihat ulah merekajuga ikut ter tawa. Perempuan-perempuan ikut jugabertepuk tangan bersama anak-anak itu. Dan kota semakinriuh seolah ada pawai melintas di jalan.

PULANG sekolah seorang anak menangis. Tak biasanyaanakku seperti itu, pikir ibunya saat melihat anaknya sedangmenangis. Dilihatnya pakaiannya kusut. Di sana-sini warnacoklat tanah mewarnai bajunya.

“Kau pasti habis bertengkar?” Tanya ibu, matanya melotothendak keluar. Tapi anak itu tak takut. Hatinya telah terbakarkemarahan luar biasa.

“Tidak!” Teriak anak itu seakan menantang ibunya.“Lantas, kenapa Kau menangis?”“Karena ibu tak punya surga lagi untukku!” Teriak anak

itu semakin menjadi-jadi. Ibunya heran mendengar tuduhananaknya seperti itu.

“Apa maksudmu?”“Kata pak guru, surga itu terletak di telapak kaki ibu. Tapi

ibu sudah tak punya kaki lagi. Kaki ibu sudah buntung. Tak

Page 79: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

69

ada lagi surga untuk aku.”Teringat di benak ibu sebuah peristiwa saat dia menjadi

kurban tabrak lari. Kedua kakinya remuk, harus diamputasi.Tapi jiwanya masih selamat untuk melanjutkan hidupbersama anak semata wayangnya. Dan kini anak sematawayangnya itu menuntut kakinya karena di telapak kaki ituterletak surga untuk dia. Dilihatnya anaknya masihmenangis. Wajahnya menggantung kesedihan luar biasa.Dan tangisnya berpijar kemarahan anak harimau yang lapar.

“Mendekatlah,” kata ibu dengan lembut. Dibisikkansesuatu di telinga anaknya itu.

“Benar, Ibu?” Tanya anak itu tak percaya.“Ibu tak pernah berbohong pada anaknya.”Anak itu mengangguk senang. Dia usap air matanya. Dia

usaikan kemarahan anak harimau laparnya. Dan berlarisambil tertawa bahagia. Ibunya tersenyum melihat betapaanaknya sangat menyayanginya. Betapa anak itu telah setiamenemaninya, seperti kursi roda yang selalu menjadisandaran tubuhnya setiap hari.

“SAYA heran, Emak, di kota banyak potongan kakiperempuan. Kasihan anaknya tak punya surga lagi.”

“Potongan kaki itu sudah bukan milik perempuan itulagi, Nak. Potongan kaki itu sudah milik kota untukmempercantik dirinya.”

“Seperti pohon-pohon itu, Emak?” Tanya anak itu, teringatcerita emaknya tentang betapa tak indahnya daerah ini,jika pohon-pohon itu sudah tak ada lagi.

“Seperti pohon-pohon itu. Tanpa pohon-pohon itu,daerah ini nampak kering. Begitu juga kota itu, tampak takindah tanpa potongan-potongan kaki.”

“Terus di mana letak surganya, Emak?”“Kota itulah yang menjadi surga, Anakku.”

Page 80: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Potongan Kaki Perempuan | Suhariyadi

70

“Tapi aku benci kota. Banyak orang jahat seringmengejarku minta uang. Kendaraan di sana juga terasaberisik. Bahkan aku hampir tertabrak mobil. Ibunya Ragiljuga tertabrak mobil hingga kakinya buntung. Kasihan diasudah tak punya surga lagi.”

“Tapi di kota banyak mainannya, kan?” Gurau emakmelihat wajah anaknya membersit kesedihan.

“Ya, Emak. Aku suka mainan.”“Kota itu surga mainan, Anakku.”“Surga mainan, Emak? Maksudnya, Emak?” Berondong

anak itu sambil memelototkan bola matanya.“Besuk kalau sudah besar kau akan mengerti.”“Apa di kota orang-orang yang sudah besar juga suka

mainan, Emak?”“Ya, tapi berbeda mainannya. Sudahlah tak usah kau

teruskan pertanyaanmu itu, nanti emak tak bisa menjawablagi.” Jawab emak sambil tersenyum saat dilihat anaknyatampak memendam seribu tanya tentang kota.

Anak itu diam, menelan pertanyaan yang sebenarnyaingin disampaikan kepada emaknya. Sementara emakmelanjutkan pekerjaannya yang tadi terhenti olehberondongan pertanyaan anaknya itu. Malam menjadihening. Suara dedaunan tertiup angin sesekali terdengar,betapapun lembut suara itu. Keheningan semacam itumampu menangkap suara betapa lemahnya suara itu.Bahkan, andaikan sebutir kerikil yang jatuh ke dalamgenangan air pun akan terdengar. Suasana itulah yangmerasuk setiap malam di hati emak dan anaknya itu.Suasana yang terasa damai dan menyejukkan setiap or-ang. Kalau anak itu membenci kota lantaran berisik,kedamaian dalam keheningan itulah yang sudah merasukihatinya.

Tak terasa anak itu telah tertidur di bangku panjang

Page 81: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

71

berbantalkan buku. Sedang emaknya membiarkannyaseperti itu. Kasihan jika dibangunkan. Biarlah malam inianaknya tidur di bangku itu, pikirnya. Dia sendirimembenamkan tubuhnya di dipan tua dekat tempatanaknya tertidur. Malam pun semakin hening. Semakinberanjak tinggi, malam semakin membisu. Keheningan ituakan sirna saat fajar tiba. Suara ayam berkokok menjadijarum waktu bagi keduanya untuk terjaga dari mimpinya.Begitulah arus waktu terus berlangsung mengikuti jalannya.Dan keduanya terbawa dalam arus waktu yang terasa penuhkenikmatan.

“IBUKU benar. Dia tak berbohong kalau surga itu beradadi telapak kaki ibu. Tapi sekarang sedang dititipkan padaPak Presiden. Pak Presiden sudah berjanji, besuk surga ituakan dikembalikan lagi.” Kata seorang anak saat istirahatsekolah.

“Kata emak, surga itu sudah dimiliki kota untukmenjadikan dirinya surga mainan.” Ujar anak yang lainsetelah semalam diberitahu emaknya.

Teman-temannya yang lain sontak ter tawa saatmendengar keduanya membicarakan tentang surga. Merekamerasakan ada yang lucu dari yang didengarnya itu. Merekapun telah mendapatkan cerita yang lain dari ibu-ibunya.

“Kau tak percaya?” Bentak anak yang bercerita tentangkebenaran ucapan ibunya tadi.

“Yang benar itu kata mamaku. Katanya, surga ibu-ibudisumbangkan untuk keindahan kota.” Jawab seorang anak.

“Tidak. Kata mamaku yang benar. Surga itu telah dijualagar jadi kaya. Buktinya orang tuaku kaya.” Bantah yanglain.

“Ibumu bohong semua! Ibuku memberitahuku semalam,kalau surga itu sudah diambil kembali oleh Tuhan.” Bantah

Page 82: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Potongan Kaki Perempuan | Suhariyadi

72

yang lain lagi.“Kenapa diambil kembali Tuhan?”“Surga kan milik Tuhan!?”“Tapi kenapa diambil lagi?”“Karena kaki-kaki ibu kita sudah menjadi mainan kota.

Tahu tidak!?”Mereka pun serempak diam atas jawaban itu. Mereka

tak berani lagi membantah lantaran mendengar kata‘Tuhan’. Mereka takut Tuhan marah. Mereka takut dosa. Danmereka takut masuk neraka. Apalagi katanya, surga sudahdiambil kembali oleh Tuhan. Mereka merasa tak punya lagisurga. Sedang mereka tak mau masuk neraka, karenagurunya pernah bercerita, kalau neraka itu seperti komporraksasa. Dalam diam mereka merasakan kesedihan. Bahkansaat gurunya mengajar pun terasa seperti diam.

Saat pulang sekolah, diam itu masih tersisa. Mereka diamsaat melewati potongan-potongan kaki yang berceceran dijalan-jalan. Tak seperti hari-hari sebelumnya yang selaluriuh. Pawai melempar potongan kaki seperti kemarin takada lagi. Tak ada lagi pula sorak-sorai menyambut bunyigemeretak saat potongan kaki itu terlindas mobil. Satu halyang mereka sama-sama merasakan, bahwa betapa kelamhidupnya kelak. Entah dalam bahasa yang bagaimanamereka menerjemahkan itu. Dalam hati mereka ada satuhal yang dirasakan semakin memuncak; kesedihan. Alampun diam seolah membiarkan anak-anak itu menikmatikesedihan itu, karena mengerti apa yang bakal terjadi padamereka. Esok, anak-anak itu akan melupakannya danmengulangi apa yang pernah mereka lakukan sebelumnya.Ah! n

Page 83: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Dascha Friedlova | OpenArt

73

Page 84: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Sebongkah Kertas dan

Wajah Emak

Sebongkah Kertas dan Wajah Emak | Muhdoer Al-Farizi

74

Muhdoer Al-Farizi

o

Published © Horison Online, Jumat 10 Agustus 2012

u

u

Page 85: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

75

TENTANG hidup yang selalu mengingatkan sesuatuyang bahagia dan menderita. Di sinilah akarnya.Bahwa hidup itu tumbuh dalam kata-kata hingga

tangis dan senyum dan tak ada lagi yang bisa disyairkan.Meskipun sempat untuk dibelai agar tumbuh dan bangkit.Semangat. Mungkin tak semua bahagia. Karena senyumtelah terapung kebutuhan dan hutang. Dan semua itu bisasaja sembuh. Termasuk yang ini, Mak.

Pada masanya kita akan kehilangan syair hidup. Mungkin,inilah sekarang yang menimpa aku, engkau, dan Mak.Kebutuhan angkuh dalam kondisi yang rapuh. Aku merasamalaikat yang di utusNya dari surga sudah menghilang.Dan aku hanya menangkap badai kata-katamu yangmenenggelamkan semangatku untuk terus berkarya danberkarya dalam kata.

“Sudahlah, Nak. Tinggalkan aktifitasmu itu.” Sambilterbatuk-batuk wajahmu meredup, imajinasi dansemangatku petang dalam pekarangan karya yang aku tulis.Memang, Mak, untuk menuju puncak Himalaya itu perlubekal yang banyak dan harus sabar untuk mendakinya. Kakikita terlalu balita. Tak cukup dengan angan dan ambisi kitalangsung bisa hinggap di puncak. Kita harus sabar, Mak.

“Dulu engkau pernah berkata; “Jika karya saya ini dudukdi beranda Koran, kita bisa beli beras dan obat untuk sakitEmak,” tapi mana, Nak? Sampai saat ini tak sehelai tukangPOS pun yang mampir ke gubuk kita, untuk mengantarkansemua itu.”

Aku hanya menangkap kata-katamu yang menumpukdi tenggorokanmu. Hanya keluhan itu yang perlahan mekardan masih sehat mengalun, nyisir daun telinga keluar kepekarangan menyentuh pena hingga merontokkan kata-kata yang sayup memenuhi tanah imajinasi terinjak kakipejalan yang lewat hingga terasa lembutnya orang-orang

Page 86: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Sebongkah Kertas dan Wajah Emak | Muhdoer Al-Farizi

76

itu yang selalu menyangka alangkah lembek kehidupan kita,alangkah ciut semangat kita. Mereka mengetahui senja yangkhusuk sujud di wajahmu, Mak. Kadang aku jugamenjumpainya.

“Apakah waktumu akan kau habiskan untuk selembarkertas yang penuh coretan tak jelas? Tak membawa hasillagi.”

Aku tidak tahu memulai dari mana untuk menyiramikata-kata yang kering di bibirmu. Hujan tidak lekas turun.Menyiram dan memenuhi kebutuhan kita hingga Emak takperlu susah-susah bersabda demikian lagi. Karena resahmumembuncahkan segenap perasaan. Karena aku berusahamengantarmu ke puncak ternyata kau tak mengerti jugamaka, maafkan aku jika bibir ini bersyair yang mungkinmembuat Emak bingung.

“Malam, pagi, siang, sore, itu silih berganti, Mak. Satu-satu. Dan harus sabar dalam mengarunginya. Kita tidakbisa langsung memiliki kesemuanya dalam waktu yangsama. Pelan-pelan dan sabar, Mak.”

“Aku tidak pernah merasakan adanya pagi, siang, ataupun sore dalam hidup kita. Aku merasa hidup kita selaluberada dalam malam. Emak lelah menantinya, Nak. Apakahtulisanmu itu mampu mengundang pagi, siang, dan atausore?” sambil membungkuk dengan batuk yang tertampungmenyesaki dada, suaranya muntah.

“Apakah, Emak, sudah mengetahui kenapa kita merasakalau hidup kita ini selalu berada di malam?”

“Apakah engkau juga menyadari mengapa engkaubertanya demikian?”

“Sepenuhnya aku sadar, Mak.”“Kalau begitu tinggalkan kertasmu, pergilah ke seberang.

Carilah pagi, siang, dan sore itu. Engkau tidak bisamenemukanya dalam kata-katamu yang tak jelas itu, Nak.”

Page 87: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

77

Batuknya semakin mengamuk, nafasnya terasa berat sepertiorang tua renta yang memaksakan diri untuk berlari. Dadakupun ikut terasa sesak melihatnya.

“Apakah keseberang tidak membutuhkan waktu, Mak?”“Apakah engkau bisa langsung ke sana tanpa mengarungi

waktu?”“Lantas mengapa, Emak, memaksaku agar meninggalkan

kertas dan kata-kata yang dianggap tak jelas? Bukankahkita harus sabar dalam mengarungi waktu?”

“Karena kertasmu tak jelas arahnya.”“Apakah ke seberang juga jelas arahnya?”“Di sana engkau bisa mendapatkan uang.”“Apakah Emak tidak melihat bayangan uang yang

berserakan di atas kertasku ini?“Hanya malam, malam, dan malam yang aku ketahui.

Tak sedikit pun aku menemukan cahaya di atas kertasmu,apalagi uang yang berserakan.”

“Kalau begitu sama, Mak. Aku juga tidak menjumpaibayangan bahwa aku akan mendapatkan uang di seberang.”

“Karena engkau tak mau berusaha untukmengetahuinya.”

“Karena Emak juga tak mau berusaha untukmengetahuinya.”

“Sesungguhnya akan berubah nasib kita jika engkaumenuruti perkataan Emak.”

“Sesungguhnya nasib kita juga akan berubah jika Emakmerestui tulisanku.”

“Sudahlah, engkau selalu senang memutar lidahku.”Sambil membungkuk ia berlalu meninggalkanku, sedangbatuknya terus mendesing di telinga, meninggalkan bekasyang memelas.

Ah, percuma saja. Ladangmu sudah terlalu kering.Disirami dengan syair pun tak akan subur. Cukup itu dulu.

Page 88: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Sebongkah Kertas dan Wajah Emak | Muhdoer Al-Farizi

78

Setidaknya aku menginginkan sidang seperti ini lagi. Denganwajah terang dan banyak harapan. Sebab keinginanmujustru memperpanjang malam. Tipisnya lidah yang Emakputar akan membawa pedih memalung lebih panjang.Bisakah kau bersikap wajar dan bersama-sama mencarikata yang nyaris kita tenggelamkan, perlahan-lahan, tanpasadar hingga sebenarnya diri kitalah yang terbenam.Alangkah nyamanya kau dan aku bisa berkata-kata lagi,mengurai kesesatan pikir dan ucap yang nyaris mematahkansemangatku untuk terus berkata-kata di atas kertas. Akuharus lebih berhati-hati untuk bersidang denganmu lagi.

MALAM ini, setelah sekian tahun malam yang padam.Kembali aku merenung di atas kertas putih yang belumtersentuh ujung tombak pena. Sebongkah kertas dan wajahEmak tergeletak di atas meja. Kertas yang penuh tanamankata-kata, tumbuh dan berbunga. Kadang aku jugamenyebutnya taman kata-kata yang penuh wewangian,indah, dan mengharukan. Sebongkah kertas yang tak pernahgelap ketika malam, tak pernah dingin ketika badaimemuntah dari bibir Emak, dan sebongkah kertas yangselalu bersinar walau hidup kami tak pernah menciptakansinar di hari-hari yang malam. Walau berkali-kali akumengirimkan kertas-kertas ini ke meja redaksi media cetakdan berkali-kali pula menjamur menunggu kabar bahwatulisanku dimuat, aku tidak akan menyerah sampai di sini.Tak ada jalan lain kecuali sabar dalam menunggu kabar.Suatu saat jamur itu akan kering dengan dimuatnyatulisanku.

Wajah Emak. Aku menarik nafas dalam-dalam, lalumenghembuskanya dengan berat. Angin malam mendingindi paru-paru. Seperti deru ombak laut Sarang yangmenghantami bibir-bibir perahu nelayan, nafasku

Page 89: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

79

terhempas, berserakan. Wajahnya yang keriput, senyumberat tak terawat, melukis kejenuhanya yang hidup melarat.Tak ada setitik cahaya di wajahnya, hitam yang tak jelaskapan pudarnya.

Aku rebah di dada kursi, jalan-jalan dalam gemetar anganyang gamang. Kebutuhan hidup yang menumpuk, tumbuhdan berakar dalam usia yang memanjang. Seperti benihtanaman yang di taruh di tanah yang subur, hidup, tumbuh,dan berakar. Merambati pori-pori lembab yang meremangdi sekujur badan. Entah yang keberapa aku menarik nafasdalam-dalam, lalu membiarkanya tercacar. “Sudahlah, Nak,tinggalkan aktifitasmu itu.” Saran yang membuatku sesakuntuk bernafas. Menulis sudah menjadi bagian dari hidup.Aku tidak bisa meninggalkanya. Aku sudah terlanjurmenjadikanya nyawa. Maka berhati-hatilah dalam bersaran,Mak.

“Menulis lagi ya, Nak?” Bersama gelapnya malam, wajahEmak yang petang merayapi kesendirianku—berimajinasidan berusaha menyususn kata-kata dalam karya. Jika sudahterjadi demikian maka, sesegera mungkin aku harusmenyiapkan diri dan bersyair seindah firman Ilahi.

“Sampai kapan kau akan seperti ini, Nak? Sampai akutak ada?”

“Apa yang Emak katakan? Tidak adakah kata lain selainkata itu?”

“Emak sudah berusaha menyusunya, tapi kau tak pernahmengindahkan.”

“Karena Emak terlalu ambisi. Hidup ini seperti nasi, Mak.Butuh proses panjang untuk memakannya.”

“Aku tak tahu bagaimana lagi untuk mengentasmu darilautan imajinasimu.”

“Tidak akan bisa. Imajinasi sudah menjadi darah dalamhidupku. Mengalir memompa jantung dan hati. Aku tidak

Page 90: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Sebongkah Kertas dan Wajah Emak | Muhdoer Al-Farizi

80

bisa meninggalkanya…”“Mungkin jika bapakmu masih hidup, aku tidak akan

susah-susah untuk mengentasmu dari lautan imajinasimu.Akan aku biarkan engkau mengarunginya. Sepuasmu.Hingga engkau benar-benar memperoleh mutiara darilautanmu itu. Tapi, itu hanya khayalan di malam yang gelap.”

“Mak, jangan kau sebut-sebut nama Bapak lagi. Ini urusankita berdua. Biarlah Bapak tenang di sana. Aku tidak inginmendengar kabar Bapak menangis karena kita di sini selalumenangis. Jangan kait-kaitkan masalah kita dengan bapak.”

“Emak tak tahu lagi apa yang harus kita lakukan.”“Hidup ini seperti roda, berputar. Kadang di atas, kadang

di bawah. Mungkin saat ini kita berada di bawah, Mak. Suatusaat roda kita akan berputar.”

“Hah, kau terlalu dini membicarakan hidup. Roda ituakan berputar jika ada yang mengayuh pedalnya. Sedangkanselama ini kau tak pernah mengkayuh pedalnya. Seikat kayutak cukup untuk mendorong roda, Nak. Beban kita terlaluberat. Jika kau benar-benar ingin memutarnya, maka lekastinggalkan kertasmu itu.”

“Sungguh, suatu saat Emak akan melihat betapasuburnya taman yang aku tulis.”

“Sampai kapan?”“Sampai Emak meridhoinya.”Terdiam. Wajahnya semakin gelap dalam keremangan

malam. Kepalaku berdenyut-denyut. Tak sabar ingin segeramemuntahkan kata-kata. Tapi aku tak pernah menemukankejernihan danau di mata Emak. Aku kehilangan kejernihansemangat yang melompat-lompat diantara percikan embunyang terjamah ujung pena. Keinginanku tersesat diantarakata-kata Emak. Menunggu kata ridho serasa menungguhujan emas. Sedang langit tak pernah berawan emas.

“Aku berharap semoga besok kau berubah fikiran.” Sambil

Page 91: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

81

berlalu Emak tamparkan petir ke hatiku.Dan semoga besok Emak meridhoiku. Suaraku

menggarang di tengah malam yang tak kunjung padam.Lalu, di balik kelebat petir aku melihat bayanganmu luntur.Sadarlah. Sebenarnya harapmu membuatku cemas, resah,dan takut. Berharap memenuhi permintaanmu di bawahmerdeka dan membawamu ke istana yang kita damba,tentunya itu adalah bunuh diri bagiku, Mak. Menulis sudahmenjadi darah dalam hidup.

Angin malam semakin gigil. Aku tak ingin menyimakbayangan petirmu. Daun-daun di pekarangan berdesir-desirmembicarakan imajinasi. Mungkin nanti atau mungkinsebentar lagi akan pagi. Mentari dhuha yang kita nanti-nanti akan menjadi sungguhan. Tunggulah, Mak. Semua itupasti, asal kau meridhoi.

PAGI menyisir, malam yang penuh keluhan terurai. Ditengah-tengah bibir pintu mataku merekam dan menuliskantubuh Emak yang mulai renta, koyak oleh kayu-kayusetengah kering yang di sandarkan di dinding bambu, dibelakang rumah. Memang orang-orang menyebutnya pagi.Waktu untuk bekerja bagi pekerja, waktu untuk berkantorbagi pekantor, dan atau waktu berdagang bagi pedagang.Tapi, pagi adalah malam bagi kami yang tertelan kebutuhan.

Mengherankan memang, jika membicarakan kehidupankami yang selama enam tahun ini, hidup berdua yang penuhderita yang melelehkan sel-sel darah, saling hantam-menghantam tentang keinginan, mimpi menjadi seorangpenulis sukses dan terkenal dan keinginan untuk berkelanake seberang memunguti rizki yang mungkin tersisa untukkami. Tiba-tiba kami seperti tersekat awan hitam, salinggelap pandang, tanpa sadar kami telah terperosok kelembah yang tak menjernihkan bola mata. Kadang aku

Page 92: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Sebongkah Kertas dan Wajah Emak | Muhdoer Al-Farizi

82

merayap mengingat wajah bapak yang terapung di malam-malam yang sepi. “Hidup ini perjuangan, Nak. Tak ada yanggratis dan kebetulan. Semua butuh perjuangan. Butuhproses. Berjuanglah. Raihlah keinginamu. Bermimpilah danraihlah.” Sepertinya Emak tak pernah memahami syair bapakitu. Selama ini aku sudah berusaha untuk bermimpi danmeraihnya, tapi mengapa Emak tak pernah membuka tiraiyang memisahkan mimpiku dengan keinginanya. Akumerasa hidupku tersekat dengan ambisi Emak.

Mengherankan, bagaimana kami bisa membangun pagijika tak pernah menyatuhkan jiwa dan motifasi. Kata-kataEmak tersangkut di bukit-bukit, gugur, dan ditebarkan angin.Mungkin demikian pula kata-kataku di surau hatinya.Meluruh bersama daun-daun yang coklat tipis memanjang,memudar dan tak bisa bersemi lagi.

Apa benar rasa ini pudar saat pengertian juga mulai surut.Tidak bisakah ditemukan lagi dari reruntuhan hatinya. Tidakbisakah ditemukan lagi dari koyak-koyak wajah dan jiwanyasebagai seorang Emak yang sepatutnya membelai mimpisang anak, mencium dan memeluk agar tetap semangatuntuk meraihnya. Kupikir, ini memang kesesatan pikir saja.Saya yakin, masih ada rasa kasih sayang sebagai seorangEmak, walau hanya setitik embun di padang pasir.

Dan ini memang harus segera diuraikan dan ditemukandimana titik embun itu terjatuh.

Terdengar deru motor yang perlahan merayap mendekatitelinga kami. Siapa gerangan yang tersesat menuju gubuktua ini. Dengan jaket kulit berwarna hitam, tampak seoranglelaki mengendarai sepeda motor berwarna orange, taskeranjang dikalungkan di jok bagian belakang, melajukearah kami.

“Permisi, apa benar ini rumah Mas Faris?” Tanya lelakiitu setelah mematikan mesin motornya.

Page 93: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

83

“Iya benar,” jawabku dengan penuh tanda Tanya. “Adaperlu apa ya, Pak?”

“Ada bingkisan dari redaksi Jawa Pos, untuk Mas Faris.”Kata lelaki itu sambil menyodorkan amplop berwarnacokelat dan beberapa helai Koran.

Tiba-tiba mulutku terkunci, seperti ada lem yang melekatdi antara kedua bibir. Tanganku gemetar menerima amplopdan beberapa Koran yang disodorkanya.

“Selamat ya, Mas. Hebat. Cerpen, Mas, membuat gegerdi kantor POS. Kami suka dengan cara penceritaanya, asyik.Temanya pun menarik. Penggambaran-penggambarantokoh dan peristiwanya sangat mengena sekali.” Cerita lelakiitu sambil membuka tas keranjangnya.

“Oh ya? Benarkah itu, Pak?” Mataku berbinar-binar.Pelangi menari-nari di kelopak mata. Semua yang akupandang tampak indah.

“Untuk apa sih, Mas, saya berbohong?,” mengernyintkandahi, “Tolong tanda tangan di sini dulu, Mas.” Sebuah bukubertuliskan Bukti Tanda Terima.

“Terimakasih ya, Pak.” Kataku setelah bertanda tangan.“Iya, sama-sama, Mas.” Ia masukkan kembali buku itu ke

dalam tas keranjang. Mesin motor dihidupkanya lagi,“Selamat ya, Mas. Mari…” Salamnya sambil merundukkankepala dan merayaplah motornya menjauhi kami.

Satu hal yang terbaik bagiku kini adalah diam dan segeramembuka amplop ini. Biar Emak tahu sendiri bahwa apayang dulu pernah aku katatan kini benar-benar jadikenyataan. Sabda-sabdanya yang mengotori kertaskubiarlah ia bersihkan sendiri. Itu saja. Aku hanya berharapsetelah ini ia meracik melati untukku, meridhoi keinginankuyang selama ini tertutupi oleh kemenyan ambisinya. Itusaja.

“Tidak menulis lagi, Nak?” Tiba-tiba suaranya berdesir

Page 94: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Sebongkah Kertas dan Wajah Emak | Muhdoer Al-Farizi

84

bersama angin kecil, menyapu dan mengerdipkanpendengaranku. Dan batuknya memuntah.

Aku tak mimilih untuk berkata. Ingin memastikan bahwaembun mulai menetes di padang pasirnya.

“Memang benar apa yang kamu katakan, Nak. Hidup iniseperti roda. Kadang di atas, kadang di bawah.” Katanyalagi sambil memilah kayu-kayu yang sudah kering.

“Selama ini aku telah berbuat salah padamu. Emak takpernah sadar diri bahwa sebenarnya Emaklah yang tersesat.Tebalnya kebutuhan telah menggelapkan hati Emak. Jadi,maafkan Emak jika selama ini tak pernah mengerti mimpi-mimpimu, Nak.”

“Mimpi apa aku semalam?” Terpaksa kataku menolongbibir Emak yang terpleset tanpa sebab.

“Tidak, Nak. Ini bukan mimpi.” Wajah yang keriput danbatuk yang memelas menatapku.

“Aku tak tahu harus bagaimana untuk membuktikankalau ini bukan mimpi.”

“Dengan airmata Emak?”“Cukupkah dengan airmata? Sedang semua yang aku

lakukan lebih dari airmata.”“Dengan sujudku di depanmu, Nak!”Seperti keruntuhan gunung Himalaya, mata membelalak

melihat Emak yang merangkak dan tiba-tiba sujud didepanku. Siapa orangnya yang tega melihat wajah orangtua wanita berwajah koyak sujud dalam tangis di depansang anak. Aku merasa langit benar-benar runtuh. Bumiyang kupijaki lembek dan gugur.

“Tak sepantasnya engkau sujud di depanku, Mak. Taksepantasnya air matamu jatuh di ujung kakiku. Taksepantasnya engkau melakukan ini padaku. Bangunlah,Mak…” Jiwaku lumpuh, terserok memeluk batang tubuhemak yang tenggelam dalam tangis.

Page 95: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

85

“Maafkan aku, Nak. Selama ini Emak terlalu ambisi.Izinkanlah di akhir sisa usia ini Emak meridhoi mimpimu.Bangunlah. Raihlah mimpimu. Jangan rela hidupmu melaratseperti kehidupan kita selama ini.”

“Apakah Emak tega meninggalkan aku sebelummengetahui sebongkah kertasku benar-benar menjadiberlian dan mutiara?”

“Aku akan tersenyum, Nak.”Aku menemukan kembali embun di wajahnya.

Menangkap senyumnya yang bergelimangan. Menjemputpagi di cekung matanya. Bayangan pada masa-masa yangakan datang benar-benar terekam. Aku merasa pagi ituada sekarang, menatapku dengan mentari, di ladang wajahEmak. Cerah. Kedipan-kedipan ridho menekukkan lututku.Juga bibir yang pernah aku kunyah untuk bersyair mengemisharapan.

“Emak?” kataku lirih. Tiba-tiba ia rebah di pundakku. Takterdengar suara batuknya.

“Mak?” seperti pohon yang tumbang, rebah tak berdaya.Aku tak menemukan detak jantungnya. Nafasnya takmenyapu pagi yang baru aku temukan dari wajahnya.

“Emmaaak…?” n

Page 96: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Andrius Kovellinas | OpenArt

86

Page 97: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

87

Bamby Cahyadi

o

Malaikat Mungil dan

Perempuan Lolipop

Published © Jawa Pos, Minggu 12 Agustus 2012

Bamby Cahyadi, lahir di Manado, 5 Maret 1970.Bergiat di Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata).

u

Page 98: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Malaikat Mungil dan Perempuan Lolipop | Bamby Cahyadi

88

TAK ada cara terbaik menikmati perjalanan selainmembiarkan dirimu tersesat. Ketika berhadapandengan jalan yang tampak tak berujung dan jembatan

serupa yang membingungkan. Terus saja berjalan. Setiapbelokan setiap sudut, menghadirkan misteri tersendiri.Tersesat adalah anugerah, karena dirimu tak tahu apa yangmenanti di balik tiap kelokan. Bukankah begitu dengankehidupan, bahkan kematian sekalipun?

Menjelang KematianPEREMPUAN bertubuh mungil ini mungkin salah satu

malaikat pencabut nyawa yang modis, keren dan jauh darikesan seram yang dikirim Tuhan. Ia kini duduk di sofa depantelevisi di apartemenku dengan rambut pixie cut yang ikonik,ia telah mencuri perhatianku.

Aku masih tak percaya. Ia datang dengan rambut pendeknyaris cepak, lengan bertato, kaus tak berkerah denganbentuk yang unik, persis permen. Mulutnya kini penuhmengunyah croissant yang belum sempat kusantap.

Ia mempresentasikan dirinya sebagai gula-gula, makatak cukup mengejutkan ia memakai kaus yang menyerupaipermen. “Semua orang menyukai permen!” teriaknyalantang, ketika aku mengomentari soal busananya. Akuterkaget-kaget mendengar suaranya yang nyaring, tak sesuaidengan bentuk tubuhnya yang mungil.

Ia menatapku lekat.“Apakah kamu tahu, kalau daddy longlegs adalah laba-

laba paling beracun di dunia?” tanyanya sambil melebarkanmatanya yang bulat. Ia berkata sambil meneguk kopi daricangkirku yang belum kusentuh. Meskipun ia mengakupunya ketakutan tersendiri terhadap spesies berkaki delapanitu. Tapi ia menikmati pembicaraan tentang itu. Kami sudahmengobrol soal arachnids. Selanjutnya sedikit soal sastra

Page 99: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

89

dan parfum.Aku hanya terpana. Mengapa ia bicara tentang laba-laba?

Kenapa pula malaikat ini takut pada laba-laba? Aneh.“Giginya terlalu kecil untuk menembus kulitmu, artinya

ia tidak bisa menyebarkan virus ke dalam tubuhmu. Tetapikalau ia menggigit tubuhmu di luka terbuka, kamu bisameninggal seketika,” dia tertawa terbahak-bahak. Lucu danmenggemaskan cara dia tertawa.

Aku kini terpesona. Malaikat macam apa si Cepak ini?“Aku tidak tahu secepat apa kamu mati. Aku mungkin

berbohong soal itu,” ia kembali terkekeh melanjutkan kata-kata.

Aku tersenyum-senyum sendiri. Faktanya, ia memangsedang mengarang sebuah cerita. Semua itu, atau palingtidak hal itu benar bagi seseorang yang berhasil dikelabuinya.Tidak bagiku.

Aku masih tersenyum-senyum melihat malaikat anehini berbicara.

“Sudahlah, kita akan pergi ke lapangan berlumpur,minum bir sambil tertawa kencang, bermain bola lalupulang ke apartemenmu dalam keadaan jorok denganpakaian penuh noda lumpur,” celotehnya, membuyarkangerombolan balon-balonan sabun di atas kepalaku.

Aku tergeragap dibuatnya.“Apartemenmu sedikit berantakan, tidak seperti dalam

gambar yang pernah kau kirimkan padaku,” ujarnya. Bicaraapa lagi ia?

“Kamu suka membaca?”Aku mengangguk. “Buku-buku sastra klasik, macam Leo

Tolstoy, Jorge Luis Borges dan Gabriel Garcia Marques, “jawabku kalem menyebut sejumlah nama.

“Menarik!” Ia berdecak. Lalu ia melanjutkan, “Kamu pastitahu, bahwa cerpen Gabriel Garcia Marquez, atau yang lebih

Page 100: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Malaikat Mungil dan Perempuan Lolipop | Bamby Cahyadi

90

baru Roberto Bolano, itu sudah terbit dalam bentuk buku,saking menariknya, diterbitkan lagi di majalah New Yorker.”

“Oh ya?”“Tak usah jauh-jauhlah, cerita AS Laksana yang dimuat

bersambung di koran, lalu dimuat lagi sebagai cerpen diKoran Tempo. Artinya, karena cerita itu menarik untukdibaca!”

Aku mengangguk-angguk. Ia pasti banyak membaca,pikirku praktis saja.

Ia tiba-tiba mengendus-endus, cuping hidungnyamerekah.

“Hei, kamu memakai Hugo!”“Dari mana kamu tahu?”“Ya, ampun…. Kamu memakai parfum bermerek Hugo,

parfum itu merupakan percampuran sentuhan modern danklasik, meyegarkan sekaligus maskulin, hmmm…,” iamengendus lebih dekat dan dalam di bawah ketiakku.Membuatku kikuk. Meski ia benar-benar malaikat, ia kanperempuan.

“Aromanya diawali dengan harum ice cold mint kemudianbersambung ke freesia dan basil. Dan diakhiri denganmolekul musk cashmeran, woody dan wangi rempah-rempah. Sempurna. Aku suka lelaki berparfum, wangi!”pungkasnya. Ia menyentuh ujung hidungku dengantelunjuknya yang lentik.

“Jadi kamu benar-benar malaikat, ya?”“Ya, ampun…. Kamu belum percaya?” Matanya melotot

menatapku.“Aku heran saja,” ucapku pelan.“Aku ke sini untuk mengambil nyawamu, tapi kamu tak

akan mati digigit laba-laba yang kuceritakan tadi,” ujarnyatersenyum misterius.

Saat ini, aku besama perempuan bertubuh mungil

Page 101: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

91

dengan kaus serupa permen. Ia mengajakku bermain boladi lapangan berlumpur dan minum bir. Aktivitas menjelangajal yang benar-benar aneh.

Lamat-lamat kulihat dari lengannya yang bertato,terbentuk serumpun bulu-bulu unggas yang terusmengembang menjadi sepasang sayap yang kokoh. Sayapitu lantas mengepak-ngepak membawaku entah kemana….

Sebentar! Ia membawaku ke sebuah kafe.

Setelah KematianPERNAHKAH kamu melihat seorang perempuan muda

yang tampak begitu rapuh? Pernahkah kamu melihatseorang perempuan yang tampak begitu kesepian?Perempuan itu, duduk sendirian di satu sudut gelap disebuah kafe sambil menjilati permen lolipop kegemarannya.Ujung lidahnya bergerak-gerak pada permen berwarna-warni itu. Dia menjilati lolipopnya, menikmati rasa buahnya,sembari berpura-pura tak memikirkan apa pun.

Tapi kepura-puraan tak memikirkan apa pun tak bisameredam kecamuk yang berdesak-desakkan dalam syarafotaknya. Kecamuk itu tergurat jelas pada wajahnya yangmuram. Perempuan itu sebenarnya berwajah cantik, tapikemuraman menutupi pesona keayuannya.

Kabut hitam menyelubungi pikirannya, menguncibenaknya hingga terpusat hanya pada satu hal: Kematian.

Pikirannya melesat bagai peluru yang meletusmenembus seluruh bagian-bagian tubuhnya. Menyeruakmelewati langit-langit kafe hingga lepas menghujam atap.Meledak.

Dalam keremangan pandangan yang samar-samarlantaran cahaya lampu yang minim dan tertutup asap rokokyang diembuskan oleh mulut seluruh pengunjung kafe, diamelihat ruhnya lepas dari tubuhnya dan terbang ke langit.

Page 102: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Malaikat Mungil dan Perempuan Lolipop | Bamby Cahyadi

92

Dia ingin mengejarnya, tapi tak dilakukan. Bukankah kinidia menjelma sebagai ruh yang keluar dari tubuhnya danterbang ke angkasa?

Dia gembira bukan kepalang menyadari dia bisa terbang,mengapung-apung di angkasa. Serasa mimpi memang, tapiini nyata. Dia terbang. Dia melesat dengan kecepatan tinggibagai kilat halilintar. Ketika itu dia melihat rembulan begitubenderang. Bulan tampak lebih besar, lebih emas dan begitudekat. Tatapan matanya menjelajahi tubuh rembulan,sepertinya dia ingin menelanjangi tubuh bulan. Seharusnyadia tak menatapnya seperti itu, karena bulan tak pernahmengenakan baju apalagi celana. Lagi pula, bulan belumtentu berkelamin.

Perempuan itu ingin menuju matahari, namun diamengendus sesuatu. Wangi bunga melati tercium tajam diudara, nyaris memabukkan dirinya. Dia merasa aneh, kenapatiba-tiba dia mencium aroma wangi melati di langit malam.Sejenak dia tercenung. Merenung sebentar, lantas diateringat halaman yang dipenuhi oleh bunga-bunga itu.Pemakaman.

Wangi melati menggiringnya menuju sebuah apartemendengan atap yang luas di pusat kota yang hiruk-pikuk. Diamemperlambat laju terbangnya, lantas dengan hati-hati diamendarat di atap salah satu apartemen itu.

Napasnya sesaat tercekat di paru-parunya, dan diabergidik. Dia mendengar suara tangisan para perempuan,batuk para manula, dan bunyi langkah kaki telanjang hilir-mudik dari dalam apartemen itu. Orang-orang melantunkanayat-ayat suci dan bergumam-gumam merapal doa-doaberbaur dengan aroma tubuh manusia. Bau parfum yangmembuai, bau ketiak yang menusuk dan bau kemenyanyang mistis.

Perempuan itu menerabas pintu apartemen yang

Page 103: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

93

terkuak. Melewati kerumunan orang-orang, hingga tatapanmatanya menancap pada sebuah tubuh yang telah dikafani.Wajah pemilik tubuh yang telah membeku itu sangat diakenali.

Dia mengertakkan rahangnya berusaha memendamrapat kata-kata yang ingin diteriakkannya. Dia mengerjapkanmatanya. Matanya hitam, bagai sepasang kolam takberdasar. Matanya menusuk bagai hendak menembustubuh tak berjiwa yang terbujur di hadapannya.

“Mati main bola,” seseorang berbisik kepada seseorangyang baru saja tiba di ambang pintu apartemen.

“Bukan, kebanyakan minum bir,” bisik yang lain.Perempuan itu melihat kelebatan cahaya berwarna putih

dengan cepat menyelinap keluar apartemen menuju langitmalam. Dia dengan sigap mengikuti kelebatan cahayaberwarna putih itu. Kelebatan cahaya itu menuju sebuahkafe.

Perempuan itu tertegun.Di panggung kafe, liukan tubuh perempuan penyanyi

kafe senada dengan irama musik yang berdentammengelegar, penyanyi itu mengangkat tangannya ke ataskepala, lalu dia menggerakkan tangannya menyisirrambutnya yang panjang tergerai bergelombang menurunipunggungnya.

“Jakarta digoyaaaaannngggg!!!” Jeritnya histeris.Perempuan penyanyi itu mengajak pengunjung kafebernyanyi dan berjoget bersamanya.

Musik berdentum-dentum keras melatari pembicaraanbeberapa pengunjung kafe yang tengah menikmati malamminggu.

Di sebuah sudut gelap kafe, duduk sendirian perempuanyang terlihat berwajah muram, sedang menjilati permenlolipopnya, sembari sesekali dia menenggak sebotol

Page 104: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Malaikat Mungil dan Perempuan Lolipop | Bamby Cahyadi

94

minuman bersoda.Aku mendekati perempuan yang kesepian itu, untuk

sekadar memberi kehangatan dan gurauan agar ia takbersedih. Perempuan itu mengendus. “Wangi Hugo,”gumamnya.

“Ya, aku di sini,” sergahku.Perempuan berwajah muram itu tetap saja dalam diam.

Tetap saja menjilati lolipop. Tetap saja mencengkeram leherbotol minuman bersoda. Dan menangis. Perempuan lolipopitu kekasihku. Bulan depan kami berencana menikah.

“Mana si Mungil?”Sedikit menoleh ke belakang. Dari arah toilet perempuan

bertubuh mungil dengan rambut pixie cut yang ikonik,datang mendekat. Dia telah mencuri segenap perhatianku,bahkan nyawaku. Dia memberi isyarat dengan kedipanmata, agar aku segera mengikutinya. Perjalanan sepertinyasegera dimulai.

“Ke mana?”“Main bola!”“Dan, minum bir, ha.. ha.. ha…!” n

Jakarta, 11 Juni 2012

Page 105: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Ans Markus | OpenArt

95

Page 106: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Upaya Menghindari

Dosa

Upaya Menghindari Dosa | Dadang Ari Murtono

96

Dadang Ari Murtono

o

Published © Jurnal Nasional, Minggu 12 Agustus 2012

Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto.Sebagian tulisannya pernah terbit di beberapa surat

kabar, majalah dan jurnal.

u

Page 107: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

97

KEPALANYA berdenyut nyeri. Pandangannya berputar.Nafsu makannya hilang. Matanya tak sedetik punmau terpejam meski seluruh tubuhnya telah terasa

penat. Dan itu semua disebabkan bayangan api yangberjilatan, kilat tombak yang dihunjamkan ke perut hinggamemburaikan segala jeroan, mulut yang dibuka paksa dandituangi timah cair panas, rantai-rantai panas yangmembelit-belit seluruh tubuh dan seperti tak bisa diuraidari simpulnya, tubuh yang hancur dalam sekali sabetancambuk namun segera utuh kembali semata untuk kembalidicambuk, rasa sakit yang tak terperi, rasa sakit yang seakantak dapat ditanggungkan, juga teriakan minta tolong yangsia-sia belaka.

Ia bergidik ngeri. Dan ngeri itu membuat nyeri kepalanyabertambah. Membuat pandangannya semakin berputar.Membuat napsu makannya semakin hilang. Membuatmatanya semakin tak bisa terpejam.

Semenjak kecil, ia telah berulang-ulang mendengar ceritatentang neraka. Cerita itu ia dengar dari orangtuanya. Ceritaitu ia dengar dari ustadz ngajinya di surau. Cerita itu iadengar dari guru agama di sekolahnya semenjak sekolahdasar hingga sekolah menengah atas. Dan selalu, setiapkali mendengar cerita itu, tubuhnya bergetar, keringat dinginmembanjiri tubuhnya, lalu berkali-kali ia mengucap istighfar.“Jangan masukkan aku dalam neraka, Tuhan. Jauhkan akudari siksa neraka, Tuhan,‘ begitu senantiasa doanya.

Karena itulah, ia tumbuh menjadi pemuda yang baik.Yang menjaga dirinya dari segala hal-hal yang dilarangagama. Tidak sekali pun ia tergoda untuk mencicipiminuman keras sekali pun semua kawannya melakukanhal itu. Ia hanya tersenyum ketika kawan-kawannya itumengolok-oloknya dengan menyebutnya banci dan tidakgaul karena tidak mau ikut mabuk. Ketika kawan-kawannya

Page 108: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Upaya Menghindari Dosa | Dadang Ari Murtono

98

belajar bermain kartu, ia hanya duduk di kejauhan.Menahan diri untuk tidak ikut belajar. “Cuma belajar.

Untuk menghabiskan waktu.Lagipula, ini tidak pakai taruhan. Jadi tidak termasuk judi,”kata seorang kawannya. Tapi ia tetap berhasil menjaga diriuntuk tidak ikut-ikutan. Ia kuatir jika ia bisa bermain karturemi, pada akhirnya ia akan tergoda untuk bermain dengantaruhan. Belakangan, ia hanya tersenyum ketika kawan-kawannya sedikit-sedikit, mulai memasang taruhan ketikabermain remi.

Ia juga tidak pernah telat pergi ke surau setiap kaliterdengar adzan dikumandangkan. Bahkan, tak jarang, iayang mengumandangkan adzan. Ia juga kerap didapukmenjadi bilal sholat jumat. Dan seiring hari, ia bahkandiminta mengisi kotbah jumat. Lalu kotbah sholat ied. Laluundangan-undangan dari kampung sebelah berdatanganuntuk mengisi ceramah.

Demikianlah. Dalam setiap ceramah dan kotbahnya, taklupa ia selalu mengingatkan orang-orang untuk menjauhidosa. Tak bosan-bosan pula ia ceritakan betapamenyakitkannya neraka itu. Alangkah taktertanggungkannya siksa neraka itu. Siksa yang tidak hanyasekali. Melainkan berkali-kali. Sedemikian baik ia berceritahingga orang-orang yang mendengar cerita itu ikut bergidikngeri. Ikut berkeringat dingin. Ikut berulang menyebut namaTuhan. Ikut berulang mengucap istighfar. Ikut meneteskanairmata ketika ia berdoa agar Tuhan menjauhkan merekadari api neraka.

Namun kini ia merasa semua usahanya itu sia-sia. Iamerasa api neraka begitu dekat dengannya. Ia merasa siksa-siksa yang tak tertanggungkan itu diciptakan sematauntuknya. Hanya untuknya. Ia berulang menangis. Iaberulang bertaubat. Ia berulang berdoa. Namun bayangan

Page 109: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

99

itu tidak juga hilang. Malah semakin terlihat jelas. Malahseperti semakin mendekat.

Dan itu semua bermula dari seorang perempuan.Perempuan yang pertama kali ia lihat di sebuah acarasema‘an Alquran. Perempuan yang terlihat begitu cantikdengan jilbab hijau menghiasi kepala yang oval. Perempuanyang membuat hatinya berdesir aneh ketika pertama kalimelihatnya. Lalu, hari-harinya setelah itu dipenuhi ingatanakan wajah perempuan itu.

Seperti itukah rasanya cinta? Dan cinta itu kianbertambah-tambah setelah tahu bahwa perempuan ituadalah putri kiai di kampung itu. Dalam pikirannya, seorangputri kiai pastilah seorang yang paham benar masalahagama. Pastilah orangtuanya telah mengajari bagaimanacara-cara menghindari siksa neraka. Perempuan semacamapa lagi yang paling pas buat lelaki sepertinya bila bukanputri kiai yang sholehah?

“Bila kau merasa telah benar-benar siap secara lahir batin,maka sempurnakanlah sunnah nabimu dengan menikah.Lamarlah putri kiai itu,‘ kata bapaknya ketika iamengutarakan niatnya untuk melamar putri kiai itu.

Dan lamaran itu mendapat sambutan yang teramat baikdari si kiai yang memang telah lama mendengar ceritatentangnya. Pemuda baik yang sering berceramah danpintar menjaga diri dari segala hal yang menimbulkan dosa.

Namun kiai itu luput bertanya pada putrinya apakahputrinya bersedia atau tidak. Dan rasanya, pertanyaansemacam itu memang tidak akan berpengaruh banyak.Sekali pun putrinya menolak, si kiai pasti akan tetapmelangsungkan pernikahan. “Tak ada pemuda yang lebihbaik dan lebih sholeh dari dia,‘ kata si kiai.

Awalnya, pernikahan itu terlihat sebagai pernikahan yangbahagia. Pernikahan ideal. Seorang pemuda sholeh

Page 110: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Upaya Menghindari Dosa | Dadang Ari Murtono

100

mendapat perempuan sholeh. Tapi cinta memang sesuatuyang rumit. Bahkan bagi dia yang begitu teguh memegangajaran agama dan mengerti benar perihal perintah danlarangan.

Ia tidak tahu apa nama dari perasaan yang kerapmendatanginya itu. Perasaan yang menimbulkan rasa sakitdi hatinya. Seperti ada silet tajam yang ditorehkan di sana.Dan di atas luka torehan itu, air cuka yang perih dituangkan.Begitu sakit. Begitu pedih. Dan perasaan itu selalumendatanginya setiap kali melihat putri kiai yang telahmenjadi istrinya itu bercerita perihal lelaki lain. Lelaki yangmerupakan kawan akrab istrinya semenjak kecil. Lelaki yangtinggal tak jauh dari rumah orangtua istrinya itu. Lelaki yangmenurut istrinya tampan dan sopan. Lelaki yang seringmencuri-curi kesempatan untuk mengajak istrinya pergiberdua ketika istrinya itu masih gadis.

“Dia selalu bisa membuatku tertawa,” kata istrinya. “Iatidak datang pada pesta pernikahan kita. Aku tahu ia tidakakan datang meski aku berharap ia akan datang. Aku tahuia sedang menangis ketika itu. Aku tahu itu. Dan aku takdapat membayangkan betapa sakit perasaannyamengetahui aku menikah denganmu,‘ kata istrinya.

“Dulu, kami pernah berjanji untuk tidak salingmeninggalkan. Dulu, kami berjanji untuk selalu bersamasampai mati,” lanjut istrinya. Tiba-tiba, ada telaga yang siapmeluap di mata istrinya.

Ia tercenung mendengar cerita itu. Kenapa istrinyamenceritakan hal semacam itu? Dan sesuatu yang berdesirdi dadanya semakin keras. Bertambah keras. Dan keras itukemudian merambat ke seluruh tubuhnya. Mengalir deraske tangannya. Terus ke jari-jarinya. Jari-jari yang ikutmengeras itu lalu mengepal. Kepal yang begitu keras. Dantanpa sadar, kepalan itu tahu-tahu telah menumbuk wajah

Page 111: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

101

istrinya. Membuat istrinya terjengkang dengan muka lebamdan tangis yang bersimbah.

“Ampun! Ampun! Jangan pukul lagi. Ampun!” teriakistrinya. Tapi teriakan itu gagal menembus telinganya.Sesuatu di dadanya yang mengeras itu telah menjalar pulake telinganya. Membentuk semacam sekat yang taktertembus suara. Maka dengan kalap, ia mendatangi istrinyayang masih belum bangun itu. Lalu menendang tubuhistrinya. Lalu mengulang-ulang menimpakan kepalannyake tubuh istrinya itu.

Cemburu. Itukah yang tengah ia rasakan?Dan perasaan cemburu itu kian hari kian besar. Ia

cemburu ketika ponsel istrinya berdering meski ia tidak tahusiapa yang menelepon atau mengirim sms kepada istrinya.Dan sekali pun istrinya bersumpah bahwa ibu atau bapaksi istri yang menghubungi, ia tetap melayangkan pukulan.Ia cemburu dan curiga bila istrinya pamit pergi ke pengajianatau arisan. Ia takut istrinya sebenarnya pergi menemuilelaki itu.

Lalu tibalah sebuah hari yang tidak akan bisa ia lupakanitu. Hari di mana dengan sesenggukan dan muka lebam,istrinya berkata, “tidakkah kau tahu bahwa perbuatanmumemukuliku ini adalah dosa? Tidakkah kau takut semuausahamu untuk menghindari dosa sia-sia belaka denganmemperlakukanku seperti ini? Tidak lagikah kau merasatakut masuk neraka?‘

Ia seperti dihempaskan dengan kalimat itu. Seperti adagelombang besar yang menyeret dan membantingnya kepadas karang. Dan hempasan itu bertambah menyakitkandengan kelanjutan ucapan istrinya, “kau terlalu cemburu.Tapi lebih dari itu, kau su‘udzon kepadaku. Tidakkah itusama artinya dengan kau tengah memfitnah aku dan lelakiitu? Dan di mana lagi tempat seorang pemfitnah selain

Page 112: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Upaya Menghindari Dosa | Dadang Ari Murtono

102

neraka jahanam?‘Begitulah. Semenjak hari itu, ia merasa kepalanya

berdenyut nyeri. Pandangannya berputar. Nafsu makannyahilang. Matanya tak sedetik pun mau terpejam meskiseluruh tubuhnya telah terasa penat.

“Aku tidak lagi ingin berdosa. Aku tidak ingin lagi,‘ lirihnya.Namun ternyata, keinginannya itu seperti menguap begitusaja setiap melihat istrinya menerima sms atau telepon,setiap istrinya diam sendirian, setiap istrinya pergi arisanatau menghadiri pengajian. Ia masih saja cemburu. Ia masihsaja mengira istrinya tengah sms-an atau telepon-teleponandengan lelaki itu. Ia masih saja mengira istrinya keluar untukmenemui lelaki itu. Ia tetap saja mengira istrinya diamsendirian memikirkan lelaki itu. Dan selalu, perasaancemburu dan kecurigaan itu berujung pada muka lebamistrinya.

Ia tidak menyangka cinta bisa sebegini rumit. Ia tidakmenyangka cinta bisa membuat seseorang sepertinyamenjadi penyiksa dan pemfitnah. Ia tidak menyangka cintabisa membuatnya menjadi ahli dosa.

Ia ingin berhenti membuat dosa. Ia ingin berhentimenjerumuskan dirinya sendiri ke dalam siksa neraka. Tapibagaimana caranya?

“Tinggalkan aku. Hiduplah sendiri saja. Dan jangan lagimencintai orang lain. Bila kau sampai jatuh cinta, kau akantetap melakukan hal ini. Kau terlalu pencemburu. Kau tidakakan bisa berhenti berdosa bila masih mencintai seseorang,”lirih istrinya.

Itulah sebabnya, beberapa tahun kemudian, orang-or-ang mengenalnya sebagai lelaki tua yang hidup sendirian.Lelaki yang kesepian. n

Page 113: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

103

Repro: OpenArt

Page 114: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Baju Lebaran

104

No Name Yet

o

Baju Lebaran

Published © Joglosemar, Minggu 12 Agustus 2012

u

u

Page 115: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

105

CAHAYA sang surya mulai redup. Tenggelam bergantipetang. Terdengar gemercik air di atas genting.Membuyarkan lamunan Pak Iman. Udara semakin

menusuk hingga ke seluruh tulang. Membuatnyamemutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Mengambiljaket yang selalu setia menemaninya. Walau sebenarnyasudah tak pantas lagi untuk dikenakan. Karena terdapatjahitan di sana-sini menutupi lubang bekas robekan. Namunapa mau dikata, itulah jaket satu-satunya yang ia milikisekarang.

“ Janji ya pak besuk aku dibelikan baju baru untukLebaran.”

“Iya nduk.”Terlihat ada kegelisahan dari wajah keriputnya. Walau

sebenarnya sangat sulit berkata “iya”. Tapi mengecewakananak adalah pantangan bagi dirinya. Anak adalah titipanIlahi yang harus dijaga dan dilindungi. Tidak pedulibagaimana caranya yang terpenting dapat melihatnyatertawa dan bahagia. Dan selalu berada di jalan Allah.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 01.00 WIB, dinihari. Tapi matanya masih enggan terpejam. Kepala terasaberat dan penuh seperti tak mampu lagi berpikir. Masalahseakan tak pernah berhenti menghampiri dirinya. Sempatterlintas keraguan tentang keberadaan Tuhan. Di manakahTuhan saat aku mengalami kesulitan. Di manakah Tuhansaat aku menangis memohon pertolongan. Semuapertanyaan itu mulai mengisi seluruh benaknya. Namunsegera dihilangkannya kebodohan prasangka itu.

Ia pun segera beranjak dari ranjang reyot. Tempatmerebahkan tubuh rentanya. Menuju kamar mandimengambil air wudu. Dan melaksanakan salat tahajuddengan khusyuk. Kedua tangan ditengadahkan memohonampun atas segala salah dan khilaf.

Page 116: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Baju Lebaran

106

“Ya Allah ampunilah dosa hamba, berikanlah hambapetunjuk dan kemudahan dalam menjalani hidup ini,”pintanya diiringi isakan tangis.

Ia lafalkan asma Allah dalam keheningan malam hinggaterdengar suara “sahur…sahur…sahur…” dari dalammasjid.

“Cepat bangun nak, kita sahur dulu nanti keburu imsak.”Suara Bu Nanik, istri Pak Iman memanggil cici anaknya.

“ Iya bu.” Cici keluar dari kamar sambil mengucek keduamatanya.

Nasi , sambal, tempe dan tiga gelas air teh sudah tersajidi atas meja. Itulah menu keluarga Pak Iman setiap hari.Saat sahur maupun berbuka. Tak pernah berbeda dan masihsama.

“Sudah siap semua bu?” tanya Pak Iman menarik kursiuntuk duduk.

“Alhamdulillah sudah siap semua pak.”Dalam kesederhanaan mereka tetap merasa bahagia.

Menyantap semua makanan yang disajikan. Walau bosandengan makanan yang itu-itu saja. Namun itulah kehidupan,seberapa pun yang kita peroleh harus tetap disyukuri. Nasihatyang selalu diberikan Pak Iman kepada istri dan anaknya.

Ia langkahkan kaki keluar dari sebuah rumah kecil, sempitdan pengap. Berlantai tanah merah berhiaskan beberapalubang pada dinding yang terbuat dari tripleks. Rumah yanghampir roboh itu adalah tempat tinggalnya. Tempat iabercengkerama dengan anak dan istri. Tempat berteduhdari panas dan hujan.

Ditelusuri jalan dengan sandal jepit usang yang iakenakan. Ketebalannya semakin berkurang terkikis bebatuanjalanan. Tanah masih mengembun terkena guyuran air hujantadi malam. Pagi ini Pak Iman memulai aktivitasnya kembali.Di bawah terik sinar matahari ia tata batu bata dan genteng.

Page 117: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

107

Bolak-balik membawa ember kecil berisi pasir yang telahdicampur dengan air dan semen. Matanya sayu gerakantubuhnya tak seperti dulu.

Selesai salat zuhur ia sandarkan tubuh kecilnya di temboksambil menggerakkan kertas yang ia pegang. Mengambilsebagian udara yang dibawa angin untuk tubuhnya yangkegerahan.

“Ndak makan pak?”“Insya Allah masih kuat puasa.”“Kalau ndak kuat ndak usah dipaksakan pak nanti malah

sakit.”Pak Iman hanya tersenyum, ia kembali menggerakkan

kertas yang ia pegang. Dibenaknya masih terbesitpermasalahan yang belum ditemukan jalan keluarnyahingga sekarang. Uang yang akan ia terima bulan ini sudahhabis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari danmembayar hutang. Pendapatan seorang kuli bangunanmemang tidak seberapa. Namun tetap harus disyukuri,hanya untuk membelikan baju baru ia masih memutar otakmencari solusi.

“Jam istirahat masih lama kenapa sampeyan hanyaduduk-duduk saja di sini.”

“Mau ngapain lagi Pak.”“Sampeyan Puasa?”“Alhamdulillah iya Pak.”“Sepertinya ada sesuatu yang dipikirkan? dari tadi aku

lihat cuma diam.”“Ndd…ndak Pak cuma ada sedikit masalah keuangan.”

Jawabnya dengan malu sambil menundukkan kepala.“Kenapa harus malu begitu, kalau ada masalah sebaiknya

cerita siapa tahu saya bisa membantu. Kita di sini itu kansudah seperti keluarga.”

Setelah percakapan itu Pak Iman kembali melanjutkan

Page 118: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Baju Lebaran

pekerjaan. Pak Ismail memang benar masalah tidak bolehdipendam sendiri. Tapi jika harus bercerita dengan beliausungkan hati rasanya. Karena Pak Ismail sudah terlalubanyak membantunya dalam mencarikan pekerjaan. Terikmatahari semakin ganas mengeluarkan sengatannya kebumi. Namun Pak Iman masih setia dengan ember danpasir yang ada di hadapannya. Walau badan terasa amatlelah seakan tak kuat lagi membawa ember-ember itu lagi.Tapi ini harus dikerjakan demi anak dan istrinya di rumah.

Azan berkumandang tanda Puasa hari ini telah usai. Dansaatnya berbuka tiba. Seperti hari sebelumnya nasi, sambal,tempe dan air teh sudah siap untuk disantap. Setelah ituPak Iman bergegas ke masjid salat berjamaah. Dilanjutkandengan salat isak dan tarawih bersama.

“Sudah pulang pak, Cici masih ndarus kan?” Tanya BuNanik sambil melipat baju yang ia ambil dari jemuran.

“Iya bu.”Beberapa menit kemudian mereka hanya terdiam. Hanya

terdengar ayat suci yang dilafalkan anak-anak dari masjid.Di bawah lampu remang 5 watt mereka duduk tanpa kata.Hingga Pak Iman membuka kembali percakapannya denganistri.

“Gimana bu dengan Cici ?”“Gimana apanya pak ?”“Baju baru untuk Lebaran.”“Kalau ndak bisa lebih baik ndak usah dipaksakan pak.”“Tapi itu bisa sangat menyakiti hatinya bu.”Kemudian mereka kembali tertunduk. Dengan hati yang

berkecamuk. Jika ada barang berharga yang bisa dijual. Tentuia akan menjualnya. Tapi sayangnya tak ada sedikit punbarang yang layak untuk dijual.

Kebingungan itu terus bergulir hingga hari pembagiangaji. Teman sekerjanya menunjukkan senyum lebar saat

108

Page 119: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

menerima upah atas kerja kerasnya. Tetapi hal itu tidakberlaku bagi Pak Iman karena upahnya kali ini hanya lewat,tanpa sisa.

Ia pulang dan langsung memberikan amplop yang telahia terima kepada istrinya. Tanpa membukanya terlebihdahulu. Setelah menyerahkan amplop itu ia langsungmasuk ke dalam kamar berganti baju. Namun belum selesaiia berganti baju. Bu Nanik memanggilnya untuk mendekat.

“Ada apa sih bu, kok teriak-teriak gitu.”“Ini lho pak jumlah uangnya banyak sekali. Tidak seperti

biasa.”Segera diraihnya amplop yang berisi uang itu. Dan

dihitung ulang beberapa kali. Hasilnya tetap sama uang itulebih Rp 500.000 dari jumlah yang seharusnya ia terima.Tanpa pikir panjang ia kembali keluar rumah berjalanmenuju rumah Pak Ismail. Sedang istrinya diam dalamkebingungan.

“Maaf Pak ini uangnya kelebihan banyak sekali.” UcapPak Iman sambil memperlihatkan jumlah uang yang iapegang.

Pak Ismail hanya tersenyum dan menepuk pundak PakIman dengan hangat. Pak Iman semakin tak mengertidengan perlakuan Pak Ismail.

“Itu rezeki dari Allah karena kerja keras sampeyan selamaini Pak.”

“Tapi Pak.”Pak Ismail kembali tersenyum memberi isyarat untuk

menerima uang itu tanpa menolaknya. Karena uang ituadalah buah dari kerja kerasnya selama ini. Dengankeikhlasan dan tanpa lelah dalam menjalani semuapermasalahan yang mendera.

Dan kini tanpa ia sadari ia telah tersenyum kembali.Tersenyum bahagia karena akhirnya ia dapat membeli baju

109

Page 120: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Baju Lebaran

110

baru untuk anaknya. “Alhamdulillah ya Allah…Engkau telahmemberikan nikmat luar biasa kepada hamba.” Ucap Pakiman seraya menangkupkan kedua tangannya. n

Karanganyar, 29 Juli 2012

Page 121: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Ettore Aldo Del Vigo | OpenArt

111

Page 122: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Tamu Lebaran | Affan Safani Adham

112

Affan Safani Adham

o

Tamu Lebaran

Published © Kedaulatan Rakyat, Minggu 12 Agustus 2012

u

u

Page 123: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

113

PAK BAHRON hanya duduk termangu di rumahnya.Sejak pulang dari tanah lapang melaksanakan salatIdul Fitri dan bermaaf-maafan dengan jemaah

lainnya, beliau lantas duduk sendiri di ruang tamu.“Ada apa dengan Lebaran tahun ini? Lebaran yang sedang

kuhadapi kali ini sungguh membuat hatiku sedih. Merekabelum juga ada yang menyambangi rumahku. Sudah terasapanas pantatku menunggu mereka,” ujar Pak Bahrondengan raut muka sedih.

Beliau dahulu menjabat camat dan kini sudah pensiun.Dahulu, saat masih menjabat sebagai camat, banyakbawahannya yang bertamu dan meminta maaf. Seakanhanya bawahannya yang mempunyai kesalahan kepadanya.Entah apa niat mereka itu sebenarnya, tidak pernahdipikirkan oleh Pak Bahron.

Pemandangan ini sering terjadi di negara kita. Tidaksedikit bawahan di sebuah instansi yang mendatangipejabat saat hari Lebaran. Namun, hampir tidak ada pejabatyang menyambangi rumah bawahannya saat harikemenangan yang fitri itu tiba.

Beberapa tahun sebelumnya, secara berturut-turutbawahannya mendatangi rumahnya. Hampir setengah jammereka berada di rumahnya usai salat Idul Fitri. Merekabiasanya datang dengan membawa bingkisan yangberagam. Pak Bahron selalu menerima bingkisan merekatanpa berprasangka buruk. Akan tetapi, hari ini berbedadari pada tahun-tahun sebelumnya. Sudah dua jam iamenanti kedatangan mantan bawahannya. Tetapi belumada juga yang datang menyambangi rumahnya.

“Pak Udin, Pak Dayat, Bu Mira, ada dimana kalian saatini? Aku mengharapkan kehadiran kalian di sini. Apa kaliansudah melupakanku? Aku memang sudah pensiun danbukan siapasiapa lagi bagi kalian. Astagfirullah! Ya Allah,

Page 124: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Tamu Lebaran | Affan Safani Adham

114

ampuni aku yang sudah berprasangka buruk kepadamereka,” ucap pak Bahron dengan sedih dan kecewa.

“Kek, mengapa melamun?” tanya istrinya. “Pada harikemenangan yang bahagia ini sebaiknya kakek janganmelamun!”

Belum lagi Pak Bahron bicara, Erni bertanya, “Kakek tadimelamunkan apa?”

“Ah, kakek tidak melamun. Tadi kakek hanya berpikir,mengapa Lebaran kali ini belum ada satu pun mantan anakbuah kakek datang bertamu di rumah kita,” jawabnya.

“Mungkin mereka sedang sakit perut, kek,” kata cucunyasambil tertawa kecil.

“Kata Erni ada benarnya, kek. Mungkin di antara merekaada yang sedang sakit. Sebagiannya lagi mungkin adakesibukan lain.” Bu Hari mencoba menenangkan hati suamitercintanya agar terhindar dari prasangka buruk.

Pak Bahron sedikit tenang. Dan beliau pun melanjutkanmakan kue bersama istri dan cucunya di ruang santai sambilmenonton televisi.

SETELAH waktu salat Zuhur berlalu satu jam, Pak Bahronkedatangan tamu dari tempat yang jauh. Pak Zakisekeluarga sengaja datang dari tempat yang jauhnya tigapuluh kilometer hanya untuk bermaaf-maafan dengan pakBahron. Keduanya adalah kakak-beradik. Pak Bahronmerupakan kakak kandung Pak Zaki.

“Assalamuíalaikum!” sapa Pak Zaki saat berada di depanpintu rumah pak Bahron.

“Waíalaikumussalam!” sahut Pak Bahron dari dalamrumah. Setelah pintu dibuka dia lantas mempersilakanmereka, “Ayo, semuanya masuk ke sini!”

“Sudah berapa orang yang telah datang di rumah ini,kak?” tanya pak Zaki.

Page 125: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

115

“Kamu mungkin terkejut jika kuberi tahu jumlah tamuyang sudah datang ke sini hari ini,” kata Pak Bahron. “Jumlahtamu Lebaran hari ini jauh berbeda dengan jumlah tamusaat hari Lebaran tahun-tahun sebelumnya.”

“Tambah banyak ya, kek, tamunya?” tanya Rumi, cucupak Zaki.

Pak Bahron menghela napas sejenak mendengarpertanyaan cucu saudaranya itu.

“Tidak bertambah banyak, Sayang. Tetapi baru kalianyang datang,” ucap pak Bahron dengan nada sedih.

“Sudah kuduga seperti itu. Dugaanku berdasarkan faktayang sudah terjadi. Sudah menjadi kenyataan pejabatdidatangi dan diberi bingkisan oleh para bawahannya saatia masih memiliki jabatan itu. Akan tetapi sebaliknya, iatidak akan dikunjungi, apalagi diberi bingkisan oleh seluruhmantan bawahannya saat ia sudah pensiun atau turunjabatan. Kalaupun ada, hanya satu atau dua orang yangmasih mau melakukannya secara ikhlas,” Pak Zakimengungkapkan unek-uneknya kepada Pak Bahron.

“Sabar ya, kek!” kata Bu Hari menenangkan hatisuaminya.

Pak Bahron pun bertambah kecewa dan sedih karenakata-kata adiknya itu, memang ada benarnya dan baru sajabeliau alami keadaan seperti itu. Prasangka buruknyasemakin menjadi kuat terhadap para mantan bawahannya.

“Inikah balasan dari orang-orang yang dulu pernahmendapatkan kebaikan dariku kepadaku, ya Allah? Dahuluaku begitu dihormati dan disanjung oleh setiap bawahanku.Kini, mereka sudah menampakkan wajah asli merekakepadaku. Biarlah, hari ini aku berprasangka buruk kepadamereka karena hatiku ingin berkata demikian. Aku sadar,ini adalah hukuman dari-Mu karena dahulu saat Kau angkatderajatku, aku malah tidak bersyukur kepada-Mu. Ampuni

Page 126: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Tamu Lebaran | Affan Safani Adham

116

aku ya Allah karena dahulu aku tidak pernah bersyukurkepada-Mu!” ucap pak Bahron dalam doanya setelah salatAshar.

DUDUK sendiri di teras depan, Pak Bahron memandangibarisan semut yang berduyun-duyun dengan teratur. Sambilduduk, dia pun berkata dalam hati, “Aku iri dengan semut-semut yang begitu akrab di hari yang suci ini. Aku manusia,tetapi tidak dapat seakrab itu dengan para mantanbawahanku di hari yang suci ini setelah aku pensiun.Sungguh, aku malu kepada diriku sendiri. Aku mantanpemimpin yang gagal. Pemimpin yang sukses selaludikenang para bawahannya dan juga rakyat banyak sepertipahlawan kemerdekaan. Bukan seperti diriku ini yang telahmereka lupakan.

“Terasa nyaman duduk di sini ya, kek. Udaranya sejukdan bersih dari polusi,” ucap bu Hari sambil membawakansecangkir kopi.

Mereka terlibat dalam perbincangan yang hangat.Kadang-kadang mereka tertawa dengan hal yang merekaperbincangkan. Waktu pun tidak terasa berlalu oleh merekahingga petang menjelang di hadapan mereka. Dengansegera mereka pun masuk ke rumah yang sudah lamamereka diami itu.

“Ah! Ada apa denganku? Seharusnya aku bersyukur sudahdiberi Allah SWT nikmat kehidupan yang masih kurasakanpada hari ini. Banyak kerabatku yang sudah tidak dapatmenikmati indahnya Lebaran seperti diriku. Walaupunbawahanku tidak datang, aku masih memiliki tetangga dankeluarga yang menyayangiku. Aku masih ingat begitubaiknya sikap mereka kepadaku di tanah lapang tadi.Astaghfirullah,” ucap Pak Bahron.

“Assalamuíalaikum,” seorang lelaki muda mengucapkan

Page 127: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

117

salam dari luar halaman rumah pak Bahron keesokanharinya.

“Waíalaikumussalam!” jawab Pak Bahron dari dalamrumah. “Selamat Idul Fitri dan mohon maaf lahir batin ya,Pak!” ucap pemuda itu.

“Ternyata kamu, Din. Terima kasih banyak Din ataskedatangan dan ucapan selamat Idul Fitri darimu,” kataPak Bahron dengan raut muka yang cerah kepadaSyamsudin.

“Bagaimana kabar Bapak?”“Kabar baik. Untunglah kamu tidak melupakanku,” kata

Pak Bahron.“Apa baru saya yang datang menyambangi rumah

Bapak?”“Lebaran tahun ini sangat berbeda dengan Lebaran

tahun-tahun sebelumnya. Aku hanya dapat memaklumikeadaan ini karena pensiunan seperti aku ini, tidak pantasmengharapkan tamu yang banyak.”

“Semoga kedatangan saya dapat menghibur hati Bapak.”Pak Bahron sedikit terhibur dengan kedatangan

Syamsudin. Mereka berbincang cukup lama. Sungguh, PakBahron tidak menyangka kalau tahun ini keadaannyaberbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dia hanyaberusaha memaklumi keadaan yang sedang dialaminya.Dan mencoba untuk tetap bahagia di hari yang fitri.

“Ya Allah, jika Engkau masih mengizinkanku berharapsesuatu yang lain, aku hanya berharap para pejabat sekarangtidak mengalami nasib yang serupa denganku saat merekatelah pensiun nanti. Aku juga memohon kepada-Mu,jadikanlah para pejabat di negara ini dapat menjadipemimpin yang sukses dan dapat menyejahterakanbawahannya. Terutama rakyat di negara ini. Dengandemikian, mereka tetap dikenang oleh bawahannya saat

Page 128: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Tamu Lebaran | Affan Safani Adham

118

menjalani masa pensiun, bahkan hingga berpulang kepada-Mu!” ucap Pak Bahron sambil meneteskan air mata. PakBahron pun bangkit dan berjalan menapaki kehidupannyadengan kesabaran dan rasa syukur kepada-Nya bersamapara keluarga dan masyarakat di sekitarnya. n

Page 129: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: OpenArt

119

Page 130: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Seragam | A.K. Basuki

120

A.K. Basuki

o

Seragam

Published © Kompas, Minggu 12 Agustus 2012

u

u

Page 131: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

121

LELAKI jangkung berwajah terang yang membukakanpintu terlihat takjub begitu mengenali saya. Pastinyadia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan

saya yang tiba-tiba.Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-

buat dipersilakannya saya untuk masuk, tanpa ragu-ragusaya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan.Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralastikar pandan itu. Dia pun lalu turut duduk, tapipandangannya justru diarahkan ke luar jendela, padapohon-pohon cengkeh yang berderet seperti barisan mu-rid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera tiapIsnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinyadiliputi keharuan yang tidak bisa diungkapkannya dengankata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya sebentar.

Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harusboyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulauhingga kembali beberapa tahun kemudian untuk menetapdi kota kabupaten. Itu saya ceritakan padanya, sekaligusmengucapkan maaf karena sama sekali belum pernahmenyambanginya sejak itu.

“Jadi, apa yang membawamu kemari?”“Kenangan.”“Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu

menunggu 10 tahun setelah keluargamu kembali danmenetap 30 kilometer saja dari sini.”

Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antarakami sebelum kata-kata obrolan meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin.

Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkankembali pada pengalaman kami dahulu. Pengalaman yangmenjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di

Page 132: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Seragam | A.K. Basuki

122

ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan sayayakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karenasebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setiadaripada saya.

Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar.Teplok yang menjadi penerang ruangan diletakkan di atasmeja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya jikadia menunduk untuk menulis. Di atas amben, ayahnyasantai merokok. Sesekali menyalakan pemantik jika bararokok lintingannya soak bertemu potongan besar cengkehatau kemenyan yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorangperempuan yang banyak tertawa, berada di sudut sembaribekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang. Saat-saat seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa sajayang mungkin berlaku di antara kami hampir setiap malamsaya nikmati. Itu yang membuat perasaan saya semakindekat dengan kesahajaan hidup keluarganya.

Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendakpergi mencari jangkrik. Saya langsung menyatakan inginikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang.Sering memang saya mendengar anak-anak beramai- ramaiberangkat ke sawah selepas isya untuk mencari jangkrik.Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atauhanya sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalusesekali digelitik dengan lidi atau sehelai ijuk agar berderiklantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinyasangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernahmembolehkan saya. Tapi malam itu toh saya nekat dansahabat saya itu akhirnya tidak kuasa menolak.

“Tidak ganti baju?” tanya saya heran begitu dia langsungmemimpin untuk berangkat. Itu hari Jumat. Seragam coklatPramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan terpakaiuntuk bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia memang tidak

Page 133: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

123

memiliki banyak pakaian hingga seragam sekolah biasadipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawahmencari jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.

“Tanggung,” jawabnya.Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil alih

obor dari tangannya. Kami lalu berjalan sepanjang galenganbesar di areal persawahan beberapa puluh meter setelahmelewati kebun dan kolam gurami di belakang rumahnya.Di kejauhan, terlihat beberapa titik cahaya obor milik parapencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musimkemarau, tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yangnyata ditambah angin bersiuran di areal terbuka memangmemberikan sensasi aneh. Saya merasa tidak akan beraniberada di sana sendirian.

Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauhke barat. Hanya dalam beberapa menit, dua ekor jangkriktelah didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yangterikat tali rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya mengikutidengan antusias, tapi sendal jepit menyulitkan saya karenatanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut,atau bahkan terjepit masuk di antara retakan-retakannya.Tunggak batang-batang padi yang tersisa pun bisamenelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat diatenang-tenang saja walaupun tak memakai alas kaki, sayatak mengeluh karena gengsi.

Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana danbumbung baru terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilatwajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itujustru saya angkat tinggi-tinggi sehingga minyak mendorongsumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakarpunggung saya!

“Berguling! Berguling!” terdengar teriakannya sembari

Page 134: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Seragam | A.K. Basuki

124

melepaskan seragam coklatnya untuk dipakai menyabetpunggung saya. Saya menurut dalam kepanikan. Tidak sayarasakan kerasnya tanah persawahan atau tunggak-tunggakbatang padi yang menusuk-nusuk tubuh dan wajah saatbergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan taksempat untuk berpikir bahwa saat itu saya akan bisamendapat luka yang lebih banyak karena gerakan itu. Sulitdilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang sayapikir akan menyenangkan justru berubah menjadi teror yangmencekam!

Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luarbiasa menjalar dari punggung hingga ke leher. Baju yangsaya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagiankainnya yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat sayaitu tanggap melingkupi tubuh saya dengan seragamcoklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigilantara kesakitan dan kedinginan. Lalu dengan suarabergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan mulutnya.Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan diasendiri kemudian mengakui bahwa kami telah terlalu jauhberjalan. Sadar saya membutuhkan pertolongansecepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnyalalu berlari sembari membujuk-bujuk saya untuk tetaptenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa tanggungjawab yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat.Sayang, sesampai di rumah bukan lain yang didapatnyakecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kenatampar Ayah yang murka.

Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan.Seragam coklat Pramuka yang melingkupi tubuh sayadisingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernahterlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah agarmenggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar selama

Page 135: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

125

hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali diaterpaksa membolos di hari Jumat dan Sabtu karena belummampu membeli gantinya.

“Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya selesaikami mengingat kejadian itu.

“Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takutayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku tidak maumempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragamitu. Dia lebih memilih membelikan yang baru walaupunharus menunggu beberapa minggu.”

Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruhrentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadipersahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadianmeloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapussemua kengeriannya.

Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di manakami pernah bersama-sama membuat kolam gurami.Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadisebuah gudang tempatnya kini berkreasi membuatkerajinan dari bambu. Hasil dari tangan terampilnya ituditambah pembagian keuntungan sawah garapan milikorang lainlah yang menghidupi istri dan dua anaknya hinggakini.

Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalahberat kini menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah dantanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.

“Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kaumengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua dia semakintidak tahu diri.”

“Ulahnya?” Dia mengangguk.“Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas

ini adalah milik kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasauntuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal

Page 136: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Seragam | A.K. Basuki

126

usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku percayapadanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yangsama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku.Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku.”Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang remaja putussekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengankenakalan-kenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masihpula dia menyusahkan adik satu-satunya.

“Kami akan bertahan,” katanya tersenyum saat melepassaya setelah hari beranjak sore. Ada kesungguhan dalamsuaranya.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernahlepas dari sahabat saya yang baik itu. Saya malu. Sebagaisahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya.Tidak pula yakin akan mampu melakukan seperti yangdilakukannya untuk menolong saya di malam itu. Dia telahmembuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawabyang besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.

Mata saya kemudian melirik seragam dinas yangtersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang barusaja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisamembuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecildibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan darisebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, denganseragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusipengosongan tanah dan rumahnya. n

Page 137: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: OpenArt

127

Page 138: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Huh | Sutan

128

Sutan

o

Huh....!

Published © Kompas.com, Selasa 07 Agustus 2012

u

u

Page 139: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

129

G ELAP. Segelap malam ketika bulan engganmenampakkan diri, dan bintang terselimutihamparan awan menggelimpang kelam.

Tak sekilas cahaya pun berkelebat mengitari bumi, seolahtersuruk oleh ketakutan oleh entah apa. Tak sebongkahbenda yang bias tertampak meski disorong ke depan matake dekat hidung. Begitu kelam sehitam bongkah hati yangterajam oleh dosa-dosa tak terampuni.

Segelap penjara bawah tanah yang dibentengi dinding-dinding besi kokoh dan kusam, menghadap matahari yanghendak masuk menyinar. Sungguh gelap tak menyisakahsetitik pun cahaya, walau di ufuk yang tak berarah. Sungguhkelam tak menyisakan asa dan harapan bagi mereka yangmemiliki sedikit semangat untuk memacu hidup ke depan.

Gelap. Sungguh menakutkan seolah tak mau berbagicerah kepada umat yang telah rontok oleh kekalahan demikekalahan dalam melawan angkuhnya dunia. Gelap danKelam seakan berlomba untuk menutupi hati yang selkalumingin bergerak maju merubah detak nasib.

Gelap dan kelam begitu menyesakkan, bak tak hendakmenampakkan secercah pelita sekadar penunjuk arahkemana akan melangkah. Tak ada arah hendak dituju, takada jalan yang hendak ditempuh. Terbutakan olehkegelapan yang memuncakkan dendam dan amarah olehkekalahan hidup. Tak hendak beranjak dari gulatankeseharian yang menggeluti sedih, menjadikan kehilanganasa menjalani hari-hari ke depan. Kacau. Galau. Gelapmembutakan mata, membutakan matahati.

Dalam Gelap, hadirnya terang adalah anugerah takterimpikan. Menjadikan Terang bagai setitik harap yangmuncul dalam pekat, meski itu hanyalah titik api diujungantah berantah. Titik di tempat yang tak mungkin tergapaiseketika. Titik ditempat yang mesti mengarungi derita dan

Page 140: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Huh | Sutan

130

nestapa untuk kesana.Terang. Walau harus menembus belantara tak bertepi,

menerjang karang tak berbatas, melawan ombak takberwaktu, datanglah kau wahai Terang. Biar aku kesanamenerjang apapun yang menghalang. Terang. Engkaulahsesuatu yang selalu diimpi dan diangan. Imajinasi melayangnan tak mungkin tejadi meski sekejab.

Terang. Walau cuma setitik lidah api, namun baksebongkah mentari siang memanggang bumi. Cukupmemberi tanda kehidupan pada alam jagad raya, cukupmenunjuk tanda kemana akan beranjak. Cukup menerangiujung dunia akan dicapai. Terang, tapi kenapa tak hendakjuga datang? Agar bisa bercerita tengang indahnyamemandang fana, dan nikmat menatap harap.

Kenapa gelap yang selalu hadir, dengan setia setiapwaktu, setiap saat kaki melangkah. Itu adalah pertanyaaanyang tak akan pernah terjawab. Pertanyaan yang seolahmenyalahkan Tuhan atas takdir-takdirnya. Pertanyaaan yangmenyesali kehendak Tuhan atas Mau Nya. Pertanyaan yangmenafikan Kekuasaan Tuhan atas jagad rayaNya.Pertanyaaan bodoh yang tak boleh terucap dari mulut or-ang-orang saleh: bahwa Tuhan Berkehendak atas apapunyang IA mau.

Jauhkan diri dari pertanyaan tentang Gelap dan tentangTerang ini. Yang boleh terucap adalah ungakapan syukuratas segala nikmat yang telah dilimpahkan. Bersyukurdisetiap saat, dalam hidup dan dalam mati. Bersyukur disetiap darah mengalir, setiap jangtung berdetak, di setiapnafas terhembus. Bukankah setiap saat terucapkan kata:sesungguhnya sholatku, hidupku dan matiku hanyalah untukTuhan semata. Lantas kenapa masih ada pertanyaan tentangGelap dan tentang Terang ini?

Huh ! Begitu ruwet bias mengerti perihal ini dan itu.

Page 141: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

131

Yang diingin Cuma mencari sesuap nasi, menyiasati hidupyang detik ini, saat ini dan hari ini. Kenapa harus begiturumit dengan tahapan-tahapan yang harus dijalani, dilakoni,Sungguh melelahkan dan menyesakkan. Huh !

“Huh …! “, selalu terlompat dari mulut lelaki berwajahkusut berusia menjelang senja. Carut marut hidup terekamdalam wajahnya yang kusam. Sejarah panjang perjuanganyang meletihkan raga dan meletihkan hati, adalah goretanyang tak akan pernah habisnya. Dari kehancuran menujukehancuran adalah takdir yang seolah melekat dalamtakdirnya. Gelap dan kelam adalah kesehariannya. Susahke nestapa adalah selimutnya menyiang gigitan dingindikala subuh tiba. Ada lukisan derita dalam mata, dalamkening dan dalam kerut mata. Perjalanan hidup itu sungguhpanjang, sungguh aku ingin istirahat, begitu bathinya seringberucap.

Huh…! Seperti hari ini, terlentang dalam kamar sempitdan pengap rumah kontrakan. Di ujung lorong becek dankumuh. Ketika hujan baru usai menghasilkan bau anyir danpesing. Ditengah pasar dikitari tumpukan sampah penuhlalat dan tikus. Dilumuri berbagai kuman dan virus penyakit.Disitulah dia bermukim disisa usia yang tak tau akan sampaike berapa.

Huh…! Termenung, tecenung dengan kedua belah tapaktangan menutup separuh wajah adalah erkspresi galau dankacau diri. Kenapa semua selalu kembali ketitik nol. Tempatdimana dulu memulai, disitulah kerap berakhir. Sudahempat puluh tahun. Sepanajng 20 tahun menamatkansekolah dilewati dengan cucuran kertingat dan airmataseluruh keluarga. Semua begerak dalam sengsara demisehelai kertas bertuliskan: SARJANA.

Tak jua member arti disisa 20 tahun sesudahnya. Tetapdilalui dengan perjuangan dan kesengsaraan. Tak pernah

Page 142: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Huh | Sutan

132

mencapai titik aman, tak pernah menggapai puncak yangdiangan. Bagai punduk merindukan bulan. Jauh dan takmungkin digenggam. Naik dan turun adalah menu sehari-hari dari pergerakan panjang mengitari bumi. Naik dan terusjatuh tak terperih adalah sarapan pagi yang hadir disetiapmata terbuka. Sungguh hidup ini sakit tak tertahan:”Selusurilah lorong-lorong becek dan berbau penuhkubangan sampah bersatu dengan lumpur, tempat lalatdan kecoa mencari makan, dan tikus-tikus mengais-ngaissisa hajatan pesta pora manusia. Ketika orang-orangmenjauh dari semua itu, kesanalah mereka-mereka yangkalah meletakkan harap. Luapan air kotor dari got-gotmenghamburkan aroma beragam busuk, karena itulah airbuangan dari segala bentuk buangan manusia. Termuilahaku di situ.

Kitarilah, hiruk pikuk derungan berbagai jenis kendaraanmeraung-raung, dibarengi teriakan kondektur dan kenekbus-bus, mikrolet, metromini dan lainnya mencaripenumpang. Penuh debu berterbangan, asap rokokmengapung bercampur kewringat-keringat mengalirmembasahi bahu dan pundak siapa saja yang lewat. Baupanggang daging, bau sampah berserakan dan bau segalajenis bau menyatu meramaikan suasana kerontang siang.Copet, garong dan calo-calo saling intip untuk menemukanmangsa. Semua demi sesuap nasi. Temuilah aku disitu.

Jelajahilah. Hamparan sawah-sawah tempat pentaimenyemburkan keringat menghujamkan tenaga untukmencari panen. Atau puncak-puncak gunung yangberhampar rumput tempat petani melepas kerbau dan sapimencari makan. Hutan lebat tempat mencari kayu untukmemasak, menyambung hidup. Naik turun lembah danngarai adalah keseharian yang penuh semangat. Hujamanlintah dan sengatan nyamuk kebun adalah suntikan vita-

Page 143: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

133

min, Sayatan daun-daun kasar dan tajam adalah perjalananyang harus dilalui. Teruilah aku disitu.

Carilah di tempat-tempat orang-orang kecil menyatudalam semangat dan putus asa. Carilah tempat-tempatorang-orang kalah meringkuk dalam ketidakberanianmenatap dunia. Carilah tempat-tempat itu, karena pastiaku ada disana. Karena aku adalah mereka, Orang-orangkecil dan orang-orang yang kalah”. (b*)

Lelaki itu masih di situ. Walau hari telah berputar beberapawaktu. Telentang dalam bisu menikmati kelam dalampejam. Tercenung dalam angan menerawang kesemua arah.Cuma itu yang ia punya. Masih ingat, ketika dua bocahkecil miliknya paling berharga dialam jagad raya ini, denganriang mengajak untuk bersama merayakan lebaran dirumah. “Semua orang dating, kenapa ayah masih sibukbekerja””, begitu protes si sulung.

Huh…! Kasihan anak-anakku. Ia masih sajamengidolakan ayahnya yang tak memiliki daya.Menganggap sama dengan ayah-ayah yang ada padateman-temannya. Ayah-ayah yang normal yang punyasegalanya. Kerja, penghasilan dan harga diri. Aku tidak nak.Kasihan anak-anakku. Masih juga menjadikan ayahnya su-perman, manusia serba hebat yang selalu hadir setiapdibutuhkan. Yang selalu diceritakan dengan nada banggakepada teman-teman sekolahnya, apapun yang dihadiahkanayahnya, walau itu cuma secuil barang berharga obral.Kasihan anak-anakku. Walau beberapa orang mendengarocehan dengan cibiran, tetap saja mereka meletakkan akudiatas segalanya. Meski untuk itu kadang sdambil menangismempertahankan kebanggaan itu. Karena memang itu yangmereka punya. Kasihan anak-anakku. Huh…!

Memang indah angan mereka. Lebaran, setelah sebulanmengabdi kepada Yang Maha Agung dalam bentuk tunduk

Page 144: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Huh | Sutan

134

dan patuh pada semua perintah dan laranganNya. Berpuasa.Adalah kenikmatan tiada tara merayakan bersama keluargabesar, saling berma”afan, bersilaturahmi. Indah dan manis.Seperti anak-anakku, aku juga mengimpikanitu. ItulahTerang yang kumaksud.

Tapi, bukankah gelap selalu mengitari takdirku? Lebaranyang dimaksud anak-anakku itu, selalu berbeda dalamkenyataan yang ada selama ini. Lebaran tak lain adalahajang pamer keberhasilan, pamer kekayaan. Bahwa si anusudah punya ini sudah nambah benda itu. Bahwa si entusudah naik kesana pindah ke sini tempat yang lebih tinggi.Atau di enyong, sudah jadi itu dan jadi ini. Sedangkan aku?“Huh…!”, cuma kata itu yang aku punya selama 40 tahun.Inilah gelap yang aku maksud.

Dan gelap inilah yang masih menaungi saat ini.Bagaimana mungkin aku bisa hadir? Justru itulah yang ingindihindari. Tak sanggup menghadapi seringai manis yangpenuh basa-basi dari semua orang yang akan bertanyasegala macam hal. Dengan nada merendahkan yang akanberujung pada pamer kekayaan mereka. Tawa palsu yangdibaluti rasa keingintahuan sudah sampai dimanaperjalanan Lelaki ini?

Bukankah selama ini Ia akan mendapat sanjungansetinggi langit ketika sukses datang dan dikucilkan disaatgagal dan gagal menghampiri. Begitulah selalu.

Lantas kalau harus hadir, apa yang harus dijawab andaiberbagai pertanyaan kemana, mengapa dan ada apamenghujami selama pertemua berlebara itu? Selain itu,kalau tidak hadir, apa yang mesti dijawab oleh anak-anakkuapabila beribu peretanyaan meluncur, kemana ayah, kenapaayah tak hadir, kenapa ini dan kenapa itu? Ujungnya, pastianak-anakku akan menangis. Kenapa ayah tidak datang.

Huh…! Inilah Gelap… Biarlah waktu hapus itu (c*).

Page 145: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

135

Biarlah waktu jawab itu. Dan waktu itulah yang diingatkanTuhan, agar kamu selalu memanfaatkan waktu yangdiberikan Tuhan, kalau tidak mau menjadi manusia yangmerugi. Waktu itu adalah waktu subuh, waktu ashar, waktu2/3 malam. Sujudlah, sembahlah Aku, karena itulah jalanyang benar, begitu Tuhan berkata (d*).

Jadilah manusia yang bersabar dan bersyukur, karenaTuhan selalu bnersama mereka. Ampuni aku Tuhan….. n

Bogor, 10 Juli 2012

Catatan:a. Nama alias, nama asli adalah: Almansyah.b. Puisi: Temui Aku Disitu, karya Almansyah, Depok 1994.c. Penggalan lagu Grup Band Niji.d. Firman aslinya: “wa ani buduuni haadzaa shirathun mustaqim (dan

hendaklah kalian menyembah-Ku, karena inilah jalan yang lurus)”.

Page 146: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Escha Van Den Bogerd | OpenArt

136

Page 147: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

137

Eka Maryono

o

Kakek dan Peti Mati

Published © Koran Tempo, Minggu 12 Agustus 2012

Eka Maryono, lahir di Jakarta 2 Maret 1974. Pendidikanterakhirnya di jurusan Sastra Jepang Universitas Nasional

(1991-1997). Aktif di komunitas Studi Sastra Jakarta.

u

Page 148: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Kakek dan Peti Mati | Eka Maryono

138

”KAKEK, saya bantuin, ya?”“Ya, ya, bersihkan yang di ujung sana.”Kakek tertawa dan mengelus-elus rambut saya.

Saya berlari ke ujung yang lain, lalu mulai mengelap petimati buatan kakek.

Begitulah, kakek adalah pembuat peti mati satu-satunyadi desa kami, tapi kakek hanya membuatnya setelah musimtani usai. Dalam satu tahun hanya satu peti mati yang iahasilkan. Ya, satu tahun untuk satu peti mati.

Soal angka satu ini sepertinya sudah jadi angka keramatbagi keluarga kami. Lihatlah, saya adalah anak satu-satunyadari bapak, sementara bapak adalah anak kakek satu-satunya, dan kakek tentu saja anak tunggal.

Bisa dikatakan hanya bapak dan kakek keluarga saya.Ibu pergi meninggalkan rumah saat saya masih menyusudi dadanya. Saya tidak pernah tahu ke mana ibu pergi.Tidak seorang pun memberitahu alasan mengapa ibu pergi.Tapi dulu ada tetangga yang sering mengejek saya, katanyaibu perempuan nakal karena lari dengan mandorperkebunan.

Saya tidak pernah mencari tahu apakah ibu benar-benarlari dengan lelaki lain. Barangkali saya sadar bahwa sayamasih kecil atau mungkin sekadar takut untuk mengetahuisebuah kebenaran. Cerita macam itu terlalu sedih untukdikenang. Sebelum bapak meninggal satu tahun lalu, sayasering melihat bapak menangis malam-malam bila kangenpada ibu.

Dulu, setiap malam bapak selalu duduk di teras rumah.Suatu kali saya pernah bertanya, kenapa bapak selalu dudukdi sana. “Sebentar lagi ibumu pulang,” katanya. Suaranyaterdengar datar. “Malam ini atau besok, dia akan datang.”Kalau sudah begitu, bapak akan menitikkan air mata.

Kebiasaan bapak ini sering membuat kakek marah.

Page 149: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

139

Katanya bapak laki-laki cengeng. Bapak akan marah jikakakek sudah berkata seperti itu dan ganti mengejek kakeksebagai laki-laki berhati batu. Jika sudah begitu, saya akanmenjauhi pertengkaran mereka lalu mengurung diri dalamkamar sambil mengutuki malam karena membuat dukabapak semakin suram seperti kata-kata yang sulit dieja diatas selembar kertas kusam.

Saya tidak mau seperti bapak, menangisi sesuatu yangtidak ada.

Namun ada satu kenangan tentang diri bapak yang sayasangat senang untuk mengingatnya. Begini, ketika bapakmasih hidup, ia rajin mengajak saya ke gereja. Ya, gereja,dengan dentang loncengnya yang sendu dan menjauh itu.Saya senang mendengar lonceng gereja karena serupa suarabapak saat memanggil-manggil saya agar cepat bangun diMinggu pagi yang mendung.

Saya senang melihat bapak berdoa di gereja. Saya merasagereja menjadi satu-satunya tempat bagi bapak untukmenyinggahkan hidupnya yang pahit. Saat bapak berdoadi sana, kegetiran merayap dari sudut mata pucatnya,menjelma jadi butiran air mata yang meluruhkan kata-kata.

Sejak bapak meninggal, saya tidak pernah lagimenginjakkan kaki di gereja. Kakek tidak pernah maumengantar saya. Ketimbang pergi ke gereja, kakek lebihsenang merawat peti mati buatannya yang diletakkanberjejer di lorong samping rumah. Hanya ada dua petimati di sana. Satu ukuran besar, satunya lagi kecil. Karenakakek hanya membuat satu peti mati setiap tahunnya, makaitu artinya sudah dua tahun tak ada orang yang membelipeti mati buatan kakek. Tapi kakek tak peduli. Tiap harikedua peti mati itu ia bersihkan sampai licin hingga lalatpun pasti jatuh terpeleset bila berani hinggap di atasnya.

“Peti ini membuatku ingat akan mati,” kata kakek suatu

Page 150: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Kakek dan Peti Mati | Eka Maryono

140

ketika sambil mengelap sebuah peti mati yang ukurannyakecil dan penutupnya menggelombang seperti ombak.Warnanya cokelat kemerahan dan mengilap seperti cerminyang memantulkan wajah kami apa adanya.

“Ingat bapak dan nenek juga?” tanyaku.Kakek diam sejenak, lalu kembali mengelap.“Suatu hari nanti, kita akan masuk ke dalam peti mati,”

katanya.“Ah, kakek saja, saya nggak mau.”“Kau harus mau, peti ini kan ukurannya sesuai badanmu.”Hah? Biar saya masih kecil, saya tahu canda semacam

itu tidak boleh diucapkan. Bagaimana kalau ada setanlewat? Bisa-bisa jadi kenyataan! Keterlaluan! Saya masihterlalu kecil untuk mati. Lulus sekolah saja belum. Rupanyakakek memahami ketidaksenangan saya.

“Kau seperti nenekmu.”“Nenek seperti apa?”“Ya seperti dirimu. Sama-sama takut mati.”“Memangnya kakek nggak takut mati?”Kakek tak menjawab. Dia mengibaskan kain lap di

tangannya. Tidak ada debu terlontar dari kain lap itu. Hanyahawa panas sedikit menerpa wajah saya. Akhir-akhir iniudara terasa agak lembap. Sudah lebih sebulan mataharikurang bersinar, namun udara malah lebih panas dari bulan-bulan sebelumnya. Kiranya sebentar lagi musim kemarauakan tiba.

Desa kami memang kerap dilanda kemarau panjang.Kalau sudah begitu, sawah-sawah akan kering kerontangkarena sungai dan irigasi lebih dulu mengering. Padi-padiakan layu dan tak bisa dipanen. Dulu, kata kakek, untukmengganti padi yang layu, orang-orang menanami sawahdengan palawija. Tapi ternyata hasilnya tidak memuaskan.Tetap saja tanaman mereka mati akibat kurang disiram.

Page 151: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

141

Hingga suatu hari kakek mengajari orang-orang untukmembuat batu bata. Sejak saat itu, orang-orang membuatbatu bata setiap kemarau tiba. Sejak itu pula, desa kamidikenal sebagai desa penghasil batu bata. Namun lucunyasetiap musim kemarau, kakek malah membuat peti mati,dan bukan batu bata.

Sepertinya kakek memang memiliki ketertarikan yanganeh pada peti mati. Bukan hanya untuk mengingatkematian seperti yang sering dia katakan, tapi seolah adakepedihan yang tertawan dalam hati kakek yang selalumendorongnya untuk membuat peti mati. Menurut ceritabapak, saat nenek meninggal, nenek dimakamkan denganpeti mati buatan kakek. Anehnya, sebelum nenekmeninggal, kakek sudah membuat sebuah peti mati yangukurannya pas dengan tubuh nenek.

“Kakek kamu punya bakat jadi dukun. Sejak dulukakekmu itu memang memuja setan! Apa kamu pernahmelihat kakekmu berdoa?” seru bapak suatu ketika, sehabisdia bertengkar dengan kakek.

Saya menggeleng. Saya memang tidak pernah melihatkakek pergi ke gereja. Saya juga tidak pernah melihat kakekberdoa di rumah.

“Begitulah kalau orang tidak mau menyalahkan dirinyasendiri, ketika sengsara mereka menyalahkan Tuhan.Sekarang kakekmu membuat peti mati yang ukurannya pasdengan badan bapak. Lihat! Lihat saja! Sebentar lagi bapakjuga akan menyusul nenekmu.”

Dan satu bulan kemudian, bapak benar-benar menyusulnenek.

Tiba-tiba saya tersadar, bukankah sekarang tersisa duapeti mati, satu ukuran besar dan satunya kecil. Saya kirayang besar itu memang pas dengan ukuran tubuh kakek,dan yang kecil pas dengan badan saya. Apakah kebetulan

Page 152: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Kakek dan Peti Mati | Eka Maryono

142

saja jika kakek membuat dua ukuran yang berbeda? Ataujangan-jangan memang disengaja? Apakah kedua peti itubelum laku terjual atau jangan-jangan kakek memang tidakmau menjualnya?

Saya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kakek pastimendapat firasat tentang kematian kami. Saya tak maumasuk ke dalam peti mati itu. Saya juga tak mau kakekmasuk ke dalamnya. Saya takut kehilangan dia. Cuma diamilik saya satu-satunya. Dalam hati saya berdoa agar kamidijauhkan dari kematian. Tapi apa kematian bisa diubahdengan doa? Firasat kakek pasti jadi kenyataan. Sepertifirasatnya dulu sewaktu nenek dan bapak akan dijemputmaut. Sebentar lagi kakek akan mati, dan saya pasti ikutmenemani.

“Kakek, kalau kita mati apa kita akan masuk surga?”“Yang pasti masuk ke peti mati.”“Setelah itu ke surga?”“Dikubur dalam tanah.”“Baru ke surga?”Kakek diam saja. Dia melipat kain lap yang ada di

tangannya.“Kata Romo Pastur dulu, kalau tidak ke gereja, kita masuk

neraka.”“Tahu apa dia soal neraka, memangnya dia pernah ke

sana?”“Saya belum pernah pergi ke neraka, Bapak.”Saya dan kakek sangat terkejut. Romo Pastur tahu-tahu

sudah berdiri di dekat kami, padahal kami tidak mendengarpintu pagar dibuka, juga tidak mendengar langkah kakinya.

“Bagaimana kabar Bapak? Maaf kalau saya mengagetkanBapak.”

Kakek tidak menjawab. Wajahnya saja yang pucat.Mungkin belum hilang rasa kagetnya. Kaget bercampur

Page 153: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

143

malu. Romo Pastur yang tinggi besar itu kemudianmembungkuk dan mendekatkan wajahnya ke wajah saya.

“Hampir satu tahun kamu tidak ke gereja,” kata RomoPastur dengan lembut sambil menyentuh bahu saya.

Sama seperti kakek. Saya juga diam. Saya bingungmencari jawaban.

“Dia harus membantu saya membuat peti mati,” katakakek.

“Membantu Bapak membuat peti mati? Setiap hari? Tapikenapa peti matinya cuma ada dua?” tanya Romo Pasturheran. Janggutnya yang lebat bergerak-gerak, mungkin bulu-bulu itu ikut merasa heran.

“Oh, ya, ya, akhir-akhir ini dia memang malas ke gereja,”kata kakek menjadikan saya sebagai kambing hitam. “Sayatidak mau memaksa dia. Saya pikir berdoa di rumah samadengan berdoa di gereja. Gereja toh bukan bangunan, gerejaadalah hati kita. Kita bisa berjumpa Tuhan di mana punkita berada,” kata kakek.

“Oh, bapak benar sekali. Kalau begitu mari kita berdoabersama,” kata Romo Pastur.

“Apa?!”“Mari berdoa, Bapak.”“Berdoa? Di sini?”“Ya, kita bisa berjumpa Tuhan di mana pun kita berada,

bukankah begitu? Atau Bapak ingin kita berdoa di dalamrumah? Saya tidak keberatan jika diundang masuk ke dalamrumah Bapak.”

Romo Pastur membetulkan letak kecamatanya.Kelihatannya dia sedikit memaksakan kehendak.Sebenarnya saya sudah sering melihat Romo Pastur yangasli Belanda itu datang untuk mengajak kakek ke gerejasejak saya masih belajar melafalkan huruf dan angka. Tapiada saja alasan kakek untuk menolaknya.

Page 154: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Kakek dan Peti Mati | Eka Maryono

144

“Saya sudah berdoa pagi ini, malam tadi, kemarin pagi,saya sudah berdoa berkali-kali,” kata kakek.

“Tidak apa-apa, mari kita berdoa sekali lagi untukmenyenangkan hati Tuhan seperti Dia menyenangkan hatikita.”

Kakek kelihatan gusar. Dia memijat-mijat keningnya.“Bapak kelihatan kurang sehat?”“Ya, betul sekali, saya sedang tidak enak badan.”“Kalau begitu mari berdoa, Tuhan Maha Menyembuhkan

sakit manusia.”Kakek kelihatan makin gelisah. Tiba-tiba saja dia roboh

ke tanah. Romo Pastur kaget sekali. Buru-buru diamembopong kakek ke atas kursi. Kakek dikipas-kipasisampai sadar kembali. Romo Pastur kelihatan merasabersalah.

“Maafkan saya, Bapak sudah tua dan lemah, seharusnyasaya tidak memaksa Bapak untuk berdoa bersama.”

“Tidak apa-apa. Nanti saya berdoa sendiri.”“Ya, begitu lebih baik.”Tak lama kemudian Romo Pastur pamit pulang. Saya

mengantarnya sampai halaman depan. “Jaga kakek kamu,dia sungguh orang baik,” pesannya. Saya pun kembali kedalam rumah, kakek sedang mengelap peti mati ukuranbesar dengan kain yang tadi sudah dilipatnya.

“Kakek pura-pura pingsan ya?” tanya saya. Seperti biasa,kakek tak menjawab jika dia tak suka dengan pertanyaanyang dilontarkan kepadanya. Hanya saja, saya merasa, hariitu dosa kakek bertambah satu lagi. Benar-benar bertambahsatu lagi.

Sebuah suara tiba-tiba membuyarkan lamunan saya.“Kakek, saya bantuin ya?”“Ya, ya, ambil kain lap itu lalu bersihkan yang di ujung

sana.”

Page 155: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

145

Saya mengelus-elus rambutnya sebelum dia berlari riangke ujung peti mati yang sedang saya bersihkan.

“Kakek, sekarang kan hari Minggu? Kakek tidak ke gereja?”tanyanya.

“Kakek sudah tua, berdoa di gereja terasa berat bagiorang tua sepertiku,” jawab saya.

“Di rumah kakek juga tidak pernah berdoa.”“Kata siapa? Tiap hari kakek berdoa, toh Tuhan Maha

Pemurah.”Dia tersenyum penuh arti. Hari ini dosa saya bertambah

satu lagi. n

Page 156: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Agnes-Cecile | OpenArt

146

Page 157: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

147

Absurditas Malka

o

Hujan Anak Panah

Published © Lampung Post, Minggu 12 Agustus 2012

u

u

Page 158: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Hujan Anak Panah | Absurditas Malka

148

PERNAH melihat hujan selain hujan air?Aku pernah melihat hujan selain air, langit siang itutidak menggelayutkan awan sesudut pun, tidak juga

diterpa angin badai, matahari pun bergelantung diketinggian bersama sengatnya yang galak.

Hujan itu terjadi ketika orang-orang yang menuntutkeadilan dari Kampung Amone tumpah di padang rumputyang membatasi kampung mereka dan Kampung Wamea.Di padang rumput itulah, aku melihat hujan anak panah.

Ratusan orang yang menuntut keadilan berlarian ketengah padang rumput, mereka membawa tombak, anakpanah, dan parang. Memburu musuhnya dengan senjata-senjata itu, ada sebagian dari mereka membawa tamengdari seng atap rumah, ada yang berlindung di balik pohonada yang berkelit. Ratusan anak panah berjatuhan dari langit.Memburu siapa saja, ingin melesak dan berkait di tubuhsiapa saja. Kedua kampung itu berperang dengan alasanyang sama, keadilan.

Mataku semakin menatap layar televisi, menyaksikanhujan anak panah di padang rumput perbatasan. Akumenyeringai miris menyaksikan anak-anak panah yangmelesak di tubuh orang-orang.

“Kenapa mereka berperang?” Aku bertanya entah kepadasiapa?

“Kami berperang untuk menuntut keadilan.” Tiba-tibaseseorang dari dalam televisi menyembulkan kepalanyakeluar, wajahnya menatapku geram. Busyet.

“Hah, keadilan?”“Bukan, maksudku. Kami menuntut pelaku pencurian

benda berharga agar segera diadili. Itu sama saja denganmasalah keadilan.” Jawabnya tergesa, sesekali orang itukembali masuk ke dalam layar kaca, mengawasi langit,menghindari tembakan anak panah.

Page 159: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

149

“Hoi, sudah dulu ya. Aku harus kembali berperang,keadilan harus ditegakkan.”

Orang berkulit legam dengan rambut keriting itu kembalimasuk ke layar, hujan anak panah semakin deras. Beberapaorang sudah jatuh kena tikaman.

“Keadilan?” Aku bergumam, mulutku menyedot habissegelas kopi yang sudah dingin.

“Para pencur itu harus dihukum! Serang!” teriakseseorang, mengomando ratusan kawanannya untuksemakin garang menyerang. Kedua penduduk kampungyang dipisah padang rumput itu semakin liar saling serang.

“Boy! Awas!” Aku berteriak, mengingatkan seorang bocahyang seharusnya tertikam anak panah. Setelah mendengarsuaraku, bocah dalam televisi itu melompat berkelit, anakpanah amblas di atas tanah.

“Boy, sini. Lu jangan ikutan perang.” Aku melambaikantangan.

“Sebentar...” Bocah itu balas melambaikan tangan.Dipungutnya anak panah yang menancap di atas tanah.

Kemudian tangannya mengais-ngais bingkai televisi,mencari jalan ke luar. Pertama-tama jemarinya berhasilmemegangi bingkai layar kaca, kemudian wajahnya diikutiseluruh kepalanya. Ia keluar, kaki kanannya pertamamenginjak lantai di rumahku, kemudian seluruh tubuhnyasudah berada di ruangan rumahku. Bocah itu tidak memakaiapa pun, kecuali celana dalam yang sudah dekil.

“Duduk sini Boy, kita aman di sini. Eh, lu mau kopi?” Akumenarik lengannya. Bocah itu terduduk di sofa sebelahkanan, ia mengangguk. Matanya tak lepas dari layar kaca.

“Tunggu sebentar.” Aku pergi ke dapur, menyeduh kopipanas.

“Jangan pake gula!” teriak bocah itu.“Hah? Kagak pake gula? Kopi macam apa itu?” Aku

Page 160: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Hujan Anak Panah | Absurditas Malka

150

bergumam.Membuat kopi hanya butuh waktu 5 menit, aku sudah

menyeduh segelas kopi tanpa gula sesuai pesanan. Bocahitu masih menelisik tayangan berita.

“Nih kopinya Boy, coba aku lihat anak panah itu.”Aku meraih anak panah yang digenggamnya, bocah itu

mendelik menatapku.“Mau mati kau! Anak panah ini beracun, jangan kau

sentuh.”“Hah beracun? Orang-orang itu akan mati kalau kena

anak panah?” Aku menunjuk orang-orang di dalam layartelevisi yang tertembak anak panah.

“Mereka sudah punya penawar, tidak akan mati. Hanyasakit saja.”

“Boy, kenapa lu ikutan perang?”“Keadilan,” jawabnya singkat.Halah, aku bertemu lagi dengan wacana keadilan.

Kenapa orang-orang itu begitu mudah menyebut keadilan,apakah karena mereka sangat mengerti tentang keadilanatau karena mereka tidak pernah memiliki keadilan.

“Keadilan atau pencurian?” Aku teringat kata-kata lelakitadi.

“Pencurian.”“Apa yang mereka curi sampai-sampai kalian harus

berperang?”“Kemerdekaan.”“Boy, gue kagak ngarti.”“Orang-orang Jakarta seperti kau tidak akan mengerti.

Kami yang mengerti apa yang terjadi di kampung kami.”“Ya ya ya... Apakah orang-orang Wamea benar-benar

mencuri kemerdekaan kalian?”“Katanya begitu.”“Katanya?”

Page 161: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

151

“Ya, katanya begitu.”“Kata siapa Boy?”“Seseorang, kata seseorang.”“Seseorang siapa?”“Orang Jakarta.”“Haduh, orang Jakarta lagi. Kata siapa orang Jakarta?”“Sudah langganan, kemerdekaan kami hilang karena

memang orang-orang dari Jakarta yang mencurinya. Siapalagi yang paling suka mencuri di negara ini? Jakarta kan?”

“Oke, oke... Gue ngarti. Tapi, kenapa kalian berperangdengan mereka? Penduduk Wamea kan bukan orangJakarta?”

“Nah itu dia, orang-orang Jakarta itu pengecut. Merekatidak berani bertempur melawan kami, mereka menyusup,menghasut, mencipatakan kekacauan, merekayasa apa saja.Semua ini perbuatan orang Jakarta.”

“Boy, lu tau dari siapa semua itu perbuatan orangJakarta?” Aku mengambil gelas kopi, tinggal ampas. Bocahitu melirik ke arah gelas kopi miliknya.

“Minumlah.” Aku menunjuk ke arah gelas kopi miliknya.“Kau kasih racun?” Bocah itu menunjuk gelas kopi dengan

anak panah.“Tidak.” Aku mengangkat bahu.“Awas kau!” Gluguk, bocah itu menenggak habis gelas

kopi pahit dengan tangan kiri, tangan kanannyamenggenggam anak panah beracun, menodongkannya kewajahku.

“Mantap!” Bocah itu mengusap bibirnya, kemudianmengacung jempol.

“Boy, lu mau tinggal di sini?”“Tidaklah, ngapain aku tinggal di Jakarta. Tidak ada guna.”“Kalau begitu buruan balik, nanti beritanya keburu

udahan.”

Page 162: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Hujan Anak Panah | Absurditas Malka

152

Bocah itu terperanjat. Anak panah yang sedari tadidigenggamnya disimpan di atas meja, kemudian iamelompat memburu layar kaca. Kepalanya sudah berhasilmasuk ke layar, diikuti kaki kanan, kaki kiri dan seluruhtubuhnya sudah sempurna kembali dalam layar.

“Hoi! Selamat tinggal Jakarta!” Bocah itu berteriak.Aku melambaikan tangan ke arahnya. Hujan anak panah

belum juga mereda. Semakin banyak orang menjadi korban.Layar kaca berganti tampilan, bocah itu kembali terlipatdalam berita.

“Anak panah beracun.”Aku bergumam, tanganku meraih anak panah di atas

meja.Betapa beracun Kota Jakarta. n

Bandung, 20 Juni 2012

Page 163: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: OpenArt

153

Page 164: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Gagak Hitam | Ramajani Sinaga

154

Ramajani Sinaga

o

Gagak Hitam

Published © Medan Bisnis, Minggu 12 Agustus 2012

Ramajani Sinaga, lahir di Sipispis, 5 Oktober 1993.Mahasiswa semester dua Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.Karyanya telah dimuat pada Detak Unsyiah Aceh,

Harian Serambi Indonesia Aceh, Harian Medan Bisnis,dan Harian Waspada Medan.

u

Page 165: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

155

Saban malam, seekor burung gagak hitam selalubertengger pada sebuah dahan pohon rambutan di

depan rumahku. Dan tampak seperti inginmengabarkan sesuatu. Aku acap mengusir danmelemparnya dengan batu, burung gagak itu

menceracau dan menggerutu, namun burung gagakhitam itu selalu kembali dan bertengger pada pohon

yang sama di depan rumahku. Aku mulai resah dibuatburung gagak hitam itu.

AKU seorang lelaki berambut putih yang dihormati dihuta ini, orangorang di huta memanggilku denganpanggilan Ompung Datu, entah kenapa mereka

memanggilku dengan panggilan tersebut, sedangkan akubukanlah seorang yang berilmu tinggi.

Aku mengetahui jika akhirakhir ini orang-orang di hutasedang sibuk mempergunjingkan aku bersama burunggagak hitam itu. Mereka mengatakan bahwa aku atau salahsatu keluargaku akan meninggal menghadap Tuhansebentar lagi, namun mereka tiada yang beranimenyampaikannya langsung di hadapanku. Mereka hanyaberani berucap di belakangku.

Di kedai tuak Martohap, di rumah-rumah makan, di jalan-jalan, semua orang sibuk berbicara tentang aku yang akanmenghadapi kematian. Bahkan, di rumah ibadah sekalipun,mereka juga membicarakan aku dengan gagak hitam itu.Burung gagak hitam yang kabarnya akan memberikan beritabahwa aku atau salah satu keluargaku akan meninggaldunia.

“Ompung sehat-sehat saja, kan?” seorang pemudabertandang ke rumahku, aku sangat tahu apa tujuannyadatang ke rumahku, ia hanya ingin memastikan; apakahaku benar-benar akan menghadapi kematian sebentar lagi?

Page 166: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Gagak Hitam | Ramajani Sinaga

156

“Sehatlah! Kalau tidak sehat, aku tidak seperti ini, Togar!”“Tapi...”“Tapi apa? Karena burung gagak hitam itu?”“Iya, Pung, banyak orangorang di huta bercerita kalau

setiap malam ada seekor burung gagak hitam selalubertengger di depan rumah, Ompung.”

“Lalu aku akan mati? Begitu maksudmu, Togar?!”“Bukan begitu, Pung..”“Apa hubungannya burung gagak dengan kematian?”Pemuda itu diam ter tunduk, tanpa menjawab

pertanyaanku.“Pulanglah, Togar! Katakan pada orang-orang di huta

semua, jangan suka mengumpat orang lain. Aku sehat-sehatsaja, aku tidak mati!”

“Maafkan aku, Ompung,” jawab lelaki itu sembarimencium tanganku.

BURUNG gagak hitampembawa kabar kematian. Tetapsaja aku tidak percaya akan hal itu, tapi sebenarnya jauhdalam lubuk hatiku; aku juga merasa khawatir akankedatangan kematian pada keluargaku. Kehadiran burunggagak hitam itu selalu membuatku semakin resah, meskipunaku telah berusaha untuk menepisnya.

“Ulang pala songon in. Hamatean i tangan ni Naibata.Seng bani manuk nabirong ia!” (Jangan seperti itu. Kematianberada di tangan Tuhan. Tidak pada burung hitam itu) Ucapistriku, ia berusaha menghiburku agar aku tidak merasakhawatir. Meskipun begitu, aku tetap saja khawatir. Anakku,Riduan, diam-diam tanpa sepengetahuanku ia sering sekalimengikuti geng balap motor liar di jalanan. Padahal akutelah berusaha melarangnya, hal itu juga yang membuatkukhawatir.

Malam berikutnya, burung gagak hitam itu kembali hadir

Page 167: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

157

menceracau pada dahan pohon di depan rumahku. Akumengusirnya, namun burung itu selalu kembali. Makadengan ditemani beberapa batang rokok dan segelas kopiyang dibuatkan oleh istriku, aku berjaga-jaga di teras rumah,sebab burung gagak hitam itu memang selalu kembali.

Belum lama aku meneguk segelas kopi dan duduk diteras rumahku, burung gagak hitam itu kembali lagi.

“Misir! Misir ma ho! Ulang hujon be!” (Pergi! Pergilahkau! Jangan ke sini lagi!) aku melempar burung gagak hitamitu dengan batu. Aku kesal. Aku memakinya dan dia terbang.Aku berharap ia tak kembali lagi ke depan rumahku.

Masing-masing rumah warga di huta ini, pasti ada pohonrambutan yang tertanam dan tumbuh. Tapi entah kenapaburung gagak hitam jahannam itu hanya mau bertenggerpada dahan pohon rambutan di depan rumahku. Burungitu tidak mau menghinggapi pohonpohon di depan rumahorang lain. Padahal, pohon di depan rumahku tiada bedanyadengan pohon-pohon yang lain, tiada mempunyaiperbedaan atau keistimewaan sama sekali. Apakah Tuhanmemang mengirimkan kabar kematian padaku melaluiburung gagak hitam itu? Aku tambah khawatir.

AKU duduk di teras rumah, sama seperti malam-malamsebelumnya, yaitu untuk bersiap-siap mengusir burunggagak hitam itu. Aku sangat membenci burung gagak hitamjahannam itu. Malam ini lebih dingin dari pada malamkemarin. Sesekali angin malam berhembus kasar menusukpori-pori kulitku. Tiba-tiba seorang anak muda denganmengendarai roda dua berkecepatan tinggi menujurumahku.

“Anaknya Ompung...” Napas anak muda itu terdengartersengal-sengal. Wajahnya pucat.

“Kenapa?” tanyaku pada pemuda itu. Aku mulai didera

Page 168: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Gagak Hitam | Ramajani Sinaga

158

rasa khawatir.“Riduan kecelakaan, Ompung.”Rasanya tubuhku tersungkur saat mendengar kalimat

itu. Aku seperti melihat burung gagak hitam sedang tertawake arahku. Aku baru sadar bahwa Riduan tidak kembalisejak sore tadi. Sementara malam kian dingin menambahluka ketakutan.

“Bawa aku ke sana!”“Baik, Ompung.”Aku gerah dan khawatir di atas desing roda dua. Sampai

pada lokasi kejadian, aku berlari tergopoh-gopoh menujuorang ramai. Mereka membentuk bundaran. Aku menyusupdi antara tubuh orang-orang itu dengan sangat susah payah.

Aku melihat seorang pemuda terbaring lemah, tubuhnyabergumul dengan darah. Dia anak semata wayangku. Tapiaku tidak mampu mengenalinya lagi, kepalanya terlindastruk besar saat sedang beraksi menjadi geng motor, sehinggaisi kepalanya tercecer di jalanan aspal. Aku tidak mampumerengkuhnya. Jantungku melemah. Pandanganku tiba-tiba rabun dan tubuhku menggigil. Aku ketakutan danterjatuh. Dan aku tidak merasakan apa-apa lagi, namunmasih terdengar olehku beberapa orang berteriakmemanggilku.

“Ompung... Ompung... Ompung.”

KESUNYIAN rumah semakin menjadi. Kerap orang-or-ang banyak ber takziah ke rumahku, mereka turutberbelasungkawa atas kepergian anak semata wayangku.Istriku sangat terpukul akan musibah ini. Matanya tampaklembap, sebab seharian dia menangis, ia juga tidak maumakan.

“Nyawa itu di tangan Naibata.” Aku mencobamenghiburnya.

Page 169: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

159

Dia tetap menangis dengan foto Riduan di tangannya.Aku harus mafhum, karena dia seorang ibu yang telahkehilangan anak semata wayangnya.

Aku duduk di teras rumahku. Burung gagak hitam tiadatampak lagi. Apakah ini suatu kebetulan? Sesuai dengankepercayaan para leluhur dahulu; kedatangan burung gagakhitam adalah membawa kabar kematian seseorang. Akumerasa sangat lelah memikirkan semua ini. Akumenyandarkan kepalaku ke dinding rumahku, keduamataku aku pejamkan. Saat membuka mataku kembaliselang beberapa menit kemudian, tiba-tiba aku melihatbanyak burung gagak hitam bertengger pada setiap dahanpohon rambutan di depan rumahku. Aku tidak mampumenghitungnya dengan jari-jari tanganku. Mereka banyaksekali.

Pada setiap dahan pohon rambutan itu dihinggapi olehburung gagak hitam. Mereka menceracau sepertimengejekku. Mereka tertawa. Sementara angin malamberhembus sangat kencang. Aku menggig il ketakutan.Jantungku berdetak lebih kuat. Pikiranku menggerutu. Inikabar kematian siapa lagi? Apakah ini kabar kematianku,atau mungkin kabar kematian istriku? Ya Tuhan.. selamatkanaku bersama istriku. n

Catatan:

Huta: desa, kampungOmpung: kakekDatu: orang yang berilmu tinggiNaibata: Tuhan

Page 170: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Ademaro Bardelli | OpenArt

160

Page 171: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Ramadhon Tanpa

Bunda

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

161

Rian Harahap

o

Published © Metro Riau, Minggu 12 Agustus 2012

u

u

Page 172: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Romadhon Tanpa Bunda | Rian Harahap

162

Kembali kubaca surat ini. Surat dari seorang yang kupanggil Bunda. Seharusnya aku gembira dengan

datangnya surat itu. Tapi tidak! Yang kurasakan hanyahampa, dan aku merasa tak ingin menyebut nama itu

selamanya. Lima tahun sudah Bunda pergimeninggalkanku sendiri, dikala aku masih butuh

kehangatannya. Ramadhan tahun inipun akan samaseperti sebelumnya, aku tak lagi menemukan wajah

teduh Bundaku. Hanya mesin jahit tua yang teronggokdi sudut ruang tamu setia menemaniku.

KENANGAN indah bersama Bunda saat Ramadhonmenjadi siksaan batin untukku. Setiap Ramadhon,Bunda selalu menyediakan menu special untukku,

sholat taraweh bersama lalu meracik hidangan untukberbuka. Namun,sudah lima kali Ramadhon hanya kulaluisendiri Sehari setelah acara perpisahan kelulusanku darisekolah menengah, Bunda memelukku,

“Di kampung kita, tidak ada yang sekolah hingga menjadisarjana, nak. Sebab itu Bunda harus berusaha agar kamubisa menjadi sarjana. Sesuai pesan almarhum Ayahmu.”Ujar Bunda pelan sambil menatapku lembut.

“Tapi Nur tak ingin Bunda pergi….Nur bisa mencari uangsendiri,. kalau Bunda ijinkan… “Jawabku pilu.Genanganairmata mulai membasahi kelopak mata.

“Tidak Nur! Kamu tak boleh bekerja sambil kuliah. Ituakan menguras tenaga dan pikiranmu.Kamu lihat Parminanak Pak Broto tukang bubur itu, akhirnya …justrubekerjalah jadi pilihannya, kuliahnya..? Berhenti…!”

Semenjak Ayah meninggal karena sakit kanker paru-parudua tahun lalu, Bunda mengambil alih semuanya. Seorangdiri. Tertatih-tatih bekerja apa saja. Bunda tak pernahmengeluh. Mesin jahit tua warisan Ayah, akhirnya menjadi

Page 173: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

163

alat penyambung hidup kami, “Penghasilan dari menjahittak cukup lagi untuk biaya kuliahmu nanti..” Keluh Bundasambil menjahit baju pesanan tetanggaku.

“Lalu Bunda..?” Tanyaku menatap Bunda.“Bunda akan kerja keluar negeri Nur. Jadi pembantupun

tak apa, asal gajinya besar dan kamu bisa kuliah..” Akuterhenyak. Di usia Bunda menjelang empat puluh tahun,sanggupkah?

“Insya Alloh…doakan saja ya..Yang penting kamu jadisarjana, nak!” Jawab Bunda seakan tahu kegundahan hatiku.

Awal kepergian Bunda adalah siksaan untukku. Nyarisaku tak bisa tidur semalaman. Yang terbayang adalah wajahteduhnya. Senyumnya, lambaian tangannya saat menaikipesawat yang akan membawanya ke Negara Kuwait. Takbisa kulupakan adalah sinar matanya yang kulihat aneh.Tatapan mata Bunda menyiratkan sesuatu, namun aku takbisa menebak arti tatapan itu,

“Jaga dirimu baik-baik ya nak….Bunda mencintaimuselalu. Bunda pasti pulang di tahun kelima setelah ini. Janganlupa sholat dan mengaji ya, kuliah yang rajin biar bisa jadisarjana..” Sungguh aku tak mampu berkata apa-apa, hanyalinangan airmataku semakin deras. Saat pesawat itu takeoff, batinku meradang,

“Bunda….! Mengapa Bunda harus pergi…mengapa takkucegah kepergiannya? Apalah artinya jadi sarjana kalauharus berpisah denganmu, Bunda?” isakku pedih.

Bude Mina tetanggaku yang turut mengantar kami kebandara, menggamit lenganku untuk pulang,

“Yang sabar ya nduk! Kan masih ada kami tho?” Akumengangguk lemah.

Walaupun Bunda selalu mengirimiku uang disertai kabar,namun kerinduanku pada Bunda sering tak tertahankan.Masa-masa sulit beradaptasi tanpa Bunda kulalui sendiri.

Page 174: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Romadhon Tanpa Bunda | Rian Harahap

164

Kutenggelamkan diriku dalam kesibukan kuliah, hinggasampai dirumah aku sudah lelah, sehingga tak banyakberpikir yang lain lagi. Bunda bekerja menjadi pembanturumah tangga dan penjaga anak majikannya yang masihbalita. Dengan gaji 1200 real, cukup buat kami dan biayakuliahku. Namun, Bunda hanya bisa pulang setelah limatahun bekerja. Aku berusaha memakluminya. Kerja kerasBunda ku tebus dengan rajin kuliah. Nilai IPK kuAlhamdulillah selalu bagus. Dan yang lebihmenggembirakan lag i adalah tahun depan aku akanwisuda! Bersamaan dengan kepulangan Bunda….Sungguhaku tak sabar melihatnya bangga melihatku.

Namun, entah mengapa di tahun ini Bunda takmengirimiku uang dan kabar darinya pun terhenti. Tahunkelima ini saatnya Bunda akan pulang. Apa beliau sibukmengurus kepulangannya?...Tak mungkin. Aku mendadaksangat cemas. Segala hal kulakukan, mulai dari bertanyapada perusahaan tenaga kerja yang mengirim Bundakesana, bertanya pada KBRI, pada teman-teman Bundayang akan bepergian ke sana. Namun hasilnya nihil. Bundaseperti hilang ditelan bumi. Beragam berita tentang nasibburuh migrant menghantuiku.

“Tuhan….lindungilah Bunda dimanapun berada. Ijinkanbeliau pulang agar aku bisa berbakti di sisa usianya…”Doaku sesaat selesai sholat malam.

Gelegar suara petasan seakan membelah atap rumahku.Malam takbiran bagai arena peperangan saja. Suaragemuruh bedug yang ditabuh, gema takbir yang bersahutanantar masjid, diselingi kilatan kembang api warna-warnimenghiasi langit. Setelah kulalui Ramadhon tanpa Bunda,esok penantianku usai sudah. Kurajut renda–renda cantikbermotif bunga anggrek penghias tirai jendela ruang tamu,kususun kue aneka bentuk di atas taplak hijau meja tamu.

Page 175: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

165

Besok Bunda akan tiba di rumah ini. Bukankah Bunda takpernah ingkar janji padaku. Keyakinanku tak goyah, sampaiaku mendengar selentingan berita di televisi yangkunyalakan. Sekilas info tentang ditemukannya mayatwanita paruh baya, warga Negara Indonesia. Jenazah itupenuh luka, namun sayang tak ada identitas melekatpadanya. Dan yang membuatku bergidik adalah tempatditemukannya jenazah itu, di Negara Kuwait..! Sama persisdengan Negara dimana Bunda bekerja.

“Tidak…! Itu pasti bukan Bunda…kasihan sekali jenazahitu!..Bunda pasti pulang esok hari….Bukankah Bunda takpernah ingkar janji?” Aku bergumam sendiri. Walaupun satutahun ini nyaris tiada kabar dari Bunda, aku selalu berusahaberpikir positif. Suara-suara berita di televisi berdengungdikepalaku. Hingga akhirnya aku tertidur di ruang tamu.

Pagi ini, adalah hari terpanjang menurutku. Suasanalebaran mengharubiru perasaanku. Di rumah ini, akumenanti sosok yang lama kurindukan. Jam demi jam seakanmenghisap nafasku yang terasa sesak. Kerinduan yangmembuncah, membuatku menjadi tak sabar lagi. Bahkanaku lupa oleh berita yang sekilas kulihat di televisi , tentangsesosok mayat wanita tua yang mati karena siksaanmajikannya. Rupanya saat tertidur tadi malam, sangpembawa berita belum selesai membacakan laporannya.Diketahui akhirnya, bahwa mayat wanita tua itu bernamaSarminem. Mirip dengan nama Bundaku. Aku yang tak tahu,masih tetap duduk di sofa ruang tamu, menantiBunda….entah sampai kapan. n

Zahra Muthia, Pekanbaru Juli 2012

Page 176: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: OpenArt

166

Page 177: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

167

Eka Maryono

o

Cangik Jadi Ratu

Published © Okezone, Jumat 10 Agustus 2012

Eka Maryono, lahir di Jakarta 2 Maret 1974. Pendidikanterakhirnya di jurusan Sastra Jepang Universitas Nasional

(1991-1997). Aktif di komunitas Studi Sastra Jakarta.

u

Page 178: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Cangik Jadi Ratu | Eka Maryono

168

I SU Suksesi kepemimpinan berembus di KerajaanSurasena setelah Prabu Basudewa berniat mundur demimenjadi pendeta di Pertapaan Randugumbala. Seluruh

rakyat mulai kaum brahmana, kesatria, sampai golongankawula bertanya-tanya kepada siapa tahta akan diserahkan.

Tak heran jika saban hari terdengar obrolan mengenaimasalah suksesi ini dari dalam istana dan pura bahkansampai ke warung-warung kopi di pinggiran jalan. Padahal,Prabu Basudewa sebenarnya juga tidak tahu kepada siapatahta akan ia berikan. Kakrasana, putra tertuanya, telahmenjadi raja di Mathura dengan gelar Prabu Baladewa. AdikKakrasana, Narayana, sudah bergelar Prabu Sri Batara Kresnasetelah menjadi raja di Dwaraka.

Sementara anak bungsunya, Putri Sembrada, menikahdengan Arjuna dan kini tinggal di Madukara. Tak satu pundari ketiga anaknya yang berminat meneruskan tahtaSurasena. Prabu Basudewa tertunduk lesu. Apa jadinyaSurasena tanpa seorang raja?

Berhari-hari Prabu Basudewa tak mau makan, tak bisatidur, hanya termenung layaknya tokoh novel cinta-cintaanyang sering dia baca di masa muda. Sungguh akhir yangtragis jika Surasena pupus dari dunia pewayangan hanyakarena tak punya pewaris tahta.

Sang Prabu jadi ingat ketika ketiga anaknya masih kecil,betapa dia sangat berharap salah satu dari mereka akanmenjadi the next number one, syukur-syukur bisa sekalianjadi the next Surasena idol yang dicintai rakyat. Tapi setelahdewasa, anak-anaknya malah lebih suka menjadi raja danratu di negara lain. Mungkin karena tak kuat menahanbeban pikiran, berhari-hari kemudian Prabu Basudewa jatuhsakit dan akhirnya meninggal.

Jagat pewayangan pun gempar. Prabu Basudewamangkat sebelum sempat menunjuk ahli waris, dan itu

Page 179: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

169

artinya raja baru harus segera ditemukan atau Surasenaakan dihapus selamanya dari daftar lakon kerajaan yangsering dimainkan dalang-dalang. Dewan Kerajaan yangterdiri dari kaum brahmana dan kesatria langsungmenggelar musyawarah nasional tapi tidak menemukankata sepakat. Ketiga anak sang prabu tetap engganmemimpin Surasena. “Kami tidak ingin ada di bawahbayang-bayang ketiak ayahanda,” kata Kakrasana mewakilikedua adiknya.

Kakrasana malah menyodorkan ketiga istri ayahnyauntuk dipilih sebagai ratu. Mereka adalah Dewi Mahira, DewiMahindra, dan Dewi Badrahini. Kalau ketiganya dianggapkurang pantas menjadi ratu, Kakrasana masih punya calonlain, yaitu Ken Sagupi, bekas cemceman Prabu Basudewayang sekarang sudah jadi istri Antagopa. Ken Sagupi dinilaipantas untuk ikut bertarung memperebutkan posisi SiNomor Satu karena dia pernah melahirkan Arya Udawa,putra Prabu Basudewa lainnya yang ternyata lebih senangmengaku sebagai anak Antagopa.

Usulan Kakrasena disambut baik oleh seluruh pesertamusyawarah. Namun, Dewan Kerajaan tak beranimemutuskan, siapa di antara keempat calon yang pantasmemimpin Surasena. Maka setelah melalui perundinganalot berjam-jam, akhirnya diputuskan biar rakyat sendiriyang akan menentukan siapa yang paling pantas untukmenjadi pemimpin mereka.

Tanpa membuang-buang waktu keempat calondihadirkan untuk bertarung dalam Pilratu alias PemilihanRatu. Masing-masing calon dipersilahkan menggelarkampanye untuk menarik simpati rakyat. Ada calon yangterang-terangan menunjukkan keinginannya menjadi ratu,tapi ada juga yang malu-malu. “Saya hanya meneruskankeinginan rakyat,” kata calon yang malu-malu itu.

Page 180: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Cangik Jadi Ratu | Eka Maryono

170

Yang jelas seisi Surasena menyambut gembira perhelatanakbar yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah negerimereka. Rakyat mengelu-elukan jago masing-masing. Jar-gon-jargon politik dan janji-janji manis bertebaran ke tengahmassa. Spanduk dan pamflet memenuhi seisi negara. Yel-yel pendukung pun membahana di mana-mana.

Suasana bukan main riuhnya saat hari pemilihan tiba.Rakyat berbondong-bondong memenuhi bilik-bilik suara.Pilratu pun sukses diselenggarakan. Beberapa harikemudian hasil penghitungan suara diumumkan. Hasilnyakeempat calon memperoleh suara sama banyak. DewanKerajaan segera menggelar rapat dan diputuskan untukmengulang Pilratu, namun lagi-lagi hasilnya sama kuat.Bahkan ketika Pilratu diulang sampai sepuluh kali, hasilnyatetap saja sama. Rapat Dewan Kerajaan pun kembali digelar.

“Weleh, weleh, rakyat sudah jenuh kalau terus-terusanmikirin Pilratu.”

“Harus segera dicari solusi sebelum rakyat kecewa danmemilih jadi golput.”

“Golput nggak bagus untuk pencitraan. Golputmenandakan ada sesuatu yang salah denganpemerintahan.”

“Jadi solusinya bagaimana?”Semua diam. Kakrasana merasa tak enak hati. Dia merasa

bersalah. Andai dia mau meneruskan jabatan ayahnyasebagai Raja Surasena, tentu masalah ini tak akan terjadi.Tapi sebagai kesatria berpikiran modern, Kakrasana tak mauterus menetek pada orangtua.

Jika dia menjadi raja, maka itu harus usahanya sendiribukan karena warisan, bukan karena nepotisme. Kakrasanaingat dengan kejadian di negara tetangga, di mana putramahkota seorang raja sama sekali tak dihargai rakyatnyasendiri. Rakyat berani melempari putra mahkota dengan

Page 181: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

171

telur busuk. Tentu hal itu karena sang putra mahkotaterbiasa mengandalkan kewibawaan ayahnya sehingga lupauntuk mengembangkan kharisma diri sendiri. Kakrasanatak mau bernasib seperti itu.

“Sebaiknya kita meminta petunjuk pada Paman SemarBadranaya,” kata Kakrasana sambil batuk-batuk sedikit biarkelihatan tambah wibawa.

“Lho, kenapa harus Semar? Semar kan cuma abdi dalem,bukan kasta tinggi?”

“Kebijaksanaan seseorang tidak ditentukan dari statussosial, tapi dari nuraninya.

Keluhuran budi pekerti Paman Semar sepatutnya menjadicermin kebijaksanaan. Beliau merupakan perpaduan rakyatkecil sekaligus dewa kahyangan. Perkataan Paman Semarsama dengan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan.Jika kita mau merendah hati mendengarkan suara rakyatkecil, maka Surasena pasti akan menjadi negara yang ungguldan sentosa. Biarkan Paman Semar memilih siapa darikeempat calon yang pantas menjadi Ratu Surasena.”

Karena tak satu pun peserta rapat yang dapatmembantah perkataan Kakrasana, maka Semar pun segeradihadirkan di sana. Tanpa membuang waktu, Semarlangsung disuruh menentukan pilihan. Keempat calon ratududuk berjejer di hadapan Semar. Semar berjalan bolak-balik memerhatikan keempatnya. Tiba-tiba Semar tertawa,keras sekali.

“Paman Semar, kenapa paman ter tawa?” tanyaKakrasana.

“Saya merasa geli karena tidak ada satu pun yang pantasjadi ratu!”

Wajah keempat calon ratu merah padam menahan maludan marah. Suasana mendadak jadi riuh.

“Tenang … tenang … mohon Paman Semar

Page 182: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Cangik Jadi Ratu | Eka Maryono

172

menjelaskan.”“Lihatlah tubuh mereka, semuanya gembrot! Tubuh

gembrot pertanda banyak makan, tak pernah prihatin,jarang berpuasa. Bagaimana mereka bisa memahami artipenderitaan jika sehari-hari hidup mereka dipenuhikesenangan?”

“Maksud paman?”“Bagaimana seorang ratu bisa memahami penderitaan

rakyatnya yang hidup miskin dan kekurangan makan, jikadia sendiri selalu memanjakan lidah dengan makanan?”

“Senang makan enak itu urusan perut, nggak adahubungannya dengan kualitas sebagai pemimpin,” bantahseorang kesatria anggota Dewan Kerajaan.

“Benar tuh! Memangnya ada jaminan kalau pemimpinkurus bakal lebih baik dari pemimpin gendut?” sela yanglain.

Semar tertawa lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya.“Memang kualitas pemimpin tidak ditentukan dari ukurantubuh, tapi daripada memilih orang gembrot jadi ratu, sayalebih senang memilih orang kurus,” kata Semar.

Orang-orang tersentak. Mereka sadar ada suatu petuahyang wajib diperhatikan dalam kata-kata yang diucapkanSemar. Status Semar sebenarnya memang cukup terhormat.Semar bukan cuma pengasuh putra-putra Pandawa, tapilebih dari itu, dia adalah sahabat bagi mereka. Tidakmungkin Semar berkata dusta.

“Kalau begitu Paman Semar, siapa yang akan menjadiratu?” tanya Dewi Sembadra. Sang dewi yang sedari awallebih memilih diam akhirnya tergoda juga untuk buka suara.Semar diam. Orang-orang menahan nafas.

“Cangik!”“Apa?”Kakrasena, Narayana dan Sembadra serentak berdiri.

Page 183: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

173

“Bagaimana Cangik bisa jadi ratu? Dia kan pengasuhbayi, dan bukan bagian dari dinasti!” seru Narayana.

“Sudah saatnya politik dinasti diakhiri. Tak akan pernahada reformasi kalau penguasa selalu berasal dari dinastiyang sama. Lagipula Cangik mewakili penderitaan rakyat.Tubuhnya kurus sedari muda.”

Semar berdiri di podium layaknya pemimpin mau pidato.“Cangik memang perempuan tua dan buruk rupa. Tapi diasangat setia kepada junjungannya. Dia mewakili penderitaanrakyat. Lihat saja tubuhnya kurus kering begitu. Kurusmelambangkan orang yang jujur, sederhana, nggak neko-neko, nggak mengejar materi maupun kekayaan. Oranggemuk pun jika dia bekerja tanpa pamrih maka pelan-pelanakan menjadi kurus. Surasena akan bahagia jika bisamemiliki kesetiaan Cangik yang tanpa batas. Dia akanmenjadi pemimpin yang berpihak pada rakyat.”

Orang-orang terpana mendengar pidato Semar. Tokohsatu ini memang memiliki getaran mistis Batara Ismaya,kakak dari Batara Guru, raja para dewa. Akhirnya Kakrasanamengusulkan kepada para brahmana dan kesatria untukmencoba usul Semar dengan menjadikan Cangik sebagairatu.

“Jika nanti mbok Cangik ternyata melenceng dari garis-garis besar amanat penderitaan rakyat, maka parabrahmana dan kesatria dalam Dewan Kerajaan berhakmenurunkan mbok Cangik dari jabatannya,” katanya.

Usul Kakrasana diterima semua pihak. Cangik punmendadak muncul dalam ruangan itu. Seperti biasa, dimana dia bisa datang dan pergi semaunya dalam semualakon yang melibatkan kaum Pandawa. Sambil menyisirrambutnya, ia berjalan tenang menuju kursi singgasana.Sesekali dia melirik genit ke arah para kesatria. Dan sejaksaat itu, resmilah Cangik menjadi Ratu Surasena.

Page 184: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Cangik Jadi Ratu | Eka Maryono

174

BERTAHUN-TAHUN sudah Cangik letih bekerja sebagaipengasuh putri-putri pandawa. Selama itu dirinya selaludituntut untuk bersikap ikhlas dan mengabdi pada junjungandengan gaji seadanya sesuai standar UMR pembantu rumahtangga. Cangik tidak pernah berani minta kenaikan gajikarena takut dituduh pamrih dan tidak setia. Padahal gajiyang diterimanya hanya cukup untuk membeli sisir, sehinggahanya itu hartanya yang paling berharga dan dengan banggadia bawa ke mana-mana.

Sekarang dirinya sudah menjadi ratu, tentu keadaan takboleh lagi sama, pikirnya. Maka dapur kerajaan jadi tambahsibuk saja. Saban hari sang ratu selalu minta disediakanbermacam hidangan lezat. Mulai mi ayam jamur, steak sapilada hitam, sampai pizza ukuran besar ditambah susu segarjadi menu kesukaannya. Belum lagi aneka buah impor yangharus selalu tersedia di atas meja.

Pelan-pelan berat badan Cangik ber tambah danbertambah terus. Cangik bukan lagi perempuan tua kurusrenta berdada rata. Sekarang dia ratu bertubuh tambundengan payudara menonjol di dada.

Kepemimpinan Cangik disambut suka cita oleh DewanKerajaan. Di bawah kepemimpinan Cangik, gaji anggotadewan dilipatgandakan dan mendapat berbagai insentifbulanan. Cangik bahkan sering mengundang mereka dalamberbagai pesta yang diselenggarakan di ballroom istana.Surasena benar-benar menjelma sebagai kerajaan yangdipenuhi rasa bahagia dan gelak tawa. Namun, nun jauh dipinggiran negara, rakyat yang makin kurus bertanya-tanya,kapan Pilratu berikutnya akan digelar. n

Page 185: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Digital Art by Judas Paul | OpenArt

175

Page 186: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bingkai di Atas Pusara | Zulfikar

176

Zulfikar

o

Bingkai di Atas Pusara

Published © Okezone, Senin 06 Agustus 2012

Zulfikar, alumni Sastra Arab Unpad. Aktivis Sastra diLangkah Komunitas Sastra, Jatinangor. Bersama

beberapa rekan Langkah, kini membentuk Metafor,sebuah Kelompok Studi Sastra-Sosial.

u

Page 187: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

177

AKU sudah berjanji, bila engkau mati aku pasti akandatang, saat jenazahmu dimandikan, saat-saatterakhir mayatmu masuk ke dalam tanah, atau jika

sempat aku pasti datang saat engkau sedang sekarat.Kawanku yang malang. Mengapa pula waktu itu kita

begitu asik menjalarkan obrolan hingga menyentuh soalkematian, dan aku begitu yakin kalau engkau akan matilebih dulu dari aku. Tapi kawanku, maafkanlah aku, akubegitu sibuk dengan pekerjaanku yang baru. Aku baru hariini bisa datang kepadamu, menyentuh tanah pusaramuyang masih merah.

Sesaat setelah dirimu dinyatakan mati oleh dokter, akumendapatkan telepon berdering kencang. Aku waktu itusaja sudah curiga mendengar deringan telepon, pasti adakabar buruk datang, walaupun maaf waktu itu aku benar-benar tak curiga kalau itu telepon dari nenekmu yang bawakabar bahwa engkau mati di rumah sakit kelas bawah.

Kawanku, walaupun aku mengerti waktu itu engkau pastisedang sibuk menahan rasa sakitmu menjelang kematian,tapi mengapa tidak engkau sendiri yang memberitahukuperihal kematianmu yang sebentar lagi datang. Tapisudahlah, walaupun engkau sendiri yang memberitahukuwaktu itu, aku belum tentu bisa datang, aku masih haruskejar target kerjaku sampai larut.

Engkau sekarang sudah masuk tanah. Tubuhmu mungkinsekarang sedang disiksa malaikat, karena aku tahu engkaudenganku bukan laki-laki yang baik, tapi di atas pusaramuaku mendoakan, jika memang engkau sedang mengalamisiksaan agar diberhentikan barang sebentar minimalsementara aku ada di sini.

Tapi aku dengar, engkau sudah menjalani hidup bagussetelah engkau memiliki istri dan seorang anak perempuan.Kawanku aku mendoakanmu, apa pun yang terjadi di bawah

Page 188: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bingkai di Atas Pusara | Zulfikar

178

sana denganmu, tapi aku tak bisa membaca doa-doaberbahasa Arab, tapi sudahlah yang penting aku berdoamemang aku suka merepotkanmu semenjak dulu.

Aku masih ingat hari itu hari Minggu. Saat setelah kitamengendarai sepeda motor mengelilingi kota. Dan kitamampir di sebuah kedai kopi. Tapi demi Tuhan aku takbermaksud menyumpahimu mati terlebih dahulu, bukanpula karena aku melihatmu waktu itu terkekeh batuk-batukmemaksakan asap rokok masuk ke dalam rongga dadamu,tapi di sanalah feeling seorang kawan sejati. Harusnyaengkau mulai berfikir waktu itu, bukan malah membukabaju telanjang dada karena gerah banget, katamu.

Bukan pula karena prediksiku ngawur melihat hidupmuyang begitu susah semenjak bekerja di pabrik celana JeansAmerika itu. Atau semenjak hidupmu dipertaruhkan dipabrik baja meski hanya sepuluh tahun. Sebagai kawan,tentu aku secara tidak sengaja merasakan bahwa sebentarlagi engkau akan mati. Hidupmu dihabiskan menghisapbau karat mesin-mesin, meniup kembung-kembungcerobong asap.

Ini masalah prinsip kawanku. Tapi ngomong-ngomong.Di sekeliling pusaramu banyak sekali jejak kaki tertinggal,jejak-jejak itu mengelilingi pusaramu. Aku senang engkaubanyak yang menyayangi, melihat jejak itu menandakanbahwa banyak orang yang membawakan doa untukmu.Aku tidak menyangka, aku kira hanya anak istrimulah yangdatang ke sini, tapi mungkin engkau memang sudahmenjadi laki-laki baik kawanku. Meski pun di sebelahkuburanmu, aku kasih tahu, bahwa ada kuburan baru jugasemisal punyamu, mungkin saja jejak-jejak kaki ini milikdia. Tapi sudahlah, jika pun orang-orang itu datang bukankepadamu, mungkin saja engkau kena ciprat doa darimereka.

Page 189: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

179

Jika engkau memperbaiki hidupmu dengan mendekatiTuhan, mengapa juga tidak engkau memperbaiki hidupmudengan mendekati uang. Aku hanya takut engkau matikarena tidak memiliki uang. Tapi tak apalah. Engkau sudahtak lagi memikirkan uang sekarang, berbeda denganku, yamungkin giliranku yang nanti dikhianati alat tukar sialanitu. Aku juga berharap sepertimu, jika memang iya engkausudah bertobat, aku ingin pula di akhir-akhir hidupku dekatdengan Tuhan. Pilihanku. Aku bisa mengadu pada uangsaat Tuhan sedang tidak berpihak. Begitulah bergantian.

Hidup ini menakutkan. Bagaimana dengan anak danistrimu di luar. Bahkan, aku tak tahu di mana mereka tinggal.Aku bisa saja memberikan sedikit uang untuk mereka. Biarmereka tak sepertimu. Atau, aku bisa saja menikahi istrimudan menganggap anakmu seperti anakku sendiri.

Jangan marah, aku hanya bergurau, jangan terlalu serius,di alam dunia memang banyak gurauan yang takmenyenangkan jika didengar dari alam kubur. Istrimu pastimembanting tulang menghidupi anakmu, pasti dia kecewajika engkau di sana hanya disiksa, baik-baiklah engkau agaristrimu juga sedikit tenang. Aku tak prihatin meski istrimuaku temukan membanting tulang, aku hanya akan prihatinjika istrimu sampai membanting daging. Aku pasti akanmenolongnya, tenang saja.

Sebenarnya hidupku juga tak sebaik jalan hidup yangengkau alami. Jika boleh bercerita sedikit. Aku sekarangbekerja di perusahaan asing, dengan gaji besar tentu saja.Engkau juga tahu, bukan berarti aku tak suka pribumi, tapiperusahaan asing itu lebih tahu cara mengajarkanberdagang dengan cara modern. Berbeda dengan pribumi,yang serba salah memilih antara tradisional dengan mod-ern. Walaupun engkau juga bekerja di perusahaan asing,tapi cara hidupmu aku kira masih tradisional. Itulah yang

Page 190: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bingkai di Atas Pusara | Zulfikar

180

membuatku iri kepadamu, engkau mengesankan dengancara hidupmu yang tradisional, yang masih menyimpanuang lembaran di bawah bantal.

Saat nenekmu meneleponku waktu engkau sekarat dirumah sakit kelas bawah. Nenekmu menangis dalamtelepon, mungkin karena air matanya pula teleponnya matikarena konslet. Saat itu aku sedang negosiasi ratusan jutadengan salah satu pejabat di daerahmu. Proyekpembangunan pabrik. Jadi bukan aku yang menutuptelepon nenekmu waktu itu, aku tidak berbohong, tentumalaikat di sisimu akan memberitahumu jika aku sekarangsedang berbohong. Meskipun aku sedang sibuk tidakmungkin aku menutup telepon dari nenekmu, percayalahkawanku.

Aku ingin menelpon balik. Tapi sudah aku bilang, mungkinnenekmu terlalu bersemangat menangis, air matanya bikintelepon itu mati, aku tidak bisa menelepon balik. Akuberpikir untuk menyarankan membawamu ke rumah sakityang lebih bagus, walaupun memang mahal, tapi jaminankesehatannya bisa dipertanggung jawabkan. Engkau terlalutradisional, terlalu percaya dengan kartu dari pemerintahuntuk berobat. Jika sudah berhari-hari engkau dirawat, tenturumah sakit akan bosan juga mengurusimu tanpa mendapatbayaran tambahan. Kartu itu kedaluarsa. Belum tentu jugadokter yang merawatmu itu yang terbaik. Kartu dariperusahaan asinglah yang lebih mantap di negara ini,kawanku.

Aku kenal dekat nenekmu. Saat kuliah dulu, aku masihingat nenekmu memberiku uang tanpa sepengetahuanmu.Katanya untuk beli buku. Tapi aku tidak menuruti sarannya,dan memakai uang itu untuk membeli arak bersamamu,juga tanpa sepengetahuanmu. Kita dulu benar-benar kacau.Dan, engkau sekarang sudah menghentikan kekacauan,

Page 191: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

181

mentok di bawah pusaramu yang masih basah. Sedangkanaku, bukan juga aku tak berpikir untuk memperbaiki diri,aku hanya takut mati hanya karena tanpa uang. Sungguhmemalukan menurutku.

Begitu pun dengan cara berdagang modern seperti yangaku katakan tadi. Jika engkau tahu, negara kita ini adalahrumah tangga paling tidak harmonis di dunia ini. Kepalarumah tangga kita selalu gambling dengan berbisnis keperusahaan asing, dia kira akan memperbaiki keadaan danmemperoleh keuntungan, tapi dari mana anak-anak belajarberdagang modern jika bukan dari buku-buku mereka yangasing itu. Uang jajan rakyat dikurangi, untuk apa? Untukberbisnis tentu saja. Aku juga ingin memperbaiki diri, tapitidak olehku pun orang lain mengantri untuk mengambilposisiku.

Pusaramu bau bangkai. Eh maaf. Aku tidak bermaksudbikin ziarah pertama kaliku ini tidak karuan, atau tidak khilafmenyebut dirimu bangkai, engkau tetap temanku dalamistilahku sekarang. Tapi terus terang saja. Tadi ada semliwirbau masuk ke dalam hidungku, entah dari dalam pusaramu,atau terbawa angin dari kuburan sebelah.

Aku takut engkau sedang sakit perut sekarang, dan kentutterus-terusan, pasti engkau merasa bau sendiri karena tidakada lubang udara di sana. Oh maaf. Aku tidak bisamembayangkan hidup susah apa lagi yang sekarangmenimpamu. Terkadang juga ada bau wangi masuk kedalam hidungku.

Aku tidak bohong, aku tidak sedang membuatmutersenyum sekarang. Aku mencium pucuk bunga yangsedang mekar, entah itu dari dalam pusaramu, atau terbawaangin dari kuburan sebelah. Kawanku, aku terkadang merasabahwa aku sendiri yang sebenarnya sudah bau bangkai,atau merasa sudah sempurna dengan memakai parfum

Page 192: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bingkai di Atas Pusara | Zulfikar

182

beralkohol. Tapi jika ditelisik, aku memang tanpa harum,aku merasa hidupku penuh bau bangkai akhir akhir ini.

Aku sungguh takut sekarang. Aku takut bernasibsepertimu. Aku hanya bisa menggaruk-garuk tanahpusaramu untuk meminta maaf, dan agar engkaumemperoleh tempat yang layak di sana, agar nanti, jikaaku memang bernasib sama sepertimu. Aku akan pulangjuga, dan aku akan menumpang di tempatmu. Ya, ya,kawanku.

Biarlah aku merebahkan badanku ini di atas pusaramu,tak apa-apa meski sedikit basah, meski mengotori bajukemeja baruku ini, kemeja putih. Owh, iya aku lupa.Seharusnya aku mengenakan pakaian serba hitam sekarang,menandakan aku mendung seperti langit yang akanmenangis, menandakan aku berkabung.

Tapi kawanku, dengan aku memeluk pusaramu sepertiini, tentu aku bukan tidak berkabung dengan tidak memakaipakaian serba hitam. Kawanku yang sedang tengadah keatas, mendengarkan aku bicara, lihatlah aku, aku punmengenakan celana hitam dan sepatu kerja hitam, akuberkabung kawanku. Cuma masalahnya hanya dengan bajuini. Kawanku engkau harus mengerti, sejak kapan orang-orang sepakat kalau tanda berduka itu warna hitam. Akutidak sedang mendebatmu. Jika dengan membukakemejaku bisa ini membuatmu senang di sana, aku akanmelakukannya.

Aku sudah membuka kemejaku, apalagi, kaos ini? Uhtapi aku benar-benar menuruti kemauanmu, mumpung akudi sini. Tak apa-apa aku akan membuka kaos dalam yangwarna putih ini. Oh ya, kaos kakiku pun warnanya putih,tunggu sebentar tentu engkau pasti senang aku akanmembukanya pula.

Apa? Aku tidak boleh pulang. Baiklah untuk semalam

Page 193: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

183

ini. Engkau berlebihan kawanku, kulit tubuhku memangputih, harus berapa hari dijemur di sini biar agak kelihatanhitam. Untuk sementara aku berguling-guling saja, ya,kawanku, lumayan tanah di sini juga rada hitam. Jangan-jangan, engkau pun meminta aku… Jangan bilang engkaumeminta mataku supaya ikut berkabung. Tapi, baiklah untukkali ini saja. n

Page 194: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Alicia Suarez | OpenArt

184

Page 195: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

185

Syarifuddin Arifin

o

Aku Akui, Ibu!

Published © Padang Ekspres, Minggu 12 Agustus 2012

u

u

Page 196: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Aku Akui, Ibu! | Syarifuddin Arifin

186

AKU tahu, airmatamu telah kering ibu. Aku tahu, saatini kau sedang menderita, merindukan aku yang telahkau buang saat di selangkangmu masih mengalir

darah beku, yang membusuk seperti juga hatimu. Aku tahu,kini kau menyesalinya, apalag i setelah ada yangmengabarkan, anak angkat juragan sawit itu menjadipebisnis yang sukses. Aku tahu, kau selalu berdoa, agar hatikumencair dan mencarimu, lalu aku akan sujud di kakimu.Karena tanpa kau, aku tak akan pernah ada di dunia ini.

Tapi, kau tak pernah tahu, dan aku yakin, kau tak akanpernah mau tahu, kalau aku, anak yang kau lahirkan denganpenuh dosa dan penyesalan, tidak akan pernahmerindukanmu. Aku berdoa, agar Tuhan tidak pernahmempertemukan aku dan kau, Ibu. Kalau pun suatu saatnanti kita harus dipertemukan, ya aku berdoa semogapertemuan itu cukup di akhirat nanti. Ketika para malaikatbertanya tentang kita.

“Apakah dia anak yang kau lahirkan?” Tanya malaikat,dan aku yakin kau akan mengangguk lemah sambilmendesiskan kata “ya”. Tapi tahukah kau ibu, ketika malaikatitu kemudian melakukan pengecekan padaku, tentang apayang kau akui itu? Aku akan membantah dengan tegas.Tidak ada tanda-tanda kalau kau seorang ibu, karena kautidak pernah menyusuiku, tidak pernah membedungku,kecuali hanya membungkusku dengan kain panjang, penuhnoda darah lalu kau taruh aku di beranda sebuah rumahyang pemiliknya merindukan seorang anak.

Sebagai seorang anak, aku sulit merasakan bagaimanabau seorang ibu yang menidurkanku, yang meninabobokkanaku di sampingnya. Aku tak kenal bau keringatmu, baukeringat seorang ibu yang niscaya tak akan pernah dilupakanseorang anak sedurhaka apa pun.

Bila kau bersumpah, seperti ibu tua yang

Page 197: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

187

menyumpahserapahi anaknya agar menjadi batu. Maka itutidak akan berlaku untukmu. Tuhan memekakkan telinganyaterhadap do’a-do’amu, sebelum anakmu, aku memaafkankesalahanmu.

Tapi bagaimana aku bisa memaafkan seorang wanitayang telah melahirkanku? Yang telah mengirimkanpenderitaan dan bergobang-gobang dosanya ke pundakku?Aku tahu, kalau aku sebagai anak wajib memaafkanperempuan yang telah melahirkanku itu. Aku rindu pelukanpenuh kasih sayang darinya, tapi kenapa aku merasa jijikmenyentuhnya? Inikah dosa yang harus kutebus melaluimusibah demi musibah yang datang beruntun menimpaku?

Seharusnya aku menyadari sebelum musibah itumenghantam semua harta bendaku. Rumahku tiba-tibatenggelam dihantam banjir bandang. Beratus kubik mate-rial yang dikirimkan dari hulu, menimbun segala-galanya.

DARI menara masjid kudengar suara merdu yangmelantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Meski aku tak pahamapa yang telah dilantunkan itu, namun ayat-ayat suci ituseperti menembus jantunghatiku. Suara qori’ah itu sepertimemencet hulu hatiku pelan-pelan, lalu mencair danmeneteskan berlian dari sela mataku yang bening ini. Danberlian itu, bagaikan manik-manik yang menyimpanpelangi, jatuh ke dalam gelas yang kuteguk sebagaipembuka puasaku hari ini. Minuman yang kuteguk setelahmembaca; Allahumalaka sumtu…… terasa bagaikan sekam,menyengak di kerongkongan ini. Aku terbatuk, kuat sekalihingga gelas yang kupegang jatuh ke lantai, lalu pecahberderai.

“Sudah saya bilang, kalau nggak kuat jangan puasa,”kata Salimi, suamiku sambil menuntun aku ke kursi malas,tidak jauh dari meja makan kami.

Page 198: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Aku Akui, Ibu! | Syarifuddin Arifin

188

Bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya, akumengikutinya, lalu duduk bersandar. Mataku terasaberkunang-kunang. Ya, siklus keperempuananku sepertiterhenti, sudah lebih empatpuluh hari ini dia tak datang.Menjelang Ramadan, hal ini sudah kubicarakan padasuamiku, dan dia mengatakan kalau aku hamil muda. Diamenganjurkan agar aku tidak terlalu memaksakan diri untukterus menjalani puasa, karena berbahaya untukkesehatanku. Tapi aku tetap puasa. Banyak kudengar, or-ang hamil pun ternyata bisa puasa dan bahkan ternyatalebih kuat dari mereka yang tidak berbadan dua. Dokterpun tidak melarangnya. Aku menerjemahkan, bahwaanjuran suamiku, tak lebih karena ungkapan rasa cinta dansayangnya padaku. Apalagi ini anak pertama kami.

Sebagai seorang wanita, aku merindukan keturunan.Hamil dan melahirkan lalu menyusui, merawat bayi yangaku lahirkan, mendidiknya hingga menjadi seorang anakyang berbakti pada agama dan bangsa. Ya, agama kutaruhdi depan kemudian baru bangsa. Karena bagaimana pun,masalah keyakinan perlu ditanamkan kepada anak sejakdini. Sejak ia tidak tahu apa-apa, jauh sebelum si anakmengenal lisan dan aksara.

Ketika itulah, tiba-tiba aku merindukan seorang ibu.Kerinduan yang dulu sempat kuremas-remas, lalu kuinjak-injak dan kuludahi. Aku lupa membaca riwayatku sendiri.

Ibu tidak akan meletakkan bayinya di depan rumahseseorang yang merindukan keturunan, kalau Tuhan tidakmenggerakkan kakinya ke sana. Ya, hanya Tuhanlah yangtahu, sesuatu apa yang akan terjadi dengan seorang anakmanusia yang masih merah dan ranum itu. Aku tidak akanpernah dirawat oleh seorang ibu yang suaminya cukupmapan, lalu membesarkanku dengan rasa kasih-sayang yangmurni.

Page 199: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

189

“Terimakasih tuhan, Kau telah menggerakkan hati ibu,menyerahkan bayi itu ke keluarga mereka yang kinikuanggap sebagai ibuku,”

Lalu, akupun beranjak dewasa, kuliah dan aktif diberbagai organisasi sosial. Banyak wanita teraniaya yangaku bantu melalui organisasi tersebut. Tetapi tidak untukseorang ibu yang telah melahirkanku ke dunia ini. Sampaiakhirnya aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yangberkapital besar, sehingga aku bisa membeli sebuah rumahreal estate di lokasi yang indah dan menarik. Bayangkan,sebuah sungai membentang dan di pinggirnya ditumbuhipohon pinang, berbaris mengikuti liukan tanggul. Akupenyumbang utama untuk pembangunan sebuah masjiddi komplek itu. Hanya beberapa hari setelah dinikahi Salimi,kami pun tinggal di sana.

Aku masih ingat, bagaimana Salimi sering melirikku disaat aku asyik dengan komputer, menyelesaikan beberapatugas yang terkadang sampai menjelang magrib. Kami seringsalat bersama, dan Salimilah yang bertindak sebagai imam.Hingga akhirnya kamipun bersehatian, dan berakhir dipelaminan.

Rasa maluku memuncak ketika aku menikah, karenaayah kandung yang tak pernah kukenal sejak kecil pun tidakpernah datang. Tidak seorang lelaki pun yang berhakmenikahkan aku dengan Salimi, kecuali lelaki yang telahmenghamili ibu, atau saudara-saudara lelakinya yang lain.Tapi bagaimana aku mencari mereka, sedang perempuanitu tidak pernah bercerita? Inilah yang aku benci darinya.Perempuan yang telah melahirkan aku itu telah menguncirapat semua rahasianya, dan kunci itu ia buang ke semakbelakar sana. Hingga tak satupun yang berhakmengetahuinya.

Sebernarnya, ayah dan ibu angkatku telah sepakat

Page 200: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Aku Akui, Ibu! | Syarifuddin Arifin

190

mengakui kalau aku anak kandung mereka. Dan ayahlahyang akan menjabat tangan tuan khadi nikah, menikahkanaku dengan lelaki pilihanku, Salimi. Tapi, tiba-tiba ayahmenangis tersedu sambil menggenggam tangan pak khadinikah tersebut.

“Aku tak sanggup berdusta, aku tak mau berdosa akibatsemua ini nantinya….,” kata ayah lalu ia pun beranjak daritempat prosesi pernikah tersebut.

Tentu saja aku yang siap dengan pakaian seorangpenganten ala daerahku terkesima dan ikut menangis.

Ayah benar. Aku tidak bisa menyalahkannya. Segalakebaikan yang sudah ia curahkan dengan rasa cintakepadaku sejak aku masih belum mengenal apa pun akansirna dengan seketika, ketika ia membiarkan aku sekamardengan Salimi sebagai suami istri. Karena ayah bukanlahlelaki yang telah menanam benihnya dan membuahkanaku sebagai hasil percintaan dengan istrinya. Akhirnya akudinikahkan oleh seorang wali hakim dari catatan sipil.

“Kamu harus banyak istirahat, besok jangan puasa lagi,”kata Salimi menasehatiku. Aku hanya bisa mengangguksambil meremas telapak tangannya.

“Ya, tapi magrib ini kita bisa salat bersama kan?”“Tentu sayang, akulah imammu,” katanya sambil

menciumku dan meraba perutku. Di perutku kini sedangberproses sebuah janin yang akan menjadi keturunanpertama kami.

Tapi salat magrib itu ternyata tidak terlaksana, karenadarah segar mengucur dari selangkanganku. Aku terkejut.Padamulanya aku masih merahasiakannya. Tapi aku tidakbisa bertahan, darah itu mengucur membasahi ke duapahaku. Aku mendengar Salimi menelepon bidan yangtinggal tak jauh dari rumah kami.

Page 201: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

191

MENJELANG magrib, Salimi membawa makanankesukaanku ke rumahsakit. Dia ingin berbuka bersamaku.

“Ini cobaan untuk kita. Maafkanlah ibumu, dan cari tahusiapa sebenarnya ayah kandungmu,” kata Salimimembujukku. Ia mencoba mencairkan hatiku yangmembeku bertahun-tahun ini.

Di luar angin barat terasa sangat kencang, menggoyangdedaunan, bahkan mematahkan cabang dan rerantingpohon yang kalah bertahan. Gabak menggelantung diperbukitan arah timur. Lalu hujan lebat pun bagaikanmenyungkup hulu sungai, dan lidah air menjalar, bagaikanseekor ular meluncur lari ke hilir menghantam danmemporakporandakan yang menghambatnya.Menumbangkan pepohonan, juga pohon pinang yangberbaris indah di sepanjang tanggul, dan tentu saja melahapsemua harta benda dan rumah-rumah warga yang tinggaltak jauh dari tanggul sungai tersebut.

Aku meneteskan airmata, terharu akan anjuran suamiku.Tapi terlambat, musibah itu datang bertubi. Hanya 24 jamsetelah aku keguguran, rumah tempat kami menjalin cintaitu pun berubah menjadi gudang material beratus bahkanribuan kubik. Aku semakin melemah, tuhan telah mengambilharta yang Ia pinjamkan kepada kami.

“Ibu, maafkanlah anakmu ini,” mataku nanar setelahtanpa kusadari kalimat itu terucap begitu saja dari nuraniku.

Apakah ibu mendengar desis piluku ini? n

Padang, 11Ramadan 1433 M/ 1 Agustus 2012

Page 202: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Christine Peloquin | OpenArt

192

Page 203: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

193

Nofita Chandra

o

Ngabuburit

Published © Radar Lampung, Minggu 12 Agustus 2012

u

u

Page 204: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Ngabuburit | Nofita Chandra

194

SUASANA menjelang bulan Ramadan sudah sangatterasa sejak seminggu yang lalu. Sekolahku tidak mauketinggalan dalam menyambut bulan suci yang pal-

ing ditunggu-tunggu seluruh umat muslim di dunia ini. PakParno, guru mata pelajaran agama Islam, sudah sejak jauh-jauh hari merancang dekorasi setiap ruang yang ada disekolah dengan nuansa islami yang universal. Begitu jugadengan berbagai acara keagamaan yang akan lebih seringdilaksanakan setiap minggunya.

’’Baru hari kelima nih, Nda,” ucapku sambil duduk disampingnya. ’’Masih lama banget ya nunggu lebaran”.

’’Apa yang lo harepin dari lebaran sih?” Ginda menatapku.’’Baju baru? Udah kayak anak kecil aja lo ini, Dis”.

’’Bukan, Nda. Gua udah kangen banget pengen pulangkampung, pengen ketemu sodara-sodara di sana, terusdikasih THR. Ya, terus pas pulang ke sini bisa shopping”.

’’Itu sama aja, Edis. Sama aja berarti lo itu kayak anakkecil yang ngarep dapet baju baru pas hari lebaran. Child-ish lo!”

’’Is, biarin....” aku menjulurkan lidah ke arah Ginda.Pak Parno benar-benar bersemangat menggalakkan

Bulan Ramadan Sehat sepertinya. Itu slogan yang beliauciptakan untuk menjadi tema bulan puasa di sekolah kamitahun ini.

’’…. Jadi, rencana sekolah akhir pekan ini adalahngabuburit sehat. Jadi ingat ya, Sabtu besok jam setengahlima sore kalian sudah berkumpul di sini. Nanti kita jugaakan buka bersama. Dan ingat, tidak ada yang telanjangpakaiannya! Kalau ngabuburit di luar biasanya kalian gaya-gayaan, kali ini kalian harus berpakaian yang sopan danmenutup aurat!”

’’HUUU, payah tuh, Pak Parno!” ucapku keesokan harinya.

Page 205: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

195

“Masa ngabuburit pake baju panjang-panjang, udah kayakmau pengajian. Kenapa gak sekalian aja kita gelar tahlilandi sekolah, biar lebih pas?” gerutuku kesal. “Gue mana punyabaju panjang. Ada sih, tapi itu mah ngepres banget mabadan gue. Percuma kan, panjang tapi pres badan gitu?”

“Ah, bacot aja lo dari tadi, Dis. Pasrah aja, napa?” protesGinda kesal. “Gue juga kagak punya baju panjang modelmuslimah gitu. Tapi paling gue nyerep punya nyokap.”

“Enak lo bisa seserepan ma nyokap. Lah gue? Kagak!”“Ye itu sih derita lo dong, ya?”“Gue gak dateng deh....”Tiba-tiba saja, seorang cowok datang mengampiriku

dengan senyuman lebarnya.“Hai, Edis.” sapanya ramah.“Eh, Farhan.” aku tersenyum.“Lagi bahas apa, Dis? Hai, Ginda.” sapanya lagi pada Ginda

yang berdiri di sebelahku.“Enggak lagi bahas apa-apa kok. Cuma lagi ngomongin

soal ngabuburit sekolah aja.”“Oh itu, kalian dateng kan?”“Gue sih dateng. Gak tau tuh, Edis.” jawab Ginda cepat.“Lho, kok gitu?” Farhan menatapku. “Dateng dong, Dis,

gua aja dateng. Pokoknya dateng, ya? Gue tunggu lo datengdeh.” Ucapnya sambil pergi dengan senyuman penutup.

Sesampainya di rumah, aku segera mengacak-acak isilemari ku, mencari-cari pakaian apa yang kira-kira bisa akupakai ke acara sekolah nanti.

“Cari apa, sih, Edis? Kenapa kamarnya berantakanbegini?” Mama tiba-tiba masuk ke kamarku.

“Edis lagi cari baju muslim gitu, Ma. Buat acara sekolahsabtu besok. Ada gak sih?”

“Hm, baju panjang gitu ya?” aku menatap wajah Mamayang tampak datar. “Udah gak ada kayaknya, Dis. Kan udah

Page 206: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Ngabuburit | Nofita Chandra

196

pada jelek semua, udah Mama sumbangin semua.”“Ya, Mama. Jadi gimana?” tanyaku dengan nada kecewa.

“Edis udah janji dateng, Ma.”

TEPAT ketika hari H.“Apa ini, Ma?” tanyaku ketika Mama menyodorkan

sebuah kotak yang dibungkus dengan bungkus kadobermotif bunga berwarna putih. “Edis kan gak lagi ultah.”ucapku sambil merobek bungkus kadonya.

“Anggep aja itu hadiah pembuka untuk bulan puasa ini,Sayang.”

“Makasi, Ma.” ucapku senang. Aku segera berlari ke kamardan mengenakan baju baru pemberian Mama, lengkapdengan kerudungnya. Aku benar-benar akan tampil cantikkali ini.

Sesampainya di sekolah, aku melihat Ginda sudahmenungguku. Ginda memakai long dress panjang berwarnadominan ungu dan manset berwarna putih, sedangkankepalanya hanya ditutupi selendang panjang berwarnaungu muda. Aku tersenyum pada Ginda yang sudahmenyambutku dari jauh dengan lambaian.

“Mau kemana, Jeng? Kenapa ungu, sih?” tanyaku ketikasampai di sampingnya. “Janda, ih!”

“Biarin aja.” jawab Ginda cuek. “Eh, lo baju baru nih,Neng? Ijoijo gini, udah kayak ketupat.” canda Ginda padaku.

“Ih, apaan sih, Nda. Ngejek aja lo. Ini tuh baru dibeliinMama tau.”

“Cie, cuma ngabuburit di sekolah aja pake baju baru.Biar dilihat ma Farhan, ya?”

Acara itu dimulai begitu saja. Dibuka dengan lagu-laguIslami yang ceria, lalu ada acara membaca puisi bertemakanagama, mengaji dan kegiatan lainnya juga. Tiba-tiba sajaketika aku sedang duduk sendirian di sebuah bangku taman

Page 207: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

197

menunggu Ginda yang ke toilet, seorang cowok datangdan duduk di sampingku.

“Hai, Edis. Sendirian aja, Ginda mana?”“Eh, Farhan.” ucapku gelagapan. “Ehm, Ginda lagi ke toi-

let. Kenapa, nyariin dia?”“Ya enggak lah. Kan ada lo, ngapain nyari Ginda.”

candanya. “Hm, seneng ya, ada acara-acara beginian darisekolah?”

“Iya sih. Tapi....”“Lo cantik deh, Dis.” Potong Farhan menghentikan

kalimatku yang belum rampung. “Pake kerudung gini, lotambah cantik tau. Gue suka liatnya.”

“Ah, iyatah? Masa, perasaan gue aneh deh?”“Bener kok. Lo tambah cantik pake kerudung gini. Gue

seneng lihatnya. Sisi kewanitaan lo tambah keliatansempurna dan lo kelihatan makin dewasa. Cocok kok.”

“Is, Farhan... bohong aja.”“Gak bohong kok, kalo bohong, puasa gue batal dong

sekarang ini?” ia tersenyum. “Mungkin menurut lo aneh,karena kan ini pertama kalinya mungkin... tapi kalo menurutgue lo tambah cantik kok. Tapi jangan abis ini lo langsungmutusin pake kerudung ya?”

“Lho kenapa? Kalo lo suka seharusnya lo seneng dongkalo emang gue pake kerudung permanen nantinya.” “Iya.Tapi pake kerudung itu bukan main-main, harus dari hati.Dan kalo lo pake kerudung lo harus tanggung jawab tuh.Harus jaga sikap, omongan, pikiran dan yang lainnya. Gakasal aja.” ceramah Farhan panjang lebar.

“Seneng deh denger ceramahnya Pak Ustadz Farhan.Makasi ya, Pak.” candaku sambil tersenyum menatapwajahnya.

“Hehe, bisa aja sih, Dis.”“Hm, acara ngabuburit ini emang bener-bener sehat, ya?”

Page 208: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Ngabuburit | Nofita Chandra

198

ucapku sambil tersenyum menerawang ke langit sore yangmulai kemerahan. “Sehat buat pengetahuan, sehat buatpuasanya, sehat juga buat hati gue.” ucapku sambil terkikikbahagia. n

Page 209: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: OpenArt

199

Page 210: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Pintu Lebaran | Ilham Yusardi

200

Ilham Yusardi

o

Pintu Lebaran

Published © Republika, Minggu 12 Agustus 2012

Ilham Yusardi, lahir di Padang, 28 April 1982. Pernahbelajar di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas.Menulis puisi, cerpen, dan esai di berbagai media lokal

dan nasional.

u

Page 211: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

201

AYAHKU tidak pernah menginjakkan kaki ke RumahGadang, rumah mertuanya. Maklum saja, ayah tidakdianggap sebagai mantu oleh Uwo, nenekku. Konon

katanya, pernikahan ibuku dengan ayah tidak direstui Uwo.Ayah tidak mempersoalkan itu. Walau tidak dianggap

sebagai mantu, atau sebagai bagian dari keluarga Uwo,ayah tetap menyuruhku untuk memperhatikan Uwo. Ayahselalu menyarankan supaya aku selalu meluangkan waktuuntuk mengunjungi Uwo yang tinggal sendirian di RumahGadang.

Ibuku adalah Anak Uwo yang tertua. Anak-anak Uwoyang lain kini sudah pergi merantau. Sebelas orang anakUwo, sepuluh orang paman dan bibiku itu hidup jauh darikampung halaman. Paman Jamil, hidup dengan istrinya diPalembang. Lasmina sudah sepuluh tahun tinggal di Bogor.Sahida sudah beranak-pinak di Pekanbaru. Syaiful danRatnawilis mencari nafkah di Dumai. Zubaidah membukausaha rumah makan di Tangerang, karena sukses iamengajak adiknya Marjohan untuk membuka cabang rumahmakannya. Dan kini Marjohan sudah berjodoh pula denganperempuan setempat. Sedangkan tiga lainnya; Habibah,Aminah dan Syawaluddin sudah jadi orang Jakarta pula.

Yang masih ada di sekitaran Uwo hanyalah Kamal danibuku. Paman Kamal, hanya merantau dekat, ke kotaPayakumbuh. Ia bekerja sebagai pegawai pemerintah dikota itu. Sesekali ia datang ke Padang untuk mengunjungiUwo.

Jadi, yang masih ada di kota Padang hanyalah ibuku.Meski menetap di Padang, keluarga kami tidak menghuniRumah Gadang.

Sudah dua puluh lima tahun umurku. Belum sekalipunmelihat ayah menjejakkan kakinya di Rumah Gadang.Bahkan, tidak sekalipun juga aku menemukan ayah bertutur

Page 212: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Pintu Lebaran | Ilham Yusardi

202

sapa dengan Uwo, nenek saya itu.Kala aku masih kanak-kanak, kalau ada acara semacam

kenduri di Rumah Gadang, ayah tidak pernah ikut serta.Cuma ibu, aku dan kakak perempuanku yang datang.Sedangkan ayah tetap menunggui rumah kami. Rumah kamihanyalah rumah kecil yang kami kontrak dari orang lain dikampung itu. Jaraknya sekitar satu kilo meter dari RumahGadang Uwo. Sekitar sepuluh menit berjalan kaki.

Aku sebagaimana juga kakakku tidak pernah mengorek-ngorek cerita kepada ibu kenapa ayah tidak mau menempuhRumah Gadang. Ibu sendiri tidak pernah pula meminta ataumemberi aba-aba mengajak ayah untuk beperg ian keRumah Gadang. Paling-paling, di saat kami akan berangkatke rumah Uwo itu, ayah akan menanyakan apakah kamiakan menginap di Rumah Gadang atau kembali pulang kerumah kontrakan.

Meski tidak pernah menanyakan langsung pada ibu ataukepada ayah, cerita musabab pertikaian antara Uwo denganAyah, aku dapati juga ketika sudah beranjak bujang.Berbagai potongan cerita kudengar dari adik-adik ibu yanglain.

Pamanku yang paling bungsu, Kamal pernahmembeberkan bahwa nenek Uwo sangat tidak suka denganayah. Katanya, ayahku masa mudanya tersohor di kampungitu sebagai preman. “Ayahmu itu dulunya tukang mabuk,suka berjudi dan tidak bekerja. Bahkan ketika menikahiibumu, dia sudah berstatus duda pula,” tutur Paman Kamalsuatu kali. Melengkapi serpihan kisah itu, bibi Lasminamenuturkan bahwa sebelum menikah dengan ibuku, ayahsudah menikah dengan perempuan kampung tetanggayang kemudian aku kenali bernama Baidar. Meski berakhirdengan perceraian, ayah dan Baidar melahirkan seoranganak yang kini menjadi kakak tiriku, Amin. Hubungan

Page 213: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

203

keluargaku dengan keluarga ibu Baidar itu terjalin denganbaik hingga kini.

Menurut cerita Paman Jamil, karena tidak rela anaknyadinikahi oleh seorang preman, Uwo mengutuk ibu danpernikahan mereka. Uwo sangat marah pada ibu. Bahkanuntuk menggagalkan pernikahan ibu, Uwo menyuruhpaman Jamil untuk mencari ibu yang kabur bersama ayah.Paman Jamil yang semasa muda berteman baik denganayah berhasil menemukan ayah di Pariaman, kota kecil diutara Padang. Beberapa hari setelah menikah ibu tinggaldi rumah temannya di Pariaman. Tapi Paman Jamil berhasilmenemukan mereka. Paman Jamil mengancamkan parangke leher ayah. Tapi ibu berlari menghadangkan lehernya keparang Jamil. Mencoba menepis. “Jamil, sampaikan padaMak, aku ikhlas dibuang oleh Mak. Tapi jangan pernahberusaha melerai pernikahan kami. Ingat Jamil, kau hanyaadikku. Kau tidak pantas mengatur diriku.” Begitu keras hatiibu untuk mempertahankan cinta mereka.

Lebih dari lima tahun setelah pernikahan itu, ibu tidakpernah menginjakkan kaki ke Rumah Gadang. Ibu dan ayahtelah dikaruniai seorang anak putri, Mila, kakakku. Merekasudah kembali ke kampung dan menetap di rumahkontrakan. Meski tinggal di kampung yang sama, ibu danUwo tidak pernah bertegur sapa. Keduanya seperti salingmembiarkan kehidupan masing-masing. Saat itu Uwo masihtinggal dengan adik-adik ibu yang belum menikah.

Perubahan baru terjadi ketika Abak, kakek kami,meninggal. Mungkin saat itu aku sudah berumur tiga tahun.Ketika mayat Abak terbujur di ruang tengah Rumah Gadang,semua anak-anak Uwo saling rangkul, tumpah meratap-ratap di hadapan jasad Abak. Sejak itu pula untuk pertamakalinya ibu dan aku menginjakkan kaki di Rumah Gadangyang sudah tua itu. Sejak itu pula Uwo kembali bertutur

Page 214: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Pintu Lebaran | Ilham Yusardi

204

sapa dengan ibu. Sejak itu pula kami menyapa nenek kamidengan sapaan Uwo.

Meski sudah bertutur sapa, hubungan ibu dengan Uwosekadar berbaikan saja. Uwo tidak pernah menawarkan ataumeminta ibu untuk pulang dan tinggal di Rumah Gadang.Padahal tak lama setelah itu Rumah Gadang sudah kosongmelompong, karena semua anak Uwo, adik-adik ibu sudahpergi merantau. Sebagai anak perempuan tertua, ibu tidakpernah pula mengambil haknya untuk menghuni RumahGadang. Maka, Uwo hanyak tinggal sendirian di rumah yangterlalu besar untuk badan seorang. Kadang-kadang, Uwomengajak Yuli, anak sepupunya yang gadis lapuk itu untukbermalam, menemaninya tidur.

DALAM gulungan tahun demi tahun yang terasa singkat,hingga kini kondisi seperti itu masih terus berjalan.Kelihatannya baik bagi Uwo maupun ibu semua berjalannormal. Meski adik-adik ibu sudah bertegur sapa denganayah, menandai bahwa mereka sudah menerima ayahsebagai ipar mereka. Paman Jamil yang dulu mengancamAyah dengan parang, selalu datang ke rumah untukmenemui ibu dan berbincang dengan ayah bila ia pulangdari Palembang. Bila melihat perbincangan Paman Jamildengan Ayah, aku seakan menemukan dua teman lamayang saling akrab, bukan dua orang ipar-besan yang pernahsaling ancam.

Begitu pula dengan saudara ibu yang lainnya. Merekasudah menerima ibu, Ayah atau kami sebagai sebuahkeluarga besar. Mereka sering saling bertukar kabar melaluitelepon. Tak jarang di awal tahun ajaran sekolah, pamandan bibi itu mengirim uang untuk membantu biaya sekolahkami. Entah kenapa semua itu. Mungkin di antara anak-anak Uwo, hanya ibu yang hidup pas-pasan. Tinggal di

Page 215: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

205

rumah kontrakan. Mungkin ditambah pula melihat ayahhanya bekerja sebagai kuli bangunan.

KIAN hari aku lihat Uwo sudah semakin tua. Meski masihkuat untuk berjalan ke mesjid, tenaga Uwo sudah semakinberkurang. Di hari-hari sebelumnya Uwo masih sanggupuntuk untuk membereskan kebun, memangkas rerumputanatau menyapu daun-daun mahoni yang gugur dipekarangan Rumah Gadang. Namun kemudian Uwo seringmemanggil orang upahan.

Kadang bila tepat waktunya, tak jarang aku melakukanpekerjaan itu. Aku mengambil cangkul atau sapu lidi untukmembersihkan halaman Rumah Gadang. Tapi Uwo yangtahu bahwa aku yang bekerja membereskan pekaranganrumahnya, selalu memberiku uang ketika mau pulang. “Iniuang bukan upahmu menyapu rumah. Simpanlah uang iniuntukmu, Indra. Uwo ingin kamu melanjutkan belajar hinggakuliah. Nanti kalau sudah tamat, carilah pekerjaan yangbaik yang tidak memerlukan tenaga hingga berpeluh-peluhseperti ayahmu,” suatu kali Uwo menyerahkan begitubanyak uangnya kepadaku.

Siapa yang tidak senang mendapat uang. Lagi pula halaldan banyak. Tapi kalimat terakhir Uwo yang menyentil ayah,membuatku sedikit berpikir ulang. Mengapa Uwo sampaiperlu menyebut ayah saat setiap kali memberikan sesuatu?Ah, tak ada yang perlu diperpanjang-rentang ucapan Uwoitu. Bukankah ia sudah terlalu tua.

UWO terjatuh di tangga Rumah Gadang. Uwo sempatpingsan hingga dilarikan ke rumah sakit. Cerita dokter, Uwotidak mengalami cedera apa pun. Hanya saja penyakit sesaknafas mulai kambuh dan bertambah akut. Penyakit itu pulamembuat Uwo agak sering terbatuk-batuk.

Page 216: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Pintu Lebaran | Ilham Yusardi

206

“Pagi itu aku hendak pergi ke surau untuk sembahyangsubuh. Lampu beranda tidak bisa hidup. Pandangan matakutidak menemukan anak tangga untuk berpijak, aku raba-raba saja dengan kaki. Malang…. Huukh! Hukh!Hukkhh!”dengan suara yang teramat susah untuk didengungkannya,Uwo menceritakan kejadian itu pada setiap sanak keluargayang mengunjunginya.

Sudah seminggu Uwo di rumah sakit. Mendengar Uwodirawat, satu persatu anak-anak Uwo di rantau ada yangpulang. Dengan kehadiran anak-anak di samping ranjangtidurnya sudah terlihat ringan badannya. “Aku ingin pulang.Aku tidak ingin berlama-lama di sini. Aku sudah sembuh,”ujar Uwo kepada anak-anaknya.

Melihat Uwo tiap sebentar merengek untuk keluar darirumah sakit, paman Kamal pun mengurus kepulangan Uwo.Atas izin dokter, Uwo diperbolehkan untuk menjalani rawatjalan saja. Cek kesehatan bila obat habis.

Setelah keluar dari rumah sakit dan kembali di RumahGadang, adik-adik ibu telah kembali pula ke halamanrantaunya masing-masing. Alasan bahwa mereka tidak bisameninggalkan pekerjaan berlama-lama tentu saja masukakal untuk diterima Uwo. Mereka, adik-adik ibu itu dengansenang hati, dan tentu dengan kebanggaan lain,meninggalkan begitu banyak uang untuk Uwo.

BULAN Ramadhan sudah di penghujung. Malam selepasberbuka rumah kontrakan kami dikejutkan dengankedatangan Yuli. Tergesa-gesa dan separuh panik iamenyeruak ke hadapan kami.

“Uwon pingsan. Tadi Uwo memanggil-manggil nama KakMasna,” kata Yuli rusuh tak karuan.

“Di mana? Di mana Mak,” jawab ibu tergerus cemas pula.“Di Rumah Gadang.”

Page 217: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

207

Maka kami, kecuali ayah, bersigegas berkemas. Sepertiyang teralah, ayah hanya berdiam diri saja di rumah. Tapisebelum kami pergi, ibu dan ayah tampak bicara empatmata di kamar. Raut muka ayah tampaknya menyimpanawan hitam yang hendak menumpahkan hujan.

Ibu jalan-berlari tergesa hendak sampai di hadapan Uwo.Berkali-kali ia memperbaiki kain sarung yang tiap sebentarlonggar diayun langkah. Ia mengayuh langkahnya lebihcepat.

Beberapa sanak kerabat kaum Uwo sudah mengelilingiranjang di mana Uwo terbaring. Meski sudah siuman, nafasUwo tampak berat. Mata kelabunya yang separuh terbukaseperti hendak menangkap bayangan seseorang.

“Mak,” sapa ibu merangkul tangan Uwo yang dingin.“Masna…,” tangan Uwo tergerak merambati wajah Ibu,

“usah kau membuat jarak lagi padaku. Mendekatlah.Maafkan aku,” ujar Uwo tiada membuat orang lain pahambetul percakapan itu. Ibu semakin ringkuh dalam tangisnyayang lari ke dalam.

“Tidak, tidak ada yang salah dari Mak. Akulah yang pernahmeninggalkan Mak. Maafkan aku, Mak,” wajah ibu lengketdi wajah Uwo. Ada dua sungai yang bertemu di muarayang sama. Sungai Uwo dan sungai Ibu. Saya serupatongkang yang terhenyak di tepi muara itu.

“Indra,” Uwo menggapai-gapai dengan tangannya.Mendapati namaku dipanggil aku segera lebih rapat ke Uwo.Ibu memberiku ruang untuk merapatkan telinga ke wajahUwo. Perempuan yang kukenali dan kupahami sebagainenekku setelah berumur lima tahun itu menarik kepalakulebih lekat. Ia berbisik lirih sekali di telingaku. Aku tersentak.Aku memalingkan wajah. Semua orang menatapku seakaningin menanyakan apa yang barusan diucapkan Uwo. Tidak.Aku tidak akan membeberkan apa yang barusan dieja oleh

Page 218: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Pintu Lebaran | Ilham Yusardi

208

mulut Uwo di telingaku.Aku meloncat dari bibir ranjang. Orang-orang saling

bersitatap dan mengangkat bahu atau alis mata. Akubergegas saja menuruni tangga rumah gadang danmeluncur dengan motor.

Tidak dalam waktu yang lama aku sudah kembali keRumah Gadang. Aku tidak sendirian. Aku menjemputamanah Uwo.

Ayah menyeru salam untuk pertama kalinya di pintuRumah Gadang. Orang orang-orang terhenyak. Sejenaktertegun sebelum terlupa membalas kalimat salam. Laluterdengar gemuruh saling berbisik lindap.

Aku menggiring Ayah ke pembaringan Uwo. Akumerapikan rambut yang jatuh menutup daun telinga Uwo.Dan berbisik. Mata Uwo membuka lamban. Bola matanyayang serupa kaca berdebu bergerak kaku mencari bayangsebuah wajah. Ia mendapati Ayahku yang berdiri rapat disamping ibu. Ayah menangkap mata itu. Ayah meraihtangan kikuk Uwo dengan hati-hati. Uwo merangkul kepalaAyah begitu lekat sehingga tak ada lagi jarak. Aku tersihir.Seumur hidup kali pertama aku melihat mata ayahmenjelma sungai. Adat tiga sungai yang bermuara di tepipembaringan itu. Bahkan, begitu lebatnya hujan di hulusungai Ayah, membuat luapan yang menggenang di muara.

Entah siapa yang memulai, lalu suara ratap yangbertindihan menyeruak memenuhi ruang itu. Ibu tidaksanggup menahan geletar dalam dirinya ketika nadi danotot Uwo menegang kaku di rangkulan Ayah. Ayah sepertitiada sanggup melepaskan pagutan jemari Uwo yang dinginmembeku di tangannya. Kelopak mata Uwo bagai pintuyang terbuka lebar, dan tak ingin tertutup lagi. Beberapakerabat silih berganti mengucap inalillah…, bersahut-sahutan.

Page 219: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

209

MALAM lebaran. Tak ada bulan di atas kuburan. Begitujuga tidak ada percakapan yang riuh di ruang tengah RumahGadang. Para takziah dan adik-daik ibu yang lengkapmembaca ayat demi ayat ganti berganti dan salingmenyimak. Ayah duduk tersandar tak jauh dari dua daunpintu yang dibuka lebar-lebar. Pandangan Ayah tidak jatuhdi barisan huruf hijaiyah di pangkuannya, melainkan jauhke luar menerabas pintu Rumah Gadang. Aku coba menerka,itulah pintu yang dua puluh lima tahun tiada lazim bagiayah. Aku tidak tahu, apakah itu pintu yang mewakili diriayah atau Uwo? Entahlah. Di luar, lamat-lamat suaratakbiran beterbangan dan mendekat, menyelusup lirihmengalir ke ruangan itu. Barangkali juga ke dalam diri Ayah.n

.Payakumbuh, 2012

Page 220: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

210

Repro: A. Andrew Gonzalez | OpenArt

Page 221: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

211

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

Rafif Amir

o

Hujan

Published © Radar Surabaya, Minggu 12 Agustus 2012

u

u

Page 222: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Hujan | Rafif Amir

212

Tahukah kau, dimanakah rembulan saat matahariperkasa dengan sinarnya yang memanggang bumi? Iasedang mengintipmu dari balik punggung matahari,

menunggumu menyelesaikan amanah kehidupan. Danketika malam datang, rembulan akan menghiburmu:

mengusap ubun-ubunmu sambil menyanyikantembang mimpi.

T API itu tak pernah lag i terjadi. Hujan telahmenggantinya dengan kemusnahan. Banjir bertubi-tubi. Dan yang paling memerihkan hati, hujan

merenggut dua nyawa yang paling kusayangi.

SEMUA bermula di pagi hari.“Kemana hendak kau pergi, Asih?”“Melihat jembatan putus.”Jika saja tak mengkhawatirkan Banyu, anak lelaki kami

yang berusia empat minggu, biasanya pun tak pernahkumelarang-larang Asih pergi kemanapun ia suka.

“Di rumah sajalah. Kasihan Banyu. Hanya jembatan putussaja, buat apa ditengok.”

“Sebentar saja kok, Mas.”Inilah yang tak pernah berubah dari Asih. Sifat keras

kepalanya. Jika sudah ada kemauan, pantang untuk dicegahbarang sesiapapun.

Pagi itu hujan memang telah reda, meski tak adamatahari di langit sana. Sudah hampir sebulan lamanyadesa kami gulita, seperti rumah pengap tak berjendela. Jikatak ada hujan, mendung yang datang.

Ya, sebulan lalu. Aku hapal karena hujan pertama itubersamaan dengan lahirnya Banyu. Saat istriku mengeluhperutnya sakit karena hendak melahirkan, hujan turunsangat lebat. Bunyi petir menggelegar. Aku kebingungan

Page 223: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

213

sendiri hendak memanggil bidan desa. Jaraknya dari rumahcukup lumayan, hampir tujuh kilo. Tak mungkin aku naikbecak ke sana. Maka kuputuskan meminjam motor Arman,tetanggaku. Tak kupedulikan lag i jalan yang licin dantubuhku yang basah kuyup. Di benakku, hanya keselamatanAsih dan calon bayi kami.

Bidan sudah datang, dan tak banyak cakap langsungmenyelenggarakan persalinan. Tapi apa daya, ternyata iatak bisa menolong. “harus dioperasi, Pak, tekanan darahnyatinggi,” katanya. Aku langsung lemas membayangkan biayaoperasi yang tak sedikit. Tapi demi Asih dan anak yangdikandungnya, apapun akan kulakukan. Malam itu jugakularikan Asih ke rumah sakit.

“Syukurlah, sedikit saja terlambat istri Bapak bisa taktertolong,” kata dokter waktu itu sambil tersenyum padaku.Aku bergidik ngeri, sambil tak henti-henti memanjatkansyukur pada Tuhan. “Selamat! Bayi Bapak laki-laki,” lanjutnya.Lengkap sudah kebahagiaanku. Anakku laki-laki, seperti cita-citaku, kelak aku ingin ia menjadi pemimpin negeri ini.

Sesuai keinginan Asih yang Jawa, akhirnya anak kamiyang masih merah itu kami beri nama Banyu, artinya Air.Kata Asih nama itu sebagai perwujudan syukur yang sangatpada Yang Kuasa karena Banyu lahir di saat hujan pertamamengguyur desa kami. Hujan yang sudah lama kami nantisetelah kemarau yang membuat sawah kami tak lagiproduktif menghasilkan padi.

Sebenarnya aku juga sudah menyiapkan nama yang takkalah bagus (setidaknya menurutku), Akmal Firdaus. Tapiurung kuutarakan pada Asih, karena aku tahu Asih sangatingin memberinya nama Banyu.

“Kok malah bengong. Tak berangkat dulu aku.” Kuikutilangkah Asih yang semakin jauh.

Page 224: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Hujan | Rafif Amir

214

TAHUKAH kau, bahwa hujan yang tak pernah usaiseringkali membuatmu enggan keluar. Bahkan terkadanganak-anakmu meliburkan diri ke sekolah, atau memilihberkecibak ria diantara deru hujan dan air yang menggenangbeberapa senti dari tapak kaki mereka. Hujan membuatmumalas beraktifitas, dan lebih dari itu semua, padi yang telahmenguning dan hendak kau panen kandas direndam banjir.

Setelah Asih pergi dari rumah pagi itu, barangkali ia takkembali lagi untuk selamanya. Hujan telah membunuhnya,juga Banyu anakku.

Aku tak tahu apa yang hendak ia tuju dengan melihatjembatan putus itu. Kata beberapa warga, sambilmenggendong Banyu, Asih bersama kerumunan wargaberdiri di sisi jembatan yang tak ikut putus, tapi beberapasaat kemudian ambruk. Asih dan anakku Banyu termasukyang naas. Tentu saja mereka tak bisa berenang ketika harusterjatuh dalam sungai maut itu. Asih dan Banyu tergerusarus, hilang entah kemana. Berhari-hari, berbulan, takkunjung ditemukan.

Maka orang-orang bersepakat membuat simpulan: Asihdan Banyu meninggal. Maka sejak itu, kuputuskan untukmembenci hujan. Bagiku, hujanlah sumber malapetaka itu.Hujan yang menyebabkan banjir, lalu membuat jembatansatu-satunya di desa kami terputus sehingga membuat Asihtertarik untuk melihatnya. Entah, barangkali juga malaikatmaut sudah menunggu di sana, memanggil-manggil Asihdan Banyu. Oh, tidak! Mulai saat ini aku akan memanggilanakku Akmal. Akmal Firdaus.

LALU rembulan, dimanakah ia saat malam hanya gelaptanpa jeda. Betapa lemah ia saat bertatap muka denganawan. Awan yang mengeram hujan, yang kubenci hinggake sumsum tulang.

Page 225: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

215

Tahukah kau, sejak rembulan tiada, aku dan Asih belumsempat menghabiskan malam berdua. Malam-malam kamiuntuk Akmal, untuk bayi yang kami rindu hingga jerihsepuluh tahun lamanya.

Lamat-lamat masih kudengar deritanya. Seperti diputarulang.

Terngiang di telinga. “Mas, kapan kita bisa menimangbayi?”

Meski keras kepala, hatinya halus bak sutra. Tapi akutahu bukan hanya karena itu ia menderita. Gunjingantetangga tentang aku yang tak lelaki, atau rahim Asih yangtandus, lebih memerihkan hati.

Bukan tak mau periksa, pekerjaanku sebagai tukangbecak yang lebih sering pulang dengan pecahan-pecahanrupiah yang tak seberapa, lalu sepetak sawah yang diurusberdua yang tak menghasilkan apa-apa karena kemarauyang betah berlama-lama, rasanya sudah cukup menjadijawaban mengapa kami lebih memilih bersabar.

Tapi Tuhan menjawab kesabaran kami dengan hujanyang tak habis-habis, merenggut dua nyawa yang aku kasihi.Inikah keadilan itu? Aku tak lagi percaya Ia Maha Adil karenanyata-nyatanya ia membalas kebaikan dengan hukuman.Yang kami minta hanya air yang cukup untuk mengairisawah, Ia malah mengirimi kami air bah.

HUJAN terus menggerus tanah, menciptakan longsor,bah, kematian-kematian baru, menenggelamkan rumah-rumah, menyulap sawah menjadi sungai, dan kehancuran.Aku sudah peduli dengan itu semua. Aku hanya memikirkanAkmal. Kucium popoknya, kubersihkan tempat tidurnya yangkecil mungil pemberian Arman.

Tiba-tiba rumahku diketok seseorang. Cukup keras.Malam-malam begini, kupikir siapapun ia tentu bukan or-

Page 226: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Hujan | Rafif Amir

216

ang baik-baik.Dicekam penasaran, kuputuskan membuka pintu.Aku tak percaya. Aku sangat mengenal sosok di depanku

meski dengan pakaian acak-acakan dan wajah yang taklagi segar, kuyu dan layu.

“Asih?” sudah tiga bulan. Aku tak yakin ia benar-benarAsih.

Ia hanya mengangguk lalu rubuh ke pangkuanku.Selanjutnya hanya kudengar isak. Kutunggu beberapa jenak,hingga ia mulai membuka suara.

“Mas..” suaranya begitu lirih, “maafkan aku..”Aku tak kuasa menahan air panas yang menggenang di

mata, tapi kukuatkan juga agar tak larut dalam suasanaduka.

“Kau tak apa. Asih? Baik-baik saja kah?” tanyaku. Sengajaaku tak bertanya tentang Akmal. Aku takut Asih akansemakin merasa bersalah jika mengingatnya. Meski tentusaja, sebenarnya aku berharap-harap cemas Akmal jugaselamat.

Asih terdiam. Ia menatapku dengan mata berkaca.Digenggamnya tanganku erat, seolah hendak memberikankekuatan. Bibirnya bergetar. Kristal di matanya telah pecah.Aku tak sanggup menatapnya lama.

“Banyu meninggal, Mas” seperti disetrum halilintar akumendengarnya. Meski sudah kusiapkan diri untuk halterburuk, nyatanya aku masih seperti tak percaya juga.

Asih pun bercerita. Tentang pengembaraannya yangpanjang. Tentang perjuangannya kembali ke rumah, tanpaAkmal. Ketika sadar ia selamat, satu-satunya yang ia caripertama kali adalah jasad Akmal. Ia menemukan Akmal disela bebatuan sungai, jauh dari pemukiman penduduk.Akmal tak lagi bernyawa.

“Aku sendiri yang menguburnya, Mas... di tengah malam

Page 227: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

217

dan hujan.” Isak Asih bertambah panjang. Hatiku kembaliditerkam perih. Mendengar kata “Hujan” seperti hendakmemuntahkan kesumat yang mendarah daging.

“Sudahlah Asih.” Aku mencoba menghibur meski takyakin diriku sendiri terhibur.

Melihat Asih selamat sebenarnya sedikit membuatkugembira, meski pada akhirnya kegembiraan itu tertutupioleh kabar duka yang dibawa Asih. Bagaimanapun, sulitrasanya kehilangan Akmal.

BEGITULAH, hujan menjadi musuhku. Hingga ketikahujan telah reda dan warna langit kembali ceria, aku danAsih merayakannya dengan ritual cinta, berharap Akmalbaru akan segera hadir memenuhi gubuk tua ini.

Sambil mencium pipiku, Asih bertanya, “siapa nama anakkita nanti, Mas?”

“Hendak kau beri nama siapa dia?” aku balik bertanya,sekedar hendak mengetahui usulnya.

“Mas saja yang memberinya nama. Jika perempuan?”“Rembulan,” jawabku asal.“Jika laki-laki?”“Kuberikan ia nama Matahari. Ya, Matahari. Agar ia bisa

mengalahkan hujan,” kataku sambil tertawa. Kulihat senyumAsih membuat lesung kecil di kedua pipinya. n

Page 228: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: OpenArt

218

Page 229: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

219

Dessy Wahyuni

o

Lelaki Reinkarnasi

Published © Riau Pos, Minggu 12 Agustus 2012

Dessy Wahyuni, Adalah pegawai Balai Bahasa ProvinsiRiau. Menulis cerpen dan esai yang dimuat di beberapa

media seperti Riau Pos, Padang Ekspres, Haluan danyang lainnya. Bermastautin di Pekanbaru.

u

Page 230: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Lelaki Reinkarnasi | Dessy Wahyuni

AKU TERJEBAK dalam kostum badut yang kukenakan.Di tengah keramaian yang hiruk-pikuk aku merasasepi. Hening menggenggamku. Tidak ada pilihan

selain harus bersembunyi di balik kostum ini. Gelap itu telahmerenggut seluruh terangku. Tidak ada yang tersisa.Sekalipun itu rongga asa. Hanya nista. Hanya hampa. Hanyamampu berdiam dalam cekam.

Sebagai objek wisata, Jam Gadang dengan pelataranyang dijadikan taman di sekitar menara jam tersebut,mempersilakan siapa saja untuk berinteraksi di sana. Tidakpeduli hari kerja maupun hari libur, Jam Gadang selalu ramaipengunjung. Turis lokal ataupun asing mengambil tempatsetiap saat. Ada yang duduk-duduk menghabiskan waktudi taman itu. Yang berfoto dengan latar Jam Gadang tidakpernah ketinggalan. Tak jarang pula para lelaki menungguikeluarganya yang berbelanja di dalam pasar sembarimelahap koran hingga terkantuk-kantuk, sebab disapaangin yang sepoi. Anak-anak berlarian. Para pejalan kakihilir-mudik. Pedagang kaki lima pun turut serta. Belakanganini berbagai badut karakter pun ikut andil meramaikanpelataran Jam Gadang. Siang dan juga malam.

Jam Gadang yang fenomenal ini dijadikan sebagai pusatpenanda atau markah tanah Kota Bukittingi. Simbol khasSumatera Barat yang telah berusia puluhan tahun ini punmemiliki cerita yang unik. Masyarakat Minangkabaumenamai bangunan tersebut dengan istilah Jam Gadangkarena memang memiliki jam yang gadang atau besar dipuncak menaranya. Di pelataran menara yang dibangunpada 1926 oleh seorang arsitek bernama Yazid Sutan GigiAmeh inilah aku bertarung hidup. Bertahan di tengah gelapyang tak mengenal terang lagi. Sejak peristiwa dua tahunlalu saat terang telah direnggut dariku.

Hari-hariku kuhabiskan dengan menyuruk di dalam

220

Page 231: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

tubuh SpongeBob ini. Dari pagi hingga tengah malam. Sponspenyerap berwarna kuning dan berlubang ini menjadisahabat setia yang selalu menemani. Hanya dia yang bisamendengar aku tertawa, mendengar aku menangis, ataubahkan merintih. Dia mengerti benar tentang aku. Aku yangdulu pernah memiliki hidup yang cerlang. Penuh gemintang.Selalu sumringah. Semua orang berkata bahwa aku adalahperempuan ceria yang paling bahagia. Hingga peristiwajahanam itu tiba. Merampas dengan paksa segala rasa.

“Kau aman bersamaku,” katanya suatu ketika, tatkaladipayungi terik matahari yang seharusnya menggigit.

“Pasti,” gumamku seraya bergelung di perutnya yangsemestinya pengap miskin udara.

“Tak ada yang bisa menyakitimu di dalam situ.” Diakembali meyakinkanku di suatu ketika lainnya.

“Pasti.” Aku semakin meringkuk membulat seperti boladi dalam dia.

PEREMPUAN itu adikku. Adik tiriku lebih tepatnya. Anakdari istri bapakku. Bapak dan istrinya itu menikah dua tahunyang lalu. Janda dan duda yang kasmaran. Dan perempuanitu juga membuatku kasmaran. Sialnya aku, dia tidak punyarasa yang sama sepertiku.

Seminggu mereka hijrah ke rumah bapakku, perempuanitu semakin menggelitik rasaku. Rasa dan emosi membaurkupada nafsu. Tapi ia selalu menutup pintu. Membuatku kalapbagai pemburu. Menerjang menghengkang bagai hantuyang tak bermalu. Hingga ia takluk di hadapku. Dan akhirnyamenjadi canduku.

“IBU…” rintihku. “Aku sakit, Ibu, aku perih.”Tapi ibu yang kasmaran pura-pura tak mendengar. Dan

ibu yang kasmaran memaksa memicing mata. Sebab ia

221

Page 232: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Lelaki Reinkarnasi | Dessy Wahyuni

222

takut kehilangan cinta. Cinta dari bapak laki-laki biadab itu.“Minum saja aspirin, sakitmu akan raib seketika,” begitu

selalu ibu menyuruhku tiap kali aku merintih perih.Padahal dulu ibu tidak begitu. Selama 20 tahun aku

bersamanya, ia adalah wanita hebat yang selalu bisadiandalkan. Sejak ayah meninggal tujuh belas tahun silam,ibu selalu ada untukku, untuk setiap gelak-tawaku, untuksetiap keluh-kesahku. Namun sejak mengenal bapak laki-laki biadab itu, ibu seperti sirna seketika.

Laki-laki biadab itu anak semata wayang sepertiku. Laki-laki biadab itu sangat disayang oleh bapaknya. Tidak adaseorang pun yang boleh menyentuh kulit busuknya itu. Jikaada yang mencoba mencoleknya, maka bersiaplah ia akanmemeroleh petaka.

Begitu pun ibuku, wanita yang melahirkan aku. Relaberada dalam kepuraan tidak mengetahui perihku.

Tubuhku telah menjadi candu laki-laki biadab itu. Telahlewat tiga purnama aku diperlakukan seperti itu. Dan ibutahu itu. Bahkan tidak jarang menyaksikan kami berseterudalam nafsu laki-laki biadab itu. Dan ibu hanya tertunduklesu, kemudian berlalu.

“Ibu, tolong aku!” jeritku suatu waktu.Ibu tergopoh menujuku, dan sekali lagi, ia hanya berlalu.

Karena kasmaran yang mengharu biru ibu. Perihku semakinmenyembilu. Ngilu.

MENJADI badut adalah pilihan terakhirku. Setelah akumemutuskan meninggalkan rumah mewah yang berisimanusia-manusia berhati hantu itu, aku terlunta ke sini-situ. Hingga akhirnya aku terdampar di pelataran menarayang dibangun tanpa menggunakan besi penyangga danadukan semen itu.

Terlihat banyak badut karakter yang ngamen di sana.

Page 233: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

223

Mulai dari tokoh kartun Winnie the Pooh, Angry Bird,Tazmania, SpongeBob, Barney, bahkan Upin dan Ipinberkeliaran di sana. Mereka mendekati anak-anak danmenggoda dalam bisu. Anak-anak pun terbius. Ada yangtakut dan mengintip dari balik rok ibunya, dan tak jarangpula datang mendekat dan bersalaman dengan sang badut.Tentu saja para badut tidak ingin kehilangan momen ini.Mereka bekerja sama dengan juru foto amatir membujukpara orangtua untuk berpose bersama. Sang badut punmejeng bersama anak-anak itu, si juru foto meng-klikmereka. Untuk itu orangtua harus mengeluarkan sekianrupiah untuk si badut dan sekian rupiah pula buat si jurufoto. Bagi yang tidak menggunakan jasa juru foto amatir,tidak dipersoalkan. Mereka tetap boleh menjepretmenggunakan kamera pribadi sepuas hati, namun tetapmemberikan setoran pada si badut.

Kostum badut itu kusewa pada Haji Abas —yang terkenaldengan julukan Juragan Badut. Dia memiliki lebih darisepuluh kostum. Setiap bulan selalu saja ada kostum baruyang dibawanya, setidaknya satu. Uang setoran kamiserahkan setiap tengah malam, tepat pukul dua belas, padaorang suruhan Juragan Badut.

Kostum SpongeBob menjadi pilihanku. Sejak pertamakali aku bergabung sebagai penyewa kostum, aku telahjatuh hati pada spons laut yang berkarakter polos, optimis,selalu ceria, dan memiliki prasangka baik terhadap siapapuntersebut. Dan mulai saat itu kami pun menyatu. Bahkantidak ada orang yang berani memakai kostum itu, padahalsiapa saja bebas memilih kostum yang dia suka. Siapa cepat,dialah yang dapat.

PROFESI badut sebenarnya berusia cukup tua, kononkatanya sejak zaman Yunani dan Romawi kuno. Menjadi

Page 234: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Lelaki Reinkarnasi | Dessy Wahyuni

224

badut bukan hanya sekadar menjadi penghibur, tetapi jugasebagai lahan pencari nafkah di jalanan. Boleh dikatakan,para badutlah penjaja hiburan jalanan tertua di dunia.

Menjadi badut adalah pilihan terakhirku. Dengan menjadibadut dalam balutan kostum yang unik dan aneh harusmemiliki kemampuan memeragakan gerakan-gerakan lucudan konyol, tanpa melepas sedikit pun kata-kata. Orang-orang yang menyaksikan akan tertawa —setidaknyatersenyum tanpa tahu adanya luka yang nganga di balikitu.

Seperti aku. Aku perempuan yang bersarang dalamkelam. Semua menjadi hitam. Tak ada lag i terangbersemayam.

Hingga aku masuk ke dalammu. Ada sesuatu menerpaku.Seketika aku terhenyak dalam riang yang mendadak. Adanyaman yang berdetak. Membuatku enggan beranjak.

“Saya adalah putra Rook Maker,” katamumemperkenalkan diri.

Aku terhenyak. Ingatanku melayang pada papanpenjelasan yang terletak di salah satu sisi pagar Jam Gadang.Di sana dijelaskan bahwa jam tersebut merupakan hadiahdari Ratu Belanda kepada Rook Maker, Controleur(sekretaris kota) Fort de Kock (sekarang Bukittinggi) padamasa Pemerintahan Hindia-Belanda. Sementara putra RookMaker adalah orang yang meletakkan batu pertama padasaat pembangunan menara itu.

“Ya, kala itu saya berusia enam tahun.”Hanya nganga yang bisa kuperlihatkan.“Kini saya terlahir kembali di sini, sebab saya tak bisa

melupakan menara yang ikut membesarkan nama saya.Dalam rongga yang diapit empat buah jam di atas menaraitu saya berdiam, sebagai bandul.” Dengan aksen Belandayang sering kudengar di film-film lama kau menjelaskan

Page 235: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

225

panjang dan lebar. “Melihatmu dari atas sana membuatsaya tergoda menyusup ke dalam kostum ini,” tambahmu.

Aku tergugu. Diam dan kaku.Sebagai perempuan yang terlanjur gagu akibat peristiwa

busuk itu aku hanya terpaku.“Ayo, tersenyumlah,” pintamu. “Hidup ini terlalu indah

untuk kamu lewatkan begitu saja. Berbagilah!” Kaumendongakkan daguku dan menatap dalam-dalammataku.

Aku kemudian masuk ke dalam mata itu, menyusurisetiap lorongnya, dan membuka setiap celah misterinya.Kutemukan kejujuran di sana. Terlihat sebuah taman yangmenjadi impian di salah satu lorong di mata itu. Tamanyang tak mengenal gelap. Segala yang ada menyeruakkanbenderangnya. Aku terkesiap.

Kau adalah lelaki tak berwujud. Kau tak teraba tetapiada. Dan memiliki rasa. Perlahan kau urai gelapku. Terlihatkini rongga asa yang mulai mencuat ke permukaan.Terangku mengendap-endap menampakkan cahaya.

Aku semakin betah bergelung dalam spons penyerapberwarna kuning itu. Spons bercelana kotak yang selalusumringah menularkan cerianya padaku di dalam sini. Takterasa olehku terik yang membakar dan angin dingin dalamkelam. Hanya rasa nyaman. Sebab kau, lelakiku, selalu adamembawa asa yang dulu pernah sirna.

Aku berdiri, berteduh pada bayang-bayang menara jamsetinggi 26 meter itu. Sebenarnya aku tak peduli harus berdiridi mana. Tak lag i kuperlukan tempat teduh untukberlindung. Semua kulakukan semata karena kau,kekasihku. Aku hanya tak mau kau tersakiti karena inginmelindungiku. Sebab kita sudah berjanji saling mengasihi.Saling berbagi dalam setiap suka dan saling menggamitdalam setiap duka.

Page 236: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Lelaki Reinkarnasi | Dessy Wahyuni

226

“Kau cantik sekali hari ini, aku terpesona.” Kau selalumemulai pagi dengan menerbangkanku. Aku tersipu.

Ah, lelaki. Memang tercipta untuk merayu. Tetapiperempuan mau.

Di lain pagi, “Kau membuatku enggan berkedip,” sapamumembuatku terhanyut. Kau selalu berhasil menciptakeajaiban. Kau melayangkanku.

Pertemuan-pertemuan kita selalu berakhir dengantebaran aroma cinta di ladang kita. Namun belum kunjungmenghasilkan putik yang siap dipetik.

“Aku ingin menjadi perempuan yang benar-benarsempurna, Kasih,” kataku sambil terus menyelami lorongmatamu.

“Sempurna yang bagaimana?” Kau berkerut.“Aku ingin merasakan nikmatnya melahirkan dan

membesarkan buah-buah cinta kita,” pintaku.Kau tak nyata, tetapi ada. Aku bisa rasa. Sebab setiap

peristiwa memiliki dimensi misterinya sendiri yang tidakakan selalu terjelaskan, betapapun tersedia ribuan katauntuk menarasikannya.

Oh, lelaki reinkarnasiku. Kau selalu berhasil membuatgunung rindu di setiap penghujung waktu. Kita selalubercinta dalam kata yang biru. Sebelum kau kembali keperaduanmu di tengah malam bisu, kita tak pernah lupamenyemai cinta di ladang rindu. Sehingga menetaslah anak-anak kita setiap waktu, dan kita namai mereka hanyadengan kata yang satu. Rahasia. Kita beri nama itu. Sebabkatamu, ada banyak arti dalam kata itu.Ya, setiap orangmemiliki cara sendiri mengatur gerak rasanya, begitukatamu. n

Page 237: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: OpenArt

227

Page 238: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Menebus Mimpi | Samsul

228

Samsul

o

Menebus Impian

Published © Riau Pos, Minggu 12 Agustus 2012

Samsul, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Indone-sia Universitas Islam Riau (UIR).

u

Page 239: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

229

RINAI-RINAI hujan menyentuh permukaan tanah yangretak oleh jilatan mentari. Lebih dari tiga bulan hujansembunyi. Wujudnya tak pernah ditampakkan.

Seakan ia lenyap ditelan bumi. Mendung yang menjadisahabat karibnya, juga tak pernah muncul. Siang, malam,selalu ditemani hawa panas yang merebak. Tapi kini, duasahabat itu kembali. Bak pulang dari rantau.

Di tengah cucuran hujan yang deras, aku harusmenyelesaikan tugas yang baru kumulai. Rasa dingin yangmenusuk perlahan membelit otot-ototku. Kaku. Tangankubergeming. Bibirku bergerak-gerak tak karuan. Gemeretakgigiku terdengar keras. Mirip bunyi mesin penggiling padiyang sudah uzur. Tangkai dodos1 yang tadinya di tangankuterlepas. Tak mampu lagi tanganku memegang benda yangselalu bermusuhan dengan kelapa sawit itu.

Inginku menyelesaikan pekerjaan yang telah dua tahunkugeluti ini, dan kembali ke rumah. Merebahkan ragakuyang telah kuyu. Tapi tanganku seakan merajuk. Sepertiseorang anak yang tak diajak ayahnya berlibur ke Bali.Tanganku enggan berdamai dengan dodos. Bahkan ia takmau menyentuh tangkai dodos itu. Aku tak bisa memaksa.Lagi pula, tenagaku telah disedot oleh hembusan anginyang begitu dingin. Semangatku mengkerut. Akhirnya,kuputuskan untuk pulang ke rumah. Istirahat.

Aku tergontai mengayuh sepeda. Meninggalkan kebunsawit yang menjadi tempatku menyambung nafas. Diperjalanan, dadaku seakan ditumbuhi ilalang. Sesak. Matakusayu. Jalan yang lebar seakan sempit. Aku berhenti di tengahhujan. Tak mampu melanjutkan perjalanan. Dari kejauhanterlihat cahaya. Perlahan cahaya itu mendekat. Tak lama,suara klakson mobil terdengar dari balik cahaya itu. Mobilitu berhenti di sampingku. Seakan mobil itu ing inmengatakan pada sepeda bututku: hei sepeda reot. Ayo

Page 240: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Menebus Mimpi | Samsul

230

kita adu kecepatan!“Sedang apa kau di tengah hujan ini, Man?” sapa lelaki

yang berada di dalam mobil.“Pak Ibas? Tidak ada Pak. Tadi dada saya sakit. Jadi, saya

istirahat sebentar.”“O, ya. Sawitnya sudah kaupanen semua?”“Be… belum Pak. Saya mohon izin istirahat dulu Pak.

Besok pasti saya lanjutkan.”“Besok katamu? Kaupikir itu sawit nenek moyangmu.

Pokoknya sekarang kaukembali ke sana. Dan selesaikanpekerjaanmu! Atau kau mau tiga bulan tidak digaji?” bentakinduk semangku itu.

“Ba… baik Pak.”Aku memutar arah sepedaku. Rencanaku untuk istirahat

di rumah, kini telah hancur. Bagaikan kepingan meteor yangmenabrak atmosfer. Sakit di dadaku berbaur denganbentakan dari induk semangku tadi. Semuanya menyatu.Seakan ingin merobek jantungku. Sakit sekali.

Dua tahun sudah aku bekerja pada induk semangku itu,sebagai tukang panen kelapa sawit. Tak terhitung caci-makiyang telah dilontarkannya untukku. Ia sangat angkuh. Lebihangkuh dari ajudan kompeni. Tapi, dialah satu-satunya or-ang yang mau menerimaku bekerja di kampung ini. Bisadibilang, orang-orang di kampungku tak banyak yangpercaya denganku. Karena aku adalah mantan napi.

Dulu, ketika umurku masih tujuh belas tahun, akumendapat kepercayaan besar dari warga kampung. Merekamemintaku sebagai penjaga masjid. Itu dikarenakan, akuyang tidak pernah alpa ke masjid, dibandingkan dengankebanyakan orang di kampungku. Bahkan mereka yangmengklaim dirinya ustad, lebih sering salat di rumahketimbang di masjid. Namun, kepercayaan yang diberikanwarga kepadaku hancur; bagaikan kota Nagasaki dan

Page 241: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

231

Hirosima yang luluh lantah akibat bom atom. Akumenggelapkan uang kas mesjid. Itu kulakukan bukansemata-mata ingin mencuri. Tapi aku punya alasan yangkuat. Ibuku sakit keras, dan aku harus membawanya kerumah sakit. Aku tidak punya biaya sepeser pun. Hinggaaku menggunakan uang kas itu untuk mengobati ibuku.Tapi, alasan itu tak mempan di depan hukum dan di depanorang-orang kampungku. Menurut mereka, maling tetaplahmaling. Berbeda dengan koruptor, yang dianggap pahlawankatika membuka aib sesamanya.

AKU sampai di kebun sawit dengan rasa letih yang telahpasang. Namun, aku harus menyelesaikan tugasku. Kalautidak, tamatlah riwayat pekerjaanku. Inilah pekerjaan yangbisa kulakukan. Tak ada pilihan lain, jika aku masih maumakan. Mungkin ini adalah hukuman untukku, karena telahmembuat ibuku meninggal; setelah tahu kalau akumengobatinya dengan uang hasil curian. Aku menyesal.Sangat menyesal.

Satu per satu buah kelapa sawit yang kupanenberguguran. Mataku sembab. Aku menangis. Meratapiimpianku. Impian yang selalu kupelihara di benakku. Tapi,nampaknya impian itu kini tak lebih dari sekedar angan-angan kosong. Aku tak mungkin mewujudkannya. Mimpikuyang ingin selalu membawa pena ke mana pun aku pergi,kini seakan pupus ditelan nasibku. Pena yang menjadilambang seorang penulis. Tampaknya, kini tak lebih dariomong kosong. Buktinya, sekarang ke mana pun aku pergi,bukan pena yang kubawa, melainkan alat untuk memanenkelapa sawit ini.

Aku tak sanggup lagi menahan gundukan keletihan ini.Pundakku seakan tengah memikul puluhan ton kelapa sawit.Remuk. Hujan masih belum berhenti. Tiba-tiba

Page 242: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Menebus Mimpi | Samsul

232

penglihatanku buram. Kepalaku seolah-olah dimasukkanke dalam mesin cuci. Berputar-putar. Seketika itu juga, akuterkapar di atas buah kelapa sawit yang ranum. Pingsan.

MALAM mulai merebahkan wujudnya yang pekat. Iamembalut senja yang keemasan. Perlahan cahaya matahariyang memudar, berganti dengan lapisan kelam. Derap-derap langkah terdengar pelan di telingaku. Aku mengucek-ngucek mata. Rasa letih itu masih membalut otot-ototku.Tapi, suasana yang kurasakan sekarang berbeda. Ini bukankebun sawit. Mana ada plafon di tengah kebun begini,gumamku dalam hati.

“Eman, kamu sudah siuman?”Suara itu membuyarkan pikiranku yang masih ling-lung.

Aku terperanjak ketika melihat sosok lelaki yang menyapaku.Lelaki ini tak asing lagi bagiku. Tapi kenapa ia bisa ada disini. Bukankah dia tinggal di Pekanbaru, sejak orang tuanyapindah tugas dua belas tahun yang lalu. Sejak itu, ia takpernah lagi menginjakkan kakinya di kampung ini. Lalukenapa tiba-tiba dia ada di sini.

“Kamu masih lemah, Man. Lebih baik istirahat saja dulu!”“Fahmi? Ini benar kamu? Kenapa kamu bisa ada di sini?

Seingatku tadi, aku sedang berada di kebun sawit. Kamuyang ….”

Belum sempat aku melemparnya dengan pertanyaanyang penuh rasa heran, ia memotong pertanyaanku denganjawaban yang seolah telah disiapkannya sejak iamembawaku ke tempat yang masih aneh di mataku ini.

“Iya, Man. Aku yang membawamu ke sini. Kamu sekarangdi Pekanbaru. Di rumah sakit. Aku sudah dua hari dikampungmu. Tujuanku untuk membeli kebun sawit. Ketikapulang ke Pekanbaru, aku melihat sekerumunan orang disebuah kebun sawit. Aku berhenti, dan melihatmu tengah

Page 243: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

233

pingsan. Orang-orang itu menceritakan tentangmu, jugakeluargamu. Dan aku putuskan untuk membawamu kePekanbaru. Sudah sembilan jam kamu pingsan.”

“Nanti, setelah kamu baikan, kita pulang ke rumahku.Kamu tinggal di sana. Dan mulai sekarang lupakanpekerjaanmu,” sambungnya.

Aku masih belum mengerti apa yang tengah kuhadapi.Teman lamaku ini muncul ketika aku membutuhkan tempatuntuk membagi kegetiran hidupku. Aku tak bisa berkata-kata. Hanya sorot mataku yang mampu menjawab ajakanteman lamaku itu.

HARI ini, tak ada lagi kelapa sawit. Dodos. Dan sepedayang hampir sepuluh tahun menemani hari-hariku.Semuanya bermetamorfosis. Mungkin di sini aku akanmenebus impian yang telah diculik oleh suramnya masalaluku. Aku akan merangkul impian itu, dan membawanyake duniaku. Di sini.

“Aku masih ingat dengan cita-citamu dua belas tahunyang lalu, Man. Ini kubawakan seperangkat alat tulis danlaptop untukmu. Gunakanlah untuk mewujudkanimpianmu, Man.”

Lagi-lagi Fahmi membuyarkan lamunanku.“Wah, terima kasih Kawan. Terima kasih.”Bukan main senangnya perasaanku menerima barang-

barang ajaib itu. Aku melompat. Bersorak. Seperti Macacafascicularis yang baru saja mendapatkan setandan Musaacuminata. Tak sabar lagi aku ingin segera menulis. Sudahlama aku tidak menulis. Seingatku, terakhir kali aku menulisketika membuat artikel dan mengikutkannya pada sebuahlomba tingkat SMA se-Riau, dan aku juara satu. Waktu ituaku kelas tiga SMA.

Kuhabiskan hari-hariku di kamar. Membuat beberapa

Page 244: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Menebus Mimpi | Samsul

234

tulisan dengan alat-alat yang diberikan Fahmi kemarin.Walaupun aku sudah lama tidak menulis, tapi tidak adahambatan yang kuhadapi. EYD, tata bahasa, pembentukanistilah, semuanya masih terekam dibenakku. Begitu jugadengan ide-ide tulisanku. Tak ada yang buntu. Tak sabar,aku ingin mengirimkan tulisanku pada salah satu mediacetak di Pekanbaru ini. Siapa tahu, mereka mau memuatnya,gumamku.

Hari ini adalah penentuan nasib tulisanku. Karena akuakan mengirimkannya pada media cetak. Pukul 08.00 WIB,aku bergegas mendatangi salah satu kantor media.Kusiapkan tulisan opini terbaikku. Persyaratan untuk sebuahopini sudah lengkap. Mulai dari aktualitasnya, keunikannya,fakta-faktanya, hingga argumen ilmiahnya. Setibanya disana, aku langsung menuju ruang redaksi.

“Permisi Pak. Saya mau menyerahkan tulisan.”“Ya.”Lelaki setengah baya itu dingin menanggapiku. Sama

sekali tak bersahabat.“Maaf Pak. Ini opini saya.”“Pendidikan Anda apa?”“Saya tamatan SMA Pak. Enam tahun yang lalu.”“Maaf, media kami tidak menerima tulisan anak ingusan

yang masih cetek wawasannya. Silakan Anda bawa pulangtulisannya!”

Darahku seakan membeku. Harapanku kini telah dicabik-cabik. Badanku panas dingin. Dadaku seakan penyet. Miripseekor Tribolium castaneum yang diinjak oleh kaki manusia.Ketika mendengar penolakan yang penuh dengan cacian.Aku pulang dengan membawa gundukan kesedihan yangbernaung di hatiku. Lesu.

TIGA minggu sudah penolakan itu berlalu. Aku semakin

Page 245: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

235

rajin membuat tulisan. Tak sengaja, aku melihatpengumuman lomba menulis artikel di koran. Lomba itutingkat umum. Tanpa membuang waktu, siangnya akumengantarkan tulisanku ke media yang mengadakan lombaitu. Sungguh, aku tak menghiraukan hadiahnya. Bagiku,hadiah bukan tujuanku. Aku cuma ingin dikenal lewattulisanku. Itu saja.

Hari berikutnya, ketika pemenang lomba itu diumumkan,aku segera membeli koran. Takut habis. Perlahan koran itukubaca, dan namaku bertengger di peringkat pertama. Akubersorak-sorak. Seperti seorang arkeolog yang baru sajamenemukan fosil langka Thalattosaur; makhluk laut denganekor panjang dan memenuhi air dangkal yang hangat padazaman awal dinosaurus dan menghilang pada akhir periodetriassic sekitar 200 juta tahun lalu.

Besoknya, aku segera ke ruang redaksi untuk mengambilhadiahnya. Setibanya di sana, aku disambut langsungdengan hangat oleh pemimpin redaksinya. Dadaku kembalibertalu-talu. Hebat. Pemrednya memintaku untuk menulisdi medianya. Ia meminta tulisanku dikirim tiga kaliseminggu. Luar biasa. Ini diluar dugaanku. Sama sekali iatak menghiraukan pendidikanku.

Mimpi yang dulu kupelihara, kini menunjukkankejinakannya. Ia benar-benar datang dalam duniaku. Impianitu telah menjadi bagian dari kenyataan hidupku. Aku telahmenebusnya dari suramnya masa lalu yang menculikimpianku itu. Impian itu bisa menjadi nyata, jika kitamenempatkannya pada sisi yang bersebelahan denganikhtiar. Bermimpilah! Rangkul ia dalam duniamu. Segera!n

Catatan:1 Alat untuk memetik dan menjolok sawit, berbentuk panjang danberujung tajam.

Page 246: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Fabian Perez | OpenArt

236

Page 247: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

237

Kartika Catur Pelita

o

Lebaran dalam

Semangkuk Bakso

Published © Satelit Post, Minggu 12 Agustus 2012

Kartika Catur Pelita, menulis cerpen, puisi dan novel.Beberapa tulisan pernah dimuat di Yunior, Suara

Merdeka, Suara Pembaruan, Sabili, Kartini dan AnnidaOnline.

u

Page 248: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Lebaran dalam Semangkuk Bakso | Kartika Catur Pelita

238

INI pertengahan bulan Ramadan. Berarti dua minggulagi Lebaran!Sriasih gundah melingkari satu angka di penanggalan

yang menggantung di dinding tembok kamar tidurnya yangsempit.

Sriasih menghela nafas panjang berulang-ulang. Retinamatanya termangu menyapu pandang halaman tangsi yangluas. Pepohonan hijau. Bunga-bunga di taman. Rumputhijau. Kupu-kupu kuning yang beterbangan. Pagi yang segar.Pagi yang cerah. Hangat. Indah.

Berbeda dengan perasaan Sriasih saat ini. Berbeda puladengan keadaan kamarnya ini. Kamar tidur yang dingin.Ranjang yang beku.

Sejak sepuluh tahun lalu. Sejak Prabangkara, suaminyayang seorang tentara memilih lebih lama tinggal di istrimudanya. Sebenarnya Prabangkara masih ingin tinggalbersamanya. Tapi Sriasih yang tak sudi. Untuk apa jika tinggalbersama, tapi mereka selalu ribut, sering bertengkar. Salahpaham. Cemburu. Untuk apa Prabangkara di sisinya, tapihatinya entah ke mana. Uangnya diterbangkan ke istri muda.Kebutuhan sehari-hari tak dipenuhi.

Sriasih memilih mengusir suaminya. Untuk apa merekahidup bersama, jika pada kenyataannya Sriasih sudah taksudi melakukan kebersamaan sebagai suami istri. Entah,sejak tahu kalau suaminya suka main g ila denganperempuan jalang di luar rumah, Sriasih merasa jijik. Sriasihtak ingin tertulari penyakit kotor. Tidur bersisian pun enggan.Atau Sriasih memilih tidur di ranjang terpisah. Sriasihmemutuskan pisah ranjang. Berbulan-bulan kemudian pisahrumah.

Sriasih tinggal di tangsi tentara. Prabangkara di rumahistri muda. Istri yang dinikahinya secara siri. Janda yangdinikahi karena dihamilinya.Pada janda Prabangkara

Page 249: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

239

mengaku duda, istrinya mati karena sakit gila. Sungguhketerlaluan! Padahal Sriasih baik-baik saja. Tabah menjalaniperkawinan yang tak bahagia. Sarat penderitaan dankesengsaraan.

SEMINGGU lagi Lebaran. Tapi Sriasih belum melakukanpersiapan apa-apa. Dia belum membeli baju baru untukanaknya. Dia belum membeli makanan dan kue-kue khasLebaran. Padahal Sriasih sebenanrya ingin membelinya. Tapidarimana dia mendapat uang untuk membeli semuakeperluan itu? Sriasih sama sekali tidak memiliki uang. Gajibulanan yang ditinggalkan suaminya, nominalnya min.

Ya, Prabangkara saat ini sedang dihukum Komandan.Karena ketahuan menikah lagi, dia dibuang, ditugaskanperang di Timor-Timur. Untuk makan sehari-hari Sriasihngutang di warung. Sudah berbulan-bulan utang belumdibayar. Masih bisakah dan bolehkah Sriasih hutang untukkebutuhan Lebaran?

Sriasih memikirkan nasib anak-anaknya. Semuanya adadi rumah hari ini. Sekolah telah libur menjelang Lebaran.Sriasih hatinya sedih. Dia tahu anak-anaknya menginginkanbaju baru, sepatu baru, kue-kue Lebaran, seperti tahun-tahun lalu. Tapi untung saja anaknya adalah anak-anakpenurut. Mereka tahu keadaan dirinya. Hanya si kecil Ratnayang agal rewel. Dia tak bisa lepas dari susu dan agar-agarkesukaannya. Maklum Ratna masih anak TK.

Tapi, Rasmi, Adi, Vina, dan Vita, anaknya yang telah dudukdi SMA, SMP, dan SD itu tak banyak menuntut. Merekasemuanya tentu tahu, bisa merasakan bagaimanakehidupan sehari-hari bersama Sriasih tanpa didampingiayah mereka.

“Bunda sedih tak bisa membelikan kalian roti, kue, oporayam, dan makanan lezat seperti tahun-tahun tahun lalu.

Page 250: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Lebaran dalam Semangkuk Bakso | Kartika Catur Pelita

240

Seandainya sawah sudah laku tentu kita bisa merayakanLebaran seperti biasanya.”

“Tak apa-apa Bunda. Bunda jangan bersedih. Kami bisaLebaran bersama Bunda, kami sudah bahagia.”

Sriasih memeluk satu persatu anaknya. Hanya si sulungyang saat itu kebetulan masih sekolah.

Sriasih yang bila memiliki uang akan membelikan apasaja yang diminta anaknya. Pakaian bagus, makanan lezat,mainan mahal. Tapi kalau begini keadannya, menjelangLebaran tanpa memiliki uang, Sriasih harus berbuat apalagi?

HARI ini hari Lebaran. Beras dua kiogram telah berubahwujud menjadi ketupat. Ketan satu kilogram menjadi seikatlepat. Di meja makan tak ada opor ayam. Hanya ada sayurtempe-tahu dan sekaleng kerupuk kering.

Meja tamu pun murung. Sebotol sirup frambosmenunggu di sana. Tak ada kaleng biskuit, kue-kue kering,atau roti!

Sriasih mengelus dada, nelangsa di jiwa. Beginilahkeadaan keluarganya, karena ekonominya yang hancurlebur! Dia yang ibu rumah tangga biasa. Seharian penuh dirumah mengurusi anak-anaknya. Repot. Sementara semuaanaknya masih sekolah, tak ada yang bekerja. Tak ada yangmenghasilkan uang.

Ketika selesai salat Id, Sriasih dan permata hatinyamerayakan Lebaran dengan saling bermaafan. Sriasihditelan keharuan saat satu persatu anaknya sungkem danmenciumnya.”Selamat hari Lebaran, Bunda. Mohon maaflahir dan batin.” Satu persatu anaknya mencium tangannya,kemudian saling bermaafan.

“Selamat Idulfitri, anakku. Bunda mohon maaf jika adasalah dan dosa pada kalian. Bunda sangat menyayangikalian. Mohon maaf lahir dan batin.”Sriasih meneteskan

Page 251: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

241

perasaan haru seraya memeluk dan menciumi permatahatinya satu persatu.

“Mengapa Bunda menangis?” tanya si bungsu ketika sisulung dan yang lainnya pamit untuk halal bihal ke tetangga.Sriasih menggeleng. “Bunda tak apa-apa, sayang.”Dihapusnya air mata. Sriasih tak ingin anaknya turutbersedih. Padahal hari ini hari Lebaran. Saatnya bersenang-senang, setelah sebulan berpuasa.

“Hati-hati kalian di jalan, ya,” Sriasih kembali berpesanseraya mengantar anak-anaknya di pelataran halamantangsi.

“Iya, Bunda.”“Jangan pergi jauh-jauh. Ke tetangga yang dekat saja.”Mereka mengiyakan. Mereka tinggal dia asrama tentara.

Tapi tangsi terletak di dekat perkampungan. Dan anak-anaknya mengenal sebagian warga perkampungan sebagaitetangga.

Sriasih selintas terkenang suaminya. Sedang apa kiniPrabangkara di tempat tugas? Dengan siapa dia merayakanLebaran? Dengan teman-teman seperjuangan, ataudemenannya?

Sriasih tak bisa membayangkan kelakuan suaminya. Dikota ini, di Jepara saja Prabangkara berbuat bejat, apalagidi daerah nun jauh di sana.

Ah, untuk apa aku mengenang suaminya, batin Sriasihmenenangkan dirinya. Untuk apa dia mengenang lelaki yanghanya separoh-separoh bertanggungjawab pada anakistrinya!

MASIH hari pertama Lebaran. Menjelang siang, Sriasihtersentak ketika melihat anak-anaknya beruntun datang,memasuki rumah.

“Kami pulang, Bu!”

Page 252: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Lebaran dalam Semangkuk Bakso | Kartika Catur Pelita

242

“Bu, Juragan Dirman memberi uang banyak!”“Haji Romli juga memberi uang banyak!”“Hore-hore..aku dapat sekantung permen!”“Siapapun dapat uang, Bu. Lihat, lihatlah!”Sriasih terharu mendengar celoteh dan polah anak-

anaknya. Mereka yang sebulan ini menjalani puasa denganikhlas. Kini mereka menjalani Lebaran dengan seadanya,tapi tak mengurnagi keceriannya sebagai bocah. Aih..

“Bu, kita beli bakso ya, Bu.”“Ya, belilah kalau kalian ingin.”Si sulung mencegat tukang bakso. Si penengah

mengumpulkan uang adik-adiknya. Beberapa mangkokbakso mereka beli.

“Makan bakso dicampur ketupat ternyata enak, ya, Bu.”“Nggak kalah lezat sama opor ayam ketupat.”Sriasih mengucap syukur pada Allah. Inilah

kebahagiannya sebagai seorang ibu. Walau Lebaran tahunini dilaluinya dengan keadaan seadanya. Ketupat tanpa oporayam. Makan bakso semangkok berbagi di hari Lebaran ini.Bakso yang dibeli dari pemberian uang orang-orangbudiman itu.

Sriasih merasa bahagia.Inilah Lebaran terindah baginya.Lebaran yang bisa dilaluinya bersama buah hatinya yang

masih utuh. Rukun, akur, dan saling menyayangi. Sriasihtakkan melupakan saat-saat Lebaran terindah sepertiLebaran tahun ini. n

Kota Ukir, 11 Januari 2009-20 Juli 2012

Page 253: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

243

Repro: Ira Tsantekidou | OpenArt

Page 254: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Baju Baru untuk Putriku | Mahdi Idris

244

Mahdi Idris

o

Baju Baru untuk Putriku

Published © Serambi Indonesia, Minggu 12 Agustus 2012

Mahdi Idris, adalah penulis sastra. Bergiat di FLP danBalai Sastra Samudra Pasai Lhokseumawe. Menetap diDayah Terpadu Ruhul Islam Rayeuk Kuta Tanah Luas,

Aceh Utara.

u

Page 255: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

245

L EBARAN kian dekat. Rasa haru dan suka citamembuncah dalam dada. Satu-satunya yangkupikirkan saat ini: Bagaimana caranya agar kedua

putriku mendapatkan baju baru, seperti juga anak-anakyang lain. Bagi sebagian orang mungkin mudah, tapi bagikutidak demikian. Laura, istri mudaku, belum tentu setujuaku membeli baju untuk kedua putriku.

Sejak aku menikahinya tiga tahun lalu, aku memangterpaksa menitip kedua anakku di rumah neneknya, ya dirumah ibuku. Kupenuhi kebutuhannya setiap bulan, tentusecara diam-diam, tanpa sepengetahuan istri mudaku.

Dia memang tak sudi putriku hadir dalam kehidupankami. Suatu hari Laura bahkan pernah bertanya., “Siapayang paling Abang cintai.” Lalu ku jawab, “Aku mencintaimu,seperti juga aku mencintai kedua putriku.” Jawabanku itumalah membuat wajahnya memerah. Dia tak sudi ada or-ang lain yang kucintai, meskipun itu darah dagingku sendiri.Namun, di hari-hari berikutnya, karena aku telanjurmencintainya, kukatakan bahwa aku lebih mencintainya,daripada anakku sendiri. Sebenarnya hati kecilku tetapberkata bahwa aku mencintai semua mereka.

Pada Lebaran tahun pertama aku hidup dengan istrimudaku, tak ada masalah yang muncul, karena akumenuruti larangannya untuk tak membeli baju Lebarankedua putriku. Saat itu secara diam-diam, pada pertengahanRamadhan, aku pulang ke rumah orangtuaku membawabaju baru untuk mereka berdua.

Namun saat ini, Lebaran tinggal sepuluh hari lagi, akubelum juga muncul di rumah orangtuaku. Aku menerkabahwa kedua buah hatiku pasti sedang menantikumembawa baju baru. Aku bisa membayangkan senyummereka saat aku pulang; sambil menjinjing hadiah Lebaran.Aku yakin mereka sangat senang. Ya, aku yakin itu.

Page 256: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Baju Baru untuk Putriku | Mahdi Idris

246

Namun, sesekali terbayang perkataan istriku menjelangRamadhan, “Pa, aku belum ingin punya anak sekarang. Akuingin punya anak darah dagingku sendiri, tapi lima tahunlagi. Kalau anakmu, kapan pun aku tak sudi menerimanya.Sampai sekarang, tak ada yang tahu bahwa aku kawindengan seorang duda. Jadi, Papa jangan coba-cobamembawa anakmu kemari. Bukankah Papa masih punyaorangtua yang masih bisa mengasuh mereka?”

Aku hanya diam ketika itu. Cintaku padanya membuatkutak berdaya, bagai cacing dilindas truk muatan besi. Namun,aku juga seorang manusia, seorang ayah. Aku tak tahandengan ujarannya yang lantang dan menusuk tajamjantungku. Aku benar-benar sedih dan terluka. Semua itutertancap kuat bagai paku dalam sudut kepalaku. Kemudian,aku mendatangi Ustaz Hadi, meminta darinya pencerahandan nasihat agar batinku tenang, juga sabar menghadapicobaan yang amat berat ini. Lalu, Ustaz Hadi menasihatiku.Beliau mengatakan bahwa perempuan itu makhluk yangamat rapuh, bila digenggam kuat dia akan hancur. Olehkarena itu, aku harus membimbingnya dengan baik,memberinya pengertian bahwa yang kulakukan itu sebuahkewajiban. Allah akan murka pada kami bila mengabaikankewajiban itu.

Memang benar, nasihat Ustaz Hadi membuka pintu hatiistriku. Dia menerima perkataanku dengan baik. Bahkankeesokannya mengajakku membeli baju baru untuk keduaanak perempuanku. Dia memilih sendiri baju itu.Menurutnya, itu baju trend masa kini. Dan dia benar-benar telah berubah. Aku tak menduganya sama sekali.Setelah itu dia menyuruhku menjemput kedua anakkuuntuk mencoba memakai baju itu. Aku benar-benargembira. Berkali-kali aku bersyukur pada Allah.

Page 257: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

247

“PA, Mimi tidak suka baju ini. Mimi sudah besar. Kataustaz, Mimi sudah wajib menutup aurat. Baju ini kan sempitsekali, Pa,” ujar anakku yang pertama. Kini dia sudah berusiasebelas tahun.

“Iya, Pa. Ana juga tidak suka. Perempuan kan tidak bolehberpakaian ketat,” kata anakku yang kedua. Walaupun diabaru berumur delapan tahun, prinsipnya sama dengankakaknya.

Aku bingung. Semakin khawatir bila didengar oleh ibutiri anakku. Dia akan marah dan berang. “Iya, tidak apa-apaNak, ya. Ambil saja dulu, besok Papa beli baju lain,” ujarku,membujuk mereka. Aku terus berharap agar merekamendengar nasihatku. Tapi, tampaknya sia-sia. Merekamasih tidak mau menerima baju itu.

“Apa kata mereka, Pa? Tidak mau?” tanya istriku, sambilmasuk ke dalam kamar seraya membanting pintu.Wajahnya merah padam. Aku diam, sambil menganggukpelan. Dibukanya lagi pintu kamar dengan wajah melongokeluar seraya berujar, “Ya, sudah kalau tidak mau. Mintasaja dibelikan sama ibu kalian.”

Tekanan darahku naik memuncak.Dia sudah menyebut-nyebut almarhumah istriku. Lalu,

kedua anakku menangis sesenggukan. Menutup wajahmereka dengan kedua telapak tangan yang mungil. Akuyakin, anakku sangat sedih mendengarnya. Tapi, kukuatkanhati agar nafsu amarahku segera padam.

“Pa, bawa pulang mereka! Dari dulu aku sudah yakin,kedua anakmu itu memang keras kepala. Dia tidakmenghargaiku. Dan kau juga, sekarang keluar dari rumahku.Aku tidak sudi melihatmu lagi. Aku mencintaimu bukanbersama anakmu!”

Kemudian aku keluar bersama kedua anakku, menujurumah orangtuaku. Namun demikian, aku tetap

Page 258: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Baju Baru untuk Putriku | Mahdi Idris

248

mencintainya. Tak ada perempuan lain yang hadir dalamhidupku. Aku berdoa dengan keberkahan Ramadhan danpengampunan pada hari Idul Fitri, Allah membukakan pintuhidayah istriku agar dia menerima aku dan kedua anakkusebagai orang yang paling dicintai. n

Tanah Luas, 7 Agustus 2012

Page 259: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: OpenArt

249

Page 260: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Requiem Ingatan | Titik Kartitiani

250

Titik Kartitiani

o

Requiem Ingatan

Published © Sinar Harapan, Sabtu 11 Agustus 2012

u

u

Page 261: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

251

HARUM bunga melati menyelimuti beranda itu.Senyap. Sekali lagi, lelaki itu menatap wajah lelapdi depannya. Wajah perempuannya yang

ditemuinya ketika bangun pagi mungkin sudah lebih dari30 atau 40 perjalanan matahari.

Dia tidak ingat persis. Dia tidak memerhatikan detail,sebagaimana perempuan itu mampu mengingat berapahelaian rambut yang jatuh di dahi lelakinya. Setiap harinya.Setiap paginya. Mengiringi suara lesung beradu alu. Thuk…thuk…thuk…thuk… Menghentak khusyuk seperti zikir, zikirsemesta.

“Kopinya sudah siap, Pak. Tanpa gula. Tembakaunyasudah saya taruh di opel*. O ya, sek-nya* sudah habis, tinggal2 lembar. Nanti saya mampir ke warung,” katanya dengansenyum. Lelaki itu diam tanpa ekspresi.

Dengan mata yang setengah terpejam, ia membukapintu, menuju kali yang tak jauh dari rumah bambunyauntuk memenuhi hasrat pagi. Perutnya mulas, mungkinkarena kebanyakan makan sambal tadi malam.

Walau menyisakan tragedi, lebam di pipi sang istri dansakit perut si lelaki, sambal jenggot itu tetap terlezat.Masakan apa yang lezatnya melebihi masakan yang dibikindengan cinta? Cinta apa adanya dari perempuan yang kinimembungkuk, memindahkan gabah ke tampah. Sepertitarian lebah di luar sana, jemarinya lincah memilah gabah.

Setiap geraknya adalah tarian kasih pada keluarga yangjelas beda dengan tarian tayub untuk penontonnya. Semuadilakukan dengan diam. Tak butuh penghargaan, apalagisaweran. Sebuah tarian pengabdian ikhlas untuk ketigacuplis yang kini masih lelap. Untuk suami yang dihadirkankedua orang tuanya.

Bukan disebut kawin paksa karena memang sudah begitu.Tidak ada yang tidak begitu pada zaman itu. Jika gadis sudah

Page 262: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Requiem Ingatan | Titik Kartitiani

252

datang bulan, itu artinya orang tua siap membawakan lelakiuntuknya. Bisa jadi tetangga yang dirasa baik oleh keduaorang tuanya, bisa jadi orang asing yang baru ditemui dimalam pertama.

Soal cinta? Bisa jadi tumbuh bersama usia. Sebuah rasayang menjadi biasa dan sudah seharusnya begitu. Yangjelas, ikatan perjodohan itu mampu menghasilkan tiga anakyang sehat dan gemuk-gemuk.

Mereka baik-baik saja, seperti keluarga pada umumnya.Kecuali hanya perbedaan-perbedaan kecil yang kadangmenjadi runcing dan meninggalkan lebam di tubuhperempuan itu. Tapi memang sudah seperti itu, seperti jugatetangga.

Selesai dengan gabah yang sudah menjadi beras, putihkekuningan tanda dilapisi kulit ari yang bergizi, tanpa di-bleaching, perempuan itu mandi. Cepat sekali, tak selamabidadari mandi di telaga. Tapi dia menjelma bidadariberselendang lurik yang menggendong bakul berisi sayurmayur, hasil ladang dan kebun di depan rumah.

Sepanjang 10 km akan ditempuh subuh itu denganlangkah tanpa alas kaki. Hari ini Selasa Wage, hari pasaran.Kebetulan terong hijau sedang mahal. Mungkin dia bisamembeli kain baru, corak pring sedhapur, seperti impiannya.Ah, tapi mungkin lain kali.

Lebih baik membelikan buku tulis baru untuk keduacuplisnya, dan satu potong seragam merah putih untuk sibungsu. Dibungkusnya angan itu di ujung selendang lurikyang sudah berkerut. Mantap langkah menapaki jalan takberaspal, dingin kabut menyergap, kebaya biru pudar terlalutipis untuk menghangatkan, hanya dengan nembangtubuhnya tak tumbang.

Jago kluruk rame kapiyarsilawa kalong luru padhelikan

Page 263: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

253

Jrih kawanan ing semuneBang wetan sulakipunMratandani yen bangun enjing…

MATAHARI sudah tak garang lagi, ketika langkah kakinyamenapak kembali lurung rumahnya. Masih tersisa guratansapu tadi pagi ketika satu demi satu daun bambu mulaimenghinggapi. Masih dengan bakul di punggung,perempuan itu meraih beberapa lembar daun bambu yangmasih segar. Ia berencana membuat sompil, nasi yangdibungkus daun bambu.

Baru saja ia membuka pintu, cuplis nomor 2sesenggukan. Matanya berair, hidungnya juga berair. Adabiru di kedua pahanya. Perempuan itu menghela napas,meletakkan bakulnya lantas memeluk si cuplis.

“Saya hanya minta uang. Kalau tidak bayar SPP besokpagi, saya akan dipanggil di depan kelas lagi. Saya sudahmalu, Simbok dan Bapak juga pasti malu. Kita tidak miskinkan? Kita tidak harus mencari surat RT supaya tidak bayarSPP kan, Mbok?” ratap anaknya, tanpa ditanya. Perempuanitu tersenyum sedikit.

“Kita tidak miskin, hanya tidak punya uang. Lain kali kamujangan minta uang kepada Bapakmu kalau habis darisawah. Dia capek, bisa gampang marah,” katanya sambilmembuka buntelan di ujung selendang dan mengulurkansejumlah uang. Lantas memasukkan sisa lembar terakhirnyadi balik stagen.

Dia menuju dapur. Dilihatnya suaminya tengah lelap dibalai bambu. Masih ingat frase tuduhan kemarin, di kasusyang serupa. Anak dianggap salah, ibunya yang kena marah.Tidak pernah berlaku sebaliknya walau kehadiran anak itutidak bisa dari kerja mandiri, harus ada suami dan istri,tidak bisa salah satu.

Page 264: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Requiem Ingatan | Titik Kartitiani

254

Bagaimana seorang istri bisa disalahkan dalam mendidikanaknya, hingga anaknya tidak sopan kepada ayahnya?Bagaimana mau disebut sopan, minta uang pada orangyang tak punya uang pastilah tak akan bisa disebut sopan.

Dalam hatinya hanya bisa berbisik, andai lelakinya bisasesabar Resi Bhisma. Mungkin hidupnya akan lengkap, tanpaharus kena makian setiap hari. Tapi, bukannya memangsudah begitu?

Sebelum memasak, istrinya menuju kandang kambing.Meletakkan dedak yang tadi dibelinya dari pasar. Di sanaada ikatan rumput yang masih nongkrong di boncengansepeda. Mungkin si lelaki kelelahan hingga belum sempatmenurunkannya.

Diturunkannya rumput itu, ikatan laso dari kulit pohonwaru pudar, rumput itu terbuka. Di tengah, ada tiga batangtebu, makanan kesukaan tiga cuplis itu. Lalu ada bungkusandaun jati yang disimpul dengan lidi yang sudah agak gepeng.Saat dibuka, isinya puluhan kembang turi. Putih bersihseperti pagi. Sayuran kesukaan perempuan itu. Si lelaki takpernah lupa membawakannya.

SENJA merah di balik rimbunnya pohon serut. Siluetnyajatuh di lantai beranda. Lantai tanah itu kini punya motifdedaunan. Lelaki menghirup teh panas tanpa gula. Dia punmelanjutkan merajang tembakau. Inci demi inci, dauntembakau menjadi serpihan. Itu akan menjadi tembakauterenak yang dibikin sendiri. Harum, pulen, dan legam.

“Aku kepikiran menanam tembakau saja di musim tanambesok. Tembakau bagus di ladang, ini buktinya. Hanya dipematang saja bagus. Kalau bisa nanam semua, lakunyalebih banyak dibanding jagung,” kata lelaki itu.

“Terserah Bapak saja,” kata perempuan itu sembari mipiljagung. Soal keputusan, apa pun memang urusan lelaki.

Page 265: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

255

Perempuan tidak punya pekerjaan di area pengambilankeputusan. Cukuplah mengatur rumah jangan sampai adatahi ayam yang belum disapu. Cukuplah memastikan adamasakan di meja makan.

Kebijakan rumah tangga adalah sesuatu yang sangat laki-laki, hanya Bapak yang berhak, termasuk marah. Bukankahamarah sesungguhnya adalah cinta yang tak terucap?Jangan pernah menunggu cinta itu berujud nyatasebagaimana impian Shinta kepada Rama.

Bisa jadi cinta adalah amarah Gandari pada segumpaldaging yang keluar dari garbanya. Amarah itu menendanggumpalan daging yang kemudian menjelma 1.000 bayiKurawa. Yang betapa pun adalah lambang kejahatan,Gandari akan tetap mencintainya hanya karena dia ibunya.

GANDARI lebih beruntung dibandingkan lelaki itu. Yangtak sempat mengucapkan cintanya, cinta yang seperti Ramauntuk istrinya. Hingga suatu pagi yang menggigit, 30 atau40 tahun kemudian. Candra musim ke-12, tirta sah sakingsasana. Air meninggalkan rumahnya. Saatnya menanampalawija, membajak sawah untuk menanam jagung.

Perempuan masih lelap seakan dimalaskan oleh musimmareng. Dingin enaknya memang tidur. Tak terdengar suaralesung bertalu atau aroma kopi meraup pagi itu.

“Keblug!” maki lelaki itu. Jengkel mendapati istrinyamasih lelap, sementara ia butuh kopi. Tak biasanya,perempuan itu bergeming dalam lelapnya. Ketika tubuhnyadigoncang, telapak tangan lelaki itu hanya mendapati dinginkulit yang telah ditinggalkan ruhnya. Air bagi jiwanyamenginggalkan raganya. Tanpa sakit, tanpa pamit.

Dari mulai tergeletak, hingga dimandikan, hingga malam,hingga pagi esoknya, lelaki itu tak beranjak seinci pun darisisi istrinya. Bahkan saat cucunya dari si bungsu meletakkan

Page 266: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

256

Requiem Ingatan | Titik Kartitiani

tape ketan kesukaannya, lelaki itu bahkan tidak menoleh.Tidak beranjak. Sebagaimana waktu dan ingatannyaberhenti bagi lelaki itu.

Hingga tujuh tahun kemudian. Lelaki itu masih duduk dikamar yang sama, masih menatap wajah lelap yang seakanada depannya. Lengkap dengan harum melati dan batiksidomukti yang menutupi tubuh bekunya.

Wajah lelap yang tak akan pernah bangun lagi. Yangsesungguhnya kini terbaring di bawah pohon kamboja balitiga warna yang ditanamnya sendiri, khusus untuk rumahabadi istri. Ia merindukan perempuannya, dalam kealpaaningatannya, dalam diamnya, dalam kata cinta yang tak tahucara diucapkannya, lebih dari sebelumnya. Di luar sana, diluar dimensi waktu lelaki itu.

Si sulung hanya menggeleng dan bergumam: pikun. n

Tangerang yang gerimis, Oktober. 09. 2011

Page 267: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

257

Repro: Hans Jochem Bakker | OpenArt

Page 268: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Mei Lie | Djunaedi Tjunti Agus

258

Djunaedi Tjunti Agus

o

Mei Lie

Published © Suara Karya, Sabtu 11 Agustus 2012

u

u

Page 269: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

259

”SAYA orang China, tapi jiwa saya Indonesia,” kata wa-nita yang ada di depanku sambil mengulurkan tang-an, sesuatu yang tak diduga.

“Nama saya Mei Lie, tapi teman-teman mengenal sayadengan nama Meysa,” tuturnya lagi.

Benar-benar tak disangka, karena sebelumnya dalambeberapa kali pertemuan tidak sengaja, gadis itu terkesanangkuh, tidak mau kenal. Diam-diam saya antipati padanya,sok cantik.

Pertama kali kami bertemu dalam perut pesawat Garudanomor penerbangan GA 0890 Jakarta - Beijing. Meski dudukbersebelahan, di bangku bagian tengah, saya 21E dan dia21F, namun tak satu katapun keluar dari mulutnya dalampenerbangan selama 6,5 jam atau semalamam itu. Setiapcoba diajak bicara, jawabannya hanya senyum, manggut,atau menggeleng.

Semula saya mengira dia gagu, tapi anggapan itu buyarketika dia bicara dengan pramugari dalam bahasa Inggrisdan pada kesempatan berikutnya dalam bahasa Mandarin.

“Oh, dia rupanya orang China,” pikir saya.“Ni hau ma?,” kata saya terucap begitu saja. Tapi juga

hanya senyum yang tersunging ketika saya menanyakanapa kabar, salah satu kalimat dalam bahasa China yangsaya tahu.

“Ah, apa peduli saya. Apa perlunya beramah tamahdengan dia?”

Tapi entah kenapa, sejak pertemuan tak sengaja itu kamiberikutnya kerap jumpa hampir sepanjang tour di China.Ketemu di Forbidden City, komplek kerajaan terbesar didunia yang pernah digunakan para kaisar China dariberbagai dynasty. Esoknya, secara tak terduga, jumpa lagidi The Greast Wall, tembok China di Badaling, yang dibangunkaisar China pertama Qing Shi Huang.

Page 270: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Beberapa hari kemudian kami juga berjumpa di Shang-hai, ketika saya dan rombongan menaiki Televisi Tower yangamat terkenal di kota itu. Sepekan kemudian saya dan diamalah kembali duduk bersebelahan di pesawat Garudamembawa kami dari Guangzhou International Airportmenuju Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Serba kebetulanyang sangat tidak menyenangkan, karena sepanjangperjumpaan kami tidak pernah bertegur sapa. HinggaGaruda GA 0899 Boeing 737-800 mendarat di BandaraSoekarno-Hatta tak sepatahkan pun kami bicara. Jika adakeperluan lewat di depannya, di antara bangku yang sempit,paling saya manggut, pertanda ingin lewat.

“SAYA orang Indonesia keturunan China,” katanya lagimasih mengulurkan tangan. Saya tak percaya. Mengusapmata, melihat ke belakang, jangan-jangan ada orang dibelakang saya yang dia ajak bicara. Dada saya terasamenggelegak, apa maksud perempuan angkuh, wargaketurunan ini berlagak sok akrab.

Tiba-tiba dia kembali berucap, “Maaf, bisa kitabersalaman.”

“Oh,” kata saya sekenanya.Dia tersenyum. Saya baru sadar, ternyata senyumnya

manis sekali, menawan.“Eh, ehem. Bagaimana perjalanan ke China dulu. Saya

pikir anda bukan orang Indonesia,” kata saya sambilmenyambut uluran tangannya.

“Saya berpikir anda telah melupakan pertemuan kitadalam perjalanan ke China. Maaf waktu itu saya tidakmenyenangkam,” katanya, lagi-lagi tersenyum.

“Lalu sekarang mau ke mana. Ke Medan apa kePontianak,” kata saya coba menebak, dengan pertimbangandi dua kota itu cukup banyak WNI keturunan Tionghoa.

Mei Lie | Djunaedi Tjunti Agus

260

Page 271: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Tersenyum sesaat, kemudian coba memandang lurus kemata saya. Dada saya berdegub, sambil membatin, beranijuga nih cewek.

“Kenapa harus ke kota itu. Sama dengan anda, saya mauke Jambi. Saya bukan China Kalimantan atau China Medan.Orangtua saya lahir dan bermukin di Jambi. Saya pindah keJakarta, mengikuti kakak untuk kuliah. Apa penjelasannyacukup?”

Wuih, kok makin berani. Saya tak habis pikir, kenapa diamendadak begitu akrab.

“Saya sudah tahu nama kakak. Eh nama Anda. Tidakusah heran, saya ini calon intelijen. Saya ingin seperti kakak,eh anda,” katanya lagi, cukup mengejutkan saya.

“MAAF ya, saya duluan. Ada yang menjemput,” katanya,lalu mengiring porter yang mendorong troli berisi koperdan barang-barang bawaan.

Sebetulnya saya tak ingin berpisah secepat itu, ingin terusberdekatan seperti di dalam pesawat dari Jambi-Jakarta.Tapi apa hak saya. Saya juga gengsi numpang di kendaraanyang menjemputnya.

Terasa ada yang hilang. Jujur saja, meski barumengenalnya agak dekat dalam perjalanan Jakarta-Jambidan sebaliknya, rasanya saya sudah begitu mengenal dia.Tapi saya tidak punya keberanian menawarinya ketemu lagi.Kedongkolan yang pernah saya rasakan padanya, kiniberubah jadi harapan.

“Apa tidak ada yang ketinggalan,” kata saya.“He hee, he. Yang ketinggalan, ya kakak, eh anda. Dah,

duluan ya,” katanya, melambai.Tidak ada ucapan sampai ketemu lagi. Dia juga tidak

memberikan alamat, kecuali menyebut Jatinegara. Apakahsaya jatuh cinta. Apakah secepat itu? Lagi pula apa dia mau

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

261

Page 272: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

menerima cinta saya?Ingin rasanya mengejarnya, setidaknya menemaninya

menuju kendaraan yang menjemputnya. Tapi koper sayabelum juga muncul. Ada rasa menyesal, kenapa koper kecilsaya harus dimasukkan ke bagasi?

Saya tak berharap bakal ketemu Mei Lie lagi. Tapi ketikasaya keluar dari ruang kedatangan menuju Damri, sayamelihat dia berdiri di dekat deretan kursi tunggu Bus Damri.Memandang ke arah saya.

“Mana mobilnya. Apa belum datang?”“Saya suruh pulang duluan, saya mau naik Damri

bersama anda. Bolehkan?”“Lo, apa nggak repot? Saya tidak langsung pulang, tapi

ke kantor dulu,” kata saya penuh tanda tanya, tak tahu apamaunya.

“Gak masalah, dari Blok M kita naik taksi. Kakak, eh andaturun di kantor, saya langsung pulang ke Jatinegara,” katanya.

Saya makin tidak mengerti dengan gadis bermata sipit,berkulit kuning, berparas manis ini. Dulu ketika kami bertemudi pesawat menuju Beijing, kemudian di beberapa kota dinegeri tirai bambu itu, dia begitu angkuh. Saya merasadilecehkan, terhina. Kini tingkahnya berubah seratus delapanpuluh derajat.

Perjalanan ke Jambi merupakan babak baru perkenalankami. Dia begitu menyenangkan. Sepanjang perjalananbanyak bercerita, apa saja. Di Jambi dia pun ngototmengajak saya mampir ke rumah orang tuanya. Sayangnyasaya tak bisa, karena padatnya tugas di kota itu. Saya jugamerasa surprise ketika dia ngotot mengubah jadwal tiketnya,agar kami bisa kembali berbarengan ke Jakarta.

“Ah, ini mungkin hanya sementara. Esok atau lusa bisajadi dia kembali cuek, pura-pura tak mengenal saya.”

Mei Lie | Djunaedi Tjunti Agus

262

Page 273: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

LAMAT-LAMAT terdengar pembicaraan beberapa orangdengan istri saya. Sekali-sekali terdengar suara beberapagadis, anak kami, menyebut-nyebut namaku. Kadang terasaada remasan di jari-kari dan telapak tangan.

“Insya Allah beberapa hari mendatang bapak sudah sadarsepenuhnya. Tinggal pemulihan,” kata seorang laki-laki,mungkin dokter.

Ingin rasanya membuka kelopak mata, tapi tak kuasa.Mulut pun tak bisa digerakkan, jari tangan, lengan, paha,terasa kaku. Di mana saya?

Beberapa saat terdengar telapak kaki menjauh, mulaisunyi. Saya ingin memanggil Mei Lie, anak-anak kami, tapitak bisa.

Semua sudah pergi, Saya mulai menyadari sedang dalamperawatan. Saya coba membuka mata, ada cahaya begitutajam. Kembali saya pejamkan. Lamat-lamat terdengarlangkah masuk ke kamar. Siapa dia, dokter, perawat, atausalah satu dari anggota keluarga.

“Silakan masuk. Saya dan anak-anak memang selalubergantian berjaga. Kami tidak tega meningalkan papinyaanak-anak sendirian.”

Saya merasa ada dua pasang mata menatap lurus kewajah saya. Saya berusaha menggerakkan telapak tangan.Sepertinya berhasil, tetapi tak ada yang cobamenggenggam. Saya berusaha membuka kelopak mata,kali ini berhasil bersamaan terdengarnya jeritan kecil.

“Papiii! Dok, perawat! Suami saya!”Langkah tergopoh-gopoh terdengar mendekat. Sebuah

tangan memeriksa detak nadi di lengan. Saya tersenyum,kemudian berusaha membuka mata selebar mungkin. MeiLie terlihat ragu, kemudian di meremas jari-jari tangan saya.Saya kembali menutup mata, Mei Lie berteriak.

“Papi, papi. Papi tidak pingsan lagi kan?”

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

263

Page 274: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Saya kembali membuka mata, tersenyum, saatbersamaan saya melihat senyum Mei Lie, yang tak akanpernah saya lupakan. Senyum seorang wanita keturunanChina yang melahirkan 5 anak kami yang sangat cinta danbangga terhadap Indonesia. Bahkan dua anak kami ikutmengharumkan nama negara dan bangsa di tingkat dunia.

“Senyum mami masih seperti dulu,” kata saya.Mei Lie seolah merajuk, lalu menciumi pipi saya, hampir

tidak pernah henti.“Oh, maaf. Ini ada teman mami, dia selalu menyemangati

mami,” kata Mei Lie.Sepertinya saya mengenal wajah itu. Ya, dia teman akrab

Mei Lie saat kuliah, Nurhalimah, wanita berkerudung yangmemiliki pandangan menyejukkan. Saya tersenyum, diamembalasnya.

“Ingat, papi sudah janji hanya Mei Lie yang ada di hatipapi. Jangan pernah berpaling ke lain hati,” kata Mei Lie,tersenyum. Dia hanya menggoda, karena dari dulu kamimemang suka saling menggoda.

Tepat pada tanggal 14 Mei, bersamaan dengan haripernikahan kami, saya meninggalkan rumah sakit. Kembalike rumah dengan cinta, cinta dari Mei Lie dan lima anakkami.

“I LOVE YOU mami,” bisik saya ke telinga Mei Lie disuatu sore, di teras rumah kami, ketika kami hendakmenjalani kebiasaan, menyusuri jalan lingkungan di pagibuta.

Saya dan Mei Lie kembali pada rutinitas. Setiapbepepangan tangan kami saling pandang, kemudiantersenyum. Tak jarang tertawa terbahak-bahak. Jika tak malu,saya kerap meneruskan dengan mencium salah satu pipinya.

“Masa lalu yang manis ya Pi. Semoga tak pernah terhenti,”

Mei Lie | Djunaedi Tjunti Agus

264

Page 275: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

kata Mei Lie.Lebih seperempat abad Mei Lie mendampingi saya. Kami

bukannya tak pernah melalui jalan susah, tetapi akhir-akhirini hidup terasa makin indah. Kami tak pernah bosan jalanbersama, meski hanya sekadar naik busway keliling kota,naik bus reot bermusik pengamen, atau jalan kakimenelusuri trotoar yang tidak rata.

Kami kerap terperosok, tapi itu alasan bagi saya mengelusbetis Mei Lie, menunjukkan perhatian, memperlihatkanbetapa sayang padanya. Beberapa pasang mata tak jarangmemandang kami curiga, ada yang sinis, kemudianmelengos.

“Mungkin mereka berpikir kita sedang pacaran. Merekagak tahu kita sudah punya anak lima,” kata Mei Lie.

Saya tersenyum. Tiba-tiba saja kaki saya terperosok,terduduk. Saya memegang dada kiri. Mata berkunang-kunang, kemudian gelap.

“Papi, papiiiiii,” sayup-sayup saya mendengar teriakanMei Lie. n

Jakarta, Mei 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

265

Page 276: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: OpenArt

266

Page 277: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

N. Mursidi

o

Tidak Ada Seribu Kunang-kunang di Langit

Published © Suara Merdeka, Minggu 12 Agustus 2012

N. Mursidi, lahir di Lasem, Jawa Tengah. Beberapacerpennya telah dimuat di sejumlah media massa lokaldan nasional. Selain menulis cerpen dia juga bekerja

menjadi wartawan sebuah majalah di Jakarta.

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

u

267

Page 278: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

BERTAHUN-TAHUN, laki-laki itu menunggu Ramadhan(tahun ini) cepat datang. Ramadhan yang akanmenggenapi usianya tepat enam puluh tiga tahun

dan dia merasa yakin, jika Ramadhan tahun ini, suatuperistiwa yang sudah ditunggu-tunggu lama itu akan tiba.Dia menemui ajal, selepas shalat tarawih tepat di malamLailatul Qadar.

Di malam yang ditunggu-tunggu itu, ia akan menunaikanshalat tawarih di tengah malam yang hening. Malam yangmembuat laki-laki itu harus rela meninggalkan semua yangdimiliki dan tidak lagi memikirkan dunia. Malam yangmembuatnya harus khusuk bersujud dalam hening waktuyang bisu, sunyi dan sepi—seakan-akan malam tak pernahberanjak menjadi pagi atau siang. Malam yang tak pernahdia rasakan lantaran tak ada angin berembus. Dan malamitu, ia benar-benar merasakan ajal yang ditunggu-tungguitu akan tiba; maka ia menunaikan shalat tarawih tepat dimalam yang hening—yang menurutnya malam LailatulQadar.

Tepat pada malam itulah, sebagaimana yang pernah diarasakan dalam mimpinya sepuluh tahun yang lalu, ia akanberanjak tidur dengan tenang selepas menunaikan shalattarawih dan dia berharap tak akan bangun lagi karena diaakan meninggal dengan tenang, tepat di malam LailatulQadar setelah ia melihat seribu kunang-kunang.

RAMADHAN hari pertama, sepulang dari menunaikanshalat subuh di masjid, laki-laki itu tidak kembali tidur. Diapulang tergesa, meraih sepeda. Dalam gelap pagi, diamenggayut pedal dengan napas tersengal menuju pasar.Dia menggenjot sepedanya diiringi derit jeruji yang hampirterlepas, dan gesekan salah satu jeruji sepeda yang terlepasitu menimbulkan suara sesak di dada.

Tidak Ada Seribu Kunang-kunang di Langit | N. Mursidi

268

Page 279: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Lelaki itu tak pernah bercerita pada anaknya, mengenaikematian yang akan menjemputnya di bulan Ramadhanini. Tahu-tahu, lelaki itu pulang dari pasar tepat ketikamentari beranjak naik di atas kepala, dan menjinjing kainkafan yang dibungkus plastik putih. Berjalan semboyongandilanda haus, lelaki itu menyandarkan sepeda di teras lalumemasuki rumah dengan langkah terhuyung hampir jatuh.Di ruang tengah, dia menghempaskan tubuh serayamenaruh plastik putih berisi kain kafan di atas meja.

Mahmud, anak keduanya, keluar dari kamar, menguapseraya mendapati ayahnya yang terlentang di kursi panjangmelepas lelah. Tubuh ayahnya gemetar, seluruh mukanyamerona merah sebab dibakar terik mentari.

“Ayah dari mana? Selepas subuh sudah mengeluarkansepeda dan pulang seperti orang dikejar hantu?”

“Dari pasar….”“Untuk apa ayah harus pergi ke pasar pagi-pagi sekali?”“Beli kain untuk baju….”Mahmud melirik bungkusan plastik di atas meja,

membukanya lantas membentangkan kain kafan dalambungkusan itu. “Mana mungkin ayah akan membuat bajulebaran dari kain seperti ini?”

“Siapa bilang kain kafan itu untuk baju lebaran ayah? Itubaju kematian ayah. Mungkin, di bulan Ramadhan iniayahmu akan dipanggil oleh Tuhan.”

Mahmud tersentak. “Ayah jangan bercanda denganTuhan. Ayah masih sehat dan kuat menggayut sepedasampai ke pasar… jangan berpikir aneh-aneh!”

Lelaki itu diam dan Mahmud melangkah ke kamar mandi.

BELUM cukup Mahmud dikejutkan dengan kain kafanyang dibeli ayahnya, hari kedua Ramadhan, ayahnyakembali membuat anaknya terperangah. Kali ini, ayah tiga

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

269

Page 280: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

anak itu pergi ke pemakaman.Sesudah menunaikan shalat ashar, lelaki itu pulang dari

masjid dengan langkah tergesa-gesa mengambil cangkuldi belakang rumah lantas berjalan ke luar perkampungan,lalu menyusuri jalan setapak ke pemakaman umum. Setibadi sudut pemakaman, lelaki itu membersihkan rumputmakam istrinya—yang sudah meninggal enam tahun lalu.Setelah rumput tak lag i menghuni gundukan makamistrinya, lelaki itu bersimpuh dan menangis. Hening senjaitu semakin membuat ia larut. Tak ada kata yang terucap,kecuali hanya sebait doa dalam hati yang sendu membasahibibirnya. Ia menghapus air mata, sebelum pulang saatmatahari hampir tenggelam.

Tapi, sesampai di rumah, lelaki itu seperti tidak dapatmengelak tatkala Romdon, anak ketiganya pulang kerja danmenemukan ayahnya pulang dari pemakaman dengansebuah cangkul di pundak. “Banyak kuburan tak terurus,termasuk kuburan ibumu. Jadi, apa salahnya jika aku pergike pemakaman untuk membersihkannya?”

“Tapi, kenapa ayah sendiri yang harus melakukan? Tidakbisakah ayah meminta bantuan orang lain denganmemberinya upah?”

“Ada satu hal yang kita tak bisa minta bantuan oranglain. Ayahmu tahu kematian tak dapat digantikan. Ayahmusudah tua. Jadi, tak mungkin ayahmu mengupah oranguntuk menggantikan kematian ayah yang sebantar lagi akandatang….”

Romdon termangu menatap wajah ayahnya yang mulaimenua di makan usia. Tetapi, Romdon sama sekali takmenemukan garis putih di dahi ayahnya yang bisamemberinya tanda jika ajal ayahnya tak lama lagi akantiba.

Tidak Ada Seribu Kunang-kunang di Langit | N. Mursidi

270

Page 281: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

TIDAK hanya hari kedua di bulan Ramadhan tahun ini,lelaki tua itu pergi ke pemamakan dan baru pulang saatsenja tenggelam. Tetapi di hari ketiga, keempat, danseterusnya lelaki itu masih tetap pergi ke pemakaman. Laki-laki itu pergi ke pemakanan seakan ia sudah merindukantempat yang akan dihuni kelak, tepat usai shalat tarawih dimalam Lailatul Qadar.

Dan malam ini laki-laki itu sudah menjalani puasa selamadua puluh hari.

Bulan di langit tak lagi penuh, mirip buah semangkadibelah dua. Di bilik kamar, lelaki itu berdiri melongokjendela. Tak diduga, tiba-tiba ia melihat seribu kunang-kunang berterbangan di langit dengan memancar kelap-kelip aneka warna. Cakrawala tidak lagi gelap, dan langitseperti tersepuh warna seribu kunang-kunang. Lelaki itutidak ragu, bahwa malam ini adalah malam Ramadhanyang ditunggu-tunggu. Malam penuh berkah, dan diamerasakan ada secercah kedamaian yang menelusup dalamdadanya….

Tak ing in ia kehilangan suasana yang tak pernah iarasakan sepanjang hidup, memandang ke angkasa dengandiam. Adzan isya’ sudah lama berlalu, tetapi suara langkahkaki orang-orang yang pergi ke masjid untuk shalat tawarihtidak menggoyahkan kakinya beranjak pergi ke masjid. Iasudah merasa ajalnya sudah dekat. Langit yang dipenuhidengan seribu kunang-kunang seperti mengabarkan akanberita duka tersebut.

Kini, malam yang ditunggu-tunggu itu, sudah tiba dandia harus menunaikan shalat tawarih di tengah malam yanghening. Malam yang membuatnya harus rela meninggalkansemua yang dia miliki. Malam yang membuatnya haruskhusuk bersujud dalam hening waktu, seakan-akan malamtidak beranjak menjadi pagi atau siang. Malam yang tidak

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

271

Page 282: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

pernah ia rasakan, lantaran tidak ada angin. Dan, malamini, ia merasakan ajal yang ditunggu-tunggu akan tiba.

Ia melangkah mengambil air wudhu, kemudian kembalike kamar, dan berdiri lagi di balik jendela. Seribu kunang-kunang yang barusan dilihatnya tak lag i terlihat. Diamengedarkan pandangan mencarinya di segala penjurulangit. Tapi seribu kunang-kunang itu sudah hilang, tidak iatemukan lagi. Angin berhembus, menyelimuti sekujurtubuhnya dalam balutan rasa tentram yang tak pernah iatemui sepanjang hidup.

Malam seakan lama beringsut. Suara orang-orang yangmenunaikan shalat Tarawih di masjid, terdengar ditelinganya. Ia tahu, malam belum sepenuhnya hening. Maka,ia mengambil kitab suci di atas meja lalu membacanyadengan suara lirih. Tatkala anak-anaknya tiba dari masjid,tak menaruh curiga; kenapa ayahnya malam itu tidak shalattarawih di masjid.

Malam merambat menjadi hening. Ia tahu anak-anaknyasudah beranjak tidur. Tepat di malam itu, ia berdirimenunaikan shalat terawih di tengah malam yang hening.Malam yang membuat lelaki itu harus rela meninggalkansemua yang dimiliki, tak lagi memikirkan dunia. Malam yangmembuatnya harus khusuk bersujud dalam hening waktuyang bisu, seakan-akan malam tak pernah beranjak menjadipagi atau siang. Malam yang tidak pernah ia rasakan,lantaran tak ada angin berhembus. Dan malam ini ia benar-benar merasakan ajal yang ditunggu-tunggu itu akan tibadan ia pun segera menunaikan shalat tarawih.

Malam benar-benar hening.Angin seperti diam, dan membisu.Ia khusuk dalam sujud, dan tidak memikirkan dunia.Usai shalat tarawih, pelan-pelan ia beranjak ke ranjang

untuk tidur dan berharap di malam yang sudah beranjak

Tidak Ada Seribu Kunang-kunang di Langit | N. Mursidi

272

Page 283: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

menjadi pagi itu, ia tidak akan bangun lagi lantaran ia akanmeninggal dengan tenang selepas shalat tarawih, tepat dimalam Lailatul Qadar.

Tapi betapa terkejutnya lelaki itu tatkala waktu sahurtiba…, ia merasakan tangan kekar menyentuh tubuhnya.Abdul, anak pertamanya menggoyang-goyang tubuhnya.“Ayah…, bangun! Sudah waktunya makan sahur! Dan adakabar sedih yang melingkupi kampung kita. Haji Salim,imam masjid di kampung kita barusan meninggal dunia.”

Lelaki itu membuka matanya, dan dilihatnya sosok anakpertamanya berdiri di tepi ranjang. Ia terperanjak karenaHaji Salim meninggal dunia. Dalam hati, ia merenung:kenapa Haji Salim yang justru meninggal pada malam yangia tunggu-tunggu itu?

Ia beranjak dari ranjang, membuka jendela, danmelongok keluar dengan mata masih setengah terpejam.Tidak ada seribu kunang-kunang di langit. Hanya ada bulanseparoh bulat mirip buah semangka yang dibelah menjadidua…. n

.Ciputat, Ramadhan 1431

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

273

Page 284: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Dmitry Brodetsky | OpenArt

274

Page 285: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Febrie Hastiyanto

o

Tentang Telepon,Lebaran, dan Demonstrasi

Published © Sumatera Ekspres, Minggu 12 Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

u

u

275

Page 286: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

FEBRUARI, 1987. Suatu sore. —ini ya yang namanyatelepon. kok bisa ada suara di situ? Abang kokkayaknya begitu sakti bisa omong-omongan dengan

gagang telepon. Hik...hik... hik... lucu ya?!—

BARU dua minggu ini rumah dimeriahi tingkah deringdari kotak persegi-bergagang yang kata orang-orangnamanya telepon. Jadi lagi masa percobaan. Mulai deh,bapak menelepon semua kenalannya yang ada di bukutelepon. Abang tidak usah disuruh. Cuma saya dan ibuksaja yang tidak merasa ada perubahan drastis dari hadirnyateknologi ini.

Tapi ada juga. Ya. Di sekolah orang-orang mulai ceritatentang telepon. Interlokal?? Si Asti saja katanya sudah bisamenelepon sendiri. Ah masa. Beraninya dia. Eh, sakti sepertiAbang. Hmm. Pernah sih lihat kotak persegi bergagang yangkata orang-orang namanya telepon.

—katanya besok lebaran. pagi-pagi—seperti tahunkemarin—orang-orang pada baris di lapangan. sepertisenam di sekolah. assyiiik! tapi malam ini semua berkumpuldi ruang tengah. menghadap kotak persegi-bergagang yangkata orang-orang namanya telepon—

Ini namanya silaturahmi?Semua dapat giliran. Kamu juga ya, kata bapak kepada

saya. Untuk apa bapak, saya beranikan bertanya. Sttt... ininamanya silaturahmi, kata Abang. Tapi rambut saya tidakdiacak-acaknya lagi.

—(ini keponakanmu) kata-kata terakhir bapak. setelahitu gagang telepon ia sodorkan. kepada saya?? ayo, bilangsaja: selamat lebaran Pakde, Abang menyorongkanpunggung saya. saya pucat. tapi ibuk tersenyum—

Gagang dari kotak persegi yang kata orang-orangnamanya telepon saya terima juga. Abang membantu ‘cara

Tentang Telepon, Lebaran, dan Demonstrasi | Febrie Hastiyanto

276

Page 287: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

memakai yang benar’, begitu katanya. Ayo bilang apa?Abang sudah menguji ingatan saya. Padahal saya masihpucat.

—(halo). suara dari gagang kotak persegi yang kata or-ang-orang namanya telepon yang masih saya tempelkandi telinga—

Tangan saya bergetar. Saya mencari Abang. Cepat-cepatsaya serahkan padanya. menggeleng-geleng. apa-apa,ayolah. Saya memerlukan menelan ludah berkali-kali. Halo,Abang?!

Halo? Katanya pada saya. Itu artinya emm... selamatmalam. Ya, selamat malam. Kamu jawabnya halo juga.Sudah cepet sana!

—(halo ini siapa?)——(halo)——(oh, keponakan Pakdhe ya?! sudah beli baju baru

belum?)——(selamat lebaran Pakde)——(oh, ya... ya. besok ke rumah Pakde kan?!)—Saya kembali mencari Abang. Saya geleng-gelengkan

kepala. Wajah saya tambah pucat saja. Bilang saja selamatlebaran Pakde, kata abang sambil mencubit gemes pipisaya. Saya memandangi abang lagi. Ya jawab pertanyaanPakde, bisik abang. Ayo. Saya hampir menangis sekarang.

—(halo?!) terdengar dari gagang kotak persegi yang kataorang-orang namanya telepon—

JULI 1987. Ada bapak ada ibu juga abang.Bapak, kenapa air laut asin? Saya tanyakan padanya,

soalnya tadi sedikit ter telan. Abang ter tawa. Diamenghampiri kami mencicipi es kelapa muda. Bapak danibuk juga.

—(mengapa tertawa?) tanya saya. habis, mereka seperti

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

277

Page 288: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

menertawai pertanyaan saya——(karena pertanyaan kamu. Itu nggak ilmiah namanya)

kata Abang. masih tertawa ditahan—Ilmiah? Bodoh ya mereka. Budek kali. Saya bukan tanya

ilmiah, tetapi kenapa air laut asin. Huh, menyebalkan. Sokdewasa mereka. Bapak juga ikut-ikutan.

—(lalu garamnya saudagar itu dari mana?. entah. naluribertanya saya saat ini pun tidak pernah berpikir tentangfeed back seperti itu. ah, anak kecil—

—(garamnya diambil dari Kahyangan). bapak, sambilmenyeruput es kelapa muda—

—(di Kahyangan ada dewa bapak?)——(o, banyak. ada bidadari. ada peri juga) kali ini ibuk——(ada Tuhan juga bapak?)——(nggg...) manggut-manggut.—(Tuhan itu anaknya siapa sih, bapak?)——(husss!) ibuk mendelik. menjentikkan jari pertanda

jeweran. (tidak boleh ngomong seper ti itu). masihmendelik—

—(Tuhan tidak punya bapak. juga nggak ada ibu. tidakada kakak. tidak ada adik. Tuhan itu satu). bapakmenghabiskan es kelapa mudanya—

—(kok bisa?) tapi saya hanya bertanya dalam hati—

1991. Pulang dari mengaji.—Bersama Abang di halaman samping pohon jambu

air. sepeda baru. biru. setangnya lurus. sebuah lebih tinggiuntuk Abang. larinya kenceng, sepeda itu. kalah semuasepeda-sepeda punya yang lain. dan sebuah lagi. sedangsaya naiki—

1991, September. Bersama abang dan bapak.—Di sini ramai. hari Minggu pagi. dingin ya, pantas saja

Tentang Telepon, Lebaran, dan Demonstrasi | Febrie Hastiyanto

278

Page 289: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

dingin: pukul 06.02! Abang sudah hampir mahir kecipak-kecipak. kadang timbul, banyak tenggelamnya. kalau bapakjangan ditanya—

SAYA mulai mencebur ke dalam kolam renang. Bukanwilayah buat bapak-bapak tentu. Airnya dalam. Mencapaileher saya. Dinginnya itu lho. Bapak baru saja selesaipemanasan. Lalu menghampiri saya.

Kita akan belajar berenang. Kamu mau kan bisa sepertioom itu? Bapak menunjuk seorang oom-oom di pojokanagak sebelah kiri. Kekar, berotot. Agak terengah-engah. Maubapak, saya langsung menyahut. Membayangkan menjadiseorang ninja-air. Dapat bertahan di dalam air, seorangksatria.

—(kamu tahu kenapa bapak bisa berenang?)—Suaranya terdengar samar. Di antara riuh kecipak-

kecipak. Meski saya tahu apa yang ditanyakan, saya tidakmenjawab. Konsentrasi lebih penting ketimbang sayatenggelam. Dan bakal dapat jahitan di dalam perut??Sumpah. Saya tidak akan pernah mengijinkannya.

—(bapak dulu punya cita-cita bisa berenang di laut. bisajalan-jalan. maksudnya berenang kemana saja. ke Bali.atau, naik haji)—

—(bhhisa). saya terengah-engah (bhhisa itubapp...hak?)—

—(ya. asal kamu bisa berenang) bapak menyorongkansaya. setengah lintasan sudah saya kecipaki. (nanti kitasama Abang. bawa nasi yang banyak. biar dipincuk ibuknanti)—

Sabtu, 10 Agustus 2002. saat rindu. dalam kamar kos diantara kitab-kitab: Teori Sosiologi Klasik dan Modern, HujanKepagian dan Tiga kota, Burung-Burung Manyar, CatatanHarian Seorang Demonstran....

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

279

Page 290: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

KEBERADAAN aksi turun ke jalan bagi perjuanganmerupakan keniscayaan taktis yang tidak ditawar-tawar. Aksiserentak menghajar bersama (common enemy) dalam satutelah menjelma menjadi momok hiyong dalam perspektifgerakan ekstra-parlementer. Yang selalu mengintai,mendekap untuk kemudian menggerogoti rejim yang lalim.People powers merupakan pembenar dari kebenaranperjuangan yang diimani. Kehendak umum (volonte gen-eral) adalah hukum tertinggi dalam masyarakat.

Ironi dalam tragedi aksi seringkali muncul. Semangatheroik yang tumbuh kemudian tidak direspon dengan bekalideologi yang mumpuni. Empat mahasiswa Trisakti yangtertembak pada 12 Mei 1998 tidak lebih sebagai ‘korban-korban aksi’. Meski oleh media dijargonkan dengan semaraksebagai pahlawan reformasi. Tanpa mengecilkan artipengorbanan keempat pahlawan: A. Elang Mulya Lesmana,Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, Hery Hartanto, tidak satupun diantaranya dapat dikategorikan sebagai aktivis(Zamroni dan Andin: 1998), sebuah kategori sosiologis yangdapat dijadikan indikator keterlibatan politik—meski terlaludini.

Kemudian dibutuhkan adalah martir-martir perjuangan.Artinya seorang yang memiliki kesadaran ideologis dankesadaran taktis terhadap apa yang dikerjakannya. ‘Korbanaksi’ akan menjadi pahlawan dan ‘martir’ akan menjadipejuang (sekali lag i, sebuah kategori sosiologis yangseringkali kurang etis). Pahlawan hanya akan menjadipemicu gejolak manifest sesudahnya sebagai konsekuensi‘teori domino’. Sedang pejuang akan menjadi ilham yangmenjadi penyebab gejolak laten sebagai ‘kelanjutanperjuangan’. n

Tentang Telepon, Lebaran, dan Demonstrasi | Febrie Hastiyanto

280

Page 291: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: OpenArt

281

Page 292: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

T. Agus Khaidir

o

Menunggu Ibu Pulang

Published © Sumut Pos, Minggu 12 Agustus 2012

Menunggu Ibu Pulang | T. Agus Khaidir

u

u

282

Page 293: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

SEPI sekali. Rumah kosong. Ibunya belum pulang juga.Padahal tadi, usai menjemputnya dari sekolah, ibubilang hanya akan pergi sebentar. Ah, Mira, gadis cilik

11 tahun itu menghentakkan kakinya dengan kesal. Kenapatadi tak bertanya ibunya kemana, tujuannya apa, perginyasama siapa. Ia benar-benar lupa karena terlanjur senangmendengar ibunya berjanji membawakan Kurma Ajwauntuk buka puasa.

Kurma Ajwa, iya, bagaimana Mira bisa lupa. Setahun laludi acara berbuka puasa bersama di sekolahnya, Mira untukkali pertama mencicipi kurma itu. Memang lezat tiadaberperi. Dagingnya tebal, lemak, tapi tidak enek lantaransedikit berair. Dua butir cukuplah untuk menawarkan laparyang tadinya begitu merongrong. Konon, pohon-pohonKurma Ajwa yang ada sekarang merupakan turunan pohonkurma yang ditanam sendiri oleh Rasulullah.

Mira melirik jam di dinding ruang keluarga. Pukul limaempat puluh menit. Cahaya meredup, berubah dinginseiring gerimis yang mendadak turun tanpa didahuluigertak. Ibunya belum juga pulang. Kemana, sih? Sambiltersungut-sungut Mira menghempaskan diri ke sofa, lalumenyetel televisi.

Serangkaian acara komedi dan sinetron religi. Miramengenal pemeran-pemerannya, bintang-bintang tamunya.Yang biasa-biasa juga. Hanya saja kali ini mereka takberpenampilan seperti biasa. Mereka kali ini berkerudungberbaju kurung, serta berbicara dan bertingkah laku agaklebih sopan. Memuakkan!

Di saluran lain berita korupsi, isu SARA Pilkada, gosipartis, musik-musik jiplakan dari Korea, debat-debat kusiryang entah kapan berkesudahan, ceramah agama dariustaz-ustaz yang ganteng maupun yang suka melucu.Kenapa tak ada kartun? Huh! Benar-benar memuakkan.

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

283

Page 294: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Mira mematikan lag i televisi itu. Kemana, sih, ibu? Iamenghela nafas. Diliriknya jam dinding. Lima menit menujupukul enam. Mira melangkah ke halaman, membuka pagar,melongok ke ujung jalan. Ah, sebenarnya bukan jalan.Barangkali lebih cocok disebut gang. Lebarnya tak sampaidua meter, hanya cukup dilalui satu mobil kecil atau duasepeda motor berpapasan. Tak ada lapisan aspal. Hanyaconblock motif segi enam yang dipasang tak terlalu rapi.

Di ujung jalan yang lebih menyerupai gang inilah angkotyang ditumpangi ibunya biasa berhenti. Mira sudah hafalbenar bagaimana adegan selanjutnya berlangsung. Ibunyaturun dari angkot itu dengan gerakan setengah melompat,lantas tergesa merogoh kantung roknya atau celanapanjangnya atau blousenya, mengambil uang, kemudianmenyodorkannya pada supir lewat jendela sebelahpenumpang. Ibunya selalu memenyediakan uang pas untukmembayar ongkos angkot sejak tasnya disambar pejambretpersis di tempat yang sama. Waktu itu, mereka baru satuminggu pindah ke kompleks ini, kompleks perumahanmurah yang dalam beberapa tahun belakangan munculsebagai trend bisnis properti. Selain jalannya yang sempit,rumah-rumah di kompleks ini diberdirikan hanya atas duatipe, 36 dan 45. Tanpa dapur, tanpa halaman, dan sudahtentu tanpa pagar. Jika menginginkan, pemilik harusmembangunnya sendiri. Begitupun, Mira kerap diajakibunya bersyukur. Bukan cuma karena letaknya yang masihberada di kawasan inti kota, sehingga cukup dekat kemana-mana, tapi lebih pada kenyataaan betapa di luar sanabanyak orang bahkan tak punya rumah sama sekali.Dua tahun lalu, rumah ini dibeli ibunya dengan caramencicil. Bagiannya dari pembagian harta gono-gini setelahbercerai dengan ayahnya, dijadikan ibunya sebagai uangmuka.

Menunggu Ibu Pulang | T. Agus Khaidir

284

Page 295: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Hari-hari dalam dua tahun berlalu cepat bagi Mira. Iapindah sekolah, mendapat teman-teman baru yang takkalah menyenangkan. Tapi semua keceriaannya sirna kalaRamadan tiba, dan itu membuatnya makin benci padaayahnya. Benci, kesal, tapi sekaligus rindu. Betapa beratmenjalani puasa tanpa ayahnya. Sekarang tak ada lagi yangmembangunkannya saat sahur. Tak ada lag i yangmenggendongnya dari tempat tidur ke meja makan,menyendokkan nasi dan lauk ke piringnya, membimbingnyamelafazkan niat puasa. Aku berniat puasa esok harimenunaikan kewajiban Ramadan tahun ini karena AllahTa’ala. Sebenarnya lafaz ini sudah lama ia hafal luar kepala.Tapi entah kenapa, Mira suka membayangkan ayahnyamenyangka ia tak bisa.

“Kenapa kau di luar, Mira? Masuklah, sebentar lagiberbuka. Apa bukaan apa kalian hari ini?” seorangperempuan tua melintas bernaung payung. Di tangannyabungkusan plastik, barangkali panganan berbuka. Mirakenal betul padanya. Tetangga berselang dua rumah. Diabaik dan ramah, dan punya dua cucu yang umurnya sebayaMira, teman sepermainannya yang paling akrab di kompleksini.

“Belum tahu, Nek.”Perempuan itu menghentikan langkah. “Tak masak

rupanya ibumu?”“Ibu belum pulang.”“Kemana ibumu? Tantemu di rumah, kan?”“Tidak tahu, Nek. Tadi katanya pergi sebentar. Tante juga

belum pulang.”“Mau ke tempat nenek saja. Bukaan sama-sama Amel

dan Lia. Iya?”Mira menggeleng. “Tak usahlah, Nek. Mungkin sebentar

lagi ibu pulang.”

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

285

Page 296: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Iya, mungkin sebentar lagi. Perempuan itu berlalusembari berpesan, pintu rumahnya tidak dikunci jika Miraberubah pikiran. Langsung masuk saja, katanya. Miramengangguk, tersenyum. Setelah perempuan itumenghilang di balik pagar, ia melongok lagi ke ujung jalan.

Tetap tak ada angkot berhenti. Rumah-rumah tetanggadi kiri kanan tutup. Serentak Mira merasakan dirinya sangatsendiri. Tante Mia, adik bungsu ibunya yang sejak tiga bulanlalu tinggal bersama mereka, tadi pagi-pagi sudah bilangada acara buka puasa dengan kawan-kawan sekampusnya.Sepi sekali. Nun dari masjid kompleks terdengar lantunanayat-ayat suci. Syahdu. Dan Mira, makin merasakan rinduitu. Mengapa ibunya begitu keras hati? Padahal ayahnyasudah setengah mati minta maaf, bahkan sampai mintaampun segala, sampai mencium kaki ibunya sembari berjanjimeninggalkan perempuan sialan itu. Mengapa ibunyamembatu, lalu lancang pula menjatuhkan keputusan sendiritanpa bertanya apapun pada dirinya? Apakah karena iadianggap masih terlalu kecil untuk mengerti soal perceraian?Padahal Mira sangat mengerti. Ia tidak ingin merekabercerai. Ia ingin tetap punya ayah dan ibu yang tinggalserumah seperti teman-temannya. Ia tak ingin sepertiAwang.

Tapi Mira tak protes. Ia menurut saja saat dibawa ibunyapergi. Dari rumah besar berpagar gedong, ada kolam ikancantik di sudut halaman yang dinaungi pohon mangga ArumManis, ia pindah ke rumah sempit ini. Mira diam-diam seringmerindukan rumahnya yang lama, merindukan ikan-ikandan mangga Arum Manis itu. Tapi ia memang lebih rindupada ayahnya. Sudah dua Ramadan tidak ada lagi acarajalan-jalan sore mencari panganan berbuka. Sudah duaRamadan ia merindukan saat-saat mereka makan SatePadang sepulang Tarawih. Tak peduli di restoran atau

Menunggu Ibu Pulang | T. Agus Khaidir

286

Page 297: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

emperan kaki lima, mereka selalu makan bertiga. Sungguhmesra. Mira benar-benar tak habis mengerti, kemesraanseperti ini masih juga bisa membuat ayahnya membagirasa cinta pada perempuan lain. Terlalu! Apa, sih, yangkurang dari ibunya? Dia cuma sedikit cerewet, sedikit sukamerajuk, tapi dia baik. Cantik pula tentunya. Senyumnyamanis sekali, dan dia pintar memasak, pandai menjahit,juga pandai menyanyi.

Tante Mia, adik bungsu ibunya, kira-kira seminggu lalumembawa kabar mengejutkan. Sekarang dia kembali kepacar lamanya. Kakak tahu pacarnya? Lelaki tua yangwajahnya jauh lebih buruk dari Bang Zainuddin. Tapi walauburuk, lelaki yang disebut Tante Mia sebagai pacarperempuan itu lebih kaya dari ayahnya. Selama ini rupanyadia salah sangka, Kak. Rasain!

Mira tak terlalu paham kalimat Tante Mia. Namun ia kirakesimpulannya tak meleset jauh. Sekarang ayahnya danperempuan sialan itu tak lagi bersama. Harusnya ini jadikabar baik. Nyatanya tidak. Mira tahu ayahnya pernahbeberapa kali menelepon dan ibunya menerima dengansikap sangat ketus. Kenapa bara dendam harus dipelihara?Tapi Mira tak yakin juga ibunya membenci ayahnya sedalamitu. Ia pernah memergoki, usai bercakap dengan ayahnya,ibunya menangis sesengukan. Lalu kenapa tidak menerimasaja ayahnya kembali?

Tante Mia bilang, persoalannya tak sederhana. Rumit,Mira. Serumit apa? Ini soal prinsip. Kau masih terlalu keciluntuk mengerti.

Inilah! Orang-orang dewasa selalu menganggap anak-anak kecil tak tahu apa-apa perihal persoalan mereka. Terlalumenganggap remeh. Prinsip? Huh! Semenjak Awangmembikin heboh satu sekolah lantaran dikabarkanmenggetok kepala seorang lelaki dengan martil, ia telah

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

287

Page 298: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

berkenalan dengan kata itu.Awang teman Mira di sekolahnya yang lama. Ia masuk

di awal tahun ajaran kelas III. Meski duduk di bangku yangletaknya bersisian, mereka jarang bicara. Mira sukamengobrol (bahkan di dalam kelas hingga sering ditegurguru), tapi Awang, bocah berambut keriting kriwil panjangsebahu yang saban hari diantar pakai Alphard ke sekolah,itu pendiam sekali. Pada jam istirahat ia lebih sering dikelas. Menggambar atau membaca komik yang dibawanyadari rumah. Sesekali keluar kelas, Awang tetap memilihmenyendiri. Ia selalu duduk di sudut lapangan bola, di atasgundukan tanah yang oleh Mira dan kawan-kawannya selaludiandaikan sebagai gunung. Dari sana ia menonton anak-anak lain main bola sambil menikmati bekalnya.

Mengapa Awang bisa berbuat senekat itu? Miramendapat jawabannya seminggu kemudian, setelah –lagi-lagi– Awang membikin heboh. Ia hilang. Lebih tepatnya,menghilang. Berjam-jam dicari tak kunjung ketemu. Walikelas, guru-guru, kepala sekolah, bahkan pemilik sekolah,ikut repot menelepon ke sana kemari. Seluruh orang tuasiswa kelas III ditanyai apakah Awang ada di rumah mereka.Hasilnya nihil. Ibu Awang menangis. Lelaki yang datangbersamanya menyarankan untuk melapor polisi. Siapa tahudiculik orang. Lelaki itu perlente sekali. Kemejanya lincin,berdasi, tapi ada perban di kepalanya.

Setelah ibunya dan lelaki perlente itu pergi ke kantorpolisi, Awang tiba-tiba muncul. Rupanya ia bersembunyi diantara rerimbunan batang tebu yang tumbuh liar di balikgundukan tanah dekat lapangan bola itu. Mira yang belumdijemput, duduk menemani Awang yang menangis didalam kelas. Aku tak mau satu mobil dengan laki-laki itu.Kalimat inu berkali-kali ia teriakkan dengan nada makinhisteris, hingga kepala sekolah menyerah dan

Menunggu Ibu Pulang | T. Agus Khaidir

288

Page 299: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

memerintahkan wali kelas mengantar Awang pulang. Mirabertanya kenapa Awang begitu keras kepala. Awang, untukpertama kalinya, tersenyum pada Mira. Ini soal prinsip, Mira.Kau tak akan mengerti. Kau punya ibu dan ayah. Aku tidaklagi. Karena laki-laki itu ayahku pergi. Mungkin lain kali akuharus buat perhitungan yang lebih serius dari sekadarmenggetok kepalanya.

Dering telepon memutus lamunan Mira. Ia berlari keruang tengah. Siapa tahu ibunya.

“Halo!”Ternyata Tante Mia. Mengabarkan ia bakal pulang lebih

lama dari rencana semula“Tante ke mal sebentar, ada kawan minta ditemenin beli

baju buat lebaran. Bilang sama ibumu, ya, Mir. Dah…”Bahkan Tante Mia tak menanyakan ibunya sudah pulang

atau belum. Tapi, eh, Mira baru sadar, Tante Mia memangtak tahu ibunya pergi. Ini seperti rencana mendadak. Iasendiri baru tahu tadi siang.

Gontai Mira melangkah ke dapur. Membuat teh manis.Dibukanya kulkas, ada pudding coklat sisa semalam. Jadilah,daripada tidak ada yang dikunyah. Azan Magrib terdengarsaat Mira meletakkan pudding di meja makan. Bertepatanitu, dari depan terdengar suara derap kaki. Disusul suarayang ia rindukan sejak tadi.

“Mira, maaf ibu telat, nak. Tadi jalanan macet. Ini ibubawakan Pizza.”

Lho, kok, Pizza? Bukan Kurma Ajwa?Mira menghambur ke depan, siap mencecar rajuk. Tapi

langkahnya mendadak terhenti. Ibunya tak datang sendiri.Seorang lelaki berdiri di sisi pintu. Lelaki itu tersenyumpadanya.

“Oh, iya, ini Oom Sam. Kalian belum saling kenal, kan?Suruh masuk, dong. Magrib begini nggak baik berdiri di

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

289

Page 300: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

depan pintu. Nanti bisa kesambet setan, lho. Nanti…”Ibunya terus mengoceh. Mira tak mendengarkannya lagi.Lelaki yang disebut ibunya Oom Sam memamerkan senyummakin lebar. Tapi Mira justru membayangkan wajah Awang.Wajah yang juga bersenyum dan tangannya eratmenggenggam martil. n

Medan, 5 Agustus 2012

Menunggu Ibu Pulang | T. Agus Khaidir

290

Page 301: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Hans Jochem Bakker | OpenArt

291

Page 302: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Morgan Weistling | OpenArt

CerpenCerpenCerpenCerpenCerpenAnak & RemajaAnak & RemajaAnak & RemajaAnak & RemajaAnak & Remaja

CerpenCerpenCerpenCerpenCerpenAnak & RemajaAnak & RemajaAnak & RemajaAnak & RemajaAnak & Remaja

292

Page 303: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Tak Usah Menunggu

LebaranYayan Rika Harari

o

Published © Kedaulatan Rakyat, Minggu 12 Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

u

u

293

Page 304: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

HAAAHHH... lukisanku kok jadi begini? “Lisa memekik.Murid-murid kelas 4A segera mengerumuni Lisa dimejanya. Lukisan Lisa penuh cat merah. Meja pun

basah kena cat air. Kuasnya tergeletak di bawah meja.“Cat airmu tumpah, Lis?” tanya Zalfa.“Iya, Lis, pasti tumpah... Nih, paletmu kosong,” Fara

menambahkan dengan yakin.‘Tapi, tadi waktu aku tinggal keluar kelas tidak seperti

ini. Kalau tidak percaya, tanya saja sama Diva,” Lisa menunjukteman satu mejanya. Semua menoleh pada Diva.

“Benar, Va, yang dikatakan Lisa?” tanya Zalfa pada Diva.“Iya, benar, aku tadi lihat kok. Lukisan Lisa bagus. Lukisan

anak-anak sedang takbiran keliling,” jawab Diva.“Tapi bagaimana bisa seperti ini, ya?” kata Fara.“Udah...udah... Tidak apa-apa kok, aku bisa melukis lagi

nanti. Kita harus bersabar,” kata Lisa berusaha tersenyum.“Kalau begitu, ayo, kita bantu Lisa membersihkan

mejanya!” ajak Fara.“Aku setuju, biar Lisa bisa segera melukis lagi,” tukas

Zalfa.Setelah meja Lisa kembali bersih, Lisa lalu mulai melukis

lagi. Semua murid kembali ke kursi masing-masing danmelanjutkan lukisannya. Sementara itu, di meja palingbelakang di pojok kelas, Fara berkata pelan pada Elasahabatnya, “Kasihan Lisa, ya, harus mengulang lukisannya.”Ela cuma mengangguk dan diam tidak menjawab perkataanFara.

“Semoga Pak Hery memberi waktu tambahan untuk Lisakalau lukisannya belum selesai waktu bel nanti,” Fara terusberbicara meski tidak ditanggapi Ela. Karena Ela diam saja,Fara menoleh pada Ela. Dilihatnya Ela tertunduk sedih.Mulutnya mengatup rapat.

“Ada apa, La, kok seperti itu?” tanya Fara.

Tak Usah Menunggu Lebaran | Yayan Rika Harari

294

Page 305: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

“Tidak ada apa-apa,” jawab Ela lirih.“Ayo, dong, cerita. Tidak mungkin kamu diam aja kalau

tidak apa-apa,” bujuk Fara.“Bener,” jawab Ela hampir tak terdengar.Fara meletakkan kuasnya. Ia menoleh pada Ela. Biasanya

sahabatnya itu ceria, suka bercerita. Tetapi sekarang Eladiam saja. Fara mengamati Ela dan lukisannya. Gambarorang membuat ketupat itu dari tadi belum berubah. Baruketupatnya saja yang diberi warna hijau.

Fara membungkukkan badannya dan berusaha melihatwajah Ela yang menunduk. Ela menyembunyikan wajahnya.Fara gagal melihat wajah Ela, tapi ia menemukan sesuatu.Ada noda cat merah di baju Ela. Fara sedikit terhenyak.Diamatinya lagi lukisan dan palet Ela. Belum ada cat merahyang terpakai. Fara langsung mendekati Ela.

“Ela, kamu tahu siapa yang menumpahkan cat air Lisa?”bisik Fara pada Ela hati-hati.

“Iya..., aku yang menumpahkan, tapi tidak sengaja. Waktulari keluar kelas aku tersandung meja Lisa. Isi paletnyatumpah ke lukisan. Kuasnya jatuh kena bajuku,” jawab Ela.

“Oh, begitu ceritanya. Mengapa kamu tidak mau mintamaaf?”

“Mau, Fa, tapi besok aja waktu lebaran,” bisik Ela. “Akutakut Lisa marah. Kalau waktu lebaran, pasti Lisa tidak marahdan mau memaafkan.”

“Eh, itu tidak benar, Ela. Kalau kita bersalah, ya harussegera minta maaf,” kata Fara.

“Aku yakin Lisa tidak marah dan mau memaafkan kamu.Kamu kan tidak sengaja,” bujuk Fara. Ela menggeleng. “Ayodong Ela, minta maaf saja...!” Fara membujuk terus.

Akhirnya, Ela bangkit. Ia berjalan ke arah meja Lisa. Faralega. Tetapi, ternyata Ela terus melewati meja Lisa danmeninggalkan kelas. Fara yang penasaran kemudian

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

295

Page 306: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

mencoba melihat sahabatnya dari balik jendela. DilihatnyaEla berpapasan dengan Pak Hery yang hendak kembali kekelas. Entah mengapa Pak Hery kemudian berbalik. Elamengikutinya.

Tidak berapa lama kemudian Ela kembali ke kelasbersama Pak Hery. Wajah Ela tampak sudah lebih cerah. Iakemudian kembali duduk di samping Fara.

“Ngapain kamu tadi?” Fara bertanya dengan tidak sabar.“Menebus kesalahan!” jawab Ela singkat.“Apaan? Kamu belum minta maaf kepada Lisa...!” tukas

Fara.“Ada deh...!” jawab Ela menyebalkan. Fara semakin

jengkel.Menjelang jam pelajaran berakhir, Pak Hery

mengingatkan agar murid-murid segera menyelesaikanlukisan. Tetapi, khusus kepada Lisa, beliau memberikantambahan waktu saat istirahat. Rupanya beliau tahu adakecelakaan kecil yang terjadi pada lukisan Lisa. Murid-mu-rid pun bersorak girang. Mereka senang dengan keputusanPak Hery.

“La, kenapa kamu nggak istirahat?” tanya Lisa keheranansambil menyelesaikan lukisannya saat istirahat tiba dansemua anak sudah keluar kecuali mereka berdua.

“Lis, aku mau omong sesuatu...,” Ela terbata-bata.“Apa sih, bikin penasaran aja?” kening Lisa mengernyit

penuh keheranan.“Aku minta maaf. Sebenarnya, aku yang menumpahkan

cat air itu. Aku tersandung kaki meja tadi,” Ela menjelaskandengan tersendat-sendat.

“O, begitu... kirain apa... kok serius banget!” jawab Lisadengan ringan.

“Kamu nggak marah?” tanya Ela takut-takut.“Tadi sih dongkol. Tapi sudahlah, sudah telanjur. Lagian

Tak Usah Menunggu Lebaran | Yayan Rika Harari

296

Page 307: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Pak Hery ngasih waktu tambahan kan? Eh, omong-omongkenapa Pak Hery bisa tahu, ya?”

“Aku yang cerita ke Pak Hery tadi saat aku keluar kelas,”jawab Ela sambil menyalami Lisa. Sambil tersenyum Lisamenyambutnya. n

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

297

Page 308: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Barry Yang | OpenArt

298

Page 309: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Sartika Sari

o

Surat untuk Pelangi

Published © Medan Bisnis, Minggu 12 Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

u

u

299

Page 310: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Dua bocah laki-laki duduk di pinggir sungai. Didepannya arus air cukup deras. Lantaran sejak pagitadi, desa ini diguyur hujan. Baru beberapa jam laluberhenti. Tentu saja, kedua bocah itu juga turut sibuk

memperbincangkan pelangi yang nempel di langit soreini. Ah, saban senja mereka memang sering

menghabiskan waktu bersama. Biasanya ada duateman lagi. Koko dan Lili. Tapi hari ini, mereka tidak

diberi izin bermain di luar rumah. Tinggallah Tejo danJesmen.

AKU tak percaya kalau pelangi itu bidadari.” Tejo ber-geming. Tapi matanya sayu benar.“Kenapa pulak? Dari kecil kita kan sudah dengar

cerita Inang kalau pelangi itu adalah bidadari.” Jesmenmencoba meluruskan pikiran Teja yang dianggapnya keliru.

“Dulu memang aku percaya. Tapi sekarang tidak.” jawabTejo singkat.

“Aih, ada apa denganmu Jo? Aneh kali kau? Atau jangan-jangan kau lagi sakit ya? Kecapekan karena mengurasrumahmu yang banjir?” tanya Jesmen.

“Bukan begitu Jesmen. Coba kau lihat, kalau memangpelangi itu bidadari, kenapa munculnya sehabis hujan saja?”Tejo kembali melayangkan pertanyaan.

“Kau ingat kan, bidadari itu tinggalnya di kahyangan?Mungkin saja ada peraturan disana yang cumamemperbolehkan bidadari keluar sehabis hujan.Memangnya di rumah kita, enggak pernah dilarang-larangkecuali kalau sudah malam. Cemananya kau ini Jo. Enggakbetul pikiranmu.” jawab Jesmen ketus.

“Tapi, kenapa tidak setiap hujan dia keluar? Yang akutahu, bidadari itu baik hati dan bisa mengabulkanpermintaan kita. Tapi apa buktinya, sejak dulu setiap ada

Surat untuk Pelangi | Sartika Sari

300

Page 311: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

pelangi, aku selalu berdoa, tapi tidak pernah mereka bantu.”Sambung Tejo.

“Hm, iya juga ya. Semalam hujan, tapi enggak adapelangi. Dua hari yang lalu juga, tapi enggak ada pelangi.Bah, aneh juga. Tapi tunggu dulu Jo. Mungkin aja merekadikasih jatah keluar kahyangan cuma satu kali seminggu.Bisa aja kan?” Jesmen masih berusaha mempertahankanpendapatnya.

“Sudahlah Jesmen. Aku terlanjur tidak percaya denganbidadari-bidadari itu.”

“Ya sudahlah. Aku pun jadi bingung mau jawab apalagi.Yang penting aku masih percaya kalau pelangi itu bidadari.Dan suatu saat nanti, mereka akan turun terus mengajakkuke kahyangan dan mengabulkan apapun yang kuminta.Hahaha….”

“Hus! Ngawur!”“Eh, kenapa lidi ini berdarah? Kau nulis lagi?” Jesmen

terkejut melihat tangan dan lidi yang dipegang Tejoberlumur darah. Setahun belakangan, Tejo memang seringseperti ini. Setiap ditanya, katanya tak ada apa-apa.

“Ini surat terakhir untuk pelangi.” jawab Tejo singkatsambil memasukkan selembar surat ke dalam sebuahkaleng lalu disangkutkan ke dahan pohon mangga.

“Tadi kau bilang tak percaya dengan pelangi? Tapi kaubuat juga surat untuk pelangi.” Jesmen mengalihkanpandangan lagi ke arah sungai. Ia menganggap sikap Tejoitu sudah biasa.

“Ya, ini surat terakhir.”“Terserah kaulah. Sekarang kita pulang aja. Kasihan

inang-ku di rumah.”“Iya-iya. Kita pulang.”Kedua bocah itu berjalan lurus. Menembus udara basah

di senja yang manis. Meskipun berbeda etnis, Tejo dan

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

301

Page 312: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Jesmen tak pernah menganggap itu sebagai sebuahmasalah. Malahan mereka sangat akrab. Sudah empat tahunsejak kelas satu Sekolah Dasar, ketika Tejo baru pindah kewilayah ini, mereka bersahabat. Begitu pun dengan Kokodan Lili. Tapi sayang, mereka jarang bisa bermain bersama.

Langit gelap. Suara jangkrik ramai. Lepas hujan pagi tadi,malam ini udara masih terasa dingin, pas untuk beristirahatdengan nyenyak. Tejo penghibur mereka. Seperti inilah sejaksetahun tahun lalu, sepeninggalan bapak dan adikkembarnya. Tak mudah memang, mengikhlaskan kenyataanyang nyaris merenggut keutuhan keluarga. Tapi Tejo danibu selalu berusaha menerima, meskipun kadang dukadalam tak bisa disembunyikan.

“Jo, masih sering mimisan?”Tejo terdiam. Kalau ia jawab jujur, Ibu pasti akan khawatir.“Tidak Bu, sudah tidak pernah.”“Syukurlah.”Terpaksa, Tejo harus berbohong. Hampir setahun

belakangan ini ibu sangat mencemasi kesehatannya.Bagaimana tidak, kecelakaan mobil yang mereka alamiwaktu itu tak hanya mengambil bapak dan adik-adiknyatapi juga meninggalkan luka di kepala Tejo. Ia seringmimisan. Dokter sudah berulang kali mendiagnosa. Bahkanpernah, Tejo diklaim tidak akan hidup lama.

Malam makin dalam. Seluruhnya tertidur pulas di rumahmasing-masing.

“Jangan diam aja, Jo. Sini, aku bersihkan darahnya. Kamumau apa?”

“Baiklah, sekarang juga kita naik rakit.”“Jo, jangan diam sajalah. Tadi kamu minta naik rakit, tapi

malah begini. Atau kamu mau melihat aku atraksi?”“Jo, kamu enggak asyik ah!”“Jo, lihat pelanginya cantik sekali. Sini, lihat dari air sungai

Surat untuk Pelangi | Sartika Sari

302

Page 313: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

ini. Ayolah, jangan membenci pelangi. Ini sungguh elokkawan.”

“Jo, pegang tanganku! Sini pegang tanganku! Tejo….”“Inang, aku mimpi buruk. Aku takut terjadi sesuatu sama

Tejo.”“Jes, barusan ibu Tejo bilang, Tejo masuk rumah sakit.

Kondisinya kritis.”“Inang, aku harus lihat Tejo.”“Sabar dulu, sekarang dia belum bisa dijenguk. Lebih

baik kau berdoa untuk dia.”Jesmen terdiam. Ia tak bisa berkata apa-apa.“Surat, surat!”“Hei, mau kemana kau Jesmen? Ini masih pagi.”“Aku mau ke sungai sebentar Inang.”“Pelangi, bantu aku bicara pada Tuhan.Aku cuma ingin meminta kesembuhan penyakitku.

Walaupun dokter bilang, umurku sudah tak panjang, tapiaku tak ingin seperti ini. Kasihan ibu sendirian. Aku inginmembahagiakan ibu.”

Air mata Jesmen tumpah. Surat yang kerap disimpanTejo berlumur darah. Hidung, darah, yang seringkalidilihatnya dari Tejo ternyata sebuah isyarat kesakitan.Jesmen makin larut. “Kenapa kau tak menyembuhkansahabatku, pelangi?” n

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

303

Page 314: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Himawan Dwi Prasetyo | OpenArt

304

Page 315: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Arsatma Bangun

o

Kehilangan Jejak

Published © Medan Bisnis, Minggu 12 Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

u

u

305

Page 316: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

K ECANTIKAN dan kemolekan adalah anugerahterbesar dari Dibata, akan tetapi anugerah tersebutbisa menjadi peperangan dan malapetaka. Begitu

yang terjadi pada keturunan Ginting Pase.Kelahiran Beru Ginting Pase atau sering disebut unjuk

merupakan anugerah terbesar dalam keluarga Ginting Pasekarena kecantikan memberikan cahaya putih hinggatersebar ke bumi turang dan hutan belantara.

Maka ayah unjuk membuat acara syukuran menurut adatKaro ditengah kebahagian. Membuat gendang sebagaipujian dan memberikan sesajen kepada leluhur. Hal inidilakukan dalam bentuk syukur kepada Dibata Datas, Dibatatengah dan Dibata Teruh. Karena pada masa itu dikenaltiga Dibata. Suara musik gendang tersebut terdengar kehutan belantara Sinabung. Para Umang mendengar suaratersebut, oleh karena itu dia melihat apa yang terjadisehingga ada acara meriah. Ketika melihat bunga desa yangbernama Unjuk, umang bersumpah:

Ketika engkau kelak dewasa akan kujadikan istriku.Siapapun yang menghalangiku akan ku bunuh. Begitulahsumpah Umang. Ayah Unjuk merasakan ada sosok(sepasang) mata yang terlihat semak belukar.Siapa kau?Sosok mata itu langsung hilang dengan segejab.

Para pengawal kerajaan langsung mengejar sosok mataitu, tapi tidak kelihatan. Hal ini membuat ayah Unjuk resah.Kebahagian itu bercampur dengan ketakutan. Oleh karenaitu ditanya dukun Karo yang disebut Guru Sibaso. Bulangtanya dulu nenek luhur kita. Sosok mata siapa itu geranganmembuat hatiku resah. Guru Sibaso membakar kemenyan.mulutnya komat-kamit dan berkata Gawat bapak Unjuk.Itu Umang yang tinggal di Gunung Sinabung. Dia jatuh hatikepada anakmu.Tolong aku Guru! Selamatkan anak akuguru. Buat sesajen ke Gunung. Iya Guru.

Kehilangan Jejak | Arsatma Bangun

306

Page 317: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Malam hari arak-arakan warga desa membawa sesajenuntuk diberikan kepada Umang dekat gunung Sinabung.Sosok mata itu terlihat semak belukar di balik gua yangbegitu besar. Guru sibaso membakar kemenyan sertamemohon supaya tidak menggangu Unjuk. Dari pohon itumuncul mirip manusia akan tetapi kakinya terbalik kebelakang. Semua warga desa tunduk dan menyembahUmang tersebut. Setelah menghabiskan sesajen dan hilangtiba-tiba. Semua warga desa pulang dengan rasa gembira,akan tetapi yang lebih senang orang tua Unjuk.

Akan tetapi kebahagian itu tidak lama. Seminggu setelahmelahirkan Unjuk. Ibu Unjuk meninggal. Seluruh keluargatidak mengetahui apa penyebab maka dia meninggalbahkan Guru Sibaso tidak mampu menyembuhkanpenyakitnya.Terdengar isak tangisan keluarga. Tangisan ayahUnjuk membanjiri amak bentar.Ibu Unjuk jangan tinggalkanaku. Anak kita masih kecil, aku tidak punya dayamengasuhnya.

Sepeninggalan Ibu Unjuk kehidupan ayah Unjuk merana.Hidup dalam kesendirian dan melihat bayi munggil itu tidakdapat menahan kepedihannya. Dia harus pergi ke hutanbelantara untuk berburu serta membuka lahan baru untukmemenuhi sesuap nasi dan anaknya. Banyak orang iriterhadap dia karena kesuksesanya di kampung Kutabuluhtermaksud saudaranya.

Seperti biasa setiap panen melimpah, maka KeluargaGinting Pase membuat acara pesta syukuran dirumah Adat.Karena kebusukan hati saudaranya mereka meracunimakanan yang dimakan bapak Unjuk. Racun begitu cepatmenyebar sehingga tidak dapat ditolong.

Karena merasa bersalah atas perbuatannya, bapakTengah dan bapak Uda bunuh diri. Mereka merupakansaudara dari ayah Unjuk. Kesendirian dan kesepian dalam

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

307

Page 318: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

hidup Unjuk. Tangisan di malam hari menghiasikehidupannya. Hingga dia tumbuh dewasa. Kecantikan dankemolekan hingga membuat dia menjadi bunga desa.

Cahaya dan sinar wajahnya menyinari seluruh bumiturang. Bahkan Umang mengubah dirinya menjadi sosokpemuda yang gagah.

Bahkan Umang menikahi Unjuk. Bahkan Unjuk tidakmengetahui bahwa suaminya adalah Umang. Merekamembangun rumah berbentuk batu di Kampung Amburidi.Malam pertama begitu mengerikan sehingga darahmembanjiri amak bentar. Kepuasan sebagai insaniterpenuhi. Akan tetapi tidak menghasilkan buah.

Kehidupan mereka memang bahagia tapi sampai Unjukmeninggal dunia tidak mempunyai keturunan. Bahkansampai sekarang Ginting Pase tidak mempunyai keturunan.n

Kehilangan Jejak | Arsatma Bangun

308

Page 319: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: OpenArt

309

Page 320: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Khairy Ra’if Thaib

o

Adik Tak Selalu Nakal

Published © Padang Ekspres, Minggu 12 Agustus 2012

Adik Tak Selalu Nakal | Khairy Ra’if Thaib

u

u

310

Page 321: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

LONCENG tanda pulang sekolah berbunyi, aku danteman-temanku pulang ke rumah masing-masing.Ketika membuka pintu rumah, sebuah bola mengenai

mukaku. “Ivan, jangan main bola dalam rumah! Kan sudahsering kakak katakan kalau main bola itu jangan dalamrumah!” teriakku emosi.

Dengan rasa kesal aku menukar bajuku. Berjalan ke mejamakan dan aku makan. Sedang menyuap nasi tiba-tibabola mengenai piringku. Piringku jatuh, pecah. Aku kembalimemarahi Ivan, adikku yang baru kelas satu SD. “Ivan janganmain bola dalam rumah! Piring makan kakak pecah gara-garamu. Sekarang kamu bersihkan nasi dan piring yangpecah itu, sebagai hukuman!”

Dengan terpaksa Ivan membersihkan nasi dan piringpecah yang berserakan dilantai.

Tak berapa lama setelah Ivan selesai membersihkan nasidan piring yang pecah itu Mama pun pulang. Ivanmengatakan pada Mama bahwa aku yang memecahkanpiring itu. Mama masuk dalam kamarku dan memarahiku.

“Ma, bukan aku yang memecahkan piring, tapi Ivan yangmelemparkan bola pada piring itu saat aku makan,” katakumembela diri.

Mama tampaknya tidak percaya bahwa yang melakukanitu adalah Ivan.Akibat dari ulah Ivan yang mengatakanbahwa aku telah memecahkan piring pada Mama, uangjajanku dikurangi. Aku sangat kesal pada Ivan. Ivan malahtertawa-tertawa kecil melihat aku dimarahi Mama dandikurangi uang jajan.

Malam harinya aku bertengkar dengan Ivan di depantelevisi. Aku mau menonton film ini, dia malah inginmenonton film yang lain. Aku rebut-rebutan remot televisidengannya. Mama ke luar dari kamarnya. “Susan, kamujangan begitu sama adikmu. Kamu yang lebih tua harus

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

311

Page 322: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

mengalah dengannya!”Dengan berat hati aku memberikan remot televisi pada

Ivan dan tidak menonton film favoritku malam ini. Besoknyapulang sekolah aku membawa teman-temanku ke rumahuntuk membuat PR bersama. Seperti hari kemarin ketikamembuka pintu, bola sudah melayang menuju mukaku.Untung kali ini aku lebih waspada. Aku menepis bola yangsiap mengenai mukaku.

Aku menyuruh Ivan untuk berhenti main bola, karenaaku dan teman-temanku akan mengerjakan PR bersama.Dia menganggu-angguk saja tanpa berbicara, tampaknyadia sudah mengerti dengan maksudku.

Ivan melihat aku dan teman-teman mengerjakan PR.Dia sepertinya juga ingin belajar bersama kami. Akumemberikan buku gambar padanya. Aku menyuruhnyamenggambar apa saja yang ingin dia gambar.

Ivan menggambar pemandangan alam, seperti gunung,laut, sungai, jalan dan rumah-rumah. Melihat Ivan yangbersemangat menggambar, aku memberikan buku BelajarMenggambar padanya. Menurutku buku itu sangat cocokbuatnya. Dalam buku itu ada gambar pemandangan alam,gambar binatang, sepeda, mobil, motor, pesawat, kapal,dan berbagai macam robot. Ivan mengamati buku itu., laludia menggambar ikan, ayam, kapal, pesawat, dan robotPower Ranger. Gambar yang dibuat Ivan cukup bagus.

PR kami telah selesai, hari pun sudah sore. Teman-temanku minta izin untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Ivan tak mau memberi izin pada teman-temankuitu. Dia masih ingin belajar dengan temantemanku. Akumencoba menahan teman-temanku supaya jangan pulangdulu, tapi teman-temanku tidak bisa terlalu lama dirumahku, karena mereka hanya dapat izin dari orang tuanyasampai sore. Akhirnya aku menjelaskan pada Ivan kalau

Adik Tak Selalu Nakal | Khairy Ra’if Thaib

312

Page 323: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

teman-temanku itu harus segera pulang. Ivan mengizinkanteman-temanku pulang asalkan aku mau mengajarinyasampai dia bisa jadi penggambar yang hebat dan besoknyatemantemanku dimintanya untuk datang kembali kerumah. Teman-temanku juga mau menerima permintaanIvan. Setelah mengemasi buku-bukunya teman-temankupun pulang ke rumahnya masing-masing.

Tak berapa lama kemudian datanglah Mama. Ivan berlarimenghampiri Mama. Dia mengatakan pada Mama bahwayang memecahkan piring kemarin adalah dia, bukan aku.Dia minta maaf pada Mama karena telah berbohong, dandia minta supaya Mama tidak mengurangkan uang jajankulagi. Mama senyum-senyum bahagia melihat aku dan Ivanakrab. “Mama mau memaafkan kesalahanmu, tetapi kamuharus minta maaf dulu pada kakak.”

Ivan berlari ke arahku dan langsung minta maaf. Akutanpa merasa keberatan memaafkan kesalahannya. Akujuga minta maaf padanya karena aku sering memarahinya.Dia maafkan kesalahanku dengan senang hati. Aku, Mama,dan Ivan saling maaf-maafkan. Mama berjanji pada kamiuntuk membelikan kami buku yang banyak supaya kamilebih rajin belajar. n

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

313

Page 324: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

Repro: Jean Pierre Alaux | OpenArt

314

Page 325: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

o

Lampiran

ANALISAHusen Rifin | Kebun Merah Hati

ANNIDA ONLINEAgung Dodo Iswanto | Kolak Emas

ANNIDA ONLINENikmatus Solikha | Sisi Lain Bapak

BANJARMASIN POSTUzairul Anam | Sayap Abadi

BALI POSTParlan Tjak | Mel, Ini Aku

BERITA PAGIRifhan Nazhif | Bunda Piara

CEMPAKA MajalahNimas Kinanti | Kasih Tak Bertepi

FAJAR MAKASSARMizunihara | Merah Marah

HALUANDafriansyah Putra | Awan Merah Jambu

HALUAN KEPRINofriadi Putra | LaksaHORISON ONLINE

Suhariyadi | Potongan Kaki PerempuanHORISON ONLINE

Muhdoer Al-Farizi | Sebongkah Kertas dan Wajah EmakJAWA POS

Bamby Cahyadi | Malaikat Mungil dan Perempuan

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

315

Page 326: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

LolipopJURNAL NASIONAL

Dadang Ari Murtono | Upaya Menghindari DosaJOGLOSEMARBaju Lebaran

KEDAULATAN RAKYATAffan Safani A. | Tamu Lebaran

KOMPASAK Basuki | Seragam

KOMPAS.COMSutan | Huh....!

KORAN TEMPOEka Maryono | Kakek dan Peti Mati

LAMPUNG POSTAbsurditas Malka | Hujan Anak Panah

MEDAN BISNISRamajani Sinaga | Gagak Hitam

MERAPI JOGJAMulasih Tary | Parcel Lebaran

METRO RIAURian Harahap | Lebaran Tanpa Bunda

OKEZONE.COMEka Maryono | Cangik Jadi Ratu

OKEZONE.COMZulfikar | Bangkai di Atas Pusara

PADANG EKSPRESSyarifuddin Arifin | Aku Akui, Ibu!

RADAR LAMPUNGNofita Chandra | Ngabuburit

RADAR SURABAYARafif Amir | Hujan

REPUBLIKAIlham Yusardi | Pintu Lebaran

Lampiran

316

Page 327: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012

RIAU POSDessy Wahyuni | Lelaki Reinkarnasi

RIAU POSSamsul | Menebus Impian

SATELIT POSTKartika Catur Pelita | Lebaran dalam Semangkuk Bakso

SERAMBI INDONESIAMahdi Idris | Baju Baru untuk Putriku

SINAR HARAPANTitik Kartitiani | Requiem Ingatan

SUARA KARYADjunaedi Tjunti Agus | Mei Lie

SUARA MERDEKAN. Mursidi | Tidak Ada Seribu Kunang-kunang di Langit

SUMATERA EKSPRESFebrie Hastiyanto | Tentang Telepon, Lebaran dan

DemonstrasiSUMUT POS

T. Agus Khaidir | Menunggu Ibu PulangKEDAULATAN RAKYAT (Cernak)

Yayan RH. | Tidak Usah Menunggu LebaranMEDAN BISNIS (Cernak)

Sartika Sari | Surat untuk PelangiMEDAN BISNIS (Cernak)

Arsatma Bangun | Kehilangan JejakPADANG EKSPRES (Cernak)

Khairy Ra’if Thaib | Adik Tak Selalu NakalPIKIRAN RAKYAT (Cernak)

Ais Aliannisa | Persahabatan AbadiSUARA MERDEKA (Cernak)

Yayan Rika Harari | Tidak Usah Menunggu Lebaran

u

Bunga Rampai Cerpen Minggu ke-VII Agustus 2012

317

Page 328: Bunga Rampai Cerpen Minggu, Pekan ke-VII, Agustus 2012